Ceritasilat Novel Online

Misteri Dian Yang Padam 2

Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD Bagian 2



"Apakah ditemukan dompet atau tas di dekat korban?" tanya Gozali.

"Ya. Sebuah tas hitam ditemukan tidak jauh dari tempat mayatnya tertelungkup. Isinya hampir kosong. Hanya ada sehelai saputangan, sebotol minyak angin kecil, sebuah sisir, sebuah kaca kecil, sebatang gincu bibir, KTP-nya dengan alamat NgaWi, serta sebuah anak kunci."

"Tidak ada uang?" tanya Gozali, mengangkat alisnya.

"Ternyata tidak ada."

"Tidak umum, bukan, seorang gadis ke luar rumah tanpa membawa uang?"

"Menurut teman-temannya sekantor, korban juga mengenakan cincin dan seuntai kalung sehari-harinya. Kedua benda itu pun tidak ditemukan pada jenazahnya."

"Penodongan yang ajaib," komentar Gozali.

"Ya. Seorang tukang todong tidak akan meninggalkan tasnya di sana. Paling tidak isinya dapat dibawanya pulang untuk diberikan pada istri atau pacarnya."

Gozali mengangguk.

"Pembunuh yang bukan tukang todong ingin memberikan kesan yang melakukannya adalah tukang todong. Bodoh!"

"Sebab kematiannya adalah pukulan benda keras di tengkuknya."

"Perdarahan?"

"Sedikit sekali, hanya lecet sedikit di tempat benda keras itu menghantam tulang tengkoraknya."

"Masyarakat di sekitar Taman Aksara tidak mendengar atau melihat apa-apa yang mencurigakan?"

"Sama sekali tidak."

"Di mana letak mayatnya yang persis?"

"Di bawah tanaman kol banda yang besar. Sebenarnya kalau si gelandangan itu tidak sedang mencari-cari apa-apa yang dapat diambilnya, tak mungkin jenazahnya dapat ditemukan sepagi itu."

"Pukul berapa kira_kira ia menemui ajalnya?"

"Yang pasti dalam waktu dua jam setelah korban terakhir makan. Sisa makanan masih ada dalam perutnya."

"Itu menurut laporan dokter. Faktor pendukung lainnva?"

"Belum ada."

"Apakah kau sudah tahu kapan korban terakhir makan?"

"Menurut Nyonya Narti, Jumat malam itu korban mengatakan akan diajak makan temannya di luar, tetapi karena toh Nyonya Narti telah menyiapkan masakan, maka sebelum berangkat korban makan sedikit juga di pemondokannya. Itu sekitar pukul tujuh kurang seperempat. Kapan korban makan lagi setelah itu aku belum tahu."

"Setelah makan di pemondokannya, korban pergi dengan siapa?"

"Nah, itu susahnya. Tidak ada orang yang tahu. Menurut salah seorang teman sepemondokannya, ia melihat korban sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang sedang duduk di atas sepeda motornya di pagar depan pada pukul tujuh lebih dua puluh menit ketika temannya ini akan berangkat kursus. Temannya ini mengatakan dia tidak mengenal pemuda itu dan pada saat itu korban pun tidak memperkenalkannya. Ia adalah orang yang terakhir dari pemondokan itu yang melihat korban masih hidup."

"Pemuda itu bukan pacarnya si insinyur ini?"

"Bukan. Si insinyur telah mengantarkannya pulang pada pukul lima lebih sepuluh seperti biasanya dan duduk di sana sampai pukul enam sore. Kemudian dia pulang. Itu kata nyonya rumahnya."

Gozali termenung beberapa lamanya.

"Ayolah, sekarang kita berangkat mewawancarai orang-orang ini lagi," kata Kosasih akhirnya.

Gozali berdiri tanpa membuka mulutnya. Bahkan ketika sudah duduk dalam mobil Jeep Kosasih pun ia tidak mengatakan apa-apa.

Kapten Polisi Kosasih memang sering mengajak Gozali dalam menjalankan tugasnya. Secara tidak resmi Gozali adalah semacam informan baginya, Gozali tahu siapa-siapa yang termasuk dalam kelompok-kelompok pengacau keamanan kota. Ia sendiri dulu pun adalah salah seorang dari mereka. Tetapi lebih dari itu, Gozali memiliki otak yang cerdas. Otak yang berpikiran kritis. Dan perasaan yang peka sekali. Tidak jarang dia dapat menangkap nada keragu-raguan dalam jawaban seseorang, atau mengetahui dari nalurinya bilamana seseorang sedang mengatakan yang sejujurnya atau menyembunyikan sesuatu. Gozali dapat mendata semua keterangan yang didengar dan dilihatnya, dan dengan komputer yang melekat dalam kepalanya itu ia dapat menganalisis semuanya. Karena itulah Kapten Polisi Kosasih mendapat bantuan yang amat berharga dalam diri Gozali si bekas pencuri ini.

Tujuan mereka yang pertama adalah ke tempat kediaman Insinyur Drajat. Laki-laki ini berasal dari kota Malang. Di Surabaya ia tinggal di rumah kakaknya yang sudah berumah tangga.

Mereka mendapati rumah yang dicari dalam keadaan sepi. Setelah menekan tombol belnya berulang kali. pintu baru dibukakan oleh seorang lakilaki yang bertubuh tinggi tegap, dan berusia sekjtar tiga puluhan. Pada wajahnya yang kusut mereka dapat melihat bayang-bayang hitam di bawah

matanya yang merah. Laki-laki ini kelihatannya seakan-akan sudah lama tidak bertemu dengan pisau cukur. Kumis dan jenggotnya sekarang mencuat ke segala arah dengan tidak teratur.

"Ya?" tanyanya dengan pandangan mata yang layu.

"Kami dari kepolisian. Kami ingin bertemu dengan Insinyur Drajat," kata Kosasih.

"Ya. Saya sendiri. Silakan masuk."

Tanpa menunggu tamunya duduk Insinyur Drajat sendiri sudah lebih dulu terenyak di kursi. Tangannya mengusap wajahnya, dan dia kelihatan lelah sekali.

"Saudara Drajat," Kosasih mulai,

"Anda tentunya tahu bahwa kami masih mengusut kematian Dian Ambarwati yang terbunuh tiga hari yang lalu. Kalau Anda mengetahui apa-apa yang mungkin dapat membantu kami, kami sekarang siap mendengarkan."

Insinyur Drajat mengusap mukanya lagi. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tidak, saya tidak mengetahui apa-apa."

"Anda yakin? Coba ceritakan sajalah apa yang Anda ketahui tentang Dian Ambarwati."

Insinyur Drajat memandang kedua orang di hadapannya dengan terbengong-bengong.

"Apa yang harus saya ceritakan?"

"Anda adalah pacar Dian Ambarwati?"

"Eh, iya iya."

"Sudah berapa lama Anda mengenalnya?"

"Sekitar dua bulan lebih sedikit, Pak."

"Di mana Anda mengenalnya?"

"Di kantor Ramanda. Saya kebetulan ke sana mencari Pak Sugeng, direkturnya, lalu berkenalan dengan Dian yang baru hari itu bekerja di sana."

"Lalu sudah sejak berapa lama Anda menjadi pacarnya?"

Insinyur Drajat tidak segera menjawab. Ia termenung. Akhirnya ia berkata,

"Saya sendiri pun tidak tahu persis, Pak. Saya merasa tertarik padanya hampir pada saat pertama itu juga, dan saya bertandang ke pemondokannya sejak hari pertama saya mengenalnya. Saya merasa pendekatan saya diterimanya dengan baik. Sampai kira-kira dua minggu yang lalu, ketika ia mengetahui bahwa bahwa saya... saya masih resmi mempunyai tunangan."

"Lalu?"

"Lalu ia mulai menjauhi saya. Ia tidak lagi mau saya antarkan pulang. Tetapi dua hari sebelum kematiannya, saya berterus terang kepadanya dan mengatakan bahwa saya telah memutuskan pertunangan saya dan akan mengawininya. Kami berbaik kembali, lalu... lalu, ini... peristiwa ini... mengapa ini harus terjadi?" tanya Insinyur Drajat entah kepada siapa.

"Kalian telah sepakat untuk menikah?" tanya Kosasih.

"Iya, eh... tidak. Saya yang mengatakan... saya yang memintanya menjadi istri saya. Ia tidak memberikan jawaban yang pasti."

"Jawaban apa yang diberikannya?"

"Ia berolok-olok. Katanya ia masih muda. Bahwa saya harus menunggu lama."

"Lalu apa kata Anda?"

"Saya katakan bahwa saya bersedia menunggu... dan dia tertawa, dan terus bersenda gurau."

"Lalu?"

"Kami tidak pernah membicarakan masalah itu lagi. Tetapi sikapnya terhadap saya kemudian berubah. Ia menjadi lebih manja, lebih mesra. Dan setiap kali saya ingin mengarahkan pembicaraan ke masalah perkawinan, dia selalu mengatakan,

"Kata Mas mau menunggu, jangan dibicarakan setiap saat, ah.'"

"Dan tunangan Anda?" Untuk pertama kalinya Gozali membuka mulut.

Kosasih tersenyum sendiri. Untung aku mengajak Gozali, pikirnya. Aku sendiri sudah lupa menanyakan tunangannya.

Sejenak Insinyur Drajat seperti terjaga dari mimpinya. Matanya yang tadinya layu tiba-tiba bersinar lagi. Ia menatap kedua orang tamunya dengan gugup.

"Tunangan saya tidak kenal secara pribadi dengan Dian Ambarwati," katanya.

"Siapa nama tunangan Anda?" tanya Kosasih.

"Herlina... Herlina Subekti."

"Sudah berapa lama Anda bertunangan?"

"Hampir tiga tahun."

"Mengapa sampai sekarang masih belum menikah, sedangkan dengan Dian Ambarwati yang baru

Anda kenal sekitar dua bulanan Anda sudah mengajaknya menikah?" tanya Kosasih.

"Kami memang kurang sesuai. Kami mempunyai beberapa perbedaan prinsip sehingga rencana kami untuk menikah belum terlaksana. Tetapi setelah saya bertemu dengan Dian, saya melihat bahwa Herlina sebenarnya bukanlah jodoh saya."

"Apakah Nona Herlina Subekti ini mengetahui hubungan Anda dengan Dian Ambawati?"

"Ya."

"Dari mana ia tahu?"

"Dari Pak Sugeng. Ia kemenakan Pak Sugeng."

"Lalu bagaimana sikapnya?"

"Kami bertengkar."

"Dan Anda memutuskan pertunangan?"

"Ya."

"Dan Nona Subekti menerima putusan Anda?"

"Yah, dia... dia marah sekali."

"Tahukah Anda apakah Dian Ambarwati mempunyai musuh?"

"Musuh? Tidak."

"Bagaimana dengan tunangan Anda?"

Sejenak lamanya Insinyur Drajat tidak menjawab, tetapi matanya melebar. Kemudian bisiknya,

"Herlina!"

"Bagaimana?" tanya Kosasih.

"Herlina!" ulangnya lagi.

"Ia pernah berkata akan mematahkan batang leher Dian." Seperti baru terjaga dari mimpinya laki-laki itu menceritakan pertemuannya yang terakhir dengan Herlina SUbekti. .'

Kemudian Kosasih menyinggung masalah lain.

"Sampai di manakah hubungan Anda dengan Dian Ambarwati?"

"Maksud Anda?" tanya Insinyur Drajat.

"Sudahkah Dian Ambarwati memberitahu Anda bahwa Anda adalah ayah bayi yang dikandungnya?" Kosasih mengucapkan kalimat ini dengan lambat sekali, satu per satu katanya diucapkannya dengan jelas, sambil matanya mengawasi reaksi yang mungkin akan diberikan Insinyur Drajat.

Insinyur Drajat tercengang. Mulutnya terbuka sebentar, kemudian menutup kembali. Ia memandang Kosasih dan Gozali seperti orang bumi melihat dua sosok makhluk luar angkasa yang menakjubkan. Sekitar tujuh atau delapan detik berlalu sebelum laki-laki itu sadar kembali.

"Bayi?" gummnya.

"Mana mungkin?" Kemudian dengan suara yang lebih besar,

"Anda tidak salah?"

"Visum dokter," kata Kosasih singkat.

Sekali lagi Insinyur Drajat mengulangi proses membuka dan menutup mulutnya seperti tadi tanpa berhasil mengeluarkan jawaban yang ditunggutunggu Kosasih.

"Jadi saya mengambil kesimpulan bahwa Anda belum diberitahu olehnya?" desak Kosasih.

"Saya tidak pernah diberitahu olehnya, dan saya tidak pernah menduganya. Ia tidak mengandung dari saya!" Baru sekaranglah terluncur pengakuan Insinyur Drajat yang tadinya tersangkut di tenggorokannya.

Sekarang ganti Kosasih dan Gozali yang saling

pandang. Ini perkembangan yang tidak mereka perkirakan. Dan entah karena apa, mereka menilai jawaban Insinyur Drajat ini terdengar sungguhsungguh. Kecuali apabila ia adalah pemain sandiwara yang ulung, pikir Gozali.

"Anda yakin bahwa Anda tidak terlibat?" ulang Kosasih penasaran.

"Berani bersumpah!"

"Apakah di samping Anda masih ada laki-laki lain dalam kehidupan Dian Ambarwati?" Gozali adalah yang pertamatama tenang kembali.

"Setahu saya tidak. Saya bertemu dengannya hampir setiap hari, sejak ia datang di Surabaya. Selama itu saya tidak pernah melihatnya mempunyai kawan laki-laki yang lain. Bahkan kecuali kawan-kawannya di kantor dan pemondokannya, ia tidak mempunyai kawan."

"Bagaimana dengan teman-temannya dari Ngawi?"

"Dian tidak pernah bercerita banyak tentang kehidupannya di Ngawi. Ia tampak begitu polos, begitu muda, saya tidak pernah membayangkan..." Insinyur itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Baiklah! Sekarang kita kembali ke hari Jumat tanggal dua puluh empat yang lalu. Apa yang terjadi? Ceritakanlah semuanya."

Gozali melihat bahwa buku notes yang selalu dibawa-bawa Kosasih ke mana pun ia pergi sudah penuh dengan coretan-coretan.

Insinyur Drajat mengusap wajahnya lagi. Tangannya tampak gemetar.

"Saya menjemputnya

seperti biasa sekitar pukul lima. Saya antarkan pulang ke pemondokannya. Saya mampir sebentar dan kemudian sekitar pukul enam saya pulang karena ia berkata ia akan pergi malam hari itu."

"Apakah Anda melihat ada kelainan dalam sikapnya sore itu? Apakahdia tampak lebih gembira dari biasanya, atau lebih sedih, atau ada apa-apa yang tidak biasa?"

Insinyur Drajat menekur, mencoba mengingat kembali. Kemudian katanya,

"Ia tampaknya agak gelisah. Maksud saya bukan gugup atau cemas, tetapi tidak setenang biasanya. Tetapi itu mungkin karena ia ingin cepat-cepat dapat mandi dan berdandan untuk acaranya malam itu."

"Apakah dia mengatakan ke mana ia akan pergi malam itu?" tanya Gozali dengan tenang.

"Tidak. Hal itu saya ingat betul. Sebenarnya saya ingin bertanya, tetapi karena mengingat hubungan kami masih belum terlalu akrab, saya merasa belum berhak menanyakan sampai ke sana. Nanti saya membuatnya tersinggung. Jadi saya menunggunya untuk mengatakannya kepada saya, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa, jadi saya pun tidak menyinggung masalah itu."

"Pukul berapa katanya ia akan pergi?" lanjut Gozali sementara Kosasih asyik menulis dalam buku notesnya.

"Ia tidak menyebutkan jamnya dengan tepat. Hanya mengatakan 'nanti malam'."

"Tetapi ia tidak menyuruh Anda segera pulang setelah mengantarkannya?"

"Tidak. Malah dia menyilakan saya masuk."

"Ketika Anda akhirnya pulang sekitar pukul enam, apakah itu atas permintaannya atau kehendak Anda sendiri?"

Insinyur itu mengingat-ingat lagi sambil memejamkan matanya.

"Saya tidak ingat dia mengatakan apa, tetapi saya melihatnya memandang ke jam dinding, dan saya menarik kesimpulan bahwa ia menghendaki kepergian saya supaya ia dapat bersiap-siap untuk janjinya malam itu. Saya kemudian pamit karena saya tidak mau menunggu sampai ia yang menyuruh saya pulang."

"Kapan Anda pertama mengetahui tentang kematiannya?" tanya Gozali.

"Sabtu... Sabtu siang itu. Hari Sabtu kantornya tutup pukul dua belas. Saya ke sana untuk menjemputnya dan mendapatkan anak-anak di sana ribut.... Saya tidak mengerti. Saya.tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Mengapa Dian bisa berada di tempat yang sepi itu seorang diri malam-malam sampai ditodong penjahat? Ke mana temannya yang mengajaknya pergi itu?"

"Apakah masih ada keterangan lainnya yang dapat Anda berikan kepada kami supaya kami dapat membekuk pembunuhnya?" tanya Kosasih.

Insinyur Drajat menggelengkan kepalanya.

"Tidak, tidak," katanya lirih.

"Hamil," gumamnya sendiri.

"Mengapa tidak dikatakannya kepada saya? Mengapa?" laki-laki itu masih menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Saudara Drajat," kata Kosasih dengan berwibawa. Ia menunggu sampai lnsinyur Drajat mengangkat matanya menatap kapten polisi yang memandangnya lurus-lurus ini. Kosasih melanjutkan,

"Kami ada satu permintaan. Kami minta supaya Anda tidak mengatakan kepada siapa pun mengenai kehamilan Dian Ambarwati."

Insinyur Drajat mengangguk. Tetapi Kosasih belum puas. Ia menghendaki jawaban yang pasti.

"Saudara Drajat," katanya lagi,

"kami minta jaminan dari Anda mengenai soal ini."

"Baik," kata laki-laki itu. Matanya masih memancarkan sinar duka yang dalam.

"Saya berianji."

**

KOSASIH dan Gozali melanjutkan perjalanan mereka dengan Jeep ke pemondokan Nyonya Narti. Nyonya Narti sendirilah yang membukakan pintu. Rumahnya sepi karena gadis-gadis pemondok lainnya masih keluar semua.

"Selamat pagi, Bu. Ibu sudah mengenal saya. Ini rekan saya Pak Gozali. Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan lagi kepada Ibu sehubungan dengan kematian Dian Ambarwati. Saya harap Ibu tidak berkeberatan," Kapten Polisi Kosasih membuka pembicaraan dengan kalimat klisenya.

"Ah, silakan, Bapak-bapak. Kebetulan rumah sedang sepi, kita bisa berbicara dengan leluasa. Mari, silakan duduk," Nyonya Narti menyilakan tamunya duduk di kursi rotannya.

Rumah ini termasuk besar juga, bentuk rumah lama dengan langit-langit yang tinggi. Nyaman, pikir Kosasih. Di musim kemarau yang panas, rumah ini tentunya tetap sejuk, tidak seperti rumahnya sendiri. Mereka duduk di dalam ruang tamu yang masih bergaya kuno. Ruang tamu ini

mengambil seluruh bagian depan rumah. Di tengahnya ada sebuah lorong yang panjang. Di kanan-kiri lorong itu masing-masing ada tiga buah pintu, tentunya kamar-kamar tidur yang disewakan kepada gadis-gadis yang tinggal di rumah ini.

"Begini, Bu, sebelumnya kami ingin tahu apakah orangtua Dian Ambarwati sudah kembali ke Ngawi?"

"Oh, sudah, Pak. Kemarin sore langsung setelah pemakaman. Saya sebenarnya mau menahan mereka menginap semalam lagi di sini, tetapi Ibu Prabowo mengatakan lebih baik cepat-cepat pulang. Pak Prabowo rupanya agak demam, dan dia akan merasa lebih leluasa berada di rumahnya sendiri."

"Oh, baiklah. Sekarang setelah semua kesibukan dan kejutan telah berlalu, kami minta Ibu menceritakan panjang-Iebar semuanya yang Ibu ketahui tentang Dian Ambarwati. Bagaimana sifatnya, siapa teman-temannya, apakah dia sering pergi sendiri, dan mengapa pada malam Sabtu tanggal dua puluh empat itu ketika Dian Ambarwati tidak pulang ke rumah Ibu, Ibu tidak mencarinya dan keesokan harinya juga tidak menghubungi kantornya." Kosasih tersenyum ramah, namun pandangan matanya mengandung tuduhan.

"Wah, Pak Kapten, soal itu juga terus-menerus menjadi beban pikiran saya. Apakah seandainya malam itu saya mengetahui bahwa Nak Dian tidak pulang dan saya melaporkannya kepada polisi barangkali nyawanya masih tertolong?" Nyonya Narti

memandang dengan pandangan minta maaf.

"Tetapi sayang sekali, malam itu saya tidak mengetahui bahwa Nak Dian tidak pulang. Sebelum pergi ia berkata bahwa malam itu ia mungkin pulang agak malam. Saya sendiri sudah masuk tidur pukul sembilan, dan ketika itu saya tahu bahwa Nak Dian memang belum pulang, tetapi saya tidak mempunyai firasat apa-apa. Saya pikir mungkin dia dan temannya pergi nonton pertunjukan yang terakhir sehabis makan."

"Jadi Ibu terus tertidur sampai pagi?" tanya Kosasih.

"Iya, saya tidak berpikir apa-apa."

"Nah, kalau seandainya Dian Ambarwati pulang, siapa yang akan membukakan pintu untuknya?" tanya Kosasih.

"Oh, anakanak di sini semuanya saya beri kunci serep untuk pintu depan. Masing-masing mempunyai satu. Ini supaya tidak menyulitkan saya kalau saya pergi sewaktu-waktu. Begitupun Nak Dian. Kalau ia pulang setiap saat, dia dapat membuka pintunya sendiri, tanpa harus dilayani orang dari dalam."

"Lalu keesokan harinya, tidakkah Ibu merasa heran dengan tidak pulangnya Dian Ambarwati?"

"Saya sama sekali tidak tahu kalau ia belum pulang. Saya sudah terbiasa bangun pagi sekali, dan sehabis sembahyang saya terus mandi dan menyiapkan sarapan pagi. Pukul enam lebih seperempat sarapan sudah terhidang di atas meja makan, lalu saya tinggal ke pasar. Jadi, memang

kalau pagi hari saya jarang berjumpa dengan anakanak. Terkadang saya melihat satu-dua anak gantian ke kamar mandi, tetapi sebagian besar baru keluar sekitar pukul setengah tujuh. Dan pada hari Sabtu itu seperti biasanya saya baru pulang dari pasar pukul delapan. Saya tidak mencari Nak Dian, karena jam sekian biasanya ia sudah berangkat ke kantor."

"Teman-temannya juga tidak ada yang tahu bahwa Dian tidak pulang semalam?" tanya Kosasih.

"Tidak. Nak Dian menempati satu kamar seorang diri, jadi tidak ada teman-temannya yang tahu bahwa ia tidak pulang. Biasanya anak-anak sudah masuk ke kamar masing-masing sekitar pukul setengah sepuluh, demikian pula saya, sehingga bagian tengah rumah ini sudah gelap dan kosong. Seandainya Nak Dian pulang pun, tidak ada yang melihatnya, kalau itu sudah lewat pukul setengah sepuluh."

Kosasih merogoh sakunya dan-mengeluarkan sebuah anak kunci.

"Kenalkah Ibu dengan anak kunci ini?"

Nyonya Narti menerima anak kunci itu, lalu memandang kembali kepada Kosasih.

"ini adalah anak kunci yang saya berikan kepada Nak Dian. Pada kuncinya ada saya guratkan angka delapan."

Kosasih mengangguk dan mengembalikan anak kunci itu ke dalam sakunya lagi. Memang anak kunci ini ditemukan dalam tas Dian Ambarwati.

"Pak Kosasih, apakah saya boleh menyimpan kunci itu kembali?" tanya Nyonya Narti.

"

"Sekarang kasusnya masih belum selesai. Sementara ini anak kunci ini adalah barang bukti," Kosasih menjelaskan.

"Nak Dian adalah gadis yang baik, sopan santun, hormat kepada orang tua, dan amat tahu diri. Kalau saya sedang memasak, tidak jarang dia mau membantu. Lain dengan anak-anak yang lain, mereka lebih banyak duduk dalam kamar masing-masing daripada keluar membantu saya. Nak Dian boleh dikatakan jarang sekali keluar. Selama tinggal di sini saya ingat cuma sekitar tiga atau empat kali ia pergi setelah pulang kerja. Biasanya setiap pulang kerja, di rumah ya ia membantu saya memasak di dapur, atau sekadar mengobrol dengan saya."

"Bagaimana ceritanya sampai ia bisa ke pemondokan Ibu ini?" tanya Gozali.

"Oh, itu begini. Yang membawa Dian kemari adalah Pak Broto Kusumo. Ia teman Pak Prabowo, ayah Dian, dan kebetulan teman saya dan teman Pak Sugeng juga,.ia direktur tempat Dian bekerja. Sekitar dua bulan yang lalu Pak Broto menulis surat kepada saya menanyakan apakah di rumah saya masih ada satu kamar lagi karena anak temannya mau mencoba bekerja di Surabaya. Pak Broto ini rumahnya di Ngawi, tetapi beliau sering ke Surabaya untuk mengurus usahanya. Jadi, ia yang membawa Nak Dian kemari dan ia juga yang menawarkan Nak Dian kepada Pak Sugeng."

"Apakah Ibu pernah melihat ada pemuda-pemuda yang kemari mencari Dian?"

"Kecuali Insinyur Drajat, tidak ada yang lain." '

"Dian tidak pernah menceritakan kehidupannya di Ngawi kepada ibu? Siapa teman-temannya, mengapa ia sampai bekerja di Surabaya?"

"Kadang-kadang," jawab Nyonya Narti. Tetapi setelah berpikir lebih lama ia tidak bisa mengingat kembali apa yang telah mereka bicarakan.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nak Dian itu anak yang lincah. Kami lebih sering bergurau daripada berbicara serius. Kalau diingat sekarang, sebenarnya saya tidak tahu terlalu banyak tentang kehidupannya di Ngawi. Saya hanya tahu bahwa ia mempunyai seorang kakak yang tinggal di Banjarmasin. Kakaknya ini lebih tua sekitar lima tahun daripadanya dan sudah berkeluarga. Sebagai anak bungsu sebenarnya Nak Dian adalah kesayangan ayahnya, dan sebenarnya Pak Prabowo tidak begitu menyetujui kepergiannya ke Surabaya. Tetapi kata Nak Dian, ibunyalah yang akhirnya berhasil meyakinkan ayahnya untuk melepas Nak Dian mencari pengalaman kemari. Ah, tidak disangka peristiwa ini terjadi! Tentunya orangtuanya amat menyesali keputusan mereka mengizinkan anaknya kemari. Kalau seumpama masih tinggal di Ngawi, belum tentu Nak Dian mengalami nasib seburuk ini." Nyonya Narti menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tempo hari kata Ibu menurut salah seorang anak semang Ibu, ia melihat Dian bercakap-cakap dengan seorang pemuda di pagar halaman depan pada Jumat malam tanggal dua puluh empat itu. Apakah Ibu mengetahui lebih jelas tentang hal ini?" tanya Kosasih.

"Oh, itu Nak Nur. Tidak. Saya sendiri tidak tahu persis-saya tidak melihatnya. Saya mendengar ceritanya dari Nak Nur."

"Apakah kami sekarang bisa berbicara dengansiapa nama lengkapnya, Bu?"

"Nak Nur? Namanya Nurlita. Tetapi anaknya sekarang masih kuliah. Nanti siang baru kembali."

"Kalau begitu tolong Ibu sampaikan kepadanya bahwa siang ini kami akan kembali untuk berbicara dengannya," kata Kosasih.

"Apakah ada halhal lainnya yang Ibu ketahui tentang Dian Amharwati?"

"Begini, Pak. Saya tidak tahu sebetulnya apakah hal ini pantas saya katakan atau tidak.... Mungkin hal ini dapat membantu pengusutan Anda, saya tidak tahu," kataNyonya Narti ragu-ragu.

"Ceritakan saja, Bu. Kami menjamin segala rahasia. Kalau semua saksi menyembunyikan sesuatu, kami dari kepolisian susah untuk mengusutnya," kata Kosasih.

"Begini, Pak, tadi pagi setelah semua anak berangkat, saya membongkar kamar Nak Dian. Sewaktu ayah dan ibunya masih di sini, saya telah menawari ibunya untuk membawa serta pakaianpakaian dan semua barang Nak Dian. Tetapi karena kondisi kesehatan ayahnya demikian, akhirnya ibunya tidak sempat dan minta tolong agar sayalah yang membereskannya dan mengirimkan semuanya ke Ngawi. Nah, ini, Pak, tadi pagi saya menemukan... saya menemukan empat bungkus jamu... jamu terlambat bulan! Lalu saya mulai mengingat

ingat, semenjak Nak Dian kemari kapan saya melihatnya haid. Dan rasanya saya tidak pernah mendengarnya mengatakannya kepada saya." Nyonya Narti melihat pandangan keheranan pada kedua orang tamunya. Ia tersenyum kecut dan menjelaskan,

"Ini adalah peraturan saya di sini, Pak. Setiap ada anak gadis saya di sini yang haid, dia harus melaporkannya kepada saya. Ini untuk menjaga supaya kalau ada kloset yang buntu, tidak terjadi tuduh-menuduh. Biasanya anak-anak gadis itu paling suka membuang bekasnya di WC dan ini akan mengakibatkan kloset buntu. Praktek ini saya larang keras. Untuk mengontrolnya, saya minta dilapori kalau ada yang haid, sehingga seumpamanya pada waktu itu kloset sampai buntu, saya tahu siapa biang keladinya."

Kosasih dan Gozali sama-sama tersenyum. Memang ada-ada saja seluk-beluknya orang membuka tempat pemondokan itu!

"Jadi Dian Ambarwati tidak pernah melaporkan dia haid selama dua bulanan tinggal di sini?" Kosasih menegaskan.

"Ya, Pak. Hal ini baru terpikirkan oleh saya sekarang, setelah menemukan jamunya itu."

"Kecuali itu, apakah Ibu menemukan hal-hal yang lain? Surat-surat misalnya?" tanya Gozali.

"Tidak. Saya tidak menemukan surat-surat, tetapi saya menemukan sebuah buku alamat."

"Nah, itu bisa Ibu tunjukkan kepada kami," kala Kosasih.

Nyonya Narti menghilang ke dalam salah se

buah pintu yang berderet di lorong di hadapan mereka. Ketika ia keluar lagi, di tangannya ada sebuah buku notes kecil, semacam buku alamat yang dapat dimasukkan ke dalam saku baju. Buku itu diserahkannya kepada Kapten Polisi Kosasih. Kosasih melihat-lihat lembaran yang sudah terisi di dalam buku itu, ternyata tidak banyak. Buku ini tampaknya masih baru, sampulnya masih bersih, ujung-ujungnya masih mulus. Di dalamnya Kosasih melihat nama dan alamat karyawan-karyawan Ramanda yang sudah dikenalnya, lalu juga ada nama tujuh orang gadis beserta alamatnya yang tidak dikenalnya.

"Siapa nama-nama ini, Bu?" tanya Kosasih.

Nyonya Narti mengenakan kacamatanya.

"Oh, ini semua anak-anak semang Ibu. Dan itu adalah alamat rumah mereka masing-masing."

Kosasih masih membalik-balik buku alamat yang baru ini. Tentunya buku ini baru dipakai Dian setelah dia pindah ke Surabaya. Halamanhalaman lainnya ternyata kosong. Tiba-tiba matanya melihat sesuatu. Tiga halaman sebelum sampul yang terakhir matanya tertumbuk pada sederet tulisan. Huruf yang terdepan adalah "P", lalu di belakangnya suatu alamat dan nomor telepon di Ngawi. Kosasih mengulurkan buku alamat itu kepada Nyonya Narti.

"Tahukah, Ibu, alamat siapa ini?"

"Tidak. Yang pasti bukan alamat orangtuanya."

"Ya, itu pun saya tahu." Kosasih menunjukkan tulisan itu kepada Gozali.

"Apakah Dian Ambarwati pernah memakai telepon di sini?" tanya Gozali.

"Oh, ya, tentu. Saya tidak pernah melarang anak-anak memakai telepon. Untuk menelepon dalam kota, bahkan saya tidak pernah mengenakan biaya. Tetapi untuk luar kota, anak-anak harus membayar sendiri. Memang, saya kira dua hari sebelum kematiannya, Nak Dian minta izin menelepon ke Ngawi, katanya. Dan dia mencatat sendiri lamanya waktu percakapan dan memberikan uang lima ribu rupiah kepada saya."

"Tahukah Ibu siapa yang diteleponnya?"

"Wah, itu saya tidak tahu. Barangkali orangtuanya."

Gozali mengangguk. Kosasih menulis sesuatu dalam notesnya.

"Kembali ke Jumat malam itu. Bu," lanjut Gozali.

"Menurut keterangan Ibu tempo hari, malam itu sebelum Dian Ambarwati pergi, ia makan dulu di sini. Ingatkah Ibu makanan apa yang Ibu masak pada malam itu?"

"Wah," kata Nyonya Narti, mengusap-usap hidungnya,

"ini pertanyaan yang sulit. Yang lebih mudah tidak ada?" tanyanya berkelakar. Setelah berdiam diri agak lama, akhirnya ia menjawab,

"Saya tidak pasti, saya kira malam itu saya masak tempe goreng, cah kangkung, dan sop sayur. Itu kalau saya tidak salah ingat. Apakah itu penting?"

"Penting sekali juga tidak, kami hanya ingin tahu saja," kata Gozali, tidak mengungkapkan apaapa.

"Apakah pada malam itu Dian Ambarwati juga makan bersama-sama dengan yang lain?"

"Oh, kami di sini tidak mengharuskan semua duduk di meja pada waktu yang sama, baru makan. Anak-anak punya kesibukan dan acara sendiri-sendiri. .jam makan malam adalah dari pukul setengah tujuh sampai pukul setengah delapan malam. Masakan saya sediakan di atas meja selama satu jam itu. Piring-piring pun tersedia di atas meja. Anak-anak bebas mau makan kapan saja antara jam-jam itu. Setelah pukul setengah delapan, meja akan saya bersihkan. dan kalau ada yang terlambat pulang, mereka harus makan di luar, atau jajan di depan rumah. Tetapi itu jarang sekali terjadi."

"Jadi malam itu Dian Ambarwati makan bersama siapa?"

"Bersama saya dan dua orang anak semang yang lain. Tadinya ia tidak mau turut makan, karena katanya akan makan di luar, tetapi akhirnya ia jadi makan juga setelah saya desak, walaupun sedikit."

"Pukul berapa ia selesai makan?"

"Beberapa saat sebelum pukul tujuh, saya ingat waktu itu lalu siaran berita di TVRI."

"Dan setelah itu Dian Ambarwati langsung pergi?"

"Perginya tepatnya kapan saya tidak tahu, tetapi setelah selesai makan dia pamit dan keluar ke teras depan menantikan temannya."

"Dan Ibu tidak melihatnya lagi setelah itu?"

"Tidak."

Karena sudah tidak ada lagi yang dapat diceritakan Nyenya Narti, maka Kosasih dan Gozali mohon diri dan mengulangi pesan mereka supaya Nurlita menunggu kedatangan mereka siang nanti.

Di dalam mobil Kosasih bertanya kepada sahabatnya,

"Mengapa kau tadi menanyakan masakan yang dihidangkan segala?"

"Oh, aku teringat. Menurut visum dokter kan disebutkan bahwa kematian terjadi dalam waktu dua jam setelah makan. Aku ingin memastikan makan yang mana. Makan di tempat pemondokannya sekitar pukul tujuh. atau makan di luar bersama siapa yang mengajaknya kemudian."

"Lalu sekarang kau sudah tahu?"

"Kukira aku bisa menarik kesimpulan yang tidak terlalu sukar. Bukankah dalam laporan tersebut dikatakan bahwa ada sisa-sisa kangkung dalam perut korban? Jadi karena tadi Nyonya Narti mengatakan bahwa korban hanya makan sedikit (dan tidak ada alasan mengapa Nyonya Narti perlu berbohong dalam hal ini), kita bisa menganggap bahWa kangkung yang ditemukan dalam perut korban adalah kangkung yang dimakannya sekitar pukul tujuh, antara pukul tujuh kurang seperempat sampai pukul tujuh."

"Kangkung itu memberikan sedikit keterangan tambahan pula bagi kita. Ini berarti korban masih belum sempat makan lagi di luar." Kosasih termenung.

Gozali menganggukkan kepalanya.

"Itu juga berarti kita bisa membatasi waktu ajalnya antara pukul tujuh lewat dua puluh ketika Nurlita melihatnya berdiri di pagar, dan pukul sembilan lewat dua puluh malam itu. Itu menguatkan keyakinanku bahwa gelandangan yang masih kautahan sampai sekarang tidak ada sangkut pautnya dengan kematian korban."

"Ini membuka dua kemungkinan baru untuk kita selidiki, goz," kata Kosasih.

"Jika korban menemui ajalnya sebelum dia sempat makan lagi, ini berarti korban mungkin dibunuh oleh orang yang mengundangnya makan, undangan yang hanya dipakai sebagai alasan untuk menjebak korban saja. Atau, korban dibunuh oleh orang lain sebelum yang mengundangnya ini muncul menjemputnya."

"Ya, kita harus mencari identitas orang yang dilihat Nurlita bercakap-cakap dengan korban pada pukul tujuh lewat dua puluh. Apakah dia yang mengajak korban makan, ataukah masih ada orang lain lagi yang ditunggu korban."

"Masih ada satu kemungkinan lagi, Goz," kata Kosasih.

"Misalnya korban bertengkar dengan siapa yang mengajaknya makan malam itu, dan sebelum makan korban meninggalkan temannya pulang. Di jalan mungkin saja korban ditodong."

Gozali menggelengkan kepalanya. Teori penodongan itu menurutnya sudah sama sekali tidak masuk akal. Namun dia tidak berkata apa-apa. Kosasih sudah terbiasa menerima sikap Gozali seperti ini. Sering Gozali membutuhkan waktu yang

lama seorang diri untuk berpikir, dan Kalau sudah begitu ia tidak mau diganggu dengan ocehan-ocehan yang masuk ke telinganya. Kosasih membiarkan lemannya melamun. Ia memusatkan perhatiannya kepada lalu lintas dan tidak berbicara lagi sampai Jeep yang mereka kendarai berhenti di denan Biro Periklanan Ramanda.

**

ASTUTI yang duduk dekat Jendela adalah orang pertama yang melihat seorang polisi dan seorang preman turun dari sebuah mobil Jeep yang diparkir di depan kantor. Wah, mereka datang lagi,'pikirnya dalam hati. Beberapa hari ini, semenjak meninggalnya Dian, keadaan kantor kacau-balau. Sudah dua kali Pak Sugeng dimintai keterangan di kantor polisi. Mereka sendiri pun belum bisa bekerja dengan normal. Mira terpaksa harus merangkap lagi sebagai kasir, dan mereka semuanya, terutama karyawan' wanitanya, mempunyai perasaan seram duduk di sana. Seakan-akan mereka masih mendengar tawa Dian, dan melihat bayangannya berkelebat di sana-sini.

"Maklum, mati secara tidak wajar," kata Sucipto, semakin menakut-nakuti mereka. Berbagai spekulasi tentang siapa pembunuhnya dan latar belakang kematiannya menjadi bisikan-bisikan di kantor. Pak Sugeng sendiri juga kelihatan lebih tua dalam beberapa hari saja. Kendati baru mengenal Dian, anak itu termasuk kesayangannya juga. Biasa orang yang lebih tua selalu menyayangi orang yang tampak masih muda dan

polos. Hanya Pak Sumarsono yang tetap tenang dan berkepala dingin. Operasi kantor mereka bisa berjalan terus juga karena adanya Pak Sumarsono. Tentu saja dengan diberitakannya kematian Dian, pesta di rumahnya hari Sabtu itu dibatalkan. Dan sampai kini belum disebut-sebut lagi kapan akan diadakannya. Dalam suasana berkabung begini, tidak ada yang sampai hati berbicara soal pesta.

Kosasih adalah yang pertama masuk. Dia menganggukkan kepalanya kepada Santi yang duduk paling_dekat pintu masuk, dan minta bertemu dengan Pak Sugeng. Puji yang juga telah melihat kedua orang tamu ini masuk, dan sudah mengenal Kapten Polisi Kosasih, tanpa diminta segera ke dalam memberitahukan kepada Pak Sugeng. Pak Sugeng keluar menemui kedua tamunya dan mengajak mereka masuk ke kantornya yang lebih sejuk di dalam. Selang lima menit kemudian, Pak Sugeng keluar lagi, tapi kali ini seorang diri.

"Bapak-bapak dari kantor polisi tadi," kata Pak Sugeng sambil menunjuk ke kantornya di dalam,

"ingin menanyai kalian lagi dengan lebih teliti tentang apa saja yang mungkin dapat membantu pengusutan mereka. Saya harap kalian memberikan keterangan dengan sejujurnya dan terbuka, supaya pengusutan ini cepat selesai dan pekerjaan kita di sini tidak terganggu lagi."

Semua kepala yang ada dalam ruangan itu mengangguk. Pak Sugeng berpaling kepada Puji.

"Mereka ingin mulai dengan kau, Puji," kata Pak Sugeng sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya sendiri.

Puji berdiri dan masuk ke kantor di dalam, yang rupanya untuk sementara waktu telah disulap menjadi kantor polisi darurat.

"Nona Puji," Kosasih mulai dengan suaranya yang ramah,

"beberapa hari yang lalu sewaktu keadaan masih kacau, kita tidak sempat bercakapcakap lama. Sekarang saya mohon Anda menceritakan dengan leluasa segala sesuatu yang Anda ketahui tentang Dian Ambarwati, apa saja yang kalian bicarakan, bagaimana orangnya, dan sebagainya."

"Pak Sugeng juga pernah menanyakan hal ini kepada saya, tetapi saya telah mengatakan bahwa saya tidak tahu terlalu banyak tentang Dian. Kami hanya bertemu di kantor dan pergaulan kami belum terlalu akrab, hanya terbatas seputar masalah kantor saja. Tentu saja kalau seandainya saya tahu Dian akan begitu cepat meninggal, pasti saya akan mendekatinya secara lebih intensif. Tetapi saya selalu mengira bahwa kami ada banyak waktu untuk dapat mengenal satu sama lain dengan lebih baik."

Gozali menangkap suara penyesalan di sini. Betapa seringnya dan betapa banyaknya manusia yang mengalami hal yang demikian. Manusia selalu menganggap bahwa waktu itu akan terus ada, tidak sekarang, bisa besok, luput besok, lusa masih menanti, mengapa harus tergesa-gesa? Sampai pada suatu saat waktu tak lagi ada, kematian memutuskan segalanya, dan manusia menjadi menyesal. Ke mana waktu yang telah disia-siakan itu?

Lenyap tak akan kembali! Ya, penyesalan selalu datang terlambat.

"Supaya jelas," suara Kosasih membuyarkan lamunan Gozali,

"saya ulangi lagi semua keterangan yang telah Anda berikan kepada saya tempo hari. Nona yang menjemput dan mengantarkannya pulang?"

"Ya, saya yang menjemputnya karena saya berkendaraan dan saya suka menghirup udara segar, jadi saya tidak berkeberatan menjemputnya pada pagi hari. Soal mengantarkannya pulang, tidak selalu saya yang melakukannya."

"Berapa kali Anda mengantarkannya pulang?"

"Oh, hanya selama minggu pertama Dian mulai bekerja. Selanjutnya ia dijemput oleh Insinyur Drajat."

"Sejak saat itu sampai meninggalnya ia selalu pulang bersama insinyur Drajat?" tanya Kosasih.

"Eh... bisa dikatakan demikian," jawab Puji ragu-ragu.

"Tidak pernah Anda antarkan lagi walaupun hanya sekali saja lagi?"

Puji membetulkan duduknya. Pipinya agak merona. Berbohong atau menyembunyikan sesuatu bukanlah hal yang biasa dilakukannya. Akhirnya ia menjawab,

"Sekitar sepuluh hari sebelum kematiannya, saya mulai pulang bersamanya lagi."

"Dan itu berlangsung berapa kali?"

"Kira-kira enam atau tujuh hari, saya tidak ingat"

"Ke mana Insinyur Drajat waktu itu?"

"Ada di sini."

"Tetapi ia tidak mau pulang bersamanya lagi? Apakah mereka bertengkar?" Kosasih membayangkan barangkali insinyur itu mengetahui bahwa Dian Ambarwati sudah hamil dengan laki-laki lain, atau paling tidak mempunyai kecurigaan demikian, dan dia menjadi cemburu dan mereka bertengkar. Siapa tahu, barangkali itu berakhir dengan pembunuhannya juga!

"Oh, tidak." Suara Puji menghancurkan harapannya.

"Hanya... hanya... pada waktu itu Dian baru mengetahui bahwa Insinyur Drajat adalah tunangan kemenakan Pak Sugeng."

"Siapa yang memberitahukannya?"

"Saya."

"Bukan Pak Sugeng?"

"Bukan."

"Mengapa Anda menunggu begitu lama untuk memberitahukannya?"

Puji bungkam.

"Apakah ada alasan tertentu?" desak Kosasih.

"Saya sebenarnya 'tidak suka usil urusan orang lain. Dian sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Apalagi Insinyur Drajat. Saya menganggap Insinyur Drajat-lah yang seharusnya memberitahukan statusnya kepada Dian, bukan orang lain."

"Lalu apa yang membuat Anda berubah pikiran?"

Puji bungkam lagi.

"Anda mengenai Herlina Subekti?" tanya Gozali tiba-tiba.

Puji mengangkat matanya dengan terkejut, seperti seorang maling yang ditelanjangi. Kemudian kepalanya ditundukkannya lagi.

"Ya," jawabnya lirih.

"Anda kenal baik dengannya?"

"Sewaktu ia bekerja di sini, ya."

"Apakah Anda memberitahu Dian Ambarwati itu atas desakan Herlina Subekti?"

"Tidak. Sejak Herlina tidak bekerja lagi di sini, saya hampir boleh dikatakan tidak pernah bertemu lagi dengannya, kecuali satu-dua kali ia kemari mencari pamannya."

"Jadi Anda memberitahu Dian Ambarwati atas prakarsa Anda sendiri?"

"Ya."

"Mengapa?" Mata Gozali berusaha menatap mata Puji yang masih ditundukkan. Beberapa saat lamanya tidak ada yang berkata-kata. Kemudian Puji mengangkat kepalanya. Pada wajahnya tampak suatu ekspresi kemantapan. Rupanya ia telah berperang dengan dirinya, dan akhirnya telah mencapai suatu keputusan.

"Pada hari Herlina datang kemari, saya kebetulan berada di kamar kecil di samping kantor Pak Sugeng. Saya mendengar mereka bercakap-cakap. Pak Sugeng memperingatkan Herlina supaya mengubah wataknya, kalau tidak dia akan kehilangan Insinyur Drajat. Omong punya omong akhirnya Herlina mengetahui bahwa akhir-akhir itu tunangannya terpikat oleh gadis baru, Dian. Herlina marah-marah, dan kemudian pulang."

"Apakah Herlina Subekti Juga memaki-maki?" tanya Gozali.'

"Ya, biasa," kata Puji, tampaknya ia ingin mengelakkan pembicaraan mengenai hal ini.

"Apakah dia mengatakan akan mematahkan batang leher Dian Ambarwati?" tanya Gozali sambil tersenyum.

Puji memandangnya dengan keheranan. 'Dari mana Anda tahu?"

Gozali tersenyum.

"itu sudah merupakan kalimat yang biasa dipakainya, saya kira, kalau sedang marah-marah."

Puji ikut tersenyum. Hatinya lega. Memang tadi ia tidak mau mengatakan hal ini, takut jangan-jangan petugas kepolisian ini salah tanggap dan menganggap Herlina bermaksud membunuh Dian Ambarwati betul-betul. Puji kenal sifat dan watak Herlina Subekti, dan dia tidak percaya bahwa Herlina-lah yang telah membunuh Dian.

'Dan Anda mendengar semuanya itu?"

"Ya," jawaban Puji sekarang datang dengan lebih lancar. Ketakutannya sudah hilang, dan yang mengganjal hatinya sudah tersingkir.

"Ketika mereka mulai berbicara dengan suara yang keras, saya semakin segan keluar."

"Apakah pembicaraan mereka mungkin pula terdengar dari kantor depan?"

"Saya kira tidak karena dinding pembatasnya tebal, dan pintunya tertutup rapat "

"Jadi kalau begitu Dian Ambarwati sendiri juga tidak mungkin mendengar?"

"Itu pasti, karena Dian pada waktu itu tidak ada. Ia sedang ke bank."

"Lalu Anda sendiri kemudian menceritakannya kepada Dian?"

"Ya. Saya pikir lebih baik dia tahu dari saya. Herlina orangnya memang agak berangasan. Saya tidak menginginkan pada suatu hari ia kemari dan berkelahi dengan Dian."

"Bagaimana tanggapan Dian?"

"Dia terkejut Dia berkata bahwa ia tidak akan meneruskan hubungannya dengan laki-laki tersebut."

"Dan ini terjadi kapan?"

"Sekitar sepuluh hari sebelum kematiannya."

"Dan semenjak itu Anda yang mengantarkannya pulang setiap pulang kerja?"

"Ya, sampai sekitar dua atau tiga hari sebelum kematiannya."

"Lalu ia dijemput lagi oleh Insinyur Drajat?"

"Ya."

"Apa alasannya mau dijemput lagi oleh insinyur itu?"

"Dian belum sempat mengatakannya kepada saya. Ketika Dian mengatakan bahwa saya tidak perlu mengantarkannya pulang pada hari Kamis itu, ia hanya berkata bahwa segalanya sudah beres dan saya tidak perlu kuatir."

"Tetapi kalau pagi ia masih berangkat bersama Anda?"

"Oh, ya. Lebih mudah begitu supaya Insinyur Drajat tidak terlambat ke kantor dan Dian tidak terlalu pagi sampai di sini."

"Kita kembali ke hari Jumat tanggal dua puluh empat itu. Bagaimanakah tampaknya Dian Ambarwati? Apakah ada tanda-tanda perubahan sikap atau hal-hal yang aneh padanya?"

"Hari Jumat itu saya tidak bertemu dengannya. Hari itu saya ditugaskan Pak Sumarsono ke Malang untuk membantu salah seorang klien kami menyeIenggarakan pameran. Saya dijemput Pak Maskin pagi-pagi dan kami langsung berangkat ke Malang."

"Siapa Pak Maskin?"

"Oh, sopir Pak Sugeng."

"Jadi Dian berangkat ke kantor dengan siapa hari Jumat itu?"

"Mungkin diantar Insinyur Drajat, karena hari Kamis sebelum pulang saya telah mengatakan kepadanya bahwa saya tidak bisa menjemputnya hari Jumat pagi itu."

' "Jadi Jumat seharian penuh Anda berada di Malang?" tanya Gozali.

"Sebenarnya saya ingin kembali malam itu juga. Pameran seharusnya selesai sekitar pukul delapan. Tetapi sekitar pukul setengah lima saya menerima telepon dari Pak Sumarsono dan dia mengatakan sebaiknya saya menginap saja daripada pulang malam-malam, kasihan Pak Maskin, terlalu melelahkan. Saya disuruhnya pulang besok paginya saja, dan malah diberi tugas baru untuk mengunjungi salah seorang relasi di sana besok paginya."

"Ah, jadi Anda menginap di luar rencana. Lalu apakah Anda memberitahu Dian bahwa Sabtu pagi Anda tidak bisa menjemputnya?" ,

"Saya tidak bicara langsung dengannya, tetapi saya minta tolong Pak Sumarsono untuk menyampaikan pesan tersebut."

Gozali mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Secara garis besarnya, apa lagi yang Anda ketahui tentang Dian Ambarwati?" tanya Kosasih.

"Ia adalah gadis yang riang. Gadis yang mudah diajak bergurau dan bercakap-cakap. Lincah, seorang teman yang menyenangkan. Tetapi ia jarang menceritakan latar belakangnya, atau riwayatnya, atau apa pun yang serius. Ia masih muda sekali, masih polos, sehingga memandang segala sesuatu dengan terlalu gampang. Mengertikah Anda apa yang saya maksudkan?"

Gozali mengangguk. Ia menyukai gadis ini. Puji. Ia menilainya sebagai gadis yang cerdas, yang berhati-hati, tidak gegabah, yang mandiri, dan yang sudah matang. Selama bercakap-cakap gadis ini memberikan kesan yang baik. Seorang gadis yang tidak suka turut campur urusan orang lain, yang tidak suka menyebarkan berita-berita sensasi, seorang gadis yang mempertimbangkan lebih dahulu akibat kata-kata yang akan diucapkannya, apa pengaruhnya kepada orang lain, apa hasilnya. Secara keseluruhan Puji adalah gambaran wanita lndonesia "yang terpelajar. Ia tahu batas-batas pergaulannya. Dan meskipun usianya lebih tua daripada Dian, tidak bersikap menggurui terhadap temannya yang lebih muda maupun mencemoohkannya. Ia juga tidak mengecam Insinyur Drajat yang sudah bertunangan tetapi masih berani mendekati

gadis yang lain. Dia tidak menghakimi orang lain. Itu suatu sifat yang patut dipuji. Biasanya orang Timur suka terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi orang lain. Secara keseluruhan Puji adalah tipe wanita yang dapat dibanggakan.

"Pernahkah Dian Ambarwati menceritakan apaapa tentang kesehatannya?" lanjut Gozali.

Puji memandangnya dalam-dalam. Pandangan yang terbuka. Kemudian tanyanya,

"Apakah ia mengidap suatu penyakit?"

"Anda pernah melihatnya sakit, atau ia pernah mengeluh sakit?" balas Gozali, mengelakkan pertanyaan itu.

"Sekitar seminggu terakhir dalam hidupnya, kadang-kadang dia mengeluh pusing dan mual. Wajahnya juga agak pucat. Tetapi setiap saya tanya, ia hanya mengatakan terlalu letih."

"Apakah dia pergi ke dokter?"

"Setahu saya tidak. Katanya paling-paling cuma masuk angin."

"Pernahkah Dian Ambarwati menyebutkan nama teman-temannya yang lain di luar kantor ini?"

"Tidak. Dia sama sekali tidak pernah menyinggung masalah lain, apalagi tentang kehidupannya di Ngawi. Seakan-akan dia memang mengelak membicarakannya. Saya pikir barangkali ia pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan hatinya dan dia ingin segera melupakannya."

"Hubungannya dengan Insinyur Drajat, menurut Anda kirakira sudah sejauh mana?" .

"Saya kira sebaiknya Anda bertanya langsung kepada Insinyur Drajat."

"Kami harus bertanya kepada banyak orang mengenai banyak hal yang sama, Nona, supaya kami dapat membandingkan dan menyaring mana jawaban yang sejujurnya dan mana yang bukan."

Puji menghela napas. Dia terdiam beberapa saat lamanya, lalu katanya,

"Saya kira Insinyur Drajat tidak sekadar iseng saja, kalau itu yang Anda tanyakan."

"Dan bagaimana dengan Dian Ambarwati?"

"Dian? Dian... saya kira dalam hal ini Dian kurang memikirkannya dengan masak. Insinyur Drajat lebih tua daripadanya hampir sepuluh tahun, di samping itu dia sudah mempunyai tunangan. Masalahnya akan menjadi terlalu rumit kalau diterus

kan. Saya bisa mengerti mengapa Insinyur Drajat tertarik kepada Dian. Dian masih muda, lincah, dan menyenangkan. Suatu kontras yang menyolok dibandingkan dengan Herlina Subekti. Tetapi saya tidak bisa membayangkan Dian siap menerima segala kesulitan yang mengikuti akibatnya jika ia benar-benar serius berteman dengan Insinyur Drajat."

"Kalau begitu menurut Anda Dian hanya sekadar iseng?"

"Entahlah. Saya menilainya menerima uluran persahabatan Insinyur Drajat sebagai semacam pelarian, pelarian dari pengalaman yang ingin cepatcepat dikuburnya. Pengalaman apa itu, saya tidak tahu."

"Jadi Anda menganggap Dian Ambarwati tidak benar-benar jatuh cinta kepada Insinyur Drajat?"

"Saya kira tidak. Saya kira Dian hanya merasa berterima kasih mendapatkan kasih sayang dan perhatiannya yang dapat meringankan atau memhantunya melupakan masa lalunya."
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengapa Anda berpendapat demikian?"

"Ketika saya menceritakan Herlina kepadanya, Dian memang tampak terkejut. Tetapi tidak lebih daripada itu. Saya tidak melihat kesedihan atau kehancuran hatinya. Dan selama hari-hari berikutnya selagi ia menjauhi Insinyur Drajat, Dian juga tidak tampak murung atau menderita. Ia tetap saja bersenda gurau dengan kami semuanya, dan masih lincah seperti biasanya. Seorang gadis yang benarbenar mencintai seorang laki-laki, tidak akan bersikap sedemikian santainya kalau ia harus melepaskan orang yang dicintainya."

Gozali melihat bahwa dalam sinar mata Puji ada nada-nada kedukaan. Seakan-akan dia sendiri pernah berada dalam kedudukan yang diceritakannya.

"Tetapi tidak mungkinkah itu hanya sekadar sandiwara saja, dan sebetulnya dalam hati Dian Ambarwati sedang menangis?"

"Saya yakin tidak. Tertawanya memang benarbenar tertawa lepas yang timbul dari hatinya, dan matanya pun tetap bersinar-sinar dengan jenaka. Saya bisa memastikan bahwa Dian tidak benarbenar mencintai Insinyur Drajat."

"Anda rupanya mempunyai banyak pengalaman dalam soal bercinta?" senyum Kosasih. .

Puji hanya tersipu-sipu, tidak menjawab.

"Baiklah, terima kasih, Nona Puji. Sementara ini kami kira kami tidak mempunyai pertanyaan lain untuk Anda. Bisakah kami minta tolong Anda memanggilkan rekan-rekan Anda yang lain?"

"Yang putri-putri dulu?" tanya Puji.

Kedua laki-laki itu mengangguk.

"Ini Astuti, Pak." Puji kembali membawa seorang gadis yang berperawakan agak gemuk. Astuti duduk dengan canggung di depan kedua orang pengusut ini.

**

Tidak, Pak, saya tidak tahu mengenai hubungan Insinyur Drajat dengan Dian Ambarwati. Tidak, Pak, Dian tidak pernah menceritakan riwayat pribadinya. Tidak, Pak, saya tidak pernah bertemu dengan Dian di luar kantor. Tidak, Pak, saya tidak melihat kejanggalan apa pun pada hari Jumat itu. Tidak, Pak, Dian tidak pernah kelihatan murung maupun sedih, ia selalu riang gembira dan lincah. Tidak, Pak, saya tidak tahu... Tidak, Pak, saya tidak tahu...

Tidak, Pak, saya tidak tahu.... Tidak, Pak, saya tidak tahu...

Kosasih menghela napas. Dari Astuti mereka tidak berhasil mendapatkan apaapa. Rupanya gadis ini telah memutuskan untuk tidak terlibat dalam urusan ini dan menjawab semuanya dengan jawaban tidak tahu.

"Nona Astuti," kata Gozali mengambil alih.

"Nona, bukan?"

Astuti mengangguk. ini adalah jawaban positifnya yang pertama setelah semua

"Tidak, Pak"-nya tadi.

"Di manakah Nona berada pada malam hari tanggal dua puluh empat itu?"

"Di rumah, Pak," jawab Astuti keheranan.

"Dari kantor langsung pulang."

"Di rumah Nona tinggal bersama siapa?"

"Orangtua dan dua adik, Pak."

"Mereka bisa menguatkan keterangan Nona, bahwa semalam suntuk Nona tidak keluar?"

Ekspresi wajah Astuti semakin terbengong-bengong.

"Pasti, Pak."

"Apa kegiatan Anda di rumah pada hari Jumat itu?"

"Setelah pulang kantor seperti biasanya saya mandi, lalu kami sekeluarga makan malam, kemudian nonton televisi, dan tidur setelah selesai acaranya."

"Dan semua ini dikerjakan bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga?"

"Ya, kecuali adik laki-laki saya, yang sehabis makan lalu pergi."

Gozali mengangguk tanda wawancara sudah selesai.

Ketika Astuti sudah keluar. Kosasih sempat ber

tanya,

"Untuk apa tanya berbelit-belit, toh yang membunuh tidak mungkin wanita. Wanita mana kuat melakukannya?"

"Aku tidak mau nanti notesmu kosong, jadi supaya ada isinya, kita penuhi dengan pertanyaan rutin." Gozali tersenyum nakal.

Kosasih tidak sempat menjawab karena Mira sudah berdiri di pintu.

Mira bersikap agak lebih terbuka sedikit. Mira menjelaskan bahwa pada hari Jumat sore itu Dian mengatakan dia mempunyai janji istimewa. Dengan siapa, Dian tidak menyebutkan. Tetapi menurut Mira bukan dengan Insinyur Drajat, karena ketika ia menggoda Dian, Dian malah berkata supaya tidak mengatakannya kepada Insinyur Drajat. Tidak, hari Jumat itu Dian tidak kelihatan gugup atau murung, hanya saja berkali-kali ia memandang jam dinding seakan-akan sudah tidak sabar menunggu sore datang. Pada hari Kamis dia memang melihat ada sedikit perubahan pada Dian. Dian tidak selincah biasanya, dan sering melamun. Tetapi pada hari Jumat pagi ia sudah normal kembali seperti biasanya.

Bagaimana pendapatnya tentang Dian? Mira berpendapat bahwa Dian tidak terlalu pandai, ia masih polos dan kurang serius dalam segala hal. Terlalu suka bergurau, sehingga sulit diajak berbicara tentang hal-hal yang serius. Tetapi menurut

Mira,

"Itu mungkin karena usianya masih muda. Dian belum matang." Pekerjaannya cukup baik, tetapi itu karena pekerjaannya tidak terlalu sulit, hanya mengatur kas saja dan membukukan semua pengeluaran dan pemasukan. Tidak, Dian selama ini belum pernah bertengkar dengan siapa pun di kantor dan sejauh pengetahuannya tidak mempunyai musuh yang mungkin dendam kepadanya, kecuali barangkali Herlina Subekti, tunangan Insinyur Drajat.

Pendapatnya tentang Herlina? Wah, kata Mira, ia sendiri tidak akan mau berteman dengan Herlina, terlalu suka mendikte dan dominan, katanya, meskipun dia tidak terlalu akrab mengenalnya. Dulu Herlina pernah bekerja di Ramanda juga, tetapi tidak lama. Di Ramanda itulah ia bertemu dengan Insinyur Drajat. Alamatnya? Oh, ada, nanti akan dia catatkan.

Kegiatan Mira pada hari Jumat malam itu tidak banyak bedanya dari kegiatan Astuti. Mira sudah berkeluarga dan hidup bersama mertuanya dan seorang anaknya. Suaminya bekerja di luar kota, di sebuah pabrik di Probolinggo dan hanya pulang satu kali setiap minggu. Hari Jumat itu dilewatkan Mira di rumah bersama mertua dan anaknya dengan menonton acara TVRI. Tidak, dia tidak pergi lagi setelah pulang kantor.

Keterangan Santi tidak banyak menambah apa

yang sudah diketahui Kosasih dan Gozali. Pada garis besarnya semua orang setuju kalau Dian Ambarwati tidak lebih daripada seorang remaja yang masih polos, yang memandang dunia dengan kedua matanya terbuka lebar-Iebar karena rasa takjub.

"Hari Jumat itu saya pergi nonton," kata Santi ketika ditanya mengenai kegiatannya.

"Seorang diri?" tanya Kosasih.

"Tentu saja dengan pacar!" kata Santi tersenyum.

"Ialu?"

"Pulang nonton kami mampir minum es krim, terus pulang," kata Santi. Tiba di rumah sudah hampir pukul sebelas dan dia langsung pergi tidur. Siapakah pacarnya? Oh, seorang calon dokter yang sekarang masih duduk di tingkat terakhir Universitas Airlangga.

Sucipto dan Aswin pun tidak bisa memberikan keterangan yang berarti. Mereka menerima Dian sebagai rekan sekerja yang termuda, dan dengan demikian yang paling sering mereka goda. Apalagi Dian memang senang bergurau. Sucipto yang bujang dan Aswin yang sudah berkeluarga samasama berpendapat bahwa Dian masih anak-anak, dan tidak tahu rasa kuatir atau susah.

belum selesai

mewawanca hari ini

semua karyawan Ramanda, datanglah Sumarsono diiringi oleh sopir Pak Sugeng, Pak Maskin.

Kosasih dan Gozali yang tadinya bersiap-siap akan berangkat, mengurungkan niat mereka dan meneruskan wawancaranya terhadap kedua orang Ini.

"Saudara Sumarsono, apa yang Anda ketahui tentang Dian Ambarwati?" tanya Kapten Polisi Kosasih. Di antara karyawan Ramanda, Sumarsono adalah satu-satunya orang yang belum sempat diwawancarai Kosasih.

Sumarsono menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat sambil tersenyum dengan manis.

"Wah, Pak Kapten, saya kurang dapat memberikan keterangan. Yang pertama, karena saya jarang bertemu dengan Dian Ambarwati-kalau ada di kantor saya duduk di dalam, dan umumnya yang melayani segala kebutuhan saya adalah Nona Puji, sekretaris Pak Sugeng. Pekerjaan karyawankaryawan lainnya diorganisasi oleh Nona Puji. Saya bertemu dengan Dian Ambarwati itu hanya pada waktu saya masuk atau keluar dari kantor saya didalam."

"Anda tidak pernah mengobrol dengan karyawan-karyawan?"

"Jarang sekali. Segala pembicaraan bersifat dinas. Kami sudah sibuk dengan tugas masinginasing sehingga kurang ada waktu luang."

"Anda tidak pernah memanggil Dian Ambarwati ke dalam dan membicarakan sesuatu dengannya, misalnya pada awal dia mulai bekerja di sini";

Menjelaskan tugas-tugasnya, bagaimana ia harus melakukannya, dan lain-lain?" tanya Kosasih heran.

"Oh, tidak. Seingat saya yang memanggilnya adalah Pak Sugeng, dan kemudian Nona Puji yang menjelaskan tugas-tugasnya bersama Nyonya Mira. Yang berhubungan langsung dengan saya biasanya hanya Aswin dan Sucipto."

"Bagaimana dengan pembicaraan yang tidak bersifat dinas?" tanya Gozali.

"Wah, itu lebih jarang lagi, boleh dikatakan tidak ada sama sekali." Sumarsono tersenyum.

Hm, tipe pemimpin kolonial, pikir Gozali dalam hati. Ataukah barangkali Sumarsono ingin memberikan kesan bahwa di kantornya ini disiplin dijunjung tinggi dan semua orang bekerja seperti robot di bawah pimpinannya? Tetapi ia tidak mengucapkan komentarnya ini.

"Dan kegiatan Anda sendiri pada hari Jumat sampai Sabtu pagi itu?" tanya Kapten Polisi Kosasih.

"Seingat saya, tidak berbeda dari hari-hari yang lain-sepulang kantor, langsung ke rumah, makan, nonton video, tidur, besoknya berangkat ke kantor lagi. Hanya saja pada Sabtu pagi itu saya tidak segera ke kantor karena diminta istri saya mengantarkannya belanja sebentar."

"Hari Jumat itu pukul berapa Anda tiba di rumah?"

"Seperti biasanya, sekitar pukul lima atau setengah enam, tergantung padatnya lalu lintas." .:

"Dan Anda tidak keluar lagi malam itu?"

"Tidak. Saya tidak pernah keluar lagi kalau sudah pulang, saya sudah letih." Sumarsono tersenyum.

Gozali dan Kosasih mengangguk dan minta dipanggilkan Pak Maskin.

Pak Maskin yang usianya sudah sama dengan Pak Sugeng, kelihatannya sedih sekali. Dalam menjawab pertanyaan tentang pendapatnya mengenai Dian Ambarwati, ia mengatakan bahwa Dian adalah anak yang baik, yang tidak sombong, dan ramah-tamah. Lebih daripada itu Pak Maskin tidak dapat memberikan keterangan yang berarti.

Kegiatannya sendiri pada malam tanggal dua puluh empat itu tidak ditanyakan karena Gozali dan Kosasih mengetahui bahwa Pak Maskin pada hari itu ada di Malang bersama Nona Puji.

**

SAMBIL menghadapi sepiring nasi pecel, kedua orang sahabat itu mengulangi lagi semua informasi yang telah mereka peroleh. Dalam hal ini Kosasih yang lebih banyak berteori dan Gozali lebih banyak mendengarkan.

"Kaupikir apakah kita perlu berkenalan dengan Herlina Subekti?" tanya Kosasih.

"Seorang wanita Amazon yang menakutkan tentunya! Raksasi dengan gada besarnya, ha-ha!"

Gozali mengangkat bahunya, tidak menjawab. Kosasih yang tahu betul watak temannya, mems biarkannya berpikir dengan tenang. Ketika selewat lima menit dia masih sibuk dengan nasi pecelnya dan tidak memberikan jawaban, Kosasih meneruskan,

"Rupanya ia adalah satu-satunya orang yang mempunyai alasan menghendaki kematian Dian Ambarwati. Apalagi ia telah bersumpah akan 'mematahkan batang lehernya", menurut tunangannya dan juga Nona Puji. Kalau ini memang terbukti bukan kasus penodongan biasa, maka Herlina Subekti merupakan tersangka yang paling ideal. Menurutmu bagaimana?"

"Mungkin," kata Gozali singkat.

"Mungkin juga tidak. Orang yang sedang marah bisa saja mengatakan segala macam hal-mencungkil biji mata, mematahkan batang leher, meracuni-apa saja. itu cuma suatu bentuk pelampiasan emosi. Tidak berarti bahwa ia akan benar-benar melakukannya, atau mempunyai keberanian untuk melakukannya."

"Juga tidak berarti bahwa ia tidak akan melakukannya," bantah Kosasih.

"Tetapi ada baiknya juga kita melihat sendiri bagaimana tampang Nona Subekti yang rupanya kurang populer ini," katanya.

Gozali mengangguk.

Di rumah keluarga Subekti mereka diterima oleh Pak Subekti sendiri yang kebetulan pulang untuk makan siang. Setelah menceritakan maksud kedatangan mereka, mereka dipersilakan menunggu sementara Herlina dipanggil.

Seorang wanita yang berperawakan tinggi keluar menemui mereka. Ia berukuran lebih tinggi daripada wanita lndonesia pada umumnya, Gozali menilainya sekitar 170 sentimeter, dengan bentuk tubuh yang bagus, kuat, padat berisi, dan ramping. Seperti bentuk-bentuk tubuh binaragawati yang pernah dilihatnya di majalah-majalah. Wajah wanita ini menggambarkan kepribadian, watak yang keras, kemandirian, dinamis, watak orang yang tahu apa yang dikehendakinya dan yang berupaya untuk berhasil mencapai kehendaknya. watak seorang pemimpin. Gozali segera dapat memastikan bahwa wanita ini bukanlah wanita cengeng. Wanita ini tidak akan kehilangan keseimbangannya walaupun menghadapi guncangan hebat. Wanita ini di mata Gozali adalah wanita kader, yang dapat diandalkan, yang tidak segan bertindak dan tidak ragu-ragu mengambil risiko, wanita yang tidak akan mengingkari tanggung jawabnya. Gozali mengangkat topi untuk wanita-wanita semacam ini. Merekalah wanita yang dapat mendorong kaumnya sendiri untuk maju, untuk berprestasi, untuk meraih pengakuan sejajar dengan laki-laki. Di dunia ini, masih banyak dibutuhkan wanita-wanita serupa ini. Tetapi ada satu hal. Wanita begini tidak seharusnya mempunyai tunangan, tidak seharusnya kawin, tidak seharusnya berkecimpung dalam urusan rumah tangga, karena semua hal ini merupakan batu sandungan bagi mereka. Mereka dilahirkan ke dunia ini dengan mengemban suatu tugas, untuk terjun ke dunia yang masih sebagian besar dikuasai laki-laki dan seperti layaknya tentara pendudukan, mempertahankan daerah yang telah direbutnya bagi kaumnya yang lebih lemah. Gozali dapat mengerti mengapa Insinyur Drajat ingin melepaskan dirinya dari wanita ini.

Sementara Gozali menikmati segi-segi positif watak wanita ini yang tercermin dari wajah dan pembawaannya, Kosasih terkesima oleh kecantikan Herlina Subekti. Tidak pernah dibayangkannya bahwa Herlina yang kurang populer itu secantik ini! Tadinya ia mempunyai bayangan seorang

wanita yang jelek dengan gigi merongos dan pangkal lengan yang besar, yang rambutnya potongan laki-laki dan wajahnya kasar tak terawat. Namun apa yang berdiri di hadapannya sekarang, membuat hatinya benar-benar tercekat Herlina berambut panjang dan ini disanggulnya membentuk sebuah konde yang manis menggantung di bagian tengkuknya. Wajahnya agak memanjang dengan tulang pipi yang menonjol. Alisnya hitam dan tebal alamiah. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Kulitnya sawo matang yang bersih. Meskipun dia tidak memoles wajahnya, namun tak pelak lagi Kosasih harus mengakui bahwa wanita ini mungkin yang tercantik dari wanita-wanita yang pernah dilihatnya.

"Saya Herlina Subekti," kata Herlina, mengulurkan tangan kepada Kosasih.

"Silakan duduk." Dia hanya memandang sekilas kepada Gozali, seakanakan memberikan kesan bahwa hanya karena Kosasih mengenakan seragamnyalah maka ia terpaksa mau menerima kehadirannya, sedangkan Gozali yang preman tidak diacuhkannya.

Gozali tidak berkecil hati diremehkan wanita cantik ini. Ia mencatat bahwa suaranya datar dan tenang, tidak beremosi dan tidak gugup. Jabatan tangannya yang akhirnya disodorkan juga kepada Gozali mengandung tekanan yang tepat, tidak lemas cengeng macam jabatan tangan seorang wanita pada umumnya, namun juga tidak keras menyakitkan seperti laki-laki yang ingin memamerkan ototnya. Gozali melihat bahwa sesuai dengan ukuran tinggi badannya, tangan dan kakinya juga lebih besar daripada ukuran wanita Timur pada umumnya. Sekilas terlintas dalam benaknya, bahwa jika wanita ini mau membunuh Dian Ambarwati, ia mempunyai kekuatan fisik yang memadai untuk melakukannya.

"Kami kemari sehubungan dengan pengusutan atas kematian Dian Ambarwati," kata Kosasih dengan ramah.

"Apakah Nona Subekti dapat memberikan infomasi apa saja yang mungkin dapat membantu pengusutan kami?"

Herlina menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan melipat kakinya yang panjang dengan gerakan yang luwes. Dia memandang kedua orang tamunya dengan serius tanpa mengatakan apa-apa. Akhirnya ia berkata,

"Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya ingin tahu, atas prakarsa siapa Anda kemari dan siapa yang memberikan nama serta alamat saya kepada Anda, serta mengapa Anda mengaitkan saya dengan pengusutan Anda?"

Sebelum Kosasih sempat menjawab, Gozali telah mendahului.

"Dalam mengusut suatu pembunuhan, Nona, polisi hanya dapat menampung informasi, bukan memberikan informasi kepada orang lain, jadi Nona harus memaafkan kami, kalau kami tidak dapat menjawab pertanyaan Nona."

Herlina memandangnya dengan angkuh.

"Anda reserse preman?" tanyanya sambil mengangkat alisnya.

Gozali tersenyum. 'Apa saya, dan siapa saya,"

tidak menjadi soal di sini. Saya datang bersama Kapten Polisi Kosasih yang mempunyai wewenang untuk mewawancarai Nona. Kalau Nona berkeberatan diwawancarai di sini, kami bisa minta Nona datang ke kantor polisi."

"Apakah yang kalian kehendaki dari saya?" tanya Herlina ketus.

"Kami ingin bertanya, di manakah Anda berada antara pukul tujuh dan pukul sepuluh pada hari Jumat malam tanggal dua puluh empat yang lalu," Gozali cepat menjawab sebelum Kosasih sempat membuka mulutnya.

"Di mana saya berada pada pukul berapa pun hari apa pun tidak ada hubungannya dengan pengusutan Anda," jawab Herlina menirukan gaya pembicaraan Gozali.

"Itu adalah hak asasi saya mau berada di mana. Saya bukan orang tahanan."

Gozali tersenyum. Sampai di sini Kosasih dalam hatinya mengangkat tangan. Dibiarkannya Gozali melanjutkan arah pembicaraannya sendiri. Dalam hati ia geli juga melihat cara Gozali yang tiba-tiba menyerang wanita cantik itu.

Karena Gozali tetap tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa lagi, hal ini agak mengherankan Herlina juga. Ia menatap laki-laki jangkung itu dengan saksama. Mimik Gozali yang sinis itu menyinggung perasaannya, dan amarahnya mulai timbul.

"Oh, jadi Anda berdua kemari sudah dengan prasangka bahwa saya ada hubungannya dengan kematian gadis ingusan itu? Dan sekarang Anda mau mengintimidasi saya? Saya peringatkan

kepada Anda, kalau Anda masih mengikuti jalur pemikiran ini, Anda tidak akan berhasil, Anda akan gagal total." Mata Herlina bersinar-sinar.

Gozali tetap tersenyum simpul, tidak mengatakan apa-apa. Beberapa detik lewat tanpa ada yang membuka suara. Pandangan mata Herlina akhirnya berubah. Dari amarah menjadi keheranan, dan akhirnya menjadi rasa kagum. Baru sekali inilah dia berjumpa dengan laki-laki yang tidak termakan oleh gertakannya. Biasanya laki-laki akan menjadi kasar dan marah atau menjadi mundur mengalah apabila ia sudah mulai memaksakan kehendaknya kepada mereka. Tetapi lelaki yang satu ini, lelaki bertampang jelek dengan kumis beberapa helai dan senyumnya yang sinis, sama sekali tidak keder menghadapinya. Lelaki ini tidak marah-namun juga tidak berniat mundur atau mengalah-sebaliknya ia hanya memandangnya saja dengan tenang sambil tersenyum simpul, seperti seorang dewasa yang dengan sabar membiarkan anak kucingnya bertingkah polah mencabik-cabik potongan kertas yang tidak berarti. Uh! Jadi aku tidak dianggapnya pantas menjadi tandingannya! Sikapnya seperti seorang bapak yang membiarkan anaknya yang berumur lima tahun memenangkan perlombaan lari dengannya! Mendadak Herlina merasa kecil di matanya. Merasa diremehkan, merasa ditertawakan-tetapi terlebih daripada itu, ia merasa kalah! Kalah mental! Kalah beradu wibawa.

Herlina bukanlah orang bodoh yang tidak bisa melihat atau mengenali kekalahannya sendiri.

Seorang yang benar-benar pandai harus tahu kapan dia telah menemukan lawan yang lebih kuat, supaya ia dapat menyusun siasat yang lebih jitu. Mengakui lawannya benar-benar lebih kuat bukanlah suatu kelemahan, melainkan suatu langkah untuk memungkinkannya meraih kemenangan dengan siasat yang tepat. Herlina menyadari bahwa ia tidak akan mencapai apa-apa bersikap demikian terhadap lelaki bertampang monyet ini, karena di matanya memang Gozali berparas seperti monyet. Dengan luwes Herlina mengubah haluan.

"Apakah Anda juga akan percaya kalau seandainya saya katakan bahwa pada saat itu saya telah tidur?" Nada suaranya tidak lagi keras, tidak lagi menantang, namun sama sekali tidak berarti bahwa Gozali telah menundukkannya.

"Apakah memang itu yang betul-betul terjadi?" balas Gozali, masih tersenyum, masih setengah acuh tak acuh.

"Ah, rupanya Anda tidak mudah diyakinkan. Anggap sajalah tadi itu adalah jawaban dari saya atas pertanyaan Anda yang pertama tadi. Dan oleh karena Anda pun mengetahui bahwa saya tidak bersuami, maka tidak ada orang lain yang dapat menguatkan keterangan saya apabila saya mengatakan bahwa saya tidur. Rumah ini hanya dihuni oleh empat orang, ayah saya, saya, dan dua orang pembantu. Tetapi pembantu-pembantu ini tidur di belakang dan mereka tidak akan tahu apakah saya sedang tidur di kamar atau saya telah pergi meninggalkan rumah. Saya mempunyai anak kunci

sendiri, dan saya hampir selalu membuka pintu saya sendiri tanpa membunyikan bel. Sedangkan ayah saya pada hari itu masih ada di Jakarta dan baru kemarin kembali." Herlina tersenyum dengan manis. Sederetan giginya yang putih menghiasi bibirnya dengan indah sekali. Senyumnya ini seakan-akan mengatakan,

"Nah, mau apa kamu sekarang?" Dalam hati Kosasih berpikir, wanita ini memang cantik, tetapi agak menakutkan untuk diperistri.

"Apakah Nona Subekti pernah mengenal Dian Ambarwati secara pribadi?" Gozali melanjutkan pertanyaannya. Ia mulai tertarik kepada permainan kucing dan tikus ini. Berbicara dengan Herlina, ia merasa perlu berkonsentrasi penuh untuk mengimbangi lawannya yang tangguh.

"Melihatnya saja belum pernah. Mengapa Anda bertanya?"

Gozali tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya ia berkata,

"Insinyur Drajat telah memutuskan pertunangannya dengan Anda. Bagaimanakah pendapat Anda tentang tindakannya ini? Apakah itu ada hubungannya dengan Dian Ambarwati ataukah tanpa Dian Ambarwati pun dia tetap menghendaki pemutusan itu?"

Gozali tahu bahwa pertanyaannya itu kejam, menusuk, dan menyinggung harga diri wanita yang angkuh ini. Wanita mana yang mau dikatakan tidak dibutuhkan lagi oleh laki-laki yang menjadi tunangannya? Wanita mana yang mau menerima nasib dicampakkan? Tetapi Gozali harus mengajukan pertanyaan ini untuk menguji apakah benarbenar dia telah berhasil menguasai Herlina.

Mata Herlina sekejap bersinar garang. Bibirnya yang tipis dikatupkan erat-erat sehingga membentuk satu garis yang lurus. Dalam keadaan demikian dia memang tampak agak menyeramkan. Herlina mempertimbangkan, apakah dia akan marah atau menjawab pertanyaan lelaki bertampang monyet ini. Akhirnya ia memutuskan untuk memilih alternatif yang terakhir.

"Mengapa tidak Anda tanyakan sendiri kepadanya? Apa pun alasannya memutuskan pertunangan kami, bagi saya tidak menjadi persoalan. Yang penting, cukup bagi saya untuk mengetahui bahwa ia tidak lagi ingin menjadi calon suami saya."

Dalam hati Gozali memberi salut kepada jawaban ini. Memang jawaban yang pandai, meskipun dia tahu bahwa Herlina telah berbohong dalam hal ini. Tidak ada wanita di dunia ini yang bersikap sedemikian tak acuhnya atas pemutusan pertunangan mereka. Tetapi ia tidak memperpanjang masalah ini dan meneruskan pengujiannya. Masih ada satu pertanyaan lagi yang harus dilontarkannya untuk memojokkan kedudukan wanita ini. Katanya,

"Dan Anda sama sekali tidak mempunyai perasaan cemburu kepada Dian Ambarwati?" Pertanyaan ini dikeluarkan dengan serius, dengan nada datar, dan tanpa senyumnya yang sinis. Suatu pertanyaan yang semata-mata bertujuan mengumpulkan data dan bukan bermaksud mengejek.

Herlina dapat menangkap cara Gozali mengajukan pertanyaan itu. Ia tahu bahwa dengan pertanyaan ini Gozali ingin menjajaki apakah ada kemungkinan tangannyalah yang telah mengakibatkan kematian Dian Ambarwati, seorang gadis yang tolol. Sebab pada pandangan Herlina, hanya gadisgadis tolollah yang membiarkan dirinya dibunuh orang. Manusia harus selalu waspada dan curiga terhadap siapa pun. Herlina tidak merasa kasihan kepada Dian Ambarwati. Di dunia ini bagaimanapun juga, tetap berlaku hukum rimba. Meskipun manusia sekarang sudah tidak hidup lagi di tengah-tengah hutan belantara melainkan di tengahtengah bangunan-bangunan tinggi yang menjulang ke angkasa dan sisa asap pembakaran mobil. Kalau orang tidak berhati-hati sendiri dan tidak memperkecil kesempatan dirinya bisa diserang orang lain, yah, itu salahnya sendiri. Tidak ada manusia yang saling mengasihi di dunia yang sudah menjadi terlalu komersial ini. Semua manusia mau mencari selamatnya dan makmurnya sendiri. Karena itu setiap orang harus berhati-hati dan menjaga nyawanya sendiri baik-baik.

Herlina berkata dengan tenang,

"Kalau saya mengatakan tidak cemburu, tentunya Anda juga tidak percaya. Tetapi apa pun perasaan saya, itu tidak menjadi soal. Yang perlu Anda ketahui adalah saya tidak ada hubungannya dengan kematiannya, entah itu suatu kecelakaan atau suatu pembunuhan yang direncanakan. Laki-laki macam Insinyur Drajat sepuluh orang bisa saya dapatkan, kalau saya mau. Saya tidak perlu membunuh makhluk hidup

lainnya hanya untuk mempertahankan satu orang Insinyur Drajat, meskipun makhluk itu sendiri ternyata sebodoh itu bisa terbunuh. Dan lagi, kalau memang Insinyur Drajat lebih menghargai seorang gadis ingusan semacam Dian Ambarwati, untuk apa saya menyia-nyiakan hidup saya demi dia? Itu, kata pepatah, adalah seumpama mencampakkan mutiara di depan babi, yang tidak mengetahui mahalnya dan berharganya nilai sebutir mutiara."

Gozali mengakui bahwa kata-kata Herlina ini ada benarnya juga, dan memang sesuai dengan watak orang yang mengucapkannya. Kalau bukan datang dari Herlina, mungkin kata-kata tersebut akan kedengaran terlalu muluk, terlalu angkuh. Tetapi dari mulut Herlina, orang dapat melihat kewajarannya. Gozali memandang kepada Kosasih yang sedang mengawasi pertarungan mulut yang asyik ini. Gozali mengangguk menandakan bahwa ia telah selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya. Kosasih kemudian mengambil alih pembicaraan.

"Nena Herlina Subekti," katanya,

"tidakkah Nona pernah mengancam akan mematahkan batang leher Dian Ambarwati?"

"Dan apakah Dian Ambarwati meninggal dengan leher yang patah?" balas Herlina. Matanya memandang Kosasih dengan cermat

"Tetapi Nona mungkin mengadakan improvisasi, kalau kebetulan ada alat yang tepat untuk dipakai memukul tengkuk korban," Kosasih tidak mau kalah. Wanita yang di hadapannya ini memang agak agresif dan harus diberi pelajaran, pikirnya.

"Ah, kalau begitu rupanya Anda belum pernah belajar tentang psikologi," jawab Herlina santai.

"Wanita terutama, bisa mengatakan apa saja kalau sedang emosi. Tetapi saya bukanlah seorang wanita tolol yang mau menghancurkan hidup saya sendiri hanya karena seorang Iaki-laki saja. Dengan atau tanpa Insinyur Drajat, hidup saya tetap berharga. Apakah Anda pikir saya mau mempertaruhkan kebebasan saya dan mengambil risiko meringkuk dalam penjara hanya karena memperebutkan cinta seorang lelaki? Saya bisa berpikir lebih logis daripada itu. Saudara Kapten, kalau saya sudah meringkuk dalam penjara, apakah itu akan mengembalikan Insinyur Drajat kepada saya? Oh, tidak! Dia akan jatuh lagi ke dalam pelukan wanita tolol lainnya sejenis Dian Ambarwati dan hidup berbahagia selamanya. Dan apakah untuk itu saya harus mengorbankan hidup saya?"

"Itu betul, kata-kata Nona," kata Kosasih sambil mengangguk,

"kalau Anda tertangkap, Anda akan kehilangan semuanya. Tetapi, bukankah ada juga kemungkinannya Anda bisa lolos?"

Herlina Subekti melebarkan matanya. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Dan Anda seorang polisi!" katanya masih sambil terbahak.

"Anda mengatakan bahwa seorang pembunuh mungkin bisa lolos tidak tertangkap? Kalau begitu, Anda tidak begitu yakin dengan kemampuan departemen Anda sendiri! Ck, ck, ck. Rupanya kami warga kota harus lebih berhati-hati menjaga diri sendiri kalau begitu. Habis yang namanya polisi sendiri pun

tidak yakin bisa melindungi keselamatan kami dan menegakkan keadilan, mana kami bisa menaruh kepercayaan kepada Anda!"

Kosasih merah padam wajahnya mendengar ejekan ini. Bukan jawaban begini yang diharapkannya. Tetapi kemudian dia berpikir, memang dia sendiri juga yang mengundangnya. Seharusnya ia tidak mengajukan pertanyaan tolol tadi kepada Herlina. Ia telah terperosok ke dalam lubang yang digalinya sendiri. Kosasih melirik kepada Gozali. Pada wajah Gozali tidak tergambar ekspresi apaapa, namun Kosasih cukup mengenal sahabatnya untuk mengetahui bahwa dalam hati tentunya Gozali sekarang sedang tertawa terbahak-bahak.

"Nah, kena batunya kau sekali ini!" Tentu begitu kira-kira pikiran Gozali sekarang. Untuk mengembalikan wibawanya, Kosasih berkata,

"Perbuatan keji akhirnya tentu akan ketahuan juga dan mendapat hukuman yang setimpal, meskipun pada permulaannya seolah-olah orang bisa lolos darinya. Taruh kata saja, ia lolos dari hukuman manusia, tetapi Nona jangan lupa, di atas kita masih ada Tuhan yang melihat segalanya dan memberikan ganjaran yang setimpal kepada setiap perbuatan yang jahat."

Herlina mengangguk-angguk dengan serius. Melihat begini, Kosasih tergoda untuk melanjutkan ceritanya lagi-mumpung wibawanya sudah kembali. Katanya,

"Pokoknya, orang yang berbuat kejahatan, hidupnya pasti sengsara, matinya tidak mungkin enak..."

'Ya, seperti orang-orang yang korupsi," potong Herlina sambil mengerlingkan matanya dengan jenaka. Kosasih berhenti dengan mulut terbuka dan pandangan yang tolol. Buset! pikirnya. Kena lagi!

Herlina tersenyum. Sekarang ini ia mendapatkan musuh yang enteng, yang dengan mudah dapat dipermainkannya. Mengapa dari tadi bukan orang ini saja yang mewawancarainya? Kalau cuma sekian kemampuan yang mengusut, ehem, dari tadi sudah dilalapnya.


Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Si Badung Jadi Pahlawan Karya Enid Twilight Karya Stephenie Meyer

Cari Blog Ini