Ceritasilat Novel Online

Cinta Menyapa Dalam Badai 6

Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 6



"Namanya juga orang sakit. Pa! Kan nggak ada logikanya. Kita kan belum tahu siapa yang dulu menculik Anggi!"

"Aku sudah melaporkan ciri-ciri banci itu ke Polda. Informasinya sudah disebarluaskan. Aku juga sudah mencari informasi siapa yang membayari biaya perawatan Anggun. Orang itu bernama Reza Pratama. Mama tahu siapa dia?"

"Pratama?" Bu Sofi tertegun bengong.

"Apa bukan...?"

"Dia memang kakaknya Yudha. Baru kembali dari Amerika."

"Bagaimana bisa dia menolong Anggi?"

"Itu yang membuatku heran. Pasti bukan cuma kebetulan dia menemukan Anggun dan menolongnya!"

"Dia meninggalkan Anggi begitu saja di rumah sakit..."

"Aku curiga, ayah Yudha yang menyuruh orang menculik Anggi!"

Bu Sofi terbelalak antara cemas dan tidak percaya.

"Pa..." rintihnya ketakutan.

"Saya takut..."

"Kalau mereka mau membunuh Anggi, mereka bisa melakukannya saat itu!"

"Lalu kenapa mereka menculik Anggi?"

"Mungkin hanya untuk membuatnya menderita. Aku tidak percaya mereka menculiknya sekali lagi. Buat apa?"

"Jadi... ke mana Anggi?"

"Pasti masih mencari Yos!"

"Sampai tidak menelepon kita?"

"Dia takut kita akan melarangnya pergi sendirian sampai malam"

"Tadi pagi juga saya mau ikut, Anggi melarang," keluh Bu Sofi cemas.

"Sekarang ke mana kita harus mencarinya. Pa?"

"Saya betul-betul nggak tahu ke mana Yos, Bu," keluh Bing lelah.

Sudah sehari-semalam dia ditanya-tanya terus. Dia sudah letih. Jemu. Apalagi baluknya semakin banyak. Sesak napasnya juga semakin kerap.

"Tolonglah saya," pinta Anggun dengan air mata

berlinang.

"Hanya saudara-lah harapan saya satu-satunya untuk menemukan anak saya!"

"Tapi saya juga nggak tahu ke mana dia. Bu! Tadi pagi waktu saya tinggal, dia masih ada di gubuk. Dia mau ikut ngamen. tapi saya larang karena baru sembuh sakit "

"Yos sakit?" sergah Anggun cemas.

"Demam berdarah. Bu. Masuk rumah sakit..."

"Ya Tuhan!"

"Darah bekunya habis. jadi perlu ditambah..."

Anggun hampir kehilangan kesadaran karena sedih dan lelahnya. Tetapi dia tidak mau pingsan. Dia harus menemukan Yos!

Dan pusingnya semakin bertambah mendengar uraian Bing yang tidak keruan.

"Kita sudah janji mau balapan ngupas kulit kacang, Bu... Yos pasti pulang..." Wajah Bing yang pucat mendadak berubah lebih pias lagi.

"Kalau dia bisa pulang..."

"Lebih baik Ibu istirahat dulu," kata polisi itu, khawatir melihat keadaan Anggun.

"Biar kami yang menanyai dia."

"Tidak!" Anggun menggigit bibirnya mengusir pusing yang menyerang kepalanya.

"Kalau tadi pagi Yos masih di sini, pasti dia tidak jauh dari tempat ini! Saya harus mencari dia!"

"Saya ikut, Bu!" sergah Bing segera.

"Saya lebih kenal tempat ini!"

***

KARENA terburu buru Reza tidak melihat anak kecil yang sedang menyeberang itu. Hari sudah gelap. Dan dia melarikan mobilnya secepat mungkin untuk mengejar Anggun.

Dia tahu sekali ke mana Anggun pergi. Pasti kembali ke tempat tadi. Ke tempat kumuh di bantaran sungai itu. Dia percaya sekali anaknya berada di sana. Entah mengapa perempuan dungu itu percaya saja pada ocehan seorang pengemis yang tidak dikenalnya!

Dan sekarang dia nekat kembali ke sana. Padahal penjahat-penjahat yang disewa ayah Reza mungkin masih berada di sana. Mereka dengan sabar dan terlatih akan mengincar mangsanya....

Reza sangat resah. Kepalanya masih terasa pusing. Kata dokter, dia mengeluarkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Lukanya juga mulai berdenyut setelah obat anestesinya berkurang khasiatnya.

Tetapi semua itu tidak dihiraukannya. Dia harus segera menemukan Anggun. Melindunginya dari ancaman kematian yang dibawa oleh orang-orang yang disewa ayahnya... Kalau tidak, dia akan merasa berdosa pada adiknya....

Tetapi... benarkah cuma karena itu? Cuma karena rasa berdosa pada Yudha bila dia tidak mampu melindungi mantan kekasihnya?

Apakah bukan karena hal lain? Bukan karena...

Reza menggeram sambil memukul kemudi mobilnya dengan marah. Dan anak kecil sialan itu melintas begitu saja di depan mobilnya....

Reza menginjak habis pedal remnya. Suara derit rem melengking panjang di malam sepi. Ban mobilnya mencicit mencengkeram aspal. Tapi dia masih kurang cepat juga.

***

Bu Rully memejamkan matanya rapat rapat. Sudah seharian dia berbaring di ranjang. Malas makan. Malas mandi. Malas berbuat apa-apa.

Tak ada gairah lagi yang mewarnai hidupnya. Tak ada semangat bahkan untuk meninggalkan tempat tidur. Dia merasa lesu. Putus asa.

Yos sudah lama tidak ditemukan. Mungkin tidak akan ditemukan lagi. Entah ke mana bocah itu.

Dari Bu Sofi dia tahu Anggun dan keluarganya masih berusaha mencari Yos. Kata ibunya, Anggun malah sudah pergi lagi mencari Yos padahal baru kemarin dia keluar dari rumah sakit.

Dia diculik. Dibiarkan hampir mati kelaparan...

Rasanya tidak masuk akal! Siapa yang mau menculik dia! Untuk apa!.

Mungkinkah Anggun dirawat karena sakit? Tapi... sakit apa?

Apa seperti... si Thole? Mungkinkah Anggun juga ketularan? Atau... mungkin justru si Thole yang ketularan istrinya!

Barangkali ibu Anggun ingin merahasiakan penyakit anaknya. Bukankah AIDS tergolong penyakit memalukan yang harus dirahasiakan?

Bu Rully sudah mendengar tentang hasil tes HIV menantunya. Katanya negatif. Tetapi itu baru tes pertama. Mungkin saja antibodinya belum muncul.

AlDS adalah penyakit yang relatif baru dalam dunia kedokteran. Masih banyak hal yang masih gelap. Belum pasti diketahui para dokter. Tambah lagi masa inkubasinya tergolong panjang. Kadang-kadang sampai bertahun-tahun.

Mungkinkah Anggun juga sakit AIDS? Kalau tidak... mengapa dia masuk rumah sakit? Ketularan penyakit di penjara?

Ya, semuanya mungkin saja! Kecuali... diculik! Nonsens!

Memangnya dia siapa? Siapa yang mau menculik dia? Huh, ada-ada saja!

Ah, Bu Rully tidak mau memikirkannya lagi. Lebih baik dia tidur. Tetapi hari ini dia sudah terlalu banyak tidur. Kantuknya sudah hilang. Matanya tak mau terpejam lagi.

Tetapi dia malas bangun. Malas makan. Lebih baik dia berbaring saja di sini. Dalam kegelapan kamarnya.

Siapa tahu ibunya....

Thole akan menjenguknya...

***

Bing ambruk kecapekan. Fisiknya tidak mampu lagi menahan stres yang begitu berat.

Menggelandang di jalan sehari-semalam bukan hal baru baginya. Menahan haus dan lapar sudah biasa. Tetapi diinterogasi seharian membuatnya bukan cuma lelah, sekaligus jemu.

Apalagi dia memikirkan Yos. Di mana anak itu?

Yos begitu ingin menemui ibunya. Sekarang ibunya muncul, dia malah menghilang!

Bing juga merasa kasihan pada Anggun. Iba melihat wanita cantik yang tampak tua sebelum waktunya itu. Dia bukan hanya kelihatan lelah. Dia sedih. Hancur.

Bahunya yang dibalut membuat penampilannya tambah mengenaskan. Bajunya yang penuh bercak-bercak darah, kotor berlumpur. menyiratkan betapa berat perjuangannya mencari anak tunggalnya. Dan Bing merasa sangat berdosa karena tidak dapat membantu ibu yang malang ini.

Bing juga menyesal karena tidak mampu mempertemukan Yos dengan ibu kandungnya. Ah, kalau diikutinya saja tadi pagi keinginan Yos untuk ikut! Semuanya sudah beres. Yos sudah kembali kepada ibunya. Dan Bing bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang....

"Tolong biarkan dia istirahat dulu, Pak," pinta Anggun ketika melihat kondisi Bing.

Tentu saja Anggun ingin sekali mengetahui di mana

Yos. Dia juga ingin mengorek sebanyak-banyaknya informasi tentang anaknya. Rasanya dia juga tidak ingin berhenti bertanya.

Tetapi waria ini sudah terlalu letih. Dan kelihatannya dia tidak berpura-pura. Dia memang tidak tahu di mana Yos.

Naluri Anggun malah mengatakan, waria ini juga menyayangi Yos. Memperhatikannya. Merasa sedih dan ikut bingung dengan hilangnya Yos.

Kalau mendengar ceritanya, dan Anggun percaya sebagian besar cerita itu benar, sudah terjalin hubungan yang cukup erat di antara mereka. Mudahmudahan saja tidak lebih jauh dari itu...

Anggun ngeri membayangkannya. Waria ini tidak tampak terlalu sehat. Badannya kurus. Dan seperti layaknya gelandangan, tidak terlalu bersih... Yang lebih menakutkan lagi... bukankah pria ini punya kelainan? Dia menyukai makhluk sejenis... mudah-mudahan saja dia tidak menaruh minat pada anak-anak!

Anggun mengusir jauh-jauh pikiran itu. Dia tidak berani memikirkannya. Tetapi pikiran itu kembali dan kembali lagi ke kepalanya... Andai pria ini selain transvestit juga mengidap pedofilia... ya Tuhan, jangan!

***

Reza tergopoh gopoh turun dari mobilnya. Anak gelandangan itu terhantar di depan mobilnya. Untung tidak sampai terlindas. Mobilnya berhenti tepat sebelum ban depannya menggilas tubuhnya.

Tergesa-gesa Reza berjongkok di depan anak itu. Dipegangnya bahunya.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Anak itu menatapnya dengan mata terbelalak. Sorot matanya berbaur antara terkejut dan takut.

"Mana yang sakit?" desak Reza lagi.

Anak itu menunjuk sisi tubuhnya. Rupanya bumper depan mobil Reza sempat menciumnya, walaupun tidak terlalu keras. Kalau tubrukan itu cukup keras, anak ini pasti sudah terpelanting!

Dan Reza mendengar suara beberapa orang yang mendatangi. Dia mengangkat mukanya. Dan melihat beberapa orang penduduk, beberapa di antara mereka menggenggam kayu, sedang menuju ke arahnya.

Reza berpikir cepat. Kalau dia diam saja di sini, mereka mungkin mengeroyoknya. Paling tidak, memerasnya. Salah-salah dia bisa mati konyol di tempat ini! Tetapi meninggalkan korbannya begitu saja, dia juga tidak sampai hati.

Akhirnya secepat kilat dia menggendong anak itu dan memasukkannya ke mobil. Kemudian dia melompat ke balik kemudi dan melarikan mobilnya.

Orang-orang itu berteriak-teriak marah. Beberapa di antara mereka malah sempat memungut batu dan menimpuk. Entah dari mana saja datang orang sebanyak ini. Dan di mana mereka berada tadi.

Pokoknya Reza tidak mau berhenti. Dia melarikan mobilnya secepat-cepatnya ke rumah sakit. Dia memilih rumah sakit yang cukup jauh, supaya yakin sudah terbebas dari para pengejarnya. Siapa tahu ada di antara mereka yang punya motor. Atau menumpang mobil yang kebetulan lewat.

Dokter jaga di rumah sakit itu cukup simpatik. Dia langsung menangani Yos.

"Tolong dibersihkan, Suster," katanya selesai memeriksa.

Lalu kepada Reza katanya lunak,

"Hanya luka memar di dada sebelah kanan sampai tulang belikat. Kami akan mengirimnya ke Bagian Radiologi untuk foto. Untuk memastikan tidak ada tulang yang patah atau retak."

"Lakukan saja. Dok," sahut Reza murung.

"Seluruh biayanya saya yang tanggung."

"Tapi saya harus membuat visum. kalau-kalau keluarga anak ini menuntut. Anda tidak memanggil polisi tadi?"

"Tidak ada polisi, Dok. Dan orang banyak keburu datang. Kalau saya diam saja di sana, saya bisa mati konyol dikeroyok penduduk. Padahal dia yang menyeberang begitu saja di depan mobil saya."

"Saya mengerti. Tolong tinggalkan nama dan alamat Anda, supaya bisa dihubungi kalau kami memerlukan Anda nanti."

"Jangan khawatir. Saya tidak akan lari dari tanggung jawab."

"Baik, saya tinggal dulu."

Dokter itu memutar tubuhnya. Dan melangkah ke tepi pembaringan anak itu. Perawat sudah selesai membersihkannya. Dan dia sedang berbaring resah di atas tempat tidurnya.

"Halo," sapa dokter itu ramah.

"Siapa namamu? Kamu tahu di mana rumahmu dan di mana harus menghubungi ibumu?"

"Yos," sahut anak itu ketakutan.

"Nggak tahu Mama di mana..."

Air mata anak itu langsung meleleh. Perawat mem

bujuknya sambil menepuk-nepuk lengannya menenangkan.

Sementara si dokter menatap anak itu dengan tajam.

"Yos?" gumamnya tidak percaya.

"Apa kamu bukan anaknya... ah. Dokter Rianto Sudirman?"

***

"KENAPA baru telepon sekarang"!" geram Prambudi marah.

"Kamu tahu nggak sih Papa-Mama khawatir sekali!"

"Maaf, Pa "

"Anggi, Pa?" sela Bu Sofi cemas.

"Dia nggak apaapa?"

"Anggi tidak kenapa-napa, Pa. Mana Mama?"

"Mamamu sudah hampir semaput ketakutan!" Prambudi menyerahkan teleponnya dengan kesal kepada istrinya.

"Boleh ngotot cari Yos, tapi mbok ya ngasih kabar! Yang di rumah kan khawatir!"

"Anggi?" Bu Sofi menerima telepon itu dengan terbum-buru.

"Anggi minta maaf. Ma," suara Anggun tertekan menahan tangis.

"Anggi hampir menemukan Yos "

"Lalu di mana dia sekarang?"

"Menghilang lagi, Ma..." Air mata Anggun meleleh lagi.

"Padahal Anggi hampir menemukannya..."

"Ya Tuhan!" Bu Sofi menebah dadanya.

"Sekarang kamu di mana, Anggi?"

"Di polsek, Ma. Anggi segera pulang..."

"Biar Mama-Papa yang jemput. ya? Kamu tunggu saja di sana!"

Anggun berkeras ingin pulang sendiri. Tetapi kemarahan ayahnya menghalangi niatnya. Akhirnya Anggun terpaksa tinggal di sana menunggu orangtuanya datang menjemput. Dan melihat keadaan Anggun, kemarahan Prambudi langsung surut. Ibunya malah sudah langsung memeluknya sambil menangis.

"Aduh, Anggi... apa yang terjadi? Kamu kenapa?"

Tetapi Anggun tidak mampu menceritakannya. Dia sudah sangat letih. Dan sedih.

***

"Ketika melihatmu tadi, saya sudah bertanya tanya di mana pernah melihatmu!" cetus Dokter Sulistio, teman sejawat Rianto di rumah sakit.

"Tapi saya tidak percaya kamu sudah jadi begini! Apa yang terjadi. Yos?"

Tapi Yos sudah tak mampu menceritakannya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung. Dia tidak ingat di mana pernah melihat dokter ini. Tapi dia mengaku teman baik Papa lan.

"Di mana nenekmu'!" desak Sulistio lunak.

"Masih di rumahnya yang lama?"

"Yos minggat dari rumah Nenek..." rintih Yos ketakutan.

"Pantas..." Sulisrio mengangguk-anggukkan kepalanya sambil membelai-belai rambut Yos.

"Tapi jangan khawatir lagi. Yos. Semua akan beres, ya? Nanti Oom telepon nenekmu."

Sulistio langsung menelepon rumah ibu Rianto. Dan mendengar Yos ada di rumah sakit. Bu Rully seperti dibangunkan dari kubur.

Dia langsung bangkit. Menukar baju. Dan berkemas untuk berangkat ke rumah sakit.

"Yos!" pekiknya sambil jatuh-bangun menuju ke pintu keluar.

"Yos. ini Nenek datang!"

***

Ketika melihat keadaan anaknya, Boga langsung tahu apa yang terjadi. Orang orang sewaannya sudah melapor, ada seorang pria menghalangi niat mereka menghabisi Anggun.

Tampaknya pria itu bukan cuma kebetulan berada di sana. Dia sengaja menguntit Anggun untuk melindunginya. Dan mendengar ciri ciri pria itu. Boga sudah curiga. Sekarang dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, lengan kiri Reza dibalut. Pasti dialah pria yang menolong Anggun!

"Jahanam!" Boga menampar anaknya dengan sekuat tenaga.

"Kau sendiri tidak mampu membunuhnya, masih kauhalangi mereka!"

Reza terjajar ke belakang. Bahunya menabrak dinding di belakangnya. Menimbulkan rasa sakit yang luar biasa di lengannya yang terluka. Tetapi dia tidak melawan. Bahkan tidak mengaduh sama sekali.

"Bukannya kaubunuh dia malah kaulindungi! Apa

apaan kau ini, hah! Bukannya kaubalas sakit hati keluargamu, malah kausakiti hati Ayah!"

"Dia sedang mencari anaknya. Ayah," sahut Reza datar.

"Anak Yudha. Jika dia dibunuh sekarang, anak itu tidak akan pernah ditemukan lagi!"

"Omong kosong!" geram Boga sengit.

"Kau memang bukan cuma tidak ingin membunuhnya, kau sengaja melindunginya!"

"Beri dia kesempatan untuk menemukan anaknya. Ayah..."

"Persetan! Mulai sekarang kau bukan anakku lagi! Tinggalkan rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi ke sini!"

Reza mengangkat wajahnya dengan terperanjat. Dia sudah menduga ayahnya bakal marah besar kalau tahu dia melindungi Anggun. Tapi mengusirnya?

Namun Boga sudah tidak mau melihat anaknya lagi. Dengan berang dia memutar tubuhnya dan masuk ke dalam.

Dia merasa hatinya sangat sakit. Mula-mula dia kehilangan Yudha, anak bungsunya, anak kesayangannya. Lalu dia kehilangan istri yang sangat dicintainya. Dan kini anak sulungnya mengkhianatinya! Dia harus pergi! Pergi! Tak ada tempat bagi seorang pengkhianat di rumah ini!

Reza memang sering membangkang. Seperti adiknya juga, dia lebih sering melawan perintah ayahnya daripada mematuhinya. Tetapi pembangkangannya kali ini benar-benar keterlaluan! Sudah tidak dapat dimaafkan lagi!

Boga tidak menyesal kehilangan anak seperti Reza.

Biar dia tidak punya anak sekalian daripada punya anak sial itu!

***

Ketika Bu Rully melihat Yos terbaring di ranjang rumah sakit, dia tak dapat menahan air matanya lagi. Yos begitu pucat. Begitu kurus. Begitu kotor tak terurus!

Sebaliknya ketika Yos melihat neneknya, dia kehilangan seluruh kemarahan dan kejengkelannya kepada neneknya. Sekarang kalau Nenek minta dia mengganti namanya menjadi Kodok Hijau sekalipun, dia tidak peduli! Dia akan mematuhinya dan tidak mau lagi kabur dari rumah! Yos sudah jera! Kapok!

"Nenek " Yos membuka lengannya minta dipeluk. Matanya langsung berkaca-kaca.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Rully setengah berlari mendapatkan cucunya. Dipeluknya Yos dengan penuh kerinduan dan kelegaan.

"Yos..." bisiknya sambil mendekapkan kepala cucunya ke dadanya.

"Jangan pernah tinggalkan Nenek lagi, ya!"

Dibelai-belainya kepala Yos dengan penuh kasih sayang. Diciuminya rambut dan mukanya dengan penuh kerinduan. Tidak peduli rambut Yos baunya sudah seperti comberan.

"Kita tidak akan berpisah lagi, Sayang... kita akan hidup berdua selama-lamanya...."

Yos tidak membantah. Dia tidak peduli apa pun yang dikatakan neneknya. Apa pun yang diperintahkannya. Setelah sebulan lebih menggelandang, rasanya tidak ada tempat tidur yang seempuk tempat tidur Nenek. Tidak ada makanan yang seenak makanan buatan Nenek!

Sulistio menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu sambil tersenyum.

"Sekarang Yos sudah tidak apa-apa, Bu," katanya lunak.

"Tulangnya tidak ada yang patah. Dia sudah boleh pulang."

Malam itu Yos tidur dengan sangat nyenyak di rumah neneknya setelah minum segelas susu hangat yang lezat. Nenek menyehmutinya dengan sehelai selimut yang nyaman. Tidak terlalu panas. Tetapi tidak membuatnya merasa dingin walaupun AC berembus sejuk.

Nenek berbaring di sisinya. Membelai belai kepalanya sambil bersenandung kecil mengalunkan lagu ninabobo, seolah-olah dia baru berumur dua tahun.

Tetapi Yos tidak peduli. Dia tidak peduli suara Nenek tidak merdu. Tidak peduli dia tidak membutuhkan nyanyian untuk tidur. Pokoknya dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Nenek.

Malam ini tidurnya sangat nyenyak. Perutnya kenyang. Dan dia merasa aman.

Yos baru teringat pada Bing ketika sedang dilayani sarapan oleh neneknya. Melihat makanan yang berlimpah-limpah itu -entah jam berapa Nenek bangun menyiapkan sarapan sebanyak ini tiba-tiba saja dia ingat pada temannya.

Seandainya Bing ada di sini! Seandainya dia bisa

ikut mencicipi makanan seenak ini! Seandainya dia bisa ikut makan tanpa perlu menjual suaranya yang jelek itu!

"Nek," cetus Yos tiba-tiba.

Bu Rully berhenti menyendokkan nasi goreng ke piring cucunya. Wajahnya yang pagi ini tampak segar dipalingkan dengan ramah ke arah Yos.

"Mau kerupuk udang lagi?"

"Yos boleh bawa temen Yos ke sini?"

Sesaat Bu Rully tertegun. Teman? Teman macam apa?

"Teman sekolahmu?" tanya Bu Rully hati-hati.

"Bukan," sahut Yos polos.

"Temen baik Yos. Banci."

Sendok nasi yang dipegang Bu Rully hampir terlepas.

"Banci...?" dia hampir tersedak ludahnya sendiri.

"Bing yang nulungin Yos. Nganterin Yos ke Jakarta. Ke rumah sakit. Ke rumah Rosi..."

Celaka. pikir Bu Rully bingung. Bing. Rosi. Bencong semuakah mereka?

"Yos boleh ajak mereka kemari ya, Nek?"

"Tentu," Bu Rully tidak punya alasan untuk menolak.

"Tapi jangan hari ini, ya? Nenek masih kangen sama Yos! Hari ini kita berdua saja, ya"?"

"Tapi besok Yos boleh bawa Bing kemari ya, Nek?"

"BESOk kita lihat seperti apa temanmu itu."

"Bing baik, Nek!" cetus Yos, gembira mendengar jawaban neneknya.

"Dia lucu. Sabar. Tapi bencong. Kerjaannya ngamen di jalanan..."

Dari Yos terus nyerocos menceritakan tentang Bing. Bu Rully tidak sampai hati melerai. Dia hanya tertegun mendengarkan cerita cucunya.

Akan dibiarkannyakah persahabatan cucunya dengan banCi? Dan... Anggun. Apa yang harus dikatakannya pada menantunya?

Dia minta Yos tetap tinggal bersamanya, paling tidak beberapa minggu. untuk pelepas rindu? Mungkinkah Anggun mengabulkannya?

Bagaimana kalau Anggun menolak? Bagaimana kalau dia juga menginginkan anaknya? Bagaimana kalau dia memaksa Yos ikut dengannya, tinggal di rumahnya?

Ah, Bu Rully menarik napas panjang.

Aku belum puas melepas kangenku pada Yos! Aku belum mau kehilangan dia lagi!

***

Prambudi ingin Bing ditahan untuk diinterogasi lebih lanjut. Dia yakin di tangan waria itulah letak kunci hilangnya Yos.

Dialah orang terakhir yang melihat Yos. Yos tinggal di gubuk temannya. Bing pula yang membawa Yos kabur dari Surabaya. apa pun alasannya.

Prambudi tidak mau melepaskan Bing. Kalau waria itu lenyap, lenyap pulalah harapan mereka satu-satunya untuk menemukan Yos!

Tetapi kondisi Bing kian hari kian lemah. Anggun tak sampai hati menyiksanya terus. Dia percaya. waria itu betul-betul tidak tahu di mana Yos.

"Dia sakit, Pak," pinta Anggun pada polisi yang menahan Bing.

"Bebaskan saja dia. Saya percaya dia

tidak tahu di mana Yos. Saya tidak akan menuntutnya."

"Sudah kami periksakan ke dokter, Bu," sahut petugas yang menjaga Bing.

"Kondisinya memang lemah. Dokter bilang dia kena radang paru. Tapi sudah diberi obat."

"Lepaskan saja dia, Pak. Rasanya percuma saja menanyainya terus. Dia sama tidak tahunya dengan kita."

"Kami memang tidak bisa menahannya terus tanpa bukti-bukti yang kuat, Bu. Dia memang sudah mengaku membawa Yos. Tapi tuduhan penculikan tidak terbukti. Yos kabur atas kemauannya sendiri."

Prambudi sangat marah ketika akhirnya Bing dibebaskan.

"Dia satu-satunya harapan kita!"

"Percuma saja, Pa." desah Anggun putus asa.

"Kita memang sudah kehilangan Yos."

Ketika sedang melangkah keluar, Anggun berpapasan dengan Bing yang baru dibebaskan. Dia sedang melangkah terseok-seok. Tetapi begitu melihat Anggun. dia langsung menghampiri.

"Kalau saya ketemu Yos, Ibu orang pertama yang akan saya hubungi," katanya parau. Dia batuk-batuk sebentar sebelum melanjutkan,

"Boleh tahu alamat Ibu?"

"Saya akan mengantarmu ke rumah sakit." cetus Anggun tiba-tiba.

"Tampaknya penyakitmu parah!"

Bing tertawa pahit. Tawanya terdengar ganjil.

"Ibu belum tahu penyakit saya!"

"Kata dokter kamu mengidap radang paru. Saya akan membawamu ke rumah sakit. Jangan pikirkan biayanya."

Bing menatap Anggun dengan terharu. Sekejap Anggun melihat mata waria itu berkaca-kaca.

"Sekarang saya tahu, dari mana Yos mewarisi hatinya yang lembut." gumamnya lirih.

"Ah, sudahlah. Ayo, ikut saya," Anggun menunjuk mobilnya.

"Percuma saja, Bu." Bing tersenyum getir.

"Penyakit saya tidak bisa diobati..."

"Kalau perlu. kamu bisa dirawat di rumah sakit." potong Anggun tegas.

"Kamu yang mengurusi Yos ketika dia dirawat di rumah sakit, kan"? Sekarang biarkan saya membayar utang'"

"Terima kasih, Bu. Tapi saya permisi saja. Saya mau pulang."

"Kalau begitu. ambil ini!" Anggun menyelipkan lima lembar uang ratusan ribu.

"Pakai untuk membeli obat!"

Bing tersenyum riang. Dia mencium uang itu dengan gayanya yang lucu. Lalu disimpannya uang itu di balik gaunnya. Dan dia melambai genit pada

Anggun.

"Daah, Ibu!"

"Dasar bencong!" dengus Prambudi yang mengawasi mereka dari kejauhan.

"Heran, Yos bisa bergaul

sama orang begituan!"

"Kasihan Yos," keluh Bu Sofi yang sedang berdiri di samping suaminya dengan lesu.

"Entah hidup seperti apa yang dijalaninya sekarang...."

***

Yos membuka mulutnya lebar-lebar. dan memasukkan sepotong besar perkedel kentang. Lalu dia mengambil paha ayam goreng dari piring di depannya. Dan menggigitnya dengan rakus. Minm, lezat. Dia mengunyah dengan cepat. Meneguk segelas minuman ringan dari gelas yang dipenuhi bongkah es. Kemudian menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya.

Bu Rully mengawasi cara makan cucunya sambil menahan senyumnya. Rupanya menggelandang sebulan lebih telah mengubah Yos seratus persen. Bukan cuma adatnya saja yang berubah. Cara makannya juga.

Dulu dia rewel sekali memilih makanan. Malas minum susu kalau tidak dipaksa-paksa. Sekarang dia sanggup melahap apa saja yang disodorkan neneknya. Rasanya apa pun yang ditaruh di atas meja, asal bisa dimakan, disikatnya sampai habis.

Sifatnya juga menjadi lebih baik. Tidak nakal. Tidak suka membantah. Dan yang paling penting. tidak ribut lagi mau mencari ibunya.

Jadi untuk apa Yos dikembalikan kepada Anggun? Dia sudah puas hidup begini. Bahagia bersama neneknya. Mau apa lagi?

Lebih baik dia tinggal bersamaku, pikir Bu Rully ketika sedang mengawasi cucunya makan. Aku masih sanggup memberinya makan sampai kenyang. Menyekolahkannya sampai jadi sarjana. Mendidiknya dengan baik seperti aku telah mendidik si Thole....

"Besok kita kembali ke Surabaya ya, Yos," cetus Bu Rully hati hati.

"Yos sudah kangen sama Bu Ati. kan? Sudah kepingin main sama teman-teman Yos?"

"Tapi Yos mau ketemu Bing dulu," sahut Yos tanpa menghentikan makannya. Duh, ayam ini gurih sekali. Nasinya juga enak. Perkedelnya sedap. Mmm, Bing

pasti suka. Dia pasti menyikat semua makanan ini dengan lahap!

Tetapi ketika Nenek sudah mengizinkannya mencari Bing Nenek sudah menyiapkan sebuah taksi Yos tidak dapat menemukan Bing! Dia tidak dapat menemukan gubuk si Rosi. Tidak dapat menemukan jembatan tempat Bing mangkal. Tidak dapat menemukan lampu lalu lintas tempat Bing biasa ngamen!

Sudah setengah harian mereka berputar putar dengan taksi, sudah suram wajah Nenek melihat argometer yang sudah menunjukkan angka seratus ribu lebih, tapi seorang banci pun tidak mereka temukan!

"Baiangkali dia sudah pulang ke Surabaya," bujuk Bu Rully.

"Kenapa kita tidak cari di sana saja, Yos? Kata Yos dia mangkal di depan stasiun. kan? Nanti Nenek antar ke sana."

Yos masih ngotot mencari Bing sampai sore, Tetapi akhirnya dia putus asa Juga. Dia sudah lelah. Nenek juga sudah mulai marah-marah. Pengemudi taksi juga mulai bosan meskipun argonya terus melangit.

Akhirnya mereka pulang. Nenek mesti mengambil uang dulu karena uang di dompetnya tidak cukup untuk membayar ongkos takst. Dan Yos langsung ambruk kecapekan di tempat tidur.

Ketika Bu Rully masuk ke kamar untuk menyuruh Yos mandi, anak itu sudah tertidur pulas. Bu Rully tidak sampai hati membangunkan cucunya yang sedang terlelap. Akhirnya dia cuma membuka sepatu Yos. Dan membetulkan letak bantalnya.

Ketika sedang melangkah ke luar kamar. Bu Rully berpikir pikir, barangkali dia sendiri juga sudah berubah, bukan hanya Yos. Sebelum mereka berpisah, dia pasti sudah membangunkan Yos dan memaksanya mandi sebelum naik ke tempat tidur!

***

Reza sudah memutuskan untuk kembali ke Amerika. Sudah tidak ada tempat lagi baginya di rumah ayahnya. Dia juga tidak berani menetap terus di Jakarta. Bayangan wanita itu terus menerus mengganggunya. MenguSik tidurnya.

Wajahnya yang cantik tapi sendu itu, wajah yang penuh gurat-guiat penderitaan, terbayang terus di matanya. Desahnya ketika dia mengaduh kesakitan tak mau lekang dari telinganya. Dan sorot matanya ketika dia hampir mati kehausan senantiasa membangkitkan rasa tidak enak di hati Reza.

Entah perasaan apa. Bukan perasaan bersalah. Bukan! Tidak sama dengan perasaannya karena tidak mampu membalaskan dendam keluarganya. Ini sebuah perasaan lain perasaan yang tidak dikenalnya, entah apa namanya, tapi sangat mengganggu!

Lebih baik aku pulang ke Amerika daripada gila di Jakarta, pikir Reza gundah.

Terus terang dia tidak tega meninggalkan ayahnya seorang diri. Tetapi dia harus bagaimana lagi? Ayah sudah menutup pintu rapat-rapat. Tak ada lagi maaf baginya. Tak ada tempat di rumahnya buat seorang pengkhianat!

Aku harus bagaimana, keluh Reza dalam hati. Aku menyayangi ayahku. Hatiku sakit kehilangan ibu dan adikku. Aku mendendam kepada perempuan itu, perempuan yang mencelakakan Yudha... Tapi mengapa aku tidak sampai hati melenyapkannya? Bukan hanya tidak tega... lebih dari itu...

Rasanya ada ikatan batin yang aneh... Perasaan yang asing... yang tidak kukenal merambah menjalan relung hatiku yang paling dalam....

Reza sudah menelepon pacarnya. Mengabarkan dia akan kembali sesudah urusannya selesai. Dia sudah pesan tiket. Mengurus visa. Membenahi surat-suratnya karena dia sudah bertekad tidak akan kembali ke Jakarta. Tetapi mengapa dia belum mau berangkat juga?

Rasanya berat sekali... seperti ada yang mengganduli hatinya di sini... Memaksanya kembali untuk melihat wanita itu sekali lagi... sekali lagi saja. Melihat bagaimana keadaannya... tapi untuk apa?

Sudah kembalikah anaknya? Sudah ditemukankah

anak Yudha? Masihkah orang sewaan ayahnya mengincar jiwanya"? Atau... Ayah sudah putus asa?

Reza tidak berani menampakkan diri. Dia hanya menguntit Anggun. Mengawasinya dari jauh. Seperti dulu.

Tampaknya Anggun sudah lebih tenang. Dia sudah tidak terlalu ngotot lagi mencari anaknya. Tampaknya dia sudah pasrah.

Wajahnya masih sendu dibuai penderitaan. Sorot matanya kosong menyiratkan hidup yang hampa. Senyumnya hampir tak pernah mengembang. Hidup seperti apa yang dijalaninya?

Bukankah hidup seberat ini lebih menyiksa daripada kematian? Untuk apa Ayah mengotori tangannya lagi untuk melenyapkan wanita itu? Hidupnya sudah cukup sengsara!

Tiap hari dia menggelandang mencari anaknya. Menyusuri tempat-tempat kumuh yang tak pantas disinggahi wanita seperti dia. Tak segan pergi ke tempat rawan sekalipun. hanya sekadar mencari informasi. Padahal bahaya mengintai di mana-mana.

Dan yang khawatir bukan hanya Reza. Bu Sofi juga.

"Lebih baik kamu coba mencari pekerjaan lagi, Anggi." katanya lirih.

"Seperti dulu. Untuk mengisi waktu. Kalau tidak, kamu bisa sakit!"

Anggun tahu ibunya benar. Tanpa pekerjaan, hariharinya hanya diisi dengan pencarian Yos. Dan karena semakin hari harapan menemukannya semakin tipis, dia semakin tenggelam pada apatisme.

Hidupnya makin terasa hampa. Tanpa harapan. Tanpa tujuan. Dan ingat pekerjaan. mengembalikan ingatannya pada Swarga.

Pada Pak Santosa. Pada Rudi. Pada... Harman.

Anggun merasa tak adil pada mereka. Dia meninggalkan pekerjaan begitu saja. Meninggalkan Namun tanpa kabar berita.

Dia harus minta maaf. Bukan supaya dipekerjakan lagi. Tapi karena merasa bersalah.

Anggun tidak mau lagi ke Surabaya. Dia ingin tetap di Jakarta. Bekerja sambil mencari Yos. Seperti dulu.

Tetapi begitu Harman mendengar Anggun ada di Jakarta, dia langsung minta modal pada ayahnya. Dia ingin mendirikan cabang Swarga di Jakarta. Dan bermitra dengan Anggun.

Sebaliknya, begitu Rudi mendengar Anggun di Jakarta. dia langsung pergi ke rumahnya. Dan mengajak bekerja sama di sebuah majalah tempat dia sekarang bekerja.

"Kita bisa mengolah rubrik dapurnya," kata Rudi bersemangat.

"Redaksinya teman baikku."

"Dia memang butuh fotografer untuk rubrik itu." sahut Anggun lesu tanpa semangat.

"Tapi aku? Apa yang bisa kulakukan?"

"ini kan polanya sama seperti iklan. Anggun! Kita harus menampilkan yang terbaik supaya pembaca tertarik!"

Anggun minta waktu untuk pikir-pikir. Tidak tega menolak.

Ketika Harman mendengar usul Rudi, dia tersenyum mengejek.

"Jadi dia sudah selangkah lebih maju." katanya sinis.

"Dari dulu dia selalu lebih depan dari aku, kan?"

'Tawaranmu juga mas kupikirkan," sahut Anggun tawar.

"Aku belum memutuskan apa-apa."

"Mengapa kamu tidak pernah cerita tentang anakmu?" Harman menyesali sikap Anggun.

"Kalau aku tahu kamu sedang mencari anakmu, paling tidak kan aku bisa membantu!"

Anggun menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Tidak ada yang dapat menemukannya. Tidak juga polisi."

"Jangan khawatir. Aku akan membantumu mencarinya. Aku sudah memutuskan akan pindah ke Jakarta. Dan buka usaha di sini. Ayahku sudah setuju."

Anggun menatap Harman antara kaget dan bingung.

"Lalu... pacarmu'?"

"Ika sudah kembali ke Hamburg. Aku belum memutuskan untuk menikah. Lebih baik kutunda dulu daripada menyesal."

Anggun terdiam. Wajahnya bertambah murung.

"Kenapa?" tanya Harman sambil mengawasi wanita itu dengan cermat.

"Aku sedang berpikir. mudah-mudahan bukan garagara aku."

"Tentu saja gara gara kamu!" Harman tertawa lepas.

"Gara gara siapa lagi?"

Anggun membuang tatapannya ke tempat lain. Wajahnya tambah suram.

Di luar tidak ada apa-apa. Hanya sebidang taman di depan rumah ayahnya. Tidak ada orang di sana. Tetapi Anggun dapat melihatnya dengan jelas. Sosoknya tinggi tegap. Wajahnya muram menyiratkan dendam dan sakit hati. Sorot matanya begitu kelam... penuh perasaan bersalah...

Dari sosok itu sudah lenyap ketika Anggun berkedip. Sosok yang hanya tampil dalam bayangan. Tapi yang selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi .

"Aku merasa bersalah..." desah Anggun perlahan.

"Kepada siapa?"

"Kepadamu."

"Karena belum memeriksakan darahmu lagi?"

Tentu saja sudah. Dan hasil tes darahnya sudah keluar. Tes HlV-nya tetap negatif. Suaminya yang baik itu tidak menularkan penyakitnya kepadanya!

Yang lebih penting lagi, Anggun tidak menularkan AIDS kepada Rianto. Kepada Yos. Dan kepada... Reza.

"Aku tidak bisa memberi harapan padamu, Har," gumam Anggun lirih.

"Tidak adil."

"Tentu saja tidak." sahut Harman sambil tertawa. Tetap optimis dan percaya diri.

"Aku memang tidak perlu cepat-cepat melamarmu kalau sainganku cuma si Rudi. kan?"

"Aku belum memikirkan perkawinan. Mungkin aku sudah memutuskan untuk tidak menikah lagi seumur hidupku..."

"Aku mengerti. Karena pikiranmu masih pada anakmu. Tapi kalau dia sudah ditemukan. kamu akan berubah, Anggun. Aku tidak percaya kamu tidak memerlukan seorang laki laki. Dan anakmu yang masih kecil itu tidak membutuhkan seorang ayah."

Anggun tidak menjawab lagi. Malas. Dia memang tidak dapat memutuskan rantai percaya diri Harman. Rantai itu sangat kuat!

***

BING merasa sangat keniiangan ros. Siang-malam dia masih berusaha mencari sahabat kecilnya. Tetapi Yos seperti lenyap ditelan bumi.

Rosi dari Uut juga bantu mencari. Mereka malah menyebarkan info ke semua teman mereka. Tapi tidak pernah ada yang melihat Yos lagi.

Selama mencari Yos, Bing hampir tidak bekerja. Dia memanfaatkan lima ratus ribu rupiah yang diberikan Anggun. Tetapi lama-kelamaan uang itu semakin menipis juga. Dan kondisi kesehatannya makin hari makin buruk.

Batuknya semakin bertambah. Demamnya tidak mau hilang. Dan tubuhnya semakin kurus.

Rosi ingin membawa Bing ke rumah sakit ketika penyakitnya semakin parah. Tetapi Bing menolak.

"Gue kena AIDS, Ros," katanya lemah.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang kaya juga nggak bisa sembuh, apalagi kita! Jadi nggak

usah berobat, buang-buang uang saja! Mendingan lu beliin gue makanan enak. Gue kepingin pempek Palembang. Tuh duitnya masih ada. Ambil deh."

Ketika Rosi mendengar penyakit Bing, dia menjadi sangat ketakutan. Dia meninggalkan gubuknya. Dan tidak kembali lagi. Pindah ke gubuk Uut. Meninggalkan Bing seorang diri di gubuknya. Padahal Bing justru sangat membutuhkan teman.

Dia sakit. Dan penyakitnya bukan hanya membutuhkan obat. Perawatan. Tapi terutama teman. Yang mendampingi dalam keputusasaan. Menghibur dalam penderitaan. Menabahkan hati. Menemani ngobrol.

Sia-sia Bing menunggu kedatangan Rosi. Dia tidak kembali lagi. Dia pergi dengan membawa sebagian sisa uang Bing yang telah menipis. Yang datang justru Anggun. Yang masih mencari Yos. Menanyakan kalaukalau Bing memperoleh info.

Anggun terkejut sekali ketika melihat keadaan Bing. Dia terbaring lemah di sudut gubuknya. Kurus kering dan pucat bagai mayat. Di atas tikar yang dikotori oleh sisa makanan basi. Air seni dan kotorannya melumuri tikarnya.

Bing membuka matanya ketika Anggun masuk sambil menutup hidung ke dalam gubuk yang baunya menusuk itu. Dan dia masih mampu memamerkan seuntai senyum lemah ketika mengenali perempuan itu. Dia batuk-batuk hebat. Napasnya tampak sesak.

"Saya belum mati. Bu." katanya dengan suara lemah.

"Ya Tuhan!" desah Anggun, trenyuh melihat keadaan waria itu.

"Saya harus membawamu ke rumah sakit!"

"Jangan pegang saya, Bu!" cegah Bing dengan napas memburu.

"Saya kena AIDS!"

Anggun tertegun. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Wajahnya mengerut menahan iba.

Diawasinya mayat hidup di hadapannya. Dan dia teringat kembali kepada Rianto, almarhum suaminya yang meninggal karena AIDS. Matanya langsung berkaca-kaca.

***

Anggun membawa Bing ke rumah sakit dengan ambulans. Dia sengaja membawa Bing ke dokter yang dikenalnya dengan baik. Dokter Sulistio. teman sejawat Rianto.

"Mbak Anggun!" cetus Sulistio gembira bercampur haru.

"Lama sekali kita tidak ketemu ya!"

Alangkah berat penderitaanmu di penjara, pikir Sulistio iba. Sampai begini keadaanmu!

"Maaf tidak meneleponmu," sambung Sulistio agak tidak enak.

"Saya kita..."

"Saya masih di penjara." Anggun tersenyum pahit.

"Tidak apa apa. Dok. Saya datang untuk minta tolong yang lain."

"Oh, Silakan, Mbak Anggun. Soal apa ya?"

"Saya bawa pasien."

"0 ya? Siapa yang sakit?"

"Seorang waria. Katanya dia menderita AIDS."

Sulistio terpaku sejenak.

"Maaf," katanya tersendat.

"Kalau boleh saya tahu..."

"Dia teman Yos."

Wajah Sulistio tambah memperlihatkan kebingungan.

"Yos?"

"Yos hilang." Wajah Anggun berubah sedih.

"Selama dia menggelandang, waria ini temannya satu-satunya. Dia yang melindungi. Memberi makan. Bahkan mengurusnya ketika sakit. Sampai dirawat di rumah sakit karena demam berdarah."

"Oh, begitu!"

"Saya ingin membalas budinya terhadap Yos, Dok. Tolong periksa dia. Dan katakan apa yang masih dapat kita lakukan."

"Tentu," sahut Sulistio segera.

"Saya akan memeriksanya. Jangan khawatir. Nanti Mbak saya beri kabar."

"Mengapa tidak sekalian memeriksakan dirimu kalau kamu punya teman dokter yang begitu baik?" tukas Harman menyesali Anggun.

"Dokter Sulistio bekas teman sejawat Mas Rian, almarhum suamiku. Dia yang mendampingi Mas Rian sampai saat-saat terakhirnya."

Sementara aku meninggalkannya, pekik Anggun pedih di dalam hati. Aku, istrinya, justru orang terakhir yang mengetahui penyakit suamiku!

"Kalau begitu. mintalah dia memeriksa darahmu lagi, Anggun." pinta Harman sungguh-sungguh.

"Jika bukan untuk dirimu, untukku. Aku tidak mau melihatmu seperti banci itu. Tinggal tulang berbalut kulit."

Anggun merasa begitu terharu sampai dia ttdak tega lagi merahasiakan hasil tesnya yang terakhir.

"Hasilnya negatif," katanya tersendat.

Harman begitu bahagia sampai dia lupa di mana dia berada. Dipeluknya Anggun dengan lembut. Lebih terdorong oleh ungkapan syukur daripada gairah.

Anggun tidak ingin menyandarkan kepalanya ke dada Harman.

Tetapi Harman mendekapnya begitu erat sehingga Anggun sulit mempertahankan agar kepalanya tidak rebah ke dada pria itu. Dan ketika sedang menyandarkan kepalanya di sana, sebuah perasaan aneh menyelinap ke hatinya.

Anggun merasa aman. Merasa terlindungi. Merasa memiliki seseorang. Tetapi dia tidak merasakan lagi kehangatannya.

Anggun mendorong dada pria itu dengan lembut. Agar tidak menyinggung perasaannya.

Harman melepaskan pelukannya. Tetapt dia tidak mau melepaskan Anggun lagi. Diraihnya tangan wanita itu. Dibimbingnya melintasi lapangan parkir rumah sakit yang sudah hampir kosong. Jam kunjungan telah lewat. Hampir pukul sembilan.

Dan sebuah mobil biru menderu kasar lewat dengan cepat di depan mereka. Langsung menghambur ke pintu keluar rumah sakit.

Anggun merasa hatinya berdebar ganjil ketika melihat mobil itu. Terlalu gelap untuk melihat pengemudinya. Tapi tanpa melihat pun Anggun sudah dapat menduga... Mengapa... mengapa dia berada di sini?

Tetapi Anggun tidak berkata apa-apa. Dia hanya

menatap mobil itu dengan dahi berkerut. Perasaannya bergetar tidak enak.

Harman membukakan pintu mobilnya untuk Anggun. Lalu dia masuk dari pintu yang lain.

"Boleh mengajakmu ke suatu tempat?" tanya Harman lembut.

"Tolong antarkan aku pulang ya." pinta Anggun letih.

"Aku sangat lelah."

"Oke. Besok kujemput kamu pukul sembilan. Tidak terlalu pagi, kan?"

"Ke mana?"

"Ke mana saja maumu. Mencari Yos. Lalu mencari tempat untuk usaha kita."

"Usaha... kita?"

"Kamu sudah setuju, kan? Kita akan buka cabang Swarga di Jakarta. Ayahku sudah setuju. Kita akan bermitra. Kamu boleh pakai si Rudi kalau memang kamu belum menemukan fotografer yang lebih andal dari dia." Harman tersenyum pahit.

"Tapi begitu kamu bilang tidak perlu dia lagi, aku yang pertama-tama akan menendangnya!"

"Rudi sudah kerja di majalah..."

"Aku tahu, jaga dapur!" Harman tertawa tanpa nada melecehkan.

"Tapi kalau kamu yang panggil. taruhan, dia akan pulang kandang!"

"Tapi aku belum memikirkan usaha..."

"Katamu kamu perlu pekerjaan supaya tidak jadi sinting memikirkan anakmu tiap hari!"

"Hanya sebagai perancang produksi. Bukan pengusaha. Aku belum punya modal."

"Ayahmu tidak mau membagi sebagian hartanya

buat anak tunggalnya? Suamimu tidak meninggalkan warisan untukmu?"

Warisan. Rianto memang meninggalkan warisan untuknya. Tetapi Anggun tidak pernah menyentuh warisan itu. Disimpannya semua peninggalan Rianto untuk Yos. Tapi sekarang Yos... ah. di mana dia?

"Akan kubicarakan dengan ayahku," kata Anggun akhirnya.

"Beri aku waktu ya?"

"Oke," Harman menepuk tangan Anggun dengan lembut.

"Aku selalu sabar menunggu."

***

Reza mengerem mobilnya dengan tajam di depan lampu lalu lintas yang tiba-tiba berubah menjadi merah.

"Sialan!" kutuknya kepada lampu yang kurang ajar itu. Dihantamnya kemudi mobilnya dengan berang. Dimatikannya radio mobilnya dengan kasar. Ketika sedang melemparkan ponselnya ke bangku di sebelahnya, tiba-tiba saja dia sadar.

Mengapa dia jadi begini? Marah-marah sendiri tanpa alasan?

Lampu lalu lintas? Mustahil. Lampu merah di mana pun di seluruh dunia akan menyala sesudah lampu kuning. Dan lampu kuning memang hanya berpijar sekejap sebelum berubah jadi merah.

Jadi apanya yang salah? Mengapa dia marah-marah?

Apakah bukan karena sesuatu yang dilihatnya tadi... di lapangan parkir rumah sakit?

Pria gagah itu memeluk Anggun dengan mesra. Dan wanita jahanam itu menyerah saja dipeluk lelaki lain!

Jalang! Yudha mengorbankan dirinya untuk perempuan itu! Yudha kehilangan nyawanya demi Anggun! Dia dibunuh! Di...

"Tapi itu hanya kecelakaan..." terngiang kembali suara yang penuh perasaan bersalah itu.

"Aku sangat mencintai Yudha..."

Mencintai Yudha? Bah! Dia diam saja dipeluk lelaki lain!

Klakson mobil di belakangnya menyentakkan lamunan Reza. Lampu telah berubah menjadi hijau. Diangkatnya kakinya dari pedal rem. Diinjaknya gas sekuat-kuatnya. Mobil menderu ganas. Meluncur tak terkendali membelah jalan raya.

Dia tidak membutuhkan aku lagi, geram Reza sambil membelokkan mobilnya dengan cepat menuju ke gudangnya. Sudah ada lelaki lain yang akan melindunginya!

Lebih baik besok dia membeli tiket pesawat. Dan kembali secepatnya ke Amerika. Dia tidak tahan lagi tinggal di sini. Tak ada yang memerlukannya lagi di sini. Tidak ayahnya. Tidak juga perempuan itu...

Dan sebuah pub menggoda di depan sana. Lampu di billboard nya berkelap kelip seperti wanita cantik yang mengedipkan matanya mengundang setiap pria yang ingin mencicipinya.

Mengapa tidak? Mabuk sedikit sebelum meninggalkan Jakarta untuk selama lamanya. Mengucapkan selamat tinggal kepada misinya yang gagal... membalaskan dendam keluarganya....

Hampir pukul sebelas malam ketika Reza menge

mudikan mobilnya dalam keadaan setengah mabuk, pulang ke gudangnya. Sejak diusir ayahnya. dia memang tinggal di gudang kosong itu. Lumayan tidak usah membayar sewa. Dan tempat itu memang membawa kenangan-kenangan yang sulit dilupakan.

Mengembalikan ingatannya pada sosok wanita itu... wanita yang selalu hadir dalam mimpinya... melintas di depan matanya... seperti sekarang...

Reza mengerem mobilnya dengan tajam. Menghentikannya di depan pintu gudang. Tepat menubruk bayangan yang dibencinya.

Bayangan yang selalu hadir. Yang ingin diusirnya jauh jauh...

Tapi kini bayangan itu tidak lenyap! Dia hanya bergeser cepat ke samping, menghindari tubrukan. Dan dia tetap berada di depan matanya. Jelas. Utuh. Nyata.

Reza meraung jengkel sambil memukul kemudi mobilnya. Dia turun dengan sempoyongan. Menghampiri bayangan yang menghadang di depan pintu gudang.

"Enyah kau, Jahanam!" geramnya sambil menebaskan tangannya menghalau.

"Jangan ganggu aku lagi!"

"Reza..."

Suara itu begitu muram. Begitu lirih. Begitu perlahan. Tapi sekaligus begitu nyata!

"Pergi!" dengan limbung Reza mengibaskan lengannya.

"Pergi!"

Karena terlalu bernafsu mengusir, Reza kehilangan keseimbangan. Tubuhnya sempoyongan hampir jatuh. Dan bayangan itu secepat kilat menangkapnya... memeluknya...

Karena tubuh Reza terlalu berat. mereka sama-sama terdorong limbung menabrak pintu gudang. Punggung bayangan itu membentur pintu. Dia mendesah perlahan menahan sakit. Tetapi tetap tidak melepaskan pelukannya.

Tubuhnya terasa begitu hangat. Begitu hidup. Debar jantungnya serasa menyatu, melebur bersama denyut jantung Reza...

Reza menyentakkan bayangan itu dengan kasar. Mendekapkannya ke tubuhnya. Dan dia merasa tubuh yang berdaging, hangat dan lembut, melekat erat ke dadanya

Sesaat Reza tertegun. Sekejap dia terbelalak. Tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa... mengapa ?

Sorot mata yang redup itu kelam menyiratkan kedukaan yang sarat penderitaan... ah. mengapa begitu hidup? Begitu menyentuh kalbu, menggugah rasa?

"Kamu mabuk..." bisik bayangan itu halus. Suaranya begitu lembut. Begitu penuh pengertian. Jauh dari nada menyalahkan. Apalagi memarahi. Menggugat.

Sebuah sentuhan halus menyapa pipi Reza. Kelembutannya terasa sampai ke dada. Kehangatannya menjalar sampai ke relung hatinya yang paling dingin.

Tidak sadar Reza menangkap tangan itu. Menggenggamnya erat erat. Daging yang lembut, hangat, dan nyata... menyadarkan Reza dia bukan memeluk bayangan! Bukan!

Yang hadir di hadapannya kini bukan lagi imajinasi!

Dia memeluk seorang manusia. Seorang wanita. Perempuan yang dibencinya itu... Anggun Pitaloka pembunuh adiknya!

Reza menggeram marah. Menyentakkan tubuh Anggun lepas dari pelukannya.

"Pergi kau, jalang!" sentaknya, bukan lagi dengan desis penuh kebencian. Tapi dengan getar lirih yang menahan sakit hati yang menikam nyeri.

Lalu Reza melompat lari ke mobilnya. Membuka pintunya dengan kasar. Dan melarikan mobilnya tanpa terkendali.

Seolah-olah dia ingin pergi jauh-jauh. Menghilang dari kenyataan yang menyakitkan. Kenyataan yang tak dapat lagi diingkari... dia telah jatuh cinta. Pada pembunuh adiknya!

Dalam badai yang begitu dahsyat menerpa, cinta telah datang menyapa. Membuktikan sekali lagi kekuatan dan keanehannya. Kuat karena jika dia telah datang, tak seorang pun mampu mengusirnya. Aneh karena dia justru hadir di antara dua orang yang paling tidak mungkin jatuh cinta!

Lama Anggun tegak dalam kegelapan, membiarkan air matanya meleleh membasahi pipinya. Dia bersandar lemah ke pintu di belakangnya sambil memejamkan mata.

Mengapa hidup ini begini kejam? Mula mula dia kehilangan Yudha. Lalu Rianto. Lalu Yos. Dan kini mengapa dia justru jatuh cinta pada orang yang membencinya? Orang yang justru datang untuk membunuhnya. membalaskan dendam keluarganya!

Mengapa dia tidak dapat mencari pengganti Yudha dalam diri Harman? Mengapa justru harus kakaknya? Mengapa bukan orang lain? Dan mengapa dia harus jatuh cinta lagi? Mengapa dia tidak dapat hidup tanpa cinta seorang pria?

Anggun merosot lemah ke tanah. Berjongkok sambil menyandarkan kepalanya ke pintu di belakangnya. Dan dia menangis.

Dia tidak mendengar suara mobil yang datang. Tidak mendengar bunyi mesin yang dimatikan. Tetapi ketika merasa ada orang yang menghampirinya, Anggun menoleh. Dan membuka matanya.

Reza tegak di dekatnya. Wajahnya muram.

"Kuantarkan kau pulang," suaranya sangat tertekan. Kaku dan dingin.

Anggun merasa hatinya sangat sakit. Bahkan ketika Reza ingin menjauhinya. dia tidak mampu! Dia kembali karena tidak tega meninggalkan Anggun seorang diri di Sini!

"Pergi!" tangis Anggun getir.

"Biarkan saja aku mati di sini!"

Reza tidak menjawab. Dia hanya mengatupkan rahangnya menahan marah. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia meraih tangan Anggun dengan kasar. Dan menggendongnya ke mobil.

Anggun meronta dengan marah. Tetapi Reza tidak melepaskannya. Dibiarkannya Anggun memukulinya

sambil menangis. Melampiaskan kemarahannya kepada dirinya sendiri.

Dia mengerti mengapa Anggun marah. Marah kepada dirinya sendiri. Sama seperti kemarahannya juga. Anggun merasa bersalah. Sama juga dengan perasaan bersalah yang dimilikinya. Ternyata mereka sama sama digerogoti perasaan yang sama!

Dan aneh. Memiliki perasaan yang sama membuat mereka lebih mudah saling memahami. Dan merasa semakin... dekat.

***

Lalu dia masuk ke balik kemudi. Dan mengunci pintu. Seolah-olah dia takut Anggun nekat. Membuka pintu dan membuang dirinya ke luar.

Mereka sama-sama membisu sepanjang perjalanan. Karena memang tak perlu lagi kata-kata. Dalam diam pun hati mereka seperti saling menyapa. Sama-sama memahami kedukaan yang menyengat. Sama-sama menangisi cinta yang lahir di bumi yang salah.

Reza langsung mengembalikan Anggun ke rumah. Dihentikannya mobilnya di depan pintu gerbang rumah Prambudi.

"Besok aku ke Amerika," tak tahu Reza mengapa harus mengatakannya. Sesudah mengucapkannya, dia baru menggigit bibirnya dengan kesal. Mengapa harus memberitahu Anggun? Apa pedulinya?

Tapi tangis Anggun langsung mereda. Dia menoleh. Dan matanya yang berlinang air mata menatap sedih. Reza membalas tatapan Anggun dengan murung. Untuk pertama kalinya, Anggun tidak melihat kebencian bersorot di mata itu.

Sebagai gantinya, dia menangkap sinar yang aneh. Sinar yang menyiratkan sakitnya sepotong hati yang didera cinta terlarang!

Tak tahan lagi Anggun melihatnya. Dia membuka pintu mobilnya. Ketika pintu tidak terbuka. Reza baru ingat untuk membuka kuncinya.

Pintu terempas terbuka. Anggun menghambur ke luar. Meninggalkan Reza dalam kesendirian yang menyakitkan.

***

Bu RULLY mengawaSi cucunya yang hendak berangkat sekolah. Seperti biasa, Bu Rully selalu memberinya uang jajan.

Tapi tidak seperti dulu-dulu. Yos tidak memasukkan uang itu ke sakunya. Dia memasukkannya ke sebuah kaleng kecil bekas susu kental manis. Setelah dua minggu memperhatikan tingkah Yos, akhirnya Bu Rully tidak dapat lagi menahan rasa herannya.

"Yos nabung buat beli apa?"

"Salon," sahut Yos spontan. Tanpa ragu-ragu.

"Salon?" Bu Rully mengulangi kata itu, khawatir telinganya yang tua salah dengar.

"Salon kecantikan. Buat gunting rambut..."

Bu Rully mengawasi cucunya dengan bingung. Kaeaukah pikiran anak ini? Atau... dia cuma main-main? Bercanda? Menggoda neneknya?

"Yos mau buka salon?"

"Buat Bing."

Bu Rully tertegun. Bing. Apa bukan banci temannya itu?

"Bing kepingin punya salon, Nek. Tapi dia nggak punya duit. Kalau Bing punya salon, dia nggak usah ngamen di jalanan."

Ada sentuhan halus yang mengusik hati Bu Rully. Menerbitkan keharuan di hatinya yang sudah lama membeku.

"Nenek boleh ikut nabung?" tanyanya setelah terdiam sesaat.

"Nenek mau nyumbang?" cetus Yos gembira. Disodorkannya kalengnya pada neneknya.

"Boleh dong! Nenek mau nyumbang berapa ?"

"Yos sudah punya berapa?"

Yos menuang isi kalengnya di tangan neneknya. Beberapa lembar uang jatuh ke lantai. Yos sibuk memungutinya. Sementara Bu Rully mengawasi lembaran-lembaran uang di tangannya dengan terharu.

Baru dua minggu mereka kembali ke Surabaya. Baru dua minggu Yos sekolah lagi. Jika uang tabungannya sebanyak itu, berarti selama dua minggu dia tidak jajan sama sekali. Semua uangnya dikumpulkannya untuk membeli salon!

"Sudah banyak ya, Nek!" cetus Yos bangga sambil meletakkan uang yang tercecer di tangan neneknya.

"Kurang berapa lagi supaya bisa beli salon, Nek?"

"Baru bisa beli kursinya. Yos," sahut Bu Rully terharu.

"Tapi kalau temanmu mau, dia bisa pakai rumah kita yang di Jakarta."

Yos bersorak kegirangan.

"Betul, Nek? Bing boleh pakai rumah kita?"

"Iya, ruang depannya saja. Buat salon kan cukup satu ruangan. Langganannya kan belum banyak."

"Kita juga tinggal di sana kan, Nek? Sama Bing? Dia boleh tinggal di rumah kita?"

"Yos kepingin ke Jakarta?"

"Kalau sudah ketemu Bing."

"Kalau Bing tinggal di Surabaya, kenapa kita tidak tinggal di sini saja? Yos suka sekolah di sini, kan? Suka sama Bu Ati?"

"Bing boleh buka salon di sini?"
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini rumah kontrakan, Yos. Mesti tanya yang punya rumah dulu."

"Nanti Nenek tanyain ya!" desak Yos bersemangat. seolah-olah mereka sudah mau buka salon besok pagi.

"Nanti saja kalau Bing sudah ditemukan ya!" Bu Rully menahan senyum.

"Kalau dari sekarang Nenek ngomong. nanti kita disuruh tambah biaya sewa rumah! Salon kan perlu tambahan listrik, air "

"Nanti siang Yos cari Bing lagi."

"Pulang dulu. Yos. Nanti Nenek temani." kata Bu Rully khawatir.

"Sama Bu Ati, Nek. Bu Ati udah janji mau nemenin Yos."

"Bu Ati?" Bu Rully mengerutkan dahinya. Jadi guru Yos juga mau ikut partisipasi mencari? Astaga. Entah apa yang telah diceritakan Yos kepadanya! Si bandel ini memang paling pintar mencari simpati!

***

Semalaman Anggun tidak dapat memicingkan matanya. Untuk pertama kalinya setelah Yos menghilang,

dia dapat memikirkan orang lain selain anaknya. Dan orang itu... ya Tuhan! Mengapa harus Reza, kakak Yudha yang begttu mendendam kepadanya?

Semakin dipikirkan, Anggun semakin yakin. dia sudah jatuh cinta pada pria itu. Entah apanya yang menarik hatinya. Matanya yang mengingatkannya pada mata Yudha? Tapi mata itu tidak pernah bersorot lembut mengasihi!

Wajahnya yang mirip Yudha? Tapi wajah itu pun jauh dari menarik! Wajah itu selalu murung. Selalu menyiratkan dendam dan kebencian!

Suaranya yang mengingatkan Anggun pada suara Yudha? Bahkan suaranya tidak pernah bernada lembut! Dia selalu memaki. Membentak. Mengutuk. Mengusir.

Jadi apanya yang memikat hati Anggun? Menyentuh hatinya"?

Apanya yang menggugah nalurinya untuk mencintai kembali"? Padahal kebun cintanya telah gersang. Tak ada lagi benih cinta yang mampu lahir di persemaian cintanya!

Cinta sungguh aneh. Jika cinta telah memanggil, siapa yang mampu tidak menoleh sungguhpun sedang tidak ingin berpaling?

Dan rupanya yang tidak bisa tidur bukan hanya Anggun. Pagi pagi sekali dia telah menerima telepon. Seseorang yang tanpa menyebutkan namanya pun telah mampu menggetarkan hati Anggun.

"Jam berapa pesawatmu berangkat?" tanya Anggun ketika tidak mendengar suara apa apa, walaupun dia telah dua kali menyapa.

"Pukul tiga sore," suaranya berat dan dalam.

"Aku akan ke sana." begitu saja kalimat itu meluncur dari mulut Anggun. Sesudah mengucapkannya, Anggun baru tersentak. Mengapa dia harus ke sana? Untuk apa? Apa lagi yang hendak dikatakannya? Masih adakah yang perlu dibicarakan?

Penemuan hanya akan tambah menyakitkan hati mereka! Tapi tidak bertemu... bukankah akan meninggalkan sesal selamanya?

Walaupun tidak mendengar. Anggun dapat merasakan desah kelegaan yang menguap di dada Reza.

Baru sesudah menutup teleponnya Reza pun termangu mangu. Buat apa menimbulkan harapan lagi? Buat apa menunggu Anggun di bandara? Buat apa bertemu lagi? Tetapi kalau tidak mengharapkan bertemu lagi... buat apa menelepon Anggun"?

Dia tidak menyebutkan namanya. Bahkan tidak bersuara. Tapi Anggun sudah dapat menerka siapa yang meneleponnya... Bagaimana mereka punya kontak batin yang begitu erat kalau Anggun tidak merespons... cintanya?

Cinta. Reza tertegun. Terenyak. Mungkinkah Anggun juga mencintainya? Cinta yang paling mustahi! lahir di antara mereka!

Sialan kau, Yudha! Reza meninju dinding di hadapannya dengan sengit. Kenapa kau harus mati? Dan kenapa kautinggalkan perempuan seperti itu untukku? Perempuan yang mampu menjungkirbalikkan logika! Perempuan yang membuatku tidak berdaya!

***

Anggun sudah bersiap-siap pergi ke bandara ketika telepon berdering lagi. Matanya langsung melintas ke jam dinding. Baru pukul sebelas. Mungkinkah dari Reza? Barangkali... ah, dia tidak jadi berangkat? Pesawatnya tidak datang. Terlambat. Dibajak...

Merah pipi Anggun ketika dia menyadari betapa infantilnya harapannya! Jika dia tidak ingin Reza pergi, mengapa tidak dikatakannya saja tadi?

Tapi kalau toh dikatakannya... mungkinkah Reza akan mengabulkan permintaannya?

Reza mungkin mencintainya. Tapi itu karena terpaksa! Dia pasti tidak mau mengikuti perasaannya. Dia seorang laki-laki. Rasionya pasti lebih diperhatikan daripada emosinya.

Dia memilih kembali ke Amerika. Meninggalkan Anggun. Meninggalkan semuanya. Dendamnya. Sakit hatinya. Dan wanita yang dicintainya tapi tak mungkin dimilikinya!

"Reza?" tergesa-gesa Anggun menyambar teleponnya.

"Kamu di mana?"

"Mbak Anggun?"

Ya Tuhan! Itu suara Dokter Sulistio.

"Maaf. Dok. ada apa?" tanya Anggun dengan pipi panas.

"Mbak Anggun bisa ke rumah sakit? Keadaan Bing gawat."

Tergesa-gesa Anggun ke rumah sakit. Dia berharap bisa menengok Bing sebelum ke bandara.

"Pneumonia-nya sangat parah karena sudah lama

dibiarkan tanpa pengobatan. Gizinya yang sangat jelek juga memperberat penyakitnya. Apalagi dia mengidap TBC."

"TBC?" Anggun tersentak kaget. Ya Tuhan! "Jangan-jangan dia sudah menularkan penyakitnya pada Yos! Mereka bergaul begitu erat!"

"Yos?" Sulistio mengangkat sebelah alisnya.

"Ah, Mbak Anggun jangan terlalu khawatir. Saya sudah memeriksanya ketika dia dirawat di sini. Yos tidak mengidap TBC."

Wajah Anggun langsung berubah.

"Yos... dirawat di sini?" suara Anggun gemetar meredam perasaannya.

"Kapan?"

Sekarang wajah Sulistio yang berubah. Dia menatap Anggun dengan agak bingung.

"Kira-kira dua minggu yang lalu..." sahutnya sambil mengingat ingat.

"Mbak... tidak tahu?"

"Yos dirawat di sini?" desak Anggun antara marah dan penasaran.

"Dan Dokter tidak memberitahu saya?"

"Saya sudah menelepon ibu Rianto," gumam Sulistio bingung.

"Ibu yang menjemputnya..."

Sekarang wajah Anggun berubah dingin.

***

Harman tersentak kaget. Dia baru datang ke rumah sakit untuk menjenguk Bing sekalian menjemput Anggun. Dari Bu Sofi dia mendengar kabar tentang gawatnya penyakit Bing.

"Sekarang Anggun sedang ke sana," kata Bu Sofi. Dan Harman baru saja melangkah memasuki koridor ruang isolasi ketika Anggun mendadak mengham

bur dari dalam. Anggun seperti tidak melihatnya. Tidak melihat apa-apa. Mukanya dingin dibekukan kemarahan yang sudah melampaui batas.

Dia menerjang seperti harimau luka. Tubuhnya bergetar menahan marah.

"Anggun!" tegur Harman bingung.

Tapi Anggun tidak berhenti melangkah. Menoleh pun tidak. Dengan bingung Harman menatap Dokter Sulistio yang sedang mengejar Anggun.

"Ada apa, Dok?" tanya Harman heran.

"Dia kenapa?"

Tapi Sulistio juga tidak mengerti. Dia hanya mengangkat bahu. Mukanya mencerminkan kebingungan. Matanya membiaskan tanda tanya. Mengapa Anggun semarah itu? Dan mengapa dia tidak tahu anaknya dirawat di sini?

Anggun langsung menuju rumah Bu Rully. Dan menggedor pintunya. Tetapi rumah itu terkunci rapat. Tampak kosong. Sudah lama tidak berpenghuni.

Tetangga yang mendengar keributan yang ditimbulkan Anggun, melongokkan kepalanya.

"Orangnya nggak ada." katanya tanpa ditanya.

"Pergi sama cucunya."

"Ke mana ?"

"Nggak tahu. Balik ke Surabaya kali."

Surabaya. Mendidih darah Anggun. Sampai hati mertuanya membawa Yos ke Surabaya tanpa memberitahu dirinya. Padahal dia tahu Anggun hampir gila. bahkan hampir tewas mencari Yos!

"Aku antar kamu ke Surabaya," kata Harman ketika Anggun pulang ke rumah untuk mengambil uang dan membenahi bajunya. Saat itu juga dia ingin ke Surabaya. Akan dicarinya mertuanya sampai ketemu!

"Biar aku saja yang menghajar mertuamu. Kalau kamu, nanti dibilang kurang ajar!"

"Perempuan itu benar-benar keterlaluan!" geram Prambudi kesal.

Kali ini Bu Sofi diam saja. Dia tidak mampu bersuara lagi. Tidak mampu lagi membela Bu Rully. Karena kali ini. dia memang sudah keterlaluan!

Anggun sudah bersiap-siap untuk ke bandara. Baru pukul satu. Dia masih sempat menemui Reza sebelum berangkat. Lalu pergi ke Surabaya dengan pesawat terbang.

Harman berkeras hendak ikut. Percuma Anggun melarangnya.

"Semua orang boleh naik Garuda ke Surabaya," kata Harman mantap.

"Kamu tidak berhak melarangku selama masih ada tiket!"

Dan Anggun sudah malas berdebat. Ingatannya hanya pada Yos. Dan pada mertuanya!

Telepon berdering hanya sesaat sebelum mereka berangkat ke bandara.

"Bing ingin bicara padamu," suara Dokter Sulistio terdengar berat.

"Saya tidak bisa ke sana." sahut Anggun datar.

"Saya harus ke bandara. Saya akan menengoknya lagi sepulangnya dari Surabaya. Tolong rawat dia sebaikbaiknya, Dok. Masukkan ke ICU jika perlu. Bebankan biayanya kepada saya."

"Rasanya tidak sempat lagi, Mbak," kata Sulistio

lirih.

"Dia hampir meninggal. Radang parunya sangat parah."

Anggun tertegun. Tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

"Katanya ada yang ingin disampaikannya padamu, Mbak," sambung Sulistio lambat-lambat.

"Sesuatu tentang Yos. Katanya dia tahu rumah yang dikontrak nenek Yos di Surabaya. Dia pernah ke sana..."

***

Kalau bisa terbang, Anggun ingin terbang ke rumah sakit. Ke samping ranjang Bing. Tetapi karena dia tidak bisa terbang mobil Harman harus bergulat dengan kemacetan yang luar biasa di Jakarta pada waktu jam sibuk mereka baru sampai di rumah sakit satu jam kemudian.

Anggun berlari ke tepi ranjang Bing. Dia sudah dimasukkan ke ICU atas permintaan Anggun. Tetapi tampaknya peralatan yang bagaimana canggihnya pun tidak mampu menolong Bing.

"Bing," Anggun memegang tangan waria yang hampir meninggal itu. Tangan yang tinggal tulang berbalut kulit.

"Yos sudah ditemukan. Dia bersama neneknya di Surabaya. Saya akan menjemputnya dan membawanya kemari. Kamu dengar, Bing? Jangan pergi dulu. Tunggu Yos. ya!"

Bing hanya menatap Anggun dengan sayu. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu.

Anggun mendekatkan telinganya ke bibir Bing. Dengan susah payah Bing membisikkan sebuah alamat.

"Saya belum pernah berdoa," bisiknya dengan napas memburu.

"Tapi tadi saya berdoa, Bu... supaya saya masih sempat ketemu Ibu... menyebutkan alamat rumah nenek Yos "

BUKAN main kecewanya Reza ketika tidak melihat Anggun. Sia-sia dia menunggu sampai saat terakhir. Anggun tidak muncul!

Dia tidak percaya wanita itu tidak ingin menjumpainya. Dari suaranya saja di telepon tadi Reza sudah dapat membaca perasaannya. Perasaan yang dikenalnya. Perasaannya sendiri.

Tetapi mengapa Anggun tidak muncul? Tidak berani mengucapkan selamat berpisah? Dia memilih untuk tidak melihatnya lagi dan coba melupakannya begitu saja? Atau... ada hal lain? Hal yang lebih penting... Yang menghalanginya datang kemari?

Untuk terakhir kalinya Reza melihat ke sekelilingnya. Mencari kalau-kalau wanita itu juga sedang kebingungan mencarinya di antara sekian banyak orang di bandara.

Tetapi tidak ada Anggun. Dia benar-benar tidak muncul.

Untuk terakhir kalinya Reza menatap getir ke pintu. Lalu dia memutar tubuhnya dan melangkah ke dalam ruang check in.

Dia menukar tiketnya dengan kartu boarding. Memasukkan satu-satunya kopernya. Lalu menuju ke tempat imigrasi.

Sesaat sebelum menuju ke ruang imigrasi, dia masih menoleh lagi ke kaca yang memisahkan dirinya dengan para pengantar.

Tak ada Anggun di sana. Para pengantar itu mengantar keluarganya masing-masing. Seorang pun tidak ada yang menatap ke arah Reza. Apalagi memanggilnya.

Seandainya saja Anggun muncul di sana, Reza pasti akan menghambur ke luar. Berlari mendapatkan wanita itu. Dia mungkin akan ketinggalan pesawat. Bahkan mungkin dia memutuskan untuk tidak jadi terbang. Persetan tiketnya hangus dan kopernya hilang!

***

Tergopoh-gopoh Anggun turun dari taksi. Ditinggalkannya Harman begitu saja. Biar dia yang membayar ongkos taksi dan mengurus koper mereka. Siapa suruh dia ngotot mau ikut.

Anggun berlari-lari ke dalam. Mencari cari Reza di antara kerumunan orang banyak. Tetapi Reza sudah tidak ada.

Anggun mendekatkan wajahnya ke kaca pemisah dengan ruang check in. Tapi Reza juga sudah tidak berada di sana.

Anggun berlari ke depan papan jadwal keberangkatan pesawat. Dia mengawasi huruf-huruf yang sedang berputar di atas sana. Dan menatap dengan kecewa pada papan itu.

Pesawat Reza telah berangkat!

Anggun berdiri lemas sambil menahan air matanya. Terlambat!

Reza telah pergi. Anggun telah terlambat!

"Maafkan aku, Reza." bisik Anggun lirih.

"Tapi barangkali ini yang terbaik bagi kita berdua. Karena tak ada tempat bagi cinta kita."

***

Anggun berdiri dengan marah di depan pintu rumah mertuanya. Harman yang tegak di belakangnya mengepalkan tinjunya erat-erat. Menjaga agar dia tidak melancarkan jotosannya sebelum memberikan kesempatan pada perempuan tua yang jahat itu untuk memberi penjelasan... kalau ada yang masih dapat dijelaskan!

Bu Rully tertegun kaget melihat Anggun yang tibatiba muncul di depan rumahnya. Sekilas matanya bersorot panik. Wajahnya memucat. Tapi dia tidak mau menampakkan ketakutannya. Sesaat kemudian, keangkuhannya telah kembali.

"Datang kok nggak ngasih kabar!" gerutunya tanpa berniat melebarkan pintu menyilakan tamunya masuk.

Anggun mengatupkan rahangnya menahan marah.

"Ibu tidak merasa perlu memberi penjelasan?" tanyanya dingin.

"Penjelasan apa?" Bu Rully memasang wajah tegar.

"Yos ada di sini, kan? Ibu membawanya kemari tanpa memberitahu saya!"

"Yos memang selalu bersama Ibu," sahut Bu Rully datar.

"Kenapa harus memberitahu kamu? Kamu yang memberikannya pada Ibu. kan?"

Harman mendorong Anggun dengan kesal. Dia sudah tidak sabar lagi. Hendak dihajarnya saja perempuan ini. Dia tidak peduli kalau harus masuk penjara sekalipun!

Tetapi Anggun menyingkirkannya dengan kasar.

"Jangan ikut campur. Har," katanya dingin.

"Ini urusanku dengan Ibu!"

Bu Rully menoleh ke arah Harman dengan gusar. Ditatapnya pria itu dengan berang.

"Ada urusan apa ikut kemari?" geramnya sengit.

"Jangan ikut campur urusan orang lain! Kau tidak punya hak apa-apa!"

"Saya memang tidak berhak ikut campur!" bentak Harman sama kerasnya.

"Tapi saya ingin membalaskan sakit hati Anggun! Dan untuk semua yang telah kaulakukan padanya, kau berhak dapat paling tidak satu pukulan!"

"Kurang ajar!" belalak Bu Rully sambil memegang dadanya yang tiba tiba terasa sakit. Begitu marahnya dia karena merasa terhina.

"Suruh orang gila ini pergi, Anggun! Atau kamu kuusir juga!"

Tetapi Anggun tidak meladeninya. Dia tidak mengacuhkan apa-apa lagi. Yang ada di kepalanya cuma Yos!

"Di mana Yos?" sergahnya dingin.

Bu Rully menatap menantunya dengan mata terbelalak marah. Tetapi akhirnya dia menyahut juga.

"Dia masih di sekolah!"

"Kenapa Ibu tidak bilang sudah menemukannya?"

"Kenapa Ibu harus bilang?"

"Ibu!" Untuk pertama kalinya Anggun membentak ibu mertuanya. Dengan suara yang begitu keras sampai Bu Rully merasa gentar.

Kemarahannya surut dengan sendirinya. Dia membuang tatapannya ke tempat lain, hanya untuk menghindari bertemu pandang dengan mata yang menggetarkan sukma itu.

Dan sebuah suara yang riang. lantang memanggilmanggilnya dari halaman.

"Nek! Udah ngomong sama yang punya rumah?"

Mendengar suara itu, Anggun seperti mendengar suara malaikat.

Dia memutar kepalanya secepat kilat. Dan di sana... di halaman... tegak anak kesayangannya... sehat dan riang seperti merpati....

Yos tidak jadi berlari menghampiri neneknya. Dia tertegun di tempatnya. Menatap wanita di ambang pintu itu... yang menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan... mata yang berlinang air mata itu... mata yang menatapnya dengan sangat lembut....

Anggun berlari menghampiri buah hatinya. Memeluknya. Mendekapnya. Menciuminya dengan penuh kerinduan.

Yos tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dibiarkannya dirinya tenggelam dalam kehangatan peIukan ibunya .

Bu Rully mengawasi mereka sekejap. Lalu dia memutar tubuhnya sambil membanting daun pintu.

Harman yang sedang menyaksikan pertemuan yang

mengharukan itu, menoleh ke arah pintu yang tertutup dengan sengit.

***

Yos begitu gembira ketika diperbolehkan menengok Bing. Atas izin Sulistio, dia diperkenankan masuk ke ICU dengan didampingi ibunya.

Keriangan Yos karena akan bertemu dengan sahabatnya mendadak lenyap melihat keadaan Bing.

Bing terbaring diam di sebuah ranjang yang terlihat kebesaran untuk tubuhnya yang kurus kering. Matanya terpejam rapat. Mukanya pucat pasi. Bibirnya putih membiru.

Napasnya yang tinggal satu-satu terdengar berat mengisi ruang yang sepi itu.

"Bing!" bisik Yos hati-hati, takut membangunkan sahabatnya.

Ketika Bing diam saja, Yos menoleh ke arah ibunya.

"Bing tidur ya, Ma?"

Anggun menggeleng sambil menahan air matanya.

"Lekas katakan apa yang ingin kamu katakan, Yos," kata Anggun perlahan.

"Mumpung Bing masih sempat mendengarnya..."

Yos menoleh lagi ke arah sahabatnya.

"Bing!" panggilnya lebih keras.

Ketika Bing tidak membuka matanya juga, Yos memegang tangannya.

"Bing!" diguncang-guncangnya tangan waria itu dengan lebih keras.

"Yos Sudah punya duit, Bing!

Kata Nenek udah cukup buat beli kursinya... Bing masih pengen punya salon. kan?"

Air mata Anggun meleleh ke pipinya tak tertahankan lagi. Dia ingin lari keluar. Tapi dia sadar, dia harus mendampingi anaknya.

Sebentar lagi Yos bakal kehilangan sahabatnya. Temannya yang setia.

"Bing! Bangun, Bing!" pinta Yos, mulai resah melihat temannya diam saja.

"Ma?" Yos menoleh ke arah ibunya. Matanya bersorot sedih dan bingung.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa Bing diam saja, Ma?"

"Bing hampir meninggal, Yos," Anggun menelan air matanya.

"Lekas ucapkan selamat jalan. ya..." Lalu Anggun menggigit bibirnya kuat-kuat menahan tangis.

Yos berpaling lagi pada sahabatnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Diambilnya kaleng susu yang sengaja disembunyikannya di balik bajunya. Tabungannya buat membeli salon untuk Bing. Diletakkannya kaleng itu dengan hati hati di dekat tangan Bing.

"Buat beli salon, Bing," bisiknya hati hati.

"Di mana saja Bing suka."

Anggun memalingkan wajahnya yang sudah penuh dengan air mata.

Saat itu monitor memberi sinyal, jantung Bing telah berhenti berdenyut. Slang oksigen yang dimasukkan ke hidungnya berdesis panjang dan datar. Paru paru

Bing sudah berhenti mengembang. Dia sudah tidak bernapas lagi.

***

MALAM itu hujan turun dengan lebatnya. seolah olah bumi ikut menangisi kepergian Bing.

Anggun berusaha keras menghibur Yos yang menangis menyesali kematian sahabatnya.

"Kenapa Bing mati, Ma?" tanya Yos penasaran.

"Dia sakit apa? Biasanya dia selalu kuat!"

"Sakit paru-paru, Yos," sahut Anggun lirih sambil membelai-belai rambut anaknya yang berbaring di sisinya.

"Yos nyesel nggak ada waktu Bing sakit, Ma. Waktu Yos sakit, Bing yang ngurusin."

"Mama tahu bagaimana rasanya, Sayang..." bisik Anggun getir. Perasaan bersalah! Alangkah beratnya! Apalagi bagi seorang anak sekecil Yos! Sesal yang akan mengukir masa lalunya, tak mungkin terlupakan seumur hidupnya....

"Mustinya Bing tungguin Yos. Tapi dia sudah tidak

kuat. Lebih baik dia pergi daripada menderita terus, kan?"

"Tapi Yos ingin ada di deketnya waktu Bing sakit, Ma!"

"Bing tidak mau Yos sedih. Dia tidak ingin Yos melihatnya sakit. Dia ingin tetap terlihat sehat dan kuat di mata Yos. Seperti dulu."

"Yos pengen ngasih dia duit. Ma. Buat beli salon."

"Bing tahu, Yos. Dia tahu Yos sayang padanya. Yos sudah mengumpulkan uang, kan"? Dan Yos sudah menepati janji. Akan membelikan Bing salon kecantikan."

Yos merasa sedikit terhibur. Tetapi wajahnya tetap murung. Dia tetap merasa kehilangan seorang sahabat.

"Sekarang Yos jangan sedih lagi ya! Bing kan sudah bahagia. Dia tidak merasa sakit lagi. Yos juga masih punya Mama, kan?"

Yos hanya mengangguk.

"Sekarang Yos tidur ya. Mama temani Oom Harman dulu. Nanti kalau dia sudah pulang, Mama kemari lagi. Yos mau tidur sama Mama malam ini?"

Sekali lagi Yos mengangguk.

Ketika Anggun hampir mencapai pintu kamar, Yos memanggilnya sekali lagi.

"Ya, Sayang?"

"Ma, boleh tanya?"

"Tentu, Sayang. Mau tanya apa?"

"Di surga nanti, Bing pake celana apa rok?"

*"

Anggun mengantarkan Harman sampai ke beranda.

"Terima kasih, Har," gumam Anggun letih.

"Buat apa?" Harman tersenyum tipis.

"Buat semua yang kamu lakukan untukku. Kamu telah mendampingiku pada saat-saat yang paling sulit dalam hidupku."

"Ah, jangan ngomong begitu! Aku nggak berbuat apa-apa kok! Memukul mertuamu saja belum kesampaian!"

Anggun menghela napas panjang.

"Aku telah memaafkannya," desahnya lirih.

"Demi Mas Rian."

"Dan kamu telah memutuskan tidak akan membiarkan Yos tinggal bersamanya lagi?"

"Jika dia berjanji tidak akan menculik Yos lagi. dia masih boleh berakhir minggu dengan Yos. Aku tahu bagaimana dia menyayangi dan membutuhkan Yos."

"Dan kamu masih percaya janjinya?" Harman tertawa lebar.

"Aku baru saja ngobrol dengan ayahmu. Dia sependapat denganku. Yos harus dikawal kalau pergi ke rumah neneknya!"

"Entahlah. Tapi aku percaya Yos tidak perlu di_ kawal."

"Jadi kamu tidak membutuhkan pengawal?" Harman meraih Anggun ke dalam pelukannya.

"Untukmu dan untuk anakmu"? Sayang sekali, aku baru saja hendak menawarkan diri!"

Anggun mendorong dada Harman dengan lembut.

"Kata siapa aku sanggup membayar jasa pengawalan pemilik Biro Iklan Swarga?" kata Anggun setengah bergurau.

"Kata siapa aku perlu dibayar?" balas Harman lembut,

"Kamu hanya perlu menerima lamaranku sebagai mitra usaha dan mitra hidup, lalu semuanya akan kuberikan sebagai bonus!"

"Terima kasih. Har," Anggun tersenyum manis. Untuk pertama kalinya Harman tidak melihat kesedihan di balik senyum itu.

"Terima kasih karena telah membantuku menata hidupku yang porak=poranda."

"Apa yang telah kulakukan selain mengawalmu ke Surabaya. memaksamu menemaniku makan malam, dan memecat fotografer kesayanganmu?"

"Kamu tidak tahu apa yang telah kamu lakukan untukku."

Kamu telah membuka kunci pintu penjaraku, sehingga aku dapat membiarkan seseorang menyelinap masuk ke dalam kegelapan selku....

"Jangan ngomong begitu ah! Nadanya seperti mengakhiri sebuah novel! Aku jadi takut kamu bakal menutup kisah kita!"

"Kalau begitu sampai besok ya? Sekarang sudah malam."

"Boleh menciummu untuk mengucapkan selamat malam?"

"Kamu pikir teras ini tidak terlalu terang?"

"Apa yang kamu takuti? Ayahmu mengintai dari dalam? Berapa umurmu, Anggun? Kamu bukan remaja lagi, kan?"

Anggun tersenyum sambil menyodorkan pipinya. Harman mengccupnya dengan hangat dan lembut.

"Selamat malam, Manis. Sampai besok ya."

Harman turun ke halaman sambil melambai. Masuk ke mobilnya. Dari balik kemudi dia masih membuka kaca dan melongokkan kepalanya ke luar.

"Masuk! Masih gerimis! Nanti kamu masuk angin!"

Anggun hanya mengangguk. Dia turun ke halaman dan membukakan pintu pagar bagi Harman.

Anggun melambai ketika mobil Harman meluncur perlahan ke luar. Anggun masih melambai sampai mobil itu masuk ke jalan raya dan mendadak tangannya yang sedang melambai mengejang di udara

Di seberang sana... di balik tirai gerimis yang turun rintik-rintik... dia melihat bayangan itu... tinggi tegap... seperti sebuah siluet di kegelapan malam...

Anggun tidak mungkin melihat wajahnya. Malam terlalu gelap. Cahaya lampu jalan yang suram tidak mungkin menerangi sosok di bawah pohon itu. Tetapi Anggun langsung mengenalinya.

Seperti ada alarm yang langsung berdering di hatinya. Dia tidak ragu lagi untuk memekik tertahan dan lari ke seberang...

"Reza!"

Bayangan itu merentangkan lengannya lebar-lebar. Dia berlari menyongsong Anggun. Dan mereka berpelukan di tengah jalan.

Begitu eratnya. Begitu bernafsunya. Begitu ganasnya. Seolah olah mereka sudah seabad tidak bertemu.

Dan sekali lagi. tak perlu kata-kata. Karena hati dan mata mereka telah berkata kata dengan sendirinya.

Harman menginjak rem mobilnya ketika dia melihat mereka melalur kaca spionnya. Seperti tidak percaya pada penglihatannya, dia membuka jendela dan melongok ke belakang.

Yang dilihatnya sedang berpelukan di tengah jalan yang sunyi itu memang Anggun. Harman hanya tidak tahu siapa yang sedang dipeluknya. Tetapi hantu dari mana pun itu. dia tahu. Anggun mencintainya. Dan Harman merasa, dia telah dikalahkan.

***

"Siapa lelaki itu, Anggun?" tanya Harman keesokan harinya, ketika pagi-pagi sekali dia sudah duduk di ruang tamu rumah Prambudi.

"Dan mengapa mesti dia?"

Anggun tidak sampai hati melihat wajah Harman yang muram. Bukan hanya muram. Terpukul. Terkalahkan.

"Bayangan almarhum pacarku. Cintaku yang pertama," sahut Anggun lirih.

"Dan kamu mau pacaran dengan bayangan? Mengapa tidak memilih yang nyata?"

"Karena aku tidak bisa mengusirnya lagi. Har. Dia mengingatkanku pada mantan kekasihku yang telah pergi."

"Kalau begitu tunggulah beberapa minggu lagi. Anggun. Jangan membuat keputusan dulu. Supaya pikiranmu sudah cukup jernih untuk membedakan bayangan dengan kenyataan. Kamu baru saja keluar dari terpaan badai. Jangan mengundang badai baru."

Anggun mematuhi nasihat Harman. Dia menjauhi Reza. Memberi hatinya kesempatan untuk memilih sekali lagi.

Tetapi ketika pria itu muncul di depan rumahnya seminggu kemudian, Anggun tahu usahanya sia-sia

belaka. Reza bukan bayangan Yudha. Selain kesamaan fisik. mereka hampir tak punya kemiripan sifat. Tapi Anggun tetap mencintainya!

Sudah tujuh hari tujuh malam dia merenung, mencoba mencari alasan yang paling tepat mengapa dia bisa jatuh cinta pada Reza. Tetapi pencariannya sia-sia belaka. Tak ada jabaran yang jelas untuk cinta. Anggun mencintai Reza karena dia mencintainya. Dan karena dia adalah Reza.

Jadi percuma mencari alasannya. Dan seperti dulu juga, percuma mengusirnya.

Seperti biasa. Reza tidak banyak bicara. Dan seperti biasa, wajahnya muram. Tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. Mata itu tidak lagi menyorotkan kebencian.

"Aku datang untuk minta maaf," katanya singkat.

Minta maaf? Hati Anggun bergetar kecewa. Apa artinya?

"Kamu sudah memutuskan untuk kembali ke Amerika?" tanya Anggun sedih.

"Aku sudah memutuskan untuk melamarmu."

Ketika mengucapkan kata-kata itu, mata Reza bersorot malu-malu dan penuh keraguan.

Tetapi hati Anggun sudah meluap oleh kebahagiaan. Dia tidak sempat lagi bertanya buat apa Reza minta maaf kalau mau melamarnya!

Tamat


Jaka Sembung 12 Terdampar Di Pulau Hitam Candika Dewi Penyebar Maut V Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam

Cari Blog Ini