Ceritasilat Novel Online

Sirkuit Kemelut 3

Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar Bagian 3



Alex hanya berpikir. selama masih mungkin, mesin motor

tentu akan menuruti kemauannya. Keakrabannya dengan mesin

membuatnya yakin bahwa tak seorang pun bisa melewatinya.

Dengan pandangannya yang dingin, sempat pula dia menatap

penonton-penonton di pinggir. Dia dapat melihat isyarat-isyarat

dari Karim. Dia tak peduli berapa lap sudah dilaluinya. Dia hanya

mengandalkan petunjuk dari Karim. Tiap kali melewati lelaki itu,

dia tahu apa yang harus diperbuatnya.

155

Angin berkesiur ganas, berdesing tajam. Alex membungkuk

rapat dengan tangki motor dan menancap gas dalam-dalam. Tak

peduli apa yang terjadi. Tak peduli penonton-penonton berkomentar,

"Ih, gila!" Dia tak mendengar itu. Dia hanya mendengar

dengungan mesin yang mulus.

Akhirnya Alex menangkap isyarat dari Karim bahwa putaran

yang harus ditempuhnya sudah selesai. Dia menepi ke dekat Karim. Tak peduli akan sorak-sorai yang membahana. Tak peduli.

Dia hanya peduli dengan rasa hausnya.

Karim memeluk Alex. Setetes air mata menggelinding di pipi

lelaki itu.

"'Kau menang," katanya dengan napas sesak.

Alex tak merasakan sesuatu. Dia hanya merasa kakinya ringan

dan lututnya gemetaran. Dia duduk sementara Karim membukakan helmnya.

Pembalap-pembalap memasuki garis finish. Penonton mengelu-elukan pemenang. Tetapi, Alex tidak tahu bagaimana sikap

seorang pemenang. Dia hanya duduk termangu-mangu di samping Karim yang mengipasinya. Dia bingung melihat kerumunan

orang. Dia canggung. Apalagi yang merubungi para pemuda dan

gadis remaja. Dia ingin situasi itu cepat berakhir.

Dari kerumunan penonton itulah Tante Liana menyeruak. Dia

merangkul Alex dan mencium pipi Alex berkali-kali. Air matanya

berlinangan. Alex terbengong-bengong. Suara hiruk-pikuk menyebabkan perasaannya melayang-layang.

Sekelompok penonton berdiri termangu-mangu.

"Itu kan Alex," kata Rita. Teman-temannya mematung. Joice

156

merasa darahnya berhenti mengalir sesaat. Ternyata pembalap

berani mati itu dia, pikirnya.

"Kita ucapin selamat yuk," kata Linda.

Joice berpandangan dengan teman-temannya. Linda menatap

Kiki, Hadijah menatap Joice, Yayuk menatap Mimi. Saling tatap.

Lalu Linda mendahului melangkah, mendekati Alex yang tegak

merapat ke tubuh Tante Liana.

"Selamat, Lex." kata Linda. Teman-temannya mengekor. Pada

barisan paling belakang, Joice melangkah ragu-ragu. Jika aku tak

ikut, teman-teman pasti bertanya-tanya, ada apa antara aku dan

Alex, pikirJoice.

Alex kikuk menerima uluran tangan dari teman-temannya.

"'Senangdeh kita, juaranya anak bekas sekolah kita," kata Linda.

Loudspeaker masih mengumumkan hasil lomba balap kelas

100 cc. Juaranya adalah seorang newcomer, Lexi Wenas, menggunakan motor merek ini, dan baru pertama kali ikut dalam balap.

Joice telah berdiri di depan Alex. Ketika saling pandang, keduanya panik. Alex menatap ke samping, dan terpandang olehnya

Tante Liana. Dia memandang mata perempuan itu untuk mencari

pegangan. Tante Liana masih tersenyum dan matanya pun masih

basah.

Joice menekuri tanah.

Alex, setelah mendapatkan kesejukan dari mata Tante Liana,

menatap Joice dan menyambut uluran tangan gadis itu.

"Selamat," kata Joice nyaris tak terdengar.

"Terima kasih," desah Alex. Lalu, separo berbisik dia berkata,

"Maafyang tempo hari. Saya menyesal."

157

Joice mengangkat matanya, tetapi Alex telah melepaskan jabat tangannya dan menerima jabat tangan orang lain.

Alex digiring ke depan tribun. Upacara kalungan bunga tak

dapat menanggulangi kemelut di hati Alex. Di atas trap, dia berusaha mencari Joice, tetapi tak menemukannya. Kerumunan penonton hanya terlihat hitam dengan kepala-kepala yang bergerak-gerak.

158

Pante Liana tersenyum ketika Alex berkata ingin mentrak() tirnya makan di restoran. Hadiah yang diterima Alex sebagai juara cukup besar. Sebagian diberikan kepada Karim, tetapi

sisanya ternyata masih membingungkan Alex, untuk apa uang

sebanyak itu.

Kemenangan itu kiranya membuat Alex lebih gembira. Mereka makan sambil tertawa-tawa, di restoran yang dulu pernah

mereka datangi sewaktu ulang tahun Om Burhan. Pelayan restoran masih yang itu-itu juga orangnya. Setengah bulan berlalu,

tak ada perubahan di restoran itu. Cuma Alex yang berubah. Dia

merasa malam lebih indah dari malam-malam biasanya. Lampulampu tambah cemerlang. Sementara itu, Tante Liana masih tetap dengan senyumnya yang lembut.

"Kau berhenti dari bengkel itu?" tanya Tante Liana.

"0, tidak. Saya hanya cuti selama menjelang perlombaan. Besok saya kembali kerja."

"Sebenarnya apa yangjadi cita-cita Lexi?"

"Cita-cita? Wah, tak tahu."

159

"jadi pembalap ulung?"

"Mungkin ya."

"Jangan jadi pembalap. Lebih baik cari kerja yang tidak besar

risikonya untuk nyawa."

Alex tertawa.

"'Semua pekerjaan punya risiko, Tante," katanya.

"'Saya kenal

seseorang yang mati di bengkel, terimpit mobil yang dongkraknya lepas. Atau pegawai yang ditabrak truk waktu dia mau ke

kantornya."

"Tapi. balapan itu... ah, Tante khawatir sekali."

Alex masih tertawa-tawa. Dia mengunyah kepiting yang diolesi saus.

"Atau, Alex mau buka bengkel sendiri?"

"Wah, untuk apa? Memimpin bengkel lebih repot, Tante."

"Jadi, apa Lexi ingin jadi begitu-begitu saja?"

"Lantas mau jadi apa lagi? Yang penting kan bisa hidup sekadarnya."

Tante Liana terdiam. Dia merenungi piringnya. Alex mengelap

mulutnya. Dia bersendawa, dan cepat-cepat menekap mulut se

bab Tante Liana memperhatikannya.

Kembali ke kehiruk-pikukan bengkel. Kembali mendengarkan keluhan Mukiyo. Istrinya sudah melahirkan beberapa bulan yang

lalu. Tetapi, sekarang bunting lagi. Alex heran melihat ketangguhan lelaki ini. Anaknya sudah enam, padahal usianya belum

tiga puluh tahun.

160

Sekarang keluhannya soal anaknya yang sakit.

Sunliang datang dengan bersiuI-siul. Entah kenapa, anak

muda Tionghoa ini senang sekali menyiulkan lagu dangdut. Hanya matanya yang sipit yang menandakan bahwa dia keturunan

leluhurnya.

"Ssst, aku ke Cijantung semalam," katanya.

"Jam berapa pulang?" tanya Alex.

"'Kau sudah tidur. Kubangunin, kau malah menendang aku.

Bajingan!"

"Untuk apa aku dibangunkan?"

"Aku dibaptis tadi malam."

"'Dibaptis?"

"Ya, untuk pertama kali. Wah, bukan main. Perempuan itu

mengajariku bagaimana cara-caranya."

"Lho, kau berani?"

"'Kenapa tidak? Ternyata biasa-biasa saja. Enak sih enak, tapi

tak ada yang istimewa. He, kau tahu orangyang kupakai bagaimana? Mirip Diana. Matanya, bibirnya, cara bicaranya. Cuma hidungnya yang berbeda. Dia lebih pesek. Hidung Diana lebih bagus."

"Kau balas dendam ya?"

"Kenapa dendam? Cinta gagal itu biasa."

"Tapi, kau sampai ke tempat pelacur."

"Ah, apa kau tak pernah?" kata Sunliang sengit.

Alex diam. Dia membersihkan piston mobil.

"Siapa teman kau ke sana?" tanyanya kemudian.

"Mukiyo."

"Wah, gombal!" Alex tertawa. Sunliang pun tertawa.

161

Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara Om Bun Hwa,

"Sunliang, Lexi, jangan ngobrol saja."

Lalu keduanya cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan mereka.

Om Bun Hwa berlalu.

"Cina semacam Om Bun Hwa gendut ini yang menyebabkan

cintaku putus." kata Sunliang.

""Lho, apa hubungannya dengan dia?"

"'Cina yang menganggap bahwa dengan uangnya segalanya

bisa diselesaikan. Kau tahu, Lex, kenapa orang-orang Cina tidak mendapat simpati dari orang pribumi? Itu tak lain karena

Cina kaya yang menggunakan uangnya untuk tindakan seenak

perutnya. Misalnya, kalau mereka ada persoalan dengan orang

pribumi, mereka membayar oknum untuk jadi backing mereka.

Oknum ini yang akan meneror orang pribumi tadi. Tanpa mereka

sadari bahwa mereka akan semakin jauh dengan orang pribumi.

Padahal kan seharusnya mereka menyatukan diri, tidak menganggap dirinya istimewa. Nah, akibat tindakan Cina kaya semacam itu, aku pun terkena getahnya. Karena aku Cina, orangtua

Diana menganggap di antara kami ada jurang. Kenapa dia tidak

menganggap aku sama dengan orang Batak, atau Manado, atau

Sunda? Kakaknya Diana adayang kawin sama orang Ambon. Tapi,

kenapa sama Cina tak boleh?"

Alex diam.

Sunliang rupa-rupanya sedang berkobar semangatnya.

"Aku ingin jadi satu dengan Indonesia ini. Aku ganti nama, pakai nama pribumi. Tapi, kau tahu bagaimana sulitnya mengurus

itu? Harus bayar ini-itu, mana masih menghadapi urusan ber

162

belit-belit. Seolah-olah Cina memang sudah selayaknya jadi sapi

perahan. Ini gara-gara Cina-Cina kaya itu. Mereka yang membiasakan adanya kebiasaan sogok-menyogok, backing-backing-an,

dan segala macam itu," kata Sunliang sengit.

"Tapi, aku tak melihat hubungan hal itu sama orangtua Diana."

"'Kau goblok! Karena aku Cina, dia tak suka padaku. Andai aku

kaya, dia juga tak akan suka, sebab dia tidak mau disangka menjual anak gadisnya pada Cina kaya. Dan, karena aku Cina miskin...

ah, entahlah! Entah apa alasannya."

"Nah, itulah. Kau sendiri sebenarnya belum tahu apa alasan

yang sebenarnya. Apakah memang karena kau anak Tionghoa?"

Sunliang diam. Dia menggerutu sambil mengunci baut.

"Kau sudah pernah ketemu orangtua Diana?"

"Sudah, satu kali. Tapi, mukanya wah! Aku jadi segan ketemu

yang kedua kalinya."

"'Lebih baik kau tanya secara gentleman, kenapa dia tidak menyukai kau."

"Ah, aku tak berani."

"Lantas, apa dengan melacur lantas kaupikir persoalan selesai?"

"Aku tak bisa ketemu dengan Diana."

"'Surat-surat?"

"'Kukirim. Tak ada balasan. Barangkali dia memang mau memutuskan hubungan kami diam-diam."

"Itu kan persangkaan kau. Lebih baik kau datang ke rumah

nya.

163

"Wow!"

"Kalau perlu, kau kutemani."

Sunliang mengangkat kepala. Lalu mereka bersalaman dengan telapak tangan hitam terkena minyak pelumas.

Dan, sore itu Sunliang mengenakan pakaian yang paling bersih. Pakai sepatu. Sunliang berkali-kali mengelap telapak tangannya yang basah oleh keringat.

Alex mengetuk pintu rumah Diana. Tak ada jawaban dari

dalam. Sunliang gugup. Alex mengulangi mengetuk. Sunliang

tambah gugup. Dia sibuk merapikan kerah bajunya. Kemudian

terdengar langkah mendekat. Pintu terbuka. Di ambang pintu

tegak seorang lelaki tua. Ayah Diana!

""Selamat sore," kata Alex.

""Sore. Ada apa?" suara ayah Diana tidak terlalu ramah.

Dan, Alex pun bingung. Sunliang Iebih-lebih lagi. Lelaki tua

itu memperhatikan mereka seperti halnya pedagang kuda meneliti hewan yang bakal dibelinya.

"'Boleh kami masuk?" kata Alex terbata-bata. Lelaki tua itu
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkat alis. Dari dalam, keluar seorang perempuan tua.

"Siapa, Pak?" tanyanya.

""Selamat sore. Bu," kata Alex.

"Sore. Silakan, silakan," kata perempuan tua itu. Lalu Alex melangkah masuk diikuti Sunliang. Perempuan tua itu, ibu Diana,

mengambil inisiatif.

"Silakan duduk," katanya, Alex dan Sunliang duduk.

"'Kami teman Diana," kata Alex.

"000," kata ibu Diana.

164

"'Sudah beberapa hari kami tidak melihat Diana," lanjut Alex.

"Kami kira dia sakit."

"000, tidak. Dia sedang ke Pekalongan, ke rumah mbahnya."

Sunliang menghela napas. Ayah Diana duduk tanpa suara.

Alex mengedarkan pandang ke pelosok ruang tamu. Sebuah ruangan sederhana.

lbu Diana melontarkan pertanyaan rutin: siapa nama, di mana

tinggal. masih sekolah atau sudah kerja, dan yang sepeIe-sepele.

Omong punya omong, kemudian Alex berkata,

"Sebenarnya

kami datang untuk menanyakan sesuatu."

"'Apa? Apa yang mau ditanyakan? Silakan, nggak usah raguragu," kata ibu Diana.

"'Sebelumnya saya harap Bapak dan ibu tidak marah atau tersinggung. Begini. Teman saya ini. adalah kawan baik Diana sudah

sejak lama."

"Ya, ya, ya," kata ayah Diana tak sabar.

"'Kami ingin tahu, kenapa Diana dilarang berhubungan dengan dia."

Kedua orangtua itu tercengang.

"Diana masih terlalu muda untuk mulai pacar-pacaran," kata

ibu Diana kemudian.

"'Apa bukan karena alasan |ain?"tanya Alex ketoloI-tololan.

lbu Diana terperangah. Suaminya mengetuk-ngetukkan pipa

rokoknya ke lengan kursi.

"'Apa bukan karena dia Tionghoa?" kata Alex. Kedua orangtua

itu membisu. Ayah Diana menggaruk-garuk lehernya yang se

sungguhnya tidak gatal.

165

"Kami tidak membeda-bedakan manusia," kata ibu Diana.

"Kami hanya melihat Diana masih kelewat muda."

"Tapi, saya lihat Diana sudah cukup dewasa," kata Alex.

"'Kami lebih tahu apa yang baik untuk anak kami," kata ibu

Diana.

Maka misi diplomatik itu pun gagal. Dengan lesu kedua orang

muda itu berbaring di gudang mereka.

"Kita membutuhkan juru bicara yang lebih baik," kata Alex

sembari mengamati asap rokoknya.

Sunliang tak bersuara. Dengan berbantalkan tangannya, dia

menatap langit-langit.

"Atau, kalau kau berani, bawa lari saja," kata Alex.

""Kawin lari?"

""Ya. Kau berani?"

"Wah, bagaimana ya?"

"'Kalau kalian betul-betul mencintai, itulah satu-satunya jalan.

Kautanya dia nanti setelah dia pulang dari Pekalongan. Bagaimana?"

"Ya, akan kucoba. Tapi, ah, bagaimana nanti akibatnya?"

"Bah! Kalau kerjamu hanya memikirkan apa akibatnya. kau

takkan pernah mendapatkannya. Ini persoalan cinta. Tak berani,

takkan menang. Cinta itu kupikir kayak balapan. Mesin boleh

baik, keahlian boleh hebat, tapi kalau tak punya keberanian, tak

akan menang."

Sunliang memikir-mikir.

"'ltu berarti aku harus berhenti kerja di bengkel ini," katanya.

"Ya, sementara kau harus sembunyi."

166

Beberapa saat keduanya diam. Di asap rokok yang mengepul

itu Sunliang melihat bayangan wajah Diana. Seekor kecoak berjalan mengendap-endap, mencium kaki Sunliang. Sunliang duduk,

dan kecoak lari.

"'Ya, akan kuajak dia lari," katanya.

"Nah, sekarang. yang penting adalah menghubungi Karim.

Kau sudah kenal dia, kan? Aku pernah ke rumahnya. Tampaktampaknya, di kampung itu dia dihormati penduduk. Kita bisa

minta bantuannya untuk mencarikan penghulu."

"Penghulu? Tapi, aku bukan Islam."

"Aku juga bukan. Tapi, Karim Islam. Dan, orang-orang di kampungnya, di Cengkareng itu, kebanyakan Islam. Tentunya mereka

lebih gampang mencari penghulu daripada pendeta."

"'Apa mereka mau?"

"Aku yakin Karim akan membantu. Ayahnya orang terhormat

di situ. Mereka tentu senang. Diana kan Islam?"

"Jadi, aku harus masuk Islam?"

"'Aaah. jangan pusingkan agama. Pokoknya kau bisa mengawini gadis yang kaucintai. Soal Islam, Kristen, Hindu, atau

Buddha, semua itu sama saja. Yang penting cara hidup orangorang yang menganutnya."

Sunliang mengangguk-angguk.

"Kemudian, setelah kalian kawin, aku pikir kalian lebih baik

tinggal di Bogor," kata Alex meneruskan.

"Aku tak punya famili di sana."

"Aku punya bapak angkat di sana. Bapak Bun Leng."

"'Yang dulu mengantar kau kemari?"

"Ya, dia. Dia tinggal di desa, dan orang-orang desa itu meng

167

hormatinya. Di situ kalian bisa tinggal, sampai suasana Iebih tenang?

"Apa dia mau menerima kami?"

""Aku yakin mau," kata Alex.

Sunliang menyusut-nyusut rambutnya. Ruangan itu hening.

Alex membaca koran. Amerika Serikat sibuk di Saigon. Vietkong

semakin menang. Bukan main, pikir Alex. Lalu dia membaca iklan. Ada yang kawin. Tetapi, lebih banyak iklan dukacita. Dan,

koran itu dicampakkannya sebab halaman dalam penuh dengan

iklan perusahaan.

Joice termangu-mangu merenungi halaman surat kabar yang

baru dibacanya, Pada halaman olahraga, dia mengulangi membaca berita yang tercetak.

Pembalap newcomer membuat debut lagi di arena balap Semarang. Kemenangan demi kemenangan diraihnya...

Sejak bertemu di Ancol dulu, Joice tak pernah melihat lelaki

itu lagi. Maka dia memperhatikan foto lelaki itu di koran. Wajah yang dingin. Berbeda sekali dengan tawa lebar pembalap di

sampingnya yang memegang piala. Masih seperti dulu juga, pikir

Joice. Ya, wajah yang hambar melihat dunia.

Di luar rumah, matahari sangat terik. Joice baru saja pulang

kuliah. Sekarang dia kuliah di jurusan arsitektur. Teman-temannya sudah terpencar ke mana-mana. Ada yang kuliah di Bandung.

Ada yang di Yogya. Banyak yang tetap kuliah di Jakarta. tetapi tak

seorang pun sefakultas dengannya. Banyak teman baru, tetapi

168

tidak sama dengan teman-teman sewaktu di SMA dulu. Maka

Joice mulai merasa bahwa sepi kian gampang singgah di hatinya.

Sekali lagi dia meneliti foto itu. Dan, dia ingat koran yang

lalu. Di arena sirkuit di Singapura, lelaki itu hanya meraih tempat

ketiga. Kapan ya ada balapan lagi di Ancol? Joice bertanya-tanya

kepada dirinya sendiri, dalam hati.

Joice mencoba membaca buku-buku kuliah, tetapi udara panas bukan main. Lalu buku-buku itu pun dicampakkannya. Dia

pindah duduk di teras. Di sini pun panas. Walau pohon peneduh

telah berusaha menghalangi sinar matahari, tetap tidak nyaman

duduk di tempat itu. Lantas mau duduk di mana lagi?

Dia mengingat-ingat temannya yang patut ditelepon. Mungkin omong-omong bisa asyik. Tapi, siapa yang harus ditelepon?

Rita di Bandung. Linda di Yogya. Yang lain? Ah, apa pula yang

akan dibicarakan?Atau menelepon Kiki? Menanyakan bagaimana

setelah menjadi seorang istri? Tapi, mungkin dia sedang tidur.

Sekarang jam tidur.

Joice pindah ke kamarnya. Sesaat dia menatap tempat tidurnya. Dua bantal terhampar sepi. Lalu dia duduk menghadap meja

rias. Dia meneliti mukanya di cermin, menggerak-gerakkan alisnya. Lalu dia bosan. Dia beranjak tanpa tujuan. Keluar. ke ruang

makan dan minum air dingin. Kerongkongan memang sejuk. tetapi badan tetap gerah.

"Ah!" Joice menjemba dan mengambil koran lagi. Dia membaca berita politik di halaman depan koran. Soal Cyprus, soal

Portugal... wah!

Dan, siang itu Joice merasa hari terlampau lambat berjalan.

169

Dia ingin cepat-cepat sore. Sebab, setelah pukul enam sore, bagaimanapun masih ada pilihan lain. Nonton televisi, lumayan.

Asal jangan Mimbar Televisi. Bosan melihat orang ngomong bertele-tele. Mending kalau yang diomongin menarik. Lebih sering

temanya membuatJoice kepingin mematikan televisi.

Hari itu sungguh menyebalkan. Rumah kebetulan sepi. Papa

dan Mama menghadiri perjamuan, sedang abangnya, Paul, berada di Bandung. Pelayan sedang asyik bercanda dengan pembantu

rumah sebelah.

Joice hilir-mudik di dalam rumah. Lagu-lagu dari piringan hitam tidak cukup memikat hati sekarang. Dia melintas di dekat

rak minuman papanya. Botol-botol berjejer di situ. Lalu, dengan

langkah hati-hati Joice menuju rak tersebut. Dia membuka satu

botol, membaui isinya, dan cepat-cepat menutupnya lagi. Uap

minuman itu sengit menyerang hidungnya. Dia buka botol yang

lain, yang isinya jernih. Dia baca etiket yang bertuliskan dry-gin.

Dia cium, bau kulit jeruk. Harum. Lalu dia mencoba menuang

isinya ke dalam gelas. Sedikit saja. Dia cicipi. Terasa hangat menyusup ke hidungnya, aroma yang wangi. Dia minum, lalu duduk

di sofa. Rasa hangat menjalar dari perutnya. Maka dia merasa rumah itu semakin sepi. Dia kepingin berbincang-bincang dengan

siapa saja. Dia berteriak memanggil pembantu, tetapi tak ada

sahutan. Dia mengulangi teriakan, tetap tak ada sahutan.

Dengan jengkel Joke berjalan ke ruang belakang dan berteriak

sekeras-kerasnya,

"Biiiik!"

""Ya, Nooon!" semayup suara sahutan. Lama kemudian pembantu rumah tangga itu baru muncul.

170

danya sudah lega. Mungkin lantaran dia telah berteriak. Berteriak

memang sangat menolong untuk melonggarkan impitan di dada.

"'Ada apa, Non?"

"'Sini, Bik. Kita ngomong-ngomong."

"'Lha, ngomongin apa, Non?"

"'Apa saja."

"'Wah, saya nggak tahu, Non," kata pembantu itu sambil mengambil tempat duduk.

"'Bibik sedang jatuh cinta ya?" tanya Joice. Pembantu itu tersipu.

"Bagaimana sih rasanya jatuh cinta?"

"Lho? Bagaimana ya?"

"'Senang, Bik?"

Si Bibik tersipu lagi.

"Pantesan Bibik asyik terus ngobrol sama pembantu rumah

sebelah," kata Joice.

Keduanya kemudian asyik berbicara. Terusirlah sepi hati Joice

untuk sementara waktu. Dia mendengarkan cerita-cerita tentang

desa Bibik. Cerita tentang lurah yang punya kerbau lima ekor dan

istri empat orang, soal sawah yang ludes dirusak tikus, dan soal

segala macam.

Ternyata lelaki itu masih bekerja di bengkel. Kemenangan-kemenangannya di berbagai sirkuit tak mengubahnya sama sekali. Joice semula mengira, tentu dia sudah berlagak seperti lagak super

171

star. Tetapi, kenyataannya dia masih mengenakan pakaian biru

yang bertuliskan nama bengkelnya. Dia masih menekuni mesin

mobil yang diperbaikinya. Tak tampak tanda-tanda dia sebagai

sangjuara.

Joice duduk diam-diam di jok mobil sementara sopir dan

montir bengkel berunding perihal kerusakan mobil itu. Lewat

jendela mobil, dia memperhatikan Alex. Lelaki itu sedang menyetel mesin Corolla. Rupanya tidak ada kerusakan berat pada mobil

itu. Sebentar kemudian dia telah meninggalkan mobil itu, dan

mata mereka bertumbukan.

SesaatAlex terpana. Joice lebih dulu membuang pandang. Dia

berpura-pura memperhatikan kuku-kuku tangannya. Alex termangu-mangu. Itulah gadis yang tak bisa hilang dari mataku, pikirnya. Apakah aku harus mendekatinya dan berbicara padanya?
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menatap Fiat yang mengilat itu. Sepintas-kilas dia mendengar sopir mobil itu berbicara kepada montir di sampingnya.

""Kalau kecepatan tinggi sering batuk-batuk." kata sopir. Alex

melangkah mendekati mobil. Joice merasa di dalam mobil itu lebih gelap dari semula. Ada yang menghalangi sinar dari jendela.

"Joice," kata Alex. Suaranya gemetar.

Joice mengangkat kepala. Tetapi, sekejap kemudian kembali

dia menunduk, meneliti kuku-kukunya.

Alex bertelekan pada jendela mobil.

"Saya sangat menyesali peristiwa di rumah Bonar dulu," katanya terbata-bata.

"'Saya selalu disiksa perasaan bersalah. Saya

tidak berniat menyakiti kamu. Saya memang orang bejat."

Joice menatapnya. Baru kali ini dia menatap lelaki itu sejelasjelasnya, selama mungkin. Codet yang tampak sebagai garis kecil

172

dalam foto itu ternyata tidak cocok dengan kenyataannya. Codet

itu lebih parah dibandingkan garis dalam foto.

"Saya memang orang bejat," ulangAlex.

"Saya memang turunan orang tidak baik. Saya telah berbuat kesalahan pada kamu.

Saya minta maaf. Saya minta maaf."

Beberapa saat Alex diam. Dia menunggu reaksi gadis itu dalam wujud suara. Tetapi, Joice hanya memandangi muka tertunduk di dekatnya. Muka yang buruk jika dihubungkan dengan codetyang menghiasinya.

Lama gadis itu tetap tak bersuara. Maka Alex membalik badan

dan pergi.

Joice ingin memanggil lelaki yang melangkah dengan bahu

terkulai serta tangan memegang kunci pas itu, tetapi suaranya

tidak keluar.

Sampai Fiat itu selesai diperbaiki, Joice tak melihat lelaki itu

lagi. Maka Joice diimpit sesal. Kenapa aku tak mau bicara pada

dia yang kelihatan begitu sengsara? Dia yang memenangi beberapa balapan. Dia yang selalu perkasa di arena sirkuit itu, ternyata memanggul kesengsaraan yang teramat getir. Itulah yang

tampak di wajahnya, wajah yang rusak karena entah apa. Atau,

bukankah itu akibat ulah Bang Paul dulu? Bukankah Bang Paul

dan Om pernah memukulinya? Karena itukah?

Joice mengempaskan tubuhnya di tempat tidur. Dadanya terasa nyeri. Kenapa aku tak bicara kepadanya? Bukankah dia mengharapkan aku mengucapkan sesuatu?

Hari itu rumah tidak sepi lagi. Papa dan Mama tidak bepergian. Tetapi, Joice ingin sendirian. Dia resah di kamarnya. Bayangan

173

lelaki itu merongrongnya terus. Dulu dia memang membencinya.

Tetapi, bulan demi bulan, tahun yang berlalu, membuatnya tak

bisa membayangkan bagaimana sebenarnya rasa benci itu. Yang

jelas, selama membenci, dia tak mau mengingat wajah lelaki itu.

lnilah kesalahannya. Sebab, setelah kebencian itu pudar, yang

tinggal hanyalah wajah lelaki itu. Benci beranjak pergi, meninggalkan kenangan.

Joice membolak-balik badan di tempat tidur. Resah yang

menggulungnya mengobrak-abrik dirinya, membongkar-bongkar

kenangannya. Dia ingat ketika masih duduk di bangku SMA. Di

dekat pohon flamboyan di samping gerbang sekolah, dia melihat

lelaki itu pertama kalinya. Ketika ada perayaan di sekolah, lelaki

itu datang sebentar dengan teman-temannya, membuat kekacawan, lalu pergi diiringi sumpah-serapah murid-murid yang lain. Di

kantin, ketika hari panas, lelaki itu duduk di pojok dengan tenang

sementara teman-temannya berbisik-bisik. Di dekat TIM, lelaki

itu berbicara dengan seseorang yang barangkali penjual ganja.

Lalu, di rumah Bonar, oh! Apakah sesungguhnya yang terjadi?Apakah peristiwa itu yang membuatnya lantas diusir oleh papanya?

Apakah peristiwa itu yang menyebabkan wajahnya rusak? Apakah

peristiwa itu yang membuatnya lantas jadi montir di bengkel? itu

semuanyakah? Apakah seimbang dengan kesalahan yang diperbuatnya? Dan, benarkah itu suatu kesalahan? Kesalahankah suatu

perbuatan yang sesungguhnya tak diketahui dengan jelas?

Aku pernah mencintainya, kata hati Joice. Apakah sekarang

aku juga mencintainya? Ah! Resah makin menggigit lekuk hati

Joice. Joice ingat minuman yang bisa melegakan dada. Lalu dia

174

mengendap-endap keluar kamar, menuju rak minuman papanya.

Lalu dia membuka botol minuman yang jernih, menuang isinya

ke dalam gelas.

Tetapi,

"Ei, Jojo! Apa-apaan itu?" Paul berdiri di dekatnya.

"SSSt, diam saja!" kata Joice. Dia membawa gelas itu ke dalam

kamar, meninggalkan abangnya yang menggeleng-geleng. Dan,

Joice yakin, tentu abangnya akan melapor kepada Mama. Tetapi,

peduli apa?

Setelah minuman itu menghangatkan jaringan tubuh, memang keresahan berangsur lenyap. Lalu Joice berbaring, membiarkan rasa hangat merambat dari perut, berputaran, mengendorkan seluruh kemelut.

Pipinya bertambah merah. Dia membuka koran-koran lama

yang disimpan di laci meja riasnya. Lalu dia membaca berita-berita olahraga, tentang balap motor di berbagai sirkuit.

Tadi pembalap ini minta maaf padaku, pikir Joice. Tidakkah

sepantasnya dia kutelepon? Dan, tanpa menunda waktu, Joice

bangkit dan beranjak ke meja telepon. Dia mencari nomor telepon bengkel tempat Alex bekerja. Setelah menemukannya, dia

pun memutar nomor-nomor telepon bengkel itu. Tersambung.

Dengan suara rendah dia bilang ingin bicara dengan Alex, Lexi

Wenas.

"Sebentar," kata orang di seberang.

Joice mencengkeram handel pesawat. Hatinya kembali rusuh.

Pantaskah aku menelepon lelaki yang pernah menjahanamiku?

Hampir saja Joice meletakkan gagang pesawat ketika dari sebe

rang terdengar suara,

"Halo."

175

"Ya."

"'Dia tidak ada. Sedang keluar. Biasanya malam baru pulang."

Joice membisu.

"'Ada pesan?"

""Oh, tidak," kata Joice lesu. Dan, handel pesawat diletakkan

perlahan.

Joice kembali ke kamarnya.

Alex mengetuk pintu rumah Tante Liana. Senja sudah temaram.

Bunga-bunga sudah berubah warnanya akibat biasan warna jingga di langit.

Tante Liana membuka pintu. Lalu, seperti biasanya, dia langsung menarik tangan Alex masuk. Mereka duduk di ruang depan

yang hening.

""Ada apa, Lex? Kenapa wajahmu murung sekali?" Alex tak

menjawab.

""Ceritakanlah kalau memang ada yang mengganggu pikiranmu," kata Tante Liana.

Alex hanya mengeluh. Dia merebahkan kepalanya di sandaran kursi.

"'Kapan berlomba lagi?"

"'Belum tahu," kata Alex lemah.

"'Banyak pengagummu sekarang ya?" Tante Liana memasang

pelat. Lagu blues mengalun lunak.

"'Ayo, dansa, Lex," kata Tante Liana.

176

"Saya tak bisa dansa."

"Belajar dong. Nanti kan perlu, kalau ada party menyambut

kemenanganmu. Siapa tahu kau menjadi pembalap kaliber internasional."

Alex menggeleng.

Tante Liana menarik tangannya. Tarikan ini membuat Alex

berdiri ogah-ogahan. Tante Liana merangkulnya, dan tangannya

membelitkan lengan Alex ke pinggangnya.

"Nah, ikuti ritme lagu itu. Gampang, kan?"

Rambut Tante Liana harum menyusup ke hidung Alex. Kelihatannya perempuan itu semampai, tetapi ternyata tinggi badannya tak melebihi dagu Alex.

Langkah mereka beringsut pelan-pelan.

"Jangan murung saja," kata Tante Liana. Alex memijak kaki

Tante Liana. Blues itu masih mengalun. Suara Frank Sinatra menyeret langkah mereka. Mereka bagai melangkah di busa yang lunak. Tubuh perempuan itu terasa semakin lembut dalam pelukan

Alex. Rambutnya mengelus-elus pipi Alex.

"'Apa yang mengganggu pikiranmu, Lex?" tanya Tante Liana.

Ketika bertanya, dia menengadah sehingga desah napasnya

mengusap muka lelaki muda itu. Di mata Alex, bibir perempuan itu semakin cemerlang. Alex termangu. Langkahnya terhenti

sesaat.

Tante Liana menyeretnya untuk bergerak kembali.

"'Sewaktu membalapkan motor, saya kepingin mati," kata Alex

pelan.

"Ah!" keluh Tante Liana.

177

"Tapi, hasilnya saya tidak mati. Saya malah jadi juara. Saya tak

tahu apakah saya bangga atas kemenangan saya. Saya tidak ingin

jadi juara. Saya hanya ingin mati dengan cara terhormat."

"'Ah, Alex, jangan berkata begitu. Apa pun persoalanmu, tak

patut kamu berpikiran begitu. Toh segala persoalan bisa dicari

pemecahannya. Bukan mati penyelesaiannya."Tante Liana mengeratkan pelukannya. Hangatnya tubuh lelaki itu mengalir ke badannya. Pipi lelaki itu menempel di rambutnya.

"'Tapi, saya lebih suka mati."

""Alex, kamu masih muda. Jangan berputus asa."

"Saya tidak tahu untuk apa sesungguhnya saya hidup."

""Untuk apa hidup? Banyak yang bisa kamu kerjakan, Lex. Kau

sudah jadi juara."

""Tapi, itu bukan keinginan saya."

"Lexi, kamu hanya terbuang dari keluargamu, tapi tidak dari

masyarakat. Malahan, barangkali papamu sekarang mengagumi

prestasimu."

"'Saya tidak butuh kekaguman dari dia," kata Alex dingin.

"'Saya

malah berusaha melupakan bahwa saya anaknya. Saya menyesal

memakai nama Wenas di belakang nama saya."

Tante Liana memeluknya lebih ketat lagi. Perempuan itu

merasa dadanya yang tak kenyal lagi menempel di tubuh lelaki

muda itu. Kehangatan yang menjalar semakin deras mengalir ke

seluruh tubuhnya.

"'Lexi," kata Tante Liana seraya menengadah,

"'tak ada yang perlu disesali dalam hidup ini. Tak ada penyesalan yang membuat

kita memilih mati."

"Tante tak bisa merasakan apa yang saya rasakan selama ini.

178

Saya merasa, hidup ini hanyalah beban. Saya harus cari makan,

bekerja membanting tulang. Semua itu sebenarnya untuk apa?

Mempertahankan hidup. Tapi, saya sendiri tak tahu apa yang sebenarnya harus saya perbuat dalam hidup ini."

Tante Liana tak menimpali. Dia cuma menempelkan mukanya

di pipi lelaki itu sehingga Alex dapat merasakan betapa halus

kulit yang mengelus mukanya.

""Kalau mati, seluruh urusan selesai. Saya tak perlu pusingpusing memikirkan diri saya. Saya tak peduli apakah mayat saya

dikubur atau dibuang ke laut. Saya tak peduli sebab saya tak akan

melihat. Saya akan lenyap, dan gampang lenyap sebab orangtua

saya sendiri melupakan saya."

"'Tapi aku tak melupakanmu, Lexi. Aku menyayangimu," desah

Tante Liana.

"'Saya berterima kasih sebab Tante baik pada saya. Saya tidak

akan melupakan itu."

Pelat long-play telah melontarkan tiga lagu. Langkah mereka

kian lambat. Bahkan kadang-kadang berhenti.

"'Kau memerlukan seorang gadis yang kaucintai. Kau tidak

akan seputus asa itu kalau kau kawin."

"Itu tak mungkin," kata Alex tegas.

"'Kenapa tidak? Suatu ketika kamu akan bertemu dengan gadis

yang kamu cintai. Mungkin kamu malahan akan melupakanku."

"Tidak!" kata Alex kasar.

"Oh, kenapa, Lex?" Tante Liana kaget menerima hardikan itu.

Alex terdiam. Matanya merenungjauh. Ke Semarang. Ke Surabaya. Ke perempuan-perempuan yang menertawakannya.

179

Tante Liana kembali mendekapnya, menempelkan pipi ke wajahnya.

"Lexi tidak akan melupakan Tante?" kata Tante Liana lembut.

Alex tidak menjawab.

"'Walaupun Lexi sudah kawin kelak?"
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"'Saya tidak akan kawin," kata Alex dengan suara tersekap.

"'Ah, setiap orang harus kawin. Semua orang harus melewati

jenjang perkawinan."

"'Saya tidak akan." Suara Alex tambah murung. Kebencian

terhadap dirinya sendiri menggigit. Benci kepada dirinya yang

lemah. Benci kepada ketaksanggupannya melakukan hal yang

paling dibangga-banggakan para lelaki.

"'Setiap orang, Lex. Setiap orang. Lexi juga, tak terkecuali, akan

menginginkan hidup dalam suatu ikatan perkawinan."

"'Saya tidak! Saya tidak! Saya tidak!" kata Alex keras, lalu merentakkan pelukan Tante Liana. Dan, separo berlari dia menuju

sofa. Dia menekap mukanya, mencoba menghilangkan bayangan perempuan-perempuan yang menyeringai menertawakan ketidakmampuannya. Tetapi, bayangan itu kian menerpanya. Dia

benci, juga panik. Hatinya terimpit. Dia payah untuk bernapas.

Dadanya sesak.

Tante Liana duduk di sampingnya dan merangkulnya. Kemudian perempuan itu berkata lembut,"I
Oh, kelembutan itu menghancurkan batu karang yang mengimpit hati Alex. Bendungan kemelut yang tersimpan selama ini

pecah. Maka mengalirlah isak tangis Alex. Air mata tak bisa ditahan. Dia memeluk Tante Liana dan membenamkan tangisnya

di dada perempuan itu. Dia tak pernah merasakan bagaimana

180

rasanya menangis di dada seorang ibu. Sekarang, pada usianya

yang mendekati dua puluh dua, dia baru merasakannya.

Tante Liana mengelus rambut Alex dan berbisik halus,

"Kenapa, Lex, kenapa? Apa yang merusuhkan hatimu?"

"'Saya tidak akan, Tante. Tidak akan," kata Alex terrsendat-sendat.

"Tidak akan?"

"Saya tidak akan kawin. Saya tidak sanggup. Saya tidak bisa.

Saya tidak mampu." Berondongan kalimat itu menusuk gendang

telinga Tante Liana, dalam wujud isak.

"Ah, tidak bisa? Tak mungkin, Lex. Kamu masih muda. Bagaimana kamu tahu kalau tak bisa?"

"'Saya sudah coba. Di Semarang. Di Surabaya. Oh, mereka menertawakan saya. Saya ditertawakan perempuan."

"Oh!" keluh Tante Liana. Lalu dia mencium wajah lelaki muda

itu, Wajah yang dibasahi air mata. Dia mencium mulut lelaki itu,

dan mencium seluruh wajah lelaki itu.

"Itu tak mungkin, Lex. Toh kamu tak pernah mengalami kecelakaan, bukan?"

Alex menggeleng. Dia menyembunyikan mukanya di dada perempuan itu.

"Aku tak percaya kalau kau tak mampu."

'"Dua kali, Tante. Dua kali saya gagal."

"Tidak! Kau laki-laki normal."

Air mata Alex membanjir.

"Jangan menangis, Lex. Bagaimana bisa seorang lelaki menangis?Jangan menangis, Sayang. Jangan menangis, cintaku," desah

181

Tante Liana. Dia menciumi air mata lelaki itu. Menciumi mata

Alex yang basah.

"'Kau laki-laki normal. Lexi. Normal! Normal!

Normal!" Tante Liana mencium mulut lelaki itu, mengulum bibirnya.

Alex terpana. Mulut Tante Liana yang hangat mengisap bibirnya. Dia terpaku. Namun, rambatan lunak menjalar ke bibirnya.

Tante Liana merenggangkan pelukan, dan menatap muka

lelaki itu. Matanya berbinar-binar mengawasi mata yang kebingungan. Sementara Alex masih dilibat pesona sesaat tadi.

"'Kamu bisa, Lexi. Kau bisa," desah Tante Liana lagi. Lalu, kembali dia menciumi muka lelaki itu. Rasa hangat menjalar di sekujur jaringan tubuh Alex. Tante Liana mengulum bibirnya kuatkuat dan menggelitiknya dengan lidah.

Tante Liana menyibakkan rambut, dan berkata dalam keterengahan napas,

"'Ayo, ke kamar, Lexi. Akan kutunjukkan bahwa

kamu normal. Akan kutunjukkan bagaimana caranya. Kamu salah jalan ketika mencobanya dulu."

Alex terpana.

Tante Liana menarik tangannya. Wajah perempuan itu merah

bagai tomat segar. Bibirnya terasa panas. Berkali-kali bibir itu dijilat sendiri. Lalu dia menyeret Alex ke kamar.

Pelat telah selesai memutar long-play-nya. Satu lagi turun secara

otomatis. Jarumnya turun perlahan dan menancap di pelat yang

berputar. Sentuhan yang halus tetapi menghasilkan suara lunak

dan lembut. Suara Tom Jones mengisi ruangan yang kosong.

Memang dia normal. Sebab, seluruh hatinya tertaruh pada perempuan yang memeluknya. Tak ada bayangan lain menggang

182

gu. Tak ada wajah lain yang melintas. Yang ada hanya wajah Tante Liana. Wajah yang membara dengan bibir yang menjalar-jalar.

Mereka berbaring untuk meredakan napas yang memburu.

Setelah sepuluh tahun hidup tanpa penyelesaian, setelah sepuluh

tahun hanya terbatas pada cumbuan, baru sekarang Tante Liana

menemukannya lagi. Dia memeluk tubuh lelaki muda itu. Buah

dadanya yang mulai layu terimpit oleh tubuh Alex.

Alex menyembunyikan wajahnya ke leher perempuan itu.

Ternyata aku bisa, kata hatinya. Tetapi, kenapa dulu di Semarang dan Surabaya itu tak sanggup? Karena Tante Liana sangat

cantik maka aku bisa? Atau karena ciumannya yang lembut dan

panas itu yang menjadikan aku normal kembali sebagai lelaki?

Malam sangat indah. Bulan bergayut di langit barat. Cahayanya yang keemasan dihalangi daun bambu kuning.

Mesin motor meraung-raung di Sirkuit Ancol. Beberapa pembalap sedang latihan. Alex adalah salah seorang dari mereka. Sudah

beberapa lap dia melarikan motornya. Maka dia meminggirkan

motornya. Tanpa turun dari motor, dia mengawasi pembalapyang

lain. Ada motor yang terlalu sempit mengambil belokan. Hampir saja selip. Untunglah pengemudi dapat menguasai keadaan.

Tetapi, motor itu sempat menyerempet tanah. Debu mengepul.

Seharusnya, semakin tinggi kecepatan semakin lebar mengambil

daerah tikungan.

Alex membuka helmnya. Karim mendekatinya.

183

"'Ada yang tak beres?" tanya Karim.

"'Semuanya beres," jawab Alex.

"'Belakangan ini kau lebih hati-hati membawa motor. Lebih

pakai perhitungan kulihat."

Alex tak menimpali. Dia cuma tertawa kecil. Memang, dia

sendiri merasakan perubahan pada dirinya. Dia sekarang takut

celaka.

"Bagaimana kabar Sunliang?" tanya Karim.

"Masih di Bogor. Diana sudah hamil."

"Wah, hebat. Gerak cepat."

Alex memperhatikan pembalap-pembalap di arena. Seorang

pembalap dari perusahaan Honda masih mengetes kemampuan mesin motornya. Sesaat saja dia menjadi perhatian Alex, sebab tiba-tiba ingatannya melayang ke Tante Liana. Dia guru yang

baik, pikirnya. Dia telah mengajarkan segalanya kepadaku. Segala

yang bisa dilakukannya.

Hari-hari yang berlalu belakangan ini, walaupun terasa singkat, tak bisa dibandingkan dengan hari kapan pun juga dalam

hidup Alex. Dia merasa dirinya sebagai Kaisar Louis, entah yang

keberapa. Ini sesuai dengan cerita Tante Liana. Konon Kaisar Louis

menemukan pengalaman seksnya dari inang pengasuhnya. Ketika Kaisar Louis masih remaja dan inang pengasuhnya sudah

separo baya. Pengalaman itu tak pernah terlupakan oleh Kaisar

Louis. Bahkan setelah dia menjadi diktator pun dia tetap mengenang inang pengasuhnya. Sebab, perempuan itulah yang telah

menjadikan dia lelaki yang sebenarnya.

Karim menepuk bahu Alex.

184

Alex tersentak.

"Eh, itu cewek dalam mobil sejak tadi di situ," kata Karim.

Alex mengikuti arah telunjuk Karim. Maka dadanya berdebar.

ltu Joice. Gadis itu sedang memandangnya ketika Alex melihatnya. Bentrokan pandang itu membuat gadis itu berpura-pura melihat motor yang sedang meraung di sirkuit.

Lalu Alex memutuskan untuk turun dari motor dan mendekati

gadis itu.

