Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD Bagian 1
Misteri Dian Yang Padam
Mara S GD
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 1985
(http://bacaan-indo.blogspot.com)
***
LAMPU beranda baru saja dinyalakan. Bik Atun sedang menyiapkan hidangan malam di dapur. Tirai yang bermotif segitiga-segitiga abstrak telah dirapatkan. Sebentar lagi pasangan Tuan dan Nyonya Sumarsono akan menikmati santapan malam. Nyonya Frida Sumarsono sedang menatap meja makannya dengan pandangan kritis. Taplak meja batik yang sudah licin, serbet-serbet yang sama motifnya sudah terlipat rapi di depan tempat duduk suaminya dan dirinya sendiri. Gelas-gelas yang berkilat memantulkan cahaya lampu sudah diisi dengan air es yang dingin menyejukkan, dan di dapur Bik Atun sedang memindahkan masakannya sendiri ke dalam pinggan yang indah-indah. Lampu di atas meja makan yang memberikan sinar temaram membuat suasana menjadi amat intim. Nyonya Frida Sumarsono menganggukkan kepalanya sendiri dengan perasaan puas. Ah, suaminya tidak dapat mengeluh bahwa istrinya tidak merawatnya dengan baik. Dari pagi hingga malam, kegiatan Nyonya Frida Sumarsono hanyalah semata-mata untuk membuat suaminya merasa betah
tinggal di rumah, dan dengan demikian diharapkan dapat memupuk kasih sayang lelaki yang menikahinya. Begitulah tujuannya. Ini sedikit-banyak untuk menebus "dosa'-nya, yang sampai kini belum berhasil memberikan seorang keturunan, buah kasih mereka berdua, kepada suaminya. Nyonya Frida Sumarsono merasa beruntung bahwa suaminya tidak pernah menyinggung hal ini, tidak pernah menyakiti hatinya dengan mengatakan dirinya mandul, seperti yang umumnya akan diperbuat laki-laki lain, yang begitu kawin tentu ingin dapat membuktikan kejantanannya kepada sanak keluarganya, kepada handai taulannya, kepada masyarakat sekelilingnya, bahwa dirinya mampu menciptakan seorang makhluk hidup, mampu melanjutkan keturunan nenek moyangnya, mampu berfungsi sebagai laki-laki yang sempurna. Bahkan terkadang mereka sampai lupa, bahwa istrinya juga berperan dalam mewujudkan makhluk kecil yang disebut bayi itu.
Tidak, pikir Nyonya Frida Sumarsono, suaminya tak pernah satu kali pun menyinggung masalah ini. Kendati umurnya sudah empat puluh dua tahun, sudah terlalu siap sebenarnya untuk dipanggil "Ayah" oleh anak-anak yang belum dilahirkan dari rahimnya. Dan dirinya sendiri? Dirinya sendiri pun sudah termasuk lebih daripada matang untuk menjadi seorang ibu. Frida Sumarsono berusia tiga puluh dua tahun sekarang, seorang wanita muda yang sehat, kuat, tak kurang suatu apa, kecuali satu hal itu. Rahimnya masih kering.
Memang mereka juga baru menikah kurang dari dua tahun. Dua tahun yang lalu ia berjumpa dengan Sumarsono ketika Iaki-laki ini melancong ke Ujungpandang. Ketika itu Sumarsono sedang mencari alamat salah seorang sahabatnya, yang rupanya telah salah memberikan alamat. Akibatnya Sumarsono salah mengetuk pintu rumah keluarga Umboh, dan sekalian mengetuk pintu hati anak gadis mereka, Frida. Frida yang selama ini jera bersahabat dengan laki-laki, jera setelah pengalaman pahitnya bersama Frans. Tetapi Sumarsono yang muncul ini begitu berbeda. Agak tua memang, usianya waktu itu sudah mendekati empat puluh tahun, namun tak dapat disangkal lagi, ia lebih matang, lebih tenang, lebih meyakinkan. Demikianlah penilaian Frida. Dan senyumnya, senyum yang begitu ramah, sama sekali tidak 'mengandung letupan-letupan semangat yang dapat menghanyutkan. Oh, tidak! Frida sudah begitu me_ ngenal semangat semacam itu dalam diri Frans, semangat yang sering kali banyak menuntut, semangat yang terlalu membara untuk mau menangnya sendiri, yang akhirnya hanya membuat dirinya terkulai, kehabisan tenaga, remuk berderai air mata.
Senyum Sumarsono menyinarkan kedamaian, kemantapan, kesabaran. Senyum yang mengundang rasa percaya, senyum yang membuat hati yang sudah membeku perlahan-lahan mencair kembali.
Sejenak ingatan Frida kembali ke hari pertama ketika hatinya memutuskan bahwa di dalam pribadi Sumarsono-lah ia telah menemukan jodohnya. Malam itu kebetulan malam Minggu. Di rumahnya ada banyak tamu, semuanya adalah karyawan-karyawan ayahnya beserta istri-istri mereka, yang memang biasa diundang ke rumah setelah perusahaan menutup bukunya untuk semester pertama. Pada waktu itu Sumarsono baru dikenalnya sekitar sepuluh hari, namun karena sudah merasa akrab, dia pun diundang.
Frida masih ingat, pada waktu itu Sumarsono mengenakan kemeja batik dengan motif hitamputih dan celana putih. Rapi, berwibawa, sesuai dengan kematangannya. Mereka sedang duduk-duduk di teras, menikmati turunnya malam menggantikan senja. Di dalam hatinya Frida menunggu munculnya bintang pertama, karena entah di mana ia pernah membaca, bahwa apabila seseorang berhasil memohon sesuatu tepat pada saat munculnya bintang yang pertama, permohonan'tersebut pasti terkabul. Di dalam rumah, di ruang tamu yang luas, mereka sempat mendengar para tamu bersenda gurau. Belum semua yang diundang hadir karena malam baru saja menjelang, sedangkan di halaman depan, kursi-kursi yang disediakan masih kosong.
Frida melihat Kribo sedang berlarian dan bermain-main sendiri dengan asyiknya di antara kursikursi kosong. Kribo adalah kesayangan keluarga Umboh, seekor anjing campuran yang masih berdarah chow-chow. Ketika itu Kribo baru berusia sekitar satu tahun. namun badannya sudah besar.
Pintu pagar depan sedang terbuka-memang sengaja dibiarkan demikian untuk memudahkan para tamu-namun Frida tidak mengkhawatirkan anjingnya hilang karena dari kecil Kribo sudah dididik tidak boleh keluar dari pagar halaman, dan sampai kini memang Kribo tak pernah melangkahkan kakinya keluar dari sana.
Mereka sedang asyik mengobrol, atau lebih tepatnya lagi, Frida yang asyik mengobrol dan Sumarsono yang asyik mendengarkan. Sumarsono selama ini selalu bersikap sopan dan korek. Tak pernah sekali pun dia mencoba-coba berlaku kurang. ajar, entah dengan meraih tangan Frida atau menepuk bahunya atau apa, seperti yang umum dilakukan teman-teman Frida lainnya apabila mereka merasa sudah "mendapat angin". Berkali-kali Frida memberikan kesempatan kepada Sumarsono, untuk mengujinya, tetapi rupanya laki-laki ini memang mempunyai watak yang baik, dia tidak pernah menyalahgunakan peluang tersebut. Hati Frida merasa nyaman. Selama bergaul beberapa hari ini Frida dapat merasakan bahwa laki-laki ini tertarik kepadanya. Hal ini dapat dilihatnya dari sinar mata Sumarsono dan dari kata-katanya yang penuh perhatian. Tetapi belum sekali pun Sumarsono menyatakan cintanya. Frida yang sebenarnya adalah wanita yang romantis, di dalam hatinya berterima kasih mendapatkan pengalaman yang unik ini. Seakan-akan waktu berputar mundur seratus tahun, ke masa laki-laki dan wanita menyatakan cinta mereka hanya lewat pandangan mata yang penuh
arti. Frida berpendapat bahwa jalinan cinta yang demikian itu lebih indah dan bermutu daripada seribu rayuan gombal yang mudah diucapkan dan dilupakan oleh pasangan-pasangan modern sekarang.
Tiba-tiba keasyikan pembicaraan mereka diputuskan oleh suara deritan rem mobil dan lengkingan "kaing" seekor anjing. Frida mengangkat kepalanya dan ternyata di depan matanya ia melihat Kribo tergeletak di jalan di muka rumahnya, terkoyak berlumuran darah di bawah impitan ban sebuah mobil yang akan membelok masuk ke halamannya. Orang-orang yang duduk di dalam mobil segera turun, namun mereka hanya berdiri saja di sana, melihat gumpalan daging dan bulu yang menggeletak di situ.
Frida menjerit dan memburu ke luar. Begitu pula keluarganya dan tamu-tamu yang ada di dalam rumahnya, semua ikut keluar. Namun mereka hanya menonton saja, tak seorang pun berbuat apa-apa. Di antara pekikan-pekikan histerisnya sendiri, Frida melihat Sumarsono yang maju. Sumarsono-lah yang membebaskan tubuh anjingnya yang terkoyak-koyak dari bawah impitan ban. Dengan perlahan-lahan dan penuh kelembutan Sumarsono menggendong anjingnya yang mati itu masuk ke dalam rumah, tanpa menghiraukan darah yang mengucur membasahi kemeja dan celananya yang putih. Kribo dibawanya ke dalam, dan dibersihkannya dari kotoran darah dan _tanah, bukan oleh Frida yang hanya bisa berdiri terpaku, melainkan
oleh Sumarsono. Dibersihkan dengan hati-hati, seakan-akan anjing itu masih hidup dan masih bisa merasakan sakit. Kemudian tubuh Kribo yang mulai kaku itu diletakkannya perlahan-lahan di atas sehelai kain yang diulurkan oleh ibu Frida, dan dibalutnya dengan hati-hati. Sementara itu ayahnya telah memerintahkan pembantu-pembantunya menggali sebuah lubang di halaman belakang rumah mereka. Dan Frida mengawasi bagaimana dengan hati-hatinya Sumarsono membaringkan Kribo di dalam lubang itu, lalu menutupnya kembali dengan tanah. Sejak membebaskan Kribo dari impitan ban sampai lubang kuburnya tertimbun kembali, tak sepatah kata pun yang diucapkan Sumarsono kepada Frida. Hanya satu kali saja Sumarsono memandangnya ketika ia membersihkan bulubulu Kribo, dan pandangan itu begitu tenang, seakan-akan ingin mengatakan kepadanya supaya jangan bersedih, melainkan merelakan kepergian anjing kesayangannya.
Ya, Kribo sudah tiada, tetapi kepergiannya telah membawa Sumarsono masuk ke dalam hati Frida. Menurut Frida, pada saat itulah dia dapat menilai watak asli Sumarsono. Seorang laki-laki yang bisa berbuat selembut itu terhadap binatang yang bukan miliknya sendiri, pastilah orang yang benar-benar baik hatinya. Dan di dalam jiwa romantis Frida, ia mulai mereka-reka, apakah kehadiran Kribo di dalam hidupnya itu memang mempunyai suatu tujuan, yaitu untuk menunjukkan kepadanya siapa yang ditakdirkan menjadi jodohnya, siapa yang
dapat menjadi tumpuan harapannya. Frida melihat kejadian itu sebagai suatu pertanda yang diberikan kepadanya. Kribo, anjingnya, yang begitu disayanginya dan yang begitu sayang kepadanya, telah mengisi kekosongan hati Frida setelah kegagalannya bersama Frans. Kribo-lah yang mengajarnya tertawa lagi, yang membuat hari-harinya berseri lagi. Kribo-lah yang mengobati luka hatinya yang menganga dengan kelucuannya dan kemanjaannya. Tetapi sekarang dengan munculnya Sumarsono, Kribo ditakdirkan pergi karena tugasnya sudah selesai, dan tempatnya akan digantikan oleh Sumarsono. Frida meneteskan air mata, melihat gundukan tanah yang baru selesai ditimbuni itu, dan menggumamkan selamat tinggal kepada anjing kesayangannya. Ditatapnya Sumarsono, yang berdiri di sana dengan pakaian berlepotan darah dan tanah. Di dalam hatinya Frida berjanji, bahwa kematian Kribo tidak akan sia-sia.
Demikianlah maka jalan masuk menuju ke hati Fridayang tadinya skeptis ini menjadi terbuka lebar bagi Sumarsono, karena pengorbanan seekor anjing muda. Frida menerima takdirnya dengan pasrah dan lega, bahwa akhirnya ada juga seorang laki-laki yang sesuai dengan harapannya, yang dapat diandalkannya, yang akan membahagiakan hidupnya.
Perkenalan yang tidak disengaja itu berakhir _dengan perkawinan. Atau lebih tepat lagi kalau dikatakan berlanjut dengan perkawinan, karena Frida Sumarsono vakin bahwa perkawinan mereka ini
bukanlah merupakan suatu akhir, melainkan suatu permulaan. Permulaan suatu kehidupan bersama yang bahagia. Orangtuanya yang selama ini sudah putus asa akan dapat menikahkan anak gadis mereka, begitu bersukacitanya mendengar dari Frida bahwa ia telah setuju menikah dengan laki-laki Jawa ini, yang akan memboyongnya ke tanah Jawa.
Bukannya tanpa air mata mereka melepas anak bungsu, perempuan satu-satunya ini. Mereka membekali anak dan menantunya dengan berbagai barang, apalagi setelah mengetahui bahwa Sumarsono sudah yatim-piatu dan bukan berasal dari keluarga yang berada. Sebagai hadiah perkawinan mereka memberikan sebuah rumah mewah, yang dipilih sendiri oleh Frida di Jalan Thamrin, daerah yang terbilang elite di kota Surabaya, kota yang dipilih Sumarsono untuk menetap. Pasangan pengantin baru ini juga dibekali uang. Hak atas warisan yang menjadi bagian Frida. seluruhnya dibagikan kepadanya pada saat perkawinannya. Sumarsono mempunyai cita-cita membuka usaha sendiri, dan tentunya ini memerlukan modal. Orangtua Frida tidak berkeberatan membantunya, toh semuanya demi kebahagiaan anaknya. Bukankah derita anak juga tangis ibu? Demikianlah maka pasangan suami-istri baru ini memulai kehidupan rumah tangga mereka dengan segala kenikmatan.
"Sudah siap, Nyonya," kata Bik Atun membuyarkan lamunan Frida.
Frida menggumam,
"Hm," dan masuk ke dalam
kamar mencari suaminya. Sumarsono sedang menyisir rambutnya yang basah di depan cermin. Ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai membaca surat kabar. Lelaki ini mengenakan kaus hijau yang longgar dan celana pendek warna khaki. Memang kalau di rumah, Sumarsono lebih sering mengenakan celana pendek.
"Tidak gerah," katanya, kendati rumah mereka telah disejukkan dengan alat pendingin ruangan.
"Makan, Pa," kata Nyonya Frida Sumarsono. Ia selalu memanggil suaminya "Pa" semenjak hari pertama perkawinan mereka, dan Sumarsono tidak pernah menyatakan keberatannya.
Berdua mereka keluar ke kamar makan.
"Sibuk hari ini, Pa?" tanya Frida. Memang Sumarsono mempunyai cita-cita membuka usahanya sendiri, dan ini pun katanya telah dirintisnya. Ia telah membuat persiapan-persiapan untuk memulai suatu peternakan unggas. Namun sementara semuanya belum selesai, ia bekerja pada Biro Periklanan Ramanda sebagai kepala kantornya, karena Pak Sugeng Sumarto-pemilik merangkap direktur perusahaan ini-sering pergi ke luar kota. Frida memuji suaminya dalam hati, yang tidak hanya bermalas-malasan duduk di rumah menunggu rampungnya urusan peternakan unggas itu, yang prosedurnya memang terasa agak tersendat-sendat.
"Ah, biasa saja. Sekarang masih belum. Tetapi mulai bulan depan, aku harus menggantikan Pak Sugeng ke luar kota. Kata Pak Sugeng, dia sudah merasa terlalu tua. sudah lelah kalau harus berjam
jam duduk di mobil dan tidur di hotel-hotel. Jadi mulai bulan depan, kami bertukar tugas. Pak Sugeng yang mengawasi kantornya di Surabaya, aku yang harus ke luar kota, menjalin hubungan dengan para relasi."
"Apakah ini berarti kau harus bermalam di sana?" tanya Frida, hatinya tercekat. Ia tidak suka suaminya tidur di luar rumah. Zaman begini, entah apa yang mungkin saja terjadi.
"Kalau terpaksa. Kenapa? Kau cemburu?" olokolok Sumarsono.
"Iya, tentu saja, Pa!" Frida berseloroh mengimbangi kelakar suaminya.
"Kau tampan, gagah, berduit, berkedudukan. Perempuan mana yang tidak akan terpikat padamu? Wah, ini berbahaya. Aku ikut ah, kalau kau pergi jauh-jauh."
"Aku kan suami teladan, Frid. Kau ini ada-ada saja. Aku cuma tertarik padamu. Kalau tidak, masa aku akan membujang terus sampai umur empat puluh. Memang kita sudah jodoh, Frid. Kalau sudah jodoh, ke mana pun tidak bisa lari."
Mereka berbicara ke timur ke barat diselingi seloroh-seloroh intim. Memang demikianlah setiap kali acara makan malam di rumah keluarga Sumarsono; Sumarsono gemar makan sambil bercakap-cakap. Mereka bisa duduk sampai dua atau tiga jam di meja makan. Setelah selesai makan utamanya tibalah giliran menikmati buah-buahan segar, ataupun hidangan penutup apa saja yang kebetulan dibuat Frida. Ini pun biasanya diselingi dengan percakapan-percakapan yang gembira.
Kemudian setelah Bik Atun mengangkat semua piring-mangkuknya, Sumarsono akan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menikmati sebatang rokok. Kebiasaan rutin ini pun sudah dihafal Bik Atun.
"Pa, kau kan sudah setahun lebih bekerja pada Pak Sugeng," kata Frida selagi suaminya mengepul-ngepulkan asap rokoknya.
"Lalu?"
"Yah, masa sudah sekian lamanya aku sekali pun belum pernah berjumpa dengannya, maupun dengan teman-temanmu sekantor?"
"Yah, memang bekerja di kantor swasta itu lain, Frid. Kami cuma bersembilan di kantor-eh, bukan, bersepuluh sekarang dengan kasir yang baru itu-tidak sama seperti kalau bekerja di kantor pemerintah. Di sana istri-istrinya tergabung dalam Dhama Wanita, kegiatan-kegiatan sosial, dan lainlain, sehingga satu sama lain saling mengenal. Di sini, kalau sudah pukul lima, kantor tutup, masingmasing pulang ke rumahnya sendiri-sendiri. Kapan mau berjumpanya?"
"Dari itulah! Tadi aku berpikir, alangkah baiknya kalau kita undang mereka kemari, sekadar saling berkenalan. Kaupikir bagaimana?"
Sumarsono memandang istrinya dalam-dalam. Ia tidak segera menjawab. Pandangannya serius., kendati bibirnya masih menyungging sisa senyumnya.
"Apakah ideku itu begitu jelek?" tanya Frida keheranan.
"Oh. bukan. Aku cuma heran. kok tumben kau
berpikir demikian. Apakah ini ada hubungannya dengan tugasku yang baru di luar kota?" tanya Sumarsono.
"Ah, tidak," kata Frida, berbohong sedikiL Memang tadi timbul juga dalam otaknya bahwa kalau ia bertemu dengan rekan-rekan sekantor suaminya, paling tidak rekan-rekan yang perempuan akan merasa segan untuk mengganggu rumah tangganya. Seorang wanita harus mempertahankan keutuhan rumah tangganya dengan berbagai cara. Kendati Frida Sumarsono tidak tahu dengan pasti apakah ia mencintai suaminya atau tidak, ia bertekad menyukseskan perkawinannya ini. Memang perasaannya terhadap Sumarsono tidak seperti perasaannya terhadap Frans dulu. Namun Frida tidak mempunyai alasan untuk menyesali keputusannya dulu. Bersama Sumarsono ia memperoleh ketenangan batin yang tidak pernah diperolehnya dari Frans yang ambisius.
"Memang aku sudah memikirkan hal ini beberapa kali, Pa. Di Ujungpandang, seluruh keluarga kami mengenal semua karyawan Ayah. Tetapi di sini, aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau tidak pernah bercerita banyak, dan bagiku begitu sukar untuk membayangkan apa-apa yang kauceritakan kalau aku tidak mengenal orang-orangnya, bukan? Lagi pula, kalau di rumah Ayah tidak mengundang karyawannya paling sedikit dua kali setahun, dia akan dianggap majikan yang sok, tinggi hati, dan lainlain."
"Kau ini bagaimana! Dalam hal ini yang menjadi majikan kan bukan aku. .Lalu kaukira Pak Sugeng itu cuma cerita khayal saja?"
"Bukan begitu maksudku, Pa. Pak Sugeng kan sudah tua, duda lagi, dan tidak berputra. Siapa yang mengatur rumah tangganya kalau ia mau mengundang undang? Kalau tidak ada nyonya rumahnya kan susah, Pa! Masa pembantunya yang harus mengambil peranan nyonya rumah, menyilakan tamu-tamu, mengatur menu, menyiapkan meja, dan lain-lain? Nanti jangan-jangan orang malah salah tanggap, dikira Pak Sugeng ada main sama pembantunya." Frida tertawa mengikik.
Sumarsono tersenyum.
"Jadi sebaiknya kita yang memprakarsai. Hitung-hitung memperkenalkan istri, gitu dong! Jadi, bagaimana kalau Sabtu sore yang akan datang ini, pukul tujuh? Sekarang kan masih hari Selasa, jadi aku ada waktu beberapa hari untuk mempersiapkan semuanya. Nanti kubuatkan ayam rica-rica yang sedap sekali..."
"Stop, stop dulu. Lihat, rokokku sampai mati, lupa kuisap. Kita bicarakan lagi soal ini besok saja, Frid. Sekarang kita nonton video dulu. Aku tadi membawa film yang bagus sekali. Ayo, kita nonton sekarang saja supaya tidak tidur kemalaman."
"Ayo!" Frida mengangguk sambil tersenyum. Video memang merupakan satu-satunya hiburan di rumah. Suaminya tidak suka keluar kalau sudah pulang ke rumah. Terkadang Frida merasa agak
terkungkung juga, namun dalam hati ia berpikir, lebih baik punya suami yang betah di rumah daripada suami yang terus-menerus mengukur jalanan di luar.
"Bik!" teriaknya.
"Meja sudah bisa dibersihkan."
***
DIAN AMBARWATI sedang mempersiapkan semua barang yang harus dibawanya ke bank. Cek-cek yang harus disetorkan, uang tunai yang telah disusunnya dengan rapi dalam kotak kas kecilnya. Ia memeriksa buku setorannya, meterainya, dan semua keperluan lainnya sebelum berangkat. Hari ini hari Rabu. Sudah menjadi kebiasaannya setiap hari Rabu pasti ke bank, baik untuk mengambil uang maupun untuk menyetorkan uang, tergantung keadaan. Dian memilih hari Rabu karena biasanya pada pertengahan minggu kegiatan bank tidak begitu ramai sehingga ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Lagi pula setiap hari Rabu Pak Sugeng pasti berada di kantor, sehingga memudahkannya jika ia membutuhkan tanda tangannya pada cekeck.
Dian memandang ke jam yang menempel di dinding. Masih pukul sepuluh kurang lima menit. Bagus. Hari ini ia akan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan santai. Tidak seperti pada harihari Senin, yang selalu membuatnya tergesa-gesa seperti dikejar setan.
Pak Maskin, sopir Pak Sugeng, sudah menantinya di luar. Dan sebentar-sebentar ia melongokkan kepalanya di pintu, memberikan tanda bahwa ia sudah siap. Biasanya pagi-pagi setelah menjemput Pak Sugeng di rumah, tugas Pak Maskin yang pertama adalah membersihkan mobilnya, mencucinya dari atas sampai bawah, dan menggosoknya sampai mengilat. Pak Maskin amat bangga dengan mobil peliharaannya, yang sudah dirawatnya lebih dari enam tahun namun masih dalam keadaan bagus. Di samping itu ia juga bertugas membersihkan mobil pribadi Pak Sumarsono, yang setiap akhir bulan memberinya imbalan yang lebih daripada yang diharapkannya.
Dian menyandang tasnya dan ketika melewati meja Astuti yang sedang mengetik, ia berkata sambil terus berjalan,
"Aku ke bank, Tut. Tolong sampaikan pada Puji. Sebentar juga kembali."
Astuti hanya menggumam,
"Hm," dan meneruskan pekerjaannya. Ia sendiri masih punya banyak tugas, masih harus mengulang lagi naskah untuk film promosi suatu pasta gigi.
Santi berteriak,
"Dian, jangan lupa oleh-oleh jajanan!"
Dian sudah keluar dari pintu, tetapi ia masih sempat mendengar teriakan tadi. Ia tersenyum sendiri. Santi yang berperawakan gemuk memang doyan jajan. Teman-temannya sekantor sudah berusaha memberinya semangat untuk mulai berdiet, tetapi usahapya ini tidak akan bertahan lebih lama dari satu hari. Akhirnya mereka putus asa juga untuk meng
ubah potongan tubuh Santi.
"Ah, peduli amat. Pokoknya, pria yang mau sama aku harus menerima aku sebagaimana adanya. Hidup cuma satu kali, mengapa harus menyiksa diri dengan berdiet segala macam hanya untuk memperoleh penghargaan dari pria! Huh, laki-laki! Biar punya istri secantik bidadari, kalau memang dasarnya mata keranjang, ya juga tetap mau merayu perempuan lain." Dan Dian terpaksa tersenyum kecut mendengar falsafah ini. Memang ada betulnya juga, pikir Dian. Tidak ada manfaatnya berkorban untuk laki-laki. Mereka tidak tahu menghargai pengorbanan. Laki-laki semuanya mata keranjang. Mau enaknya sendiri. Mulai sekarang ia sudah memutuskan untuk tidak mencintai laki-laki lagi. Percuma! Yang penting, sekarang ia masih muda, dunia terbentang di depannya dan ia mau menikmatinya. Menikmati untuk dirinya sendiri, bukan untuk laki-laki gombal mana pun! Sejenak terlintas bayangan Purnomo di matanya. Purnomo Jamaludin, pacarnya dulu. Rasanya sudah begitu lama berlalu, padahal baru sekitar dua bulan lebih Dian meninggalkan kota Ngawi, meninggalkan kota kelahirannya, meninggalkan orangtuanya, meninggalkan Purnomo, meninggalkan kenangan pahitnya. Ia merasa dirinya menjadi" lebih dewasa setelah perpisahan ini. Tidak, Dian bertekad. Ia tidak akan menjadi permainan laki-laki mana pun. Mulai sekarang, dialah yang akan mempermainkan lakilaki!
"Langsung, Mbak?" tanya Pak Maskin, membawa Dian kembali ke dunia yang nyata. ,
"Iya, Pak."
Pak Maskin senang melayani Dian. Dian lebih sabar'dan lebih banyak bergurau dengannya. Tidak seperti Mira, kasir yang lama, yang sekarang mempunyai tugas khusus membuat terjemahan. Mira dulu selalu tergesa-gesa. Tugasnya memang terlalu banyak, ya sebagai kasir, ya sebagai penerjemah, sehingga wajahnya lebih sering cemberut daripada tersenyum. Maklum, bekerja sepanjang hari di bawah tekanan. Itu yang akan dikatakan para ahli jiwa. Tetapi Pak Maskin mana mengerti ilmu jiwa. Ia hanya tahu bahwa Mira sukar diajak bicara, dan wajahnya pun selalu menjengkelkan.
Justru karena pekerjaan Mira dirasakan terlalu berat inilah maka Pak Sugeng mengambil karyawan baru. Pak Sugeng menyadari bahwa usahanya yang dimulainya lima tahun yang lalu sedang berkembang. Usaha ini tadinya hanya dimaksudkan sebagai pengisi waktunya saja setelah istrinya meninggal. Kesibukan bisa mengobati luka hatiku dan mengalihkan kesedihanku, demikian pendapatnya. Sebelum membuka biro periklanan ini Pak Sugeng adalah pensiunan sebuah perusahaan multinasional, dan uang pensiun yang diterimanya setiap bulan sudah cukup untuk membiayai kehidupannya berdua dengan istrinya yang tercinta. Namun dengan berpulangnya istrinya, Pak Sugeng tidak tahu harus berbuat apa setiap hari di dalam rumah. Maka dibukanya usahanya sendiri ini. Pada mulanya kecil saja, dengan seorang karyawan. Kemudian semakin berkembang, dan Pak Sugeng menemukan
kembali gairah hidupnya. Merasa berguna lagi. Semangatnya membuat usahanya semakin maju sehingga akhirnya ia mampu membeli sebuah rumah besar, menggaji sembilan orang karyawan, dan menjadi orang yang terbilang kaya. Siapa yang akan memperoleh hartanya bila kelak ia meninggal, tidak dipusingkannya benar.
Usahanya sedang berkembang, dan dengan meningkatkan pelayanannya kepada langganannya, ia berharap biro periklanannya akan menjadi lebih maju lagi. Meskipun bagi Pak Sugeng uang yang didapatnya merupakan hal yang sekunder, ia memperoleh kepuasan tersendiri menyaksikan buah karyanya maju. Karena itu, ketika salah seorang teman lamanya mengatakan bahwa ada anak seorang sahabatnya yang mencari pekerjaan di Surabaya, Pak Sugeng segera menerima Dian. Dian memang tidak mempunyai pengalaman kerja. Tetapi Pak Sugeng menilai dari mata Dian yang bening bersinar, dan senyumnya yang jujur dan polos, bahwa Dian adalah anak yang baik dan dapat dipercaya. Ini merupakan persyaratan yang paling penting untuk jabatan seorang kasir. Yang lain-lain dapat dipelajari kemudian. Tetapi kejujuran adalah sifat fundamental seseorang.
Demikianlah, maka Dian Ambarwati mulai bekerja di Biro Periklanan Ramanda sekitar dua bulan yang lalu. Dan Dian yang lincah dan gembira cepat sekali menyesuaikan diri dengan karyawankaryawan lainnya, yang umumnya berusia jauh lebih tua darinya. Bahkan Mira yang terkenal selalu cemberut itu pun bisa tertawa lepas jika bergurau dengan Dian. Dian begitu polosnya, sehingga semua orang di kantor suka kepadanya.
**
"SILAHKAN masuk, Bu," kata Santi yang duduk di meja paling dekat pintu masuk kepada seorang wanita muda yang bergaun coklat muda.
"Ibu mencari siapa?"
Wanita muda itu tersenyum agak canggung dan melihat ke sekelilingnya.
"Oh, jadi inilah kantor Pak Sugeng," katanya sambil tersenyum. Minyak wanginya menghambur ke mana-mana. Sucipto dan Aswin, dua orang tenaga pelukis yang duduk di depan meja Santi saling bertukar pandang penuh arti. Barangkali dalam hati mereka mengira inilah wanita simpanan Pak Sugeng. Santi sudah menjawab,
"Oh, Pak Sugeng ada di dalam, Bu. Ibu mau bertemu?"
"Kenalkan dulu, ya?" kata wanita muda itu sambil tersenyum malu-malu. Sucipto dan Aswin tersenyum cengar-cengir. Wanita ini memang kelihatan menarik. Gaunnya yang berwarna coklat muda itu sesuai dengan kulitnya yang kuning langsat. Dari potongan gaunnya, mereka dapat menilai bahwa ini tentunya bukan gaun sembarang gaun yang dijual kodian di Pasar Atum. Gaun ini paling
sedikit tentunya buatan penjahit terkenal atau keluaran butik-butik mahal.
"Eh, tidak dikira keledai tua itu masih doyan rumput muda juga," bisik Aswin kepada Sucipto, yang langsung menyodok iga temannya dengan sikutnya, karena khawatir hal ini terdengar oleh si nyonya muda.
"Saya Nyonya Sumarsono," kata wanita itu.
"Oh...," bersamaan keluarlah suara bodoh ini dari beberapa mulut yang menyaksikan adegan yang menarik ini.
Nyonya muda itu tersenyum lagi.
"Saya sudah lama ingin berkenalan dengan rekan-rekan suami saya di sini. Sekarang saya berkesempatan datang. Saya kemari ingin menyampaikan undangan, sekadar makan-makan sedikit di rumah, supaya kita bisa saling mengenal dengan lebih baik. Sabtu depan, jadi tiga hari yang akan datang, harap Adik-adik semua datang ke rumah pukul tujuh malam. Silakan membawa suami, istri, atau pacarnya." Lagi-lagi Nyonya Sumarsono tersenyum.
"Sekarang, bolehkah saya mengenal nama adikadik satu per satu tanpa protokol?"
Aswin-lah yang pertama-tama berdiri dan mengulurkan tangannya, diikuti oleh yang lain-lain. Setelah salaman yang terakhir diberikan, Puji. sekretaris Pak Sugeng, segera menawarkan,
"Pak Sumarsono ada di dalam bersama Pak Sugeng, Bu. Mari, saya antarkan."
Nyonya Sumarsono masuk melewati sebuah pintu diiringi Puji. Pak Sumarsono yang sedang membincangkan suatu poster bersama Pak Sugeng,
terkesiap melihat istrinya tersenyum simpul di pintu. Tergagap-gagap ia memperkenalkannya kepada majikannya.
"Ini... ini istri saya, Pak," kata Sumarsono. Lalu,
"Sedang apa kau di sini?" tanyanya kepada istrinya.
Istrinya mengangguk hormat kepada Pak Sugeng. Tanpa menjawab suaminya, Frida Sumarsono berkata,
"Saya gembira dapat berkenalan dengan Bapak. Saya sengaja kemari khusus mau menemui Bapak.
"
"Wah, wah! Ini suatu kehormatan, Bu. Silakan, silakan duduk. Memang baru sekali ini saya dikenalkan kepada Ibu Sumarsono. Memangnya ada sesuatu yang bisa saya bantu, Bu?"
"Ada, Pak," senyum Frida Sumarsono lagi. Sekali ini sambil memandang dengan manja kepada suaminya yang masih tertegun di sana dengan ekspresi dungu. Nyonya Sumarsono melanjutkan,
"Saya kemari untuk menyampaikan undangan, Pak. Sabtu depan, jadi tiga hari lagi, kami ingin mengadakan semacam ramah-tamah kecil di rumah, hanya warga kecil Ramanda saja, tidak ada orang luar. Saya ingin'mengenal lebih dekat semua teman kerja suami saya dan juga Pak Sugeng sendiri. Pukul tujuh malam, Pak. Tentunya Bapak tidak akan menolak untuk hadir, bukan?" senyum Frida Sumarsono dengan manis.
"Wah, itu bagus sekali! Saya pasti datang. Memang sudah lama saya ingin mengenal istri Pak Sumarsono ini, tapi rupa-rupanya Pak Sumarsono,
terus saja menyembunyikan istrinya yang cantik. Jangan khawatir, Pak," kata Pak Sugeng kepada Sumarsono yang merah padam mukanya,
"istri cantik tidak seharusnya disembunyikan! Justru malah kita yang menjadi suami ini harus berbangga. Bukankah begitu, Bu?"
Sumarsono tersenyum kecut.
"Ah, bukannya menyembunyikan istri, Pak. Tapi memang belum ada kesempatan sampai sekarang ini."
"Nah, kalau begitu saya pulang duluan, ya? Dan, Pak Sugeng, jangan lupa ya, saya tunggu pukul tujuh malam Minggu nanti." Sambil tersenyum Nyonya Frida Sumarsono berdiri dari kursinya dan berlalu.
"Wah, Dian, sayang kau tadi tidak di sini. Ada bidadari turun dari kayangan, kau tidak tahu!" Aswin menggoda Dian sekembalinya dari bank.
"Ah, Mas Aswin ini! Sudah berputra selusin masih saja melihat bidadari," balas Dian.
"Kalau anakku selusin, yang sepuluh dari kamu, ya?" Aswin tertawa terkekeh. Ayah dua orang anak ini masih suka bergurau, dan terutama dengan Dian, gadis yang masih segar dan polos ini, yang tidak pernah marah meskipun digoda habishabisan.
"Kau diundangnya juga lho, Dian," kata Santi.
"Sabtu depan nanti di rumah Pak Sumarsono."
"Diundang apa?" tanya Dian.
"Makan-makan. Tadi istrinya kemari menyampaikan undangan."
"Iya, sampai mata Mas Cipto hampir copot dari balik kacamatanya," kata Mira memberi bumbu.
Sebelum Dian sempat menjawab, Pak Sumarsono keluar dari kamarnya. Maka terhentilah topik pembicaraan soal bidadari segala. Maklum, yang empunya bidadari sudah muncul. Mereka masinginasing meneruskan pekerjaannya dan terlupakanlah bidadari itu untuk sementara waktu dari pikiran mereka.
Pukul lima kurang lima menit, sebuah skuter biru berhenti di depan kantor Ramanda. Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar memarkirnya di depan dan masuk ke dalam.
"Oh, Mas Drajat," kata Santi ketika pintu depan terkuak sedikit.
Karyawan-karyawan lainnya sedang membersihkan meja masing-masing dan bersiap-siap akan pulang. Orang yang dipanggil Mas Drajat ini tersenyum sedikit dan langsung menuju ke" meja Dian. Karyawan yang lain tidak begitu mempedulikan kehadirannya. Mereka telah mengenal Insinyur Drajat dengan baik. Insinyur Drajat memang sering mampir di kantor Ramanda untuk tujuan yang berbeda-beda. Sekarang tujuannya adalah Dian Ambarwati.
"Sudah siap?" tanya Insinyur Drajat.
"Hampir," kata Dian singkat.
"Mengapa Mas kemari lagi?"
"Kan aku sudah mengatakan bahwa kau akan kujemput," kata insinyur itu.
"Kan aku sudah mengatakan jangan, Mas. Persoalannya terlalu rumit. Aku bisa pulang membonceng Puji. Lain kali sajalah, Mas," kata Dian setengah bergurau.
"Kau ini bagaimana! Kemarin katanya mau pergi dengan Puji, baiklah aku setuju kau pulang bersamanya. Kemarin dulu kau mengatakan mau mampir di rumah Puji, jadi kau pulang bersamanya juga. Kemarin dulunya lagi kau..."
"Itulah, Mas! Saya kan sudah mengatakan seminggu yang lalu, tidak perlu Mas jemput," Dian memutuskan kata-kata Insinyur Drajat.
"Kau tidak kasihan kepada Puji"! Ia tinggal di Peneleh, sedangkan pemondokanmu di Jalan Mawar, berarti ia harus putar dulu."
"Ah, tidak apa-apa," kata Puji, ikut bicara dari meja sebelah.
"Saya senang kok putar-putar dulu, cari angin sebelum pulang. Seharian sudah duduk dalam kantor, tidak merasakan sejuknya angin yang berembus."
"Iagi pula aku perlu bicara denganmu," kata Insinyur Drajat.
"Sudah hampir satu minggu kita tidak sempat bicara. Selalu kau mengatakan punya acara sendiri."
Dian menghela napas panjang. Sebenarnya ia sudah ingin menjauhkan diri dari Insinyur Drajat yang baru dikenalnya ini. Apalagi sekarang, sete
lah masalahnya bertambah lagi satu. Terlalu banyak persoalan yang belum beres. Ia tidak mau mencari masalah yang baru lagi sebelum dapat membereskan yang lama dulu. Apalagi laki-laki itu ternyata sudah mempunyai tunangan. Herlina Subekti, kemenakan Pak Sugeng pula! Dalam keragu-raguannya untuk mencari alasan menolak Insinyur Drajat lagi, tiba-tiba ia disadarkan oleh suara Puji.
"Dian, wah, ini kancing blusku lepas. Tolong kaubantu aku sebentar, ya?"
Kedua gadis itu menghilang di balik pintu kamar pribadi Pak Sugeng. Pak Sugeng sendiri sudah pulang duluan seperti kebiasaannya, pada pukul empat sore.
Kamar Pak Sugeng tidak terlalu besar. Di dalamnya ada sebuah meja tulis dengan kursi hitam yang dapat berputar. Di sudut, membentuk suatu huruf L, ada seperangkat kursi tamu dengan meja kecil di depannya. Di sebelah kanannya ada sebuah pintu. Pintu ini merupakan pintu tembus ke kamar Pak Sumarsono. Pintu ini sekarang masih tertutup, tanda Pak Sumarsono masih ada didalam.
"Dian," bisik Puji,
"bukannya aku mau mencampuri urusan pribadimu, tetapi sebaiknya kau pulang bersamaku saja. Kau mengerti maksudku, kan?"
"Iya, Mbak. Aku pun sebetulnya sudah melarang Mas Drajat menjemput kemari. Tetapi aku sudah kehabisan alasan, mau mengatakan apa sekarang supaya ia tidak tersinggung?" Dian berkata dengan wajah murung.
"Tolong Mbak sajalah yang
menemuinya sekarang, katakan bahwa aku masih disuruh Pak Sumarsono menyelesaikan sesuatu atau apa," Dian memohon.
"Baiklah," kata Puji sambil mengangguk.
"Biar aku yang memberi alasan. Kau kembali ke mejamu dan keluarkan lagi buku-bukumu, seolah-olah harus bekerja kembali."
Kedua gadis ini baru akan keluar dari pintu ketika Pak Sumarsono membuka pintu tembus ke kamar Pak Sugeng. Pak Sumarsono sudah membawa tasnya dan bersiap-siap pulang. Dia harus keluar lewat kamar Pak Sugeng karena kamarnya sendiri tidak mempunyai pintu keluar.
Melihat Pak Sumarsono sudah membawa tasnya Dian kuatir siasatnya gagal. Dia cepat-cepat berkata,
"Kau duluan, Mbak. Katakan bahwa aku masih bercakap-cakap dengan Pak Sumarsono."
Puji keluar.
Sumarsono mengangkat alisnya tidak mengerti permainan apa yang sedang dikerjakan oleh kedua gadis ini.
"Eh, anu, Pak," kata Dian mencegat Sumarsono ketika dilihatnya bahwa Sumarsono akan melangkah ke pintu.
"Saya mau tanya Sabtu depan itu merayakan hari ulang tahun siapa, Pak? Apakah anak Bapak?" tanya Dian, mencari-cari bahan percakapan supaya Sumarsono tidak keluar dulu.
"Oh, bukan. Cuma istri saya mau mengadakan acara ramah-tamah di rumah untuk berkenalan dengan anak-anak Ramanda semuanya. Kau tentunya akan datang juga, kan?"
"Oh iya, Pak, anak-anak semuanya datang, masa saya tidak? Ntar enggak enak sama Ibu. Apalagi dulu tetangga kakak saya," senyum Dian.
"Masa? Istri saya bukan orang Surabaya, lho."
"Iya, Pak, kakak saya juga enggak tinggal di sini," senyum Dian.
"Oh, ya? Kok Dian tahu?" tanya Sumarsono semakin heran.
"Saya dulu pernah tinggal beberapa minggu di rumah kakak. Dia akan melahirkan dan kebetulan waktu itu liburan sekolah sehingga saya datang untuk membantu. Saya pernah melihat Bapak dan Ibu beberapa kali di sana sewaktu Bapak dan Ibu mengunjungi Kakak di rumah sakit," senyum Dian.
"Masa, to? Saya kok enggak ingat. Kok kau tidak pernah bilang sebelumnya?"
"Wah, malu, Pak. Ternyata sewaktu saya pertama masuk di sini Bapak sudah enggak ingat sama saya, jadi ya saya diam aja."
"Enggak bener itu," kata Sumarsono mendekati Dian dan dengan gaya kebapakan menepuk-nepuk bahu si gadis.
"Saya kan sudah tua, jadi maklumlah kalau suka-suka lupa. Yang muda yang harus mengingatkan."
"Sekarang ini kan sudah diingatkan, Pak," kata Dian sambil tertawa.
"Nah, iya, setelah dua bulan kau di sini baru sekarang kau bilang," kata Sumarsono juga tertawa.
"Tapi lebih baik terlambat daripada tidak, bukan? Biasanya selalu begitu, yang bersangkutan selalu merupakan orang yang terakhir tahu."
"Maksud Bapak?"
"Lha iya, kan saya orang yang terakhir tahu padahal anak-anak yang lain sudah tahu semua sebelumnya," kata Sumarsono.
"Oh, enggak kok, Pak. Tidak ada yang tahu. Saya belum pernah cerita kepada siapa pun bahwa saya sudah mengenal Bapak sebelumnya."
"Lho, enggak? Kenapa?"
"Malah enggak enak, Pak, nanti disangka saya di sini mendapatkan perlakuan istimewa karena kenal'manajernya. Malahan sekarang saya mau minta kepada Bapak supaya hal ini tidak perlu diceritakan kepada teman-teman yang lain."
"Maksudmu hal ini mau dirahasiakan, begitu?" gelak Sumarsono.
"Wah, kok seperti agen rahasia ClA saja!"
"Pokoknya hal ini tidak perlu disinggung di depan anak-anak," kata Dian.
"Oke, oke," kata Sumarsono sambil tersenyum.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau enggak pulang?"
"Iya, Pak, sampai besok."
Sumarsono mengangguk dan berlalu. Dian menunggu sejenak sebelum menyembulkan kepalanya dari pintu. Insinyur Drajat sudah tidak tampak batang hidungnya lagi.
"Dia sudah pergi, ya? Apa yang kaukatakan kepadanya, Mbak?" tanya Dian kepada Puji yang sedang mengemasi mejanya.
Puji tertawa terbahak.
"Aku katakan bahwa kita akan diajak makan oleh Pak Sumarsono selesai kau melembur. jadi ia
tidaK perlu menunggu. ia ia terus minggat."
"Ah. Mbak." senyum Dian.
***
HERLINA SUBEKTI membuka pintu depan tebar-lebar. Di hadapannya berdiri Insinyur Drajat. Untuk sejenak lamanya keduanya saling pandang sambil membisu. Mata Herlina bersinar ketus. Mata Insinyur Drajat mengandung sinar pemberontakan. Sama-sama keras, sama-sama mematung, sama-sama menatap, sama-sama mengadu mental dan mengukur kekuatan lawan. Akhirnya Herlina yang memecahkan kebisuan.
"Masuk," katanya singkat.
Insinyur Drajat masih membisu ketika melangkah masuk mengikuti tunangannya. Ekspresi wajahnya tidak banyak berbeda dari ekspresi wajah Seorang anak kecil yang merasa diperlakukan dengan tidak adil.
Rumah Herlina-atau tepatnya, rumah ayah Herlina termasuk mewah, besar dan luas, dilengkapi dengan perabotan yang mutakhir. Memang orangtua Herlina termasuk cukup berada. Ayahnya adalah pengusaha perabot yang berhasil. Ibunya, saudara tua Sugeng Sumarto. telah meninggal
beberapa tahun yang lampau. Herlina adalah putri mereka satu-satunya.
"Bapak pergi?" tanya Insinyur Drajat.
"Ke Jakarta," jawab Herlina.
"Kita bebas berbicara sekarang."
"Itukah sebabnya mengapa kaupanggil aku kemari?"
"Ya. Kita perlu bicara terus terang, blak-blakan. Kau tidak perlu berpura-pura lagi." Herlina Subekti menarik napas sebentar.
"Mas Drajat, aku tidak suka sikapmu berlagak pahlawan di hadapan gadis ingusan di kantor Paman itu. Minggu yang lalu sudah kuperingatkan kepadamu. Apa maksudmu sampai sekarang setiap hari kau masih ke sana dan mengantarkannya pulang? Memangnya kau mau latihan mengojek?" Herlina memberondong ketus.
"Siapa yang memberi laporan kepadamu bahwa aku ke sana lagi?"
"Paman. Memangnya kau menyangkal?"
"Tetapi sudah seminggu ini aku tidak mengantarkannya pulang. Apakah kau sekarang juga mau ikut mengatur ke mana aku pergi setiap hari? Kauperlakukan aku seperti anakmu yang lima tahun saja!"
Insinyur itu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mondar-mandir. Wajahnya seperti langit yang penuh dengan mega mendung.
"Duduk!" perintah Herlina.
"Bagaimana kita bisa bicara kalau kau mondar-mandir seperti kereta api keluar rel begitu? Kau membuat aku senewen saja."
"Oh! Jadi sekarang betul-betul setiap langkahku mau kawatur! Aku mau mondar-mandir, aku mau duduk, itu hakku! Toh bukan kakimu yang kupakai!" Insinyur Drajat menjadi lebih garang sedikit. Ia kembali duduk.
Eh, rupanya susah juga berontak untuk pertama kalinya! Ia sudah terlalu' lama tunduk kepada perintah Herlina, sudah biasa menjadi "abdi"-begitulah istilah yang dipakainya setiap mereka bertengkar. Tetapi kali ini ia tidak boleh mengurungkan niatnya. Bayangan Dian Ambarwati yang manis dan polos menggodanya untuk bersikap lebih jantan.
"Begini saja, Lin. Kita tidak perlu menyinggung-nyinggung atau membawa-bawa orang lain. Kita bicarakan masalah kita berdua saja. Sudah berapa kali kita bertengkar? Dari dulu, dari waktu kita masih belum bertunangan-tiap hari kita bertengkar. Selama ini aku selalu mengalah kepadamu, (wah, kata-kata ini membuat dirinya merasa menjadi martir!) tetapi aku tidak bisa begitu terusmenerus. Kau terlalu keras, kau selalu mau menempuh caramu sendiri. Kupikir sebaiknya kita putuskan saja pertunangan ini. Kita mencari pasangan yang lebih sesuai."
"Dari dulu kita bertengkar kan juga karena ada masalah. Kalau masalah itu sudah dapat diselesaikan, kan beres? Sekarang masalah yang timbul yaitu anak ingusan itu! Kau tidak mengaca dirimu di cermin. Berapa umurmu? Apa kau tidak merasa lebih pantas menjadi pamannya daripada pacarnya?"
Kata-kata Herlina Subekti memang tak dapat
disangkal kebenarannya. Insinyur Drajat merasa malu dalam hati dikata-katai tunangannya mengejar seorang gadis yang pantas menjadi kemenakannya. Dari dulu memang kalau ia berbantah dengan Herlina, ia tak pernah dapat mengalahkannya. Herlina kalau berbicara memang apa yang fakta. Seperti sekarang ini. Tetapi ia tidak boleh mundur. Kalau ia ingin mendapatkan Dian Ambarwati. Jadi dikerahkannya seluruh konsentrasinya untuk dapat keluar sebagai pemenang dalam perdebatan ini.
"Aku sudah bosan bertengkar denganmu. Dari segala hal yang kecil kecil yang sepele, sampai hal-hal yang prinsip, kau mau menang terus. Soal nonton, soal kendaraan, soal baca koran, sampai soal beli rumah, dan yang lain-lain lagi seribu satu macam. Pokoknya kita ini seumpama anjing dan kucing. Biar berkumpul seratus tahun lagi juga masih tidak akan cocok. Kau adalah wanita yang mandiri, bahkan kelewatan mandirinya. Kau ingin menjadi ratu! Kau selalu memaksa aku supaya menuruti kehendakmu. Kau suka dapat mengatur seluruh jalan hidupku. Kalau bisa, kau ingin mengatur setiap napas yang kutarik, kau mau menjadikan aku Herlina yang kedua tetapi dalam bentuk seorang pria. Aku bukan robot, aku juga manusia, aku juga punya pendapat. Kau tidak manusiawi kalau tidak mengizinkan aku hidup sesuai dengan kehendakku." Insinyur Drajat menarik napas dalam-dalam. Ia merasa bangga dengan pidatonya yang panjang ini. Jarang ia mempunyai kesempatan berpidato demikian.
Herlina tidak segera menjawab. Hatinya mulai panas. Ia menatap Insinyur Drajat dengan kedua bola matanya yang tenang dan tajam. Hampir dua menit berlalu sebelum dia akhirnya berkata,
"Kalau di dunia ini Setiap orang diizinkan berbuat sesukanya, manusia sudah lama punah! Kau lakilaki yang picik pikirannya, meskipun kau menyandang titel insinyur. Kau memang berbakat dalam ilmu, tetapi kau sama sekali tidak tahu soal fakta kehidupan. Aku ingin kau menjadi laki-laki yang sempurna, yang memijakkan kedua kakinya di bumi, laki-laki yang kuat mentalnya, yang punya pedoman hidup. Aku tidak suka laki-laki yang cengeng, yang tidak punya tujuan hidup, yang hanya ikut-ikutan bergabung dengan banyak orang. Aku berusaha menggemblengmu. Semua saran yang pernah kuberikan kepadamu adalah pilihan yang tepat. Kau harus mengakui itu. Kapan aku pernah menjerumuskan kau karena mengikuti saranku?" Herlina menghela napas panjang. Dalam hatinya Insinyur Drajat harus mengakui kebenaran kata-katanya ini. Pertahanannya mulai guncang. Kemudian kata Herlina lagi,
"Mengapa begitu sulit bagi seorang laki-laki untuk menerima fakta bahwa perempuan pun mempunyai kemampuan berpikir yang tak kalah dengan laki-laki mana pun? Hanya karena aku seorang perempuan, maka kau menjadi tersinggung bila kau harus mengikuti saranku, dan merasa malu kalau ternyata saranku benar. Seumpama aku adalah sesama kawan priamu, pasti kau lebih mudah menerima segala usulku yang harus
kawakui memang benar. Kau harus sadar, Mas, kita bukannya dua orang musuh yang adu keras, tetapi kita seharusnya mempunyai satu arah yang sama, satu jalan pikiran..."
"Jalan pikiranmu, to?" potong Insinyur Drajat. Ia sudah melihat tanda-tanda kekalahannya, dan dia mulai cemas. Kalau ia mendengarkan pembeberan Herlina lebih lama lagi, jangan-jangan dia tunduk lagi, seperti yang selalu terjadi selama ini. Tidak, sekali ini ia harus menang.
"Sudahlah," katanya,
"aku sudah mendengar argumentasimu itu lebih dari seratus kali. Aku sudah hafal semuanya. Teorimu terlalu banyak, prakteknya hubungan kita tidak pernah harmonis. Sudahlah, kita putuskan saja pertunangan ini. Aku tidak mau merasa tertekan terus-menerus sampai puluhan tahun lagi." Insinyur Drajat menghela napas untuk melontarkan kata-kata yang berikutnya.
"Jadi, kapan aku bisa bicara dengan Bapak, atau kau sendiri yang ingin membicarakannya?" insinyur Drajat bernapas lega. Akhirnya keluar juga kalimat yang sudah berminggu-minggu dipersiapkannya, namun tak berani diucapkannya.
Mata Herlina bersinar-sinar. Ekspresi wajahnya berubah. Insinyur Drajat terperanjat juga memandang perubahan ini. Selama ini belum pernah ia melihat ekspresi serupa itu pada wajah Herlina. Insinyur Drajat bergidik sendiri. Wajah Herlina di hadapannya bukanlah wajah seorang gadis cantik yang sekadar marah, bukan pula wajah seorang wanita yang tersinggung harga dirinya, melainkan
benar-benar wajah yang mengerikan! Mengerikan bukan dalam arti jelek, bukan! Malah wajah Herlina tak pernah tampak secantik ini. Namun mengerikan karena dari sinar matanya laki-laki ini dapat merasakan suatu unsur kekejaman, kejahatan, keiblisan! Herlina benar-benar seperti penjelmaan Dewi Kali saja, sinar matanya seolah-olah api yang mau menjilat habis semua musuhnya.
"Kupatahkan batang lehernya," kata Herlina dengan suara mendesis seperti seekor ular, yang membuat kata-katanya sukar ditangkap oleh Insinyur Drajat. Tetapi ketika untuk kedua kalinya Herlina mengulangi umpatannya ini, Insinyur Drajat mendengar jelas setiap suku katanya yang diucapkannya dengan tumpahan segala kebenciannya,
"Kupatahkan batang leher perempuan hina yang merebut kebahagiaanku!"
Insinyur Drajat sudah tidak ingat lagi bagaimana tadi ia keluar dari rumah keluarga Subekti. Tahutahu ia sudah berada di atas skuter birunya yang dipacunya sekencang angin. Baru ketika sebuah mobil membunyikan klaksonnya di belakangnya, ia menyadari bahwa ia nyaris memotong mobil itu ketika melewatinya. Insinyur Drajat membelokkan kendaraannya. Skuternya dilarikannya menuju ke Jalan Mawar, ke pemondokan Dian Ambarwati.
Ketika itu Dian sedang duduk di teras bersama empat orang kawan sepemondokannya sehingga
ketika tibatiba Insinyur Drajat berhenti di depan pagar, dia tidak punya kesempatan untuk mengelak.
Setelah berbasa-basi sebentar dengan keempat orang gadis teman sepemondokan Dian, akhirnya mereka tahu diri dan menyingkir dari sana, memberikan kesempatan kepada dua makhluk yang berlawanan jenis ini untuk berbincang-bincang dengan lebih leluasa. Mereka semuanya sudah mengenal Insinyur Drajat, yang tadinya hampir setiap hari mengantarkan Dian pulang kerja. Biasanya sambil mengantarkan Dian, Insinyur Drajat akan mampir dan mengobrol barang satu-dua jam sebelum ia berpamitan pulang. Di kalangan warga rumah pemondokan ini, insinyur itu sudah mendapatkan predikat sebagai pacar Dian.
"Bagaimana, enak makanannya?" tanya Insinyur Drajat kepada Dian.
Dian hanya memandangnya dengan terbengongbengong. Tidak seperti biasanya Insinyur Drajat menanyakan soal makanannya di rumah ini, pikir Dian. Insinyur Drajat melihat keraguan pada wajah Dian dan menjelaskan.
"Kata Puji sore tadi kalian sehabis melembur diundang Pak Sumarsono makan malam? Ternyata bohong kalau begitu, ya?" Drajat tersenyum.
"Oh, itu," balas Dian lemah. Mau memberikan alasan apa dia? Pikir Dian, daripada aku berbohong lagi, nanti keadaan semakin parah. Lebih baik diam saja, biar ditafsirkan sendiri.
Insinyur Drajat rupanya bisa membaca suasana.
Ia mengalihkan pembicaraan.
"Dian, aku ingin berbicara lebih serius denganmu. Aku ingin tahu mengapa belakangan ini kau selalu menghindari aku?"
"Ah, Mas _Drajat. Itu hanya perasaan Mas saja. Kita kan berteman biasa. Mas Drajat kan juga punya kesibukan yang lain di samping menemani Dian. Dian pun mempunyai kesibukan lain. Dian sangat berterima kasih sewaktu baru tiba di Surabaya dan belum mempunyai teman, Mas Drajat telah meluangkan waktu menemaniku. Tetapi sekarang sudah dua bulan lebih di sini, masa masih harus mengganggu Mas Drajat terus?"
"Mengapa kau tidak berterus terang saja kepadaku, Dian? Kau malu? Jangan malu-malu. Katakan saja apa isi hatimu. Kau kan tahu aku menyayangimu, bukankah aku sudah dua kali mengatakan demikian? Aku tidak bohong, Dian. Kau harus percaya kepadaku. Nah, sekarang aku mau tahu alasan sebenarnya," desak Insinyur Drajat terus sambil merapatkan tubuhnya.
Dian bergeser menjauh sedikit. Matanya tertunduk, jari-jarinya memainkan ujung kausnya. Hatinya bimbang. Apa yang akan diperbuatnya? Lakilaki yang duduk di sampingnya ini menyatakan menyayangi dirinya, namun dia adalah tunangan perempuan lain. Di lain pihak hubungannya sendiri dengan Purnomo masih harus dibereskan. Setelah menghela napas, Dian berkata dengan perlahan sekali, yang hampir-hampir tidak terdengar kalau Insinyur Drajat tidak duduk sedekat itu.
"Mas Drajat kan sudah bertunangan. Dian tidak mau dikatakan merebut tunangan orang. Kabarnya tunangan Mas cantik sekali, seharusnya Mas Drajat tidak melirik gadis yang lain." Ia berusaha menjadikan suasana agak ringan dengan nada suaranya yang setengah berkelakar.
Tetapi Insinyur Drajat masih serius.
"Tidak, Dian. Ini bukan karena aku mata keranjang, sudah mempunyai tunangan masih mau mempermainkan gadis yang lain. Bukan. Tentunya teman-temanmu di Ramanda yang mengatakan kepadamu bahwa aku sudah bertunangan dan sebaiknya kau tidak dekat-dekat denganku, bukan? Tetapi apakah mereka juga mengatakan bahwa tunanganku itu tidak sesuai bagiku?"
"Mengapa tidak sesuai? Saya dengar dia cantik sekali dan amat pandai pula. Bukankah dia yang menjalankan perusahaan ayahnya selama hampir dua tahun yang terakhir ini? Tadinya dia membantu Pak Sugeng, bukan? Dan setelah dia meninggalkan Ramanda maka Pak Sugeng baru memerlukan seorang kepala kantor. Tadinya semuanya diurus Mbak Herlina, bukan?"
"Memang benar. Herlina orangnya cantik dan pandai. Bukan itu yang kumaksudkan sebagai tidak sesuai bagiku. Yang tidak sesuai itu watak kami. Ikatan kami adalah suatu kesalahan,' dan ini akan segera kami akhiri. Aku baru saja dari rumahnya dan memutuskan pertunangan kami."
"Aduh!" kata Dian terkejut.
"Jangan, Mas! Apa kata orang nanti? Apa kata Pak Sugeng? Tentu
mereka semua akan mengatakan bahwa Dian-lah yang mempengaruhi Mas supaya memutuskan pertunangan."
"Tidak. Biar nanti aku yang menjelaskannya kepada Pak Sugeng. Putusnya pertunangan kami bukan karena adanya kau, Dian. Tetapi setelah aku bertemu dengan dirimu, barulah aku punya keheranian untuk mengatakannya, karena aku merasa mantap bahwa kaulah orang yang paling cocok untuk menjadi istriku."
"Ah, Mas Drajat! Cepat benar berbicara soal istri segala. Dian kan masih muda, Mas. Masih belum ingin menikah," senyum Dian.
"Tidak menjadi soal. Aku tunggu," kata Insinyur Drajat dengan gembira. Kata-kata Dian tadi ditafsirkannya sebagai tanda setuju gadis itu menjadi pacarnya.
"Sementara ini kita saling menjajaki. Terserah kau minta aku menanti berapa tahun, tidak menjadi masalah. Yang penting kan pada akhirnya kita bersatu juga.. Hatiku sudah mantap bahwa dirimu itulah jodohku."
Dalam hati Dian bertepuk-tepuk tangan. Nah, inilah, dia telah berhasil menundukkan hati seorang laki-laki dan insinyur pula, hanya setelah tinggal dua bulan di Surabaya! Laki-laki memang harus ditundukkan begini. Nanti kalau sudah dibuat bertekuk lutut, itulah waktunya untuk dicampakkan. Itulah pembalasannya. Di luar, Dian berkata,
"Ah, Mas Drajat kan sudah cukup usia untuk berkeluarga sekarang. Kalau harus menanti Dian beberapa tahun lagi kan Mas Drajat sudah keburu
menjadi kakek-kakek!" Dian tersenyum manis sekali.
"Tidak apa, biar sudah kakek-kakek pun aku tentu masih menunggu," balas Insinyur Drajat gembira. Hatinya berbunga merasa uluran cintanya telah diterima gadis ini. Ia memaklumi bahwa Dian masih muda sekali, baru dua puluh usianya, dan berasal dari kota kecil pula, sehingga tidak heran kalau gadis ini masih ingin menikmati kota besar yang baru dikenalnya ini.
"Uh, kalau Mas sudah kakek-kakek, Dian yang tidak mau!" Kata-kata ini diucapkan dengan kelakar. Namun di balik senyumnya yang polos itu, Dian benar-benar serius. Ia tidak berniat menjadi istri Insinyur Drajat, maupun istri lelaki mana puu pada saat ini. Yang dikehendakinya cuma pembalasan, dan kepuasan melihat dirinya berhasil membuat seorang pria bertekuk lutut di hadapannya.
Insinyur Drajat agak terkejut mendengar kata-kata Dian yang terakhir. Dalam hatinya timbul sebersit keraguan dan kekhawatiran, namun perasaan ini cepat-cepat dikesampingkannya. Ah, gadis itu hanya berkelakar. Memang dia suka berkelakar dan menggodanya. Insinyur Drajat ganti mengatakan,
"Kalau sampai Dian tidak mau, kalau sampai Dian mengingkarijanji, aku akan kemari membunuhmu!"
Dian tertawa terbahak-bahak. Huh, laki-laki! Tidak salah apa yang diputuskannya. laki-laki memang tidak berharga untuk dicintai. Lihat saja Purnomo terhadapnya! Begitu ada gadis baru, muka baru, langsung lupa daratan dan melalaikan diri
nya. Demikian juga insinyur yang duduk di sampingnya ini. Pasti ia dulu juga bersumpah-sumpah akan mencintai tunangannya sampai mati, ternyata begitu berkenalan dengan dirinya, langsung tunangannya ditinggal. Tetapi Dian Ambarwati tidak akan menjadi keledai yang bodoh untuk kedua kalinya! Tidak! Dian Ambarwati telah menutup hatinya bagi laki-laki mana pun. Tetapi mereka harus diberi pelajaran. Sudah berapa ribu perempuan yang menderita sebagai korban permainan lakilaki? Termasuk dirinya. Tetapi ia tidak akan tinggal diam. Dan mangsanya yang pertama adalah Insinyur Drajat. Dian tidak merasa berdosa kalau ia akan menjadikan Insinyur Drajat sebagai kelinci percobaannya yang pertama. Bukankah dia pun tergolong laki-laki yang tidak setia kepada tunangannya? Ah, Herlina, siapa pun kau itu, tetapi sakit hatimu akan terbalaskan. Dibalaskan oleh orang yang justru menjadi sebab penyelewengan tunanganmu!
Mereka berbincang bincang lagi untuk beberapa waktu lamanya. Bulan semakin meninggi. Malam semakin larut. Di pemondokan itu, kendati tidak ada peraturan yang ketat, namun anak-anak yang memondok semuanya tahu diri. Mereka yang seluruhnya terdiri atas gadis-gadis muda yang belum menikah, tidak ada yang menerima tamu sampai lewat pukul sembilan malam. Sekarang jam di dalam ruang tamu telah berdentang Sembilan kali. Dian tersenyum.
"Sudah malam, Mas," katanya manja.
"Ya, aku permisi dulu. Besok sore kujemput kau sepulang kerja. Jangan memberikan alasan seribu satu macam lagi. Kalau Puji memprotes, nanti biar aku yang memberinya penjelasan. Sekarang kau tidur baik-baik, Sayang. Besok kita bertemu lagi." Insinyur Drajat mengusap pipi Dian, dan bangkit berdiri.
Dian membiarkan pipinya dibelai. Dia masih duduk di bangku di teras itu ketika Insinyur Drajat menghidupkan mesin skuternya dan melambaikan tangan kepadanya. Dian duduk terpaku, seakan-akan dalam keadaan tidak sadar. Ia juga tidak membalas lambaian tangan Insinyur Drajat. Laki-laki itu sekarang sudah jauh dari pikirannya, lenyap tak berbekas.
"Besok," pikir Dian.
"Besok aku harus meneleponnya. Aku tidak boleh menunggu terlalu lama. Besok harus kuberitahukan kepadanya."
Ketika Nyonya Narti keluar untuk mengunci pintu pagar sekitar pukul setengah sepuluh, dia mendapatkan Dian masih duduk termangu seorang diri di teras. Dengan penuh pengertian dan kebijaksanaan Nyonya Narti memeluk gadis itu dan mengajaknya masuk, tanpa menanyakan apa-apa yang mungkin akan membuatnya malu. Nyonya Narti ingat, dirinya sendiri juga pernah mengalami muda bertahun-tahun yang lalu, dan orang muda memang cenderung melihat masalah yang menimpa diri mereka jauh lebih parah daripada keadaan yang sebenarnya.
"Besok juga ia sudah normal kembali," kata Nyonya Narti dalam hati.
"Biasa, gadis remaja."
**
PURNOMO JAMALUDIN mengancing jaketnya dan mengenakan topi helmnya. Hatinya merasa agak aneh. Takut? Bukan. Tetapi berdebar juga, entah apa sebabnya. Hari Jumat siang tanggal dua puluh empat ini udara sangat menyenangkan, langit tidak berawan, meskipun pada bulan-bulan November begini hujan biasanya sudah mulai turun. Tetapi tubuh Purnomo merasa dingin, terutama kedua tangan dan kakinya. Di atas sepeda motornya, Purnomo meraba-raba sekali lagi semua saku baju dan celananya, memastikan apakah ada apa-apa yang kelupaan. Duduk di atas sadel sepeda motornya ini Purnomo merasa memperoleh kembali kepercayaan kepada dirinya sendiri, merasa berada di antara benda-benda yang sudah dikenalnya dengan begitu baik.
Sambil masih duduk di atas sadelnya, ia mempergunakan kedua kakinya untuk mendorong sepeda motornya keluar dari halaman rumahnya. Hari sudah siang dan Purnomo tidak mau membangunkan neneknya yang mempunyai kebiasaan tidur setelah makan siang. Ibunya tidak akan memaaf
kannya kalau sampai neneknya yang sudah tua itu terjaga gara-gara mendengar deru sepeda motornya. Pengorbanan yang sedikit ini seharusnya bisa dilaksanakannya dengan baik, sebagai balasan kebaikan orangtuanya yang telah memberikan segala sesuatu yang dikehendakinya.
Di depan rumah, Purnomo menghidupkan mesin dan bersiap-siap mengangkat kakinya. Aneh. hari ini tiba-tiba ia merasa canggung mengendarai kendaraannya seorang diri. Ia teringat pada bulanbulan yang lalu ketika Dian masih duduk di belakangnya dan memeluknya erat-erat. Hari ini dia merasa rindu dipeluk Dian seperti itu lagi. Dian yang manis namun keras kepala, pikirnya. Sekarang kalau dipikirkannya lagi, ia sendiri heran mengapa mereka sampai putus hubungan. Hubungannya dengan Dian telah dijalinnya selama lima tahun semenjak gadis itu masih duduk di bangku SLTP. Dian memang gadis yang cantik dan lincah. Purnomo ingat ketika pertama kali ia melihatnya. Waktu itu umurnya sendiri baru menjelang tujuh belas tahun, seorang pemuda yang termasuk berandal untuk ukuran kota Ngawi yang kecil. Purnomo tidak banyak bedanya dari pemuda-pemuda sebayanya yang lain, yang bersekolah berdampingan dengan sekolah Dian. Tetapi gadis kecil yang lincah manis ini tertarik kepadanya juga, dan pendekatan Purnomo pun tidak mengalami hambatan apa-apa yang berarti. Di kota sekecil Ngawi, sebentar saja orang sudah tahu bahwa Dian adalah pacar Purnomo. terutama di antara kalangan remajanya. Kumbang-kumbang yang lain semuanya tidak berani mendekat, bukan karena Dian tidak menarik, tetapi karena mereka segan kepada Purnomo, atau barangkali lebih tepat lagi karena segan kepada anak Sersan Mayor Purnawirawan Jamaludin yang cukup dikenal di kota itu. Di kota sekecil Ngawi umumnya orang suka hidup rukun dengan tetangganya. Dan yang dianggap tetangga bukan saja terbatas pada penghuni rumah di kanan-kiri seseorang.
Sambil mengendarai motornya, Purnomo mencoba mengingat-ingat, apa yang menyebabkan mereka bertengkar ramai sampai akhirnya Dian meninggalkan Ngawi dan memutuskan hubungan dengan dirinya. Mereka telah bertengkar ramai selama dua hari setelah menghadiri pesta ulang tahun salah seorang teman Dian. Ah, ya, semua bermula dari timbulnya rasa cemburu Dian melihat Purnomo melewatkan sebagian besar dari malam tersebut di sisi Rini. Rini adalah saudara misan teman Dian yang berulang tahun malam itu. Kebetulan pada waktu itu ia sedang berlibur di Ngawi mengunjungi paman dan bibinya. Rini sendiri lahir dan dibesarkan di Jakarta, seorang calon mahasiswi yang walaupun lebih muda usianya daripada Dian, namun jauh lebih matang. Dan entah mengapa malam itu hati Purnomo seakan-akan terpana melihat gaya dan pembawaan Rini. Begitu berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah dijumpainya di Ngawi. Begitu tegas, tanpa malu-malu, begitu terbuka, tidak munafik, dan begitu ramah serta;
mudah diajak mengobrol. Ketika Dian menuduhnya telah jatuh hati kepada Rini dalam perjalanan pulang mereka dari pesta tersebut, Purnomo telah menyangkalnya habis-habisan. Tetapi memang harus diakuinya bahwa malam itu ia sedikit sekali memberikan perhatian kepada Dian.
"Ah, biasa, laki-laki. Mana ada laki-laki yang tidak mata keranjang?" gumam Purnomo sendiri, walaupun dalam hatinya tidak sekali pun dia berpikir akan berpacaran dengan Rini. Tetapi yang tidak dapat dimengertinya adalah sikap Dian. Dian yang selama ini begitu sabar dan penuh pengertian terhadapnya, yang begitu mudah memaafkan dan melupakan, yang begitu sayang dan perhatian kepada dirinya, mendadak bisa berubah menjadi gadis yang galak dan pemberang. Dian memakinya habis-habisan! Dian-nya! Dan Purnomo dengan darah mudanya yang juga mudah tersinggung, menanggapi kemarahan Dian dengan luapan amarahnya sendiri pula. Meskipun dalam hatinya ada perasaan bersalah, tetapi mana ada laki-laki yang mau menelan harga dirinya untuk mengaku? Gengsi, ah! Purnomo tidak mau mengaku bersalah, tidak mau mundur, malah ngotot mempertahankan prinsipnya! Hah! Prinsip gombal pula. Ini diakuinya sendiri setelah kepergian Dian. Hanya karena keangkuhannya sajalah maka ia tidak mau meminta maaf, suatu praktek yang tidak pernah dipelajarinya di rumah. Tetapi Dian menganggap sikapnya sebagai tantangan terbuka. Purnomo merasa heran, Dian yang biasanya suka bergurau dan
tidak pernah marah walaupun digoda habis-habisan, dalam hal ini tiba-tiba menanggapi masalah ini begitu serius.
Pertengkaran bahkan tidak mereda pada keesokan harinya. Dan setelah hari yang kedua, Dian membanting telepon dan tidak mau bertemu lagi dengannya. Seminggu kemudian Dian sudah menghilang ke Surabaya. Dan Purnomo tidak tahu ke mana menghilangnya. Dian tidak menyuratinya maupun meneleponnya. Ketika Purnomo menanyakan alamat Dian kepada ibunya, ibunya hanya berkata bahwa Dian telah berpesan supaya tidak mengatakannya kepada Purnomo maupun temantemannya yang lain di Ngawi. Kalau pada suatu saat Dian mau menghubunginya, ia akan melakukannya sendiri.
Demikianlah maka kemudian Purnomo menyesali kepergian Dian, menyesali pertengkaran mereka yang konyol, menyesali sikapnya sendiri yang tidak jantan, dan menyesali kekerasan hati Dian; Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu. Dalam hatinya ia masih yakin benar bahwa nanti apabila amarah Dian telah reda, akan timbul juga rasa rindunya, dan Dian pasti akan memberinya kabar. Biasa perempuan! Suka merajuk. Ah, tak mungkin Dian akan mencoretnya benar-benar dari kehidupannya dengan begitu mudah. Bukankah mereka telah menjalin hubungan yang intim selama lima tahun? Bukankah Dian dan dirinya telah...?
Purnomo tersenyum mengingat peristiwa itu.
Kenangan indah yang terjadi hanya tiga hari sebelum pertengkaran fatal mereka! Apakah karena hal itu maka Dian marah sekali? Apakah karena itu maka Dian telah berubah? Apakah karena Dian merasa telah memberikan segala-galanya kepada dirinya maka ia tidak dapat menerima sikap Purnomo yang menggampangkan hubungan mereka dengan bermain mata dengan gadis lain? Perlahanlahan Purnomo merasa dirinya mulai dapat memahami sikap Dian. Ya! Pasti itu! Pasti setelah peristiwa itu Dian merasa telah seratus persen memiliki Purnomo, dan ia merasa terpukul sekali ketika tiga hari kemudian dia mendapatkan Purnomo berakrab-akraban dengan Rini.
Tetapi sekarang semuanya akan berlalu, pikir Purnomo membesarkan hatinya sendiri. Ia sudah mengetahui alamat Dian di Surabaya dan sekarang ia sedang berpacu dengan angin untuk mencapai -Surabaya....
**
SABTU pagi yang cerah itu kegiatan di biro Periklanan Ramanda sudah mulai sejak pukul delapan.
Santi melihat arlojinya. Pukul setengah sepuluh! Aneh, pikirnya. Mengapa Dian masih belum juga masuk? Biasanya Dian memang datang bersama Puji. Tetapi hari ini Puji akan masuk terlambat. Kemarin sore ia mendapat tugas dari Pak Sumarsono untuk mengawasi pameran di kota Malang, dan karena pameran tersebut selesainya sudah agak malam, maka Puji sekalian menginap di sana. Rencananya baru akan kembali pagi ini. Santi mempertimbangkan untuk menelepon ke pemondokan Dian.
"Kalau ia sakit atau berhalangan datang, masa ibu semangnya tidak menelepon kemari?" Lagi pula hari ini hari Sabtu, dan sebentar sore ada undangan makan di rumah Pak Sumarsono. Ke mana si Dian? pikir Santi.
Santi memutuskan untuk menangguhkan menelepon Ibu Narti, ibu semang Dian. Sebaiknya menunggu sampai Puji datang saja. Toh bapak-bapak pimpinan belum ada yang muncul. Tadi Pak Sumarsono telah menelepon bahwa hari ini ia akan
mengantarkan istrinya berbelanja sebentar, dan masuk kira-kira pukul sebelas. Sedangkan Pak Sugeng biasanya juga baru muncul pada jam-jam sekian. Umumnya pada pagi hari tidak ada tamu yang datang dan semua pekerjaan hanya bersifat rutin, yang dapat diselesaikan sendiri oleh masinginasing karyawan.
Ketika Puji tiba di kantor pada pukul sepuluh lewat seperempat, Dian masih belum juga datang. Puji yang ditanyai Santi, merasa heran mengapa Dian tidak memberi kabar kalau tidak masuk.
"Sebaiknya kita segera menelepon saja," katanya.
Baru saja tangan Puji menyambar telepon, dua orang polisi masuk ke kantor Ramanda. Dengan sendirinya Puji yang merasa paling bertanggung jawab di kantor ini jika Pak Sugeng dan Pak Sumarsono belum ada, segera menghampiri kedua petugas negara itu.
"Kami ingin bertemu dengan pak direktur di sini," kata salah seorang petugas itu.
"Pak Sugeng masih belum datang. Apakah bisa saya bantu. Pak? Saya adalah sekretarisnya, Nona Puji."
Petugas itu tanpa banyak berbasa-basi segera bertanya,
"Apakah kantor ini mempekerjakan seorang gadis yang bernama_Dian Ambarwati?"
"Betul, Pak," kata Puji, mulai mempunyai firasat tidak enak. Secara tidak sadar tangannya memegang pangkal lehernya.
"Apakah Dian kecelakaan?"
"Ya. Dian Ambarwati telah meninggal."
"Meninggal?" pekik Santi dan Mira serempak yang ikut menyaksikan percakapan itu.
"Meninggal? Kenapa? Bagaimana bisa meninggal?"
Puji sendiri tidak dapat berkata apa-apa. Wajahnya pucat pasi, tangannya sekarang mencengkeram lehernya sendiri. Beberapa saat kemudian barulah terdengar suara Aswin,
"Duduk dulu, Pak. Silakan. Ini bagaimana kejadiannya?"
Dalam waktu sekejap mata semua kegiatan rutin di Ramanda terhenti. Keenam orang karyawan yang ada di sana segera mengelilingi kedua petugas negara yang datang dengan kabar yang mengejutkan ini.
"Keterangan selanjutnya akan diberikan oleh atasan kami. Sekarang kami hanya diberi tugas mengecek saja apakah benar Dian Ambarwati dikenal di sini. Kami memperoleh alamat kantor ini setelah menelepon orangtua Dian Ambarwati di Ngawi, yang alamatnya kami dapatkan dari KTP yang ditemukan dalam tas korban. Orangtuanya sedang dalam perjalanan kemari. Di samping itu kami ditugaskan menjemput Pak Direktur untuk dimintai keterangan lebih lanjut di kantor polisi. Di mana kami dapat menghubungi direktur Anda?"
"Pak Sugeng... masih... masih ada di rumah," kata Puji tergagap-gagap.
"Saya akan meneleponnya."
"Baik, katakan saja agar cepat ke kantor. Jangan menyebutkan kematian Dian Ambarwati. Kami tunggu di sini."
**
Kapten Polisi Kosasih duduk berhadapan dengan dua orang setengah baya yang berwajah sendu. Ayah Dian seakan-akan telah berubah menjadi mayat hidup. Wajahnya pucat pasi, matanya kosong, dan dia duduk seperti patung, tidak menyadari keadaan sekelilingnya. Pak Prabowo yang usianya mendekati enam puluh ini tampaknya seperti tentara yang baru kalah perang, tanpa setetes semangat pun yang tersisa dalam tubuhnya yang pada saat ini kelihatan selemas boneka dari kain. Nyonya Prabowo, yang mendampingi suaminya, kelihatan lebih tabah, begitu penilaian Kapten Polisi Kosasih. Meskipun mata ibu ini tampak sembap dan terkadang masih mengalirkan air mata, namun dia 'tidak sampai histeris. Di sini kelihatan betul siapa yang menjadi tulang punggung dalam keluarga Prabowo. Keduanya duduk membisu di depan Kapten Polisi Kosasih. Hanya saja mata Nyonya Prabowo tampak masih mengenal dunia nyata di sekelilingnya.
"Ibu dan Bapak sudah melihat jenazah korban?" tanya Kosasih memulai percakapannya.
Nyonya Prabowo mengangguk. Air matanya mengalir lagi. Pak Prabowo masih mematung. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia mendengar pertanyaan Kosasih.
"Karena ini kasus pembunuhan, Bu," kata Kosasih dengan selembut mungkin kepada orang yang masih bisa mendengar suaranya ini,
"menyesal sekali jenazah anak Ibu belum bisa dimakamkan hari ini. Harus diotopsi dulu untuk memperoleh visum
dokter mengenai sebab-sebab kematiannya. Dan kalau mungkin, diharapkan otopsi ini dapat memberikan petunjuk siapa yang melakukannya."
Nyonya Prabowo mengangguk.
"Begini, Bu. Kami sekarang telah menahan seorang gelandangan, seorang tuna wisma, sehubungan dengan kematian anak Ibu. Tadi pagi ada seorang pelari pagi yang melihat seorang tuna wisma sedang membungkuk di atas sesosok tubuh perempuan yang menelungkup. Itu di belakang lapangan tenis di Taman Aksara, yang pada jamjam pagi begitu masih sepi sekali. Pelari pagi ini setiap hari memang berlari di seputar daerah itu, dan dia tidak mungkin akan melihat tubuh wanita yang menelungkup itu kalau bukan karena si tuna wisma ini berlari dari sana karena ketakutan. Ini menimbulkan kecurigaan orang yang berolahraga pagi ini, dan dia mendekati tempat si tunawisma ini tadi membungkuk, lalu ia melihat wanita yang menelungkup itu. Segera dikejarnya si tuna wisma ini, dan setelah berhasil dibekuknya, dibawanya kembali ke tempat korban. Tadinya ia mengira bahwa gadis itu telah dirampok dan sedang pingsan. Ternyata setelah dilihatnya dengan teliti, gadis itu sudah meninggal, dan rupanya meninggalnya juga sudah cukup lama. Si tuna wisma ini kemudian diserahkannya kepada kami, namun kami belum dapat memastikan bahwa ialah yang telah merampok dan membunuh anak Ibu. Pada tubuh dan bajunya yang compang-camping itu kami tidak menemukan apa-apa yang mungkin milik anak Ibu."
Kosasih menghela napasnya, kemudian lanjutnya,
"Saya tahu bahwa membicarakan hal ini amat menusuk hati ibu dan Bapak, jadi saya tidak akan terlalu memberati Anda dengan keterangan-keterangan yang tidak perlu. Kami sendiri masih menunggu hasil otopsi dokter supaya kami dapat mengetahui pukul berapa kira-kira anak Ibu menemui ajalnya, dan hal-hal lain. Sementara ini Bapak dan Ibu beristirahat dulu. Kami akan menghubungi Anda lagi setelah kami mendapat data yang lebih lengkap. Apakah Bapak dan Ibu mempunyai sanak saudara atau keluarga di Surabaya?"
Nyonya Prabowo menggelengkan kepalanya.
"Baiklah kalau begitu, saya akan menanyakan kepada Nyonya Narti apakah barangkali ia dapat menampung Anda berdua di rumahnya dulu. Itu lebih baik daripada kalau harus menginap di hotel."
Kosasih keluar dan menghampiri seorang wanita yang hampir sebaya dengan Nyonya Prabowo. Setelah berbincang-bincang sebentar, Kosasih dan Nyonya Narti bersama-sama menemui Tuan dan Nyonya Prabowo.
Nyonya Narti yang membuka suara.
"Bu, saya senang sekali dapat membantu. Di rumah saya masih ada satu kamar yang kosong. Itu bisa Ibu tempati bersama Bapak. Saya bisa merasakan kesedihan Ibu dan Bapak, Nak Dian juga sudah saya anggap seperti anak sendiri. Marilah, kalau begitu, saya antarkan pulang."
Nyonya Prabowo mengangguk dengan perasaan
terima kasih. Ditepuknya tangan suaminya lambatlambat, kemudian dituntunnya lelaki itu, yang berjalan dengan pandangan kosong. Bertiga mereka meninggalkan kantor polisi.
**
TAMU yang duduk di depan Kosasih adalah seorang laki-laki yang berperawakan'tinggi. Kakinya yang panjang dilipatnya dengan santai. Di bibirnya melekat sebatang rokok. Kumisnya yang jarang-jarang seperti anak semut menari itu tidak menambah bagus wajahnya yang menurut standar mana pun tidak akan dianggap tampan. Tidak ada yang istimewa pada laki-laki yang seorang ini. Tidak ada. Kecuali sepasang matanya. Matanya jernih dan bening, awas dan tajam. Mata seorang yang berani menghadapi risiko. Mata seorang yang biasa bertaruh. Mata dengan keawasan yang tinggi. Mata yang terlatih untuk melihat semuanya dan merekam semuanya dengan sekali pandang. Mata seorang pencuri!
Karena memang laki-laki yang empunya mata itu berprofesi pencuri. Dulunya. Sepuluh tahun yang lalu. Dan profesinya itu telah dipangkunya dengan baik. Ia adalah seorang pencuri yang ulung, yang selalu berhasil dan tak pernah tertangkap. Bukan karena ia memakai aji apa-apa atau kekuatan backing suatu komplotan. Tidak.
Semuanya semata-mata karena ketelitiannya bekerja, yang tidak meninggalkan jejak, dan tidak membuka kedoknya. Sampai pada suatu saat, ketika di luar kehendak hatinya, ia didampingi oleh seorang pencuri lainnya, temannya sedaerah, yang memaksa ingin mengikutinya beroperasi. Itulah kesalahan yang merugikan dirinya. Kesalahan yang akhirnya membawanya ke hadapan Kapten Polisi Kosasih untuk pertama kalinya. Ia dijebloskan ke dalam penjara oleh Kosasih yang pada saat itu baru berpangkat sersan.
Berlainan dengan kebanyakan narapidana lainnya, penjara ternyata merupakan obat baginya. Di sana ia menemukan makna hidup yang sebenarnya. Ia bertekad berhenti dari profesinya, dan memasuki lembaran baru dalam hidupnya. Tentunya keberhasilannya ini tidak mungkin dapat dicapainya sendiri kalau bukan karena uluran tangan Kapten Polisi Kosasih, yang telah melihat suatu bakat terpendam dan keyakinan yang mantap untuk menjadi manusia baik-baik dalam dirinya. Kosasih kemudian menjadisahabatnya yang paling akrab. Sahabat yang pertama dimilikinya di dunia ini. Dan ia memandang Kosasih sebagai saudara tuanya, menghormatinya, dan berterima kasih kepadanya. Kepercayaan yang diberikan Kosasih kepadanya tak pernah dia kecewakan. Oh, tidak! la, Gozali, tidak akan mengkhianati sahabatnya demi apa pun. Ia telah menjadi manusiayang utuh atas bantuan Kosasih. Dan dia tak ingin kembali lagi ke kehidupan lamanya yang berlumuran dosa.
"Bagaimana, Goz, kaupikir kasus ini mudah dipecahkan?" tanya Kosasih.
Tergembleng oleh kebiasaan dari profesinya yang lama, Gozali bukanlah orang yang cepat berkatakata maupun yang banyak berkata-kata. Ia lebih banyak memakai otaknya daripada mulutnya. Sekarang pun ia tidak berkata-kata banyak. Meski kepada sahabat karibnya sekalipun.
"Apa hasil otopsinya?" tanyanya.
Kosasih menyodorkan visum dokter bedah yang terletak di atas mejanya. Gozali mengambilnya dan membacanya dengan teliti sambil membisu.
"Hamil?" Itulah komentarnya setelah selesai membaca.
"Ya, minggu kesembilan."
"Laki-lakinya?"
"Aku belum tahu. Dari wawancara singkat dengan rekan-rekannya sekantor, pacarnya Insinyur Drajat. Ada sedikit masalah di sini Rupanya si insinyur ini masih bertunangan dengan kemenakan direktur Ramanda". Aku beberkan dulu sedikit latar belakang korban sebelum kau keluar membantu aku melacak pembunuhan ini."
Gozali mengangguk.
"Garis besarnya begini: Dian Ambarwati, asal Ngawi, berusia dua puluh tahun, datang ke Surabaya sekitar dua bulan yang lalu dan mendapat pekerjaan di Biro Periklanan Ramanda. Ia tinggal di pemondokan Nyonya Narti di Jalan Mawar. Lincah, ramah-tamah, dan disayangi rekan-rekan sekantornya. Tidak banyak yang mengetahui kehidupannya sebelum dia datang ke Surabaya. Aku masih belum sempat menanyai orangtuanya. Mereka masih diliputi kesedihan yang terlalu dalam. Setiap hari korban datang ke kantor bersama rekannya yang bernama Puji. Tadinya pulang juga diantarkan Puji, tetapi setelah berpacaran dengan si insinyur itu, si insinyur inilah yang mengantarkannya pulang setiap sore. Terakhir rekan-rekannya sekantor melihat korban pada hari Jumat sore tanggal dua puluh empat, ketika sang pacar datang menjemputnya pulang. Keesokan harinya ia ditemukan oleh seorang gelandangan dalam keadaan sudah mati kaku. Aku cenderung mempercayai pengakuan tuna wisma ini. Aku yakin bukan dia pembunuhnya. Ia hanya kebetulan melihat sesosok tubuh yang menelungkup di sana dan dia mendekatinya karena ingin tahu saja, sebelum dia dikejar oleh si pelari pagi yang membekuknya."
Kolusi Bursa Free To Trade Karya Saksi Mata Super Thriller Karya Pendekar Perisai Naga 4 Pusaka Bukit
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama