Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W Bagian 2
Mengendap-endap dia menghampiri pembaringan Bu
Nasti. Takut mengganggu.
Bu Nasti berpaling ketika mendengar langkahlangkah kaki mendekati pembaringannya. Dan
tatapannya beradu dengan tatapan Cempaka yang
ragu-ragu.
Cempaka baru berani mendekat ketika Bu Nasti
melambaikan tangannya. Dia berlutut di sisi pembaringan. Dan mencium tangan Bu Nasti.
Tanpa berkata sepatah pun, Bu Nasti mengelus
rambutnya. Dan Cempaka merasa tenggorokannya
tersekat. Dia tidak mampu lagi mengucapkan sepatah
kata pun. Karena begitu dia membuka mulutnya,
tangisnya pasti pecah.
Bu Nasti memang tidak berkata apa-apa. Tetapi
belaian tangannya yang lembut di kepala Cempaka
sudah mengungkapkan perasaannya. Lebih berarti
daripada serentetan kata-kata. Lebih berbicara daripada segebung ungkapan kasih sayang.
"Cempaka minta maaf, Bu...," desah Cempaka
menahan tangis. "Karena kesalahan Cempaka, Ibu
sakit...."
Bu Nasti mengangguk sambil tersenyum.
Tangannya lambat-lambat turun ke bibir Cempaka.
Seakan-akan ingin menutup mulutnya supaya jangan
berkata seperti itu lagi.
Tak dapat menahan tangisnya lagi, Cempaka
merangkul Bu Nasti. Dan Bu Nasti menyambutnya
dengan terharu. Untuk pertama kalinya Cempaka
melihat perempuan galak yang keras hati itu
menitikkan air mata.
Bu Nasti memejamkan matanya sambil mengucap
syukur kepada Tuhan.67
"Terima kasih telah mengirimkan anak ini
padaku, Tuhan," bisik Bu Nasti dalam hati. "Karena
dialah aku dapat berdamai kembali dengan dunia.
Dengan Harsono. Dengan Surti...."68
BAB V
BERHARI-HARI Cempaka menyiapkan adiknya
untuk perpisahan itu. Dia yakin, pada hari Minggu
esok, Bara pasti diambil orang. Dan mereka terpaksa
berpisah.
Tetapi kata Bu Nasti, itulah yang terbaik untuk
mereka semua. Baru setelah anak-anak memiliki
orang tua angkat yang menyayangi mereka, Bu Nasti
dapat beristirahat dengan tenang.
"Kalau Kakak tidak ada nanti, Bara mesti tetap
rajin sikat gigi ya," kata Cempaka sambil menahan
tangis. Dia tidak ingin memperlihatkan air matanya di
depan adiknya. Tetapi setiap kali teringat pada
perpisahan itu, dia selalu ingin menangis.
"Memangnya Kakak mau ke mana, sih!" gerutu
Bara penasaran. "Tiap hari ngomongnya begitu
tenis!"
"Kita tidak bisa bersama-sama terus. Aya kan
sudah besar. Mesti sekolah!"
"Sekolah kan nggak usah pisah!"
"Lho, Aya kan baru masuk TK. Kakak sudah
kelas empat."
"Tapi sekolahnya sama, kan?"
"Lain."
"Kakak pulang ke rumah, kan? Aya juga! Aya
nggak mau tidur sama orang lain! Mau sama Kakak!"69
"Aya sudah besar. Mesti berani tidur sendiri!"
"Nggak mau!"
"Nggak bagus begitu!"
"Biar!"
"Nanti sekolahnya nggak pintar!"
"Biar!"
"Idih, anak lelaki kok begitu! Malu dong!"
"Biar!"
Karena Bara sudah hampir menangis, terpaksa
Cempaka mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.
"Coba Kakak lihat giginya. Sudah bersih belum?"
Bara memperlihatkan giginya. Dan Cempaka
menyikatnya sekali lagi.
"Ayo, kumur dulu."
Dengan patuh Bara berkumur-kumur. Tidak terlihat, Cempaka menyeka air matanya.
"Sudah? Ayo, tidur."
"Nggak! Cerita dulu!"
"Si Kancil lagi?"
"Yang dulu belum habis."
"Sampai mana?"
"Si Kancil ngitung buaya."
"Tapi sekarang sudah malam. Aya mesti tidur.
Kan masih pilek. Kakak nyanyi saja, ya?"
"Cerita!"
"Kalau Kakak nggak ada nanti, minta Ibu cerita,
ya."
"Ibu siapa?"
"Ibu Aya."
"Ibu gembrot?"
"Bukan! Bukan Ibu gembrot. Ibu yang baik.
Cantik."
"Nggak mau! Aya mau Kakak!"
"Ibu lebih pintar. Cerita-ceritanya lebih banyak!"70
"Nggak mau!"
"Kalau Aya nggak nurut, Kakak nggak mau
cerita!"
"Cerita dong!" rajuk Bara separuh menangis.
"Tapi Aya mesti menurut, ya."
Bara cuma mengangguk.
"Janji, mau nurut sama Ibu?"
Sekali lagi Bara mengangguk. Padahal dia tidak
mengerti apa-apa. Dia naik ke atas tempat tidur
dengan patuh. Mendengarkan dongeng si Kancil. Lalu
ketika matanya sudah hampir terpejam dibelai kantuk,
Cempaka menembangkan sebuah lagu.
"Cari Kakak kalau Aya sudah besar nanti ya...,"
bisik Cempaka sambil mengecup kedua belah mata
adiknya yang telah terpejam rapat. Dua tetes air mata
menitik turun dari matanya.
Cempaka ingin menghapusnya. Tetapi tidak
keburu lagi. Air mata itu telah jatuh menetes ke dahi
Bara.
Bara membuka matanya sekejap. Tetapi dia
segera memejamkannya kembali. Dia sudah begitu
mengantuk. Dan sudah terlelap sebelum Cempaka
sempat menyusut air di dahinya.
* * *
Cempaka mendandani adiknya sambil menahan
tangis. Inilah terakhir kali dia masih dapat menyisiri
rambut Bara. Inilah terakhir kali dia menyikatkan
giginya. Memakaikan bajunya. Celananya. Sepatunya.
Esok, semua ini hanya tinggal kenangan.
Bara sama sekali tidak tahu kesedihan kakaknya.
Di depannya, Cempaka selalu menyembunyikan air
matanya.71
"Jangan nakal lagi ya, Aya," bisik Cempaka
sesaat sebelum membawa adiknya keluar. "Jangan
mengompol lagi! Dan ingat, jangan nakal! Jangan
memecahkan gelas. Tidak boleh mengambil barang
tamu. Tidak boleh ngomong jorok...."
"Tapi Kakak bilang kalau Aya nakal kita nggak
pisah!"
"Sekarang Kakak sadar, kita keliru. Kalau Aya
nakal, Bu Nasti sakit lagi."
"Kita nggak pisah?" desak Bara penuh harap.
Cempaka merangkul adiknya erat-erat.
"Kalau kita harus berpisah, suatu hari nanti kita
pasti bertemu lagi!" bisik Cempaka menahan tangis.
Kemudian dilepaskannya pelukannya. Didorongnya
adiknya pergi.
Setelah Bara berlalu, Cempaka baru menelungkup
ke dinding. Dan menangis tersedu-sedu.
Mbak Lastri yang menyaksikan adegan itu sejak
tadi, menghela napas sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Disusutnya air matanya. Kemudian
disentuhnya bahu Cempaka dengan lembut.
Cempaka mengangkat mukanya. Dan memindahkan tangisnya ke dalam pelukan Mbak Lastri.
"Sudahlah," bujuk Mbak Lastri lirih. "Cucilah
mukamu. Cempaka punya tugas, kan? Nah, tamutamu tidak boleh melihat penyanyinya menangis!"
* * *
Paman Wisnu sudah memindahkan pianonya ke ruang
tengah Panti Asuhan Pancuran Kasih. Dan dia sudah
mulai memainkan beberapa lagu sebelum Cempaka
dan teman-temannya muncul.72
Tamu-tamu yang telah datang dipersilakan duduk
di deretan kursi-kursi yang telah disediakan di sana.
Setelah jumlahnya cukup banyak, Mbak Lastri membuka acara dengan menyampaikan sepatah kata
pengantar.
Isinya pendek saja. Hanya mengucapkan terima
kasih. Dan mengemukakan tujuan pengumpulan dana
itu.
"Tanpa bantuan para dermawan..." katanya di
akhir kata pengantarnya, "...kami tidak dapat berbuat
apa-apa untuk membalas apa yang telah dilakukan Bu
Nasti untuk kami."
Kemudian acara dilanjutkan dengan tarian anakanak seumur Bara. Tarian yang lucu itu menggelitik
tawa penonton. Mereka mulai saling berbisik memilih
penari yang mereka sukai.
Bara yang ikut melenggang-lenggokkan tubuhnya
mengikuti alunan piano Pak Wisnu berkali-kali
melakukan kesalahan. Kalau teman-temannya berputar ke kiri, dia ke kanan. Ketika semua jongkok, dia
masih berdiri. Dia malah menubruk anak perempuan
di sampingnya karena keliru bergerak. Tetapi
kesalahan-kesalahannya malah memancing gelak
tawa penonton.
Cempaka mengisi acara kedua, menari bersama
teman-teman putrinya. Kemudian acara dilanjutkan
dengan paduan suara. Cempaka masuk kembali pada
acara berikutnya. Nyanyian tunggal diiringi alunan
piano Pak Wisnu.
Terus terang bukan hanya penonton yang merasa
kagum. Pak Wisnu sendiri juga terperangah. Pada
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu latihan, dia sudah menyadari gadis kecil ini
punya bakat menyanyi. Suaranya merdu. Napasnya73
panjang. Kalau dilatih dengan baik, dia punya potensi
untuk menjadi seorang biduanita.
Tetapi belum pernah Pak Wisnu mendengar
Cempaka menyanyi demikian baiknya seperti saat ini.
Dia menyanyikan lagu itu dengan penuh perasaan,
sampai Bu Nasti yang berjalan pun masih dipapah,
menitikkan air mata haru.
Lagu itu memang khusus ditujukan untuknya.
Sebagai pernyataan terima kasih. Sekaligus sebagai
salam perpisahan. Di tengah-tengah lagu itu,
Cempaka masih mendeklamasikan sebuah sajak,
diiringi alunan piano Pak Wisnu.
PERISAI KASIH YANG TERKOYAK
Jika ada yang dapat kupersembahkan kepadamu, Ibu
Sebagai pembalas budimu
Katakanlah Ibu, katakan
Akan kuserahkan....
Akan kurelakan....
Walaupun titik air mataku
Menangis jiwaku
Merin?h hatiku
Tak segurat sesal di bibirku
Karena aku memahamimu, Ibu!
Kaupisahkan kami,
Kauceraikan belahan jiwaku
Kauurai seuntai rantai kasih
Tapi tak kusalahkan dikau,
Ibu Tak kusalahkan!74
Biarlah jiwa ini menjerit
Menangis
Merana
Karena terkoyak sudah
Sebuah perisai kasih....
Ketika Cempaka tidak berhasil menyelesaikan
deklamasi itu karena tak mampu menahan tangisnya,
hampir semua pengasuh termasuk beberapa orang
pcngunjung wanita ikut melelehkan air mata.
Tertatih-tatih Bu Nasti bangkit menyambut
Cempaka yang menghambur ke dalam pelukannya
sambil menangis. Dibantu oleh Bu Nina, Bu Nasti
membawa Cempaka ke kamaraya.
Sementara Bu Ani mulai membuka stand-nya
yang menjual makanan dan minuman buatan anakanak sendiri, pengunjung diajak Lastri melihat-lihat
hasil karya anak-anak yang dipamerkan di ruang lain.
Beberapa pengunjung sudah mulai memilih anak-anak
yang mereka inginkan untuk diadopsi.
"Acara ini baik sekali," komentar seorang
pengunjung kepada Bu Nasti yang memaksakan diri
menemani mereka. Dia baru saja keluar dari dalam
kamar, dipapah oleh Bu Nina. "Selain anak-anak itu
mahir mengaduk-aduk emosi pengunjung, kami juga
jadi dapat melihat kreasi anak-anak yang ingin kami
adopsi."
"Saya anjurkan agar acara semacam ini dapat
dilanjutkan, Bu," sambung yang lain.
Bu Nasti hanya tersenyum. Bangga bercampur
haru.
"Sayang sekali kami mungkin takkan sempat lagi
menyelenggarakannya," sahut Bu Nasti sedih. "Anak-75
anak akan segera pergi. Panti asuhan ini akan segera
ditutup."
"Bu Nasti tidak akan mengasuh panti asuhan
lain?"
"Dokter mengharuskan saya beristirahat."
"Sayang sekali. Kita harus kehilangan seorang
pengasuh yang penuh dedikasi."
* * *
Cempaka sudah tidak menangis lagi. Tetapi dia belum
mau meninggalkan kamar. Matanya masih bengkak
bekas menangis. Dia hanya mengintai dari celah pintu
kamar, bagaimana para tamu bergurau dengan anakanak yang mereka pilih. Ada beberapa pasangan yang
ingin mengadopsi Bara. Tetapi hanya ada satu
pasangan yang tampaknya benar-benar telah lekat
padanya. Begitu lekatnya mereka sehingga ketika
Bara tidak sengaja kencing waktu sedang digendong
oleh si istri, mereka tidak marah. Padahal, Cempaka
sudah hampir memekik kecewa.
Ibu itu bukan hanya tidak marah. Dia bahkan
tersenyum gembira.
"Lihat, Pak!" cetusnya geli. "Dia mirip sekali
dengan Andri, ya? Dia juga sering ngompol kalau
sedang kugendong!" Dipeluknya Bara erat-erat,
seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi.
Diciuminya pipi Bara yang sedang meringkuk
ketakutan. Takut dimarahi Cempaka.
"Panggil Ibu, Sayang," bisik ibu itu lembut.
Ketika dilihatnya Bara bukannya memanggil 'Ibu' tapi
malah menoleh-noleh ke sana kemari seperti mencari
sesuatu, diulanginya lagi permintaannya dengan lebih
keras.76
Sengaja Cempaka membuka pintu lebih lebar.
Dan memperlihatkan diri pada Bara. Ketika Bara
menatapnya seolah-olah minta pendapatnya, Cempaka
mengedipkan matanya. Dan mengisyaratkan Bara
agar memenuhi permintaan ibu itu.
"Ibu..." desah Bara patuh. Walaupun dia tidak
mengerti apa-apa.
Dengan terharu ibu itu mendekapkan Bara lebih
erat lagi ke dadanya.
"Anakku..." bisiknya sambil membelai-belai
kepala Bara dengan penuh kasih sayang.
Hati-hati Cempaka menutupkan kembali pintu
kamarnya. Dia bersandar lemah ke balik pintu itu.
Dan menangis.
* * *
Walaupun dengan hati pedih disayat sembilu,
Cempaka memasukkan dua helai baju Bara ke dalam
sebuah kantung plastik. Ketika dia memasukkan juga
sikat gigi mereka yang cuma satu-satunya ke dalam
kantung itu, dia tidak dapat lagi menahan tangisnya.
Tetapi ketika pintu terbuka dan Bara masuk
diiringi Mbak Lastri, Cempaka menahan tangisnya.
Dia tidak mau menangis di depan Bara. Adiknya
masih terlalu kecil untuk mengerti.
Mbak Lastri yang tahu arti perpisahan itu untuk
mereka, sengaja meninggalkan Bara berdua saja
dengan Cempaka. Dia menutup pintu. Dan menunggu
di balik pintu kamar. Beberapa kali dia harus
menyusut air matanya.
Cempaka berlutut di depan adiknya. Dipeluknya
Bara sambil menahan tangis.77
"Suatu hari nanti Kakak akan mencarimu, Aya,"
bisiknya tersendat-sendat disekat air mata. "Kita pasti
bertemu lagi!"
"Kakak mau ke mana?" tanya Bara bingung.
"Tidak ke mana-mana. Kakak tetap di sini. Aya
yang akan pergi."
"Ke mana?"
"Ikut Ibu."
"Ibu siapa?"
"Ibu Aya."
"Kakak?"
"Kakak di sini."
"Aya nggak mau!"
"Aya harus mau. Ibu itu punya mainan yang
bagus-bagus. Buat Aya."
"Nanti bisa pulang?"
"Pulang ke rumah Aya."
"Ke sini?"
"Bukan ke sini. Ke rumah Aya."
"Kakak ikut?"
"Kakak di sini."
"Nggak mau!"
"Aya nggak mau mainan bagus?"
"Mau."
"Kalau begitu Aya mesti pergi. Ikut Ibu."
"Nanti bisa pulang ke sini lagi?"
"Kalau Aya nggak betah."
Cempaka terpaksa berdusta. Bara sudah hampir
merajuk. Dan Mbak Lastri sudah melongok di pintu.
"Sudah?" tanya Mbak Lastri separuh terpaksa.
Dia juga segan memisahkan mereka. Tetapi suamiistri itu sudah tidak sabar menunggu.
Cempaka memeluk Bara sekali lagi. Menciuminya sambil menahan tangis. Kemudian dijejalkannya78
kantung plastik itu ke dalam tangan Bara.
Didorongnya Bara ke pelukan Mbak Lastri. Cempaka
sendiri menghambur ke luar sambil menangis.
"Kakak!" teriak Bara bingung. Dia hendak
mengejar Cempaka. Tetapi Mbak Lastri keburu
menangkapnya.
Sambil menyembunyikan air matanya, Mbak
Lastri menggendong Bara. Dan menyerahkannya ke
tangan Bu Bastian, yang menerimanya dengan penuh
keharuan.
Setelah bersalaman dengan semua ibu
pengasuhnya, Bara digendong ke mobil. Di dalam
gendongan Bu Bastian pun, Bara masih menolehnoleh mencari kakaknya. Dia tampak kebingungan.
Cempaka yang sengaja bersembunyi di halaman,
di balik sebuah pohon, mengintai dengan pilu sampai
adiknya masuk ke dalam mobil.
"Bara!" teriaknya tersendat ketika pintu mobil
tertutup. Dan mobil yang membawa Bara itu
meluncur pergi. "Bara!"
Cempaka menghambur mengejar debu yang
ditinggalkan mobil itu. Lama dia tegak di sana
sebelum menyadari benar-benar semua ini bukan
cuma mimpi. Bara benar-benar telah pergi! Mereka
telah berpisah!
"Bara..." rintihnya pilu.
Cempaka masih tertegun di sana ketika sebuah
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan menyentuh lembui bahunya. Tatkala Cempaka
mengangkat mukanya, dia melihat Paman Wisnu
tegak di sisinya.
"Kalau nanti malam kamu kesepian, kamu boleh
datang ke rumah Paman," katanya singkat. "Kita
nyanyi."79
Cempaka mengangguk terharu. Paman Wisnu
memang tidak pandai bicara. Tapi Cempaka tahu,
hatinya baik. Dia ingin menghibur. Cuma tidak pandai
mengungkapkannya dengan kata-kata. Karena itu dia
mengajak Cempaka ke rumahnya. Di sana mereka
dapat saling menghibur melalui lagu.
* * *
Hanya tinggal tiga orang anak lagi yang belum
mendapat orang tua angkat. Cempaka, Suma, dan
Dila, yang pincang karena polio. Bu Nasti amat
prihatin dengan nasib mereka.
"Ibu tidak dapat meninggalkan panti asuhan ini
sebelum mereka memperoleh orang tua yang dapat
melindungi mereka," katanya sedih. Uang untuk biaya
berobat telah terkumpul. Tetapi bagaimana dia dapat
melepaskan tanggung jawabnya?
"Sementara ini biarlah kami yang mengasuh
mereka, Bu," pinta Lastri sungguh-sungguh.
"Sekarang uang untuk biaya rumah sakit telah terkumpul. Ibu bisa beristirahat. Ingatlah kesehatan Ibu
sendiri!"
"Tidak, Lastri. Ibu belum dapat meninggalkan
mereka!"
Tertatih-tatih Bu Nasti menuju ke kamarnya dipapah oleh Lastri. Di kamar Suma, dia melihat gadis
kecil itu sedang membanting dan menginjak-injak
bonekanya yang sudah lapuk.
"Suma," panggil Bu Nasti, tanpa nada marah
sama sekali. Dia dapat memahami perasaan Suma.
Dia yang paling lama tinggal di sini. Tetapi sampai
saat terakhir pun, tidak ada orang yang mau
mengangkatnya sebagai anak.80
Teman-temannya bergantian pergi dan datang.
Hanya dia yang selalu tertinggal. Mengapa tidak ada
seorang pun yang mau memilihnya?
Teman-teman sekamarnya sudah pergi semua.
Sudah mendapatkan orang tua yang mereka idamidamkan. Yang menyayangi mereka. Memperhatikan
mereka. Sudah memperoleh mainan baru. Mendapat
boneka bagus. Dia? Lagi-lagi cuma boneka tua ini
yang selalu menemaninya!
Melihat Bu Nasti, Suma langsung melemparkan
tubuhnya ke tempat tidur. Dan menumpahkan
kekesalannya dengan menangis tersedu-sedu.
"Sabarlah, Suma," bujuk Lastri, merasa terharu
karena ingat nasibnya sendiri.
Tertatih-tatih Bu Nasti meninggalkan Lastri yang
sedang menghibur Suma. Dia melangkah terus
perlahan-lahan menuju ke kamarnya. Di ruang
belajar, lampu masih menyala. Padahal mangan itu
telah kosong. Ketika Bu Nasti mengulurkan tangannya untuk memadamkan lampu, dia melihat Dila.
Termenung seorang diri di sana.
"Dila," sapa Bu Nasti lembut.
Dila menoleh. Dan Bu Nasti melihat kesedihan di
mata anak itu. Bu Nasti melambaikan tangannya. Dan
Dila melangkah menghampirinya.
"Tidurlah," kata Bu Nasti sambil memadamkan
lampu. "Hari sudah malam."
"Bu," cetus Dila tiba-tiba ketika mereka sedang
berjalan perlahan-lahan ke kamar Dila. "Mereka tidak
mau mengambil Dila karena Dila pincang ya, Bu?"
Bu Nasti merasa hatinya pedih tersayat.
"Dila hanya belum menemukan orang yang telah
disediakan Tuhan sebagai orang tua Dila. Sabarlah.
Tuhan sayang pada anak-anak yans penyabar."81
"Kalau ibu Dila sendiri tidak mau mengurus Dila,
apakah ada orang lain yang mau, Bu?"
"Tentu ada, Dila."
"Tapi sampai sekarang tidak ada orang yang mau
menjadi ibu Dila."
"Dila hanya belum menemukannya."
"Tadi siang ada seorang ibu yang ingin
mengambil Dila, Bu. Tapi begitu dilihatnya kaki Dila
kecil sebelah, dia memilih anak lain."
"Sabarlah, Dila." Bu Nasti menghapus air mata
yang meleleh di pipi Dila. "Tidak semua orang seperti
itu."
"Kapan Dila bisa punya orang tua, Bu? Dila ingin
punya ayah. Ingin punya ibu. Ingin punya rumah.
Ingin sekolah seperti anak-anak lain...."
"Dila," tukas Bu Nasti sungguh-sungguh, "kalau
Dila ingin sekolah, Ibu dapat mengirimkan Dila
kesebuah yayasan yang mendidik anak-anak yang
seperti kamu. Di sana Dila bisa sekolah. Bisa bertemu dengan teman-teman yang senasib...."
"Bisa punya orang tua, Bu?"
"Mungkin tidak, Dila. Tapi di sana kamu dapat
belajar hidup sendiri. Kamu dapat memupuk dan
mengembangkan bakatmu. Sebentar lagi, kalau kamu
sudah cukup besar, kamu tidak perlu lagi ditopang
orang tua. Kamu dapat mengatur hidupmu sendiri."
"Tidak ada orang yang mau menyayangi Dila,
Bu...."
"Bukan hanya orang tua yang dapat memberikan
kasih sayangnya padamu, Dila. Di sana banyak
pengasuh dan guru yang sayang padamu...."
"Kapan saya boleh ke sana, Bu?"
"Lusa akan Ibu minta Mbak Lastri mengantarkan
kamu ke sana, ya?" Bu Nasti membuka pintu kamar82
Dila. "Sekarang tidurlah. Jangan pikirkan apa-apa
lagi. Serahkanlah semuanya ke tangan Tuhan."
Dila mengangguk lirih.
"Selamat malam, Bu," desisnya getir.
Dipandangnya tempat tidumya yang kecil dan dingin.
Malam ini dia masih harus tidur di sana. Seorang diri.
Tak ada ibu yang didambakan dapat memberikan
kehangatan padanya. Mengantar tidumya dengan
sebuah kecupan. Mengundang mimpi-mimpi yang
indah datang menyapa....
* * *
Kamar terakhir yang dilewati Bu Nasti adalah
kamar Cempaka. Lambat-lambat dia membuka pin-tu.
Dan melongok ke dalam. Kosong. Tidak seorang pun
ada di sana.
Bu Nasti melangkah ke kamar mandi yang terletak di ujung lorong itu. Dan menemukan Cempaka
sedang termenung di sana.
"Cempaka," tegumya perlahan. "Sedang apa
kamu?"
Cempaka menoleh dengan sedih.
"Mencuci kaki, Bu," sahutnya lirih.
"Tapi kamu sedang melamun."
"Ingat Bara, Bu." Cempaka menyusut air matanya
sebelum mengayunkan gayung yang berisi air itu ke
kakinya. "Setiap malam sejak Ibu meninggal, sayalah
yang membasuh kakinya."
"Ibu mengerti perasaanmu," kata Bu Nasti
lembut. "Kamu pasti merasa kehilangan. Tapi kamu
harus tabah. Demi kebahagiaan Bara."
Cempaka hanya mengangguk. Dia mengeringkan
kakinya. Dan menghampiri Bu Nasti yang masih
menunggu di ambang pintu.83
"Tidak menyikat gigi?" tanya Bu Nasti sebelum
mereka berlalu.
Sesaat Cempaka tertegun. Sikat giginya sudah
diberikannya kepada Bara. Dia tidak punya sikat gigi
lagi. Dan kalau dia menyikat gigi, dia pasti menangis.
Ingat Bara. Sudah menyikat gigikah dia malam ini?
Ingat jugakah dia pada kakaknya?
"Di mana sikat gigimu?" desak Bu Nasti sabar.
Cempaka menggeleng sambil menahan tangisnya.
Bu Nasti menepuk bahunya dengan lembut.
"Sudahlah," katanya penuh pengertian. "Ibu
punya sikat gigi baru. Mari ikut ke kamar Ibu."
Bu Nasti mengajak Cempaka ke kamarnya. Dan
memberikan sebuah sikat gigi baru. Tetapi Cempaka
tidak sanggup memakainya malam ini. Dia tidak
kembali ke kamar mandi. Dia langsung membuang
dirinya ke tempat tidur. Dan menangis tersedu-sedu.
Entah sudah berapa lama Cempaka menangis. Dia
baru tersadar ketika seseorang menyentuh punggungnya. Ketika dia berbalik, dilihatnya Bu Nasti duduk di
tepi tempat tidurnya.
Tanpa dapat menahan dirinya lagi, Cempaka
merangkul Bu Nasti. Dan memindahkan tangisnya ke
dada perempuan itu. Bu Nasti membelai-belai kepala
Cempaka dengan lembut.
"Ibu mengerti perasaanmu, Cempaka," bisiknya
lirih. "Kamu pasti kehilangan Bara...."
"Setiap malam, saya mendongenginya, Bu....
Setiap malam saya menembang untuk Bara...."
"Perpisahan memang sangat menyakitkan,
Cempaka. Apalagi malam pertama. Tapi tabahlah.
Esok sakitnya sudah berkurang. Lusa lebih kurang
lagi. Dan percayalah pada Ibu. Waktu akan
menyembuhkan luka di hatimu."84
"Apakah Bara betah di sana, Bu? Bahagiakah
dia?"
"Memiliki orang tua yang sangat menyayanginya
tentu saja merupakan suatu berkat Tuhan, Cempaka.
Kita doakan saja dia bahagia. Ibu percaya, Bapak dan
Ibu Bastian sangat mengasihinya. Mereka menganggap Bara sebagai pengganti anaknya yang telah
meninggal. Anak itu meninggal ketika seumur Bara.
Mereka sangat kehilangan. Jauh-jauh mereka datang
dari Palembang kemari, untuk mencari pengganti
Andri. Mereka demikian berbahagia ketika
menemukan Bara. Katanya Bara mirip Andri."
Palembang, pikir Cempaka muram. Alangkah
jauhnya! Bagaimana dia dapat mencari Bara jika
rindu?
* * *
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu tidak mungkin mencari Bara," komentar
Paman Wisnu muram. Hampir tiap hari Cempaka
bertandang ke rumahnya. Belajar menyanyi.
Paman Wisnu memang seorang yang pendiam.
Tidak pandai bergaul. Senang menyendiri pula. Tetapi
manusia tidak dapat mengelakkan kodratnya sebagai
makhluk sosial.
Nyatanya sejak bersahabat dengan Cempaka, hati
Paman Wisnu menjadi lebih tenang. Keresahan yang
selama ini hanya dapat ditumpahkan pada tuts
pianonya, kini dapat dikompensasikan dengan mendengarkan keluhan Cempaka.
Kesepiannya hidup seorang diri, sedikit terobati
dengan menyanyi bersama gadis kecil itu.
Bagaimanapun dengan adanya Cempaka, Paman85
Wisnu merasa hidupnya lebih punya arti. Tidak terlalu gersang lagi.
"Kenapa tidak mungkin, Paman?"
"Palembang terlalu jauh."
"Saya bisa mengumpulkan uang."
"Belum tentu orang tua Bara mengizinkan kamu
menemuinya."
"Kenapa tidak?"
Paman Wisnu menghela napas. Wajahnya yang
lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya tampak
berkerut murung.
"Orang tua angkat biasanya tidak mengizinkan
kedatangan keluarga anaknya. Mereka tidak ingin
orang mengetahui masa lalu anak angkatnya."
"Jadi bagaimana saya bisa menemui Bara,
Paman? Bagaimana saya bisa bicara dengan dia kalau
kangen?"
Sekali lagi Paman Wisnu menghela napas.
"Paman dengar panti asuhanmu akan ditutup,"
katanya hati-hati. Takut membuat Cempaka menangis
lagi. "Sudah tanya pada Bu Nasti, kamu ikut siapa?"
* * *
Bu Nasti termenung mendengar pertanyaan Cempaka.
Terus terang dia sendiri sedang bingung. Dila sudah
dititipkan pada sebuah yayasan yang mengasuh anakanak cacat. Suma ikut Bu Ani pulang ke kampung.
Lastri sudah memutuskan akan mencari pekerjaan di
Jakarta saja supaya sekali-sekali dapat menengok Bu
Nasti yang dirawat di rumah sakit. Tetapi Cempaka?
Bu Ani tidak mungkin mengambil Cempaka pula.
Dia masih terlalu kecil untuk bekerja. Lain halnya
dengan Suma. Badannya sudah cukup besar. Bu Ani86
akan mencoba membawanya ke pabrik rokok di dekat
rumahnya. Barangkali mereka dapat menerimanya
bekerja di sana. Walaupun umurnya baru sebelas
tahun, tubuhnya sudah mirip anak tiga belas tahun.
Ibu-ibu pengasuh yang lain tidak sanggup lagi
mengasuh anak. Mereka akan menumpang hidup pada
keluarga masing-masing. Membawa diri sendiri saja
sudah sulit. Bagaimana harus membawa juga seorang
anak? Tentu amat merepotkan!
Lastri akan tinggal di sebuah kamar sewaan di
rumah pemondokan. Pekerjaan saja belum dapat,
bagaimana dia dapat menjamin hidup Cempaka?
Sedangkan Bu Nasti sendiri harus masuk rumah
sakit. Ah, dia benar-benar bingung. Kalau jantung ini
tidak begini menyulitkan, mau dia membawa
Cempaka. Tetapi bagaimana dia, harus melindungi
seorang anak kalau melindungi diri sendiri saja dia
sudah hampir tidak mampu?
"Kalau tidak ada orang yang mau membawa Cempaka, bolehkah Cempaka pulang ke rumah Ayah,
Bu?" desak Cempaka melihat kebingungan dan kebimbangan di wajah Bu Nasti.
"Cempaka," Wajah Bu Nasti berubah duka. "Ada
sesuatu yang belum Ibu ceritakan padamu. Tabahlah,
Nak. Memang berat untukmu. Tapi semua ini sudah
kehendak Tuhan." Dengan penuh keharuan Bu Nasti
merangkul Cempaka. Dipejamkannya matanya.
Dibiarkannya dua tetes air mata merembes dari celahcelah bulu matanya. "Ayahmu telah meninggal...."
* * *
"Ayah!" Cempaka menubruk nisan ayahnya sambil
meratap. "Ayah!"87
Bu Nasti berlutut di sisinya. Dibelai-belainya
punggung Cempaka dengan penuh keharuan.
"Jangan tinggalkan Cempaka, Ayah!" erang gadis
kecil itu pilu. "Cempaka telah kehilangan Bara!
Cempaka tidak mau kehilangan Ayah juga!"
"Ayahmu sudah berbahagia di tempatnya yang
baru, Cempaka. Jangan tangisi dia lagi. Di dunia ini
hanya penderitaan yang menunggunya. Tubuhnya
lemah digerogoti penyakit. Tapi di atas sana, tidak
ada lagi penyakit, Cempaka. Tidak ada lagi penderitaan. Relakanlah ayahmu. Biarkan dia berbahagia
kembali bersama ibumu di sana."
Bu Nasti sendiri heran bagaimana dia dapat
mengucapkan kata-kata selancar itu. Beberapa waktu
yang lalu, sebelum gadis kecil ini muncul dalam
kehidupannya, tidak mungkin dia merelakan
kekasihnya berbahagia dengan perempuan lain,
sungguhpun perempuan itu istrinya sendiri!
Tetapi Cempaka datang mengubah segalanya.
Sekarang Bu Nasti telah merelakan kekasihnya. Pada
pertemuan terakhir dengan Harsono, ketika detikdetik terakhir hidupnya hampir berlalu, mereka telah
berdamai kembali.
Dan keresahan yang mengguncangkan hati Bu
Nasti selama belasan tahun punahlah sudah. Tidak
ada lagi dendam. Tidak ada lagi sakit hati. Semuanya
telah larut dalam ketulusan sebuah maaf untuk bekas
kekasihnya.
* * *
Sebenarnya Bu Nasti tidak ingin menyerahkan
Cempaka pada pasangan itu. Dia sudah terlanjur88
menyayangi Cempaka. Anak itu sudah merupakan
sebagian dari hidupnya.
Lagi pula pasangan suami-istri yang hendak
mengadopsi Cempaka itu kurang harmonis. Mereka
telah berumur empat puluh tiga tahun. Istrinya sudah
hampir mati haid. Dua puluh lima tahun suaminya
telah menunggu dengan sia-sia hadirnya seorang anak
dalam rahim istrinya.
Hampir tiap hari mereka bertengkar. Si istri
hendak mengadopsi seorang anak. Sebaliknya
suaminya lebih suka mengambil seorang istri baru.
Status sosial mereka kurang menguntungkan bagi
masa depan Cempaka. Keadaan ekonomi mereka pun
masih semrawut. Dalam keadaan biasa, Bu Nasti pasti
menolak permintaan Bu Hendarto untuk mengambil
Cempaka. Tetapi dalam keadaan seperti ini?
"Ibu tidak ingin emosi menutupi rasio Ibu,
Lastri," keluh Bu Nasti bingung. "Karena itu Ibu
minta pendapatmu. Terus terang Ibu bimbang
menyerahkan Cempaka pada mereka. Ibu sangat
menyayanginya. Dan tidak ingin kehilangan dia. Di
sisi lain, pasangan itu sangat tidak serasi. Ibu tidak
yakin kehadiran Cempaka dapat mencegah perceraian
mereka. Apa yang terjadi pada Cempaka jika mereka
sampai bercerai? Tapi Ibu tidak ingin merampas satusatunya kesempatan Cempaka untuk memiliki orang
tua!"
"Saya mengerti, Bu," sahut Lastri muram. Belum
pernah Bu Nasti minta pendapatnya. Belum pernah!
Tetapi pada saat Bu Nasti bertanya padanya, dia
malah tidak mampu memberikan pendapat!
"Tidakkah lebih baik kita tanya pendapat Cempaka
sendiri?"
"Tapi dia masih terlalu kecil!"89
"Dia cerdas, Bu. Lebih bijaksana daripada anak
seumurnya."
Akhirnya Bu Nasti minta pendapat Cempaka. Dan
Cempaka tidak berpikir dua kali untuk memberikan
persetujuannya. Bukan karena dia ingin mempunyai
orang tua. Tapi karena dia ingin Bu Nasti dapat
beristirahat dengan tenang.
* * *
"Mereka akan mengambilmu?" cetus Paman Wisnu
kaget. Untuk pertama kali setelah belasan tahun
berlalu, dia merasa kehilangan lagi. Kali ini dia
kehilangan seorang gadis kecil, sahabatnya dalam
kesepian. "Kau mau?"
"Kalau saya pergi, Bu Nasti dapat beristirahat
dengan tenang!"
"Tapi itu bukan alasan!" geram Paman Wisnu
jengkel.
"Saya juga ingin punya orang tua, Paman. Seperti
anak-anak lain."
Paman Wisnu terhenyak diam. Air mukanya
berubah. Ada kedukaan membias di matanya. Dan
diam-diam Cempaka ikut merasa sedih.
Terhuyung-huyung Paman Wisnu menghampiri
pianonya. Seperti ingin menumpahkan perasaannya,
tangannya memukul-mukul tuts itu dengan kasar.
Sesaat kemudian dia terdiam. Ditatapnya pianonya
dengan tatapan beku.
"Mereka kaya?"
"Sangat kaya," sahut Cempaka, tidak tahu
mengapa dia harus berbohong. Nalurinya membisikkan, Paman Wisnu akan lebih senang kalau90
mendengar orang tua angkatnya dapat menjanjikan
masa depan yang lebih baik untuknya.
"Baik?"
"Sangat baik."
"Tidak punya anak?"
"Kata Bu Nasti mereka sangat ingin punya anak."
Paman Wisnu menghela napas. Diambilnya
sebatang rokok. Disulutnya. Kemudian dihembuskannya asapnya bersama-sama dengan kata-katanya.
"Kalau begitu lebih baik kau ikut mereka."
"Saya akan kehilangan Paman," desah Cempaka,
tersendat menahan haru.
"Kau segera akan lupa." Paman Wisnu berjalan
ke jendela.
"Kalau Paman tidak ingin saya pergi..."
"Tentu saja aku ingin kamu pergi!" bentak Paman
Wisnu sambil membalikkan tubuhnya. "Paman ingin
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau punya orang tua! Seperti anak-anak lain! Sana,
pergilah! Paman tidak ingin mereka melihatmu di sini
kalau mereka datang!"
Cempaka menatap Paman Wisnu dengan air mata
berlinang. Ingin dia memeluk laki-laki itu.
Mengucapkan terima kasih atas kebaikannya. Tetapi
Paman Wisnu sudah memalingkan wajahnya.
Tampaknya dia tidak mau bicara Iagi. Terpaksa
Cempaka meninggalkan tempat itu. Sambil menahan
tangis, dia berlari pulang.
Dan Paman Wisnu membalikkan tubuhnya, tepat
pada saat Cempaka meninggalkan rumahnya. Saat itu
air mata telah menggenangi matanya. Dia menjatuhkan kepalanya ke atas pianonya. Dan
menelungkup di sana.91
Gemuruh dentang pianonya terdengar membahana ke seluruh rumah. Sayang, Cempaka sudah
tidak mendengarnya lagi.
* * *
Dua hari dua malam Cempaka tidak muncul di rumah
Paman Wisnu. Laki-laki itu benar-benar merasa
kehilangan. Dia kehilangan teman bicara. Teman
menyanyi. Teman mengisi kesepian...
Ketika kerinduannya sudah tidak tertahankan lagi,
terpaksa Paman Wisnu melangkah ke rumah sebelah.
Panti Asuhan Pancuran Kasih sudah sepi.
Mungkinkah penghuninya sudah pergi semua?
Tadi pagi sebelum pergi mengajar, Paman Wisnu
melihat beberapa orang ibu pengasuh panti asuhan itu
pergi menjinjing kopor. Ditunggunya beberapa lama.
Tetapi dia tetap tidak melihat Cempaka. Sudah
pergikah dia?
Hati-hati Paman Wisnu melongok dari atas pagar
rendah yang membatasi halaman panti asuhan itu.
Dan dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri
ketika melihat Cempaka sedang menangis seorang
diri di bawah pohon.
"Cempaka!" cetus Paman Wisnu antara terkejut
dan heran. Bergegas dia membuka pintu pagar. Dan
menghambur mendapatkan gadis itu. "Kamu tidak
jadi pergi?"
Cempaka mengangkat wajahnya yang telah penuh
dengan air mata. Ditatapnya Paman Wisnu dengan
tatapan getir. Paman Wisnu segera berjongkok di
sampingnya.
"Ada apa?" tanyanya bingung. "Mereka belum
mengambilmu?"92
Cempaka mengeluarkan sehelai kertas yang telah
lusuh dari dalam sakunya. Diperlihatkannya pada
Paman Wisnu.
"...ternyata hasil pemeriksaan air seni istri saya
positif. Karena itu kami membatalkan niat kami untuk
mengangkat anak. Hendarto."
Paman Wisnu meremas surat itu dengan tangan
gemetar.
"Mengapa Cempaka tidak bisa punya orang tua
seperti anak-anak lain, Paman?" Cempaka menatap
Paman Wisnu dengan getir. "Cempaka tidak mau
menyusahkan Bu Nasti lagi! Bu Nasti sakit! Tidak
dapat istirahat selama Cempaka masih di sini!"
Paman Wisnu membalas tatapan Cempaka
dengan terharu. Digenggamnya tangan gadis kecil itu
erat-erat.
"Cempaka," bisiknya setelah sia-sia memilih
kata-kata yang paling baik dari perbendaharaan katanya yang miskin. "Bolehkah.... Paman menjadi
ayahmu?"
Kata-kata yang sangat sederhana. Tidak muluk.
Tidak menjanjikan apa-apa. Khas Paman Wisnu. Tapi
di balik kata-kata itu, Cempaka menemukan
keluhuran budi seorang laki-laki yang telah lama
disediakan Tuhan sebagai ayah angkatnya. Dan kini...
dia telah menemukan laki-laki itu!
"Ayah!"
Cempaka menubruk Paman Wisnu sambil
menangis. Paman Wisnu merangkul Cempaka dengan
air mata berlinang. Hatinya bernyanyi dalam irama
kebahagiaan. Demikian bahagianya sampai dia tidak
mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun.93
Tetapi memang tidak perlu lagi kata-kata. Dalam
keadaan seperti ini, hati mereka sendiri telah
berbicara. Tidak perlu kata-kata. Tidak perlu!
Bu Nasti yang menyaksikan peristiwa itu dengan
diam-diam dari kejauhan menunduk menghapus air
matanya.94
BAB VI
PAMAN Wisnu bukan orang kaya. Penghasilannya
sebagai guru piano hanya pas-pasan untuk hidup.
Tetapi dia berusaha menekan kebutuhannya sendiri
untuk dapat menyekolahkan Cempaka.
Dia mengurangi rokoknya supaya dapat memberi
uang transpor dan uang jajan untuk anak angkatnya.
Dia menukar motor bututnya dengan sepeda bekas
agar Cempaka dapat bersekolah di sekolah yang baik.
Uang pembeli bensin motornya dapat dialihkan untuk
membayar uang sekolah.
Tentu saja Cempaka tahu pengorbanan ayah
angkatnya. Dia membalasnya dengan belajar giat di
sekolah. Di rumah dia membantu mengurus rumah
tangga ayahnya.
Tidak satu gelas pun diizinkannya dicuci oleh
ayahnya. Begitu Ayah pulang, semua pekerjaan di
rumah sudah beres. Rumah sudah bersih. Piring
mangkuk gelas sudah rapi. Dan makanan sudah siap
terhidang di atas meja.
Setelah bertahun-tahun hidup seorang diri, untuk
pertama kalinya Paman Wisnu merasakan hangatnya
hidup bersama seseorang yang mengasihinya. Untuk
pertama kalinya pula setelah bertahun-tahun, Paman
Wisnu merasakan kembali artinya diperhatikan.95
Sekarang Paman Wisnu lebih cermat mengatur
waktu. Karena dia tahu, ada seseorang yang
menunggunya di rumah. Cempaka tidak akan makan
sebelum ayahnya pulang. Karena itu Paman Wisnu
selalu bergegas kembali ke rumah setelah tugasnya
selesai.
Hidupnya memang menjadi lebih prihatin. Dia
harus melakukan penghematan di sana-sini. Tidak
dapat hidup semaunya lagi seperti dulu.
Tetapi sebagai gantinya, Paman Wisnu memperoleh kembali kehangatan rumahnya yang telah
belasan tahun tak pernah dicicipinya lagi. Dia tidak
pernah merasa kesepian lagi. Cempaka selalu menceritakan pengalaman-pengalamannya di sekolah.
Sekarang Paman Wisnu merasakan nasinya lebih
enak ditelan. Karena dia bisa tertawa mendengarkan
ocehan anaknya waktu makan bersama. Dia tidak
pernah merasa kesepian lagi. Selesai belajar,
Cempaka selalu menemaninya bernyanyi. Paman
Wisnu mengiringinya dengan permainan pianonya.
Di hadapan ayahnya, Cempaka selalu terlihat
gembira. Bahagia. Tak pernah diperlihatkannya
kerinduannya terhadap adiknya. Hanya dia sendiri
yang tahu, hampir tiap malam dia menangis
merindukan Bara.
Cempaka tidak ingin Ayah ikut berduka.
Dipendamnya saja kerinduannya seorang diri. Hanya
diam-diam dia mcngumpulkan uang jajan dan uang
transpornya. Dia bertekad untuk menelepon Bara
setelah uangnya terkumpul nanti.
Setiap hari Cempaka berangkat lebih pagi dari
rumah. Supaya dia tidak usah naik kendaraan umum.
Uangnya dapat ditabung. Di sekolah, dia juga
menekan keinginannya untuk jajan.96
Sementara teman-temannya membeli minuman
dan makanan di kantin, Cempaka hanya mengobati
rasa hausnya dengan minum air di keran. Seperti hari
ini. Cempaka dan teman-temannya baru selesai
berolahraga. Letihnya bukan main. Haus pula.
Teman-temannya sudah berlarian menyerbu
kantin. Sebaliknya, Cempaka menghambur ke keran
air di samping kelas. Dibukanya keran itu sebesar-besarnya. Ditadahkannya tangannya untuk menampung
air yang keluar. Kemudian dia membungkuk. Dan
menghirup air di tangannya.
"Jangan terlalu banyak minum air mentah," tegur
seseorang di belakangnya. "Nanti sakit perut!"
Cempaka mengangkat mukanya dengan terkejut.
Dia memutar tubuhnya. Dan melihat Agung, anak
kelas enam yang sering mengajaknya pulang bersama,
tegak di belakangnya.
Agung menyodorkan botol minumannya. Tetapi
Cempaka cuma tersenyum tersipu. Pura-pura tidak
melihat botol itu, dia menghambur menjauhkan diri.
Agung memang baik. Hampir tiap hari dia mengajak Cempaka pulang bersama. Agung anak orang
berada. Tiap hari diantar-jemput dengan mobil
pribadi. Rumah mereka searah pula. Tidak berlebihan
memang jika, Agung selalu mengajaknya ikut
mobilnya.
Tetapi Cempaka selalu menolak. Dia lebih suka
berjalan kaki. Entah mengapa, malu rasanya ikut
mobil Agung. Cempaka masih terlalu kecil untuk
mengerti mengapa dia justru merasa rikuh jika Agung
memperlihatkan perhatian yang terlalu besar
terhadapnya. Padahal Agung selalu berusaha untuk
mendekatinya. Dan Agung tidak pernah putus asa.97
Bila mobilnya kebetulan melewati Cempaka yang
sedang berjalan kaki ke sekolah, dia segera turun dari
mobil. Dan membarengi gadis kecil itu. Diperintahkannya mobilnya mengikuti perlahan-lahan dari
belakang. Cempaka-lah yang justru bertambah salah
tingkah.
"Ala, Agung apa-apaan sih," gerutunya pura-pura
kesal, padahal hatinya berdebar aneh, entah karena
apa, "Mau apa ikut-ikut Cempaka jalan kaki?"
"Habis diajak naik mobil nggak mau."
"Agung saja naik sendiri."
"Nggak enak. Nggak ada teman ngobrol."
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kan ada Pak Sopir!"
"Lain! Dia kan tua. Nggak bisa diajak ngomong!"
"Ah, masa," Cempaka menyembunyikan
senyumnya. "Memangnya dia bisu!"
"Bisu sih tidak. Tapi nggak sealiran sama kita!
Kalau ngomong sama dia, paling-paling cerita
anaknya yang tiga belas orang itu!"
"Kalau ngomong sama Cempaka?"
"Pokoknya lain. Nggak bosan!"
"Ah."
Cempaka tersenyum kemalu-maluan. Tapi heran.
Lagi-lagi hatinya berdebar gembira! Entah karena
apa. Ditolehnya ke belakang. Dipandangnya sopir
Agung yang sedang menggeleng-gelengkan kepala
itu. Barangkali dia kesal. Harus merayap seperti siput
mengikuti mereka!
"'Katanya mau ngobrol. Kok diam saja?"
"Mau nanya. Tapi malu...."
"Nanya apa sih? Pakai malu-malu segala!"
"Cempaka nggak marah?"
"Ya nggak dong!"
Rumahnya di mana sih?"98
"Kok nanya-nanya rumah?"
"Kemarin Agung dengar waktu Cempaka ikut
perlombaan nyanyi di sekolah...."
"Lalu?"
"Suaranya bagus. Agung suka."
"Lalu?"
"Cempaka pintar nyanyi."
"Lalu?"
"Kata teman-teman, ayah Cempaka yang
mengajari. Guru piano, kan?"
"Lalu?"
"Ngng..."
"Kenapa?"
"Janji, Cempaka tidak akan menertawakan
Agung?"
"Iya deh, janji. Memangnya kenapa?"
"Agung ingin belajar piano sama ayah Cempaka.
Agung juga suka nyanyi...."
Cempaka merasa geli. Dia ingin tertawa. Tapi
ditahannya. Kan sudah janji? Nanti Agung malu.
Tidak mau mengajaknya bicara lagi. Padahal
Cempaka senang mengobrol dengan dia.
"Nanti deh, Cempaka bilang pada Ayah."
"Betul? Ayahmu mau mengajari Agung main
piano?"
"Tentu saja. Itu kan pekerjaan Ayah!"
* * *
"Piano?" Ayah Agung mengerutkan dahi dengan
heran. "Betul kamu mau belajar main piano?"
"Kamu serius, Agung?" sela ibunya pula.99
Agung memang selalu diberi kesempatan untuk
memilih sendiri hadiah ulang tahunnya. Tapi tidak
biasa-biasanya dia minta sesuatu yang istimewa
begini! Piano! Sejak kapan dia tertarik pada musik?
"Tentu saja Ayah setuju, Agung. Belajar main
piano kegiatan yang baik sekali untuk anak-anak
seumurmu. Tapi coba bilang dulu, mengapa tiba-tiba
kamu ingin belajar main piano?"
"Kemarin di sekolah ada perlombaan nyanyi,
Yah. Ada seorang teman Agung, anak perempuan,
baru kelas empat, bisa nyanyi sambil main piano.
Bagus sekali, Ayah. Agung tertarik. Agung juga
kepingin bisa seperti dia!"
"Bagus kalau begitu. Ayah belikan kamu piano.
Di mana kamu mau belajar main piano? Di tempat
temanmujuga?"
"Ayahnya guru piano. Agung ingin belajar sama
dia, Ayah."
* * *
Temanmu?" Paman Wisnu menghentikan
makan-nya sesaat. "Tentu saja boleh. Tapi waktu
Ayah sudah sempit sekali. Kalau Ayah pergi
mengajar ke rumahnya, Ayah akan terlambat pulang.
Tidak bisa menemanimu makan malam."
Ketika keesokan harinya Cempaka menyampaikan keberatan ayahnya, Agung langsung memutuskan, dialah yang akan datang ke rumah
Cempaka.
"Agung bisa datang ke rumah Cempaka." Seperti
biasa, Agung selalu keras hati. Apa yang dikehendakinya, harus diperolehnya. Jalan apa pun akan
ditempuhnya. "Biar Agung belajar di rumah Cempaka100
saja. Jadi ayahmu tidak usah meninggalkan rumah.
Boleh? Ayah Cempaka tidak keberatan, kan?"
Tentu saja Paman Wisnu tidak keberatan. Selesai
makan malam, dia meluangkan waktu untuk memberi les piano pada Agung. Sambil mengajar Agung,
dia dapat pula melatih Cempaka.
Paman Wisnu merasa gembira. Bukan hanya
karena dapat uang tambahan. Tapi juga karena tidak
usah meninggalkan Cempaka. Yang lebih penting, dia
tidak pernah merasa kesepian lagi.
Hidupnya menjadi lebih bergairah. Malam-malam
panjang yang menyiksa tak pernah mampir lagi dalam
hidupnya. Karena pikiran tenang, hati berbahagia,
merokok pun dapat dikurangi, penyakit pun jarang
menyapa. Padahal sebelum Cempaka datang dulu,
hampir sebulan sekali dia mesti minum obat darah
tinggi. Obat maag. Obat penenang.
Dan bukan itu saja. Karena Cempaka selalu
berdoa tiap malam, Paman Wisnu pun berbaik
kembali dengan Tuhannya. Padahal sejak musibah itu
menimpanya belasan tahun yang lalu, dia telah
mengusir Tuhan dari hatinya.
"Terima kasih karena telah mengirimkan anak
perempuan yang sebaik dia ke rumahku, Tuhan,"
bisik Paman Wisnu setiap malam, bila dia selesai
berdoa. "Tolong, berikan aku kesempatan untuk
membahagiakanny a!"
* * *
"Interlokal ke Palembang?" Gadis petugas telepon itu
mengawasi Cempaka dengan dahi berkerut. "Tapi
biayanya cukup mahal, Dik."101
Cempaka buru-buru membuka tas sekolahnya.
Dikeluarkannya sebuah kaleng bekas susu. Dibukanya
tutupnya. Lalu sambil berjingkat, ditumpahkannya
isinya ke atas meja di depan loket. Uang logam dan
lembaran ratusan kumal berhamburan keluar.
"Ini cukup, Kak?" tanyanya harap-harap cemas.
Petugas telepon itu menghela napas antara kesal
dan haru.
"Siapa yang hendak kamu hubungi?" tanyanya
sambil mulai menghitung.
"Adik saya, Kak."
"Cukup," kata gadis itu sambil menggelenggelengkan kepalanya. Seandainya kurang pun, dia
telah bertekad untuk menambahinya dengan uangnya
sendiri. Kasihan gadis kecil ini!
"Tunggulah sebentar, Kakak sambungkan. Ini
nomornya? Pasti betul? Tidak keliru?"
Cempaka menggelengkan kepala. Nomor telepon
itu diperolehnya dari meja tulis Bu Nasti, sesaat
sebelum dia meninggalkan panti asuhan. Pasti tidak
keliru! Itu nomor telepon orang tua Bara di
Palembang!
* * *
"Bara?" Berubah air muka Bu Bastian, sesaat setelah
dia mengangkat gagang telepon di rumahnya. "Dari
mana ini?"
Mendengar namanya disebut, Bara langsung
berdiri. Ditinggalkannya permainannya begitu saja di
lantai. Dan dia berlari ke pintu yang memisahkan
ruang mainnya dengan ruang tempat telepon. Sambil
bersandar ke ambang pintu, didengarkannya pembicaraan Ibu angkatnya baik-baik.102
"Jakarta?" Bu Bastian melirik anaknya dengan
perasaan tidak enak. Sekejap mata mereka beradu.
"Dari..." Ditelannya kembali nama itu ketika dilihatnya cara Bara menatapnya. "Oh, sayang sekali. Dia
tidak di rumah.... Ke mana? Oh, dia pergi bersama
ayahnya. Ya, ya, dia baik-baik saja.... Kembali."
Bu Bastian meletakkan tangkai telepon itu dengan
perasaan tidak enak. Dia telah berdusta! Alangkah
kecewanya suara anak perempuan di ujung sana itu!
Tetapi apa Iagi yang harus dilakukannya?
Telepon itu dari Cempaka. Kakak Bara. Padahal
Bu Bastian tidak ingin Bara ingat kembali akan masa
lalunya. Semua yang berasal dari masa itu harus
lenyap dari ingatan Bara! Dia tidak boleh punya masa
lalu!
"Telepon buat Aya ya, Bu?"
Tertatih-tatih dengan lucunya Bara menghampiri
ibunya. Matanya yang jujur menikam hati Bu Bastian.
Ah, mengapa harus didustainya anaknya yang masih
polos ini?
"Bukan, Aya. Salah sambung."
Bu Bastian mengangkat Bara ke dalam
gendongannya. Diciuminya wajah anaknya dengan
penuh kasih sayang.
Maafkan Ibu, Aya sayang, bisik Bu Bastian dalam
hati. Ibu mendustaimu! Tapi semua ini Ibu lakukan
demi kebaikanmu! Ibu tidak mau kehilanganlagi!
Cukup sekali sudah Ibu kehilangan Andri....
* * *
Cempaka meletakkan tangkai telepon itu dengan
sedih. Kedua lututnya lemas sampai ke ujung jari.103
Terhuyung-huyung dia melangkah keluar dari boks
telepon.
Gadis petugas telepon itu menegurnya dengan
iba. Tetapi Cempaka hanya menggelengkan kepalanya sambil menahan tangis. Dia melangkah keluar
dari kantor telepon. Menelusuri kaki lima dengan
kepala tertunduk lesu.
Aku tidak boleh putus asa, desah Cempaka sambil
menggigit bibir. Diangkatnya wajahnya. Ditatapnya
langit biru yang memayungi kepalanya. Aku akan
mengumpulkan uang lagi! Akan kucoba lagi
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menelepon Bara!
Namun tiga kali berturut-turut Cempaka telah
gagal pula. Bara tak pernah berada di rumah. Pada
kesempatan keempat, telepon itu malah telah dialihkan kepada pelanggan lain.
Cempaka masih mencoba menulis surat kepada
keluarga Bastian. Tetapi suratnya tak pernah berbalas.
Setahun kemudian, dia malah menerima balasan yang
menyakitkan. Keluarga Bastian telah pindah dari
rumah itu.
"Ada apa?" tanya Agung heran. Mereka sedang
latihan duet piano di rumah Agung. Besok ada pertunjukan di sekolah. Tetapi sejak tadi Cempaka salah
terus. Permainan mereka jadi kacau. "Dari tadi kamu
salah terus!"
Cempaka menghentikan permainannya.
"Ingat adik," keluhnya getir. Ditundukkannya
kepalanya dengan sedih. "Waktu kami berpisah, Ayah
memainkan lagu ini. Cempaka yang nyanyi."
"Pisah? Pisah bagaimana? Adikmu ke mana?"
desak Agung penasaran.
Tetapi Cempaka tidak mau berkata apa-apa lagi.104
"Coba lagi yuk," katanya pada Agung, yang
duduk di sebelahnya. "Kalau kita gagal besok, Ayah
pasti kecewa."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Cempaka mulai
menarikan kembali jari-jemarinya di atas tuts. Agung
mengiringi dengan bersemangat. Dan dentang
permainan piano mereka mengalun ke seluruh rumah.105
BAGIAN
KEDUA106
BAB I
DENTANG piano mengalun ke seluruh rumah. Iramanya tenang mengharukan. Menganyam perasaan
setiap insan yang kebetulan mendengarnya.
Ketika lagu itu berakhir, Agung bertepuk tangan.
Cuma sendiri. Karena Cempaka yang berduet bersamanya malah menunduk sambil menebah dahinya.
Wajahnya semurung nada-nada dalam lagunya.
"Bagus sekali," gumam Agung puas. "Semakin
lama kumainkan lagu ini, semakin dapat aku
menikmatinya, semakin mampu aku menghayati
perasaan penciptanya."
Agung memegang tangan Cempaka dengan
lembut.
"Mengapa? Ingat adikmu lagi?"
"Setiap kali mendengar lagu ini, aku selalu ingat
Bara."
"Sudah lima belas tahun berlalu, Cempaka. Tak
dapatkah kamu melupakannya?"
Cempaka menggeleng getir.
"Aku telah berjanji kepada diriku sendiri untuk
mencarinya."
Agung menghela napas panjang. Dilepaskannya
tangan Cempaka. Dimainkannya sebuah lagu lagi.
Asal saja. Sebagai pelepas kekecewaan hatinya.
Cempaka memang selalu seperti itu. Lima belas
tahun mereka telah bergaul cukup dekat. Selalu107
bersama-sama. Di sekolah. Maupun di rumah, kalau
berlatih piano.
Tetapi gadis itu seperti tidak pernah mengacuhkannya. Cuma adiknya yang selalu diingatnya. Cuma
adiknya!
Cempaka meninggalkan piano itu dengan kepala
tertunduk. Agung mengawasinya sampai Cempaka
menjatuhkan dirinya di kursi. Hari itu, rumah
kebetulan sepi. Ayah-ibunya belum kembali dari luar
negeri.
"Masih ada minat untuk rekaman?" tanya Agung
di sela-sela permainan pianonya.
"Aku kuatir Ayah tidak setuju."
"Mustahil. Ayahmu yang menciptakan lagu ini."
"Lagu ini cuma diciptakan untukku. Aku
menyanyikannya sebagai salam perpisahan dengan
adikku."
"Tapi sudah lima belas tahun lagu ini cuma jadi
milikmu. Cuma kita bertiga yang dapat mendengarnya. Kau tidak ingin semua orang dapat ikut menikmatinya?"
"Aku ingin Bara mendengarnya. Dan mencari
aku."
Lagi-lagi Bara, gerutu Agung dalam hati. Karena
kesal, permainan pianonya pun mengeras. Cuma
adiknya yang ada dalam hatinya!
"Bara tak akan pernah mendengarnya kalau kau
tidak mencoba mempopulerkan lagu ini."
"Karena itu aku ingin mencoba merekamnya."
"Jangan kuatir. Aku kenal seorang pengusaha
rekaman."
"Bukan itu yang terpenting. Aku bisa mencobanya sendiri. Kalau aku menjadi penyanyi, aku ingin108
karena orang menyukai suaraku. Bukan karena dia
temanmu!"
"Oke! Oke! Kau boleh mencobanya sendiri!''
gerutu Agung jengkel. "Nah, kapan kau mau
mencoba? Kalau rambutmu sudah putih semua? Atau
kalau kau sudah mimpi ketemu adikmu?"
"Yang kupikirkan cuma Ayah."
"Kenapa ayahmu?"
"Aku belum mendapat izinnya."
"Nah, mintalah! Tunggu apa lagi?"
"Aku takut Ayah tak setuju"
"Mustahil. Aku tidak percaya ayahmu tidak ingin
lagu ciptaannya menjadi terkenal dan dinyanyikan
orang."
* * *
"Menjadi penyanyi?" Pak Wisnu menghantam meja
dengan tinjunya. Ditaruhnya sendoknya dengan
separuh dibanting. Disingkirkannya piring makannya
yang masih separuh penuh. "Tidak!!"
Dengan kasar Pak Wisnu menggeser kursinya.
Dan sambil menghentakkan kaki ditinggalkannya
meja makan dengan gusar.
Cempaka langsung mengejarnya.
"Ayah." Dirangkulnya bahu Pak Wisnu dengan
sedih. "Ayah marah?"
"Kau tidak akan pernah menjadi penyanyi selama
Ayah masih hidup!"
"Ayah!" sergah Cempaka kaget. Mengapa Ayah
begitu benci kepada seorang penyanyi? Belum pernah
dilihatnya Ayah semarah ini. "Saya hanya ingin
membantu Ayah. Kalau saya menjadi penyanyi, Ayah
tidak perlu lagi bekerja. Ayah sudah tua. Kata dokter,109
Ayah mesti lebih banyak beristirahat. Tidak boleh
terlalu lelah. Tidak boleh banyak pikiran. Ayah
mengidap tekanan darah tinggi...."
"Persetan!" Dengan kasar Pak Wisnu melepaskan dirinya dari rangkulan Cempaka. "Lebih baik
Ayah bekerja sampai mati daripada membiarkanmu
jadi penyanyi!"
"Ayah!"
"Kau sekolah saja baik-baik! Ayah masih
sanggup membiayaimu!"
"Saya tidak akan menelantarkan kuliah saya,
Ayah! Percayalah. Saya hanya ingin membantu Ayah.
Dan menemukan Bara...."
"Masih juga kau ingat-ingat adikmu! Sudah
berapa kali Ayah bilang, lupakan dia! Adikmu sudah
berbahagia dengan orang tua angkatnya! Dia dan
keluarganya tidak ingin mengenalmu lagi! Kau
berasal dari masa lalunya, Cempaka. Dan dia tidak
ingin ada orang yang mengetahui masa lalunya!
Belum mengerti jugakah engkau?"
Cempaka memutar tubuhnya sambil menyusut air
matanya. Benarkah Bara sudah tidak mau
mengenalnya lagi? Benarkah dia tidak rindu kepada
kakaknya?
"Saya hanya berharap... jika Bara mendengar lagu
ini... dia ingat saya... dan mencari saya, Ayah...."
"Bara masih terlalu kecil untuk mengingat sebuah lagu!"
"Tapi lagu ini Ayah ciptakan untuk kami...."
"Kau keliru!" Pak Wisnu menghantam dinding
dengan tinjunya. Dikatupkannya rahangnya menahan
marah. "Lagu ini tidak Ayah ciptakan untuk kalian!
Ayah menciptakannya untuk dinyanyikan oleh
seseorang! Lama sebelum kalian lahir!"110
Dengan geram Pak Wisnu meninggalkan
rumahnya. Untuk pertama kalinya scjak Cempaka
tinggal di sana, dia melihat ayahnya pergi sambil
membanting pintu.
Dan untuk pertama kalinya dia mengetahui
rahasia yang menyakitkan itu.... Ada seorang lain di
hati ayahnya... untuk dialah Ayah menciptakan lagu
ini! Bukan untuk Cempaka dan Bara!
* * *
Hujan turun dengan lebatnya. Kilat sabungmenyabung menggetarkan sukma. Cempaka masih
duduk di depan piano tua di rumahnya. Memainkan
lagu kesayangannya.
Hari sudah larut malam. Tapi Ayah belum pulang
juga. Cempaka merasa sangat kuatir. Dan keresahan
hatinya ditumpahkannya pada lagu itu.
Di luar, cuaca gelap pekat. Seorang laki-laki berlari-lari menerobos hujan. Menelusuri gang becek
menuju ke rumah Cempaka.
Sesaat sebelum tangannya menyentuh pintu
pagar, kilat menyambar dengan hebatnya. Angin bertiup amat kencang. Menerjang apa pun yang
menghalanginya.
Pintu pagar itu sudah terhempas sebelum
disentuh. Tergesa-gesa laki-laki itu melintasi halaman
sempit rumah Cempaka. Dan mengetuk pintu.
Sesaat dentang piano yang mengalun di sela-sela
derasnya hujan itu lenyap. Lalu seseorang membuka
pintu.
"Cempaka!" sergah tamu yang baru datang itu.
"Lekas ikut Paman!"111
"Paman Sarta!" cetus Cempaka gugup. "Ada
apa?"
"Ayahmu, Cempaka!"
"Ayah? Ayah kenapa?"
"Dia sedang minum di tempat Paman ketika tibatiba jatuh pingsan! Sekarang di rumah sakit!"
"Ayah!" pekik Cempaka histeris.
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tidak ingat lagi untuk menukar baju. Dia
hanya sempat menyambar sebuah payung. Dan berlari-lari menerobos hujan lebat.
* * *
Pak Wisnu belum sadar ketika Cempaka tiba di sisi
pembaringannya. Dengkurnya kasar mengisi kesunyian. Setetes demi setetes cairan infus mengalir
melalui pembuluh darahnya.
"Ayah,.." ratap Cempaka pilu.
Dia berlutut di sisi pembaringan. Menatap
ayahnya yang terbujur kaku dengan perasaan bersalah.
Dialah yang membuat Ayah marah. Padahal
dokter sudah menyatakan dia harus hidup tenang.
Tidak boleh emosi. Harus menjauhi stress. Malam ini,
dialah yang mencetuskan kemarahan Ayah dengan
keinginannya menjadi penyanyi!
"Tekanan darahnya tinggi sekali," komentar
Dokter Wibowo di ruang kerjanya. "Sudah lama Pak
Wisnu mengidap tekanan darah tinggi?"
"Seingat saya, sejak saya masih kecil, Dok," sahut
Cempaka sambil menahan tangisnya. "Dokter
memang mengatakan ayah saya mengidap tekanan
darah tinggi. Tidak boleh banyak pikiran. Tidak boleh
emosi. Harus dapat mengendalikan diri. Menekan112
kemarahan. Menjauhi stress. Tapi sudah lama Ayah
tidak kontrol, Dok. Tidak mau jika saya ajak ke
dokter. Malam ini Ayah marah sekali. Sayalah yang
salah, Dok...."
"Sudahlah. Jangan terlalu menyalahkan diri
sendiri. Nanti Anda ikut sakit."
"Dokter..." Cempaka menatap Dokter Wibowo
dengan air mata berlinang. "Ayah... dapat...
sembuh...?"
"Pak Wisnu memerlukan perawatan beberapa
lama di rumah sakit. Ada pembuluh darah yang pecah
di otaknya akibat tekanan darah yang terlalu tinggi.
Daerah yang tidak mendapat darah itu mengalami
kerusakan, yang tidak mungkin diperbaiki kembali.
jika dia sadar nanti, ada gejala sisa yang terjadi akibat
kerusakan itu."
"Lumpuh, Dok?" gumam Cempaka gemetar.
"Separuh badan. Karena kerusakan berada pada
jaringan otak sebelah kanan, kelumpuhannya terjadi
di sisi badan sebelah kiri."
"Ya, Tuhan!" Cempaka menutup wajahnya
sambil menangis.
Dokter Wibowo menatap gadis itu dengan iba.
Seorang gadis yang manis. Lemah lembut. Tetapi
dengan sebentuk wajah yang selalu diliputi kesedihan.
Matanya redup. Bibirnya menggurat duka.
Tatapannya menyimpan penderitaan.
Kasihan. Hidupnya pasti tidak terlalu senang.
Masa kanak-kanaknya mungkin segelap bola matanya, sehitam rambutnya.
Dan kini, ayahnya sakit. Bukan penyakit biasa.
Lumpuh sebelah. Ah, Dokter Wibowo ingin menghiburnya. Ingin menolongnya. Tetapi ada sesuatu113
yang berada di luar batas kemampuan manusia. Di
luar kekuasaannya.
"Tenanglah, Dik. Tabahkan hatimu," hibur
Dokter Wibowo perlahan. "Pak Wisnu memang
lumpuh. Mungkin juga dia akan sulit menyatakan
perasaannya dengan kata-kata. Tapi perasaannya
masih utuh. Dia dapat merasakan kescdihan Anda."
* * *
Cempaka memang menuruti nasihat Dokter Wi-bowo.
Di depan ayahnya, dia tidak memperlihatkan kesedihannya. Begitu Ayah siuman, diciumnya dahi
ayahnya dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan Cempaka, Ayah," bisiknya penuh
penyesalan.
Pak Wisnu memang belum mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi dari caranya memandang, Cempaka tahu, Ayah telah memaafkannya.
Pak Wisnu memang sudah tidak marah lagi. Sebaliknya, dia malah menyesali tindakannya. Mengapa
dia harus memarahi Cempaka? Cempaka tidak tahu
apa-apa! Dia hanya merindukan adiknya! Tak dapat
melupakannya. Ingin mencarinya. Salahkah dia?
Hatinya sangat lembut. Lima belas tahun Pak
Wisnu telah hidup bersama Cempaka. Selama itu,
belum pernah Cempaka berbuat sesuatu yang
menyakiti hatinya. Mengecewakan ayahnya.
Dia rajin belajar. Tidak pernah melalaikan
pekerjaan rumahnya. Dia melayani ayahnya dengan
telaten sekali. Tidak diperkenankannya sama sekali
ayahnya ikut campur dalam urusan rumah tangga.
Semuanya diselesaikannya sendiri.114
Begitu baiknya Cempaka mengurus ayahnya
sampai dia seolah-olah melupakan kebutuhannya
sendiri sebagai seorang wanita. Dalam usia dua puluh
lima tahun, dia belum pernah terlibat dalam hubungan
yang intim dengan seorang laki-laki. Apalagi
memikirkan perkawinan.
Agung yang selalu berada di dekatnya hanya dianggapnya sahabat. Padahal Pak Wisnu tahu, pemuda
itu menaruh hati pada Cempaka. Sejak masa remaja
sampai sekarang, Cempaka belum pernah minta
dibelikan pakaian yang bagus-bagus seperti layaknya
gadis-gadis seumurnya.
Dia tidak pernah minta apa-apa. Sampai hari ini.
Dia minta izin untuk menyanyikan lagu itu. Merekamnya. Mengapa harus dimarahinya dia?
Pak Wisnu merasa dia telah memperlakukan
Cempaka dengan tidak adil. Dia ingin minta maaf.
Ingin menghibur kesedihan Cempaka. Tetapi tidak
ada yang dapat dilakukannya kecuali memandang
wajah gadis itu. Memegang lengannya dengan tangan
kanannya yang masih sehat.
Dia ingin bicara. Ingin mengungkapkan perasaannya. Tetapi tidak ada suara yang keluar. Yang keluar
hanya galau parau dari udara yang bercampur dengan
dahak kental yang menyumbat tenggorokannya.
Ketika Pak Wisnu sudah mampu bersuara pun,
hanya dia sendiri yang dapat mengerti apa yang diucapkannya. Lidahnya seakan-akan menjadi lebih
pendek. Bicaranya menjadi pelo.
Pak Wisnu ingin menangis. Tetapi dia insaf,
menangis hanya akan menambah kesedihan Cempaka.
Karena itu selalu diusahakannya untuk menyembunyikan tangisnya.115
Di pihak lain, Cempaka juga merasakan hal yang
sama. Dia ingin menangis. Tapi selalu ditah-annya.
Karena memperlihatkan air matanya berarti menambah kesedihan Ayah.
* * *
Ketika Cempaka keluar dari kampusnya, Agung telah
menunggu di samping mobilnya. Dia langsung
membuka pintu begitu melihat Cempaka.
Tanpa berkata apa-apa Cempaka melangkah
masuk. Agung menutupkan pintu. Mengitari separuh
tubuh mobilnya. Dan masuk dari pintu yang lain.
"Langsung ke rumah sakit?" tanyanya sambil
menghidupkan mesin mobil. "Bagaimana kalau kita
makan dulu?"
"Aku belum lapar."
"Kau tidak pernah bertanya aku lapar atau tidak."
"Kalau lapar, mengapa tidak makan dulu?"
Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Cempaka
baru menyesal. Agung selalu baik padanya. Mengapa
dia tidak pernah memperlihatkan perhatian kepadanya?
"Maaf," gumamnya lirih. Dalam nada sesal. "Kau
lapar?"
"Tidak," sahut Agung singkat. Ketus. Dia sudah
kehilangan selera makannya. Tanpa berkata apa-apa,
dilarikannya mobilnya ke rumah sakit.
Cempaka menghela napas. Ditatapnya pemuda itu
dengan sabar. Usianya memang sudah dua puluh
tujuh tahun. Sarjana ekonomi, Direktur bank pula.
Menggantikan ayahnya. Tetapi adatnya tak pernah
berubah. Masih tetap senang merajuk seperti anak
kecil. Mungkin karena dia anak tunggal. Selalu di-116
manja. Keinginannya senantiasa dikabulkan orang
tua.
"Marah?" tanya Cempaka sabar.
"Pikir saja sendiri."
"Aku kan sudah minta maaf."
"Kau tidak pernah mempedulikan aku."
"Aku letih. Banyak pikiran pula. Kau kan tahu,
aku sedang stress karena Ayah."
"Ah, sebelum ini kau juga selalu begitu!"
"Agung." Cempaka tersenyum sabar. Ditatapnya
pemuda itu dengan lembut. "Kau tidak pernah
berubah. Selalu merajuk. Seperti anak kecil."
"Dari sananya memang sudah begini! Kau mau
apa?"
Diam-diam Cempaka menghela napas. Kalau
Agung sudah merajuk, biasanya, dialah yang harus
mengalah.
"Aku tidak ingin makan di luar. Bosan," kata
Cempaka perlahan. "Sejak Ayah sakit, kau selalu
mengajakku makan di luar."
"Tapi kau yang tidak mau makan di rumah!
Katamu, kau selalu ingat Ayah!"
"Jangan marah dulu," desah Cempaka, menyabarnyabarkan diri. "Aku hanya ingin sesuatu yang lain
hari ini. Aku ingin mengajakmu makan di rumah."
Agung sampai salah memindahkan gigi mobilnya. Ditolehnya Cempaka dengan tatapan tidak
percaya. Tetapi Cempaka cuma tersenyum. Lembut
seperti biasa.
* * *
Cempaka hanya menghidangkan ikan bakar. Lalap
daun mede. Dan sambal terasi. Tetapi Agung makan117
dengan lahapnya seperti sudah sebulan tidak bertemu
nasi.
"Enak?" tanya Cempaka sambil tersenyum.
"Lihat saja cara makanku. Masih perlu tanya?"
"Jangan terlalu banyak. Nanti perutmu kaget.
Tidak biasa mencernakan makanan seperti ini."
"Ah, siapa bilang! Ibuku juga orang Sunda. Kami
sering makan lalap."
"Menyesal kuhidangkan lalap juga di sini. Kau
pasti sudah bosan."
"Ah, siapa bilang! Lalap buatan ibuku tidak
seperti ini, kok!"
Cempaka menyembunyikan senyumnya. Sesaat
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata mereka bertatapan. Agung mengulurkan
tangannya. Disentuhnya tangan Cempaka yang masih
terkulai di atas meja. Diremasnya dengan lembut.
"Tidak bosan masak seperti ini tiap hari untukku?"
"Pertanyaan yang sama." Cempaka mengulum
senyumnya. "Tidak bosan makan seperti ini tiap
hari?"
"Tidak, asal kau yang membuatnya."
"Aku tidak pandai masak."
"Tidak perlu. Kita bisa menggaji sepuluh koki
kalau mau."
"Kita?" Senyum Cempaka langsung
mengambang.
Tangan Agung yang sedang meremas-remas
tangan gadis itu dengan lembut berhenti dengan
sendirinya. Ditatapnya Cempaka dengan tegang.
"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin membawamu dan Ayah pindah ke rumahku. Tentu saja
sesudah ayahmu sembuh."
"Ini sebuah lamaran?"118
"Tergantung jawabanmu."
"Maafkan aku, Agung. Aku belum memikirkan
perkawinan. Aku belum bisa memikirkan diriku
sendiri sebelum menemukan Bara...."
"Memang cuma adikmu yang ada dalam pikiranmu!" geram Agung kesal. Kecewa. Patah semangat.
Dihempaskannya tangan Cempaka yang masih berada
dalam genggamannya.
"Aku telah berjanji pada Ayah akan menjaganya
baik-baik. Sekarang, aku malah tidak tahu di mana dia
berada."
"Tapi itu bukan salahmu!"
"Memang bukan. Tapi aku belum puas sebelum
mengetahui dia tidak kurang suatu apa."
"Kalau kau baru menemukannya sesudah rambutmu beruban, sudah terlambat untuk memikirkan
dirimu sendiri!"
"Aku tidak akan menyesal."
"Aku yang menyesal!"
Dengan marah Agung bangkit dari kursinya.
Cempaka mengawasi pemuda itu dengan sedih. Dia
mengerti perasaan Agung. Tetapi dia tak dapat
menerima cinta pemuda itu sebelum menemukan
adiknya! Dia telah berjanji kepada dirinya sendiri, tak
akan memikirkan perkawinan sebelum bertemu
dengan Bara. Dan untuk Bara, Cempaka rela
mengorbankan apa saja. Termasuk kebahagiaannya
sendiri.
"Cuma Bara yang ada dalam pikiranmu! Kau
tidak pernah memperhatikan aku. Aku cuma tempat
sampah! Menerima sisa-sisa adikmu!"
"Maafkan aku, Agung." Cempaka menunduk
sedih. Dia benar-benar menyesal. Mengapa harus119
menyakiti hati pemuda sebaik dia? "Aku tidak adil
padamu...."
"Kau tidak adil pada dirimu sendiri! Adikmu tak
pernah lagi memikirkanmu. Dia tidak pernah mencarimu! Mengapa kau masih terus memikirkannya?
Dia sudah menjadi orang lain! Dan dia sudah berbahagia dengan statusnya yang baru. Pikirkanlah
dirimu sendiri, Cempaka! Kalau bukan untukmu,
lakukanlah untuk orang-orang yang mencintaimu!
Ayahmu. Dan Aku!" Dengan sengit Agung
meninggalkan rumah itu.120
BAB II
BERMINGGU-MINGGU setelah kejadian itu,
Agung tidak pernah muncul lagi. Dia tidak pernah
datang menjemput di kampus. Tidak pernah
mengunjungi Pak Wisnu di rumah sakit. Tidak pernah
pula datang ke rumah.
Untuk pertama kalinya, Cempaka merasa
kehilangan pemuda itu. Sejak kecil Agung selalu
berada di sisinya. Dia selalu dekat, pada saat senang
maupun susah. Karena dia selalu bersama, Cempaka
hampir-hampir tak pernah lagi merasakan keistimewaannya. Baru sekarang, setelah dia pergi,
Cempaka merasa kehilangan.
Beberapa kali Cempaka ingin menelepon ke
kantor Agung. Hanya sekadar ingin menanyakan
keadaannya. Mendengar suaranya. Menikmati
tawanya. Tetapi dia merasa malu.
Agung bukan hanya mengharapkan teleponnya.
Dia mengharapkan Cempaka mengubah tekadnya
untuk mencari Bara. Dan mulai memikirkan dirinya
sendiri. Memikirkan masa depan mereka. Sebelum
Cempaka dapat melaksanakannya, untuk apa menghubungi Agung lagi? Hanya menambah sakit hatinya
saja. Memancing pertengkaran baru.
Sementara itu, Pak Wisnu sudah mulai berangsur
sembuh. Dia sudah mulai dapat berbicara dengan121
lebih jelas, meskipun belum kembali normal. Tangan
dan kakinya yang lumpuh mendapat fisioterapi dari
seorang ahli.
Ketika Dokter Wibowo menyatakan Pak Wisnu
sudah boleh meninggalkan rumah sakit, kegembiraan
Cempaka demikian meluap sampai dia meneteskan air
mata di depan dokter itu.
Tetapi kegembiraannya tidak berusia panjang.
Tatkala mereka menyodorkan perincian biaya yang
harus dilunasi, Cempaka benar-benar shock, Tiga
ratus lima puluh ribu, sesudah dipotong imbalan
untuk dokter!
Dokter Wibowo menolak dibayar. Dia benarbenar manusia berbudi luhur! Tapi jumlahnya masih
tetap tiga ratus lima puluh ribu! Untuk kamar, infus,
oksigcn, obat-obatan, pemeriksaan laboratorium, fisioterapi, dan entah apa lagi!
Tiga ratus lima puluh ribu. Ah, bukan jumlah
yang terlalu banyak. Alangkah mudahnya jika Agung
masih di sampingnya! Dia pasti mau meminjaminya
lebih dulu. Barangkali juga tanpa diminta, Agung
pasti akan menawarkan bantuannya. Tapi sekarang?
Cempaka tidak mungkin datang meminjam uang
padanya. O, harus ditaruh di mana mukanya ini? Dia
tidak dapat datang meminjam tanpa merendahkan
harga dirinya sendiri!
Termenung Cempaka di depan piano tua di
rumahnya. Sudah dua jam dia merenung, memikirkan
apa Iagi yang pantas untuk dijual. Barang-barang
berharga milik mereka yang memang jumlahnya
cuma satu dua, sudah lama meninggalkan rumah ini.
Sejak Ayah sakit, tidak ada pemasukan uang sama
sekali. Berhenti mengajar berarti berhenti pula nafkah
mereka. Bekas murid-murid ayahnya memang reia122
menyumbang. Mengumpulkan uang untuk perawatan
guru mereka. Tapi berapa jumlahnya? Uang itu sudah
habis terpakai untuk keperluan sehari-hari.
Cempaka pun sudah berhenti kuliah. Padahal
kuliahnya di Fakultas Hukum sudah tinggal setahun
lagi. Apa boleh buat. Dia harus mendahulukan
kesembuhan Ayah. Menggunakan setiap rupiah
uangnya dan setiap menit waktunya untuk Ayah.
Dia ingin bekerja. Tapi dia harus minta pendapat
Ayah dulu. Cempaka tidak mau pengalaman pahit itu
terulang kembali.
Ayah memang baik. Tapi sifatnya kadang-kadang
aneh. Kalau Cempaka berhenti kuliah lalu bekerja,
jangan-jangan Ayah marah-marah lagi.
Dan tiga ratus lima puluh ribu itu sudah menghadang di depan mata sebelum Cempaka sempat
bekerja. Bahkan sebelum dia sempat minta izin
ayahnya.
Dengan hati resah, Cempaka menarikan jarijemarinya di atas tuts piano tuanya. Pikirannya masih
melayang ke mana-mana. Tapi jari-jarinya yang terlatih sudah memainkan sebuah lagu.
Begitulah kebiasaannya sejak dia mengenal piano
ini. Kebiasaan sejak kecil. Kalau hatinya sedang
gundah, pikirannya sedang kacau, dia akan duduk di
depan sahabatnya. Dan mengajaknya bermain. Seperti
saat ini.
Dan tiba-tiba saja Cempaka berhenti bermain.
Jari-jemarinya mengejang di atas tuts. Tiga ratus lima
puluh ribu... adakah orang yang mau membeli piano
tuanya seharga tiga ratus lima puluh ribu...?
Tapi menjual sahabat tuanya yang setia ini! Ya,
Tuhan? Sama saja dengan menjual masa lalunya!123
Piano ini mengandung kenang-kenangan tentang
masa kecilnya. Kenangan terhadap adiknya. Ayah
angkatnya. Agung. Bahkan Bu Nasti....
Cempaka menelungkup ke atas piano itu. Dan
menangis tersedu-sedu. Tangisnya bergalau dengan
dentang protes piano tuanya. Protes dari hati kecilnya
sendiri!
* * *
Hanya ada dua orang peminat yang datang melihat
pianonya. Padahal Cempaka sudah memasang iklan di
surat kabar. Yang seorang langsung pulang ketika
melihat piano itu. Dan hanya menawar dua ratus ribu.
Itu pun tampaknya asal saja. Sambil lalu.
Untung, yang seorang Iagi kelihatannya amat
berminat. Tanpa menawar lagi, dia membayar harga
yang diminta Cempaka. Karena dia sudah membawa
pick-up, dia tampaknya sudah begitu yakin dapat
memperoleh piano itu, jual-beli dapat diselesaikan
saat itu juga.
Cempaka merasa dirinya seperti pengkhianat
ketika menggenggam uang tiga ratus lima puluh ribu
sambil mengawasi sahabatnya diangkut ke luar dari
dalam rumah dan dinaikkan ke atas mobil.
Dia telah menjual sahabat tuanya, sahabat masa
kecilnya, seharga tiga ratus lima puluh ribu rupiah!
O, Tuhan! Betapa berat cobaanMu! Mengapa aku
harus kehilangan semuanya? Satu per satu mereka
meninggalkanku. Mula-mula Bara. LaluAgung. Lalu
piano tua itu. Hanya tinggal Ayah... yang tua dan
jompo....
O, Ayah! Maafkan Cempaka! Telah kujual miing
setia!124
"Pak." Cempaka mendekati laki-laki yang membeli pianonya itu sesaat sebelum pianonya dinaikkan
ke atas pick-up. Dibelainya piano tua itu untuk
terakhir kalinya. Dan hatinya pedih seperti disayat
sembilu. "Jika Bapak hendak menjualnya lagi nanti,
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tolong hubungi saya dulu ya, Pak...? Saya mohon.
Jangan menjualnya kepada orang lain. Kalau
kebetulan saya punya uang, saya akan menebusnya
kembali...."
Orang itu menoleh kepada Cempaka. Seorang
gadis manis. Sayu dan pucat. Menggigit bibir untuk
menahan tangis. Memohon dengan seluruh jiwanya.
Sungguh bodoh! Dia menangis hanya untuk sebuah
piano!
"Bolehkah saya mengetahui akan dibawa ke mana
piano ini, Pak?"
"Sayang sekali, saya juga tidak tahu."
"Bapak... tidaktahu...?"
"Piano ini akan saya jual kembali. Siapa yang
membelinya, mana saya tahu?"
"Akan... Bapak... jual... kembali...?" gumam Cempaka lirih. Putus asa. Habislah sudah harapannya
untuk berjumpa kembali dengan sahabatnya! Setitik
cahaya harapan pudarlah sudah!
"Saya seorang pedagang. Hanya mencari untung."
"Boleh tahu alamat Bapak?"
"Toko saya di Pecenongan. Cuma toko kecil. Ibu
pasti sulit mencarinya. Kalau punya uang, lebih baik
cari piano lain. Yang masih baru. Piano ini sudah
terlalu tua. Sudah banyak kerusakan. Nah, saya
permisi dulu, Ibu."
Berlinang air mata Cempaka ketika mobil yang
membawa sahabatnya itu berlalu. Dari jauh, dia masih125
melihat piano tua itu terguncang-guncang di
punggung pick-up.
"Selamat jalan, Sahabat," bisik Cempaka getir.
"Maafkan, aku terpaksa menjualmu...."
* * *
Keriangan Pak Wisnu karena diperbolehkan pulang
ke rumah luluh ketika melihat isi rumahnya. Rumah
itu nyaris kosong sama sekali. Hanya ada sebuah meja
makan dan empat buah kursi di ruang makan
merangkap ruang tamu mereka. Lemari, meja tulis,
radio, televisi kecil hitam-putih, semua telah lenyap!
Dan Pak Wisnu hampir tidak mempercayai
matanya sendiri ketika melihat piano kesayangannya
pun ikut lenyap! Sudut itu kosong. Dan itulah yang
memukul perasaannya. Dia benar-benar shock.
Cempaka merangkul ayahnya tanpa mampu berkata sepatah pun. Di bahu lelaki yang lemah itu,
tangisnya meledak.
Tangis anak angkatnya seolah-olah menyentakkan kembali kesadaran Pak Wisnu. Dia dapat
merasakan, betapa berat penderitaan Cempaka. Jika
selama ini dia mengira dialah yang paling menderita,
dia keliru! Keliru! Cempakalah sesungguhnya yang
paling menderita!
"Cempaka...," bisik Pak Wisnu lirih, dengan susah payah. "Maafkan Ayah...."
"Jangan, Ayah! Tak patut Ayah minta maaf pada
saya!"
"Ayah bersalah padamu...," desis Pak Wisnu
dengan suaranya yang tidak terlalu jelas.
Cempaka menggeleng getir. Air mata meleleh ke
pipinya.126
"Saya yang bersalah. Saya yang membuat Ayah
marah. Saya yang membuat Ayah jadi begini!"
"Tak pantas Ayah marah padamu...." Dengan
sebelah tangannya yang sehat Pak Wisnu membelaibelai rambut anaknya. "Kamu tidak tahu apa-apa...."
"Saya menyakiti hati Ayah. Ayah ingin saya
menjadi sarjana. Bukan penyanyi!"
"Tidak. Bukan kamu yang menyakiti hati Ayah.
Dengarlah baik-baik, lagu itu memang Ayah ciptakan
untuk orang lain...."
"Cempaka tidak ingin mendengarnya lagi, Ayah!
Lupakanlah!"
"Ayah ingin kau mengetahuinya. Lagu itu Ayah
ciptakan untuk istri Ayah sendiri.... Dulu, Ayah
seorang pencipta lagu yang cukup terkenal. Ayah
yang mengorbitkan dia menjadi penyanyi...."
Cempaka mengambil secangkir teh panas. Dan
menyodorkannya kepada ayahnya.
"Minumlah dulu, Ayah. Jangan memaksakan diri.
Masih banyak waktu untuk menceritakan hal itu pada
saya.
Tetapi Pak Wisnu menyingkirkan cangkir itu.
"Sebelum lagu itu selesai, dia telah melarikan
diri... dia pergi bersama gitarisnya... dan tidak pernah
kembali...."
"Ayah!" sergah Cempaka kaget. Tidak disangkanya masa lalu ayahnya demikian buruk! Pantas saja
Ayah begitu benci pada seorang penyanyi!
"Ayah tidak pernah mampu menyelesaikan lagu
itu. Sampai kau muncul. Pada malam kau menangis
seorang diri karena esok pagi harus berpisah dengan
adikmu... Ayah baru dapat menyelesaikan lagu itu...."
Pak Wisnu terlihat amat letih. Amat tua. Amat
tertekan. Napasnya terengah-engah. Cempaka buru-127
buru melekatkan cangkirnya di bibir ayahnya.
Lambat-lambat Pak Wisnu menghirup teh panas itu.
"Maafkan Cempaka, Ayah." Cempaka mengecup
dahi ayahnya setelah Pak Wisnu selesai minum. "Jika
lagu itu membangkitkan kembali kenangan pahit
Ayah, saya takkan pernah memainkannya lagi! Lagi
pula... kita telah kehilangan piano itu. Kita takkan
pernah mendengarnya lagi!"
"Kau anak baik, Cempaka," gumam Pak Wisnu
terharu. "Ayah sadar, kau berbeda dengan dia. Salah
menyamakan kamu dengan semua penyanyi. Tidak
adil mencegah tekadmu untuk menemukan adikmu.
Sekarang, Ayah tak dapat membantumu lagi,
Cempaka. Semuanya terserah kepadamu sendiri.
Jadilah penyanyi yang baik, Cempaka.... Kumandangkanlah lagu itu... supaya adikmu juga dapat
mendengarnya... dan kalian dapat bertemu kembali!"128
BAB III
CEMPAKA sendiri heran. Tidak disangkanya begitu
mudah memasuki dunia rekaman. Begitu dites, dia
dan lagu itu langsung diterima.
"Kita akan merekamnya," kata produser rekaman
itu mantap, tanpa mengacuhkan protes stafnya.
"Siapkan kontrak."
"Jangan terburu napsu, Bos!" Rizal, salah seorang stafnya, memperingatkan. "Penyanyi itu belum
punya nama. Cantik memang. Tapi penampilannya
masih norak. Suaranya bagus, namun teknik
menyanyinya masih perlu dipulas!"
"Dan lagu itu, Bos!" sambung yang lain. "Lagu
kuno! Bagaimana bisa diharapkan akan meledak?
Mengorbitkan penyanyi baru dengan lagu tahun lima
puluhan benar-benar spekulasi yang gila-gilaan!"
"Lagu seperti itu abadi," sahut si produser santai.
"Anak-anak sampai orang tua pasti suka mendengarnya. Sudah, jangan ribut! Siapkan kontrak.
Panggil penyanyi baru itu ke kamar kerjaku!"
Tanpa mengacuhkan lagi protes stafnya, dia
melenggang ke kantornya. Diputarnya sebuah nomor
telepon. Ditunggunya jawaban sambil duduk berjuntai di tepi meja tulisnya.
"Halo, Pak Santoso?" Diambilnya sebatang
rokok. Kemudian disulutnya. Diisapnya dengan129
nikmat. "Tentang penyanyi baru itu? Beres! Kami
sedang membuat kontraknya!" Dihembuskannya asap
rokoknya dengan santai. "Bagaimana? Oh,
rekamannya? Secepatnya. Secepatnya. Jangan kuatir!
Mengenai apa, Pak? Oh, permohonan kredit Burhan
Record? Baik, baik. Kita bicarakan lagi. Semua surat
jaminannya akan saya bawa. Ya, ya! Terima kasih,
Pak Santoso! Selamat siang!"
Pak Burhan meletakkan tangkai teleponnya
dengan perasaan puas. Dengan tambahan kredit enam
ratus juta, dia akan memperbesar studio rekamannya.
Mendatangkan peralatan yang lebih, canggih dari luar
negeri. Kalau perlu, mengirim penyanyi dan musisinya untuk mixing di Amerika! Biar kaset-kasetnya
menjadi lebih bermutu. Lebih laku. Lebih meledak di
pasaran. Akan dikontraknya semua penyanyi
terkenal....
Pintu diketuk dua kali. Dan penyanyi baru itu
muncul di ambang pintu. Cemas. Ragu-ragu.
"Silakan masuk! Silakan masuk!" sambut Pak
Burhan ramah. Dipadamkannya rokoknya di dasar
asbak. Ditariknya sebuah kursi ke depan meja
tulisnya. "Silakan duduk!"
"Terima kasih," sahut Cempaka rikuh. Hati-hati
dia duduk di kursi itu. Seakan-akan kuatir kalau tibatiba kursi, yang didudukinya meledak.
"Mau minum apa? Panas atau dingin?"
"Apa saja."
Pak Burhan membuka lemari es kecil di sudut
kantornya. Mengambil sebuah gelas. Dan menuangkan minuman dingin.
"Silakan minum dulu. Tentu capek habis
menyanyi."130
"Terima kasih." Cempaka hanya minum seteguk
walaupun haus.
"Kontrak sedang disiapkan. Anda boleh
mempelajarinya dulu."
"Maksud Bapak?" sergah Cempaka gugup.
"Maksud Bapak...?"
"Kami telah memutuskan untuk merekam lagu
itu. Dengan Anda sebagai penyanyinya, tentu saja.
Jika Anda memiliki surat kuasa dari ayah Anda
sebagai pencipta lagu itu, Anda boleh menandatangani kontraknya sekalian. Nah, Selamat!"
Cempaka tidak segera menerima uluran tangan
produser itu. Dia masih tertegun. Tidak percaya
kepada pendengarannya sendiri.
* * *
Begitu menandatangani kontrak, Cempaka menerima
separuh dari honornya. Menurut perjanjian, Burhan
Record akan memproduksi dua puluh ribu kaset
sebagai permulaan. Cempaka dibayar seratus rupiah
untuk setiap kaset. Pak Wisnu sebagai pencipta lagu,
memperoleh dua ratus ribu rupiah tunai.
Membawa pulang uang sebanyak itu merupakan
pengalaman yang takkan pernah terlupakan oleh
Cempaka seumur hidupnya. Rasanya tiba-tiba saja dia
menjadi orang yang paling kaya di dunia. Kalau ada
Perisai Kasih Yang Terkoyak Karya Mira W di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari yang paling menggembirakan sampai saat ini,
itulah hari ketika dia berhasil membawa pulang uang
Pendekar Gagak Rimang 6 Bencana Goa Pedang Pelangi Jay Hong Ci En Karya Roro Centil 30 Ninja Edan Lengan Tunggal
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama