Ceritasilat Novel Online

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo 3

Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD Bagian 3



"Ngaco! Batu kali, ah! Batu yang hitam besar itu lho. yang sering dicoret-COreti orang-orang yang piknik!" Dessy tertawa.

"Terus aku duduk di salah satu batu itu dan aku tumpangkan kakiku pada batu yang lain."

"Bikin apa kau duduk di situ. Des?" tanya Linda.

"Habis, hatiku lagi jengkel. Aku sedang ngambek di sana," kata Dessy tertawa,

"mencari akal bagaimana bisa mencekik kalian satu satu!"

"Waduh. waduh, sadisnya!" kata Kandar.

"Tahu begitu kamu tidak kupulangkan, Des! Biar nggandol truk saja pulangnya!"

"Eh, nggak kok, mana aku sampai hati mau mencekik kalian! Nanti nggak ada lagi yang melucu. kan? Aku duduk di sana sekadar berpikir."

"Mikirin apa, Des?" tanya Albert.

"Oh, mikirin banyak, Bert. Pokoknya aku sampai tidak tahu berapa lamanya aku duduk di situ, tahu-tahu ada suara di sampingku bilang, 'Permisi', begitu."

"Duh. cuma suara saja Des? Nggak ada orangnya? Iiih, kok serem banget ya di sana!" kata Kandar. _

"Ah, ya ada orangnya. Ndar! Cuma aku yang tidak tahu orang itu sudah berdiri di sampingku! Wah, waktu itu aku terkejut, habis langkahnya nggak kedengaran, tahu-tahu sudah berdiri di sana."

"Mau apa orang ini?" tanya Albert.

"Mau lewat. Kan kakiku kutumpangkan di atas batu melintang begitu. ia tidak bisa lewat kecuali ia melangkahi aku."

"Oh. lalu bagaimana?"

"Aku cepat cepat bilang maaf, lalu kakiku kutarik kembali."

"Orang itu lewat?" tanya Albert.

"Nggak, Bert, dia terus duduk di sampingku," kata Dessy sambil merapatkan bibirnya.

"Ya tentu saja ia lewat. Bert! Memangnya sedari tadi kan dia mau lewat! Begitu kakiku diangkat kayak palang

rel kereta api, ia lewat wesssh begitu."

"Mukanya serem nggak, Des?" tanya Linda.

"Enggak, mukanya ya biasa-biasa saja, matanya dua, hidungnya satu, mulutnya satu-kalau tidak kujelaskan begini nanti ada lagi yang ngasih pertanyaan blo'on!"

"Bajunya berlepotan darah begitu?" tanya Kandar.

"Aku tidak melihat. Dia tampaknya biasa-biasa saja, pokoknya tidak mencurigakan."

"Lalu dari mana kau tahu ia seorang pembunuh?" tanya Linda.

"Aku tidak tabu. Aku bahkan tidak ingat padanya sama sekali sampai hari... hari apa itu di

koran diberitakan tentang ditemukannya sesosok mayat di air terjun Kakek Bodo dan menurut visum dokter korban sudah menemui ajalnya sekitar hari Rabu itu. Waktu itu baru aku teringat pada orang ini."

"Terus kamu lapor ke Surabaya Post?" tanya Kandar.

"Nggak. Aku lapor ke Polda, ke kantor bapakku. Kata Mas Bambang, pokoknya kami lapor, habis perkara, berarti kami sudah menunaikan kewajiban. Mereka yang rupanya memberi tahu pers."

"Ah, kalau begitu polisi itu bodoh banget," kata Taufik.

"Apa gunanya diberitakan di koran? Kalau orang itu membaca artikel ini, sudah tentu ia tidak mau maju menyerahkan dirinya sendiri kepada polisi. Malah berita ini akan membuatnya sakit hati pada Dessy!"

"Iya, aku juga tidak menduga laporanku itu akan diberitakan di koran," kata Dessy.

"Malumaluin saja, pakai nyebut nama bapakku segala! Dan akibatnya. coba lihat, nih, memang betul kata Taufik. Orang itu akhirnya mencari aku mau membunuhku sekali. Kalian tahu, aku ditubruknya di depan sini! Untung para tetangga segera keluar sehingga ia terpaksa melarikan diri sebelum berhasil melukaiku lebih parah lagi!"

"Kok bisa ditubruk itu bagaimana sih, Des?" tanya Linda.

"Aku pulang dari rumah teman, berjalan kaki bersama Teti. Tahu-tahu dari belakang datang

mobil menubruk kami. Untung jidatku ini keras. berbenturan dengan aspal kok hanya terluka, tidak sampai gegar otak segala! Terus ceritanya para tetangga yang melihat nih, mobil itu mundur sepertinya mau melanggar aku lagi sementara aku sudah terkapar pingsan di jalan. Tapi karena dari kiri-kanan para tetangga beramai-ramai turun ke jalan untuk menolongku, mobil ini terus kabur."

"Mereka tidak melihat nomor mobilnya?" tanya Taufik.

"Sayangnya tidak, kan peristiwa itu terjadi cepat sekali. Tapi mereka tahu bahwa mobil itu berwarna perak."

"Iya, tapi mobil berwarna perak kan banyak di Surabaya," kata Kandar.

"jadi mobil itu lolos, tidak tertangkap?" tanya Albert.

"Tidak dikejar?"

"Waktu itu kan semua panik, Bert. Pikiran tetangga yang pertama adalah menolong aku dan Teti, sudah nggak terpikir mau mengejar orang itu."

"Wah, kalau begitu kau harus hati-hati, Des," kata Linda.

"Iya, aku memang akan berhati-hati. Aku nggak ingin mati konyol!"

"Eh, ngomong-ngomong, mana Masmu?" tanya Linda yang tidak menjumpai Bambang.

"Baru saja keluar sebelum kalian datang."

"Lho, kau sedang diincar orang kok tega ditinggalkan sendiri di rumah?" tanya Kandar.

"Ah, nggak apa-apa. Mas Bambang cuma ke rumah Pak RT, kok. Sebentar juga ia kembali. Pokoknya kalau di rumah aku tidak takut, Ndar. Aku kunci semua pintu, aku selot dari dalam. Orang tidak bisa masuk. Apalagi di sini rumahnya kan dempet-dempet. Dengan tetangga dekat sekali. Satu teriakan saja dari aku, mereka pasti datang menolong, apalagi setelah peristiwa tubrukan ini. Tetanggaku baik-baik kok semuanya. Mereka pasti membantu."

"Adikmu mana? Apakah dia yang terluka parah?" tanya Linda.

"Oh, nggak. Teti cuma lecet kakinya. Ia terpelanting ke atas rumput di pinggir jalan. Untung dia tidak langsung kena benturan mobil. Dia hanya terdorong saja. Sekarang sedang membaca buku di kamar. Biasa, adikku itu memang kutu buku."

Tibautiba terdengar ketukan di pintu. Kandar yang duduk paling dekat pintu segera bangkit bermaksud membukakan.

"Tunggu, Ndar!" seru Dessy mencegah.

Langkah Kandar terhenti. Alisnya diangkat sebelah.

"Tanya dulu siapa di luar," kata Dessy yang tampak sedikit tegang.

"Siapa?" tanya Kandar menuruti kehendak Dessy.

"Ada kiriman, Oom. dari Jakarta."

Kandar mau membukakan pintu, tapi Dessy menahannya. :

"Kiriman dari mana?" tanya Dessy.

"Dari Pak Kosasih. katanya."

"Seperti suara anak kecil, kok. Des," kata Kandar.

Dessy mengangguk dan Kandar membukakan pintu. Seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun berdiri di sana membawa sebuah kotak karton. Melihat Kandar tanpa bertanya ia menyerahkan kotak tersebut.

"Eh, adik siapa?" tanya Dessy mengintip di balik bahu Kandar.

"Agus."

"Oh, si Agus dari gang sebelah, ya? Anaknya Bu Minto?" tanya Dessy mengenali anak itu.

Agus tersenyum dan mengangguk.

Dessy keheranan.

"Dari mana kau mendapatkan kiriman ini. Gus?" tanya Dessy.

"Oh, tadi ada Oom yang putar-putar di sini. mencari rumahnya Pak Kosasih. Saya sedang duduk di ujung gang sana. dan Oom ini bertanya apakah saya tahu rumah Pak Kosasih yang polisi. Saya bilang tahu. lalu ia menyerahkan kotak ini. Saya disuruhnya mengantarkan kemari. Katanya Oom itu baru tiba dari jakarta dan di sana dititipi Pak Kosasih suruh mengantarkan ini ke rumahnya. Karena ia tergesa-gesa. ia minta tolong saya."

"Oh, terima kasih, Dik Agus," kata Dessy.

"Apa Oom itu menyebutkan siapa namanya?"

"Wah, saya lupa nanya, Mbak," kata Agus. '

"Ya, sudah, nggak apa-apa," kata Dessy.

"Dik Agus mau masuk?"

"Oh. nggak, Mbak, terima kasih."

"Terima kasih, ya. Gus."

Anak itu berlalu.

"Eh, dapat kiriman apa kau dari bapakmu, Des?" tanya Linda.

Dessy membuka kotak itu yang terikat seutas tali rafia.

"Mencium baunya kayaknya jajan," kata Dessy.

Ternyata memang betul jajan. Di dalamnya ada empat potong kue tart coklat yang sangat menggiurkan.

"Waduh, ini benar-benar sayang anak namanya!" komentar Albert.

"Jauh-jauh dari Jakarta ngirim tart!" Albert menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengeluarkan bunyi "tsk, tsk. tsk."

"Kamu pakai ngiri segala, Bert." kata Kandat.

"Nasibmu saja yang sial, punya bapak yang kalau ke luar negeri pulangnya cuma oleh-oleh celana kolor!" godanya.

"Dibagi, Des, dibagi!" usul Taufik berbuat seolah-olah siap merebut kotak itu dari tangan Dessy.

"Salahnya sendiri mengapa disampaikan pada waktu kami ada di sini. Harus bayar ongkos hadir!"

"Eh, eh, nggak tahu malu!" celetuk Linda.

"Memangnya kue itu buat kamu?"

"Kuenya kan empat potong. besar-besar lagi! Kalau dibagi dua, jadi delapan. Kita di sini ada

satu, dua, tiga, empat, lima orang," kata Taufik menghitung dengan telunjuknya.

"Dengan Bambang dan Teti berarti tujuh orang, masih lebih satu potong! Nah, kalau begitu Dessy dapat porsi dobel berhubung dia yang dikirimi bapaknya."

Mereka semuanya tertawa. Tiba-tiba Dessy menyeletuk,

"Kok aneh, ya, Bapak tiba-tiba kirim kue! Jauh'jauh dari Jakarta kok ngirim kue, memangnya di sini tidak ada orang yang jual tart!"

"Lho, tart bikinan Jakarta itu lain lho rasanya dengan tart di sini," kata Albert.

"Sudah. rezeki itu tidak pantas dipertanyakan. Makan saja!"

"Makanan yang gratis itu lebih nikmat lho rasanya daripada kalau kita harus mengeluarkan uang untuknya," kata Taufik.

"Ayo, Des, dibagi! jangan mengalihkan topik pembicaraan. Mumpung aku lagi beruntung bakal menikmati tart dari Jakarta begini, tidak akan kulewatkan kesempatan ini! Mana pisau?"

"Iya. kalau kamu. Fik, semua yang nggak usah dibayar itu yang paling sedap." goda Linda.

Pada saat itu lagillagi terdengar ketukan di pintu.

"Moga-moga ada yang ngirim es krim," kata Kandar.

"Siapa?" tanya Dessy menenangkan temantemannya.

"Lik."

Seketika senyum lebar merekah di wajah Dessy. Dengan satu jangkauan panjang pintu depan

dikuaknya lebar-lebar. Di hadapannya berdiri Gozali sambil menyeringai.

"Selamat malam!" kata Gozali.

"Wah. ramai betul nih, kicauannya kedengaran sampai di ujung jalan."

"Malam, Oom," kata Linda.

"Malam, Oom," kata yang lain-lain.

"Mana Bambang?" tanya Gozali tidak melihat Bambang di antara kumpulan anak-anak muda ini.

"Ke rumah Pak RT. melaporkan kecelakaan tadi siang."

"Apa itu?" tanya Gozali melihat kotak kue yang ditinggalkan Dessy di atas meja ketika membukakan pintu untuknya.

"Oh, kiriman dari Bapak," kata Dessy mendekat dan memegang tangan Gozali.

"Dari Bapak?" Mata Gozali melebar. Waspada.

Dessy mengangguk.

"Bagaimana bisa sampai kemari?"

"Tadi diantarkan Agus."

"Agus siapa?"

"Agus dari gang sebelah, anak yang suka naik sepeda dan bermain-main di ujung gang itu."

Gozali mengernyitkan dahinya. Tanpa mengatakan apa-apa pun Dessy bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.

"Katanya ketika ia sedang bermain-main dia ditanya oleh seseorang yang sedang mencari rumah Bapak, lalu karena orang ini tergesa-gesa, ia dimintai tolong mengantarkan titipan Bapak_

kemari. Orang itu baru datang dari Jakarta dan oleh Bapak dia dititipi kue ini."

Kerut di dahi Gozali menjadi semakin dalam. Tanpa berkata apa-apa ia membuka tutup kotak itu dan mengintip isinya. Empat potong kue tart yang tampaknya sangat lezat dan mengundang, menantangnya.

"Kalau dibagi dua, kita semua mendapat bagian, Oom," kata Taufik mencoba berkelakar.

"Kue ini aku bawa, Des." kata Gozali tidak menghiraukan komentar Taufik.

Dessy tahu bahwa Gozali bukan penggemar kue, apalagi kue tart yang manis. Lalu untuk apa kue ini dibawanya?

Pada saat itu terdengar ketukan lagi di pintu dan Kandar bangkit membukakan. Dengan adanya Gozali di dalam rumah mereka menganggapnya cukup aman untuk membuka pintu tanpa perlu bertanya siapa di luar.

Bambang masuk sambil memberi salam kepada teman-teman adiknya.

"Lho, Lik!" kata Bambang melihat Gozali.

"Kita bicara di belakang, Mbang!" kata Gozali serius.

"Wah. yang ketiban rezeki jadi si Bambang rupanya." kata Kandar.

"Datang-datang dia yang mendapat kue, empat-empatnya lagi!"

Dessy yang bengong melihat sikap Gozali tidak tahu harus berbuat apa.

Teti di kamar mendengar suara Gozali. Ia segera turun dari tempat tidurnya dan keluar.

"Oh, Lik!" katanya. Lalu ia ikut ke belakang bersama Bambang.

"Kami sebaiknya pulang saja kalau begitu," kata Taufik,

"rupanya ada rapat keluarga yang penting di belakang."

"Ah, nggak apa-apa, kok," kata Dessy.

"Kita masih bisa ngobrol lagi di sini."

"Jangan ah, itu paklikmu kelihatannya serius sekali," kata Linda.

"Kami pulang saja."

"Eh, iya, sudah pukul setengah delapan. Aku sudah ditunggu makan di rumah," kata Albert.

Mereka berpamitan dengan janji akan bertemu lagi nanti hari Selasa.

Setelah mengunci pintu, Dessy ikut juga ke belakang bergabung bersama saudara-saudaranya dan Gozali.

**

"tapi kan lebih aman kalau dijaga, Lik," kata Bambang.

"Bukannya aku takut atau bagaimana, tapi kalau misalnya orang ini datang bersama teman-temannya tiga atau empat orang, aku kan tidak sanggup melawan sendiri sambil melindungi Dessy."

"Jadi rencanamu bagaimana?" tanya Gozali.

Diam-diam Dessy mendekat dan duduk di samping Gozali.

"Pemuda-pemuda di sini akan kuajak gantian menjaga rumah ini."

"Siang malam?"

"Kalau perlu, tapi terutama kalau malam."

"Untuk berapa lamanya?"

"Terus. Sekarang kan liburan. Lik."

Gozali mengangguk.

"Setelah liburan bagaimana?"

Bambang menggigit bibirnya.

"Masa persoalan ini akan berlarut-larut terus sampai begitu lama. Lik?" tanya Bambang.

"Kita tidak tahu. Kalau polisi berhasil menemukannya, itu baik. Tapi kalau tidak? Kalau ia tidak punya kesempatan menyelesaikan niat jahatnya atas DeSSy, ia akan tetap mencari-cari kesempatan."

"jadi?" tanya Bambang.

"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan adu kuat dengannya."

"Maksud Lik?"

"Aku tidak akan menimbulkan kecurigaannya. Kalau ia curiga kita tahu niat busuknya, ia mungkin akan menundanya. menunggu sampai kita lengah, baru ia akan menyerang."

"Jadi tidak usah ada penjagaan? Kita biasa-biasa saja?" tanya Bambang yang cepat tanggap.

"Persis!" kata Gozali.

"Malah kita memberinya kesempatan."

"Memberi kesempatan?" tanya Teti membelalak.

"Jadi Lik malah mau memberi penjahat ini kesempatan untuk masuk ke rumah ini dan membunuh kami semua?"

"Tentu saja, tidak. Tet. Kita berjaga-jaga sendiri, tapi jangan sampai dia tahu kita

berjaga-jaga. Saat ini dia sedang getol-getolnya ingin menyelesaikan masalah ini. Kita berikan kesempatan padanya untuk bertindak. Kita pancing dia. Begitu dia bertindak, kita menangkapnya!

"Sekarang dia berada di posisi yang lebih menguntungkan daripada kita. Dia tahu siapa kita, dia tahu di mana rumah Dessy, dia tahu identitas kita. Sebaliknya kita tidak tahu siapa dia sehingga kita tidak bisa memperkirakan kapan dia akan menyerang. Kalau sekarang kita mengadakan penjagaan ketat, orang ini akan bersikap hati-hati. Kalau dia pintar, dia akan menunggu sampai kita lengah. Toh kita tidak bisa seumur hidup selalu mengawal Dessy ke mana dia pergi. juga Dessy tidak bisa seumur hidup mengunci dirinya di dalam rumah.

"jadi lebih cepat orang ini menampakkan dirinya, lebih baik bagi kita. Kalau dia mengira kita tidak curiga, dia tidak akan bersikap terlalu hati-hati. Justru lewat kelengahannya itulah, kita berharap dapat menangkapnva!"

"Ya, Lik betul," kata Bambang.

"Kita beri ia kesempatan mumpung dia masih getol berusaha. Orang yang tergesa-gesa biasanya lebih ceroboh. Kalau ia tahu kita waspada, ia akan mencari akal yang lebih canggih lagi. Kalau begitu sebentar aku kembali kePak RT dan mengatakan bahwa rencanaku untuk mengkoordinasi pemuda di sini diurungkan saja."

"Itu terserah padamu, Mbang."

"Lik tidur di sini saja," kata Teti meraih tangan Gozali.

"Teti tambah ngeri!"

"Asal semua pintu dan jendela terkunci baik, aku kira orang ini tidak akan mencelakakan kalian. Aku kira dia bukan jenis garong atau orang yang kasar. Dia tidak mungkin masuk dengan jalan memaksa."

"Ya, tapi tidak ada jeleknya malam ini kau tidur di sini," kata Dessy.

"Kita bisa omong-omong."

"Omong-omong kapan-kapan juga bisa," kata Gozali bersikap wajar.

"Malam ini aku masih punya tugas."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, malam-malam mau ke mana? Besok saja kan bisa," kata Dessy cemberut.

Gozali menyeringai.

"Malam ini aku mau mencari Abbas Tobing untuk memeriksakan kue ini," kata Gozali.

"Aku curiga bapakmu kok bisa mengirim kue tart!"

"Mbok besok saja kan bisa," kata Dessy.

"Kasihan Pak Tobing, kan?"

"Oh, Tobing sudah terbiasa. Kau tahu begitulah hidupku, Des. Kalau aku punya pekerjaan yang belum tuntas, aku tidak bisa tidur. Orang lain pasti tidak bisa mengerti kemauanku."

Merasa terjebak, Dessy mengubah sikap.

"Baiklah, kalau sekarang masih ada urusan, pergilah dulu. Tapi aku tunggu."

"Jangan ditunggu. Kau di sini pasti aman. Bambang ada di sini. Kalian kan sudah besar-besar, masa masih harus dininabobokan pakliknya baru bisa tidur?" goda Gozali. '

"Kita sebaiknya memberi tahu Bapak dan Ibu," usul Teti.

"Biar Bapak cepat pulang."

"Bapakmu sedang menjalani pendidikan, Tet, tidak bisa begitu saja meninggalkannya. Kalau ia diberitahu, malah menjadi beban pikiran baginya. Begitu juga Ibu. Mana sekarang dia masih mengkhawatirkan keadaan Ari, masa kalian yang besar-besar ini tega menambah kekhawatirannya? Ini kesempatan bagus bagi kalian untuk belajar mandiri, belajar mengatasi kesulitan sendiri."

"Lik pergi sekarang?" tanya Bambang.

"Ya. Aku mau memeriksakan keempat potong kue ini."

**

PUKUL sebelas Bambang pulang dari rumah Pak RT setelah berbincang-bincang di sana selama dua jam lamanya.

Pak RT kagum atas kekritisan pemikiran Bambang walaupun sudah bolak-balik Bambang menjelaskan bahwa Gozali-lah yang mengemukakan ide itu pertama kalinya.

Dalam perjalanan pulang, Bambang harus lewat di depan warung Mbok Sinah di mulut gang dua. Warung ini buka semalam suntuk, tutupnya baru sekitar pukul tujuh pagi, setelah orang-orang selesai sarapan. Pengunjung-pengunjungnya sebagian besar adalah para penarik becak, yang tidak bisa beristirahat di tempat lain kecuali tidur melingkar di atas becaknya sendiri. Walaupun pengunjung warung ini tidak banyak pada jam-jam larut malam begini, Mbok Sinah enggan menutupnya. Sayang melewatkan kesempatan masuknya uang walaupun cuma beberapa ratus rupiah. Daripada ia tidak bisa tidur dan berputar-putar di atas balai-balai, lebih baik meneruskan menjaga warungnya sambil bergurau dan melewatkan waktu dengan tamu-tamunya. Memang pada usia

lanjut, orang sukar tidur, tidak terkecuali Mbok Sinah yang sudah berusia di atas enam puluh tahun.

Bambang melangkahkan kakinya dengan ringan. Dari jauh sudah tampak lampu tekan Mbok Sinah-satu-satunya penerangan yang menyilaukan mata di tengah kegelapan yang hampir pekat itu.

Di depan warung tampak beberapa laki-laki duduk di bangku panjang. Ada yang kakinya diangkat sebelah, ada yang bersandar pada tiang penyangga warung, semuanya dalam pose rileks.

Di antara laki-laki yang nongkrong di sana, tiba-tiba mata Bambang melihat sosok seseorang yang sangat dikenalnya. Ia heran. tapi hanya sejenak. Otaknya yang tajam segera mengingatkan bahwa kehadiran laki-laki itu di warung ini adalah karena rasa sayangnya terhadap keluarganya.

Bambang mendekat. Ketika hampir tiba di depan warung itu, laki-laki ini berpaling. Mata mereka bertemu. Suatu sapaan sudah siap dilontarkan Bambang ke arah laki-laki itu, tetapi orang ini segera memberinya isyarat agar terus berjalan tanpa berhenti. Dengan dingin dan tak acuh dia memalingkan kepalanya lagi. menyibukkan dirinya mereguk kopi yang dituangnya ke dalam lepek nya. Bambang mengerti maksudnya. Laki-laki ini tidak ingin dikenali orang di sini. Bambang meneruskan perjalanannya pulang.

"Kok lama betul ngobrol sama Pak RT?" tanya Dessy yang menunggunya.

"Iya, dari barat ke timur tidak terasa sudah dua jam aku duduk di sana."

Dessy masih duduk di ruang tamu sambil membaca buku.

"Kau tidak tidur?" tanya kakaknya bersiap-siap masuk ke kamarnya.

"Lho. Lik Ali kan akan kembali," kata Dessy.

Suaranya mengandung sedikit harapan.

Bambang menyeringai.

"Tadi kan dia sudah bilang bahwa malam ini ia punya tugas."

"Iya, mencari Abbas Tobing. Tapi itu kan sudah tiga jam yang lalu. Kan sudah seharusnya selesai."

"Mungkin dia punya tugas lain lagi."

"Itu cuma alasan. Malam-malam mau tugas apa! Masa ia tega benar membiarkan kita sendiri di sini! Keterlaluan ah! Takutnya padaku nggak masuk akal!" gerutu Dessy.

"Habis. kau juga sih. tiba-tiba mau menerkamnya," gelak Bambang.

DeSSy tersenyum.

"Pokoknya aku tidak akan mundur. Aku cinta padanya, kok! Aku tidak mengerti mengapa ia tidak mau menerima perhatianku! Ia sudah mengenal kita begitu lama. ia tahu sifat-sifatku, ia mengenal aku sejak aku masih kecil. Kan enak punya istri yang sifat-sifatnya sudah diketahui semua. tidak perlu susah susah saling mendalami

lagi!"

"Lik itu takut pada Bapak, Des! Kau kok tidak mau mengerti posisinya. Kan malu nanti misalnya

Bapak sampai marah padanya. Lik kan tidak mau hubungannya dengan Bapak retak gara-gara cewek."

"Eh, aku kan bukan sembarang cewek! Aku kan anaknya!"

"Justru itu, Des! Lik ingin menghindari segala macam risiko. Dalam hal ini aku sangat menghargai sikapnya. Ini menuniukkan Lik bukan orang yang mau memanfaatkan setiap kesempatan yang terbuka. Kau malah harus bangga dengan sikapnya itu."

"Aku sih bangga asal tidak diterapkan padaku saja. Sekarang aku sebel menghadapinya!"

"Lik itu sayang pada kita, Des. sangat sayang pada kita," kata Bambang.

"Dia sangat memikirkan kepentingan kita."

"Ia tidak memikirkan kepentinganku dalam hal ini! Coba lihat, sekarang dia bersembunyi di mana! PengeCut!"

Bambang terbahak.

"Kau pasti kaget kalau aku beri tahu."

"Apa?"

"Lik ada di sini."

"Di sini? Di sini di mana?" tanya Dessy. Matanya membesar.

"Di warung Mbok Sinah." _ _

"Di warung Mbok Sinah?" tiba tiba DeSSY menjadi seperti burung beo saja. Bikin apa Lik di sana?" _ ,,

"Ngopi.

"Ngopi? Memangnya di sini ia tidak bisa minum kopi? Mas melihatnya tadi?"

"Ya, baru saja sewaktu aku pulang dari rumah Pak RT."

"Lalu apa katanya?"

"Ia tidak berkata apa-apa. Ia berbuat seolaholah tidak mengenalku. Ia memberi isyarat supaya aku jalan terus tanpa menyapanya."

"Mengapa?"

"Entah. Mungkin dia sedang berjaga-jaga. Barangkali ia ingin melihat apakah orang yang mencarimu itu akan kembali malam ini."

"Lalu Mas biarkan dia di sana?"

"Iya, aku turuti kehendaknya."

"Lho. kan kasihan, Mas! Masa Lik mau nongkrong di sana semalam suntuk? Kan capek! Kalau mau menunggu mengapa tidak disuruh menunggu di sini saja sambil berbaring di sofa. Di luar kan dingin, belum lagi nanti digigit nyamuk."

"Waduh, kau kok seperti induk ayam saja, sih! Lik kan laki-laki, Des. Laki-laki nggak takut sama nyamuk atau dingin."

"Biar aku susul," kata Dessy segera bangkit.

"Maksudmu?" tanya Bambang.

"Biar kuajak dia duduk di sini. Masa dibiarkan semalam suntuk di warung! Lagi pula ini kesempatanku mengajaknya bercakap-cakap!"

"Des. kau yakin tindakanmu tidak salah? Nanti Lik marah."

"Mengapa salah? Kalau aku tidak memanfaatkan kesempatan ini, nanti aku susah lagi mencari kesempatan untuk berbicara dengannya."

"Maksudku rencana Lik mengawasi rumah ini dari jauh. Kalau ada orang yang mendekati rumah kita, ia bisa melihatnya. Kalau ia ada didalam sini ia tidak bisa melihat kalau ada orang yang mengintai rumah kita."

"Ah, untuk sementara persetan dengan orang itu dulu! Yang penting aku mau bicara dengan Lik."

"Terserah kamulah kalau begitu, aku masuk tidur."

"Ya, dan jangan nguping pembicaraan kami, ya, Mas," kata Dessy sambil mengedipkan matanya.

"Pasti!" kata kakaknya.

"Pasti apa?"

"Pasti nguping!"

***

"Mas, sudah malam," kata Dessy menepuk bahu Gozali dari belakang.

Gozali terperaniat, hampir melompat dari duduknya.

"Sudah malam, yuk pulang!"

"Wah, sampeyan iki keopo sampe disusul bojone!" goda salah seorang tukang becak yang sedang menikmati pisang goreng Mbok Sinah.

Gozali menyeringai, cepat-cepat membayar minumannya, lalu bergegas mengajak Dessy berlalu dari sana.

"Hus, itu bukan istrinya." bisik Mbok Sinah kepada si tukang becak tadi.

"Lho, lha sopo ?"

"Itu anaknya polisi, kok. Rumahnya yang itu, lho, kelihatan dari sini," Mbok Sinah menuding.

"Lha kok yang laki disuruh pulang?"

"Gadis itu belum kawin kok, mungkin masih pacaran!" kata Mbok Sinah.

"Orang itu memang sering ke rumahnya."

"Wah, untung ya dapat pacar seperti itu! Wuaayune koyok ngono!"

"Iya, ya? Laki-lakinya kok jelek," kata Mbok Sinah mengomentari.

"Lha makanya aku bilang dia untung," kata si tukang becak itu.

"Kalau aku punya pacar seperti itu, wah, tak tunggoni wae, ora tak tinggal nang endi-endi."

"Tidak cari makan?" tanya Mbok Sinah sambil tersenyum.

"Wis ora usah mangan," gelak si tukang becak.

"Nyawang cah ayu ngono wis dadi wareke awak."

Teman-temannya yang lain tertawa.

Setelah Gozali menutup pintu rumah di belakangnya dan mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu yang nyaman, dia segera membuka mulutnya-"tidak memberi kesempatan kepada Dessy untuk berbicara.

"Kau ini bagaimana, toh, Des! Aku sedang menunggu orang itu, aku mau menangkapnya basah, eh, kok tiba-tiba kau mengacau rencana! Kau ini maunya apa sih! Kok malam-malam keluar rumah untuk menyusul seorang laki-laki!

"Nomor satu, perempuan itu tidak pantas keluar rumah sendiri selewat pukul sembilan!

"Nomor dua, perempuan juga tidak pantas menyusul laki-laki untuk disuruh pulang! Itu namanya tidak menghargai laki-laki. Kaukira aku adikmu apa, sehingga perlu disusul disuruh pulang?

"Nomor tiga, kau membatalkan rencanaku! Aku mau mengintai orang itu, tapi kau enak saja datang menggagalkan rencanakul

"Jadi sekarang kalau kau tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal mengapa kau berbuat seperti itu tadi, aku akan betul-betul marah!"

Dessy terkejut tiba-tiba dimarahi seperti itu. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat Gozali semarah ini. Walaupun suaranya rendah karena takut membangunkan yang lain, tapi wajahnya tampak muram sekali. Matanya menyipit tapi bersinar menyala, bibirnya turun ke bawah, tak tampak sebersit pun bayang-bayang suatu senyuman di sana.

"Lho. aku... aku pikir Mas kan kasihan, duduk di sana malam-malam. Udaranya dingin, ba..."

"Nomor empat.

" potong Gozali.

"jangan sekali-kali memanggil aku 'Mas' lagi! Aku adalah Lik-mu, kau jangan kurang aiar!"

Dessy menganga. Baru kali ini ia dimaki 'kurang ajar' oleh orang. Belum lagi sempat dia menenangkan hatinya dari kekagetannya ini, Gozali sudah memberondongnya lagi,

"Nomor lima, kaukira aku terbuat dari godir? Kena dingin lalu membeku, begitu? Dingin tembok penjara yang lembap dan gelap pun sudah pernah aku rasakan, dingin seperti ini tidak ada setengahnya! Jadi jangan menghina aku dengan memperlakukan aku seperti bayi yang berumur dua hari!"

"Aku... aku tidak berniat menghinamu, Mas-eh, Lik," kata Dessy bingung.

"Aku cuma ingin memanggilmu pulang saja, aku..."

"Nomor enam, ini bukan rumahku!" putus Gozali. Wajahnya masih tetap menakutkan dengan kening berkerut dan ujung alis melentik ke atas.

"Jadi kalau aku kemari tidak berarti aku pulang! Kalau pulang, berarti aku pulang ke rumahku sendiri! Kau sudah besar begini masih saja seperti anak kecil yang manja dan suka mengganggu orang!"

"Duh, ampun, Lik, ampun," kata Dessy menangis. Selamanya ia belum pernah didamprat begini-baik oleh ayahnya maupun oleh ibunya. Tibatiba justru orang yang dicintainya ini memarahinya seperti memarahi seorang anak kecil yang tidak bisa diatur. Hatinya sakit, sakit dan malu. dan dia tidak bisa membendung air matanya.

"Bisanya cuma menangis! Cengeng! Sebelum bertindak otaknya tidak dipakai! Sebelum berbuat apa pun, pikirkan dulu konsekuensinya. Mengerti?" desis Gozali.

Dessy mengangguk sambil senggak-sengguk. Wajahnya ditutupi oleh kedua belah telapak tangannya. Bahunya terguncang lembut.

Lama tidak ada lagi yang bersuara. Setelah tangisnya reda, Dessy memberanikan dirinya mengintip dari celah-celah jarinya. Di hadapannya ia melihat figur Gozali duduk dengan sebelah kakinya ditopangkan pada kaki yang lain. Wajahnya masih belum tampak karena Dessy menunduk.

Gozali yang melihat reaksi Dessy yang seperti anak kecil ini tersenyum sendiri.

Sedikit demi sedikit Dessy melebarkan celah jari-jarinya, mengangkat kepalanya-dan masih sambil setengah menunduk takut-takut dia mengintip. Begitu melihat wajah Gozali ia kaget. Laki-laki ini tidak berwajah seram seperti tadi lagi. Gozali bahkan sedang tersenyum geli.

"Sudah, jangan cengeng lagi!" kata Gozali.

"Seperti anak umur lima tahun saja! Begitu kok sudah berani mikir pacaran!"

Dessy menghapus sisa-sisa air matanya. Beribu perasaan bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya. Malu, mendongkol. gemas, bingung, entah apa lagi.

"Masih berani melantur-lantur lagi kalau bicara?" tanya Gozali. Suaranya kembali tegas.

Dessy bungkam. Dia hanya memandang saja laki-laki yang duduk di hadapannya ini. Laki-laki ini sedikit pun tidak tampan, usianya juga jauh lebih tua daripada dirinya, laki-laki yang selama ini

hanya dianggapnya sebagai seorang paman, seorang saudara ayahnya. Benarkah dia mencintai laki-laki ini? Mencintai dalam arti kata cinta seorang perempuan dewasa kepada seorang laki-laki dewasa. Cinta dalam arti kata bersedia menjalani sisa hidupnya dengan laki-laki ini? Cinta dalam arti kata siap mendampinginya seumur hidup dalam masa susah maupun senang!

Dessy berusaha mengerti perasaannya sendiri, berusaha jujur terhadap dirinya sendiri, berusaha menemukan inti arti laki-laki ini baginya. Dan dia merasa heran.

Dia merasa heran mengapa perasaannya tidak goyah. Dia merasa heran mengapa ia begitu yakin laki'laki ini adalah jodohnya. Dia merasa begitu yakin dia betul-betul mau menjadi pasangan hidup laki-laki ini, menjadi pendampingnya mengarungi lautan kehidupan yang terkadang berombak besar tetapi yang lebih sering hanya digoda oleh riak-riak keci .

"Ya? jadi kau sudah sembuh dari pikiran gilamu ?" tegas Gozali.

"Sudah menyadari kesalahanmu? Sudah membuang jauh-jauh keinginan nonsen-mu itu?"

Kini ganti Dessy yang menyeringai.

"Mengapa tertawa?" tanya Gozali.

"Lik ingin dijawab bagaimana?" tanya Dessy mengerling.

"Dijawab bahwa kau benar-benar sudah sadar, sudah berpikiran waras lagi."

"Baiklah, Dessy sudah sadar, sudah berpikiran waras," kata gadis itu menirukan Gozali-*masih sambil tersenyum.

"Sungguh?" tanya Gozali curiga. Tidak seperti biasanya DeSSy begitu cepat mengalah.

"Lik minta dijawab 'sungguh' atau tidak?"

"Ya."

"Oke, sungguh."

Gozali mengernyitkan dahinya. Ia tahu gadis ini sedang mempermainkannya.

"Kau bicara yang betul, nanti aku marah lagi lho!" katanya menggertak.

"Kenapa harus marah? Semua yang Lik minta, sudah Dessy turuti. Lik minta dijawab bahwa aku sadar, sudah aku jawab begitu. Lik minta dijawab 'sungguh', juga sudah Dessy turuti. Minta apa lagi?"

"Itu jawaban yang keluar dari hatimu atau hanya menirukan aku?" tanya Gozali.

"Menirukan Lik tentunya. Habis, Lik minta dijawab begitu, ya Dessy beri jawaban begitu. Aku kan anak yang penurut," kata Dessy menggoda.

"Tapi kau memang sadar, kan?" Gozali gregetan.

"Lik minta dijawab apa?"

"Aku minta dijawab sejujurnya!"

"Sejujurnya menurut pendapat Dessy?"

"Ya!"

"Ya, aku sadar, Lik. Dari dulu sampai Sekarang aku selalu sadar." kata Dessy lembut.

"Sadar bagaimana?" tanya Gozali harap-harap cemas.

"Sadar bahwa Lik adalah laki-laki yang terbaik," senyum gadis itu.

"Sadar bahwa Dessy mencintai Lik!"

Gozali menepuk jidatnya.

"Astagfirullah!" katanya mengeluh.

"Kenapa sih Lik menjadi sewot?"

"Aduh, Des, kau kok nggak mau mengerti! Kau ini cuma membuang-buang waktu dan hidupmu saja kalau kauturuti keedananmu ini! Aku ini bukan jodohmu! Duniamu terbentang lebar di hadapan mata! Kau bisa menjadi istri dokter, istri pengacara, istri ilmuwan siapa saja! Kau bisa mencapai bulan! Kau bisa menjadi Pratiwi Indonesia yang kedua, kau bisa melejit ke atas mencapai cita-cita yang tertinggi! Untuk apa kau merendahkan dirimu, membuang semua kesempatanmu untuk berjalan bersama aku!"

"Itu kesalahan Lik yang utama," jawab Dessy.

"Mengapa sih kok Lik selalu merasa rendah diri? Mengapa Lik selalu merasa kurang dari orang lain? Titel, harta, profesi, semuanya ini hanya tambahan semata. Manusia intinya yang penting. Bukankah begitu pengertian yang selalu ditanamkan Lik pada kami sejak kecil? Mengapa sekarang justru Lik sendiri yang melupakan ajaran itu? Lik adalah manusia yang istimewa-paling tidak, di mata Dessy!"

"Aku mengerti kalau kau punya rasa kagum padaku, Des," kata Gozali serius.

"Aku mengerti

bagaimana perasaan itu timbul. Aku sering berkumpul dengan kalian. Aku lebih tua daripada kalian. Kalian menganggap aku tahu lebih banyak. mungkin lebih biiaksana, atau lebih cerdik. atau apa. Kalian kagum padaku seperti anak kecil kagum pada orang tuanya yang dianggapnya serba bisa. Tapi anak kecil ini akan tumbuh menjadi dewasa juga. Suatu saat kalau ia sendiri sudah dewasa, ia tidak akan kagum lagi pada orang-orang yang dulu sewaktu ia kecil dikaguminya. Jadi kekagumanmu itu bukan alasan untuk mengikatkan dirimu padaku! Lima tahun lagi. sepuluh tahun lagi. kau akan bertambah dewasa. Kau akan punya gudang pengalamanmu sendiri yang akan menjadi pedoman hidupmu. Kau tidak perlu bertanya lagi padaku. kekagumanmu pada waktu itu akan luntur, sebab memang bahan untuk dikagumi sudah habis. Pada waktu itu yang tersisa cuma rasa penyesalan. Des."

"Itu kan dalih Lik."

"Des. aku kan lebih tua banyak daripada dirimu. Aku sudah makan asam dan garam yang jauh lebih banyak. Aku tidak ingin kau kecewa. aku tidak ingin kau menyesal!"

"Bagaimana kalau kita bertaruh?" tantang Dessy nakal.

"Bertaruh apa?"

"Bahwa aku tidak pernah akan menyesal."

Gozali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Taruhannya terlalu tinggi. Ongkos yang harus kaubayar pada suatu hari terlalu mahal."

"Orang yang mau untung besar harus berani bertaruh besar," kata Dessy mengerling.

Gozali menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia menekur sambil berusaha memeras otaknya, mencari jalan keluar. Akhirnya ia berkata.

"Bagaimana kalau kita bikin perjanjian?"

"Perjanjian apa?"

"Kita peti-eskan dulu masalah ini. Kita tutup subjek ini sampai di sini saja, tidak kita singgung-singgung lagi-untuk sementara, maksudku."

"Sementara itu berapa lama?"

"Sampai... yah, sampai paling sedikit kau sudah menyandang titel sarjana," kata Gozali.

"Lalu?"

"Lalu kita lihat perkembangannya nanti."

"Jadi maksud Lik, setelah aku diwisuda, kita menikah, begitu?" pancing Dessy.

"Oh, tidak!" kata Gozali terlalu cepat.

"Aku bilang, kita lihat dulu perkembangannya."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi?" tanya gadis itu.

"Begini. Sekarang kau masih muda, kaupikirkan dulu studimu. Kau berkumpul dengan temantemanmu. Kauanggap aku tetap paklik-mu seperti biasa. Di antara kita tidak ada apa-apa. Nah. setelah kau menjadi sarjana lengkap, baru kita tinjau lagi. Aku yakin pada waktu itu kau akan merasa bersyukur kita tidak berbuat kebodohan hari ini."

"Oh, Lik pengecut!" kata Dessy.

"Kau betul, Des. Urusan begini-begini ini memang aku pengecut! Lebih baik aku dipukuli daripada disuruh pacaran."

"Apa yang terjadi kalau setelah aku menjadi sarjana, aku masih ingin menjadi istri Lik?" tanya Dessy.

"Eh eh..."

"Jangan berbohong, Lik, suatu janji harus ditepati!" kata Dessy.

"Aku kan sudah tua, Des, pada waktu kau menjadi sarjana!" kata Gozali melemparkan kedua tangannya ke atas.

"Aku akan berusaha ngebut meraih titel itu dalam empat tahun. Tapi tua atau tidak, Lik punya komitmen."

"Yah, kita bicarakan pada saat itu, Des."

"Tidak! Pokoknya janjinya begitu. Aku menuruti kemauan Lik sekarang, tapi kalau setelah aku menamatkan studiku dan aku tetap menginginkan menjadi istri Lik, Lik juga harus pegang janji."

"Baiklah," kata Gozali pada akhirnya.

"Janji seorang ksatria, lho, Lik!"

Gozali mengangguk.

"Berarti selama Dessy belajar, Lik tidak boleh kawin dengan orang lain."

"Ya." Apa pun syaratnya masih lebih baik daripada harus menghadapi Kosasih sekarang dan memberitahukan padanya bahwa putrinya jatuh cinta padanya. Toh Dessy masih muda. Dalam empat tahun banyak hal bisa terjadi. Dessy

mungkin akan berjumpa dengan pangerannya. Moga-moga itulah yang akan terjadi sebelum habisnya masa perjanjian ini.

"Aku yakin kau adalah gadis yang rasional dan cerdas. Pada waktunya kau akan dapat membuat keputusan yang tepat."

"Kita lihat saja nanti," senyum Dessy, membuat hati Gozali sangat tidak tenang.

**

"KUENYA sendiri tidak mengandung apa-apa, Goz," kata Abbas Tobing yang pagi ini duduk di kursi tingginya.

Abbas sudah lama mengenal Gozali. Ia bahkan sudah tahu bagaimana cara kerja temannya ini. Kalau ada perlunya, tidak ada istilah hari libur atau bukan jam dinas. Abbas Tobing yang sudah begitu lama bergaul dengan Gozali dan Kosasih, akhirnya ketularan juga cara berpikir mereka. Kalau dulu ia selalu mengeluh bila harus melayani permintaan mereka yang tidak pernah tidak seperti orang yang takut ketinggalan kereta, sekarang dia sendiri ikut merasa ingin cepat-cepat bisa memberikan hasil analisanya. Entah cara apa yang telah dipakai baik Kapten Kosasih maupun Gozali untuk mengindoktrinasinya-Abbas Tobing sendiri heran-tapi ternyata mereka berhasil!

Mereka telah berhasil membuatnya punya rasa bangga pada pekerjaannya. Membuatnya merasa ikut punya andil jika suatu kasus itu terpecahkan berkat hasil penelitiannya yang saksama. Membuatnya ikut senang melihat keadilan bisa ditegakkan dan orang yang tidak bersalah

dibebaskan. Abbas Tobing sendiri tidak mengerti dari mana datangnya perubahan sikapnya ini. Padahal gajinya tetap tidak naik, pangkatnya ya itu-itu saja. Namun kalau dulu ia melihat pekerjaannya hanya sebagai sumber nafkah yang membosankan tetapi yang terpaksa harus dilaksanakannya, sejak dia bergaul erat dengan dua sekawan Kosasih dan Gozali ia tidak lagi berpendapat demikian. Pekerjaannya sekarang dilihatnya sebagai suatu profesi yang dibanggakannya. Walaupun imbalan dalam bentuk gajinya tidaklah sepadan, itu tidak apa-apa. Profesi adalah suatu dedikasi pribadi, terlepas dari berapa orang digaji untuk melaksanakannya.

Kalau orang lain menilai pekerjaannya sepele, asalkan dia sendiri menghargainya, itu sudah cukup. Tentang ini ia telah belajar banyak dari Kosasih dan Gozali.

"Pada akhirnya majikan kita yang sebenarnya adalah Tuhan," begitu selalu kata Kosasih kepadanya.

"Kalau majikan kita yang di dunia ini kurang menghargai keringat kita, Tuhan yang akan menambahi kekurangannya," kata temannya yang sangat loyal ini. Dan perlahan-lahan Abbas Tobing mengerti, bahwa apa yang dikatakan temannya itu benar! Benar seratus persen! Tentu saja kekurangan itu tidak ditambahi Tuhan dalam bentuk menang lotre buntut atau menemukan harta karun terpendam di pekarangan rumahnya! Itu namanya mengharapkan sesuatu yang mustahil! Tapi tambahan itu datang dalam bentuk yang lebih

indah, dalam bentuk kenikmatan. ketenteraman, dan ketenangan.

Abbas Tobing boleh berbangga bahwa dengan gajinya yang kecil sekalipun tanpa mencari uang semir kanan-kiri, kehidupan rumah tangganya selalu cukup. Memang mereka tidak hidup berkelimpahan, tidak bisa naik-turun mobil mewah, tidak bisa makan di restoran setiap minggu, tidak bisa berdarmawisata keliling Indonesia seperti kenalan kenalannya yang lain, namun mereka tidak pernah kekurangan. Ada-ada saja berkat yang masuk ke rumahnya sehingga semua kebutuhan hidupnya yang sederhana terpenuhi.

Aneh, memang, cara Tuhan memberi berkat itu. Sebagai contoh saja, setiap kali menjelang hari-hari Lebaran dan akhir tahun, istrinya selalu mencari tambahan penghasilan dengan membuat kue-kue kering. Lho. anehnya! Wong rumahnya di kampung, peralatannya juga sederhana, istrinya juga bukan ahli bikin kue keluaran sekolah memasak dari luar negeri, dan dengan jujur Abbas Tobing harus mengakui bahwa rasa kue bikinan istrinya juga tidak luar biasa sehingga membuat orang ketagihan-lha kok pesanan itu datang bertubi-rubi sampai mereka tidak bisa menangani! Sampai-sampai kalau sudah begitu banyaknya pesanan yang tidak bisa dilayani, mereka itu membeli kue kering dari toko, dan inilah yang dijual kepada si pemesan dengan keuntungan yang lumayan! Aneh, bukan? Abbas Tobing tidak.

pernah bisa mengerti. Kalau dalam keluarga lain setiap menjelang Lebaran dan tahun baru selalu kesulitan keuangan karena ada begitu banyak pengeluaran yang harus mereka buat, justru keluarganya pada saat-saat seperti itu berkelimpahan! Untunglah istrinya seorang perempuan yang bijaksana. Uang yang datang nomplok begitu tidak dihabiskan, tetapi ditabungnya untuk tambahan keperluan dapurnya di bulanbulan berikutnya.

Kalau mau mencari contoh, wah Abbas Tobing punya segudang pengalaman--segudang pengalaman yang membuatnya pasrah kepada kemurahan Tuhan. Memang betul kata-kata Kosasih. Asal orang mau bekerja saja, bekerja yang rajin dan hidup halal, Tuhan akan memberkati usahanya! Berkat memang tidak hanya dalam bentuk uang saja-dan Abbas Tobing membuktikan sendiri kebenaran kata-kata temannya itu.

Itulah sebabnya setelah timbul kesadarannya, sikap mentalnya terhadap pekerjaannya berubah. Abbas melihat bahwa seakan-akan ada suatu pakta, suatu perjanjian antara dirinya dengan Tuhan. Dia berjanji selalu melakukan segala sesuatu sebaikbaiknya [termasuk dalam hal bekerja di laboratoriumnya) tanpa membanding-bandingkannya dengan gaji yang diterimanya, dan Tuhan yang menambahi semua kekurangannya. Dan walaupun perjanjian ini tidak pernah dibuat tertulis pakai meterai atau disahkan oleh notaris segala. tapi kedua belah pihak ternyata betul-betul telah

memegang janji masing-masing. Dan mengetahui bahwa semenjak itu ia tidak perlu berjuang sendiri untuk menghidupi keluarganya, bahwa di belakangnya berdiri cukong terbesar sepanjang masa-* Khalik yang empunya alam semesta ini-hati Abbas Tobing menjadi jauh lebih tenang. Dia tidak takut tidak punya pangan esok, atau tidak punya sandang, atau tidak punya atap untuk melindungi dirinya beserta keluarganya. Untuk apa takut, toh di belakangnya ia punya backing yang begitu kuat!

Karena itulah dia tidak menggerutu ketika Gozali datang ke rumahnya kemarin malam menyerahkan keempat porong kue itu kepadanya. Bahkan dia begitu antusias untuk melaksanakan tugaSnya sehingga malam itu juga ia kembali ke laboratoriumnya untuk memulai menganalisanya. agar besok dia sudah dapat memperoleh hasilnya.

"Lapisan tengahnya ini, mentega yang melekatkan antara potongan kue bagian atas dengan bagian bawahnya yang mengandung racun. Racun ini juga terdapat di dalam buah ceri yang bertengger di atas kue. Bahkan di dalam ceri ini konsentrasinya lebih tinggi."

"Racun apa, Bas?"

"Yang jelas aku menemukan campuran antara obat tidur dan potas, seperti pada racun tikus, Goz."

"Racun itu ada di dalam krem penghias?"

"Hm. aku kira tidak. Memang akhirnya ia melekat di sana, tapi aku kira, racun ini dicampur dengan sedikit minuman keras semacam lamaica

Rum atau Kitseh lalu ditaburkan di potongan kue yang sebelah bawah setelah potongan yang atas diangkat. Pada waktu potongan kue yang sebelah atas ini ditutupkan, maka krem mentega di bagian tengahnya itu berfungsi sebagai alat perekat kedua potong kue. Racun itu tentunya menyerap juga ke dalam krem ini."

"Dalam kadar yang mematikan?" tanya Gozali.

"Aku kira begitu kalau orang ini menghabiskan satu potong kue. Kalau setelah gigitan pertama ia merasa adanya kejanggalan dan tidak meneruskan. maka ia masih bisa ditolong kalau cepat dibawa ke rumah sakit."

"Apakah bisa dirasakan ada kelainan rasa itu, Bas?"

"Hm. kalau orangnya teliti. Tapi orang yang memasukkan racun ini juga tidak tolol, itulah sebabnya ia mencampurkannya dulu dengan sedikit minuman keras untuk menghilangkan baunya. Ia juga memilih kue dengan aroma moka. yang cukup kuat rasa makanya. Orang yang tidak curiga tentunya tidak akan mendeteksi rasa racun itu."

"Keempat empatnya mengandung racun?"

"Ya." Abbas Tobing mengangguk.

"Dengan sistem pemasukan racun yang sama?"

!Ya'

"Kalau begitu orang ini sudah nekat. Dia tidak mau mengambil risiko sasarannya memakan kue yang tidak beracun."

"Dari mana kau tahu kue-kue ini beracun, Goz? Penampilannya tidak mencurigakan, lho. Orang ini sudah sangat berhati-hati sewaktu melepas dan mengembalikan petongan kue ini ke bentuknya yang semula."

"Aku mencurigai cara tibanya kue ini di tangan si calon korban. Untung aku ada di sana dan sempat mencegah mereka memakan kue ini."

"Untuk siapa kue ini tadinya, Goz. kalau aku boleh tahu?"

"Anaknya Pak Kosasih."

"Anaknya Pak Kosasih?" Abbas Tobing terkejut.

"Memangnya kenapa?"

"Kebetulan dia sempat melihat wajah seorang pembunuh."

"Astagfirullah! Kalau begitu mengapa orang ini tidak langsung ditangkap saja?"

"Karena kita tidak tahu identitasnya."

"Lho, tadi katamu anak Pak Kosasih tahu!"

"Tahu wajahnya, tapi tidak tahu identitasnya!"

"Goz, aku lihat di kotak kue ini ada beberapa bekas sidik jari. Mungkin sidik jari orang itu ketika ia memasukkan kue-kue ini ke dalam kotak. Tangannya pada waktu itu terkena lapisan krem mentega dan coklat sehingga meninggalkan bekas. Mungkin itu sidik jari kanan tengahnya. Coba aku perbesar. Barangkali dengan ini kau bisa mencari identitasnya."

"Itu gagasan yang bagus. Aku akan kembali mengambil hasilnya nanti."

"Eh, Goz, kabarnya Kosasih kan di Jakarta?"

"Iya."

"Apakah dia tahu anaknya terancam?"

"Tidak. Nanti ia bingung."

"Ya. Moga-moga orang ini cepat ditemukan. Kasihan kalau si Bambang harus hidup dalam ketakutan."

"Bukan Bambang. Kau tidak baca koran? Yang terlibat justru DeSsy, anaknya yang perempuan."

"Waduh. itu tambah berbahaya lagi. Anak perempuan tidak bisa membela dirinya kalau ada apa-apa."

"Ia sudah kuperingatkan supaya berhati-hati."

**

Yusman Rasidi duduk bagaikan patung. Sesekali ditengadahkannya kepalanya menatap langitlangit seakan-akan mencari cecak. Tapi di atas tidak ada apa-apanya. Tidak ada sarang laba-laba maupun cecak yang berkeliaran, Yang ada hanya langit-langit yang berwarna putih bersih, masih sedikit berbau cat-maklum karena pengecatannya memang masih baru.

Suara alat pendingin ruangan berdengung halus tapi dominan. Jauh lebih dominan daripada suara orang-orang yang bercakap-cakap sekarang. yang hanya jatuh di telinganya secara samar-samar. Wajah Yusman Rasidi mencerminkan kejemuan. Rapat-rapat semacam ini paling tidak disukainya. Selain terlalu banyak hal yang tidak relevan yang dibicarakan, juga sebetulnya sebagian besar adalah

omong kosong belaka. Setiap pembicara hanya mendengar suaranya sendiri, hanya datang untuk mengemukakan pendapatnya sendiri. hanya minta supaya pendapatnya yang diterima. Mereka tidak datang dengan tujuan untuk mendengarkan pembicaraan orang lain. Lihat saja bagaimana wajah orang-orang ini jika bukan gilirannya berbicara. Pandangan mereka tidak fokus, ada yang mengantuk, ada yang mencoret-coret, ada yang sekadar duduk dengan pikiran kosong, sampai tiba giliran mereka berbicara, baru mereka bangun. Tidak ada yang bisa dicapai dengan rapat-rapat yang hanya menghabiskan waktu ini.

Yusman Rasidi masih membiarkan pikirannya melayang-layang ke masalah-masalah lain ketika ia menyadari bahwa orang-orang sudah mulai mengundurkan kursi masing-masing, berdiri, membereskan map-map mereka. dan berjalan meninggalkan ruangan. Ada yang tersenyum padanya, ada yang mengangguk, tapi tidak ada yang berbicara. Mereka tahu bahwa dalam hal ini Yusman Rasidi hanyalah berfungsi sebagai pendengar-itu pun kalau ia kebetulan mendengar. Sejak tadi mereka melihat bahwa Yusman hanya melamun.

Setengah terkejut, dia sendiri pun ikut berdiri dan bersiap-siap meninggalkan ruang rapat ini. Seperti biasanya wajahnya membeku.

"Pak Yus tidak banyak mengetengahkan pendapat tadi," kata suatu suara di balik punggungnya. _,

Yusman Rasidi tidak perlu berpaling untuk mengetahui siapa yang telah mengajaknya berbicara, namun bertentangan dengan hati kecilnya ia berpaling juga. Matanya bertemu pandang dengan mata Moelyono Nariman. Mereka berdiri sama tinggi, sama tegap, bahkan hampir sama usia. Yusman Rasidi hanya lebih tua empat tahun daripada Moelyono Nariman. Tapi persamaan mereka berhenti sampai di sini karena dalam hal watak mereka berbeda bagaikan langit dengan bumi.

Wajah Yusman Rasidi lebih menggambarkan suatu kepribadian yang kuat. Rahangnya yang kokoh, matanya yang tajam, alisnya yang lebat, semuanya memancarkan aura seorang pemimpin yang perlu disegani.

Di pihak lain Moelyono Nariman mempunyai sikap yang lebih santai. ekspresi yang lebih supel, dan pandangan yang lebih terbuka. Tetapi tentu saja orang segera dapat melihat bahwa Moelyono Nariman tidak punya keteguhan mental, tidak bisa diandalkan, dan tidak mampu memimpin.

Pada Yusman Rasidi. kehadirannya mendiktekan respek. Pada Moelyono Nariman keramahannya membuatnya mudah diterima orang.

Dua orang penting. Dua kepribadian yang berbeda. Masing-masing bukannya tidak menyadari bahwa mereka adalah lawan. Yusman Rasidi memakai wibawa dan keangkerannya untuk menjaga jarak dengan Moelyono Nariman.

Sebaliknya, Moelyono berkedok ramah untuk menjatuhkan Yusman dari bawah.

Konflik terpendam yang akhir-akhir ini terlalu sering timbul ke permukaan antara dua orang tokoh PT Melki ini bukannya tidak diketahui oleh karyawan-karyawan di sana. Mereka semuanya tahu bahwa kedua tokoh ini saling bermusuhan. Sama-sama punya kuasa. sama-sama punya pengaruh, sama-sama punya senjata. Siapa yang akhirnya akan berhasil mengalahkan lawannya?

Di antara karyawan sendiri pun timbul dua pendapat. Selama keadaan aman, santai. lancar. berhubungan dengan Moelyono Nariman memang lebih enak. Orangnya supel. suka bergurau. ramah. tidak sombong. mudah diajak kompromi. mudah diyakinkan. Tapi kalau keadaan menjadi lebih tegang. bahaya, atau menghadapi ancaman. para karyawan sudah tahu bahwa mereka tidak bisa mengandalkan Moelyono Nariman. Dalam keadaan yang sulit, mereka membutuhkan seorang pemimpin seperti Yusman Rasidi-yang punya prinsip teguh, yang cukup tegar untuk mengambil langkah-langkah yang kurang populer pun, yang punya kharisma memimpin dan membuat orang lain patuh padanya.

"Pak Moel toh tidak membutuhkan pendapat saya." kata Yusman Rasidi datar.

"Yang ketua panitia kan Pak Moel."

"Lho, iya, ketua panitia memang saya. tapi Pak Yus kan direktur utamanya. Saya akan berterima kasih sekali kalau Pak Yus juga menyumbangkan

pendapat supaya acara ini bisa terlaksana dengan baik." Moelyono Nariman tersenyum sebagaimana biasanya. Orang jarang bisa membedakan kapan senyumnya tulus kapan sinis.

"Bagaimanapun juga. Pak Yus kan pegang peranan dalam acara itu. Nanti yang akan maju di depan para undangan kan Pak Yus, kan bukan saya."

"Aturlah menurut selera Anda." kata Yusman Rasidi.

"Saya kan memerlukan pendapat Pak Yus juga.

" senyum Moelyono berhasil membuat marah lawannya.

"Anda sudah tahu pendapat saya. untuk apa ditanyakan lagi."

"Selama rapat berlangsung. Pak Yus tidak bersuara sama sekali, mana saya tahu pendapat Anda! Saya kan bukan peramal."

"Prinsip saya sejak semula tidak pernah berubah. Menurut saya ini adalah suatu pemborosan yang tidak bermanfaat."

"Wah, soal ini kan sudah pernah kita rundingkan sebelumnya, Pak. Lagi pula sudah diputuskan oleh Pak Lukman sendiri bahwa kita tetap akan mengadakan acara peresmian ini sesuai rencana." kata Moelyono.

"Kalau sudah diputuskan begitu, tidak perlu minta pendapat saya lagi," kata Yusman Rasidi tak acuh.

"Lho. pendapat yang saya perlukan adalah mengenai pelaksanaan acara ini, Pak Yus."

"Sudah, laksanakan saja semau Anda."

"Wah, sebagai pimpinan kita kan harus kompak, Pak," kata Moelyono Nariman dengan nada sabar.

"Meskipun ada perbedaan pendapat pribadi di belakang," tambahnya.

"Ini sama sekali bukan perbedaan pendapat pribadi. Dengan Anda saya tidak punya pendapat pribadi. Urusan kita adalah urusan dinas," kata Yusman Rasidi ketus.

"Pak Yus jangan cepat emosi dulu." kata Moelyono membuat Yusman semakin jengkel diperlakukan seperti anak kecil saja.

"Acara peresmian ini kan dikehendaki oleh pemegang sahamnya. Baik Pak Lukman maupun Mr. Wu kan sudah sepakat mengadakan acara peresmian ini."

"Itu yang saya herankan!" kata Yusman melotot.

"Di zaman resesi begini masih menghambur-hamburkan uang untuk tetek-bengek yang tidak bermanfaat ini!"

"Kita kan hanya pelaksana, Pak Yus. Kalau mereka sudah maunya begitu, kita tinggal melaksanakan saja."

"Itu yang tidak benar. Kalau mereka mengangkat saya sebagai direktur utama di sini, seharusnya yang menentukan seluruh operasi perusahaan ini adalah saya. Kalau saya tidak becus, mereka boleh memecat saya dan menggantinya dengan orang lain. Tapi tidak begini caranya!

"Mereka dulu sudah memperdaya saya untuk pindah ke perusahaan ini, ditawari kedudukan sebagai direktur utama, tapi pada prakteknya saya hanya disuruh berfungsi sebagai robot! Lebih baik

saya bekerja di tempat saya yang lama. Di sana saya adalah kepala bagian produksi, saya punya wewenang penuh mengatur bagian saya sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Di sini titel saya Direktur Utama. nama saya dicantumkan di depan pintu, teorinya saya yang bertanggung jawab penuh atas seluruh operasi perusahaan ini. Tapi akhirnya saya tidak lebih daripada seorang pelaksaana saja! Persis seperti kata Anda tadi! Kita cuma pelaksana! Pelaksana yang disetir orang lain dari belakang!" Yusman Rasidi mengeluarkan semua uneg-uneg hatinya.

"Ah. itu tidak benar, Pak Yus," kata Moelyono meredakan.

"Buktinya Pak Yus selalu punya kebebasan yang tidak terbatas mengatur segalanya di sini. Masa hanya urusan peresmian ini saja lalu Anda sudah segetir ini bicaranya." Moelyono tertawa lagi.

Yusman Rasidi tidak tahu apakah dia diajak tertawa, atau malah ditertawakan!

Yusman Rasidi membenci Moelyono Nariman seperti anjing membenci kucing Memang di perusahaan ini secara de jure dialah penanggung jawabnya. pimpinan tertingginya, orang yang punya kata terakhir. Tetapi secara de facto Moelyono Nariman banyak mencampuri urusannya. Moelyono adalah anak angkat Lukmansyah Arsyad., salah seorang pemilik perusahaan ini. Dan walaupun Moelyono tidak memegang jabatan fungsional dalam perusahaan ini, namun dia sering mewakili suara ayah angkatnya-yang adalah

pemilik saham mayoritas. Moelyono mewakili suara majikannya! Dan Yusman Rasidi membenci keadaan ini. terlebih karena ia menilai Moelyono adalah seorang yang bodoh, yang tidak bisa apa-apa kecuali ngobrol!

"Sebagai direktur utama yang harus mempertanggungiawabkan laba-ruginya perusahaan, pengeluaran untuk upacara peresmian ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Kita seharusnya menghemat. Keadaan perekonomian seperti ini, kok malah berhura-hura!"

"Tentunya Pak Lukman dan Mr. Wu mempunyai pertimbangan yang lain," kata Moelyono.

"Memang benar sekarang zaman resesi dan kita perlu berhemat, tapi ada hal-hal di mana kita tidak bisa berhemat. Kalau kita menampilkan penyajian yang baik kepada masyarakat, terutama kepada pemerintah, mereka akan ingat kita kalau ada pembagian fasilitas. Mereka akan mengatakan, ah perusahaan ini bonafid. bisa diberi bisnis ini, bisa menangani kontrak ini, bisa melaksanakan program ini. Kita juga akan mudah memperoleh fasilitas-fasilitas. kita bisa minta prioritas kalau kita sudah menunjukkan bahwa kita ini bukan perusahaan kampungan. Dengan dasar pemikiran itulah Bapak menganggapnya penting kali ini kita mengadakan upacara peresmian yang sepantasnya. Hanyalah orang yang menanam yang bisa memetik hasilnya. Ini suatu investasi. Kapan kita bisa memetik hasilnya kalau kita tidak pernah menanam."

"Hmph! Apakah itu pemikiran Anda sendiri atau pendapat Pak Lukman?" sindir Yusman Rasidi.

"Kita ini sudah takabur sebelum waktunya. Perusahaan ini baru akan mulai produksi komersialnya nanti tanggal satu. Belum lagi ada uang yang masuk, sudah mengeluarkan biaya begini banyak"-mengundang Bapak Dirjen, Bapak Bupati, belum lagi wartawan, reporter TVRI, segala macam! Untuk apa? Banyak perusahaan yang berjalan dengan mulus tanpa harus mengeluarkan biaya sebanyak ini untuk peresmiannya. Bahkan banyak perusahaan yang tidak pernah diresmikan sama sekali oleh pejabat! Kalau mau selamatan saja. kita bisa mengadakan selamatan nasi tumpeng, cukup intern saja, antara karyawan, direksi, dan pemegang saham-tidak usah membawa-bawa orang luar! Biaya yang kita keluarkan juga tidak akan mencapai sepersepuluh apa yang harus kita keluarkan sekarang!"

"Yah, sudahlah, Pak Yus. Kalau itu sudah kemauan Pak Lukman dan Mr. Wu, kita turuti saja. Toh mereka yang punya uang," kata Moelyono Nariman.

"Orang-orang TVRI kemarin juga sudah menghubungi saya. Mereka minta uang mukanya dulu. Saya tanyakan Basir katanya Pak Yus masih belum menandatangani ceknya. Tolong. Pak, supaya bisa saya serahkan mereka hari ini. Kita sudah menjanjikannya sejak hari Selasa yang lalu."

"Yang menjanjikan kan Anda? Saya tidak pernah berkata apa-apa." kata Yusman Rasidi.

"Lho, Pak Yus jangan begitu. Memang saya yang menjanjikan, tapi saya kan membuat perjanjian itu atas nama perusahaan! Anggarannya kan memang sudah disetujui Pak Lukman, tinggal menunggu Pak Yus saja yang menandatangani ceknya."

"Saya pikir sebaiknya kita urungkan saja rencana memanggil mereka. Buang-buang uang percuma. Untuk siaran selama beberapa menit saja kita harus bayar begitu banyak. Apa keuntungannya bagi kita?"

"Wah, ya tidak bisa dibatalkan toh. Pak! Ini kan sudah mepet waktunya! Mereka sudah mengadakan persiapan. Kalau dibatalkan kita kan bisa dimarahi orang!"

"Coba, apa gunanya memanggil mereka? Katakan saja kepada Pak Lukman bahwa liputan TV tidak perlu. Apa yang ingin kita capai dengan itu? Orang-orang yang menonton toh hanya akan melihat sekilas begitu saja!"

"Wah, saya tidak berani membatalkan kehendak Pak Lukman! Bapak sudah mengatakan bahwa acara ini harus diliput oleh televisi, ya bagaimanapun juga harus saya kerjakan," Moelyono Nariman memprotes.

Yusman Rasidi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau Pak Lukman menganggap dia bisa menjalankan pabrik ini lebih baik daripada saya. mengapa perlu menggaji saya di sini? Mengapa bahkan perlu membajak saya dari perusahaan saya

yang lama? Mengapa tidak Pak Lukman saja yang, duduk di sini dan menjalankannya sendiri!"

"Usaha Bapak kan banyak, tidak hanya di bidang persusuan saja! Pak Yus kan sudah berpengalaman dua belas tahun di pabrik susu. Pengetahuan dan pengalaman Pak Yus sangat bermanfaat bagi pabrik kita ini. Karena itu Bapak tidak segan-segannya menarik Anda kemari untuk membantunya mengoperasikan pabrik ini."

"Bagaimana saya bisa mengoperasikannya kalau kedua tangan saya terikat?"

"Ah. itu tidak benar, Pak. Pak Yus punya keleluasaan penuh di sini. Bapak kan tidak pernah turut campur masalah mesin apa yang mau dibeli, bagaimana Pak Yus mengatur proses produksinya, bagaimana Pak Yus mengatur administrasinya, dan lain-lain. Hanya saja di bidang humas dan pemasaran, Bapak masih memberikan pendapatnya. Bapak kan pedagang lama yang sudah berpengalaman! Masalah produksi memang beliau tidak mengerti. tapi masalah humas dan pemasaran itu bidangnya sejak muda. Jadi, yah, mohon Pak Yus memberikan tenggang rasa sedikitlah kalau misalnya ada kebijaksanaan Bapak yang mungkin dianggap kurang sejalan dengan pendapat Pak Yus."

Yusman Rasidi menatap dalam-dalam ke mata Moelyono Nariman.

"Terus terang saja, Moel, Anda sebenarnya menginginkan jabatan saya ini, bukan?"

Moelyono tampak terkejut disodori pertanyaan yang blak-blakan itu, tetapi ia cepat menguasai dirinya kembali.

"Ah. Pak Yus bergurau nih!"

"Tidak. Saya tidak bergurau. Terus terang saja, bukankah memang itu yang Anda harap-harapkan?"

"Wah, kalau memang itu yang ingin saya raih, Bapak kan tidak akan mengundang Pak Yus kemari." jawab Moelyono masih sambil tersenyum.

"Kalau memang saya sendiri ingin duduk sebagai direktur di sini, mengapa Bapak harus menggaji orang lain? Mengapa pekerjaan ini tidak diberikan saja kepada saya. kan saya anak angkatnya."

"Karena Anda tidak punya kemampuan! Dan Pak Lukman tidak punya kepercayaan pada Anda, tapi Anda ingin! Dan oh. berapa inginnya Anda !" Dengan kata-kata ini Yusman Rasidi keluar dari ruang rapat itu yang sudah sejak tadi kosong sambil membanting pintu di balik punggungnya.

Ia tidak melihat perubahan air muka Moelyono Nariman yang berdiri dengan tangan terkepal di sana.

**

"MBAK, Teti nonton video di rumah Bu Usman. ya?" Teti berlari-lari masuk ke dalam rumah mencari kakaknya yang baru mulai menggosok pakaian.

"Hari ini lakonnya asyik, Mbak!" suara Teti memohon.

"Film kartun."

"Eh, kau kok setiap hari nonton video, toh, Tet!" kata Dessy.

"Jumat sudah nonton di rumah Wiwik, sekarang mau nonton lagi! jangan banyak-banyak nonton video, nanti matamu rusak!"

"Ah, nonton video kok matanya rusak? Banyak yang nonton setiap hari nggak apa-apa lho, Mbak!"

"Memakai mata terlalu lama untuk memandang terus ke satu arah itu tidak baik, Tet. itu mengakibatkan kelelahan. Ingat lho, mata tidak bisa diganti. Kalau rusak mau beli di toko tidak ada gantinya. Kalau kau sampai harus pakai kacamata karena terlalu sering nonton TV, kan sayang. Matamu yang bagus akhirnya harus tertutup di balik kacamata."

Teti berdiri ragu-ragu. Ia sih tidak Ingin memakai kacamata. tapi hatinya ingin sekali nonton video.

Dessy tersenyum melihat kebimbangan adiknya

"Aku sih hanya mengingatkan, Tet. Terserah kau sendiri mau nonton atau tidak," katanya.

"Sebentar saja, ya, Mbak?" kata Teti berusaha berkompromi.

"Aku sih nggak keberatan kau mau nonton atau tidak, asal kau tahu apa risikonya."

"Ya, deh, sekali ini saja. Besok nggak lagi. deh," kata Teti.

"Oke. Mau nonton sampai jam berapa?"

"Siang pulang makan kok, Mbak! Nanti sehabis nonton, mungkin masih ngobrol dulu sama Bu Usman. Lihat Bu Usman merajut. Teti ingin bisa merajut juga. Mbak. Lucu-lucu lho mainan yang dibuat oleh Bu Usman! Ada anjing, ada kelinci. ada bebek!"

"Iya, lebih baik kau belajar sesuatu yang bermanfaat begitu daripada menghabiskan waktumu hanya dengan nonton video saja."

"Iya. Mbak. Teti pergi dulu, ya?"

Gadis ini berlari keluar menyusul Lastri, putri Bu Usman yang sebaya dengannya.

Matahari bersinar terang benderang. Minggu pagi yang cerah. Dessy memandang ke luar jendela dan melihat tanamannya bersinar ceria. Subuh tadi di luar dugaan hujan turun-hanya sebentar saja-tapi itu pun cukup untuk menyegarkan"

tanam-tanaman. Beberapa butir air masih tertinggal di atas daun-daun, berkilat-kilat ditimpa sinar mentari. Alangkah indahnya! Manusia terlalu sering disibukkan oleh keruwetannya sendiri sampai-sampai tidak lagi punya waktu dan perhatian untuk menikmati keindahan alami yang dikaruniakan Khalik Pencipta. Seandainya saja manusia itu berhenti sebentar dalam langkahnya sehari-hari untuk mereguk keindahan yang terdapat pada hal-hal yang sederhana, tentunya hatinya akan merasa lebih ringan dan pandangannya lebih positif.

Dessy meneruskan pekerjaannya menyeterika pakaian. Hari masih pagi, masih banyak waktu nanti untuk menyiapkan makan siang. Kakaknya baru akan pulang menjelang pukul dua belas. Sebenarnya Mas Bambang tadi tidak mau pergi karena takut meninggalkan Dessy tanpa penjagaan, tetapi teman-temannya datang dan mengabarkan bahwa ada masalah mendesak mengenai persiapan rencana darmawisata mereka ke jawa Tengah yang harus segera diputuskan. Dan Bambang sebagai Ketua Dua dalam organisasinya, tidak bisa tidak hadir.

Dessy berdendang kecil sambil bekerja. Ia rindu pada orang tuanya, rindu pada adik bungsunya. Tak lama lagi mereka tentunya pulang dan rumah ini akan menjadi ramai dan hidup kembali. Moga-moga awan mendung yang menyelubungi kehidupannya sekarang cepat terangkat, dia sekali-kali tidak menghendaki ibu maupun

adiknya ikut terancam bahaya gara-gara dirinya. Karena itu walaupun di satu pihak dia merindukan mereka, ia tidak mendorong agar mereka pulang lebih cepat. Justru dalam surat balasannya kepada ibunya ia menganjurkan agar mereka tinggal di sana sampai Ari betul-betul sembuh dan cukup sehat untuk melakukan perjalanan jauh. Dessy sadar bahwa sebelum masalah ini selesai, sebaiknya mereka tinggal di jakarta saja supaya tidak menambah tinggi risiko. Mas Bambang dan dia dapat menjaga dirinya sendiri-mereka masih muda dan cukup tangkas. Teti pun-walau baru berusia lima belas tahun-dapat bersikap dewasa dan awas. Lain halnya dengan ibunya. Hati seorang ibu pasti selalu mengkhawatirkan anakanaknya, khawatir yang berlebihan membuat orang menjadi gugup. Orang yang gugup menjadi sukar berpikiran logis, dengan demikian lebih mudah diperdaya orang.

"Tok, tok!"

Dessy mengangkat kepalanya. Ada yang datang rupanya. Barusan dia mendengar suara kendaraan yang berhenti di depan rumah.

"Ya. Siapa?" tanya Dessy dari dalam tanpa membukakan pintu. Ia hanya seorang diri di rumah.

"Aku, Des!"

Dessy mengenali suara orang yang datang. Pintu segera dibukanya.

"Hei, lagi ngapain?" tanya tamu itu.

"

"Lagi menyeterika. Yuk, masuk! Tumben kok pagi-pagi!"

"Mana Bambang?"

"Oh, keluar, biasa rapat!"

"Adikmu?"

"Nonton video di sebelah."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, jadi kau sendirian?"

"Hm-em. Nggak apa-apa, kok, aman. Aku selalu mengunci pintu," kata Dessy masih menunggu tamunya masuk.

"Ayo, masuk, kok berdiri di luar kayak orang mau nagih utang saja!"

"Nggak usah maSuk, Des. Aku tergesa-gesa. Cuma mau nanya, apakah kau sudah dengar beritanya Pak Iksan diopname di rumah sakit? Aku sekarang mau ke sana."

"Pak Iksan? Pak Iksan P-4?" tanya Dessy terperaniat.

"Iya, Pak Iksan favoritmu."

"Memangnya kenapa?"

"Nggak tahu. Katanya tiba-tiba kolaps di rumah dan sekarang sedang gawat keadaannya."

"Dari mana kau tahu?"

"Baru tadi aku bertemu Herman di jalan. Katanya sudah sejak dua hari yang lalu Pak Iksan masuk rumah sakit. Menurut dia keadaannya payah betul, bahkan keluarganya sudah berkumpul di sana siang malam, takut jangan-jangan terus berangkat begitu saja."

"Lho, kok bisa begitu sih!" kata Dessy menggosok-gosok telapak tangannya. Pak Iksan adalah dosen favoritnya-selalu penuh tawa dan

humor. Cara penyampaian kuliahnya sangat menarik. Dia memperlakukan para mahasiswanya sebagai manusia dewasa, mengajak mereka berdialog, mengajak mereka menelaah segala sesuatu dengan kacamata logika dan analisa yang kritis. Tak pernah sekali pun Pak Iksan menunjukkan gejala-gejala mengidap suatu penyakit. Orangnya selalu penuh vitalitas dan semangat hidup.

"Kau mau ikut, Des?"

Dessy ragu-ragu. Pergi tidak. nih? Memangnya tidak ada larangan baginya untuk pergi asalkan tidak seorang diri, lagi pula ia akan menyesali dirinya kalau sampai Pak Iksan betul-betul meninggal sebelum dia sempat menjenguknya.

"Mumpung ini jam kunjungan, kalau mau pergi, ayo! Aku bawa mobil."

"Mobil? Mobil bapakmu kaubawa?"

"Enggak. Kebetulan kakakku datang, mobilnya aku pinjam. Aku pikir kau pasti masih takut kalau berboncengan sepeda motor-motor kan terbuka. jadi lebih mudah dicelakai orang-_itulah sebabnya aku pinjam mobil kakakku. Tidak usah lama-lama. kok, Des, syukur sempat menjenguk saja."

"Tapi di rumah tidak ada orang. Mas Bambang kan pergi dan adikku di rumah tetangga."

"Kita keluar sebentar saja, kok. Jam kunjungan kan cuma satu jam, yah kita tidak usah duduk sejam penuh di sana. Paling-paling dalam waktu satu jAm kita sudah kembali. Kunci saja rumah sebentar. Pukul berapa toh Bambang kembali?"

"Entah, namanya rapat. Katanya tadi pulang makan siang. Aku belum masak. lho!"

"Masih keburu, Des. Paling lambat pukul setengah sebelas kita sudah pulang. Adikmu pulang pukul berapa?"

"Juga nanti sekitar pukul dua belas. Teti kalau sudah nonton video lupa makan biasanya," kata Dessy tertawa.

"Nah, jadi tidak ada masalah. Kita pergi sebentar dan sebelum mereka pulang kita sudah datang."

"Mas Bambang sih punya kunci sendiri," kata Dessy.

"Aku pakai sepatu dulu, lalu kita bisa langsung berangkat." katanya sambil menghilang ke kamar.

Mereka keluar. Dessy mengunci pintu.

"Sebentar ya. aku titipkan kunci rumah pada Teti dulu."

"Nggak usah lah! Kita pergi cuma sebentar kok."

"Iya, deh," kara Dessy mengikuti temannya masuk ke mobil yang diparkir di depan pagar rumahnya.

Mobil meluncur keluar dari daerah ini. melewati beberapa belokan dan kemudian tiba di jalan raya.

"Oh! Aku lupa!" kata si pengemudi menepuk lututnya.

"Kenapa?" tanya Dessy yang duduk di sampingnya.

"Tadi kakakku titip supaya aku menyampaikan pesan kepada temannya bahwa siang ini pukul dua mereka harus bertemu di proyek Trosobo."

"jadi sekarang bagaimana? Mobilnya mau dipakai?" tanya Dessy.

"Oh. tidak. Maksudku, aku harus menyampaikan pesannya dulu kepada temannya. Berangkatnya ke Trosobo baru nanti siang."

"Oke, kita berhenti di telepon umum terdekat."

"Temannya ini baru pindah ke daerah Darmo Satelit. Rumahnya masih tiga perempat jadi, belum punya telepon." Dia melihat arlojinya.

"Ah, kalau kita ngebut ke sana sebentar masih ada waktu kok! Kan satu jalan dengan rumah sakit RKZ. Pagi begini jalanan tidak padat."

"Oke, asal kita tidak terlambat saja tiba di RKZ sampai waktu kunjungan habis."

"Ah, enggak! Paling lama berbeda dua puluh menit saja. Kita masih ada waktu dua puluh menit di rumah sakit."

Mereka membelok kejalan Kutai, terus kejalan Majen Soengkono, masuk ke daerah kota satelit Surabaya. Akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah besar yang tampaknya belum seratus persen rampung dibangun. Pagar depannya masih baru ditancapkan, halamannya masih penuh batu dan bata, bau keras cat baru menyengat hidung. Daerah ini sepi sekali. Tetangganya yang sebelah kiri juga berbentuk rumah yang baru delapan puluh persen jadi, sedangkan di sebelah kanan malah masih merupakan sebidang tanah

kosong yang hanya ditumbuhi rumput ilalang. Deretan rumah-rumah di depannya juga masih dalam tahap pembangunan. ada yang tinggal pasang pagar, ada yang baru separuh jadi.

Pintu depan sedikit terbuka.

"Kau tunggu di sini, ya, aku cuma sebentar!" kata si pengemudi segera turun dari mobil. Dia masuk lewat pintu depan yang terbuka. Kurang dari dua detik kemudian dia keluar lagi.

"Yuk. masuk!" katanya kepada Dessy.

"Daripada kau kepanasan di mobil. Orangnya masih mandi, kita tunggu sebentar."

"Sudah. biar aku tunggu di sini saja." kata Dessy yang malas turun.

"Panas lho di situ. Lagi pula sudah diambilkan minum di dalam. Yuk, masuk!"

Dessy tidak mengerti mengapa temannya ini tidak bisa meninggalkan pesannya saja supaya mereka bisa segera berangkat. Akhirnya ia turun juga.

Di dalam rumah sepi. Rupanya si empunya masih belum selesai mengisi rumahnya dengan perabotan. Yang ada sekarang cuma seperangkat meja kursi tamu di ruangan depan.

"Yuk, diminum!" kata yang mengajaknya kemari segera menyambar salah satu gelas di atas meja.

"Eh, yang punya rumah belum kelihatan kok kau sudah minum sendiri," bisik Dessy.

'Tidak apa-apa. ia teman akrab kok. Ayo, minumlah supaya nanti kita bisa segera berangkat.

"

Dessy menurut dan meneguk gelas yang berisi sirop itu. Rasanya manis-manis kecut dan sedikit pahit.

"Sirop apa ini?" bisiknya.

"Bukannya sirop asam? Manis-manis kecut, seger, kan?"

"Agak pahit. Mungkin sudah kelamaan," bisik Dessy.

Temannya tertawa. Mereka duduk sambil menunggu. Kok lama betul sih orang ini mandi, gerutu Dessy dalam hati. Apa mandinya pakai berendam seperti bintang film segala! janganjangan nanti mereka tidak keburu ke rumah sakit lagi.

Dessy memandang ke luar jendela. Tirai jendela yang terbuat dari bahan mlrage yang tipis memungkinkan dia melihat ke jalan di luar. Sepi. Hari Minggu-tidak ada tukang yang bekeria. dan rumah-rumah di sekelilingnya juga masih kosong semua.

Dessy merasa sinar matahari di luar menyilaukan matanya. Kepalanya terasa pening. Dia memejamkan matanya sebentar tapi segera merasa panik ketika tiba-tiba kepalanya terasa berat dan telinganya mendengung. Belum sempat lagi ia membuka mulut untuk minta tolong. dia sudah jatuh terkulai di kursi. Pada waktu yang sama

sebuah mobil lain terdengar membelok memasuki jalan kecil ini.

**

Bambang tiba di rumah lebih pagi daripada yang diperkirakan. Pukul sebelas kurang seperempat dia mendapatkan rumahnya kosong. Kedua adiknya tidak kelihatan. Pasti pergi ke rumah Wiwik lagi, nih. pikirnya. Bambang tahu bahwa Teti sangat gemar nonton film. Bambang masuk ke kamarnya dan menyibukkan dirinya sendiri. Sebentar lagi pasti mereka pulang.

Pukul dua belas lewat lima pintu diketuk orang. Bambang bangkit untuk membukakan. Aneh! Mengapa Dessy tidak memakai kuncinya sendiri?

Teti menyeringai.

"Lho, mana Mbak Dessy?" tanya Bambang melihat hanya adiknya seorang ini yang muncul.

"Mbak Dessy?" tanya Teti bengong.

"Kau tidak pergi bersama Mbak Dessy toh?" tanya kakaknya.

Teti menggeleng.

"Teti baru datang dari rumah Bu Usman, nonton film."

"Mbak Dessy ke mana kalau begitu?" tanya Bambang.

"Lho, nggak tahu ! Tadi sewaktu Teti berangkat, Mbak ada kok di rumah."

"Apa bilang mau pergi atau punya rencana mau pergi?"

"Enggak."

"Ke mana ya orang ini?" gumam Bambang yang mulai merasa khawatir.

Ia masuk ke kamar adiknya. Tidak ada yang mencurigakan. Sandalnya terletak rapi di belakang pintu, di tempat di mana sandal itu memang disimpan. Bambang melihat bahwa sepatu hitamnya tidak ada. begitu pula dengan tasnya yang biasanya tergantung di ujung tempat tidur.

Aneh! Masa Dessy pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan. pikirnya. Sama sekali tidak seperti kebiasaan Dessy! Apalagi adiknya cuma ada di rumah tetangga. berapa sulitnya nongol sebentar untuk mengatakan dia akan pergi!

Bambang masuk ke dapur. Sepi dan bersih. Tidak ada persiapan memasak sama sekali. Ini berarti Dessy pergi sebelum dia mulai memasak-nota bene perginya pasti cukup pagi!

Bambang mengintip di lorong dan tampak di atas meja seterika terlipat rapi tiga potong pakaian yang sudah digosok. tetapi di tempat jemuran masih tertinggal dua potong lagi. jadi Dessy masih belum menyelesaikan menggosok pakaian pada waktu ia meninggalkan rumah. Untuk urusan apa ia pergi tergesa-gesa begitu?

"Tet. kau pergi pukul berapa tadi?"

"Pukul delapan lewat seperempat. Mas, tidak lama setelah Mas berangkat."

"Mbak Dessy sedang mengerjakan apa pada waktu itu?"

"Baru menggosok."

Bambang mengangguk. Jadi Dessy telah menyelesaikan tiga potong pakaian-berapa lamanya orang menyeterika tiga potong pakaian? pikirnya.

"Tet, coba kaugosok pakaian yang tertinggal ini," kata Bambang.

"Makan dulu, Mas. Teti lapar."

"Eh, kok cuma mikirin makan!" kata kakaknya.

"Mbak-mu yang menghilang ini kan harus dicari dulu. Lagi pula di dapur belum ada makanan. Coba, kaugosok satu potong itu saja supaya aku bisa menghitung berapa lama setelah kau keluar itu Mbak-mu pergi."

"Teti belum bisa menggosok dengan cepat seperti Mbak Dessy, lho, Mas," kata Teti yang segera menyalakan seterikanya.

"Ya sebisamu saja. Ini cuma ancar-ancar saja.."

Ternyata Teti membutuhkan waktu dua puluh menit untuk menggosok roknya sendiri. Bambang membuat kalkulasi di luar kepala. Kalau Teti perlu waktu dua puluh menit, tentunya Dessy tidak selama itu. Mungkin sepuluh sampai lima belas menit satu potong, dikalikan tiga, berarti sekitar setengah sampai tiga perempat jam. Jadi antara pukul sembilan kurang seperempat dan pukul sembilan dia berhenti menggosok.

"Dia tidak menitipkan kunci padamu atau apa, Tet?"

"Enggak, Mas. Teti tidak tahu kok kalau Mbak Dessy pergi."

Kalau begitu tentunya Dessy memperkirakan dia tidak akan pergi lama. Ia tahu adiknya Teti pasti

tidak bisa masuk ke rumah kalau kuncinya dibawa. Ini berarti Dessy sudah memperkirakan dirinya pulang sebelum adiknya.

"Tadi kau mengatakan akan pulang pukul berapa kepada Mbak-mu?"

"Waktu makan. Mas."

Kalau begitu Dessy sudah merencanakan akan pulang dalam waktu kurang dari tiga jam, toh dia harus memasak dulu sebelum adiknya bisa makan!

"Mas, jangan-jangan Mbak dibawa orang!" kata Teti. Ketakutan mulai membayang di matanya.

"Kelihatannya ia pergi dengan sukarela, Tet. Dia sempat menukar sandalnya, sempat membawa tasnya, sempat mengunci rumah, dan keadaan rumah juga rapi teratur. Pasti ia tidak meninggalkan rumah secara terpaksa."

"Tapi ke mana, Mas?"

"Nah, itu!" kata Bambang duduk terhenyak di kursi.

"Sekarang apa yang kita lakukan?" tanya Teti.

"Kita tunggu lagi sebentar. Sambil menunggu kita makan dulu seadanya. Nasi tadi pagi masih bersisa aku lihat. Kau boleh menggoreng telur atau apa. Aku makan dengan kerupuk saja supaya cepat. Lalu aku akan keluar mencarinya."

"Mencari ke mana, Mas?"

"Mungkin tetangga ada yang melihatnya tadi."

Tapi Bambang tidak menemukan seorang pun yang melihat kepergian Dessy. Memang salah seorang tetangganya tadi pagi melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya, tapi ia tidak

melihat siapa yang mengemudikan atau apakah Dessy pergi dengan orang itu. Mobil itu adalah sebuah pikep yang berwarna biru. Tidak ada yang memperhatikan nomor polisinya.

Bambang pulang ke rumah dengan lunglai. Dessy masih belum muncul.

Sebagai upaya berikutnya Bambang mendatangi satu per satu teman-teman Dessy yang akrab dengannya. Mereka tidak ada yang tahu ke mana perginya. Juga mereka semua mengatakan tidak mendengar berita dari Dessy sama sekali sejak mereka terakhir bertemu hari Jumat malam yang lalu.

Pukul dua ketika Dessy masih tidak tampak batang hidungnya, Bambang memutuskan untuk mencari Gozali.

Ketika Bambang tidak bisa menemukan Gozali juga, ia mulai panik. Gozali keluar entah ke mana. Di kantor Polda tidak ada, di rumahnya tidak ada, dan tidak ada yang tahu di mana ia bisa dihubungi. Kantor Polda yang kosong kecuali piketnya saja tidak bisa memberikan bantuan-maklum hari Minggu.

Bermacam-macam pikiran mulai bergejolak di benak Bambang. Dia menyesali kepergiannya tadi. Mengapa tidak dibiarkannya saja anak-anak itu rapat sendiri, toh masih ada Ketua Satunya. Begitu

juga pengurus yang lain kan masih bisa memecahkan persoalan ini. Lagi pula yang dirapatkan adalah masalah sewa bus untuk berdarmawisata ke jawa Tengah-urusan kecil-bukan seSuatu yang mendesak yang menyangkut hidup-matinya seseorang.

Bambang menyesali telah meninggalkan Dessy seorang diri di rumah. Seandainya saja ia tidak pergi... seandainya saja ia lebih mementingkan keselamatan adiknya... seandainya saja ia lebih bertanggung jawab.... Begitu banyak 'seandainya saja' yang tidak dapat mengubah keadaan! Penyesalan yang terlambat.

Kalau sampai terjadi apa-apa pada diri adiknya, bagaimana ia bisa berhadapan muka lagi dengan orang tuanya? Apa katanya nanti kepada ayahnya yang jelas-jelas sudah memesankan bahwa selama kepergiannya kejakarta ini, sebagai anak laki-laki sulung dia-lah kepala rumah tangga ini yang harus bertanggung jawab atas ibu dan adik-adiknya semua. Kepala rumah tangga cap apa ini untuk hal sepele begini saja tidak becus menjalankan tugasnya!

Dan ibunya! Bagaimana nanti ibunya kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas Dessy?

Yah. Tuhan, tolonglah aku, lindungilah adikku dari segala macam mara bahaya dan antarkanlah dia tiba di rumah ini dengan selamat, bisik Bambang.

**

Laki-laki yang berkacamata serta mengenakan kaus putih dan celana coklat menoleh ke kanan dan

ke kiri begitu keluar dari ruang pendatang di Bandara Juanda. Ia merupakan satu satunya penumpang pesawat kali ini yang bukan orang Indonesia. Dengan mudah Kapten Danu Brata dan Gozali mengenali tamu mereka-Peter Halliday-dari Jakarta.

Halliday sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan dijemput oleh seorang kapten polisi. Sedikit terbengong dia bertanya,

"Are you Mr. Danu.?"

Kapten Danu memperkenalkan dirinya dan Gozali. Menikmati keterkejutan tamunya. Kapten Danu Brata tidak menyukai sikap yang terlalu santai atau terlalu yakin pada orang-orang yang dihadapinya. Walaupun Kapten Danu masih tergolong muda, ia berpandangan cukup kolot. Menurut hematnya, seseorang yang menghadap petugas negara itu sebelumnya harus dibuat keder dulu. harus dibuat grogi. Kalau sudah berhasil mengguncangnya keluar dari ekuilibriumnya, orang ini akan lebih mudah diinterogasi. ia sudah dibuat bingung sehingga tidak sempat lagi berpikir untuk berdusta. Itu teori Kapten Danu Brata. Sekarang menghadapi Peter Halliday, warganegara Australia ini, teori yang sama ingin diterapkannya.

"Mari kita berangkat!" kata Kapten Danu Brata.

"Berangkat ke mana?" tanya Peter Halliday keheranan.

"Ke kantor polisi. tentunya." sahut Kapten Danu tenang.

"Mari. tempatnya tidak terlalu jauh dari sini."

"Tapi saya tidak mau ke kantor polisi! Saya tidak berbuat kesalahan apa-apa!" protes Halliday.

"Kami punya beberapa pertanyaan untuk Anda."

"Pertanyaan apa? Saya tidak mau ke mana-mana sebelum saya tahu permainan apa ini!" Ia menghentikan langkahnya.

"Ini bukan permainan! Ini kasus pembunuhan!" kata Kapten Danu Brata.

"Pembunuhan! My God! Pembunuhan siapa?"

"Anda akan tahu nanti setelah sampai di kantor polisi. Kita tidak akan berdebat di sini!"

Setengah terpaksa seperti sapi yang digiring ke tempat penjagalan. Peter Halliday mengikuti kedua orang penjemputnya ke tempat parkir mobil.

"Boleh... bolehkan saya tahu apa hubungan kasus pembunuhan ini dengan saya?" tanya Haliiday dalam perjalanan ke markas polisi.

"Kita bicara nanti di kantor polisi," kata Kapten Danu Brata.

"Sekarang saya ingin berkonsentrasi pada lalu lintas."

Ini menutup pembicaraan. Tidak ada yang bersuara lagi sampai mereka tiba di markas.

"Silakan duduk, Pak Halliday," kata Kapten Danu menyodorkan sebuah kursi tua.

"Sekarang kita bisa berbicara dengan santai."

Kapten Danu Brata duduk di belakang meja. Gozali-seperti kebiasaannya di saat-saat mendampingi Kosasih-berdiri di dekat jendela,

sementara Peter Halliday duduk dengan gelisah di hadapan Kapten Danu.

"Mengapa saya dikaitkan dengan kasus Anda di sini? Saya toh tidak berada di sini!"

"Anda mengenal orangnya."

"Oh, ya? Siapa?"

"Seorang yang bernama Helmi Rantung."

"Look. terus terang saja saya tidak ingat lagi siapa Helmi Rantung ini. Sewaktu Anda tanya di telepon, sebetulnya nama itu tidak saya ingat sama sekali. Bagaimana kematiannya bisa dikaitkan dengan saya?" Halliday protes lagi. Hawa panas di kamar ini sangat mengganggunya. Ia merasakan keringat memancar dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.

"Kartu nama Anda ditemukan di antara barang-barangnya," jawab Kapten Danu Brata Sinis.

"Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan! Saya tidak tahu apa-apa! Saya betul-betul tidak ingat lagi siapa Helmi Rantung ini. Dalam profesi saya, saya bertemu dengan banyak orang. Saya memberikan kartu nama saya kepada banyak orang. Separuh lebih dari orang-orang ini tidak akan pernah saya jumpai atau saya dengar beritanya lagi. Tapi begitulah di dunia bisnis. Anda bertemu dengan seseorang, Anda berikan kartu nama Anda, kemudian Anda melupakannya sampai pada suatu saat Anda mendengar darinya-kalau ia menghubungi Anda karena ada perlunya. Helmi Rantung jelas tidak pernah menjalin hubungan lebih lanjut

lagi dengan saya setelah saya memberikan kartu nama saya kepadanya."

"Apakah Anda memberikan kartu nama Anda kepada setiap orang?"

"Ya. Saya seorang salesman. Saya harus menjangkau seluas-luasnya wawasan yang bisa saya jangkau. Saya memberikan kartu nama saya, saya menceritakan garis besar usaha kami, produk-produk yang bisa disuplai oleh perusahaan kami, servis yang kami berikan, dan lain-laindengan harapan saya bertemu dengan calon pembeli yang potensial. Kartu nama merupakan investasi yang paling murah. Seringkali saya dihubungi lagi oleh orang-orang yang pernah menerima kartu nama saya beberapa tahun sebelumnya. Kartu nama merupakan kunci masuk ke perusahaan-perusahaan lain. Ya, saya memberikan kartu nama saya kepada setiap orang yang saya jumpai. Kalau Anda suka, saya akan memberikan satu juga kepada Anda."

"Ingatkah Anda kapan Anda memberikan kartu nama Anda ini kepada Helmi Rantung?"

"Tidak. Boleh jadi baru tiga hari yang lalu, boleh jadi juga sudah dua tahun yang lalu. Saya tidak ingat."

"Anda tidak ingat lagi siapa Helmi Rantung ini?"

"Demi Allah saya tidak ingat lagi nama itu. Saya tidak bisa membedakannya dari laki-laki lain."

"Seandainya Anda melihat orangnya, akan ingatkah Anda?"

Peter Halliday mengangkat bahunya.

"Mungkin. Mungkin saya masih ingat wajahnya. Mungkin juga tidak."

"Kalau begitu," kata Kapten Danu Brata sambil berdiri,

"saya kira sebaiknya Anda melihatnya sekarang."

"Maksud Anda?"

"Kami akan mengantarkan Anda ke kamar mayat. Mari!"

"Bagaimana Saudara Halliday? Ingatkah Anda pada orang ini?" tanya Kapten Danu Brata di samping jenazah Helmi Rantung.

"Ya, ya," kata Peter Halliday mengangguk.

"Saya ingat orang ini."

"Di mana Anda bertemu dengannya?"

"Eh... tidak dapatkah kita berbicara di luar saja?" tanya Peter Halliday.

"Saya... saya tidak tahan bau formalin di sini."

"Kalau Anda tidak melihat wajahnya. nanti Anda berkata tidak ingat lagi," kata Kapten Danu Brata sinis.

"Lebih baik kita berbicara di sini saja sambil Anda memandangi wajah Helmi Rantung baik-baik untuk membantu Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan kami." Danu Brata merasa puas di dalam hati telah berhasil membuat si orang asing ini menderita. Orang yang menderita tidak akan bertingkah macam-macam, tidak akan memberikan jawaban yang berbelit-belit.

Halliday menelan air ludahnya dan mencoba melupakan di mana ia sekarang berada serta kehadiran mayat kaku yang terbujur di dekatnya "

"jadi, di mana Anda pernah bertemu dengan almarhum?" ulang Kapten Danu Brata.

Halliday memaksakan diri untuk mengorek ingatannya.

"Di... eh, seingat saya rasanya di sebuah pesta."

"Kapan?"

"Oh. baru-baru saja, sewaktu saya masih di jakarta, mungkin... mungkin dua minggu yang lalu."

"Pesta apa itu?"

"Oh, saya sendiri tidak tahu persis. Saya datang ke pesta itu atas ajakan seorang teman. Saya kira semacam house warming party."
Misteri Pembunuhan Di Kakek Bodo Karya Mara S GD di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang mengadakan pesta itu?"

"Se-Orang nyonya, saya lupa namanya. Saya kira ia bergerak di bidang jual-beli barang-barang antik. souvenir begitu. Tapi saya tidak mengenalnya secara pribadi. Seperti kata saya tadi, saya datang atas ajakan teman saya."

"Siapa yang mengenalkan Anda kepada Saudara Helmi Rantung ini?"

"Oh, saya memperkenalkan diri."

"Tahukah Anda dengan siapa ia hadir di pesta itu?"

"Tidak. Sewaktu saya bertemu dengannya ia sedang berdiri seorang diri. Tampaknya ia juga tidak mengenal tamu-tamu yang lain."

"Lalu Anda mengajaknya bicara?"

"Ya. Teman yang mengajak saya ke pesta itu telah menghilang entah ke mana. Saya merasa konyol hanya berdiri saja dengan gelas di tangan sambil menoleh ke sana kemari. Ketika saya melihat orang ini juga bersikap hampir seperti saya, saya dekati dia dan saya ajak bicara-apa saja dari barat ke timur sekadar melewatkan waktu."

"Apakah dia menceritakan tentang dirinya kepada Anda?"

"Tidak," kata Peter Halliday.

"Saya yang lebih banyak bercerita-Anda kan tahu-bicara seorang salesman yang tidak boleh melewatkan setiap kesempatan yang ada untuk mempromosikan barangnya."


Wiro Sableng 079 Ninja Merah Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Pendekar Rajawali Sakti 60 Badai Di

Cari Blog Ini