Ceritasilat Novel Online

Karmila 1

Karmila Karya Marga T Bagian 1



Karmila

Marga T

Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama

Jakarta 1994

Ebook by Syauqy_Arr

(http://hana-oki.blogspot.com)

****

NAMANYA Karmila. Dari keluarga baik-baik. Dan dia percaya meskipun tidak tahu, bahwa Feisal berasal dari keluarga baik-baik. Mereka berjumpa di sebuah pesta di rumah saudara misan Ana.

Sejak sore Karmila sudah ragu-ragu untuk ikut ke sana. Pukul lima dia sengaja pergi tidur. Supaya Ana, yang akan menjemputnya nanti, mendapatinya dalam keadaan belum siap dan pergi meninggalkannya.

Tapi Karmila tidak bisa tidur. Udara terlampau panas. Dia bergolek-golek sambil memikirkan calon suaminya di Australia. Dua minggu yang lalu dikirimnya surat. Semestinya minggu ini balasan sudah tiba. Tapi sampai hari ini Sabtu tak ada pos baginya. Karena itu dia gelisah. Tidak ingin kuliah, tidak ingin pesta.

Diangkatnya lengan kanannya ke atas dan sambil berbaring diperhatikannya cincin permatanya. Pemberian Edo. Resminya mereka belum apa-apa. Tidak resminya, mereka sudah bertunangan, sehari sebelum Edo berangkat, dua tahun yang lalu. Ti

ba-tiba pintu diketuk. Dengan malas dia berpaling melihat jam. Lho, sudah pukul enam.

Sejam memutar-mutar cincin dan memikirkan ke mana perginya tukang pos tua itu, sudah seminggu tidak kelihatan. Pintu makin keras diketuk.

"Yaaaaa," teriaknya.

"Ada Non Ana," teriak bahunya kembali. Sejenak Karmila diam, menggigiti ujung gulingnya.

"Non..." Tok, tok, tok.

"Ada Non Ana."

"Huh!" Dibantingnya gulingnya lalu meloncat ke pintu.

"Suruh masuk kemari." Dibukanya kunci, lalu melompat lagi ke tempat tidur.

Ana bergaun biasa. Diletakkannya tasnya di atas meja lalu melempar diri ke atas kursi.

"Tidak jadi?" tanya Karmila dari balik bantal.

"Jadi. Aku mampir, dari toko sandang pangan. Aku khawatir engkau tertidur dan belum siap bila dijemput nanti."

"Ah, rasanya aku enggan pergi."

"Lho, gila barangkali?! Masa ke pesta. enggan? Mana mereka sudah mengundang band dan ada demonstrasi a-go-go! Engkau gila kalau tidak datang."

"Masa bodoh!"

"Engkau mesti datang."

"Enggan."

"Kenapa sih?"

"Tidak ada air. Aku tidak bisa mandi."

"Astaga," seru Ana, tertawa geli.

"Kan engkau biasa mandi di mana'mana. Mengapa sekali ini tidak mandi di rumahku!"

"Tapi bajuku lusuh. Seterikaan kita putus kabelnya."

"Ala... bawa ke rumahku. Kita minta tolong si Udin. Dia pintar sekali menggosok baju-baju sutra yang lemas."

Karmila menelan napas. Setan ini, kalau sudah keranjingan pesta!

"Si Wirasmi diundang, tidak?"

"Sure."

"Nah, kalau begitu, gimana aku bisa datang. Bajuku yang lusuh itulah yang telah kupakai ke pesta ulang tahunnya dulu."

"Kapan dia pesta?"

"Tiga bulan yang lalu. ingat? Kau pakai baju merah bata."

"Oh! Ya, ya, aku ingat. Tapi alaa... sudah tiga bulan! Dia pasti tidak ingat lagi."

"Mana bisa. Aku masih ingat apa yang kaupakai."

"Tapi dia, tidak. Wirasmi tidak peduli apa yang kaupakai dan tidak pernah ingat apakah engkau per

nah mengenakannya atau belum."

Karmila menggeleng dengan keras kepala. Ana jadi dongkol.

"Sudah. Sudah. Kau pakai bajuku saja."

Karmila menatapnya tanpa bersuara.

"Kalau begitu, engkau mesti ke rumahku sekarang. Sekalian mandi di sana."

Karmila diam saja.

"Ayo!" teriak Ana sambil merenggut bantalnya.

"Cepat!" Ditariknya kaki temannya.

Karmila menghela napas.

"Aku sedang pusing. Tidak ingin ke mana-mana

"Kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa, sebenarnya. Cuma, tadi malam, aku mimpi Edo memakai baju dan celana putih. Hi... Sebenarnya tidak apa-apa. Tapi aku khawatir Suratku belum juga dibalasnya."

"Berapa kali ?"

Karmila menjadi merah mukanya. Baru satu kali dan sudah ribut-ribut begitu.

"Sudahlah. Kita lupakan dia. Jadi aku ke rumahmu?"

Ana membuka lemari pakaiannya dan membiarkannya terbuka lebar-lebar.

"Nah, kupilih saja yang mana. Lalu segera mandi."

Karmila duduk di atas tempat tidur di hadapan lemari dan memandangi isinya. Yang kuning? Tidak bisa. Ana sudah memakainya dua minggu yang lalu. Merah bata itu cantik. Dia berdiri lalu memeriksanya. Ah! Sayang lehernya terlalu bawah. Karmila berdiri sambil bercekak-pinggang. Dia menggelenggeleng. Ah, sebenarnya dia tidak ada kemauan untuk pesta. Dijatuhkannya dirinya ke atas kasur. Dari kamar sebelah terdengar suara gayung mandi bekerja. Sedapnya air! Lalu memakai daster dan dudukduduk mengulangi dan mengulangi dalam otak, apa-apa yang pernah ditulisnya dalam surat yang penghabisan. Kenapa insinyur botak itu belum juga membalas suratku'? Apa botaknya makin bertambah, menyebabkan dia sibuk melulu mencari dokter yang ahli dalam ilmu botak? Eh, baju hijau ini lumayan. Tapi kenapa diberi dasi macam tuan-tuan? Yang kuning muda ini... Karmila memegangnya sebentar. Masya Allah! Bisa kelihatan semua baju dalamku!

Pintu terbuka dengan keras seperti didobrak rampok. Ana masuk berselubung handuk.

"Ayo, mandi sana. Yang mana pilihanmu?" tanya Ana sambil mengambil baju dalamnya dari laci.

"Entahlah. Tak ada yang kusukai," sahut Karmila bercekak-pinggang.

"Apa kau bilang? Bajuku tak ada yang bagus?"

ancam Ana, siap akan menendangnya.

"Siapa bilang bajumu jelek? Aku bilang, aku tidak suka!"

"Habis! Engkau mau pakai baju mandi ke sana?" Karmila menggembungkan kedua pipinya. Digaruk-garuknya lehernya. Um! Kalau tidak ada selera untuk pergi, memang susah!

"Ayo, lekas mandi dulu sana," teriak Ana dari balik pintu lemari.

"Kenapa sih sembunyi-sembunyi di situ?"

"Engkau buta?! Lihat loteng di seberang itu! Penghuninya dapat meneropong kamarku seenak ususnya."

"Jadi engkau berlagak suci dengan sembunyisembunyi begitu ?"

"Lalu kaukira aku ini apa? Perempuan jalang? Ayo, lekas mandi!"

"Aku pakai baju apa?"

"Mandi dulu. Pokoknya beres!"

Belum lagi Karmila mengunci pintu, Ana sudah mengetuknya.

"Cepat-cepat ya Neng! Asal wangi sabun deh. Maklum si Markus. Kalau menjemput nona-nona belum siap, ngomel dia panjang-pendek."

"Salahmu! Minta dijemput dia. Mana tampangnya kayak.

"Kayak apa, ayo bilang!" seru Ana dari luar.

"Seperti pacarmu bintang televisi saja!" Karmila tertawa geli lalu lekas-lekas menyiduk

"Ini... kaupakai," kata Ana melemparkan brokat coklat.

"Ah kurang sedap. Lainnya."

"Ini..." Ana melempar gaun hitamnya.

"Yang ini? Tidak juga? Setan! Nah, pilihlah sendiri. Tapi jangan lama-lama. Dua menit. Belum dandanmu! Sejam."

"Mana bisa. Sanggulmu sendiri? Setengah jam. Aku kan cuma nyasak sedikit. Coba yang ungu itu. Nah, ia itu. Daripada tidak berpakaian, biarlah yang ungu saja."

"Monyet! Aku baru mau memakainya. Tapi biarlah. Daripada engkau tidak ikut karena tidak berbaju "

"0000 jadi aku ini cuma dayang-dayangmu, ya? Engkau enggan pergi sendiri ?"

"Bukan. Bukan ...," dan gumamnya terus,

"wah, bahaya, mek. Tidak dapat surat, jadi marah-marah terus!"

Pukul sepuluh, pesta itu baru saja mulai sedikit-sedikit. Minuman keras dikeluarkan. Karmila menjadi gugup ketika laki-laki di sebelahnya mendesaknya untuk ketiga kali, supaya minum anggur di gelasnya.

"Aku tidak suka whisky," katanya makin gugup.

"Ah, itu bukan whisky. Anggur biasa."

Karmila menunduk. Dia heran mengapa laki-laki itu berdusta. Dia tahu betul, itu whisky.

"Ayo, minumlah," kata laki-laki itu menyentuh lengannya sedikit.

Karmila, yang dibesarkan di asrama susteran, menjadi kaget sekali dan lekas-lekas memindahkan lengannya dua inci lebih jauh dari teman di sebelahnya. Sekarang laki-laki itu mengangkat gelas Karmila dan memberikannya pada gadis itu. Karmila tidak tahu harus berbuat apa. Dalam sedetik itu dia cuma sanggup mengumpulkan tiga patah kata,

"Aaaaku... tiidaaaaaak biasa..."

Laki-laki itu tertawa berderai-derai diikuti oleh tamu-tamu di sekitarnya.

"Sekarang dibiasakan, Nona manis. Ah... coba, kapan kita bisa pesta-pesta dengan anggur,

" chanrpagne? Kan sekarang ini! Waktu orang tua kita yang kolot-kolot tidak ada di rumah?!" Dia tertawa lagi.

Seseorang bertanya ke mana tuan dan nyonya rumah. Laki-laki itu menjawab, mereka tidak ada di rumah, itu yang penting, persetan mereka ke mana.

"Yang penting, malam ini mereka absen. Dan kita akan bebas pesta-pesta semalam suntuk."

"Sampai pagi!" teriak seseorang dengan nyaring.

Mungkin orang itu sudah mabuk. Tapi Kamila tidak berani mengangkat kepalanya, apalagi memandang ke kiri ke kanan. Salah! Salah! Pergi ke pesta ini suatu kesalahan besar! Sekarang entah di mana si Ana keparat itu! Ditinggalkannya aku sendiri. Tentu dia tengah asyik dengan si... Tapi tidak. Itu dia suara Markus, menanyakan Ana.

"Aku tidak tahu," sahut Kamila, memandang Markus dengan penuh kasihan.

"Aku sangka, dia bersamamu."

"Gadis sekarang," gumamnya hendak pergi mencari di tempat lain.

"Hei, tunggu dulu," teriak laki-laki tadi sambil menyambar lengan Markus.

"Cobalah bujuk nona kita supaya meminum anggurnya. Engkau mengenalnya, bukan? Katakan, ini anggur biasa, tidak ada rahasianya." Laki-laki itu tertawa berderai.

Karmila sudah yakin dia mabuk. Bau alkohol bersemburan dari mulutnya. Setahunya, cuma di luar negeri ada pemabuk-pemabuk. Tapi ternyata di sini, di Jakarta, di sebelahnya, duduk seorang pemabuk.

"Jangan bawa bawa aku, Bung. Aku sedang sibuk mencari biniku," kata Markus dengan kasar.

Karmila mengeluh dalam hati. Dia sama sekali tidak berani berkutik. Bangun dan pergi ke dalam. itu tidak sopan. Marah, percuma. Diam terus, makin gugup.

"Baiklah bila engkau tidak mau juga minum." Laki-laki itu meletakkan gelas kecil yang sejak tadi dipegangnya.

"Bukan tidak mau. Belum mau." Dan laki-laki di sebelah laki-laki tadi tertawa mabuk.

"Jangan omong yang bukan-bukan!" tegur laki-laki di sebelah Karmila dengan rupa tidak senang.

"Engkau mabuk!" tuduhnya lagi.

"Aku tidak mabuk. Baru sepuluh sloki. Ha... ha ha ..."

"Hmmm... anu bagaimana kalau kita turun?" tanya laki-laki itu berbisik.

Karmila jadi serba salah. Duduk terus tidak enak. Ah, baiklah. Berdansa dengan pemabuk, tidak begitu menyenangkan. Dia berputar-putar sepuluh kali dan akhirnya toh tetap di tempat itu-itu juga. Tapi Karmila terpaksa mengakui, laki-laki itu lumayan pandai mengayun kakinya.

"Namamu'?" desis laki-laki itu ke bawah, ke mukanya.

Karmila berlagak tuli. Ketika band membawakan irama yang hot, Karmila mendesak supaya mereka duduk kembali. Disuruh mencak-mencak, huh, terima kasih, katanya dalam hati.

Belum duduk lima menit, Karmila sudah bangkit lagi dan menggumamkan, mau ke belakang, kepada teman dansanya.

Dicarinya Ana dengan matanya. Tapi setan itu tidak kelihatan. Sekali tertumbuk matanya dengan sepasang mata yang tampak merah menyala dan menyeringai mulut di bawahnya melihat dia. Karmila menjadi malu. Sangka orang, aku ini genit. Setan berbaju biru itu! Ke mana dia sembunyi.

"Cari saya?" tanya seorang laki-laki.

Karmila menyumpah dalam hati. Pesta yang kurang beres. Mesti pulang. Mesti. Aduh, di mana Ana? Tiba-tiba dilihatnya Elda.

"Hei, kaulihat saudaramu?"

Nona rumah tengah dikerumuni puluhan kumbang. Dan suaranya habis ditelan gelak seloroh mereka. Karmila putus asa. Pulang sendiri? Dilihatnya arloji. Setengah satu! Di mana ada becak malammalam begini? Bagaimana kalau ketemu orang di jalanan?

Akhirnya Karmila pergi ke dapur dan duduk di situ. Dia hampir tertidur, ketika didengarnya suara tertawa di sebelah luar. Digosok-gosoknya matan; ya. Seperti suara Ana, katanya mengerutkan kening. Tapi tidak jelas, sebab suara itu tertahan-tahan. Karmila bangkit dan membuka pintu dapur. Suara engsel karatan itu membuat kedua orang itu menoleh.

"Hei, Mil. Mengapa di sini?" teriak Ana, menghampirinya.

"Aku ngantuk. Pulang, yo."

"Ah, Tuan Putri! Ini kan pesta semalam suntuk. Masa mau pulang? Yang berulang tahun ditinggalkan sendiri di rumahnya yang kosong begini? Keenakan "

"Aku ngantuk," ulang Karmila, kehabisan tena

"Biarlah dia tidur di kamar adikku," kata laki-laki yang menyertai Ana.

"Di kamar Elda? Marilah."

Karmila mebiarkan dirinya diseret. Dia cape betul. Rasanya tidak sanggup lagi berjalan sendiri.

Ketika mereka mau naik tangga, tiba-tiba terdengar orang berteriak. Karmila tidak dapat menangkap maksudnya dengan jelas. Dia terlalu ngantuk.

"Tuan Putri ngantuk. Mau tidur," teriak Ana ke bawah. Orang itu berteriak kembali sambil tertawa.

"Boleh juga," Karmila mendengar Ana menjawab sambil tertawa.

"Nah, tidurlah, Tuan Putri. Heran hamba mengapa malam ini Tuan Putri ngantuk amat. Biasanya melonco orang, tahan sampai pagi "

Karmila memandang temannya dengan tersenyum.

"Aku lupa, An. Tadi sore, sebelum tidur, aku telah minum lutninal. Maksudku memang mau tidur sore-sore dan tidak mau ke pesta."

"Gila kau, ah. Gila. Sudah jauh-jauh aku bilang,

kita akan ke pesta. Eh. dia minum obat tidur. Cuma lantaran sepucuk surat dari Australia jatuh ke laut."

Karmila tidak menyahut. Langsung bergolek di atas tempat tidur tanpa membuka baju.

"Jangan tidur dulu. Nanti kuambilkan kau minum." Lima menit kemudian, Ana kembali dengan segelas susu.

"Ini. Feisal yang membuatkannya bagimu."

Dibantunya Kamila duduk. Gadis itu tidak peduli dan tidak pula mendengar kata kata temannya. Diteguknya susu itu sampai habis, lalu jatuh kembali ke atas tempat tidur dan semenit kemudian. sudah terdengar bunyi napasnya yang teratur.

karmila tidak tahu pukul berapa aja terbangun. Sekitarnya gelap-gulita. Diulurkannya tangannya ke samping kiri hendak mengambil arloji, tapi di sebelahnya tak ada meja. Baru dia ingat. Dia bukan di rumah. Gelap betul. Pemadaman dari sentral? Arloji di tangannya tidak dapat dilihatnya sama sekali. Badannya terasa panas. Dan jantungnya berdebar-debar. Perasaannya sangat tidak enak. Demamkah dia? Dicobanya duduk. Perasaannya makin tidak enak. Mulutnya terasa terbakar. Ah,

lebih baik aku mencoba turun dan berjalan-jalan di kebun.

"Aduh, hausnya," katanya sendirian dan tiba-tiba dia menutup mulut.

Ada orang di kamarnya. Karmila berdiri kaku di samping tempat tidur.

Ada orang. Ada suara napas orang yang menderu-deru seperti habis berlari. Ditahannya napasnya. Didengarkannya dengan berdebar-debar. Betul. Rasanya suara itu amat dekat dengan dia. Tiba-tiba Karmila menjadi takut dan menjerit. Sebuah tangan yang besar. melayang turun dan menutup mulutnya. Karmila menendang dan mencubit dan menampar. Tapi orang itu dengan mudah berhasil pula mengikat kedua belah tangannya.

"Diam kau!" Dan tersembur bau alkohol dari mulutnya.

Karmila menjadi amat sangat takut. Dia mengerti bahaya yang mengancamnya. Dia mengerti. Dia mengerti. Karena itu dia menendang membabi-buta dengan marahnya. Orang itu menampar pahanya dengan keras. Karmila menangis. Merasa amat dihina. Tidak teringat lagi olehnya Tuhan dan Bunda Maria dan semua manusia suci. Dia sibuk menendang-nendang.

"Baiklah. Jangan katakan aku kejam," kata laki-laki itu dengan gusar.

Dan si pemabuk itu mengikat kedua kaki Karmila ke tepi tempat tidur. Karmila menggoyang-goyangkan kepalanya dengan amat marah. Rasa dadanya mau meledak. Laki-laki itu tertawa dalam kegelapan.

Karmila cuma bisa memandang gelap. Samarsamar terlihat bayangan orang itu. Tapi jendela dan pintu tertutup rapat dan bulan tidak bersinar. Karmila tidak dapat melihat wajah penyerangnya.

Tiba-tiba terdengar korek digores. Karmila menoleh. Dalam cahaya yang kecil itu, memang tidak banyak yang dapat ditangkap lensa. Tapi cukup. Karmila melihatnya teman dansanya tadi.

Sekarang pemabuk itu menyeret kursi dan duduk di sampingnya sambil mengisap rokok. Sebentarsebentar dia menoleh. Kemudian dia bangkit lalu menyalakan lampu tidur.

"Romantis, bukan? Istriku yang manis ...."

Gila, teriak Karmila tapi teriaknya tidak keluar.

Sapu tangan di mulutnya memancarkan harum seperti sapu tangannya sendiri. Karmila menangis lagi karena amat mendongkol dan ketakutan. Terang sekali, orang itu sudah mabuk.

Sambil menghembuskan asap rokok ke muka tawanannya, pemabuk itu menjulurkan tangannya. Tiba-tiba Karmila teringat akan Bunda Suci dan secepat kilat menggulingkan tubuhnya ke samping. Sekarang dia berada tepat di pinggir pembaringan. Kalau si pemabuk itu maju lagi oh, lebih baik dia jatuh ke bawah dan mati.

"Menggulinglah terus sampai ke bawah," ejek si pemabuk.

"Engkau toh tidak akan pingsan. Dipan ini cuma semeter tingginya. Ha... ha ha" Dan dia bangkit lalu pelan-pelan maju .

***

TIGA hari kemudian semua koran ibu kota memuat berita itu dengan headline besar-besar: Sebuah Pesfa Amoral di Jalan S. Anak Bapak DG Memperkosa Mahasiswi Kedokteran. Putra Seorang Pembesar Tertangkap Basah Memakai Obat Perangsang. Anak-anak Pembesar Berdagang Obat Bias?

Itu cuma sebagian dari headline-headline yang dapat dibaca tanpa membayar. Bapak Daud, yang dimaksud oleh koran-koran itu, pagi-pagi sudah memerintahkan sopirnya membeli sepuluh macam koran. Dengan tidak jemu-jemunya, diulangnya membaca berita yang menakutkan itu. Anaknya, bernama F, telah ditahan polisi karena tuduhan menganiaya dan memperkosa gadis K.

Mengapa tidak sekalian ditulis Feisal, dan bukan F. Mengapa tidak ditulis Bapak Daud Gurong, dan bukan Bapak DG. Sekalian. Sekalian. Biar pecah kepalaku. Tulis sekalian: aku ini importir gede, ngajar anak tidak bisa! !! Mengapa tidak sekalian ditulis begitu? Mengapa tidak sekalian dibilang: inilah akibat perceraian orang tua! Inilah akibatnya bila istri tidak mau menjadi ibu! Inilah dosamu! Kata Bapak Daud dalam hati, mengutuk istrinya yang lari. Sejak dia kecil, engkau tidak pernah mengasuhnya. Dibantingnya koran di tangannya ke atas meja, lalu disandarkannya punggungnya yang penat-penat itu sambil tengadah mengisap rokok.

Di ruang pelupuk matanya serasa masih jelas terbayang semua itu. Ketika itu Zein baru saja dua tahun. Bersama abangnya, Feisal, mereka merupakan anak-anak yang nakal, yang riang gembira, yang sehat-sehat, yang seperti anak-anak lain.

Bapak Daud merasa keluarganya bahagia. Itulah ketololannya. Dia pulang pukul sebelas malam dan mendapati seisi rumah sudah tidur. Babu yang berjingkat-jingkat berjalan hilir-mudik menyediakan makanan, disuruhnya tidur sebab dia sudah makan di luar. Setelah membuka baju, dia pergi tidur sendiri di kamar kerjanya, sebab di samping istrinya sudah tak ada tempat. Kedua anaknya berbaring di sana. Bapak Daud tersenyum sendiri. Terbayang olehnya bagaimana Zein selalu menumpangkan sebelah kakinya ke atas muka abangnya yang tidur terus seperti anak babi.

Ssst, Zein, engkau menyepak abangmu, bisiknya lalu dipindahkannya kakinya.

Pagi hari, mereka serumah cuma sempat ber

temu satu-dua jam di meja makan. Zein dibiarkan ibunya duduk di situ dengan muka kusut, sedang Feisal biasanya sudah mandi.

Ah, betapa bahagia sangkanya hidup mereka ketika itu. Dan dia salah. Mereka sama sekali tidak bahagia. Dia terlalu sibuk dengan gaplek dan barang-barang impornya, dan istrinya yang cantik serta kesepian itu sibuk dengan bedak-bedaknya. Anak-anak cuma sibuk paling-paling dengan gundu dan layang-layang.

Suatu hari dia pulang siang-siang dan mendapati istrinya pergi. Pergi? Ya, pergi, kata babu. Kapan? Tadi pagi. Selalu pergi? Selalu. Selalu? Hampir tiap hari. Hampir tiap hari. Hampir tiap hari. Ya. Ya. Sedan hitam. Fiat putih. Becak. Bus, barangkali. Ya. Ya. Aku mau dijadikan banci? Aku ditertawakan istriku? Aku dijadikan target kegilaannya? Aku akan perlihatkan, siapa Daud Gurong! Aku akan ajar dia kesopanan.

Itulah permulannya. Dia beri ultimatum. Dan istrinya cuma tertawa. Dia ulang ultimatumnya. Perempuan itu makin geli. Satu kali. Dua kali. Berulang-ulang ada ultimatum terakhir, perempuan itu lari. Dia kalah. Anak-anaknya jatuh ke dalam pelukan babu-babu, yang berganti-ganti hampir tiap tahun.

Bapak Daud menghela napas. Mungkin lebih

29
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik bila dia dulu menutup mata dan berpura-pura tidak tahu semua tingkah istrinya. Mungkin dengan begitu dia takkan lari. Tapi dia tidak yakin apakah itu mungkin. Seorang besar seperti dia dengan darah selalu mendidih, yang amat biasa menempeleng bawahan!!! Dapatkah dia membiarkan dirinya dijadikan bahan tertawaan? Tidak! Tidak mungkin dia menyesal telah tidak menjemput istrinya yang lari itu. Dengan tabah dia telah melupakan kepahitannya dan memusatkan tenaga serta pikirannya untuk memupuk kekayaan. Dan hasilnya? Hasilnya??"

Dengan sengit Bapak Daud melempar rokoknya ke lantai. Hasilnyall Satu anak dalam penjara! Apakah itu semata-mata kesalahan istrinya? Dia ingin bisa menjawab: ya. Tapi dia tidak yakin. Oh, aku bisa gila! Dipegangnya kepalanya dan diguncang-guncangnya. Aku bisa gila! Martabatku habis. Gengsiku tak ada lagi!! Oh. Oh. Oh. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat? Mengapa pikiran sehat tidak pernah muncul pada saat-saat permulaan? Mengapa tidak dulu-dulu kujemput dia? Mengapa baru dua tahun ini pikiranku berubah? Mengapa baru dua tahun ini ada ingatanku untuk membawanya kembali ke rumah? Mengapa baru sekarang aku sadar bahwa aku juga salah? Bahwa aku juga yang menyebabkannya kesepian?! Ya. Ya. Aku salah. Juga dalam hal Feisal. Juga dalam hal ini. Oh. Tuhan! Bapak

Daud mengerang dan memukul-mukul kepalanya. Aku salah. Betapa sakit kedengarannya bagi telingaku. Diangkatnya mukanya dan ditatapnya lukisan di hadapannya. Sia-sialah usahaku selama ini, katanya pada perempuan di lukisan itu. Sia-sialah berunding panjang lebar dengan sanak keluarga. Engkau takkan mungkin kembali ke rumah ini lagi. Feisal sudah menjatuhkan namaku. Dan membuat aku benci padamu. Mengingatkan aku kembali akan pengkhianatanmu. Tidak ada yang lebih menyakitkan hati laki-laki daripada pengkhianatan istrinya. Dan aku bukan banci! Tapi aku juga salah! Ah. Aku juga salah. Betapa membingungkan. Beberapa bulan lagi kita akan dapat rujuk kembaliya, katakanlah rujuk, meskipun aku belum pernah menceraikan engkau! Segala urusan sudah selesai. Tapi sekarang! Kita takkan mungkin berkumpul lagi. Oh. Oh. Oh. Penjara dan Feisal di dalamnya telah memisahkan kita buat selama-lamanya.

Mengherankan, mengapa aku tidak minum racun saja. Membersihkan diri dari tanggung jawab. Tapi, aku juga bersalah. Aku juga. Tak mungkin membersihkan diri!! Ah, mengapa tidak dulu-dulu kuhubungi dia dan membawanya kembali kemari. Sekarang semua sudah terlambat. Bahkan mungkin juga, dia belum tau apa-apa tentang niatku hendak rujuk. Mungkin pamannya dan orang tuanya belum

mengatakan apa-apa kepadanya. Oh. Oh. Oh. Feisal kebanggaanku. Feisal harapanku. Oh! Baru minggu lalu kutawarkan padanya untuk pindah saja ke luar negeri, sebab dompetku bilang, pendidikan di sini sudah merosot mutunya. Tapi nyatanya, dompetku telah mengirimnya ke penjara.

Feisal, engaku tidak tahu, betapa kau hancurkan ayah dan ibumu. Aku ingin membawa ibumu kembali kemari untuk membangun lagi kebahagiaan kita bersama, tapi... kau kau mengapa kauhancurkan semuanya! Masih mungkinkah aku menghendakinya lagi? Mungkinkah aku tidak membenci ibumu setelah ini? Mungkinkah? Mungkinkah? Mungkinkah?

Tiba-tiba pintu ruang depan itu terbuka dan siapa yang berdiri di situ?! Untuk sedetik, Bapak Daud tercengang. Kemudian ditunjuknya orang itu.

"Ini dosamu! Dosamu, tahu?"

Perempuan itu kira-kira berumur empat puluhan. Namun masih cantik. Bibirnya terbuka seketika dan dia mundur, kaget mendengar suara suaminya, yang sudah begitu lama dilupakannya.

"Mana kekasihmu yang sialan itu? Sekarang... sekarang... hancur semua!!" Dan korankoran berserakan kena tepukannya. Dua orang babu menjulurkan sebentar kepalanya, lalu secepat kilat menariknya kembali.

Perempuan itu meletakkan tangan kanannya di atas dadanya lalu menangis.

"Betulkah Feisal ditahan?" tanyanya dengan suara yang amat halus.

Bapak Daud tertegun setengah detik mendengar suara merdu yang dahulu amat dicintainya. Dia ingin bangkit dan membimbingnya ke kursi tapi sebaliknya ditepuknya lagi mejanya dengan keras sampai tangannya sakit.

"Tentu. Kaupikir di sini sudah tidak ada hukum? Dia memperkosa anak orang, tahu! Ini dosamu! Salahmu! Aku takkan mengampuni engkau. bila namaku jatuh! Setan pembawa sial, kau! Kaulahirkan anak begitu! Kautinggalkan kami. Ini akibatnya! Sekarang kau kemari, mau apa? Mau bela anakmu?"

Perempuan itu menangis dengan iba, sambil bersandar di dinding.

"Aku... aku " katanya di antara sedunya,

"sudah lama tobat, Daud. Tapi tapi... aku aku... tidak berani kembali Aku menyesal... aku minta ampun Betulkah dia ditahan oh Feisal yang malang ."

"Tidak ada harganya air mata buayamu itu bagiku. Diam kau! Tidak perlu air mata biarpun seember kau tumpahkan Koran-koran sudah tahu -aku mempunyai anak penjual obat gila-gilaan. Itu warisanmu. Dalam darahku, tak ada orang-orang

yang amoral. Semua taat pada Tuhan

"Tapi mengapa engkau tidak beragama? Mengapa engkau tidak pernah sembahyang ?"

Bapak Daud tercengang mendapat tamparan yang tidak terduga-duga itu.

"Kau berani, ya? Kau berani, he?" Tapi dalam hati dia terpaksa mengakui, istrinya benar.

"Duduk!" perintahnya.

Perempuan itu menyeka matanya dengan sapu tangan biru, lalu memandangnya. Sedetik mereka berpandangan. Bapak Daud berdebar-debar. Ah, aku masih juga mencintai setan perempuan ini. keluhnya.

"Duduk." Hampir seperti dulu suaranya: sabar dan lembut.

"Aku mau menengok dia," kata perempuan itu, lalu berbalik dan membuka pintu.

"Tunggu. Tunggu aku," cegahnya.

Perempuan itu tidak menvahut. Tidak menoleh.

***

Karmila sendirian di kamar itu. Dia tahu, dia ada di Bagian Kebidanan. Dia masih ingat pemeriksaan dua hari yang lalu. Memalukan dan terasa menghina. Meskipun dokter tua itu sama sekali tidak ber

maksud begitu. Dia ditanyai sampai ke soal yang sekecilkecilnya dan yang amat memalukan. Dan di tengah-tengah pemeriksaan itu, sekonyong-konyong dia ingat pada Edo dan menangis. Dan dokter tua yang bijaksana itu menghiburnya dengan lemah lembut. Ah, sungguh memalukan.

Karmila menangis. Pasti koran-koran akan memuat tentang dia. Meskipun Ibu tidak menghendakinya membaca sebuah koran pun, namun dia tahu kira-kira apa yang ditulis di sana. Yang sudah pasti, oran g-orang akan tahu bahwa dia, gadis K sudah dinyatakan dengan visum er repertum dokter: bukan gadis lagi. Dan itu semua cuma karena dalam sebuah pesta yang tidak diketahuinya akan semalam suntuk dan akan gila, dia bertemu dengan seorang yang mabuk, yang tidak dikenalnya dan tidak diketahuinya siapa namanya. Bahkan Ana, kemarin mengaku baru mengenalnya di pesta itu. Dan Ana juga tidak mau mengatakan siapa nama orang itu.

Sekarang, bagaimana dengan Edo? Bagaimana aku mesti menulis tentang ini"? Kalau andaikata dia tidak mau mengerti?! Apakah aku harus kehilangan dia? Apakah doa novenaku pada Maria akan menjadi berantakan? Apakah aku tidak boleh menjadi ibu baik-baik? Mungkin sekali, Edo akan menolak aku dan itu haknya. Dan aku takkan sanggup menerima orang lain. Dengan begitu aku akan tinggal

seperti ini ibu tidak, gadis pun tidak. Air matanya meleleh. Boleh jadi bukan Edo saja, tapi semua laki-laki akan mencemooh dan menolak dia. Bukan salah mereka.

Dan bagaimana dengan tentamen pathologi besok? Oh, Tuhan, mengapa aku jadi begini? Mengapa Kaubiarkan aku pergi ke pesta itu? Mengapa? Bukankah aku sudah tidak mau pergi? Mengapa Kaubiarkan aku pergi? Mengapa Kaubiarkan orang menghinaku? Mengapa? Mengapa?

Tengah Karmila asyik menangis menghadapi tembok, Bapak Daud masuk diantar Suster Meta.

"Dik Mila, ini ada tamu."

Pelan-pelan dia membalik dan menatap laki-laki tua yang berdiri dengan kaku di hadapannya. Tiba-tiba dia sadar bahwa matanya penuh air. Lekaslekas dihapusnya dan dicobanya sekuat tenaga untuk tersenyum.

"Duduklah, Pak. Bapak siapa?"

Bapak Daud teriris hatinya mendengar suara yang begitu lembut. Dia selalu bermimpi ingin mempunyai anak perempuan. Tapi kedua anaknya laki_laki.

"Saya Daud, Nona." Melihat Karmila kebingungan, cepat-cepat ditambahnya,

"Ayah Feisal."

"Siapa?" terlontar kata itu tanpa disadarinya.

"Ayah Feisal. Anu ..." Bapak Daud mengalami

kesukaran yang belum pernah dijumpainya dalam menerangkan kedudukannya.

"Sia..." Sekonyong-konyong Karmila berkata dalam hati,

"0000, jadi namanya Feisal"

"Silakan duduk Pak. Maaf, saya tidak mengenal Bapak."

"Terima kasih. Tidak, Nona jangan meminta maaf ...," katanya sambil menggoyang tangannya kian kemari.

"Saya, ya... ya... saya yang mesti meminta maaf.... Saya telah menimpakan malapetaka yang amat besar bagi Nona. Saya telah gagal mendidik anak saya. Sekarang saya tidak tahu lagi apa yang mesti saya kerjakan ...."

Karmila memandang lurus ke muka dengan tak tentu perasaan.

"Nona... Nona..."

Karmila tidak menoleh. Haruskah dia membencinya? Haruskah dia membencinya? Mengusirnya? Memakinya?

"Nona Nona katakanlah sesuatu... Nona tidak, saya ingin menanyakan Nona ampunilah anak saya... Nona jangan tuntut dia... Dengarlah, Nona Nona yang baik... katakanlah apa yang Nona kehendaki tapi tapi ooo jangan biarkan dia masuk... masuk masuk. .."

"Tidakkah Bapak tahu. bahwa akibat perbuatan anak Bapak, saya... saya... bukan lagi... Nona?" potong Karmila penuh perasaan.

Bapak Daud menyeka peluh di lehernya. Lalu membasahi bibir berkali-kali.

"Nona... anu saya minta maaf, saya minta ampun ...", katanya terbata-bata sambil mengatupkan kedua belah tangannya di dada.

"Saya sudah tua. Berkasihanlah pada saya. Ampunilah dia. Saya pasti akan menghukumnya. Pasti. Itu saya janjikan. Tapi berkasihanlah pada saya. Saya sudah tua. Jangan biarkan dia di... di... dipenjara! Itu akan menghancurkan saya. Oh, Nona eh anu berkasihanlah pada saya. Saya berjanji akan menghukumnya sekeras-kerasnya

Karmila serasa mau meledak. Dia gusar bukan main sampai-sampai bibirnya terkatup erat, tak kuasa berseuara. Belum pernah dia berjumpa dengan orang yang seegois itu. Belum pernah. Belum pernah. Adakah di dunia ini orang semacam itu lagi? Tidak sedikit pun disadarinya betapa hebat akibat perbuatan anaknya yang jempolan itu pada diriku. Aku kehilangan nama baikku. Tidak bisa ikut tentamen-tentamen. Mungkin tidak naik kelas. Mungkin kehilangan Edo. Mungkin takkan pernah bisa menikah sebab tak ada seorang pun yang sudi pada barang loak dan. .. mungkin aku hamil!!

"Aku takut hamil," pikir Karmila dengan gelisah dan gusar.

"Aku tidak mau bajingan itu menjadi ayah anakku! Tidak mau! Tidak! Tidak!" Wajahnya menunjukkan kecemasan yang sangat besar.

Di ujung tempat tidur, Bapak Daud masih terus ngoceh tanpa terdengar sepatah pun oleh Karmila.

Dia melihat wajah gadis itu menjadi pucat dan gelisah dan disangkanya, itu karena perkataannya. Dia turut gelisah. Untuk beberapa detik bibirnya terbuka setengah senti tanpa sepatah kata pun meluncur keluar.

Karmila memasukkan tangan kirinya ke bawah bantal dan menekan bel. Suster Meta memang sudah lama menantikan bel itu. Dia sangat bersimpati pada Kamiila yang sudah dikenalnya dengan baik dalam dua hari itu. Dia tahu siapa laki-laki tua itu dan merasa Karmiila yang manis itu pasti tidak menyukai kedatangannya. Karena itu dia segera terbang ke kamar pasiennya ketika didengarnya belnya berbunyi.

Bapak Daud menjadi gugup melihat kedatangan Meta. Lebih-lebih ketika dia dipersilakan keluar. Diambilnya sapu tangannya dan disekanya peluhnya.

"Saya masih ada sedikit bicara dengan nona ini," katanya mencoba menenangkan diri.

Meta menggeleng. Tiba-tiba sekali dia menjadi bengis dan garang.

"Tidak bisa! Bapak dipersilakan pulang sekarang juga. Pasien ini tidak boleh terlalu lama mendapat gangguan ."

"Saya tidak mengganggu," bantahnya dengan rupa heran.

"Lain kali Bapak boleh datang lagi," kata Meta ketus.

"Lima menit lagi," pinta laki-laki itu dengan iba. Tapi kemudian dilihatnya Karmila sudah berbaring menghadap ke dinding dan menutupi mukanya dengan bantal. Tahulah dia tiada harapan. Dengan lesu diambilnya tas tukang-catutnya dan berdiri. Di ambang pintu, dia berhenti dan menoleh.

"Bolehkah saya datang kembali?" tanyanya pada Meta dengan berbisik.

Meta mengangguk dengan tak acuh.

"Besok?"

Meta pura-pura tidak mendengar. Dengan langkah gontai, laki-laki itu keluar, pura-pura tidak tahu bahwa dia tidak mendapat jawab.

Setelah itu setiap pagi datang karangan bunga bagi Nona Karmila. Dari ayah Feisal. Bunga mawar yang merah dan segar yang paling sedikit empat ratus nilainya. Karmila selalu mencemooh pemberian itu, tapi tidak disangkalnya bahwa dia amat menyukai bunga mawar merah.

Selama seminggu dia di rumah sakit. lima kali

dikirim bunga-bunga mawar itu dengan segala ucapan maaf dan sesal yang amat membosankan suster-suster yang menerimanya dan harus mengantarkannya ke kamar Karmila.

"Rupanya sang bapak sekarang yang jatuh cinta padanya," kelakar Dokter Sudihjo pada sustersuster.

Karmila sudah ingin pulang pada hari ketiga, namun dokter menyuruhnya beristirahat di situ seminggu. Tidak boleh belajar, tidak boleh membaca koran. Tapi larangan penting yang justru dilanggar oleh pasiennya melamun dan berpikir-pikir. Berpikir ke barat dan ke timur. akhirnya terpusat juga ke ruang pesta dengan sebuah kamar yang suram lampunya dan seorang pemabuk yang merokok ganja. Berpikir ke utara dan ke selatan, akhirnya ke situ juga. Melamun itu-itujuga.

Dan yang paling tidak enak adalah sore-sore, bila ada teman-teman kuliahnya datang. Terpaksa tidak terpaksa dia mesti juga akhirnya mendengar tentang kemajuan-kemajuan mereka. Meskipun baru beberapa hari. dirasanya sudah berbulan-bulan dia meninggalkan kuliah. Teman-temannya sudah tentamen, sudah ujian praktikum pathologi. Oh dia mahatakut bila harus ujian sendiri.

Pada hari Rabu, datang Bob dan Slamet. Mereka bereakap-cakap dan berkelakar seakan-akan tak terjadi apa-apa dan Karmila bukan duduk di atas

tempat tidur tapi dianggap mereka tengah duduk di atas bangku praktikum yang tinggi bercat hitam di dalam lab.

"Kau tahu asisten lab kita yang cakap itu, Mila?" tanya Bob.

"Yang mana? Yang bulu matanya panjang-panjang macam anak gadis?"

"Iya, betul."

"Kenapa?"

"Dia masuk SARI ASIH. Opname."

"Kasihan," seru Karmila dengan sungguh sungguh.

"Dia membantuku dalam ujian praktikum dulu itu. Aku sama sekali kehabisan akal menghadapi nomor dua puluh, tidak tahu, apakah yang di hadapanku itu cacing tambang betina atau jantan. Eh, tahu-tahu dia sudah ada di belakangku dan bilang,

"Dapatkah kau mencari testisnya? "Kok saya tidak dapat?!" Maka aku segera tulis, nomor dua puluh: cacing tambang betina," Bob dan Slamet terkekeh kekeh.

"Ketahuan sekarang. Jadi angka tujuh itu seharusnya cuma lima?"

"Ah, sentimen. Tapi. eh apa betul dia kena paru-paru?"

"Kabarnya betul. Tapi ringan. Jangan khawatir. Obat-obat sekarang sudah banyak dan manjur. Ditanggung akan sembuh seratus persen dan kembali seperti sediakala! Masih banyak harapan bagimu. Tapi kalau engkau sudah hamil sekarang, bagaimana dapat menanti dia keluar?"

Karmila menjadi pucat dan berhenti tertawa. Bob lebih pucat lagi sebab dia segera sadar dia salah omong.

"Oh, maaf, Mila. Bukan maksudku anu... sungguh... aku tidak anu... bermaksud "

"Hai, baru aku ingat kuliah Dokter Simamora. Katanya orang yang berbulu mata panjang dan lentik itu mempunyai dua kemungkinan: atau itu warisan dari orang tua atau dia menderita atau pernah menderita penyakit paru-paru."

"Masa semua penyakit paru-paru menyebabkan bulu mata menjadi panjang dan lentik?" tanya Karmila terkekeh. ia sengaja tertawa keras supaya kelihatan bahwa dia sudah melupakan insiden tadi, sebab dia tahu Bob tidak bermaksud menyinggung hatinya.

"Oh maksudku tc-bc-ce. Lagi pula umumnya penderita-penderita itu mempunyai bentuk tubuh tertentu -kurus tinggi."

"Oh, begitu, Tuan Besar?" ejek Bob.

"Saya baru tahu, kaukira? Sekarang mengapa asisten kita yang cakap itu kok tidak kurus, tidak tinggi?"

Slamet merah padam sambil menyeringai.

Karmila tertawa cekikikan.

"Oh, itu sih gampang."

"Kenapa?" tantang Bob. Karmiila makin tertawa geli.

"Kenapa?" tanya Slamet ikut-ikutan.

"Karena kemauan Tuhan!"

"Buset! Jawaban perempuan! 0 ya, kemarin Dokter Zein cerita begini. Ada mahasiswi ingat mahasiswi lho ujian di Bagian Kebidanan. Mendapat pasien yang perutnya gendut. Prof tanya apa diagnosanya. Kata si mahasiswi mahasiswi nih , pasien itu hamil.

"Alasan Saudari," tanya Prof. 'Ya,'jawab si mahasiswi,

"pertama pasien ini amenorrlioe dua bulan, kedua perutnya gendut, ketiga dia muntah muntah."

"Jadi dia hamil,' tanya si Prof lagi. Si mahasiswi mengangguk penuh yakin. Lalu kata si Prof, 'Saya juga amenorrhoe, malah sudah puluhan tahun, engga pernah datang bulan. Saya juga perut gendut, boleh Saudari saksikan sendiri dan saya juga muntah-muntah sebab mendengar jawaban Saudari... Jadi datanglah enam bulan lagi dan tolong saya bersalin!"

"

"Aduh, mek! Engga lulus, jadinya?" teriak Karmila sambil tertawa. Berderai-derai mereka tertawa.

Akan tetapi setelah mereka pergi, Karmila berdiam diri merenungi insiden tadi. Ya! Kalau betul!

Tak sanggup dibayangkan apa yang akan terjadi. Sekolahnya akan berantakan. Orang tuanya akan bersedih hati. Dia begitu diharapkan akan menjadi dokter dan berharap akan memenuhi harapan itu. Dia tidak kaya. Dan dia tidak mau tinggal tidak kaya. Setidak-tidaknya dia ingin bisa berdiri sendiri dan mampu membalas jasa-jasa orang tuanya. Dia tidak pernah memikirkan bahwa dia akan terjun ke bidang lain dari kedokteran. Dia selalu bermimpi akan menjadi dokter. Sejak kecil, ketika masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar, dia sudah tahu: dia ingin menjadi dokter. Tetapi sekarang, dia cuma berhasil mencapai tingkat tiga. Keluar karena hamil! Oh! Betapa memalukan! Tidak! Aku akan bertahan. Siapa tahu siapa tahu siapa tahu siapa tahu aku keguguran! Aku tidak akan menggugurkannya. Tuhanku, tapi... siapa tahu... abortus itu terjadi dengan sendirinya. Tuhan maha pengasih. Dia mengerti, aku sama sekali tidak mengharapkan kedatangan bayi. Meskipun aku amat mencintai Edo dan berharap akan menikah dengannya dan kemudian menjadi ibu.

Ooooh! Karmila menghela napas panjang. Mungkin juga anak itu akan lahir muda dan... dan... mati.... Karmila menggigil membayangkan seorang bayi serupa monyet yang mati karena kemudaan lahir. Dirabanya perutnya. Aku tidak mau dia mati.

Tapi kalau dia akan menjadi penghalang studi ini? Apakah aku akan terpaksa memberikannya pada orang lain? Atau meninggalkannya begitu saja di rumah bersalin? Atau memberikannya pada Ibu dan mengakuinya sebagai adik? Bila dia sudah besar, akan jadi apakah dia? Samakah jahatnya seperti... seperti... Feisal... ah, namanya cukup bagus! Karmila teringat kembali akan malam itu dan kamar itu dan... bila anak itu bertanya siapa ayahnya...

Nama siapa yang harus disebutnya ah, tidak! Aku tidak ingin anakku tidak berayah! Aku tidak mau hamil! Aku tidak mau pemabuk gila itu menghantui hidupku. Dan mulailah dia berdoa pada Bunda Maria dengan gelisah dan tulus hati. Tapi doa itu belum lagi dimulai ketika suster masuk membawa susu.

"Minum, Kak."

Karmila tersenyum dan mengangguk.

Sehari sebelum dia kembali ke rumah, datang seorang pengacara ke kamarnya. Dengan memperlakukannya seperti nyonya besar yang amat terhormat, laki-laki itu mempersembahkan semua surat-surat pengenalnya.

"Saya bekerja untuk Tuan Daud Gurong."

O,jadi namanya Feisal Gurong. kata Karmila dalam hati.

"Anu... Nona Karmila saya diminta oleh klien

saya untuk menanyakan kapan Nona akan mengajukan pengaduan kepada polisi?"

"Siapa yang bilang, saya akan mengadu?"

"Bukan siapa-siapa. Kami cuma menduga dan memang Nona harus dan berhak mengajukannya. Tapi kapan?"

Karmila mengejek dalam hatinya tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Memang sudah sepatutnya Nona dan orang tua Nona menuntut ganti rugi atas kecemaran yang telah ditimpakan ke atas nama Nona"

"Dapatkah itu?" tanya Karmila dengan dingin.

"Ya, nama yang sudah tercemar memang sulit sekali memulihkannya kembali. Tapi jangan kita lupa bahwa publik juga tahu Nona sama sekali tidak bersalah. Jadi sebenarnya nama dan derajat Nona masih tinggal seperti sediakala. Andaikata Nona maju ke pengadilan, tentu perkara ini akan disidangkan dan tentu perhatian pers dan publik yang sudah mereda itu akan hangat kembali. Semua mata dan telinga akan terarah kembali kepada kita. Kita akan menjadi bahan perbincangan lagi. Dan mungkin untuk waktu yang lama Nona tahu sendiri bagaimana lambatnya kerja orang-orang di sini _ atau untuk selama-lamanya. Kita akan dipergunjingkan orang. Dan keuntungan kita? Apakah kecemaran itu akan sirna? Apakah keaiban itu akan lenyap? Pada hemat saya pribadi, pengaduan hanyalah merupakan pemborosan tenaga semata-mata. Percayalah. Saya bermaksud baik. Tapi andaikata Nona ingin mengadakan pengaduan, sekali lagi saya katakan bahwa itu baik sekali dan memang sudah seharusnya Nona lakukan."

"Sudah selesaikah bicara Tuan dan bolehkah saya jawab?"

"Sedikit lagi Nena. Saya ingin mengabarkan bahwa klien saya mau menyerahkan sedikit persembahan yang tidak berharga sebagai tanda sungguhsungguh menyesal atas malapetaka yang menimpa Nona. Akan tetapi karena dia seorang duda yang tidak beristri, dia tidak tahu harus memberikan apa. Karena itu dia ingin supaya Nona menyebutkan saja apa yang Nona kehendaki. Selama itu ada dalam kemampuannya, klien saya berjanji akan memenuhinya."

Karmila membelalak.

"Sampaikan pada Tuan Daud Gurong yang terhormat, supaya jangan gelisah. Saya tidak akan mengajukan pengaduan apa-apa dan saya tidak makan suap dan saya persilakan Tuan meninggalkan saya!"

"Nona tidak menghendaki apa-apa?"

"Tuan, yang saya kehendaki adalah supaya Tuan dan klien Tuan pergi dari saya dan jangan mengganggu lagi!"

***

FEISAL berhenti sebentar dan membungkuk untuk membaca koran-koran yang terpapar di sepanjang trotoar. Dia berjongkok dan mengambil sehelai Merdeka. Diberikannya lima rupiah, lalu bangkit dan pergi bersandar ke dinding toko sepeda. Sebuah berita di halaman muka menarik minatnya.

Judulnya: Cross-boy dilepaskan dari tuduhan. F yang sejak tanggal 13 bulan lalu ditahan oleh polisi telah dibebaskan pada tanggal 28 bulan ini. Pemuda itu telah tertangkap basah bernama lima pemuda lain di dalam sebuah pesta di mana diduga telah dipergunakan obat bius dan obat perangsang. F dituduh telah memperkosa seorang gadis dalam keadaan mabuk, namun tuduhan itu ternyata tidak berbukti dan keluarga gadis itu menyatakan tidak ingin memperpanjang perkara. Menurut sumber tidak resmi. gadis tersebut sekarang ada dalam keadaan mengandung, tapi tidak diketahui akibat perbuatan siapa. Seperti diketahui, F adalah putra DG, seorang importir besaryang bonafid.

Feisal segera melipat koran tersebut dan memasukkannya ke dalam kaus bajunya. Seperti penganggur yang belum mendapat kerja, dia berjalan pelan-pelan menyusuri Cikini dengan kedua tangan dalam saku dan kedua mata asyik meneliti pasir di bawahnya, kalau-kalau ada batu permata di situ.

"Hei, Sal!" teriak seseorang tiba-tiba. Feisal menoleh.

"Oi," serunya tanpa semangat.

"Kita ke Priuk, yo," ajak Danu.

"Gah!"

"Mau ke mana kau?"

"Pulang."

Danu menyeberang jalan bersama Yamaha-nya.

"Engga enak teriak-teriak begitu. Dikira orang kita ini apaan. Tapi ch, kok patah semangat amat sih, tampang lu. Kenapa?"

"Engga apa-apa."

"Ah jangan begitu. Kan masih banyak cewe yang menantimu. Jangan lekas putus asa, dong," kata Danu menyeringai konyol, macam kuda tertawa.

"Ah, aku ngga kenapa-kenapa. Bukan urusan begituan."

"Habis?"

Feisal tidak mau menyahut.

"Eh, Minggu nanti kita camping, yo. Aku bawa Rosita. Kau telepon si Wirasmi. Jojo juga bawa DeWi semalam cuma. Ikut, ya?"

Feisal menggeleng lesu.

"Kok sekarang kau jadi kebiri, eh? Alim betul. Mau jadi santri?!"

"Aku dilarang ke mana-mana."

"Siapa sih yang begitu berkuasa atas dirimu? Rambutnya keriting atau panjang?"

"Ayahku, Konyol," sahut Feisal dengan sebal.

"Hmm, aku baru tahu, ayahmu berkuasa atas dirimu."

Feisal geram betul. Ingin ditamparnya muka Danu yang penuh jerawat itu. Tapi dia insyaf, semuanya itu kenyataan. Kalau orang-orang menuduhnya berdosa dan melemparinya dengan batu dan ludah, dia tidak akan melawan. Dia memang berdosa.

"Sudah, pergi sana. Biarkan aku pulang."

"Kalau begitu aku antar."

"Engga perlu." Dia terus masuk ke dalam toko sepatu untuk menghindari Danu.

Di rumah didapatinya koki sedang pacaran dengan jongos dan masakan belum siap. Kalau dulu, tentu sudah dimakinya koki itu habis-halusan. Tapi kini, dengan rupa tidak peduli, dia langsung masuk ke kamar dan melempar tubuhnya ke atas tempat

tidur. Diletakkannya kedua lengannya di bawah kepala dan dipejamkannya matanya.

Terbayang kembali semua isi koran itu. F yang sejak turiggal 13 bulan lalu ditahan oleh polisi. telah dibebaskan pada tanggal 28 bulan ini... Diambilnya koran itu dari dalam kaus bajunya dan dicobanya membaca berita-berita lain yang ada di situ. Tapi berkali-kali pikirannya kembali lagi pada berita: Cross-boy dilepaskan dari tuduhan.

"Satu setengah bulan dalam tahanan," gumamnya sambil melempar koran itu ke lantai lalu membalikkan tubuh ke arah tembok.

Dia ingin tidur. Tubuhnya lesu. Semangatnya tidak ada. Dan wajah Karmila menghantuinya terus. Air muka yang manis dan jernih dengan sebuah tahi lalat di dagu sebelah kanan dan duduk di sebelahnya dan terus-menerus menolak whisky yang telah dibubuhinya dengan obat...

Feisal menggigil. Mengapa dia jadi serusak itu? Anak orang baik-baik hendak dibiusnya! Mengapa dia dulu bertemu dengan Taufik keparat itu? Mengapa dia belajar mengisap ganja? Mengapa dia coba-coba obat perangsang? Mengapa di dunia ini ada gadis-gadis seperti Mimi yang mau dijadikan wadah eksperimental?! Mimi itu bukan manusia, tapi wadah! Tempat percobaan. Tempat pelepasan. Tidak berharga. Tidak bernilai. Tidak berarti. Sebab

Mimi sendiri yang menyatakan bahwa dirinya tidak berharga, tidak bernilai, tidak berani. Karena, dia tidak berperasaan.

Gadis-gadis macam Mimi itu tidak pernah punya perasaan. Dan mereka semua memiliki ibu yang juga tidak punya perasaan. Tapi Karmila! ratapnya dalam hati dengan mata terpejam. Karmila itu gadis baik-baik. Gadis terhormat. Mahasiswi tingkat tiga. Mengapa dia pergi ke pesta itu! Mengapa dia tidak lebih teliti. Mengapa dia mau saja dansa bersamaku. Mengapa dia begitu manis dan angkuh, membuat aku tergila-gila padanya. Membuat aku mendongkol juga. Begitu angkuhi! Pura-pura tidak melihat bahwa setiap gadis memandang ke arahku ingin mendapat kesempatan dansa! Dia pura-pura! Dan aku marah karenanya! Jagoan yang biasa dikejar-kejar oleh gadis-gadis (oh mengapa di dunia ini ada gadis-gadis yang gemar mengejar-ngejar laki-Iaki, membuat iman runtuh dan perangsang laku keras"), tidak dipandang sebelah mata olehnya? Hm, bagaimana aku dapat menahan penghinaan semacam itu?! Siapakah dia? Terkenalkah dia? Hebatkah dia? Aku dongkol. Aku marah. Aku bius minuman-nya. Tapi dia pura-pura suci. Menolak whisky.

Dan kawan-kawanku mulai menertawakan aku. Aku harus kalah? Dengan seorang anak perempuan

kecil? Aku menjadi gusar. Dan akhirnya kalap! Mengapa? Mengapa aku mesti kalap?! Gadis itu tidak menghina aku. Sikapnya wajar. Sikap seorang mahasiswi yang masih ingusan. Mengapa aku telah menjadi kalap? Mengapa? Dan gadis itu begitu lembut dan suci. Dan aku telah kalap! Mengapa aku cemarkan dia? Mengapa?

Feisal menarik napas panjang. Dan sekarang! Apa yang diperbuatnya?! Dengan tangannya sendiri telah ditulisnya, dia membebaskan aku dari tuduhan. Dia tidak mati memperpanjang perkara. Dia tidak mau menuntut aku. Karena dia, maka aku kini bebas. Dia telah membeli kebebasanku. Kalau dia mau, bahkan Ayah yang kaya seperti raja itu takkan dapat membebaskan aku. Kalau dia sakit hati, tentu aku masih meringkuk dalam sel yang kotor dan bau apek itu! Tentu aku masih kedinginan tiap malam. Tiba-tiba dia melompat dari tempat tidur. Aku harus menulis surat kepadanya. Aku harus minta ampun dan menyatakan terima kasihku kepadanya atas kemurahan hatinya yang berlimpahan itu.

Sudah tiga helai kertas melayang ke keranjang. Ditariknya kertas keempat. Menulis surat? Pikirnya tiba-tiba. Mengapa aku hanya menulis surat? Cukupkah itu? Dan bila dia sungguh-sungguh menjadi menjadi... hamil... apakah aku cuma akan minta maaf saja? Dan membiarkannya menerima

nasib? Apakah aku sudah serusak itu? Apakah aku tidak berani mengunjungi dia dan... menerima tanggung jawab'? Oh, tidak! Feisal menggigil! Dia pasti tidak kenapa-kenapa. Koran memang penuh sensasi selalu. Karmila pasti tidak hamil. Oh, dia tidak mau kawin sekarang, dia mau terus kuliah. Tapi Karmila? Apakah dia kuliah terus? Apakah temantemannya takkan mencemoohnya? Dan pacarnya bagaimana sikap pacarnya? Atau dia belum ah, tidak mungkin! Gadis semanis itu pasti sudah punya. Pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia diam mendengarkan. Terdengar babu menyerukan namanya.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Da'pa !" bentaknya.

"Telepon, Nye."

"Ambil."

"Buat Sinyo"

"Bilang tidak ada!"

"Saya sudah bilang ada," sahut babunya ketakutan.

Dulu, tentu akan disemprotnya babu yang menurut pikirannya sok tahu itu. Tapi kini, diletakkannya bolpoinnya lalu keluar membuka pintu.

"Hallo! Halo!"

"Feisal? Engkau Feisal? Oh! Katakan nanti supaya ayahmu kemari, ya?"

"Ke mana?"

"Ke tempat Ibu."

"Ini siapa?" tanya Feisal curiga.

"Ini Ibu, Sal. Ibumu. Masa tidak kaukenal suara Ibu?" tanya wanita itu, tertawa pelan.

"Oh. Datang saja kemari. Ini rumah Ibu juga, bukan?"

"Tentu Ibu akan ke sana," sahut wanita itu dengan gembira,

"tapi sekarang belum dapat. Suruh ayahmu saja datang. Ya? Jangan lupa, ya? Sudahlah. Sedang apa kau tadi?"

"Menulis surat."

"Tidak kuliah? Zein belum pulang? Nah, baiklah. Jangan pergi malam-malam lagi ya, Sal. Sudah ya."

Feisal membanting telepon dengan kesal. Ibunya ternyata tidak menanyakan sedikit pun mengenai dia dan gadis itu. Apakah menurut Ibu, dia tidak perlu minta maaf dan berterima kasih dan bertanggung jawab? Atau Ibu terlalu sibuk memikirkan akan kembali ke rumah, kepada mereka.

Seminggu yang lalu Ayah sudah mengatakan tentang hal itu. Mereka mau berkumpul kembali. Persetan! Persetan mereka mau apa! Mereka bilang demi anak-anak! Omong kosong! Demi anakanak itu berarti: mereka tidak mau berpisah sejak dulu. Demi anak-anak itu berarti: melupakan sakit hati masing-masing sebab demi anak-anak. Sekarang? Setelah bertahun-tahun tidak peduli dengan

anakanak, mereka jual kata: demi anak-anak, demi anak-anak!! Bah! Persetan mereka mau apa.

Yang disebut anak, toh sudah bukan anak-anak lagi. Ayah bilang, sudah dua tahun belakangan ini, dia menghubungi sanak keluarga Ibu, mengurus persoalan rujuk mereka! Bah! Seakan-akan perkataan "dua tahun" itu dapat menunjukkan betapa berminatnya Ayah dalam menyelesaikan perkara untuk "demi anak-anak" Mengapa bukan sepuluh tahun yang lalu, bila demi anak-anak?

Tapi semua itu bukan urusanku. Persetan! Yang perlu kupikirkan sekarang, bagaimana menebalkan muka menghadapi gadis itu. Ah, hatiku merasa tidak enak memikirkannya. Dan baru pertama kali ini, aku menyesal telah menipu seorang gadis. Karena dia cantik? Tidak mungkin! Wiwi juga cantik. Siapa berani bilang dia seperti monyet pasti dipiting oleh Jono. Karena aku tertarik padanya? Barangkali. Tapi berapa banyak gadis yang telah menarik hatiku? Toh mereka kutipu juga. Dan dengan segala senang hati. Bila ada kesempatan lain, pasti akan kuulangi tipuanku. Makin menarik dia, makin ingin aku menipunya. Tapi mengapa dengan gadis ini segalanya berjalan tidak lancar? Aku sama sekali tidak berkeinginan hendak menipunya buat kedua kalinya. Bahkan menemuinya pun, kalau boleh, aku segan. Tapi toh dalam hati kecilku, aku ingin sekali

melihatnya lagi. Mengapa? Akan menjadi gilakah aku? Atau hampir gila? Mengapa? Senyumnya yang manis...

Bila semuanya dapat diulang dia akan menjadi mahasiswa yang baik. Ketemu gadis itu di pesta atau bahkan di universitas dan dia berhasil memikatnya dan mereka pacaran dan dia takkan pernah berkenalan dengan obat-obat gelap dan...dan...

Kenyataannya, dia dicap koran-koran sebagai cross-boy, bermoral gila, masuk black-list polisi. Bila kelak ada perkosaan besar-besaran, tidak mustahil, dia akan dapat kehormatan menghadap ke kantor polisi lagi.

Tiga menit. lamanya Feisal termenung di muka cermin, sehabis menyisir. Sisirnya yang sudah kotor itu masih ada di dalam tangannya. Dipandangnya wajahnya. Pucat. Lesu. Berkerut-kerut. Kurang semangat. Macam muka penyakitan. Dan wajah ini yang akan dibawanya meminta maaf? Matanya begitu sayu seperti sudah seminggu tidak tidur. Dibelalakkannya matanya dan dicobanya tersenyum. Tidak begitu baik hasilnya. Dia menghela napas. Tapi aku mesti pergi, katanya dengan pasti.

Dikaitnya sepatunya dari bawah tempat tidur dan dimasukkannya kakinya ke situ. Lalu satu per satu diangkatnya kakinya ke atas kursi dan diikatnya tali sepatunya. Diambilnya Seiko-nya dari atas meja.

Pukul enam lewat tujuh. Diambilnya sapu tangan bersih. Dimasukkannya dompetnya ke kantung celana setelah menambah isinya dengan dua lembar ribuan. Akhirnya dia berdiri kembali di muka cermin. Ragu-ragu. Pergi? Tidak usah! Pergi? Tidak usah! Pergi? Tidak usah! Pergi! Tidak usah? Pergi" Disambarnya kunci Honda lalu keluar.

"Mau ke mana?" tanya Zein.

"Mau apa tanya-tanya?" bentaknya.

Adiknya cepat-cepat menutup kembali kepalanya dengan koran yang sedang dibacanya, lalu mengintai dari samping. Di garasi ayahnya baru saja turun dari mobil.

"Hei! Ke mana kau?"

"Pinjam diktat."

"Pukul delapan pulang."

Feisal mengangguk.

"Tadi ada telepon dari Ibu. Disuruh ke sana nanti.

"Ibu mana?"

Ibu mana lagi, kata Feisal dalam hati. Apakah Ayah juga mata keranjang?

".Ibu, ibu kita."

"Mmmm ada apa lagi. nih!"

Rumahnya tampak sepi-sepi saja. Feisal mematikan motornya dan sejenak meneliti rumah Karmila. Catnya putih. Atapnya dirambati bugenvil merah dan ungu. Bunga coklat yang masih kuncup-kuncup mengelilingi kebunnya yang sempit dan teratur rapi. Rumah keluarga baik-baik. Tidak sekaya raja atau jenderal, tapi keluarga baik-baik. Feisal menghela napas, lalu turun dari kendaraannya. Dengan gemetar diparkirnya motornya, dihampirinya pintu lalu ditekannya bel. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Enam kali. Sepuluh kali. He, ke mana penghuninya. Kedua puluh kali. Dua satu. Dua dua. Dua empat. Dua enam. Dua tujuh. Ketakterhitung kali.

Akhirnya pintu samping terbuka dan seekor herder keluar.

"Atika!" teriak seorang anak perempuan yang keluar belakangan.

"Cari siapa, Kak?"

"Oh... hmm .. anu saya cari... anu... Karmila."

Anak perempuan yang kira-kira sepuluh tahun itu mengawasi Feisal dengan kritis. Sikapnya yang riang tadi sekonyong-konyong hilang sirna.

"Kawan kuliah?" Feisal kebingungan.

"Bu... bu kan."

"Kak Mila tak ada di rumah!" Dan ditepuknya Atika,

"Ayo, masuk!"

Dalam setengah detik keduanya lenyap kembali.

Feisal berdiri tercengang.

"Tidak ada," gumamnya pada diri sendiri,

"atau tidak mau keluar?"

Dia masih berdiri di muka pintu pagar beberapa detik, seakan-akan mengharap sebuah jendela atau pintu akan terbuka kembali. Ketika dirasanya semua sia-sia, dia berbalik menghampiri Honda-nya dijalan.

"Lain kali," katanya pada diri sendiri sambil menepuk sadel, lalu distartnya motornya dan terbang pergi. Dia tidak langsung pulang tapi berputar-putar di Jalan Thamrin dan Jenderal Sudirman. Ketika dilihatnya Seiko sudah menunjukkan pukul tujuh. barulah dia ambil jalan pulang.

Ayahnya sedang duduk di meja makan bersama adiknya. Ibunya wanita yang berdiri membelakanginya itu pasti ibunya tengah mengisi gelas-gelas. Ketika didengarnya suara langkahnya yang kasar dan sembarangan, ibunya menoleh dan tersenyum.

"Nah, kebetulan, Sal. Duduklah dan aku akan mengambilkan engkau piring."

Feisal heran melihat ibunya. Namun dia tidak berkata apa-apa dan langsung menjatuhkan dirinya ke atas kursi. Nyaris patah kursi itu.

"Memang anakmu ini tidak tahu adat," kata Ayahnya kepada ibunya yang menoleh dan

tersenyum manis.

"Kenapa?"

"Disangkanya bapaknya kaya. Mau dipatahkannya kursi itu. Lain kali aku pesan kursi-kursi besi untuknya!"

"Ah, macam-macam saja bapakmu ini. Masakan dia kausuruh duduk pelan-pelan macam gadis-gadis? Sebenarnya dari mana kau tadi?" tanya ibunya sambil menyendukkan nasi.

Feisal menggumamkan sesuatu yang tidak ada artinya dan ibunya tidak mendesak.

Mereka makan tanpa banyak bercakap-cakap. Zein asyik memperhatikan abangnya. Yang diperhatikan menunduk terus di atas piringnya. Ayah dan ibunya bercakap-cakap pelan-pelan, entah mengenai apa. Kedua anak laki-laki itu seakan-akan tidak peduli akan kehadiran orang tuanya sehingga ketika ayahnya menyebut nama mereka, keduanya terkejut.

"Dengar kalian berdua," kata ayahnya sambil meletakkan garpu dan sendoknya.

"Mulai hari ini, Ayah akan kembali pada ibumu. Ibu akan tinggal di sini bersama kita dan mengurus rumah. Mulai hari ini, segala soal boleh kaubicarakan dengan Ibu. Bila kau perlu uang misalnya "

Zein memandang ayah dan ibunya bergantian. Bibirnya bergerak-gerak.

"Ada yang mau kaukatakan, Zein?" tegur ibun

Zein tergagap-gagap, tapi meletusjuga dari mulutnya,

"Ibu mau rujuk dengan Bapak?"

Ibunya tertawa gelak-gelak. Diulurnya lengannya dan ditepuk-tepuknya tangan anaknya yang ikut tersenyum malu.

"Sebenarnya Ayah Ibu belum pernah bercerai. Kami cuma berpisah karena ibumu ini keras kepala," kata ibunya tersenyum.

"Ah, bukan ibumu," kata ayahnya tergesa-gesa,

"ayahmu yang keras kepala. Ayah terlalu kolot sehingga ibumu pulang ke rumah Nenek."

"Pulang bertahun-tahun?" tanya ibunya sambil tergelak-gelak sehingga air matanya keluar.

Feisal ikut-ikut tersenyum melihat ibunya begitu senang.

"Ah, cuma lima tahun! Itu kan karena aku tidak menjemputmu. Lihat, betapa manis ibumu kepada Ayah. Pasti dia ingin minta uang!"

"Apa? Apa? Sekali lagi!" teriak ibunya sambil tertawa.

Feisal cuma tersenyum saja. Tidak dirasakannya kebahagiaan ayah dan adiknya yang tertawa gelakgelak sebab Ibu telah kembali. Ibunya tahu, ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Feisal.

"Tidak ada pekerjaan rumah, Zein?"

"Yup! Ada, Bu. Tapi..." Zein tersenyum malu.

"Belum dibuat," sambung ibunya pura-pura memarahi.

"Nah, lekaslah bawa piringinu ke dapur. Makan pepayamu sambil menulis. saja."

"Jup!" kata Zein dengan patuh, tanpa curiga apa

apa.

"Feisal, apa yang sedang kaususahkan?" Tanya ibunya setelah Zein lenyap.

Feisal kaget. Garpunya berdencing ketika jatuh ke lantai.

"Ti... ti... dak aa pa apa," katanya sambil membungkuk ke lantai.

"Ayo, katakan," bujuk ibunya.

Feisal memandang ibunya lalu ayahnya. Dia ragu-ragu. Ayahnya tampak masa bodoh, asyik menekuri nasi di piringnya.

"Engkau dari mana tadi sore?"

"Dari... Ibu," bisik Feisal ketakutan,

"gadis itu hamil!"

Ayahnya mengangkat wajahnya dan menatapnya.

"Apakah itu betul?" semburnya.

"Menurut koran-koran."

"Engkau tidak mau menjumpai dia?"

"Eh... eh... anu sa... sa... ya sudah ke sana... tadi... Dia tidak ada "

"Engkau mesti cari dia dan mengawininya!" perintah ayahnya.

"Ah, belum tentu dia hamil. Itu kan koran! Lagipula. belum tentu karena Feisal," kata ibunya tersenyum.

"Engkau belum menjumpainya, Anak itu mahasisWi kedokteran. Tingkat tiga!" kata ayahnya.

"Apakah itu menjamin?"

"Dia alim."

"Apakah itu menjamin?"

"Dia Katolik."

"Apakah itu menjamin?"

"Bu, dia beragama dan sungguh-sungguh alim. Dia suci," kata Feisal hampir menangis.

"Nah, aku setuju dengan pendapat Feisal. Orang itu asal sungguh-sungguh beragama, tidak peduli agama apa... nah, itu jaminan!"

Setelah menyuap habis nasinya, Bapak Daud meletakkan sendok-garpunya dan memandangi anaknya.

"Dengar, Feisal! Engkau mesti berusaha mencarinya sampai ketemu. Dan mesti mengawini dia. Hamil tidak hamil. Ayah akan resmikan perkawinan itu. Engkau harus bertanggung jawab. Jangan membuat malu keluarga. Cuma dengan jalan begitu, engkau dapat menebus dosamu. Mengerti?"

Sebelum Feisal memberi reaksi, ibunya sudah menyambung.

"Kalau dia mau kalau tidak?

Kaupikir dia akan tertarik dengan Feisal? Kaupikir orang akan suka, bermenantukan dia? Orang lain kan beragama! Engkau, Feisal... engkau bergajul yang tidak tahu sopan!" Ibunya mengucapkan ini dengan senyum simpul dan sebenarnya cuma bermaksud menyindir ayahnya. Tapi Feisal merasakan sebagai tusukan yang tepat di hatinya.

Untuk sejenak, ruang makan itu menjadi sepi. Ayahnya menelan pepaya dengan cepat, seakan-akan tanpa mengunyahnya lagi.

"Barangkali saya tidak usah kuliah lagi. Ayah," kata Feisal pelan-pelan.

"Ah, kenapa?" tanya ibunya.

Tapi ayahnya sudah memberondong.

"Itu lebih baik. Engkau dapat bekerja padaku. Dan mengongkosi gadis itu. Kaudengar! Engkau mesti menjamin dia seumur hidupnya. Memang engkau takkan pernah dapat mengganti kerugian yang dideritanya, tapi setidak-tidaknya, engkau tunjukkan bahwa engkau menyesal. Itu pun kalau kau menyesal. Engkau menyesal, tidak?"

Feisal diam menunduk.

"Ingat! Bukan aku yang mengeluarkan engkau dari penjara, tapi dia. Biar setinggi gunung hartaku, aku takkan mampu mengeluarkan engkau. Dan andaikata mampu, orang-orang akan tetap mencemooh kita. Lagi pula, andaikan mampu, aku takkan

mengeluarkan engkau. Aku terlalu malu dan aib akan perbuatanmu, Feisal. Tapi aku insyaf, kesalahan tidak seluruhnya berada padamu. Aku insyaf, engkau dan Zein kurang mendapat perhatian. Karena itu, ayah dan ibumu insyaf dan berharap untuk memberikan apa yang selama ini kami abaikan. Tapi sebaliknya, Ayah juga minta dan berharap supaya engkau insyaf! Jangan ulangi perbuatan dulu-dulu. Biarkan masa silam lewat. Jagalah masa depanmu. Engkau cari gadis itu sampai ketemu. Engkau minta ampun dengan baik-baik pada keluarganya. Bila engkau berhasil membujuknya-nah! Ayah akan meresmikan pernikahanmu. Andaikan gadis itu tidak suka padamu dan Ayah punya firasat... yah mungkin sekali dia akan meludahi engkau! Dan Ayah tidak menyalahkan dia engkau tetap harus menjamin dia kecuali bila mereka keberatan. Engkau harus memenuhi segala permintaannya meskipun itu kepalamu! Mengerti?!"

Ayahnya memandang Feisal dengan tajam tapi anak itu menunduk saja, mempermainkan garpunya. Ibunya serba salah. Dia tahu, nasihat-nasihat itu perlu, tapi melihat anaknya menangis, dia tidak sampai hati. Maka lekas lekas diangkutnya piringpiring ke dapur, tanpa memanggil babu.

Setetes air mata turun ke atas piring Feisal.

"Ayah dan Ibu tidak akan memperpanjang lagi persoalan ini. Kami memberimu ampun dan kesempatan baru, asal engkau sungguh-sungguh insyaf dan berjanji pada dirimu tidak akan mengulangi lagi tindak-tandukmu yang liar itu. Ayah dan ibumu mengaku bersalah, telah melalaikan pendidikan anak-anaknya. Sekarang Ibu dan Ayah sudah insyaf. Kuharap, engkau pun akan insyaf. Sekarang, pergi ke kamarmu dan pikirkan perkataan perkataanku."

***

KARMILA sedang duduk di loteng, membaca diktat penyakit jantung di jendela kamarnya. Hari sudah sore. Gadis itu baru saja mandi. Kamarnya masih berbau sabun mandi dan bedak. Sore itu dikenakannya daster merah berbunga putih kecil-kecil. Rambutnya yang panjang itu diikatnya dengan sehelai pita merah. Karmila memang manis dan menawan hati. Entah sudah berapa lama diktat itu dikeluarkannya dari kopor. Mungkin tiga hari. Mungkin lima hari. Tapi sehalaman pun belum habis dibacanya. Tiap sebaris kalimat selesai, ditopangnya sikunya ke jendela lalu memandangi orang-orang di bawah sambil menghela napas.

"Oh, Bunda," bisiknya sambil memegang perutnya,

"mengapa perut saya bertambah besar? Dan saya tidak dapat kuliah lagi. Oh, saya tidak dapat ke mana-mana. Saya harus menyembunyikan diri. Oh, Bunda!" Air matanya berlinang-linang.

"Mengapa engkau biarkan hal ini terjadi padaku? Mengapa? Bagaimana harus saya katakan pada Edo?"

Edo menghantui pikirannya terus-menerus. Seminggu yang lalu sudah datang suratnya yang kedua. Surat yang pertama tidak dibalasnya dan tunangannya menanyakan, sampaikah suratnya itu. Karmila menjadi resah dan gelisah. Sangka ibunya, Karmila malu. Sebab itu dikirimnya gadis itu ke rumah bibinya di Tebet. Bibinya tinggal berdua dengan pamannya. Mereka tidak beranak dan rumah mereka yang besar itu jarang didatangi tamu. Karmila mula-mula tidak suka pergi. Namun akhirnya setuju juga, setelah diperbolehkan mengangkut buku-buku dan diktatnya sekoper penuh.

"Nanti kalau aku masuk kuliah lagi," katanya pada babu yang membantunya,

"aku ingin tetap ingat semua pelajaran itu seperti teman-temanku." Dan dia tersenyum pedih.

Setiap malam dia menangis memikirkan Edo. Dia belum juga berani menulis surat. Kerjanya cuma berdoa dan berdoa. Tapi Bunda Maria yang begitu dipercayanya, masih diam membisu dan belum memberinya jalan bagaimana memecahkan kesulitannya.

Tidak pernah terpikirkan olehnya akan mencari biang keladi penderitaannya. Dia tidak mau menemui siapa-siapa. Bahkan Ana yang datang menangisnangis ditolaknya. Sesekali dirasanya ingin membunuh Feisal. Tapi kesedihan hatinya melemahkan semangatnya. Dia tidak ingin apa-apa.

Akhirnya dia cuma pura-pura duduk membaca diktat untuk menipu bibinya yang tidak pernah membiarkannya sendirian dengan pikirannya.

Kembali ditekurinya diklatnya. Hukum Starling. Ya, hukum Starling. Sejak kemarin, hukum Starling melulu yang dibacanya. Dan apa isinya, tak tahu dia hukum Starling. The law ofthe heart.

The law of the heart, pikirnya, the law of my heart. Dia menarik napas panjang. Oh, Bunda Maria. Saya mencintai engkau. Tolonglah saya. The law ofthe heart. My heart. And my Child has (: heart too... My child? ?

Karmiila menunduk dan berusaha keras meneruskan diktatnya. Hukum Starling. The law ofthe heart. Perubahan-perubahan pada jantung sesuai dengan pada otot skelet, yakni bahwa pelepasan energi mekanik dari keadaan istirahat sampai kontraksi, tergantung pada luasnya permukaan yang kimiawi aktif, ialah "panjang serabut otot".

Karmiila merasa menang, dapat menghabiskan kalimat yang demikian panjang. Diulang-ulangnya dua-tiga kali. Tapi tidak juga mengerti. Memang diktat itu baru akan diajarkan di tingkat empat. Tapi Karmila sudah membelinya. Sebab kepala seksi diktat itu menaruh hati padanya dan menghujaninya dengan bermacam-macam diktat. Semua orang tahu, gadis yang rajin itu gila diktat.

Perubahan-perubahan pada jantung sesuai dengan... Karmila menghela napas. Dia tiba-tiba teringat akan ujian gros farmakologi yang akan diadakan esok. Tentu teman-temannya tengah bergulat mati-matian dan nanti malam tak seorang pun yang akan tidur. Dan dia... bila dia tidak ditimpa kemalangan ini... Oh, Tuhanku! Aku dapat membayangkan Mariani dan Linda menghapal bersama-sama. Linda akan membuat kopi yang pekat setengah pon kopi dalam segelas air. Mariani akan berbaring-baring dengan mata berat, sambil memikirkan suaminya di rumah. Dan Linda akan menghardiknya dan memaksanya duduk kembali di atas tempat tidur. Dan aku? Aku tidur sendiri kesepian memikirkan sekian banyak tentamen dan ujian yang tidak kubuat. Aku tidak akan naik tahun ini, ya, Bunda.

Karmila menghela napas. Matanya dilayangkannya ke bawah. Sebuah motor Honda merah menderu pelan-pelan. Seorang tukang roti berjalan pelanpelan meneriakkan dagangannya. Tukang kacang rebus sudah pula lewat. Ah hampir pukul enam, pikir gadis itu.

Sekonyong-kenyong dia sadar, bunyi motor itu terlalu lekas lenyap. Dia menoleh ke belakang. Syyrtt! Darahnya naik ke kapala. Motor itu berhenti di muka rumah dan bibinya tengah menyilakan pengemudinya masuk. Karmila segera berdiri dari

kursi dan menjulurkan kepalanya ke bawah. Salahkah dia? Tidak! Orang itu betul Feisal!!! Dan Bibi telah menyilakan dia masuk! Karmila memejamkan matanya. Sambil menghela napas dia menjatuhkan diri kembali ke atas kursi. Dengan berdebar-debar dinantikannya suara kaki Bibi menaiki anak tangga satu demi satu. Dan tentu Bibi akan berkata,

"Mila, ada temanmu datang!" Temanmu! Bibi tidak tahu?! Mengapa saya jadi begini? Teman? Temankah namanya bila orang itu membuat kita menderita? Bila orang itu menghina dan memalukan kita? Bila orang itu memper Apa maksudnya datang? Dari mana dia tahu aku di sini?

Karmiila menghela napas. Apa harus kuperbuat? Memakinya? Menamparnya? Bunda, bisiknya dalam hati, jangan biarkan aku menamparnya. Anakku tidak akan menyukai hal itu. Betapa jahat pun dia, orang itu adalah ayah anakku. Meskipun aku barangkali amat membencinya.... Di bawah terdengar suara langkah Bibi yang perlahan-lahan. Karmila memicingkan kelopak matanya seerat eratnya dan menahan napas. Bibi melangkah dengan amat hati-hati. Sudah tentu dia takut rematiknya kumat. Bibi sudah mulai tua.

Tiba-tiba gadis itu bangkit dan menghampiri tempat tidurnya Dengan cepat dia masuk ke dalam selimut dan berpura-pura tidur.

"Mila," seru bibinya seraya mengetuk pintu dan ketika didapatinya pintu tidak terkunci, didorongnya segera.

"Mila," bisik bibinya ketika dilihatnya gadis itu tidur.

"Mila, ooii... bangun. Ada temanmu di bawah. Mila... pacarmu datang."

Karmiila membuka matanya. Bibi tersenyum melihat gadis itu mencibir. Memang gadis-gadis suka berpura-pura enggan, pikirnya.

"Ayo turun."

"Enggan," sahut Karmila dengan sebal.

"Ayo. Jangan berpura-pura. Kaukira Bibi dulu tidak muda?!" Bibinya tertawa gelak-gelak.

"Dulu, bila pamanmu datang, Bibi suka pura-pura sakit ini, sakit itu, sebagai alasan supaya tidak usah keluar kamar. Padahal hati, cuma Tuhan yang tahu. Ayo, gadis sekarang tidak lagi seperti dulu... keluarlah." Karmila mendongkol betul. Sudah orang itu yang mencelakakan dia, masih dianggap Bibi-pacarnya!

"Mengapa tidak Bibi katakan saya tidak ada? Bukankah Bibi tahu, saya tidak mau menemui siapa pun?"

"Ya, tapi, ini kan pacarmu," kata Bibi, masih tersenyum.

"Dari mana Bibi tahu, dia pacar saya?" seru

Karmila dengan berang.

"Sebab," kata Bibi sambil menatapnya,

"bila dia bukan teman istimewamu, masakan dia tahu engkau ada di sini?"

Kamiila diam. Lalu duduk di atas kasur memeluk lututnya.

"Ah, saya pusing kepala," katanya menggarukgaruk kepalanya. Dia tahu, tidak mungkin mengatakan hal yang sesungguhnya sekarang.

"Barangkali bukan pacar saya," bantah Karmila, lalu,

"bagaimana rupanya?"

"Begini," kata Bibi sambil tertawa menunjukkan jempolnya.

"Begini bagaimana?" Tiba-tiba Karmila ingin tahu pendapat bibinya mengenai Feisal.

"Tampan. Sopan. Bertampang jujur. Necis. Sederhana. Cerdas. Gagah. Dan kelihatannya baik hati."

"Huh!" Karmila menghela napas panjang.

"Sungguh saya sakit kepala, Bi. Saya tidak bisa turun."

"Tapi ini kan ? Atau Bibi suruh dia naik? Kalian boleh bercakap-cakap di atas tangga." Karmila menggeleng.

"Saya tidak ingin menjumpai dia."

Sekarang Bibi tampak sungguh-sungguh.

"Karmila, dengarlah! Memang kadang-kadang

jual mahal itu perlu, tapi engkau tidak boleh berlebihan dalam segala sikapmu. Betapa cinta pun dia, bila engkau tinggi hati, tentu dia akan lari. Dengarlah nasihat Bibi. Turun dan temui dia."

Ingin rasanya ia menangis. Sekarang sama sekali tidak mungkin lagi baginya untuk mengungkapkan kebusukan si Faisal. Bibi sudah terpikat padanya. Bila dia sungguh-sungguh menolak "nasihat" Bibi, tidak enak hatinya.

"Ayo, Mila. Berbuatlah seperti gadis-gadis yang baik. Engkau tahu dia datang mencarimu. Ayo." Ditariknya selimut gadis itu.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan besok. Besok saja datang. Besok saya turun."

Bibinya hampir tertawa melihat kelakuan Karmila.

"Tawar-menawar, he? Baiklah. Asal besok kaujaga supaya sakit kepalamu sudah hilang!"

Ketika Bibi sudah turun, Karmila menelungkup di bawah bantal dan menangis.

Pagi itu betul-betul Karmila sehat segar. Sakit kepalanya semalam sudah lenyap. Dia pergi ke kebun dan menyiram bunga-bunga. Matahari cerah,

Burung-burung dan kupu-kupu beterbangan kian kemari. Awan diatas indah sekali. Biru jernih dengan selajur putih memanjang. Di kejauhan tampak gunung. Karmila tidak tahu gunung apa yang tampak dari Jakarta. Di selalu bermaksud menanyakan pada pamannya setiap kali melihatnya, akan tetapi selalu lupa.

Karmila memandang semuanya itu dan menarik napas panjang. Dia tahu, teman-temannya tengah asyik memutar otak membuat ujian famiakologi. Dilihatnya arlojinya. Pukul sepuluh. Tentu.sebagian sudah berkeringat. Dan sebagian lagi asyik melirik-lirik dan berpura-pura juling. Dia tersenyum dalam hati. Diangkatnya pisau yang terletak di rumput dan dipotongnya dahan-dahan dan daun-daun sirih gading yang telah menguning.

"Mila Mila "

Begitu asyik dia, sehingga panggilan yang amat halus itu masih mengejutkannya. Serentak diputarnya tubuhnya. Dia tertegun. Sebuah mobil putih, Fiat seribu tiga ratus.

Hm, dengusnya dalam hati, sekarang pakai mobil, ya! Mau ambil hati?

"Ada apa?" tanyanya dingin tanpa beranjak dari tempatnya.

Feisal berdiri di belakang pagar besi, mirip monyet dalam kandang. Meskipun jarak mere

ka berjauhan, Karmila seakan-akan dapat melihat jelas ke dalam matanya. Bayangan kesedihan. Atau kepalsuan.

"Bolehkah saya bicara sebentar dengan engkau?" tanyanya dengan rupa rendah hati.

"Untuk apa?"

Feisal tertegun sebentar.

"Persoalan kita," katanya dengan muka merah.

"Persoalan apa '?"

Feisal menjadi amat malu. Wajahnya merah dan pucat bergantian.

"Saya ingin minta maaf."

"Mengenai apa?" tanya Karmila den gan rupa kurang sabar.

"Bukankah kita tidak saling mengenal? Saya sendiri, tidak mengenal Saudara. Perlu apa minta maaf?"

Selebar mukaanya merah. Dia insyaf, gadis itu ingin mempermainkannya. Bahkan menurut ayahnya, boleh jadi akan diludahinya mukamu dan... ayahmu tidak menyalahkan gadis itu.

"Saya minta ampun. Sungguh-sungguh "

Feisal mengerti dengan sindirannya tadi, Karmila ingin mengatakan bahwa maaf tidak cukup untuk perbuatannya yang terkutuk itu.

"Saya sama sekali tidak mengerti maksud Saudara. Saya bukan bernama Nini atau Eli. Saudara salah masuk."

Bukan buatan malunya Feisal. Mukanya terasa panas. Dan dia dibiarkan berdiri di muka pagar seperti penagih rekening yang tidak disukai. Karmila berbalik. Hatinya pedih dan gusar. Dongkolnya timbul kembali. Air matanya hampir meleleh. Dia segera berjalan masuk ke pintu samping. Pada saat itu tukang daging lewat dan bibinya keluar.

"Astaga! Mila... Karmila... sedang mengapa engkau? Mengapa temanmu kaubiarkan berdiri di situ? Cc... ee... ee ...," katanya menggeleng-geleng.

"Masuk... masuk Karmila ada di samping, sedang mengawinkan bunga pagi-sore."

Mendengar kelakar bibi Karmila, darah Feisal naik lagi ke kepala. Tapi dia tersenyum dan berjalan ke samping. Karmila sedang jongkok membersihkan sekop kecil. Ujung slack-nya basah kena air. Ketika Feisal jongkok di sebelahnya, dia tidak menoleh.

"Karmila," bisik Feisal,

"saya ingin bilang terima kasih bahwa engkau tidak menuntut saya. Tapi," Feisal menjulurkan kepalanya lima senti ke muka, sehingga tercium olehnya harum rambut gadis itu,

"tapi... saya akan lebih berterima kasih bila engkau biarkan saya dipenjara. Dengan begitu saya dapat menebus dosa saya."

Karmila berbuat seakan-akan tidak ada orang di dekatnya. Dia sangat asyik dengan kerjanya dan

Feisal berpikir-pikir apakah dia mendengar semua kata-katanya.

"Karmila, katakanlah, ya," pintanya.

"Saya sangat ingin menebus dosa itu. Bila engkau tidak sudi memberi kesempatan, seluruh hidup saya akan binasa begini."

Karmila bangkit berdiri dan menatapnya tajam.

"Sudah cukup kautebus dosamu hari ini. Pulang sekarang. Lain kali boleh disambung." Dan dia berjalan cepat-cepat masuk, meninggalkan Feisal yang terkejut setengah mati.

sore itu barulah feisal berhasil memaksa karmila duduk di depannya dan mendengar semua yang mau dikatakannya.

"Ini kedatangan saya yang kelima," kata Feisal tersenyum.

Karmila memang pada dasarnya adalah seorang gadis yang baik hati. Melihat tamunya tersenyum, dia tidak ada pilihan lain kecuali ikut tersenyum sedikit.

"Sore ini saya ingin berunding dengan serius, katanya lagi, sambil melirik gadis itu.

Kamiila sudah hamil dua bulan dan wajahnya makin cantik, menurut perasaan Feisal. Gadis itu tengah memandang ke kebun. Matanya agak tertutup sedikit. Entah mengapa, Feisal merasa makin lama makin tertarik. Setiap kali datang, dilihatnya Karmila bertambah cantik.

"Ehm," dia batuk, untuk mengembalikan pikiran nona rumah kepadanya. Karmiila menggeser sedikit duduknya, lalu memandang ke arahnya seakan-akan baru sadar ada orang di mukanya.

"Mila, saya mau bicara sungguh-sungguh denganmu."

"Sebelum engkau terus, aku mau tahu dulu, dari mana kau tahu aku ada di sini?"

Feisal tertawa.

"Itu gampang . Ketika saya datang untuk ketiga kalinya ke rumahmu, ada babumu di depan. Karena dia tidak tahu saya ini bajingan, maka tanpa curiga apa-apa, dikatakannya engkau ada di Tebet, di rumah Modiste Serimpi. Mudah, bukan?"

Karmila memandang Feisal dengan tenang.

"Sekarang katakanlah cepat-cepat apa yang mau kaukatakan. Singkat saja. Aku, rasa, aku ingin cepat-cepat rebah di kamar."

"Kenapa kau?"

"Tidak apa-apa. Pusing sedikit. Sejak tinggal di sini. Mungkin udara Tebet kurang sehat. Ssst... tapi

jangan kauberitahu Bibi. Ngamuk dia, dikatakan udaranya busuk."

"Engkau memang kelihatannya pucat," kata Feisal tanpa mempedulikan olok-olok Karmila.

"Engkau seharusnya ke dokter."

Tiba-tiba gadis itu membelalakkan matanya.

"Apa yang mau kaukatakan ?" tanyanya dengan ketus.

"Cepat!"

"Saya ingin menikah denganmu!"

"Itu sudah kaukatakan ratusan kali. Ada yang lain?"

Feisal menggeleng.

"Saya cuma ingin menikah denganmu. Itu yang mau saya katakan. Saya ingin bertanggung jawab dan menebus dosa saya."

Merah wajah Karmila.

"Setiap kali datang, itu-itu saja yang kaukatakan" katanya dengan marah.

"Bukankah sudah kukatakan ribuan kali, aku tidak mau menikah denganmu! Aku bukan tempat penebusan dosa-dosa para bajingan! Kaupikir aku ini apa?!"

"Mila, barangkali engkau salah tangkap. Maksud saya, saya ingin menikah denganmu. Saya ingin menebus dosa. Sebab saya mencintaimu."

"Omong kosong! !"

"Saya bersungguh-sungguh dengan maksud saya. Saya bukan seniman. Tidak pandai merangkai kata-kata. Saya ini bajingan, seperti yang kaukatakan tadi. Tapi saya mencintaimu dan saya ingin mengubah hidup saya."

"Aku tidak mau menikah denganmu! Titik! Engkau boleh pulang sekarang danjangan datangdatang lagi."

"'Mila,jangan marah bila engkau merasa terhina oleh maksud saya. Saya memang sama sekali tidak pantas bagimu. Mungkin melihat saya, engkau akan merasa jijik dalam hatimu. Engkau pasti takkan mau menikah hanya karena SAYA. Tapi ingatlah anakmu. Dia memerlukan ayah. Setidak-tidaknya. sebuah nama. Dia tidak bersalah apa-apa. Dia tidak minta dilahirkan. Mengapa dia mesti memikul dosa saya? Kita -engkau dan saya tidak berhak membiarkan itu terjadi. Dia harus mendapat nama dari ayahnya. Karena itu dengan memikirkan anak kita, saya harap engkau akan suka menikah dengan saya."

"Pergi! Pergi! Pergi!" teriak Karmila lalu dia bangkit dan berlari masuk. Wajahnya penuh air mata. Setengah buta dia mencari jalan ke loteng dan cepat-cepat melangkahi anak tangga. Feisal memburu dan berhenti di kaki tangga, memandang ke atas. Dia tahu, gadis itu menangis.

"Aku tahu aku betul-betul mencintai dia," katanya dalam hati, dengan putus asa.

Dia berpikir bolak-balik beberapa kali. Naik atau tidak? Bibi Karmila tidak ada di rumah. Dia tidak ingin membuat gadis itu merasa terancam. Akan tetapi dia sungguh-sungguh merasa perlu menyelesaikan soal ini sekarang juga. Naik atau tidak? "Ah, biarlah. Aku harus menyelesaikannya sekarang!" Dibantingnya kakinya ke atas tangga.

Karmila mendengar Feisal naik. Dengan terkejut lekas-lekas di kuncinya pintu lalu berbaring, menyembunyikan tangisnya di bawah bantal.

BerkaIi-kali Feisal mengetuk, namun gadis itu diam saja.

***

KARMILA diam saja melihat Feisal mempermainkan kunci kontaknya.

"Suratmu sudah saya terima," katanya untuk kedua kalinya.

"Ayahku sudah datang kemarin," kata Karmila akhirnya.

"Aku sudah tahu maksudmu kemari."

Feisal tetap menunduk mempermainkan kuncinya.

"Jadi kapan kita buat perjanjian itu?"

"Perjanjian?" tanya Feisal seraya mengangkat kepalanya.

"Tentu," sahut gadis itu sambil memandang ke jalan.

"Kaupikir, aku mau menikah tanpa kertas yang menguatkan perjanjian kita?"

"Engkau tidak percaya pada saya?"

"Kalau kau tidak sudi menulis perjanjian itu, tidak mengapa. Aku akan kembali pada rencana semula. Anak ini akan kuberikan pada orang tuaku. Dan engkau takkan berhak lagi datang-datang kemari, menggangguku!"

"0, jangan salah mengerti. Bukan saya tidak

sudi membuat perjanjian secara tertulis...tapi..."

"Tidak ada tetapi! Engkau suka membuatnya atau tidak?"

"Baiklah. Saya pasti akan membuatnya. Bagaimana bunyinya?"

"Tidak peduli. Pokoknya tertulis di situ bahwa aku menikah dengan engkau, cuma supaya anak ini punya ayah titik. Aku tidak terikat hubungan apaapa dengan engkau. Aku tidak akan tinggal bersamamu. Aku tidak akan menikah dengan engkau di gereja. Aku tidak akan menjadi istrimu. Dan segera setelah anak ini lahir, kita akan bercerai kembali dan anak ini kawambil."

"Sebaiknya anak itu kaupelihara. Dia lebih membutuhkan ibu daripada ayah."

"Tidak! Bila engkau mau menikah denganku, anak ini harus kawambil. Bila engkau tidak mau, engkau boleh pergi dan tinggalkan aku sendiri!!"

"Jangan begitu. Engkau boleh berkata dan berbuat apa saja, tapi jangan perintahkan saya pergi. Saya sungguh-sunggu menghendaki anak itu. Saya akan memeliharanya dengan baik. Saya sudah berhenti kuliah, kau tahu, dan mulai bekerja pada Ayah."

"Aku tidak peduli semua itu. Besok kau boleh datang lagi dengan surat perjanjian itu. Dan kawajak juga notarismu."

"Pakai notaris?"

"Tentu. Kau pikir ini main rumah-rumahan?"

Feisal menggigit lidahnya sambil mempermainkan kuncinya.

"Mila, karena kita akan menikah di Catatan Sipil, maka saya kira, saya bertanggung jawab penuh atas keselamatanmu selama mengandung. Saya minta, supaya engkau biarkan saya mengantarmu ke dokter dan mengurus semua biayamu."

Karmila diam saja. Feisal menganggap ini sebagai tanda tidak keberatan.

"Setelah kita menikah minggu depan, saya harap engkau suka pindah rumah. Saya telah membeli rumah yang sederhana untukmu. Letaknya di jalan yang tenang. Di Kebayoran Baru. Sebenarnya saya ingin mengajakmu melihatnya, akan tetapi saya tahu, engkau takkan mau pergi bersama saya. Mungkin engkau tidak menyukainya... tapi engkau dapat menjualnya dan mencari rumah yang lain?"

"Seharusnya kau katakan itu sebelum engkau membelinya. Jadi dapat kausimpan uangmu dan tenagamu yang terbuang percuma. Sudah kubilang. aku tidak mau tinggal bersamamu" Atau kita tidak menikah saja?"

"Bukan bukan begitu. Maksud saya. engkau tinggal di sana sendiri. Mungkin dengan adikmu atau bibimu. Saya hadiahkan rumah itu untukmu."

"Aku takkan sudi menerima hadiah apa-apa darimu. Dan sebaiknya rumah itu kaujual lagi. Aku akan tetap tinggal di rumah Bibi dan setelah melahirkan, aku akan kembali ke rumah orang tuaku."

"Kalau begitu, baiklah saya mencarikan engkau

"Janganlah terlalu berbaik hati padaku!" potong Karmila dengan ketus.

"Atau aku akan menyalahartikan semuanya itu dan menolak untuk memberikan namamu pada anak ini. Bila engkau memang seorang yang sungguh sungguh baik hati ya bila engkau memang baik hati, aku tidak akan begini! Kaupikir aku mau menikah denganmu karena segala bujuk rayumu yang busuk itu! Tidak! Tidak! Aku cuma kasihan pada ayahku dan ayahmu, dan aku mengingat hari depan anak ini. Anak yang tidak kuinginkan sama sekali. Anak yang telah menghancurkan hidupku tapi aku sendiri tidak sampai hati untuk menghancurkan hidupnya!"

Feisal merah padam. Digigitnya bibirnya sekeraskerasnya untuk menahan gemetar dan diperhatikannya sulaman pada alas meja.

Untuk beberapa saat keduanya berdiam diri. Karmila ingin mengusirnya pulang, tapi tidak mendapatkan kata-kata yang cukup halus dan tepat. Gadis itu terlalu halus perasaannya dan tidak sampai hati melihat Feisal merah padam terus-menerus.

Tiba-tiba Feisal mengangkat mukanya! Karmila kaget. Untuk sejenak, keduanya saling berpandangan. Kemudian Feisal lekas-lekas mengalihkannya kepada lukisan pantai selatan yang tergantung di sebelah kiri.

"Mila," katanya tanpa berani menoleh,

"saya mendengar dari ayahmu mengenai tunanganmu. Percayalah, sungguh mati, saya amat menyesal. Maukah engkau membiarkan saya menerangkan segalanya kepada orang itu? Bila dia masih menyukaimu, saya akan membiarkan engkau pergi. Akan tetapi bila dia menolak, demi Tuhan, saya takkan rela orang lain menghinamu. Saya akan..."

Karmila menggeleng keras-keras.

"Menghinaku? Seumur hidup belum pernah ada yang menghinaku sampai aku berjumpa denganmu!"

Feisal menjadi pucat. Bibirnya putih seperti lilin gereja.

"Mila, maukah engkau melupakan yang telah lalu? Setiap kali engkau mengatakannya, saya merasa tersiksa

"Hm. Dan aku? Kaupikir, engkau tidak menyiksaku dengan perbuatan itu?"

Feisal menelan liur. Dia sungguh-sungguh takluk. Kesombongan dan kegarangannya tidak bersisa lagi. Dia merasa takut. Takut kehilangan Karmila dan anaknya yang berharga itu.

Karmila meliriknya sebentar lalu mencibir.

"Sekali lagi aku mau bilang, kita menikah hanya karena anak ini. Dan hakmu cuma berkisar sekitar anak ini. Aku tidak mau bicara tentang tanggung jawab. Karena aku tidak tahu apakah laki-laki semacam engkau mempunyai tanggung jawab. Engkau masih harus membuktikannya. Menjual obat perangsang dan obat bius, itu soal lain. Tapi mempergunakannya untuk menipu orang-orang gadis-gadis hijau tidak. .. aku tidak menganggap itu suatu tanggung jawab. Mengenai urusan pribadiku, kuharap engkau jangan mau tahu! Aku bisa mengurusnya sendiri." Karmila berhenti sebentar sambil membalas pandangan Feisal dengan liriknya yang tajam dan angkuh

"Nah," katanya menghela napas,

"bila tak ada lagi yang akan kaukatakan, aku mau masuk ke dalam!"

***

Karmila duduk di sudut menanti giliran. pagi pagi Feisal mendaftarkan namanya dan dia mendapat nomor lima. Dokter itu memang banyak sekali pasiennya. Nomor lima itu baru setengah tujuh pagi.

Feisal duduk di sebelah Karmila dengan tenang. Matanya menatap ke jalan. Sesekali Karmila meliriknya. Kadang-kadang ingin juga diajaknya laki-laki itu bicara, tapi dia tidak tahu dari mana mesti mulai. Lagi pula, seringkali dia merasa malu, melihat kesabaran dan perhatian Feisal yang berlebihan baginya.

Hari sudah pukul enam sore. Lalu-lintas masih ramai. Semuanya tergesa-gesa hendak pulang, sebab udara mendung. Angin agak kencang. Karmila melihat mobil-mobil itu tanpa perhatian. Hatinya kosong. Dia asyik memikirkan teman-temannya. Mungkin mereka tengah praktikum saat itu. Entah praktikum apa. Heh. Karmila menghela napas. Dielusnya perutnya, sebab terasa bayinya bergerakgerak. Karmiila selalu kegelian dibuatnya. Kadangkadang sekali.. oh, jarang sekali... dia amat ingin mengatakan tentang hal ini pada Feisal. Tapi dia merasa malu. Feisal sendiri tidak pernah bertanya, sebab dia tidak tahu apa-apa tentang itu.

Tiba-tiba ada becak berisi dua penumpang wanita, menyeberang dari kedua arah datang mobil. Gaz dan Landrove. Becak itu masuk di antaranya. Penumpangnya berteriak. Karmila terkejut dan tanpa disadarinya, disambarnya lengan Feisal. Feisal memegang lengannya dengan tangannya yang lain. Sebentar kemudian, Karmila sadar kembali dan segera

menarik lengannya. Feisal melepas pegangannya tanpa berkata apa-apa.

Pintu terbuka. Suster tua itu muncul lagi dengan buku panjangnya.

"Nyonya Gurong."

"Ya," sahut Feisal dan diajaknya Karmila masuk. Dokter tua itu menyukai pasangan yang simpatik ini. Suami-istri ini kalem dan tidak cerewet, katanya pada suster.

"Bayangkan," katanya dengan senyum nakal,

"mereka hampir tidak pernah berbicara satu sama lain di dalam kamarku. Tapi dalam mata mereka masing-masing, aku bisa membaca isi hati mereka terhadap yang lain."

"Pasien-pasien lain," sambung suster,

"selalu gaduh. Apalagi bila rencana berkeluarga mereka berantakan. Si istri menyalahkan suami: Suami menyalahkan istri."

"Aaaah," kata dokter itu ketika melihat Karmila dari balik kaca matanya.

"Sudah bermain sepak bola, anaknya, Nyonya?"

"Kadang-kadang dia bergerak-gerak juga, Dokter," sahut Nyonya Gurong dengan muka merah.

Diliriknya Feisal. Laki-laki itu tersenyum memandangnya. Bertambah merah mukanya. Kadangkadang dia merasa, Feisal senang berkelakar. Cuma di hadapannya, dia jarang membuka mulut.

"Nou, ya saya periksa dulu. Kalau dia suka berkeliling kutub, terpaksa saya jewer bapaknya. Nah, silakan Nyonya masuk sana. Tuan Gurong menanti saja di sini, ya? Tidak apa-apa, bukan?"

Dokter itu tertawa berderai-derai. Kedua suamiistri itu merah padam dibuatnya.

Pemeriksaan selesai dalam waktu singkat.

"Nah, segalanya beres dengan Nyonya. Datang kembali minggu depan. Sekarang mesti lebih sering kontrol, sebab udah delapan bulan. Dan bapaknya mesti lebih berhati-hati bila menciumi ibunya."

Aduh, malunya Karmila. Dia menunduk, purapura mencari uang dalam tasnya. Feisal menyangka, dia lupa membawa uang. Cepat-cepat dikeluarkannya selembar ribuan.

Ketika mereka keluar, hujan sudah mulai turun. Feisal berlari-lari ke halaman dan membawa mobilnya ke teras untuk menjemput Karmila.

Di tengah jalan, hujan menjadi amat deras. Karmila menggigil.

"Dingin?" tanya Feisal sambil memandangnya melalui kaca spion.

"Sedikit," jawab Karmila dengan kaku.

"Tutuplah kaca jendelamu."

Karmila menuruti nasihat itu. Tapi tidak berhasil

"Memang anak keras

sebelah situ. Coba.

marilah saya tutup. Nah, begitu. Mungkin lebih hangat bila engkau duduk agak ke tengah."

Karmila diam saja. Feisal menjangkau mantelnya di kursi belakang.

"Ini. Pakailah. Mantel ini amat berguna," katanya dan diletakkannya mantel abu-abu di atas pangkuan Karmila.

Karmila memegangnya sebentar, lalu memutuskan akan memakainya. Dia betul-betul kedinginan.

Setibanya di Jalan Veteran, Karmila segera teringat bahwa hari itu tanggal 23 Desember. Toko-toko berpakaian Natal semua.

"Aku belum mengaku dosa," katanya tiba-tiba.

Feisal berpaling.

"Saya antarkan engkau ke gereja," katanya dengan segera. Dan ketika Karmila tidak membantah, diputarnya mobilnya di muka Toko Oen, lalu kembali ke Katedral. Barisan umat yang antri di muka ketiga kamar pengakuan itu tidak kalah panjangnya dengan barisan sandang pangan. Menunjukkan bahwa manusia masih insyaf, mereka banyak menumpuk dosa.

Meskipun Feisal seumur hidupnya belum pernah masuk ke dalam gereja, namun dia tidak tampak canggung. Mereka berlutut sama-sama. Feisal meniru semua gerak-genk Karmila. Ketika istrinya sudah selesai berdoa, dia berbisik,

"Barisan yang

mana, Mila?"

"Yang tengah," sahut Karmila tanpa menoleh ke belakang, sebab dia sudah tahu itu kamar pastor bapa-pengakuannya.

"Kenapa?" tanya Karmila lagi.

"Engkau toh tidak akan antri sepanjang itu?" balas tanya Feisal, lalu sambungnya,

"Biarkan saya menempati giliranmu. Bila sudah dekat, baru kau datang." Dan tanpa menanti jawab lagi, dia bangkit lalu antri.

Karmila berdoa terus dengan mata berkaca-kaca. Bunda, katanya dalam hati, bila Tuhan sendiri mengampuni pendosa-pendosa yang sungguh-sungguh bertobat, mengapa saya tidak? Mengapa? Mengapa saya harus mendendam sakit hati'? Mengapa saya menyiksa orang lain? Oh. Bunda, tolonglah supaya saya boleh rendah hati dan lemah lembut dan pada malam Natal ini, berilah damai dalam hati saya dan hatinya. Oh, saya sungguh ingin melupakan semuanya.

Tiga jam kemudian, barulah tiba gilirannya. Feisal keluar lalu menanti dalam mobil. Hujan masih turun rintik-rintik. Ketika Karmila muncul, mobil putih itu cepat-cepat meluncur ke bawah tangga. menyambutnya.


Pedang Bayangan Dan Panji Sakti Huan Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr

Cari Blog Ini