Ceritasilat Novel Online

Gadis Manis Putri Tersayang 2

Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar Bagian 2

mas bakar, kan? Biar sudah kenyang, kalau sudah lihat

makanan khas Sunda, pasti kamu bakal tergiur."114

Kania terdiam. Dan Darmakusumah, segera

menangkap apa arti diam bagi wanita. Vespa melaju

ke atas, ke jurusan Karang Setra.

Memang, ketika menghadapi ikan mas bakar,

Kania mendadak lapar. Tapi tentu saja, ia tak berani

memperlihatkan orang rakus. Bahkan, gengsi Kania

dijaga ketat. Ia mengambil nasi sedikit, juga mencicipi

ikan mas tak begitu banyak.

"Koq sedikit amat. Bebas aja makannya," kata

Darmakusumah.

"Saya bilang, kan masih kenyang," sahut Kania.

"Kalau begitu, maaf ya, aku bener-bener lapar,"

kaia Darmakusumah sambil melahap kepala ikan.

Kania tersenyum. Padahal ia juga ingin seperti

Darmakusumah makan dengan lahap. Rampung

makan, keduanya tidak segera beranjak, masih tetap

duduk berhadapan.

"Nia, kuperhatikan akhir-akhir ini kau lebih

banyak bermuka murung. Mau dipaksa nikah, ya?"

tanya Darmakusumal berkelakar.

"Ngaco!" sahut Kania sambil mendelik.115

"Kalau dipaksa nikah jangan mau. Nanti ada

lelaki tampan yang kecewa."

"Saya paling suka mengecewakan lelaki

tampan!"

"Tapi bukan lelaki tampan yang mengajakmu

makan ikan mas bakar, kan?"

Dan tawa Kania berderai. Menyenangkan.

Darmakusumah kian bisa membuatnya betah. Kian

bisa membuatnya kehilangan. Kian bisa membautnya

melupakan persoalan ruwet. Apakah lelaki begini tipe

tukang rayuan gombal? Tidak. Kania makin yakin,

bahwa Darmakusumah lelaki yang baik dan

berperasaan.

Dan sewaktu-waktu, Kania ingin menumpahkan

daka laranya kepada Darmakusumah. Rasanya

Darmakusumah bisa dipercaya Tapi, bisakah dia

mengatasi ketakutan yang menghantui benakku?

Ada kesangsian dalam hati Kania.

Ada ketakutan dalam hati Kania.

* * *116

SUATU SENJA, Sulastri tiba di rumahnya di
damingi Pak Ruslan. Sulastri sengaja mengajak Pak

Ruslan untuk diperkenalkan dengan putera-puterinya.

Keduanya naik VW Kodok milik Sulastri. Merlita,

Aning, dan Herman sedang di rumah. Yang tidak

tampak, pasti Arsih.

Pak Ruslan agak dagdigdug juga, memasuki

rumah yang tidak begitu besar, tapi terawat rapi. Tapi

perasaannya segera berubah lega, tatkala putera
puteri Sulastri menyambutnya dengan hangat.

Dengan akrab.

"Mana puterimu, yang kau bilang satu kuliah

degan anakku itu?" tanya Pak Ruslan.

Sulastri tersentak.

"Barangkali dia sibuk. Belum pulang," jawabnya

mengada-ada. Dalam hati Sulastri, bergemuruh lagi

rasa was-was terhadap reaksi puterinya yang satu ini.

Setelah berkunjung ke rumah Sulastri,

mengenal ketiga anaknya, perasaan Pak Ruslan kian

mantap. Kian yakin, bahwa ia bisa akrab dengan

keluarga Sulastri. Tidak akan terjadi, apa yang

dirisaukan Ridwan.117

Yang mengganjal perasaan Pak Ruslan,

hanyalah sikap Kania. Ia merasa, Kania seakan

memendam suatu perasaan yang tak terlontarkan.

Dan dari sikap Kania ketika ia menyatakan hasratnya

untuk menikahi Sulastri, Pak Ruslan sudah menduga,

Kania tidak menyetujui niatnya.

Tapi apakah aku harus menyerah pada reaksi

puteriku? Bisik hati Pak Ruslan. Tidak. Aku harus

meyakinkan Kania. Aku harus meyakinkannya, bahwa

aku tetap kasih padanya. Bahwa aku akan bahagia.

Bahwa pilihanku tidak meleset.

Dan malam hari, Pak Ruslan mencoba

mendekati Kania. Mencoba sekali lagi, melihat reaksi

Kania.

"Bapa belum mendengar jawaban darimu,

apakah kau setuju atau tidak dengan maksud Bapa

untuk menikah lagi?"

Setelah terdiam sejenak, kepala Kania

menggeleng. Pak Ruslan tidak begitu terkejut. Ia sudah

menduga, Kania pasti tidak akan menyetujuinya. Dan

sekarang, ia harus meyakinkan pilihannya itu.

"Nia, maukah kau mengerti perasaan Bapa?

Bapa kira kau sudah dewasa. Bapa bukan ingin

membagi kasih kepada orang lain, Bapa tidak akan118

berbuat seperti itu. Kau dan Kakakmu, bagi Bapa tetap

segalanya. Bapa ingin punya isteri lagi, karena kelak,

kalau kau sudah berumah tangga, Bapa memerlukan

seseorang yang bisa dijadikan pendamping. Bukankah,

kalau sudah menikah kau pasti akan mengikuti

suamimu?"

Kania terdiam. Setumpuk unek-unek, rasanya

mau muntah. Tapi Kania mencoba menahan rasa.

"Saya tidak bermaksud menghalang-halangi

keinginan Bapa," jawab Kania pelan dan bergerai.

Pak Ruslan menunggu apa yang hendak

diucapkan Kania selanjutnya dengan hati berdebar.

"Saya tidak setuju Bapa menikah dengan wanita

pilihan Bapa itu, karena saya tahu siapa dia

sesungguhnya. Saya tidak bisa membayangkan Bapa

akan berbahagia dengannya, karena saya juga tahu,

bagaimana kelakuan anaknya yang satu kuliah dengan

saya."

Pak Ruslan benar-benar kaget. Sama sekali ia

tak menduga, kalau Kania akan melontarkan alasan

seperti itu.

"Apa maksudmu?" tanya Pak Ruslan penasaran.119

"Apakah wanita yang akan Bapa nikahi itu,

pernah berterus terang menjelaskan pekerjaannya

selama ini?"

"Pernah. Dia bilang, dia bisnis barang, dari

rumah ke rumah."

"Hanya itu?"

"Ya. Habis apa lagi?"

"Mestinya, sebelum menikah Bapa harus tahu

lebih jauh tentang pekerjaan dia. Berarti, dia telah

berbohong kepada Bapa. Dia tidak jujur menceritakan

pekerjaan yang sesungguhnya."

"Apakah kau lebih tahu dari aku?"

"Iya. Kalau Bapa tak tahu pekerjaan dia yang

sesungguhnya, berarti saya merasa lebih tahu dari

Bapa.

"Coba katakan, apa yang kau ketahui tentang

pekerjaan dia yang sebenarnya?"

Kania menatap ayahnya.

"Dia... dia... pelacur!"

Pak Ruslan tersentak. "Apa kau bilang?"120

"Dia pelacur! Bapa boleh tanya kepada dia.

Kalau dia jujur, pasti dia akan mengakuinya."

Pak Ruslan terdiam. Memandang Kania, lalu

menghela nafas dalam-dalam. Perasaannya jadi tak

menentu. Antara percaya dan tidak. Tapi ia tahu betul

kejujuran Kania. Mungkinkah Kania berbohong? Tiba
tiba rasa gelisah muncul. Kalau benar Sulastri pelacur,

mestikah aku mengurungkan niatku untuk menikahi
nya? Apakah seorang pelacur tidak berhak kunikahi?

Dan perasaan Pak Ruslan telah begitu lekat

dengan Sulastri. Apa pun yang terjadi.

"Nia," suara Pak Ruslan merendah. "Bapa yakin,

kau tidak berbohong. Bapa kira, itulah penyebabnya

kau tidak menyetujui Bapa menikah dengan dia. Tapi,

Bapa merasa terlanjur berjanji untuk menikahinya.

Bapa harus menepati janji."

"Tapi dia telah membohongi Bapa."

"Ya. Tapi mungkin karena dia segan berterus

terang, karena takut Bapa jadi menjauhinya. Kau boleh

tidak setuju, tapi berilah Bapa kesempatan. Apakah

seorang pelacur tidak layak untuk dijadikan isteri?

Mungkin dia akan bertobat, justru setelah menikah.

Bapa harap kau mau mengerti. Atau kau, malu punya

Ibu tiri seorang pelacur?"121

Mata Kania mengembang bening.

"Yang akan Bapa hadapi, bukan hanya calon

isteri Bapa. Anaknya yang satu kuliah dengan saya,

pasti akan memeras tanggung jawab Bapa. Saya tidak

perlu menjelaskan bagaimana kelakuannya, tapi

banyak orang mengetahui dia brengsek. Bagaimana

mungkin Bapa bisa berbahagia, dengan mengarungi

hidup seperti itu? Yang saya pikirkan adalah hari tua

Bapa. Saya ingin hidup Bapa tenang. Kalaupun Bapa

hendak beristeri lagi, mestinya Bapa memilih isteri

dari keluarga baik-baik dan tidak banyak tanggungan

nya."

Pak Ruslan merunduk sejenak. Seperti tersudut

"Nia," Pak Ruslan memegang bahu Kania. "Apa

boleh buat kau telah menceritakan kesulitan yang

akan Bapa hadapi, tapi Bapa juga tidak mau

mengingkari janji. Biarkan Bapa mencobanya. Kalau

nanti ada apa-apa, biar Bapa pula yang

menanggungnya. Kau tak usah ikut campur, juga

Kakakmu."

"Bukan begitu maksud saya. Saya tidak punya

perasaan untuk melepaskan Bapa. Saya tidak punya

maksud untuk membiarkan Bapa Saya hanya ingin

menjelaskan apa yang saya takutkan. Saya ingin, agar122

sebelum terlambat, Bapa mesti segera mengambil

jalan terbaik. Tidak. Saya tidak akan menghalangi

Bapa, kalau memang tekad Bapa sudah kukuh. Tentu
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bapa lebih tahu daripada saya. Kalau Bapa tanya

apakah saya setuju Bapa menikah lagi, saya setuju,

tapi tidak dengan dia. Tapi kalau Bapa tetap mau

menikah dengan dia, saya juga tak akan menghalangi.

Yang penting, Bapa sudah tahu, apa yang saya

sampaikan. Saya juga, tidak mengharapkan Bapa

menderita. Saya ingin Bapa bahagia!"

Air mata Kania berderai.

Pak Ruslan terpaku. Terasa begitu dalam cinta

kasih puterinya. Terbayang lagi saat ia kena gangguan

jiwn, Kania dengan telaten merawatnya. Haruskah

sekarang ia mengecewakan puterinya?

Tapi Sulastri telah begitu lekat dalam dirinya.

Segalanya jadi terpusat pada wanita itu. Segalanya jadi

buyar karena bayangan kebahagiaan dengan Sulastri.

"Bapa tahu, kau anak yang sangat baik. Bapa

bangga padamu. Bapa bahagia akan keteguhan

hatimu."

"Tapi... Bapa jangan memikirkan angan-angan

Bapa sendiri. Saya tetap takut."123

Kania bangkit, berjalan ke kamarnya.

Pak Ruslan membiarkannya, dengan rasa

gelisah yang kembali datang mendera.

* * *

APA yang dirisaukan Sulastri, tidaklah meleset.

Aning, Merlita, dan Herman, menyambut baik

keinginan Sulastri untuk menikah dengan Pak Ruslan.

Semula, Arsih juga hendak menyetujui. Tapi ketika

Sulastri bilang.

"Puterinya juga kan sekuliah denganmu."

"Siapa?"

"Namanya Kania."

"Kania?"

Dan yang segera terbayang dalam benak Arsih.

adalah Kania yang jalan bergandengan dengan

Darmakusumah. Kania yang digonceng oleh

Darmakusumah. Kania yang mampu mengalahkan

perhatian Darmakusumah terhadapnya. Tiba-tiba,124

Arsih merasa kurang senang. Soal itu, justru

diperlihatkan pada ibunya.

"Buat apa Mami menikah lagi?"

"Selama ini, kerja Mami telah membuat harga

diri kalian tercampakkan, karena terpaksa. Mami ingin

mencari jalan lain yang lebih baik. Mami ingin punya

pelindung Mami, juga pelindung kalian, yang bisa

merubah jalan hidup Mami. Dia memang bukan orang

kaya, tapi dia bisa bekerja-sama untuk usaha yang

halal. Dia memahami keadaan Mami. Mami kira, sulit

buat mencari pendamping seperti dia."

"Tapi... apakah Mami yakin, dia akan mencintai

keluarga Mami? Menyayangi anak-anak Mami?

Padahal dia juga punya anak perempuan yang seusia

saya?"

"Dia berjanji kepada Mami, akan menunjukkan

kasih sayangnya secara merata. Mami juga berjanji

begitu."

"Tidak mungkin! Bagaimanapun, dia akan tetap

menyayangi dan lebih mementingkan anak-anaknya."

"Jangan dulu berprasangka buruk."

"Mami harus membayangkan itu, sebagai suatu

kenyataan."125

"Ar, bukankah kau ingin agar Mami tidak lagi

melakukan pekerjaan Mami selama ini? Apakah kau

tidak ingin melihat Mami berbahagia dengan seorang

lelaki yang bisa melindungi Mami dan juga kalian?

Mami minta, kau jangan punya dugaan buruk."

"Kalau memang Mami yakin akan bahagia, yakin

dia akan menyayangi anak-anak Mami, ya terserah

Mami," sahut Arsih mangkel.

Jauh dalam hatinya, ia merasa senang ibunya

akan punya suami. Tapi dalam wujudnya, seakan ia

melontarkan kekesalannya kepada Kania dengan

memprotes terhadap niat ibunya.

Tapi seperti Pak Ruslan, Sulastri sudah teguh

pendiriannya. Apa pun yang terjadi, ia akan tetap

menerima kehadiran Pak Ruslan. Mencoba

menempuh hidup baru. Mencari jalan baru.

Tuhan, tunjukkan jalan terang bagiku! Rintih Sulastri.

* * *126

BAGIAN KELIMA

BERCERMIN tanpa polesan kosmetik, selalu

menyadarkan Sulastri akan usianya. Nampak jelas

keriput-keriput yang memudarkan kecantikannya.

Tapi ada sesuatu yang tiba-tiba membuat Sulastri

bergidik. Ia melihat bintik-bintik merah di dadanya,

dan di kedua lengannya.

Sulastri mendadak ngeri. Penyakit yang

ditakutinya itu, datang lagi. Ia sendiri merasa jijik,

sebab bintik-bintik merah itu, kalau sudah parah, suka

terasa panas dan mencair, perih.

Tuhan, ampuni dosaku! Rintih Sulastri. Aku

bertobat! Jauhkan segala penyakit yang menakutkan

dan menghancurkan masa depanku! Beri aku

kesempatan untuk berbakti pada-Mu!

Sulastri masih berdiri terpaku, di depan cermin.

Air matanya menggenang. Perasaannya bergemuruh,

tak menentu.

Bagaimana kalau Kang Ruslan tanu tentang

penyakit yang kuderita ini? Bagaimana kalau Kang

Ruslan tahu, bahwa aku ini seorang pelacur?

Bagaimana kalau Kang Ruslan berubah pendiriannya,127

tidak jadi menikah denganku? Haruskah aku tetap

menjual diri, di tengah rasa sakit yang menghimpit,

dan pudarnya kecantikanku?

Ya, Tuhan! Yang kupikirkan nasib anak-anakku.

Biar. Biarlah, kalau memang aku tak menemukan jalan

terbaik untuk bertobat, biar aku yang menanggung

beban dosa ini. Jangan lagi dialami anak-anakku.

Lindungilah mereka!

Suara Merlita dari luar kamar, menghentakkan

perasaannya.

"Mami! Ada Oom Ruslan!" >

"Ya Sebentar, Lita," sahutnya bergetar.

Aneh, kenapa tiba-tiba hatiku bergetar? Kenapa

aku begitu bimbang akan berhadapan dengan Kang

Ruslan?

Sulastri mengenakan baju hangat, lengan

panjang, agar bintik-bintik merahnya tertutup.

Berkali-kali ia meyakinkan dirinya dalam

cermin, bahwa tak nampak ada apa-apa. Kemudian ia

berjalan ke ruang depan, menghampiri Pak Ruslan

yang sudah duduk menunggunya.128

Begitu berhadapan, Pak Ruslan tersenyum.

Keduanya sudah begitu akrab.

"Tumben, siang-siang Akang datang ke mari,"

kata Sulastri.

"Kangen," sahut Pak Ruslan.

Merlita yang sempat menangkap dialog itu,

tersenyum sendirian, lalu menuju ke dapur.

Menyediakan minuman buat Pak Ruslan dan ibunya.

Pak Ruslan memandang Merlita dengan seksama,

ketika Merlita menghidangkan minuman.

"O, ya! Lupa. Ini Lita, ada oleh-oleh buat kalian

cicipi," kata Pak Ruslan sambil memberikan bungkusan

kepada Merlita. Merlita menerimanya dengan wajah

berseri.

"Ai aaiihhh... pasti kue kesayangan, ya Oom?

Terima kasih, Oom," kata Merlita sambil membawa

bungkusan itu ke dalam.

Sulastri memandang dengan suka hati.

"Sebaiknya tak usah repot-repot," kata Sulastri.

"Ah, oleh-olehnya juga ala kadarnya saja," sahut

Pak Ruslan.129

Keduanya membisu sejenak. Pak Ruslan ingin

segera mengemukakan rasa penasarannya, ingin

meyakinkan apakah benar Sulastri selama ini bekerja

sebagai pelacur? Sementara Sulastri juga tercenung,

dicekam ketakutan yang menyudutkan dirinya.

"Lastri, ada yang ingin kutanyakan padamu,"

suara Pak Ruslan tenang.

Sulastri agak tersentak.

Memandang Pak Ruslan nanar.

"Ada apa, Kang?"

Pak Ruslan menghela nafas, sekilas memandang

sekeliling ruangan. Lalu menatap Sulastri.

"Kuharap, kau tidak tersinggung. Dan aku ingin,

agar kau berterus terang."

Wajah Sulastri mulai memucat. Ia seperti sudah

menduga, pertanyaan yang bakal diajukan oleh Pak

Ruslan.

"Silakan Akang bertanya, aku akan berusaha

menjawab sejujur-jujurnya."

"Aku hanya ingin tahu, apa pekerjaanmu?

Bagaimanapun kau punya banyak tanggungan, tapi

kau tak pernah mengatakan apa pekerjaanmu untuk130

menghidupi dan membiayai sekolah anak-anakmu.

Kau bilang bisnis barang-barang, tapi apa mungkin itu?

Apa bisa mencukupi?"

Sulastri terdiam. Merasa tersudut. Ya, Tuhan!

Akhirnya aku harus berterus terang. Akhirnya, aku

harus mengatakan yang sebenarnya. Akhirnya,

pertanyaan yang kutakutkan itu terlontar juga.

"Aku bukan ingin mendakwamu, apalagi

memperhitungkan besar kecilnya pendapatan. Yang

membuatku penasaran, justru ada yang mengatakan

padaku, tentang pekerjaanmu yang sesungguhnya."

Sulastri menatap Pak Ruslan.

"Siapa?"

"Puteriku sendiri."

Sulastri merunduk sambil menggigit bibir.

"Apa yang dikatakannya tentang pekerjaanku?"
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nia bilang... kau... kau... seorang pelacur."

Sulastri memandang Pak Ruslan kuyu, lalu

menganggukkan kepala. Pelan.

"Jadi benar?" Pak Ruslan meyakinkan.

Sekali lagi, Sulastri menganggukkan kepala.131

"Kenapa kau tak pernah berterus terang?"

"Saya ingin selalu jujur terhadap Akang. Tapi

persoalan yang satu itu, benar-benar mencemaskan

saya. Saya tak tahu mesti berbuat bagaimana. Saya

takut kehilangan Akang. Saya ingin meninggalkan

pekerjaan saya selama ini. Saya mencari-cari

perlindungan kepada orang yang mau mengerti, dan

bisa menunjukkan jalan terang bagi kehidupan saya.

Saya bertemu Akang, dan saya merasa begitu dekat.

Saya yakin, suatu saat Akang akan mengetahui

pekerjaan saya. Tapi untuk langsung berterus terang,

saya tak berani. Saya benar-benar takut kehilangan."

Pak Ruslan terdiam. Memandang Sulastri yang

merunduk. Terbayang wajah Kania, seakan menuding

dan mencemooh ke arahnya.

"Yang akan Bapa hadapi, bukan hanya calon

isteri Bapa. Anaknya yang satu kuliah dengan saya,

pasti akan memeras tanggung jawab Bapa. Saya tidak

mau menjelaskan bagaimana kelakuannya, tapi

banyak orang mengetahui dia brengsek! Bagaimana

mungkin Bapa bisa berbahagia, dengan mengarungi

hidup seperti itu? Yang saya pikirkan adalah hari tua

Bapa. Saya ingin hidup Bapa tenang. Kalaupun Bapa132

hendak beristeri lagi, mestinya Bapa memilih isteri

dari keluarga baik-baik dan tidak banyak tanggungan."

Ucapan Kania itu terngiang lagi, memekakkan

telinganya.

Mestikah aku beranjak dari tempat ini, lalu

meninggalkan dia sendiri, memutuskan hubungan,

dan tak usah kembali lagi? Mestikah aku menurut

kepada kemauan anakku? Bisik hati Pak Ruslan.

Dia sedang mencari perlindungan. Dia sedang

mencari jalan terang. Kalau aku mengulurkan tangan,

menyambut kehadirannya, bukankah aku telah

menyelamatkannya?

Tapi bagaimana dengan harga diriku, jika orang
orang tahu, aku menikah dengan seorang pelacur?

Bagaimana reaksi mereka? Beranikah aku

menanggung resikonya? Benar-benar sudah siapkah?

Kania benar! Ridwan juga benar! Mereka

mencemaskan aku. Mereka telah menjadikan aku

kembali utuh. Mereka takut, aku kembali rapuh.

Pak Ruslan kian gelisah. Sementara keduanya

tetap membisu. Perlahan, Sulastri memandang Pak

Ruslan.133

"Kalau seandainya... Akang merasa saya

bohongi Merasa tak layak bersama saya... Saya tak

apa-apa. Akang jangan memaksakan diri, karena iba

atau semata-mata ingin menolong saya. Yang saya

inginkan adalah Akang yang benar-benar mencintai

dan menyayangi saya."

Pak Ruslan menghela nafas.

Hatinya tiba-tiba tersentuh. Cinta kasih itu

melekat lagi. Keraguannya mendadak sirna. Ia melihat

wanita di hadapannya, seperti pasrah. Tinggal dia yang

menentukan.

"Lastri," suara Pak Ruslan tenang. "Sekarang

perasaanku lega. Aku tak perduli tentang masa

lalumu. Semua orang pasti punya masa lalu yang

berbeda-beda. Yang kuhadapi, adalah kau sekarang.

Maukah kau berjanji untukku?"

"Kang," suara Sulastri tersendat. Memandang

wajah Pak Ruslan agak sumringah.

"Maukah kau berjanji sekali lagi, bahwa kau

akan meninggalkan pekerjaanmu?"

Sulastri menganggukkan kepala.

"Ya. Sudah lama, aku ingin meninggalkannya."134

"Maukah kau berjanji sekali lagi, bahwa kau

akan menyayangi kedua anakku?"

"Tentu."

"Sekarang tidak ada lagi yang membebani

pikiranku."

"Anak-anakmu, bagaimana?" tanya Sulastri. Pak

Ruslan terdiam sejenak. "Kau harus berterus terang."

"Hanya Kania."

"Hanya Kania?"

"Ya. Hanya dia yang tidak menyetujui aku

menikah denganmu. Dia terlalu mencemaskan aku.

Dia takut, aku tidak akan bahagia bila sudah menikah

denganmu. Dia takut, bebanku akan bertambah

banyak."

"Dia benar. Mungkin dia benar," kata Sulastri

agak luruh.

"Tapi dia tidak mau menghalangi. Aku sudah

tegaskan, bahwa aku akan berbahagia."

Sulastri tersentak. "Kang!"135

"Aku yakinkan, bahwa aku akan bisa akrab

dengan anak-anakmu. Tapi, dia seakan mencemaskan

hubunganku dengan Arsih."

Sulastri menggigit bibir.

"Dia benar."

"Arsih juga tidak setuju kau menikah

denganku?"

"Entahiah. Tapi, dia seakan menentang.

Kemudian seperti menyerahkan segala keputusannya

kepadaku."

"Kita harus meyakinkan mereka."

"Ya. Kita harus meyakinkan mereka."

Keduanya saling berpandangan. Bertaut kasih.

Gemuruh luruh. Melukis bahagia, dalam gelisah

mendera.

Masa depan, benarkah pemberontakan dalam diri?

* * *136

MALAM terasa sunyi. Ada lolong anjing. Ada

derik cengkerik. Ada dentang tiang listrik dipukul

penjaga malam. Ada cericit burung malam.

Mata Kania belum juga terpejam.

Beberapa hari lagi, ayahnya sudah siap-siap

untuk menikah dengan Sulastri. Hatinya tetap tak rela.

Tetap tak yakin, ayahnya akan menemukan

kebahagiaan setelah menikah. Kalau saja ada

keberanian, mau rasanya Kania protes. Mau rasanya

berbuat sesuatu, agar ayahnya tidak jadi menikah.

Haruskah aku menjegalnya? Meyakinkan Bapa,

agar mengurungkan niatnya? Tapi dengan cara

bagaimana?

Dalam bayangan Kania, muncul wajah

Darmakusumah. Lelaki yang selalu akrab

menemaninya. Lelaki yang selalu hadir melipur

dukanya. Lelaki yang menjanjikan kebahagiaan bagi

masa depannya.

Mestikah aku meminta tolong kepada Kak

Darma?

Tidak. Aku tidak mau melibatkan dia dalam

persoalan ini. Bagaimanapun aku harus mencoba137

menyelesaikannya sendiri. Atau aku pasrah saja

membiarkan bapa mengikuti kehendak hatinya?

Tiba-tiba Kania terhentak. Bayangan seorang

lelaki tua muncul dalam benaknya. Lelaki tua yang

hidup sendiri dengan pasrah. Lelaki tua yang mampu

memudarkan kemelut yang diderita bapanya.

Bayangan lelaki tua itu kian mengental, dan

meyakinkan tekadnya. Bayangan yang selama ini

seakan tercampakkan begitu saja.

Ya, aku harus segera menjumpainya. Aku harus

segera meminta nasihatnya. Aku harus segera

menjumpai Bapak Wali Kelas!

Lalu, seperti ada sesuatu yang melenyapkan

kerisauannya. Lalu, seperti ada sesuatu yang

melelapkan perasaannya.

Mata Kania mengatup, dalam sepi yang memagut.

* * *

KEADAAN rumahnya masih tetap seperti dulu.

Juga halamannya yang resik ditumbuhi palawija.

Meski siang begitu terik, tapi terasa sejuk. Belum lagi138

Kania masuk, seorang lelaki tua ke luar membuang

puntung rokok dalam asbak, sambil batuk-batuk.

Kania tersentak. Bapak Wali Kelas itu! Tubuhnya

nampak makin kurus. Wajahnya pucat.

Begitu berhadapan, Bapak Wali Kelas terkejut.

Memandang Kania dengan seksama.

"Bapa," panggil Kania bergetar. Haru.

Ya, Tuhan! Alangkah berdosanya aku, tidak lagi

menjumpai orang yang menyelamatkan sakit yang

diderita ayahku!

"Nia!" seru Bapak Wali Kelas dengan wajah

berseri disertai senyum lebar.

Kania menganggukkan kepala, membalas

senyum Bapak Wali Kelas.

"Ayo, masuk."

Kania berjalan mengikuti Bapak Wali Kelas,

kemudian duduk berhadapan di ruang depan.

"Bapak tidak mengajar?"

Bapak Wali Kelas menggelengkan kepala.

"Sudah tiga hari Bapa tidak masuk. Bapa sakit.

Kemarin badan Bapa rasanya seperti dibakar."139

"Sudah ke dokter?"

"Ya. Sekarang sudah agak membaik."

"Maafkan. Saya tidak pernah menjenguk Bapa

lagi."

Bapak Wali Kelas tersenyum.

"Bapa mengerti. Kau pasti sibuk kuliah dan

mengurus Ayahmu. O, ya. Bagaimana kabar tentang

Ayahmu?"

"Baik."

"Syukurlah."
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, ini ada oleh-oleh buat Bapa," kata Kania,

sambil memberikan bungkusan jeruk Garut kepada

Bapak Wali Kelas.

"Waahhh, kau merepotkan," sahut Bapak Wali

Kelas, sambil menerima pemberian Kania, lalu ditaruh

di atas meja.

"Bapa masih... tinggal sendirian?"

Bapak Wali Kelas tersenyum lagi.

"Bapa akan tetap sendiri, Nia."

"Waktu sakit juga?"140

"Ya."

"Sayang, kalau saja saya tahu Bapa sakit..."

"Sudahlah. Sakit Bapa kan tidak payah. Bukti

nya, sekarang Bapa sudah agak sehat. Sudah bisa

berbicara denganmu."

Kania terdiam sejenak.

Bapak Wali Kelas memperhatikannya. Ia seakan

sudah menduga, ada sesuatu beban yang menghimpit

perasaan Kania. Ada sesuatu, yang akan diutarakan

Kania kepadanya. Dan Bapak Wali Kelas menunggu

dengan sabar.

"Nia... ada apa kau datang ke mari? Ada

kesulitan lagi?"

Kania menatap Bapak Wali Kelas. Selalu. Selalu

bapa bisa menyelami hatiku, kerisauanku! Bisik hati.

Kania. Dan Kania menganggukkan kepala.

"Kesulitan apa? Katakanlah. Siapa tahu, Bapa

bisa menolongmu, atau mencari jalan ke luar."

Kania tercenung.

Ragu-ragu untuk mengemukakan masalah

keluarganya. Takut mengganggu istirahat Bapak Wali

Kelas. Takut jadi pikiran Bapak Wali Kelas.141

"Jangan ragu-ragu. Daripada dipendam sendiri,

lebih baik kau kemukakan."

Bapa! Kau masih tetap seperti dulu. Penuh

perhatian, dan begitu pengasih.

"Katakanlah, Nia."

Dan Kania menceritakan segalanya.

Menceritakan rencana ayahnya untuk menikah

dalam waktu dekat. Menceritakan siapa wanita yang

akan dinikahi ayahnya itu. Menjelaskan ketidak

setujuannya terhadap putusan ayahnya.

Bapak Wali Kelas mendengarkannya dengan

mengerutkan kening.

"Saya benar-benar tak tahu mesti berbuat apa?

Saya sudah bilang kepada Ayah, bahwa saya tidak

setuju. Saya takut beban Ayah kian berat. Saya takut,

Ayah saya tidak berbahagia dalam masa tuanya. Saya

takut. Tolonglah, Bapa," kata Kania.

Bapak Wali Kelas terdiam sejenak.

"Nia, sesungguhnya persoalan yang kau hadapi

sekarang lebih rumit dari dulu. Ini adalah persoalan

keluargamu. Kalau dulu, aku bisa dengan gampang

menjanjikan akan menolong Ayahmu, karena Ayahmu142

sakit. Tapi, bagaimana mungkin sekarang aku mesti

ikut campur dalam urusan keluargamu."

"Saya tidak akan melibatkan Bapa. Yang saya

harapkan, cara apa yang harus saya tempuh untuk

menghalangi niat Bapa saya."

"Inilah sulitnya, Nia Soal hubungan pribadi, soal

perasaan mencintai, kadangkala sulit diganggu gugat.

Bukankah telah kau buktikan sendiri, kau menyatakan

tidak setuju, tapi Ayahmu tetap berkeras hati untuk

menikah. Ayahmu tidak seperti aku. Kalau aku sudah

tidak ada hasrat lagi buat menikah. Kenangan lalu, tak

bisa kulupakan begitu saja. Ayahmu mungkin lebih

baik, meski sempat terganggu karena peristiwa itu,

tapi ia segera bisa pulih kembali kepercayaannya

secara utuh."

"Saya juga tidak menghalangi niat ayah saya

untuk menikah lagi. Saya memahaminya. Tapi yang

saya tidak setujui, karena Ayah menikah dengan

wanita itu."

"Bapa mengerti. Di mata Bapa, kau adalah

seorang anak yang berbakti kepada orangtua. Bapa

saksikan sendiri waktu Ayahmu sakit. Kau begitu

telaten mengurusnya. Bahkan Bapa sangat terharu.

Dan jika kau tidak menyetujui Ayahmu menikah143

dengan wanita itu, Bapa juga mengerti, karena kau

amat menyayangi Ayahmu. Kau takut Ayahmu tersiksa

dan tidak berbahagia. Kau benar. Alasanmu wajar.

Kalau Bapa jadi Ayahmu, pasti Bapa akan lebih

cenderung mengikuti pendapatmu. Tapi Bapa

ingatkan sekali lagi, ini soal rasa. Rasa yang pribadi.

Kau mesti memahami hal itu. Ayahmu punya

keyakinan akan berbahagia jika menikah dengan

wanita itu. Keyakinan yang sulit diganggu gugat.

Ayahmu mungkin tidak mau tahu siapa wanita itu,

atau punya anak berapa? Ayahmu juga tidak mustahil

ingin memperlihatkan kepadamu, bahwa ia benar
benar berbahagia. Kau harus mengerti. Kau harus

menyadari. Biarkan Ayahmu mengikuti keinginannya

sendiri. Kau harus merelakannya. Ayahmu harus

merasakan dulu, apakah benar berbahagia, atau

sebaliknya?"

Kania terdiam.

Nasihat Bapak Wali Kelas memang masuk di

akal. Tapi apakah tidak ada jalan terbaik untuk

menggagalkannya? Kalau pernikahan itu terlanjur

sudah terjadi, nau apa lagi? Meski Bapa menderita,

tidak mustahil ia berpura-pura bahagia. Ya, Tuhan!

Kenapa aku begitu berkeras hati, membayangkan

ayahku tidak akan berbahagia?144

Bapa Wali Kelas menatap Kania. Membiarkan

Kania merenungkan apa yang diucapkannya. Dalam

pandangnya, Kania benar-benar seorang anak yang ia

inginkan. Anak yang sangat memperhatikan keadaan

ayahnya. Anak yang mengasihi ayahnya. Mestinya,

anakku sudah sebesar dia! Rintih Bapak Wali Kelas.

"Apakah Bapa tidak bisa memberi jalan lain,

selain merelakan Ayah saya menikah dengan wanita

itu?" tanya Kania masih penasaran.

Bapak Wali Kelas terhenyak. Kau keras kepala,

Nia! Bisik hatinya. Tapi diam-diam, ia mengagumi

tekad Kania.

"Sulit. Soalnya ini urusan pribadi Ayahmu. Bapa

tidak bisa ikut campur. Bapa tidak bisa menghalangi."

"Kalau perlu, saya akan minggat."

Bapak Wali Kelas tersentak.

"Jangan. Jangan kau lakukan itu. Percayalah,

cara seperti itu, hanya akan menambah beban

kesulitan"

"Saya benar-benar bingung."

Bapak Wali Kelas mengusap wajahnya.

"Nia," panggil Bapak Wali Kelas lembut.145

Kania memandangnya.

"Kau ingin membahagiakan Ayahmu?"

Kania seakan keheranan dengan pertanyaan itu,

tapi menganggukkan kepala.

"Kau tidak ingin mengecewakan hatinya?"

Kania menggelengkan kepala. Tetap tak

mengerti apa maksud Bapak Wali Kelas.

"Kau masih mau mempercayai nasihat Bapa?"

Kania menganggukkan kepala.

"Dengar baik-baik, Nia. Kadangkala kita harus

pasrah dan rela menghadapi kenyataan. Kadangkala

kita harus menghargai keyakinan seseorang,

walaupun itu dalam bayangan kita akan menyulitkan.

Kau bisa menangkap maksudku? Kau harus

merelakannya, sebab itu jalan terbaik untuk

menunjukkan cinta kasihmu terhadap dia. Kau telah

menjelaskan kesangsianmu, dalam hal ini kau tetap

benar. Jangan takut. Ayahmu telah memilih keyakinan

nya sendiri. Kau harus menghargai keyakinan Ayahmu

itu."

Sekarang Kania benar-benar tak berkutik. Ia

kian termakan oleh nasihat Bapak Wali Kelas.146

"Kalau kau punya pikiran lain, Bapa harap kau

jangan mengikuti emosimu. Datanglah ke mari.

Bicarakan dengan Bapa. Jangan segan-segan. Bapa

akan senang. Bapa akan berusaha menolongmu."

Kania menundukkan kepala.

Sekarang aku sudah pasrah, Bapa! Mau apa

lagi? Aku akan menghargai keyakinan Bapa. Tapi aku

tak tahan, jika harus menghadiri pernikahan Bapa!

Seperti dulu, ketika Kania meninggalkan rumah

Bapak Wali Kelas, lelaki tua itu menatap kepergian
nya. Dengan tatapan sepi dan kosong. Sekilas Kania

menoleh. Dan Bapak Wali Kelas masih juga

memandang ke arahnya.

Jalan sepi, berpagar pohon cemara.

* * *147

BAGIAN KEENAM

PERNIKAHAN Pak Ruslan dan Sulastri, ter
laksana juga. Tidak ada pesta-pesta. Hanya dihadiri

sanak-famili dan kerabat dekat. Ridwan datang,

menghadiri pernikahan dengan isteri dan anaknya.

Tapi Kania tidak menghadiri.

Juga Arsih.

Hati Pak Ruslan tidak begitu tenteram. Ia

merasa, Kania seperti protes. Tidak mau datang,

karena tidak setuju ia menikah dengan Sulastri. Ia

sendiri kadang kala ragu, mampukah ia membuktikan

kepada puterinya, bahwa ia akan berbahagia?

Hati Sulastri, juga merasa sedih. Ia seringkali tak

mampu memahami jiwa Arsih. Kemauan Arsih.

Dengan menikah, yang ia harapkan, terutama agar

sikap Arsih berubah. Dengan menikah, ia akan

berhenti menjadi pelacur, ingin mengembalikan

derajat anak-anaknya. Ingin melihat Arsih akrab

dengan saudara-saudaranya, ingin melihat Arsih intim
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya.148

Ridwan dan isterinya berkali-kali membujuk

Kania untuk menghadiri pernikahan ayahnya. Tapi

Kania berkeras kepala tidak mau datang.

"Nia, kau boleh tidak setuju. Aku juga tidak

menginginkan Bapa menikah dengan dia. Tapi Bapa

berkeras hati, Bapa sudah nekad. Bagaimanapun, kita

harus mengucapkan selamat, bahkan mendoakan

kebahagiaan buat Bapa"

Kania menggelengkan kepala.

"Saya juga ingin Bapa bahagia. Tapi saya tidak

akan menghadirinya. Saya tidak mau."

"Justru kalau kau tak datang, hati Bapa akan

kecewa. Bapa akan banyak pikiran."

"Bapa tidak memerlukan saya lagi. Nyatanya

Bapa tidak mau mendengar pendapat saya. Kalau

Bapa tetap dengan keyakinannya, berarti tanpa saya

pun Bapa tetap tidak ada apa-apa."

"Tapi kehadiranmu bisa membahagiakan Bapa."

"Bapa sudah yakin akan berbahagia dengan

calon isterinya!"

Ridwan terdiam.149

"Saya takkan tahan. Lebih baik saya di rumah,

atau menunggu toko."

"Jangan terlalu menurutkan emosimu. Cobalah

kau mengerti. Kita boleh berbeda keinginan, tapi tetap

hormat kepada orangtua. Apalagi, Bapa orangtua kita

satu-satunya, Nia. Bukankah kau ingin membahagia
kan Bapa? Aku yakin. Bapa akan bahagia jika kau hadir

dalam pernikahannya."

"Tidak. Saya tetap tidak akan datang. Apa pun

alasannya, saya tidak akan menghadiri pernikahan

Bapa."

Dan Ridwan tidak mau lagi memaksa. Ia bahkan

menyadari sikap adiknya, ia menghargai sikap adiknya.

Ia biarkan saja adiknya mengikuti tekad hatinya. Dan

itu akan lebih baik, bagi ketenteraman adiknya.

Pada waktu berlangsung akad nikah, Kania

justru mendatangi rumah Bapak Wali Kelas.

Mengadukan kesedihannya. Bapak Wali Kelas

tersentak, ketika Kania menceritakan, bahwa saat itu

adalah saat ayahnya menikah.

"Astaga! Kenapa tidak datang, Nia? Ayahmu

pasti akan merasa kehilangan."150

Kania hanya menundukkan kepala. Jauh dalam

lubuk hatinya, ia merasa menyesal. Kenapa mesti

berbuat begini? Kenapa tidak ada keberanian untuk

menghadiri pernikahan ayahnya? Kenapa mesti segan

bertemu dengan Arsih, atau keluarga Sulastri?

Bapa! Hatiku tetap mengatakan; Bapa tidak

akan berbahagia! Bapa akan lebih banyak mengalami

kesulitan!

"Nia, Bapa mengerti perasaanmu. Ya... pada

prinsipnya Bapa kagum akan kekerasan sikapmu. Bapa

bisa membenarkan, bahkan berpihak kepadamu.

Tapi... kau tetap harus bersikap terbuka. Kau harus

berusaha menghadirinya."

"Saya tidak tahu, mengapa saya membenci

pernikahan Bapa. Selama ini, saya selalu

membahagiakan Bapa. Tapi waktu Bapa hendak

menikah dengan calon isterinya, Bapa tidak mau

mempertimbangkan harapan saya. Bapa tidak mau

mengerti keinginan saya."

"Sudahlah. Kau sendiri tokh memahami. Kalau

orang sedang jatuh cinta, niscaya lebih suka mengikuti

kemauannya sendiri. Sulit menerima pendapat orang

lain, walaupun itu anaknya sendiri."

Kania tercenung.151

"Tenangkan hatimu, Nia. Hadapilah segalanya

dengan tabah. Dengan hati lapang. Jangan berbuat

suatu yang akan lebih menambah sulit. Ujian yang

paling berat bagi tiap orang, adalah memerangi hawa

nafsunya."

Banyak nasihat Bapak Wali Kelas, yang secara

perlahan menenteramkan perasaan Kania.

Kalau saja sifat kebapaan Bapa seperti Wali Kelas!

* * *

KETIKA Kania tiba di rumah, ia kaget waktu

kakaknya mencintakan kehadiran Darmakusumah di

tempat pernikahan ayahnya. Dari mana dia tahu? Bisik

hati Kania. Ternyata, ketika Kania pergi ke rumah

Bapak Wali Kelas, Darmakusumah datang ke

rumahnya. Pembantu rumah yang tak tahu menahu,

memberitahukan Kania menghadiri pernikahan

ayahnya.

Kania tiba-tiba jadi gelisah. Apa yang mesti ia

ucapkan kalau bertemu dengan Darmakusumah? Aoa

yang mesti ia jawab, kalau Darmakusumah bertanya

tentang ketidakhadirannya?152

Aneh, kegelisahan begitu mendera. Dan tiba
tiba, Kania merasa takut kehilangan Darmakusumah!

* * *

TENGAH malam, pada malam pengantin. Pak

Ruslan dan Sulastri saling tercenung dalam kamarnya

Tumpukan kado yang tak seberapa jumlahnya, seakan

menjadi saksi bisu, menelusuri perasaan yang

berkecamuk dalam hati masing-masing.

Malam sepi.

Malam menikam.

Di sudut kamar, tampak sebuah vas bunga ros

merah. Ada kartu ucapan selamat, dengan pengirim:

Arsih. "Semoga Mami berbahagia". Vas bunga,

tampak terbuka, dikirim oleh seorang pegawai sebuah

toko bunga.

Ke mana Arsih? Ini yang mencemaskan hati

Sulastri. Sampai kini Arsih belum juga pulang. Sulastri

gelisah. Meskipun, kepada Merlita bilang mau

bermalam di rumah temannya. Sulastri yakin, Arsih

takkan berbohong, Arsih benar-benar menginap di153

rumah temannya. Tapi mengapa mesti berbuat seperti

itu pada saat pernikahannya? Pada saat ia mendamba
kan kebahagiaan yang telah lama sirna? Pada saat ia

mau merintis kembali jalan yang lurus?

Apa salah mami, Ar? Jerit hati Sulastri.

Persis sama seperti yang sedang diresahkan Pak

Ruslan. Kania tidak hadir, dan Ridwan cuma

menitipkan sepucuk surat dari Kania Pada waktu

luang, ia membaca surat dari puterinya itu, di kamar

mandi.

? Bapa!

Saya mohon maaf, kalau tak bisa menghadiri

pernikahan Bapa. Bapa tak usah memikirkan saya,

apalagi mencemaskannya. Saya harap Bapa mengerti,

mengapa saya tak bisa menghadiri pernikahan Bapa.

Saya selalu berdoa demi kebahagiaan Bapa. Semoga

apa yang saya cemaskan, meleset sama sekali.

Salam kasih dari puterimu

KANIA

Pak Ruslan mendadak begitu lekat dengan

perasaan puterinya. Ia membayangkan, Kania

sendirian dalam kamarnya dengan pikiran gelisah.154

Ingat lagi, kasih sayang yang selalu ditunjukkan Kania.

Risau hati kian mendera.

Malam sepi.

Malam menikam.

Tiba-tiba keduanya saling berpandangan.

Sejenak bicara dengan pandang matanya. Mata

Sulastri berkaca-kaca.

"Lastri, apa yang kau pikirkan?" tanya Pak

Ruslan.

"Arsih," jawab Sulastri tersendat. "Dan kau?

Siapa yang kau pikirkan, Kang?"

"Kania."

Segumpal pilu, seperti menyatu dalam sepi.

Dalam gelita hati nurani. Dalam rasa yang sama-sama

gelisah. Dalam ketegangan di tengah sunyi.

"Arsih tidak menghendaki aku mendampingimu?"

"Entahlah. Aku tidak pernah bisa memahami

kelakuan Arsih. Aku tak bisa mengerti, apa yang

diinginkannya Bukankah Nia juga tidak menghendaki

aku menjadi isterimu?"

"Ya. Dia takut, aku tidak akan bisa berbahagia."155

"Barangkah benar begitu."

"Lastri..." Pak Ruslan melingkarkan lengan

kanannya ke bahu Sulastri. "Aku sudah bertekad untuk

memperisterimu, apa pun yang terjadi."

"Aku takut, suatu saat kau merasa kecewa."

Tiba-tiba Sulastri ingat penyakit bintik-bintik

yang menyerang tubuhnya. Sebelum menikah, ia telah

bersusah payah untuk melenyapkan penyakit itu ke

dokter spesialis. Sekarang agak mendingan, bintik
bintik merah itu telah lenyap. Tapi ia tetap cemas,

sebab menurut keterangan dokter, sewaktu-waktu

bisa timbul lagi secara mendadak.

"Lastri, ini malam pengantin, kan?"

Sulastri menatap Pak Ruslan. Menganggukkan

kepala, pelahan.

"Ini malam milik kita berdua."

Sulastri menatap Pak Ruslan.

"Mestinya, kita lupakan kegelisahan itu."

Sulastri menggigit bibir.

"Kadang-kadang kita harus menentukan sikap.

Tidak usah terpenjara perasaan."156

"Maafkan saya, Kang."

"Maafkan aku juga, Lastri."

Sepi, lalu kian merasuk membenamkan

kegelisahan. Sunyi, lalu kian menikam menggemakan

kerinduan.

Senyap, lalu semakin senyap.

Malam bertambah malam.

* * *
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SIANG HARI, Arsih kembali ke rumah dengan

tenang. Seperti tidak pernah terjadi peristiwa apa-apa.

Di halaman, ia disambut oleh Aning dan Herman

dengan pertanyaan.

"Dari mana, Kak?"

"Koq baru pulang?"

"Kenapa tak menghadiri pernikahan Mami?"

"Dari kemarin, Mami tak henti-hentinya

menanyakan Kakak. Saya disuruh menyusul, tapi mana

saya tahu di mana Kak Arsih berada."157

Arsih cuma menjawab dengan senyuman

terpaksa. Langsung masuk ke dalam rumah. Di ruang

depan, nampak Pak Ruslan sedang membaca koran.

Pak Ruslan agak kaget melihat kehadiran Arsih

secara mendadak. Ia tersenyum ramah, dan menyapa.

"Baru pulang?"

"Iya," sahut Arsih tak acuh, sambil langsung

bergegas menuju ke kamarnya.

Saat itu Sulastri sempat melihat Arsih masuk ke

dalam kamar. Ia segera memburunya.

Pak Ruslan menunggu dengan tegang.

Arsih baru saja meletakkan tas, Sulastri sudah

berada di belakangnya.

"Ar," panggil Sulastri pelan. Tapi ada nada kesal

yang tertahan.

Arsih segera menoleh.

"Selamat menempuh hidup bani, Mami," kata

Arsih, datar.

Sulastri menatap, penuh tanda tanya. Ar!

Kenapa kau seakan selalu membenciku? Jerit hati

Sulastri.158

"Dari mana kau?"

"Saya menginap di rumah teman."

"Betul?"

"Ya."

"Ada apa?"

'Tidak ada apa-apa."

Sulastri menghela nafas.

"Tapi kenapa kau tidak hadir pada hari

pernikahan Mami?"

Arsih terdiam. Terbayang wajah Kania.

Terbayang saat ia melihat Kania berduaan dengan

Darmakusumah. Lalu terbayang wajah ayah Kania.

Kekesalan tercermin di wajah Arsih.

"Kau tidak setuju Mami menikah?"

Arsih menggelengkan kepala.

"Lantas kenapa kau tidak mau datang? Kenapa

kau menghindar? Kenapa kau mesti menginap di

ramah temanmu?"

"Biar hati Mami tenang. Biar hati saya tenang.

Saya ingin melihat Mami bahagia. Saya tak mau159

mengganggu kebahagiaan Mami. Biar Mami tidak

kesal melihat saya."

"Ar!"

Sulastri menatap Arsih dengan tajam.

"Siapa bilang Mami kesal melihatmu? Itu cuma

perasaanmu sendiri. Bukan begitu caranya kalau ingin

membahagiakan Mami. Kau justru ingin melihat Mami

menderita. Kalau benar-benar kau ingin membahagia
kan Mami, mestinya kau datang. Mami akan

berbahagia, jika pada hari itu semua berkumpul.

Semua ada, mendampingi Mami."

Arsih menundukkan kepala. Hatinya mendadak

luluh.

"Apa yang sesungguhnya kau inginkan dari

Mami, Ar? Apa? Mami selalu tak bisa menyelami

perasaanmu."

Arsih tetap diam. Tetap menundukkan kepala.

Aku sendiri tidak tahu, mengapa mesti begini

Mami! Aku sendiri tidak mengerti, kenapa selalu

diburu gelisah dan resah!

Sulastri kian mendekat. Tangan kanannya

memegang pundak Arsih.160

"Mami sangat sayang padamu, Ar. Mami tidak

ingin kehilanganmu. Mami tidak ingin mendengar kau

mendapat kesulitan. Apa pun, kalau mampu akan

Mami kerjakan, asal demi kebahagiaanmu, demi

kebahagiaan saudara-saudaramu."

Arsih menjatuhkan diri ke dalam pelukan

ibunya, tanpa berkata. Wajahnya begitu berduka.

Sulastri membelainya.

"Seandainya kau tak suka dengan pernikahan

Mami, bilanglah terus terang. Mungkin Mami akan

menempuh jalan terbaik untuk membahagiakanmu."

Arsih menggelengkan kepala.

"Saya bahagia. Saya bahagia Mami telah

menikah lagi. Saya bahagia," sendat Arsih.

Di ruang depan, Pak Ruslan masih duduk,

dengan gelisah. Merlita, Aning, dan Herman, sedang

berkumpul di halaman.

Arsih masih berada di pelukan ibunya.

* * *161

DI DALAM ruang kuliah, Kania berpapasan

dengan Arsih. Tapi seakan ada sesuatu yang

memisahkan keduanya. Kania mencoba mau

menyapa, tapi Arsih tak acuh, tak mau melihat atau

memperhatikannya. Ia melengos, langsung duduk di

bangkunya.

Akhirnya Kania juga tidak mau perduli. Bahkan

ia merasa lebih baik begitu, daripada bertanya tentang

ayahnya, atau hubungan kekeluargaan yang mestinya

kini sudah terjalin.

Waktu pulang kuliah, Kania merasa akan

ditunggu Darmakusumah. Merasa akan diserbu

berbagai pertanyaan tentang pernikahan ayahnya.

Dan Kania jadi gelisah.

Tidak meleset.

Darmakusumah memang menunggu. Kania

tidak bisa menghindari pertemuan itu. Tapi wajah

Darmakusumah tetap cerah. Seakan tidak menyimpan

sesuatu. Tetap wajar. Seperti yang tak ada apa-apa.

"Lama menunggu saya, Kak Dar?"

Darmakusumah tersenyum. Tidak menjawab

pertanyaan Kania.162

"Kita minum youghurt dulu, yu!" ajak

Darmakusumah.

Ajakan yang dirasakan Kania seperti meng
isyaratkan ada sesuatu yang akan dibicarakan

Darmakusumah. Dan Kania, mengikuti saja ajakan itu.

Tempat minuman youghurt memang paling

disukai anak-anak muda. Halamannya luas. Banyak

dipasang tenda untuk menaungi tempat duduk

berduaan.

Pengunjung waktu itu cukup banyak. Tapi

Darmakusumah memilih tempat yang menyudut, di

keteduhan rindang pohon mahoni.

"Aku punya sebuah cerita menarik," kata

Darmakusumah.

Kania menatap, penasaran.

"Cerita apa?"

"Mau mendengarkannya?"

"Tentu."

"Ceritanya seru. Seperti dalam cerita film

Indonesia."

Kania tersenyum.163

"Memangnya cerita film Indonesia seru-seru?"

"Jelas. Judulnya saja sudah mengundang. Coba

saja, ada judul Cinta Gigitan Pertama atau Bahaya

Penyakit Kelamin."

Dan tawa Kania berderai.

"Ada lagi judul lebih seru Akibat Godaan

terjadilah Pergaulan Bebas yang terbongkar pada

Rahasia Perkawinan sehingga Cintaku Tergadai," kata

Kania.

Kali ini Darmakusumah yang tertawa.

"Tapi ada lagi yang maha seru dari yang lebih

seru. Remaja Pulang Pagi yang nanya dengan Modal

Dengkul Kaya Raya bisa Mimpi Busana dalam, eh

Busana Dalam Mimpi!"

Kania tertawa lagi.

Sebagian pengunjung ada yang memperhati
kan, seakan heran dengan kebahagiaan Darma

kusumah dan Kania

"Lho, koq jadi ngelantur. Apa sih cerita yang

hendak Kak Darma ceritakan itu?"

"Oh, ya. Sudah siap mendengarkannya?"164

"Ayo. Ceritalah. Saya pendengar yang baik koq."

"Ada seorang gadis, mahasiswi sebuah

perguruan tinggi," Darmakusumah berhenti dulu.

Kania tersentak. Seperti merasa ada sesuatu

yang bakal menimpanya.

"Gadis itu sangat baik, lembut, tapi keras kepala"

"Namanya siapa?"

"Lupa lagi."

"Koq lupa? Teruskan deh."

"Ia kuliah sambil bekerja. Ia memang ulet. Ia

amat menyayangi ayahnya. Ia tinggal bersama

ayahnya, sebab ibu dan adik-adiknya sudah tiada."

Kania mengernyitkan alis. Tapi tetap

memperhatikan cerita Darmakusumah dengan

seksama.

"Suatu ketika, Ayahnya berniat untuk menikah

lagi. Entah kenapa, dia tidak mau menceritakan

pernikahan itu kepada teman terdekatnya sekalipun,

bahkan tidak mau hadir pada hari pernikahan itu."165

Wajah Kania mendadak pucat. Ia mulai sadar,

apa yang diceritakan Darmakusumah, adalah cerita

tentang dirinya. Perlahan, kepala Kania menunduk.

"Kau tahu siapa wanita itu, Nia?"

Kania menganggukkan kepala.

"Tak perlu kusebutkan namanya?"
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kania menggelengkan kepala,

"Nia, bagiku kau adalah segalanya."

Mata Kania berkaca-kaca.

"Bagaimanapun kau, bagaimanapun keluarga
mu, aku tak perdulL Yang penting bagiku, adalah

pribadimu."

Kania menatap Darmakusumah, lalu menunduk lagi.

"Aku ingin, kau bisa berterus terang padaku.

Bisa membagi penderitaanmu, siapa tahu aku mampu

menolongmu."

"Maafkan saya. Kak Dar. Saya memang sengaja

tidak mengundang siapa pun. Saya..."

"Itu tak usah kau risaukan, Nia. Aku tidak apa
apa. Justru dengan begitu, aku makin bisa menyelami

perasaanmu. Keadaanmu. Berceritalah, Nia. Kenapa166

kau tidak mau menghadiri pernikahan Ayahmu? Biar

kumengerti tentang sikapmu, perasaanmu."

"Saya tidak menyetujui Ayah menikah dengan dia."

Darmakusumah manggut-manggut.

"Kenapa?"

"Karena saya tidak ingin melihat Ayah saya

menderita."

"Kau pikir, Ayahmu akan menderita?"

"Ya. Isteri pilihan Ayah itu, banyak tanggungan
nya. Anak-anaknya sekolah. Dan dia sendiri,

sebelumnya membiayai anak-anaknya dengan...

menjual diri."

Darmakusumah tersentak.

"Kau yakin itu?"

"Ya. Bahkan, salah seorang puterinya, teman

sekuliah saya."

"Siapa?"

"Arsih."

"Arsih?" Darmakusumah tersentak.167

Terbayang oleh Darmakusumah, saat Arsih

berusaha mendekatinya. Merajuk di hadapannya.

"Benar-benar seperti dalam cerita film

Indonesia," kelakar Darmakusumah.

Dan Kania terpaksa senyum.

"Pokoknya apa pun yang kau lakukan, aku

berdiri di belakangmu. Kalau perlu, aku siap

membantumu."

Keduanya bertatapan.

Bahagia, terpancar berbinar-binar.

* * *

SELAMA Pak Ruslan "berbulan madu", Kania

bergantian dengan pembantunya, menunggu toko

kue. Kania mengurus soal keuangannya. Berusaha

agar tetap menyenangkan langganannya

Kalau ayahnya perlu uang, diantarkan oleh

pembantunya Dan itu berlangsung selama tiga hari.168

Suatu malam, Pak Ruslan berkenan tidur di

rumahnya. Waktu itu Kania sedang belajar. Sama

sekali, ia tak menduga ayahnya bakal datang.

Kania berusaha menyambut kedatangan

ayahnya dengan wajah cerah. Bahkan langsung

mengulurkan tangan, mengucapkan selamat.

"Selamat berbahagia, Bapa."

Pak Ruslan membalasnya dengan senyum,

sambil mengusap rambut Kania.

"Bagaimana kuliahmu?"

"Tetap lancar."

"Waktu pernikahan, Darmakusumah datang."

"Ya Dia sudah bercerita pada saya."

"Dia tidak apa-apa kepadamu?"

Kania menggelengkan kepala.

"Kau sendiri kenapa tak datang?"

"Yang penting Bapa bahagia"

Pak Ruslan menatap Kania

"Lebih bahagia lagi, kalau kau ada."

Kania terdiam.169

"Nia..." suara Pak Ruslan lembut.

Kania tetap diam.

"Tidak inginkah kau akrab dengan isteri Bapa,

juga anak-anaknya? Mereka juga, pasti menyambut

kehadiranmu."

Kania terpaku. Terbayang wajah Arsih yang

sinis. Wajah yang tak acuh. Kepala Kania menggeleng.

"Mereka selalu menanyakanmu."

Kania menatap ayahnya.

"Bapa jangan bohong!" sahut Kania

"Mereka ingin kenal dekat denganmu, Nia

Mereka ingin bekerjasama Mereka ingin saling

membantu."

"Bapa bohong! Apa artinya saya bagi mereka?

Yang mereka pentingkan adalah Bapa! Yang mereka

harapkan adalah Bapa! Karena Bapa dianggap bisa

memenuhi kebutuhan mereka. Karena Bapa bisa jadi

pelindung mereka."

Pak Ruslan terhenyak. Berusaha untuk tetap

tenang, walaupun mulai kesal.170

"Tak baik kau berprasangka begitu. Cobalah kau

kenal lebih dekat. Bapa yakin penilaianmu akan lain.

Mereka baik. Mereka lebih mementingkan ke
keluargaan."

"Saya bukan anak kemarin yang bisa Bapa

bohongi. Perlukah saya jelaskan kepada Bapa, bahwa

anaknya yang bernama Arsih itu seperti membenci

saya! Dia tidak menyukai saya."

Pak Ruslan menelan ludah. Menghela nafas.

Mencoba tetap tenang untuk melunakkan hati Kania.

"Tapi yang begitu hanya Arsih. Yang lainnya

sangat baik. Bapa juga yakin, Arsih akan segera

berubah. Sebetulnya, Arsih juga anak yang baik Nia."

"Bapa tidak tahu siapa dia."

"Bapa yakin ceritamu tentang Arsih itu benar.

Tapi Bapa juga yakin, kalau kita bersikap akrab dan

kekeluargaan, dia akan segera menyadari kekeliruan

nya. Arsih memang gelisah. Ia perlu didekati dengan

sabar dan penuh kasih sayang."

"Kenapa Bapa begitu memperhatikan dia? Bapa

pilih kasih!"

"Nia!" Pak Ruslan memeluk Kania. Perasaannya

tergetar, ketika ia dituduh pilih kasih. Pak Ruslan171

paling takut dituduh begitu, karena bagaimanapun

cinta kasihnya kepada Kania begitu tulus.

"Jangan berkata begitu, Nia. Jangan, Nak.

Jangan tuduh Bapa pilih kasih. Kau tetap segalanya.

Jangan punya prasangka buruk. Jangan melihat dan

menilai manusia dari wujud dan tingkah lakunya saja.

Jangan membenci, hanya karena menyaksikan tingkah

lakunya yang berlebihan. Kau harus jembar1. Seorang

pelacur, tidak selalu menjadi pelacur karena cita
citanya begitu. Bahkan kebanyakan, mereka terpaksa

akibat terdesak kebutuhan. Akibat tak ada pekerjaan

lain yang bisa melepaskan beban mereka. Orang

seperti Arsih, harus didekati dengan baik-baik. Harus

memahami kegelisahan hatinya."

Kania terdiam dalam pelukan Pak Ruslan.

Wajahnya kosong, tanpa ekspresi.

"Apa pun yang terjadi, pernikahan Bapa ini

tetap ada hikmahnya. Nia, Bapa banyak belajar dari

kehidupan mereka. Bapa juga ingin, agar kau

mengasihi mereka. Mereka membutuhkan kasih

sayang orang lain. Selama ini, mereka tersisihkan,

bahkan dicemooh. Kau jangan membenci mereka. Kau

harus akrab, dan mendekati mereka dengan kasih."

1 Lapang dada172

Bening berguling ke pipi Kania.

Ayah yang meluluhkan perasaannya. Ada kerlip

lilin dalam kegelapan sangsi.

Cintailah sesama manusia, seperti engkau

mencintai dirimu sendiri! Kania mendadak ingat

ucapan itu. Ucapan seorang temannya yang beragama

Kristen.

Tapi mestikah aku mengalah? Mestikah aku

lebih dulu mendekati mereka? Mestikah aku merajuk

Arsih agar jadi akrab? Lalu, apa salahku?

Ya Allah, tunjukkan aku jalan terang! Rintih hati

Kania.

* * *173

BAGIAN KETUJUH

GATAL-GATAL dan rasa perih, mulai meng
hinggapi Sulastri lagi. Wajah Sulastri pucat, ketika

bintik-bintik merah mencair itu mulai tumbuh lagi,

bahkan menjalari bagian perut dan punggungnya.

Sulastri memejamkan mata. Mau rasanya men
jerumuskan dirinya ke dalam api yang membara, biar

hangus. Biar bintik-bintik merah yang mengerikan itu

sirna.

la sudah pasrah. Ketika suatu malam, Pak Ruslan

mendekapnya. Mencumbunya. Bahkan membuka

bajunya. Ia menunggu reaksi Pak Ruslan dengan hati

berdegup kencang.

Pak Ruslan tertegun. Matanya terpaku pada

bintik-bintik merah yang mencair itu. Lalu menatap

Sulastri. Sulastri menangkap kengerian di wajah

suaminya. Ia cuma bisa menggigit bibir.

"Kau kenapa, Lastri?"

Sulastri menundukkan kepala.

"Sakit?"

Sulastri menganggukkan kepala.174

"Kenapa tidak ke dokter?"

Sulastri terdiam.

Pak Ruslan menunggu Sulastri bicara.

"Maafkan saya, Kang," kata Sulastri tersendat.

"Aku tidak mengerti, Lastri. Kau tidak pernah

bilang, bahwa kau sakit."

"Penyakit ini, sudah tiga kali menyerang saya.

Saya sudah berobat ke dokter. Tapi setelah sembuh,

kambuh lagi, dan kambuh lagi. Saya benar-benar
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersiksa."

"Mungkin kau kena penyakit..."

Air mata Sulastri menitik, sambil mengangguk
kan kepala.

"Saya telah mengecewakan, Akang."

Pak Ruslan terdiam sejenak. Tak tahu apa yang

mesti dilakukan. Ia kesal dan kecewa. Tapi juga iba. Ia

tidak ingin menambah kesedihan Sulastri. Ia mencoba

mengekang emosinya, mencoba bersikap tenang.

"Akang pasti menyesal," sendat Sulastri.175

"Lastri, yang sudah sudahlah. Kau harus berobat

ke dokter dengan seksama. Sampai benar-benar

sembuh."

"Saya takut. Saya tidak bisa membahagiakan Akang."

"Jangan punya pikiran seperti itu. Kau harus tenang."

"Dokter pernah bilang, penyakit ini akan hilang

sewaktu-waktu, tapi akan muncul lagi."

"Kita cari dokter yang benar-benar ahli."

"Kita baru saja hendak melangkah, biaya akan

banyak tersita oleh penyakitku."

"Tapi kau harus sehat, Lastri."

"Saya jadi banyak merepotkan Akang."

"Kita tetap berusaha semampunya."

Bayangan duka yang bakal membelenggu hati

Sulastri, sirna oleh ketegaran. Pak Ruslan bagi Sulastri

bagaikan seorang Dewa Pelindung. Setiap kali ia

membayangkan suaminya akan kecewa dan timbul

amarahnya, ternyata selalu meleset. Pak Ruslan

sungguh begitu mengerti perasaannya. Ia bukan saja

menemukan kasih sayang yang utuh, tapi juga seorang

lelaki tumpuan kasih putera-puterinya.176

Ya, Allah! Apa pun yang terjadi!

ENGKAU telah berikan rahmatMU padaku.

Engkau telah kabulkan doa-ku, mendapatkan seorang

suami yang mengerti segalanya tentang keadaanku.

Dan Sulastri kini pasrah. Apa pun yang terjadi.

* * *

ARSIH-baru turun dari becak. Ia melihat ibunya

ke luar dari rumah, dipapah oleh Pak Ruslan, Aning,

Herman dan Merlita. Arsih tertegun. Ia merasa seperti

terasing. Sewaktu Arsih bertatapan dengan ibunya,

dalam pandang Arsih terpatri wajah tua yang rawan

ditelan usia.

Ada keharuan yang menekan. Yang mendesak.

Yang meluruhkan perasaannya.

"Mami sakit apa?" tanya Arsih lembut.

Sulastri tersentak. Pertanyaan Arsih, terasa

begitu mendalam. Pertanyaan seorang anak yang

takut kehilangan.177

"Sakit Mami sudah lama!" sahut Merlita agak

ketus.

Arsih tidak memberi reaksi. Ibunya menatap

Arsih, tersenyum penuh kasih.

"Mami tak tahu sakit apa, justru sekarang Mami

mau ke dokter. Kau sudah kuliah?"

Arsih menganggukkan kepala.

"Tidak akan pergi lagi?"

Arsih menggelengkan kepala.

"Mami pergi dengan siapa?"

"Dengan Papimu!" kata Sulastri sambil

mengerling kepada Pak Ruslan.

Pak Ruslan tersenyum. Wajah Arsih tersipu.

"Kakakmu juga mau ikut. Dia yang akan setir

mobil. Kau tinggal di rumah dengan Aning dan

Herman. Awas, jangan telat makan, ya?" kata Sulastri

sambil berjalan menuju VW Kodoknya.

Sampai VW Kodok melaju meninggalkan rumah,

Arsih masih tertegun di halaman. Herman masuk ke

dalam, sedangkan Aning menghampiri Arsih.178

"Mami kerjanya tanya-tanya Kak Arsih terus,"

kata Aning.

"Mau apa?"

"Mana aku tahu."

"Apa saja yang ditanyakannya?"

"Pokoknya yang paling sering ditanyakan, kapan

Kak Arsih pulang? Ke mana dulu? Mami seperti

ketakutan sekali pada Kakak."

Arsih terdiam. Aning memperhatikan reaksi

Arsih sambil mengernyitkan alis.

"Memangnya... Kak Arsih sibuk kuliah terus ya?"

Arsih tersentak, agak gelagapan, karena

pertanyaan adiknya itu sungguh di luar dugaannya.

"Iya," sahut Arsih pelan.

"Eh, kata Papi... anaknya Papi yang namanya...

Kak Nia... katanya satu kuliah juga dengan Kak Arsih,

ya?"

Arsih memandang Aning.

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Koq Kak Arsih nggak pernah ngajak dia ke mari?"179

"Mana dia mau."

"Kenapa tidak mau?"

"Kalau mau, tentu dia main-main ke mari

dengan Bapaknya."

Aning terdiam. Arsih bicara lagi.

"Dia sombong."

"Tapi, waktu saya jumpa dia di toko kue,

kelihatannya baik koq. Wajahnya manis dan lembut."

"Manis-manis sombong!" sahut Arsih sambil

berjalan masuk ke dalam rumah.

Aning terus mengikutinya.

"Tapi, Papinya sangat baik, Kak."

Arsih tidak menjawabnya, terus masuk ke

kamarnya. Dan Aning terus mengikutinya.

"Papi sering menasihati; katanya kalau mau

sukses, harus berani menderita, harus berani

menghadapi berbagai macam cobaan, dan harus tetap

menjaga harga diri."

Arsih menyimpan tas, duduk di tepi ranjang,

matanya menatap Aning.180

"Kau seneng punya Papi lagi, ya?" tanya Arsih

agak kesal.

Aning menganggukkan kepala.

"Mami kelihatan selalu gembira. Kak Arsih

seneng nggak punya Papi lagi?"

"Nggak tahu!"

"Papi kayaknya kaku sekali kalau berhadapan

dengan Kak Arsih. Habis Kakak sendiri tak acuh saja sih

sama Papi."

"Sudah, ah. Dari tadi ngoceh terus," sahut Arsih

sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjang,

menatap langit-langit.

"Soalnya tumben, sore-sore begini Kakak diam

di rumah!" kata Aning sambil meninggalkan Arsih, ke

luar kamar.

Arsih tersentak. Ia agak jengkel mendengar

ledekan adiknya itu. Ia bangkit, tapi Aning sudah tak

ada. Arsih berbaring lagi.

Dalam sendiri, dalam kesadaran yang penuh,

Arsih merasa dibayangi berbagai macam perasaan

masa lalunya.

Wajah ibunya tergambar.181

Ingat lagi. Tiap saat, ia sering melihat banyak

tamu. Ia sering melihat, ibunya bergantian lelaki. Ia

muak. Dan ia bosan diam di rumah.

Wajahnya sendiri tergambar.

Ingat lagi. Banyak lelaki, bergantian jadi

pacarnya. Bahkan ia sempat terperangkap. Ketika

salah seorang pacarnya mengajak pergi ke suatu

tempat. Ia berusaha dipaksa menyerahkan

kehormatannya. Dan ia berontak. Sampai bisa lepas

dari himpitan yang bisa menghancurkan masa depan

nya.

Lalu terbayang wajah Darmakusumah.

Lalu terbayang wajah Kania.

Lalu terbayang wajah Pak Ruslan.

Lalu terbayang saat bertengkar dengan Merlita.

Lalu terbayang saat bicara keras kepada ibunya.

Arsih kian merasa tersudut. Arsih kian merasa

tercekam. Arsih kian merasa terbelenggu. Arsih kian

merasa terasing.

"Papi sering menasihati; katanya kalau mau

sukses, harus berani menderita, harus berani

menghadapi berbagai macam cobaan, dan harus182

tetap menjaga harga diri," ucapan Aning terngiang

lagi. Seakan menggugah bayang-bayang buruk.

Mengapa aku mesti bersikap ketus terhadap

suami mami? Bisik hati Arsih. Mengapa aku mesti

bersikap menjauhi Mami? Mengapa aku mesti

menyudutkan Kak Lita?

Apa yang kuharapkan sesungguhnya?

"Kau orang terpelajar! Mestinya tahu rasa

berterima kasih. Mestinya kau tahu menghargai jerih

payah Ibu kita!" teriakan Merlita terngiang lagi.

Dan Arsih kian tersudut.

Tak tahu mesti berbuat apa.

* * *

PAK RUSLAN tertegun, ketika dokter

menyarankan agar Sulastri dirawat di rumah sakit. Ia

mulai memikirkan soal biaya. la sendiri merasa, bahwa

ia tak memiliki apa-apa. Toko kue, dan biaya hidupnya

sebelum menikah, melulu atas jasa anak sulungnya.183

"Biar. Tak usah jadi pikiran, Kang. Dulu juga,

dokter pernah menganjurkan begitu, tapi penyakitnya

lebih dulu sembuh," kata Sulastri.

Ternyata kali ini tidak begitu. Bintik-bintik

merah mencair mulai menjalar. Rasa panas dan nyeri

tak tertahankan. Sulastri mencoba bertahan, untuk

menghapus rasa cemas suami dan anak-anaknya.

Begitu cepat waktu merubah keadaan.

Wajah Sulastri mulai pucat dan cekung, badan
nya mengurus. Ia selalu tidak ada selera buat makan.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya, Pak Ruslan memaksa Sulastri untuk

dirawat di rumah sakit. Di hadapan Merlita, dan Pak

Ruslan, Sulastri sempat berkata, sebelum masuk

rumah sakit.

"Lita, jangan terlalu merepotkan Papi. Juallah

mobil, untuk biaya sekolah adik-adikmu dan biaya.

Mami di rumah sakit."

Merlita menganggukkan kepala.

Suatu sore, Pak Ruslan datang ke rumah,

menjumpai Kania. Kania sedang menghitung

pengeluaran uang yang kian hari kian bertambah

banyak. Bahkan menyita modal.184

Kania menyambut kehadiran Pak Ruslan biasa
biasa saja. Pak Ruslan duduk di hadapan Kania. Dan

Kania melihat kegelisahan di wajah ayahnya.

"Nia," panggil Pak Ruslan ragu-ragu.

"Ada apa, Bapa?"

"Akhir-akhir ini memang banyak cobaan yang

mesti Bapa hadapi."

Kania diam saja. Ia seakan mengerti, ke mana

arah pembicaran ayahnya.

"Bapa banyak merepotkanmu. Merepotkan

Kakakmu."

Kania masih tetap diam.

"Bahkan kini, akan lebih banyak menyita

perhatian Bapa. Isteri Bapa dirawat di rumah sakit."

Kania tersentak. Menatap ayahnya.

"Dan Bapa mesti menanggung biayanya? Biaya

sekolah anak-anaknya? Biaya keluarganya?" tanya

Kania gencar.

"Ya. Yang terutama, adalah biaya pengobatan."

"Akhirnya, Bapa akan lebih terlibat dengan

keluarga mereka. Bapa hanya akan memikirkan185

mereka. Tidak akan memikirkan saya lagi. Saya sudah

menduganya akan begitu..."

"Nia... jangan punya prasangka begitu.

Sungguh, kau tetap lebih dari segalanya."

"Bohong! Bapa tetap pilih kasih!"

"Nia," Pak Ruslan benar-benar tersudut.

"Sejak sebelumnya, mestinya Bapa tahu, bahwa

Bapa dimanfaatkan mereka. Apa yang Bapa dapatkan

dari isteri Bapa itu?"

"Nia, semua resiko Bapa."

"Bapa selalu menjawab gampangnya saja."

"Bapa harus menolongnya. Kasihan dia."

"Bapa selalu bicara soal belas kasihan, Bapa

bicara harus menolong, padahal Bapa sendiri baru

melangkah maju. Bapa tidak pernah berpikir,

bagaimana kalau usaha sekarang terhenti, dan Kak

Ridwan tidak mau membantu lagi?"

Pak Ruslan menghela nafas. Jauh dalam lubuk

hatinya, ia membenarkan pendapat Kania.

"Mudah-mudahan Kakakmu mau mengerti.

Bapa sekarang tersudut. Kewajiban Bapa untuk186

membiayainya. Bapa sengaja datang ke mari, hanya

untuk meminta ijinmu. Bapa mau mengambil uang,

untuk keperluannya. Dia perlu uang muka buat

perawatannya di rumah sakit."

"Bapa tak perlu minta ijin saya. Semua milik

Bapa. Dan Bapa berhak menggunakannya," sahut

Kania sambil bangkit meninggalkan ayahnya.

"Bapa hanya memikirkan mereka! Bapa tidak

pernah lagi memikirkan masa depan saya!" seru Kania

dari dalam kamar.

Pak Ruslan tercenung.

Merunduk bingung.

* * *

ARSIH berdiri terpaku, memandang iba kepada

ibunya. Sulastri terbaring dengan wajah cekung

menahan sakit yang dideritanya. Di sampingnya, Pak

Ruslan cuma memperhatikan.

"Sudah kuliah, Ar?" tanya Sulastri pelan.187

Arsih menganggukkan kepala, sambil menggigit

bibir. Menahan keharuan yang mendesak.

Tiba-tiba Arsih merunduk, memegang lengan

ibunya erat-erat, menciuminya sambil menangis.

"Maafkan saya, Mami."

Suara itu begitu menyejukkan perasaan Sulastri.

Suara tulus yang telah begitu lama didambakannya.

Ya, Allah! Akhirnya dia sadar juga!

Bening berguling. Haru dan bahagia. Wajah Pak

Ruslan berseri-seri. Tangan Sulastri membelai rambut

Arsih.

"Ar... kau nampak semakin dewasa. Alangkah

bahagianya, kalau kelak, Mami masih bisa melihat kau

berhasil meraih cita-citamu."

"Mami mesti lekas sembuh."

"Mamimu pasti akan sembuh," kata Pak Ruslan.

Arsih tersentak. Kepalanya tengadah menatap

Pak Ruslan. Sulastri tersenyum.

"Ku tidak membenci Papi, kan?"

Kepala Arsih menggeleng.188

"Papi... paling takut menghadapimu," kata

Sulastri.

"Maafkan saya... Pa... piii...," suara Arsih

tergagap, sambil mengulurkan tangan.

Pak Ruslan menyambutnya dengan suka-hati.

Sulastri memejamkan mata. Ingin menghayati

kebahagiaan yang hadir tiada terkira.

"Sekarang Mamimu pasti berbahagia," kata Pak

Ruslan.

Sulastri tersenyum.

"Bagaimana dengan Nia, Kang?"

Pak Ruslan agak kaget.

"Dia masih ragu-ragu untuk menemuimu. Tapi

aku yakin, ia akan segera merubah pendiriannya."

"Asal jangan kau paksa."

"Dia anak baik. Sayang, dia belum menyadari

apa yang dihadapinya."

"Ar... bagaimana hubunganmu dengan Nia?"

Arsih terdiam. Menundukkan kepala.

"Kau sering jumpa dia, kan?"189

Arsih menganggukkan kepala.

"Dia membencimu?"

Arsih menggelengkan kepala.

"Kau berhubungan baik?"

Arsih menggelengkan kepala.

"Lalu, ada apa antara kau dan Nia?"

"Saya... saya yang salah Mami..."

Pak Ruslan memandang Arsih keheranan, juga

Sulastri.

"Salah bagaimana?"

"Saya yang selalu berusaha menjauhi dia... saya

selalu menghindari dia..."

"Mengapa?" tanya Sulastri,

Arsih menggelengkan kepala. Hatinya yang

seakan berteriak. Karena dia dicintai lelaki yang saya

cintai, Mami! Saya jadi benci dia! Saya jadi benci Mami

menikah dengan ayahnya!

Tangan Sulastri memegang tangan Arsih.

"Kau tidak boleh begitu, Ar. Dekatilah dia

dengan kekeluargaan. Kalau kau merasa bersalah, kau190

mesti minta maaf. Ajaklah dia ke mari. Aku yakin, kalau

dia berhubungan baik denganmu, dia juga akan

mencintai keluarga kita."

Arsih terdiam.

Titik-titik terang, kian semarak dalam hatinya.

* * *

KEADAAN Sulastri kian bertambah gawat. Ia

seringkali merintih dan mengerang. Arsih seakan

begitu menyesali perlakuannya di masa lalu. Ia paling

setia menunggu ibunya. Hampir tiap malam.

Sulastri berkali-kali mengusulkan agar mobilnya

dijual, untuk meringankan beban Pak Ruslan. Tapi Pak

Ruslan senantiasa membesarkan hati Sulastri.

"Aku masih mampu, Lastri. Yang penting kau

harus tabah, dan bisa segera sembuh."

Entah sudah berapa biaya yang ditanggung Pak

Ruslan, yang jelas jenis kue yang tadinya lengkap, kini

mulai berkurang. Belum lagi dipergunakan keperluan

Kania.191

Suatu hari, ketika Pak Ruslan datang ke rumah

Kania. Kania tidak ada di rumah.

"Kemana?" tanya Pak Ruslan kepada pembantu

nya.

"Katanya, Neng Nia mau ke Jakarta, Den."

"Mau apa?" tanya Pak Ruslan kaget bercampur

cemas.

"Kurang tahu."

"Kapan dia kembali lagi?"

"Kata Neng Nia, besok juga sudah pulang."

Mau menjemput siapa Nia ke Jakarta? Bisik hati

Pak Ruslan. Ke rumah Ridwan? Atau dia minggat ke

tempat temannya? Atau... pikiran Pak Ruslan kian

gelisah.

Pak Ruslan tercenung. Tiba-tiba ia merasa

begitu bersalah kepada Kania. Merasa telah

mengecewakan hati puterinya. Merasa terlalu

memperhatikan keluarga Sulastri.

"Bohong! Bapa tetap pilih kasih," teriakan Kania

berdengung iagi192

Benarkah aku telah pilih kasih? Perasaanku

tidak begitu Tapi Kania memang kurang kuperhatikan.

Dia pasti kesepian. Aku telah menyia-nyiakannya! Aku

terlalu menurutkan perasaanku!

Pak Ruslan mengusap wajahnya. Bersandar

pada kursi, memandang kosong pada sebuah lukisan

gelombang laut.

* * *

KANIA memang mendatangi rumah kakaknya.

Tentu saja Ridwan kaget, karena tidak seperti
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya, Kania datang sendirian. Bahkan dengan

wajah kusut, seakan menyimpan kekesalan.

Malam harinya, Ridwan mencoba menyelami

perasaan Kania. Memancingnya dengan beberapa

pertanyaan. Dan Kania, tak menyembunyikan

kegelisahan hatinya

"Saya tidak betah lagi di rumah," kata Kania.

"Mengapa?"

"Saya tak tahan melihat sikap Bapa. Ia lebih

memperhatikan keluarga isterinya. Ia tak mau193

menggubris saya lagi. Saya kasihan kepada Bapa Ia

terus menerus mesti mengeluarkan biaya buat

keluarga isterinya Apalagi sekarang dirawat di rumah

sakit."

Ridwan manggut-manggut. Tetap menanggapi

dengan tenang.

"Bapa juga kirim surat ke mari. Menceritakan

soal isterinya yang sakit. Menceritakan soal biaya yang

mesti dikeluarkannya."

"Dan Kak Ridwan membantu Bapa?"

"Salahkah aku kalau menyenangkan hati Bapa?"

"Kakak salah! Yang senang bukan hati Bapa, tapi

isterinya dan anak-anaknya! Bapa tidak sadar, bahwa

ia sedang diperas."

Ridwan terdiam.

"Coba Kakak lihat toko kue Bapa. Makin lama,

pasti makin seret. Bapa tidak pernah menghitung

untung rugi lagi, segalanya dikuras buat kepentingan

mereka!"

"Bagaimanapun dia Ayah kita, Nia. Orangtua

kita yang hanya tinggal satu-satunya."194

"Tapi Bapa tidak memperhatikan kita lagi. Saya

selalu tak diacuhkannya!"

"Aku mengerti perasaanmu."

"Saya ingin Kakak bertindak. Kakak jangan

bersikap lunak kepada Bapa. Apa salahnya Kakak

bersikap keras, jangan terlalu menuruti apa yang

diminta Bapa."

Ridwan menghela nafas.

"Yang aku takutkan, kalau sekarang aku

bersikap begitu, justru akan membuat Bapa tersiksa.

Nia, semua sudah terlanjur. Bapa tetap teguh pada

keyakinannya. Kita tak boleh menyudutkan keluarga

isteri Bapa sebab kita sendiri belum tahu persis

bagaimana sikap mereka sesungguhnya kepada kita."

"Kak Ridwan memihak Bapa?"

Ridwan menggelengkan kepala.

"Bagiku, kau dan Bapa, sama-sama dekat. Kalau

menurutkan emosi, pasti sikapku akan melebihi

sikapmu. Tapi aku melihat jalan yang lebih luas. Tak

ada gunanya kita bersikap keras kepada Bapa. Ingat

Nia... Bapa pernah terganggu jiwanya. Kalau seandai
nya pikiran Bapa terganggu lagi, dan tak bisa mencari195

jalan ke luar, tidak mustahil jiwa Bapa akan terganggu

lagi."

Kania tercenung. Ingat lagi waktu ayahnya

sedang dikerumuni orang-orang. Ingat lagi, waktu ia

menjumpai ayahnya sedang bersimpuh di kuburan ibu

dan saudara-saudaranya.

Ridwan memandang adiknya, penuh kasih,

"Besok kita ke Bandung. Kau harus kembali ke rumah

Bapa. Bersikaplah sebaik-baiknya kepada Bapa."

Kania menundukkan kepala.

Tidak ada keinginan untuk bicara lagi.

* * *

RIDWAN ke Bandung, berdua dengan Kania.

Sepanjang perjalanan keduanya lebih banyak

membisu.

Ridwan kadangkala membesarkan hati Kania,

tapi Kania menanggapinya dengan sikap diam.

Entah mengapa, perasaan Kania, kini senantiasa

diliputi ketakutan dan kecemasan.196

Bayangan ayahnya waktu kena gangguan jiwa,

begitu menghantui pikiran Kania. Perkataan kakaknya

seperti menancap dalam sanubarinya Ya, tidak

mustahil, seandainya ayahnya disudutkan dari sana
sini, lalu tak bisa mencari jalan keluar, ia akan

kehilangan pegangan. Akan terganggu lagi jiwanya.

Tiba di halaman rumah, suasana sepi. Keduanya

turun dari sedan, agak bergegas. Pembantu

membukakan pintu.

"Bapa ke mari, tidak?" tanya Kania.

"Iya Neng. Sekarang juga ada di sini."

"Ada apa?"

"Kurang tahu, Den. Semalam Bapa menginap di

sini. Tapi terus mengurung diri dalam kamar."

"Tidak menanyakan aku?" tanya Kania cemas.

"O, iya! Begitu datang ke mari, juragan langsung

menanyakan Neng Nia."

"Bibi bilang aku ke Jakarta?"

"Iya. Kata Neng kan mesti bilang begitu."

Keduanya masuk ke dalam. Langsung ke kamar

ayahnya.197

Kania dan Ridwan tertegun. Keduanya melihat

ayahnya sedang berbaring dengan pandangan kosong.

Tidak tidur, tapi seakan tak merasa ada apa-apa. Tak

merasa kehadirannya.

"Bapa," panggil Ridwan.

Pak Ruslan melirik, malas. Tapi begitu

pandangannya tertumbuk pada Kania, lalu kepada

Ridwan, ia seakan tersentak.

"Nia... kau sudah pulang? Diantar Ridwan?"

tanya Pak Ruslan sambil bangkit.

Kania menganggukkan kepala. Hatinya lega,

ayahnya ternyata tidak seperti yang ia cemaskan.

Ridwan menyalami ayahnya.

"Bagaimana isteri dan anakmu?"

"Baik-baik saja Bapa."

"Syukurlah. Yang penting, kau harus meng
utamakan keluargamu. Tak usah terlalu memikirkan

keadaan Bapa."

Ridwan mengernyitkan alis, melirik sejenak

kepada Kania. Perkataan ayahnya barusan terasa

aneh. Kenapa ayahnya bicara soal itu? Kenapa198

ayahnya merasa seperti merepotkan dia? Kenapa

ayahnya seperti tidak ingin dibantu lagi.

"Nia..." panggil Pak Ruslan.

Kania mendekat. Pak Ruslan memeluknya.

"Maafkan Bapa." Tangan Pak Ruslan membelai

rambut Kania. Kania terpaku. "Bapa memang

bersalah. Bapa telah menyia-nyiakanmu. Bapa terlalu

mementingkan mereka. Bapa telah memeras

tenagamu. Bapa telah pilih kasih."

"Bap...ppaaaa," panggil Kania tersendat.

Ridwan terpaku menyaksikan adegan itu.

"Bapa sengaja diam di sini. Bapa ingin, kalau kau

datang, kau bisa menyaksikan ayahmu ada di rumah.

Tadi pagi, Arsih dan Kakaknya menyusul ke mari,

memberitahu ibunya gawat. Tapi Bapa tidak akan

pergi dulu, sebelum kau datang. Sekarang Bapa tidak

akan pilih kasih. Bapa akan menurut apa saja kemauan

mu..."

Seakan ada sayatan pedih menggores hati

Kania. Dan ia tak tahu mesti berbuat apa. Ia ingin

melihat bapaknya bahagia. Kalau perlu, sekarang ia

mau berkorban apa saja demi kebahagiaan ayahnya.199

"Bapa mesti segera kembali kepada mereka.

Mereka membutuhkan Bapa."

Pak Ruslan tersentak. Tapi kemudian meng
gelengkan kepala.

"Bapa ingin bersama kalian."

"Mereka membutuhkan Bapa."

"Bapa tidak punya apa-apa. Bapa telah banyak

menyusahkan kalian."

"Bapa tak usah berkata begitu. Saya akan tetap

membantu Bapa," kata Ridwan.

Pak Ruslan secara bergantian, menatap Ridwan

dan Kania.

"Saya rela. Kembalilah Bapa kepada mereka."

"Bersamamu?"

Kania menatap ayahnya. Wajah Pak Ruslan

nampak begitu mengharap. Sekarang saatnya aku

mesti membahagiakan bapa! Bisik hati Kania. Lalu,

kepala Kania mengangguk pelan.

Wajah tua itu mendadak berseri-seri. Memeluk

kedua anaknya dengan mata berkaca-kaca.

* * *200

LORONG rumah sakit, terasa lengang dan sepi,

karena bukan saatnya besuk. Ketiganya berjalan

tenang, menuju ruangan Sulastri.

"Kalau nanti sudah berhadapan dengan dia,

saya mesti panggil apa?" tanya Kania.

Pak Ruslan tersenyum. Juga Ridwan.

"Anak-anaknya memanggil Mami."

"Jadi. Bapa juga dipanggil mereka Papi?"

"Iya."

"Wah, naik pangkat. Dari Bapa Ruslan ke Papi

Ruslan."

Pak Ruslan tertawa.

"Rasanya kagok kalau panggil Mami. Macam

orang Barat saja."

"'Kalau kagok, ya boleh juga panggil Emak,"

sahut Ridwan.

"Mammii," gumam Kania.

Tak terasa, mereka sudah semakin dekat

ruangan Sulastri.201

Begitu masuk, ketiganya tertegun. Di hadapan

nya, seorang wanita tertutup kain putih berbaring

dengan tenang. Ditangisi anak-anaknya.

Pak Ruslan memejamkan mata, merunduk. Lalu

berjalan menghampiri, berdiri di samping kanan
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sulastri.

"Mami sudah tiada," sendat Arsih.

Tanpa berkata apa-apa, Pak Ruslan menyingkap

kain yang menutupi wajah Sulastri, didampingi Kania

dan Ridwan.

Wajah wanita yang penuh penderitaan, yang

banyak berkorban untuk anak-anaknya itu, nampak

pucat. Matanya memejam rapat. Seperti sudah pasrah

akan keadaan.

Pak Ruslan mencium keningnya, sambil berdoa.

Kania mengikuti Pak Ruslan, mencium kening

Sulastri.

Arsih, Merlita, Aning, Herman, dan Toni

memandang keheranan. Terharu.

Pandangan Kania begitu lekat pada wajah

Sulastri. Bibirnya bergerak menyebut: "Mami...,"

tanpa terdengar oleh siapa pun.202

Bening yang mengembang di kelopak mata

Kania, kini tak tertahan lagi.

Ketika berbalik, pandangan Kania beradu

dengan pandangan Arsih. Kania mendekat. Arsih

seperti tak terkendalikan. Ia menjatuhkan dirinya

dalam pelukan Kania.

Tak sempat ada kalimat terucap. Tapi keharuan,

begitu dalam mengabadikan perasaan.

T A M A T

Bandung, Desember 1980

Maret 1981203

Pertanggungjawaban Eddy Atas Karyanya

CINTA HANYALAH ALAT

UNTUK MERAIH PEMBACA

TAK sampai enam puluh orang hadir

mendengarkan ceramah Eddy D. Iskandar di teras

halaman dalam Kampus SPGN 1 Bandung, Minggu

siang 3 Februari yang baru lalu.

Ceramah yang berjudul "Tanggung-jawab

Pengarang atas hasil karyanya" diprakarsai oleh

Himpunan Penulis Muda, LONTAR Pusat, bekerja sama

dengan SPGN I Bandung dengan sponsor Kabin

Kebudayaan dan BKKNI Jawa Barat. Dihadiri oleh

kebanyakan remaja yang merupakan penggemar dan

utusan-utusan sekolah, anggauta Lontar Pusat dan

tampak pula utusan dari Cabang Cianjur. Dari sekian

banyak guru bahasa Indonesia SLTP/SLTA Kodya

Bandung yang seluruhnya diundang, hanya beberapa

orang saja yang sempat hadir berapresiasi dalam

kegiatan ini. Padahal menurut Ketua Lontar Pusat,

Djodi Priatna SA, sasaran ceramah ini dengan

diundangnya para guru bahasa, antara lain agar para204

guru tersebut di sekolah dapat menyampaikan tang
gung-jawab pengarang terhadap para siswanya yang

banyak membaca novel pop Eddy D. Iskandar, yang

sebenarnya tak termasuk literatur wajib di sekolah.

Lagi pula secara apriori banyak dilemparkan tuduhan

negatif kepada para pengarang novel pop yang dapat

menyisihkan karya sastra yang termasuk literatur

wajib. Berbau porno, bahasanya semau gue, tak berisi

apa-apa untuk meningkatkan kultur, kecuali

merusaknya, dan sebagainya.

Tanggung Jawab

SELURUH lontaran itu dibela Eddy D. Iskandar

dalam hampir 7 halaman papernya yang dibacanya

secara santai. Tuduhan terhadap berbau porno

disanggah Eddy dengan dikemukakan suatu

kekhawatiran, bahwa yang memberikan penilaian

yang tergesa-gesa itu jangan-jangan tak terlebih

dahulu membaca karya Eddy itu seluruhnya. Sebab,

kata Eddy, kalau memang orang membaca karya

tulisnya itu secara tuntas, bukan hanya membaca

judulnya saja, tidaklah mungkin timbul lontaran

semacam itu. "Cowok Komersil", "Cewek Komersil",

"Sok Nyentrik", tidaklah menampilkan ungkapan205

rangsangan yang kelewat batas. Bahkan ia selalu

mencoba menggambarkan adegan yang begituan itu

dengan suasana jenaka, sehingga perhatian pembaca

teralihkan. Sedangkan novel yang lainnya digarapnya

dengan cara yang lembut. Tapi adalah hak pembaca

untuk menilainya lain dari konsepsi pengarangnya.

Diakui oleh Eddy, bahasa dalam novel-novelnya

itu banyak dipakai kata-kata yang tak terdapat dalam

kamus, atau tak sesuai dengan kaidah yang sering

dikemukakan Yus Badudu dalam teve. Kecuali adanya

itu dalam realita kehidupan remaja. Karena memang

secara sadar novelnya itu diramu untuk konsumsi

remaja. Agar terjadi keakraban antara pembaca

dengan yang dibacanya, menurut Eddy, seyogianya

pengarang harus bercermin kepada selera pembaca

itu sendiri.

Terhadap hal itu guru yang hadir sependapat,

lalu menghimbau kepada Eddy agar digunakan saja

bahasa yang baik, karena toh seperti kata Eddy sendiri

tak akan mengurangi kuantitas pembacanya.

Kemudian ditanggapi Eddy, bahasa novelnya yang

seadanya itu tak dimaksudkan untuk merusak bahasa

baku, atau merongrong guru-guru bahasa di sekolah,

tetapi mudah-mudahan saja akan menjadi penambah206

kekayaan bahasa itu sendiri yang nyatanya selalu

tumbuh.

Cinta Hanyalah Alat

MENGAPA novel Eddy seluruhnya berkisar pada

cinta melulu, seolah-olah remaja itu hanya tenggelam

di dalam cinta saja. Padahal tak demikian sebenarnya.

Atas pertanyaan seorang remaja itu, Eddy menjawab,

cinta hanyalah alat. Karena cinta dalam kehidupan

remaja adalah dunia yang paling dominan. Walaupun

seluruh novelnya bertema cinta, bukan cintanya itulah

yang ingin disampaikan Eddy kepada masyarakat

pembacanya. Contohnya, novel "Sejoli Cinta Bintang

Remaja" yang baru saja tamat terhidang dalam

"Pikiran Rakyat" ini, adalah ingin memberikan

informasi kepada para remaja tentang dunia film,

suatu dunia yang dijadikan idola banyak remaja, agar

diketahui di balik layar putih yang gemerlapan itu

tertebar layar hitam yang menutupi kehidupan

mesum. Begitu pula dalam novel lainnya, di balik cinta

itu terkandung pesan. Sekurang-kurangnya memberi
kan gambaran suatu kehidupan yang penilaiannya

diserahkan kepada pembaca.207

Layak Atau Tidak Layak

KEGIATAN LONTAR semacam ini yang pada

hakekatnya merupakan kegiatan pendidikan sastra

informasi yang perlu didukung agar memasyarakat,

terutama oleh pihak yang berkepentingan. Baik oleh

lembaga pendidikan formal dan aparatnya, maupun

oleh masyarakat pembaca sendiri. Ketangkasan Eddy

D. Iskandar dan Rachmat Dst selaku moderator dan

Karno Kartadibrata selaku penyanggah/pembanding

dalam mengungkapkan ide-idenya, lepas dari benar
tidaknya menurut rumusan yang telah teruji para

ahlinya, sebenarnya tak layaklah hanya memperoleh

pengunjung yang begitu kecil, terutama guru-gurunya,

dibandingkan dengan jumlah besar masyarakat

sekelilingnya. Tapi itu pun agak sulitlah untuk

menunjuk salah satu pihak bersalah. Kecuali suatu

kesimpulan, begitulah sikap masyarakat kita terhadap

kegiatan sastra. Mencaci maki lebih gampang

daripada berapresiasi bersama-sama secara langsung

meningkatkan mutunya.

Dan perlu dipertanyakan dalam akhir tulisan ini,

apakah tema ceramah itu, suatu pertanda secara tidak

langsung, bahwa setiap pengarang harus menyerta
kan suatu pertanggung jawaban atas karyanya?

Dengan adanya pertanggung jawaban, lebih-lebih208

yang bersifat penjelasan, bukakah menandakan karya

sastra itu belum jelas bagi pembacanya? Apakah

namanya bagi karya sastra yang belum jelas?

Pengarang bebas mencipta. Begitu pula

pembaca bebas menilai karya cipta yang dinikmatinya.

Biarkanlah karya sastra itu multy interpretable, sebab

itulah kodratnya. (Trisna Mansur)***

"Pikiran Rakyat",

27 Februari 1980.209

EDDY D. ISKANDAR masih tetap tangguh. Masih

bertahan hidup dari hasil karangan. Masih terus menulis novel.

Masih juga produktif. Masih banyak penggemarnya.

Karya-karyanya tidak hanya dibaca oleh remaja, tapi

juga dijadikan bahan telaah pelajar SLA, dijadikan bahan skripsi

kesarjanaan, dan dijadikan tema diskusi.

"Sekarang kita tahu, bahwa Bung Eddy dengan novel
novelnya sesungguhnya sedang menjembatani apresiasi sastra

di kalangan anak muda, sebelum tiba masanya ia gandrung

pada novel yang lebih serius. Karena bagaimana pun

pengalaman batin anak muda akan berkembang. Akan

membutuhkan sesuatu yang lebih sungguh, yang lebih

manusiawi, yang lebih filosofis yang sekarang ia belum

membutuhkannya.

Karena alasan itulah saya terpaksa harus memihak

Bung Eddy untuk terus maju menuliskan novel-novelnya agar

mengundang minat baca yang lebih berlimpah. Kalau dari

novel-novelnya Bung Eddy jadi kaya, itu karena Bung Eddy jeli

membaca dunia anak muda dan ia dengan prigel memotretnya.

Bukankah untuk idenya ini yang diterapkan pada waktu yang

tepat, ia pantas menerima porsi yang pantas?"

(Handrawan Nadesul, Buana Minggu 12 November 1978).210

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
Gadis Manis Putri Tersayang Karya Eddy D Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

File ini dihasilkan dari konversi file DJVU menjadi file

gambar JPEG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Syauqy_Arr

? Kolektor E-Books


Pendekar Mabuk 078 Dewi Kesepian Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul

Cari Blog Ini