Gadis itu, Joice, menatap Alex. Beberapa saat keduanya membisu. Kemudian Joice mengetuk-ngetuk setir mobilnya.

"Jojo," sapa Alex,

"sendirian?"

Gadis itu mengangguk. Mereka bertatapan lagi. Alex menelan

ludahnya yang terasa seret di tenggorokan.

""Sudah lama?" tanya Alex.

Gadis itu diam. Dia mengawasi pembalap dengan motor Honda.

"Nggak latihan lagi?" tanya gadis itu kemudian.

"'Hari ini sudah cukup," Alex menjawab. Joice mengusap-usap

setir mobil.

"Nggak sekolah? Di mana sekolahnya sekarang?" tanya Alex.

"Arsitektur."

"Wah, calon insinyur," kata Alex.

"'Ah, kalau bisa. Sekolahnya sulit sih."

Lalu Alex membuka pintu mobil, dan duduk di samping gadis itu. Dia ingin mengucapkan beribu kata, tetapi kenyataannya

hanya berhenti di tenggorokan. Mulutnya terkunci dan otaknya

buntu. Untuk beberapa saat keduanya membisu.

185

Suara mesin meraung keras di dekat mereka. Kemudian surut

setelah motor itu menjauh. Kaset di mobil itu sejak tadi menyuarakan lagu-lagu dari Nana Mouskouri. Let it be, kata penyanyi

Yunani itu.

"'Senang kuliah?" tanya Alex kemudian.

"Ah, biasa saja. Kamu kok nggak sekolah lagi?"

Alex tak menjawab. Dia berlagak seolah tidak mendengar.

"'Kamu haus? Ayo, kita minum ke sana," katanya kemudian.

Lalu mereka minum di kafe di dekat mobil itu.

"Kamu masih tinggal di tempat yang lama?" tanya Alex.

"Ya."

Dan, diam lagi. Sesekali Alex melirik gadis itu, menatap mencuri-curi. Gadis itu tambah dewasa. Kecantikannya pun tambah

matang. Matanya yang lebar semakin kelam warna hitamnya,

sehingga tatapannya semakin menikam jantung.

Joice mengaduk-aduk jus alpukatnya. Lalu disedotnya minuman itu.

Inilah gadis yang telah kurusak hidupnya. Lihatlah betapa

lembut matanya. Lihatlah betapa suci wajahnya. Dan, lihatlah

betapa bejat diriku! Alex mengeluh dalam hati.

"Kamu nggak tinggal di rumah papa kamu sekarang?" tanya

gadis itu.

"Hm, hm," gumam Alex.

"Dulu, adik kamu, Wanda, teman saya les bahasa Jepang. Tapi,

dia lebih dulu berhenti. Saya tak pernah ketemu dia lagi. Dia masih sekolah?"

"Entah," kata Alex dengan suara tersekap.

186

"'Kamu tak pernah ketemu?"

Alex cuma menggeleng.

"Waktu les dulu, dia paling senang bercanda di kelas. Guru

kami oranglepang. Perempuan. Baik sekali orangnya."

"Kalau begitu, kamu lancar berbahasa Jepang."

"'Ah, ala kadarnya saja. Kore wa mm desuka. Anam wa Nihongoga

dekimasuka. Wah, tak ada yang ingat lagi."

Dan, percakapan mereka mulai lancar. Joice mengingatkan

Alex akan guru-guru mereka sewaktu di SMA. Dia juga mengabarkan bahwa Kiki kawin dengan guru aljabar, bukan dengan

guru olahraga yang menggilainya. Suami Kiki masih kuliah. Rupanya selama ini hanya sambilan mengajarnya. Lalu bercerita

tentang bagaimana anak-anak tamatan sekolah mereka yang

jatuh dalam tes di UI, tetapi banyak yang berhasil di ITB. Soalnya, mayoritas mereka memilih fakultas kedokteran. Rupanya

banyak yang bercita-cita menjadi dokter. Mungkin, hanya Joice

yang tidak tertarik pada bidang itu. Dia tak suka pekerjaan yang

berurusan dengan penyakit. Dia lebih suka membangun gedunggedung. Lebih asyik.

Sebelum Joice pergi, masih sempat bertanya,

"'Kamu besok

latihan lagi?"

"Ya."

Gadis itu tersenyum, dan mobilnya berlalu.

Alex terpacak bagai patung. Di sirkuit, tinggal satu motoryang

berputar-putar. Matahari tidak sedang terik.

Malahan sinarnya yang terang terasa indah. Segala yang ada

di bawahnya tampak indah. Papan-papan reklame perusahaan

raksasa menantang dengan warna-warna yang menyala.

187

Dan, Alex ingin agar hari besok cepat tiba.

Dia datang ke sirkuit itu lebih awal dari biasanya. Tetapi, dia

tak menemukan Fiat yang diharapkan. Dia memulai latihan,

mencoba kemampuan mesin motornya.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu akhirnya datang.

Alex menghentikan putarannya. Lalu mereka duduk-duduk

lagi di kafe, memandang pembalap-pembalap yang sedang menderu-derukan motornya.

"Nggak kuliah hari ini?"

"'Barusan pulang," kata Joice seraya memperlihatkan buku

yang dibawanya.

Itu pertemuan di hari Kamis. Setelah hari Kamis, Alex ingin

bertemu lagi pada hari yang lain. Dia ingin bertemu dengan gadis itu setiap hari. Ada perasaan aneh dalam dadanya setiap kali

memandang gadis itu. Perasaan yang membuat telapak kakinya

seperti digeremeti semut-semut halus. Dan, lekuk hatinya seperti

diusapi benda dingin. Perasaan semacam itu datang berulangulang. Bukan cuma sewaktu memandang gadis itu, melainkan

juga sewaktu mengenang gadis itu.

Setelah pertemuan mereka yang kedua,Joice pulang ke rumah

dengan hati gembira. Dia pun merasa bahwa hari yang berlalu

lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Dia senang melihat mata

lelaki itu bersinar, sekalipun masih agak malu-malu menatap. Dia

bukan lagi Alex yang dingin, pikirnya. Lebih-lebih lagi, dia bukan

lagi Alex yang diam saja setelah sadar mereka berbaring berdua

tanpa pakaian di ranjang Bonar. Dia bukan lelaki macam itu lagi.

Dia adalah Alex yang pemalu, lelaki yang takut terhadap gadisgadis, tetapi sesungguhnya hatinya sangat baik. Baiiik sekali.

188

Ketika tiba di rumah, Joice menangkap suasana yang lain.

Wajah mamanya lebih cerah. Wajah papanya juga. Sore hari,

baru dia tahu perkembangan yang terjadi. Mamanya menarik

tangannya untuk duduk, lalu berkata dengan nada yang manis,

"Jojo masih ingat Tigor?"

"'Tigor anak Om Panusunan yang pernah tinggal di sini dulu?"

kata Joice.

"'Ya, benar. Tujuh atau berapa tahun yang lalu ya? Waktu dia

masih SMA."

Joice bergumam.

""Dua hari lagi dia datang dari Jerman. Studinya di Muenehen

hampir selesai,"" kata mamanya.

"Lantas?" tanya Joice.

"Nah. Tadi, mama-papanya ke sini. Datang khusus dari Medan."

KeningJoice mulai dikerutkan. Jika sudah menyangkut orangtua semacam ini, dia mulai waswas.

"Mereka melamarJoice. Bukankah itu baik sekali?"

"Mama!" kata Joice keras.

"Mama dan Papa pikir, lamaran itu perlu ditanggapi dengan

baik."

"Mama," kataJoice lagi. Tetapi, mamanya seolah tak mendengar.

"'Tigor anaknya baik. Selama tinggal di sini dulu, adatnya sopan. Menurut pandangan Mama, tak ada lagi yang kurang pada

dirinya."

"Tapi, Jojo tidak mengenalnya dengan baik, Mama."

"'Tidak mengenalnya? Bukankah kalian sangat akrab waktu dia

di sini dulu?"

189

"Jojo masih kecil waktu itu. Dan, baginya juga, Jojo hanyalah

adik kecil, tak lebih."

"'Tidak, Joice. Dia sudah tahu bahwa kau sudah besar. Kami

sudah mengirimkan fotomu padanya."

"Mama!"

""Ya? Ada apa, Sayang?"

""Jojo tidak mau cara-cara begitu. Jojo tidak diberi kesempatan

untuk menilai sendiri."

"Penilaian kita akan sama, Jojo. Sebab, dia orang baik. Studinya sebentar lagi selesai."

"'Tapi, bagi Jojo bukan hanya itu, Mama. Jojo ingin mengenalnya lebih dulu secara mendalam. Jojo ingin tahu hatinya."

""Sudahlah. Nanti Jojo pasti bisa mengenalnya lebih mendalam, setelah dia datang."

""Kalau tidak ada kecocokan?"

"'Harus. Harus ada kecocokan. Kau harus belajar menyesuaikan diri. Kau harus tahu posisimu. Kau harus merasa beruntung

bersuamikan dia."

"'Tapi, Jojo tidak mencintainya."

"'Kau harus belajar mencintainya, Joice!"

""Tapi, tapi, tapi..."

"Tak ada tapi-tapian lagi. Mama dan Papa sudah mengiyakan

lamaran orangtuanya."

"Mama!" hampir berteriak Joice.

Dan, mamanya beranjak. Tinggallah Joice seorang diri duduk termangu-mangu. Tigor. Nama yang sangat jauh dari hatinya. Joice masih ingat, Tigor lelaki yang sangat baik, yang mau

190

mengantarkannya nonton matinee, jika ada film yang boleh ditonton anak-anak seusia Joice. Joice masih kecil ketika itu. Ya, dia

memang baik. Tetapi, apakah kebaikan itu saja cukup? Sebagai

abang, mungkin dia memang baik. Tapi, akan begitu pulakah dia

sekarang?

Joice mengeluh tanpa suara. Lalu dia ingat Alex. Di bawah

matahari yang bebas menebarkan sinar, di sirkuit, dia kelihatan

perkasa. Dia berdiri memeluk helmnya dengan wajahnya yang

dingin. Rahangnya bergerak-gerak selalu lantaran mengunyah

permen karet. Dia adalah lelaki yang tangguh dalam memperjuangkan hidupnya.

Akan halnya Tigor? Ah, siapa sih dia? Anak orang kaya yang

selamanya berkecukupan. Sekolah ke Muenehen dengan biaya

dari orangtuanya. Tidak pernah menghadapi perjuangan hidup.

Segalanya bisa diraihnya dengan gampang, tetapi bukan atas jerih payah sendiri. Apa pun bisa diperolehnya, tetapi bukan dari

hasil perjuangan sendiri. Pada lelaki seperti itukah aku harus

menyandarkan hidupku? Ah!

Joice banyak mengenal teman sekolahnya yang bergaya jagoan, tetapi seluruh perwujudannya tak lain dari kekayaan orangtua. Mereka hanyalah bayangan orangtua masing-masing. Mereka hidup dalam bayangan, tetapi berlagak sebagai pemilik dunia

ini. Tentunya semacam itu pulalah Tigor. Dia tak pernah mengalami perjuangan hidup. Semua jalan yang ditempuhnya telah

dibersihkan dan diratakan oleh orangtuanya. Begitu gampang dia

melangkah. Begitu mulus jalan yang dipijaknya. Namun, dalam

segala hal dia tetap bergantung kepada orangtuanya. Takkan ada

perjuangan hidup.

191

Joice menginginkan lelaki yang keras hati dalam berjuang,

tetapi lembut terhadap orangyang dicintainya. Dialah lelakiyang

siap melakukan apa saja dengan kemampuannya sendiri, demi

orang yang dicintainya. Akankah Joice menemukannya pada diri

Tigor? Tak pernah terbayang olehnya bahwa Tigor-lah lelaki yang

diharapkannya. Jika dia boleh membayangkan, lelaki yang didambakannya adalah lelaki yang beraut wajah keras lantaran

bakaran matahari, dan terdapat codet pada wajah itu.

Dia memang pernah membenci lelaki itu. Sangat membenci.

Tetapi, setelah dia melupakan rasa benci, yang tinggal hanyalah simpati terhadap kekerasan dan perjuangan lelaki itu dalam

mengisi kehidupan.

Maka pada hari Jumat, Joice datang ke sirkuit. Dia bertemu lagi

dengan Alex. Hari itu, Joice tidak bergairah sekali untuk berbicara

sehingga Alex yang semula takut-takut berubah menjadi berani.

Berani menghunjamkan pandangan ke mata gadis itu.

"Kok diam saja, Joice?" kata Alex. Joice tak bereaksi.

"'Ada persoalan di rumah?"

Joice tetap diam.

"Atau di fakultas?"

Joice tetap membisu. Dan, ketika dia mengangkat kepala,

pandangannya tertumbuk pada pandangan yang dalam, yang

menyusup ke relung hatinya. Untuk pertama kali lelaki itu menatapnya tanpa lebih dulu membuang pandang.

Jantung Joice bergetar. Isi dadanya seperti diaduk-aduk tangan gaib.

""Kelihatannya Joice susah," kata lelaki itu perlahan. Joice me

ngeluh halus. Lebih mirip erangan.

192

"'Ada apa sih?" tanya Alex.

"'Kapan perlombaan lagi?"tanyaJoice.

"'Dua bulan mendatang."

"'Di sini?"

"'Ya. Datangya, Joice?" Gadis itu mengangguk.

Sebuah mobil mengklakson dan berhenti di dekat kafe itu.

Pintunya terbuka, dan dari dalam keluar seorang perempuan.

Tante Liana melangkah tergesa memasuki kafe itu.

"Ah, Lexi. Beberapa hari kok nggak muncul?" katanya.

Alex berdiri.

Tante Liana agak tercengang. Matanya mengawasi Joice. Tatapan sembilu. Joice pun berbuat yang sama. Keduanya saling

menatap.

"Oh,ya, Tante," kata Alex terbata-bata,

"ini Joice. Joice, ini Tante

Liana."

Kedua perempuan itu saling mengangguk.

"'Aku pulang, Lex," kata Joice. Lalu, tanpa menunggu jawaban,

dia melangkah keluar, berjalan cepat menuju mobilnya. Dia bisa

menangkap sinar curiga dari mata perempuan itu. Dia bisa melihat binar-binar kecemburuan dari mata perempuan itu. Hati perempuannya dapat melihat kecemburuan lewat mata yang bagai

silet menoreh matanya.

Maka Joice melarikan mobilnya kencang-kencang. Sementara

itu, Tante Liana menaruh pantatnya di kursi pelan-pelan.

"Pacarmu?" tanyanya. Dia sendiri heran atas kegemetaran suaranya. Cemburukah aku? Kalau tidak, kenapa tiba-tiba hatiku bergolak melihat gadis itu duduk di samping lelaki ini? Cemburukah

193

aku? Kenapa tiba-tiba jalan darahku tak beraturan melihat gadis

itu? Cemburukah namanya jika kita tahu orang yang kita cintai beralih kepada perempuan lain? Cemburukah namanya, jika

kita tak memperoleh cinta seutuhnya dari lelaki yang kita cintai?

Ah, cintakah aku pada Alex? Lantas, bagaimana dengan Burhan?

Apakah aku sudah berani mengkhianatinya? Ya, aku mengkhiahatinya belakangan ini. Tapi, hanya tubuhku yang mengkhianatinya. Hatiku tidak. Aku merasa bahwa hatiku seutuhnya mencintai

Burhan. Tetapi, kenapa aku cemburu melihat gadis itu tadi? Bukankah ini menjadi pertanda bahwa aku tidak hanya menyerahkan tubuhku, tetapi juga hatiku?

"'Kenapa Tante datang?" tanya Alex dengan tenggorokan rasa

tersekat.

Tante Liana terpana. lnilah untuk pertama kalinya Alex menyesali kedatangannya. Dia menyesali kemunculanku, pikir perempuan itu. Tetapi, mulutnya tetap terkatup. Kalau begitu, pikirnya lagi, dia tentu mencintai gadis itu. Lalu, aku tidak ada artinya

lagi baginya. Aku hanya perempuan tua. Oh!

Mata perempuan itu berkaca-kaca. Ah, aku sama sekali tak

berarti bagi lelaki muda ini, pikirnya.

"Maafkan aku," kata Tante Liana. Suaranya tersekap murung.

Alex mengangkat kepala dan menatapnya. Dia kaget mendapati titik air mata di wajah perempuan itu.

"'Ali, tak apa-apa, Tante," katanya kemudian lunak. Lalu dia

pegangtangan perempuan itu.

Tante Liana menoleh ke arahnya.

"Maafkan aku. Seharusnya aku tidak datang. Tapi, aku tidak

194

tahan. Aku merindukanmu, Alex, Aku tidak tahu kenapa perasaan ini baru datang sekarang. Lima hari kau tak muncul, hatiku

sangat tersiksa."

Ucapan Tante Liana meluncur sepatah demi sepatah. Dia merasa dirinya sangat lemah. Suatu perasaan yang baru kali ini dialaminya, bahkan tidak dialaminya pada permulaan suaminya

mengalami kecelakaan. Dia takut diabaikan oleh lelaki muda ini.

Dia takut ditinggalkan lelaki muda ini.

Tante Liana menatap wajah lelaki muda itu. Dia menemukan

seraut wajah yang terbalut usia muda. Wajah yang belum mencapai puncak tertinggi kematangan seorang lelaki. Hanya saja,

penderitaan telah memaksanya tampak tua. Bagaimana bisa kau

mencintai anak muda ini? Tante Liana mengeluh dengan suara

tertahan dalam dada. Aku ternyata bukan mencintainya sebagai

ibu mencintai anaknya. Aku mencintainya bukan lantaran dia

anak-anak. Aku mencintainya lantaran dia lelaki dewasa, lelaki

yang telah meluluhkan hatiku, meluluhkan badanku. Ini seperti

perasaan yang kualami puluhan tahun yang lalu, ketika aku masih muda, ketika Burhan pun masih muda. Kenapa perasaan ini

berulang justru terhadap lelaki lain? Kenapa aku mengkhianati

suamiku? Kenapa aku mengkhianati orang yang menyemaikan

cinta di hatiku, yang mengajarkan cinta yang indah kepadaku.

Telapak tangan Alex hangat mendekap tangan perempuan

itu. Tante Liana merasa rusuh di hatinya berkurang. Mata lelaki

muda yang lunak ini memberaikan kemelutnya.

Salahkah jika aku mencintainya? Salahkah jika aku jatuh cinta

untuk kedua kalinya? Aku tak bisa mengatasi cinta yang bangun
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

195

diam-diam dalam diriku. Cinta yang sekian lama tidur dalam

tahun demi tahun, haruskah kubunuh? Padahal, karena cintalah

aku bisa melihat hidup ini lebih indah.

Dan, seribu pertanyaan berputaran di kepala perempuan itu.

Lalu Alex menyertai perempuan itu pulang ke rumahnya. Di dalam mobil, Alex tidak menemukan Tante Liana yang biasanya.

Kini dia melihat seorang perempuan yang termangu-mangu. Dengan mata sayu, Tante Liana menatap lurus ke depan lewat kaca

mobil.

"'Lexi, Tante tidak ingin kehilangan kamu," katanya perlahan.

"'Saya juga, Tante," kata Alex.

"'Ah, tidak mungkin. Lexi ingat apa yang Tante bilang tempo

hari? Lexi akan ketemu dengan gadis yang Lexi cintai, dan Lexi

akan melupakan Tante."

""Saya tidak akan melupakan Tante," kata Alex. Mobil meluncur

terus. Tante Liana tidak mau menutup jendela. Maka angin me

nerpa-nerpa rambutnya.

196

oice memasukkan mobil ke garasi setelah hampir saja megnabrak gerbang pagar tadi. Benci, jengkel, dongkol bercampur menjadi satu dalam dadanya.

Dia jadi simpanan tante itu, kutuknya. Bangsat! Lalu, seperti

baru saja makan rujak, dengan muka keruh dia masuk ke kamarnya. Pintu kamar terempas. Bangsat! Kelihatannya saja sopan. E,

ternyata benar pula dugaan teman-teman tempo hari. Dia cuma

gigolo. Bah!

Cinta yang mulai menguntum di hati gadis itu langsung menjadi layu. Dia terbakar oleh kebencian yang selama ini tidur dalam dirinya. Bukan hanya benci terhadap Alex, melainkan juga

benci kepada perempuan itu. Dia telah merampasnya dari sisiku.

Merampasnya? Bah!

Joice termangu-mangu.

Kenapa aku marah? Cemburukah aku pada perempuan tadi?

Kenapa harus cemburu? Oh, apakah aku mencintai lelaki itu?

Joice mengempaskan tubuhnya di ranjang. Biasanya, orang

tidak bisa marah dalam keadaan berbaring. Marah hanya bisa

197

terjadi pada diri seseorang yang kepalanya tersangga leher. Ini

kodrat manusia. Kalau berbaring, orang hanya bisa melamun,

berkhayal, atau berpikir. Itulah.

Maka Joice berpikir, jika aku tidak mencintainya, aku tak perlu marah kepadanya. Ya, toh dia bebas berbuat apa saja. Mau

jadi gigolo, mau jadi bajingan, itu bukan urusanku. Tapi, tadi

aku sungguh-sungguh cemburu. Nah, memang cemburu. Aku

tak suka dia dicintai perempuan lain. Lantas. apa arti sebenarnya

lelaki itu bagiku?

Sepanjang siang dan sore hari, Joice begulat dengan dirinya.

Makin dipikir, makin sangat berarti lelaki itu bagi dirinya. Cuma,

sekarang, apa pun arti lelaki itu baginya, harus dilupakan. Tak

perlu mengingat-ingatnya lagi. Ini keputusan Joice.

Ketika Tigor datang. Joice merasa bahwa lelaki itu ternyata tidak separah yang dia sangka. Memang kelihatan agak sombong,

tetapi kesombongan itu mungkin biasa bagi orang-orang pintar.

Kesombongan intelektual. Kesombongan orang yang yakin bahwa setiap hal bisa dipecahkan dengan akal. Matanya lebih berani

menatap lawan bicaranya.

"ini Joice?" kata Tigor saat berjabat tangan.

"Wah! Tidak disangka secantik ini."

Joice tersipu.

Tigor berbadan gemuk. Mungkin iklim di tempat dia tinggal

mengharuskannya makan banyak-banyak. Tetapi, karena tidak

terlalu tinggi dia tampak seperti cukong-cukong. Lehernya seperti

terbenam di pundaknya. Namun, secara keseluruhan, dia menam

pilkan perujudan yang simpatik. Wajahnya selalu tersenyum.

198

"Sudah banyak perubahan. Kau masih senang nonton hlm

Walt Disney?"

Joice tambah tersipu. Tigor memang dulu sering mengantarkannya nonton Film kartun. Itu ketika Joice masih kecil. Sekarang,

tentu lain lagi selera Joice.

Mereka nonton di Drive-in Theatre. Angin malam mengusap

tubuh Joice. Angin dari laut utara. Dingin.

Dia ingin menutup jendela mobil, tetapi Tigor tak tahan panas. Lelaki itu merangkulnya.

Film yang dipertunjukkan tidak menarik.

"Bagaimana kuliahmu, Jojo?" tanya Tigor.

"'Bagaimana apanya?"

"Belum ujian?"

"Masih lama."

Beberapa saat mereka diam. Tigor kembali memandang ke

depan. Cerita Film itu memang membosankan. Mungkin Film kedua nanti lebih bagus.

"'Di Muenehen, hlm-Film sangat menarik. Kadang-kadang ada

satu judul film yang diputar sampai berbulan-bulan di satu hall."

Joice tak menimpali.

"Lebih-lebih kalau diputarkan film dari Denmark. Biasanya

menarik. Di sini tak masuk Film Denmark?"

"Tidak."

"Wah, sedih juga nanti kalau kerja di Indonesia ini. Film-Filmnya jelek."

"'Selesai studi nanti Abang kerja di sini?"

"Entahlah. Bagaimana Papa mengaturnya saja."

199

Joice kembali diam.

Tigor mengipas-ngipas.

"'Kenapa tidak dipasang AC di mobil ini?" tanyanya.

"Mahal harganya," kata Joice.

"Ah, berapa mahallah itu. Di Jerman, semua mobil pakai AC.

Ada juga yang tidak. Tapi, mobilku pakai."

"Enak sekolah di sana?"

"Ya, tentunya lebih enak daripada sekolah di sini. Tapi, mungkin juga karena aku biaya sendiri. Teman-teman yang sekolah

dengan beasiswa, kebanyakan mengeluh. Malah banyak yang terpaksa kerja untuk menambah mencukupi kebutuhan, Kalau aku

tak perlu kerja. Itu makanya bisa cepat selesai."

Joice diam lagi. Tangan lelaki itu makin ketat merangkulnya.

Tetapi, dengan halus Joice menyingkirkan tangan itu. Dia berlagak kepanasan.

"'Kabarnya, gadis-gadis Jerman suka bergaul dengan laki-laki

Asia?"

"Ya. Tapi, aku tidak suka bergaul dengan mereka. Waktuku

habis di universitas."

"'Selama sekolah di sana, baru kali ini Abang pulang?"

"'Ya. Biasanya, setiap libur aku mengadakan perjalanan ke berbagai negara. Ke Prancis, Italia, Austria. Hampir semua negara

yang tidak blok sosialis kukunjungi. Senang bisa melihat banyak

negeri. Prancis lain daya tariknya. Itali lain lagi. Belgia lain pula.

Masing-masing punya keistimewaan sendiri-sendiri. Itu sebabnya

aku malas pulang selama ini."

"00," kata Joice tanpa nada.

200

"'Kalau sedang musim dingin di Muenehen, aku sering ke Eropa Selatan. Lumayanlah. Dengan banyak berjalan, banyak pengalaman. Siapa tahu pengalaman-pengalaman itu nanti ada gunanya"

"'Banyak dong biayanya," kata Joice.

""Ya. Tapi, kenapa harus dipikirkan? Pengalaman yang didapatkan dari perjalanan itu tidak bisa dibayar dengan uang berapa

pun. Dan lagi, buat apa kekayaan yang dikumpulkan Papa selama

ini? Toh hanya aku sendiri anak laki-lakinya. Buat apa kekayaan

cuma disimpan saja?"

"000," kata Joice lagi.

Dan, dia ingin agar film cepat berakhir. Dia ingin cepat-cepat

pulang.

Sebentar lagi pesawat ke Hong Kong akan mengangkasa. Beberapa petugas sekuriti di lapangan terbang itu mondar-mandir.

Entah apa yang sedang mereka sibukkan.

Tante Liana berkali-kali mengusap lehernya.

"'Tante tidak akan lama. Paling seminggu," katanya. Itu sudah

diucapkannya tadi, Kesibukan di ruang tunggu itu tak mengganggu Tante Liana dan Alex. Pengumuman-pengumuman dari laudspeaker mereka simak. Belum ada pengumuman untuk penumpang pesawat menuju Hong Kong.

"Dari Hong Kong nanti, kalau bisa Tante ingin ke Singapura.

Tante akan berusaha mencari mama Lexi."

201

"'Ah, untuk apa?"

"Sungguh-sungguh Lexi tak ingin ketemu Mama?"

Alex tak menjawab.

"'Sebenarnya Tante tidak suka mengadakan perjalanan jauh,"

kata Tante Liana.

"Tapi, Om Burhan memanggil Tante. Tak tahu

kenapa."

"Tante tidak tahu kenapa?" tanya Alex.

Tante Liana menggeleng. Lalu katanya sambil tersenyum,"0m

memang begitu. Kadang-kadang dia cuma ingin membelikan sesuatu buat Tante, tetapi dia ingin Tante yang memilih sendiri. Dia

takut kalau yang dibelinya tidak cocok dengan selera Tante."

Alex memikir-mikir.

Senyum Tante Liana bertambah mekar.

"Tentang urusan kita, jangan khawatir. Andai Om tahu, dia

takkan marah."

ini pernah diucapkan, tetapi Alex tak pernah percaya. Dia selamanya merasa waswas tiap kali turun dari ranjang Tante Liana.

Dan, perempuan itu selalu pula menghibur dengan kalimat itu.

"Jangan khawatir, Lex," kata Tante Liana lagi.

Tetapi, bagaimana tidak khawatir! Seorang istri akan pergi

menemui suaminya, dan selama beberapa hari ini Alex menggumuli istri tadi.

Para penumpang pesawat ke Hong Kong agar bersiap-siap,

suara pengumuman. Tante Liana berdiri. Dia menatap dalamdalam mata Lexi. Dia dapat melihat kerisawan di mata itu.

"'Tidak akan lama, Lexi," desahnya.

Alex menelan ludah,

202

Tante Liana membuka tasnya dan mengeluarkan kalung yang

ada medalionnya.

"Ini Tante pesan khusus buat Lexi," katanya sambil mengalungkan ke leher Alex.

Alex terpana. Tiba-tiba Tante Liana merangkulnya dan menciuminya. Bukan ciuman biasa. Untuk pertama kalinya Tante Liana

mencium bibir lelaki di tempat terbuka, bukan di kamar tertutup.

Dengan ciuman yang ketat pula.

Lalu dia melepaskan tubuh Alex, dan tanpa berucap sepatah

pun dia berlari. Tanpa menoleh-noleh ke belakang lagi, dia menyodorkan dokumen-dokumen perjalanan kepada petugas dan

berjalan cepat-cepat menuju pesawat.

Alex berdiri mematung. Dia memandangi orang-orang memasuki perut pesawat. Terus mematung hingga pesawat berlari

dan terbang.

Yang tinggal hanyalah sepi. Alex menggenggam medalion

yang tergantung di lehernya. Dia membaca namanya terukir di

satu muka, dan melihat fotonya terpampang di muka yang lain.

Bayangan wajah Tante Liana melintas dengan senyumnya yang

lembut. Pesawat-pesawat terbang yang parkir di lapangan memantulkan cahaya matahari sore.

Alex pergi ke Sirkuit Ancol. Dia bertemu dengan Karim yang

sedang memeriksa mesin-mesin motor perusahaan asembling.

"Tadi kok nggak latihan kau?" tanya Karim.

"Ada urusan. Aku mengantar Tante ke Halim."

"Tante yang sering datang ke sini?"

"Hm, hm."

203

"Ada suaminya?"

"'Ada. Dia mau menemui suaminya."

Alex meneliti medalionnya yang terbuat dari perak murni.

Prof1| mukanya yang tercetak di medalion itu diraba-raba. Karim

ikut melihat.

"Wah, bagus," kata Karim. '"Pesan di mana ini? Aku juga kepingin bikin. Toko mana yang bisa bikin beginian?"

"Aku tak tahu. Ini hadiah."

"'Mahal nih. Siapa yang kasih?"

"Tante."

"Uh! Yang kawantar ke Halim?"Wajah Karim berubah.

"'Ya. Kenapa?"

"'Ah, tidak. Cuma, kurang baik kalau dalam perpisahan ada
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memberi medalion."

"Kurang baik?"

"Ya. Biasanya kurang baik. Kalau diberikan waktu ulang tahun,

atau hadiah baru bertemu, itu tak apa-apa. Tapi, kalau waktu berpisah, sebaiknya jangan."

"'Kenapa, Rim?"

"'Ah, nggak apa-apa. Itu cuma takhayul di daerahku."

Maka waswas kembali berputaran di dada Alex. Dia khawatir

terjadi sesuatu terhadap Tante Liana. Ah, apakah Om Burhan mengetahui hubungan kami selama ini? Boleh jadi. Boleh jadi dia punya mata-mata. Barangkali pelayan di rumah. Tapi, mana mungkin

pelayan itu berkirim surat ke Hong Kong? Tahukah dia alamat Om

Burhan di Hong Kong? Tante Liana berkali-kali bilang,

"'Andai Om

Burhan tahu, dia tidak akan marah." Sungguhkah itu?

204

Karim mengajak Alex ke Binaria. Sebelum berangkat, Karim

mandi di kamar mandi yang tersedia di sirkuit itu. Selama menunggu Karim inilah waswas semakin menggerogoti kesadaran

Alex. Bayangan wajah Tante Liana tak lekang dari matanya. Alex

mengelus-elus medalionnya. Rasanya hangatnya jari perempuan

itu masih tersisa di situ. Rasanya, masih tersisa ciuman perempuan itu di bibir. Ciuman keberanian. Berani, sebab dia melakukannya di tempat terbuka, dan bukan ciuman kasih sayang lagi.

Itulah ciuman perpisahan bagi orang-orang yang dimabuk cinta.

Cuma, bibir itu terasa dingin tadi, pikir Alex. Mungkin karena

baru saja minum es.

Kemudian Karim mengemudikan mobil perusahaan menelusuri jalan-jalan di Ancol. Matahari sudah terbenam. Sepanjang

jalan mulai bermunculan perempuan-perempuan bersolek mencolok. Ada di antara perempuan itu yang memanggil Karim dan

Alex, tetapi Karim tidak menghentikan mobilnya. Mobil meluncur terus membelah jalan di Binaria.

Mereka berhenti di depan sebuah kafe, dan mereka duduk di

bawah tenda di dekat pantai. Di dalam kegelapan, laut menampar-nampar pantai itu. Angin bertiup giris.

"Kau mau perempuan?" tanya Karim.

"'Tidak," kata Alex sambil menuang bir ke dalam gelas.

"'Kalau begitu, kautunggu di sini, biar aku carikan teman ngobrol." Karim pergi. Tidak lama kemudian dia muncul lagi sembari

merangkul dua perempuan. Masih muda-muda mereka.

"'Lho? Aku bilang aku tidak mau," kata Alex.

"Ah, diamlah. Kita omong-omong saja di sini. Mau, kan?" kata

Karim kepada kedua gadis itu.

205

Keduanya mengangguk disertai senyum. Lipstiknya terlalu tebal. Lalu Karim memesankan minuman untuk kedua perempuan

itu.

"'Kita dongkol sekali kemarin malam," kata gadis yang berbaju

merah jambu.

"'Kena pa?" tanya Karim.

"Masa ada yang ngajak kita, eh, taunya dibawa ke Marcopolo."

"Kok dongkol? Kan enak di sana?"

"Iya, enak. Tapi, janjinya cuma satu jam. Tahunya sampai pagi

kita baru diantar pulang."

""Wah!" Karim berdecak-decak seperti kagum. Tetapi, tanpa

sepengetahuan kedua perempuan itu, dia menyikut iga Alex.

"Kita juga," kata gadis yang satu lagi.

"Dua hari yang lalu, ada

yang datang pakai Mercy. Kita diajak, eh, taunya ke Tanamur. Kita

nggaksenang"

"'Kok nggak senang?" tanya Karim.

"'Habis, banyak kenalan kita sih di situ."

"'Wah, pukulan tinggi dong kamu," kata Karim berlagak kagum.

"'Temannya yang satu kok diam saja?" kata gadis yang berbaju

merah jambu.

"'Dia baru saja operasi amandel di kerongkongannya. Dokter

melarangnya banyak bicara," kata Karim.

"'Aduh, kasihan. Harus berapa lama nggak boleh bicara?"

"Boleh sih boleh. Tapi, kalau terlalu banyak ngomong, bekas

luka operasinya bisa kambuh lagi."

Kedua perempuan itu berdecak seperti cicak, Lalu mereka

206

membicarakan lagi ketidaksenangan mereka terhadap para pemakai. Seolah-olah mereka sering dipakai oleh orang-orang kalangan

atas. Tetapi, justru mereka menyatakan tidak puas.

Karim menunjukkan ekspresi muka penuh percaya sehingga

kedua gadis itu semakin bersemangat bercerita. Maka Alex merasa cepat mengantuk.

Bicara hilir-mudik, akhirnya gadis yang berbaju merah, yang

sejak tadi menggelendot di bahu Karim, mengajak Karim pergi.

Mereka berdua meninggalkan kursi. Tinggallah satu orang lagi

menemani Alex. Setelah puas melanjutkan cerita selangitnya,

akhirnya dia berkata,

"'Ke tenda yuk?"

"Lho, ini kan sudah di tenda," kata Alex berlagak pilon.

"Alaaah, kayak nggak ngerti saja."

Alex tak bereaksi. Perempuan itu masih terus membujuk. Tetapi, Alex tetap tak acuh. Lalu perempuan itu putus asa. Dia pergi

sambil menggerutu.

Ya, itu lebih baik, pikir Alex. Dan, Alex memang menginginkan ketenangan. Dia bosan mendengarkan cerita perempuan itu.

Yang Mercy-lah, yang Kartika Plaza-lah, yang Disko Tanamur-lah,

tetapi nyatanya mereka masih mencari mangsa di Binaria ini.

Lalu Alex menyandarkan kepalanya, membiarkan angin laut

meniupnya, mengusutkan rambutnya. Ombak menggelombang

di pantai. Lampu-lampu kapal di kejauhan terlihat seperti kunang-kunang. Begitu pula sinar mercusuar.

Dari kafe itu terdengar semayup lagu hard-rock. Kontras sekali dengan suasana tenang yang diberikan oleh kegelapan laut.

Alex merasakan minum bir terlalu enteng. Lalu dia memanggil

207

pelayan, meminta brendi. Entah brendi buatan mana, uapnya

keras dan aromanya sengit. Minuman itu dicampurnya dengan

bir. Sambil menghadap ke laut, dia menikmati rambatan di kepalanya. Rambatan yang timbul akibat minuman itu.

Pagi itu Alex bangun terlambat. Sunliang sudah sejak lama tak

ada di sampingnya. Suara bising dari orang-orang bengkel yang

kini bertugas membangunkannya.

Alex bangkit dari pembaringan. Ludahnya pahit dan kerongkongannya sakit. Rupanya minuman tadi malam itulah penyebabnya. Masih menyisakan pening di kepala. Dengan langkah

gontai, Alex berjalan ke kamar mandi. Matanya silau menentang

sinar matahari. Siraman air dingin dapat mengurangi denyutan

di kepalanya.

Selesai mandi, dia pergi ke kantor bengkel. Dia malas bekerja.

Kepalanya pening dan berat. Om Bun Hwa sedang menghitung

angka pembukuan ketika Alex tiba.

"Jaga kondisi, jangan ngelencer terus," kata Om Bun Hwa sambil sekejap mengangkat kepala.

Alex tak menanggapi. Dia duduk di kursi tamu.

"Sekarang banyak kecelakaan," kata Om Bun Hwa.

"Bus-bus pada

masukjurang, pesawatjatuh. Haiya, tambah berkurang manusia."

Alex meraih koran di meja. Selintasan saja dia membaca judul-judul berita. Dan, tiba-tibajantungnya terasa berhenti berdetak. Pesawat yang Berangkat dari Jakarta Menuju Hong Kong Terjatuh

di Perairan Cina Selatan!

208

Napas Alex seketika sesak. Dengan terengah dia membaca isi

berita.

Hanya ditemukan bekas-bekas minyak di daerah yang diperkirakan tempat jatuhnya pesawat itu. Tidak ada penumpang yang

ditemukan. Usaha-usaha pencarian masih terus dilakukan. Satu

tim dari Jakarta, dan satu lagi dari Hong Kong sudah bergabung

untuk mengadakan pemeriksaan. Nama-nama penumpang yang

ikut dalam pesawat itu, berdasarkan catatan pihak China Airlines... ada ini... Nyonya Rosliana Burhan... oh.| Itulah dia! Itulah

dia!

Alex terhuyung-huyung meninggalkan kantor. Dia kembali ke

gudang. Kepalanya bagai diimpit ribuan kilo besi. Tubuhnya bagai digayuti ribuan paku tajam. Berat dan nyeri. Dia menggeletak

lemas. Kecamuk perasaan mengharu-biru dirinya. Dia ingin menjerit, ingin berteriak setinggi langit. Dia ingin menangis, tetapi tak

kuasa. Tubuhnya kelewat letih, dan air mata pun tak bisa mengalir. Rongga mata dirasa kering.

Siang hari, sebelum berangkat, Tante Liana masih sempat

mencumbu Alex. Sore sebelum mengangkasa, perempuan itu

masih mencium Alex. Inilah akhir dari segalanya itu.

Alex merasa jalan napasnya tersumbat. Dia menggelepar. Dia

membanting tubuhnya ke lantai gudang. Dia meninju lantai itu

sekuat-kuatnya. Dia menjerit, tetapi suaranya teredam oleh dada.

Bagai dituntun tangan gaib, dia pergi ke rumah Tante Liana.

Dia mengetuk pintu rumah itu. Dia masuk tanpa bersuara setelah

pintu dibukakan pelayan. Dia langsung duduk di ruang depan,

dan termangu-mangu. Pelayan di rumah itu belum mengetahui

209

berita kecelakaan itu. Dia hanya terheran-heran melihat muka

yang pucat, rambut kusut, dan mata merah yang nyaris tidak

berkedip itu.

Entah berapa lama Alex duduk termangu tanpa memedulikan

pelayan menyilakannya untuk makan. Tidak juga memedulikan

ketika pelayan mengantarkan minuman.

Siang itu Om Burhan datang. Dia menemukan lelaki muda itu

masih termangu-mangu di ruangtamu.

"Lexi," kata Om Burhan lemah.

Alex mengangkat kepala. Mereka bertatapan. Mata lelaki tua

itu basah oleh air mata. Alex tak berkedip memandangnya.

"Lexi," desah lelaki tua itu lagi. Lalu dia memeluk lelaki muda

di depannya.

"Nasib kita, Lexi. Ya, kenapa aku harus menyuruhnya

datang ke Hong Kong? Kenapa? Hanya karena aku ingin membelikannya permata, aku kehilangan dia," suara Om Burhan tersendat-sendat.

Rupanya, begitu mendengar berita kecelakaan itu, Om Burhan

langsung mengambil tiket pesawat paling awal ke Jakarta. Tetapi, apakah kepulangannya bisa mengembalikan istrinya? Dalam

waktu beberapa jam, dia merasa dirinya tua dengan drastis. Dia

merasa dirinya letih.

"Aku ingin menggembirakan hatinya, tetapi inilah hasilnya,"

keluh Om Burhan.

Kemudian keduanya membisu. Ruangan itu hening. Keduanya kehilangan orang yang sama-sama mereka cintai. Ah, Tante

Liana telah sempurna menjalani hidupnya. Dia lepas dari tangan

cinta yang satu, jatuh ke dalam pelukan cinta yang lain. Dia akan

210

menemui suaminya, meninggalkan orang yang dicintainya, dan

akhirnya satu pun tak ada yang dijumpainya. Dia lenyap ditelan

lautan. Satu perjalanan hidup yang indah, yang diakhiri kematian yang tak berbekas. Tetapi, masih ada yang ditinggalkannya,

yaitu kenangan yang tak akan pudar sepanjang masa. Dia adalah

perempuan yang mengangkat Alex dari lembah yang dalam, dan

mengajarinya untuk tegak di puncak gunung dan melihat keindahan dunia. Dialah bintang yang menerangi hidup Alex yang

kelam. Tetapi, dia kini lenyap. Bintang itu sudah terbenam dalam

keabadian yang biru.

Lantas keabadian sepi menyungkup kedua lelaki itu. Dan, dalam sepi itu, persahabatan mereka terbuhul. Om Burhan membutuhkan Alex, dan Alex membutuhkan seorang teman yang bisa

diajak membicarakan Tante Liana sepanjang hari.

Om Burhan yang merasa Jakarta kelewat lengang, tidak punya

seseorang yang akrab dengannya, merasa bahwa kemunculan

Alex dalam hidupnya sangat menolong. Dia merasa kian lemah.

Dalam rambatan usia tuanya, dia rasakan dunia ini kelewat tidak

bersahabat Untuk apa seluruh hasil bisnis selama ini? Untuk apa

rekening-rekening di bank itu? Ya, untuk apa semuanya itu jika

hidup dalam kesendirian? Ketika masih ada Rosliana, dia masih

bisa menghirup hangatnya cinta. Betapapun cinta itu hanya dalam ujud hubungan spiritual belaka. Betapapun dia tak mampu

mengisinya dalam rentangan badaniah.

"Bertahun-tahun aku menyiksa Liana," kata Om Burhan seolah

kepada diri sendiri.

Alex hanya menoleh sejenak, lalu kembali menatap ke laut.

Mereka sedang berada di Binaria. Mereka ingin memandangi

211

matahari terbenam. Sungguh satu kebiasaan baru yang hampir

setiap hari mereka jalani. Menatap cahaya merah yang semakin

cemerlang, dan semakin samar lantaran ditelan permukaan laut

di kejauhan. Maka matahari menyelam ke horison.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bertahun-tahun aku membiarkan dia menyekap sengsara

akibat kesengsaraanku," lanjut Om Burhan.

Ya, aku tahu itu, pikir Alex.

Angin menggoyang pelepah daun kelapa. Laut mulai menelan

sisa matahari. Permukaan laut beriak dan mengilat.

"Karena itu aku pernah mengatakan kepadanya agar dia mencari lelaki lain. Tapi, apa jawabnya? 'Apakah cintaku akan lenyap

lantaran kau tidak seperti dulu? Aku tidak akan meninggalkanmu. Bahkan, sekaranglah saatnya aku harus menunjukkan bahwa

aku tetap mencintaimu!" Itu katanya. Dan. apakah arti ucapan

ini? Itu adalah penderitaan panjang. Dalam kesetiaannya, dia

memikul beban nasib. Dia merasa kasihan terhadapku, tapi aku

juga kasihan terhadapnya. Lantas kami saling mengasihani. Kadang-kadang aku berpikir, apakah aku masih cinta kepadanya?

Cintakah yang terentang di antara kami? Bukankah yang ada hanya rasa kasihan? Karena itu aku tidak ingin menyiksanya. Aku

sengaja mengadakan perjalanan jauh dan lama. Kuharap dia bisa

mengobati sengsaranya bersuamikan aku yang cacat. Aku sengaja meninggalkannya lama-lama. Tetapi, agaknya dia tetap Rosliana yang dulu. Tak tam pak tanda-tanda bahwa dia melakukan apa

yang kuharapkan. Sampai kemudian dia mengenalmu, Lexi. Aku

berharap, kaulah orangyang bisa menghilangkan deritanya. Tetapi, ternyata dalam membicarakan kau, dia seperti mengenangkan

212

anak kami yang meninggal waktu kecil dulu. Membicarakanmu,

tak ubahnya membicarakan anak kecil yang merajuk, anak yang

menimbulkan waswas lantaran bermain-main di tempat berbahaya, anak yang diharapkan menjadi orang yang berhasil dalam

hidup."

Alex merasa impitan di dadanya kian berat. Maka napasnya

tersengal. Dia mencoba meredakannya lewat isapan rokoknya

dalam-dalam. Tetapi, impitan itu tak berkurangjua.

"Aku tak ingin menjadi penyebab kesengsaraan orang yang

kucintai. Aku memberinya kebebasan. Aku tahu, cumbuan antara kami hanya menambah siksaan baginya. Dia bilang selalu

mencapai orgasme. Tapi, aku ragu. Mungkinkah itu? Tidakkah

danaunya yang kering itu haus menunggu hujan? Aku tahu hidupnya gersang bagai tanah kering berpasir. Sepuluh tahun, Lexi,

kami hidup dengan cara yang kering itu. Kau bisa bayangkan, itu

kami alami justru ketika daya kelelakianku dan kewanitaannya

meniti puncak yang tertinggi. Pada saat gairah baru dalam usia

kami mulai muncul. Tapi, aku tak sanggup memberikan apa-apa."

Om Burhan menghela napas berat, dan mengembuskannya

dengan berat pula, sehingga mengeluarkan keluhan panjang.

Alex tetap tak bersuara. Dia berusaha mempertajam pendengarannya.

"Rosliana sangat mengagungkan cinta," lanjut Om Burhan.

"Dan, itu pula yang menjadi penyebab mama kamu lari dengan

lelaki lain."

Alex menoleh cepat.

Om Burhan tetap menatap laut.

213

"'Dia tak pernah menceritakan kepadamu?"

Alex menggeleng. Tentu saja Om Burhan tidak melihat gelengan itu.

"'Sebelum mamamu kawin dengan papamu, mamamu sudah

bercintaan dengan lelaki lain. Lelaki itu pelaut, tapi miskin dan

sering berlayar. Orangtua mama kamu pedagang di Jakarta ini,

mulanya. Dia bangkrut. Kekayaan disita untuk membayar utangutang perusahaan. Dia jadi hampir rudin. Kekayaan yang tinggal

hanyalah anak gadisnya. Lalu, ketika orangtua papamu melamar

gadis itu, orangtua mamamu menerimanya dengan senang. Perdagangannya tertolong sebab keluarga papamu kaya raya. Lalu

kawinlah mamamu dan papamu. Tetapi, rupanya bekas pacar

mamamu masih mengharapkan. Kedudukannya sudah agak baik

di Medan. Dia datang ke Jakarta dan bertemu lagi dengan mamamu. Ini persoalan cinta, bukan pengkhianatan. Bekas kekasih mamamu itu mengajak mamamu meninggalkan suaminya.

Mamamu ragu. Kebetulan dia bertemu sahabatnya. Dialah Liana. Orang yang selalu menerima keluhan mamamu. Lalu Liana

menganjurkan agar mamamu meninggalkan suaminya.

"Buat apa

hidup bersama bertahun-tahun sedang hatimu sengsara?" kata

Liana. Mamamu minta cerai, lalu pergi dengan kekasihnya. Kau

ditinggalkannya."

"Perempuan egois!" kutuk Alex dalam hati. Dia sama sekali

tidak mempersalahkan Tante Liana. Mamanyalah yang pantas

menjadi muara kutukannya. Cinta?

Itu cuma tameng untuk kepentingan yang harus dia menang

kan. Itu hanya selubung demi ambisi dan ketamakannya.

214

Alex menjentikkan puntung rokok ke arah laut. Tetapi, angin

menerbangkan kembali ke darat.

"Sekarangmama kamu tinggal di Singapura," kata Om Burhan.

"'Saya tidak punya mama," kata Alex.

"Tapi, dia yang melahirkanmu. Bagaimanapun dia tetap

orangtuamu."

"Apakah predikat orangtua bisa diperoleh hanya karena melahirkan anak? Apakah karena telah melahirkan anak, seorang

perempuan patut disebut Mama? Tidakkah itu akan ditentukan

oleh perasaan anaknya sendiri? Perasaan bahwa dia benar-benar

merasakan perempuan itu adalah mamanya?" ujar Alex.

Om Burhan membisu.

Kalau ada perempuan yang pantas kuanggap sebagai mamaku, pikir Alex, dia adalah Tante Liana. Tidak hanya mama,

tetapi juga kekasihku. Dia segalanya bagiku. Mamaku, kekasihku,

matahariku, udara hidupku, dan semuanya! Orang yang dikatakan sebagai mamaku, siapakah dia itu sebenarnya? Perempuan

yang mewariskan kemelut kepadaku! Itulah dia.

Genangan oli di pelataran mengilat ditimpa sinar matahari. Alex

melangkah hati-hati. Suara-suara besi beradu nyaring menusuk

telinga. Kesibukan di bengkel memuncak dengan banyaknya

mobil yang harus diperbaiki. Wajah-wajah cokelat-kehitaman

mondar-mandir dalam balutan pakaian warna biru. Merekalah

montir-montir yang akibat deraan pekerjaan sehari-hari kelihatan berwajah keras.

215

Semprotan keras air pencuci menimbulkan suara mendesing.

Beberapa anak remaja basah kuyup berada di kolong mobil yang

sedang dicuci. Diawali dari bagian pencucian, anak-anak remaja

itu mulai belajar hidup di bengkel itu. Suatu waktu mereka akan

menanjak, berangsur mengenali mesin, dan pada akhirnya mereka menjadi montir yang baik. Tetapi, ada yang memang bernasib

selamanya menjadi pencuci mobil. Perubahan bisa diperoleh lewat perjuangan. Tetapi, tidak setiap orang bisa berjuang. Karena

itu pula, tidak setiap orang bisa menang.

Bagi orang-orang di bengkel itu, tentu saja Alex mereka pandang sebagai pemenang. Alex datang ke bengkel itu pertamatama hanya membantu Sunliang. Lama-kelamaan tak bisa dibedakan siapa membantu siapa manakala Alex telah menemukan

dirinya menjadi penentu di bengkel itu. Kata-kata darinya hampir

menjadi hukum di situ: jika ada kesulitan, montir-montir muda

datang kepadanya, dan montir-montir tua mengajaknya berunding untuk mencari penyebab kerewelan mesin.

Begitu pula yang terjadi hari itu. Tetapi, kali ini bukan urusan

mesin. Para pekerja di bengkel itu bekerja seenak mereka sementara para sopir yang menunggu sudah tidak sabar lagi.

Soan Goan menarik Alex ke pojok bengkel.

"'Teman-teman mengharapkan bantuanmu, Lex," kata montir

tua itu sambil menatap penuh harap.

Alex masih terus mengunyah permen karetnya.

"Bagi teman-teman, ini soal prinsipiel. Mereka tidak akan

mundur. Kalau tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan

mogok."

"'Bapak memimpin mereka mogok?" tanya Alex tak acuh.

216

"Teman-teman meminta saya jadi juru bicara mereka."

Alex memikir-mikir. Sejak beberapa hari ini dia memang sudah mengetahui keresahan di kalangan pekerja bengkel itu. Mereka menginginkan kenaikan gaji.

Mata lelaki yang kulit mukanya mulai keriput itu menatap Alex.

"Kami tahu, kepentinganmu tidak ada dalam urusan ini. Gajimu besar dibandingkan dengan kebutuhanmu sebagai bujangan.

Apalagi kau masih sering menerima tambahan uang saku dari

Tuan Bun Hwa. Ditambah lagi hadiah kemenangan-kemenanganmu di sirkuit. Barangkali kau tidak akan pusing-pusing memikirkan tuntutan teman-teman ini. Teman-teman tidak meminta

kau berpihak kepada mereka, Lex. Tidak sampai ke situ. Temanteman hanya berharap kau tidak berpihak kepada Tuan Bun Hwa.

Kami khawatir jangan-jangan kau memihak beliau, dan posisi

kami akan lemah. Mungkin ada di antara teman-teman yang jadi

ragu."

"'Kenapa harus mempersoalkan aku? Kalau kalian mau maju,

aku tidak pusing."

"'Bukan begitu saja, Lex. Teman-teman takut dipecat. Kalau

kau di pihak Tuan Bun Hwa, teman-teman khawatir kau akan

mencari ganti mereka. Setidaknya, kau akan mengerjakan tugastugas mereka. Ini yang dikhawatirkan teman-teman. Sebab, kalau

itu terjadi, toh tidak ada artinya kami mogok."

Alex bersandar di tembok. Dia meneliti gurat-gurat di wajah

lelaki tua yang tegak di depannya ini.

Lalu Soan Goan berkata perlahan,

"Teman-teman melihat, kau

seorang bisa menangani pekerjaan tiga orang montir sekaligus."

217

Alex meludahkan karet dari mulutnya.

"Lantas, apa yang kalian inginkan dariku?"

"'Kau tidak berpihak ketika kami nanti menyampaikan tuntutan pada Tuan Bun Hwa."

"'Kapan kalian akan menyampaikan?"

"Sekarang."

"Siapa-siapa?"

"Aku, Pardede, dan Junaidi."

Beberapa saat keduanya diam. Junaidi mendekati mereka.

"Bagaimana? Sudah selesai?" tanyanya.

Soan Goan mengangguk.

Junaidi mengangguk ke arah Alex dan tersenyum.

"Kami tahu, Tuan Bun Hwa menyayangi kau. Tapi, sangat kami

harap, kau tidak membantu dia," kata Junaidi. Lalu dia mengajak

Soan Goan berlalu.

Alex melangkah lambat-lambat ke mobil yang tadi dikerjakannya. Cerak-gerik Alex ini tak lepas dari pandangan pekerjapekerja bengkel secara mencuri-curi.

Soan Goan dan kedua temannya masuk ke kantor bengkel.

Montir-montir tetap tidak sepenuh hati bekerja. Berkali-kali mereka menatap pintu kantor yang tertutup. Matahari semakin tinggi. Uap minyak pelumas tercium sengit.

Sebuah mobil meluncur ke pelataran bengkel. Fiat yang dikendarai Tigor, dan di sampingnya duduk Joice. Tigor menyuruh

salah seorang montir agar mengeluarkan ban serep dari bagasi

untuk ditambal, dan ban-ban yang lain agar ditambah tekanan

anginnya.

218

Mata Joice mencari-cari. Dan, seperti biasanya, seolah ada

magnet, matanya bentrok dengan mata Alex. Alex yang jongkok

sedang memperbaiki mesin buru-buru berdiri. Hampir saja dia

mendekati gadis itu. Urung, sebab dia melihat gadis itu bersama

seorang lelaki muda. Maka mereka hanya bertatapan sekejap sebelum Joice membuang pandang.

Pintu kantor terbuka dengan kasar. Dari dalam, keluar Soan

Coan dan teman-temannya. Ketiganya berwajah keruh.

"Gagal!" kata Pardede keras.

Pekerja-pekerja bengkel itu menghentikan kegiatan mereka,

dan kemudian beramai-ramai merubung ketiga temannya. Lalu

Soan Goan menjelaskan misi mereka yang tidak berhasil. Tuntutan mereka ditolak Tuan Bun Hwa. Ancaman mogok tidak dipedulikan oleh Tuan Bun Hwa. Bahkan dia akan memecat siapa saja

yang mogok kerja.

"'Bagaimana pendapat Saudara-saudara?" tanya Soan Coan.

"Tetap seperti rencana semula. Mogok!" kata Pardede kasar.

"'Ya. Mogok! Mogok! Mogok!" teriak teman-temannya.

"'Biar dia lihat bahwa kita bukan manusia yang bisa jadi sapi

perahan terus-menerus!" kata Junaidi.

""Ya, ya,ya!" sambut teman-temannya ramai.

Lalu Soan Goan mematikan mesin pembangkit tenaga las,

mematikan pompa, maka bengkel itu mendadak menjadi sepi.

Dia mendekati Alex dan berkata,

"Kami sudah memutuskan untuk mogok."

Alex mengangkat bahu, kemudian meninggalkan mesin yang

sedang dihadapinya. Teman-temannya menarik napas panjang.

219

Menyadari sepinya bengkel, Om Bun Hwa keluar dari kantor.

Sesaat dia memandangi sopir-sopir yang sedang bertengkar dengan para montir.

"Hai, bagaimana ban itu?" teriak Tigor. Pekerja yang menangani ban mobil Tigor tak menjawab. Dia bergabung dengan

teman-temannya di bawah pohon, di sudut pelataran bengkel.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seluruh kegiatan di bengkel terhenti. Bahkan tukang cuci mobil

pun telah mengeringkan badan mereka.

Tigor mendatangi Om Bun Hwa yang tegak di depan kantor.

"'Bagaimana ini? Bagaimana ini? Saya perlu ke Puncak, ban ini

belum diselesaikan," kata Tigor.

Om Bun Hwa manggut-manggut sebelum kemudian berteriak hingga mengagetkan Tigor,

"Lexiiii!"

Alex mendatanginya dengan langkah seenaknya.

"Selesaikan ini!" kata Om Bun Hwa keras.

"'Lho, kok saya?"

"Maaf," kata Om Bun Hwa kepada Tigor. Lalu dia menarik Alex

ke kamarnya. Ditutupnya pintu keras-keras. Dia mendorong Alex

untuk duduk di kursi.

"Kenapa kau tak kerja?"

"'Kalau semuanya berhenti kerja, kenapa saya mesti kerja sendirian?"

""Kau juga ikut mogok? Kau juga menuntut kenaikan gaji?"

"Saya tidak mogok. Saya tidak minta naik gaji."

"'Lantas. kenapa kau tak kerja sementara mobil yang harus

diperbaiki berjubel begitu?"

"'Sudah saya bilang, karena semua berhenti bekerja, saya juga

harus punya solidaritas," kata Alex malas-malasan.

220

"'Lexi, aku sangat menyayangimu selama ini. Kebaikan apa

lagi yang tidak kuberikan padamu? Kau sudah kuanggap anakku

sendiri di sini."

Alex tak menjawab.

"Mereka menuntut yang tidak-tidak. Mereka tidak tahu bahwa

penghasilan kita sebenarnya rendah," kata Om Bun Hwa.

"Mereka memang tidak tahu berapa penghasilan bengkel,"

kata Alex.

"Nah, itulah."

"Tapi, mereka tahu betapa berat kerja mereka dengan banyaknya mobil dan motor yang harus mereka perbaiki."

"'Kau membela mereka?"

""Saya tidak membela siapa-siapa."

"'Tuntutan mereka keterlaluan! Mereka memaksa. Mereka

main ultimatum. Kau tahu, pemerintah melarang adanya pemogokan? Mereka semua bisa ditangkap. Bisa masuk penjara!"

"'Saya kurang tahu urusan pemerintah, Om," kata Alex mulai

muak. Mendengar perkataan "penjara", perasaannya seketika tidak nyaman.

Beberapa orang sopir di luar membunyikan klakson.

""Kuminta kau mengatasi persoalan ini," kata Om Bun Hwa.

"'Wah, saya tidak mau ikut campur," kata Alex.

"'Ya, ya, ya. Aku tidak minta kau menyuruh mereka kembali

kerja. Aku hanya minta kau menyelesaikan perbaikan mobil Volvo

dan Mercy yang ada di situ. Itu mobil jenderal. Tolonglah, Lex."

"'Saya kira, tidak sepantasnya saya mengkhianati orang-orang

yang sedang memperjuangkan nasib."

221

"Lexi!" sergah Om Bun Hwa. Suaranya merontokkan kapur di

langit-langit ruangan itu.

"Kau jangan berpihak pada mereka. Mereka semua akan kulaporkan kepada pihak yang berwajib. Mereka

akan ditangkap sebab telah melanggar peraturan pemerintah."

Om Bun Hwa menggebrak meja.

Di luar, suara klakson bertambah bising.

Alex bangkit, lalu keluar.

Om Bun Hwa menatapnya dengan mata menyala. Lalu lelaki

gemuk itu memutar nomor-nomor di telepon.

Tigor masih marah-marah.

"Bengkel brengsek!" katanya.

"Hei, kalau memang tidak ada

yang mau memperbaiki, itu ban masukkan kembali ke bagasi!"

Tidak ada yang menimpali. Tigor semakin mendongkol sebab

ban sudah dilepas dari pelk-nya. Padahal ban itu sangat dibutuhkan. Perjalanan ke luar kota tanpa ban serep selamanya diiringi

waswas.

"'Hei, siapa yang membuka itu tadi? Cepat kembalikan!" teriak

Tigor.

Tetap tak ada yang menyahut. Pekerja-pekerja bengkel malah

ada yang mulai tiduran di bawah pohon. Tigor melihat Alex keluar dari kantor.

"Hei, Bung! Itu ban diurus!"teriak Tigor.

Alex hanya menatap tak acuh. Pandangan matanya bentrok

lagi dengan pandang mata Joice.

"Baba ni ama na on sude!" kutuk Tigor dalam bahasa ibu. (Mulut

bapaknya ini semua!)

Tak ada yang bergerak.

"Pukimak-nya ini semua!" maki Tigor lebih sengit.

222

Alex tetap melangkah tak acuh sambil mengunyah permen

karet. Lalu, tanpa suara dia memasukkan ban itu ke bagasi mobil.

"Maaf, orang-orang sedang mogok," katanya. Tigor hanya menyahut dengan makian-makian dalam gerutuan. Dan, dengan

kasar dia mengempaskan pintu mobil, lalu mobil dipacu keluar

dari pelataran bengkel.

Selintas Joice melontarkan pandang ke arah Alex. Pandang

mata yang dingin.

Dan, Alex pergi ke gudang di belakang bengkel. Dia tak mau

lagi bicara padaku, pikirnya. Di samping pemuda pemarah itu, dia

memandangku seperti tak pernah mengenalku. Sejak pertemuan

kami di sirkuit itu, dia tak pernah muncul lagi. Mungkin dia benci

ketika melihat Tante Liana datang.

Alex masih tidur-tiduran ketika pintu gudang terbuka.

Mukiyo masuk dengan napas memburu.

"Polisi datang!" katanya.

Alex bangun. Mereka keluar. Seorang polisi perwira berdiri di

samping Om Bun Hwa, menghadapi pekerja-pekerja bengkel.

"Saudara-saudara tahu, tindakan Saudara-saudara ini melanggar peraturan pemerintah?" kata perwira polisi itu.

Lalu, dengan pidato panjangnya, perwira itu menyuruh pekerja-pekerja bengkel agar kembali bekerja. Soan Goan, Pardede.

dan Junaidi dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Biasanya, kalau ada pemogokan seperti ini, tuduhan pertama adalah bahwa

biang keroknya sisa-sisa PKI.

Soan Goan dan kedua rekannya dinaikkan ke pick'up polisi.

Pekerja-pekerja yang tertinggal di bengkel satu per satu kembali

ke pekerjaannya.

223

"'Siapa yang mau mogok, silakan," kata Om Bun Hwa.

"'Soan

Coan boleh dilihatjadi contoh. Dan, saya berhak memecat pegawai yang mengacau di sini."

Pekerja-pekerja semakin serius menekuni pekerjaan mereka.

Maka Om Bun Hwa masuk ke kantornya dengan senyum kemenangan.

Beberapa saat Alex terpaku. Dia terpesona melihat kejadian

yang baru saja berlangsung di depannya, bagaimana Soan Goan

tua itu murung berada di atas mobil.

Lalu Alex ke kantor. Om Bun Hwa duduk menghadapi meja

seolah-olah tak pernah ada kejadian apa-apa.

'"Kenapa harus ditangkap? Padahal mereka hanya ingin memperbaiki nasib. Apakah penjara layak buat orang yang memperjuangkan hidup yang lebih layak?"

"Mereka menentangku. Bengkel ini mendapat kepercayaan

dari orang-orang penting. Pembesar-pembesar memperbaiki mobilnya di sini. Kalau terjadi kekacawan, bukankah ini tidak baik?"

"'Mereka hanya ingin mendapatkan imbalan yang sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan."

"Aku sudah membayar cukup."

"'Menurut Om cukup. Tapi, bagi Soan Coan yang anaknya banyak, buat Pardede yang tanggungannya besar, bagi yang lainlain, itu masih kurang."

"'Kalau dituruti kemauan mereka, mungkin mereka bahkan

akan meminta seluruh hartaku."

"'Belakangan ini pekerjaan sangat berat. Mobil yang diperbaiki

bertambah banyak jumlahnya, tapi gaji mereka tidak naik. Apakah itu pantas?"

224

"'Kau jangan banyak omong, Lexi. Pokoknya, apakah kau merasa gaji kau kurang?"

"Bagi saya pribadi memang tidak. Tapi, saya masih bujangan

dan masih ada sumber penghasilan yang lain."

"Karena itu kau tak usah ikut campur. Diam saja."

"Tapi, saya melihat betapa berat pekerjaan mereka."

"'Kubilang, diam!"

"Om mengisap tenaga mereka."

"'Diam.l Keluar kau!" kata Om Bun Hwa keras. '"Dibaikin tak

tahu terima kasih."

Wah, keras kepala benar orangtua ini, pikir Alex. Lalu dia keluar. Kejengkelan berkembang dalam hatinya. Apakah lantaran |impahan duitnya aku harus menutup mata terhadap penderitaan

orang lain? Apakah karena kepentinganku sudah tercukupi aku

tidak memedulikan nasib malang pekerja-pekerja lain?

Alex mengedarkan pandangan berkeliling. Pekerja-pekerja

tetap bekerja seperti biasanya. Mesin agregat sudah hidup lagi.

Yang bertugas mengelas sudah memijar-mijarkan api lasnya.

Alex mematikan mesin agregat. Para pekerja kaget Semuanya

menghentikan pekerjaan mereka. Seluruh mata tertuju ke arah Alex.

Sesaat Alex mengawasi pekerja-pekerja itu.

"Apakah kita akan membiarkan tiga orang itu menjadi korban

kepentingan kita?" kata Alex lantang.

Pekerja-pekerja itu diam dan saling pandang.

"Apakah kita akan membiarkan mereka masuk penjara lantaran memperjuangkan nasib kita?" tambah keras suara Alex.

"Gaji

siapa yang harus dinaikkan?"

225

"Gaji kami,""desah beberapa pekerja.

"'Ya, gaji kalian! Tapi, akan kalian biarkan orangyang memperjuangkan itu menjadi korban?"

"'Tidak!" sambut pekerja-pekerja itu.

"Karena itu kita harus berusaha menolong mereka!" ujarAlex.

'"Ya,ya,ya, kita harus menolongnya. Tapi, bagaimana caranya?"

""Semua berhenti bekerja!"

"Nanti kita ditangkap," kata Mukiyo.

"Kalau ditangkap, biarlah semua kita ditangkap. Penjara akan

penuh dengan kita."

"'Setujuuu!"

"'Matikan semua mesin. Sopir-sopir, kalau mau ikut, silakan.

Kita akan ke kantor polisi!"

Lalu, diiringi sorak-sorai, mereka mematikan kembali mesinmesin. Karyawan di situ berjumlah kurang-lebih tujuh puluh

orang. Teriakan-teriakan membuat Om Bun Hwa panik. Tetapi,

dia tak berdaya. Pekerja-pekerja itu keluar dari bengkel dan berjalan berbondong-bondong menuju kantor polisi. Di sepanjang

jalan. barisan itu menjadi tontonan.

Polisi-polisi bersiaga di halaman kantor. Alex berdiri di depan

barisan para pekerja. Mereka nekat masuk ke kantor polisi. Suasana tegang. Perwira polisi tadi keluar dari kamar kerjanya.

"Ada apa ini?"

"'Kalau Bapak rnau menahan kami semua, silakan tahan," kata

Alex.

"Oo, Saudara-saudara teman yang tiga orang tadi?"

"'Yeah."

226

"Kami tidak bermaksud menahan. Kami hanya ingin meminta

keterangan," kata perwira polisi itu sambil mengedarkan pandang

ke wajah-wajah keras berbaju biru yang berdiri mengelilinginya.

Dia melihat pula anak buahnya yang siaga dengan senjata di

tangan.

"Kami hanya menanyai mereka," lanjut perwira polisi itu.

""Kami tidak bisa membedakan bagaimana yang namanya ditahan dan bagaimana yang namanya dimintai keterangan. Kalau

Bapak mau menahan, ini kami semuanya silakan tahan. Sebab,

yang tiga orang itu hanya menyuarakan kepentingan kami. Kalau

mau minta keterangan, mintalah pada kami. Kami akan menceritakan betapa kecil gaji kami dan betapa berat kerja kami," ujar

Alex.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

""Ya, ya, ya, saya mengerti. Tetapi, bagaimanapun Saudarasaudara telah melanggar peraturan. Pertama, melakukan pemogokan. Dan, kedua, sekarang ini Saudara-saudara melakukan

demonstrasi. Untuk kedua perbuatan itu, Saudara-saudara bisa

ditahan setahun tanpa menunggu putusan hakim."

"Kami tidak mogok, tidak demonstrasi. Kami hanya ingin gaji

kami naik, atau kami ditahan!"

Perwira polisi itu terdiam.

"Kami melakukan ini dengan sadar. Tahanlah kami bersama

tiga orang itu."

"Kami hanya ingin mendengarkan keterangan dari biang keladinya."

"Mereka hanya menyuarakan kepentingan kami,"sahut Alex.

"'Saudara jangan mendesak saya. Pokoknya kami hanya ingin

kan keterangan. Lain tidak. Kalau dalam pemeriksaan terbukti

227

bahwa mereka tidak ditunggangi sisa-sisa PKI, mereka akan saya

bebaskan. Tapi, kalau ada indikasi, soalnya akan lain."

"'Kami tidak tahu urusan PKI segala macam. Kami hanya

menginginkan kenaikan gaji kami. Kenapa Bapak tidak menanyai

kami, berapa pendapatan kami sebulan? Kenapa Bapak tidak tanya, sejauh mana beratnya pekerjaan kami? Kenapa Bapak tidak

menanyai berapa pendapatan bengkel itu sebulan?"

"'Ah, itu bukan urusan saya. Saya hanya memeriksa orangyang

dilaporkan telah menghasut mengadakan pemogokan. Setiap

pemogokan, kami pandang sebagai melanggar peraturan pemerintah. Urusan gaji, kenapa tidak Saudara laporkan pada kantor

tenaga kerja saja?"

Alex terdiam. Dia memang kurang tahu peraturan-peraturan. Tetapi, Mukiyo tiba-tiba berkata,

"Percuma saja. Kami tahu,

kami ini lemah kalau dihadapkan dengan kantor-kantor. Yang

kuat adalah yang berduit. Itu kekuatan Tuan Bun Hwa. Kekuatan

kami hanyalah tenaga yang kami jual."

"Itu pikiran Marxis."

"Marxis? Apa itu?" kata Mukiyo.

"PKI!" bentak perwira polisi itu.

""Wah!" Mukiyo mundur.

"Sekarang, semua keluar! Saya akan memeriksa ketiga teman

Saudara!" kata perwira polisi itu dengan penuh kemenangan. Lalu

dia kembali ke ruang kerjanya.

Polisi-polisi yang tadi berjaga-jaga, menyuruh mereka keluar.

Dengan menggerutu mereka berkumpul di halaman.

"'Bagamana nih?" tanya Mukiyo.

228

"'Aku kurang paham soal peraturan-peraturan," kata Alex.

"Dituduh sebagai PKI. Wah, parah itu."

"Aku tak takut. Mau dituduh PKl atau apa saja, biarin."

"'Bagi kamu memang takjadi soal. Waktu PKI masih ada, kamu

masih kecil. Takkan dituduh sebagai sisa PKI. Tapi, kami yang tuatua ini, berabe. Bisa ditahan bertahun-tahun di RTM."

"'Apa itu?"

"'Rumah Tahanan Militer."

"'Lho, tapi kita bukan militer."

"Itu nama penjaranya."

"Ooo," gumam Alex.

Dan, keduanya diam. Pekerja-pekerja yang lain bicara bisikbisik. Suaranya berdengung mirip lebah pindah rumah.

"'Sayang di antara kita tak ada orang pintar," kata Alex.

"Orang pintar belum tentu berani. Malahan kebanyakan cuma

pintar cari selamat dan keuntungan diri sendiri."

Salah seorang polisi melaporkan kepada atasannya bahwa

para pekerja itu belum pulang. Perwira polisi itu keluar. Mukanya

merah karena marah.

"Saudara-saudara mau menentangsaya?" katanya keras.

Pekerja-pekerja itu tegak mematung. Siapa yang berani menentang polisi? Begitu mereka berpikiran.

"Saudara-saudara jangan mempersukar saya. Saya dapat

mengerti tuntutan Saudara-saudara. Karena itu saya masih bisa

bertindak edukatif."

"'Kalau Bapak mengerti, kenapa teman kami tetap ditahan?"

kata Alex.

229

"'Sudah saya bilang, mereka tidak ditahan. Mereka cuma diperiksa."

Apa bedanya? Alex bertanya kepada diri sendiri. Dia sering

membaca koran tentang bagaimana orang yang katanya diperiksa ternyata ditahan sampai berbulan-bulan. Bahkan ada yang

dipukuli sampai babak-bundas. Bahkan ada yang sampai mati.

Apa bedanya? Alex memikir-mikir.

"Sudah, pulanglah," kata perwira polisi itu.

"Jangan sampai

habis kesabaran saya."

"'Kami memang ingin ditahan, Pak," kata Alex,

"bersama-sama

dengan yang tiga orang itu."

Perwira polisi itu memandangi pekerja-pekerja itu satu per

satu. Tak cukup luas ruangan tahanan untuk menyekap orangorang ini, pikirnya.

Beberapa motor memasuki halaman kantor polisi itu. Pengendaranya orang-orang muda yang sebagian menyandang kamera. Perwira polisi itu menggaruk-garuk dagunya. Tambah ruwet, pikirnya.

Beberapa orang wartawan merubung perwira polisi itu. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Ada juga yang memotret.

"'Lho, kamu kan Lexi Wenas?" tanya seorang wartawan yang

wajahnya hitam dan rambutnya seperti rambut orang Irian.

Alex mengangguk.

"Bagaimana keterlibatan Anda dalam aksi ini?" tanya wartawan itu.

"Nggak bagaimana-bagaimana," jawab Alex.

"Apakah Anda yang memimpin aksi ini?"

"'Tidak. Saya bukan pemimpin. Saya cuma menginginkan te

230

man kami yang ditahan agar dikeluarkan, atau sekalian kami

semua ini ditahan."

"'Ada yang ditahan?" tanya wartawan itu sambil berpaling ke

arah perwira polisi. Lalu pertanyaan semakin gencar terlontar.

"Maaf, Saudara-saudara," kata perwira polisi itu,

""saya tidak

berhak mengeluarkan keterangan. Hanya Dispen yang boleh

memberikan keterangan pers."

"Ya, kalau itu menyangkut kebijaksanaan Polri. Kalau menyangkut peristiwa, apa salahnya Bapak memberikan penjelasan? Saksi mata saja boleh memberikan keterangan," kata salah

seorang wartawan.

Lantas perwira polisi itu berdebat dengan para wartawan.

Alex dan teman-temannya menyingkir. Mereka bingung menghadapi cara kerja para wartawan itu.

Sebuah mobil masuk ke halaman kantor polisi. Om Bun Hwa

melompat turun dari mobil. Dari jauh, Alex melihat Om Bun Hwa

berbicara dengan perwira polisi itu. Wartawan-wartawan segera

mengerubutinya. Mereka membanjiri Om Bun Hwa dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Pulang aja deh," kata Alex kemudian.

"Pusing kepalaku."

Hari itu kegiatan bengkel terhenti. Esok harinya, beberapa

orang pekerja mulai bekerja. Om Bun Hwa sama sekali tak mau

bicara kepada Alex. Setelah Soan Goan dan kedua temannya dilepas dari penjara, mereka bertiga dipecat. Alex tak mengerti

kenapa bisa seperti itu. Karena takut mengalami nasib yang sama

dengan Soan Goan, pekerja yang lain kembali bekerja. Seperti tak

pernah terjadi sesuatu di bengkel itu.

231

Lalu Alex pun tak pernah lagi masuk kerja, tanpa minta diberhentikan, bahkan tanpa menemui Om Bun Hwa. Dia tidak pernah

memijakkan kakinya di bengkel itu lagi. Dia membenci kekuasaan lelaki gemuk itu. Pemecatan Soan Goan, Pardede, dan Junaidi,


Mahesa Kelud Telaga Api Salju Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Pembunuhan Di Lorong Murder In Mews

Cari Blog Ini