Ceritasilat Novel Online

Sirkuit Kemelut 1

Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar Bagian 1

SIRKUIT KEMELUT

Ashadi Siregar

Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta 1976

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

Pernahkah Anda mengenal seorang lelaki yang tak punya

alasan buat mencintai ibunya? Sesungguhnya, di dasar sanubarinya yang paling dalam, keinginan untuk itu selalu menggeliat mengganggunya. Tetapi, mungkinkah itu terjadi jika dia

dibebani kebencian yangteramat getir terhadap sang ibu? Betapa

tidak!

Ketika dia berusia lima tahun. ini terjadi belasan tahun yang

lalu, sang ibu lari dari rumah mereka. Lari meninggalkan anaknya

yang masih bocah, meninggalkan suaminya, dan lenyap bersama

lelaki lain. Nista mana lagi yang bisa menandingi kenyataan kelam ini? Sang ibu hanya menyisakan masa lalu yang pahit untuk

dikenang. Dan, kenangan itu selamanya menghantui lelaki itu

dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, sampai terbilang tahun. Sejak dia mulai bisa berpikir, dia hanya dihadapkan kepada

kutukan terhadap sang ibu. Jalur-jalur yang membekas dalam

benaknya hanyalah: bahwa dia berasal dari seorang perempuan

sejahat ular beludak, sekotor bangkai, karena ibunya adalah se

orang istri yang melarikan diri dari suami untuk kemudian kawin

dengan lelaki lain. Nista ini melekat pada dirinya, sebab begitulah yang seringdiucapkan ayahnya jika sedang marah.

Maka pada masa kini, masa yang terlibat benang-benang hitam kenangan itu, Anda hanya akan mengenal seorang remaja

yang bermata tak acuh, bibir selalu terkatup rapat. Nyaris tak

mengenal humor. Gampang tersinggung. Rambutnya, seperti

rambut kebanyakan remaja lain nya, terjuntai hingga bahu. Sekali

lintas, orang yang berselisih jalan dengannya lebih suka kalau

tidak beradu bahu. Tampak-tampaknya ada lava yang siap meledak sewaktu-waktu dalam diri pemuda itu. Jadi, lebih baik tidak

berurusan dengannya.

Seorang cewek bernama Joice menjulukinya Kuda Sakit Gigi.

Tentu saja julukan ini tidak pernah sampai ke telinga lelaki itu.

Kalau saja julukan itu sampai terdengar olehnya... wah! Sulit

membayangkan apa yang bakal terjadi. Boleh jadi sekolah mereka akan gempar. Sebab lelaki itu sulit dihadapi kalau sedang naik

pitam.

Mungkin ada benarnya julukan itu. Tetapi, boleh jadi terlalu

berlebihan. Cewek-cewek memang sering keterlaluan memberi

julukan kepada cowok-cowokyang tidak mereka sukai. Juga kepada yang mereka sukai. Ada yang mereka juluki Alain Dellon. Ada

juga Tom Jones. Tetapi, ada yang mereka juluki Pithecantropus

atau bahkan Komodo. Itu terserah kepada mereka. Cuma, menjuluki lelaki itu sebagai Kuda Sakit Gigi, rasanya kurang tepat. Dan

segi mana dia mirip kuda? Tak ada. Kecuali gaya berjalannya yang

seperti berjingkat. Tetapi, John Wayne juga berjalan seperti itu

dalam FIlm-hlmnya. Lalu, hidungnya juga tidak sepanjang hidung

kuda. Malahan hidung lelaki itu bagus, Artinya, memenuhi syarat

untuk dipajang sebagai poster di majalah. Pantas untuk nampang di televisi. Cuma, matanya, ya matanya, kelewat dingin. Seperti memusuhi apa saja yang sedang terpandang olehnya. Lainlain, biasa-biasa saja. Bahunya agak sempit. Tetapi, ini mungkin

karena tidak sebanding dengan tubuhnya yangjangkung. Si Kuda

Sakit Gigi itu bernama Alexander. Atau biasa dipanggil "Alex" oleh

teman-temannya.

Hari itu alangkah pengap. Matahari bukan main teriknya. Lihat saja tanah berpasir. Sari-sari panas menari-nari di halaman

sekolah. Rumput-rumput terkulai layu. Pohon flamboyan di dekat

gerbang menahan angin yang bertiup perlahan. Segalanya tampak malas. Segalanya beringsut. Di bawah langit biru dan awan

putih mengapas, isi dunia ini serasa terpanggang.

Dan, di kantin agak teduh. Cuma, angin tak ada bertiup. Jadi,

tetap sumuk. Maka Joice menghela napas dalam-dalam, Beberapa

ekor lalat beterbangan di atas meja. Suara minyak di penggorengan terdengar dari dapur kantin itu. Joice mengalihkan tatapannya

lewat jendela yang terpentang. Pandangan impas ke lapangan.

Masya Allah! Masa di bawah matahari yang sengit begini masih ada olahraga. Terlalu! Betul-betul guru olahraga itu layak disambar geledek! Joice menggamit Linda. Linda dan teman-teman

yang lain ikut menoleh.

"Gila!" kata Linda.

"Kasihan ya? Itu kelasnya Kiki, kan?" kata Joice.

"Ya. Itu Kiki," sambut Rita.

"Olahraga kayak begitu sih bukan untuk kesehatan lagi," ujar

Linda.

"Pak Utomo memang sentimen sama kelas Kiki," kata Rita.

"Kenapa?" beberapa bibir berucap.

"Ada deh."

"Apa sih?"

"Ah, masa kalian belum tahu? Tanya deh Kiki."

"Apa? Apa? Apa?"

"Alaa, ada apa sih, Rita?"

"Ah, nggak. Gua nggak mau bilang."

"Ah, sombong,"

"Bukan sombong,Joice. Tapi, lebih baik tanya langsung pada Kiki."

"Ah, lu emang sarang gosip. Bikin gua penasaran!" kata Linda.

Rita tersenyum misterius. Dia menyedot minumannya lewat

pipet. Isi botol tinggal separo. Lalu anak-anak kelas Dua Pas-pal

itu kembali menonton orang-orangyang sedang latihan atletik di

lapangan sekolah. Dan, anak-anak yang sedang terjemur itu pun

dapat melihat Joice dan konco-konconya yang enak-enak duduk

di kantin. Alangkah sakit hati mereka. Bukan sakit hati kepada

Joice, bukan! Melainkan sakit hati kepada Pak Utomo. Sungguh

mati, sumpah serapah bertumpukan di dada anak-anak itu. mengutuki kebiadaban guru pendidikan jasmani itu.

Alangkah beruntungnya kelas Joice. Mereka kosong untuk pelajaran goneo. Pak Hutagalung yang mengajarkan vak itu dirawat

di rumah sakit karena sakit disentri. Mungkin bakal lama dia

ngendon di RSCM. Ada yang bilang, dia tidak berdisiplin soal

makanan. Mudah-mudahan saja dia tetap begitu. Asal jangan

mati. Sebab, kalau sampai setan goneo itu koit, siapa tahu akan

digantikan oleh iblis goneoyang lain. Biarpun kejam, setan goneo

itu agak lumayan. Cuma, memang angin-anginan. Tempo-tempo

marah tak berketentuan, tetapi bisa pula baik sekali kayak pastor.

Jadi, lebih lama dia berada di rumah sakit, itu lebih baik.

Linda mengacungkan botol Greenspot ke arah anak-anakyang

sedang kepanasan di lapangan. Tambah mendongkol saja anakanak itu.

"Kalau gua Kiki, gua pura-pura semaput," kata Rita. Belum

sempat teman-temannya menimpali, mendadak kantin itu hiruk-pikuk Joice menatap jengkel ke arah anak-anak lelaki yang

masuk berebutan. Dan, mereka duduk serabutan. Dan, seperti

biasanya bising. Brengsek! Anak-anak lelaki selamanya memang

pengacau! Lebih-Iebih anak-anak Tiga Pas-pal ini. Kelas ini punya

biang kerok yang selalu bikin pusing kepala Bapak Direktur yang

botak. Botak itu akan tambah mengilap tiap kali ada kekacawan

gara-gara perbuatan geng kelas ini. Kebanyakan anak lelaki kelas

ini krosboi. Joice paling jengkel jika berdekatan dengan salah

seorang krosboi yang kurang makan itu. Nah, lihat saja cara makannya. Ih, memuakkan. Satu pisang goreng sekaligus masuk ke

mulut. Andainya mereka agak sopan, alangkah menyenangkan.

Berteman dengan anak-anak lelaki ini pasti menyenangkan. Pergi

ke pesta bersama mereka pasti aman. Mereka berani, tetapi sayang brengsek.

"Ayo, cepat ah!" kata Joice kepada teman-temannya. Tetapi,

Linda tak acuh. Malahan dia tersenyum ke arah anak-anak lelaki

gondrong itu. Bah, konyol!

Tampak-tampaknya anak-anak lelaki itu punya rencana. Mereka bicara berbisik-bisik di sudut kantin. Salah seorang mereka

mendesak.

"Na, nyatanya lu takut," kata Kulman.

"Ayolah, Alex," kata Bonar.

"Ayo, Alex. Ayo, Lex. Ayo, Lex." desak yang lain.

"Ah!" sungut Alex.

"Jadi, betuI-betul lu takut?" kata Kulman.

"Gua sudah bilang tadi, gua tidak mau! Tidak mau!"

"Fuih, pengecut!"

"Mau bilang apa, silakan," kata Alex.

"Kalau begitu, lu nanti yang bayar semua!" kata Bonar.

"Duit gua cuma seratus perak."

"Wah. Brengsek benar ini orang," kata Kulman.

"Jangan ingkarjanji dong," kata Bonar.

"Kapan gua berjanji? Kan kalian yang bikin rencana! Kapan

kalian tanyakan persetujuanku?" kata Alex.

"Kita harus kompak. Betul nggak, Man?" kata Bonar ke arah

Kulman.

"Jadi, betuI-betul lu takut? Sekali lagi, Lex, betuI-betul lu takut

sama itu cewek? Jangan sampai tersebar lho ini. Bisa bikin malu

grup kita," ujar Kulman.

Alexander membisu. Dia mengaduk-aduk es tehnya. Oleh karena mereka tadi bicara berbisik-bisik, membuat cewek-cewek

yang ada di situ ingin tahu. Merasa bahwa cowok-cowok itu sedang membicarakan mereka. Tetapi, sayang tak bisa tertangkap

apa yang sedang dirundingkan cowok-cowok brengsek itu.

10

"Cepat, Lin!" kata Joice keras.

"Ngapain sih buru-buru?" kata Linda.

"Iya. Ngapain sih buru-buru?" kata Kulman.

"Kayak punya bayi

di rumah saja."

"Lin!" suara Joice tambah keras.

"Jangan mau, Lin," kata Bonar.

Joice memberi isyarat kepada pelayan kantin agar menghitung harga minuman di meja mereka. Selesai membayar, rombongan gadis itu meninggalkan kantin. Anak-anak lelaki di situ

menggoda, hingga suara mereka tak terdengar lagi oleh gadisgadis itu.

Lewat jendela, anak-anak lelaki itu bisa memandang gerombolan gadis itu duduk di bawah kerindangan pohon mahoni di

halaman sekolah. Ada yang duduk di tanah dengan selembar

saputangan terkembang sebagai lapik duduk.

Kulman memandang Alex.

"Brengsek lu ah!" katanya.

Alex mengangkat kepala sekejap, kemudian kembali tak acuh

memandang minuman dalam gelasnya.

"Ada kesempatan lu sia-siakan," lanjut Kulman. Alex tak menimpali.

"Tinggal lu yang belum punya cewek," kata Bonar.

"Gua nggak butuh cewek," kata Alex datar.

"Mau jadi wadam lu ya?" suara Kulman sengit. Alex pura-pura

tak mendengar.

"Begini, Lex," kata Bonar lunak.

"Kami semua sudah punya

cewek. Kalau nonton atau ke pesta, semuanya bisa bawa cewek.

11

Cuma lu yang nggak punya. Jadinya, lu alone. Kalau ada pesta Iu

tak datang."

"Gua memang nggak suka pesta," ujar Alex perlahan.

"Wah, jangan begitu. Bukan soal senang atau tidak. Gua juga

nggak senang pesta. Tapi, itu penting untuk pergaulan. Kalau lu

tak ikut, kekompakan kita jadi rusak. Kita sudah dikenal sebagai

Lima Geng SMA kita."

Alex menatap keempat temannya satu per satu. Kulman memijit-mijit jerawat di dagunya.

"Gua sudah bilang, itu cewek ada ati sama lu. Iya nggak, Nar?"

kata Kulman.

"Iya, iya. Gua juga yakin, Joice pasti cintrong ame lu," kata Bonar sambil menatap dalam-dalam wajah Alex.

"Ah," rutuk Alex.

"Kenapa sih lu nggak mau?"

"Gua nggak percaya," kata Alex.

"Sungguh. Lex. Joice sering memperhatikan lu. Sering membicarakan lu. Walaupun kadang-kadang suka mengejek, tapi gua

yakin itu sebenarnya untuk menutupi perasaan yang sebenarnya."

Alex mendecakkan lidah tanda jengkel. Lalu mengembuskan

napas kuat-kuat.

"Payah meyakinkan ini orang," kata Kulman jengkel.

"Gua tahu betul itu cewek sering mengejek gua. Kalau ketemu,

ya gua pernah ketemu dia di Pasar Baru, dia melengos kayak tak

kenal. Untung saja gua belum menegurnya,

" kata Alex.

"Barangkali dia nggak melihat lu," kata Bonar.

"Apa? Nggak melihat? Terang-terang gua berdiri persis dekat

12
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu mobilnya. Waktu itu mobil mau parkir. Masa dia nggak

lihat? Dan lagi, selamanya dia kelihatan sinis kalau ketemu gua."

"Ah, itu cuma perasaan lu saja. Percayalah, sebenarnya Joice

tertarik sama lu. Memang cewek-cewek paling pandai menyembunyikan perasaan. Gua pernah baca satu buku, yang bilang: semakin dalam cinta seorang cewek, semakin rapi dia menyembunyikan cinta itu di balik kebencian. Sungguh, itu bukan pendapat

gua. Gua baca dalam buku Marga T kalau tak salah," kata Bonar.

Alex tak menjawab. Teman-temannya semakin jengkel melihat sikapnya yang dingin.

"Kalau lu tidak percaya, lu duduk dekat jendela itu," kata

Kulman.

"Nanti kami akan memperhatikan apakah Joice seringsering melihat lu. Begitu melihat lu, pasti dia akan bergaya. Lu

bisa lihat sendiri. Tapi, jangan kelihatan bahwa lu melihat dia.

Ayolah, lu pindah ke dekat jendela itu."

Alex tak bereaksi.

"Ayolah, lu duduk dekat jendela itu. Tapi pura-pura memperhatikan ke jalan sana," kata Kulman tak sabar.

Alex tetap duduk seperti patung. Teman-temannya tambah

jengkel.

"Tai-Iah!" kata Bonar. Lalu dia meneguk minumannya sampai

kerongkongannya berbunyi "glug-glug-glug'.

"Jangan mengecewakan kami dong, Lex," kata Kulman.

Alex mengangkat bahu. Lalu dia mengeluarkan amplop dari

saku bajunya. Sejumlah rumput dari dalam amplop itu kemudian

dia lumat.

"Yang jual di Cikini tadi sudah berganti. Barangkali penjual

yang lama ditangkap," kata Alex.

13

"Ah, lu benisan melulu!" sergah Kulman.

"Jadi, lu nggak mau?"

Kulman terdiam. Pelan-pelan wajahnya yang keruh menjadi

cerah setelah Alex melinting daun-daun ganja itu. mencampurnya dengan tembakau rokok.

"Lihat-lihat kalau Pak Direktur datang," kata Alex. Lalu salah

seorang duduk di dekat jendela. Dan, asap pun mulai dihirup.

Sebatang rokok dilinting dan diisap berganti-ganti, seperti jika

para ketua suku indian bermusyawarah dan mengisap pipa perdamaian.

Sepanjang Jalan Budi Utomo mulai ramai. Anak-anak sekolah

menyesaki jalan itu. Mereka berjalan bergerombol. Masingmasing memiliki tujuan. Tetapi, kebanyakan mengarah ke Terminal Lapangan Banteng. Manusia mengalir ke situ seperti halnya

sungai kecil dari berbagai sumber yang bergerak ke satu muara.

Lalu dari muara itu pula nanti bus-bus yang sarat manusia akan

bergerak menuju pelbagai arah.

Alex masih merasakan sisa-sisa bayangan ganja di kepalanya. Di dalam bus kota, dia memperoleh tempat duduk di dekat

jendela. Dia menyandarkan kepalanya, berlena-Iena mengikuti

olengnya bus kota yang menyusuri jalan. Angin memang mengeIus, tetapi terik matahari menimpa sisi bus sebelah kiri dan membakar separo wajah Alex. Dan, Alex melirik sisi sebelah kanan.

Alangkah nyaman duduk di situ.

14

Celana jins Alex terasa panas seperti bara. Matahari menimpa

pahanya pula, dan panasnya menembus sampai jaringan daging.

Alex berusaha menahan dengan bukunya. Tangannya yang kiri

terpanggang. Serbasusah. Tetapi, tak apalah. Sebentar lagi tiba di

rumah. Beruntung sekali di sepanjang jalan shelter bus didirikan

Pemerintah DKI, ada yang persis di depan rumah. Tak perlu berjalan jauh lagi. Sebentar lagi tiba di rumah dan tak lagi terpanggang panas matahari.

Tetapi, benarkah terlepas dari panggangan matahari? Di

rumah, ada api yang lain. Suasana di rumah sangat tidak nyaman. Wajah Papa yang selalu kaku. Wajah Mama yang jarang

tersenyum kepada Alex. Semua wajah ketat, persis wajah malam

Jumat Kliwon: seorang papa yang tidak menyukai anak sendiri,

seorang mama tiri, beberapa adik tiri yang manja, semuanya barangkali menganggap diri Alex sebagai tuyul, setan, atau entah

apa saja yang tidak menyenangkan.

Dan, ke rumah itulah sekarang Alex harus berlabuh setelah

seharian dibakar matahari. Ibarat seseorang yang sudah berminggu-minggu terkatung-katung di tengah samudra, di atas rakit kecil, tanpa air, tanpa peneduh, lalu terdampar ke satu pulau

yang ternyata pulau gosong dan kering-tajam. Dia tidak ingin

mendarat di pulau karang itu. Dia tak ingin pulang ke rumah itu.

Tetapi, tak ada persinggahan lain. Lebih-Iebih sekarang, setelah

mengisap ganja, perutnya bukan main lapar. Bagaimanapun tidak menyenangkan rumahnya, rasa lapar bisa ditanggulangi di

tempat ini.

Alex merapatkan kembali pintu gerbang berukir. Gedung itu

dinaungi pepohonan penyejuk. Kerikil gemeretak di bawah se

15

patu Alex. Bunga-bunga di taman banyak yang terkulai. Rumah

itu seperti istana kecil. Dan, di dalam istana kecil itu Alex gelisah.

Menunggu sore tiba. Dia ingin bertemu papanya. Saat-saat seperti ini memang menyiksa. Rasa segan yang tak keruan juntrungannya selamanya mengimpit. Begitulah perasaan Alex jika ingin

bertemu dengan papanya. Maka Alex tak bisa membayangkan

bagaimana teman-temannya bisa bercanda dengan ayah mereka.

Dia tak pernah bergurau dengan ayahnya. Pembicaraan antara

mereka singkat-singkat saja. Ini terjadi sejakAlex bisa mengingat.

Dan, selamanya, bertemu dengan sangayah sama halnya disuruh

ke kantor polisi atau tentara. Jantung dag-dig-dug dan telapak

tangan berkeringat. Tetapi, bagaimanapun situasi semacam itu,

pada saat-saat tertentu, harus dialaminya jika dia perlu duit.

Perihal duit, papanya tak pernah usil. Selalu memberi tanpa

bertanya ini-itu. Cuma, untuk mengucapkan,

"Pa, Alex perlu duit,"

itulah yang paling berat. Sampai membuat napas sesak. Perasaan

sangat tertekan. Apalagi menghadapi wajah papanya yang hampir-hampirtak bisa diduga maknanya.

Lantas sore pun tiba. Ketika papanya sendirian di ruang depan, Alex melangkah hati-hati melintasi karpet yang menutupi

lantai. Papanya hanya mengalihkan mata dari koran sore yang

sedang dihadapinya, mengangkat alis ke arah Alex. Dan, Alex

berkata,

"Pa, Alex perlu duit untuk..."

"Berapa?" pintas papanya datar sehingga rencana dusta "beli

buku" tak jadi diucapkan Alex.

Tenggorokan Alex tersekat.

"Sepuluh cukup?" suara papanya

merendah. Alex mengangguk cepat-cepat. Lalu papanya berdiri

16

dan beranjak ke kamar. Sekejap kemudian kembali lagi dan menyodorkan dua lembar lima ribuan.

Alex cuma berdesah walaupun maksudnya mau bilang terima

kasih.

Itu saja.

Alex melangkah cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Dan,

sepanjang koridor, jantungnya yang semula takut-takut berdetak kini malah berdeburan terlalu kencang. Haru-biru perasaan

mengguncang-guncangnya. Dia tidak tahu bagaimana sesungguhnya perasaannya terhadap papanya. Membencinya? Ah, dia

begitu baik. Mencintainya? Hanya karena dia memberi uang?

Atau, perasaan takut yang ada? Ya, itu yang paling tepat! Takut,

waswas, rikuh, segan, perasaan-perasaan semacam itulah yang

mengimpit Alex manakala berhadapan dengan papanya. Jadi,

seperti berhadapan dengan raksasa yang sesungguhnya teramat

kejam. Hanya kebetulan saja raksasa itu berbuat baik terhadapnya.

Lelaki tua itu memang aneh. Dibanding dengan pemberian

kepada anak-anaknya yang lain, pemberian uang kepada Alex

lebih banyak. Itu kadang-kadang membuat adik tiri Alex merasa

iri. Tetapi, dalam hal bercanda. hanya bisa dilakukan oleh lelaki

tua itu dengan anak-anaknya yang lain.

Lantas, pikir Alex, bagaimana sebenarnya hubunganku dengannya? Dia lebih kejam terhadapku. Lebih tidak kenal ampun

jika aku yang berbuat salah. Apakah dia mencintaiku? Jika ya,

sebenarnya aku lebih suka memperoleh kecintaan seperti yang

diberikannya kepada adik-adik tiriku. Aku tak memerlukan |im

17

pahan materi. Aku ingin bicara dengannya tanpa perasaan takut,

waswas, dan jantung berdebar-debar. Aku ingin menceritakan

keadaan sekolahku. Ya, jika saja wajahnya tidak sedingin yang

ditampilkan di hadapanku selama ini.

Benarkah dia mencintaiku? Ah, rasanya tak mungkin. Di antara kami terbentang jurang teramat dalam. Barangkali dia memandang diriku tak lebih dari Daud, sopir Mercy yang sering

diberinya uang itu. Sebab, aku bisa memperbaiki mobil, lebih

baik dari hasil kerja Daud. Jika Honda Life macet, padahal Mama

mau memakainya, akulah yang bisa memperbaiki mobil itu. Tak

perlu mendatangkan montir. Atau jika ada kerusakan listrik di

rumah ini, tak perlu menelepon PLN. Bahkan televisi yang tak terang gambarnya pernah kuperbaiki hingga seterang televisi baru.

Mungkin karena itulah dia baik padaku. Barangkali. Tak mungkin

dia mencintaiku. Aku lahir dari rahim seorang perempuan yang

telah menyakiti hatinya. Telah menghinanya.

Suara klakson mobil terdengar di halaman. Alex meloncat

dari tempat tidur. Persetan! Buat apa memikirkan soal ini? Pasti

itu klakson mobil Kulman.

Di dalam jip Toyota warna hijau itu sudah menunggu Kulman,

Bonar, Tippy, dan Tonton. Keempat pemuda ini berhal serupa

dengan Alex. Mereka juga tidak pernah bertemu dengan papa

mereka. Bedanya. mereka punya mama kandung yang bisa mereka bentak jika mereka butuh uang. Itu saja bedanya. Kelima

lelaki itu lebih suka bertemu dengan bajingan di Senen daripada

harus berhadapan dengan papa masing-masing. Seorang papa,

bagi mereka adalah pencari uang yang kehadirannya sungguh

18

merusak kebahagiaan mereka. Seorang papa adalah lambang kemarahan dan nasihat-nasihat yang menyebalkan. Dia adalah setumpuk ketidakpuasan, yang menuntut terlalu banyak, memberi

teguran yang sesungguhnya egoistis, tapi berlagak memperhatikan kehidupan anak-anaknya.

"Oke. berangkat?" kata Kulman.

"Oke," kata Alex sambil mengempaskan pintu mobil.

Dan, suara ban mencicit di aspal. Senja mulai menyungkup

kota Jakarta. Lampu-Iampu merkuri mulai menyala.

"Kita ke disko ya?" kata Kulman.

"Oke,"jawab Alex.

Bonar yang duduk di antara Alex dan Kulman memperenak

lonjoran kakinya, agar tidak mengganggu tongkat persneling. Jaket jinsnya yang sudah lama tak dicuci berbau apek bercampur

Avon. Rambutnya yang kribo menjulang, sedikit lagi menyentuh

kap.

Mobil itu meluncur di jalan yang mulus. Setelah berkali-kali

membelok, kemudian menuju Tanah Abang. Lalu tiba di sebuah

disko. Dan, mereka berlompatan turun dari mobil.

Hari ini ulang tahun Kulman. Tak ada pesta. Mereka cuma makan-makan di Lembur Kuring. Seperti biasa. Masing-masing dengan ceweknya. Kecuali Alex. Ada empat pasang muda-mudi di

situ. Alex seperti sopirjadinya. Apalagi dengan sikapnya yang tak

acuh, membuatnya seolah orang luar di tengah keceriaan itu.

19

"Lex, kamu kok nggak cari pacar sih?" tanya Lisa.

"Nggak ada yang mau sama gua," kata Alex.

"Aih, siapa bilang? Andai belum sama Bonar, Lisa mau jadi

pacar Alex."

"Ah, tai lu!" sergah Bonar.

"Memang lu mata keranjang."

"Lho, kok sewot? Kan Lisa bilang kalau belum sama Bonar?"

"Kamu kan cakep. Lex. Kayak Steve McQueen," kata Yosi, pacar

Kulman.

"Kalau gua mirip siapa?" tanya Bonar.

Yosi menelengkan kepala dan matanya menyipit mengawasi

wajah Bonar.

"Kayak... kayak... kayakJimi Hendrix!" katanya.

"Wah, hitam dong."

"Emangnya lu pikir lu putih?" kata Kulman diiringi tawa renyah.

Alex membisu. Dia menyedot air kelapa muda seteguk demi

seteguk.

"Mau kalau Lisa carikan, Lex?"

"Carikan apa?" kata Alex masih tetap datar.

"Carikan apa. Carikan cewek!"

"Wah, Lisa ini kayak germo aja," kata Alex ketus.

"Ih, kok bilang begitu sih?" Lisa tersinggung.

Alex kembali menunduk menghadapi kelapa mudanya. Bonar

dan Kulman saling pandang. Keduanya kemudian mengangkat
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahu.

Nah, itulah yang menjadi gara-gara pertengkaran mereka sore

harinya. Di restoran tempat mereka biasa berkumpul, mereka

berempat mengadili Alex.

20

"Lu betul-betul tak punya perasaan!" kata Kulman.

"Tak punya sifatgallant," tambah Bonar.

"Gua cuma bermaksud melucu," kata Alex membela diri.

"Lu nggak punya rasa humor!" kata Tippy.

"Lisa baik-baik menawarkan jasa, lu hina," kata Tonton.

"Gua nggak bermaksud menghina," jawab Alex. Lalu mengangkat gelasnya yang berisi bir.

"Jangan minum dulu! Kalau banyak minum, lu tambah keras

kepala!" bentak Kulman.

Alex patuh. Dia meletakkan gelasnya pelan-pelan.

"Lu bilang nggak merasa menghina, tapi kenyataannya Lisa

tersinggung," kata Tonton.

"Nggak lu lihat mukanya? Sampai kita

antar ke rumahnya tadi, mukanya tetap sedih. Gua kasihan sama

dia orang."

"Gua bukannya bermaksud membela cewek gua," kata Bonar.

"Cuma, sikap lu tadi benar-benar keterlaluan. Uluran tangan yang

baik lu balas dengan ucapan yang menyakitkan hati. Masa lu samakan dia dengan germo? Yang benar aja!"

Alex melipat kedua tangannya di atas meja.

"Iya deh, gua salah," katanya.

"Lho, gayanya seperti terpaksa mengakui kesalahan. Lu sungguh-sungguh sadar tidak bahwa lu memang menyinggung perasaan Lisa tadi?" kata Kulman hampir berteriak. Tetapi, suaranya bercampur dengan lagu yang diantar amplifiemoo watt di restoran itu.

Alex terdiam.

"Begini saja deh. Lu berjanji tidak akan berbuat semacam itu

pada cewek teman kita," kata Bonar.

21

Alex mengangguk.

"Tidak itu saja," kata Kulman.

"Lu harus minta maaf pada Lisa."

Alex mengangkat kepalanya, menatap teman-temannya satu

per satu. Kemudian dia menyandarkan badannya pada sandaran

kursi dan berkata,

"Baiklah. Besok gua telepon dia."

"Nah, begitu dong." hampir serempak Tippy dan Tonton berkata.

Lalu kelima orang muda itu mengangkat gelas dan menenggak bir masing-masing. Setelah menjilat busa di bibirnya, Kulman berkata,

"Kenapa sih lu sering ngomong nyelekit?"

"Nyelekit itu apa?" kata Alex.

"Ngomong tajam, menusuk perasaan."

"Wah, gua nggak tahu. Apa iya?"

"Bagi kita-kita yang sering bersama memang tidak menyinggung perasaan. Soalnya sudah biasa. Tapi, buat orang luar kita,

omongan lu sering menusuk hati," kata Bonar.

"Iya," kata Tippy.

"Alex ini memang aneh. Jarang ngomong, sekali ngomong malah menyebabkan salah pengertian."

"Gua pikir, kalau Alex punya pacar akan berubah. Benar lho,

Lex. Peranan cewek sangat besar dalam hidup kita," kata Kulman.

Alex termangu-mangu. Separo percaya, separo tidak. Lagu

dari loudspeaker restoran itu kelewat tinggi trebel amplifier-nya.

Membuat sakit telinga. Dan, ditambah oleh ingar-bingar laudspeaker toko-toko di kawasan Mayestik itu, sebenarnya tempat

itu sangat tidak nyaman. Tetapi, kelompok orang muda itu sudah

terbiasa minum di situ.

"Apa yang kurang pada diri lu, Lex? Tampang lu cakep. Bodi lu

22

kontemporer. Babe lu kaya. Di rumah lu ada tiga mobil. Kenapa

nggak lu manfaatkan?" kata Bonar.

Alex mengeluarkan keluhan mirip lenguhan sapi yang kesepian. Kawan-kawan, kalian tidak tahu persoalan pribadiku, kata

hatinya. Kalian hanya melihat apa yang tampak saja. Dunia kalian

memang terbatas pada apa yang kelihatan saja. Lain dengan duniaku. Aku harus hidup dengan masa lalu yang tak pernah manis,

dan masa kini yang selalu pahit. Kalian tidak tahu bagaimana

sebenarnya kehidupan dalam rumahku. Jika sampai ada seorang

gadis tahu sejarah keluargaku, bagaimana aku bisa menahan

cibirannya? Jika dia tahu kelakuan ibuku, bisakah aku menahan

nista itu dalam hunjaman matanya? Sekacau-kacaunya kehidupan rumah tangga, akan tetap tenteram jika para anak mempunyai

ibu yang tetap seagung Madonna. Bukan seperti diriku. Penuh

nista!

Dan, Alex mengentakkan gelasnya ke meja. Teman-temannya

kaget.

"Eh, sorry," gumam Alex.

"Lu mikirin apa?" tanya Bonar.

"Ah, nggak. Nggak apa-apa."

"Kita sudah pernah berikrar setia kawan." kata Kulman.

"Senang sama senang, susah juga sama-sama susah. Kami semua

pernah menceritakan kesusahan kami, tapi lu nggak pernah. Apa

memang lu nggak pernah susah, Lex?"

"Ah, siapa pula yang nggak pernah susah?" jawab Alex tanpa

nada.

"Kenapa lu nggak pernah cerita pada kami?"

23

Alex tak menimpali.

"Apa nggak percaya pada kami?"

"Ah, bukan soal percaya atau tidak. Cua memang nggak biasa

mengingat-ingat kesusahan gua."

Beberapa saat kelima orang muda itu mengawasi tamu-tamu

restoran itu. Terutama mengawasi seorang perempuan setengah

baya yang minum sendirian di pojok ruangan. Bibirnya merah

manyala. Bulu matanya lentik. Bahkan kerdipan matanya pun

bisa terlihat dari tempat orang-orang muda itu berada. Matanya

cemerlang ditimpa sinar lampu neon.

"Cantikya?" Bonar tiha-tiba nyeletuk.

"Dari tadi gua memperhatikannya. Mukanya mengingatkan

gua sama Elizabeth Taylor," kata Tippy.

"Ah, kayak pernah ketemu saja."

"Lihat di Film, bego!"

Dan, kemudian diam lagi. Masing-masing menajamkan mata

memandangi wanita itu.

"Tapi dia lebih gemuk dari Elizabeth Taylor," kata Bonar.

Alex hanya sekali menoleh. Oleh karena wanita itu duduk berlawanan arah dengannya, dia malas memutar leher.

"Mungkin dia tante girang," kata Tonton.

"Hah! Otakmu isinya tante girang melulu!" sergah Kulman.

"Kalau dia mau, gua juga mau," ujar Tippy.

"Kalau dia mau. Huuu!" Dan, mereka tertawa mengakak.

"Sejak tadi lho dia di situ," kata Tippy.

"Barangkali dia naksir lu, Tip," goda Bonar.

"Gua dekati ya?"

24

"Ayolah."

"Kalian nggak cemburu nanti?"

"Kami berdoa untuk keberhasilanmu. Asal, lu jangan lupa beliin rokok."

"Beres. Rokok apa? Lima-lima? Dunhill?"

"Hu, gayanya kayak sudah berhasil."

"Pokoknya kan optimistis, begitu nasihat Pak Direktur kita kemarin."

"Ayolah, Tip. Tunggu apa lagi?"

"Tunggu keberanian," kata Tippy disertai tawa mengakak.

Sebuah Mercy berhenti di depan restoran itu. Dan, tiba-tiba

perempuan itu memanggil pelayan, membayar minumannya,

lalu beranjak. Kelima pasang mata mengikuti langkah perempuan itu menuju mobil yang baru saja datang. Dan, rokok Bonar terjatuh dari bibirnya sebab seketika mulutnya menganga. Matanya

pun membelalak.

"Babe gua," katanya terbata-bata.

"Ha?" Empat mulut ternganga.

Dan, mobil itu bergerak setelah pintunya terempas. Prosesnya

cepat sekali. Mobil itu membawa lari perempuan cantik tadi.

"Bangsat!" kata Bonar setelah dapat bernapas dengan lancar.

Sementara itu, teman-temannya melepaskan napas berat.

Mereka saling pandang, Lalu, tiba-tiba, seperti terkena setrum, mereka melonjak dan tertawa mengakak. Bonar tidak hanya

tertawa, tetapi juga menumpahkan kata-kata kotor, yang hanya

bisa didapatkan dalam kamus Poerwadarminta yang lengkap.

Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang lucu. Para

25

pengunjung restoran mengerutkan dahi dan bergumam,"Krosboi

keparat!"

Di sela-sela tawa mereka, Tippy berkata.

"Untung gua nggak

jadi maju. Kalau tidak, bakal bersaing dengan babenya Bonar."

Mereka tertawa lagi. Sampai air mata mereka keluar. Dan, kemudian mereka duduk tersandar saking lemasnya.

"Bangsat!" ulang Bonar. Tetapi, suaranya sudah melemah.

BioskOp di dekat restoran itu mengakhiri pertunjukan sore.

Orang berlaIu-Ialang semakin ramai. Pertunjukan berikut akan

mulai lagi.

Awan bergumpal-gumpal di langit. Joice cepat-cepat menyelesaikan latihannya. Lalu dia keluar dari kolam renang. Setelah mengeringkan tubuh, dia makan cokelat. Sesekali dia menatap ke

langit. Tanda-tanda bakal hujan kian kentara. Warna biru di angkasa sudah lenyap. Yang tampak kini hanya awan kelabu.

Sepanjang Jalan Cikini Raya dijejali kendaraan. Joice meninggalkan halaman kolam renang itu seraya mengibas-ngibaskan

rambutnya. Dia mau memanggil helicak, tetapi tiba-tiba sebuah

jip Toyota berhenti persis di sampingnya dengan suara mendecit.

"Hai, Joice!" Kepala Kulman terjulur.

"Hai," balas Joice.

"Yuk," kata Kulman sembari membuka pintu mobil.

"Nggak. Terima kasih. Saya biasa pakai helicak. Dekat kok."

"Alaaa, ayolah," kata Kulman.

"Ada yang mau ngomong sama

kamu."

26

"Siapa?" tanya Joice. Matanya meneliti ke dalam mobil. Hanya

ada Kulman seorang.

"Ada. Ini serius, Jo. Urusan hidup atau mati."

"Ah, kamu mengada-ada."

"Sungguh. Ayolah. Sebentar saja. Sekarang baru jam empat.

Nanti aku antar kamu ke rumah."

"Ada apa sih?"

"Nanti kamu akan tahu. Naiklah. Masa nggak percaya padaku?"

Joice masih menaksir-naksir, tapi Kulman menghela tangannya hingga gadis itu masuk mobil.

"Ke mana?" tanya Joice.

Kulman tak menjawab. Dia hanya menambah kecepatan mobilnya, memburu lampu kuning yang nyaris berubah merah.

"Saya nggak mau kalau ketemu sama grup kamu," kata Joice.

"Kenapa?"

"Pokoknya nggak mau. Ini mau ketemu sama grup kamu

nggak?"

"Kalau iya, bagaimana?"

"Saya turun di sini saja."

Kulman menambah injakan pada gas. Mobil meluncur hingga

suara ban mencicit-cicit di tikungan.

"Kul, saya turun di sini saja. Saya turun di sini."

"Kenapa sih kamu membenci grupku?"

"Saya tidak membenci grup kamu."

"Jadi...?"

"Saya... saya saya "

27

"Lantaran ada Alex ya?"

"Saya... saya... ah... pulangin saya, Kulman."

"Tidak. Kita harus selesaikan urusan kamu dengan Alex."
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya nggak mau. Saya nggak mau."

Mereka meluncur di Bypass, menuju ke selatan. Joice mendekap tas plastiknya yang berisi pakaian renang.

"Kenapa kamu membenci Alex?"

"Saya tidak... ah, saya tidak mau. Ah, saya mau pulang, Kul.

Ayo, Kul, saya mau pulang," rengek gadis itu.

"Bilanglah, kenapa kamu membenci Alex."

"Saya tidak membencinya. Dia yang membenci saya."

"Ah, tidak mungkin!"

"Ya, saya pernah tegur dia di sekolah, tapi dia buang muka."

"Barangkali dia tak dengar. Menurut dia, malahan kamu yang

buang muka waktu ketemu di Pasar Baru."

"Soalnya dia seperti tidak melihat saya. Daripada dia duluan

buang muka, lebih baik saya mendahului."

Di rumah Bonar, Alex dan kawan-kawannya sedang berpesta

pora. Sebab, rumah itu sedang sepi. Papa Bonar sedang ke luar

kota. Mama dan adik-adik Bonar pergi ke Bogor untuk tiga hari lamanya. Sekarang Bonar menjadi penguasa tunggal di rumah itu.

Mulai dari Dry-gin, Bols, dan Martini bercampur dalam gelas mereka. Mereka memang merencanakan ini, membawa Joice

ke rumah itu dan menjodohkannya dengan Alex. Mereka telah

menyelidiki hari-hari Joice latihan renang. Perjodohan ala grup

Kulman.

Kepala Alex sudah nyut-nyutan dihantam minuman yang di

28

campur secara serampangan. Bonar berlagak menjadi bartender.

Akibatnya, Tippy mulai mengeluarkan suaranya yang mirip kaokan gagak. Dia menyanyi, menyertai Deep Purple yang menjeritjerit dari kaset recorder full stereo.

"Lex, lu harus bersikap jantan. Jangan bikin malu kita," kata

Bonar

Alex menggumamkan kalimat yang tak jelas. Kelopak matanya agak berat. Bonar mengisi lagi gelasnya.

"Cukup, cukup," desak Alex.

"Kenapa cukup? Tarik terus."

"Gua harus jaga diri, Nar. Jangan sampai teler. Malu dong

kalau sampai teler di depan cewek yang gua cintai." kata Alex

dengan lidah kelu.

"Iya, ya. Baiklah. Lu istirahat saja dulu. Atau, lu mau kopi?"

Alex menggeleng. Dia menyandarkan kepalanya dan mengatur jalan napas untuk meredakan peredaran darah yang bergolak akibat alkohol. Dengan konsentrasi seperti yang pernah

diajarkan seorang guru kungfu di Bogor, Alex berhasil meredakan

denyutan-denyutan di kepalanya.

Tippy dan Tonton sudah berkali-kali pergi ke kamar mandi.

Mereka punya metode tersendiri dalam mengatasi rasa mabuk,

yakni dengan jalan memuntahkan isi perut secara sengaja. Lalu,

setelah lega mereka meneruskan minum.

Suara bel pintu depan membuat keempat orang muda itu

saling memandang.

"Pasti dia," kata Bonar sembari meloncat bangun.

Dan, benar saja. Bonar muncul kembali diikuti Kulman dan

Joice.

29

Gadis itu melangkah ragu-ragu. Tubuhnya yang lampai bergerak bagai bunga anyelir ditiup angin. Dada Alex berdebaran menatap wajah gadis itu. Wajah klasik, yang memancarkan pesona

kelembutan. Matanya yang hitam jernih berkeliling mengawasi

ruangan itu. Dan, ketika pandang matanya bentrok dengan pandang mata Alex, keduanya merasa jantung tiba-tiba menggelepar, dan darah membersit ke muka. Keduanya menunduk.

"Duduk, Jo. Duduklah," kata Bonar.

Perlahan Joice meletakkan pantat ke sofa. Kulman duduk di

kursi, di depan Joice.

"Begini, Jo," katanya.

"Sebelum kita mulai pembicaraan, aku

minta Joice salaman dulu dengan Alex."

Joice tak bereaksi.

"Ayo, Lex. Salami dia."

Alex mengulurkan tangannya, tapi Joice tidak menengok. Alex

memandang Kulman meminta advis. Kulman memberi isyarat

agar Alex langsung memegang telapak tangan gadis itu. Alex

melakukannya. Joice tambah menunduk.

"Nah, begitu!" sorak anak-anak muda yang berada di situ.

"Hari ini ulang tahun Alex," kata Kulman.

Alex tercengang. Tetapi, Kulman mengedipkan mata kirinya.

"Kami tak punya teman, Joice," lanjut Kulman.

"Karena itu

ulang tahun kami tak pernah dipestakan. Orang-orang selamanya memandang kami sebagai pengacau. Orangtua kami juga

menganggap begitu. Padahal, kami sangat ingin berteman. Lebih-lebih Alex. Dia tidak punya teman, katakanlah pacar, sebab

dia merasa cewek-cewek tidak menyukainya."

30

Untuk sesaat Kulman diam, membiarkan ucapannya dicerna

gadis itu. Sementara itu, Joice terbengong-bengong. Belum pernah dia dihadapkan pada situasi semacam itu. Dia pernah punya

pacar, dan sudah putus hubungan, tetapi kenyataan aneh seperti

ini belum pernah dia alami.

"Alex mencintai kamu. Kamu harus jadi pacar Alex," kata Kulman lagi lebih tandas.

Joice tercengang. Dia kerap membaca novel, sebab itu dia

membayangkan cinta itu memiliki pesona yang indah. Tidak seperti ini. Di dalam novel-novel, digambarkan bagaimana suasana

indah bagi orang yang bercintaan. Suasana yang agak terasa oleh

Joice ketika pertama kali melangkah di ruangan ini tadi buyar.

Suasana hati dengan dada berdebaran dan muka merah tak lagi

dirasakannya. Yang kini ada hanyalah keheranan menghadapi

kumpulan lelaki ini.

Bonar menuang Martini ke dalam gelas dan menyodorkan

pada Joice. Gadis itu menatap sesaat, lalu menggeleng.

"Minuman ringan saja ya?" kata Bonar.

Joice tak menjawab. Bonar bangkit mengambil Coca-Cola. Kulman menatap Bonar dengan pandangan bertanya. Bonar mengedipkan sebelah matanya, dan mengangguk.

Kulman melepaskan napas panjang.

"Ayo minum, Jo," katanya.

"Untuk kesehatan Alex yang berulang tahun." lanjutnya.

Joice menyedot minumannya. Anak-anak muda itu mengangkat gelas. dan meneguk minuman masing-masing.

"Ulang tahun Alex kan bulan Juli?" tiba-tiba Joice berkata,

31

membuat anak-anak muda itu kaget. Alex dan Kulman bahkan

tersedak. Bayangkan, minuman beralkohol itu masuk ke saluran hidung dan sampai ke paru-paru. Keduanya terbatuk-batuk.

Dada mereka terasa sakit.

"Kok tahu?" tanya Tippy tanpa sadar.

"Adik Alex yang perempuan kan teman saya," suara gadis itu

lunak.

"Sama-sama les bahasa Jepang."

Alex gugup. AC menyejukkan ruangan itu, tetapi tak mampu

mendinginkan badan Alex yang gerah.

Di luar rumah terdengar suara berdesah.

"Oh, hujan." kata Bonar setelah memandang ke arah luar jendela. Hujan bulan Mei. Saat kemarau sesungguhnya masih harus

menyungkup kota itu.

Alex berdiri dan pura-pura mengintai hujan yang membasahi

halaman.

"Minum, Joice," kata Kulman.

"Nggak ada yang ulang tahun, kan?" kata gadis itu. Suaranya

yang lunak menyusup ke telinga Alex.

Kulman tertawa kecil.

"Nggak ada. Tapi, minumlah."

Joice menghirup minumannya dalam pandangan Kulman dan

Bonar yang menahan napas. Joice meletakkan botol minumannya. Bonar dan Kulman melepaskan napas berat.

"Kapan bertanding voli lagi, 10?" tanya Kulman.

"Belum tahu lagi."

"Kalau bertanding, bilangin kita ya? Kita-kita akan menjadi

suporter."

Joice tersenyum, tetapi sebentar kemudian senyuman itu

32

menjadi samar. Dia memijit kepalanya. Bonar dan Kulman saling

pandang. Joice menggoyang kepalanya, mencoba menghilangkan tindihan di kepala itu. Tak ada yang menindih. Yang ada

hanya rasa berat pada kelopak mata serta kepala yang hampir tak

terangkat.

"Eh, kenapa begini?" keluh gadis itu.

Kulman meremas jarinya sendiri hingga mengeluarkan bunyi

gemeretak.

Dan, gadis itu terkulai di sofa. Bonar dan Kulman saling pandang. Keduanya bertukar seringai. Lalu, seperti telah bersepakat,

mereka mengangkat gadis itu, membawanya ke kamar Bonar.

Tonton dan Tippy hanya memandangi dengan mata yang sudah

separo terkatup. Alex berdiri terbengong-bengong di dekat jendela.

Hujan kian deras. Terpaannya mengguncang-guncang bunga

di taman. Telapak tangan Alex basah oleh peluh. Begitu pula

punggungnya.

Bonar dan Kulman muncul.

"Oke, kerjailah," kata Kulman.

Alex terpaku. Mukanya pucat dan matanya hampir tak berkedip menatap kedua orang temannya itu.

"Dia sudah di kamar," kata Bonar.

"Aku tak berani," desah Alex. Bibirnya gemetar, dan lidahnya

berat. Bahkan ludahnya terasa berempedu.

"Bego!" bentak Kulman.

"Sudah dibantu begini, kamu masih

juga tak berani. Risikonya kita tanggung bersama!"

Alex menggeleng-geleng.

33

"Tidak akan ada risiko, Lex. Dia tidak akan berani cerita pada

siapa-siapa. Aku yakin. Malahan dia akan jadi pacarmu. Ini hanya

akan jadi rahasia kita saja."

Alex merasa lututnya gemetar. Lalu, dengan terseok-seok dia

melangkah menuju sofa, dan duduk terenyak.

Kulman menggerutu. Lalu dia mengeluarkan botol kecil dari

kantongnya. Dia meneteskan sedikit isi botol itu ke dalam gelas

Alex yang berisi Dry-gin dan segala macam.

"Minum!" katanya memerintah sambil menyodorkan gelas itu

ke dekat mulut Alex.

"Apa itu?" Alex bersuara lemah.

"Pokoknya minum!"

Alex menggeleng. Dia menjauhkan kepalanya dari gelas yang

disodorkan Kulman.

"Demi setia kawan kita, Lex. Kamu terlalu cantik untuk jadi

laki-laki. Tanpa ini kamu bisa jadi wadam. Kita sudah telanjur.

Kita tak bisa lagi mundur. Kamu harus minum ini." Kulman mendorong gelas itu ke mulut Alex. Dan, Alex meminumnya. Temantemannya bersorak seperti Indian menang perang.

Bonar menarik tangan Alex dengan kasar, dan menyeretnya ke

kamarnya. Pintu kamar itu masih terbuka. Bonar mendorong tubuh Alex hingga terjajar ke lantai kamar itu. Sebelum Alex sadar,

pintu terempas.

""Selamat bertempur!" teriak Bonar dari luar.

Alex menatap berkeliling. Sebuah dipan, dan di situ terbaring tubuh lampai. Jantung Alex menggelepar lagi. Keringatnya

mengucur. Dia menatap seputar ruangan. Di dinding, tertempel

34

poster-poster besar gambar penyanyi-penyanyi pop. Mick Jagger,

Jimi Hendrix, Alice Cooper, Suzi Quatro, dan entah siapa lagi.

Keringat membasahi sekujur tubuh Alex. Tubuh yang terbaring di dipan itu terhampar lunak. Cerah yang membawa jalaran

aneh sepanjang urat-urat darah menyungkup Alex. Tak tahu dari

mana sumbernya. tetapi rasa hangat membuat jaringan tubuhnya kejang.

Dan rasa gerah ini... pakaian yang basah oleh keringat ini...

Lalu Alex membuka pakaiannya. Rasanya dirinya hanya melayang. Riak menggumpal di tenggorokan. Mukanya panas, dan

seluruh jaringan daging menegang dalam bilasan gerah yang

berputaran di sekujur badani

Sementara itu, yang terbaring di dipan itu adalah seraut wajah

yang lembut, dengan mata terpejam dan rambut yang tergerai.

Bibirnya yang mungil, merah tanpa lipstik. Tanpa tipuan warna

lipstik, bentuk bibir itu tetap indah dan serasi dengan hidungnya
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bangir serta dagu yang lonjong.

Di ruang tamu, yang pada dindingnya tergantung lukisan karya Affandi, Rusli, Sudjojono, dan Basuki Abdullah, Bonar dan teman-temannya melanjutkan menghabiskan minuman di gelas

masing-masing.

"Mungkin kebanyakan aku beri obat dia tadi," kata Kulman.

"Biarin saja. Biar dia jadi jantan sedikit."

"Iya kalau jadi jantan. Kalau jadi kuda. bagaimana? Ini obat

kuda?

Dan, mereka tertawa terbahak-bahak.

"Dibilang nggak jantan. tapi dia jagoan berkelahi," kata Tippy.

35

"Makanya itu. Dia mengajar kita kungfu, padahal dia takut

pada cewek," ujar Kulman.

"Kungfu sih bukan untuk menghadapi cewek!"

"Kita intip, yuk?" kata Tonton.

"Jangan ah," kata Bonar.

"Masa bos sendiri diintip."

Lalu Bonar mengganti lagu-lagu kelas heavy-Vock dengan lagulagu Olivia Newton John yang lembut. Maka ruangan itu serentak

berubah menjadi tenang. Dan, keempat orang muda itu menyandarkan tubuh mereka duduk selena mungkin.

Setelah dua kali membalik dan satu kali mengganti kaset, Alex

muncul dari kamar. Badannya bagian atas telanjang. Mengilat

oleh peluh. Celana jinsnya mengibas-ngibas lantai. Sambil melemparkan bajunya, dia mengempaskan pantatnya di sofa. Lalu

dia menjemba Bols, dan minum langsung dari botol.

"Dia sudah sadar," katanya sambil mengusap bibir dengan bahunya.

Teman-teman nya membisu. Hanya mengawasi gerak-gerik Alex.

"Dia menangis," lanjutAlex.

Tak ada yang menjawab.

"Seprai lu cepat ganti, jangan sampai ketahuan ada darah di

situ." Napas Alex terengah dalam berucap.

Tak lama muncul Joice. Rambutnya awut-awutan. Air mata

membasahi mukanya yang pucat. Matanya... ah, matanya yang

kuyu, bagai menyimpan dendam yang kelewat parah.

"Kulman, kenapa begini?" suara gadis itu terbata-bata.

Kulman menelan ludah. Dia menunduk. Tak tahan dia terlalu

lama dihunjam pandang yang kuyu itu.

36

Joice sempoyongan seperti fly, menatap orang-orang yang

berada di hadapannya. Tetapi, tidak singgah pada Alex yang duduk menunduk.

Lalu gadis itu berjalan menuju pintu keluar. Langkahnya terseok bagai dokar yang rodanya baling.

Kulman mengikutinya tanpa suara. Seluruh kegembiraan

yang biasa menggelitiknya mendadak musnah. Dia mengantar

gadis itu pulang.

Cewek ini tidak serupa dengan yang biasa kukenal, pikir Kulman. Tidak seperti cewek-cewek yang biasa kugauli. Matanya itu,

matanya yang hitam, menyorotkan sinaryang lain, sinaryang tidak

dipunyai cewek-cewek yang kukenal. Bahkan tidak sama dengan

Yosi, pacarku. Ya, tentu saja tidak sama. Sebab, aku dan Yosi melakukannya dengan dasar suka sama suka. Tak pakai obat tidur

segala macam. Tetapi, cewek yang satu ini, belum tentu dia akan

diam saja. Ada dendam yang terbenam dalam matanya yang kuyu.

Kulman mengantar gadis itu hanya sampai di pintu gerbang

pagar. Begitu gadis itu masuk ke halaman rumahnya, Kulman

melarikan mobilnya seperti kesetanan. Di perempatan, seorang

polantas membunyikan sempritannya, tetapi Kulman telah menyelinap di antara mobil-mobil yang pengemudinya menyumpah-nyumpah karena nyaris terserempet mobil Kulman. Seandainya dijumlah, barangkali lebih dari seratus mulut yang mengutuk

Kulman senja itu.

Alex masih termangu-mangu. Tak mengacuhkan Kulman

yang masuk ke ruangan itu dengan napas ngos-ngosan. Begitu

juga teman yang lain.

37

Untuk beberapa saat mereka terdiam. Mereka kehilangan gairah untuk menertawakan dunia sebagaimana biasa. Bahkan kehilangan gairah untuk mendengarkan musik. Kaset recorderyang

full-stereo itu membisu sejak tadi.

38

Sinar matahari masuk melewati celah jeruji besi mengurung

ruangan yang mereka huni. Bayang jeruji itu menimpa Kulman yang sedang bermain gaple. Mereka main berempat. Alex

cuma melamun menatap semak-semak yang tumbuh di halaman, lewatjeruji pintu.

Mereka menjadi tahanan polisi di Komwil yang letaknya hanya berjarak lima ratus meter dari rumah Bonar. Rupanya orangtua Joice melaporkan perbuatan mereka kepada yang berwajib.

Dan, di dalam tahanan inilah mereka merenungi tingkah mereka

beberapa waktu yang lalu. Di sinilah mereka baru ingat bahwa

papa Joice adalah salah seorang pejabat penting. Bahkan di antara om Joice ada yang menjadi perwira menengah.

Tetapi di sini mereka merasa senang pula sebab merasa bisa

menyakiti hati orangtua masing-masing. Terutama Bonar dan

Kulman, bukan main senang hati mereka berdua bisa berada di

tahanan ini. Rasanya ada kepuasan bisa mencoret kening papa

mereka. Maka keduanyalah yang paling asyik bermain gaple.

Tippy dan Tonton tak punya banyak pikiran. Mereka hanya

39

merasa senang sebab tidak harus pergi ke sekolah. Mau memikirkan apa lagi? Toh mama mereka memperhatikan nasib mereka. Mama mereka selalu mengirim makanan. Adik-adik mereka

malahan mengirim rokok. Kurang apa? Bahkan Bonar, Kulman,

Tippy, dan Tonton merasa bahwa mereka tidak akan lama lagi

berada di rumah tahanan ini. Mereka yakin orangtua mereka

akan segera mengurus agar mereka dikeluarkan. Dan, keyakinan

mereka ini memang benar adanya. Hanya saja, bukan sebab

orangtua mereka yang mengurus, melainkan karena orangtua

Joice berpendapat lain.

Pelupuk mata Joice masih menyisakan bengkak. Terlalu banyak menangis selama beberapa hari ini. Papa, mama, om, dan

abangnya yang selama ini kuliah di ITB masih berunding di ruang

depan. Keempatnya duduk di teras. Joice bisa mendengar lamatlamat percakapan mereka. Rupanya kemarahan orang-orang tua

itu mulai reda. Emosi yang semula membakar sudah mulai menipis. Yang masih tinggal pikiran rasional.

"Kalau sampai ke pengadilan, urusan ini pasti semakin meluas. Pers akan memberitakannya," kata papa Joice.

"Ya," sambut Albert, om Joice yang jadi perwira menengah.

"Kita sudah berusaha agar kejadian ini tidak menyebar. Kalau

sampai ke pengadilan, kita tidak bisa menghalangi wartawan

menyiarkan peristiwa ini."

"Tapi enak betul anak-anak berandal itu!" kata Paul, abangloice.

"Anggap saja kecelakaan. Suruh kawin saja," kata Om Albert.

"Tapi Joice masih terlalu muda. Kalau kawin, dia terpaksa ber

henti sekolah," sahut mama Joice.

40

"Lantas apa yang harus diperbuat?"

Untuk beberapa saat ruangan itu hening.

"Biarin diadili saja, Om," kata Paul.

"Kalau tidak begitu, mereka

tidak jera. Nanti mereka akan mengulangi perbuatan mereka

lagi."

"Kejadian semacam ini tidak sesederhana yang kaupikirkan,

Paul. Ini menyangkut nama baik kita. Kita harus memikirkan nasib Joice kelak. Kalau namanya sudah cemar, sulitlah melangkah

di masa depan," kata Om Albert.

"Memang," kata papa Joice perlahan.

"Pengadilan bukan jalan terbaik untuk perbuatan semacam ini, terutama di tengahtengah masyarakat kita sekarang ini."

"Tidak seimbang hukuman yang mereka peroleh dengan aib

yang kita terima," ujar Paul.

Dan, ruangan itu sepi lagi. Mama Joice mengusap matanya.

Mengeluh halus ketika mengembuskan napas panjang-panjang.

"Beberapa orangtua anak-anak itu sudah menemuiku," kata

papa Joice.

"Tapi, ayah si Alex itu tidak muncul."

"Bangsat!" Paul menggemeretakkan gerahamnya.

"Tapi, biarlah," hibur papa Joice.

"Ah, kenapa harus anak kita yang mengalami kejadian ini?"

rengek mama Joice. Keluhan yang sudah berulang-ulang diucapkannya.

"Kita sudah mendidiknya dengan baik, kenapa harus

mengalami begini?"

"Sudahlah. Tak perlu menyesali yang sudah terjadi. Yang perlu

dipikirkan, apa yang harus kita lakukan."

Mereka merenung-renung.

41

Joice pun merenungi bunga-bunga yang tumbuh di taman.

Air gemercik di kolam kecil di tengah taman itu. Rimbunan perdu bunga menaungi kolam. lkan-ikan kecil berenang hilir-mudik.

Ada yang berwarna merah, ada yang kuning. Gadis itu jongkok di

pinggir kolam. Dan. bayangan dirinya membias di permukaan air.

Wajah yang sudah letih menangis. Maka dia mengais air kolam

itu dengan ranting. Permukaan air beriak dan bayangan wajah

Joice lenyap. Ikan-ikan berenang bertemperasan, lari menyembunyikan diri ke balik-balik batu karang buatan.

Dan ingatan terhadap sore yang bejat itu kembali lagi mengganggunya. Sesungguhnya tak banyak yang bisa diingat. Begitu

dia sadar, dia menemukan tubuh lelaki itu berbaring di sampingnya. Berkeringat. Tak berani menatapnya. Bahkan tak membujuknya ketika dia menangis. Seandainya dia bersikap mencintai,

barangkali akan tertebus sakit hati Joice. Toh Joice juga tidak tahu

apa yang sesungguhnya terjadi. Dia hanya tahu bahwa dirinya

tak berpakaian dan bagian bawah perutnya terasa sakit. Itu saja.

Cuma, lelaki itu diam seperti tak terjadi apa-apa. Jika dua tubuh

telanjang terbaring di atas ranjang, bukankah sudah selayaknya

membicarakan soal cinta? Ataukah dia mengira hanya selesai begitu saja? Bah, alangkah kejamnya.

Maka Joice menggigit bibir dan menahan air mata yang akan

tumpah. Inilah sebenarnya yang berkecamuk dalam hati gadis

ini:

Bahwa dia menyukai lelaki itu. Bahwa baginya, terbaring berdua di atas ranjang, dapat dipandang indah. tapi juga bisa jahat. Itu hanya bisa ditentukan oleh sikap si lelaki. Jika lelaki itu

42

membujuk Joice dengan kata-kata cinta, Joice akan menganggap

kenyataan itu sebagai bagian dari cinta. Tetapi, karena lelaki itu

tidak berucap sepatah kata pun, padahal dia tidak bisu, Joice

menganggap perbuatan lelaki itu jahat. Dia hanya mau mempermainkan perempuan. Itulah. Barangkali selain kepada Joice,

lelaki itu memang sering berbuat serupa dengan perempuan lain.

Itulah!

Lalu Joice merentak bangun. Rasa senang yang diam-diam

disimpannya selama ini terhadap lelaki itu tidak lagi bersisa. Semua sudah buyar. Cinta yang pernah belajar tumbuh diam-diam

kepada lelaki yang tak pernah bicara itu, kini terenggut dengan

kasar oleh perlakuan lelaki itu sendiri. Lelaki itu telah menyentakkan kuntum-kuntum cinta yang ada di hati Joice. Menyentakkan dengan tangannya sendiri, dan membuang kuntum itu ke

comberan. Padahal selama ini Joice selalu membayangkan wajah

lelaki itu sebelum tidur. Dia bayangkan lelaki itu sebagai seorang

koboi jagoan yang berdiri diam dengan rokok di bibir, di bawah

terik matahari, memijak pasir garing. Seorang koboi dalam Filmfllm, yang membawa kesepiannya dalam pengembaraannya. Di

atas pelana kudanya, dia berpacu ke arah matahari terbenam.

Tentu saja dengan meninggalkan keperkasaannya, yang dilakukan buat orang-orang tertindas.

Tetapi, semua itu sudah lenyap. Dia bukan koboi yang membela orang lemah. Dia hanya berandalan yang berjiwa kotor. Telah lenyap John Wayne yang pendiam. Yang ada hanyalah anjing

buduk.

Joice melangkah setapak demi setapak kembali ke teras. Ma

43

manya datang menyongsongnya,

"Mari ke dalam, Jo." Mamanya

memeluk bahu Joice.

"Begini,Jo," kata papanya.

"Kami sudah memutuskan, tak perlu

kita memperpanjang urusan ini. Artinya, Papa, Mama, Om, dan

abangmu beranggapan tak perlu membesar-besarkan persoalan

ini."

Joice tak bereaksi.

"Bagaimana kalau Joice kawin dengan anak itu? Dengan

Alexander?"

Joice tersentak. Dia menatap papanya, lalu beralih kepada

setiap orang yang ada di ruangan itu.

"Tidak!" jawabnya getas.

"Menurut Papa. Ini penyelesaian terbaik." kata papanya.

"Tidak," kata Joice lagi dengan bibir yang hampir tidak bergerak.

Papa dan omnya saling pandang.

"Lalu, bagaimana sebaiknya menurut Jojo?" tanya Paul, abangnya.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada."

"Lantas?" kejar Paul.

"Lupakan saja peristiwa itu," kata Joice datar. Mamanya memeluk bahu Joice lebih erat lagi.

"Ini tidak bisa dilupakan begitu saja, Jojo. Jika dia harus dihukum, nama baik kita akan jadi gunjingan orang. Membiarkannya

begitu saja, rasanya..."

"Tidak setimpal dengan perbuatannya!" pintas Paul. Joice

menggurat-guratkan ujung jari kakinya ke karpet.

44

"Bagaimana, Joice?" usik Om Albert.

"Jojo tidak mau kawin sama laki-Iaki itu," kata Joice dengan

suara tersekap.

"Baiklah. Masuklah ke kamarmu, Jojo," kata papanya kemudian.

Joice menekuri karpet yang menghampari lantai. Diikuti pandangan orang-orang di ruangan itu, Joice lenyap di balik gorden.

"Serbasulit," kata Om Albert.

"Biarlah kalau memang begitu kemauannya," kata papa Joice.

"Tapi, berandal-berandal itu belum menerima balasan setimpal!" kata Paul gemas.

"Ditahan beberapa minggu ini tentunya sudah menjadi hukuman bagi mereka," kata papa Joice.

"Mana mungkin jadi hukuman buat mereka? Mama mereka

mengirim makanan!"

"Ya, tapi berada dalam ruang tahanan itu sudah merupakan

siksaan. Mudah-mudahan mereka menginsah kesalahan mereka."

"Papa terlalu baik," kata Paul.

Papanya tak menanggapinya lagi. Paul menggerutu dan meninggalkan ruangan itu.

Begitulah! Akhirnya, kelompok orang muda itu dilepaskan

dari tahanan. Mereka bisa menghirup udara bebas lagi. Kulman

merentangkan lengannya dan menghirup udara sepenuh dada.

Mereka meninggalkan kantor Komwil dengan langkah lebar. Kulman menyanyikan lagu dangdut yang dia sendiri tak tahu judulnya. Dia cuma ingat bahwa lagu itu sering dinyanyikan seorang

tahanan lain di situ.

45

Mereka tiba di pinggir jalan raya, dan hampir saja memanggil helicak, Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di samping mereka.

Mobil itu memang sudah menunggu sejak tadi di dekat belokan

jalan. Satu kepala nongol dari jendela mobil dan bertanya,

"Yang

mana yang namanya Alex?"

Kelima orang muda itu saling pandang. Lalu Alex melangkah

mendekati mobil itu.

"Saya," katanya.

"Ayo, ikut," kata Paul dari dalam mobil.

"Maaf, saya mau pulang."

"Ayo, naik!" kata Paul seraya keluar dan mendorong tubuh Alex

masuk ke dalam mobil. Begitu cepat semuanya terjadi. Mobil

itu meluncur meninggalkan Kulman dan teman-temannya yang

masih terbengong-bengong. Di dalam mobil itu, Alex diapit dua

orang lelaki. Duduk bersama sopir di depan masih ada dua orang

lelaki lagi. Mobil itu meluncur kencang. Alex mengira, orangorang yang menculiknya ini berasal dari Batak. Dan, semakin

jelas suku mereka setelah mereka berbicara. Lelaki yang duduk di

depan, dialek Batak-nya sangat kentara.

Setelah berbelok beberapa persimpangan, akhirnya mobil

memasuki pekarangan sebuah gedung. Mobil itu meluncur gesit

melintasi taman, dan langsung ke halaman belakang.

Kemudian Alex didorong untuk keluar dari mobil. Keheranan

masih menyelimutinya. Cuma, karena dia memang biasa tak berbicara, kini pun dia malas bertanya.

"Aku abang Joice," kata Paul.

Darah Alex tersirap.

46

"Dan, ini om-om Joice," lanjut Paul sambil menunjuk lelakilelaki yang mengelilingi Alex.

"Kau boleh lepas dari tangan hukum, tetapi tidak dari tangan

kami," kata salah seorang om Joice.

"Keluarga kami tidak biasa menerima penghinaan," kata Paul

sambil melepaskan pukulan karate ke muka Alex, membuat lelaki muda ini terjajar. Lalu disambut oleh tendangan salah seorang om Joice. Ibarat bola, Alex melayang menerima tendangan

dari sana-sini. Campuran pukulan karate, tinju, dan silat hinggap

di muka dan badannya. Lalu, satu tendangan di selangkangan

membuat Alex menjerit tinggi, dan akhirnya tak merasakan lagi

pukulan dan tendangan yang datang.

Joice mendengar keributan di halaman belakang itu.

Dia datang. Sementara itu, seorang pelayan memanggil papa

Joice. Alex yang menjadi bulan-bulanan pukulan itu hampir tak

bisa dikenali lagi wajahnya. Wajahnya pecah-pecah dan berlumuran darah.

Joice menekap mulut saking ngerinya melihat pembantaian

itu.

"Eh, apa-apaan itu? Apa-apaan itu?" suara papa Joice keras.

"Hukuman secara adat!" jawab Paul sembari mengusap tangannya yang tepercik darah dari muntahan Alex.

Semuanya sudah menghentikan pukulan dan tendangan sebab sasaran sudah terkapar ditimpa sinar matahari pukul dua siang. Mereka membersihkan tangan masing-masing dari lumuran

darah Alex.

"Inilah anjing yang bernama Alexander itu, Papa," kata Paul.

47

Joice ingin menjerit, tetapi ternyata dia masih dapat menahan luapan perasaan yang bergolak dalam dadanya. Kebencian!

Tetapi, hati perempuan mana yang tega membenci lelaki yang

terkapar dengan muka hancur begini? Adonan pekat haru-biru

perasaan mengguncang-guncang dirinya. Sementara itu, terik

matahari menjilati muka lelaki itu, mengeringkan darah yang

memercik pada pakaian.

"Kenapa harus sampai begini, Paul?" kata mama Joice terbatabata.

"Krosboi keparat begini memang perlu diberi hajaran setimpal," kata Paul.

"Sudahlah, sudahlah. Bawa dia dari sini. Ah, kau cuma menambah urusan saja," kata papa Joice.

Lalu Paul dan om-omnya mengangkat Alex dan memasukkan

ke dalam mobil, Sebelum pintu mobil tertutup, Joice sempat melihat lagi wajah yang pecah-pecah berdarah itu. Lenyap sama sekali ketampanan lelaki itu. Yang tersisa hanyalah seonggok tubuh

yang lemah dan tak berdaya.

Di dalam mobil yang berjalan pelan-pelan itu, Alex mulai siuman. Dia menggeliat.

"Wah, kuat pula tubuh anjing ini," kata Paul.

Alex tak bisa melihat siapa yang bersuara sebab darah kering

mengunci kelopak matanya. Dia berusaha bergerak. MuIa-mula

mengangkat tangannya, lalu mengusap darah kering di matanya.

Mobil itu tiba di dekat rumah Alex. Paul membuka pintu, lalu

menyeret tubuh Alex keluar dari mobil. Dan, dengan kasar dia

menyentakkan Alex hingga terjerembap di halaman rumah.

48

Alex bangun dan berjalan sempoyongan ke rumah.Telinganya

berdengung-dengung. Nyeri di kepala berdenyutan,seperti layaknya diimpit besi ribuan kilogram. Dia melangkah hanya mengandalkan perasaan. Berjalan separo meraba-raba, mendekati wastafel. Dengan serabutan dia membuka keran, lalu membasuh

mukanya. Dan... Mak, perih bukan main! Tetapi, dia tetap membasuh terus mukanya. Perih menikam-nikam mukanya, membuat

napasnya tersengal. Beberapa saat dia bersitumpu pada wastafel

itu, hingga rasa nyeri agak berkurang.

Ketika dia membalik badan, di ruangan itu telah tegak papa,

mama, dan beberapa orang adik tirinya. Ruangan itu hening. Hanya sesekali terdengar suara napas Alex yang berat.

Tiba-tiba suara papanya memecah keheningan,

"Kau masih

punya keberanian untuk datang ke rumah ini?"

Suara itu teramat dingin. Dalam pandangan kaburnya, Alex

menatap orang-orang yang berada di situ.

"Tinggalkan rumah ini, dan jangan pijak lagi tempat ini!" kata

lelaki tua dan gendut itu lagi.

Alex membisu, dan tersandar di wastafel dengan lutut gemetaran.

"Kebaikan apa lagi yang belum kuberikan kepadamu? Tetapi,

kaubalas dengan mencorengkan aib ke keningku."

Ucapan papanya menyusup ke telinga Alex. Bibirnya yang

bengkak terkatup rapat. Dia hanya memandangi papanya, juga

mama dan adik-adiknya. Dan, semuanya menatapnya seperti menatap seekor anjing kurap yang luka. Ada rasa kasihan, tetapi

juga rasa jijik.

49

"Memang, perempuan berhati sundal tidak akan mewariskan

sifat-sifat baik!"

Alex mengangkat kepalanya, mencoba agar bisa memandang

papanya dengan jelas. Ingin dia melihat wajah orangtua itu sejelas-jelasnya. Wajah lelaki yang konon ceritanya telah menyebabkan kelahirannya di dunia ini.

Tetapi, lelaki tua itu membalik badan dan meninggalkan ruangan itu. Beberapa saat kemudian diikuti oleh istri dan anakanaknya.

Rasa nyeri kembali menggigit luka-luka di wajah Alex. Alex

menggigit bibirnya yang juga luka, maka keperihan lebih menyentak. Dia mengedarkan pandangan matanya ke seputar ruangan.

Rumah ini tidak akan kupijak lagi sampai kapan pun, kata

hatinya ketika melintasi halaman. Sekujur tubuhnya masih sakit.

Daun pohon mahoni diterbangkan angin, dan jatuh menimpanya. Dia semakin jauh dari rumah itu. Dia tak mau naik bus dari

shelteryang ada di depan rumahnya.

Selamat tinggal, masa lalu, ucap hatinya. Pengalaman hari ini

cukup banyak untuk membuat impas pengalaman masa lalu. Selamat tinggal, Kulman, Bonar, Tippy, dan Tonton. Dunia kita sudah

berlainan. Selamat tinggal, SMA-ku. Kau hanya masa laluku yang

tak ingin kukenang. Yang kuinginkan sekarang adalah tempat berbaring untuk meredakan keletihan dan keperihan tubuhku.

Dia berjalan di bawah naungan pohon peneduh di pinggirjalan. Kemudian naik bus kota. Cuma, sebelum duduk, dia berkata

pelan kepada kondektur bus,

"Saya tak punya uang."

50

Kondektur itu mengangguk maklum. Dia mengawasi lukaluka di wajah Alex. Barangkali dia mengira pemuda ini copetyang

baru saja digebuki lantaran tertangkap basah. Tetapi, barangkali

juga tidak. Di dalam bus kota yang berjalan, kondektur berkata,

"Luka-luka itu perlu diobati. Kalau tidak, bisa tambah parah."

Alex mengangguk. Bus kota itu melintasi Jalan Gatot Subroto.

Dan, Alex ingat ucapannya kepada kondektur tadi,

"Saya tak punya uang."

Uh, di Jakarta yang hiruk-pikuk, tanpa uang sesen pun di kantong! Alex mengusap mukanya yang terasa kejang.

Bus kota itu melewati tempat-tempat cuci mobil di pinggir jalan. Secercah sinarsinggah di kepala Alex. Lalu, dia berkata lemah

kepada kondektur,

"Saya turun di sini...."

"Stop pinggir!" teriak kondektur.

"Terima kasih," ucap Alex sebelum bergerak menuju pintu belakang.

Tiba-tiba kondektur itu menyelipkan selembar uang ke tangan Alex. Alex memeriksa tangannya. Uang seratus rupiah.

Sesaat mereka berpandangan. Dan, Alex menemukan pandang

mata yang tulus pada wajah kotor yang berdebu itu.

Bus itu bergerak sambil mengepulkan asap hitam. Alex masih tertegak di pinggir jalan. Uang seratus rupiah masih dalam

genggamannya. Dengan uang sebegitu dia bisa makan dua kali

di warungTegal.

Dengan uang seratus rupiah, aku akan memulai kehidupanku, pikirnya. Seratus rupiah dari seorang kondektur yang tidak

kukenal namanya, tak kuketahui siapa dia. di sebuah bus kota di

Metropolitan.

51

Matahari tidak sepanas tadi. Bayang-bayang di tanah sudah

lebih panjang. Alex menuju salah satu tempat pencucian motor

yang merangkap jadi bengkel. Dia kenal pemilik bengkel itu. Dia

ingat, setiap bengkel selalu menyediakan obat luka sekadarnya.

Lalu dia mengobati Iuka-luka di wajahnya. Pada kaca salah satu

spion motor, dia memperhatikan Iuka-lukanya. Pinggir matanya

sobek. Bibirnya pecah, dan yang lainnya hanya bengkak. Dalam

seminggu ini tentunya bisa sembuh, pikirnya. Dan, pikiran ini

yang membawa celaka kelak.

Alex ingin bekerja di bengkel itu. Keinginan itu disampaikannya pada pemilik bengkel. Tetapi, pemilik bengkel itu berkata,

"Belum seimbang motor-motor yang diservis di sini dengan montir yang diperlukan. Malahan saat ini kelebihan pegawai. Belum

banyak orang yang memperbaiki motornya ke sini. Kaucoba saja

di bengkel sana."

Alex mengangguk maklum. Dia memang melihat beberapa

pegawai bengkel di situ duduk-duduk tanpa mengerjakan apaapa. Tetapi, dia tidak berani mencoba mendatangi bengkel lainnya. Dari jauh dia sudah melihat keadaan yang sama. Ke tempat

itu belum banyak orang membawa motornya yang rusak. terlebih

mobil. Orang lebih percaya membawa kendaraannya ke bengkel yang kelihatan bonahde, sebab di sana alat-alatnya lengkap.

Bengkel memang seperti rumah sakit. Semakin lengkap fasilitasnya, akan semakin bonahde. Montir memang bukan dukun,yang

dihargai tanpa menggunakan segala macam alat. Cukup mantra.

Segalanya bisa diobati. Bahkan rasa lapar mungkin bisa diobati
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh seorang dukun.

52

Sayang aku tidak tahu mantra yang bisa mengobati lapar, pikir

Alex. Lalu dia singgah di warungTegal. Dia makan hati-hati sekali, agar tidak lebih dari lima puluh perak. Dan, ternyata dia hanya

menghabiskan empat puluh lima rupiah.

Dia kembali naik bus kota. Tak membayar lagi. Cuma, dia harus

berdoa dengan caranya sendiri. Mudah-mudahan tidak ada razia

Polsus bus kota. Dia tak tahu bagaimana berdoa yang baik. Malahan dia tak tahu bisakah lebih akrab dengan Tuhan kalau dia merasa dirinya Kristen, Islam, Buddha, atau apa saja. Baginya sama

saja. Dia tahu tentang Tuhan hanya dari ajaran guru agamanya di

sekolah. Biasanya dia malah membolos pada jam pelajaran agama. Dia pernah ikut pelajaran agama Islam, karena banyak yang

beragama Islam di kelasnya. Tak kentara kalau membolos. Pernah

pula ikut pelajaran agama Kristen. sebab teman-teman akrabnya

ikut pelajaran itu. Dia tidak peduli papanya sendiri beragama apa.

Mungkin Islam, mungkin pula Kristen. Famili-famili papanya ada

yang Islam, ada pula yang Kristen. Pada saat-saat doa diperlukan,

barulah Alex kebingungan. Akhirnya dia hanya menyebut nama

Tuhan, tak peduli Tuhannya orang Islam atau orang Kristen. Pokoknya Tuhan. Mudah-mudahan Dia melindungiku agar tidak terkena razia Polsus. Itu kalau Dia memangada.l

Syukurlah tidak ada razia pemeriksaan karcis bus kota. Sampai di Kramat Raya, tempat yang paling ramai di Jakarta, Alex

turun. Untuk beberapa saat dia tegak di pinggirjalan, mengawasi

lalu lintas yang sibuk. Tetap tanpa tujuan!

Pernahkah Anda mengalami, tegak di pinggir jalan yang sibuk, tanpa Anda tahu ke mana harus pergi? Terasing di tengah

53

kehidupan yang dijejali manusia. Merasa sendirian, padahal manusia hilir-mudik di dekatnya. Wajah-wajah yang tak dikenal.

Sebentar lagi hari akan gelap. Alex belum tahu harus pergi

ke mana, dan apa yang harus dikerjakannya. Dia menarik napas

berat. Tulang rusuknya masih agak sakit. Tetapi, dia yakin tidak

akan patah. Nyatanya dia masih sanggup berjalan. Bahkan masih

bisa berdiri tegak lama. Cuma, memandangi lalu lintas begini apa

faedahnya? Yang diperlukan sekarang adalah tempat berbaring.

Lalu dia berjalan pelan-pelan, dengan tangan dalam saku celana, dia hanya mengawasi jalanan. Berharap andai menemukan

dompet yang tercecer. Siapa tahu ada duit seribu perak. Ah, tak

usah seribu. Lima ratus juga sudah lumayan. Mungkin dompet itu

berisi surat-surat penting, akan diapakan dompet itu? Dibuang ke

got? Tetapi, barangkali pemiliknya sangat membutuhkan. Oh, ya,

dimasukkan ke dalam kotak surat saja. Tentu humas kantor pos

akan memasang pengumuman di koran. Pemilik surat-surat itu

akan senang bisa memperoleh barangnya yang hilang. Sekalipun

uangnya tidak kembali, dengan didapatinya kembali surat-surat

itu, tentulah dia bisa memaafkannya. Nah, kalau begitu, mudahmudahan dompet itu berisi banyak uang. Lima belas ribu, atau

lebih besar lagi. Lantas untuk apa uang itu? Wah, bego! Tentu

saja untuk bayar sewa hotel. Ya, perlu cari hotel yang murah. Tailah Ambassador atau Aryaduta, atau Marcopolo. Yang diperlukan

adalah hotel kecil, yang tarifnya lima ratus atau kalau bisa lebih

rendah lagi. Tetapi, tak ada dompet orang yang tercecer.

Bangsat! Kaki Alex terasa berat sekali. Capek.

Selintasan pikiran kepada Kulman singgah di kepala. Ya, ke

54

napa tidak ke rumahnya saja? Namun, pikiran itu cepat-cepat

ditindasnya. Tak perlu lagi berhubungan dengan Kulman. Tak

perlu lagi berhubungan dengan Bonar. Atau dengan siapa saja.

Pergaulan dengan mereka selama ini pastilah karena aku berumah di Kebayoran Baru. Jika mereka tahu bahwa aku sudah tidak

berumah di situ lagi, dan juga tidak sekolah lagi, tentu pandangan mereka sudah lain. Aku tidak setaraf lagi dengan mereka.

Sekarang aku tak lebih dari seorang gelandangan. Itulah ucap

hati Alex.

Dia mengusap mukanya yang terasa tebal. Kulit mukanya seperti mati rasa. Dan, dia lantas ingat pukulan-pukulan yang diterimanya siang tadi. Sekali pun dia tidak membalas. Dia manda

saja menjadi bola di tangan dan kaki abang dan om-om Joice.

Itu sudah wajar, keluhnya. Apa sebenarnya yang telah kulakukan? Merenggangkan selangkangan gadis itu, lalu... ah! Untuk

apa itu semua sebenarnya? Untuk memperlihatkan kejagoanku?

Bah, apakah aku memang jagoan? Ya, aku memang dianggap

pemimpin oleh grupku. Tetapi, bukan dalam soal perempuan.

Aku menjadi pemimpin ketika Kulman, Bonar, Tippy, atau Tonton

diganggu orang lain. Akulah yang akan menghajar pengganggu

itu. Itu saja. Benarkah aku bos? Hanya karena aku lebih tahan

mengisap ganja, sedang yang lain gampang"tinggi"? Hanya karena aku lebih kuat minum, sebab berapa banyak aku minum aku

tidak muntah? Hanya karena itukah? Atau karena aku lebih tahu

siapa Kissinger, atau berapa pendapatan Cruyff, atau di mana

letak Kepulawan Bahama, atau siapa juara grand-prix di Pran

cis, atau yang lain-lain, yang semuanya kubaca iseng dari koran,

55

sementara mereka malas membacanya? Atau karena aku bisa

mengisi majalah Sport Otak lebih lengkap dari yang mereka bisa?

Itukah yang menjadikan aku bos? Lantas, kenapa ke-bos-anku

harus dilengkapi dengan perempuan? Memang harus begitukah?

Dan, rentetan pertanyaan bertubi-tubi mendesak ke dalam

kepala Alex. Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah singgah di

benaknya selama masih bersama-sama Kulman dan yang lainlain. Bahkan ketika sudah dalam tahanan pun dia tak sempat

mempertanyakan ini kepada dirinya.

Berjalan seorang diri, terseok-seok menyusuri trotoar, sedang

malam sudah semakin dalam, dia tetap berbicara dengan dirinya.

Mendera dirinya dengan tuntutan-tuntutan: kenapa harus terjadi kemelut ini? Kenapa harus terjadi? Karena aku lebih sering

berada di restoran-restoran kecil daripada di rumah?Atau karena

aku lebih sering nongkrong di Pasar Blok M daripada di sekolah?

Atau karena aku tak bisa membayangkan dengan jelas wajah

mamaku? Atau karena mamaku berjiwa sundal seperti yang dituduhkan Papa?

Banyak orang muda yang lebih suka berada di persimpangan

jalan daripada di rumah mereka. Sebab, di rumah mereka bersarang jin yang tak pernah puas. Dialah orangtua yang selamanya menuntut agar anaknya menjadi orang yang baik, tetapi tak

pernah mau menunjukkan bagaimana caranya, kecuali dengan

setumpuk nasihat dan umpatan belaka. Sejauh yang bisa kuingat,

pikir Alex, hanya lima kali dia mengumpatiku. Itu karena aku

berkelahi. Ya, hanya lima kali mengumpat, tetapi lima kali pula

menyeret-nyeret nama mamaku yang tak pernah kukenal.

56

Alex tiba di Senen. Ada sebuah toko yang emperannya kelihatan cukup nyaman, dihuni beberapa gelandangan. Barangkali mereka satu keluarga. Ada anak-anak kecil. Alex duduk, bersandar

ke dinding, diikuti pandangan curiga orang-orangyang berada di

situ. Alex tidak peduli. Tubuhnya kelewat letih. Dan, dia memang

layak dicurigai. Sebab, kendati dia sudah menjadi gelandangan,

pakaiannya masih pakaian yang dibawanya dari rumah: celana

dan jaket jins biru. Bisa dimengerti benar kecurigaan keluarga

gelandangan itu. Orang-orang yang kerap harus lari pontangpanting menyelamatkan diri dari cidukan razia Kamtib DKI itu,

sudah barang tentu menaruh waswas terhadap orang yang bukan

dari kalangan mereka.

Dan, Alex tak peduli. Tak peduli. Dia hanya peduli pada badan nya yang linu-linu. Lalu dia membaringkan tubuhnya itu. Hanya dalam tempo beberapa tarikan napas, dia telah terlelap. Sementara itu, keluarga gelandangan itu tetap mengawasinya. Yang

mereka awasi sudah tertidur nyenyak. Sama nikmatnya dengan

tidur di atas kasur busa seperti yang diiklankan di televisi.

Anak kecil gelandangan itu, dengan matanya yang melebar,

melangkah mendekati Alex. Karena lelaki yang tidur itu tetap tak

bereaksi, padahal dia sudah dekat sekali, anak kecil itu tambah

berani. Anak kecil itu menggoyangkan kaki Alex, diikuti pandangan waswas orangtuanya. Si orangtua lantas melepaskan napas

panjang begitu melihat Alex tetap terbaring seperti mati. Anak

kecil itu merogoh kantong baju Alex.

"Ssst, ojo nyolong. Ora apik," kata ayah anak kecil itu. (Jangan

mencuri. Tidak baik.)

57

Anak kecil itu menarik tangannya, lalu berbaring di dekat Alex.

Berbaring dengan posisi miring sehingga tetap bisa memandang

lelaki itu. Barangkali dia ingin merasakan bagaimana kiranya tidur berdampingan dengan seseorang yang bukan gelandangan.

Lalu lintas semakin sepi di jalanan. Sunyi kian menyelimuti

tempat itu. Akhirnya anak kecil itu tertidur pula.

Tempat itu mulai ribut pada subuh yang dingin. Ada truk yang

membongkar muatan di dekat toko itu. Tidur beberapa jam ternyata telah memberikan peredaan pada jaringan tubuh Alex. Dia

menggeliat bangun, tetapi gerakannya terhalang. Dia membuka

matanya dan menemukan anak kecil yang merangkulkan kakinya

ke badannya. Rupanya anak ini kedinginan sepanjang malam

tadi, maka dia memeluk apa saja yang bisa dipeluknya. Mungkin

dia mengira aku ayahnya, pikir Alex.

Maka Alex tetap berbaring diam-diam. Dia tidak tega melihat

anak kecil itu terbangun terlalu cepat. Syukurlah suara kaleng

jatuh menyentakkan anak kecil itu dari tidur lelapnya. Menyadari

bahwa yang dipeluk bukan ayahnya, cepat-cepat anak kecil itu

merangkak ke arah kumpulan keluarganya.

Alex duduk sembari meregang-regangkan lehernya. Linu-linu

di tulang-tulangnya masih terasa. Bahkan beberapa bagian yang

bengkak semakin berdenyutan.

Langit telah terang. Keluarga gelandangan itu telah bangun

semuanya. Si ibu memasang api di pojok toko, di dekat got. Uap

got mengambang, panas dan bau.

58

"Dari mana, Pak?" tegur kepala keluarga gelandangan itu.

"Dari sekitar sini saja," jawab Alex. Suaranya parau.

"Kok tidur di sini?" tanya lelaki tua itu.

"Nggak punya rumah," kata Alex datar.

Lelaki itu menatapnya tak percaya. Orang-orang kaya memang

sering aneh, pikirnya. Dia memang pernah melihat anak-anak

orang kaya bermobil tapi berpakaian dekil dan penuh tambalan.

Ada celana yang bagian lututnya ditambal kulit segala macam.

Keluarga gelandangan itu menghadap kaleng-kaleng berisi

air panas. Rasa lapar melilit perut Alex. Dia tetap duduk memandangi keluarga gelandangan itu.

"Mau minum, Pak?" tawar lelaki tua itu. Alex diam. Lelaki tua

itu memberi isyarat kepada istrinya agar mengisi tempat minum

yang terbaik, sebuah cangkir kaleng yang sudah penyok. Lalu dia

menyodorkannya ke depan Alex.

"Silakan, Pak." katanya.

Alex ragu-ragu.

"Itu air bersih kok, Pak. Air mateng. Cuma gulanya ya cuma

gula jawa."

Alex memandang mata lelaki tua itu. Mata yang tulus pada wajah yang hitam lantaran panggangan matahari. Maka Alex tersenyum dan kemudian meminum air dalam cangkir penyok itu. Dan,

baru dia tahu bahwa gula jawa berarti gula kelapa. Nikmatjuga.

"Bapak pengangguran?" tanya lelaki tua itu dengan hati-hati.

"Ya, saya pengangguran." Alex mengangguk.

"Ooo," gumam lelaki tua itu.

"Habis berkelahi, Pak?" sambungnya.

59

"Ya," jawab Alex singkat sembari mengusap mukanya yang

menjadi pusat perhatian lelaki tua itu.

Terang dari langit menyebabkan wajah-wajah orang di situ

semakin jelas. Sepasang suami-istri, tiga anak kecil, semuanya

mengawasi Alex. Tampak jelas sekarang keranjang-keranjang

berisi kertas. bekas kaleng mentega sebagai tempat memasak

air. Di atas tungku masih terjerang kaleng lain, juga bekas kaleng

mentega. Api untuk memasak itu mengepulkan asap sebab kayu

pembakarnya masih agak basah.

"Saya sudah agak lama tinggal di sini. Sudah lima bulan.

Cuma, kalau ada razia ya harus pergi," kata lelaki tua itu.

"Saya

mengumpulkan kertas-kertas bekas. Setelah dibersihkan, bisa dijual. Lumayan, Pak."

Suara mendesis dari tungku mengingatkan istri gelandangan

itu agar cepat-cepat mengangkat kaleng pemasak. Kemudian dia

menuang airnya dengan hati-hati, dan mengeluarkan ketela rebus dari kaleng itu. Lelaki tua itu memilih beberapa potong yang

terbaik dan menyodorkannya kepada Alex.

"Silakan, Pak," katanya.

Pada saat perut lapar begini, ada yang menyodorkan makanan. Bukankah ini kebaikan yang sulit didapatkan di kota besar ini?

Manalah pernah terbayangkan oleh Alex, bahwa suatu ketika dia
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menerima kebaikan dari satu keluarga gelandangan. Keluarga gelandangan menjamunya dengan memberinya minuman

hangat dan makanan. Jangan dinilai cangkir penyok dan ketela

rebusnya.

"Dulu anak saya bisa dapat duit dari depan toko-toko ini. Ke

60

sini belum ada penjaga parkir yang bajunya kuning. Anak saya

bisa mengelap mobil atau motor. Tapi sekarang ada tukang parkir

gede. Tapi dianya bukan tukang parkir baju kuning. Anak saya

diusir."

Kiranya lelaki tua ini memang senang bercerita. Dengan bahasa Indonesia yang tunggang-langgang, yang campur-aduk dengan bahasa daerahnya, dia menceritakan pengalaman-pengalamannya selama menjadi gelandangan di kota metropolitan ini.

Bagaimana dia harus menyelamatkan keluarga kalau ada razia,

bagaimana kalau keranjangfkeranjang tempat kertasnya dibakar

oleh Kamtib DKI, bagaimana cara anak-anaknya menyelamatkan

diri dari razia, semua dia ceritakan.

"Tetapi, kemaning Gusti, kami masih bisa ketemu lagi. Gusti

memangselamanya melindungi kita. Ya, GustiAllah masih melindungi kita," kata lelaki tua itu menambahkan.

Toko-toko mulai membuka pintu. Keluarga gelandangan itu

berkemas-kemas untuk memulai nomaden mereka. Keranjangkeranjang tersampir di bahu mereka. Mereka berjalan beriringan

seperti pasukan berangkat perang. Anak-anak kecil memegang

japit puntung rokok. Mereka memang pejuang. Alex masih ingat

omongan lelaki tua itu,

"Saya melarang anak-anak saya menjadi

maling atau kere."

Kere? Ya, dia menganggap gelandangan bukan kere. Kere

adalah pengemis yang menadahkan tangan. Sedang mereka tak

pernah menadahkan tangan untuk meminta-minta. Semuanya

bekerja dengan cucuran keringat. Mereka mengumpulkan lembar

demi lembar kertas-kertas bekas, mengumpulkan puntung demi

61

puntung. Bukankah ini perjuangan? Perjuangan untuk sesuap

makanan di tengah-tengah kota yang bangunan-bangunannya

megah terpacak mewah. Perjuangan demi hidup di celah-celah

hilir-mudik mobil-mobil mewah.

Alex menghirup udara sepenuh dada. Di sekelilingnya, kehidupan mulai sibuk. Perjuangan barangkali memang harus dimulai dan sini, pikirnya. Dari sederet emper toko-toko ini bisa dimulai

rintisan itu, dengan duit lima puluh lima perak di kantong. Tetapi,

ada baiknya merokok dulu. Penjamuan keluarga gelandangan

tadi cukup untuk menahan perut sampai siang hari.

Lalu Alex membeli rokok kretek ketengan. Dia duduk di bekas peti sabun milik penjual rokok itu. Sambil menikmati asap

rokok dia berpikir, memang lain rasanya setelah tidak merokok

semalam suntuk. Rokok ini jauh lebih enak. Nah. siapa bilang

kemiskinan itu tidak menyenangkan? Sebatang rokok yang dibeli

dengan hati-hati, seribu bahkan sejuta lebih nikmat dibanding

dengan rokok-rokok yang pernah kubeli.

Bermenit-menit dia duduk di situ. Pertama, untuk menikmati

asap rokoknya agar tidak tersia-sia. Kedua, untuk memikirkan apa

selanjutnya yang harus dia kerjakan. Tentu saja bukan memintaminta. Gelandangan saja memandang pekerjaan itu jelek.

Kendaraan semakin banyak diparkir di sepanjang jalan di depan toko-toko. Tukang parkir mengatur posisi kendaraan. Dan,

benar yang dikatakan gelandangan tua itu. Tukang parkir itu tidak berseragam kuning. Berarti dia tukang parkir liar. Lima puluh

rupiah kali berapa, belum dua puluh lima rupiah bagi motor,

masuk ke kantongnya.

67

Liur Alex hangat di mulut. Bangsat! Enak betul tukang parkir

itu. Alex menaksir-naksir tubuh tukang parkir itu. Tingginya sebanding dengan tinggi badan Alex. Hanya saja kulitnya lebih hiv

tam. Wajahnya tidak tampan. Wajah yang tampak meremehkan

dunia. Mulut yang melengkung ke bawah dikombinasi dengan

mata yang menjorok ke dalam, membuatnya seperti senantiasa

merengut.

Dimulai dari sini, pikirAlex. Lalu dia berdiri. Dan dengan langkah pasti dia menuju bagian jalan yang belum terpadati kendaraan. Maka ketika ada mobil yang akan parkir, Alex sudah berdiri

tegak di situ.

"Ya, terus, terus. Kiri sedikit. Ya, maju, ya hooop!" Tukang parkir itu menatap Alex. Wajahnya yang merengut semakin tampak

kelam. Dia mendatangi Alex, tetapi Alex berkata,

"Lu urus bagian

sana. Di sini bagian gua."

Mereka bertatapan. Kebetulan ada mobil yang siap parkir lagi.

Alex kembali mengangkat tangan, memberi komando kepada

sopir mobil itu. Sementara itu, di bagian lain ada kendaraan yang

akan meninggalkan tempat. Tukang parkir itu mengejar untuk

membantu sopir mengeluarkan mobilnya.

Alex menerima lima puluh rupiah yang pertama. Matahari

tambah tinggi. Lima puluh demi lima puluh. Semakin mengalir

ke saku Alex. Keringat mulai bercucuran. Entah sudah berapa

buah mobil dan motor yang parkir dan pergi. Pekerjaan ini ternyata mengasyikkan. Dia mengatur letak kendaraan itu sambil

mengunyah bakso. Dia tidak mau meninggalkan tambang emas

itu.

63

Itu terjadi pada jam-jam sibuk. Ketika matahari mulai tergelincir, kendaraan yang datang semakin sedikit. Tukang parkir itu

berkaIi-kali memandangnya. Cuma, dia tidak berani mendatangi

Alex lagi. Barangkali kalah gertak.

Luka-luka di badan Alex kembali terasa perih. Alex menghitung-hitung uang perolehannya. Radio transistor milik tukang

rokok mendendangkan lagu-lagu lembut dari Studio Elshinta. Lumayan juga, pikir Alex sambil mengenyakkan pantat di bekas peti

sabun. Gemerincing uang di tangannya menambah keyakinannya

bahwa dia tidak akan mati kelaparan.

Kesenangannya itu ternyata tidak lama dinikmatinya. Tukang

parkir yang tadi mendatanginya datang lagi diiringi dua lelaki.

Ketiganya melangkah bagai koboi yang siap duel.

"Kamu tidak boleh jaga parkir di sini," kata tukang parkir itu.

Alex tak menimpali. Dia bangun pelan-pelan dan berdiri

menghadapi ketiga lelaki itu.

"Di sini hak kami," lanjut tukang parkir itu.

"Tidak ada yang berhak di sini, kecuali Ali Sadikin," kata Alex.

"Bangsat, perlu dihajar orang ini!" kata teman tukang parkir

itu.

Mendengar dialeknya, Alex ingat om Joice yang memukulinya.

"Iya, hantam sajalah kepalanya itu!" kata temannya yang satu

lagi.

"Kamu harus pergi dari sini," kata si tukang parkir lagi.

"Aku tidak akan pergi. Kamu sama tidak berhaknya dengan

aku," kata Alex.

"Bah, dibilang baik-baik kau malah menantang."

64

""Hantamlah," kata temannya.

Tukang parkir itu memukul. Alex mengelak. Perkelahian tak

bisa dihindarkan. Dan, ketiga orang itu ternyata hanya modal

tenaga besar, tetapi tidak tahu menggunakannya dengan baik.

Tukang rokok menjerit-jerit, maksudnya melerai. Tetapi, mana

ada yang mau memedulikannya! Orang-orang lewat tentu saja

tidak melewatkan tontonan gratis itu. Apalagi di antara mereka

yang berkelahi itu ada yang bergaya Bruce Lee. Asyik!

Pukul-memukul, tendang-menendang, dan orang yang menonton semakin banyak. Tak ada yang melerai. Bahkan ada di antara mereka yang berteriakfteriak seperti sedang melihat adu jago.

Ketiga orang itu sebenarnya sudah berhasil menyobek kembali luka di pinggir mata Alex. Perihnya bukan main. Tetapi, bagi

Alex, perkelahian itu untuk suatu kehidupan. Rupanya tukang

parkir itu ingin segera menyudahi perkelahian. Dia mencabut

pisau dari balik bajunya. Namun, Alex berhasil mencekal pergelangan tangan tukang parkir itu. Entah bagaimana, tikaman

tukang parkir itu berbalik arah, dan senjata makan tuan. Pisau

tertancap di perut tukang parkir itu. Dia menggelepar. Kedua

temannya panik. Sekejap Alex menatap orang yang berlumuran darah itu. Orang-orang yang menonton bubar. Tukang rokok

pun menutup kios dagangannya. Ketika Alex benar-benar dapat

berpikir. dia menyadari bahwa di tempat itu tinggal ada dia dan

tukang parkiryang sedang mengerang-erang. Tak ada orangyang

mau terlibat, sebab sangat tidak menyenangkan jika harus menjadi saksi menjawab pertanyaan polisi. Sebenarnya peristiwa itu

hanya memakan waktu beberapa menit saja.

65

Sepanjang tembok tebal, alangkah sejuk. Kelembapan dinding

itu menyekap penghuni-penghuninya. Dan, di sini Alex menjadi

tahanan titipan kejaksaan. Inilah LP Cipinang. Alex menunggu

saat diajukan ke pengadilan. Dia tidak tahu hukum. Dia hanya

tahu bahwa setiap orang bersalah harus dihukum. Lebih-lebih

dia belum tahu berapa lama hukuman bagi seorang pembunuh.

Mungkin sangat lama, atau bahkan mungkin dibuang ke Nusakambangan.

Dia dimasukkan ke salah satu sel isolasi. Di situ sudah ada dua

penghuni.

"Hanya sementara," kata pegawai LP yang mengantarkannya.

"Jika menunjukkan kelakuan baik, akan dipindahkah ke barak."

Kedua orang yang sudah lebih dulu masuk itu mengawasi kedatangan Alex. Begitu pegawai LP lenyap, salah seorang bangun

dan bertanya,

"Punya rokok?"

Alex mengeluarkan rokoknya. Baginya, rokok ibarat bersin.

Gampang dibeli dengan uang hasil jaga parkir.

"Kenapa kau masuk ke sini?" tanya salah seorang seraya mengembuskan asap rokoknya.

"Berkelahi," kata Alex ringkas.

"Beginilah keadaan di sini," kata yang satu.

Alex mengedarkan pandangan. Ruangan itu sempit. Di pojok

ruangan ada tempat buang air. Hawa lembap dan berbau kencing.

Alex pernah membaca cerita-cerita tentang kehidupan di pen

66

jara. Tetapi, ternyata dia tidak menemukan sikap keras penghuni

lama ini. Seorang memperkenalkan diri dengan nama Danial,

dan satu lagi bernama Zulkifli. Kejahatan yang pernah dilakukan

mereka? Danial membunuh. Dua orang yang dibunuhnya, yakni

istri dan lelaki yang bermain gila dengan istrinya. Darah Alex

berdesir. Tak disangkanya lelaki yang berwajah lembut dengan

bulu mata tebal ini sanggup membunuh. Zulkifli menodong, tetapi karena korbannya melawan, terpaksa dia menikamnya. Alex

memperhatikan kening lelaki ini. Keningyang lebar, dengan bentuk kepala mirip kepala seorang guru.

Jadilah berkumpul dalam satu sel itu tiga orang yang semuanya telah mengalirkan darah orang.

"Sel ini terlalu sempit," kata Zulkifli.

"Mudah-mudahan kita cepat dipindahkan ke barak. Di situ agak lapang. Agak lebih bebas

daripada di sini. Jam untuk keluar lebih banyak bagi penghuni

barak. Tetapi, keluar yang dimaksud tetap berada di dalam penjara ini."

Danial lebih suka tiduran, mengawasi awan-awan dan asap

rokokyang dibuatnya. Di depan sel itu ada halaman sempit. Selebihnya hanyalah tembok.

"Kau terlalu muda untuk masuk ke sini," kata Zulkifli. Alex tak

menjawab. Dia tetap membaca coretan-coretan di dinding. Ada

beberapa nama di situ. Fausi Onassis, tanggal 4 Juli 1970. Utjok

Tobing, 19 Desember 1970. Dan, masih banyak nama lain. Ada

juga gambar perempuan yang bisa dikenali dari bentuk buah dadanya serta kelaminnya yang digambar serampangan.

"Siapa yang mengisi bak air itu?" tanya Alex.

67

Zulkifli mengawasi bak kecil di sudut ruangan.

"Ada. Tahanan juga. Dulu anak buahku. Yah, di sini harus keras. Jangan mau mengalah. Sekali kita kalah, seterusnya akan

jadi bulan-bulanani Kita akan disuruh-suruh mengisi bak, bahkan

membersihkan tempat berak. Tapi. kalau kita keras, kita bisa menyuruh orang lain. Kalau perlu, di sini kita harus memeras. Tahu

maksudku?"

Alex menggeleng.

"Di antara tahanan ada yang mendapat kiriman dari luar. Makanan, atau bahkan uang. Nah, mereka harus membagi buat

kita," Zulkifli menjelaskan. Dia menyedot rokoknya dalam-dalam

dan mengembuskan pelan-pelan.

"Kau punya keluarga?" tanyanya kemudian.

"Tidak."

"Kalau begitu, tak ada yang membesukmu?"

Alex menggeleng.

"Dua kali sebulan istriku datang."
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Abang punya istri?"

"Ya, anakku tiga orang. Dulu aku pegawai perusahaan negara. Tetapi, dalam sebuah rasionalisasi, aku diberhentikan. Diberi

pesangon memang, tetapi selama aku mencari pekerjaan, pesangon itu keburu habis. Pekerjaan tetap belum dapat. Untunglah

sebagian dari jumlah uang pesangon itu ada yang digunakan istriku untuk berjualan gado-gado. Ah, istriku memang bijaksana.

Tanpa dia. aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi."

"Lalu, kenapa Abang menodong?"

"Nggak ada kerja. Mulanya iseng-iseng saja, diajak teman.

68

Lama-lama terasa enaknya uang yang diperoleh dengan cara

itu. Lama juga aku beroperasi. Tertangkap setelah aku menikam

korban, itu saja. Kalau tidak, barangkali aku masih bebas. Aku

menodong pakai otak. Aku pelajari dulu mangsa yang mau aku

todong. Tidak sembarangan. Kalau direken-reken, tiga tahunlah

aku beroperasi. Istriku tidak tahu. Dia pikir aku kerja biasa. Dia

baru tahu setelah aku berada di tahanan sini. Kasihan dia."

Untuk beberapa saat sel itu menjadi sepi. Masing-masing

asyik dengan lamunan.

Beberapa hari kemudian mereka dipindahkan ke barak, lalu

sel itu diisi oleh tahanan yang baru masuk. Dua orang baru masuk, mereka dituduh dalam kasus pembunuhan. Memang betul

kata Zulkifli. Di barak lebih lega untuk bernapas. Selain mereka

bertiga. masih ada bebeberapa tahanan lain. Mereka sudah kenal

dengan Zulkifli. Ada juga orang yang mau mencoba-coba Alex.

Dia menyuruh Alex membersihkan pojok tempat tidurnya. Alex

ingat nasihat Zulkifli. Maka Alex berkata:

"Kamu yang harus membersihkan tempat tidurku."

Lelaki itu tercengang untuk beberapa saat. Kemudian dia menyeringai dan kepalannya melayang. Sebelum kepalan itu tiba,

Alex lebih dulu meninju dadanya. Lelaki itu terjajar. Dia semakin

marah. Pertarungan tak bisa dielakkan. Seorang tahanan berdiri

di dekat terali untuk mengintai pengawas blok. Yang lainnya asyik

menonton. Mereka menyukai tontonan semacam ini. Napas yang

sedang berkelahi mendengus-dengus mirip napas kerbau. Lawan

Alex itu ternyata tangguh. Akhirnya keduanya terduduk karena

sama-sama letih. Masih saling menatap dengan mata beringas.

69

"Sudahlah," kata Zulkifli melerai.

"Tempat tidur kalian biar dibersihkan si Rahyo."

Rahyo, yang sejak tadi berdiri mengintai di terali, mengangguk takzim.

"Tidak!" kata Alex sambil berdiri dengan susah payah. Dia

mendekati lawannya. Dan lanjutnya,

"Tempat tidurku harus dibersihkan orang ini."

Selangkah demi selangkah Alex maju. sedangkan lawannya

masih belum selesai meredakan napasnya yang tersengal.

"Sudahlah, sudahlah, Lex," kata Zulkifli sembari memegang

bahu Alex.

Maka Alex pun mendapat tempat terhormat di barak itu. Sebuah tempat yang jauh dari tempat buang air. Status di situ diukur dari jarak tempat tidur dengan tempat kotoran. Dan, itu hanya bisa diperoleh dengan kekerasan. Pengumuman pemerintah

tentang digantikannya istilah penjara menjadi LP ternyata belum

berlaku di tempat itu.

Hari-hari yang berlalu hanyalah berupa sepanjang gang di

antara barak-barak. Ada juga kesibukan, yakni belajar bertukang.

Ada yang belajar membuat sepatu, kursi, atau meja. Tetapi, Alex

tidak tertarik. Dia lebih tertarik pada mesin. Ketika kepala LP itu

tahu keahlian Alex, dia menyuruh Alex memperbaiki mobil rongsokan milik lembaga. Ini sangat mengasyikkan bagi Alex. Apalagi

mobil itu memang rusak berat. Banyak yang bisa dia kerjakan.

Dan, kepala LP senang melihat ketekunan pemuda itu.

Dengan adanya keasyikan, tak terasa waktu berjalan. Alex selamanya bahkan tak sabar menunggu malam berakhir. Dia me

70

rasa kecewa jika pekerjaannya terputus oleh datangnya sore hari.

Siang hari terlalu singkat baginya. Sedikit pun Alex tak merasakan sedihnya berada di balik tembok tebal itu. Toh di luar juga

sulit mencari tempat untuk berteduh, pikir Alex selalu. Di sini ada

tempat tidur, makanan, banyak teman. Kurang apa lagi? Persetanlah dengan kebebasan! Apalah arti kebebasan kalau perasaan

tertekan?

Kadang-kadang Zulkifli mengajak Alex menemui istrinya, jika

kebetulan istrinya datang menjenguknya. Alex bisa menyaksikan

bagaimana kesetiaan seorang istri kepada suami. Perempuan itu

tak pernah membawa anak-anaknya yang masih kecil sebab dilarang oleh suaminya. Setiap kali mau berpisah, suami-istri itu

hanya berpegangan tangan. Berbeda dengan Film Barat yang pernah disaksikan Alex. Berpegangan tangan saja rasanya jauh lebih

mesra dan mengharukan dibanding dengan berciuman. Dan, di

barak nanti Zulkifli akan termenung.

"Kau tahu kenapa aku melarang istriku membawa anakfanak

ke sini?" kata Zulkifli pada suatu malam.

Alex hanya menggumam.

Zulkifli melanjutkan,

"Aku tak ingin mereka melihat isi penjara. Aku tak ingin pengalaman itu membekas dalam ingatan mereka. Orangtua bisa memberi nasihat apa saja, tetapi yang lebih

berpengaruh pada anak kecil adalah yang dialaminya, dilihatnya,

dan dirasakannya. Misalnya saja ada orangtua yang bertubi-tubi

menasihati anaknya agar sopan, berbicara halus, sedangkan kenyataan yang dilihat anak itu pertengkaran dengan umpatanumpatan kasar. Segala nasihat itu tidak akan ada artinya. Musnah

71

dalam tempo sekejap. Anak-anak hanya bisa dipengaruhi dengan

contoh, bukan dengan nasihat."

Alex ingat akan papanya. Contoh apa yang sudah ditunjukkan

Papa kepadaku?

"Aku tak ingin anak-anakku mengetahui aku bajingan. Kalau mereka besar kelak, mungkin mereka akan mendengar cerita

perihal ayah mereka. Tetapi, karena mereka tak pernah melihat

langsung, cerita itu hanya akan menjadi misteri bagi mereka.

Bagi mereka, aku tetap bapak yang baik dan memperhatikan

mereka."

Mereka berbaring diam-diam. Di dekat mereka, penghuni lain

sudah tidur mendengkur.

"Kau masih punya ibu, Lex?" tiba-tiba Zulkifli bertanya, membuat Alex tersentak.

"Ibu? Ah, entah," katanya.

"Bah! Kenapa entah?"

"Aku taktahu dia masih hidup atau sudah mati. Dia pergi waktu aku masih kecil."

"Pergi?"

"Ya, pergi. Lari sama laki-laki, meninggalkan papaku dan aku."

"Wah, itu aneh."

"Begitulah menurut cerita nenekku."

"Nenek dari pihak ayah?"

"Ya. Juga papaku kalau sedang memarahiku, sering mengumpati ibuku yang pergi itu."

"Jadi kau tak tahu di mana ibumu sekarang?"

""Mungkin di neraka."

77

"Jangan begitu. Kau hanya mendengar cerita dari satu pihak.

Pernahkah kau mendengar cerita dari pihak ibumu?"

"Tentu saja tidak. Aku tak pernah bertemu dengan siapa-siapa

famili Ibu."

"Nah, itulah. Kau belum tahu betul duduk perkara yang sesungguhnya. Pernahkah ayahmu atau nenekmu menceritakan

kenapa ibumu pergi?"

"Dia lari dengan laki-laki lain."

"Itu bukan jawaban."

"Pokoknya dia lari, meninggalkan aku ketika umurku baru

lima tahun."

"Ah, kau keras kepala. Kau tidak mau mencari sebab-sebab

ibumu itu lari."

Alex terdiam. Di luar terdengar lonceng tanda waktu yang dipukul dari gardu. Ada suara kecoak dari tempat buang air.

"Aku orang luar yang tidak terlibat kemelut keluargamu, Lex.

Karena itu aku bisa menilai secara rasional. Aku merasa, kalau

ada seorang istri lari dari suaminya, kesalahan tidak semata-mata

dilihat dari pihak istri. Misalnya aku. Andainya istriku lari, aku

tidak bisa menyalahkan dia saja. Walaupun kita bisa mengatakan

dia tidak setia, tetapi aku juga harus menilai diriku sendiri."

"Tapi papaku tidak pernah masuk penjara."

"Ah, kadang-kadang kepintaranmu tak sesuai dengan usiamu.

Tapi, kadang-kadang kau sama tololnya dengan si Rahyo itu."

Alex membisu. Dia berusaha membayangkan wajah ibunya,

tetapi tak berhasil. Hanya ada bayang-bayang baur. Ketika dipaksakan. yang tampak justru wajah perempuan lain. Joice. Bah! Dia

lalu menempelak kepalanya.

73

"Eh, kenapa?"

"Ah, tak apa-apa," kata Alex cepat.

"Kau harus menyelidiki, Lex, kenapa ibumu lari. Setelah tahu

sebab-sebabnya, baru kau berhak menjatuhkan penilaian. Jahatkah, atau baikkah dia."

"Tak mungkin baik. Hanya perempuan jahat yang meninggalkan anaknya!"

Zulkifli mengeluarkan suara sengau panjang sambil mengangkat bahu.

"Sulit menjelaskannya," katanya putus asa.

"Tapi. aku percaya

kelak kau akan membenarkan pendapatku ini."

Lalu mereka tidak berbicara lagi. Sebentar kemudian, kedua

nya pun mengiringi dengkur penghuni lain.

74

esin mobil rongsokan belum selesai diperbaiki Alex. Tiga

bulan dari masa lima bulannya di LP diisinya dengan pergumulan dengan onderdil-onderdil mesin mobil itu. Mulai dari

piston, zeger, dan segala macam bentuk bagian mesin itu tak

asing lagi baginya. Beberapa onderdil telah digantinya secara berangsur. Sebenarnya lembaga itu tidak punya cukup biaya, tetapi Kepala LP memberikan kebijaksanaan dengan mengeluarkan

uang dari kantong pribadinya. Dia bukannya berharap mobil itu

bisa berjalan lagi, melainkan hanya ingin menyalurkan minat

Alex pada bidangnya. Sebagai pemimpin lembaga penjara, lelaki

itu tidak menunjukkan ciri kekasarannya. Dia bagai seorang ayah

bagi Alex.

Tetapi, kesenangan Alex tiba-tiba terputus. Suatu hari kepala

LP mendatanginya dan berkata,

"Besok sidang kamu, Lex."

"Oh ya?" balas Alex tak acuh. Dia tetap tekun memasang mur.

Onderdil-onderdil sudah dipasang pada posisi masing-masing.

"Mungkin kamu akan bebas."

"Wah," kata Alex tetap tak acuh.

75

Kepala LP itu berjongkok di samping Alex. Rahyo, tahanan

yang ketolol-tololan, menjauh. Selama ini dia memang membantu Alex. Dia senang bisa bekerja membantu Alex. Dengan begitu

dia terlepas dari pekerjaan yang tidak disenanginya, misalnya

menyapu atau mengepel lantai. Baginya, kepala LP itu adalah

dewa. Oleh sebab itu dia begitu kagum kepada Alex yang sering

berbincang-bincang dengan dewa itu.

"Orang yang kamu tikam itu tidak mati. Dia sudah lama sembuh. Dia malah sudah pulang ke kampungnya, di Tapanuli. Jaksa

sulit mendatangkannya. Begitu yang kudengar," kata Kepala LP.

Alex tak mengangkat kepalanya. Matanya tetap terpancang

pada baut-baut yang tengah dikuncikannya.

"Kamu tentu bebas."

"Besok kita bisa mencoba mesin ini, Pak," kata Alex.

"Besok kamu disidangkan."

"Lho? Apa tak bisa diundur?"

"Gila! Biasanya orangforang di sini ingin perkaranya cepat disidangkan."

"Kalau betul saya bebas, bagaimana saya?"

"Apanya yang bagaimana?"

"Tapi, mesin ini belum selesai."

Kepala LP tertawa.

Lalu Alex berpacu dengan sore. Berpacu dengan malam agar

mesin itu selesai terpasang waktu itu juga. Kepala LP memberi izin untuk bekerja hingga malam. Bahkan ketika Alex akan

memasang mesin mobil, kepala LP itu juga berada di bengkel.

Empat orang napi membantu Alex mengangkat mesin itu dan

76

menempatkannya pada mobil. Tangan Alex gemetar saat mengunci baut-baut pengikat mesin ke badan mobil. Bahkan napi
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain pun ikut berdebar menunggu saat-saat bersejarah itu.

Siang bensin sudah dipasang, juga kabel-kabel. Aki sudah disetrum sore tadi.

Rahyo menekan starter. Mesin merengek. Alex gugup menyetel karburator. Mesin merengek, merengek, terbatuk-batuk, dan

meraung keras.

"Berhasil!" teriak Alex mengatasi deruman mesin.

"Ya, berhasil," kata kepala LP itu terharu. Betapa tidak! Hanya

dengan onderdil yang sebagian besar dibeli dari pasar rombeng,

maka mesin itu bisa hidup.

Begitulah juga untuk kehidupan, pikir kepala LP Kehidupan

hanya bisa dipertahankan dengan perjuangan.

Lelaki tua itu memperhatikan wajah Alex yang berseri-seri.

Wajah dengan cacat di pinggir matanya. Bekas luka itu berwarna

kehitaman, kontras dengan warna kulitnya yang putih. Ketam'

panan yang lembut itu telah dirusak oleh kekejaman bekas luka.

Yang tinggal hanya mata kiri yang menyipit dengan bibir tipis terkatup rapat. Anak muda yang misterius, pikir kepala LP. Dengan

ketakacuhan sikapnya, dia malah kelihatan kejam. Ingin sekali

sebenarnya orang tua itu melihat anak muda ini sebelum terluka

di wajahnya. Sesadis inikah perwujudannya?

Esok harinya, sebelum berangkat ke gedung pengadilan, Alex

disuruh merapikan diri di kantor lembaga. Di situ dia berhadapan dengan cermin besar. Sesaat dia kaget menemukan dirinya

sendiri di cermin. Selama lima bulan dia tak pernah menatap

77

mukanya sendiri. Dia berusaha merapikan rambutnya yang terjuntai hingga bahu. Rambutnya yang kusut masai itu tersendatsendat menahan sisir. Kumis dan jenggotnya pun mulai tumbuh.

Pisau cukur digunakannya dengan canggung. Setelah membabat

jenggot dan kumis yang tandus itu, ia bernapas lega. Nah, agak

bersih. Tapi, bekas luka ini? Ah, membuat wajahku berubah, pikir

Alex. Dan, keriput pada bekas luka ini, tentu karena luka itu tak

dirawat semestinya. Persetan! Yang penting bagian lain semua

masih utuh. Satu codetan di muka tak apalah. Alex menatap

wajahnya seakan tak bosan-bosannya, hingga petugas kejaksaan

dan polisi menjemputnya.

O, begini rupanya yang namanya pengadilan, pikir Alex begitu

memasuki gedung pengadilan. Ada mimbar yang lebar bertutup

kain hijau. Di situ sudah ada tiga orang berwajah angker. Semuanya berjubah hitam. Alex ingat Film-Film yang pernah ditontonnya. Di sebelah kirinya duduk seorang jaksa. Salah seorang

hakim-yang belakangan diketahui Alex sebagai ketua majelis

hakim-bertanya,

"Nama Saudara?"

"Lexi," jawab Alex. Dan, itulah namanya sejak dia berurusan

dengan jaksa.

"Lengkapnya?"

"Ya Lexi."

"Tak ada embel-embel lain?"

"Tak perlu embel-embel."

Lalu hakim itu menanyakan segala macam tetek-bengek mengenai diri Alex. Kayak calon mertua saja, pikir Alex.

Kemudian jaksa dipersilakan hakim untuk membacakan tu

78

duhannya. Alex mendengarkan dengan separo mengantuk. Dia

hanya serius mendengarkan ketika jaksa itu mengungkapkan duduk perkaranya. Persis kejadian yang sebenarnya. Tak ada yang

ditambah maupun dikurangi. Cuma, pasaI-pasal yang diancamkan kepadanya sama sekali tak menarik bagi Alex. Dia mengawasi

orang-orang yang duduk di depannya. Ada seorang hakim wanita

separo baya; dua orang lelaki, yang seorang pakai kacamata, yang


Pendekar Hina Kelana 18 Geger Di Bukit Mahesa Kelud Dewi Pedang Delapan Dewi Sri Tanjung 2 Si Tangan Iblis

Cari Blog Ini