Ceritasilat Novel Online

Menaklukkan Kota Sihir 10

Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 10

orang-orang takut mati, mereka berubah menjadi

orang-orang tabah.

Salah seorang yang mengiringi Hong Pai-ok,

yang mengenakan topeng Sun Go-kong itu pun

termangu-mangu mendengar nyanyian dari sel sempit

itu. Rasanya ia pernah mendengar nyanyian itu, lupa
lupa ingat, ketika ia berada dalam saat-saat yang

membingungkan dalam hidupnya. Ketika pikirannya

serasa berjungkir balik sehingga apa yang dianggapnya

benar malah ditertawakan orang, ketika ia berada di

jalanan dan anak-anak kecil meneriakinya, mengejek,

melempari batu. Saat itu dengan jiwanya yang

terdalam rasanya dia mendengar suara nyanyian itu,

suara terompet tanduk, dan pikirannya berangsur
angsur pulih.

Kini ia mendengar lagi nyanyian itu, kali ini

begitu jelas, dalam keadaan sadar bukan dengan

kedalaman hatinya melainkan dengan kuping jasmani
nya.

Si Orang Bertopeng Sun Go-kong itu menarik napas.13

Sementara kemuakan dan kemarahan Hong Pai
ok meledak, "Diam! Diam! Atau harus kusumbat mulut

kalian dengan batu?"

Oh Tong-peng berhenti menyanyi, agaknya

mempertimbangkan bahwa Hong Pai-ok yang sedang

kalap itu bisa saja mewujudkan ancamannya.

Liu Yok pun berhenti menyanyi, dengan

pertimbangan lain: tidak baik saling membuat jengkel

sesama manusia. Jauh lebih sederhana dari per
timbangan Oh Tong-peng.

Maka lorong itu pun jadi sunyi, tidak terdengar

suara orang menyanyi lagi. Sementara orang-orang

yang mengiring Hong Pai-ok pun membungkam

semua, tidak ada yang berani bersuara.

Hong Pai-ok masih terengah-engah karena

marahnya, namun merasa bangga juga karena

menganggap dirinya masih menjadi "orang yang

ditakuti". Buktinya, bentakannya ditanggapi dengan

patuh, demikian anggapannya.

Namun selain itu, ia heran juga. Menurut

laporan anak buahnya yang menjaga tempat itu, Liu

Yok sudah berhari-hari tidak mau makan, gara
garanya hanya karena makanannya adalah bekas

makanan yang ditaruh di altar dan bekas14

persembahan untuk dewa-dewa Pek-lian-hwe, Liu Yok

hanya minum air putih terus. Bagaimana orang yang

tidak makan sekian hari masih sempat bernyanyi
nyanyi demikian gembira? Hong Pai-ok jadi ingin

melihat seperti apa "dukun Manchu" itu sekarang,

setelah tidak makan sekian hari. Sejenak lupa

tujuannya untuk mengambil senjata-senjata api di

gudang.

"Berapa hari anjing Manchu dalam sel itu tidak

mau makan makanan kita?" tanyanya kepada penjaga

tempat itu.

"Enam hari."

"Manusia macam apa yang tidak makan enam

hari tetapi masih hidup, dan masih bisa menyanyi
nyanyi? Ingin kulihat dia! Buka!"

Pintu besi sel sempit itu dibuka, dan yang

terlihat oleh Hong Pai-ok adalah Liu Yok yang kurus,

pucat, terpuruk lemah dengan punggung bersandar

dinding dan kaki dipasung dengan balok-balok serta

tangan dirantai. Namun Liu Yok sadar, matanya

terbuka dan memancarkan kecemerlangan tiada

taranya, bibirnya tersenyum ramah, sedikit pun tidak

ada rasa permusuhan kepada orang-orang yang telah

menganiayanya.15

"Kau belum mampus juga, anjing Manchu?" .

Liu Yok tersenyum, "Belum dikehendaki oleh

Sesembahanku, barangkali."

Hong Pai-ok menggeram, "Biarpun belum

dikehendaki oleh Sesembahanmu, kalau sekarang

kupotong lehermu, Sesembahanmu sendiri tak bisa

menolong. Nyawamu di tanganku!"

Liu Yok menjawab tenang.

"Kalau sesembahanku belum menghendaki,

siapa pun tak bisa mengambil nyawaku."

Biarpun suara Liu Yok lemah, hampir tak

terdengar, namun kata-katanya menggentarkan Hong

Pai-ok, meski Hong Pai-ok mencoba menutup
nutupinya demi menjaga kewibawaan di depan anak

buahnya.

"Kaukah yang membuat gusar dewa-dewa

kami, sehingga dewa-dewa kami kabur semua

meninggalkan kami?"

"Kalau dewa-dewa kalian marah, mereka tidak

akan kabur, melainkan menghancurkan aku kalau

mampu. Namun mereka pergi bukan karena marah

melainkan takut."16

Hong Pai-ok gusar. "Takut kepadamu?"

"Kepada Dia yang di dalamku."

Hong Pai-ok bertambah gusar, namun anehnya

juga disertai gentar yang mencekam jiwa. Waktu ia

hendak mengeluarkan perintah untuk membunuh Liu

Yok, mulutnya terasa kelu, tak mampu mengeluarkan

kata-kata itu. Mulutnya baru bisa mengeluarkan kata
kata lagi setelah dalam pikirannya ia menukar apa

yang hendak dikatakannya.

Yang dikatakannya kemudian adalah, "Orang ini

gila! Lebih baik kalau dia tetap hidup sebagai sandera

untuk menahan majunya pasukan Kanton! Tutup

kembali selnya!"

Yang menanggapi perintah itu dengan cepat

bukanlah Si Penjaga ruang tahanan tadi, melainkan

seorang bertopeng Dewa Monyet Sun Go-kong. Ia

menutup sel, menguncinya, dan kuncinya langsung

masuk ke kantongnya sendiri, tidak diserahkan kepada

Si Penjaga. Tetapi saat itu situasi sedang tegang,

orang-orang Pek-lian-hwe tidak terlalu mem
perhatikan urusan-urusan "kecil" begitu. Bahkan

sebelum Si Orang Bertopeng Dewa Monyet itu selesai

mengunci pintu sel, orang-orang sudah beranjak

menuju ke gudang senjata di ujung lorong.17

Tetapi dari dalam selnya terdengar suara Liu

Yok, "Kalian hendak mengambil senjata di gudang

senjata?"

Hong Pai-ok tertegun langkahnya, darimana Si

"Dukun Manchu" ini tahu? Kemudian suara Liu Yok

terdengar lagi dari balik pintu. "Percuma. Senjata
senjata itu sudah berkarat dan jadi rongsokan

semuanya, tak bisa dipakai untuk membunuh lagi!"

Seorang anggota Pek-lian-hwe yang

bertanggung jawab atas perawatan senjata-senjata

itu, tertawa dan berkata kepada Hong Pai-ok, "Tidak

salah kata Kakak Hong, orang ini memang gila! Baru

kemarin kuperiksa senjata-senjata itu, semuanya

masih baik dan aku selalu menyuruh orang untuk

meminyakinya dan menjaganya tetap kering. Setiap

saat bisa digunakan!"

"Betul?"

"Potong leherku kalau omonganku tidak betul!"

sahut Si Perawat senjata dengan mantap.

Tetapi waktu mereka membuka gudang dan

mengambil senjata-senjata itu, semuanya diketemu
kan dalam keadaan parah, berkarat dan keropos, tidak

satu pun yang masih utuh. Waktu tong-tong mesiu18

dibuka, ternyata bubuk mesiunya lembab semua,

bahkan tumbuh jamurnya.

Si Perawat Senjata menjerit histeris, "Tidak

mungkin! Tidak mungkin! Kemarin semuanya masih

baik! Banyak saksinya! Sungguh!"

Orang itu begitu panik karena melihat

pandangan mata Hong Pai-ok begitu kejam

mengancam. Hong Pai-ok juga dikenal sebagai orang

yang tidak tanggung-tanggung kalau menjatuhkan

hukuman.

Beberapa orang Pek-lian-hwe lainnya terdorong

untuk meringankan hukuman rekan mereka, maka

mereka pun ramai-ramai bersaksi bahwa kemarin

memang orang ini menjalankan kewajibannya dengan

baik.

"Tetapi karat dan jamur tidak tumbuh dalam

semalam!" raung Hong Pai-ok.

"Bisa, kalau disihir oleh dukun Manchu Liu Yok

itu!" kata si anggaota yang merawat senjata.

"Bukankah kita dulu bisa membuat orang mati atau

sakit atau gila dafam waktu semalam? Bukankah kita

bisa membuat suami isteri membenci dalam waktu

semalam? Dan lelaki perempuan yang tidak saling19

kenal sebelumnya juga bisa kita buat saling mencinta

dalam waktu semalam?"

Dalih ini masuk akal. Pikiran Hong Pai-ok jadi

terombang-ambing. Satu pertimbangan lagi, kalau dia

menghukum Si Perawat Senjata sekarang, mungkin

akan terjadi perpecahan di antara barisan Pek-lian
hwe sendiri. Padahal persatuan sedang dibutuhkan

untuk menghadapi musuh.

"Bagaimana ini, Kakak Hong?" desak Phui Se
san tak sabar.

Sebelum Hong Pai-ok mengambil keputusan,

seorang anak buah bergegas melapor, "Kakak Hong,

pasukan Manchu sudah mengepung tempat ini,

sebagian sedang mendobrak pintu halaman depan!"

Letak tempat ibadah Pek-lian-hwe itu sangat

dirahasiakan, sebab agama Teratai Putih ini sesat

dalam pandangan agama-agam lain yang ada di

daratan Cina saat itu. Belasan tahun "Kota Bunga

Persik" ada di Lam-koan dan masyarakat Lam-koan

tidak menyadari adanya tempat macam itu, bahkan

mendengar saja tidak. Tetapi sekarang tempat itu

bukan rahasia lagi dan diserbu tentara kerajaan, suatu
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hal yang mungkin karena Siau Hok-to yang menjadi

penunjuk jalan bagi tentara kerajaan.20

Hong Pai-ok kelabakan, Pek-Iian-hwe-nya benar

-benar sudah dilucuti dari hal-hal yang semula jadi

andalannya. Ilmu gaib mereka musnah tanpa sebab
musabab yang jelas, sekarang senjata-senjata api

andalan mereka pun tiba-tiba hancur total tak ada

satu pun yang bisa digunakan.

Tetapi Hong Pai-ok tiba-tiba ingat masih ada

"senjata" yang bisa digunakan.

Perintahnya, "Bawa keluar Oh Tong-peng dan

Liu Yok! Kita gunakan taruhan keselamatan mereka

untuk mengancam anjing-anjing Manchu agar tidak

maju lagi!"

Oh Tong-peng dan Liu Yok pun diseret keluar.

Anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya menyambar

senjata-senjata mereka, senjata-senjata tradisional

seperti tombak, golok, pentung dan lain-lain, dan

bergabung dengan teman-teman mereka yang berjaga

di segala sudut "Kota Bunga Persik" .

"Kota Bunga Persik" terletak terjepit di antara

rumah-rumah penduduk, dan rumah penduduk yang

mengelilinginya itu adalah rumah para anggota

terpercaya Pek-lian-hwe, tentu saja mereka tampil

sebagai orang-orang baik di masyarakat. Namun kini di

atas bubungan atap rumah-rumah penduduk yang21

mengelilingi "Kota Bunga Persik" itu, prajurit-prajurit

kerajaan berderet-deret bagaikan burung pipit,

dengan anak-anak panah sudah terpasang di tali

busur, mengincar bagian dalam dari tembok "Kota

Bunga Persik". Sementara para pemanah mengincar,

para prajurit pendobrak sedang membongkar pintu
pintu yang masuk ke "Kota Bunga Persik". Di beberapa

bagian, para prajurit bahkan menggunakan kapak dan

beliung untuk membongkar tembok. Sementara

mereka membongkar, pasukan penyerbu sudah siap

di belakang mereka dengan senjata lengkap.

Kui Tek-Iam, Thia Siang-peng berdiri di atas

wuwungan atap yang paling tinggi, dan dari tempat itu

terlihatlah "Kota Bunga Persik" yang bentuknya empar

persegi itu. Di samping kedua perwira kerajaan itu,

berdirilah Siau Hok-to.

Siau Hok-to berteriak kepada anggota-anggota

Pek-lian-hwe yang berada di "Kota Bunga Persik"

dengan menggunakan sepasang telapak tangannya di

depan mulut sebagai corong, "Teman-teman! Ini

bekas ketua cabang kalian! Aku serukan kepada kalian

untuk menyerah dan di ampuni! Tidak ada gunanya

kalian terus mengabdi dalam kepercayaan sesat!

Kalian mengabdi dengan sia-sia, pengabdian kalian

tidak dihargai! Contohnya aku, bertahun-tahun22

mengabdi dan anak perempuanku, anakku satu
satunya, ditumbalkan untuk ditempati roh-roh

gentayangan dan bertahun-tahun menderita! Apakah

orang-orang Pek-lian-hwe berterima kasih kepada

pengabdianku? Tidak! Mereka malah minta agar

anakku dikorbankan dalam apa yang mereka sebut

"api suci"! Bahkan aku dituduh tidak setia! Teman
teman, ada pengampunan buat yang ingin

menyerah!"

Orang-orang Pek-lian-hwe di "Kota Bunga

Persik" mendengar seruan itu, dan mereka mulai

bimbang. Apalagi di tengah-tengah mereka ada

seorang "teman" yang memakai topeng Dewa

Monyet, yang ikut berbisik-bisik melunturkan

semangat orang-orang Pek-lian-hwe itu.

Siau Hok-to yang berseru-seru dari atap, bisa

merasakan bahwa seruannya meninggalkan bekas

keragu-raguan di antara bekas anak buahnya. Dia

ulang-ulangi lagi seruannya.

Tiba-tiba dari arah "Kota Bunga Persik"

terdengar teriakan menyayat, sesosok tubuh

terlempar dari dalam ruangan ke halaman luar,

dengan perut terbelah dan usus terburai.23

Menyusul Hong Pai-ok melangkah keluar dari

bawah naungan atap, dari salah satu bagian "Kota

Bunga Persik" yang dinamai "aula setia kawan". Dia

melangkah ke tempat terbuka, sehingga dapat dilihat

dari atas atap, di tangannya tergenggam pedang yang

berlumuran darah.

Ia menengadah ke arah Siau Hok-to, teriaknya

sambil menuding orang yang terbunuh itu dengan

pedangnya, "Siau Hok-to, pengkhianat busuk! Jangan

sesali kalau nasibmu akan seperti tikus ini! Orang

berarti lemah begini tidak pantas menjadi anggota

Pek-lian-hwe! Mendengar seruanmu saja hatinya

sudah goyah!"

Siau Hok-to balas mengejek dari atas atap,

"Kakak Hong-ku yang baik, apa andalanmu sehingga

bersikap begitu garang? Kalau masih mengandalkan

sihir, coba sihirlah aku, biar orang-orang melihat

kehebatanmu dan takluk kepadamu! Atau kau

andalkan orang-orangmu yang sedikit itu?"

Sambil menggertak, sebenarnya Siau Hok-to

berdebar-debar juga. Sebagai mantan ketua cabang

Pek-lian-hwe, dia tentu saja tahu kalau di "Kota Bunga

Persik" itulah tempatnya lima ribu pucuk senapan

disimpan. Bagaimana kalau Hong Pai-ok menggunakan24

nya? Tetapi Siau Hok-to heran bahwa belum dilihatnya

seorang pun anggota Pek-lian-hwe yang memegang

senapan. Di satu sudut, dilihatnya sekelompok

anggaota Pek-lian-hwe bersiaga dengan panah dan

lembing, tidak kelihatan senapan sepucuk pun.

Siau Hok-to jadi heran, "Ke mana senapan
senapan itu? Mungkin setelah mereka tahu aku

menyeberang ke pihak pemerintah, mereka lalu

memindahkan tempat penyimpanan senapan
senapan itu, kuatir kalau aku menunjukkan tempat

penyimpanannya yang di sini."

Begitulah ia menduga-duga, tak diketahuinya

kalau bedil-bedil itu dalam waktu semalam sudah

menjadi barang rongsokan semua, secara aneh.

Ternyata Hong Pai-ok malah mengeluarkan

"senjata andalan"nya yang lain. Ia memberi isyarat,

maka dari dalam ruangan muncullah orang-orangnya

yang menyeret keluar Oh Tong-peng dan Liu Yok. Thai

Yu-tat yang bertubuh pendek kecil itu menyeret Liu

Yok yang nampak kurus, lemah dan pucat. Phui Se-san

menyeret Oh Tong-peng yang juga kelihatan kurus dan

pucat, tetapi tidak sekurus dan sepucat Liu Yok.

Hong Pai-ok tertawa terbahak, ancamnya,

"Anjing-anjing Manchu! Hentikan upaya kalian25

merusak tembok dan menggempur pintu! Sebab

begitu ada satu pun kaki kotor kalian menginjak

tempat suci kami ini, kepala kedua orang ini segera

menggelundung copot!"

Kui Tek-Iam terkesiap, mencemaskan

keselamatan Oh Tong-peng dan Liu Yok. Ia tahu bahwa26

dalam keadaan sangat terjepit, mungkin sekali Hong

Pai-ok melaksanakan ancamannya.

