Ceritasilat Novel Online

Gadis Manis Putri Tersayang 1

Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar Bagian 1

12

Kolektor E-Book

Syauqy Arr

File DJVU dari Syauqy Arr - Hanaoki

Editing oleh D.A.S3

GADIS MANIS

PUTRI TERSAYANG4

EDDY D. ISKANDAR

GADIS MANIS

PUTERI

TERSAYANG

PENERBIT

GULTOM AGENCY

JAKARTA5

GADIS MANIS PUTERI TERSAYANG

Karya : EDDY D. ISKANDAR

Cetakan pertama :

Cetakan kedua : Januari 1987

Penerbit : GULTOM Agency Jakarta

Hak Cipta dilindungi oleh UNDANG-UNDANG

ALL RIGHTS RESERVED6

BAGIAN KESATU

TAK pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa

suasana bahagia yang telah berlangsung lama, akan

terenggut begitu saja. Apabila kenangan mengerikan

itu melintas kembali dalam benaknya, selalu Kania tak

mampu menahan kesedihannya. Seolah-olah tak bisa

meyakini suratan, bahwa perjalanan hidup kadang

kala didera hentakan perasaan.

Waktu itu, tiga bulan yang lalu. la bersama

orang tuanya serta lima orang adiknya, mencarter Colt

hendak mengunjungi kakaknya yang tinggal di Jakarta.

Kakaknya, seorang sarjana ekonomi yang bekerja pada

perusahaan mobil Jepang, hendak merayakan hari

ulang tahun puteri tunggalnya yang berusia lima

tahun.

Sejak beiangkat dan Bandung. Colt yang

dikemudikan dengan kecepatan tinggi itu. memang

selalu mencemaskan perasaan Kania, Ayahnya berkali
kali menegur, agar sopir Colt menjalankan mobilnya

dengan tenang, tak usah tergesa-gesa. Tapi sopir Colt

seakan tak mau peduli, bahkan menjawab tak perlu

cemas, ibu Kania bahkan sampai memarahi sopir Colt7

yang tetap seenaknya saja menjalankan mobil,

mengancam akan mengurungkan niatnya.

Entah karena terganggu konsentrasinya, entah

karena tersinggung lalu emosi, sopir Colt bukannya

mengurangi kecepatan kendaraan, bahkan

menjalankan mobil melebihi aturan. Dan pada suatu

tikungan, ia tak bisa menguasai diri, ketika berpapasan

dengan bis dalam jarak dua meter berhadapan, sama
sama dengan kecepatan tinggi. Sopir Colt berhasil

membanting ke kiri, tapi tak mampu menghindari

goyahnya keseimbangan kendaraan. Colt jungkir balik

jatuh ke dalam jurang yang tidak begitu curam.

Hanya karena nasib baik, ia termasuk satu
satunya penumpang yang mengalami luka-luka ringan.

Ayahnya sempat gegar otak, langsung dirawat di

rumah sakit. Tapi ibu dan kelima adiknya, sama sekali

tidak tertolong. Begitu juga sopir dan keneknya,

meninggal dunia seketika.

Begitu mendengar peristiwa buruk itu,

kakaknya segera datang, langsung menangis meraung
raung seperti anak kecil.

Selama dirawat di rumah sakit Bandung,

ayahnya selalu mengigau, memanggil ibu dan adik
adiknya, atau memaki sopir Colt. Dan setiap kali8

mendengar ayahnya mengigau, senantiasa luluh

perasaan Kania.

Hari-hari berkabung, dilewatinya dengan tabah.

Setelah ayahnya kembali ke rumah, ternyata duka

belum juga sirna. Kini yang membebani perasaan

Kania bukan saja kehilangan ibu dan adik-adiknya, tapi

juga sering kumatnya gangguan jiwa pada ayahnya.

Kakak Kania berusaha membawa ayahnya ke

dokter jiwa, dan dirawat dengan telaten. Tapi

sebentar sembuh, dan kumat lagi setelah beberapa

hari tinggal di rumah. Apa yang dialami ayahnya

kadangkala mengganggu konsentrasi belajar Kania,

padahal Kania sudah hampir menyelesaikan studinya

di SMA.

Dalam keadaan sadar, anehnya ayah Kania suka

menasihati Kania, bahkan menghibur kesedihannya.

"Apa yang terjadi, sudah kehendak Tuhan, Kau

tak usah berduka, Nia. Kau harus tabah. Tetap

tekunlah menuntut ilmu, sampai cita-citamu

terwujud. Biar Ibu dan adik-adikmu meninggal dengan

tenang."

Dalam hati, Kania memang tak lupa mengucap

syukur kepada Tuhan. Bagaimanapun, karena kasih
Nya ia masih bisa tegar menghadapi hidup. Ia masih9

punya seorang kakak yang hidup berkecukupan

sebagai pelindung biaya sekolah dan rumah-tangga,

sebab ayahnya tidak bisa bekerja lagi. Terutama

setelah diketahui mengidap gangguan jiwa.

Ia dengan setia merawat ayahnya, walaupun

terasa melelahkan dan menekan duka dalam bathin.

Ia tak ingin melihat ayahnya terlantar, atau jadi

bahan gunjingan tetangga.

Dalam sepi tengah malam, seringkali Kania

melakukan sembahyang Tahajud, mengadukan

nasibnya kepada Tuhan, memohon diberi petunjuk ke

jalan terang.

* * *

SIANG HARI terasa seperti membakar badan,

karena panas yang menyengat. Kania turun dari bis

kota, setelah pulang sekolah. Ia berjalan tenang

memasuki gang berjalan aspal.

Tiba-tiba seperti ada yang menyentakkan

perasaannya. Mata Kania terpaku kepada orang-orang

yang berkerumun menyaksikan sesuatu. Darah Kania10

seakan tersirap. Kecemasan, tercermin dari wajahnya.

Kania berlari-lari menghampiri kerumunan itu.

Seorang lelaki tua nampak sedang berdiri

menghadapi orang-orang yang berkerumun, wajahnya

kuyu, rambut acak-acakan, matanya berbinar.

"Sopir Colt itu harus kuhajar! Dia tak tahu

peraturan! Dia telah merampas kebahagiaanku! Dia

tak tahu perasaan. Kamu kan sopir Colt itu?" teriaknya

sambil menuding ke arah seorang lelaki muda

bertampang beringas.

"Betul! Dia orangnya, Pak. Hajar saja!" sahut

seorang pemuda dengan nada bercanda.

Orang-orang tertawa riuh.

Dia terus membentak-bentak, kemudian

menangis. Kania menyelusup ke dalam kerumunan

itu.

"Beri jalan! Dia puteri orang tidak waras itu,"

seru salah seorang penonton yang sudah tua.

Kania tersentak. Sekilas ia menoleh ke arah

suara itu. Tapi tak bisa meyakinkan siapa orangnya.

Hati Kania benar-benar tersinggung, mendengar kata

"orang tidak waras" ditujukan kepada ayahnya. Kania

tidak bisa menerima ucapan itu. Tapi ia tak bisa11

menanggapi. Di hadapannya, kini tampak ayahnya

sedang jadi bahan mainan.

Kania langsung meraih lengan ayahnya dengan

penuh kasih sayang.

"Pulanglah, Bapa," kata Kania tersendat.

Beberapa orang yang menyaksikan, terutama

wanita, memandang dengan mata berkaca-kaca.

Terharu.

Ayah Kania tidak menggubris, bahkan tidak

memandang ke arah anaknya, perhatiannya tetap

tertuju kepada orang-orang yang berkerumun.

"Aku sudah berkali-kali memperingatkan kau,

tapi telingamu tuli! Berlagak jago ngebut. Baru punya

Colt saja sudah merasa raja jalanan, apalagi punya

Mercy! Coba kau hayati, betapa hancur perasaanku!

Aku telah kehilangan segalanya, karena kau!" telunjuk

ayah Kania menuding kepada seorang pemuda

berambut gondrong. Pemuda itu diam saja, tidak

memberikan reaksi, meskipun beberapa penonton

lainnya menanggapi dengan cemoohan.

Tangan Kania semakin keras menarik lengan

ayahnya.12

"Pulanglah, Bapa. Bapa cape. Bapa harus

banyak istirahat."

Kini, seperti mendengar suara gaib, pandangan

ayah Kania tertuju kepada puterinya. Menatap dengan

seksama.

"Mari kita pulang."

Tanpa bicara, dengan kepala menunduk, ayah

Kania berjalan mengikuti puterinya. Orang-orang

memandang dengan seksama. Seorang ibu, sempat

menyeka air matanya yang menitik.

"Kasihan. Padahal dulu dia terkenal

kebaikannya. Untung Nia, puterinya, seorang anak

yang berbakti," katanya kepada ibu-ibu lain.

Kania membimbing ayahnya, masuk ke dalam

rumah. Lalu menyuruh ayahnya berbaring di atas

ranjang. Ayah Kania menurut saja. Kania bergegas ke

dapur, mengambil air hangat. Lalu kembali meng
hambiri ayahnya.

"Minumlah, Bapa."

Ayah Kania menerima gelas itu, meneguknya

dengan tenang, sampai habis satu gelas penuh. Lalu

diberikan kepada Kania. Kania menaruhnya di atas

meja.13

Ayah Kania menatap puterinya, seakan-akan

baru sadar dari sebuah mimpi yang melelapkan.

"Nia... sudah pulang sekolah?" tanyanya, mulai
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar dan normal kembali.

Kania menganggukkan kepala.

"Bapa sakit?"

Ayah. Kania tercenung, lalu menggelengkan

kepala.

"Rasanya seperti baru terbangun dari mimpi."

"Bapa harus banyak istirahat. Pikiran Bapa

mesti tenang."

Ayah Kania menghela nafas.

"Kau harus tabah, Nia."

Kania menundukkan kepala sambil menggigit

bibir. Hatinya seakan menjerit. Saya akan tetap tabah,

bapa! Tapi kenapa bapa mesti menderita bathin?

Bukankah bapa yang selalu menghidupkan semangat

saya? Saya mau mencoba melupakan peristiwa hie
nyayat itu, tapi apa yang bapa alami sekarang selalu

tak bisa menghapus rasa duka.

Setetes air mata, jatuh ke lantai.14

Sepi yang dalam.

Hening mencekam.

* * *

BAPAK Wali Kelas, mengajar Bahasa Indonesia,

sedang menerangkan pelajaran baru di hadapan

murid-muridnya, kelas tiga IPS. Kania tampak gelisah.

Pikirannya tidak konsentrasi pada mata pelajaran,

sebab terus terpusat pada ayahnya.

Bila ingat ketika ayahnya jadi tontonan

masyarakat, wajah Kania mendadak pucat, jantungnya

berdegup kencang. Hati Kania tak menentu.

Bagaimana kalau siang ini, ayahnya ke luar rumah lagi

dengan pikiran yang semrawut?

Ingat itu, Kania merasa menyesal, kenapa ia

pergi sekolah? Mengapa ia tinggalkan ayahnya dalam

keadaan jiwa yang tidak stabil? Rasanya, Kania ingin

segera bergegas pulang sekolah. Pikirannya jadi kusut.

Diam-diam, sambil terus menerangkan

pelajaran, Bapak Wali Kelas memperhatikan tingkah

Kania. Bapak Wali Kelas seakan memaklumi perasaan15

Kania, setelah tahu kecelakaan yang menimpa

keluarganya. Dalam kelas, sejak terjadinya

kecelakaan, Kania memang jadi pemurung. Bahkan

wajahnya selalu memancarkan duka yang dalam.

Setelah selesai mengajar, Bapak Wali Kelas

langsung menghampiri Kania. Kania disuruh datang ke

kantor khusus tempat konsultasi antara guru dan

murid.

Tentu saja Kania kaget, takut ada sesuatu yang

menyinggung perasaan orang lain, atau menjatuhkan

nama baik sekolah. Tapi setelah berpikir lama, dan ia

merasa tak bersalah, Kania menjadi tegar untuk

menemui bapak Wali Kelas di ruang konsultasi.

Berhadapan berdua dengan Bapak Wali Kelas,

jantung Kania berdegup kencang. Ia tak ubahnya

seperti terdakwa sedang menunggu vonis hakim.

Diam, merundukkan kepala.

"Nia, Bapa perhatikan, akhir-akhir ini kau begitu

sering melamun. Matamu memang ke arah guru, tapi

hati kamu, pikiran kamu, entah mengembara ke mana.

Konsentrasimu pasti terganggu. Terus terang, Bapa

sebagai gurumu, bahkan wali kelasmu, merasa

bertanggung jawab kalau-kalau ada kesulitan yang

menghambat konsentrasi belajarmu."16

Hati Kania tersentak. Tapi tetap dalam posisi

menundukkan kepala. Seakan lidahnya kelu untuk

mengucapkan kata-kata.

"Engkau termasuk murid yang pandai. Dan

sebentar lagi, kau akan menghadapi ujian akhir. Aku

tak mau pelajaranmu jadi terbengkalai, hanya karena

kau menyimpan suatu perasaan duka dalam hatimu."

Kania masih tetap menundukkan kepala.

"Bapa harap, kau berterus terang. Bicaralah

sejujurnya, agar Bapa bisa membantu kesulitanmu.

Tak baik memendam perasaan berlarut-larut."

Kania menatap Bapak Wali Kelas, bicara

tersendat.

"Maafkan saya, Pa."

"Jangan ragu-ragu, ceritakanlah."

"Pikiran saya tidak bisa tenang, Pa. Saya...

saya..." Kania tetap ragu. Rasanya tidak tega

mengatakan keadaan ayahnya kepada orang lain,

sekalipun itu Bapak Wali kelas.

"Bapa bukan ingin ikut campur dalam urusan

pribadi orang lain, kalau memang kau berkeberatan

untuk menceritakannya, Bapa tidak akan memaksa.17

Tapi barangkali kesulitan yang sedang kau alami itu

tidak bisa kau pecahkan sendiri, Bapa sebagai wali

kelasmu berkewajiban untuk mencoba mengatasinya.

Pandanglah Bapa seperti kepada orangtuamu. Bapa

akan senang, kalau kau berterus terang."

Kania menghela nafas dalam-dalam. Setelah

tercenung sejenak, lalu menuturkan apa yang terjadi

pada ayahnya setelah peristiwa tragis itu.

Bapak Wali Kelas tersentak. Menatap Kania

dengan iba.

"Kalau begitu, Bapa bisa memahami keadaan
mu. Bapa mengerti perasaanmu."

Kania menangis terisak.

"Jangan terlalu bersedih. Kau harus tabah. Bapa

akan berusaha menolong Ayahmu, mengembalikan

kesadaran Ayahmu."

Kania tertegun. Seakan tak percaya.

"Tak usah merepotkan Bapa."

"Bapa yakin, suatu saat Ayahmu akan sembuh

kembali seperti sedia kala."

"Saya sudah mencoba membawa Ayah ke

dokter jiwa, tapi kesadarannya hanya pulih sekejap.18

Setelah itu, kambuh lagi. Yang saya herankan, ingatan

ayah akan kembali seperti sedia kala bila sudah

berhadapan dengan saya. Bahkan Ayah sering

menggumam, katanya bagaikan dalam mimpi."

"Itu suatu pertanda, gangguan jiwa pada

Ayahmu belum terlalu parah. Kehadiranmu, sangat

berarti sekali bagi Ayahmu."

"Karena itulah, saya tak bisa tenang kalau

meninggalkan Ayah saya, Pa."

Bapak Wali Kelas menghela nafas.

"Ya, ya... Bapa mengerti perasaanmu."

"Tapi, bagaimana Bapa bisa menolong Ayah

saya?

"Bapa bilang, Bapa akan berusaha menolong

Ayahmu. Berhasil atau tidaknya, kita lihat saja nanti.

Mudah-mudahan Tuhan menunjukkan jalan terang."

Ada kesejukan merayapi hati Kania. Ada

seberkas sinar menembus kekalutan pikirannya.

Maha Pengasih Engkau, Ya Allah! Masih ada

orang yang begitu baik, mau menolong Bapa!

* * *19

KANIA memperkenalkan Bapa Wali Kelas

kepada ayahnya, sewaktu keadaan ayahnya normal.

Tidak tahu, apa yang diperbincangkan Bapa Wali Kelas

dengan ayahnya, sebab Kania membiarkan keduanya

ngobrol cukup lama.

Ketika Bapa Wali Kelas hendak meninggalkan

rumah, ia sempat berkata kepada Kania.

"Jangan cemas, aku yakin Ayahmu pasti akan

sembuh lagi."

Selalu, dan selalu, ucapan Bapa Wali Kelas

menenteramkan hati dan perasaannya.

Sambil menatap kepergian Bapa Wali Kelas

hingga lenyap dari pandangan, perasaan Kania

mendadak was-was. Terutama sewaktu ingat, bahwa

Bapa Wali Kelas itu seorang duda. Kania pernah

mendengar dari teman-teman sekelasnya, bahwa

sampai usia tua, Bapak Wali Kelas belum pernah

menikah. Hidup sendirian. Apalagi, kehadirannya di

SMA belum begitu lama. Ia datang setahun yang lalu,

menggantikan guru bahasa Indonesia yang pindah

tugas ke kota lain.

Tidak! Tidak mungkin! Bisik hati Kania.

Kemudian kembali masuk ke dalam rumah.20

Jam dinding berdentang empat kali. Sebentar

lagi Kania mesti ke sekolah, ada les aljabar. Setiap kali

hendak meninggalkan rumah, perasaan Kania selalu

gelisah. Kalau menurutkan keinginan hati, tiap hari ia

ingin tetap tinggal di rumah menjaga ayahnya. Kania

menghampiri ayahnya dalam kamar.

Ayahnya sedang duduk bersandar ke tembok,

membaca buku. Ayahnya memang seorang kutu-buku,

terutama buku tentang biografi orang-orang terkenal.

"Bapa..." panggil Kania pelan.

Ayahnya menatap Kania, penuh kasih.

"Bapa tidak sakit, kan?"

Ayah Kania menggelengkan kepala. "Kau mau

pergi?"

Kania menganggukkan kepala. "Sore ini, saya

mesti les aljabar."

Ayah Kania tersenyum.

"Bagus. Bapa senang sekali mendengarnya. Kau

memang harus rajin dan ulet. Harus tabah

menghadapi cobaan apa pun. Contohlah orang-orang

sukses yang kebanyakan merintis kariernya dari

bawah, dengan berbagai macam penderitaannya."21

"Ya, Bapa."

"O, ya. Wali Kelasmu itu, benar-benar seorang

guru yang bijaksana. Senang sekali aku bisa

berkenalan dengannya. Ia selalu sepaham dengan

pendapat Bapa, sampai ke soal kesenangan membaca

buku pun sama."

Hati Kania mendadak terasa lapang.

"Sampaikan salam Bapa kepada Wali Kelasmu

itu."
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, Pa. Saya pergi dulu."

Ayah Kania menganggukkan kepala sambil

tersenyum. Kania bergegas meraih tas, berangkat ke

sekolah.

Tiba di sekolah, ia terlambat lima menit. Guru

aljabar menegurnya, agar jangan sering terlambat

masuk. Salah seorang teman wanita Kania, bahkan

menyambut dengan nada bercanda.

"Langganaaannn!!!"

Beberapa orang yang mendengar, tersenyum

simpul. Kania menghela nafas sambil duduk di

bangkunya. Meskipun bercanda, tapi terasa komentar

temannya itu menggelitik nuraninya. Dalam suasana22

hati tak menentu, ia begitu mudah tersentuh oleh

kesedihan.

Jam enam, les telah rampung. Kania tiba di

rumah setengah tujuh. Hatinya berdebar-debar,

tatkala ia tak mendapatkan ayahnya di rumah. Semua

sudut, bahkan kolong ranjang telah diperiksa, tapi

ayahnya tetap tak ada.

Dugaan buruk melintas dalam benak Kania.

Wajahnya mendadak pucat diliputi rasa cemas.

Ya, Allah! Tunjukkan, di mana Bapaku? Jerit hati

Kania.

Kania memandang sepanjang lorong, tapi

lorong tampak sepi dalam keremangan lampu. Ia

mendatangi beberapa orang tetangganya, tapi tak

satu pun yang tahu ke mana ayahnya pergi.

Kembali ke rumah, kian terasa sepi terasing.

Kania bersandar ke kursi malas, tercenung. Tiba-tiba

seperti ada yang menggerakkan bathinnya. Seperti

ada yang menggugah ingatannya ke suatu tempat.

Makam ibu dan saudara-saudaranya! Mungkinkah

bapa ada di sana? Bisik hati Kania sambil berjalan ke

luar rumah.23

Gelap tidak lagi menciutkan perasaannya. Kania

mengunci pintu, lalu berjalan menyusuri lorong yang

temaram oleh lampu. Berjalan sendiri, diterpa angin

malam. Bulan sabit di langit jauh. Kania terus berjalan,

tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya. Akhirnya

ia tiba di sebuah lapangan, terpencil dari rumah

penduduk. Kuburan tampak berderet rapi di lapangan

tersebut, dan pepohonan banyak tumbuh

sekelilingnya. Sama sekali tidak ada perasaan takut.

Tiba-tiba langkahnya terhenti, tatkala pandangannya

tertuju kepada seorang lelaki yang sedang berjongkok

dengan kepala menunduk di depan deretan kuburan.

Lelaki itu meratap memilukan.

Bulan di langit sedikit demi sedikit menampak
kan keutuhannya. Bumi pun tidak terlalu kelam.

Kania begitu yakin, lelaki yang sedang

dihadapinya adalah ayahnya sendiri. Hatinya

mendadak tersayat pedih. Hati-hati sekali Kania

menghampiri ayahnya dari belakang.

"Bapa..." panggil Kania tersendat. Ayah Kania

seolah tak mendengar, terus meratap. Kania

memanggilnya lebih keras. "Bapa."24

Ayah Kania tersentak. Seperti tersadar dari

sebuah mimpi yang panjang. Segera menoleh.

Terpaku menatap anaknya.

"Bapa," panggil Kania, meyakinkan.

Ayah Kania bangkit.

"Kau..."

"Pulanglah, Bapa."

Ayah Kania tercenung.

"Saya takut, di rumah sendirian."

Ayah Kania menatap Kania. Air mata menitik.

Mata Kania berkaca-kaca.

Tiba-tiba ayah Kania memeluk anaknya. Kania

merasakan pelukan itu begitu akrab, begitu kasih,

begitu menyejukkan. Seakan mendadak timbul rasa

bersalah pada ayahnya.

"Nia... kasihan kau," suara ayah Kania

tersendat.

"Mari kita pulang, Bapa."

Bulan bersinar penuh, mengiringi kepergian

keduanya, meninggalkan kuburan orang-orang25

terkasih. Kania cuma menatap sekilas ke arah kuburan

ibu dan saudara-saudaranya, ia merasa tak tahan.

Sepi mengiringi langkah-langkah letih.

* * *

KADANGKALA Kania merasa heran, mengapa

Bapak Wali Kelas begitu memperhatikan ayahnya.

Kania ingin bertanya, tapi tak ada keberanian untuk

itu. Dan ayahnya, selalu memuji Bapak Wali Kelas.

Pikiran buruk itu, muncul silih berganti; mungkinkah

Bapak Wali Kelas sengaja mempengaruhi ayahku,

agar...?

Tidak! Tidak! Bisik hati Kania. Selalu hatinya

mengusir anggapan buruk itu.

Tiga kali dalam seminggu. Bapak Wali Kelas

secara rutin menjenguk ayah Kania.

"Sesungguhnya, biarpun dia selamat dan tetap

hidup, dengan peristiwa kecelakaan itu, pikiran

Ayahmu benar-benar seperti mati. Seandainya saja

tidak ada kau, barangkali tekanan yang menghimpit

jiwa Ayahmu itu akan lebih parah. Tapi kau adalah26

penyelamat. Ayahmu begitu mencintaimu, begitu

mengasihimu. Itulah sebabnya, setiap ada kau di

rumah dia selalu dalam keadaan sadar, karena tidak

merasa kehilangan. Dan kau, Bapa sendiri merasa

bangga, sebab jarang gadis seusia kau begitu tabah

menghadapi cobaan semacam ini," kata Bapak Wali

Kelas, ketika berhadapan dengan Kania di ruang

konsultasi.

Kania tercenung saja mendengarkan perkataan

Bapak Wali Kelas itu, mencoba memahaminya.

"Kau punya saudara, kan?"

"Yaaa... Kakak saya. Dia tinggal di Jakarta. Sudah

bekerja dan sudah berkeluarga."

"Apakah Kakakmu suka menjenguk?"

"Yaaaa "

"Dengan isteri dan anaknya?"

Kania menggelengkan kepala.

"Lebih sering sendirian."

"Cobalah usahakan, agar keluarga Kakakmu

lebih sering menjenguk Ayahmu. Ayahmu perlu

suasana yang semarak oleh keluarganya, siapa tahu27

lama kelamaan kesadaran Ayahmu kian utuh. Dia

perlu orang-orang yang akrab dengan bathinnya."

Kania menghela nafas. Menganggukkan kepala,

pelan.

"Ayahmu selalu membanggakanmu, tapi ia

tetap merasa jauh dengan keluarga Kakakmu."

"Baik, Pa. Saya akan mengirim surat kepada

Kakak saya, agar dia dan keluarganya lebih sering

menengok Ayah."

Bapak Wali Kelas manggut-manggut.

"Bagus. Dengan begitu, Bapa makin yakin,

bahwa kesadaran Ayahmu akan segera pulih. Bapa,

terua terang, hanya bisa meyakinkan kekuatan hidup

bagi Ayahmu."

Sewaktu meninggalkan ruang konsultasi, Kania

makin merasa kecut ketika menangkap pandangan

Bapak Wali Kelas yang begitu dalam memperhatikan
nya.

Adakah sesuatu di balik kebaikan Bapak Wali

Kelas? Bisik hati Kania.

Tapi pesan-pesan yang disampaikan Bapak Wali

Kelas, dijalankannya juga. Kania memberitahu kakak-28

nya, agar lebih sering menengok ayahnya bersama

isteri dan anaknya.

Dan kakaknya, ternyata mau menuruti saran Kania.

Perubahan itu kian nampak. Di tengah Kania

dan keluarga kakak Kania, ayah Kania berwajah ceria,

senang bercanda, bahkan tak luput dari kebiasaannya

menasihati. Tentang ketabahan, tentang kejujuran,

dan rasa kasih kepada sesama manusia.

* * *

SUATU hari, pulang sekolah Kania bersama tiga

orang temannya; Tuti, Heni, dan Suryo. Ketiganya mau

main-main ke rumah Kania, sebab Kania banyak

koleksi novel. Mereka sama-sama naik bis kota, bayar

masing-masing.

Begitu bis berhenti di mulut gang, tampak

banyak orang berkerumun. Kania turun dari bis diikuti

teman-temannya, tertegun menatap ke arah

kerumunan itu.29

Hatinya berdebar, jantungnya berdegup

kencang. Sekilas melirik kepada ketiga temannya,

dengan wajah pucat.

"Ada apa, Nia?" tanya Suryo.

Kania menggelengkan kepala sambil menggigit

bibir, bergegas menguakkan kerumunan orang-ornng.

"Bukan Bapamu, Neng," kata salah seorang

lelaki dari belakang. Kania menoleh sesaat, menghela

nafas. Lalu menatap ke depan.

Hatinya merasa lega.

Yang sedang dikerumuni memang bukan

ayahnya. Seorang lelaki tua, berbaju kumal, rambut

kotor, gondrong tidak karuan, nampak sedang asyik

menulis sesuatu di atas kertas buram.

"Nomor kodenya yang jitu, Pak," teriak salah

seorang.

Lelaki tua itu manggut-manggut seraya tertawa

terkekeh-kekeh, dan tangannya bergerak-gerak

seperti berpikir keras.

Ketika kembali menghampiri ketiga temannya,

Kania agak kikuk.30

"Hey! Ada apa sih? Koq seperti ketakutan?"

tanya Tuti.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nggak Aku takut... ada familiku yang celaka,"

sahut Kania dengan suara bergetar.

Kemudian mereka berjalan menuju ke rumah

Kania. Di muka pintu, langkah mereka terhenti.

Terdengar jelas suara tangis seorang lelaki tua. Kania

mendadak gelisah.

"Ada apa, Nia?!" tanya Heni.

Kania menggelengkan kepala sambil menggigit

bibir, kemudian membuka pintu, dan mempersilakan

temannya duduk di ruang depan. Kania bergegas

masuk ke kamar ayahnya.

Kania tertegun. Tampak ayahnya sedang

telungkup memeluk bantal sambil menangis. Mata

Kania berkaca-kaca.

"Bapa," panggilnya tersendat.

Tangis ayahnya mendadak berhenti, seperti

kena hipnotis. Ayah Kania bangkit, menatap Kania.

Tercenung.

"Kenapa Bapa menangis?"

Ayah Kania menggelengkan kepala.31

"Bapa sakit?"

Ayah Kania menggelengkan kepala.

Keduanya membisu sejenak.

"Baru pulang sekolah?" tanya ayah Kania.

Kania menganggukkan kepala.

"Saya bersama teman-teman."

"Mana mereka?"

"Ada di depan."

Ayah Kania menghela nafas, seperti tersudut

dari suatu kesadaran yang barusan dialaminya.

"Hati Bapa mesti tenang. Bapa tak usah

memikirkan apa-apa. Bapa tidak boleh gelisah," kata

Kania lembut.

Ayahnya menatap Kania, terharu.

"Jangan terlalu lama di sini, kasihan teman
temanmu menunggu. Atau, Bapa mesti menemui

mereka?"

Kania menggelengkan kepala. "Bapa mesti

istirahat."32

Kemudian, Kania kembali menghampiri teman
temannya. Ketiganya-serentak memandang Kania,

masih dalam rasa keheranan.

"Ada apa, Nia?" tanya Suryo.

Kania mencoba tersenyum, agar teman
temannya tidak mencurigai sesuatu yang jadi

bebannya selama ini.

"Biasa. Ada yang lagi rekaman nangis."

"Rekaman nangis? Untuk apa?" tanya Tuti.

"Yaaa... nggak tau-lah! Barangkali main-main

saja, ingin mendengar tangisnya sendiri."

Ketiganya tertawa.

"Kayaknya dengan perasaan sekali, ya?" kata

Heni.

Kania tersenyum.

"Eh, novel apa yang mau kalian pinjam itu?"

tanya Kania.

"Apa saja. Asal kisah percintaan yang lembut,"

sahut Tuti.

"Kau suka beli novel, Nia?"33

"Kadang-kadang. Tapi biasanya, aku suka minta

dibelikan sama Kakakku di Jakarta."

Kania kembali lagi ke dalam, hendak mengambil

novel yang disimpan dalam kamarnya. Tapi sebelum

itu, ia menengcii: dulu ke kamar ayahnya.

Tampak ayahnya terbaring tenang. Kania

menatap tak berkedip. Duka, selalu saja terpancar dari

wajah yang tak bergairah.

* * *

KEADAAN ayah Kania semakin baik. Bahkan

sedikit demi sedikit Kania tidak merasa cemas lagi

untuk meninggalkan ayahnya. Kania mulai merasakan

keyakinan yang diucapkan Bapak Wali Kelas. Tapi

keheranannya tetap tak kunjung terjawabkan;

mengapa Bapak Wali Kelas begitu baik dan mau

meluangkan waktu untuk berdialog dengan ayahnya?

Suatu hari, ketika tiba di rumah setelah pulang

sekolah, Kania kaget lagi. Ayahnya tak ada di rumah.

Bayangan buruk, kembali melintasi benak Kania.34

Tas-nya disimpan, lalu bergegas hendak

mencari ayahnya. Tapi baru saja sampai di pintu

depan, Kania mendengar langkah kaki di halaman

rumah. Kania segera membuka pintu, hatinya

mendadak lega, karena yang datang adalah ayahnya.

Ayah Kania langsung duduk, sambil menatap

Kania.

"Baru jam sebelas, koq sudah pulang sekolah?"

"Ada pelajaran bebas. Barusan, begitu sampai,

saya hendak balik lagi menyusul Bapa."

Ayah Kania menatap puterinya, terharu.

"Bapa juga cemas, takut kau menduga Bapa

yang bukan-bukan. Makanya Bapa cepat-cepat

pulang. Tapi, ternyata kau sudah datang lebih dulu."

"Bapa dari mana?"

"Cari kerja."

"Cari kerja?" tanya Kania kaget.

"Bapa mendatangi kantor tempat Bapa bekerja

dulu, tapi ternyata tidak ada lowongan lagi."

Kania memandang ayahnya, merasa iba.35

"Kenapa Bapa mesti susah-susah cari

pekerjaan? Bukankah kata Kak Ridwan, Bapa lebih

baik istirahat. Kak Ridwan sanggup membiayai kita."

Ayah Kania menggelengkan kepala.

"Bapa tak biasa hidup terus menerus

mengandalkan pemberian orang lain, meskipun itu

dari anakku sendiri. Selagi masih kuat, Bapa harus

bekerja. Bapa tak ingin merepotkan Kakakmu."

"Tapi Bapa belum sembuh betul."

"Sekarang, Bapa sudah sehat. Rasanya,

nganggur itu sangat menyiksa perasaan Bapa."

"Bapa sudah tua. Kata Kak Ridwan; Bapa tidak

usah kerja lagi, nanti Kak Ridwan akan mengusahakan

untuk mendirikan toko di depan rumah."

Ayah Kania menghela nafas.

"Kalau saja tidak ada Kakakmu..." kata ayah

Kania pelan, seakan begitu ngeri memikirkan masa

silamnya.

* * *36

KANIA turun dari becak, persis di depan rumah

Bapak Wali Kelas. Baru kali ini, Kania berkunjung ke

rumah Bapak Wali Kelas. Tangannya menggenggam

sebuah bungkusan besar dan rapi. Rumah yang

sederhana dan berhalaman luas itu, nampak sepi.

Agak ragu-ragu Kania untuk memasukinya.

Di depan pintu, Kania berdiri, matanya melihat

kiri kanan. Kemudian mengetuk pintu. Terdengar

langkah menghampiri. Pintu dibuka oleh Bapak Wali

Kelas.

Bapak Wali Kelas tertegun.

"Nia! Ayo, masuk."

"Selamat sore, Pak."

"Selamat sore."

Kania masuk ke dalam. Di ruang depan, mata

Kania langsung tertumbuk kepada potret ukuran

besar: Bapak Wali Kelas, isterinya dan tiga orang

puterinya.

Kania duduk, berhadapan dengan Bapak Wali

Kelas.

"Ada apa, Nia? Tumben datang ke rumah Bapa."37

"Ini... Pak. Saya disuruh Kakak saya untuk

memberikan bingkisan ini buat Bapak."

Bapak Wali Kelas mengernyitkan alis.

"Wah, koq merepotkan. Terima kasih. Bilang

terima kasih pada Kakakmu," kata Bapak Wali Kelas

sambil menerima bingkisan dari Kania.

"Kami sangat berhutang budi kepada Bapak."

"Apa maksudmu?"

"Ayah saya, sekarang sudah sembuh.

Kepercayaannya puiih kembali. Saya kira, semua

berkat jasa Bapak."

Bapak Wali Kelas menatap Kania dengan wajah

berseri.

"Alhamdulillah. Tuhan ternyata mengabulkan

permohonan kita. Sesungguhnya, kau dan keluarga

Kakakmu-Iah yang menyembuhkan gangguan

kejiwaan pada Ayahmu itu. Bapa sih hanya sekedar

memberi saran."

Kania terdiam sejenak. Seakan ada yang

mengganjal perasaannya dan sulit untuk

dikemukakan. Setelah menghela nafas berkali-kali,

Kania bicara juga.38

"Bapa... bolehkah saya bertanya kepada Bapa?"

Bapak Wali Kelas tersenyum.

"Tentu. Tentu saja."

"Saya tak tahu, bagaimana caranya membalas

budi baik Bapa. Saya sesungguhnya tak habis pikir,

kenapa Bapa sangat menaruh perhatian kepada Ayah

saya?"

Bapak Wali Kelas terdiam.

Seketika, Kania melihat perubahan air muka

Bapak Wali Kelas. Wajah yang keriput itu, kini agak

pucat. Matanya berkaca-kaca.

"Bapa sudah menduga, suatu saat kau pasti

akan menanyakan hal ini. Nia... kau tak perlu cemas.

Bapa menolong Ayahmu, tidak mengharapkan balas

jasa apa pun. Ketika kau menceritakan kisah yang

menimpa keluargamu, hati Bapak benar-benar jadi

terharu. Nasib yang diderita keluargamu,

sesungguhnya tak berbeda dengan nasib yang dialami

Bapa. Bahkan mungkin lebih parah."

Kania merunduk sedih.39

"Kau lihat potret ini? Ini keluarga Bapa; isteri
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan tiga orang puteri Bapa. Tapi... sekarang mereka

sudah tak ada lagi."

"Ke mana?"

"Meninggal dalam suatu kecelakaan bis."

Kania tersentak. "Bapa," sendatnya

"Bis yang Bapa tumpangi, masuk jurang. Bapa

salah seorang yang selamat. Tapi isteri dan anak-anak

Bapa, tewas semua," katanya dengan mata berkaca
kaca.

Kania menggigit bibir.

"Maafkan. Saya tidak bermaksud membuat

Bapa sedih. Sama sekali saya tak tahu, peristiwa yang

menimpa Bapa."

"Seperti Ayahmu, mula-mula perasaan Bapa

juga goyah. Sering menangis sendirian, bahkan seperti

tak punya harapan lagi. Tapi, lama-kelamaan, Bapa

bisa mengatasi kepedihan itu. Bapa mencoba tegar,

ketika Bapa mulai sadar, bahwa kita memang tak bisa

menentang takdir. Bapa berani meyakinkan Ayahmu,

karena apa yang diderita Bapa jauh lebih pedih.

Ayahmu masih punya kau, Kakakmu, menantu dan40

cucu... tapi Bapa, benar-benar tak memiliki apa-apa

lagi. Bapa hidup sendiri."

Suara Bapak Wali Kelas tersendat, dan bergetar.

Keharuan begitu dalam membenam di hati Kania.

Ketika pulang dari rumah Bapak Wali Kelas,

Kania berjalan kaki. Berjalan sendiri, menyusuri jalan

lengang berpagar pepohonan.

Ada kedamaian dalam sepi.

Ada kesedihan dalam sepi.

* * *41

BAGIAN KEDUA

SESEORANG yang tak berhasil meraih sukses,

atau tidak berani mengubah keadaan yang

menghimpit keluarganya, seringkali menyalahkan,

masa lalunya. Masa lalu yang tak memungkinkan ia

berkembang. Masa lalu yang penuh penderitaan.

Masa lalu yang dijalani tanpa mengenyam pendidikan

sekolah.

Tapi Pak Ruslan ? ayah Kania, tetap mencoba

tegar, kendatipun punya masa lalu yang bisa

membunuh gairah kerjanya. Kasih sayang Kania,

pengorbanan Kania, bahkan mampu membunuh rasa

putus asa, gangguan jiwa, dan duka yang mendalam.

Modal yang diberikan Ridwan, dipergunakan

sebaik-baiknya. Pak Ruslan membuat sendiri

bangunan kecil di depan rumahnya, berjualan barang

keperluan sehari-hari.

Keduanya bergantian menunggu. Kalau Kania

sekolah. Pak Ruslan meladeni para pembeli.

Ketekunannya, memberi arah perkembangan yang

menggembirakan. Bahkan suatu ketika, Kania

mengusulkan agar menjual makanan murah yang

dibikin sendiri.42

"Mau jualan apa?" tanya Pak Ruslan.

"Pisang goreng, kue lapis, pokoknya apa saja

yang saya bisa, dan bisa terbeli oleh keluarga

sederhana," sahut Kania sambil tersenyum.

"Kapan kamu belajar bikin macam-macam

kue?"

"Dari teman, atau dari majalah."

Pak Ruslan manggut-manggut. Diam-diam, ia

merasa haru dan bangga.

Usaha yang tadinya kecil-kecilan, kian lama kian

bertambah maju. Berbagai macam kue bikinan Kania,

bahkan amat disenangi. Kania sendiri, kemudian

mengirimkannya ke tiap toko kue.

Tentu saja keluarga Ridwan di Jakarta, merasa

senang. Tidak heran, kalau kemudian Ridwan

mengontrak sebuah toko di pusat kota, untuk usaha

ayahnya.

Pak Ruslan makin bergairah. Apalagi, ketika

Kania lulus ujian SMA dengan angka yang cukup

memuaskan.

"Kau harus seperti Kakakmu. Menyelesaikan

studimu sampai meraih kesarjanaan."43

"Apa Bapa mampu membiayainya?" tanya

Kania berkelakar.

Pak Ruslan tersenyum.

"Apa pun tekad seseorang, kalau dengan

kemauan keras pasti mampu mengatasinya. Kau mau

melanjutkan ke mana?"

"Fakultas Hukum."

"Mau jadi hakim?"

Kania menggelengkan kepala.

"Saya ingin jadi pembela, Bapa. Banyak rakyat

kecil yang harus dibela, banyak rakyat yang tak tahu

apa-apa, lalu menjual sawah ladangnya dengan harga

murah, kemudian tersisihkan. Mereka harus dibela.

Harus diberitahu."

Pak Ruslan tertegun. Seakan tak percaya, kalau

pikiran puterinya sampai ke situ.

"Kau mampu?"

"Barusan kan Bapa bilang; apa pun tekad

seseorang, kalau dengan kemauan keras, pasti mampu

mengatasinya."44

Pak Ruslan menghela nafas. Menatap Kania

dengan bangga.

"Kau pasti berhasil," kata Pak Ruslan sambil

tersenyum.

"Jadi, Bapa setuju kalau saya memilih fakultas

hukum?"

Pak Ruslan menganggukkan kepala.

"Setiap orang punya pilihannya sendiri-sendiri,

karena itu Bapa juga sangat menghargai pilihanmu."

"Terima kasih, Bapa," kata Kania sambil

memeluk ayahnya.

Pak Ruslan membalas dengan elusan kasih

sayang. Seakan kian tegar menghadapi masa

depannya bersama puteri satu-satunya lagi.

Betapa tenteram kedamaian!

* * *

SETELAH kuliah, Kania tidak perlu kerja keras

lagi membuat kue. Ia telah mendapatkan dua orang

wanita tua, yang trampil membuat berbagai macam45

kue. Kania tinggal membiayai keduanya, dan

menggajinya tiap bulan. Tokonya, kemudian jadi

dikenal sebagai toko kue, dan diberi nama toko kue

KANIA. Dalam tempo tiga bulan, toko Kue Kania jadi

terkenal.

Sepanjang hari, waktu Pak Ruslan seringkali

dihabiskan di tokonya. Kalau Kania pulang kuliah,

berdua menghadapi para pembeli. Di rumah, sudah

ada pembantu yang bisa dipercaya.

Suatu siang, seorang wanita berumur sekitar

empat puluh tahun, tapi masih kelihatan menarik,

menghampiri toko kue Kania. Pak Ruslan segera

menyambutnya.

"Mau beli kue?" tanya Pak Ruslan.

Wanita itu mengangguk sambil senyum. Ia

memperhatikan koleksi kue yang terhidang rapi,

seperti: nagasari, kue mangkok, kue apem, kue lapis,

kue bugis, bibika ambon, wajit, lumpia, putu mayang,

kue moho, donat, dan banyak lagi macamnya.

Wanita itu menatap Pak Ruslan sesaat, lalu

menunjuk bermacam-macam kue yang dibelinya.

"Yang bikin kue-kue ini siapa, Pak?" tanya

wanita itu.46

"Anak saya, dan dua orang pembantunya,"

jawab Pak Ruslan, membanggakan Kania, sambil

mengambil kue satu persatu.

"Soalnya saya jadi penasaran. Toko Kue Kania

terkenal sekali, lho. Saya juga diberitahu tetangga,

katanya kalau ada tamu, beli saja kue di toko kue

Kania."

Pak Ruslan tersenyum.

Wanita itu menatap, lalu menghela nafas.

"Kalau misalnya ada acara resepsi, bisa pesan

kue dari sini, Pak?"

"Tentu."

Pak Ruslan sudah selesai membungkus semua

kue pesanan wanita itu. Dan wanita itu membayarnya.

"Kalau kuenya benar-benar enak, saya mau

langganan, Pak."

"Terima kasih," jawab Pak Ruslan.

Wanita itu berlalu meninggalkan Pak Ruslan.

Pak Ruslan menatapnya, sampai menghilang dari

pandangan. Aneh, seperti ada sesuatu yang menyita

perhatian Pak Ruslan.47

* * *

MERLITA yang tengah berdekapan dengan Toni

di Pavilyun, tersentak ketika mendengar deru VW

kodok di depan rumahnya.

"Sebentar, ya Ton! Mamiku datang."

Merlita memburu Sulastri ? ibunya. Membawa

bungkusan kue, dan majalah wanita.

"Bawa apa, Mam?" tanya Merlita.

"Tadi Mami beli kue. Coba kau cicipi, enak

nggak?" kata Sulastri sambil masuk ke dalam.

Merlita mengikutinya.

"Ada Toni di pavilyun, Mam."

"Sudah lama?"

"Begitu Mami pergi, Toni datang." Sulastri

tersenyum. "Hidangkan saja kuenya."

Merlita mengambil piring tempat kue.

Kemudian makan salah satu kue, sambil manggut
manggut. "Wah, asyik, Mam."

"Masa?" sahut Sulastri dengan wajah berseri.48

"Iya. Ini baru kue nomor satu. Pasti Toni habis

sepiring."

Sulastri memakannya.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya. ya. Lezat dan gurih. Kalau begitu, selera

kita cocok dengan toko kue pilihan Mami."

"Yang punya toko kuenya ganteng nggak,

Mam?"

"Husy! Itu urusan Mami."

Merlita tertawa berderai, sambil membawa

piring kue ke pavilyun. Sulastri menghela nafas.

Ia menatap wajah yang terpajang di dinding.

Wajah almarhum, suaminya. Wajah yang teduh

memancarkan kasih. Terbayang wajah Pak Ruslan.

Seperti pinang dibelah dua.

Lita, Arsih, Herman, Aning, mestinya kau punya

pengganti ayahmu. Mami kewalahan mendidikmu!

Jerit hati Sulastri.

Merenungkan pekerjaan yang dilakukannya

sekarang. Sulastri mendadak berlinang air mata. Ada

duka mendera jiwa. Kehilangan suami, seakan

kehilangan sesuatu yang paling berharga. Apalagi49

pada saat, anak-anak membutuhkan biaya banyak

untuk sekolahnya.

Suaminya yang selalu kelihatan tegar dan

bersemangat, harus menemui ajalnya dengan tragis.

Seperti biasa, suaminya yang bekerja di bidang

penelitian bencana alam, menjalankan tugas kerja ke

daerah banjir Talaga. la naik Toyota Hardtop bersama

team peneliti lainnya. Tapi mendadak. Toyota Hardtop

yang ditumpanginya tabrakan dengan sebuah truk,

ketika kedua kendaraan itu berpapasan di tikungan

dalam kecepatan tinggi.

Suaminya, meninggal dengan luka-luka yang

mengerikan.

Sulastri mengusap wajah. Kembali hatinya

menjerit. Tuhan! Biar. Biarlah hanya aku yang

menanggung beban dosa ini! Jangan lagi anak-anakku!

Biar aku yang bergelimang dosa, jangan libatkan anak
anakku. Biar aku yang menjual harga diri, karena aku

tak bisa mencari jalan yang lebih baik untuk

menghidupi dan memajukan anak-anakku.

Aning tertegun. Ia baru pulang sekolah, sore

hari. Sekolah di SMP kelas dua. Ia tak habis pikir,

menyaksikan ibunya benar-benar seakan goyah.

"Mami!" seru Aning tersendat.50

Sulastri terkejut. Segera melihat.

"Kau baru pulang, Ning? Bagaimana

sekolahmu?"

"Biasa. Acara rutin, Mam. Teman-teman

sekelas, selalu kalah angka oleh saya."

Sulastri tersenyum.

"Begitulah seharusnya, Ning. Papimu, dulu kan

orang pintar. Kau juga meski mewarisi kepintaran

Papimu."

"Iya deh," sahut Aning sambil memandang kue.

"Wah, kue dari siapa, Mam?"

"Mami yang beli. Coba saja, enak nggak?" Aning

mengambil kue itu, lantas manggut-mangut.

"Wah, enak bener nih."

Aning berjalan ke kamar, menyimpan tas.

Sulastri mengikuti, tapi tidak sampai masuk ke dalam

kamar.

"Makan dulu, Ning. Nanti kau sakit," kata

Sulastri.

"Ya. Sebentar, Mam," sahut Aning dari dalam

kamar.51

Sulastri masuk juga ke kamarnya. Seperti

seorang tamu, ia meneliti kamarnya sendiri dengan

seksama. Dan duka, terasa kian menghunjam.

Kamar yang dulu, selalu memesrakan kasih

dengan suaminya. Kamar yang dulu, menciptakan

buah kasih dari sayangnya. Kamar yang dulu,

merendam bara dengan cintanya. Kini sepi, yang

seringkali berubah jadi seonggok bara api. Bara

nestapa.

Entah telah berapa puluh lelaki, yang telah

singgah di sini. Meringkik ganas, mematahkan sayap
sayap kelembutan. Dan ia, cuma mengharapkan

imbalan.

Menyakitkan, memang.

Dulu, kebanyakan tetangganya menaruh

hormat. Selalu mengajak Sulastri dalam berbagai

kegiatan. Sekarang balik mencibir. Mencemooh.

Mengacuhkan. Dan Sulastri memang merasa terasing.

Haruskah menyalahkan mereka?

Tidak! Bisik hati Sulastri. Mereka tidak bersalah.

Mereka benar, pekerjaanku memalukan. Mereka

benar, jangan mendekati aku lagi, nanti bisa52

terpengaruh. Mereka benar. Tapi mengapa hatiku

sakit? Mengapa harga diriku tercampakkan?

Suatu malam, ada tamu penting dari Jakarta.

Tengah berdandan untuk diajak jalan-jalan, dan terus

menginap di hotel, ia mendengar bunyi batu-batu kecil

memecahkan genting. Tamunya tersentak, la sendiri

kaget.

"Ada apa?" tanya tamu.

"Orang-orang sini yang iseng."

"Kuno."

Sulastri ke luar rumah digandeng tamunya,

sementara Aning dan Herman memperhatikan dari

dalam kamar, dengan trenyuh.

Bayang-bayang masa lalunya, mendadak tersita

oleh teriakan Aning dari iuar kamar.

"Mami sudah makan?"

"Sudah. Tinggal kau." balas Sulastri berteriak.

Sepi.

Sulastri mendekati cermin. Gambaran utuh

sekujur tubuhnya, tampak dalam cermin. Sulastri

mendekatkan wajahnya. Biar jelas, apakah

kecantikannya telah pudar?53

Keriput-keriput memang sudah nampak, tapi

menjadi tersapu oleh kosmetik. Padahal, suaminya

lebih mengagumi dia dengan wajah apa adanya,

dengan tatanan muka yang sederhana.

Sekarang lain. Tamu-tamunya menghendaki ia

semerbak dengan polesan dan minyak wangi. Seakan

Sulastri dulu dan Sulastri sekarang dibedakan oleh

imitasi.

Kenapa aku bisa begini, ya Allah? Kenapa aku

tak bisa memilih jalan yang lebih baik dari pekerjaanku

sekarang ini? Kenapa aku begitu nekad. mau berbuat

apa saja demi masa depan anak-anakku? Mau

menanggung dosa, demi anak-anakku? Apakah anak
anakku tidak berdosa menikmati hasil pekerjaan

terkutuk ini?

Aku tidak berdaya.

Sulastri tersentak. Seakan-akan, dalam cermin

muncul wajah lain. Wajah yang membuyarkan

segalanya. Wajah pemilik toko kue. Wajah Pak Ruslan.

Gila! Kenapa aku seperti orang gila! Sulastri

menyumpahi dirinya dalam hati. Kenapa aku mesti

membayangkan dia, hanya karena dia mirip suamiku?

Tidak! Dia sudah beristeri, pasti pula dia sudah punya

anak, sebesar anak-anakku.54

"Mami!" terdengar teriakan Merlita dari luar

kamar.

Sulastri tersentak. Bergegas menghampiri, ke

luar kamar.

"Tuh, Toni mau pulang."

Sulastri menghampiri Toni, diikuti oleh Merlita.

Toni sudah berdiri di ambang pintu.

"Permisi dulu, Tante," kata Toni.

"Ya. Bagaimana ujian sarjananya? Sudah

selesai. Ton?"

"Wah, skripsinya juga masih dibikin, Tante.

Mungkin akhir tahun ini, saya baru bisa ujian sarjana."

"Tante sih cuma bisa mendoakan." "Terima

kasih, Tante."

"Anu, Mam. Toni bilang,.kuenya enak. Habis

satu piring," kata Merlita. Toni tersenyum.

"Memang enak, Tante. Tapi yang menghabiskan

bukan saya."

Sulastri tersenyum. Ada sesuatu yang

membahagiakan, melihat hubungan Merlita ? anak

sulungnya, dengan Toni. Hubungan yang telah55

dijalinnya selama empat tahun. Dan Toni, tahu betul

lekuk liku hidupnya.

Ketika Toni sudah berlalu dari rumah, Merlita

memegang pergelangan tangan kanan Sulastri.

"Mam. Toni bilang, kalau dia sudah selesai

studinya, ia akan melamar saya."

Sulastri menatap wajah Merlita. Terharu.

"Ita. Mami hanya bisa mendoakan. Semoga dia

benar-benar menyayangimu. Dan kau, satu-satunya

wanita dalam hidup dia."

Lalu, Sulastri memeluk Merlita.

"Cihuuih!!! Kayak sandiwara tivi saja," seru

Aning sambil bertepuk tangan.

Herman ? murid kelas II SMA, yang berpakaian

stelan olahraga, masuk dan tertegun menyaksikan

adegan itu, agak melongo.

"Eh, ada apa?" tanya Herman.

"Adegan Ratapan Anak Tiri!" sahut Aning.

"Husss!!" kata Sulastri, melotot lantas

tersenyum.56

"Aku ada bakat jadi bintang film, kan?" kata

Merlita.

Dalam suasana berkumpul seperti ini, seakan

tidak ada hitam pekat yang menyelubungi tubuh

Sulastri. Seakan dunia serba putih. Tapi juga, selalu

ada seorang puterinya yang mencemaskan dia. Entah

mengapa, pada Arsih ia begitu cemas. Ia pintar, tapi

juga nakal. Baru masuk universitas, mengambil

jurusan fakultas hukum. Di antara semua anaknya,
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arsih paling bertingkah. Kadangkala suka bertengkar

dengan Merlita, kalau Merlita menegurnya. Dan

Merlita suka terpojok, kalau Arsih membawa-bawa

ilmu pengetahuan di sekolahnya. Bahkan sekaligus

memukul perasaan Merlita, yang tidak melanjutkan

lagi sekolah, setelah ayahnya meninggal dunia. Dan

Merlita bekerja di sebuah perusahaan asuransi jiwa.

Di luar senja telah temaram, menunggu pelukan

malam.

"Asih ke mana? Koq belum pulang dari pagi?"

tanya Sulastri.

"Paling-paling terus kluyuran," sahut Herman.

"Jangan menuduh sembarangan, Her," kata

Sulastri.57

Herman diam. Tak berani melawan ibunya. Jam

tujuh malam, terdengar deru motor di halaman

rumah. Sulastri memburu, dan mengintip dari tirai

pintu. Tampak Arsih turun dari motor, melambaikan

tangan kepada pengantarnya, seorang lelaki

berambut agak gondrong, sambil tersenyum. Motor

kembali melaju.

Arsih membuka pintu dengan tenang. Begitu

melihat ibunya, bahkan Arsih lebih dulu bertanya.

"Tidak pergi, Mam?"

Pertanyaan yang langsung seakan memvonis

pekerjaannya. Sulastri cuma menjawab dengan

gelengan kepala.

"Kau ke mana dulu?"

"Setelah kuliah, saya diajak nonton oleh teman.

Filmnya bagus,, menceritakan perjuangan seorang ibu

dalam membesarkan anak-anaknya. Ia menderita, tapi

tetap teguh dengan prinsipnya."

Sulastri menghela nafas. Seringkali, Arsih

menyindirnya, tapi terasa seperti mengingatkan akan

pekerjaannya. Kadangkala suka timbul rasa kesal. Tapi

ia melihat Arsih begitu jujur, seperti tidak

menyembunyikan sesuatu pun. Termasuk apa yang58

dilakukannya. Bahkan ia juga tak segan-segan bilang,

kalau pacarnya sudah ganti lagi.

Anehnya, Sulastri paling merasa segan untuk

menasehati Arsih. Sulastri seakan menyadari, tentu

saja Arsih akan mencemoohkannya, ia menasehati

kebaikan, sementara perbuatannya sendiri tidak baik.

"Makan dulu. As."

"Saya sudah makan tadi sore. Ada yang traktir,"

sahut Arsih sambil meninggalkan ibunya, masuk ke

dalam kamar.

Sulastri tercenung.

Jam dinding berdentang delapan kali. Terdengar

deru sedan di halaman. Sulastri menghela nafas. Ia

berusaha menghapus kegelisahannya. Bagaimanapun,

kini ia harus menghadapi kenyataan.

Tamu adalah raja. Dan ia harus berusaha tampil,

membahagiakan sang raja!

* * *59

KANIA satu angkatan dan satu jurusan dengan

Arsih. Sama-sama kuliah di fakultas hukum. Tapi

keduanya jarang bergaul. Kania tahu, Arsih senang

berkencan dengan teman-teman mahasiswanya.

Selalu ingin kelihatan lebih menonjol. Bicaranya bebas

dan ceplas-ceplos. Suka pesta-pesta. Kelakuan, yang

sama sekali bertolak belakang dengan Kania. Meski

begitu, Kania mengagumi kepandaian Arsih. Arsih

cepat menangkap pelajaran yang disampaikan oleh

dosen. Bahkan kalau sudah menghadapi mata-kuliah,

Arsih selalu serius.

Di fakultas hukum, ada seorang mahasiswa

ganteng yang jadi favorit mahasiswi. Namanya:

Darmakusumah. Kuliah di fakultas hukum tingkat tiga.

Arsih betul-betul menaruh hati pada

Darmakusumah. Tapi perhatian Darmakusumah,

justru lebih terpusat pada Kania. Jika pulang kuliah,

Darmakusumah selalu menawarkan jasa baiknya

untuk mengantar Kania. Tapi Kania selalu menolaknya

dengan halus.

Suatu siang, ketika Kania sedang membaca buku

di ruang perpustakaan, tiba-tiba Darmakusumah

menghampirinya.

"Wah, asyik betul, Nia."60

Kania tersentak. Agak kikuk menatap

Darmakusumah.

"Eh, Kak Darma."

"Boleh aku duduk menemanimu?"

Kania tersenyum, sambil menganggukkan

kepala. Dan Darmakusumah duduk di samping Kania.

"Nia termasuk manusia kutu buku juga, ya?"

Kania melirik.

"Daripada nganggur."

"Koq nggak bawa teman?"

"'Nggak ada yang mau ke mari."

"Buku apa yang sedang Nia baca?"

Nia memperlihatkan jilid buku yang tengah

dipegangnya kepada Darmakusumah. Dan

Darmakusumah membaca sebuah judul: KELUARGA

PERMANA karya Ramadhan KH.

"Kukira yang kau baca itu buku tentang hukum."

"Memangnya kalau masuk fakultas hukum,

yang dibaca itu mesti pengetahuan tentang hukum

saja?"61

Darmakusumah tersenyum.

"Tidak, Non. Aku juga senang baca-baca novel.

Koleksi novelku cukup banyak. Kau sudah baca

JENTERA LEPAS karya Ashadi Siregar."

Kania menggelengkan kepala.

"Ceritanya bagus. Kau pasti suka. Mau baca,

nggak?"

Kania menghela nafas. Ia penasaran ingin

membacanya, tapi segan untuk meminjam.

"Kalau mau pinjam, besok saya bawa, atau

kapan-kapan saya antar ke rumah."

"Nggak usah merepotkan."

"Tidak. Tidak merepotkan. O, ya. Alamat

rumahmu di mana?"

Kania merasa terjebak, dan ia tak bisa berkutik.

Terpaksa memberitahukan alamat rumahnya.

"Jalan Durma 14."

"Tidak apa kan, kalau aku mengantar buku itu

ke rumahmu? Kau keberatan, nggak?"

Kania terdiam sejenak.62

"Atau di rumah, kau tak suka terima tamu pria?"

Kania menggelengkan kepala.

"Jadi, kau mau terima kedatanganku?"

Kania terdiam.

Ia menutup bukunya, lalu bangkit.

"Saya mau pulang."

"Sudah selesai membacanya?"

Kania tidak menyahut lagi, berjalan

mengembalikan buku itu ke tempatnya.

Darmakusumah menatap, mengikuti langkah Kania.

Kania bergegas meninggalkan ruang perpustakaan.

Darmakusumah mengikutinya dari belakang.

Dalam sekejap, Kania sudah menghilang dari

pandangan Darmakusumah. Arsih yang melihat

Darmakusumah sedang mencari-cari Kania, segera

menghampiri.

"Cari siapa, Kak Darma?"

Darmakusumah tersentak.

"Hai, Ar. Cari teman."

"Teman wanita, ya?"63

Darmakusumah tersenyum.

"Nggak usah jauh-jauh, kalau mau cari teman

buat makan, saya juga nggak keberatan," kata Arsih

agak berkelakar.

"Arsih lapar, ya?"

"Begitulah kira-kira," Arsih masih bercanda.

"Aduh, sori saja, ya Ar? Saya lagi boke."

"Nggak serius koq. Saya cuma main-main saja

Kak Dar."

Dari jauh tampak seorang mahasiswa sedang

berjalan ke luar kampus. Arsih melihatnya.

"Saya jalan duluan, ya Kak Dar?"

Darmakusumah menganggukkan kepala.

"Daaaggggg!!!" kata Arsih sambil berlari

menyusul mahasiswa yang sedang berjalan itu.

Darmakusumah tercenung sendirian. Lalu

melangkah pergi.

* * *64

TERNYATA Darmakusumah tidak bohong.

Malam harinya, benar-benar datang mengunjungi

rumah Kania. Tentu saja Kania agak kaget dan kikuk,

soalnya ia tidak menduga kalau Darmakusumah akan

datang secepat itu. Kania berusaha menerimanya

dengan senang hati.

Keduanya duduk berhadapan, di ruang depan.

"Ini bukunya," kata Darmakusumah sambil

memberikan buku yang berjudul JENTERA LEPAS,

terbitan Cypress.

"Terima kasih," kata Kania pelan. "Tunggu

sebentar. Saya simpan dulu buku ini, sambil

mengambil minuman."

"Wah, nggak usah merepotkan."

Kania tak memperdulikan, langsung masuk ke

dalam. Tak lama kemudian kembali lagi. dengan

membawa minuman.

"Orangtuamu, mana?"

"Ayahku sedang di toko."

"Ibumu?"

Kania terdiam sejenak.65

"Ibuku sudah meninggal," jawab Kania pelan.

Darmakusumah menatap Kania, agak kaget.

"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaanmu."

"Tidak. Tidak apa-apa."

Keduanya terdiam sejenak.

"Diminum airnya, Kak Dar."

"O, ya. Terima kasih,"

Darmakusumah mengambil minuman itu, lalu

mereguknya.

"Kalau Nia mau, kapan-kapan saya mau

mengajak Nia jalan-jalan, atau nonton film."

"Terimakasih. Saya banyak kesibukan."

"Jangan terlalu sibuk. Sisakan waktu sedikit,

untuk hiburan. Pokoknya, kalau suatu waktu Nia saya

ajak nonton film atau jalan-jalan, Nia mau nggak?"

Kania tercenung.

"Yah, bagaimana nanti saja."

"Tapi... mmmm... tidak ada yang marah, kan?"

"Marah kenapa?"66

"Kalau kau kuajak nonton, tidak ada yang

marah?"

Kania tersenyum. Tidak menjawab.

Pintu ada yang mengetuk. Kania bangkit,

membukanya. Ayah Kania baru pulang, dengan wajah

berseri. Tapi ketika melihat Darmakusumah, agak

kaget.

"Kenalkan, Bapa. Ini teman kuliah saya," kata

Kania.

Pak Ruslan tersenyum, Darmakusumah bangkit

mengulurkan tangan. Keduanya berjabatan tangan.

"Silakan ngobroi, Nak. Bapa mau ke belakang

dulu," kata Pak Ruslan sambil terus berjalan ke

dalam."

"Ayahmu masih kelihatan awet muda," kata

Darmakusumah.

"Soalnya, sejak dulu, Ayah rajin olahraga.

Sekarang juga masih senang jalan kaki, atau lari pagi."

"Nia..."

Kania menatap Darmakusumah.67

"Mmm... kenapa setiap aku menawarkan untuk

mengantarkanmu pulang, selalu kau tolak?"

Kania menggelengkan kepala.

"Saya tidak ingin menyusahkan orang lain. Lagi

pula, saya banyak kesibukan."

"Aku mau mengantarkanmu ke mana saja, asal

kau menghendakinya. Ke ujung dunia sekalipun aku

mau."

Kania tersenyum.

"Naik Vespa?" tanya Kania bercanda.

"Kalau perlu, kita menyeberang lautan dengan

Vespa."

Keduanya tertawa.

"Coba kalau kau mau kuantarkan pulang, paling

sedikit aku punya pekerjaan yang menyenangkan."

"Menyenangkan bagaimana?"

"Semua orang pasti akan memperhatikan aku,

karena aku berhasil menjadi sopir pribadi mahasiswi

yang jadi sasaran perhatian para mahasiswa."

"Ngaco."68

"Kau mau, kan?"

"Saya bilang, tidak usah merepotkan. Kalau

pulang sendiri, saya sendiri akan merasa lebih bebas."

Darmakusumah menghela nafas.

Jam berdentang sembilan kali.

"Wah, nggak terasa sudah jam sembilan. Aku

pulang dulu. Maaf, ya? Selama dua jam aku

mengganggumu."

"Bukan dua jam. Dua jam lebih lima menit," sa
nut Kania.

Darmakusumah tersenyum.

Setelah pamitan kepada ayah Kania,

Darmakusumah pulang meninggalkan Kania yang

mengantarnya sampai Darmakusumah hilang dari

pandangan.

* * *

TENGAH malam. Pak Ruslan gelisah. Di luar,

sepi. Hanya sekali-sekali terdengar lolong anjing.

Ingatannya selalu terpaut kepada Sulastri. Tadi siang,69

wanita itu belanja lagi. Mengobrol lama. Bahkan,

seperti dua orang yang mencari perlindungan, masing
masing mengisahkan kehidupan rumah tangganya.

Salahkah aku jika tertarik padanya? Bisik hati

Pak Ruslan. Salahkah, jika orang setua aku, tertarik

kepada seorang wanita? Salahkah, jika aku masih

mendambakan seorang isteri?

Terbayang lagi, kehidupan Sulastri dengan

menanggung empat orang anak. Tiba-tiba ada rasa

kecut dalam hati Pak Ruslan. Mampukah aku

menanggung bebannya? Dengan pekerjaan

berdagang kue, apakah aku akan sanggup mengatasi

tanggungan yang kian banyak?

Tiba-tiba timbul rasa optimisnya. Mengapa

tidak? Siapa tahu, dia bisa membantu usahaku lebih

berkembang. Siapa tahu, anak-anaknya bisa

membantu meringankan kerjaku. Siapa tahu, mereka

akan memberi banyak gagasan, untuk kemajuan

usahaku.

Tapi, kalau seandainya aku menikah dengan

Sulastri, apakah akan disetujui Ridwan dan Kania?

Apakah Kania tidak akan merasa tersisihkan?

Kian sepi malam. Kian terasing. Kian terasa

kesepian. Kian terasa kehilangan.70

Kegelisahan tak juga sirna.

* * *71

BAGIAN KETIGA

MALAM ini, Sulastri seakan merasa terbebas

dari himpitan tugas yang selalu menekan

perasaannya. Ia tak punya janji dengan tamu mana

pun. Dan memang, ia menolak ajakan seorang tamu.

Entah kenapa, ia ingin merasakan malam malam yang

bisa membebaskan perasaannya. Ia begitu berharap,

malam-malam yang dilaluinya, adalah malam-malam

yang menten-teramkan. Tapi kapankah ketenteraman

itu akan datang, sementara ia istirahat sejenak, lantas

kebutuhan datang lagi mendesak?

Seperti kebanyakan wanita lain, ia ingin hidup

dengan seorang pelindung. Waktu menikah, ia ingin

pernikahan itu yang pertama dan yang terakhir. Ia

ingin sekali berumah tangga terus sampai tua renta,

dan hanya dipisahkan oleh maut.

Tapi nasib, ternyata menentukan lain.

Siapa mengharap, kalau ia mesti mengerjakan

pekerjaan terkutuk seperti sekarang ini? Tak pernah

terbayangkan sama sekali, bahwa ia harus berkorban

seperti sekarang, demi masa depan anak-anaknya.72

Tuhan, salahkah aku? Bisik hati Sulastri. Dalam

sendiri, kadangkala ia suka menimbang-nimbang dosa.

Mengukur kesalahan. Menyesali, tapi juga mau

menerima. Ia pasrah.

Berikan aku seorang pelindung, yang bisa

membebaskan pekerjaanku, ya Allah! Hati Sulastri

menjerit.

Dan dalam benaknya, tergambar wajah Pak

Ruslan. Tapi bisakah dia menerima kehadiranku,

dengan keadaanku seperti sekarang ini? Bisakah dia

menerimaku, seandainya ia tahu pekerjaanku selama

ini? Bisakah ia mengerti perasaanku, lalu akrab

dengan anak-anakku? Bisakah ia jadi pelindungku,

seperti suamiku dulu?

Sulastri menggigit bibir.

Jam berdentang sembilan kali.

Herman sudah tidur, mungkin karena lelah

setelah olahraga. Aning masih menghafal di kamar

belakang. Sulastri tetap duduk di ruang depan,

menunggu seseorang.

Dan kini, orang itu kian mencemaskan

perasaannya. Arsih, dari pagi, belum juga pulang.73

Merlita datang menghampiri, memakai pakaian

kimono. Oleh-oleh dari langganan ibunya.

"Katanya Mami kurang enak badan. koq tidak.

tidur?" tanya Merlita sambil duduk di samping

Sulastri.

"Aneh, Arsih dari pagi, belum juga pulang."

"Barangkali dia banyak kesibukan, Mam."

"Dia terlalu sering pulang telat. Dan dia, selalu

tak mau menerima nasihat Mami. Itulah yang

mencemaskan Mami."

"Tapi di sekolahnya, banyak teman-temannya

bilang, Arsih termasuk mahasiswi yang pandai."

"Kepandaian saja, tidak menjamin ketenteram
an hati Mami. Mami takut, dia terbawa pergaulan

yang salah. Mami tidak ingin, kalian seperti Mami

sekarang," suara Sulastri tersendat.

Merlita merunduk. Terharu.

Terdengar mobil di halaman. Terdengar suara

seorang wanita. Terdengar deru mobil menjauh.

Terdengar langkah-langkah mendekat pintu.

"Arsih datang," kata Merlita sambil bangkit

hendak membukakan pintu depan.74

Pintu ada yang mengetuk. Merlita langsung

membukanya.

"Dari mana, Ar?" tanya Sulastri.

"Dari rumah teman. Soalnya kuliah pagi dan

sore, saya diam di rumah teman. Pulang kuliah ada

yang mengajak nonton."

"Teman?? dia lelaki atau wanita?"

"Wanita. Tapi yang ngajak nontonnya laki,"

sahut Arsih tenang-tenang saja.

Merlita diam saja memperhatikan tingkah

adiknya.

"Mami harap, kau jangan sampai pulang malam.

Mami takut nanti... nanti kau... sakit."

Arsih memandang Sulastri, agak dingin.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya sudah besar. Mami tak usah mencemas
kan saya. Apa yang terjadi pada saya, saya yang akan

menanggungnya, bukan Mami."

"Ar! Kamu jangan bicara lancang begitu

terhadap Mami," kata Merlita.

Arsih berbalik menatap kakaknya.75

"Apanya yang lancang? Saya telah berterus

terang kepada Mami. Saya telah berkata sejujurnya."

"Tapi, sebagai seorang anak, kau harus mem
perhatikan nasihat orangtuamu, nasihat Ibumu."

"Saya tak ingin orang hanya bisa menasihati

orang lain, tapi tidak bisa menasihati dirinya sendiri,"

seru Arsih.

Sulastri tersentak. Lagi-lagi, terasa sindiran

Arsih itu menghunjam perasaannya. Mata Sulastri

berkaca-kaca.

"Kamu tak tahu berterima kasih! Kamu selalu

menyakiti hati Mami!" sahut Merlita mulai emosi.

"Apakah Kak Lita sudah merasa menjadi orang

baik? Apakah Kak Lita anggap, dengan menurut saja

nasihat Mami, tanpa berusaha memperbaiki

pekerjaan Mami, Kak Lita merasa sudah jadi orang

yang tahu berterima kasih?"

Merlita kontan terdiam.

"Saya heran, kenapa semua menyangsikan

saya. Kenapa semua mencurigai saya? Kenapa tidak

memikirkan Mami?"76

Lalu, Arsih bergegas menuju ke kamarnya.

Merlita masih berdiri terpaku. Sulastri segera

memburu Arsih, masuk ke dalam kamar.

Arsih duduk di tepi ranjang. Tasnya masih

tergantung di bahu kiri. Sulastri berdiri di hadapan

Arsih.

"Ar... kau marah kepada Mami?"

Arsih diam.

"Kau tidak suka dinasihati Mami?"

Arsih diam.

"Mami sayang padamu. Karena itu, Mami selalu

memperhatikanmu. Mami percaya, kau bisa menjaga

diri. Mami yakin, kau jujur dan berterus terang. Tapi,

salahkah jika Mami, Ibumu, mencemaskanmu?"

Arsih masih diam. Kepalanya menunduk.

Sulastri kian mendekat.

"Mami tak tahu, apa yang berkecamuk dalam

hatimu. Mami tak tahu, bagaimana perasaanmu

terhadap Mami. Tapi, kau seringkali menyinggung

pekerjaan Mami. Mami mengerti, di antara semua

anak Mami, kaulah yang paling perasa. Bukankah jauh

sebelumnya, Mami pernah berterus terang kepada77

kau, bahwa Mami terpaksa. Mami tidak bisa berbuat

lebih banyak untuk memajukan kau dan saudara
saudaramu. Maafkan, kalau sampai saat ini Mami

belum juga mampu menyenangkan perasaanmu."

Kepala Arsih kian merunduk.

Tangan Sulastri membelai rambut Arsih. Dan

Arsih merasakan sesuatu yang tak pernah ia rasakan

selama ini. Dalam diam, Arsih menjadi luluh.

Tapi tetap membisu. Tetap merunduk.

Dan Sulastri membiarkan Arsih dalam keadaan

begitu. Berjalan pelan, agak lunglai, meninggalkan

kamar Arsih. Di pintu kamar, berhenti sejenak.

Memandang kembali kepada Arsih.

"Ar! Jangan lupa, sebelum tidur makan dulu."

Kepala Arsih mengangguk pelan. Sulastri

menghela nafas lega. Anggukan itu, seakan isyarat dari

jawaban diam puterinya.

* * *78

DI DALAM Cafetaria, Kania sedang menikmati

minuman jeruk bersama empat orang temannya. Dua

mahasiswa dan dua mahasiswi. Mereka asyik

berbincang-bincang.

"Kamu setuju nggak dengan hukuman mati bagi

seorang penjahat?" tanya Irwan.

"Ya, tergantung jenis penjahatnya, dong," sahut

Liliana.

"Misalnya, kalau si penjahat itu dalam aksinya

selalu saja membunuh korban."

"Kalau begitu sih, aku setuju. Hukuman mati

bagi dia, setimpal dengan perbuatannya."

"Tapi ditinjau dari rasa perikemanusiaan, aku

tidak setuju. Sejahat-jahatnya penjahat, pasti dalam

membunuh itu ia punya motif yang tidak disengaja,"

sahut Heru.

Kania tidak memberikan reaksi. Ia nampaknya

lebih asyik mendengarkan debat antara sesama

temannya.

"Rasa perikemanusiaan itu ada batasnya.

Mungkin sebagai orang yang tidak mengalami disakiti

penjahat, kau akan lebih berperikemanusiaan. Tapi

bagaimana korban yang mengalaminya sendiri?79

Bagaimana perasaan korban, pedihnya korban, yang

kehilangan segalanya karena perbuatan penjahat?"

kata Liliana.

"Lho, kita kan negara hukum. Segala sesuatu,

jangan berdasarkan pendapat yang mengandalkan

rasa. Tapi kita harus berpikiran luas, menganalisa apa

motif pembunuhan itu?" kata Irwan.

"Justru ini kan bicara tentang hukum. Kau bilang

tadi, kalau pengadilan menjatuhkan hukuman mati

terhadap seorang penjahat yang dalam aksinya selalu

membunuh korban, setuju nggak? Nah, seandainya

penjahat itu memang tidak mengenal peri
kemanusiaan lagi dan membahayakan umum, bahkan

mengancam jiwa seseorang, aku setuju dengan

pendapat Uli. Ya hukum mati, memang cocok buat

dia," sahut Indri.

Irwan menatap Kania.

"Eh, Nia koq diam saja. Mari kita dengar dengan

seksama, bagaimana pendapat Kania?"

Kania tersenyum. Semua perhatian tertuju

kepada Kania.80

"Tunggu. Saya minum dulu es jeruknya," kata

Kania sambil mengambil gelas es jeruk, lantas

mereguknya.

Teman-teman Kania tertawa.

"Kayak dosen aja!" kata Liliana.

"Begini. Yang penting, seorang hamba hukum,

harus konsekwen, dan teguh dengan prinsipnya dalam

menegakkan keadilan dan kebenaran. Ia mesti

mengambil resiko. Bahkan kalau perlu, dalam

menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan

hukum yang Berlaku itu, ia tidak punya perasaan takut

dicopot dari jabatannya."

Keempat teman Kania terpaku sejenak.

"Ck ck ck, kau berani juga," kata Heru.

"Eh, urusan penjahat yang dihukum mati itu

tadi, bagaimana?" tanya Irwan.

"Pokoknya menegakkan keadilan dan

kebenaran lewat saluran hukum, jauh berbeda dengan

merasa adil dan benar menurut perasaan," sahut

Kania tenang.

Semua terdiam.81

"Okey, debat kita usai hingga di sini Penegak

hukum kita yang menang," kata Heru.

"Jadi yang traktir siapa?" tanya Liliana.

"Dia, dong. Dia yang pertama kali mengajukan

masalah, tapi tidak berkutik," sahut Indri sambil

menuding kepada Irwan.

Irwan tersenyum, sambil berjalan menghampiri

kas. Kania dan teman-temannya lebih dulu ke luar

cafetaria.

Kania melihat Darmakusumah berjalan dari

ruang perpustakaan.

"Aku pergi dulu, ada perlu," kata Kania.

"Ke mana?"

"Mau mengembalikan buku ke perpustakaan!"

Kania bergegas menghampiri Darmakusumah. Setelah

berdekatan, Kania memanggilnya.

"Kak Darma!"

Darmakusumah tersentak, segera menoleh.

"Hai!" sapa Darmakusumah.

"Saya mau mengembalikan buku Kak Darma,"

kata Kania sambil menyodorkan novel.82

"Memangnya sudah selesai?"

"Sudah. Terima kasih."

"Bagus, nggak?"

"Lumayan."

"Tadinya, aku sendiri akan bermain ke

rumahmu. Sekalian mengantarkan novel baru."

"Wah, nggak usah merepotkan."

"Kau ini, bawaannya koq merepotkan melulu.

Kan sudah kubilang, aku ini ikhlas."

Kania tersenyum.

"Mau pinjam lagi nggak?"

"Yaaa, boleh saja."

"Nanti diantar ke rumah, ya?"

"Nggak usah. Besok saja di kampus."

"Jadi kau tidak mengijinkan aku untuk..."

"Bukan. Bukan begitu."

"Kalau begitu, kapan-kapan aku antar ke

rumahmu."

Kania jadi serba salah. Ia terdiam.83

"Tidak keberatan, kan?"

Karena tersudut, akhirnya Kania mengangguk
kan kepala.

"Nah, begitu dong. Eehh. Nanti kau pulang

dengan siapa?"

"Sendiri."

"Kalau begitu, nanti kuantar pulang."

"Nggak usah. Saya ada perlu."

"Tidak apa. Keperluanmu saya antar."
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan. Pokoknya, jangan," kata Kania sambil

berlari meninggalkan Darmakusumah.

Darmakusumah tertegun.

* * *

HARI MINGGU, seperti biasa, Kania menemani

Pak Ruslan di toko kue-nya. Yang belanja cukup

banyak, bahkan siang hari sampai antri. Kania dan Pak

Ruslan, meladeninya dengan ramah.84

Sore hari, tatkala pembeli mulai berkurang,

Sulastri datang bersama Aning.

"Mau borong?" tanya Pak Ruslan.

"Iya, Kang. Habis anak-anak di rumah ketagihan.

Kalau saya ke luar, mesti titip dibelikan kue."

Kania agak tersentak, ketika Sulastri menyebut

Pak Ruslan dengan panggilan "Kang", la yakin,

terhadap pembeli kue yang satu ini, ayahnya cukup

akrab.

"Eh, ini siapa? Puteri Akang itu, ya?" kata

Sulastri sambil memandang Kania.

"Iya. Nia, kenalan dulu. Ini... langganan Bapa!"

Mendengar kata "langganan" itu, Aning melirik

kepada Sulastri, tapi Sulastri tak perduli, sebab

perhatiannya tertuju kepada Kania. Sulastri

tersenyum, Kania juga membalasnya dengan

senyuman. Keduanya berjabatan tangan.

"Sekalian, ini kenalkan puteri Tante. Ning, ayo

kenalan dulu sama Kakak dan Oom." kata Sulastri.

Aning menghampiri Kania, lalu berjabatan

tangan. Setelah itu, berjabatan tangan lagi dengan Pak

Ruslan.85

"Puteri Akang cantik, lho. Kayak itu tuh...

nmmhh... Lady Diana!"

Kania senyum tersipu.

Ia meneliti dandanan dan wajah Sulastri. Ada

yang kurang srek dalam bathinnya. Kania seakan

merasakan penampilan seorang wanita yang dibikin
bikin.

"Sekolahnya di mana?"

"Dia kuliah, di fakultas hukum," Pak Ruslan

menjawabnya dengan bangga.

"Oooo... kuliah di fakultas hukum, tokh? Kalau

begitu, satu kelas dong dengan puteri kedua Tante."

"Siapa?" tanya Kania penasaran.

"Arsih."

Kania agak tersentak. Arsih? Pantas. Wajahnya

mirip. Apakah kelakuannya juga mirip? Arsih di

kampus dikenal sebagai gadis yang suka ganti-ganti

pacar.

"Kenal, nggak?" tanya Sulastri.

"Iya. Iya. Kenal, Tante. Dia satu angkatan

dengan saya. Dia pinter."86

Sementara itu, Pak Ruslan sibuk meladeni

seorang lelaki yang membeli kue.

"Teman-temannya juga sering mengatakan,

Arsih itu pinter. Tapi Tante sih tetap cemas. Takut

pergaulannya salah kaprah. Apalagi anak perempuan.

Bagaimana Arsih di kampus? Badung nggak?"

Kania agak kikuk menghadapi pertanyaan itu. Ia

merasa tersudut. Mau berterus terang, takut salah.

Akhirnya, Kania mengambil jalan tengah.

"Wah, kalau itu saya kurang tahu. Habis saya

jarang jalan sama dia."

Sulastri manggut-manggut.

Setelah kue pesanan Sulastri dibungkus,

kemudian Sulastri pamitan.

"Sering-sering saja belanja ke mari," kata Pak

Ruslan.

"Tentu," sahut Sulastri sambil senyum.

Kania terus memperhatikan Sulastri. Sampai

Sulastri naik VW kodok, dan menjalankan mobil yang

dikemudikannya sendiri. Lalu, Kania melirik kepada

ayahnya.

"Wah, Bapa akrab bener dengan Tante itu."87

"Habis langganaannn," sahut Pak Ruslan

berkelakar, meniru gaya suara S. Bagyo dalam sebuah

iklan bumbu masak.

Kania cuma tersenyum.

* * *

DI RUANG kuliah, dosen sedang menerangkan

tentang hukum adat. Sambil mencatat, sebentar
sebentar perhatian Kania tertuju kepada Arsih. Aneh,

sejak pertemuannya dengan ibu Arsih, Kania seperti

penasaran ingin tahu sampai di mana kelakuan Arsih

yang jadi buah bibir teman-temannya.

Rampung kuliah, Kania tidak segera ke luar

ruangan. Ia tetap duduk dengan Liliana, teman

sebangkunya.

"Nggak ke cafetaria?" tanya Liliana.

"Nanti siang aja."

Kania menatap Liliana.

"Li... aku ingin tanya. Apa bener nggak sih, Arsih

itu suka ganti-ganti pacar?"88

"Masa nggak percaya? Dia sih, termasuk jenis

wanita yang matanya ijo jika melihat duit."

"Ngaco! Jangan terlalu menjelekkan.dia, ah.

Siapa tahu sesungguhnya nggak begitu. Buktinya, dia

termasuk mahasiswi pandai. Sering dipuji dosen."

"Otak memang encer, tapi kelakuan bisa bikin

pusing orangtua!"

"Justru kemarin aku jumpa ibunya Arsih. Dia

juga tanya-tanya tentang Arsih. Aku bilang saja, di

kampus Arsih itu termasuk mahasiswi paling pinter!"

"Kau jumpa ibunya?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Kau tahu nggak, ibunya Arsih itu siapa?"

Kania menggelengkan kepala.

"Ibunya Arsih itu... perempuan panggilan."

"Maksudmu?"

"Aduh. Ini mahasiswi fakultas hukum koq nggak

ngerti istilah panggilan. Ibunya Arsih itu wanita P, tapi

termasuk setengah highclass deh."

Kania tersentak. Terbayang lagi wajah dan

dandanan ibu Arsih. Pantas. Bisik hati Kania. Tapi89

kenapa bapa begitu akrab dengan dia? Kenapa bapa

begitu baik terhadap dia?

Sampai dosen lain masuk ke ruang kuliah,

pikiran Kania masih lekat dengan ibu Arsih.

* * *

DARMAKUSUMAH ternyata bukan jenis lelaki

yang putus asa menghadapi seorang wanita yang

ditaksirnya. Meski sikap Kania kadang-kadang terasa

seperti acuh tak acuh, tapi ia bersabar dan bersabar

untuk menundukkannya, melunakkan hatinya.

Sudah empat kali, Darmakusumah berkunjung

ke rumah Kania, sambil meminjamkan novel. Dan

malam ini, untuk kelima kalinya Darmakusumah

datang, lagi-lagi membawa novel. Kania, seperti biasa

menerimanya dengan wajar.

"Nia... malam ini, benar-benar aku ingin

mengajakmu nonton. Filmnya bagus, Kramer Vs

Kramer."

Rasanya, Kania sudah terlalu sering mendengar

ajakan Darmakusumah, tapi selalu ditolaknya dengan90

halus. Tapi kali ini, entah mengapa, tiba-tiba saja ia

merasa kasihan.

"Nia, mau, kan? Percayalah, aku tidak

bermaksud jelek. Aku ingin sekali nonton berdua

denganmu."

Kania terdiam. Dalam hati, ia sudah menyetujui.

Tapi berat rasanya untuk segera meng
anggukkan kepala. Seperti ada keraguan, dan

ketakutan akan masa depannya.

"Kalau kau takut Ayahmu, biar aku yang bilang,"

kata Darmakusumah.

"Tidak usah. Bapa saya tidak apa-apa."

"Jadi, kau tidak keberatan?"

"Tapi, pulangnya jangan terlalu malam."

Wajah Darmakusumah berseri-seri.

"Tidak. Tentu saja tidak akan terlalu malam. Kita

nonton yang jam setengah delapan, dan pulang jam

sembilan."

"Tunggu sebentar. Saya berganti pakaian dulu,

juga bilang dulu kepada Bapa."91

Kania bangkit, masuk ke dalam. Tak lama

kemudian, muncul lagi dengan dandanan yang

sederhana, diikuti Pak Ruslan. Darmakusumah,

melihat Kania kian jelita saja.

"Pa, permisi. Saya mau nonton dengan Nia."

Pak Ruslan menganggukkan kepala sambil

tersenyum.

"Pulangnya jangan terlalu malam, ya?"

"Baik, Pa," sahut Darmakusumah.

Keduanya nonton, naik kendaraan Vespa. Angin

dingin, yang menembus pori-pori, terasa

menyejukkan. Hati Darmakusumah degdeg-plas,

tatkala tangan kanan Kania memegang pinggangnya,

seperti ragu-ragu.

Darmakusumah pura-pura me-rem dengan

mendadak, tentu saja tangan Kania begitu erat

memegang pinggangnya, bahkan wajah Kania beradu

dengan punggungnya.

"Maaf, Nia. Aku kaget," kata Darmakusumah.

Kania cuma menghela nafas, dengan hati

berdebar.92

Film Kramer Vs Kramer, sangat menarik bagi

Kania. Sungguh menyentuh perasaan. Bahkan Kania,

begitu terpesona akan permainan Dustin Hoffman.

Padahal ceritanya sederhana sekali. Tentang suami

isteri yang berpisah, lantas berebut anak satu-satunya.

Pulang nonton, jalanan sudah agak sepi. Vespa

berjalan agak lamban. Darmakusumah ingin, agar
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kania memegang pinggangnya erat-erat. Tapi Kania

masih tetap ragu-ragu. Yang dipegang, cuma Ujung

baju Darmakusumah.

"Nia seneng cerita film tadi?"

"Seneng sekali."

"Nia mau memihak yang mana? Joanna Kramer

atau Ted Kramer?"

"Saya tidak mau berpihak. Saya kasihan pada si

Billy, dan saya senang karena keduanya rukun

kembali."

"Makanya, dalam berumah tangga itu, penting

sekali adanya saling pengertian."

Kania tidak membantah. Ia diam saja.

Tidak terasa, Vespa sudah tiba di depan rumah93

Kania. Kania segera turun. Darmakusuinah juga

turun. Suasana di depan rumah, sepi. Timbul

keinginan Darmakusumah untuk memeluk Kania. Tapi

kemudian urung. Darmakusumah was-was, takut

Kania marah. Takut Kania menjauhinya. Karena itu, ia

biarkan saja Kania langsung mengetuk pintu. Hingga

ketika pintu dibuka oleh ayah Kania, Darmakusumah

cuma sempat bilang.

"Permisi, Oom."

Lantas berlalu, diiringi tatapan Kania. Tatapan

yang juga seperti memendam rasa penasaran.

* * *

LAMA kelamaan, Arsih tahu kalau

Darmakusumah tertarik kepada Kania. Ia agak

cemburu. Merasa tersisihkan. Merasa kesal, karena

Darmakusumah sama sekali seperti tidak menaruh

perhatian terhadapnya. Dan satu-satunya jalan buat

melontarkan kekesalan kepada Darmakusumah, Arsih

mencoba mempengaruhi Kania.

"Nia! Jangan mau sama kak Darma! Dia itu

culas! Brengsek! Playboy cap kampret!"94

Tentu saja Kania yang belum berpengalaman

dalam soal pacaran, menjadi heran.

"Dia juga naksir padaku. Tapi tak kuacuhkan.

Biar dia nyaho. Tidak semua wanita bisa digaet dengan

rayuan gombalnya."

Kania memang tak berkutik. Ia biarkan saja,

Arsih berceloteh panjang lebar tentang

Darmakusumah.

"Kalau mendekati sasarannya, dia itu berlagak

alim. Sopan. Hati-hati. Seperti belum berpengalaman.

Suka pmjemin novel. Wah, pokoknya merayu dengan

cara klasik."

Kania mengernyitkan alis. Merasa apa yang

dikatakan Arsih dialami juga oleh dia. Tapi aneh, Kania

tidak merasakan bahwa sikap Darmakusumah itu

sebagai sikap yang dibuat-buat.

"Kau sudah pacaran dengan kak Darma?"

Kania menggelengkan kepala.

'Tapi Kak Darma naksir kau, kan?"

"Mana saya tahu."

"Jangan bohong. Masa kau tak tahu, sedang Kak

Darma terus menerus mendekatimu."95

Kania menghela nafas. Ia mulai kurang senang,

karena Arsih ikut campur urusan pribadinya.

"Pokoknya, aku cuma mau kasih tahu kau.

Jangan sampai kau terjerat rayuan gombalnya."

"Terima kasih, Ar. Pasti aku akan lebih hati
hati," jawab Kania tenang.

Arsih menatap Kania, seakan begitu senang

dengan jawab Kania itu. Ia merasa, pengaruhnya telah

berhasil meresap dalam hati Kania.

"Ingat, Nia. Kalau cari pasangan, jangan memilih

lelaki yang menghambur dengan rayuan gombalnya,"

kata Arsih sambil berjalan meninggalkan Kania.

Kania cuma menganggukkan kepala sambil senyum.

Setelah Asih menjauh, Kania tercenung. Ia

merasa tak yakin, akan celotehan Arsih tentang

Darmakusumah. Rasanya, Darmakusumah tidak

banyak obral merayu.

Mungkinkah karena Arsih merasa jengkel tak

diperhatikan Kak Darma? Bisik hati Kania. Atau

memang Arsih menolak cinta Kak Darma, lalu Kak

Darma berusaha mendekatiku?96

"Wah, siang hari koq melamun, Non,"

seseorang menyapa dari belakang.

Tentu saja Kania kaget. Ia segera menoleh.

Tampak Darmakusumah memandang sambil

tersenyum. Mungkinkah dalam wajah seteduh itu,

tersembunyi niat jelek? Bisik hati Kania.

"Koq Kak Darma tahu saja saya di sini."

"Kalau banyak waktu luang, aku selalu

mencarimu," sahut Darmakusumah.

Kania tersenyum. Ia seperti lupa akan ocehan Arsih.

"Kau lagi bebas?"

Kania menganggukkan kepala.

"Kita minum-minum di cafetaria, yu!" ajak

Darmakusumah.

Kania menggelengkan kepala.

"Silakan saja. Saya masih kenyang."

"Aku ingin kau temani. Kau mesti mau, dong.

Biar hatiku tenteram," kata Darmakusumah, nada

bicaranya agak bercanda.

Benar juga, kadangkala rayuan gombalnya ke

luar. Yang penting aku mesti hati-hati! Bisik hati Kania.97

"Ayo, doongng."

Akhirnya, Kania tak bisa menolak. Ia ikuti ajakan

Darmakusumah, menuju cafetaria.

Begitu duduk di kursi, seorang wanita yang

duduk di sudut bersama teman mahasiswanya,

nampak kaget. Wanita itu adalah Arsih. Wajah Arsih

nampak jengkel, tangannya mengusap wajah.

Kania tak melihat Arsih. Tenang-tenang saja ia

duduk berhadapan dengan Darmakusumah.

"Pesan es soda susu, ya?" kata Darmakusumah.

Kania menganggukkan kepala.

Perhatian Arsih terus tertuju kepada Kania dan

Darmakusumah yang nampak intim. Arsih mematikan

rokok ke asbak. Teman mahasiswanya melirik

keheranan. Berkali-kali Arsih menghela nafas, sambil

makan kue kering sebesar kelingking.

Ketika Arsih melihat Kania dan Darmakusumah

tersenyum riang, Asih kian jengkel. Ia tak sadar,

tangannya mengambil rokok yang sudah dimatikan.

Rokok itu dikiranya kue yang tengah ia makan,

langsung saja disuapkan. Tiba-tiba Arsih nyengir,

sementara teman mahasiswanya melongo keheranan.98

"Gila kau, Ar!" seru temannya.

"Phuih'" Arsih meludah dan batuk-batuk.

Darmakusumah dan Kania yang tengah

bercanda, justru tertawa riang.

* * *99

BAGIAN KEEMPAT

SERING bertemu, sering berbincang-bincang,

sering tukar pengalaman, kadangkala suka

menyebabkan hubungan kian dekat, kian akrab,

bahkan tambah intim. Timbul rasa saling

membutuhkan. Timbul rasa saling ingin memiliki.

Timbul rasa saling merindukan. Timbul benih-benih

kasih.

Dan perasaan begitu, barangkali tidak terbatas

apakah usianya masih remaja atau sudah lanjut usia.

Lama kelamaan, Pak Ruslan dan Sulastri, justru

mengalami perasaan semacam itu. Keduanya seperti

sudah terpadu dalam satu angan-angan. Keduanya

seperti terjerat dalam satu keyakinan.

"Tapi bagaimana dengan anak-anak Akang,"

tanya Sulastri, suatu ketika.

"Kuharap, mereka mau mengerti. Mereka tokh

sudah dewasa, sudah tahu maksud baikku. Dan anak
anakmu, bagaimana?"

"Mereka juga sudah besar-besar. Kupikir tidak

akan ada kesulitan. Apalagi anak sulungku, sebentar

lagi akan dilamar kekasihnya."100

Meski begitu, jauh dalam hati keduanya,

sesungguhnya sama-sama kecut. Sama-sama was
was. Sama-sama ngeri kalau menemui rintangan.

Sama-sama takut kalau reaksi anak-anaknya, ternyata

tak seindah yang dibayangkan.

Pak Ruslan memikirkan Kania dan Ridwan.

Bagaimana kalau kedua anaknya itu tidak merestui

keinginannya? Bagaimana kalau Kania tidak mau

punya ibu tiri? Bagaimana kalau Ridwan tak

mengacuhkannya, dan tidak mau membantu

usahanya lagi? Bagaimana kalau ia diasingkan?

Bahkan tidak mustahil, Kania dan Ridwan akan

mencemoohkan. Mengapa bapa begitu mudah

melupakan ibu? Mengapa bapa mau menikah lagi

dengan janda beranak empat? Apakah itu tidak akan

menambah beban bapa sendiri?

Pak Ruslan seringkali gelisah. Rasanya, ia tidak

punya keberanian yang utuh untuk mengutarakan

niatnya kepada Kania dan Ridwan.

Sedang Sulastri, memikirkan Arsih. Ia yakin

Merlita, Aning, dan Herman, tidak akan menentang

hasratnya. Bahkan tidak mustahil, akan menyambut
nya dengan senang hati. Tapi bagaimana reaksi Arsih?

Bagaimana kalau Arsih mencaci-maki? Bagaimana101

kalau Arsih tidak setuju, dan makin menjadi-jadi

sikapnya?

Dan yang paling merisaukan Sulastri, adalah

mengenai pekerjaannya. Sampai sekarang, ia tak

berani berterus terang tentang pekerjaannya kepada

Pak Ruslan. Ia selalu ingat, betapa jarang lelaki yang

mau meraih seorang pelacur menjadi isterinya.

Seorang pelacur, seakan sudah ditakdirkan buat

dijadikan barang mainan.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau ingat, betapa sulitnya ia mesti

menentukan sikap, Sulastri kadangkala pasrah. Apa

yang mau terjadi, terjadilah. Kepada Arsih, ia sungguh

tak berani berbuat apa-apa. Bahkan ia masih ingat,

suatu malam Arsih bertengkar gencar dengan Merlita.

Waktu itu Arsih pulang lewat jam sepuluh malam.

Yang membukakan pintu adalah Merlita. Mungkin

Merlita jengkel, begitu Arsih masuk langsung

mendampratnya.

"Bandel amat sih. Kau sama sekali tak mau

menghargai nasihat Mami! Pulang malam terussss!!"

Didamprat begitu Arsih bukannya kecut, bahkan

balik melawan.

"Apa urusan Kak Lita ikut campur urusan ku?"102

"Aku kan Kakakmu! Apa tidak boleh kalau aku

menegurmu, demi kebaikanmu. Demi kebaikan

keluarga kita. Demi hormat kita kepada Ibu kita!"

"Jangan belagak orang alim. Aku tak butuh

nasihat dari orang yang perlu dinasihati"

"Arsih!" teriak Merlita jengkel.

Sulastri mendengar pertengkaran itu dengan

jelas dari kamarnya. Pelan-pelan Sulastri bangkit, la

tidak terus melerai, seakan ingin mengetahui sampai

di mana soal pertengkaran itu.

"Kau orang terpelajar! Mestinya tahu rasa ber
terimakasih. Mestinya kau tahu menghargai jerih

payah Ibu kita!"

"Tanpa Mami pun, aku bisa berdiri sendiri. Kak

Lita yang tak tahu diri. Kenapa Kak Lita, sebagai anak

tertua tidak punya inisiatif? Kenapa Kak Lita diam saja,

melihat Mami tiap malam berganti lelaki hanya untuk

menerima imbalan..."

"Arsih!" suara Merlita bergetar.

Sulastri terkejut. Bening menggenang di

kelopak matanya.103

"Kalau saja kau tahu... kalau saja kau mengerti...

kenapa Mami berbuat begitu. Kalau saja kau..." suara

Merlita tersendat-sendat.

"Kalau cuma bekerja seperti itu, aku juga bisa!"

"Tapi Mami tidak menghendaki kau, aku, dan

adik-adik kita, seperti Mami."

"Tapi apakah Kak Lita sendiri merasa enak,

merasa tenang, kalau makan, biaya sekolah, biaya ini
itu dari hasil pekerjaan yang seperti Mami lakukan!"

Merlita terdiam.

Air mata berderai membasahi pipi Sulastri. Ia

masih terpaku, belum berani beranjak menghampiri

kedua anaknya.

"Terlalu, Arsih. Kau terlalu. Kau sendiri... kau

sendiri tokh menerimanya, menerima jerih payah

Mami."

"Tapi Mami mestinya tidak bekerja begitu. Kak

Lita tidak pernah membayangkan, bagaimana

perasaan saya di hadapan teman-teman? Mereka

banyak yang sudah tahu, apa pekerjaan Mami?

Mereka menganggap aku seperti Mami! Lalu, buat apa

aku mempertahankan harga diri di hadapan mereka?104

Biar aku jadi orang baik, mereka tidak akan percaya!

Mereka pasti menganggapku..."

Mau rasanya Sulastri menjerit. Mau rasanya

Sulastri menancapkan pisau di ulu hatinya, biar tidak

lagi bisa mendengar apa yang diucapkan Arsih.

Namun Sulastri mencoba tetap tegar. Mencoba

menguasai perasaannya. Dengan wajah pucat, dan

jalan lunglai, ia menghampiri Arsih dan Merlita. Begitu

melihat Sulastri, Arsih langsung berlari masuk ke

dalam kamar. Sedangkan Merlita memburu Sulastri,

memeluknya.

"Mami!"

"Mami mendengarnya, Lita."

"Dia telah menyakiti perasaan Mami."

"Dia benar," Sulastri membelai rambut Merlita.

Di dalam kamar, Arsih duduk termangu. Di

kamar lain, Herman dan Aning, tidur nyenyak.

"Tapi Arsih keterlaluan."

"Biar. Kau tak usah memikirkan Mami. Mami

mengerti, mengapa dia bersikap begitu. Salah Mami,

kenapa Mami memilih pekerjaan yang dibenci

masyarakat."105

Sulastri memang mengalah. Ia tak mau

menyinggung perasaan Arsih. Ia datang menghampiri

ke kamar Arsih. Mencumbu perasaan Arsih.

Menenteramkannya, kendatipun perasaannya tak

tenteram.

Jika ingat semua itu, rasanya Sulastri tak tahu

mesti berbuat apa. Rasanya semua jalan jadi buntu.

Tapi entah mengapa, setiap ingat Pak Ruslan,

seakan ia beptu berharap akan adanya tempat

perlindungan. Tempat yang bisa membebaskan beban

deritanya selama ini.

"Apa pun yang terjadi, apa pun reaksi anak
anakku, aku harus berterus terang kepada mereka!"

bisik hati Sulastri.

Dan Pak Ruslan pun, sama-sama punya

pendirian seperti itu. Tak ada jalan lain; kecuali

berterus terang kepada Kania dan Ridwan.

* * *

HARI Minggu, keluarga Ridwan menjenguk Pak

Ruslan dan Kania. Kania amat akrab dengan106

keponakannya. Nina, isteri Ridwan, termasuk isteri

yang bijaksana dalam menghadapi mertua dan adik

ipar.

Siang hari, mereka berziarah ke makam ibu dan

saudara-saudaranya. Sedangkan toko kue, ditunggui

pembantunya.

Pada saat berkumpul, Pak Ruslan ingin segera

mengemukakan maksudnya. Tapi kadangkala timbul

keraguannya, was-was menghadapi reaksi kedua

anaknya.

Dan sore hari, ketika Nina dan puterinya sedang

tidur di dalam kamar, Pak Ruslan menghampiri Ridwan

dan Kania yang sedang duduk di kursi. Niatnya sudah

teguh, apa pun yang terjadi ia mesti menceritakannya

kepada Ridwan dan Kania.

"Pa! Kata Kak Ridwan, kalau saya sudah lulus

sarjana muda, ia berjanji akan membelikan Honda

bebek buat saya," kata Kania senang.

Pak Ridwan cuma tersenyum.

"Untung dagangan kue juga besar, ya kan Pa?

Jadi mestinya Nia sudah bisa beli Mercy!" sahut

Ridwan berkelakar.107

Senang sekali Pak Ruslan melihat keakraban

kakak beradik itu. Niatnya jadi sangsi lagi. Kalau aku

bicara tentang rencanaku, keinginanku, apakah

suasana gembira mereka tidak akan terganggu? Bisik

hati Pak Ruslan. Tapi kapan lagi aku mesti bicara,

kapan lagi aku mendapat kesempatan baik seperti ini?

Daripada berlarut-larut, lebih baik berterus terang.

Pak Ruslan berdehem berkali-kali.

Perhatian Ridwan dan Kania langsung tertuju

kepada ayahnya. Sejak Pak Ruslan duduk berhadapan,

baik Kania maupun Ridwan, sesungguhnya merasa

heran, kenapa kelihatannya Pak Ruslan begitu gelisah.

"Sebenarnya, ada yang ingin Bapak kemukakan

kepada kalian," kata Pak Ruslan tenang, tapi jantung
nya tak urung berdebar agak kencang. Ridwan dan

Kania memperhatikan dengan seksama.

"Bapa harap, kalian mau mengerti."

Ridwan dan Kania saling bertatapan, tak

mengerti.

"Bapa tidak bermaksud untuk memberatkan

beban kalian, atau Bapa tidak ada niat untuk

melupakan peristiwa sedih yang menimpa Ibu dan108

saudara-saudaramu. Bapa memang merasa sudah tua,

tapi Bapa merasa perlu punya pendamping."

Kania tersentak. Ridwan masih tetap tenang.

"Kalian boleh saja menertawakan Bapa, kenapa

orang setua Bapa bisa jatuh cinta lagi. Tapi Bapa

sendiri tak mengerti, apakah Bapa ini salah atau tidak,

sebab segalanya di luar kekuasaan Bapa. Bapa telah

berkenalan dengan seorang wanita yang sudah punya

empat orang anak."

Kania menghela nafas. Jantungnya berdegup

kencang. Ridwan masih tetap mendengarkan dengan

seksama. Raut wajahnya masih tetap menunjukkan

ketenangan.

"Nah, Bapa ingin meminta persetujuan kalian,

bagaimana seandainya Bapa menikah dengan wanita

itu?"

Kania merundukkan kepala. Pak Ruslan agak

kaget, melihat reaksi Kania. Sedangkan Ridwan tetap

tenang.

"Apakah Bapa sudah berpikir secara matang

untuk mengambil keputusan menikah dengan wanita

beranak empat itu?" tanya Ridwan.

Pak Ruslan menganggukkan kepala.109

"Bapa sudah membicarakannya dengan wanita

itu. Dan Bapa merasa cocok."

"Bapa sudah mengetahui keadaan keluarga
nya? Anak-anaknya? Pekerjaan wanita itu?"

Pak Ruslan tercenung sejenak.

"Belum. Belum secara menyeluruh. Yang Bapa

tahu, anaknya sudah besar-besar. Bahkan... katanya

ada yang satu kuliah dengan Nia. Betulkah, Nia?"

Kania menganggukkan kepala, sambil menggigit bibir.

Dalam hati, Kania menjerit. Betul, Bapa! Saya

satu kuliah dengannya! Tapi tahukah Bapa? Tahukah,

bahwa puterinya itu kelakuannya brengsek? Tahukah

Bapa, bahwa wanita yang hendak Bapa nikahi itu,

seorang pelacur? Tahukah Bapa, bahwa pernikahan

itu hanya akan menambah beban keruwetan Bapa?
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekilas, Ridwan melihat Kania. Kemudian

perhatiannya kembali tertuju kepada Pak Ruslan.

"Sesungguhnya, Bapa, lebih berpengalaman

dan tentu lebih arif daripada saya. Saya tidak akan

menghalang-halangi niat Bapa. Tapi, sekali lagi saya

minta, Bapa jangan keburu napsu. Bapa mesti memilih

jalan yang terbaik bagi Bapa. Jangan sampai,

keputusan Bapa untuk menikah dengannya, justru110

akan membuat banyak persoalan bagi Bapa. Jangan

sampai, beban Bapa tambah banyak, sedangkan

kemampuan Bapa kian berkurang."

Pak Ruslan tercenung. Apa yang dikatakan

Ridwan, seakan menancap di benaknya. Dan ia merasa

tersudut.

"Bapa sudah menganggap, ini jalan terbaik bagi

Bapa. Soal anak-anaknya nanti, justru dia bilang bakal

bisa membantu usaha Bapa. Dan Bapa percaya, Bapa

akan bisa mengatasinya."

"Yang saya khawatirkan, bagaimana kalau Bapa

menderita. Kalau apa yang Bapa bayangkan itu, justru

kenyataannya meleset. Tanggungan empat orang

anak, saya kira bukan pekerjaan gampang. Lagi pula,

bagaimana kalau anak-anaknya itu justru tidak

menyukai kehadiran Bapa."

"Tak usah memikirkan itu. Itu menjadi resiko

Bapa. Yang penting, apakah kalian merelakan

keinginan Bapa ini?"

Kania tetap tidak memberikan reaksi. Ridwan

kembali melirik Kania, lalu menghela nafas.

"Mengatakan setuju, saya tidak bisa begitu saja.

Sebab kalau ada apa-apa, saya juga harus bertanggung111

jawab. Apa boleh buat, kalau Bapa merasa tenang,

tenteram, atau lebih cocok bersamanya, saya tidak

bisa berbuat apa-apa. Saya hanya mendoakan, agar

Bapa berbahagia."

Pak Ruslan tercenung sejenak. Seakan

menghayati ucapan putera sulungnya. Sedangkan

Kania masih merunduk. Pak Ruslan memandang Kania

dengan gelisah.

"Bagaimana kau, Nia?"

Kania menggelengkan kepala

"Saya tak tahu mesti bagaimana," sahurnya

sambil menggigit bibir. Suaranya agak bergetar.

Ridwan seakan menangkap getaran suara

adiknya. Juga Pak Ruslan, seakan tersudut oleh reaksi

Kania.

"Sekali ini, Bapa meminta persetujuanmu.

Entah mengapa, Bapa sendiri begitu dekat dengan

dia."

"Terserah Bapa," sekarang suara Kania agak

meninggi.

Terasa seakan meninju ulu hati Pak Ruslan.112

Pak Ruslan hanya terdiam, ketika Kania bangkit,

berjalan meninggalkannya, masuk ke dalam kamar.

Waktu mengantar Ridwan pulang ke Jakarta, di

halaman rumah Kania sempat mendengar pesan

kakaknya.

"Kalau kau tak betah, lebih baik kau pindah ke

Jakarta."

Dan Kania tidak memberi jawaban apa-apa.

* * *

BAYANGAN buruk jika ayahnya menikah dengan

ibu Arsih, senantiasa menghantui benak Kania. Pak

Ruslan merasakan, ada perubahan pada sikap Kania.

Kania yang biasanya manja dan sering menggoda,

sekarang lebih sering berdiam diri, bahkan kalau

bicara hanya seperlunya.

Begitu juga di kampus, Kania jadi agak murung.

Untung Darmakusumah, selalu berhasil membuat

Kania tertawa. Di dekat Darmakusumah, Kania seolah
olah merasakan ada kedamaian dalam bathinnya.

Tidak. Tidak seperti yang digunjingkan Arsih.113

Darmakusumah bukan tampang lelaki penyeleweng.

Kania merasa, betapa besar perhatian Darmakusumah

terhadapnya, tapi tidaklah dibuat-buat. Lama

kelamaan, timbul simpati Kania terhadap

Darmakusumah. Timbul rasa kehilangan, kalau tak

jumpa Darmakusumah.

Bahkan kini, Kania tidak segan-segan lagi

membonceng di atas Vespa Darmakusumah. Arsih

terpaksa gigit jari, kadangkala timbul rasa jengkel

kalau melihat Kania pulang kuliah diantar oleh

Darmakusumah.

Suatu siang, Darmakusumah mengendarai

Vespanya, menggoncengkan Kania, menyusuri jalan

berpagar pepohonan.

"Kamu lapar tidak, Nia?"

"Nggak."

"Kita makan dulu, yu!"

"Masih kenyang."

"Kita makan di Bak Kambang. Kamu seneng ikan


Kembalinya Sang Raja Return Of King Tiga Dalam Satu 05 Lima Laknat Malam Dialog Dengan Jin Muslim Karya Muhammad

Cari Blog Ini