Ceritasilat Novel Online

Cinta Menyapa Dalam Badai 3

Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 3



Rianto memang terkejut. Dia langsung bangkit dari kursinya. Dan refleks tangannya terulur hendak memeluk Yos dengan penuh kerinduan.

Tetapi tiba-tiba dia tertegun. Dan membatalkan niatnya. Sesaat dia hanya tegak tertegun di sana.

Yos-lah yang merangkulnya lebih dulu. Tidak peduli ayahnya tidak jadi memeluknya. Tidak peduli Papa tidak memanggilnya. Dan tidak tertawa lagi.

Anggun melihat mata Rianto serentak menjadi berkaca-kaca. Dia memeluk Yos dengan kaku. Tapi tidak menciuminya seperti biasa. Dia malah seperti salah tingkah.

Dan kemarahan Anggun meledak lagi. Mengapa sikap Rianto terhadap Yos tidak seperti biasa? Apakah karena sekarang dia sudah dapat memastikan Yos bukan anaknya? Atau karena dia belum dapat memaafkan istrinya?

Dan Bu Rully muncul pada saat yang sangat, sangat tidak tepat. Begitu melihat Anggun, matanya langsung menyala.

"Kita harus bicara," dia tidak berusaha meredam kemarahannya.

"Rasanya tindakanmu kepada suamimu sudah keterlaluan."

"Ibu." Rianto menurunkan Yos dari gendongannya dengan perasaan serbasalah.

"Biar saya saja..."

"Tidak," potong Bu Rully datar. Tegas.

"Kamu terlalu baik. Sudah cukup kamu dikurangajari...."

Anggun tidak menunggu sampai kemarahannya sendiri meledak. Dia meraih Yos ke dalam gendongannya dan membawanya pergi, walaupun Yos merantai-ronta dan menjerit-jerit protes.

"Mau ke mana lagi?" bentak Bu Rully sengit.

"Saya akan menunggu sampai suami saya yang bicara," sahut Anggun dingin. Mantap.

"Bukan orang lain."

Bu Rully gemetar menahan marah.

"Rupanya sudah terlambat!" geramnya pahit.

"Istrimu sudah terlalu kurang ajar!"

Rianto tidak menjawab. Dia hanya membalikkan tubuhnya. Menyembunyikan air matanya.

***

Anggun membawa kembali Yos ke rumah orangtuanya pagi itu juga. Ayah dan ibunya tidak ada di rumah. Tak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara. Padahal hatinya sudah pengap, hampir meledak.

Apa lagi yang harus dilakukannya? Dia sudah mengalah. Dia sudah menuruti petuah ibunya. Dia pulang. Dan dia membawa Yos.

Tapi sambutan suaminya sangat mengecewakan. Dia tidak merangkul anaknya dengan penuh kerinduan. Apalagi istrinya.

Rianto tidak menciumi Yos seperti biasa. Tidak tertawa gembira. Tidak bercanda. Tidak bergelut sampai bergulingan di tanah.

Dan perempuan tua itu! Mengapa sekarang dia jadi ikut mencampuri urusan rumah tangga anaknya? Mengapa tidak dibiarkannya mereka menyelesaikan sendiri masalah rumah tangga mereka?

Anggun benar-benar jengkel. Marah. Sakit hati. Apalagi Yos rewel terus. Dan di sana tidak ada lstiah yang dapat disuruhnya mengurus Yos.

Yos membanting-banting dirinya dengan marah di sofa. Ketika dilihatnya Mama diam saja, dia malah sengaja berguling-guling di lantai sambil menjeritjerit.

Ambang kesabaran Anggun benar-benar telah terlewati. Dia menyeret Yos bangun. Ketika Yos melawan dan meronta, dipukulnya pantatnya dengan sengit.

Mengapa aku harus menyiksa diri terus, pikir Anggun gemas, ketika akhirnya dia berhasil memaksa Yos tidur siang setelah hampir setengah harian ngambek. Aku tidak punya salah apa-apa. Kalaupun dulu aku berdosa, aku sudah mengakui kesalahanku dan berusaha menerimanya!

Akhirnya Anggun menelepon Yudha. Dia merasa berhak untuk menghibur diri. Apa salahnya mengobrol dengan teman lama? Mereka cuma ngobrol kok!

Yudha langsung datang ke rumah orangtua Anggun begitu dia menerima pesan Anggun di ponselnya. Padahal saat itu dia baru menghirup Shabu-Shabu.

Begitu Yudha muncul. Anggun tahu, Yudha sudah kembali menggunakan naza.

"Untuk menghilangkan stres." sahut Yudha terus terang.

"Karena aku?" tanya Anggun sedih.

"Salah satu di antaranya,"

"Yang lain?"

"Tak ada bank yang mau menerimaku," Yudha tersenyum pahit.

"Padahal kini aku sarjana S2."

"Karena krisis pasar modal? Karena bank sendiri sudah banyak yang kolaps jadi mereka tidak mau menambah tenaga baru?"

"Mungkin juga. Aku datang pada saat yang tidak tepat."

"Ayahmu tidak bisa memberimu pekerjaan?"

"Kalau hanya memberi kesibukan, tidak susah. Tapi aku tidak suka bikin sepatu."

"Kamu harus coba, Yud," pinta Anggun sungguhsungguh.

"Demi masa depanmu."

"Masih punyakah aku masa depan?" Yudha tersenyum kering.

Anggun menatap kekasihnya dengan sedih. Dia merasa sangat terpukul.

"Kamu harus menyingkirkan racun itu, Yudi"

"Buat apa? Tidak ada lagi motivasinya!"

"Jangan membuatku merasa bersalah, Yud!"

"Bukan salahmu. Hanya nasibku yang jelek."

"Jangan menyerah pada nasib! Kamu bisa memperbaikinya!"

"Pernah merasa hidup sekosong seperti yang kurasakan sekarang? Rasanya aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Kubiarkan saja hidupku dihanyutkan ke mana air mengalir!"

Jadi di mana sebenarnya batas antara benar dan salah. pikir Anggun getir. Kutinggalkan pria yang kucintai ini dengan melemparkannya ke jurang kehancuran! Sementara demi kesetiaanku pada suami, kubenamkan diriku dalam hidup yang membosankan. Dan suamiku masih tidak menghargai kesetiaanku! Menyepelekan pengorbananku!

***

Ketika Rianto muncul di ruang tamu rumah mertuanya. dia menemukan istrinya sedang mengobrol begitu intimnya dengan bekas kekasihnya. Dan Rianto segera merasa, pilihannya sudah benar. Keputusannya sudah tepat.

"Aku ingin bicara, Anggi," katanya setelah terbatukbatuk sesaat.

Wajahnya yang pucat tampak suram. Matanya melukiskan penderitaan yang amat sangat. Sampai Yudha yang biasanya amat membencinya, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Jangan sekarang," sahut Anggun tegas. Tawar.

"Aku belum sanggup."

Rianto menatapnya sejenak dengan sedih sebelum bertanya lagi dengan suara parau.

"Kapan?"

"Besok malam."

Yudha sampai menoleh mendengar dinginnya suara Anggun. Begitu hebatkah pertengkaran mereka?

Rianto mengangguk. Dia terbatuk-batuk sebelum melanjutkan dengan lebih perlahan.

"Boleh lihat Yos?"

"Dia sedang tidur," sahut Anggun datar.

"Jangan bangunkan karena dia bakal ngambek lagi." Lalu sambungnya dengan suara lebih kaku,

"Dan jangan tularkan penyakitmu."

Sesaat Rianto tersentak seperti kena pukul. Mukanya mengerut seperti menahan sakit. Dia menatap istrinya dengan terkejut. Matanya yang menggelepar resah, nyaris sampai ke batas takut. Dia perlu waktu sebelum menyadari. Anggun belum tahu apa penyakitnya yang sebenarnya. Dikiranya cuma flu biasa. Atau mungkin TBC.

Tetapi Anggun sudah bangkit sambil melemparkan pandangannya ke tempat lain. Terus terang dia tidak sampai hati membalas tatapan suaminya. Tapi hatinya masih terasa sakit, amat sakit! Dan sebelum sakitnya berkurang, rasanya dia belum mampu membicarakan masalah mereka dengan kepala dingin.

Anggun melangkah lebih dulu ke kamarnya. Rianto mengikuti dari belakang. Tidak terlalu jauh. Tapi tidak juga terlalu dekat. Dan dia tidak menyentuh istrinya. Bahkan tidak berusaha untuk itu!

Sakit hati Anggun semakin bertambah. Selama ini. dia memang merasa belum dapat mencintai suaminya seperti dia mencintai Yudha. Dalam perkawinan mereka, dia malah cenderung menghindari kemesraan selama masih memungkinkan.

Kalaupun dia melayani suaminya, itu lebih banyak didesak oleh kewajiban daripada gairah. Cumbuan Rianto tidak terlalu merangsang. Dia hanya sekali-sekali terhanyut, itu pun dengan bayangan seorang yang lain di kepalanya....

Tetapi Rianto tidak pernah bosan mencumbu istrinya, bagaimanapun tanggapan Anggun. Dan kasih sayang yang dilimpahkannya begitu besar dan lepas seperti air bah. Begitu tulus seperti tak mengharapkan balas.

Dan setelah bertahun-tahun diperlakukan seperti itu, tiba-tiba saja Anggun merasa kehilangan ketika suaminya tidak memperlihatkan kerinduannya, padahal mereka sudah sebulan berpisah! Jangankan berusaha memeluknya, memanjakannya, menyentuh saja tidak!

Dengan dingin Anggun menyingkir sedikit setelah membuka pintu kamar. Dan Rianto maju ke depan. Tetapi tidak melangkah masuk.

Dia hanya tegak di ambang pintu. Menatap Yos yang sedang tertidur pulas dengan kerinduan dan kesedihan yang hanya dia sendiri mampu merasakannya!

Maafkan Papa, Sayang, bisiknya dalam hati. Kalau kamu sudah besar nanti, barangkali kamu tahu alasan Papa melakukannya. Tapi saat itu, jika kamu sudah tidak mungkin lagi melihat Papa, ingatlah selalu, Yos,"

Papa selalu berada di dekatmu! Dan Papa melakukan semua ini justru karena Papa sangat mencintaimu!

Rianto menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir menjebol keluar dari matanya. Dia berbalik. Menghindari menatap istrinya. Dan melangkah tertatihtatih ke depan.

Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Karena dia tahu, kalau dia membuka mulutnya, tangisnya akan pecah.

Di ambang pintu depan, dia berhenti sesaat. Mengangkat tangannya memberi salam pada Anggun. Lalu seperti tidak mau melihatnya lagi, dia buru-buru memalingkan muka dan melangkah ke luar. Tanpa menoleh sama sekali kepada Yudha.

"Kenapa dia?" tanya Yudha, lebih banyak heran daripada kesal.

"Tingkahnya akhir-akhir ini memang aneh," desah Anggun kesal.

"Dia sakit apa?"

"Akhir-akhir ini dia sering flu," Anggun menghela napas berat.

"Kadang-kadang sampai flu perut juga."

"Pantas badannya susut banyak. Mukanya pucat kayak mayat. Apa yang mau dibicarakannya'?"

Anggun mengangkat bahu.

"Kalian bertengkar?"

"Biasa kan, suami-istri," sahut Anggun acuh tak acuh.

"Kalau tidak hebat, kamu tidak bakal minggat." Yudha tersenyum tipis.

"Dan tidak bakal mencariku!"

***

"Saya sudah memutuskan. Bu," kata Rianto pagi itu, ketika sedang santai. Suaranya begitu tenang. Begitu sabar. Begitu rata. Seolah-olah badai yang menerpa hidupnya telah berlalu. Dan dia telah menemukan dirinya kembali.

Bu Rully mengangkat mukanya. Ditatapnya anaknya dengan agak heran. Pagi ini, Rianto memang sudah berubah. Dia sudah kembali menemukan irama hidupnya yang lama.

Wajahnya begitu bersih, walaupun masih pucat. dan bercak ungu di pelipisnya itu terlihat makin menonjol. Suaranya sabar. Dan sikapnya sangat tenang.

"Saya akan menceraikan Anggun."

Sekarang Bu Rully bukan hanya heran. Dia terkejut. Sampai tidak mampu membuka mulutnya. Secepat itu?

"Biar Yos ikut Anggun."

'Tidak!" Sekarang Bu Rully tak dapat menahan dirinya lagi.

"Kamu sangat menyayangi anak itu!"

"Anggun juga. Dan seorang anak. apalagi yang masih sekecil Yos, memang sebaiknya ikut ibunya."

"Kamu hanya ingin berkorban lagi!" geram ibunya marah.

"Apa lagi yang mau kamu berikan'? Rumahmu? Mobilmu? Uang simpananmu di bank?"

"Anggun akan memperoleh semua yang menjadi haknya," sahut Rianto tenang.

"Ibu juga."

"Lupakan saja ibumu!" sergah Bu Rully gemas.

"Pikirkan dirimu! Ibu tahu pengorbananmu. Tapi cobalah jangan menghancurkan hidupmu! Masa depanmu!"

Tapi hidupku tinggal sesaat lagi, Bu, keluh Rianto getir. Masa depanku sudah tertutup. Pagi ini kutemu

kan limfoma maligna di leherku. Hidupku paling lama tinggal enam bulan!

Limfoma maligna adalah tumor ganas jaringan limfe. Dibandingkan dengan Sarkoma Kaposi. limfoma lebih cepat membawa maut.

Ketika menemukan benjolan kelenjar getah bening itu di lehernya tadi pagi, Rianto tahu. saatnya sudah dekat sekali. Karena itu dia tidak mau mengulur waktu lagi. Dia harus menyelesaikan segalanya secepat mungkin.

***

ANGGUN tidak mau dijemput. Dia malah minta diantarkan Yudha ke restoran langganan mereka.

Ketika dia mendadak mengerti alasannya, Anggun merasa malu. Bukankah dia tidak mencintai Rianto? Kalau begitu. buat apa membangkitkan kecemburuannya?

Tetapi ketika melihat kecemburuan yang bersemi di mata Rianto, entah mengapa ada perasaan senang di hati Anggun. lnikah perasaan seorang wanita yang merasa dirinya masih dicintai kalau masih dicemburui suami? Dan itukah yang diharapkannya... dicintai suami, walaupun selama bertahun-tahun dia tidak mampu membalas cinta suaminya?

Tiba-tiba saja kesadaran itu menyelusup ke relung hati Anggun. Kalau dia masih ingin dicemburui. masih ingin dicintai... apakah itu bukan berani dia masih

menginginkan perkawinan ini? Mungkinkah sudah lahir setitik... hanya setitik mungkin... benih cinta?

"Kujemput jam sembilan," kata Yudha setelah mengantarkan Anggun masuk.

Lalu tanpa menoleh sekejap pun pada Rianto yang sudah tegak di samping kursinya, Yudha membelai pipi Anggun dengan hangat dan melangkah keluar dengan gagah.

Rianto harus memejamkan matanya sesaat. Bukan hanya untuk menghindari pemandangan yang menyakitkan itu, tetapi sekaligus untuk meredam nyeri yang menikam hatinya.

Pada saat yang sama, Anggun justru sedang mengawasi suaminya. Ingin melihat reaksinya. Tapi yang dilihatnya bukan hanya wajah yang mengerut seperti menahan sakit. Dia melihat sebentuk wajah yang pucat dengan bercak keunguan di pelipisnya. Tubuh Rianto juga sudah jauh lebih kurus. Dan dia tampak lemah.

Rianto menarikkan kursi untuk istrinya. Dia menunggu sampai Anggun duduk. baru kembali ke kursinya sendiri.

"Bagaimana Yos, Anggi?" tanya Rianto begitu duduk.

"Nggak apa-apa," sahut Anggun tawar. Dia sering menanyakan Mas. Tapi kata kata yang terakhir itu tidak diucapkannya.

Justru kata-kata itu sebenarnya yang sedang ditunggu Rianto. Ketika kekecewaan menggurat wajahnya, Anggun tahu apa sebabnya. Dan tak urung dia merasa iba.

"Mas sakit?" tanyanya setelah sama-sama berdiam diri.

"Sakit apa?"

"Ah, cuma flu," sahut Rianto asal saja setelah batuk-batuk sebentar.

"Mau makan apa, Anggi?"

"Terserah Mas saja."

Tak sengaja Rianto menghela napas panjang. Kenangan masa lalu mereka yang manis kembali menyengat memorinya. Sekarang mereka duduk di restoran yang sama. Memesan makanan yang sama. Tapi kehangatan itu bukan milik mereka lagi.

"Ada yang ingin kukatakan padamu. Anggi."

"Untuk itu kita bertemu, kan?" balas Anggun tawar.

Di mana kehangatan? Di mana kemesraan? Suasana yang menyelimuti mereka begitu kaku dan tegang. Mengapa Rianto tampak begitu berubah? Dia tidak kelihatan ingin berdamai. Ingin memperbaiki suasana .

"Aku ingin bercerai."

Lama Anggun tertegun. Tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu Rianto tidak pandai menyusun kata-kata yang muluk-muluk.

Tapi pernyataannya kali ini benar-benar terlalu polos! Terlalu langsung ke sasaran. Sekaligus terlalu menyakitkan!

Anggun tidak menyangka Rianto sanggup mengucapkannya. Dia bahkan tidak menduga Rianto pernah memikirkannya!

Dia sungguh merasa terhina. Jika mereka ingin bercerai, seharusnya dialah yang minta cerai! Bukan suaminya!

"Yos boleh kamu bawa," sambung Rianto sambil berusaha mengontrol suaranya setenang mungkin.

"Hanya ada satu permintaanku. Izinkanlah aku membawanya sekali lagi untuk periksa darah. Kali ini, bersamamu...."

Ambang kesabaran Anggun benar-benar telah terlewati. Rianto benar benar keterlaluan! Pantaskah membicarakan pemeriksaan darah saat mengajukan cerai?

Tanpa berkata sepatah pun Anggun bangkit menyambar tasnya. Mukanya merah padam. Menahan malu, geram, dan sakit hati.

Rianto bertambah terpukul melihat tanggapan istrinya. Bertambah tersiksa merasakan kesakitan yang terbayang di paras Anggun.

"Jangan salah sangka. Anggi!" sergah Rianto sedih.

"Aku hanya tidak ingin menularkan penyakitku!"

"Persetan dengan penyakitmu!" geram Anggun antara marah dan kecewa.

"Aku tidak peduli Mas sakit TBC, hepatitis. atau lepra sekalipun! Aku tidak mau periksa darah!"

Periksa darah! Hhh. Sedang sakit saja Anggun tidak mau, apalagi sedang sehat begini! Kata Rianto, tubuh manusia dapat membuat kekebalan kalau kemasukan bibit penyakit, kan? Nah, tubuhnya pasti sudah membuat kekebalan seandainya pun dia sudah ketularan! Dia tidak merasa sakit kok!

Tentu saja Anggun tidak tahu, virus yang sedang menggerogoti tubuh Rianto justru virus yang memusnahkan kekebalan! Dan berbeda dengan penyakit virus lain, musnahnya sistem kekebalan tubuh itu bersifat menetap. Tidak ada kata sembuh! Tidak ada istilah pulih!

Dengan gemas Anggun melangkah keluar dari restoran itu. Dan minta dipanggilkan taksi. Dia tidak mau menunggu Yudha. Tidak mau pula diantarkan pulang oleh Rianto. Antara mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Suaminya sudah mengajukan cerai! C-e-r-a-i!!!

***

"Cerai?" belalak Bu Sofi antara kaget dan tidak percaya.

"Gila." geram Prambudi sengit.

"Dikiranya siapa dia, bisa menceraikan anakku seenaknya?"

"Apa gara-gara Yudha, Anggi?" desak Mama setelah lama berdiam diri.

"Siapa bilang gara-gara Yudha?" sergah Anggun menahan tangis. Dia merasa malu. Sekaligus terhina.

"Kami memang sudah tidak cocok. Ibunya juga sudah mulai ikut campur urusan kami!"

"Biar Mama yang bicara sama Rianto."

"Nggak usah!" cetus Anggun marah,

"Bikin malu Anggi saja!"

"Kenapa harus malu?"

"Tentu saja malu!" sambar Prambudi, ikut gusar melihat nasib anaknya.

"Masa sudah mau dicerai masih nawar?"

"Ini pasti cuma salah paham!"

"Apa pun alasannya, Anggi memang ingin bercerai," sela Anggun kesal.

"Sudah nggak tahan lagi!"

"Nah, bercerailah!" sambut Prambudi tegas.

"Tapi jangan harap kamu bisa kawin sama Yudha!"

"Kenapa?" Anggun membeliak sengit.

"Kenapa?" Prambudi balas membelalak.

"Karena

Papa tidak mau punya menantu pecandu narkotik! Sudah cukup jelas?" Kemarahan Anggun meledak dalam tangis.

"Tidak, Papa! Jangan campuri soal perkawinan Anggi lagi! Kali ini, Anggi ingin membuat pilihan sendiri! Papa-Mama tidak berhak lagi ikut campur! Anggi sudah dewasa!"

***

Rianto mengambil payungnya. Dan melangkah gontai ke mobilnya. Tetapi sesaat sebelum masuk ke dalam mobil, dibatalkannya kembali niatnya.

Dikuncinya kembali pintti mobilnya. Lalu dia melangkah perlahan-lahan di sepanjang kaki lima, hanya ditemani oleh payungnya.

Sudah lama dia tidak berani berjalan kaki malam hari. AIDS membuat pertahanan tubuhnya sangat lemah, sehingga infeksi yang ringan pun bisa berakibat fatal.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi sekarang dia tidak peduli. Dia terus melangkah walaupun udara dingin menambah banyak batuknya.

Dia ingin menikmati suasana ini sekali lagi. Suasana yang mungkin tak dapat dialaminya lagi.

Alam terasa begitu akrab walaupun angin malam berembus tak bersahabat. Pemandangan tampak indah mengesankan meskipun semua yang tampak merupakan panorama Jakarta yang tiap hari dilihatnya .Mengapa dunia baru terasa indah setelah hampir ditinggalkan?

Ketika Rianto sampai di rumahnya malam itu, ibunya belum tidur. Seperti biasa, ia masih menunggunya.

Rianto menaruh payungnya seperti biasa di rak payung di depan pintu. Lalu menghampiri ibunya.

"Belum tidur, Bu?" tanyanya lembut setelah batukbatuk sedikit.

"Batukmu belum sembuh juga," keluh Bu Rully khawatir.

"Apa nggak perlu rontgen?"

Rianto tertawa perlahan.

"Mentang-mentang punya anak dokter, Ibu lagaknya sudah kayak dokter juga!"

"Serius, Le," Bu Rully menghela napas panjang.

"Jangan bercanda. Kamu kan sudah lama batuk-batuk. Apa bukan TBC? Badanmu juga tambah kurus. Jangan-jangan ketularan pasien!"

"TBC mana mau sama saya, Bu!" Rianto tertawa lebar.

"Tapi Ibu mau kamu periksa. Le. Kalau perlu, berobat yang serius, jangan cuma istirahat di rumah."

"Beres, Bu. Besok saya ke rumah sakit."

"Bagaimana istrimu?" tanya ibunya lagi setelah terdiam beberapa saat.

"Saya sudah mengajukan cerai." sahut Rianto sambil melangkah ke tangga.

Bu Rully mengawasi anaknya dari belakang tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Jadi anak itu serius! Si Thole minta cerai! Ada apa sebenarnya?

Dia tahu sekali bagaimana sayangnya Rianto pada anak-istrinya! Sekarang pun, berani taruhan, dia pasti pergi ke kamar anaknya dulu! Itu memang yang setiap malam dilakukannya. Rianto akan pergi melamun di

kamar Yos, walaupun tidak ada Siapa-siapa lagi di kamar itu!

Dan Rianto memang ke sana. Dia membuka pintu kamar anaknya. Memandangi tempat tidur yang kosong itu dengan sedih. Lalu dengan air mata berlinang, dia masuk ke kamar. Menutup pintu. Dan duduk di ranjang.

Di sana dia akan duduk berjam-jam. Mengawasi dinding yang penuh coretan tinta. Merenungi gambargambar buatan Yos. Buku-bukunya. Menatap mainanmainan yang ditinggalkannya. Dan membayangkan Yos sedang tertawa lebar sambil jungkir balik di atas tempat tidurnya.

Kadang kadang Rianto membuka kotak musik yang sudah ada di sana sejak Yos masih bayi. Kotak musik yang dibelinya ketika anaknya lahir. Dinikmatinya senandung yang selalu membiaskan perasaan rindu yang menyayat hati itu.

Kadang kadang dia mendengarkan lagu lagu kesukaan Yos. Lagu anak anak yang sangat disenanginya. Dan Rianto tersenyum membayangkan gaya Yos ketika ikut menyanyikan lagu itu.

Lalu lewat tengah malam dia baru masuk ke kamarnya sendiri. Membaringkan tubuhnya yang lemah ke atas tempat tidur. Meraba tempat tidur kosong di sisinya. Dan memeluk gulingnya erat erat. Membayangkan tubuh istrinya yang melek.

Tetapi malam ini Rianto bukan hanya membayangkan wajah cantik istrinya. Dia membayangkan kemarahan dan kekecewaan yang tersirat di wajah Anggun. Dan dia merasa hatinya sakit, bahkan lebih sakit dari penderitaannya selama ini.

Maafkan aku, Anggi, bisiknya lirih. Kalau kamu tahu mengapa aku melakukannya...

***

Rianto menyerahkan urusan perceraiannya kepada pengacaranya. Keputusannya telah bulat. Dia ingin bercerai. Tidak ada lagi yang dapat menghalanginya. Tidak juga ibunya.

Dia menyerahkan hak asuh Yos kepada istrinya. Menjual rumahnya. Dan memberikan separo uangnya kepada Anggun. Yang separo lagi dimasukkannya ke bank dalam bentuk deposito atas nama ibunya. Tentu saja tanpa setahu Bu Rully.

Lalu dia pindah ke rumah lamanya. Rumah ibunya. Sebuah rumah tua yang nyaman. Rumah yang pernah memberinya kedamaian selama tiga puluh lima tahun lebih.

"Ada apa sebenarnya, Le?" tanya ibunya sedih pada malam pertama mereka kembali tinggal di rumah yang lama.

"Kamu sebenarnya sakit apa?"

Saat itu mereka sedang duduk berdua di teras belakang yang menghadap sebidang kebun kecil yang sudah lama tidak terpelihara lagi.

"Kenapa Ibu pikir saya sakit?" Rianto tersenyum tenang.

"Hidup aman damai bersama Ibu pasti menambah panjang umur saya. Ibu tidak senang hidup berdua saya lagi"?"

"Tentu saja Ibu senang, Le. Tapi sebelum tahu apa penyakitmu, Ibu masih penasaran. Apa kamu..." Wajah Bu Rully berubah tegang dan cemas ketika kata katanya berhenti sejenak.

"Kena... kanker?"

"Siapa bilang?" Rianto membelai tangan ibunya dengan lembut.

"Jangan bikin pikiran Ibu tambah kacau dong, Bu!"

"Kamu berhenti praktek. Berhenti kerja. Menjauhi istri dan anakmu. Ada apa sebenarnya, Le? Mengapa kamu tidak mau berterus terang? Biar Ibu lebih siap menghadapinya. Musibah apa pun yang datang, marilah kita hadapi bersama."

Rianto begitu terharu mendengar kata-kata ibunya. Lebih-lebih mendengar cara ibunya mengucapkannya. Ibu memang kelihatan sedih. Naluri keibuannya sudah lama membisikkan, anaknya sakit. Dan pasti sakit yang cukup serius. Kalau tidak. buat apa Rianto merahasiakannya'? Dia pasti tidak ingin membuat ibunya sedih. Tetapi ajakan ibunya untuk bersama-sama menghadapi musibah yang datang menyapa, mengusik keputusan Rianto untuk merahasiakan penyakitnya.

Entah mengapa, begitu mendengar suara ibunya, dia yakin, Ibu cukup tabah menghadapi kenyataan pahit itu. Ibu mungkin malah dapat menjadi pendamping yang lebih baik di hari-hari akhir hidupnya.

"Ibu," Rianto memeluk ibunya setelah lama berdiam diri.

"Kalau bisa, saya ingin mengirim ibu ke tempat yang lebih jauh. supaya Ibu tidak usah mendengar berita ini...."

Bu Rully mendengarkan dengan hati berdebar-debar kata kata anaknya. Dia tahu, sesuatu yang mengerikan akan segera didengarnya. Tapi dia berusaha bersikap setabah mungkin.

"Tapi sampai sekarang saya tidak tahu, adakah tempat di mana Ibu merasa lebih bahagia selain di samping saya?"

