Tunangan Karya Arini Suryokusumo Bagian 2
daripada hujan cubitan!" ledek Aldy sambil memegangi
perutnya karena tertawa.
Tapi Agus sudah tidak mempunyai kesempatan untuk
berbalik meledek karena sibuknya mengelak dari serangan
mendadak itu. Dia sudah benar-benar mati kutu!
66
"Kamu tau dari mana kalau mereka tunangan?" tanya
Gaby lemas di sudut kelas lainnya. Harapan untuk mendapatkan Gatot pupus seketika
"Lihat saja dari cincin yang dipakainya itu!" cetus
Dian seperti tersadar akan arti cincin Gatot yang dulu
disangka tak ada artinya itu.
"Orang tunangan kan pakai
cincin ya, Susan?"
Susan mengangguk lesu.
"Tadinya aku nggak percaya walaupun Gatot memakai cincin," celetuk Foresti bangga karena menjadi
"sesumbar".
"Tau aja kan, kalau sekarang banyak cowok
yang memakai cincin begitu tanpa punya arti. Biasa...
cowok-cowok sekarang kan lagaknya sok laku begitu!"
"Tapi... kok mau ya ditunangin segitu mudanya?"
pelan Susan berkata.
"Tau deh!" Foresti mengangkat bahu.
"Waktu itu
Ratri kelepasan ngomong. Terus waktu aku desak, dia
bungkam seribu bahasa. Sialan tuh anak!"
Dian yang biasanya banyak omong kini diam saja.
Diliriknya Gaby berulang kali dengan cemas. Gaby nampak sedang berpikir keras. Dan itu yang membuatnya
cemas sekali.
Dian hafal betul sifat sahabatnya yang satu ini. Gaby
memang baik dalam soal-soal tertentu, tapi kalau sudah
menyangkut saingan dan orang-orang yang dibencinya,
67
Gaby bisa nekat. Dan kalau dia sudah nekat, hal-hal yang
sungguh-sungguh tak diiinginkan bisa saja terjadi!
68
Delapan
ANDINA membuka pintu dan melangkah keluar rumah
dengan langkah ringan. Hari sudah sore dan seperti
biasanya dia harus membawa Goggy jalan-jalansore.
"Goggy...Goggy!" teriaknya semangat sambil celingukan. Suasana di sekitar perumahan tempat tinggalnya
sepi dan lengang. Heran, biasanya dia kan paling hobi
sore-sore begini berguling-guling di tengah jalan. Kok
mendadak hilang secara "misterius".
Andina menggerutu kesal. Huh, anjing bandel! Biasanya Goggy yang paling hobi jalan-jalan dan bukan dirinya. Kalau perlu dia akan terus menyundul-nyundulkan
kepalanya yang besar di pangkuan Andina kalau Andina
sedang merasa malas. Kini di saat dia sedang rajin-rajinnya, anjing tolol itu tidak ada.
"Goggyyyy ...!" teriaknya sekuat tenaga.
"Eeeh bisa nggak sih kalau nggak teriakteriak begitu?!" Arya yang terbangun karena teriakan adiknya
balik berteriak dari jendela kamarnya yang terletak di
tingkat atas.
Andina mendongak.
"Urusan amat sih?!" bentaknya
ketus.
69
Arya melotot jengkel.
"Kasihan dong sama Papa!
Malu kan sama tetangga!"
"Tetangga? Tetangga apaan?!" balas Andina nggak mau
kalah.
"Jaraknya begitu jauh! Kita bikin orkes dangdut semalam suntuk juga mereka tidak akan terganggu! Kamu
saja yang usilan! Dasar mulutnya gatelan!"
"Eeh... siapa yang mulutnya gatelan, hah?! Siapa???"
bentak Arya betul-betul marah sekarang. Dengan gemas
dia berlari turun.
Melihat gelagat tak baik itu, Andina celingukan mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Lalu dengan gesit
dipanjatnya pohon rambutan yang dahan-dahannya
hampir menyentuh jendela kamarnya itu.
Dia sudah biasa memanjati pohon besar dan tua itu
sejak dia masih kecil. Dulu, pohon itu merupakan jalan
paling aman kalau dia ingin menyelundupkan Gatot
ke kamarnya. Soalnya Eyang Putri selalu melarangnya
mengajak Gatot ke kamarnya.
"Heh, monyet kecil! Turun!" jeritan marah Arya
membuat Andina tertawa menggoda dari atas.
"Tuh, kan! Memang dasarnya usilan! Nggak bisa lihat
orang seneng! Naik saja kalau berani!" tantang Andina
mengejek.
Arya melotot marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Itu memang pohonnya Andina. Sudah lama sekali dia
tak pernah lagi memanjat pohon. Dan dia tidak ingin
mengambil risiko jatuh dari situ.
70
Andina tertawa senang melihat wajah kakaknya merah
padam karena marah. Sambil mengumandangkan tawanya yang mengejek dia semakin naik dan mulai naik ke
atas atap rumahnya.
"Sori, Mas aku tak punya waktu
buat nemenin kamu bengong di situ!"
Lalu dia mulai mengitari atap rumah dan mencari
pohon lain untuk dijadikan tempat dia turun. Dengan
sekali lompat dia sudah berpindah merajai pohon manggis di belakang rumahnya. Dari situ dia melompat ke
tembok pagar rumahnya yang tinggi lalu melompat lagi
ke atap rumah tetangga sebelah rumahnya.
Rumah keluarga Bever kelihatan sepi. Mungkin mereka sedang pergi. Tapi Andina melihat pintu balkon
kamar Barbie tampak terbuka lebar-lebar. Andina tersenyum. Pasti si bocah cilik berumur lima tahun itu
sedang asyik bermain seorang diri di kamarnya. Hm,
ada baiknya juga kalau aku sekadar menengok sebentar,
pikirnya sambil menuju kamar Barbie dan melompat
turun ke balkon kamarnya.
Lalu dengan seenaknya dia melangkah masuk dan
menyapa Barbie yang ternyata memang ada di situ.
"Hi there?" sapa Andina memamerkan senyumnya.
" What are you doing?"
Barbie menoleh kaget. Tapi begitu melihat wajah
Andina dia menunduk dengan muka merah.
"Andin, I've
to tell ya somethin," katanya dengan logat Amerikanya
yang khas dan lucu.
71
Andina mengerutkan dahinya, heran melihat wajah
Barbie yang takut-takut itu.
"Something wrong?"
Barbie semakin merah.
"Promise ya won't be angry?"
tanyanya ragu-ragu.
Andina menggeleng.
" Cross your heart?"
Andina mengangguk cepat-cepat. Ih, kenapa sih
cewek bule satu ini? pikirnya penasaran.
Barbie kelihatan ragu-ragu. Tapi kemudian dia mendekati tempat tidurnya, membuka sebagian cover bed
yang menutupinya dan menarik sesuatu dengan susah
payah dari kolong tempat tidurnya.
"Goggy...," desis Andina kaget.
Goggy menggoyang-goyangkan buntutnya melihat
Andina.
"im sorry, Andin.
" pelan Barbie berkata sambil
membelai kepala Goggy.
"Hei s0 cute and I like 'em very
much. I gotta bring 'em here, cause i really needfriend right
now. And... and "
"Its all right, dear," potong Andina cepatcepat. Nggak
enak melihat gadis kecil montok itu begitu salah tingkah.
Barbie tersenyum senang.
"Really? And can i keep
'em for a day or two?"
Andina tertawa. Wah, ngelunjak! Pikirnya geli. Tapi
dengan senang hari dia mengangguk.
"Sure. Why not? But
"
now i have to... to
"yes?
72
Andina gelagapan. Dia kebingungan mencari katakata yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya. Itu
sih pengalaman baru segelintir begitu, udah berlagak
kayak yang punya bahasanya saja! Gerutunya kesal sendiri.
"Ng... ng I have to take him... walking-walking
around here ," jawabnya sekenanya.
" What?"
Andina semakin grogi. Tapi rupanya Barbie mulai
mengerti.
"Oh... I see. You want to take 'em for a walk.
Right?" tanyanya cerdik. Lalu setelah melihat anggukan
lega Andina dia kembali berkata.
"Can i go with ya?
Please? Please? i will be a goodgal! Promise i will."
Kembali Andina mengangguk. Ya, nggak ada salah nya
sekali-sekali membawa anak orang jalan-jalan. Kasihan
Barbie, dia anak tunggal dan kelihatan sangat kesepian.
Lalu digandengnya anak bule itu dan memanggil
Goggy supaya mengikutinya. Selama mereka berjalan
ke luar rumah, Barbie tak henti-hentinya mengoceh
dengan bahasanya sendiri yang jelas-jelas menyimpang
dari buku catatan Inggris Andina. Tapi daripada harus
bingung sendiri, Andina terpaksa mengangguk-angguk
dan menerka-nerka artinya.
Ada baiknya memang dia bergaul dengan Barbie untuk melancarkan bahasa Inggrisnya, walaupun dia tau
omongan Barbie kadangkadang menyimpang dari yang
diajarkan Pak Sam di sekolah.
73
"Andin, I wanna ice cream!" pinta Barbie ketika mereka sudah lama berjalan. Dengan telunjuknya yang kecil
montok dia menunjuk seorang pedagang es lilin yang
sedang dudukduduk di bawah pohon rindang.
Andina menoleh dan memperhatikan bintik-bintik
keringat di wajah Barbie. Segera saja dia merasa kasihan
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihatnya. Lalu dia merogoh kantong celananya dan
tersenyum.
"All right, justzz minute, okey?"
Lalu dia berlari menyeberangi jalan yang kini sudah
mulai agak ramai dilewati mobilmobil berbagai jenis.
Setelah itu dia membeli dua batang es lilin.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menunggu jalanan kosong. Dilihatnya agak jauh dari dia
berdiri ada sebuah Civic Wonder merah hati berjalan
pelan ke arahnya. Andina berpikir sebentar. Ah, dilihat
dari jalan mobilnya yang begitu santai, rasanya jika berjalan normal saja dia masih bisa menyeberang.
Lalu, dengan santai dia mulai melangkah. Tapi begitu
dia sampai di tengah jalan, mobil itu mengklakson dirinya dan tiba-tiba mengencangkan jalannya. Bunyi gasnya yang mendadak dan keras itu membuat Andina kaget
dan tanpa sadar malah terpaku di tengah jalan. Tak ada
pikiran untuk menghindar saat itu.
"Andiiin!!! Awas!!!" Sebuah teriakan keras membuat dia
otomatis menoleh. Dan sebelum dia sempat menyadari
apa yang terjadi, seseorang dengan cepatnya menubruk
74
keras dirinya dan mereka pun berguling-guling di atas
rerumputan di pinggir jalan.
Mobil merah hati itu lewat dengan senangnya tanpa
merasa bersalah sedikit pun. Dia bahkan tidak berhenti
barang sejenak.
"Mobil edan!" umpat Gatot marah marah.
Andina terpaku mendengarnya. Dan wajahnya serentak berubah merah padam ketika menyadari begitu
dekatnya wajahnya dengan wajah Gatot.
Gatot yang melihat itu menjadi salah tingkah. Dengan gaya yang kaku dan grogi dia cepat-cepat berdiri.
"Kamu nggak apaapa, kan?" tanyanya perlahan sambil
mengulurkan tangannya membantu Andina berdiri.
Andina menyambut uluran tangan itu. Lalu dia menunduk berlagak membersihkan bajunya begitu dia menyadari bahwa Gatot sedang memandangi dirinya dengan
tatapan yang aneh.
"Ng... terima kasih, ya," gumamnya kaku dan perlahan
tanpa dapat menutupi rasa jengahnya.
Gatot tertegun melihat pipi merah itu. Dia belum
pernah melihat Andina begitu malumalu seperti sekarang.
Biasanya wajah itu begitu garang dan menyebalkan,
tapi sekarang lain sama sekali. Dan anehnya Gatot menyukainya begitu.
Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk menghilangkan rasa terpesonanya itu. Tapi setan ciliknya itu ke
lihatan begitu lain.
75
"i wanna go home! i wan' my mummy!" rengekan nyaring itu membuat keduanya gelagapan kaget.
"Okeey! Let? go home now," jawab Andina cepat-cepat
sambil menarik tangan Barbie pergi.
Gatot terpaku melihat keduanya pergi begitu saja.
Mulutnya membuka akan mengucapkan sesuatu, tapi
kemudian tidak jadi. Dia berbalik dan melangkah lesu
menuju mobilnya yang terpakir tidak jauh dari situ.
Diurungkannya niatnya semula yang ingin meminta
maaf pada Andina. Gatot tersenyum kecut. Ah, ternyata
dia sedikit pun tidak punya keberanian untuk itu.
***
"Andin... are ya all right?"
Andina mengangkat wajahnya dan tersenyum samar.
Barbie memiringkan bibirnya lucu.
"Are ya thinkin'
about that guy what's his name?"
"Gatot?"
"Yeaaa... Ga... Ga...tot? Right?"
Andina mengangguk males.
"Do ya love him?"
Andina melotot.
"Iiih... amit-amit!!!"
"What???"
Andina tersipu.
"Never mind! i think I'd better go
home...." katanya pelan lalu berdiri.
76
Barbie cemberut.
"Now??? With Goggy?"
"nauw... you can keep him. But justfor one day, okeey ?"
Kepala kecil itu mengangguk.
Andina tersenyum kecil lalu keluar lewat balkon dan
mulai meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain
seperti ketika dia masuk tadi.
Sesampainya di kamar dia meloncat ke atas tempat
tidurnya. Matanya menerawang jauhjauh menatap langitlangit kamar. Pusing rasanya memikirkan kejadian tadi.
Civic Wonder yang nyaris menubruknya. Gatot yang
menyelamatkannya... ah, nggak gitu. Gatot yang kebetulan menyelamatkannya. Hm, yah... kebetulan. Kebetulan dia lewat. Jadi, kesimpulannya... dia tidak usah
terlalu memikirkan utang budinya pada Gatot. Kan
kebetulan.
Hmmmm.
Andina memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan bayangan Gatot dibenaknya.Tapi rasanya susah.
Susaaaah sekali.
Duh. Andina memeluk bantalnya erat-erat. Menaruhnya di atas kepala. Berpindah ke atas perut. Berputar-putar dimainkan kedua kakinya. Dan akhirnya
dilemparkannya ke dinding.
Percuma.
Dipandanginya poster gedenya Superman. Lalu berpindah ke poster gedenya Robert Redford. Berpindah
77
lagi ke Rick Astley Terus ke Steve Guttenberg. Harrison
Ford. Dan ke poster-poster lainnya yang memenuhi hampir seluruh dinding kamarnya.
Dan tanpa sadar melihat boneka Teddy-nya yang terletak manis dekat meja belajarnya.
Emosinya naik lagi.
"Kunyuuuuuk!!!" teriaknya keras-keras.
Napasnya ditarik perlahan. Rasanya rada legaan. Tapi
beberapa detik kemudian terdengar ketukan di pintu
kamarnya.
"Heh... Udin jelek! Mendingan kamu ngungsi aja ke
rumah sakit jiwa! Kita-kita nggak pada pingin ketularan
niiih!!!"
Andina melotot kesal.
"Biar! Biar! Biaaaar!!" teriaknya
lebih keras lagi.
Khrisna yang berdiri di belakang pintu jadi mengerutkan dahi dalam-dalam. Wah, jangan-jangan adiknya
gila beneran!
78
Sembilan
"SETAN! Punya berapa nyawa sih dia?!" teriak Gaby penasaran sambil membanting tas sekolahnya.
Dian gelagapan disemprot begitu. Untung kelas masih sepi, karena mereka datang kepagian. Kalau tidak,
bisa-bisa mereka menjadi duet "Sarimin, yang ditonton
gratis olen teman-temannya!
"Kamu ngomong apa sih?" tanyanya menarik tangan
Gaby duduk.
Gaby mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dilihat
dari wajahnya yang merah padam, Dian berani bertaruh
bahwa Gaby sedang marah. Sangat marah. Tapi... karena
apa? Karena ...??
"Ada apa dengan Andina, Gab?" tanyanya berdebardebar.
Gaby menoleh cepat.
"Tau dari mana kau?" bentaknya
marah.
"Gab, jangan teriak-teriak begitu! Bisa-bisa kita dipanggil Pak Karno gara-gara kamu!" bisik Dian perlahan
berusaha menenangkan.
Gaby menunduk lesu.
"Aku benci padanya, Yan!"
desisnya geram.
"Benci sekali!"
Dian memandangnya cemas. Tuhan. .. jangan sampai
sahabatnya berbuat yang aneh aneh terhadap Andina!
79
doanya sungguhsungguh. Jangan sampai Gaby kumat
lagi
"Yan... Andina merebut Gatot dariku, Yan. . .," lanjut
Gaby lirih.
"Sudahlah, Gab. Biarkan saja Andina memiliki Gatot," hibur Dian perlahan.
"Kita cari cowok yang lebih
kece dari Gatot ya? Kan banyak tuh, Gab! Jangan kita
ganggu mereka. . .."
"Tapi mereka sudah mengganggu perasaanku!" sentak
Gaby tiba-tiba sambil mengangkat wajahnya.
"Gatot
adalah milikku! Tak ada yang boleh merebutnya dariku!
Tak ada!"
Dian menelan ludahnya.
"Sudahlah, Gab... kita pulang saja ya? Kamu sakit "
"Sakit?" teriak Gaby histeris.
"Aku sehat, Yan! Sehat!"
"Ya, ya. Kamu sehat, Sayang," desah Dian sabar sambil
mengambil tasnya dan tas Gaby lalu membimbingnya ke
luar kelas. Kau memang sehat, tapi jiwamu sakit, Gab. . .,
bisik hatinya sedih.
Gaby diam saja. Tapi otaknya bekerja keras. Tidak!
Dia tidak boleh tinggal diam saja! Dia harus berbuat sesuatu kalau ingin memiliki Gatot!
***
80
Dian menyelimuti tubuh Gaby perlahan. Lalu dengan
lembut mengecup dahinya.
Gaby tampak cantik kalau tertidur begitu. Ah, bukan
tampak cantik. Tapi, lebih cantik. Gaby memang cantik.
Hm, kalau tidak cantik, tak mungkin begitu banyak
cowok yang mengejarnya.
Sayang, Gatot sudah punya Andina.
Tanpa sadar Dian tersenyum. Tidak menyangka kalau
akhirnya Gatot punya cewek juga. Padahal dia dulu terkenal paling dingin. Paling angkuh. Paling ogah deketdeket cewek. Karena itulah dulu Dian sempet takut kalau
Gaby bertepuk sebelah tangan. Dan nyatanya memang
begitu.
Hm, pakai ilmu pelet apa si Andina?
"Gaby tidur ya, Yan?"
Dian terlonjak kaget. Dengan cepat dia menoleh ke
arah asal suara.
Ade nyengir.
"Kaget ya?" tanyanya dengan wajah tak
berdosa.
"Tau dari mana aku di sini?"
"Habis, aku rinduuu sih, Yan. Tadi waktu aku nengok
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke kelas kamu dan nggak lihat kamu, rasanya gimanaaa
gitu!"
"Aku nggak nanya yang itu!" Dian melotot galak.
"Tau dari mana aku ada di sini?"
"Sudah kubilang, tadi aku nengok ke kelas kamu. Aku
nggak lihat kamu dan juga nggak lihat Gaby. Kupikir,
81
pasti kamu lagi sibuk dengan bayimu itu," jawab Ade
tersenyum manis sambil menunjuk Gaby dengan daguya.
"Kenapa sih dia?"
"Tadi, dia marah-marah di sekolah. Jadi kubawa saja dia ke sini. Kurasa dia akan lebih nyaman berada di
rumahnya sendiri."
"Hmmm. . ."
"Tadi aku takut sekali, De. Habis, Dokter Pradini
bilang, Gaby harus selalu dalam keadaan tenang. Nggak
boleh terlalu emosi. Nanti kumat lagi."
"Hmmm...."
Dian memandangi Gaby dengan hati iba.
"Kasihan Gaby, De. Kenapa gadis secantik ini bisa
begitu lemah jiwanya? Kenapa, De? Padahal dia begitu
cantik, kaya, mempesona. Kenapa?
"Gaby tak pernah tenang hidupnya. Sejak dulu. Sejak
kecil. Sejak aku mengenalnya untuk pertama kalinya.
Dulu karena ingin memiliki bonekanya. Lalu protes
karena orangtuanya yang selalu meninggalkannya sendiri
di rumah. Kini karena cintanya tak terbalas. Begitu
mudahnya emosinya terkait karena tidak bisa memiliki
apa yang diingininya. Bisa berubah drastis dan aneh
dalam sekejap. Padahal dia anak yang baik, De. Sangat
baik.
"Kenapa dia harus begini? Kenapa Gaby, De? Karena
terlalu dimanja sekaligus kekurangan perhatian orang
82
tuanya? Karena jiwanya yang memang lemah? Kenapa,
De?"
Ade gelagapan. Waduh, mati aku! Dia nggak biasa
diajak ngomong serius. Apalagi dengan Dian yang
biasanya tertawa melulu kerjaannya.
Salah tingkah karena tidak tau harus berbuat apa, dia
hanya mampu memeluk Dian dan mengusap rambutnya
lembut. Paling tidak Dian bisa merasa sedikit tenang,
pikirnya.
Dian balas memeluk. Wajahnya terlihat lesu sehingga
Ade semakin mempererat pelukannya. Hatinya seakan
terbawa perasaan Dian.
"De, aku kok mendadak merasa capek. Capeeek sekali...."
"Hmm .....
"
Dian melepaskan pelukan Ade. Diciumnya dahi Gaby
sekilas. Lalu ditariknya Ade keluar kamar.
"Yuk... kita keluar saja deh," bisiknya perlahan.
Ade membungkuk. Berlagak mau ikut-ikut mencium
Gaby. Tapi begitu bibirnya mendekati pipi Gaby, sebuah
tepukan kecil mampir di pipinya.
"Genit kamu!"
Ade nyengir. Lalu mengikuti langkah Dian keluar
kamar.
***
83
"Aku rela walau hidup susah?
Pagi makan sore tiadaaaa...
"
"Kurang keras, Din! Kurang keras!" bisik Arya semakin bersemangat menepuk-nepuk meja mengiringi Andina
menyanyi.
"Aku nggak inget kata-katanya nih! Ganti lagu lain
ya?" bisik Andina masih dengan bergoyang pinggul.
Arya mengangguk.
"Tapi yang keras ya, Din!"
"Sekali terucap
tak akan terulang lagi
Walau kau mengiba
memohon padaku "
Khrisna yang tengah menulis di ruang tengah menghentikan gerakannya. Kedua temannya yang duduk di
hadapannya mengerutkan dahinya bingung.
"Siapa tuh?"
"Adik-adik gue!" gerutu Khrisna kesal.
"Biasa... kurang perhatian. Udah deh. Kita lanjutin
aja!"
"Mana bisa kita belajar kalau berisik begini?" protes
Grace ikut-ikutan kesal.
"Adikadik kamu rada dangdut
maniac ya?"
"Mendingan kamu minta berhenti sebentar deh,
Khris ...," anjur Bagus menimpali.
84
Khrisna membanting pensilnya dan bangkit. Dengan
kesal dia menuju ruang keluarga.
"Bisa berhenti nggak sih nyanyinya?!" bentaknya keki.
"Nggak. Nggak bisa," jawab Arya kalem. Kali ini mulutnya yang ikut berbunyi. Menirukan suara suling. Kayak yang di tivi.
"janji, janji, janji
kau telah janji padaku
Kenapa pula kau tega
Untuk mengiingkarinya...
"
Arya menghentikan gerakannya.
"Lho, Din? Lagu
mana tuh? Kok baru denger?"
Andina masih juga berlenggok.
"Nyindiiir. Nyindiiir!
Gimana sih Mas ini?! Payah!"
Arya tertawa ngakak dan kembali menepuk-nepuk
meja.
"Wah, ada bakat juga kamu jadi pengarang dangdut! Asyiiik ...."
Ini apa-apaan sih? Kamu lagi pada ngapain? Nyindir
aku ya?!" Khrisna semakin kesal.
"Sadaar...
Oh, kasih kau kini telah sadar
Betapa kau kurindukan
Untuk kembali memilikimu...
"
85
"Berhenti dulu kenapa sih?! Aku nggak butuh sindiran!
Yang kubutuhkan penjelasan niiih! Bikin pusing kepala
saja! Tau nggak sih gua lagi belajar???"
Andina menghentikan gerakannya.
"Tau nggak sih
Mas punya janji sama kita?"
"Janji apa?"
"Ke undangan kawinannya anak Pak Sidik. Lupa ya?"
"Kawin aja pake ditonton!" gerutu Khrisna kesal.
Duile... hanya gara-gara itu bikin geger sekampung!
"Kita nggak butuh nontonnya! Kita butuh makanannya!" sanggah Arya nggak mau kalah.
"Pergi aja sendiri! Kenapa pake nerorneror aku segala?"
"Kan yang tau rumahnya Pak Sidik cuma Mas!" jawab
Andina nggak mau kalah.
"Cari aja sendiri!" Kan alamatnya ada di kartu undangan!" Khrisna masih juga keras kepala.
Andina dan Arya saling berpandangan.
Tiba-tiba Arya berteriak.
"One... two...three... four! "
" Kasiiiih.. .
kau sakiti hatiku "
Khrisna makin kesel. Tapi tetap ngotot nggak mau
kalah.
"Terus aja nyanyi! Gue nggak peduliii!"
Andina dan Arya juga tak peduli. Andina makin bersemangat dengan goyang pinggulnya. Dan Arya makin
bersemangat memainkan "sulingnya".
86
"Kau ingkari janjimu
Kau. . ."
"Adikmu itu penyanyi dangdut beneran ya, Khris?
Kok suaranya bagus betul?"
Suara berat yang tak diduga-duga itu membuat Andina menghentikan nyanyiannya. Arya ikut-ikutan berhenti. Malahan dia sempat melongo beberapa detik.
Mereka saling berpandangan. Kemudian tanpa sadar
berbareng beranjak dari tempatnya.
"Sudahlah. Mas Khrisna keras kepala. Kita berangkat
sendiri saja!" sahut Andina tiba tiba sambil meraih kado
dan menggandeng tangan Arya pergi.
Khrisna yang tadinya mau ngalah malah bengong.
Lho. .. kok gampang betul kedua adiknya yang keras kepala mengalah begitu saja? Ada apa?
"Kok kamu mau ngalah, Din?" tanya Arya sambil melangkah menuju garasi mobil.
Andina menyengir.
"Habis... temennya Mas Khrisna
kece. Mas sendiri kok mau aja ikutikutan ngalah?"
Arya ikutan nyengir.
"Alasan sama. Temennya yang
satu lagi kece punya."
Mereka tertawa berbareng.
"Lain kali kalau mau malu-maluin, lihat korbannya
dulu ya, Mas?"
"Akuuur. . .."
87
Ketika mereka membuka pintu mobil, terdengar teriakan dari dalam rumah.
"Udiiiin. . .. Ada telepon!"
Andina menaruh kado di dalam mobil, lalu berlari
masuk rumah.
Di dalam rumah, Khrisna memberikan gagang telepon samil senyum-senyum.
"Suara cewek. Pasti kece.
Kenalin aku ya?"
Andina merebut telepon itu sambil mencibir keki.
"Dasar buaya gila! Halo. . ."
"Halo... Andina?"
"Ya, betul. Saya sendiri. Ini siapa ya?"
"Nama saya tidak perlu. Yang penting adalah bahwa
kamu tidak akan selamat untuk yang kedua kalinya!"
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho... apa-apaan ini? Anda siapa?"
Klik. Telepon diputuskan dari seberang. Andina mengerutkan dahinya bingung.
"Siapa, Din?"
Andina mengangkat bahu tak acuh.
"Tau tuh. Orang
gila kali. Pake ngancem-ngancem segala!"
"Ngancem?"
"He-eh. Pasti orang iseng!"
"Mungkin penggemar kamu. Kan penyanyi dangdut
terkenal. . . ."
Andina menoleh dan memandang Bagus galak. Hampir saja dia bentak, kalau tidak ingat bahwa cowok yang
dihadapinya lumayan kece untuk dibentak. Kasihan. Jangan-jangan dia jantungan!
88
"Bengong aja! Minum pil bengong berapa biji sih tadi
pagi sampai bisa separah ini? Jadi pergi ke undangan nggak?" sentak Khrisna tiba-tiba.
Andina gelagapan. Malu ketahuan merhatiin terlalu
lama. Dengan galak dia berbalik dan melangkah tergesa.
"Cerewet! Sudah ah. Aku pergi dulu. Daaah!"
Khrisna tertawa melihat tingkah adiknya.
"Adik-adikmu lucu-lucu," sahut Grace tersenyum geli
"Kok nggak pernah bilang-bilang punya adik manis,
Khris?
Khrisna tersenyum.
"Hati-hati, Gus! Dia galak!"
"Yang penting dia menarik," Bagus tak mau kalah
begitu saja.
"Galak sih gampang diatur!"
"Tapi dia sudah tunangan!"
Kali ini Bagus yang bengong.
"Hah??? Tunangan?!"
Untuk kesekian kalinya Khrisna tertawa. Tapi kali ini
sangat keras. Keras sekali.
***
"Dicium???"
"He-eh. Tepat di bibir!"
"Di bi... bi... bibiiiirr???"
"Iya! Di bibir! Niiih... kayak gini nih!" Ade memonyong-monyongkan bibirnya sehingga Dian makin
terheran-heran. Kok gitu amat tampangnya!
89
"Masak??"
"Iya. Betul. Kalo nggak percaya lihat aja sendiri!"
Dian tersenyum kecut. Ade jadi gemas.
"Kamu pasti bohong aaah!"
"Nggak. Betul. Waktu aku baru pulang dari rumah
kamu, aku kan lewat pintu belakang. Naaah. .. di situ aku
lihat Mbak Diah dicium sama Mas Tono!"
"Kayak yang di Film?"
"Yaaa. . .di Film sih lebih seru lagi dong!" Ade semakin
bersemangat. Kini saatnya dia yang pinter dan Dian yang
bego. Biasanya, dia yang dibegoin melulu sih sama Mbak
Diah-nya! "Emangnya... kamu nggak pernah lihat film
percintaan ya?"
"Nggak. Nggak boleh sama Mama. Bolehnya cuma
lihat Donal Bebek aja!"
"Ampuuuun. .. ngakunya udah kelas tiga es em a, tapi
nonton film percintaan aja nggak pernah!"
"Pernah. Di tivi!"
"Yaaa... di tivi sih nggak seru! Baru mau melotot, merekanya udah bubar."
Dian jadi malu. Ketahuan begonya.
"Ngg... tapi, De...
kalau lihat Film ciuman sih udah kok, De. Beneeer!"
"Tumbeeen... boleh sama mamamu?"
"Boleh. Nontonnya bertiga sama Papa kok!"
"Bertiga? Emangnya film apaan sih?" Ade mengerutkan
dahinya curiga.
90
"Eeeng... Superman...."
"Hah???"
"He-eh. Superman satu, dua, tiga, empat. Semuanya
udah!" Dian tersenyum bangga.
"Superman? Yaaa..."
"Tapi ada ciumannya kok, De. Bener!"
"Waduuuh! Itu sih mana seru!"
"Yang seru itu yang kayak gimana emangnya?" tanya
Dian semakin penasaran. Soalnya, bagi dia, waktu Superman ciuman sama Lois... itu yang seru! Wah, dia sampai
berdebar-debar. Pokoknya tegang
"Yang seru itu yang ciumannya di tempat tidur!"
"Tempat tidur? Seru? Seru gimana?"
"Waaah... seru banget! Bayangin aja... waktu itu jam
empat pagi. Bung Karno dan Bung Hatta, yang dikenal
dengan nama Dwi Tunggal, oleh sekelompok pemuda
dibawa ke luar kota menuju Rengasdenglok. Para pemuda
berusaha untuk membujuk Dwi Tunggal untuk segera
mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan. Tapi, kedua
pemimpin itu tak tergoyahkan. Apa nggak seru tuh?"
Dian bengong. Lho... kok jadi begini???
Ade nyengir sambil melirik. Dian mengikuti lirikannya. Dan tanpa sadar malah ikutan nyengir.
"Lho... kok belajarnya berhenti?"
"Habis Mama datang siiih!" Dian menjawab manja.
Padahal hatinya berdebar-debar. Jangan-jangan tadi...
91
Bu Pramanto tersenyum.
"Sedang belajar apa sih?"
katanya sambil mendekat.
"Sejarah, Tante," jawab Ade sopan. Iya dong... masak
sama camer nggak sopan!
"Sejarah? Lho... kok sejarah saja pakai belajar bersama?
Kan itu tinggal dihafal. Nggak belajar matematika? Atau
kimia?"
Ade dan Dian saling berpandangan. Jangankan matematika sama kimia... sejarah juga kepaksa!
Mana enak pacaran - kalau bisa dikatakan pacaran
- kalau dicampuradukkan dengan pelajaran?!
"Kemarin sudah belajar matematik, Ma. Sekarang bagian ngapalinnya. Ngapalin juga harus belajar bersama,
Ma. Biar nggak gampang lupa," jawab Dian akhirnya.
Bu Pramanto mengerutkan dahinya.
Dian semakin salah tingkah. Tapi purapura tak peduli.
"Di mana konsep proklamasi ditulis?"
Ade gelagapan.
"Di... di... di rumah Laksamana Jepun
itu tuh! Ng... Maeda ya namanya?" Uf... untung kemarin
baru ulangan sejarah! Untuk pertama kalinya Ade merasa
berterima kasih pada Pak Mantri karena memberikan
ulangan sejarah di kelasnya.
Kan nggak lucu kalau ketahuan bego sama calon mertua!
Dian mengangguk.
"Siapa yang membahas perumusan
naskahnya?"
92
"Ng... Bung Karno, Bung Hatta sama... sama..."
"Ahmad Subardjo."
"Iya. 1tu. Tadinya aku memang mau ngomong gitu
kok!"
"Dari golongan pemuda yang menyaksikan?"
"Sukarni, B.M. Diah, dan Sudiro. Yakan?"
Dian mengangguk lagi.
"Apa yang dikatakan Nishimura kepada Bung Karno dan Bung Hatta, setelah peristiwa Rengasdengklok?"
Ade nyengir.
"Aku cinta padamu...."
Dian bengong. Matanya segera celingukan mencari
mamanya. Sudah tidak ada lagi. Panteees! "Brengsek
kamu! Aku sampai kaget!"
"Tapi memang aku cinta padamu kok!"
"Ah." Dian jadi jengah.
Ade makin senang.
"Kamu lucu kalau lagi malu-malu
begitu, Yan. Pertama kali aku kenal kamu, kesannya itu
kamu galak, seenaknya. Tapi ternyata kamu keibuan.
Apalagi kalau menghadapi Gaby. Aku suka yang keibuan."
"Kalau suka yang keibuan, kawin saja sama ibumu!"
"Lho. .. dipuji kok malah galak?"
"Aku nggak mau dipuji!"
"Kalau dicium mau?"
Dian membelalakkan matanya. Tapi cuma sebentar.
Melihat senyum Ade dia jadi geli. Tapi mencoba menyembunyikan kegeliannya itu.
"Nggak. Nggak mau!"
jawabnya pura pura galak.
93
"Walaupun diciumnya kayak di film Superman? "
"Kayak. . . di Superman? "
Mendengar suara ragu-ragu Dian, Ade semakin kesenangan.
"Iya. Aku jadi Superman dan kamu jadi. . ."
"Lois Lane?" potong Dian bersemangat.
"Iya? Kamu
mau jadi Superman untukku?"
Ade tersenyum geli. Dasar anak teka! Doyannya
Superman! "Yaa... walaupun sebetulnya aku lebih suka
jadi James Bond. . .. Tapi, demi kamu sih aku rela," jawabnya cepat. Dan demi ciuman itu, sambung hatinya makin
geli. Nggak nyangka kalau Dian-nya, yang sudah kelas
tiga es em a, masih polos!
"Mau nggak nih?"
Dian nampak ragu-ragu. Tapi kemudian perlahan dia
mengangguk.
Ade bersorak dalam hati. Dengan hati-hati sekali dia
memajukan wajahnya dan mencium bibir mungil itu.
"Gimana?" tanyanya lembut.
Dian memiringkan bibirnya.
"Gimana apanya?"
"Rasanya? Rasanya gimana?"
Dian terdiam sebentar.
"Berdebar-debar. Di sini,"
jawabnya menunjuk dadanya.
"Kamu?"
"Sama," jawab Ade jujur. Mau tidak mau dia menunduk malu. Dia juga baru sekali ini mencium bibir
cewek. Oooh... betapa dia kini merasa lebih polos dari
pada Dian!
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
94
"Tapi enak," lanjut Dian pelan. Pelan sekali.
Ade mengangkat wajahnya cepat.
"He-eh. Mau lagi?"
Dian tersenyum manis. Lalu perlahan mengangguk.
Ade memajukan wajahnya lagi.
"Ya ampun!" teriak Dian tiba-tiba.
"Kenapa?" Ade menghentikan gerakannya.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam empat. Kenapa sih?"
"Aduuuh, aku mau ke rumah Gaby. Orangtuanya pergi ke luar negeri, De. Aku tidak bisa meninggalkan Gaby
di rumah sendiri. Aku takut terjadi sesuatu pada Gaby!"
"Kok orangtuanya gitu amat!"
"Mana aku tau. Yang penting Gaby-nya!"
"Gaby bukan anak kecil, Yan!"
"Tapi Gaby sakit, De!" jawab Dian sambil beranjak
berdiri, melangkah terburu menuju kamarnya.
"Kamu
kan tau sendiri kalau Gaby kumat kayak apa?"
"Yan... tunggu!"
Dian menghentikan langkahnya.
"Apa?"
Ade nyengir.
"Tapi boleh kan aku menciummu sekali
lagi sebelum kamu pergi?"
Dian tertawa keras. Keras sekali.
95
Sepuluh
GATOT menghentikan kunyahannya. Kepalanya terangkat sedikit. Mencoba mencuri pandang pada Andina
yang duduk di depannya. Tapi belum sempat dia memperhatikan dengan saksama, kepala mungil itu juga terangkat. Panadangan mata mereka beradu. Tapi tak lama.
Keduanya buru-buru menunduk kembali.
"Kok pada diam? Tumben," suara Bu Widodo memecahkan keheningan.
Tanpa sadar Andina dan Gatot mengangkat kepalanya
bersamaan. Bertabrakan lagi lewat sorot mata. Dan buruburu menunduk kembali.
Gatot semakin salah tingkah.
"Aah... lagi males ngomong aja kok, Ma. Kan lagi, makan," jawabnya asal jadi.
"Andin, kamu tidak apa-apa?"
Andina menggeleng dengan wajah merah.
"Nggak.
Nggak apa-apa kok, Ma."
Bu Widodo memandangi keduanya curiga. Ada sesuatu yang tidak beres di sini pikirnya.
Biasanya Andina dan Gatot begitu manis dan penuh
tawa. Bercanda dan menggoda dengan mesra. Kenapa
jadi dingin begini?
96
Bu Widodo memperbaiki letak duduknya. Mencoba
mengusir rasa cemas yang dirasanya tak perlu ada. Tapi
kok susah betul ya?
"Andin "
"Ya, Ma?"
"Apa arti pertunanganmu ini bagi dirimu?"
Andina gelagapan. Waduuuh... apa ya artinya? Penjara? Keterbatasan bergerak? Atau justru siksaan?
Andina tak merasakan itu semua. Dia hanya kesal
bahwa dia ditunangkan dengan orang paling terakhir di
dunia ini yang dia harapkan. Itu saja. Bahwa ini berarti
"ngurangin pasaran", itu tak dipedulikannya benar. Selama dia belum jatuh cinta pada cowok lain. Selama tak
ada yang tau tentang pertunangannya dengan Gatot, itu
tak begitu menjadi soal baginya.
Lalu dia mau menjawab apa?
Bu Widodo menarik napas panjang.
"Menurutmu
sendiri apa, Tot?"
Kali ini Gatot yang gelagapan. Tapi dia tak termenung
lama seperti Andina.
"Ng... bahwa hubungan Gatot dengan Andin tidak hanya sekadar teman, tapi lebih dari itu.
Bahwa tanggung jawab Gatot bertambah lagi. Menjaga,
melindungi Andin ...."
"Dan juga mencintainya?"
Untuk kedua kalinya Gatot gelagapan. Tak menyangka
akan dihadapkan pada pertanyaan seperti itu. Mencintai
Andina?
97
Andina yang tengah menelan makanannya, jadi tersedak. Batuk-batuk dan semakin salah tingkah.
"Kenapa kalian berdua ini? Apakah Mama salah menanyakan itu? Orang tunangan wajar toh kalau saling
mencinta?"
"Ya, Ma...," jawab mereka berbareng.
Bu Widodo tersenyum.
"Naah...apakah kalian saling
mencintai?"
Andina dan Gatot saling berpandangan. Tapi sekejap,
karena buru-buru menunduk lagi.
Apa yang harus mereka katakan? Menjawab yang
sebenarnya? Kalau iya, kemungkinan mereka untuk lepas dari pertunangan ini bisa saja terjadi. Itu yang mereka harapkan selama ini. Tapi, apakah ini tidak akan
menyakiti hati mama mereka? Membuatnya bersedih karena tak tercapai keinginan hatinya? Apakah mereka tega?
Apakah keegoisan mereka itu lebih penting daripada
kebahagiaan mama mereka?
"Tentu saja kami saling mencintai dong, Ma...," jawab
Gatot akhirnya sambil melirik Andina.
Yang dilirik buru-buru mengangguk.
"Kalau nggak
cinta, ng... mana mau kami tunangan, Ma."
Mereka saling berpandangan sesaat. Dan buru-buru
menunduk kembali.
Bu Widodo mengerutkan dahinya melihat itu.
98
Mencintai? Berdiam diri seperti ini dikatakan mencintai? Saling membuang pandang begini dikatakan mencinta?
Dia berani bertaruh bahwa mereka berdua berbohong. Walau hatinya sakit menyadari ini, tapi dia terpaksa mengakui bahwa mereka memang berbohong.
Berbohong pada mama mereka. Ah. . ..
Kenapa? Kalau memang tidak mencintai kenapa
harus mengaku iya? Supaya hatinya senang? Tak ingin
mengecewakan dirinya?
Sekali lagi Bu Widodo menarik napas. Kali ini lebih
panjang dari biasanya. Sendok dan garpunya diletakkan.
Tangannya diletakkan di dadanya.
Mendengar tarikan napas panjang itu, Andina dan
Gatot sama-sama mengangkat kepala. Keduanya berpandangan beberapa detik dan tanpa sadar berdiri bersamaan
dan mendekati Bu Widodo dengan cemas.
"Ma, Mama tidak apa-apa?" tanya Andina perlahan.
Gatot memegangi tangannya.
"Mama sakit lagi? Gatot panggil dokter ya?"
Bu Widodo tersenyum dalam hati. Sebetulnya dirinya
ndak apa-apa.Ia hanya ingin melihat reaksi keduanya.
Ingin tau seberapa jauh kediaman di antara mereka kalau
melihat dirinya begitu.
Dan dugaannya benar. Paling tidak, hampir benar.
"Din... antarkan Mama ke kamar. Mama kok sakit ya
dadanya "
99
Mendengar itu keduanya gelagapan. Untuk yang pertama kalinya sejak mereka makan tadi, keduanya berpandangan lama. Lama sekali.
"Tot, gimana dong?" Andina membuka suaranya
pelan.
Gatot tampak kebingungan.
"Kita antarkan Mama ke
kamar saja dulu," jawabnya cepat.
Keduanya segera memapah Bu Widodo menuju
kamarnya dan membaringkannya perlahan.
"Terima kasih, Tot, Din." sahut Bu Widodo dengan
suara diserak-serakkan.
"Mama mau tidur saja. Kalian
nggak usah panggil dokter. Mama nggak apa-apa. Cuma
capek saja. Teruskanlah makannya."
Andina dan Gatot saling berpandangan. Tapi dengan
cepat menunduk bersamaan.
Bu Widodo melihat itu. Dan tidak bisa tinggal diam
melihatnya.
"Tot, Din... sebelum kalian pergi Mama mau
minta sesuatu pada kalian."
Keduanya mengangkat kepala bersamaan.
"Mama
ingin kalian berpegangan tangan di depan Mama."
Keduanya gelagapan. Wajah mereka serentak merah
padam.
"Buat apa, Ma?" tanya Andina perlahan. Pelan sekali.
Iiih... amit-amit disuruh memegang tangan kunyuk itu!
Jangankan memegang, bersentuhan pun ogah!
Tapii... kenapa wajah ini panas betul rasanya? Adu
uhh... Andina jadi salah tingkah.
100
"Mama hanya ingin melihat saja. Kalian keberatan?"
Mereka saling berpandangan lagi.
Gatot menelan ludahnya. Duh... memegang tangan
mungil si setan cilik ini! Mimpi buruk apa dia semalam?
Tapii... kok dadanya berdebar-debar! Aduuuh...
Dengan enggan, akhirnya Gatot mengulurkan tangannya. Andina menyambutnya denga malas. Keduanya
bergenggaman, dengan tubuh penuh keringat dingin.
Bu Widodo tersenyum geli melihat keduanya begitu
salah tingkah.
Mereka memang anak-anak manis. Walaupun mereka
telah menyakiti hatinya dengan berbohong tadi, tapi mereka memang tetap anak-anak manisnya.
Ahh... kalaupun mereka berbohong atau tidak, apalah
artinya? Bu Widodo tanpa sadar tersenyum sendiri karena
menyadari dirinya yang tadi begitu cepat kecewa.
Mereka berbohong kan untuk menyenangkannya.
Seperti yang kini mereka lakukan di depan dirinya. Pun
kalau sebenarnya Bu Widodo tau bahwa mereka sangat
keberatan melakukannya.
Mereka jelas tidak saling mencintai. Mereka memang
terlalu kecil untuk berbicara soal cinta. Apa yang sebetulnya harus dia ributkan?
Pertunangan itu toh tetap saja akan berlangsung. Tak
cinta? Tidak menjadi soal. Dia dulu juga menikah tanpa
cinta. Kok bisa langgeng? Kok sekarang malah cinta?
101
Apalagi Andina dan Gatot. Yang sudah saling mengenal sejak kecil. Cinta itu pasti akan tumbuh di antara
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka. Cepat atau lambat. Pun kalau kini mereka tengah
sibuk dengan aksi diam mereka.
Untuk sebuah permulaan di usia mereka sekarang ini,
cinta tidaklah begitu penting. Nanti toh akan tumbuh
sendiri. Nanti toh akan datang sendiri.
Bu Widodo menarik napas panjang untuk kesekian
kalinya. Dia merasa begitu yakin dengan kesimpulan
yang dibuatnya sendiri itu. Tapiii... kok hatinya masih
juga cemas? Kenapa?
102
Sebelas
"I say love was that magic flame
I say love would keep us from pain
How I've been there..."
ANDINA mengganti posisi tidurnya. Kali ini
dia tidur menghadap ke arah jendela. Hari masih
demikian gelap, pikirnya melihat ke luar dari sela-sela
tirai. Tapi dari kejauhan sudah terdengar ayam-ayam
berkokok bersahut-sahutan.
Andina mengeluh.
Edan! Sudah pagi begini tapi dia belum juga bisa
tidur. Kenapa? Uuuh...
Kunyuk itu benar-benar brengsek! hatinya menggerutu
kesal. Sudah diganggunya dia dengan berbagai tingkah nya
yang menyebalkan, kini ditambah dengan bayangan bayangannya yang mengganggu waktu tidurnya.
Apa ini tidak kelewatan?!
Kembali Andina mengganti posisi tidurnya. Kali ini
menghadap langit-langit kamarnya. Tapi cepat-cepat dia
membalikkan badannya ke samping dengan kesal. Tanpa
diingininya sama sekali, wajah Gatot bagai menghias tiap
sudut langit-langit kamarnya.
Brengsek! Kadang-kadang Andina kesal sekali kenapa
dia sampai bisa bertemu dan mengenal Gatot...
Andina melompat bangun. Dipelototinya compo miliknya yang tadi dinyalakannya secara iseng-iseng itu.
Lagu itu seakan-akan sedang menyindirnya telak!
"Lagu apa si ini?!" sungutnya kesal.
"Enak betul membalik-balikkan masa lalu? Memangnya gampang?"
Diulurkannya tangannya hendak mematikan, tapi
urung ketika mendengar kalimat berikutnya...
"No, I've never come close
And all these years
You are the only one
Who am stop my tears
I'm so scared of this love...
"
Andina terpaku. Kalimat itu mengingatkannya pada
kejadian dua belas tahun yang lalu pada saat Mama Lastri
meninggal karena kanker. Waktu itu hanya Gatot yang
mampu menghiburnya. Menghentikan tangisnya. Dan
rela membagi cinta kasih Mama Deasy untuknya.
104
Ah, tanpa sadar Andina tersenyum. Kalau mengingat
masa kecilnya dulu, rasanya dia begitu rindu pada Gatot.
Tiba-tiba Andina menggigil tanpa sadar. Rindu padanya? Tidak! Tidak! Andina menggeleng keras. Dia tidak
boleh rindu padanya! Apa arti sumpahnya selama ini?!
Apa arti bencinya selama ini?!
Oh, tiba-tiba saja Andina merasa takut sekali. Takut
kalau dia sudah mulai... mulai... mencintai Gatot. Takut
kalau dia sudah mulai menjadi cengeng hanya karena
kunyuk satu itu!
Sekali lompat dia bergegas mengambil air wudhu,
sholat, lalu setengah berlari menuju lemari pakaiannya
dan berganti pakaian. Jam dinding menunjukkan pukul
lima. Dan Andina lebih memilih untuk berlari-lari ke luar
rumah ketimbang melamun dan ketakutan menghadapi
perasaannya sendiri di kamarnya.
Ya, dia harus lari pagi. Dia harus melupakan Gatot.
Harus!
***
Dian melirik memperhatikan Gaby yang tampak tertidur
pulas seperti bayi. Sudah dua hari dia di situ. Alasannya
pada Gaby karena dia ingin menemani Gaby selama
kepergian orangtuanya. Padahal sebetulnya dia takut se
kali kalau Gaby berbuat yang aneh-aneh.
105
Gaby perlu istirahat total. Gaby tidak boleh banyak
berpikir yang tidak-tidak. Itu kata Dokter Pradini.
Tapi Dian toh masih juga ragu. Hanya itu? Ooh,
tidak segampang itu menghadapi Gaby. Gaby tidak bisa
istirahat total. Gaby tidak bisa tidak berpikir yang tidak
tidak.
Sekalinya dia menginginkan sesuatu, dia akan mengejarnya sampai dapat. Kalau perlu sampai menyiksa
dirinya sendiri, seperti ketika melempar dirinya sendiri
dari jendela kamarnya di lantai dua, hanya karena dulu
dia tidak memperoleh boneka yang diinginkannya.
Dulu, orangtuanya masih sanggup membelikan boneka itu untuknya sehingga Gaby segera menghentikan
aksi gila-gilaannya itu. Tapi kini? Gatot adalah makhluk
hidup. Yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Apa yang harus dia lakukan agar Gaby menjadi "normal" kembali? Mengatakan terus terang pada Gatot?
Apa dia bisa mengerti? Apa dia malah tidak lari karena
menyangka Gaby gila? Lalu... apa dia tega menyakiti
Andina yang jelas-jelas sebagai tunangannya tentunya
mencintai Gatot mati-matian? Hhh..
Dengan gerakan hati-hati dia berdiri dan melirik jam
tangannya. Setengah lima lewat. Dian keluar kamar lalu
pergi menuju kamar mandi. Kebiasaan membuang air
kecil tiap subuh benar-benar tidak bisa dihilangkannya
walau di rumah orang lain sekalipun.
106
Setelah itu dia mengambil air wudhu dan kembali ke
kamar. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat bahwa
Gaby sudah menghilang. Dengan hati cemas dicarinya
Gaby sampai ke sudut-sudut rumah. Dan betapa lemas
nya dia begitu menyadari ke mana Gaby pergi....
***
Waktu sudah menunjukkan pukul lima kurang beberapa menit, dan Gatot belum tidur juga. Ini benarbenar edan! Padahal dia hanya tidur-tiduran saja sambil
mendengarkan lagu di kamarnya.
Tanpa sadar Gatot tersenyum. Iih... kenapa dia jadi
hobi mendengarkan lagu-lagu yang begini? Aldy pernah
bilang suatu kali, kalau dia sedang jatuh cinta dia akan
melamun sepuas hati diiringi lagu-lagu yang super romantis. Waktu itu Gatot menertawakannya. Tapi sekarang dia melakukannya juga.
Jatuh cinta? Sungguhkah dia jatuh cinta? Pada siapa?
Si setan cilik itu? Lalu bagaimana dengan sumpahnya selama ini?
107
"I want to know what love is
I want you to show me
I want tofeel what love is
I know you can show me..."
Ya... cinta itu apa sebetulnya? pikir Gatot tak habis
mengerti. Dan kenapa hatinya selalu memaksanya menghubungkannya dengan Andina?
Tiba-tiba dadanya berdebar keras. Kalau dia tidak
mengerti arti cinta, apakah Andina bisa mengajarkannya?
Ah, tanpa sadar Gatot tertawa geli. Apa yang bisa diajarkan Andina selain simpanan makiannya yang segudang
penuh itu?
Tapi kalau dipikir-pikir Andina tidak selamanya galak
begitu. Hal yang paling membekas di hati Gatot akan
kelembutan Andina adalah waktu dia membersihkan
luka di lutut Gatot ketika dia jatuh dari pohon. Tentu
saja waktu itu "rawatan" Andina jauh dari sempurna dan
mereka pun belum bermusuhan seperti sekarang .....
Kriiiiing... Kriiiing.
Gatot melompat kaget dari tempat tidurnya. Gila!
Siapa sih yang nekat-nekatan menelepon pada saat subuh
begini?!
Dengan gesit dia berlari turun keruang keluarga dan
menyambar gagang telepon.
"Ya... Halo!" serunya dengan napas memburu.
108
"Gatot?"
"Yap! Betul! Ini siapa?"
"Dian,..."
"Aduuuh, Dian! Kirain ada apa.... Tau nggak, Non,
ini jam berapa?"
"Gaby ada di situ nggak, Tot?" serobot Dian cepat
tanpa mempedulikan sindiran Gatot.
"Nggak tuh. Kenapa memangnya?"
Suara Dian semakin terdengar cemas.
"Ng... kamu
tau alamat Andina?"
"Tentu saja tau," jawab Gatot cepat. Lalu dengan lancarnya dia menyebutkan alamat Andina.
"Ada apa, Yan?
Kok cemas betul?"
"Gaby, Tot "
"Kenapa dengan Gaby?" tanya Gatot mulai curiga
mendengar suara Dian yang gemetar karena gugup.
"Andina... Andina...."
"Ada apa dengan Andin, Yan?" serbu Gatot mulai
cemas.
"Yan? Halo Halo. ?!
***
Andina menghentikan ayunan kakinya. Pagi sudah mulai
remang-remang dan napasnya sudah mulai naik-turun
kecapekan. Dengan kesal dientakkannya kakinya keras
keras. Kunyuk satu itu betul-betul brengsek! Kenapa sih
109
dia tidak bisa barang sedetik pun tidak mengganggunya?
Bayangan-bayangan manis maupun yang menyebalkan
antara dia dan Gatot silih berganti mengisi benaknya.
Dan Andina hampir-hampir menangis karena putus asa
melawan perasaan hatinnya sendiri.
"Andina .....
"
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Andina menoleh dan menganga kaget. Sesosok
makhluk cantik berdiri anggun di hadapannya. Gaun
tidur putihnya kelihatan berkibar pelan ditiup angin
pagi. Andina bergidik pelan. Hampir dia lari ketakutan
kalau saja tidak tiba-tiba ingat pernah melihat wajah itu.
"Kamu Andina, kan?"
Andina gelagapan.
"Eh... eh... eh
"Saya Gaby."
"Andina mengerutkan dahinya berusaha mengingat
"
ingat. Gaby. .. Gaby... Gab... eh, mantan pacarnya kakaknya Riki! Dulu dia pernah melihat Gaby suatu kali di
rumahnya Riki. Katanya sih sudah putus lama. Soalnya
Riki bilang, baik kakaknya maupun Gaby, sama-sama
"buaya cap kapal api".
Ah ya, dia ingat sekarang. Tapi... mau apa dia menyapaku? Pakai pakaian aneh begitu lagi! "Ada apa?"
tanyanya heran.
Gaby menatap Andina tajam dan sinis.
"Kamu mencintai Gatot, ya?" tanyanya langsung tanpa basa-basi.
Andina gelagapan untuk kedua kalinya.
"Apaa...?!"
110
"Saya hanya bertanya. Apa kamu mencintai Gatot?"
ulang Gaby perlahan menahan gejolak hatinya.
Andina semakin salah tingkah.
"Mencintai kuny... eh,
Gatot?" Bingung dia mau menjawab.
"Tidak. Aku tidak
mencintainya. Memangnya kenapa sih? Kamu pacarnya,
ya?"
Gaby tersenyum tipis.
"Tapi Gatot mencintaimu!"
Andina membelalak kaget.
"Apaaa. . .?! Gatot mencintai aku?" Lalu dia tertawa ngakak "Ha... ha... ha Kata
siapa? Wah, kamu dibohongin tuh! Mana bisa begitu?
Hi... hi... hi... Gatot dan aku ha..."
"Tidak!" bentak Gaby tiba-tiba, membuat Andina
gelagapan kaget.
"Dia mencintai kamu!"
"Idiiih... apa-apaan sih pakai bentak-bentak segala?!"
sungut Andina sambil mengelus elus dadanya.
"Gatot tidak mencintai aku. Kalau nggak percaya ya sudah. Maumau situlah!"
"Tapi kalian bertunangan!"
Andina tertegun, tapi kemudian tersenyum geli.
"Ya...
ngaku saja deh. Kami memang bertunangan, tapiii....
nggak nyangkut-nyangkut ke cinta. Urusan keluarga
gitu!"
"Kamu bohong!!!"
Andina mulai kesal dituduh begitu.
"Kamu jangan
cari gara-gara, ya?" sungutnya jengkel.
"Nggak lucu!"
Gaby tertawa sumbang dan tiba-tiba mengeluarkan
sebuah pisau lipat dari kantong gaunnya. Lalu dengan
111
kasar diacung-acungkannya ke depan hidung Andina.
"Apa ini juga nggak lucu!?!" bentaknya berapi-api.
Wajah Andina berubah pucat. Pisau lipat yang berkilat
karena tajamnya itu membuatnya bergidik.
"Apa-apaan
ini?!" tanyanya melotot kaget. Dadanya berdebar-debar
merasakan ada sesuatu yang tak beres di situ.
Gaby semakin mengumandangkan tawanya yang
sumbang.
Dan Andina semakin ketakutan.
"Kamu sudah gila,
ya?" desisnya dengan suara gemetar.
"Ya! Aku memang gila! Dan akan terus gila sampai
aku berhasil merebut Gatot darimu!" pekik Gaby sambil
memainkan pisau lipatnya.
"Tapi... tapi... aduuuh, ambil saja deh Gatot kalau
kau mau! Aku ikhlas kok. Sungguh!" terbata Andina
menjawab dengan suara serak karena takut. Rasanya ini
bukan main-main lagi, pikirnya ngeri.
"Tidak! Gatot mencintai kamu!"
"Aduuuh... tidak! Sungguh! Aku... aku "
"Kamu bohong! Kamu jahat! Kamu..." Dan tangan
Gaby begitu saja terayun menyerang Andina.
Andina memekik kesakitan. Walaupun dia berusaha
menghindar, tapi ternyata bagian perutnya tetap terkena
sayatan pisau Gaby. Darah mulai mengucur membasahi
bajunya yang putih dan dia hanya mampu merintih ke
sakitan melihatnya.
112
Darah yang begitu banyak dan rintihan kesakitan Andina membuat Gaby tertegun. Hatinya mendadak mati
dan dia tidak bisa berbuat apa-apa selain terpaku linglung
di tempatnya.
"Gaby! Gaby!" teriakan Dian yang berlari dan memeluknya membuat dia tiba-tiba sadar. Sadar akan artinya darah yang begitu banyak itu.... Sadar akan pisaunya
yang berlumuran darah.... Sadar bahwa ia salah....
Dibalasnya pelukan sahabatnya sambil menangis meraung-raung.
"Aku telah membunuh Andina, Yan! Aku
telah menjadi pembunuh!!!" teriaknya histeris.
"Tidak, Gab Kamu tidak sadar.... Kamu sakit....
Ayo kita pulang," bujuk Dian menahan tangis melihat
keadaan Gaby.
"Tidak! Aku tidak mau pulang! Aku pembunuh, Yan!
Tolong! Tolonglah aku...!"
"Iya, Sayang... iya. . ., bisik Dian terharu. Andina terus
merintih kesakitan. Dia tak habis pikir kenapa kejadian
seperti ini bisa terjadi pada dirinya. Oh... tiba-tiba saja
dia merasa begitu hampa. Dan betapa dia saat ini sangat
membutuhkan seseorang yang da....
"Andin..." Panggilan lembut itu membuat Andina
mendadak lupa pada lukanya. Dia menoleh dengan penuh harap dan tanpa dapat ditahannya, dia berlari ke
pelukan Gatot dan menangis di situ.
113
"Tot... aku takut, Tot! Takut!" isaknya sesenggukan.
"Jangan tinggalkan aku, Tot... dia... dia gila... Aku ta
kut... Aku..."
"Sudahlah, Andin. Semua sudah berlalu. Aku ada di
sini," bisik Gatot sambil membelai-belai rambut setan
ciliknya yang mungil dengan penuh kasih sayang. Persis
seperti kejadian dua belas tahun yang lalu....
"Tot... aku... aku..." Dan Andina sudah tidak ingat
apa-apa lagi.
114
Dua Belas
ANDINA membuka matanya perlahan. Dahinya berkerut heran ketika menyadari bahwa dia sedang berbaring bukan di kamarnya sendiri.
"Di mana aku?"
desahnya lirih tanpa sadar. Andina mencoba bangun, tapi
tidak jadi begitu merasakan sakit yang luar biasa di dekat
lambungnya.
"Kamu ada di rumah sakit, setan cilik," sebuah jawaban
yang sangat lembut membuat Andina mendongak kaget.
"Dan belum boleh banyak bergerak sampai lukamu itu
mengering."
"Kenapa aku ada di sini? Kenapa kamu ada di sini?
Ada apa? Mana Mama?" serbunya beruntun dengan hati
panik.
Gatot menunduk kecewa. Ah, kenapa bukan dia yang
ditanyakan si mungil itu? Padahal tadi pagi dia begitu
bahagia ketika menyadari bahwa ternyata Andina masih
membutuhkannya seperti dulu lagi....
Perlahan dan dengan hati-hati sekali diceritakannya
semuanya pada Andina dari awal.
Sejak dia ditelepon sampai dia mengantarkan Andina
ke rumah sakit. Dia juga menyatakan rasa menyesalnya
karena terlambat datang sehingga Andina terluka. Lalu
115
terakhir, dia mengulang kembali cerita Dian kenapa
Gaby bisa sampai begitu dan bahwa sekarang Gaby sudah
ditangani oleh psikiater-psikiater berpengalaman.
"Kasihan Gaby," cetus Andina perlahan begitu cerita
Gatot selesai.
"Kau marah padanya?"
Perlahan Andina menggeleng.
"Tidak. Bagaimana aku
bisa marah pada orang seperti itu? Aku justru kasihan
padanya."
Gatot memandangi Andina dengan perasaan yang dia
sendiri tak tau apa artinya. Ah, ternyata hati setan cilik
itu masih lembut seperti dulu....
Andina menunduk dengan wajah memerah.
"Ng...
nampaknya aku harus mengucapkan terima kasih untuk
yang kedua, ketiga, dan keempat kalinya, ya?" tanyanya
perlahan.
"Lho? Apa saja tuh?" Gatot bengong.
"Pertama karena kau telah menyelamatkan aku dari
tubrukan mobil tempo hari itu. Lalu terima kasih karena
perhatianmu waktu ditelepon Dian. Juga terima kasih
karena membawaku ke sini..." Andina menghentikan kalimatnya seperti menunggu Gatot berkomentar.
"Lho... yang keempat?"
Andina tersenyum walaupun dengan sedikit merintih
karena sakit di perutnya.
"Ya... terima kasih atas nasib
yang kauberikan padaku. Kalau bukan gara-gara kamu
116
tentu aku tidak akan mendapat tanda kenangan dari
Gaby, bukan?"
Wajah Gatot langsung berubah.
"Aduuuh, Andin!
Nggak lucu, ah! Kenapa sih kau begitu senang memancing
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
permusuhan denganku?" sungutnya jengkel.
Andina tertawa walaupun susah sekali.
"Ha... ha. .. ha... aduh! Ha...ha ha... Nggak nyangka
ya tampang kayak kamu bisa ditaksir orang? Seandainya
Gaby melihatmu menangis waktu jatuh dari pohon
waktu itu... tentu dia akan berubah haluan!"
"Lucu, ya? Lucu?" sindir Gatot gemas.
"Ya! Ya, lucuuuu sekali!"
"Huh, anak bandel! Kukira kau sudah berubah...."
Andina tertegun mendengar kalimat Gatot yang
terakhir. Tawanya mendadak berhenti. Berubah? Sungguhkah? Dengan wajah memerah dia memejamkan matanya perlahan.
"Tidak, Gatot." desahnya seperti putus
asa.
"Kau betul. Aku memang telah berubah. Sangat berubah "
"Apa maksudmu?"
Pintu kamar membuka dengan tiba-tiba sehingga
Andina tidak jadi berkata. Dibukanya matanya dan dilihatnya wajah kuyu Bu Widodo memandang lega ke
arahnya.
"Ma...," desahnya sambil mengulurkan tangannya.
117
Bu Widodo menyambut uluran tangan itu sambil
menangis terharu.
"Kamu ndak apa-apa kan, Yang? Betul? Mama sayang
padamu, Din." isaknya sambil sibuk menciumi pipi
Andina.
"Papa mana, Ma?"
Bu Widodo menghentikan ciumannya dan menghapus air matanya. Dengan gayanya yang anggun dia
duduk di sisi pembaringan sambil memegangi tangan
Andina.
"Papamu ada di luar. Dokter hanya mengizinkan
dua orang untuk masuk ke sini. Jadi papamu mengalah.
Jangan takut, Din." senyumnya menggoda.
"Sebentar
lagi Mama akan keluar supaya papamu bisa masuk."
Gatot menyela cepat-cepat.
"Sebaiknya Gatot saja
yang keluar, Ma," katanya sambil berdiri.
"Tidak," jawab Bu Widodo cepat.
"Kau tetap di sini.
Ada yang ingin Mama katakan pada kalian berdua."
Keduanya memandang Bu Widodo dengan dada berdebar-debar. Ada apa?
Wajah Bu Widodo berubah serius. Perlahan dia mulai
berkata,
"Beberapa malam ini Mama berpikir dan berpikir
terus sampai akhirnya mengambil keputusan ini. Mama
akan memutuskan pertunangan kalian. Kalian bebas!"
Tanpa sadar keduanya saling berpandangan tak percaya. Pertunangan mereka diputuskan? Gatot mengamati mata Andina dan mencoba membaca pikirannya.
118
Betulkah dia mempunyai perasaan yang sama denganku?
Berbahagiakah dia karena impian mereka menjadi kenyataan? Setelah begitu lamanya mereka menunggu dan
berharap Ah, apa betul ini yang mereka inginkan?
Bu Widodo tersenyum.
"Mama telah salah selama ini.
Dan Mama bermaksud menebusnya sebelum semuanya
terlambat. Percayalah... Mama berbuat ini karena ingin
melihat kalian bahagia. Kalian sama-sama anak baik dan
begitu patuh. Kalian mengorbankan perasaan kalian hanya untuk keegoisan Mama. Ah... seharusnya Mama
tidak memaksa kalian, ya? Ternyata cinta itu perlu untuk mengikat kalian dan bukan hanya sekadar cincin
pertunangan saja.... Dan, kalian tidak saling mencintai,
bukan?"
"Tidak, Ma!" serobot Gatot tiba-tiba, membuat
Andina memandangnya kaget. Gatot berbalik menatapnya. Dia harus mengatakan sesuatu kalau dia tidak ingin
kehilangan setan ciliknya itu. Persetan kalau nanti Andina
marah dan dia kehilangan harga dirinya karena itu!
"Mama salah sangka, Ma!" katanya gagah.
"Kami
saling mencintai. Ini bukan hanya sekadar untuk menyenangkan hati Mama saja! Ya kan, Din?!"
Andina gelagapan. Saling mencintai? Dipandanginya
mata Gatot ragu-ragu. Ya, Tuhan! Gaby betul! Gatot
mencintai aku! Andina mulai panik. Lalu aku? Cintakah
119
aku padanya? Ya, betul aku merindukannya. Betul aku
selalu memikirkannya. Tapi cinta?
Bagaimana dengan rasa bencinya selama ini? Bagaimana sumpahnya selama ini? Dan... harga dirinya?
Dipandanginya mata Gatot untuk kedua kalinya.
Mata itu sungguh-sungguh! Bukan sekadar akal-akalan
seperti biasanya lagi! Gatot telah membuang segala harga
dirinya... kenapa aku tidak?
"Andin?" Suara Bu Widodo yang lembut mengingatkannya untuk menjawab.
Untuk kedua kalinya Andina gelagapan. Lalu dengan susah-payah dia berkata perlahan.
"Ya, Ma, Gatot
betul," desahnya dengan wajah memerah.
"Kami saling
mencintai. Aku mencintai Gatot, seperti dia juga mencintai aku...."
Hampir Gatot melonjak dan memeluk Andina kalau
saja tidak ingat di mana dia sekarang berada. Aduuuh...
kenapa aku mendadak merasa semakin sayang saja padanya?
Bu Widodo tertawa senang. Dipeluknya dan diciuminya keduanya dengan perasaan bahagia. Keinginannya telah terwujud tanpa dilandasi beban apa pun.
Lalu seperti teringat sesuatu dia melirik jam tangannya
dan memekik.
"Ya, ampun! Sudah berapa lama aku di
sini? Kasihan Mas Har!" katanya sambil berdiri.
"Sudah,
ah! Ingat... masih banyak yang akan kita perbincangkan
nanti!"
120
Dan sebelum Bu Widodo keluar kamar, Gatot kembali
menyela,
"Ma, aku minta waktu sepuluh menit saja untuk
memonopoli Andina," pintanya dengan wajah memelas.
"Ya, Ma, ya? Ini masalahnya agak er ha es soalnya!"
Bu Widodo mengangguk maklum. Lalu dia menutup
pintu perlahan.
"Apa sih yang akan kaukatakan?" tanya Andina melihat
Gatot terus memandangnya tanpa berkata sepatah kata
pun. Tingkahnya dibuat seketus mungkin sehingga Gatot
tertawa geli.
"Ampuuuun, Andin! Kau tidak pernah bisa berubah
seratus persen rupanya, ya?" tawanya geli sambil memainkan jemari Andina, yang dulu dikatakannya sedotan,
dengan berani.
"Oke... ini nggak lama kok! Cuma mau
menanyakan dua pertanyaan. Hanya itu! Setelah itu aku
berjanji tak akan mengganggumu lagi.... Tapi kau harus
menjawabnya dengan jujur! Janji?"
Andina terpaksa mengangguk walaupun dengan dahi
berkerut.
Gatot tertawa senang. Lalu dipandanginya Andina
dengan penuh perasaan.
"Satu... inikah yang kaumaksudkan dengan 'berubah' itu ?" tanyanya lembut.
Andina tertegun, tak menyangka akan ditanya seperti
itu. Dengan wajah memerah ia menggerutu.
"Kamu nanyanya jangan begitu dong!" protesnya jengkel.
121
"Kau sudah berjanji! Aku menunggu jawabanmu, lho,"
senyum Gatot geli.
"Dan aku akan terus duduk di sini
sampai kau menjawab."
"Tapi ini masalah perasaan seorang wanita, Tot," protes Andina memelas dan berlagak puitis.
"Nggak peduli."
"Tapi Papa?"
"Nggak peduli."
"Kamu jahat!"
"Nggak peduli."
Andina menarik napas kesal.
"Baik. Baik. Jawabannya
adalah iya!" sungutnya jengkel.
"Dan jangan kautanyakan
kenapa! Karena aku tak mau menjawab!"
Gatot tersenyum senang. Matanya berkilat merasa
menang.
"Terima kasih atas jawabannya dan jangan takut
aku akan menanyakan yang kau maksud itu! Nih, satu
lagi ya...."
"Cepetan deh!" bentak Andina galak, merasa dipermainkan.
"Sudah bosan nih aku melihat wajahmu yang
"Boleh nggak aku menciummu?"
Andina gelagapan.
"Itu pertanyaan yang kedua?" tanyanya kaget. Dan betapa ngerinya dia begitu melihat
Gatot mengangguk mantap.
"Iiih... kok nanya yang begituan sih?!" protesnya dengan muka merah untuk yang kesekian kalinya.
122
"Biarin."
"Kamu curang!"
"Biarin."
"Kamu jelek!"
"Biarin."
"Kamu norak! Sadis! Tidak berperikemanusiaan!
Brengseeek!"
"Biarin. Biarin. Biariiin!!!"
"Aduuuh, Tot! Kamu sadis betul sih nanyanya? Yang
lain saja kenapa sih?"
Gatot diam tanda tak mau menerima protesnya.
Andina menelan ludahnya. Menciumnya? Iiih... kunyuk itu menciumku?! Aku mencintainya sih oke! Itu
jujur! Tapi sampai dia menciumku?Tidak! Ya, jawabannya
jelas tidak! Masak... tapi
Entah setan apa yang menggiringnya sehingga tanpa
sadar dia melawan pikirannya sendiri. Andina tak sempat
berpikir karena terlanjur mengangguk dengan muka
merah padam.
Gatot tertawa senang untuk yang kesekian kalinya.
Dibungkukkannya badannya yang jangkung dengan
hati-hati sekali agar tidak sampai menyakiti Andina.
Andina otomatis memejamkan matanya rapat-rapat
dengan dada berdebar kencang. Dia mencoba menghitung untuk menenangkan batinnya. Satu. Dua. Tig...
"Tunggu dulu!" jeritnya tiba-tiba.
Tunangan Karya Arini Suryokusumo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
123
Gatot segera menghentika gerakannya.
"Ada apa?"
"Kembalikan dulu semua karet-karetku!"
Gatot tertegun, tapi sedetik kemudian dia tertawa. Dilanjutkannya niatnya tanpa mempedulikan permintaan,
Andina yang mendadak itu.
Persetan dengan semua karet keparatnya itu!!
TAMAT
Bogor, 11 Juli 1988
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Pedang Dewa Naga Sastra Bun Liong Sian Wallbanger Karya Alice Clayton
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama