Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P Bagian 9
berabad-abad lamanya. Tiap detik kuharap Ayah
datang menolong, namun Ayah tidak datang
datang...."
"Maafkan Ayah... maafkan Ayah..,."
Siau Hok-to mempererat pelukannya, meskipun
terhalang terali besi. Sebelumnya ia juga kasihan
kepada puterinya, tetapi baru sekarang ia bisa
membayangkan betapa hebat puterinya terkurung
ketakutan dan keputus-asaan, kepribadian aslinya24
tergenggam total dalam cengkeraman kekuatan
kekuatan dari negeri maut.
"Syukurlah kau bebas sekarang, A-kui ..." kata
Siau Hok-to. Mendadak ia teringat kata-kata Liu Yok
yang mengaku "sudah mengunjungi A-kui" serta
ucapan lainnya "diutus untuk melepaskan orang
orang dari penjara", Siau Hok-to tiba-tiba berpikir,
mungkinkah sembuhnya puterinya ini ada sangkut
pautnya dengan Liu Yok?
"A-kui, coba ceritakan kepada Ayah apa yang
kau alami dan rasakan sebelum kau pulih seperti ini.
Seingatmu saja, Ayah maklum sebelum ini pikiranmu
seolah-olah bukan milikmu sendiri."
"Aku yang terkurung kegelapan, sayup-sayup
hanya mendengar suara semacam terompet tanduk di
kejauhan tetapi makin dekat. Penyiksa-penyiksaku
kelihatannya gentar sekali mendengar suara itu. Lalu
ada cahaya menerobos kegelapan, makin terang, dan
penyiksa-penyiksaku kabur semua. Begitu saja, Ayah."
Biarpun penjelasan itu singkat, Siau Hok-to bisa
melihat betapa runtut penalarannya, tanda betapa
warasnya pikiran A-kui sekarang. Aneh adalah
tanggapan dalam hati Siau Hok-to kepada cerita itu. Ia
percaya. Dan sekalipun Siau Hok-to adalah pemuja25
Dewa Cahaya, entah kenapa ia tidak percaya kalau
cahaya terang yang dilihat mata batin puterinya itu
adalah perwujudan dewa sesembahannya. Siau Hok
to sampai heran sendiri terhadap pikirannya sendiri
itu. Soalnya meski dewa sesembahannya disebut
dewa cahaya, namun sama sekali belum pernah
memberi cahaya terang dalam hidupnya. Yang sering
malahan mengancam dalam mimpi-mimpi atau dalam
pemunculan-pemunculan lain. Dalam mimpinya,
sering Siau Hok-to melihat dirinya sendiri diseret dan
dijerumuskan ke dalam jurang yang dalam dan gelap.
Sebutan "Dewa Cahaya" agaknya kurang cocok
dengan tindakannya dalam kenyataan.
Malam itu juga, Siau Hok-to membangunkan
seisi rumahnya. Ada yang disuruh menyediakan air
panas untuk mandi, ada yang disuruh menyediakan
pakaian, dan ada yang disuruh membersihkan kamar
A-kui yang sekian tahun ditutup dan tidak dipakai.
Meskipun setelah itu semua, Siau Hok-to mulai
"langganan" mimpi, di mana ia didatangi dewa
sesembahannya dan panglima-panglima perangnya,
mengancam agar Siau Hok-to mengembalikan A-kui
kepada mereka.26
Dalam mimpinya, Siau Hok-to menjawab bahwa
bukan dirinya yang merebut A-kui. Si Dewa Cahaya
dan panglima-panglimanya dipersilakan merebut
kembali A-kui dari pihak yang membebaskan A-kui,
dan ternyata Dewa Cahaya serta panglima
panglimanya itu mundur teratur.
Merenungi makna mimpinya itu, Siau Hok-to
sampai pada kesimpulan : Si "Dewa Cahaya" ternyata
bukanlah yang paling berkuasa. Masih ada yang lebih
berkuasa, tetapi entah siapa Siau Hok-to belum tahu.
Kui Tek-lam yang lolos dari kejaran orang
orangnya Thai Yu-tat, punya beban pikirannya sendiri.
Ia sangat menguatir-kan Liu Yok yang menyerahkan
diri begitu saja kepada orang-orang Pek-lian-hwe.
"Memang gila Liu Yok itu." katanya kepada Cu
Tong-liang yang sudah bisa diajak bicara, meskipun
masih sangat lemah tubuhnya. "Baik hati ya baik hati,
tapi apakah masuk akal kalau kepada musuh pun
berbaik hati? Mengulurkan tangannya sendiri untuk
dibelenggu?"
Cu Tong-liang menjawab lemah, "Aku pikir, Liu
Yok tahu apa yang dilakukannya."
"Menurut Saudara Cu, apa tujuan dari
tindakannya itu?"27
"Aku tidak pasti, cara berpikir Liu Yok terlalu
aneh buat kita. Aku cuma menduga, Liu Yok sengaja
menyerah agar bisa berada di jantung kekuatan sihir
Pek-lian-hwe, yang di berbagai tempat diberi nama
sandi Kota Bunga Persik. Dari sanalah dia
menghantam. Ini perkiraanku."
"Apakah kita perlu pindah tempat dari sini?"
"Buat apa?"
"Siapa tahu Liu Yok tidak tahan disiksa oleh
orang-orang Pek-lian-hwe, lalu dia menunjukkan
tempat ini? Padahal keadaan Saudara Cu masih
lemah."
Cu Tong-liang tertawa, "Tidak perlu pindah."
"Kenapa?"
"Ada teman-teman Liu Yok yang menjaga kita di
sini, meski tidak kelihatan."
"Saudara Cu mulai percaya hal-hal aneh
begitu?"
"Kalau sudah mengalami sendiri, mau tidak mau
harus percaya. Aku juga sudah mengambil keputusan
untuk mengikuti keyakinan Liu Yok. Saudara Kui
sendiri bagaimana?"28
"Aku pun punya pengalaman aneh dengan
seorang temannya Liu Yok. Seorang yang sambil
berjalan bisa berubah semakin muda dan semakin
muda." jawab Kui Tek-lam. "Tetapi bagaimanapun aku
tetap harus menyelidiki ke kota Lam-koan untuk
mencari berita tentang Liu Yok, dan tentang Kakak Oh
juga."
"Pergilah, jangan cemaskan aku di sini. Sebelum
pergi, maaf, tolong ambilkan bukunya Liu Yok, aku
senang membaca-bacanya."
Cu Tong-liang memang belum dapat bergerak
banyak, maka bungkusan pakaian Liu Yok yang cuma
beberapa langkah pun tidak dapat digapainya. Kui Tek
lam menolong mengambilkan buku Liu Yok.
"Apa isinya?" tanyanya kepada Cu Tong-liang.
"Apakah pelajaran menangkal ilmu sihir?"
"Kelihatannya bukan. Aku baru baca beberapa
lembar, nampaknya kisah yang sudah lama sekali,
kisah terjadinya langit, bumi dan benda-benda
angkasa."
"Silakan membaca-baca, Saudara Cu. Aku
tinggal dulu."29
Kui Tek-lam kemudian berangkat ke Lam-koan,
tentu saja dalam penyamaran.
Sekian lama ia berputar-putar, mencoba pasang
kuping di sana-sini dan kadang-kadang secara halus
coba memancing keterangan tentang orang-orang
yang di-cemaskannya. Namun ia tidak mendapat
keterangan apa-apa, kecuali petunjuk bahwa
keduanya mungkin dimasukkan ke "Kota Bunga
Persik", tapi di mana letak tempat itu, Kui Tek-lam
tidak mengetahuinya, meskipun ia pernah berada di
dalamnya, ketika menyelundup sebagai calon anggota
Pek-lian-hwe gadungan dulu.
Alhasil Kui-tek-lam cuma putar-putar kota
dengan sia-sia sampai tubuhnya berkeringat, karena
kota Lam-koan saat itu udaranya panas sekali.
Suatu saat, ketika ia berada di sebuah jalan,
tiba-tiba ia lihat di depan sana ada seseorang yang
sedang dikejar-kejar banyak orang. Yang dikejar itu
seorang lelaki setengah baya berjenggot panjang,
kalau melihat jubah panjangnya, mudah diterka kalau
dia adalah seorang tukang nujum. Rasanya Kui Tek
lam pernah juga melihat orang itu beberapa kali ketika
sedang buka praktek di tempat-tempat ramai. Entah
kenapa sekarang dikejar-kejar orang banyak?30
Wajah Si Ahli Nujum nampak ketakutan, ia
berlari sambil menyingsingkan ujung jubahnya di
bagian bawah. Namun agaknya ia bukan seorang olah
ragawan, larinya tidak cepat, dan sebentar lagi
nampaknya akan tersusul oleh pengejar-pengejarnya.
Pengejar-pengejarnya terdiri dari bermacam
macam orang, bahkan ada juga seorang nenek-nenek
yang larinya tertinggal jauh di belakang.
Kui Tek-lam bertanya kepada seorang penjual
makanan di pinggir jalan. "Bukankah yang diuber-uber
itu adalah ahli nujum tua itu?"
"Betul."
"Kenapa dikejar-kejar?"
"Kudengar-dengar, ramalannya semakin
banyak ngawurnya, padahal banyak orang
mempercayakan langkah penting kehidupannya
kepada ramalannya. Misalnya pengusaha yang mau
menanam modal, mau buka toko, orang tua mau
memilih jodoh dan sebagainya. Dulu Kakek Tong ini
ramalannya selalu tepat, entah kenapa sekarang
meleset semua. Tentu saja merugikan banyak orang."
"Kenapa ramalannya gagal?"31
"Entahlah. Kata orang, dewa-dewa yang selama
ini mendukung ramalannya, banyak yang pindah ke
kota lain."
Kui Tek-lam tertawa, "Kenapa dewa-dewanya
pindah? Apakah Si Ahli Nujum ini pelit memberi
sesaji?"
Si Penjual Makanan ikut tertawa, "Tidak tahulah."
Si Ahli Nujum yang sudah kelelahan berlari itu
hampir remuk dihajar masa, seandainya Kang Liong
dan satu regu pasukannya tidak muncul di situ dan
mencegah orang banyak main hakim sendiri kepada Si
Ahli Nujum. Orang-orang bisa ditenangkan oleh Kang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong meskipun dengan susah payah.
Nampaknya wibawa Kang Liong di mata orang
orang Lam-koan pun merosot. Dulu kalau Kang Liong
bicara, orang-orang Lam-koan mendengarkannya
dengan khidmat dan patuh, seolah-olah mendengar
suara seorang dewa. Sekarang, selagi Kang Liong
bicara, orang-orang masih berani berteriak-teriak dan
mengacung-acungkan tinjunya kepada Si Ahli Nujum
yang sudah dilindungi para pengiring Kang Liong.
Setelah Kang Liong memerintahkan prajurit
prajuritnya bertindak keras, barulah orang-orang
penasaran itu mau bubar.32
Kui Tek-lam mencatat peristiwa itu di benaknya,
dan ia meneruskan upayanya mencari berita tentang
Liu Yok dan Oh Tong-peng.
Waktu Kui Tek-lam lewat sebuah rumah judi
yang paling besar dan paling ramai di kota itu, ia lihat
rumah judi itu sekarang sepi pengunjung. Dari dalam
tidak terdengar teriakan ramai orang-orang mengadu
untung seperti biasanya. Si Bandar terduduk
bertopang dagu di mejanya, mungkin sambil bertanya
tanya dalam hati, mestikah jimat penglaris yang
dipasang di atap pintu masuk itu diganti yang baru,
yang lebih ampuh, dengan korban lebih besar?
Di tempat lain, Kui Tek-lam melihat rombongan
akrobat plus topeng-monyet yang dipimpin Thai Yu
tat, yang dulunya selalu dikerumuni penonton,
sekarang begitu sulit mengumpulkan penonton. Si
Penabuh Gembreng sampai habis suaranya ketika
berteriak-teriak, "Penduduk Lam-koan! Saksikan
tontonan dahsyat yang belum pernah ada! Saksikan
manusia kebal yang sanggup berjalan di atas api
membara! Mengiris lidahnya! Tidur di atas golok dan
dipukul perutnya! Ayo! Ayo! Saksikan beramai-ramai!"
Namun setiap kali datang satu dua calon
penonton, maka satu-satu calon penonton yang sudah33
datang lebih dulu dan sudah menunggu sejak tadi,
beranjak pergi. Begitulah, satu-dua datang, satu-dua
pergi, alhasil tak pernah terkumpul penonton yang
cukup banyak.
Thai Yu-tat sebagai pimpinan akrobat yang
sering menampilkan atraksi-atraksi magis juga, duduk
di atas peti kayu tempat peralatan tontonannya,
dengan wajah murung. Sambutan sedingin ini belum
pernah dialaminya. Namun dia pun sangsi, andaikata
penonton terkumpul cukup banyak, apakah ia dan
rombongannya bisa menyuguhkan atraksi yang bisa
memuaskan penonton? Rasanya dukungan gaib yang
bisa terasa olehnya dan anggota rombongannya, hari
itu "libur". Tanpa dukungan gaib itu, mana bisa jalan
di atas api? Mana bisa mengiris lidah?
Kui Tek-lam melewatinya terus. Tetapi tiba-tiba
sesuatu berkelebat dalam pikirannya. Ahli nujum
gagal menujumnya sehingga hampir dikeroyok orang,
rumah judi sepi pengunjung, rombongan akrobat yang
menampilkan atarksi-atraksi magis tiba-tiba diemoh4i
penonton, tanda-tanda apa ini? Tiba-tiba saja sebuah
dugaan muncul di otak Kui Tek-lam, mungkinkah ini
hasilnya Liu; Yok "meniup sasangkala tanduk domba
4
tidak diminati34
jantan"? Pek-lian-hwe mengandalkan topangan ilmu
gaib mereka untuk mencengkeram Lam-koan lewat
tontonan-tontonan mereka, rumah-tumah judi
mereka, orang-orang mereka yang diselundupkan ke
dalam pemerintahan seperti Kang Liong, yang dibekali
dengan jimat penambah kewibawaan, pendeknya
yang serba gaib, tetapi sekarang yang serba gaib itu
hampir lenyap pengaruhnya di segala lapangan. Satu
satunya orang yang patut "dicurigai" sebagai dalang
dari semuanya ini, hanya Liu Yok.
Hampir-hampir Kui Tek-lam tertawa sendiri
memikirkan itu, pikirnya, "Pek-lian-hwe kena batunya
sekarang. Tetapi mereka sendiri belum tentu sadar
apa yang menyebabkan pengaruh sihir mereka
amblas."
Yang paling menggembirakan Kui Tek-lam ialah,
ketika ia sampai ke suatu jalan yang agak sepi,
dilihatnya seseorang berjalan dari arah depan ke
arahnya. Orang itu melangkah perlahan, sambil
tangannya berulangkali memegangi kepalanya seperti
sedang mengingat-ingat sesuatu. Dan orang itu bukan
lain adalah Lo Lam-hong, rekan Kui Tek-lam yang
sekian lama menjadi boneka di tangan Pek-lian-hwe.35
Hampir Kui Tek-lam berteriak memanggilnya,
namun suatu pikiran lain melintas dan Kui Tek-lam
batal memanggilnya. Ia malah menepi, memberi jalan,
sambil tetap memperhatikan. Juga tetap waspada,
siapa tahu Lo Lam-hong masih dipengaruhi Pek-lian
hwe dan tiba-tiba menyerangnya?
Ketika melihat Kui Tek-lam, Lo Lam-hong
melambatkan langkah sambil memperhatikan baik
baik, telunjuknya teracung lama, sementara tangan
yang lain memegangi jidatnya membantu memulihkan
ingatannya, "Ini... ini... bukankah... Saudara Kui Tek
lam?"
