Ceritasilat Novel Online

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo 2

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD Bagian 2



"Hati-hati kalau berjalan. Krikil-krikil ini membuat orang mudah tergelincir," kata ayahnya.

"Bisa melanjutkan perjalanan?"

"Bisa, Yah!"

Keempat anak itu sudah bersenda-gurau lagi. Perjalanan ke air terjun Kakek Bodo ini merupakan yang pertama kalinya bagi si kembar Dino dan Dina, karena itu walaupun pantatnya terasa sakit. Dina tidak akan melewatkan kesempatan ini.

"Untung anak-anak kita tidak ada yang cengeng. ya, Bu," komentar Arifin kembali berjalan di samping istrinya.

"Biarpun Dina ini perempuan tapi ia sama beraninya seperti kakak-kakaknya yang laki-laki."

"Justru karena sehari-harian teman bermainnya adalah anak laki-laki semua. sehingga ia sendiri pun ketularan watak anak laki-laki," kata istrinya.

"Dina mana pernah bermain boneka atau pasar-pasaran. Mainnya memanjat pohon, perang-perangan. bersepeda, layangan, kumpulnya juga sama teman-teman abangnya itu. Bahkan suaranya yang paling keras di antara mereka. Anak-anak laki-laki itu malah pada takut padanya."

"Iya, biarkan saja, Bu. Ini kan masih masa kanak-kanaknya," kata Arifin.

"Nanti kalau sudah remaja putri kan bisa berubah."

"Yang aku takutkan itu kalau kasep! Kalau sudah terbiasa kelaki-lakian begitu, nanti terlambat berubah. Kan susah kalau begitu! Siapa yang mau punya menantu galak yang kasar seperti itu."

Arifin terbahak lagi.

Air terjun Kakek Bodo sudah tampak di depan mata. Anak-anak sudah langsung turun ke air. Sepatu mereka segera ditinggalkan di atas batu.

"Hati-hati, ada lintah, Nak!" teriak ayahnya memperingatkan.

"Hati-hati batunya juga banyak yang tajam," tambah ibunya.

Belum lagi bibirnya menutup. dia dikejutkan oleh pekikan Dina yang melengking tinggi.

"Astagfirullah!" ucap ayahnya langsung ikut masuk ke air tanpa mencopot sepatunya lagi.

"Ada apa?" Nyonya Arifin segera melemparkan sandalnya dan terjun ke air juga di belakang suaminya.

Ternyata apa yang mereka lihat adalah sesosok tubuh dengan kemeja putih dan celana berwarna hitam yang tertelungkup di balik salah satu batu besar. Wajahnya menghadap ke bawah dan terendam air. Sebelah tangannya tertahan di antara dua batu besar. sedangkan yang lain terjulur ke depan mengikuti arah arus air.

Melihat posisinya, tubuh ini sudah pasti tidak bernyawa. Setelah diperhatikan betul betul tampak beberapa luka di belakang kepalanya, ada yang darahnya sudah mengering. _

Keempat anak yang belum pernah melihat orang mati sebelumnya, sedikit pun tidak menjauh. Mereka malah mengerubung dan melihat dengan mata lebar. Ini adalah kematian pertama yang mereka saksikan, dan sebagaimana biasanya anak-anak. rasa ingin tahu mereka lebih kuat-mengalahkan rasa ngeri atau takut yang baru akan timbul kemudian setelah hari menjadi gelap dan bayang bayang malam turun.

Arifin yang gemar menonton film-film pembunuhan segera teringat bahwa polisi biasanya minta melihat posisi korban yang asli. Karena itu ia tidak berusaha mengangkat mayat itu dari air. Disuruhnya anak-anaknya minggir, diambilnya kameranya yang tergantung di leher dan diambilnya beberapa foto korban. Lalu katanya.

"Kita. harus segera melaporkan ini kepada Dolisi!"

**

"MBAK, surat kabarnya baru datang!" kata Teti kembali dari mengintip kotak surat.

"juga ada surat dari Ibu!"

Dessy yang sedang mempersiapkan masakan untuk makan malam keluarganya bergegas mencuci tangan dan mengeringkannya pada ujung roknya. Toh roknya ini adalah rok lama yang hanya dipakainya di rumah, tidak apa basah sedikit.

"Mana suratnya, Tet?" katanya mengulurkan tangannya yang masih lembap.

Surat itu bertanggal tiga hari yang lalu.

Dessy. Teti, Bambang, Ibu dan Ari terpaksa tidak bisa pulang menurut rencana. Kalian ingat, kan, sebeLum berangkat adik kalian badannya kan sudah agak meriang. Ibu kira cuma flu biasa. Ternyata dokter di sini mengatakan dia kena tipus sehingga harus beristirahat dulu minimal dua minggu. Ibu jadi bingung. Mana merepotkan keluarga Bude kalian di sini, datang-datang membawa anak yang sakit.

Untung Bude sekeluarga ramah-tamah semuanya, sehingga Ari bisa dirawat di rumah. Mereka tidak mengizinkan Ari dimasukkan rumah sakit, karena jaraknya terlalu jauh dari rumah mereka untuk mengunjunginya setiap hari. Ibu merasa segan sekali. Rencananya ke jakarta mau jalan-jalan dan tilik Bude, ternyata malah membuat repot orang!

Ibu harap di rumah semuanya beres. Teti Jangan nakal. ya. Baik-baik dengar kata Mas dan Mhakyu-mu. Begitu Ari diperbolehkan pulang oleh dokter, kami segera kembali.

Ayahmu sudah masuk pendidikan. Kirim salam juga untuk seluruh keluarga.

Des, Ibu titipkan rumah dan adikmu padamu, ya. Kau tahu di lemari ibu masih ada uang. Kalau uang belanja yang ku tinggalkan padamu tempo hari sudah habis, amhilsendiri di lemari.Ibu kira disana masih ada cukup. jangan lupa awal bulan membayar listrik dan air. Minta Mas-mu membayarkan ke PLN. Untung Ibu punya anak seperti kau, Des. Paling tidak, tidak perlu mengkhawatirkan keadaan di rumah. Apakah Paklik-mu sering datang? Kalau Mas-mu pergi, mintalah Paklik-mu bermalam di rumah, Des. Lebih aman kalau ada laki-lakinya.

Peluk cium dari Bapak, Ibu, dan Ari

"Yah, Ibu! Tidak jadi pulang!" kata Teti kecewa.

"Pantesan kita tunggu-tunggu kemarin seharian tidak muncul."

"Kasihan si Ari. kok bisa kena tipus segala." kata Dessy.

"Habis. Ari suka dikasih jajan sama anaknya Bu Usman sebelah! Bu Usman tuh suka beli jajan. Mbak. Apa saja yang lewat di depan rumahnya, si Budi dibelikan. Nah, kalau kebetulan Ari lagi bermain disana, ia juga dikasih. Teti sudah sering bilang sama Ibu bahwa Ari suka diberi jajan di sebelah. Ibu juga memperingatkan Ari supaya menolak saja kalau diberi-yang pertama malu juga kan kalau setiap kali dikasih ia mau, nanti Bu Usman mengira di rumah Ari kurang diberi makan. Yang kedua, kata Ibu. jajan yang dijual di jalan begitu kan kotor. Tapi namanya Ari, mana ingat nasihat Ibu! Lihat jajan sudah ngiler! Dikasih ya tentu saja mau, untung-untung tidak minta lagi!"

Dessy tertawa mendengar penuturan adiknya.

"Nah, mungkin setelah sakit begini, ia lebih berhatihati lain kali. Belum tentu juga tipusnya dari jajan yang diberikan Bu Usman. Buktinya si Budi juga sehat-sehat sekarang. Mungkin kebetulan saja badan si Ari lagi lemah sehingga virus tipus yang masuk tidak bisa ditolak oleh tubuhnya.

"Kau tahu, Tet, manusia sakit itu sebetulnya ditentukan oleh faktor ketahanan tubuhnya sendiri. Di sekeliling kita ini selalu ada virus, ada bakteri, ada berbagai bibit penyakit-baik itu di

udara yang kita isap, di makanan yang kita makan. maupun di air yang kita minum. Sekarang hanya tergantung daya tahan tubuh kita sendiri saja. Kalau daya tahan tubuh kita baik, tubuh kita bisa mengatasi segala macam bibit penyakit yang masuk. Kalau daya tahan tubuh kita lemah, ya bibit penyakitnya yang menang."

"Jadi bagaimana supaya kita punya daya tahan yang kuat, Mbak?"

"Yang pertama tentu saja kita harus memperhatikan makanan kita. Tubuh kita adalah hasil dari apa yang kita makan. Karena itu kita harus makan makanan yang bergizi dan berguna bagi kesehatan. Kalau kita cuma dikenyangkan oleh makanan yang tidak bermutu. tubuh kita tidak mendapatkan gizi yang diperlukannya. Kalau kita dikenyangkan misalnya oleh cokelat, permen, jajan-jajan yang cuma mengandung gula dan zat pati yang tinggi. semua ini mengenyangkan, tapi tidak bermanfaat. Kita harus makan komposisi yang sebanding. Harus ada proteinnya, ada karbohidratnya. ada sedikit lemaknya, ada vitamin-vitaminnya. Kalau perbandingannya seimbang, badan kita bisa memperoleh sari makanan yang baik. Nah, itu syarat yang pertama.

"Yang kedua, kita harus cukup beristirahat. Istirahat dibutuhkan badan untuk memperbarui sel-sel yang aus. sel-sel yang mati diganti baru pada waktu kita tidur. Kalau kita tidak memberi badan kesempatan untuk beristirahat, atau jam istirahatnya kurang, yah, badan kita tekor terus. Sel-sel

yang rusak tidak sempat diganti, lama-lama jumlah yang rusak lebih banyak daripada yang diganti. Akibatnya badan kita lemah.

"Yang ketiga, sebagai faktor penunjang adalah aktivitas kita. Kalau kita berolahraga secara teratur dan betul. badan juga lebih sehat. Zat-zat yang tidak berguna lagi. sisa pembuangan tubuh, racun-racun. semuanya terbuang keluar bersama keringat. Di samping itu Otot-otot kita menjadi terlatih. Otot jantung kita menjadi lebih sehat. paru-paru kita bisa bernapas dengan lebih sempurna, dan otot-otot anggota badan kita juga menjadi lebih kencang sehingga pada usia empat-lima puluh tahun. badan kita belum kendur seperti balon kisut kekurangan udara."

"Jadi asal kita makannya bergizi, tidurnya cukup. dan berolahraga secara teratur, kita tidak pernah akan jatuh sakit, ya, Mbak?"

"Daya tahan tubuh kita menjadi lebih kuat terhadap serangan baksil penyakit. Tet. Misalnya saja kalau musim flu, satu kampung pada sakit flu. teman-teman di sekolah juga. eh. kita tetap sehat. Tapi kalau sudah begitu tidak berarti kita tidak perlu berhati-hati terhadap wabah yang ada. Mumpung masih belum terkena, harus meningkatkan kewaspadaan. Khusus pada saat-saat begitu, minumlah vitamin tambahan, misalnya. Atau makan lebih banyak buah-buah yang segar, jangan terlalu dekat dengan mereka yang sakit, begitu. Bukannya setelah kita mengangap daya tahan tubuh kita bagus. lalu kita tak acuh saja."

Teti mengangguk.

"Mbak, ini korannya," kata Teti mengulurkan harian Surabaya Post yang' terbit sore.

"Kaubaca duluan, deh. Aku masih menyelesaikan memasak. Sebentar lagi Mas Bambang pulang, kita akan makan malam."

"Lik Ali kok tidak datang-datang lagi, ya, Mbak," celetuk Teti.

"Sejak Rabu yang lalu sampai sekarang sudah lima hari ia tidak muncul!"

Dessy merasa bersalah. Pasti Gozali sedang menghindarinya.

"Kenapa, Tet, kau rindu?"

"Iya, kalau ada Lik Ali, kan senang. Lik Ali suka bergurau."

"Mungkin sedang sibuk sekarang, Tet."

"Tidak ada Bapak, kok sibuk? Sekarang dia kan bisa berlibur tiga bulan, tidak usah dinas."

"Mungkin sementara waktu ia berdinas bersama orang lain. Tet. Kalau Lik tidak bekerja tiga bulan kan tidak dapat uang. Dari mana bisa hidup dia?"

"Teti duduk di depan membaca koran. ya, Mbak," kata adiknya.

"Mbak nggak perlu dibantu?"

"Nggak. Sudah hampir selesai, kok, Tet."

Adiknya menghilang dan mulai membalikbalikkan surat kabar di tangannya.

Di rumah ini kalau ada ayahnya, yang pertama membaca surat kabar adalah ayahnya. Kalau tidak ada, anak-anak sudah terlatih untuk menawarkan surat kabar itu kepada yang lebih tua dulu, jadi urutannya dari Ibu, ke Bambang, ke Dessy, dan

Teti yang terakhir. Ari masih belum berminat membaca surat kabar. Disiplin ini sudah ditegakkan sejak mereka masih muda sehingga tidak pernah terjadi rebutan koran.

Begitu pula kalau ada artikel yang diperlukan salah satu dari antara mereka. Sebelum artikel itu digunting, dia wajib menanyakan dulu kepada yang lain apakah di surat kabar itu ada artikel lain yang mereka butuhkan yang kebetulan dicetak di balik artikel yang akan diguntingnya. Dengan demikian tidak akan terjadi pertengkaran karena ada salah satu pihak yang merasa dilewati dan disepelekan.

Dessy sedang mengeringkan panci yang terakhir dicucinya ketika Teti berlari-lari ke dapur mencarinya.

"Mbak, Mbak, ini ada mayat ditemukan di air terjun Kakek Bodo di Tretes. Menurut visum dokter mayat ini meninggal kira-kira sudah sejak hari Rabu yang lalu. Seingat Teti waktu Mbak ke Tretes kan ke Kakek Bodo juga? Apakah pada waktu itu tidak melihat Orang ini tercebur di sana?"

Dessy tertegun.

"Di air terjun Kakek Bodo?"

"Iya, Mbak! Hari itu katanya Mbak jalan-jalan ke sana sendiri. Mbak nggak lihat orang ini?"

"Iya! Siapa yang meninggal itu, Tet? Mana korannya, coba aku lihat!"

Di koran dikatakan identitas korban tidak diketahui. Pada mayatnya tidak ditemukan tanda pengenal sama sekali. Itulah sebabnya diserukan

agar jika ada masyarakat yang merasa mengenal orang ini, supaya melihatnya di kamar mayat. Tanda-tandanya adalah, usia sekitar tiga puluh lima tahun, kelamin laki-laki, tinggi sekitar satu tujuh puluh, berat antara enam puluh enam sampai tujuh puluh kilo, rambut berombak, kulit sawo matang, pada waktu ditemukan mengenakan kemeja putih dengan celana biru tua. Korban meninggal karena beberapa pukulan di bagian belakang kepalanya yangtelah meremukkan tulang tengkoraknya. Diperkirakan kasus pembunuhan.

Dessy mengangkat matanya.

Heran! Pada hari Rabu yang lalu ia sendiri berada begitu dekat dengan air terjun Kakek Bodo. Memang dia masih belum sampai ke sana, tapi ia sudah ada di tengah-tengah jalan. Seandainya terus, apakah dia yang akan menemukan mayat ini atau... atau bahkan mungkin dia yang akan menyaksikan pembunuhan ini! Hiiii! Bulu kuduknya berdiri.

Pada saat itu terdengar suara motor Bambang memasuki halaman rumah.

"Itu Mas Bambang datang!" kata Teti segera keluar menyambut abangnya.

"Mas! Ibu tidak pulang!" kata Teti memberi tahu.

"Tidak pulang? Mengapa? Betah rupanya ya di Jakarta?" Bambang memarkir kendaraannya lalu menjinjing helmnya masuk mengikuti adiknya.

"Nggak. Ari sakit tipus di sana!"

"Tipus?" :

"Iya, Mas," kata Dessy.

"Lalu sekarang diopname?" tanya Bambang mengkhawatirkan keadaan adiknya.

"Nggak. Cuma dirawat di rumah Bude saja. Ini surat Ibu." kata Dessy mengulurkan surat yang diterimanya tadi.

Bambang mengambil surat itu dan membacanya sendiri.

"Makanan sudah siap. Des?" tanyanya sambil duduk di kursi tamu.

"Aku sudah lapar."

"Sudah. Yuk. kita makan!"

Duduk mengitari meja makan, Dessy berkata,

"Kau tahu, Mas, hari Rabu yang lalu sewaktu kami ke Tretes, aku nyaris bertemu dengan mayat lho!"

Bambang mengangkat matanya dari piringnya.

"Mayat? Mayat apa? Mayat tikus?" Olok-olok dan gurawan adalah kebiasaan yang lumrah di rumah ini. Itu yang menyemarakkan hidup mereka.

"Hus! Mayat orang!" kata Dessy terkekeh.

"Itu. Mas, di koran diberitakan tentang ditemukannya sesosok mayat di air terjun Kakek Bodo. Kan Mbak Dessy hari itu juga ke sana! Untung bukan Mbak yang menemukan," kata Teti nimbrung.

"Mayat siapa?"

"Identitasnya tidak diketahui. Karena itu

diberitakan di koran. Polisi minta bantuan masyarakat, barangkali ada yang tahu siapa orang itu."

"Siapa yang menemukan mayat ini?" tanya Bambang mulai tertarik.

"Oh, sebuah keluarga yang sedang berpiknik dengan anak-anak mereka."

"Kira-kira pasti pembunuhan, ya, Mas-wong tengkoraknya remuk!" kata Teti.

Di rumah ini topik pembunuhan sudah bukan barang langka lagi. Baik Teti maupun Ari yang berusia sepuluh tahun sudah terbiasa mendengar dan menceritakan soal pembunuhan seperti menceritakan soal naik kelas saja.

"Mengapa begitu? Mungkin orang ini terjatuh sendiri dan kepalanya membentur batu. Di air terjun kan banyak terdapat batu-batu yang besar," kata Bambang.

"Habis, identitasnya nggak ada, Mas!" kata Teti.

"Kalau orang tercebur sendiri kan paling tidak di sakunya akan ditemukan KTP-nya, atau dompetnya. atau tanda pengenal lainnya."

Bambang mengangkat matanya.

"Eh, kamu pinter juga, Tet! Tidak memalukan menjadi anak kapten polisi bagian kriminal!" Bambang menepuk bahu adiknya.

"Cuma, bisa saja orang ini kebetulan tidak membawa KTP-nya atau tanda pengenal lainnya. Banyak lho orang yang berbuat begitu. Sedangkan dompetnya yah-mungkin sudah diambil orang, diambil;

orang yang menemukannya, misalnya! Zaman sekarang ini orang mudah tergoda."

"Tapi apakah Mas tidak menganggap kejadian ini agak aneh? Biasanya orang yang ke air terjun atau ke tempat-tempat rekreasi tentu bersama orang lain. Masa pergi seorang diri!" kata Dessy.

"Lha kok setelah orang ini tercebur tidak ada temannya yang melaporkan atau minta bantuan?"

Bambang mengangguk.

"Ya, biasanya memang jarang orang pergi ke tempat rekreasi sendiri," katanya.

"Apalagi ke air terjun! Kalau nonton, atau berbelanja, atau memancing, memang masih masuk akal. Tapi ke air terjun? Setelah tiba di sana lalu mau apa kalau tidak ada temannya? Masa hanya memandangi air terjun begitu saja? Tapi yah, siapa tahu, ia bukan orang sini. Kalau datang dari luar kota sendirian, ya terpaksa melihat objek wisata pun harus sendiri."

"Orang yang tidak pernah kemari dan ingin melihat objek wisata kan tidak mungkin tahu jalannya ke sana tanpa ada yang menunjukkan! Paling sedikit harus ada pemandu wisatanya! Aku..." tiba-tiba Dessy berhenti.

"Kenapa?" tanya Bambang.

"Mas, aku aku... waktu aku berada di jalan yang menuju ke Kakek Bodo, aku pernah bertemu dengan seseorang!" Mata Dessy melebar.

"Waktu itu aku sedang duduk di sebuah batu besar dengan kedua kaki kuangkat melintang di jalan. Orang ini datang dari arah air terjun. Dia tidak bisa lewat

karena kakiku menghalangi jalannya. Mas, kalau begitu..." Dessy tidak menyelesaikan kalimatnya.

"Kau yakin orang ini datang dari arah air terjun?" tanya Bambang.

"Jalannya kan hanya menuju air terjun itu. Kalau tidak dari sana, dari mana lagi? Di kanan-kirinya tidak ada jalan lain! Lagi pula orang ini bukan penduduk asli di sana. Maksudku, dia bukan orang desa yang biasa mencari kayu di hutan atau apa! Ia berpakaian rapi. pakai kaus dan celana panjang."

Bambang memandang adiknya lekatlekat.

"Dan dia seorang diri juga?"

"Iya, orang ini pun juga seorang diri! Dan dia berjalan dari sana dengan tergesa-gesa!"

"Hmm, kalau begitu, mungkin kau telah bertemu dengan si pembunuh, Des!" kata kakaknya.

"Pasti orang itu!" kata Dessy.

"Di sana sepi. kok, tidak ada orang lain lagi!"

"Kau masih ingat rupanya?"

"Masih. Perawakannya tinggi tegap, usianya sekitar empat puluhan, sebaya Bapak. Wajahnya agak lebar dan rambutnya seperti potongan salon. Orangnya tampak bonafid. Pasti ia kaya."

"Pukul berapa waktu itu, Des?"

"Aku tidak tahu persis. Aku turun dari kolam Dirgahayu sekitar pukul dua lebih. Aku kembali pukul setengah empat. Mungkin waktu itu sekitar pukul tiga lebih seperempat. Aku ingat setelah orang ini lewat, tak lama lagi aku pun berdiri dan

kembali ke Dirgahayu, bahkan aku masih sempat melihatnya berjalan di depanku. Tapi cuma sebentar karena langkahnya lebar-lebar. Sewaktu aku tiba di mulut jalan, orang ini sudah tidak kelihatan."

"Des. aku kira hal ini perlu kaulaporkan polisi. Paling tidak orang ini mungkin tahu sesuatu dan merupakan saksi yang berharga."

"Tapi apa yang harus kubilang pada polisi? Aku tidak tahu siapa orang ini. Aku kira sebaiknya kita berunding dulu dengan Lik Ali," kata Dessy. Tiba-tiba wajahnya memerah.

"Ya, sehabis makan aku segera pergi mencarinya," kata Bambang.

"Aku buatkan surat," kata Dessy cepat-cepat berdiri dari meja makan.

Bambang tidak mengerti mengapa Dessy harus menulis surat, tapi ia tidak bertanya.

Gozali ternyata tidak ada di rumah ketika Bambang datang. Pintu rumahnya tertutup rapat dan setelah mengetuk beberapa kali Bambang merasa yakin bahwa rumah itu kosong. Diambilnya surat dari adiknya dan diselipkannya di bawah celah pintu.

Bambang tidak tahu apa yang ditulis Dessy. Biasanya kalaupun mereka meninggalkan pesan, cukup hanya dengan coret-coretan singkat di atas secarik kertas yang dilipat begitu saya. Tapi kali ini

Dessy memakai amplop segala! Ah, mungkin karena beritanya menyangkut suatu kemungkinan pembunuhan, Dessy tidak mau pesannya terbaca oleh orang yang tidak berkepentingan.

Bambang menstarter kendaraannya dan melaju kembali ke rumah.

Gozali pulang tak lama setelah itu. Tadi ia hanya keluar mencari makan di warung sebelah. Begitu menginjakkan kakinya di ambang pintu, ia melihat amplop itu di lantai.

Diambilnya surat itu dan dibukanya. Ternyata dari Dessy!

Mas Ali tersayang,

Mas lama tidak muncul, menghindari Dessy, bukan.? Tapi itu tidak ada gunanya. Mas sendiri dulu mengajarkan menjadi manusia harus punya pendirian yang teguh. Sekarang pendirianku sudah teguh. Dessy ingin suatu saat menjadi istri Mas. Dan pendirian ini tidak bisa diubah oleh siapa pun, walaupun oleh Mas sendiri!

Tapi bukan untuk membicarakan masalah ini Dessy menulis surat sekarang. Dessy perlu sekali berunding dengan Mas. Ada sesuatu yang penting. Mas Bambang bisa menceritakan latar belakangnya, tapi Dessy ingin bicara sendiri pada Mas.

Malam ini Mas menginap saja di rumah supaya kita leluasa berbicara sampai malam. Dessy

Gozali mencabik-cabik surat itu dan membuangnya di tempat sampah. Dia menghela napas dalam, lalu masuk ke kamarnya untuk tidur. Biarkan Dessy kecewa menunggunya. biar dia sakit hati. Mungkin dengan demikian dia akan ganti pikiran. Lagi pula hal apa yang begitu penting untuk dibicarakan malam-malam? Tentunya ini hanya suatu jebakan saja agar dia mau datang. Memang sudah lima hari ini Gozali menjauhkan diri. Ia ingin membuat gadis itu sadar bahwa ia sekali-kali tidak punya niatan untuk menyambut uluran cintanya.

Perkembangan yang celaka ini, pikirnya di atas tempat tidur. Anak sahabatnya jatuh cinta padanya! Kalau Kosasih pulang, pasti ia marah. Betapa tidak! Putri kesayangannya, putrinya yang cantik, yang diharapkannya akan mendapat jodoh yang baik, sekarang jatuh cinta pada seorang bekas napi! Bekas pencuri! Bapak mana yang tidak alergi terhadap masalah begini?

Des, ada-ada saja kau, gerutu Gozali dalam hati. Di matanya Dessy hanyalah seorang anak-anak yang dilihatnya dewasa, anak yang disayanginya.

Gozali sadar benar siapa dirinya. Sadar bahwa ia sangat tidak sepadan menjadi suami gadis semacam Dessy. meskipun dia dan ayahnya merupakan sahabat sejati. Dessy bagaikan sekuntum mawar

yang indah dan mulai merekah, yang polos dan suci. Dessy harus mendapatkan jodoh yang setingkat dengannya. Gozali adalah seorang buangan. Kalaupun pada hari ini ia bisa hidup terhormat. itu tidak menghapuskan masa silamnya yang kelam-tidak menghapuskan riwayat hidupnya sebagai seorang pencuri dan bekas narapidana. Dessy berhak mendapatkan suami yang lebih daripada itu-seorang suami yang punya masa depan bagus-seorang dokter, atau insinyur, atau entah pengusaha yang sukses-yang akan menghargai kelebihannya. kecantikannya, kebaikan budinya. Yang pasti sudah tentu bukan seorang laki-laki seperti dirinya! Yang telah melewatkan tiga puluh enam tahun dari hidupnya dalam kesederhanaan, kemiskinan, keterbatasan. Apa yang bisa ditawarkannya kepada seorang gadis seperti Dessy? Tidak ada!

Selama ini walaupun dia bergaul begitu dekat dengan keluarga Kosasih, tak satu kali pun dia pernah mengkhayalkan akan bisa mempersunting anak sahabatnya. Ia tidak mau mengkhianati kepercayaan yang diberikan Kosasih kepadanya-tidak sejak dulu, dan tidak pula akan dimulainya sekarang!

Gozali berusaha memejamkan matanya. Sulit. Sulit! Dessy sekarang sudah bukan remaja lagi, Dessy sudah dewasa, Sudah termasuk'orang yang punya pikiran yang tetap. jadi sulit untuk dipaksa menurut. Bagaimana Gozali dapat mengubah pikirannya?

Dan sekarang, setelah beberapa hari ia tidak menampakkan diri, datang suratnya mencarinya! Rupanya si pengantar surat adalah Bambang. Entah apa yang diceritakan Dessy kepada kakaknya! Apakah dia telah berterus terang kepada Bambang sehingga pemuda ini bersedia membantunya? Kalau Bambang tahu, bagaimanakah pendapatnya? Bambang adalah pemuda yang berpikiran cukup kritis, cukup panjang, dan cukup bijaksana. Setujukah Bambang dengan kegilaan adiknya?

Gozali mempertimbangkan untuk minta bantuan Bambang menyadarkan adiknya. Mereka sebaya-hanya terpaut satu tahun. Mungkin Dessy mau menerima pendapatnya.

Akhirnya Gozali terlelap juga.

Gozali sedang menikmati cangkir kopinya yang kedua ketika ia didatangi oleh Kapten Polisi Danu Brata, rekan Kosasih.

"Pak Gozali, ada kasus nih. Saya diminta menghubungi Anda."

"0h! Saya kira dengan tidak adanya Pak Kosasih, saya dibebastugaskan sementara," kata Gozali tersenyum.

"Wah, tenaga Pak Gozali sangat dibutuhkan. Kriminalitas tidak berhenti hanya karena Pak Kosasih ke Jakarta, bukan? Saya harap kita bisa kerja sama seperti tim Anda dengan Pak Kosasih."

"saya selalu bersedia membantu kalau bisa," kata Gozali.

"Apa yang terjadi?"

"Hari Jumat yang lalu. telah ditemukan sesosok mayat di air terjun Kakek Bodo. Mayat ini sampai sekarang belum diketahui identitasnya. Pada tubuhnya tidak ditemukan kartu pengenal sama sekali dan juga tidak ada orang yang melaporkan kehilangan anggota keluarga. Satu-satunya yang jelas adalah, orang ini meninggal karena dibunuh. Visum dari dokter pengadilan yang lengkap baru kami terima dan menurut pemeriksaannya korban meninggal karena bagian belakang tengkoraknya remuk. persisnya di otak kecilnya."

"Baiklah. kita berangkat." kata Gozali.

"Saya tukar pakaian dulu. Silakan Pak Danu duduk sebentar. Maaf, ya, mungkin kursinya kotor, saya jarang membersihkan rumah," kata Gozali tersenyum.

"Ah, tidak apa-apa. Pak Gozali. Saya juga pernah menjadi bujangan," senyum Kapten Danu Brata.

**

"Mas, Lik Ali kok tidak datang?" kata Dessy ketika mereka duduk di meja makan untuk sarapan bersama.

"Mungkin dia ke luar kota atau apa, Des. Biasanya kalau ada, ia pasti datang setiap kali kita minta. Aku sendiri heran, kok rasanya sudah lama ia tidak kemari. Sejak ngajak kalian jalan-jalan ke Blauran itu, kan?" kata Bambang.

Dessy tersenyum.

"Aku tahu mengapa ia tidak datang," katanya.

"Mengapa?" tanya Bambang semakin heran.

"Nanti saja kuceritakan," kata Dessy.

"Kok pakai tunggu nanti segala macam. Mbok cerita sekarang," kata Bambang.

"Nanti saja," kata Dessy melirik Teti.

Teti merasa dilirik kakaknya, lalu menyeringai,

"Urusan orang gede-gede, ya? Teti tidak boleh tahu, ya? Iya deh, Teti menyingkir," katanya lalu berdiri.

"Teti mencuci piring saja di dapur," katanya sambil mengangkati piring-piring kotor yang sudah kosong.
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau memang anak pinter, Tet!" kata Dessy.

"Bukannya Mbak mau merahasiakan sesuatu

darimu, tapi memang ini urusan orang-orang gede. Kau masih terlalu muda untuk mengetahuinya."

"Iya. Teti ngerti. kok! Anak kecil nggak boleh ikut. mendengarkan pembicaraan orang-orang gede, nanti keburu gede sekali. Iya, kan, Mbak?"

"Iya," senyum kakaknya.

Dessy mengajak Bambang masuk ke kamarnya lalu menutup pintu.

"Ini ada apa sih kok kelihatannya misterius banget!" Bambang terbahak.

"Mas mau tahu kenapa Lik Ali tidak kemari?" tanya Dessy.

Bambang tersenyum sambil mengangguk. Adiknya suka begitu. Kalau ia tahu sesuatu lebih dulu atau lebih banyak daripada kakaknya, ia memang Suka menggoda.

"Karena ia sedang menghindari aku!" bisik Dessy.

"Menghindari kau? Kenapa? Kau bertengkar dengannya?" tanya kakaknya.

Dessy menggeleng. Pipinya memerah. Bambang heran melihat adiknya tersipu.

"Ngapain kok Dessy bertengkar dengan Lik! Lik yang ketakutan setengah mati!"

"Kenapa?"

"Karena aku katakan bahwa aku mencintainya!"

"He?" Bambang melompat dari duduknya, seperti disengat lisrrik.

"Kau bilang apa?"

"Aku mencintainya!" kata Dessy dengan sikap defensif.

Bambang terdiam beberapa saat lamanya, lalu ia meledak dalam tawa.

"Kok tertawa?" bentak Dessy tersinggung.

"Kasihan Lik!" Bambang masih terpingkal.

"Kausengat dia dengan aliran listrik tegangan tinggi! Pantas sudah seminggu nggak nongol!"

"Laki-laki kan selalu keras kepala," komentar Dessy.

"Harus ditaklukkan dulu! Hanya karena ia hidup membujang selama ini tidak berarti bahwa ia harus hidup membujang selamanya."

Bambang masih tertawa.

"Walaupun dia mau kawin, juga tidak sama kau, Des!"

"Memangnya kenapa? Apakah aku tidak pantas untuknya? Aku tidak bisa menjadi iStri yang baik?"

"Oh, bukan. bukan! Tapi Lik kan tahu diri. Siapa dia. siapa kau! Pasti ia tidak akan mengharapkan seorang istri seperti dirimu!"

"Memangnya siapa dia siapa aku? Eh. sejak kapan Mas jadi sok? Memangnya kawanggap kita lebih baik daripadanya? Lebih terhormat? Lebih tinggi derajatnya, begitu? Sejak kapan kita membedakan status?"

"Bukannya aku yang membedakan status, Des, dia yang membedakan status!" Bambang bertambah tergelak.

"Kok tertawa terus sih! Apanya yang lucu! Aku sama sekali tidak peduli bagaimana masa lampaunya. Kita kan sudah mengenalnya sekian lama. kita sudah menerimanya sebagaimana adanya. termasuk masa lampaunya itu. Hal ini tidak pernah menjadi pertanyaan. Mengapa sekarang harus dipersoalkan?"

"Lik kan takut pada Bapak. Des. Bayangkan apa kata Bapak nanti kalau tahu kau jatuh cinta pada Lik!"

"Memangnya kenapa? Bapak sendiri pernah mau menjodohkan Lik pada Mbak Lusi. Ingat nggak. Mas? Beberapa tahun yang lalu kan Bapak mendorong-dorong Lik supaya mau melamar Mbak Lusi! Mbak Lusi kan saudara sepupu kira. Pada waktu itu Bapak sama sekali tidak menganggap bahwa derajat Lik kalah sama derajat Mbak Lusi. Mengapa sekarang Bapak harus marah kalau aku yang mau? Mbak Lusi sama aku kan sama saja!"

"Ya. nggak sama, Des," kata Bambang lebih serius.

"Mbak Lusi kan bukan anak Bapak. Kau anak Bapak! Kalau menyentuh keluarganya sendiri-anak sendiri-Bapak akan berpikiran lain. Lagi pula Mbak Lusi ini kan sudah agak tua. usianya sudah tiga puluhan, masih belum punya jodoh. jadi. yah, tidak punya pilihan yang terlalu banyak. Mbak Lusi kalau mendapat Lik bisa dihitung sama-sama untungnya.

"Kau kan lain, Des! Kau masih muda. Duniamu masih luas. Pilihanmu masih banyak. Bapak pasti tidak setuju kau berhubungan asmara dengan Lik!"

Dessy terdiam, berpikir. Lalu katanya,

"Kalau Mas sendiri bagaimana? Menurut Mas bagaimana?"

"Aku? Yah, terus terang saja aku juga menganggapnya suatu yang sangat disayangkan kalau kau menjadi istri Lik, Des. Kau punya masa depan yang cerah. Lik sekarang sudah berusia tiga puluh enam. Kariernya ya hanya sekian saja. Untuk selamanya ia tidak akan bisa meningkatkan taraf hidupnya lagi. Kau kan punya kesempatan yang lebih baik. Kau bisa melanjutkan sekolah, menjadi sarjana, kau bisa berkarier jauh. Masa kau mau terikat pada suami yang pendidikannya hanya sampai SLP pun tidak tamat? Sayang, kan, Des?"

"Tapi Lik orangnya baik. Yang penting kan orang itu harus baik. Biar punya titel sarjana berderet-deret, punya karier hebat, tapi orangnya tidak baik, apakah aku bisa bahagia?"

"Benar, Des. Faktor pendidikan dan karier saja tidak bisa menjamin kebahagiaan suatu perkawinan. Tapi tanpa mempertimbangkan kedua faktor ini, perkawinan juga tidak bisa harmonis. Kalau suami dan istri terlalu berbeda dalam usia, dalam pendidikan, dalam latar belakang, dalam karier, rumah tangganya tidak bisa tenteram."

"Aku rela menjadi ibu rumah tangga saja. tidak menjadi wanita karier," kata DeSSy.

"Seperti Ibu. lihatlah! Ibu kan bahagia tanpa harus berkarier di luar rumah. Ibu juga puas dengan Bapak. Apakah Ibu pernah ngiri pada teman-temannya yang sekarang menjadi istri dokter. istri insinyur, istri pejabat, yang naik turun mobil mewah? Kan tidak!

Biarpun keadaan kita sederhana seperti ini, tapi rumah tangga ini kan boleh dikatakan sangat harmonis, Mas."

"Iya, Des. ibu kan masih sisa orang-orang lama. Pendidikannya juga hanya sampai Sekolah Kepandaian Putri dulu, cuma setingkat SLP. Kau kan lain, kau sekarang sudah mahasiswa, punya aspirasi yang lebih tinggi, punya lingkup pemikiran yang lebih luas. Untuk apa pengetahuan yang sudah kauperoleh selama belajar bertahun-tahun kalau akhirnya tidak kaupergunakan?"

"Lho. Lik kan juga bukan orang bodoh, Mas!" kata Dessy.

"Malah menurutku, ia orang yang sangat bijaksana dan cerdik! Pengetahuannya mengenai kehidupan dan makna hidup sangat mendalam. Kaupikir dari mana kita mendapatkan pelajaran yang berharga mengenai kehidupan bermasyarakat ini, Mas? Sebagian besar dari Lik! Biarpun sekolahnya cuma SLP tidak tamat, tapi pengetahuannya dan pengertiannya tentang hidup ini diperolehnya dari tangan pertama-lewat pengalaman-pengalamannya sendiri! Kalau ia bicara. ia bicara dari pengalaman. Mas. bukan dari buku-buku teori yang pernah dibacanya. Bukankah itu lebih berharga?

"Ya tentu saja kalau ia kawajak ngomong masalah hitungan elektromu. ya ia tidak bisa. Tapi dokter pun tidak bisa karena itu bukan bidangnya. jadi. aku kira kami bisa saling mengimbangi di sini. Aku tahu, Mas kan mengkhawatirkan pada suatu saat aku akan kehilangan respek padanya karena

pendidikannya atau kariernya lebih rendah daripada diriku. Tapi itu tidak akan terjadi. Aku akan Selalu menghargainya sebagai orang yang punya mata batin yang peka. Nalurinya, perasaannya, pemikirannya, sampai sekarang aku belum menemukan tandingannya!"

"Kau rupanya betul-betul serius. nih, Des," kata Bambang mengernyitkan dahinya.

"Tentu saja aku serius! Coba, Mas pikir. Di sini ada seorang laki-laki yang istimewa, orang yang sudah terbukti berhati emas, orang yang penuh tanggung jawab, orang yang menghargai arti suatu persahabatan, orang yang berhasil keluar dari masa lalu yang gelap, orang yang menyayangi kita semua tanpa pamrih-mengapa orang seperti ini dianggap tidakpantas menjadisuamiku? Kan gila, namanya!

"Kalau aku berkenalan dengan si A, atau si B, atau si C, aku belum bisa membuktikan bahwa cintanya tulus. aku belum bisa yakin mereka berbudi luhur, bertanggung jawab, berpendirian teguh. Kalau aku kawin dengan salah seorang dari mereka, keluarga setuju. Lho, kan aneh? Lik yang cintanya kepada kita semua sudah terbukti cinta yang tulus, cinta yang terbit dari hati yang bersih, diragukan menjadi suamiku, sedangkan pemudapemuda yang belum membuktikan apa-apa, dianggap pantas menjadi suamiku! Di mana logikanya, Mas? Mengapa aku harus memikul risiko yang tidak perlu ini?"

"Memang, Des, kalau kau memakai argumentasi demikian, kau betul seratus persen. Tapi..."

Tapi apa, Mas?"

"Entahlah," kata Bambang juga tidak bisa menjabarkan.

"Hanya saja, aku masih merasa sayang kalau kau menjadi istri Lik."

"Pendapat tanpa didasari alasan yang masuk akal. tidak bisa dibuat bahan pertimbangan, Mas," kata Dessy. Ia menghela napas panjang.

"Tapi Mas adalah orang yang berpikiran paling maju dalam keluarga kita ini, yang paling tidak konservatif. Kalau Mas saja berpendapat demikian, bisa diperkirakan yang lain-lain pasti akan menentangnya lebih hebat lagi."

"Ya."

"Yah, apa mau dikata?" Dessy mengangkat bahunya.

"Maksudmu. kau mau mengurungkan niatmu?"

Dengan kepala tegak Dessy mengangkat matanya.

"Tidak. Maksudku aku harus berperang lebih gigih, itu saja!"

Untuk sejenak mereka saling bertukar pandang. Lalu Bambang-lah yang pertama menyeringai.

"Kalau tidak keras kepala bukan keturunan Kosasih. ya, Des?" katanya sambil menepuk bahu adiknya.

"Apa pun keputusanmu. percayalah. aku mendukungnya. Kalau Lik Ali tetap Lik Ali dalam keluarga ini. aku senang. Kalau Lik Ali menjadi adik iparku, aku juga senang karena kau senang."

Dessy terbahak.

"Bayangkan. Mas memanggilnya "Dik Ali'!"

"Oh. jangan khawatir! Aku tetap akan memanggilnya Lik Ali. Sebaliknya aku akan memanggilmu 'Bulik Dessy'!"

Mereka tertawa lagi.

"Eh, sekarang ada hal yang lebih penting yang harus kita bahas. Soal pembunuhan di Kakek Bodo ini." kata Bambang.

"Bagaimana, Mas?"

"Kalau Lik tidak berani kemari, kita jangan menunggunya lagi. Sebaiknya kita segera melaporkan hal ini ke kantor Bapak. Soal nanti apa yang mereka buat dengan laporan kita, itu urusan mereka, pokoknya kita sudah melaporkan. Iya. kan?"

"Kaupikir begitu, Mas?" tanya Dessy raguragu.

"Sebetulnya laporan ini kan tidak banyak gunanya karena aku toh tidak bisa menyebutkan identitas orang yang kulihat."

"Biar polisi yang mencarikan jalan keluarnya. Yang penting. sebagai warganegara yang tahu tanggung jawab. kita memberikan laporan. Kita laporkan apa yang kita ketahui saja. Selanjutnya apakah informasi ini bisa dipakai oleh polisi, biarlah mereka yang mengolahnya sendiri," kata Bambang.

"Kawantar aku, Mas?"

"Ya, aku antarkan."

"Oke, kalau begitu kita pergi."

***

"Mana Rantung?" dentum Pak Purbo melihat meja yang ditanyakan masih kosong pada Selasa pagi ini.

Sarwoko yang duduk di meja di sampingnya menunduk ketakutan. Pak Purbo kalau marah biasanya tidak kenal sasaran. Siapa yang kebetulan berada di hadapannya, itu yang kena getahnya. Kalau saja bisa, Sarwoko sekarang ingin menghilang dari ruangan ini, menyembunyikan dirinya dari amarah atasannya.

"Belum datang juga? Katanya kan satu minggu. sekarang sudah satu minggu, ke mana orangnya?"

"Masih belum datang, Pak." kata Sarwoko.

"Mungkin busnya terlambat."

"Terlambat! Terlambat! Mana ada bus yang tidak terlambat! Kalau mau tiba di kantor hari Selasa pagi seharusnya Senin sore sudah diperhitungkan ada di Jakarta!"

"Iya, Pak," kata Sarwoko seakan-akan dia yang bersalah.

"Kalau nanti datang, suruh segera lapor padaku! Mana sekarang sudah pukul sepuluh masih belum kelihatan batang hidungnya! Tidak punya disiplin! Ini mau kerja atau mau main-main? Pegawai negeri tidak ngasih contoh!" Sambil masih menggerutu entah apa, Pak Purbo kembali ke kamar kerjanya sendiri.

Sarwoko bernapas lega. Hari ini dampratannya termasuk tidak kelewat payah. Mungkin hatinya lagi senang. Coba kalau kebetulan Pak Purbo merasa sumpek lalu ada yang berbuat kesalahan! Wah, bagian perizinan BKPM ini bisa seperti sedang diserang gempa bumi yang menunjukkan angka 7 pada skala Richter.

Sampai tengah hari ternyata Helmi Rantung masih belum muncul. Celakanya lagi, juga tidak ada berita. Ketika Pak Purbo mau keluar makan siang, dia memerlukan lewat lagi di kamar Sarwoko dan Helmi Rantung.

"Belum datang juga si Rantung?"

"Belum, Pak," kata Sarwoko.

"Emangnya ke mana sih, dia? Katanya mudik ke kampung mau ngurusin jodoh, tapi aku tidak percaya. Si Rantung ini pinter ngomong. Sebetulnya saja, ke mana sih dia?"

Sarwoko mati kutu. Mengatakan temannya tidak pulang ke kampung, nanti atasannya marah besar kepada Rantung karena merasa ditipu. Mengatakan betul pulang kampung seandainya ketahuan tidak, dia yang dianggap tidak mau berterus terang kepada atasan. Berabe!

Tapi daripada atasannya marah kepada dirinya, lebih baik dia marah saja kepada Rantung, putus Sarwoko. Toh ini adalah kesalahan Rantung sendiri, mengapa terlambat pulang!

"Eh, anu... Pak, katanya... katanya ia ke Surabaya."

"Ke Surabaya? Lho, kok ke Surabaya?"

"Tidak tahu, Pak. Katanya punya objekan di Surabaya."

"Kurang ajar! Mengobjek di luar ya! Pekerjaan di kantor ditinggalkan begitu saja! Minta cuti satu minggu, ternyata tidak kembali! Pakai bohong segala! Yang harus pulang kampung ngurusin masalah jodoh! Yang mau dikawinkan dengan

pilihan orang tua! Eh, tidak tahunya ngobjek _di Surabaya! Kurang ajar! Nanti kalau datang biar kucaci maki! Orang seperti ini tidak bisa dipercaya! Tidak...." Sambil menggerutu Pak Purbo keluar.

Ternyata sampai hari Rabu pagi pun Helmi Rantung belum muncul di kantornya. Kali ini Sarwoko sudah tidak bisa lagi mencegah bom atom meletus. Pak Purbo yang rambutnya tinggal lima helai di atas kepalanya masuk sambil berkacak pinggang. Setelah menyampaikan kuliah panjang mengenai tanggung jawab sebagai anggota Korpri selama tiga perempat jam kurang dua menit kepada Sarwoko yang merasa terperangkap seperti tikus. dengan suara keras dia membentak,

"Pokoknya cari Rantung sampai dapat! Aku tidak peduli di mana ia di Surabaya! Cari! Kalau disiplin tidak ditegakkan di sini, ini bisa menimbulkan ekses-ekses negatif bagi yang lain! Nanti minggu depan si Anton berbuat yang sama, minggu berikutnya kau juga berbuat yang sama (protes 'Tidak, Pak," dari Sarwoko tertelan begitu saja tanpa terdengar), lalu si Jafar juga akan meniru, lalu beruntun satu per satu masuk-keluar kantor seenaknya. Lama-lama kantor ini kosong! Yang ada cuma meja-meja dan tikus saja!

"Tindakan ini tidak bisa dibiarkan. Tidak bisa! Mengerti? Tindakan begini ini merongrong wibawa pemerintah, merusak citra Korpri, nota bene juga menantang kepemimpinan saya! Masa atasan tidak dihormati lagi! Bawahan model apa ini! Rantung harus ditindak tegas, mengerti?"

Sarwoko yang bertubuh kecil bergetar di mejanya. Sudah lama atasannya tidak marah seperti ini, pasti sekarang darah tingginya lagi kumat. Jangan sampai nanti ada pembuluh darah yang pecah di sini gara-gara amarahnya. Bisa-bisa aku yang dituduh mencelakakannya!

"Iya, Pak, iya, Pak, segera saya cari, Pak."

"Bagaimana mau kaucari?" dentum Pak Purbo.

"Eh, anu, Pak... eh," Sarwoko memeras otaknya. Mati aku kalau tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Jawaban apa saja, asal keluar, jadilah! " eh, anu, Pak, saya... saya pasang iklan di Surabaya. Pak. Saya pasang iklan."

"Bagus! Pasang iklan! Kita potong ongkosnya dari gaji Rantung! Cepat, pasang iklan itu sekarang juga!"

Pak Purbo membanting pintu dan berlalu.

Sarwoko menghapus keringat dingin yang menempel di dahinya dan bernapas lebih lega. Angin topan telah lewat. Tapi kalau ia tidak segera mengerjakan apa yang disuruh atasannya, angin topan itu akan kembali lagi, dan biasanya serangan yang kedua akan lebih hebat daripada yang pertama.

DI harian Surabaya Post terbitan hari Kamis muncul artikel dan iklan yang bertalian dengan kasus ini. Yang artikel berjudul "Dicari: Saksi Kakek Bodo" dan yang iklan berjudul "Dicari: Helmi Rantung". Artikel dan iklan ini menarik perhatian beberapa pihak yang punya kepentingan yang berbeda.

Artikel itu menyebutkan tentang terlihatnya seorang laki-laki yang berbaju kaus biru tua dan bercelana abuabu, yang perawakannya tinggi tegap dan berusia sekitar empat puluhan, yang pada tanggal 25 Juni Rabu yang lalu sekitar pukul tiga berada di jalan yang menuju ke air terjun Kakek Bodo di Tretes. Orang ini diminta untuk segera menghubungi Polda jatim. Selanjutnya artikel ini menyebutkan bahwa keterangan ini diberikan oleh anak gadis Kapten Polisi Kosasih juga dari Poldajatim yang kebetulan pada hari itu sedang berdarmawisata di Tretes.

Sedangkan iklannya merupakan seruan agar Helmi Rantung segera mengirim kabar ke kantornya, atau segera pulang. juga ditambahkan, barang siapa yang tahu di mana Helmi Rantung

bisa dihubungi, agar segera menelepon nomor sekian dan berbicara dengan Sarwoko.

**

Laki-laki yang bertubuh tinggi tegap itu terperanjat membaca artikel di Surabaya Post.

Aku harus berbuat sesuatu dan cepat. pikirnya. Sebelum tanggal 7Juli aku harus berbuat sesuatu! Jika hal ini kubiarkan. bisa-bisa semuanya berantakan. Sialan gadis itu! Pada waktu itu aku sudah punya firasat jelek akan timbul masalah karena bertemu dengannya. tapi aku tidak menyangka gadis ini anak kapten polisi dan dia akan menghubungkan pertemuan kami dengan kejadian di Kakek Bodo. Aku harus segera mencari tahu di mana alamatnva!

Jumat, 4 Juli

Laki-laki ini membuka buku telepon dan mencari nomor telepon Polda jatim.

"Halo, minta tolong disambungkan dengan Kapten Kosasih," katanya.

Selang beberapa lamanya, ia mendengar suara seorang laki-laki.

"Kapten Kosasih?" tanyanya.

"Oh, bukan, di sini Lettu Manopo. Kapten Kosasih sementara tidak ada di Surabaya. Telepon ini dari mana?"

"Oh!" Pikirannya berputar cepat. Dari kebiasaan dia sudah terlatih mengambil keputusan dalam sesaat.

"Saya teman lamanya sekampung dulu. Kalau beliau tidak ada, saya ingin bertemu dengan keluarganya saja mumpung saya sudah jauh-iauh sampai kemari. Apakah saya bisa tolong diberi alamat rumahnya?"

"Oh. bisa," sahutan dari seberang.

Dalam waktu dua detik laki-laki itu telah mendapatkan alamat yang dikehendakinya.

jumat pagi ini mata Edi Sanjaya tiba-tiba melihat iklan mengenai Helmi Rantung. Nama itu familier baginya. Untuk membenarkan ingatannya, ia segera mengambil buku tamunya dan mulai memeriksa. Tidak salah! Ternyata memang Helmi Rantung ini pernah menginap di hotelnya hari Selasa tanggal 24 juni. Bahkan dialah tamu yang tidak kembali itu! Semua barangnya masih ditinggalkan di hotel begitu saja, tapi orangnya tidak muncul.

Sebetulnya sudah beberapa hari ini Edi Sanjaya ingin lapor kepada atasannya bahwa ada tamu yang menghilang. Tapi karena setelah diperiksa di dalam kamar masih tertinggal semua barang si tamu, ia ragu-ragu. Mungkin saja tamu ini ada keperluan di luar kota sehingga tidak bisa pulang ke hotel. Tapi karena barang-barangnya masih ada, tentunya suatu saat dia pasti muncul juga.

Dan sekarang ada iklan ini! Aneh! Janganjangan si Helmi Rantung ini melarikan uang perusahaannya lalu menghilang. Edi Sanjaya memutuskan untuk menghubungi nomor telepon yang tercantum di iklan itu.

"Halo," katanya.

"Ini dari Surabaya. Saya mau bicara dengan Saudara Sarwoko, yang memasang iklan di harian Surabaya Post."

Beberapa saat lamanya terdengar suara seorang laki-laki di ujung sana.

"Ya, di sini Sarwoko!"

"Ah, perkenalkan! Saya Edi Sanjaya, Pak, dari Hotel Kartika di Surabaya. Saya punya tamu yang bernama Helmi Rantung."

"Oh, bagus!" jawab Sarwoko.

"Bisa saya bicara pada Pak Rantung sekarang?"

"Wah. orangnya tidak ada, Pak."

"Kalau begitu, tolong sampaikan pesan saya begitu ia datang. Dia diminta segera menelepon saya."

"Pak, orangnya sudah kira-kira sepuluh hari tidak muncul. Saya ini malah mau tanya. barang-barangnya di sini mau diapakan. Semuanya masih ada di sini, Pak. Soal ongkos hotelnya sewaktu Pak Rantung pertama masuk, dia sudah membayar untuk satu malam. Sehabis itu karena ia tidak kembali, ya sudahlah, kami tidak mengenakan ongkos menginap lagi kepadanya karena hotel kami kebetulan sedang tidak penuh. Tapi kami tidak bisa menyimpan barang-barangnya terlalu lama. Pak."

"Jadi sudah sejak sepuluh hari Pak Rantung tidak kembali?" tanya Sarwoko.

"Iya, Pak."

"Kalau begitu nanti saya hubungi Anda kembali. Saya rundingkan dulu dengan atasan saya. Berapa nomor telepon Anda?" tanya Sarwoko.

Selang dua puluh menit, Edi Sanjaya menerima telepon dari Sarwoko.

"Begini, Pak Edi. Kata atasan saya sebaiknya dilaporkan polisi saja, jangan-jangan telah terjadi apa-apa."

"Jadi saya laporkan polisi?"

"Ya."

"Lalu barang-barangnya?"

"Serahkan polisi saja."

"Hotel kami tidak bertanggung jawab, lho, Pak! Sebaiknya Bapak kemari saja sendiri untuk mengurusnya."

"Atasan saya akan menelepon kantor Polda jatim untuk minta bantuannya. Sementara ini kami di sini masih sibuk sehingga tidak sempat ke Surabaya. Serahkan saja masalahnya kepada polisi, nanti polisi yang akan menghubungi kami lagi."

"Kalau orangnya kembali dan tahu barangbarangnya ada di tangan polisi, apa tidak marah, Pak? Hotel kami tidak mau disalahkan lho, Pak," kata Edi Sanjaya.

"Kami akan membuat surat kepada Anda supaya Anda punya bukti tertulis bahwa Anda menghubungi polisi atas permintaan kami. Jangan khawatir."

"Baiklah, Pak Sarwoko. Kalau begitu kami akan segera laporkan ke polisi."

**

Pukul sepuluh Gozali terperanjat ketika secara iseng-iseng dia membaca artikel mengenai Saksi Kakek Bodo. Gozali tidak pernah berlangganan surat kabar. Biasanya ia hanya membaca kalau kebetulan di dekatnya ada koran menganggur. Jumat pagi ini ia sedang duduk di kamar kerja Kosasih yang sementara waktu dipakai oleh Kapten Danu Brata. Koran Surabaya Post edisi Kamis kemarin terletak di dalam kotak suratnya. Secara kebetulan saja tadi Gozali mengambilnya dan membaca sambil menunggu Kapten Danu yang masih dipanggil komandannya.

"Eh, gila benar ini! Mengapa aku tidak diberi tahu!" katanya entah kepada siapa. Di ruangan ini tidak ada orang lain.

BEgitu Kapten Danu datang, Gozali menunjukkan artikel itu kepadanya.

"Anda tahu tentang pemuatan artikel ini?" tanyanya.

Danu Brata meliriknya sekilas lalu mengangguk.

"Ya, aku sudah dilapori kemarin. Sewaktu kami pergi, anak-anak Pak Kosasih datang membuat laporan itu dan diterima oleh Lettu Manopo."

"Bagaimana sampai laporan itu bisa dilepas kepada pers?" tanya Gozali jengkel.

"Saya kira ini bukan ide yang jelek. Bagaimana lagi kami bisa mencari orang ini kalau tidak diberitakan di koran."

Gozali menepuk-nepuk dahinya sendiri dengan wajah merah padam.

"Memangnya kenapa, Pak Gozali?" tanya Danu Brata yang tersinggung melihat sikap Gozali.

"Waduh, ini kan namanya bekerja tanpa Otak, toh!"

Sruuut, darah langsung naik ke kepala Kapten Danu Brata. Matanya melotot. Siapa yang dikatakan bekerja tanpa otak? Brengsek orang ini! Rupanya sudah terlalu dimanjakan oleh Kosasih sampai lupa pada kedudukannya sendiri!

"Bagaimana sampai identitas si pelapor kok disebutkan sekali? Ini kan membahayakan! Kalau orang itu betul-betul tersangkut kasus pembunuhan, kan berita ini bisa menempatkan anak Kapten Kosasih pada posisi yang berbahaya!"

"Ah, identitasnya tidak disebutkan, kok!" Danu Brata membantah.

"Betul, namanya sendiri memang tidak disebutkan, tapi nama bapaknya tercantum di sini, lengkap dengan pangkatnya dan tempat kerjanya! Itu kan ceroboh! Kalau orang ini mau mencarinya, berapa susahnya ia bisa mendapatkan alamat Kapten Kosasih dari kantor Polda jatim?"

Danu Brata menekur. Betul juga kata-kata orang jelek ini. Pantas dia marah. Tapi sekarang nasi

sudah menjadi bubur, artikel ini sudah dimuat, mau apa lagi?

"Jadi sekarang bagaimana, Pak?"

"Saya minta Anda usut siapa yang membocorkan identitas pelapor kepada pers. Ini adalah suatu pelanggaran etik yang tidak bisa ditoleransi. Kalau terjadi apa-apa pada keluarga Pak Kosasih, siapa yang bertanggung jawab?"

Lettu Manopo duduk dengan kaku di hadapan Kapten Danu Brata. Wajahnya murung, kesal. Jadi bawahan memang serba salah. Kalau tidak bertindak, katanya tidak punya inisiatif, cuma sekadar seperti robot yang harus dipijat tombolnya baru berfungsi. Kalau bertindak mengambil inisiatif sendiri, masih disalahkan lagi. Katanya bertindak tanpa pikir panjang, sok lancang. Jadi maunya bagaimana sih! Begini salah, begitu salah!

Memang kalau jadi atasan itu enak, benar atau salah selalu ia yang menang. Kalau benar, kreditnya untuk atasan semua-ah, dia yang pinter memimpin, pinter mendidik anak buah, pinter mengatur. Tapi kalau salah, wah, salahnya ditimpakan pada bawahannya semata-matabawahannya yang goblok, bawahannya yang lancang, bawahannya yang susah diatur dan tidak mau menurut!

Coba lihat saja sekarang! Waktu anak-anak Pak Kosasih datang, Kapten Danu Brata tidak ada di

tempat, maka ialah yang mewakili mendengarkan laporan anak gadis Pak Kosasih. Toh dengan ayahnya, Lettu Manopo kenal baik, malah lebih baik dibandingkan dengan hubungannya dengan Kapten Danu Brata. Lettu Manopo lebih sering bekerja bersama Kosasih daripada bersama yang lain. Nah, jadi ia telah mendengarkan dengan saksama semua laporan mereka. Ternyata putri Pak Kosasih ini melihat seorang lakilaki dekat di tempat terjadinya pembunuhan itu sekitar waktu yang tepat. Cuma sayangnya, putri Pak Kosasih ini tidak tahu siapa orang itu atau apa identitasnya. Nah, bagaimana polisi bisa mencari orang ini kalau tidak diberitakan di surat kabar?

Masa tindakanku minta bantuan pers sekarang disalahkan? Bukankah selama ini polisi sering bekerja sama dengan pers? Pers merupakan media massa yang cepat menjangkau banyak orang. Itulah sebabnya ia menelepon temannya Bob Irawan dari Surabaya Post dan menceritakan apa yang didengarnya dari anak Pak Kosasih. Kalau kemudian ternyata Bob menyiarkan semua keterangan yang didapatnya termasuk sumber informasinya. sekali, itu kan bukan salahnya! itu kesalahan Bob! Sebagai wartawan dia yang seharusnya tahu bahwa informasi polisi itu identitasnya harus dirahasiakan.

Tapi sekarang justru ia yang disalahkan! Mengapa mereka tidak memanggil Bob Irawan saja? Ia sendiri tadinya hanya bermaksud membantu, dengan itikad baik mempercepat pekerjaan

Kapten Danu Brata. Ah, buset! Jadi bawahan memang cuma kena getahnya saja, nangkanya tidak ikut merasakan!
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"... Kau ini kan bertindak gegabah, toh, Let!"

Samar-samar dia mendengar suara Kapten Danu Brata masih memberikan kuliahnya. Heran, orang ini kok bisa bicara berlama-lama tidak ada habisnya. Cukup kan kalau tadi disebutkan 'Kamu salah', mengapa harus diuraikan panjang lebar!

"... Coba bayangkan! Apa jadinya kalau orang ini betul-betul si pembunuh! Apa yang akan diperbuatnya setelah membaca artikel itu? Pakai dong otakmu!"

Buser! Aku di'otak-otak'kan segala, gerutu Lettu Manopo dalam hati. Memangnya ia bisa menciptakan Otakku! Buset!

"Bertindak apa saja harus kaupikirkan dulu matang-matang apa nanti akibatnya. Kau kan bukan kebo yang tidak bisa mikir! Kau kan dikaruniai otak oleh Gusti Allah! Pakai dong ini! Ini!" Kapten Danu menepuk-nepuk jidatnya sendiri.

Hati Manopo membara. Tak pernah dia dikasari orang seperti ini sebelumnya. Ia memberanikan dirinya untuk memberikan sanggahan.

"Alamat Kapten Kosasih toh tidak dicantumkan di surat kabar, Pak. Bagaimana orang ini bisa mencari putrinya tanpa mengetahui alamat tinggalnya?"

"Kau memang bandel! Sudah membuat kesalahan masih tidak mau menyadarinya! Alamat itu kan

mudah dicari! Kalau sudah disebutkan jelas 'Kapten Polisi Kosasih dari kantor Polda Jatim", orang buta pun bisa mendapatkan alamatnya! Ada berapa sih kapten polisi yang namanya Kosasih di sini? Setiap waktu orang ini bisa mendapatkan keterangan kalau ia bertanya kemari!"

"Lho. kalau ia bertanya ya tidak kita beri tahu, toh, Pak! Kalau orang ini berani menelepon, kita suruh saja ia datang untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Begitu tiba di sini, kita tahan dia!"

Kapten Danu Brata menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau ini kok bisa mencapai pangkat Letnan itu bagaimana toh! Tololnya nggak ketulungan! Lah apa kaukira orang ini kalau mau minta alamat bakal menyebutkan bahwa ia orang yang sedang dicari-cari polisi? Aduh, kok kebangetan kau ini! Ya sudah pasti orang ini akan menyamarmengatakan dia teman lamanya. atau masih familinya, yang datang dari luar kota tapi lupa alamat rumahnya!"

Tiba-tiba Gozali yang sejak tadi mengawasi wajah Lettu Manopo melihat perubahan air mukanya. Dari pandangan jengkel yang sejak tadi disandangnya, mendadak menjadi ekspresi kaget-seperti orang yang baru tersentak dari tidur yang lelap.

"Ada apa, Letnan? Apakah Anda teringat sesuatu?" sela Gozali.

Manopo segera menunduk.

"Tidak... Tidak, Pak. Tidak ada apa-apa," katanya tergagap.

Gozali paling curiga kalau ada orang menjawab demikian. Pasti ada sesuatu!

"Katakan terus terang, Let! Mengapa Anda terkejut?"

"0h, tidak, Pak, saya tidak terkejut," dusta Manopo.

"Let!" suara Kapten Danu Brata mendentum.

Manopo mengangkat matanya. Pandangan terperangkap tercermin di sana.

"Sebaiknya kau berterus terang. Kalau kau berterus terang, saya masih bisa memaafkan. Tapi kalau tidak, dan suatu saat terbukti kau berbohong, kau benar-benar akan menyesal dilahirkan sebagai orang yang bernama Manopo!" ancam Danu Brata.

Manopo masih menunduk. Tadi saja soal berita di koran dia sudah didamprat habis-habisan. Apa jadinya kalau sekarang mereka tahu ia telah memberitahukan alamat Kapten Kosasih kepada seseorang yang mengaku teman baiknya?

"Letnan, untuk sementara lupakan peranan Anda," kata Gozali lebih lunak.

"Kita sekarang bertaruh dengan nyawa manusia. Kalau ada sesuatu yang terjadi sehubungan dengan kasus ini, harap segera katakan. Anda tidak ingin anak Pak Kosasih celaka karena Anda menyembunyikan informasi, bukan?"

Akhirnya Manopo mengangkat matanya dan menggumam,

"Tadi pagi ada yang menelepon kemari mencari Kapten Kosasih."

"Lalu?" Gozali merasa keringat dingin mulai terbit di dahinya.

"Saya katakan bahwa Kapten Kosasih tidak ada."

"Lalu?"

"Lalu katanya, ia temannya sekampung. Jauhjauh kemari. Kalau Pak Kapten tidak ada. ia ingin menemui keluarganya saja dan minta alamatnya."

Keringat dingin sekarang membutir besar-besar di dahi Gozali.

"Anda beri?"

Manopo mengangguk dengan mata tertunduk, tak berani menatap ketajaman mata Gozali yang seakan-akan menusuk dalam ke ulu hatinya.

"Ia mengatakan teman sekampung, sih. saya sangka... saya sangka..."

"Astaga, Po. Po!" kata Kapten Danu Brata sambil menutupkan kedua belah tangannya di wajahnya.

"Ia kedengarannya memang seperti teman. Pak. Saya tidak berpikir... saya tidak mengira..."

"Kau selalu tidak pernah berpikir! Tidak mengira! Kapan kau mulai memakai otakmu?"

Gozali tidak menunggu lebih lama lagi. Ia segera berdiri.

"Ke mana, Pak Gozali?" tanya Danu Brata.

"Memperingatkan Dessy supaya berhati-hati."

Ia baru saja sampai di pintu ketika telepon di meja Kapten Danu berdering.

"Ada telepon dari Hotel Kartika. Pak. melaporkan tamunya hilang."

"Baik, sambungkan," jawab Kapten Danu.

Gozali berhenti di pintu.

"Halo, selamat pagi, Pak. Perkenalkan saya Edi Sanjaya dari Hotel Kartika. Saya mau melaporkan bahwa salah seorang tamu kami sudah sejak sepuluh hari tidak kembali. tapi barang-barangnya masih ada di sini."

"Dari mana tempat asalnya, Pak?"

"KTP-nya dari Jakarta."

"Siapa namanya, Pak?"

"Helmi Rantung."

"Helmi Rantung? Kok rasanya saya pernah melihat nama itu," kata Kapten Danu.

"Mungkin Bapak membacanya di surat kabar," kata Edi Sanjaya.

"Saya sendiri juga baru mengambil tindakan setelah membaca namanya di surat kabar. Harian Surabaya Post terbitan Kamis kemarin, Pak."

"Sebentar! Sebentar!" kara Kapten Danu meraih surat kabar yang terletak di atas mejanya. Dengan cekatan dia membalik-balikkan halamannya sampai tiba di halaman yang memuat iklan mengenai Helmi Rantung.

"Ya, ini saya sedang menghadapi iklannya." katanya kepada Edi Sanjaya.

"Apakah Anda sudah menelepon nomor yang tercantum di sini?"

"Sudah, Pak. Ternyata itu telepon kantor BKPM. justru mereka yang minta saya melaporkan ke polisi. Katanya mereka juga akan menghubungi polisi sehubungan dengan menghilangnya Saudara Helmi Rantung ini. Apakah Bapak belum menerima telepon dari mereka?"

"Belum. Tapi baiklah, kami akan ke hotel Anda. Di mana alamatnya?" tanya Kapten Danu Brata membuat beberapa catatan kecil di blok kertas di atas mejanya.

Gozali yang menunda keberangkatannya, berkata,

"Mengapa dengan orang itu?"

"Ini, pihak hotel melaporkan ada tamunya yang Sudah sepuluh hari tidak kembali tapi barangbarangnya ditinggal. Coba kita sekalian keluar memeriksanya. Jangan-jangan orang yang hilang ini adalah korban pembunuhan di Kakek Bodo itu. Melihat waktu menghilangnya-sepuluh hari yang lalu-kira-kira tepat dengan visum dokter yang menyatakan korban meninggal sekitar hari Rabu."

"Kita mampir dulu di rumah Kapten Kosasih." kata Gozali.

"Kita harus memperingatkan anakanaknya."

"Dan kau, Let," Kapten Danu Brata berpaling pada Manopo yang masih duduk bagaikan patung di kursrnya,

"sekali-kali jangan lagi memberikan infomasi kepada siapa pun, mengerti! Siapa pun! Sejak saat ini anggap saja kau bisu-tuli!"

**

BERHENTI di depan rumah Kosasih. Gozali segera melompat turun dari mobil. Beberapa kali ia mengetuk pintu tapi tidak ada yang membukakan. Kiranya semua pergi.

Gozali merogoh isi sakunya dan mengeluarkan sebuah notes kecil. Dia menulis beberapa baris kalimat itu menyelipkan kertas di bawah celah pintu rumah. Kemudian mereka meninggalkan rumah itu menuju ke Hetel Kartika.

Di lobi hotel kelas menengah ini mereka segera disambut oleh seorang laki-laki yang mengenakan dasi. Laki-laki ini mengenali seragam kepolisian yang dikenakan Kapten Danu Brata. Dari jarak lima meter dia sudah tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Mari, silakan, Pak. Saya Edi Sanjaya," katanya memperkenalkan diri.

Mereka berjabatan tangan, kemudian Edi Sanjaya mengajak tamu-tamunya duduk di salah satu sudut lobi itu di mana disediakan beberapa setel kursi tamu.

"Jadi Anda yang tadi menelepon kami?" tanya Kapten Danu.

"Betul, Pak."

"Di mana sekarang barang-barang milik Saudara Helmi Rantung?"

"Masih di kamarnya, Pak. Hari-hari ini hotel agak sepi. kami punya kelebihan kamar jadi kamarnya belum perlu kami kosongkan."

"Kalau begitu. kita langsung saja ke kamarnya." kata Kapten Danu.

"Silakan, Pak," kata Edi Sanjaya segera berdiri.

Mereka masuk ke dalam sebuah lift kecil yang berhenti di lantai tiga. Edi Sanjaya mengeluarkan seOnggok kunci dari saku celananya. lalu membuka kamar nomor 310.

Mereka mendapatkan sebuah kamar yang sedang besarnya, dengan sebuah tempat tidur besar di tengah. Sekilas tampaknya kamar ini tidak jelek, tetapi kalau diperhatikan betul-betul, tampak kertas dindingnya sudah banyak yang kekuningan di sana-sini, tirainya rasanya sudah bertahuntahun tidak pernah dicuci, karpetnya di beberapa tempat sudah menipis sehingga tampak lantai di bawahnya.

"Kamar ini masih dibersihkan setiap hari?" tanya Kapten Danu.

"Setiap pagi masih dilihat oleh bagian Rumah Tangga. Tapi karena tidak terpakai. saya kira mereka juga tidak membersihkan."

Mereka melihat sebuah k0por kecil yang terletak di atas meja. Kopor itu terkunci. Kapten Danu memeriksa laci-laci meja dan lemari. Di dalam

lemari ditemukan satu setel kemeja dan celana panjang. sedangkan laci-laci kosong semuanya.

Kapten Danu masuk ke kamar mandi. Di sana ada sikat gigi, sisir, pisau cukur, dan sebotol minyak rambut.

Sementara Kapten Danu dan Edi Sanjaya berada di dalam kamar mandi, Gozali mengutak-atik kunci kopor dengan sebuah kawat kecil yang ada di sakunya. Dengan mudah kunci berhasil dibukanya. Lalu ia meneliti isinya.

Di dalamnya ditemukan satu setel pakaian plus dua buah celana dalam, dua batang bolpen yang diselipkan di bagian tutup kopor, dan sehelai kartu nama milik Peter Halliday. Kecuali itu sudah tidak ada apa-apanya lagi-tidak ada tanda pengenal. tidak ada uang, tidak ada dompet.

"Lho, kopornya kok bisa dibuka?" tanya Danu Brata di belakang Gozali.

"Tadi saya coba tidak bisa."

"Terbuka, kok," bohong Gozali,

"hanya tutupnya agak seret."

"Apa isinya?"

"Tidak ada yang menarik. kecuali ini." kata Gozali menyerahkan kartu nama Peter Halliday.

Kapten Danu membacanya.

"Apanya yang menarik? Cuma sehelai kartu nama." katanya.

"Di belakangnya tercantum nomor kamarnya di Hotel Borobudur Jakarta," kata Gozali.

"Lalu?"

Gozali mengangkat bahunya.

"Mungkin dia bisa membantu kita."

Kapten Danu tidak sependapat dengan temannya yang jangkung ini. Sehelai kartu nama baginya tidak berarti apa-apa.

"Bagaimana penampilan Saudara Rantung ini?" tanyanya berpaling pada Edi Sanjaya.

"Hm. usianya sekitar tiga puluhan, berperawakan sedang. rambutnya tebal, hitam-manis orangnya," kata Edi Sanjaya.

"Saya kira sebaiknya Anda ikut kami ke kamar mayat." kata Kapten Danu Brata.

"Ke kamar mayat?" Edi Sanjaya terperanjat.

"Ya. Seminggu yang lalu kami menemukan sesosok mayat dengan deskripsi yang mirip Saudara Rantung. Pada mayat itu tidak ditemukan tanda pengenal. Kalau Anda bisa mengidentifikasinya. itu berarti terpecahkanlah teka-teki mayat tak dikenal ini."

"Jadi Saudara Rantung ini ia meninggal?" tanya Edi Sanjaya.

"Kami belum yakin mayat itu Rantung. Karena itu kami butuh bantuan Anda," kata Kapten Danu Brata.

"Astaga! Makanya sepuluh hari ia menghilang tidak ada beritanya." kata Edi Sanjaya merasa yakin sebelum melihatnya bahwa mayat yang mereka bicarakan ini adalah tamunya yang tidak pulang-pulang.

"Saudara Edi, apakah selama Saudara Rantung di sini ia pernah menerima tamu?" tanya Gozali.m

"Yang jelas dia masuk dan keluar seorang diri, tidak pernah bersama orang lain. Tapi kalau ada tamu yang tahu kamarnya dan langsung naik mencarinya, kami tidak tahu. Kami tidak pernah menanyai orang-orang yang lewat lobi ke mana tujuan mereka kecuali apabila mereka berhenti di meja resepsionis dan bertanya di mana kamar si anu atau si itu."

"Dan tidak ada orang yang menanyakan kamar Saudara Helmi Rantung?"

"Setahu saya tidak ada."

"Kalau begitu marilah kita berangkat, Saudara Edi!" ajak Kapten Danu.

Di bawah kain putih yang tersingkap tampak seraut wajah yang kehijauan dan membengkak. Namun dekomposasi seonggok daging tanpa nyawa ini tak bisa mengaburkan siapa identitasnya sebelumnya.

Edi Sanjaya mengangguk lemah. Perutnya berontak. Bau antiseptik bercampur formalin di ruangan ini membuatnya ingin muntah, belum lagi wajah beku yang terbaring kaku di hadapannya.

"Bagaimana, betul ini Helmi Rantung?" tanya Kapten Danu Brata.

Lagilagi Edi Sanjaya mengangguk. Kalau ia tidak cepat-cepat keluar dari ruangan ini, janganjangan dia akan muntah-muntah di sini juga.

"Anda yakin?"

"Astagfirullah! Yakin, Pak, yakin! Mari keluar dari sini !" Edi Sanjaya sudah tidak menunggu lebih lama lagi. Tanpa memperhatikan apakah kedua orang tamunya dari kepolisian ini mengikutinya atau tidak, dia sudah terlebih dahulu keluar dari ruangan yang menyesakkan napasnya itu.

Di luar dia berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Udara ini sedikit membantu meredakan rasa mual yang bergejolak di perutnya. Dengan kemauan yang luar biasa ia menahan hasratnya untuk muntah.

Mereka kembali ke Hotel Kartika.

"Dengan identifikasi Anda, maka barangbarang korban sekarang akan kami amankan," kata Danu Brata.

"Apakah Anda masih punya keterangan lainnya yang bisa membantu pengusutan kami?"

Edi Sanjaya menggeleng dengan lemas, Kepalanya terasa pening. Keringat dingin masih mengucur dari sekujur badannya.

Setelah membawa barang-barang almarhum Helmi Rantung, Kapten Danu Brata dan Gozali mohon diri.

**

Pukul dua belas Dessy mengajak adiknya berpamitan. Mereka telah bermain setengah harian di rumah Wiwik. Memang Wiwik adalah teman akrab Teti, sedangkan kakaknya Sandra sebaya Dessy. Rumah mereka juga tidak terlalu jauh dari

rumah keluarga Kekasih-masih dalam batas yang pantas ditempuh dengan berjalan kaki.

Keluarga Wiwik berasal dari tingkatan ekonomi yang lebih tinggi. Orang tuanya mampu membeli TV berwarna dan video. Setiap hari mereka pasti menyetel video baru. dan alasan inilah yang membawa Dessy dan Teti pagi ini ke rumah mereka. Tadi pagi Wiwik sengaja datang untuk mengundang mereka menyaksikan film video yang baru.

Video telah berakhir tadi pukul sebelas, tapi kedua orang kakak-beradik ini masih duduk dan bersenda-gurau hingga perut mereka memberikan aba-aba untuk diisi. Dessy menolak ajakan ibu Wiwik untuk makan siang di rumahnya. Alasannya, kakaknya Bambang nanti juga akan pulang untuk makan siang. Maka pulanglah mereka dengan berjalan kaki sambil bergandengan tangan.

Terik matahari siang tidak mengganggu mereka. Sepanjang jalan yang mereka lalui banyak ditanami pohon di kanan kirinya.

Ketika mereka tiba di kelokan jalan yang cuma tinggal dua puluh meter lagi dari pagar rumah mereka, sebuah mobil yang sedari tadi parkir tak jauh dari sana dijalankan pengemudinya dengan kecepatan yang cukup tinggi di belakang mereka.

Teti masih sempat berpaling ketika mendengar suara deru mobil, tapi tak sempat berteriak sebelum mobil itu tiba-tiba melanggar mereka.

Benturan keras tak dapat dihindarkaan lagi. Teti merasa dirinya terpelanting ke atas rumput

rumput di tepi jalan. Kakinya dirasakannya sakit. Teti mengangkat kepalanya dan masih sempat menyaksikan mobil itu dilarikan dengan kencang dari sana, sedangkan di pinggir jalan kakaknya tergeletak tak bergerak dan para tetangga berlarian keluar.

Teti segera lupa akan sakit di kakinya. Ia bangkit dan berlari terpincang pincang ke tempat di mana Dessy terkapar. Tetangga yang sudah lebih cepat tiba di sisi Dessy segera memberikan pertolongan.

Panggilan Teti "Mbak! Mbak Dessy!" menyadarkan kakaknya. Samar-samar Dessy merasa dirinya diangkat orang ke tepi. Pandangan matanya yang semula kabur menjadi semakin memfokus kembali dan Dessy dapat mengenali Yanto dan Kusman yang membopongnya. juga Bu Usman. Bu Hasan, dan Endang.

Karena jarak dengan rumahnya tinggal sekitar sepuluh meter saja. maka Dessy digotong pulang dan dibaringkan di atas sofanya sendiri.

"Kau tidak apa-apa. Des?" tanya Bu Usman tetangga dempetnya.

"Coba ambilkan minum. Ndang!" katanya kepada Endang.

"Ih. tadi mobil itu gila! Menerjang begitu saja." komentar Yanto.

Dessy sekarang sudah pulih kesadarannya dan mulai merasakan apakah ada bagian-bagian tubuhnya yang sakit. Kecuali luka-luka lecet pada lengan dan dahinya yang sempat bergeseran dengan aspal, rasanya semuanya utuh. Pinggangnya terasa sakit sedikit. Dessy mencoba menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangan dan kakinya, takut jangan-jangan ada bagian yang menjadi lumpuh. Ternyata semuanya berfungsi dengan baik. Alhamdulillah, bisiknya, mengucap syukur atas lolosnya dari bahaya tadi.

"Mobil itu memang gila-gilaan," kata Endang yang kembali membawa dua gelas berisi air gula yang diberikannya kepada Dessy dan Teti.

"Aku tadi kan sedang duduk-duduk di teras. Aku melihat lho, sewaktu Dessy dan Teti berjalan dengan santai. Berjalannya juga sudah di pinggir sekali, sama sekali tidak ke tengah. Eh, tiba-tiba mobil ini entah dari mana kok menderu-deru di belakang mereka dan terus langsung menubruk di tengah-tengah mereka. Si Teti nih terpelanting ke rumput-rumput, sedangkan Dessy yang langsung kena benturan mobil jatuh tertelungkup begitu saja. Aku lihat mobil itu berhenti. Aku pikir orangnya mau turun untuk memberikan bantuan. Pada waktu itu aku sudah berlari keluar. bersamaan dengan Yanto dan Kusman. Eh, tahunya si mobil ini bukannya berhenti untuk menolong, tapi malah tancap gas dan menghilang! Kurang ajar si sopir!"

"Mungkin karena ia takut melihat kita. Kusman dan aku kan sedang mengutak-atik motor di halaman rumah. Begitu kami mendengar suara benturan, kami juga memburu ke luar. Sopirnya tentunya menjadi takut, melihat banyak tetangga yang keluar-_takut dikeroyok. Jadi langsung dia menghilang dari sana, mumpung belum dipukuli

orang banyak," kata Yanto ikut menceritakan versinya.

"Duh, kamu ini untung, lho, Des! Ditubruk seperti itu tidak apa-apa, cuma lecet-lecet saja," kata Bu Hasan.

"Untung tidak sampai gegar otak atau bagaimana!"

"Kau tidak apa-apa, Tet?" tanya Dessy teringat adiknya.

"Cuma lecet sedikit saja di tungkai, Mbak." kata Teti.

"Tadi aku sempat lho melihat mobil itu datang dari belakang menghampiri kita. Aku mau berteriak tiba-tiba sudah terpelanting."

"Aku kira mobil itu tentu sengaja," kata Kusman yang biasanya pendiam.

"Tadi setelah dia menubruk Dessy, ia sempat mundur, lalu kayaknya mau mengambil ancang-ancang menggilas Dessy yang terkapar di jalan. Tapi karena kita-kita ini sudah memburu keluar sambil berteriak-teriak. si mobil ini mengurungkan niatnya dan melarikan diri. Seandainya jalanan sepi dan tidak ada yang melihat, aku yakin dia akan melanggar Dessy lagi untuk kedua kalinya. Dan kalau sampai itu terjadi, akibatnya pasti fatal karena Dessy sudah tertelungkup tidak berdaya di atas aspal."

"Ah, kau ini, Man! Menakut-nakuti saja!" kata Bu Usman.

"Mengapa kok ada orang yang mau sengaja mencelakakan Dessy?"

"Lho, Bu Usman tidak membaca di koran-di Surabaya Post terbitan... eh, terbitan Kamis kalau tidak salah-di sana kan ada sebuah artikel yang

menyebutkan bahwa anak Kapten Kosasih dari Polda jatim melaporkan bertemu dengan seseorang di dekat air terjun Kakek Bodo di mana telah terjadi pembunuhan pada hari Rabu tanggal 25 Juni. Apakah kalian tidak melihat berita itu?" tanya Kusman.

"Oh. betul! Aku melihatnya!" kata Endang.

"Aku tidak mengira bahwa laporan itu akan dimuat di koran," kata Dessy.

"Apakah karena itu lalu orang ini sekarang mau mencelakakan aku?"

"Aku yakin begitu. Mungkin memang benar dialah pelaku pembunuhan di Kakek Bodo dan kau telah melihatnya! Ia kan takut kau bisa menunjuknya sebagai orang yang patut dicurigai!" kata Kusman.

Dessy menggeleng gelengkan kepalanya.

"Tapi itu tidak mungkin. Man! Aku tidak tahu identitas orang ini. mana aku bisa menunjuknya? Aku tidak tahu siapa namanya. di mana rumahnya, dan sebagainya. Aku cuma tahu rupanya. Bagaimana polisi bisa mendapatkan orang ini untuk kukenali di kota Surabaya yang berpenduduk hampir tiga juta ini?

"Orang ini sama sekali tidak perlu mencelakakan aku. Ia tidak perlu takut padaku sama sekali. Kesaksianku sama sekali tidak bisa membantu polisi menangkapnya!"

"Aku tidak tahu mengapa ia menganggap perlu untuk menyingkirkan kau, Des," kata Kusman.

"Tetapi yang jelas tubrukan tadi bukan suatu kecelakaan. Aku melihat sendiri kok, bagaimana

mobil itu dari jarak kira-kira sepuluh meter sengaja dikemudikan ke arahmu, padahal jalan di sebelah kanannya masih begitu lebar. Lalu begitu kau jatuh di aspal, dia mundur! Dia mundur bukan untuk berhenti seperti dugaan Endang tadi. tapi sewaktu ia mundur itu gasnya semakin diperbesar! Aku mendengar bagaimana mesinnya sampai mendengung. Dia mengambil ancang-ancang untuk menubrukmu lagi! Cuma persis pada waktu itu kami semuanya sudah memburu keluar dan turun ke jalan. Itu yang membuat hatinya kecut. Seandainya ia tidak cepat melarikan diri. ia tentu tidak bisa berlalu karena kami pasti sudah mengerubung mobilnya. Maka ia mengurungkan niatnya dan menyelamatkan dirinya dulu dari keroyokan dan identifikasi kami!"

"Aku kira Kak Kusman benar. Des." kata Yanto adiknya.

"Mulai sekarang kau..."

"Hei, ini ada apa?"

Tanpa mereka sadari tiba-tiba Bambang sudah berada di dalam ruangan.

"Mbang, adikmu diserempet mobil tadi," kata Bu Usman.

"Mas Bambang, Teti dan Mbak Dessy tadi ditubruk orang. sampai terpelanting di jalan. Untung kami tidak mati," lapor Teti.

"Mbang, adikmu mau dibunuh orang!" sela Yanto.

"Sebentar, sebentar!" kata Bambang yang bingung mendengarkan beberapa orang bersuara pada waktu yang bersamaan.

"Apa yang terjadi,

Des?" tanyanya pada Dessy yang sekarang sudah bisa duduk di atas sofa.

"Tadi aku dan Teti berjalan pulang dari rumah Wiwik. Ketika hampir tiba di depan pagar, kami ditubruk mobil dari belakang. Si Teti, nih, kasihan, sampai terpelanting di atas rumput, sedangkan aku terjerembab di jalan. Kata Kusman dan Yanto mobil itu kayaknya sengaja...."

"Pasti sengaja, Mbang!" sela Kusman.

"Aku berani bertaruh! Setelah dia menubruk Dessy, ia mundur lagi untuk melanggarnya lagi. Kalau bukan pada waktu itu kami kebetulan melihatnya dan memburu ke jalan, dia pasti sudah berhasil mencelakakan Dessy."

"Mengapa bisa terjadi begini?" tanya Bambang keheranan.

"Kau punya musuh. Des?"
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini kan akibat artikel di surat kabar kemarin, Mbang!" kata Kusman.

"Masa kau tidak baca?"

"Aku tahu, artikel yang menceritakan bahwa anak Kapten Kosasih dari Polda Jatim melihat orang di air terjun Kakek Bodo itu, 'kan? Iya, aku baca."

"Orang ini pasti orang yang dilihat Dessy itu, Mbang! Atau ia menyewa orang untuk menubruk Dessy!" kata Yanto.

"Untuk apa?" kata Bambang.

"Kan dia tidak perlu berbuat itu. Dessy tidak tahu identitasnya! Biarpun Dessy pernah melihatnya, tapi kan dia tidak mungkin bisa menunjukkan siapa orangnya kepada polisi. Dessy sendiri tidak tahu kok siapa orang ini!"

"Orang yang sudah berbuat kesalahan itu takut pada bayangannya sendiri." kata Kusman.

"Mungkin dia mengira Dessy tahu siapa dirinya!"

"Kalau tahu kan sudah segera dilaporkan polisi. tidak perlu sampai dicari lewat koran segala!" bantah Bambang.

"Ini..."

"Permisi!"

Mereka terperanjat melihat seorang berseragam polisi berdiri di tengah-tengah mereka. Di belakangnya berdiri Gozali. Melihat banyak orang berkerumun dan Dessy yang lecet-lecet duduk di atas sofa, Gozali berpaling pada Bambang dan bertanya,

"Apa yang terjadi, Mbang?"

"Oh. Lik! Aku sendiri baru datang. Kata mereka ada orang yang sengaja telah menubruk Dessy dan Teti tadi."

"Coba ceritakan apa yang terjadi, Des," kata Kapten Danu Brata.

Dessy melemparkan senyuman yang berarti ke arah Gozali, lalu ia mengulang kembali bagaimana peristiwa tadi terjadi.

"Ya, aku kira pendapat adik-adik ini tidak salah." kata Gozali manggut-manggut.

"Ini besar kemungkinan suatu kesengajaan. Tadi pagi sekitar pukul setengah sebelas aku mampir kemari mau memperingatkan kau. Des. Aku meninggalkan pesan di bawah celah pintu...."

"Oh, lha ini kertasnya!" kata Bu Usman melihat secarik kertas yang sudah kotor kena injak-injak mereka.

"Tadi pagi ada yang menelepon ke kantor Polda menanyakan alamat rumah ini. Yang menerima telepon tidak berpikir panjang dan memberitahukannya. Aku sudah khawatir, pasti itu orang yang kaulihat di Tretes."

"Aku tidak apa-apa kok," kata Dessy.

"Syukur ditolong teman-teman ini. Dan mungkin tulang kepalaku ini keras-semua orang mengatakan aku keras kepala sehingga benturan dengan aspal pun tidak sampai membuatku mati."

"Eh, anak ini," kata Bu Usman,

"masih bisa bergurau"

"Apakah dari antara kalian ada yang melihat nomor polisi mobil tersebut?" tanya Gozali.

Semua menggeleng.

"Kejadiannya terlalu cepat, Pak. Kami masih terkejut ketika mobil itu sudah dilarikan dari sini. Yang jelas mobil itu berwarna perak," kata Yanto.

"Baiklah, Mbang. Aku pergi dulu," kata Gozali menepuk-nepuk bahu Bambang.

"Obati lecetlecet adik-adikmu dan jaga mereka. Dan Dessy. jangan ke mana-mana dulu. Untuk sementara kalau tidak ada yang menemani, kau mengunci diri di rumah saja. jangan membukakan pintu kepada orang yang tidak kaukenali kalau kau kebetulan seorang diri di rumah. Mengerti?"

Dessy mengangguk.

"Lik Ali, temani kami di rumah," rengek Teti memegangi tangan Gozali.

"Teti takut."

"jangan takut. Kita perlu berhati-hati. tapi jangan takut! Lik harus giat melacak di luar siapa

pelaku kejahatan ini. Kalau Lik diam di rumah, penjahat itu lebih lama lagi berkeliaran. Jadi ingat pesan Lik, berhati-hatilah terhadap orang yang tidak kaukenal."

"Tapi Lik nanti malam kemari, ya?" desak Teti.

"Temani kami. Kalau orang itu tengah malam mencongkel pintu terus masuk bagaimana?"

"Jangan khawatir. Dia tidak akan berani. Tapi baiklah. Lik akan mampir nanti."

***

"APA langkah kita selanjutnya. Pak Gozali?" tanya Kapten Danu Brata.

"Tentunya orang ini lebih cerdik daripada yang kita sangka."

"Satu-satunya hal yang bisa kita selidiki sekarang hanyalah kartu nama yang kita temukan di dalam tas Helmi Rantung itu."

"Kartu nama? Anda pikir kartu nama itu ada hubungannya dengan kasus kita? Orang itu kan orang Barat, Pak. Laki-laki yang dilihat oleh Dessy bukan orang Barat!"

"Ya. tapi kartu nama ini satu-satunya yang kita temukan. Kecuali kalau Anda punya usul lain, saya tidak mau melewatkan satu kemungkinan pun bahwa kartu nama ini ada kaitannya dengan kasus ini."

"Bagaimana Anda mau mengcceknya?"

"Kita cari ia di Hotel Borobudur. Di belakang kartu itu kan tercantum nomor kamarnya. Kalau kita beruntung, dia masih di sana!"

Mereka kembali ke kantor Polda.

"Selamat siang! Hotel Borobudur di sini," suara merdu seorang perempuan yang serak-serak basah terdengar dari seberang.

"Tolong hubungkan dengan Tuan Peter Halliday. Kalau tidak salah di kamar nomor 708."

"Ditunggu sebentar. ya, Pak!"

Mereka mendengar mekanisme menghubungkan telepon mereka dengan kamar 708.

"Di kamarnya tidak ada yang mengangkat. Pak," kata operator telepon itu.

"Bisa dicarikan di tempat yang lain? Mungkin sedang makan siang atau di kolam renang, atau entah di mana?" kata Kapten Danu Brata.

"Sebentar. Pak."

Peter Halliday ternyata ditemukan sedang makan siang di coffee shop.

"Yes, Halliday speaking," katanya.

Kapten Danu Brata yang fasih berbahasa Inggris segera menanyakan apakah dia kenal dengan seseorang yang bernama Helmi Rantung.

Sedikit tergagap Peter Halliday menjawab dengan tidak meyakinkan.

"Ya... ya, selama di Indonesia saya bertemu dengan banyak orang. Boleh jadi ya. saya mengenalnya. Anda siapa?"

"Saya teman Helmi Rantung," kata Danu Brata.

"Ia banyak bercerita tentang Anda."

"Oh, ya ya. Apakah Anda ada perlu dengan saya?" tanya Peter Halliday lebih gembira.

"Saya ingin sekali bisa berbincang-bincang

dengan Anda tapi lewat telepon kurang leluasa. Apakah Anda ada rencana ke Surabaya?"

"Ah, Surabaya? Ya, ya, kebetulan sekali saya memang merencanakan ke Surabaya hari Minggu. Mungkin kita bisa bertemu sewaktu saya di sana. Makan siang bersama barangkali?"

"Anda akan ke Surabaya? Wah. itu bagus! Tepatnya kapan Anda tiba?" Kapten Danu Brata tidak mau kedengaran terlalu mendesak. Dia sedang berhadapan dengan orang Barat-warganegara negara lain. Terhadap orang-orang asing, kita harus lebih sopan. Salah-salah bisa menimbulkan ketegangan antarnegara! Apalagi dengan tidak diketahuinya secara jelas apa hubungan orang asing ini dengan kematian Helmi Rantung, polisi tidak bisa main asal hantam saja.

"Ehm, saya merencanakan terbang ke sana hari Minggu. Hari Senin pagi saya Sudah punya acara, bagaimana kalau Senin sore kita bertemu untuk minum-minum bersama?" undang Peter Halliday.

"Kalau Anda sudah akan tiba di Surabaya hari Minggu, lebih baik kita bertemu Minggu saja," kata Kapten Danu.

"Saya bisa menjemput Anda di Bandara Juanda."

"Wah, saya merepotkan Anda kalau begitu."

"Oh. tidak. tidak! Saya ada waktu senggang hari Minggu. Pukul berapa pesawat Anda tiba?"

"Ehm, kalau begitu saya bisa berangkat lebih siang. Bagaimana kalau kita bertemu untuk makan siang kalau begitu? Saya akan naik pesawat pukul sebelas."

"Oh, bagus!" kata Kapten Danu Brata.

"Bagaimana saya dapat mengenali Anda?"

"Oh, tinggi saya satu meter delapan puluh, saya berambut coklat. berkacamata, dan eh. .. saya akan mengenakan kaus putih dengan simbol sebuah buaya kecil di dada sebelah kiri," kata Peter Halliday.

"Baik, saya akan menunggu Anda di meja informasi. Kalau Anda melihat seorang Indonesia berkumis lebat dan tingginya satu meter tujuh puluh empat. itulah saya!"

"Eh, saya tadi kurang mendengar nama Anda dengan jelas," kata Peter Halliday.

"Nama saya Danu Brata. Saya tunggu Anda hari Minggu di Bandara Juanda."

"Oke, sampai bertemu Minggu siang!"

Hubungan telepon putus.

"Dia tidak curiga?" tanya Gozali.

"Tidak. Yang saya khawatirkan adalah kita hanya membuang-buang waktu saja. Tampaknya ia tidak ingat siapa Helmi Rantung ini."

"Kalau memang demikian, matilah langkah kita!" komentar Gozali.

"Kita tidak tahu lagi siapa yang bisa kita mintai keterangan."

"Pak Gozali, saya pikir sebaiknya malam ini Anda bermalam bersama anak-anak Kapten Kosasih." kata Danu Brata.

"Mereka cuma bertiga di rumah dan dua di antaranya gadis. Kalau orang ini membawa teman untuk masuk ke rumah itu, saya kira anak laki-lakinya tidak bisa mengatasi seorang diri."

"Pak Danu tidak usah khawatir. Saya akan menjaga mereka," kata Gozali.

"Anda dekat sekali dengan Kapten Kosasih, ya? Apakah Anda masih punya hubungan darah?" tanya Kapten Danu.

"Hubungan darah tidak ada. Tapi kami sudah seperti saudara angkat," kata Gozali.

"Kok bisa begitu ceritanya. Pak?"

"Yah, katakanlah, saya berutang nyawa pada Kapten Kosasih. Dia dulu pernah menyelamatkan saya."

"Oh. Kapten Kosasih tidak pernah bercerita."

"Memang dia tidak suka mengungkit-ungkit sejarah lama," senyum Gozali."

**

Sore itu beberapa teman Dessy kebetulan berkunjung ke rumah. Mereka terkejut membaca berita di surat kabar yang menyatakan bahwa Dessy telah bertemu dengan seseorang di dekat air terjun Kakek Bodo. Mereka sekarang datang untuk menanyakan hal ini.

"Lho, Des. kau kenapa?" tanya Linda yang terkejut melihat dahi dan lengan temannya lecet-lecet.

"Aku diserempet mobil," kata Dessy.

"Eh, lagi ngelamun apa kok sampai diserempet mobil!" goda Linda.

Dessy tertawa bersama tapi tidak menjawab.

"Eh. si Taufik ini lho. mau minta maaf." kata

Linda menepuk lutut Taufik yang duduk di sampingnya.

"Maunya datang sendiri tapi malu." tambahnya.

"Malu-malu tapi rindu, jadi mengajak kami ramai-ramai."

Taufik menyeringai.

"Iya. maaf. lho, Des. Hari Rabu itu aku kok emosi. Sampai di rumah aku pikir-pikir kau benar juga. Aku yang salah. Aku minta maaf, ya?"

_Dessy tersenyum gembira.

"Maafmu kuterima dengan tangan terbuka," katanya.

"Mungkin aku juga bicara terlampau kasar padamu, ya? Menyinggung perasaanmu. ya? Aku juga minta maaf. ya. Fik. Kita lupakan saja insiden hari itu. dianggap nggak pernah terjadi!"

"Nah, kan begitu!" komentar Kandar yang malam ini muncul tanpa Yulis.

"Pertengkaran itu bumbu asmara, kata orang. Sehabis bertengkar proses berbaikannya lebih manis! Taufik ini berhari-hari nggak bisa tidur, Des. Mikirin dia kaupecat jadi pacarmu. Tapi mau kemari takut. Katanya biar amarah Dessy reda dulu. Kalau belum reda, jangan-jangan dia dipalang pintu berani muncul. Begitu katanya, Des!"

"Ah. kamu ini ada-ada saja!" DeSSy terbahak.

"Aku masih temanmu, kan. Des?" tanya Taufik.

"Tentu saja! Kalian semua tetap temanku."

"Maksud Taufik, nih. apakah dia masih teman istimewa-mu. begitu lho, Des," timbrung Albert.

"Iya, Fik, yang jelas kalau bertanya!" goda

Kandar.

"Jadi laki-laki yang ksatria itu harus begitu. Pakai malu-malu kayak kucing saja!"

Semua tertawa sementara Taufik memaki.

"Sialan!"

"Eh, Ndar, mana Yulis?" tanya Dessy.

"Oh. sudah ditalak tiga." kata Kandar.

"Habis maunya ngatuuuur saja! Capek, kan aku diatur terus kayak adiknya saja!"

"Eh, jangan begitu, Ndar! Membuat orang patah hati itu berdosa lho!" kata Dessy.

"Daripada aku yang patah hati, mendingan dia saja." kata Kandar terbahak.

"Eh, Des, ceritanya ini sebetulnya bagaimana sih. kok kamu sampai menjadi orang terkenal sekarang. masuk koran segala!" kata Linda.

"Apanya yang terkenal! Gara-gara masuk koran sampai aku diserempet mobil begini kok!"

"Ceritakan dong! Kapan kamu bertemu orang itu, lalu apa yang terjadi!"

"Tuh, gara-gara bertengkar dengan Taufik." kata Dessy menunjuk yang empunya nama.

"Aku kan jengkel. Bayangkan, aku dikatakan perawan pingitan yang hidup di zaman Siti Nurbaya! Wah, aku..."

"Kamu memang keterlaluan sih, Fik!" komentar Linda.

"Dessy ini anaknya polisi, lho! Kalau kamu berani-berani padanya. nanti kamu di-dor bapaknya baru tahu rasa!"

"Ampun, Des, ampun," kata Taufik pura-pura menyembah.

"Kan aku sudah minta maaf, jangan di-dor bapakmu, ya!"

"Lho, bapaknya sekarang di jakarta, kok," kata Albert.

"Nggak usah takut!"

"Ya, urung bapaknya nanti pakliknya yang men dor aku," kata Taufik.

Mereka semuanya tertawa.

"Eh, kalian masih mau mendengar ceritaku tidak?" tanya Dessy.

"Iya, iya. terus bagaimana?" tanya Linda.

"Nah, karena jengkel pada si Taufik ini, aku terus berjalan dan tanpa merasa..."

"Tuh, Fik, lihat perbuatanmu! Kamu hancurkan hati Dessy sampai ia linglung," putus Kandar.

"Kalau ia tercebur di air terjun itu bagaimana!"

Mereka tertawa lagi.

"Gila kalian ini!" kata Dessy sampai terpingkalpingkal.

"Iya, Des, jangan bunuh diri di air terjun," seloroh Taufik,

"nanti kau menjadi kuntilanak terus menakut-nakuti aku!"

"Kalian ini benar-benar gila," kata Dessy.

"Udah, aku tidak bercerita saja! Habis, dipotong melulu!"

"Iya, Des, iya! Sssst, diam semua!" kata Linda meletakkan telunjuknya di bibir.

"Nenek mau bercerita, cucu-cucu duduk dengan manis dan tenang mendengarkan, ya!"

Mereka semua pasang wajah serius dan memandang Dessy lekat-lekat.

"Ah, jangan sinting begitu!" Dessy terkikik.

"Pokoknya siang itu sehabis bertengkar dengan Taufik, aku berjalan sendiri. Tanpa merasa aku

sudah membelok ke jalan yang menuju air terjun. Aku berjalan sampai aku bertemu dua batu besar...."

"Batu nisan? Wah. serem nih ceritanya." sela Albert.


Mimi Elektrik Karya Zara Zettira Zr Ratu Berlian Master Of Game Karya Pendekar Gila 27 Ular Kobra Dari Utara

Cari Blog Ini