Ceritasilat Novel Online

Rahasia Patung Hijau 2

Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau Bagian 2

bila dia keluar dari rumah itu. Kuyakin, Yoko tahu

tempat sembunyinya Melisanko. Bila kalian tampak91

Melisanko sendiri, sergap dan seretlah dia kemari!

Nantikanlah saatnya yang terbaik. Jangan turun

tangan bila kalian melihat Melisanko berdua dengan

Yoko. Pemuda itu sangat sakti, terlampau tinggi

ilmunya. Dan ilmu karatenya tidak berada di sebelah

bawah daripada ilmuku. Maka waspadalah!"

"Hai, bi-jieng," terdengar seruan serentak.92

VII

Setindak demi setindak Yoko melangkah dengan

sangat gagahnya. Wajahnya terlihat tegang, rupanya

ia sedang memikirkan suatu masalah yang belum

dapat dipecahkan. Pedang samurai nampak ter
gantung pada pinggangnya.

Yoko tidak tahu bahwa dia sedang dikuntit oleh

beberapa orang yang berjalan sedikit jauh dari dirinya.

Akhirnya ia tiba di tempat tujuannya. Ia menghentikan

langkahnya di muka sebuah rumah yang sangat indah.

Tidak terdengar suara apapun dari dalam rumah itu.

Sinar matahari pagi menyorot ke dalam rumah nan

sepi sunyi itu.

"Apakah Melisanko belum bangun?" kata Yoko

dalam hatinya. "Aku tak perduli apakah ia sudah

bangun atau belum. Aku akan gedor pintunya."

gumam Yoko sambil melangkah masuk kedalam

pekarangan rumah menuju ke pintu depan.

Baru saja Yoko mengetuk pintu, lantas pintu itu

terbuka dari dalam.93

Yoko terperanjat ketika ia melongok kedalam. Di
belakang pintu tampak nenek, yang telah

meninggalkan dia digunung Asosan.

Orang tua itu mengenakan kimono sutera berwarna

biru. Dandanannya sangat rapi.

"Silakan masuk, Yoko," kata nenek itu

mempersilakan tamunya masuk.

Yoko membungkukkan tubuhnya memberi hormat.

Dan nenek membalas hormat itu, lalu menutup

kembali pintu rumahnya.

"Aku girang sekali bertemu dengan nenek,"

sahut Yoko sambil tersenyum.

"Akupun demikian, Yoko. Bagaimana, engkau

baik-baik saja?"

"Sebagaimana kau lihat aku sehat saja. Nenek

pun rupanya demikian." sahut Yoko.

"Syukur, Yoko." sahut nenek sambil melangkah

ke ruang dalam.

Yoko mengikuti dari belakang.

"Mengapa kau telah meninggalkan aku di

gunung Asosan?" tanya Yoko.94

"Aku merasa tak perlu membangunkan kau.

karena kau sedang tidur sangat nyenyaknya," sahut

nenek itu. "Silakan duduk, Yoko."

Yoko lalu duduk diatas permadani, nenek duduk di
hadapan pemuda itu.

Orang tua itu menanyakan banyak soal tentang dirinya

dan Yoko menjawab sambil memperhatikan dengan

seksama wajah dan gerak-geriknya nenek itu.

"Apakah benar nenek ini asal keturunan

bangsawan di Korea?" pikir Yoko masih sangsi akan

kebenarannya itu.

Yoko masih berteka-teki dalam pikirannya, ketika dari

ruang dalam muncul cucunya nenek. Sambil

tersenyum Melisanko menghampiri mereka.

"Pagi-pagi benar engkau mencari aku. Yoko."

kata Melisanko. lalu duduk di sisi neneknya.

"Keperluan apakah membuat engkau kemari?"

"Aku hendak mengetahui hasil pekerjaanmu

semalam."

Nampak wajah Melisanko berubah sedih.

"Aku tak berhasil. Yoko. Gadis itu tidak berada

dalam gedungnya. Rupanya ia telah melarikan diri95

karena mengetahui bahwa aku akan menyatroninya."

membohong Melisanko.

Yoko mengkerutkan keningnya. ? Dia dustakan aku

pula, pikir Yoko. Kini benar-aku harus waspada.

"Dan kini apakah yang kita harus lakukan?"

tanya Yoko sambil memperhatikan dengan seksama

wajah si Cantik.

Melisanko tidak lantas menyahut. hanya memandang

neneknya. Tampak nenek berdiam saja.

"Kita harus mencari terus sarangnya wanita iblis

itu. Rencanaku : aku akan pergi untuk beberapa hari

ke kota Zentsuji. Kau berdiam saja di kota ini. Bila kau

mendapat kabar penting, kau datang saja kemari.

Nenekku akan mengambil tindakan yang perlu dan

kau dapat bekerja sama dengan nenek." kata

Melisanko bagaikan sungguh-sungguh.

Yoko tersenyum. Ia tahu yang dirinya sedang

dikelabuhi. ? Pasti kedua wanita ini akan buron, jika

aku terima saja usulnya, pikir Yoko.

"Ketahuilah Yoko, bahwa aku takkan mati

dengan tentram bila belum membalas sakit hatiku

pada wanita iblis itu!" seru nenek.96

"Mengapa kau masih mendendami dewi

Uzume?" tanya Yoko. "Bukankah cucumu sudah

kembali tanpa kurang suatu apa?"

"Masih ada urusan lain yang menyakiti hatiku,"

sahut orang tua itu.

Yoko tidak menanyakan lebih jauh urusan apa yang

masih memenuhi lubuk hati nenek itu. Namun dia

bertanya: "Nenek, apakah kau ada seorang

bangsawan Korea?"

Tampak nenek itu terperanjat. Melisanko tertawa

kegirangan.

"Yoko, Yoko. apakah kau masih sangsikan

bahwa aku seorang puteri?" tanya Melisanko. Kedua

matanya bersinar terang.

"Darimanakah kau mendapat tahu bahwa kami

keturunan bangsawan Korea?" tanya nenek yang tak

menghiraukan cucunya.

"Bapak Hiroshi yang memberitahukan padaku."

sahut Yoko.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Nampak dia tersenyum.97

"Kelak akan kutanyakan pada nenek tentang hal

ihwal kalian dan karena apa sampai merantau ke

Jepang, tetapi kini yang lebih penting bagiku ialah

merundingkan soal penangkapan dewi Uzume," kata

Yoko dengan sungguh-sungguh.

"Kurasa tidak ada soal lagi yang harus dirunding

kan." sahut Melisanko. "Bukankah aku sudah

mengutarakan rencanaku?"

"Akupun setuju dengan rencana itu. Cucuku

pergi ke kota Zentsuji dan kau berdiam untuk

beberapa hari dikota Kanonji." ujar nenek.

"Aku tidak setuju dengan rencana itu," sahut

Yoko dengan lantang.

Tampak tegang wajah nenek dan Melisanko.

"Apakah kau mempunyai usul lain?" tanya

Melisanko dengan angkuh. "Katakanlah, supaya bisa

kupertimbangkan usulmu."

"Rencanaku ialah kau harus menghantarkan aku

ke sarangnya dewi Uzume" Yoko berseru karena tak

dapat menahan sabar lagi.

"Sudah tentu aku akan hantarkan engkau, kalau

saja aku tahu dimana letaknya." sahut Melisanko.98

Yoko memandang dengan amat gusar pada

Melisanko.

"Sudah tamatlah permainan sandiwaramu,

Melisanko! Kau harus menghantarkan aku sekarang

juga! Kau mesti tahu dimana letaknya sarang wanita

iblis itu!"

Melisanko tertawa terkekeh-kekeh.

"Yoko, kau belum dapat menghilangkan sifat

aseranmu! Sebagai ksatria, engkau harus sabar, Yoko.

Ketidak sabaran itu dapat membawa engkau ke jurang

bencana," Melisanko menasehati pemuda pendekar

itu.

Nenek tidak berkata-kata. Ia memandang dengan

penuh perhatian kepada Yoko.

Sekonyong-konyong Yoko bangkit berdiri. Bagaikan

kilat ia menghunus samurainya. Nampak cahaya

pedang itu berkilat-kilat di tengah ruangan. Wajahnya

berubah sangat tegang.

Melisanko dan neneknya terperanjat. Mereka terdiam

sejenak.

"Sekarang juga engkau harus menghantarkan

aku ke tempatnya dewi Uzume!" tukas Yoko dengan

suara keras.99

"Kau memakai kekerasan?!" seru Melisanko,

lalu bangkit berdiri. Si Gadis nampaknya gusar bukan

kepalang. Tubuhnya yang langsing gemetar bahna

gusarnya. Melisanko hendak melangkah masuk, tapi

bagaikan kilat nenek sudah lompat menghadang

cucunya. Nenek yakin bahwa Melisanko akan

mengambil senjata.

Melisanko mengurungkan maksudnya. Ia berdiri tegak

memandang Yoko. Matanya berapi-api, nampaknya

buas bagaikan macan betina hendak menerkam

mangsanya.

"Yoko, sungguh gagah dan ksatria engkau

menghunus samurai di hadapan wanita." kata nenek

dengan sabar. "Kami bangsa Korea tidak menyukai

kekerasan. Apakah soal itu tidak dapat dirundingkan?"

Dengan kemalu-maluan Yoko memasukkan kembali

samurai yang berkilat-kilat itu ke dalam sarungnya.

Melisanko telah dapat mengendalikan napsunya.

Kemarahannya telah reda, namun kedua matanya

masih memandang dengan agungnya ke arah pemuda

itu.

Nenek lalu duduk pula sambil menarik lengan
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cucunya. Melisanko terpaksa duduk disisi neneknya.100

"Yoko, bukan maksud kami untuk mendustakan

kau. Kami tidak mau bekerja sembarangan dan kami

tidak menginginkan penumpahan darah yang tak

semestinya. Musuh kita hanya Uzume seorang, dialah

yang kita harus binasakan! Bila kita bertindak

sembarangan, pasti akan jatuh korban yang tak

bersalah," ujar nenek.

Yoko tidak berkata-kata. Dalam hatinya ia berkata :

"Apakah itu pahlawan-pahlawan dan pembesar

pembesar Shogun, yang telah menemukan ajalnya di

tangannya Melisanko, mempunyai dosa?"

"Musuhku hanya dewi Uzume seorang." kata

Yoko. "Tetapi selain dewi Uzume apakah ada lagi

musuh-musuhmu yang berada di bumi Jepang?"

"Tidak." sahut nenek dengan pendek.

Dusta! kata Yoko dalam hatinya.

Yoko teringat akan tugasnya yang diberikan oleh

gurunya. Dia dikirim ke Kyushu untuk menumpas ke
jahatan yang bersimerajalelah di pulau itu. Dia harus

melindungkan rakyat jelata yang tak berdosa. Kini ia

bertemu dengan dua wanita Korea yang sangat kejam.

sudah membunuh pembesar Shogun yang tak

mempunyai salah. Yoko ambil keputusan akan bunuh101

dahulu wanita iblis itu, kemudian binasakan kedua

wanita Korea ini.

"Bagaimana Yoko," tanya nenek dengan tiba
tiba, "apakah sekarang juga kau hendak mencari

wanita iblis itu?"

Yoko tersedar dari lamunannya. "Ya, sekarang juga

Melisanko harus menghantarkan aku!" serunya.

Nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Tempat wanita iblis itu d jauh sekali dari sini.

Apakah kau tidak ingin pulang dulu untuk mengambil

apa yang diperlukan dalam pcrjalanan?" tanya

Melisanko, tidak gusar lagi.

"Aku tak perduli, meski letaknya diujung langit

sekalipun. Kita akan berangkat sekarang juga,

Melisanko!" Yoko menukas.

Melisanko mencibirkan bibirnya.

"Yoko, tunggulah sebentar disini. Melisanko

perlu salin pakaian dulu. Dia akan pergi bersama

engkau dengan menyamar," kata nenek sambil

bangkit berdiri. Melisanko turut bangkit. Kedua wanita

itu segera masuk keruang dalam.102

Lama sekali Yoko menantikan Melisanko. Namun dia

tak kuatir kedua wanita itu akan buron dari pintu

belakang, karena ia mendengar mereka bercakap
cakap.

Akhirnya keluarlah Melisanko dari dalam biliknya,

diikuti oleh neneknya.

Yoko hampir tak mengenali puteri Korea itu pula.

Melisanko mengenakan pakaian sangat sederhana,

ialah kimono yang lazimnya dipakai oleh gadis-gadis

desa. Rambutnya tidak tersisir rapih. Walaupun kedua

pipinya tak dipakaikan bedak, namun wajahnya

nampak tetap agung dan jelita.

"Apakah kau tidak membekal senjata ?" tanya

Yoko, karena melihat dipinggang Melisanko tak

terdapat apa-apa.

"Aku tidak perlu membawa senjata, karena

engkaulah yang hendak bertempur dengan wanita

iblis itu, bukan? Aku hanya akan mengunjukkan

engkau sarangnya si Uzume saja, kemudian aku akan

kembali," sahut Melisanko.

Nenek mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kami akan menantikan saatnya yang lebih

tepat untuk turun tangan. Syukur kalau kau dapat103

mendahului akan binasakan wanita itu" kata orang

tua itu.

"Kali ini Uzume pasti tidak akan lolos lagi dari

tanganku, nenek. Kau berdua cucumu tak usah repot

membalas sakit-hatimu!"

"Jangan sombong, Yoko!" seru Melisanko.

"Memang kami ingin mengetahui sampai dimana

kesaktianmu!"

Yoko tersenyum mendengar ucapan Melisanko.

"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang?"

"Aku sudah siap," sahut puteri cantik itu.

Yoko membungkukkan tubuhnya di hadapan nenek.

Wanita tua itupun membungkuk membalas hormat

Yoko.

"Semoga kau dilindungi oleh Dewaku, Yoko,"

orang tua itu memberikan restunya.

"Terima-kasih. aku akan segera kembali untuk

mengabarkan kebinasaannya wanita iblis itu," berjanji

Yoko sambil tersenyum.

Mereka melangkah kepintu. Tampak Yoko keluar

dahulu, diikuti oleh Melisanko. Lalu nenek menutup

kembali pintunya.104

Ketika Yoko dan Melisanko sudah berjalan jauh.

nampak beberapa murid dewi Uzume diantaranya

Hana, Himawari dan Shirogo. Semuanya dalam

penyamaran masing-masing membuntuti mereka.

Murid-murid dewi Uzume itu tidak berkelompok.

Himawari dan Shirogo jalan duluan. Sedikit jauh

mengikuti Hana dan salah seorang kawannya. Digaris

belakang menyusul yang lainnya. Semuanya

berjumlah delapan orang.

***

Tibalah mereka di luar kota. Di depan mereka tampak

sebuah dataran hijau nan luas. Dari kejauhan terlihat

pegunungan Kotohiki menjulang tinggi ke angkasa.

Melisanko menunjukkan jarinya kearah puncak

gunung itu. "Itulah gunung Kotohiki." menerangkan

gadis itu.

"Apakah kita harus mendaki gunung Kotohiki?"

tanya Yoko.

"Tidak, kita hanya harus berjalan di kaki gunung,

lalu menuju ke utara dimana terdapat pegunungan105

Gogaku. Disitulah sarangnya Uzume, dimana dulu

pernah aku tinggal." sahut Melisanko membohong.

Yoko tidak berkata-kata pula. Ia berjalan terus

mengikuti Melisanko.

"Yoko, apakah kau percaya yang aku ada

puterinya seorang bangsawan di Korea ?" tanya

Melisanko acuh tak acuh.

"Siapakah orang tuamu ?" Yoko balas menanya.

"Kedua orang tuaku sudah menutup mata6.

maka aku mengikuti nenekku."

"Perlu apakah kau datang ke Jepang ?"

"Aku sendiri tidak mempunyai keperluan apa
apa. Mungkin nenekku mempunyai sesuatu keperluan

di kepulauan ini."

"Apakah dewi Uzume tahu bahwa engkau

adalah seorang puteri Korea ?" tanya Yoko pula.

"Tahu, karena aku pernah mengutarakan pada
nya."

"Melisanko, berapa lama kau berada dalam

sarang-nya Uzume ?"

6 Meninggal dunia106

Puteri Korea itu tidak lantas menjawab. Ia sedang

memandang keatas puncak gunung Kotohiki yang kini

terlihat lebih tegas.

"Kira-kira satu tahun," akhirnya Melisanko

menyahut.

"Mengapa sampai begitu lama kau baru melari
kan diri?"

"Karena aku hendak mempelajari dulu ilmu
ilmunya wanita iblis itu untuk membalas sakit hatiku."

"Hmm, hmm, katakan saja bahwa kau hendak

keduk7 keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kau

bawa ke negerimu," gumam Yoko.

Melisanko tidak menjawab, karena memang tepat

sekali terkaan Yoko itu. Mereka terus berjalan

melintasi sebuah tanah dataran yang penuh rumput
rumput hijau. Jalanan kini berliku-liku menuju ke kaki

gunung Kotohiki. Tampak jurang yang sangat curam di

kejauhan.

Pada saat itu matahari berada ditengah-tengah kepala

mereka. Namun sinarnya sebentar-bentar ketutup

7

raup107

mendung berarak. Mereka tidak merasakan hawa

panas karena angin gunung bersilir-silir sejuk.

Tidak lama kemudian mereka melintasi sebuah

jembatan bambu yang melintang ditengah sungai

kecil. Air sungai mengalir sangat derasnya memukul

batu-batu gunung, menerbitkan suara berkrosokan.

Pepohonan dilembah gunung tumbuh sangat

suburnya.

Tibalah mereka di pegunungan Kotohiki. Angin

meniup semakin dingin.

Yoko memandang keatas. Namun dia tak dapat

melihat istananya dewi Uzume karena letaknya di

sebelah barat dari gunung Kotohiki.

Akhirnya mereka memasuki hutan. Melisanko

melompat-lompat diatas batang-batang pohon yang

berserakan disana-sini. Sungguh heran, gadis itu tak

letih walaupun sudah berjalan sangat jauh. Melisanko

tidak langsung memasuki hutan, namun dia menujuh

ke barat. Disitulah terdapat sebuah jalan kecil yang

menujuh ke sebuah hutan lain, yang tidak begitu lebat

dengan pepohonan.

"Yoko. tidak lama lagi kita akan tiba di satu

tempat yang indah pemandangannya di perbatasan108

gunung Kotohiki dan gunung Gogaku," menerangkan

Melisanko.

"Apakah kau tidak mau beristirahat sebentar?"

tanya Yoko merasa kasihan pada Melisanko.

"Kita akan beristirahat dilembah pegunungan
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gogaku, sebelum kita menyatroni sarangnya Uzume,"

sahut Melisanko sambil berjalan makin cepat.

Burung-burung berterbangan di mana mereka sampai.

Suaranya ramai berkicauan.

Kedua orang muda itu tidak mengetahui bahwa

mereka sedang dikuntit oleh murid-muridnya dewi

Uzume.

"Nah, kini kita tiba ditempat yang terindah di

perbatasan gunung Kotohiki dan gunung Gogaku."

seru Melisanko kegirangan. Bagaikan kilat ia

melompat kedalam semak belukar. Yoko turut masuk

kedalam semak itu. Ketika mereka keluar dari semak
semak itu. tampaklah suatu pemandangan alam yang

menakjubkan!

Melisanko menghentikan langkahnya. berdiri sambil

memandang keindahan alam itu. Di sisinya berdiri

Yoko. Pemuda itu bagaikan terpesona! Tampak

sebidang dataran hijau dengan rumput yang sangat109

tebalnya. Tidak jauh dari situ terdapat sebuah hutan

dengan pepohonan yang daunnya berwarna merah.

Matahari sudah melingsir ke barat, menyinari hutan

itu, hingga tampaknya hutan itu seolah-olah sedang

terbakar.

Lama sekali Yoko memandang hutan nan indah permai

itu. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke
sebelah selatan. Disitu terlihat air terjun yang sangat

tinggi.

"Kita beristirahat sebentar disini, Melisanko,"'

kata Yoko, karena belum puas menikmati keindahan

alam itu.

Melisanko tersenyum. Segera ia melangkah kesebuah

batu besar yang terdapat tidak jauh dari mereka

berdiri. Gadis cantik itu lalu duduk diatas butu besar

itu. Perlahan-lahan Yoko menghampirinya, lalu duduk

di sisi Melisanko.

Kedua muda-mudi itu bagaikan sepasang merpati

nampaknya, yang tak puas-puasnya memandang ke

seluruh penjuru!

Angin gunung bersilir-silir sejuk meniup rambut gadis

jelita itu. Bau harum menyambar hidung Yoko, ialah

bau harum yang keluar dari tubuhnya Si Jelita. Tiba
tiba Yoko berpaling dan memandang wajah110

Melisanko. Ketika itu barulah Yoko memperhatikan

dengan seksama kecantikannya puteri Korea itu.

Kedua matanya yang agak sipit kini tengah

memandang ke muka dengan sayu. Bulu matanya

lentik nampak indah sekali. Hidungnya bangir dan

mulutnya kecil mungil dimana terdapat dua belah

bibir yang kini sedikit terbuka bagaikan kuntum mawar

yang mulai berkembang. Kulit mukanya putih serta

halus bagaikan sutera. Tak terasa lagi darahnya

mengalir lebih cepat diseluruh tubuhnya. Yoko merasa

panas pada mukanya walaupun udara sangat

sejuknya.

Melisanko tetap memandang kemuka.

"Sungguh indah dan romantis tempat ini,"

katanya acuh tak acuh. Tiba-tiba Si Jelita berpaling

kearah Yoko. Matanya memandang dengan redupnya

dan bibirnya tersungging senyuman manis yang

menggairahkan.

Yoko terperanjat karena ia merasakan hatinya

berdebar-debar sangat kerasnya! Segera ia bangkit

dan mundur beberapa tindak. Cepat-cepat ia

mengalihkan pandangannya kearah hutan yang merah

membara itu.

Melisanko mengetahui perasaan Yoko.111

"Mengapa Yoko?" tanyanya dengan suara nan

merdu merayu, "apakah kau takut memandang paras
ku?"

Yoko tidak menyahut, berpaling pun tidak.112

"Bukankah dewi Uzume pernah berkata:

Kecantikan akan menangkan kekuatan! Keluwesan

akan menguasai dunia!"

Yoko hendak berkata-kata, namun dia merasakan

lehernya terkancing.

Para murid dewi Uzume dari kejauhan memandang

dengan mendelu kelakuan Melisanko nan genit itu.

Terutama Hana gemas sekali, ia ingin menubruk puteri

Korea itu yang sedang mempamerkan kegenitannya di

hadapan Yoko. Mengingat akan tugasnya. Hana hanya

bersungut-sungut tak berhentinya.

Tiba-tiba Melisanko tertawa.

"Yoko. aku merasa geli bila mengingat pula

kejadian tadi: engkau berdiri di tengah-tengah

ruangan rumahku sambil menghunus samurai yang

kini tergantung pada pinggangmu. Tidak salah

nenekku mengatakan bahwa kau sungguh ksatria

dan"

"Sudah jangan banyak cakap. Melisanko!"

akhirnya Yoko dapat berkata-kata. "Lekas kita

berangkat lagi! Hari sudah mulai sore, nanti kita akan

kehilangan arah tujuan kita."113

"Aku menurut, pendekar yang gagah perkasa,"

kata Melisanko sambil bangkit berdiri. Perlahan-lahan

Melisanko melangkah di tanah pegunungan itu. Yoko

mengikuti sedikit jauh dari belakang.

Para murid dewi Uzume pun keluar dari tempat

persembunyian masing-masing lalu menguntit kedua

muda mudi itu pula.

"Cepat sedikit, Melisanko!" seru Yoko, sudah

mulai jengkel karena merasa jengah tak dapat

mengendalikan perasaan hingga tadi ia mengagumkan

kecantikan puteri Korea itu.

Melisanko mempercepat langkahnya dan akhirnya ia

berlari. Yoko pun harus berlari pula agar dia tidak

ketinggalan jejak. Berlari-larianlah mereka dibawah

kaki gunung Gogaku menuju ke atas. Jalanan itu

berliku-liku dan jurang disisi mereka nampak curam

sekali.

"Kita akan memasuki hutan pula!" seru

Melisanko sambil berlari terus. "Namun hutan ini tak

seindah hutan tadi!"

Betul saja. belum berapa lama mereka-berlari, tibalah

mereka disebuah hutan yang lebat sekali. Nampak

tumbuh pohon-pohon liar. Tiba-tiba Yoko merasakan

kakinya menginjak lumpur.114

"Apakah tidak ada jalan lain, Melisanko?" tanya

Yoko. "Apakah kita harus berjalan di lumpur?"

Melisanko menghentikan larinya. Ketika Yoko tiba di

sisinya. gadis itu berkata : "Kita terpaksa Yoko, bila ada

jalanan yang lebih baik, sudah tentu akupun tidak

memilih jalan ini."

Kini Melisanko tidak berlari pula. Ia melangkah

setindak demi setindak diatas tanah yang lunak itu.

"Sungguh heran, setahuku sudah lama tidak

pernah turun hujan, mengapa tempat ini penuh

lumpur." gumam Yoko.

"Memang tempat ini selalu basah, karena tidak

jauh dari sini terdapat sebuah telaga yang dangkal. Air

telaga sewaktu-waktu meluap dan membasahi sekitar

tempat ini. Lagipula sinar matahari tak dapat

menembus dengan sempurna dari sela-sela daun dan

dahan pohon yang lebat ini."

"Rupanya engkau kenal betul jalanan dan

keadaan dipegunungan ini" kata Yoko.

"Semua jalanan, hutan dan jurang yang curam

di kedua pegunungan ini telah aku pelajarkan dengan

seksama."115

"Siapa gerangan sudah mengajarkan kesemua
nya itu kepadamu?" tanya Yoko.

"Musuhmu nan cantik jelita!" sahut Melisanko.

"Kalau begitu, engkau tak rugi menjadi murid

dewi Uzume, bukan? Dan kini akan membalas budi,

engkau hendak menggempur gurumu. Sungguh kau

adalah seorang murid yang manis, Melisanko."

mengejek Yoko.

"Eh, eh, mengapakah kau tiba-tiba jadi berpihak

pada wanita iblis itu?!" seru Melisanko. "Kini aku jadi

curiga. Apakah kau sesungguhnya hendak membinasa

kan Uzume, atau kau hendak mencari Si Cantik

semata-mata untuk merebut hatinya?"

"Siapa yang bilang aku tertarik pada wanita iblis

itu?!"

"Aku! Akulah yang bilang, karena kau memihak

kepadanya!"

"Aku tidak memihak, aku cuma mengatakan

bahwa kau adalah seorang murid yang berbudi," tukas

Yoko dengan sengit.

"Apakah itu bukan artinya memihak?!"

Melisanko balas menukas berpura-pura marah.116

"Sudahlah, kita tidak perlu bertengkar di tempat

ini," menyerah Yoko karena sudah kewalahan.

Melisanko tampaknya gusar dan tiada berhentinya

bersungut-sungut. Dalam keadaan demikian pun

puteri Korea itu semakin manis dalam pandangan

Yoko!

"Lekaslah kita berjalan, supaya segera tiba

disarangnya Uzume. Lihatlah nanti apakah aku

memihak kepadanya," kata Yoko seakan-akan

berjanji.

"Perlu apa aku menonton orang bercumbu
cumbu-an!" sahut Melisanko menyatakan dia masih

gusar. Namun gadis itu terus berjalan.

Yoko menarik napas panjang. Ia berjalan di sisi

Melisanko. Kini mereka tidak berkata-kata lagi. Akhir
nya tibalah mereka disebuah telaga yang dangkal.

Cuaca tampaknya remang-remang, karena sang Surya

sedang menurun ke sebelah barat. Tidak lama lagi

keadaan gelap-gelita bila matahari sudah ber
sembunyi di balik pegunungan Gogaku.

Melisanko segera menuju ketelaga. Ia berjalan di
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam telaga yang semakin dalam. Air telaga yang

penuh lumpur membasahi pakaiannya, namun117

Melisanko tak menghiraukannya. Tak lama lagi air

sudah setinggi pinggang. Melisanko terus berjalan.

biarpun dia kerendam makin dalam.

Yoko masih tetap berdiri di tepi telaga sambil melihat
dengan penuh kekuatiran ke arah puteri Korea itu.

"Melisanko, apakah kau mau membunuh diri?!"

serunya.

Namun Melisanko tak menghiraukan seruan Yoko dan

terus berjalan tanpa menoleh.

"Hai, Melisanko! Lekas kembali! Kita cari lain

jalan saja!" seru Yoko pula.

Tiba-tiba gadis cantik itu berpaling. Ia melihat Yoko

sedang melambai-lambaikan tangan. Tampak wajah

Melisanko kegirangan.

"Aku tidak sangka kau takut mati. Yoko!"

serunya. "Lekas kemari! Kau menunggu apa berdiri di

situ?! Tidak ada jalan lain, bila kita tidak mau

bermalam dihutan ini!"

Yoko masih tetap berdiri. Sementara Melisanko terus

berjalan didalam air. Tidak berapa lama Melisanko tiba

di tengah-tengah telaga. Semakin deraslah mengalir

nya air disekitar tubuhnya. Gadis itu mengigil

kedinginan. Nampak ia mempercepat langkahnya.118

Air telaga itu tidak lebih tinggi dari sebatas lehernya,

karena telaga itu mulai dangkal pula.

Yoko berpikir keras. Apakah ia harus berjalan juga di

dalam telaga itu? Akan tetapi sayang sekali telaga itu

penuh lumpur, hingga dia tidak dapat berenang kelain

tepi. Ia memandang ke atas. Tak tertampak oyot-oyot8

pohon yang dapat dibuat pegangan untuk melompat

ke seberang telaga.

Sementara itu Melisanko sudah tiba dilain tepi.

Badannya basah kuyup penuh lumpur, melekat pada

tubuhnya nan langsing.

"Yoko, apakah kau tetap mau berdiri saja disitu

sampai esok pagi?!" teriak Melisanko, yang kini sudah

duduk di atas batu sambil memandang kearah Yoko.

"Ha, ha, ha," tawa gadis itu. "Tak kusangka kau

bernyali kecil!"

Para pengintai dari dewi Uzume sejak tadi sudah

mengincar kearah Yoko. Mereka telah bersepakat, bila

Yoko turun kedalam telaga, mereka pun akan

mengikuti jejak pendekar samurai itu.

8 Bagian dari sulur pepohonan yang terjulur ke bawah mirip tambang119

Cuaca sudah mulai gelap. Dari kejauhan remang
remang tampak wajahnya Melisanko.

"Lekas Yoko!" teriak Melisanko pula. "Akan

kutinggalkan kau bila tidak mau turun dari tepi itu!"

Terpaksa Yoko turun juga ke dalam telaga. Baru saja ia

menginjakkan kedua kakinya, lantas lumpur

memasuki kedua ujung celananya. Hingga mau tak

mau Yoko melangkah juga, makin lama lumpur

semakin tinggi dan semakin lekat. Yoko tak dapat

berjalan cepat karena kedua kakinya bagaikan

melekat erat pada dasar telaga yang dangkal itu.

"Ha, ha, ha!" terdengar tawa Melisanko.

"Mungkin seumur hidupmu baru kali ini kau berjalan

di dalam lumpur!" teriak si Gadis mengejek.

Para muridnya dewi Uzume melangkah mendekati

telaga. ? Bila Yoko sudah tiba dilain tepi, barulah kami

akan turun, pikir mereka. Maka kini mereka

mengawasi saja Yoko yang sedang berusaha akan

mempercepat langkahnya didalam lumpur itu.

Namun ketika Yoko hampir tiba di tengah-tengah

telaga. Melisanko segera bangkit dari tempat

duduknya. Sambil tertawa dengan sangat riangnya,

gadis itu berlari di tepi telaga, menuju kearah timur.120

"Tunggu, tunggukanlah aku!" teriak Yoko.

"Melisanko! Tunggukan aku!"

Bukan kepalang gusarnya Yoko ketika melihat

Melisanko berlari makin cepat sambil menertawakan

dirinya. Tidak lama kemudian gadis itu tak tampak

pula, bagaikan ditelan kegelapan malam. Suara

tawanya pun tak terdengar lagi.

Para murid dewi Uzume terperanjat ketika melihat

Melisanko berlari meninggalkan Yoko seorang diri.

Namun segera mereka sadar, bahwa kini tibalah

saatnya untuk menyergap Melisanko. Cepat-cepat

mereka berlari ke arah timur, menguntit Melisanko

yang berlari diseberang telaga.

Akhirnya dengan susah payah tibalah Yoko di lain tepi.

Segera ia peras bajunya yang melekat pada tubuhnya.

Bagaikan kilat Yoko segera berlari kearah timur sambil

memanggil-manggil Melisanko. Lama juga Yoko berlari

dalam gelap, namun Melisanko tak tampak. Tiba-tiba

ia hentikan langkahnya karena sayup-sayup ia

mendengar suara jeritan.

"Toloong!! Tooloong. Yoko!! Toolooong!?"

Suara itu datangnya dari lain tepi. Berdebar-debarlah

hati Yoko ketika mengenali suara itu. Tak salah lagi

Melisankolah yang menjerit minta tolong.121

"Kurang ajar, apakah maksudnya ia main

kucing-kucingan dengan aku?" kata Yoko dalam

hatinya.122

VIII

Dewi Uzume mengenakan kimono sutera yang

disulam sangat indahnya, berwarna kuning keemasan.

Matahari pagi memancarkan cahayanya masuk

melalui jendela kaca, ke arah sang dewi yang sedang

duduk di tengah ruang persidangan. Setiap gerakan

tubuhnya yang langsing dan putih-meta tampaknya

gemilang bagaikan cahaya perak menembusi embun

kencana.

Berkali-kali sang dewi menarik napas dengan teratur,

menahan gelora hatinya yang sedang murka. Didalam

ruang itu nampak Hana, murid kesayangannya. Hana

duduk dengan hikmatnya sambil menundukkan

kepalanya.

Perlahan-lahan wajah dewi Uzume dari tegang

berubah sabar.

"Suruh dia masuk, Hana!"

Hana bangkit berdiri, membungkukkan tubuhnya, lalu

melangkah kepintu meninggalkan ruang itu. Sayup
sayup terdengar di kejauhan suara nan merdu

memanggil : "Saudari Melisanko".123

Tidak lama kemudian pintu ruang sidang dibuka pula,

kini dengan perlahan, dan Melisanko melangkah

masuk keruang sidang. Dia memakai kimono putih dari

kain kasar. Namun pakaian yang sangat sederhana itu

tak dapat menyembunyikan kecantikan dan sifat

keturunan bangsawannya. Dengan agung dan angkuh

tapi sambil menundukkan kepalanya, Melisanko

melangkah menuju ke tengah ruang, lalu mem
bungkukkan badannya dan berlutut di hadapan dewi

Uzume di sebuah permadani yang tebal.

"Bi-jieng!"

Sang dewi memandang acuh tak acuh pada puteri

Korea itu yang sedang berlutut dihadapannya.

"Aku sangat gembira bertemu dengan engkau

disini, Melisanko. Kepergianku yang sangat lama itu

membikin aku kuatir. Shirogo memberitahukan

padaku bahwa semua perintahku tak sampai kepada
mu."

"Itu tidak benar, bi-jieng. Aku sedang menanti
kan hasilnya pekerjaanku yang " Melisanko nampak

bersangsi " akan diterima dengan gembira oleh

dewi. Aku tidak tahu bahwa dewi telah kembali di

istana."124

"Bicaralah dalam bahasa Korea, bila dengan

demikian engkau lebih mudah mengutarakan pikiran
mu."

"Terima-kasih, bi-jieng. Memang aku selalu

berpikir dalam bahasa Korea," sahut Melisanko dalam

bahasa negerinya.

"Kau telah mengutarakan padaku bahwa kau

adalah seorang gadis dari keturunan bangsawan di

Korea, bukan?"

"Betul, bi-jieng!" Melisanko mengangkat kepala

nya dengan penuh keagungan. Sinar matanya nampak

bercahaya. Namun ketika mata itu bertemu dengan

pandangan sang dewi, Melisanko menunduk pula.

"Aku telah menerima engkau sebagai murid

karena engkau cantik, berpendidikan tinggi dan

keturunan baik-baik. Maka aku tidak menyelidiki

dengan seksama ilmu-ilmu yang kau pelajarkan.

Apakah engkau tertarik kepada ilmu gaib karena bakat

kelahiranmu atau semata-mata untuk menambah

pengetahuan saja?"

Sambil menumpangkan kedua lengannya yang lemah

gemulai ke pangkuannya, Melisanko tetap berlutut,

menundukkan kepalanya.125

"Pengetahuan kuno itu diajarkan kepadaku, bi
jieng. Aku telah menyempurnakan dengan

menyampuri ilmu-ilmu yang baru kudapatkan. Dengan

cara demikian aku mendapat pengaruh dan dapat

menguasai ilmu-ilmu kuno itu yang berasal dari

Korea," sahut Melisanko dengan lantang.

"Pengaruh?!... Untuk keperluan apa,

Melisanko? Apakah untuk menggantikan keburukan

dengan kecantikan ? tujuan pengajaran kita? Atau

untuk keperluan lain ?"

"Sebelum aku mendapat perhatian bi-jieng.

tujuanku hanya untuk menambah pengetahuanku."

Kesunyian mengembang didalam ruang sidang itu.

"Tegasnya: Karena ilmu gaib engkau telah

mendapat pengaruh dikalangan penduduk Kanonji!"

"Betul, bi-jieng."

"Ketika engkau masuk ke dalam kalangan kami,

apakah maksudmu: hendak menjerahkan ilmu itu
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk kebaikan tujuan kita atau engkau hendak

menyempurnakan ilmu itu dengan ilmu yang telah

kuberikan padamu?"126

"Aku tidak mempunyai lain ilmu, bi-jieng. Apa

yang aku telah pelajarkan semuanya kepunyaan

dewi."

"Kecerdasan pikiranmu dalam mempelajari

ilmu, menarik perhatianku. Karena kemahiranmu

maka aku telah mempercayakan engkau untuk

menjaga istanaku di puncak gunung Kotohiki ini,

selama kepergianku. Ternyata engkau telah salah

gunakan tugas yang diberikan padamu,

Kebinasaannya pembesar Shogun kota Kanonji, pasti

perbuatanmu! Dan perbuatan itu menyimpang dari

tugasmu! ? Dengan maksud apakah kau telah

mempergunakan lambang suci kami ?"

Melisanko tetap berlutut tanpa bergerak, seolah-olah

patung yang sangat cantiknya.

"Apakah engkau tahu apa yang akan kulakukan

pada seorang murid yang melanggar sumpah? ?

Engkau dengarkah kata-kataku itu, hai, Melisanko?!"

"Aku ukir dalam hatiku setiap perkataan bi-jieng."

Nada suara Melisanko sangat merdu, namun suara itu

terdengar serak dibandingkan dengan suara yang

menggairahkan penuh madu dari sang dewi.127

"Aku telah berhasil memupuk kekuasaan di

kalangan penduduk dan melenyapkan pembesar
pembesar yang dapat menghadang tujuan kita."

"Melisanko, engkau telah mempergunakan ilmu

gaib untuk membinasakan pembesar-pembesar itu.

Maka penduduk tidak dapat tahu karena apa

junjungan mereka telah binasa. Mereka tidak dapat

mencari sebab musababnya kematian itu, Melisanko.

Akupun dapat mempergunakan ilmu itu, namun aku

tak akan mempergunakan untuk membunuh orang

yang tak berdosa!"

"Ampun, bi-jieng!"

Dewi Uzume terdiam sejenak.

"Melisanko, engkau telah bikin persahabatan

dengan Yoko. pendekar samurai itu. Bukankah engkau

tahu bahwa dia adalah musuh kita? Bukankah engkau

tahu bahwa Yoko hendak menumbangkan kekuasaan
ku?!"

"Bi-jieng, aku telah mendapat tahu juga bahwa

dewi telah gagal menarik Yoko ke pihak kita, maka aku

telah berdaya sekuat tenaga akan menarik pemuda

itu kepihakku. Dan aku telah berhasil." Sahut

Melisanko dengan berani.128

Dewi Uzume menegakkan tubuhnya, menarik napas

panjang sampaikan dadanya tampak bergerak-gerak

di balik kimono yang halus itu. Lalu sang dewi

memandang gadis yang sedang berlutut itu.

"Aku akan mempelajari kata-katamu,

Melisanko. Kau boleh mengundurkan diri. Aku akan

bicara pula padamu... puteri Korea!"129

IX

Yoko telah mengejar dengan sia-sia kearah suara

Melisanko yang meminta pertolongan. Semalam

suntuk ia telah mencari di sekitar hutan itu, namun

sampai pagi hari ia masih tak dapat menemukan jejak

puteri Korea itu.

Dengan menundukkan kepala, dia duduk di sebuah

batang pohon yang telah roboh jatuh di tanah. Ia

berpikir dan berpikir. ? Apakah aku harus lanjutkan

perjalanan ini untuk mencari sarangnya dewi Uzume?

Atau kembali saja untuk mengabarkan Si Nenek,

bahwa cucunya telah lenyap tak berbekas didalam

hutan pegunungan Gogaku ini? Siapa gerangan telah

menculik Melisanko? Apakah dia dewi Uzume sendiri?

Tetapi... Melisanko mempunyai banyak musuh.

Mungkin juga pahlawan-pahlawan Shogun yang celah

menyergapnya.

Matahari sudah naik tinggi. Sinarnya menembus

hangat disela ranting-ranting dan daun-daun.

"Ah, lebih baik aku meneruskan perjalananku.

Akan kujelajahi pegunungan Gogaku ini sampai

kutemukan tempatnya si Uzume!" demikian Yoko

mengambil keputusan.130

Segera ia bangkit berdiri dan menuju keutara. Ia

berjalan terus menjusur pinggiran hutan, mendaki

bukit-bukit, melewati jurang-jurang yang curam.

Sudah setengah harian Yoko berjalan. namun dia

belum dapat menemukan sesuatu yang dapat dipakai

sebagai petunjuk jalan. Tak seorangpun yang di
ketemukannya untuk menanjakan jalan. Hanya

terlihat hewan-hewan yang tak dapat diajak bicara.

berlari menjauhkan diri. Di atas pohon terdengar

suara kicauan ungas sangat ramainya. Makin tinggi

makin tinggi Yoko mendaki pegunungan Gogaku itu.

Hawa pegunungan dingin sekali.

Nampak sang Surya bergerak ke barat. Angin

pegunungan meniup dengan santarnya.

"Aku harus lekas-lekas turun. Aku tidak tahan

bermalam diatas gunung yang hawanya begini

dingin," kata Yoko seorang diri. Ia menggigil

kedinginan. Segera ia tujukan langkahnya turun dari

gunung Gogaku.

Sudah larut malam ketika Yoko tiba di hutan, di mana

terdapat telaga lumpur itu.

Ia tak merasa lapar karena ketika mendaki gunung

Gogaku. ia telah makan buah-buahan yang banyak

terdapat di lembah gunung itu. Namun Yoko merasa131

letih sekali. Perlahan-lahan dia melangkah terus. Sukar

juga bagi Yoko untuk mencari jalan dikegelapan

malam itu. Hanya bintang-bintang dilangit menerangi

remang-remang jalanan itu. Sewaktu-waktu terdengar

suara burung-burung hantu yang berpekik

memecahkan kesunyian malam. Seram terdengarnya

bunyi burung itu.

Akhirnya Yoko tak kuasa lagi menggerakkan kakinya.

Ia duduk diatas sebuah batu besar, dimana ia

bersandar sambil melayangkan pikirannya.

Sejenak Yoko teringat pada Melisanko. Bagaimanakah

nasib puteri Korea itu? Apakah ia sudah binasa di

ujung pedangnya dewi Uzume atau sedang meringkuk

dalam penjara Kanonji?

Bermacam-macam dugaan timbul dalam pikiran Yoko.

Sangkaan-sangkaan dan pertanyaan-pertanyaan

muncul silih berganti dalam otaknya.

"Hei, apakah perempuan itu sudah menipu

diriku?" Yoko bertanya pada diri sendiri. "Ya, ya, kini

barulah aku sadar. Rupanya dia telah bersepakat

dengan neneknya, ketika dia salin pakaian. Melisanko

sudah berhasrat meninggalkan aku di pegunungan

Gogaku. Memang sudah dia rencanakan akan

menjuruh aku berjalan di dalam telaga lumpur itu dan132

meninggalkan aku seorang diri, supaya aku tersesat

dalam hutan. Dasar aku tolol, sudah kurang waspada.

Perempuan itu sudah berhasil memainkan

perasaanku, ketika dia duduk memandang hutan

merah itu. Ternyata puteri Korea ini lebih tinggi

ilmunya daripada si Uzume. Dia telah pengaruhkan

aku dalam keadaan sadar, namun Uzume hanya dapat

menguasai diriku dalam tidur saja. Ternyata Melisanko

lebih berbahaya dari pada Uzume! Sudah pasti

teriakan minta tolong itu hanya sandiwara belaka,

untuk mengelabui diriku saja. Yoko, Yoko. dasar

engkau tolol!"

Sesudah mempersalahkan diri sendiri. Yoko

mengambil keputusan yang ia nyatakan dalam

omongannya seorang diri :

"Baik kutunda dahulu mencari dewi Uzume.

Lebih penting aku kembali ke kota Kanonji akan

mencari puteri Korea yang sangat berbahaya itu. Aku

ingin tahu lakon apa lagi yang Si Nenek akan per
tunjukkan dihadapanku, bila aku memberi tahu bahwa

cucunya telah lenyap di dalam hutan. Pasti tua bangka

itu akan belaga pilon. Aku akan mengancam tua

bangka itu untuk memberitahukan padaku, dimana ia

telah menyembunyikan cucunya yang manis itu."133

Tiba-Yoko menguap. Ia menggeliatkan tubuhnya,

melepas samurainya dari pinggangnya dan meletak
kan disisinya. Angin malam bersilir-silir perlahan. Yoko

merasakan sangat nyaman. Akhirnya pendekar muda

itu tertidur di sisi batu. Dalam tidurnya ia bermimpikan

Melisanko dan dewi Uzume. Wajah-wajah nan cantik

jelita tampak tersenyum dengan manisnya. Yokopun

tersenyum dalam tidurnya seakan-akan membalas

senyuman itu.

Ketika hari hampir pagi. Yoko terjaga karena hawa

udara dingin sekali. Ia terperanjat mendapatkan

dirinya di tengah-tengah hutan. Ketika pikiran

jernihnya sudah kembali, ia bangkit berdiri.

"Aku telah tertidur," gumamnya. "Mungkin Si

Nenekpun sudah buron dari rumahnya!"

Cepat-cepat Yoko membetulkan bajunya yang sudah

tak keruan tampaknya karena masih terlekat lumpur

yang sudah menjadi kering. Ia memungut samurainya

yang terletak diatas batu dan mengikat dipinggangnya

pula.

"Aku tidak boleh membuang waktu lagi,"

katanya seorang diri sambil melangkah mencari jalan

yang menuju ke kota Kanonji.134

Yoko melangkah cepat sekali dan sewaktu-waktu ia

berlari-lari. Ia tak berani meringankan tubuhnya akan

meloncati lembah-lembah yang curam itu karena

cuaca masih gelap.

Akhirnya ia tiba di kaki gunung. Larinya makin cepat.

Ketika ia tiba di batas kota, sang Surya mulai

menampakkan diri. Segera Yoko masuk ke dalam kota,

menuju ke rumah Melisanko.
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yoko tak menghiraukan orang-orang yang lewat dan

memandangi dirinya dengan heran.

Tidak lama kemudian dia mengetuk pintunya puteri

Korea itu. Namun pintu itu tetap tertutup.

Yoko tidak sabar lagi. Ia menyorong pintu, melangkah

masuk dan menutup pula pintu itu, lalu ia menuju ke

ruang tamu.

"Hai, Melisanko!" seru Yoko dengan kasar,

ketika melihat puteri Korea itu berdiri tegak di tengah

ruangan. "Kau sudah menipu aku, Ya!!"

Jendela-jendela dalam ruang itu ditutup rapat dengan

tirai tebal, maka sinar matahari tak dapat menembusi
nya. Hanya cahaya dari pintu luar yang menerangi

ruangan itu tapi dengan remang-remang saja.135

Melisanko tetap berdiri tegak, sedikitpun tak

bergerak. Yoko menghampiri lebih dekat.

"Melisanko! Apakah kau sudah menjadi tuli!"

seru Yoko pula. "Lekas kita berangkat lagi dan kali ini

bila kau berani menipu padaku pula... Hai, mengapa

kulitmu berwarna hijau?!"

Yoko merasa sangat heran ketika memandang wajah

Melisanko yang kini tampak hijau. Ia menghampiri

semakin dekat. Karena jengkel tidak dihiraukan. Yoko

menyentak lengan puteri Korea itu. Bukan buatan

terkejut hati Yoko, ketika lengan Melisanko dirasakan
nya sangat keras bagaikan batu! Ia memandangi pula

dengan cermat wajah nan cantik itu yang kini

berwarna hijau. Tiba-tiba Yoko melompat mundur

beberapa langkah, kedua matanya terbelalak dan

mulutnya terbuka lebar.

"Apa?!" sekonyong-konyong Yoko berteriak,

"Pa tung!!"

Dari ruang dalam tampak Si Nenek mendatang.

Parasnya yang keriput basah dengan air mata,

sementara kedua matanya merah bengap.

"Betul. Yoko! Cucuku telah menjadi patung!"

seru nenek dengan sedih.136

Yoko tidak dapat berkata-kata pula. Iapun berdiri

bagaikan patung.

Perlahan-lahan Yoko dapat menguasai dirinya pula.

Bagaikan tak bertenaga lagi, Yoko menjatuhkan diri
nya berduduk dilantai. Nenek berdiri dengan

menundukkan kepala.

Sejenak Yoko dapat pikiran lain : apakah ia sedang

ditipu? Mungkin Melisanko diumpatkan oleh nenek

dan patung hijau itu memang sudah lama ada dalam

rumah itu dan kini dipindahkan keruang tamu! ?

Tetapi tak mungkin ada seorang seniman yang begitu

pandai memahat patung hingga patung hijau itu sama

benar dengan orangnya, ialah Melisanko si puteri

Korea.

"Bagaimana sampai Melisanko menjadi patung

?" tanya Yoko.

"Si iblis yang telah merubah tubuh cucuku

menjadi batu! Uzume sudah mematungkan Melisanko

!" teriak nenek sambil menyeka airmatanya dengan

lengan baju.

"Apa?! Cara bagaimana dia dapat?... Ilmu iblis

apa yang dia pergunakan?!" seru Yoko, heran bukan

kepalang.137

"Itulah satu-satunya ilmu Uzume yang tak dapat

ku-tandingi. Aku telah menyuruh Melisanko menjadi

murid Uzume, perlunya untuk memahamkan ilmu
ilmu saktinya dan juga... untuk mencuri ilmu atau

ramuan yang dapat membikin manusia dari darah
daging menjadi batu. Sebegitu lama Melisanko berada

dalam sarangnya wanita iblis itu, dia tak dapat

mencurinya. Maka aku... ingatkah engkau waktu kita

berada di sarangnya iblis itu digunting Asosan?...

Engkau telah menemui aku di kamar tidurnya Uzume,

sedang mencari-cari sesuatu? Aku telah mengaduk
aduk semua perabot dalam kamar tidur itu sampai aku

meraba-raba semua dinding, perlunya untuk

menjajari lubang rahasia... akan tetapi aku tak berhasil

mendapatkan petunjuk atau obat untuk jalankan ilmu

gaib itu."

Yoko mendengarkan penuturan nenek dengan takjub
nya.

"Yoko, kini saatnya telah tiba. Saat yang

menentukan, bahwa aku harus bertempur mati
matian! Bukan main sakit hatiku! Iblis itu telah

menjatuhkan hukuman yang paling dahsyat kepada

cucuku dengan menjadikan dia patung hijau! Maka

aku akan bertempur dengan Uzume sampai salah satu

binasa!"138

Yoko diam saja. Ia mendengarkan penuturannya

nenek dengan penuh perhatian. Wajah Yoko tiba-tiba

menjadi tegang.

"Sungguh kejam perempuan itu," gumamnya.

"Benar-benar dia iblis! Aku tak duga sama sekali dia

mempunyai kepandaian begitu tinggi."

Orang tua itu masuk kedalam. Sementara Yoko masih

duduk terlongong-Iongong sambil memandang

patung Melisanko yang indah dan cantik itu.

Tidak lama kemudian nenek keluar kembali membawa

sebuah baki diatas mana terdapat sebuah teko dan

cawan teh.

"Yoko, mari kita minum dulu," katanya.

Dengan menghela napas panjang Yoko bangkit berdiri,

lalu mengikuti nenek yang menuju ke sudut ruang, di

mana terdapat sebuah meja pendek.

"Nenek, aku akan turut bertempur! Bilakah kau

akan menyatroni sarangnya perempuan iblis itu?"

tanya Yoko sesudah duduk dihadapan meja pendek

itu.

"Baik, Yoko. Kini kau harus beristirahat dulu.

Esok pagi kita akan pergi," sahut nenek sambil

menuangkan teh dari teko ke cawan.139

"Dimana letak sarang bedebah itu?"

"Dipuncak gunung Kotohiki," sahut nenek

dengan jujur.

Kurang ajar Melisanko! pikir Yoko. ? Dia telah

menyasari aku digunung Gogaku, sampai semua

pakaianku berlepotan lumpur.

"Kau boleh beristirahat sampai esok pagi disini.

Yoko. Kau boleh tidur di pembaringannya Melisanko,"

kata nenek, lalu duduk di atas permadani di hadapan

Yoko.

"Terima kasih, aku akan kembali ke rumah

bapak Hiroshi. Esok pagi-pagi aku akan datang

kemari," menolak Yoko. "Apakah bapak Hiroshi sudah

mengetahui yang Melisanko sudah..."

"Belum," sahut nenek memotong bicaranya

Yoko. "Jangan beritahukan dia dulu!"

"Memang, kita harus waspada dan curiga

terhadap siapapun jua," kata Yoko membenarkan.

"Kita tidak perlu mencurigakan Hiroshi," ujar

nenek, "dia adalah bujangku yang amat setia, maka,

aku telah mengajak dia dari Korea. Mengapa aku

melarang engkau beritahukan padanya, ialah karena140

aku kuatir dia akan menghalangi kita bertempur mati
matian dengan iblis itu."

Yoko menghirup teh dari cawan yang disuguhkan

nenek itu. Ia tidak ingin mengganggu nenek lebih lama

lagi, maka segera ia bermohon diri. Nenekpun tidak

menahannya.

Sebelum Yoko meninggalkan ruangan itu, dia

berpaling ke arah patung Melisanko yang tampak

sangat agung bagaikan Dewi Kannon, Dewi Pengasih

dan Penyayang yang dipuja oleh segenap rakyat

Jepang.

***

Pada esok harinya ketika matahari telah naik tinggi,

nampaklah Yoko dan nenek mendaki gunung Gogaku.

Nenek jalan di muka sedangkan Yoko mengikutinya

perlahan-lahan. Orang tua itu mengenakan kimono

berwarna biru tua dengan ikat pinggang hitam, namun

dia tidak membawa senjata. Sebaliknya Yoko selain

membawa samurai yang tergantung di pinggangnya

juga dibawanya sebilah golok pendek yang diselipkan141

dalam bajunya. Dipunggungnya tampak sebuah

bungkusan besar.

"Betul-betul si Nenek berilmu tinggi," kata Yoko

dalam hatinya. "Walaupun sudah berjalan setengah

hari lamanya namun dia tetap tak merasa letih."

Tidak lama kemudian mereka tiba di atas pegunungan.

Puncak gunung Gogaku menjulang tinggi ke angkasa.

diselubungi awan-awan putih bergumpalan.

"Apakah kita harus menuju ke puncak itu?"

tanya Yoko sambil menunjuk kearah puncak yang

bertebing curam.

"Tidak. Yoko. Kita akan pergi ke sebuah gua di

sebelah selatan. Di situlah kusimpan senjata pusaka

yang akan kupergunakan untuk membinasakan si

wanita iblis." sahut Si Nenek sambil jalan perlahan
lahan ke arah selatan.

"Apakah tidak ada orang yang mendaki gunung

ini?" tanya Yoko pula. Kedua matanya memandang

kian kemari, mengagumi alam pegunungan yang indah

luar biasa.

"Jarang sekali ada yang berani mendaki gunung

ini, karena menurut kepercajaan penduduk Kanonji

dan Zentsuji, pegunungan Gogaku dan Kotohiki di142

diami oleh setan dan siluman. Maka Uzume telah

memilih gunung Kotohiki sebagai tempat sarangnya."

Setelah melalui cadas-cadas dan melompati batu-batu

besar, mereka tiba disebidang tanah datar. Nenek

terus berjalan dan Yoko mengikutinya tanpa berkata
kata.

Akhirnya tibalah mereka di lereng selatan, di mana

terdapat banyak batu-batu besar. Di sebuah sungai
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil nampak air jernih mengalir dengan derasnya,

ialah air yang keluar dari suatu mala air dilereng

gunung. Hawa udara dingin menggigilkan.

Tidak jauh dari situ terlihat sebuah gua. Nenek

menghentikan langkahnya dan berpaling kearah Yoko.

Sambil menunjuk ia berkata :

"Itulah gua yang tadi kusebutkan."

Yoko memandang kearah gua itu.

Tidak lama kemudian masuklah mereka kedalam gua

yang semakin dalam semakin gelap nampaknya. Gua

itu bagaikan terowongan. Mereka membelok ke kiri.

lalu terlihat cahaya matahari dari sela-sela batu.

Tibalah mereka disebuah ruangan. Lantainya sangat

bersih. Di sudut kiri terdapat sebuah rak kayu, di atas143

mana terletak beberapa pasu9 tanah, sebuah ember,

sebuah teko dan beberapa cawan dan piring. Di lain

sudut terhampar sebuah tikar terbuat daripada jerami

kering.

Nenek mempersilakan Yoko duduk diatas tikar itu.

"Yoko. kau beristirahatlah. Aku akan menyiap
kan makanan."

Yoko menurunkan bungkusan dari punggungnya, lalu

membuka ikatannya. Nenek mengeluarkan isi

bungkusan itu.

Kemudian Yoko meletakkan samurainya di atas tikar,

lalu duduk dan melihat kesekitarnya. Tak nampak di

situ senjata pusaka yang dikatakan nenek tadi.

"Dimana kau taruh senjatamu, Nenek? Yang

kulihat hanya perabotan dapur saja."

"Sebentar akan kukeluarkan, sebentar pasti kau

akan melihatnya." sahut nenek sambil tersenyum. Lalu

ia keluar dari gua sambil membawa pasu untuk

mengambil air.

Yoko merebahkan diri dan tidak lama kemudian

tertidurlah dia.

9 Alat pengambil air144

Matahari menurun kesebelah barat, senja telah tiba.

Yoko terbangun dari tidurnya. Ia menggeliatkan

tubuhnya. lalu bangkit berdiri. Dekat tikar ia melihat

sebuah baki dengan makanan dan lauk-pauknya.

Ia mencari si Nenek. Orang tua itu sedang duduk di

atas sehelai kain putih menghadapi sebuah pasu.

Mendengar tindakan kaki nenek menoleh sambil

berkata :

"Makanan sudah tersedia, makanlah Yoko."

Yoko menghampiri Si Nenek. Matanya melihat paso

yang terisi air setengah penuh.

"Untuk apakah air itu?" tanyanya dengan heran.

"Sebentar akan kau ketahui kegunaannya. Kau

akan menyaksikan ilmu gaib bangsa Korea." ujar si

nenek. "Lekaslah makan dan jangan ganggu aku pula."

Nenek membetulkan sikap duduknya. lalu merangkap
kan kedua tangannya di hadapan dada dan memejam

kan kedua matanya.

Yoko tak berkata-kata lagi. lalu meninggalkan Si

Nenek.

Setelah selesai makan, ia menuju ke mulut gua.

Terlihat nenek masih duduk seperti tadi.145

Diluar gua angin pegunungan menghembus dingin.

Perlahan-lahan Yoko menuju ke sungai. Setiba di tepi

sungai, ia menanggalkan pakaiannya, lalu turun ke

dalam air. Ia melangkah ke dekat lereng gunung, di

mana sungai itu lebih dalam. Ternyata air di situ lebih

dingin, bagaikan es.

Setelah puas bermain dalam air, Yoko naik kedarat.

karena tubuhnya kini menggigil kedinginan. Ia mencari

pakaiannya dan dengan tubuh basah-basah, ia

mengenakan pakaiannya pula.

Matahari sudah menghilang di balik pegunungan.

Yoko kembali ke mulut gua dan melangkah masuk.

Nenek masih asyik bersamadhi. Ia jalan di sisi si Nenek

sambil melihat ke dalam pasu. Di situ terlihat sebuah

benda berbentuk lonjong sebesar tangan. Benda itu

terbuat daripada logam. Warnanya kekuning-kuning

an.

Benda apakah itu? pikir Yoko keheran-heranan. Aku

tak mengerti kelakuannya tua bangka ini. Apakah

perlunya dia mendoakan benda itu?

Yoko berlalu dengan tidak bersuara.146

"Ilmu gaib apakah yang nenek kini jalankan dan

akan perlihatkan padaku?" gumam Yoko sambil

berbaring diatas tikar.

Di dalam gua kini gelap-gelita.

"Mengapa nenek tidak memasang pelita?"

mendumal Yoko karena kesalnya. "Ah, mungkin dia

bukan lagi menjalankan ilmunya, tapi sedang

termenung memikirkan cucunya yang sudah dijadikan

patung. Boleh-boleh aku harus menunggu semalam

suntuk dengan memeluk tangan saja. Aku sudah

bosan melihat si Nenek seperti kesetanan. Lebih baik

ku pergi saja seorang diri ke gunung Kotohiki. Uzume...

Uzume... kali ini engkau tak dapat meloloskan dirimu

pula!"

Sekonyong-konyong terdengar teriakan si Nenek :

"Yoko, Lekaslah kemari!"

Tersipu-sipu Yoko bangkit dan melangkah kearah

nenek. Ia harus berjalan perlahan-lahan di tempat

gelap itu.

"Nenek, apakah kau tidak punya pelita?" seru

Yoko mendongkol.

"Sabar, sebentar kau akan melihat dengan

tegas."147

Bila tidak ada kain putih terhampar di situ, pastilah

Yoko akan jatuh kesandung tubuh orang tua itu.

"Mari sini, duduk dihadapanku!" tukas si Nenek

setengah memerintah.

Dengan berhati-hati agar tidak melanggar tubuh si

Nenek atau pasu itu, Yoko merangkang diatas kain

putih, kemudian dia duduk di hadapan orang tua itu.

Sunyi senyap dan gelap petang di tempat duduk

mereka. Masing-tak dapat melihat satu sama lain.

"Nenek, kapankah kita akan menyatroni sarang
nya Uzume?"

"Sabarlah, Nak. Jangan engkau tergesa-gesa!

Pekerjaan yang dilakukan terburu-buru sering kali

gagal." ujar orang tua itu.

"Kalau nenek tidak mau pergi pada malam ini,

aku akan pergi seorang diri saja." kata Yoko

membandel.

"Jangan, jangan engkau pergi malam ini!" nenek

mencegah. "Kau akan dapat bencana!"

Yoko tertawa terbahak-bahak.

"Apakah nenek seorang ahli nujum?" ejeknya.148

"Dengarlah, Yoko. Malam ini dan esok siang

sekali-kali tak boleh engkau gempur wanita iblis itu.

Esok malamlah kau harus pergi satroni dia, dan aku

akan memimpinnya."

"Ai, ai! Mengapa nenek memanjangkan umur

musuh besarmu? Kalau malam ini kita datang

menyerang, pastilah esok pagi si Iblis sudah tak dapat

melihat sinar matahari lagi."

Nenek tak menghiraukan ucapan Yoko. Ia hanya

berkata :

"Duduklah tetap di tempatmu dan jangan

banyak omong! Kau akan saksikan ilmu gaib yang

berasal dari nenek moyangku. Amatilah baik-baik air

dalam pasu ini! Aku akan terus bersamadhi hingga

berpeta suatu kegaiban pada air itu, tapi aku ulangkan

lagi : tutuplah mulutmu dan jangan sekali-kali

menyentuh paso, mengerti!"

"Mana aku bisa lihat dalam gelap gulita?

Pasanglah pelita dahulu, nenekku yang berbudi."

"Tak perlu!" menghardik Si Nenek. "Jangan

banyak mulut, diamlah! Aku hendak mulai."

Terpaksa Yoko duduk berdiam diri. Nampak Si Nenek

sudah merangkapkan kedua belah tangannya dan149

memejamkan matanya. Akan tetapi gerak-gerik nenek

itu tidak dapat dilihat oleh Yoko, sementara kedua

telinganya tidak mendengar lain suara, hanya

berkerosoknya air sungai di luar gua.

Lama sekali Yoko menantikan munculnya sesuatu

yang ajaib.

Tiba-tiba terdengar suara bergolak-golak, suara air

sedang berdidih keluar dari paso itu.

Terperanjatlah Yoko! Ia mendengar suara itu semakin

keras, namun dia tak dapat melihat karena amat

gelapnya. Kedua matanya terbelalak menatap kearah

suara itu. Tak lama kemudian terlihat suatu cahaya

yang agak suram tampaknya keluar dari paso itu.

Benda logamlah dalam paso yang memancarkan sinar

makin lama semakin terang, sedangkan air itu

bergolak-golak tak henti-hentinya.

Hati Yoko berdebar-debar.

"Inikah ilmu gaib bangsa Korea?" ia menanya

sama diri sendiri. "Apakah gerangan Si Nenek mem
pertunjukkan mistik itu? Guna apakah dia mem
pertunjukkan kepadaku?"

Dalam gua itu dari gelap-gelita berubah menjadi

remang-remang lalu menjadi terang, semakin terang!150

Sekonyong-konyong nenek menjerit! Wajahnya yang

keriput menjadi tegang, menyeramkan. Matanya

yang terbelalak bersinar menakutkan. Tangan

kanannya bergerak turun naik dekat sinar yang keluar

dari pasu itu. Bermula lambat, tapi kemudian gerakan151

tangan itu cepat sekali, seluruh tubuhnya bergemetar.

Peluh nampak mengucur deras di dahinya yang

keriput. Makin lama getaran itu makin menjadi-jadi.

Nampaknya si Nenek bagaikan kemasukkan setan!

Jantung Yoko berdebar keras. Kemudian terdengar

pula teriakan si Nenek bagaikan suara guntur!

Serempak berkelebat suatu sinar berwarna kuning,
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat keluar dari paso, lalu menuju ke arah mulut

gua.

Yoko mengikuti dengan matanya, arah tujuan sinar

yang panjang itu. Dari mulut gua, sinar gaib menaik di

udara bagaikan lembayung. Akhirnya sinar itu lenyap

diangkasa malam.

Cahaya nan diciptakan oleh benda logam dalam pasu

itu mulai suram. Perubahan ini mungkin karena

getaran tubuh Si Nenek makin mereda. Akhirnya

hilanglah cahaya itu, hingga dalam gua kembali gelap,

kelam pekat seperti semula.

Matanya Yoko berkunang-kunang. Cepat-dia me
mejamkannya.

Terdengar nenek menghela napas panjang, lalu

ujarnya :

"Yoko, sinar gaib itulah yang akan membinasa
kan wanita iblis Uzume! Aku tak perlu pergi ke152

sarangnya. Sinar kuning tadi sudah kuarahkan ke

gunung Kotohiki sebagai tantangan untuk

bertempur."

"Mengapa nenek tidak tujukan saja sinar itu ke

tubuhnya Uzume ?" tanya Yoko penasaran.

"Tidak boleh, aku tidak mau membokong, aku

tidak mau merendahkan derajat bangsaku! Aku telah

memberi tanda untuk dia siapkan dirinya."

Yoko menghela napas. "Kapankah nenek akan

bertanding dengan Uzume? Bagaimanakah jika dia

tidak mempunyai sinar gaib seperti sinar kuning yang

nenek perlihatkan padaku tadi ?"

"Esok malam," jawab nenek.

"Kau salah menduga, bahwa Uzume tidak mahir

dalam ilmu gaib."

Dalam gelap-gelita itu Yoko tak dapat melihat bahwa

si Nenek sudah bangkit berdiri. Hanya dia mendengar

tindakan kaki yang menuju ke suatu sudut.

"Kau diam saja di tempatmu," terdengar suara

Si Nenek. "Aku akan ambil pelita."

Yoko duduk bertopang dagu sambil memandang

kemuka di dalam gelap.153

***

"Bi-jieng!... Bi-jieng!" menjerit-jerit Hana sambil

berlari-lari mencari gurunya. Dengan tubuh ber
gemetar karena ketakutan. Hana menghampiri dewi

Uzume yang nampak berdiri di muka jendela. Wajah

sang dewi kelihatan tegang sekali. Kegusaran mem
bayang pada sinar matanya.

"Ada apakah, Hana ?" tanya sang dewi ketika

melihat Hana menghampiri dengan wajah ketakutan.

"Itu... itu... ada sinar... jatuh di dalam taman,"

sahut Hana terputus-putus.

"Ya. Aku pun dapat lihat sinar kuning itu." ujar

dewi Uzume acuh tak acuh.

"Tanda apakah itu, dewi?" tanya Hana yang

masih pucat wajahnya.

"Tantangan dari musuhku." menerangkan sang

dewi. "Aku kira ajakan untuk bertempur dari salah

satu keluarga Melisanko yang hendak membalas

dendam."

Matanya Hana membelalak.154

"Apakah sinar itu... dapat membinasakan?!"

Dewi Uzume tersenyum melihat kelakuan muridnya

yang ketakutan setengah mati. "Sinar itu dapat

menghancur-leburkan segala sasarannya, Hana. Tapi

kau tidak usah kuatir, aku dapat melayaninya!"

Airmata mengalir membasahi pipi Hana yang halus.

"Hana, panggillah semua saudara-saudaramu!

Malam ini akan kuadakan sidang kilat di ruang sidang

karena esok pagi semua murid-muridku harus

meninggalkan istana ini. ? Aku terima tantangan tadi

dan akan melawan orang Korea itu... seorang diri!"155

X

Yoko nampak berdiri berdampingan dengan si Nenek

di atas sebuah bukit. Mereka asyik memandang sang

surja yang sedang menurun di balik pegunungan.

Sekonyong-konyong nenek menoleh kearah puncak

gunung Kotohiki yang penuh kabut.

"Uzume, ajalmu akan tiba tak lama lagi!" seru si

Nenek dengan nada penuh kebencian.

Yoko pun mengarahkan pandangannya ke puncak

gunung itu.

Angin menghembus dingin basah. Udara mulai gelap.

Si Nenek mengajak Yoko masuk. Sambil menunduk

Yoko mengikuti nenek, berjalan masuk ke dalam gua.

Di dalam gua ditempat mana kain putih itu terhampar,

si Nenek persilakan Yoko duduk. Dan ia sendiripun

mengambil tempat duduk di hadapan Yoko.

Sejenak mereka tak berkata-kata. Akhirnya nenek

gerakkan bibirnya.

"Yoko. malam ini adalah saat yang menentukan

bagi Uzume dan aku. Bila kudapat binasakan wanita

laknat itu, puaslah hatiku. Tapi... bila aku yang156

dipecundangi, tentu aku akan binasa! Maka engkaulah

Yoko, yang harus membalaskan sakit hatiku dan

Melisanko."

"Apakah dia dapat membinasakan engkau?!"

seru Yoko terperanjat.

"Di dalam pertempuran salah satu pihak akan

binasa. Jika bukan dia, tentulah aku yang akan gugur."

sahut si Nenek.

Yoko terdiam. Pikirannya bekerja keras.

Tiba-tiba si Nenek berkata lagi :

"Yoko kalau aku yang binasa, kau harus

bertempur dengan wanita iblis itu. Rohku akan

membantu engkau dari alam baka. Yoko hati-hati dan

waspadalah! Jangan berbuat sesuatu dengan tergesa
gesa, jangan terlampau mengumbar napsumu! Bila

kau mendapat kesukaran, berpikirlah dengan tenang

sebelum mengambil sesuatu tindakan."

"Terima kasih nenek. Akan kuperhatikan semua

nasihatmu." sahut Yoko terharu.

"Kini tibalah saatnya. Ambillah samuraimu dan

lain-lain senjata yang kau bawa." perintah si Nenek.157

Yoko bangkit berdiri, lalu melangkah di dalam gelap

mencari samurai dan golok pendeknya yang ia telah

taruh diatas tikar.

Si Nenek mengambil pasu terisi air sungai dan benda

logam itu.

Perlahan-lahan Yoko melangkah didalam gelap

menghampiri kembali si Nenek. Ia telah menyelipkan

golok pendek di dalam bajunya dan pedang samurai

nya digantung di pinggangnya.

"Yoko, bila sebentar aku kalah, kau harus lantas

keluar dari dalam gua. Karena bila sampai aku tak

dapat bertahan diri, benda logam di dalam pasu ini

akan meledak hancur dengan kekuatan yang maha

dahsyat. Gua akan terbakar dan ambruk dan aku akan

terkubur didalamnya. Selama aku masih bertenaga,

akan kukendalikan dirimu dengan getaran pikiran dan

engkau harus mengikuti petunjukku. Mengertikah

engkau, Yoko?"

"Aku paham, nenek," sahut Yoko dengan sedih,

lalu duduk dihadapan orang tua itu.

"Kau jangan duduk dekat aku. Karena pada

malam ini, sinar gaib yang akan keluar dari dalam

benda logam akan panas sekali," memperingati nenek.158

Segera Yoko bangkit berdiri dan melangkah beberapa

tindak ke sebuah sudut.

Di situ ia tak dapat melihat si Nenek yang telah

merangkapkan kedua tangan dan memejamkan

matanya.

Yoko berdiri sambil menyender pada dinding gua.

Keadaan sunyi sepi dan gelap pekat. Tiba-tiba

terdengar suara air dalam paso mulai bergolak.

Bermula perlahan, kemudian makin bergolak-golak.

Tampaklah cahaya suram keluar dari paso itu. Selang

tidak beberapa lama cahaya itu menjadi terang
benderang dan menyorot keatas bagaikan mercu suar.

Si Nenek bangkit berdiri, lalu berjalan mengitari paso

itu berulang-ulang seraya berkemak-kemik. Kedua

matanya terbuka lebar, tampaknya seram sekali!

Wajahnya yang keriput bergemetar. Dia terus berjalan

mengitar sambil mengawasi dengan tajam ke arah

pasu. Kedua tangannya digerakkan ke atas dan ke

bawah, lakunya bagaikan orang kesurupan.

Sekonyong-konyong dia beteriak keras! Seluruh

tubuhnya bergemetar. Kemudian dia duduk pula di

hadapan pasu. Rambutnya terurai-urai, terlepas dari

sanggulnya. Teriakan yang bagaikan guntur itu

bergema di dalam gua, disusul dengan berkelebatnya159

sinar kuning, menuju keluar dari gua! Kini sinar itu

bukan buatan terangnya, sangat dahsyat kekuatan
nya!

Nenek berdiri pula. Kedua tangannya dikepalkan

keras-keras. Air di dalam pasu bergolak sangat keras

nya, begitupun tubuh Si Nenek bergemetar hebat!

Perlahan-lahan kedua tangannya yang terkepal

nampak naik ke atas dada, bergemetar seakan-akan

sedang menahan sesuatu yang menyerang dengan

dahsyatnya.

Beberapa saat lamanya nenek berdiri dalam keadaan

demikian. Peluh mengucur dari keningnya.

Yoko menyaksikan pertunjukan itu dengan hati

berdebar-debar. Terkejutlah dia ketika tiba-tiba dari

mulut gua menyambar sinar lain! Sinar itu berwarna

merah. Kini nampak sinar merah bergulung-gulung

dengan sinar kuning. Dalam sekejap mata kedua sinar

itu saling kejar mengejar, turun naik seperti naga

mengamuk dalam samudera.

"Itulah sinar dari dewi Uzume!" kata Yoko

dalam hatinya dengan perasaan kagum. "Ternyata

perempuan itupun mempunyai senjata gaib juga!"
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinar merah nampaknya sangat kuat. Lebih kuat

daripada sinar kuning. Yoko kaget bukan kepalang,160

ketika ia melihat sinar kuning makin lama makin

suram, sebaliknya sinar merah makin terang

cahayanya. Yoko mengawasi Si Nenek yang tetap

bertahan diri. Tiba-tiba orang tua itu berteriak dan

berbareng sinar kuning menjadi terang pula dan

nampaknya makin menghebat. Bercampur baurlah

kedua sinar itu. Hawa didalam gua sangat panas.

Nenek sudah mandi keringat.

Sejenak wajah Si Nenek nampak pucat, namun kedua

matanya tetap berkilat-kilat. Sinar kuning sebentar

terang sebentar suram. Namun sinar miliknya dewi

Uzume tetap tak berubah, malahan makin garang

gerakannya.

Sekonyong-konyong nenek berteriak memanggil :

"Yoko, lekas keluar! Lekas!! Jaga jangan sampai

tubuhmu disambar sinar!"

Yoko menjadi gugup. Ia tidak lantas bergerak karena ia

kuatirkan si Nenek sudah tak dapat mempertahankan

diri lagi.

"Lekas, lekas keluar!!" seru nenek pula sambil

terus menahan diri.

Dengan hati berdebar-debar cepat-cepat Yoko berlari

ke mulut gua. Hawa di dalam gua bukan main161

panasnya! Peluh mengucur di seluruh tubuhnya.

Dengan menjaga diri supaya terhindar dari

pertempuran kedua sinar itu, Yoko merayap keluar.

Ketika sudah berada di luar gua ia memandang ke

Iangit yang gelap-gelita, di mana kedua sinar itu

nampak bersatu tetapi tidak seterang seperti di dalam

gua.

Tiba-tiba Yoko mendengar suara Si Nenek, suara itu

bukan keluar dari dalam gua, namun terdengar

perlahan di telinganya.

"Yoko! Lekas lari! Lekas lari ke gunung Kotohiki!

Lekas Yoko, selama aku masih dapat bertahan diri,

kudapat memimpin engkau! Lekas bunuh iblis itu!

Sinarnya akan punah bila dia binasa!"

Tak ayal lagi Yoko berlari. Ia mengentengkan tubuhnya

supaja lebih cepat dapat tiba di puncak gunung

Kotohiki. Ketika sudah berada jauh, Yoko menoleh

kearah mulut gua. Nampaklah api menyala-nyala di

dalam gua itu. Yoko khawatirkan akan jiwanya si

Nenek. Jantungnya memukul keras. Tiba-tiba dia

dapat pikiran akan balik kembali akan menolong si

Nenek, supaya orang tua itu tidak ketambus api.

namun suara Si Nenek terdengar pula :

"Lekas! Jangan kembali! Aku masih dapat bertahan!"162

Kini Yoko berlari bagaikan terbang. Berkat kekuatan

tenaga dalamnya, dia rasakan tubuhnya semakin lama

semakin enteng dan larinya bagaikan tiupan sang

bayu.

Tidak lama kemudian tibalah Yoko di kaki gunung, di

mana Gogaku dan Kotohiki bertemu. Tiba-tiba dari

kejauhan terdengar suara menggelegar sangat

dahsyatnya. Bumi bergetar bagaikan gempa. Ternyata

gua di gunung Gogaku telah hancur!

Yoko menengadahkan kepalanya ke langit. Sinar

kuning sudah tak nampak lagi diangkasa. Sinar merah

pun sudah mulai suram dan perlahan-lahan hilang

lenjap.

Tiba-ia mendengar pula suara Si Nenek yang kini

terdengar amat perlahan :

"Yoko... lekas bunuh... iblis itu... aku... telah...

gagal! Lekas, jangan sampai... dia melarikan diri..."

Semakin keras larinya Yoko, namun dia sangat sedih

mendengar kabar sedih dari si Nenek sendiri yang

hampir tiba pada ajalnya. Suara orang tua itu

terdengar sangat lemah dan terputus-putus.163

"Yoko... hati-hatilah... waspada... aku doakan...

engkau berhasil... selamat tinggal... pendekar muda,"

terdengar pesan terakhir dari Si Nenek.

Yoko sangat penasaran. Kini ia ditengah mendaki

gunung Kotohiki, berhasrat akan segera binasakan

wanita iblis itu. Jantungnya berdebar-debar sangat

keras akan menahan amarahnya yang meluap-luap.

Peluh mengucur membasahi keningnya. Nampak

kedua matanya berapi-api bagaikan serigala yang siap

akan menerkam mangsanya.

Dari kejauhan Yoko melihat cahaya api menjilat-jilat di

udara. Makin cepat Yoko berlari menuju ke arah api

itu. Ketika tiba di puncak gunung Kotohiki, Yoko

melihat sebuah istana yang hampir habis dimakan api.

"Hah, aku terlambat! Sarangnya iblis itupun

telah terbakar musnah!" kata Yoko seorang diri sambil

melangkah mendekati tempat kebakaran itu.

"Mungkin Uzume pun telah hangus terbakar dalam

sarangnya atau ia telah keburu melarikan diri."

Yoko menatap kearah api yang besar itu, matanya

mencari-cari tubuhnya dewi Uzume.

"Ah, belum tentu dia terbakar," pikir Yoko.

"Lebih baik aku mengamat-amati disekitar tempat ini.164

Jika Uzume dapat meloloskan diri, tentu belum jauh

kaburnya."

Segera Yoko mendaki puncak yang tertinggi. Setiba
nya diatas puncak itu, ia memandang ke sekeliling

tempat. Cahaya api dari kebakaran itu menerangi

sekitar tempat itu, namun Yoko tak melihat sesuatu

yang mencurigakan.

Perlahan-lahan kebakaran itu mereda, makin lama

apinya makan kecil. Yoko berdiri tegak diatas bukit

dengan hati penasaran. Akhirnya ia turun kembali,

menuju kearah bekas istananya dewi Uzume yang

masih membara. Pohon-pohon di sekitar tempat itu

terbakar musnah. Taman yang sebermula permai dan

indah tampak tak keruan macamnya, penuh dengan

pohon yang roboh dan terbakar.

Yoko menuju ke arah air terjun, tidak jauh dan situ.

Suara air terdengar berkerosokan. Angin pegunungan

meniup dingin sekali. Dengan pikiran kalut karena tak

tahu apa yang harus dibuat, Yoko melangkah

kesebuah batu besar. Lalu ia duduk akan melepas

lelahnya.

Tiba-tiba ia mendengar suara dibawa angin dari

kejauhan, memanggil-manggil namanya :

"Yoko! Yoko! Apakah kau mencari aku?"165

Suara itu halus dan manja nadanya. Terperanjatlah

Yoko ketika mengenali suara itu, ialah suara musuh

besarnya!

Segera ia bangkit berdiri, lalu berlari-lari kearah suara

itu dikegelapan malam.

"Jangan pergi! Tunggu aku datang, iblis!"

"Tidak, Yoko! Aku tidak akan lari!" terdengar

suara dewi Uzume dari kejauhan.

Tibalah Yoko ditepi jurang yang amat curam.

"Kau ada dimana ?"

"Aku ada dibawah! Jangan coba turun, Yoko! Di

dalam gelap gelita engkau tak dapat turun kebawah!"

seru sang dewi dengan suara amat merdunya.

Yoko melongok kebawah, namun tak nampak musuh
nya. Jurang itu gelap sekali.

"Apakah sekarang kau mau memihak padaku?"

teriak dewi Uzume. "Apakah kau sudah insyaf bahwa

kau tak dapat menaklukkan dewi Uzume?"

"Iblis!" bentak Yoko sambil keretakkan giginya.

"Samuraiku akan menabas batang lehermu untuk

membalas dendam keluarga Melisanko!"166

"Hi-hi-hi," tawa sang dewi dari dalam jurang.

"Kau memihak pada Mei Li San, gadis Korea itu?

Sungguh kedua matamu buta, Yoko. Apakah kau tak

tahu maksud tujuannya Mei Li San dan neneknya? Hi
hi-hi, Begitu mudah engkau dikelabui oleh mereka."

"Apakah maksud mereka?!" mengejek Yoko ke

dalam jurang. "Aku tahu mereka ingin membunuh

engkau, iblis!"

"Betul, kedua wanita itu berhasrat membinasa
kan aku. Bila aku tidak berkuasa lagi, mereka akan

jatuhkan orang-orang yang dianggap menghalangi

tujuannya akan menguasai se..."

"Dusta! Jangan menodakan namanya Melisanko dan

neneknya!" seru Yoko dengan murka, memutuskan

kata-kata dewi Uzume.

"Hi-hi-hi! Rupanya engkau sudah jatuh cinta

pada Mei Li San nan jelita itu!" terdengar pula suara

dan tawanya sang dewi. "Sebagai bukti yang aku tidak

bicara dusta, engkau boleh selidiki di kota-kota sekitar

pegunungan Kotohiki dan Gogaku. Banyak yang telah

terbunuh di tangannya Mei Li San!"

Yoko teringat akan perbuatan-perbuatan Melisanko.

"Mungkin benar juga bicaranya dewi Uzume itu,"

pikirnya, maka ia terdiam saja.167

Tiba-tiba Yoko berteriak mengguntur :

"Lekas serahkan kepalamu! Aku belum puas bila

kau belum binasa!"

"Hi-hi-hi. Yoko, Yoko! Jangan kuatir. Kau akan

puas benar-benar. Aku akan membikin kau sampai

puas. Aku akan serahkan... hatiku kepadamu!"

"Perempuan tidak tahu malu! Tunggu, aku akan

turun!" seru Yoko sambil melompat satu langkah

kebawah.

"Jangan! Jangan, Yoko! Kau akan tergelincir!

Jurang ini berbahaya sekali!" seru dewi Uzume dengan

kuatir. Suaranya sungguh-sungguh.

Yoko tak menghiraukan peringatan itu. Beberapa batu

jatuh terguling kedalam jurang kena injakan Yoko.

Cepat-cepat ia menahan dirinya.

"Percuma saja, Yoko! Sebelum kau sampai

dibawah aku sudah pergi! Dengarlah nasihatku!"

Sebagai jawaban seruan sang dewi, beberapa batu

besar menggelinding ke bawah. Yoko merayap turun,
Pendekar Samurai 2 Rahasia Patung Hijau di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setapak demi setapak dengan hati berdebar-debar.

Kemudian bergema suara dewi Uzume dari bawah

jurang, jauh sekali : "Yoko, jangan turun... Sampai168

bertemu lagi... Sayonara..." Suara nan merdu itu

berkumandang semakin jauh dan akhirnya lenyap

dikesunyian jurang.

"Bedebah! Iblis!" teriak Yoko dengan kegusaran

yang meluap-luap.

Yoko menghela napas. Ia tahu tak mungkin ia dapat

menyusul musuh besarnya dalam jurang yang gelap

dan berbahaya itu. Ia harus sabar dan bertindak

dengan hati-hati. Akhirnya ia merayap ke atas, supaya

tak tergelincir kedalam jurang yang gelap dan curam

itu.

TAMAT169

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file JPEG menjadi teks

yang kemudian di kompilasi menjadi file PDF setelah

sebelumnya melalui editing ejaan lama menjadi ejaan

baru.

Credit untuk :

? Awie Dermawan.

? Ozan

? Kolektor E-Books170


Gajah Mada Perang Bubat Karya Langit Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Fear Street Terbakar Api Asmara Fire

Cari Blog Ini