Bu Rully merasa matanya panas. Dia harus menggigit bibirnya kuat-kuat supaya air matanya tidak mengalir deras. Dirasakannya pelukan anaknya semakin erat.

"Saya kena AlDS, Bu...."

Tetapi setabah apa pun seorang ibu, dia tidak akan kuat mendengarnya. Bu Rully terkulai pingsan dalam pelukan Rianto,

"Tidak!" tangis Bu Rully ketika dia sudah siuman.

"Tidak mungkin! Tidak adil!"

"Ibu..." Rianto memeluk ibunya sambil menahan haru.

"Penyakit tidak mengenal keadilan. Bu. Penyakit bisa menghinggapi siapa saja."

"Tapi AIDS!" cetus Bu Rully pahit.

"Tidak, Le! Tidak adil! Orang sebaik kamu bagaimana bisa mengidap penyakit itu!"

"AIDS bisa menimpa siapa saja, Bu."

"Tapi kamu ketularan dari mana? Kamu bukan pecandu narkotik, bukan homoseks, tidak pernah gontaganti pasangan...."

"Bisa saja ketularan dari pasien kan, Bu?"

Tangis Bu Rully meledak tambah hebat.

"Tidak adil!" sergahnya getir.

"Tidak adil! Mengapa Tuhan begitu tidak adil padamu, Le? Kamu begitu sayang pada pasien pasienmu...."

"Jangan menyalahkan Tuhan. Bu...."

"Kamu begitu baik... tidak pantas kamu dihukum seperti ini!"

"Penyakit bukan hukuman. Bu!"

tetapi Bu Kully tetap merasa penasaran. bagaimana mungkin penyakit yang begitu memalukan dapat menimpa anaknya yang demikian alim, demikian baik, nyaris sempurna?

"Tolong, Tuhan," pintanya dalam rentetan doanya setiap malam.

"Sembuhkan anakku! Berikan mukjizat, sembuhkan dia! Engkau Mahakuasa, Tuhan. Pakailah anakku untuk menyatakan kuasa-Mu!"

Tetapi Tuhan seperti tidak mendengar doanya. Protesnya. Rintihannya, Dari hari ke hari keadaan Rianto semakin memburuk. Rasanya tak ada lagi yang dapat menariknya dari kereta yang sedang melaju cepat menuju ke lembah kematian.

***

DUA bulan kemudian. Rianto harus dirawat di rumah sakit karena pneumonia Pneumoeystis Carinii yang semakin parah. Batuknya semakin kerap. Dan dia menderita sesak napas hebat.

Sementara benjolan Sarkoma Kaposi-nya yang semakin membesar dan menyebar diberi pengobatan sinar.

Teman-teman sejawatnya yang memberikan perhatian yang sangat besar atas perawatannya bergantian datang menghiburnya. Tetapi bagaimanapun pandainya mereka menyembunyikannya, Rianto tahu. prognosis penyakitnya sudah semakin memburuk.

"Keadaanmu sudah semakin baik, To." Seperti biasa, Sulistio datang setiap hari untuk membesarkan hati sahabatnya.

"Besok kau sudah boleh pulang."

"Bukan berarti semakin menyembuh. kan?" Rianto

tersenyum lemah.

"Baru saja kulihat hasil darahku. CD4-kn sudah makin menurun."

Sulistio memaksakan sepotong senyum sambil menepuk lengan sejawatnya.

"Tapi pneumonia-mu sudah semakin membaik. Kalau kau tidak sering ngeceng malam lagi, segala macam infeksi oportunistik pasti bisa kaucegah!"

"Kau lupa, sobat! Limfoma maligna ku justru sudah semakin menyebar! Dokter Arif baru saja menawarkan kemoterapi. Kutolak."

"Kenapa?" gerutu Sulistio penasaran.

"Kau mau lebih cepat ke surga? Sudah punya kapling di sana?" Rianto tersenyum membalas kelakar temannya.

"Buat apa menyiksa diri? Kita kan tahu, akhirnya sama saja. Limfoma maligna punya prognosis paling jelek, kan?"

"Tapi bukan berarti kau diam saja menyerahkan nyawa!"

"Tidak, Lis. Aku sudah memutuskan, aku ingin meninggal dengan tenang. Aku tidak ingin pengobatan yang macam-macam lagi. Lebih-lebih yang menyakitkan seperti kemoterapi. Aku akan menghabiskan sisa hidupku di rumah. bersama ibuku."

"Kau yakin, kau tetap tidak ingin Anggun tahu?" tanya Sulistio muram setelah lama terdiam.

"Jangan. Kalau masih ada yang dapat kulakukan di akhir hidupku yang tinggal beberapa saat lagi ini, aku ingin membahagiakannya, Lis. Bukan malah membuatnya menderita."

"Dia pasti lebih menyesal kalau baru mengetahuinya setelah kau mati, To!"

"Dia sudah kembali kepada orang yang dicintainya.

Kalau kami tidak dapat mengecap kebahagiaan berdua, biarlah dia saja yang merasakannya."

Sulistio tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penasaran.

Bu Rully mengawasi anaknya yang sedang tidur itu dengan sedih. Alangkah kurusnya dia sekarang. Alangkah pucat dan tuanya wajahnya!

Ke mana semua cahaya kebahagiaan dan kedamaian yang selalu bersinar di wajahnya yang montok dan penuh senyum itu? Semuanya seperti lenyap tak bersisa!

Anaknya kini lebih mirip mayat. Lebih-lebih jika dia sedang terbaring lelap begini.

Tak terasa air mata Bu Rully meleleh ke pipinya. Mengapa anak sebaik Rianto harus mengalami penderitaan seperti ini? Mengapa nasib begitu kejam kepadanya? Mengapa Tuhan seolah olah menjauhinya, bahkan menghukumnya? Apa sebenarnya dosanya?

Rianto anak yang berbakti. Suami yang setia. Ayah yang baik....

Dan ingatan Bu Rully tiba tiba kembali pada Anggun. Pada Yos. Tidak rindukah Rianto pada anak-istrinya"?

Rianto memang melarang ibunya untuk memberitahu Anggun. Tapi benarkah Rianto tidak mengharapkan kedatangan mereka? Tidak ingin melihat mereka, mungkin... untuk terakhir kalinya?

Bu Rully selalu melihat Rianto memandangi gambar-gambar Yos. Cincin kawinnya juga masih sering dipandanginya. walaupun sudah tak dapat lagi dipakainya karena terlalu longgar.

Jika dia pergi ke rumah Anggun... marahkah Rianto?

Tetapi Bu Rully sudah tidak peduli lagi seandainya Rianto marah sekalipun. Dia tetap ingin memberitahu Anggun. Ingin memohon supaya Anggun mau datang membawa Yos.

Untuk Rianto, dia rela melakukan apa pun. Termasuk melupakan harga dirinya sendiri. Demi Rianto... kalau masih ada yang dapat membahagiakannya... dia rela biar dihina sekalipun!

Sayangnya, dia datang pada saat yang tidak tepat. Anggun sedang pergi bersama Yudha. Ibunya pun tidak ada di rumah. Hanya ayah Anggun yang menyambutnya. Dan sikap Prambudi. S.H. sangat tidak ramah.

"Anggun tidak ada di rumah," katanya datar.

"Ada yang perlu saya sampaikan? Saya dengar Rianto sudah menyerahkan semua urusan perceraian mereka kepada pengacaranya."

"Rianto sakit," gumam Bu Rully lirih.

"Saya ingin minta Anggun membawa Yos menengoknya."

Sakit? Prambudi mengangkat sebelah alisnya. Sekarang sesudah anakmu sakit baru kau datang kemari! Dulu kalian bukan main sombongnya! Menceraikan Anggun seolah olah dia sampah yang bisa kalian lempar semaunya!

"Nanti saya sampaikan," tukas Prambudi tawar.

"Siapa tahu Anggun masih mau bermurah hati menengok suami yang telah menceraikannya."

"Bapak tidak tanya Rianto sakit apa?" geram Bu Rully menahan marah.

"Perlukah saya tanya? Saya toh bukan dokter."

Jadi percuma saja. Lelaki ini sangat angkuh. Mungkin juga dia masih sakit hati. Merasa terhina karena anaknya diceraikan.

Kalau ayahnya saja sudah begini, apalagi anaknya! Percuma menjelaskan. Percuma memohon. Percuma!

Tanpa berkata apa-apa lagi Bu Rully meninggalkan rumah itu. Prambudi membanting daun pintu dengan kesal. Ketika dia membalikkan tubuhnya, sekilas dia melihat punggung Yos.

***

Yudha masih tetap menarik. Masih tetap nyentrik. Dan Anggun yakin, dia masih mencintai lelaki itu.

Tetapi entah mengapa, setiap kali berkencan dengannya, Anggun selalu teringat pada Rianto.

Ada apa dengan diriku. pikir Anggun kesal. Dulu aku selalu membayangkan Yudha setiap kali bermesraan dengan suamiku. Dan sekarang aku selalu teringat pada Rianto setiap kali kencan dengan Yudha! Sudah gilakah aku? Menginginkan dua pria sekaligus?

Tetapi bagaimanapun dia berusaha mengusir perasaan itu. dia semakin tak berdaya. Perasaan itu datang dan datang lagi. Lebih sering Anggun berada di dekat Yudha, lebih sering pula bayangan Rianto mengUSiknya.

Setiap kali Yudha marah marah, ingatan Anggun selalu kembali pada betapa baiknya suaminya. Setiap

kali Yudha mengasarinya, Anggun langsung terkenang betapa sabarnya Rianto!

Dan setiap kali melihat betapa enggannya Yos bermain dengan Yudha, Anggun merasa lebih tersiksa lagi. Dia tahu, Yos masih merindukan Papa lan-nya. Dan karena tidak ada Papa lan, karena Mama menyodorkan seorang pengganti. Yos menjadi marah. Kemarahan terpendam yang membuat sifatnya menjadi tidak menyenangkan.

Yos menjadi sangat nakal. Seakan-akan kenakalannya memang disengaja sebagai protes karena Mama menyingkirkan Papa.

Ternyata. bukan ayah biologisnya yang dipilih Yos. Ayah sejati baginya cuma Papa Ian. Figur ayah yang dikenalnya sejak bayi. Ayah yang paling sempurna baginya. Ayah yang dapat memberinya rasa aman.

Dan setiap kali Anggun terpaksa memukul Yos karena nakalnya keterlaluan, dia menyesal. Dia sadar, dialah yang salah.

Bukan Yos. Yos hanya memberontak sebagai manifestasi ketidakpuasannya. Karena dia tidak tahu cara lain untuk mengekspresikan kemarahan terpendamnya.

Pernah terlintas dalam pikiran Anggun untuk membicarakan lagi masalah pengasuhan Yos. Dia tahu bagaimana sayangnya Rianto pada anaknya. Barangkali memang tidak bijaksana memisahkan mereka. Mungkin lebih baik kalau Rianto diberi kesempatan untuk lebih kerap bertemu anaknya.

Tapi bukankah akhir-akhir ini malah Rianto yang kelihatannya tidak ingin berada di dekat Yos? Bukan

kah gara-gara dia tahu Yos anak Yudha, dia menginginkan perceraian ini?

"Mengapa kamu tidak pernah berpikir, mungkin demi mengembalikan Yos pada ayahnya, Rianto mengalah dan mengajukan cerai?" terngiang kembali di telinganya kata-kata ibunya.

"Rianto sangat menyayangi Yos. Tidak mungkin dia mau berpisah kalau tidak ada alasan yang kuat. Dari dulu juga dia sudah tahu, Yos bukan anaknya."

Tapi aku harus bagaimana, pikir Anggun resah. Aku yang diceraikan! Rianto bahkan tidak memberiku kesempatan untuk bertanya, untuk membela diri!

"Aku hanya tidak ingin menularkan penyakitku...." Itu kata-kata Rianto yang terakhir sebelum mereka berpisah. Sakit apakah dia? Begitu menularnyakah penyakitnya sampai dia begitu takut?

Dan aku sudah keburu marah sampai tidak sempat bertanya! Kesombonganku yang menutupi segalanya.... Tapi... apakah justru bukan Rianto yang berusaha menyembunyikan penyakitnya?

Lalu tibaatiba saja Yos mengatakannya. Langsung begitu Anggun pulang.

"Papa Ian sakit." katanya dengan tatapan yang sangat tidak enak dilihat.

"Tadi Nenek datang."

Anggun terperangah. Rianto tidak akan menyuruh ibunya datang kalau dia tidak betul-betul sakit!

"Rianto sakit apa, Pa?" desak Anggun pada ayahnya.

"Mana Papa tahu?" balas ayahnya tawar.

"Ibunya nggak bilang?"

"Dia cuma minta kaubawa Yos menengoknya."

Kalau begitu aku harus melihatnya, pikir Anggun resah.

"Besok kuantarkan," cetus Yudha yang baru saja mengantarkan Anggun pulang. Besok pagi dia pasti lebih fit. Saat ini dia masih setengah fly setelah memakai putaw.

"Tidak usah," sahut Anggun gelisah. Lagi pula, aku tidak akan menunggu sampai besok pagi!

***

Yudha memaksa untuk mengantarkan Anggun ke rumah Rianto. Ada tiga hal yang membuat Anggun akhirnya mengalah. Hari sudah malam. Dia dalam keadaan bingung. Dan dia sudah agak lupa letak rumah ibu Rianto.

Yudha yang melihat bagaimana resahnya Anggun. meletakkan tangan kirinya di bahu wanita itu. Tangannya yang lain masih memegang kemudi mobilnya.

"Dia kan dokter," hiburnya tanpa menyembunyikan nada cemburu dalam suaranya.

"Kalau sakit parah, pasti sudah masuk rumah sakit. Kamu nggak usah khawatir begini dong!"

"Aku merasa bersalah."

"Karena meninggalkannya? Kamu yang diceraikan!"

"Mungkin karena dia ingin mengembalikan aku dan Yos kepadamu."

"Tidak ada lelaki yang punya pikiran seperti itu!"

"Kamu tidak kenal Mas Rian."

Yudha menarik tangannya dengan kesal.

"Berhentilah memujinya di depanku! Kalau kamu jadi istriku nanti. kamu tidak boleh memuja lelaki

lain, siapa pun dia!"

"Aku hanya mengatakan apa adanya. Mas Rian memang sangat baik."

Yudha membanting kemudi mobilnya ke kiri dan menginjak rem. Untung hari sudah malam dan jalanan sudah sepi. Kalau tidak, mobilnya pasti ditubruk dari belakang.

Yudha meraih tubuh Anggun dengan kasar ke dalam pelukannya. Mengangkat dagunya. Memaksanya menatap matanya.

"Aku sangat mencintaimu, Anggi," desahnya menahan marah.

"Dan aku bukan model lelaki seperti Mas Rian mu! Kalau aku mencintai seorang wanita, aku menginginkan wanita itu sepenuhnya!"

Anggun belum sempat membuka mulutnya. Yudha sudah mendekapnya erat-erat. Begitu kuatnya sampai punggungnya terasa sakit.

"Aku tidak mau kehilangan kamu lagi, Anggi. Tak seorang pun dapat merebutmu dari tanganku!"

***

Ketika Anggun tiba di rumah Rianto, hanya Mbok Nem yang membukakan pintu. Matanya terbelalak ketika mengenali Anggun.

"Sudah tidur," sahutnya gugup ketika Anggun menanyakan Rianto dan ibunya.

"Di mana kamarnya?" desak Anggun tanpa mengacuhkan sentuhan tangan Yudha di bahunya, mengajak pulang.

Mbok Neni melongo bingung. Kamar? Kamar tiapa?

"Masih di atas kan, Mbok?" desak Anggun tak sabar.

"Masih kamar Mas Rian yang dulu?"

Mbok Nem menganggukkan kepalanya dengan bimbang.

Tanpa ragu sedikit pun. Anggun melangkah menjinjit ke kamar Rianto di tingkat dua. Dia ingat sekali, sebelum menikah dulu, Rianto pernah membawanya ke rumah ini, untuk menemui ibunya. Kata Rianto, rumah tua ini memiliki tiga kamar. Dua di atas. Satu di bawah. yang dipakai oleh ibunya.

Yudha masih mencoba meraih tangan Anggun sekali lagi, mengajaknya pulang saja. Tetapi Anggun berkeras untuk menemui Rianto. Dia harus melihat keadaannya sekarang juga.

"Tunggu saja di sini," katanya sambil melepaskan tangannya.

"Nggak lama."

Anggun melewati ruang tengah yang agak berantakan sebelum naik ke atas. Bau yang kurang sedap sudah tercium begitu dia menginjak lantai atas. Lantai terasa licin di bawah sepatunya, sehingga dia harus berpegang ke terali kayu yang membatasi koridor sempit di depan kamar dengan lantai di bawahnya.

Dan Anggun terperanjat. Terali kayu yang sudah lapuk itu bergerak ketika disentuh. Buru buru dia memperbaiki keseimbangannya kembali.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia harus hati-hati sekali melangkah. Lantai yang terbuat dari ubin tua ini agak licin dan suasana di sana agak gelap. Salah salah menginjak sesuatu, dia bisa tergelincir. Menyesal juga dia memakai sepatu bertumit tinggi seperti ini.

Tetapi Yudha memang bukan Rianto. Kalau pergi bersamanya, dia yang menentukan apa yang boleh dipakai Anggun. Seleranya memang tinggi. Tapi kadangkadang agak merepotkan.

Tanpa ragu-ragu, Anggun membuka pintu kamar di dekatnya. Kamar yang lain terletak jauh di depan. dan tampaknya lebih gelap lagi.

Begitu pintu terbuka, hidung Anggun mencium bau yang tidak biasa. Seperti bau campuran obat dan sesuatu yang agak amis.

Samar-samar, dia melihat tubuh seseorang di atas tempat tidur. Dan dia menjadi ragu. Tubuh Rianto kah itu? Mengapa begitu kurus?

Khawatir salah masuk kamar, Anggun menyalakan lampu. Begitu sakelar di dekat pintu ditekan, lampu menyala. Dan tubuh di atas tempat tidur itu berbalik....

Yang dilihat Anggun benar-benar mimpi buruk! Dia seperti melihat monster, bukan Rianto! Wajah lelaki itu begitu pucat dan kurusnya seperti tengkorak....

Dan yang terkejut bukan hanya Anggun. Rianto juga. Dia mengira dirinya sudah mati. Mustahil malam malam begini Anggun muncul di kamarnya! Ini hanya mimpi! Mimpi yang selalu mengusik tidurnya! Atau mungkin juga... dia sudah mati! Mati!

Refieks Rianto bangkit dan duduk. Selimut yang menyelubungi dirinya luruh. Dan dadanya yang tidak tertutup karena piyamanya tidak terkancing. terpampang jelas di depan mata Anggun.

Anggun memekik histeris ketika melihat bercakbercak merah kehitaman yang hampir memenuhi dada Rianto yang tinggal tulang dibalut kulit. Dan dia memekik terus seperti tidak dapat menghentikan jeritannya, biarpun Rianto sudah berusaha bangkit menghampirinya.

Dia masih terus menjerit ngeri ketika seseorang memeluknya dari belakang. Panik dan histeris, Anggun meronta sekuat tenaga, melepaskan diri sambil mendorong orang yang memeluknya. Dan dia tergelincir.

Tubuhnya yang terhuyung jatuh sempat ditangkap oleh Rianto. Tetapi karena sudah terlalu lemah. Rianto tidak dapat menahan berat badan Anggun. Mereka sama-sama terjatuh.

Tapi jeritan yang terdengar bukan jeritan Anggun lagi. Pekikan itu terdengar dari bawah.

Bu Rully tegak di ambang pintu kamarnya, memekik tertahan sambil menutupi mulutnya. Matanya membeliak ngeri, menatap tubuh Yudha yang terpanggang di atas meja. Kaca meja itu telah hancur. Ujung besi penyangganya menikam punggung Yudha, tembus ke jantungnya.

***

Anggun tidak sadarkan diri dalam pelukan rianto. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi Rianto sadar sekali apa yang menimpa Yudha.

Ketika Yudha memeluk Anggun, wanita yang sedang histeris itu mendorongnya sekuat tenaga. Dan tenaga orang yang sedang histeris memang kadangkadang mengagumkan. Apalagi lantai yang licin mungkin membuat Yudha agak tergelincir setelah didorong kuat oleh Anggun.

Tubuhnya terdorong ke terali kayu yang sudah lapuk itu, yang tidak kuat menahan beban tubuh Yudha. Dia terjatuh tanpa ampun ke bawah. Dan yang kemudian terjadi adalah kecelakaan semata-mata. Tubuh Yudha menimpa meja kaca. Dan salah satu besi penyangga kacanya yang memang berbentuk tombak berukir, menikam punggungnya.

Yudha tewas seketika karena ujung besi itu menembus jantungnya. Dan Rianto tahu sekali apa akibatnya bagi Anggun. Dia memang sakit. Tapi otaknya masih cukup jernih. MaSih dapat berpikir. Dan dia sudah memutuskan apa yang akan dilakukannya untuk melindungi Anggun.

"Saya yang mendorong Yudha," katanya kepada ibunya dan kepada polisi yang datang ke tempat itu.

Sebelumnya, dia sudah menyiapkan segalanya. Dia mengambil payungnya. Dan menekankan ujung payung itu ke dada Yudha.

Rianto tahu, dia harus melakukannya secepat-cepatnya, supaya luka lecet yang dibuatnya dengan ujung runcing payungnya masih dapat menimbulkan perdarahan kapiler. Karena luka yang dibuat sesudah seseorang menjadi mayat, akan menimbulkan warna yang berbeda.

Bu Rully adalah orang yang paling tidak percaya dengan pengakuan Rianto.

"Dia terlalu lemah untuk mendorong orang!" protesnya tanpa ragu sedikit pun.

"Dia cuma ingin melindungi perempuan itu!"

"Saya yang melakukannya, Bu," kata Rianto letih.

"Anggun dan Yudha cuma ingin menengok saya. Saya yang menolak dan mengusir mereka pergi. Saya tidak mau dikasihani. Ketika Yudha mendekat, saya mendorongnya dengan payung."

"Sampai kapan kamu mau menyiksa dirimu sendiri, Le?" keluh Bu Rully menahan tangis.

"Sampai kapan mau kamu korbankan dirimu untuk perempuan itu?"

Tetapi apa pun kata ibunya, Rianto tetap berkeras mengakui dialah yang mendorong Yudha. Bukan Anggun. Hidupnya tinggal beberapa saat lagi. Apa

bedanya lagi baginya berapa tahun pun dia akan dihukum?

Namun bagi Anggun, semuanya berbeda. Dia sehat. Dia harus merawat Yos. Dan selama Rianto masih hidup. Anggun tidak akan pernah masuk penjara! Tidak boleh!

Anggun sendiri belum dapat ditanya. Dia syok berat. Kematian Yudha dan kondisi Rianto membuat mentalnya hancur lebur. Dia harus dirawat oleh seorang psikiater akibat depresi hebat.

Tetapi ayahnya sudah bergerak untuk menyingkirkan semua kecurigaan yang mengarah pada anaknya. Prambudi tahu, Bu Rully sudah menyewa pengacara untuk membela anaknya. Dan kalau bukan Rianto yang salah, pasti tuduhan akan beralih kepada Anggun.

Satu-satunya saksi cuma Mbok Nem. Upaya Prambudi adalah membuat kesaksian pembantu tua itu diragukan. Matanya sudah lamur. Dan dia tidak melihat langsung kejadian itu.

Bu Rully sendiri, yang terbangun karena jeritan Anggun. baru keluar dari kamarnya tepat pada saat tubuh Yudha sedang melayang jatuh. Tapi untuk membela anaknya, tidak tertutup kemungkinan dia akan berdusta.

Perempuan tua itu yakin sekali, anaknya tidak bersalah. Bagaimana Rianto dapat membunuh orang. Membunuh tikus saja dia tidak tega!

Lagi pula kata siapa Rianto menyimpan payungnya di kamar? Dia selalu menaruh payungnya dalam rak di dekat pintu masuk.

Dan dia orang yang rapi. Tertib. Semua benda akan diletakkannya kembali di tempat di mana dia mengambilnya. Dan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun dilakukannya itu tidak pernah dilanggar.

Sudah beberapa kali Bu Rully mendesak ingin menjumpai Anggun. Dia merasa harus mengorek keterangan dari perempuan itu. Anggun harus tahu apa akibat perbuatannya bagi Rianto. Padahal Rianto sudah di ambang maut.

"Saya harus bicara dengan dia," katanya marah.

"Sudah cukup derita yang ditimpakannya pada Rianto. Jangan ditambah lagi!"

Tetapi dokter belum mengizinkan Anggun ditengok, kecuali oleh yang berwajib. Itu pun dengan pembatasan yang ketat. Dokter mengkhawatirkan mentalnya bertambah ambruk bila polisi bertanya terlalu mendetail.

Prambudi pun berusaha agar Bu Rully tidak diperkenankan menengok Anggun. Dia tahu perempuan tua itu akan berusaha dengan segala daya untuk menekan Anggun.

"Mentalnya masih labil. Dia belum bisa membedakan ilusi dengan realita. Mertuanya bisa mencekokkan cerita yang bukan fakta."

Hanya Bu Sofi yang tidak ikut dalam ketegangan itu. Dia terbenam dalam kebingungannya sendiri. Saat pertama kali memeluk Anggun di rumah sakit. ketika anaknya baru saja dibawa dengan ambulans, satu satunya kalimat yang diucapkan Anggun hanyalah,

"Semua salah saya!"

Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Anggun jatuh pingsan. Dan sesudah dia sadar. tak ada lagi yang mampu diucapkannya. Dia seperti dilibat syok berat. Tak mampu lagi berkomunikasi.

Kesalahan apa yang dimaksudkan Anggun? Mencelakakan Yudha? Atau meninggalkan Rianto dalam penderitaan?

Selama Anggun dalam perawatan pSikiatris, Rianto harus menghadapi hari-hari interogaSi yang panjang dan melelahkan. Dia memang belum ditahan, karena polisi masih mencari bukti-bukti yang diperlukan.

Satu satunya bukti yang diperoleh hanyalah luka lecet pada dada korban, akibat trauma benda tumpul yang diduga ujung payung. Karena polisi masih meragukan luka itu terjadi akibat tusukan atau amemorlem. Rianto belum dijadikan tersangka walaupun dia telah mengakui membunuh korban. Pengakuan saja tanpa bukti yang kuat memang belum dapat dijadikan alasan untuk menahan orang yang dicurigai.

"Kalau menilik warna luka lecet yang kemerahmerahan. saya cenderung menilai luka itu terjadi sebelum korban meninggal, Pak," kata polisi yang sedang membaca visum el reperrimi korban.

Kapten Polisi Hadi tersenyum tipis.

"Kau lupa, yang kita hadapi ini seorang dokter. Dia tahu sekali bagaimana caranya supaya kesimpulan yang kita peroleh sesuai dengan keinginannya."

"Maksud Bapak. dia sengaja melindungi Anggun Pitaloka!"

"Menurut pengakuan Dokter Rianto Sudirman, dia yang mendorong dada korban dengan payung sampai korban terhuyung mundur dan menabrak terali kayu yang sudah lapuk."

"Bapak tidak memercayai ceritanya?"

"Yang ganjil bagi saya sejak pertama kali saya mendengar ceritanya, di mana dia menyimpan payungnya? Di kamar tidur? Ganjil, kan? Lalu di mana mereka berdiri ketika peristiwa itu terjadi? Jika korban berdiri cukup jauh dari terali. katakanlah di dalam kamar. cukup kuatkah seorang penderita AIDS yang sudah hampir meninggal mendorong korban sejauh itu?"

"Ibu Dokter Rianto mengatakan. anaknya selalu menyimpan payungnya di dekat pintu masuk."

"Saya lebih percaya pada kesaksian ibu Dokter Rianto."

"Dan kesaksian pembantu tua itu? Mbok Nem bersaksi bahwa yang mula-mula naik ke atas hanya Anggun Pitaloka. Korban duduk menunggu di bawah."

"Kesaksian itu tidak menjelaskan apa-apa. Bisa saja korban kemudian menyusul naik ke atas. Pertengkaran terjadi. Dokter Rianto Sudirman mendorong korban seperti pengakuannya dan korban jatuh ke bawah. Tapi bisa juga kejadiannya bukan seperti itu."

"Jadi kita harus bekerja keras untuk mencari bukti lain, Pak."

"Apa pun bukti yang akan kita temukan, saya yakin, kasus ini hanya kecelakaan. Tak seorang pun dari kedua tersangka mempunyai niat untuk membunuh korban. Meskipun di sini terdapat Cinta segi tiga."

***

Atas permintaan Bu Rully, Yos tinggal di rumah Rianto bersama pengasuhnya. Meskipun mula-mula

Bu Sofi agak keberatan, dia tidak mampu menolak. Dia tahu betapa sayangnya Rianto pada anaknya. Barangkali di akhir hidupnya, keberadaan Yos di dekatnya dapat membahagiakan Rianto.

Ibu Anggun tahu sekali, Bu Rully tidak menyukai Yos. Itu pula salah satu alasan yang membuat Bu Sofi agak cemas membiarkan Yos ikut neneknya dari pihak ayah.

Terus terang, Bu Soft takut, cucunya akan diperlakukan kurang baik oleh ibu Rianto. Tetapi melihat keadaan menantunya yang begitu ringkih dan menyedihkan, dia tidak sampai hati menolak. walaupun suaminya menentang keputusannya.

"Bagaimana kalau dia tidak mau mengembalikan Yos sesudah Rianto meninggal nanti? Apa kata Anggun? Mereka kan belum resmi bercerai."

"Anggun masih tetap ibu Yos. Dia berhak mengambil YOS kembali sesudah Rianto meninggal. Saya hanya ingin Rianto dapat berada di dekat anaknya pada saat-saat terakhir hidupnya. Saya tahu bagaimana sayangnya dia pada Yos."

"Mama tidak takut Yos ketularan penyakit Rianto?"

"Rianto lebih tahu bagaimana caranya mencegah anaknya ketularan. Dia kan dokter."

"Dia sendiri ketularan kok! Artinya dia tidak tahu bagaimana caranya mencegah penularan AIDS!"

"Dia tahu. Dan saya yakin, dia tidak akan menularkannya pada Yos. Kalau mau ketularan. Yos pasti sudah ketularan dari dulu."

"Bagaimana dengan Anggun?"

"Rianto sudah minta dokter memeriksa darah Anggun."

"Keterlaluan sekali kalau Anggun sampai ketularan!" geram Prambudi sengit.

"Saya yakin Rianto tidak menularkannya pada anak-istrinya. Dia sangat mencintai mereka. Karena alasan itu pula dia menjauhkan diri. Meskipun untuk itu dia harus mengalami penderitaan lahir-batin."

"Hhh, Mama! Mana ada virus yang punya pikiran seperti itu! Mama pikir cinta saja cukup untuk mencegah penularan penyakit AIDS? Ngaco!"

Mula mula Yos sendiri tidak mengenali ayahnya. Ketika kemudian dia mengenali Papa lan-nya. dia tidak berani mendekat. Baru setelah beberapa hari tinggal di sana, setelah Rianto memperlihatkan kasih sayangnya, Yos mulai tergugah. Kenakalannya mereda dengan sendirinya.

"Yang lain cuma bungkusnya, Yos," Rianto mencoba bergurau.

"Dalamnya tetap Papa lan."

Rianto memang tidak terlalu berani menciumi Yos seperti dulu. Tapi kalau kasih sayang bisa dinyatakan hanya dengan pelukan. kata-kata. bahkan pandangan mata, dia telah melakukannya. Dan dia melakukannya dengan sempurna. Bahkan seorang anak kecil seperti Yos mampu merasakannya.

"Kalau Papa sudah pergi nanti, Yos yang harus menjaga Mama dan Nenek. Oke, Yos? Janji laki-laki?" Rianto mengangkat tangannya sambil tersenyum.

Yos yang sedang berbaring di ranjang, menepukkan telapak tangannya ke telapak tangan ayahnya, seperti

yang dulu biasa mereka lakukan kalau tengah melafazkan sebuah janji.

"Kalau udah pergi, Papa nggak mau pulang lagi?"

"Papa mau, Yos. Cuma tidak bisa."

"Kalo gitu gimana kalo Yos pengen ketemu Papa?"

"Yos mungkin tidak bisa melihat Papa lagi. Tapi Papa akan selalu berada di dekat Yos. Dan Yos pasti dapat merasakannya."

"Papa bisa kasih Yos mainan? Bisa ajarin Yos main bola?"

Rianto tersenyum haru.

"Tidak, Yos. Yos harus minta sama Mama."

"Mama bisa main bola?"

"Kenapa tidak? Memangnya cuma lelaki yang bisa?"

"Kapan Yos bisa ketemu Papa lagi?"

"Suatu hari nanti, Yos. Suatu hari kita akan berkumpul kembali. Tentu saja kalau Yos nggak nakal."

"Gimana kalau Yos kangen? Yos boleh ke tempat Papa?"

"Jangan, Yos. Kan Yos sudah janji mau menjaga Mama dan Nenek. Dengan siapa mereka di sini kalau Yos pergi ke tempat Papa?"

"Tapi Yos nggak mau pisah lagi sama Papa."

Rianto memeluk anaknya dengan terharu.

"Lelaki mesti tabah, Yos." bisiknya lembut.

"Kalau Papa pergi nanti, Papa nggak mau lihat Yos nangis. Yos yang harus menghibur Mama dan Nenek. Dan Yos tidak bisa menghibur mereka kalau Yos sendiri cengeng. Oke. Yos? Janji laki-laki?"

Rianto melepaskan pelukannya dan mengangkat tangan kanannya. Yos mengawasi ayahnya sesaat sebelum menepukkan tangannya ke tangan ayahnya.

***

"Saya bahagia. Bu," bisik Rianto kepada ibunya, setelah mengantarkan Yos ke kamarnya dan menemaninya tidur.

Mereka sedang duduk berdua di teras belakang, seperti yang telah sekian lama mereka lakukan dalam begitu banyak malam yang lewat dalam hidup mereka.

Rianto mengucapkan kata kata itu dengan tulus. Dengan lembut. Tetapi penuh kebahagiaan. Sampai Bu Rully tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun didesak rasa harunya.

Hanya matanya yang berkaca-kaca yang menyatakan perasaannya. Melihat air mata ibunya, Rianto langsung memegang tangan ibunya dengan lembut.

"Tidak ada lagi yang saya inginkan. Bu," gumamnya lirih.

"Semua sudah saya peroleh. Istri yang sangat saya cintai seperti Anggun telah saya miliki. Ibu dan anak saya menemani saya pada saat-saat terakhir hidup saya. Rasanya semua sudah sempurna."

Bu Rully mengatupkan rahangnya untuk menahan tangisnya. Tapi tak urung air matanya mengalir juga.

Rianto membelai tangan ibunya dengan tangannya yang hanya tinggal tulang berbalut kulit. Dia menyandarkan kepalanya dengan lemah di sandaran kursinya. Lalu dia menengadah ke langit. Di sana bintang-bintang sedang berkelap-kelip dengan indahnya. ,

"Saya sudah lelah, Bu," bisiknya dengan suara seperti dalam mimpi.

"Saya ingin sekali beristirahat."

Sesudah itu Rianto memejamkan matanya.

Bu Rully membelai pipi anaknya dengan lembut. Membelai rambutnya yang hanya tinggal sedikit itu dengan penuh kasih sayang. Disandarkannya kepala anaknya ke dadanya. Ditatapnya wajah yang sangat dikasihinya itu.

Saat itu baru Bu Rully insaf, harapannya sia-sia belaka. Tidak ada mukjizat. Tidak ada kesembuhan ajaib. Takdir tak dapat ditawar. Keputusan Tuhan tak mungkin digugat. Anak yang sangat disayanginya itu akan segera direnggut dari sisinya.

Mata Rianto telah terpejam. Tetapi bibirnya seperti menyunggingkan senyum. Dia seperti sedang tidur lelap. Aman dan hangat dalam pelukan ibunya.

Lalu tiba-tiba Bu Rully sadar. Rianto telah kehilangan kesadarannya.

Bu Rully menelepon Sulistio yang langsung datang ke rumah Rianto dengan sebuah ambulans. Setelah melakukan pemeriksaan singkat, Sulistio membawa Rianto ke rumah sakit. Teman-temannya telah menunggu di sana.

Kali ini, tak seorang pun dari sejawat-sejawatnya yang merasa perlu untuk menghibur lagi. Mereka tahu, saatnya sudah tiba. Tak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali menunggu.

Seperti yang dikatakan Rianto, dia sudah lelah. Dia

ingin beristirahat. Dia merasa hidupnya sudah sempurna. Tak ada lagi yang diinginkannya.

"Pergilah, Le," bisik Bu Rully ketika dia membelaibelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Ibu sudah rela...."

Tetapi Rianto belum pergi juga. Kesadarannya sudah mulai menurun. Tetapi dia masih bertahan, seolaholah masih ada yang ditunggunya.

Ketika Bu Sofi yang datang menjenguknya melihat keadaan Rianto, dia sadar, Anggun-lah yang ditunggu Rianto. Dia sudah mengucapkan selamat tinggal pada ibu dan anaknya. Tapi kepada Anggun belum.

Saat itu, kondisi kejiwaan Anggun sudah mulai membaik. Dia sudah dapat berkomunikasi. walaupun dokter kadang-kadang masih menemukan adanya kebuntuan dan hambatan pada aliran pikirannya.

Anggun seperti tidak mau mengingat semua kejadian menyedihkan pada malam yang naas itu. Kalau sudah sampai di sana, alur pikirannya seolah-olah tersumbat. Dia tidak ingat apa-apa. Dan tidak dapat menjawab pertanyaan psikiaternya.

Tetapi kedatangan ibunya siang itu, seperti sebuah kekuatan yang mendobrak paksa pintu penyekat memorinya.

"Rianto menunggumu, Anggi." bisik Bu Sofi lembut.

"Dia belum mau pergi sebelum menemuimu."

Dan bayangan yang selalu coba dilenyapkannya itu seperti tiba tiba melintas di depan matanya. Muka yang tampak sangat tua, kurus dan pucat bercakbercak merah kehitaman yang hampir memenuhi sekujur dada....

"Mas Rian!" cetus Anggun histeris.

"Mas Rian!"

Bu Sofi memeluk putrinya erat-erat. Mencoba menyalurkan kehangatan dekapan seorang ibu untuk menabahkan anaknya.

Tetapi Anggun memekik terus memanggil-manggil suaminya. Tangisnya meledak hebat di dada ibunya.

Dokter yang tergopoh-gopoh datang tidak berusaha menenangkan tangisnya. Dia hanya menunggu sampai tangis Anggun mereda dengan sendirinya.

"Biarkan dia menangis, Bu," katanya kepada Bu Sofi yang tampak resah dan bingung.

"Biarkan dia menumpahkan seluruh kesedihannya. Itu lebih baik."

"Saya yang salah, Ma..." tangis Anggun pilu.

"Anggi meninggalkan Mas Rian!"

Bu SOfi membelai-belai kepala anaknya dengan lembut.

"Kamu kan tidak tahu, Anggi," bisiknya lirih.

"Kita semua tidak tahu. Rianto memang sengaja merahasiakannya. Dia tidak mau kamu ikut menderita...."

Atas permintaan Bu Sofi, dokter membiarkan Anggun pergi bersama ibunya ke rumah sakit. Ketika Anggun tiba di samping pembaringan Rianto, teman-temannya telah berkumpul di sana. Mereka sedang menunggu untuk mengucapkan selamat jalan.

Beberapa orang perawat, termasuk Suster Erna, berkerumun di dekat pintu sambil menahan tangis. Sementara Bu Rully yang sedang duduk di dekat pembaringan putranya, langsung menyingkir sedikit begitu melihat Anggun.

Anggun menghampiri ranjang Rianto, seolah-olah

tidak ada orang lain di sana. Dia tidak mengacuhkan sikap Bu Rully yang dingin. Tidak menghiraukan sapaan teman-teman suaminya. Bahkan tidak memedulikan ibunya yang menjaganya sedemikian rupa seolah-olah dia bayi yang baru bisa berjalan.

Anggun duduk di kursi yang tadi diduduki Bu Rully. Dia langsung membelai pipi Rianto. Dan menggenggam tangannya dengan lembut.

Lalu semua kenangan manis dari masa lalu mereka, masa perkenalan. masa pernikahan. seperti merasuk kembali ke benaknya.

Anggun dapat membayangkan kembali dengan jelas pertemuan pertamanya dengan Rianto. Kencan mereka di restoran. Bulan madu mereka di Selandia Baru.

Dia terkenang kembali kepada saat-saat mesra ketika suaminya mencumbunya. Saat-saat bahagia tatkala Yos lahir. Saat-saat memanjakan anak mereka. BerSenda gurau bersama.

Saat itu, Rianto yang sudah menempuh separo perjalanan ke akhirat tiba-tiba menoleh kembali. Dia seperti dapat ikut merasakan pikiran Anggun. lkut mengembara kembali ke masa lalu mereka. Ikut menikmati manisnya kenangan cinta yang pernah mereka alami.

Sekonyong konyong Rianto membuka matanya. Dan menatap Anggun. Sejenak mereka saling tatap. dengan tatapan yang hanya mereka yang dapat memahami artinya.

Saat itu, Anggun seperti melihat tatapan Rianto yang selalu dilihatnya setiap kali mereka bermesraan. Tatapan penuh kasih, tatapan cinta tulus tanpa pamrih yang hanya Rianto yang mampu memberikannya.

Bibirnya yang kering dan pucat seakan-akan mengguratkan senyum. Senyum tanpa penyesalan. Lalu wajah yang pucat dan tua itu, wajah kurus keriput bagai mayat hidup, tiba-tiba laksana bersinar kembali, membiaskan kebahagiaan abadi yang tak mungkin lagi direnggut.

Anggun seperti melihat Rianto yang dulu. Rianto yang dikenalnya. Rianto yang gemuk dan sehat. Rianto yang selalu tersenyum.

Lalu Anggun bangkit mendekat. Merunduk. Dan mencium dahi Rianto dengan ciuman yang lama dan hangat.

Ketika Anggun mengangkat kepalanya lagi, dia melihat mata Rianto yang tengah menatapnya bersinar sesaat.

"Aku sudah melihat sinar itu..." bisiknya hampir tak terdengar.

"Aku... sudah... melihat... terang...."

Lalu sinar lenyap dari matanya. Dan bola matanya berhenti bergerak. Menatap ke satu titik.

Anggun mengelus kelopak mata Rianto untuk menutupkannya. Dan mata itu terpejam untuk selamanya.

***

MUKA tubuh Rianto budiman diperabukan. begitu banyak orang yang datang melayat, sampai petugas kremasi tidak percaya yang mati hanyalah seorang dokter yang mengidap AIDS.

Yang datang bukan hanya keluarga dan temantemannya saja, sekaligus keluarga bekas pasien-pasiennya. Dan ketika melihat pelayat sebanyak itu. sekali lagi Bu Sofi berpikir, anaknya tidak salah memilih suami. Rianto memang lelaki yang sangat baik.

Yang tidak puas justru suaminya. Prambudi masih penasaran, mengapa Rianto tidak lebih cepat mengaku dia mengidap AIDS.

"Dia bisa menulari anak-istrinya!" geramnya kesal ketika sedang makan malam bersama istrinya di rumah.

"Begitu tahu dia sakit, Rianto menyingkirkan anak dan istrinya," bantah Bu SOfi murung.

"Dia sudah memeriksa darah Yos. Dan sampai saat terakhir, dia masih berusaha menyuruh Anggun memeriksakan darahnya. Bahkan ketika Anggun dirawat, Rianto sudah minta pada dokternya untuk melakukan tes HIV. Dia harus bagaimana lagi?"

"Pilih-pilih tebu!" gerutu Prambudi jengkel.

"Yang pecandu narkotik kutolak, malah dapat AIDS!"

"Jangan salahkan Anggun, Pa. Dia tidak salah pilih."

"Eh, Mama masih membela Rianto juga? Dia sakit AIDS. Ma!"

"Tapi itu bukan salahnya, Pa! AIDS bisa menimpa siapa saja, seperti kanker!"

"Pasti kelakuannya menyimpang! Kita tidak tahu saja!"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rianto bersih. Saya yakin."

"Lalu dari mana dia dapat penyakit yang memalukan itu?"

"Mungkin dari pasiennya. mungkin juga dari saya," sela Anggun yang tiba tiba muncul.

"Ngaco kamu!" sergah Prambudi sengit.

"Anggi sudah memikirkannya. Pa. Yudha junk-ie. Dia sering memakai jarum suntik yang sama dengan teman-temannya. Mungkin saja dia sudah ketularan HIV dari mereka."

"Lalu bagaimana dia menularkannya padamu? AIDS kan tidak ditularkan melalui udara!"

"Saya pernah memakai jarum suntik yang sama," tukas Anggun datar.

"Yos juga bukan anak Mas Rian. Dia anak Yudha."

Urat bersembulan di wajah Prambudi yang semakin

merah padam. Begitu marahnya dia sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ternyata putri tunggalnya sudah pernah mencicipi narkotik! Dan dia juga sudah...

Istrinya pun tidak mampu membuka mulut. Dia hanya menatap anaknya dengan air mata berlinang. Lama Bu Sofi membisu sebelum bibirnya yang gemetar mampu mencetuskan kata-kata itu.

"Tapi kata dokter, anti HIV-mu negatif, Anggi "

"Saya tetap punya perasaan, sayalah yang telah menularkan virus itu kepada Mas Rian," sahut Anggun mantap.

"Karena itu Anggi tidak mau Papa membicarakannya lagi. Mas Rian telah meninggal. Anggi tidak mau dengar Papa mencelanya lagi!"

Ketika mendengar kesungguhan suara anaknya. untuk pertama kalinya Prambudi tidak menjawab.

"Mas Rian pria yang sangat baik, suami yang sempurna," sambung Anggun datar.

"Saya ingin membersihkan namanya, Pa. Bukan dia yang mencelakakan Yudha. Saya yang tidak sengaja mendorongnya..."

Prambudi sampai melompat dari kursinya.

"Tutup mulutmu, Anggi!" hentaknya keras.

"Saya ingin membuat pengakuan, Pa. Untuk membayar utang saya pada Yudha dan Mas Rian...."

"Jangan macam-macam, Anggi!"

"Jiwa saya tidak tenang sebelum saya mengakuinya, Pa. Kalau saya harus dihukum, saya rela. Saya memang bersalah. Kepada Yudha. Juga kepada Mas Rian."

"Jangan anggap hukuman bisa membebaskanmu dari rasa bersalah, Anggi!" geram Prambudi sengit.

"Dan jangan bodoh! Kasus ini mungkin akan ditutup

dengan meninggalnya Rianto. Buat apa mengorbankan dirimu? Kamu tidak memikirkan Yos?"

"Saya akan menitipkan Yos pada ibu Mas Rian," kata Anggun tenang.

"Anggi percaya, Mas Rian setuju. Dan Anggi percaya, Ibu bisa mendidik Yos sebaik dia telah mendidik Mas Rian,..."

"Anakmu sudah gila, Ma!" sergah Prambudi gemas.

"Kenapa Mama diam saja?"

Bu Sofi yang sejak tadi berdiam diri, menyusut air matanya.

"Benarkah kamu yang melakukannya, Anggi?" desahnya getir.

Anggun menoleh kepada ibunya. Ketika matanya bertemu dengan mata ibunya. dia tahu, Mama berada di pihaknya.

Dipeluknya ibunya sambil menangis.

***

"Anggi bisa kena KUHP Pasal 359, Ma!" geram Prambudi resah.

"Kalau dianggap dia tidak sengaja membunuh Yudha, dia bisa diancam pidana penjara lima tahun. Tapi kalau terbukti sengaja. dia bisa kena Pasal 338 dengan ancaman penjara lima belas tahun! Mama ngerti nggak sih"? Ini bukan perkara mainmain!"

"Papa kira saya tidak sedih?" Bu Sofi menggigit hihirnya menahan tangis.

"Tapi saya mengerti perasaan Anggun, Pa! Dia tidak tenang kalau tidak mengakui kesalahannya! Dia merasa berutang pada orang mati. Dan itu sangat berat, Pa!"

"Ah, nonsens! Setiap hari aku berjuang membebas-mkan orang, sekarang anakku sendiri menjebloskan dirinya ke penjara! Apa-apaan ini?"

Bu Sofi tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hanya air matanya yang mengalir deras.

Dia sangat mencintai putri tunggalnya. Kalau boleh memilih, rasanya lebih baik dia yang masuk penjara. Tetapi dia tahu beratnya beban rasa berdosa yang ditanggung Anggun.

Ketika Anggun sudah mampu mengkaji kembali peristiwa naas itu, layar yang menutupi memorinya seperti mendadak tersibak. Dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi.

Dia memekik histeris ketika melihat keadaan Rianto yang begitu mengenaskan. Yudha yang terkejut berlari naik dan memeluknya.

Anggun yang sedang histeris meronta sekuat tenaga dan mendorong Yudha. Yudha yang baru beberapa jam yang lalu memakai heroin, tidak sekuat biasa. Dia tergelincir dan tubuhnya menimpa terali kayu yang lapuk, yang tidak kuat menahan berat tubuhnya. Yudha jatuh ke bawah dan...

Sampai di sana Anggun selalu memejamkan matanya sambil memekik histeris. Dia tidak mau melanjutkan. Tidak mau membayangkan apa yang kemudian terjadi. Tetapi dia tidak mampu mengenyahkannya lagi.

"Maafkan aku, Yud..." tangisnya getir.

"Maafkan aku!"

"Yudha pasti sudah memaafkanmu, Anggi," bisik Bu Sofi pahit sambil memeluk anaknya.

"Dia tahu kamu tidak sengaja."

"Binatang apa saya ini, Ma!" desah Anggun lirih.

"Tangan ini yang membunuh Yudha, Ma! Tangan Anggi sendiri!"

"Tidak, Sayang. Kamu tidak membunuhnya!"

"Anggi yang mendorongnya, Ma! Saya yang membunuh Yudha! Padahal dia begitu mencintai saya!"

"Yudha pasti tahu kamu tidak sengaja, Anggi! Kamu sendiri mencintainya, kan? Mustahil kamu sengaja mencelakakannya!"

"Tapi saya tetap harus dihukum, Ma! Saya harus dihukum seberat-beratnya! Anggi membunuh orang yang begitu menyayangi Anggi! Mama tahu bagaimana rasanya? Mama tahu?"

"Mama tahu, Sayang," Bu Sofi membelai-belai rambui anaknya dengan air mata berlinang. Dia dapat merasakan bagaimana beratnya perasaan bersalah yang menyiksa batin putrinya.

"Tapi apa kamu yakin, Yudha menghendakinya? Mama rasa. seperti Rianto, dia juga tidak rela kamu dihukum...."

"Tapi kalau Anggi tidak menghukum diri Anggi sendiri, Anggi bisa gila, Ma! Anggi meninggalkan Mas Rian pada saat dia sangat membutuhkan Anggi. Padahal mungkin saja Anggi yang menularkan penyakit itu padanya! Dan Anggi membunuh Yudha pada saat dia datang untuk menolong Anggi! Duh, binatang apa saya ini, Ma?"

***

"Buat apa," sambutan Bu Rully sangat dingin ketika Bu Sofi datang mengemukakan maksud Anggun. Dia ingin minta tolong kepada ibu Rianto agar membujuk

Anggun membatalkan niatnya. Kalau tidak, ke mana lagi dia harus minta tolong? "Rianto sudah meninggal. Tidak ada lagi yang dapat dilakukannya untuk meringankan beban anakku."

"Anggun ingin membersihkan nama Rianto."

"Kenapa baru sekarang? Kenapa bukan saat Rianto sangat membutuhkannya? Ketika dalam keadaan sakit parah dia masih harus menghadapi hari-hari interogasi yang melelahkan?"

"Saat itu Anggun sedang sakit, Mbak Rully! Dia belum mampu mengoordinasikan pikirannya sendiri. Dia mengalami syok dan depresi berat!"

Bu Rully mendengus dingin. Tidak ada belas kasihan dalam pandangan matanya. Tidak juga pada air mukanya yang datar.

"Kalau dia ingin menebus kesalahannya pada Rianto dengan menyiksa dirinya sendiri di penjara, itu urusannya sendiri."

"Dia merasa bersalah karena telah meninggalkan suaminya dalam keadaan sakit, Mbak. Tapi itu sebagian bukan salahnya. Dia tidak tahu penyakit Rianto!"

"Jadi anakku yang salah?" balas Bu Rully dingin.

"Tidak, bukan begitu," bantah Bu Sofi sabar.

"Rianto tidak salah. Saya tahu dia sangat menyayangi Anggun dan Yos. Karena itu dia menyingkirkan mereka. Supaya mereka tidak ketularan. Dan supaya Anggun tidak menderita...."

"Lalu buat apa lagi datang kemari?"

"Jika Mbak memaafkan Anggun. dan mengatakan padanya. barangkali Rianto lebih bahagia bila dia tidak usah masuk penjara..."

"Itu keputusannya sendiri," potong Bu Rully kering.

"Aku tidak mau ikut campur! Kalau dia merasa bersalah. memang dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!"

Jadi percuma saja, pikir Bu Sofi sedih dalam mobil yang membawanya pulang dari rumah Bu Rully. Percuma minta tolong pada ibu Rianto. Tampaknya perempuan itu sangat membenci Anggun! Di bawah sadarnya. barangkali dia malah menyalahkan Anggun atas semua musibah yang menimpa anaknya!

***

Ketika Bu Sofi tiba di rumah, dia sadar. dia sudah terlambat. Keputusan Anggun sudah tidak dapat dibantah lagi. Dia akan menceritakan semuanya dengan terus terang.

Dia yang membunuh Yudha, lelaki yang paling dicintainya, meskipun secara tidak sengaja. Dan sebelum dia menghukum dirinya sendiri. dia tidak akan pernah merasa tenang.

Setiap malam dia diganggu mimpi buruk. Setiap malam dia melihat Yudha datang dengan tubuh berlumuran darah. Lalu tiba tiba sosok Yudha berubah menjadi Rianto. Sosok yang kurus kering dengan kulit penuh bercak-bercak merah kehitaman....

"Anggi tidak tahan lagi. Ma." tangisnya sambil memeluk tbunya.

"Tolonglah Anggi!"

Bu Sofi mendekap putrinya erat-erat. Air matanya mengalir menuruni pipinya. Ketika sedang membelaibelai rambut Anggun dengan getir, dia merasa, dia memang harus membantu anaknya. Dan dia sudah mengambil keputusan.

Dia mengerti sekali apa yang sedang dlalami Anggun. Dan dia dapat ikut merasakannya. Demi keadilan dan demi ketenangan jiwanya, Anggun memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan.

Prambudi marah sekali ketika mengetahui apa yang dilakukan istrinya. Bukannya mencegah, dia malah ikut Anggun ke polres. Gila! Benar-benar gila!

Berhari-hari Prambudi marah-marah terus. Dia benar-benar kecewa. Kesal. Pada Anggun. Lebih-lebih pada istrinya.

Sebagai manifestasi kemarahannya, dia pergi meninggalkan rumah. Dan tidak pernah muncul pada persidangan kasus Anggun. Justru pada saat keahliannya sangat dibutuhkan untuk meringankan hukuman putrinya.

Bukan hanya Anggun yang tertekan. Ibunya juga. Bu Sofi sangat menderita. Beban itu menekannya dari dua arah.

Anaknya harus menghadapi tuntutan hukum. Sementara suaminya menghilang. Bu Sofi hampir tak mampu menanggung beban seberat itu. Dia harus membantu anaknya. Menabahkan hatinya. Sementara dia sendiri perlu dihibur. Dan saat itu, tak ada suami yang menopangnya. membantu menegarkan hatinya.

Akhirnya dia tidak tahan lagi. Dia membutuhkan suaminya. Untuk menolong Anggun. Dan menghibur dirinya.

Ketika dari salah seorang rekan suaminya dia mendapat alamat hotelnya, Bu Sofi langsung menemui suaminya. Dia harus menunggu di lobi hotel sampai larut malam sebelum melihat suaminya melangkah masuk.

Dan ketika melihat betapa kusutnya wajah suaminya, Bu Soti tahu. bukan hanya dia yang menderita.

Untuk sesaat mereka hanya saling tatap dengan mulut terkunci. Lalu Prambudi menghampiri istrinya.

"Bagaimana Anggi?" tanyanya dengan suara tertekan.

Bu Sofi sudah membuka mulutnya untuk menjawab. Tetapi air matanya keburu mendesak keluar. Dia harus buru-buni mengatupkan mulutnya kembali sebelum tangisnya pecah.

Ketika melihat guntingan koran yang memuat berita persidangan Anggun bertebaran di atas meja kamar suaminya, tangis Bu Sofi pecah tak tertahankan lagi. Untuk sesaat, Prambudi hanya diam tepekur. Tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya ikut teriris mendengar tangisan istrinya.

"Saya takut, Pa " rintih Bu Sofi di sela-sela tangisnya. Tuntutan pidana jaksa lebih kejam dari yang kami sangka..."

"Aku tahu." potong Prambudi murung.

"Dalam requisitor'r, jaksa menuntut Anggi lima tahun penjara."

Bu Sofi menghambur merangkul suaminya sambil menangis.

"Tolong Anggi, Pa," pintanya getir.

"Tolong anak kita!"

Untuk sesaat tubuh Prambudi mengejang dalam pelukan istrinya. Kemarahan dan kekecewaan yang masih menggumpal di hatinya membekukan lengan-lengannya.

Lalu kehangatan tubuh istrinya, kegetiran tangisnya. merambah ke hatinya. Mencairkan bongkah-bongkah kemarahan dan kekecewaan yang mengendap di sana.

Lambat tapi pasti lengan Prambudi naik memeluk tubuh istrinya.

"Aku akan membantu pembela Anggun menyusun pleidoi," gumamnya perlahan.

"Akan kuusahakan semua jalan untuk meringankan hukumannya."

Sekali lagi tangis Bu Sofi meledak. Tapi kali ini, tangis kelegaan seorang istri yang begitu memercayai kemampuan suaminya.

Malam itu juga Prambudi pulang ke rumah. Dan menghubungi pembela Anggun, tidak peduli malam sudah larut. Dia kenal sekali Widodo, S.H., pengacara yang bertindak selaku penasihat hukum Anggun.

Bersama-sama mereka menyusun pleidoi. Bahkan duplik yang diajukan sebagai jawaban atas replik penuntut umum, sebagian besar hasil buah pikiran Wiradhana Prambudi, SH. yang terkenal brilian.

"Kalau mau, aku bisa mengusahakan tuntutan bebas untuk Anggi," kata Prambudi malam itu, malam sebelum vonis hakim dijatuhkan, ketika mereka samasama tidak bisa tidur.

"Jangan. Pa," bantah istrinya tenang.

"Anggi ingin

keadilan untuk memberikan ketenangan bagi jiwanya. Jika hanya kebebasan yang diinginkannya, dia tidak perlu mengakui perbuatannya mencelakakan Yudha."

Prambudi menghela napas panjang. Lama dia menatap istrinya seperti sedang menilai.

Bu Sofi membalas tatapan suaminya sambil tersenyum pahit.

"Kenapa menatap saya seperti ini, Pa? Sudah lama saya tidak pernah ditatap seperti ini."

"Kadang-kadang aku merasa menikah dengan seorang wanita titisan Theresia," gumam Prambudi sambil memeluk istrinya.

Dan untuk pertama kalinya setelah belasan tahun berlalu, dia merasakan lagi secercah kedamaian menyelusup ke hatinya. Damai yang timbul setelah dia berdamai kembali dengan nuraninya. Nurani seorang penegak keadilan yang telah sekian lama dibungkamnya demi memenangi perkara.

***

ANGGUN dijatuhi hukuman pemara satu tahun. Ketika pembelanya ingin mengajukan banding, Anggun menolak. Bukan karena dia ingin masuk penjara. Tetapi karena dia ingin membayar utangnya kepada Yudha dan Rianto.

Barangkali setahun di penjara dapat meredakan rasa bersalahnya kepada kedua orang pria yang sama-sama mencintainya. Satu-satunya kendalanya cuma Yos. Dia merasa sangat berat berpisah dengan anaknya.

Yos telah berumur enam tahun. Dia sudah dapat memilih ingin tinggal dengan siapa selama Mama tidak ada.

Mula-mula dia memilih tinggal dengan orangtua Anggun. Mereka lebih ramah kepadanya. Dan rumah mereka lebih bagus.

Tetapi Anggun ingin agar Yos tinggal dengan ibu Rianto. walaupun ibunya sendiri keberatan.

"Sudah kamu pikirkan masak-masak, Anggi?" desah Bu Sofi lirih.

"Mertuamu sangat membencimu. Dia juga tidak dekat dengan YOS. Jika kamu ingin menghukum dirimu, mengapa harus menghukum Yos pula?"

"Saya ingin Yos menggantikan tempat Mas Rian di hari ibunya. Ma." sahut Anggun tulus.

"Saya sadar. ibu-lah yang paling kehilangan dengan perginya Mas Rian."

"Kamu yakin tidak membuat Yos semakin menderita? Dia baru saja kehilangan ayahnya. Kini dia harus kehilangan ibunya pula. Mengapa harus menambah penderitaannya lagi dengan menitipkannya pada nenek yang tidak menyukainya?"

"Saya yakin Ibu bukan tidak menyukai Yos. Dia hanya ingin kelihatan begitu."

"Tapi dia tahu Yos bukan cucunya...."

"Saya justru ingin kini dia mengakui, Yos adalah cucunya."

"Jika Yos malah mengingatkannya pada Rianto. dia bisa menolaknya. Dan reaksi penolakan itu bisa berbahaya untuk perkembangan jiwa Yos."

"Saya ingin Yos setabah ayahnya. Dan saya yakin. Mas Rian setuju dengan keputusan saya. Mas Rian pasti lega melihat ada seseorang yang menemani ibunya. Seseorang yang dapat membangkitkan kembali semangat hidup ibunya. Seseorang yang dapat membuat ibunya masih merasa dibutuhkan."

***

"Nggak mau!" protes Yos marah ketika ibunya memintanya tinggal bersama neneknya.

"Yos nggak kasihan sama Nenek?" tanya Anggun pada malam terakhir dia dapat memeluk anaknya.

"Dia sendirian sesudah ditinggal Papa."

"Nggak," sahut Yos ketus sambil melepaskan dirinya dari pelukan ibunya.

"Nenek juga nggak pernah baik sama Yos!"

"Siapa bilang? Nenek sayang sama Yos seperti dia sayang sama Papa."

"Bohong! Pokoknya Yos nggak mau tinggal sama Nenek!"

"Yos mau ngecewain Papa? Papa kepingin Yos nemenin Nenek. Supaya Nenek nggak kesepian lagi setelah ditinggal Papa."

Lama Yos terdiam. Air mukanya keruh. Dia teringat lagi pada janjinya pada ayahnya pada malam sebelum Papa dibawa ke rumah sakit. Bukankah dia sudah janji mau menjaga Mama dan Nenek?

Tapi tinggal bersama Nenek"? Wah...! Waktu janji sama Papa, Yos nggak nyangka bakal begini! Tidak menduga menjaga itu bisa berarti tinggal samasama....

Sekarang Papa sudah pergi, bagaimana dia bisa meralat janjinya? Di mana dia bisa menemui Papa lagi?

Dan Yos belum sempat mengeluh ketika Mama memeluknya. Dengan pelukan yang begitu lembut. Begitu hangat. Sekaligus mengharukan.

Sudah lama dia tidak pernah merasakan pelukan yang seperti ini lagi dari Mama. Sejak Mama membawanya pergi. Yos memang lebih banyak menjauhi

Mama daripada berada di dekatnya. Dia kesal pada

Mama. Kadang-kadang malah merasa benci! Yos merasa, gara-gara Mama-lah dia kehilangan Papa!

Tetapi malam ini pelukan Mama terasa lain. Lebihlebih ketika Yos melihat air mata yang berlinang di mata ibunya.

Jarang Yos melihat Mama menangis. Barangkali Mama memang sengaja menyembunyikan air matanya. Dan segurat perasaan, entah perasaan apa. menyentuh hatinya. Membuat kemarahannya mereda dengan sendirinya.

"Yos jangan nakal selama Mama nggak ada, ya?" bisik Anggun sendu sambil mendekap anaknya.

"Biar Mama nggak ada. Yos mesti selalu ingat, Mama sayang sekali sama Yos "

Ada keharuan yang tiba-tiba saja menyeruak ke hati Yos. Tiba-tiba saja dia merasa takut kehilangan ibunya. Spontan dia mencekal lengan Mama.

"Mama perginya lama nggak?"

Anggun memeluk anaknya sambil menahan tangisnya. Saal itu, sekejap dia menyesal harus meninggalkan Yos. Harus berpisah dengan buah hatinya.

"Mama belum tahu, Sayang. Tapi berapa lama pun Mama pergi, Yos mesti janji nggak nakal. ya? Mesti nurut sama Nenek. Janji?"

Yos tidak menjawab. Tidak mengangguk. Dia hanya menatap ibunya dengan ragu-ragu.

"Kenapa sih Mama mau masuk penjara?"

"Karena Mama bersalah, Yos," sahut Anggun lirih.

"Pada Papa dan Oom Yud."

"Papa dan Oom Yud mau maafin Mama kalau Mama masuk penjara?"

"Papa dan Oom Yud sudah memaafkan Mama bahkan sebelum Mama masuk penjara, Sayang."

"Kalau begitu ngapain Mama masuk penjara?"

"Karena ada yang namanya keadilan, Sayang. Dan sebelum Mama menghukum diri Mama sendiri, Mama tidak bisa hidup dengan tenang."

Tentu saja Yos tidak mengerti. Tapi ada satu hal yang dirasakannya walaupun dia tidak mengerti. Malam itu. Mama telah memperoleh kembali tempatnya yang semula di dalam hatinya. Tempat yang ditempatinya sebelum mereka kehilangan Papa.

Dan perasaan itu membuatnya menemukan kembali kedamaian. Sekaligus kesedihan karena akan ditinggalkan ibunya.

Pagi pagi sekali Anggun mengantarkan Yos ke rumah mertuanya. Bu Rully menyambut kedatangan mereka dengan dingin. Meskipun dia tidak menyembunyikan tanda tanya di matanya.

"Ngapain pagi pagi kemari?" tanyanya datar setelah Anggun dan Yos memberi salam.

"Saya ingin menitipkan Yos pada Ibu." kata Anggun lunak.

Naik sebelah alis perempuan tua itu mendengarnya. Tatapan matanya bersorot sangat tajam.

"Kalau saya masuk penjara, saya ingin Ibu yang merawat Yos."

"'Kenapa harus Ibu?"

"Karena saya ingin Ibu mendidik Yos seperti Ibu telah mendidik Mas Rian."

Lama wanita tua itu tidak dapat menjawab. Tertegun mendengar kata-kata menantunya yang tidak disangkasangkanya itu. Anggun menggunakan kesempatan itu untuk mengambil tangan mertuanya dan menciumnya.

"Maafkan saya, Ibu," desahnya lirih.

"Atas semua kesalahan yang telah saya perbuat pada Ibu dan Mas Rian."

Bu Rully menarik tangannya. Dan membalikkan tubuhnya untuk menyembunyikan air matanya.

"Nek," panggil Yos setelah menerima isyarat dari ibunya.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nenek mau Yos temenin?"

Saat itu Bu Rully seperti mendengar suara si Tbole ketika berumur enam tahun. Matanya menjadi berkacakaca. Dan di balik tirai air matanya, tiba-tiba saja dia seperti melihat bayangan Rianto, tersenyum cerah kepadanya.

"Saya percaya Mas Rian ingin Yos menemani Ibu di sini." sambung Anggun sambil menahan tangisnya.

"Anggaplah Yos sebagai pengganti Mas Rian, Bu. Saya mohon."

***

BAGIAN

KEDUA

***

ENAM BELAS BULAN KEMUDIAN

ANGGUN mengempaskan setumpuk foto berukuran kecil ke atas meja Kepala Bagian Produksi.

"Saya tidak mengerti mengapa foto-foto sebagus ini ditolak," sergahnya ganas.

"Angle-nya cantik. pencahayaannya pun prima. Dan yang paling penting, pesannya sampai. Komunikatif."

Sarjono Sani hanya melirik foto-foto itu sekilas. Alisnya yang setebal sapu ijuk terangkat sedikit.

"Bos nggak setuju," katanya ringan.

"Terlalu tinggi."

"Terlalu tinggi?" belalak Anggun sambil berkacak pinggang.

"Maksud Mas Jon, kita harus membuat iklan dengan selera rendah? Pasaran? Murahan?"

"Yang penting produknya laku. Mereka kan mau jual barang, bukan mau meraih penghargaan karya seni fotografi!"

Anggun sudah membuka mulutnya lagi untuk membantah. Tetapi mendadak dibatalkannya. Percuma mendebat Sarjono Sani. Meskipun jabatannya kepala bagian produksi di Biro Iklan Swarga, nilainya memang cuma sekian. Dia cuma pesuruh bos. Apa yang baik kata bos, baik pula katanya. Tak ada usul. Tak ada protes. Apalagi debat.

"Sori, Rud," keluh Anggun lesu, ketika dia kembali ke kamar kerjanya.

Rudi Akmal, fotografer muda paling berbakat yang pernah ditemui Anggun selama kariernya yang baru empat bulan di biro iklan. menunduk pasrah.

"Pak Harman tidak suka karya kita?"

Sebenarnya dia bukan tidak suka foto-fotomu. geram Anggun dalam hati. Dia tidak suka padaku!

"Apakah karena saya?" sela Reni kecewa.

"Karena saya... kurang seksi? Kurang... berani?"

Anggun berpaling ke arah gadis model yang masih muda belia itu. Umurnya belum ada tujuh belas tahun. Wajahnya cantik. Bibirnya sensual. Gayanya pun cukup merangsang. Sungguh. Dia tidak kurang suatu apa. Kecuali. dia pilihan Anggun. Dan Harman Santosa, wakil direktur sekaligus putra pemilik biro iklan tempatnya bekerja, sengaja menyudutkannya.

Anggun masih ingat saat pertama dia melihat lakilaki muda itu. Pak Santosa membawa putranya ke studio dan memperkenalkannya kepada para karyawannya. Seorang pria muda yang ganteng. Tampak cerdas. Ambisius. Dan sedikit angkuh.

"Harman studi periklanan di Hamburg," kata Pak Santosa bangga.

"Dia akan membantu kita di sini."

Tetapi kemudian Harman ternyata bukan membantu, malah merepotkan. Dia dengan teori akademisnya ternyata sulit sekali bekerja sama dengan anak buah ayahnya yang matang di lapangan. Satu-satunya orang yang mampu mengikutinya tanpa kesulitan cuma Sarjono, karena cuma dia yang punya darah bunglon.

Dengan Anggun, kadar kesulitannya menjadi lebih besar lagi karena dia wanita. Dan karena tampaknya, Harman tertarik padanya.

Sejak pertama kali ayahnya memperkenalkannya pada perancang produksi yang cantik itu. Harman memang sudah terpikat. Wanita yang satu ini punya kelas, bukan cuma cantik. Dan sikapnya yang dingin malah makin menggugah minat Harman.

Masalahnya, Anggun tak pernah menanggapi perhatiannya. Dia selalu menghindar. Yang ada dalam benaknya cuma pekerjaan. Dan karena Anggun selalu menutup diri, dia jadi terkesan angkuh.

"Anggun Pitaloka?" Pak Santosa tersenyum tipis menyambuti gerutuan putranya.

"Kau keliru, Har. Dia sama sekali tidak sok. Kalau tertutup. memang iya. Tidak seorang pun tahu masa lalunya."

"Dia sudah menikah?"

"Katanya janda. Punya anak satu. Tapi tidak seorang pun pernah melihat anaknya. Dia tinggal seorang diri di rumah kontrakan."

"Perempuan secantik itu," gumam Harman dengan dahi berkerut.

"Mengapa begitu dingin? Patah hati? Atau... punya kelainan?"

"Itu yang membuatmu penasaran. kan?" Senyum Pak Santosa melebar.

"Dan membuatmu tambah naksir?"

"Papa nggak naksir sama perempuan secantik dia'?"

"Tentu saja, kalau tidak ada ibumu!"

"Saya juga sudah punya lka. Walaupun belum jadi istri. Tapi saya tetap naksir dia. Pa."

"Nah, itulah penyakitmu!" Pak Santosa tertawa kecil.

"Entah berapa banyak lagi 'Ika' lain yang kautinggalkan di Hamburg!"

Tapi yang satu ini beda. pikir Harman ketika dia sedang melangkah ke studio. Dan justru karena dia tampak beda, aku makin terpikat!

Ketika Harman tiba di studio. Anggun sedang memimpin pengambilan gambar. Sesaat Harman mengawasinya dari ambang pintu.

Anggun tegak di dekat kamera. Hanya mengenakan jins dan kemeja yang lengannya digulung sampai ke siku. Rambutnya yang dipotong pendek. nyaris menyamakan dengan pria bila seseorang hanya menatap sosoknya dari belakang. Make up nya pun terkesan seadanya. Tapi bagaimanapun dia memperlakukan dirinya. dia masih tetap lebih menarik dari Reni. Model remaja yang masih segar dan punya seulas bibir yang amat sensual itu.

"Jangan! Jangan buka pahamu selebar itu!" seru Anggun kesal.

"Kamu gadis remaja yang baru bangun tidur, mimpi indah karena kasurmu nikmat, bukan pelacur yang mau menjual diri!"

Reni menoleh kaget. Kaget oleh kerasnya suara Anggun. Dan pedasnya nada suara wanita itu. Tapi Anggun tidak peduli. Dia memang terkenal keras. Teguh dengan prinsipnya. Kalau mau bekerja sama dengan dia, bukan cuma harus patuh, tapi sekaligus tegar. Tidak boleh cengeng. Pantang lembek hati.

Memang Anggun baru empat bulan bekerja di biro

iklan. Tapi rekan-rekan sekerjanya sudah tahu adatnya. Buat orang baru di dunia periklanan, kariernya memang menanjak cukup cepat. Dan prestasi itu diraihnya sebagian karena keteguhan prinsipnya. Sebagian lagi karena naluri "dagang"-nya. Bukan karena daya tariknya sebagai wanita.

"Perlihatkan keanggunanmu sebagai seorang wanita!" sambung Anggun tajam.

"Boleh menggoda, tapi jangan berkesan murahan!"

"Kita coba lagi," potong Rudi. Dia sudah biasa bekerja bersama Anggun. Dia juga seorang perfeksionis. Kalau belum sempurna, jangan harap mereka bisa break, biarpun cuma untuk makan siang.

"Jangan terlalu menatap ke lensa. Ren. Angkat dagumu, buka bibirmu sedikit... ya. begitu! Tahan!"

Dan... klik! Klik! Klik!

"Bagus!" cetus Rudi sambil mengembuskan napas lega.

"Belum!" bantah Anggun tegas.

"Kita ambil sekali lagi!"

"Kita sudah ambil sembilan kali!" keluh Reni separo menangis.

"Boleh break dulu lima menit, Mbak?"

"Tidak!" sahut Anggun tegas.

"Saya tidak mau kehilangan momen!"

Harman yang masih bersandar di ambang pintu mengawasi pengambilan gambar itu, langsung maju.

"Boleh usul?"

Anggun menoleh tanpa menyembunyikan tatapan kurang senangnya. Dia tidak Suka diinterupsi kalau sedang bekerja. Empat bulan bekerja di biro iklan ini, dua bulan sebagai perancang produksi, belum pernah

sekali pun Pak Santosa menyela di tengah-tengah kegiatannya. Kecuali waktu pertama kali dia diserahi tugas sebagai perancang produksi. Saat itu pun Pak Santosa hanya mengawasi. Sekadar ingin menilai bagaimana kreativitasnya.

Harman langsung menghampiri Reni. Mengangkat lengannya sedemikian rupa sampai ketiaknya terbuka separo, menantang.

"Menggeliatlah seolah-olah cuma calon suamimu yang melihatnya." katanya sambil mendorong kepala Reni sedikit miring.

"pejamkan matamu sedikit, buka bibirmu seolah-olah kamu sedang ingin menguap... nah, begitu! Tahan sebentar!"

Lalu Harman lari ke balik kamera. Dan tanpa permisi lagi pada Rudi, mengarahkan kameranya. Dia menginstruksikan penata lampu untuk mengubah pencahayaannya sehingga terkesan lebih temaram.

"Oke!" teriaknya bersemangat sekali.

Klik! Klik! Klik! Dan semua menarik napas lega. Kecuali Anggun.

"Bagus!" tukas Harman bangga.

"Kamu luar biasa, Ren!"

"Tidak!" dengus Anggun dingin.

"Kita coba sekali lagi."

Sekarang Harman memutar tubuhnya. Diawasinya perempuan itu dengan heran. Tetapi Anggun membalas tatapannya dengan dingin.

"Kamu belum puas juga?"

"Yang kita jual kasur, bukan gadisnya!"

"Tapi yang kita tampilkan gadisnya. bukan kasurnya! Calon pembeli pertama kali akan melihat Reni, bukan ranjang!"

"Tapi kalau gadisnya yang terlalu dominan, tidak ada yang melihat kasurnya! Porsinya harus seimbang!"

"Nah, di mana kamu belajar teori itu? Kamu studi periklanan di Amerika?"

Kilat memancar di mata Anggun. Dibuangnya seript yang dipegangnya. Lalu tanpa berkata apa-apa dia meninggalkan mereka.

Harman melongo melihat sikap wanita itu. Dia berpaling pada Rudi.

"Kenapa dia?"

"Mas Har mencampuri pekerjaannya," sahut Rudi sambil menghela napas. Menyimpan kejengkelannya.

"Dia tidak suka? Tidak mau dikritik, sekalipun oleh majikannya?"

"Dia tidak suka diintervensi. Biarkan dia menyelesaikan pekerjaannya. Penilaian Anda baru dibutuhkan kalau karyanya telah siap."

"Hah! Siapa dikiranya dirinya? Pakar periklanan dari Amerika?"

"Anda telah menyinggung harga dirinya," dengan kesal Rudi membenahi peralatan kameranya.

"Dia memang bukan dari periklanan. Bidangnya komunikasi."

"Ngapain dia nyasar kemari?"

Rudi mengangkat bahu.

"Perempuan!" Harman menggeleng. gelengkan kepalanya dengan kesal.

"Terlalu emosional!"

"Tapi sentuhan kewanitaan itu perlu, Mas Harman!" sela Reni manja.

"Supaya iklan tampil lebih memikat dan komunikatif! Yang belanja itu ibu ibu lho_ Mas!"

"Dan pekerjaannya selalu bagus," sambung Rudi mantap.

"Iklan kita disukai klien. Dan itu sebagian karena jasa Anggun. Kreativitasnya diakui Pak Santosa. Karena itu kariernya cepat menanjak."

"Bukan berarti saya tidak boleh ikut campur!" potong Harman tegas.

"Kalau saya punya ide yang lebih bagus, kenapa tidak?"

"Barangkali cuma caranya. Mas." Rudi menghela napas panjang.

"Saya tahu bagaimana cara menjinakkannya, Bung Rudi."

Ada seuntai senyum tersungging di bibir Harman. Rudi tidak suka melihatnya. Tapi dia tidak berkata apa-apa.

Dan ternyata yang tidak menyukai senyum Harman bukan hanya Rudi. Anggun juga.

"Maaf, saya sibuk," sahut Anggun dingin ketika Harman mengajaknya makan siang.

"Tapi orang sibuk juga mesti makan, kan?"

"Tapi tidak sekarang. Dan tidak bersama Anda."

Sekejap Harman mengawasi wanita yang sedang sibuk mendesain rancangan iklan di meja tulisnya itu. Tetapi Anggun tidak membalas tatapannya. Dia bahkan tidak mengangkat mukanya.

"Apakah Anda biasa sesombong ini?" tanya Harman sambil mengeluarkan rokoknya.

"Tergantung siapa yang saya hadapi," sahut Anggun jemu.

"Dan tolong matikan rokok Anda. Atau silakan Anda merokok di tempat lain, jangan di ruangan saya."

Harman yang sedang menjentikkan pemantik apinya tertegun sesaat. Wajahnya berubah. Tapi sejenak kemudian dilanjutkannya menyulut rokoknya. Dia malah mengembuskan asap rokoknya dengan sengaja ke arah Anggun.

"Siapa yang mengatakan saya tidak boleh merokok di perusahaan saya sendiri?" katanya sambil tersenyum sinis.

Sekarang Anggun mengangkat wajahnya. Ditatapnya Harman dengan dingin. Lalu tanpa berkata apa-apa dia meletakkan pensilnya. Membereskan tasnya dan keluar dari balik meja tulisnya. Ketika dia melewati tempat Harman berdiri untuk meninggalkan ruangan, Harman meraih lengannya. Sesaat Anggun tertegun. Terbius oleh kelancangannya.

"Boleh tanya mau ke mana?"

"Makan siang," sahut Anggun pendek sambil mengempaskan pegangan Harman di lengannya.

"Selamat siang, Pak."

Sengaja Anggun menekankan kata "Pak" dalam nada sarkastis. Lalu dia meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.

Lama Harman mengawasi punggungnya sebelum melemparkan rokoknya ke lantai dan menginjaknya dengan gemas.

***

"Saya minta agar foto-foto ini diajukan dalam meeting kita dengan khen minggu depan," kata Anggun di depan meja tulis di kamar kerja Harman Santosa.

"Jika mereka menolak, baru kita buat yang baru."

"Tidak," sahut Harman tegas. Dia menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran kursinya.

Ditatapnya wanita yang tegak di depan meja tulisnya itu dengan tenang.

"Saya sudah memutuskan untuk menyerahkan pesanan mereka kepada Widi."

"Widi?" sergah Anggun menahan marah.

"Dia sedang menangani klien lain! Iklan kacamata itu belum siap!"

"Dia siap minggu depan. Dan saya sudah minta dia mencarikan model lain."

"Mengapa harus model lain? Ada apa dengan Reni?"

"Kurang cocok," sahut Harman santai. Diraihnya kotak rokoknya. Lalu seperti sengaja hendak menyakiti hati Anggun, dinyalakannya rokoknya. Diisapnya dalam dalam. Dan diembuskannya asapnya dengan nikmat sebelum melanjutkan kata katanya.

"Kurang berani."

"Tidak," geram Anggun tajam.

"Dia oke. Bung Rudi pun oke. Anda hanya tidak mau memakai mereka karena saya!"

Harman mengawasi Anggun sambil mengisap rokoknya.

"Rudi sudah terlalu lama bekerja dengan Anda. Dia sudah tidak dapat bekerja mandiri lagi. Kreativitasnya sudah terpasung oleh kuatnya daya tarik Anda."

"Apa salahnya? Dia cuma fotografer, bukan pelukis! Dan mengapa Anda mengucilkan saya?"

Harman tersenyum tipis. Ditatapnya Anggun dengan angkuh. Diembuskannya asap rokoknya sebelum menjawab dengan pedas.

"Anda masih perlu bertanya lagi?"

"Karena saya menolak diajak makan siang?"

"Karena Anda sombong. Dan tidak ada tempat untuk karyawan sesombong Anda di perusahaan ini."

"Kalau begitu, saya mengundurkan diri," geram Anggun marah.

Harman membuka kedua belah lengannya dengan santai.

"Silakan. Pasti banyak lowongan di Surabaya yang luas ini untuk jebolan fakultas komunikasi yang andal seperti Anda. Mbak Anggun."

***

"Kenapa Kamu nakal banget sih. Yos!" sentaK bu Rully jengkel.

"Kamu tau nggak sih sekali lagi kamu mukulin anak tetangga, ibunya sudah ngancem mau lapor polisi?"

"Bodo amat," sahut Yos santai.

"Dia yang mukul duluan!"

"Bohong! Pasti kamu yang nakal!" Bu Rully menjewer telinga cucunya dengan gemas.

"Heran, kenapa sih kamu begini bandel? Ayahmu dulu tidak begini!"

"Siapa suruh pindah ke sini? Yos lebih suka di Jakarta! Kenapa Nenek bawa Yos kemari?" Dengan marah Yos membanting tubuhnya ke kursi. Mukanya merah padam. Semerah telinganya yang bekas dijewer.

"Karena kita tidak bisa lagi hidup di Jakarta, Yan! Semuanya serbamahal!"

"Bohong! Nenek cuma mau Yos nggak ketemu Mama!"

"Diam kamu, Yan! Nanti Nenek jewer lagi telingamu!"

"Biarin! Dan jangan panggil Yanuar lagi! Panggil Yos! Yosua! Yos nggak suka nama Yos diganti-ganti! Emangnya baju. bisa diganti-ganti semaunya!"

"Namamu sekarang Yanuar! Awas kalau berani membantah lagi!"

Bu Rully meninggalkan cucunya dengan marah. Dia benar-benar sudah hampir kewalahan mengurus Yos. Dalam setahun ini, rasanya ubannya sudah dua kali lebih banyak. Soalnya, Yos sudah menjadi dua kali lebih nakal. Dua kali lebih kurang ajar. Susah diatur. Selalu melawan.

Heran, dulu Rianto tidak begini. Sejak kecil dia selalu patuh. Tidak nakal. Tidak pernah membantah...

Ah, pantas saja Yos tidak seperti Rianto! Yos memang bukan putra si Thole! Bukan titisan darahnya! Entah anak siapa bocah bengal ini! Barangkali anak pacar Anggun yang mati itu....

Dan ingatan Bu Rully kembali kepada Angun. Masih jugakah dia mencari mereka"?


Trio Detektif 27 Misteri Kelompok Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Naga Geni 21 Laki Laki Di Atas Bukit

Cari Blog Ini