Kui Tek-lam hampir bersorak kegirangan, jawab
nya, "Betul. Saudara Lo masih ingat aku?"
"Aku ingat... tapi terus terang saja agak bingung."
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Aku... seperti baru saja melewati suatu saat di
mana aku... tidak ingat apa pun yang kulakukan,
kukatakan atau kupikirkan."
"Lalu kenapa Saudara Lo bisa ingat lagi kepadaku?"
"Entahlah, tahu-tahu aku merasa heran kenapa
sedang ada di sini, dan waktu melihatmu juga heran36
karena langsung mengenalmu. Tapi rasanya ada
bagian dari waktuku yang hilang."
Baru saja Kui Tek-lam hendak menerangkan,
bahwa "bagian waktu yang hilang" itu adalah saat-saat
pikiran Lo Lam-hong dikendalikan oleh orang Pek-lian
hwe, tiba-tiba dari ujung jaian muncul beberapa lelaki
bersenjata menghampiri.
Orang-orang itu menatap Kui Tek-lam dengan
curiga, kemudian salah satu dari mereka berkata
kepada Lo Lam-hong.
"Saudara Lo, kenapa kau pergi begitu saja dari
pertemuan? Mari kembali ke pertemuan."
Dengan ketolol-tololan Lo Lam-hong malahan
balik bertanya, "Lho, kalian ini siapa? Aku harus
kembali ke mana? Pertemuan apa?"
Orang-orang yang menyusul itu saling
berpandangan, di tempat itu ada Kui Tek-lam yang
mereka anggap orang luar, mereka tidak leluasa
berbicara. Mereka cuma mendesak, "soal itu bisa
dijelaskan nanti, jangan di sini. Saudara Lo, mari kita
pulang dulu."
Kui Tek-lam sudah tentu tidak membiarkan
rekannya ini jatuh kembali ke bawah pengaruh sihir37
Pek-lian-hwe. Lagi pula, dengan melihat kenyataan
kenyataan yang sedang terjadi di Lam-koan, rasanya
Kui Tek-lam tidak gentar lagi terhadap sihir Pek-lian
hwe. Kui Tek-lam punya dugaan kuat bahwa
cengkeraman sihir Pek-lian-hwe atas kota Lam-koan
sedang dipreteli oleh Liu Yok. Maka berhadapan
dengan orang-orang Pek-lian-hwe yang menyusul Lo
Lam-hong ini, kalau cuma adu jotos saja rasanya Kui
Tek-lam tidak gentar menghadapi lima orang ini.
Maka berkatalah Kui Tek-lam. "Orang ini
temanku, kalau tidak mau diajak harap jangan
dipaksa."
Wajah orang-orang Pek-lian-hwe itu menegang.
Mereka semua tahu bahwa Lo Lam-hong ini sebelum
menjadi "boneka" Pek-lian-hwe adalah "anjing
Manchu". Kini ada orang yang mengaku sebagai
temannya, orang ini pastilah "anjing Manchu" pula.
Orang-orang Pek-lian-hwe itu langsung
menunjukkan sikap bermusuhan, mereka agak
merenggangkan jarak satu sama lain, siap berkelahi.
Yang mukanya ada bekas luka, sebagai pimpinan,
berkata, "Aku tidak tahu Tuan ini siapa, tetapi Lo Lam
hong ini milik kami. Kami harus membawanya pulang,
harap Tuan jangan ikut campur."38
Kui Tek-lam tertawa, "He, yang kau bicarakan ini
manusia, bukan kucing atau kambing. Kalau
kambingmu hilang dan kau menemukannya di luar
rumah, kau bisa menyeretnya pulang begitu saja.
Tetapi manusia punya kemauan sendiri, boleh pergi ke
mana kakinya membawanya, dia bukan milik siapa
siapa dan kau tidak boleh membawanya dengan
paksa. Itu namanya penculikan dan melanggar
hukum!"
"Siapa kau? Apakah kau petugas kerajaan?"
"Aku hanya seorang sahabat baik dari Saudara
Lo ini, aku tidak membiarkan sahabatku diculik di
depan hidungku!"
Sementara Kui Tek-lam dan orang-orang Pek
lian-hwe itu bertengkar memperebutkan Lo Lam
hong, maka Lo Lam-hongnya sendiri justru cuma
terlongong-longong kebingungan. Namun keadaan
pikirannya sudah sangat berbeda dengan sewaktu
dikendalikan orang Pek-lian-hwe. Waktu dikendalikan
dulu, pikiran Lo Lam-hong seperti membeku
dicengkeram pribadi lain yang merasuk dirinya, Lo
Lam-hong melakukan apa saja yang masuk ke
kupingnya sebagai perintah tanpa dipikir lagi.
Sekarang pikirannya sudah berfungsi biarpun masih39
agak bingung, dengan kesadarannya itu Lo Lam-hong
merasa lebih dekat kepada Kui Tek-lam yang memang
sudah bersahabat dengannya selama bertahun-tahun.
Sedang orang-orang Pek-lian-hwe ini tidak berbekas
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit pun dalam ingatannya, meskipun beberapa
saat menjadi "teman seperjuangan" di saat pikiran Lo
Lam-hong tidak berfungsi.
Dengan pertimbangan ini pulalah Kui Tek-lam
berani menantang orang-orang Pek-lian-hwe itu,
"Kalau tidak percaya, tanyalah dia, mau ikut aku atau
ikut kalian. Kalau dia bilang mau ikut kalian, aku takkan
menghalangi dia pergi bersama kalian!"
Orang Pek-lian-hwe itu sadar, kalau Lo Lam
hong disuruh membuat pilihan sendiri selagi
pikirannya sudah sadar, tentu akan menolak diajak
bergabung kembali dengan Pek-lian-hwe. Mereka jadi
terpojok oleh tantangan Kui Tek-lam itu. Maka
pimpinan rombongan itu memerintahkan orang
orangnya, "Hajar orang asing yang usil ini!"
Ia memerintah, dan ia sendiri bertindak.
Tangannya membuat gerakan menggertak mencakar
ke arah mata, namun serangan sesungguhnya adalah
kaki kanannya yang meluncur deras ke arah se-40
langkangan Kui Tek-lam. Ia membuka perkelahian
dengan gerak tipu yang kejam dan mematikan.
Namun Kui Tek-lam berkelit ke samping, bahkan
sempat mengejek, "Sudah lama tanganku gatal untuk
melakukan pertarungan yang begini, tanpa dibumbui
yang gaib-gaiban."
Ia berkata demikian karena tahu pengaruh gaib
Pek-lian-hwe sedang dilumpuhkan.
Orang Pek-lian-hwe itu ternyata justru kurang
pintar main sihir, ia lebih banyak mengandalkan otot
dan tulangnya. Maka begitu tendangan pertamanya
luput, kakinya yang lain menyapu rendah sambil
berjongkok dan memutar tubuhnya. Arahnya ialah
mata-kaki Kui Tek-lam.
"Biar kuuji seberapa keras tulangnya." pikir Kui
Tek-lam. Ia tidak menghindari sapuan kaki itu, malah
memperkuat pijakannya sekuat-kuatnya. Dua kaki
yang sama-sama terlatih itu bertabrakan. Si Orang
Pek-lian-hwe berdesis menahan sakit dan bergulingan
menjauh. Rasanya seperti menendang batu besar
yang tertanam di tanah.
Gantian Kui Tek-lam yang menerkam ke arah
orang itu, sebelum orang itu selesai bergulingan.41
Namun orang itu tidak sendiri, kawan
kawannya tidak tinggal diam. Seorang lainnya yang
bertubuh tegap segera memasuki gelanggang dengan
melompati tubuh kawannya sendiri yang masih
bergulingan, sambil mengayunkan belatinya yang
mengkilap ke arah Kui Tek-lam. Orang ke tiga
menyerang Kui Tek-lam dengan kayu hitam.42
Kui Tek-lam menghentikan tubrukannya ke
sasaran pertama, tetapi cepat-cepat merendahkan
dirinya, berbarengan dua tangan bersilang pada
pergelangan tangan yang saling menempel,
menggunting dan menjepit lengan Si Pemegang Belati.
Kui Tek-lam membungkuk sambil menyentakkan
tubuh Si Pemegang Belati itu searah dengan
tubrukannya sendiri, tubuh Si Pemegang Belati
terhempas menghantam Si Pemegang Toya hitam.
Bahkan toya hitam itu mengenai jidat Si Pemegang
belati yang adalah teman sendiri, dua tubuh itu
kemudian terhempas bersama-sama.
"Ayo maju semua, biar tambah ramai!" tantang
Kui Tek-lam, karena masih ada dua orang yang belum
masuk arena. "Ataukah kalian beraninya cuma dari
jauh sambil menusuki boneka dengan jarum?"
Dua anggota Pek-lian-hwe yang belum maju itu
sama-sama bertubuh kekar penuh otot, tampang
mereka yang mirip menunjukkan kalau mereka
bersaudara. Bagaikan sepasang gorila yang marah,
mereka maju melangkah perlahan-lahan dengan
sepasang tangan terulur ke depan. Agaknya mereka
jago dalam soal bergulat dan meringkus orang.43
Kui Tek-lam tertawa melihat gaya kedua orang
itu, "Kalian mau main gorila-gorilaan?" .
Kedua saudara itu menubruk berbareng, tetapi
Kui Tek-lam selicin belut menyelinap pergi. Detik
berikutnya, sebelum kedua "gorila" itu memperbaiki
posisinya, mereka merasa tengkuk mereka ditimpa
benda berat, mereka tersungkur dengan mata
berkunang-kunang kemudian pingsan. "Benda berat"
yang menimpa tengkuk mereka itu bukan lain adalah
sepasang tinju Kui Tek-lam.
Begitulah, orang-orang Pek-lian-hwe boleh jago
dalam ilmu gaib, namun begitu ilmu gaib mereka
lumpuh maka dalam hal ketangkasan fisik mereka
begitu cepat dan mudah dihabisi oleh Kui Tek-lam.
Si Pemimpin Rombongan agaknya tahu diri, ia
lalu mengajak teman-temannya kabur dengan
menggotong dua "gorila" yang pingsan tadi. Kui Tek
lam tidak mengejar, sebab ia ingin mengurus Lo Lam
hong lebih dulu. Selama terjadinya perkelahian tadi,
Lo Lam-hong cuma jadi penonton yang tidak mengerti
ujung-pangkalnya kenapa mereka berkelahi.
"Mereka sudah lari, Saudara Lo", kata Kui Tek
lam sambil menepuk pundak Lo Lam-hong.44
"Mereka tadi siapa? Wajah mereka seperti
pernah kulihat."
"Jangan pusingkan mereka dulu, segarkan
ingatanmu dulu. Sekarang ikutlah aku."
"Ke mana?"
"Ke tempat persembunyian kami selama ini. Di
sana ada Saudara Cu Tong-liang. Ingat?"
"Cu Tong-liang? Ya, rasanya nama itu pernah
kukenal. Bahkan kukenal baik."
"Tentu saja. Dia rekan kita."
Sambil melangkah bersama-sama, Kui Tek-lam
banyak bicara untuk memulihkan pikiran Lo Lam
hong. Dan ini tidak sulit. Ingatan masa lalu Lo Lam
hong bukannya terhapus sama sekali, melainkan
selama di bawah pengaruh gaib Pek-lian-hwe
ingatannya hanya seolah-olah ditutupi. Dan kini
selubung itu seperti dirobek-robek. Bahkan Lo Lam
hong sudah mulai bisa menanggapi dengan
perasaannya. Kalau Kui Tek-lam ceritakan kejadian
lucu yang dialami bersama dulu, Lo Lam-hong bisa
tertawa, bahkan mengomentari dan melengkapi cerita
itu. Pribadinya benar-benar mulai pulih.45
Kui Tek-lam lega. Ia ingat rekannya yang satu
lagi, Pang Hui-beng, yang disantet Pek-lian-hwe
sehingga jadi orang gila yang berkeliaran di kota.
Entah bagaimana dengan rekan yang satu itu? Apakah
pengaruh sihir yang mengungkungnya juga mulai
kendor? Namun seharian itu Kui Tek-lam tidak melihat
Pang Hui-beng, meskipun sudah memutari Lam-koan.
Maka lebih dulu ia bawa Lo Lam-hong untuk
dipertemukan dengan Cu Tong-liang.
Semangat Kui Tek-lam membara, tekadnya di
hadapan kedua rekannya itu, "Regu kita akan utuh
kembali. Kalau dulu orang-orang Pek-lian-hwe sudah
berhasil mencerai-beraikan kita dengan ilmu hitam
mereka, ada yang mereka kuasai, ada yang mereka
buat gila, ada yang mereka buat lumpuh, sekarang
satu demi satu dari kita akan kembali. Kita akan utuh
kembali. Kita enam orang waktu berangkat dari Pak
khia, dan kita akan jadi enam kembali."
"Tujuh!" tukas Cu Tong-liang. "Justru kunci yang
menentukan."
Kui Tek-lam menampar jidatnya sendiri,
"Hampir saja kulupakan Liu Yok. Ya, kita jadi bertujuh
sekarang!"46
Tanya Lo Lam-hong yang ingatannya sudah
pulih sebagian besar, "Liu Yok? Liu Yok yang pernah
dianjurkan oleh Jenderal Wan, tetapi Saudara Kui tidak
jadi membawanya kemari karena dianggap tidak
cocok dengan tugas ini?"
Kui Tek-lam mengangguk, "Aku salah besar
dengan tidak mengajaknya kemari dulu. Untung
akhirnya dia di sini juga."
"Di mana?"
"Ditangkap Pek-lian-hwe."
"Kalau begitu, harus kita bebaskan!" kata Lo
Lam-hong bersemangat.
Namun Cu Tong-liang berkata, "Tidak usah.
Firasatku bilang, Liu Yok akan memperoleh jalannya
sendiri untuk keluar."
Lo Lam-hong heran, "Saudara Cu, sejak kapan
omonganmu jadi seperti guru kebatinan begini?"
"Sejak aku tahu apa yang diyakini Liu Yok,
tahunya bukan melalui otak atau diajari orang, tetapi
dengan pengalamanku sendiri."
###47
Hong Pai-ok sedang kesal. Bertubi-tubi laporan
yang diterimanya tentang mengendornya pengaruh
Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan. Bahkan Kang Liong
yang biasanya dihormati, sekarang dibantah orang.
Yang paling memukul perasaannya ialah waktu
mendengar laporan bahwa Lo Lam-hong Si "Anjing
Manchu" yang sekian lama dalam genggaman Pek
lian-hwe, tiba-tiba memperoleh pikiran sadarnya
kembali dan kabur. Hong Pai-ok sadar, cengkeraman
Pek-lian-hwe atas Lam-koan sudah seperti telur di
ujung tanduk. Tanpa pengaruh gaib, Pek-lian-hwe
tidak berarti apa-apa di Lam-koan. Biarpun di Lam
koan itu Pek-lian-hwe menyembunyikan lima ribu
pucuk senapan, namun anggota Pek-lian-hwe sendiri
di Lam-koan tidak lebih seratus orang. Itu adalah
anggota yang benar-benar mengerti tujuan
"perjuangan" Pek-lian-hwe dan benar-benar setia, ada
jumlah yang lebih banyak, namun mereka hanyalah
anggota ikut-ikutan yang pasti tidak tahan uji kalau
menghadapi tantangan.
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu, kembali tokoh-tokoh Pek-lian-hwe
di Lam-koan dikumpulkan di "Kota Bunga Persik" atas
perintah Hong Pai-ok.
"Aku sungguh tidak mengerti..." Hong Pai-ok
membuka pertemuan itu dengan keluhan. "Si dukun48
Manchu Liu Yok itu sudah di tangan kita, dan ia hampir
mati kelaparan karena sudah tiga hari tiga malam tidak
mau makan minum. Tetapi kenapa justru pengaruh
gaib kita merosot serentak di seluruh kota Lam-koan?
Ahli nujum kita hampir mampus dikeroyok orang,
Kang Liong tidak lagi terlalu dipatuhi orang, rumah
rumah judi, rumah-rumah pelacuran dan rumah
rumah madat5 kita sepi pengunjung dan pemasukan
uang pun merosot banyak. Bagaimana ini?"
Kalau Hong Pai-ok saja sudah mengeluh
"bagaimana ini", yang lain pun belum punya
pemecahan masalahnya.
Siau Hok-to berkata, "Kakak Hong, yang kita
tangkap itu barangkali bukan Si Dukun Manchu yang
sebenarnya. Mungkin kita salah tangkap. Si dukun
yang sebenarnya saat ini barangkali masih aman di
suatu tempat di dalam kota atau sekitarnya kota,
menyelenggarakan upacara gaibnya untuk menentang
pengaruh kita."
Yang menangkap Liu Yok adalah Thai Yu-tat,
maka Thai Yu-tat jadi tersinggung bahwa ia dikatakan
salah tangkap. Ia membalas, "Kakak Hong, ajaran
pokok dari keyakinan kita adalah : demi keagungan
5 bar, rumah tempat bermabuk-mabukan49
sesembahan kita, kita harus berani berkorban dan
mengorbankan apa saja."
"Benar. Lalu?"
"Nah, kalau ada di antara kita, apalagi seorang
pimpinan, sudah tidak lagi memiliki kerelaan ber
korban dan mengorbankan, tentu saja sesembahan
kita gusar. Tidak heran kalau kita ditinggalkannya.
Betul tidak?"
"Siapa yang Saudara Thai maksudkan dengan
pimpinan yang tidak lagi memiliki semangat
berkorban dan mengorbankan?"
Thai Yu-tat pura-pura gelisah dan tidak segera
mengatakannya. Sengaja ia lebih dulu menjawab
berbelit-belit, "Aku sungguh tidak berani menyebut
kannya, Kakak Hong. Aku khawatir dituduh memfitnah
karena mengingini kedudukannya."
Dengan kata-kata itu, Thai Yu-tat sebenarnya
sudah menuding ke arah Siau Hok-to. Semua orang
juga tahu, dan semua mata dari peserta pertemuan itu
sekarang terarah kepada Siau Hok-to.
Siau Hok-to gusar, namun berusaha mengendali
kan diri.50
"Saudara Thai, bicara saja terang-terangan,
apakah aku yang kau maksudkan dengan pimpinan
yang tidak lagi mentaati asas pokok ajaran Pek-lian
hwe? Asas pokok yang merupakan jantung kehidupan
nya Pek-lian-hwe?"
Thai Yu-tat memang sudah bertekad untuk
menjatuhkan Siau Hok-to secepatnya, ia merasa
sudah mendapat angin dari Hong Pai-ok sebagai orang
pusat. Kini ditatapnya mata Siau Hok-to dengan berani
dan menjawab, "Aku pikir, orangnya pasti merasa
sendiri."
Siau Hok-to bertambah gusar, "Sebut namanya
saja, Saudara Thai. Kalau yang kaumaksudkan
orangnya adalah aku, aku takkan menyangkal asal kau
bisa tunjukkan bukti-buktinya."
Thai Yu-tat melirik dulu ke arah Hong Pai-ok,
dan Hong Pai-ok mengangguk. Maka Thai Yu-tat pun
berani menjawab, "Benar. Kakak Sianlah orangnya."
"Tolong Saudara Thai tunjukkan, dalam hal apa
aku tidak mau berkorban demi dewa kita?"
"Selama ini Kakak Siau dikenal sebagai tabib
paling hebat ilmu pengobatannya di Lam-koan dan
sekitarnya, dan itu adalah salah satu ujung tombak
penanam pengaruh Pek-lian-hwe kita di Lam-koan.51
Aku tanya, Kakak Siau, dari siapakah Kakak
memperoleh ilmu pengobatan yang hebat itu?"
"Karena aku berbakti kepada Dewa Cahaya dan
ibundanya, Ibu Abadi Tanpa Asal-usul (Bu-seng Lo
bo)."
"Pengorbanan apa yang Kakak berikan kepada
sesembahan kita?"
"Anakku satu-satunya, A-kui, aku relakan
menjadi kediaman beberapa panglima langit dan
pasukan mereka. Kadang-kadang sesembahan kita
memberi petunjuk kepadaku, melalui mulut
puteriku."
"Ternyata pengorbananmu tidak ikhlas, Kakak
Siau. Kaucoba menarik kembali korban yang sudah
kauserahkan, inilah yang membuat junjungan kita
marah. Dan bukan hanya aku saja yang kena
akibatnya, tetapi saudara-saudara yang lain juga!"
"Dalam hal apa aku tidak ikhlas?"
"Kemampuan pengobatan Kakak Siau akhir
akhir ini merosot jauh. Betul tidak?"
Siau Hok-to benar-benar tidak suka dirinya
ditanyai seperti pesakitan di depan meja pengadilan.
Namun sadar bahwa Thai Yu-tat mendapat dukungan52
Hong Pai-ok, Siau Hok-to terpaksa menahan diri. Ia
ingin menunjukkan dirinya tidak bersalah dengan cara
mematahkan semua tuduhan Thai Yu-tat.
Sahutnya, "Benar, aku akui. Aku sendiri heran
kenapa bisa begitu. Tapi pengaruh saudara-saudara
kita yang lain juga merosot, kenapa cuma aku yang
dituduh tidak ikhlas berkorban?"
"Yang lain-lain itu hanya kena dampak dari
ketidak-ikhlasan Kakak. Buktinya, A-kui, puteri Kakak
satu-satunya yang Kakak persembahkan hidupnya
kepada dewa kita, sekarang sudah tidak lagi menjadi
kediaman beberapa panglima langit. Ia sudah hidup
wajar seperti orang-orang lain. Ini artinya Kakak sudah
mengambil kembali A-kui yang tadinya Kakak
serahkan kepada dewa kita, sekarang menjadi milik
Kakak kembali. Inilah sumber masalah kita selama ini."
"Itu tidak benar! Aku tidak pernah bermaksud
mengambil kembali puteriku yang sudah ku
persembahkan kepada dewa kita! Aku tidak
mengambilnya kembali!"
"Lalu, kenapa dia sekarang bukan lagi kediaman
bagi beberapa panglima langit?"
Dalam percakapan Pek-lian-hwe, istilah
"menjadi kediaman para panglima langit" berarti53
dirasuki roh-roh jahat alias gila. Namun di kalangan
Pek-lian-hwe, orang tua yang mau menyerahkan
anaknya untuk "didiami panglima langit" alias gila,
mendapat kehormatan besar.
Jawab Siau Hok-to, "Aku terus-terang saja tidak
tahu kenapa para panglima langit tidak lagi berkenan
mendiami puteriku. Tetapi bukan karena aku tidak
rela. Aku tidak pernah lalai beribadah dan memuja
junjungan kita."
"Kakak bilang bukannya tidak rela, tetapi nyata
nya para panglima langit kabur."
"Saudara Thai, kau menyalahkan aku untuk hal
ini?" suara Siau Hok-to meninggi bersamaan dengan
naiknya emosinya. "Kalau ingin kedudukan pemimpin
cabang, ambil saja, aku akan minggir demi kemajuan
Pek-lian-hwe kita. Tidak usah menyebar fitnah!"
Keduanya hampir bertengkar, sementara yang
lain hanya sebagai pendengar. Kemudian Hong Pai-ok
menengahi.
"Diamlah kalian. Bahwa para panglima langit
sudah meninggalkan kita, itu bisa kita rasakan. Aku
sendiri sudah bersemedi dua malam di depan altar,
mencoba mencari hubungan dengan mereka, tetapi
sepertinya ada penghalang yang tak bisa dilewati."54
"Ketidak-relaan berkorban dan ketidak setiaan,
itulah penghalangnya!" tukas Thai Yu-tat.
Hong Pai-ok berkata pula, "Mungkin Saudara
Thai benar. Saudara Siau, untuk memulihkan kekuatan
kita di Lam-koan, barangkali Saudara Siau sebagai
pimpinan perlu mencontohkan sebuah pengorbanan
yang akan menyenangkan dewa-dewa kita dan para
panglima langitnya."
Dengan perasaan was-was Siau Hok-to
bertanya, suaranya pun takut-takut, "Apa maksud
Kakak Hong?"
"Tadi Saudara Siau bilang, bahwa Saudara tetap
merelakan puteri Saudara, dan tidak ingin menarik
kembali dia, bukan?"
Siau Hok-to cuma mengangguk, degup jantung
nya makin kencang.
"Jadi kalau Saudara Siau rela, apa salahnya kita
korbankan puteri Saudara? Pengorbanan ulang,
begitulah. Mudah-mudahan bisa menyenangkan
dewa-dewa kita."
Siau Hok-to belum sembuh jiwanya dari deraan
rasa bersalah, karena selama bertahun-tahun telah
menyediakan puterinya sendiri sebagai "indekos" bagi55
para panglima langit, dan hidup normal yang dialami
puterinya itu baru beberapa hari, bahagia sekali Siau
Hok-to menyaksikannya, apakah sekarang puterinya
harus diserahkan kembali ke bawah penguasaan dan
penganiayaan kekuatan-kekuatan dari alam-maut itu?
Siau Hok-to ragu-ragu sekian lama, sampai
Hong Pai-ok mengeraskan suaranya, "Saudara Siau!
Aku bertanya kepadamu!"
Siau Hok-to tersentak geragapan, "Tolong...
Kakak Hong jelaskan lebih terang."
"Baik. Relakah puterimu memasuki api suci
demi menunjukkan pengabdian total kita kepada
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
junjungan kita!"
"Tetapi puteriku baru saja sembuh."
"Justru itulah korban yang terbaik dan
memuaskan junjungan kita. Kalau anakmu penyakitan,
nilai pengorbananmu tentu kurang besar. Lagipula
sembuhnya anakmu berarti hilangnya sebuah
persembahan bagi junjungan kita, dengan mengorban
kannya kembali, kita bisa memulihkan kekuatan kita!"
Lama Siau Hok-to tidak menjawab. Istilah
"memasuki api suci" berarti anaknya akan diceburkan
hidup-hidup ke dalam tungku api yang menyala di56
depan patung dewa sesembahannya. Bekas-bekas
abunya pun takkan ketinggalan sedikit pun.
"Bagaimana, Saudara Siau?"
"Maaf, Kakak Hong, apa benar cara
pengorbanan ini akan menyelesaikan masalah
kemerosotan pengaruh kita? Kenapa tidak kita coba
dulu... upacara besar dengan delapan belas korban
yang kita rencanakan dulu? Usulku, Kakak Hong,
jalankan dulu upacara menurut rencana kita dulu. Kita
lihat dulu hasilnya bagaimana. Kalau yang itu tidak
berhasil, kita pikirkan lagi tindakan berikutnya."
Thai Yu-tat tertawa mengejek, katanya kepada
sekalian orang yang hadir. "Betul tidak dugaanku? Ada
ketidak-setiaan, ketidak-patuhan dan ketidak-relaan
berkorban dalam tubuh kita sendiri. Bagaimana
mungkin kita mengharapkan dewa-dewa dan
panglima langit tetap bersama kita?"
Siau Hok-to membantah.
"Saudara Thai, masalahnya bukan aku tidak
rela, tetapi cuma sekedar pertanyaan: benarkah
penghormatan puteriku akan menyelesaikan
masalahnya? Aku rela memberikan puteriku, jika
masalahnya pasti, misalnya karena kita mendapat
petunjuk gaib dari junjungan kita bahwa memang57
itulah yang dihendaki junjungan kita. Petunjuk yang
pasti, bukan hanya kira-kira berdasarkan pikiran kita,
apalagi kalau pikiran kita sudah dicemari niat untuk
saling menjatuhkan demi keuntungan diri sendiri.
Kalau dasarnya pengorbanan puteriku hanya kira-kira,
mungkin, barangkali, bagaimana kalau puteriku sudah
terlanjur jadi abu dan ternyata pengorbanan itu bukan
jalan keluarnya? Bukankah puteriku akan mati sia
sia?"
"Kakak Siau, bagaimanapun dengan kata
katamu sendiri Kakak sudah memperlihatkan ketidak
relaan Kakak."
"Terserahlah anggapan negatifmu, Saudara
Thai. Tapi semua orang saksinya, akulah satu-satunya
orang di Pek-lian-hwe cabang Lam-koan ini yang
mempersembahkan anakku sendiri. Tidak ada yang
pengorbanannya sebesar aku."
"Meskipun pengorbanan besar itu harus ditarik
kembali dan membuat para dewa gusar."
"Aku tidak pernah minta A-kui kembali kepada
ku, Itu terjadi dengan sendirinya!"
Begitulah Si Ketua Cabang dan Si Wakil Ketua
Cabang yang selalu bertengkar itu. Hong Pai-ok pula
yang kembali menengahi, "Saudara Siau, upacara58
pengorbanan delapan belas manusia penasaran itu
agaknya takkan mungkin terlaksana."
"Kenapa? Jumlah korbannya kurang?"
"Soal jumlah korban bukan masalah besar,
kalau perlu kita dapat mengirim regu-regu penculik ke
kota-kota lain sehingga jumlahnya genap delapan
belas. Bukan itu masalahnya."
"Jadi apa masalahnya?"
"Beberapa calon korban yang di tangan kita,
mereka tidak cocok untuk dikorbankan. Bukankah
syarat mutlaknya setiap calon harus penasaran akan
kematiannya, sehingga waktu ajalnya di altar
pengorbanan mereka akan melepaskan kebencian
hebat yang akan bisa menjadi kekuatan yang kita
manfaatkan?
Dulu waktu mereka ditangkap, mereka memang
penasaran. Si Pedagang merintih-rintih dan menawar
kan uang sogokan untuk bisa dilepaskan, Si Calon
Pengantin juga menangis-nangis, membayang kan hari
bahagia yang sudah di ambang pintu mendadak sirna
dan takkan mereka masuki. Saat itu mereka masih
merupakan calon-calon korban yang cocok, tetapi
sekarang tidak lagi!"59
"Kenapa?"
Bersambung jilid XVI.6061
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 16
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid XVI
"KARENA mereka tidak penasaran lagi.
Sekarang mereka pasrah. Dan ini bukan calon korban
yang cocok. Itulah sebabnya kukatakan bahwa
upacara pengorbanan itu takkan bisa terlaksana."
Ui-kong Hwesio bertanya, "Kenapa bisa begitu, Kak?"
"Entahlah. Suasana sel penahanan itu tiba-tiba
berubah sekali, tidak ada semangat penasaran,
semangat mempertahankan hidup, atau takut mati.
Yang ada adalah suasana pasrah, damai."
"Keparat!"
Tokoh-tokoh Pek-lian-hwe di Lam-koan itu
pusing. Mereka benar-benar merasa berantakan, dan
sialnya, mereka tidak tahu pasti apa penyebabnya.
Ilmu gaib mereka pun tidak dapat menemukan
jawaban. Sukma-sukma gentayangan yang biasanya
memenuhi "Kota Bunga Persik" mereka, entah kenapa
sekarang lumpuh terbelenggu, "Jadi, satu-satunya
jalan untuk memulihkan kekuatan kita, adalah dengan6
mengorbankan puteri Kakak Siau." Thai Yu-tat mulai
cari perkara lagi. "Itu kalau Kakak Siau rela."
Kini Siau Hok-to benar-benar terpojok, tak
terasa dalam hatinya dia memaki Thai Yu-tat, bahkan
juga memaki dewa-dewanya sendiri. Habis memaki ia
kaget sendiri, bagaimana kalau dewa-dewa marah dan
mengutuknya?
Siau Hok-to mencoba mengalihkan pembicara
an, "Tindakan apa yang akan kita ambil terhadap Oh
Tong-peng Si anjing Manchu, dan Liu Yok?"
"Kakak Siau, pembicaraan soal pengorbanan
belum selesai kok sudah mau bicara soal lain? Satu
persatu, begitu."
Di bawah sorot mata tajam Hong Pai-ok, Siau
Hok-to meratap dalam hati. Namun ia harus
menjawab, dan ia pun menjawab, "Kakak Hong... aku
minta waktu untuk berpikir. Harap dimaklumi, A-kui
adalah satu-satunya keluargaku, darah dagingku,
semenjak isteriku meninggal...."
"Kakak Hong, kita bisa kehabisan waktu." Thai
Yu-tat menghasut.
Maka keluarlah keputusan dari mulut Hong Pai
ok, "Saudara Siau, aku beri waktu sampai besok7
malam. Besok tengah malam kita adakan pertemuan
kembali, dan saat itu Saudara Siau harus memberikan
jawabannya kepadaku dan kepada saudara-saudara
lainnya di sini!"
Keputusan sudah keluar dan Siau Hok-to tak
dapat membantahnya lagi.
Pertemuan pun dibubarkan.
Malam itu Thai Yu-tat melindungi dirinya
dengan penangkal guna-guna berangkap-rangkap, ia
kuatir Siau Hok-to saking marahnya akan menyantet
mampus dirinya. Di kalangan Pek-lian-hwe, santet
menyantet sesama teman adalah hal biasa.
Pertemuan untuk mendengarkan jawaban Siau
Hok-to belum diadakan, siang itu sudah terjadi
perkembangan baru. Belasan kapal besar mendekati
dermaga dari arah timur, merapat ke dermaga dan
menumpahkan isinya berupa prajurit-prajurit
kerajaan yang jumlahnya dua ribu lima ratus orang,
dua kali lipat dibandingkan prajurit di Lam-koan yang
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jumlahnya cuma seribu. Prajurit itu berbaris tegap di
dermaga, komandannya adalah seorang lelaki tegap
berusia empat puluh tahun, namanya Thia Siang-peng,
membawa sebuah kapak yang tajamnya bolak-balik
dan tengah-tengahnya bertombak, panjang tangkai-8
nya pun sepanjang tangkai tombak. Senjata yang
nampaknya cocok dengan sosok tubuhnya yang besar
berotot.
Yang mendampingi komandan pasukan itu
ternyata adalah Thiam Gai. Inilah pasukan yang
berhasil didatangkan Thiam Gai dari Kanton, setelah ia
melapor ke sana.
Di dermaga, pasukan itu berbaris sebentar
untuk diperiksa oleh Thia Siang-peng, kemudian
berangkatlah pasukan itu memasuki kota Lam-koan.
Waktu para pimpinan Pek-lian-hwe mendengar,
mereka tergopoh-gopoh berkumpul di "Kota Bunga
Persik".
"Kita harus segera mempersenjatai anggota
anggota kita, ditambah dengan pasukan Lam-koan
yang komandonya sudah dipegang Saudara Kang
Liong! Meskipun kalah jumlah, tetapi dengan senjata
api di tangan kita, tentu perlawanan kita akan jauh
lebih kuat!" kata Ui-kong Hwesio panik sambil
meremas-remas kedua telapak tangannya sendiri.
"Jangan! Sebaiknya kita dan orang-orang kita
mundur dulu ke luar kota, ke pegunungan, dan
menyusun perlawanan gerilya dari situ!" usul Im Yan-9
kong. "Pihak kita belum siap berhadapan secara
kekerasan!"
Hong Pai-ok sendiri nampak kebingungan.
Dalam urusan-urusan gaib alias mengundang
"balatentara langit" dia jago, namun menghadapi
urusan "duniawi" begini dia bingung. Seandainya ilmu
gaib Pek-lian-hwe belum semerosot sekarang, tidak
perlu tokoh-tokoh Pek-lian-hwe ini kebingungan,
bahkan seandainya yang datang dua kali lipat
jumlahnya. Dengan ilmu gaib mereka yang beraneka
coraknya, mereka bahkan akan bisa berbalik
menguasai pasukan musuh seperti yang pernah
mereka lakukan atas Lo Lam-hong. Namun celakanya,
ilmu gaib mereka saat itu justru sedang "gembos"
tanpa diketahui sebab-sebabnya. Dalam
membicarakan datangnya pasukan dari Kanton itu, tak
sepatah-kata pun tokoh-tokoh Pek-lian-hwe itu berani
bicara tentang ilmu gaib. Mereka jadi kikuk dan
canggung dengan keahlian mereka sendiri yang
selama ini mereka geluti.
"Bagaimana,... Saudara Kang?" Hong Pai-ok
menanyai Kang Liong.
Kang Liong sendiri sebetulnya tidak setenang
kelihatannya. Jimat penambah kewibawaannya yang10
selama ini manjur dan berhasil mempesona orang
orang Lam-koan, sekarang tidak mempan lagi.
Terpaksa menghadapi masalah ini harus mengguna
kan "cara normal". Setelah putar otak sebentar, dia
menjawab.
"Kita tidak perlu buru-buru menganggap bahwa
pihak kita dan pihak mereka akan bertempur.
Meskipun mereka datang karena laporan Si Anjing
Manchu yang bernama Thiam Gai itu, tetapi masih ada
kemungkinan aku berkelit dan berpura-pura di depan
mereka, sehingga komandannya tidak termakan
sepenuhnya oleh omongan Thiam Gai. Kita bersiaga,
tetapi jangan menunjukkan sikap bermusuhan, siapa
tahu aku masih bisa menempuh cara yang
mengandalkan licinnya lidah. Lagipula tokoh-tokoh
masyarakat Lam-koan masih menganggap aku sebagai
tokoh pembasmi Pek-lian-hwe yang dapat diandalkan.
Ini adalah modal yang bisa kita garap!"
"Jadi?" tanya Siau Hok-to.
"Biar aku temui komandannya, dengan berpura
-pura beritikad baik."
"Berangkatlah sekarang."
"Satu hal lagi kalau boleh kukatakan. Kakak
Hong."11
"Silakan, Saudara Kang."
"Kalau boleh kumohon pemegang keuangan
kita, Saudara Im Yan-kong untuk menyediakan uang
cukup banyak. Barangkali bisa memperlancar urusan
dengan anjing Manchu yang rakus-rakus itu."
Hong Pai-ok tertawa, "Saudara Im, sediakan itu."
Kang Liong meninggalkan pertemuan itu.
Lebih dulu ia ke gedung pengadilan yang
menjadi kantornya, di tenpat itu ia mendengar
laporan seorang anak buahnya, bahwa pasukan yang
datang dari Kanton itu menggelar perkemahari di
sebuah tempat terbuka di sebelah timur kota.
"Siapkan jolli!" perintah Kang Liong.
Tak lama kemudian, dengan pengiring yang
sedikit sekali dan tidak bersenjata, Kang Liong naik
tandu tertutup menuju ke perkemahan pasukan
Kanton. Dalam joli, Kang Liong terus menerus
membaca mantera untuk memperlemah ketahanan
jiwa komandan pasukan Kanton yang bakal
ditemuinya. Biarpun terasa sekali kemerosotan
pengaruh Pek-lian-hwe di Lam-koan, dan Kang Liong
sendiri pun merasakan kalau manteranya seperti
hanya berhamburan di udara tanpa menyentuh12
sasarannya, Kang Liong tetap melakukannya sebagai
upaya untung-untungan.
Tiba di depan perkemahan, dengan bendera
bendera yang berkibar-kibar dan kelihatannya angker
dalam suasana perang, dengkul Kang Liong agak
gemetar juga. Bagaimana kalau Si Komandan ini sudah
lebih dulu dipengaruhi oleh perwira-perwira istana
seperti Thiam Gai, Kui Tek-lam, dan lain-lainnya?
Namun Kang Liong melangkah juga mendekati
satu regu penjaga yang berjaga di depan perkemahan.
Dengan sopan Kang Liong memberi hormat lebih dulu
kepada perajurit-perajurit rendahan itu, katanya, "Aku
adalah Kang Liong, yang dipercaya oleh masyarakat
Lam-koan untuk membimbing mereka selama
pemimpin yang baru belum ditentukan dari
kegubernuran. Sebenarnya aku hanya seorang hakim
yang tidak tahu seluk-beluk memimpin tentara,
namun karena rakyat Lam-koan mendesak aku...."
Bicara sampai di sini, Kang Liong menyadari
bahwa omongannya terlalu berlebihan untuk hanya
minta ijin lewat kepada sekelompok prajurit
rendahan. Maka ia lalu mengubah nada kata-katanya,
"Aku Kang Liong, mewakili rakyat Lam-koan, mohon
ijin menemui komandan pasukan ini."13
"Kami laporkan dulu ke dalam, silakan
menunggu, Tuan Kang." sahut komandan regu
penjaga, lalu seorang bawahannya disuruhnya
melapor ke dalam.
Sementara menunggu, Kang Liong mondar
mandir di bawa tiang bendera di depan perkemahan.
Ada semacam tradisi militer yang sudah berabad
abad, kalau suatu negara hendak memberangkatkan
tentara untuk memerangi negara lain, biasanya
diadakan upacara Pai-ki (sembahyang bendera
dengan maksud menambah keangkeran bendera itu di
medan perang kelak. Waktu Kang Liong menyadari
nya, ia kaget karena merasa telah berbuat kesalahan,
buru-buru ia menyingkir dari bawah bendera.
Menurut kepercayaannya, agar jiwanya tidak tertindih
oleh wibawa bendera yang mungkin sudah di
sembahyangi waktu hendak berangkat dari Kanton itu.
Prajurit yang melapor ke dalam tadi sudah
keluar kembali, katanya, "Komandan mempersilakan
Tuang Kang masuk ke rumahnya."
"Pengiring-pengiringku bagaimana?" tanya
Kang Liong.14
"Sebaiknya tetap di luar saja. Tidak apa-apa.
Bukankah Tuan Kang tidak datang dengan maksud
bermusuhan?"
"Tentu saja tidak. Apakah Komandan kalian
menganggap kami musuh?"
"Tentu tidak juga. Kenapa Tuan Kang berpikiran
begitu?"
"Barangkali saja komandan kalian sudah
mendengar berita yang keliru tentang kota ini,
sehingga kalian datang dengan senjata lengkap
seolah-olah menghadapi musuh padahal kami adalah
warga negara yang patuh."
"Soal itu, jelaskan saja nanti kepada komandan
kami. Kami cuma bawahan yang tidak berhak
mengambil keputusan."
"Siapa nama komandan kalian?"
"Thia Siang-peng."
Kang Liong tiba di kemah yang paling besar dan
paling tengah dari perkemahan prajurit itu. Ia
langsung masuk menghadap. Thiai Siang-peng duduk
gagah di kursinya, lengkap dengan serangan
militernya, kapak ganda bertombaknya tersandar di
sebelah kursinya. Tapi yang membuat Kang Liong15
bergetar adalah ketika melihat di ruangan itu juga
nampak Kui Tek-lam dan Thiam Gai yang sudah pernah
hendak ditangkap dan diuber-uber oleh Kang Liong,
juga Cu Tong-liang yang meskipun masih kelihatan
agak lemah namun sudah dapat duduk dengan baik di
kursi, serta Lo Lam-hong yang matanya bersinar
jernih, menandakan kalau akal sehatnya sudah pulih
sepenuhnya. Baik Cu Tong-liang maupun Lo Lam-hong
adalah mantan korban santet Pek-lian-hwe.
Melihat keempat perwira istana itu, Kang Liong
pun mengeluh dalam hatinya. "Nampaknya upayaku
untuk mempengaruhi Si Anjing Manchu Thia Siang
peng ini akan mengalami hambatan serius."
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun Kang Liong lebih dulu memberi hormat
kepada Thia Siang-peng. Ia mengatas namakan
"seluruh warga Lam-koan". Kemudian waktu melihat
keempat perwira istana itu, ia pura-pura kaget, "Lho,
kenapa Tuan-tuan juga ada di sini? Aku menyangka
dulu Tuan-tuan adalah..."
"... adalah gembong-gembong Pek-lian-hwe,
sehingga kau berhak mengejar kami, bahkan
menjanjikan hadiah atas kepala kami?" potong Thiam
Gai gemas sambil meremas-remas tangannya.16
Namun Kui Tek-lam menyabarkan rekannya itu,
"Tenanglah dulu, Saudara Thiam. Dengarkan dulu
badut ini mau omong apa."
Alangkah mendongkolnya Kang Liong. Apalagi
sebagai tokoh yang biasa dihormati warga Lam-koan,
sekarang dia dibiarkan tetap berdiri dan tidak ada
yang mengambilkan kursi. Namun demi suksesnya
tugasnya, ia menahan diri sebisa-bisanya. Katanya
kepada Kui Tek-lam, "Harap Tuan-tuan maklumi.17
Waktu itu aku begitu tertekan karena mendapat
kepercayaan seluruh warga Lam-koan, setelah
Komandan Bong dibunuh secara licik oleh bangsat
bangsat Pek-lian-hwe. Padahal aku ini tidak mampu
memikul tugas seberat ini. Maka pikiranku jadi
dipenuhi prasangka, sampai pernah menyangka Tuan
tuan adalah orang Pek-lian-hwe. Kalau tahu Tuan-tuan
ini adalah abdi-abdi kerajaan, seperti juga aku, tentu
aku akan memperlakukan Tuan-tuan dengan hormat.
Untuk kekasaranku dulu, aku mohon Tuan-tuan
memaafkan."
"Jangan bicara bertele-tele!" Thia Siang-peng
menukas dengan suaranya yang kasar. "Katakan
maksud kedatangan Tuan Kang ke sini!"
"Baik, supaya aku tidak membuang-buang
waktu Tuan Komandan, aku langsung katakan saja.
Aku mewakili warga Lam-koan, menanyakan
kedatangan pasukan perang ini bermaksud apa?
Terus-terang, warga lam-koan yang selama ini hidup
damai, bahkan membayangkan perang pun tidak
pernah, menjadi ketakutan melihat kedatangan
pasukan sehebat ini. Lalu mereka mengutus aku
menemui Tuan, meskipun aku sendiri agak
ketakutan."18
Mendengar kelihaian Kang Liong berbicara dan
mengambil hati, Kui Tek-lam merasa kuatir dalam hati,
"Wah kali ini yang berbahaya bukan santetnya, tetapi
bibirnya yang bermadu itu jangan-jangan akan mampu
mempengaruhi Thia Siang-peng yang rada bebal ini?"
Terdengar Thia Siang-peng sudah menjawab,
singkat dan kasar, sesuai wataknya, "Kedatangan
pasukanku ya tentu saja untuk menumpas Pek-lian
hwe!"
Kang Liong mengangguk-angguk, "Pek-lian
hwe, organisasi bawah tanah dari sisa-sisa dinasti
Beng yang memimpikan kebangkitan kembali dinasti
Beng itu?"
"Ya!"
"Memang beberapa tahun yang lalu pernah
kudengar tentang organisasi semacam itu, meskipun
beritanya lemah dan berasal dari sumber yang kabur.
Memang patut ditumpas. Jadi Komandan Thia ini
ditugasi menumpas Pek-lian-hwe di seluruh propinsi
ini?"
"Bukan di seluruh propinsi, tapi khusus di Lam-koan."
Kang Liong pura-pura menunjukkan wajah
heran, "Lho! Rasanya kami para abdi-abdi negara di19
Lam-koan ini masih mampu mengendalikan keadaan,
dan belum sampai harus merepotkan pemerintahan
yang di atas kami."
Thiam Gai tertawa dingin, "Pek-lian-hwe di kota
ini sudah keterlaluan. Mereka berani menyerbu
penjara untuk mengacau, berani menyantet perwira
perwira istana, meyelundupkan orang-orangnya
menduduki berbagai tempat terhormat dalam
masyarakat, dan yang paling gawat adalah :
menyimpan ribuan pucuk senjata api yang kelak akan
digunakan untuk memberontak!"
Kang Liong pura-pura kaget sambil meninju
telapak tangannya sendiri, "Ah, benarkah itu?"
Thiam Gai tertawa dingin melihat lagak Kang
Liong itu. "Harusnya Tuan Kang mengetahuinya,
kenapa malah pura-pura kaget?"
Sahut Kang Liong, "Soal meningkatnya kegiatan
bangsat-bangsat itu di Lam-koan, memang aku sudah
cukup merasakannya beberapa waktu yang lalu.
Dimulai sejak terbunuhnya Nyo In-hwe dan pembantu
rumahnya di dalam rumahnya sendiri. Aku terkejut
ketika di ruang bawah tanah Nyo In-hwe ada altar
pemujaan gaya Pek-lian-hwe. Tuan Kui tentu tahu
sendiri soal ini."20
Begitulah Kang Liong sengaja membawa-bawa
Kui Tek-lam, yang saat itu masih dalam penyamaran
dan sedang menumpang di rumah Nyo In-hwe.
Rupanya Kang Liong berpendapat, kalau ingin
bohongnya kelihatan sempurna dan tidak terbongkar,
maka harus dicampuri dengan kenyataan yang bisa
disaksikan orang lain. Itulah semacam "tehnik
berbohong" tingkat tinggi.
Kui Tek-lam hanya mendengus saja, tetapi
kuatir Thia Siang-peng akan terpengaruh karena
lihainya Kang Liong bersilat lidah.
Kang Liong melanjutkan, "Sejak kuketahui
bahwa Nyo In-hwe adalah orang Pek-lian-hwe yang
entah sudah berapa tahun bersembunyi rapi di
belakang kedoknya sebagai tokoh terhormat di Lam
koan, maka aku pun menduga tentunya tokoh Pek
lian-hwe di Lam-koan ini tidak hanya Nyo In-hwe. Soal
ini sudah pernah kubicarakan dengan almarhum
Komandan Bong Peng-un, sayang Komandan Bong
menanggapinya tidak bersungguh-sungguh. Terpaksa
aku bekerja sendirian. Kupilih orang-orangku yang
benar-benar dapat kupercaya, kumata-matai tokoh
tokoh Lam-koan yang kira-kira adalah orang Pek-lian
hwe. Kuakui, aku tidak pintar dalam mengendalikan
tugas-tugas rahasia macam ini, aku memang amatiran,21
hanya terdorong kecintaanku kepada warga Lam-koan
maka aku nekat lakukan ini. Aku terlalu curiga kepada
setiap orang yang gerak-geriknya tidak wajar sedikit
saja. Karena kebodohanku dan kecurigaanku itulah
maka aku sempat keliru sangka terhadap Tuan Kui dan
teman-temannya, menyangka mereka sebagai kaki
tangan Pek-lian-hwe. Tuan Kui, sekali lagi aku mohon
maaf kepadamu dan kepada teman-temanmu."
Thia Siang-peng mulai mengangguk-angguk
mendengar cerita Kang Liong yang rapi, meyakinkan,
apalagi ditopang beberapa fakta yang diketahui
umum. Para agen kerajaan mulai cemas kalau Thia
Siang-peng benar-benar terpengaruh, maka Thiam Gai
yang paling berangasan itu pun menukas tajam,
"Jelaskan kenapa kau menyantet teman-teman kami
Lo Lam-hong, Pang Hui-beng dan Cu Tong-liang,
sehingga yang satu berhasil kalian peralat, yang satu
lagi menjadi gila, dan satu lagi menderita bisu, lumpuh
dan hilang ingatan untuk sementara? Jelaskan pula,
kenapa kalian juga menangkap Kakak Oh Tong-peng,
dan Liu Yok?"
Mendengar tuduhan ini, Kang Liong dengan
lihainya berpura-pura penasaran, "Tuan Thiam, apa
apaan yang Tuan katakan ini? Aku menyantet Tuan
tuan yang menjadi agen-agen kerajaan ini? Mana22
bisa? Aku sendiri bahkan hampir menjadi korban
santet ketika suatu pagi di depan pintu rumahku
ditemukan bangkai burung berbulu hitam yang
lehernya diikat erat dengan kain merah! Tuan Thiam
juga menuduh aku menangkap Tuan Oh Tong-peng,
mana buktinya? Apakah Tuan Thiam melihat dengan
mata kepala Tuan sendiri? Atau jangan-jangan Tuan
hanya mendengar bisikan yang disebarluaskan
bangsat-bangsat Pek-lian-hwe sebagai usaha adu
domba antara kita sebagai sesama abdi negara?
Jangan lupa, bangsat-bangsat Pek-lian-hwe itu sangat
licik, tidak mustahil mereka berusaha mengadu
domba kita, dan Tuan Thiam agaknya sudah termakan
oleh hasutan itu! Aku dengan segala kekuranganku
bahkan mempertaruhkan nyawa untuk membasmi
Pek-lian-hwe dan melindungi rakyat Lam-koan! Rakyat
Lam-koan tentu masih ingat, pada waktu
pemakamannya Nyo In-hwe aku mengambil tindakan
dengan menangkap Tabib Siau Hok-to, yang kucurigai
sebagai orang Pek-lian-hwe, dan sempat
kupenjarakan beberapa hari sebelum kulepaskan
kembali karena ternyata dugaanku keliru! Sampai
detik ini pun aku masih mengerahkan tenaga dan
pikiran untuk menggulung habis Pek-lian-hwe sampai
ke akar-akarnya di Lam-koan ini, bagaimana mungkin
Tuan Thiam malahan menuduh aku?"23
Serentetan perkataan itu diucapkan dengan
gaya pemain sandiwara kawakan.
Kontan tuduhan Thiam Gai tadi terpatahkan.
Tetapi Thiam Gai masih ngotot, "Tetapi kenapa waktu
aku dan Saudara Kui datang ke rumahmu untuk
menanyakan nasib Kakak Oh Tong-peng, malahan kau
mengerahkan orang-orangmu untuk menangkap
kami? Bahkan ketika kami berdua sudah di jalanan pun
kau terus mengejar kami, dan berteriak kepada orang
orang di jalanan bahwa kamilah orang-orang Pek-lian
hwe, sehingga kami hampir dikeroyok seluruh warga
Lam-koan yang mempercayai hasutanmu?"
"Sudah kukatakan tadi, dalam kekurang
tahuanku akan tugas-tugas sandi, karena aku tidak
tahu banyak seluk-beluknya, aku pun sempat
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencurigai Tuan Thiam dan kawan-kawannya sebagai
orang-orang Pek-lian-hwe. Habis, tindak-tanduk Tuan
Thiam dan kawan-kawannya sendiri juga agak...
aneh."
Thia Siang-peng tidak mau dirinya hanya
menjadi penonton orang berdebat, katanya.
"Sudahlah. Dalam situasi macam ini memang
mudah timbul percik-percik kecurigaan di antara
sesama kawan sekalipun."24
Kong Liong bersorak dalam hati mendengar
kata-kata "sesama kawan" itu. Itulah tandanya Thia
Siang-peng mulai mempercayai Kang Liong dan
menganggap sebagai "sesama kawan", suatu "lampu
hijau" bagi keberhasilan tugasnya. Sedang buat para
agen kerajaan, itulah tanda bahwa kecemasan mereka
menjadi kenyataan. Thia Siang-peng terkecoh oleh
kelicikan Kang Liong, Kang Liong berhasil tampil
sebagai orang yang sama sekali tak bersangkut-paut
dengan Pek-lian-hwe. Thiam Gai mengepal tinjunya
dan menggeram dalam hati, "Entah bagaimana
caranya bisa melucuti kedok bajingan ini di depan Thia
Siang-peng, sekaligus di hadapan masyarakat Lam
koan? Kalau main kekerasan terhadapnya, tentu
menimbulkan antipati warga Lam-koan kepada kami,
bisa jadi rakyat Lam-koan malahan bangkit membela
pahlawan-pahlawannya ini."
Sementara Thia Siang-peng melanjutkan kata
katanya yang sok pintar, "Tuan Kang di satu pihak, dan
Tuan Ki serta teman-temannya di pihak lain, kalian
mengejar tujuan yang sama yaitu menumpas Pek-lian
hwe, tetapi karena kalian bekerja sendiri-sendiri,
maka hasilnya malah kalian saling mencurigai. Mulai
sekarang kita harus bersatu, menyatukan langkah
menghadapi Pek-lian-hwe dan kawan-kawannya."25
"Mampuslah kami!" keluh Kui Tek-lam dan
kawan-kawannya, dalam hati.
Sebaliknya Kang Liong menyambut dengan
gembira, "Tuan Thia ini sungguh bijaksana. Tetapi aku
juga punya maksud tujuan yang kedua, setelah yang
pertama tercapai, yaitu berhasil meyakinkan Tuan
Thia bahwa warga Lam-koan yang kuwakill bukanlah
musuh yang harus didatangi dengan pasukan perang."
"Sebutkan, Tuan Kang."
"Ketika almarhum Komandan Bong dibunuh
secara keji oleh orang-orang Pek-lian-hwe dalam
kerusuhan di penjara, pasukan di Lam-koan lalu
seperti anak-anak ayam kehilangan induknya. Lalu
oleh rasa pengabdianku, dengan melupakan ketidak
becusanku sendiri, aku memberanikan diri memimpin
pasukan agar jangan tercerai-berai dan dimanfaatkan
oleh bangsat-bangsat Pek-lian-hwe yang licik itu. Tapi
sekarang Tuan sudah datang, rasanya aku perlu
menyelenggarakan upacara serah terima pimpinan
pasukan Lam-koan ke tangan Tuan, tangan yang lebih
pantas."
Langkah Kang Liong ini benar-benar merebut
simpati Thia Siang-peng, Si Orang Militer yang
pikirannya tidak terlalu berbelit-belit. Ia benar-benar26
terkesan bahwa Kang Liong bukannya mengangkangi
kekuasaan atas pasukan Lam-koan, sebaliknya malah
mengakui kekurangannya dan menyerahkan
kekuasaan kepada Thia Siang-peng tanpa diminta?
Orang "sebaik ini" mana bisa dituduh sebagai tokoh
Pek-lian-hwe, seperti yang dibisikkan perwira-perwira
istana ini?
Tentu Thia Siang-peng tidak tahu kalau
beberapa perwira pasukan Lam-koan adalah orang
orang Pek-lian-hwe yang sudah teruji kesetiaannya.
Kalau pasukan Lam-koan digabungkan dengan
pasukan Thia Siang-peng, sama artinya pasukan Thia
Siang-peng kesusupan beberapa mata-mata musuh.
Ini tidak terpikir oleh Thia Siang-peng, ia
tertawa lebar menyambut maksud Kang Liong itu,
"Tuan Kang terlalu merendah. Tetapi berbahagialah
warga Lam-koan memiliki pemimpin seperti Tuan.
Baiklah, soal serah-terima pasukan itu, kita adakan
upacaranya secepatnya."
Kang Liong memberi hormat dengan wajah
berseri-seri, "Hari ini, bisa dibilang aku sudah tuntas
menjalankan kewajiban yang ditaruh warga Lam-koan
di pundakku. Sudah kuketahui tujuan pasukan Tuan
Thia tidak untuk memusuhi rakyat Lam-koan, dan27
sudah kuserahkan komando pasukan Lam-koan ke
tangan Tuan, meskipun upacara resminya menyusul.
Tuan Thia, kalau begitu, bagaimana kalau Tuan
kuundang dalam perjamuan penghormatan di Balai
Kota nanti malam?"
Hampir saja Kui Tek-lam dan kawan-kawannya
mencegah. Hadir dalam perjamuan dalam kota,
berarti terpisah dari pasukannya yang ada di sisi timur
Lam-koan, dan selama perpisahan itu bisa saja terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Namun Thia Siang-peng
yang sudah terlanjur terbuai oleh Kang Liong itu sudah
menyambutnya dengan gembira,
"Baik! Aku pasti hadir!"
Tak ada jalan lain, Kui Tek-lam mengajukan
pertanyaan "tak tahu malu" kepada Kang Liong, "Tuan
Kang, kami berempat diundang atau tidak?"
Dengan wajah ramah Kang Liong menjawab,
"Tuan-tuan juga diundang. Sebagai tanda permintaan
maaf dari aku kepada Tuan-tuan untuk kesalah
pahaman yang dulu."
Kemudian Kang Liong berpamitan pulang
dengan meninggalkan kesan amat baik di dalam diri
Thia Siang-peng.28
Kang Liong tidak langsung pulang ke rumahnya,
melainkan langsung menyelinap ke "Kota Bunga
Persik" untuk melapor kepada Hong Pai-ok. Ia tidak
perlu takut pemikul-pemikul jolinya akan membocor
kan rahasia letak "Kota Bunga Persik" karena pemikul
pemikul tandu itu pun anggota-anggota Pek-lian-hwe
terpercaya.
Hong Pai-ok berbesar hati mendengar laporan
Kang Liong itu. Kebetulan pimpinan-pimpinan Pek
lian-hwe lainnya belum meninggalkan "Kota Bunga
Persik" karena memang ditahan di situ oleh Hong Pai
ok, untuk berjaga-jaga kalau ada berita yang harus
ditanggapi dengan tindakan darurat. Ternyata berita
yang dibawa Kang Liong justru melegakan.
"Jadi anjing Manchu itu berhasil kau pengaruhi,
Saudara Kang?"
"Betul, Kakak Hong. Tetapi kita masih harus
tetap mempertimbangkan Kui Tek-lam dan kawan
kawannya, meskipun mereka agaknya bukanlah
orang-orang yang cukup pintar untuk meyakinkan
orang. Aku harus mempengaruhi Thia Siang-peng
perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dengan cara yang
tidak menyo-lok. Dan ini butuh waktu."
"Tidak jadi soal." sahut Hong Pai-ok.29
Lalu katanya kepada tokoh-tokoh Pek-lian-hwe
lainnya, "Hentikan setiap kegiatan yang bisa
menimbulkan kecurigaan anjing-anjing Manchu itu.
Biar mereka mendapat kesan palsu bahwa kita
sebenarnya tidak ada di kota ini. Biar Kui Tek-lam dan
kawan-kawannya malu sendiri di depan Thia Siang
peng."
Siau Hok-to diam-diam berharap orang-orang
itu lupa akan rencana mengorbankan puteri Siau Hok
to ke dalam "api suci", karena munculnya per
kembangan baru yang menyita perhatian itu. Ia juga
berharap mudah-mudahan "upaya diplomasi" Kang
Liong sukses tanpa memerlukan upaya-upaya gaib
yang butuh korban manusia.
Ternyata harapan itu sia-sia, sebab Thai Yu-tat
kembali mengingatkan Hong-Pai-ok, "Kakak Hong,
ternyata alangkah jauh berbeda keadaannya kalau kita
memiliki kekuatan gaib seperti dulu. Dengan gampang
kita dapat mengirim tentara langit kepada kawanan
anjing Manchu itu dan mereka akan terkencing
kencing ketakutan. Tidak seperti sekarang, tanpa
kekuatan gaib kita harus merunduk-runduk dan
menjilat anjing-anjing Manchu itu. Sungguh
memalukan! Para arwah leluhur dinasti Beng bisa
menangis melihat ulah kita! Karena itu, kita harus30
segera memulihkan kekuatan gaib kita. Upacara
pengorbanan Nona A-kui ke dalam 'api suci'
hendaknya dilakukan malam nanti juga!"
Sebelum Siau Hok-to berkomentar, Hong Pai-ok
sudah langsung menyetujui, "Baik! Saudara Siau,
kuperintahkan malam nanti puterimu dibawa ke sini!"
Wajah Siau Hok-to memucat, tetapi ia tidak
punya pilihan lain kecuali meng-iyakannya.
Sementara Kang Liong segera berpamitan
meninggalkan "Kota Bunga Persik" karena harus
menyiapkan perjamuan "kehormatan" bagi Thia
Siang-peng. Lima ribu tahil1 perak yang akan
digunakan untuk menyenangkan Thia Siang-peng juga
sudah disiapkan, keluar dari kas Pek-lian-hwe sendiri,
Hong Pai-ok sendiri memerintahkan agar api
suci mulai dinyalakan di depan altar. Itulah api di
dalam kolam segi empat beralaskan jeruji-jeruji besi.
Matahari bergeser ke langit sebelah barat,
langit gelap, dan tokoh-tokoh Pe-lian-hwe siap dengan
kesibukannya masing-masing. Kang Liong tidak dapat
mengikuti upacara pengorbanan, sebab ia harus
menjadi tuan rumah dalam perjamuan yang di
1
tael, bungkahan emas mata uang cina pada saat itu31
selenggarakannya. Warga-warga terhormat Lam-koan
juga sudah diundang, dan merekalah yang akan
menjadi saksi tentang bagaimana Kang Liong "giat
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membasmi Pek-lian-hwe". Sementara tokoh-tokoh
Pek-lian-hwe yang akan mengikuti upacara
pengorbanan juga sudah berkumpul di depan altar
"Kota Bunga Persik". Mereka tidak lagi mengenakan
pakaian sehari-hari, tetapi dengan pakaian upacara
khas Pek-lian-hwe.
Baju belacu putih polos dengan lengan dan
pundak sebelah kanan terbuka, ikat pinggang tali rami,
kasut jerami. Semua memakai ikat-kepala putih
seperti orang berkabung, kecuali Hong Pai-ok sebagai
pemimpin upacara, mengenakan ikat kepala merah
yang di bagian jidatnya dibentuk bunga-bungaan kain
warna merah.
Siau Ho-to ternyata belum datang-datang juga.
Setelah ditunggu-tunggu sekian lama ternyata
tidak muncul juga, orang-orang mulai curiga. Seperti
biasa, Thai Yu-tatlah yang mulai membakar prasangka,
"Kita harus mencurigai Kakak Siau, kesetiaannya
kepada dewa junjungan dan kepada organisasi
belakangan ini berkurang. Kakak Hong, bagaimana
kalau kita kirim orang untuk menjemputnya?"32
Seperti biasa, Hong Pai-ok langsung setuju. Ia
suruh Thai Yu-tat, Ui-kong Hwesio dan Phui Se-san
untuk menjemput Siau Hok-to dan puterinya, bahkan
membekalinya dengan pesan yang keras, "Kalau
Saudara Siau berniat berlambat-lambat, atau bahkan
membangkang, kalian kuberi wewenang untuk
memaksanya dengan kekerasan!"
"Kami paham, Kakak Hong!" sambut Thai Yu-tat
bersemangat. Rasanya kedudukannya sebagai ketua
cabang yang baru sudah tinggal selangkah lagi.
Untuk mencapai rumah Siau Hok-to dari "Kota
Bunga Persik" tidak perlu repot, tinggal melompati
tembok salah satu sisi "Kota Bunga Persik" itu sebab
rumah Siau Hok-to berdampingan tepat dengan
rumah ibadah rahasia kaum Teratai Putih itu.
Maka cepat saja Thai Yu-tat bertiga sampai ke
rumah Siau Hok-to, dan cepat pula mereka kembali
dengan laporan kepada Hong Pai-ok bahwa Siau Hok
to dan puterinya sudah kabur. Yang ada di rumahnya
cuma pelayan-pelayan yang tidak tahu apa-apa ketika
ditanyai ke mana perginya majikannya dan nona
majikan mereka.
Bukan kepalang gusarnya Hong Pai-ok
mendengar laporan itu. Perintahnya, "Cari mereka33
sampai dapat! Aku sendiri pun akan ikut keluar
mencari! Dia sudah menjadi pengkhianat organisasi,
kalau ditemukan juga harus diperlakukan sebagai
pengkhianat!"
Kembali Thai Yu-tat menyambut dengan
bersemangat, tetapi Im Yang-kong menyela, "Maaf,
Kakak Hong! Mencari Siau Hok-to berarti ada gerakan
besar-besaran dari orang-orang kita di seluruh Lam
koan, tindakan ini mengundang resiko kita akan
tercium oleh para mata-mata Manchu? Bukan
mustahil pasukan yang dari Kanton itu juga punya
banyak pengintai yang menyamar dan bercampur
baur di antara orang-orang Lam-koan."
Hong Pai-ok melihat peringatan itu ada
benarnya, tetapi amarah dan kejengkelan lebih
menguasai jiwanya, "Orang-orang kita harus bekerja
dengan hati-hati, terutama jangan dekat-dekat ke
perkemahan prajurit. Pokoknya Siau Hok-to haruslah
membayar mahal untuk pengkhianatannya ini! Kalau
tidak dihukum, semua anggota kita akan menirunya,
dan organisasi kita akan berantakan!"
Begitulah, malam itu selagi di Balai Kota
berlangsung perjamuan megah untuk menyambut
Thia Siang-peng, di luar Balai Kota orang-orang Pek-34
lian-hwe mengendap-endap mencari jejak Siau Hok
to, Si Ketua Cabang yang minggat karena tidak mau
menyerahkan puterinya.
Karena pesan Hong Pai-ok, orang-orang yang
mencari itu tidak berani dekat-dekat dengan
perkemahan pasukan dari Kanton, kuatir
menimbulkan kecurigaan.
Dan tentu saja mereka tidak menemukan Siau
Hok-to, sebab Siau Hok-to dan puterinya justru
bersembunyi di tempat gelap di dekat perkemahan
tentara itu, menunggu kesempatan untuk berbuat
sesuatu.
###
Pesta di Balai Kota berjalan meriah,
hidangannya, musiknya, penari-penarinya pilihan
semua. Entah bagaimana caranya Kang Liong berhasil
menyiapkan semuanya itu dalam waktu singkat.
Tokoh-tokoh terhormat di Lam-koan waktu berbicara
dengan Thia Siang-peng, semuanya memuji-muji Kang
Liong sebagai "tokoh pembasmi Pek-lian-hwe"
sehingga Thia Siang-peng pun semakin yakin Kang
Liong bisa dijadikan "kawan seperjuangan" di Lam
koan itu.35
Yang paling menyenangkan adalah ketika di
puncak acara, Kang Liong membisiki Thia Siang-peng
bahwa dia sudah menyediakan selembar hui-lui
(semacam cek) bernilai lima ratus tahil perak, "sebagai
tanda terima kasih warga Lam-koan atas perhatian
dari pemerintah propinsi". Seperti biasa, Thia Siang
peng pura-pura menolak dulu, setelah didesak-desak
barulah menerima "dengan terpaksa agar warga Lam
koan sebagai pihak yang berterima kasih tidak
dikecewakan".
Yang mendampingi Thia Siang-peng adalah Kui
Tek-lam dan Thiam Gai. Kedua perwira istana ini
merasa cemas kalau sampai Thia Siang-peng berhasil
"digenggam" Kang Liong. Namun mereka belum tahu
caranya menandingi siasat lihai Kang Liong itu.
Menjelang tengah malam, pesta bubar. Dalam
keadaan setengah mabuk sehingga untuk naik ke atas
kudanya Thia Siang-peng harus dibantu Kui Tek-lam.
Kemudian mereka dan beberapa orang pengawal
berkuda ke sebelah timur Lam-koan, ke perkemahan
pasukan dari Kanton. Sambil kudanya berjalan
perlahan, sepanjang jalan tidak henti-hentinya Thia
Siang-peng memuji-muji Kang Liong yang disebutnya
"pemimpin sejati" bagi Lam-koan.36
Kui Tek-lam dan Thiam Gai diam saja dengan
wajah cemberut.
Setelah keluar dari batas kota sebelah timur,
mereka masih harus berjalan ratusan langkah sebelum
tiba di perkemahan, ratusan langkah itu adalah
jalanan belukar yang sepi dan gelap di pinggiran kota.
Di tengah-tengah ada pos penjagaan yang didirikan
secara darurat, obornya kelap-kelip terlihat dari
kejauhan.37
Namun selagi kurang puluhan langkah dari pos
penjagaan itu, dua sosok bayangan berdiri di tengah
jalan, dalam kegelapan, menghadang rombongan
orang-orang yang baru pulang pesta itu.
Kui Tek-lam menghentikan kudanya, dan ia juga
menarik tali kekang kuda tunggangan Thia Siang-peng,
sehingga kuda Thia Siang-peng juga berhenti.
"Kenapa berhenti?" tanya Thian Siang-peng.
"Ada orang menghadang kita."
Kui Tek-lam memajukan kudanya, menaruh
dirinya sendiri di depan Thia Siang-peng untuk
melindunginya, dengan pedang terhunus.
Thia Siang-peng tidak mabuk total, mendengar
itu dia lalu geragapan menghunus pedangnya yang
digantungkan di pelana kudanya. Senjata andalannya,
kapak ganda bertombak sudah tentu tidak dibawa
bawa dalam pesta.
Kui Tek-lam memajukan kudanya, menaruh
dirinya sendiri di depan Thia Siang-peng untuk
melindunginya, dengan pedang terhunus.
Tanyanya, "Siapa kalian?"38
Dalam kegelapan, dilihatnya salah satu dari dua
penghadang itu memberi hormat dan menjawab
dengan nada yang baik, "Aku adalah Siau Hok-to,
ketua cabang Pek-lian-hwe di Lam-koan. Dan ini
adalah puteriku, A-kui."
Kui Tek-lam tercengang dan bingung. Kalau
orang-orang Pek-lian-hwe menghadang, mestinya
mereka harus mengerahkan banyak orang, mencari
tempat yang cocok, dan sikapnya juga tidak sesopan
ini. Yang ini kenapa hanya dua orang, memperkenal
kan diri terang-terangan, memilih tempat peng
hadangannya justru dekat perkemahan pasukan
Kanton?
"Saudara Thiam, tidakkah ini ganjil?"
Kui Tek-lam bertanya kepada Thiam Gai namun
tidak melepaskan pandangannya sedetik pun kepada
dua bayangan di depannya itu.
Thiam Gai memajukan kudanya pula
berdampingan dengan Kui Tek-lam. Tangannya juga
sudah menggenggam senjatanya, ruyung-tujuh ruas.
Jawabnya, "Apakah kedua orang Pek-lian-hwe
ini sudah begitu mengandalkan kehebatan sihirnya,
sehingga dua orang saja berani menghadang kita, dan
di dekat perkemahan pasukan pula?"39
Siau Hok-to berkata, "Aku dan puteriku datang
bukan untuk niat jahat, tetapi untuk menyerahkan diri
dan mohon perlindungan."
Itu di luar dugaan Kui Tek-lam dan Thiam Gai.
Ketua cabang Pek-lian-hwe mohon perlindungan
kepada "anjing-anjing Manchu" yang mereka kutuk
dengan penuh kebencian?
"Kenapa mohon perlindungan? Siapa yang
mengancam kalian?"
"Orang-orang Pek-lian-hwe sendiri."
Kui Tek-lam dan Thiam Gai membayangkan
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa dalam tubuh Pek-lian-hwe agaknya terjadi
perpecahan. Perpecahannya cukup gawat, sampai
ketua cabangnya sendiri minggat dan minta
perlindungan ke pihak luar, bahkan pihak musuh.
Namun Kui Tek-lam dan Thiam Gai bertindak
cukup hati-hati, mereka juga tidak merasa perlu minta
pertimbangan kepada Thia Siang-peng. Pertama
karena otak Thia Siang-peng sedang dalam pengaruh
arak, meskipun, tidak sepenuhnya. Kedua, karena Thia
Siang-peng sudah agak dipengaruhi sikap Kang Liong
yang pintar mengambil hati. Ketiga, karena Kui Tek
lam dan Thiam Gai bukan bawahan Thia Siang-peng.
Mereka adalah perwira-perwira dari kelompok40
prajurit istimewa yang dibawah perintah langsung
Kaisar Kian-liong.
"Maukah kau ikut kami ke perkemahan?" tanya
Kui Tek-lam.
"Kami justru bersyukur kalau kami dilindungi di
sana." sahut Siau Hok-to bersungguh-sungguh.
"Jalan di depan!"
Maka Siau Hok-to dan puterinya pun berjalan di
depan. Mereka berjalan kaki, sedangkan Kui Tek-lam
dan lain-lainnya yang di belakangnya menunggang
kuda. Sungguh kesombongan seorang ketua cabang
Pek-lian-hwe direndahkan sedemikian rupa. Kui Tek
lam diam-diam membatin, kalau bukan mengalami
sesuatu yang dahsyat, tidak mungkin ketua cabang ini
begitu merendah.
Thia Siang-peng yang tidak sadar benar apa
yang terjadi di bawah hidungnya, bertanya, "Tuan Kui,
ada apa ini?"
"Seorang yang mengaku sebagai ketua cabang
Pek-lian-hwe datang, katanya untuk menyerahkan diri
dan memohon perlindungan kita. Bersama anak
perempuannya."41
Thia Siang-peng tiba-tiba terbahak-bahak
dengan mulut berbau arak, "Ha-ha-ha... ternyata
belum sampai sehari semalam aku datang bersama
pasukanku, pihak Pek-lian-hwe sudah mendengarnya
dan pecah nyalinya, sampai-sampai ketua cabangnya
sendiri datang menakluk."
"Komandan Thia, kita harus yakin benar bahwa
apa yang dikatakan orang ini benar-benar tulus."
"Kalau dia ketua cabang Pek-lian-hwe, kenapa
tidak langsung kita potong saja lehernya, dan besok
kita gantung batok kepalanya di tengah kota supaya
warga Lam-koan melihatnya, dan orang-orang Pek
lian-hwe menjadi gentar akan kegagahanku?"
"Kegagahanmu gundulmu...."
Kui Tek-lam mengumpat dalam hati. Tetapi
mulutnya menjawab lain, "Kalau dia menyerah, kita
bisa memanfaatkan dia untuk membongkar jaringan
Pek-lian-hwe yang selama ini tersembunyi rapi di Lam
koan."
"Baik. Tanganilah." kata Thia Siang-peng.
Kui Tek-lam merasa kebetulan, kalau ia disuruh
menangani sendiri Siau Hok-to, daripada Thia Siang-42
peng yang tidak tahu apa-apa namun berlagak tahu
dan ikut campur dalam pemeriksaan nanti.
Mereka sudah melewati pos penjagaan, dan
sampai ke perkemahan, Thia Siang-peng langsung
masuk ke dalam kemahnya, setelah berpesan kepada
Kui Tek-lam agar besok pagi ia diberi laporan tentang
hasil pemeriksaan ketua cabang Pek-lian-hwe yang
menyerah itu.
Maka Siau Hok-to dan A-kui pun dibawa ke
kemah tersendiri. Tidak lama kemudian dia sudah
dikerumuni empat perwira istana. Kui Tek-lam, Thiam
Gai, Lo Lam-hong dan Cu Tong-liang.
Di bawah cahaya lampu, wajah Siau Hok-to
kelihatan lelah, seperti menahan beban amat berat di
hatinya. Sikap kalah Siau Hok-to menjadi-jadi setelah
ia melihat Lo Lam-hong dan Cu Tong-liang yang sudah
waras kembali, padahal sebelumnya mereka
dicengkeram pengaruh sihir yang kuat dari Pek-lian
hwe. Dengan warasnya kedua perwira istana itu, Siau
Hok-to semakin yakin bahwa "kerajaan sihir" Pek-lian
hwe yang mencekam Lam-koan selama bertahun
tahun, agaknya memang sedang runtuh. Runtuhnya
entah oleh apa, Siau Hok-to sendiri tidak tahu. "Sihir43
Mata Ke Tiga" yang selama ini menjadi kebanggaan
Siau Hok-to, juga tidak berguna lagi.
"He, bukankah kau yang dikenal sebagai Tabib
Siau, yang sangat dihormati warga Lam-koan?" tanya
Kui Tek-lam, setelah melihat jelas wajah Siau Hok-to di
bawah cahaya lilin dalam kemah.
"Ya...." sahut Siau Hok-to lesu, lelah. "Bertahun
tahun aku membohongi rakyat Lam-koan. Mereka
menyangka aku ahli pengobatan sejati, padahal aku
hanyalah tukang sihir yang hanya mampu mengada
kan penyembuhan palsu sambil menjual jiwa orang
orang itu ke neraka. Untuk permainan bohongan itu,
sekian tahun aku harus mengorbankan puteriku."
Sementara Lo Lam-hong pun mulai bicara,
"Wajah orang ini rasanya sering kulihat dalam
pertemuan-pertemuan Pek-lian-hwe dulu."
Siau Hok-to mengangkat wajah kuyunya
menatap Lo Lam-hong, "Tentu saja, karena Tuan ini
dulu pernah kami sihir sehingga di bawah pengaruh
kami selama beberapa saat. Tentu Tuan ini tahu kalau
aku bukan cuma tokoh Pek-lian-hwe, bahkan ketua
cabangnya."
Lo Lam-hong mengepalkan tinjunya, marah
mengingat bagaimana dia untuk sementara waktu44
seperti boneka yang menurut diperintah apa saja
tanpa sadar. Bahkan menurut cerita Kui Tek-lam, Lo
Lam-hong pernah disuruh melawan teman-temannya
sendiri di kuburan Portugis itu.
"Bagaimana dulu kau berhasil menyihir dan
menguasai aku?"
Dengan sikap pasrah menerima pembalasan,
Siau Hok-to menjawab, "Waktu itu kami beri dulu
topeng yang sudah kami manterai. Pribadi asing dalam
topeng itu berusaha memasuki pribadimu, kalau
kalian bertahan dengan pribadi kalian sendiri maka
pribadi dalam topeng itu akan mengganggu kalian
dengan mimpi-mimpi buruk yang membuat kalian
tidak bisa tidur dan membuat kondisi fisik dan mental
kalian merosot. Lalu aku tawarkan obat melalui Tuan
Oh yang tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Tuan Kui
agaknya tidak meminum obatku itu, sedang Tuan Lo
meminumnya."
Lo Lam-hong sudah menggeram hendak
menjotos Siau Hok-to, namun Kui Tek-lam
mencegahnya, "Saudara Lo, orang ini sudah mengakui
kesalahannya dan bersikap jujur."45
Kemudian kepada Siau Hok-to, Kui Tek-lam
berkata, "Sekarang, kenapa kaudatangi kami dan
minta perlindungan kepada kami?"
Siau Hok-to menarik napas, "Demi puteriku,
yang selama ini sudah menderita karena ambisiku."
"Jelaskan."
Tanpa tedeng aling-aling Siau Hok-to mem
beberkan semuanya. Tentang puterinya yang gila
sekian tahun menjadi tumbal ilmu gaib ayahnya,
tetapi tiba-tiba membaik sendiri tanpa diketahui
sebab-sebabnya. Tentang Pek-lian-hwe yang tiba-tiba
saja lumpuh kekuatan sihirnya sehingga kedodoran,
dan tentang niat mereka untuk memasukkan A-kui ke
dalam "api suci" supaya pulihlah kekuatan sihir Pek
lian-hwe.
"Jadi kau tidak rela kalau puterimu yang baru
sembuh itu dikorbankan di 'api suci' sehingga kaubawa
puterimu berlindung kemari?" tanya Thiam Gai.
"Benar."
"Kau tidak ingin mendekati kami hanya untuk
mencari kesempatan untuk menyihir kami, bukan?"
tanya Lo Lam-hong,46
Siau Hok-to tertawa pahit, "Dulu kami bangga
dengan sihir kami, kami pikir dengan itu kami bisa
selesaikan segala-galanya. Sampai kami tiba-tiba
terbentur kenyataan bahwa sihir kami lumpuh semua,
bahkan sebab musababnya pun tidak kami ketahui.
Saat ini, seandainya aku ingin menyihir seekor semut
pun aku tidak yakin bisa."
Kata-kata itu diucapkan dengan meyakinkan sekali.
Kui Tek-lam kemudian berkata, "Kami ini
perwira-perwira istana yang dekat hubungannya
dengan Baginda Kian-liong. Kalau kau sungguh
sungguh mau menyadari kekeliruanmu dan
meninggalkan jalan sesat Pek-lian-hwe, kami bisa
memohonkan keringanan untukmu kepada Baginda
sendiri. Tetapi sekarang kau pun harus membantu
kami."
"Itu cukup adil."
"Pertama, kami kehilangan Kakak Oh Tong-peng
serta Liu Yok yang kalian tawan."
"Siapa itu Liu Yok?" tanya Lo Lam-hong yang
memang belum pernah bertemu dengan Liu Yok.
"Apakah orang yang pernah dianjurkan Jenderal Wan
waktu hendak berangkat dari ibu kota Pak-khia dulu?"47
"Ya. Dan ketahuilah, dialah yang mematahkan
pengaruh sihir Pek-lian-hwe di seluruh Lam-koan ini,
dengan cara anehnya yang dia namakan 'meniup
sasangkala tanduk domba dan masuk akal kalau
kukatakan bahwa dia jugalah yang mematahkan
pengaruh sihir atas pikiranmu Saudara Lo."
Lo Lam-hong termangu-mangu, sementara Siau
Hok-to yang ikut mendengarkan itu juga termangu
mangu.
Kemudian Kui Tek-lam mengulangi pertanyaanMenaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nya kepada Siau Hok-to, "Kami kehilangan Kakak Oh
Tong-peng dan Liu Yok yang kalian tangkap. Nah,
dimanakah mereka? Apakah mereka masih hidup?"
"Mereka masih hidup, dan saat ini di
sembunyikan di Kota Bunga Persik. Meskipun Liu Yok
dalam keadaan lemah sekali, karena berhari-hari dia
menolak semua makanan dan hanya minum air
putih."
"Liu Yok ini aneh-aneh saja." pikir Kui Tek-lam.
"Tetapi tindakannya yang aneh-aneh itu menghasilkan
akibat yang besar, yang sangat merugikan Pek-lian
hwe."
"Di mana letak Kota Bunga Persik?" tanya Thiam Gai.48
"Tepat di belakang rumahku, bisa dicapai lewat
halaman belakang rumahku."
"Baik, sekarang pertanyaan ke dua, salah
seorang rekan kami yang bernama Pang Hui-beng,
yang dulu sering menyamar sebagai tukang mi
pangsit, telah kalian santet sehingga menjadi seorang
yang miring otaknya dan berkeliaran di kota Lam
koan. Sanggupkah kau mencabut pengaruh sihir atas
dirinya, sehingga dia waras kembali?"
Siau Hok-to menggeleng, "Dulu memang aku
yang menyantet dia, tetapi sekarang aku tidak bisa
menarik pengaruh sihirku itu."
"Kalau begitu lebih baik kau mampus saja!"
dengan beringas Lo Lam-hong hendak mencekik Siau
Hok-to, namun lagi-lagi Thiam Gai mencegahnya.
Sementara Siau Hok-to melanjutkan kata
katanya yang tadi, " bukan karena aku tidak mau,
melainkan karena aku sudah kehilangan seluruh
kemampuan sihirku yang lenyap begitu saja."
"Lalu Pang Hui-beng kaubiarkan tetap..."
"Tenanglah, Saudara Lo." hibur Cu Tong-liang.
"Aku punya perasaan, dengan runtuhnya cengkeram
an sihir Pek-lian-hwe atas Lam-koan, kemungkinan49
besar Pang Hui-beng juga akan sembuh dengan
sendirinya. Seperti dirimu sendiri, Saudara Lo, juga
diriku."
Lo Lam-hong agak tenang mendengar
penjelasan Cu Tong-liang itu. Sambil dalam hatinya
heran juga, orang macam apakah Liu Yok itu sehingga
dapat menghancurkan kekuatan sihir Pek-lian-hwe di
seluruh kota?
Puteri Siau Hok-to yang dari tadi diam saja,
sekarang menyambut omongan Cu Tong-liang tadi,
"Begitu juga yang kualami. Bertahun-tahun ter
belenggu dalam kegelapan, tahu-tahu belenggu itu
lenyap sendiri."
Kui Tek-lam melanjutkan pembicaraannya
dengan Siau Hok-to, "Baiklah. Kami pun berharap
rekan kami Pang Hui-beng itu akan mendapatkan
kembali pikiran warasnya. Yang ke tiga, tugas utama
kami di sini adalah menemukan dan mengamankan
simpanan senjata api yang dimiliki Pek-lian-hwe. Apa
benar kalian punya senjata-senjata api itu?"
Ternyata menakluknya Siau Hok-to ke pihak
pemerintah benar-benar total, sama totalnya dengan
sayangnya kepada puterinya sehingga la dapat
melakukan apa pun demi puterinya. Pertanyaan Kui50
Tek-lam itu dijawabnya tanpa berbelit-belit sedikit
pun, "Ya. Kami punya lima ribu pucuk, lengkap dengan
bubuk mesiunya dan puluhan ribu butir peluru
pelurunya karena kami punya pencetak peluru timah
sendiri. Semuanya kami sembunyikan di Kota Bunga
Persik."
Bahkan Kui Tek-lam belum tanya di mana
menyembunyikannya, Siau Hok-to sudah mengaku
lebih dulu.
"Sekarang yang keempat, kau harus menolong
kami membongkar kedok Pek-lian-hwe di seluruh
Lam-koan."
Ini pun disetujui Siau Hok-to. Maka
pemeriksaan pun selesai. Malam itu Siau Hok-to dan
puterinya diberi sebuah kemah untuk tidur. Kemah
mereka dijaga para prajurit. Bahkan Kui Tek-lam
berempat sendiri juga sering mengontrol kemah
tawanan itu, bergantian.
Keesokan harinya, Kui Tek-lam menceritakan
kepada Thia Siang-peng tentang hasil pembicaraannya
semalam dengan Siau Hok-to. Thia Siang-peng
tercengang-cengang dan tidak banyak mengomentari
nya.51
Ketika mereka sedang berbicara, seorang
prajurit melapor, bahwa Kang Liong datang ke
perkemahan dan ingin bertemu. Thia Siang-peng
menyuruh pengawalnya agar membawa Kang Liong
masuk.
Sementara keempat perwira istana diam-diam
membatin, "Kang Liong, inilah saatnya kau seperti ikan
yang masuk ke dalam jaring. Bukan saja ke dalam
jaring, bahkan langsung ke wajan penggorengan."
Kui Tek-lam lalu membisiki Thiam Gai, "Bawalah
Siau Hok-to kemari dan sembunyikan di samping
kemah. Nanti kalau Kang Liong sedang bersandiwara
dalam kemah ini, pertemukan dia dengan Siau Hok-to,
biar kaget dan terlucuti kedoknya di depan Thia Siang
peng."
Thiam Gai mengangguk dan keluar dari kemah,
Thia Siang-peng tidak dapat melarangnya karena
perwira-perwira istana itu memang bukan bawahan
nya.
Kemudian Kui Tek-lam berkata kepada Thia
Siang-peng, "Komandan Thia, sebentar lagi komandan
akan melihat siapa Kang Liong yang sebenarnya di
balik kelihaiannya bersandiwara. Dia akan kupertemu
kan mendadak dengan ketua cabang Pek-lian-hwe52
yang membelot kepada kita, dan perhatikan
reaksinya."
Thia Siang-peng tidak menjawab. Kurang
senang hatinya, sebab bagaimanapun juga Kang
Lionglah yang semalam menambah isi kantongnya
dengan hui-lui senilai lima ratus tahil perak. Tetapi
kalai benar terbukti Kang Liong adalah tokoh Pek-lian
hwe, Thia Siang-peng tidak berani bertentangan
dengan para perwira istana ini, kuatir kalau dilaporkan
kepada Kaisar dan kepalanya bisa protol2.
Kang Liong masuk dengan wajah berseri-seri,
diikuti pengiring-pengiring yang semuanya membawa
nampan dengan sesuatu yang menonjol di bawah
tutup-tutup nampan itu. Tentu hadiah-hadiah yang
mahal-mahal.
Kata Kang Liong, "Selamat pagi, Tuan Komandan
dan Tuan-tuan perwira dari Pak-khia, semalam banyak
tamu undangan yang menyesal tidak dapat memberi
kan cindera-mata bagi Tuan-tuan, karena undangan
yang kusebarkan memang begitu mendadak.
Sekarang, para warga terhormat Lam-koan itu lagi-lagi
mengutus aku untuk menyampaikan penghormatan
kepada Tuan-tuan."
2 dicopot, dipenggal53
Lalu dengan tangannya sendiri Kang Liong
membuka tutup nampan-nampan itu, ternyata benda
benda di atas nampan itu adalah benda-benda mahal
semuanya. Ada sepasang kuda dari batu giok hijau,
pedupaan kaki tiga dari-emas dengan ukiran-ukiran
indah dan permata-permata menghiasinya, gulungan
lukisan kuno yang tak ternilai harganya.
Thia Siang-peng sudah hampir meneteskan air
liurnya melihat semuanya itu, maka Kui Tek-lam tidak
membiarkannya lebih lama lagi.
Katanya, "Tuan Kang ternyata begini baik hati,
ini tak sanggup kami balas. Oh ya, semalam ada
kenalan lama yang ingin menemui Tuan."
"Siapa?" tanya Kang Liong yang belum punya
dugaan tentang siapa-siapa.
Kui Tek-lam berkata ke arah luar tenda,
"Saudara Thiam, coba antar kenalan lama Tuan Kang
ini masuk."
Tirai tenda tersingkap dan Thiam Gai melangkah
masuk bersama Siau Hok-to.
Melihat Ini, wajah Kang Liong berubah hebat. Ia
sudah mendengar kalau Siau Hok-to minggat karena
tidak rela menyerahkan puterinya dijadikan korban di54
"api suci", namun menurut perkiraan tokoh-tokoh
Pek-lian-hwe termasuk Kang Liong, tentunya Siau Hok
to dan puterinya kabur jauh-jauh dari Lam-koan.
Mungkin naik perahu ke Makao atau Kanton, atau ke
tempat yang lebih jauh lagi di mana pengaruh Pek
lian-hwe tidak ada. Ternyata malah Siau Hok-to
muncul di tempat ini, di antara perkemahan Manchu.
Kang Liong memang tidak siap. Kalau
sebelumnya ia mampu bersandiwara demikian hebat
sehingga mengecoh Thia Siang-peng, sekarang dia
seperti pemain sandiwara yang kelupaan dialog
hapalannya di depan penonton.
Bahkan oleh dorongan perasaannya yang
mendadak, ia menuding Siau Hok-to dan berkata
sengit.
"Pengkhia...."
Baru setengah kata, Kang Liong sadar perkataan
itu bisa membuka kedoknya sendiri, maka buru-buru
perkataannya dihentikan, namun yang setengah patah
kata itu sudah terlanjur didengar semua orang di
kemah itu. Termasuk Thia Siang peng.
Sambil tersenyum Kui Tek-lam bertanya, "Tuan
Kang, kenapa tidak Tuan selesaikan perkataan Tuan
tadi?"55
Geragapan dan kacau Kang Liong memperbaiki
kesalahannya, "Tadi... aku kira... seseorang yang
pernah menjadi penjahat di Lam-koan... jadi aku... aku
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir mendampratnya. Wajahnya mirip sekali...
maaf... maaf...."
Kui Tek-lam tertawa, "Tuan Siau, kenal orang ini?"
Sekali membelot, Siau Hok-to tidak setengah
setengah, jawabannya lancar.
"Ya, dia bawahanku dalam Pek-lian-hwe.
Namanya Kang Liong, kedudukannya baru saja naik
dari 'Perwira Kipas Putih Ke Empat? menjadi 'Perwira
Kipas Putih Ke Tiga' menggantikan Nyo In-hwe."
Wajah Kang Liong berubah-ubah, sebentar
pucat pasi dan sebentar merah padam sampai hampir
ungu. Bibirnya gemetar dan bergerak-gerak namun
tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Kui Tek-lam tidak ingin bertele-tele, katanya
kepada Thia Siang-peng, "Komandan Thia, kami
ditugasi langsung oleh Sri baginda untuk mematahkan
kekuatan Pek-lian-hwe di tempat ini. Sekarang kami
akan menjalankan tugas ini...."
Thia Siang-peng tentu saja tidak punya nyali
untuk membatalkan tugas yang dari Kaisar sendiri.56
Tapi dia pun merasa sayang kepada hadiah-hadiah
yang bagus-bagus yang dibawa Kang Liong, maka dia
pun mengeluarkan perintah tambahan, "Sita barang
barang itu!"
Sementara Kui Tek-lam dan kawan-kawannya
lebih menggubris Kang Liong Si pentolan Pek-lian-hwe.
Kata Kui Tek-lam, "Tuan Kang, kau mau langsung
menyerah saja agar tidak buang waktu dan tenaga,
atau ingin coba-coba melawan, barangkali mengadu
untung, siapa tahu bisa kabur dari sini? Atau ingin
mencoba ilmu gaibmu?"
Tawaran Kui Tek-lam itu sesungguhnya
merupakan ejekan semuanya. Soal perkelahian secara
fisik, jelas Kang Liong jauh di bawah Kui Tek-lam,
takkan sanggup ia bertahan sepuluh gebrakan. Dalam
soal ilmu gaib, pihak Pek-lian-hwe juga sedang
kelabakan karena kehebatan ilmu-ilmu mereka secara
misterius-amblas entah ke mana.
Kang Liong mengertakkan giginya, namun akal
sehatnya masih memperingatkan bahwa tindak
emosional tetap tidak menguntungkannya. Maka dia
pun berkata dengan lesu, "Aku menyerah."
Thia Siang-peng kurang yakin kalau perintahnya
yang pertama tadi didengar, karena sedang ribut,57
maka ia ulangi lagi dengan suara lebih keras, "Sita
barang-barang itu!"
Kang Liong mencibir mengejek, sementara Kui
Tek-lam dan teman-temannya cuma menarik napas
melihat kelakuan Thia Siang-peng Itu.
Kang Liong pun ditangkap, Kui Tek-lam dan
teman-temannya berunding cepat, tindakan apa yang
harus dilakukan.
"Kuasai pasukan di Lam-koan!" kata Thiam Gai.
"Jangan sampai kalah cepat dari tokoh-tokoh Pek-lian
hwe!"
"Komandan Thia, bagaima kalau seribu
prajuritmu dibawa oleh Saudara Thiam untuk
memasuki Lam-koan dan mengambil alih tangsi3
tentara?"
Thia Siang-peng ketika itu sedang sibuk
mengelus-elus sambil terkagum-kagum atas sepasang
kuda dari batu giok hijau yang luar biasa. Sebagian
besar pikirannya sudah tidak pada tugasnya lagi,
melainkan membayangkan bagaimana ia hendak
memajang barang-barang itu di ruang tamunya di
Kanton?
3
markas, barak58
Pertanyaan Kui Tek-lam yang mendadak itu
dijawabnya asal-asalan saja. "Ya, bawa saja! Bawa
saja!"
Thiam Gai diam-diam membatin, "Tabiat orang
ini kadang-kadang ada seginya yang menguntungkan
juga. Semuanya jadi serba cepat dan tidak berbelit
belit."
Thiam Gai sendiri segera berangkat bersama
seribu prajurit Kanton untuk mengambil alih komando
atas pasukan Lam-koan. Bendera-bendera di tsang di
dibawa dalam barisan, diiringi suara genderang, untuk
menambah kewibawaan dan diharapkan pasukan
Lam-koan akan dapat diambil-alih tanpa kekerasan.
Bersambung jilid XVII.5960
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku
buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi
file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk
mendapatkan file teks. File tersebut di edit dan
dikompilasi menjadi file TextPDF.
Credit untuk :
? Gunawan A.J.
? Kolektor E-Books12
Kolektor E-Book
Gunawan A.J
Foto Sumber oleh Gunawan A.J
Editing oleh D.A.S3
Rp 725,
MENAKLUKKAN
KOTA SIHIR
JILID 17
T A M A T
Karya : STEVANUS S.P.
Pelukis : SOEBAGYO
Percetakan & Penerbit
CV "GEMA"
Mertokusuman 761 RT. 02 RW. VII
Telpun 35801-SOLO 571224
Hak Cipta dari Cerita ini sepenuhnya berada pada
Pengarang di bawah lindungan Undang-Undang.
Dilarang mengutip / menyalin / menggubah tanpa ijin
tertulis dari Pengarang.
CETAKAN PERTAMA
CV GEMA SOLO ? 19925
MENAKLUKKAN KOTA SIHIR
Karya : STEVANUS S.P.
Jilid XVII
SEMENTARA Kui Tek-Iam berkata pula,
"Komandan Thia, selain langkah menguasai Lam-koan,
sekaligus harus ada juga langkah memukul jantung
kekuatan Pek-lian-hwe, yaitu tempat ibadah rahasia
mereka yang disebut Kota Bunga Persik, untuk
membebaskan tawanan-tawanan dan merampas
senjata-senjata api mereka. Ini harus dilakukan
dengan cepat. Tabib Siauw akan menjadi penunjuk
jalan kita."
Kui Tek-lam ingin bertindak cepat-cepat,
sebaliknya Thia Siang-peng kelihatannya malah ogah
ogahan, "Lalu?"
"Ya gerakkan pasukan, apa lagi?"
"Aku agak pusing."
Kui Tek-Iam menahan rasa jengkelnya, lalu
mengancam dengan halus, "Kalau Komandan sedang
pusing, tentu saja jangan dipaksakan, nanti malah
kurang baik. Dalam laporanku kepada Kaisar kelak,6
soal pusing kepala ini mudah-mudahan bisa di
maklumi oleh Kaisar."
Perkataan Kui Tek-Iam ternyata laksana "obat
pusing kepala" paling manjur sedunia. Perkataan itu
membuat Thia Siang-peng bangkit, mengenakan
seragam militernya, dan siap menggempur Kota
Bunga Persik. Biarpun berlambat-lambatan, akhirnya
Thia Siang-peng berada juga di atas kudanya sambil
mengepit kampak ganda bertombaknya.
Pasukan gelombang kedua pun meninggalkan
perkemahan, memasuki Lam-koan dengan Siau Hok
to sebagai penunjuk jalan ke Kota Bunga Persik.
Tetapi akibat dari berlambat-lambatannya Thia
Siang-peng tadi, maka pihak Pek-lian-hwe yang
menyebar mata-mata di seluruh kota itu pun sempat
membuat suatu gerakan untuk menanggulangi.
Langkah pihak pemerintah mangambil-alih
pasukan Lam-koan di tangsi nya memang tidak sempat
diantisipasi oleh Pak-lian-hwe, sehingga pengambil
alihan berlangsung mulus. Namun suatu laporan cepat
disampaikan kepada Hong Pai-ok yang cepat mencium
adanya gelagat buruk. Maka langkah ke dua dari
pasukan Kanton untuk menggempur Kota Bunga
Persik, dihadapi Hong Pai-ok dengan tindakan keras.7
"Kumpulkan seluruh anggota kita secepatnya di
Kota Bunga Persik. Bongkar gudang senjata,
persenjatai tiap anggota kita dengan senjata api. Kalau
anjing-anjing Manchu itu melangkah masuk ke tempat
kita, kita ubah tempat ini jadi neraka buat mereka!"
Sudah sejak sehari sebelumnya memang Pek
lian-hwe cabang Lam-koan sudah bersiaga, sejak
mendaratnya pasukan Kanton di dermaga, maka
sekarang begitu perintah dikeluarkan, anggota
anggota terpecaya Pek-lian-hwe dengan cepat
berkumpul di "Kota Bunga Persik" lewat jalan rahasia
yang ada beberapa buah. Mereka adalah anggota
anggota terpercaya yang sudah diijinkan mengetahui
letak tempat ibadah rahasia itu, bukan sembarangan
anggota. Anggota-anggota terpercaya ini juga adalah
orang-orang yang siap mengorbankan nyawa.
Dalam waktu singkat di "Kota Bunga Persik"
terkumpul seratus orang lebih anggota terpercaya ini.
Jumlahnya yang tidak memadai sama sekali kalau
Menaklukkan Kota Sihir Karya Stevanus S P di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus berhadapan dengan pasukan musuh yang
ribuan, namun dengan senjata api serta medan
tempur yang sempit di antara bangunan-bangunan,
mereka berharap akan dapat memberi hajaran berarti
ke pihak "anjing-anjing Manchu".8
Di antara orang-orang yang berdatangan untuk
membela rumah ibadah Dewa Api itu, tidak sedikit
yang membawa topeng-topeng mereka. Meskipun
mereka heran bahwa kekuatan gaib topeng-topeng
mereka mendadak merosot tanpa mereka ketahui
sebab-sebabnya, namun mereka membawanya juga
dengan harapan tak pasti : Siapa tahu masih berguna.
Ada juga yang banyak boneka-boneka rumput
sepanjang sejengkal. Mereka berharap pemimpin
pemimpin mereka akan mengundang dan mengisikan
"tentara langit" ke dalam boneka-boneka rumput
rumput itu, sehingga mereka akan mendapat "teman
teman" dalam pertempuran. Bahkan dampak
sampingannya, pasukan musuh akan bingung dan
ketakutan berhadapan dengan "pasukan jailangkung"
macam itu.
Namun para anggota itu terheran-heran bahwa
pimpinan-pimpinan mereka sama sekali tidak
menyebut-nyebut kemungkinan penggunaan "tentara
langit" sedikit pun. Para anak buah itu tentu tak tahu
kalau para pimpinan itu sendiri sedang bingung akan
ilmu gaib mereka yang amblas entah ke mana. Tapi tak
ada di antara mereka yang berani menanyakannya.9
"Bongkar gudang! Keluarkan senjata-senjata api
itu!" perintah Hong Pai-ok di pelataran "Kota Bunga
Persik", pelataran dekat "gerbang merah" yang biasa
digunakan untuk penerimaan anggota baru.
Mereka beramai-ramai berjalan menuju ke
gudang senjata di bawah tanah, untuk mencapainya
mereka harus melewati sel-sel tempat Oh Tong-peng,
Liu Yok dan beberapa calon korban manusia dikurung.
Menurut laporan terakhir yang didengar Hong
Pai-ok, calon-calon korban! itu pun ternyata sudah
tidak memenuhi syarat lagi. Yang dibutuhkan adalah
korban-korban yang penasaran dan menolak untuk
mati, dengan demikian barulah pada waktu
disembelih nanti bisa "menghasilkan kekuatan" dari
kebencian dan kepenasaranan mereka. Ternyata
setelah dikurung beberapa hari, mula-mula mereka
memang meratap-ratap penasaran, tapi oleh sebab
sebab yang tidak diketahui, calon-calon korban itu
tiba-tiba menjadi calon-calon korban yang pasrah,
tidak lagi penasaran, tidak takut mati lagi. Calon
korban yang macam ini sudah tentu tidak lagi
memenuhi syarat yang diingini Pek-lian-hwe,
menyembelih mereka tidak ubahnya membunuh
orang secara percuma, tidak akan "menguntungkan"
sedikit pun.10
Sekarang waktu Hong Pai-ok dan orang
orangnya melewati lorong di antara sel-sel itu, Hong
Pai-ok merasakan perbedaan. Bukan perbedaan yang
bersifat fisik, sebab hal-hal fisik masih seperti dulu,
melainkan perbedaan suasana.
Dulu suasananya mencekam dan seram, orang
orang Pek-lian-hwe percaya bahwa tempat itu "penuh
penjaga yang tak terlihat". Sekarang suasananya
terasa damai, tenteram, bahkan terasa agak hangat,
entah darimana datangnya panas di ruang tertutup
bawah tanah itu, padahal udara di luar dingin.
Dari sel kecil yang berpintu besi dan tertutup
rapat, sayup-sayup terdengar suara lembut seseorang
yang menyanyi. Dari sel-sel yang lain, terdengar suara
para "tahanan" mencoba mengikuti nyanyian itu
dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba Hong Pai-ok merasa muak terhadap
nyanyian itu, ia berhenti melangkah dan berteriak.
"Siapa menyanyikan nyanyian jelek itu?!
Membisingkan telinga saja!"
Teriakan itu menggema dan memantul di
dinding-dinding dan langit-langit lorong. Para
"tahanan" kontan bungkam, kecuali Oh Tong-peng
dan suara dari balik pintu besi sel kecil itu. Nyanyian11
Oh Tong-peng parau, karena ia memang kurang bisa
menyanyi, dan nampaknya motif Oh Tong-peng
menyanyi tidak lain hanya untuk menjengkelkan Hong
Pai-ok, tanpa menghayati nyanyian itu sendiri.
Salah seorang yang mengiringi Hong Pai-ok,
seorang yang mengenakan topeng Dewa Monyet
Putih Sun Go-kong, menahan diri untuk tidak tertawa.
Untung ia mengenakan topeng, sehingga air mukanya
yang sedang geli itu tidak kelihatan.
Selain suara parau Oh Tong-peng yang sengaja
menyanyi untuk menjengkelkan Hong Pai-ok, yang
masih terdengar adalah suara dari balik pintu-besi "sel
neraka" itu. Sel yang sempit, lembab, gelap, banyak
kecoaknya, bau, dan orang yang didalamnya akan
dipasung sehingga harus duduk terus. Sel yang berisi
Liu Yok. Suara Liu Yok juga tidak merdu, tidak lebih
baik dari suara Oh Tong-peng, sama-sama tidak kenal
tehnik menyanyi yang baik. Tetapi terasa benar,
nyanyian itu keluar dari dasar jiwa yang terdalam,
suatu nyanyian pemujaan yang dinyanyikan dengan
sepenuh-penuh cinta kepada yang dipujanya.
Nyanyian itulah yang menukar suasana di tempat
penahanan ini. Dari suasana seram, putus asa, sedih
dan ketakutan, ke suasana yang gembira,
berpengharapan, hangat, penghiburan, cinta.12
Mungkin nyanyian itulah yang memberi
kekuatan jiwa kepada para tahanan, sehingga dari
Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala Goosebumps 10 Tetangga Hantu Jelihim Sang Pembebas Karya Syam Asinar
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama