Ceritasilat Novel Online

Karmila 2

Karmila Karya Marga T Bagian 2



"Apakah engkau sungguh-sungguh percaya bahwa dengan pengakuan semacam itu, dosamu betul-betul diampuni?" tanya Feisal tiba-tiba.

Karmila merasa aneh mengapa tiba-tiba dia bertanya serupa itu, namun tak ada alasan baginya untuk pura-pura tuli.

"Tentu."

"Dasa macam apa saja yang bisa diampuni?"

"He? Dosa apa? Segala dosa. Dosa kecil maupun dosa besar.

"Bila orang membunuh?"

"Juga. Dengan syarat, dia sungguh-sungguh menyesal akan dosanya dan bertobat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi."

"Jadi pembunuh yang dihukum mati itu juga mungkin diampuni dosanya?"

"Tentu saja. Asal dia bertobat dan mengakukan dosanya pada Allah. Hukuman mati itu kan cuma dari bumi?! Tapi, mengapa engkau tiba-tiba bertanyakan ha-hal ini?"

Feisal cuma tersenyum melirik Kamila dengan muka merah. Wajahnya yang putih dan tampan itu kemerah-merahan. Sekonyong-konyong Karmila tertawa melihatnya. Inilah pertama kali Feisal melihat Karmila tertawa riang di hadapannya.

"Mengapa kau tertawa?"

Kamiila sendiri tidak tahu. mengapa dia tertawa.

Di rumah Bibi, didapatinya Bibi tengah asyik menghias kandang Natal bersama Susi, yang bermalam di situ, menemani kakaknya. Feisal bersiul melihat gadis cilik itu. Susi, yang berusia sembilan tahun itu adalah buah hati Feisal dan gadis itu sendiri amat menyukainya.

"Hallo," katanya seraya jongkok di sampingnya.

Susi tersenyum malu-malu sambil memperlihatkan palungan Jesus kepadanya.

"Saya bantu, ya, Bi."

Bibi tertawa tanpa berkata apa-apa. Feisal segera duduk di lantai dan tak lama kemudian, berdua dengan Susi, dia sudah asyik dengan kandangnya. Bibi memperhatikan sebentar kerjanya, lalu pergi meninggalkannya dan mulai mengeluarkan pohon Natal dan mainan-mainannya dari lemari.

Dari kamar, Karmila dapat mendengar suara adiknya sebentar-sebentar bergurau dan tertawa dengan Feisal. Di hadapan cermiin, dibukanya bajunya pelan-pelan. Perutnya sudah amat gendut. Mirip pembawa tambur yang berjalan gontai keberatan. Karmila tidak tahu mesti tersenyum atau marah-marah. Dia tidak merasa bahagia. Tidakjuga merasa tidak bahagia.

Suratnya pada Edo sudah dibalas. Tunangannya

menyatakan akan tetap setia padanya meskipun dia hancur lebur sekalipun. Tapi Karmila tidak merasa girang setengah mati menerima berita itu. Pada Feisal, tidak pernah dikatakannya apa-apa yang menyangkut Edo dan dia.

Karmila mengambil dasternya yang tergantung di belakang pintu lalu mengenakannya. Kemudian dia duduk di muka cermin pemberian-Feisal, lalu mulai menyisir dengan sisir pemberian Feisal. Diurainya rambut yang tersasak rapi itu. Dibiarkannya jatuh ke bahu. Tiba-tiba masuk ke kamarnya alunan lagu dari radio di bawah. Dia tidak tahu namanya. Cuma dia ingat, Feisal pernah menyiulkannya sekali ketika disangkanya tak ada orang di dekatnya. Alunan nadanya penuh kesedihan dan ratapan.

Karmila termenung di muka cermin sambil memegang sehelai pita merah. Sayang dia tidak dapat menangkap kata-katanya. Pasti menceritakan tentang sebuah kasih yang putus setengah jalan. Kalau dia tidak seangkuh itu, tentu dapat ditanyakannya pada Feisal... tapi, siapuh! Takkan pernah dia mau berumah-tamah dengan bajingan. Nanti makin bertambah besar kepalanya!

Tiba-tiba pintu terbuka. lalu Susi masuk diikuti Feisal. Karmila menjadi gugup.

"Mau apa kemari?" tegurnya pada Susi, tapi sebenarnya ditujukannya pada orang di belakang Susi. Dipandangnya mereka lewat cerminnya. Susi tengah tertawa-tawa. Feisal memandangnya sambil tersenyum kecil.

"Ayo, keluar!"

Susi menari-nari sekeliling kakaknya.

"Saya atau dia?" tanyanya dengan nakal sambil menunjuk Feisal.

Karmila diam saja. Digigitnya bibirnya. Mengusir suami keluar kamar? Dan Feisal begitu manis. Berdiri diam seperti patung di kaki tempat tidur. Oh, dia sama sekali tidak berbahaya.

Tanpa berkata apa-apa, diikatnya rambutnya dengan pita merah. Dia tahu, Feisal memperhatikannya dari dalam cermin.

"Mila, kalau tidak ada perlu lagi, saya mau pulang. Besok pagi, saya jemput engkau ke gereja jam enam?"

Karmila mengangguk.

"Saya juga. Jemput," kata Susi seraya menariknarik kemejanya.

"Ya. Engkau juga."

Mereka berdua turun. Susi masih juga tertawatawa. Ketika Karmila turun hendak makan, Susi masih asyik dengan pohon Natal-nya.

"Kak, ada hadiah dari Abang Feisal. Di kamar Bibi. Baru boleh dibuka. jam dua belas." Dan dia

tertawa.

Pukul dua belas tepat, Karmila membuka hadiahnya. Sebuah arloji dan sebuah cincin bermata hijau. Susi memperhatikannya dengan sangat ingin tahu. Dia mendapat dari Feisal-nya sebuah boneka yang hampir semeter panjangnya. Berambut coklat. Cantik. Meram-melek. Bisa menangis. Bisa berjalan, meskipun giginya baru dua. Dan bisa minum.

Susi memperhatikan hadiah kakaknya dan memutuskan, hadiahnya yang paling bagus.

"Tentu saja, engkau yang paling dicintainya," kata Karmila tertawa.

"Tentu. Sebab aku selalu baik kepadanya. Tidak pernah mengusirnya. Tidak pernah memakinya."

Bibi mendapat sehelai baju dingin. Paman mendapat sebatang pipa.

"Memang bajingan itu amat pandai mengambil hati orang-orang, apalagi yang tua-tua," kata Karmila pada diri sendiri.

"Entah Ibu di rumah mendapat hadiah apa," kata Bibi, setengah mimpi.

Selain itu, Karmila juga mendapat hadiah-hadiah lain, dari Paman, Bibi, orang tua, adik-adik. Tapi Susi sama sekali tidak memperhatikan hadiah-hadiah yang didapatnya dari orang-orang lain. sehingga Karmila menegurnya.

"Mengapa tidak kaupakai cincin itu?" tanya

Bibi.

Karmila memperhatikan cincin pemberian Feisal, lalu memandang cincin Edo di jarinya. Dia memandang bibinya sambil tersenyum. Tanpa berkata apa-apa, dibungkusnya kembali hadiahnya, lalu disimpannya dalam pojok yang gelap dalam lemari.

***

SUDAH seminggu Feisal tidur di rumah bibi Karmila. Di bawah tangga, diletakkan sebuah dipan. Malam hari, Bibi memasang kelambu di situ supaya Feisal yang disayangnya itu tidak habis dimakan nyamuk.

"Bibi terlalu memanjakan Feisal," kata Karmila sering kali.

Bibinya cuma tertawa.

"Maklum. Perawan sih," kata pamannya.

"Mengapa tidak sekalian mengangkatnya jadi anak?" Kata Karmila setengah geli, setengah dongkol.

Seminggu yang lalu, Karmila tiba-tiba merasa sakit perut. Paman tidak mempunyai mobil. Terpaksa dia pergi menelepon Feisal dari rumah tetangga. Tengah malam buta, dibawanya Karmila ke rumah sakit. Ditunggunya sampai pagi, sampai dokter menyatakan Karmila boleh pulang dulu. Belum akan melahirkan. Dan sejak itu, atas persetujuan semua orang, kecuali Karmila, Feisal tidur di rumah Bibi. Untuk menjaga Karmila.

Feisal amat kesepian. Susi sudah pulang ke rumah ibunya. Karmiila tidak pernah mau bercakap-cakap. Bibi dan Paman pukul sembilan sudah masuk ke kamar. Karmila juga tahu, Feisal kesepian.

Pernah sekali, dia mengintai ke bawah dari celah-celah pinggir tangga. Dilihatnya Feisal tengah duduk di hadapan televisi sambil memeluk kedua tangannya. Dia tidak melihat penyanyinya. Matanya memandang ke langit-langit. Karmila merasa kasihan melihatnya. Di juga kesepian. Dia tahu bagaimana menderitanya orang-orang yang kesepian. Saat itu hampir saja diajaknya Feisal bermain kartu.

Akhirnya Karmila masuk juga ke kamar bersalin. Sepuluh jam dia di situ. Menderita kesakitan luar biasa. Dan Feisal duduk di sampingnya, menyeka keringatnya. Memegang tangannya. Karmila sudah terlalu kesakitan untuk menolak semuanya. Dia bahkan tidak sadar apa yang dilakukannya dan apa yang dilakukan Feisal. Dia tidak melihat betapa pucatnya wajah laki-laki itu. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Tiap kali Karmila menggeliat kesakitan, digigitnya bibirnya. Bila Karmila sudah tenang kembali, diusapnya peluhnya. Kadangkadang diberinya Karmila minum sesendok-sesendok. Pukul enam lewat tujuh menit, seorang anak laki-laki lahir. Feisal duduk di muka kamar bersalin dengan perasaan

tersiksa. Dia sangat ingin merokok untuk menenangkan kegelisahannya. Tapi dia tahu, Karmila tidak menyukai rokok. Karena itu sudah hampir sembilan bulan, dia tidak lagi mengisap. Tapi pagi itu, dirasanya betul keinginannya. Dikatupkannya tangannya. Lalu dibukanya. Lalu dikatupkannya lagi. Lalu dibukanya kembali. Lalu dikatupkannya. Lalu dibukanya. Sampai pada suatu saat, terdengar olehnya tangis bayi dari dalam, Hatinya tiba-tiba meloncat. Digesernya duduknya supaya lebih enak sedikit. Sebab badannya sudah amat kaku rasanya. Ketika dokter keluar, didapatinya Feisal tengah sibuk memandangi tali sepatunya.

"Selamat, Saudara Feisal, Laki-laki. Gagah. Dan kuat. Dan Oh! Bukan main nakalnya. Seperti he... he bapaknya!"

Merah padam Feisal.

"Dia mau menjepit gunting saya! Astaga!" Dia tertawa berderai-derai, diikuti oleh suami pasiennya.

"Anak itu handsome. Betul. Panjangnya lima puluh enam cukup panjang. Beratnya tiga kilo seperempat."

Barulah Feisal sadar betul-betul. Dia sudah menjadi bapak. Dan diterimanya jabatan tangan dokter itu. Kemudian dia melangkah hati-hati ke dalam kamar. Karmila tengah tidur. Wajahnya agak pucat.

Rambutnya kusut-masai. Keringatnya masih tampak membasahi anak-anak rambutnya. Dia baru saja dimandikan dan suster akan mengembalikannya ke kamarnya.

Feisal berdiri diam di samping tempat tidur bersalin. Tangannya mengepal-ngepal tak keruan. Dipandangnya Karmila yang tidur dengan tenang. Wajahnya amat manis dan menarik. Bibirnya yang kemerah-merahan itu tampak tertutup erat. Feisal amat ingin mencium pipinya, tapi dia tidak berani. Dikeluarkannya sebuah sapu-tangan dari kantung celananya dan disekanya peluh Karmila. Disapusapunya rambutnya supaya tampak rapi.

Tiba_tiba di belakangnya terdengar dehem seseorang. Feisal memutar badannya dengan terkejut. Seorang suster yang sudah tua tampak tersenyum memandangnya. Ditatapnya laki-laki yang tampak bahagia itu. Matanya agak merah. Pasti tidak tidur semalam. Rambutnya kusut. Pasti hasil kerja tangannya yang senewen. Mukanya berminyak. Belum mandi.

Meskipun tampangnya lusuh seperti cucian, namun suster tua itu melihat bahwa laki-laki muda itu amat bahagia. Matanya yang merah itu bersinarsinar. Mukanya yang berminyak bercahaya bangga.

"Bapak tampak amat bahagia," tegurnya tersenyum.

"O ya," kata Feisal gugup,

"saya amat bahagia."

"Anak pertama?"

Feisal menghela napas panjang.

"Ya, ya... ya yang pertama," katanya, berangguk-angguk. Sementara itu masuk brankar.

"Mau dipindahkan? Biarlah saya yang mengangkatnya."

Suster tua itu memandang Feisal dari atas ke bawah, dan memutuskan untuk membiarkannya mengangkat sendiri istrinya. Feisal memang kuat. Dia pernah ikut kejuaraan judo Jakarta dan keluar sebagai juara akhir. Karmila merupakan seorang anak kecil dalam pelukannya. Feisal hampir tak dapat menahan diri hendak mencium dan memeluk istrinya lama-lama. Kamiila tampak begitu murni dan suci dalam tidurnya seperti kanak-kanak yang cuma mimpi tentang bidadari pembawa coklatcoklat. Dengan hati-hati diletakkannya istrinya di atas brankar dan bersama-sama dua orang suster, mendorongnya ke kamar dua, kelas satu.

Karmila seperti hidup dalam mimpi. Selama lima hari di rumah sakit, pikirannya terasa kosong. Perasaan apa pun tidak ada padanya. Karena air susunya amat banyak, maka dia terpaksa menyusui anak Iaki-lakinya, meskipun hal itu sama sekali tidak disukainya. Enam kali sehari, Suster Normala membawa masuk Fani ke kamar ibunya. Setiap kali

melihat bungkusan berselimut itu, Karmila menjadi tegang. Jauh di dalam hatinya, dia amat ingin melemparkan bayi itu dan melihatnya merontaronta, menangis kesakitan. Akan tetapi bila dia menunduk memperhatikan monyet kecil itu, dilihatnya betapa tidak berdayanya Fani. Betapa lembut dia. Mulutnya yang kecil itu bergerak-gerak dan betapa lembut dia mengisap, seakan-akan takut menyakiti ibunya. Mau tidak mau, air mata Karmila berlinang-linang. Diusap-usapnya kepala yang lembut dan kecil itu. Semuanya bagian dari dirinya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengakuinya. Sesekali, sambil menyusu, Fani membuka matanya dan memandangi ibunya. Karmila merasa tertusuk. Dirasanya, anak itu bertanya dengan matanya, mengapa Ibu tidak menyukai dia.

"Engkau tidak minta dilahirkan, bukan?!" kata Karmila dalam hati sambil membelainya dan mata kecil itu menutup kembali.

Ketika Feisal datang sore-sore, Karmila sudah bangun. Di sampingnya terbaring anaknya. Baru disusui. Melihat Feisal, dia diam saja. Tidak sepatah pun keluar dari mulutnya. Feisal merasa amat tidak enak. Dia datang seorang diri, sebab ibunya masuk angin. Ayahnya sedang pergi ke Singapura.

"Anakmu cakap, lho," katanya mencoba tertawa.

"Hm," dengus Karmila.

Feisal menggigit bibir.

"Mengapa sih dia tidur melulu?"

"Mana aku tahu!"

Feisal mengeluh dalam hati. Menyesal dia tidak menjemput mertuanya.

"ibumu tidak datang?"

"Tadi pagi."

"Susi?"

"Tadi pagi! !"

"Tinus dan Martin?"

"Tolong ambilkan popok," kata Karmila tanpa menjawab pertanyaannya.

"Tolong ganti. Dia kencing."

Dengan susah payah, Feisal berusaha mengangkat kaki anaknya. Dia amat khawatir, mematahkan tulangnya yang begitu lunak. Karmila diam saja. Tidak membantunya. Malah memperhatikan pun tidak.

Pada hari Rabu, Karmila boleh pulang. Feisal datang bersama ibunya. Ketika diulurnya tangannya hendak membantu Karmila, dia ditolak dengan siku istrinya. Sebaliknya, Karmila mengulurkan bayinya. Feisal segera menerimanya, dan dengan hati-hati digendongnya bungkusan yang berharga itu. Seperti anak kecil mendapat mainan, dia melangkah cepat-cepat tanpa menantikan ibunya dan Karmila.

Mulailah hidup baru bagi Karmila. Dia kembali

ke rumah ibunya. Semua tetangga penuh pengertian padanya. Mereka membaca tentang perkosaan itu, tentang proses pengadilan yang tidak ada, tentang pernikahan di Catatan Sipil, tentang kelahiran Fani. Mereka tidak menuduh Karmila. Namun mereka pun tidak pula menuduh Feisal. Setiap orang yang mengenal Feisal saat itu... setiap orang kecuali Karmila mempunyai simpati baginya, merasa kasihan, dan tidak menyalahkan perbuatannya berlarut-larut. Semua orang-kecuali Karmila beranggapan, Feisal masih cukup baik. Masih bisa diperbaiki dan... sudah menunjukkan perbaikan.

Susi sekarang tidur sendiri di kamar lain. Sebab dalam kamar kakaknya sudah ditempatkan tempat tidur baru. Kecil. Berpelitur. Bergambar seekor bebek. Berkelambu biru. Dan di dalamnya tidur Fani. Tanpa diketahui siapa pun, pada hari pertama dia kembali ke rumah, Karmila bertekad tidak akan menyusui anaknya.

"Belikan Camelpo," katanya pada Feisal.

Feisal agak bingung. Pada waktu itu Camelpo cuma bisa diperoleh dengan resep dokter. Dan Dokter lwan tidak memberikan apa-apa. Tentu, sebab dikiranya air susu Karmila cukup. Dan begitu juga dugaan Feisal.

"Mengapa?"

"Tidak usah tanya mengapa. Anakmu perlu

Camelpo."

Feisal mengerutkan kening.

"Tahukah engkau itu perlu resep?"

"Carilah resep itu. Untuk anakmu!" katanya dengan tekanan berat pada kata terakhir.

"Bukan untukku."

Feisal ingin bertanya,

"Air susumu kurang?"

Tapi biar disambar petir, takkan keluar perkataan itu dari mulutnya. Dia takut bukan main, Karmila akan marah. Dan sangat pasti, Karmila akan naik pitam. Merasa tersinggung.

Meskipun diakuinya, istrinya itu seorang gadis dan gadis yang masih kecil! yang baik hati, tapi baginya kebaikan hati itu tidak ada. Dia cuma dapat melihat dari jauh, kebaikan itu ditumpahkan pada semua orang di sekelilingnya, kecuali padanya. Malah, khusus terbadapnya, istri yang manis itu amat pemarah dan lekas tersinggung. Tidak pernah mau bercakap-cakap. Apalagi beramah-tamah. Bila dia sedang tertawa dan Feisal masuk, maka tertawa itu lenyap segera disapu angin.

"Engkau akan membawa dendammu sampai mati," kata Feisal dalam hati, sambil memandangnya.

"Jangan lekas marah. Nanti Fani jadi pemarah." katanya, masih mencoba meredakan suasana.

"Peduli apa, aku! Lekas pergi. Pukul dua belas,

dia sudah harus minum."

"Tapi Dokter Iwan. tidak memberikan resep apa

apa."

"Cari pada dokter lain!"

Feisal menjatuhkan dirinya ke atas kursi, di samping tempat tidur Fani.

"Lekas keluar atau aku akan berteriak membangunkan anakmu!"

Feisal tidak bergerak. Ditatapnya Karmila.

"Sebenarnya," katanya dengan bibir gemetar,

"katakanlah hal yang sebenarnya. Sebab bila Fani memerlukan susu buatan tentu dokter mengetahuinya. Tapi kaudengar sendiri, segalanya beres, katanya. Katakan hal yang sebenarnya. Katakan! Katakan!" Suara Feisal makin meninggi.

Kamila mundur selangkah. Feisal bangkit dan maju. Karmila mundur lagi.

"'Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa."

"Mengapa Fani membutuhkan susu kaleng?" tuntut Feisal.

"Sebab dia butuh! Dia perlu makanan."

"Bohong! Bohong! Bukankah engkau tidak sudi menyusuinya'? Bukankah begitu? He. bukankah begitu?"

Feisal maju lagi.

"Aku memang tidak sudi menyusui dia. Aku tidak menghendakinya. Mau apa? Aku tidak merasa

itu anakku. Engkau boleh bawa dia pergi sekarang juga. Bila engkau kurang senang..."

"Baik," kata Feisal dengan amat gusar.

"Baik!"

Dia duduk di atas tempat tidur Karmila lalu merenung sebentar.

"Aku akan bawa dia ke rumahku. Aku akan sewa orang untuk menyusuinya!"

"Hm, ber-aku ya kau sekarang. Tidak lagi bersaya!" kata Karmila dalam hati.

"Mila," bujuknya beberapa saat kemudian,

"bila engkau sudi menyusuinya, kami ayah dan anak akan sangat berterima kasih seumur hidup kami. Pikirkanlah, Mila. Daripada kau buang-buang air susu itu. Bukankah kau tahu, air susu ibu yang paling baik? Dan mengenai kanker pada wanita yang tidak menyusui... atau apalagi, entah, engkau pasti lebih tahu. Engkau mempelajari semuanya itu, bukan?"

"Jangan takut-takuti aku!" bentak Karmila dengan geram. Tapi memang dia menjadi takut. Di dunia ini, yang paling ditakutinya penyakit. Apalagi penyakitpenyakit yang belum ada obatnya.

"Bukankah kau akan menyewa orang?" ejek Karmila.

"Mila," pinta Feisal dengan suara memohon.

"Hm. Berapa akan kaubayar orang itu?"

"Berapa? Ya, berapa dimintanya! Sepuluh, dua puluh, seratus, dua ratus

"Dua ratus ribu sebulan?"

"Mengapa tidak? Untuk Fani "

"Beri aku dua ratus ribu dan akan kususui anak itu sebulan."

"Mila! Kau gila!"

Karmila tersenyum mengejek.

"Mila, bila engkau memerlukan uang, katakan. Berapa? Sejuta? Aku jual rumahku di Kebayoran. Rumah itu masih kuberikan padamu. Bila kau menghendakinya. Biarpun biarpun menurut perjanjian, sejak Fani lahir, surat nikah kita tidak berlaku lagi, biarpun kita sedang mengurus perceraian kita. Bahkan biarpun kita sudah bercerai, Mila, bila engkau membutuhkan uang, aku akan memberikannya dengan segera. Aku tidak mau, engkau kekurangan. Aku tidak peduli bila aku terpaksa menjual semua barangku, tapi selama aku masih sanggup, aku akan memenuhi kebutuhanmu. Engkau perlu uang? Ya? Berapa? Aku berikan hari ini. Tapi aku belum pernah mendengar seorang ibu dibayar untuk menyusui anaknya sendiri."

"Siapa bilang aku menyusui anakku sendiri? Bukankah kita ini akan bercerai? Anggaplah, sudah bercerai. Engkau bukan suamiku. Anak itu bukan anakku."

"Mila!"

"Dan aku mau menjual air susuku. Bukankah engkau mencari orang? Zaman dulu, wanita-wanita miskin biasa melakukannya."

"Mila!"

"Kalau kau mau bawa anak itu sekarang, boleh juga."

"Mila!"

Tiba-tiba Fani menangis. Melihat ibunya tidak juga bergerak Feisal menghampiri tempat tidur anaknya. Dirabanya popoknya. Kering. Feisal menjadi kecut. Anak ini tentu lapar. Diangkatnya dan didukungnya anak itu. Tapi tangisnya makin menjadi-jadi.

"Anak ini lapar," katanya seraya mendekati Karmila.

"Dua ratus ribu!" kata gadis itu sambil duduk di muka cermiin dan hendak mulai menyisir.

Fani terus juga meronta-ronta. Feisal mendukungnya dengan tangan kiri dan dengan tangan kanan, dikeluarkannya buku cek dan diletakkannya di muka Karmila.

"Aku akan tulis cek ini," katanya dan disorongkannya anaknya.

Karmila segera menerimanya dan membawanya ke luar kamar. Ketika dia kembali, menidurkan Fani, di atas meja riasnya terletak sehelai cek dua

ratus ribu.

Setiap sore. Feisal datang menengok anaknya. Rumah orang tua Karmila yang sederhana itu sekarang penuh dengan barang-barang mewah lemari es, mesin cuci, AC, telepon. KeCuali teve yang memang sudah ada, barang-barang lain merupakan tanda bakti Feisal pada mertuanya.

Sebenarnya semua itu diperuntukannya bagi istrinya. Semula dia bermaksud memberikan dan melengkapi rumah yang baru dibelinya di Kebayoran. Tapi, gadis Karmila sama sekali tidak tampak sebagai wanita yang keras kepala itu menolak semuanya, dan bertekad mau tetap tinggal di rumah orang tuanya, sampai sudah pasti tunangannya datang menjemputnya. Feisal tidak kehilangan akal. Dibawanya semua barang-barang itu ke rumah mertuanya. Jadi, tiap kali Karmila mencari es ke lemari es atau mengangkat telepon, mencari kawan-kawan kuliahnya, berarti dia menerima dan mempergunakan pemberian orang yang amat dibencinya.

Tiap pagi, ayah yang masih muda itu menelepon, menanyakan keadaan anaknya. Bila dia menelepon lewat pukul tujuh, Karmila yang akan menerimanya dan itu berarti: jawaban singkat sepatah dua patah. Tapi bila Susi belum pergi sekolah. maka Feisal akan menerima jawaban yang amat menyenangkan dan penuh detil-detil penting mengenai Fani, dan

keduanya akan berbicara sepuluh menit atau mungkin lebih, bila Susi tidak diperintahkan oleh ibunya untuk segera makan atau berangkat ke sekolah. Susi amat mengasihi Fani. Dialah satusatunya orang kepercayaan Feisal untuk mengawasi anaknya. ibu mertuanya sayang juga pada cucunya, tapi Feisal tidak berani memberinya perintahperintah seperti yang dilakukannya pada Susi.

"Sus, kalau Kak Mila tidur, tolong jaga Fani, ya." atau "Sus, ajak Fani main-main, ya."

Tanpa diperintah pun, Susi akan suka bermainmain dengan Fani. Malah itu kerjanya tiap hari, setelah pekerjaan rumahnya selesai. Apalagi sekarang, Fani sudah tiga bulan. Gemuk. Bulat. Dan tidak cengeng. Selalu siap untuk tertawa bila orang mengajaknya main-main. Seakan-akan dia insyaf, ibunya tidak menyukainya. Maka dengan segala daya upaya hendak direbutnya kembali cinta ibunya. Wajahnya amat manis. Hidungnya mancung dan kecil. Bibirnya merah. Matanya bulat dan bersinarsinar. Rambutnya hitam. Bulu matanya panjang dan lentik. Semua yang melihatnya, mengatakan bahwa Fani itu ekstra manis, ekstra sehat, ekstra dalam mengambil hati orang. Ibu Feisal amat merindukannya. Tiap kali anaknya datang Feisal diam seorang diri di rumah yang dibelinya bagi Karmila selalu ditanyainya mengapa Fani tidak dibiarkan

dirawat olehnya.

"Aku toh belum terlalu tua untuk merawat cucu. Apalagi bila ibunya masih ingin kuliah."

Tapi Feisal yang tidak pernah menceritakan apaapa tentang Karmila, beranggapan bagaimanapun, seorang anak lebih baik dirawat oleh ibunya sendiri. Dia tidak percaya Fani akan dimusuhi mati-matian oleh Karmila. Buktinya anak itu sehat dan lincah.

Akan tetapi ketika Fani hampir empat bulan, Karmila tiba-tiba dihinggapi demam ingin kuliah kembali. Dulu dia setuju akan menunggu sampai Fani berusia enam-tujuh bulan, sampai dia sudah boleh diberi makanan tambahan. Tapi kini, tidak boleh tidak, dia ingin kuliah. Feisal menjadi bingung.

"Engkau tahu akibatnya bagi Fani?"

Fani, mendengar namanya dipanggil, segera menoleh dan memandang ayahnya, lalu tertawa, dan membalikkan badannya dengan susah payah.

"Dia sudah pandai telungkup," gumam Feisal, lalu pada Karmila,

"Apakah cek itu masih kurang?"

Karmila merah padam. Cek itu merupakan rahasia di antara mereka berdua. Feisal tidak pernah mengatakannya pada siapa pun dan Karmila rupanya begitu juga. Pada ibunya, dikatakannya, Feisal memberinya uang itu setiap bulan dan ibunya menganggap hal itu wajar.

"Bukan soal uang. Aku ingin kuliah lagi. Titik. Fani mesti kawambil."

"Oke, engkau kuliah lagi. Tapi anak ini toh boleh tetap di sini? Ibumu pasti tidak keberatan mengurusnya, sebab kalau aku tidak salah, selama ini pun Ibu yang merawatnya. Engkau kan cuma tukang susu, tok?!"

Karmila tersenyum masam.

"Tidak. Dia menggangguku."

"Mengganggu bagaimana?"
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak bisa belajar dengan tenang. Dia akan menangis dan minta perhatian."

"Ah, engkau toh tidak belajar terus-menerus? Setiap saat?"

"Tapi aku akan ingin bermain-main dengan dia dan melupakan diktat-diktat."

Feisal tertawa.

"Salahmu sendiri. Biarkan dia main dengan orang lain."

"Tapi aku tertarik padanya. Aku tertarik pada setiap anak kecil. Aku menyukai mereka. Dan aku khawatir bila terlalu lama di sini, aku tidak akan sanggup melepaskan diri darinya dan... dan itu akan menyukarkan aku di kemudian hari."

"Engkau mulai menyukai anak itu?"

"Ya sahut Karmila pelan, sambil menunduk.

"Ya, ya, aku menyukainya dan mencintainya. Tapi jangan engkau bersorak dulu. Itu wajar. Setiap orang menyukai dan mencintainya."

Secara kebetulan, keduanya menoleh ke arah boks. Fani sedang menjilat-jilat bola merahnya. Karmila membuang pandangannya ke samping supaya Feisal tidak melihat air matanya.

"Baiklah," kata Feisal akhirnya.

"Bila anak ini menghalangi engkau, aku akan mengambilnya. Tapi tidak mungkin cepat-cepat. Aku mesti membuat persiapan dulu dan engkau mesti datang ke Kebayoran untuk mengatur kamarnya. Aku akan memerlukan seorang pengasuh yang berpengalaman. Ibuku tidak mungkin merawatnya."

"Mengapa engkau tidak pindah ke rumah orang tuamu?" tanya Karmila dengan sedikit simpati.

"Dengan begitu kau tidak usah repot-repot."

Feisal menggeleng.

"Aku sudah berumah tangga, meskipun dia tersenyum memandang bekas istrinya rumah tangga itu sudah jadi puing, Aku tidak mau menyusahkan orang tuaku lebih banyak. Cukup, ketika aku belum kawin. Semua salahku. Semua salahku." Dipukul-pukulnya kepalanya, lalu dilihatnya Fani mencoba meniru-niru gerakannya. Feisal tersenyum dan mengangkatnya dari boks.

"Awas, jangan kau manjakan," kata Karmila.

Feisal menciumi anak laki-lakinya tak puas

puas. Fani tertawa sambil berteriak-teriak. Karmila memandangi mereka berdua.

"Mungkin. . .mungkin engkau dapat membawanya kemari setiap hari Sabtu dan Minggu dan harihari libur."

"Oh, tentu. Betapapun bajingannya aku, aku tidak ingin anakku melupakan ibunya yang manis dan baik hati."

***

Anak itu kini genap setanun. Rumah kecil di Kebayoran itu penuh dengan gelak tertawa sanaksaudara. Di ruang tengah telah dipasang sebuah meja panjang, dialas dengan kain putih. Ibu Feisal memasang bunga-bunga anyelir merah putih di atasnya, dijepit dengan jarum pentul.

Susi turut membantu. Di dapur, ibu Karmila masih sibuk menghias hidangan-hidangan. Tinus dan Martin bermain-main dengan Fani di atas perahu karetnya di halaman belakang. Feisal membuat sebuah kolam untuk mengajar anaknya berenang.

Fani sudah dapat berjalan. Meskipun masih seperti orang mabuk. Dan bermain-main dalam air bersama ayahnya, menjadi kegemarannya yang istimewa. Pukul enam, Feisal pulang. Mendengar suara mobil ayahnya, Fani segera berdiri dan berlompat-lompat.

"Hallo," seru Feisal seraya melambai-lambaikan boneka beruang yang ditemukannya di beranda muka.

Bukan buatan senang hati Fani melihat ayahnya.

"Pappa... Pappa..." katanya berulang-ulang.

Feisal mengulurkan tangannya dan Fani keluar dari perahunya.

"Mana Kak Mila?" tanya Tinus dan Martin berbareng.

"Masih di sekolah."

"Praktikum?"

"Iyup!"

"Uh uh " seru Fani meminta bonekanya. Di dalam rumah, semua orang menantikan Feisal.

"Mengapa Karmila tidak ikut?" tanya ayahnya.

"Masih praktikum."

Laki-laki tua itu tidak berkata apa-apa lagi mendengar itu. Diketuk-ketuknya pipanya dan Fani memperhatikan kakeknya dengan penuh minat.

"Kita mulai atau menunggu Karmila?" tanya ibu Feisal.

"Kita mulaijam tujuh nanti?" tanya ibu Karmila yang masih berharap anaknya akan datang.

Feisal diam saja memandangi anaknya.

"Bagaimana. Feisal?" tanya mertuanya.

"Engkau berhasil menemui dia?"

Feisal menghela napas dan cepat-cepat mengalihkan kembali pandangannya kepada Fani yang tengah asyik menyaksikan abu beterbangan dari pipa kakeknya.

"Mungkin dia tidak datang."

"Biarlah kita tunggu sampai jam tujuh," kata ayah Feisal menengahi.

Ayah Karmila tidak hadir. Belum pulang dari tugas ke Sumbawa.

Sementara itu makin banyak sanak-saudara yang datang. Kebanyakan saudara-saudara Feisal. Dari pihak Karmila cuma hadir Bibi, Paman, dan seorang adik laki-laki ayahnya. Semua orang menanyakan, mana Karmila.

"Dia masih membenci suaminya," kata seorang.

"Dia tidak menyukai anaknya," kata yang lain.

"Dia sudah bercerai."

"Dia memang tidak pernah tinggal serumah dengan Feisal."

Dan banyak lagi yang dikatakan tamu-tamu itu. Tapi Feisal sendiri tidak berkata apa-apa. Dia asyik duduk memangku anaknya dan bermain-main dengannya. Fani makin lama makin gelisah. Setiap kali ada tamu datang, dia tentu kena ciuman dan itu membuatnya tidak senang. Bila ada orang mendekatinya, lekas-lekas disembunyikannya mukanya dalam pelukan ayahnya dan menolak ciuman yang dipersembahkan para bibi dan paman. Akhirnya dia tidak tahan lagi dan menangis, mencari ibunya. Selama ini setiap pekan dia selalu mengunjungi ibunya dan bermalam di sana.

"Kenapa dia?" tanya neneknya.

"Mamaaa... Mamaaaa " lengkingnya tanpa

mempedulikan orang-orang yang bergembira ria dengan makanan semeja penuh.

"Biasanya dia tidak pernah mencari ibunya. Kenapa dia, Sal? Mau tidur?"

Feisal tidak menyahut. Didukungnya anaknya lalu dibawanya masuk ke kamar. Pesta berjalan dengan meriah. Tapi yang berulang tahun menangis tersedu-sedu di kamarnya. mencari ibunya.

Tinus masuk.

"Kak, Fani mesti meniup kuenya."

"Ah, sudahlah. Dia sedang menangis," kata Feisal dengan sedih.

Semua boneka diturunkan dari rak oleh Feisal dan diletakkannya di hadapan anaknya. Tapi Fani tidak terhibur. Dia tetap ingin bertemu dengan ibunya.

"Sayang... sayang..." kata Feisal kehabisan akal.

"Sudah hampir pukul sembilan, Fani... masa kita mau ke tempat Mama? Kita bobo, ya?"

Fani menggeleng geleng. '"Mamaaaa... mamaaaa..."

Feisal menghela napas. Diangkatnya anak itu dari tempat tidurnya lalu didukungnya keluar dan langsung ke garasi. Tanpa setahu siapa pun. dibukanya pintu garasi.

"Nah, diamlah sekarang, Sayang. Kita ke rumah Mama, ya? Fani mau ketemu Mama?"

Karmila sedang bernyanyi-nyanyi di dalam kamarnya. Di tengah asyik menelungkup di ranjang, membuka-buka diktat untuk besok. Karmila mengulang tingkat tiga dan rajinnya bukan alangkepalang.

"Bcsok, tentu akan ada quest lagi. Perlu lihat-lihat parasito sedikit. Mm...M1nmm "

Diperhatikannya ciriciri cacing lambang jantan. Cacing tambang betina. Telur yang sudah dibuahi. Yang belum. Dan besok, asisten yang bulu matanya lentik itu akan menerangkan semuanya kembali dengan tekun dan bermenit-menit tak mau menggeser dari samping Anita, mahasiswi yang paling genit dalam kelas ..Anita yang montok itu aaahem!

Aduh, kenapa mengantuk betul aku malam ini. Besok praktikum, tidak siap-siap, bisa dapat monyet tertawa. Minggu lalu sudah kursi terbalik. Kalau tidak naik, celaka!! Oya, katanya menepuk dahi, aku belum menulis surat. Edo tentu sudah lama menantikannya. Ah! Sudah pukul sembilan! Lihatlihat cacing sejam. Pukul sepuluh mau menulis surat?

Tiba-tiba angin dingin menerpa dari belakang. Pintu kamarnya yang tidak terkunci terbuka lebar dan,

"Mamaaa... Mamaaa ..." Begitu riangnya suara

anak itu. Karmila cepat-cepat menoleh dan bangkit dari telungkupnya. Tapi terlambat. Fani sudah menerkamnya. Dan di belakangnya berdiri Feisal.

"Oh."

"Mamaa ..." kata Fani sambil memandangnya. Kedua bibirnya tersenyum. Karmila duduk di atas tempat tidur, membungkuk dan menciumnya.

"Anak nakal. Malam-malam begini," katanya pura-pura marah.

"Dia menangis mencari ibunya," kata Feisal sambil duduk di ujung tempat tidur.

Karmila tertawa.

"Mengapa tidak kau minta ayahmu mencarikan ibu bagimu? Ibu yang akan tinggal bersamamu. Malammalam begini engkau tidak usah berkeliaran."

"Ikut ke rumah?" potong Feisal cepat-cepat.

"Tidak, aku mesti menyiapkan praktikum besok. Ada quest. Dulu dapat empat, sekarang mesti siapsiap jadinya."

"Bawa diktat-diktat itu."

"Tidak. Aku tidak mau pergi. Kenapa sih? Tadi kaucari aku di sekolah. Sekarang aku dipaksa ke sana."

"Bukan begitu. Kan Fani setahun."

"Ya, aku tahu. Kenapa, kalau setahun? Pesta hebat-hebatan? Sepeni anak raja? Kan ada engkau

ayahnya. Cukup. Fani kan memang tidak beribu. bukan?"

Fani dengan manja memeluk ibunya. Feisal amat ingin mencekik Karmila untuk kata-katanya. Karmila terbahak-bahak melihat Feisal menjadi pucat.

"Dengarlah. Untuk apa, terus-menerus kau ajak anak ini kemari? Dia akan sulit berpisah denganku, nanti. Padahal tiga tahun lagi aku akan pergi."

"Ah, sudahlah. Jangan bicarakan perkara nanti. Anak ini membutuhkan ibunya. Titik."

Karmila tersenyum memandangi anaknya.

"Kita keluar yo, Fan. Mama punya biskuit asin. Fani suka biskuit asin?"

Anak itu mengangguk dengan mata bersinarsinar.

"Ah, kau!" kata ayahnya menepuk kepalanya.

"Apa juga kau suka!"

"Sudah jam sepuluh. Bawa dia pulang. Nanti masuk angin," kata Karmila sambil menyerahkan Fani.

Feisal mendukungnya. Baru selangkah, Fani sudah menoleh ke belakang dan melihat ibunya tegak berdiri memandanginya, dia menangis. Dijulurkannya kedua lengannya ke belakang dan menambah keras tangisnya. Karmila jadi iba. Dia maju menghampiri dan mengambil anaknya kembali.

"Sudah. Sudah. Fani tidak mau pulang? He-eh. tidak mau pulang? Mau tidur di sini dengan Mama'? Iya? Nah, baiklah. Tapi jangan menangis, ya."

Dibawanya anaknya masuk ke kamarnya dan dibujuknya anak itu. Feisal mondar-mandir di muka kamar. Ketika didengarnya tangis anaknya sudah reda, dia berteriak,

"Aku pulang, ya!" Karmila tidak menyahut. Dia tengah asyik menelungkup mempelajari cacing-cacing. Di sampingnya tertidur nyenyak anaknya.

***

KARMILA memeriksa Yanto sambil sebentar-sebentar tersenyum untuk membesarkan hati anak itu bahwa segalanya beres. Dia tidak akan disuntik.

"Sakit di sini?" tanya Karmila menekan-nekan perutnya. Yanto menggeleng sambil menatapnya dengan bola matanya yang bulat.

"Hatimu masih juga membesar dan keras, Yanto. Engkau tidak boleh turun-turun dari tempat tidurmu ini, ya? Dan engkau mesti makan habis makananmu, ya?"

Yanto mengangguk.

"Engkau selalu menghabiskan semua makanan yang diberikan tante suster padamu?"

Yanto memandangnya dengan ragu-ragu. Lalu menyeringai.

"Nah, itu! Tidak kauhabiskan, kan? Mengapa?"

"Tidak enak, sih."

"Tidak enak?"

Karmila mulai mengetuk-ngetuk perutnya untuk mencek keadaan lambung, usus, dan hatinya.

"Tidak enak, bagaimana toh, Yanto?" Yanto

diam saja memandangnya.

"Hm, tidak enak bagaimana? Kurang garam? Iya? Kurang garam? Oh, baiklah. nanti saya minta tambah garam untukmu. ya. Tapi mesti kauhabiskan makanan itu, supaya badanmu lekas segar, ya. Nah, sekarang, coba saya lihat matamu. Masih kuning? Dan kencinginu bagaimana? Juga masih seperti teh?" Yanto mengangguk-angguk saja. Sebenarnya anak itu tidak mengerti apa-apa. Karmila juga tahu hal ini.

Anak lima tahun. Dia sebenarnya teringat Fani. Anak itu baru empat tahun, tapi cerdiknya!

Mila tersenyum. Yanto tersenyum kembali. Tapi Karmila tersenyum mengenang anaknya.

Kemarin dia datang bersama ayahnya.

"Aku mau titip dia seminggu," kata Feisal padanya.

Karmila berhenti sebentar menghapal tetamrs neonatorum. Tapi dia tidak berkata apa-apa.

"Aku ada perlu ke Penang. Seminggu saja. Kau terlalu sibuk?"

Feisal melirik buku di tangannya.

"Ujian besok."

"Tapi Fani tidak akan menyusahkan engkau. Juru rawatnya akan ikut kemari."

Mula-mula Karmila diam saja. tapi kemudian sekonyong-konyong dia merasa tidak suka dengan

segala juru rawat.

"Kauperlopkan saja dia seminggu. Biarkan Fani di sini sendiri. Ada Ibu dan Susi yang akan mengurusnya. Perlopkan saja dia."

"Dia siapa?"

"Juru rawatmu!"

"Bukan juru rawatku! Dia merawat Fani."

"Baiklah. Juru rawat Fani, kalau begitu."

"Oke, aku perlopkan dia. Cuma seminggu?"

Karmila tidak meladeni lagi. Dia kembali tekun dengan tetanusnya. Sementara itu Fani datang mendekat dan membelai-belai kaki ibunya dengan caranya sendiri.

"Mau apa?" tanya Karmila akhirnya tanpa menarik kakinya.

Fani tersenyum.

"Mama..."

"Mmmm ada apa?"

"Ambilkan kertas koran. Mama buatkan balon."

Fani segera turun dari kursi dan berlari mengambil koran.

"Ini."

Karmila segera melipat-lipat kertas itu.

"Dua ya, Mama "

"Mmmmm

"Dua ya, Mama. Dua, ya?" Dan ditunjukkannya dua jarinya.

"Mama, dua ya?"

"Satu dulu. Besok satu lagi. Sekarang Mama sibuk belajar."

Balon itu siap. Karmila menyuruh Fani meniupnya. Bukan main girangnya anak itu.

"Besok satu lagi, ya? Besok satu lagi, Mama." Dan dia berlari ke luar membawa balonnya.

Feisal memberinya benang dan mengikatnya pada sepotong lidi. Sekarang balon itu dapat mengambang-ambing kian kemari. Lima menit kemudian, Fani datang kembali pada ibunya.

"Rusak. Mama, rusak. Mam " Dibelai-belainya kaki ibunya.

"Mama, balonnya ms.ak. Mama... Mama " Suaranya mengiba-iba.

Karmila menggigit bibirnya. Dihitungnya lembaran yang belum dipelajarinya. Masih dua puluh! Dan besok pukul tujuh ujian! Ditengoknya jam dinding. Pukul setengah delapan. Pukul sebelas dia pasti sudah akan terkantuk-kantuk.

"Mama Mama Sekarang kaki itu digoyanggoyang oleh Fani.

Aduh! Mana sih ayahnya! Karmila tiba-tiba bangkit berdiri dan mendorong Fani ke samping. Anak itu kaget, terhenyak ke lantai dan menangis. Karmila terus masuk ke kamar dan berbaring dan mulai lagi menghapal. Di luar ribut hiruk-pikuk. Sekonyong-konyong Feisal masuk.

"Kenapa dia, Mila? Karmila! Aku tanya kau! Kenapa dia?"

Karmila terus komat-kamit menghapal.

"Kawapakan dia?" bentak Feisal.

Ketika Karmila masih tetap diam, Feisal maju dan membalikkannya.

Karmila sama sekali tidak menyangka Feisal berani melakukan ini. Dia begitu kaget hingga tidak sanggup bilang apa-apa.

"Kau!" kata Feisal sambil menunjuk hidungnya.

"Baiklah. Bila engkau tidak sudi menerima dia, akan kubawa dia pulang. Jangan khawatir. Dia masih punya ayah. Dia punya rumah. Jangan kaubenci dia sampai ke sumsum tulangmu! Dia tidak bersalah apa-apa!" Dengan kata-kata itu, Feisal keluar.

Sialan! Sialan! Bagaimana aku besok mau bikin ujian?!

"Mila! Mila!" teriak ibunya.

Karmila berhenti bernapas. Bila ibunya marah...!

Sejak dia tertimpa malapetaka itu, hampir tidak pernah ibunya marah.

"Mila! Di mana kau?"

"Di sini."

"Kemari !"

Sialan! Si Feisal sjalan!

Karmila mencari selopnya yang ditendang Feisal ke bawah ranjang.

"Milaaaaa ...!"

"Yaaaaa."

Di ruang tengah, Feisal tengah asyik membujuk Fani. Anak itu terisak-isak. Mukanya sudah merah. lngusnya sebentar-sebentar mengalir ke luar dan Feisal sebentar-sebentar menyekanya. Ibu Karmila duduk di hadapan mereka tanpa berkata apa-apa. Susi berdiri di samping kursi dan ikut membujuk-bujuk keponakannya. Ketika Karmila masuk, sedetik Fani menghentikan isaknya dan suasana menjadi sunyi. Tapi segera juga dimulainya kembali tangisnya kelika dilihatnya ibunya cuma berdiri diam di depan neneknya tanpa mengacuhkan dia.

"Ada apa?"

"Anak itu! Lihat! Sudah matang biru mukanya!"

Sialan! Aku tidak bisa belajar malam ini! Sialan! Dibalikkannya tubuhnya. Memang sudah merah betul muka Fani. Tanpa berkata apa-apa, diulurkannya tangannya. Sambil menangis tersedu-sedu, Fani mengulurkan juga kedua tangannya yang gemuk itu dan memeluk leher ibunya. Dibawanya anak itu ke kamarnya dan dikuncinya pintu. Di dalam kamar, diciumnya anaknya dengan pedih hati, dengan penuh cinta kasih, dan Fani segera menghentikan tangisnya dan tidur.

***

"Nah, Yanto. sekarang saya mau pergi dulu. Nanti, kalau kencing, kaumasukkan sedikit ke dalam botol ini, ya. Saya mau memeriksanya."

Yanto menggenggam botol kecil bekas penisilin
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dan berbaring kembali.

Karmila melihat arlojinya. Sepuluh kurang seperempat. Dia mesti lekas-lekas membereskan lab dari Yusuf. Sebentar lagi Dokter Saleh akan pulang. Dia perlu menanyakan diet dan pengobatan yang tepat, dan untuk itu perlu dibuilt dulu diagnosa.

Di lab. Helen sedang ribut. Dia jatuh di Bagian Anak dan mesti ikut lagi rombongan Karmila.

"Setan! Siapa sih di sini lelaki tukang ngadu! hh. Mila, di dalam grup ini siapa sih itu lelaki bermulut perempuan?"

"Kenapa?" tanya Karmila sambil meneteskan cmm ke atas Obyek-glas.

"Kemarin dulu, Helen bergurau dan bilang, 'Kalau aku yang antar kue itu ke rumah si Saleh dan bukan Rita, tentu aku juga lulus pediatn'. Nah, sekarang " kata Ani mengambil napas baru,

"ada orang yang mengadu pada Herman dan Herman sudah pasti, menyampaikannya pada Rita. Mereka pergi berdua ke rumah si Saleh. Dan Kita tentu saja menanyakan hal itu pada Helen."

"Sial," keluh Helen.

"Sudah di-her. Masih dimusuhi orang."

"Ah, sudahlah. Anggap saja orang itu kambing," kata Karmila.

"Tidak. Justru aku tahu, dia bukan kambing. Sebab berhidung kerbau dan pemilih dalam berteman."

"Sudahlah. Jangan pedulikan omongan orang. Kalau ada orang yang membenci atau membicarakan kita, itu lumrah saja. Kita ini makhluk hidup yang sosial. Jadi mesti bergaul dan dalam pergaulan seorang tidak menyukai orang lain, itu biasa."

"Entahlah. Aku sendiri tak habis pikir. Bagaimana seorang lelaki bisa bermulut perempuan, mengadu sini, omong sana. Dan aku tidak enak hati. Sebab kebetulan aku sama sekali tidak punya pikiran jelek tentang Rita. Aku di-her, ya di her. Mau apa lagi. Tapi kok, orang sejahat itu...."

Karmila pergi ke luar membawa mikroskopnya, mencari sinar terang.

Siang itu Karmila pulang pukul tiga. Fani sedang tidur. Ada surat dari Edo. Karmila mencopot sepatunya pelan-pelan, takut membangunkan yang tidur. Sambil menekankan bantal pada perutnya yang lapar, dibukanya surat itu.

Edo menjelaskan dengan terperinci. apa apa yang harus dilakukannya bila dia terbang ke Benua Selatan itu, beberapa bulan nanti. Edo yang menanyakan apakah paspor dan surat-surat lain sudah lengkap. Karmila tersenyum dan ketika diangkatnya matanya dari surat itu, tertumbuk olehnya mata Fani di atas mejanya. Foto itu dibuat pada hari ulang tahunnya yang kedua.

Feisal sudah menyediakan diri untuk mengurus paspor dan surat-surat lain. Tapi sampai sekarang belum ada yang tahu hasilnya dan Karmila sendiri segan menegurnya. Tujuh bulan lagi dia akan terbang ke Perth. Dan Fani... tiba-tiba dia menoleh memandang anaknya yang tengah tidur. Aku terpaksa meninggalkannya di sini. Apa boleh buat. Kamiila bangkit dan mencari makanan.

***

SORE itu Feisal datang menjemput Fani yang dibawanya malam kemarin. Susi membukakan pintu dan pipinya tiba-tiba menjadi merah.

"Kenapa, Sus?" godanya tertawa.

"Kau sangka yang datang si itu-mu?"

"Dia janji mau datang jam lima. Sekarang sudah lewat lima belas menit," katanya seperti mau menangis.

"Ah, barangkali dia kena razia. Tadi di Jalan Jenderal Sudirman, aku lihat banyak motor-motor distop dan..."

"Oh, kalau dia distop juga! Filmnya main jam enam seperempat!"

"Kalau dia tidak datang juga, nanti kita nonton bersama. Tapi biarkanlah aku masuk. Boleh? Di mana Fani?"

"Sedang bernyanyi bersama ibunya."

"Di mana?"

"Di kamar mandi. Tadi dia jatuh di halaman. Kotor. Terpaksa dimandikan lagi. Duduklah. Kak. Susi masuk dulu, ya?"

Feisal mengangguk dan duduk menjulurkan kakinya yang penat-penat. Diambilnya sehelai Koran Minggu. Dl dalam terdengar suara Fani bernyanyinyanyi tak keruan. mengikuti suara Karmila. Diletakkannya koran itu lalu masuk.

"Papa!" teriak Fani sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Ayo cepat! Pakai celananya!" hardik Karmila.

"Pegang Mama dengan tanganmu. Angkat kaki ini. Sebelah lagi. Nah! Sekarang kita ke kamar."

Fani sudah lari memeluk ayahnya. Dan Faisal mengangkatnya tinggi-tinggi melewati bahunya. Fani tertawa gelak-gelak sampai merah mukanya.

"Aduh!" seru Karmila menepuk paha anaknya.

"Engkau kan belum bersisir! Ayo, sini!"

Fani melompat-lompal mengikuti ibunya. Karmila menggeleng-geleng melihat kenakalan anak itu. Fani baru saja merayakan ulang tahunnya yang keempat. Dan setiap orang menyukai dia, kecuali barangkali ibunya. Karmila jongkok dan menyisiri anaknya.

"Mama... cup!" Tiba-tiba Fani mencium pipi ibunya dan tertawa.

"Nakalnya!" kata ibunya tersenyum dan mencubit pipinya.

Sore itu di rumah cuma mereka bertiga. Susi sudah pergi nonton dengan teman-temannya. Anak

anak laki-laki pergi latihan koor. Ayah dan ibu Karmila pergi mengunjungi seorang kenalan yang baru saja menjalani operasi tumor di dalam rahim. Babu belum ada yang datang, sebab mereka pulang setiap Sabtu sore dan kembali hari Senin. Jadi mereka bertiga duduk-duduk di halaman, dibalik semak-semak air-mata-penganlin. Fani duduk di antara ayah dan ibunya, sebentar menepuk ke kiri, sebentar ke kanan. Karmila pura-pura asyik memperhatikan seekor kumbang di atas bunga mawar. Feisal asyik pula memperhatikan bunga air-mata-pengantin yang dibukanya helai demi helai.

Fani memandang ibunya. Digoyangnya paha ibunya pelan-pelan. lalu makin keras, lain lebih keras, lalu sekuat tenaganya. dan dipandangnya lagi ibunya. Ibunya tetap asyik memandangi bunga mawar. Dia menoleh kepada ayahnya dan mulai mencubiti paha ayahnya. Juga di sini dia tidak mendapat perhatian. Fani menjadi marah. Dia lompat turun dan menghampiri pohon mawar ibunya. Maksudnya mau menggoyangnya sampai semua bunganya hancur, rontok. Tapi baru saja dipegangnya sebuah batang, dia menjerit. Karmila dan Feisal seakan-akan terbangun dari tidur. Feisal melompat dan mendapatkan anaknya dengan tergesa-gesa. Dua buah jarinya tertusuk.

"itu upahnya anak nakal," kata Karmila.

"Ayo

kemari, ikut Mama. Biar Mama taruh obat yang perih betul."

Tapi mereka tidak perlu ke dalam, sebab Feisal dengan berlari-lari sudah kembali dengan sebotol obat merah.

"Untung duri itu tidak masuk ke dalam, Anak nakal! Kau tahu, kalau duri masuk, dia bisa sampai ke jantung dan kalau sudah sampai ke jantung, kau akan mati!"

"Karmila! Don't talk such nonsense! Don't frighten him!" kata Feisal dengan marah.

Karmila tertawa.

"Mengapa engkau tidak menangis terus? He, mengapa stop? Itu ada ayahmu yang akan menyusuti tetesan air matamu."

Fani memandang ibunya dengan takut lalu dipeluknya ayahnya. Feisal mengangkatnya dan mendudukkannya di atas pangkuannya dan membeIai-belainya. Karmila tertawa gelak-gelak melihat Fani tetap mengawasinya dengan mata tak berkedip.

"Untunglah ayahmu mencintaimu."

"0 ya, bagaimana dengan pasporku?"

Seketika Feisal kaget dan memandangnya. lalu cepat-cepat menoleh ke arah lain.

"Apakah engkau betul-betul mau pergi? O... 0 maksudku kapan kau akan pergi?"

"Setelah aku lulus."

"Kapan?"

"Tiga bulan lagi."

Feisal diam saja.

"Cepatnya waktu berlalu," gumamnya sendirian.

"Dulu kau masih mahasiswi tingkat tiga. Tiga bulan lagi Dokter Karmila."

"Mungkin aku tidak akan praktek di sana."

"Feisal diam saja.

"Aku akan bekerja di rumah sakit Kristen. Aku ingin memperdalam di Bagian Anak. Mungkin kita akan berkeliling ke seluruh Australia. Maksudku " Disadarinya tiba-tiba betapa pucatnya Feisal.

"Maaf tidak seharusnya aku membicarakan hal ini. Jadi, bilakah paspor itu selesai?"

"Minggu depan."

****

DUA HARI setelah Karmila menerima ijazah kedokterannya, keluarganya mengadakan pesta bagi kawan-kawannya. Sebab esok siangnya, Karmila akan terbang ke Australia dan menikah di sana. Ibunya memanggil dua orang tukang masak dan seorang tukang kue. Bibinya menutup kursus menjahitnya seminggu dan datang ke rumah Karmila untuk menjahitkannya bermacam-macam pakaian.

"Mengapa Fani sudah lama tidak datang?" tanya Susi.

"Aku tidak tahu," sahut Karmila tak acuh.

"Apakah mereka akan datang malam ini?"

"Apakah sangat perlu bagimu, bahwa mereka datang?" bentak Karmila.

Susi menanti-nanti kesempatan untuk menelepon. Tapi sejak tadi kakaknya duduk terus di situ, sebab telepon sebentar-sebentar berdering dari kawankawannya yang memberinya selamat lulus dan selamat menikah.

Karmila memakai jengki hitam. Kedua kakinya dinaikkannya ke atas sofa. Dipeluknya bantal sulam

buatan Susi dan didekapnya kop telepon yang berbunyi. Mukanya merah bercahaya. Tampaknya dia amat bahagia.

"Seingatku belum pernah dia tampak begitu bahagia," kata bibinya di dapur. Ibunya mengangguk.

"Tunangannya di Perth. sudah membeli sebuah rumah bertingkat dengan kebun luas. Engkau tahu. anak itu keranjingan kebun. Dia dijanjikan akan diajarkan cara menunggang kuda. Mereka akan mengelilingi benua Australia dalam jaguar yang baru dibeli Edo seharga... entah berapa harganya. aku lupa."

"Tapi bagaimana dengan Fani?"

"Aku juga pusing. Tapi ayahnya menganggapnya sudah dewasa dan membiarkannya mengambil keputusan sendiri. Kita, orang tua-tua memberi nasihat begini, ya kalau membawa bahagia, kalau tidak! Biarlah dia memutuskan sendiri, ke mana dia akan pergi. Feisal sendiri sudah mengatakan demikian pada kami. Dan mereka sudah agak lama tidak pernah datang. Biasanya, Fani bermalam di sini setiap pekan. Ibunya sudah mulai mengajarkannya bahasa Inggris sepatah-sepatah. Anak itu memang cerdas. Entah mengapa, mereka sudah sebulan tidak datang-datang."

"Engkau tidak pernah membicarakan persoalan ini dengan Mila?"

"Oh, kami tidak pernah menyinggung-nyinggung hal ini, kecuali dia sendiri yang memulainya."

"Dan Feisal tidak mau menikah?"

"Aku sudah menemui ibunya dan bersama-sama sudah pula kami panggil dia. Tapi Feisal bilang, belum dulu."

"Apakah... apakah " Bibi Karmila menoleh ke belakang lalu mendekatkan bibirnya ke telinga adiknya.

"Apakah Feisal mencintai anak itu?"

"Karmila, maksudmu? Entahlah. Feisal tidak pernah mengatakan apa-apa."

Bibi Karmila memberengut.

"Aku heran, mengapa engkau selalu menganggap cinta itu sesuatu yang harus dikatakan? Bukankah cinta itu dapat juga dilihat dan dirasakan dalam tindakan dan perbuatan? Alia, kalau aku jadi engkau, akan kutanyai Karmila sejelas-jelasnya, supaya dia tidak menyesal dengan putusan yang diambilnya. Sudah jelas sekali, seperti petir di malam hari, seperti matahari pukul dua belas siang, bahwa Feisal mencintai anakmu! Aku tidak ragu-ragu lagi. Aku tidak mungkin salah. Aku pertaruhkan leherku ini, bila dugaanku keliru."

"Di sini. seorang laki-laki yang penuh tanggung jawab, mencintai keluarganya, anaknya, berbakti pada orang tuanya, cukup penghasilannya, bahkan kaya. Dan juga anak itu! Aku tidak habis mengerti

bagaimana Karmila nanti akan melupakan anaknya. Bagiku, adalah mustahil melupakan anak kandung sendiri. Ya, mungkin karena aku tidak beranak. Tapi rupa-rupanya, Karmila betul-betul bermaksud meninggalkan anaknya. Ketika dulu mereka bertiga ke rumahku, tampak betul betapa Karmila tidak mengacuhkan anaknya. Kalau mereka berdua bisa menikah "

"Karmila membenci Feisal karena perbuatannya.

"Betul. Tapi bukankah dia sudah dihukum? Tidakkah dia dapat memaafkan dan melupakan? Tanyakan padanya, apakah dia itu manusia yang bebas dari dosa?"

"Tapi, Kak, kau tahu kan, Feisal itu tidak dihukum. Dia dibebaskan."

"Aku tahu itu. Maksudku, selama tiga tahun ini dia sudah mendapatkan sendiri hukumannya."

Ibu Karmila memandang kakaknya dengan tanda tanya di matanya.

"Tidakkah kau mengerti, Tolol. bahwa adalah amat tersiksa bila kau harus terus-menerus menerima hinaan dan cemoohan dari orang yang kaucintai. Dan Feisal! Aku tahu betul, betapa dia mencintai Karmila!"

"Tapi kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa."

"Ya betul, kita tidak mungkin menyalahkan siapa-siapa."

Karmila masuk ke dapur mengambil air minum.

"Apakah kau undang orang tua Feisal?" tanya bibinya.

Karmila terkejut memandang bibinya.

"O, tentu saja tidak. Ini cuma pesta buat temanteman. Pesta perpisahan. Diundang orang tuanya, tentu anaknya mesti juga. Anaknya datang, tentu cucunya dibawa. Wah," katanya, menggeleng geleng sambil tertawa.

"Bibi belum menyaksikan bagaimana anak itu menangis, kalau tidak mau pulang! Dan besok! Kalau dia mau ikut, mesti dimasukkan ke kopor mana?" Karmila berlari ke luar sambil tertawa. Bibinya menggeleng-geleng.

"Kalau aku belum tua, tentu kuambil anak itu."

"Eh, dirawat oleh ibunya sendiri pun tidak diperbolehkan. Feisal amat menyayanginya. Kalau dibawa menginap di sini, dia tidak akan pulang sebelum anak itu tidur dan Karmila mengunci pintunya."

Ketika Karmila ke dapur, Susi lekas-lekas memutar telepon. Feisal segera menjawabnya.

"Mengapa sudah lama Fani tidak kemari?" Tanya Susi.

"Dia sakit, Sus."

Feisal tidak mau mengatakan bahwa Karmiila telah memintanya supaya jangan membawa anak itu ke rumahnya lagi, sebab takut anak itu betul-betul

tidak dapat melepaskan ibunya pergi.

"Sekarang masih?"

"Ya."

"Sakit apa?"

Feisal ragu-ragu.

"Anu, biasa. Panas-panas."

"Wah, jadi tidak bisa datang sore ini, Kak?"

"Ada apa?"

"Kak Mila mau pergi dan..."

"0 ya, maaf, sampai lupa. Tapi rasanya, tidak bisa datang, Sus. Sampaikan saja selamat dari Kakak, ya."

"Dan besok siang, di Kemayoran ...?"

"Susi bicara dengan siapa kau?" teriak Karmila.

"Sebentar, Kak. dengan kawan Susi... sssst.. itu dia. Besok?"

Di ujung sana terdengar tertawa panjang yang kedengaran bagi telinga Susi amat menyedihkan.

"Ah, kau! Susi, Susi! Bagaimana seorang serdadu yang sudah kalah akan berani keluar dari lubang persembunyiannya?!" Dan telepon segera diletakkan oleh Feisal.

Pukul setengah sepuluh malam, telepon berbunyi. Tiada seorang pun yang mendengarnya. Semuanya tengah asyik tertawa-tawa. Setiap orang menemukan sedikit lelucon yang menambah gelak

tertawa di sana-sini. Karmila sudah terlalu mabuk-kepayang sehingga dirasanya tidak ingin lagi makan apa-apa. Tapi seseorang menyarangkan piring ke dalam tangannya dan dicobanya juga menyendok sedikitsedikit makanan di situ.

"Ayo! Di sana tidak akan kau jumpai lagi makanan seperti ini! Kau akan makan keju dan mentega melulu. Ha ha ha

Karmila tersenyum. Baru diangkatnya sendok itu ketika ibunya datang.

"Mila ada telepon untukmu."

"Oh." Diletakkan piringnya.

"Awas," seru Ana, tertawa,

"jangan-jangan dia! Eh, kalian, manusia-manusia tidak sopan, jangan dengarkan telepon orang lain! Ayo, menyingkir!"

Karmila tertawa gelak-gelak sambil mengambil kop telepon.

"Halloooo... yaaa... ini Karmila Dokter Karmila...? Oooh! Saya belum praktek. Ini dari mana?"

Ibunya memperhatikan muka anaknya dengan serius. Sebab dia tahu, siapa yang menelepon. Tidak lama kemudian, Karmila berdiri bingung.

"Kenapa. Mila?" tanya ibunya khawatir.

Karmila seperti tidak mendengar apa-apa. Ibunya memegang bahunya dan pelan-pelan mengguncangnya. Karmila tiba-tiba sadar. Diusap-usapnya

rambutnya sehingga terbaur-baur.

"Dia bilang apa?"

"Fani sakit."

Sekarang Susi yang menjadi kaget. Dia sudah tahu hal itu, tapi kalau Feisal merasa perlu menelepon malam-malam begini untuk memberitahukan hal itu. ..!

"Dia sudah lama sakit. Hampir sebulan," kata Susi tiba-tiba.

Ibunya menoleh.

"Dari mana kau tahu?"

Karmila mengangguk.

"Memang sudah lama. Tapi belum sebulan."

"Sudah hampir sebulan dia tidak datang," bantah Susi,

"dan itu sebab dia sakit."

"Bukan." Karmila menggeleng.

"Aku yang minta supaya mereka jangan datang lagi."

"Karmila!" seru ibunya terkejut.

"Untuk kebaikan Fani," kata Karmila dengan dingin,

"supaya dia lupa padaku."

"Dan sekarang..."

"Sekarang anak itu mau dibawa ke rumah sakit. Tapi ayahnya rupanya tidak setuju dan mau minta pendapatku.

"Dan..." Karmila berhenti. Dia tidak mau mengatakan, apa yang dikatakan Feisal anak itu mengigau terus-menerus dan menyebut-nyebut namanya.

"Apakah... apakah aku mesti pergi?" tanyanya serupa orang kebingungan.

"Mesti pergi?" seru ibunya.

"Sudah tentu! Itu tak perlu kau tanyakan lagi! Di manakah ada ibu membiarkan anaknya dalam keadaan sakit?"

Karmila menghela napas. Teman-temannya menasihatkan supaya dia pergi.

"Baiklah," katanya mengangkat bahu, tanpa teringat lagi akan piringnya yang masih penuh.

"Mana Tinus? Suruh dia antar aku, Susi."

Di muka pintu depan sudah menanti mertuanya.

"Di kamar," bisiknya.

"Feisal dan ibunya ada di dalam sejak sore."

"Dan dokter?"

"Sudah pulang jam delapan tadi. Sebentar dia akan kembali bila kita meneleponnya."

Mertuanya mengantarnya ke kamar dan membukakan pintu. Karmila tertegun. Yang terbaring di situ bukan Fani yang lincah dan gemuk, tapi seorang anak yang kurus dan pucat. Tiba-tiba matanya serasa basah. Ditahannya tangisnya, lalu dia maju ke tempat tidur. Anak itu dalam keadaan demam. Badannya panas.

"Tiga puluh sembilan," kata mertua perempuannya ketika Karmila meletakkan tangannya di atas dahi anaknya. Karmila mengangguk.

Feisal duduk di samping tempat tidur dan tidak

melepaskan pandangannya dari fani. Karmila meliriknya dan mendapatinya amat pucat dan tampak tua.

Karmila memeriksa lidah anaknya dengan baterai.

"Tipus!" katanya kaget.

"Iya," kata mertuanya yang laki-laki, sedang yang perempuan sudah mulai meratap.

"Dia mencari engkau terus, Karmila. Tapi ayahnya tidak mau membawanya ke rumahmu. Dia menangis berjam-jam tiap malam. Tengah malam sering kali terbangun dan memanggil-manggil engkau. Dia tidak mau makan. Tidak mau minum susu. Tidak mau main main. Akhirnya dia masuk angin dan hu hu hu "

Karmila menggigit bibirnya dan tidak berkata sepatah pun. Mertuanya sekarang menangis tersedusedu. Kamiila menunduk terus dan memperhatikan wajah si sakit. Kepalanya hampir beradu dengan kepala Feisal yang juga menunduk di dekatnya. Sekonyong-konyong Karmila melihat setetes air jatuh di atas selimut. Feisal!

"Sudah berapa lama ini?" tanyanya dengan suara parau.

"Sepuluh hari," sahut mertua laki-lakinya.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah, Ibu dan Ayah beristirahat sekarang. Saya akan menjaganya di sini. Kalau suhunya lekas

turun, pasti tidak ada bahaya apa-apa lagi."

"Maaamaaaa..." erang Fani perlahan-lahan.

Karmila berlutut di samping tempat tidur dan membisikkan sesuatu ke telinga anaknya dan jari-jarinya yang biasa membelai-belai pasienpasiennya, kini membelai belai rambut Fani yang kusut.

"Itu! Sebentar-sebentar dia mengerang seperti itu," kata mertuanya sambil menyusut hidungnya.

"Sudahlah, Bu. Tidurlah Ibu sekarang." Dan kedua orang tua itu keluar pelan-pelan.

Sekarang Karmila duduk di atas kursi berhadaphadapan dengan Feisal. Karmila duduk di sebelah kiri tempat tidur. Feisal duduk di sebelah kanan. Di samping Feisal terletak sebuah kom berisi es potongan.

"Berikan padaku kom itu," kata Karmila.

Feisal memberikannya tanpa memandang sedetik pun wajah Karmila.

Tiap semenit, Karmila mengganti kompres anaknya dengan rajin. Tidak teringat olehnya bahwa dia belum makan sejak tengah hari. Tidak teringat olehnya bahwa dia sudah dua malam tidak tidur. Dan tidak teringat olehnya bahwa besok siang dia akan terbang ke Sidney, lalu ke Perth.

"Bunda, saya berjanji akan tinggal terus dengan mereka asal Fani tertolong. Saya tahu sekarang,

saya betul-betul mencintai anak ini. Bunda Maria, saya mengakui kesombongan hati saya sajalah yang telah menghalangi saya mencintainya dan mengakuinya sebagai anak saya sendiri. Tolonglah dia. Tolonglah dia, Tuhanku. Bundaku. Anak ini tidak bersalah. Anak ini murni. Dan saya amat mencintainya. Berilah saya kesempatan. Asal dia tertolong, saya berjanji takkan meninggalkannya lagi untuk selamanya."

Pukul dua belas tengah malam, kelihatan Fani agak tenang dan Feisal keluar sebentar. Selama itu tidak sepatah pun diucapkannya pada Karmila. Dan Karmila diam juga. Setelah Feisal pergi, barulah Karmila menangis sepuas-puasnya. Air matanya turun begitu saja. Setiap kali terpandang olehnya pipi yang agak cekung itu, air matanya menetes lagi.

Untuk apa aku hidup bahagia bila anakku sendiri harus kesepian menantikan aku? Untuk apa aku sekolah tinggi-tinggi bila aku tak sanggup membahagiakan orang-orang yang mencintai aku? Bila aku tidak mengacuhkan anakku? Anakku. Anakku. Dan diambilnya kain kompres dari dahi anaknya lalu dimasukkannya ke dalam es. Lalu diperasnya sedikit dan diletakkannya kembali di atas dahi. Kemudian diambilnya kain kompres dari ketiak dan perut dan lipat paha dan dimasukkannya juga ke dalam es. Sambil berbuat demikian, air matanya menetes

turun ke dalam kom dan pipinya sudah basah.

Pukul dua malam, ada telepon dari rumahnya. Karmila mengangkat mukanya dan Feisal mendapati kedua matanya merah dan bengkak.

"Ada telepon dari Ayah."

Karmila keluar dan Feisal duduk menggantikannya memeras kain-kain kompresan. Ketika Karmila kembali, Feisal memandangnya dan menyuruhnya pergi tidur. Karmila menggeleng lalu duduk kembali tanpa berkata-kata. Feisal duduk di hadapannya dengan tangan kanannya di saku piyama. Entah ada apa di situ, sebab sebentar-sebentar tangannya bergerak-gerak. Ketika Karmila hendak membalikkan bantal yang agak basah kena air, didapatinya sebuah rosario di situ. Rosario itu diberikan kepada anaknya karena anak itu amat ingin memilikinya. Fani sudah dipermandikan dan setiap Minggu dia pergi ke gereja bersama ibu dan bibinya.

Terasa waktu berjalan amat lambat. Setiap jam Karmila mengukur suhu. Pukul dua malam, masih tiga puluh sembilan satu strip. Tapi Fani tampak tidur dengan tenang. Belum pernah dia setenang ini, kata Feisal. Pukul tiga. suhu tiga puluh delapan setengah. Karmila terus-menerus berdoa. Dan Feisal, dengan caranya sendiri juga berdoa.

Suatu ketika, kain kompres dari dahi si sakit jatuh ke lantai, ke sebelah Feisal. Ketika dia mengulurkan tangannya ke bawah, Karmila menengok ke dalam saku piyamanya, di situ ada rosario. Karmila mengerutkan dahinya, tapi tidak berkata apa-apa.

Pukul enam suhu menurun dan menetap. Karmila menghela napas lega. Dia berdiri. Sekonyongkonyong dia kehilangan keseimbangannya dan lekas-lekas dipegangnya tempat tidur anaknya.

"Engkau perlu tidur," kata Feisal sambil memegangnya.

"Baiklah. Krisis sudah lewat, aku rasa. Asal suhunya tidak naik kembali."

Di dalam kamar Fani terdapat dua buah pintu di tembok kiri dan kanan. Pintu kanan menuju ke kamar tamu yang sekarang ditempati oleh kedua orang tua Feisal. Pintu kiri menuju ke kamar tidur Feisal sendiri. Sebenarnya dia mau mengatakan, bahwa untuk Karmila sudah disediakan kamar lain, di pavilyun. Tapi Karmila dengan setengah sadar sudah menuju ke pintu kiri dan Feisal tidak ingin berteriak, takut membangunkan anaknya.

Karmila memutar tombol pintu, membukanya. dan berdiri tertegun. Di hadapannya tergantung sebuah lukisan yang besar, lukisan pensil hitam dan di bawahnya: Karmila. kekasihku.

"Itu kubuat dari bayanganku sendiri." tiba-tiba terdengar suara Feisal tepat di belakangnya.

Karmila diam tak bereaksi.

"Jangan marah bila itu tidak secantik aslinya. Itu cuma bayangan."

Karmila merasa sebuah tangan jatuh di atas bahunya.

"Bayangan itu menghantui aku terus menerus. Setiap malam aku terbangun dan mendapatkan engkau tidak ada. Aku amat tersiksa. Mila. Aku tidak dapat lagi bertahan. Akhirnya aku mencoba membuat gambarmu. Aku takkan mungkin melupakanmu sebab aku sudah terlalu lama mencintaimu dengan sangat. Dengan melalui banyak penderitaan aku telah belajar mencintaimu. Jangan pergi. Aku takkan membiarkan engkau pergi, bila kau mempunyai kekuasaan. Kasihanilah kami berdua, anakmu dan aku. Meskipun engkau belum mencintai kami sekarang, tinggallah. Engkau dapat belajar mencintai kami dalam setahun. Dua tahun. Tiga tahun. Sepuluh tahun. Bahkan selama-lamanya. Engkau dapat belajar mencintai kami seumur hidupmu, dan kami berdua Fani dan aku akan menanti dengan sabar sampai suatu saat engkau akan datang dan bilang engkau mencintai kamu. Tinggallah, Mila."

Karmila berbalik dan memandang Feisal. Matanya yang sejak tadi merah bengkak, kini basah lagi. Feisal memeluknya tiba-tiba. Karmila menangis.

"Engkau kalian tidak usah menunggu. Sekarang pun aku datang dengan cinta itu."

"Engkau lelah. Mila. Engkau lelah. Tidurlah sekarang." Feisal melepaskan pelukannya dan menutup pintu. lalu kembali ke samping Fani.

***

Hari itu Ujian pasten bagi mereka yang telah menyelesaikan co sehap di Bagian Anak selama tiga bulan. Ujian dibagi dalam tiga bagian. hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Tiap-tiap kali diuji tiga orang mahasiswa. Hari Senin itu, diajukan pasien-pasien dari sal A, B, dan D.

"Bagaimana, Isti? Sudah selesai pemeriksaanmu?" tanya Karmila pada seorang mahasiswi yang tengah asyik membuka-buka textbook.

"Aduuuh! Belum apa-apa, Dok. Anamnesa saja belum selesai. Habis, ibunya begok! Lebih baik kalau tidak disediakan ibunya. Tanpa anamnesa."

lsti memandang Karmila dengan wajah gelisah. Karmila tersenyum dalam hati. Rupanya beginilah tampang mahasiswi-mahasiswi yang mau ujian. Mata terbelalak. Bibir pucat dan kering. Tangan bergerakgerak tak tentu arah.

"Tenanglah. Pasienmu itu gampang, kok. Anemi dan spondjlitis ruberutlosa. Tinggal membuat differential (lingimsu dari anemi dan gibbus-nya. Jangan lupa, pemeriksaan darah yang lengkap serta pemeriksaan fueces. Teman-temanmu siap membantu lab?"

"Ya. Siap," kata Isti perlahan.

"Jangan cemas," kata Karmila, menepuk-nepuk bahunya.

"Dokter Edi tidak suka penyakit darah. Dan dia benci tbc. Paling-paling dia tanya makanan dan gmwth and development. Asal kau tahu apa yang lebih dahulu dilakukan oleh newbom, menangis atau bernapas?!"

Isti tertawa.

"Nah itu sudah cukup. Sedangkan para spesialis masih membuat kesalahan, apa pula yang diharapkan dari' para ko-as'? Jangan takut salah membuat diagnosa. Asal tahu bagaimana rupanya telur asearis??"

Sambil tersenyum Dokter Karmila melangkah ke luar. Rupanya begitu tampangku dulu waktu ujian, katanya dalam hati. Sejarah selalu terulang.

Hari itu Karmila sengaja datang pagi-pagi supaya dapat memberi "bisikan" pada mahasiswa-mahasiswa yang ujian sebelum Big Boss datang. Untungnya memang, pada hari ujian Big Boss selalu datang siang siang bersama sama para penguji.

"Hallo Dadang. Beres?" tanyanya pada mahasiswa yang mendapat sal B. Dadang tersenyum yakin. Memang dia rajin dan pandai. Sayang agak sombong dalam hal memperagakan ilmunya.

"Physical exam-nya sudah, Dok."

"Bagus. Tidak ada kelainan?"

"Rasanya tidak, Dok. Ocdem sudah hilang. Ascites tidak ada. Ginjal tidak teraba."

Karmila diairi saja memandangi sang pasien. Anak laki-laki berumur kira-kira tujuh-delapan tahun. Dadang memperhatikan Dokter Karmila. Tiba-tiba terbit curiganya.

"Ini pasien ginjal, bukan, Dok? Dia ada riwayat sakit tenggorokan dan sembab di mata dan "

"Kencingnya bagaimana?"

"Tidak ada riwayat kelainan kencing, Dok. Rupanya tidak ada perhatian dari ibunya. Baru dibawa ke rumah sakit setelah anak ini bengkak seluruh badannya." Dadang memandang Karmila penuh harap.

Karmila menggosok-gosok matanya. Mendapat pasien dengan penyakit yang sudah sembuh atau gejala-gejala yang hampir hilang adalah paling berbahaya. Tentu saja hal itu tidak dikatakannya pada calon dokter itu. Bisa kalang-kabut hatinya. Diperhatikannya kembali anak itu dengan seksama.

"Yah, periksa anne-nya dengan teliti. Itu saja yang dapat kita lakukan. Asal argumentasimu nanti baik, diagnosa apa pun yang kaubuat tidak menjadi soal. Jangan lupa jenis ! pada anak ini. Kalau tidak ada waktu. tidak usah kauperiksa. Bikin saja sediaan

hapusnya dan kau toh sudah tahu, jenis ane,-ur pada penyakit-penyakit ginjal?"

Dadang tersenyum dengan amat yakin.

"Oke, Boy," kata Karmila menepuk bahunya.

"Do your best!"

Sebelum melangkah ke luar, sekali lagi Karmila melayangkan pandangannya ke tempat tidur. Anak laki-laki itu berbaring dengan tenang, mengawasi mereka berdua. Karmila memandangnya dengan waswas. Dia tahu, Dadang akan diuji oleh Dokter Killer. The Best Killer sepanjang segala abad. Dan kebetulan lagi, bahan ujiannya juga merupakan dinamit!

"Baiklah," katanya melambaikan tangan.

"kalau engkau memerlukan saya, saya ada di kantor."

Karmila melangkah lagi. Sal D. Ini sebenarnya sal penyakit tropis. Jadi segala macam penyakit menular tersedia di situ. Tapi untuk ujian, memang tersedia sebuah kamar dalam tiap-tiap sal, di mana mahasiswa malang yang mau jadi dokter itu diasingkan dari dunia luar. Cuma dengan kecerdikan dan bantuan malaikat, maka mereka dapat berhubungan dengan rekan-rekan yang siap sedia membantu pemeriksaan kencing, darah, dan tinja. Sebelumnya memang telah diperingatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan belum pasti sama dengan sal di mana mahasiswa itu ditempatkan. Karmila tahu, si

Wolfrarn mendapat pasien jantung. Juga bahan ujian yang berbahaya.

Sambil berjalan memegang stetoskop, Karmiila menengok ke dalam kamar-kamar. Kamar Bagian Anak semuanya serba kaca. Terang dan menyenangkan. Dalam kamar-kamar kelas satu, terlihat banyak mainan bagus bagus pada setiap tempat tidur. Di Bagian Paru-paru. dirawat anak insinyur, kawan sekolah Feisal. Anak itu putih dan gemuk. Baru satu setengah tahun. Ketularan tbc dari babu. Ibunya menangis ketika diberitahukan putri kecilnya sakit paru-paru. Dia bersumpah demi segala yang hidup tidak akan main arisan lagi, tidak akan pergi kursus-kursus lagi, dan serta_merta menutup kapsalonnya yang baru dibuka. Dari luar dilihatnya gadis kecil itu tengah asyik bermain dengan bonekanya. Karmila masuk.

"Hallo, Linda."

Linda segera mengenalnya dan tertawa. Karmila mencubit pipinya. Siapa sangka anak orang kaya. segemuk dan seriang itu, tengah menderita tbc?!

"Mama belum datang, ya? Ayo, Tante tidak bisa bermain-main sekarang. Tunggulah. Sebentar Iagi Mama datang. Linda main dengan Mama, ya?" Karmila melambai sambil berjalan pergi. Linda melambaikan juga tangannya yang gemuk lalu membawa jarinya ke bibirnya.

"Oh! Bye kiss!" seru Karmila, tertawa.

Pasti itu ajaran si insinyur sinting yang terlalu lama di luar negeri. Baru saja beberapa langkah dia berjalan, di belakangnya didengarnya suara kuda mendengus.

"Dok... Dok he... he... saya cari ke manamana...." Lani bernapas senen-kemis.

"Ada apa? Kamu membantu Isti?"

"Ya... he... he...." Lani menghabiskan dulu tarikan napasnya.

"Ini... ini... pasiennya itu... ada kemungkinan leukemia... anu... he he apa tidak perlu pim/(si bone-marrow?"

Lani memandangnya dengan mata terbelalak. Rupanya begitu tegang. Karmila hampir yakin, bahwa setiap kali menghadapi ujian, maka umur para calon dokter itu menjadi berkurang beberapa jam. Beberapa hari menjelang ujian, jantung sudah berdebar-debar lebih banyak dari biasa. Pada saat ujian, maka degupnya menjadi dua kali lebih cepat. Selama menanti pengumuman hasil ujian, juga tidak bisa tenang. Tidur susah. Makan-minum tidak lancar. Mungkin buang-buang air terus. Atau kepala pusing. Malah mungkin juga tenggorokan mendadak jadi sakit. Semua itu disebabkan karena dosendosen yang mahakuasa itu selalu terbayang-bayang di pelupuk mata. Apakah Yang Mulia sedang in the good mood waktu ujian itu? Apakah menurut Yang Mulia, saya sudah cukup sopan? Pakaian saya cukup rapi? Saya tidak kasar terhadap pasien, sedikit dikitnya di hadapan Yang Mulia para penguji? Suara saya cukup meyakinkan? Tidak asal tebak kancing? "Dok... Dok..." seru Lani kebingungan melihat

Karmila memandangnya terus sambil tersenyum.

"Oh!" Karmila melebarkan senyumnya dengan manis.

"Bone-marrow, katamu? Saya rasa itu sama sekali tidak perlu. Mahasiswa tidak diharapkan melakukan punksi sumsum tulang pada waktu ujian. Kan dia diharapkan bekerja sendirian. Kamu ini cuma setan-setan, yang mencuri-curi membantunya. Apakah dia berani melakukan pun/uti sendiri? Saya sih ngeri. Terus terang saja!" Karmiila tertawa.

"Jangan terlalu s'enewen. Serahkan saja pemeriksaan sumsum tulang itu kepada para spesialis. Oke?

Tulislah saja itu sebagai anjuran. Cuma pemeriksaan darah tepi, yang lengkap! Awas! Bantu teman tidak boleh setengah-setengah. Jangan sampai dia jatuh karena pemeriksaan labmu tidak beres. Penguji tidak peduli dari mana angka-angka itu datangnya. Apakah dari langit atau dari sulap, pokoknya angka-angka itu harus lengkap. Dan ..." Karmila tersenyum sambil mengedipkan matanya,

"sesuaikanlah sedikit dengan gambaran klinik penderita. Itu sangat menolong. Penguji yang berpengalaman, sudah tahu, dari mana semua angka-angka

itu. Dia juga dulu seorang mahasiswa, bukan? Yang mungkin juga pernah mengupah laboran untuk menolong ujiannya. Itu tidak penting. Yang penting adalah, mahasiswa itu harus mengerti apa gunanya angka-angka itu semua dan artinya bagi klinik."

Selama kuliah yang cukup panjang itu, Lani berulang-ulang mengangguk-angguk, sehingga Karmila mengharapkan setiap saat akan melihat kepala itu terlepas dari engselnya.

"Nah, lekaslah pergi! Katakan pada Isti, jangan gelisah. Kalau ada apa-apa. saya di kantor."

"Baik, Dok." Dan larilah Lani seperti mobil bal

"Hallo, Flores," sapa Karmila sambil masuk.

Wolfram mengangkat mukanya. Melihat Kamula, dia menyeringai. Terlihat gigi-gigi pepsodent-nya.

"Wah... maut ini, Dok... betul-betul maut ini " katanya dengan logat Flores.

"Apa yang maut?" tanya Karmila pura-pura tidak tahu apa-apa.

"Ini... wah sentimen ini, Dok masa jantung keluar Saya tidak bisa apa-apa Maut ini.

"

"Periksaanmu sudah selesai?"

"Belum lagi!"

"Ah, jangan putus asa. Putra Flores mesti unjuk gigi. Ayo! Pantas, stetoskopmu begini jelek. Coba

saya periksa dengan stetoskop saya."

Karmila pura-pura memeriksa. Sebenarnya dia mau membantu. Dia sudah tahu apa kasus itu. Terus terang saja, dia sendiri kurang becus memeriksa jantung.

"Ada apa Dok?" tanya Wolfram membungkuk dengan penuh harap. Kepalanya dimiringkannya seakan-akan dengan begitu diharapkannya akan dapat ikut mendengar bunyi jantung anak perempuan itu.

"Ada apa. Dok?" ulangnya.

Karmila menyerahkan stetoskopnya.

"Pakailah ini yang bagus! Barang jelek itu buang saja."

"Betul, Dok," angguk Wolfram.

"itu warisan dari abang saya. Sudah kuno. Ada apa saja, Dok?"

"Periksa dulu, sana!" kata Karmila, pura-pura galak.

Wolfram tidak brilyan, tapi karena itu dia juga tidak dapat menjadi sombong seperti Dadang yang jenius.

"Nah, sudah? Cepat amat periksanya," kata Karmila, tersenyum.

Wolfram menggaruk-garuk kepalanya. Sebenarnya dia sudah terlalu gugup. Dengan stetoskop mahabaru itu pun dia tidak dapat menangkap apaapa. Namun sebelum dia sempat mengakui kegagalannya, Karmila sudah memberondongnya.

"Well, ada machinery murmur, bukan? Nah, kini engkau sudah tahu diagnosanya. Anak ini mempunyai kelainan jantung bawaan. Ya?"

Wolfram mengangguk.

"Komplikasi tersering pada kelainan macam ini, tentu sudah kauhapal, bukan? Cocok, tidak? Ditambah lagi adanya kelainan ginjal. jadi kemungkinan besar. anak ini sudah menderita radang dari jantungnya. Setuju?"

"Setuju, Dok." kata mahasiswa itu sambil mengangguk-angguk macam wayang boneka.

"Oke, beres. Tinggal sebut saja nama kelainan bawaan itu. Dan pemeriksaan-pemeriksaan anjuran apa yang kausarankan."

"Terima kasih Dok. Terima kasih!" Kamiila tersenyum. melambaikan tangannya.

"Ah, saya dulu juga dibantu. Kalau tidak, belum tentu bisa lulus."

Namun Wolfram sudah tidak mendengarnya lagi.

Dia asyik menulis dalam statusnya dengan tulisan sebesar-besar biji jengkol.

Karmila kembali ke kantornya. Mariani sudah duduk di mejanya. Juga Roy.

"Hei, selesai ronde?" tanya Mariani.

"Dia tidak ronde," kata Roy, tertawa.

"Awas, lho! Kalau ketahuan Big Boss! Bisa semua anak-anak itu tidak lulus."

"Alaa... siapa sih yang ujiannya tidak dibantu? Kau? Aku, terus terang dibantu! Siapa yang dapat mengatakan dirinya cukup pintar di dunia ini? Setidak-tidaknya di sini! Sudah berapa textbook yang kautulis? Sudah berapa konggres yang mengundangmu? Namamu disebut-sebut seluruh dunia? Bah! Berapa macam pemeriksaan yang disebut menurut namamu?"

Karmila tertawa diikuti Mariani dan Roy.

"Betul. Engkau betul. Jangan meradang. Aku memang bukan penemu insulin, sebab kebetulan tunanganku tidak mati lantaran kencing manis. Aku cuma memperingatkan engkau, hati-hatilah! Kita tidak pernah tahu bagaimana hati Big Boss. Kadang-kadang dia meremehkan segalanya. Tapi sekali-sekali, hal-hal sekecil semut pun sudah membuatnya memukul meja."

Karmila menghirup teh dingin yang tersedia di atas mejanya.

"He, An, Feisal mau pergi dalam beberapa hari ini. Titip apa?"

"Entahlah. Uang susah."

"Oi, mana uang bisa bicara. Bukan begitu, Roy?"

Roy belum juga mau praktek. Alasannya, mau memusatkan perhatian pada spesialisasinya. Tapi

sebenarnya, dia segan. Buat apa praktek di kampong yang becek kalau mertua sudah menghadiahkan kekayaan berlimpah-limpah pada peresmian kawinnya? Karena itu agak merah mukanya mendengar teguran Karmila.

"Perempuan selalu membicarakan uang. Uang. Uang. Dari lahir sampai mati. Uang. Uang. Uang!"

"Hm, begitu, Roy?" tanya Mariani.

"Laki-laki memang tidak membicarakan uang. Tapi perempuan. Perempuan. Perempuan. Dan kau lupa, untuk mendapat apa yang kaubicarakan itu pun, perlu fulus, alias uang! Setuju. Mil?"

"Setuju banget! Tanpa uang, laki-laki menjadi turun harganya. Itu ketentuan yang kalian buat sendiri. Sebab yang mula-mula menciptakan uang, bukanlah perempuan. Dan kalau pergi melamar anak gadis, maka senjata pertama yang ditonjolkan laki-laki adalah uangnya! Peduli apa pikir kalian, muka saya bopeng! Setuju, An?"

"Seratus persen! Kalau aku punya uang dan mobil, masakan cewe-cewe itu tidak mau antri di muka pintuku? Ha... ha... ha.

"

"Sudah sudah untung besar. aku tidak kawin dengan dokter," kata Roy mendongkol.

"Itu sebabnya aku sama sekali tidak setuju perempuan masuk kedokteran. Kalau aku kelak jadi penguji, pasti aku persulit semua mahasiswi-mahasiswiku!"

"Oho... kaupikir, pantasnya jadi apa perempuan itu? Mesin penetas telur? Roy, berapa anakmu?" tanya Karmila.

"Belum ada," sahutnya memandang kedua perempuan itu berganti-ganti.

Mariani tertawa geli.

"Istrinya papan setrika, barangkali."

Roy betul-betul marah.

"Aku bersumpah, besok minta pindah kantor."

"Memang engkau lebih pantas sekantor dengan Big Boss. Malah kadang-kadang kupikir, engkau lebih cerdik dari Boss sendiri," kata Mariani memberi api.

Karmila hampir tidak dapat menahan gelinya melihat cuping hidung Roy kembang-kempis. Sejak zaman mahasiswa dulu, mereka bertiga gemar bergurau dan Roy selalu kalah bila ajudannya, si Pitak, tidak bersamanya.

"Sayang Pitak sudah kembali ke daerahnya. Apakah engkau tidak merindukannya, Roy?"

"Laki-laki cuma merindukan perempuan. Titik. Dan percayalah, perempuan yang kurindukan itu bukan engkau, Mila!"

Berderai-derai kedua dokter wanita itu tertawa.

"Untunglah aku tidak pernah jatuh cinta padamu. Kalau kau mau melakukan sedikit operasi plastic dengan hidungmu, mungkin lain pendapatku. Akur,

An?"

"He... he." Mariani mengangguk sambil tertawa.

"Tapi aku tidak ingin menghinamu. Sebaliknya, kita selalu bersahabat, bukan? Asal kau jangan terlalu kikir. Kalau punya jurnal apa kek, pinjami kami. Jangan sampai waktu pembicaraan case, ditanya prof, tidak bisajawab karena belum baca buku yang ada di dalam tasmu!"

"Jurnal apa. Aku tidak punya buku apa-apa," kata si Kikir dengan muka merah dan hidungnya yang besar makin mengembang juga. Untuk mengamankan diri, Roy lekas-lekas bangkit dan pergi ke luar. Terlalu panas di dalam, gumamnya.

"O ya. aku mau pesan sikat gigi listrik buat anakku," kata Mariani.

"Berapa sen?"

"Entahlah," kata Karmila.

"Kalau cuma itu, tidak usah bayar deh. Katamu, engkau mau beli dasi?"

"Oh, kutanyakan dulu orangnya kalau dia masih mau."

Karmila mengangguk lalu mulai membuka tumpukan status di mejanya. Semua pasiennya ada lima belas. Empat akan dipulangkannya besok. Jadi perlu menulis resep untuk berobat jalan.

Status pertama, milik Didi. Sudah hampir lima bulan diopname untuk sakit ginjalnya. Karmila meneliti hasil lab hari itu. Lagi-lagi kencingnya masih kotor.

An?"

"He... he." Mariani mengangguk sambil tertawa.

"Tapi aku tidak ingin menghinamu. Sebaliknya, kita selalu bersahabat, bukan? Asal kau jangan terlalu kikir. Kalau punya jurnal apa kek, pinjami kami. Jangan sampai waktu pembicaraan case, ditanya prof, tidak bisa jawab karena belum baca buku yang ada di dalam tasmu!"

"Jurnal apa. Aku tidak punya buku apa-apa," kata si Kikir dengan muka merah dan hidungnya yang besar makin mengembang juga. Untuk mengamankan diri, Roy lekas-lekas bangkit dan pergi ke luar. Terlalu panas di dalam, gumamnya.

"O ya, aku mau pesan sikat gigi listrik buat anakku," kata Mariani.

"Berapa sen?"

"Entahlah," kata Karmila.

"Kalau cuma itu, tidak usah bayar deh. Katamu, engkau mau beli dasi?"

"Oh, kutanyakan dulu orangnya kalau dia masih mau."

Karmila mengangguk lalu mulai membuka tumpukan status di mejanya. Semua pasiennya ada lima belas. Empat akan dipulangkannya besok. Jadi perlu menulis resep untuk berobat jalan.

Status pertama, milik Didi. Sudah hampir lima bulan diopname untuk sakit ginjalnya. Kamiila meneliti hasil lab hari itu. Lagi-lagi kencingnya masih kotor.

"Aku tobat betul dengan Didi. Urine-nya masih juga tiga plus."

"Habis mau diapakan? Dulu-dulu, tidak pernah dibawa berobat. Anget-anget badannya, dikira masuk angin biasa. Sekarang sudah kronis. Kita lakukan apa yang kita mampu. Selebihnya, kuasa Tuhan," kala Mariani.

"Kasihan sekolahnya. Aku semju sekali kalau di rumah sakit kanak-kanak diadakan sekolah bagi mereka yang mesti tinggal lama."

"Seperti di Jepang?"

"Ya. Mereka tidak akan ketinggalan dan ini mengurangi rendah diri anak-anak itu bila mereka kembali ke sekolah."

"Omong gampang. Pelaksanaannya bisa tidak?! Sedangkan seprai-seprai itu sudah harus diganti, banyak anak-anak yang tidak kebagian kelambu! Dari mana uangnya?! Suruh Feisal menyumbang sejuta tiap bulan. Aku tanggung, kau akan punya sekolah taman kanak-kanak di sini. Aku tidak keberatan deh, kalau kau jadi direktrisnya."

"Siapuh! Siapa yang punya uang sebanyak itu?"

"Hm! Uang kan tidak bisa bicara." Mariani tertawa.

Karmila tersenyum sambil terus memeriksa status-status berikutnya.

Leila sudah banyak kemajuan. Kalau begini terus, dia boleh pulang minggu depan. Keneingnya sudah tidak kuning. Hatinya sudah tidak membengkak lagi. Hasan juga boleh pulang. Ali Hamzah masih status quo.
Karmila Karya Marga T di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mariani bangkit.

"Mau keluar, An? Tolong lihat-lihat mereka yang ujian."

"Oke. 0 ya, hampir aku lupa. Siti. pasienmu? Coba kaulihat. Mungkin infusnya sudah tidak perlu lagi. Tadi susternya menanyakanmu."

"Oke. Nanti aku ke sana."

Karmila terus bekerja. Dia mempunyai enam pasien ginjal. Dan keadaan mereka sama saja dari hari ke hari, kalau tidak mau dikatakan makin memburuk. Empat pasien sakit kuning. Satu di antara mereka agak mengkhawatirkan.

"Selamat siang, Dokter."

"Selamat siang," sahutnya lalu mengangkat kepalanya.

Seorang ibu muda berdiri di ambang pintu.

"Silakan masuk. Dapatkah saya menolong?"

"Begini. Dokter," kata si ibu sambil tergesa-gesa duduk,

"saya, ibunya Hasan. Saya dengar dari kakak perempuannya bahwa dia sudah boleh pulang. Jadi bagaimana aturan perawatannya di rumah dan... anu... sekalian berapa ongkosnya?"

"Oh, mengenai ongkos. Ibu dapat membereskannya di tata usaha. Tahu kan, letaknya?"

"Ya, Dokter," katanya, mengangguk berulangulang.

"Bukan begitu, saya ini belum pernah berurusan dengan rumah sakit. Beranak juga selalu di rumah. Jadi buta sama sekali."

Karmila mengangguk.

"Mengenai perawatan di rumah, akan saya terangkan sedikit. Hasan memang sudah boleh pulang. Tapi selama dua minggu masih harus istirahat. Tidak boleh lari-lari, tidak boleh ke sekolah. Pokoknya jangan terlalu banyak bergerak dan mengeluarkan tenaga. Mandi boleh sendiri."

"Ya, Dokter. Ya, Dokter. Mmmm, anu... makannya bagaimana?"

"Makan tidak usaha pantang kalau dia tahan. Tapi goreng-gorengan dan minyak-minyak sebaiknya dikurangi. Sakit kuning ini ringan-ringan berbahaya, Bu. Kalau perawatan kurang baik, suatu waktu dia akan kambuh lagi. Dan pada waktu itu, biasanya... menjadi lebih berat dari yang mula-mula timbul. Lagipula, dia bisa menular. Jadi kalau ada adik-adiknya yang sedang selesma, jangan dibiarkan bermain di dekatnya."

"Ya, Dokter. Baik. Dokter... saya akan larang anak-anak main di dekatnya. Ya, Dokter. Oh, anu, Dokter, kata orang perlu makan banyak air gula. Betul, Dokter?"

"Ah, tidak. Asal makanannya sudah cukup. Air gula itu cuma untuk kalori saja. Saya rasa cukup terang? Ini resep untuk beli obat. Kalau tidak ada apa-apa, boleh kontrol bulan depan. Periksa kencing."

"Ya, Dokter, banyak terima kasih." Dengan setengah membungkuk, perempuan itu mengundurkan diri. Pada saat itu masuk Big Boss. Karmila segera memberikannya selamat siang.

"Siang," sahut Boss hampir tak terdengar.

"Bagaimana mereka? Sudah siap? Pasiennya kan gampang, toh?!" katanya tertawa.

"Entahlah," sahut Karmila.

"Mungkin pasien jantung itu agak sulit."

"O ya? Bagaimana? Apa mereka sudah siap?"

"Mungkin sudah, Boss. Tadi pagi mereka senewen sekali. Maklumlah kalau ujian."

"Ah, kalau mereka menguasai pasiennya, tentu tidak. Bukankah mereka sudah mendapat cukup waktu untuk belajar? Saya juga kan pernah ujian?" Big Boss tertawa riang.

Alamat baik, pikir Karmila.

"Apa tidak senewen, Boss?" tanya Karmila, tertawa.

Boss memandang Karmila.

"Hmm... lupa saya sudah lupa apakah saya senewen atau tidak!!"

"O ya sudah kaulihat-lihat mereka?!"

Untuk sesaat Karmila terdiam. Pertanyaankah ini atau pancingan? Berlaku jujur tidak rugi ah. pikirnya.

"Saya sudah mendatangi mereka. Tidak apa-apa, bukan?"

"Oh, tidak, tidak apa-apa." Boss kembali tertawa.

"Yang penting, argumentasi mereka nanti!"

Wah, banyak tertawa nih. pikir Karmila.

"Tidak ada yang mau dikonsulkan?"

"Belum ada, Boss."

Boss melihat jam tangannya.

"Well, ini sudah jam dua belas. Saya tidak menerima konsul lagi. Kalau ada yang datang, katakan ada ujian."

"Baik, Boss."

"Oke. Ujian mulai jam setengah satu," katanya sambil melangkah ke luar.

Karmila cepat-cepat membereskan pekerjaannya lalu keluar mau mengunjungi Siti. Ketika melewati kamar Boss, dilihatnya Mariani dan Roy dudukduduk di situ.

"Ei, hallo," seru Dokter Edi,

"kemari dulu."

"Ada makanan apa? Saya sibuk, nih."

"Ah, jual mahal, lu. Dulu gue lulusin. Tujuh. lagi!" kata Dokter Edi.

"Saya kan tidak minta tujuh., Dok. Belajarnya juga bukan buat angka tujuh. Tapi cuma asal lulus! !"

"Eh, ini kan Karmila yang..." seru The Best Killer sepanjang segala abad.

Karmila berdiri di depan meja. tersenyum.

"Yang apa"!" tanya Dokter Edi, tertawa.

"Yang anu ah. anu... eh, Mil, apa kabar pacarmu? Belum bunuh diri?"

"Huss," kata Dokter Retno yang sejak tadi belum angkat suara.

"Kami baru akan kawin, masakan dia sudi bunuh diri?" kata Karmila seenaknya.

"Eit, kau akan dituntut melakukan poliandri!" seru Dokter Handoko.

"Ah, singkirkan dulu dong yang lain! Masa selolol itu, ya Mil?" Dokter Edi memanjangkan lengannya.

"Sini! Kalau kau baik-baik dengan saya, nanti saya kasih tahu bagaimana caranya melenyapkan orang tanpa ketahuan, ha! Biarpun Profesor Smith dari London, pasti tidak akan bisa menyeretmu ke tiang gantungan, ha! Kau cinta suamimu? Tidak toh?! Sini saya kasih tahu."

"Jangan sekarang. Saya masih suka sama dia. Lain kali, Dok," kata Karmila tertawa lalu pergi ke luar.

***

Siti berumur lima tahun. Masuk dengan muntah berak. Karmila mengangguk-angguk melihat keadaannya. Banyak kemajuan. Diajaknya tersenyum pasiennya. Tapi anak malang itu terlalu lemah untuk menyeringai. Karmila selalu kesal melihat anak-anak terlantar serupa itu. Keadaan ekonomi rendah tapi mau punya anak banyak. Akibatnya tidak terurus. Tidak tahu diri, itu betul. Tapi siapa salah? Justru keadaan ekonomis rendah tidak memungkinkan mereka mendapat hiburan lain kecuali dengan istrinya di rumah. Untuk pergi mengunjungi klinik Keluarga Berencana pun, tidak ada ongkos.

Sambil menarik napas, diambilnya map tempat status. Suster masuk membawa glucose untuk mengganti isi botol yang hampir habis.

"Selamat siang, Dok. Bagaimana infus Siti? Tensinya sudah baik. Dia tidak berak-berak lagi sudah dua hari."

"Ya. Saya kira sebaiknya di-af saja. Untuk sore nanti, akan saya tuliskan diet-nya di sini."

"Ya, Dok. Botol ini diberikanjuga?"

"Ya. Habiskan saja menurut instruksi saya dulu. Dan bagaimana bayi Nyonya Sabar? Sudah dikonsulkan ke THT?" tanyanya sambil menulis.

"Sudah tadi pagi, Dok. Diparasinrese."

"Keluar nanahnya?"

"Ya, Dok. Kedua telinganya, malah."

"Oke, beres."

Karmila meneruskan rondenya berdua dengan Suster Lin. Biasanya para mahasiswa ikut ronde, namun hari itu tidak seorang pun tampak batang hidungnya. Pasti mereka sudah menyingkir jauhjauh ketika para penguji datang. Siapa pun takkan mau dituduh membantu teman yang sedang ujian.

Pukul setengah dua semua ujian selesai. Para penguji dijamu ala kadarnya oleh para mahasiswa. Dokter-dokter sal diundang juga.

"Kalau tidak ada tugas lain, kalian boleh pulang," kata Boss.

"Ya, tentu, setelah saya makan bagian saya," kata Mariani.

Boss tertawa.

"Maksud saya justru sebaliknya. Lekas pulang, tidak usah makan dulu."

"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Karmila pada The Best Killer.

"Ah, dia sih betul-betul killer," kata Dokter Retno.

"Selalu minta kurban."

"Lho bagaimana! Kok saya dikatakan killer?! Apa kau tidak mengerti, saya memperpanjang waktu justru untuk menolongnya. Kalau tidak bisa juga, ya apa boleh buat. Banyakjalan ke Roma, tapi cuma satu jalan buat lulus, yaitu menjawab pertanyaan

pertanyaan saya secara rasional. Masakan mahasiswa itu bisa tahu bahwa pasiennya dalam keadaan sub-akut. Dari mana dia tahu? Kan baru hari ini dia bertemu dengan pasien tersebut? Kalau dia bilang kronik, saya masih bisa terima. Tapi sub-akut! Pasien itu dirawat di rumah sakit lain. Dia tidak pernah mengikuti perkembangan penyakitnya. Dari mana bisa tahu itu sub-akut? Apa main mata dengan suster yang mengantarkan pasien tersebut? Saya sudah coba meyakinkan mahasiswa itu bahwa dia salah, tapi dia ngotot. Well zeg, masih tidak mau tarik urat sama anak kepala batu. Lima, kan beres."

"Anak itu pandai," kata Karmila membela.

"Itu mungkin. Tapi tidak ada gunanya lagi sekarang. Dia sudah bersikap begitu onsrmpalhiek. Ujian adalah moment opname. Orang tolol bisa lulus. Yang jenius bisa jeblok. Habis! Faktor interhuman-relationship memegang peranan penting. Betul tidak, Mil?!"

"Ah, jangan sok galak. Kasih deh lima setengah," kata Karmila.

"Tidak bisa! Saya tidak membawa recehan. Tidak ada setengah-setengah. Kalau setengah gila, barangkali ada. Tapi terang, bukan saya. Mungkin yang ujian." Dan The Best Killer tertawa sambil mengunyah kroket.

Betul betul killer, pikir Karmila bergidik.

"Untung saya tidak pernah ketemu Killer," kata Karmila pada Retno sambil melirik ke samping.

"Ah, lu jangan sok aksi. Nanti brevet Anak lu enggak keluar-keluar. Siapa tahu Dokter Nyonya Karmila sudah masuk daftar hitam. Hii... hiii."

"Ah, mana boleh jadi. Tidak kan, Dok Kapan U mau bikin paper lagi? Nanti saya yang tik. Ongkos-ongkos perdeo. Beres, pokoknya."

"Saya mau umumkan dulu hasil ujian," kata Boss seraya bangkit.

Mereka bersenda-gurau ke sana kemari. Kecuali Retno yang menjadi wakil penguji-pendengar dari The Killer, penguji-penguji lain ditemani Boss' dalam memberikan ujian.

Dokter Edi bilang, safe. Dokter Alatas bilang, sip. Jadi cuma Dadang yang akan jadi setan penasaran.

"O ya, Kamis nanti ada case. Pembicara, si Gendut," kata Dokter Alatas.

"Judulnya?"

"Mental retardation."

"Si Gendut itu lihai betul. Baru dua minggu yang lalu kan dia case. Sekarang dia lagi. Kok sanggup. Mana pasiennya, audzubillah Berjubel. Biarpun kampungan, kalau sehari sampai seratus orang!"

"Iya! Dibanding dengan kau! Sehari cuma lima pasien. Hi. Kalau aku begitu, lebih baik tutup warung, suruh istri jual gado-gado ala Jalan Cemara,

sebungkus kasih harga sama dengan sekali suntik! !"


Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka Vertical Run Karya Joseph R Garber Pendekar Rajawali Sakti 18 Darah

Cari Blog Ini