Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W Bagian 1
Mira W.
PERISAI KASIH
YANG
TERKOYAK
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta,
PERISAI KASIH YANG TERKOYAK
Oleh MiraW.
GM401 96.060
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Sampul dikerjakan oleh Mareel A.W
Foto sampul olehT. Hermaya
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta 10270
Anggota IKAPI,
Jakarta, Maret 1986
Cetakan ketiga: Juni 1991
Cetakan keempat: September 2000
Cetakan kelima: Oktober 2002
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
MIRAW.
Perisai Kasih Yang Terkoyak / oleh Mira W. - Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1986.
184 hlm; 18cm.
ISBN 979 - 403 - 060 - 0
l. Fiksi I.Judul
8X0.3
E-Book by syauqy_arr
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan6
Terima kasih kepada
Central grup
Yang telah mengilhami cerita ini7
BAGIAN
PERTAMA8
BAB I
HUJAN turun dengan derasnya membasahi bumi.
Titik-titik airnya terdengar berkerontang menimpa
atap seng rumah-rumah sederhana di sepanjang gang
itu. Dua buah bayangan kecil melintas cepat-cepat,
separuh berlari, mencari tempat berteduh. Menghindari serbuan air dari langit yang semakin
menggila.
Sebuah motor menderu cepat di samping mereka.
Mencipratkan air kotor ke muka dan tubuh makhlukmakhluk malang itu. Anak yang lebih kecil, seorang
anak Laki-laki berumur empat tahun, memekik antara
kaget dan kesal. Mukanya basah kuyup. Penuh
lumpur. Bajunya juga. Tapi pekik kecilnya hilang
ditelan guruh yang membahana.
Kakaknya, anak perempuan berusia sepuluh
tahun, menengadah ke langit. Di sana, kilat sedang
sabung-menyabung dengan dahsyatnya, seperti sebuah pesta kembang api. Sebentar-sebentar halilintar
menyambar. Ganas membelah udara. Memekakkan
telinga. Nalurinya membisikkan, pemandangan yang
menakjubkan itu dapat membahayakan. Bila kilat
menyambar lagi, mereka harus berlindung.
Lekas-lekas ditariknya tangan adiknya. Berlarilari mereka memasuki halaman sempit sebuah rumah.9
Pagar bambu di depan rumah itu tidak tertutup rapat.
Pintunya sudah separuh lepas dihempas-kan angin.
Tidak ada beranda yang cukup luas di sana. Di
depan pintu, hanya ada sebuah emper sempit tem-pat
berteduh. Angin yang tidak ramah, sekali-sekali
menyemburkan titik-titik hujan ke tubuh mereka.
Bara meringkuk kedinginan. Menggigil dalam
pelukan kakaknya. Dengan naluri melindungi, Cempaka merengkuh adiknya. Mencoba menyalurkan
kehangatan melalui lengan-lengannya yang kecil dan
lemah.
"Dingin, Kak...," erang Bara separuh merintih.
Bibirnya yang mulai membiru menggeletar hebat.
"Pulang yuk...."
Cempaka mendekapkan kepala adiknya di dadanya yang tipis. Dicobanya mengetuk pintu. Memohon
belas kasihan si pemilik rumah. Jika Bara diizinkan
masuk, dia rela berkajang angin dan hujan di luar.
Asal adiknya tidak kedinginan!
Tetapi hujan terlalu lebat. Halilintar pun masih
menggelegar. Suara mereka hilang ditelan keperkasaan alam. Ketukan Cempaka di daun pintu larut
dalam desau angin. Menyatu dengan galau hujan yang
semakin deras.
Sia-sia Cempaka mencoba memanggil-manggil si
pemilik rumah. Memohon helas kasihannya. Padahal
dia tahu, pemilik rumah itu belum tidur walaupun hari
telah larut malam. Suara dentang pianonya masih
terdengar lapat-lapat di antara simfoni air hujan. Lagu
itu terus berkumandang sampai lewat tengah malam.
Lalu hujan pun reda. Halilintar berhenti menyambar. Angin tak lagi mengusik. Tetapi lagu itu
masih tetap mengalun. Makin menyatu dengan keheningan malam.10
Dalam keadaan separuh tidur, Cempaka dan Bara
merekam nada-nada lagu itu dalam hati mereka. Dan
dalam nuansa keharuan, Ayah seperti muncul lagi di
tengah-tengah mereka. Dengan wajah yang mengerut
sedih. Tubuh yang membungkuk rapuh. Dan dada
tipis, kering kerontang dibakar asap rokok sera tus
batang sehari.
Cempaka tidak mengerti mengapa Ayah
menyuruh mereka pergi dari rumah. Hanya dengan
bekal sedikit uang dan sepucuk surat. Surat yang
harus diberikannya kepada ibu pemilik rumah yang
mereka tuju.
Bara lebih tidak tahu apa-apa lagi. Keriangannya
siang tadi karena diperbolehkan Ayah berjalan-jalan
berubah dengan cepat. Letih karena mereka tidak
sampai-sampai juga ke rumah yang mereka cari.
Masih ditambah lagi dengan hujan yang tidak mengenal ampun.
Entah sudah berapa puluh kali Bara merengek
mengajak kakaknya pulang. Tetapi Cempaka berkeras untuk mematuhi perintah Ayah. Dan inilah
akibatnya. Mereka kemalaman. Kehujanan. Mungkin
pula malah tersesat.
Sekarang Cempaka baru menyesal. Mengapa
harus membuat adiknya menderita? Dia terlalu keras
kepala!
Bara telah lama tertidur dalam rangkulannya.
Matanya terpejam rapat. Rambut dan bajunya basah
kuyup. Bibirnya biru. Tubuhnya dingin. Tidak
sakitkah dia nanti?
Ah, Cempaka merasa hatinya luluh. Larut dalam
riak-riak penyesalan. Bara menderita karena
kekerasan hatinya. Tetapi... salahkah mematuhi
perintah Ayah?11
Hari ini Ayah sungguh berbeda. Sepeninggal Ibu,
Ayah memang banyak berubah. Ayah seperti melupakan kehadiran mereka. Berkubur dalam sanggarnya.
Melukis. Melukis. Melukis terus. Tapi lukisan yang
itu-itu juga. Lukisan Ibu.
Entah karena Ayah tidak mau menjualnya, entah
karena tidak ada yang mau membelinya, lukisanlukisan itu tetap bersemayam dalam sanggar Ayah.
Makin lama makin banyak. Tiap han Ayah berkubang
dalam debu cat dan asap rokok di dalam sanggarnya.
Anak-anaknya telah terlupakan sama sekali. Diberi
makan. Diberi pakaian. Tapi lanpa perhatian. Tanpa
kasih sayang.
Sampai hari ini. Untuk pertama kalinya setelah
Ibu pergi, Ayah memeluk mereka. Dan untuk pertama
kalinya pula Cempaka melihat Ayah menangis.
Bibir Ayah masih bergetar menahan tangis ketika
dia memberikan surat itu kepada Cempaka. Air mata
pun masih berlinang di matanya. Bagaimana
Cempaka harus menodai pesan Ayah yang dimintanya dalam keadaan seperti itu?
Cempaka telah bertekad untuk menyampaikan
surat itu. Ayah pasti perlu pertolongan. Kalau tidak,
buat apa Ayah menangis? Dan hanya surat ini yang
dapat menolong Ayah!
* * *
Cempaka baru terjaga ketika pintu yang disandarinya
itu terbuka ke dalam. Tubuhnya ikut terhempas. Bara
yang berada dalam pelukannya pun ikut terjerembab.
Mereka sama-sama membuka mata dengan
terkejut. Dan melihat hari telah terang. Pagi telah12
datang menyapa. Udara sejuk membelai pipi mereka
yang dingin.
Dalam keadaan separuh tertelentang, mata
Cempaka bertatapan dengan mata laki-laki separuh
baya yang membuka pintu itu. Dan sebelum mata
yang terperanjat itu berubah menjadi marah, Cempaka
telah buru-buru meraih adiknya. Melindunginya
dalam pelukannya.
Bergegas Cempaka beringsut bangun. Maksudnya tentu saja hendak menyingkir. Mereka telah
mengotori rumah orang itu. Lantai di muka pintu
basah berlumpur.
Ah, si pemilik rumah pasti marah! Dia bukan
jenis orang yang terlalu ramah. Mukanya suram
seperti lampu kurang minyak. Matanya dingin laksana
sebongkah es. Dan bibir yang menggurat di rahang
yang keras kokoh itu agaknya tidak pernah tersenyum. Tidak ada satu bagian pun di wajahnya yang
menampilkan keramahan. Wajah itu kaku. Keras.
Dingin. Tidak pernah disentuh kehangatan.
Cempaka ngeri melihatnya. Sebelum dibentak,
lebih baik dia kabur. Tetapi laki-laki itu sudah memanggilnya sebelum dia sempat beranjak. Ketakutan,
Cempaka menoleh. Bara telah lekat ketakutan dalam
pelukannya.
"Kalian tidur di sini semalam?"
Suara itu tidak terlalu ramah. Tetapi juga tidak
bernada marah. Hanya heran. Terpaksa Cempaka
mengangguk. Kakinya gemetar. Sebagian karena
dingin. Sebagian lagi karena takut. Dan melihat kedua
anak kecil itu menggeletar, luluhlah kekakuan di
wajah yang beku itu.
"Kalian lari dari rumah?"13
Kali ini Cempaka menggeleng. Dikeluarkannya
surat yang telah basah kuyup itu dari selipan bajunya.
Dan ditunjukkannya kepada laki-laki itu.
Sulit membaca tulisan yang tintanya sebagian
telah larut oleh air hujan. Tetapi dari potongan-potongan huruf yang masih dapat dibaca, laki-laki itu
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menangkap kata yang mungkin tadinya berujud
"Panti Asuhan".
* * *
Ibu Nasti menerima kedua orang anak yang diantarkan Pak Wisnu ke panti asuhannya itu dengan
heran. Sudah hampir sepuluh tahun mereka bertetangga. Tapi laki-laki yang cuma dikenal namanya
saja itu lebih sering didengar permainan pianonya
daripada dilihat orangnya.
Pak Wisnu jarang keluar. Jarang menampakkan
diri. Tidak pernah bertandang ke rumah tetangga.
Pekerjaannya sebagai guru piano yang memberi
pelajaran di rumaii murid-muridnya memang mengharuskan dia sering bepergian. Tapi dia ada di rumah
atau tidak, hanya dinding-dinding rumahnya saja yang
tahu.
"Orangnya agak nyentrik," komentar Lastri, gadis
yatim-piatu bekas anak asuhannya, yang kini menjadi
tangan kanan Bu Nasti. "Galak sih tidak. Tapi seram.
Kaku. Dingin. Ngomong sama dia seperti ngomong
sama tembok."
Setelah berhadapan sendiri dengan Pak Wisnu,
Bu Nasti diam-diam membenarkan penilaian Lastri.
Laki-laki yang satu ini memang agak aneh.14
"Semalaman mereka tidur di depan pintu rumah
saya," katanya singkat, dalam kata pengantarnya di
ruang kerja Bu Nasti.
Lalu Pak Wisnu tidak berkata apa-apa lagi. Dia
mohon diri. Dan meninggalkan dua orang anak yang
masih tegak kebingungan di depan meja tulis direktris
Panti Asuhan Pancuran Kasih.
"Tunggu dulu, Pak!" sergah Bu Nasti, dengan
suaranya yang terkenal keras dan berwibawa.
Pak Wisnu yang sudah mencapai pintu berhenti
melangkah dan menoleh. Dilihatnya Bu Nasti menatap tajam dari balik kaca mata putihnya.
"Mengapa mereka dibawa kemari?"
Pak Wisnu mengangkat bahu dengan acuh tak
acuh.
"Tanya mereka. Jangan tanya saya."
"Tapi Bapak yang membawa mereka ke sini!"
"Mereka tidur di depan rumah saya!"
"Mengapa tidak dibawa ke kantor polisi saja?"
Mendengar kata polisi, Cempaka menggigil
ketakutan. Tidak sadar dia memeluk adiknya lebih
erat lagi. Dan Bara menciut meskipun belum mengerti
benar apa yang mesti ditakuti.
"Barang kali mereka tersesat. Atau lari dari
rumah. Atau..."
"Bukan urusan saya. Surat yang mereka bawa,
untuk panti asuhan ini."
Tanpa menunggu lagi, Pak Wisnu memutar tubuh.
Dan melangkah ke luar. Meninggalkan Bu Nasti
dalam kejengkelan. Menyebalkan betul lelaki itu!
Cempaka menatap Bu Nasti dengan ngeri. Tidak
marah saja tampang perempuan ini sudah seram.
Apalagi sedang gusar! Wah, merosot rasanya
jantungnya ke perut. Ngeri!15
Sebenarnya Bu Nasti belum terlalu tua. Umurnya
baru tiga lima. Wajahnya pun tidak mengecewakan.
Paling tidak, waktu muda dulu, dia pasti tidak minus.
Tetapi heran. Pada usia di ambang senja,
bukannya menikah, dia malah mendirikan panti
asuhan.
Merawat dan mengasuh anak-anak yatim-piatu.
Sambil mencarikan orang tua angkat bagi mereka.
Sebagai pemimpin lima orang pengasuh yang
mendidik dan merawat hampir tiga puluh orang anakanak yatim-piatu, dari dirinya memang dituntut
kewibawaan. Karena kewibawaan berarti disiplin dan
kepatuhan anak didik, tidak heran kalau Bu Nasti
terkenal sebagai pemimpin yang keras dan bertangan
besi. Bertahun-tahun kemudian, sifat-sifat itu menyatu
dan melebur dalam penampilannya yang khas. Judes.
Galak. Nyinyir.
"Mana suratnya?!" tanya Bu Nasti. Tidak membentak tapi cukup keras untuk menggebah semangat
Cempaka. Gemetaran dia menyodorkan surat yang
telah kumal dan basah itu.
Bu Nasti menerima surat itu. Langsung membaca
tulisan di sampulnya. Dan kesan keacuhtakacuhan di
wajah Bu Nasti memudar ketika dia mengenali tulisan
di sampul yang lusuh itu.
Hampir terlampau terburu-buru dia merobek
sampulnya. Karena terlalu tergesa-gesa, ujung surat
itu ikut terkoyak. Dan Cempaka masih terlalu kecil
untuk menafsirkan arti rona merah yang menjalari
wajah Bu Nasti.
Dia hanya membutuhkan waktu sekian detik
untuk menelan semua tulisan di dalam surat itu.
Tulisan ayah Cempaka yang mirip gaya tulisan
seorang dokter, kertas yang lusuh dan basah, tinta16
yang telah luntur sebagian, rupanya tidak menghalangi Bu Nasti membaca dengan kecepatan seratus
dcla-pan puluh kilometer perjam.
Begitu selesai membaca, Bu Nasti meremas
kertas itu. Wajahnya entah merah, entah pucat. Entah
kedua-duanya. Rahangnya mengejang. Bibirnya terkatup rapat. Matanya menghunjam tajam ke wajah
Cempaka dan Bara. Tatapannya seolah-olah hendak
menelan mereka....
Cempaka semakin mengerut ketakutan. Apa yang
ditulis Ayah dalam surat itu?
"Siapa namamu?" tanya Bu Nasti setelah menitmenit yang menegangkan berlalu. Suaranya telah
berubah. Tidak lagi setegar tadi. Tapi tetap tidak
ramah. Jauh dari bersahabat.
"Cempaka."
"Hm." Bu Nasti cuma mendengus. Tatapannya
pindah kepada Bara. "Adikmu?"
"Bara."
"Berapa umurmu?"
"Sepuluh. Bara empat."
"Sudah sekolah?"
Cempaka mengangguk dengan sulitnya. Seolaholah sendi-sendi di lehernya telah kehabisan minyak
pelicin.
"Kelas empat."
"Kalian boleh tinggal di sini." Suara Bu Nasti
sedingin tatapannya. "Tapi tidak boleh nakal. Harus
patuh. Harus rajin...."
"Aya nggak mau!" protes Bara ketakutan.
Matanya terbelalak panik. Mukanya pucat. "Aya mau
pulang!"
"Pulang ke mana?!" bentak Bu Nasti kesal.17
Tetapi Bara telah meronta lepas dari pegangan
kakaknya. Dan lari ke pintu. Cempaka mengejarnya.
Namun Bu Nasti lebih cepat lagi meraihnya.
Dicengkeramnya lengan Bara yang sedang merontaronta sambil menangis itu. Diserahkannya kepada
seorang pembantunya.
"Mereka akan tinggal di sini," katanya singkat.
"Mandikan. Beri baju yang bersih. Beri makan."
"Tapi, Tante..." protes Cempaka antara bingung
dan takut.
"Panggil Ibu!"
Cempaka mundur ketakutan. Lastri-lah yang
memegang tangannya dan menenteramkan hatinya
dengan pandangannya yang lembut.
"Jangan takut," bisiknya ramah. "Waktu baru
datang dulu, Mbak juga seumur kamu. Mbakjuga
ketakutan. Tapi lama-lama betah."
"Tapi saya mau pulang, Mbak!" protes Cempaka
separuh menangis. Dengan perasaan kuatir bercampur
iba diliriknya Bara yang sedang meronta-ronta sambil
menangis dalam gendongan seorang wanita.
"Kamu tidak bisa pulang," bujuk Lastri sambil
membimbing Cempaka mengikuti perempuan yang
menggendong adiknya. "Sebab kamu tidak punya
rumah. Di sinilah rumahmu."
"Saya punya rumah, Mbak!" bantah Cempaka
bingung.
"Tapi kamu tidak punya orang tua lagi."
"Ayah ada di rumah!"
Sekarang Lastri-lah yang mati langkah. Kalau
mereka punya ayah, mengapa dikirim kemari? Akan
ditanyakannya nanti pada Bu Nasti.
Tetapi ketika Lastri kembali ke kamar kerja
direktris, Bu Nasti sedang berdiri di depan jendela.18
Menatap ke luar. Dia tidak menoleh ketika Lastri
masuk. Dia sedang tenggelam dalam telaga
lamunannya sendiri. Aneh. Padahal selama ini, Lastri
belum pernah melihat Bu Nasti melamun. Dia selalu
sibuk. Tidak sempat merenung.
"Mereka sudah dimandikan?"
Bu Nasti sudah bertanya sebelum Lastri sempat
menegur. Ternyata dia tidak terlalu larut terbenam
dalam renungannya. Dia masih mendengar kedata-gan
Lastri.
"Sudah."
"Sudah diberi baju bersih?"
"Sudah, Bu."
"Sudah diberi makan?"
"Bu Ani sedang menyiapkan makanan."
"Mereka masih menangis?"
Lastri mengangguk. Ketika disadarinya Bu Nasti
tidak melihat anggukannya, cepat-cepat dia menyahut.
Bu Nasti masih menatap lurus ke luar melalui jendela.
Entah apa yang dilihatnya. Atau dia memang tidak
melihat apa-apa. Dia sedang memikirkan sesuatu.
"Mereka minta pulang. Yang kecil menangis
terus. Yang besar bilang, mereka punya rumah. Punya
ayah. Mengapa mereka dikirim kemari, Bu?"
Bu Nasti tidak segera menjawab. Dia menghela
napas panjang. Lastri melihat wajahnya murung
sekali. Wajah itu memang jarang disentuh
kegembiraan. Tapi hari ini, wajah Bu Nasti bukan
hanya murung. Wajah itu digurat kesedihan.
"Ayah mereka mengidap kanker paru."
Suara Bu Nasti terdengar demikian getir. Belum
pernah Lastri melihat ibu pengasuhnya demikian
penuh perasaan. Biasanya dia selalu tawar. Kosong.19
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emosinya mati. Datar. Apa yang membuatnya demikian emosional?
"Menurut dokter, penyakitnya sudah sampai pada
tahap yang tidak mungkin disembuhkan. Dia tidak
memikirkan kematian. Dia hanya memikirkan anakanaknya. Sepeninggal dirinya, mereka tidak punya
siapa-siapa lagi. Ibu mereka telah meninggal."
Sekejap Lastri terhenyak. Bayangan wajah kedua
anak itu melintas di otaknya. Kasihan. Dalam usia
semuda itu, mereka sudah harus menjadi yatim-piatu!
Tak sadar Lastri teringat pada masa kecilnya
sendiri. Dia juga baru seumur Cempaka ketika kematian merenggut kedua orang tuanya dalam suatu
kecelakaan. Setelah itu, dia dirawat di sini. Dan Bu
Nasti tidak mencarikan orang tua angkat baginya. Dia
sudah terlalu besar untuk diangkat anak.
Orang lebih suka memilih anak angkat yang lebih
kecil. Yang lebih muda. Yang belum tahu apa-apa.
Supaya lebih mudah dididik. Dan tidak ingat lagi pada
orang tuanya sendiri. Dengan demikian kasih sayang
yang terjalin di antara mereka dapat berkembang
dengan lebih murni. Lebih orisinil.
"Ibu kenal ayah mereka?" tanya Lastri, hanya
karena merasa bersimpati pada Cempaka yang senasib
dengan dirinya.
Anak itu cukup manis. Bersih. Kelihatannya cerdas pula. Tapi dia sudah terlalu besar untuk diangkat
anak.
Lain halnya dengan adiknya. Anak laki-laki yang
gesit dan lucu itu pasti tidak memerlukan waktu lama
untuk menemukan orang tua angkat. Begitu melihat
dia, semua pengasuh langsung menyukainya. Bahkan
ketika dia sedang menangis, mereka sudah tertarik
melihat kepalanya yang bulat. Matanya yang besar20
dan lucu. Tubuhnya yang gemuk dan sehat. Pipinya
yang montok. Dan gigi serinya yang tanggal sebuah.
Mungkin karena jatuh.
Ketika Lastri tidak mendengar jawaban Bu Nasti,
dia mengulangi pertanyaannya. Barangkali saja Bu
Nasti tidak mendengarnya. Tapi Bu Nasti sudah
mengusirnya pergi. Dan Lastri terpaksa buru-buru
menyingkir.
Sembilan tahun hidup bersama Bu Nasti, Lastri
sudah kenal benar sifat-sifat ibu pengasuhnya itu.
Kekerasan dan kelembutannya seperti dua sisi mata
uang. Anak-anak asuhannya gemetar ketakutan kalau
dia sedang marah. Tetapi bila dia sedang membelaibelai kepala mereka dengan penuh kasih sayang, air
mata mereka pun dapat menitik.
Sifat-sifatnya memang aneh di mata orang awam.
Tetapi Lastri tahu, hatinya sebenarnya baik. Kalau
tidak, buat apa dia mendirikan panti asuhan ini? Tidak
ada segi komersil yang dapat dinikmatinya dari usaha
amal seperti ini.
Lastri dan rekan-rekannya yakin, latar belakang
masa lalu yang pahitlah yang telah menempa sifatsifat Bu Nasti sehingga menjadi sulit begitu. Dan
masa lalu itulah yang selalu ditutupinya. Yang tidak
pernah diketahui Lastri.21
BAB II
"PULANG, Kak!" rintih Bara separuh menangis.
Ditarik-tariknya baju kakaknya sambil membantingbanting kakinya ke lantai.
"Sst, diam-diamlah," bisik Cempaka muram. Dia
juga ingin pulang. Ingin kabur. Tapi bagaimana
caranya?
Ada lima orang wanita yang selalu mengawasi
mereka. Belum lagi ditambah ibu yang galak itu.
Melihat matanya saja Cempaka sudah gemetaran.
Mendengar langkah-langkah sepatunya, perutnya
langsung mules. Apalagi mendengar suaranya yang
keras danjudes itu.
O, Ayah! Mengapa Ayah sampai hati mengirim
kami kemari? Apa kesalahan kami?
Ibu-ibu pengasuh yang lain memang ramah.
Lebih-lebih Mbak Lastri. Dia begitu baik. Begitu
lembut. Senyumnya demikian menghibur. Tapi
bagaimanapun, Cempaka tidak betah tinggal di sini!
Dia ingin pulang! Apalagi Bara menangis terus!
"Pulang, Kak! Aya mau pulang!"
"Diamlah, nanti Ayah datang menjemput kita!"
Tetapi ketika sampai malam Ayah belum muncul
juga, Bara merajuk lagi. Mereka sudah diberi makan.
Sudah diberi pakaian bersih. Tapi belum juga
diantarkan pulang. Mereka malah disuruh masuk ke
kamar. Disuruh tidur.22
Bara berbaring sambil menangis di ranjangnya
yang kecil. Cempaka menyelimuti adiknya baik-baik.
Dia sendiri sedih. Tapi ditahannya air matanya. Dia
tidak boleh menangis di depan Bara. Nanti adiknya
makin sedih.
"Kak," panggil Bara lirih. "Kenapa kita nggak
boleh pulang?"
Cempaka juga tidak tahu jawabnya. Tapi kalau
adiknya bertanya, dia sudah terlatih untuk menjawab.
Jadi dijawabnya asal saja.
"Ayah sakit."
"Bohong! Ayah sehat!"
"Ayah sakit."
Cempaka menggigit bibir menahan tangis. Begitu
yang didengarnya dari Mbak Lastri. Entah benar
entah tidak. Kemarin Ayah masih sehat. Sama seperti
hari-hari sebelumnya. Mengapa Mbak Lastri
mengatakan Ayah sakit?
"Bohong! Ayah nggak sakit! Badannya nggak
panas!"
"Ayah sakit. Nggak bisa ngurus kita. Jadi kita
harus tinggal di sini sampai Ayah sembuh!"
"Siapa yang ngurus Ayah?"
Siapa yang mengurus Ayah? Cempaka tertegun
lagi. Ya, siapa? Kalau Ayah sakit, dia tidak bisa
masak. Siapa yang menyediakan makanan?
"Aya mau pulang! Aya mau lihat Ayah!"
"Sst!" Cempaka menutup mulut adiknya dengan
jarinya yang kecil. "Diam! Nanti kita dimarahi lagi!"
"Aya nggak mau tidur di sini!"
Bara melompat turun dari tempat tidurnya. Dan
menghambur ke pintu. Baru saja dia sempat membuka pintu itu, Bu Nasti muncul di sana. Sekejap mata23
mereka bertatapan. Dan tubuh Bara bergetar seperti
kena sengat arus listrik.
Bu Nasti tidak berkata apa-apa. Tapi tatapannya
yang bengis memaksa Cempaka buru-buru melompat
memeluk adiknya. Dan membawanya kembali ke
tempat tidur. Meskipun menangis, Bara tidak
melawan. Dia takut sekali seperti melihat hantu.
"Jika dalam sepuluh menit kalian belum tidur
juga, kalian akan dikurung di dalam gudang," kata Bu
Nasti tegas tapi dingin. "Di sini semua anak harus
tidur pukul delapan malam. Lewat jam itu, lebih baik
kalian tidur dengan tikus hanya tikus yang masih
bangun malam-malam begini!"
Bayangan gudang yang dingin dan gelap, penuh
dengan tikus-tikus yang menjijikkan, memaksa
Cempaka meringkuk sambil menahan tangis di tempat
tidurnya. Di sisinya, Bara juga berusaha meredam
tangisnya agar tidak terdengar lagi oleh Bu Nasti.
Dengan hati pilu Cempaka mendengar isak tangis
adiknya yang tertahan-tahan di balik bantal. Dia ingin
menolong Bara. Ingin menghiburnya. Ingin mengusir
ketakutan dan kesedihannya. Tapi dia sendiri juga
ketakutan. Dan dia harus berbaring di tempat tidurnya
sendiri.
Empat orang anak yang sekamar dengan mereka
telah lama terlelap. Tapi Cempaka dan adiknya belum
dapat tidur juga. Lapat-lapat Cempaka masih
mendengar isak tangis adiknya.
Ketika dirasanya Bu Nasti sudah tidak mungkin
masuk lagi, hati-hati Cempaka merayap turun. Dihampirinya tempat tidur Bara. Disentuhnya bahunya
dengan lembut.24
"Sst," bisik Cempaka ketika Bara bangkit merangkulnya sambil menangis. "Jangan berisik! Nanti
gendruwo itu datang lagi!"
Bara menangis sesenggukan di dada kakaknya.
Air matanya merembes membasahi baju Cempaka.
Membiaskan kepiluan di hatinya.
"Tidur saja, ya?" bujuknya sambil mengelus-elus
kepala adiknya. "Kakak temani di sini. Nggak takut,
kan?"
"Aya mau pulang!"
Cempaka sendiri ingin pulang. Tapi bukan
keinginannya sendirilah yang membuat dia berani
kabur. Dia takut. Takut sekali. Kalau boleh memilih,
dia lebih suka tidur diam-diam di sini daripada
dimarahi Bu Nasti. Tapi adiknya...
* * *
Mengendap-endap Cempaka membawa adiknya
keluar dari dalam kamar. Seluruh gang itu gelap.
Hanya ada lampu kecil di dekat pintu keluar. Kalau
saja mereka dapat mencapai pintu itu sebelum ada
orang yang mengetahui...
Cempaka menutup mulut adiknya dengan
tangannya. Kuatir kalau-kalau dia mendadak bersuara.
Bara memang tidak mengeluarkan suara sedikit
pun. Tetapi sesampainya di dekat pintu, dia bersin.
Rcfleks Cempaka meraih Bara ke dalam pelukannya.
Mendekapkan mulutnya ke dadanya sendiri. Dan
menunggu dengan hati berdebar-debar.
Kedua kakinya terasa lemas. Peluh dingin membanjiri sekujur tubuhnya. Dengan tangan gemetar,
Cempaka mencoba membuka pintu. Tetapi pintu itu
terkunci!25
Sekejap Cempaka kehilangan akal. Bagaimana
dia dapat membuka pintu itu kalau tidak ada anak
kuncinya? Dalam keadaan bingung, dia menoleh ke
sana kemari.
Anak kunci pasti tidak jauh letaknya dari pintu.
Tapi... di mana? Mungkinkah disimpan Bu Nasti? Di
kamarnya?
Cuma kebetulan Cempaka melihat anak kunci itu.
Ketika dia sedang menengok-nengok ke atas.
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulutnya hampir bersorak karena gembira. Cepatcepat digigitnya sendiri lidahnya.
Anak kunci itu tergantung di tembok. Pada
sebuah paku yang terlalu tinggi untuk dijangkau.
Percuma Cempaka menjinjitkan kakinya.
Memanjang-manjangkan lengannya. Kunci itu terlalu
jauh. Terlalu tinggi di atas kepalanya.
Tak ada jalan lain. Dicobanya memanggul Bara.
Disuruhnya Bara mengambil anak kunci itu. Tetapi
sesudah Bara naik ke atas bahunya, Cempaka tak kuat
berdiri. Dia tidak kuat memanggul beban seberat
hampir dua puluh kilo!
Melihat kakaknya tidak kuat bangun, Bara mencoba turun kembali. Tetapi karena terlalu tergesagesa, dia malah tersungkur.
Cempaka tidak sempat lagi menolongnya. Dia
hanya mampu menahan pekik kengerian yang nyaris
terlepas dari celah-celah bibirnya. Tetapi sesaat
sebelum Bara terjerembab, sepasang tangan yang kuat
menahannya.
Terkejut bercampur lega, Cempaka sampai
melupakan rasa takutnya. Dia mengangkat wajahnya.
Dan melihat Bu Nasti tegak di hadapannya.
Tangannya mencengkeram lengan Bara erat-erat.26
* * *
Keesokan paginya, baik Cempaka maupun Bara
sama-sama mendapat hukuman. Mereka tidak boleh
ikut anak-anak lain bersenam pagi. Tidak boleh ikut
bermain-main di halaman. Padahal hari itu anak-anak
mendapat sumbangan permainan dan buku-buku
cerita dari seorang dermawan.
Cempaka sudah cukup besar untuk mengerti
mengapa dia dihukum. Mengapa dia harus menyapu
sementara anak-anak yang lain boleh bermain. Dan
mengapa dia tidak memperoleh jatah buku cerita
seperti teman-temannya. Jadi walaupun sedih, dia
menjalani hukumannya dengan pasrah.
Lain halnya dengan Bara. Dia masih terlalu kecil
untuk menyadari bahwa hukuman ini merupakan
akibat perbuatannya sendiri. Dia merajuk ketika tidak
diperbolehkan ikut bermain di halaman. Dan
menangis tatkala tidak mendapat pesawat terbang
yang terbuat dari kertas seperti teman-temannya.
Cempaka trenyuh sekali melihat keadaan adiknya.
Bara duduk di lantai sambil membanting-banting
kakinya. Menangis mcnjerit-jerit. Tapi tidak seorang
pun datang membujuknya.
Cempaka ingin sekali lari mendapatkan adiknya.
Menghiburnya seperti yang biasa dilakukannya di
rumah kalau Bara menangis. Tetapi dia sedang
menyapu. Dan Bu Nasti ada di sana. Duduk menulis
di balik meja tulisnya.
Setiap kali Cempaka berhenti menyapu dan
menatap Bara, Bu Nasti mengangkat mukanya.
Melihat tatapannya yang bengis itu, Cempaka
terpaksa membatalkan niatnya menghampiri Bara.27
Tak terasa mengalir air mata Cempaka melihat
keadaan adiknya. Mengapa Ayah sekejam ini pada
mereka? Mengapa mereka disiksa di tempat seperti
ini? Apa kesalahan mereka sebenarnya?
Akhirnya Cempaka tidak tahan lagi. Sambil
menangis, dibuangnya sapunya jauh-jauh. Dan dia
menghambur mendapatkan adiknya. Dirangkulnya
Bara yang sudah langsung mengulurkan tangannya
melihat kedatangan Cempaka.
"Sudah diam, jangan nangis...," bujuk Cempaka
sambil membelai-belai kepala adiknya. Padahal dia
sendiri sedang menangis! Dan melihat kakaknya
menangis, Bara malah menangis makin keras.
Bu Nasti sendiri yang datang memisahkan
mereka. Dengan tegas, diambilnya Bara dari pelukan
kakaknya. Digendongnya dengan paksa. Biarpun Bara
meronta sekuat tenaga sambil menendang-nendang,
dia tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman
Bu Nasti.
"Kembali ke pekerjaanmu," perintahnya tegas
tapi tawar. Tanpa emosi. "Ini hukuman kalian karena
mencoba melarikan diri."
"Tidak!" teriak Cempaka histeris. "Kami mau
pulang! Mau ketemu Ayah!"
"Ayahmu yang mengirim kalian kemari."
"Ayah jahat!" tangis Cempaka geram. "Ayah
jahat! Jahat!"
Hanya tamparan Bu Nasti yang mampu menghentikan teriakan-teriakan Cempaka. Dia jatuh terduduk. Dan menutup mukanya sambil menangis
tersedu-sedu.
* * *28
"Ayahmu sakit," hibur Lastri ketika dia tinggal
berdua saja dengan Cempaka di dalam kamar.
"Karena itu beliau mengirim kalian kemari. Tidak ada
yang merawat kalian di rumah."
Cempaka sudah tidak menangis lagi. Tapi air
mata masih menggenangi matanya yang memerah
bengkak. Dia memeluk bantalnya sambil merenung.
Mbak Lastri membelai-belai kepalanya dengan
lembut.
"Cobalah memahami sikap ayahmu, Cempaka."
"Ayah jahat!"
"Justru karena ayahmu sayang pada kalian maka
kalian dikirim kemari. Supaya kalian tidak terlantar."
"Tapi kami tidak betah di sini!"
"Apa yang kurang di sini, Cempaka? Kalian
punya banyak teman...."
"Bu Nasti jahat!"
"Itu karena kenakalan kalian. Karena kalian tidak
patuh, Bu Nasti terpaksa menghukum kalian. Lihatlah
anak-anak yang lain. Mereka tidak pernah dihukum
kalau tidak nakal."
"Bu Nasti galak," gerutu Cempaka, masih separuh
meradang.
"Sebenarnya tidak."
"Marah-marah melulu."
"Juga tidak. Bu Nasti jarang marah. Tidak
diizinkan oleh dokter. Bu Nasti punya penyakit
jantung. Kalau marah, penyakitnya kumat. Tapi dua
hari ini, sejak kalian datang, dia marah-marah tenis.
Tadi jantungnya sakit lagi. Dokter sedang memeriksanya."
* * *29
"Obat ini jangan langsung ditelan." Dokter Hanafi
memberikan sebutir tablet kecil. "Taruh saja di bawah
lidah. Dan ingat, jangan marah-marah lagi. Bukan
cuma jantung Ibu saja yang kumat. Tekanan darah
pun naik lagi."
Bu Nasti hanya menghela napas. Dia masih berbaring di tempat tidur. Sesudah disuntik, dada kirinya
memang sudah tidak begitu nyeri lagi. Tapi Dokter
Hanafi menyarankan agar dalam beberapa hari ini dia
lebih banyak beristirahat.
"Kalau tidak dapat beristirahat di sini, tidak dapat
mengendalikan emosi, saya sarankan istirahat di
rumah sakit saja."
Rumah sakit. Bu Nasti merasa dadanya pedih
lagi. Dari mana dia memperoleh biayanya? Tanpa
sumbangan para dermawan, panti asuhannya sudah
megap-megap setengah mati. Padahal akhir-akhir ini,
beberapa donatur tetap telah mengundurkan diri.
Yang seorang pindah ke luar negeri. Yang
seorang lagi ditahan karena perkara korupsi. Yang
lain menutup usahanya. Bangkrut. Dalam situasi
ekonomi yang lesu seperti sekarang, tak banyak lagi
dermawan yang bersedia menjadi donatur tetap.
Padahal justru merekalah yang meniupkan napas
kehidupan bagi panti asuhannya.
Rumah sakit. Ah, dokter memang enak saja
bicara. Istirahat. Istirahat. Bagaimana dia dapat
istirahat? Di rumah sakit pun pikirannya tidak tenang.
Hampir tiga puluh orang anak yang menjadi
tanggungannya. Sekarang ditambah dua orang lagi.
Mereka harus dicarikan orang tua angkat. Belum lega
hati Bu Nasti sebelum dia mampu melaksanakan
tugas itu. Belum tenang hatinya sebelum dia yakin
anak-anaknya takkan hidup terlantar.30
Tetapi... masih cukupkah waktunya untuk bertahan? Masih cukup kuatkah jantung ini untuk
menunggu sampai semua anaknya memperoleh orang
tua yang mereka idam-idamkan?
"Cuma kau yang kuharapkan, Nasti." Terlintas
lagi di otaknya baris-baris dalam surat yang diterimanya dari ayah Cempaka. "Hanya kepadamulah aku
rela menyerahkan anak-anakku. Hanya engkau yang
dapat kupercayai...."
Tapi sekarang orang yang dapat dipercaya itu
terbaring lemah di sini. Dengan jantung yang sudah
malas berdenyut. Setiap saat jantung sialan ini bisa
berhenti berdenyut tanpa permisi lagi!
"Ibu bisa hidup sepuluh tahun lagi." Entah
sekadar menenangkan hatinya entah tidak, tapi begitulah kata-kata Dokter Hanafi ketika Bu Nasti
menanyakan berapa lama lagi dia masih sempat
menghirup udara kehidupan. "Kalau Ibu bisa hidup
tenang."
Itu berarti kalau dia masih tetap menjalani kehidupan seperti ini, setiap saat waktunya bisa datang.
Setiap saat jantung yang rapuh ini dapat berhenti
berdenyut. Dia telah mendapat dua kali serangan
jantung yang cukup hebat. Serangan yang ketiga
mungkin tak dapat lagi diatasinya....
O, Tuhan! Bagaimana nasib anak-anaknya? Jika
dia sudah keburu pergi sebelum mereka memperoleh
orang tua angkat....31
BAB III
CEMPAKA sedang menyisiri rambut adiknya ketika
Mbak Lastri tergesa-gesa memasuki kamar mereka.
Dia membawa setumpuk baju baru di tangannya.
Tentu saja bukan baju baru dalam arti sebenarnya.
Baju itu cuma baru untuk mereka. Untuk bekas
pemiliknya yang lama, baju itu sudah tidak terpakai
lagi. Entah sudah kekecilan. Entah sudah ketinggalan
zaman modelnya. Entah dia sudah bosan memakainya.
"Sudah mandi ?kan semua?" tegur Mbak Lastri
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ramah. "Aduh, pintar sekali! Nah, Mbak bawakan
baju baru buat kalian...."
Belum habis Mbak Lastri bicara, Suma, anak
perempuan yang seumur dengan Cempaka, sudah
mendahului melompat ke hadapannya.
"Mana untuk saya, Mbak?"
Tangannya sudah terulur menyambar baju yang
paling atas, yang warnanya paling menyolok. Justru
Cempaka sudah tertarik pada baju yang berwarna
merah menyala itu sejak pertama kali melihatnya.
"Eh, tunggu dulu, Suma!" Mbak Lastri
mengangkat tumpukan baju di tangannya tinggitinggi. "Bukan begitu caranya meminta!"32
Seperti dikomandokan, serentak anak-anak yang
sudah agak besar berbaris rapi di depan Mbak Lastri.
Termasuk Cempaka. Anak-anak yang lebih kecil,
yang belum tahu apa enaknya pakai baju baru, ikut
juga berbaris. Hanya karena melihat kakak-kakaknya
berjejer rapi di depan Mbak Lastri.
"Nah, bagus begitu. Sekarang kita cobakan satu
per satu. Mana yang muat untuk kalian. Sebentar lagi,
tamu-tamu datang. Kalian harus bersikap manis dan
sopan, supaya mereka senang."
Mbak Lastri duduk di sisi tempat tidur. Meletakkan tumpukan baju itu di sampingnya. Dan
mengambil baju yang pertama.
"Yang ini... Mbak kira cukup untuk Cempaka."
Dengan wajah Berseri-seri Cempaka maju ke
depan. Belum pernah Mbak Lastri melihat wajah
Cempaka sumringah seperti itu. Bibirnya yang selama
ini selalu menekuk sedih, merekah mengembangkan
seuntai senyum. Matanya yang redup alang-alang,
berbinar menampilkan sejuta kunang-kunang.
Guratan-guratan pahit yang selalu mewarnai wajahnya sejak kedatangannya di sini, sirna dengan
sendirinya. Dengan bersemangat Cempaka berdiri di
depan Mbak Lastri.
"Coba balikkan badanmu, Cempaka," pinta
Mbak Lastri. Diukurkannya baju itu di punggung
Cempaka.
"Kepanjangan, Mbak!" cetus Suma, orang pertama yang sempat memberi komentar. Tubuhnya
lebih tinggi sedikit daripada Cempaka. Jadi baju itu
pasti pas di tubuhnya!
"Bisa saya pendekkan sedikit, Mbak," pinta
Cempaka agak memelas.33
Sudah lama Cempaka tidak mempunyai baju
baru. Dan gaun merah ini begitu memikat. Warnanya
seronok. Belum luntur. Potongannya baik. Bahannya
pun masih kuat. Belum lapuk. Tidak seperti baju-baju
bekas yang biasa diberikan Mbak Lastri. Sudah
potongannya ketinggalan zaman, warnanya luntur
lagi! Dua kali dicuci saja sudah robek. Kancingnya
ada yang hilang. Terpaksa diganti kancing lain yang
warnanya berbeda....
"Nggak bisa, Mbak!" potong Suma sambil
merampas gaun merah itu dan mengenakannya di
depan tubuhnya. "Lebih baik buat saya saja! Lihat,
pas sekali!"
"Jangan!" sergah Cempaka kecewa. Dicobanya
merebut gaun itu kembali. Tetapi Suma sudah
membawanya lari. Dan Cempaka langsung
mengejarnya.
Sia-sia Mbak Lastri berteriak-teriak melerai.
Kedua anak itu telah lari ke halaman. Suma bermaksud membawa gaun itu ke kamar mandi.
Memakainya di sana sambil mengunci diri.
Tetapi sesaat sebelura mencapai bagian tengah
halaman, Cempaka berhasil merenggut bajunya.
Karena Suma hendak lari terus, sedangkan Cempaka
bertahan memegangi bajunya dengan sekuat tenaga,
baju itu langsung koyak.
Cempaka terjerembab ke belakang. Suma tersungkur ke depan. Tetapi tanpa menghiraukan
goresan-goresan kecil yang melukai kulitnya akibat
jatuh, Cempaka menghambur merampas gaun merah
itu.
Suma mati-matian mempertahankannya. Dan
mereka sudah bergumul di tanah sebelum pngasuhpengasuh sempat melerai perkelahian itu.34
"Apakah ini tontonan yang sengaja disuguhkan
panti asuhan?" gurau seorang laki-laki yang datang
dengan istrinya untuk memilih seorang anak angkat.
Sambil tersenyum laki-laki itu menonton adegan
pergumulan di tengah halaman. Tetapi istrinya
langsung meraih lengan suaminya. Dan menghelanya
pergi.
"Mana bisa mendapat anak yang baik di pantai
asuhan seperti ini!" gerutunya sambil berlalu. "Anakanak liar semua!"
* * *
Meledak lagi kemarahan Bu Nasti. Urat-urat di
lehernya sampai berecmbulan. Matanya membcliak
gusar. Merah berapi-api seperti magma di perut bumi.
"Kamu lagi, Cempaka!" geramnya sengit. "Sejak
kamu datang, tidak henti-hentinya kamu membuat
saya marah!"
Cempaka yang tegak di hadapan meja tulis Bu
Nasti bersama Suma menunduk ketakutan.
"Dan kamu, Suma! Sudah hampir lima tahun
kamu tinggal di sini! Tapi adatmu masih begini juga!
Kalau kamu terus-terusan begini, siapa yang mau
mengambilmu sebagai anak?!"
Sampai siang kata-kata Bu Nasti itu terusmenerus menghantui Cempaka. Ketika dia sedang
dihukum berdiri di tengah halaman, kata-kata itu
terngiang kembali dan terngiang kembali di
telinganya.
Jadi itulah gunanya mereka dititipkan di panti
asuhan ini. Menunggu orang tua yang akan mengambil anak. Mengangkat anak. Dan itulah mungkin35
yang menyebabkan pada setiap hari Minggu banyak
orang yang datang kemari. Seperti hari ini.
Sejak pagi beberapa pasangan meninjau panti
asuhan mereka. Ada bapak-bapak dan ibu-ibu yang
sudah agak tua. Ada pula yang masih muda. Ada yang
pulang dengan menggendong seorang anak.
Ada pula yang kembali dengan tangan hampa.
Dari tempatnya dihukum, Cempaka dapat melihat
tingkah mereka dengan jelas. Mula-mula mereka akan
memilih anak yang mereka sukai. Kemudian mereka
akan diantarkan ke kamar kerja Bu Nasti. Di sana,
mereka boleh mengetahui lebih banyak keterangan
tentang anak yang mereka pilih. Sebaliknya, Bu Nasti
juga mengajukan beberapa pertanyaan untuk
menyelidiki latar belakang pasangan itu dan alasan
mereka mengangkat anak.
Jika semua persyaratan telah terpenuhi, Bu Nasti
akan mengutus salah seorang ibu pengasuh untuk
meninjau rumah mereka. Surat-surat akan diselesaikan kemudian. Mereka diperkenankan membawa
pulang anak itu terlebih dulu asal meninggalkan tanda
pengenal.
Dan tiba-tiba saja ketakutan yang amat sangat
menyelinap ke hati Cempaka. Lebih besar daripada
ketakutannya terhadap Bu Nasti. Bagaimana jika Bara
ikut terpilih? Mereka tentu harus berpisah!
Tidak mungkin ada orang tua yang mau mengambil mereka berdua. Cempaka tahu, dia sudah
terlalu besar untuk diangkat anak. Lain halnya dengan
Bara, Dia berada dalam umur yang sedang luculucunya. Penampilannya pun menarik. Gemuk. Lucu.
Cakap. Dan bersih. Apalagi dalam pakaian kapten
kapal yang putih bersih yang baru diberikan Mbak
Lastri itu. Wah, dia terlihat sangat gagah!36
Mengesampingkan ketakutannya sendiri, nekat
Cempaka menyelinap meninggalkan tempat
hukumannya. Biar dia dimarahi Bu Nasti lagi. Biar
dia mendapat hukuman yang lebih berat. Biar
diapakan pun! Dia tidak mau berpisah dengan Bara!
Untung semua pengasuh sedang sibuk. Tamu
memang sedang banyak-banyaknya. Entah mengapa,
Minggu ini Bu Nasti seperti berkeinginan hendak
menyerahkan semua anaknya. Persyaratan diperlunak.
Cempaka menemukan adiknya dalam gendongan
seorang ibu. Mbak Lastri berada di dekat pasangan
suami-istri itu. Istrinya tampaknya sudah demikian
lekat pada Bara. Dia seperti sudah tidak dapat lagi
melepaskan Bara dari gendongannya.
Peluh dingin membasahi sekujur tubuh Cempaka.
Hatinya dicekam ketakutan yang amat sangat. O,
kalau saja... kalau saja mereka jadi mengambil Bara...
Ya, Tuhan! Jangan! Jangan pisahkan kami!
Tanpa berpikir dua kali, Cempaka menghambur
ke dalam.
"Bara!" jeritnya sambil menangis. "Jangan pergi!
Jangan mau, Bara! Jangan tinggalkan Kakak!"
Ditarik-tariknya kaki Bara dengan panik.
Melihat kakaknya menangis, Bara langsung ikut
memekik. Menangis. Dua kali lebih hebat. Dia
meronta-ronta, hendak turun.
Kewalahan terpaksa ibu itu menurunkan Bara dari
gendongannya. Mbak Lastri tidak keburu mencegah.
Cempaka sudah menarik tangan adiknya. Dan
menyeretnya kabur.
Mereka terus berlari ke kamar. Dikejar oleh Mbak
Lastri. Ketakutan Cempaka mengunci pintu kamar
dan bersembunyi dengan adiknya di bawah tempat
tidur.37
* * *
Untuk kesekian kalinya Cempaka dihadapkan pada
Bu Nasti. Untuk kesekian kalinya dia dimara-hi habishabisan. Tetapi kali ini Cempaka melawan.
Dia memang merasa tidak punya hak di tempat
ini. Di sini, dia tamu. Diberi makan. Diberi tempat
tinggal. Tetapi, Bara adiknya! Mereka tidak berhak
memisahkannya dari adiknya!
"Apa sebenarnya maumu?" geram Bu Nasti,
hampir tidak mampu lagi menahan kemarahannya.
"Sejak datang, kamu selalu mengacau! Selalu membuat Ibu marah!"
"Kami mau pulang!" tangis Cempaka kesal. "Mau
ketemu Ayah!"
"Ayah kalian sudah tidak sanggup lagi mengurus
kalian. Dia sakit. Kalian dititipkan di sini."
"Lalu mengapa Ibu ingin memisahkan saya
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Bara?!"
Sejenak Bu Nasti tertegun. Anak perempuan itu
sedang menatapnya dengan tatapan berapi-api.
Matanya yang merah, berair berlinang air mata.
Tetapi mata itu menyala seperti dua buah bola api....
Tatapannya mengingatkannya pada tatapan seseorang.... Seseorang yang amat dibencinya....
Tiba-tiba saja Bu Nasti merasa dadanya sakit.
Sakit sekali.
"Keluar kamu!" bentaknya dengan tenaga yang
masih tersisa. Dikuat-kuatkannya dirinya. Ditahannya
rasa sakit yang menikam dadanya. Digagahgagahkannya suaranya, seolah-olah tidak ada yang
terjadi. Dia tidak ingin Cempaka mengetahui
penyakitnya. "Keluar!!"38
Dengan tatapan penuh kebencian, Cempaka
memutar tubuhnya. Bu Nasti mengawasinya dengan
geram sampai dia lenyap dari pandangannya. Dia
begitu mirip.... Wajahnya.... tatapannya... bibirnya...
bahkan langkah-langkah kakinya kalau sedang
marah....
Dengan tangan gemetar Bu Nasti membuka laci
meja tulisnya. Diraihnya sebotol obat. Diambilnya
sebutir pil. Tergesa-gesa ditaruhnya di bawah
lidahnya.
Sambil menebah dadanya, Bu Nasti bersandar ke
kursi. Dipejamkannya matanya, seakan-akan ingin
mengusir bayangan wajah yang dibencinya itu. Tetapi
bayangan itu tidak mau pergi juga. Dia bahkan
semakin jelas... semakin jelas terpampang di
hadapannya....
Senyumnya. Tatapannya. Kata-katanya. Manis.
Ramah. Penuh perhatian. Tapi palsu! Munafik!
Pengkhianat! Sampai hati merampas kebahagiaan
temannya sendiri... sampai hati dia menggunting
dalam lipatan!
* * *
"Jangan membuat Bu Nasti marah lagi, Cempaka,"
kata Mbak Lastri murung. Malam itu dia sedang
menemani Cempaka yang mendapat hukuman
mencuci piring bekas makan mereka. "Bu Nasti sakit.
Tidak boleh marah-marah."
Biar dia cepat mati, geram Cempaka dalam hati.
Benci aku melihat mukanya! Judes!
Di depan Mbak Lastri, Cempaka memang tidak
memberi komentar apa-apa. Tetapi ketika sedang39
menyikat gigi Bara, Cempaka sudah tahu apa yang
harus dilakukannya.
Dia tidak ingin berpisah dengan adiknya.
Bagaimanapun mereka harus tetap bersama. Dan dia
tahu caranya. Dia hanya perlu mengajari Bara.
Si kecil itu cerdas. Dia cepat mengerti. Meskipun
umurnya baru empat tahun, Bara sudah mengerti apa
artinya perpisahan. Kalau dia tidak mau berpisah
dengan kakaknya, dia harus melakukan apa saja yang
diajarkan Cempaka. Supaya mereka tidak mau
mengambilnya. Dan dia dapat tetap tinggal bersama
kakaknya!
* * *
Cempaka sedang menyisiri rambut adiknya ketika
Mbak Lastri masuk ke kamar mereka dengan tergesagesa.
"Sudah selesai? Aduh, cakepnya! Ayo, keluar.
Tamu-tamu sudah banyak yang mau kenalan sama
Aya. Mau kan Aya kenalan sama mereka?"
Mbak Lastri mengambil sisir dari tangan Cempaka. Sambil tersenyum ramah kepada gadis kecil itu,
katanya lembut,
"Cempaka juga dandan ya? Biar Bara Mbak yang
sisiri."
"Buat apa," sahut Cempaka ketus. "Mereka nggak
ada yang mempErhatikan Cempaka!"
Sesaat Mbak Lastri tertegun. Anak perempuan
yang satu mi memang sulit dihadapi. Dia tidak banyak
bicara. Tetapi sekali dia sudah membuka mulut, katakatanya selalu tajam. Pahit. Menyakitkan.
Mbak Lastri memang tidak dapat terlalu
menyalahkannya. Cempaka sudah cukup besar untuk40
menikmati kehidupan keluarga. Dia sudah dapat
merasakan apa artinya punya rumah. Punya orang tua.
Punya adik. Punya orang yang mencintainya. Di sini
dia merasa tersiksa. Tidak ada rumah. Tidak ada
Ayah. Tidak ada perasaan aman.
Setiap hari dia dimarahi. Dihukum. Dilarang iniitu. Memang sebagian karena kesalahannya sendiri.
Karena dia selalu membangkang. Tetapi sebagian lagi
bukan salahnya. Keadaanlah yang menyebabkan dia
terpaksa berkelahi dengan Suma. Keadaan pulalah
yang menyebabkan dia harus mencari akal agar tidak
usah berpisah dengan adiknya.
Mbak Lastri sendiri sudah pernah merasakan
bagaimana tersiksanya hidup di panti asuhan setelah
bertahun-tahun sebelumnya tinggal di lingkungan
keluarga sendiri. Untuk Cempaka, penderitaannya
masih ditambah lagi. Sebentar lagi, dia harus berpisah dengan adiknya. Satu-satunya miliknya.
Keluarganya.
"Kalau Cempaka bersikap manis, siapa tahu ada
orang tua yang berniat mengambil kalian berdua,"
bujuk Mbak Lastri, meskipun dia sendiri tidak yakin.
Sembilan tahun dia tinggal di sini. Menurut
pengalamannya, tidak ada orang tua yang mau
mengangkat dua orang anak sekaligus!
"Tidak mungkin," sahut Cempaka ketus.
"Cempaka kan jelek! Nakal! Sudah besar lagi! Siapa
yang mau sama Cempaka?"
"Cempaka." Mbak Lastri meninggalkan Bara.
Menghampiri Cempaka. Dan membelai-belai
rambutnya. "Jangan begitu. Manusia tidak boleh
berputus asa. Harus selalu berharap. Berdoa pada
Tuhan. Cempaka tidak ingin mempunyai orang tua
yang menyayangimu?"41
"Ah, nggak ada yang sayang Cempaka!"
"Siapa bilang?" Mbak Lastri duduk di tepi tempat
tidur. Dipegangnya kedua lengan gadis kecil itu. Dan
ditatapnya Cempaka dengan lembut. "Mbak Tri
sayang sama Cempaka. Kalau boleh memilih, Mbak
lebih suka Cempaka selalu di sini, menemani Mbak.
Tapi Mbak tahu, Cempaka akan lebih bahagia kalau
punya orang tua. Karena itu Mbak Tri merelakan
Cempaka diangkat anak oleh orang-orang yang dapat
memberikan kasih sayangnya kepadamu."
"Siapa yang mau sama Cempaka?"
"Percayalah, Cempaka. Pasti ada orang tua yang
tertarik padamu. Ingin mencurahkan kasih sayangnya
padamu."
"Tapi mengapa Mbak sendiri sampai sekarang
tetap tinggal di sini?"
Sekali lagi Mbak Lastri mati langkah. Berbicara
dengan anak perempuan ini memang sulit. Dia terlalu
pintar. Terlalu kritis.
"Mbak ingin membantu Bu Nasti. Beliau sakit
dan terlalu repot untuk mengurus panti asuhan ini
seorang diri."
"Kalau begitu Cempaka juga mau tinggal di sini
saja. Supaya nanti kalau Ayah datang, Cempaka
masih di sini."
"Ayahmu tidak akan kemari, Cempaka."
"Tapi Cempaka mau menunggunya. Ayah pasti
menjemput kami."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapan saja. Sampai Ayah datang."
"Tapi kamu tidak dapat tinggal di sini terus,
Cempaka. Suatu hari kelak kamu akan menjadi
dewasa. Tempat ini hanya menampung anak-anak...."42
"Kalau Mbak boleh tinggal di sini, mengapa saya
tidak?"
"Mbak bekerja, Cempaka!"
"Saya juga bisa kerja, Mbak!"
"Tapi kami lebih menginginkan kamu
mempunyai orang tua yang dapat menyayangimu,
Cempaka. Supaya kamu bisa punya rumah. Bisa
sekolah dengan baik...."
"Kenapa Mbak sendiri tidak?"
Mbak Lastri menghela napas. Wajahnya berubah
murung.
"Nasib Mbak tidak sebaik itu, Cempaka. Tidak
ada orang yang mau mengambil Mbak sebagai anak."
"Kenapa?" sergah Bara sambil menghampiri
Mbak Lastri. Dan bersandar ke pangkuannya. "Mbak
nakal ya?"
Mbak Lastri tersenyum antara haru dan geli.
"Mbak hanya kurang beruntung, Bara. Tapi kalian
lain. Pasti ada orang yang akan mengambil kalian.
Menganggap kalian sebagai anaknya. Menyayangi
kalian. Mbak Tri tidak ingin nasib Mbak menimpa
kalian. Mbak ingin kalian bahagia. Seperti anak-anak
lain. Punya rumah. Punya orang tua..."
"Tapi kami tidak mau berpisah, Mbak!" protes
Cempaka. "Daripada harus berpisah, lebih baik kami
tetap tinggal di sini saja! Menunggu sampai Ayah
datang!"
* * *
Ketika melihat ulah Bara, sebenarnya Mbak Lastri
sudah dapat menerka apa, yang terjadi. Dia sudah
dapat menduga, siapa yang mengajari Bara. Mengapa
Bara menjadi senakal itu.43
Bara sengaja kencing ketika sedang digendong.
Sampai ibu yang berpakaian rapi itu memekik kaget.
Dan melihat bajunya yang bagus itu basah kuyup.
Serta-merta diturunkannya Bara dari gendongannya.
"Lho, anak sebesar ini kok masih ngompol!"
gerutunya jengkel.
"Yang lain saja, Bu," pinta suaminya, sama kesalnya.
Tetapi ulah Bara tidak berhenti sampai di situ.
Ketika disuruh nyanyi, dia malah memecahkan gelas.
Ketika mereka menanyakan namanya, direnggutnya
kaca mata ibu yang menggendongnya dan dibantingnya ke lantai.
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, jangan yang ini, Pak!" gerutu ibu yang
terakhir itu. "Bisa hancur rumah kita! Pecah semua
barang kristalku!"
"Sayang ya," keluh suaminya kecewa. "Cakepcakep kok nakalnya bukan main!"
"Namanya juga memungut anak, Pak! Tidak tahu
siapa ayahnya! Makanya kita harus pandai-pandai
memilih! Jangan-jangan dapat anak garong!"
Pasangan yang lain yang melihat ulah Bara, juga
tidak jadi memilihnya. Padahal mereka sudah tertarik
sekali pada anak itu.
"Susah mendidiknya kalau dari sananya sudah
rusak, Bu."
"Benar, Pak. Kalau masih kecil saja sifat-sifatn-ya
sudah seperti ini, bagaimana kalau sudah besar? Wah,
lebih baik tidak punya anak daripada makan hati
dirongrong anak orang lain!"
Bu Nasti yang ada di sana, langsung menyeret
Bara masuk ke kantornya. Wajahnya sudah merah
sampai ke telinga. Belum pernah dia merasa terhina
seperti saat itu. Selama ini, panti asuhannya telah44
terkenal sebagai panti asuhan yang baik. Anak-anak
yang diasuhnya tidak pernah memalukan.
Memang Bu Nasti tidak dapat menjamin mereka
semua berasal dari keluarga baik-baik. Tetapi berkat
didikan yang baik dan disiplin yang ketat, mereka
dapat ditempa menjadi anak-anak yang patuh. Bu
Nasti percaya, lingkunganlah yang paling penting
untuk membina sifat-sifat seorang anak. Bukan
keturunan.
Bu Nasti sudah membuka mulutnya untuk mendamprat Bara ketika tiba-tiba matanya beradu dengan
mata anak itu. Inilah untuk pertama kalinya mereka
berada berdua saja dalam sebuah kamar. Sepi. Tidak
ada orang lain. Dan untuk pertama kalinya pulalah Bu
Nasti menyadari, betapa miripnya Bara dengan
ayahnya. Caranya menatap. Raut wajahnya. Bentuk
bibirnya...
"Bara."
Sekonyong-konyong Bu Nasti mengubah cara
pendekatannya. Ditahannya amarahnya yang su-dah
hampir meledak. Dia tahu, kalau dimarahi, palingpaling Bara akan menangis. Padahal ada sesuatu yang
lebih penting yang harus diketahuinya.
"Ibu mau tanya, kenapa hari ini Bara nakal
sekali?"
Bara cuma menyeringai. Antara takut dan heran.
Heran karena hari ini gendruwo ini tidak marahmarah seperti biasa. Takut karena merasa punya dosa.
Punya kesalahan.
Bahkan ketika sedang menyeringai pun dia mirip
ayahnya, keluh Bu Nasti dalam hati. Kapan terakhir
kali dilihatnya seringai seperti itu? Ah, betapa
lamanya semua itu telah berlalu!45
Bu Nasti menghampiri lemarinya. Membukanya.
Dan mengeluarkan sebuah kotak permainan. Dari
dalam kotak itu, dia mengambil sebuah mobilmobilan. Cukup besar. Dan amat bagus di mata Bara.
Refleks Bara mengulurkan tangannya. Matanya
bersinar-sinar penuh harap.
"Mobil-mobilan ini akan menjadi milikmu," kata
Bu Nasti tegas. "Tapi jawab dulu pertanyaan [bu."
"Mobil!" seru Bara gembira. Dia melonjak-lonjak
kegirangan. Tangannya diacung-acungkannya ingin
meraih mobil itu. Seluruh perhatiannya sudah
tertumpah habis pada permainan di tangan Bu Nas-ti.
"Mobil! Buat Aya! Buat Aya!"
"Buat Aya. Kalau Aya tidak nakal."
"Aya nggak nakal lagi!" Bara menggelengkan
kepalanya dengan segera. Matanya yang lucu dan
bulat menatap dengan penuh keinginan.
"Betul Aya tidak nakal lagi?"
"Betul!"
"Mengapa hari ini Aya nakal sekali?"
"Disuruh Kakak!"
* * *
"Jadi kamu yang menyuruh adikmu supaya na-kal?!"
Cempaka tidak menjawab. Tapi dia membalas
tatapan Bu Nasti dengan berani. Bara adiknya.
Perempuan ini tidak berhak memisahkan mereka!
Siapa dikiranya dia? Ibu bukan. Bapak pun bukan.
Mengapa dia hendak memisahkan dirinya dari Bara?
"Mengapa kamu begini jahat?!" geram Bu Nasti
sengit. "Kamu sengaja mengajari adikmu supaya
nakal?!"
"Kenapa Ibu mau memisahkan kami?!"46
"Memisahkan kalian?"
"Ibu mau memberikan Bara kepada orang lain!"
teriak Cempaka separuh menangis. "Ibu jahat! Ibu
mau memisahkan kami!"
Bu Nasti merasa sebuah tikaman yang tidak
kelihatan menghunjam di jantungnya. Nyeri. Pedih.
Hampir tak tertahankan.
Belasan tahun dia telah membaktikan hidupnya
untuk anak-anak terlantar. Berjuang agar mereka
memperoleh kebahagiaan yang tidak pernah
dimilikinya. Bahkan di akhir hidupnya, dia masih
berjuang agar anak-anak ini, anak-anak orang yang
telah menyiksa hidupnya, dapat memperoleh
kebahagiaan. Tapi sekarang anak yang hendak
ditolongnya itu malah mencercanya!
"Ibu siapa?!" Kata-kata Cempaka seperti cambuk
yang melecut telinga. Melukai Hati. Menikam
jantung. "Ibu punya hak apa memisahkan kami?! Ibu
bukan, ayah pun bukan! Ibu tidak berhak mengambil
Bara dari saya!"
Bu Nasti melayangkan tamparannya ke pipi Cempaka. Hanya supaya mulut gadis kecil itu berhenti
mencacinya. Belasan tahun dia telah mengasuh anakanak orang lain. Bahkan kini, anak orang yang telah
menyengsarakan hidupnya! Apa yang diharapkannya
dari mereka?
Tidak ada! Dia tidak mengharapkan balasan apaapa! Dia hanya mendambakan kebahagiaan mereka!
Sekarang salah seorang anak yang dibelanya matimatian itu malah melawan! Menghina dia!
Terhuyung-huyung Bu Nasti menebah dadanya.
Dunianya terasa gelap. Sambil menahan nyeri di
dadanya, dia bersandar ke dinding. Tapi ketika dia
membuka matanya kembali, Cempaka telah lenyap.47
BAB IV
TlDAK sulit bagi Cempaka dan Bara untuk
melarikan diri saat itu. Pintu tidak tertutup.
Pengunjung sedang banyak-banyaknya. Para
pengasuh mereka pun sedang sibuk melayani tamu.
Dan Bu Nasti masih berada di kamar kerjanya.
Sambil masih menangis, Cempaka menyeret Bara
yang sedang asyik bermain dengan mobilmobilannya. Tentu saja mula-mula Bara menolak. Dia
punya mainan baru. Dan dia sudah berjanji tidak akan
nakal lagi.
"Ke mana, Kak?" protes Bara uring-uringan.
Dengan sebelah tangan ditarik Cempaka, tangan yang
lain memeluk mobil-mobilannya, Bara menahan
kakinya. Tidak mau melangkah.
"Pulang!"
"Pulang ke mana?"
"Ke rumah!"
"Ini rumah kita."
"Bukan! Ini bukan rumah kita!"
"Aya nggak mau pergi!"
Cempaka menghempaskan tangan adiknya
dengan marah.
"Aya nggak mau ikut?!"
'Ke mana?"
"Pulang!"
Bara melirik mobil-mobilannya dengan bingung.48
"Kata Bu Nasti..."
"Jangan dengarkan dia!"
"Katanya kalau Aya nggak nakal, mobil-mobilan
ini buat Aya!"
"Dia mau menyogokmu! Aya mau diberikan pada
orang lain! Aya mau punya ayah brewokan, punya ibu
gembrot?!"
"Nggak mau!"
"Kalau begitu ikut Kakak!"
"Ke mana?"
"Pulang!"
"Mobil-mobilan ini..." Bara melirik mainannya
dengan ragu-ragu, "...boleh dibawa?"
Tanpa menjawab, Cempaka menyeret tangan
adiknya. Mereka menyelinap ke luar. Dan melarikan
diri. Tetapi pulang ke rumah sungguh tidak mudah.
Cempaka tidak ingat lagi jalan pulang.
Dulu waktu pergi dari rumah, mereka punya
uang. Punya alamat. Mereka dapat menunjukkannya
pada kondektur bis. Dapat menunjukkan alamat surat
itu pada orang-orang yang ditemui di jalan.
Tetapi sekarang, mereka tidak punya apa-apa.
Mereka sudah berjalan setengah harian. Tapi rumah
mereka belum kelihatan juga.
"Capek, Kak!" rengek Bara untuk kesekian
kalinya. Dia sudah uring-uringan terus. Entah sudah
berapa kali dia menangis.
"Haus... lapar..."
Terpaksa Cempaka membawa Bara beristirahat di
dalam sebuah taman. Hari sudah mulai gelap. Bukan
cuma Bara yang menangis. Cempaka pun mulai
ketakutan. Dia mulai menyesal telah lancang meninggalkan panti asuhan. Bagaimanapun di dalam
sana masih lebih enak daripada di luar sini.49
Angin bertiup sangat kencang. Menghamburkan
debu ke sana kemari. Bara sudah beberapa kali bersin.
Sebentar lagi dia pasti pilek.
Kilat sabung-menyabung di udara. Hujan turun
hanya tinggal menunggu waktu. Cempaka mengajak
adiknya berlindung di bawah sebatang pohon. Dia
tidak tahu, betapa berbahayanya berlindung di bawah
pohon pada saat kilat sambar-menyambar seperti ini.
Mereka dapat tersambar petir.
Cempaka duduk bersandar ke batang pohon itu.
Bara berbaring di atas pangkuannya.
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lapar, Kak...," rintih Bara lagi.
"Tidur saja, ya," bujuk Cempaka sedih. "Besok
kalau sudah terang, kita cari lagi rumah kita."
"Aya mau pulang...."
"Besok kita sampai ke rumah...."
"Sekarang!"
"Tidak bisa."
"Pulang ke tempat Bu Nasti...."
"Nanti Aya diambil orang! Mau diambil orang
lain? Pisah sama Kakak?"
"Aya lapar! Mau makan!"
"Besok kita makan...."
"Sekarang!"
"Diamlah. Jangan cerewet."
"Aya lapar, Kak...."
"Kakak juga lapar. Tapi sekarang nggak ada
makanan."
"Pulang, Kak...."
"Kita nggak bisa pulang! Aya tidur saja ya?
Kakak mendongeng lagi ya? Sampai di mana dulu?
Kancilnya sudah ketemu buaya?"
"Aya mau pulang! Mau tidur di rumah...."
"Besok ya? Sekarang kita tidur di sini saja."50
Cempaka mengusap-usap rambut adiknya dengan
sedih. Sesal yang telah terbit di hatinya semakin
membukit. Kalau saja dia tidak lari dari panti
asuhan... Bara tidak usah begini menderita!
"Aya tidak mau berpisah dengan Kakak, kan?"
Air mata meleleh membasahi pipi Cempaka. "Kalau
Aya pulang, Bu Nasti akan memberikan Aya kepada
orang lain! Aya tidak akan bertemu dengan Kakak
lagi!"
"Kenapa?" Mata Bara berkedip-kedip bingung
menatap kakaknya.
"Sebab Aya akan diambil oleh orang berjenggot."
"Perempuan gembrot?"
"Aya mau?"
Bara menggeleng ketakutan.
"Makanya jangan pulang!"
Bara mengawasi kakaknya dengan tatapan antara
mengerti dan tidak. Cempaka mencium dahi adiknya
dengan penuh kasih sayang.
"Biar kita begini saja ya? Asal jangan berpisah!"
Bara mengangguk. Tapi sedetik kemudian dia
sudah mengerang lagi.
"Aya lapar...."
"Tahan sedikit ya? Aya tidur saja. Kakak nyanyi
supaya Aya ngantuk."
Perlahan-lahan Cempaka menembangkan sebuah
lagu untuk meninabobokkan adiknya. Dibelaibelainya kepala adiknya dengan lembut. Bara
menatap kakaknya dengan sayu. Sampai perlahanlahan kantuk datang menyapanya. Dan matanya mulai
terpejam....
* * *51
Bu Nasti diserang rasa panik dan sesal yang tak
kunjung padam. Cempaka hilang. Adiknya juga. Dan
semua itu gara-gara tindakannya yang terlalu
emosional.
Mengapa harus bertindak sekeras itu kepada
Cempaka? Dia masih terlalu kecil untuk mengerti!
Mengapa tidak diajaknya anak itu bertukar pikiran?
Mengapa tidak dijelaskannya dengan bijaksana
mengapa mereka ada di sini? Mengapa mereka harus
berpisah.... Mengapa harus ada orang yang mengangkat mereka sebagai anak....
Sejak melihat Cempaka, Bu Nasti memang selalu
diombang-ambingkan perasaannya sendiri. Emosinya
memuncak tanpa disadari.
Tentu saja dia tidak membenci mereka. Tidak!
Mereka tidak bersalah. Tidak patut menghukum
mereka atas kesalahan yang dilakukan oleh orang tua
mereka.
Bu Nasti ingin mereka juga berbahagia bersama
keluarga yang akan mengambil mereka. Seperti pesan
ayah Cempaka. Anak-anak itu tidak boleh terlantar!
Tetapi sejak datang, anak-anak itu selalu membuat susah. Selalu membangkang. Selalu membuat Bu
Nasti marah. Dan bagaimanapun Bu Nasti tidak dapat
mengusir wajah yang satu itu. Wajah yang sangat
dibencinya setiap kali melihat Cempaka....
Memarahi anak itu seolah-olah menumpahkan
dendamnya yang terpendam selama bertahun-tahun....
Ah, sungguh tidak adil! Mengapa harus membalaskan
sakit hatinya kepada seorang anak yang tidak
bersalah?
Dan Bara! Kelinci kecil yang lucu itu! Sekarang
dia ikut menghilang. Padahal Bu Nasti sebenarnya
sangat menyukainya.... Dia mirip seseorang...52
seseorang yang pernah melukai hatinya... tetapi juga
sekaligus seseorang yang paling dicintainya....
"Kita cari mereka, Lastri," katanya gemetar. "Kita
harus menemukan mereka."
"Tentu, Bu. Tapi Ibu tinggal saja di rumah. Biar
saya dan Bu Ani yang mencari mereka."
Percuma. Bu Nasti berkeras ingin ikut mencari.
"Mereka pergi karena Ibu," katanya penuh
penyesalan. "Ibu yang telah menampar Cempaka...."
"Tapi Ibu masih terlalu lemah. Berjalan jauh terlalu berat untuk jantung Ibu...."
"Kita harus mencarinya, Lastri! Apa yang harus
Ibu katakan pada ayah mereka di akhirat nanti kalau
kita tidak dapat menemukan mereka?"
"Ah, Ibu! Jangan berkata yang bukan-bukan!"
"Ibu telah berjanji pada ayah mereka! Meskipun
cuma dalam hati! Ibu tidak akan menelantarkan
mereka. Sesuai dengan permintaan ayah Cempaka.
Tapi sekarang... mereka pergi. Karena kesalahan Ibu.
Ibu terlalu kasar... terlalu keras kepada mereka...."
"Bukan salah Ibu. Mereka memang nakal."
"Tidak cukup nakal untuk diperlakukan seperti
itu. Sejak datang, Ibu tidak pernah memberikan
pengertian kepada mereka. Tidak pernah menunjukkan kasih sayang. Padahal batin mereka sedang
terguncang. Mereka baru dipisahkan dengan paksa
dari ayah dan rumah mereka. Tanpa penjelasan!"
"Saya sudah menjelaskan pada mereka."
"Mereka tidak mengerti, Lastri. Mereka masih
anak-anak. Semua salah Ibu...."
"Jangan terlampau menyalahkan diri Ibu sendiri.
Nanti jantung Ibu sakit lagi...."53
"Cempaka hanya tidak ingin berpisah dengan
adiknya. Dia tidak bersalah. Karena dia tidak
mengerti."
"Sudahlah, Bu. Akan kita cari mereka. Ibu tenang
saja. Kita pasti dapat menemukan mereka...."
"Ibu kuatir, Lastri.... Mereka masih terlalu
kecil...."
"Tapi Cempaka cukup cerdas, Bu. Barangkali dia
sudah tiba di rumah ayahnya."
Ayahnya...! Wajah Bu Nasti berkerut seperti
disengat rasa sakit yang teramat sangat. Cempaka
kembali kepada ayahnya? O, betapa kecewanya
Harsono! Mungkin dia sedang terbaring di ranjang
mautnya. Atau... dia sedang terkapar di rumah sakit?
Sekarat menanti ajal?
Ah, bagaimana sedih dan terpukulnya dia kalau
melihat anak-anaknya kembali dalam keadaan seperti
itu! Dia pasti kecewa! Orang yang paling dipercayai,
ternyata juga tidak dapat dipercaya!
Sekali waktu dulu, Harsono memang pernah
mengkhianatinya. Harsono tidak dapat dipercaya. Dia
berpaling pada Surti, sahabat Bu Nasti sejak kecil!
Tetapi Bu Nasti tidak dapat membalas pengkhianatan mereka dengan menyia-nyiakan
kepercayaan Harsono! Bagaimanapun tidak dapat
dipercayanya laki-laki itu, Bu Nasti harus tetap dapat
dipercaya!
"Kita ke sana!" cetus Bu Nasti mantap. Meskipun dia tidak ingin melihat muka laki-laki itu lagi, dia
bertekad untuk menyelesaikan salah paham ini. Tapi...
benarkah dia sungguh-sungguh tidak ingin melihat
Harsono... untuk terakhir kali?
* * *54
Ketika Bu Nasti tiba di rumah Harsono bersama
Lastri, rumah itu kosong.
"Sudah dikembalikan pada pemiliknya," kata
tetangga sebelah rumah. "Sampai sekarang masih
kosong. Belum ada yang mcnycwanya lagi."
"Dan Pak Harsono?" tanya Bu Nasti gugup.
Lastri melirik Bu Nasti dengan heran. Tidak
biasanya dia begitu menaruh perhatian kepada orang
lain. Seorang laki-laki pula.... Ada hubungan apa
antara Bu Nasti dengan ayah Cempaka?
"Di rumah sakit, Bu. Sudah hampir seminggu
dirawat di sana."
Dan keheranan Lastri mencapai puncaknya ketika
Bu Nasti mengajaknya ke rumah sakit.
"Tapi kita sedang mencari Cempaka dan Bara,
Bu!" bantahnya bingung. Padahal biasanya Lastri
tidak pernah berani membantah!
"Siapa tahu mereka ada di sana," kilah Bu Nasti.
"Anak dan ayah mempunyai hubungan batin yang
kadang-kadang tidak dapat dicemakan oleh otak
manusia. Mungkin naluri Cempaka membawanya
menengok ayahnya yang sedang sakit...."
"Tapi tetangganya tidak ada yang melihat anakanak itu pulang ke sini! Bagaimana mereka tahu ayah
mereka di rumah sakit?"
"Jika kamu tidak mau ikut, kamu boleh pulang!"
Tentu saja Lastri mau ikut. Dan dia tidak berani
membantah lagi. Dia tidak dapat membiarkan Bu
Nasti pergi seorang diri dalam keadaan seperti ini.
"Saya temannya," kata Bu Nasti kepada perawat
yang menanyakan identitasnya.
"Kebetulan sekali, Bu," jawab perawat itu. "Kami
memang sedang mencari keluarganya."55
"Dia tidak punya keluarga lagi. Bagaimana
keadaannya, Suster?"
"Sudah dalam keadaan koma. Untung Ibu datang
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang."
* * *
Menitik air mata Bu Nasti melihat keadaan laki-laki
itu. Harsono sudah hampir terlelap untuk selamalamanya ketika Bu Nasti sampai di sisi pembaringannya.
Matanya terpejam rapat. Wajahnya pucat seperti
sudah tidak dialiri darah lagi. Tetapi dadanya yang
tipis masih turun-naik dengan sulitnya. Pernapasannya sudah dibantu dengan pipa oksigen. Setetes demi
setetes cairan infus masih mencoba dengan sia-sia
mengalirkan kehidupan melalui pembuluh darahnya.
Inilah laki-laki yang sekali waktu dulu pernah
menyakiti hatinya. Pernah menjungkirbalikkan
panggung kebahagiaan hidupnya. Tetapi juga laki-laki
yang pernah meneteskan setitik kebahagiaan dalam
hidupnya yang gersang. Laki-laki yang pernah memberikan apa yang tak pernah dimilikinya. Laki-laki
pertama dan terakhir yang memperkenalkan cinta.
Bertahun-tahun Bu Nasti memendam sakit
hatinya. Membagikan kasih sayangnya yang terbuang
kepada anak-anak asuhannya. Tetapi sekarang ketika
melihat keadaan Harsono, semua sakit hatinya lenyap
tak bersisa.
Harsono telah membayar pengkhianatannya
dengan penderitaan di akhir hidupnya. Sekarang
biarlah dia pulang dengan damai. Bu Nasti ikhlas memaafkannya. Supaya beban dosa itu tak lagi memberati perjalanannya ke alam baka.56
Ketika napas Harsono tinggal satu-satu, Bu Nasti
mengusap wajahnya sambil berdoa,
"Pulanglah, Har," bisiknya tulus. "Telah kumaafkan."
Tangan Harsono masih berada dalam genggaman
Bu Nasti tatkala napas yang terakhir meninggalkan
jasadnya. Tetapi yang lega bukan hanya Harsono. Bu
Nasti juga.
Pada saat terakhir, mereka telah berdamai. Dan
dua jiwa yang resah selama belasan tahun,
menemukan kedamaian dalam pertemuan yang
mengharukan.
* * *
Setelah sia-sia mencari Cempaka dan Bara, Bu Nasti
minta Lastri menghubungi polisi. Dia sangat
mencemaskan nasib mereka. Ke mana mereka pergo?
Mereka tidak pulang ke rumah. Tidak juga
kembali ke panti asuhan. Mereka pasti tersesat! Dan
Bu Nasti tidak ingin mereka terlantar! Menjadi
gelandangan! Bagaimanapun dia harus menemukan
mereka.
Sia-sia Lastri mencegah. Tiap hari Bu Nasti
menelusuri tempat-tempat di sekitar panti asuhannya.
Mencari Cempaka dan Bara.
"Biarkan polisi mencari mereka, Bu!" keluh
Lastri cemas. "Ibu terlalu capek! Baru selesai
mengurus pemakaman Pak Harso, Ibu sudah mulai
lagi mencari mereka! Jantung Ibu tidak kuat!"
"Ibu harus menemukan mereka." Bu Nasti mengambil mantel dan payungnya. "Mari kita bantu polisi
mencari mereka."57
Terpaksa Lastri mengikuti Bu Nasti. Diambilnya
sebuah syal. Dililitkannya di leher perempuan itu.
"Pakai ini, Bu," katanya dalam nada kuatir.
"Anginnya kencang sekali. Mau hujan."
"Kita harus menemukan mereka, Lastri", kata Bu
Nasti sambil berjalan cepat-cepat. "Sebelum hujan.
Kasihan mereka. Di mana mereka harus berteduh
kalau hujan?"
"Jangan terlalu kuatir, Bu. Cempaka cukup
cerdas...."
"Ah, dia masih terlalu kecil!"
"Lebih baik Ibu pulang saja. Biar saya dan Bu
Ani yang pergi mencari mereka...."
"Ani matanya kurang awas! Cempaka lewat di
depannya pun dia belum tentu melihatnya!"
"Tapi Ibu terlalu lelah! Sudah seharian ini Ibu
tidak istirahat. Sejak pagi Ibu mengurus pemakaman
Pak Harso..."
"Coba lihat anak-anak itu, Lastri!" Bu Nasti
menunjuk dua orang anak yang sedang menyeberang.
"Bukan mereka?"
"Mirip memang, Bu. Tapi bukan mereka!"
"Ah." Bu Nasti mengeluh kecewa.
"Jangan cemas. Bu. Polisi pasti menemukan
mereka!"
"Ibu merasa berdosa, Lastri."
"Jangan terlalu menyalahkan diri Ibu! Ibu sudah
berbuat banyak sekali untuk mereka! Siapa yang
mengurus pemakaman ayah Cempaka kalau bukan
Ibu?"
"Lastri!" Di luar dugaan, Bu Nasti membentaknya
dengan gusar. "Jangan omong begitu!"
Dengan marah Bu Nasti meninggalkan Lastri
yang masih tertegun bingung. Dia melangkah cepat-58
cepat sambil menoleh ke kanan ke kiri. Terpaksa
Lastri mengikutinya dari belakang dengan mulut
terkunci.
Mari telah mulai gelap ketika Bu Nasti memutuskan untuk pulang. Dia sudah putus asa. Wajahnya
sangat berduka.
"Kita gagal lagi, Lastri," keluhnya sedih. "Kita
tidak dapat menemukan mereka."
"Sudahlah, Bu. Mari kita cepat-cepat pulang.
Sebentar lagi hujan!"
"Maafkan aku, Har," bisik Bu Nasti putus asa.
"Aku tidak dapat memenuhi harapanmu yang terakhir!"
Kilat menyambar seperti menjawab kesedihan Bu
Nasti. Guntur menggelegar memekakkan telinga. Lalu
hujan pun turun dengan lebatnya.
Buru-buru Lastri membuka payungnya dan memayungi Bu Nasti. Saat itu dua orang anak melintas
di depan mereka. Dan berlari-lari menerobos hujan
mencari tempat berteduh.
"Cempaka!" teriak Bu Nasti, walaupun sebenarnya dia tidak melihat wajah mereka. "Bara! Bara!"
Anak perempuan itu berhenti berlari. Dia
menoleh. Dan dalam gelap Lastri mengenali wajah
yang basah kuyup disiram air hujan itu....
"Cempaka!v seru Lastri gembira bercampur haru.
Tetapi Cempaka mengawasi mereka dengan
sangat ketakutan seperti melihat hantu. Dia sudah
menarik tangan adiknya. Siap untuk melarikan diri
ketika dilihatnya Bu Nasti merentangkan tangannya,
siap untuk merangkulnya.
"Cempaka..."
Dalam hujan, suara Bu Nasti terdengar amat
lemah. Hampir tidak kedengaran. Tetapi Cempaka59
dapat merasakan getar kelembutan dalam suara itu.
Ragu-ragu ditatapnya Bu Nasti. Di balik tirai air hujan
yang mcmisahkan mereka, mata perempuan itu
bersorot penuh kasih sayang....
"Cempaka..." panggil Bu Nasti sekali lagi.
"Bara..."
Lalu Cempaka melemparkan dirinya ke dalam
pelukan Bu Nasti. Bara yang melihat tindakan
kakaknya langsung menghambur pula. Bu Nasti berjongkok. Dan menerima kedua anak itu dalam
pelukannya.
Lastri buru-buru memayungi mereka. Bu Nasti
membuka mantelnya. Dan menyelimutkannya ke
tubuh Bara. Sementara syal lehernya dililitkannya ke
leher Cempaka.
* * *
Yang sakit bukan hanya Bara. Bu Nasti juga. Hanya
kebetulan Cempaka memergoki Mbak Lastri sedang
menangis, sekeluarnya dari kamar Bu Nasti.
"Mbak!" Cempaka menghambur ke dalam
pelukan Mbak Lastri. "Bu Nasti..."
Lastri merangkulnya sambil menahan tangis.
"Bu Nasti sakit, Cempaka."
"Boleh saya melihatnya, Mbak?"
"Belum boleh diganggu kata dokter."
"Parah sakitnya, Mbak?"
"Dokter Hanafi bilang, harus masuk rumah sakit."
"Ah!" Cempaka tersentak kaget. Matanya terbelalak cemas menatap Mbak Lastri. Tidak disangkanya sakit Bu Nasti seberat itu! "Karena Cempaka
ya, Mbak? Karena Bu Nasti hujan-hujanan mencari
kami?"60
"Bukan, Cempaka. Bukan karena kalian. Bu Nasti
memang sudah lama sakit jantung. Dokter sudah
berkali-kali menyuruhnya istirahat di rumah sakit.
Tapi Bu Nasti tidak mau."
"Kenapa, Mbak? Kenapa Bu Nasti tidak mau?"
"Biayanya besar, Cempaka. Lagi pula siapa yang
akan mengurus panti asuhan ini kalau Bu Nasti di
rumah sakit?"
"Kita bisa kerja, Mbak!" kata Cempaka penuh
semangat. "Kita cari uang untuk Bu Nasti! Asal bisa
sembuh!"
Lastri tersenyum haru. Dibelai-belainya rambul
Cempaka dengan lembut.
"Cempaka masih kecil. Belum bisa cari uang.
Lagi pula Bu Nasti tidak mau meninggalkan kita.
Beliau selalu memikirkan kalian. Sekarang Cempaka
mengerti mengapa Bu Nasti ingin mencarikan orang
tua angkat buat kalian? Supaya kalian punya orang
tua. Punya rumah. Punya seseorang yang akan
mengasihi dan merawat kalian. Saat itu baru Bu Nasti
dapat meninggalkan kalian dengan tenang. Dan
mengurus dirinya sendiri...."
* * *
Cempaka menutup mukanya sambil menangis. Dia
merasa berdosa terhadap Bu Nasti. Mengapa harus
selalu disakitinya hati ibu yang baik itu? Mengapa
harus selalu dibuatnya marah?
Sekarang Bu Nasti sakit. Tidak dapat
meninggalkan tempat tidur. Harus masuk rumah sakit
pula. Dan semua itu karena kesalahannya! Karena dia
kabur bersama Bara, Bu Nasti mencarinya. Tanpa61
mengenal lelah. Melupakan sakitnya. Menembus
hujan. Menentang malam.
Ah, kasihan Bu Nasti! Dia memang kelihatannya
galak. Tapi sebenarnya hatinya baik. Lembut. Dia
marah karena Cempaka nakal. Karena dia selalu
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melawan. Selalu membangkang. O, sekarang baru
Cempaka benar-benar menyesal....
"Sudahlah, Cempaka," bujuk Mbak Lastri ketika
dia menemukan Cempaka sedang menangis seorang
diri. "Tidak ada gunanya menangis. Kalau kamu sakit,
Bu Nasti tambah sedih. Bagaimana Bara? Masih
pilek?"
"Mendingan, Mbak." Cempaka menyusut air
matanya. "Bu Nasti bagaimana?"
"Tidur."
"Mbak, Cempaka ada usul."
"Usul apa?"
"Kita mengumpulkan uang untuk Bu Nasti."
"Mengumpulkan uang?" Mbak Lastri hampir
tidak percaya pada telinganya sendiri.
"Supaya Bu Nasti punya uang untuk ke rumah
sakit."
"Bagaimana caranya?" Mbak Lastri menekan rasa
haru yang mengoyak perisai hatinya.
"Hari Minggu nanti, kalau tamu-tamu datang, kita
suguhkan nyanyian dan tarian. Lalu kita minta mereka
menyumbang."
Sederhana. Tulus. Polos. Khas pemikiran seorang
anak. Mbak Lastri benar-benar terharu. Selama
beberapa detik dia sampai tidak mampu membuka
mulutnya. Air mata menggenang di sudut matanya.
"Bagaimana, Mbak?"
"Mungkin Bu Nasti tidak setuju."62
"Biar saya yang mengusulkannya, Mbak. Kalau
Bu Nasti marah, biar saya yang dimarahi!"
"Tapi apa yang mau kita suguhkan pada para
tamu, Cempaka? Siapa yang bisa menyanyi? Dan
siapa yang mau menari?"
"Cempaka bisa nyanyi, Mbak. Bisa menari pula.
Cempaka pernah belajar menari...."
"Lalu siapa yang akan mengiringi nyanyian dan
tarian Cempaka?"
"Cempaka akan minta tolong Paman Wisnu."
"Paman... Wisnu...?"
"Tetangga sebelah, Mbak. Yang dulu mengantar
Cempaka kemari. Paman Wisnu punya piano. Dan
pintar pula memainkannya."
"Tentu. Paman Wisnu guru piano. Tapi... Mbak
tidak yakin Paman Wisnu mau membantu kita.
Orangnya sulit!"
"Biar Cempaka yang ke sana, Mbak!"
* * *
Hari sudah gelap ketika Pak Wisnu membuka pintu
pagar rumahnya. Tertatih-tatih dia menyeret kakinya.
Melangkah masuk sambil mendekapkan buku piano
ke dadanya. Batuk-batuk kecilnya langsung berhenti
ketika melihat seorang anak per-empuan duduk di
depan pintu rumahnya.
"Kau," sergahnya ketika mengenali Cempaka.
"Mau apa lagi di sini?"
"Saya ingin minta tolong, Paman."
"Minta tolong? Hah! Kenapa tidak minta tolong
pada Bu Nasti?"
Acuh tak acuh Pak Wisnu membuka pintu
rumahnya dan melangkah masuk. Tatkala dia hendak63
menutup pintu itu kembali, dilihatnya Cempaka masih
tegak menanti di luar. Matanya menatap penuh
permohonan.
"Bu Nasti sakit, Paman...," desah Cempaka lirih.
"Sakit? Kenapa tidak pergi ke dokter?"
"Sudah, Paman. Kata dokter harus masuk rumah
sakit."
"Nah, masuklah! Kenapa kemari? Paman bukan
dokter! Dan di sini bukan rumah sakit!"
Acuh tak acuh Pak Wisnu menutup pintu. Tetapi
Cempaka langsung mengetuk pintu itu. Dan Pak
Wisnu terpaksa membukanya kembali.
"Ada apa lagi?" tanyanya jengkel.
"Tolonglah, Paman...."
"Apa yang dapat Paman tolong? Mereka
mengizinkan kamu kemari malam-malam begini?
Atau... mungkin mereka yang menyuruhmu kemari?"
"Ini usul saya sendiri, Paman...."
"Usul apa?"
"Maukah Paman mengiringi saya menyanyi
dengan piano?"
"Hah? Kamu jangan main-main! Ini sudah
malam. Dan Paman capek sekali! Sana, pulanglah!"
"Tolonglah saya, Paman...."
Ada sesuatu di dalam mata gadis kecil ini yang
tidak dapat ditolak oleh Pak Wisnu. Suatu permohonan yang tulus. Terpaksa Pak Wisnu menyabarnyabarkan diri.
"Masuklah," katanya akhirnya. "Kita bicara di
dalam."
Cempaka melangkah masuk dengan perasaan
lega. Dan napas lega yang telah dihirupnya separuh
itu tertahan kembali ketika melihat keadaan rumah64
Paman Wisnu. Belum pernah dia melihat rumah yang
demikian kotor dan berantakan!
Buku-buku musik berserakan di sana-sini. Kertaskertas bertebaran dari meja sampai ke lantai. Piring
dan gelas bekas makan dan minum pagi tadi masih
teronggok kotor di atas meja. Puntung rokok
berserakan di lantai. Abunya berhamburan kemanamana.
Satu-satunya benda yang masih cukup berharga di
ruang yang separuh kosong itu hanyalah sebuah piano
tua. Kayunya telah lapuk. Warnanya yang hitam telah
luntur. Tidak berkilat lagi. Tetapi suaranya masih
cukup baik. Cempaka sering mendengar Paman
Wisnu memainkan sebuah lagu kalau malam.
"Nah, kamu boleh duduk, boleh berdiri terus di
situ, Paman tidak peduli," kata Paman Wisnu sambil
meletakkan buku-bukunya di atas meja. Dibukanya
jaketnya yang telah lusuh. Dilemparkannya begitu
saja ke kursi. "Sekarang jangan bertele-tele lagi.
Cepat bilang apa maumu."
"Saya minta Paman sudi bermain piano.
Mengiringi nyanyian dan tarian saya."
"Di mana?"
"Hari Minggu nanti, banyak tamu yang datang ke
tempat kami. Kami bermaksud mengumpulkan
dana..."
"Oh, begitu!" potong Paman Wisnu kesal.
"Sekarang Paman mengerti!"
"Paman mau, kan?"
"Tidak! Cari saja orang lain!"
"Tolonglah, Paman...." Sekarang Cempaka benarbenar memohon. Air mata sudah menitik ke pipinya.
"Bu Nasti sakit. Harus masuk rumah sakit, kata
dokter. Tapi kami tidak punya uang...."65
"Mereka menyuruhmu mencari uang?" Suara
Paman Wisnu mulai melunak. Dipalingkannya
wajahnya. Tidak tega melihat air mata gadis kecil itu.
"Ini usul saya sendiri, Paman. Bu Nasti sakit
karena saya. Karena saya nakal! Saya selalu membuatnya marah...."
Cempaka menyusut air matanya.
"Saya kabur dari sana.... Bu Nasti mencari saya....
Sekarang Bu Nasti sakit.... Sakit jantung, kata
dokter.... Mesti masuk rumah sakit.... Tapi Bu Nasti
nggak mau...."
"Karena tak punya uang?"
"Dan karena Bu Nasti tidak mau meninggalkan
kami...."
Pak Wisnu belum pernah berbuat amal. Separuh
perjalanan hidupnya yang gersang telah dilaluinya
seorang diri. Benar-benar seorang diri. Tidak ada
orang lain yang diperkenankan masuk dalam
dunianya.
Tetapi hari ini, ada seorang anak perempuan kecil
yang memohon pertolongannya. Bukan untuk dirinya
sendiri. Tapi untuk ibu pengasuhnya....
Hati Pak Wisnu yang bertahun-tahun telah membatu, mencair dengan sendirinya. Ternyata di dunia
ini masih ada kasih sayang! Masih ada kehangatan!
* * *
Perlahan-lahan Cempaka membuka pintu kamar Bu
Nasti. Kamar itu tidak gelap sama sekali. Di sudut
sana ada sebuah lampu kecil yang masih menyala.
Kata Mbak Lastri, Bu Nasti belum tidur. Meskipun demikian, Cempaka tidak berani membuat gaduh.66
Dating With Dark Karya Shanty Agatha Pendekar Slebor 26 Geisha Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama