Ceritasilat Novel Online

Legenda Yang Hilang 2

Dewi Ular Legenda Yang Hilang Bagian 2



"Kamu bisa antarkan aku ke sana, Mar?" kata Kumala. .

"Bisa. Saya juga kenal baik dengan ibunya Halimah kok. Mau sekarang ke sananya?"

"Mumpung belum pukul delapan, kurasa lebih baik sekarang saja, Mar!" sambil Kumala melirik arlojinya.

Maka malam itu pun Kumala dan Sandhi menemui keluarga Halimah dengan diantarkan oleh Maryana. Ternyata pada malam itu keluarga Halimah sedang menerima tamu dari kepolisian. Kedua tamu kepolisian itu berpakaian preman. Tapi melihat mobil yang dia parkir di halaman rumah tersebut, Kumala hanya tersenyum sendiri, sebab ia tahu mobil itu adalah mobilnya Sersan Burhan. Polisi muda itu adalah satu-satunya polisi yang paling akrab dengan Kumala Dewi. bahkan hampir seperti saudara sendiri. '

"Kebetulan sekali kau datang. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu, Kumala."

"Hei, aku belum dapat informasi tentang Halimah dan keluarganya, juga tentang Gito dan keluarganya, kenapa sudah diharapkan informasinya?" _

"Ada sesuatu yang ganjil," bisik Sersan Burhan yang berwajah tampan dan berbadan tegap dan gagah itu. Kumala pun dibawa ke teras dan mereka bicara pelan-pelan di sana.

"Apa yang ganjil menurutmu, Pak Sersan?" tanya Kumala dengan nada bercanda santai.

"Pengaduan terakhir yang baru saja tadi

disampaikan oleh ayahnya Halimah adalah tentang seekor kera hitam."

"Maksudnya... ayah Halimah didatangi kera hitam?"

"Melihat seekor kera hitam di belakang rumah. Kemarin malam kera itu terlihat olehnya. Matanya merah dan tingginya sekitar 180 cm lebih. Sama dengan kera yang kudengar telah kau bawa dari mal waktu itu."

"Tak mungkin," bisik Kumala pelan.

"Kera itu ada bersamaku kemarin malam."

"Oke. penjelasan berikutnya... kera itu lenyap begitu saja ketika ayah Halimah bermaksud lari dari tempatnya."

"Kalau begitu aku perlu memeriksa keadaan rumah ini, Pak Sersan." . '

"itu yang kuinginkan! Tadi sore anak buahku sudah memeriksa keadaan dibelakang rumah, tapi tak terlihat ada jejak tapak kaki seekor gorila atau monyet lainnya, Sehelai bulu pun tak ada. Aku curiga, jangan-jangan gonta itu adalah gorila jadi-jadian?!" _

"Aku punya penjelasan sendiri soal itu. Tapi sekarang sebaiknya kuperiksa dulu keadaan di sekitar rumah ini. Tolong mintakan izin oleh tuan rumah, agar aku bisa bebas keluar-masuk di rumah ini."

"Baik. Sebentar, kutemui dulu beliau...." Sersan Burhan bergegas pergi menemui ayahnya Halimah. Sersan muda berwajah tampan itu juga sempat mengenalkan Kumala kepada keluarga Halimah sebagai 'orang pintar' yang

akan membantu menenangkan suasana di rumah tersebut.

Pemeriksaan secara supranatural dilakukan oleh Kumala Dewi. Hasilnya nihil. Kumala tak menemukan getaran gelombang gaib yang layak dicurigai sebagai sumber kemunculan kera hitam itu. Teropong gaib pun digunakan Kumala untuk meradar sumber energi gaib yang terdapat di sekitar Kampung Manggis itu.Tetapi hasilnya tetap sama. Tak ada sumber energi gaib yang pantas dikhawatirkan sebagai sumber bencana mistik.

Secara diam-diam, Maryana dan 'Sandhi membujuk Halimah yang masih kelihatan dicekam perasaan takut. Di ruang yang terpisah; Maryana berkata kepada Halimah.

"Kamu nggak perlu takut lagi. Non Kumala itu paranormal yang berilmu tinggi. Kalau memang rumahmu ini angker, pasti setannya sudah lari ngibrit sejak kedatanganku bersama Sandhi dan Non Kumala tadi."

"Betul. Neng " timpal Sandhi.

"Sekarang nggak ada yang perlu dicemaskan lagi. Kalau ada bahaya apa-apa, pasti Kumala mengetahui lebih dulu. Kurasa.;. rumah ini nanti Juga akan dipagari oleh Kumala."

maryana menambahkan.

"Maksudnya dipagar pakai kekuatan saktinya. biar nggak ada setan yang berani mendekati rumahmu, Mah!"

"Tapi, Mbak Mar... bagaimana aku bisa tenang kalau dari tadi sore suara itu selalu menggangguku," ujar Halimah dengan nada cemas.

"Suara apa maksudmu?" tanya Maryana.

"Suara... suara... ah, nggak ngerti aku, suara apa itu sebenarnya? Dari tadi sore suara itu seperti ada di belakangku. Tapi setiap kutengok ke belakang, suara itu hilang dan memang nggak ada apa-apa."

Sandhi berkerut dahi,

"Maksud Neng Halimah... suara orang berbisik?"

"Bukan. Bang. Suara itu! seperti suara hewan menggeram, atau menggeletukkan giginya. Sejak tadi aku selalu merinding kalau mendengar suara hewan menggeram."

"Hewan menggeram...?! Jangan-jangan gorila itu, San?" bisik Maryana. Sandhi tak bisa berkomentar. sebab hatinya pun menjadi berdebar-debar begitu mendengar keluhan Halimah itu.

***

MAHASISWI semester dua itu tidak berani tidur di kamarnya. Rasa takut yang menghantui membuat ia memaksakan diri tidur bersama kedua orangtuanya. Sang ayah terpaksa mengalah. menggelar tikar lipat di lantai dan tidur terpisah dari istrinya. Jika biasanya sang ayah yang memeluk istrinya, kini sang istri yang dipeluk anak gadisnya.

Duka hati Halimah ternyata tak bisa terobati dengan hanya tidur bersama orangtuanya. Duka hati Halimah membuat benaknya selalu dibayang-bayangi wajah Gito yang menurutnya cukup menawan. Sederhana, tapi punya daya tarik tersendiri bagi hati Halimah.

"Apa pun yang terjadi aku tetap ingin memilikimu, Halimah " ..

Kata-kata itulah yang selalu terngiang di telinga Halimah. Seolah-olah setiap satu tarikan napas Halimah mengandung gema dari kata-kata Gito itu. Saat makan, saat mandi, saat tidur dan saat apa saja, suara Gito seakan selalu berbisik di telinga Halimah, membuat

cinta Halimah kepada Gito semakin membara

"Bukan sekedar kecantikanmu saja yang membuatku terkagum-kagum padamu. tapi kejujuran dan kepolosan sikapmu telah membuatku tergila-gila padamu."

"Jangan merayu dengan sanjungan, Git. Aku bukan cewek yang gila sanjungan."

"Aku sekedar mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya," Gito mengusap lembut rambut Halimah yang terurai lepas. Mesra dan damai rasa hati Halimah kala itu. Tapi sangat di luar dugaan Halimah, ternyata Sesuatu yang sangat ajaib telah terjadi dengan sangat mengejutkan. Malam itu Halimah justru mendengar suara Gito berbisik di luar jendela kamar ayahnya. Semula suara tersebut tak diyakini sebagai suara Gito. Halimah sempat dicekam perasaan takut.

"Imah. Mah...?! Ini aku..., lto, Mah...!"

"Gito...?!" gumam hati Halimah dengan berdebar-debar.

"Hanya aku yang 'memanggilnya Ito. Hanya dia yang memanggilku Imah. Ooh... kalau begitu dia benar-benar Gito!" Halimah berdebar-debar. Dengan pelan pelan sekali ia turun dari ranjang .Ayahnya mendengkur dalam posisi telentang. Tampaknya lelap sekali. Ibunya pun kelihatan tidur dengan nyenyak. Langkah gadis itu semakin pelan saat harus melangkahi ayahnya untuk menuju ke pintu.

Akhirnya dengan sangat hati-hati Halimah berhasil keluar dari kamar orangtuanya. Ia buru-buru menuju ke kamarnya sendiri. Lampu tidur kamar itu dinyalakan. Suasana menjadi remang-remang. Halimah membuka jendela dengan tangan gemetar, namun berhasil tanpa suara. .

"Ito...?!" sapanya dengan panggilan mesra 'yang khas.

"Ssst...! ini aku ."

Seraut wajah tampan membiaskan senyum menawan di balik jendela itu. Wajah itu tak lain adalah wajah Gito yang dirindukan Halimah.

"Ito...?l oooh kau...?! Kau telah sembuh?!"

"Aku lari dari rumah sakit! Aku mengalami keajaiban lagi, Imah. Lihatlah... lihatlah tubuhku nggak ada luka sedikit pun!"

"Astaga...?! Benar-benar ajaib sekali?!" Halimah membelalakkan matanya yang bundar itu. Ia sangat terheran-heran melihat keadaan Gito yang bersih dari luka dan bahkan

tak punya bekas luna sedikit pun.

"ito... oohh...! Syukurlah kau selamat." Halimah memeluk Gito dengan tangis kebahagiaan. Ia segera menyuruh Gito lompat jendela dan masuk ke kamarnya. Jendela pun ditutupnya lagi. Halimah kembali memeluk Gito penuh ungkapan rasa bahagianya. Gito membalas dengan memberikan ciuman mesra di wajah Halimah

"Aku takut kau tak tertolong. Kulihat lukamu begitu parah, itu...." '

"Rasa cintaku padamu begitu besar, sehingga mampu membuat luka ini lenyap dengan sendirinya."

"Aku senang sekali.. oooh. aku senang sekali, Ito...." Halimah kian memperat pelukannya.

Curahan rasa bahagia tak terlukiskan lagi. Malam yang sepi bukan lagi malam yang menakutkan. Halimah membiarkan wajahnya dihujani ciuman Gito.

Tawa mereka tak berani terlepas keras. takut membangunkan orangtua Halimah. Luapan kebahagiaan itu membuat Halimah seakan tak ingin lepas dari pelukan Gito. Mereka berguling-guling di ranjang sambil saling memagut bibirnya, melumat kehangatan yang tersaji di malam itu.

"Aku kangen sekali, Ito," rengek Halimah yang sudah lupa segala-galanya.

"Aku kangen dengan kenakalanmu."

"Aku juga kangen sekali, Imah. Aku... aku ingin menikmati kebahagiaan yang pernah kita rasakan di belakang rumahku beberapa malam yang lalu itu."

"Idih, kamu gitu deh...." Halimah mencubit hidung Gito yang ada di atasnya.

"Kubilang juga apa, kamu pasti akan ketagihan kalau sudah merasakannya. Ternyata benar kan? Makanya waktu itu sebenarnya aku keberatan tapi tapi."

"Tapi kamu sendiri juga ingin mencobanya. bukan?"

"Idih, nggak gitu deh!" Halimah cekikikan.

"Tak bolehkah aku menikmatinya kembali, Sayang?" '

Halimah tak menjawab, hanya tersenyum malu sambil melengos. Tapi ketika bibir Gito menempel di pipinya, Halimah membiarkan saja. Bahkan wajah cantik itu kembali pada posisi semula sehingga bibirnya kembali terkena kecupan bibir Gito.

Ungkapan rasa bahagia berbaur dengan gairah yang menyala-nyala. Lumatan bibir Gito bukan saja menghangat di sekitar mulut Halimah, namun juga sudah merayap sampai ke dada. Halimah tak bisa menghindar karena ia terbuai oleh kenikmatan yang melambungkan jiwa mudanya.

Halimah hanya menggigit bibirnya sendiri ketika kancing gaunnya dilepas oleh Gito.

"Ito... uuuhk, kamu nakal sekali, Ito. Oouhh.... Itooo...!" Halimah meremas pundak Gito ketika tangan pemuda itu mulai bergerak nakal. Halimah semakin terbuai, jiwanya kian melambung tinggi dan tinggi sekali.

"Oouuhk...! Uuuhk...!" Halimah seperti orang merintih ketika Gito membawanya ke lautan cinta dengan perahu kehangatan. Halimah terengah-engah, demikian halnya dengan Gito. Gadis itu menggigit bibirnya berulangulang manakala kenikmatan itu dirasakan sangat berlebihan. Matanya terpejam kuat-kuat manakala kenikmatan itu mulai mencapai puncak kehangatannya.

"Oouiuhh...!" Halimah mengeluh panjang dengan tangan meremas lengan Gito.

Tetapi tiba-tiba ia terkejut setelah merasakan remasan tangannya terasa aneh. Ia seperti meremas sesuatu yang lebat .Padahal ia tadi melihat Gito tak mengenakan selembar benang pun.

"Uuhk. Ito sakiiit..." rintih Halimah pelan sekali. Matanya pun dibuka untuk menatap wajah kekasihnya.

Seketika itu Halimah terpekik keras-keras melihat Gito berbulu lebat dan berwajah menyeramkan.

"Aaaaaaaaa...!!" ' '

"Grrhh...! Grraaaaow...! Ggrrhhhh...!"

Halimah menjerit lagi lebih keras sambil meronta-ronta, karena yang sedang merangkak di atasnya ternyata seekor kera besar bermata merah dan bergigi besar. Jeritan itu menjadi semakin histeris ketika rambutnya dijambak oleh kedua tangan gorila yang berkuku tajam itu. Binatang menyeramkan tersebut ternyata tak mau melepaskan pelukannya. Bahkan semakin bergairah mengayunkan perahu cintanya untuk mencapai puncak gairah. Halimah terguncang-guncang sambil tetap menjerit-jerit histeris.

"Aaooooww...! Lepaskaaaan..,! Lepaskaaaan...! Oooouuhhh...! Toloooong, tolooong...! Aaaaaaaa...!" _

Entah berapa lama Halimah menjerit-jerit dan entah seberapa keras jeritan itu. Yang jelas suara Halimah membangunkan ayah dan ibunya. Mereka berdua segera mengguncangguncang tubuh putrinya dengan tegang.

"Halimah...! Maah...! Bangun...! Hei, bangun...! Sadar, Halimah... sadar...."

Halimah menggeragap, napasnya terengah-engah saat duduk melonjor dengan mata terbelalak tegang sekali. Wajah ayah dan ibunya berada tepat di depannya. Halimah semakin kebingungan. Ia menatap ke sana-sini sambil masih terengah-engah dengan suara mengerang aneh.

"Ya, ampun mimpi apa kamu, Anakku? Mimpi apa sih kok sampai basah kuyup begini keringatmu?" ujar sang ibu sambil mengeringkan keringat Halimah di sekitar wajah.

"Ibu... aku... aku mimpi di... digauli oleh binatang itu, Bu. Ooohh, uhuk, uhuk. uhuk...!" Halimah menangis memeluk ibunya. Sang ayah segera tanggap maksud ucapan anaknya.

"Anakku mimpi diperkosa gorila itu?! Astaga...?! Kenapa sampai jadi begini ceritanya?!" gumam ayah Halimah dengan tertegun sedih.

"Tak apa-apa, _itu cuma mimpi, Halimah. Jangan kau khayalkan sebagai kenyataan. itu

cuma mimpi...," bujuk sang ibu

"Cuma mimpi?! Benarkah cuma mimpi?!" tanya Halimah sendiri dalam hati. ia sangat gengsi dengan pendapat ibunya itu, karena secara tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang mengalir di sekitar pahanya. Cairan itu tak lain adalah darah kemesraan si gorila tadi. . Halimah semakin bertambah tegang lagi. Ketika ia memandangi kedua tangannya. ternyata pada ujung-ujung jari tangannya terdapat bulu-bulu halus berwarna hitam. Bulu-bulu itu adalah bulu-bulu dari tubuh si gorila yang diremasnya saat dalam mimpi tadi.

"Aaaaaaaaa...!"

Halimah pun menjerit dengan mata melebar tegang memandangi bulu-bulu gorila yang

terbawa di sela-sela kuku jarinya. .

***

Ada satu pesan lagi dari Siluman Mimpi yang menurut Pandu seharusnya malam itu dicatatnya tapi Pandu hanya mencatat pesan tersebut dalam ingatannya.

"Adakah peristiwa penting yang terjadi sekitar lima belas hari yang lalu?" tanya Siluman Mimpi pada Kumala waktu itu.

"Ada banyak peristiwa penting yang kulewati dalam waktu lima belas hari ini. Tidak semuanya tercatat dalam ingatanku, Siluman Mimpi. Jadi peristiwa yang mana yang kau maksud penting itu?"

"Munculnya gerhana matahari pada siang hari."

"0, ya...," Kumala Dewi manggut-manggut.

"Tapi itu bukan gerhana matahari total, bukan?"

"Memang. Dan perlu kau ingat, Dewi Ular... munculnya gerhana matahari merupakan pertanda musim birahi bagi Pangeran Arya Mahera'

"Musim birahi?!" Kumala berkerut dahi.

"Pangeran Arya Mahera mempunyai kesempatan mencari calon istrinya selama empat puluh hari setelah terjadi gerhana matahari, total atau bukan total. Maka selama empat puluh hari setelah terjadinya gerhana matahari itu, Arya Mahera pasti berkeliaran menjajaki setiap wanita yang menurut dugaannya sebagai titisan Betari Durgi. Beratus-ratus tahun lamanya tradisi 'mencobai' itu, sudah dilakukannya, tetapi sampai sekarang belum satu pun wanita yang ternyata adalah titisan Betari Durgi. Apakah di tahun ini Arya Mahera akan berhasil memperoleh titisan Betari Durgi? Kita lihat saja nanti, siapa wanita yang menjadi hamil setelah digauli di alam mimpi! Itulah yang membuat Hindi akhirnya jatuh pingsan. Katakata itu pula 'yang membuat pandu selalu memperhatikan Hindi, Sejak peristiwa itu, Kumala memang menganjurkan agar Hindi tinggal di rumahnya yang lega dan punya beberapa kamar kosong itu. Hal terseut dilakukan oleh Kumala agar ia dapat memantau setiap perubahan yang dialami Hindi.

"Kau yang harus menjaga kedua pasien kita itu: Delvin dan Hindi!" kata Kumala dengan tegas kepada Burqn. Tugas itu sengaja diberikan kepada Buron karena jika terjadi sesuatu yang di luar jangkauan manusia. Buron dapat mengatasinya dengan kekuatan gaibnya sebagai Jin Layon. .

Maka ketika malam itu Kumala dan Sandhi sedang meluncur ke rumah sakit untuk menemui Gito, jin usil terpaksa tak bisa pergi ke mana-mana hanya menemani Hindi yang sejak tadi duduk melamun di serambi samping. Pada saat itu, Pandu masih sibuk dengan urusan pemotretannya terhadap salah seorang selebritis yang sedang merayakan ulang tahunnya

disebuah hotel berbintang.

" jangan dibawa melamun terus. Nanti jiwamu akan semakin terguncang," kata Buron saat muncul sambil membawa segelas kopi untuk dirinya sendri.

"Aku diliputi kecemasan yang... yang memualkan perut. Sejak tadi rasa-rasanya ingin muntah saja."

"Wah, celaka kalau udah begitu?!" keluh Buron dalam hati, tapi di wajahnya ia masih kelihatan tenang tenang saja. Bahkan sempat tersenyum sambil meluncurkan candanya.

"Itu karena pikiranmu sering kosong. Sama halnya dengan perut kita. kalau kosong, mudah masuk angin. Pikiran kosong pun bisa bikin orang masuk angin. Hawanya pengin muntah aja! Aku juga sering begitu kok, terutama kalau terlalu lama dekat Sandhi."

"Idih, jahat kamu deh...!" Hindi sempat tertawa walau tak dapat seceria biasanya.

"Sudah pukul sepuluh kurang. Kumala kok belum datang Sih?"

"Dia sedang dalam perjalanan pulang"

"Benar...?!"

Buron mengangguk

"Aku melihat dari teropong gaibku"

"Apakah... apakah kau bisa melihat nasibku di hari mendatang melalui teropong gaibmu?"

Buron habis menyalakan rokok, ia memandang ke arah Hindi yang ada di sampingnya.

"Kalau bisa, kenapa?"

"Hmm, eeh... aku ingin tahu. apa benar aku adalah perempuan titisan-Betari Durgi?"

"Nggak usah berpikir begitu! nanti tersugesti."

"Tapi aku penasaran kalau belum tahu siapa diriku sebenarnya. Aku sangat tersiksa sejak mendengar "penjelasan dari si tua Siluman Mimpi itu. Tolonglah. Buron! tolong lihatin apakah aku memang titisannya Betari Durgi atau Bukan"?

"Nggak usah, ah!"

"Idih kamu gitu deh " Hindi pindah kempat. Satu Sofa dengan Buron. Tangannya mengguncang-guncang Buron dengan lagak manjanya.

"Ayo dong.... 'Sebentar aja deh, Ron. Apaan..."

Buron tersenyum. Dalam hati berkata,

"Enak juga dimanjain sama cewek cantik kayak dia ini."

Buron sengaja menghindari bujukan itu, tapi Hindi bertambah penasaran. Tangannya mengusap-usap punggung Buron sebagai langkah bujukan berikutnya. Buron kian berdebardebar kegirangan.

"Oke deh. Tapi jangan bilang-bilang Kumala, ya?"

"He. eh...! Pokoknya cuma kita berdua yang tahu deh. Nggak usah takut akan kukatakan pada siapa pun."

"Tapi nggak bisa dilakukan di sini."

"Habis maunya di mana?"

"Di kamar aja, yuk?"

"Ayo deh...!"

Hindi dan Buron masuk kamar yang dipakai tidur Hindi. Kamar itu berseberangan dengan kamarnya Buron dan Sandhi. Di situ, Buron menyuruh Hindi duduk bersila berhadapan dengannya. Hindi melakukan apa perintah Buron.

"Tatap mataku dan jangan berkedip, ya?"

Hindi mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

"Kalau kusuruh pejamkan mata, pejamkan saja. Jangan tunggu perintah dua kali. Oke?"

"Oke...," jawabnya pelan.

"Bernapas dengan santai. Jangan ada yang tertahan."

Hindi melakukannya. Matanya memandang mata Buron tak berkedip. Pada saat bibir Buron tampak bergerak-gerak kecil membaca mantra saktinya. Sekitar setengah menit kemudian, Hindi seperti melihat genangan air bening yang menyegarkan di kedua mata Buron. Genangan air itu sangat meneduhkan hati, membuat hati terasa bagaikan ditaburi bunga-bunga indah.

"Pejamkan matamu...," perintah Buron pelan. Hindi pun memejamkan kedua matanya.

Dalam keadaan mata terpejam, ternyata pemandangan yang indah menyejukkan hati itu semakin terlihat nyata. Desir-desir di hati Hindi semakin nikmat untuk diresapi. Ia bagaikan sedang diayun-ayunkan oleh gelombang asmara yang luar biasa indahnya. Hindi tak tahu bahwa saat itu sebenarnya Buron melepaskan panah asmaranya yang dapat memikat hati lawan jenisnya,.

Buron sendiri nyengir geli ketika Hindi memejamkan matanya. Ia bertanya dengan nada membisik,

"Apa yang kau inginkan saat ini. Hindi?"

"Aku .. aku ingin dapatkan sentuhan di bibir... oohh... sentuhlah bibirku, Buron... sentuhlah.."

Buron pun cekikikan sebentar, kemudian menyentuhkan bibirnya ke bibir Hindi. Begitu bibir Buron menyentuh, lidah Hindi menyambar dan melumatnya. Mata tetap terpejam dan tangan mulai memeluk Buron saat lidah Hindi semakin lekat melumat bibir Buron.

Tapi ketika Hindi membuka matanya, ia terkejut menyadari keadaannya.. Ia buru-buru menarik mundur kepalanya dan melepaskan pelukannya.

"Buron...? Ooh, kenapa jadi begini?!".

"Ak... aku aku sendiri tak tahu. Tapi... tapi kurasa ada Sesuatu yang tak beres di sekitar sini! Tunggu, aku akan memeriksanya dengan radar gaibku!" kata Buron terbata-bata. Malu sekali. Keusilannya nyaris diketahui kalau saja ia tidak segera berlagak tegang dan berlagak mencari kekuatan aneh di sekitarnya.

Buron berpura-pura lakukan semadi dengan duduk bersila dan kedua tangan merapat di dada. Tapi tiba-tiba ia benar-benar merasakan hawa' panas mendekati dirinya. Buron segera benar-benar kerahkan kekuatan hawa

gaibnya.

Tiba-tiba saja tubuh pemuda agak kurus itu berputar dalam keadaan duduk melayang.

Weess....! Wuuut..!

Buron menembus dinding kamarnya.

Bleess...! Sepertinya bayangannya lenyap begitu saja. Tentu saja hal itu membuat Hindi menjerit ketakutan dan berlari menemui Mak Bariah di dapur.

"Aga apa, Neng?! Ada apa...?"

"Buron lenyap, Mak! Buron lenyap!"

"Dasar jin usil! Biarkan saja dia lenyap, Neng. Mudah-mudahan benar-benar ditelan setan deh!" ujar Mak Bariah yang menganggap Buron mulai bertingkah lagi dengan keusilannya.

Padahal waktu itu Buron benar-benar sedang mengejar Sekelebat bayangan yang ingin mendekati Hindi. Bayangan hitam itu berbentuk seperti seekor gorilla yang memancarkan cahaya biru pada tepian bentuk tubuhnya. Buron mengeluarkan 'hawa gaibnya, bayangan gorila itu terpental dan Segera dikejarnya dengan menembus tembok. Buron bernafsu Sekali untuk menangkap bayangan gorila tersebut.

***

KEDATANGAN Dewi Ular ke rumah sakit bukan hanya sekedar untuk mendapatkan informasi dari Gito. Rupanya hati gadis itu tergerak oleh penderitaan Gito yang mengalami lukaluka sebanyak itu.

"Demi cintanya ia sampai lakukan tindakan nekat dan berakibat separah ini," bisik Kumala kepada Sandhi. '

"Bukankah orang bilang cinta itu buta?"

"Iya. Tapi kalau yang kayak gini bukan buta saja, tapi juga cacat!" '

"Jadi cinta itu cacat?" tanya Sandhi sambil tersenyum geli!

Gito sedang bicara dengan Maryana. Kumala dan Sandhi ada di sisi lain, Sandhi melihat Kumala Dewi memandang ke arah Gito tanpa berkedip, Sopir pribadi itu segera tahu apa yang akan dilakukan Kumala. Maka dengan berbisik lebih pelan lagi ia berkata,

"Jangan lakukan!"

Kumala mengedipkan matanya. Biasa-biasa saja. tapi Ia juga berbisik tanpa melirik ke arah Sandhi. .

"Kenapa"?

"Kalau kau lakukan. nanti kasus Gito akan menjadi semakin heboh. Mereka. terutama para dokter, akan menahan Gito 'untuk tinggal di rumah sakit ini lebih lama lagi jika tahu-tahu luka lukanya lenyap tanpa bekas! Kasihan pemuda itu"

Rupanya seringnya Sandhi ikut Kumala mengunjungi orangorang sakit, segera dapat mengetahui maksud Kumala yang ingin menggunakan kekuatan kedewaannya untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh Gito. Jika hal itu benar-benar dilakukan Kumala, maka dalam waktu yang sangat singkat Gito akan kehilangan luka-lukanya. Kesembuhan secara magic akan terjadi, dan mencengangkan kalangan para medis. Hal itu membuat Gito akan dijadikan bahan penyelidikan oleh para medis. Sandhi kasihan jika Gito dijadikan penyelidikan seperti beberapa pasien yang sudah pernah disembuhkan Kumala. Masa tinggal di rumah sakit akan lebih lama, walau keadaan pasien sudah sembuh.

"Kalau begitu akan kulakukan secara transparan saja. Dua-tiga hari lukanya akan hilang."

"Nah, kalau begitu nggak apa apa. Nggak terlalu mencolok!" bisik Sandhi.

Zlaaab...! Seberkas sinar hijau yang sangat tipis melekat dari kedua mata Dewi ular. Begitu tipisnya sinar itu. sampai-sampai tak mudah dilihat oleh Maryana, Gito atau orang lainnya., Hanya Sandhi yang melihat keluarnya sinar hijau itu sebab ia memang memperhatikan kedua mata Dewi Ular dari sisi samping.
Dewi Ular Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukul sembilan lewat, Dewi Ular dan Sandhi tiba di rumah. Kunjungan malam di rumah sakit jelas tak akan diizinkan jika bukan karena Kumala kenal dengan dokter yang menangani Gito saat itu. Hampir saja Kumala sampai rumah lebih malam lagi karena ia nyaris kesasyikan ngobrol dengan Dokter Aswi, yang pernah merawat Sandhi saat leher Sandhi robek.

Hindi mengadu kepada Kumala tentang hilangnya Buron. Mak Bariah, pelayan setia Kumala Dewi itu, menetralisir kecemasan Hindi dengan Mengatakan,

"Buron pamer keusilan di depan Neng Hindi. Bikin orang ketakutan aja!"

"Memang brengsek

kecoa satu itu"

geram Sandhi dengan kesal.

Sampai hampir pukul dua belas tengah malam, Buron belum menampakkan diri. Padahal ada yang ingin dibicarakan oleh Kumala dengan jin usil itu. Kumala sengaja menunggu kemunculan Buron sambil ngobrol dengan Hindi di ruang tengah. Sandhi sendiri tampak tak sabar menunggu kemunculan Buron. Ia menggeram geregetan, karena sebelumnya ia sudah wanti-wanti kepada Buron untuk tidak mengganggu Hindi. Ternyata Buron nekat mengganggu gadis itu, Sandhi ingin menampar wajah jin usil itu sebagai pelajaran.

"Kamu nggak perlu berpikir yang bukan bukan, Hin," ujar Kumala.

"Percaya saja padaku. aku dapat mengetahui lebih dulu jika kau memang titisan Betari Durgi. Mata gaibku nggak melihat adanya janin dalam rahimmu. Aku yakin bukan kau orang yang jadi pilihan Arya Mahera."

"Lalu... lalu kenapa aku semalam mendengar suara orang berbisik di telingaku? Suaranya serak dan kasar sekali. Aku mencium bau tak sedap. Seperti bau binatang hutan. Memang aku nggak mimpi lagi tentang gorila itu, tapi bau dan suara itu mengganggu ketenanganku, Kumala."

"Yang penting kalau kamu merasakan ada perubahan apa saja pada dirimu, cepat bilang padaku: Atau..."

Kata-kata si cantik Dewi Ular terhenti secara tiba-tiba karena lantai terasa bergetar. Lampu kristal yang bergelantungan itu juga terguncang hingga menimbulkan suara gemerinting. Semua mata tertuju ke arah lampu kristal tersebut. Sandhi buru-buru mendekati Kumala dengan wajah tegang.

"Ada apa ini?" tanyanya tak berani dengan suara keras. Hindi mulai merapat pada Sandhi dan memegangi lengan pemuda itu. Sandhi memeluk Hindi dari samping, bersikap sebagai pelindung sementara.. .

"Nooonnn...!" teriak Mak Bariah dari kamarnya ia berlari ketakutan karena getaran yang dirasakan semakin kuat. Pintu kamarnya sempat _dibanting saat ia lari ke arah ruang tengah.

"Nooon, saya takuuuut...!"

Dewi Ular diam saja. memandang ke atas. Seperti sedang memperhatikan langit-langit ruangan tersebut. Sandhi melambaikan tangan pada Mak Bariah. Perempuan berusia 40 tahun itu bergabung dengan Sandhi dan Hindi.

Dewi Ular berdiri agak jauh dari mereka. Tangan kanannya terulur ke atas dengan telapak tangan mengembang. Dengan satu sentakan tangan itu ditarik mundur.

Wuuut...!

Lalu terdengar suara berdetak cukup keras. Eternit jebol.

Krraaak...! Brraaak...!

Gubruuukk..!

"Aaaaaaaa...!" Hindi menjerit histeris karena sangat kaget dan ketakutan. Ia memeluk Sandhi kuat-kuat, menyembunyikan wajahnya di dada Sandhi.

Karena Hindi menjerit keras, Mak Bariah pun ikut terlonjak kaget dan berteriak keras juga. Sementara itu, Sandhi hanya bisa tersentak dengan mulut ternganga dan mata membelalak lebar tak berkedip.

Sesuatu yang jatuh dari atap tadi dipandanginya. Ternyata benda yang jatuh itu adalah tubuh Buron yang sudah membiru dan kaku. Mulutnya ternganga, matanya mendelik, kulit wajahnya biru legam, juga di bagian leher dan dada. Pakaian yang dikenakan dalam keadaan rusak compang-camping, seperti habis dicabik-cabik binatang buas. Tapi pada tubuh yang membiru itu tak terlihat ada luka

goresan atau luka koyak seperti yang dialami Gito.

"Kurang ajar..!" geram Dewi Ular yang terperanjat melihat keadaan Buron seperti habis direndam dalam air keras. Kaku bagaikan patung kayu.

Getaran yang menyerupai gempa tadi telah berhenti. Suara gemuruh pun lenyap. Yang tinggal hanya deru napas mereka dicekam ketegangan yang luar biasa besarnya.

"Buron?!" keluh suara Sandhi. Bergetar.

"Kumala... lakukan sesuatu. Buron dalam bahaya tuh! Lakukan sesuatu...!"

"Diam " bentak Dewi Ular tampak gusar sekali. Ia mendekati Buron yang tergeletak kaku bercampur pecahan genteng-dan serpihan kayu atap. Langkah gadis itu sangat pelan dengan kedua tangan mengeras di kanan-kiri, seperti sedang menahan kemarahan yang cukup besar. Sandhi dan yang lainnya tak berani bersuara lagi. Mereka justru bergerak mundur, mendekati pintu menuju ruang makan.

Dengan napas berat dihela memburu, Kumala Dewi menengadahkan wajah, memandang lubang besar di atap.

"Kau telah menantangku secara terang-terangan. Arya Mahera!" seru Dewi Ular dengan lantang

"Akan kulayani tantanganmu, Pangeran terkutuk!"

Glegaaaar...!

Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar di langit. Kilatan cahaya biru tampak menerobos masuk ke dalam lubang atap. Sandhi melihat jelas cahaya petir itu menyambar Dewi Ular.

Tetapi gadis cantik yang malam itu hanya mengenakan 'stelan baju tidur tak berniat menghindari sedikit pun. Tangan kirinya justru disentakkan ke atas dengan dua jari berdiri tegak. Cahaya petir itu menyambar ujung jari tersebut

Crap... cralaap... taaar...!

Beberapa detik lamanya cahaya petir itu menyala bagaikan kawat berkelok-kelok. Cahaya biru berubah menjadi hijau terang. Tampak sinar hijau berjalan merayap cepat menggunakan cahaya biru hingga warna birunya berubah total menjadi hijau.

Zraaab, zaab, slaab, zzzzeerb..!

Jegaaaaar...!

Terdengar ledakan keras sekali di langit atas. Suara ledakan itu menggema ke manamana membuat alam sekitarnya menjadi bergetar. Cahaya hijau itu lenyap bersama bunyi

ledakan yang membahana itu.

Kumala Dewi tersentak jatuh dalam posisi duduk. Tapi ia masih bisa bangkit kembali dan memandang ke atas dengan kedua tangan diangkat. Dalam sekejap saja tubuhnya telah melayang tak menyentuh lantai, lalu berputar cepat memancarkan cahaya hijau.

Wuuut...!

Blaab. blaab...!

Gadis itu berubah menjadi seekor ular menyerupai naga hijau. Naga hijau itu segera bergerak memutar juga dan melesat naik dengan cepat.

Zlaaaps...!

Lolos melalui lubang besar tersebut, , . .

Kejap berikutnya. di langit terjadi ledakan beruntun yang menggelegar ke mana-mana.

Blaaar, blaar, blegaaar...! Blaaarr, buuumm...!

Hindi memeluk Sandhi kuat-kuat karena lantai tempat mereka berpijak bagaikan mau longsor ke dalam. Guncangan itu membuat beberapa perabot menjadi rusak, berjatuhan dan pecah. Suasana gaduh itu sangat menakutkan, membuat Mak Bariah akhirnya hanya berani mendekam di pojokan sambil memegangi kaki kursi. Tubuh perempuan berkebaya itu menggigil dengan wajah disembunyikan ke bawah.

Ledakan di langit yang disertai pancaran

cahaya hijau menyebar itu segera berhenti. Alam menjadi sepi. Ketegangan mereka sedikit berkurang, Tapi kecemasan Sandhi masih tetap membuatnya panik. Ia berlari ke bawah lubang atap. mendekati Buron, memandang ke atas, menunggu kemunculan Dewi Ular dengan wajah pucat . Hindi bergabung dengan Mak Bariah. Tangisnya masih terdengar samarsamar.

Sandhi yang sangat mencemaskan Kumala terpaksa berseru keras-keras, menampakkan kepanikannya.

"Kumaiaaa...! Kumalaaa...! Jangan pergiii...!-" _

Mata Sandhi memandang ke sana-sini dengan gusar. Ia ingin mengguncang-guncang Buron, tapi tak jadi karena Buron tampak sudah tidak bernapas lagi. Sandhi bangkit dan memandang ke atas lagi.

"Kumalaaaaaa...!! Kumaaaaaalaaaaaa...!"

Suara Sandhi sampai serak .Napasnya terengah-engah. Ia kelihatan tak ingin kehilangan majikan cantiknya itu. Luar biasa rasa khawatirnya Sandhi terhadap diri Kumala sampai ia berteriak dan bertingkah seperti orang gila. Marah. sedih. takut dan gemas telah

bercampur aduk menjadi satu dalam hatinya, membuat Sandhi menjadi salah tingkah, kelabakan ke sana-sini.

Cralaaap...!

Tiba-tiba seberkas sinar hijau berkerilap, melesat dari lubang atap menuju ke sofa dekat meja telepon.

Duuubb...!

Sebuah letupan terjadi di sana. Asap hijau mengepul sekejap, kemudian sirna. Maka tampaklah tubuh Dewi Ular yang terpuruk dengan rambut acak-acakan, wajah sedikit hangus dan tubuh lemas. Dadanya tak kelihatan terengah-engah. Bahkan Sandhi tak melihat tanda-tanda adanya napas yang keluar dari hidung gadis itu.

"Kumala...!"

Sandhi melompat menghampiri Kumala yang lemas seperti benang basah itu segera dipeluknya tanpa canggung-canggung. Tubuh gadis itu diguncang-guncang dengan gerakan panik

"Ooh, bangun! Bangun. Malaaa...! Kamu nggak boleh mati! Bangun...! Cepat pulihkan tenagamu! Ayo, pulihkan kekuatanmu. Kumala...!" _

"Bawa dia ke kamar...!" seru Mak Bariah dengan suara parau sambil berusaha bangkit. Dengan berpegangan Hindi dan kursi, Mak Bariah berhasil berdiri walaupun lututnya terasa lemas.

Sandhi kerahkan tenaga, menggotong Kumala dengan kedua tangannya, membawanya masuk ke kamar gadis itu. Kumala dibaringkan di ranjang, lalu ditepuk-tepuk kedua pipinya.

Plok, plok, plok, plok...!

"Ayo, bangun...! Kamu nggak boleh mati! Aku nggak mau kalau kamu mati! Kamu nggak boleh kalah, Mala...! Ayo, bangun...! Banguuunn...!"

Sandhi berteriak-teriak sambil wajahnya menyeringai, seperti mau menangis. Saat itu Sandhi kelihatan sangat tak rela jika Kumala sampai tewas.

Sandhi nekat memberi pernapasan bantuan. Ia meniupkan napas melalui mulut Kumala. Tiga kali hembusan napas kuat, akhirnya tubuh gadis itu tersentak. Si gadis tersedak dan batuk-batuk kecil. Sandhi merasa lega, bahkan sempat terkulai jatuh bersandar dinding. ia sendiri terengah-engah dengan keringat bercucuran.

"Kumala..." sapa Hindi, lalu menghambur dan memeluk Dewi Ular yang baru saja bangkit dan duduk dengan kaki melonjor.

"Non Mala...?! Oooh, syukurlah Non Mala nggak apa apa...! Saya... saya mau telepon dokter, ya Non...." ujar Mak Bariah.

"Nggak usah, Mak... Aku nggak apa-apa."

"tapi kulitmu terbakar, Kumala," kata Hindi.

"Aku bisa mengatasinya."

Sandhi justru menggelosor berbaring di lantai dengan menghembuskan napas kelegaan berkali-kali. Tak terbayangkan andai saja saat itu Kumala tidak segera sadar, entah seperti apa hancurnya hati Sandhi yang diam diam menyayangi Kumala seperti saudaranya sendiri. Melihat Kumala sudah bisa duduk. Sandhi bertekad tak peduli lagi dengan gadis itu. Ia yakin Kumala dapat mengobati luka bakarnya sendiri.

Keyakinan Sandhi memang benar. Dengan menghirup napas beberapa kali, luka bakar itu mulai tampak memucat. lama-lama menjadi hilang. Tinggal bekas membiru samar-samar. nyaris tak terlihat

"Sandhi...?! Bagaimana keadaanmu?"

"Buron!" ucap Sandhi pelan.

"Selamatkan si keparat usil itu! Aku tak rela kalau dia mati, Kumala! Selamatkan dia!" sambil pemuda itu

mencoba bangkit dengan merayapi dinding,

Buron masih dalam keadaan seperti patung kayu. Kumala Dewi segera mengulurkan telunjuknya. Dari ujung telunjuk keluar sinar kelok-kelok seperti petir, berwarna hijau bening. Sinar itu memancar selama sepuluh detik. Diarahkan ke jantung Buron.

Sepuluh hitungan kemudian. tubuh Buron yang kaku itu pun terkulai lemas. Ia tampak bernapas terengah-engah. namun masih belum bisa bergerak. Sandhi mengangkat tubuh Buron dibawa ke kamarnya. diletakkan di atas tempat tidur yang biasa dipakai Buron.

"Bocah edan! Bikin kerjaan orang aia!" gerutu Sandhi. Namun di balik gerutu itu ia menyimpan perasaan lega melihat teman sekamarnya ternyata masih bisa bernapas kembali.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Mala?" tanya Sandhi setelah menghabiskan air minum satu melas.

***

BETAPA terkejutnya Pandu melihat keadaan rumah seperti kapal pecah. Pertama-tama yang terlintas dalam benaknya adalah keselamatan Dewi Ular. Ia buru-buru menemui kekasihnya yang sedang mengumpulkan kekuatannya kembali di dalam kamar tidurnya.

Melihat keadaan Kumala baik-baik saja, Pandu pun menghembuskan napas lega. Ia segera ke kamar Sandhi, ternyata yang lain tengah berkumpul di kamar tersebut.

"Ada apa ini, San?!"

Sandhi dan Buron yang sudah segar kembali itu menjelaskan apa adanya. Belum selesai Pandu mendengar penjelasan mereka, Kumala Dewi pun muncul di kamar itu. Rupanya dalam semadinya ia melihat kedatangan Pandu dan segera menyudahi meditasi tersebut. Kekuatan gaibnya telah terkumpul kembali, dan gadis itu dapat tampil dengan tenang, sehat, tak terlihat bekas luka bakar sedikit pun pada tubuhnya.

"Arya Mahera hampir saja membunuh Buron," ujar Kumala mengawali penjelasannya.

"Lalu apa yang kau lakukan?"

"Ia menantangku dengan caranya sendiri. Aku sempat bertarung melawannya. Langit hampir saja terbelah karena kekuatan yang kukerahkan seluruhnya untuk melawan Arya Mahera."

"Apakah kau berhasil mengalahkan dia?" tanya Pandu semakin ingin tahu.

"Aku melukai dadanya. Entah berapa lama ia akan bertahan dengan luka itu. Yang jelas dia menghilang di balik gumpalan kabut mimpi dan aku kebingungan mengejarnya."

Buron menyahut.

"Aku yakin untuk sementara ini Arya Mahera nggak bakalan muncul lagi."

"Kau yakin tentang itu?" tanya Pandu kepada Buron. Pemuda berambut kucai itu mengangguk.

"Dia marah padaku. karena memergoki aku berdua dengan Hindi. Dia ingin masuk dalam raga Hindi, tapi sempat kutepis dan ia melarikan diri ke alamnya. Aku mengejarnya, tapi... dia keluarkan kesaktiannya yang membuatku babak belur. Hampir saja aku terbakar

menjadi abu kalau nggak segera diselamatkan oleh Kumala. Terlambat sedikit waktu lagi Kumala menyelamatkan diriku, mungkin sekarang aku sudah nggak bisa bertemu kalian lagi," kenang Buron dengan ekspresi wajah sedikit tegang.

"Kesaktiannya cukup membahayakan," gumam Kumala Dewi, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.

Buron menimpali dengan suara datar,

"Hanya ada dua perempuan yang paling kuat diduga sebagai keturunan Betari Durgi,"

"Siapa dua perempuan itu?" sahut Sandhi.

"Seorang mahasiswi yang bernama Halimah dan Hindi."

"Oooh...?!" Hindi terpekik kaget menjadi tegang kembali.

"Halimah...?!" Kumala bergumam lirih.

"Kalau begitu yang menyerang Gito adalah Arya Mahera sendiri. Dia cemburu melihat Gito mendekati Halimah!"

"Sepertinya memang begini," timpal Sandhi.

"Halimah mengatakan keresahannya di depan Maryana dan di depanku. Dia sering mendengar suara binatang menggeram di belakangnya. Kurasa... kurasa malam ini Halimah

sedang disatroni Arya Mahera lewat mimpinya."

"Celaka! Kalau begitu...," katakata Dewi Ular terhenti mendadak, karena secara tibatiba mereka dikejutkan oleh suara gaduh dari arah gudang.

Gubraaaakk...!

"Astaga..." Suara apa itu?!" Mak Bariah tersentak tegang.

Gubraak, braak! Gumbraaang...!

Buron dan Kumala saling beradu pandang. Terdengar suara Kumala bergumam tegang,

"Delvin...?!"

"Kurasa kera jelmaan Delvin telah sadar dan sedang berusaha keluar dari gudang!"

"Celaka! Aku lupa menambah pembius gaib padanya!" bisik Dewi Ular.

"Cepat tahan dia. Buron!"

Blaaasss..!

Buron melompat cepat menabrak dinding. Tapi saat itu Buron berubah seperti bayangan yang mampu menembus dinding tanpa bunyi, tanpa getaran sedikit pun. Kumala Dewi pun bergegas ke gudang dengan langkah cepat. Pandu dan yang lainnya mengikuti dari belakang.

"Hati-hati. Mala...!" Pandu sempat mengingatkan gadis itu, tapi tak ada jawaban apa pun dari Kumala.

Brraaak...!

Pintu gudang jebol. Sesosok makhluk berbulu lebat dengan wajah menyeringai mengerikan muncul dari dalam gudang itu. Mak Bariah dan Hindi menghentikan langkahnya setelah Sandhi merentangkan kedua tangannya di depan mereka.

"Mundur...! Jangan dekati dia!" perintah Sandhi kepada Mak Bariah dan Hindi.

Pandu mulai mencari senjata. Diambilnya sepotong kayu penyangga tiang jemuran. Ia berjaga-jaga dalam jarak lima meter di belakang Kumala Dewi.

"Graaaaaww..!"

Makhluk jelmaan Delvin melompat dengan suara mengerang serak. Gorila jelmaan itu tampak marah, merasa dirinya dikurung di dalam gudang. Buron menjadi sasaran pertama kemarahan makhluk itu. Ia hendak diterkam dengan kedua tangannya yang berkuku runcing, dan mulutnya ternganga lebar menampakkan giginya yang bertaring tajam.

Tapi ketika tubuh besar berbulu itu melayang di udara, Buron segera menyentakkan

kedua tangannya ke depan.

"wuuuk. !

Hawa padat tanpa sinar keluar dari telapak tangan Buron. Hawa padat yang tak terlihat itu mempunyai tenaga cukup besar, membuat makhluk berbulu itu melambung lebih tinggi lagi, melewati kepala Buron, lalu jatuh terbanting di rerumputan, lima meter dari tempat Buron berdiri,

Buuuhk..!

"Keeeaaaak...!!" makhluk itu memekik menyeramkan. Ia segera bangkit dan menjadi bertambah liar lagi. Berlari menerjang tanaman hias yang ada di dekat lampu taman. Bahkan lampu taman itu dihantam dengan kecepatan tangannya yang berkulit tebal.

Praang...! Buuuusss...! .

"Buron, jangan serang dia!" seru Kumala Dewi. '

"Awas, dia menyerangmu! Panduuu...!" seru Buron.

Pandu segera mengibaskan kayu kaso dengan dua tangan. Kibasannya bermaksud menghantam pinggang makhluk buas itu. Tetapi kakinya yang gemetaran itu justru terpeleset saat menginjak rumput basah, Pandu terpelanting jatuh.

Bluk"!

Makhluk itu semakin dekat. Mulutnya terbuka lebar, siap menggigit lengan Pandu.

Weas...! Buuurkkk!'

"Keeeaaak...'!"

Tahu-tahu makhluk berbulu itu terpental membentur pohon mangga. Rupanya Dewi Ular menjadi marah melihat Pandu mau digigit gorila Delvin. Dengan menggunakan kekuatan lompatnya yang menyerupai badai. Kumala Dewi menerjang makhluk tersebut dalam bentuk cahaya hijau, yang akhirnya membuat makhluk itu terpental sejauh tujuh meter. Ia memekik keras di bawah pohon tersebut

Zluuuubs...!

Tiba-tiba dari tebasan tangan kiri Kumala keluar sinar hijau seperti tongkat pramuka. Sinar itu menghantam punggung makhluk tersebut. Seketika itu juga gorila yang berusaha bangkit lagi itu jatuh tersungkur, mengerang pendek dan pelan, kemudian terkulai lemas tak berdaya. Ia terkena pembius gaib yang membuatnya pingsan dalam jangka waktu 24 jam.

"Masukkan gudang!" perintah Kumala.

"Pintunya jebol!" seru Buron. .

"Kalau begitu: .."

"Aaaaaaa...!" tiba tiba terdengar suara

Hindi menjerit histeris. Jeritan itu berulangulang, disertai teriakan Sandhi yang tampak mengalami kepanikan.

"Kumala "

Hindi mulai berbulu...! Cepat, tolong dia ?!

'Wah. tambah kacau lagi kalau gini?!" geram Buron sambil berlari ke arah Hindi dan Sandhi.

Dari pori-pori tubuh Hindi mengeluarkan rambut yang makin lama makin bergerak memanjang. Hindi di puncak kepanikan. Ia meronta dengan tenaga cukup kuat sambil menjerit jerit. 'Sandhi terlempar dari sampingnya. Mak Bariah dan Pandu terpelanting jatuh saling tindih. ,

"Tidaaaak; tidaaaak.!.! Aaaaaaa." Aakkrmr...!" '

Wuuuuss...!

Hindi melompat sambil meraung-raung. Tanaman hias diterjangnya. Rusak semua. Badannya yang mulai bengkak itu semakin berbulu lebat .Wajahnya mekar menjadi lebar. Buron berusaha menangkapnya dengan satu lompatan dari belakang. Kedua tangan Buron berhasil memeluk Hindi dari belakang. Tapi tubuh Hindi mengibas satu kali. Buron terlempar sampai menabrak rak piring.

Wuuut, praaangg...! Uumpraaang...!

"Ggrr'...! Grraaaooww...!"

Tahu tahu Hindi sudah ada di atas pohon mangga. Dahannya diguncang-guncang hingga daun pohon berguguran. Suara gaduh terjadi di atas pohon. Makin lama Hindi semakin naik ke tempat yang lebih tinggi. Di sana ia meraung memilukan hati sambil mengguncang-guncang dahan pohon.

"Aaaauuuukkrr...! Keeeeaaaakkrr...! Keeeaaaakkkm'...!" .

Kumala Dewi yang sempat dibuat panik mengambil jalan pintas tanpa tanggung-tanggung lagi. Sinar hijau seperti tongkat keluar dari tangannya.

Claap...!

Sinar itu tepat kenai punggung Hindi yang sudah berubah menjadi gorila berbulu lebat.

Deebs...! '

"Graaaouw...!"

Guzzraak...! Zroook...! Bruuukk...!

"Keeeeaakk...!"

Hindi jatuh terbanting dari atas pohon. Dua dahan patah seketika. Salah satu dahan sebesar betis menimpa dadanya. Makhluk jelmaan Hindi sempat memekik kesakitan satu kali. setelah itu tidak bergerak lagi. Jalur darahnya dibekukan oleh sinar hijaunya Dewi Ular tadi.

"Hindi...!" teriak Sandhi sambil berlari menghampiri gorila yang terkapar di bawah pohon. Mata merah makhluk itu pun redup saat Sandhi tiba di sampingnya. Mata itu akhirnya terpejam dan suara napasnya hilang.

"Dia matii...! Dia mati, Kumalaaa...!" teriak Sandhi dengan panik. Ia mengguncang-gunang tubuh gorila itu. Tapi tetap tidak bergerak sedikit pun.

"Dia... dia tak bernapas lagi. Mati!"

"Tenang, Sandhi! Tenang...!" bentak Buron dengan jengkel.

Kumala Dewi segera memeriksanya. Memegang denyut nadinya di beberapa tempat. Ternyata denyut nadi itu tidak ada lagi. Wajah cantik putri bidadari itu menyimpan ketegangan. Ia mencoba menekan dada gorila itu dengan beberapa hentakan agar makhluk tersebut bernapas kembali. Tapi ternyata usaha itu tidak berhasil. . '

"Pembius gaibku terlalu kuat!" ujarnya kepada Pandu dengan Wajah sedih.

"Jangan menyerah. Coba lagi. Aku yakin kau mampu menghidupkannya, Mala! Kau anak dewa, kau, pasti mampu menghidupkannya!" ujar Pandu membangkitkan semangat dewi Ular
Dewi Ular Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gadis itu justru berdiri dan menjauhi, duduk di bangku taman dengan wajah tertunduk sedih. Suara tangis Mak Bariah terdengar samar-samar. Pelipis perempuan itu mengeluarkan darah akibat benturan dengan batu saat terjatuh tadi. Hanya lecet biasa, tapi keluarnya darah membuat suasana setempat menjadi semakin menegangkan lagi.

Gorila jelmaan Delvin belum sempat disingkirkan ke mana-mana, Buron dan Sandhi mengangkat makhluk jelmaan Hindi' untuk dibaringkan bersebelahan dengan gorila jelmaan Delvin. Sementara itu. Pandu menolong Mak Bariah. memberikan obat merah dan menambalnya memakai plaster tensoplas. _

Sandhi mendekati Kumala dengan napas masih terengah-engah.

"Apa yang harus kita lakukan kalau sudah begini?"

Kumala cepat menyahut dengan nada datar,

'Baringkan mereka berdua di pendopo."

"Apakah itu menjamin Hindi dapat hidup kembali?" : _

Buron menyahut.

"Jangan menyudutkan Kumala! Semua ini terjadi di luar keinginan kita!"

Sandhi hampir menimpali dengan suara lebih keras lagi, tapi Pandu lebih dulu menengahi awal perdebatan mereka.

"Ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada kesempatan untuk menghidupkan Hindi kembali dengan kekuatan kedewaan Kumala! Sebaiknya kita sama-sama menenangkan diri, sebelum harus melakukan sesuatu yang terbaik "

***

Angin berhembus membawa udara dingin. Butiran embun yang terbawa angin menandakan malam semakin larut. Arloji Pandu yang tadi nyaris terpental karena lepas rantainya itu ternyata menunjukkan pukul 02.00 dini hari.

Kumala Dewi mencoba memberi energi kehidupan kepada makhluk jelmaan Hindi. Tetapi ternyata energi kehidupan yang menyerupai sinar hijau berkabut memutar-mutar mirip angin topan itu, gagal membuat nadi makhluk itu berdenyut lagi. Kekuatan kedewaannya sudah dikerahkan berkali-kali, tapi ia tetap gagal menghidupkan makhluk jelmaan Hindi.

"Pembiusku terlalu besar tadi. Racun dalam darahnya mengering membekukan semua cairan dalam tubuhnya. Racun itu harus disingkirkan dulu, baru bisa dipancing dengan energi kehidupan. '

"Dapatkah kau menyingkirkan racun tersebut?" tanya Pandu.

Kumala Dewi menggeleng lemah.

"Kalau aku bisa, sudah kulakukan pada diri Delvin Sejak kemarin."

Semua saling bungkam. Wajah-wajah mereka menampakkan duka yang teramat dalam. Di sela kesunyian'itu, tiba-tiba terdengar suara Buron yang mirip orang bergumam.

"Kalau begitu panggil Dewa Murkajagat"

Dewi Ular mengangkat wajahnya, menatap Buron. Masing-masing wajah pun terangkat. menatap Dewi Ular. Lalu terdengar suara Pandu berkata dengan pelan.

"Cukup beralasan sekali ide ini."

Setelah membiarkan sepi terjadi lagi beberapa saat, suara Kumala pun terdengar lirih diarahkan kepada Pandu yang berdiri di sampingnya.

"Aku takut memanggil kakek."

"Apakah kau akan membiarkan seorang teman tewas karena ulah si pangeran dalam legenda yang hilang itu?" celetuk Sandhi bernada protes.

Agaknya tak ada cara lain yang dapat

dipakai untuk menghidupkan Hindi kembali. Tak ada pilihan lain bagi Dewi Ular untuk memulihkan keadaan Hindi dan Delvin. ia harus memanggil kakeknya; Dewa Murkajagat apa pun resikonya nanti. '

Kumala Dewi bergegas pergi ke tanah berumput, empat meter dari pendopo. Yang lain hanya berdiri di tepi pendopo, di balik pagar kayu itu. Sementara itu, kedua makhluk berbulu masih dibaringkan bersebelahan di belakang mereka.

Dewi Ular berlutut di tanah berumput rata itu. Kedua tangannya dirapatkan di dada. ia mempunyai cara sendiri untuk memanggil kakeknya: Dewa Murkajagat.

Setelah diam beberapa saat, angin malam mulai berhembus agak kencang. Sisa anak rambut yang tidak digulung ke atas itu meriapriap bagai tarian benang sutera. Tiba-tiba tangan kanannya menghantam ke tanah. Hantaman tak seberapa keras itu menimbulkan getaran dan bunyi berdebam cukup keras.

Buuuummmmm !

Tiang-tiang pendopo bergetar, atapnya seperti mau runtuh. Pada saat itu juga, tangan Kumala yang habis menghantam ke bumi segera menyentak ke atas.

Zlaaapp...!

Sinar hijau lurus melesat dari tangan yang berjari rapat dan tegak itu. Sinar hijau tersebut bagaikan menembus langit, dan membuat langit bagaikan ingin terbelah.

Blegaaaarr...!

Sekarang langit bergerak-gerak seperti mau

runtuh. Mereka yang melihat kejadian itu benar-benar dicekam perasaan takut. Buron saja sampai'menyeringai ngeri, seakan takut kalau langit benar-benar runtuh menimpa kepalanya. Tapi semua mata masih tetap memandang ke atas, merasa sayang jika harus kedip menyaksikan keganjilan alam yang indah tapi menyeramkan itu.

Langit seperti terbuat dari hamparan batu giok. Hijau cerah. Bagian tengah yang terkena sinar dari Dewi Ular membentuk celah, dari bumi kelihatan lebar celah hanya sejengkal, dalam kenyataannya tentu lebih lebar dari jengkalan raksasa mana pun. Melalui celah yang panjang berkelok-kelok itu, tampak sinar putih menyilaukan keluar pelan-pelan.

Sinar putih menyilaukan itu bercampur dengan gulungan awan putih kebiru-biruan. Gumpalan awan itu mengeluarkan suara gemuruh seperti ratusan kaki kuda mendekati bumi.

Sinar hijau Kumala padam setelah munculnya gumpalan awan putih kebiruan itu. Ketika awan kian merendah, langit yang seperti terbelah itu merapat kembali dengan sangat mengagumkan siapa pun yang melihatnya.

Anehnya. semakin gumpalan awan itu mendekati bumi, semakin pelan suara gemuruh tadi. Bahkan ketika gumpalan awan setinggi menara pemancar, suara gemuruh itu lenyap. Awan pun menipis. Lalu tampak sesosok tubuh berjubah merah seperti dari kain satin. Si jubah merah itu mempunyai rambut putih, sebagian digulung, sebagian meriap-riap. Alis, jenggot dan kumisnya panjang dan berwarna putih meriap-riap pula. Wajahnya nyaris tak terlihat karena kelebatan rambut di wajah itu sendiri. '

'Itu si Dewa Murkajagat!" bisik Buron dengan suara datar, lalu ia segera melangkah ke tanah berumput tak jauh dari Kumala Dewi. ia berlutut di sana ketika Dewi Murkajagat semakin merendah. Kakek itu berdiri di atas sebilah pedang besar terbuat dari emas. Pedang besar itu memancarkan kemilau cahaya kuning

emas tapi tidak menyilaukan. Ia menggenggam tongkat dari sejenis besi anti karat putih mengkilap. Di atas tongkat itu terdapat bola dunia terbuat dari kristal yang memancarkan sinar putih kemilau. juga tidak menyilaukan.

Kakek yang seperti berdiri di atas skateboard itu kini mulai berada dalam ketinggian lima meter dari tanah. Pedangnya yang dipijaknya lenyap dengan sendirinya. Sang kakek pun mulai menapak ke tanah dengan gerakan pelan-pelan, seakan tak terpengaruh oleh gravitasi bumi..

Buron bersujud sampai mencium tanah. Kumala Dewi tetap berlutut dengan badan sedikit dibungkukkan, wajah tertunduk, dan kedua tangan merapat di dada. '

Melihat pancaran wibawa yang sangat besar dari wajah Dewa Murkajagat, Pandu dan Sandhi pun ikut berlutut di tepian pendopo. Namun wajah mereka sengaja sedikit ditegakkan untuk melihat keadaan Dewa Murkajagat yang sedikit berkesan angker, tapi sebenarnya penuh kharisma dan menyebarkan aroma wangi mawar itu.

"Menghaturkan sembah hormat, Eyang Murkajagat..," ucap Dewi Ular dengan penuh

Saya senyum senyum sendiri baca bagian akhir Legenda Yang Hilang

kayak gini :

rasa takut. Kakek itu berkata dengan suara sedikit bergema,

"Kamu siapa...?'

"Apakah Eyang lupa, aku adalah Dewi Ular, cucu Eyang sendiri."

"Maksudku, siapa yang menyuruhmu memanggilku?"

"Aku sendiri yang punya inisiatif memanggil Eyang!" Kumala mengangkat wajah, menampakkan kemanjaannya sebagai cucu.

"Dasar cucu lancang!" geram suara tua yang mengandung gema itu. Ia mengangkat tongkatnya, ingin dipukulkan ke wajah cantik sang cucu. Tapi jelmaan Jin Layon segera berseru dari tempatnya.

"Hyang Dewa Murkajagat... mohon seribu ampun untuk cucu Hyang Dewa! Jangan jatuhkan murkamu kepada cucu sendiri. Akulah yang mempunyai gagasan untuk memanggil Hyang Dewa datang ke bumi!"

"Ooh, kamu yang punya gagasan edan ini

rupanya?" . _

"Betul, Hyang Dewa.... Jika Hyang Dewa ingin marah. jatuhkan amarah Hyang Dewa kepada hamba!"

"Siapa kamu sebenarnya?"

"Hamba adalah jelmaan Jin Layon. yang menjadi sahabat cucu Hyang Dewa, yaitu Dewi Ular!" .

"Jin Layon ? Oooh, kamu anaknya si Ganjarlangu?!" '

"Betul, Hyang Dewa. Hamba anak dari Nini Ganjarlangu."

"Beraninya kamu menyuruh cucuku memanggilku, hah?! Apakah kau ingin lebur menjadi debu sekarang juga?"

"Aku juga ikut, Eyang!" sahut Kumala Dewi, kemudian berpindah tempat dengan cepat, berada dekat Buron.

"Hmmmmh...!" Dewa Murkajagat jadi jengkel melihat cucunya membela Buron. Tongkat yang sudah diangkat itu hanya bergetar menimbulkan suara gemerinting. Getaran tangan memegang tongkat itu terasa sekali menggetarkan seluruh isi bumi, sehingga orang-orang di lain tempat menyangka ada gempa tektonik yang melanda Pulau Jawa.

"Apa maksudmu mau ikut-ikutan hancur bersama anak jin itu. Cucuku?!"

"Tali persahabatan lebih kuat daripada nafsu pribadi, Eyang," kata Kumala Dewi

dengan lantang.

"Jika Eyang tega menghancurkan aku dan Buron, berarti tali persaudaraan Eyang sebagai dewa sangatlah rapuh. Eyang tak pantas jadi dewa. Lebih baik jadi manusia biasa saja, yang masih dihinggapi rasa egois, mementingkan nafsu pribadi."

"Jangan mengguruiku!" sentak Dewa Murkajagat. Suara sentakan itu membuat Kumala dan Buron terlempar mundur, sama-sama berguling-guling sejauh empat meter lebih.

"Jadi apa maumu memanggilku, Cu?!" tanya Dewa Murkajagat setelah bersungut-sungut dan menggerutu tak jelas.

"Beberapa orang menjadi korban racun kutukan'Eyang yang dijatuhkan kepada Pangeran Arya Mahera. Di antaranya adalah kedua temanku yang sekarang menjadi kera itu!" Kumala menuding ke arah pendopo,

Dewa Murkajagat tiba-tiba lenyap.

Blaab...!

Eeh,tahu-tahu sudah ada di dalam pendopo, di samping kedua gorila jelmaan itu. Pandu, Sandhi dan Mak Bariah terkejut, lalu saling menjauh. Kumala dan Buron pindah ke pendopo. Mereka berdiri. tapi, Buron tetap dengan sikap menghormat, sedikit membungkukkan badan.

"Siapa mereka berdua ini, cu?"

"Temanku. Eyang. Racun darah kemesraan Arya Mahera mengubah mereka menjadi seperti itu. Mereka korban kerakusan asmara pangeran itu di dalam mimpi. Mereka berdua bukan keturunan Betari Durgi, Eyang."

"Lalu... aku ke sini kau suruh apa?" '

"Lepaskan kutukan yang menular pada kedua temanku ini, Eyang" '

Dewa Murkajagat kaget. Kumis, alis dan jenggotnya tersingkap sendiri tanpa ada angin yang menghembusnya. Ia menampakkan ekspresi kemarahannya.

"Kau suruh kakekmu menjilat ludah-yang sudah keluar dari mulut?! Kau ingin menghancurkan wibawa Eyangmu dengan cara" seperti itu?! Cucu apa kau ini, hah?!"

Pendopo bergetar lagi. Bahkan pohonpohon pun terguncang oleh suara kemarahan sang dewa.

"Aku nggak suruh Eyang menjilat ludah. Jorok amat? Aku sendiri nggak mau sejorok itu, Eyang. Aku hanya ingin agar Eyang melenyapkan racun kutukan Eyang yang diderita kedua temanku ini!"

"Tidak bisa! Kutukanku tak bisa kucabut sebelum waktunya."

"Tapi mereka ini bukan orang yang bersalah kepada Eyang! Mereka ini korban kebejatan moral Arya Mahera!" Kumala terang terangan ngototnya.

"Itu resiko mereka, Cu. Bukan salahku. Aku hanya mengutuk Arya Mahera."

"Secara tak langsung mereka juga korban kutukan Eyang!"

"Apa pun alasannya, aku tak akan mencabut kutukanku!" tegas Dewa Murkajagat

"Aku pulang..!" '

"Tunggu. Kalau Eyang tidak mau menolongku, aku nggak perlu jadi bidadari lagi. Aku bukan, cucu Eyang. Aku bukan anak dewa! Aku bukan anaknya Dewi Nagadinii .Aku manusia biasa dan nggak akan bertemu Eyang lagi! Aku nggak mau kembali ke Kahyangan sampai kapan pun! Aku keluar dari lingkungan keluarga dewa! Aku berhenti jadi dewa kecil! Berhenti...!" .

Tiba-tiba di belakang Pandu dan yang iainnya ada suara perempuan yang menimpali kemarahan Dewi Ular.

"Aku juga berhenti!" ,

Semua mata memandang kaget ke arah perempuan cantik itu.

"Ibu...?!" seru Kumala Dewi setelah mengetahui perempuan cantik bercelana jeans dan jaket jeans tak dikancingkan itu adalah ibunya sendiri: Dewi Nagadini. Tentu saja kemunculan Dewi Nagadini yang tanpa tanda tanda sebagaimana mestinya itu sangat mengejutkan Dewa Murkajagat

"Nagadini...?! Kenapa kau ikut kemari?"

Dewi Nagadini yang gayanya serupa persis dengan Dewi Ular segera melangkah maju mendekati sang'anak. Membelai rambut Kumala dengan penuh kasih sayang. Ia tampak sama mudanya dengan anaknya sendiri.

"ibu, temanku jadi korban kutukan Eyang," rengek Kumala dengan manja.

"Eyangmu memang keras kepala! Biar Ibu yang bicara "

Dewi Nagadini yang tampil tanpa pakaian "dinas" kedewiannya itu segera berkata kepada Dewa Murkajagat. '

"Ayah, Kahyangan menjadi gempar karena Ayah menggeram jengkel di sini. Kahyangan tahu persis' apa yang terjadi di sini. Maka Hyang Maha Dewa mengutusku datang menemui ayah."

"Aku sudah mau pulang. Kamu tidak perlu menyuruhku pulang. Nagadini."

"Silakan berangkat, Ayah; Aku tidak akan kembali ke Kahyangan. Aku mengundurkan diri dari kedewianku! Aku bukan keluarga Kahyangan lagi."

'Tidak bisa! Kau adalah anakku. Nagadini! Aku tidak mau kehilangan anak satu pun!" Dewa Murkajagat tampak tegang, agak ngotot.

"Aku akan kembali ke Kahyangan jika Ayah membantu putriku yang tidak lebih cantik dariku ini!"

"Ibu... aku cantik seperti Ibu!"

"Iya, iya...! Tenanglah dulu. Eyangmu ini memang ganjen, maunya dibujuk dengan konyol!" bisik Dewi Nagadini.

"Jadi kamu mau kembali ke Kahyangan kalau aku memulihkan kedua orang ini?"

"Mencabut semua racun kutukan Ayah yang telah menimpa manusia tak bersalah!" tegas Dewi Nagadini.

"Kalau Ayah tidak bersedia menolong umat manusia, aku pun tidak akan mau menjadi anakmu."

Dewi Nagadini melengos dengan angkuh.

"Aku malu punya Ayah nggak bisa bertenggang rasa pada manusia tak bersalah. Kurasa Permana pun akan malu punya mertua keras kepala sepertimu. Ayah."

"Hmmm...!" '

Bumi bergetar lagi pada saat Dewa Murkajagat menggeram jengkel.

"Daripada aku kehilangan satu anak satu cucu, lebih baik kuubah sedikit ketentuanku!" geram Dewa Murkajagat. Lalu ia berkata kepada Dewi Ular.

"Cu... ke sini kamu!" '

Dewi Ular dan ibunya saling pandang. Sang ibu berbisik,

"Jangan takut itu tandanya dia sudah jinak. Dekatlah sana!"

Dewi Ular pun mendekati kakeknya. Sang kakek berkata dengan tegas.

"Kamu pikir enak jadi kakek yang punya cucu nakal seperti kamu, hah?!"

"Eyang mau menolong apa nggak sih?!"

"Iya..!" bentak Dewa Murkajagat, membuat sirap di atap pendopo merosot beberapa bagian.

Zrook..!

"Tapi aku tidak mau melakukannya sendiri. Kau yang harus melakukannya!" tambah Dewa Murkajagat sambil cemberut. Kemudian

ia menempelkan ujung tongkatnya yang selalu berputar itu ke dahi Dewi Ular.

Cralap...!

Dewi Ular menjadi bercahaya putih kemilau. Tapi hanya sekejap, setelah cahaya ini lenyap, Dewi Ular kembali seperti semula. :

"Tiupkan napasmu ke wajah mereka, maka mereka akan berubah menjadi manusia biasa, seperti awalnya!"

"Terima kasih, Eyang!"

"Masa bodoh !" ketus Dewa Murkajagat. Dewi Ular tertawa kecil bersama ibunya.

Zuuub...!

Dewa Murkajagat tahu-tahu sudah ada di tanah lapang berumput. Ia sudah berdiri di atas pedang emas berkilawan. Awan putih kebiru-biruan mulai menyelimutinya.

"Cu, Eyang pulang dulu!" ' '

"Selamat jalan, Eyang."

"Masa bodoh..!"

Blaaar, blaarr, blaarr, blaarr...!

Langit menjadi hijau kembali. Terbelah di salahsatu sisinya. Dewa Murkajagat dan awan putihnya masuk ke dalam celah langit, lalu langit bergerak merapat kembali. '

'Lakukan seperti pesan eyangmu tadi,"

kata Dewi Nagadini. maka Kumala pun meniupkan napasnya ke wajah kedua gorila jelmaan Hindi dan Delvin.

Kurang dari setengah menit, kedua gadis itu berubah kembali menjadi manusia biasa. Hindi bernapas, Delvin kebingungan mendapatkan dirinya ada di tempat itu.

Korban dari legenda Arya Mahera akhirnya tertolong semua oleh hawa sakti Dewi Ular, termasuk Halimah yang juga sempat berubah menjadi kera besar.

"Mulai sekarang, setiap ada gerhana matahari, kau harus bersiap-siap menghadapi korban seperti ini. Sebab dalam legenda lama yang telah dikatakan, gerhana matahari adalah lambang datangnya masa puber Pangeran Arya Mahera. Manusia dapat berubah menjadi kera, dan "kera akan berubah menjadi monyet."

"Ah, ibu ini ngomongnya ngaco aja!" '

Dewi Nagadini tertawa genit seperti anaknya.

"ibu pulang dulu, ya?" '

"Kenapa tergesa-gesa? Ibu tak ingin ke diskotek dulu, seperti waktu itu?"

"Lain kali saja. ibu harus pulang, karena ayahmu sedang dalam masa puber juga. Hii, hii hih"

"Idih, genit amat bidadari satu ini!" Kumala mencubit pantat ibunya. Sang ibu menjerit sambil cekikikan. Pandu melengos malu, dan melangkah meninggalkan mereka, karena pandangan kedua perempuan cantik itu sekarang tertuju padanya.

Selesai




Dewa Arak 96 Malaikat Tanpa Wajah Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr Fear Street Orang Tua Kami Hilang

Cari Blog Ini