"Komandan Thia, bagaimana kalau kau perintah

kan orang-orangmu untuk berhenti menggempur

tembok dan pintu dulu?"

"Kenapa, Tuan Kui?"

"Keselamatan kedua orang itu terancam!"

"Siapa mereka?"

"Yang lebih tua itu adalah komandanku, Oh

Tong-peng. Yang lebih muda adalah Liu Yok, calon

menantu gubernur di Ho-lam, sekaligus saudara

sepupu dari isterinya Jenderal Wan Lui, jenderal yang

paling disayangi Baginda Kian-liong."

Sengaja Kui Tek-Iam jelaskan seterang itu,

supaya Thia Siang-peng menghargai keselamatan para

sandera itu.

Thia Siang-peng tidak langsung memerintahkan

anak buahnya agar berhenti bekerja, tetapi berkata,

"Di pihak kita juga punya Kang Liong. Ancam bandit
bandit itu, kalau mereka bunuh tawanan-tawanan

mereka, kita pun akan bunuh Kang Liong!"27

Hampir bersamaan Kui Tek-Iam dan Siau Hok-to

geleng-geleng kepala.

Kata Kui Tek-Iam.

"Aku kuatir cara itu tidak mempan. Biarpun

Kang Liong ini anggota Pek-lian-hwe, tetapi hanya

sebagai tokoh di sebuah cabang, nilainya tidak

sebanding dengan nilai Kakak Oh Tong-peng yang

adalah perwira tinggi dari pasukan pribadi Kaisar

sendiri, juga Liu Yok yang adalah calon menantu

Gubernur Ho-lam."

Siau Hok-to menambahkan, "Aku dulu ketua

cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Di antara kami tidak

ada kesetia-kawanan yang sejati, meskipun kami

menjadi serangkaian upacara minum arak campur

darah segala. Buktinya aku yang sudah berkorban

bertahun-tahun bagi Pek-lian-hwe, disingkirkan begitu

saja. Tukar-menukar yang kita tawarkan takkan

digubris mereka! Mereka siap mengorbankan apa

saja, termasuk teman sendiri!"

"Jadi, kita harus menghentikan gempuran para

tembok, padahal musuh ibaratnya sudah seperti

sepotong makanan di mulut kita?" tanya Thia Siang
peng jengkel. Angan-angannya tentang kenaikan

pangkat setibanya di Kanton nanti, agak terganggu.28

"Kita akan tetap mengepung dan mengawasi

tempat ini!"

Bagaimanapun inginnya Thia Siang-peng untuk

menyelesaikan urusan itu secepat mungkin, ia tidak

berani bertentangan dengan Kui Tek-Iam yang adalah

perwira istana. Dengan terpaksa ia keluarkan perintah

agar pasukannya berhenti membongkar tembok dan

menggempur pintu.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pasukan itu pun berhenti bekerja, suasana jadi

sunyi seketika. Di dalam "Kota Bunga Persik" Hong Pai
ok tertawa puas.

"Bagus! Sekarang permintaanku selanjutnya

adalah...."

Waktu Hong Pai-ok sibuk bicara dalam sukacita

meluap karena berhasil menggertak lawan, semua

orang Pek-lian-hwe tidak menyadari gerakan seorang

"anggota" Pek-lian-hwe yang memakai topeng Dewa

Monyet Sun Go-kong. Orang ini berjalan dengan wajar

saja, tidak tergesa dan tidak menimbulkan kecurigaan

anggota-anggota Pek-lian-hwe lainnya, ia menyelinap

sampai ke belakang tubuh Hong Pai-ok. Tahu-tahu saja

dia memelintir lengan Hong Pai-ok dan menekan

lengan itu di belakang punggung Hong Pai-ok. Hong29

Pai-ok tak bisa menyelesaikan kata-katanya dan

berseru kaget.

Hong Pai-ok bertubuh gemuk dan ototnya

keras, orang yang mencengkeramnya bertubuh

ramping, meski berotot juga tetapi hanya separuhnya

Hong Pai-ok. Tetapi cengkeramannya pada lengan

Hong Pai-ok begitu kena pada persendian dan urat

yang pas sehingga setiap pengerahan tenaga dari

pihak Hong Pai-ok hanya akan menyakiti diri sendiri.

Belum lenyap kaget Hong Pai-ok dan orang
orang Pek-lian-hwe yang ada di sekitarnya, di tangan

si topeng dewa monyet yang satunya lagi telah

kelihatan sebilah belati berkilat yang ujungnya

menempel di leher Hong Pai-ok.

Terdengar tertawa mengejek dari balik topeng

Sun Go-kong itu, katanya, "Babi gendut, simpan dulu

permintaan-permintaanmu. Sekarang akulah yang

akan meminta."

Apa yang terjadi itu tidak lolos dari pengamatan

Thia Siang-peng, Kui Tek-Iam dan Siau Hok-to yang

berdiri di wuwungan atap di sebelah "Kota Bunga

Persik" dan bisa melihat tempat itu dari atas.30

Sementara Hong Pai-ok menyeringai kesakitan

pada lengannya yang dipuntir itu. Gertaknya,

"Bangsat, siapa kau?"

Dari balik topeng Dewa Monyet itu terdengar

jawaban. "Aku Pang Hui-beng. Orang yang pernah

kalian sengsarakan dengan guna-guna kalian, sehingga

menjadi orang gila yang keluyuran di jalanan Lam
koan tanpa sadar akan diriku."

Kembali orang-orang Pek-lian-hwe dihadapkan

kepada bukti kekalahan mereka. Setelah pengaruh

sihir mereka atas Lam-koan pudar, lalu Lo Lam-hong

yang selama ini menurut dijadikan boneka tiba-tiba

sembuh dan menemukan kepribadiannya kembali,

sekarang mereka lihat Pang Hui-beng yang pernah gila

itu tampil dalam keadaan waras kembali pikirannya.

Bahkan mengancam Hong Pai-ok.

Di atas atap, Kui Tek-Iam berseru kegirangan,

"Saudara Pang!"

Bisa dimaklumi kegirangan Kui Tek-Iam, sebab

ia hampir kehilangan teman-temannya, sekarang satu

demi satu teman-temannya itu pulih kembali.

Regunya hampir utuh kembali, tinggal menunggu Oh

Tong-peng dan Liu Yok yang masih disandera Pek-lian
hwe. Diam-diam Kui Tek-Iam mengakui, tanpa31

munculnya Liu Yok di Lam-koan, maka misi yang

dibebankan Kaisar benar-benar akan gagal dan

berantakan. Bahkan anggota-anggota regu itu ada

yang lumpuh, ada yang gila, ada yang jadi boneka di

tangan musuh, semuanya karena sihir musuh. Namun

Kui Tek-Iam yang serba sedikit sudah kenal watak Liu

Yok, tahu bahwa Liu Yok sendiri tidak suka menerima

pujian, Liu Yok akan selalu mengembalikan pujian dan

penghormatan kepada Sesembahannya, dan dengan

rendah hati akan menyebut dirinya sendiri hanya

saluran dari Yang Di Atas.

Tanpa melepaskan cengkeramannya atas Hong

Pai-ok, Pang Hui-beng memakai tangan yang

memegang belati untuk mencopot lepas topengnya,

dan kelihatanlah wajahnya yang agak kurus, namun

cahaya matanya jelas kalau cahaya mata orang waras.

Pang Hui-beng menempelkan kembali ujung

belatinya ke leher Hong Pai-ok, katanya tegas.

"Perintahkan orang-orangmu melepaskan

Kakak Oh Tong-peng dan Saudara Liu Yok!"

Hong Pai-ok mengertakkan gigi dengan gusar,

pengharapan satu-satunya untuk menyelamatkan diri,

yaitu dengan mengancam para sandera, sekarang

pengharapan itu pun akan dirampas daripadanya.32

Namun ketika ujung belati mulai menggores

kulit lehernya dan kulit itu meneteskan darah, Hong

Pai-ok tidak berani berlambat-lambat lagi, katanya

kepada anak buahnya dengan berat hati, "Lepaskan

mereka berdua!"

Tetapi Thai Yu-tat dan Phui Se-san serta Ui-kong

Hwesio sebagai tokoh-tokoh Pek-lian-hwe setempat,

bukan "orang pusat" seperti Hong Rai-ok, punya

pertimbangan sendiri. Hampir bersamaan dengan

perintah Hong Pai-ok tadi, Thai Yu-tat yang

memegangi Liu Yok itu berkata, "Tidak akan kami

lepaskan!"

Pang Hui-beng menaikkan tangan Hong Pai-ok

yang dipelintir di punggung, sehingga Hong Pai-ok

menjerit kesakitan, rasanya lengannya seperti hendak

dicabut mentah-mentah dari pundaknya. Pang Hui
beng membuat satu goresan kecil lagi di leher Hong

Pai-ok, ancamnya.

"Suruh orang-orangmu melepaskan kedua tawanan!"

"Bukankah... kaudengar sendiri... orang-orang

ku membantah... perintahku?" sahut Hong Pai-ok

terengah-engah sambil peringas-peringis kesakitan.

"Perintahkan lagi, atau kulubangi lehermu!"33

Hong Pai-ok yang biasanya angkuh dan main

bentak kepada bawahan-bawahannya, kini dengan

tatapan mata yang memohon belas kasihan, menatap

Thai Yu-tat sambil berkata, "Saudara Thai, bukankah

kaulihat nyawaku terancam oleh orang ini?

Tolonglah... bukankah selama ini... kita sudah...

bekerja sama dengan baik? Bahkan... bahkan... aku

berencana untuk... mengusulkan ke Hwe-cu (Ketua)

agar... kau... menggantikan... Siau Hok-to...."

Thai Yu-tat kelihatan bimbang Sejenak, namun

kemudian menggeleng begitu mantap sampai jenggot

putihnya terayun ke kiri dan kanan.

"Maaf, Kakak Hong, bukannya aku melupakan

kerja-sama yang baik selama ini, juga melupakan niat

baik Kakak Hong untuk mempromosikan aku sebagai

ketua cabang di Lam-koan, tetapi lihatlah kenyataan.

Lihatlah pasukan musuh yang mengurung tempat ini.

Kita tak bisa lolos kecuali dengan tetap memegang

kedua sandera ini. Janganlah hanya karena Kakak

Hong mementingkan diri sendiri lalu kami disuruh

kehilangan jaminan keselamatan kami. Kakak Hong

harus siap berkorban, semoga arwah Kakak Hong

bakal diterima di pangkuan Ibu Abadi Tak Berasal
usul."34

Begitulah, keadaan jadi macet karena

pembangkangan Thai Yu-tat yang didukung Phui Se
san dan Ui-kong Hwesio serta anggota-anggota Pek
lian-hwe lain.

Dari jawaban Thai Yu-tat itu tercermin

bagaimana kesetia-kawanan antara tokoh-tokoh Pek
lian-hwe itu tipis, mudah menguap oleh datangnya

kesulitan atau kepentingan diri sendiri.

Hong Pai-ok mengertakkan giginya, sadar kalau

dirinya benar-benar tak digubris keselamatannya.

Sekarang ia coba mencari belas kasihan dari Pang Hui
beng, "Aku... tak berdaya lagi... atas orang-orangku.

Kaudengar sendiri."

Pang Hui-beng mengertakkan gigi, tetapi ia

tetap menawan Hong Pai-ok meskipun tidak tahu lagi

apa gunanya.

Sementara Thai Yu-tat mengambil-alih posisi

Hong Pai-ok sebagai perunding dari pihak Pek-lian
hwe. Teriaknya ke arah Kui Tek-Iam dan lain-lain yang

berdiri di atap.

"Perintahkan prajurit-prajuritmu mengosong
kan jalan di sebelah utara tempat ini! Tidak boleh ada

gerakan apa pun selama kami pergi dari tempat ini!

Aku sedang tegang, dan orang tegang mudah saja35

mengambil tindakan yang mengejutkan kalian, misal

nya membunuh kedua anjing Manchu ini. Maka

jangan coba-coba merintangi kami!"

Siau Hok-to mencoba membujuk, "Saudara

Thai, upayamu sia-sia saja. Mau kaubawa ke mana

teman-teman kita, sedang sanak keluarga mereka ada

di kota ini?"

"Tutup mulutmu, pengkhianat!" bentak Thai

Yu-tat. "Kau jadi anjing Manchu sekarang! Leluhurmu

pasti akan malu terhadapmu!"

Sementara Thia Siang-peng, atas anjuran Kui

Tek-lam, menuruti ancaman Thai Yu-tat untuk

membiarkan pergi dari tempat itu.

Tetapi Siau Hok-to masih mencoba melemah
kan semangat orang-orang Pek-lian-hwe yang

bertahan di "Kota Bunga Persik".

"Teman-teman, kalian akan diampuni kalau

menyerah! Tindakan kalian selama ini sudah salah,

kembalilah ke jalan yang baik dan menjadi warga Lam
koan yang baik!"

Belum ada anggota Pek-lian-hwe yang terang
terangan menyerah, tetapi hati mereka mulai di

gelayuti rasa bimbang dan ragu. Mereka memang36

bertanya-tanya dalam hati, kalau ngotot ikut Thai Yu
tat, lalu mau dibawa ke mana dan bagaimana dengan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masa depan mereka? Sedangkan mereka punya

keluarga dan mata pencaharian di Lam-koan.

Waktu itulah Pang Hui-beng bertukar isyarat

dengan Oh Tong-peng. Tiba-tiba saja Pang Hui-beng

berteriak keras sambil mendorong jatuh tubuh Hong

Pai-ok. Tindakannya itu mengejutkan semua orang

dan memang itulah yang dikehendakinya. Semua

orang Pek-lian-hwe menoleh ke arahnya dalam waktu

sedetik, tetapi sedetik sudah lebih dari cukup bagi Oh

Tong-peng untuk bertindak.

Biarpun tubuh Oh Tong-peng tidak sekuat

biasanya setelah sekian lama ditahan, tetapi ia tetap

memiliki kekuatan yang hebat. Ia dipegangi oleh Phui

Se-san, tokoh Pek-lian-hwe yang gemuk dan kalau

bertempur sering memakai topeng Siluman Babi Ti

Pat-kai. Tapi kali ini ia tidak mengenakan topengnya

yang dianggapnya sudah tidak manjur dan tidak punya

daya magis lagi. Oh Tong-peng tiba-tiba menyikut

keras ke belakang, kena rusuk Phui Se-san sehingga

Phui Se-san kesakitan dan cengkeramannya kendor.

Secepat kilat Oh Tong-peng membungkuk

sambil mencengkeram rambut dan ikat pinggang Phui37

Se-san. Tubuh besar itu terangkat melewati atas

pundak Oh Tong-peng dan berdebum di tanah

bagaikan karung beras dijatuhkan dari gerobak.

Orang-orang Pek-lian-hwe, termasuk tokoh
tokohnya, kurang rajin dalam latihan berkelahi secara

fisik, mereka lebih suka mengandalkan sihir daripada

bela diri biasa. Maka gerakan Oh Tong-peng itu

membingungkan mereka, apalagi dibarengi gerakan

Pang Hui-beng yang menerjang ke arah Thai Yu-tat

dengan lompatan bak harimau menerkam.

Thai Yu-tat yang sedang memegangi Liu Yok,

sepersekian detik kebingungan. Ia terlalu mem
perhatikan gerakan Pang Hui-beng dan tidak melihat

Oh Tong-peng menyergap dari samping.

Tetapi Oh Tong-peng terlalu ksatria untuk

mencelakai orang dengan cara menyergap. Ia bukan

menyergap untuk mencelakai Thai Yu-tat, melainkan

untuk menyelamatkan Liu Yok yang tadinya di

cengkeram Thai Yu-tat. Ia dan Liu Yok sama-sama

jatuh bergulingan di debu.

Begitulah, dua sandera yang hendak dijadikan

"tiket keluar" orang-orang Pek-lian-hwe itu pun lolos

dari tangan semuanya! Kini orang-orang Pek-lian-hwe

tidak punya apa-apa kecuali mengandalkan kekuatan38

sendiri, yang satu banding dua puluh kalau di

bandingkan dengan kekuatan musuh.

"Tangkap!"

Thai Yu-tat memerintahkan orang-orangnya

untuk menangkap kembali Oh Tong-peng dan Liu Yok.

Orang-orang Pek-lian-hwe bergerak serabutan,

agak kacau, beberapa di antara mereka malahan

bertabrakan satu sama lain. Mereka sampai lupa kalau

masih ada Pang Hui-beng.

Pang Hui-beng inilah yang kemudian

mengamuk, melindungi Oh Tong-peng dan Liu Yok

agar tidak tertangkap kembali.

Kui Tek-Iam melihat semuanya itu dari atas

atap, dan ia tidak membiarkan kawan-kawannya

dalam kesulitan sendiri. Tubuhnya meluncur bagaikan

elang turun dari langit, sambil meluncur turun sambil

menghunus pedangnya.

Hampir bersamaan, Thia Siang-peng juga

mengeluarkan perintah agar penggempuran tembok

dan pendobrakan pintu dipercepat. Agaknya dulu

waktu tempat itu dibangun, Pek-lian-hwe sudah

memperhitungkan saat seperti ini, maka tembok dan39

pintunya dibuat sangat kokoh sehingga sangat sulit

dijebol.

Sementara pemanah-pemanah di atas atap

memang belum mendapat perintah memanah secara

masai, kuatir mengenai Kui Tek-Iam dan kawan
kawannya yang masih bercampur dengan musuh.

Tetapi satu dua batang anak panah mulai

beterbangan, mengincar anggota-anggota Pek-lian
hwe yang terpencar. Dan satu dua orang Pek-lian-hwe

pula mulai bertumbangan.

Kui Tek-Iam, Pang Hui-beng dan Oh Tong-peng

sebagai prajurit-prajurit kawakan, mengerti bahwa

Thia Siang-peng dan pasukannya belum leluasa

memanah karena masih menguatirkan mereka dan Liu

Yok. Maka tanpa berjanji, ada yang menggandeng

setengah memapah Liu Yok yang sangat lemah, ada

yang melindungi, mereka mencoba mencapai suatu

sudut agar Thia Siang-peng dan pasukannya jadi

leluasa menumpas Pek-lian-hwe.

Karena ketiga orang itu memang jago-jago

istana yang tangguh, andalan Kaisar Kian-liong sendiri,

maka tidak sulit buat mereka untuk mendapatkan

sudut yang menguntungkan itu.40

Saat itu pulalah perintah Thia Siang-peng

menggelegar, "Hujani dengan panah!"

Maka panah-panah pun tidak lagi beterbangan

satu dua biji, melainkan tercurah bagai hujan deras

dan korbannya pun makin banyak. Orang-orang Pek
lian-hwe coba berlindung di bawah atap.

Kemudian salah satu pintu sudah berhasil

dijebol, dan tentara kerajaan pun membanjir masuk ke

tempat keramat Pek-lian-hwe itu sambil bersorak
sorai.

Liu Yok menjadi sedih wajahnya melihat itu,

tanyanya kepada Kui Tek-Iam, "Apakah tentara

kerajaan akan menumpas mereka?"

"Saudara Liu, mereka adalah orang-orang yang

punya keyakinan sesat, penyembah setan, bersahabat

dengan siluman-siluman, suka mencelakakan orang

dengan ilmu gaib. Mereka terlalu berbahaya untuk

dibiarkan terus hidup di tengah masyarakat!"

"Tidak. Mereka adalah orang-orang yang harus

dikasihani, selama ini mereka sudah tertipu oleh

mahluk-mahluk gaib yang mereka sebut dewa-dewa.

Setelah aku menghukum dewa-dewa mereka, banyak

di antara mereka mulai berpikiran waras dan tentu

ingiri kembali menjadi warga masyarakat yang wajar.41

Kejam sekali kalau mereka justru ditumpas di saat

hendak berbalik ke jalan yang benar."

Pang Hui-beng baru kali ini bertemu dengan Liu

Yok dalam keadaannya yang waras, sebelumnya

memang Pang Hui-beng pernah ketemu Liu Yok, tetapi

waktu itu Pang Hui-beng dalam keadaan gila.

Pertemuannya dengan Liu Yok dalam keadaan waras

ini mencengangkannya.

Ia heran mendengar Liu Yok dengan ringan saja

mengucapkan kata-kata "setelah aku menghukum

dewa-dewa". Sementara Pang Hui-beng dibesarkan

dalam masyarakat yang begitu takut "kualat" kepada

seribu satu macam dewa-dewi, sehingga harus

memberi sesaji agar dewa-dewi itu tidak mengamuk.

Sekarang didengarnya seorang manusia menghukum

dewa-dewa.

Namun Pang Hui-beng belum berpikir cukup

jauh untuk menghubungkan penghukuman dewa
dewi itu dengan kebebasannya dari kegilaannya.

Pikirannya belum berani "menyeberang" keluar dari

hukum-hukum alamiah.

Sementara itu. orang-orang Pek-lian-hwe

mundur dan berlindung di ruang-ruang tertutup dari

"Kota Bunga Persik" itu. Mereka meninggalkan42

belasan teman-teman mereka yang terpanah, ada

yang sudah mati dan ada yang masih bergerak-gerak

sambil merintih-rintih.

Thia Siang-peng tidak berhenti memanah, dan

tidak menghentikan anak buahnya memanah. Nyawa

manusia, apalagi di pihak lawan, tidak pernah menjadi

hitungannya, yang terbayang di matanya hanyalah

hadiah besar yang bakal diterimanya, kalau dia dapat

menyelesaikan gasnya di Lam-koan dengan baik.

Tetapi bagi Liu Yok, setiap desir anak panah

yang meluncur ke arah orang-orang Pek-lian-hwe yang

tidak berdaya itu seolah-olah menancap di kalbunya

sendiri, membuat hatinya luka dan berdarah. Tidak

peduli bagaimana orang-orang Pek-lian-hwe itu

pernah mengurung dan menyiksanya, sekarang ia

berbelas kasihan kepada mereka.

Belas kasihan itu menjadi kekuatan dalam

dirinya. Adalah di luar dugaan Oh Tong-peng, Kui Tek
Iam dan Pang Hui-beng, bahwa Liu Yok tiba-tiba

meronta lepas dari pegangan mereka, kemudian

berlari ke arah seorang anggota Pek-lian-hwe yang

masih merintih-rintih dengan panah tertancap di

perutnya, la tidak peduli hujan panah yang masih

dilancarkan oleh pasukan dari Kanton.43

Kui Tek-Iam kaget, "Saudara Liu!"

Kemudian Kui Tek-Iam menengadah ke arah

Thia Siang-peng sambil berteriak, "Hentikan

memanah! Hentikan memanah!"

Thia Siang-peng ternyata tidak segera

menanggapi permintaan itu, ia masih butuh waktu

untuk bisa menerima kenapa pihaknya yang sedang

unggul harus menghentikan serangan?

Waktu itu Liu Yok di bawah hujan panah sedang

memeluk orang Pek-lian-hwe yang terpanah perutnya

itu, tanpa peduli hujan panah, Liu Yok mengangkat dan

memeluk kepala orang yang sama sekali tidak

dikenalnya itu dan menghiburnya, "Kuatkan

semangatmu! Kau akan sembuh, Saudaraku!"

Orang Pek-lian-hwe itu sedang kehilangan

harapannya, teman-temannya sendiri pun

meninggalkannya ditempat terbuka dan tidak

membawanya ke tempat yang terlindung dari panah.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba ia kenal Si Tawanan yang berhari-hari

disekap, dianiaya, diejek dan dibentak-bentak itu

memeluknya, memberinya harapan.

Namun orang Pek-lian-hwe itu merasa

menemukan tempat untuk menumpahkan

perasaannya.44

"Aku akan mati. Aku punya keluarga, aku punya

tiga anak yang masih kecil, mereka akan terlantar."

"Hentikan omongan macam itu!" bentak Liu

Yok. "Katakan, aku akan hidup. Keluargaku takkan

kehilangan aku, keluargaku takkan terlantar."

Liu Yok tiba-tiba berdesis dan menggeliat,

sebatang panah menancap di belakang pundaknya.45

Tubuhnya tergetar menahan sakit, tubuhnya

menuntut perhatian, tetapi Liu Yok dengan tegas

memerintah tubuhnya sendiri, "Jangan manja, kau

cuma wadah, kau cuma buyung tanah liat yang harus

dipecahkan agar cahaya-Nya dalammu terpancar

keluar."

"Kau bicara apa?" orang Pek-lian-hwe dipelukan

Liu Yok itu bertanya, tidak mengerti omongan Liu Yok.

"Oh, tidak apa-apa. Barusan aku bicara kepada

tubuhku sendiri."

Orang Pek-lian-hwe itu sekejap lupa akan

sakitnya, tercengang heran akan keanehan orang yang

dihadapannya ini. Waktu jadi tawanan sudah cukup

aneh, selalu bernyanyi, sekarang sudah bebas dan

sudah punya kesempatan untuk lari pun masih tetap

aneh.

Sementara Kui Tek-Iam juga melihat panah yang

mengenai Liu Yok itu, sehingga dengan gusar ia

meneriaki Thia Siang-peng, "Komandan Thia, Saudara

Liu adalah sahabat Kaisar! Maukah kau kulaporkan

kepada Kaisar bahwa kau melukai sahabatnya?"

Thia Siang-peng jadi ketakutan sendiri, dan

buru-buru menyuruh pasukannya berhenti memanah.

Hujan panah pun berhenti seketika, bahkan prajurit-46

prajurit kerajaan yang sudah berhasil menerobos ke

dalam "Kota Bunga Persik" juga berhenti melangkah

tanpa diperintah.

Dari atas wuwungan Thia Siang-peng meneriaki

Kui Tek-Iam. "Aku tidak sengaja, Tuan Kui! Habis Tuan

Liu menyelonong begitu saja ke dalam tempat yang

sedang menjadi sasaran panah...."

Untuk sesaat di tempat itu seolah terjadi

semacam "gencatan senjata", perhatian dari kedua

belah pihak jadi terpusatkan pada Liu Yok dan orang

Pek-lian-hwe yang ditolongnya.

Orang-orang Pek-lian-hwe itu bertanya kepada

Liu Yok dengan suara lemah, "Kau perintahkan

tubuhmu sendiri? Kenapa dengan tubuhmu?"

"Jangan gubris diriku, sekarang katakan kepada

dirimu sendiri bahwa kau akan sembuh, akan sehat

kembali, keluargamu takkan kehilanganmu."

Wibawa yang menyertai kata-kata Liu Yok

membuat orang Pek-lian-hwe itu menurutinya. Ia

ucapkan kata-kata itu. Kemudian Liu Yok perlahan
lahan menarik anak panah yang menancap di perut

orang itu. Waktu dicabut, darah ikut memancar

keluar, tetapi ternyata panah itu tidak dalam

tertancapnya dan juga tidak di bagian yang47

mematikan. Orang itu menyeringai, sementara Liu Yok

merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka

orang itu.

Di tengah-tengah tempat yang sedang disertai

kebencian itu, muncul adegan yang ganjil itu. Liu Yok

sendiri masih ada panah tertancap di belakang

bahunya, tetapi sibuk membalut orang lain. Lebih

aneh lagi, yang dibalut Liu Yok adalah orang dari

golongan yang baru saja mengurung dan menyiksa Liu

Yok.

Orang yang dibalut itu akhirya melihat juga

panah di belakang pundak Liu Yok, sehingga dia kaget

dan mengkhawatirkan Liu Yok.

"Kau sendiri terkena panah!"

Liu Yok tersenyum dan menjawab, "Kau

menguatirkan aku? Aku kan musuh?"

Orang itu bingung sendiri, lalu berkata, "Kau

sendiri harus segera diobati."

"Ya. Kawan-kawanku akan mengobatiku. Aku

akan sehat, sembuh dan panjang umur."

Orang Pek-lian-hwe itu bungkam, ia bangga

melihat darah Liu Yok menetes ke tubuhnya dan

lukanya bergumpal dan jadi satu dengan darahnya48

sendiri. Suatu perasaan aneh yang sulit ditelusuri asal
usulnya.

Sementara itu, Liu Yok telah berteriak kepada

para prajurit kerajaan yang termangu-mangu tak tahu

harus berbuat apa, "He, kenapa kalian diam saja? Ada

banyak orang yang terluka bergeletakan di sini.

Mereka masih bisa ditolong kalau kita tidak

berlambat-lambatan!"

Para prajurit tidak segera bergerak, mereka

bukan bawahan Liu Yok, mereka bawahan Thia Siang
peng, jadi tidak berani bertindak melancangi

komandan mereka. Mereka memandang komandan

mereka yang berdiri di wuwungan.

Ternyata Thia Siang-peng diam saja. Tidak

membantah perintah Liu Yok, tidak juga meneruskan

perintah itu kepada anak buahnya. Ia sedang bingung

sendiri, kok jadi seperti ini perangnya? Situasi yang

begini belum pernah dipelajarinya dalam buku Peng
hoat (teori militer), maka ia jadi bingung menyelesai
kannya.

Sedangkan Siau Hok-to yang bertahun-tahun

berkecimpung di kawasan batiniah, meskipun di pihak

yang salah, lebih peka terhadap gejolak-gejolak dan

pergeseran-pergeseran yang terjadi di alam sukma49

meskipun tidak kelihatan di alam kasar. Kalau selama

ini pikiran Siau Hok-to seperti diselubungi kain tebal

berwarna hitam sehingga tidak bisa melihat apa-apa,

sekarang selubung itu seolah dirobek dan mata

batinnya melihat cahaya menyilaukan seperti yang

pernah dilihatnya dalam mimpinya dulu. Kini ia begitu

jelas melihat perang di alam sukma, bagaimana

terdorong oleh belas-kasihan-nya yang kuat Liu Yok

menyediakan diri untuk diremuk dan dijadikan saluran

dari kekuatan dahsyat Yang Maha Kasih yang melanda

habis benteng-benteng kutukan yang memenjarakan

Lam-koan selama ini.

Siau Hok-to pernah bergaul dengan orang
orang Eropa di Makao maupun Kanton, dan pernah

didengarnya dongeng-dongeng negeri barat tentang

puteri cantik atau pangeran tampan yang dikutuk

penyihir jahat, namun kutukan itu selalu buyar

sendirinya bilamana si orang yang dikutuk itu

menemukan kasih sejati. Kasih sejati menghancurkan

kutukan sihir, itulah intinya. Begitu pula yang terjadi di

Lam-koan. Bertahun-tahun tokoh Pek-lian-hwe

menaruh kutukan sihir atas seluruh kota, untuk

mengendalikan seluruh kota. Tiba-tiba saja kutukan

itu berantakan begitu saja, membingungkan tokoh
tokoh Pek-lian-hwe, dan sekarang Siau Hok-to tahu50

sebabnya. Tak lain karena ada orang seperti Liu Yok

yang merelakan dirinya dilalui aliran belas kasihan

dahsyat dari Maha Sumber Belas Kasihan itu sendiri,

menghancurkan kutukan-kutukan tak terlihat atas

Lam-koan. Ibarat orang melihat perang, Siau Hok-to

tidak lagi perlu menebak-nebak siapa yang akan

menang, itu sudah terlihat jelas. Ini bukan perang

antara pemerintah Manchu melawan Pek-lian-hwe

yang ingin mengembalikan kekuasaan dinasti Beng,

melainkan perang abadi antara belas kasihan

melawan kebencian. Perang yang terus terjadi,

bahkan di tempat di mana tidak ada orang Manchu

seorang pun atau orang Pek-lian-hwe seorang pun.

Diam-diam Siau Hok-to membatin.

"Jadi inilah sebabnya kenapa kami hancur, sihir

kami tak berdaya."

Dilihatnya Liu Yok, Si Saluran dari sumber belas

kasihan tak terbatas itu sibuk sendirian menolong

orang-orang luka di sana-sini. Sebisa-bisanya. Balut
sana balut sini, sampai bajunya sendiri compang
camping karena sering dirobek.

Kadang-kadang ia hanya membisikkan kata-kata

hiburan kepada seseorang, dan orang itu mendapat

kan kembali semangat hidupnya.51

Para prajurit masih berdiri kebingungan, Thia

Siang-peng tidak memberi perintah apa-apa. Namun

dari antara para prajurit, tiba-tiba muncul Cu Tong
liang yang langsung bergabung dengan Liu Yok untuk

menolong yang terluka sana-sini. Menyusul Lo Lam
hong. Lalu Pang Hui-beng. Lalu A-kui puterinya Siau

Hok-to.

Rupanya Thiam Gai dengan lancar berhasil

mengambil-alih komando atas pasukan Lam-koan dan

langsung dibawanya ke situ untuk memperkuat

serangan, Thiam Gai tak menyangka kalau di tempat

itu telah berkobar jenis "perang" yang lain. Perang

antara belas kasihan tanpa pandang bulu melawan

mementingkan diri sendiri dan golongan sendiri.

Ternyata beberapa prajurit Manchu tiba-tiba

meletakkan senjata-senjata mereka dan mulai

bergabung dengan "pasukan belas kasihan" itu, makin

lama makin banyak.

Sementara Thia Siang-peng masih mematung,

belum memberi perintah apa-apa kepada pasukan
nya. Tetapi prajurit-prajuritnya yang menolong orang
orang Pek-lian-hwe yang terluka itu pun tidak

dilarangnya.52

Di tempat-tempat terlindung dari "Kota Bunga
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Persik", orang-orang Pek-lian-hwe yang tidak terluka

bisa melihat adegan di halaman itu, dan mereka pun

terpesona. Di tangan mereka ada panah, mereka bisa

memanah Liu Yok atau prajurit-prajurit Manchu yang

tidak bersenjata dan tidak terlindung itu, tetapi entah

kekuatan apa yang membuat mereka tidak menarik

tali busurnya dan melepaskan panahnya. Mereka

melongo saja.

Mereka menunggu perintah Hong Pai-ok atau

Thai Yu-tat atau pimpinan lainnya, ternyata pimpinan
pimpinan Pek-lian-hwe itu sama bengongnya dengan

Thia Siang-peng. Mereka tiba-tiba kehilangan kendali

atas situasi, dan juga kehilangan prakarsa.

Sedangkan di antara anak buah Pek-lian-hwe

sendiri tiba-tiba saja malah muncul pikiran, kalau

prajurit-prajurit Manchu saja menolong teman-teman

mereka, kenapa mereka sendiri malah cuma jadi

penonton? Seorang anggota Pek-lian-hwe tiba-tiba

berkata.

"Mari kita tolong kawan-kawan kita di luar."

Ucapan itu tidak mendapat tanggapan, juga dari

para pimpinan, setidaknya tidak ada tanggapan

marah. Maka si pencetus gagasan tadi tambah berani,53

ia mulai beranjak meninggalkan tempatnya, menuju

keluar dan berkata, "Ayo, siapa mau ikut aku

menolong kawan-kawan kita."

Satu-dua orang ikut, lainnya masih ragu-ragu.

Orang-orang yang berniat menolong itu mula
mula melangkah keluar dengan takut-takut, ternyata

mereka tidak dipanah, tidak dibacok, tidak dijotos.

Prajurit-prajurit Manchu lebih sibuk menolong

daripada menciptakan bencana yang baru.

Orang-orang Pek-lian-hwe yang keluar dari

persembunyian itu makin berani. Liu Yok melihat

mereka dan bertanya, "Kalian mau apa?"

Orang-orang Pek-lian-hwe itu berdebar-debar.

Inilah Liu Yok yang pernah mereka kurung di sel sempit

dan pernah mereka siksa, sekarang pasukan yang ada

di pihak Liu Yok jauh lebih kuat dari mereka, alangkah

gampangnya kalau Liu Yok sekarang ingin membalas

kekejaman orang-orang Pek-lian-hwe atas dirinya.

Maka Si Pencetus Gagasan tadi dengan

tergagap-gagap menjawab, "Kami... ingin merawat

teman-teman kami yang luka."54

"Bagus, mari bergabunglah dengan kami.

Takkan ada yang melukai kalian. Permusuhan sudah

usai."

Begitulah, enak saja Liu Yok bilang permusuhan

sudah usai, padahal ia sama sekali bukanlah pimpinan

dari dua pihak yang bertikai itu. Tetapi selagi pimpinan

kedua pihak sama-sama kehilangan prakarsa, Liu Yok

seakan-akan tanpa disengaja tampil sebagai pimpinan.

Bukan pimpinan pihak yang sini atau pihak yang sana,

tetapi pimpinan buat kedua pihak!

Kata-katanya sangat berpengaruh dan kedua

pihak yang sedang kehilangan tuntunan dari

pemimpin-pemimpin mereka itu pun sekarang

menuruti Liu Yok!

Maka di tempat itu muncullah adegan

mengharukan. Orang-orang dari dua pihak yang baru

saja berhadapan dengan senjata-senjata terhunus,

sekarang bekerja sama, kali ini mereka bersatu

menghadapi musuh yang sama: yaitu maut yang

mencoba menggapai nyawa orang-orang terluka itu.

Semuanya sibuk saling menolong. Seorang perwira

Manchu tidak segan mencopot bajunya yang indah

dan merobeknya kecil-kecil untuk membebat luka
luka.55

Liu Yok kini tidak ikut sibuk. Dengan mata

berkaca-kaca ia menatap aksi kemanusiaan yang luar

biasa itu, kepada Kui Tek-Iam yang ada di sampingnya

ia berkata, "Saudara Kui, tidakkah ini lebih indah

daripada saling berbunuhan karena didikte oleh dewa
dewa keparat itu?"

Kui Tek-Iam cuma mengangguk, belum berani

ikut-ikutan mencaci dewa-dewa pujaan Pek-lian-hwe

seperti Liu Yok. Tetapi ia memang tercengang
cengang.

Sementara itu Siau Hok-to yang terbuka mata

batinnya melihat akhir dari perang di alam sukma itu,

memutuskan untuk bergabung dengan pihak yang

menang. Dan ia sudah tahu jalannya, la turun dan

berkata kepada orang-orang yang sibuk itu, "Di toko

obatku banyak persediaan obat luka dan obat penguat

tubuh, aku butuh banyak orang untuk mengangkutnya

kemari."

Lo Lam-hong yang pernah punya pengalaman

pahit dengan "obat" pemberian Siau Hok-to, bertanya

dengan curiga, "Obat macam apa yang akan kau

berikan kepada mereka?"

Jawab Siau Hok-to menyesal, "Sungguh
sungguh obat, Saudara Lo. Aku sudah kapok men-56

celakai orang. Aku sedang berterima kasih atas

pulihnya kesehatan puteriku. Aku tidak ingin men
celakai orang sekarang ini, meskipun aku bukan orang

baik."

Kui Tek-Iam menepuk pundak Lo Lam-hong

sambil berkata, "Saudara Lo, kecurigaan sedang

mencair lenyap, dan kita sedang belajar membangun

kepercayaan satu sama lain,"

Lo Lam-hong pun mengangguk dan tidak lagi

menghalangi Siau Hok-to. Lo Lam-hong sendiri merasa

bersyukur atas lenyapnya pengaruh asing yang selama

ini mengacaukan kesadarannya, meski dia sendiri

belum tahu apa yang menyebabkan pulihnya

kesadarannya itu.

Liu Yok tersenyum mendengar jawaban Kui Tek
Iam itu.

Liu Yok sendiri kemudian dicabut panahnya dan

dibalut lukanya. Tak lama kemudian Siau Hok-to

datang, diikuti orang-orang Pek-lian-hwe maupun

prajurit-prajurit Manchu, membawa obat-obatan.

Bahkan ada tong obat yang digotong berdua oleh

prajurit Manchu dan orang Pek-lian-hwe.

Melihat semuanya itu, Liu Yok tersenyum dan

berkata kepada Kui Tek-Iam, "Inilah hasil 'meniup57

sangkakala tanduk domba' yang dikombinasikan

dengan 'memecah buyung tanah liat?."

Lo Lam-hong dan Pang Hui-beng yang berdiri

dekat mereka, tercengang mendengar itu, tanya Pang

Hui-beng, "Apakah itu nama jurus-jurus iimu silat?"

Jawab Kui Tek-Iam, "Tak ada jurus silat sehebat

apa pun yang hasilnya sebagus ini."

Akhirnya orang-orang yang terluka dapat

diobati dan dibalut semuanya. Tak terhindari jatuhnya

beberapa korban jiwa dalam bentrokan singkat tadi,

termasuk orang Pek-lian-hwe yang dibunuh oleh Hong

Pai-ok sendiri. Yang menggembirakan Liu Yok ialah

terasanya semangat perdamaian dan kerja sama di

antara semua orang, pihak-pihak tiba-tiba saja

kehilangan selera perangnya.

Meskipun demikian, secara undang-undang

kerajaan tetap harus ada penyelesaian lanjutnya. Thia

Siang-peng bersikeras untuk tetap menangkap

pentolan-pentolan Pek-lian-hwe, meskipun setuju

untuk membebaskan semua anak buah Pek-lian-hwe

dan memberi mereka kesempatan untuk menjadi

warga Lam-koan yang baik.

"Anak buah boleh bebas, tetapi pentolan
pentolan harus tetap mempertanggungjawabkan58

perbuatan mereka!" kata Thia Siang-peng. "Sebab

pentolan-pentolan itu bertindak dengan sadar,

bukannya dengan ketidak-tahuan!"

"Jadi?"

"Hong Pai-ok, Siau Hok-to, Thai Yu-tat, Kang

Liong, Phui Se-san dan Ui-kong Hwesio harus kubawa

ke Kanton!"

Kui Tek-Iam tahu, tokoh-tokoh itu akan sangat

buruk nasibnya kalau dibawa oleh Thia Siang-peng.

Bisa jadi mereka takkan sampai ke Kanton dalam

keadaan hidup. Mereka bisa dibunuh di tengah jalan,

tubuh mereka akan dibanduli batu dan ditenggelam
kan ke dasar Sungai Se-kiang, sementara batok-batok

kepala mereka akan dipersembahkan dengan bangga

oleh Thia Siang-peng kepada Gubernur. Kui Tek-Iam

tidak ingin hal itu terjadi, berkumpul sekian lama

membuat ia agak "ketularan" semangat belas kasihan

Liu Yok.

Maka demi menyelamatkan tokoh-tokoh Pek
lian-hwe yang sudah tidak berdaya itu dari kekejaman

Thia Siang-peng, Kui Tek-Iam berkata, "Maaf,

Komandan Thian. Kami ini ditugaskan langsung oleh

Kaisar, dan harus bertanggung jawab kepada Kaisar.

Komandan Thia dan pasukanmu hanya diperbantukan59

kepada kami tetapi tidak disuruh mengambil-alih

tugas kami. Karena itu, kami harus membawa orang
orang ini ke Pak-khia, dihadapkan langsung kepada

Kaisar!"

Mendengar Kaisar dibawa-bawa dalam pem
bicaraan, Thia Siang-peng tidak berani membantah,

meskipun kecewa. Untuk mengurangi kekecewaan

orang yang sudah membantunya itu, Kui Tek-Iam

berkata, "Kami akan mengirim surat kepada Gubernur

di Kanton, memuji pelaksanaan tugas Komandan Thia

di sini. Surat itu pastilah akan membuat muka Saudara

Thia berambah terang di depan Gubernur."

Thia Siang-peng agak terhibur, meskipun dia

sebenarnya merasa lebih kelihatan gagah dan terkenal

kalau bisa menghadap gubernur sambil membawa

batok kepala Hong Pai-ok dan kawan-kawannya.

Hari itu juga, surat dibuat. Bahkan masih
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditambah surat ucapan terima kasih segenap warga

Lam-koan yang diwakili oleh guru silat Kwe Jiok.

Dengan berbekal dua surat yang bisa mendatangkan

pujian itu, Thia Siang-peng meninggalkan Lam-koan

hari itu juga.

Setelah Thia Siang-peng pergi, Siau Hok-to

berkata kepada Oh Tong-peng, "Komandan Oh,60

benarkah kau berniat membawa kami ke Pak-khia

semuanya?"

"Kami pertimbangkan."

Siau Hok-to menarik napas dan berkata,

"Komandan Oh tentu melupakan betapa jahatnya

kami, yang telah menyengsarakan Komandan dan

sebagian dari anak buah Komandan. Tetapi aku

sebagai ketua cabang adalah yang paling bertanggung

jawab, akulah yang memerintahkan semuanya untuk

melakukan ini-itu. Karena itu, biarlah yang ke Pak-khia

hanya aku sendiri, bebaskan yang lain-lainnya agar

tetap di Lam-koan dan menunjukkan kepada

masyarakat Lam-koan bahwa mereka bisa hidup

benar."

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe lainnya tercengang

mendengar, omongan Siau Hok-to itu. Mereka

menyangka, berdasarkan jasanya kepada tentara

pemerintah dengan menunjukkan letak "Kota Bunga

Persik", Siau Hok-to bisa paling ringan hukumannya.

Ternyata dalam posisi menguntungkan begitu,

Siau Hok-to malahan menawarkan diri sebagai

pengganti, sebagai satu-satunya tawanan ke Pak-khia

dengan menggantikan teman-temannya, sambil minta61

agar teman-temannya diberi keringanan tidak usah ke

Pak-khia.

Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe yang semalam

dengan geram masih mencari-cari Siau Hok-to yang

dianggap berkhianat bermacam reaksi mendengar

permintaan Siau Hok-to kepada Oh Tong-peng itu.

Hong Pai-ok menarik napas berulangkali, tak

berani menatap wajah Siau Hok-to. Thai Yu-tat yang

selama ini gigih menjelek-jelekkan dan berusaha

meng"kudeta" ketua cabangnya ini, sekarang

tertunduk malu, hatinya tersentuh mendengar

kesediaan Siau Hok-to berkorban menggantikan

kawan-kawannya, padahal belakangan itu Thai Yu-tat

sedang gencar-gencarnya menuduh Siau Hok-to tidak

lagi rela berkorban. Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe lainnya

pun tersentuh hatinya mendengar tawaran Siau Hok
to kepada Oh Tong-peng itu.

Phui Se-san yang kasar itu berkata dengan suara

parau, "Kakak Siau, maafkan kalau selama ini aku

terlibat dalam golongan yang ingin mendepakmu dari

kursi ketua cabang. Tapi sekarang tidak bisa kubiarkan

Kakak sendirian jadi pesakitan di Pak-khia. Kita pernah

sama-sama bersalah, dan sekarang juga harus sama
sama bertanggung jawab! Kakak ke Pak-khia, aku pun62

harus ikut ke Pak-khia! Kakak dipenjara, aku juga harus

dipenjara. Kakak dipenggal kepalanya, aku juga!"

Oh Tong-peng menarik napas, kemudian

berkata perlahan, "Aku baru saja belajar satu hal,

bahwa saling memaafkan tetap jauh lebih bagus

daripada saling menuntut keadilan, apalagi keadilan

yang dipandang dari sudutnya masing-masing.

Saudara-saudara para bekas pimpinan Pek-lian-hwe,

aku sudah memutuskan, asal kalian tidak mengulangi

praktek sesat kalian dan tidak lagi mencoba

membangkit-bangkitkan Pek-lian-hwe di Lam-koan ini.

tidak ada seorang pun akan kami bawa ke Pak-khia.

Tugas kami hanyalah menghancurkan lima ribu pucuk

senjata api kalian, dan ternyata sudah hancur

meskipun belum kami apa-apakan. Jadi, kami hanya

akan melaporkan itu kepada Kaisar, sedang kalian

tidak kami bawa-bawa. Nah, bagaimana, kalian

berjanji?"

Ui-kong Hwesio menjawab, "Dewa-dewa sudah

meninggalkan kami...."

Liu Yok menukas, memperingatkan, "Tetapi bisa

datang lagi dengan penindasan dan pengendalian

yang lebih dahsyat atas pribadi kalian dan keluarga

kalian, apabila kalian tergoda untuk kembali membuka63

diri terhadap kekuatan-kekuatan gaib itu. Entah

godaannya itu ingin kaya, ingin sakti, dikenal,

berpengaruh dan sebagainya."

Tidak seorang pun para bekas pimpinan Pek
lian-hwe cabang Lam-koan itu yang berani bercuit di

depan Liu Yok Si Penghukum dewa-dewa itu.

"Aku ingin jadi ahli obat-obatan dengan

pengetahuan yang wajar dan alamiah, tidak pakai

gaib-gaiban lagi. Aku tidak mau mengorbankan A-kui

untuk kedua kalinya."

Yang lainnya bungkam, tidak ikut berikrar

seperti anak kecil berikrar tidak akan mencuri permen

lagi, mereka terlalu malu untuk itu. Mekipun demikian

Oh Tong-peng tetap dengan keputusannya, "Aku tidak

akan menghukum kalian, atau pun menggiring kalian

sebagai pesakitan ke Pak-khia. Tetapi jangan coba

main-main dengan kelonggaran yang kuberikan kali

ini. Aku akan tetap memberi perhatian khusus kepada

Lam-koan ini."

Begitulah, di bawah pengaruh Liu Yok,

permusuhan yang ruwet bisa diselesaikan. Liu Yok

kemudian kembali ke Lok-yang keesokan harinya, dan

kalau datangnya sendirian, maka pulangnya ke Lok
yang membawa dua orang pengikut.64

Cu Tong-liang menyatakan mengundurkan diri

dari kedudukan-empuknya sebagai perwira istana,

dan ingin mengikuti Liu Yok untuk belajar "ilmu

kehidupan". Selain Cu Tong-liang, A-kui juga ber
sikeras ikut Liu Yok dengan alasan yang sama.

Sementara Oh Tong-peng dan keempat anak

buahnya yang tersisa, masih beberapa lama di Lam
koan untuk membenahi segala sesuatunya.

TAMAT

MASIH TERSEDIA LENGKAP :

B U K U C E R S I L I N D O N E S I A

Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

1. Bagus Sajiwo 1-21 tm.

2. Badai Laut Selatan 1-39 tm.

3. Jaka Gahng 1-4 tm.

4. Kemelut Blambangan 1-22 tm.

5. Keris Pusaka Sang Megatantra 1-22 tm.

6. Kemelut Majapahit 1-37 tm.

7. Nurseta, Satria Karangtirta 1-20 tm.

8. Pendekar Gunung Lawu 1-5 tm.

9. Ratnawulan 1-6 tm.

10.Sepasang Garuda Putih 1-16 tm.

Pesanlah sekarang juga agar tiduk kehabisan.

Dapat Anda peroleh di Toko Buku terdekat atau

langsung kepada kami.

PENERBIT66

Juga masih ada di persediaan kami :

Buku cersil Indonesia & Mandarin karya dari

pengarang :

1. Widi Widayat.

2. Sriwidjono.

3. Stevanus SP.

4. Yanes.

5. Aryani W.

6. SH de K a m as.

7. Nugroho Putu.

8. Gatot Riyo Purwanto.

9. Juri Wijaya.

10.B. Permadi HP

11.Kedi Mulyadi.

Hubungi Toko Buku terdekat atau langsung

kepada kami.

PENERBIT6768

PERNYATAAN

File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih

mediakan menjadi file digital.

Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial

dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi

file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk

mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan

dikompilasi menjadi file TextPDF.

Credit untuk :

? Gunawan A.J.

? Kolektor E-Books


Winnetou Kepala Suku Apache Karya Dr Pendekar Samurai 3 Kera Putih Pendekar Bloon 6 Undangan Maut

Cari Blog Ini