Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD Bagian 4
"Suami saya adalah orang yang sangat membanggakan kemandiriannya. Jadi, yah, kami pindah kemari."
Dalam hati Gozali tersenyum sinis. Mandiri? Lalu segala pemberian rumah, mobil, perlengkapan mewah, dan modal itu apa namanya? Memang laki-laki ini pandai bersilat lidah. Barangkali seorang ahli jiwa pula. Kalau seandainya ia menetap di Ujungpandang, dia harus sabar menanti sampai mertuanya meninggal baru ia dapat beraksi. Kalau tidak, dalam waktu yang singkat saja, mertuanya yang seorang pedagang yang berpengalaman, pasti dapat melihat kedok menantunya ini. Bahkan mungkin Sumarsono tidak akan mempunyai kesempatan mengeruk uang sama sekali satu kali mertuanya ini mencurigainya. Karena itu ia memilih pindah ke Surabaya, jauh dari mertua. Siapa yang tidak tahu bahwa kalau sesuatu yang jauh di mata tentu selalu dekat di hati? Terutama ibu mertuanya pasti akan memikirkan anak gadisnya ini, dan akan mendesak suaminya supaya mengirimi mereka uang,maklum pasangan muda, tidak mempunyai modal, masih bekerja keras membanting tulang, apa salahnya kalau dibantu orangtua? Wah, psikologi yang jitu! Justru dengan memisahkan putrinya dari kedua orangtuanya itu Sumarsono akan lebih berhasil mengeruk harta mertuanya secara halus, daripada kalau ia sendiri yang berada di Ujungpandang. Nah, kalau pada suatu hari ayah mertuanya meninggal, itu lain lagi.
Gozali merasa pasti bahwa apabila ini terjadi dalam waktu dekat. Sumarsono tentu akan kembali
ke Ujungpandang. Barulah pada saat itu ia leluasa mengeruk seluruh harta mereka tanpa ada yang menghalanginya. Tetapi sabarkah Sumarsono menunggu sampai mertuanya meninggal, yang tidak dapat dipastikan kapan, karena sekarang toh tampaknya ia masih cukup sehat untuk mengurus perusahaannya sendiri. Dan bagaimana dengan kakak istrinya yang masih tinggal di Ujungpandang? Mengapa nyonya muda ini seakan-akan ingin mengelakkan pertanyaan mengenai kakaknya? Ah, aku harus mencari jalan lain untuk mengetahuinya, pikir Gozali.
"Tadi ibu berkata bahwa orangtua Ibu telah memberikan modal untuk berwiraswasta di sini. Bolehkah kami ketahui bidang apa yang telah Ibu masuki?" tanya Kosasih sementara ia melihat Gozali tenggelam dalam lamunannya sendiri.
"Oh, bukan saya. Suami saya. Ia dari dulu memang bercita-cita mempunyai peternakan unggas, tetapi karena tidak mempunyai modal, ya cita-citanya tetap tinggal impian saja. Tetapi kemudian ayah saya memberi kami sejumlah uang, sebagai modal pertamanya, dan ini sudah dimanfaatkan suami saya. Sekarang tinggal menunggu pengurusan surat-suratnya saja."
"Tetapi mengapa kalau begitu Pak Sumarsono masih bekerja di Ramanda?" tanya Kosasih.
"Itulah," kata Nyonya Frida Sumarsono dengan bangga.
"Suami saya itu giat bekerja. Saya telah mengatakan kepadanya supaya tidak usah bekerja saja, sementara menunggu surat-suratnya beres,
tetapi ia bersikeras mau bekerja. Katanya tidak baik lelaki hanya berpangku tangan saja duduk di rumah dari pagi sampai petang. Malu nanti disangka semata-mata mau menikmati uang mertua."
"Di mana peternakan unggas ini?" tanya Kosasih.
"Di Pandaan."
"ibu sudah pernah ke sana?"
"Oh, belum. Kata suami saya nanti saja kalau sudah selesai semuanya. Sekarang tempat tersebut masih tidak keruan, jadi tidak ada gunanya ke sana."
Gozali dan Kosasih saling berpandangan. Dalam hati mereka merasa yakin bahwa peternakan itu hanyalah isapan jempol belaka, dan tidak pernah ada. Itu hanya alasan yang dipakai Sumarsono untuk memperoleh modal dari mertuanya.
"Pak Sumarsono biasanya pulang makan siang atau tidak, Bu?" tanya Kosasih.
"Pulang."
"Kalau begitu, kami tunggu saja di sini, toh sekarang sudah hampir pukul dua belas," kata Kosasih.
"Silakan. Dia biasanya pulang sekitar pukul satu, tapi tidak mengapa, Anda tunggu saja di sini."
"Kalau begitu bolehkah saya meminjam telepon Ibu sebentar?" tanya Kosasih.
"Mari," kata nyonya rumah. Dia mendahului Kosasih berjalan masuk melewati suatu lorong yang menuju ke ruang makan di dalam. Kosasih melihat bahwa perabotan di ruang makan ini tidak
kalah mewahnya dengan perabotan di ruang tamunya. Di sini semua perabotan terbuat dari rotan
merah dan kaca, disertai tirai yang bermotif bambu di satu sisinya. Memang indah!
Pesawat telepon terletak di sebuah meja khusus di sudut ruangan itu, di sana juga terdapat sebuah buku telepon beserta blok kertas dan bolpoin. Nyonya rumah meninggalkan Kosasih di sana sementara ia sendiri masuk ke dalam.
Kosasih segera menelepon ke kantor polisi.
"Kiriman dari Banjarmasin sudah tiba?" tanyanya kepada anak buahnya.
"Sudah, Pak."
"Nyonya Wibisono dari Ngawi sudah ke sana?"
"Belum, Pak."
"Baiklah. Bawalah kiriman dari Banjarmasin secepatnya ke Jalan Thamrin. Saya di rumah Pak Sumarsono. Nanti kalau Nyonya Wibisono tiba, suruh Bambang segera mengantarkan mereka kemari juga. Sekarang kau berangkat dulu dengan dokumen itu."
Kosasih baru saja meletakkan tangkai pesawat ketika nyonya rumah kembali dari belakang.
"Sudah selesai, Pak?" tanya Nyonya Frida Sumarsono.
"Sudah."
Bersama-sama mereka kembali ke ruang tamu. Ketika mereka sudah duduk kembali, Gozali berkata,
"Sambil menunggu Bapak kembali, bolehkah kami melihat-lihat foto pernikahan Nyonya?"
Tanpa berpikir panjang Nyonya Frida Sumarsono mengambilkan album pernikahannya yang berjumlah tiga buah itu dan menyerahkannya kepada kedua tamunya. Foto-foto di dalam albumalbum ini adalah foto-foto pilihan semuanya. Fotofoto lainnya disimpan dalam sebuah kotak tersendiri. Sementara itu nyonya rumah pamit akan ke dapur dulu membereskan masakannya.
Gozali dengan asyik membalik-balik album tersebut. Foto-foto wanita dan pria dalam pakaian yang mewah, upacara akad nikahnya, Nyonya Frida diapit kedua orangtuanya, Sumarsono dengan pengiringnya, tamu-tamu yang hadir. Wah, banyak juga tamunya! Album berikutnya berisikan fotofoto upacara sebelum pernikahan itu sendiri. Sebagian besar adalah foto-foto Nyonya Frida. Nyonya Frida mencium lutut ibunya, Nyonya Frida mencium lutut ayahnya, Nyonya Frida... mencium lutut seorang laki-laki yang duduk di atas kursi roda dan mengenakan kacamata hitam! Tanpa berkata apa-apa Gozali menunjukkan foto tersebut kepada Kosasih. Mereka berdua saling pandang. Itulah sebabnya mengapa kakaknya yang di Ujungpandang tidak ikut terjun ke bisnis ayahnya. Rupanya kakaknya adalah seorang tuna netra dan cacat kaki pula!
Dalam hati Gozali memuji kerapian kerja Sumarsono. Ia pergi ke Ujungpandang, tempat yang jauh dari tempat asalnya sendiri, mencari informasi mengenai siapa-siapa keluarga yang termasuk kaya di sana. Mencari kesempatan untuk bisa terjun ke dalam keluarga tersebut dan memperoleh kepercayaan mereka. Dan cara yang paling mudah adalah dengan mengawini anak gadisnya. Tetapi untuk menyukseskan rencananya ia harus memilih keluarga yang tidak mempunyai banyak anak, dan yang paling bagus tidak mempunyai anak lelaki, atau yang anak lelakinya tidak tinggal di tempat itu. Dan seperti mendapatkan durian runtuh, dia menemukan keluarga Umboh ini, yang mempunyai perkebunan kopra yang besar, mempunyai anak gadis yang belum menikah, dua orang anak lelaki yang tidak mungkin akan mempunyai kesempatan atau kesanggupan untuk menghalangi rencana jahatnya. Wah, benar-benar dia telah menemukan tambang emas! Dia ternyata berhasil membuat penetrasi ke dalam keluarga tersebut, dan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengumpulkan harta yang lumayan. Gozali merasa yakin, uang modal yang diberikan mertuanya pastilah telah diamankannya di suatu tempat, sehingga dalam keadaan mendesak, dia dapat menghilang dengan tiba-tiba dengan membawa uang tersebut. Persis seperti yang dilakukannya di Banjarmasin dulu: dengan modus operandi yang sama ia telah berhasil menggaet perusahaan ayah mertuanya di sana. Dan setelah menyembunyikan semua hasil kecurangannya, menghilanglah dia meninggalkan sebuah perusahaan yang bangkrut, istri dan tiga orang anaknya yang tidak pernah berarti apa-apa baginya.
Tak lama kemudian Nyonya Frida Sumarsono muncul lagi menemani tamu-tamunya.
"Omong-omong pada hari Jumat tanggal dua puluh empat itu apakah Ibu ingat pukul berapa Pak Sumarsono pulang dari kantor?"
"Hari Jumat?" tanya Nyonya Frida Sumarsono.
"Ah, ya, saya ingat betul. Biasanya suami saya sudah ada di rumah pukul setengah enam sore, dan kami makan sekitar pukul setengah tujuh-tetapi pada hari Jumat yang lalu, suami saya baru pulang seleWat pukul delapan malam."
"Oh," kata Kosasih sambil melirik Gozali,
"apakah dia mengatakan sebelumnya bahwa hari itu ia akan bekerja lembur? Apakah sebelumnya ia sudah meninggalkan pesan?"
"Oh, tidak. Itulah, ketika ia sampai pukul enam sore masih belum pulang, saya menelepon ke kantor-saya mengira ia sedang lembur, tetapi ternyata di kantor sudah tidak ada yang menerima telepon. Eh, tidak tahunya kata suami saya ia bertemu dengan temanya dan mereka mengobrol sampai lupa waktu."
"Jadi Ibu tentunya jengkel, ya? Sudah menyiapkan makanan, tetapi suami enak-enakan mengobrol dengan orang lain?" Kosasih berkata sambil tersenyum.
"Istri saya selalu berkata begitu kalau saya terlambat pulang."
Frida Sumarsono tertawa renyah.
"Itulah, maka saya ingat betul kejadian hari itu. Soalnya setiap sepuluh menit saya mengintip keluar-eh, belum ada juga! Hati ini menjadi kuatir, siapa tahu barangkali kecelakaan di jalan atau bagaimana."
"Lalu Pak Sumarsono mengatakan dia bersama teman siapa, Bu?" tanya Kosasih.
Nyonya Frida Sumarsono terdiam. Dia merenung sebentar. Akhirnya ia berkata,
"Kok rasanya ia tidak menyebutkan namanya! Saya tidak ingat dengan siapa."
"Perempuan atau laki-laki?" tanya Gozali.
Sejenak mereka melihat sinar keraguan dalam mata Frida Sumarsono.
"Ah, laki-laki saya kira."
"Nyonya pasti?" tanya Gozali.
Frida Sumarsono merasa tidak enak. Sinar mata Gozali seakan-akan menuntut jawaban yang tidak dapat dipastikannya. Apakah mereka sekarang mau menyindir bahwa suaminya sedang bersama dengan perempuan lain pada waktu itu? Perempuan lain siapa? Sepanjang pengetahuannya ia tidak pernah mendengar suaminya terlibat dengan perempuan lain. Pulang kantor selalu duduk di rumah, tidak pernah keluar sendiri. Kecuali kalau perempuan itu satu kantor dengannya? Gadis yang mati itu? Ah, cepat-cepat pikiran itu dihapuskannya dari benaknya. Ia menatap mata Gozali.
"Sudah tentu," katanya ketus kepada Gozali.
"Tetapi Nyonya tidak ingat siapa temannya ini atau di mana mereka bercakap-cakap?" desak Gozali terus.
"Tidak. Sebaiknya nanti Anda tanyakan sendiri saja kepada suami saya, kalau hal ini memang perlu. Apa sih hubungannya dengan pengusutan Anda mengenai kematian gadis itu?"
"Ah, begini, Bu," Kosasih menengahi,
"kami dari kepolisian ini memang mempunyai tugas yang tidak sedap. Harus banyak bertanya kepada semua orang tentang segala hal, bahkan tentang hal-hal yang kelihatannya sepele dan tidak ada hubungannya sekalipun, dan tidak jarang juga harus menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Tetapi, percayalah, Bu, semua ini kami laksanakan bukan demi memenuhi rasa ingin tahu kami, melainkan demi kepentingan warga juga, demi menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan. Jadi, janganlah Ibu menganggap bahwa kami ini sengaja ingin menanamkan benih kecurigaan di antara Ibu dan suami Ibu-sama sekali bukan itu tujuannya. Kami harus mengumpulkan berbagai keterangan, dan justru dari data yang masuk itulah kami baru bisa menarik kesimpulan. Lebih banyak data yang masuk, lebih mudah dan tepat kesimpulan yang kami tarik. Kalau tidak ada data yang masuk, kami tidak bisa berbuat banyak."
Nyonya Frida Sumarsono manggut-manggut mendengarkan penjelasan itu. Ya, ia harus mengakui kebenarannya.
"Jadi setelah suami Nyonya pulang pukul delapan lebih, apa yang dikerjakannya?" Gozali melanjutkan.
"Oh, kami kemudian makan dan pergi tidur," kata Nyonya Frida Sumarsono.
"Pukul berapa Anda tidur?"
"Kami masuk ke kamar tidur sekitar pukul sepuluh."
"Dari langsung tertidur?"
"Saya tidak. Hati saya masih mendongkol."
"Biasanya pukul berapa Anda tidur?"
"Biasanya sehabis makan kami nonton video dulu, sampai kira-kira pukul dua belas atau pukul satu tengah malam."
"Tetapi pada hari Jumat itu Anda tidak nonton video?"
"Tidak. Suami saya mengatakan sudah lelah, dan ingin tidur."
"Dan dia memang segera tertidur?"
"Ya." Apakah di sini Gozali menangkap nada keraguan?
"Lalu pagi harinya?"
"Seperti biasa, ia bangun pukul setengah delapan lalu sarapan dan..."
Bel pintu depan berdenting manis. Mereka semuanya berpaling ke pintu. Frida Sumarsono berjalan ke jendela untuk mengintip. Di hadapannya berdiri seorang petugas polisi.
Nyonya Frida Sumarsono membuka pintunya. Petugas polisi itu mengangguk dengan hormat kepadanya.
"Apakah Pak Kapten Kosasih ada, Bu?" tanyanya.
Sementara itu Kosasih sudah menyusul ke pintu. Melihat atasannya, polisi muda itu segera menyerahkan sebuah amplop coklat kepadanya.
"Ini, Pak," katanya tanpa mengungkapkan apa isi amplOp itu.
"Terima kasih. Sekarang kembali saja ke kantor polisi," kata Kosasih.
Poiisi muda itu mengangguk dan mohon diri.
Di hadapan nyonya rumah, Kosasih membuka amplop itu. Di dalamnya ada beberapa helai kertas dan tiga buah foto. Kosasih menyerahkan foto-foto itu kepada Gozali tanpa berkata apa-apa. Gozali menerimanya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya tanpa memandangnya sekilas pun.
Pada saat itu keluarlah seorang pembantu rumah tangga yang sudah berumur membawa sebuah nampan dengan tiga buah gelas.
"Silakan minum, Pak," undang nyonya rumah ketika gelas-gelas itu sudah diletakkan di meja semuanya.
Seperti robot mereka mengikuti contoh nyonya rumah dan mengangkat gelasnya masing-masing. Meskipun hari panas, namun mereka tidak mempunyai selera minum, barangkali karena udara di dalam ruang tamu ini amat sejuk sehingga tidak membuat mereka haus.
Kosasih melirik arlojinya. Sudah pukul setengah satu lewat tujuh menit. Sebentar lagi Sumarsono akan datang. Tepat pada saat itu sekali lagi bel pintu depan berdenting.
"Ah," kata Kosasih bernapas lega.
"Tolong dibukakan saja, Bu. Itu anak buah saya dengan dua orang saksi."
Wanita muda yang melangkah di ambang pintu itu mengangguk canggung kepada Nyonya Sumarsono, yang pria mengikuti di belakangnya. Petugas polisi yang mengantarkan mereka, kembali ke mobil.
"Ini adalah Tuan dan Nyonya Wibisono, Bu," kata Kapten Polisi Kosasih, memperkenalkan pendatang-pendatang baru itu.
Kedua orang wanita itu berjabatan tangan. Untuk sejenak lamanya Nyonya Frida Sumarsono terkesiap. Siapakah orang-orang ini? Naluri istrinya berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah dalam keluarganya.
"Nyonya Rukmini Wibisono adalah kakak Dian Ambarwati, gadis yang meninggal itu," kata Kosasih menjelaskan.
Nyonya Frida Sumarsono mengangguk, tetapi hatinya bertambah waswas.
"Tuan dan Nyonya Wibisono tinggal di Banjarmasin," kata Gozali melengkapi informasinya. Agak kecewa ia tidak melihat indikasi bahwa Nyonya Sumarsono tersentak dengan keterangannya ini.
"Ah, ya, jauh-jauh kemari. Saya ikut berdukaeita atas kematian adik Anda," kata Frida Sumarseno.
Nyonya Rukmini Wibisono mengangguk tanpa berkata apa-apa. Matanya melihat ke sekeliling ruangan. Di tembok tergantung sebuah foto berukuran besar, foto perkawinan Frida Umboh dengan Sumarsono. Nyonya Rukmini Wibisono berjalan mendekati foto itu dan mengamat-amatinya. Di atas meja masih terletak ketiga buah album yang telah dilihat oleh Kosasih dan Gozali.
Nyonya Frida Sumarsono berkata,
"Silakan duduk, Bu, Pak." Kemudian,
"Saya ambilkan minum dulu." Dan dia bergegas ke belakang.
Gozali memberikan isyarat supaya Wibisono suami-istri melihat album-album yang terletak di meja. Mereka masing-masing mengambil sebuah dan membolak-balik halaman-halamannya. Kemudian Wibisono beserta istrinya mengangguk-angguk. Sementara itu Gozali juga mempunyai kesempatan meneliti ketiga buah foto yang diterimanya dari Kosasih. Dia pun mengangguk dengan puas.
"Tidak salah lagi?" tanya Kosasih.
"Pasti," kata Wibisono.
"Ya," kata istrinya.
Ketika nyonya rumah kembali membawa nampan berisi dua buah gelas, dia mendapati tamunya sedang duduk melamun sendiri-sendiri. Nyonya Rukmini Wibisono hanya duduk dengan pandangan kosong -Kosasih sedang mengernyitkan dahinya-sedangkan Gozali dan Wibisono masing-masing mengepulngepulkan asap rokoknya.
"Mari, silakan minum," kata nyonya rumah, membuyarkan lamunan mereka.
"Nyonya Sumarsono," kata Gozali. Suaranya sekarang telah berubah. Serius dan menyelidik.
"Pernahkah Nyonya bertemu atau berkenalan dengan keluarga atau teman-teman suami Nyonya sebelum dia kawin dengan Nyonya?"
Frida Sumarsono mengernyitkan dahinya. Lama ia berpikir, kemudian katanya,
"Rasanya tidak. Saya tahu ia sudah yatim-piatu dan tidak mempunyai saudara, tetapi dengan teman-temannya saya juga belum pernah bersua."
"Kalau begitu Anda sama sekali tidak mengetahui masa lalu kehidupan suami Nyonya sebelum dia menikah dengan Nyonya?"
Rasa antipati Frida Sumarsono terhadap lelaki jangkung berwajah jelek ini timbul lagi. Ungkapannya bahwa ia tidak mengenal masa lalu kehidupan suaminya mengandung sindiran yang mencurigakan-dan menguatirkan. Firasat jeleknya bangkit
"Kalau yang Anda maksudkan sejarah hidupnya, tentu saja saya sudah mengetahui. Saya istrinya. Tetapi kalau yang Anda maksudkan itu apakah saya mengenal teman-temannya semasa mudanya, memang tidak. Tetapi berapa orang istri sih yang mengenal teman-teman lama, atau bekas temanteman suaminya?" Frida Sumarsono merasa perlu membela dirinya.
"Tunjukkan foto-foto itu kepada Nyonya Sumarsono, Goz," kata Kosasih.
Tanpa berkata apa-apa lagi Gozali mengulurkan ketiga foto yang disimpannya di sakunya. Frida Sumarsono menerima ketiga foto itu. Hanya dipandangnya sekilas, yang satu adalah foto keluarga-seorang laki-laki, seorang wanita, dan tiga orang anak. Foto berikutnya adalah foto seorang laki-laki menggendong seorang anak sambil tertawa menunjuk kepada kamera. Yang satu lagi adalah foto yang sudah agak tua, foto hitam-putih yang kertasnya sudah agak menguning, sebuah foto perkawinan. Setelah selesai melihat ketiga foto itu sekilas, kembali Frida Sumarsono melihat dengan lebih teliti. Dan darahnya terkesiap! Ini adalah foto-toto
Sumarsono! Frida Sumarsono mengedipkan matanya. Tidak! Itu tidak mungkin! Dilihatnya lagi dengan saksama. Memang suaminya, atau bukan? Frida Sumarsono merasakan dunianya berputar, jantungnya berdetak keras, tangan dan kakinya menjadi sedingin es batu. Dia terenyak di kursinya, matanya dipejamkan.
Tidak ada yang berkata apa-apa, semua orang membisu. Serasa satu abad berlalu sebelum Frida Sumarsono membuka matanya lagi. Yang pertamatama dilihatnya adalah sepasang mata yang bening dan bersinar, mata yang mengandung belas kasihan, mata Gozali.
"Apa maksudnya ini?" tanya Frida lemah.
"Siapa orang ini, mengapa begitu mirip dengan suami saya?"
Gozali memandangnya dalam-dalam.
"Ia memang suami Nyonya."
"Tidak!" Tiba-tiba Frida Sumarsono memperoleh tenaganya kembali. Seperti hewan yang sedang kalap, dia melompat berdiri.
"Tidak! itu tidak mungkin! itu bohong!"
Gozali ikut berdiri. Tangannya mencengkeram bahu wanita muda itu, dan dengan satu tekanan yang tepat, memaksanya duduk kembali.
"Tenang, Nyonya," katanya.
"Orang di foto ini memang betul suami Nyonya. Sekarang dengarkan! Tuan dan Nyonya Wibisono sengaja kami datangkan kemari untuk meyakinkan apakah memang benar Sumarsono suami Nyonya adalah Sumarsono yang mereka kenal. Sekarang Nyonya melihat sendiri, bahwa itu tidak salah."
"Anda mengenal suami saya?" tanya Frida Sumarsono sambil berpaling kepada Tuan dan Nyonya Wibisono.
"Di mana Anda mengenalnya?"
"Kami tinggal di Banjarmasin, Nyonya. Rumah kami berhadapan dengan rumah suami Nyonya di sana. Kami mengenalnya dan mengenal keluarganya," Wibisono yang menjawab kali ini.
"Keluarganya? Apa maksud Anda?"
"Istri dan anak-anaknya, dan juga ayah mertuanya almarhum," kata Wibisono.
"Tidak! Anda bohong! Suami saya tidak pernah tinggal di Banjarmasin, tidak pernah beristri dan beranak! Anda bohong atau barangkali Anda salah lihat. Barangkali orang itu hanya mirip saja dengan suami saya," kata Frida Sumarsono dengan ngotot.
"Nyonya, perhatikanlah sendiri foto-foto itu dengan eermat, apakah bukan suami Nyonya?" Rukmini Wibisono ikut bicara.
Frida Sumarsono menunduk dan melihati fotofoto itu kembali. Tangannya bergetar. Memang itu adalah foto suaminya sendiri. Tetapi bagaimana mungkin? Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Tidak mungkin," katanya.
"Kami sudah berumah tangga hampir dua tahun, selama itu ia tidak pernah beranjak dari sisi saya. Mana mungkin dia masih mempunyai keluarga lain di Banjarmasin?"
"Betul, Bu," kata Kosasih.
"Memang dia sudah menghilang sekitar dua tahun lebih dari Banjarmasin, meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam keadaan melarat." ,
Frida Sumarsono bingung. Tidak! Itu sama sekali tidak sesuai dengan sifat dan watak Sumarsono yang dikenalnya itu. Sumarsono orangnya lemah lembut, penyayang, tenang, dan selalu dapat diandalkan.
"Saya tidak percaya. Pasti itu orang lain."
"Namanya pun tetap Sumarsono, Bu," tambah Kosasih.
Frida Sumarsono memandang sekelilingnya, memandang satu per satu wajah tamu-tamu yang duduk di hadapannya. Semuanya adalah wajahwajah yang serius. Tetapi ia tetap tidak bisa mengerti. Hatinya menolak untuk mengerti.
"Begini, Bu, Saudara Wibisono akan menceritakan riwayat orang yang ada di foto ini. Ibu dengarkan dulu," kata Kosasih.
Frida Sumarsono menyandarkan punggungnya kembali di sandaran kursinya.
"Baiklah. Tetapi saya percaya itu tidak ada hubungannya dengan suami saya."
"Begini. Sumarsono menikah dengan seorang gadis Banjarmasin yang bernama Menara. Ayahnya asli orang Banjarmasin, ibunya masih berdarah Jawa campuran. Mereka mempunyai tiga orang anak. istrinya adalah anak orang yang terbilang kaya. Mertuanya mempunyai perusahaan pengangkutan dan pelayaran antarpulau yang termasuk maju. Sumarsono bekerja pada ayah mertuanya. Mereka hidup dalam kelimpahan. Rumahnya yang di Banjarmasin besar dan indah. Sekitar empat tahun yang lalu, mertuanya meninggal. Pada waktu itu,
kami sendiri baru saja pindah ke sana. Maka Sumarsono sendirilah yang meneruskan usaha mertuanya. Kemudian ternyata semua kekayaan mertuanya telah dipindahkannya sedikit demi sedikit entah ke mana. Pada suatu hari seperti biasanya ia berangkat ke kantor dan tidak pernah kembali lagi. Keluarganya tidak pernah menerima berita ke mana perginya. Karyawan-karyawan kantornya pun tidak ada yang mengetahui. Setelah lewat sebulan dia tidak kembali, seluruh Banjarmasin beranggapan bahwa ia telah dibunuh orang. Semua usaha polisi untuk mencari jejaknya tidak pernah berhasil. Sementara itu keadaan perusahaannya kalut. Ternyata penagihan-penagihan yang sudah seharusnya dilunasi, tidak terbayar. Uang jaminan yang seharusnya ada di bank, sudah sejak beberapa lama ditarik keluar, dan semua barang berharga yang tersisa, sudah dijadikan jaminan. Di samping itu ia juga meminjam uang kepada beberapa orang sahabat ayah mertuanya yang bergerak di bidang yang sama dengan alasan akan menggabungkan usaha mereka agar menjadi satu usaha yang benarbenar kuat. Setelah diadakan penyelidikan, ternyata perusahaan itu hanya tinggal kerangkanya saja. gedungnya telah dihipotekkan ke bank, modalnya hanya modal fiktif, dan segala sesuatu yang berharga telah lenyap tak tahu rimbanya. Sekarang istrinya harus bekerja keras menerima jahitan untuk menghidupi ketiga orang anaknya, utangnya masih bertumpuk-tumpuk, perusahaannya sudah lama dilikuidasi."
"Istrinya anak tunggal, Bu," kata Kosasih.
"Dia tidak pernah tahu apa yang telah diperbuat suaminya. Ia sama juga seperti Nyonya, mempercayai suaminya seratus persen."
Frida Sumarsono terdiam. Dia tidak berkata apa-apa. Seperti orang yang kena guncangan batin, dia duduk terpaku di sana.
Tak ada lagi yang berkata-kata sampai mereka mendengar deru mobil memasuki halaman rumah yang berkerikil kecil-kecil itu. Pada saat itulah Frida Sumarsono mengangkat wajahnya. Di matanya timbul sebersit sinar harapan. Suaminya pulang. Tentulah dia dapat menjelaskan semuanya ini, dapat menyangkal semua tuduhan ini, dan dapat menenteramkan hatinya kembali, dan kehidupan mereka akan kembali normal seperti biasanya sebelum dia mendengar cerita yang mengejutkan ini. Frida Sumarsono berdiri membukakan pintu.
Sumarsono turun dari mobilnya, melihat istrinya di pintu, dan tersenyum kepadanya.
"Banyak tamu, Sayang?" tanya suaminya sambil menunjuk kepada dua mobil Jeep yang diparkir di depan pagar rumahnya.
"Pa!" kata Frida, setengah berlari menghampiri suaminya dan memeluk lehernya. Tiba-tiba suaminya berhenti melangkah dan Frida merasakan tubuh lelaki itu menjadi kaku, tegang. Frida Sumarsono mengangkat matanya dari dada suaminya dan menatap wajahnya. Pada wajah Sumarsono terbayang ekspresi aneh, ekspresi yang belum pernah
dilihatnya selama ini. Hati Frida Sumarsono melompat. Dia mengenali pandangan yang demikian. Pandangan seekor hewan yang terperangkap! Di dalamnya mengandung ketakutan. Pandangan sama yang pernah dilihatnya pada seekor kucing liar yang kakinya tersangkut pada kawat dan tidak berhasil melarikan dirinya ketika ia mendekati binatang itu. Secara refleks Frida Sumarsono memalingkan kepalanya. Ternyata Wibisono sedang berdiri di pintu. Seperti halilintar fakta itu menyambar di depan matanya! Suaminya terkejut melihat Wibisono! Suaminya mengenali Wibisono! Kalimat itu berulang-ulang mendengung di telinganya. Rasanya pada saat itu Frida Sumarsono telah hidup seratus tahun, padahal seluruh kejadian itu tidak lebih daripada dua detik. Dia merasakan tubuh suaminya yang masih dipeluknya ini melemas kembali, dan dia mendengar suaminya berkata,
"Siapa orang-orang ini. Frid?"
**
GOZALI yang berdiri di samping Wibisono dan menyaksikan adegan dua detik itu memuji ketenangan Sumarsono yang terkontrol rapi dalam hatinya. Memang dia adalah seorang aktor yang sepantasnya mendapat Piala Citra!
Sumarsono menggandeng istrinya mendekat.
"Ah, Pak Gozali, rupanya," katanya setelah melihat Gozali.
"Saya tidak tahu kalau ada banyak tamu menunggu. Tadi agak repot di kantor." Sumarsono telah dapat menguasai keadaan. Suaranya tenang, senyumnya polos. Namun baik Gozali maupun Frida telah melihat pandangannya yang sekejap tadi, pandangan yang membuka kedoknya, pandangan yang tidak dipersiapkannya.
Mereka sekarang berhadapan muka. Sumarsono dan Wibisono. Seperti dua orang petinju yang akan beradu kuat.
"Dan Anda ini?" tanya Sumarsono dengan senyumnya yang menawan, sambil mengulurkan tangannya.
"Anda telah lupa kepada saya?" balas Wibisono.
"Lupa? Bukan lupa, tetapi memang tidak pernah
berkenalan sebelumnya," kata Sumarsono, masih mengulurkan tangannya.
"Wibisono," kata tamunya itu, menyambut uluran tangannya,
"tetangga Anda di Banjamasin."
Kali ini Sumarsono sudah siap. Dia tidak lagi terkejut seperti tadi ketika baru tertangkap basah untuk pertama kalinya.
"Banjarmasin?" tanyanya tenang sambil mengangkat kedua alisnya.
"Ah, Anda jangan bergurau, saya belum pernah tinggal di Banjarmasin."
Sementara itu mereka telah memasuki ruang tamu kembali. Di dalam masih duduk Nyonya Rukmini Wibisono dan Kapten Polisi Kosasih.
"Ah, saya lihat Pak Kapten juga di sini," kata Sumarsono sambil tersenyum.
"Dan Ibu ini siapa?" tanyanya kepada Nyonya Wibisono.
Nyonya Wibisono tidak menjawab. Ditatapnya mata Sumarsono dalam-dalam. Dia ingin memastikan bagi dirinya sendiri sekali lagi, bahwa ia memang tidak salah mengenali orang.
"Itu istri saya," terdengar suara Wibisono menjawab di belakangnya.
Sumarsono tersenyum, mengangguk kepada wanita muda itu. Dengan tenang dia duduk di kursi dan bertanya,
"Ada urusan apa maka Bapak-bapak dan Ibu berkumpul di rumah saya semua?"
Tanpa menjawab pertanyaan itu Gozali menyerahkan ketiga foto yang terletak di atas meja kepada Sumarsono. Sumarsono mengambilnya dan melihatnya tanpa terlalu banyak menunjukkan perhatian. Kemudian dia mengangkat matanya.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu? Saya masih belum mengerti," katanya.
"Anda mengenali foto-foto itu?"
"Iya," kata Sumarsono dengan tenang.
Frida Sumarsono memandang suaminya dengan penuh perhatian. Kepercayaannya kepada suaminya telah pulih kembali, kendati ia belum melupakan pandangan ketakutan suaminya tadi ketika pertama kali melihat Wibisono. Namun, pikirnya. suaminya tentu dapat menjelaskan semuanya ini dengan baik.
"Anda mengenali mereka?" ulang Gozali setengah tidak percaya mendengar jawaban Sumarsono.
"Iya, itu saudara kembar saya beserta keluarganya," kata Sumarsono dengan santai.
"Memangnya kenapa?"
"Saudara kembar Anda?" pekik Kosasih.
"Apa?" kata Wibisono.
"Ya, Tuhan!" kata Frida Sumarsono.
Hanya Gozali dan Nyonya Wibisono yang tidak berkata apa pun.
"Ini saudara Anda?" ulang Gozali.
"Ya, saya mempunyai saudara kembar."
"Di manakah dia?"
"Dialah yang tinggal di Banjarmasin. Rupanya Anda semuanya telah salah mengenali orang, bukan?" senyum Sumarsono dengan polos.
Kosasih dan Gozali saling bertukar pandang. Mereka tahu pasti bahwa ini bukanlah saudara kembarnya. Mereka tahu pasti bahwa Sumarsono
tidak mempunyai saudara laki-laki, kembar maupun bukan kembar.
"Baiklah, kalau demikian kata Anda," kata Gozali. Samar-samar dia melihat Sumarsono bernapas lega. Tentu saja Sumarsono tidak sebodoh itu membayangkan kalau kedua orang dari kepolisian ini bisa dengan sedemikian mudahnya dikibuli mentah mentah, namun paling tidak dia akan berhasil mengumpulkan sedikit waktu. Sementara itu otaknya yang cerdas sudah bekerja mencari jalan untuk keluar dari konfrontasi ini dengan selamat .
Kosasih sebenarnya ingin mengeluarkan fotocopy sidik jari Sumarsono yang diterimanya dari kepolisian Banjamasin untuk dibandingkan dengan sidik jari Sumarsono sekarang. Namun karena Gozali yang memimpin jalannya pemeriksaan kali ini, maka Kosasih tidak berkata apa-apa.
"Sekarang, kami mau bertanya. Pada hari Jumat tanggal dua puluh empat yang lalu, apa saja kegiatan Anda?"
"Bukankah Anda sudah pernah menanyakan semuanya kepada saya? Bukankah segala pertanyaan itu sudah pernah saya jawab?" Sumarsono menjawab dengan nada kesal, seakan-akan pertanyaan itu sudah diajukan seratus kali kepadanya.
Dengan sabar Gozali berkata,
"Supaya cepat, sebaiknya Anda jawab saja sekali lagi pertanyaan itu."
"Saya berangkat ke kantor, bekerja, pulang, tidur. Apa lagi yang Anda kehendaki?" tanya Sumarsono sinis.
'Saya mau tahu pukul berapa Anda meninggalkan kantor waktu itu."
"Seperti biasa, pukul lima."
"Dan pukul berapa Anda tiba di rumah?"
"Seperti biasa, mungkin hampir setengah enam. Bukankah begitu, Frid?" tanya Sumarsono, memalingkan kepalanya kepada istrinya sambil tersenyum manis.
Frida Sumarsono membuka mulutnya, namun tidak berkata apa-apa.
Gozali-lah yang menjawab.
"Anda berbohong, Saudara Sumarsono!" Kata-kata ini diucapkannya dengan tekanan, sehingga seperti lecutan suatu cambuk yang membelah keheningan suasana.
"Tadi kami telah menanyakan hal yang sama kepada istri Anda. Ternyata Anda pulang selewat pukul delapan malam," kata Gozali.
"Ah, masa? Oh, boleh jadi, barangkali saya yang lupa," kata Sumarsono dengan santai. Ia membuatnya seolah-olah hal itu tidak penting benar.
"Anda dari mana, pulang ke rumah baru pukul delapan?" tanya Gozali.
"Oh, Anda mau menjadi istri yang cemburu, ya?" gurau Sumarsono.
"Ah, sekarang saya ingat. Hari itu saya bertemu dengan seorang kawan, dan kami bercakap-cakap sampai lupa waktu."
"Siapa nama kawan Anda dan di mana alamatnya?"
Sumarsono tersenyum.
"Namanya Fuad, teman saya berlayar dulu, dan saya tidak menanyakan alamatnya. Ia masih ikut kanal sampai sekarang."
'Dan kalian bercakap-cakap selama tiga jam tanpa Anda menanyakan nama kapalnya dan alamat rumahnya?" tanya Kosasih sinis.
"Kami bekas orang kapal tidak terlalu mementingkan alamat," kata Sumarsono dengan santai.
"Saudara Sumarsono," kata Gozali mengubah haluan bicara,
"istri Anda mengatakan bahwa Anda sedang mengurus surat-surat sebuah peternakan unggas yang telah Anda beli. Coba, kami ingin melihat surat-surat itu."
Mata Sumarsono menyipit. Suaranya berubah ketus, 'Apa hubungannya dengan pengusutan Anda, soal surat-surat itu?"
"Kami ingin melihat sejauh mana surat surat itu telah dibereskan. Berapa harganya yang telah Anda bayar, di mana letak peternakan itu, dan siapa pemiliknya yang lama."
"Saya mau tahu dulu, apa hubungannya dengan pengusutan Anda?" tanya Sumarsono. Keramahannya hilang.
"Setelah Anda menunjukkannya, saya akan menjelaskannya kepada Anda," kata Gozali dingin.
Frida Sumarsono memandang suaminya dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang menyentuh benaknya, sesuatu yang selama ini seakan-akan masih tidur pulas tiba-tiba terjaga.
"Surat-surat itu tidak di sini," kata Sumarsono pendek.
"Kalau memang Anda perlukan, besok saya antarkan ke kantor polisi."
"Kami ingin melihatnya sekarang," kata Gozali.
"Di mana surat-surat itu?"
"Baiklah," kata Sumarsono sambil berdiri.
"Saya pergi mengambilnya."
"Tidak," kata Gozali, ikut berdiri.
"Anda tunggu di sini. Beritahukan kepada saya di mana tempatnya, dan petugas polisi yang menunggu di luar itu yang akan mengambilnya."
Di mata Sumarsono timbul lagi pandangan terperangkap itu. Kali ini Frida Sumarsono sudah tidak salah melihat lagi. Ya, ia melihat pandangan terperangkap itu di mata suaminya.
"Katakanlah, Pa, biar mereka yang mengambil," katanya dengan suara datar.
"Aku pun ingin melihatnya."
Sumarsono berpaling kepada istrinya. Pandangan terperangkap itu berubah menjadi pandangan benci.
"Kau berdiri di pihak siapa, Frid?" tanya suaminya dengan tajam.
"Apa salahnya kalau kautunjukkan? Mengapa kau menyembunyikannya dariku?" balas Frida Sumarsono.
"Oh, jadi sekarang kau mengajak bertengkar di depan semua orang ini?" tanya Sumarsono garang. Seluruh kejengkelan hatinya dan ketakutannya kini dilampiaskannya kepada istrinya.
"Kau memang perempuan tolol, bisa dipancing orang!"
"Jangan memaki aku," kata Frida Sumarsono dengan tenang, namun suaranya dan pandangan matanya sedingin es.
"Sekarang katakanlah di mana surat-surat peternakan itu kausimpan, supaya bisa kita lihat di sini, dan semua orang ini boleh segera meninggalkan rumah ini dengan puas."
"Oh, jadi kau juga ikut menyerangku, begitu? Kau berkomplot dengan orang-orang ini? Kau memang bodoh!" Mata Sumarsono membelalak.
Frida Sumarsono keder juga melihat tampang Sumarsono yang berubah garang itu. Namun dia bukanlah gadis Ujungpandang kalau mau tinggal diam dimaki-maki suaminya di depan banyak orang.
"Jangan memojokkan aku," katanya sambil memandang mata suaminya dalam-dalam. Sumarsono melihat peringatan yang dipancarkan dari sinar mata istrinya yang tajam. Seketika itu ia menyadari bahwa ia telah salah melangkah. Istrinya bukanlah tipe wanita yang bisa ditaklukkan dengan kekerasan.
Tiba-tiba suara Nyonya Wibisono memecahkan suasana yang tegang itu.
"Nyonya Sumarsono," katanya,
"saya berani bertaruh kalau surat-surat itu tidak pernah ada. Begitu jugalah caranya menipu di Banjarmasin. Semua perhiasan istrinya telah dijualnya, alasannya untuk menambah modal usahanya. Ternyata semuanya dibawa kabur. Nyonya ingat-ingatlah sendiri, sampai sekarang sudah berapa uang atau perhiasan Nyonya yang jatuh ke tangannya. Saya kira semuanya itu akan dilarikannya juga pada suatu hari."
Frida Sumarsono berpaling menatap suaminya. Ia ingin menyelidik jauh ke batin suaminya, menembus topeng ketenangannya, apakah benar Sumarsono yang berdiri di hadapannya ini adalah Sumarsono yang mereka kisahkan.
"Kau tahu bahwa itu tidak benar, Frid," kata Sumarsono.
"Mereka salah menduga orang."
"Kalau tidak benar, tunjukkanlah surat-surat peternakan unggas itu kepadaku," kata Frida Sumarsono. Firasatnya memberi peringatan bahwa keputusan ini akan merupakan keputusan terpenting yang dibuatnya dalam kehidupan rumah tangganya. Ia telah menempatkan suaminya di suatu posisi yang apabila betul telah terjadi salah tuduh, berarti hancurlah sudah sejarah perkawinannya dengan lelaki ini. Namun resiko ini harus ditempuhnya, dan Frida Sumarsono cukup konsekuen untuk menghadapi kenyataannya.
"Aku tidak mengerti, mengapa kau bisa termakan kata-kata mereka, Frid? Aku adalah suamimu! Bagaimana mungkin kau mau mempercayai orang lain lebih daripada aku? Semua tuduhan itu tidak betul."
"Betul, Nyonya," suara Gozali tenang dan tajam.
Dia melihat keragu-raguan pada wajah Frida Sumarsono, dan dia memutuskan untuk mengakhiri sandiwara ini.
"Suami Nyonya adalah seorang penipu. Seorang penipu dan pembunuh! Kami telah menyelidiki latar belakangnya. Justru karena benar ia adalah Sumarsono yang menghilang dari Banjarmasin itulah maka ia telah membunuh Dian Ambarwati, yang telah mengenalinya. Ia sendiri tentunya telah lupa siapa Dian Ambarwati sebenarnya. Ia tidak mengaitkannya dengan gadis sekolah adik tetangganya yang pernah berlibur di Banjarmasin selama satu bulan sekitar tiga tahun yang lampau. Kemudian ada sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang membuatnya menyadari bahwa Dian
Ambarwati merupakan bahaya baginya, ia menjadi panik, jangan-jangan kedoknya terbongkar. Saya telah mengeceknya kepada kakak Dian Ambarwati, apakah adiknya mengetahui bahwa Sumarsono telah meninggalkan keluarganya di Banjarmasin, dan ternyata Dian tidak pernah diberitahu kakaknya. Jadi, bagi Dian Ambarwati, Sumarsono dianggapnya pindah ke Surabaya beserta keluarganya. Nah, sekarang, apa yang telah terjadi yang membuat Sumarsono takut bahwa Dian mungkin akan menyadari bahwa keluarganya yang di Surabaya ini bukanlah keluarganya yang pernah dijumpainya di Banjarmasin?"
Dalam mengisahkan ini Gozali sendiri tampaknya seperti bicara kepada dirinya sendiri, seakanakan menimbang-nimbang suatu teori dalam benaknya sendiri. Nyonya Frida Sumarsono yang mendengarkan dengan mata lebar, tiba-tiba tersentak.
"Pesta itu!" pekiknya. Wajahnya sekarang telah berubah. Bukan lagi wajah seorang istri yang dilanda kebimbangan, bukan wajah seorang kekasih yang ingin melindungi orang yang dicintainya, melainkan suatu wajah dengan ekspresi yang penuh kekecewaan dan rasa jijik. Frida Sumarsono mundur dua langkah menjauhi suaminya.
"Pesta itu!" katanya menghadap ke wajah suaminya yang pucat pasi.
"Kau melarang aku mengadakan pesta itu! Karena kau takut orang-orang berkenalan dengan aku! Kau takut orang-orang mengetahui aku istrimu! Itulah sebabnya mengapa selama kita tinggal
di Surabaya ini, kau tidak pernah membawa aku keluar ke mana-mana! Jadi kau takut terlihat bersama aku karena sebelumnya kau sudah mempunyai keluarga yang kautinggalkan di Banjarmasin!" Frida Sumarsono menatap suaminya dengan pandangan berapi-api.
"Tenang, Bu," kata Kosasih.
"Coba ceritakanlah tentang pesta itu."
"Saya telah mengundang semua karyawan kantor Ramanda untuk menghadiri suatu pesta kecil di sini pada hari Sabtu tanggal dua puluh lima yang lalu. Karena sebelumnya usul saya selalu ditolak oleh suami saya ini, maka pada hari Rabu saya nekat datang ke kantornya untuk menyampaikan undangan itu sendiri. Pasti itulah yang membuatnya panik. Kalau gadis itu kemari dan bertemu dengan saya, ia segera akan melihat bahwa saya bukanlah istrinya yang di Banjarmasin dulu." Nyonya Frida Sumarsono berpaling kepada suaminya.
"Kau... kau... memang binatang! Kautinggalkan keluargamu di sana dalam kesulitan, kaukeruk uang istrimu habis-habisan, lalu kau ke Ujungpandang untuk mengulangi lagi perbuatan kejimu dalam keluargaku! Berapa sudah harta ayahku yang jatuh ke tanganmu? Mana itu uang yang diberikannya kepadamu untuk modal peternakan unggasmu? Masa sudah hampir dua tahun surat-suratnya masih belum beres? Kau semata-mata memang ingin menipu keluargaku saja, bukan? Binatang kau!" Tanpa diduga, tiba-tiba Nyonya Frida mengejutkan orang-orang di dalam ruangan itu dengan menampar suaminya. Tamparan itu lebih mengagetkan Sumarsono daripada tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Belum pernah dalam hidupnya ia ditampar seorang wanita. Seketika Sumarsono kehilangan kontrol atas emosinya. Kedua tangannya segera ganti mencekik leher istrinya, dan kalau bukan karena satu bogem mentah dari Gozali mendarat di pipinya, cengkeraman itu masih belum dilepaskannya.
"Kau... kau... kau mau mencekik aku?" pekik istrinya histeris.
"Setelah kaubunuh gadis itu sekarang kau mau mencekik aku?" pekiknya.
"Dasar perempuan bodoh!" bentak Sumarsono.
"Aku tidak membunuhnya, aku tidak membunuh siapa-siapa. Malam itu aku ada di sini, di rumah, tidur bersamamu. Kapan aku membunuhnya?"
"Astaga! Ya, Tuhan!" kata Frida Sumarsono dengan mata lebar.
"Jadi tengah malam buta itu kau keluar untuk... untuk membunuh!"
"Apa?" desis Sumarsono yang kedua lengannya ditahan oleh Kosasih dan Gozali masingmasing di tiap sisi.
"Ya, Tuhan, sekarang aku tahu ke mana kau pergi tengah malam buta begitu! Astaga!"
"Kau biara apa, perempuan gila? Aku tidak pernah pergi tengah malam buta!"
"Kaukira aku tidak tahu bahwa malam itu kau diam-diam pergi? Kausangka aku masih terus tidur tetapi sebenarnya aku terjaga saat kau turun dari tempat tidur! Aku mengira kau ke kamar mandi tetapi ternyata tidak. Aku melihatmu mengenakan
pakaianmu dalam kegelapan dan aku merasa sangat heran. Lalu kau berjingkat-jingkat meninggalkan kamar dan tak lama kemudian aku mendengar kau mengeluarkan mobil dari garasi dan mengendarainya pergi. Aku melompat bangun dan melihat saat itu pukul satu lewat sedikit."
"Kau ngelindur ya sekarang?" kata Sumarsono memelototi istrinya. Kedua lengannya masih dicekal Kosasih dan Gozali.
"Kau mengarang cerita sendiri? Seandainya betul aku keluar malam-malam seperti itu, kenapa kau tidak segera mencegatku dan mengajukan beribu protes dan pertanyaan?"
"Aku kebingungan. Aku sangat terpukul saat aku tahu kau sedang mengenakan pakaianmu dengan diam-diam. Aku pikir kau... aku pikir kau pergi untuk menemui seorang perempuan. Aku menunggumu pulang dengan perasaan galau. Aku mendengar mobilmu masuk pukul setengah tiga kurang dan dengan diam-diam melepas pakaianmu dan kembali ke tempat tidur dengan perlahanlahan. Aku tidak berani bergerak, aku tidak berani membuatmu tahu bahwa aku tahu kau pergi tengah malam. Aku takut membuat konfrontasi denganmu, aku takut jika terdesak, kau lalu akan mengakui bahwa kau memang punya kekasih di luar dan kau minta cerai. Aku tidak siap menerima kenyataan itu.
"Aku tidak berani bertanya kepadamu keesokan harinya dan aku bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi. Dalam hati aku bertekad tidak mau kehilangan dirimu sebagai suami. Aku
merasa bersyukur kau juga bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa yang terjadi. Aku berjanji kepada diriku untuk menjadi istri yang lebih baik lagi supaya kau kembali kepadaku seutuhnya. Aku sangat... aku sangat khawatir kehilangan dirimu.... Ya, Tuhan, tidak tahunya kau membunuh orang malam itu!" jerit Frida Sumarsono. Badannya melemas dan mulai kehilangan keseimbangan. Wibisono cepat-cepat menyangga perempuan itu supaya tidak jatuh ke lantai.
"Kau gila!" kata Sumarsono. Wajahnya pucat pasi, ujung bibirnya berdarah sedikit, seluruh tubuhnya gemetar karena menahan amarah.
"Perempuan itu mati pukul delapan, bukan mati pukul satu tengah malam!"
Kosasih segera berkata,
"Dari mana Anda tahu bahwa ia mati pukul delapan?"
Sumarsono berpaling kepada Kosasih. Matanya menyala-nyala.
"Dari mana? Dari Anda sendiri, Anda yang memberitahukannya kepada saya!"
"Tidak," kata Kosasih.
"Anda telah terperosok masuk ke dalam lubang yang Anda gali sendiri, Saudara Sumarsono." Kosasih tersenyum.
"Kami dari kepolisian tidak pernah mengumumkan jam kematiannya. Itu adalah satu hal yang kami rahasiakan, untuk tidak membuat pembunuhnya curiga. Anda mengetahui bahwa Dian Ambarwati meninggal pukul delapan bukannya dari keterangan saya, atau dari berita koran, atau dari mana pun, melainkan Anda mengetahuinya karena Anda sendirilah yang melakukannya!"
Tidak ada yang melihat dan menduga bahwa Sumarsono tiba-tiba akan melarikan diri. Sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, Sumarsono sudah melompat ke dalam mobilnya yang dengan tergesa-gesa diundurkannya. Pada saat itu mobil Jeep yang parkir di depan rumahnya, yang dipakai untuk mengantarkan suami-istri Wibisono, segera maju untuk menghalangi keluarnya mobil Sumarsono dari halaman. Karena kerasnya benturan kedua buah mobil tersebut, kepala Sumarsono membentur kemudinya. Seketika pandangan matanya menjadi gelap. Pada waktu ia membuka matanya kembali, di sekelilingnya telah berdiri empat orang laki-laki-Wibisono, seorang petugas polisi yang menjalankan Jeep yang menghalangi mobilnya, Gozali, dan Kosasih.
Sumarsono memejamkan matanya lagi.
**
MEREKA sedang berkumpul di kantor Kosasih. Rukmini Wibisono beserta suaminya, Nyonya Frida Sumarsono, Pak Umboh-ayahnya yang baru datang dari Ujungpandang-Nyonya Menara Sumarsono yang juga baru didatangkan dari Banjarmasin untuk keperluan mengidentifikasi suaminya yang telah menghilang selama dua tahun lebih, dan Gozali.
Meskipun misteri pembunuhan atas Dian Ambarwati telah terungkap, namun pada wajah orangorang yang berkumpul di sana tidak tampak tandatanda sukacita. Mereka semuanya tenggelam dalam kesedihan masing-masing, kesedihan yang sempat menyentuh hidup mereka hanya karena ketamakan seorang laki-laki yang bernama Sumarsono.
"Kami telah memperoleh pengakuan lengkap dari Sumarsono sendiri," kata Kosasih.
"Dia berbuat demikian dengan harapan akan memperoleh keringanan hukuman di pengadilan nanti. Kecuali akan dituntut membunuh Dian AmbarWati, ia juga akan digugat oleh orang-orang yang ditipunya di Banjarmasin dan oleh Pak Umboh." Kosasih
memandang kepada Pak Umboh yang menganggukkan kepalanya.
"Empat 'ratus juta telah saya serahkan kepadanya sebagai modal untuk mewujudkan cita-citanya membuka peternakan unggas itu," kata Pak Umboh, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bedebah itu! Tidak saya kira ia hanya memperalat anak saya saja."
Frida Sumarsono tidak berkata apa-apa. Wajahnya beku, tidak menunjukkan emosi. Sebaliknya Menara Sumarsono mengusap ekor matanya yang berair.
"Nyonya tidak menuntutnya untuk kehancuran usaha ayah Nyonya?" tanya Pak Umboh kepada Nyonya Menara Sumarsono.
Yang ditanya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
"Sembilan tahun dia menjadi suami saya dan bapak anakanak saya. Saya tidak tega menuntutnya. Selama hidup perkawinan kami ia begitu baik, begitu lembut, begitu penuh pengertian, begitu sabar terhadap anak-anak, sehingga tidak pernah saya bayangkan bahwa semuanya itu hanyalah sandiwara saja. Kami tidak pernah bertengkar, dan tiba-tiba ia menghilang, tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Saya bahkan mengira ia telah dibunuh orang. Setiap hari saya mendoakannya, memohonkan keselamatannya, memohonkan kesempatan agar kami bisa bertemu kembali. Tidak disangka kami harus bertemu kembali dalam keadaan demikian." Nyonya Menara Sumarsono mulai terisak-isak.
Hati Kosasih sendiri tersentuh melihat wanita ini. Usianya tidak lagi muda, dan kepahitan hidup telah menambah banyak guratan waktu pada wajahnya. Seorang wanita yang dalam waktu singkat telah kehilangan segala-galanya-ayahnya, suaminya, hartanya, jaminan masa depannya, dan kepercayaannya kepada sesama manusia. Kosasih berpikir, sampai di manakah akibat buruk yang disebabkan oleh tingkah Sumarsono ini meninggalkan bekas dalam hidupnya? Dalam hatinya ia hanya bisa berharap, semoga pada suatu hari wanita yang berhati lembut ini mempunyai kesempatan untuk menemukan kebahagiaannya kembali, memperoleh ketenangan batinnya lagi, dan memulihkan kepercayaannya kepada sesama manusia.
"Saya tidak mengerti, untuk apa Sumarsono begitu serakah? Bukankah hidupnya pada saat ini sudah cukup mewah dan terjamin"? Rumah ada, mobil ada, semua fasilitas perlengkapan modern ada, bahkan modal untuk membuka usahanya sendiri pun saya berikan." Pak Umboh menggelenggelengkan kepalanya.
"Tetapi mengapa ia masih mau mencari lebih banyak lagi? Seandainya ia seorang yang melarat hidupnya, mungkin saya masih bisa memaklumi tindakannya. Tetapi dengan statusnya yang sekarang, saya benar-benar heran."
Kosasih menarik napas panjang. Memang tidak mudah membahas hal-hal yang menyangkut alasan alasan mengapa seseorang bisa melakukan kejahatan. Apa yang dikatakan Pak Umboh tidak-salah. Orang yang sudah mempunyai begitu banyak
tetapi masih mau mempertaruhkan kebebasannya untuk mengeruk harta yang lebih besar lagi, sukar sekali dimaklumi logikanya. Tetapi, orang yang dapat berbuat demikian itu biasanya mempunyai kelainan jiwa, dan siapa yang dapat menjelaskan kelainan jiwa?
Kosasih membaca kembali dokumen yang terletak di hadapannya. Proses verbal Sumarsono.
"Sumars0no telah mengakui bahwa semua yang berhasil dikumpulkannya, disimpannya dalam bentuk emas dan mata uang asing yang dititipkan di kotak deposit yang disewanya di salah satu bank. Harta itu sewaktu-waktu dapat diambilnya." Kosasih berhenti membaca, lalu membalik-balik beberapa halaman lagi.
"Sumarsono mengalami masa muda yang penuh kemelaratan. Dilahirkan dari keluarga petani yang hidupnya masih di bawah garis kemiskinan. Dengan tekadnya sendiri ia berhasil menyelesaikan STM, lalu ia ikut berlayar dengan kapal-kapal dagang. Sumarsono tahu apa artinya hidup miskin itu, dan dia tidak mau menjalani kehidupan seperti itu lagi. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, berkeliling ke luar negeri, dan pada hari tuanya dapat menetap di luar negeri tanpa perlu bekerja. Oleh karena itu warisan dari mertuanya yang pertama, yaitu suatu perusahaan pengangkutan laut, masih dirasakannya kurang untuk mewujudkan cita-citanya, sehingga ia berupaya menipu kanan-kiri-teman-teman mertuanya-untuk menanamkan uang mereka dan bergabung dengan perusahaannya. Begitu uang mereka masuk ke tangannya, ia menghilang. Dia mengira kalau ia pergi jauh dari Banjarmasin tidak akan ada orang yang mengenalinya, dan dia merasa aman untuk mencari tambang emas baru, sampai terkumpul suatu jumlah yang dianggapnya cukup untuk merealisasikan impiannya. Pilihannya kali ini jatuh pada keluarga Umboh, pengusaha besar kopra.
"Sebelum dia berhasil mengeruk semua harta keluarga Umboh, tiba-tiba muncul bahaya baru. Perbuatannya yang lama di Banjarmasin dulu mungkin bisa terbongkar. Nah, itulah yang membuatnya kehilangan akal sehat, karena uang yang sudah dikumpulkannya dengan menanggung berbagai risiko, serta impiannya akan bisa hidup sebagai jutawan di luar negeri, akan buyar sama sekali."
Menara menggeleng.
"Saya kenal wataknya," katanya lirih.
"Pada dasarnya ia adalah orang yang santai dan baik hati, lemah lembut, dan tidak suka menimbulkan persoalan. Kalau saja Dian Ambarwati tidak muncul lagi dalam hidupnya, saya kira pasti ia akan hidup tenang dan damai bersama Nyonya Frida sampai tua. Toh dia sudah berhasil mengumpulkan banyak uang. Untuk apa harus mengejar cita-cita yang lebih muluk lagi."
Gozali memandang wanita ini dengan kagum. Seorang istri yang telah tertipu, yang telah dihancurkan hidupnya, dibuat melarat, namun pada saat
saat demikian masih dapat mengenang orang yang menyebabkan kesengsaraannya sebagai orang yang baik, yang tidak suka menimbulkan masalah. Alangkah dalamnya ikatan batin yang ada antara wanita ini dan bekas suaminya! Kasihan, wanita ini tidak menyadari bahwa sebenarnya Sumarsono sama sekali bukanlah apa yang dibayangkannya. Ia adalah orang yang egois, yang tidak segan menghalalkan segala cara demi mencapai keinginannya, seorang yang pada dasarnya berhati kejam. Kalaupun dia berhasil memberikan kesan dirinya adalah orang yang baik, lemah lembut, dan segalanya, itu hanyalah seumpama serigala yang sedang tidur sambil mengenakan kulit domba. Tetapi satu kali ia terjaga, maka wataknya yang asli pasti timbul.
"Tidak, Bu," kata Gozali.
"Saya kira Anda salah. Sumarsono tidak akan merasa puas. Orang seperti dia tidak pernah akan merasa puas. Keberhasilannya yang pertama malah memperbesar nyalinya, sehingga setiap usaha berikutnya yang berhasil, akan semakin menjadikannya haus untuk bertindak lebih berani lagi.
"Seandainya Dian Ambarwati tidak pernah datang ke Surabaya sekalipun, dan tidak bekerja di Ramanda, Sumarsono tidak akan hidup tenang dan damai. Pada suatu saat pasti Pak Umboh dan Nyonya Frida akan menanyakan, apa jadinya dengan peternakan unggas yang disebut-sebutnya. Sumarsono menyadari kemungkinan itu, tetapi ia masih berharap dapat mengulur waktu untuk dapat meminta lebih banyak lagi dari keluarga Umboh."
Nyonya Menara memandang Gozali dengan mata sayu. Kemudian katanya dengan kepala tertunduk,
"Ya, barangkali Anda benar, hanya saja masih sulit bagi saya untuk menerima kenyataan ini." Nyonya Menara menggelengkan kepalanya.
"Ia begitu lembut, begitu baik kepada kami, saya tidak pernah membayangkan kalau ia sanggup berbuat kejam."
"Manusia adalah makhluk yang kompleks, Bu," kata Gozali menjelaskan.
"Manusia bukan seperti cat dalam kaleng, kalau berwarna hitam ya seluruhnya hitam, kalau berwarna putih ya satu kaleng putih semua isinya. Manusia merupakan perpaduan beribu-ribu warna dan watak. Orang yang biasanya baik, sabar, lemah lembut, jangan dikira tidak bisa berbuat jahat. Demikian pula orang yang biasanya berwatak keras, kejam, masih bisa mempunyai sifat-sifat yang baik. Tidak ada manusia yang total baik atau total jahat di dunia ini. Hanya saja, manusia yang sadar akan berusaha keras menekan watak-watak jahatnya supaya ia dapat hidup aman dan tenteram. Sedangkan manusia yang kurang sadar mengumbar semua sifatnya, entah itu baik atau jahat, dan lebih sering cenderung mengikuti naluri jahatnya.
"Sumarsono pada dasarnya adalah orang yang terlalu mencintai uang. Hendaknya kita ingat pepatah ini, bahwa uang bukanlah pangkal segala kejahatan, melainkan ketamakan akan uang itulah yang merupakan pangkal segala kejahatan.
"Bisa saja Sumarsono memang memiliki sifatsifat lembut, pembawaan yang sabar dan santai, selama situasinya tidak ada hubungannya dengan uang. Tetapi begitu ada uang yang tersangkut, apalagi uang dalam jumlah yang besar, perangainya total dikuasai ketamakan. Dan sudah pasti hal yang nomor satu didulukannya adalah bagaimana caranya memperoleh atau menyelamatkan uang tersebut untuk dirinya sendiri."
"Betul," kata Frida Sumarsono,
"ia tidak pernah menunjukkan sifat-sifat jeleknya di hadapan saya kecuali pada saat saat terakhir. Memang dia adalah orang yang benar-benar pandai, pandai menyembunyikan ketamakannya, pandai berkedok sebagai orang yang rendah hati, orang yang amat sederhana, yang paling ayem dan puas. Sedikit pun saya tidak pernah mencurigainya. Selama perkawinan kami, ia tidak pernah menyinggung masalah uang, masalah warisan, masalah usaha ayah saya, seakan-akan dia tidak pernah memikirkan untuk ikut menikmati kekayaan Ayah."
"Itu betul," kata Pak Umboh.
"Bahkan uang yang empat ratus juta itu pun bukan dia yang memintanya. Saya yang menawarkan kepadanya ketika ia menceritakan cita-citanya. Dan pada waktu itu ia malahan tampak segan untuk menerimanya. Kalau bukan istri saya yang mendesak, dia memberikan kesan berat sekali menerimanya. Memang dia cerdik, dan rapi sepak terjangnya!" Tak dapat disangkal lagi ada nada kagum dalam suara Pak Umboh. .
"Ya," kata Kosasih dingin.
"Dia punya banyak kesempatan dan waktu untuk berlatih. Jangan lupa, ia sabar menunggu sembilan tahun sampai ayah Nyonya Menara meninggal sebelum menjalankan aksinya yang pertama."
"Memang benar apa yang dikatakan Pak Gozali," kata Pak Umboh, manggut-manggut.
"Manusia terdiri atas sifat-sifat baik dan buruk. Harus saya akui bahwa Sumarsono pun mempunyai sifatsifat yang baik. Sayang dia terlalu diperbudak ketamakan, sehingga kali ini ia mengumbar sifat buruknya terlalu jauh. Kasihan gadis yang mati itu."
"Bagaimana caranya ia membunuh adik saya?" tanya Nyonya Rukmini Wibisono mengingatkan Kosasih bahwa justru untuk maksud inilah mereka berkumpul di sini. Untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap, supaya semua orang boleh pulang dengan hati yang lega.
"Ketika Dian Ambarwati diterima Pak Sugeng bekerja di kantornya, Sumarsono sama sekali tidak ingat siapa gadis ini. Karena itu selama waktu kurang-lebih dua bulan adik Nyonya bekerja dengan normal tanpa mendapat kesulitan. Setelah Nyonya Frida Sumarsono menyampaikan undangan makan di rumahnya, baru kesulitan itu timbul. Ternyata secara tidak disengaja Dian Ambarwati mengatakan kepada Sumarsono bahwa sebenarnya ia sudah pernah mengenal mereka sewaktu di Banjarmasin dulu. Pada waktu itulah Sumarsono mulai mencari-cari akal bagaimana caranya supaya
kedoknya tidak terbongkar. Dia tidak ingin kehilangan hartanya sekarang, dan lebih-lebih dia tidak ingin kembali ke Banjarmasin untuk menghadapi kreditornya. Ia tidak menemukan jalan lain kecuali dengan membunuh gadis ini. Selama Dian Ambarwati masih hidup, keamanan Sumarsono terancam. Jadi, diambilnya keputusan untuk membunuh Dian Ambarwati karena ia masih ingin mempertahankan identitasnya sebagai Sumarsono yang baru menikah dengan gadis asal Ujungpandang. Hal ini perlu sekali mengingat dia belum berhasil mengeruk uang sebanyak yang diharapkannya dari ayah mertuanya yang di Ujungpandang.
"Saya pikir dia tentu telah merencanakan untuk menghilang juga dari Surabaya begitu ia berhasil mengeruk lebih banyak uang lagi dari mertuanya, lalu menjual rumah dan perlengkapannya yang mewah itu beserta mobilnya secara diam-diam.
"Dengan semua hasil penjualan dan tipuannya itu, ia bermaksud memulai lagi operasi yang sama di daerah yang lain. Didorong oleh keberhasilannya di Banjarmasin, keberaniannya menebal, dan dia tidak bermaksud menunggu sampai sembilan tahun lagi sebelum meninggalkan keluarganya seperti pada perkawinannya yang pertama dulu.
"Kehadiran Dian Ambarwati di dekatnya mengancam keselamatannya. Dan Dian Ambarwati yang adalah seorang gadis yang masih polos dan belum berpengalaman, dengan mudah dapat diperdayanya. Maka, disusunnya rencananya baik-baik. Pada hari Jumat itu seharusnya ia yang berangkat ke Malang
untuk mengurus pameran, tetapi ia menyuruh Nona Puji yang menggantikan tempatnya. Ia mempunyai tujuan ganda mengapa justru Nona Puji yang disuruhnya berangkat. Pertama, karena ia sendiri harus berada di Surabaya untuk melaksanakan niat jahatnya. Dan yang kedua, ia mengetahui bahwa setiap pagi Nona Puji biasanya menjemput Dian Ambarwati ke kantor. Seandainya pada Sabtu pagi itu Nona Puji menjemputnya seperti biasa, pasti menghilangnya Dian Ambarwati dari pemondokannya akan terungkap lebih dini. Sumarsono bermaksud menunda hal itu selambat mungkin. Dia mengetahui bahwa lebih lama suatu jenazah itu tidak ditemukan, lebih sulit untuk memastikan waktu ajalnya. Maka Sumarsono berusaha mempersiapkan alibinya. Di pihak lain dia juga mengambil kalung dan cincin serta uang Dian Ambarwati untuk menanamkan kesan bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh kawanan penodong.
"Nah, pada waktu Jumat sore itu, sebelum pulang dia memanggil Dian Ambarwati ke kantor pribadinya di dalam. Kepada Dian Ambarwati ia berkata bahwa istrinya ingin bertemu dulu dengan Dian sebelum pesta hari Sabtu besoknya, karena sudah rindu ingin memperbarui hubungan mereka yang di Banjarmasin dulu. Jadi malam itu ia membuat janji akan menjemput Dian Ambarwati di pemondokannya pukul setengah delapan, dan supaya tidak membuang-buang waktu, Dian Ambarwati dimintanya sudah siap menunggu di luar.
"Dian yang masih polos tidak mengetahui
bahWa ia diminta demikian karena Sumarsono tidak mau terlihat oleh orang-orang lain yang ada di pemondokan itu. Hari Kamis sebelumnya, Dian Ambarwati telah menelepon seorang temannya yang bernama Purnomo untuk datang ke pemondokannya, dan mereka sudah mempunyai janji akan bertemu Jumat sore itu. Dian Ambarwati tidak sempat memberitahu Purnomo bahwa ia mendadak harus pergi ke rumah Sumarsono malam itu juga sebelum Purnomo berangkat dari Ngawi, karena ia sendiri juga baru diberitahu oleh Sumarsono menjelang tutupnya kantor.
"Dian mengetahui bahwa Purnomo akan berangkat dari Ngawi selepas kuliahnya, dan akan tiba di Surabaya sekitar pukul tujuh. Maka sore hari itu Dian menantikan kedatangan Purnomo. Setelah lnsinyur Drajat yang mengantarkannya pulang itu pergi, Dian bergegas mandi dan bersiap-siap. Dian kemudian duduk di teras sambil mengawasi jalan. Pada pukul tujuh kurang seperempat, ibu semangnya memanggilnya makan. Ketika itu Dian mengatakan bahwa ia akan makan di luar malam itu, tetapi atas desakan ibu semangnya, akhirnya ia makan juga sedikit. Sehabis makan, Dian cepatcepat kembali ke teras. Tak lama kemudian muncullah temannya yang ditunggunya dari Ngawi itu. Dian Ambarwati menemui Purnomo di pagar saja karena waktu itu sudah mendekati pukul setengah delapan. Pada waktu mereka sedang bercakapcakap inilah salah seorang teman sepemondokannya keluar, sehingga hal ini membuat kami salah
sangka. Kami mengira orang yang akan mengajaknya makan di luar itu Purnomo, temannya dari Ngawi ini. Tetapi ternyata setelah kami cek dan kami cocokkan dengan kesaksian beberapa orang, dugaan kami salah.
"Apa yang sebenarnya terjadi kemudian adalah, Purnomo meninggalkan Dian sekitar pukul setengah delapan kurang sedikit, dan tak lama setelah itu muncullah mobil Sumarsono. Dian segera naik ke dalam mobil itu, dan pada waktu itu ia masuk ke perangkap Sumarsono."
Kosasih berhenti bercerita melihat Nyonya Rukmini Wibisono menghapus air matanya. Kepada Nyonya Rukmini pribadi sebelumnya Kosasih telah menyampaikan keadaan adiknya yang meninggal dengan kandungan yang berumur sekitar dua bulan. Tetapi, karena kehamilannya ini tidak ada hubungannya dengan pembunuhannya, dan karena toh adiknya sekarang sudah meninggal, tidak ada gunanya lagi aib ini diceritakan kepada orang lain, bahkan juga kepada orangtuanya sendiri, karena nanti malah menambah sedih hati mereka saja. Oleh karena itu, Kosasih minta kepada Rukmini Wibisono, demi kepentingan banyak orang, sebaiknya aib ini tinggal terkubur saja bersama adiknya dan tidak perlu disinggung lagi.
"Sumarsono mengakui bahwa ia membawa mobilnya ke jalan-jalan yang sepi. Dan ketika gadis itu tidak menduganya, dipukulkannya sebuah pipa besi yang telah disiapkannya di bawah tempat duduk mobilnya ke tengkuk gadis itu. Dian Ambarwati meninggal seketika itu juga. Sumarsono melaksanakan perbuatan kejinya itu sekitar pukul delapan, lalu di jalan yang sepi itu jenazah Dian dipindahkannya ke bagian bagasi di belakang mobilnya, dan ia kemudian pulang.
"Sumarsono merasa aman karena ia yakin bahwa perbuatannya tidak akan diketahui orang. Kepada Dian Ambarwati sebelumnya ia telah berpesan agar tidak mengatakan pertemuan mereka malam itu kepada siapa pun untuk menghindari salah pengertian. Dia juga pernah mengatakan agar Dian Ambarwati juga tidak memberitahukan kepada teman-temannya bahwa mereka sebelumnya sudah saling mengenal di Banjarmasin.
"Tengah malam Sumarsono keluar rumah lagi. membawa mobilnya mencari jalan yang sepi tempat ia dapat membuang jenazah Dian. Ketika ia tiba di Taman Aksara, ia menemukan tempat yang ideal. Jenazah Dian Ambarwati dibuangnya di sana, di bawah tanaman kol banda yang lebat daundaunnya, sehingga tertutup dari pandangan mata. Pipa besinya juga dibuangnya ke kali yang tidak jauh dari sana. Lalu pulanglah Sumarsono ke rumahnya."
"Keji!" Komentar ini datang dari Nyonya Frida Sumarsono yang bergidik sendiri.
"Bagaimana ia dapat duduk makan dan masuk tidur dengan santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa, padahal jenazah gadis itu masih meringkuk di bagian belakang mobilnya! Meskipun saya sering merasa heran mengapa peternakan unggasnya begitu lama masih
belum juga terealisasi, tidak pernah saya bayangkan bahwa saya telah kawin dengan seekor binatang!" Frida Sumarsono menggeleng-gelengkan kepalanya.
Misteri Dian Yang Padam Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang laki-laki tidak ada yang baik. Saya mengira dengan memilih suami yang berusia lebih tua hidup saya akan menjadi lebih tenang dan damai, penuh kasih sayang dan kepuasan batin, tetapi ternyata sama saja. Laki-laki, baik muda ataupun tua, samasama berhati kejam!"
Ayahnya menepuk-nepuk tangan anaknya yang terletak di pangkuannya.
"Tidak semua laki-laki demikian to, Frid," kata orang tua itu.
"Lihat saja Pak Kosasih, dia kan orang baik dan bertanggung jawab kepada keluarganya."
"Tetapi saya sudah jera, Yah. Lebih baik tidak kawin daripada harus mengalami penderitaan serupa ini," kata Frida Sumarsono.
"Secepatnya perceraian kami beres, saya mau pulang ke Ujungpandang."
Dalam hati Gozali tersenyum. Ini ada lagi seorang manusia yang antikawin. Memang lebih enak hidup membujang. Susah dan senang tidak perlu bergantung kepada orang lain.
"Nah, sekarang dengan sudah tertangkapnya Sumarsono, saya berharap semoga arwah Dian Ambarwati dapat beristirahat dengan tenang," kata Kosasih. mengakhiri ceritanya.
**
Gozali duduk di dalam bis sambil mengatupkan matanya. Ia sedang dalam perjalanan pulang untuk menikmati tidurnya yang terulang sejak beberapa malam. Dengan beresnya kasus pembunuhan Dian Ambarwati, berarti ia bisa bersantai lagi beberapa lamanya sampai timbul kasus baru lagi. Dan di kota besar seperti Surabaya, sudah dapat dipastikan bahwa kasus baru itu tidak membutuhkan jarak waktu yang lama untuk datang.
Setengah terkantuk-kantuk wajah orang-orang yang terakhir dikenalnya itu satu per satu lewat di depan bayangan matanya. Yang pertama adalah Wajah Herlina Subekti, yang cantik dan dinamis.
Dalam hati Gozali berharap semoga gadis ini tidak menyia-nyiakan bakat alaminya dan menyadari peranannya dilahirkan di dunia ini. Semoga ia tidak membuat kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan berpuluh-puluh wanita sejenisnya, yaitu membunuh karya cipta mereka yang khusus untuk sekadar menjadi ibu rumah tangga yang kurang berhasil. Kalau Herlina tidak sesat jalannya, siapa tahu pada suatu hari ia mungkin akan
menjadi pemuka yang berbobot dan memperjuangkan kemajuan kaumnya dalam kedudukannya sebagai menteri!
Berikutnya yang terbayang adalah wajah Insinyur Drajat. Gozali kurang terkesan olehnya. Lelaki yang masih belum dewasa, yang tidak mempunyai prinsip hidup. Ada banyak lelaki semacam ini yang kendati telah menyandang titel sarjana, namun tidak mempunyai watak yang teguh untuk menyokong ilmu yang telah dicapainya. Manusia semacam ini mudah terpengaruh, dan kalau tidak berhati-hati, ia akan mendapatkan dirinya terombang-ambing dalam perebutan kekuasaan antara yang benar dan yang salah di dalam dunia ini.
Kemudian Gozali teringat akan Puji. Ah, Puji adalah gambaran wanita yang berkepribadian. Dalam diri Puji, Gozali melihat sifat-sifat seorang wanita yang mengenal kodratnya, yang bertanggung jawab, dan yang memijakkan kedua kakinya pada dunia yang nyata. Kalau Gozali mau mengambil istri, ia akan memilih wanita seperti Puji. Sayang dia sendiri tidak bergairah untuk berumah tangga.
Sejenak dia juga teringat akan Frida Sumarsono -wanita yang malang. Dua kali salah memilih laki-laki. Dalam hatinya Gozali berpikir, mengapa wanita-wanita yang mempunyai kecenderungan salah memilih pasangan ini selalu akan mengulangi kesalahannya lagi? Apakah karena mereka hanya tertarik kepada lakilaki yang mempunyai sifat negatif.? Gozali mengangkat bahunya. Barangkali.
Kadang-kadang wanita itu mempunyai watak yang aneh, naluri keibuan yang salah, mereka suka melindungi sesuatu yang lemah. Alhasil mereka selalu tertarik kepada laki-laki yang mempunyai banyak kelemahan.
Bis berhenti di pos yang terdekat dengan rumahnya. Gozali turun dan disambut oleh hujan gerimis yang membasahi bumi. Gozali masih harus menempuh kira-kira sepuluh menit perjalanan kaki untuk sampai di rumahnya yang lebih tepat jika disebut gubuk. Terkadang kalau ia merasa sudah terlalu letih, dia akan memanggil becak. Tetapi pada hari ini, meskipun badannya terasa penat dan pegal-pegal semua, ia memilih berjalan kaki dan meneruskan lamunannya.
Ia mencoba membayangkan Dian Ambarwati. Gadis yang tidak pernah dijumpainya dalam keadaan hidup. Namun meskipun demikian, rasanya ia mengenal bagaimana watak dan sifat gadis ini. Dalam usianya yang dua puluh tahun Dian Ambarwati tentunya adalah seorang gadis yang lincah dan bergairah. Agak sedikit bebas, barangkali, dan tidak atau belum dapat menempatkan nilai-nilai kehidupan pada proporsi yang sebenarnya. Dalam waktu sepuluh atau lima belas tahun lagi, Dian Ambarwati mungkin akan menjadi wanita yang egois, yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada orang-orang lain. Tidak. Dian Ambarwati bukanlah wanita yang akan tetap menarik pada usia tiga puluh lima tahun. Pada saat itu ia akan berkembang menjadi istri yang terlalu menuntut,
dan ibu yang kurang memperhatikan kebutuhan putra-putrinya. Terbunuh pada usianya yang muda sekarang, orang-orang menyayangkan kematiannya, tetapi Gozali meragukan apakah seandainya ia mati sepuluh atau lima belas tahun kemudian, masih ada orang-orang yang berpendapat demikian?
Yang terakhir timbul di ingatannya adalah Purnomo Jamaludin, pemuda yang manja dan kurang dewasa itu. Namun Gozali berharap bahwa Purnomo akan menjadi orang yang lebih serius. Peristiwa ini merupakan cambuk baginya dalam mengumpulkan pengalaman hidup. Gozrali percaya bahwa akhirnya Purnomo Jamaludin akan menemukan prinsip hidupnya. Dalam percakapan mereka yang terakhir setelah dia dan Kosasih berhasil meyakinkan Purnomo bahwa melarikan diri dari kenyataan itu tidak ada gunanya, Gozali merasa bahwa perlahan-lahan Purnomo Jamaludin bisa melihat dunia dan sekelilingnya dengan kacamata yang lain. Pengalaman pahit ini telah membuatnya dewasa, kedewasaan yang terlambat dialaminya karena pemanjaan kedua orangtuanya. Namun sekarang, Gozali yakin, bahwa untuk selanjutnya Purnomo tidak akan menyia-nyiakan harapan orangtuanya, yaitu untuk menjadi manusia yang utuh dan mandiri dalam hidup. Waktu memang aneh, terkadang dia membawa perubahan yang jelek, tetapi sesering itu pulalah dia membawa perubahan yang baik. Dan dalam kasus Purnomo ini, waktu adalah penolongnya.
Gozali sampai di depan pintu rumahnya. Diambilnya anak kunci dan dibukanya pintu. Ah, suasana rumah yang sudah begitu dikenalnya-dingin, agak pengap, tidak ada sambutan, dan bisu. Namun itulah jalan hidup yang sudah dipilihnya sendiri. Pintu tertutup kembali di balik punggungnya.
Tamat
Pendekar Naga Putih 85 Setan Pantai Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Manusia Srigala Karya Can I D
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama