Ceritasilat Novel Online

Cinta Menyapa Dalam Badai 5

Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W Bagian 5



Boga meraih foto itu. Menatapnya dalam-dalam.

"Yudha masih begitu muda." suaranya basah didesak air mata yang menyekat tenggorokannya. Matanya berkaca-kaca.

"Belum waktunya dia mati. Tidak seharusnya dia mati begitu mengenaskan...."

Reza mengatupkan rahangnya erat-erat. Mengepal

kan tinjunya menahan dendam yang membara di dadanya.

Ketika ayahnya meneleponnya mengabarkan kematian Yudha, Reza masih di Amerika. Kabar itu menyambar seperti halilintar di tengah teriknya matahari musim panas.

Bagaimana mungkin. Yudha memang jarang meneleponnya. Tetapi waktu terakhir kali adiknya menelepon, dia mengatakan akan segera menikah. Yudha akan menikahi mantan pacarnya. Bagaimana mungkin calon istrinya itu yang justru membunuhnya?

Pengadilan memang sudah memutuskan, pembunuhan itu tidak direncanakan, bahkan tidak disengaja. Lebih mirip kecelakaan. Tapi hukuman penjara satu tahun dirasakan keluarganya terlalu ringan!

"Bagaimana mereka menghargai nyawa manusia kalau pembunuh hanya dihukum satu tahun!" geram ayahnya setelah vonis dibacakan.

"Jangan jangan pembunuh itu malah sudah bebas kembali sebelum seluruh daging Yudha hancur! Ayahnya kan pengacara kondang!"

Sebelumnya, Reza Pratama belum pernah melihat Anggun Pitaloka. Dia tidak datang pada penguburan Yudha. Katanya masih dirawat karena gangguan jiwa. Sesudah pemakaman Yudha, Reza kembali ke Amerika. Dia harus menyelesaikan masternya. Dan baru kembali sebulan kemudian untuk menghadiri pemakaman ibunya.

***

Ibu tidak dapat mengatasi syok akibat kematian Yudha yang begitu tragis. Dan menyusulnya sebulan kemudian. Kematian beruntun itu membuat ayah Yudha tambah tertekan. Dan dendamnya semakin membara ketika vonis yang dijatuhkan kepada Anggun Pitaloka hanya setahun penjara.

"Dulu perempuan itu mengkhianati Yudha sampai dia hampir mati karena overdosis. Ketika Yudha sudah sembuh, dia malah membunuhnya! Dan perempuan sekejam itu hanya diganjar setahun penjara! Padahal kita kehilangan dua nyawa! Nyawa ibumu dan adikmu!"

Saat itu ayah Yudha memang hanya marah-marah. Dan tidak tahu ke mana harus melampiaskan amarahnya. Tetapi ketika sembilan bulan kemudian Anggun dibebaskan, kemarahan ayahnya tak dapat diredam lagi. Saat itu Reza sudah kembali ke Jakarta setelah memperoleh masternya. Dia sedang bersiap-siap untuk melamar pekerjaan ketika ayahnya mengemukakan rencananya.

"Orang itu minta 150 juta. Uang mukanya dua puluh persen."

Boga Pratama membanting foto Anggun yang ditemuinya di kamar Yudha. Sekilas Reza melihat foto itu. Dan sekali lihat saja, Reza mengerti mengapa adiknya rela mati untuk wanita seperti Anggun.

Perempuan itu memiliki sesuatu dalam dirinya. Daya tarik menyengat yang sulit disingkirkan pria. Entah dalam tatapan matanya yang begitu magis. Entah karena kecantikannya yang demikian memesona.

"Dia bukan cuma mengkhianati Yudha dengan menikahi lelaki lain! Dia malah membunuhnya! Dan membunuh ibumu! Kita harus menghukumnya, Reza! Jika pengadilan tak mampu menghukum perempuan sejahat itu, jika hukum tak mampu mengurungnya

sampai busuk di penjara, kitalah yang harus membalaskan dendam adikmu!"

"Jika Ayah ingin menghukum mati perempuan itu. biarkan saya yang menjadi algojonya," sergah Reza dingin.

Bukan untuk Yudha saja. Tapi demi ayahnya. Reza tidak mau ayahnya masuk penjara kalau sampai pembunuhan itu terbongkar. Ayahnya sudah cukup menderita. Dan dia sudah tua.

Reza bertekad kalau sampai ketahuan dia membunuh perempuan itu. dia tidak akan melibatkan ayahnya. Biarlah dia saja yang menanggung hukumannya.

Tetapi sudah dua kali Reza berusaha menyingkirkan perempuan itu. dia selalu gagal. Padahal dia sudah bersusah payah menguntit Anggun sampai ke Surabaya.

"Beri saya kesempatan sekali lagi." Reza bangkit sambil mengentakkan kakinya. Diludahkannya cengkeh yang sedang dikunyah-kunyahnya. Sebuah kebiasaan baru setelah dia berhenti mengunyah tembakau atas permintaan pacarnya yang dokter. Kata Fitri, mengunyah tembakau dapat mempertinggi kemungkinan mengidap kanker di rongga mulut.

"Perempuan itu sudah kembali ke rumah ayahnya di Jakarta. Kali ini saya pasti berhasil."

"Jangan nekat. Tetap usahakan seperti kecelakaan atau perampokan biasa."

Keduanya sudah kucoba, pikir Reza sambil melangkah meninggalkan ayahnya. Dan keduanya gagal. Kali ini, aku harus lebih berani. Lebih nekat. Aku tidak mau gagal lagi. Aku harus melunasi utang darah Yudha. Dan melunasi utang air mata Ibu.

***

Bing benar-benar bingung. Tidak disangkanya begini susah mengurus seorang anak kecil. Sejak kemarin Yos sudah mengeluh. Kepalanyalah pusing. Perutnyalah mulas. Kakinyalah sakit. Pokoknya macammacam.

Karena harus mencari uang, Bing terpaksa membawa Yos mengamen. Sisa uangnya hanya cukup untuk membeli dua potong pisang goreng. Setelah merayu si tukang pisang goreng, dia bisa dapat tambahan sepotong ubi. Dan semuanya itu sudah masuk ke perut Yos. Amblas tak bersisa.

Yos memang masih menawarkan pisangnya kepada Bing. Tapi itu tentu bukan karena perutnya sudah kenyang. Bukan. Yos pasti masih lapar. Tapi dia tidak mau Bing cuma menontonnya makan.

Tentu saja Bing juga lapar. Tapi dia menolak pisang yang ditawarkan Yos. Dia rela menahan lapar asal teman kecilnya kenyang. Agar dia tidak merengek minta diajak ke rumah orangtua Bing.

Sampai mati pun Bing tidak mau kembali ke sana. Dia takut pada ayahnya. Bentakan-bentakannya masih terdengar di telinganya. Pukulan dan tendangannya masih terasa di tubuhnya.

Tapi Yos tidak mau mengerti. Yang ada dalam pikirannya kini cuma sepiring nasi dan sebuah kasur empuk.

Ketika Bing berkeras menolak, Yos mulai mengeluh sakit kepala. Sakit perut. Dan sejuta keluhan lagi. Hari ini keluhannya malah bertambah.

Bing sudah membeli obat penahan sakit di warung

dengan uang pertama yang diperolehnya hari itu. Tetapi tampaknya hanya tiga jam Yos berhenti mengeluh. Ketika malam tiba, dia mulai mengeluh lagi. Kali ini malah lebih hebat.

"Badanmu panas," keluh Bing bingung ketika tidak sengaja tangannya menyentuh lengan Yos.

"Kau sakit, ya?"

Tetapi Yos sudah tidak mau diajak bicara. Dia membaringkan tubuhnya di emper toko. Matanya terpejam. Dahinya berkerut. Bibirnya mendesah seperti menahan sakit.

Sementara itu gerimis mulai turun. Cipratan airnya mulai membasahi baju mereka. Membuat Bing tambah resah.

"Kita ke rumah sakit, yuk," usul Bing, meskipun dia tidak yakin dapat memperoleh pertolongan tanpa uang yang cukup.

Yos tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata terpejam. Membuat Bing makin bingung.

Akhirnya digendongnya Yos. Dibawanya ke rumah sakit yang terdekat.

Ketika sedang menggendong anak itu di bawah hujan yang mulai turun dengan derasnya, sebersit perasaan takut menyelinap ke hati Bing.

Bagaimana kalau Yos mati? Bagaimana kalau dia yang dituduh menculik anak itu? Bagaimana kalau nenek Yos menggugatnya ke polisi?

Tapi... meninggalkan Yos begitu saja dia tidak sampai hati. Walaupun baru beberapa hari mereka berteman, rasanya seperti sudah terjalin ikatan batin yang kuat di antara mereka.

Yos sudah menganggap Bing temannya. Pelindungnya. Hanya kepadanyalah dia menggantungkan harapannya.

Sebaliknya Bing merasa kehilangan jika Yos tidak berada di dekatnya. Dia merasa kehilangan kalau tidak mendengar ocehannya.Pertanyaan-pertanyaannya yang kadang-kadang lucu menggemaskan. Tetapi kadangkadang malah pedih walaupun Yos tidak bermaksud menyakiti hatinya.

"Bing udah punya pacar?" pernah Yos mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab itu.

"Ngapain sih nanya-nanya pacar? Anak kecil mau tau aja!"

"Pacar Bing lelaki apa perempuan?"

"Kok nanya gitu sih?"

"Kalau Bing pakai rok, pacar Bing pakai rok apa celana?"

Bing tersenyum pahit setiap kali mengingat pertanyaan Yos itu. Dan sebaliknya dari sakit hati, Bing semakin merasa dekat dengan teman kecilnya.

Yos-lah satu-satunya manusia yang tidak mengejeknya. Menghina kelainannya. Kalau dia bertanya, itu lebih banyak karena ketidaktahuannya. kepolosannya. Dan cuma dia yang menganggap Bing sebagai teman.

"Eh, bencong! Mau ke mana ?" sergah satpam rumah sakit ketika melihat Bing nyelonong masuk menggendong Yos.

"Enak saja main masuk!"

"Teman saya sakit, Pak," Bing menggerakkan kepalanya ke arah Yos.

"Mau minta obat..."

"Bawa sajalah ke rumah sakit umum. Dokter di sini bayarairnya mahal. Nggak terima pasien kayak begini!"

Pasien seperti apa, pikir Bing kesal. Pasien gelandangan seperti kami? Karena kami tidak naik mobil mewah seperti pasien yang baru masuk itu?

Tetapi si satpam sudah tidak dapat ditanya lagi. Dia sudah berlari meninggalkan mereka. Memburu mobil yang baru datang itu. Membukakan pintu. Dan membantu seorang pria yang memapah turun seorang wanita.

Dari pintu yang lain, seorang wanita muda bergegas turun. Ketika sedang mengitari bagian belakang mobilnya. matanya bertemu dengan mata Bing yang tegak tidak jauh dari sana. Lalu tatapannya segera turun ke tubuh Yos.

Takut diusir lagi. Bing langsung memutar tubuhnya dan bergegas keluar dari halaman rumah sakit.

Sesaat wanita muda itu tertegun. Lalu tiba-tiba saja dia bergerak mengikuti Bing.

"Anggi!" seru pria yang sedang memapah wanita yang lebih tua itu.

"Mau ke mana?"

***

Sebenarnya sudah lama Bu Sofi merasa ada yang tidak beres dengan lambungnya. Tetapi selama ini dikiranya cuma gejala maag biasa. Stres yang datang bertubi-rubi membuat lambungnya sering terasa perih.

Selama ini dia hanya mengobati penyakitnya dengan obat maag biasa. Yang dapat dibeli bebas di apotek. Tetapi malam ini, mendadak saja rasa nyeri yang luar biasa menikam ulu hatinya. Dia muntahmuntah. Tidak dapat makan. Bahkan tidak mampu menelan air tanpa memuntahkannya kembali. .

Atas desakan Anggun, Prambudi membawa istrinya ke rumah sakit. Kata Anggun, ibunya mungkin perlu diinfus. Jadi biarpun pada mulanya Bu Sofi matimatian menolak diajak ke rumah sakit, akhirnya dia terpaksa menurut.

"Semalam saja ya. Pa?" rengek Bu Sofi dalam mobil yang membawanya ke rumah sakit.

"Lho, memang aku dokternya?" Prambudi menahan tawa.

"Mama kayak anak kecil saja Sih," gerutu Anggun.

"Mana ada sih orang masuk rumah sakit ditawar-tawar begitu? Memangnya menginap di hotel!"

"Mama nggak betah tiduran terus "

"Pokoknya Mama nggak boleh pulang sebelum sembuh betul!"

"Mama ingin menemanimu mencari Yos, Anggi!"

"Anggi bisa mencarinya sendiri, Ma. Mama istirahat saja."

"Kita sudah sampai." cetus Prambudi ketika mobilnya memasuki rumah sakit itu. Sebuah rumah sakit swasta yang asri dan mewah yang selama ini menjadi langganan mereka.

Dan dia tengah memapah istrinya turun dari mobil tatkala Anggun yang keluar dari pintu yang lain tibatiba melakukan hal yang sangat aneh. Tanpa berkata apa-apa dia berlari mengejar seseorang. Seseorang yang dilihatnya berdiri tak jauh dari mobil mereka.

"Anggi!" seru Prambudi bingung.

"Mau ke mana?"

Tetapi Anggun tidak menjawab. Dia bahkan seperti tidak mendengar apa-apa. Dia terus mengejar waria yang dilihatnya sedang menggendong seorang anak yang basah kuyup. '

Anggun tidak dapat melihat dengan jelas wajah anak itu. Tapi naluri keibuannya mendesak dirinya agar mengejar mereka.

Barangkali dia salah. Barangkali dia keliru. Tetapi dia tidak mau kehilangan momen yang berharga ini. Dia harus mengejar waria itu. Melihat anak dalam gendongannya. Mungkinkah anak itu... Yos?

Kalau tidak, mengapa begini kuat desakan di hatinya? Mengapa seperti tiba-tiba saja wajah Yos melompat di depan matanya? Mengapa dia seperti mendengar erangannya? Mengapa dia serasa begitu dekat dengan buah hatinya?

"Dik! Tunggu!" seru Anggun setelah hampir tak mampu lagi mengikuti langkah waria itu.

Ternyata dia sangat gesit. Langkah-langkahnya sangat cepat. Dan dia seperti sudah mengenal sekali gang sempit dan gelap di samping rumah sakit itu. Dia bisa menghilang dengan amat cepat....

Mendengar suara Anggun, Bing berhenti melangkah. Dan membalikkan tubuhnya. Sesaat Anggun melihat wajah anak dalam gendongannya. Dan dia menjerit....

Saat itu Bing sudah keluar dari gang sempit yang gelap ini. Dia berdiri tepat di bawah lampu jalanan. Anggun dapat melihat wajah anak yang digendongnya dengan lebih jelas. Tetapi bukan itu yang membuatnya menjerit.

Sebuah mobil biru berhenti tepat di sampingnya. Derit remnya melengking panjang. Pintu depannya terbuka dengan cepat. Seorang pria bertubuh tegap melompat keluar. Dan menghelanya ke dalam mobil .

Sebelum Bing sadar betul apa yang terjadi. mobil itu telah menderu cepat meninggalkan tempat itu.

Bing tak tahu lagi Ke mana harus membawa yos. Padahal dia tahu Yos butuh tempat meneduh. Kalau dia bisa tidur nyenyak malam ini. barangkali besok pagi demamnya turuti. Dan dia sehat lagi seperti kemarin.

Terpaksa Bing membawa Yos menumpang di gubuk temannya. Dan sedikit memaksa agar mereka diperbolehkan bermalam di sana.

**

Resi, nama aslinya Rusli. bekas teman segubuk Bing enam tahun yang lalu, sebelum dia kabur ke Surabaya. Jakarta memberikan perasaan tidak aman pada Bing, Dia takut kepergok ayahnya kalau sedang ngamen di jalanan. Karena itu dia meninggalkan Jakarta. Meninggalkan Resi. Meninggalkan gubuk mereka.

"Lu nggak bisa lama-lama di sini, Bing," kata Resi agak kesal.

"Lu kan tahu pacar gue cemburuan."

"Masih si Uut, kan? Ala, baru juga dia. Gue kan sudah kenal dia luar-dalam! Mana bisa sih dia cemburu ama gue? Kita kan sejenis, Ros! Paling-paling juga elu yang cembokur!"

"Pokoknya jangan lama-lama, Bing! Sono deh cari lahan lain! Di sini sudah sempit! Lagian ngapain sih lu bawa-bawa anak bawang begini?"

"Dia sakit, Ros. Perlu tempat buat neduh!"

"Ngapain ia bawa dia ke Jakarta?"

"Dia minggat dari rumah neneknya. Katanya sih mau nyari ibunya. Eh, malah kesasar!"

"Punya duit nggak dia? Lumayan kalau hujan-hujan begini kita ngebowat!"

"Boro-bore buat beli ganja, buat beli nasi aja nggak punya duit!"

**

"Kemana Anggi, Pa'? Kenapa belum kembali"?" desak Bu Sofi bingung. Dia masih dirawat di ruang gawat darurat. Sebuah jarum infus masih terhunjam di pembuluh darah lengannya. Tetapi ingatannya tidak lagi pada rasa sakit yang menikam lambungnya. Seluruh perhatiannya sudah tertumpah seutuhnya pada putrinya.

Mengapa Anggun belum kembali? Tidak mungkin dia meninggalkan ibunya begitu saja di rumah sakit! Apa yang begitu penting sehingga memaksanya meninggalkan orangtuanya tanpa pamit"?

"Nggak tahu, Ma," keluh Prambudi antara kesal dan cemas.

"Anak ini memang macam-macam saja ulahnya. Paling pintar bikin orangtua bingung!"

"Tapi kalau tidak ada sesuatu yang sangat penting, tidak mungkin Anggi meninggalkan saya di rumah sakit tanpa pamit. Pa!"

"Dia nyelenong begitu saja. Seperti mengejar seseorang."

"Ya mestinya sudah kembali dong. Dia kan sudah hampir dua jam pergi."

"Nantilah Papa cari."

"Sekarang saja Papa cari. Saya sudah nggak apaapa kok."

"Nanti kalau Mama sudah masuk kamar."

"Saya nggak mau dirawat, Pa! Sakitnya sudah hilang..."

"Tunggu apa kata dokterlah."

"Tapi saya khawatir, Pa. Takut terjadi apa apa pada Anggi..."

"Mungkin dia melihat seseorang yang dipikirnya dapat menunjukkan di mana Yos berada. Makanya dia mengejar orang itu."

"Papa lihat orangnya?"

Prambudi menggeleng.

"Coba tanya satpam yang tadi, Pa. Siapa tahu dia kenal pada orang yang dikejar Anggi. Ini kan sudah malam. Anggi belum kembali juga. Saya khawatir..."

"Sudahlah, jangan terlalu cemas. Nanti maagmu tambah sakit. Anggi kan sudah dewasa. Aku yakin dia bisa menjaga diri."

"Tapi seharusnya kan dia bisa menelepon kita!"

"Mungkin belum sempat."

"Atau..." Bu Sofi memandang suaminya dengan cemas.

***

"Tidak bisa...?"

"Kenapa sih lu nggak balik aja ke rumah bokap lu, Bing?" tanya Rosi ketika mereka sedang berteduh di banah jembatan. menunggu pengendara motor atau mobil yang kebetulan lewat dan berminat kencan dengan mereka.

Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi. Walaupun tinggal gerimis, udara malam itu lumayan dingin. Apalagi mereka cuma mengenakan gaun you can see yang serba terbuka. Sudah beberapa kali Bing batukbatuk.

Rosi menghangatkan badannya dengan sebatang rokok. Karena rokoknya tinggal sebatang, terpaksa Bing meminjam isap beberapa kali. Lumayan daripada bengong menahan lapar.

Sejak siang dia memang belum makan. Seluruh uangnya sudah dibelikan makanan dan obat buat Yos.

Sebenarnya Bing tidak ingin mangkal begini. Sudah lama dia meninggalkan arena. Sejak pindah ke Surabaya. Dia berusaha untuk mengais hidup hanya dengan mengamen.

Tetapi sekarang dia butuh uang. Untuk makan. Dan untuk membeli obat buat Yos. Hanya cara inilah yang diketahuinya dapat memberi uang dengan cepat. Jadi dia tidak menolak ketika Rosi mengajaknya mangkal di tempat lama mereka.

"Ih, amit-amit jabang bayi deh!" sahut Bing dengan gayanya yang khas.

"Mendingan gue kering jadi ikan asin kejemur daripada minta duit sama Bokap!"

"Tapi bisnis lagi sepi. Bing. Lihat saja sendiri. Dari tadi nggak ada yang nanggep, kan?"

"Orang-orang Jakarta jadi alim kali, ya?" Bing tertawa mengikik.

"Pada takut AIDS, Bing."

Sebuah motor melintas pelan di depan mereka. Pengendaranya tampak sengaja melambatkan kendaraannya.

"Main, Mas?" tantang Rosi genit. Dia maju sambil meliukkan tubuhnya dan mengumbar senyum lima puluh ribu.

Bing cuma mengawasi dari belakang seraya menahan napas.

Kalau melihat modelnya sih bukan santapan mereka. Paling-paling cuma mau lihat-lihat. Mungkin juga mau ikut berteduh.

"Main gimana?" tanya pengendara motor itu sambil menghentikan motornya dan menurunkan kakinya.

Sebuah firasat tidak enak menyelinap ke dada Bing. Refleks dia mundur sedikit, berlindung di kegelapan.

"Yaaa, gimana aja maunya Mas." Rosi makin merapat, menggeserkan sisi tubuhnya di lengan pengendara motor itu dengan manja. Sementara lengannya diangkat tinggi, agar minyak wangi yang baru disemprotkannya menebarkan aroma harumnya ke hidung mangsanya.

"Berapa sekali main?"

"Aduh, Mas ini gimana sih." Rosi tertawa genit. Tangannya lebih berani lagi naik mengelus pipi lakilaki itu.

"Belum main udah nanya harga! Ya, biasa aja deh, Mas. dingin dingin begini... goban, mm?"

Sialan si Rosi dapat mangsa, keluh Bing sedikit menyesal. Kalau saja dia tadi lebih berani menerjang ke depan... Siapa tahu pengendara motor itu memilih

nya. Dilihat ukuran bodi, dia kan lebih seksi daripada Rosi!

Dan helaan napas Bing belum selesai ketika sesuatu yang mengejutkan terjadi. Sebelah tangan pengendara motor itu dengan gesit menangkap tangan Rosi, tangannya yang lain bergerak seperti memberi aba-aba.

Dan seberkas sinar terang menyoroti kegelapan di bawah jembatan. Beberapa orang petugas berlompatan turun dari dalam mobil yang lampunya baru dinyalakan itu.

"Sialan, razia!" Bing mengutuk sambil melompat menjauh dan lari lintang pukang.

Untung dia berdiri agak jauh. Dan untung tempatnya gelap. Kalau tidak. dia pasti ikut tertangkap!

Setelah merasa aman dari kejaran petugas, Bing baru menghentikan larinya. Dia jatuh terduduk sambil mengatur napasnya yang tersengal sengal. Batuknya berkali kali menyergap. Membuat napasnya agak sesak.

Wah, malam ini benar-benar sial... bukannya dapat duit malah hampir tertangkap! Dan mendadak tatapan Bing terbentur pada sebuah benda di dekat tumpukan sampah....

***

"Mama...!" jerit Yos sekuat-kuatnya.

Dia merasa napasnya sesak. Dadanya pengap. Dia ingin menjerit lagi. Sekuat-kuatnya. Untuk mengusir orang jahat itu.

Yos ingin membantu Mama. Lepas dari cengkeraman lelaki jahat itu. Dia sudah menerjang. Menjambak. Memukul. Menendang. Tapi lelaki itu terlalu kuat. Dia mendorong Yos sampai terpelanting. Lalu dia menghantam kepala Mama sekuat-kuatnya dengan sepotong besi....

"Mama...!" sekali lagi Yos berteriak. Kali ini separo menangis.

Dilihatnya wajah Mama berlumuran darah. Mama jatuh tersungkur. Diam tak bergerak lagi.

Yos melompat ke depan. Menubruk tubuh ibunya. Memeluk. Menangis sambil mengguncang-guncang tubuh Mama.

"Mama Mama!" teriak Yos berulang-ulang.

Rasa sakit yang tiba-tiba menyerang sisi tubuhnya menyadarkannya. Yos menggeliat membuka matanya.

Seorang pria setengah baya, sebelah pipinya hitam legam. tegak di hadapannya. Tetapi dia bukan lelaki jahat itu... bukan! Rupanya dia yang menendang rusuk Yos.

"Ngapain lu jerit-jeritan kayak kemasukan setan!" bentak lelaki itu sambil membelalakkan matanya.

"Ngimpi?"

Yos menatap lelaki itu sesaat sebelum menoleh ke buntalan di sisi tubuhnya. Buntalan pakaian Bing itu yang rupanya tadi dipeluknya. Dikira tubuh Mama.

Yos menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada Mama. Tidak ada lelaki jahat. Rupanya dia bermimpi. Melompat dari tikar yang dihamparkan Bing di sudut gubuk itu. Dan memeluk buntalan Bing.

"Di mana si Rosi?" tanya lelaki itu lagi.

"Lu ditinggal sendirian di sini?"

Yos menggeleng sambil mengucek ngucek matanya.

Kepalanya terasa berat. Matanya pedih.

Rosi? Siapa Rosi? Di mana Bing?
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan jerit-jeritan lagi lu!" kata lelaki itu lagi setengah mengancam.

"Bangunin orang tidur aja!"

Lalu sambil masih mengomel lelaki itu keluar dari gubuk.

Sekali lagi Yos menatap ke sekeliling gubuk sempit itu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada Bing. Tidak ada Mama. Tidak ada lelaki jahat. Yos menjadi resah.

"Bing...".

"Bing!"

***

Belum pernah Anggun merasa setakut ini. Bahkan ketika berada dalam penjara sekalipun. Di depan Hindun, jagoan perempuan di selnya yang katanya sudah membunuh tiga orang itu, memang mengerikan. Tetapi rasanya tidak seperti ini.

Anggun benar-benar merasa tak berdaya. Dia tidak dapat menggerakkan tangannya yang terikat di belakang tubuhnya. Dan mulutnya disumbat begitu kuat sehingga jangankan berteriak minta tolong. bernapas pun terasa sulit.

Dan yang lebih menakutkan lagi, sesaat sebelum penculiknya memukulnya supaya bisa mengikat tangannya dan menyumbat mulutnya, Anggun sempat mengenalinya....

Suasana yang gelap dalam mobil memang membuat Anggun sulit melihat wajah orang itu dengan jelas. Tetapi Anggun dapat mencium bau napasnya... Bau yang aneh itu aroma rempah-rempah... cengkeh....

Bau yang mengingatkannya kepada penyerangnya malam itu, ketika dia sedang mencari Yos

Apa yang dikehendaki orang ini? Jika dia hanya menginginkan uangnya, tasnya, buat apa menculiknya?

Karena orang itu hanya meninjunya. Anggun hanya kehilangan kesadarannya sesaat. Tetapi begitu siuman, dia mendapati dirinya sudah dalam keadaan tidak berdaya.

Penculiknya membawanya ke tempat yang sepi.

Deretan ruko yang terbakar dan gedung-gedung kosong yang belum ditempati lagi dengan kaca-kaca pecah yang belum diperbaiki, tampak di sisi jalan.

Anggun tersentak ketika mobil penculiknya mendadak membelok tajam ke salah satu gedung yang tampak gelap gulita. Mobil itu berhenti di depan pintu. Dan penculiknya turun dengan cepat dari mobilnya.

Anggun merasa sangat ketakutan ketika pintu di sisinya terbuka dan sepasang tangan yang kuat menyeretnya keluar dari mobil.

Apa yang akan dilakukan bajingan ini'? Membunuhnya? Merampok'? Memerkosa'?

Anggun berjuang keras untuk membebaskan dirinya. Dia berusaha untuk meronta lepas. Dia bahkan mencoba menendang ke sana kemari. Tetapi penculiknya terlalu kuat.

Dia diseret dengan kasar ke dalam sebuah ruangan yang luas dan kosong. Kemudian didorong sampai tersungkur di lantai yang dingin. Dan belum sempat Anggun merasakan sakitnya, penutup mulutnya disentakkan.

Anggun menghirup udara sepenuh paru-parunya untuk mengusir kepengapan yang menyesak di dadanya. Dia berusaha menekan rasa takutnya dan mencoba mempelajari situasi ruangan di mana dia berada.

Ruangan itu besar dan kosong seperti bekas gudang. Udaranya agak lembap seperti layaknya ruangan yang sudah lama tidak terpakai. Cahaya lampu neon yang cukup terang di langit-langit ruangan membuatnya dapat melihat penculiknya dengan jelas... dia tegak di hadapannya dengan kaki terkangkang dan tangan terlipat.... Dan Anggun tak dapat lagi menahan pekik kekagetannya....

"Yudha.?"

"Hantunya," kata suara yang dingin itu. Ya Tuhan! Mirip sekali suara Yudha! "Hantu orang yang kaukhianati dan kaubunuh dengan kejam!"

"Siapa kau?" desis Anggun gemetar.

Dia tidak percaya pada segala macam hantu. Yudha sudah mati! Tidak mungkin hantunya datang membalas dendam! Dan... matanya! Mata yang dingin dan kejam itu bukan mata Yudha, walaupun wajahnya sangat mirip!

"Aku datang untuk membalaskan dendam Yudha," suara itu penuh dendam kesumat.

"Seharusnya kubunuh kau di jalanan tadi. Tapi mati model begitu terlalu enak untukmu!"

"Reza...?" gumam Anggun bimbang.

"Kau... Reza kakak Yudha?"

"Kakak orang yang kaubunuh dengan darah dingin!"

Anggun memejamkan matanya. Air matanya langsung mengalir deras. Rasa takutnya sudah lenyap. !

Berganti rasa pilu. Kalau saja Reza tahu betapa dia mencintai Yudha! Dan betapa sakit rasanya didera perasaan bersalah... sampai siksaan macam apa pun rasanya tak mampu lagi menyilihnya!

"Lakukan apa saja yang ingin kaulakukan." desah Anggun lirih.

"Jika siksaan dapat mengobati rasa bersalahku pada Yudha, aku rela."

Reza mengatupkan rahangnya menahan marah. Dia bukan marah kepada Anggun. Dia marah kepada dirinya sendiri.

Seharusnya dibunuhnya saja wanita ini tadi! Seperti yang telah dua kali coba dilakukannya. Mengapa harus membawanya kemari. memberi perempuan jalang ini kesempatan hidup... dan memberi dirinya kesempatan untuk ragu melaksanakan hukuman mati itu?

Sambil menggeram Reza menjatuhkan dirinya di atas kedua lututnya. Disentakkannya bahu Anggun dengan kasar sampai Anggun mengerang menahan sakit yang menikam bekas luka di bahunya.

Refleks Reza melepaskan cengkeramannya ketika mendengar erangan Anggun dan melihat wajahnya yang mengerut menahan sakit. Tetapi begitu dia menyadari kelemahannya, dia menjadi bertambah gusar.

Dihunusnya pisau berburu yang telah disiapkannya. Digenggamnya gagangnya erat-erat. Lalu diayunkannya sekuat tenaga ke leher Anggun....

***

Bu Sofi memekik histeris. Suaminya yang sedang berbicara dengan dokter tergopoh-gopoh mendatangi pembaringannya.

"Sakit lagi. Ma?" desaknya cemas.

Dokter UGD yang diiringi oleh seorang perawat langsung melakukan pemeriksaan singkat.

"Di mana yang terasa sakit sekali, Bu?" tanyanya sambil menekan perut Bu Sofi dengan hati-hati.

"Anggi..." rintih Bu Sofi seperti hilang ingatan.

"Anggi, Pa!"

Dokter menoleh ke arah Prambudi yang justru sedang menatapnya.

"Anak kami, Dok," sahut Prambudi lesu.

"Istri saya mencemaskan anak perempuan kami...."

"Di mana anak perempuan Bapak?"

"Tadi dia ikut mengantar istri saya ke sini. Dok. Tiba-tiba dia menghilang..."

"Menghilang?"

"Tiba-tiba dia pergi entah ke mana... mengejar seseorang."

"Cari Anggi, Pa," pinta Bu Sofi lirih. Matanya menyiratkan ketakutan yang amat sangat.

"Saya dapat firasat jelek... saya takut... Anggi dalam bahaya, Pa!"

***

"Aku ngimpi jelek, Bing..." rintih Yos sambil berbaring di atas tikar di sudut gubuk Rosi.

Bing yang baru pulang membawa nasi bungkus meletakkan tangannya di dahi Yos.

"Kau demam," katanya cemas.

"Makanya ngimpi jelek. Nih, makan dulu. Nanti minum obat ya."

Tapi Yos tidak berselera makan. Padahal tadi dia begitu kelaparan.

"Yos ngimpi Mama..."

"Semua anak kecil kalau sakit pasti ngimpiin ibuiya."

"Mama dipukul orang jahat, Bing..."

"Namanya juga ngimpi. Pasti nggak bener."

"Yos nyesel, Bing..." rintih Yos menahan tangis.

"Nyesel kabur dari rumah?"

"Yos selalu bikin Mama marah."

"Nggak heran. Kau pasti anak bandel!"

"Yos benci Mama."

"Dasar bocah!" Bing tersenyum geli.

"Tadi katanya nyesel bikin Mama marah. Sekarang bilangnya benci Mama. Gimana sih?"

"Yos kesel Mama ninggalin Papa."

"Di mana papamu sekarang,?"

"Mati."

"Dan mamamu di penjara?"

"Mama udah bebas. Mama mau ambil Yos. Nenek nggak ngasih. Yos dibawa kabur."

"Kau dibawa minggat nenekmu? Ruwet!"

"Yos takut. Bing!"

"Takut apa?"

"Takut Mama mati kayak Papa "

"Yos masih punya nenek. kan?" Tidak sadar tangan Bing terulur ke rambut Yos. Dibelainya rambut anak itu dengan lembut.

"Bing malah udah nggak punya siapa siapa lagi."

"Bing kan punya Yos," Yos menatap waria di hadapannya dengan sungguh-sungguh.

"Kalau Yos udah gede, punya duit sendiri, Yos beliin Bing salon."

Bing tertawa sekaligus menangis. Air matanya berlinang menahan geli bercampur haru . Diremasnya rambut Yos dengan gemas.

Ternyata bocah nakal ini punya sebentuk hati yang sangat baik. Dan ternyata di antara mereka telah terjalin hubungan persahabatan yang amat tulus!

Hubungan tulus yang membuat Bing rela tengah malam menggendong Yos ke rumah sakit ketika anak itu mulai meracau dalam tidurnya. Demamnya ternyata bertambah tinggi, meskipun Yos sudah minum obat penurun panas.

Kali ini Bing membawa Yos ke rumah sakit umum. Dan kali ini mereka tidak ditolak.

"Harus segera dirawat," kara dokter muda yang memeriksa Yos.

"Tapi... apa penyakitnya, Dok?" tanya Bing gugup.

"Dia... sakit apa?"

"Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyakitnya. Sekarang darahnya sedang diperiksa di laboratorium."

Dirawat... periksa darah... Bing terbengong bengong di depan dokter muda itu. Sakit apa si Yos? Dan...

"Saudara apanya?"

"A... apanya?" Bing menggagap bingung.

"Ya. punya hubungan apa dengan anak ini?"

Hubungan apa? Hubungan... apa! Mereka tidak punya hubungan apa-apa. kecuali persahabatan karena dipertemukan oleh nasib yang sama-sama membuang mereka!

Melihat waria yang sedang terlongong-longong kebingungan itu, si dokter muda habis sabar. Pekerjaannya masih banyak. Malam ini pasien datang seperti banjir di UGD.

"Selesaikan administrasinya dengan perawat di sana itu." katanya sambil meninggalkan Bing.

Adininistrasi...? Apakah itu berarti menanyakan nama, umur, alamat, nama orangtua, dan... uang?

Bing terhuyung-huyung melangkah keluar seperti orang mabuk. Uang. Dari mana dia memperoleh uang yang cukup untuk perawatan Yos?

Uang yang dipakainya untuk membeli nasi bungkus dan obat adalah uang receh yang diperolehnya dari dompet yang ditemukannya di tempat sampah. Mungkin karena terbuni-buru, pencurinya hanya mengambil uang kertasnya saja. Padahal uang logam yang terdapat di selipan dompet itu jumlahnya masih lumayan. Bisa untuk membeli nasi bungkus dan obat penurun panas. Tapi untuk membayar perawatan?

Di rumah sakit umum memang disediakan perawatan untuk pasien yang tidak mampu. Tetapi benarkah semuanya tanpa biaya'? Kalau disuruh mengurus surat tidak mampu dari RT, RW, lurah... wah.

Benar-benar merepotkan!

Apalagi dia sudah tidak punya KTP Jakarta. Dan Yos? Dia malah tidak punya surat apa-apa!

Ranselnya cuma berisi alat-alat tulis dan buku pelajaran. Sama sekali tidak punya surat pengenal.

Bing sudah putus asa. Ingin rasanya dia kabur meninggalkan rumah sakit. Meninggalkan Yos. Meninggalkan kerumitan itu di belakang sana. Tetapi dia tidak sanggup.

Dia sudah berjalan cukup jauh ketika akhirnya dia memutuskan untuk kembali. Dia ingin mendampingi Yos. Kalau anak itu bangun nanti, Bing ingin berada di dekatnya. Yos pasti kecewa sekali kalau tidak melihat sahabatnya di sana.

Apa pun yang terjadi aku tidak akan meninggalkannya, pikir Bing sambil menghela napas. Apalagi dia sedang sakit! Dia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali aku! Ibunya entah masih hidup atau sudah mati! Dan neneknya entah berada di mana!

**

UJUNG pisau itu tinggal cua senti lagi menyentuh dan merobek kulit leher Anggun. Anggun sudah memejamkan matanya rapat-rapat. Menanti kematiannya dengan pasrah.

Tetapi kematian yang ditunggunya itu tak kunjung tiba. Tak ada rasa sakit yang menikam lehernya. Tak ada semburan darah yang menyemprot dari pembuluh darah yang terpotong. Tak ada.

Sebagai gantinya dia mendengar bunyi pisau yang terlontar ke lantai. Dan sumpah serapah penculiknya.

Anggun membuka matanya. Dan dia melihat Reza masih berlutut sambil memukuli lantai. Beberapa kali tinjunya menghantam lantai diiringi makian dan kutukan.

Anggun menatapnya dengan sedih bercampur iba. Sudah tak ada lagi rasa takut di hatinya. Berganti dengan perasaan simpati dan pengertian. Dia kenal perasaan yang kini tengah diderita Reza. Perasaan bersalah.

Bedanya. Reza merasa bersalah karena tidak mampu membayar utang. Membalaskan dendam adiknya. Sakit hati keluarganya.

Anggun ingin sekali menolong Reza. Mengurangi penderitaannya. Dia tidak mendendam kepada abang Yudha itu. Meskipun Reza telah menculik dan menyakitinya. Dia mengerti mengapa Reza melakukannya. Karena itu Anggun ingin menghiburnya.

Kalau dikatakannya dia tidak percaya Yudha mendendam kepadanya, akan berkurangkah sakit hati Reza? Adakah gunanya pernyataan itu untuk sedikit menghiburnya'?

Atau lebih baik dia berdiam diri saja, membiarkan Reza melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya?

"Seharusnya kubunuh kau tadi di jalanan!" geram Reza setelah dia tidak mampu lagi mengayunkan tinjunya. Dia terduduk lemas di lantai. Matanya menatap Anggun dengan penuh kebencian.

"Seharusnya kubunub kau selagi aku masih mampu!"

"Jika kematianku dapat menebus desaku pada Yudha, aku rela," desah Anggun lirih.

"Lepaskanlah ikatanku Dan berikan pisau itu padaku."

"Kaupikir aku sebodoh Yudha? Yang bisa kautipu dan kaupermainkan seenak perutmu?" geram Reza sengit.

"Aku tidak perlu membela diri di hadapanmu," sahut Anggun tegas.

"Aku berutang pada Yudha. bukan kepadamu. Kalau kamu beri aku kesempatan. akan kubayar lunas utangku padanya."

"Dengan cara apa?" ejek Reza sinis.

"Bekerja di

biro iklan? Pacaran dengan anak bosmu? Fotografermu'? Atau keluyuran tiap malam mencari anakmu"

Jadi dia tahu semua hal mengenai diriku, pikir Anggun sedih. Dia telah begitu lama menguntit aku, hanya untuk membalaskan dendam keluarganya!

"Anak Yudha," desah Anggun pahit.

"Aku telah menemukannya, kalau kamu tidak keburu datang. Yos di tangan seorang banci. Kita tidak tahu bagaimana nasibnya. Tapi kalau terjadi apa apa dengannya, Yudha pasti tidak akan memaafkanmu!"

"Bohong!" geram Reza sengit.

"Dia bukan anak Yudha!"

"Beri aku kesempatan untuk menemukannya, Reza," pinta Anggun lembut.

"Sesudah aku mengembalikannya kepada neneknya, kamu boleh melakukan apa saja padaku."

"Kenapa aku harus menunggu kalau bisa kulakukan sekarang?"

"Karena kamu akan menyesal. Yos anak Yudha. Dan cuma aku yang bisa menemukannya. Menyelamatkannya dari bahaya."

***

Karena membutuhkan uang untuk perawatan Yus, Bing nekat mencari rumah pemilik dompet yang dicuri itu. Dan dia nekat minta bertemu dengan pemilik dompet itu walaupun tiga kali diusir satpam.

"Pergi lu, bencong!" bentak satpam itu kesal.

"Kenapa sih bandel banget? Datang lagi, datang lagi! Mau berapa kali diusir sih?"

"Tolong, Pak. Saya ingin ketemu Pak Lontong... eh, Pak Lembong..."

"Sudah dibilangin beliau nggak mau ketemu elu! Nggak ada urusan!"

"Tapi saya ada urusan penting, Pak. Saya jamin. Pak Lon... eh, Lembong... nggak rugi ketemu saya."

"Ge-er banget ni banci!" Dari kesal sampai kagum, akhirnya si satpam terpaksa menghadap bosnya.

"Urusan apa?" bentak Pak Lembong jengkel.

"Saya tidak punya urusan sama segala macam banci!"

"Pasti utusan penting!" sela Bu Lembong curiga.

"Kalau tidak, dia tidak akan begitu ngotot mau ketemu Bapak!"

"Alaaa, paling-paling mau minta duit!"

"Kalau cuma gembel biasa. kenapa memaksa ingin ketemu Bapak? Dia kan bisa ngamen di depan. Diberi lima ratus sudah pergi. Pasti urusannya lebih besar dari itu!"

"Urusan apa"?"

"Lho, malah tanya saya? Mana saya tahu? Bapak kan yang dicari. Sudah. Man. suruh dia masuk'"

Bing gembira sekali ketika disutuh masuk. Tetapi begitu melihat Pak Lembong, hatinya langsung ciut. Pria separo baya itu bukan hanya bertubuh gempal. tampangnya pun menyeramkan! Untung saja istrinya cantik. Dan matanya yang tajam itu bersorot penuh keingintahuan.

"Lekas bilang, ada urusan apa sama saya!" bentak Pak Lembang geram.

Ketakutan Bing buru-buru mengeluarkan dompet dari sakunya. Dan melihat dompetnya yang hilang

mata Pak Lembong langsung melebar. Kemarahannya

pun meledak tak tertahankan lagi. Dirampasnya dompet itu. Dan dijotosnya Bing sampai jatuh tunggang langgang.

"Kurang ajar!" geram Pak Lembong sengit.

"Jadi kau yang curi dompetku?!"

Bing sudah mengerut ketakutan. Dia sudah membayangkan belasan bogem mentah dari tuan rumah maupun satpamnya akan melanda wajah dan tubuhnya sampai remuk. Tetapi untung Bu Lembang semanis parasnya. Dia segera turun tangan mencegah.

"Dia mengantarkan dompet Bapak yang hilang, kok malah dipukul?" sergahnya kesal.

"Buat apa dikembalikan?" gerutu Pak Lembang sengit.

"Dompetnya sudah kosong!"

"Tapi masih ada KTP dan SIM-nya, Pak " erang Bing ketakutan.

"Mana duitnya?"

"Nggak tahu, Pak..."

"Di mana kamu temukan dompet ini?" tanya Bu Lembong lunak.

"Di tempat sampah, Bu..."

"Ya sudah. ibu percaya bukan kamu pencurinya. Sekarang kamu boleh pergi. Terima kasih."

Bing beringsut bangun sambil mengelus pipinya yang sakit.

"Cuma... terima kasih, Bu?"

"Ya. habis mau apa lagi?" bentak Pak Satpam jemu.

"Ayo, keluar!"

"Tunggu!" sela Bu Lembong sambil membalikkan tubuhnya. Dia mengambil tasnya dan mengeluarkan selembar uang lima ribuan.

Bing mengawasinya dengan penuh keingintahuan.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini." katanya sambil menyodorkan uang itu kepada Bing.

"Sebagai tanda terima kasih kami. Maaf kalau suami saya bertindak kasar."

"Cuma segini, Bu?" tanya Bing lemas. Kecewa. Lima ribu! Cuma lima ribu! Cukup buat apa?

"Kurang ajar!" desis Pak Lembong tidak sabar. Tidak tahu terima kasih banci ini!

"Kurang?" tanya Bu Lembong kurang senang.

"Cukup sih, Bu," Bing tersenyum genit sambil menyeka helai rambut di dahinya.

"Tapi kurang buat bayar ongkos perawatan anak saya, Bu..."

"Anakmu?" Bu Lembong mengerutkan dahinya.

Pak Lembang tertawa sinis. Satpamnya juga ikut tersenyum.

"Banci kayak kamu punya anak? Sandiwara yang bagus!"

"Anak kamu sakit?" tanya Bu Lembong seperti tidak menghiraukan ejekan suaminya.

"Di rumah sakit, Bu," Bing menyebutkan nama rumah sakit tempat Yos dirawat.

"Kalau Ibu tidak percaya..."

"Tentu saja saya percaya," potong Bu Lembong sambil menghela napas.

Bu Lembong langsung mengambil lima lembar uang dua puluh ribuan. Dia baru separo mengulurkan tangannya ketika Bing sudah buru-buru menyambar uang itu.

Begitu bernafsunya dia, sehingga kalau bisa berubah warna. barangkali matanya akan menjadi sehijau warna uang itu!

"Terima kasih. Bu!" Bing sudah membungkuk untuk mencium tangan wanita yang baik hati itu. Tetapi Pak Satpam keburu menyeretnya ke luar.

"Gampang sekali Ibu buang duit," gerutu Pak Lembong kesal.

"Saya hanya menyumbang seratus lima ribu buat seorang gembel." sahut Bu Lembong tegas.

"Bapak malah kehilangan tujuh ratus ribu lebih!"

***

"Banci itu menggendong seorang anak, Pak," jawab si satpam tanpa ragu sedikit pun.

"Katanya anak itu sakit."

"Anak laki-laki?" desak Prambudi.

"Iya, Pak!"

"Umur berapa?"

"Wah, saya nggak tahu. Pak. Mungkin sekitar... enam atau tujuh tahun... barangkali juga lebih, Pak. Nggak saya perhatikan sih."

Yos, pikir Prambudi kaget. Benarkah Yos yang digendong banci itu? Anggun melihatnya dan langsung mengejarnya?

Tapi... di mana dia sekarang? Mengapa dia tidak menelepon? Dan mengapa telepon genggamnya tidak aktif"?

Bu Sofi sudah cemas Sekali. Dia ribut terus minta pulang.

"Saya khawatir Anggi dalam bahaya. Pa! Lapor polisi saja!"

"Tapi apa yang harus kukatakan kepada polisi, Ma? Anggun baru hilang beberapa jam. Dan dia mencari

anaknya. Pergi dengan kemauan sendiri. Bukan diculik!"

"Tapi Anggun mestinya sudah kembali, Pa! Paling tidak menelepon!"

"Sekarang begini saja. jangan bikin aku tambah bingung. Mama dirawat di sini saja, biar Papa cari Anggi."

"Saya ikut. Pa!"

"Tapi Mama cuma bikin Papa tambah pusing! Mama kan sedang sakit! Kalau Mama di sini, Papa bisa lebih cepat mencari Anggi!"

Namun Sudah dua hari Prambudi mencari anaknya, Anggun tetap tidak ditemukan. Tidak seorang pun tahu di mana dia berada. Akhirnya terpaksa Prambudi melaporkan hilangnya Anggun kepada yang berwajib.

***

Reza tidak tahu apa yang harus dilakukannya pada Anggun. Dua hari dia mengurung perempuan itu di gudang kosong milik ayahnya. Dia tidak sampai hati membunuh Anggun. Tapi tidak mau pula melepaskannya.

Dua hari dua malam dia menyesali kelemahannya. Menyesali keputusannya untuk menunda kematian Anggun.

Seandainya dia membunuh perempuan itu di dalam mobil... seandainya dia melenyapkannya begitu berhasil menculiknya... semua akan menjadi lebih mudah!

Sekarang sesudah melihat wajah Anggun, mendengar suaranya, mengapa hatinya menjadi lemah? Berulang-ulang Reza menatap foto adiknya. Ibunya. berkali-kali dia mengatakan kepada dirinya sendiri, perempuan inilah yang membunuh mereka. Menghancurkan keluarganya. Karena itu dia harus dihukum!

Tetapi... mengapa sulit sekali rasanya membunuh seorang manusia?

Dua hari dua malam dia tidak memberi Anggun makanan, bahkan minuman. Dia mengharapkan perempuan itu mati dengan sendirinya. Tetapi Anggun tidak mati.

Dia memang terbaring lemah di lantai gudang. Tetapi belum mati! Dia masih membuka matanya ketika Reza masuk. Dan melihat mata yang redup itu, luluhlah hati Reza.

Dia memang bukan seorang pembunuh. Bukan penjahat yang biasa membunuh orang dengan darah dingin.

Dia seorang sarjana. Seorang intelek. Dari keluarga baik-baik. Berpendidikan baik. Punya moralitas yang baik. Hanya keadaanlah yang mendesaknya menjadi begini. Demi ayahnya dia rela melakukan semua pelanggaran hukum ini!

Reza menghela napas berat ketika menadahkan tangannya ke bawah keran air. Dan membawa air yang sedikit itu ke mulut Anggun.

Tetapi Anggun sudah demikian lemahnya bahkan untuk mengangkat kepalanya. Dia begitu hausnya sehingga ketika mencium bau air, dia berusaha keras untuk meneguknya.

Tetapi karena dia tidak bisa mengangkat kepalanya, sebagian besar air yang sedikit itu tumpah bukan ke mulutnya. Anggun mendesah lemah.

Dan mendengar desahan itu, tak sadar Reza menggerakkan lengannya untuk menggendong Anggun. Membawanya ke dekat keran air. Membaringkannya di sana.

Lalu dengan sebelah lengan menopang kepala Anggun, tangannya yang lain menyendokkan air ke mulutnya. Anggun menghirup air itu dengan lahap sampai dia terbatuk batuk saking cepatnya dia berusaha menelan air dalam posisi setengah berbaring.

Air itu bukan hanya membasahi mulut dan kerongkongan Anggun. Tetapi sekaligus menghidupkan kembali sel sel tubuhnya yang hampir mati. Dan batuk yang berkepanjangan itu seperti pekik yang mewartakan kehidupan.

Anggun merasa darahnya mulai mengalir lagi. Ototnya mulai bertenaga kembali walaupun kekuatannya belum pulih. Dia berusaha duduk. Dan baru menyadari begitu lemahnya tubuhnya sampai duduk pun dia tidak mampu.

Dia terjatuh kembali ke belakang. Dan punggungnya hampir membentur lantai jika Reza tidak keburu menangkapnya. Kali ini, Reza merangkul dengan kedua belah lengannya. Dan ketika tubuh mereka berimpit, mata mereka bertemu dalam sebuah tatapan yang sama-sama terkejut. Sama-sama tidak menyangka.

Kalau Anggun terkejut karena reaksi Reza, Reza lebih terperanjat lagi menyadari getaran aneh yang menjalani lengannya ketika merasakan tubuh wanita itu dalam pelukannya. Dan kemarahan Reza baru meledak ketika sebuah kesadaran menyentakkannya dari pesona yang begitu membiusnya.

"Kau perempuan jalang!" geramnya sengit. Matanya

menatap Anggun dengan gusar.

"Seharusnya kucabikcabik tubuhmu!"

Tetapi Anggun tidak marah. Dia malah sedih. Dia melihat sorot mata yang terluka itu. Dan dia merasakan kesakitannya,

Dia mengerti mengapa Reza begitu marah. Dan dia tidak menyalahkannya. Dia malah merasa heran karena Rela belum melepaskan juga pelukannya.

Lalu dering telepon membuyarkan suasana. Reza mengambil ponselnya dengan sebelah tangan. Dan air mukanya berubah.

"Belum," suaranya semuram wajahnya.

"Saya belum menemukannya."

Lalu Reza menutup ponselnya dan melemparkannya begitu saja. Dia menggendong Anggun dan membaringkannya di lantai. Ketika dia kembali dua jam kemudian, dia membawa sebungkus makanan. Tapi saal itu Anggun sudah kehilangan kesadarannya.

***

"DEMAM berdarah?" sergah bing separo terpekik.

"Aduh, Yos Yos! Kalau mau sakit, kenapa sih mesti milih penyakit yang model-model? Demam kok pakai berdarah-darah segala!"

"Demam berdarah bukan penyakit model-model," dokter muda yang merawat Yos berkata dengan sabar.

"Itu penyakit virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Wabah penyakit itu memang sekarang sedang melanda Jakarta."

"Tapi dia bisa sembuh kan, Dok?" tanya Bing ketakutan.

"Dia nggak bakal mati?"

"Karena itu Yos perlu dirawat. Saudara tidak tahu di mana ayahnya?"

"Ayahnya sudah di liang kubur. Dok. Ibunya katanya sih baru bebas dari penjara. Tapi nggak tahu di mana. Kami justru lagi cari rumahnya."

"Tapi Yos tidak bisa menunggu lagi. Trombosit atau

sel pembeku darahnya sudah sangat menurun. Kita harus mempersiapkan darah yang cocok."

"Darah saya saja, Dok!" seru Bing spontan.

"Ambil saja berapa banyak yang Dokter mau!"

Yang penting tidak usah bayar, sambung Bing dalam hati.

Dokter muda itu tersenyum melihat kepolosan Bing. Di balik penampilannya yang aneh itu, ternyata makhluk yang satu ini menyimpan sebongkah hati

yang lulus.

"Darah Yos golongan AB positif. Kalau darah Saudara cocok, tentu saja boleh ditransfusikan. Tetapi untuk menjadi donor darah, ada syarat-syaratnya..."

"Nggak usah pakai syarat-syarat: segala, Dok!" potong Bing tegas.

"Ambil saja. Mati pun nggak ada yang kehilangan saya!"

"Bukan begitu. Darah Saudara harus diperiksa, layak atau tidak untuk didonorkan..."

Bing melongo heran.

"Karena saya banci? Kelainan saya nggak menular melalui darah, kan?"

"Karena Saudara belum tentu sehat. Dan darah Saudara belum tentu sama golongannya dengan darah Yos. Lagi pula yang dibutuhkan Yos adalah sel pembeku darahnya. Untuk itu ada persyaratan lain yang

harus dipenuhi."

"Jadi?"

"Saudara harus ke PMI untuk diperiksa."

"Kalau darah saya nggak cocok?"

"Kalau Saudara dinyatakan sehat sebagai donor, darah Saudara bisa ditukar dengan darah yang cocok dengan darah Yos. Kalau persediaan di PMI kebetulan masih ada."

"Kalau nggak ada?"

"Barangkali ada teman-teman Saudara yang mau

mendonor?"

***

"Lu musti bantu gue, Ros!" desak Bing kepada Rosi yang baru saja pulang dari tahanan.

Rosi yang masih uring-uringan bertambah jengkel. Penampilannya sekusut pakaiannya. Rambutnya sudah dicukur pendek sekali sehingga dia lebih mirip orangorangan sawah.

"Bantu apa? Gue ditangkap, lu malah kabur! Boroboro ngebantuin!"

"Lha gue bisa bantu apa? Salah-salah gue ikut diciduk! Tapi ini lain, Ros! Gue perlu bantuan lu!"

"Bantuan apa? Duit sepeser juga nggak punya!"

"Yos perlu darah!"

"Gila!"

"Dia kena demam berdarah!"

"Kenapa lu yang ribut sih?"

"Dia nggak punya siapa-siapa lagi, Ros! Dia bakal mati kalau nggak ditolong!"

"Jangan gue, Bing!" sanggah Rosi ketakutan.

"Cari yang lain aja! Seumur-umur gue nggak pernah disuntik! Apalagi diambil darah!"

Tapi Bing berkeras mengajak Rosi ke PMI. Ketika Uut, pacar si Rosi, datang menjenguk, Bing memaksanya ikut serta.

"Sekalian periksa gratis," bujuk Bing.

"Darah sehat nggak."

***

Ketika Anggun memperoleh kesadarannya kembali, dia terbaring di sebuah ranjang rumah sakit. Lengannya diinfus.Perawat yang mengobservasi keadaannya langsung memanggil dokter begitu melihat Anggun sudah sadar.

"Ibu sudah tidak apa apa," kata dokter itu ramah.

"Jangan khawatir. Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolitnya sudah dapat diatasi. Kadar gula Ibu yang sangat rendah juga sudah hampir mencapai normal kembali. Ibu hanya perlu istirahat sambil melanjutkan infus."

"Saya ingin pulang," tukas Anggun lemah.

"Di mana Yos?"

"Yos?" Dokter itu mengangkat sebelah alisnya.

"Pria yang menolong Ibu?"

"Pria... yang menolong... saya?"

"Yang membawa Ibu kemari."

Anggun menggeleng bingung. Pikirannya masih kalut. Kabut masih menyelubungi pikirannya. Tapi satu hal tak pernah dilupakannya. Yos. Dia harus mencari Yos!

"Saya harus mencari Yos."

"Dia sudah pergi."

"Dia hilang," keluh Anggun sambil memejamkan matanya. Air mata merembes dari sela-sela bulu matanya.

"Dia kabur dari rumah neneknya... untuk mencari saya...."

Dokter itu saling pandang dengan perawatnya.

"Lebih baik Ibu istirahat dulu," kata dokter itu sambil memegang lengan Anggun dengan lembut.

"Pikiran Ibu masih kacau. Ketika masuk, gula darah Ibu sangat rendah..."

"Saya harus mencari Yos! Dia kesasar entah ke mana..."

"Saya akan beri Ibu suntikan obat penenang. Setelah bangun nanti. pikiran Ibu lebih jernih."

"Tidak!" protes Anggun sambil membuka matanya.

"Saya mau pulang! Saya harus mencari anak saya!"

"Anak?"

"Yos! Dia hilang! Saya harus mencarinya!"

"Tapi ibu belum bisa pulang! Dan tidak dapat meninggalkan rumah sakit seorang diri!"

"Saya harus pulang!" Anggun berusaha bangkit sambil mencabut infusnya.

"Saya harus mencari anak saya!"

Tergopoh-gopoh perawat mencegah tindakan Anggun.

"Jangan halangi saya!" bentak Anggun marah.

"Tolong telepon ke rumah saya. Ayah saya akan membayar semua biaya perawatan!"

"Biaya perawatan Anda sudah dibayar," sahut dokter itu sambil membantu perawatnya membaringkan

Anggun kembali dan mencegahnya mencabut infusnya "Tapi Ibu belum boleh pulang."

Sekejap Anggun tertegun. Ditatapnya dokter itu dengan tajam.

"Siapa yang membayar biaya perawatan saya?"

"Pria yang membawa Ibu kemari. Kami tidak tahu namanya."

***

"Mustahil kan belum dapat menemukannya!" geram Boga Pratama kesal.

"Kau tahu alamat rumahnya. Kau tahu ke mana dia pergi, Kaukuntit dia siang-malam!"

"Tapi dia menghilang," sahut Reza murung.

"Dia sedang mencari anaknya..."

"Kalau begitu kita benar-benar sudah membutuhkan tenaga profesional!"

"Ayah..." sela Reza tiba-tiba.

"Benarkah anak itu... anak Yudha?"

"Anak siapa?"

"Anak perempuan itu."

"Dari siapa kaudengar segala macam omong kosong itu? Kau..." ayahnya menatap curiga.

"Sudah ketemu dia?"

"Belum." Reza tidak berani membalas tatapan ayahnya. Khawatir matanya tak dapat berdusta. Dan ayahnya berhasil membongkar kebohongannya.

"Tapi ada yang bilang, anak itu anaknya dengan Yudha."

"Bohong! Dari mana kaudengar omong kosong itu? Siapa yang bilang?"

"Sudah lama saya menguntitnya. Menyelidikinya. Saya mengetahui lebih banyak dari yang Ayah sangka."

"Jangan percaya omongan orang!"

"Yudha tidak pernah menceritakannya kepada Ayah?"

'Tidak!" Boga mengatupkan rahangnya menahan marah. Tentu saja dia berdusta. Dan Reza membaca dusta itu di mata ayahnya.

"Yudha tidak pernah cerita telah menghamili perempuan itu sebelum dia menikah dengan seorang dokter?"

"Ayah tidak percaya!" geram Boga sengit setelah merasa terdesak.

"Yudha cuma ingin mendesak Ayah agar menyetujui pernikahannya dengan perempuan itu!"

"Jadi benar dia anak Yudha..." gumam Reza gemas.

"Lalu... kenapa Anggun tidak menunggu Yudha? Kenapa dia menikah dengan dokter itu?"

"Ayahnya yang pengacara tidak sudi punya menantu junkie!"

"Kalau begitu. bukan salahnya dia menolak menikah dengan Yudha."

"Apa-apaan kau ini, hah?" bentak Boga berang. Ditatapnya putra sulungnya dengan mata membelalak jengkel.

"Kau berubah sekali! Kau malah seperti memihak dia!"

"Dia sedang berjuang mencari anaknya," dengus Reza murung.

"Anak Yudha! Bukankah seharusnya kita membantu dia menemukan anak itu?"

"Bagaimana kau bisa membunuhnya kalau punya pikiran seperti itu!"

"Biarkan dia mencari anaknya lebih dulu. Ayah," suara Reza melunak, lebih mirip permohonan.

"Anak Yudha."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak!" geram Boga sambil mengatupkan giginya menahan marah.

"Kalau anak itu tidak ditemukan, kita berdosa pada Yudha."

"Tidak! Anak itu bukan anak Yudha! Dan perempuan jalang itu membunuh anakku!"

Tapi dia kelihatannya begitu mencintai Yudha, pikir

Reza sambil membayangkan kembali pertemuannya dengan Anggun. Mungkinkah pembunuhan itu memang suatu kecelakaan?

Perempuan itu kelihatan sangat menderita. Wajahnya membersitkan perasaan bersalah. Kalau benar dia mencintai Yudha... bukankah dia yang paling menderita dengan kematian kekasihnya?

Perasaan bersalah... sebuah hukuman yang sangat berat. Lebih berat dari beberapa belas tahun di penjara! Kalau demikian, mengapa dia harus dihukum lagi?

"Jika kematianku dapat menebus dosaku pada Yudha, aku rela."

Itu kata-kata Anggun yang diucapkannya ketika maut telah membayang-bayangi dirinya.

Kata-kata yang diucapkannya dengan lirih. Penuh perasaan bersalah. Tak mungkin dia bersandiwara.

Dia tidak takut pada kematian. Tidak memohon dibiarkan hidup. Tidak minta diampuni. Tidak minta dikasihani.

Satu-satunya permintaannya hanyalah diizinkan mencari anaknya terlebih dulu. Anaknya. Anak Yudha.

"Beri aku kesempatan untuk menemukannya, Rela. SeSudah aku menemukannya, kamu boleh melakukan apa saja padaku."

Pemiintaan yang sederhana. Diucapkan dengan sedih tapi tulus. Bagaimana Reza tega menolak permintaan semacam itu dari seseorang yang hampir mati?

Bahkan ketika nyawanya sudah di ujung pisau terhunus, Anggun masih memikirkan anaknya! Anak Yudha!

Dia tidak memikirkan dirinya sendiri. Dia seolah sudah tidak peduli lagi pada nyawanya.

"Ayah akan menyewa tenaga profesional!" geram Boga berang.

"Kau sudah tidak dapat diharapkan lagi!"

Jadi mata hati ayahnya benar-benar sudah dibutakan oleh dendam! Dia tidak dapat menunggu lagi. Dia tetap ingin melenyapkan Anggun secepat-cepatnya.

Tidak peduli dengan matinya perempuan itu, anak Yudha ikut jadi korban!

"Yos di tangan seorang banci," kata Anggun saat itu.

Apa yang terjadi dengan anak itu... anak Yudha... keponakannya?

Semuanya dapat terjadi... dari yang paling lumayan, kelaparan, kehujanan, sampai yang paling buruk... sakit, mati... bahkan mungkin... sebelumnya dia di... Reza tidak berani memikirkannya!

"Kau sudah tidak dapat diharapkan lagi!" kata ayahnya tadi.

Dan tekad ayahnya sudah bulat. Dia akan menyewa seorang pembunuh profesional!

***

Benar! mereka bertiga, nanya darah bing yang cocok dengan darah Yos yang AB positif. Tetapi dia ditolak ketika hendak mendonor, karena dianggap tidak memenuhi syarat.

Akhirnya mereka dapat memperoleh darah untuk Yos dengan gratis dari PMl, karena kebetulan darah golongan itu ada dalam persediaan.

Dari mereka bertiga. hanya Uut yang memenuhi syarat untuk diambil darahnya. Berat badannya cukup, tekanan darahnya juga normal.

Tetapi apakah darahnya dapat ditransfusikan kepada resipien yang membutuhkannya, masih harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Semua darah yang akan ditransfusikan harus dinyatakan bebas dari penyakit yang penularannya melalui darah, yang terpenting adalah hepatitis dan AIDS.

Bing dan Rosi yang sudah siap mendonor terpaksa

ditolak karena tidak memenuhi syarat. Tentu saja Rosi sangat gembira. Sebelumnya dia sudah sangat ketakutan.

Sebaliknya, Bing sangat kecewa karena darahnya tidak dapat dipakai untuk menolong Yos.

"Kenapa saya tidak boleh jadi donor, Pak?" tanyanya penasaran.

"Kamu tidak cukup sehat untuk mendonor. Tekanan darahmu rendah, agak demam. Batuk, lagi."

"Oh, kalau panas-panas sedikit begini sih sudah biasa, Pak," sela Bing santai.

"Tapi nggak pernah saya rasakan. Maklum gelandangan. Siang-malam kepanasan-kehujanan di jalanan."

"Lebih baik kamu periksa di puskesmas sebelah tuh, Daripada penyakitmu tambah parah!"

"Tapi gratis kan, Pak?"

"Ya, paling-paling bayar karcis. Daripada buat beli obat kalau sakitmu tambah gawat nanti!"

"Kali lu kena TBC, Bing," celetuk Rosi.

"Mendingan lu berobat daripada nularin kita! Kayaknya badan lu tambah kerempeng tuh!"

***

Bing begitu gembira ketika Yos berhasil melewati masa kritisnya. Ketika akhirnya Yos diizinkan pulang, Bing malah mengadakan semacam selamatan kecil di gubuk Rosi. Tentu saja hidangannya bukan nasi tumpeng. Cuma kacang rebus dan ubi goreng.

Yang diundang juga cuma Resi dan Uut, karena mereka yang punya rumah dan Uut telah ikut mendonorkan darahnya.

Meskipun Yos masih lemah dan kalau boleh memilih lebih ingin tidur ketimbang makan kacang rebus. dia tidak ingin mengecewakan Bing dan teman-temannya. Karena apa pun keinginannya sekarang, memang hanya merekalah teman-teman yang dimilikinya.

Bing kelihatan sangat gembira. Setelah hari-hari yang sibuk dan menegangkan bolak-balik ke rumah sakit, malam ini dia merasa lega. Lelah memang. Tapi senang.

Jadi meskipun Yos masih tampak lemah dan matanya masih bersorot sayu, Bing berusaha menularkan keriangannya kepada Yos.

"Besok kalau kau sudah kuat, kita cari lagi rumah ibumu ya," hiburnya membangkitkan semangat.

Tapi Yos cuma mengangguk lesu. Semangatnya belum kembali. Kegairahannya untuk menemukan Mama juga sudah mengendur.

Mama entah di mana. Bahkan Nenek pun sudah lenyap! Satu-satunya harapannya cuma Bing. Cuma kepada dialah Yos menggantungkan hidupnya.

"Bing cerita dong," pinta Yos ketika Bing menemaninya tidur.

Setelah beberapa hari berbaring di ranjang rumah sakit, biarpun cuma di bangsal. berbaring di atas tikar terasa keras dan menyakitkan. Apalagi kain usang yang dipinjamkan Rosi tidak cukup hangat untuk mengusir dinginnya malam.

"Duh, manja banget sih lu!" Bing tertawa sambil mencubit hidung Yos yang berbaring di sampingnya.

"Siapa yang sering mendongeng? Mama?"

"Papa," sahut Yos tanpa berpikir lagi.

"Kan ayahmu sudah mati'?"

"Dulu,

"waktu Yos masih kecil. Papa baiiiikk sekali, Bing."

"Mama?"

"Nggak sebaik Papa."

"Kenapa?" Senyum Bing merekah.

"Galak?"

Yos mengangguk.

"Mama Bing juga galak?"

"Nggak segalak Ayah."

"Wah, terbalik dong! Bing sering dipukul? Bing nakal?"

"Ditendang juga. Bing sering nyolong-nyolong pakai baju Ibu."

"Kenapa Bing suka pake baju perempuan?"

Rosi yang baru saja membaringkan tubuhnya tertawa kecil mendengar pertanyaan yang polos itu.

"Nggak tahu. Bing memang punya kelainan. Sudah lain dari sononya." Bing membelai kepala Yos dengan lembut.

"Makanya jangan jadi orang kepalang tanggung kayak Bing. Nggak enak."

Yos menatap sahabatnya antara sedih dan iba.

"Bing sengsara. ya? Selalu diledekin orang."

Bing tertawa pahit. Dibalasnya tatapan Yos dengan sabar. Dan ketika mata mereka sedang beradu pandang, tiba tiba Bing menyadari, dia menyayangi anak ini. Dia bukan hanya menganggap Yos sebagai sahabatnya. Dia sudah menganggapnya adik. Bahkan mungkin... lebih dari itu... Naluri keibuankah yang telah lahir di hatinya yang wanita?

Dia begitu ingin melindungi Yos. Menghiburnya. Menyenangkannya. Bahkan kadang-kadang tanpa memikirkan dirinya sendiri. Kalau tidak, apa yang membawanya ke polsek, hanya untuk mencari rumah ibu Yos"?

"Kita nggak mungkin nemuin rumah ibumu, Yos," katanya pagi itu ketika dia mengajak Yos ke polsek terdekat.

"Kita perlu bantuan polisi."

Tetapi Yos sudah trauma. Dia menolak dibawa ke sana. Lagi pula dia sudah pasrah. Kalau tidak dapat menemukan Mama, dia rela hidup bersama Bing.

"Kalau Yos balik ke Mama, Bing sama siapa?" kata Yos polos.

Kepolosan yang memancing tawa dan air mata Bing.

"Kalau Yos nggak balik ke Mama, siapa yang beliin Bing salon?" tanyanya separo bergurau.

Dan Bing tidak dapat dicegah lagi. Dia pergi ke polsek walaupun Yos menolak diajak ke sana. Dia melaporkan Yos yang kabur dari rumah neneknya di Surabaya dan mencari rumah ibunya di Jakarta. Setelah semua laporannya dicatat, dia diperbolehkan pulang.

"Terus kapan Yos diambil, Pak?" tanya Bing agak bingung.

"Ya nanti, kalau ada laporan anak hilang," sahut polisi itu santai.

"Tapi jangan lama-lama, Pak. Kasihan dia..."

"Laporan ini akan disebarluaskan. Kalau ada orangtua yang mencari anak hilang yang ciri-cirinya seperti itu, Saudara akan diberitahu. Alamatnya sudah dicatat di situ?"

"Sudah, Pak. Tapi gubuk saya rada susah dicari. Biar saya yang kemari tiap hari."

Ketika sedang melangkah keluar dari polsek, Bing berpikir-pikir, benarkah dia ingin Yos ditemukan secepatnya? Bukankah itu berarti dia akan kehilangan Yos? Dan tidak sadar matanya menjadi berkaca-kaca....

***

Anggun minta perawat agar menghubungi ayahnya melalui telepon. Dan ketika Prambudi mendengar anaknya ada di rumah sakit, dia langsung membawa istrinya yang juga baru keluar dari rumah sakit ke sana.

Mereka begitu gembira ketika melihat Anggun. Lebih-lebih ketika mendengar pernyataan dokter yang sudah mengizinkan Anggun pulang besok. Dia sudah dinyatakan sehat.

"Apa yang terjadi, Anggi?" tangis Bu Sofi sambil memeluk anaknya.

"Kamu ke mana?"

Anggun tidak ingin menceritakan apa yang menimpanya. Dia menyimpan rahasia itu untuk dirinya sendiri.

Karena itu dia tetap membisu biarpun ayahnya mendesak terus.

"Dia tidak menderita amnesia kan, Dok?" tanya Prambudi penasaran kepada dokter yang merawat Anggun.

"Mengapa dia tidak ingat apa-apa?"

"Ibu Anggun hanya tidak ingin menceritakannya, Pak," sahut dokter itu sabar.

"Kadang-kadang pasien tidak mau mengingat kembali kejadian yang mengerikan."

"Tapi anak saya tidak apa-apa kan, Dok?" desak Prambudi ragu-ragu.

"Maksud saya... tidak ada tandaanda kekerasan pada tubuhnya?"

"Ada luka memar pada pergelangan tangannya, seperti bekas tali pengikat. Memar bekas pukulan pun masih terlihat di pipi kanannya. Tapi selain itu. tidak ada tanda tanda kekerasan lain. Tampaknya dia hanya dibawa ke suatu tempat dan dibiarkan kelaparan."

"Dia tidak... ah, di..." Prambudi tidak sanggup melanjutkan pertanyaannya. Wajahnya merah padam menahan marah.

"Tidak terdapat tanda-tanda perkosaan. jika itu yang Bapak maksudkan."

Air muka Prambudi memancarkan kelegaan. Tetapi dia masih penasaran.

"Jadi orang gila macam apa yang menculiknya? Apakah banci yang dikejarnya itu? Saya sudah melaporkannya kepada yang berwajib. Ciri-ciri banci itu telah disebarluaskan. Saya harap dia bisa ditangkap secepatnya. Dan diseret ke pengadilan!"

"Ada seorang pria yang membawanya kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pria itu membayar seluruh biaya perawatan dengan kartu kreditnya."

"Siapa namanya, Dok?" tanya Prambudi heran.

"Mengapa dia begitu baik? Di mana dia sekarang"?"

"Dia tidak pernah datang lagi. Kalau Bapak ingin tahu namanya, mungkin Bapak bisa menanyakannya di Bagian Administrasi."

Anggun melarang ayahnya mencari tahu siapa lakilaki itu.

"Kamu tidak ingin tahu siapa yang menolongmu?" tanya Prambudi heran.

"Buat apa?" gumam Anggun murung.

"Yang penting saya ingin mencari Yos!"

"Papa sudah melapor kepada yang berwajib. Dan mereka sudah menyebarluaskan ciri-ciri banci yang kamu kejar itu. Kalau betul dia yang menculrkmu..."

"Bukan dia yang menculik saya!"

"Jadi siapa? Kamu tidak ingin penjahat itu tertangkap? Tidak takut dia menculikmu lagi? Atau menculik perempuan lain?"

"Jika dia menginginkan kematian Anggi, saya pasti sudah mati. Pa!"

"Tapi menculik tetap perbuatan kriminal, Anggi, apa pun alasannya! Dan membiarkan kamu kelaparan sampai hampir..."

"Sudahlah, Pa!" potong Anggun jemu.

"Anggi tidak ingin membicarakannya lagi. Sekarang yang penting mencari Yos. Kalau banci itu dltemukan, dia pasti tahu di mana Yos!"

"Tapi penculikmu..." Prambudi tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena istrinya keburu memegang tangannya.

"Sudahlah, Pa. Anggi tidak mau mengingat-ingat peristiwa itu lagi."

Tetapi Prambudi yang penasaran tidak mau tinggal diam. Diam-diam tanpa setahu istri dan anaknya, dia kemball ke rumah sakit. Dan melihat nama si pemilik

kartu kredit.

"Reza Pratama..." Prambudi mengerutkan dahinya.

"Pratama? Punya hubungan apa dia dengan Yudha?" itu Anggun memang tidak ingin membicarakan soal penculikannya. Tetapi bukan berarti dia tidak memikirkannya.

**

DI luar kehendaknya, bahkan di luar kekuasaannya, bayangan Reza selalu datang dan datang lagi ke benaknya. Wajah Reza yang begitu mirip dengan Yudha, memancing kerinduan yang tak dapat dijelaskan.

Melihat Reza, Anggun seperti melihat Yudha. Mendengar suaranya. Anggun teringat pada Yudha. Pelukan Reza ketika Anggun sudah hampir tak sadarkan diri, mengembalikan kenangannya pada pelukan Yudha.

Bahkan pelukan Harman. apalagi Rudi. tak dapat dibandingkan dengan pelukan itu. Padahal Reza memeluknya tanpa kehangatan. Apalagi gairah.

Anggun juga tak dapat melupakan tatapan mata Rela. Tatapan itu begitu penuh dendam. Sakit hati. Kebencian.

Anggun begitu sedih melihatnya. Tetapi dia lebih terpukul lagi tatkala mata itu berlumur perasaan bersalah karena tak mampu membalaskan dendam keluarganya.

Apa yang harus kulakukan, Yudha? pekik Anggun dalam hati. Apa yang harus kulakukan untuk menolong kakakmu, membayar utangku pada keluargamu?

Aku rela masuk penjara demi mengurangi rasa bersalahku padamu dan Mas Rian. Apa lagi yang harus kulakukan untuk mengurangi rasa bersalahku pada Reza?

Aku rela mati. Tanpa kamu. Mas Rian, dan Yos, hidupku sudah tidak berarti. Tapi Reza tidak sampai hati membunuhku. Dan aku tidak boleh bunuh diri sebelum menemukan Yos!

Yos. Cuma itu tujuan hidup Anggun sekarang. Hanya semangat untuk menemukan Yos yang mendorongnya untuk bangun sepagi mungkin keesokan harinya. Hanya sehari sesudah dia pulang dari rumah sakit. Bersiap-siap mencari Yos lagi.

Anggun melarang ibunya ikut walaupun Bu Sofi ngotot ingin ikut.

"Mama kan belum sehat betul. Istirahat saja di rumah."

"Tapi kamu juga baru sembuh, Anggi! Baru kemarin keluar dari rumah sakit!"

"Anggi sudah nggak apa-apa. Ma. Dan Anggi tidak bisa diam saja di rumah sebelum menemukan Yos. Bagaimana Anggi bisa santai, makan, tidur, sementara Yos terlunta-lunta di luar sana?"

"Ya, Mama tahu," keluh Bu Sofi murung.

"Entah ke mana saja papamu. Bukan bantu kamu cari Yos. malah Sibuk sendiri!"

Tentu saja Bu Sofi dan Anggun tidak tahu apa yang sedang dikerjakan Prambudi. Apa yang membuatnya sibuk.

Dia sedang ke Polda. Mengusut penculikan anaknya. Dan mencari waria yang dianggapnya menculik Yos.

***

"Belum ada kabar?" tanya Bu Rully melalui telepon. Suaranya sudah sangat berubah. Lemah dan lesu.

"Belum, Mbak," segurat perasaan cemas menoreh hati Bu Sofi.

"Anggi baru pulang dari rumah sakit. Dia diculik penjahat waktu mencari Yos di tempat rawan. Hampir meninggal karena kelaparan. Tapi sekarang dia sudah pergi lagi mencari Yos."

Sebuah keluhan panjang terdengar dari ujung sana. Napas Bu Rully terdengar berat.

MbaK, panggil bu sofi bimbang. Tidak.. sahut..

Tidak ada jawaban. Hanya suara telepon yang ditaruh. Dan dengung panjang menggetarkan gendang telinga Bu SOfi.

Dia pasti sakit, pikirnya gundah. Nanti kusuruh Anggi menenguknya. Kasihan. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Tapi... maukah Anggi menenguknya? Dia masih sakit hati pada mertuanya.

Bu Sofi juga tidak dapat minta suaminya mengantarkannya. Prambudi sangat jengkel pada Bu Rully.

"Seharusnya kutuntut dia!" geramnya berkali-kali.

"Dia sengaja melenyapkan Yos!"

"Bukan melenyapkan, Pa. Yos yang minggat dari rumah!"

"Semua gara-gara dia! Kalau perempuan tua itu tidak egois, melarang Anggi berkumpul lagi dengan anaknya, kita tidak bakal kehilangan Yos!"

Semua memang salahku. keluh Bu Rully seorang diri. Dia membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya dengan lesu. Kalau aku tidak terlalu keras padanya, Yos pasti masih di sini!

Tangannya yang keriput meraba tempat tidur kosong di sisinya. Dan air matanya meleleh.

Di mana kamu, Yos, desahnya pilu. Tega kamu tinggalkan Nenek sendirian!

Dan matanya menatap foto Rianto yang terpampang di dinding. Rianto yang dulu. Yang sehat. Yang gemuk. Yang selalu tersenyum. Dan air mata Bu Rully mengalir makin deras.

Di mana anakmu, Thole? Kembalikanlah Yos pada ibu!

Tetapi Rianto cuma tersenyum. Senyumnya yang khas. Senyum tulus seorang anak yang berbakti. Seorang pria yang sangat baik!

Ya Tuhan, mengapa Engkau sekejam ini padaku? tangis Bu Rully lirih. Mulamula Kawambil anakku. Buah hatiku. Gantungan hidupku. Kini Kawambil juga cucuku... satu-satunya yang tersisa dalam hidupku yang gersang....

Lalu buat apa lagi hidup ini, Tuhan? Buat apa Kaubiarkan aku melihat hari esok?

**

Anggun menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia ingat sekali. Malam itu, malam ketika dia diculik, dia tegak di sini. Waria itu berdiri di sana, di bawah tiang lampu jalanan. Dia menggendong Yos.

Meskipun anak itu diam saja, tidak menoleh ke arahnya, Anggun yakin. anak yang digendongnya memang Yos. Hatinya sudah berdebar tidak enak sejak melihat mereka di rumah sakit.

Dia seperti mendengar suara Yos. Wajahnya begitu saja lewat di depan matanya. Jadi Anggun yakin, firasatnya benar. Anak itu pasti Yos!

Nalurinya sebagai seorang ibulah yang membisikinya, anaknya berada tak jauh darinya. Karena itu dia nekat mengejar mereka. Dan di sinilah waria itu berdiri. Menggendong Yos.

Ke mana mereka pergi? Pasti tak jauh dari sini. Pasti.

Anggun sudah berjalan kaki menelusuri kaki lima sepanjang jalan itu. Dia sudah bertanya kepada setiap

orang yang lewat. Dia bahkan bertanya kepada pemilik toko, pedagang kaki lima, dan pengemis yang berkeliaran di sana.

Kebanyakan dari mereka memilih jawaban yang paling mudah. Tidak tahu. Tidak pernah lihat. Tetapi salah seorang pengemis yang ditemuinya. lelaki separo baya yang tangan kanannya cacat, menunjukkan perumahan kumuh di bantaran sungai di belakang sana. Katanya di sana ada gubuk seorang banci yang sering mangkal di bawah jembatan.

Ketika Anggun menanyakan jalan ke sana, pengemis yang mukanya hitam sebelah itu memandang ke arah mobil Anggun yang diparkir di pinggir jalan.

"Nggak bisa naik mobil. Mesti jalan kaki. Jalannya juga susah. Licin. Becek."

Tapi Anggun tidak peduli. Untuk mencari Yos, jangankan cuma melewati jalan becek dan licin, melintasi kobaran api pun dia rela.

"Tolong antar saya ke sana ya. Pak?" Anggun mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.

"Kalau saya bisa menemukan yang saya cari, Bapak saya beri seratus ribu lagi."
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengemis itu melongo tidak percaya. Sikapnya langsung berubah. Dari acuh tak acuh menjadi penuh minat.

"Non cari siapa sih?" tanyanya sambil buru-buru mengambil uang itu.

"Banci siapa?"

"Saya nggak tahu namanya. Tapi dia punya anak laki-laki..."

Pasti si Rosi, pikir pengemis itu gembira. Dan anak lelaki itu pasti anak yang kutendang iganya karena menjerit-jerit waktu tidur!

Bergegas pengemis itu mengajak Anggun mengikutinya. Jalan ke sana memang tidak mudah. Beberapa kali Anggun hampir terpeleset.

Ketika mereka sudah melangkah cukup jauh, Anggun baru merasa khawatir. Apakah pengemis ini tidak menipunya? Mereka sudah berjalan cukup jauh. Dan bertambah jauh, tempat itu semakin sepi.

Jangan-jangan pengemis ini cuma ingin merampok uangnya. Jangan-jangan di sana sudah menunggu teman-temannya...

"Masih jauh, Pak?"

"Tuh, di pinggir kali!"

Anggun memandang jauh ke bantaran sungai. Dan tiba-tiba saja hatinya terasa pedih. Benarkah Yos tinggal di sana?

Dan hatinya berperang sendiri. Di satu pihak dia sangat ingin menemui Yos. Tetapi di pihak lain dia berharap semoga Yos tidak tinggal di sana... duh, betapa menderitanya dia!

"Gubuknya yang itu, di sebelah gubuk saya!"

Anggun melangkahi kubangan di depannya. Dan hampir terperosok ke dalam genangan air yang menutup sebuah lubang yang cukup besar. Sepatunya terjerumus ke dalam air. Lumpur mengotori sampai ke mata kakinya.

Tapi dia tidak peduli. Dia melangkah lebih cepat lagi. Tidak sempat memilih jalan lagi. Semua diinjaknya. Tidak peduli lubang. Tidak peduli lumpur. Tidak peduli ada orang yang mengikutinya tidak jauh di belakangnya....

**

"ANGGUN belum datang Juga?" Harman mengerutkan dahinya dengan murung.

"Tidak ada pesan apa-apa?"

Pak Santosa tidak kalah muramnya.

"Order sedang banyak-banyaknya," keluhnya jengkel.

"Dia menghilang begitu saja seperti ditelan hantu!"

"Rumahnya juga kosong. Terkunci dari luar."

"Itu rumah kontrakan, kan? Pemiliknya tidak tahu dia ke mana?"

"Kontraknya sudah dibayar lunas untuk satu tahun."

"Tetangga?"

Harman menggeleng murung.

"Anggun tidak pernah bergaul dengan tetangganya. Hampir tiap hari pergi dari pagi sampai malam."

"Dia tidak datang kontrol ke rumah sakit?"

Harman menggelengkan kepalanya sambil mendesah lirih.

"Lukanya belum sembuh. Ke mana dia pergi?"

Pak Santosa menoleh. Dan menatap anaknya dengan cermat.

"Kau sedang jatuh cinta..." gumamnya keheranheranan.

"Belum pernah Papa melihatmu seperti ini!"

"Saya memang mencintainya," sahut Harman tegas.

"Lalu lka mau kaukemanakan, Har? Kaujadikan korbanmu lagi?"

"Saya belum memikirkannya."

"Belum memikirkannya? Kau mencintai wanita lain dan kan belum memikirkan pacarmu yang sudah menunggu dua tahun?"

Harman tidak menjawab. Dia memang masih bingung. Selama ini Anggun memang tidak pernah memberikan sinyal positif kecuali membalas pelukannya. Itu pun hanya sekali.

Dia seperti terikat pada masa lalunya. Dan masa lalu itu teramat gelap.

Anggun seperti sengaja tidak mau memeriksakan darahnya lagi, supaya dia tidak usah menerima lagi seorang pria dalam hidupnya. Dia bersembunyi di balik perisai HIV-nya yang katanya masih meragukan.

Harman sudah mencoba minta tes HIV ketika Anggun dirawat di rumah sakit. Tetapi dokter keberatan.

"Tes itu sangat rahasia, harus atas pemiintaan pasien sendiri. Hasilnya pun sangat dirahasiakan," kilah dokter yang merawat Anggun.

"Tapi suaminya meninggal karena AIDS, Dok," bantah Harman penasaran.

"Dan dia tidak mau memeriksakan darahnya lagi!"

Dokter hanya mengangkat bahu. Dan Harman tidak dapat mendesak lagi. Padahal dia begitu ingin mengetahuinya. Bukan untuk menjauhi Anggun. Bukan! Justru karena ingin menolongnya! Apa pun hasil tes itu, dia akan tetap mencintai Anggun!

Harman rela mendampinginya seumur hidup jika benar Anggun mengidap AIDS kelak. Dia akan membuat sisa hidup wanita itu lebih berarti daripada hidup yang dimilikinya selama ini!

***

Bing kembali ke puskesmas seminggu kemudian, seperti disuruh dokter yang memeriksanya. Tetapi kali ini, dia bukan hanya berhadapan dengan Dokter Hana. Ada seorang wanita lain di sana.

"Ibu Santi ini dari LSM, Bing. Lembaga Swadaya Masyarakat," kata Dokter Hana.

"Beliau akan mendampingi saya menjelaskan tentang penyakitmu."

Bing melongo heran. Ditatapnya wanita separo baya yang duduk di samping Dokter Hana. Dia sakit apa? Kenapa perlu orang lain selain dokter?

"Hasil tes darahmu kurang bagus, Bing," kata Dokter Hana lagi.

Tetapi Bing tidak tampak cemas. Dia cuma tersenyum pahit.

"Ada apa di darah saya. Dok?" tanyanya santai.

"Ada kelainan yang membuat saya jadi bencong?"

"Tes HIV-mu positif."

Senyum Bing mengambang.

"Maksud Dokter, saya kena AIDS?"

"Belum pasti," sahut Dokter Hana hati-hati.

"Setiap donor darah harus melakukan tes penyaring untuk HlV. Pada tes ini yang dilihat adalah zat anti terhadap virus AIDS. Kalau tes HlV-mu positif. itu berarti kamu pernah terinfeksi virus AIDS. Tetapi tes ini kurang spesifik, walaupun sangat sensitif. Jadi mungkin saja hasilnya salah. Karena itu saya ingin mengulangi pemeriksaan. Ibu Santi ini seorang konselor dari LSM yang bergerak di bidang penanggulangan AIDS. Kamu boleh tanya apa saja padanya."

"Terima kasih, Dok. Tapi orang seperti saya sudah nggak peduli lagi sama penyakit. Saya Sih pasrah saja."

"Tapi kamu perlu tahu kamu sakit AIDS atau tidak kan, Bing? Bukan cuma untuk dirimu saja. tapi juga untuk pasanganmu."

Sekejap Bing terdiam. Dia teringat pada Dasman. Mungkinkah dia juga menularkan penyakitnya pada pria itu? Atau... justru Dasman yang telah menularkan penyakitnya"?

Tetapi sebelum dengan Dasman, berapa banyak lagi pria yang telah dikencaninya?

Terus terang Bing sudah tidak memikirkan mereka lagi. Itu sudah menjadi risiko yang harus mereka tanggung akibat perbuatan mereka sendiri. Dia juga tidak terlampau memikirkan dirinya. Hidupnya memang jauh dari menyenangkan. Jadi mengapa takut untuk mengakhirinya?

Satu-satunya yang dipikirkannya hanyalah... Yos.

"Boleh tanya, Bu?" tanyanya kepada Bu Santi ketika di diajak ke kantor yayasan yang mempekerjakan wanita itu. .

"Tanyalah, Bing," sahut Bu Santi sabar.

"Akan saya awali kalau bisa."

"AIDS nular lewat napas nggak. Bu?"

"Tidak, Bing. AIDS menular melalui darah dan air mani."

"Jadi saya nggak bisa nularin sobat kecil saya?"

"Tidak selama kamu tidak berhubungan seks, memakai jarum suntik atau alat cukur yang sama, atau mendonorkan darahmu."

Bing menarik napas lega.

"Saya ingin minta kamu datang lagi untuk tes berikutnya, Bing. Kalau bisa dengan pacarmu."

Tetapi Bing tidak merasa perlu dites lagi. Beberapa bulan ini kesehatannya memang tidak seprima dulu. Dia sering merasa tidak fit. Sering demam. Lebih mudah lelah. Dan bertambah kurus.

Akhir-akhir ini dia malah sering terserang batuk dan sesak napas. Katanya paru-parunya meradang.

Tentu saja semua itu tidak pernah diperhatikannya. Hidup menggelandang siang-malam, kadang-kadang makan kadang-kadang tidak, kehujanan dan kepanasan setiap hari, siapa yang dapat menjamin kesehatannya

bakal terus utuh?

Tapi AIDS! Sungguh tidak pernah terpikirkan!

Tentu saja Bing sudah pernah mendengar tentang penyakit itu. Dia juga tahu AIDS lebih banyak mengincar kaum homoseks, orang yang sering gonta-ganti pasangan, dan pecandu narkotik yang menggunakan jarum suntik bersama-sama.

Tetapi dia tidak pernah mimpi, suatu hari penyakit jahanam itu akan menyinggahinya juga!

Bing tidak takut mati. Toh tidak ada yang bakal menangisinya.

Satu satunya yang dipikirkannya cuma Yos. Kalau Yos belum dapat menemukan ibunya....

***

Yos berbaring dengan resah di gubuk Rosi. Sudah tidak ada Siapa-siapa di sana. Bing dan Rosi sudah meninggalkan gubuk mereka untuk mencari nafkah.

Sebenarnya Yos ingin ikut. Tapi Bing melarang. Dia sudah membelikan Yos ubi rebus.

"Makan aja dulu kalau lapar," kata Bing sebelum berangkat.

"Jangan tungguin Bing. Mungkin pulangnya rada telat."

Tapi Yos bukan lapar. Dia gelisah. Badannya terasa tidak enak. Ah. bukan badannya saja. Hatinya juga.

Apa Bing kena razia, pikir Yos gundah. Kayak si Rosi?

Ah, seharusnya tadi dia bersikeras ikut. Biar dilarang juga.

"Kau masih sakit!" kata Bing tegas.

"Nggak boleh kena angin dulu. Mendingan tidur aja. Biar cepet sembuh!"

"Yos udah sembuh!"

"Bandel ni anak! Ngebantah terus! Kalau masuk rumah sakit lagi, siapa yang bayarin. coba?"

"Tempeleng aja mukanya, Bing!" kata Rosi separo bergurau.

"Biar nggak ngebantah lagi!"

"Awas lu kalau berani keluar!" kata Bing pura-pura mengancam.

"Ntar ditempeleng beneran!"

Bing menepuk pipi Yos pura pura menempeleng.

pipinya itu.

Dan tidak terasa matanya menjadi berkaca-kaca. Ah, kenapa sejak sakit dia jadi cengeng? Masa dielus pipinya saja sudah keluar air mata?

Yos berusaha menyembunyikan air matanya dengan buru-buru menyeka matanya dengan punggung tangannya.

Tetapi Bing keburu melihatnya. Dan Bing merasa terharu.

Dia juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba ingin menangis. Apakah... karena laporannya pada polisi? Dia tahu setiap saat dia bisa berpisah dengan Yos, kalau ibu anak itu ditemukan. Yos harus kembali pada orangtuanya. Dan tinggallah Bing sendiri lagi. Tapi... bukankah itu yang terbaik bagi Yos?

Dia masih kecil. Masih anak-anak. Dan gubuk ini bukan tempatnya. Petualangan mereka di jalan raya bukan hidup yang tepat untuk Yos. Dia masih punya masa depan.

Jadi apa yang harus disesali? Cepat atau lambat. bukankah mereka memang harus berpisah juga?

Bing meremas-remas rambut Yos untuk menutupi keharuannya. Sekaligus menyalurkan kasih sayangnya.

"Jangan ke mana-mana, ya! Ntar Bing bawain kaCang rebus. Kita ngadu cepat buka kulit kacang."

Tapi sampai sekarang Bing belum pulang juga. Bukan kacang rebusnya yang ditunggu Yos. Dia cuma khawatir temannya dalam bahaya. Dan justru karena itu Yos merasa resah. Ke mana Bing?

Mengapa sudah begini Siang dia belum pulang juga? Padahal kalau tidak ada halangan, dia pasti sudah pulang!

Semuanya terjadi begitu cepat. Sangat tak terduga.

Hanya kebetulan Anggun menoleh ke arah pengemis yang menjadi penunjuk jalannya. Dan sekejap dia melihat potongan besi yang diayunkan ke kepala pengemis itu. Begitu cepat besi itu berkelebat.

Si pengemis tersungkur tanpa sempat bersuara lagi. Mukanya tercebur ke dalam lumpur.

Anggun sendiri belum sempat memekik kaget ketika sebilah celurit ditebaskan ke lehernya. Dia tidak sempat mundur. Tidak keburu mengelak. Lehernya pasti sudah terkoyak seandainya seseorang tidak mencengkeram bahunya dan menghelanya mundur dengan cepat dan kasar.

Anggun mengaduh kesakitan ketika bekas luka di bahunya robek dan berdarah lagi. Dia jatuh terduduk di kubangan sambil menebah bahunya.

"Lari!" bentak pria yang menolongnya.

"Mereka mau membunuhmu!"

Anggun mengangkat mukanya dengan kaget. Dan dia cuma sempat melihat kilatan celurit itu terayun ke leher Reza....

***

"Belum ada kabar, Pak?" tanya Bing kepada polisi yang bertugas di polsek itu.

Bing sudah memutuskan untuk secepatnya mencari rumah ibu Yos. Paling tidak, menemukan neneknya. Siapa tahu sang nenek mencari cucunya ke Jakarta.

Bing tidak mau Yos hidup sendirian kalau dia mati nanti. Dia malah tidak mau Yos sampai tahu dia sakit.

Jadi tidak ada jalan lain. Dia harus ke polsek lagi. Siapa tahu laporannya sudah mendapat tanggapan.

Sepulangnya dari tempat Bu Santi, Bing membeli nasi bungkus untuk Yos. Dia juga sudah membeli kacang rebus. Tapi sebelum pulang, dia memerlukan mampir di polsek dulu.

Begitu polisi itu mengenali Bing, mukanya langsung bersinar cerah. Dia tidak kelihatan santai lagi.

"Atasanku mau ketemu kamu," katanya sambil bangkit dari balik mejanya. Dia langsung menggiring Bing menemui atasannya.

"Ini waria yang melaporkan anak hilang itu, Pak," kata si polisi setelah memberi hormat.

Atasannya menatap Bing sejenak lalu menyilakannya duduk.

"Ada seorang pria yang melaporkan kehilangan cucunya ke Polda. Ciri ciri anak itu mirip dengan anak yang kaulaporkan"

"Tapi Yos nggak punya kakek, Pak! Dia cuma punya nenek."

"Tidak ada salahnya kalau kaubawa kami menemui anak itu. Dalam laporan yang disebarluaskan oleh Polda, anak itu diduga diculik oleh seorang waria."

"Diculik'?" belalak Bina kaget.

***

REZA menangkis sabetan celurit Itu dengan lengannya.

Anggun memekik histeris melihat darah segar yang muncrat.

Sambil menahan sakit, Reza memutar tubuhnya dan mengirimkan tendangan beruntun ke perut lawannya. Penjahat itu terjungkal. Tetapi temannya sudah menyerang dengan mengayunkan potongan besinya ke kepala Reza.

Reza masih sanggup melayaninya dengan sebelah tangan. Tapi ketika melihat penjahat yang pertama bangkit sambil meraba sebuah benda di balik jaketnya. Reza sadar, dia harus menyelamatkan Anggun. Sekarang. Atau dia sudah terlambat.

Orang-orang ini adalah penjahat profesional. Mustahil mereka hanya mempersenjatai diri dengan celurit dan besi. Mereka hanya berusaha menutupi kejahatannya, seolah-olah peristiwa ini cuma perampokan biasa. Tetapi begitu terdesak, mereka akan mengeluarkan senjata simpanannya.

Tanpa berpikir panjang lagi. Reza melompat ke dekat Anggun. Memeluknya dengan kasar. Dan membawanya kabur.

Terdengar bunyi letusan yang sangat keras di belakangnya. Peluru berdesing hanya beberapa sentimeter melewati kepalanya.

Anggun memekik antara terkejut dan takut. Kakinya terasa lemas. Dia hampir tak kuat lagi berlari. Tapi Reza terus menyeretnya.

Suasana mulai riuh. Orang-orang mulai berdatangan. Reza membawa Anggun menyelinap di tengah-tengah kegaduhan yang terjadi. Darah berceceran di sepanjang jalan yang mereka lewati. Tetapi Reza seperti tidak peduli.

Dia menyeret Anggun yang terseok-seok memacu kakinya untuk tetap berlari. Menghampiri sebuah mobil biru yang diparkir di dalam gang.

Dengan gesit Reza membuka pintunya. Dan mendorong Anggun dengan kasar ke dalam mobil. Lalu dia sendiri ikut masuk. Mengunci pintu. Dan menghidupkan mesin.

Mobil meluncur cepat keluar dari gang. Membaur bersama mobil-mobil yang sedang melaju di jalan raya. Reza mengemudikan mobilnya dengan sebelah tangan. Sementara darah segar masih mengalir di lengan kirinya.

"Kita harus ke rumah sakit!" sergah Anggun cemas.

"Kamu luka parah..."

"Persetan!" geram Reza gusar.

"Ngapain kau cari

mati di tempat seperti itu?"

"Aku mencari Yos," sahut Anggun setelah tertegun sejenak.

"Kamu sendiri... mengapa menguntitku?"

"Ayahku menyewa orang untuk membunuhmu."

Anggun terkesiap.

"A yahmu...?"

"Setelah aku gagal membunuhmu."

Air mata menggenangi mata Anggun. Dia merasa hatinya sakit. Sangat sakit. Rasanya lebih sakit dari luka yang terbuka lagi di bahunya. Jadi ayah Yudha masih mendendam kepadanya! Dan dendamnya begitu hebat!

"Kalau kauceritakan pada ayahmu..." ancam Reza dingin.

"Kalau ayahku sampai ditangkap..."

Anggun menggelengkan kepalanya dengan putus asa.

"Aku tidak ingin menambah penderitaan ayahmu." katanya lirih.

"Katakan saja pada ayahmu untuk menyimpan uangnya. Jika aku sudah menemukan Yos, aku akan datang padanya untuk menebus desaku pada Yudha. Ayahmu boleh melakukan apa saja padaku untuk membalaskan dendamnya."

Reza tidak menjawab. Dia hanya mengatupkan rahangnya menahan emosinya.

Perempuan yang satu ini memang sangat istimewa. Mendengar kata-katanya saja, dia sudah bersimpati. Bagaimana dia mampu melenyapkannya? Dia bahkan

tidak mampu menahan dirinya agar tidak menguntit perempuan ini, hanya untuk melindunginya!

"Reza," Anggun memegang lengan Reza yang luka

dengan hati-hati.

"Terima kasih telah menolongku. Tapi sekarang kita harus ke rumah sakit."

"Persetan!" Reza menepiskan tangan Anggun dengan sengit.

"Kau tahu tempat pertama yang dicari mereka? Rumah sakit!"

"Tapi mereka pasti tidak berani membunuhku di sana. Terlalu banyak orang yang dapat menjadi saksi. Lagi pula, berapa banyak rumah sakit di Jakarta? Lukamu sudah selesai dijahit waktu mereka menemukan kita."

"Aku akan menurunkanmu di rumahmu," kata Reza dingin.

"Pergilah ke rumah sakit dengan ayahmu."

"Aku akan ke rumah sakit bersamamu." sahut Anggun tenang tapi tegas.

Reza menoleh dengan marah. Ditatapnya Anggun dengan penuh kebencian.

"Jangan mengaturku! Aku bukan Yudha! Kau bukan apa apa!"

"Begitu besar kebencianmu padaku..." desah Anggun getir. Matanya berkaca-kaca.

"Kau membunuh adikku!" dengus Reza geram.
Cinta Menyapa Dalam Badai Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku harus bagaimana"? Menciummu!"

"Kamu pikir aku sengaja membunuhnya?" Anggun tak dapat menahan emosinya lagi. Sudah terlalu berat penderitaan ini. Sudah terlampau sarat beban yang harus dipendam di hatinya. Dia tidak mampu lagi membendung emosinya.

"Aku sangat mencintainya! Dan tetap mencintainya sekalipun aku sudah bersuami!"

Lalu Anggun tidak mampu melanjutkan kata-katanya lagi. Dia menangis.

Reza pun tidak mampu lagi membuka mulutnya. Dia mengemudikan mobilnya dengan membisu. Mobil

itu baru berhenti di depan sebuah bangunan yang dindingnya telah menghitam. Dan sekali lihat saja, Anggun mengenali gudang tempat dia disekap.

***

Ketika Bing melihat begitu banyak orang berkumpul di depan gubuknya, dia terkejut sekali. Kecemasannya karena takut dituduh menculik Yos semakin bertambah melihat banyaknya polisi di sana.

"Yos!" cetusnya khawatir. Takut anak yang ditinggalkannya sendirian itu mendapat musibah.

Bergegas Bing hendak berlari menuju ke gubuknya. Dia ingin buru-buru melihat Yos. Tapi polisi yang mengawalnya langsung mencengkeram tangannya.

"Tunggu. mau ke mana?"

"Melihat Yos, Pak!" sahut Bing cemas.

"Takut dia kenapa-napa!"

"Ada peristiwa apa?" tanya polisi itu pada salah seorang rekannya yang bertugas di sana.

"Ada gembel yang kepalanya dipukul besi."

Bing sudah tidak mau mendengar lagi. Dia berlarilari ke gubuknya. Polisi yang mengawalnya cepatcepat mengejar di belakangnya.

"Yos!" teriaknya panik.

"Yos!"

Bing menerjang pintu gubuknya dan menerobos ke dalam. Dia tertegun bengong menatap tikar yang kesong di sudut gubuk.

"Yos!" pekiknya panik. Dia memutar tubuhnya dan berlari ke luar.

Tetapi polisi keburu menangkap lengannya. .

"Berhenti!" perintah polisi itu sambil mencabut pistolnya.

"Mau lari ke mana?"

***

Dengan sedih Anggun mengawasi Reza. yang sedang bersandar lemah ke dinding sambil berusaha membalut lukanya yang berdarah terus dengan koyakan kemejanya.

"Percuma, Reza," desahnya lirih.

"Kita harus ke rumah sakit."

Reza tidak menjawab. Dia terus saja mencoba menghentikan perdarahan tanpa mengacuhkan katakata Anggun.

Ketika Anggun menghampiri untuk menolongnya, dia malah mengusirnya dengan penuh kebencian.

"Pergi!" geramnya sengit.

"Jangan dekati aku. kau perempuan jalang!"

Anggun tertegun. Ditatapnya pria itu dengan getir.

"Kalau kamu begitu membenciku, buat apa menolongku?" desahnya lirih.

"Mengapa tidak kamu biarkan saja mereka membunuhku?"

Tangan Reza yang sedang sibuk mengikat perban mengejang sesaat. Wajahnya membeku. Ya, mengapa harus menolong perempuan ini sampai hampir mengorbankan nyawanya sendiri?

Mengapa tidak dibiarkannya saja...

Anggun tidak menunggu lagi. Dia maju menghampiri Reza.

Mengambil koyakan kemeja yang dipakai Reza sebagai pembalut. Dibimbingnya Reza ke dekat keran

air. Dibasuhnya lukanya. Darah memerah mengalir bersama air.

Reza tidak melawan. Tidak membantah. Ingatannya sedang melayang pada peristiwa itu... ketika dia menggendong Anggun ke dekat keran ini... menyendokkan air ke mulutnya....

Di situkah dimulai segalanya? Saat itukah lahir sebuah perasaan lain di hatinya? Perasaan yang membuat dia rela kehilangan nyawanya asal dapat melindungi perempuan ini, musuh keluarga yang justru harus dihabisinya?

Anggun berusaha membersihkan luka Reza. Berusaha membebat luka itu untuk menghentikan perdarahannya. Tetapi tampaknya sia-sia belaka.

"Kita harus ke rumah sakit. Reza," pinta Anggun cemas.

"Lukamu harus dijahit. Perdarahannya tidak mau berhenti!"

Reza menarik tangannya dengan kasar. Tapi Anggun menahannya. Sesaat mereka beradu pandang. Dan ketika mata mereka bertemu dalam tatapan yang ganjil itu. mereka sama-sama terkesiap.

"Tinggalkan saja aku," suara Reza masih tetap dingin. tapi nadanya lebih lunak. Dia membuang mukanya ke tempat lain.

Seolah-olah Reza berusaha menghindari tatapan Anggun. Berusaha menyembunyikan perasaannya. Takut Anggun dapat menerka...

Tapi Anggun memang sudah dapat memahami perasaan Reza. Dia seorang wanita dewasa. Yang sudah matang dengan pengalaman. Berapa susahnya menebak perasaan Reza, apalagi kalau perasaan itu... sama dengan perasaannya sendiri?

"Kamu tega membiarkan aku sendirian ke rumah sakit?"

Tak ada kemanjaan dalam suara Anggun. Tak ada rayuan. Tapi bagaimanapun wajarnya suaranya, efeknya sungguh luar biasa.

Reza menoleh. Dan matanya melihat darah yang membasahi pakaian Anggun, tepat di bahunya. Dan dia seperti baru disentakkan oleh sebuah kesadaran yang mengejutkan.

Untuk pertama kalinya Anggun ingin melakukan tes HIV.

Darahnya telah mencemari luka Reza. Dan dia takut pria itu ketularan. Sesudah lukanya dijahit kembali. Anggun langsung minta dokter untuk membuatkan surat pemeriksaan laboratorium.

"Suami saya meninggal karena AIDS," katanya terus terang.

Lalu tanpa setahu Reza yang maSih dirawat, Anggun menyelinap keluar dari rumah sakit. Dia kembali ke gubuk yang ditunjukkan si pengemis untuk mencari Yos.

Ketika Reza tahu Anggun telah pergi, dia sangat marah.

"Perempuan tolol!" geramnya kesal.

Dia mencabut infus yang masih terhunjam di lengannya. Lalu tanpa memedulikan protes perawat, dia meninggalkan Unit Gawat Darurat setelah melunasi biaya pengobatan.

Dia melangkah limbung menghampiri mobilnya. Lukanya memang sudah dijahit. Tetapi darah yang keluar cukup banyak. Dokter menganjurkan agar dia istirahat semalam sambil diinfus. Jika nilai hemoglobinnya cukup rendah, infusnya akan diganti dengan transfusi darah. Tetapi ketika hasil pemeriksaan laboratorium datang, Reza telah menghilang.

"Pulang paksa, Dok," lapor perawat kepada dokter jaga.

"Dia marah-marah ketika tahu teman wanitanya telah pergi."

"Sudah tanda tangan surat pernyataan?"

"Sudah, Dok. Administrasinya juga sudah beres. Ini hasil lab-nya sudah datang. Mau lihat, Dok?"

"Buat apa lagi? Pasiennya sudah kabur!"

***

Ketika mendengar ribut ribut, Yos keluar dari gubuk dan ikut menonton. Dia melihat pengemis yang tersungkur ke dalam kubangan itu. Dia juga ikut menonton ketika tubuh si pengemis diangkat ramai ramai. Tetapi ketika melihat kepalanya yang berlumuran darah bercampur lumpur, Yos merasa ngeri. Dia cepatcepat menyingkir.

Dia berusaha mencari Bing di antara orang-orang yang semakin banyak berkumpul. Tapi Bing tidak ada di antara mereka. Di mana Bing?

Yos melangkah semakin jauh dari gubuknya. Dia ingin mencari Bing. Biasanya Bing suka mangkal di dekat jembatan. Mengamen pada mobil-mobil yang berhenti di depan lampu lalu lintas.

Tetapi hari ini Bing tidak ada di sana. Ke mana dia?

Yos melangkah terus makin jauh dari gubuknya. Dia bertekad untuk mencari Bing. Dia khawatir sahabatnya dalam bahaya....

***

"Saya betul-betul nggak tahu ke mana dia, Pak," keluh Bing hampir menangis.

"Tadi pagi saya tinggal di gubuk..."

"Saudara jangan mempermainkan kami!" bentak polisi itu gemas.

Dia tengah menggiring Bing kembali ke polsek.

"Sungguh mati, tidak, Pak! Masa saya berani mainmain? Buat apa saya lapor, kalau saya cuma mau main-main sama Bapak?"

"Bagaimana ini, Pak?" tanya polisi itu ketika dia membawa Bing menghadap atasannya di polsek.

"Kita tahan saja atau bagaimana?"

"Jangan, Pak..." rintih Bing ketakutan.

"Saya tidak salah apa-apa. Saya nggak nyulik Yos... Dia yang minggat dari rumah neneknya di Surabaya..."

"Saudara yakin anak itu pasti balik ke gubuk?"

"Pasti, Pak! Dia nggak punya tempat lain kok buat neduh! Ubi rebusnya saja belum dimakan! Dan saya bawa kacang rebus kedoyanannya! Kita sudah janji mau balapan ngupas kulit kacang!"

Tapi berjam-jam Bing dan polisi itu menunggu di gubuk. Yos tidak muncul juga. Rosi yang melihat ada polisi menunggu di depan gubuknya. langsung mengambil langkah seribu. Dia sudah mendengar ada keributan tadi siang di tempat itu. Dan dia tidak mau

terlibat. Dia tidak mau berurusan lagi dengan polisi. Lebih baik dia tidak pulang.

Yang muncul justru Anggun. Yang terseok seok melangkah di kubangan yang penuh lumpur.

Begitu melihat Bing, dia langsung mengenali waria yang menggendong Yos di depan rumah sakit itu.

"Yos!" pekik Anggun tertahan. Dia hampir tidak mampu lagi menahan emosinya.

"Di mana Yos?"

***

"Ke mana lagi anak itu?" geram Pramhudi kesal.

"Sudah malam begini belum pulang, tldak memberi kabar, lagi!"

"Jangan-jangan diculik lagi, Pa!" keluh Bu Sofi menahan tangis kecemasannya.

"Ah, memangnya dia siapa sih? Ratu Inggris? Getol amat orang nyulik dia!"


Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Pendekar Naga Putih 39 Putera Harimau Pendekar Gila 49 Misteri Dendam Berdarah

Cari Blog Ini