Ceritasilat Novel Online

Sirkuit Kemelut 4

Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar Bagian 4

membuat Alex antipati terhadap pemilik bengkel itu. Kendatipun

dia tidak terkena pemecatan, tetap saja dia merasa tak ada lagi

kesenangan bekerja di bengkel itu.

232

Semenjak pergi dari bengkel, Alex menumpang tidur di rumah Om Burhan. Di rumah ini suasananya menyenangkan.

Irama musik, majalah-majalah membuatnya betah menunggui

rumah yang sepi itu. Sementara itu, Om Burhan sudah kembali

pada kesibukannya. Dia jarang berada di rumah.

Pelayan rumah memasang sesaji di kamar mandi. Hari itu

Jumat Kliwon. Alex membaca koran sore. Berita olahraga sudah

dibacanya. Soal Sepak Bola Pancasila. Sepak bola ya sepak bola,

pikirAlex. Aneh-aneh saja orang-orang gede ini.

Tetapi, berita itu tetap dibacanya. Sebab, keterangan-keterangan dari orang-orang gede ini sering lucu. Kelucuan yang

mengingatkan Alex kepada Idi Amin.

Seperti biasanya, dia membaca koran dimulai dari lembaran

olahraga, membuka mundur, kemudian baru ke depan. Terakhir

dia membaca iklan-iklan. Dia senang membaca iklan, terutama

iklan yang berbunyi: Dijual satu buah mobil Mini Cooper masih ori

sinal. Atau yang berbunyi: Dijual mobil Fiat bekas dokter. Dan, Alex

233

kepingin membaca iklan: Dicari satu buah mobil bekas dukun ternama,yang biasa menjadi penasihat orang-omng gede.

Mata Alex menelusuri huruf-huruf berikutnya. Lalu berhenti

pada iklan dua kolom. Pertunangan. Ini Joice Pangaribuan. Wah,

dia sudah bertunangan. Di sudut kotak iklan tertulis: Jakarta Muenehen.

Lantas Alex menyandarkan kepalanya. Akhirnya dia bertunangan, pikirnya. Gadis yang lembut. Dan, Alex merasa beliung

tajam menikam jantungnya. Tentunya Joice berdampingan dengan lelaki yang hebat. Lelaki yang tercukupi segala-galanya. Dari

Muenehen. Ya, tentu saja. Dia memang layak berdampingan dengan lelaki itu. Apalah artinya aku ini!

Maka ruangan itu terasa sangat lengang. Bahkan udara di situ

terasa menipis. Alex memejamkan matanya sambil melenakan

kepalanya. Dia mendengar suara tawa Tante Liana. Alex membuka matanya cepat-cepat dan menatap berkeliling. Ruangan itu tetap sepi. Tetapi, harapan bahwa tiba-tiba Tante Liana menyibakkan gorden dan muncul di ruangan itu tetap menggeliat dalam

hati Alex. Dia tetap menyimpan keinginan, seolah dia percaya

bahwa Tante Liana akan muncul tiba-tiba. Dan, keinginan itu ternyata kesia-siaan sepanjang hari.

Alex berjalan mondar-mandir di sepanjang koridor. Rumah

itu dirasa makin mengimpit. Karpet yang tebal menelan telapak

kakinya. Kursi-kursi berukir menambah suram hatinya. Dia memandangjam dinding. Jarum jam terasa lebih lambat berjalan.

Alex beringsut ke jendela. Lewat kaca yang buram, dia melihat

tetes air dari dedaunan. Kiranya hujan turun sejak tadi. Peman

234

dangan berkabut akibat percikan air. Bunga-bunga merunduk

diterpa angin dan butir-butir hujan. Air yang mengalir membentuk parit-parit di sela-sela rumpun bunga. Sebatang anyelir merah jambu terguncang-guncang. Lehernya yang jenjang hampir

tak kuat menahan kelopak bunga. Suatu ketika dia akan patah.

Mungkin besok pagi kelopak bunga itu akan menggeletak di tanah yang becek. Baginya, tentunya angin yang membawa hujan

itu serupa dengan badai. O, tubuhnya yang lemah.

Alex membalik badan. Hatinya sepi. Ternyata Tante Liana tidak ada di ruangan itu. Dan, dia mengutuki kebodohannya. Kenapa masih mengharap yang tidak-tidak? Bukankah Tante Liana

sudah ditelan laut? Ah, tetapi siapa tahu.[ Siapa tahu itu hanya

mimpi jelek belaka. Siapa tahu Tante Liana tiba-tiba sudah berada di ruangan itu. Dan, dia akan tersenyum dengan lekuk bibirnya

yang tak asing lagi. Ini kebalikan dari kenyataan yang pernah dialami Alex berulang-ulang. Dia pernah bermimpi memiliki mama

yang dicintai dan mencintainya. Dia pernah bermimpi tinggal di

rumah yang damai, yang di situ senyum papanya semanis madu.

Bunga-bunga mekar, dan mereka bertiga-Alex, mama, dan papanya-bercengkerama. Tetapi, siapa mama itu? Alex tidak pernah bisa membayangkan dengan jelas wajah mamanya. Dalam

mimpi pun wajah itu tidak jelas. Yang jelas, bahwa di dalam

mimpi itu dia merasa begitu senang.

Pernahkah Anda bermimpi memiliki sejumlah uang pada

saat Anda sedang bokek? Beberapa saat setelah bangun, Anda

akan mencari-cari uang itu. Setelah sadar bahwa itu hanya dalam

mimpi, Anda pun merasa kehilangan. Anda kehilangan sesuatu

235

yang tak pernah Anda miliki. Itulah yang selalu dialami Alex setiap kali dia bangun setelah bermimpi yang menyenangkan itu. Dia

kehilangan kebahagiaan, padahal kebahagiaan itu tak pernah

dimilikinya secara sungguh-sungguh.

Sekarang, dia tidak sedang bermimpi. Dia sadardirinya terjaga.

Tetapi, ini lebih parah, sebab dia tak bisa membedakan mana yang

khayalan dan mana yang kenyataan. Dia berkhayal Tante Liana

sedang berdandan di kamarnya. Sebentar lagi dia akan keluar. Ya,

dia yakin sebentar lagi Tante Liana akan muncul. Dia yakin. Sangat

yakin. Dia tak mau membedakan mana khayalan mana kenyataan. Tetapi, setelah Tante Liana tak kunjung keluar, dan ruangan

itu tetap sepi, dia membenci dirinya sebab tidak bisa menjadikan

nyata khayalan yang sangat menyenangkan itu.

Di meja, koran masih menggeletak. Halamannya terbentang.

Iklan itu bisa terbaca dari jauh. Ya, dia telah bertunangan. Joice,

gadis yang wajahnya lembut dan bibirnya mungil.

Sebenarnya di antara kami tidak ada jarak, pikir Alex. Betapa

tidak! Dia sebenarnya istriku. Tubuhnya pernah tergeletak dalam

pelukanku dalam ketelanjangan.

Sesungguhnya kami suami-istri. Dia tak boleh mengingkari

kenyataan ini. Kami telah pernah menyatu. Bukan hanya badan,

melainkan jiwanya pun pernah menyatu dengan jiwaku. Dia telah menyebabkan aku tak bisa tidur dengan perempuan lain. Dia

telah menyebabkan semangatku lumpuh setiap bayangan wajahnya melintas. Hanya Tante Liana yang bisa mengatasi bayangan

itu. Hanya Tante Liana yang bisa menggeser wajahnya.

Kenapa Joice begitu kuat mencengkeram benakku? Seperti

236

itukah yang dialami para suami yang berpisah dari istri mereka? Sanggupkah seorang suami meniduri perempuan lain yang

bukan iStrinya? Aku tidak sanggup. Semangatku lumpuh begitu

bayangan Joice melintas.

Sesorean itu Alex hanya berbincang-bincang dengan dirinya

sendiri. Istriku telah bertunangan dengan lelaki lain, pikirnya. Tetapi, lekuk hatinya membantah,

"'Istrimu? Apakah dia merasa kau

suaminya? Kau hanya laki-laki malang yang sesungguhnya harus

menyesali kehidupanmu. Ya, kau harus menyesali kehadiranmu

di dunia ini. Kau harus mengutuk kedua orangtua yang menyebabkan kelahiranmu. Jika kau mengutuk sumbermu, tidak ada

pilihan lain, kau harus mengutuk pula kehidupanmu. Lalu, orang

semacam kau ini merasa layak berdampingan dengan gadis itu?

Fuih! Tahu dirilah sedikit!"

Dengan kebencian terhadap diri sendiri, Alex mengeluarkan

mobil Om Burhan dari garasi. Angin masih membawa gerimis.

Wiper di kaca depan mendecit-decit. Dia pergi ke sirkuit. Arena

balap itu lengang. Lapangan yang luas itu ditaburi titik-titik air.

Lalu dia berputar-putar di sirkuit itu. Entah berapa lama, sampai

akhirnya terlihat Karim melambai dari kafe.

Alex meminggirkan mobilnya.

"Ngapain kau, hujan-hujan begini?" tanya Karim.

Alex tak menjawab. Dia membuka pintu sebelah kiri dan

mengisyaratkan agar Karim masuk.

Karim mengenyakkan tubuhnya ke jok di samping Alex.

"Aku sudah pasang motor kau. Besok boleh kaucoba lagi," kata

Karim.

237

"Aku tidak mau pakai motor itu lagi. Aku ingin kelas yang lebih

besar lagi. Yang dua ratus lima puluh," kata Alex.

"Wah, mana bisa? Kau sudah didaftarkan untuk kelas seratus."

"Aku tidak mau ikut kalau bukan yang dua ratus lima puluh!"

"Itu sulit, Lex. Tim untuk kelas itu sudah terisi."

"'Kalau tidak, aku tidak bertanding."

"Kau sudah teken kontrak, Lex."

"'Tak peduli. Pokoknya aku hanya mau dengan motor yang dua

ratus lima puluh cc. Atau yang lebih besar lagi. Kurang dari itu,

aku tak mau."

Karim memikir-mikir. Mobil berputar-putar di sirkuit itu. Alex

membacai reklame-reklame yang terpasang di pinggir arena.

"'Eh, ngapain di sini?" kata Karim.

"Kau mau kan menolong aku supaya bisa pindah tim?"

""Akan kucoba. Tapi, kenapa kau harus meninggalkan yang seratus cc?"

"Aku ingin mesin yang lebih kuat. Aku ingin membuat kecepatan tertinggi di sirkuit ini. Kalau perlu, aku ingin terbang. Kalau

saja ada motor yang bermesin jet."

"Oke deh, akan aku usahakan. Tapi, kalau tak bisa, kau harus

ikut dalam kelas seratus."

Alex diam.

"Bagaimana?" tanya Karim.

Alex tetap membisu.

Mereka masih terus berputar-putar. Tempat itu semakin gelap.

Matahari telah terbenam. Sisa cahayanya berwarna merah darah

di langit barat. Pucuk-pucuk pohon di pinggir sirkuit seperti diselubungi lapisan sinar.

238

"'Apa acara kita malam ini?" tanya Karim.

"Terserah kau."

"Ini mobil sampai jam berapa boleh kaupakai?"

"'Sampai kapan saja."

"'Kalau begitu, kita ke nite club. Oke?" Alex mengangguk.

Dan, malam itu mereka ke kota. Lampu-Iampu gemerlapan.

Otomatis hidup-matinya lampu menyebabkan suasana meriah

menyungkup daerah itu. Hostess di nite club masih segar dandanannya. Bagi para hostess, awal malam adalah serupa dengan

pagi yang cerah bagi petani. Petani merangkai pagi dengan riang.

Namun, para hostess merangkai malam dengan riang buatan. Kecuali beberapa hostess yang memang senang dalam pelukan lelaki

langganan mereka.

Banyak yang terjun ke situ dengan niat meriangkan hati sembari mencari uang. Tetapi, lebih banyak karena terdesak oleh nasib buruk. Dalam kegetiran hidup, mereka berusaha menampakkan tawa yang paling manis. Entah bagaimana rasanya tertawa

dengan hati tertekan. Itu urusan para hostess! Urusan Alex, duduk

tenang-tenang sambil menikmati minuman, tanpa berusaha menunjukkan paras-muka manis. Buat apa? Toh hati memang sedang rusuh, buat apa mendustai diri?

Karim asyik memeluk pasangan dansanya. Hostess yang dibooking-nya mirip bintang Film. Tentu saja bintang film yang dimaksud bukan Ratmi B 29. Bintang film macam Widyawati atau

Debby Cinthya Dewi. Atau Christine Hakim. Atau siapa sajalah

yang sekaliber mereka. Untuk sekadar dipandang-pandang cukup mengasyikkan.

239

Maka Alex mengedarkan pandangan pada gadis-gadis yang

bergelar hostess itu. Pada satu wajah, pandangan mata Alex terhenti. Dia mengusap matanya. Tak percaya dia pada matanya.

Bagaimana mungkin dia ada di sana?Ah, barangkali hanya mirip.

Alex mengamati seteliti-telitinya wajah gadis itu. Ah, rasanya

tak salah. Walau cahaya temaram, toh aku belum banyak minum.

Dan, aku belum pakai kacamata baik minus maupun plus.

Lalu dia mendekati gadis itu. Gadis itu menatap Alex beberapa saat. Kemudian pancaran panik menggelepar di mata gadis

itu. Tak syak lagi.

"'Bang Alex," desah gadis itu.

Tak syak lagi. Ini Wanda! Wanda, adik tirinya! Kenapa sampai

terdampar di sini?

Alex mem-booking Wanda. Lalu dia menyeret gadis itu ke kursinya. Tubuh Wanda lunglai menuruti langkah Alex. Mukanya

memancarkan resah yang berloncatan dalam dadanya.

"'Kenapa kau di sini?" tanya Alex.

Wanda hanya mempermainkan ujung saputangannya.

Alex meneguk minumannya, dan mengisi gelasnya lagi.

"'Sudah lama kau di sini?"

"'Tiga bulan," suara Wanda lemah. Alex meneguk minumannya.

"Orangtuamu tidak tahu?"

Wanda mengangkat kepala. Kenapa dia menyebut "orangtuamu"? Bukankah dia ini saudaraku? Wanda terheran-heran.

"'Tidak tahu," jawabnya.

Alex meminum lagi. Gelas yang ketiga, pikir Wanda.

240

"'Kau belum jawab, kenapa kau di sini?"

"Siapa yang melarang?" kata Wanda.

"Bah! Siapa yang melarang?" kata Alex jengkel.

"Papa dan mamamu membolehkan kaujadi perempuan penghibur?"

"Kan mereka tidak tahu," kata Wanda tak acuh.

"'Andai ketahuan?"

"'Apa lagi yang mau mereka bilang?"

"Mereka akan bilang perbuatanmu itu merusak nama baik
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka!"

"Nama baik apa lagi yang mau dipertahankan?"

"Ha?"

"Ya. Tak ada nama baik lagi. Wanda perlu duit. Papa tidak bisa

memenuhi kebutuhan anak-anaknya sekarang."

"Maksudmu?"

"'Banyak yang sudah terjadi, Bang Alex. Perusahaan Papa

bangkrut. Kekayaan perusahaan dilelang untuk membayar

utang-utang. Sekarang tak ada lagi yang dibanggakan Papa. Papa

terpaksa memulai usahanya dari bawah."

"'Kenapa bisa sampai begitu?"

"'Entahlah."

Alex diam. Empat tahun sudah berlalu semenjak kepergian

Alex dari rumah itu. Segalanya bisa terjadi. Inilah gadis yang dulu

biasa hidup mewah, pikir Alex. Hantaman sedikit saja dalam kehidupan membuatnya mencari jalan pintas, menggunakan tubuh

dan kecantikannya untuk memenuhi hasrat hidup mewah. Dia

tak sudi turun sedikit saja dari kemewahan itu. Dia ingin mempertahankan kesenangan-kesenangan kosong yang diberikan

241

lewat limpahan materi. Untuk mengejar materi, tak pedulikan

lagi cara apa pun ditempuhnya. O, inilah anak yang dididik oleh

orangtua yang memuja-muja materi. Inilah!

Alex meneguk minumannya. Rambatan hangat mulai menjalar, mulai dari kepala hingga akhirnya ke seluruh tubuh. lnilah anak orang yang beranggapan bahwa dengan kekayaan bisa

membeli kebahagiaan, pikir Alex lagi. Dan, dipandangnya gadis

itu. Wanda menunduk. Dia ngeri menerima tatapan yang menghunjam itu.

Alex mengamati muka gadis itu. Tambah cantik, pikirnya.

Masa empat tahun menjadikan gadis ini matang. Mata Alex menelusuri leher gadis itu. Leher yang jenjang dan putih. Pandangannya turun lagi. 0, dada yang ranum. Inilah anak seorang lelaki

yang menganggap kekayaan materi adalah ukuran keberhasilan

hidup. Seorang lelaki yang telah membeli cinta.

Tapi, gadis ini memang cantik. Bibirnya mengulum basah.

Rambatan panas berputaran di kepala Alex. Lalu dia berdiri

dan menarik tangan Wanda.

"Ayo, dansa," katanya.

Wanda mengangkat kepala dan menatap bingung, tetapi Alex

nekat menarik tangannya.

Alex memeluk gadis itu erat-erat. Rambut gadis itu harum.

Dan, Alex bisa merasakan halusnya pipi gadis itu ketika bergesekan dengan kulit mukanya.

Penyanyi di panggung kecil menyanyikan lagu sentimental.

Suaranya berdesah seperti orang kepedasan. Dekapan Alex menyebabkan Wanda berpikir: Ini bukan pelukan seorang abang. Ini

pelukan lelaki haus.

242

Wanda menengadah untuk menatap wajah lelaki yang memeluknya. Wajah mereka kini sangat rapat. Dagu Alex mengusap

muka Wanda. Tubuh Wanda terasa hangat. Dia lupa bahwa lelaki

yang memeluknya adalah Alex, saudara tirinya. Dia hanya merasa

bahwa lelaki itu adalah lelaki. Itu saja. Maka dia pun mendekap

lelaki itu erat-erat.

Langkah mereka semakin perlahan. Wanda tengadah lagi.

Mata lelaki itu menghunjamkan pandangan ke matanya. Pandangan yang menyusupkan kehausan seorang lelaki.

Langkah mereka terhenti. Pelukan mereka semakin erat. Ini

adalah seorang gadis cantik. Gadis cantik. Begitu pikir Alex. Lalu

kepalanya menunduk. Dia mencium gadis itu. Mulutnya menggesek-gesek pipi gadis itu. Lalu menyentuh hidung, dan akhirnya

sampai ke bibir gadis itu. Dan, mulut gadis itu terbuka. Mereka

ketat berciuman.

Tempat itu disejuki oleh AC. Cahaya lampu temaram. Nyanyian yang mengumandang tetap juga berujud suara yang mendesah. Bahkan seperti rintihan sepi seorangjanda yang merindukan

mendiang suaminya.

Keduanya sama-sama merenggang, dan sama-sama menghirup udara sepenuh dada. Kemudian merapat lagi, dan berciuman

lagi. Nyanyian selesai. Karim menepuk bahu Alex. Lalu mereka

duduk kembali.

Berkali-kali Karim melirik Alex. Belum pernah dia melihat lelaki itu seasyik sekarang dengan perempuan. Suasana di tempat

itu memang membujuk orang untuk bermesraan. Di dekat kursi

mereka ada kolam kecil yang lampunya menimbulkan imaji cinta

bagi yang melihatnya. Cemercik air menanamkan kesan lengang.

243

Karim berbisik kepada gadis yang di-booking-nya.

Gadis itu mengangguk. Lalu dia berbisik kepada Wanda yang

menyandarkan kepalanya di dada Alex. Mereka masih berpagutan.

Wanda mengangkat kepalanya dan memandang Alex dalamdalam. Lalu dia mengangguk ke arah temannya. Maka keempat

orang berdiri. Karim cepat-cepat menyelesaikan rekening. Lantas

mereka berempat keluar.

Karim dan pasangannya berpelukan di jok belakang. Wanda

menyandarkan kepalanya di bahu Alex. Mereka pergi ke cottage

di Ancol. Angin menepis rambut Alex. Tempat itu temaram. Daun

palma di dekatjendela bergoyang-goyang.

Alex mendekap gadis itu erat-erat. Darahnya yang digiatkan

oleh panasnya minuman membuat seluruh urat di tubuhnya panas. Dia menciumi wajah gadis itu. Mencium leher, kuduk, membuat gadis itu tergial dan rambutnya terjurai.

Mata gadis itu terpejam. Tangannya memegangi kepala lelaki itu, dan menciumi muka lelaki itu pula. Dia merasa sekujur

tubuhnya panas. Ada semacam kerinduan yang tak disadarinya,

yang tiba-tiba lepas bagai kuda liar. Kerinduan yang selama ini

terbenam di bawah sadar, tiba-tiba melompat lantaran lepasnya

kekangan. Dia tidak tahu, pada bagian mana sesungguhnya rindu

itu tertambat. Tak tahu pula pada bagian mana rindu itu terbenam selama ini. Dalam ingatannya yang samar-samar, dia merasa

pernah melihat lelaki ini telanjang. Tak tahu kapan itu terjadi. Tetapi, ketika dia masih kecil, dia merasa pernah mengagumi tubuh

lelaki ini. Dia pernah merindukan tubuh lelaki ini.

Alex menciumi seluruh bagian tubuh gadis itu yang tidak ter

244

tutup pakaian. Di bagian dada, belahan pakaian terlalu rendah

sehingga alur dada gadis itu tampak bagai bukit yang kenyal.

Alex menyusupkan tangannya ke bagian itu sehingga gadis itu

menggeliat dalam rintihan.

Di luar cottage, ombak laut menampar-nampar pantai. Gelombangnya bergulungan sebelum memecah di bibir pantai. Busabusa menggelembung sesaat sebelum pecah. Pasir berdesah menunggu empasan gelombang berikutnya. Dan, cottage itu sepi.

Pohon palma dan kelapa mengilat dibalut embun. Malam

menggelincir dalam desau angin laut di daun-daun. Pasir pantai

yang kotor masih dalam usapan gelombang. Dingin kian menyusup ke pori-pori sehingga yang tidur pun semakin lelap. Lebihlebih tidur dengan letih yang seakan merontokkan tulang-tulang.

Pagi tiba. Matahari telah mengintai ke dalam kamar. Wanda

membuka matanya sambil menggeliat. Tetapi, dia masih malas

bangun. Lalu, seperti biasanya, dia kembali memeluk lelaki yang

menemaninya tidur. Dan, seperti biasanya pula, dia mengingatingat pengalamannya pada malam yang baru saja berlalu. Dia

ingat nite club. Ini hal yang biasa. Dia ingat Alex, dan dia tersentak.

Wanda memandang lelaki yang dipeluknya. Dia meneliti tubuhnya yang telanjang. Sejenak dia terpaku. Dia berharap ini

hanya terjadi dalam mimpi. Ya, mimpi yang memang sering dialaminya. Tetapi, ini bukan mimpi. Ini kenyataan, dan lelaki ini

memang Alex, saudara tirinya.

Wanda menjerit. Bagai orang kesetanan, dia mengenakan pakaian. Apa yang sudah kulakukan bersama lelaki ini? Apa yang

menyebabkan ini bisa terjadi?

245

Alex terbangun. Dia menatap gadis itu, beberapa saat dia terpaku. Ini Wanda. Bukankah dia adikku?

Bah, mungkinkah ini sungguh-sungguh terjadi? Dia berdiri

perlahan dan mengenakan pakaiannya. Kepalanya sarat oleh pertanyaan dan hardikan kepada diri sendiri. Apa yang telah kulakukan ini? Kepalanya pening. Bukan saja disebabkan oleh minuman

semalam, melainkan juga oleh sentakan-sentakan gugatan terhadap dirinya sendiri.

Wanda masih melolong-lolong dan menangis bergulunggulung di ranjang.

Alex membuka pintu yang diketuk dari luar. Karim tegak di

ambang pintu sambil mengusap matanya.

"'Ada apa?" tanyanya dengan suara serak. Alex tak menjawab.

Seperti orang linglung, dia melangkah ke luar. Karim mengikutinya dengan langkah terseok karena masih mengantuk.

Alex duduk di tunggul kelapa.

"'Kenapa dia menangis?" tanya Karim.

Alex tetap membisu. Mukanya pucat. Dia hanya menatap matahari terbit. Langit berwarna merah.

"'Dia masih perawan?" tanya Karim lagi.

Alex menoleh ke arahnya.

"'Kenapa manusia mempunyai nafsu, Karim?" kata Alex lambat-lambat.

""Lho?"

""Kenapa nafsu membuat manusia menjadi buta?"

"Eh, apa-apaan ini? Aku tidak ingin berdebat soal hlsafat. Aku

hanya ingin tahu, kenapa cewek itu menangis menjerit-jerit."

"'Dia adikku," kata Alex.

246

"Apa? Ah, gila kau.| Yang benar?"

"Ya, dia adik tiriku."

"'Ya Tuhan. Kau sungguh-sungguh?"

Alex mengeluh seperti sapi kesepian.

"'Kenapa bisa sampai terjadi?" kata Karim terbata-bata.

Dan, keduanya menoleh sebab mereka melihat Wanda berlari

keluar dari cottage. Berlari terus, berlari terus.

"'Sudahlah, tak usah dikejar," kata Alex sambil memegang tangan Karim yang hendak menguber gadis itu.

"Betul-betul dia adikmu?"

"Ya, adikku."

"Tapi, semalam kan kau kenal dia?"

"Ya, aku kenal dia," kata Alex seperti mengigau.

"Lantas, kenapa sampai terjadi?"

"Aku tak tahu. Aku tak tahu. Tiba-tiba saja aku ingat kebencianku pada papaku. Tiba-tiba saja aku ingin menyakiti hatinya.

Apa katanya kalau kejadian ini dia ketahui? Mungkin aku terlalu

banyak minum semalam. Aku hanya ingin menyakiti papaku. Aku

pikir, kalau aku meniduri Wanda, aku yakin tidak ada lagi yang

dianggap lebih parah dari itu oleh papaku. Dan, selama berdansa

dengannya, aku memang bernafsu. Sungguh-sungguh aku dibakar gairah pada tubuh Wanda."

"Ya Tuhan. Aku tak tahu bagaimana urusanmu dengan papamu. Tapi, tindakanmu ini sungguh-sungguh gawat. Tapi, bagaimana adikmu itu juga lupa bahwa kau abangnya?"

Alex menggeleng lemah.

"Tadi malam, aku lihat dia begitu mesra terhadapmu. Kemes

247

raan yang tidak lazim antara abang dan adik. Kemesraan yang

hanya bisa terjadi pada sepasang kekasih," kata Karim.

Alex membisu sembari memijit-mijit pelipisnya.

"'Kenapa kau membenci papamu?" tanya Karim hati-hati.

"'Bukan cuma dia yang kubenci. Semua kubenci. Aku benci

mama yang tak pernah kukenal. Bahkan aku benci pada diriku

sendiri."

"Wah, gawat." Karim mengaduk-aduk pasir dengan kakinya

yang telanjang. Seekor serangga laut berjalan malas di pasir. Dia

melewati kaki Alex. Lelaki muda itu termangu-mangu.

Perlombaan akan dimulai. Sekeliling sirkuit ramai oleh penonton.

Ada yang memanjat pohon. Teknisi-teknisi masih mengetes mesin-mesin motor yang akan dipakai para pembalap.

Alex duduk berjuntai di belakang tribun. Dia akan mengendarai motor dalam kelas 250 cc. Dia senang sebab keinginannya

terkabul. Dia ingin terbang di sirkuit itu. Latihan-latihan secara

intensif telah dilakukannya. Dia merasa sudah menyatu dengan

motoryang akan dipakainya. Rasanya, napasnya dan napas mesin

motor itu sudah sealiran.

Dia menoleh ketika seseorang menyebut namanya. Dan, jantungnya menggelepar. Di depannya, tegak Wanda. Mata gadis itu

menatap takut-takut. Bibirnya yang merah agak gemetar.

""Bang Alex," kata gadis itu.

Alex mengangkat alis.

248

"Setelah pulang hari itu, Wanda pikir-pikir di tempat penginapan, apa yang sudah terjadi," lanjut gadis itu.

"'Kau tidak tinggal di rumah Papa lagi?" tanya Alex.

"Tidak. Di penginapan. Wanda pikir-pikir, apayang kita lakukan

itu tak perlu disesali. Wanda menganggap itu wajar. Sudah semestinya terjadi. Sebab, andai Abang bukan saudara Wanda, Wanda

ingin Abang menjadi kekasih Wanda. Wanda sering memikirkan

Abang. Salahkah Wanda jika Wanda menginginkan Abang? Salahkah jika mimpi yang sering Wanda alami menjadi kenyataan?

Kenapa Wanda harus memimpikan abang sendiri? Kenapa Wanda

menginginkan abang Wanda sendiri? Wanda tidak tahu kenapa.

Cuma, Wanda tak menyesal walau itu tak bisa diulang."

Alex terpaku. Mereka berdiri tegak berhadapan. Dada gadis

itu turun-naik. Wajahnya yang putih tampak pucat.

"'Siapa yang salah kalau Wanda sering merindukan Abang?
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa yang salah kalau Abang jarang di rumah? Dan, andai di

rumah pun Abang selalu diam di kamar. Abang menjadi orang

yang misterius bagi Wanda. Tapi, akibatnya, Abang selalu datang

dalam khayal Wanda. Salahkah itu?"

Alex merasa tenggorokannya kering. Dan, ludah tersekat di

situ. Angin menerbangkan debu di sirkuit. Rasa haru menepisnepis dalam hati Alex.

"O, kita tak perlu mencari siapa yang salah. Sebab, Wanda pun

tak pernah berpikir siapa yang salah kalau Wanda sampai menjadi wanita penghibur di nite club."

Keduanya tersentak sebab Karim datang berlari-lari.

"Bersiap, Lex!" serunya.

249

Wanda menatap Alex lekat-lekat. Lalu Alex memeluk dan kemudian mencium pipi gadis itu. Lalu, dia berlari menyusul Karim.

Karim membantu Alex mengenakan jaket dan helm. Motormotor sudah berderet. Bendera tanda start sudah diacungkan.

Raungan motor mulai menderu-deru. Angin menciut-ciut di

helm Alex. Motor lari seperti kesetanan. Ban menggigit lantai

sirkuit pada belokan yang hampir meratakan sisi motor dengan

lantai sirkuit, Tidak ada sorak-sorai penonton. Suasana tegang

dan semua mata memandang ke arah sirkuit tanpa berkedip.

Lap demi lap dilampaui Alex. Seperti biasanya jika sedang memacu motor, tak ada yang dipikirkan Alex kecuali menambah

kecepatan, selama masih mungkin mencengkeram handel gas

dan memuntirnya.

Lalu selesai. Terasa singkat. Alex melangkah tanpa memedulikan penonton yang mengelu-elukan kemenangannya. Dia ingin

secepatnya pulang. Dia ingin berbaring tenang-tenang di rumah

Om Burhan yang sejuk. Persetan dengan sambutan meriah atas

kemenangan! Apakah mereka tetap akan mengelu-elukan aku

setelah mereka tahu kenapa aku bisa menang? Akankah mereka

menyanjung-nyanjungku, juara yang sebenarnya tak ingin menjadi juara? Alex berpikir-pikir sambil melangkah.

Dia memang tidak ingin menjadi juara. Dia hanya ingin melarikan motor sekencang-kencangnya. Hanya di sirkuit ini keinginan itu bisa terpenuhi. Dia ingin melarikan sekencang-kencangnya

agar jika terbanting tidak terasa akibatnya. Semakin kencang motor itu lari dan terbanting, semakin tak terasa sakit andai nyawa

harus terkirim ke langit.

250

Alex masuk ke rumah Om Burhan tanpa suara. Di ruang tengah, seperti biasanya jika dia memasuki rumah itu, dia berhenti

di depan potret Tante Liana. Potret itu dibesarkan dengan skala

satu banding satu. Maka Alex bisa melihat setiap titik dan guratan halus di wajah Tante Liana. Dia bisa melihat garis-garis bibir

Tante Liana. Dia bisa melihat dengan jelas mata yang sayu dan

punya pandangan lunak. Inilah kekasihku yang telah memberikan seluruh cintanya kepadaku, pikir Alex.

Mereka bertatapan. Tante Liana menarik napas dalam-dalam,

dan mengedipkan matanya.

Alex terpana. Dia menjulurkan tangannya meraba. Kaget sebab tangannya menyentuh bidang dua dimensi. Maka tangan

itu terkulai. Maka Alex ingat bahwa yang dihadapinya hanyalah

selembar potret besar berpigura. Ini memang pengalaman rutin.

Alex membalik badan, dan berjalan ke kamar dengan kepala

tertunduk menekuri karpet.

Malam harinya, Alex ikut pesta gila-gilaan para pembalap

perusahaan. Dia minum sebanyak-banyaknya sambil memeluk

perempuan yang telah disediakan. Musik hard-rock menjerit-jerit

memekakkan telinga. Karena itu, untuk berbicara harus berteriak

ke dekat telinga lawan bicara.

Ruangan itu penuh asap rokok. Mata terasa perih. Dengan terhuyung-huyung, Alex berdiri meninggalkan ruangan itu. Pesta itu

diadakan di sebuah rumah yang berpekarangan luas. Kebisingan

tempat itu dilindungi tembok yang memutari pekarangan.

Di luar rumah, udara segar. Bunga-bunga mekar. Alex menarik

napas dalam-dalam untuk meredakan denyutan di kepalanya.

251

Gadis yang tadi memeluknya mengikuti langkahnya. Tentu saja

gadis itu tidak akan melepaskannya. Bukankah lelaki ini SangJuara? Dalam kehidupan di sirkuit juga ada semacam groupies seperti

dalam kehidupan anak-anak band. Cadis-gadis remaja tak segansegan menyerahkan tubuh mereka kepada superstaryang mereka

puja. Gadis ini merasa beruntung. Sungguh merasa sangat beruntung. Dia berhasil menjadi pasangan Sang Juara malam ini. Dan,

siapa tahu bisa menjadi pasangan hari-hari berikutnya?

Alex duduk di taman. Di sampingnya, gerumbul bunga sedap malam menguarkan wewangian. Gadis itu duduk di samping

Alex. Karena tahu pembawaan SangJuara, dia duduk tanpa suara.

Dia tahu Sang Juara tak suka gadis cerewet. Dia tahu Sang Juara

pernah menempeleng seorang gadis yang banyak tertawa. Lebihlebih jika tawanya mirip tawa kuntilanak. Ini sungguh-sungguh

tidak disukai Sang Juara. Sang Juara hanya menyukai gadis yang

tak banyak omong, tetapi matanya bisa bicara sejuta kata. Dan,

gadis ini merasa bisa melakukannya.

Dia memeluk lelaki itu. Pengaruh wiski mulai reda di kepala

Alex. Angin semilir membelainya, memberinya kesegaran. Gadis

itu meletakkan kepalanya di dada Alex. Rambutnya harum, dan

dia tahu lelaki itu sangat menyukainya. Atau, setidaknya, lelaki

mana saja sangat menyukai rambut yang tebal dan harum. Ada

kesejukan yang diuarkan rambut itu, dan mampu membuat dada

lelaki menjadi lapang.

Gadis itu tengadah, menatap muka Alex. Inilah Sang Juara,

pikirnya. Dia merasa sangat beruntung sebab menjadi pasangan

Sang Juara yang tak pernah kerasan ikut pesta para pembalap.

252

Sebelum menjadi pasangan Alex, gadis itu telah menyelidiki

kesukaan-kesukaan Sang Juara. Dia menanyakan itu kepada Karim, walau untuk itu harus membayar dengan tubuhnya. Karim

hanya mau menceritakan perihal Sang Juara jika mereka berbaring di ranjang. Bagi gadis itu, berbaring berdua dengan Karim

tak menjadi soal. Dia memberikan apa yang diinginkan Karim,

tetapi dia juga akan memperoleh apa yang dia inginkan.

Lalu, Karim pula yang mengatur agar gadis itu bisa menjadi

pasangan Sang Juara dalam pesta itu. Nah, apa arti pengorbananku jika dibanding dengan anugerah yang kuperoleh? Gadis itu

bersyukur dalam hati.

Jari-jari tangannya yang lentik membelai rambut Alex. Kemudian, perlahan dia menarik wajah lelaki itu ke bibirnya. Mereka

berciuman dengan lembut. Ini tentu saja di luar kebiasaan gadis

itu. Biasanya dia menggebu-gebu dalam berciuman. Tetapi, sekarang kebalikannya. Dia ingin bermain lembut, ingin melebur

dengan cara yang paling indah ke dalam tubuh lelaki itu. Dia

menciumi muka lelaki itu, leher lelaki itu, dan mengisap leher itu

bak Dracula dalam Film. Lelaki itu menggelinjang.

Mereka turun ke tanah, berbaring di rumput manila yang lunak. Bulan menimpakan sinarnya yang kuning ke rumpun bunga.

Ada bunga dahlia berwarna cemerlang tertimpa sinar bulan. Sejuta bintang bertaburan di langit.

Di taman itu, kuntum-kuntum bunga menggeliat-geliat siap

mekar. Daun-daunnya gemerisik setiap angin meniup. Dan dalam

rumah, musik rock masih mengentak-entak. Teriakan-teriakan

orang-orangyang sudah "tinggi"jelas terdengar dari luar. Rumput

menggeliat di bawah tindihan kedua tubuh yang sedang berpacu.

253

Rambut gadis itu awut-awutan, tetapi justru membuat wajahnya semakin cantik. Tempat di dekat rumpun sedap malam

itu sepi. Hanya ada derik serangga dan rintihan seorang gadis.

Bulan mengirimkan cahayanya, menciumi tubuh telanjang gadis

itu. Bintang-bintang pun berkedip menyaksikan tubuh gadis yang

melilit tubuh lelaki itu. Lalu bulan berlagak sopan, bersembunyi

di balik awan sebelum kedua tubuh itu terkapar lemas.

Angin mengusap tubuh-tubuh telanjang yang bermandikan

keringat. Tubuh yang mengilat itu bagai tersepuh emas. Entah

berapa kali disc-jockey di dalam rumah mengganti lagu-lagu.

Gadis itu lebih dulu terjaga. Dia mendapati kepala lelaki itu di

dadanya. Dia mengusap lembut kepala lelaki itu.

Dari dalam rumah, terdengar nyanyian, sebuah country-song.

Lagu yang menceritakan petualangan di daerah frontier. Petualangan seorang lelaki yang menahan sepi sepanjang perjalanannya berkuda.

Gadis itu mengelus kepala lelaki itu lagi. Oh, koboiku, jagoanku, kudaku, yang meluluhlantakkan hati dan tubuhku. Gadis itu

berucap kepada diri sendiri.

Sejak mereka diperkenalkan oleh Karim, barangkali baru lima

atau tujuh kalimat mereka berbicara. Gadis itu ingat persis. Oh,

koboiku yang pendiam, yang merenungi sepinya hati di puncak

ketenaran namanya. Inilah lelaki yang kudambakan selama ini.

lnilah jagoan yang sering datang dalam mimpiku.

Gadis itu mengelus punggung Alex. Lelaki itu menggeliat.

"Sssshhhh, tidurlah, tidurlah," desah gadis itu halus. Tetapi,

lelaki itu telanjur bangun. Sesaat pandang mata mereka berte

254

mu. Gadis itu tersipu sambil menyibakkan rambutnya yang kusut.

Lalu keduanya duduk berhadapan.

Alex memandangi tubuhnya yang telanjang. Lalu memandang berkeliling. Taman itu sepi.

"'Terima kasih, Bang Lexi," bisik gadis itu. Dia kembali memeluk lelaki itu.

"'Pakai pakaianmu. Nanti kau masuk angin," kata Alex.

Mereka berpakaian dengan tetap saling menatap, Seperti

orang sedang becermin. Keduanya mengenakan jins. Cuma, jins

milik Alex lebih kasar.

Gadis itu hampirterjatuh ketika sedang memasukkan sebelah

kakinya ke kaki celana jinsnya. Lututnya goyah. Dia heran menyadari keletihan tubuhnya. Baru kali ini dia mengalami letih. Maka

dia mengenakan celana panjangnya sembari duduk.

Alex duduk menjajarinya. Mereka kembali berbaring. Mereka

memandang bulan yang sesekali menyelam di balik awan.

"'Bang Lexi, pasti Abang tidak ingat nama saya," kata gadis itu

perlahan.

Alex tak menjawab. Dia memang sudah lupa pada nama yang

didengarnya pada awal pertemuan mereka tadi.

"Nama saya Elsa." kata gadis itu.

Alex tersentak. Serupa dengan nama perempuan yang disebut

sebagai mamaku, pikirnya.

"Elsa tahu, Elsa tidak cukup berharga buat Bang Lexi," kata

Elsa.

""Karena itu Elsa sangat berterima kasih untuk apa yang telah

Bang Lexi berikan tadi."

"Kau cantik," kata Alex asal ngomong.

"Betulkah?"

255

Alex menatap wajah gadis itu. Seraut wajah mungil, dengan

mata yang jeli. Bibirnya pun mungil. Alex mengelus dagu gadis

itu. Elsa menangkap jari tangan lelaki itu, dan menciuminya.

"'Bang Lexi, mau Abang jadi kekasih Elsa?"

Alex terpana. Dia meneliti muka gadis itu. Cantik memang.

Tetapi, usianya masih kelewat muda. Paling banyak tujuh belas,

atau bahkan baru enam belas tahun.

"Elsa memangorangjalanan," kata gadis itu.

"Elsa bukan orang

baik-baik."

"'Ah, kamu baik," kata Alex.

"'Tidak. Elsa bukan orang baik. Elsa lari dari rumah. Elsa benci

pada papa dan mama Elsa. Elsa hidup di jalanan. Elsa menginap

dari rumah ke rumah, bersama lelaki-lelaki pembalap itu. Tetapi,

Elsa tidak akan melakukannya lagi kalau Abang mau menjadi

kekasih Elsa."

"Kenapa kau lari dari rumah?"

"'Di rumah ribut melulu. Papa dan Mama bertengkar melulu.

Tidak seperti waktu kami masih tinggal di Yogya. Di Yogya, rumah

kami kecil, tapi tak pernah ribut-ribut. Tapi, setelah di Jakarta ini,

punya rumah gede, Papa malah tak pernah di rumah. Dia suka

main perempuan. Brengsek deh. Bertengkar melulu." Elsa merenung. Barangkali dia ingat rumahnya.

"Berapa lama sudah?"

"'Lari dari rumah? Kalau tidak tidur di rumah sih sudah lama

sekali. Tapi, tidak pulang ke rumah sudah dua bulan ini."

"Papa atau mamamu tidak mencarimu?"

"Pernah, Papa mencari Elsa, tapi Elsa tak mau pulang."

256

Beberapa saat keduanya diam. Gadis itu menciumi jari-jari

tangan Alex.

"'Bang Lexi mau kan jadi kekasih Elsa?" kata gadis itu kemudian.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alex tak bereaksi.

"Maksud Elsa, bukan jadi suami. Cuma, Bang Lexi jangan main

sama teman-teman Elsa. Elsa juga hanya akan melayani Abang

saja. Mau, kan?"

"'lya deh," kata Alex datar.

Gadis itu memeluk Alex kuat-kuat. Lalu dia menciumi wajah

Alex. Mata gadis remaja itu berlinangan.

"'Bang Lexi tinggal di mana?"

"Wah, aku masih menumpang di rumah kenalan. Aku tak punya rumah."

"'Mau Bang Lexi satu rumah dengan Elsa?"

"'Kau punya rumah?"

"Kita kontrak rumah kecil atau paviliun."

"Aku belum ada niat ngontrak rumah," kata Alex.

"Bukan Bang Lexi, tapi Elsa yang kontrak. Elsa memang sejak

lama mau kontrak rumah. Elsa punya uang. Banyak. Papa pernah men-Tabanas-kan uang untuk Elsa. Elsa memang kepingin

kontrak rumah sendiri. Elsa tak mau tinggal di rumah Papa dan

Mama. Elsa bosan keluyuran. Sering masuk angin. Sejak kecil Elsa

memangsering sakit."

Alex memikir-mikir. Gadis itu masih menciumi jari-jari tangan

Alex.

"'Mau kan, Bang Lexi? Kalau Bang Lexi memang belum mau

pindah dari tempat yang sekarang, ya tak apa. Bang Lexi datang

257

sekali-sekali saja, Elsa akan senang. Elsa akan mencucikan pakaian Bang Lexi yang kotor. Elsa akan menunggu Bang Lexi di rumah.

Kita bisa ketemu di rumah saja. Tidak kayak sekarang, di pesta."

Alex masih tetap diam. Bulan semakin bergeser ke barat. Rumah tempat pesta itu sudah sepi. Barangkali orang-orang yang

berteriak-teriak tadi sudah tidur di kamar-kamar kosong di bagian belakang rumah itu. Lalu Alex menarik tangan gadis itu. Dan,

mereka melangkah lambat-lambat.

Hari-hari yang berlalu terasa aneh bagi Alex. Dia menjalani hariharinya tanpa pengertian apa pun. Pokoknya dia melangkah dari

hari ini ke hari esok, tanpa menyadari apa yang sesungguhnya dia

jalani, sebab dia tak tahu apa yang sebenarnya diinginkannya.

Kehidupan ini seolah hanya mengisi paru-paru dengan oksigen,

mengisi perut dengan gizi, lalu mengeluarkan sari-sari gizi itu

lewat mulut untuk dimasukkan lagi ke mulut seorang gadis bernama Elsa. Lalu dia menggumuli gadis itu. Lantas, apa arti hidup

ini sebenarnya?

Akan halnya Elsa? Kian hari dia kian dewasa. Dia bukan lagi

gadis binal yang suka melirik-lirik sang jagoan. Dia adalah perempuan lembut yang menunggu kedatangan Alex di sebuah

paviliun. Kadang-kadang Alex lupa untuk datang. Tetapi, gadis

itu tak menyesalinya. Sambutannya tetap seperti hari-hari yang

lalu. Sambutan dengan kelembutan yang ingin lebur ke dalam

pelukan Alex.

258

Hari itu Elsa menunggu Alex di depan paviliun. Dia memandangi bunga-bunga yang tumbuh di halaman rumah induk. Pemilik rumah induk itu orang yang tak pedulian. Dia menganggap

seolah Elsa tak pernah ada di paviliun itu. Mungkin dia memang

jenis orangyang tak suka usil dengan urusan orang lain.

Maka Elsa duduk sendirian. Sesekali dia menatap ke jalan,

berharap ada sebuah helicak berhenti dan Alex muncul dari dalamnya. Tetapi, harapan gadis itu sehampa balon.

Alex berada di rumah Om Burhan. Lelaki tua pemilik rumah

itu baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Mereka menghadapi meja makan.

"Aku baca tentang kamu di Straits Times," kata Om Burhan.

"Kulihat fotomu di situ. Bukan main! Sampai koran Singapura pun

memuat berita perlombaanmu."

Alex tersenyum-senyum sambil menusuk-nusuk sisa potongan kentang di piringnya dengan garpu.

"'Dan, waktu di Singapura, aku sempatkan mencari mama

kamu," kata Om Burhan.

Alex tersentak.

"'Dan ketemu. Aku ceritakan tentang dirimu. Dia sangat sedih.

Dia akan ke Jakarta."

"'Buat apa?"

"'Dia ingin ketemu kamu."

"Tapi, saya tidak ingin ketemu dia."

"'Bagaimanapun dia itu mamamu, Lex. Dia yang melahirkanmu."

"Saya tak pernah minta dilahirkan. Lebih-lebih dilahirkan ha

nya untuk menderita."

259

"Jangan jadi Malin Kundang, Lexi."

"'Malin Kundang-kah namanya jika seorang anak punya ibu

yang hanya mementingkan dirinya sendiri? Malin Kundang-kah

namanya jika seorang anak mengutuk perempuan yang telah

menyebabkan kesengsaraannya selama bertahun-tahun?"

Om Burhan terdiam. Dan, ruangan itu sepi. Lalu Om Burhan

menciduk pepaya dingin.

Dan, apa pun kata Alex, akhirnya mamanya muncul juga ketika Alex sedang latihan di sirkuit. Elsa menonton dari pinggir.

Mobil Om Burhan mendekati tribun. Om Burhan melambai-lambai ke arah Alex. Alex meminggirkan motornya dan mematikan

mesin.

Seorang perempuan tua keluar dari mobil Om Burhan. Beberapa saat perempuan tua itu berpandangan dengan Alex. Tak

ada perasaan apa pun di hati Alex. Dia hanya melihat perempuan

tua yang masih menyisakan kecantikannya di waktu muda. Tak

ada pula rasa benci. Juga, tak ada rasa cinta. Keharuan pun tak

menyelinap.

"'Alex," desah perempuan tua itu.

Alex cuma mengangkat alis. Dia tidak turun dari sadel motornya. Perempuan tua itu mendekatinya.

""Ini mamamu, Lex," kata Om Burhan.

"Hmmm," gumam Alex.

"'Alex, ini Mama," kata perempuan tua itu. 0, inikah perempuan yang disebut-sebut sebagai mamaku? Alex berpikir-pikir

sambil masih mengangkang di sadel motornya.

Perempuan tua itu menatapnya dalam-dalam. Alex membu

260

ang pandang ke tanah berdebu. O, inikah anak kecil yang kutinggalkan dulu? Inilah anak yang selalu kukenang, pikir perempuan

tua itu. Tapi, kenanganku hanya tentang seorang anak kecil, bukan lelaki sebesar ini. Alangkah cepatnya masa berjalan.

"Lexi! Ini mamamu!" tegas Om Burhan.

""Oh ya? Lantas?" kata Alex sambil mengunyah-ngunyah permen karet.

"'Ya Tuhan," keluh Om Burhan.

"Ah, Om! Nggak usah bawa-bawa Tuhan ke sini," ujar Alex.

Perempuan tua itu masih mengawasi Alex. Di matanya, lelaki

muda itu adalah scorang anak kecil yang masih belajar berlarilari. Dia tersandung, dan orang yang melihatnya akan mengira

dia menangis. Ternyata anak kecil itu bangun dan berjalan tertatih-tatih tanpa tangis.

"'Alex, tak maukah kau berbicara dengan mamamu?" tanya

perempuan tua itu terbata-bata.

Alex berlagak seolah tak mendengar.

Mata perempuan itu mulai basah. O, inilah bayi yang kususui

hanya beberapa hari itu. Inilah dia sekarang, bayi yang kutakutkan akan merusak keindahan buah dadaku. Inilah bayi yang

hanya memeluk botol susu yang disodorkan oleh babu hanya

karena aku mendambakan kekasihku. inilah dia, anak yang dibesarkan oleh botol susu, hanya karena mamanya takut kekenyalan

bukit dadanya layu.

Dan, setetes air mata bergulir di pipi perempuan itu.

"Lexi!" bentak Om Burhan.

"Kau jangan durhaka pada ibumu!"

Alex tak mendengarkan.

261

Perempuan itu mengusap mata. Inilah dia, anak kecil yang

tak pernah terdengarjeritannya. Inilah dia, anak kecil yang tetap

diam kendati popoknya basah. inilah dia, anak kecil yang dianggap dungu karena tak terdengar suaranya. inilah dia sekarang.

Anak itu tegak di bawah sinar matahari yang terik, tetapi matanya

bersorot dingin seperti es. Anakku, anakku, anakku yang kulahirkan dengan jerit perihku. Inilah dia!

Perempuan itu tak kuasa membendung air matanya. Wajahnya basah oleh air mata.

Udara sangat panas di sirkuit. Hawa panas menampar-nampar. Ceranyam menari-nari di permukaan sirkuit akibat timpaan

sinar

Perempuan itu terisak.

'"Alex, anakku," desah perempuan tua itu dengan suara tersekap.

Alex tak mengangkat kepala. Dia hanya melirik sandal perempuan tua itu, sandal yang bersulam bunga-bunga.

"Lexi!" geram Om Burhan.

Alex menoleh. Dan, Om Burhan terkesiap menerima hunjaman pandangan yang setajam beliung, Bukan hanya beliung.

Malahan di situ terpancar kemurkaan.

Perempuan tua itu menatap Alex dengan pandangan yang

baur. Bayangan Alex bergoyang-goyang. Belasan tahun yang lalu

dia kutinggalkan, pikir perempuan tua itu. Dia telah menjadi

besar dengan caranya sendiri. Apakah Philip telah mengasuhnya

dengan baik?

"Alex," kata perempuan tua itu,

"dengarkan penjelasan Mama."

"'Tak ada yang perlu dijelaskan lagi," kata Alex kasar.

262

"Ini penting, Alex. Setelah kau dengar, terserah bagaimana

penilaianmu pada Mama."

"Penjelasan tentang cinta yang berkobar-kobar itu? Sejuta kalimat tentang cinta tak akan bisa menebus masa lalu yang kujalani. Aku tak tahu bagaimana indahnya cinta. Aku hanya tahu

tentang kehidupanku yang getir. Aku hanya tahu bahwa aku tak

tahu buat apa aku mesti hidup. Aku hanya tahu bahwa aku tidak

tahu kenapa aku harus lahir, bernapas, dan dewasa!"

"'Alex, Alex, Alex," keluh perempuan tua itu dalam sambat tangisnya. Dia menangis sesenggukan sehingga Om Burhan terpaksa merangkul bahunya dan menariknya ke dalam mobil.

"Sudahlah, Broer Burhan, sudahlah. Biarlah aku pulang, aku

pulang," kata perempuan itu.

Om Burhan menggeleng-geleng lemah sebelum menghidupkan mesin mobil.

Perempuan tua itu menatap Alex lagi. Wajahnya basah oleh

air mata.

"'Kau akan menyesali pertemuan ini, Alex-ku. Sebab, kau tidak

mengakui Mama yang telah melahirkanmu," kata perempuan itu

terbata-bata.

"'Selangit kutukku untuk kelahiranku yang tidak kuharap!"

kata Alex lantang.

Perempuan itu menekap mukanya. Dan, mobil bergerak meninggalkan debu di belakangnya.

Elsa melangkah lambat-lambat mendekati Alex. Sejak tadi dia

tegak membisu. Matanya yangjeli masih dilibat pesona.

"Kok begitu, Bang Lexi?" katanya.

"Bukankah dia mama Bang

Lexi?"

263

"'Diamlah! Kau tak tahu persoalannya."

"Tapi, dia yang melahirkanmu."

"Kataku, diam!"

"'Kenapa Abang mengutuki orang yang telah melahirkanmu.

Bang?"

""Aku tidak pernah ingin dilahirkan!"

""Tanpa dilahirkan, apakah Abang bisa mencapai apa yang

Abang peroleh sekarang? Tanpa dilahirkan, apakah Abang bisa

menjadi juara seperti sekarang?"

"'Diam.| Kau anak kecil tahu apa?" bentak Alex.

"Elsa memang bodoh. Tapi, Elsa bukan anak kecil lagi. Satu

ketika nanti Elsa akan melahirkan anak."

"Kalau kau juga berbuat seperti perempuan itu, terkutuklah

kau!"

""Apa pun yang telah dilakukannya, tapi dia telah menyebabkan

Abang ada di dunia ini. Kenapa tidak berterima kasih padanya?"

"'Tolol.| Goblok! Otakmu dungu! Kau tidak berpikir! Karena itu,

diam!" teriak Alex. Tenggorokannya kering.

Gadis itu tertunduk. Sepatunya menggores-gores.

""Tapi, bagaimanapun juga, seorang yang telah melahirkan

anaknya, tetap bernama Mama," katanya pelan-pelan.

"Diam!" teriak Alex sambil melompat dari sadel motornya. Kemudian tangannya mendarat di wajah gadis itu. Elsa terbanting

ke tanah. Tetapi, gadis itu secepatnya bangun dan berkata,

"Dia
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mamamu! Dia mamamu!"

"Bangsat!" Alex menendang gadis itu sehingga tubuh gadis itu

terlempar.

264

Gadis itu berusaha bangun. Pijar-pijar kemarahan di mata

lelaki itu membuatnya bergidik.

"Pergi! Enyah dari sini! Kalau tidak, kubunuh kau! Pergi! Pergi.|

Pergi!" Alex berteriak seperti kesurupan.

Gadis itu melangkah terhuyung-huyung, meninggalkan tempat itu. Dia lupa akan maksudnya kenapa tadi dia datang ke

tempat itu. Sebenarnya dia mau menyampaikan berita penting

kepada Alex. Berita itu baru didapatkannya pagi tadi. Ingin dia

menyampaikan berita itu kepada Alex. Ingin dia melihat reaksi

Alex. Tetapi, berita itu tak sempat disampaikannya.

Gadis itu berjalan dengan langkah gontai meninggalkan sirkuit yang panas itu. Udara sangat garing, membuat tubuhnya kering.

Setelah berteriak-teriak, Alex merasa dadanya agak lapang.

Lalu dia duduk di bawah pohon. Beberapa lama dia termangumangu di situ. Satu keinginan yang ada, yaitu ingin minum. Tenggorokannya kering. Rasa-rasanya bau wiski atau brendi sangatlah

nyaman. Dia merindukan itu. Begitulah barangkali orang-orang

yang dibesarkan oleh botol susu. Setiap kali ada kemelut, mereka

hanya melarikan diri lewat minuman, seolah-olah setiap kemelut

bisa diatasi dengan botol.

Alex telah minum, tetapi rusuh di hatinya hanya berkurang sedikit. Mungkin, sebenarnya tidak berkurang. Rusuhnya itu hanya

terbenam sedikit demi sedikit ke bawah kesadarannya. Keresah

an masih saja menggeliat di dadanya.

265

Lalu, dia pergi ke Cut Meutia. Dia mencarter taksi liar yang

banyak parkir di situ. Dia menyuruh sopir taksi itu menjalankan

mobilnya tanpa tujuan. Pokoknya bergerak.

Mobil tanpa AC itu menyusuri Jalan Cikini Raya. Sambil lalu

Alex membaca poster besar. Rendra akan mementaskan Mastodon

dan Burung Kandat. Mobil melintasi jam yang selalu mati di depan

TIM. Lewat jendela mobil yang selalu memberikan kesegaran, Alex

melihat orang-orang lalu-lalang di trotoar. Kolam renang telah terlewati. Banyak anak-anak kecil berada di tempat itu. Entah baru

akan latihan atau sudah selesai latihan. Mobil melewati Bioskop

Megaria, melintas di depan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo.

Biasanya korban-korban kecelakaan dibawa ke sini. Alex pernah

mengantarkan temannya yang cedera sewaktu latihan di sirkuit.

"Ke mana nih, Om?" tanya sopir taksi.

"Kanan," jawab Alex tanpa berpikir.

Lalu mobil melintasi RS St. Carolus. Kalau aku mendapat kecelakaan, aku ingin dibawa ke sini, pikirAlex. Soalnya, kalau aku

mati, mayatku akan dirawat suster-suster yang baik hati. Alex

ingat, dia punya teman yang pernah dirawat di rumah sakit swasta ini. Seorang pembalap yang lumpuh akibat kecelakaan waktu berlomba. Dia lebih menyukai rumah sakit itu sebab di situ

suasana lebih tenang. Menyenangkan jika mati di tempat yang

tenang. Di RSCM kelewat ramai. Arwahku akan kebingungan untuk meninggalkan ragaku kalau aku berbaring di rumah sakit itu.

Maka Alex tersenyum-senyum. Di sepanjang Jalan Matraman

Raya, dia terus tersenyum.

"'Ke mana kita, Om?" tanya sopirtaksi lagi.

266

"Terserah kamu deh," kata Alex.

Sopir itu melirik lewat kaca spion. Dia menemukan wajah

yang tak acuh. Dia bisa melihat mata lelaki itu. Mata yang kebingungan. Lalu 50pir itu maklum. Tentunya anak muda ini sedang

dilanda persoalan rumit. Dia memang sering membawa penumpang semacam anak muda ini. Orang-orang yang tak tahu harus

berbuat apa di tengah-tengah kota ini. Tetapi, mereka justru sering royal membayar ongkos taksi.

Sopir itu membelokkan mobil ke kiri. Mereka melewati jembatan kecil. ini daerah Cipinang Cempedak. Mobil itu meluncur

di jalan kecil yang banyak lubangnya. Mereka melewati gedung

yang terawat rapi. Alex membaca papan nama di depan gedung

itu, dan tersenyum. Wah, barangkali sopir ini mengira aku senewen, pikirnya. Gedung itu tak lain adalah Klinik Perawatan Sakit

Jiwa Ongko Mulyo.

"'Kita ke rumah sebentarya, Om?" kata sopir itu kemudian.

"Boleh," kata Alex.

Mobil itu meluncur terus, berbelok-belok di beberapa persimpangan, dan kemudian berhenti. Sopir membunyikan klakson.

Dari rumah yang sederhana itu keluar anak kecil berlari-lari.

"Bapak datang! Bapak datang!" kata anak kecil itu sambil berlompat-lompat.

"Sebentarya, Om," ujar sopir itu. Dia keluar dari mobil.

Seorang perempuan muda keluar dari dalam rumah. Sopir itu

memberinya uang. Lalu mereka berbicara, entah apa yang mereka bicarakan. Setelah mencium anak kecil itu, sopir itu kembali ke

mobil. Istri dan anaknya melambai-lambaikan tangan.

267

"'Anak saya yang terkecil sakit," kata sopir itu sembari menambah kecepatan.

"'Sejak pagi saya tak dapat tarikan. Baru Om inilah," lanjutnya.

Alex membisu. Di matanya masih terbayang anak kecil yang

melompat-lompat, dan ciuman sopir itu, yang membuat anaknya memejamkan mata. Wajahnya yang lucu semakin tampak

mungil.

Alex termangu-mangu.

Sementara Alex berkeliling kota sepanjang hari, Elsa termangu-mangu di paviliunnya. Tempat itu sekarang sepi. Beberapa

jam yang lalu, Elsa menangis. Kemudian dia tertidur karena letih.

Tetapi, sebentar saja dia terlena. Setelah bangun tidur, hatinya

kembali rusuh. Dia membolak-balikkan badannya di ranjang. Di

bantal masih tercium bau keringat Alex. Dia rindu kepada lelaki

itu. Walau baru beberapa saat yang lalu dia dipukul lelaki itu,

tetap saja dia rindu.

Elsa melompat bangun ketika terdengar deruman motor di

depan paviliun. Cepat-cepat dia merapikan rambutnya. Dia membuka pintu. Tetapi, dia mengembuskan napas kecewa sebab yang

datang bukan Alex, melainkan Karim.

Karim tegak sambil tersenyum-senyum.

'"Lexi ada?" tanya Karim sambil duduk di kursi.

Elsa menggeleng.

"'Wah, tambah cantik kau," kata Karim. Lalu dia duduk di samping Elsa. Tangannya mengusap bahu gadis itu.

Elsa menepiskan tangan itu.

"'Alaaa, kok sombong sekarang?" kata Karim,

268

"Jangan, ah!" kata Elsa dan berusaha menepiskan tangan lelaki itu lagi.

"'Alaaa, dulu mau. Kenapa sekarang tidak boleh?"

"Jangan," kata Elsa.

Karim tertawa. Dia mencium leher Elsa.

Elsa mengelak dan pindah duduk.

"Aku tahu, kau tidak akan puas sama Lexi. Sebab, aku kenal

Lexi. Dia lemah."

Elsa mencibir. Lemah apa? Dia mampu membuat rontok tulang-tulangku, kata Elsa dalam dada.

Karim mendekatinya lagi.

"'Ayolah, Els. Dulu kan kita pernah?"

"'Dulu, dulu. Sekarang, tidak!" kata Elsa getas.

"Ah, jangan begitu dong," kata Karim. Kerongkongannya mulai

beriak.

"'Jangan!" kata Elsa sambil menepiskan tangan Karim yang

mengarah ke dadanya.

Karim tertawa.

"Pantaskah perbuatan ini kaulakukan pada istri temanmu sendiri?" kata Elsa sengit.

"'Lho, kapan kalian kawin?"

"'Pokoknya aku istri Lexi. Dia suamiku."

Karim tertawa mengakak. Dia memeluk Elsa. Elsa mengelak,

tetapi malah menambah semangat lelaki itu. Tambah kuat Karim

merangkul perempuan itu.

Elsa menjerit,

"Lepaskan!"

Karim tak melepaskan rangkulannya. Elsa menggigit tangan

269

lelaki itu. Karim terpekik, dan tangannya refleks mendarat di pipi

Elsa. Elsa berlari keluar.

Elsa tegak di halaman dengan napas terengah. Karim menyusul keluar

'"Ayolah, Elsa, jangan sombong dong. Kan aku yang memperkenalkanmu dengan Lexi."

""Kau ular!" damprat Elsa dengan napas memburu.

"Pengkhianat! Mengkhianati teman sendiri!"

"Toh kalian bukan suami-istri. Kalian tidak pernah kawin."

"Dia suamiku! Dia suamiku! Dia suamiku!" jerit Elsa semakin

keras.

"'Pergi dari sini! Pergi! Kalau kau tak mau pergi, aku akan

berteriak sekeras-kerasnya biar orang-orang mendengarnya. Biar

kau ditangkap hansip!"

Lalu, dengan muka kecut Karim meninggalkan tempat itu.

"Tak tahu membalas budi!" katanya sebelum pergi.

"'Kau pengkhianat! Mengkhianati sahabatmu sendiri! Cih!"

Elsa masuk ke paviliunnya. Setelah mengunci pintu, dia mengempaskan tubuhnya ke dalam pelukan kasur. Oh, Lexi. di mana kau?

Kenapa kaubiarkan aku sendirian di sini? Kenapa kaubiarkan istrimu mau dijahati temanmu sendiri? Di mana kau, Lexi? Di mana

kau, Papa? Di mana kau, anakku? Oh, kenapa kau tak pulang?

Maka perempuan yang masih dalam bayang-bayang keremajaan itu pun menangis. Lexi, Alexander-ku, pulanglah, pulanglah.

Istrimu menunggumu. Istrimu merindukanmu. Calon anakmu

menunggu kedatanganmu.

Tetapi, tangisan Elsa tak akan terdengar oleh Alex. Sebab, Ielaki itu tidur di sebuah hotel kecil di Salemba Tengah. Beberapa

270

hari dia menginap di hotel itu. Dia tidak mau bertemu Elsa, dan

enggan ke rumah Om Burhan.

Bermula dari keluyuran ke seluruh penjuru kota. Naik bus

kota yang satu lalu pindah ke bus kota yang lain, tanpa tujuan.

Sampai suatu hari, ketika dia sedang membaca koran di kios koran di Salemba, seorang lelaki menepuk bahunya.

Alex membalik badan.

"Hei. Bang Zulkifli!" katanya.

Zulkifli terawa.

"Aku tadi lihat kau dari atas bus. Lalu aku turun di sini."

Orang-orang berlalu-lalang. Mulut jalan ke Salemba Tengah

itu selalu ramai.

"Sering kubaca tentang kau di koran. Hebat kau sekarang."

"'Ah, hebat apanya."

Lalu keduanya asyik berbincang-bincang. Mereka mengingatingat masa di penjara dulu. Dan, mereka duduk di warung soto.

Pertemuan kembali dua orang yang pernah akrab tentu saja selalu mengasyikkan.

Tetapi, kemudian mereka berpisah, sebab Zulkifli masih ada

urusan lain. Sebelum pergi. Zulkifli menanyakan tempat tinggal

Alex. Alex menyebutkan hotel tempatnya menginap. Memang

hanya alamat itu yang bisa dikatakannya. Sebab, rumah Om Burhan tak perlu disebut-sebut lagi, sedangkan paviliun Elsa... ah,

tak enak menyebutnya.

Suatu malam Alex pergi ke nite club tempat Wanda bekerja.

Wanda menemaninya duduk. Mereka tidak berdansa. Alex hanya

meneguk minuman ringan. Wanda menatap muka Alex dengan

cara mencuri-curi. Dan, dia menemukan wajah yang murung.

271

"'Wanda," kata Alex kemudian.

Wanda mengangkat kepalanya.

"'Kalau kau perlu uang, aku bisa beri kau," lanjut Alex.

Kening Wanda berkerut.

"Uangku agak banyak. Bisa kaugunakan, kalau kau mau keluar

dari nite club ini." Alex berbicara tanpa memandang lawan bicaranya. Lalu dia mengeluarkan segepok uang dari kantong celananya, dan meletakkan uang itu ke tangan Wanda.

Gadis itu terpesona. Dia menatap uang di tangannya.

"Kalau kau mau keluar dari sini, keluarlah. Kalau kau memang

mau tetap di sini, tetaplah di sini. Tapi, aku harap pengalaman kita

malam yang lalu itu tetap kauingat. Lantaran kau jadi penghibur

di tempat ini, kita melakukan perbuatan terkutuk itu. Kejadian

itu selamanya menggangguku. Kuharap kau akan menemukan

suami yang baik. Kupikir, suami semacam itu tidak akan kauperoleh di tempat ini. Sebab, di sini, laki-laki hanya melihat tubuhmu

saja. Ya, tubuhmu. Aku sendiri, saudaramu, pun seperti itu. Tidak

akan kauperoleh kasih sayang yang sesungguhnya di sini. Lakilaki hanya ingin menikmati tubuhmu. Setelah itu, selesai."

Wanda tak sempat menanggapi sebab Alex lantas berdiri, dan

pergi. Wanda termangu-mangu hingga captain memanggilnya
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar dia meladeni seorang tamu. Tetapi, Wanda tetap mematung.

Captain itu membentaknya.

Wanda tersadar dari lamunannya. Lalu dia mengangkat kepaIa dan berkata,

"'Saya tidak mau meladeni tamu."

Captain itu tercengang.

"'Saya mau berhenti dari sini," kata Wanda, dan dia beranjak

pergi.

272

Alex duduk menghadapi meja bar di kafe sirkuit. Dari tempat itu,

dia bebas menikmati pemandangan di sirkuit tanpa terhalang.

Asalkan dia duduk agak menyamping sedikit.

Kafe itu sepi. Pelayan duduk sambil berkali-kali mengelap

meja. Meja tampak semakin mengilat.

"Kemarin ada yang cari Om ke sini," kata pelayan itu.

"Siapa?" tanya Alex.

"Cewek. Cakep. Dia lama di sini, menunggu. Tapi, Om nggak

muncul-muncul."

"'Siapa ya?" tanya Alex kepada diri sendiri.

"Rambutnya sebahu. Kelihatannya dia sedih."

Elsa barangkali, pikir Alex. Lalu dia menghirup minumannya.

"'Ada tahi lalat di dagunya?" tanya Alex.

"'Entah ya. Kurang saya perhatikan. Dia minum air jeruk tiga

gelas."

Alex diam. Dan, pelayan itu pun diam. Seorang lelaki tua masuk ke kafe itu. Pelayan menyambutnya. Lelaki tua itu mendekati

Alex, lalu duduk di bangku tinggi di samping Alex.

273

E-Booh by syquqy_qrr

"Alex," kata lelaki tua itu.

Alex menoleh tak acuh. Dan, ketakacuhan itu serta-merta lenyap. Di sampingnya, duduk papanya. JantungAlex menggelepar.

Apa-apaan si tua ini datang kemari?

'"Kemarin Wanda pulang ke rumah," kata lelaki tua itu perlahan.

Alex heran melihat begitu tuanya lelaki itu sekarang. Bahkan

suaranya pun tidak seberwibawa dulu lagi. Alangkah kejamnya

waktu terhadap lelaki tua ini, pikir Alex.

"Wanda mengatakan, kau memberinya uang banyak sekali."

Alex tidak menimpali. Dia mengangkat gelasnya, dan meminum sari buahnya.

""Kami sangat terharu atas kebaikanmu."

"Itu cuma sekadar bayar sewa nama," kata Alex datar. '"Ya, sebab saya telah memakai nama Wenas, Nama itu saya perlukan

supaya saya tidak dikira Tionghoa."

Lelaki tua itu mengangkat kepalanya dengan lemah. Mereka

bertatapan.

"Aku tidak tahu bagaimana penilaianmu terhadapku." kata lelaki tua itu.

"Tapi, aku tahu bahwa aku tidak menjadi papa yang

baik bagimu."

Nah, kalau begitu, ngapain nongol di sini? sahut Alex dalam

hati.

Lelaki tua itu mengusap matanya. Matanya yang tua terasa letih. Badai kehidupan yang dialaminya belakangan ini telah menjadikan tubuhnya ringkih. Dia biasa dihormati. Tetapi, persoalan

perusahaan membuat harga dirinya terbanting. Dia hancur. Pada

274

saat seperti inilah dia baru merindukan hadirnya seorang anak

lelaki yang akan menjadi tulang punggung keluarganya. Padahal,

di rumah hanya ada beberapa anak perempuan. Anak-anak perempuan yang manja, yang tak tahan terhadap penderitaan. Betapa hancur hati lelaki itu ketika mendengar desas-desus bahwa

salah seorang anak perempuannya menjadi hostess di nite club. Dia

tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi kepada orang-orang

yang pernah menghormatinya. Apa yang harus dikatakannya

di gereja tempat ayahnya pernah menjadi pengurus? Ya, kakek

Wanda pernah menjadi ketua majelis gereja. Akan dikemanakan

muka ini?

"'Aku tahu kau membenciku. Alex," kata lelaki tua itu.

"Tapi, bagaimanapun, biarkanlah aku mengakui seluruh perasaanku yang

bertahun-tahun kusimpan."

Alex melirik. Lelaki tua itu mengeluarkan rokok murahan, bukan rokok yang biasanya diisapnya dulu. Sudah begitu rudinkah

kehidupan mereka sekarang?

"Aku memang salah jalan selama ini. Aku mengira, dengan

kekayaanku segalanya bisa kuperoleh. Bahkan cinta pun kupikir

dapat kuperoleh dengan kekayaanku. Itulah kenapa aku kawin

dengan mamamu. Aku tahu dia tak mencintaiku. Bahkan aku

tahu dia sudah bercintaan dengan lelaki lain. Tapi, di situlah

ambisiku untuk menang menggodaku. Aku pernah ditolak mamamu ketika dia gadis. Lalu, ketika orangtuanya membutuhkan

bantuan orangtuaku, aku melamarnya. Orangtuanya menerima.

Kau tahu apa yang kurasakan? Kemenangan. Aku mabuk oleh

kemenanganku. Aku ingin menumpas cintanya kepada bekas

275

kekasihnya. Aku haruskan dia untuk mencintaiku. Tapi, mungkinkah itu? Mungkinkah cinta dipaksakan? Belakangan aku baru

tahu bahwa sesungguhnya di belakangku dia berusaha agar hubungannya dengan kekasihnya itu tak terputus. Kebenciannya

terhadapku semakin menggunung. Dia kularang keluar tanpa

pengawas yang kupercaya. Ya, dia tak lebih dari tawananku. Sekarang aku baru sadar, bahwa aku telah berbuat salah. Aku hanya

memikirkan cintaku, tanpa memikirkan cintanya. Aku tidak pernah memikirkan kenapa aku tak mendapat balasan cinta darinya.

Aku tak mau koreksi diri. Kupikir, dengan kelahiranmu, dia bisa

memutuskan kenangan bersama kekasihnya. Tapi, ternyata tidak. Aku menemukan surat yang membuktikan bahwa dia masih

berhubungan dengan kekasihnya. Hatiku sakit. Sebab, rupanya

selama ini surat-surat di antara mereka berjalan mulus lewatjasa

baik seorang kenalan kami, Rosliana. Kau tentunya kenal dia. Dia

pernah datang ke rumah kita beberapa kali, bahkan setelah kau

dewasa dia pernah datang. Aku membencinya. Dialah ular yang

menyebabkan istriku berkhianat."

Lelaki itu menghirup udara sepenuh dada. Selama berbicara,

napasnya terdengar sesak. Keningnya sebentar-sebentar berkerut

lantaran asap rokok yang diisapnya tak nyaman di dada.

"Ketika kau berumur lima tahun, mamamu minta cerai. Harga

diriku tersinggung. Dia kuceraikan. Ingin kutunjukkan kepadanya bahwa aku masih bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya. Aku pun kawin lagi. Tapi, ternyata aku tak bisa

melupakannya. Pada harga diriku yang terbanting, aku sangat

membencinya. Dan, kaulah yang menjadi korban kebencianku

276

terhadapnya sebab wajahmu mirip wajahnya, Terutama matamu,

selalu mengingatkanku padanya. Aku sering lupa bahwa kau titisan darahku. Aku hanya melihat bahwa kau peninggalan orang

yang sangat kubenci. Bahwa kau peninggalan orang yang sudah

menghina harga diriku sebagai lelaki."

Sesaat lelaki itu diam. Alex duduk tenang-tenang.

Pelayan kafe itu duduk terkantuk-kantuk.

"'Beberapa waktu ini aku sering berpikir, apa sebenarnya yang

telah kulakukan dalam hidupku? Pertama-tama, aku telah membeli cinta. Ini puncak kebodohanku. Tapi, apakah aku salah kalau

aku mencintainya? Aku tak bisa bercinta. Aku hanya bisa mengumpulkan duit. Itu pun ternyata musnah. Aku mengira bahwa

dengan kekayaanku, dia bisa kuperoleh. Tapi, nyatanya dia tak

selemah yang kuduga. Dia tidak silau oleh uangku. Dia hanya

patuh kepada orangtuanya. Begitu orangtuanya mulai bangkit

lagi usahanya, di situ dia mulai menunjukkan kekuatannya yang

sesungguhnya. Kekejamanku bertahun-tahun dipatahkannya dengan caranya. Lalu, dia pun pergi dengan kekasihnya itu."

Entah berapa lama keduanya kemudian membisu. Alex merasa kepalanya berat. Dia bingung bagaimana harus menilai mamanya. Dia ternyata bukan lari begitu saja dengan orang yang

dicintainya, pikir Alex. Dia lari dari suami yang menindasnya

secara kejam. Dia lari dari lelaki yang telah membeli cintanya

sebab dia tak mampu menjual cintanya. Ah, dia sesungguhnya

perempuan hebat. Apakah aku masih harus menganggapnya perempuan egois? Egoiskah seorang yang memerangi penindasan

terhadap dirinya? Egoiskah seorang yang telah menentang tirani

277

dalam kehidupannya? Ya, lelaki tua ini adalah tirani. Inilah lelaki

yang memuja materi dalam hidupnya. Akibatnya, harga dirinya

terbanting. Dia rasakan keterbantingan itu setelah kekayaannya

lenyap. Harga dirinya terdapat pada kekayaannya itulah.

Alex menatap papanya. Alangkah berbeda dari papaku beberapa tahun yang lalu, pikirnya.

"Aku sudah menceritakan segalanya, Alex. Terserah pada penilaianmu. Sekarang kau bisa memahami sikapku selama ini. Aku

memang bersalah. Kau telah kuusir dari rumah ketika kau mengalami badai dalam kehidupanmu. Tapi, ternyata kau masih mau

menolongWanda."

Alex membisu. Dalam hati saja dia berkata, Pertolongan apa

yang telah kuberikan? Aku hanya menyesali perbuatanku terhadapnya. Dengan uang berapa pun kesalahanku tidak bisa kutebus. Kalau Tuhan memang ada, tentulah Dia tidak akan memaafkan perbuatanku itu.

"Aku pulang, Lex," kata lelaki tua itu seraya berdiri. Lalu dia

melangkah. Tetapi, di pintu dia berbalik.

"Oh ya. Kami tidak tinggal di rumah yang dulu lagi. Rumah yang sekarang lebih kecil."

Alex tak menanggapi. Dia hanya memandangi kepergian

papanya. Jadi, siapa lagi yang harus kupersalahkan atas hidupku yang getir selama ini? Mula-mula aku menganggap mamaku

sebagai sumber bencana. Tapi, sekarang aku baru tahu bahwa

dia tidak sejahat yang kuduga. Ya, bukankah lelaki tua itu yang

menyebabkan segala kemelut ini? Bukankah dia dengan kesombongannya sebagai orang kaya yang telah menghasilkan rentetan

kemelut ini?

278

Dengan pikiran sarat, Alex pulang ke penginapan. Sebelum

itu, dia sempat minum es alpukat di pinggir jalan. Minuman itu

membuat perutnya penuh.

Kendaraan di sepanjang jalan tetap berseliweran. Alex menyusuri jalan. Dia terpaksa berjalan mepet ke pinggir, sebab banyak

orang berlari-lari sambil membawa peti, bakul, dan segala macam tetek-bengek. Orang-orang yang sedang panik.

Alex menonton kelintang-pukangan orang-orang itu Belakangan dia baru maklum, setelah dia melihat sebuah truk bergerak pelan-pelan menyisirjalan. Petugas Kamtib membongkar kerangka-kerangka tempat berjualan pedagang kaki-lima yang tak

sempat lari. Para petugas itu sangat perkasa ketika membongkar.

Tetapi, mereka tidak akan seperkasa itu kalau disuruh membuat

kerangka-kerangka tenda itu.

"'Penertiban menjelang Tahun Baru," kata seorang penjaga

parkir.

"'Kenapa harus dibongkar? Bukankah mereka butuh uang untuk menyambut Tahun Baru?" kata seorang pengemudi helicak.

"'Di Tahun Baru, semuanya harus tertib."

"'Lebih baik pencoleng-pencoleng ditertibkan duluan," kata pengemudi helicak itu jengkel.

"'Orang baik-baikjualan diuber-uber

kayak binatang buruan!"

Alex melangkah pelan-pelan meninggalkan tempat itu. Kemudian dia naik bus kota. Lalu turun setelah bus itu semakin pa

279

dat penumpang. Ternyata dia turun di dekat rumah Om Burhan.

Tetapi, dia tidak belok ke rumah itu. Dia terus berjalan di bawah

kerindangan pohon.

Besok Tahun Baru. Dan, Alex ingat, dia pernah pergi ke gereja

bersama Tante Liana ketika Malam Tahun Baru yang lalu. Eh,

setahun yang lalu, dua tahun yang lalu, atau tiga tahun yang lalu

ya? Memorinya sangat lemah untuk mengingat-ingat waktu. Dia

hanya bisa mengingat apa yang terjadi, tetapi tidak bisa mengingat kapan terjadi

Dia melangkah terus tanpa memedulikan kendaraan yang berlalu-lalang di sampingnya. Mengingat Tante Liana, seketika hatinya giris. Dia berjalan sambil menatap daun asam yang bertaburan di trotoar. Melamun sambil berjalan memang menyenangkan.

Asal saja tidak ada lubang gorong-gorong yang ternganga.

Malam semakin mendekat. Lampu di sepanjang jalan telah

menyala. Alex berjalan dengan tangan di saku. Sepatunya berbunyi plak-plak pada semen di trotoar. Di beberapa rumah, ada

orang memasang petasan. Bunyinya menyentakkan Alex.

Dia melewati sebuah gereja. Di sini dia pernah datang bersama Tante Liana. Lalu Alex duduk di bangku batu yang mengapit

pintu gerbang gereja itu. Malam Tahun Baru di depan gereja.

Malam makin menyungkup. Orang yang datang ke gereja semakin banyak. Alex tetap duduk memandangi mobiI-mobil yang

berdatangan. Sebuah mobil berhenti, dan penumpangnya turun.

Joice dan orangtuanya.

Alex merasa debur-debur dadanya tetap membuatnya susah

bernapas setiap kali melihat gadis itu.

280

Joice menatapnya. Lampu di jalan dan di gereja menerangi

tatapan mereka. Kebaktian belum dimulai. Jemaat masih banyak

yang tegak di halaman gereja. Kedua orangtua Joice sedang berbincang-bincang dengan kenalannya. Joice berdiri sendirian sebab dia tak suka berbincang-bincang dengan orang-orang tua.

Beberapa helaan napas, Alex menjadi ragu-ragu. Tetapi, dia

melihat gadis itu masih tetap tegak sendirian.

Maka Alex mendekatinya. Gadis itu menoleh.

"Joice," kata Alex.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Selamat malam."

Gadis itu hanya memandangnya. Orang-orang mulai masuk

ke gereja. Orangtua Joice memanggil gadis itu. Beberapa saat

Joice mematung di depan lelaki itu.

"Aku mencintaimu," kata Alex lambat-lambat.

Joice mengangkat kepala. Lalu dia membalik badan dan

mengikuti langkah kedua orangtuanya.

Halaman gereja kembali sepi. Alex duduk kembali di bangku

batu. Dari gereja itu terdengar suara orgel. Menyusul suara pendeta. Lalu terdengar nyanyian rohani.

Nyamuk-nyamuk berdenging di selokan. Suara pendeta lantang diantarkan loudspeaker.

"Hanya satu Bapa, hanya satu Juru

Selamat, hanya satu Roh Kudus..." Dan, entah apa lagi, Alex kurang memedulikan.

Alex termangu-mangu memikirkan, di manakah Bapa yang

Tuhan itu ketika hidupku terombang-ambing dalam kegetiran?

Di manakah Yesus yang Juru Selamat itu ketika aku merasa hidupku pahit sepahit-pahitnya? Di manakah Roh Kudus itu ketika

aku membutuhkan sinar terang dalam hidupku? Aku hanya me

281

ngenal Tante Liana yang telah mengangkat hidupku, mengangkat jiwaku yang lemah, dan tubuhku yang lunglai. Dialah yang

menolongku pada saat ke-lungkrah-an hidupku tak tertahankan.

Padahal pendeta itu mengatakan bahwa Sang Bapa yang memutar roda kehidupan ini. Tapi, pernahkah kekuasaan-Nya menolongku? Hanya Tante Liana yang pernah menolongku. Menolong

tubuh dan batinku. Ataukah karena Tante Liana khusyuk di gereja

dan doanya tulus, Tuhan memilihnya sebagai perantara untuk

menolongku?Dia telah menyelamatkan hidupku. Dia telah memberiku sinar terang.

Jika Tuhan memang memilih Tante Liana sebagai wakil untuk

menolongku, jika benar begitu, berarti Tuhan telah melakukan

pekerjaan-Nya dengan tepat. Di dalam kesibukan-Nya mengurus

alam dan seisinya ini, ternyata Dia masih menyempatkan diri

memperhatikan doa Tante Liana. Dan, Dia tahu bahwa perempuan itu memang Dewi dalam kehidupan ini. Perempuan itulah

garam dalam kehidupanku.

Malam semakin dingin. Lalu Alex meninggalkan gereja itu.

Sampai jauh dia melangkah, masih terdengar olehnya nyanyian

rohani dari gereja itu.

Joice mengikuti kebaktian malam itu dengan pikiran bercabang. Dengan jujur dia harus mengakui bahwa dia tak bisa melupakan lelaki itu. Dengan sesungguhnya dia mengakui bahwa

lelaki itu telah menempati ruang-ruang kosong dalam hatinya.

Bahkan Tigor tak mampu menggeser kedudukan lelaki itu. Tigor hanyalah lelaki yang cuma asyik dengan dirinya sendiri. Dia

menganggap bahwa dunia ini berputar dengan dirinya sebagai

282

poros. Setiap pembicaraan hanya menampilkan keakuannya yang

tak habis-habisnya. Semakin lama bergaul dengan lelaki itu, Joice

semakin sadar bahwa bukan lelaki tipe semacam itu idealnya.

Namun, Joice kemudian melirik cincin pertunangan di jarinya.

Dia telah diikat oleh lelaki itu.

Ketidaksabaran macam apakah yang sesungguhnya merongrong diriku, sehingga aku menerima pertunangan ini? Aku akan

hidup dengan lelaki yang hanya mengagungkan dirinya sendiri.

Di matanya tak ada yang berharga kecuali dirinya sendiri. Tentunya, tidak berharga pula yang namanya cinta. Takkan mungkin

lelaki semacam dia mau mengagungkan cinta. Ya, dengan dialah

aku akan mengarungi kehidupan ini. Tahun-tahun akan kulalui

bersama dia. Lama Joice berbicara dengan dirinya sendiri.

Tigor sudah kembali ke Muenchen. Dia akan menyelesaikan

studinya, kemudian pulang, dan perkawinan pun akan dilangsungkan. Dia akan menjadi suamiku, pikir joice lagi. Ah, sedangkan pada masa pergaulan dalam pertunangan saja aku sudah

sering menekan perasaan untuk bisa menerima kesombongan kesombongannya. Dia adalah anak manja yang mengira seluruh

dunia ini mengaguminya. Padahal, siapakah dia yang sebenarnya? Tak lain hanyalah anak seorang papa. Dia hanyalah bayangan seorang lelaki yang kebetulan berhasil dalam kehidupan. Fuih.I

Dia hanyalah bayangan. Janganlah dia mengira bahwa keberhasilan papanya adalah keberhasilan dirinya pula. Dia memang bisa

sekolah tinggi. Tetapi, bukankah itu karena papanya? Apa sebenarnya yang sudah dicapai oleh lelaki itu? Setelah kesombongan, apa lagi? Belum satu hal pun bisa diperjuangkannya dengan

tenaganya sendiri.

283

Pohon cemara di sekeliling kampus memberikan kesejukan kepada siapa saja. Joice baru saja selesai kuliah. Dia berjalan memijak kerikil. Sepatunya gemeresak di atas batu-batu kecil. Temantemannya sudab lebih dulu pulang, sebab Joice agak lama tinggal

di perpustakaan.

Maka sekarang dia berjalan sendirian. Sambil mendekap bukubuku, dia menekuri tanah. Ketika dia tiba di luar kampus, seorang

lelaki yang sejak tadi duduk di pinggir jalan mendekatinya.

Joice mengangkat kepala. Alex tegak di depannya.

"Kok jalan?" tanya Alex.

"Saya memang naik bus kalau kuliah," jawab Joice. Lama Alex

tak melihat senyum gadis itu. Sejak perpisahan mereka yang

drastis itu, di sirkuit tempo hari, belum sekali pun Alex melihat

senyum gadis ini. Padahal sebelum itu, Alex sudah melihat betapa mulus senyum gadis ini, betapa mungil dekik pipinya.

"Ada yang mau aku bicarakan," kata Alex lambat-lambat.

Tetapi, langkah Joice tidak melambat. Langkah itu tetap tertuju ke shelter bus kota.

"Sejak lama kupikirkan," lanjut Alex sambil terus melangkah,

"aku mencintaimu. Aku tidak bisa melupakanmu, di mana pun

aku berada." Alex menjadi canggung.

"Dan, aku selalu ingat peristiwa di rumah Bonar itu. Kesucian tentunya sangat berarti bagimu. Aku telah berbuat tak senonoh padamu. Aku mau bertanggungjawab untuk apa yang telah aku lakukan. Aku mencintaimu.

Kalau Joice mengerti..."

284

"'Saya mengerti," pintas Joice.

Mereka tiba di shelter bus yang ada tulisan Rado di atasnya.

Di pinggir jalan, pohon rimbun menaungi tempat itu. Sebuah

bus berhenti. Beberapa orang naik, tetapi Joice tetap berdiri di

tempatnya.

"Aku ingin bertanggungjawab, kalau Joice izinkan," kata Alex.

Joice mendekap buku-bukunya lebih erat. Dia bersandar di

tiangshelter.

"'Aku selalu diganggu perasaanku selama antara kita belum

ada penyelesaian. Maksudku, selama aku belum menebus kesalahanku. Aku ingin berbuat baik padamu."

Joice melirik wajah lelaki itu. Bekas luka di dekat mata itu masih seperti dulu, pikirnya.

"'Semua sudah saya lupakan," kata Joice perlahan.

"Lupakan? Bagaimana mungkin? Kesucianmu...?"

"Saya sudah bertunangan," kata Joice sambil menatap jari manisnya.

"Ya, aku tahu. Tapi, itulah yang mengganggu pikiranku. Jika

akibat perbuatanku itu suamimu kelak mengutukimu, ah!"

"Risiko itu sudah saya pertimbangkan."

"Tapi, bagi orang-orang dari daerah kalian, kesucian itu sangat

berarti, bukan?Aku pernah mendengar cerita tentang suami yang

menceraikan istrinya karena istrinya ketahuan tidak suci lagi."

Joice membisu. Sebuah bus kota berhenti lagi. Kondekturnya

berteriak-teriak. Joice tetap mematung. Bus itu berlalu.

"'Kalau akibat perbuatanku dulu lantas kau mengalami hal

yang tak menyenangkan dengan suamimu kelak, aku sangat me

285

nyesali diriku. Apa pun yang kauminta, akan kukerjakan untuk

kepentinganmu. Ini janjiku," kata Alex.

Joice menatap ujung sepatunya. Lalu, tanpa menoleh dia berkata:

"'Saya juga mencintaimu, Lex. Ketika kita masih SMA, kau tidak

tahu, teman-teman juga tidak tahu, kalau sebenarnya diam-diam

saya mencintaimu. Tapi, dengan adanya peristiwa itu, cinta itu

musnah. Barangkali belakangan ini cinta yang pernah mengendap itu kembali muncul, tetapi sayang terlambat. Begitu saya

meninggalkanmu bersama perempuan cantik di sirkuit itu, saya

telah memutuskan untuk melupakanmu. Itulah sebabnya kenapa

saya menerima pertunangan ini."

"Kau mencintainya?"

Joice menggeleng. Matanya perih. Dia mengerjap-ngerjapkan

mata, memandang ke jalan raya.

"Tapi, itulah pilihan yang bisa saya lakukan. 0, bukan pilihan.

Saya hanya menuruti keinginan orangtua saya. Pada orangtua,

hanya itu pilihan saya."

"'Kalau kau memangtak mencintainya, bagaimana macamnya

hidupmu kelak?"

"Yang akan datang akan saya jalani. Saya tak ingin memikirkannya."

Sebuah bus kota berwarna kuning berhenti. Joice memandang Alex lekat-lekat, lalu cepat-cepat dia membalik badan dan

naik ke bus. Lantas bus itu bergerak.

Maka Alex mematung.

Dia akan kawin dengan lelaki yang tak dicintainya. Dia akan

286

hidup dengan lelaki yang bukan pilihannya. Tidakkah ini hanya

karma yang berulang-ulang dalam diriku? Mamaku kawin dengan lelaki yang tak dicintainya. Dan, gadis yang kucintai akan

kawin dengan lelaki yang tidak dicintainya. Mamaku memiliki

keberanian untuk keluar dari kemelut hidupnya. Tetapi, inilah

hasilnya. Dia mewariskan kemelut untuk anaknya. Apakah Joice

pun akan berbuat serupa itu kelak? Ah! Alex termangu-mangu.

Alangkah lengang kesepian yang menghunjam ke hati. Alex berbaring di kamarnya, di hotel. Hotel itu kecil, tetapi biasanya banyak tamu yang menginap. Kamar-kamarnya pun kecil. Cukup

terisi dua dipan berkasur tunggal. Ada kamar mandi di setiap

kamar. Airnya selalu mengalir. Dan, kamar-kamar kecil itu setiap

hari dibersihkan. Seprainya setiap dua hari sekali diganti. Walau

hanya kain putih, bersih bagai dicuci dengan kaporit. Alex kerasan

tinggal di situ. Hanya saja, sepi sering menggigitnya.

Cukup lama dia berbaring di kamarnya. Dinding hotel itu

tak terlalu tebal sehingga suara di kamar sebelah tembus ke kamarnya. Dia mendengar orang bercanda. Di kamar sebelah itu,

menginap sepasang lelaki-perempuan dari Tasikmalaya. Mereka mengaku sebagai suami-istri. Mungkin benar, tetapi mungkin

juga bohong. Sebab, sebagai suami-istri, mereka kelewat mesra.

Usia mereka juga kurang meyakinkan kalau dibilang baru kawin.

Atau mereka kawin terlambat? Itu lain lagi persoalannya.

Sebenarnya Alex tak berniat mendengarkan pembicaraan

287

orang lain. Tetapi, karena kedua orang Tasikmalaya itu berbahasa

Sunda, dan Alex pernah belajar bahasa itu ketika dia sering ke

Bogor, mau tak mau dia berusaha menangkap kata-kata yang

mereka ucapkan. Tetapi, rupanya bahasa Sunda sulit dimengerti

kalau harus melewati dinding.

Pintu kamar Alex diketuk seseorang. Alex menyahut, menyuruh si pengetuk mendorong daun pintu itu. Pintu terbuka. Zulkifli

tegak sambil senyum-senyum. Alex bangun, dan Zulkifli duduk di

pinggir dipan.

"Wah, enak di sini ya?" kata Zulkifli sambil mengedarkan pandang ke seantero ruangan.

"Tapi, ada cicak," lanjutnya.

Alex mengikuti arah pandangannya. Dua ekor cicak melata di

dinding.

"'Kalau ada turis bule melihat cicak di hotel, dia akan pindah

hotel," kata Zulkifli.

"'Kenapa? Apa cicak membawa sial?"

"Ooo, bukan. Mereka mengira hotel itu kotor. Padahal di negeri kita ini cicak memang biasa hidup, kecuali di ruangan yang

pakai AC."

Lalu mereka bercerita tentang kenalan-kenalan tempo hari di

penjara. Danial masih disekap. Rahyo yang bego sudah keluar. Sekarang berjualan buah di Cikini. Orang yang pernah berkelahi dengan Alex juga sudah bebas. Entah bekerja sebagai apa sekarang.

"'Sedang aku, cuma jadi makelar. Kalau malam aku mengajar

anak-anak di kampungku mengaji. Eh, lumayan," kata Zulkifli.

"Guru ngaji?"

"'Iya, guru ngaji. Jelek-jelek aku pernah khatam al Quran. Dari

288

pada keluyuran malam-malam, lebih baik mengajar ngaji. Anakanakku jadi senang."

"Jadi, nggak kerja yang dulu lagi?"

"Eh, kapok aku. Lebih-lebih aku kasihan pada istriku. Akibat

perbuatanku, dia menderita. Sekarang aku jadi suami yang baik.

Makelaran, itu kan pekerjaan halal. Dan, bisa punya waktu untuk

keluarga." Lalu Zulkifli asyik menceritakan anak-anaknya. Katanya, yang tertua sudah SMP, yang kecil hampir dua tahun. Bakal

menyusul lagi adiknya. Tetapi, Zulkifli sedang sedih. Anaknya

yang nomor dua kepingin merayakan ulang tahunnya. Dia tak

bisa memberikan hadiah. Perdagangan sedang sepi sekarang.

"Kalau kau punya kenalan yang akan menjual motor atau mobilnya, kabari aku ya?" kata Zulkifli. Alex mengangguk.

"Sepuluh tahun. Ah, inilah yang menyusahkan hatiku. Sebab,

waktu abangnya ulang tahun, kebetulan aku sedang punya uang.

Dia aku beri hadiah. Ulang tahun yang ini, aku tak bisa memberikan apa-apa. Andai abangnya dulu tak kukasih hadiah, tak jadi

soal. Tapi, sekarang tentunya si nomor dua ini akan kecil hati.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal dia anak yang pendiam. Kalau sakit hati, dia hanya akan

diam. Tapi, itu akan membekas dalam ingatannya. Dan, terbawa

sampai dia dewasa. Ah, inilah repotnya jadi orangtua. Harus betul-betul adil. Ketidakadilan yang tidak sengaja kita perbuat akan

membawa pengaruh sampai mereka besar kelak." Zulkifli diam

beberapa saat.

Alex memikir-mikir. Cicak di dinding berdecak-decak.

"Nggak ada acara sekarang, Bang Zul?" tanya Alex.

"N ggak. Kau ada acara?"

289

"Juga nggak. Jalan-jalan yuk?"

Lalu mereka berjalan. Keluar dari Salemba Tengah, naik jembatan penyeberangan, kemudian naik oplet ke Senen. Sepanjang

perjalanan mereka tertawa-tawa manakala pembicaraan sampai

pada hal-hal yang lucu selama di penjara.

"Lihat-lihat ke Senen yuk?" kata Alex.

Zulkifli mengiyakan. Mereka menyeberang jalan, lalu masuk

ke Proyek Senen.

Mereka melihat-lihat barang-barang yang terpajang di kioskios.

"Okelah, Bang Zul, pilihlah barang-barang yang kauinginkan,"

kata Alex.

"'Lho? Apa-apaan kau?" Zulkifli tercengang,

"Pilihlah. Kebetulan aku punya uang. Agak lumayan."

"'Ah, nggak usah, ah!"

Tetapi, Alex mendesak. Akhirnya Zulkifli memilih tas sekolah.

Alex mendesak lagi agar memilih barang yang lain, untuk istri

dan anak-anaknya yang lain.

"Ah, ini cukup," kata Zulkifli.

"Pilihlah," kata Alex.

"Ada pepatah bilang, lebih sedih memberi

tidak diterima daripada meminta tidak diberi."

Maka Zulkifli dengan susah-payah memilih barang yang diinginkannya. Barang-barang bertumpuk di depan mereka, sudah

terbungkus rapi. Lalu Alex membayarnya. Dan, mereka meninggalkan kios.

Alex membantu membawakan sebagian bungkusan itu. Mereka berjalan pelan-pelan di antara orang-orang berbelanja.

Dan, tiba-tiba terjadilah malapetaka itu!

290

Hari itu tanggal 15Januari tahun 1974. Di luar proyek itu terdengar teriakan-teriakan. Orang-orang di bangunan bertingkat itu

lari tak tentu arah.

Alex menatap ke luar proyek. Di pelataran, mobil dan motor

menyala-nyala.

"'Apa yang terjadi?" katanya panik.

Zulkifli tak kalah panik. Mereka berlari turun. Di tingkat atas,

api menyala pula. Asap mencekik pernapasan. Di luar, letusanletusan masih berentetan. Seperti ada peperangan.

Alex berlari membawa bungkusan-bungkusan diiringi Zulkifli. Terdengar teriakan entah dari mana datangnya, dan tak diketahui ditujukan pada siapa. Selintasan Alex melihat moncong

senapan tertuju padanya. Dia tak mengerti apa yang terjadi. Dia

tetap berlari. Dan, terdengar letusan yang begitu dekat. Dia merasa dadanya nyeri. Dia tersungkur di tanah. Bungkusan yang

dibawa Zulkifli sudah tercecer sejak tadi. Mereka sudah tiba di

pelataran. Asap mengepul. Mata perih. Zulkifli menolong Alex

bangun. Dia mengira Alex hanya tersandung biasa. Tiba-tiba dia

merasa ada darah membasahi tangannya. Dia juga melihat Alex

terengah-engah.

"'Dadaku," rintih Alex.

Zulkifli menyeretnya menjauhi kekacau-balawan. Alex masih

sadar. Dia masih memeluk bungkusan sambil bersitumpu pada

bahu Zulkifli. Mereka berhasil mencapai gang kecil di antara

toko-toko Tionghoa.

Zulkifli meredakan napasnya yang tersengal. Dia memeriksa

dada Alex. Darah masih mengucur. Zulkifli terduduk di tanah. Lututnya goyah. Alex terkapar di tanah becek. Dia masih tetap sadar.

291

"Ini berikan untuk yang ulang tahun," katanya seperti mengigau. Bungkusan yang dipeluknya sudah berlumuran darah.

Zulkifli memeluknya. Tak tahan dia menahan air mata. Lalu,

dengan sisa tenaganya, dia membawa Alex keluar dari gangyang

bau kencing itu. Darah Alex menggenangi tanah, bercampur dengan air bekas kotoran.

Duh, kejamnya kehidupan ini, keluhnya dalam dada. Apa yang

sebenarnya terjadi? Kenapa mobil-mobil dibakar? Kenapa harus

ditembaki manusia-manusia yang menyelamatkan hidupnya?

Zulkifli sempat melihat tembakan langsung ke sasaran. itu bukan

lagi tembakan peringatan.

Tetapi, tak disangkanya Alex yang perkasa akan menjadi korban. Anak muda yang dicintainya, yang dikaguminya lantaran

kehidupannya yang keras, tak disangkanya akan mengalami nasib segetir ini. Dia telah menjadi korban untuk kebaikan dan

ketulusan persahabatan.

Zulkifli menyeret lelaki itu menjauhi Senen, melintasi kekacawan dan huru-hara yang menggigilkan tulang. Sampai akhirnya mereka bertemu pengemudi helicak yang berbaik hati mau

mengantarkan Alex ke rumah sakit.

Zulkifli yang tahu sebagian riwayat lelaki muda itu meratap

tanpa suara. Kenapa anak ini harus mengalami kegetiran melulu?

Dia lahir dan hidup tanpa diinginkannya. Dia hanya hadir akibat

perbuatan-perbuatan orang lain. Tetapi, dia harus mengemban

hidupnya yang berat.

0, pahitnya kehidupan. 0, berempedunya napas ini.

0, Alexander yang selamanya terseret ke dalam kehidupan

292

yang tak pernah diketahuinya. Dia selalu menjadi korban permainan orang lain. Mulai dari permainan papanya, permainan teman-temannya, lalu sekarang entah permainan siapa. Ini adalah

permainan yang mahabesar, yang di dalamnya ribuan manusia

menjadi korban. Tak pernah Alex berpikiran untuk ikut serta dalam setiap permainan itu, tetapi dialah korban yang paling terkena dalam permainan itu. Dia adalah domba yang harus berdarah

tiap kali ada arus kehidupan!

Helicak tiba di rumah sakit. Zulkifli dan pengemudi becak

mengusung Alex ke dalam rumah sakit. Lalu Alex terbaring di

salah satu barak, tempat beberapa korban lebih dulu tiba di situ.

Para korban huru-hara itu menggeletak berlumuran darah. Perawat-perawat sibuk, sebab dokter-dokter terhalang huru-hara di

jalan. Kota Jakarta mengepulkan asap hitam. Massa rakyat bagai

kesetanan membakari mobil dan motor keluaran Jepang. Bangkaibangkai kendaraan menggeletak hitam di pinggir-pinggirjalan.

Pertolongan awal sudah diberikan kepada Alex. Setidaknya

darah tak lagi mengucur dari luka tembak itu. Zulkifli memeriksa

dompet Alex. Isi dompet itu, selain uang, SIM, dan kartu golongan darah-yang diwajibkan dimiliki oleh setiap pembalap-ada

secarik kertas bertuliskan nama Elsa, sekaligus alamatnya,.

Alex masih terbaring di barak itu. Lewat kaca jendela, Zulkifli

mengintai. Lelaki muda itu telentang dengan mata terpejam. 0,

pucatnya wajah itu. Bisakah dia bertahan?

Zulkifli menatap kertas di tangannya. Lalu dia keluar. Dia pergi

ke alamat yang tertulis di kertas itu. Elsa sedang duduk di depan

paviliunnya ketika Zulkifli memasuki halaman.

293

"Elsa?" tanya Zulkifli.

Elsa mengangguk.

"Saya teman Lexi," sambung Zulkifli.

Jantung Elsa menggelepar. Dia memperhatikan percikan darah di baju lelaki itu. Tibakah saatnya bagi Lexi? Ini yang selalu

ditakutinya sejak dia merasa mencintai Alex. Tibakah saat yang

mengerikan itu?

"'Lexi mengalami kecelakaan."

Dan, benarlah. Maka Elsa terduduk kembali. Tiba saatnya, tiba

saatnya, pikirnya.

"Di sirkuit?" tanyanya dengan suara tersekap. Tenggorokannya

tersekat dan kering.

"Tidak. Di Senen. Dia tertembak waktu ada huru-hara di sana."

"Oh..." Elsa terenyak. Sama saja, pikirnya. Di sirkuit atau di

mana saja, yang namanya kecelakaan tetap saja kecelakaan. Akan

pergikah dari sisiku lelaki yang aku cintai?

"Dia sekarang ada di rumah sakit."

Lalu Elsa mengikuti Zulkifli. Tubuhnya lungkrah. Dia berjalan

tanpa kesadaran penuh menuju helicak yang menunggu.

inilah yang kutakutkan. Sejak aku mencintainya, aku memujanya sebagai superstar. Tetapi, setelah aku mendapatkannya, pujaanku bukan lagi ke-superstar-annya, aku memujanya sebagai

kekasih, sebagai cintaku. Aku ingin dia selamat. Aku ingin dia terhindar dari kecelakaan, Aku tidak mendoakan agar dia menang.

tetapi aku berdoa agar dia selamat.

Di rumah sakit, Elsa nyaris menjerit. Dia melihat cintanya terbaring di antara korban-korban lain. Alex sudah sadar ketika Elsa

datang.

294

Ruangan itu berbau anyir bercampur bau kreolin. Elsa memegang tangan lelaki itu. Alex memandangnya, dan tersenyum. Hati

Elsa tersayat. Senyum yang getir pada muka yang pucat.

Alex bertatapan dengan Zulkifli.

"Di mana aku sekarang?" tanya Alex lemah.

Zulkifli menyebutkan nama sebuah rumah sakit.

"Aku tak mau mati di sini," kata Alex terputus-putus.

"Pindahkan aku ke rumah sakit yang lain. Rumah sakit yang suster-sustennya berwajah lembut, yang jari-jarinya halus. Pindahkan aku

ke sana. Aku ingin mati di tangan orang-orang yang lembut dan

menyayang."

"'Kau akan sehat, Lexi," kata Zulkifli.

"'Tidak! Aku ingin mati. Saat ini sudah lama kutunggu. Tapi,

kenapa harus mati di rumah sakit ini, dan kenapa pula akibat

peluru dari orang tak kukenal?" Alex terengah-engah.

"'Bang Lexi," rintih Elsa sambil menciumi tangan lelaki itu.

Maka air mata gadis itu membasahi tangan Alex.

"Jangan tinggalkan Elsa, Bang Lexi."

Alex tertawa getir.

"Sejak lama aku kepingin mati. Tapi, aku ingin cara yang terhormat. Kematian ini, ah, terkutuk!" Alex menarik napas dengan

susah-payah.

"Tidak, Bang Lexi. Abang tidak boleh pergi. Jangan tinggalkan

Elsa." Gadis itu merasa hunjaman yang sangat perih menikam dadanya. Gadis usia tujuh belas tahun yang cepat matang dalam

kehidupan itu tak sanggup membayangkan hidup tanpa lelaki itu.

Dia merintih di tangan Alex, melumuri tangan itu dengan air mata.

295

"'Abangtak boleh pergi, tak boleh pergi, tak boleh pergi. Elsa sudah

hamil, Bang Lexi. Di perut Elsa ada anak Bang Lexi," ratap gadis itu.

Alex tersentak. Dia melirik rambut yang terjurai di dekatnya.

"Apa?" tanyanya lemah.

"Elsa sudah hamil."

Alex terdiam. Dadanya yang nyeri mulai mengulah, tetapi

otaknya masih bekerja baik. Dia sudah hamil. Itu adalah anakku.

Jika aku mati, anak itu takkan pernah mengenalku.

"Elsa, aku mencintaimu."

"Elsa juga. Elsa juga mencintaimu," kata Elsa hampir dalam

erangan.

"Aku tidak akan mati," kata Alex.

"Aku tidak akan mati. Kalau

Tuhan memang ada, Dia harus mendengar apa yang kubilang ini.

Aku tidak mau mati sebelum aku melihat anakku lahir, sebelum

mencintainya. Ya Tuhan, kalau Kau memang ada, aku tidak ingin

mati. Aku tidak ingin mati!" kata Alex terengah-engah.

Zulkifli terpaku. Elsa masih menangis sambil menatap Alex.

"Kalau aku sampai mati sekarang, aku akan menghujat-Mu,

Tuhan. Kalau Kau memang ada di langit sana, dengar, aku tidak

boleh mati sekarang! Dengar, Tuhan! Dengar!"

Seorang dokter masuk ke ruangan itu. Alex memejamkan matanya saking letih. Napasnya tersengal. Dadanya turun-naik.

"Pindahkanlah dia ke ruangan yang lebih baik. Kami bisa

membayar," kata Zulkifli.

Dokter memeriksa Alex.

"Ya, akan kami pindahkan untuk perawatan ke ruangan yang

lebih baik," kata dokter.

296

Alex membuka mulutnya dan berkata,

"Dokter, bilang sama

Tuhan, kalau aku mati, aku akan membenci-Nya selama-lamanya!"

"Saudara akan sehat," kata dokter.

Elsa menciumi tangan Alex.
Sirkuit Kemelut Karya Ashadi Siregar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, Alex tersenyum.



Tamat




Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di Dewa Arak 31 Perkawinan Berdarah Pendekar Rajawali Sakti 32 Permainan Di

Cari Blog Ini