Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 2
Terus terang Anggun terkejut ketika Rianto menyampaikan keinginan ibunya. Sebelumnya dia sudah membayangkan betapa sengsara hidupnya.
Betapa tidak. Menikah dengan pria yang tidak dicintai. Tinggal bersama ibunya pula!
Padahal suaminya anak tunggal! Anak satu-satunya yang begitu disayang dan dimanjakan! Nah, bisa dibayangkan bagaimana kisruhnya rumah tangga mereka nanti!
"Kamu rela tidak tinggal bersama ibumu?" tanya Anggun bimbang.
"Terserah kamu saja," sahut Rianto lugu.
"Lho, kok terserah?"
"Kalau kamu mau tinggal serumah dengan Ibu, tentu saja aku lebih senang. Tapi kalau tidak. Ibu juga nggak apa-apa."
"Aku lebih senang kalau kita punya rumah sendiri," sahut Anggun jujur.
"Tapi kalau berpisah dengan ibumu mengurangi kebahagiaanmu, aku rela berbagi tempat."
"Ternyata aku memang tidak salah pilih," cetus Rianto terharu.
"Kamu gadis yang luar biasa, Anggi!"
Kalau saja kamu tahu gadis macam apa aku, keluh Anggun dalam hati. Dan kalau saja kamu tahu, aku bukan gadis lagi!
***
"Anggun ingin Ibu tinggal bersama kami. Bu." itulah kata-kata Rianto yang pertama begitu dia pulang malam itu dan melihat ibunya. Untuk kedua kalinya, dia lupa lagi di mana payungnya.
Jadi gadis itu yang ingin aku tinggal bersamamu, keluh Bu Rully getir dalam hati. Bukan kamu, Le!
"Anggun juga ingin saya melamarnya secepatnya, Bu. Kami rencanakan untuk menikah tanggal delapan bulan depan. Pas hari ulang tahun ibunya, katanya. Tiga minggu lagi."
"Secepat itu?" Kali ini Bu Rully tak mampu membendung kata-katanya. Sekaligus keheranannya.
"Kami kan sudah lama berkenalan, Bu." sahut Rianto polos.
"Setahun lebih! Nanti saya keburu tua!"
"Tidak ada alasan lain?" desak Bu Rully curiga.
Rianto tersenyum cerah.
"Saya juga takut pacarnya keburu balik, Bu. Dan Anggun berubah pikiran lagi! Mendingan cepat-cepat dinikahi kan, Bu"? Biar aman!"
"Perkawinan kan bukan arena coba-coba, Le! Kalau pikiran gadis itu belum mantap, buat apa buru-buru menikah?"
"Kami sudah mantap, Bu! Kalau saya jadi raguragu lagi, bisa-bisa saya urung nikah. Bu! Kan Ibu yang nyuruh saya buru buru kawin? Iya kan, Bu?"
Bu Rully terdiam sesaat. Keningnya berkerut. Serius.
"Orangtuanya tidak keberatan menerima lamaranmu? Mereka kan orang kaya. Ayahnya orang terkenal. Kita kan bukan apa-apa."
"ibunya baik sekali, Bu. Mantan guru SMA. Sikapnya selalu ramah kalau saya ke rumahnya."
"Tidak berarti dia pasti menerima lamaranmu. Teman anaknya kan lain dari menantu."
"Tapi saya tidak memalukan kalau diambil mantu kan, Bu?" gurau Rianto sambil tertawa.
"Kecuali saya
bisa menghabiskan jatah makanan untuk empat orang!"
"Ayahnya tidak menolakmu? Dan pacar gadis itu, ke mana dia? Bukan katamu dulu dia sudah punya pacar?"
"Sudah putus. Anggun yang menjauhinya karena dia pecandu narkotik."
"Ibu harap saja dia tidak menjadikanmu tempat pelarian."
"Ibu!" Rianto tertawa geli.
"Tidak percuma Ibu pernah jadi redaksi majalah tahun enam puluhan! Barangkali Ibu terlalu sering menyeleksi cerpen!"
***
Kekeringan menyelimuti suasana yang magis ar Mirford Sound ketika feri mereka mengapung diam di tengah danau sedalam seribu seratus lima puluh kaki.
Langit yang menudungi kepala mereka tampak begitu cerah. Birunya membias cantik ke permukaan air yang tenang dan bening bagai kaca.
Untaian air terjun yang merambat menuruni tebing terjal menampilkan buih-buih putih yang menawan ketika butir airnya menyentuh pemiukaan danau.
Rianto merangkul istrinya dari belakang, tegak di geladak feri yang terbuka, menikmati sajian panorama alam Selandia Baru yang memikat.
Sementara Anggun membeku dalam pelukan hangat suaminya, membayangkan seorang laki-laki lain yang mendekapnya dalam nuansa romantis yang serupa tapi tak sama.
Ibarat lagu, dia disuguhi sealsa yang anggun dan
manis membelai sukma. sementara hatinya mendambakan tango yang panas dan erotis membakar jiwa.
Rianto memang berusaha membahagiakan istrinya dalam wisata bulan madu mereka. Dia membawa Anggun ke tempat tempat yang indah di Pulau Selatan Selandia Baru.
Gunung yang berselimutkan salju, danau yang bening bagai cermin, pepohonan yang hijau merimbun, mengingatkan Anggun pada panorama Swiss yang permai. Tetapi semakin indah pemandangan yang mereka lihat, semakin pedih juga hati Anggun, semakin kesepian dia dilibat rindu.
Anggun tahu betapa inginnya Rianto membahagiakannya. Karena itu, dia berusaha keras menjawab sapaan kasih suaminya. Dia berusaha melayani Rianto sehangat mungkin.
Tapi karena dia hanya berpura-pura, dia sering merasa lelah. Dan hatinya semakin kosong. Semakin sepi. Semakin nyeri.
Tentu saja Rianto juga merasakannya. Dia juga tahu siapa yang dibayangkan istrinya, jika matanya sedang menatap kosong ke depan. menerawang jauh melintasi batas yang terlihat oleh mata.
Tetapi Rianto tidak marah. Dia tetap sesabar biasa. Dan tetap memanjakan istrinya. Memperlakukannya dengan penuh cinta kasih. Membuat Anggun merasa semakin tersiksa sampai pernah terpikir olehnya untuk menyudahi saja semua sandiwara ini.
"Anggi nggak tahan lagi, Ma!" tangisnya ketika sedang menelepon ibunya dari kamar hotelnya di kaki Mount Cook yang berselimut salju.
Saat itu Rianto sedang keluar berjalan-jalan, sementara Anggun memilih tinggal di kamar dengan alasan lelah dan kedinginan.
"Sabar, Anggi," bisik ibunya lemah lembut, memahami sekali perasaan putrinya.
"Ingat bayimu."
"Mas Rian baik sekali, Ma. Anggi nggak tahan lagi!"
"Justru karena dia sangat baik, Anggi, kamu tidak mau kan menyakiti hatinya? Dia tidak minta terlalu banyak. Anggi. Berikanlah apa yang diinginkannya, apa yang telah menjadi haknya. Dan percayalah, Anggi, kamu akan merasakan kebahagiaan yang belum pernah kamu rasakan. Kebahagiaan ketika kamu dapat membahagiakan suamimu."
Untuk membahagiakan suaminya. Anggun tidak menolak ketika malam itu Rianto mengajaknya makan di sebuah restoran yang suasananya sangat romantis. Restoran yang bergaya comm'y, dengan penataan tradisional dan sajian penunjukan Maori yang khas.
Dan di tengah-tengah pertunjukan. ketika jilatan api yang berkobar tengah dimasukkan ke mulut salah seorang penari, Rianto menyodorkan sepiring kecil puding cokelat.
Meskipun Anggun sudah kenyang bistik daging domba yang menjadi menu utama sudah hampir membuatnya muntah dia tidak ingin mengecewakan suaminya. Jadi biarpun puding merupakan salah satu dessert yang paling dibencinya, dia tidak berani menolak.
Diambilnya garpu untuk dessert. Dicoleknya sepotong kecil puding. Tepat di ujungnya. Tetapi sebelum Anggun sempat membawa potongan kecil puding itu
ke mulutnya, Rianto menangkap tangan istrinya dengan lembut.
Lalu sambil menatap istrinya dengan tatapan yang membuat dada Anggun mau tak mau berdebar debar, Rianto membimbing tangan istrinya memotong puding itu tepat di tengah-tengah. Dan kilawan sebentuk cincin emas bermata jamrud menyilaukan mata Anggun.
Sesaat Anggun terpana. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan tak mampu menggerakkan jarinya untuk meraih cincin itu. Otaknya terasa kosong. Tak mampu memberi perintah. Sementara hatinya meleleh diremas keharuan.
Rianto-lah yang mengambil cincin itu. Dan memasukkannya dengan lembut ke jari tengah istrinya. Karena di jari manis Anggun, telah bertengger cincin yang lain. Cincin kawin mereka.
Rianto menatap cincin itu sesaat. Sebelum mengangkat tangan istrinya. Membawanya ke bibirnya. Dan menciumnya dengan hangat tapi sopan.
"Terima kaSih, Mas," desah Anggun tersendat.
Sekejap dia tampak ragu. Lalu sambil menyembunyikan air mata keharuan yang menggenangi matanya, dikecupnya pipi suaminya dengan lembut.
Malam itu bukan malam pertama mereka. Tetapi ketika malam itu Anggun menyerahkan dirinya, dia sadar, sekali lagi Mama yang benar
Ketika dia memberikan kebahagiaan kepada suaminya, dia merasakan setitik kebahagiaan. Hanya setitik. Tapi cukup untuk menyinari hatinya yang gelap membeku. Cukup untuk menyalurkan kehangatan pada bibirnya. Pada dadanya. Lengan-lengannya. Dan cukup
untuk membiaskan kehangatan Ke hatinya.
tubuh suaminya.
Rianto merasa sangat bahagia ketika dia berhasil memperistri Anggun. Tetapi ketika istrinya mengabarkan kehamilannya. Rianto merasa kebahagiaan hidupnya telah sempurna.
Dipeluknya istrinya dengan mesra. Digendong-gendongnya dengan gembira. Diciuminya dengan penuh kasih sayang sampai Anggun merasa hatinya lebih sakit lagi didera perasaan berdosa.
"Tuhan begitu baik padaku, Anggi," desah Rianto terharu.
"Kamu merupakan berkah yang tak ternilai harganya. Sekarang, diberikan-Nya anugerah yang kedua."
Rianto menyiapkan kedatangan anaknya dengan penuh semangat. Dia melarang istrinya bekerja berat. Mencegahnya terlalu lelah. Bahkan dia tidak berani menggauli istrinya Jika Anggun tidak menghendakinya.
Dan kalau selama kehamilannya memang Anggun praktis tidak mau dicumbu sampai selesai, Rianto juga mematuhi keinginannya. Mereka hanya memadu kasih sampai sebatas yang diinginkan Anggun. Rianto tidak pernah mengeluh, apalagi memprotes, meskipun setelah itu dia harus menyelesaikannya sendiri.
Kehendak bayi, itu alasan Anggun. ibu hamil memang kadang-kadang aneh-aneh tingkahnya, kan? Lagi pula Anggun tidak mau kehilangan bayinya. Walaupun
Rianto sudah berulang kali meyakinkan istrinya, seks yang berhati-hati aman untuk janin.
Tapi bagaimanapun, Rianto tak pernah membantah kehendak istrinya. Apa pun yang diinginkan Anggun diturutinya. Memang pernah terlintas kebingungan di hatinya ketika mengetahui usia kehamilan istrinya telah mencapai lima bulan, padahal mereka baru dua bulan menikah. Tetapi Rianto tidak pernah bertanya apa-apa. Bahkan tidak pernah memperlihatkan kecurigaannya. Justru ibunyalah yang sering bertanya.
"Mengapa perut istrimu cepat sekali besarnya, Le'?"
"Hamil air, Bu," sahut Rianto seadanya.
"Tidak bahaya?"
"Tidak, asal dikontrol."
Cuma kebetulan Anggun mendengar percakapan mereka. Dan dia langsung membatalkan niatnya untuk masuk. Dia memutar tubuhnya dan masuk ke kamar. Perasaannya tidak enak sekali. Dia kesal. Marah. Malu. Entah apa lagi.
Rianto masuk setengah jam kemudian. Membawa segelas jus. Saat itu Anggun belum tidur. Dia sedang berbaring di tempat tidur sambil melamun.
"Minum Jusnya, Sayang." kata Rianto lembut. Dia duduk di tepi pembaringan, menyodorkan segelas jus berwarna merah kekuningan yang sangat dibenci Anggun.
"Antioksidan yang paling bagus. Penuh dengan vitamin A, C, dan E."
Suaranya yang begitu lembut dan tulus membuat kemarahan Anggun buyar dengan sendirinya. Mengapa harus marah? Dan kalau dia marah, dia harus marah kepada siapa? .:
"Tapi aku nggak doyan." keluh Anggun sambil beringsut bangun.
"Sudah rasanya tidak enak, susah ditelan lagi, jadi mual rasanya. Nggak ada kapsulnya saja?"
"Ini lebih bagus dari kapsul." Rianto tersenyum sabar.
"Alamiah. Ayo, minum. Masa mesti dicekok?"
Terpaksa Anggun mengambil gelas itu dan meminumnya, hanya supaya suaminya senang. Hhh, susahnya punya suami dokter!
"Habiskan." Rianto mengembalikan gelas yang disodorkan Anggun ketika dilihatnya jusnya masih bersisa.
Sekali lagi Anggun mengambil gelas itu dan menghabiskan isinya. Lalu dia bertahak ingin muntah. Tentu saja dilebih-lebihkan. Supaya Rianto tahu bagaimana tidak enaknya jus buatannya. Kalau dia buka counter jus. pasti dua hari tutup karena tidak ada yang beli.
Rianto tertawa geli melihat ulah istrinya. Dia begitu menyayangi Anggun. Sehingga apa pun yang dilakukan Anggun terasa sedap dipandang.
"Anak pintar," katanya sambil mengambil kembali gelasnya.
"Jagoan kita pasti cepat besar. Ibunya pintar mengatur dietnya sih."
Tidak ada maksud apa-apa. Sungguh. Rianto tidak punya maksud apa-apa. Tapi mendengar kata-katanya, wajah Anggun langsung berubah. Anaknya memang cepat besar. Terlalu cepat malah!
Ditariknya tangan Rianto yang sudah bergerak hendak bangkit.
Rianto menoleh. Dan melihat perubahan paras istrinya, dia langsung duduk kembali. Diletakkannya lengan kirinya di atas paha Anggun. Sementara tangannya yang lain masih memegang gelas.
"Ada yang sakit?" tanyanya agak cemas.
Anggun mengawasi suaminya agak lama sebelum membuka mulutnya.
"Kenapa kamu tidak pernah bertanya mengapa kandunganku lebih tua dari umur perkawinan kita?"
Sesaat Rianto tertegun. Tapi air mukanya sama sekali tidak berubah.
"Perlukah kutanya'?" suaranya tetap sesabar dan setenang biasa.
Ditepuknya paha istrinya dengan lembut. Lalu dia bangkit meninggalkan kamar itu.
Anggun terpaku. Sebongkah perasaan bersalah mengimpit hatinya. Ternyata suaminya sudah lama tahu. Tapi dia tidak pernah mengatakannya! Dan Sikapnya malah membuat Anggun tambah tersiksa!
***
Ibu mertuanyalah yang tambah penasaran ketika Anggun sudah melahirkan pada bulan yang keenam. Bayi laki-laki itu sehat, cukup bulan, dan berat badannya pun normal. Sama sekali tidak mengesankan bayi yang lahir prematur apalagi imatur.
Rianto yang mendampingi Anggun melahirkan, malah tidak memperlihatkan kekecewaan sama sekali. Apalagi kekesalan. Dia menggendong bayi Anggun dengan penuh kehangatan. Sorot matanya sebahagia air mukanya ketika dia memperlihatkan bayi itu pada ibunya.
"Kamu yakin anak itu anakmu. Le?" desak Bu
Rully sepulangnya menengok bayi yang baru lahir itu.
"Tentu saja, Bu." sahut Rianto tegas.
"Anak siapa lagi?"
"Ibu kok curiga."
"Jangan merusak kebahagiaan rumah tangga saya dengan kecurigaan yang tidak perlu, Bu. Suami-istri harus saling memercayai."
"Dan kamu percaya saja istrimu melahirkan bayi cukup bulan padahal kalian baru enam bulan menikah?"
"Kenapa Ibu tidak percaya?"
"Kenapa tidak pernah kamu tanya istrimu?"
"Apa yang harus saya tanya. Bu?"
"tanya, anak siapa yang dikandungnya!"
"Tentu saja anak saya! Sayalah ayahnya!"
"Kenapa kamu bodoh sekali, Le?" gerutu ibunya kesal.
"Bodohkah menikahi gadis sebaik dan secantik Anggun, Bu?"
"Dia sudah hamil sebelum kamu nikahi, kan?"
"Ya. tapi sayalah yang menghamilinya."
Bu Rully menatap anaknya dengan terperanjat. Rianto membalas tatapan ibunya dengan tenang. Dan di mata anaknya, Bu Rully menemukan dusta. Tapi dusta yang dibalut cinta yang demikian tulus sampai dia tidak tega mengoyakkannya.
***
Setiap kali melihat bayinya, Anggun bersyukur dia tidak harus mengenyahkan anaknya ketika masih dalam kandungan. Dan setiap kali melihat Rianto tengah menumpahkan kasih sayangnya pada anaknya, Anggun bersyukur dia mempunyai suami yang begitu baik.
Rianto menamai anak itu Yosua, seperti nama pasien kesayangannya yang meninggal karena AIDS.
"Aku merasa Tuhan telah mengembalikan Yos padaku melalui anak ini, Anggi," katanya ketika mengusulkan nama itu.
Anggun tidak keberatan siapa pun nama anaknya. Yang penting, suaminya mencintainya. Baginya, itu sudah lebih dari cukup.
Yos menjadi kesayangan seluruh keluarga. Bu Sofi sangat memanjakannya. Bahkan Prambudi, S.H. yang biasanya tidak emosional, bisa bercanda santai dengan cucunya kalau kebetulan Anggun membawanya ke rumah orangtuanya.
"Heran, bapaknya jelek kok anaknya begini cakep!" Tentu saja Prambudi hanya bergurau, tidak bermaksud menyindir.
"Kan ibunya cantik," Rianto menimpali kelakar mertuanya tanpa merasa tersinggung sama sekali.
"Neneknya saja masih ayu!"
"Hus!" Bu Sofi mengebutkan tangannya ke arah menantunya.
"Bisa saja kamu!"
"'Lho. benar kan, Pa'?" Rianto tertawa sambil menoleh ke arah ayah mertuanya yang sedang asyik menggoda cucunya.
Diam diam Bu Sofi menoleh ke arah putrinya. Dan melihat paras Anggun, dia merasa, Rianto sudah tahu.
"Sudah kamu katakan padanya?" biSik Bu Sofi kepada anaknya ketika mereka sedang menyiapkan makanan di dapur.
Anggun menggeleng. Dia tahu sekali ke mana arah pertanyaan ibunya.
"Tapi dia sudah tahu," katanya datar.
"Meskipun dia tidak pernah menanyakannya."
"Kamu tidak salah pilih," ibunya menghela napas lega.
"Makin lama. Mama makin menyukainya. Dan makin yakin, kamu istri yang beruntung."
Rianto memang suami yang baik, pikir Anggun masygul. Ayah yang sempurna. Sayangnya, aku belum dapat juga mencintainya! Dan sayangnya lagi, aku belum dapat mengambil hati ibunya!
Bu Rully memang tidak pernah terang-terangan memusuhi menantunya. Demi cintanya pada Rianto, dipendamnya saja perasaan tidak sukanya.
Jauh dalam hatinya. Bu Rully sudah merasa. Yos bukan cucunya. Tapi tak pernah terlompat sepatah kata pun dari mulutnya mengenai hal itu. Dia lebih banyak diam daripada mencerca.
Kalaupun ada yang tak dapat disembunyikannya, barangkali hanya dia tidak pernah merasa dekat dengan cucunya. .Jarang sekali dia mau menggendong Yos. Apalagi bermain-main atau memanjakannya.
Jika Rianto sedang bergurau dengan anaknya, menggendong gendongnya dengan penuh kasih sayang, Bu Rully hanya memperhatikan dari jauh. Dengan diam. Dan dengan kepedihan yang menyayat hati.
Tak pantas istrimu menipumu seperti ini, Le, pikirnya sedih. Kamu lelaki yang sangat baik!
Tentu saja Rianto tahu mengapa ibunya tidak menyukai Yos. Tapi apa pun anggapan ibunya terhadap anak itu. kaSih sayangnya pada Yos tak pernah ber
kurang. Dia percaya, suatu hari nanti, sikap ibunya pasti berubah.
Siapa yang tidak tertarik pada Yos? Tambah hari, dia semakin lucu saja! Dan semakin mirip dengan Yos, pasiennya yang tak mampu disembuhkannya itu!
Coba saja dengarkan cara Yos belajar membaca, ketika dia berumur tiga tahun.
"B-u... bu. K-u... ku. Buku."
"Wah, pintar!" cetus Rianto sambil memeluk anak yang sedang dipangkunya itu dengan gembira. seakanakan Yos baru saja memenangkan Hadiah Nobel.
"Coba lagi. ya? Ini apa nih," Rianto menunjuk gambar sapu.
Yos memandang gambar itu sejenak. Lalu mulai mengeja.
"S a sa. P-u... pu. Sapu."
"Pintar! Pintar! Luar biasa anak Papa!" Rianto menciumi anaknya dengan bangga.
"Kalau ini apa?" Yos menunjuk gambar di sebelah gambar sapu.
Sekali lagi Yos mengawasi gambar itu sebelum mengeja.
"K-a... ka. P-a l... perahu...!"
Rianto tertawa terpingkal-pingkal. Begitu gelinya dia tertawa sampai keluar air mata. Anggun yang sedang duduk menonton televisi sampai memerlukan datang melihat.
"Ada apa sih?" tanyanya penasaran.
"Apa yang lucu?"
Rianto menunjuk gambar kapal laut di buku Yos sambil tetap tertawa terpingkal-pingkal. Yos yang merasa ditertawakan ayahnya menjadi berang. Dia me
ronta lepas dari pelukan Rianto. Dan lari menghambur ke pelukan ibunya.
"Papa nakal, Ma!" erangnya uring-uringan, hampir menangis.
Anggun menggendong anaknya sambil menyimpan senyumnya.
"Kenapa, Sayang? Kenapa Yos diketawain Papa?"
"K-a... ka," Rianto menirukan ejaan anaknya sambil tertawa geli.
"P-a-I... perahu! Pinter banget kamu, Yos!"
"Itu memang gambar perahu kok!" Anggun mendekap anaknya ke dadanya sambil menahan tana.
"Seperti perahu Yos yang di bak mandi. ya!"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu Rully yang memperhatikan keceriaan mereka dari jauh, menyimpan tawanya di balik lembaran majalahnya. Sebenarnya dia juga merasa geli. Tetapi dia tidak mau memperlihatkan tawanya di depan Anggun. Perempuan itu harus tahu. mertuanya tahu anak siapa yang digendongnya! Dia tidak bisa ditipu. Dan dia tidak bisa menerima penipuan apa pun alasannya.
Beda dengan Rianto. Dia tahu Yos bukan anaknya. Tapi tidak pernah terlontar sepatah kata pun dari mulutnya tentang hal itu. Dia bahkan memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri.
Rianto menerima segalanya tanpa protes. Tanpa keluh kesah. Dia menerima Anggun seperti apa adanya. Dia menerima Yos, anak siapa pun dia.
Karena dia selalu menerima semuanya dengan tulus ikhlas. dia merasa bahagia. Merasa kecukupan. Merasa hidupnya sempurna.
Justru Anggun-lah yang belum dapat menerimanya. Dia maSih merasa hidupnya kurang bahagia. Kurang lengkap.
Dia sering merasa kesepian. Sering merasa hidupnya kosong. Lebih-lebih kalau Rianto sedang sibuk dengan tugasnya. Kalau Yos sudah tidur. Dan kalau Anggun sedang menganggur, tidak tahu harus mengerjakan apa.
Nonton TV bosan. Baca majalah jenuh. Baca buku terus lama-lama juga melelahkan mata.
Dia sudah coba mengambil kursus. Macam-macam. Masak. Membuat kue. Bahkan menjahit.
Dia pergi ke panti kebugaran. Main tenis. Pergi creambat.Perawatan muka. Ke panti pijat. Lulur. Dan seribu satu macam kegiatan lagi.
Tetapi kesibukan yang seperti apa pun tak mampu mengusir perasaan kosong di hatinya. Kadang-kadang Anggun merasa kesal. Marah kepada dirinya sendiri. Apa sebenarnya yang diinginkannya? Mengapa dia begini tidak tahu diri?
Apa yang kurang dalam hidupnya"? Apa lagi yang belum diperolehnya?
Dia punya suami yang baik, anak yang sehat dan lucu... tapi tidak ada cinta! Cintanya telah terbang bersama orang lain... orang yang selalu didambakannya, yang diam diam maSih tetap dicintainya!
Dan Cinta yang hilang itulah yang telah meracuni hidupnya! Yang membuat hidupnya tetap terasa hampa walau dia telah memiliki segalanya.
Karena bagaimanapun suaminya mencintainya, Anggun selalu merasa ada orang lain yang dirindukannya. Yang belaian tangannya selalu dikhayalkannya setiap kali suaminya mencumbunya.
Anggun tidak pernah dapat melupakan Yudha. Semakin lama mereka berpisah, semakin tak tertahankan rindu yang dipendamnya. Semakin resah pula terasa hatinya. Semakin kosong hidupnya. Semakin jauh kebahagiaannya.
Anggun merasa dia membutuhkan pelepasan. Membutuhkan kesibukan lain yang dapat mengurangi kerinduannya kepada Yudha. Bahkan kalau mungkin, melupakannya.
Karena itu ketika Yos berumur empat tahun, Anggun minta izin untuk melanjutkan kuliahnya. Dengan alasan ingin menyelesaikan kuliahnya pulalah Anggun selalu minta suaminya menggunakan kondom. Anggun belum ingin punya anak lagi. Dia ingin menyelesaikan studinya yang terbengkalai.
Rianto segera menyetujuinya. Dia bukan hanya menyetujui. Dia bahkan mendukung dengan bersemangat.
Dukungannya malah membuat Anggun jadi ragu. Benarkah tuntutannya? Tidakkah dia minta terlalu banyak?
"Kamu memang harus punya bekal yang cukup untuk masa depanmu," kata Rianto tulus.
"Seorang dokter tidak punya apa-apa untuk diwariskan pada istri dan anaknya."
"Kok Mas Rian ngomong begitu sih!" protes Anggun.
"Tapi benar, kan"? Aku tidak punya perusahaan atau pabrik yang bisa kuwariskan padamu dan Yos kalau
aku meninggal. Kamu harus berjuang sendiri untuk menghidupi anak kita."
"Aku cuma ingin mengisi waktu, Mas."
"Sekalian meraih gelar, kan? Aku setuju sekali, Anggi. Yos sudah cukup besar. Aku bisa menggaji seorang pembantu lagi. Ada Ibu yang bantu mengawasi."
Anggun menatap suaminya dengan terharu. Duh, baiknya lelaki yang disediakan Tuhan untuknya ini! Susah sekali mencari celah yang dapat dipakainya untuk membenci, bahkan untuk sekadar merasa kesal!
"Terima kasih, Mas," katanya sambil mengecup pipi suaminya dengan lembut.
"Untuk apa?" Rianto tertawa tanpa menyembunyikan kebahagiaannya memperoleh kecupan hangat istrinya.
"Karena mengizinkanmu kuliah lagi?"
"Karena selama empat tahun lebih menjadi suamiku, Mas tidak pernah melakukan satu hal pun yang dapat membuatku sedih."
"Tentu saja." Rianto meraih istrinya ke dalam pelukannya.
"Karena membuatmu sedih berani menikam hatiku sendiri!"
Ya Tuhan! pekik Anggun dalam hati ketika Rianto sedang melimpahinya dengan kasih sayang. Mengapa masih ada tempat sepi di sudut hatiku? Mengapa selalu ada tempat kosong di pojok sana yang tak pernah
dapat dicapai oleh limpahan kasih sayang suamiku?
"Aku ingin punya anak lagi, Anggi," bisik Rianto lembut.
"Tapi aku akan menunggu sampai kuliahmu selesai. Apakah permintaanku terlalu banyak?"
Anggun membelai pipi suaminya sambil tersenyum tipis.
"Aku malah belum pernah dengar Mas minta sesuatu."
"Karena Tuhan sudah memberikan semuanya kepadaku. Masih bolehkah aku minta yang lain?"
Kata-kata Rianto begitu sederhana. Tapi diucapkan dengan amat tulus. Memancing keharuan di sudut hati Anggun. Rasanya dia tidak sampai hati menolak, apa pun permintaannya!
Suaminya memang jauh dari prima. Penampilannya tidak menarik. Sifatnya terlalu lembut. Cumbuannya kurang merangsang.
Tapi di balik itu, dia memiliki kepribadian yang sangat istimewa. Kebaikan budinya seumpama segara yang tak bertepi. Dan cintanya yang putih seperti salju. tulus laksana agape. Bukan sekadar cros.
***
Buru buru Anggun menyambar Kopinya di atas meja makan. Terburu-buru pula meneguknya. Setengah teguk kopi melompat ke tenggorokannya, membuatnya terbatuk-batuk.
Celaka. Hari ini Yos luar biasa rewel. Begitu bangun pagi, tidak mau dipegang oleh pengasuhnya. Tetap berkeras minta digendong ibunya. Padahal pukul tujuh pagi ini Anggun ada ujian. Dia harus bergegas ke kampus.
Dosennya yang satu ini sangat menjunjung disiplin. Kejam. Dan otoriter. Terlambat masuk ke ruang ujian semenit saja, berarti tidak boleh ikut ujian.
Anggun sudah bertekad untuk memasabodohkan saja rengekan Yos. Dan menyerahkannya kepada pengasuhnya. Tetapi lirikan mata ibu mertuanya membatalkan niatnya.
Bu Rully sedang sarapan bersama Rianto di meja
makan. Tetapi bukan berarti telinga dan matanya tidak dipasangnya baik baik.
Memang dia tidak mengomel. Tidak mengkritik. Tapi melihat lirikannya, Anggun merasa tidak enak hati. Terpaksa dia menggendong Yos. Dan membujukbujuknya supaya diam.
"Badannya nggak panas?" tanya Rianto sambil mengawasi anaknya yang sedang digendong Anggun.
"Nggak apa-apa kok," Anggun menghela napas kesal.
"Dia cuma kolokan."
"Anak laki-laki umur empat tahun memang sedang berada dalam fase ocdipal," Rianto tersenyum sabar.
"Merasa sangat lekat pada ibunya. Sampai merasa ayahnya sebagai saingan dalam merebut kasih sayang ibunya."
Persetan dengan segala macam teori Freud, gerutu Anggun sambil menyerahkan Yos pada pengasuhnya. Kalau hari ini aku terlambat, artinya harus mengulang ujian tahun depan! Karena buat Pak Des yang bengis, tak ada kesempatan untuk ujian susulan, kecuali ada alasan yang sangat mendesak.
"Bawa ke atas, ajak main," perintahnya kepada pengasuh Yos. Bawalah ke mana saja asal jangan di sini. Dan jangan menangis! "Suruh minum susunya."
Lalu dia menyambar kopinya. Meneguknya dengan terburu-buru. Dan terbatuk-batuk karena tersedak.
"Kopinya lompat ke saluran napas." kata Rianto sambil bangkit dan menepuk punggung istrinya.
"Batukkan saja terus."
Ibu mertuanya tidak memberi komentar apa-apa. Dia melanjutkan sarapannya dengan air muka yang tetap datar. Tanpa emosi.
"Duduklah dulu," pinta Rianto ketika batuk Anggun mereda.
"Jam berapa sih ujiannya?"
"Jam tujuh. Mas. Dan nggak boleh terlambat. Aku pergi dulu, ya."
"Mau kuantar? Biar lebih cepat. Tidak usah cari parkir."
"Mas kan lagi diare."
"Ah, nggak apa-apa. Sudah biasa. Beberapa bulan ini memang bab.-ku nggak teratur."
"Bukan dari maag, Mas? Belakangan ini Mas agak kurus."
Rianto tertawa lunak.
"Badan kayak balon gini kok dibilang kurus! Ngaco kamu!"
"Kamu memang kurusan." sela Bu Rully datar. Tegas.
"Mungkin makanmu tidak teratur."
Wajah Anggun langsung berubah. Meskipun tidak terang-terangan menyalahkannya, dia tetap merasa dipersalahkan. Dua bulan ini dia sudah mulai kuliah lagi. Kesibukan membuat perhatiannya terhadap anak dan suaminya agak berkurang.
"Pulanglah nanti siang," sambung Bu Rully datar.
"Ibu bikin sop sayur kesukaanmu. Sudah lama Ibu nggak masak buat kamu."
Sejak kamu punya istri", bibir Anggun bergerak walau tidak ada suara yang keluar.
"Tidak usah, Bu," sahut Rianto bijak, seperti memahami kejengkelan istrinya.
"Nanti saya jadi gemuk lagi. Saya memang lagi diet kok!"
"Diet apa!" sergah Bu Rully tandas.
"Beberapa bulan ini makanmu tidak teratur. Makanya kamu sering buang-buang air. Sering sakit."
"Ah, bukan sakit kok, Bu. Cuma masuk angin!"
"Mas, aku pergi dulu, ya," potong Anggun sambil berjingkat mengecup pipi suaminya.
"Takut telat!"
Rianto balas mencium dahi istrinya dengan lembut.
"Biar bisa ujiannya. Sayang."
Ketika Anggun menoleh ke atas karena mendengar jerit tangis Yos, Rianto menepuk bahunya dengan halus.
"Tinggal saja. Biar aku yang urus Yos. Nggak usah dipikirin."
"Pergi dulu. Mas." Anggun lalu menoleh sekilas pada ibu mertuanya.
"Bu."
Bu Rully tidak menjawab. Bahkan tidak membalas pandangannya. Dia hanya melanjutkan sampahnya. Rianto-lah yang mengantar Anggun sampai ke mobilnya.
Ketika Rianto kembali ke meja makan, ibunya sudah selesai sarapan dan sedang membenahi piring dan cangkirnya.
"Belakangan ini kamu memang kurang sehat, Le," kata ibunya tanpa menoleh.
"Kamu kan dokter. Kenapa tidak mau periksa?"
"Saya sudah ambil darah, Bu," sahut Rianto sabar sambil duduk kembali di kursinya.
"Saya juga kepingin sehat, kan. Kami sudah memutuskan ingin punya anak lagi. Tahun depan Anggun selesai kuliah. Dan Yos sudah cukup besar untuk punya adik."
"Hhh," keluh Bu Rully kurang senang.
"Ngurus satu anak saja istrimu sudah kewalahan!"
"Itu karena dia harus membagi waktunya untuk kuliah, Bu."
"Terserah kamulah," gumam Bu Rully tawar.
"Kamu kan yang lebih tahu. Tapi Ibu mau kamu periksa, kenapa akhir-akhir ini kamu sering sakit."
"Jangan khawatir, Bu," Rianto tersenyum tipis.
"Saya sehat kok. Biar gemuk. kolesterol saya masih dalam batas normal."
***
"Sebelum menikah, Bapak sudah tahu belum istri Bapak sudah mengandung?"
Anggun tidak jadi melangkah masuk. Tiba-tiba saja kata-kata ayahnya kepada kliennya menerpa telinganya.
Prambudi, S.H. sedang duduk di ruang tamu bersama kliennya, seorang pria tua yang masih tampak gagah walaupun rambutnya telah memutih.
"Tentu saja saya tidak tahu, Pak!" sahut pria itu bersemangat sekali.
"Kalau saya tahu..."
"Bapak hadir waktu akta kelahiran anak itu dibuat? Ikut tanda tangan?"
"Saya tidak mau, Pak. Saya curiga anak itu bukan anak saya."
"Dan anak itu hidup, kan?"
"Sehat, Pak! Karena itu istri saya menuntut anak itu diberi tunjangan kalau kami bercerai!"
"Oke." Prambudi, S.H. menyandarkan punggungnya ke kursi dengan santai.
"Bapak tidak usah khawatir. KUH Perdata Pasal 25 mengatakan, suami berhak menyangkal keabsahan anak yang dilahirkan sebelum hari keseratus delapan puluh sejak perkawinan."
"Saya tidak mau memberikan tunjangan pada anak orang lain!"
"Tentu saja, Pak. Tidak ada lelaki yang mau!"
Anggun mendengar ayahnya tertawa lebar. Dan dia merasa hatinya sakit. Tahukah Papa .
Dia melangkah gontai ke dapur. Dari melihat ibunya baru keluar dari sana.
"Pulang kuliah?" tegur Bu Sofi. Mulutnya masih berkecap-kecap habis mencicipi sayur.
"Sudah makan?"
"Sudah, di kantin," sahut Anggun lesu.
"Nggak langsung pulang dulu?"
"Mas Rian masih di rumah sakit."
"Tapi Yos di rumah, kan?"
"Ada neneknya."
"Tapi dia tetap merindukan ibunya, kan? Ayo, jangan lama lama di sini. Pulang! Anakmu kan sudah kamu tinggal sejak pagi."
"Mama nggak kangen sama saya?" dengus Anggun kesal.
Bu Sofi tertawa sambil membimbing tangan anaknya ke kamar makan.
"Tentu saja Mama kangen! Karena itu Mama tahu kamu juga kangen sama Yos!"
"Saya malas pulang kalau nggak ada Mas Rian."
Bu Sofi mencomot rempeyek dan memasukkannya ke mulut anaknya.
"Keasinan nggak?"
Anggun menggigit rempeyek itu dan mengunyahnya.
"Enak."
"Mau bawa pulang?"
"Nggak boleh makan di sini?"
"Boleh saja. Tapi sudah ketemu papamu, langsung pulang, ya?"
Anggun tidak menjawab. Dia menarik kursi makan
dan duduk setelah mencomot sebuah rempeyek lagi.
Bu Sofi mengawasiiiya sesaat.
"Tidak sedang ribut dengan mertuamu, kan?"
Anggun menggeleng.
"Dia lebih banyak diam, walau saya tahu dia tidak menyukai saya dan Yos."
"Kamu harus berusaha menarik hatinya, Anggi."
"Bagaimana? Anggi malah nggak tahu apa yang menarik hatinya! Kerjanya di rumah cuma masak dan baca!"
"Kalau begitu. bawakan dia buku masak. Belikan majalah."
"Ah, percuma, Ma. Biar sajalah. Pokoknya dia nggak pernah ngomel. Nggak pernah ngriuk."
"Itu artinya, dia berusaha untuk bersikap baik padamu, Anggi. Kamu mesti ingat, suamimu anak tunggal. Dia telat menikah. Biasanya, ibu pria semacam itu luar biasa bawel. Apalagi kalau punya menantu yang kuliah lagi seperti kamu. Tapi dia malah menahan diri...."
"Itu karena dia nggak mau bikin Mas Rian sedih. Karena itu saya malas di rumah kalau nggak ada Mas Rian, Ma. Takut ribut."
"Makanya sekarang kamu pulang. Jangan sampai mertuamu menganggap kamu ibu yang tidak tahu diri! Anak masih kecil ditinggal seharian!"
"Papa masih lama, Ma? Kenapa sih sekarang Papa
sering bawa klien ke rumah? Apa di kantor saja tidak cukup?"
"Dari dulu juga begitu." Wajah Bu Sofi berubah suram.
"Cuma sekarang lebih sering."
"Ma," Anggun memegang tangan ibunya dengan tegang.
"Papa nggak nelantarin Mama, kan?"
Bu Sofi mengusap tangan anaknya sambil memaksakan sepotong senyum.
"Tentu saja tidak. Kamu kan tahu. papamu memang begitu. Yang penting pekerjaan."
"Ma," Anggun menatap ibunya dengan sedih.
"Apa Mama sering kesepian?"
Bu Sofi membalas tatapan putrinya tanpa memudarkan senyumnya. Dibelainya pipi Anggun dengan penuh kasih sayang.
"Sesudah kamu lahir, Mama nggak pernah kesepian lagi."
Tapi mengapa aku masih kesepian biarpun ada Yos? Mengapa rasanya selalu masih ada yang kurang? Apa sebenarnya yang kurang dalam hidupku? Aku punya seorang suami yang baik. Anak yang lucu dan sehat. Ibu mertua yang tak pernah menyusahkan Bahkan sebentar lagi. aku mungkin punya karier sendiri....
Dan ayahnya masuk ke ruang makan. Wajahnya cerah. Tapi tak urung mulutnya menggerutu.
"Tua bangka tidak tahu diri," katanya sambil menarik kursi makan.
"Mengawini gadis yang empat puluh tahun lebih muda dengan alasan ingin punya anak. Begitu anaknya lahir, tidak diakui."
"Dan Papa yang membantu tua bangka yang tidak tahu diri itu!" sambar Anggun muak.
"Apa salahnya? Dia berani bayar mahal. Dan peluangnya untuk menang besar. Itu memang pekerjaan Papa."
"Tapi di mana idealisme Papa?"
Prambudi, SH. yang sedang menggigit rempeyek tertawa keras.
"ih, anak kemarin sore bicara idealisme! Baru juga dua bulan kuliah lagi setelah hampir lima tahun nganggur!"
"Nggak ada hubungannya dengan studi," bantah Anggun panas.
"Papa membela semua orang yang bisa membayar Papa, tidak peduli benar atau salah!"
"Bagus, otakmu jalan sejak punya suami!" ejek ayahnya separo bergurau. Tapi tidak ada yang menyambut kelakarnya. istrinya malah buru-buru pergi ke dapur mengambil sayur.
"Sekarang jawab pertanyaan Papa, siapa yang salah menurut pendapatmu, suami yang tidak mau membayar tunjangan anak yang bukan anaknya. Atau istri yang minta tunjangan untuk anak yang diperolehnya dari hasil penyelewengan?"
"Mungkin saja kan mereka melakukannya sebelum menikah ?"
"Bisa dibuktikan dengan tes golongan darah dari DNA. Tapi Papa rasa perempuan itu tidak mau."
"Kenapa tidak?" desak Anggun penasaran.
"Karena akan mencemarkan nama baiknya sendiri. Dia kan pasti kalah."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kok Papa yakin sekali Sih?"
Prambudi, S.H. menyeringai angkuh.
"Kapan papamu pernah kalah !"
***
Anggun memundurkan mobilnya dari halaman rumah ayahnya. Agak terburu-buru. sampai dia tidak sempat lagi menginjak rem ketika motor itu tiba-tiba menikung masuk.
Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Suara benturannya cukup keras sampai Anggun memekik kaget. Tanpa berpikir lagi dia membuka pintu dan melompat ke luar.
Motor besar itu terguling dekat pintu masuk. Pengemudinya sedang berusaha membebaskan sebelah kakinya yang terimpit. Tapi ketika Anggun mendekat, dia mengangkat wajahnya.... Dan mulut Anggun yang sudah separo terbuka mengejang kembali....
"Halo, Anggi," sapa pria itu dengan suara dan gaya yang sudah sangat dikenalnya.
"Apa kabar?"
***
YUDHA PRATAMA sudah banyak berubah. tubuhnya memang tetap kurus. Meskipun kelihatan lebih putih. Wajahnya tampak lebih tua, lebih tirus. Rambutnya yang dibiarkan agak panjang, disepuh cokelat. Sama cokelatnya dengan kumis dan janggut yang kini dibiarkan mengotori wajahnya.
Tetapi selain itu. dia masih tetap Yudha Pratama yang Anggun kenal. Dia masih seganteng yang dibayangkannya. Dan tetap senekat dulu.
"Baru pulang kemarin, Bu," sahut Yudha ketika Bu Sofi menanyakan kepulangannya.
"Ayah melarang saya pulang sampai betul-betul sembuh. Empat kali saya masuk pusat rehabilitasi. Saya juga melanjutkan studi di sana. Mengambil S2."
"Syukurlah kalau Nak Yudha sudah benar-benar sembuh," dengan perasaan tidak enak Bu Sofi menarik napas berat. Entah mengapa, dia seperti melihat badai
di kaki langit.
"ibu tahu bagaimana sulitnya menyembuhkan ketagihan obat."
Diam diam dia melirik putrinya. Wajah Anggun memang tidak menampakkan perasaan apa-apa. Datar. Kosong. Tanpa emosi.
Tetapi Bu Sofi tahu. bagaimana bergejolaknya perasaannya. Sekali lihat saja, dia tahu, mereka masih saling mencintai. Dan perasaan itu sungguh berbahaya amat berbahaya!
"Pulang dulu, Ma." cetus Anggun ketika dia menangkap arti lirikan ibunya. Lalu kepada Yudha, katanya datar,
"Ngobrol deh sama Mama. Aku mesti buni-buru pulang."
"Boleh mengundangmu makan malam, Anggi?" tanya Yudha tanpa menghiraukan tatapan kurang senang Bu Sofi.
"Nanti malam Mas Rian praktek," sahut Anggun singkat.
"Tidak boleh mengundangmu seorang diri?"
"Tidak pantas, Nak Yudha," sela Bu Sofi datar.
"Anggun sekarang sudah bersuami."
"Cuma ngobrol-ngobrol antara teman lama. Bu," Yudha tersenyum tawar.
"Masa nggak boleh?"
"Lain kali saja," potong Anggun sambil menyambar tasnya.
"Yuk, pergi dulu!"
***
Begitu Yudha pulang. Bu Sofi langsung menelepon menantunya. Rianto sampai kaget setengah mati.
"Ada apa, Ma?" tanyanya khawatir.
"Siapa yang sakit?"
"Tidak ada. Tapi Mama mesti bicara sama kamu. Pulang dari rumah sakit nanti mampir, ya? Mama bikin sayur asem. Kamu pasti suka."
"Soal apa. Ma?" sergah Rianto bingung.
"Anggi tidak apa-apa, kan?"
"Tidak, tidak apa-apa. Tapi ada persoalan penting yang harus kamu ketahui."
Bu Sofi bertekad untuk membangun pertahanan sebelum kuman itu menerobos masuk. Suami Anggun terlalu baik. Dan karena baiknya, kadang-kadang menjadi bodoh. Terlambat mengantisipasi serangan. Karena itu begitu Rianto datang-dia tidak menunggu sampai tugasnya di rumah sakit selesai Bu Son langsung mengemukakan persoalannya.
"Yudha sudah kembali," katanya seperti memberitakan serangan Jepang atas Pearl Harbour.
"Dia sudah sembuh."
Rianto memang terkejut. Sesaat dia terdiam. Tetapi sesaat kemudian, dia sudah kembali menguasai dirinya.
"Saya percaya pada Anggun. Ma." katanya sederhana sekali, dengan ketenangan yang mengagumkan. Sekaligus yang membuat Bu Sofi gemas.
"Mama hanya ingin secepatnya memberitahu kamu," katanya resah.
"Jangan beri kesempatan pada Anggun untuk kembali pada nostalgia ccngengnya. Dia masih muda! Kamu harus lebih intensif merangkulnya!"
Tapi apa yang harus kulakukan, pikir Rianto murung ketika dia sedang mengemudikan mobilnya kembali ke rumah sakit. Hampir lima tahun aku telah
berjuang untuk merebut cintanya. Sampai hari ini pun aku tahu, aku masih belum berhaSil!
Di mukanya, Anggun memang tidak menampakkan perasaannya. Dia tetap tampil sebagai istri yang patuh. Setia. Sikapnya selalu tenang. Wajar. Seolah-olah tak kurang suatu apa.
Tetapi naluri Rianto membisikkan, istrinya masih menyimpan seorang laki-laki lain dalam benaknya. Dan itu tetap menjadi rahasia yang terbesar dalam perkawinan mereka. Sekaligus batu sandungan yang setiap saat dapat membuat Anggun jatuh tersungkur.
Dan kini, laki-laki itu bukan hanya tersimpan dalam benaknya. Hari ini, dia telah muncul kembali di depan Anggun. Siap untuk menerkamnya kembali.
Ibu mertuanya yang arif telah mencium bahaya itu. Bukan untuk menakut-nakuti kalau dia telah mengirimkan tanda bahaya kepada Rianto. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Jika selama hampir lima tahun saja dia tidak mampu merebut cinta istrinya. apa yang dapat dilakukannya dalam sehari?
***
"To, kau dicari Dokter Hasril," cetus Sulistio begitu Rianto sampai di rumah sakit.
"Kayaknya penting. Suaranya serius banget."
Rianto langsung meraih telepon. Dan menghubungi Dokter Hasril, kepala laboratorium klinik di rumah sakit itu.
"Ada apa, Dok? Apakah mengenai hasil lab saya?"
"Dokter Rianto," suara Dokter Hasril terdengar lebih serius dari yang diperkirakannya.
"Anda bisa ke
mari sekarang?"
"Ada apa?" tanya Sulistio heran. ketika melihat perubahan paras Rianto saat meletakkan telepon.
"Kau nggak kena kanker prostat, kan? PAP-mu tinggi?"
Rianto menggeleng muram.
"Dia tidak bilang apa-apa. Tapi kalau dia tidak melihat sesuatu yang jelek. pasti dia tidak minta aku datang sekarang juga."
"Lebih baik kau segera ke sana, To." Sulistio yang biasanya santai tiba-tiba saja menjadi sangat serius.
"Kalau kepala laboratorium klinik sendiri yang memanggilmu, aku betul-betul khawatir!"
***
Ketika Anggun pulang, Yos sudah tidur. Ibu mertuanya juga sudah masuk ke kamarnya. Tetapi makan siang masih terhidang lengkap di atas meja.
Sekali lihat saja, Anggun tahu, suaminya belum pulang. Rianto tidak makan siang di rumah, walaupun ibunya sudah menyiapkannya.
Mungkin karena masih menunggu anaknya pulang, Bu Rully juga belum makan.
"Mau makan, Bu?" tanya Mbok Nem.
"Saya panaskan sopnya, ya?"
"Tidak usah," sahut Anggun tanpa menghentikan langkahnya.
"Saya sudah makan."
Jadi buat siapa makanan sebanyak ini, keluh pembantu tua itu bingung. Semuanya tidak makan. Kalau tidak untuk dimakan, buat apa repot-repot dibuat? Buang-buang uang saja!
Anggun memerlukan menengok Yos dulu di kamarnya sebelum masuk ke kamarnya sendiri. Yos sedang tidur lelap.
Pengasuhnya duduk di kursi di dekatnya sambil membaca buku. Cepat-cepat disembunyikannya bukunya ketika Anggun masuk. Padahal seingat Anggun, dia belum pernah menegurnya. Apalagi melarangnya membaca selama menunggui Yos.
"Masih rewel?" tanya Anggun begitu masuk.
"Mau makan nggak?"
"Makan sih mau. Bu. Cuma memang rada rewel."
Anggun membungkuk di atas pembaringan anaknya. Menyentuh dahi Yos dengan hati-hati. Tidak panas. Mengapa dia rewel? Cuma manja? Atau... mau tumbuh gigi barangkali?
Anggun mengecup dahi putranya dengan lembut. Yos bergerak sedikit. Tapi tidak terjaga. Matanya tetap terpejam rapat. Mata yang selalu mengingatkan Anggun pada seseorang....
Dan bayangan pria yang baru saja ditemuinya kembali itu melintas lagi di depan matanya. Meletupkan kehangatan sekaligus kenyerian di hatinya.
Anggun meninggalkan kamar anaknya. Dan melangkah ke kamarnya sendiri. Saat itu pintu kamar di lantai bawah terdengar terbuka. Mungkin ibu mertuanya melongok ke luar. Tapi segera menutupnya kembali setelah tidak mendengar apa-apa lagi.
Tetapi Anggun tidak peduli. Saat ini dia sedang malas bicara. Malas berbasa-basi. Satu-satunya keinginannya hanya cepat-cepat masuk ke kamarnya. Dan membuka lemari pakaiannya.
Di sana. di laci yang paling bawah, dia menyimpan semuanya. Foto Yudha. Surat-suratnya. Hadiah-hadiah yang pernah diberikannya... semuanya. Semua.
Rianto tidak pernah menggeledah lemari istrinya. Tidak pernah mencurigainya. Dia tidak pernah tahu istrinya masih menyimpan semua kenangan masa lalunya.
Tapi... kalaupun dia tahu... apa yang akan dilakukannya? Rasanya tidak mungkin Rianto marah. Sedih? Barangkali. Tapi marah, tidak mungkin. Rianto terlalu baik. Terlalu polos. Dan sangat memercayai istrinya.
Justru karena kepercayaannya itu. Anggun tidak sampai hati mengkhianatinya. Bahkan memandang foto Yudha seperti sekarang saja sudah menyiratkan perasaan bersalah di hatinya....
Mengapa dia masih mengenang lelaki ini? Membayangkan kencan mereka. Semua adegan intim dari masa lalunya seperti melintas lagi di depan matanya. Semuanya terasa begitu mesra. Begitu hangat. Begitu melelapkan. Mengiriskan kerinduan yang menyengat tapi nikmat....
Dan telepon berdering. Tidak terlalu keras. Tapi cukup mengejutkan Anggun. Membuatnya salah tingkah seperti istri yang dipergoki suaminya sedang bermesraan dengan pria lain .
Bergegas dia menutup album fotonya. Begitu tergesa gesanya sampai selembar Foto melompat tanpa diketahuinya ke bawah meja. Dijejalkannya saja album kecil itu ke dalam kotak rahasianya. Dikumpulkannya benda-benda pemberian Yudha yang masih berserakan di meja. Dimasukkannya semua ke kotak itu.
Lalu terburu-buru dia menyimpan kembali kotak itu
di laci yang paling bawah. Menutup lemarinya rapatrapat. Bersandar ke daun lemari itu sambil menghela napas lega....
Dan ketukan di pintu mengagetkannya lagi.
"Bu, ada telepon," suara Mbok Nem terdengar dari luar pintu kamar.
"Taruh saja," sahut Anggun setelah mengatur napasnya.
"Saya terima di sini."
Lalu dia melangkah ke tempat tidur. Dan meraih telepon di atas meja kecil di samping tempat tidurnya.
"Anggi?"
Sekali lagi Anggun tersentak. Dadanya mendadak berdebar tidak keruan. Peluh serentak membanjiri wajah dan lehernya. Kaki-tangannya serempak menjadi dingin. Tapi ada yang hangat di dalam sini.... Ada yang tidak sinkron. Dia merasa takut. Sekaligus bahagia... Bahagiakah namanya perasaan ini?
"Lagi ngapain? Aku sedang memikirkanmu."
Ya ampun. Suara yang tegas itu! Pengakuan yang polos itu! Bagaimana kalau Mbok Nem sempat mendengarnya? Atau lebih celaka lagi ibu mertuanya?
Tapi Anggun tak sempat berpikir lama lama. Yudha memberondongnya terus dengan pernyataan rindunya. Jadi dia juga sedang membayangkannya, mengenang masa lalu mereka! Kontak psikiskah ini"? Bagaimana mereka masih dapat berkontak psikis kalau sudah tak ada lagi benang kasih yang terentang di antara hati mereka?
"Cuma kamu yang membuatku ingin sembuh total, Anggi," desah Yudha lirih.
"Kalau lagi sakaw, badan
semuanya pada sakit, muntah-muntah, gemetaran, cuma kamu yang kubayangkan, Anggi. Supaya aku dapat melawan penderitaan itu dan tidak menyentuh putaw lagi!"
Diam-diam air mata Anggun meleleh ke pipinya. Dia tidak mampu membuka mulutnya. Karena dia tahu, kalau dia membuka mulutnya. tangisnya pasti meledak.
Anggun dapat membayangkan bagaimana penderitaan Yudha. Dia sudah pernah melihat temannya yang mengalami gejala putus herorn.
Gejala abstinensi pada mulanya memang hanya berkeringat, terus-menerus menguap. dan mengeluarkan air mata.
Tetapi lewat dua belas jam. gejalanya bertambah berat. Penderitaan semakin tak tertahankan.
Penderita menjadi sangat gelisah, badannya gemetaran, nafsu makan bilang sama sekali.
Dua hari kemudian, gejala abstinensi akan mencapai puncaknya. Penderita tidak dapat tidur. Badannya sakit semua. Mual, muntah. bahkan sampai sakit perut hebat dan mencret.
"Kalau sudah begitu. aku ingin sekali menangis menjerit-jerit. Sering terpikir untuk giting lagi. Tapi aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Anggi "
Tapi kamu memang sudah kehilangan aku. Yud! Aku sudah menjadi istri orang! Tak mungkin kamu harapkan lagi!
"Boleh aku ke rumahmu nanti sore, Anggi? Rasanya kangen sekali...."
"Jangan!" cetus Anggun antara kaget dan takut. Gila! Benar-benar gila! Rianto tahu sekali siapa Yudha.
Tetapi Yudha masih tetap Yudha. Kalau dia bilang datang. dia pasti datang, siapa pun yang melarangnya. Dia muncul begitu saja di rumah Anggun. Tidak peduli Anggun menyambutnya dengan salah tingkah. Resah. Dan cemas.
Dia bahkan berani menyodorkan setangkai mawar merah... astaga! Mawar merah. Hanya setangkai. Siapa yang tidak mengerti artinya? Bahkan ibu mertuanya pun pasti tahu. Dulu dia juga kan pernah muda!
"Dari seorang pengagum gelapmu." Yudha memamerkan senyum yang membuat cecak pun dapat merasakan pekatnya kadar cinta dalam senyum itu.
"Terima kasih," gumam Anggun resah. Ingin rasanya dia menyembunyikan mawar itu di balik bajunya.
"Tapi lain kali nggak usah bawa-bawa bunga segala."
"Kenapa?"
"Kenapa? Karena kita sudah bukan remaja lagi."
"Jadi cuma remaja yang boleh bawa bunga?"
"Kamu tahu kenapa!" potong Anggun gemas.
"'Tidak," sanggah Yudha tegas.
"Aku tidak tahu kenapa tidak boleh memberikan bunga kepada wanita yang kucintai."
"Yudha!" sergah Anggun gemetar.
"Tidak pantas kamu mengucapkannya lagi!"
"Cintaku sudah menjadi obsesi," sahut Yudha sambil menatap Anggun dalam dalam.
"Aku sendiri tidak bisa mengenyahkannya."
"Jangan katakan lagi. Yud," pinta Anggun menahan tangis.
"Demi aku, tolong, jangan ulangi lagi kata-katamu di sini!"
"Boleh mengajakmu makan malam, Anggi?" tanya Yudha seolah-olah belum pernah menanyakannya.
"Barangkali aku bisa mengatakannya di tempat lain?"
"Sudah kubilang, malam ini suamiku praktek."
"Aku tidak mengajaknya." sahut Yudha tenang, tidak peduli.
"Cuma kita."
"Tidak," tukas Anggun tegas.
"Tidak tanpa suamiku,"
"Oke," suara Yudha tidak terdengar kesal. Dia begitu percaya diri.
"Kujemput besok pulang kuliah? Kampus yang lama. kan?"
Anggun belum sempat menyanggah ketika Yos menghambur keluar dari dalam.
"Mama! Mama!" teriaknya sambil lari mendapatkan bunya.
"Mbak Is nakal! Yos nggak boleh nonton kinos!"
Anggun menerima anaknya dalam rangkulannya. dan pengasuh Yos muncul dengan perasaan serbasalah.
"Mau disuruh mandi dulu, Bu," katanya membela diri.
"Takut kesorean. Tapi Yos maunya nonton terus"
"Jadi ini anakku!" cetus Yudha antara takjub dan heran.
Yudha langsung bangkit hendak mengambil Yos dari tangan Anggun.
refleks Anggun menyingkirkan anaknya. Tapi sesebelum dia menyerahkan kembali Yos pada pembantu, dia tertegun.
Yos memang anak Yudha. Kejam, tidak memberinya kesempatan untuk memeluk anaknya sendiri....
Yudha menggunakan kesempatan yang sedikit tuk meraih Yos ke dalam pelukannya. Sesaat
Anggun melihat paras pria itu berubah. Perubahan yang belum pernah dilihatnya di wajah Yudha. Perubahan yang menitikkan baru di hati Anggun. Itukah naluri seorang bapak? Siapa bilang cuma seorang wanita yang memiliki naluri keibuan?
"Hai, koboi," sapanya dengan kelembutan yang mengharukan.
"Siapa namamu?"
"Yos," sahut Yos lantang. tanpa rasa takut sedikit pun.
"Oom siapa?"
"Papamu," sahut Yudha tanpa ragu sedikit pun.
Yos menatap pria yang sedang memeluknya itu dengan tatapan tidak percaya. Matanya yang bulat mengawasi Yudha dengan tatapan yang lucu menggemaskan.
"Boong," tukasnya tandas. Mantap.
"Papa Yos Papa Ian!"
"Oom Yud cuma bercanda, Yos," potong Anggun segera, menyadari di sana ada Istiah.
"Ayo, sana mandi!"
Tapi karena Yudha belum mau juga melepaskannya, terpaksa Anggun maju mengambil anaknya. Dan langsung menyerahkannya pada lstiah.
"Nanti boleh nonton kimos lagi, Ma?" Buat Yos saat itu, memang cuma menonton Mickey Mouse yang terpenting. Persetan dengan segala macam orang yang mengaku papa! Dia sudah punya papa kok! Dan satu papa sudah cukup! Papa Ian yang paling baik sedunia!
"Tapi mandi dulu ya, Sayang," Anggun memaksakan sepotong senyum di bibirnya. Saat itu memang dia sedang tidak ingin tersenyum, betapapun lucunya tingkah anaknya.
"Aku menginginkannya, Anggi," kata Yudha setelah lama berdiam diri. Setelah Yos digendong pergi oleh pengasuhnya.
"Berhentilah mengacaukan hidupku, Yud!" geram Anggun menahan tangis.
"Dan sekarang, demi aku, Yud, pergilah! Sebelum omonganmu lebih ngaco lagi!"
"Kujemput kamu besok di kampus," suara Yudha berubah sangat tegas dan dingin.
"Jika kamu tidak ada. kucari kamu ke sini. Ada yang harus kita bicarakan."
Anggun sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Tapi suara klakson mobil Rianto membatalkannya. Wajahnya langsung berubah agak pucat. Matanya menggelepar resah.
"Suamiku pulang." katanya gelisah. Dia tahu, sudah terlambat mengusir Yudha. Tapi dia tetap mengucapkannya.
"Pulanglah, Yud. Kumohon!"
"Aku ingin bertemu suamimu," sanggah Yudha dingin.
"Mau lihat seperti apa dia sekarang."
Rianto pulang dalam keadaan kusut. Wajahnya muram. Sangat muram. Belum pernah Anggun melihat suaminya semurung itu.
Tetapi Anggun sedang berperang dengan perasaannya sendiri. Dia menjadi kurang peka. Dikiranya Rianto murung karena menemukan Yudha di rumahnya.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yudha tidak memerlukan bangun dari kursinya. Tidak pula menyapa. Dia hanya berpaling. Dan mengawasi Rianto dengan dingin.
Sebaliknya Rianto juga tidak mengulurkan tangannya.
"Halo," sapanya datar, ketika Anggun memperkenalkan mereka. Meski tanpa menyebutkan nama Yudha sekalipun. Anggun yakin. suaminya sudah mengenali Yudha sejak pertama kali melihatnya duduk di ruang tamunya.
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, Rianto melangkah masuk meninggalkan mereka. Membuat Anggun merasa tersinggung. Rasa bersalahnya berubah menjadi kejengkelan.
Rianto boleh saja kesal. Boleh saja cemburu. Tapi meninggalkan tamu istrinya dengan sikap seperti itu benar-benar tidak sopan! Tidak biasanya Rianto bersikap seperti itu!
"Dietnya pasti ketat," sindir Yudha sambil tersenyum mengejek.
"Bohotnya turun drastis!"
***
Malam itu, Sikap Rianto benar-benar lain. Dia mengurung diri di kamar kerjanya. Dan tidak pergi ke tempat praktek.
Dengan ibunya pun, dia tidak banyak bicara. Yos yang berkali kali datang ingin bermain dengan ayahnya, tidak mendapat tanggapan. Pintu kamar kerja Rianto bukan cuma tertutup. Sekaligus dikunci. Sia-sia Yos memanggil manggil ayahnya.
Dengan Anggun apalagi. Tak sepatah kata pun terlontar dari mulut Rianto. Wajahnya tampak sangat muram. Ah, bukan hanya muram. Tapi seperti memendam kedukaan yang amat sangat.
Anggun masih dapat menahan diri untuk tidak menegur suaminya di depan ibu dan anaknya. Tetapi ke
tika melihat Rianto meninggalkan meja makan sebelum selesai makan. ketika melihatnya langsung masuk ke kamarnya, kesabaran Anggun habis.
Lebih-lebih melihat sikap ibu mertuanya. Bu Rully yang juga sedang kesal karena makanan buatannya tidak disentuh anaknya, melampiaskan kejengkelannya pada Anggun.
"Barangkali gara-gara temanmu tadi." desisnya dingin.
"Rianto jadi kesal. Biasanya dia tidak begini!"
Anggun mengatupkan rahangnya erat-erat supaya tidak membalas kata-kata mertuanya. Ditelannya saja kekesalannya. Dibawanya ke kamarnya.
Begitu membuka pintu kamar, dia melihat Rianto sudah berbaring di ranjang, miring menghadap ke sisinya sendiri. Ketika Anggun melangkah masuk sesudah menutup pintu. dia melihat foto Yudha di atas meja. Foto yang rupanya jatuh dari albumnya. Dan kemarahan Anggun meledak.
"Aku tahu Mas cemburu," geramnya sambil duduk di sisi tempat tidur.
"Tapi bukan begini caranya!"
Rianto tidak menjawab. Dia bahkan tidak bergerak. Tidak membalikkan tubuhnya menghadap ke arah istrinya.
"Di antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi," sengaja Anggun meluapkan kemarahannya untuk memperkecil rasa bersalah di hatinya.
"Kalau Mas Rian bersikap begini. artinya Mas tidak memercayaiku!"
Rianto tetap membisu. Tetap membeku. Bahkan sesudah Anggun menukar bajunya dengan gaun tidur dan berbaring di sebelah suaminya, Rianto tetap tidak bergerak. Padahal biasanya, mencium aroma istrinya saja gairahnya sudah bangkit.
"Oke, jika Mas menyalahkanku," desah Anggun sedih.
"Jika Mas tetap mencemburui Yudha. Tapi kenapa mesti bersikap begitu pada Yos dan Ibu? Mereka kan tidak ikut bersalah...."
Kecuali bahwa Yos anak Yudha... dan Rianto tahu itu! Tapi anak siapa pun dia. Yos tetap tidak bersalah! Mengapa Rianto seolah-olah memusuhinya juga? Mengapa malam ini dia bersikap menjauhinya?
Malam itu, Rianto bukan hanya tidak menyentuh istrinya. Dia bahkan tidak mencium Yos. Tidak mengucapkan selamat tidur seperti biasa!
Dan kemarahan Anggun mencapai puncaknya. Kalau Rianto hanya marah kepadanya, oke! Dia cemburu. Ketika dia pulang, istrinya sedang mengobrol dengan Yudha. Mungkin dengan nalurinya sebagai suami, Rianto merasa, kedatangan Yudha bukan hanya sebagai teman. Dia punya maksud lain. Dan dia maSih menginginkan Anggun.
Ketika Rianto masuk ke kamar. dia menemukan foto Yudha di bawah meja. Dia tambah cemburu. Oke! Dia berhak untuk cemburu. Dia berhak untuk marah pada istrinya. Tapi pada Yos? Apa salahnya?
Yos pasti sedang menunggu-nunggu kedatangan ayahnya di kamarnya. Kecuali hari Minggu, hanya malam dia dapat bermain dengan ayahnya. Dan Yos sangat menyukai Rianto. Hubungan ayah dan anak itu sangat dekat. Kadang kadang Anggun merasa. hubungan mereka malah lebih dekat daripada hubungannya sendiri dengan Yos.
Yos selalu menunggu nunggu kepulangan ayahnya. Kadang-kadang sampai Rianto pulang praktek pun, dia belum tidur. Dan bagaimanapun lelahnya Rianto, dia selalu menyempatkan diri bermain dengan putranya. Kecuali hari ini. Untuk suatu alasan yang Anggun tidak tahu. Rianto bolos praktek. Tetapi dia malah tidak mau bermain dengan Yos!
Dengan kesal Anggun meraih bantalnya. Sudah setengah jam lebih dia menunggu. Tapi Rianto tetap membisu. Akhirnya dia memutuskan untuk menyingkir ke kamar Yos.
Sebelum masuk ke kamar Yos, dia melihat ibu mertuanya di bawah. Sedang menonton televisi.
Bu Rully mengangkat mukanya. Menatap ke atas. Dan melihat Anggun melangkah ke kamar Yos sambil membawa bantal. Air mukanya langsung berubah. Tapi Anggun tidak peduli. Dia sendiri sedang kesal kok!
Dan tampaknya yang kesal bukan hanya Anggun. Bukan hanya Bu Rully. Yos juga.
Dia uring-uringan terus sampai pengasuhnya kewalahan dan merasa sangat lega ketika Anggun muncul. Apalagi ketika Anggun mengusirnya pergi. Acara sinetron di TV pasti lebih menarik daripada membujuk anak kecil yang sedang ngambek begini!
"Papa mana?" gerutu Yos separo menangis.
"Panggil Papa!"
"Malam ini Papa lagi nggak enak badan. Yos." bujuk Anggun sambil meletakkan bantalnya di samping anaknya.
"Mama yang bobok sini. ya?"
"Nggak!" Yos menjerit marah. Ditendang-tendangnya pinggang ibunya yang sedang membaringkan diri di sampingnya.
"Yos mau Papa! Panggil Papa! Panggil!"
Dari sabar sampai marah, akhirnya Anggun lepas kendali. Kejengkelan terpendamnya seperti menemukan
terobosan untuk diledakkan dalam sebuah tamparan ke pipi Yos yang ulahnya semakin kurang ajar dan menjengkelkan.
Yos memekik sekuat-kuatnya dan menangis menggerung-gerung.
Saking jengkelnya. Bu Rully sampai membanting remote control-nya. Dia tidak mengerti mengapa anak yang harus jadi korban kalau orangtua sedang bertengkar. Meskipun tidak terlalu menyukai Yos, dia tidak sampai hati mendengar tangisnya.
Sambil mengentakkan kaki. Bu Rully naik ke atas. Tapi dia tidak ke kamar Yos. Dia mengetuk pintu Rianto. Ketika tidak mendapat jawaban, dia membuka pintu kamar. Dan melihat anaknya meringkuk miring di tempat tidur.
"Kasihan Yos," dengus Bu Rully kering.
"Kenapa dia yang harus menerima kemarahan istrimu?"
Bu Rully menunggu sebentar. Ketika dilihatnya Rianto tidak bergerak juga. dibantingnya pintu dengan jengkel. Ditinggalkannya kamar itu. Dicarinya lstiah yang baru saja meluruskan pinggangnya di depan TV.
"Ambil Yos," perintahnya dingin.
Tentu saja lstiah enggan. Sinetron sedang seru-serunya. Menantu yang sangat baik itu sedang diteror oleh
ibu mertuanya yang ajubilah jahatnya.
"Nanti Ibu marah," sanggahnya ketakutan.
"Bilang saya yang suruh!"
Kenapa nggak bilang sendiri, gerutu Istiah, tentu saja dalam hati. ketika dengan malas-malasan dia bangkit dari kursinya.
Lalu... klik. TV dimatikan. Dan lenyaplah menantu yang baik itu. Lenyap pula kesempatan lstiah untuk nonton.
Bu Rully meletakkan pinggulnya di kursi malas. Dan melunjurkan kakinya. Pikirannya masih tetap pada Rianto.
Begitu marahnyakah si Thole? Sampai dia tidak mau mengacuhkan tangis anaknya? Sampai dia rela tidak praktek?
Biasanya dia tidak pernah begini. Biasanya dia lelaki yang paling sabar. Sakit bagaimanapun, dia pasti memaksakan diri menemui anaknya. Bahkan masih berusaha menemui pasiennya di tempat praktek.
Benarkah Thole sakit? Makannya begitu sedikit. Hanya dua suap nasi. Makanan buatan ibunya malah tidak disentuh sama sekali. Mukanya begitu muram. Bicaranya hampir tidak ada.
Tentu saja Bu Rully tidak tahu, Anggun tidak tahu, Yos tidak tahu, Rianto sedang menangis di kamarnya.
Kata-kata Dokter Hasril begitu jelas, walau diucapkan dalam nada getir.
"Dokter Rianto. tes anti HIV Anda positif."
Riyanto bukan hanya sedih. F.ia takut. sangat takut.
Mengidap AIDS memang membayangkan kematian yang telah menghadang di depan mata. Tapi yang membuat Rianto takut bukan kematiannya sendiri. Bukan.
Dia justru memikirkan Anggun. Orang yang paling dekat dengannya. Pasangan hidupnya. Belahan jiwanya. Partner seksnya. Sudah ketularankah istrinya?
Rianto merasa hatinya hancur membayangkannya. Dia menularkan penyakit yang mematikan itu pada wanita yang paling dicintainya! Dia memberikan cinta, sekaligus maut!
Dan Yos! Ya Tuhan! Jika Anggun sudah ketularan saat mengandung, dia bisa menularkan penyakitnya pada bayinya. Dan karena dia menyusui Yos, virus celaka itu juga bisa berpindah melalui ASI-nya.
Oh, Tuhan! Yos yang sangat disayanginya! Mungkinkah dia akan mengalami nasib yang sama dengan Yos pasiennya? Mengalami penderitaan yang begitu hebat sebelum meninggal? Mengisi masa kanak-kanaknya yang begitu cerah untuk bergulat dengan penyakit yang mematikan?
Dan... ibunya! Oh, Ibu! Bagaimana harus dikatakannya musibah ini pada ibunya? Ibu yang sudah tua dan begitu menyayanginya pasti akan syok! ibu pasti tidak dapat menerima, mengapa penyakit seperti itu justru menyinggahi anaknya. bukan orang lain!
Ibu pasti seperti kebanyakan orang awam, berpendapat bahwa AlDS adalah penyakit yang timbul sebagai hukuman dosa. Orang yang sering berganti-ganti pasangan, homoseks, pecandu obat bius yang sering memakai jarum suntik bersama sama... tapi Rianto? Bagaimana dia bisa mendapat penyakit seperti itu?
Rianto memang pernah kontak dengan darah seorang anak pengidap AIDS ketika sarung tangannya robek dan kebetulan jarinya luka. Peristiwa itu terjadi hampir tujuh tahun yang lalu, Hampir sesuai dengan masa inkubasi AIDS yang diperkirakan antara delapan sampai sembilan tahun. Tapi Rianto telah memeriksakan darahnya tiga kali berturut turut. HIV nya selalu negatif. Jadi kapan dia mendapat infeksi HIV? Dari mana?
Kebingungan, kesedihan, ketakutan. keputusasaan, dan perasaan bersalah membangkitkan reaksi depresi yang begitu hebat. Apalagi jika datangnya demikian tiba-tiba.
Rianto bukan hanya cemas. Dia syok. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bagaimana harus menceritakannya pada orang-orang yang dicintainya."
Dia bahkan tidak tega berhadapan muka dengan mereka, memandang ke dalam mata mereka. Dia cenderung menarik diri. Bersembunyi.
Celakanya. mereka tidak mengerti. Ibu kesal. Anggun marah-marah. Yos uring-uringan. Mereka tidak mengerti, Rianto justru sedang berada pada saat di mana dia sangat membutuhkan dukungan moril mereka. Dukungan moril orang-orang yang mencintainya!
***
"Sebaiknya kita lakukan pemeriksaan ulangan, Dokter Rianto," hibur Dokter Hasril, trenyuh melihat reaksi teman sejawatnya.
"Selalu ada kemungkinan terjadi false positive."
"Rasanya tidak." Rianto menggeleng lesu setelah lama terdiam.
"Dua bulan ini saya sering demam tanpa sebab, diare, dan kehilangan berat badan hampir sepuluh persen. Dan kita tahu sekali, itu gejala AIDS Related Complex."
"Kalau begitu Anda harus diperiksa lebih lanjut, Dokter Rianto. Supaya kita bisa mulai memberi Anda Zidovudin. Saya sendiri yang akan mengontrol CD4 Anda selama pengobatan."
Ketika melihat Rianto masih termangu-mangu, Dokter Hasril menepuk bahunya dengan simpatik.
"Jika Anda inginkan. ini akan menjadi rahasia kita berdua."
Rianto menggeleng putus asa.
"Saya justru sudah berpikir untuk berhenti praktek. Saya tidak mau menulari pasien-pasien saya."
"Anda kan tahu, belum ada kepastian tenaga medis dapat menulari pasiennya, jika kita berhati hati."
"Tapi saya tidak mau mengambil risiko itu," potong
Rianto getir tapi mantap.
"Saya akan mengundurkan diri. Saya hanya tidak tahu bagaimana harus mengatakannya pada istri saya...."
Saat itu Dokter Hasril melihat mata sejawatnya berkaca-kaca.
"Tentu saja istri Anda harus segera diperiksa. Dan dia berhak mengelahui keadaan Anda. Tapi jika Anda ingin merahasiakannya untuk sementara waktu sampai Anda tahu bagaimana harus menyampaikannya, Anda tinggal mengatakannya pada saya, Dokter Rianto."
"Saya takut..." desah Rianto lirih. Air matanya kini telah berlinang, setetes demi setetes bergulir ke pipinya.
Dokter Hasril menggenggam tangan sejawatnya erat-erat untuk menabahkannya.
"Saya takut telah menulari istri dan anak saya...."
Sejak mengabarkan dirinya hamil, hanya sebulan sesudah menikah, Anggun memang selalu menolak berhubungan intim dengan suaminya. Mereka hanya bercumbu. Dan Rianto harus menyelesaikannya sendiri.
Sesudah Yos lahir, Anggun minta suaminya menggunakan kondom, karena dia belum ingin mempunyai anak lagi.
Jadi secara kebetulan, mereka memang telah melakukan seks yang aman, walaupun tidak berarti bukan tanpa risiko sama sekali.
Tapi sejak menikah sampai sebulan sesudahnya, Rianto punya peluang menularkan penyakitnya, seandainya saat itu dia sudah mengidap infeksi HIV.
Jadi bagaimanapun, dia harus membawa Anggun
dan Yos untuk memeriksakan darah mereka. Tapi bagaimana caranya? Apa yang harus dikatakannya?
Rianto belum ingin menceritakan penyakitnya. Dia tidak sampai hati! Kalau boleh, biarlah dia yang menderita, hanya dia! Jangan Anggun! Jangan ibunya! Jangan Yos!
Ya Tuhan, tangis Rianto dalam hati, ketika malam itu dia bergelut seorang diri dalam kancah depresi yang sangat berat. Apa gerangan dosaku. sampai Kau tega mengambil cawan kebahagiaan ini dari bibirku?
Larut malam sudah ketika Rianto bangkit terhuyung-huyung dari tempat tidurnya. Perlahan-lahan dia membuka pintu kamarnya dan melongok ke luar.
Sepi. Gelap. Tak ada seorang pun di sana. Tidak juga di ruang bawah.
Tertatih-tatih dia melangkah ke kamar Yos. Membuka pintunya dengan hati-hati.
Yos sudah tidur. Tapi lain dari biasanya, malam ini wajahnya murung. Bekas-bekas kemarahan masih terlukis di parasnya. Tidurnya pun tidak selelap biasa. Kakinya sebentar sebentar tersentak dalam gerakan menendang.
Barangkali dia masih kesal pada ayahnya yang tidak datang mengecupnya seperti biasa. Dan kini dia sedang ngambek dalam mimpinya.
Mengalir kembali air mata Rianto melihat anak yang sangat disayanginya itu.
Ya Tuhan. pekiknya dalam hati. Kalau masih boleh kuajukan permohonan. tolonglah, Tuhan, biarkan hanya aku saja yang sakit! Jangan Yos. Jangan Anggun!
Istrinya berbaring telentang di sisi Yos. Dalam kereruangan sinar lampu yang menerobos masuk dari
celah-celah pintu, wajahnya yang cantik sama murungnya dengan wajah anaknya.
Kamu tidak tahu, Sayang, bisik Rianto pedih. Kamu tidak mengerti apa yang tengah kurasakan!
Lama ditatapnya paras yang cantik itu. Tubuhnya yang indah. dibalut gaun malam yang walaupun tidak merangsang, biasanya mampu membangkitkan gairah Rianto.
Tapi saat ini, Rianto bukan saja tidak terangsang. Dia malah merasa sakit. Hatinya menjerit pedih.
Betapa tidak. Penyakit terkutuk ini membuatnya tidak mampu lagi menggauli istrinya tanpa merasa takut. Rianto takut menularkan penyakitnya, kalau benar Anggun belum ketularan!
Rianto sudah bertekad untuk berhenti menggauli istrinya dengan cara yang berisiko penularan. Jika cara seperti itu tidak memuaskan Anggun, dia bahkan rela bercerai....
Biarlah Anggun mencari lelaki lain. Lelaki yang mampu memberinya kebahagiaan lahir-batin....
Dan ingatan Rianto kembali pada Yudha. Pria yang tadi sore ditemukannya sedang duduk di ruang tamu rumahnya....
Yudha Pratama masih seganteng dulu, ketika pertama kali Rianto melihatnya. Gayanya pun tetap paten. Percaya diri. Sok. Menggemaskan. Gaya yang disukai kebanyakan wanita.
Penampilannya malah cenderung lebih memikat. Lebih matang. Kumis dan janggut yang dibiarkan tumbuh liar malah membuatnya tampil semakin jantan. Dan rambutnya yang modis itu... ah, pasti amat disukai wanita muda seumur Anggun.
Hampir tak mampu lagi menahan tangisnya. Rianto buru-buru menutup pintu kamar anaknya. Lama dia bersandar di pintu. Menelan air matanya sendiri.
Ingin sekali dia merangkul Yos. Memeluk Anggun. Menciumi mereka. Melimpahkan kasih sayangnya. Tapi jika cinta dapat menularkan virus terkutuk itu...
Memang belum terbukti Ciuman dapat menularkan AIDS. Karena biarpun HlV dapat diisolasi dari air liur dan air mata penderita, konsentrasinya rendah. Tidak setinggi dalam air mani dan darah. Tapi Rianto yang masih diliputi syok dan ketakutan, memilih menarik diri .
Dia menyingkir ke balkon. Membuka pintu lebarlebar. Dan menarik napas dalam-dalam untuk mengusir kepengapan yang menyesakkan dadanya.
Angin berembus dalam dekapan kesunyian. Semilirnya menyentuh pepohonan, membelai dedaunan. Udara malam yang sejuk menyapa wajah Rianto. Membelai rambutnya.
Di luar begitu tenang. Begitu damai. Walau kegelapan menguasai bumi.
Mungkinkah ketenangan hidupnya kembali lagi meskipun kegelapan mulai menyapa? Mungkinkah kedamaian menjadi miliknya lagi biarpun masa depannya begitu pekat?
Lambat lambat Rianto melangkah ke luar. Lama dia tegak di atas balkon rumahnya. Memandang langit yang terbentang di atas sana.
Bulan tampak muram diselubungi awan hitam. Bintang-bintang pun seperti menyingkir. Satu-dua tampak di kejauhan. Menebarkan cahaya yang pudar.
Malam membisu. Laksana saksi mati yang tertegun diam menyaksikan kesedihan seorang anak manusia yang berbudi luhur. tapi tak luput dari penderitaan.
Jika derita adalah tuaian dosa. di manakah keadilan?
Pagi-pagi sekali Anggun sudah meninggalkan rumah. Hari ini memang tidak ada ujian. Tapi siapa peduli?
Dia membutuhkan ruang untuk bernapas. Untuk mendinginkan hatinya Menenangkan pikiran.
Jika dia tetap di rumah sampai Rianto dan ibunya bangun. dia khawatir tidak mampu lagi menghindarkan pertikaian.
Entah apa yang terjadi. Tapi Rianto bertingkah lain dari biasa. Kalau benar dia cemburu pada Yudha, sikapnya sungguh keterlaluan!
Tahukah dia bagaimana Anggun berusaha mempertahankan kehormatannya sebagai istri. tidak mau mempermalukan suaminya dengan berselingkuh dengan lelaki yang sebenarnya masih dicintainya?
Dan inilah balasan yang diperolehnya! Rianto bukan cuma marah. Dia bahkan seperti menjauhkan diri!
Padahal Anggun lebih baik bertengkar daripada didiamkan begini! Dia tidak tahan. Lebih-lebih melihat kesedihan Yos. Mengapa anak itu ikut dibawa bawa. ikut dijauhi? Yos tidak tahu apa-apa! Dia tidak bersalah....
"Istrimu sudah pergi." Suara Bu Rully terdengar sangat dingin ketika Rianto baru saja duduk di meja makan.
Pagi itu, Rianto memang kesiangan bangun. Hampir subuh baru dia bisa tidur. Itu pun tidak lelap. Berbagai mimpi buruk silih berganti mengunjunginya.
Sekarang pun kepalanya terasa berat. Perutnya mual. Tenggorokannya sakit.
Sekali pandang saja Bu Rully tahu, betapa tidak sehatnya anaknya. Rambutnya kusut niasai. Wajahnya suram. Matanya merah.
"Kamu pasti sakit," katanya sambil menghela napas berat.
"Lebih baik tidak usah kerja."
Rianto tidak menyahut. Dia hanya mengambil cangkir kopinya dan meletakkannya kembali.
"Bikin kopi lagi, Mbok," katanya lesu pada Mbok Nem.
"Tapi jangan pakai susu."
"Biar Ibu yang bikin," sambar Bu Rully kering.
"Masih buang-buang air?"
"Sedikit," sahut Rianto, berdusta.
"Saya minta roti panggang saja, Bu. Jangan pakai apa-apa."
"Lebih baik kamu jangan kerja. Biar Ibu buatkan makanan kesukaanmu. Kamu harus banyak makan."
"Saya sedang tidak ingin makan, Bu," sahut Rianto lemas.
"Dan ada yang mesti saya selesaikan di rumah sakit."
"Hhh," dengus Bu Rully datar.
"Kamu selalu begitu! Sakit-sakit masih kerja!"
"Anggun ke mana, Bu?"
"Nggak tau."
Keringnya suara ibunya membuat Rianto berpaling.
"Dia nggak bilang sama Ibu?"
"Dia sudah pergi sebelum Ibu bangun."
"Nggak bilang sama Mbok?" Rianto menoleh pada pembantunya.
"Katanya ke kampus."
Bu Rully tidak berkata apa-apa. Tapi dari dengusannya. Rianto tahu. ibunya kesal. Sangat kesal.
"Mungkin ada ujian lagi. Bu," kata Rianto sabar.
Tapi dalam hati, Rianto sendiri tidak percaya. Dia yakin, Anggun pergi karena marah. Dia sengaja menghindari pertemuan dengan suami dan ibu mertuanya untuk mencegah pertengkaran terbuka. Dan keyakinan itu membuat hatinya tambah terluka.
Bu Rully melihat kedukaan di wajah anaknya. Dan dia bertambah jengkel.
Tidak sepantasnya seorang istri bertindak seperti itu! Perempuan itu benar-benar keterlaluan. Dia tahu suaminya sakit. Eh, malah ditinggal pergi begitu saja! Istri apa itu?
Rupanya selama ini dia mengira ibu mertuanya bego. Diam saja biarpun dia memperlakukan suaminya seperti itu. Padahal Bu Rully hanya ingin menjaga perasaan Rianto. Karena dia tahu. kalau dia ribut dengan menantunya, Rianto akan sedih sekali.
Tapi sekarang, rasanya sudah saatnya dia bertindak. Dia harus memperingatkan perempuan itu. dia tidak bisa bertindak semaunya saja. Dia harus menghargai suaminya!
***
"Dokter Rian!" panggil Suster Ema begitu dia mende ngar bunyi yang khas itu di koridor bangsal anak. Bunyi detak sepatu dan ujung payung.
Dan yang datang memang Dokter Rianto. Tumben hari ini dia kesiangan. Mukanya pun pucat. Suram. Tidak seperti biasa.
"Sakit, Dok?"
Biasanya dokter yang satu ini selalu cerah. Ramah. Gembira.
Bangsal yang suram dan sepi selalu berubah penuh senyum dan canda jika Dokter Rianto muncul.
"Nggak apa-apa," sahut Rianto datar.
"Cuma kurang tidur."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pasien Ari tidak mau di-LP kalau bukan sama Dokter."
Sekejap Suster Erna melihat tangan yang masih memegang payung itu gemetar. Dan dia merasa bingung. Ada apa? Mengapa Dokter Rianto seperti kaget? Ah, bukan cuma kaget. Dia kelihatan... takut?
Lumbal Punksi adalah tindakan pengambilan cairan otak dari tulang belakang. Tindakan yang sangat menyakitkan itu memang biasanya paling dibenci anakanak. Dan pasien bemmur delapan tahun seperti Ari memang sudah bisa menawar, Dia tidak mau cairan otaknya diambil kalau bukan Dokter Rianto yang mengerjakannya.
Persoalannya. hari ini keseimbangan mental Rianto sedang terganggu. Dia takut mencemari pasiennya dengan penyakitnya, walaupun dia tahu jika dia berhatihati, kemungkinan penularan sangat kecil. Rianto perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan penyakitnya. Perlu waktu untuk memperoleh kembali kepercayaan dirinya. Dan itu yang tidak diketahui Ari maupun Suster Erna.
"Hari ini aku tidak sanggup, Er," gumamnya lirih.
"Panggil saja dokter lain."
"Dokter sakit." cetus Suster Erna khawatir.
"Apa yang bisa saya bantu, Dok?" Tidak ada, pekik Rianto getir. Tidak ada yang dapat membantuku kecuali Tuhan! Kalau saja Tuhan mau!
***
"Tidak," sanggah Anggun tegas.
"Kisah kita sudah selesai, Yud. Aku tidak mau melanjutkannya lagi."
Mereka sedang duduk makan siang di kantin. Seperti yang telah dikatakannya kemarin. Yudha menjemput Anggun di kampus. Tapi Anggun tidak mau pulang bersamanya.
Ketika Yudha mengancam akan mengikutinya ke rumah, Anggun memilih tawaran yang kedua. Makan siang berdua. Di kantin.
"Tapi kamu tidak bisa menutupnya begitu saja, Anggi!" Yudha menyela dengan marah.
"Sudah ada Yos di antara kita. Kisah cinta kita belum berakhir, malah sudah berbuntut!"
"Yos sudah menjadi anakku dan suamiku, Yud. Jangan macam-macam kamu!"
"Dia harus tahu, Yos anakku!"
"Dia sudah tahu. Tapi dia tidak peduli...."
Tapi... benarkah Rianto tidak peduli? Kalau benar demikian, mengapa dia menjauhi Yos pada saat dia mencemburui Yudha?
"Aku menginginkan Yos," tukas Yudha tegas.
"Dan mas menginginkanmu."
"Kubur saja keinginanmu. Sudah terlambat."
"Bagiku, tidak ada kata terlambat. Aku masih mencintaimu." Yudha mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Anggun dan meremasnya dengan mesra.
"Jangan bilang kamu tidak mencintaiku, Anggi. Kamu tidak bisa membohongiku!"
"Aku tidak mau mengkhianati suamiku. Yud," gumam Anggun lirih.
"Dan demi kebahagiaan Yos. menyingkirlah dengan jantan."
Lama Yudha mengawasi Anggun. Ketika Anggun membalas tatapannya, Yudha melihat air mata yang menggenangi mata kekasihnya. Dan hatinya luluh.
"Betul ini pilihanmu, Anggi?" tanyanya pahit.
Anggun mengangguk sedih.
"Demi kebahagiaanku. Yud, kumohon padamu. berkorbanlah untukku dan Yos...."
Yudha mengawasi kekasihnya dengan getir.
"Kamu bahagia, Anggi? Sungguh?"
Sekali lagi Anggun mengangguk. Meskipun dia harus merunduk untuk menyembunyikan dusta.
"Pandanglah aku," pinta Yudha sungguh sungguh.
"Matamu tak dapat berdusta."
Terpaksa Anggun mengangkat kembali tatapannya. Dan membalas tatapan laki-laki itu.
Ketika melihat mata Anggun, Yudha langsung tahu, wanita itu berdusta. Dan dia tambah terpukul.
"Mengapa memilihnya, Anggi? Mengapa mengorbankan kebahagiaanmu sendiri?"
"Demi Yos," gumam Anggun lirih.
"Kalau seorang perempuan sudah menjadi ibu, anak lebih penting dari dirinya sendiri." Anggun balas meremas tangan Yudha erat-erat.
"Maukah kamu juga berkorban untuk Yos, Yud?"
Ketika Anggun pulang ke rumahnya sore itu, dia merasa lega. Meskipun perpisahannya dengan Yudha terasa menyakitkan, dia tahu pilihannya benar. Dan itu membuatnya lega walaupun sedih.
Nanti malam dia akan menceritakan semuanya pada Rianto. Supaya punah semua kesalahpahaman itu. Kalau perlu, dia akan berterus terang. memang Yudha-lah ayah biologis Yos. Tapi bagi Yos, bagi Anggun, bagi semua orang, cuma Rianto ayah Yos. Dan demi kebahagiaan Yos, Anggun akan tetap mempertahankan perkawinannya. Apa pun bayarannya. Dia rela hidup kesepian seumur hidupnya.
Tetapi ketika Anggun sampai di rumah, tidak ada Rianto, tidak ada Yes. Yang muncul cuma lstiah. Tanpa momongannya.
"Ke mana Yos?" tanyanya segera.
"Bobok?"
"Dibawa Bapak, Bu."
Dibawa Rianto? Anggun tercengang. Dibawa ke mana? Ke restoran? Ke mal? Mungkinkah untuk menebus kesalahannya tadi malam?
"Ke rumah sakit," suara ibu mertuanya terdengar dingin, amat dingin.
Anggun menoleh. Dan melihat mertuanya di sofa.
Bu Rully duduk membelakanginya. Dan dia tidak berpaling sama sekali. Hanya punggungnya yang terlihat.
"Ke rumah sakit?" belalak Anggun antara kaget dan cemas.
"Yos sakit, Bu?"
"Rianto yang sakit," suara ibu mertuanya terdengar
amat pedas.
"Kamu tidak tahu karena terlalu sibuk di kampus."
"Rianto sakit? Sakit apa?"
"Kenapa tanya Ibu?" dengus Bu Rully judes.
"Kamu kan istrinya. Makanya mesti lebih perhatikan suami! Jangan seenaknya saja pergi. Suami bangun saja belum, sudah minggat!"
Belum pernah Anggun dikasari seperti ini. Belum pernah. Oleh orangtuanya saja belum pernah. Apalagi oleh mertuanya! Punya hak apa dia?
Tetapi dia masih mampu menahan mulutnya agar tidak balas mendamprat. Demi Rianto, dia masih mencoba menghormati mertuanya. Anggun meninggalkan ruangan itu tanpa berkata apa-apa lagi. Dibawanya sakit hatinya ke kamar. Disimpannya saja seorang diri. Sampai Rianto pulang.
Dan Rianto pulang tidak lama kemudian. Bersama Yos. Yos membawa mainan sekantong plastik besar. Tapi wajahnya merah.
Bekas-bekas tangis masih tampak jelas di matanya yang bengkak. Tangisnya pasti cukup lama dan hebat.
Tapi yang paling menyakitkan hati Anggun, dia melihat lengan Yos diplester.
"Kenapa Yos harus diambil darah?" geramnya marah ketika sedang menggendong anaknya.
Tetapi Rianto tidak berkata apa apa. Dia langsung masuk ke kamar. Barangkali untuk menghindari ibunya yang sedang mengawasi mereka dengan tatapan yang sangat tidak ramah.
Anggun menyerahkan Yos pada Istiah. Lalu dia menyusul ke kamar dengan gusar. Dibukanya pintu dengan kasar.
Rianto yang sedang menukar baju tidak menoleh. Kesan Anggun. dia malah seperti buru-buru memakai bajunya sambil membelakangi istrinya. Hanya punggungnya yang putih mulus terpampang polos.
"Mas tidak perlu menyakiti Yos kalau cuma ingin tahu anak siapa dia." Anggun mengempaskan daun pintu kamar dengan geram.
"Tanya saja padaku!"
Rianto berbalik dengan terkejut. Dan melihat muramnya wajah suaminya, kemarahan Anggun malah semakin tak terkendali
"Yos anak Yudha," suara Anggun basah menahan tangis. pahit menahan geram dan sakit hati.
"Aku sudah mengandung anaknya ketika kita menikah. Kupikir Mas sudah tahu. Buat apa Yos diperiksa lagi? Buat apa menyakitinya?"
Rianto tidak mampu membuka mulutnya. Dia jatuh terduduk di sist tempat tidur. Matanya menatap istrinya dengan tatapan terluka.
Dia tahu Yos bukan anaknya. Dia tahu. Dia juga sudah menduga Yos anak Yudha. Tapi bagaimanapun, pengakuan istrinya melukai hatinya. Buat apa Anggun mengatakannya? Apalagi pada saat-saat seperti ini!
Tetapi Anggun sudah memutar tubuhnya dan meninggalkan kamar. Dia tidak tahan membalas tatapan suaminya. Dia iba melihat tatapan Rianto yang begitu pahit. Dia iba merasakan kekecewaan laki laki itu.
Tapi di atas semuanya, Anggun iba kepada dirinya sendiri. Dia sudah menolak pria yang dikasihinya. Dia sudah meninggalkan ayah anaknya. Dia menjauhi Yudha. Memohon agar Yudha jangan mengganggu rumah tangganya Iagi. Padahal dia masih mencintai laki-laki itu!
Anggun sudah menetapkan pilihannya. Demi Yos. Demi Rianto. Dia rela berkorban. Rela menderita kesepian seumur hidup.
Dia sudah memohon kepada Yudha agar menghormati keputusannya. Dan Yudha mematuhinya.
Pria yang jantan itu, yang kasar, yang posesif, yang egois, yang selalu semaunya sendiri, rela berkorban demi wanita yang dicintainya. Yudha mengalah. Dia rela menyingkir. Dan sekarang... inilah yang Anggun peroleh!
Suaminya menyangsikan kesetiaannya. Suaminya perlu membuktikan anak siapa Yos. Suaminya yang baik itu, yang setia, yang lemah lembut, yang sabar bagai domba, ternyata tidak ada bedanya dengan lelaki lain! Makhluk egois yang bernama laki-laki!
Dia sampai perlu menyakiti anak yang disayanginya, melakukan tes darah untuk membuktikan anak itu bukan anaknya! Hanya sampai di sanakah cinta Rianto pada Yos?
Anggun langsung masuk ke kamar Yos. Mengambil anak yang baru saja dibaringkan lstiah di ranjangnya itu. Dan Yos yang sudah setengah tidur digendongnya pergi.
Anggun tidak peduli merasakan panasnya tatapan ibu mertuanya. Persetan! Persetan dengan dia!
Tanpa pamit dia pergi meninggalkan rumah. Membawa Yos ke rumah orangtuanya. Dia perlu waktu untuk menenangkan diri.
Dalam keadaan marah begini, pertengkaran tinggal soal Waktu. Dan kalau dia bertengkar dengan mertuanya, sulit untuk berbaik kembali. Lain jika dia cuma ribut dengan suami. Anggi yakin Rianto akan segera menyadari kesalahannya. Dia akan datang menjemput istri dan anaknya. Dan mereka akan berdamai kembali.
***
Ibunya belum pulang ketika Anggun datang bersama Yos. Ayahnya apalagi. Tapi Anggun tidak ragu-ragu menempati kamarnya yang lama. Dia sudah bertekad untuk tinggal di sini untuk sementara waktu. Entah berapa lama. Pokoknya sampai Rianto menyadari kekeliruannya. Dan datang meminta maaf.
Tetapi Rianto tidak datang secepat yang Anggun sangka. Padahal begitu dia tertatih-tatih menuruni tangga ke ruang bawah, ibunya sudah langsung melapor dengan berapi api.
"Istrimu pergi. Anaknya dibawa."
Rianto hanya tertegun sesaat. Sesudah itu dia tidak berkata apa apa. Hanya melangkah, agak terhuyung, ke kursi di dekatnya.
Ibunyalah yang menyemburkan lagi kemarahannya. melihat bagaimana pucat dan suramnya wajah anaknya. Bagaimana pedihnya sorot matanya.
Bu Rully seperti dapat membaca derita luar biasa yang terlukis di mata putranya. Dan dia ikut merasakan sakitnya. Sayang dia tidak dapat menerka penyebabnya.
"Selama ini Ibu diam saja," dumalnya gemas.
"Untuk menjaga perasaanmu, Le. Tapi sekarang rasanya Ibu tidak bisa menahan diri lagi. Ibu harus menegur istrimu."
"Jangan, Bu..." suara. Rianto seperti menahan sakit.
"Dia sudah keterlaluan. Le. Seseorang harus menegurnya. Dan orang itu pasti bukan kamu. Kamu kelewat baik!"
"Ibu tidak mengerti..."
"Ibu mengerti sekali. Lelaki itu, bekas pacarnya, sudah kembali. Ini kan lagu lama. Hadirnya orang ketiga yang mengguncangkan rumah tangga...."
"Persoalannya bukan itu, Bu..."
"Pokoknya lho harus bicara dengan istrimu! Apaapaan begitu. suami lagi sakit. dia malah pergi-pergi semaunya saja! Pakai bawa-bawa anak, lagi!"
Dan ketika malam itu Anggun tidak pulang, kemarahan Bu Rully meledak lagi.
"Kamu mau Ibu yang telepon istrimu?" desisnya ketika dilihatnya betapa tertekannya perasaan anaknya.
Rianto hanya mengangkat mukanya, seolah olah dia baru saja tersadar dari lamunan yang amat dalam. Makannya sangat sedikit. Tidak seperti biasa. Padahal Bu Rully sudah membuat begitu banyak makanan yang disukai anaknya.
Yang lebih menyedihkan perasaan Bu Rully. anaknya tidak praktek. Dia diam saja di rumah. Melamun. Seperti sedang menunggu telepon atau kedatangan istri dan anaknya.
"Dia pasti di rumah orangtuanya." sambung Bu Rully datar.
"Ibu yakin dia tidak berani nginap di tempat lain. Dia kan bawa anak kecil."
Rianto mengerti sekali "tempat lain" mana yang dimaksudkan ibunya. Tetapi dia tidak menanggapi. Hatinya sedang terlalu sedih untuk berdebat.
Dia memang sangat merindukan Yos dan Anggun.
Tapi dia tahu, menjemput mereka sekarang bukan pilihan yang baik.
Anggun sedang kesal karena salah mengerti. Ibu juga sedang marah marah. Kalau mereka bertemu sekarang, pasti pecah pertengkaran hebat.
Jadi Rianto memutuskan untuk menunggu beberapa hari lagi. Meskipun untuk itu, penderitaannya semakin berat.
Satu-satunya hal yang membahagiakannya hanyalah hasil tes darah Yos. Ternyata anti HIV-nya negatif. Memang belum sepenuhnya aman. Dia harus mengulangi tes itu bulan depan. Rianto ingin kepastian yang absolut bahwa anaknya bebas dari HIV.
Sementara itu. dia mulai berbenah. Menyiapkan segalanya. Untuk menyongsong masa yang paling sulit dalam hidupnya. Menjelang ajal.
Untung dia sudah masuk asuransi jiwa beberapa tahun yang lalu. ketika tes HIV-nya masih negatif. Dia sudah punya rumah sendiri. Dan tidak pernah terlibat utang.
Dia mulai mengurangi prakteknya. Dan bersiap-siap untuk mengundurkan diri dari rumah sakit tempatnya bertugas.
Dokter Hasril memang memegang baik-baik rahasia jabatannya. Tetapi Rianto sudah bertekad, pada waktunya nanti, dia akan berterus terang. Saat mengajukan pengunduran diri, dia akan mengemukakan alasan yang sebenarnya.
Rianto hanya tidak sampai hati memberitahukan penyakitnya kepada ibu dan istrinya. Dia tidak tahu dari mana harus mulai.
Anggun mungkin sedih. Tapi dia pasti maSih dapat mengatasinya. Lebih-lebih dengan kehadiran Yudha.
Rianto sudah rela jika Anggun ingin kembali kepada kekasihnya. Rianto bahkan rela menceraikan Anggun. Dan membiarkannya membawa Yos. Meskipun dengan kehilangan dua orang yang paling dicintainya, masamasa terakhir hidupnya malah semakin sengsara.
Tetapi Rianto rela. Dia rela menderita seorang diri, asal Anggun dan Yos tidak ikut menderita. Dan hal itu lebih mudah dilakukannya. jika Anggun tetap tidak mengetahui penyakitnya.
Yang sampai sekarang belum dapat diatasinya justru ibunya. Ibu pasti bukan hanya sedih. Ibu pasti syok. Hancur. Bahkan mungkin tidak mampu lagi bertahan.
Tak ada orang yang dapat membahagiakan ibunya kecuali Rianto. Di hari tuanya, hidupnya hanya untuk anaknya. Kehilangan anaknya. artinya kehilangan pelita hidupnya. Semangatnya. Hari esoknya. Mampukah Ibu bertahan kalau dia mengetahui penyakit Rianto?
Dan semakin hari, tampaknya semakin sulit untuk menutupi penyakitnya, di rumah sakit maupun di rutuah.
Rianto mulai batuk batuk dan sesak napas ringan ketika pneumonia Pneumoeystis Carinii mulai merusak paru parunya. Bercak tumor kulit Sarkoma Kaposi pun mulai muncul di pelipisnya. Padahal komplikasi yang satu ini biasanya lebih sering ditemukan pada penderita yang homoseksual.
Sulit sekali bagi Rianto untuk menyembunyikan bercak merah kehitaman di kulit pelipisnya itu dari pandangan mata sejawat-sejawatnya di rumah sakit.
Akhirnya, dia memutuskan untuk mengundurkan diri lebih cepat. Dia akan mengisi hari-hari terakhir hidupnya hanya bersama ibunya di rumah.
Rianto menghadap kepala bagiannya hari itu juga. Dan begitu duduk di depan meja tulis Dokter Tobing, dia langsung mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri.
"Saya kena AIDS, Dok." kata Rianto sederhana sekali.
Dokter Guntur Tobing yang biasanya skeptis, terkenal sebagai dokter yang keras dan agak kasar. mendadak berubah sikapnya. Sesaat dia bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya tertegun bengong. Mengawasi sejawatnya antara terkejut dan tidak percaya.
AIDS? Dokter Rianto Sudirman mengidap... AIDS?
Lalu perlahan-lahan, Rianto melihat mata yang sedang mengawasinya dengan kaget itu, mata yang biasanya bersorot dingin, lambat lambat melunak dalam kesedihan.
Dokter yang baik ini, pikir Dokter Tobing antara sedih dan penasaran. Dokter yang terkenal paling sabar dan ramah, dokter yang paling disukai pasienpasiennya, mengapa justru dia yang kena musibah seberat ini'?
Penyakit AIDS! Rasanya kalau semua orang di dunia ini sudah terjangkit AIDS, barangkali Dokter Rianto-lah orang terakhir yang mengidapnya!
Tembang kehidupannya mengalun begitu tenang. Bahtera perkawinannya seperti tak pernah menyongsong badai. Masa lalunya tak pernah terusik gosip.
Mengapa AIDS justru memilih korban yang begini putih bersih?
Jadl benarlah ungkapan itu, AIDS bisa menimpa siapa saja! Bahkan orang yang tampaknya paling tidak mungkin terkena!
***
Untuk terakhir kalinya Rianto melakuxan visite ke Bagian Penyakit Anak. Suster Erna yang selalu mengikutinya selama bertahun-tahun, hampir tak dapat menahan air matanya.
Seperti semua tenaga medis dan paramedis di Bagian Anak rumah sakit itu, Suster Erna juga sudah tahu mengapa Dokter Rianto mendadak mengundurkan diri.
Rianto tidak mau menutupi penyakitnya. Dalam acara perpisahannya dengan mereka, dia berterus terang mengemukakan penyakitnya. Dan hadirin segera terbagi dua.
Ada yang terharu. Bersimpati. Dan segera menyatakan kesediaannya untuk membantu. Menghibur. Menabahkan.
Tetapi ada pula yang segera menghindar. Mereka memang ikut terharu. lba. Tapi takut mendekat.
Sulistio dan Erna termasuk grup yang pertama. Mereka terus mendampingi Rianto pada saat-saat terakhirnya di rumah sakit Sulistio malah orang pertama yang memeluk Rianto ketika mendengar kabar menyedihkan itu.
"Jangan takut. To," katanya sambil merangkul sahabatnya.
"Kami selalu di dekatmu."
Tapi "kami" itu ternyata tidak semua. Banyak juga temannya yang memilih mengirimkan rasa simpati dari jauh saja. Padahal tenaga medis dan paramedis seperti mereka seharusnya justru yang paling tahu, AIDS tidak menular semudah itu.
Seperti biasa, seperti yang selalu dilakukan sebelumnya. Rianto menyapa pasien-pasiennya dengan ramah. Memeriksa dengan teliti. Dan memberikan obat kepada mereka sambil tak lupa memberikan kata-kata penghiburan.
Suster Ema merasa terharu sekali, bagaimana Dokter Rianto masih dapat menghibur pasien-pasiennya pada saat dia sendiri perlu dihibur.
"Dokter tabah sekali," bisik Suster Ema antara baru dan kagum. ketika mereka sedang melangkah berdua menelusuri koridor yang menuju ke bangsal.
Tapi Rianto hanya tersenyum tipis.
"Pasien bukan hanya membutuhkan obat," katanya lunak.
"Mereka membutuhkan dorongan moril."
Dan itu yang tak kumiliki sekarang, keluh Rianto dalam hati. Ketika aku harus seorang diri menghadapi penyakitku!
***
Bukan hanya sekali-dua Bu Sofi menyuruh putrinya pulang. Menurut pendapatnya, tidak pantas seorang istri membawa anaknya kabur dari rumah, apa pun alasannya.
"Semua perselisihan antara suami-istri harus dapat kalian selesaikan sendiri di rumah," katanya tegas.
"Tidak pantas lari ke rumah orangtuamu lalu bersembunyi di sini."
"Mama tidak mengerti!" geram Anggun kesal.
Dia memang kesal. Sangat. Dikiranya Rianto hanya tahan beberapa hari tidak bertemu dengan anak-istrinya. Ternyata sudah hampir sebulan. menelepon saja tidak!
"Mama mengerti sekali," sahut ibunya sabar.
"Kamu seperti istri-istri yang lain, inginnya suami yang datang menjemput. Bukan kalian yang pulang sendiri ke rumah."
"Mas Rian yang salah! Dia menuduh saya..."
"Dia tidak salah tuduh, Anggi," sela ibunya lembut.
"Kamu memang melakukannya sebelum menikah. .jangan biarkan suamimu berpendapat kamu melakukannya lagi setelah menikah."
"Tapi dia tidak memberi saya kesempatan untuk membela diri!"
"Tentu saja tidak. jika kamu tidak berada di dekatnya. Kamu yang harus mencari kesempatan itu."
"Dia tidak mencari saya! Tidak mencari Yos! Padahal selama ini saya kira, dia sangat menyayangi Yos "
"Rianto pasti punya alasan sendiri, Anggi. Mama percaya dia suami yang sangat baik. Dan dia sangat menyayangi Yos. Orang buta pun bisa merasakan betapa sayangnya dia pada anakmu."
"Lalu kenapa dia tidak datang?" Anggun separo membentak didesak kekecewaan dan kejengkelan.
"Apa dia nggak tau Yos selalu merengek minta pulang? Selalu nangis nanyain papanya?"
"Pertanyaan yang sama untukmu, Anggi, kenapa kamu tidak mau pulang? Kamu biarkan kesombonganmu mengalahkan cintamu pada Yos?"
Tentu saja Anggun ingin pulang. Dia tahu Yos sudah sangat merindukan ayahnya. Dan untuk suatu alasan yang dia sendiri tidak tahu, Anggun sendiri sebenarnya juga sudah ingin pulang. Hanya dua alasan yang menahannya. Kesombongannya. Dan ibu mertuanya.
Masih marahkah perempuan tua itu?
Bu Sofi meraih bahu putrinya dengan lembut. Dirangkulnya anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Pulanglah. Sayang," bisiknya dengan tatapan mata dan suara yang hanya dia yang memilikinya.
Tatapan dan suara yang tak mampu dibantah Anggun. Yang membuatnya selalu mengagumi ibunya. Sekaligus merasa jengkel. Karena sejak kecil, dia tidak mampu membantah permintaan ibunya kalau Mama sudah menatapnya seperti ini. Sudah memerintahnya dengan suara seperti ini.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Anggun tiba di rumah. Rianto sedang duduk di kamar kerjanya. Padahal pagi-pagi begini, biasanya dia tidak pernah berada di rumah, kecuali hari Minggu.
Terus terang Anggun terkejut ketika menemukan suaminya di sana. Bukankah biasanya dia ke rumah sakit?
Ibu mertuanya memang tidak ada di rumah. Kata Mbok Nem, Ibu sedang belanja. Mungkin dia ingin membuat masakan istimewa lagi buat anaknya.
Rianto sendiri tidak mengetahui kedatangan istri dan anaknya. Saat itu dia sedang duduk di depan meja tulisnya.
Yeste/alm mengalun perlahan dari CD di atas bufet di kamar kerjanya.
Yang membuat Anggun lebih heran lagi, Rianto tidak sedang membaca. Tidak juga menulis. Dia hanya merenungi meja tulis di depannya. Ketika Anggun datang lebih dekat lagi, dia baru melihat apa yang sedang ditatap suaminya.
Gambar yang dibuat Yos pada ulang tahun ayahnya setahun yang lalu. Gambar lucu dari seorang bocah tiga tahun. Yos menggambar ayahnya persis seperti persepsinya. Gemuk. Lucu. Selalu tertawa.
Tetapi ayah yang ditemukannya hari ini sungguh berbeda. Papa bukan cuma tidak segemuk dulu. Dia malah tak mau tertawa lagi. Juga ketika Yos menjeritjerit memanggilnya sambil berlari ingin merangkul ayahnya.
Pendekar Rajawali Sakti 42 Kembang Goosebumps Rahasia Kepala Terpenggal Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama