Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 1
Cinta Menyapa Dalam Badai
Mira W
Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 1999
Ebook by Syauqy_Arr
(http://hana-oki.blogspot.com)
***
RIANTo melepaSKan stetoscopnya. Dan meletakkannya di atas meja di samping pembaringan ibunya.
"Nggak apa-apa kok, Bu," cetusnya mantap.
"Semua baik. Ibu cuma kelewat capek."
"Ah, capek apa," dengus Bu Rully datar.
"Sejak Mbok Nem pulang kampung, Ibu kan praktis kerja sendiri. Pembantu baru nggak ada yang betah. kan? Ibu sih kelewat perfeksionis! Sudahlah, minta Mbok Nem cepat balik lagi, Bu!"
"Ngomong apa kamu!" gerutu Bu Rully gemas.
"Kamu tahu apa toh urusan rumah tangga? Badanmu saja yang besar, umur tiga lima masih belum tahu apa-apa!"
Rianto tersenyum tipis sambil membungkuk mengecup dahi ibunya dengan lembut.
"Tentu saja saya tidak tahu apa-apa," gumamnya sabar.
"Saya punya ibu yang serbatahu, kan?"
Bu Rully membelai wajah putra tunggalnya dengan penuh kasih sayang. Wajah yang bersih. Mulus. Montok berlemak. Wajah yang amat disayanginya.
"Pergilah jalan-jalan, Le," katanya lemah lembut. Thole adalah panggilan kesayangan Rianto. Dan setiap kali melafazkan nama itu, hati Bu Rully bergetar dia buai hangatnya kasih sayang.
"Ah, jalan-jalan ke mana. Bu," sanggah Rianto segan.
"Malas. Lagian Ibu kan lagi sakit."
"Ibu nggak apa-apa kok. Kan kamu yang bilang begitu."
"Iya. tapi saya malas keluar sendirian."
"Ini kan malam Minggu. Mumpung kamu nggak praktek. 'tidak ada tugas jaga di rumah sakit. Apa salahnya sih jalan-jalan sebentar? Jangan di rumah saja."
"Ya sudah, kalau Ibu bosan lihat saya." Sambil menyeringai pahit Rianto bangkit dari sisi tempat tidur ibunya.
"Jangan ngomel kalau saya pulang kemalaman!"
"Uh, kamu saja bisa kemalaman! Jangan-jangan baru setengah jam sudah pulang!"
Rianto meninggalkan kamar ibunya sambil tersenyum. Ibu memang selalu begitu.
Maunya serba ngatur! Kalau tidak diikuti, Ibu tidak akan berhenti ngoceh. Padahal apa enaknya sih jalanjalan? Lebih enak duduk-duduk di teras. Atau membaca buku sambil dengar musik.
Tapi sudahlah. Dia akan pergi sebentar ke mal yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Memilih-milih CD. Makan pizza sedikit... oops! Malam-malam begini makan pizza? Santap malam kedua? Berapa kilo lagi berat badannya bakal benambah?
Rianto menatap perutnya di depan cermiin. Tidak terlalu menonjol memang. Tentu saja tidak terlalu menonjol kalau dibandingkan dengan wanita yang sedang hamil tua.
Tapi untuk ukuran tinggi seratus tujuh puluh. delapan puluh kilo sudah overweight. Ah, bukan delapan puluh. Lebih sedikit. Beberapa kilo. Tentu saja beberapa kilo mendekati sembilan puluh masih dapat disebut delapan puluh lebih, kan? ihh, tubuhnya memang sudah terlalu tambun
"Makanya nggak ada cewek yang mau kaulamar. To!" gurau Sulistio, sejawatnya yang paling konyol.
"Takut remuk!"
Rianto tersenyum. Di depan cermin. Juga di depan Sulistio. Dan di depan semua orang yang mengejeknya.
Tidak ada yang salah. Tidak Sulistio. Tidak juga cermin di depannya. Dia memang gemuk. Badannya subur. Wajahnya bulat. Pipinya gembung. Sejak kecil dia sudah biasa diolok olok teman temannya. Gendut. Gembyor. Karung beras. Metromini. Muka bakpao. Dan entah apa lagi. Jadi sudah tidak ada bedanya. Lagi pula... kenapa tidak?
Biar gemuk asal sehat, itu yang selalu dikatakan ibunya. Dan Ibu tidak pernah salah, kan?
Rianto memang suka makanan yang enak-enak. Apalagi ibunya yang pintar masak senang memanjakannya dengan segala macam cara, termasuk menyajikan penganan yang serbalezat.
Hidupnya yang tenteram. perilakunya yang tenang
dan sabar, amat menunjang kesuburan tubuhnya. Di tengah tengah kekurangannya, Rianto merasa bahagia. Karena itu dia tidak pernah mengeluh.
Hidupnya mengalir tenang seperti sungai tanpa hambatan. Hampir tak ada kesulitan yang berarti. Semua berjalan seperti apa adanya.
Hidup berdua dengan ibu yang dicintai dan sangat mencintainya seolah tak pernah mengguratkan stres. Sejak ayahnya meninggal ketika Rianto masih di dalam kandungan, Ibu memang tidak pernah menikah lagi. Dan Ibu telah melakukan tugasnya sebagai orangtua tunggal dengan sempurna.
Karier Rianto sebagai dokter anak pun, walau tak pernah gemilang, dilakoninya dengan penuh dedikasi. Bukan rahasia umum lagi kalau di rumah sakit, dia terkenal sebagai dokter favorit yang paling dicari pasien. Bukan karena dia dokter yang luar biasa pintar, tapi karena dia dokter yang paling sabar mendengarkan keluhan pasien. Sikapnya jauh dari arogan. Malah humoris dan ramah. Barangkali cuma bayi yang takut padanya.
Para perawat sudah tidak merasa heran lagi kalau melihat Rianto menghabiskan waktunya di bangsal anak, menghibur anak-anak yang sakit, terutama yang mengidap penyakit berat dan menahun.
Dia juga tidak segan segan meluangkan waktu di ruang isolasi pasien AIDS, sekadar menghibur dan membangkitkan semangat mereka.
"Pasien bukan cuma butuh obat," katanya pada sejawat yang mengolok-olek perilakunya.
"Mereka butuh dokter."
"Pantas kau tidak menikah." canda Sulistio.
"Kau
sudah menikah dengan semua pasienmu. Untung saja mereka masih kecil-kecil, jadi tidak ada yang protes!"
Dering telepon menyentakkan lamunan Rianto yang masih tersenyum di depan cermin di kamarnya.
Siapa yang menelepon malam-malam begini? Salah seorang pasiennya? Sejawatnya? Rumah sakit?
Rianto memang tidak pernah menolak panggilan. Karena itu ibunya sering mengomel.
"Apa pasienmu tidak tahu dokter juga bisa capek? Bisa sakit kalau terlalu capek?"
Rianto menuruni tangga untuk mengambil ponsel di lantai bawah karena kamarnya terletak di tingkat dua. Rumah ibunya, rumah tua peninggalan zaman Belanda, mempunyai tiga kamar tidur. Dua di atas. Dan satu yang di lantai bawah, digunakan oleh ibunya.
Ruang tengah yang menjadi ruang keluarga, tidak terlalu luas, apalagi kalau dipenuhi perabotan antik yang ukurannya besar besar, kokoh, dan berwarna gelap.
Sebuah lemari antik berpintu dua, meja teh berkaca bulat telur, meja kaca berkaki tombak berukir, seperangkat kursi antik berjok kain yang sudah pudar warnanya, mungkin sudah menjadi penghuni rumah itu sejak akhir abad kesembilan belas. Tetapi ibu Rianto tetap tidak mau menyingkirkannya. Baginya,
makin tua barangnya, makin tinggi pula nilainya.
Rianto sendiri tidak pernah berniat mengganti benda benda itu. Baginya semuanya oke oke saja. asal masih dapat dipakai.
"Dokter Rianto?" terdengar suara merdu Suster Desi di ponselnya.
"Selamat malam, Dok! Dokter Sulistio mau bicara!"
"Sulis?" sapa Rianto sabar begitu dia mendengar suara temannya.
"Ada apa? Perlu bantuan?"
"Nggak kok. UGD tenang malam ini. Tapi kalau kau mau ngirim pizza, nggak nolak Sih!" Rianto tersenyum. Sulistio memang begitu. Dia selalu riang. Selalu dibalut canda. Biarpun anaknya sudah tiga.
"Ada kabar gembira untukmu, To," sambung Sulistio riang.
"Kupikir kasihan kalau kau mesti nunggu sampai Senin!"
"Kita naik gaji?"
"Ngaco! Tidak ikut di-PHK saja sudah bagus!"
Mereka bertukar tanya sejenak.
"Kabar apa?"
"Hasil darahmu sudah keluar. HIV-mu negatif."
Rianto menghela napas lega. Sejak peristiwa di Unit Gawat Darurat bulan lalu, dia memang agak cemas. Kebetulan sarung tangannya robek ketika sedang menolong seorang pasien yang luka parah. Darah pasien itu mencemari tangannya. Dan belakangan mereka tahu, pasien itu mengidap AIDS. Padahal saat itu, ada luka di jarinya.
Rianto bukan hanya takut ketularan. Dia lebih takut lagi menulari pasien pasiennya. Meskipun dia tahu, penularan AIDS yang terutama adalah melalui air mani dan darah.
"Terima kasih, Lis!"
"Sebaiknya sih bulan depan kauulang periksa, To. Siapa tahu anti HIV-nya sekarang belum keluar."
"Beres! Akan kuulangi tiga kali berturut turut tiap bulan, puas?"
"Lho, yang puas bukan aku dong! Calon istrimu!
sampai umur tiga lima, kamu masih tetap tidak berubah!"
Dan hidup Rianto memang nyaris tak pernah berubah seandainya malam itu dia tidak pergi ke mal.
Dia malah belum sampai ke sana ketika tiba tiba peristiwa itu terjadi. Begitu saja menyembul di permukaan jalan hidupnya. Seperti takdir.
Ada sepenggal jalan yang agak sepi di antara rumahnya dan mal. Tempat itu gelap, karena dedaunan pohon yang rimbun menghalangi lampu jalanan menebarkan sinarnya dengan leluasa. Apalagi dua rumah yang berderet di sana serem tidak berpenghuni. Halaman depannya gelap pekat.
Mula-mula Rianto tidak memperhatikan mobil itu. Mobil yang berhenti di antara beberapa mobil yang parkir di pinggir jalan. Hampir tidak ada bedanya dengan mobil mobil lain.
Kecuali ketika pintu depannya yang sebelah kiri mendadak terbuka. Dan seorang gadis menghambur ke luar.
Rianto tidak akan menghentikan langkahnya kalau hanya sampai di situ saja. Yang membuatnya sekonyong konyong tertegun, seorang pria bertubuh tinggi kurus ikut menghambur ke luar dari pintu yang lain.
Pria itu mengejar si gadis. Menangkap lengannya dengan kasar. Dan menyeretnya masuk kembali ke dalam mobil.
Ketika gadis itu meronta lepas dan berniat kabur, pria itu mengayunkan tangannya menampar pipi si gadis.
Begitu kuatnya tamparannya sampai gadis itu terhuyung limbung dan jatuh terduduk.
Sampai di sana. Rianto masih tertegun bengong di tempatnya. Tetapi ketika pria itu menyeret bangun gadisnya dengan sangat kasar, Rianto tidak dapat tinggal diam lagi.
Dihampirinya mereka dengan tergesa-gesa. Disentuhkannya ujung payungnya ke punggung pria yang sedang mendorong gadis itu dengan kasar ke pintu mobilnya.
"Mas...."
Rianto belum sempat melanjutkan kata-katanya, ketika dengan gerakan yang luar biasa cepatnya lelaki itu berbalik. Merenggut payungnya. Dan melemparkannya dengan kasar ke tanah.
"Jangan ikut campur!" suaranya seganas tatapan matanya yang membelalak gusar ke arah Rianto.
"Kalau tidak ingin cari penyakit!"
"Kebetulan saya dokter," Rianto mencoba mendinginkan suasana dengan mengajak bergurau. Diliriknya gadis yang tengah bersandar lemah ke mobil itu. Kelihatannya keadaannya tidak terlalu mengkhawatirkan. Walaupun suasana yang agak gelap membuat Rianto tidak mampu melihat wajahnya dengan jelas.
"Penyakit yang selalu mencari saya!"
Dan Rianto belum sempat memamerkan senyum ramahnya. Senyum tulus yang dirindukan pasien pasiennya. Ketika sebuah jotosan yang lumayan kerasnya melanda rahangnya.
Rianto terjajar mundur. Tapi tidak sampai jatuh. Tubuhnya agak terlampau berat untuk dirobohkan dengan sekali pukul saja. Dan dia masih meraba rahangnya antara kaget dan sakit ketika laki-laki itu sudah membentak lagi.
"Minggat kau, gendut!"
Tapi Rianto tidak mau menyingkir. Dia memang tidak pandai berkelahi. Tidak pernah mempelajari ilmu bela diri. Tetapi dia tidak pernah takut.
"Anda tidak apa-apa. Dik?" tanyanya kepada gadis yang masih bersandar lemah ke mobilnya itu.
Gadis itu cuma menatap sekilas.
"Bukan urusanmu!" pria garang itu yang mendahului membentak. Dia maju menghampiri Rianto dengan sikap mengancam.
"Sudah, Yudha!" pinta gadis itu getir.
"Biarkan dia pergi!"
"Saya bisa memanggil keamanan di mal itu jika Anda perlu bantuan, Dik," kata Rianto tanpa mengacuhkan pria bertubuh tinggi kurus yang tegak menjulang di depannya itu.
Dan tinju kiri pria itu meluncur ganas ke wajahnya. Disusul dengan cepat oleh hook kanannya. Sekali dua kali memang Rianto masih mampu menghindar. Bahkan balas memukul walaupun meleset. Tetapi pada pukulan yang kesekian. dagunya dihantam telak oleh sebuah upper cup.
Rianto merasa rahang bawahnya berdetak. Dan dia belum sempat merasakan betul sakitnya ketika sebuah pukulan yang amat kuat menghantam mata kirinya.
Tiba-tiba saja Rianto merasa pusing. Dunianya terasa gelap. Dan dua buah tendangan berantai bersarang di perut dan dadanya. Membuat dia terhuyung roboh.
Di tengah tengah kepusingan dan kegelapan yang menyerangnya, Rianto maSih dapat mendengar suara gadis itu.
"Sudah, Yud! Sudah!" suara itu begitu lirih, penuh permohonan.
Lalu dia merasa seseorang, yang menebarkan aroma yang teramat harum mengundang, berjongkok di dekatnya. Tetapi cuma sesaat. Karena di detik lain, walaupun tidak melihat, Rianto merasa ada kekuatan amat besar yang menyeret makhluk yang amat harum itu bangun. Lalu sebuah tendangan melayang ke wajahnya.
"Jangan!" teriakan gadis itu seperti seember air dingin yang disiramkan ke gumpalan kabut ketidaksadaran yang mencekam dirinya.
Refleks Rianto menangkap kaki yang sedang melayang lagi untuk menendangnya itu. Ditariknya kaki itu sekuat tenaga.
Tidak menduga mendapat sentakan kuat dari makhluk seberat delapan puluh kilo lebih, pria itu terhuyung kehilangan keseimbangan. Dan tidak sengaja, tangan Rianto menyentuh payungnya.
Tanpa berpikir lagi, digenggamnya payung itu eraterat. Dan ditikamkannya ujungnya yang terbuat dari logam runcing itu ke perut lawannya.
Hasilnya memang tidak sedramatis kalau ujung pisaulah yang dirikamkannya ke sana. Tetapi cukup membuat si garang menekuk perutnya menahan sakit. Dan beberapa orang muncul untuk melerai perkelahian mereka.
***
Sulistio begitu gembira ketika melihat Rianto muncul di depan pintu Unit Gawat Darurat. Dikiranya Rianto datang membawa sekotak pizza yang masih hangat.
"Duh, baiknya kau, To..." Dan mata Sulistio terbelalak lebar sebelum kata-katanya selesai diucapkan.
"Ya ampun. To... kau... dirampok?"
"Aku tidak bisa pulang dalam keadaan begini, Lis," sahut Rianto menahan sakit.
"Tolong aku. Telepon ibuku..."
"Lupakan dulu ibumu!" potong Sulistio tidak sabar. Ditariknya tangan sejawatnya. Dibawanya ke salah satu ranjang di sana.
"Biarkan aku memeriksamu, masih utuh atau tidak!"
"Dokter Rian!" pekik Suster Desi, terkejut setengah mati melihat keadaan dokternya.
"Aduh, Dok... apa yang terjadi?"
"Bantu saya, Suster!" perintah Sulistio tegas.
"Kita lihat berapa giginya yang rontok!"
"Aku nggak apa-apa." bantah Rianto lemah. Dengan susah payah dia menggerakkan rahangnya.
"Tolong telepon ibuku. bilang malam ini aku tugas di rumah sakit."
"Kau telepon saja sendiri. Tapi nanti, sesudah aku selesai menolongmu!"
"Berkelahi, Dok!" desak Suster Desi bingung.
Dan kebingungannya bertambah ketika dua jam kemudian, muncul seorang gadis yang luar biasa cantiknya di ruang gawat darurat. Dan gadis itu datang untuk menjenguk Dokter Rianto! Ah, ah, bukan main! Bukan main!
Padahal pipinya sendiri merah matang bekas tamparan. Matanya redup seperti meredam tangis. Tapi dia seperti tidak peduli dengan dirinya sendiri. Perhatiannya tumplek blek pada Dokter Rianto, yang masih terbaring di salah satu ranjang ruang gawat darurat.
"Saya tidak apa-apa." kata Rianto, gugup melihat betapa cantiknya gadis yang tegak di sisi pembaringannya. Kata-katanya tidak jelas, karena rahang bawahnya masih dibebat perban.
Dia memang masih berbaring di ruang gawat darurat karena belum ingin pulang, Kepalanya masih pusing. Luka robek di pelipisnya memang sudah dijahit. Tetapi rahang bawahnya masih dihksasi dengan Item perban, bebat yang menopang rahangnya yang retak, setelah dilakukan reposisi. Matanya pun masih dikompres.
Karena Rianto tidak mau pulang dalam keadaan menyedihkan begini, dia terpaksa beristirahat di sana. Bagaimana dia bisa pulang, Ibu bisa jatuh pingsan melihatnya!
"Tidak apa-apa katamu?" sambar Sulistio yang ikut hadir di sisi pembaringannya walaupun Rianto sudah mengisyaratkannya untuk menyingkir.
"Mandibula-mu retak, gigimu goyang, matamu bonyok "
"Mandibula...?" sela gadis itu sambil menoleh cemas ke arah Sulistio.
Sulistio membalas tatapan gadis itu, dan tiba-tiba saja dia mengerti mengapa Rianto rela dihajar babak belur demi menolong gadis ini. Bukan hanya wajahnya yang cantik. Tubuhnya pun aduhai. Dan matanya! Mata itu demikian memikat, lebih-lebih jika dia sedang menatap dengan tatapan cemas seperti ini!
Ya Tuhan! Mengapa Kauciptakan makhluk secantik ini? Dia membuat dunia ini terlalu sempit untuk dua ekor ayam jantan!
"Rahang bawah." Sahut Sulistio datar.
"Kami akan
mengonsultasikannya pada spesialis bedah mulut. Matanya juga harus diperiksa dokter mata."
Gadis itu berpaling kembali kepada Rianto dengan tatapan yang itu-itu juga. Tatapan yang berbalut kecemasan. Tatapan yang justru membuat pria yang tidak sempat ditatap seperti Sulistio merasa gemas.
"Kalau ada yang dapat saya bantu..."
"Malam ini tidak ada yang dapat Anda lakukan," Sulistio yang lebih dulu menjawab sebelum Rianto sempat menggerakkan rahangnya yang ajubilah sakitnya kalau digerakkan.
"Entah kalau nanti ternyata Dokter Rianto Sudirman harus menjalani operasi."
Mata yang indah itu menyipit seperti menahan emosi. Sulistio jadi ketagihan melihatnya, tidak peduli untuk itu dia mesti sedikit berhiperbola.
Celakanya. Rianto tidak dapat menutup mulutnya justru pada saat dia seharusnya diam!
Padahal dengan rahang dibebat begitu, jangankan bicara, mestinya tersenyum saja sudah sulit!
"Saya tidak apa-apa," katanya dengan susah payah, dengan suara yang tidak jelas.
"Tidak usah dioperasi. Anda sudah lapor polisi?"
Gadis itu berpaling dan menatap Rianto dengan tatapan tidak mengerti.
"Polisi?"
Sekali lagi, Sulistio-lah yang menyela.
"Anda harus melaporkan penganiayaan yang Anda alami!"
Sekarang baik Rianto maupun Sulistio melihat paras yang cantik itu berubah.
"Yudha...?" gumamnya ragu.
"Siapa pun namanya!" sembur Rianto dengan jengkel.
Entah apa namanya perasaan ini, tetapi tiba-tiba saja dia merasa kesal. Ah, bukan kesal. Muak. Kecewa. Penasaran. Marah. Bagaimana mungkin ada seorang wanita yang kelihatannya terpelajar begini bodoh? Mau saja dianiaya pria tanpa niat untuk membela haknya?
"Tapi..."
"Jika Anda butuh seorang saksi, saya bersedia untuk menjadi saksi." potong Rianto gemas. Ah, biasanya dia orang yang paling sabar di dunia. Mengapa tiba-tiba sekarang dia jadi berubah tidak sabar? "Lis. berikan nama dan nomor teleponku."
Sulistio menoleh dan mengangkat sebelah alisnya. Niatnya untuk membantah batal begitu dia melihat sikap Rianto.
"Des, berikan tuh!" katanya pendek.
Suster Desi yang kebetulan lewat. menoleh bingung.
"Berikan apa, Dok? Antibiotik lagi ?"
"Nama dan nomor telepon Dokter Rianto. Alamat rumahnya sekalian!"
Suster Desi menoleh ke arah gadis itu sekilas. Lalu mengisyaratkannya untuk mengikutinya.
Sesaat sebelum gadis itu mengikuti Suster Desi, Rianto memanggilnya.
Gadis itu berhenti melangkah dan berpaling. Sekejap mereka saling tatap. Tatapan yang membuat Rianto menjadi gugup dan lupa mau bilang apa. Kali ini, Sulistio yang bertindak cepat.
"Dokter Rianto ingin tahu nama Mbak." tukasnya
mantap.
"Kalau boleh, sekalian alamat dan nomor teleponnya juga."
Gadis itu tidak menoleh sama sekali ke arah Sulistio. Sambil tetap memandang Rianto, nama itu meluncur begitu saja dari celah-celah bibirnya.
"Anggun Pitaloka."
***
Ketika Anggun tiba di rumahnya malam itu, jam tangannya telah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi lampu di ruang tamunya masih menyala terang.
Ayahnya, seorang pengacara kondang. masih Sibuk melayani kliennya. seorang pemuda yang dituduh memerkosa seorang gadis. Ayah pemuda itu tampaknya begitu bernafsu menyodorkan argumen yang menyatakan ketidakbersalahan putranya. Padahal pemuda itu sendiri lebih banyak diam daripada ikut bicara.
"Kalau terbukti Gilang melakukan perkosaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dia bisa kena KUHP Pasal 285. Dan tuntutan hukumannya cukup berat."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berapa tahun?"
"Yah... paling lama dua belas tahun."
"Dua belas tahun!" ayah Gilang terkesiap.
"Kau
harus tolong kami. Bud! Gilang tidak memerkosa gadis itu!"
Tentu saja tidak. pikir Anggun sinis sambil melangkah terus ke ruang dalam. Gadis itu yang menyerahkan dirinya untuk diperkosa karena dia "sakit"!
Ibunya. mantan guru sebuah SMA swasta yang terkenal di Jakana, masih duduk di ruang keluarga ketika Anggun masuk. Dia belum tidur. Masih menunggu suami dan putrinya.
Dan begitu melihat sikap putri tunggalnya, indra keenamnya sebagai seorang ibu sekaligus seorang guru, langsung mencium ketidakberesan itu.
"Kenapa mukamu, Anggi?" tanyanya sambil menatap tajam pipi kiri Anggun yang sengaja ditutupinya dengan tisu.
"Ah, nggak apa-apa, Ma," Anggun pura-pura bersikap acuh tak acuh.
"Cuma kebentur pintu mobil kok."
"Kemari Mama lihat."
"Nggak usah. Nggak apa-apa kok."
"Kemari, Anggun."
Nah, kalau Mama sudah menyebut nama lengkapnya, dengan suara khasnya sebagai guru, Anggun tidak punya pilihan lain kecuali mematuhi perintah ibunya.
Malas malasan dia menghampiri ibunya. Mama menyingkapkan tisunya. Dan dengan segan Anggun terpaksa membiarkan ibunya melihat bekas tamparan Yudha yang memerah di pipinya.
"Ya Tuhan!" desis ibunya antara terkejut dan khawatir.
"Berandal mana yang melakukannya, Anggi? Di mana Yudha?"
"Yudha sudah berusaha membela Anggi, Ma." Anggun tahu sulit sekali mendustai ibunya. Tapi dia harus berusaha, bagaimana lagi? "Tapi mereka terlalu banyak!"
Ketika kembali dari ruang makan, Mama membawa kompres es dan meletakkannya di pipi Anggun. Anggun berjengit, bukan karena sakit tapi lebih karena dinginnya.
"Teman-teman Yudha?" Dahi ibunya berkerut.
"Kan Mama sudah bilang, pergaulan Yudha kurang baik. Teman-temannya seperti pecandu narkotik semua!"
"Ah, Mama! Kalau di rumah jangan seperti di kelas dong!"
"Mama serius, Anggi. Mama khawatir melihat hubunganmu dengan Yudha."
"Yudha kan profesional muda yang punya kedudukan, Ma. Mama mau cari teman yang kayak apa lagi buat Anggi?"
"Jangan kamu kira yuppie itu bebas narkotik, Anggi!"
"Yang penting kan Yudha bukan pecandu . Teman-temannya sih sebodo amat!"
"Mama takut lama-lama dia terpengaruh. Dan kalau Yudha sudah kena, kamu tinggal tunggu waktu."
"Anggi kan bukan remaja lagi. Ma! Jangan perlakukan saya seperti murid-murid Mama dong!"
"Kenapa pipimu?" sela ayahnya yang tiba-tiba masuk ruangan. Matanya langsung menyala melihat memar di pipi anaknya.
"Siapa bajingan itu, Anggi?"
"Sudah deh, Pa! Kalau semua orang mau Papa tuntut, penuh tuh pengadilan!"
"Lho, itu memang pekerjaan Papa! Kalau tidak ada
kasus, Papa nganggur, kan? Lagi pula masa Papa diam saja anak Papa dianiaya begini?"
"Ini bukan penganiayaan, Pa! Jangan bawa-bawa bahasa hukum deh di rumah! Tuh urusin saja klien Papa!"
"Anggi benar. Pa," sela ibunya, mantan guru paling sabar yang pernah dikenal Anggun.
"Ini cuma urusan anak-anak. Tidak usah diperpanjang. Bagaimana klienmu?"
Wiradhana Prambudi, S.H. menjatuhkan tubuhnya yang besar ke atas sofa berjok kulit seharga sebuah minibus.
"Kasus perkosaan. Tidak terlalu menantang. Tapi ayahnya bekas temanku di SMA."
"Dan duitnya gede. kan. Pa?" sindir Anggun sambil tersenyum. Dia hampir memekik karena tiba-tiba disengat rasa sakit di pipinya. Tapi dibalalkannya pekikannya begitu ingat siapa yang ada di hadapannya.
Ayahnya cuma menyeringai. Justru Mama yang merasa terusik melihat senyum yang sangat dikenalnya itu.
"Papa yakin anak itu tidak bersalah?"
"Tentu, kalau tidak masa dibela," sahut Prambudi asal saja.
"Berapa umur gadis itu?"
"Delapan belas. Sudah cukup umur untuk menggoda. Bukan diperkosa."
"Lalu tiba-tiba gadis itu mengadu diperkosa?" ejek Anggun sinis.
"Yang benar saja. Pa!"
"Anak muda itu ganteng. Bapaknya kaya sekali."
"Jadi gadis itu pasrah saja diperkosa?"
"Justru Papa harus membuktikan bahwa korban tidak diperkosa."
"Papa pasti yakin sekali bisa menang."
Lagi-lagi seringai yang sama bermain di bibir Prambudi.
"Itu keahlian Papa, kan?" katanya tenang.
"Kalau tidak. buat apa mereka membayar Papa?"
"Tapi Papa harus yakin dulu anak muda itu tidak bersalah," protes Bu Sofi murung.
"Kalau tidak. buat apa dibela?"
"Ingat dong, Pa. Papa juga punya anak perempuan!" sela Anggun.
"Baru dipukul saja Papa sudah marah, apalagi di..."
"Pasti," potong Prambudi datar.
"Nah, sekarang bilang sama Papa. siapa yang memukulmu?"
"Copet," sahut Anggun segera, mewarisi bakat ayahnya.
"Anggi melawan ketika dia mau merampas tas saya."
Diam-diam ibunya memalingkan muka sambil menghela napas. Tentu saja dia tidak percaya.
"Lalu di mana pengawalmu yang macho itu? Kabur?"
"Yudha sudah berusaha menolong Anggi. Tapi mereka terlalu banyak!"
"Berapa kompi copet yang mengincar tas seorang wanita?" sindir Prambudi sambil tertawa tawar.
"Kalau besok dia kemari dan Papa lihat mukanya mulus, Papa tuntut dia!"
Tapi yang datang keesokan harinya memang bukan Yudha. Yang muncul justru Rianto, yang rahangnya retak dan mata kirinya masih dilingkari memar kehitam-hitaman.
Meskipun Prambudi tidak memandang sebelah mata melihat penampilan Rianto, dia tidak jadi melanjutkan tuntutannya. Perhatiannya baru agak tergugah ketika istrinya menyampaikan. tentu saja dengan perasaan lega seorang ibu yang gundah, pria gemuk itu seorang dokter.
"Hm, pantas saja dia tidak pandai berkelahi," komentar Prambudi datar.
"Dokter kan cuma pintar mengobati."
"Saya Sih lega melihat teman Anggun yang ini. Pa," kata istrinya terus terang.
"Bukan hanya karena dia dokter. Tapi tampaknya dia sangat baik dan sabar."
"Hm, aku justru curiga."
"Curiga bagaimana?"
"Bisa-bisanya Anggi naksir pria macam begitu!"
"Hus, Papa!"
"Anggi itu anakku. mewarisi sifatku. Mana pernah kami naksir barang jelek."
"Papa!"
"Betul kok!"
"Yang tampaknya jelek kan belum tentu tidak berkualitas! Jangan menghina orang, Pa! Saya justru menyukai tipe pria yang satu ini."
"Bohong! Buktinya kamu milih aku! Apa Mama merasa salah pilih? Sejak kapan Mama suka model kayak begitu?"
"Pokoknya saya menyukainya. Daripada Yudha. Terus terang saya khawatir melihat hubungan Anggi dengan pria itu."
"Hm, Anggi kan nggak bodoh! Jangan memandang rendah anakku, Ma! Dia bisa membedakan emas dari loyang!"
***
"Bagaimana? Sudah ada penyelesajannya?" tanya Rianto begitu dia duduk di hadapan Anggun di ruang tamu yang mewah dan sejuk. Seperangkat kursi tamunya saja harganya sama dengan setahun gajinya di rumah sakit.
"Yudha sudah minta maaf," berdusta Anggun, padahal jangankan minta maaf, menelepon saja belum.
Anggun sudah kenal sekali sifat pria itu. Enam tahun pacaran, Anggun tahu betapa Yudha mencintainya, tetapi dengan caranya sendiri. Cintanya sangat posesif.
Bagi Yudha, Anggun sudah menjadi miliknya, walaupun belum menjadi istri. Pertengkaran mereka tadi malam pun disebabkan kecemburuan Yudha yang kadang kadang melewati batas ukuran normal. Padahal Anggun cuma kebetulan ketemu dan ngobrol dengan teman lama, seorang pria yang ganteng.
"Saya harap dia tidak akan pernah mengulanginya lagi," kata Rianto, lebih mirip imbawan daripada ancaman.
"Saya akan menyuruh dia minta maaf pada Anda, Dokter," lagi lagi Anggun berdusta. Bagaimana menyuruh Yudha minta maaf"? Sama saja dengan menyuruh langit pindah ke tanah!
Syukurlah dokter gemuk ini luar biasa baiknya. Dia memamerkan senyumnya yang khas. Senyum sabar dan tulus yang dilatarbelakangi oleh sederet gigi yang putih rata.
"Lupakan saja." katanya ramah.
"Dan tolong jangan panggil saya dokter. Panggil saja Rian."
"Terima kasih, Dok eh, Mas Rian," Anggun tersipu sejenak.
"Entah bagaimana saya harus membalas budimu."
"Bagaimana kalau menemani saya makan malam? Hanya sebagai tanda persahabatan."
Sesaat Anggun tertegun. Tetapi hanya sesaat. Karena di saat lain, senyumnya sudah merekah kembali. Manis.
"Gigimu sudah bisa mengunyah bistik?" tanyanya setengah bergurau.
"Rahangmu tidak protes?"
"Keberatan kalau kita cuma makan sup dan minum es krim?"
Buat membayar utang, Anggun rela makan apa pun. Apalagi dia sangat menyukai pria yang ramah ini. Berada di dekatnya serasa berada di taman yang sejuk dan damai.
Alangkah berbeda dengan Yudha Pratama. Yudha pemberang, posesif, dan liar seperti kuda yang melonjak-lonjak. Tapi celakanya, justru di sisi lelaki seperti ini Anggun merasa bergairah!
Rianto memang sahabat yang baik. Sebentar saja Anggun sudah merasa lengket padanya. Tapi hubungan mereka cuma sebatas teman.
Kalaupun ada rasa sayang, cinta Anggun kepada Rianto cuma sebatas Cinta antarsahabat. Meskipun Anggun sudah dapat menebak dengan mudah,
Rianto jatuh cinta padanya. Dan Cintanya bukan cinta persahabatan lagi.
Anggun masih tetap menantikan Yudha, yang selama dua bulan lima hari jangankan muncul, telepon saja tidak. Rianto-lah yang selalu menemaninya dengan setia selama masa penantian itu.
Dan Rianto merasa sangat bahagia, walaupun dia belum yakin Anggun membalas Cintanya atau tidak.
Lelaki pemberang itu memang tidak pernah muncul lagi. Setidak-tidaknya itu yang Rianto lihat. Anggun tidak pernah membicarakannya lagi. Dan Anggun tidak pernah menolak ajakannya untuk kencan, kalau pertemuan mereka boleh disebut kencan.
Karena yang mereka lakukan memang baru terbatas pada nonton bioskop dan makan di restoran. Dengan catatan, Anggun lebih suka yang pertama sedangkan Rianto selalu memilih yang kedua.
"Kamu sudah harus mulai diet," pinta Anggun setiap kali mereka sedang bersantap. tentu saja tanpa nada mengatur apalagi menghina.
"Di sekolah doktermu yang membosankan itu tidak diajari bahayanya obesitas?"
Rianto tersenyum lebar, lebih banyak membiaskan kemanjaan daripada perasaan terhina.
"Kamu lebih suka melihatku kurus?"
"Aku sih suka melihatmu apa adanya. asal sehat."
"Dan kamu yakin gemukku tidak sehat?"
"Kamu yang dokter. Overweight itu sehat?"
"Selalu kukatakan pada pasien. Tapi tidak pernah kutanyakan pada diriku sendiri."
"Dan pasienmu tidak pernah tanya?"
"Tidak pernah kuperhatikan."
"Jangan bilang cuma aku yang ngomong begitu!"
"Terus terang, baru omonganmu yang kuperhatikan."
"Kenapa?"
"Karena aku senang kamu perhatikan!"
Sesaat mereka saling tatap. Anggun menikmati senyum polos yang menggeliat di bibir lelaki itu.
"Kalau begitu." desahnya dengan seuntai senyum manis yang membuat Rianto rela melakukan apa pun,
"mulailah diet!"
Dan Rianto bukan cuma mulai diet. Dia mulai perlente. Mulai senang baju-baju bagus. Minyak wangi mahal. Dan musik yang romantis.
Perubahannya segera dilihat Bu Rully. Anaknya kini tidak perlu lagi disuruh keluar jalan jalan kalau malam Minggu. Tidak malam Minggu pun dia sering pergi kalau tidak praktek. Apalagi malam Minggu.
Dia tidak pernah lagi pergi dengan mengenakan kaus oblong atau celana santai. Sepatu sandalnya cuma dipakainya kalau ke kebun. Yang tidak pernah ditinggalkannya hanya payungnya. Kalau ketinggalan pun dia bakal balik lagi.
"Kompulsi." Rianto mengakui sambil bercanda.
"Ansietas saya timbul kalau pergi tidak membawa payung!"
Meskipun tidak mengerti hubungan payung dengan kegelisahan, Bu Rully memahami sekali apa yang menyebabkan perubahan kebiasaan anaknya. Cinta tetap serupa tahun berapa pun dia dilahirkan. Dan kalau yang sedang kasmaran Rianto, bukan cuma ibunya yang tahu, tapi sekaligus seluruh rumah sakit. Dan
semua yang mengenalnya ikut gembira. Ikut larut bersama kebahagiaan yang dipancarkannya.
Namun cinta tidak mampu mengubah dedikasi Dokter Rianto Sudirman pada pasien-pasiennya. Malah kelihatannya. dia lebih dekat lagi dengan mereka.
Kebahagiaannya ditularkannya pada pasien-pasiennya. Kegirangannya mengusir kesuraman dinding-dinding dingin pasien AIDS. Humornya mencetuskan tawa anak-anak yang tengah menderita disiksa penyakitnya.
"Katanya Dokter mau kawin. ya?" tiba-tiba saja Joko, pasien talasemia yang sudah empat kali dirawat di rumah sakit yang sama, bertanya ketika Rianto sedang memeriksanya.
Orangtua Joko selalu mencari Rianto setiap kali anaknya datang ke rumah sakit itu. tidak peduli dia bukan ahli penyakit darah. Kata mereka, kalau tidak dipegang oleh Dokter Rianto, Joko tidak mau dirawat.
Rianto membeliakkan matanya mendengar pertanyaan Joko. Seuntai senyum jenaka menggeliat di bibirnya.
"Siapa yang bilang?"
"Suster."
Rianto melirik ibu Joko sambil tersenyum. Purapura bertanya dengan matanya. Perempuan itu membalas senyum dokter yang ramah itu sambil mengangkat bahu, pura pura tidak tahu.
"Suster mana ya yang iseng menyebar gosip!" Rianto memutar kepalanya, menatap Suster Erna yang sedang membantunya memasang transfusi darah.
"Kamu ya, Er?"
"Bukan saya. Dok," sanggah Suster Ema sambil
tertawa kecil.
"Tapi gosip itu memang sudah menyebar ke mana-mana. Katanya calon istri Dokter cantik ya. Dok? Ih, diam-diam Dokter Rianto pintar lho cari istri!"
"Dokter nggak kerja lagi kalau sudah kawin?" sela Joko di tengah-tengah tawa mereka.
Baginya, memang itu yang terpenting. Dia akan merasa kehilangan sekali jika tidak menemukan dokter gemuk yang ramah dan lucu ini di rumah sakit. Dokter yang lain kebanyakan tampangnya seram-seram. Jangankan bercanda, ngomong saja kadang-kadang malas seperti sedang sakit gigi.
"Lho, siapa bilang?" Rianto menahan tawa.
"Apa hubungannya kawin dengan kerja?"
"Mama dulu guru," Joko melirik ibunya.
"Kata Papa, waktu kawin, Mama berhenti kerja."
"Betul, Bu?" Rianto menoleh kepada ibu Joko sambil tersenyum lebar. Lalu dia berpaling kembali pada Joko dan membelai pipinya.
"Tapi saya tidak. Kecuali kalau diberhentikan."
"Sama siapa?"
"Kepala rumah sakit. Atau penyakit."
"Penyakit?"
"Kalau sakit, saya mesti berhenti. kan.? Buat istirahat dan berobat. Betul, kok. Dokter juga bisa sakit, kan?"
Rianto tertawa lebar. Tawanya begitu cerah. Dan tawanya membiaskan kebahagiaan ke sekitarnya.
Tak seorang pun tega menghancurkan kebahagiaan Rianto. Tidak juga Anggun. Dia mengikuti hampir semua permintaan Rianto. Sampai suatu saat dia sadar, sudah terlambat untuk mundur tanpa melukai hati pria yang lembut dan santun ini.
"Ikutlah ke rumahku, Anggi," pintanya pada akhir bulan yang kedua.
"Ibuku ingin melihatmu."
Tentu saja Anggun tahu apa yang diinginkan seorang ibu kalau dia minta anaknya membawa seorang gadis ke rumahnya. Yang dia tidak tahu. bagaimana menolak permintaan itu tanpa menyakiti hati Rianto.
Bu Rully begitu gembira ketika putranya yang telat mekar itu akhirnya beroleh seorang gadis. Tadinya dia sudah hampir putus asa. Dikiranya anaknya tidak laku. Atau punya kelainan.
Rianto begitu bangga ketika dapat membawa Anggun ke rumahnya. Dan lebih bangga lagi ketika ibunya juga mengagumi Anggun.
Sore itu, Anggun memang tampil prima. Meskipun tidak ingin dikagumi oleh ibu Rianto dia toh tidak mengharapkannya --Anggun tetap bersikap sesantun mungkin. Dia juga memilih pakaian yang paling sopan, yang dirasanya paling cocok untuk menemui seorang perempuan tua yang dihormatinya.
"Gimana, Bu?" tanya Rianto ketika dia pulang setelah mengantarkan Anggun. Tidak sabar menunggu sampai ibunya yang membukakan pintu sempat duduk di kursi. Tidak sempat pula menaruh payungnya di dekat pintu masuk.
"Gimana apanya?" tanya Bu Rully sabar.
"Anggun."
"Cantik."
"Cuma itu?"
"Ya, sementara ini kan baru itu yang Ibu bisa lihat."
"Orangnya juga baik, Bu. Mahasiswi hukum. Ayahnya pengacara terkenal, Wiradhana Prambudi, S.H. Ibu pernah dengar kan namanya?"
"Ibu sering baca namanya di koran," sahut Bu Rully sambil duduk di sofa.
"Kasusnya sedang ramai, kan? Dia sedang membela seorang pemuda yang dituduh memerkosa teman gadisnya."
"Sering muncul juga di TV. Ibu ingat kasus mayat yang terpotong enam tahun lalu? Dia yang membela si tersangka sampai berhasil dibebaskan."
"Ibu tidak suka lelaki itu divonis bebas." Wajah Bu Rully berubah.
"Ibu memang awam hukum. Tapi rasanya..."
"Firasat Ibu bilang dia bersalah?" potong Rianto sambil tersenyum.
"Artinya ayah Anggun betul-betul hebat dong. Bu!"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"hebatkah bisa membebaskan orang yang bersalah ?"
"Tapi orang yang bersalah juga perlu dibela kan, Bu?"
"Sampai lolos dari hukuman yang harus ditanggungnya? Ibu jadi bingung di mana letak keadilannya."
"Nah. kalau nanti Ibu sudah kenal dengan keluarga Anggun, Ibu boleh tanya sama ayahnya!"
"Ah, Ibu kan cuma perempuan tua yang buta hukum. Bagaimana bisa bicara hukum melawan ahli hukum yang begitu pintar?"
"Tapi saya percaya ayah Anggun tidak seperti itu, Bu." Rianto duduk di samping ibunya. Parasnya begitu sumringah sampai Bu Rully ikut merasakan kebahagiaan yang sedang merekah di hati putra tunggalnya.
"Anggun sangat baik. Mustahil dia lahir dari bibit yang jelek."
"Ibu percaya Anggun baik, Le. Mudah-mudahan dia tidak mengecewakanmu."
"Ibu juga menyukainya?" desak Rianto bangga.
"Siapa yang tidak menyukai gadis secantik dan sebaik itu?"
"Terima kasih, Bu," Rianto memeluk ibunya dengan terharu.
"Tadinya saya kira Ibu tidak menyukai setiap gadis yang akan menjadi istri saya."
Ibunya pura-pura membelalak kesal sambil mengulum senyum pahitnya.
"Maksudmu, Ibu ini semacam mertua jahat yang selalu meneror menantunya? Le, Le... kamu terlalu banyak nonton sinetron!"
***
Makin hari, justru Anggun-lah yang makin bingung. Kehadiran Rianto terasa semakin merasuk ke dalam kehidupannya. Sementara hati kecilnya masih menolak kehadiran penghuni lain.
Yudha maSih bersemayam di sudut hatinya. Kokoh dan abadi. Tak tergoyahkan.
Tiap malam Anggun masih menanti teleponnya. Tiap malam dia masih membuka-buka album fotonya bersama pria itu.
Enam tahun memang bukan waktu yang singkat. Dan hubungan mereka sudah terlalu dekat.
Cinta Anggun kepada Yudha sudah demikian merasuk. Dan Yudha memang masih terlalu menarik untuk disingkirkan. apa pun yang dilakukannya, bagaimanapun model cintanya.
Setiap kali bertengkar. hubungan mereka malah terasa semakin menggigit. dan semakin lama mereka berpisah, kerinduan yang timbul justru semakin memuncak....
***
KEBAHAGIAAN Rianto akan terus berlanjut seandainya saja pada hari keenam bulan yang ketiga, Yudha Pratama tidak tiba-tiba muncul di depan kampus Anggun.
Mula mula Anggun tidak menyadari kehadiran pemuda itu. Dia tidak melihat Yudha yang sedang bertengger di atas motor HD nya di depan kampus, mengenakan kacamata gelap dan jaket kulit hitam.
"Ditunggu tuh!" Isma yang matanya tajam bagai elang, terutama kalau hidungnya mencium aroma jantan langka dalam jarak seratus meter, menyodok pinggang Anggun dengan sikunya.
Refleks Anggun berpaling mengikuti isyarat mata Isma. Dan tatapannya bertemu dengan sosok yang sangat dikenalnya. sosok yang selalu hadir dalam setiap mimpinya.
Percuma menghindar kalau Yudha sudah melihatnya.
Dan memang percuma menghindar kalau hatinya tidak mau.
Alarm tanda bahaya memang sudah berdering di kepalanya. Tetapi sirene sekeras apa pun kalah pengaruh dibandingkan melodi romantis yang lembut membelai sukma. Bahkan keangkuhannya pun spontan luluh lantak. Seperti cermin dibanting ke batu.
Anggun ingin melangkah menjauh. Tetapi yang terjadi justru kakinya membawa dirinya lebih dekat.
"Hai," sapa Yudha dengan kerinduan dua ribu volt.
Dia langsung melepas kacamatanya, membiarkan Anggun melihat kerinduan yang membeludak di matanya.
"Hai juga." balas Anggun dengan kepongahan palsu seorang wanita.
"Pulang?"
"Perlu tanya?"
"Boleh kuantar?"
"Tidak perlu. Ada yang jemput."
Melihat gelagat jelek, Isma langsung pamit.
"Duluan yuk," katanya sambil mengangkat sebelah tangannya.
Dia sudah tiga tahun mengenal Anggun. Sekaligus hubungannya dengan Yudha. Menurut kamusnya, mereka pasangan yang sama "sakit"-nya. Sehari mesra, sehari ribut. Apa enaknya hubungan macam itu? Sakit!
Lebih sakit lagi, pertengkaran justru semakin meneguhkan hubungan mereka. Menambah mesra cinta mereka, kata Anggun terus terang. Nah, benar sakit,
kan"? Apa namanya kalau bukan sakit. coba?
Sebenarnya Isma sudah merasa agak terhibur ketika
dua bulan ini tiba-tiba Anggun jadi sering ngomong bahasa kedokteran. Bukan karena tiba-tiba dia pindah ke FK. Tapi karena dokter gemuk itu. Pacarnya yang baru.
Seperti semua orang di sekitar Anggun. kehadiran dokter yang ramah dan murah senyum itu disambut seperti seulas antiseptik penawar luka. Sayang begitu lukanya hampir sembuh, muncul infeksi baru. Ah, sebenarnya bukan infeksi baru. Justru infeksi lama yang kambuh kembali!
"Suruh pulang," suara Yudha lebih mirip perintah daripada permintaan.
Tiga bulan yang lalu barangkali Anggun akan berpikir dua kali untuk membantah. Tapi sekarang dia tidak berpikir lagi untuk mendengus dan mengayun langkahnya dengan santai menjauh.
Persetan!
Tanpa berpikir lagi. Yudha mendorong motornya di samping Anggun. Merendengi Anggun yang sedang melangkah ke mobilnya.
"Beri aku kesempatan untuk minta maaf. Anggi."
"Tulis surat seratus kali," sahut Anggun dingin.
Dengan santai dia masuk ke mobilnya. Sopir yang sudah menunggu di samping mobil sambil membukakan pintu. langsung menutup pintu mobil itu. Dia cuma melirik sekilas ke arah Yudha.
Mobil meluncur pergi. Meninggalkan segumpal debu buat Yudha yang masih bertengger di motornya.
Dan sore itu juga Anggun kebanjiran surat. Melalui sms, e-mail, dan faksimilc. Jumlahnya tepat seratus buah.
Surat yang keseratus satu datang bersama seratus kuntum mawar merah.
"Yang ini bonus," tulis Yudha singkat.
Mau tak mau Anggun terpaksa tersenyum. Cinta yang masih menggelora segera melunturkan semua noktah sakit hati.
Entah ke mana perginya rasa marah, kecewa, bahkan nyeri yang menikam pipinya. Semuanya sirna begitu saja. Berganti dengan gairah yang meluap dan rindu yang menggigit.
Duh, tololnya aku. pikir Anggun gemas ketika dia sedang memoles wajahnya dengan semangat mempercantik diri yang sudah dua bulan lebih tak pernah singgah lagi. Mengapa cinta dapat membuat otak lumer seperti dempul?
Tapi kalau bukan cinta yang menyepuh hatinya, pernahkah dia merasakan sakit yang demikian nikmat seperti rindu? Pernahkah dia menciCipi sentakan-sentakan nikmat yang bernama gairah?
Cintalah yang membuat pria kasar dan pemberang seperti Yudha dapat berhasil menjadi seniman yang mampu menulis seratus surat cinta, padahal pelajaran mengarangnya di sekolah selalu dapat lima.
Dan cinta pulalah yang memaksa Anggun kembali ke pelukan Yudha, biarpun di hadapannya tegak seorang pria yang memiliki nilai jauh lebih tinggi.
Yudha tidak pernah bertanya siapa pria gemuk yang sekarang sering dilihatnya bersama kekasihnya. Dia juga tidak pernah bertanya sampai di mana hubungan mereka.
Tetapi begitu dia merasa sudah menguasai Anggun lagi, dia mendesak Anggun untuk menyingkirkannya.
"Aku atau kamu," suaranya lebih mirip ancaman daripada pertanyaan.
"Terserah kamu siapa yang harus menyingkirkannya."
Anggun tahu sekali, Yudha tidak main-main. Dan kalau kemudian dia marah, dia merasa lebih marah kepada dirinya sendiri daripada kepada Yudha.
"Aku tidak pernah mengatur siapa temanmu, dengan siapa kamu boleh bergaul. dengan siapa kamu boleh pergi. Punya hak apa kamu mendikte dengan siapa aku boleh berteman?"
"Dia bukan teman," sahut Yudha tegas.
"Dia menginginkanmu!"
"Dia dokter yang terhormat! Bukan tukang ngedrug kayak kamu!"
Kembalinya Yudha kali ini memang membawa penyakit baru. Sekarang dia sudah berani terang terangan memakai putaw atau shabu-shabu di depan Anggun, bahkan sekali-sekali mencoba mengajak Anggun mencicipinya pula.
"Gara gara kamu." Tentu saja itu cuma alasan.
"Kalau lagi giting, aku baru bisa lupain kamu."
"Jadi aku yang disalahkan?" Anggun membeliak marah.
Tetapi apa pun yang Anggun lakukan-dia boleh marah kepada dirinya sendiri, boleh kesal terhadap Yudhacintanya juga akhirnya yang menjadi pemenang.
Malam malamnya bersama Yudha seakan tak pernah berakhir. Malam yang sama yang selalu datang dalam kenangannya.
Malam yang sama seperti hari hari yang lewat. Malam-malam yang menjerumuskan mereka dalam
dekapan cinta yang seakan tak pernah berkesudahan. Bahkan yang kemudian menyeret Anggun pula ke lembah narkotik.
Yudha membawanya berdansa dalam alunan lagu yang serasa tak pernah berakhir. Mengajaknya ke pantai untuk bergulat dengan ombak yang tak pernah bosan mengajak bercanda.
Malam yang lain, Yudha menculiknya di tengah malam buta, hanya sekadar untuk menemaninya menyuntikkan morfin ke lengannya.
Atau berhujan-hujanan berdua di atas motor menyusuri celah-celah perkebunan teh ketika bahkan tonggeret pun sudah tidak mau bernyanyi lagi. Ketika dingin menusuk tulang, dada mereka malah tera-sa hangat. Ketika kegelapan menyungkupi bumi, dunia mereka malah terasa terang disinari sejuta kunang-kunang.
Seandainya pun seluruh dunia mengutuk Yudha sebagai sampah, bagaimana Anggun mampu menyingkirkan pria ini dari hidupnya? Dia begitu menarik. Begitu orisinal. Begitu tak terduga seperti ombak di laut. Sekejap dia tampak memesona, meski di detik lain sangat berbahaya.
Di sisinya, Rianto tampak seperti sebuah boneka yang manis, tidak berbahaya tapi tetap hanya sebuah boneka!
Tenang, lugu, tak bergejolak, sekaligus tidak menyengat. Tidak merangsang.
Bagaimana mungkin Anggun memilihnya? Dia. seorang gadis yang romantis, percaya diri, dan umurnya baru dua puluh satu tahun! Dia belum membutuhkan seorang pelindung. Dia masih lebih membutuhkan
seorang petualang, selama petualang itu mampu menyuguhkan petualangan yang menarik!
Ketika harus memutuskan hubungannya, Anggunlah yang menitikkan air mata, bukan Rianto.
"Aku ingin tetap berteman dengan Mas Rian," gumam Anggun lirih.
"Tapi aku tidak mau Yudha mengganggu hidupmu."
"Aku mengerti," sahut Rianto sabar. Air mukanya setenang suaranya, walau cuma dia yang dapat merasakan betapa nyerinya di dalam sini. Ulu hatinya. Jantungnya. Perutnya. Semua organ tubuhnya seperti berlomba memekikkan rasa sakit yang tak terperikan.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Anggun, khawatir melihat bagaimana tenangnya pria itu menghadapi kejutan yang demikian menyakitkan.
"Aku bisa mengatasinya." Senyum Rianto melukiskan kebesaran jiwanya. Dia masih dapat menghibur pada saat dia sendiri perlu dihibur.
"Hari-hari pertama memang menyakitkan. Tapi jangan khawatir. waktu akan menyembuhkan semua luka."
Rianto, Rianto, pekik Anggun dalam hati, ketika dengan air mata berlinang digenggamnya tangan lakilaki itu erat-erat. Mengapa aku tidak dapat memilih pria sebaik kamu?
"Teleponlah aku kalau kamu memerlukanku," kata Rianto sebelum berpisah. Senyumnya merekah sedikit.
"Mungkin suatu saat kamu memerlukan advis medis."
Lalu dengan tenang dia mengambil payungnya dan meninggalkan Anggun, terkubur dalam isaknya sendiri.
Anggun tidak pernah berani mencicipi narkotik. Biarpun Yudha sering memakainya di depannya. Tetapi kehilangan Rianto membuatnya stres. Mencetuskan perasaan bersalah yang sulit dienyahkan.
Begitu saja diraihnya jarum suntik yang baru saja dipakai Yudha. Sesaat Yudha menatap Anggun. Ketika dilihatnya betapa hampanya sorot mata gadis itu, tanpa berkata apa-apa Yudha mengambil sebungkus bubuk morfin.
Dituangkannya sedikit ke dalam sendok lalu dilarutkannya dengan air. Dipanaskannya di atas lilin. Kemudian diisapnya dengan pipet tetes mata ke dalam jarum suntik.
"Kamu cuma butuh sedikit," bisiknya mesra ke telinga Anggun.
"Sedikit saja. Lalu semua kejengkelanmu lenyap. Dan kita akan menari di atas awan...."
Disuntikkannya jarum itu ke pembuluh darah balik di lengan Anggun. Didorongnya morfin yang berada di dalam spuit itu perlahan-lahan. Dan Anggun merasakan sensasi yang aneh. Untuk pertama kalinya dia merasa fly. Dan bayangan Rianto ikut terbang bersama kemarahan dan rasa bersalahnya.
***
"Ke mana temanmu yang dokter itu?" Ibunya adalah orang pertama yang merasa kehilangan.
"Sudah lama nggak datang."
"Saya tidak ingin mempermainkannya lebih lama
lagi!" Tidak tahu Anggun mengapa dia harus menjawab dengan marah.
Bu Sofi menatap anaknya dengan tatapan seorang pendidik yang berpengalaman. Tentu saja dia tahu mengapa Anggun marah. Dia marah kepada dirinya sendiri karena telah melukai hati seorang laki-laki yang sebaik Rianto.
"Mama tidak melihat kamu mempermainkannya," cetusnya sabar.
"Kamu benar-benar menyukainya. Hanya kadang-kadang, kamu tidak bisa melihatnya karena tertutup bayangan orang lain."
***
Tak seorang pun menduga Rianto sedang patah hati, kecuali tentu saja ibunya. Di kamar prakteknya. Rianto masih tetap dokter yang ramah dan sabar. Di rumah sakit, dia juga masih tetap dokter favorit yang disukai karena tidak arogan dan sangat memperhatikan pasien-pasiennya. Bahkan Sulistio, sahabatnya yang paling dekat, tidak mencium kedukaan teman sejawatnya.
Hanya Bu Rully yang dapat merasakan kesedihan putranya. biarpun setiap malam Minggu dia masih tetap pergi dengan tidak lupa membawa payungnya.
"Gadis itu meninggalkanmu ?" tanyanya malam itu, dua minggu sesudah mereka berpisah, ketika Rianto baru saja pulang.
Dia memang baru pulang setelah bermalam Minggu. Tapi Bu Rully tahu. malam Minggu ini dan malam Minggu lalu, tidak sama dengan malam-malam Minggu sebelumnya.
Wajah putranya tidak secerah biasa, walaupun dia berusaha untuk bersikap wajar dan tampil setenang mungkin. Ada yang hilang dalam dirinya.
Rianto tersenyum tipis.
"Mengapa Ibu tidak pernah berpikir saya yang meninggalkannya?"
"Karena Ibu kenal sekali anak Ibu. Kamu tidak pernah meninggalkan wanita yang kamu sukai."
"Tapi saya yang meninggalkannya, Bu."
"Cobalah membohongi ibumu, Le."
"Saya meninggalkannya karena saya mencintainya, Bu."
"Sandiwara apa pula ini, Le?"
"Saya memberikan kesempatan padanya untuk memilih."
"Dan kamu yakin dia akan memilihmu kalau kamu tinggalkan?"
"Tidak," sahut Rianto sabar.
"Karena umurnya baru dua puluh satu. Dia masih memilih penampilan daripada masa depan."
"Dan kamu akan menunggunya sampai dia berumur tiga puluh satu?"
"Saya akan menunggunya sampai kapan pun. Bu."
"Tidak, Le. Kamu tidak adil pada dirimu sendiri."
Tapi pernahkah cinta berkata adil? Jika cinta dapat bicara, yang dikatakannya barangkali hanyalah pengorbanan.
Rianto memang pergi setiap malam Minggu. Tapi hanya pergi berdua dengan payungnya.
Dia pergi ke tempat-tempat yang pernah dikunjunginya bersama Anggun. Dia berusaha duduk di tempat yang sama. Memesan makanan yang sama. Nonton film yang sama. kalau mungkin. Kalau filmnya sudah ganti, dia hanya duduk di ruang tunggu sambil mengunyah popcorn.
Dia coba mengenang kembali kehadiran gadis itu dalam hidupnya. Dan dia berusaha untuk menerima kenyataan, gadis yang pernah singgah di hatinya itu kini telah pergi.
Lalu Rianto akan melangkah pulang. Seorang diri menelusuri jalan yang telah sepi. Gerimis yang turun membasahi bumi tidak terlampau dihiraukannya, walaupun dia menggenggam sebatang payung.
Rianto mencoba menanamkan kesadaran itu ke dalam dirinya, betapapun pahitnya. Dia kini sedang melangkah kembali ke kehidupannya yang lama. Dia sedang pulang. Meskipun harus melewati jalan yang sepi dan basah.
Dia akan menemui ibunya. satu-satunya miliknya yang tak pernah meninggalkannya, mungkin sampai suatu saat nanti kalau waktunya telah tiba. Dan demi ibunya, Rianto tidak mau memperlihatkan kesedihannya.
Kesedihannya baru terurai jika dia sudah berada seorang diri. Di kamarnya. Hanya ditemani musik sendu dan buku.
Atau di restoran. Ketika untuk meredam stresnya, dia makan sebanyak-banyaknya, sehingga beratnya yang baru turun empat kilo langsung naik lagi dua kali lipat.
Tetapi hidup berjalan terus, seperti kereta api yang
meluncur lambat tapi pasti ke stasiun berikutnya. Dan stasiun itu seperti tiba-tiba saja muncul di kelok jalan.
***
HARI itu isma sedang berada di bangsal anak. YOS, pasien kesayangannya. sedang menghadapi saat-saat terakhirnya.
Yos yang baru berumur enam tahun mengidap AIDS. Virus yang mematikan itu masuk ke tubuhnya melalui transfusi darah.
Yos menderita hemofilia, penyakit kekurangan zat pembeku darah yang diturunkan. Karena zat pembeku darahnya kurang, dia sering mengalami perdarahan hebat, yang memerlukan transfusi darah berulangulang. Dan kebetulan HIV lolos dalam salah satu transfusi darahnya.
Segala macam cara pengobatan telah dicoba, obatobatan pun silih berganti dimasukkan ke tubuhnya, tapi malaikat maut tampaknya tetap tidak mau melepaskan pelukannya.
Setelah hampir setahun berjuang, lampaknya Yos
tidak kuat lagi menahan penderitaannya. Orangtuanya pun tampaknya telah pasrah.
"Buat apa lagi memperpanjang penderitaannya," keluh ayah Yos getir.
"Kalau harus pergi, biarlah dia pergi dengan tenang. Sejak lahir, penyakit seperti tak pernah bosan mengunjunginya."
Dialah yang minta tolong perawat memanggilkan Rianto. Walaupun Yos sudah tidak sadarkan diri, ayahnya mengerti. pada saat-saat terakhirnya, Yos mungkin ingin sekali didampingi oleh sahabatnya.
Memang selama setahun bolak-balik dirawat. Dokter Rianto yang ramah dan lucu itu lebih banyak bersikap sebagai seorang sahabat daripada dokter. Dia tahan berjam-jam duduk di samping pembaringan Yos, mengobrol, bergurau. atau kadang-kadang membacakan cerita untuk Yos.
Kalau sedang sibuk. Rianto hanya mengirimkan sesuatu untuk sahabatnya. Makanan, permainan, atau buku. Tetapi bagaimanapun sibuknya, Rianto masih menyempatkan diri datang, kadang-kadang kalau Yos sudah tidur.
Rianto akan meletakkan sehelai kertas resep di dekat tangan Yos. Resep itu ditulisinya dengan tulisan tangan yang besar-besar:
Hai, Yos. tadi saya kemari. tapi kamu sedang jalanjalan!
Kalau Yos terjaga, resep itulah yang pertama tama akan dicarinya. Dan dia tahu sahabatnya tadi telah datang saat dia tidur.
Akan dikumpulkannya resep itu di lacinya. Yos melarang orangtuanya maupun perawat membuang resep resep itu.
Namun kini Yos tidak mungkin terjaga kembali. Kali ini tidurnya akan sangat lelap. Tak ada lagi sakit yang akan menyentakkannya bangun.
Ketika sedang memeluk sahabatnya, memanggilnya dengan mata berkaca-kaca, Rianto tahu, Yos tidak akan pernah menemukan resepnya lagi. Tetapi Rianto tetap meletakkan sehelai resep di dekat tubuhnya. Dia percaya, dari tempatnya yang jauh nanti, Yos pasti masih dapat melihat tulisan sahabatnya.
"Kamu sudah jalan-jalan sampai di mana, Yos?" bisik Rianto lembut di telinga sahabatnya.
"Sudah kamu lihat cahaya terang di ujung jalan sana?"
Suatu hari, hanya seminggu sebelum meninggal, Yos pernah bertanya begini kepada Rianto.
"Apa artinya mati, Dokter?"
Sebagai dokter, Rianto tahu sudah tidak ada harapan lagi bagi Yos. Human Immunodeficiency Virus sudah memorak-porandakan seluruh sistem pertahanan tubuh Yos, sehingga infeksi yang tidak terlalu berat pun dapat menimbulkan penyakit yang fatal.
Tetapi sebagai sahabat, Rianto mempunyai firasat, waktunya sudah dekat sekali. Karena itu dia tidak merasa heran ketika bocah berumur enam tahun itu tibatiba mengajukan pertanyaan yang terdengar agak ganjil.
Rianto sadar, dia sudah harus mulai menyiapkan sahabatnya untuk menyongsong datangnya kehidupan yang lain. Dan kalau saat itu tiba, Rianto tidak ingin Yos merasa takut.
"Mati artinya pergi ke suatu tempat yang jauh, Yos."
"Sendirian?"
"Ya, tapi Yos nggak usah takut nyasar. Di ujung jalan itu, ada cahaya yang amat terang. Yos cuma perlu mencari cahaya itu."
Sesaat sebelum Yos mengembuskan napasnya yang terakhir, Rianto menyerahkan anak itu ke pelukan ibunya. Tapi ayahnya mengembalikan Yos ke pangkuan Rianto.
"Yos selalu merasa aman dalam pelukanmu, Dokter," katanya sambil menahan tangis, sementara istrinya sudah jatuh pingsan.
"Dia percaya sekali, cuma Dokter yang dapat menyembuhkannya, menghilangkan penderitaannya."
Yos meninggal dalam pangkuan Rianto. Dan ketika si kecil sudah terbaring tenang di ranjangnya, tak henti-hentinya Rianto menyesali dirinya karena tidak dapat menyembuhkan sahabatnya.
Yos memercayainya. Dia percaya sahabatnya dapat menyembuhkannya. Tapi Rianto tidak mampu! Bahkan ilmu yang dimilikinya tak mampu menyelamatkan sahabat kecilnya!
"Maafkan saya, Yos," bisiknya lirih dalam hati.
"Saya tidak dapat menolongmu."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu dia melihat tumpukan resep itu. Resep yang dikumpulkan Yos. Resep pemberian sahabatnya. Dan mata Rianto menjadi berkaca-kaca.
Saat itulah telepon selulernya berbunyi. Rianto sudah langsung ingin mematikannya ketika tiba-tiba dibatalkannya. Dia melihat nomor telepon Anggun di layar ponselnya.
"Sibuk?" suara yang amat dirindukannya itu membangunkan semangatnya.
"Boleh minta advis medis?"
Anggun memang ramping. Tapi sekarang tubuhnya lebih kurus dibandingkan setahun yang lalu, ketika terakhir kali Rianto melihatnya. Wajahnya tampak lebih tirus sehingga matanya yang bulat seperti tenggelam dalam rongga bola matanya.
"Kamu sakit apa. Anggi?" tanya Rianto agak cemas, ketika sore itu dia memerlukan datang ke rumah Anggun sebelum praktek.
"Itu yang ingin kutanyakan pada Anda, Dokter." Senyum Anggun masih semanis dulu. Membuat dada Rianto berdebar hangat sekaligus nyeri.
"Aku harus memeriksamu dulu sebelum menjawab."
"Harus ke tempat praktek?"
"Terserah kamu di mana kamu mau diperiksa."
Anggun mengerling nakal.
"Ada perawat di tempat praktekmu, kan?"
"Perawat?" Rianto menatap bingung.
"Untuk mendampingi pasien yang akan diperiksa."
Senyum Rianto langaung merekah.
"Pasienku anak-anak semua," katanya sabar.
"Sudah ada yang akan mendampingi mereka. Tapi kalau kamu perlu dipegangi, bisa kusuruh perawat melakukannya."
"Bisa dilakukan di sini saja, Dok?"
"Bisa asal kamu tidak memanggilku Dok."
"Tapi ada syaratnya!"
"Jangan disuntik?"
"Ibuku boleh mendampingi?"
Rianto pura-pura membelalak sambil menahan senyumnya.
"Kamu takut diperiksa dokter? Berapa sih umurmu?"
Anggun tersenyum malu-malu.
"Dua puluh dua. Tapi yang kutakuti bukan pemeriksaannya. Justru dokternya ."
"Kamu melecehkan profesi kedokteran!"
"Bukan melecehkan, cuma meragukan...." Anggun menahan tawa.
"Dokter anak bisa memeriksa pasien dewasa? Eh. maksudku... semuanya tampak lebih besar, kan?"
Paras Rianto memerah. Tetapi di wajah yang sedang tersenyum itu. Anggun melihat bias-bias kebahagiaan. Dan tiba-tiba saja dia merasa sedih.
***
"Kamu sehat," kata Rianto selesai memeriksa.
Dia menyusut peluhnya. Bukan karena panas. Biarpun gemuk, di kamar yang begini sejuk. bagaimana mungkin keringatnya bercucuran begini banyak?
Bukan pula karena lelah. Apa susahnya memeriksa seorang pasien? Tinggal lihat. pegang, ketuk. dengarkan. Selesai.
Tetapi kalau pasien itu Anggun, gadis cantik yang diam-diam dicintainya, semua bisa berbeda. Apa yang dilihat dan dipegangnya dapat meletupkan nyala api yang sangat panas di dalam tubuhnya.
"Tuh, Mama dengar sendiri. kan?" cetus Anggun lega.
"Anggi nggak apa apa kok! Mama nih yang ribut saja bilang saya sakit!"
"Tapi kenapa dia begitu kurus, Dok?" desak Bu Sofi dengan kecemasan berlebihan seorang ibu. Dia menatap Rianto yang sedang membenahi tasnya.
Rianto mengangkat wajahnya. Dan ketika melihatnya tersenyum, Bu Sofi merasa heran mengapa anakanak muda tidak dapat menilai pria yang begini sempurna.
"Anggun hanya banyak pikiran, Bu." sahut Rianto sabar.
"Mungkin juga dietnya tidak keruan."
"Stres, kan?" sela Anggun. lebih kepada ibunya daripada kepada Rianto.
"Kalau Mama ngomel terus, Anggi bisa stroke!"
"Hus! Ngomong apa kamu! Mama kan nggak pernah ngomel. Cuma nyuruh kamu makan yang banyak. Dan pergi ke dokter kalau sakit! Apa itu ngomel namanya?"
"Tapi Anggi nggak sakit, Ma! Dan nggak mau gemuk!"
"Saya jamin Anggun tidak sakit, Bu," tukas Rianto tenang.
"Dan saya akan membimbing dietnya. Supaya dia langsing, tapi tidak kurus kering."
"Terima kasih, Dok." Kegembiraan Bu Sofi bukan hanya karena ada dokter gratis yang akan menjaga kesehatan anaknya.
"Untung Anggi punya teman dokter! Kalau ibunya yang ngomong, dia bilang Ibu ngomel!"
***
"Boleh kuperiksa urinemu, Anggi?" tanya Rianto dengan suara wajar, selesai makan malam. Rianto sengaja memilih restoran yang sama. Restoran yang setahun yang lalu selalu mereka kunjungi. Dan dia tidak membicarakan kesehatan Anggun sama sekali sampai mereka selesai makan.
Anggun yang sedang menyeka bibirnya, menurunkan serbetnya dengan segera. Ditatapnya Rianto dengan tajam. Bukan dengan tatapan kaget, tapi waspada.
Rianto membalas tatapan gadis itu dengan tenang.
"Tidak perlu kalau kamu tidak mau," katanya sabar.
"Kamu ngomong apa sih?" gerutu Anggun jengkel. Diletakkannya serbetnya, setengah dibanting, ke atas meja.
"Aku curiga kamu menggunakan naza," sahut Rianto terus terang.
"Kalau yang kamu gunakan hanya cestasy, efeknya tidak terlalu membahayakan, karena isinya hanya amphetamin. Meskipun obat-obat itu juga akan membuat kamu ketagihan. Tapi kalau yang kamu pakai putaw, atau apa pun mereka menyebutnya untuk heroin, kamu sudah berada di tepi jeram kehancuran."
Sesaat Anggun tampak seperti hendak membantah. Matanya bersorot menantang. Tetapi ketika Rianto membalas tatapan itu dengan tatapan yang tenang menyejukkan, lambat-lambat Anggun menurunkan pelupuk matanya. Dia merunduk.
"Terima kasih," katanya perlahan.
"Buat apa?"
"Tidak mengatakannya di depan Mama."
"Aku yakin kamu masih dalam tahap permulaan sekali."
Anggun tidak menjawab walaupun dia sudah membuka mulutnya. Akhirnya setelah berpikir sebentar. dia hanya meraih gelasnya dan menghabiskan minumannya.
"Yudha yang mengajakmu mencicipinya?" tanya Rianto sabar, sama sekali tanpa nada menuduh.
"Kami bertengkar justru gara-gara itu," begitu saja pengakuan itu meluncur dari celah-celah bibir Anggun
setelah lama dia berdiam diri.
"Aku sudah bertekad untuk menjauhinya."
"Kalau begitu, terima kasih, Anggi."
"Karena telah menjauhinya?"
"Karena telah meneleponku."
Anggun mengawasi Rianto dengan tajam, seakanakan ingin menerka isi hatinya yang sebenarnya. Tetapi pria itu hanya membalas tatapannya dengan tatapan yang itu itu juga. Tatapan yang tenang di wajah yang dibalut senyum sabar.
Sama sekali tak terungkap apa sebenarnya yang dirasakannya. Tetapi entah mengapa, Anggun merasa Rianto mengetahui lebih banyak dari yang ditampilkannya.
Anggun memang bertengkar dengan Yudha. Tapi kalau pertengkaran memang sudah menjadi menu pacaran mereka, rasanya sudah tak ada lagi pertengkaran yang cukup besar untuk memisahkan mereka.
Memang benar sebagian pertengkaran mereka sekarang karena Yudha menjadi lebih sering memakai putaw dan Shabu-Shabu. Namun sekali lagi, bukan itu yang memisahkan mereka.
"Hampir semua temanku memakainya," bantah Yudha ketika Anggun membujuknya untuk mengurangi pemakaian zat-zat adiktif itu.
Tentu saja Anggun tahu bagaimana sudah merasuknya naza dalam kehidupan mereka. Mulai dari remaja sampai yiippie seperti Yudha sudah menganggap zatzat itu seperti rokok, yang kehadirannya diperlukan untuk menenangkan diri. Menekan stres. Menghilangkan kekusutan pikiran.
"Kalau sedikit nggak apa-apa kok." tambah Yudha mantap.
Persoalannya, sampai kapan dia bisa bertahan untuk tetap sedikit memakainya? Adiksi akan memaksa para jun/des untuk terus menyesuaikan dosis pemakaian obat.
Dan kalau di negeri ini penyesuaian hampir selalu berarti kenaikan, demikian pula dosis obat yang digunakan Yudha. Semakin lama semakin banyak dan semakin sering dia menggunakannya.
Celakanya, lama kelamaan bukan Yudha yang menghentikan kebiasaannya. Malah Anggun yang mulai mengikuti jejaknya.
Tentu saja mula mula hanya coba coba. Untuk menekan rasa bersalahnya pada Rianto. Tetapi lama-kelamaan, dia jadi ingin memakai zat zat itu setiap kali pikirannya kalut.
Memang mula mula Yudha berusaha keras untuk berhenti. Dia mencintai Anggun. Dan tidak ingin kekasihnya ikut ketagihan obat. Tetapi cuma sebentar. Dia tidak mampu mengatasi adiksinya. Tidak tahan didera penderitaan pada saat sakaw, istilah mereka untuk uii/idruwai symptoms, gejala putus obat.
Anggun baru berhenti ketika mendadak kesadaran itu menyentakkannya. Kesadaran yang sangat mengejutkan.
Tiba-tiba saja Anggun sadar, dia hamil. Dan dia tahu sekali apa akibat naza untuk janinnya. Kalau tidak keguguran, bayinya mungkin lahir mati. Atau lahir dengan berat badan sangat rendah.
Atau lebih celaka lagi, cacat mental. Siapa tahu. Pokoknya, Anggun jadi takut. Takut luar biasa. Dan dia segera menghentikan pemakaian zat zat adiktif itu.
Untung saja dia baru mulai. Dosisnya pun masih sedikit. Sehingga tidak terlalu sulit baginya untuk berhenti. Apalagi rasa takutnya mampu menindas keinginannya untuk mulai lagi.
"Kita akan menikah, Anggi!" cetus Yudha gembira ketika Anggun mengabarkan kehamilannya.
"Tidak sebelum kamu berhenti nge-drug!" sahut Anggun tegas.
"Kamu yang harus berhenti, Sayang," bisik Yudha lembut.
"Kamu ibunya!"
"Tapi aku nggak tahan kalau kamu racuni terus paru paruku dengan asap Shabu-Shabu!"
"Akan kukurangi...."
"Kamu tidak mampu kalau tidak ditolong, Yud!"
Sesaat Yudha tampak kebingungan.
"Kamu pikir aku tidak berusaha untuk berhenti?"
"Kenapa kamu tidak berpikir untuk mencari pengobatan?"
"Ke mana"! Kamu mau aku dirawat di RSKO? Supaya aku dipecat bosku? Wakil kepala cabang Bank Aman dirawat karena ketergantungan obat?"
"Kamu mau anak kita rusak? Kamu sudah hampir merusakku, Yud! Takkan kubiarkan kamu bunuh bayi,..l"
"Anggun," mana memm gamq ntu Ke dalam peluxannya.
"Yang kamu sebut bayimu ini anakku juga! Aku juga menyayanginya walaupun belum pernah melihatnva!"
***
YUDHA sudah mengajukan permohonan kuat untuk melanjutkan studinya di Amerika. Dia tidak peduli biar permohonannya ditolak sekalipun. Kali ini, dia sudah nekat. Hanya Anggun dan orangtua Yudha yang tahu alasan yang sebenarnya. Dan tentu saja mereka menutup mulut rapat-rapat.
"Aku hanya butuh enam bulan untuk rehabilitasi, Anggi," ujar Yudha ketika menyampaikan niatnya pada Anggun.
"Ayah sudah mengontak RSKO yang paling top di sana."
"Pas kamu pulang perutku sudah gendut," sahut Anggun antara sedih dan kesal.
"Kata dokter, kandunganku sudah berumur enam minggu, Yud! Ayahmu pasti tidak peduli!"
"Tapi aku peduli. Sayang!" Yudha membelai pipi Anggun dengan mesra.
"Kamu punya dua pilihan.
Kita menikah sebelum aku pergi. Atau kamu menyusulku ke sana."
"Dua-duanya pasti diveto ayahku!"
"Tidak kalau dia tahu alasanmu!"
"Kamu tidak kenal ayahku! Kamu pikir dia akan mengizinkan anaknya menikah dengan pecandu narkotik cuma karena hamil?"
"Apa lagi yang bisa dilakukannya?"
"Papa lebih baik menyuruhku aborsi daripada kawin "
"Dan kamu tidak bisa membantah? Kamu turuti saja semua kehendaknya?"
"Kamu kan tahu siapa ayahku, Yud! Dia bisa membuat hidup kita susah sekali!"
"Dia pasti tidak tega membuat putri tunggalnya menderita!"
"Tapi dia bisa sangat tega membuatmu sengsara!"
"Akan kuhadapi risiko itu, Anggi. Untuk memilikimu, aku rela menderita!"
"Aku yang tidak rela!"
"Cinta butuh pengorbanan, Anggi!"
"Tapi aku tidak rela kita jadi korban! Kalau kita menikah, itu karena kita ingin mencicipi kebahagiaan, bukan penderitaan!"
"Jadi apa yang harus kulakukan?" keluh Yudha putus asa.
"Pergilah berobat." Anggun menggigit bibir menahan perasaannya.
"Dan kembalilah secepat mungkin. Barangkali tekad ini malah dapat mencambukmu agar cepat sembuh. Siapa tahu... kita hanya perlu berpisah satu-dua bulan saja."
"Aku tidak mau pergi sebelum memperoleh kepastian tidak akan kehilangan kamu!"
"Siapa pikirmu yang masih menghendaki seorang gadis yang hamil akibat hubungan gelap?"
"Kalau begitu, kawinlah denganku, Anggi!"
***
"Kawin?" tukas Prambudi skeptis.
"Sekolah saja belum selesai! Mau jadi apa kamu?"
"Anggi kan bisa studi biarpun sudah menikah, Pa!"
"Ya, kalau belum punya anak!"
"Anggi bisa belajar sambil mengurus bayi!"
"Kalau perlu, minta tolong Mama!" sindir Prambudi sinis.
"Itu namanya tidak bertanggung jawab! Kalian masih muda, tidak usah memikirkan perkawinan dulu!"
"Yudha kan sudah dua sembilan, Pa. Dia sudah cukup mapan untuk beristri."
"Yudha?" Ada seringai yang tidak enak dilihat di bibir ayahnya. Seringai yang ditakuti lawan lawannya di pengadilan.
"Kamu pikir Papa nggak tahu dia jungkie?"
Anggun terperangah di kursi makannya. Ibunya yang sedang menyendokkan sayur ke piring ayahnya ikut tertegun.
"Kalau kamu pikir bisa menyembunyikan sesuatu dari Papa, kamu kelewat meremehkan ayahmu, Non!"
Bu Sofi terduduk lesu di kursinya. Jadi apa yang selama ini ditakutinya ternyata memang suatu ke
nyataan. Putrinya pacaran dengan seorang pecandu
narkotik! Sudah ketularan jugakah Anggun?
"Mama tidak minta kamu menjauhi Yudha, Anggi," gumamnya ketika suaminya pergi ke ruang tamu menemui kliennya.
"Mama cuma minta supaya kamu tidak ikut-ikutan..."
"Anggi tahu. Ma!" potong Anggun muram.
"Yang saya tidak tahu, bagaimana harus mengatakan pada Papa, kami harus menikah secepatnya!"
Bu Sofi memegang tangan anaknya dengan terperanjat. Matanya yang menyipit memancarkan ketegangan yang bercampur kecemasan.
"Anggi..." desisnya khawatir.
"Kamu...?"
Anggun menatap ibunya sekilas sebelum mengangguk pelan. Dia memutuskan untuk berterus terang pada ibunya. Terlalu berat untuk menanggung semua ini seorang diri. Dan Mama adalah orang yang paling tepat untuk melampiaskan kebingungannya.
"Ya Tuhan!" Bu Sofi terpuruk dalam kekecewaan seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan yang paling pahit. Putrinya hamil di luar nikah. Aib yang paling sering didengungkannya di kelas agar dijauhi murid-muridnya.
"Yudha mau melamar saya secepatnya, Ma."
"Tidak mungkin, Anggi. Kamu kan kenal ayahmu ."
"Yudha akan masuk RSKO untuk detoksifikasi, Ma. Dia hanya ingin secepatnya menikahi saya supaya anak kami punya ayah!"
"Bagaimana mengatakannya pada ayahmu, Anggi?"
"Yudha akan berangkat ke Amerika dan berobat di sana, Ma. Tidak ada yang tahu kecuali kita!"
"Percuma, Anggi. Kalau ayahmu saja sudah tahu, bagaimana kamu berani mengatakan tidak ada yang tahu?"
"Lalu Anggi harus bagaimana, Ma?" geram Anggun gemas.
"Mama mau saya melahirkan anak haram?"
Anak haram! Ya Tuhan! Dan anak itu... cucunya!
"Anggi," ibunya menghela napas panjang sebelum menyahut.
"jangan marah kalau Mama mengatakan sesuatu, ya?"
"Mama!" sergah Anggun antara gusar dan kecewa.
"Mama kan seorang guru! Masa Mama nyuruh saya... aborsi'?"
"Ya Tuhan!" ibunya menebah dadanya dengan kaget.
"Tentu saja tidak, Anggi!"
"Lantas apa lagi yang bisa bikin saya marah, Ma?"
"Anggi," Bu Sofi tertegun sejenak sebelum melanjutkan,
"kamu pikir... dokter itu mencintaimu !"
Anggun terpana sesaat. Ditatapnya ibunya dengan nanar
"Maksud Mama Dokter Rianto?" Dan api kemarahan segera melalap bola matanya.
"Tidak. Ma! Dia terlalu baik untuk dipermainkan!"
"Kalau begitu," suara ibunya melembut,
"jangan permainkan dia."
"Tapi saya tidak mencintainya, Ma! Anggi mencintai Yudha!"
"Prkirkanlah lagi, Anggi," kata ibunya sabar.
"Seorang yang sudah terjerat narkotik tidak akan semudah itu direhabilitasi. Begitu banyak godaan yang akan menjerumuskannya kembali ke sana. Bukan Mama tidak menyukai Yudha. Tapi sekarang kamu sudah tidak sendirian lagi, Anggi. Pikirkan juga anakmu."
Lama Anggun terenyak menatap ibunya. Sering dia merasa beruntung karena memiliki seorang ibu yang begitu sabar dan penuh pengertian. Tapi kali ini dia merasa menyesal. Menyesal justru karena untuk kesekian kalinya, dia tidak mampu membantah kebenaran kata-kata ibunya!
Anggun ingin membantah. Ingin protes. Ingin marah. Tapi dia ndak tahu harus marah kepada siapa.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibunya benar. Kalau dia cukup bijak, cukup waras, seharusnya dia memilih Rianto. Tapi adakah cinta yang waras? Yang bijak? Cinta tetap cinta, bagaimanapun "sakit"-nya dia!
Sebenarnya malam itu Prambudi, S.H. sedang sangat gembira. Dia baru saja memenangi perkara.
Gilang, putra Pak Ganda yang dituduh memerkosa teman gadisnya, telah dibebaskan dari tuntutan karena bukti yang diajukan jaksa dianggap tidak cukup kuat .
Malam itu juga Pak Ganda datang ke rumah Prambudi untuk mengucapkan terima kasih. Sekaligus menyatakan keinginannya untuk mengajukan tuntutan balik. pencemaran nama baik.
"Habisi dia, Bud," pinta Pak Ganda bersemangat sekali.
"Kau boleh minta apa saja padaku!"
Bu Sofi justru merasa sedih ketika mendengar cerita suaminya. Kasihan sekali gadis itu seandainya tuduhannya benar. Sudah diperkosa, malah dituntut pula.
"Dia belum cukup puas anaknya dibebaskan dari tuntutan?"
"Mama kan tahu, buat si Ganda, nama baik keluarganya di atas segala-galanya!"
"Kasihan sekali gadis itu."
"Ya sudah nasibnya," sahut Prambudi asal saja.
"Papa yakin dia tidak diperkosa?"
"Bukti-buktinya tidak cukup kuat."
"Tapi tidak berarti tuduhannya palsu. kan?"
"Sudahlah, pokoknya aku menang."
"Itu yang paling penting buat Papa, kan?"
Mendengar dinginnya nada suara istrinya. Prambudi menoleh.
"Lho, Mama kok malah kesal?"
"Ingat janji Papa pada saya dulu. sebelum kita menikah?"
"Janji yang mana?" Prambudi menguap jemu.
"Sudah terlalu banyak janji. Lupa."
"Papa tidak akan membela yang salah."
"Ya Gilang nggak salah kok. Buktinya hakim sependapat."
"Bukan karena kepintaran Papa?"
"Mama maunya bagaimana sih? Gilang itu putra Ganda, sahabatku! Dia minta tolong, Ma! Masa tidak kutolong'?"
"Tapi dibebaskan dari hukuman kalau benar dia bersalah kan tidak adil. Pa!"
"Hanya Tuhan yang tahu pasti dia salah atau tidak, Mal"
Bu Sofi tidak menjawab. Tetapi entah mengapa, di dalam hatinya dia yakin sekali Gilang bersalah. Dan
yang membuatnya tambah sedih, dia percaya suaminya juga sebenarnya punya keyakinan yang sama.
Dan niatnya untuk menyampaikan musibah yang
menimpa putri mereka pupus dengan sendirinya. Bu Sofi memutuskan untuk menyimpan rahasia itu untuk dirinya sendiri saja. Dia merasa percuma saja membicarakannya dengan suaminya. Karena laki-laki itu telah berubah.
Prambudi pasti memaksa Anggun untuk memutuskan hubungannya dengan Yudha. Dan menggugurkan kandungannya. Apa artinya sebuah nyawa baginya? Sungguhpun nyawa itu nyawa cucu mereka sendiri!
***
Sebenarnya Anggun sendiri masih bingung. Dia tahu tidak akan memperoleh restu ayahnya jika menikah dengan Yudha. Sementara ibunya tampaknya juga tidak berani menyampaikan alasan mereka yang sebenarnya. Mama malah mendesaknya untuk meninggalkan Yudha dan memilih Rianto....
Padahal menipu Rianto, dia tidak sampai hati. Dia tidak mencintai laki-laki itu. Bagaimana mungkin Anggun tega menikah dengan Rianto sementara dia sudah membawa anak Yudha di perutnya?
Tetapi sebuah peristiwa yang tak terelakkan mengubah segalanya. Dua hari kemudian, Yudha ditemukan hampir tewas karena overdosis heroin.
Marah karena Anggun melarangnya datang melamar, sementara ayahnya sudah mendesaknya terus untuk berangkat, Yudha stres berat. Dan dia melarikan diri pada heroin.
Setelah nyawanya berhasil diselamatkan, ayahnya memutuskan untuk segera membawanya ke Amerika.
Yudha akan dimasukkan ke sebuah rumah sakit ketergantungan obat untuk menjalani rehabilitasi.
Mula-mula tentu saja Yudha menolak mati-matian. Dia ingin menikahi Anggun dulu sebelum pergi.
Tetapi Anggun sudah melihat bagaimana menderitanya Yudha didera ketergantugannya pada heroin. Saat melihat kekasihnya terbujur tak sadarkan diri di ruang gawat darurat, Anggun sadar, kalau dia sungguh-sungguh mencintai Yudha, dia harus membiarkan laki-laki itu mencari pengobatan.
Tanpa rehabilitaSi yang sempurna, suatu hari nanti kejadian seperti ini akan terulang kembali. Saat itu, mungkin nyawa Yudha sudah tak dapat diselamatkan lagi.
Anggun sudah bertekad untuk menjauhi Yudha. Biarlah dia menjalani rehabilitasi sampai sembuh.
"Tapi aku tidak mau pergi sebelum kita menikah, Anggi!" berkeras Yudha.
"Aku tidak mau anak kita lahir tanpa ayah!"
"Aku memang akan menikah." Anggun berusaha mengeraskan wajahnya dan menegarkan suaranya. Dia harus berpura-pura tegar kalau ingin menyingkirkan Yudha.
"Tapi bukan denganmu. Yud. Ayahku tidak mau aku menikah dengan seorang pecandu."
Yudha tertegun bingung. Ditatapnya Anggun dengan berbagai perasaan. Mula mula dengan tatapan kaget. Bingung. Tidak percaya. Sebelum kemarahan menghanguskan wajahnya dan memijarkan api di matanya.
"Kamu mau menikah dengan siapa?" bentak Yudha gusar.
"Siapa yang dipilih ayahmu yang terhormat itu? Rekan pengacaranya yang kaya raya? Atau bisnismen
tua bangka yang sudah pikun supaya tidak tahu calon istrinya sudah hamil?"
Anggun merasa hatinya sangat sakit. Bukan karena cercaan Yudha. Tapi karena melihat betapa kecewanya Yudha. Betapa sakit hatinya!
"Bukan urusanmu." sahut Anggun sedingin mungkin.
"Pergilah saja berobat. Kamu hampir membunuh dirimu sendiri."
"Aku akan kembali," geram Yudha sengit.
"Akan kubunuh orang yang berani merampasmu dari tanganku!"
***
"Gadis itu kembali padamu?" tanya Bu Rully ketika Rianto baru saja pulang.
Rianto yang baru saja meletakkan payungnya menoleh.
"Anggun maksud Ibu?"
"Dia sudah bosan sama pacarnya dan kembali padamu?"
Rianto tersenyum. Sama sekali tidak tersinggung mendengar nada pedas dalam suara ibunya.
"Anggun masih muda. Bu. Umurnya baru dua puluh dua kalau tidak salah."
"Jadi dia maSih boleh keluyuran ke pelukan segala macam lelaki, begitu? Sampai kapan? Sampai dia bosan menjelajah? Sampai umurnya tiga puluh dua? Atau sampai dia jera karena "
"Ibu," gumam Rianto sabar.
"Ibu makan apa sih tadi? Kok mendadak marah marah begini? Jangan jangan tekanan darahnya naik lagi nih!"
"ibu serius. Le!" Bu Rully memang tampak serius. Amat serius.
"Jangan segampang itu menerima kembali seorang gadis! Biasanya, yang datangnya mudah perginya pun mudah!"
Senyum Rianto melebar. Tulus. Sejuk. Sabar.
"Ah, itu kan layangan putus. Bu! Anggun hanya sedang bertengkar dengan pacarnya," kata Rianto tenang sambil duduk di samping ibunya.
"Oh, begitu!" Bukannya lega. ibunya malah tambah jengkel.
"Jadi sekarang dia jadikan kamu ban serep!"
"Ibuu...!" Rianto merangkul ibunya sambil tertawa.
"Kenapa Ibu jadi judes banget Sih?"
"Ibu nggak suka lihat kamu dipermainkan!"
"Lho, siapa yang main-main. Bu? Anggun cuma datang buat minta advis medis pada saya. Kami cuma berteman kok!"
"Bohong! Ibu tahu sudah lama kamu naksir dia. kan?"
"Apa salah. Bu? Anggun memang pantas untuk dikagumi. Dia cantik. baik, terpelajar...."
"Tapi Ibu nggak suka kamu dijadikan ban serep!"
"Siapa yang ngomong soal ban, Bu?" Rianto tersenyum sabar.
"Anggun tidak menipu saya. Apalagi mempermainkan. Dari dulu dia sudah bilang. dia hanya menganggap saya sebagai teman. Dia sudah punya pacar kok."
"Jadi kamu bertepuk sebelah tangan. begitu?"
"Yah, sudah nasib saya, Bu. Waktu pertama kali bertemu juga saya sudah tahu dia sudah punya pacar."
"Kalau begitu, buat apa lagi kamu kejar-kejar dia ?"
"Siapa yang main kejar kejaran, Bu? Kami cuma berteman! Masa tidak boleh saya berteman?"
Bu Rully menghela napas panjang. Kejengkelannya mulai surut.
"Sudah saatnya kamu mencari istri, Le."
"Kenapa sih Ibu kepingin sekali saya menikah? Sudah bosan ngurus saya ya, Bu?"
"Ibu sudah tua, Le. Berapa lama lagi Ibu masih kuat mengurusmu?"
"Jantung Ibu masih kuat, badan Ibu sehat. kenapa sih Ibu ngomong begitu?"
"Kalau Ibu meninggal, Ibu mau sudah ada perempuan yang menggantikan Ibu mengurusmu. Le!"
"Ibuuu, Ibuuu! Kenapa Ibu nggak pernah berpikir mungkin saja saya yang lebih dulu meninggalkan ibu?"
"Hus! Ngomong apa kamu!"
"Kan mungkin saja, Bu! Umur manusia kan di tangan Tuhan! Tua atau muda, kalau sudah sampai waktunya, siapa yang tahu?"
"Ibu tidak mau kamu ngomong begitu! Pokoknya Ibu mau kamu cepat cari istri! Perempuan baik-baik yang menghormati dan menghargaimu!"
"Yang penting, mencintai saya kan, Bu?" Rianto tersenyum lebar.
"Yang lebih penting lagi saya mencintainya!"
Mula mula Rianto memang tidak mengharap lebih. Dia sudah pernah kecewa. Dan tidak mau dikecewakan untuk kedua kalinya.
Dia ingin hubungannya dengan Anggun hanya sebatas teman. Berada dekat dengannya saja sudah membuatnya bahagia.
Gadis itu memang bukan hanya cantik. Dia menarik. Memikat. Merangsang. Membangkitkan gairah. Aah.
Rasanya waktu begitu cepat berlalu kalau berada bersamanya. Rianto tidak bosan-bosannya memandang wajahnya. Menikmati senyumnya. Mengagumi tawanya. Melayani obrolannya.
Tiba-tiba saja Rianto merasa waktunya begitu sempit. Dia harus pandai membagi waktu. Untuk pasienpasiennya. Untuk ibunya. Dan untuk Anggun. Karena kini hampir tiap hari Anggun meneleponnya. Betul, tiap hari! Ibu sampai bingung melihat ulahnya. Mengapa gadis cantik itu tiba-tiba begitu agresif?
Tapi waktu yang sempit itu tidak membuat Rianto gerah. Dia malah menikmati sekali kesibukannya yang baru. Kalau Anggun belum menelepon. malah dia yang resah menunggu.
Tentu saja Rianto tidak tahu. setiap kali hendak menelepon, Anggun harus bertarung dengan hati kecilnya sendiri.
Dia tidak ingin menipu Rianto. Lelaki itu terlalu baik untuk dipermainkan. Anggun merasa tidak adil terhadapnya.
Dia begitu mencintai Yudha. Sehingga demi menyelamatkan masa depannya, bahkan mungkin juga nyawanya, dia rela kehilangan laki-laki itu. Tapi mengapa harus mengorbankan Rianto?
"Kamu tidak mengorbankannya, Anggi," bujuk ibunya sabar.
"Bukankah katamu dia mencintaimu?"
"Dia belum pernah mengatakannya, Ma," desah Anggun serbasalah.
"Dia tidak berani!"
"Tapi kamu bisa menebaknya, kan?"
"Kalaupun dia mencintai saya, tidak adil membohonginya. Ma!"
"Kamu tidak membohonginya."
"Apa yang harus saya katakan tentang anak ini, Ma?"
"Jangan katakan apa-apa. Bukankah dia tidak menanyakannya?"
Anggun termenung sejenak. Wajahnya membiaskan keraguan.
"Mama yakin dia tidak tahu saya hamil? Dia kan dokter, Ma. Dan dia sudah memeriksa saya...."
"Dia kan cuma memeriksa sekilas, Anggi. Mengukur tekanan darahmu. Meraba nadi. Mendengarkan bunyi napas dan denyut jantungmu. Dia malah tidak memeriksa perutmu Lagi pula. kandunganmu kan masih terlalu kecil."
"Tapi saya punya perasaan saya menipunya, Ma!"
"Kamu bisa menyilihnya dengan menjadi istri yang baik, Anggi. Istri yang patah. Setia. Dan ibu yang mencintai anak anaknya. Jika kamu bisa membahagiakannya, dia tidak akan pernah menyesal mengambilmu
sebagai istri."
Anggun benar-benar bingung. Mereka bertemu hampir setiap malam. Tapi setiap kali bertemu, apa yang ditunggunya tak pernah terjadi.
Jangankan melamarnya. menyatakan cintanya saja Rianto tidak pernah! Padahal kandungan Anggun semakin hari semakin besar.
"Mas Rian sudah punya pacar?" Sekali lagi Anggun mengirim umpan menebar pancing.
Tapi si pandir itu! Dia cuma menatap Anggun sesaat. Lalu merunduk sambil tersenyum.
"Siapa pikirmu yang naksir truk molen kayak aku?"
"Ah, kamu bukan truk molen kok. Nggak mirip!"
"Lebih mirip bus Patas? Atau metromini?" Rianto mengangkat wajahnya dan tertawa lepas. Sama sekali tidak merasa tersinggung. Apalagi kesal.
"Kalau kamu selalu merasa minder begitu, bagaimana kamu bisa punya pacar?"
"Makanya sampai sekarang aku masih begini-begini saja. Bujang lapuk!"
"Maksudku. Mas Rian tidak usah merasa rendah diri. Kamu kan dokter. Masa sih nggak ada perawat yang naksir?"
Lagi-lagi Rianto tertawa lebar.
"Mungkin mereka naksir dokter. Tapi bukan naksir si gendut Rianto! Biar saja mereka pacaran sama baju dokterku!"
Diam diam Anggun menarik napas panjang. Dari mana lagi dia harus mulai?
"Ibumu tidak pernah bertanya apa kamu bukan guy?"
"Gay?" Senyum Rianto melebar.
"Perempuan saja tidak ada yang mau, apalagi lelaki!"
"Kalau begitu. kenapa kamu belum kawin juga?"
"Tiga kali sehari Ibu menyuruhku mencari istri. Gadis yang baik, menghormati dan menyayangiku...."
"Nah, kenapa tidak kamu cari gadis itu?"
"Di mana pikirmu aku dapat menemukan gadis seperti itu?"
Anggun tidak menjawab. Dia hanya memandang Rianto dalam-dalam. Sekejap Rianto memang balas menatap. Tapi kalau Anggun mengira Rianto sudah menangkap Sinyal yang dipancarkannya, dia keliru!
"Kamu tidak punya teman gadis?"
"Kan ada kamu."
"Maksudku, selain aku."
"Yah, kalau cuma sekadar numpang lewat...."
"Tidak ada yang serius?"
"Cuma kamu yang pernah kuajak makan lebih dari sekali."
"Astaga! Payah betul sih kamu!"
"Mereka yang tidak mau kuajak lagi. Barangkali takut melihat cara makanku."
"Cuma aku yang beda?"
"Ya. Cuma kamu."
"Kenapa?"
Nah, serangan langsung itu! Anggun menunggu dengan dada berdebar debar.
Tapi... aduh! Ikan gemuk itu tidak juga menangkap pancingnya. Dia malah tersenyum lugu.
"Tidak tahu. Kamu kan yang harus menjawabnya. Kenapa kamu mau kuajak pergi?"
"Kencan maksudmu ?"
"Kencan?"
"Kamu sebut apa pertemuan kita ini?" desak Anggun gemas.
"Tapi kita kan cuma teman...."
"Kamu cuma menganggapku teman?"
Rianto mulai tampak gelisah.
"Tentu. Kamu kan sudah punya pacar...."
"Yudha sudah dua minggu pergi ke Amerika."
"'Tidak berarti hubungan kalian putus, kan?"
"Aku sudah bertekad untuk menjauhinya."
"Ya, kamu pernah mengatakannya."
Sesudah itu, Rianto tidak berkata apa-apa lagi. Dia malah tampak terburu-buru menyantap makanannya. Membuat Anggun syok dan putus asa. Bukan cuma karena melihat cara makan Rianto. Tapi karena tidak tahu lagi dari mana harus mulai.
Tentu saja Anggun tidak tahu betapa panas-dinginnya perasaan Rianto saat itu. Dan seperti biasa, kalau sedang resah, pelariannya memang ke makanan. Dengan makan, kegelisahannya bisa dikurangi.
Rianto bingung mengapa Anggun tampaknya seperti menyerempet-nyerempet materi yang menurutnya, tidak boleh mereka singgung. Bukankah Anggun sudah punya pacar? Dia sendiri yang minta supaya mereka berteman saja, kan? Belakangan malah dia minta agar mereka tidak usah bertemu lagi, supaya Yudha tidak mengganggu hidup Rianto. Nah. mengapa kini dia bukan hanya kembali, tapi malah menyerempet-nyerempet topik yang dulu dianggapnya membahayakan Rianto?
Betul, Yudha sudah dua minggu menghilang. Tapi itu tidak berarti mereka sudah putus, kan?
Nah. kalau mereka belum putus, tidak elok menyambar pacar orang, biarpun gadis itu sedang sendirian. Apalagi mereka berteman. Tentu saja itu pendapat Rianto.
Dan diamnya justru ditafsirkan salah oleh Anggun yang sedang frustrasi.
"Pulang saja yuk," dengus Anggun datar, bosan melihat Rianto makan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Rianto baru berhenti menyuap begitu mendengar tawarnya suara gadis itu. Diletakkannya sendoknya. Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya Anggun dengan heran.
"Kok nggak makan?"
"Kenyang."
Senyum merekah tipis di bibir Rianto. Senyum yang tulus. Senyumnya yang paten.
"Kenyang melihatku makan?"
Tapi Anggun sedang kesal. Sedang tidak ingin bergurau. Tanpa berkata sepatah pun. dia bangkit dari kursinya.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lho, mau ke mana?" sergah Rianto bingung.
"Pulang," sahut Anggun singkat.
Tanpa menoleh lagi dia menyambar tasnya dan melangkah ke luar restoran. Tergopoh-gopoh Rianto bangkit menyusul. Ketika dia ingat belum membayar makanannya, dia kembali lagi ke mejanya. Dan meletakkan tiga lembar lima puluh ribuan. Lalu bergegas dia mengejar Anggun.
"Kamu sakit, Anggun?" tanya Rianto sesampainya di dekat gadis itu, yang sudah menunggu di samping mobilnya.
Suaranya seeemas wajahnya. Membuat kejengkelan Anggun langsung mereda.
Si pandir ini memang lugu. Polos. Mengapa harus marah? Bukan salahnya kalau dia tidak mengerti maksud Anggun. Atau... dia bukan tidak mengerti. Dia hanya tidak berani menanggapi!
Rianto sedang membuka pintu mobilnya dan menyilakan Anggun masuk ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Payungku!" cetusnya kaget.
"Ketinggalan!"
Refleks Rianto berbalik untuk melangkah kembali ke restoran untuk mengambil payungnya. Dan ambang kesabaran Anggun terlewati sudah. Kemarahannya langsung meledak.
"Masuk!" geramnya sambil menarik tangan pria itu.
Tentu saja tubuh yang berat itu bergeming. Dan Anggun jadi tambah sengit.
"Persetan dengan payungmu! Kamu hampir kehilangan gadismu dan kamu masih memikirkan payung? Dasar telmi!"
Rianto tertegun bengong. Bukan karena kemarahan Anggun. Tapi karena kata-katanya. Dan dia masih melongo bingung ketika Anggun sudah merampas kunci mobilnya.
Tanpa menunggu lagi. Anggun masuk ke balik kemudi dan menghidupkan mesinnya. Refleks Rianto menghambur masuk ke mobil sebelum mobil itu meluncur pergi.
Rianto merasa sangat gelisah, bukan karena payungnya ketinggalan, tapi karena cara Anggun mengemudikan mobilnya.
Ban mobil itu sampai berderit-derit setiap kali Anggun membuat tikungan tajam yang berbahaya sebelum mobilnya meluncur memasuki jalan tol. Mesinnya menderu ganas tatkala spidometer melampaui angka seratus dua puluh.
Tetapi Rianto tidak berkata apa-apa. Tidak mengeluh. Tidak berkomentar. Dia hanya memejamkan matanya. Dan membiarkan peluh membasahi sekujur parasnya. Dibiarkannya Anggun mengumbar kemarahannya. Sampai kemarahan itu reda sendiri.
Anggun mulai melambatkan laju kendaraannya. Sebelum akhirnya berhenti sama sekali di bahu jalan.
Pada pukul sepuluh malam, jalan tol sudah sepi. Hanya beberapa kendaraan saja yang melewatinya. Tapi Anggun tidak peduli. Dimatikannya mesin mobilnya. Meski lampunya dibiarkan tetap menyala.
"Maafkan aku," gumamnya pahit. tanpa menoleh.
"Bukan salahmu. Akhir akhir ini aku memang sangat emosional."
Rianto membuka matanya. Menyusut peluhnya. Dan menoleh.
"Bukan salahmu juga," katanya sabar.
"Kamu sedang stres karena ditinggal pacar...."
Tapi kata-kata yang diucapkan dengan lemah lembut itu malah meledakkan emosi Anggun lagi.
"Masa kamu nggak ngerti juga sih?" Anggun menoleh berang sambil membentak.
Rianto tersentak kaget. Tidak menyangka Anggun semarah itu. Padahal dia tidak merasa mengucapkan kata-kata yang salah.
Melihat sikap pria itu, Anggun jadi serbasalah. Dia merasa iba. Kasihan. Sekaligus kesal. Gondok.
Akhirnya dia memukul kemudi mobilnya dengan jengkel. Lalu menelungkup sambil menangis.
Sejenak Rianto tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tertegun bingung menatap Anggun.
Alangkah sulitnya menerka hati wanita, pikirnya gundah. Belum juga mengerti mengapa dia marah tadi, sekarang mendadak dia menangis!
"Apa yang bisa kubantu, Anggi?" gumam Rianto perlahan. Suaranya begitu lembut. Tulus.
Anggun tidak menjawab. Ya. apa yang harus dijawabnya? Dari mana dia harus mulai? Si pandir itu belum mengerti juga persoalannya. Dia terlalu bodoh!
"Yudha meninggalkanmu?" sambung Rianto lunak. Tidak ada perasaan lega dalam suaranya. Apalagi gembira. Dia malah cenderung ikut bersimpati, kalau bukan malah sedih.
"Sabarlah, Anggi. Suatu hari dia pasti kembali...."
Anggun menghentikan tangisnya. Mengangkat kepalanya. Dan menoleh. Menatap Rianto dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak mengerti jugakah kamu?" desisnya pahit.
"Aku yang meninggalkannya!"
"Kamu... meninggalkannya..." Rianto menggagap gugup.
"Kamu tahu kenapa?" desak Anggun penasaran.
Rianto mengawasi gadis itu sesaat sebelum membuka mulutnya lagi. Tatapannya sebingung suaranya.
"Karena kamu tidak mau ikut ketagihan zat adiktif. kan? Itu katamu."
"Bukan cuma itu! Ada yang lebih penting kenapa aku meninggalkannya!"
"Kenapa?"
"Karena kamu!"
Sekarang Rianto bukan hanya bingung. Dia kaget. Resah. Cenderung panik.
"A... aku...?" Bibirnya gemetar mencetuskan kata
"Karena aku memilihmu!" Sesudah mengucapkan kata kata itu, Anggun merasa sangat lega.
Tetapi kelegaannya cuma sebentar. Karena Rianto langsung syok.
***
Begitu melihat anaknya pulang malam itu. Bu Rully tahu sesuatu yang hebat baru saja terjadi. Anaknya melangkah melewati pintu seperti orang linglung. Dan dia tidak membawa payung.
"Ke mana payungmu?" sambar Bu Rully begitu Rianto menjatuhkan dirinya di sofa. Hati-hati dia duduk di sampingnya.
"Dia memilih saya, Bu!" cetus Rianto dengan suara seperti dalam keadaan trance.
"Tentu saja dia memilihmu." Bu Rully meletakkan tangannya di dahi anaknya. Hm, tidak panas.
"Ada apa? Kamu mabuk?"
Bu Rully mendekatkan hidungnya ke mulut anaknya, mencoba mengendusendus bau alkohol yang mungkin terpancar dari sana. Tidak. Tidak ada bau apa-apa.
"Dia memilih saya!"
"Siapa yang memilihmu?"
"Anggun, Bu! Dia baru saja bilang, dia memilih saya!"
Tiba-tiba saja semuanya menjadi jelas. Tiba-tiba saja Bu Rully mengerti mengapa anaknya bisa ketinggalan payungnya.
Bu Rully menyandarkan punggungnya di kursi. Dan menghela napas panjang. Dia tidak tahu harus gembira atau justru sebaliknya mendengar kabar itu.
Bukankah sudah lama dia mengharapkan anaknya dapat jodoh? Dan bukankah Rianto sudah memperoleh wanita yang diidam-idamkannya? Nah, mengapa kini justru perasaannya tidak enak? lnikah kecemburuan seorang ibu? Atau... cuma firasat?
Tetapi Rianto sedang dalam keadaan sangat gembira, sampai dia tidak dapat menangkap perubahan sikap ibunya. Rasanya saat ini seluruh dunia sedang tertawa bersamanya. Mana ada tempat lagi untuk keraguan, apalagi kemurungan?
Rianto bahkan tidak bisa menyantap makanan ekstra yang biasa disediakan ibunya kalau dia pulang. Untuk pertama kalinya. perutnya terasa penuh. Sampai jugakah busa-busa kebahagiaan itu ke lambungnya?
Rianto bukan hanya tidak bisa makan. Dia juga tidak bisa tidur. Rasanya adrenalinnya sedang melonjak sampai konsentrasi maksimal.
Seluruh tubuhnya terasa segar sekali. Darahnya menggelegak. Mengalir cepat seperti air bah. Neuronneumn sarafnya hiperaktif.
Bayangan kejadian di mobil tadi seperti film biru yang merangsang gairahnya. Anggun memeluknya dengan lembut. Dan mengecup pipinya dengan hangat. Hanya itu memang. Hanya sampai di situ. Tapi bagi Rianto, tidak ada satu adegan pun dalam film yang pernah dilihatnya, yang dapat membangkitkan gairahnya seperti itu. Rasanya dadanya hampir meledak. Byar!
Rasanya Rianto hampir tak sabar lagi menunggu matahari terbit esok pagi. Dia ingin secepatnya menjumpai Anggun lagi. Membicarakan rencana mereka. Kapan dia boleh melamar. Kapan mereka menikah. Di mana mereka tinggal nanti.
Nah, yang terakhir ini tentu saja harus dibicarakannya dengan Ibu lebih dulu. Apakah Ibu mau tinggal sendiri. Atau ikut mereka.
Ternyata Bu Rully memilih yang pertama.
"Jarang ada mertua yang bisa hidup rukun dengan menantu," katanya dengan suara datar.
"Daripada Ibu mesti bertengkar terus, lebih baik Ibu tinggal sendiri saja. Supaya hubungan Ibu dengan istrimu tetap baik."
Tentu saja Rianto merasa lega. Tapi sekaligis sedih.
"Dengan siapa Ibu tinggal," gumamnya murung.
"Ibu kan sudah tua."
"Kan ada Mbok Nem. Nggak usah khawatir."
"Tapi mau kan Ibu sekali sekali tinggal di rumah saya?"
Sekali-sekali, pikir Bu Rully sedih. Padahal kalau bisa, aku ingin tinggal selamanya di dekatmu, Le!
Tiga puluh enam tahun dia telah membesarkan anak itu.
Merawatnya. Melumurinya dengan kasih sayang. Sekarang mereka harus berpisah! Tak seorang pun dapat merasakan kegelisahannya. Tidak juga Rianto!
Tapi jika kasih ibu adalah kuah yang paling tulus, Bu Rully rela menderita agar anaknya bahagia. Dia sudah melihat bagaimana bahagianya Rianto ketika cintanya bersambut.
Bu Rully merasa kalau kali ini Rianto gagal, barangkali dia tidak akan menikah seumur hidupnya. Atau mungkin dia harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi, baru lewat gadis yang kedua! Saat itu, barangkali Bu Rully sudah tidak sempat lagi melihat anaknya menikah. Siapa tahu.
Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Wiro Sableng 156 Topan Di Gurun Tengger
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama