Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD Bagian 1
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo
Mara S GD
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta 1986
(http://bacaan-indo.blogspot.com)
***
"PAK, hatiku sebetulnya tidak sreg untuk berangkat, lho. Anak-anak ditinggal sendiri begini!" Nyonya Kosasih berhenti menata k0pornya. memandang suaminya dengan penuh keraguan.
"Mereka kan sudah besar-besar, Bu. Toh Ari sudah kawajak. Di rumah cuma tinggal Bambang, Dessy, dan Teti. Mereka semua sudah bisa mengatur dirinya sendiri." Kapten Polisi Kosasih meneruskan membaca surat kabarnya. Kalau tidak malam begini, ia tidak punya waktu untuk membaca.
"Teti baru lima belas, Pak. Kasihan, kan, kalau ditinggal?" Hati seorang ibu selalu lunak terhadap anak-anaknya.
Sebetulnya Nyonya Kosasih tidak ingin ikut suaminya ke Jakarta. Suaminya akan menjalani masa pendidikan singkat selama tiga bulan di sana. Itu pertanda baik. Itu pertanda ada kemungkinan dia akan mendapat kenaikan pangkat. Sebagai istrinya, Nyonya Kosasih rela melepas kepergian suaminya dengan lapang dada dan penuh kepercayaan. Tapi suaminya menginginkan dia ikut, setidak-tidaknya untuk satu minggu saja. sambil menengok keluarganya yang ada dijakarta. Sudah
bertahun-tahun Kosasih tidak bertemu dengan kedua orang saudaranya yang menetap di Jakarta, dan ini merupakan suatu kesempatan yang baik. Apalagi sekarang musim liburan sekolah.
Demikianlah dengan membawa anak mereka yang paling bungsu, Kosasih berharap memakai kesempatan ini untuk mengajak sebagian dari keluarganya bertamasya. Sayang dia tidak bisa mengajak seluruh anggota keluarga. Maklumlah, gaji seorang kapten polisi tidak seberapa.
"Lima belas juga sudah cukup besar untuk bisa mengatur dirinya sendiri, Bu. Kalau belum bisa, nah, ini kesempatan baik baginya untuk belajar. Banyak anak yang sudah harus berdiri sendiri pada usia yang lebih muda. Toh kau tidak akan pergi lama. Apalah artinya satu minggu.Jangan-jangan anak-anak malah senang ditinggal. Mereka akan bisa bernapas lebih longgar. Dulu aku malah senangnya bukan main kalau ditinggal pergi orang tua, bisa bermain sepuas-puasnya tanpa ada yang melarang."
"Teti kan anak perempuan, Pak. Anak perempuan lain dengan anak laki-laki."
"Kakak-kakaknya kan ada di rumah. Dessy akan menemaninya."
"Dessy sendiri hari Rabu ini mau piknik bersama teman-temannya ke Tretes."
"Kan cuma setengah hari, Bu. Sorenya kan pulang."
"Iya, tapi siang harinya itu Teti makan apa?"
"Soal makan tidak perlu dibingungkan. Pasti Dessy bisa mengaturnya dengan baik. Lagi pula
leni kan juga sudah bisa menggoreng telur sendiri atau memasak Supermi. Kau sendiri yang selalu membanggakan anak-anak gadismu semua punya bakat memasak."
"Iya, tapi kalau sendirian di rumah, bagaimana misalnya kalau ia menggulingkan kompor atau apa! Kan bisa kebakaran!"
"Eh, Kok jelek sekali pikiranmu, Bu! Teti kan sudah setiap hari membantumu di dapur. Belum pernah satu kali pun dia menggulingkan kompor. Lha kok sekarang hanya perlu memasak satu kali lalu kaubayangkan dia akan menyebabkan kebakaran segala!"
"Entah, ya. Pak. Tapi hatiku merasa tidak enak meninggalkan anak-anak kali ini. Kayaknya ada firasat bakal terjadi apa-apa di rumah."
"Percaya sama Allah, tidak akan terjadi apa-apa. Anak-anak kita adalah anak-anak yang baik semuanya, tidak ada yang berangasan, tidak ada yang nakal. Mereka. semua tahu tanggung jawab mereka sendiri. tahu masa depan mereka sendm. mereka tidak akan mengecewakan kita.
"Biasanya kau yang selalu menasihati aku agar tidak terlalu mengekang anak. Kauingat. bukan, sewaktu Bambang aku sangka terpikat Amelia? Waktu itu kau yang menertawakan aku. Ternyata anak-anak kita lebih dewasa dan lebih bijaksana daripada yang kita sangka. Buktinya Bambang bisa membawa dirinya lebih baik daripada yang aku duga.* Itu merupakan pelajaran bagiku. Kenapa sekarang malah kau yang kelewat kuatir?"
Nyonya Kosasih sendiri tidak tahu mengapa kali ini hatinya merasa tidak enak. Intuisi perempuan? Naluri seorang ibu? Ia sendiri tidak tahu.
"Pak, kita minta Dik Gozali menginap di sini saja untuk menemani anak-anak, ya?"
"Gozali sudah kutitipi untuk sekali waktu melongok kemari. Tapi ya tidak perlu sampai ia harus menginap di sini, Bu. Itu kan namanya kita tidak mempercayai Bambang. Bambang sudah berusia dua puluh satu tahun, sudah bisa menjadi kepala rumah tangga ini kalau aku tidak ada. Kapan dia membutuhkan bantuan, pasti ia akan mencari Gozali sendiri. Ia cukup punya inisiatif."
"Iya, Bapak benar. Mungkin perasaanku sendiri saja yang sedang mempermainkanku. Habis kita tidak pernah meninggalkan anak-anak sendiri di rumah lebih dari satu malam."
"Kita juga sudah lama tidak pernah bertemu dengan saudara-saudaraku. Kita pakai kesempatan ini untuk mengunjungi mereka mumpung masih belum lama lewat Lebaran."
"Iya, sudah lebih dari lima tahun kita tidak berjumpa. Mereka juga tidak pernah kemari sih!" kata Nyonya Kosasih.
"Padahal mereka kan berwiraswasta. Kalau mau pergi kapan saja bisa."
"Ya, sudahlah. Kali ini biarlah kita yang mengunjungi mereka. Sekalian berjalan-jalan ke Jakarta dan Jawa Barat. Kau sendiri juga sudah bertahun-tahun tidak pernah melihat jakarta."
"Bapak masih punya waktu untuk menemani kami berjalan-jalan? Bapak kan langsung masuk pendidikan?"
"Iya, pagi harinya kau pergi sendiri bersama saudara-saudaraku. Sore dan malam hari kita kan bisa bersama-sama. Minggu pertama pendidikan juga belum intensif. masih diberi kesempatan bebas sore hari. Setelah itu kita bakalan tiga bulan tidak bertemu. lho, Bu! Apakah kau tidak kangen nanti?"
"Wah, ya kangen toh, Pak," kata istrinya tersenyum.
"Maka dari itu, kita manfaatkan seminggu berlibur ini dengan baik," kata suaminya yang sudah segera memasang kacamatanya kembali dan meneruskan membaca surat kabarnya.
***
HELMI Rantung membetulkan letak Kerah Kemejanya. menepuk-nepuk bagian perutnya yang maSih terbilang datar. mengusap dagunya yang sudah terasa licin, lalu ia berpaling dari cermin besar di hadapannya dan berkata,
"Sudah?"
"Hm-hm," sahut Merina tanpa berpaling. Dia sendiri sedang sibuk mengolesi bibirnya dengan cat bibir.
"Sebetulnya aku malas, Rin. menghadiri resepsi-resepsi beginian." kata Helmi duduk di tepi tempat tidur.
"Gue tahu. Tapi yang ngundang kan teman dekat, kagak enak kalau gue nggak muncul."
Merina berpaling dari cermin dan menilai penampilan laki-laki yang duduk di tepi tempat tidurnya dengan mata yang jeli. Entah sudah berapa banyak lelaki yang pernah duduk di sana, tapi tak ada yang setampan Helmi Rantung ini. Itulah sebabnya malam ini ia tak keberatan mengajaknya sekalian untuk memamerkannya kepada Rosmala bahwa ia pun bisa menggaet laki-laki muda yang tampan dan gagah. bukan cuma oom oom dengan perut buncit saja.
"Kau kelihatan cakep." kata Helmi Rantung yang juga sedang memperhatikan gadis yang berdiri di hadapannya.
"Tentu. dong! Kalau nggak cakep masa kau mau!" Merina tertawa. Merdu.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau mengajakku malam ini," kata si lelaki.
"Aku sama sekali tidak mengenal teman-temanmu. Lagi pula bagaimana kalau aku sampai berjumpa dengan orang-orang yang mengenal aku!"
"Ah, sabodo amat sama orang-orang! Yang penting kan kita bersama-sama," kata Merina mengedipkan matanya.
"Itu namanya toleransi. Say." Ia selalu membahasakan "Say" kepada semua teman-= laki-lakinya supaya tidak ada kemungkinan terjadi salah sebut. Kalau salah sebut kan malu! Biarpun laki-laki yang berhubungan dengan dirinya itu tahu siapa ia dan apa profesinya, tapi tak enak jugalah apabila fakta itu terlalu mencolok sampai si "Jon" dipanggil si "Mir". Untuk menghindari timbulnya korban perasaan beginilah maka mereka semua mendapatkan julukan "Say" darinya.
"Kok toleransi?"
"Iya, kan? Aku tahu kau tidak suka ke resepsi. Kau lebih suka berdua-duaan saja bersamaku di sini. bukan? Tapi katamu sendiri kau cuma punya waktu malam ini, sedangkan aku malam ini sudah janji harus ke resepsi. Nah, di sini masuknya toleransi. Kau memberikan toleransi dengan mengantarkan aku ke resepsi, dan aku memberikan
toleransi dengan mempersingkat kehadiranku di sana supaya bisa menyisihkan waktu untukmu."
"Lebih baik kau ke resepsi itu sendiri, Rin," kata Helmi Rantung.
"Nanti kau kujemput pukul sembilan malam."
"Hus! Nggak lucu itu namanya! Lagi pula aku ingin memamerkan dirimu pada teman-temanku. Heyeh, aku bangga lho menggandengmu ke resepsi itu. Pasti mata Rosmala akan terbelalak nanti karena cemburu."
"Aku merasa seperti sapi yang akan dijual saja, Rin.," senyum Helmi Rantung.
"Ditunjuk tunjukkan dulu. kemudian dilelang.
"
"Kau pasti seneng, deh. Pesta-pesta Rosmala selalu mengasyikkan. Siapa tahu di sana nanti bisa bertemu koneksi!" Merina mengedipkan matanya lagi.
"Zaman sekarang koneksi itu perlu banget, lho! Mau kerja apa pun tanpa koneksi tidak bisa jalan. Apalagi bagi pejabat seperti kau, hidupnya dari koneksi juga, kan? Kalau hidup dari gaji mana cukup!"
"Ssst! Barang begituan jangan disebut-sebut!" kata Helmi Rantung berubah serius.
"Ah, itu kan sudah bukan rahasia!" kata Merina memeriksa isi tasnya.
"Semua orang tahu kalau pejabat itu hidupnya dari uang panas."
"Ya, tapi hal begitu cuma untuk diketahui saja. bukan untuk dibicarakan!" kata Helmi Rantung.
"Itu yang tidak kumengerti!" kata Merina sekali lagi memeriksa tata riasnya di cermin kecil yang diambilnya dari dalam tasnya.
"Mengapa ada
begitu banyak orang yang munafik? Berani berbuat tapi tidak berani mengakui! Hitunghitung mereka masih kalah sportif dibandingkan perempuan seperti aku. Iya, kan? Aku terangterangan mengakui diriku seorang hostes. Tapi orang-orang pemerintahan semua tidak ada yang mau mengakui dari mana mereka mendapatkan uang sehingga bisa hidup mewah. Kaukira rakyat itu bodoh, tidak bisa menghitung? Kalau hanya dengan gaji menteri, apakah mereka bisa hidup seperti itu? Anak-anaknya semua sekolahnya di luar negeri, istri-istrinya kalau shopping kagak terima kalau bukan di luar negeri. Emangnya berapa gaji menteri? Jangankan yang menteri, sedangkan yang jabatannya baru bupati saja hidupnya sudah kayak raja. Waduh, pemasukannya banyak, mobilnya Mercy, istrinya tiap hari pakai baju baru, anaknya gaya, perempuan simpanannya di mana-mana ada! Dari mana ia dapat uang untuk membiayai semua ini? Dari koneksi!"
"Ya, sudah! Ya, sudah, ah!" kata Helmi Rantung jengkel.
"Buat apa kita bertengkar soal itu? Asal kau tahu dan aku tahu saja kan sudah cukup. Tidak perlu dibicarakan lagi."
"Aku paling benci pada kemunafikan!" kata Merina masih tidak mau kalah.
"Eh, ngaku saja kenapa! Bilang saja gaji saya sebagai bupati memang kagak cukup, atau gaji saya sebagai menteri tidak sepadan. Nah, karena negara belum mampu memberi lebih, saya berupaya sendiri.
Begitu baru sportif! Tapi malahan sebaliknya! Semua malah sok ngaku suci, sok ngaku bersih, malah marah lagi kalau ada yang sampai berani mengungkit-ungkit sumber keuangannya! Lha kalau memang iya faktanya begitu, mengapa perlu marah? Kalau memang sahamnya bertebaran di seluruh sektor industri, ya bilang saja betul. Kalau memang kongsi sederetan hotel internasional, ngaku saja kenapa! Pakai ditutup-tutupi segala. Kalau merasa malu, merasa bersalah, ya jangan berbuat dong!"
"Ah, kau ini berlagak suci saja, Rin! Hidupmu sendiri bagaimana!" kata Helmi sinis.
"Aku sih kagak pernah ngaku aku perawan suci. Apakah aku pernah menyamar sebagai seorang karyawan bank, atau seorang sekretaris. atau seorang gadis desa yang polos padamu? Apa yang kubilang sejak pertama kalinya kita berkenalan? Aku langsung mengatakan bahwa aku hostes, bukan?" Merina semakin ngotot.
"Aku Sih bukan macam kodok kintel, Say! Sorry, ya! Aku bukan orang munafik!"
"Ya," kata Helmi Rantung terpaksa membenarkan.
"Nah, itu! Kalau seorang perempuan lemah macam aku saja berani menghadapi fakta, mengapa justru orang-orang gede yang berkuasa begitu menjadi pengecut semua?"
"Kan lain masalahnya, Rin! Kami tidak bisa berbuat demikian. Kalau kau berkata terus terang bahwa kau seorang hostes, tidak ada orang yang
akan pusing. Tapi kami! Begitu kami mengatakan "Ya, kami terima komisi', langsung besoknya kami ditahan dan dibawa ke pengadilan!"
"Kalau tidak berani menghadapi konsekuensinya, ya jangan berbuat," kata Merina.
"Nggak jantan tuh menutup nutupi fakta! Kenapa tidak terang-terangan saja menentukan tarip. Eh. misalnya untuk setiap izin yang dikeluarkan, dikenakan sekian persen kewajiban bayar kepada dana kesejahteraan karyawan departemen ini. Pejabat pemerintah kan pelayan masyarakat. Mereka bekerja untuk negara demi kebaikan rakyat. Tidak ada salahnya rakyat menggaji mereka langsung. Tapi buatlah yang terangterangan, dong! Pakai tarip resmi begitu, jadi baik yang memberi maupun yang menerima tidak perlu merasa malu atau bersalah. Kan beres kalau begitu!"
"Kau seharusnya tidak menjadi hostes, Rin. Kau seharusnya menjadi menteri atau bahkan presiden!"
"Lho, kalau aku yang mengatur, akan aku buat begitu. Sebagai contoh saja, coba, berapa sih tarip resminya kalau kita mau ambil SIM-A? Tidak lebih dari tujuh ribu rupiah. Tapi kenyataannya berapa yang harus kita bayar? Tidak kurang dari dua puluh ribu rupiah! Memang selisihnya ini kita sendiri yang memberi, tidak diminta. Tapi apa konsekuensinya kalau kita tidak memberi? Ya sampai sepuluh kali maju ujian tetap tidak diluluskan! Ada-ada saja yang katanya salah. Kita
disuruh bolak-balik, dibikin jengkel, sekadar memaksa supaya kita memberi. Seharusnya praktek begini bisa dihindari! Katakan saja terus terang bahwa bagi setiap pemohon SIM dikenakan sumbangan resmi sekian rupiah untuk keperluan tambahan penghasilan petugas lalu lintas. Tidak ada salahnya, kan? Toh petugas lalu lintas harus memberikan lebih banyak pelayanan kepada pemohon SIM daripada kepada orang-orang lain yang tidak berhubungan dengan mereka. Tapi kalau semuanya resmi, kita rela. Kita tahu persisnya berapa yang harus kita bayar, dan bahwa semuanya itu betul-betul masuk suatu kas atau dana untuk dibagikan rata dari tukang sapunya sampai kepalanya. Kalau dibuat resmi, kita tidak merasa kayak diperas secara gelap, atau sengaja dipersulit supaya kita memberi. Aku merasa jengkel sekali mengetahui petugas-petugas ini memeras sendiri-sendiri. Tentu saja ini berarti yang punya kesempatan terus bertambah gendut, sedangkan yang tidak punya kesempatan ya tetap saja terpaksa hidup dengan gaji yang kecil. Dengan demikian mereka tidak peduli lagi bagaimana mereka bekerja, asal tiap hari masuk, misalnya si tukang sapu, tukang bikin bersih WC. Itulah sebabnya mengapa WC di tempat-tempat umum begitu joroknya bukan main! Habis jarang dibersihkan karena orang yang membersihkannya tidak pernah mendapat perhatian. Coba kalau ia juga diberi bonus dari konstribusi mereka yang datang ke sana, mungkin dia mau bekerja lebih giat karena ia tahu bahwa sebagian penghasilannya berasal dari orang-orang yang datang yang terkadang perlu memakai fasilitas umumnya."
"Mengapa ide bagus ini tidak kauusulkan kepada Presiden. Rin? Bagus lho idemu ini!"
"Ah, mana mau orang penting mendengarkan pendapat seorang perempuan hostes macam aku. Belum sampai suratku ke tangan Presiden, aku sudah ditahan dengan tuduhan subversi, menjelekkan nama instansi, fitnah, dan lain sebagainya."
"Tapi pendapatmu memang benar, Rin! Harus kuakui otakmu memang cerdas. Seandainya memang diatur demikian, semua pihak kan merasa puas? Misalnya peraturan ini diterapkan BKPM, wah tentunya ini akan mendorong kami bekerja lebih giat. Bayangkan saja, semisal setiap penanam modal dikenakan sumbangan resmi sekian ratus ribu rupiah untuk dimasukkan ke kas tunjangan sosial karyawannya, maka kami semuanya tidak perlu memeras sendiri-sendiri! Sekarang ini setiap orang di sana mencari kesempatan untuk bisa 'menodong'. Biarpun dengan perasaan malu, tapi karena ekonomi, yah terpaksa!
"Memang kalau segalanya resmi itu enak. Apalagi kalau dilewatkan suatu kas khusus begitu sehingga tunjangan itu tidak disampaikan langsung kepada orangnya. Dengan demikian yang menerima tidak merasa utang budi kepada yang memberi sehingga seakan-akan sudah di-'beli' dan harus mau melakukan apa saja yang diminta si pemberi, dan di pihak lain si pemberi juga tidak bisa
mendiktekan kehendaknya kepada si penerima karena merasa sudah menyogoknya. Itu sehat bagi kedua belah pihak! Tidak ada salahnya memang kalau orang-Orang yang berkepentingan dengan kami ini mensubsidi kehidupan kami. Merekalah orang-orang yang justru langsung menikmati pelayanan kami! Idemu sungguh bagus. Rin!"
"Sayangnya pencetus ide cuma seorang hostes, ya, Say? Jadi tidak ada yang mendengarkan. Seandainya yang ngomong ini menteri, mungkin sudah diberlakukan."
Di resepsi itu ternyata Merina menghilang entah ke mana. Helmi Rantung mendapatkan dirinya celingukan seorang diri dengan segelas gm-tonic di tangannya. Di sekelilingnya berdiri bermacammacam manusia-ada yang mengenakan kemeja batik seperti dirinya. ada yang berkemeja biasa. ada yang memakai jas. Begitu pula perempuanperempuan yang ada. semuanya tampil dalam beraneka rupa pakaian yang semarak dan mahal.
Helmi Rantung memakimaki dalam hati. Sialan! Ke mana Merina? Seandainya ia tahu ia bakal ditinggalkan seorang diri seperti tugu Monas, dia tidak akan ikut kemari-walaupun dengan dalih toleransi segala macam! Sialan...
"Nice party. isn't it?"
Helmi Rantung berpaling dan bertemu pandang dengan seorang laki-laki berambut pirang dan
bermata kebiru-biruan. Laki-laki ini mengenakan
kemeja lengan pendek biasa dan dia juga
memegang gelas minuman yang berwarna kecoklatan di tangannya.
Helmi Rantung ingin mengatakan,
"No", tapi tata-cara ketimuran mengubah sanggahan yang tak pernah terucapkan itu menjadi suatu senyuman.
"Yeah, nice party," katanya mengangguk.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat khas Australia.
"Nama saya Peter Halliday. Saya lihat Anda juga terdampar di sini seorang diri. Apakah Anda kehilangan patner Anda?"
Helmi Rantung mengangguk.
"Ya. Teman saya menghilang entah ke mana," katanya dengan bahasa Inggris yang cukup fasih.
"Anda juga?"
Peter Halliday juga mengangguk.
"Ya, teman saya juga menghilang entah ke mana. Saya tidak kenal siapa-siapa di pesta ini. Saya merasa seakan tersesat di tengah hutan."
"Saya juga." komentar Helmi Rantung.
Mereka sama-sama tertawa.
"Saya bekerja pada Dawson Trading Company Limited." kata Peter Halliday selanjutnya.
"Saya adalah Kepala Pemasaran mereka untuk Asia Tenggara. Perusahaan kami bergerak di bidang pengadaan mesin-mesin yang kami ekspor ke beberapa negara, termasuk ke Indonesia." |
"Ah, jadi Anda kemari dalam rangka bisnis?" tanya Helmi Rantung.
"Ya. Perusahaan saya baru saja menyelesaikan suatu kontrak di sini. Mesin-mesin kiriman kami baru saja selesai dipasang. Saya memerlukan datang untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Di samping itu tentunya masih ada bisnis-bisnis lain," Peter Halliday tersenyum lebar.
"Apakah Anda juga seorang pengusaha?" tanyanya.
Helmi Rantung yang tidak suka kehadirannya di sini diketahui orang-apalagi karena ia pergi atas ajakan seorang hostes-tidak berniat memberitahukan identitasnya yang benar. Dia hanya mengangguk saja kepada asumsi orang Barat ini.
"Sudah saya duga." kata Peter Halliday dengan semangat.
"Anda memang tampak seperti seorang pengusaha yang sukses.
" Pelajaran keterampilan menjual yang telah dikuasainya mengatakan bahwa seorang pembeli yang potensial perlu diberi pujian supaya ia bersimpati terhadap yang menjual. Itulah yang sekarang dilakukannya. Peter Halliday segera merogoh saku kemejanya dan mengulurkan sebuah kartu nama.
"Ini kartu nama saya. ini alamat perusahaan saya di Australia. jika Anda membutuhkan mesin-mesin, hubungilah kami. Kami dapat mensuplai segala jenis mesin, tidak hanya yang buatan Australia, tetapi juga yang buatan Eropa. Kami punya banyak cabang dan koneksi di Eropa. Harga kami pasti yang paling kompetitif. Itu dapat saya jamin! Kami dapat
memenuhi semua kebutuhan Anda bahkan terkadang dengan harga tiga puluh persen lebih murah daripada yang Anda bisa peroleh langsung dari pabriknya!"
Sebetulnya Helmi Rantung sama sekali tidak tertarik berbincang-bincang dengan seorang supersalesman yang getol mencari pasar bagi produknya itu. Lagi pula ia sama sekali tidak punya rencana untuk membeli mesin macam apa pun! Jangankan mesin, seringkali mau beli kemeja saja uangnya tidak cukup!
Namun rupanya laki-laki berambut pirang ini tidak putus asa. Ia masih meneruskan bicaranya, mengeluarkan semua kharismanya, mengetengahkan segala teknik penjualan yang pernah dipelajarinya._ Melihat sikap teman bicaranya yang cuma sekali waktu mengangguk secara pasif itu, ia lebih giat lagi memberikan penjelasan, mengemukakan lebih banyak lagi segi keuntungannya jika orang membeli dari perusahaannya.
Pada mulanya Helmi Rantung mendengarkan dengan setengah terkantuk-kantuk. Hanyalah etika pergaulan ketimuran yang sopan santun sajalah yang mencegahnya dari menghentikan ocehan si pengejar pesanan itu, tetapi lama kelamaan ada yang menarik perhatiannya.
Mulailah dia memberikan tanggapan yang lebih positif daripada sekadar mengangguk saja.
Peter Halliday yang melihat perubahan sikap yang lebih prOSpektif ini menganggap bahwa pada akhirnya ia telah berhasil membangkitkan minat si
pengusaha sukses ini untuk merintis suatu hubungan jualbeli dengan perusahaannya. Ia menjadi lebih bersemangat dalam ceritanya, semakin berani mengetengahkan keuntungankeuntungan yang bisa ditawarkannya.
Ketika akhirnya mereka berpisah, orang Barat ini menganggap bahwa kedatangannya di pesta yang membosankan ini toh tidak sia-sia.
pengusaha sukses ini untuk merintis suatu hubungan jual-beli dengan perusahaannya. Ia menjadi iebih bersemangat dalam ceritanya, semakin berani mengetengahkan keuntungankeuntungan yang bisa ditawarkannya.
Ketika akhirnya mereka berpisah, orang Barat ini menganggap bahwa kedatangannya di pesta yang membosankan ini toh tidak sia-sia.
**
PUKUL sepuluh Helmi Rantung menghadap atasannya.
"Pak, saya ada keperluan keluarga yang mendadak. Apakah saya bisa mengambil cuti beberapa hari?"
Pak Purbo, atasannya, adalah seorang laki-laki yang berperawakan pendek dan gemuk. Bagian atas kepalanya hampir tak berambut kecuali sejumlah lima helai rambut tipis yang masih bersikeras bercokol di sana. Dagunya susun dua dan dia selalu memandang orang dengan mata melotot dan kepala tertunduk-seperti seekor banteng yang siap tempur.
"Apanya yang mendadak?" tanyanya galak. Dia paling tidak suka jika ada bawahannya yang minta macam-macam-dan cuti mendadak termasuk kategori "permintaan macam-macam' dalam kamusnya.
"Eh... eh, anu, Pak, urusan. .. urusan melamar," kata Helmi Rantung tergagap.
"Melamar? Mengapa melamar saja kok harus mendadak?" Pak Purbo yang punya sifat sangat sistematis tidak bisa membayangkan berbuat apa
saja-apalagi suatu hal penting seperti melamar secara tergesa-gesa dan mendadak. Segala sesuatu harus dipersiapkan betul-betul. Matanya menatap tajam kepada bawahannya dengan kesan seakan akan sebuah arca batu yang tidak bergeming.
"Eh, anu, Pak, orang tua saya sudah menentukan tanggal lamaran sehingga... sehingga saya harus pulang cepat-cepat."
"Orang tuamu di mana?"
"Di kampung, Pak."
"Kau dicarikan jodoh di kampung?"
"Iya, Pak."
"Mencari jodoh kan bukan pekerjaan seperti sulap begitu saja, bilang 'Simsalabim' terus langsung tercipta begitu. Tentunya lamaran ini juga sudah dibicarakan sebelumnya. Mengapa kau tidak bisa jauh-jauh hari mengajukan permohonan cuti menurut prosedur?"
"Oh, anu, Pak, saya... saya tidak setuju dengan pilihan mereka. Dulu sudah saya tolak, tapi sekarang mereka memaksa. Kalau saya tidak segera pulang, wah, bisa berabe saya, Pak."
"Tulis saja surat kilat ke orang tuamu mengatakan bahwa kau tidak setuju. Biayanya juga lebih murah."
"Wah, orang tua saya bersikeras dalam hal ini, Pak. Percuma saya menjelaskan masalahnya kepada mereka. Yang ingin saya temui justru pihak perempuannya, supaya mereka tidak menerima lamaran orang tua saya, begitu, Pak."
Lelaki'pendek gemuk yang duduk di meja besarnya menatap Helmi Rantung dengan garang.
"Berapa lama kau mau cuti?"
"Beberapa hari saja, Pak. Paling lama satu minggu."
"Ngomong harus jelas. Satu minggu ya satu minggu, tiga hari ya tiga hari. Jangan mengatakan 'beberapa hari'. Beberapa hari itu bisa berapa saja! Jadi orang harus disiplin! Kalau minta cuti tiga hari, ya tiga hari harus kembali, bukan satu minggu. Kalau minta cuti satu minggu, ya satu minggu baru kembali, jangan tiga hari sudah kembali lalu minta permohonannya diubah. Bisa kacau administrasi kalau begitu. Nah, sekarang yang pasti maunya cuti berapa hari?"
Helmi Rantung merasa jengkel. Punya atasan kok seperti robot saja, tidak ada luwes-luwesnya sedikit, tidak ada tenggang rasanya sama sekali!
"Satu minggu, Pak!"
"Baik," kata Pak Purbo lalu membuat beberapa coretan kecil di atas secarik kertas.
"Bawa ini ke Urusan Pegawai."
"Terima kasih. Pak."
**
"Eh, Tung. mau dicarikan jodoh ame Nyak lu?" tanya sahabatnya Sarwoko.
"Rasain lu, Moga-moga dapet yang kayak raksesi!"
"Sialan lu!" kata Helmi Rantung membersihkan mejanya.
"Gue tadi cuma ngebohongin bos aje! Nyak gue kan ude lama mati."
"Eh, kagak selamet lu nipu bos! Kalau ketahuan, rasain lu!"
"Eh, dengerin!" bisik Helmi Rantung.
"Gue punya objekan nih! Kalau berhasil, gue bakalan naek pangkat! Siapa tahu gue malah gantiin bos!"
Sahabatnya mengernyitkan dahi.
"Objekan apa, Tung?"
"Lu kok mau tahu aje. Pokoknya beres, deh!"
"Eh, Tung, kalau kagak berhasil dan lu ketahuan bos abis nipu die, lu bisa digantung hidup-hidup Iu! Nama lu bukannya lagi Helmi Rantung, tapi Helmi Gantung!"
"Emangnya lu ngedoain gue kagak berhasil? Katanye lu sahabat gue! Doain berhasil, dong!"
"Iya, deh! Gue doain berhasil. Eh, Tung, kalau nanti ude naik pangkat, jangan lupe ame gue!"
"Beres, deh!"
"Lu ke mane sih?"
"Surabaya!"
**
"MAS Bambang, aku berangkat!" kata Dessy di ambang pintu.
Adiknya Teti mengawasi kepergian kakaknya dengan pandangan ingin ikut. Tapi ia tahu bahwa masing-masing punya kawan-kawannya sendiri, sesuai dengan usianya. Kakaknya tidak pernah mencampuri kalau ia sedang asyik bermain dengan teman-teman sebayanya, demikian pula kali ini ia cukup mengerti bahwa ia juga tidak boleh merengek minta ikut kakaknya ke Tretes betapa pun inginnya. Hatinya merasa agak terhibur sedikit karena hari ini kakaknya yang sulung, Mas Bambang, bersedia tinggal di rumah khusus untuk menemaninya. Mas Bambang jarang ada di rumah terutama pada waktu libur. Dia punya banyak teman dan banyak acara. Tapi hari ini ia sudah sengaja mengorbankan waktunya untuk bersamasama duduk di rumah.
"Hati-hati, lho, Des!" kata kakaknya keluar dari dalam kamar. Walaupun Bambang hanya terpaut satu tahun lebih tua daripada Dessy, saat ini ia merasa wajib memperingatkan adiknya.
Bukankah sekarang dia adalah kepala rumah tangga di sini sementara ayahnya tidak ada?
"Beres, Bos!" kata Dessy.
"Aku sudah menyiapkan jangan lodeh di panci dan ikan tongkol di dapur. Nanti siang tinggal kaupanasi saja, ya!" kata Dessy meninggalkan pesan-pesan terakhir seperti ibunya kalau mau pergi.
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Iya, Bu!" balas Bambang terkekeh.
"Jangan kuatir, nanti lodehmu kami habiskan."
"Lho, jangan dihabiskan! Nanti malam kan kita masih akan makan bersama! Tunggu aku pulang lho, dan jangan dihabiskan!"
"Beres! Kalau habis. aku yang masak. Ceplok telur gajah!" Bambang terbahak.
"Asem!" Dessy keluar dan menghilang bersama teman-temannya yang sudah menanti dengan tidak sabar di luar.
Teti menutup pintu rumah kembali.
"Mas Bambang kok tidak ikut?" tanya Teti kepada kakak sulungnya, sambil mengawasinya berkaca di kamar.
"Ikut ke Tretes? Ah, malas! Enakan di sini. Aku mau membersihkan sepeda motorku."
"Dan menunggui Teti, kan?" tanya adiknya.
"Lha, iya! Adik remaja manis seperti kau kalau tidak ditunggui kan bisa diambil orang," kelakar kakaknya.
"Ah, masa betul sih Teti manis, Mas?" tanya adiknya tersipu, setengah serius setengah bergurau.
Bambang sengaja memandangnya dari kepala hingga ke ujung jari kaki dan kembali lagi ke kepalanya, lalu mengangguk tanpa senyum.
"Kau manis sekali, sayangnya..."
"Sayangnya apa, Mas?"
"Sayangnya kakimu koror! Tuh, tidak pakai sandal, lagi! Cowok nggak suka pada cewek yang kakinya berdaki macam begitu."
"Oh, Mas Bambang! Teti tadi kan tergesa-gesa membukakan pintu Mbak Dessy!" Dan dia berlari ke dalam mencari sandalnya.
***
"Des, tumben Mas-mu tidak ikut," kata Linda. Linda memang menaksir Bambang. Dia berteman akrab dengan Dessy selain memang karena ia menyukainya juga karena ia bisa mendekati kakaknya. Cuma sayangnya Bambang yang seakan-akan belum punya minat mencari pasangan. Dia masih senang berkumpul ramai-ramai daripada memisahkan diri berdua-dua seorang cewek. Dan hari ini Linda yang sudah mengharapharapkan bisa piknik bersama Bambang harus kecewa karena cowok idamannya ternyata tidak ikut. Dia bertambah jengkel lagi karena ia sudah sengaja mengenakan kausnya yang paling menarik dengan setelan celana ketat yang membungkus pinggulnya seperti kulit itu, tapi eh, tidak tahunya semua ini sia-sia! Sialan!
"Ya, Mas Bambang menunggui adikku. Kasihan kan kalau sendirian di rumah. Umurnya kan baru lima belas."
"Mengapa tidak diajak sekali, Des?" usul Linda. Tidak mengapa ketambahan satu orang lagi asal Bambang ikut, pikirnya.
"Siapa? Adikku?"
"iya. Kan tidak apa-apa diajak sekali."
"Ah, kan ya tidak pantas, toh! Dia masih lima belas, biar bergaul dengan temamteman sebayanya sendiri. Kalau berkumpul dengan kita-kita nanti sayang dia keburu dewasa."
"Eh, Des, orang tuamu kan tidak ada?" celetuk Kandar yang mengemudikan mobil Colt yang merEka naiki.
"Iya, Minggu atau Senin depan baru ibuku pulang," kata Dessy.
"Kalau bapakku masih tiga bulan lagi."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita malam ini nginap di Tretes saja, yuk?" kata Taufik. Semua tahu bahwa Taufik menaruh hati pada Dessy.
"Iya, Des! Kita nginap saja dan pulang besok," kata Linda.
"Tadi aku sudah bilang kok sama ibuku, barangkali malam ini aku tidak pulang."
"Mumpung ada Kandar yang mau jadi cukongnya nih!" Albert nimbrung. Albert adalah satu-satunya Cina dalam grup ini.
"Betul, Des! Aku baru dapat persen dari kakakku sebagai upahnya membantu-bantu di bengkelnya. Cukup untuk kita menginap di Tretes semalam."
"Ah, jangan. Aku kan tidak bilang pada Mas Bambang bahwa kita rencana menginap. Nanti ditunggu-tunggu," protes Dessy.
"Ah, kalau kita tidak pulang dia kan bisa menduga sendiri bahwa kita menginap," kata Yulis yang duduk di samping Kandar.
"Jangan, ah! Nanti aku tidak dipercaya lagi. Pamitnya cuma pergi setengah hari kok. Aku sudah bilang bahwa nanti malam aku pulang," kata Dessy.
"Des, masa kau mau menjadi perusak acara!" kata Taufik yang duduk di deretan bangku ketiga, persis di belakang Dessy.
"Tuh, Taufik pun setuju kalau kita menginap!" kata Iwan yang sahabat Taufik.
"Kau tidak kasihan padanya, Des?" godanya.
Seluruh isi Colt tertawa.
"Jangan, ah! Lain kali saja. Kalau memang punya rencana menginap. beri tahu aku sebelumnya supaya aku juga bisa pamit yang benar." Dessy merasa dirinya dipojokkan. Tujuh lawan satu kan tidak lucu!
"Ah, kita kan bukan anak kecil lagi, Des! Masa kau masih harus lapor pada komandan setiap kali keluar rumah!" goda Wayan yang asli dari Bali.
"Iya, Des, sama Bambang saja kok takut," kata Taufik menggelitik rasa jengkelnya.
"Kalian ini bagaimana sih!" Dessy emosi. Ia tidak suka dianggap sebagai satu-satunya penghalang rencana mereka untuk bersenang-senang, tapi ia juga tidak suka diefait-accompli macam ini.
"Justru karena aku bukan anak kecil lagi maka aku harus tahu tanggung jawab! Kalau aku sudah berkata aku akan pulang hari ini, aku akan pulang
hari ini! Itu namanya tanggung jawab! Bukannya aku takut pada Mas Bambang atau siapa, tapi aku tidak suka mengingkari janjiku! Sekali kata itu diucapkan, kita harus konsekuen menepatinya."
"Waduh, ahli filsafat kita berbicara," kata Yulis menyakitkan.
Dessy merapatkan bibirnya. Mengapa acara yang diharapkannya akan berlangsung dengan santai dan riang sekarang berubah menjadi pertengkaran? Dia selalu mengira teman-temannya adalah teman-teman yang baik semuanya, yang sejalan dan searah pikirannya, tetapi rupanya tidak!
"Sudah, ah! Kalau kalian memang menganggap aku merusak acara, biarlah aku turun di sini saja. Aku tidak ikut kalian piknik!" Dessy marah.
"Hus! Sudah! Sudah!" kata Linda menetralisasi suasana.
"Kok jadi adu mulut sih! Jangan bertengkar, ah! Dessy tidak bisa disalahkan. Kita juga sih yang tidak sedari kemarin-kemarin merencanakan untuk bermalam."
"Alaa! Dessy mana mau ikut kalau tahu kita akan bermalam di Tretes," ejek Yulis.
"Dessy kan anak Mama yang baik, mana mau bermalam di luar rumah!"
Beberapa orang tertawa.
"Betul kamu, Yul! Kalau tidak bersama ayah atau ibunya. atau pakliknya yang jangkung itu, mana Dessy berani bermalam di luar," kata Taufik menambah panas hati gadis itu.
"Memangnya kenapa?" Dessy menyerang kembali. Ia kesal dijadikan bahan olok-olok temantemannya, terlebih lagi karena Taufik justru ikut-ikutan menyindirnya-Taufik diketahuinya menaksir dirinya! "Apakah salah kalau aku bermain menurut peraturan? Jadi orang harus jantan, dong! Bicara kita harus bisa dipegang! Rencana kita ke Tretes kan untuk beramai-ramai, naik kuda, berenang, jalan-jalan, sore kita pulang. Betul tidak, Fik? Kan begitu katamu ketika kau mengajakku?"
"Iya, pada waktu itu kan aku tidak tahu kalau Kandar bakal puuya uang lebih untuk bermalam!" Taufik membela diri.
"Ya sudah kalau begitu! Pokoknya janjinya kan pulang sore harinya! Atas dasar itu aku berangkat. Sekarang kamu ngomong lain lagi! Kok katakatamu tidak bisa dipegang? Laki-laki macam apa sih, kamu!"
Suasana bergurau menjadi tegang. Untuk sejenak lamanya tidak ada yang bersuara.
"Sudah, biar aku turun saja di sini," kata Dessy memutuskan.
"Aku bisa pulang sendiri, kok. Silakan kalian terus ke Tretes. Mau nginap kek, mau pulang kek, terserah kalian!" Dessy mencoba meraih tangkai pintu mobil tapi segera dicegah oleh Linda yang duduk di sampingnya.
"Anak-anak ini memang keterlaluan, kok! Sudah, ah! jangan bertengkar! Memang kita tidak merencanakan bermalam kok, Des. Ide ini timbul begitu saja tadi ketika Kandar mengatakan di
rumahku bahwa ia baru mendapat persen dari kakaknya."
"Lha iya, silakan kalian menginap, turunkan aku di sini," kata Dessy.
"Jangan sampai nanti kalian menyesal tidak bisa bermalam gara-gara aku satu orang!"
"Iya, deh, iya, deh," kata Albert.
"Kita pulang saja nanti sore. Kita sekarang maunya kan bersenang-senang, kok jadi ribut. Aku tadi juga tidak pamit akan bermalam. Kalau aku tidak pulang, kasihan juga orang tuaku di rumah, nanti kebingungan. Kita piknik menurut rencana saja deh, pulang sore hari ini."
"Yaah, memang sial!" celetuk Yulis yang sudah lama memang tidak begitu menyukai Dessy.
"Kesempatan bagus begini dibuang begitu saja!"
"Sudah, toh, Yul!" kata Linda yang mulai ikut jengkel.
"Kok malah menambah panas suasana! Yuk, kita menyanyi saja beramai-ramai!" ajak Linda.
"Yuk, Wan. kau yang tukang ngamen, gitarmu bunyikan!"
"Eh, di belakang sesak, gitarnya nanti saja kalau sudah sampai."
"Ya ayo kita menyanyi tanpa gitar. Yuk! Nona manis siapa yang punya..."
Yana lain-lain akhirnya mengikuti juga.
**
"ANDA sebelumnya tidak pernah kemari, kan" tanya laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu kepada Helmi Rantung.
Mereka berjalan berbuntutan menyusuri jalan yang kecil berbatu. Di sebelah kanan banyak ditumbuhi semak-semak sedangkan di sebelah kirinya adalah jurang. Jalan ke air terjun Kakek Bodo sangat sempit, hanya cukup untuk dilalui satu orang saja.
"Tidak," kata Helmi Rantung yang sebetulnya sama sekali tidak ingin melihat air terjun ini. Untuk apa sih melihat air terjun? Toh hanya begitu saja-sekadar air yang jatuh dari lereng bukit. Apanya yang istimewa? Tapi ia terpaksa berangkat juga karena si tuan rumah bersikeras memamerkan air terjun ini kepadanya. Kakek Bodo cukup terkenal bagi masyarakat Jawa Timur, terutama bagi yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya. Helmi Rantung menggerutu dalam hati. Siangsiang begini yang paling enak adalah duduk-duduk di tempat yang rindang sambil menikmati mlnuman segar.
"Di Jakarta kan tidak ada air terjun," kata laki-laki tegap itu lagi.
"Di sini juga tidak ada Keong Mas," sahut Helmi Rantung datar.
Temannya terbahak.
"Di udara yang sejuk begini kita merasa lebih segar. kan? Di sini kita bisa menikmati pemandangan alam yang masih murni dan indah, belum tersentuh polusi manusia."
"Kalau mencari udara segar saja di Puncak juga ada, bahkan lebih dingin daripada ini!"
"Wah, betul! Tapi lain di Puncak lain di sini, Pak!"
"Iya, di sini sepi sekali," kata Helmi Rantung.
"Heran, tempat rekreasi begini kok sepinya bukan main. Setan saja tidak ada yang lewat!"
"Ini kan tengah-tengah minggu," kata temannya.
"Kalau akhir minggu tentu ramai. Tapi jika kita ingin menikmati pemandangan alam, memang harus mencari saat-saat yang sepi. Kalau sedang ramai-ramainya berdesak-desakan dengan orang banyak, kita sudah tidak bisa lagi menikmati keindahannya."
Mereka berjalan terus. Ranting-ranting kecil dari pohon-pohon perdu dan rumput-rumput panjang menusuk-nusuk celana. Sialan! pikir Helmi Rantung. Bisa-bisa celana gue robek di sini! Memangnya ngapain sih kemari!
"Anda sering kemari?" tanya Helmi Rantung berusaha menekan rasa jengkelnya.
"Oh, dari waktu ke waktu bersama anak-anak," kata temannya.
"Berapa anak Anda?" Kok seperti ibu-ibu yang arisan menanyakan jumlah anak segala, pikir Helmi Rantung.
"Tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Sudah remaja semuanya, bahkan yang sulung akan menikah tahun ini. Dan Anda sendiri?"
"Oh. saya masih bujang," kata Helmi Rantung.
"Wah, kenapa masih bujang, Pak? Harus cepat-cepat berumah tangga, punya hiburan kalau pulang."
"Hiburan kan bukan cuma datang dari keluarga saja," kata Helmi Rantung.
"Di jakarta ada seribu satu hiburan yang justru hanya bisa dinikmati mereka yang tidak terikat keluarga."
Kedua laki-laki ini terbahak bersama-untuk sementara berbagi rahasia laki-laki.
"Yah, itu benar," kata teman seperjalanannya.
"Ada berbagai macam hiburan. Nah, tuh! Air terjunnya sudah tampak dari sini. Yuk, kita mendekat!"
Helmi Rantung mulai merasakan percikan air dari atas yang lembut menerpa wajah dan tubuhnya. Memang indah. Deru air yang dicurahkan ke bawah dan pecah di atas batubatuan untuk kemudian mengalir dengan deras memang merupakan pemandangan yang menyentuh hati.
"Mari duduk di batu ini!" ajak si tuan rumah yang sudah lebih dahulu mencopOt sepatunya dan
berjalan dengan tangkasnya di atas batu-batuan kali yang besar dan basah.
Helmi Rantung ingin menolak. Untuk apa berbasah-basah di sini? Kalau mau mandi, ya masuk ke kamar mandi. Di sini angin membawa butiran-butiran air halus seperti hujan beribu jarum membasahi dirinya. Tapi sebagai tamu ia harus bersikap menghargai upaya si tuan rumah yang sudah jauh-jauh mengajaknya kemari untuk memperkenalkan hawa pegunungan di daerah Jawa Timur.
Mereka duduk di atas sebuah batu besar, membelakangi air terjun yang menderu dengan tak acuhnya.
"Bukankah begini lebih baik daripada duduk di kantor yang panas, Pak Helmi?"
"Oh. tentu. Tapi tugas saya kemari bukannya untuk meneliti air terjun, Pak!" sahut Helmi Rantung teringat akan tujuan aslinya ia menginjakkan kaki di bumi Surabaya ini.
"Semuanya itu kan bisa diatur, Pak Helmi! Anda pulang dengan membawa laporan bahwa semuanya baik, itu kan sudah cukup. Buat apa harus susah-susah memeriksa!"
"Wah, nggak begitu caranya, Pak. Saya tetap harus mendatangkan seorang ahli untuk memeriksa sendiri nesin-mesin Anda. Saya lihat kemarin di beberapa tempat rasanya ada cat yang mengelupas dan lapisan di bawahnya berwarna lain. Ini patut dicurigai! Mungkin Anda telah tertipu suplaier yang di luar negeri itu," kata Helmi Rantung
sengaja tidak menuduh tuan rumahnya sendiri.belum! Itu bisa menunggu sampai ia betul-betul sudah pasti bahwa kecurigaannya dapat dibuktikan.
"Mungkin Anda telah dikirimi mesin-mesin bekas. Saya harus mencari bukti apakah benar demikian. Anda tahu. kan, perusahaan patungan seperti ini tidak diizinkan memasukkan mesin bekas."
Laki-laki yang duduk di sampingnya itu tidak bersuara. Kepalanya tertunduk, kakinya yang telanjang mempermainkan air yang mengalir di bawahnya.
"Terus terang saja, Pak-di antara kita nih-mesin mesin itu memang bukan baru. kan?" desak Rantung dengan jantung berdebar.
"Anda tetap berniat memeriksakannya?"
"Ya. Itu tugas saya."
"Bagaimana kalau Anda laporkan saja bahwa semuanya tidak ada yang perlu diragukan? Kami tidak akan melupakan jasa Pak Helmi."
Helmi Rantung membuat kalkulasi di luar kepala. Kalau sekarang dia menerima baik uang tutup mulut yang ditawarkan ini, memang dia bisa menikmatinya. Tapi untuk berapa lama? Uang itu akan habis juga seperti uang-uang panas lainnya yang pernah lewat tangannya. Sebaliknya, iika ia berhasil membongkar kasus ini. bisa menunjukkan adanya permainan dalam pengimporan mesinmesin bekas ini, harapan besar dia akan mendapat nilai plus-baik dari instansinya sendiri, maupun dari masyarakat yang akan membaca beritanya di
surat-surat kabar. Siapa tahu ini akan mengantarnya ke gerbang kenaikan pangkat! Uang panas akan habis begitu saja"-kalau tidak berakhir di dompet Merina, ya di dompet perempuan lain. Tapi kenaikan pangkat bisa dinikmatinya sampai pensiun kelak! Satu jenjang terlampaui, berarti satu jenjang lebih mendekati puncak kariernya. Ini perlu diperjuangkan!
Helmi Rantung menggelengkan kepalanya.
"Anda mau menyogok pejabat?" tanyanya sombong. Ini merupakan pertama kalinya ia menolak pemberian yang demikian, tapi ia sudah merasa seakan-akan dirinya orang yang selalu punya prinsip teguh dan terbiasa memandang rendah kepada orang orang yang suka menyuap seakan-akan mereka adalah penderita lepra yang menjijikkan.
"Bukannya begitu. Pak," kata si tuan rumah cepat.
"Tapi, yah, bagaimanalah caranya agar kita bisa bekerja sama. Anda jangan menyusahkan saya dan saya akan berterima kasih kepada Anda."
"Anda yang menyusahkan diri sendiri," kata Helmi Rantung.
"Saya kan tidak menyuruh Anda mengimpor mesin bekas. Bagaimana kalau semua investor asing berbuat demikian? Kan akhirnya setelah mereka meninggalkan Indonesia yang tersisa di sini cuma besi tua yang tidak bisa dipakai lagi!"
"Sudahlah, Pak, kita kompromi saja."
"Mengapa Anda sengaja melanggar peraturan?" tanya Helmi Rantung sok pejabat jujur.
"Yah, sebenarnya kami sih tidak mau berbuat demikian, Pak. Tapi terpaksa. Kalkulasi kami yang pertama ternyata meleset jauh dari kenyataannya. Kami terlambat menyadari bahwa dana untuk membangun pabriknya lebih kecil dibanding biaya yang harus kami keluarkan."
"Kan tidak ada persoalan! Pemiliknya begitu kaya, perusahaannya bermacam-macam. Suruh dia nambah dananya lagi, dong!"
"Wah, tidak semudah itu, Pak! Anda kan tahu bahwa kami punya patner asing. Kalau pihak Indonesianya menambah modal, perbandingan sahamnya kan sudah tidak sesuai lagi dengan izin yang dikeluarkan BKPM. Untuk mengembalikan perbandingan saham dalam proporsi yang sama dengan semula, berarti patner asingnya juga harus menambah modal, dan dia belum tentu mau. Apalagi semua perubahan mengenai jumlah modal dan perbandingan kepemilikan saham harus seizin BKPM. Proses ini kan sulit dan makan waktu, Pak. Pekerjaan kami bisa terbengkalai berbulan-bulan.
"Jadi untuk menutup kekurangan dana kami, terpaksa kami mendatangkan mesin-mesin bekas yang lebih murah. Di faktur dan dokumen impor lainnya memang tercantum sebagai barang baru dengan harga baru, tapi kami membayar lebih murah kepada eksportir. Kalau tidak begitu pabrik ini bisa tidak keruan jadinya. Lagi pula mesinmesin yang kami datangkan itu semuanya masih dalam keadaan bagus, Pak. Kami juga tidak mau membeli mesin yang tidak bisa kami pakai.
Bukankah kami masih harus mengembalikan rentabilitas modal yang sudah tertanam ini, Pak? Jadi, yah, saya mohon kebijaksanaan Andalah!"
"Saya tidak tahu segala urusan rentabilitas. Pokoknya dengan mengimpor mesin-mesin bekas ini Anda telah melanggar peraturan. Izin usaha Anda bisa dicabut, paling tidak dibekukan sampai sempat diadakan pemeriksaan."
"Mengapa Anda terus memojokkan saya, Pak? Anda tahu dalam waktu kurang dari dua minggu lagi perusahaan ini akan diresmikan pembukaannya. Kami sudah siap beroperasi. Kami sudah menyediakan lapangan kerja untuk seratus lima puluh orang pada tahap pertama. Kalau semua ini harus digagalkan karena laporan Anda. bayangkan berapa banyak orang yang akan dirugikan! Jadi dalam hal ini saya mengimbau bukan saja demi kepentingan perusahaan, tapi juga demi kepentingan nafkah seratus lima puluh karyawan yang menggantungkan kelangsungan hidup mereka pada perusahaan ini."
"Anda pintar bicara," kata Helmi Rantung dingin.
"Sayangnya saya bukan Menteri Tenaga Kerja. Saya tidak terlibat pemikiran nafkah seratus lima puluh orang karyawan Anda. Yang menjadi tugas saya adalah menjalankan pemeriksaan atas kebenaran pelaksanaan izin usaha Anda. Kalau terjadi penyimpangan, saya harus melaporkannya."
Laki-laki yang duduk di sampingnya itu menengadahkan kepalanya.
"Masa hal ini tidak bisa kita selesaikan secara damai?" tanyanya.
"Tidak bisa," kata Helmi Rantung tegas.
"Besok saya akan menyampaikan laporan ke kantor saya agar mereka mengirim seorang ahli kemari. Sebetulnya dengan pengakuan Anda ini saja saya sudah berani bertindak, tidak perlu penegasan seorang ahli. Nah. kalau Anda mau bekerja sama dengan memberikan pengakuan secara tertulis sekarang. barangkali nanti bisa saya usahakan agar Anda mendapat keringanan hukuman."
"Keringanan hukuman? jadi maksud Pak Helmi saya akan diajukan ke meja hijau, toh?"
"Setiap pelanggar harus menghadapi konsekuensinya."
Laki-laki itu merapatkan bibirnya. Matanya mengeluarkan sinar yang membahayakan.
"Jadi Pak Helmi tidak akan melepaskan saya dari kesulitan ini?"
"Menyesal sekali, tapi saya pejabat negara," kata Helmi Rantung sombong. Alangkah sedapnya bisa berkata demikian.
Laki-laki itu menghela napas panjang, mengangkat bahunya.
"Kalau memang tidak dapat dicegah, ya apa mau dikata." katanya tenang.
"Saya kira sebaiknya kita kembali," usul Helmi Rantung. Sekarang segala yang mengganjal di antara mereka sudah dibicarakan. tak ada lagi
gunanya mereka bermain sandiwara di sini sebagai dua orang teman yang sedang berhandai-handai.
"Ya, sebaiknya kita kembali."
Helmi Rantung berdiri, melangkahkan kakinya melompati batu besar ketika tiba-tiba suatu hantaman keras di belakang kepalanya mengirimnya terpelanting terjerembab ke depan. Untuk sesaat lamanya ia masih merasakan air masuk ke dalam hidungnya. lalu semuanya menjadi gelap.
**
"Kok sok perawan pingitan, Sih, Des," kata Taufik yang sedang berjalan di sisi Dessy.
Mereka baru saja selesai makan siang setelah berenang di kolam renang Dirgahayu. Ketika Dessy bangkit untuk berjalan-jalan, Taufik menyertainya. Teman temannya yang lain tahu diri. tidak ingin mengganggu kedua orang ini.
"jadi kawanggap sikapku tadi sikap perawan yang dipingit?" tanya Dessy ketus. Sepanjang hari ia berusaha melupakan pertengkaran mereka di mobil. Atas usaha Linda dan beberapa teman lainnya akhirnya Dessy terselimur juga dan ikut tertawa bersama mereka. Eh, kok si Taufik ini mengungkit-ungkit lagi luka yang tadi!
"Kau sih yang terlalu sering berkumpul dengan paklik-mu itu," kata Taufik yang sering melihat Gozali di rumah keluarga Kosasih setiap kali ia ke sana untuk bertandang.
"Memangnya apa hubungannya paklik-ku dengan hal ini?" tanya Dessy heran.
"Paklik-mu kalau bicara kan begitu. Anak muda harus sadar akan masa depannya, harus punya prinsip, harus begini, harus begitu. Aku pernah diajaknya berbicara dua-tiga kali, aku sudah muak! Kayak berkumpul dengan imam besar saja!"
"Lho, memangnya nasihatnya salah?" terbit amarah Dessy mendengar ada temannya menghina Gozali.
"Ya tidak salah, tapi kan tidak selalu itu-itu saja yang dibicarakan!"
"Kepada kami ia tidak pernah bicara begituan!" kata Dessy.
"Lik Ali orangnya humoris, banyak bergurau, bisa menyelami jiwa kami semua. Mungkin hanya padamu saja ia bicara begitu karena ia melihat kau membutuhkannya!" Dessy mencibir. Dia tidak senang ada yang menjelekjelekkan Gozali. Selain ayah dan ibunya, Gozali adalah figur yang dihormatinya.
"Alaaa, kau saja sih yang sudah kebal, sudah tidak merasa. Lha namanya kau sendiri sudah ketularan kok! Tambah lama kau sendiri kalau bicara sudah seperti itu. Kau dan Bambang, kalian sama-sama sok, sok pahlawan, sok pemuda generasi penerus, sok tanggung jawab. Tai kucing semua itu! Kau tahu, sebetulnya kami menertawakan kalian di balik punggung kalian!"
Merah padam wajah Dessy.
"Oh, begitu? Kalau begitu mengapa kau masih mengajakku kemari? Mengapa kau masih berteman denganku? Mengapa kau masih datang ke rumahku? Kalau kau tidak suka caraku berbicara, lebih baik kau tidak usah berteman dengan aku!"
Taufik melunakkan suaranya.
"Lho, bukannya begitu, Des! Kau ini anak yang manis, cantik, aku sangat tertarik padamu. Tapi kau ini aneh, kau menjadi aneh! Kau menjadi tua sebelum masanya. Mbok bersikaplah seperti anak-anak yang lain kenapa sih! Kita kan hidup di abad kedua puluh. kita bukan hidup di zaman Siti Nurbaya!"
"Nilai kehidupan tidak seharusnya berubah karena zaman berubah, Fik!" kata Dessy ngotot.
"Kalau di zaman Siti Nurbaya berbohong itu dosa. di zaman nuklir ini pun nilai itu tidak seharusnya berubah. Kalau di zaman Siti Nurbaya dulu laki-laki itu harus bersikap jantan. di zaman kita ini pun laki laki harus bersikap jantan, harus bisa dipercaya mulutnya! Yang berubah itu kemajuan teknologinya. tapi nilai-nilai kehidupan tidak! Justru dengan bertambah pandainya manusia seharusnya akhlaknya lebih tinggi! Kalau dulu zaman batu orang makan orang, apa sekarang kita masih mau membenarkan orang makan orang juga? Nilai kehidupan itu hanya boleh bertambah tinggi. bertambah luhur. bukannya bertambah merosot!"
"Waduh, kau! Diberi tahu semakin menjadijadi! Nilai kehidupan tai kucing segala!" Taufik mengentakkan kakinya. Hatinya sangat jengkel. Maksudnya kemari sebenarnya mencari kesempatan bisa berpacaran dengan gadis cantik yang ditaksirnya ini, tidak tahunya semuanya gagal batal!
"Uh. hanya manusia semacam kau yang tidak tahu apa nilai-nilai kehidupan!" kata Dessy pedas.
"Kau cuma bisa mengejar cewek, piknik. ngebut di jalan, itu saja! Pernahkah kaupikirkan sepuluh tahun dari sekarang kau akan menjadi apa?"
"Aku akan menjadi insinyur kimia yang ahli! Tapi sekarang aku ingin bisa menikmati hidup, mumpung aku masih muda! Lagi pula sekarang libur, apakah aku harus mikirin kuliah saja!" Taufik tak kalah ngototnya. Urat-uratnya di leher menegang.
"Aku tidak bermaksud menanyakan kariermu," kata Dessy sinis.
"Biar kau jadi insinyur kimia kek, jadi dokter hewan kek, bukan urusanku! Maksudku, kau akan menjadi manusia macam apa! Kalau sekarang saja mulutmu tidak bisa dipercaya, jangan-jangan kelak kau hanya menjadi insinyur kimia yang tukang nipu orang!"
"Eh, Des! Mentang-mentang kau ngira aku naksir dirimu lalu kau ngomong seenak udelmu, ya! Kau tidak mau berteman denganku ya sudah! Jangan mengata-ngatai aku segala macam! Kau memang tidak pantas berteman dengan pemuda sebaya aku. Kau seharusnya berkumpul dengan orang'orang tua. dengan paklik kesayanganmu yang potongannya seperti tiang listrik bengkok ketubruk mobil itu!"
Dessy menghentikan langkahnya.
"Apa kaubilang?" Mata Dessy melotot.
"Biar paklik-ku seperti tiang liStrik atau seperti gajah bengkak, urusan apa itu dengan dirimu? Ia sejuta kali lebih baik daripada dirimu! Ia adalah laki-laki yang jantan, yang bisa dipegang kata-katanya, yang bisa diandalkan janjinya, yang punya pendirian dalam hidupnya! Ia adalah manusia yang sejuta kali lebih berharga daripada kau! Kau punya kesempatan yang lebih baik, punya keluarga yang mampu membiayai dirimu, bisa bersekolah sampai perguruan tinggi, bisa menikmati semua fasilitas anak orang kaya-kau punya segala sesuatu yang tidak pernah dipunyai paklik-ku. Tapi kau sebagai manusia tidak ada apa-apanya yang bisa dibanggakan."
Taufik membalikkan badannya dan meninggalkan Dessy yang masih berdiri di sana.
Dessy mendapatkan dirinya berjalan menyusuri jalanan kecil berkerikil di antara rumput-rumput tinggi. Tanpa disadarinya rupanya ia sudah membelok masuk ke jalan yang menuju air terjun Kakek Bodo.
Ah, biarlah, pikirnya. Berkumpul dengan mereka ternyata tidak menyenangkan juga. Aneh, mengapa selama ini ia tidak merasa bahwa sebenarnya ia tidak sejalan pikirannya dengan teman-temannya. Benarkah seperti yang dituduhkan Taufik tadi? Benarkah sebetulnya di balik punggungnya ia hanya menjadi bahan tertawaan mereka? Benarkah dia telah terlalu banyak meniru sikap Lik Ali?
Dessy meneruskan langkahnya. Sepi. Sesekali ia mendengar cicit burung di antara pepohonan yang tumbuh tak teratur di-kanan-kirinya. Tak ada seorang manusia pun yang lewat.
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak, pikirnya. Aku harus punya prinsip sendiri. Kalau mereka tidak cocok dengan prinsipku. berarti mereka tidak cocok menjadi teman-temanku. bukannya aku yang harus membohongi diri sendiri dengan berkompromi dengan prinsipku sendiri.
Pikirannya melayang ke Gozali. ke laki-laki jangkung yang sudah lebih dari delapan tahun masuk ke dalam kehidupan keluarganya.
Sejak kecil dia sudah terbiasa memandang Gozali sebagai orang yang selalu bisa diandalkannya-orang yang selalu ada bilamana dibutuhkan-orang yang menyemarakkan meja makan keluarganya-orang yang begitu akrab dengan ayahnya orang yang kaya dengan humor dan cerita-cerita yang menarik. yang tidak pernah terlalu repot untuk mengajaknya bercerita setiap kali mereka bertemu, entah itu di depan pintu kamar, di ruang tamu. di dalam dapur atau di beranda rumah. Seluruh keluarganya mengandalkan orang ini-ayahnya, ibunya. saudara-saudaranya. Ia selalu ringan tangan membantu semua ketentuan mereka. Sejak saat pertama Lik Ali ini
masuk ke dalam keluarganya, ia sudah langsung menjadi bagian dari hidup mereka-membagi kegembiraan mereka, memikul kesedihan mereka. Dessy tidak bisa membayangkan bagaimana hidup ini selanjutnya tanpa dimeriahkan oleh kehadiran Lik Ali.
Di dalam hatinya Dessy bersyukur bahwa sejauh ini hatinya masih belum terpikat oleh Taufik- atau oleh lelaki siapa pun! Mereka memang satu grup yang kompak-atau begitulah sangkanya taditiga gadis dan lima jejaka. Mereka pergi bersama, berpiknik bersama, mengadakan kegiatan bersama walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda.
Tadinya Dessy cukup bangga akan grupnya ini, namun sekarang dia mulai sadar bahwa mereka sebenarnya masih belum dewasa. Tetapi betapa pun besar rasa kecewanya terhadap grupnya sebagai satu keseluruhan, terlebih besar lagi kecewanya terhadap Taufik.
Kandar memang suka omong besar, tapi ia toh menghormati kemauannya. Iwan dan Wayan hanya ikut-ikutan. sedangkan Albert akhirnya malah memihaknya, membenarkan sikapnya. Linda memang sedikit lebih bebas pergaulannya karena kurang mendapatkan perhatian orang tuanya di rumah, tapi Linda pasti mengikuti kehendaknya karena ia sahabatnya. Sedangkan Yulis, nah, Yulis memang memusuhinya dan itu bisa dimengerti. Yulis menyukai Kandar padahal Kandar masih sering memberikan perhatian
khusus padanya. Lumrahlah apabila Yulis cemburu.
Hanya sikap Taufik yang tidak bisa dimaafkannya! Taufik seorang yang terang-terangan menentangnya. Taufik mengatakan dirinya sok perawan pingitan! Taufik mengatakan dia sok pahlawan. sok baik, sok generasi penerus! Taufik mengatakan dia masih hidup di zaman Siti Nurbaya! Jadi nota bene Taufik menganggapnya kuno!
Dessy menemukan dua batu besar yang berhadap-hadapan di jalanan yang sempit itu. Ia duduk di atas yang satu dan meletakkan kedua belah kakinya di atas yang lain. Dia ingin berpikir
Ya, sedari kecil Lik Ali telah mengajarnya bahwa jika ada hal yang membingungkan, jangan bertindak. Duduklah dan berpikir dengan tenang. Dalam setiap masalah yang paling utama dan pertama harus dicari adalah motifnya. Oke, kata Dessy dalam hati. motif! Apa motif Taufik marah?
Segera jawaban itu timbul di kepalanya. Taufik marah karena Dessy tidak bersedia menginap. Sekarang pertanyaan selanjutnya. Apa morifnya Taufik mendesak Dessy menginap?
Jawaban itu pun muncul tanpa banyak kesulitan di benaknya. Ada beberapa kemungkinan. Satu, mungkin Taufik ingin mencoba apakah dia adalah seorang gadis yang mau bergaul bebas, yang bisa keluar-masuk rumah sesukanya. yang mencari kesempatan mengelabui orang tua begitu orang tuanya tidak ada.
Dua dan ini yang lebih jelek lagi-Taufik mungkin ingin memakai kesempatan ini untuk mempedayanya! Memang mereka pergi berdelapan, tapi semua temannya tahu bahwa Taufik menaruh hati padanya. Seandainya Taufik mau merayu, yang lain-lain pasti akan memberinya kesempatan-solidaritas di antara teman! Kandar yang tidak pernah bersikap serius akan menganggapnya suatu permainan yang asyik. Iwan yang sahabat Taufik pasti akan membenarkan setiap langkah temannya. Albert dan Wayan terlalu penakut untuk berani menentang. Di pihak gadis-gadis, Yulis sudah pasti tidak akan membantunya. Malahan mungkin dia akan mendorong Taufik karena apabila Taufik sudah mendapatkan dirinya, berarti Kandar pasti mundur teratur dan Yulis bisa memon0polinya. Satu-satunya yang mungkin akan membantunya cuma Linda, sahabatnya. Tapi Linda sendiri kurang bisa berpikir panjang. jadi tidak dapat terlalu diharapkan.
Dessy bergidik. Seandainya ia mau menuruti kehendak teman-temannya menginap di sini, bisa-bisa ia terjerumus ke dalam posisi yang akan disesalinya seumur hidup!
Dessy bersyukur bahwa ia bukanlah gadis yang lemah dan takut menentang mayoritas. Dia bersyukur dia punya cukup kemauan teguh untuk mempertahankan prinsipnya kendatipun ini berarti putusnya hubungannya dengan Taufik. Tapi ini lebih baik, pikir Dessy. Sekarang aku tahu isi hatinya yang sebenarnya!
Taufik mengatakan bahwa Lik Ali sering memberinya nasihat. Lik Ali sendiri tak pernah sekali pun mengatakan bahwa ia pernah menasihati Taufik. Juga tidak seperti biasanya Lik Ali mengobral nasihat. Mengapa Taufik bisa mempunyai kesan demikian?
Dessy tahu bahwa Gozali memang punya indria keenam yang membuatnya selalu dapat menebak watak seseorang dengan tepat. Barangkali setiap bertemu dengan Taufik. Lik Ali melihat ada sifat-sifat jelek dalam diri pemuda ini yang perlu diluruskannya, sehingga ia memberinya nasihat. Sekarang terbukti memang Taufik bukan pemuda yang bisa dibanggakan, bukan pemuda yang jantan, bukan pemuda yang menghormati nilainilai kehidupan! Untung aku tahu sebelum terlambat, pikir Dessy.
"Permisi!"
Dessy mengangkat kepalanya dan melihat seorang laki-laki yang tinggi tegap berdiri di sampingnya. Laki-laki ini berusia sekitar empat puluhan-kira-kira sebaya ayahnya. Pada dagunya ada sebuah tahi lalat yang agak besar. Dessy terkejut dengan munculnya orang ini entah dari mana.
"Ya?" tanya Dessy bodoh.
"Saya tidak bisa lewat. Kaki Anda itu..."
"Oh! Maafkan!" kata Dessy cepat-cepat menarik kedua kakinya yang terletak horizontal di atas batu besar di hadapannya.
Laki-laki itu lewat tanpa berkata apa-apa lagi.
Dessy melihat arlojinya. Hampir setengah empat! Kalau ia mau tiba di rumah sebelum waktu makan malam, mereka harus bersiap-siap berangkat sekarang. Dessy mengangkat pantatnya dan mulai menyusuri kembali jalan kecil yang tadi dilewatinya.
Dia masih melihat punggung laki-laki yang tadi berlalu timbul tenggelam di antara daun-daunan pepohonan yang menghalangi pemandangannya. Rupanya ia berjalan dengan langkah-langkah panjang karena sekejap saja ia sudah menghilang dari pandangan.
Laki-laki itu mempercepat langkahnya hingga ia tiba di mulut belokan di mana jalanan kecil ini bertemu dengan jalan besar.
"Oom!"
Setengah terkejut dia berpaling lalu menengadah. mencari arah datangnya suara. Kemudian dia melihat orang yang menyapanya. Ia melambaikan tangannya tanpa berhenti. malah semakin tergesa ia menuju ke tempat di mana mobilnya diparkir.
Sial benar hari ini. pikirnya. Bertemu dengan gadis tadi yang tidak mengenalnya sudah cukup mengejutkannya, apalagi sekarang bertemu dengan kemenakannya sendiri! Mudah-mudahan mereka tak ada yang mengingat pertemuan hari ini!
***
Perjalanan pulang diwarnai oleh lagu-lagu riang yang disuarakan oleh semua kecuali Taufik. Dessy
yang kemauannya sudah dihormati dan dituruti oleh teman-temannya. memutuskan untuk melupakan insiden tadi pagi dan bergabung dalam gurawan dan nyanyian mereka. Dengan sedikit bangga Dessy menepuk dadanya sendiri di dalam hati. Ah. kiranya mereka masih anak anak, belum matang, tidak seperti dirinya!
Ternyata tak seorang pun menyesali keharusan mereka kembali ke kota pada hari yang sama tak seorang pun kecuali Taufik! Taufik yang merasa dirinya dikalahkan oleh teman-temannya, duduk membisu sambil merajuk. Hatinya merasa lebih panas lagi setelah melihat Dessy malah bergembira bersama yang lain.
Taufik juga marah kepada Kandar yang memutuskan untuk kembali hari ini. Tadinya ia bermaksud mendesak Kandar dan yang lain-lain untuk tetap bermalam di Tretes. Biarlah Dessy yang sok suci pulang sendiri kalau ia mau pulang. Biar tahu rasa! Tapi ternyata Kandar mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih besar daripada dirinya. Dan Taufik merasa malu! Malu pada dirinya sendiri-malu pada Kandar.
Kandat mengatakan,
"Aku kepala rombongan, Fik, aku yang mengajak semua. Aku yang wajib memulangkan semua."
Tak seorang pun dalam rombongan itu yang menyalahkan sikap Dessy bersikeras mau pulang. Mereka membayangkan bahwa orang tua mereka tentunya khawatir juga apabila mereka tidak
pulang begitu saja tanpa memberi kabar. Tak seorang pun akhirnya mendukung ide Taufik. Dan Taufik merasa kecil, merasa disepelekan oleh teman-temannya, merasa dianggap tidak sportif.
Tadi sewaktu ia kembali seorang diri tanpa Dessy, Kandar menegurnya,
"Kau seperti anak kecil saja, Fik! Sebagai laki-laki harus berjiwa besar! Kalau kalah ya ngaku kalah! Kok ngambek secara tidak sportif begini! Apalagi kamu menghadapi cewek. Lumrah kan kalau kita yang laki-laki ini mengalah sama cewek!"
Merah padam wajah Taufik mendapat teguran itu di depan teman-temannya-walaupun pada saat itu Dessy tidak ada. Sejak waktu itu ia tidak lagi membuka mulutnya. Bahkan dengan Iwan sahabatnya sendiri pun dia tidak mau berbicara.
Sekarang duduk di tengah-tengah bangku terakhir Colt yang melaju ke Surabaya ini, Taufik merasa tersiksa. Ia telah dibuat malu hari ini, dibuat malu oleh seorang gadis! Dia harus bisa membalas!
Dan sepanjang perjalanan pulang ini Taufik mencari-cari akal bagaimana caranya ia bisa membalas Dessy, bisa membuat gadis ini bertekuk lutut menyembah kakinya!
Begitu Dessy turun dari mobil di depan rumahnya., pintu rumah sudah terbuka dan adiknya-Teti-keluar menjemputnya.
"Mana oleh-olehnya, Mbak?" tanya Teti.
Sambil melambaikan tangannya kepada temantemannya yang masih ada di dalam mobil, Dessy menggandeng adiknya masuk.
"Hari ini sepi, tidak ada yang berjualan."
"Jadi tidak bawa oleh-oleh ?" tanya Teti kecewa.
"Apa coba oleh-oleh khas dari Tretes?" tanya kakaknya.
"Tetel ketan!"
"Kalau besok Mbak buatkan, bagaimana?"
"Dengan srikayanya sekali, Mbak?"
"Ya, dengan srikayanya."
"Mau, Mbak!"
Sambil tertawa mereka masuk ke belakang.
"Mas, aku pulang!" kata Dessy mencari kakaknya.
"Yo! Aku masih mandi!"_5ahut Bambang.
"Apa untuk makan malam?" tanya Dessy pada adiknya.
"Lodehnya masih?"
"Masih, Mbak, tapi tinggal sedikit."
"Lalu Mas Bambang masak?"
"Enggak, Mbak. Katanya biar Mbak saja yang masak," Teti cengar-cengir.
"Sialan!" kata Dessy.
"Lik Ali katanya mau kemari malam ini," kata Teti.
"Siapa bilang?"
"Tadi ia kemari sebentar, terus pergi lagi. Katanya masih ada sedikit urusan tapi sebentar malam kembali."
"Kalau begitu harus masak, Tet! Nanti kasihan Lik Ali cuma kebagian lodeh sedikit."
"Katanya nanti malam Lik Ali mau mengajak kita makan nasi campur di Embong Malang," kata Teti.
oh, Ya?
"Iya, sambil jalan-jalan ke Pasar Blauran, katanya."
"Kalau begitu, aku tidak perlu masak sekarang," kata Dessy.
"Masak besok pagi saja buat sarapan."
"Iya. Mbak. Nanti kita makan nasi campur. Lik Ali sudah janji kok."
Bambang keluar dari kamar mandi.
"Mas, tadi Lik kemari mencari apa?"
"Cuma mau ngajak kalian jalan-jalan ke Blauran saja."
"Kok 'kalian'?" tanya Dessy keheranan.
"Mas juga, kan?"
"Aku ada acara," kata Bambang menyeringai.
"Acara apa?"
"Biasa, wakuncar!"
"Lho, wakuncar ke mana? Kok aku tidak tahu Mas sudah punya pacar!"
Bambang terbahak.
"Pacar sih belum, tapi aku baru saja berkenalan dengan gadis yang cantiiiik sekali. Sore ini aku mau ke rumahnya."
"Eh, siapa namanya, Mas?" tanya Dessy tertawa.
"Rahayu. Tapi jangan bilang sama Bapak, lho! Nanti bingung lagi," pesan kakaknya.
"Memangnya Mas mau serius sama Rahayu ini?"
"Ah, namanya kenal saja baru seminggu! Enggak, aku cuma mau berteman kok. Sama-sama bertemannya kan enak milih yang cantik, betul nggak?"
"Idih, Mas! Kalau semua orang milih yang cantik, yang jelek nggak kebagian, dong!"
"Ah, Tuhan itu adil, Des. Standar kecantikan itu tidak sama di mata semua orang. Mungkin yang aku anggap cantik di mata orang lain justru dianggap jelek. Yang aku anggap jelek, mungkin malah dianggap orang cantik. Ini kan sudah diatur dari atas, Des! Supaya tidak rebutan! Kalau semua orang melihatnya sama, wah, kan rebutan nggak keruan."
"Ab, masa begitu! Kalau cantik ya cantik, yang jelek ya jelek, Mas!"
"Kecuali yang cantiknya bukan main dan yang jeleknya bukan main, baru tidak diragukan lagi kategorinya. Tapi asal tidak keterlaluan saja jeleknya, masih ada kok yang menilainya manis. Kan sama misalnya orang membeli mobil. Ada beratus-ratus model dan merek. Orang yang senang Mercedez mengatakan mobil Volvo itu jelek. Sebaliknya orang yang senang Volvo, mengatakan mobilnya nomor satu. Lihat saja mobil VW kodok yang begitu populer beberapa tahun yang lalu. Menurut aku wah jeleknya bukan main, persis seperti kodok bentuknya. Kalaupun aku punya uang, nggak bakal aku mau beli mobil
itu! Tapi ternyata orang lain banyak yang suka, malah sampai sekarang masih ada yang mencarinya walaupun model itu sudah tidak diproduksi lagi!"
"Mbok besok saja Mas wakuncar ke sana. Malam ini kita pergi bersama Lik Ali," kata Dessy.
"Tadi aku sudah bilang kok sama Lik bahwa aku tidak bisa ikut. Aku kan tidak tahu ia bakal mengajak kita malam ini, padahal dengan Rahayu aku sudah terlanjur berjanji ke rumahnya."
"Kau rugi, lho. nanti., tidak makan nasi campur!"
"Wah, betul katamu! Aku makan dulu kalau begitu. Lodehmu aku habiskan. ya?"
"Ya."
"Senang ya, Mbak, jalan-jalan ke Pasar Blauran!" kata Teti.
"Hm-em, tapi janji lho, Tet, ini cuma jalan-jalan, tidak membeli barang ! Nanti kalau Lik Ali menawari mau beli apa, jangan minta apa-apa, lho, Tet!"
"Enggak, Mbak. Teti kan tidak pernah minta."
"Kau memang tidak minta, tapi matamu melihat terus. Lik Ali kan bisa merasa bahwa kau menginginkan sesuatu. Contohnya dulu sewaktu kita pergi bersama itu, kau tidak ingat kau membaca buku komik di toko buku? Kan akhirnya komik itu dibelikan Lik Ali untukmu!"
"Habis, ceritanya asyik, sih, Mbak."
"Kalau buku itu bukan buku kita, belum kita beli, jangan lancang membaca! Untung si pemilik toko itu tidak marah. Lain kali kalau masuk ke
toko apa pun, jangan memegang barang-barang yang ada di sana kecuali kita memang berniat dan punya uang untuk membeli. Melihat cukup dengan mata saja, tangan tidak boleh memegang. ya?"
"Iya, Mbak."
"Sekarang Mbak mau mandi. Teti tolong panaskan lodehnya untuk Mas Bambang, ya!"
"Ya. Mbak!"
Dessy tersenyum. Adiknya yang berusia lima belas tahun ini adalah anak yang baik, penurut, dan mudah diatur. Hitung-hitung semua saudaranya baik-baik, menyenangkan
Dessy bersyukur lahir dalam keluarga ini.
**
Di warung di mana mereka sedang makan nasi campur, ternyata Gozali bertemu dengan seorang kenalannya yang bernama Yusuf.
"Hei, Goz! Lama kita tidak bertemu!" kata Yusuf yang baru saja memarkir motornya dan melepaskan helmnya.
Gozali hanya nyengir sambil mengangkat tangannya. Di sampingnya Dessy memalingkan kepala sedangkan Teti sibuk meneruskan makannya.
Yusuf mengambil tempat duduk di samping Gozali lalu menyodok iganya.
"Eh, istrimu cakep, lho!" bisiknya.
"Yang mana?" tanya Gozali tenang.
"Yang mana lagi! Tuh, yang duduk di sampinginu!" bisiknya sedikit lebih keras.
Dessy yang sempat mendengar kalimat terakhir ini, mengangkat kepalanya dan memandang lurus kepada si pembicara.
Yusuf mengangguk hormat.
"Selamat malam, Bu," katanya.
Dessy tersenyum kecut. Sialan. pikirnya. Masa aku dipanggil "Bu"! Memangnya sudah seperti
ibu-ibu? Tapi ia membalas anggukan itu dan meneruskan makannya.
Yusuf menyodok temannya lagi.
"Itu adik istrimu? Cantik juga, lho!"
"Des," kata Gozali dengan suara normal.
"Nih temanku bertanya apakah Teti itu adik istriku. Kau dikiranya isteriku."
Serta merta Yusuf terperanjat.
Dessy tertawa cekikikan.
"Lho, memangnya bukan, toh, Mbak?" Panggilan "Bu" sudah berganti "Mbak".
"Kalau kau mau berkenalan, bilang terus terang," kata Gozali.
"Tapi awas kalau niatmu jelek. Gigimu bisa rompal duluan!"
"Eh, eh, galak betul kau, Goz.!" Yusuf tertawa. Lalu ia menyodorkan tangannya kepada Dessy.
"Kenalkan. nama saya Yusuf."
Dessy memperlihatkan tangannya yang berlepotan nasi dan bumbu.
"Salamannya ditunda kapan-kapan saja, ya, Mas," katanya sambil tertawa.
"Siapa itu, Goz?" bisik Yusuf lagi setelah Dessy meneruskan makannya.
"Di mana kaudapat cewek secantik itu?"
"Des, ini si Yusuf tanya lagi. Ia ingin tahu siapa kau ini dan di mana aku bisa mendapatkan cewek secantik dirimu," kata Gozali.
Kontan telinga Yusuf merah lagi.
"Sialan!" makinya.
Dessy tidak menjawab tapi tertawa cekikikan lagi, diiringi juga oleh gelak Teti.
Tak lama lagi mereka sudah selesai makan, lalu berlalu duluan.
"Siapa sih itu, Lik?" tanya Dessy setelah mereka keluar dari warung itu.
"Teman lama, punya usaha percetakan. Masih bujang pula," kata Gozali.
"Orangnya lucu. ya, Lik?"
"Dia bukan untuk kamu. Yusuf adalah buaya ulung. Pacarnya ada di mana saja."
"Aku cuma nanya. kok, Lik, bukannya naksir!" kata Dessy mencubit lengan Gozali manja.
Mereka berjalan sepanjang Pasar Blauran, keluar-masuk toko, sekadar melihat-lihat. Dessy merasa gembira sekali. Sepanjang malam Gozali bercerita tentang hal-hal yang lucu, mereka banyak tertawa bersama.
Menyeberangi Jalan Blauran menuju ke pertokoan Wijaya. Gozali menggandeng lengan Teti dan mencekal lengan Dessy. Saat itulah Dessy meliriknya dari sudut matanya dan hatinya tercekat. Tiba-tiba ia seperti baru bangun dari tidur.
Ya, Tuhan! Di sini ada seorang laki-laki yang berhati emas, yang penuh tanggung jawab, yang jantan dan bijaksana-mengapa aku masih perlu menyibukkan diriku dengan pemuda-pemuda sebangsa Taufik?
Dia menyayangi aku, menyayangi seluruh keluargaku, dan aku juga menyayanginya! Mengapa selama ini aku tidak menyadarinya?
Ia lebih tua enam belas tahun dari diriku. tapi itu tidak menjadi persoalan. Selama ini ia telah membuktikan bahwa ia dapat menyelami jiwaku, dapat mengikuti gelombang pikiranku. Di antara kami tidak pernah ada jurang pemisah. Dia pasti akan menjadi suami yang baik untukku, dan seorang ayah yang arif. Kalau sampai sekarang dia belum beristri itu disebabkan karena ia tidak berani membagi hidupnya yang punya masa lalu hitam kepada perempuan lain. Tapi aku tidak berkeberatan.
Aku tidak berkeberatan apakah dulu ia seorang pencuri atau seorang pendeta! Yang penting sekarang dia adalah orang baik! Bahkan jauh lebih baik daripada banyak orang lain yang kukenal.
Ya. aku menyayanginya. aku juga bisa mencintainya! Dan aku yakin aku bisa bahagia bersamanya. Selama ini setiap kali aku bersamanya, aku merasa senang. gembira. Ia bisa membuatku tertawa, membuatku melihat hal-hal yang sepele yang bisa mengundang kegembiraan di hati. Bersamanya aku selalu merasa aman, merasa terlindungi, merasa ada yang membela. Aku tak pernah khawatir di sampingnya. Ya, Tuhan. betapa butanya aku selama ini!
Lengannya yang kanan masih dituntun Gozali. tapi dengan satu tangannya yang lain, Dessy sengaja meremas jari-jari Gozali yang menggenggam sikunya. Mungkin karena terkejut, untuk sedetik lamanya Gozali melepaskan pegangannya, tapi pada detik berikutnya gadis itu sudah
menyambar tangannya yang terlepas yang digenggamnya erat-erat dengan kedua belah tangannya.
Jalan menyepi, lampu merah dan kendaraan berhenti. Gozali segera menarik kedua orang gadis yang menjadi tanggung jawabnya malam ini untuk menyeberang.
Begitu kaki mereka menginjak trotoar di depan pertokoan Wijaya, Gozali melepaskan tangannya. Teti berjalan tergesa ke depan dan sudah lebih cepat menyerbu masuk ke pintu gerbang. Tapi Dessy ternyata tidak melepaskan pegangannya. Sebaliknya ia masih mencekal tangan Gozali erat-erat.
Gozali berpaling dan menyeringai.
"Hei, kita sudah sampai diseberang, di sini tidak ada mobil lagi!" katanya.
Dessy. tidak berpaling maupun memberikan reaksi bahwa ia mendengar. Dia menatap lurus ke depan sedangkan tangannya yang mencekal Gozali terasa dingin.
"Des. kau sakit?" tanya Gozali, merasa ada yang tidak beres.
"Tanganmu dingin sekali, lho!"
Dessy menggelengkan kepalanya, tetap dengan mata menatap lurus ke depan.
"Kau mau duduk sebentar? Pusing, ya?" tanya Gozali.
Teti yang berjalan di depan berpaling untuk melihat apa yang memperlambat langkah kedua orang itu.
"Tidak... tidak, Mas," kata Dessy hampir tak kedengaran.
Gozali heran.
"Mas"? "Mas"? Dessy memanggilnya "Mas"? Salah panggil atau ada sesuatu yang telah terjadi?
Gozali tidak lagi berusaha melepaskan tangannya yang masih erat digenggam gadis itu. Tak jauh dari tempat mereka berada tampak sebuah stan yang menjual minuman dan kue-kue. Ke sana Gozali membawa Dessy.
Gozali menarik sebuah kursi dan mendudukkan gadis itu di sana. Dessy duduk dengan patuh. Kedua tangannya diletakkan di atas meja, kepalanya menunduk. Teti yang sedang mencuci matanya memandang ke sana kemari tidak melihat perubahan pada diri kakaknya.
Gozali memesan tiga mangkuk es campur. Selama minum itu hanya Teti dan Gozali saja yang bercakap-cakap, Dessy sama sekali tidak bersuara. tenggelam dalam lamunannya sendiri. Akhirnya kebisuan kakaknya ini terasakan juga oleh Teti.
"Mbak, sakit, ya?" tanyanya.
"Kok diam saja?"
Dessy mengangkat kepalanya.
"Enggak, Mbak tidak sakit."
"Kok dari tadi diam saja!" desak Teti.
Gozali memandang gadis itu diam-diam, mencoba menerka mekanisme apa yang telah terjadi dalam otak gadis ini. Pandangannya bertemu dengan pandangan Dessy. dan gadis ini segera menunduk kembali dengan wajah tersipu.
"Mbak Dessy mungkin terlalu lelah, Tet." kata Gozali.
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kan baru pulang dari Tretes."
"Yaaah, Mbak!" ucap Teti kecewa.
"Sekalinya kita jalan-jalan, sekarang Mbak sakit!" Teti enggan pulang sebetulnya.
"Tet. kau putar-putar sendiri saja dulu. Biar Mbak-mu duduk sebentar di sini. Nanti kami menyusul kalau Mbak-mu sudah segar kembali," kata Gozali.
"Jangan jauh-jauh kelilingnya, nanti kami susah mencarimu."
Teti mengangguk gembira lalu menghilang di antara orang banyak. Gadis seusia dirinya belum mengenal rasa canggung. Dia masih sangat polos. Di sini ada begitu banyak barang yang bagus yang menarik hatinya. Walaupun dia tahu harga barang-barang ini tentunya di luar jangkawannya, tak apalah kalau hanya melihat saja. bukan?
Ditinggal berdua, Gozali segera terjun ke pokok masalah.
"Ada apa. Des. kau tiba-tiba menjadi aneh?"
Dessy menunduk semakin dalam.
"Des! Jadi orang harus berterus terang. Kalau ada apa-apa di hatimu, katakanlah! Aku bukan tukang nujum, aku tidak bisa menebak kalau tidak kaukatakan !"
Dessy tetap bungkam.
"Des!"
DeSSy menangkap nada jengkel dalam suara Gozali. Cepat-cepat dia mengangkat kepalanya.
"Katakan mengapa kau tiba-tiba bersikap aneh begini."
"Aku... anu, aku... aku tiba-tiba menyadari sesuatu," katanya sedikit tergagap pada permulaan. Toh tidak mudah bagi seorang gadis untuk menyatakan cintanya, walaupun itu kepada orang yang sudah begitu lama dikenalnya!
"Sesuatu yang telah membuatmu takut?" pancing Gozali.
Dessy menggeleng.
"Lalu mengapa tadi kau memegangi aku erat-erat seperti anak kecil yang takut ditinggalkan?"
"Anu... aku-aku baru menyadari bahwa... bahwa... bahwa aku buta selama ini."
Gozali memperhatikan air muka gadis itu. Matanya tertunduk, bulu matanya bergetar halus, pipinya memerah, di ujung bibirnya terbersit bayangan suatu senyuman. Tiba-tiba keringat dingin membasahi dahinya. Kalau benar ini adalah apa yang disangkanya, ia menghadapi suatu problem yang besar! Gozali merapatkan bibirnya.
"Apa yang kaumaksudkan dengan sadar?"
"Maksudku sepertinya aku baru bangun dari tidur. Tiba-tiba aku melihat segala sesuatunya begitu jelas," kata Dessy.
"Apa yang membuatmu sadar?"
"Entah," kata Dessy ragu-ragu.
"Mungkin... mungkin pengalamanku tadi pagi sewaktu piknik... mungkin mungkin kata kata teman Mas tadi." Lagi-lagi Dessy menyelipkan kata "Mas" lagi.
Gozali segera mengerti. Ternyata dugaannya tadi tidak salah! Astaga!
"Des. kau... kau sedang jatuh cinta?" tanyanya hati-hati.
Dessy mengangguk antusias. Matanya masih menunduk. tapi bibirnya tersenyum lebar.
"Kau... kau jatuh cinta padaku ?" tanya Gozali takut-takut.
Lagi-lagi Dessy mengangguk.
"Astaglirullah, Des! Kok sepertinya kau tidak tahu siapa aku!" kata Gozali menepuk jidatnya sendiri.
Dessy mengangkat kepalanya.
"Itu sama sekali bukan soal! Aku tidak peduli apa masa lampau Mas. Yang penting sekarang Mas adalah orang yang baik, sangat baik, bahkan jauh lebih baik dari orang-orang lain yang pernah kujumpai!" protesnya.
Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tidak pernah membayangkan akan menghadapi adegan seperti ini," katanya kepada dirinya sendiri. Kepada Dessy ia melanjutkan,
"Des, kau percaya padaku?"
Gadis itu mengangguk.
"Kau percaya bahwa dalam segala hal aku semata-mata memikirkan demi kebaikanmu?"
Dessy mengangguk.
Gozali meneruskan dengan sedikit lebih mantap,
"Kau percaya bahwa aku selalu memberimu nasihat yang terbaik?"
"Kalau sekarang Mas mau menasihati agar aku tidak jatuh cinta, aku tidak akan menurut," kata Dessy mendahului Gozali.
"Kau sudah merasa bahwa aku akan memberimu nasihat itu?" tanya Gozali memaksakan dirinya tersenyum.
"Ya."
"Mengapa?"
"Dessy kenal siapa Mas. Mas pasti akan mengatakan bahwa Mas terlalu tua untukku, atau bahwa Mas punya masa lalu yang kelam, atau bahwa Mas sudah seperti paman terhadapku, atau entah dalih apa lagi. Tapi semua itu adalah dalih yang tidak relevan. Aku tidak akan mendengarnya!"
"Kau sebetulnya pandai, lho, Des! Kau sudah tahu semua alasannya mengapa kau tidak boleh jatuh cinta padaku. Mengapa kau kepala batu?"
"Tidak! Dalih itu tidak berarti bagiku."
"Des, dengarlah! Kau sudah terlena. Aku tidak tahu apa yang telah membuatmu tiba-tiba punya ide gila ini, tapi sudah pasti ini tidak mungkin perasaanmu yang sebenarnya! Kau tidak benarbenar mencintai aku, kau hanya mengira kau sedang jatuh cinta. Janganlah tertipu oleh emosi sesaat. Ini cuma halusinasi!"
"Apanya yang halusinasi! Dari dulu aku sayang pada Mas!" kata Dessy.
"Sejak kecil!"
"Aku juga menyayangimu, Des. Aku sangat sayang padamu. Tapi bukan jenis sayang seorang laki-laki kepada seorang perempuan! Aku menyayangimu karena kau adalah anak sahabatku. karena aku menganggap kau adalah bagian dari keluargaku sendiri. Aku melihatmu tumbuh, melihatmu berubah dari seorang gadis kecil menjadi seorang perempuan dewasa. Aku menyayangimu seperti seorang ayah. Demikian pula kau! Kau menyayangi aku sebagai Lik Ali. sebagai pamanmu, bukan sebagai pria Gozali! Mengertikah kau?"
"Yang tidak mengerti itu Mas," sahut Dessy bersikeras.
"Aku bukan lagi anak-anak seperti Teti, yang dulu Mas goda-goda dan Mas ajari naik sepeda. yang Mas jewer telinganya kalau nakal. Aku sudah seorang perempuan dewasa! Aku punya perasaan seperti perempuan dewasa lainnya. Mas jangan menganggap aku seperti anak-anak!"
Gozali menggeleng gelengkan kepalanya. tidak tahu harus berbuat bagaimana. Kalau Kosasih sampai mengetahui hal ini, bisa-bisa ia didamprat habis-habisan, mungkin malah dianggap dialah yang telah membuat ide gila ini timbul dalam pikiran Dessy.
Sebenarnya Dessy masih ingin bicara lebih banyak lagi, tapi pada saat itu muncullah Teti dengan wajah berseri-seri.
"Mbak sudah sembuh?" tanyanya.
"Ya, Mbak-mu sudah sembuh. Tet," kata Gozali sambil berdiri.
"Yuk, kita pulang!"
"Mbak tidak mau melihat-lihat toko?" Teti heran kenapa setelah sampai di sini kakaknya cuma duduk di stan minuman saja.
"Sudah malam. Tet, nanti kita kesulitan transpor." kata Gozali.
Sepanjang perjalanan pulang di dalam bemo Gozali tidak menyinggung lagi masalah yang tadi dibicarakannya dengan Dessy. Dia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada Teti.
Ketika sampai di depan pintu rumah. Gozali juga menolak untuk mampir dengan dalih sudah mengantuk dan ingin segera pulang. Dessy merasa sangat kecewa atas sikap Gozali yang berusaha menghindari percakapan lebih lanjut dengannya.
**
"HATI-HATI kalau berjalan, Din! Pegang kakakmu!" Nyonya Arifin berseru.
Berpiknik dengan empat orang anak tidaklah mudah, apalagi jika ada yang masih kecil-kecil. Dan bagi dirinya yang dikaruniai dua orang anak kembar yang sekarang baru berusia enam tahun, berarti kesibukan dobel. Justru acara piknik begini merupakan pekerjaan tambahan baginya.
"Mat, tuntun adikmu !" Suaminya ikut memberikan aba-aba.
"Ya, Pak," sahut Rahmat, putra sulung mereka yang berusia sepuluh tahun.
Di belakangnya berjalan dua adiknya yang bungsu, si kembar yang diberi nama Dino dan Dina. Kemudian menutup barisan itu adalah adiknya yang nomor dua, Nugraha, yang dua tahun lebih muda dari dirinya.
"Masih sepi, ya, Bu," kata Arifin kepada istrinya. Di lehernya tergantung sebuah kamera.
"Iya, mungkin karena masih Jumat. Besok tentunya lebih ramai, orang-orang pada berakhir pekan." sahut isrrinya.
"pokoknya libur tiga hari ini kita manfaatkan betul betul untuk rileks," kata Arifin.
"Coba hirup udaranya, Bu, segar. bukan?"
"Yang rileks kan Mas dan anak-anak. Aku yang repot!" komentar istrinya.
"Lho, kok repot bagaimana?" Arifin berjalan terbungkuk-bungkuk. Tubuhnya yang jangkung terpaksa harus berbuat demikian untuk menghindari ranting-ranting pohon yang rendah.
"Habis. dengan Dino dan Dina mana aku bisa rileks? Uh. lari ke sana. lari ke sini! Heran, tuh. anak-anak. kok tidak ada capeknya! Aku yang harus mengikuti di belakang mereka bisa jatuh pingsan!"
Suaminya terbahak.
"Namanya anak-anak, Bu! Anak-anak yang sehat tentunya aktif. Kalau duduk termenung saja itu berarti anaknya sakit."
"Iya. tapi aku yang pegal pegal. Kalau sudah liburan begini aku susah, lho, Mas! Pada hari-hari sekolah masih mendingan, paling tidak pagi hari mereka tidak bikin ribut di rumah dan aku masih bisa mengerjakan sesuatu tanpa terganggu. Tapi kalau sudah liburan begini, waduh, rasanya mulut ini mau robek berteriak terus."
"Kenapa harus berteriak?" tanya suaminya.
"Mereka kan bisa diajak omong baik-baik. Anak-anak itu peka, lho. Bu. Kalau terlalu sering melihat orang tuanya berteriak-teriak, lain kali mereka juga meniru kebiasaan yang jelek ini. Lalu
mereka menganggap berteriak itu sesuatu yang lumrah."
"Wah. mereka berlarian terus, mana bisa mendengar kalau aku tidak berteriak? Mas saja sih yang tidak pernah duduk di rumah kalau pagi hari. Coba sekali waktu di rumah bersama mereka!"
"Lho. setiap hari Minggu kan aku ada di rumah bermain bersama mereka. Seperti hari ini, tuh. lihat! Mereka bisa juga diatur berjalan dengan tertib dan teratur."
"ya, kalau ada ayahnya mereka memang lebih takut." kata Nyonya Arilin.
"Kok begitu? Padahal aku tidak pernah memukul mereka atau membentak-bentak mereka. Mungkin kau lebih sering memarahi mereka dan mencubit mereka daripada aku," goda suaminya.
"Ya, karena mereka jarang melihat Mas, jadi ada rasa segannya. Dengan aku kan mereka berkumpul setiap saat. Biarpun mereka itu masih kecil. tapi mereka itu tahu saja lho kalau disayang. Jadi kalau aku berteriak-teriak itu mereka tidak takut. Mereka tahu bahwa aku menyayangi mereka dan tidak akan memukulnya."
"Sekali waktu dipukul juga tidak apa, Bu, kalau memang diperlukan."
"Lho. Mas ini bagaimana! Kalau aku berteriak dilarang, tapi malah disuruh memukul! Ya kasihan toh, Mas, mereka toh masih anak anak. Nakal juga lumrah!"
Arifin terbahak.
"Kau memang aneh. Kalau sudah tahu mereka memang masih anak-anak, dan anak-anak sudah lumrah nakal, mengapa masih harus emosi menghadapi mereka?"
"Lho, aku tidak emosi, kok. Mas. Kalau aku berteriak-teriak itu bukan karena aku mengamuk karena marah atau apa, tapi karena kalau aku tidak berteriak, mereka tidak mendengar apa yang aku katakan karena mereka sendiri selalu ribut. Kalau aku memakai suara yang keras, yang mengalahkan suara ribut mereka, baru mereka dengar!"
Suaminya tertawa terpingkal.
"Memangnya punya anak terlalu banyak itu repot, ya. Mas," kata istrinya.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibumu dulu membesarkan anak tujuh orang. Lha sekarang ngurusi anak empat begini saja rasanya kayak dipukuli jepang!"
"Iya, kita tadinya juga cuma merencanakan dua orang, ya, Bu? Tapi ternyata Tuhan memberi empat," kata suaminya.
"Kembar pula!" Nyonya Arifin tertawa.
Mereka tiba-tiba dikejutkan oleh suara Dina. Rupanya ia terpeleset dan jatuh terduduk. Kedua orang tuanya segera memburu mendekat.
"Din, tidak apa-apa?" tanya ayahnya.
Dina-satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Arifin-menyeringai. Walaupun dia perempuan, tapi nakalnya tak kalah dibandingkan kakak-kakaknya yang tiga orang.
"Nggak, Yah, cuma kaget terpeleset," katanya.
"Kena krikil, Yah." Dina sudah segera berdiri kembali.
Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar Roro Centil 10 Orang Orang Lembah Pasukan Mau Tahu Misteri Kucing Siam
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama