Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz Bagian 2
Nina hanya mengangguk mantap padaku.?
Langkahku sangat ringan kali ini. Akhirnya ke?
salahpahaman kecil yang tak pernah kuperkirakan
dengan Nina selesai dengan baik. Bodohnya aku ka?
rena gak pernah berfikir hal seperti ini akan terjadi.
Kalau sudah begini, mungkin aku perlu membawa
Nina ke rumah biar kenalan sama semuanya. Agar
gak ada lagi salah paham nantinya.
Aku gak bisa bayangin kalau suatu hari Nina
nemuin aku lagi nongkrong bareng sama Vio. Apa
yang akan dilakukannya, ya? Secara Vio kadang suka
77
77
gak tau malu ngelendot kayak anak panda padaku.
Huh padahal lakinya kan lebih gede, kenapa dia
masih suka manja geje sama aku?
"Pagi Dian. Langsung ke atas ya, kesiangan."
K?ulewati saja Dian yang sedang memegang telpon
di tangannya, dia pun hanya membalas lambaian
t?anganku singkat.
Bersiul ringan aku melangkah cepat menuju lift.
Ada Darman dan Edi yang sedang membawa galon
melewatiku. Kusapa juga seperlunya Pak Parno yang
membawa segambreng alat pel.
"Pagi semua."
"Pagi Mas Juna."
Aku terkekeh geli melihat Darman yang me?nun?
duk dan terlihat bersalah di depanku. Apa mungkin
dia masih gak enak karena kejadian Jumat kemarin
ya? Ahh, sudahlah.
Menunggu lift turun, aku dikejutkan tepukan
Mas Yudi pada bahu kanan "Juna, ngeliat Nina gak?"
"Ada, tadi di depan. Kenapa Mas?" Aku sedikit
heran, buat apa Mas Yudi nyariin Nina pagi-pagi
begini. Namun kubuang jauh-jauh rasa heranku,
bagai?manapun Mas Yudi itu atasan langsung Nina.
"Enggak, ada perlu aja dikit. Thanks ya, J." Dia
pun ngeloyor pergi meninggalkanku yang masih
kebingungan.
Suara lift yang berdenting keras mengalihkan
perhatian. Satu kakiku sudah melangkah masuk saat
kemudian menyadari siapa yang ada di dalamnya, si
setan cilik itu! Aku pun hanya bisa menghembuskan
78
78
nafas kesal. Huh.
"Kak Arjunaaaa. Kok telat, sih. Macet, ya? Belom
sarapan, kan? Yuk, ke atas, Ayana bawain omelet keju
enak banget, terus ada sandwich tuna, roti bakar
sama cup cake coklat. Ayana dari tadi udah bolakbalik nih nungguin Kak Juna. Besok lagi kalau telat
telpon Ayana dong, Kak. Jadinya Ayana gak khawatir
Kak Arjuna kenapa-kenapa."
Bagai tembakan senapan mesin yang gak berentiberenti, si setan cilik itu memberondongku dengan
berbagai pertanyaan yang bahkan gak mampir di
otak. Dan aku sendiripun heran karena dengan pas?
rah menyerah kalah tanpa perlawanan saat dia me?
nyeretku masuk ke lift.
"Fajri sama Imelda entaran aja, ya. Ayana sama
Kak Arjuna duluan." Si setan cilik itu berbicara di ba?
lik punggungku saat aku melangkah masuk. Baru?lah
kusadari kalau di belakangku ada Fajri dan Imelda
yang sedang tersenyum geli ke arah kami.
"Tenang aja Ayana, kami sabar kok nunggu kloter
selanjutnya. Selamat bersenang-senang." Cengiran
jahil Fajri rasanya ingin kubalas dengan tonjokan
mautku.
Sialaaannnn!
"O, ya Kak Arjuna, kemaren Ayana dapet kiriman
foto. Fotonya Kak Juna. Itu sama siapa? Anaknya Kak
Arjuna? Iihhh lucu banget, cakeepp kok gak dibawa
ke sini sih, Kak? Ayana kan pengen maen. Ih Ayana
gak sabar lagi ketemu dia. Kira-kira kalau kita nanti
jadi nikah, dia manggil Ayana apa, ya?"
79
79
Hahhhh!!
Apa tadi dia bilang? Ya, Tuhan, Yang Maha
P?engasih lagi Maha Penyayang. Bukan reaksi ini yang
kuharapkan! Kenapa dia malah girang banget kalau
aku udah punya anak?
"Memangnya? kalau aku udah punya anak, kamu
masih tetep mau sama aku?" Dengan suara tercekik,
kulemparkan saja pertanyaan itu padanya.
"Ya, iyalah. Ayana gak keberatan kalau Kak
Arjuna udah punya anak. Malah enak, ntar Ayana
bisa temenan sama anaknya Kak Arjuna. Jadi nanti
kalau anaknya Kak Arjuna udah gede, umurnya gak
begitu jauh sama Ayana. Iihh, pasti asyik deh, apalagi
perempuan kan, kak anaknya? Ntar bisa tuker-tuker?
an baju, bisa maen dandan-dandanan bareng, bisa
ngerumpiin cowok. Ahhh seruuu pasti!"
Glekk.
Rasanya aku ingin memukul kepalaku sendiri
kali ini. Dengan sarung tinju Mike Tyson kalau perlu.
Terbayang perjuangan beratku kemaren seperti
romusha, mengusahakan foto yang super cakep dan
keren. Menjilat si Iva agar mau diajak kerja sama.
Membanting harga diri cerita hal memalukan pada
Mas Dave. Tapi kenapa malah ini reaksi yang kudapet?
Tolong dong, ijinin aku pingsan sebentaar aja.
Selanjutnya aku hanya diam dan otakku rasanya
mati karena gak bisa nangkep apa aja yang diomong?
in si setan cilik ini. Entah apa yang lagi dia ceritain,
sepertinya liburan?week end?dia atau entahlahhh. Gak
urusan.
80
80
Dan di sinilah aku, duduk di kursiku dengan
hamparan makanan dan segelas tinggi air putih dan
jus jeruk bersama dia yang tanpa malu duduk di atas
mejaku.
"Enak kan tuna sandwichnya. Itu Ayana lo yang
bikin. Kalo omelet sama cup cakenya Bik Darmi.
Abisin ya, biar Kak Arjuna gak sakit, trus bisa kon?
sentrasi kerjanya." Masih saja nyerocos tanpa henti,
setan cilik itu tak memedulikan ekspresiku yang
tersiksa. "Iiihhh kok makannya belepotan sih, mayonya kemana-mana nih."
Aku kaget saat dia sudah sangat dekat di depanku
dan tiba-tiba jari mungilnya mengelap ujung bibirku,
membersihkan sisa mayonaise yang tertinggal. Tapi
tak berhenti sampai di situ, jarinya masih saja menyu?
suri bibir bawahku dan berlama-lama di sana. Ahhh,
ada rasa aneh yang tiba-tiba datang. Dan mataku
melebar shock saat dia membawa jarinya ke mulutnya
dan menghisap pelan.
"Mmhhh ... enak banget."
Mata abu-abu itu menatapku lembut. Tatapanku
terkunci padanya. Aku gak bisa nelen lagi, sumpah,
jantungku deg-degan gak karu-karuan. Rasanya ke?
ringat dingin muncul dimana-mana. Namun ada
rasa hangat menjalar di pembuluh darahku. Aku
juga seperti bisa merasakan nadiku yang berdenyut
lebih c?epat. Bulu ditubuhku pun rasanya meremang
semua. Ya Tuhan, kenapa ini?
Ini salah. Ini gak bener. Ini gak boleh!
81
Lima
Kuhirup aroma kopi hitam kental di cangkir yang
kupegang. Wanginya memberikan efek mene?nang?
kan. Aku memang sangat butuh ini untuk terus
terjaga. Mataku berat, badanku rasanya sudah remuk
redam mengingat beberapa hari ?ini aku susah tidur.
Membayangkan kasur empuk dan bantal besar sung?
guh menggoda. Tapi bayangan itu langsung kabur
bergantikan bayangan Pak Surya yang melambailambaikan setumpuk kerjaan ?hari ini.?
Aku capek banget. Dua minggu ini aku udah
kayak tukang becak kejar setoran. Ngurusin si Iva
yang ditinggal Vio dan mantan playboy tua mesum
yang jadi suaminya itu bulan madu. Yah, akhirnya
me?reka berdua melakukan?trip?ke Raja Ampat hanya
untuk memindahkan aktivitas ranjang yang mesum
nan menggelora ke sana agar tanpa gangguan sedikit?
pun. Pastinya mereka meninggalkan si cantik Iva ke
tangan yang sangat bisa dipercaya dan bisa diminta
pertanggungjawabannya, siapa lagi kalau bukan
dewa penolong Arjuna Narendra. Walaupun aku gak
ngerti juga ini, antara seneng dipercaya apa nangis
darah karena berasa punya anak di luar nikah yang
82
82
ditinggal lari emaknya. Hahh nasib jadi uncle yang
baik hati, tidak sombong dan paling ganteng sedunia,
ya beginilah.
Walaupun sudah ada Pak Tarjo?supir pribadi
eyangnya?dan Mang Diman?suami Mbok Rum
yang juga supir di rumahnya?tetep aja si Iva mah
mi?lih si seksi nan tampan Arjuna?alias aku sendiri?
yang mempesona ini. Dia akan memilih menungguku
pulang kerja kalau mau kemana-mana. Berangkat
sekolah pun gitu, dia hanya mau aku yang mengantar
?untung pulangnya dia mau dijemput sopirnya?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadilah aku sehari-hari muter rumah mama di Jakarta
Timur ke kantorku di Jakarta Selatan dan ke sekolah
Iva di Jakarta Pusat.
Yang jadi masalah adalah, kerjaan kantor lagi
banyak-banyaknya, hingga aku harus sering lembur
tiap hari. Tak jarang aku nyampe rumah saat sudah
hampir tengah malam, dan pagi-buta harus sudah
rela diteriakin dengan berbagai rengekan Iva yang
takut terlambat sekolah. Jadilah tenagaku terforsir
habis. Yah, beginilah hidup si keren Juna, yang jadi
Uncle kesayangan ponakan sekaligus jadi karyawan
kebanggaan bosnya.?
"Tumben Mas Jun ngopi di sini. Lagi ada
a?ngin? opo? ini Mas?" Pak Parno menyapaku dengan
suar?a sa?rat keheranan.
O, ya aku lupa, sekarang ini memang aku sedang
ada di? pantry, di luar kebiasaan memang. Biasanya
aku akan minta kopiku dianter ke meja, tapi kali ini
aku sedang ingin merasakan suasana yang lain.
83
83
"Sedih, ya ndak ono?mbak Ayana Wes?s?aba?r wae
Mas, baru juga hari ini? tho? Mbak Ayana ndak da??
teng?" Senyuman menggoda Pak Parno entah kena?pa
hari ini begitu manis kulihat. Aku hanya bisa ba?las
tersenyum kecil padanya.
Hari ini memang Ayana gak dateng, gak tau
kenapa. Tadi pagi dia mengirim sms padaku yang
me?ngatakan kalau dia mungkin telat atau bahkan
tidak ke kantor. Ditambah serentetan pesan lainnya
agar aku sarapan dan makan siang tepat waktu. Dia
bah?kan mengancam akan menelpon Bu Mey siang
nanti untuk mengecek apakah aku sudah makan atau
b?elum. Ah, anak itu...
"Mas Juna kangen sama Mbak Ayana, ya, kok
m?ukanya sedih gitu?"
Aku menoleh pada suara di sudut, Jono sedang
duduk sambil melipat entah apa sembari nyengir
kuda, aku hanya bisa tertawa getir. Aku juga gak n?gerti
kenapa hari ini aku ngerasa gak semangat, sampaisampai semua yang ngajak ngobrol hanya kubalas de?
ngan senyuman atau bahkan hanya anggukan kecil.
"Sok tau kamu Jon, enggak kok. Saya cuma lagi
capek aja. Ada ponakan dititipin di rumah Mama
saya. Dia maunya sama saya terus kalau kemanamana atau kalau mau ngapa-ngapain. Makanya saya
sering kecapekan karena rumah Mama saya kan di
Jakarta Timur, daerah macet lagi. Jadinya jauh kalau
ke kantor atau ke sekolahan ponakan saya." Entah
kenapa aku merasa perlu memberi penjelasan pada
pasukan?pantry?ini.
84
84
"Ponakan yang waktu itu potonya nyebar kayak
artis itu ya, Mas? Wahh, pada gempar itu loh Mas
di sini. Malah anak-anak ada yang taruhan traktiran
makan siang." Suara Jono kembali terdengar, tapi aku
bahkan malas meliriknya. Gak tau kenapa, aku rasa?
nya sudah tau arah pembicaraan Jono..
"Sayangnya ndak ada yang dapet taruhannya, ya
Jon." Pak parno terkekeh pelan dan mengambil kursi
duduk di depanku. Wajahnya tampak penasaran.
"Emangnya pada taruhan apa kemaren?" Kembali
kuhirup kopiku pelan. Hhmmm entah kopi macem
apa ini, rasanya kenceng banget. Apa hanya karena
aku belum sarapan, ya?
"Itu lho, Mas mereka pada taruhan, salah satu pasti
ada yang mutusin Mas Juna abis ngeliat poto anak kecil
itu. Apalagi, kata Mas Juna itu anak cantiknya kayak
ibunya, tapi mirip Mas Juna juga. Laahh, semua pada
nyangka itu anaknya Mas Juna. Si Darman megang
Mbak Ayana, trus si Edi megang Mbak Nina. Parman
yang lebih parah, dia taruhan pasti dua-duanya
bakalan mutusin Mas Juna. Lhaaaaa, ini mak jebuulll
... enggak ada yang mutusin, malah tambah lengket
aja. Apa nggak sorga dunia begitu. Coba maasss saya
ini dikasih keberuntungannya se?dikit saja, pasti enak.
Lha, wong saya udah mau duapuluh lima taun tapi
belom pernah pacaran be?gini, apa n?ggak kasian." Jono
yang sudah pindah duduk di sampingku menggerutu
panjang lebar.
Hampir saja aku menyemburkan kopi yang belum
kutelan "Ya, ampun Jono, aneh banget mikirnya. Kalo
85
85
aja kamu tau Jon, saya tersiksa lahir batin begini.
Pasti gak mau di posisi saya, gak enak beneran."
"Eleehh, masa iya sih Mas, suka becanda emang
Mas Juna ini. Itu nasib kurang baek gimana Mas.
Pacar dua, Mbak Ayana yang baek banget dan super
perhatian, cantik pula. Trus Mbak Nina yang cantik,
lemah lembut, seksi lagi. Cobaaaa aja bapak saya
gak khilaf dulu, pasti nasib saya nggak begini, deh."
Masih menggerutu Jono melihat ke arahku dengan
wajah terlihat menyedihkan.
"Khilaf kenapa, Jon?" Tertarik kutanyakan hal itu
pada Jono. Apa hubungannya kekhilafan bapaknya
denganku coba?
"Lah, itu khilaf ngasih nama Jono. Coba kalau
eling sedikit aja, ngasih namanya Juna, gitu. Bisa jadi
nasib saya mirip sama Mas Juna. Lah, ini nama sebe?
nernya cuma 11 ke 12 bedanya. Jono sama Juna tapi
nasibnya ... jauuhhh banget. Pengen gitu digilain
cewek-cewek cantik kayak Mas Juna." Mata Jono tam?
pak menerawang jauh,? sedang aku hanya tertawa
dalam hati.
Bisa aja si Jono, bener-bener punya bakat alam
menghibur ini bocah. Bahkan dengan gerutuannya,
dia pun udah lucu banget.
"Gak segampang itulah, Jon. Itu kan yang keliatan
dari luarnya. Saya ?lagi nyari buat jadi istri aja kenapa
susah rasanya, ya." Kuhirup lagi kopi di tanganku.
Terus terang saja aku sudah berfikiran serius
u?ntuk mencari istri. Nina tentu saja kandidat yang
pas sekali. Semua kriteria istri idaman ada padanya.
86
86
Dengan segala kelembutan, kecantikan, keanggun?
an, dan juga kebaikan Nina, aku yakin 100% kalau
Mama pasti langsung tanda tangan kalau aku meng?
ajukan proposal nikah dengan Nina yang ?jadi calon
menantu.
Tapi gak tau kenapa, makin kumantapkan hati
padanya makin ragu juga dibuatnya. Nina yang
manis, lembut, anggun dan baik hati sekarang ini
malah sering marah-marah tak terkendali. Sering
kali aku gak ngerti kenapa bisa dia berfikiran pendek
setiap kali menghadapi sebuah gosip tentangku. Pe?
nye?babnya apalagi kalau bukan kecemburuan yang
menurutku tak berdasar. Demi Tuhan, buat apa, dia
cemburu pada anak kecil macam Ayana?
Sampai saat ini Nina masih juga suka kesal dan
marah-marah begitu melihat Ayana di kantor. Bah?
kan dua minggu ini wajahnya benar-benar tampak
kesal tiap bertemu denganku, alasannya sungguh
lucu, katanya aku tak punya waktu lagi untuknya.
Me?mang sih dua minggu ini aku dan Nina jarang
banget menghabiskan waktu bareng. Selain karena
kerjaanku yang numpuk, juga karena dua minggu ini
aku sibuk mengawal little princessku kemana-mana.
Bahkan ritual berangkat dan pulang ngantor bersama
Nina pun sudah absen kulakukan dua minggu ini.
Yah, aku harus gimana, kalau begini urusannya, ini
benar-benar sesuatu yang di luar kendaliku.
Tapi sebenernya banyak hal baru yang kutau
sekarang tentang perempuan setelah berpacaran
dengan Nina. Mereka bisa jadi marah-marah tanpa
87
87
alasan jelas atau bahkan cemberut seharian karena
meributkan hal sepele. Perempuan memang susah
dimengerti!
"Lah mas Juno nyarinya udah bener apa belom
toh? Kalau nyarinya bener, yoo mesti wes dapet
Mas. Masalahnya kadang kita itu sebagai manusia
nge?liat semuanya, melihat segala sesuatunya hanya
tampak? seko? luarnya saja. Makanya sering kecewa."
Suara Pak Parno membuyarkan lamunanku. Wah,
keting?galan apa aku dari tadi nih?
"Lah Mas Juna ini kurang apa, lho Pak milihnya,
itu Mbak Ayana sama Mbak Nina kurang cantik apa,
Pak? Dua-duanya jaminan mutu, bibit unggul kalo
kata saya, mah." Jono langsung menyambar sambil
mengunyah roti di tangannya.
"Lha, tapi belom tentu toh dua-duanya jodoh
Mas Juno? Apa yang baik menurut manusia itu
belom tentu baik menurut Gusti Alloh Jon. Bisa jadi
sekarang ini Mas Juno senengnya sama si A tapi nanti
berjodohnya sama si B. Atau Mas Juno ngarep banget
buat berjodoh? karo? si C tapi nanti dapetnya malah
sama si D. Mas Juno mungkin sekarang milihnya si
anu karena dia begini dan begini tapi mbalik lagi,
s?emua yang baik di mata kita belum tentu baik di
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata T?uhan. Mas Juno juga kalo usahanya ndak
bener-bener dan serius bisa jadi itu yang sekarang di
tangan ilang begitu wae,?ora ono bekase," ucapan Pak
Parno membuat Jono manggut-manggut.
Aku hanya terpekur menanggapi omongan Pak
Parno. Apa iya usahaku yang kurang? Apa iya aku
88
88
gak keliatan serius sama sekali? Bagian yang mana
yang menunjukan ketidakseriusanku? Apa aku perlu
pasang spanduk di mobil bertuliskan ?pacarnya Nina?
atau perlu bikin tulisan dijidat yang bertuliskan hal
yang sama? Apa itu bukti keseriusan?
Tapi bisa jadi juga. Mungkin Nina gak ngeliat
k?eseriusan dan usahaku selama ini, jadi dia belum
s?epenuhnya yakin padaku. Mungkin inilah saatnya
aku berhenti main-main. Saatnya menunjukkan
ke Nina kalau aku serius menjadikannya pasangan
h?idup. Dan itu harus segera dilakukan. Sebelum dia
dilirik orang lain, sebelum dia masuk bursa pen?
calon?an calon istri oleh perjaka yang lain, aku harus
gerak cepat!
"Jadi kalaupun sekarang Mas Juna pacarnya dua
ya, pak, belom tentu jadi ya sama dua-duanya. Bisa
jadi malah saya gitu ya Pak yang nikah sama Mbak
Ayana." Mata Jono berbinar penuh harap, entah
kenapa aku ingin tertawa melihatnya
"Tidak mungkin kalau begitu? teh,? itu seperti
pungguk merindukan bulan. Kamu itu Jon, kalau
mengharap sesuatu diukur dulu?atuh, sesuai kemam?
puan. Kalau Mas Juna mungkin saja dapat salah
satunya. kalau kamu sepertinya tidak ? boleh jauhjauh mimpinya. Udah sama Marni yang jaga kantin
itu atau si Santi office girl-nya lantai 3 itu. Terima,
titik." Darman yang tiba-tiba datang ikut nimbrung
di obrolan kami.
Aku dan pak Parno hanya tertawa melihat tam?
pang Jono yang seperti ingin mencakar Darman.
89
89
Hah mereka-mereka ini memang beneran bisa
membuat aku sedikit melupakan semua masalah.
Yah paling tidak untuk sementara.
"Ok, deh?guys, saya balik dulu, ya. Gak enak ah,
ntar dikira nyantai-nyantai lagi ?gara-gara Pak Surya
gak ada. Makasih juga, lho Pak Parno, obrolannya nye?
gerin." Aku bangkit sambil membawa cangkir kopiku
yang masih setengah penuh. Meninggalkan mereka
sekarang ini adalah pilihan tepat, sebelum aku nanti
diberondong dengan pertanyaan menyelidik yang
cenderung polos tapi usil dari Jono dan Darman. Aku
paling malas mengklarifikasi apapun, apalagi me?nge?
nai gosip yang kadang bikin panas kuping.
"Nanti makan siang mau ?dibeliin apa ndak Mas?"
Pak Parno melihat ke arahku sambil tersenyum
lebar.?
Agak bingung juga aku sebenernya, ada apa de?
ngan makan siang? Oww mungkin karena hari ini
Ayana gak datang, jadi Pak Parno berpikir aku bakal?
an kelaperan.
"Gak usah Pak, nanti saya mau makan di luar aja,"
kataku pada Pak parno akhirnya.
Kuputuskan untuk mengajak Nina makan di
luar hari ini. Setelah tiga minggu?ya Tuhan sudah
tiga minggu ternyata?aku tak pernah makan di
luar ataupun memesan makanan lewat Pak Parno.
Jadi tiga minggu ini aku sudah seperti tuan besar di
kantor ini, yang makan siang dan sarapan pun diurusi
Ayana?
Ahh... Ayana. Ke mana dia?
90
90
Cepat kuraih ponsel, kutekan speed dial, tak sabar
menunggu respon dari seberang sana.
"Hai J."
Suara lembut itu memenuhi indera pendengar?
anku,? sepertinya sudah lama suara itu gak mampir
mewarnai hariku "Hai Nina, sibuk ya?"
"Emmm gak terlalu sih, kenapa?"
"Enggak cuma pengen tau kabar kamu aja. Emm
Nin, nanti?lunch?barengan yuk?"
"Ow.. makan siang, ya ... mmmhhh... aduh.. aku..
aku udah ada janji sama ... sama ... sama temen-temen
J. Mungkin lain kali aja ya...."
Suara di seberang sana terdengar gugup men?
jawab. Yah, salahku juga sih, ngajak makan dadakan
gini. Mungkin dia sudah ada janji dengan temantemannya. Kalau memang benar, pasti dia juga gak
nyaman nolak ajakanku.
"Ooo ... oke deh. Mungkin lain kali aja. O, ya Nin,
besok malem ada acara, gak?" Nekat kuajukan perta?
nyaan ini pada Nina. Setidaknya sudah kucoba.
"Besok malem? Sabtu malem ya, J, emm ... memang
kenapa. Tumben nanyain acaraku malem minggu,
biasanya kamu ada acara sama keponakanmu."
Ada sedikit nada ketus di sana yang malah mem?
buatku ingin tertawa. Nina kadang memang tak
terlalu suka kalau aku bercerita tentang kebiasaanku
setiap? week end? yang selalu kuhabiskan di rumah
Mama ngurusin si Iva. Dia selalu berdalih kalau aku
kurang memperhatikannya sebagai pacar. Dia selalu
ingin kami terlihat bersama seperti pasangan-pasang?
91
91
an lainnya yang selalu? hang out? malem minggu.
Sebenernya aku selalu menawarkan untuk jalan
bareng sama Iva, tapi dia pasti menolak. Tak ingin
jadi?baby sitter,?begitu katanya.
"Aku pingin ngajak kamu ke rumah, makan m?alem
sama semuanya. Sekalian kenalan sama k?eluargaku.
Gimana, kamu bisa?"
Lama tak kudengar balasan dari Nina, hingga
kuliat ponselku bolak balik, meyakinkan apakah
masih tersambung dengannya "Nin ... Nina ... hallo ...
kamu masih di sana Nin?"
"Eh ... i ... iya... J. mmhhh ... besok malem, ya?
Mmmhhh ... ok, deh, kurasa aku bisa. Kamu jemput
aku, kan nantinya?"
"Ya iyalah. Pastinya, aku jemput. Jam setengah
tujuh, ya."
"Oke, deh. Eh Juna, maaf ya aku lagi agak sibuk,
nih. Udahan dulu, ya."
"Oo... maaf. Oke, bye Nina."
Tanpa sahutan Nina memutuskan telponku.
Entahlah aku merasa akhir-akhir ini hubunganku
merenggang dengan Nina. Dia tak lagi hangat, ma?
lah terkesan menjauh. Setiap smsku jarang banget
dibalasnya. Setiapku menelpon pun lebih sering direject? dengan alasan sibuk atau sudah mengantuk.
Memang, sih aku lebih sering menelponnya sepulang
kerja yang bisa dipastikan lewat dari jam sembilan
malam dua minggu ini. Jadi wajar aja dia ngacuhin
semua telponku.
Mungkin aku yang terlalu menuntut dia untuk
92
92
mengerti posisiku, tanpa aku berusaha mengerti
kondisinya. Tentu saja ini salahku, dan aku harus
segera memperbaikinya. Kali ini aku sudah meman?
tapkan hati. Aku tau apa yang kumau.
Nina.
* * *
?
Deretan angka di layar komputer seperti menarinari, mengejekku tanpa henti. Tak juga kutemukan
variabel yang cocok dari data kontrol di depanku.
Huffttt kenapa semuanya rasanya gak enak, ya
hari ini, aneh dan gak nyaman. Rasanya hari ini pun
berjalan sangat lambat, membosankan.
Suara denting gelas di depanku membuatku lang?
sung mendongak, berharap entah untuk apa. Tapi
hanya ada Pak Parno yang tersenyum lebar di sana.
Beliau meletakkan sepiring nasi Padang juga segelas
besar air putih, jus alpukat, dan sepotong besar cake
coklat yang tampak menggoda.
"Buat siapa pak?" Heran, aku bertanya pada Pak
Parno. Aku tak merasa memesan makanan siang ini.
"Ya buat Mas Junolah, buat siapa lagi. Masa saya
mau makan numpang di mejanya Mas Juno." Pak
Parno tersenyum kecil ke arahku sambil tetap mela?
kukan kegiatannya memindahkan semua isi nampan
ke meja.
"Saya kan gak mesen?" Masih saja aku ngeyel,
heran aja orang satu ini bisa-bisanya punya inisiatif
begini. Terlalu kreatif ini mah jadi orang.
"Mbak Ayana nelpon pentri, nanyain Mas Jun
93
93
nitip makan siang apa ndak. Lah saya bilang ndak
minta dibeliin. Terus Mbak Ayana mbilangin saya
buat nyiapin makan buat Mas Juno, sekalian nitip
pesen katanya Mas Juno harus istirahat, ndak boleh
kecapekan. Katanya juga Mbak Ayana udah nelpon
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mas Juno, tapi hapenya ndak bisa di hubungi." Pak
Parno menjelaskan sambil menata semua bawaannya
di mejaku.
Secepat kilat kuraih gadgetku di laci, batere habis.
Pantes. Kenapa aku sampai kelupaan berat buat ngecharge?HP!
"Tadi Ayana juga nelpon aku J, nanyain kamu
udah keluar istirahat belom. Makanya mungkin lang?
sung nelpon ke? pantry? minta siapin makan siang
buat kamu waktu kubilang kamu belum keluar sama
sekali." Bu Mey bicara padaku tanpa mengalihkan
pandangannya dari layar komputer di hadapannya.
Ya, ampun, ngapain juga anak kecil satu itu. Ada
aja yang dia dikerjain. Buat apa semua ini coba?
"Wes,? mas makan dulu. Tadi pesennya Mbak
Aya?na semua harus dihabisken, ndak boleh ada yang
nyisa.?Sampun, tak tinggal dulu, yo." Pak Parno ngelo?
yor pergi meninggalkanku yang masih setengah bi?
ngung.
Otomatis tanganku terulur pada piring lebar di
depanku, nasi padang dengan ayam pop. Gak ada
sambel yang nyelip di antaranya seperti jebakan bet?
men yang sangat kubenci jika memesan Nasi Padang.
Ayana tau aku gak begitu suka pedes. Tersenyum
kecil, kuaduk nasiku perlahan, anak kecil itu. Haahhh
94
94
... kenapa semuanya jadi rumit begini, sih!
Aku makan dalam diam, menikmati sesuap demi
sesuap makan siangku kali ini. Kulirik jus alpukat di
depanku, warna hijau tuanya berbaur dengan coklat
dari susu kental manis yang gak begitu banyak.
Ayana juga tau kesukaanku dalam menikmati jus.
Gak terlalu manis dan gak terlalu banyak susu, ka?
rena akan merusak rasa buahnya menurutku. Dia
masih inget semua detil kecil yang pernah kukatakan
padanya. Kenapa gak adapun anak ini tetep aja bikin
pusing, ya?
Gak tau ?kenapa hari ini rasanya aneh sekali. Tapi
... ah mungkin aku hanya terlalu sentimentil.
"Jam segini baru makan J?"?
Aku mendongak pada asal suara di depanku.
Ha ... Aszumi si usil dari gua hantu. Rasanya lama ba?
nget gak ketemu ini bocah.
"Kenapa Aszumi, mau nyuapin aku?" Kuberikan
senyum terbaikku padanya. Ritual menggoda Aszumi
rasanya sudah lama banget gak kulakuin. Bagian mar?
keting memang sedang sibuk-sibuknya bulan ini, jadi
kami memang jarang bertemu.
"Isshh tak usah, ya. Aku ke sini cuma mau ka?
sihin kerjaan buat kamu sama Bu Mey, bukan buat
ngeladenin keusilan dan keisengan kamu, J." Tampak
sewot Aszumi bersedekap di depanku.
"Kenapa lagi, sih Bu Irma nyuruh kamu capekcapek naik ke lantai 5 cuma buat ngerjain aku? Derita
banget hidupmu, Mi." Cengiran isengku malah m?em?
buatnya tertawa. Menunduk, kembali kume?lanjutkan
95
95
makan siangku yang tinggal separuh.?
"Enggak, sih tadinya mau kasih kerjaan buat
kamu, tapi tadi aku liat Pak Surya udah dateng. Jadi
kaya?nya aku nanya Pak Surya dulu, deh." Aszumi me?
lam?baikan binder map-nya padaku sambil nyengir
jahil.
Eh, Pak Surya dateng? "Pak Surya dateng, Mi?
Tau dari mana? Gak ada tuh lewat sini." Perhatianku
teralih sepenuhnya. Aku beneran heran. Ini Aszumi
yang punya indera lebih apa aku yang emang gak
perhatiin sekelilingku dari tadi ya?
"Bentaran lagi juga dateng. Tadi pas aku mau
naik lift, beliau baru nyampe. Agak lama kali, bawaan
binimu kan banyak." Jawaban asal Aszumi ditimpali
kekehan Bu Mey yang entah kenapa saat ini tak
membuatku kesal.
Yang dimaksud Aszumi pasti Ayana, kan?
Siapa lagi? Berarti Ayana dateng, ya? Tapi buat apa
mereka dateng ke sini, ini bahkan sudah lewat dari
jam 2 siang. Nanggung banget, bentaran lagi juga
waktunya pulang. Pertanyaan di kepalaku terjawab
saat lift khusus direksi yang tak jauh dari meja Bu Mey
berdenting terbuka. Pak Surya keluar bersama Ayana
yang mengenakan jaket dan syal membelit lehernya.
Kostum yang aneh untuk cuaca seterik siang ini.
Kenapa dengan Ayana, sakitkah?? Kalau sakit, sakit
apa dia? Sejak kapan? Bukankah kemarin dia baikbaik saja? Lagipula kenapa dia gak ngasih tau aku
tadi pagi pas SMS? Bukannya dia selalu ngasih tau
aku tentang apapun?
96
96
Aku masih melanjutkan makan siang yang nang?
gung saat Aszumi keluar dari ruangan Pak Surya dan
kembali menghampiri mejaku.
"Juna dipanggil mertua, tuh. Katanya laptop sama
kerjaan kamu bawa aja masuk sekalian, tapi kata?
nya suruh kelarin dulu makannya." Matanya masih
ber?sinar jahil, aku tau dia mengejekku, tapi gak tau
kenapa saat ini keinginan untuk menimpuknya de?
ngan benda keras di mejaku melayang entah ke
mana.?
"O, ya J, mmmhhh kamu masih sama Nina kan?"
Aszumi yang sudah sampai di pintu tiba-tiba berbalik
menghadap ke arahku. Dia tampak sangat penasaran
menunggu jawaban. Aduh ada gosip macam apa lagi
ini sampai ada pertanyaan begini.
"Masihlah, kenapa, gitu?" kujawab pertanyaan?
nya sambil membereskan meja dan laptop.
"Eemmhhh ... gak papa, nanya aja, kok." ?Aszumi
berlalu setelah diamnya yang tak kumengerti.
Dasar Aszumi, apa maksudnya coba nanya-nanya
begitu?? Jangan-jangan ini cuma akal-akalannya
Aszumi buat ngerjain aku. Akan tetapi kuputuskan
untuk tak memperpanjang ataupun memikirkannya
lagi, karena pertimbangan pekerjaan yang sudah
m?enunggu.
"Masuk!" Suara Pak Surya dingin dan datar.
Eeehh ... tau dari mana bos satu ini kalau aku udah
di depan pintu? Aku bahkan belum mengetuk sama
sekali. Hari ini kenapa orang-orang seperti pinter
n?ebak atau emang mereka keturunan dukun yang tau
97
97
dari bola kristal yang bersinar terang itu??Haaisshhh
Junaaa ... kenapa pikiranmu melantur kemana-mana.
Banyak pertanyaan di kepala saat kumasuki
ruangan Pak Surya. Beliau tampak sangat sibuk di
belakang meja, menekuri setumpuk kertas seolah itu
adalah hal paling penting sedunia. Wajahnya tampak
sangat serius, Beliau bahkan sepertinya tak menya?
dari kalau aku sudah masuk. Pak bos ini emang kalo
udah kerja sama kayak robot. Mataku pun melayang
ke sofa kulit hitam yang menempel di dinding, Ayana
terlihat tidur diselubungi selimut tipis. Kenapa de?
ngan dia??
"Arjuna, semua data yang saya minta sudah kamu
kerjakan?" Pertanyaan Pak Surya mengagetkanku.
Apa Pak Surya tadi melihat aku memperhatikan
anak??nya tidur? Semoga saja tidak.
"Sudah Pak, tapi untuk data kontrolnya belum,
laporan penunjangnya baru diberikan pada saya dari
divisi Bu Irma."
"Oke, tidak apa-apa. Saya ada rapat sekarang de?
ngan jajaran direksi, mungkin sampai malam. Bisa
saya minta tolong sama kamu?" Pak Surya meng??
alihkan pandangan ?dari setumpuk kertas di tangan?
nya padaku. Entah kenapa aku jadi gugup. Mata pak
bosku ini kelihatan begitu menyelidik.
"Bi ... bisa Pak. Saya siap jadi notulen."
"Tidak usah, itu biar Mey saja. Kamu tidak ikut
rapat kali ini. Saya mau minta tolong kamu jagain
Ayana saja sampai saya selesai rapat. Kerjaan kamu
bawa saja ke sini, tapi prioritas tetap Ayana yang
98
98
kamu perhatikan. Dia agak demam pagi ini, saya
takut demamnya naik lagi. Bagaimana, bisa kan?"
Pak Surya menatap mataku tajam. Rasanya seperti
meminta pertanggungjawabanku akan sesuatu?
Mau tak mau aku mengiyakan permintaan Pak
Surya. Abis gimana lagi. Masa iya aku nolak. Secara
gitu lebih enak sebenernya dikasih tugas beginian
dari pada rapat gak jelas dengan orang-orang tua
namun berkuasa itu, halahhbisa ketularan tua aku
nanti.
Dan di sinilah aku, terdampar di ruangan Bos,
demi menunggu putri kecilnya yang sedang sakit.
Agak menyeramkan kurasa, karena Ayana tipe orang
yang sangat diam ketika tidur. Dia tidak bergerak geli?
sah dalam tidurnya, tidak ada dengkuran, igauan, bah?
kan nafasnya pun begitu halus. Dadanya naik turun
tipis banget, tidak seperti orang pada umumnya. Ka?
dang aku tergoda ingin mengecek apakah masih ada
udara yang dia hirup atau dia buang dari hidungnya.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya untuk memastikan kurasa, apakah dia masih
hidup atau tidak.
Mataku melirik pada jam di pergelangan tangan,
17.00. Capek banget, rasanya punggungku perlu
diluruskan atau minimal dipijit dengan kekuatan
ekstra besar. Pinggangku pun pegel kayak abis narik
becak seharian. Kuregangkan semua otot tubuh dan
menggeretakkan tulang-tulang di persendian. Rasa?
nya me?legakan sekali. Tak sengaja aku berpaling
pada sofa kulit di depanku, hanya untuk bertatapan
de?ngan mata abu-abu yang melihatku tak berkedip.
99
99
Astagaaaa...!
Ini bocah beneran punya bakat alam untuk bikin
orang kena serangan jantung mendadak. Dia sama
sekali gak bergerak. Tidak juga berkedip. Aku seperti
sedang melihat boneka porselen yang diletakkan
sembarangan saja. Rambut coklatnya acak-acakan,
namun tampak indah membingkai wajahnya yang
kurasa agak sedikit tirus sekarang, kulitnya yang
putih tampak pas sekali dengan warna mata yang
unik, abu-abu terang. Mata yang dua minggu ini
kuhindari sebisa mungkin.
"Eemmhh ... Ayana, udah bangun. Kamu mau
minum?" Kutanyakan saja hal pertama yang melin?
tas di otakku. Menghilangkan gugup yang tiba-tiba
datang. Situasi ini sudah kuhindari sebisa mung?kin
dan sekarang ini aku terjebak di dalamnya.
Mata itu berkedip ringan. Sebentuk senyum ter??
ukir dibibirnya. Dia menggeleng pelan "Kakak du?duk?
nya sini aja dong, deket Ayana." Suaranya terde??ngar
lemah. Seakan dia kesusahan mengucapkannya.
Hadeehhhh apalagi maunya dia. Apa dia gak
nyadar dua minggu ini sebisa mungkin aku menjauhi?
nya? Sama sekali tak menanggapi obrolannya, tak
meng?anggapnya ada, bahkan menatap matanya pun
aku tak mau.
?Penyakit.
"Eemmm aku di sini saja Ayana, masih ba?nyak
kerjaan." Menghindari matanya, kufokuskan pan?
danganku pada boneka beruang coklat dalam peluk?
annya.
100
100
Tapi kemudian dia membuang pandangan, dan
ada sesuatu yang kutangkap dari sorot matanya. Tapi
aku tak tau apa itu. Kekecewaan? Entahlah.
Ya, ampun apa lagi ini. Aku hanya gak ingin
menumbuhkan rasa yang tak wajar bila di dekatnya.
Tapi reaksi Ayana sungguh di luar dugaan. Dia yang
biasanya cuek dan tak pedulian kini hanya diam dan
anehnya tampak sedih. Apa aku sudah menyakiti?
nya. Benarkah?
Dengan berat hati kubawa laptopku dan duduk
berselonjor di depan sofa yang dia tiduri. Punggungku
menghadapnya. Sangat dekat, terlalu dekat kurasa
saat ini.
"Kamu kamu sakit Ayana, sakit apa?" Berusaha
memecahkan kekakuan di antara kami, kuajak dia
ngobrol.
"Gak papa kok. Cuma demam dikit, Papa aja yang
suka heboh." Dia menjawab setelah diam beberapa
saat. Lama kami sama-sama diam.
Aku pun tak tau apa yang harus kukatakan pada?
nya. Kenapa dengan Ayana? Di mana kecerewetan
dan sikap gak tau malunya itu? Entah kenapa saat
ini aku lebih suka dia yang seperti biasanya. Bukan
seperti ini, terlihat lemah dan sangat manusiawi.
"Kakak udah makan?" Suaranya berbisik lembut.
Ya, Tuhan, kenapa dengan suara anak kecil ini?
Tak bisakah dia bicara seperti biasanya?
"Udah, makasih ya udah nyiapin semuanya buat
aku. Seharusnya itu gak perlu, aku rencananya baru
mau keluar buat nyari makan tadi." Berusaha secuek
101
101
mungkin kulontarkan jawabanku.
Aku masih memfokuskan diri pada layar 14
inci di depanku setelah setengah jam berlalu, saat
kusadari sedari tadi kami sama sekali gak bersuara.
Tak biasanya ini terjadi. Kualihkan lagi pandanganku
pada?nya. Ayana masih melihatku, tapi tetap diam.
Ada kesedihan yang kurasa amat pekat dalam tatap?
an abu-abu terang itu. Apa dia sedih? karena aku kah?
Tapi aku beneran gak niat nyakitin atau membuat
dia kesinggung. Aku hanya tak ingin memupuk rasa
yang tak seharusnya ada. Ada rasa bersalah yang me?
nyelinap di hatiku diam-diam. Apa aku terlalu kasar
padanya? Apa aku menyakitinya?
"Maaf, apa kamu tersinggung?"
Gadis itu hanya menggeleng pelan, lalu kembali
tersenyum "Ayana kan gak pernah ngarep apa-apa
sama Kak Arjuna, bahkan balasan perhatian dari Kak
Juna. Ayana udah seneng kok Kak Arjuna mau nerima
semua keanehan Ayana." Senyum ?kembali menghiasi
bibirnya. Senyum yang sangat indah.?
"Siapa bilang kamu aneh? Aku gak pernah ngang?
gep kamu aneh, yahh mungkin sedikit abnormal."
Aku masih tak berani menatap matanya. Aku takut
rasa aneh itu datang lagi seperti saat itu.
Tawa kecil kudengar kemudian "Sama aja kali,
aneh, abnormal." Dia masih terkikik saat kemudian
satu gerakan di belakang kepalaku sukses membuatku
membeku.
"Kakak rambutnya udah panjang, ih. Gak pengen
potong?" Tangannya membelai belakang kepalaku,
102
102
menyisir rambutku ringan, kemudian menyusuri
kulit kepalaku pelan. Berulang-ulang. Lagi dan lagi.
"Tapi gak papa kok, mau bagaimana juga kakak tetep
cakep."?
Jantungku kembali berdebar kencang. Ya Tuhan,
tolong jangan siksa aku lagi.
?
* * *
?
"Bajuku bagus gak, J? Sopan kan, gak berlebihan?
Make-up ku gak terlalu menor, kan?" Dari balik kaca
kecil yang di pegangnya Nina meminta pendapat.
Kulirik sekilas gaun turtle neck? warna turqoise
yang dipakainya. Emang bener dah Nina ini, mau
pake apa aja juga tetep cakep banget. Lahhh, apalagi
kalo gak pake apa-apa, yak?
"Cakep, kok. Bagus. Make-up nya juga bagus,
Nina. Tau gini mah tadi mampir KUA dulu, ya Nin,
jadi di rumah tinggal selametan." Kuberikan lirik?an
singkat pada Nina yang langsung mencubit ping?
gangku pelan. Aiiihhh, inilah rasanya kalau dicubit
pacar. Sakitnya beneran, gak ada yang bisa n?yembuhin
kalau gak dicubit lagi.
"Ntar yang ada siapa aja J di rumahmu?" tanya
Nina yang kembali sibuk menepukkan bedak tipistipis ke pipinya.
"Ada Mama, Papa, Mbak Era sama suaminya Mas
Ezra trus anaknya Ariella, sama Daiva. Ada Mbok Nah,
sih yang bantuin di rumah. Udah itu aja, kenapa?"
Sedikit kualihkan perhatian dari jalanan di depanku,
103
103
kami sudah dekat.
"Enggak papa nanya aja. Masih bingung gimana
mau kenalan sama orang tua kamu. Daiva itu ponak?
an yang kata kamu anaknya adekmu yang lagi?honey?
moon?itu, kan?" Nina melirik singkat saat memoleskan
listik warna pink di bibir seksinya.
Aku hanya bergumam mengiyakan. Baru nyadar,
deh dimana-mana ya perempuan mah ribet banget,
perasaan tadi pas kujemput pacarku paling cantik
sedunia ini lagi dandan kata emaknya. Lahh, ini di
mobil masih tambel sana tambel sini. Padahal kan itu
nanti juga bisa luntur kalo makan.
Nina masih tampak gugup saat kugandeng ta?
ngannya memasuki rumahku yang terdengar ramai.
Beberapa kali dia membetulkan gaun selututnya
yang bagiku masih tampak sempurna. Sejujurnya
aku juga gugup banget. Dalam 27 tahun masa hidup?
ku di muka bumi yang indah ini, baru sekali ini aku
memperkenalkan secara resmi seorang perempuan
berlabel pacar pada keluarga. Aku gak tau gimana
reaksi mereka nanti. Walaupun kemaren ketika
kutelpon Mama dan Mbak Era keliatannya seneng,
tapi itu bukan jaminan, kan? Apalagi Mbak Era,
walau?pun bijak tapi kadang komentarnya suka
nyinyir kalo gak suka sesuatu.
Suasana senyap begitu kami memasuki ruangan,
semua terdiam dan melihat kami berdua dengan
tatapan tertarik. Keluargaku berkumpul semua di
ruang tamu, tapi tak kulihat Ariella dan Daiva, mung?
kin mereka masih bermain di kamar.?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
104
104
"Nina, kenalin ini Mamaku, Papaku, kakakku
Mbak Era dan ini suaminya Mas Ezra. Semuanya,
kenalin ini Nina, temen sekantor, pacar Juna." Wa?
lau?pun gugup, hatiku membuncah bahagia mem?
perkenalkan Nina pada keluargaku. Haaahhh ... liat,
nih Maam ... liat, Mbak Era. Juna punya pacar kan,
Juna laku. Catet itu, laku.
"Ooo jadi ini yang bikin Juna betah banget di
kantor. Saya Mamanya Juna." Mama yang terlebih
dulu menghampiri Nina, mengulurkan tangan dan
memeluk ringan setelah bercipika-cipiki dengannya.
Mbak Era pun dengan senyum terkembang lebar
menyambut Nina. Tak tampak keanehan apapun
pada keluargaku saat aku memperkenalkan Nina
pada mereka semua. Sepertinya aku bisa bernafas
lega dan melalui malam ini dengan rileks.?
"Jadi Nina satu kantor, ya sama Juna, tau dong
semua sifat dan kebiasaan Juna. Dia kalau di kantor
gimana, sih?" Mbak Era melontarkan pertanyaan itu
saat kubawa Nina duduk di sofa panjang setelah acara
berkenalan selesai. Dan aku curiga, apa maksudnya
Mbak Era, nih? Kenapa senyumnya aneh gitu? Apa
dia mau ngorek info gimana aku hari-hari di kantor?
"Juna baik kok, Mbak. Semua temen-temen juga
tau itu. Dia idola banyak pegawai perempuan di
kantor," jawaban Nina membuatku tersenyum pada
Mbak Era. Hmmm ... jadi ini pendapat Nina ten?
tangku. Baik dan idola cewek? Yah, minimal dia pasti
gak nyesel pacaran sama bujangan paling diminati di
kantor.
105
105
"Udah lama Nina kenal Juna? Sekantornya dari
kapan?"?
Yaaelahh ... tumben ini Mas Ezra ngikutin bini?
nya sok interogasi. Gak tau kenapa, perasaan dari tadi
Mbak Era sama Mas Ezra senyum-senyum geje gitu.
Jangan-jangan mereka emang sengaja ngerjain aku.?
"Saya baru satu tahun bergabung di perusahaan,
Mas. Sebelumnya malah gak begitu kenal Juna. Saya
kan staf bagian keuangan di lantai empat, kalau Juna
kan di lantai lima dan lebih sering berhubungan
dengan bos-bos. Jadi sebenernya, sih memang jarang
ketemu." Nina menjelaskan pada Mas Ezra yang
hanya dibalas dengan kuluman senyum dari mereka
semua.
Hah aku yakin banget ada unsur kesengajaan
di sini. Gak mungkin banget mereka kompakan be?
gini kalo gak ada maksud terselubung. Apa mereka
gak yakin kalau Nina beneran pacarku? Apa mereka
curiga kalau Nina ini cewek bayaran yang kusuruh
berpura-pura di depan keluargaku? Haiisshh ... ter?la?
lu banyak nonton sinetron kalau bener begitu mah.
"Uncle J...."
Suara teriakan dan tapak kaki yang berderap
cepat di tangga mengalihkan perhatian kami semua.
Daiva melompat ke pangkuanku dengan lincah dan
segera memeluk leherku erat.
"Iva kangen sama Uncle J, kok gak bilang sih
kalau udah dateng dari tadi?" Keponakan jelitaku itu
memamerkan wajah cemberutnya. Kenapa lagi?little
princess-ku ini, keliatannya dia sedih banget.
106
106
"Heiii kenapa Baby D? Kok cemberut gitu,
sih, Uncle J kan perginya gak lama?" Kuusap rambut
panjangnya, saat dia makin mengetatkan pelukan
dan menelusupkan kepalanya pada leherku. Eehh,
kenapa ini ponakanku?
Lewat tatapan mata aku bertanya pada Mama
dan Mbak Era. Mama mengisyaratkan kata ?ngambek?
tanpa suara. Aku hanya bisa mengangkat alis heran,
kenapa lagi nih bocah ngambek. Padahal kan Ariel
nginep di sini. Biasanya sejelek apapun mood Daiva,
dia akan berubah ceria saat berkumpul dengan Ariel.
"Baby D udah dong, kan ada kakak Liel di sini.
Kalo boleh sama Bunda, besok Kakak Liel nginep
lagi, deh di sini, atau nanti Baby D yang nginep di
rumah Kakak Liel, ya." Ariel coba menenangkan Iva
yang masih bersembunyi di leherku. Tapi tak ada
tanda-tanda gadis kecil itu melepaskan pelukannya.
Wah serius ini judulnya.
"Kenapa, sih Mam?" Tak tahan, bertanya juga aku
pada Mama.
"Dave nelpon, katanya kepulangan mereka mau
ditunda beberapa hari lagi. Tadi, sih Iva biasa, ketawaketawa aja. Gak tau kok lama-lama jadi sedih begitu.
Pengen nyusul katanya." Mama menjelaskan setelah
hembusan nafas beliau yang terdengar lelah.
Jadi ini gara-gara pasangan tua mesum tak tau
malu itu? Mereka yang bikin ponakanku sedih? Asta?
gaaa ... nambah beberapa hari lagi? Apa masih ku?rang
dua minggu full tanpa gangguan hanya untuk?kudakudaan, making love, bercinta, make a baby atau
107
107
apapun istilahnya? Aku jadi penasaran, apa sih yang
mereka lakukan sampai betah banget di sana? Iya sih
deket, cuma di Raja Ampat. Tapi tetep aja kan, dua
minggu dan masih kurang. Ya, ampoonnnn!
"Hei ... jangan sedih gitu, dong, ntar Iva gak can?
tik lagi, lho. Walaupun gak ada Mommy sama Daddy,
kan masih ada Uncle J, masih ada Oma-Opa, ada
Budhe-Pakde, trus ada kakak Liel juga. Kita masih
bisa maen bareng seperti biasa, oke?" Kuarah??kan
wajah Iva padaku, matanya sedikit basah. Yaelaaahh,
ini mah dia pasti udah kangen berat sama emak
bapaknya judulnya. Dia hanya mengangguk kecil,
namun tak ada perubahan ekspresi pada wajahnya
"Eh, Uncle J bawa aunty cantik di sini, Baby D ke?
nalan, yuk. Nih aunty cantik ini namanya Aunty
Nina." Kuarahkan Daiva pada Nina yang sedari tadi
diam di sampingku.
Nina tersenyum kecil pada Daiva yang tampak
tak bersemangat. Daiva hanya bersalaman singkat
pada Nina, wajahnya sepertinya sudah dipaten cem?
be?rut untuk malam ini. Alamat harus kerja keras
bikin dia gak sedih lagi. Karena dari dulu Iva emang
paling susah sedih, tapi kalau sekalinya sedih, pasti
lama dan susah banget obatnya.
Sepuluh menit kemudian ?mama ngumumin ka?
lau makan malam udah siap. Aku masih saja membu?
juk Iva yang tak mau turun dari gendonganku. Dia
masih saja memelukku erat dan tampak tak bersema?
ngat. Kugendong dia dan mendudukkannya di antara
aku dan Ariella di meja makan sambil masih terus
108
108
membujuknya. Dan syukurnya di tengah-tengah
makan malam dia sudah bisa sedikit tersenyum dan
mulai kembali sedikit ceria.
Nina tampak mudah sekali berbaur dengan
keluargaku. Dia bisa mengikuti setiap obrolan dan
bisa juga menciptakan topik baru yang diterima se?
mua?nya. Mama dan Mbak Era pun tak tampak me?
nun?jukkan tanda-tanda gak suka. Rasanya satu lang?
kah bisa kulalui dengan mudah. Kalau tau begini
aku akan menempuh jalan ini sejak dulu. Mungkin
sepulang dari sini aku akan menyatakan keseriusanku
pada Nina. Lebih mengenal keluarganya mungkin,
atau bahkan mulai mengenalkan keluarga kami
masing masing. Aku gak tau apakah ini terlalu cepat
atau enggak, tapi kurasa tak ada salahnya dicoba.
"Nina jangan kapok, ya maen ke sini, seringsering, lho mampir. Pintu rumah ini selalu terbuka
buat Nina." Mama merangkul Nina lembut saat Nina
berpamitan hendak pulang.
"Nina yang sabar, ya ngadepin Juna. Kadang dia
emang suka kolokan. Tapi aku berani garansi kok,
dia ini baek banget. Pasti kamu gak nyesel, deh sama
Juna." Mbak Era pun memeluk Nina sesaat sambil
tersenyum lebar.
Hiyaaa ... ini Mama sama Mbak Era sama aja. Tau
banget cara bikin Arjuna laris manis kayak kacang
goreng di tontonan layar tancep. Good, acara jual
dirinya bagus banget. Gak sia-sia punya mama dan
k?akak pengertian.
"Makasih, ya Tante, Om, Mbak Era juga Mas Ezra
109
109
udah mau nerima Nina di sini. Makasih juga buat
makan malemnya, enak banget. Nina seneng banget
bisa kenalan sama keluarga Tante."?
Mama masih mengobrol ringan dengan Nina di
teras depan. Ya, ampun ini calon mertua sama calon
mantu akur banget. Ini si calon suami juga udah gak
sabar sebenernya, pingin cepet-cepet juga, gitu. Biar
gak terjadi tragedi nahan diri dan nafsu kelamaan.
Aku takut berubah kayak Mas Dave yang udah mirip
bintang porno kalau udah ngeliat Vio. Ha janur
kuning, akan kulengkungkan kau segera! Tunggu aja
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanggal maennya!
"Udah-udah, kelamaan banget ngobrolnya. Yuk,
ah, Mam, Juna anter Nina dulu, ya. Ntar dicariin
mamanya berabe urusannya, disangka bawa lari
anak gadis orang malahan." Kutarik Nina menjauh
yang sepertinya masih ingin ngobrol dengan mama.
Kami pun berpamitan dan melambaikan tangan ala
Miss Universe pada semua keluargaku di teras depan.
Mama dan Papa tampak puas. Mbak Era dan Mas Ezra
pun tampak senang. ?Satu fase udah terlewati.
"Keluargamu asik banget ya, J. Gak nyangka, deh.
Padahal kupikir Mama Papa kamu orangnya kaku,
soalnya tampangnya serius gitu. Papamu apalagi,
dikit banget ngomongnya, aku sampai takut kalau
papamu gak suka sama aku. Gak taunya orangnya
seru. Mbak Era juga, gak nyangka kalau mbak Era
itu dokter anak, ngocol banget. Seru deh semua ke?
luargamu." Nina masih saja berceloteh ringan saat
kami melaju di jalan tol.
110
110
Ahaii ... belum tau aja dia, semua keluarga
Ruslan itu emang menyenangkan, menggairahkan
dan mempesonakan. Pasti gak rugi jadi anggota ke?
luarganya Arjuna. Mau yang sedatar dan sekaku Mas
Ezra ataupun semesum dan seplayboy Mas Dave,
semua pasti bertekuk lutut dan jatuh cinta setengah
mati kalau udah terjerat pesona anak-anak keluarga
Ruslan.
"Kamu belum ketemu adekku Viona. Dia lebih
seru anaknya. Susah ngerem kalo udah ngobrol sama
dia." Kulirik Nina yang tampak tertarik menyimak.
"Adekmu yang Mommy-nya Iva itu, J? Eh, tapi kok
mereka tega gitu ya J, ninggalin anaknya lama banget
cuma buat bulan madu, doang. Kejam gitu kesannya.
Maaf, ya Juna, cuma kok aku udah?ill feel?duluan sama
adekmu, ya."
Aku hanya tertawa kecil mendengarnya. Bukan
salah Nina kalau sampai mengambil kesimpulan
seperti itu. Dia kan belum kenal Vio, "Mereka mele?
wati jalan yang cukup panjang untuk sampai pada
tahap ini Nin. Berat cobaan mereka mah, aku bahkan
yakin banget kalau aku gak akan kuat kalau aku
dikasih c?obaan seperti yang mereka alami."
"O, ya?"
"Nanti kalau kamu udah resmi jadi nyonya Arju?
na, aku pasti ceritain detilnya ke kamu." Kuberikan
kedipan kecil pada Nina yang sudah pasti meng?
akibatkan pipinya merona merah.
Aku gak tau apakah ini saat yang tepat, tapi aku
rasa semua ini sudah berjalan baik dan kupikir aku
111
111
akan menyempurnakan ? momen ini. Nina harus
tau keseriusanku. Gadis itu tak menyembunyikan
keterkejutannya saat tiba-tiba kutepikan mobil di
bahu jalan. Wajahnya bertanya-tanya saat kubawa
tangannya dalam genggaman erat tanganku. Dengan
keyakinan penuh, kutatap matanya lekat.
"Nina aku gak tau buatmu, tapi aku serius sama
kamu. Aku tau ini bukan saat yang tepat, bahkan ini
jauh dari kata romantis. Tapi aku gak pernah maenmaen dalam menjalin suatu hubungan. Aku harap
kau mau mempertimbangkannya."
Matanya membulat tak percaya, beberapa kali
dia seperti hendak berucap tapi gagal.
"Anna Karenina, menikahlah denganku."
?
112
Enam
"Astaghfirullahaladziimmm ... Mas Junooo ... k?aget
saya, Mas. Tak pikir sopo lho udah duduk di sini,
un?tung saya ndak jantungan. Kok tumben mas isuk
s?ekali. Ono angin opo iki?mas?" Pak Parno me?mu?ngut
kembali alat-alat pel yang beliau jatuhkan, se?te?lah
teriakan nyaringnya yang fals memenuhi ruang?an.
Beliau terlihat kaget sekali melihatku yang sudah
duduk manis di kursi, sedang aku hanya tersenyum
kecil pada Pak Parno yang raut wajahnya masih tam?
pak kaget. Aku memang datang kepagian, Iva me?
ngi?nap di Bogor sejak kemarin, jadi Mas Ezra yang
meng?antarnya ke sekolah hari ini langsung dari
Bogor. Kesempatan itu tak kusia-siakan sama sekali,
kemarin aku tidur seharian sampe puas, benerbener puas. Tubuhku yang memang sudah masuk
masa? i?njury time? sebelum jatuh sakit pun rasanya
ber??teriak mengucapkan terimakasih karena akhirnya
bisa beristirahat dengan tenang. Alhasil pagi ini aku
bisa bangun cepat dalam kondisi bugar dan sangat
segar tentunya. Siap untuk dinikmati.
"Iya nih Pak, kebetulan berangkatnya kepagian
trus gak kena macet, makanya jam segini udah nyam?
113
113
pe. Saya mau ke bawah lagi Pak, belum ada orang
juga di sini."
Aku meninggalkan Pak Parno yang masih sibuk
mengelap meja. Sebenernya hari ini aku mau kasih
kejutan buat calon istriku tercinta si seksi nan meng?
gemaskan Nina. Sengaja aku menjemput dia di
rumahnya pagi-pagi, dia pasti gak akan nyangka aku
dateng karena setau dia Iva masih akan di rumah
Mama sampai beberapa hari ke depan. Jadi pasti dia
mengira aku gak akan sempet menjemput dia setelah
nganter Iva. Tapi begitu sampai di rumahnya, calon
mertuaku yang bohay alias emaknya Nina bilang
kalau Nina udah jalan sama temennya. Ya, sudahlah
a?khirnya aku berangkat sendiri lagi hari ini.
Lewat kaca lift yang kinclong seperti wajahku
yang memang cerah bersinar, aku mematut diri saat
turun kebawah, merapikan dasi yang sedikit miring
dan rambut yang masih berantakan. Pagi ini aku mau
nongkrongin posnya Dian sambil menunggu Nina,
karena ternyata dia belum nyampe juga, padahal
emaknya tadi bilang dia udah jalan dari jam setengah
tujuh. Hah! Pasti temennya gak tau jalan tikus buat
nyampe lebih cepet ke sini.
Aku masih tersenyum-senyum seperti orang
tolol saat lift terbuka di lantai satu. Teringat ekspresi
Nina saat aku melamarnya mendadak di tepi jalan
tol. Sumpah gak romantis banget kan? Harusnya p?e?
rempuan secantik Nina mendapat perlakuan super
istimewa dalam pengajuan proposal nikah. Bukan
seusai makan malam dadakan dan dilakukan di
114
114
jalan bebas hambatan, tanpa cincin pula. Seketika
ingatanku melayang pada momen itu.
"Ju ... Juna ... ini ... ini...." Wajah cantik Nina terke?
jut dan memucat seketika, dia bahkan kehilangan
kata-kata.?
"Kamu gak perlu menjawab sekarang Nina, pi?
kirkan ini baik-baik. Tapi aku serius untuk me?min?
tamu menjadi istriku dan menjadi ibu dari anakanakku. Aku ingin mengambil tanggung jawab ayah?
mu atas dirimu, kalau kamu mau."
"Juna ... aku ... aku...."
Sempat ada kepanikan dan kebingungan yang
kulihat sebelum akhirnya dia meneteskan air mata.
Ya, Ampun, ini hanya lamaran tak resmi, kenapa
res?pon Nina sampai sedemikian hebohnya? Dasar
perempuan, mereka memang makhluk yang susah
dimengerti.
"Maaf, aku tau ini pasti jauh dari ekspektasimu
tentang lamaran yang ideal. Aku akan mengulangi?
nya jika kau mau. Mungkin dengan cincin dan
bunga-bunga, juga? candle light dinner, apapun itu.
Tapi sampai kau siap, aku akan menunggu." Kubaw?a
tangan kami kemulutku, dan mengecup lembut jari?
-jarinya. Tak kuduga tangisnya tambah kenceng.
H?adaaahhhh ... kenapa lagi iniiih?
Kami sama-sama diam dalam sisa perjalanan ke
rumah Nina. Masih kudengar sisa isak tangis Nina.
Beberapa kali dia menghembuskan nafas gugup,
juga menatap kosong ke jendela di sampingnya. Apa
sedemikian lembut perasaan seorang perempuan?
115
115
Bahkan hanya dengan sebuah lamaran dia bisa
sedemikian sedih, ataukah itu rasa terharu? Entah?
lah.
Nina masih terus menunduk ?saat kami sampai
di rumahnya, aku hanya mengantarnya sampai pintu
karena jam menunjukan pukul setengah duabelas
malam, gak enak sama emak bapaknya kalau aku
nekat membangunkan mereka.
"Aku pulang dulu, ya. Salam buat papa mama
kamu. Maaf udah ngajakin kamu sampai malem
gini. Bye," kuusap pelan kepalanya sebelum berbalik
perg?i.
Ternyata gini rasanya abis ngelamar orang. Wa?
lau?pun tadi deg-degan setengah mati tapi sekarang
perasaanku lega banget. Plong gitu rasanya. Seka?rang
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal nunggu Nina-nya, bagaimanapun dia yang
memutuskan.
"Juna tunggu." Suara Nina menghentikan lang?
kahku yang sudah sampai pintu pagar. Dia berjalan
ragu ke arahku dan masih tampak was-was "Aku mau.
Aku mau nikah sama kamu J."
Ha... dia tadi bilang apaaa? Beneran, kan? Sumpah
demi apaaaa? Ya, Tuhan ... lamaranku diterima Nina!
Rasanya aku ingin jingkrak-jingkrak bahkan menari
ataupun salto sekarang juga. Tapi yang aku lakukan
hanya menatap ke arahnya bengong, dengan senyum
tolol yang mengembang lebar di wajah menawanku.
Haa ... makkkk anakmu mau kawiiinnnnn!
"Juna?"
Seruan itu otomatis membuyarkan lamunank?u
116
116
yang sudah melayang kemana-mana. Aszumi dan
Dian, mereka menatapku dengan tatapan penuh rasa
heran. Aszumi bahkan melihatku bolak-balik dari
atas ke bawah dari balik kaca mata minusnya. Seolah
mencoba meyakinkan matanya bahwa yang dia lihat
benar-benar aku si bujang paling beken di kantor.
"Eh, beneran ini Juna? Kamu ?Arjuna asistennya
Pak Surya, kan? Bukan genderuwo yang nyamar
buat godain aku sama Dian, kan?" Gadis itu kembali
bertanya penuh keraguan dan rasa gak percaya, dia
dan Dian baru datang dan baru selesai absen di depan
mesin?handkey.
Pertanyaan Aszumi yang sarat keheranan hanya
kubalas senyum selebar lapangan. Seterah elu dah,
Mi mau ngemeng apa juga, gue kan lagi seneng. Gak
ada apapun yang bisa merusak moodku hari ini.
?
"Pagi Aszumi ... pagi Dian .... Semoga hari ini menye?
nangkan buat kita semua. Baru dateng, ya? Aku udah,
dong dari tadi." Kupamerkan senyum paling mem?
pesonaku dengan kekuatan 5000 megawatt. Ahh
i?ndahnya duniaaa.
"Juna kamu sakit?" Aszumi kembali meman?
dangku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Walau?
pun tatapannya terlihat melecehkan tapi aku tetep
gak peduli.
"Aku rasa dia demam Mi, makanya gitu. Atau
kalau enggak kepentok kali kepalanya." Dian melihat
ke arah Aszumi dengan ekspresi takut.
117
117
Sialan dua cewek ini. Nurunin harga diri banget
komentarnya "Heh, gak boleh gitu, dong, itu namanya
merendahkan girls, aku sehat dan baik-baik aja."
"Ya kamu juga aneh si J, tumbenan banget jam
segini udah nongkrong di sini. Tau gak, yang bisa
lebih pagi dari Dian itu berarti pegawai yang super
rajin, kalau enggak dia nginep di kantor, kalau enggak
lagi dia salah jalan, mau ke kamar mandi, eehh malah
belok ke kantor." Aszumi meninggalkanku duduk
sendiri di sofa dan berlalu menyusul Dian yang mulai
membongkar sarapan paginya.
"Bukan Mi, dia kayaknya gak dikasih makan
emak??nya?weekend?kemaren jadi sekarang kelapera?n.
Ma?ka?nya dia dateng pagi, biar bisa dapet sarapan
dobel, dari aku juga dari Ayana." Dian melirikku s?adis
yang hanya bisa kubalas dengan cengiran super leba?r.
Beneran, deh hati kalau lagi seneng gak bisa
dibo?ongin. Orang sedunia mau ngomong apa juga,
k?agak ngaruh!
Selanjutnya kami mengobrol ringan dengan tema
yang tak kuduga akan kuobrolkan di kantor, harga
lingerie! Gila, nih cewek dua, kagak liat apa kalau aku
tuh lelaki tulen yang gak butuh pake lingerie, kenapa
dengan entengnya mereka ngebahas ini. Dengan
senyum melecehkan pula si Aszumi dan Dian sengaja
mempertontonkan contoh model lingerie yang kata
mereka sedang?in. Sekalian ngasih tau aku kelebihan
bahan yang ini dengan yang itu, model yang ini
dengan yang itu. Hadaaaahhhh....
Kulirik bolak-balik jam di pergelangan tangan,
118
118
tapi Nina tak juga datang. Dian juga sudah berulang?
kali menawarkan roti bakarnya tapi sengaja kutolak.
Aku berencana memberitahu Ayana pagi ini saat
kami sarapan bersama tentang lamaranku ke Nina,
kuharap dia mengerti dan segera menjauhiku. Aku tak
mau dia mendengar dari orang lain, dan mengira aku
tak menghargainya sama sekali. Walaupun sampai
sekarang aku juga masih sangat bingung bagaimana
caranya memberitau Ayana. Selain itu aku juga takut
memikirkan bagaimana reaksinya nanti. Ini sedikit
membingungkan juga sih kupikir, memangnya apa
hubunganku dengan Ayana hingga aku perlu waktu
khusus untuk memberitahunya dan seakan meminta
izinnya?
"Juna, data yang aku kasih ke kamu Jum?at kema?
ren udah diolah, kan? Aku butuh hasil matengnya,
nih buat presentasi ke klien." Aszumi melirik sekilas
sambil menggigit rotinya.
"Sudah Aszumi cantik, beres semua. Apa sih yang
gak Abang Juna selesaikan dengan baik? Pokoknya
semua beres ditangani sang profesional." Aku me?
nepuk dada bangga yang di balas juluran lidah
Aszumi.
"Aku maunya ntar udah di print lengkap, ya,
sebelum jam 10 udah di tanganku."?
"Beres Mi, datanya udah kumasukin flashdisk
semua. Ntar mau kamu print kek mau di tunggingin
kek, mau di kunyah kek itu flashdisk-nya, aku rela.
Ikhlas sepenuh hati." Kuhadiahkan senyum paling
manis pada Aszumi. Sebenernya dalam banyak hal
119
119
aku sangat cocok dengan Aszumi, cuma juteknya itu
loh gak nahan.? Coba Mi kamu gak jutek kayak gini,
pasti udah kutaksir dari dulu.
"Ya udah J mana flashdisk-nya. Biar nanti aku
langsung kerjain di atas."?
Kuraba kantong celana, mencari benda mu?ngi?l
berwarna kombinasi kuning dan putih yang selalu
kubawa. Tapi sampai semua tubuh seksiku ini terab?a
dengan baik, tak juga kutemukan benda de?ngan ben?
tuk apel kecil seukuran kuku jempolku itu. Astaga
... jangan bilang kalo ilang. Bisa-bisa aku di mutilasi
sama Bu Irma dan Aszumi kalo begini ceritanya.
"Ati-ati Mi, dia mau pake jurus lupa itu." Dian
tersenyum geli melihat kebingunganku.
"Awas aja kalau begitu. Bisa-bisa kutelanjangin
kamu di sini, J."
Aku hanya bisa menatap horor pada Aszumi "M?i,
aku tau kamu naksir aku, tapi plis, kita gak pingin
orang sekantor ini gempar gara-gara semua orang
histeris ngeliat body seksiku kan? Kamu rela kesek?
sianku jadi bahan grepe-grepe orang laen?"
Dian hanya bisa tertawa keras di mejanya, se?
dang Aszumi berekspresi seperti orang baru aja nelen
golok. "Makanya jangan pake alesan lupa atau apa?
pun. Aku butuh data itu cepet."
"Iyaa... aku cari di mobil, ya, siapa tau nyelip di
laci dashboard. Tunggu, gak usah nangis frustasi
gitu, dong." Tertawa kecil, aku meninggalkan Aszumi
yang masih melotot dengan kejengkelan yang sarat
di mata?nya.
120
120
Dengan cepat aku berlari menuju basement di
mana mobilku terparkir, seingatku memang flash?
disk mungil itu kutaruh di dashboard dimobil sabtu
lalu. Sengaja kutinggalkan karena takut Iva akan
menjadikannya bahan mainan baru. Iva emang se?
neng meriksa barang-barangku dan dia suka banget
ngeliat bentuk flashdisk-ku yang mungil berbentuk
apel. Bisa panjang urusan kalau flashdisk itu berakhir
di tumpukan mainan Iva yang kadang akan dengan
sukarela diberikan pada temennya.
Mobilku terparkir di tempat parkir khusus untuk
kepala bagian dan manager, tempatnya agak terpisah
di sudut, melewati dinding tinggi yang jadi pemba?tas
area parkir para bos dan karyawan biasa. Sebener?nya
bukan hanya aku yang diberikan keistimewaan ini
oleh Pak Surya, hampir semua asisten Direksi men?
dapatkan hak ini, tapi kadang aku merasa enggan
u?ntuk memanfaatkannya. Hanya saat-saat tertentu
saja dengan sengaja kuparkirkan mobil di situ.
Bergegas aku menuju mobil yang ada di sisi
kanan basement, memotong di antara mobil-mobil
k?aryawan lain yang sudah datang. Saat menyelip
diantara Katana tua dan Avanza hitam, langkahku
ter?henti, terpaku pada pemandangan di depanku.
Sesuatu seperti tonjokan besar mampir ke ulu hati,
mem?buatku sesak dan susah bernafas. Lututku
goyah, rasanya aku butuh pegangan.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walau pencahayaan di basement tak begitu te?
rang, tapi aku tau siapa itu, aku tau mobil siapa itu
dan aku cukup tau apa yang sedang mereka lakukan.
121
Tujuh
?
Mataku terpejam rapat, mencoba menghapus apa
yang baru saja kulihat. Mengharapkan itu hanya
bayangan.
Ini gak bener ... ini gak bener ... ini gak bener....?
Berulang kali kuulangi kata-kata itu dan men?
jadikannya mantera. Benar-benar berharap aku masih
tidur di rumah sekarang dan ini hanyalah mimpi. Ya,
aku masih di rumah Mama, tidur di kamar lamaku
yang nyaman. Pasti sebentar lagi Mama bangunin aku
biar gak telat ngantor, pasti bentaran lagi Iva teriak
tepat di kupingku minta dianterin sekolah. Harusnya
aku sarapan kan? Kalau gak kesiangan pasti Mama
udah nyiapin omelet keju kesukaanku, dengan jus
j?eruk hangat tanpa gula yang biasa Mama bikinin. Ya,
aku masih di rumah, aku masih di rumah. Sebentar
lagi aku harus mengantar Iva sekolah, kalau enggak
dia bakalan teriak seperti nyonya tua kehabisan duit
karena abis bulan. Aku harus cepet, bukan?
Aku benar-benar meyakinkan otakku untuk tak
mempercayai apa yang dilihat oleh mata. Tapi aku
masih di sini, di area parkir basement kantor, hampir
jam delapan pagi. Dan ini semua nyata, yang kulihat
122
122
benar dan sedang terjadi.
Pelan-pelan kucoba mengatur nafas, mengen?
dalikan entah apa yang merayap tiba-tiba dalam
dadaku. Menetralkan asam lambung yang rasanya
berebut naik ke tenggorokan, membuatku mual
sete?ngah mati. Buku jariku sudah memutih, apa
tadi aku mengepalnya terlalu erat? Apa yang harus
kulakukan?
Jantungku berdentam kencang, mantap kuham?
piri mobil itu dan mengetuk kacanya pelan. Dari
gerakan tiba-tiba, yang sangat tiba-tiba di dalam, aku
rasa mereka panik atau ... entahlah aku gak begitu
perduli.? Suara jendela yang diturunkan kemudian
terdengar. Namun mataku terpusat pada sisi lain
kaca, aku gak mau melihat ini terlalu lama.
"Ju ... ju ... Junaaa ... ini ... gak seperti..."
"Paling tidak aku sudah tau...."? Hanya itu yang
kuucapkan sebelum berbalik dan pergi.
Anti klimaks.
Apa aku gak marah?
Jelas. Hanya orang setengah waras yang gak akan
marah kalo ngeliat perempuan yang kurang dari
36 jam sebelumnya menerima lamarannya sedang
bermesraan dengan laki-laki lain di depan mata.
Egoku sebagai laki-laki tak terima dengan semua
ini. Naluri pejantan dalam diriku ingin tetap di situ
dan meng?hajar dua orang itu habis-habisan. Namun
saat ini hanya kata-kata Papa yang terngiang dan
kujadikan pegangan. Kata-kata yang selalu kuingatingat kalau aku sedang sangat marah.
123
123
"Ingat Juna, orang kuat itu adalah orang yang
bisa nahan diri saat marah."
Terakhir kali aku sangat marah dan akhirnya
lepas kendali adalah saat hampir kehilangan Vio dan
akhirnya tau siapa pemerkosa Vio. Saat itu ku hajar
Mas Dave hingga rusuknya retak, cedera otot parah
dan tubuh lebam.
Tahan Juna ... tahan Juna ... tahan....
Dengan cepat aku berjalan menyusuri tanaman
perdu di sisi barat jalan setapak menuju gedung.
Nafasku nyaris habis saat tiba di lobi, ketika kudengar
suara tapak sepatu runcing berlari di belakangku.
"Junaaa ... J ... tunggu Junaaaa ...."?
Ninakah? Entahlah, yang terdengar di telingaku
hanya gemuruh jantung yang mendominasi suara
lainnya. Tapi Nina berhasil meraih lengan kemejaku
hingga memaksaku berhenti.?
"Please Nina gak sekarang. Kita bahas ini nanti,
aku butuh waktu."
"Juna tunggu, ini gak seperti yang kamu bayang?
in. Gak ada apa-apa, Juna."
"Aku sudah cukup melihat Nina." Kutahan suara?
ku serendah mungkin. Aku masih sangat marah.
"Apa kamu gak mau mendengar penjelasanku?
Coba dengerin aku kenapa sih, J."
"Please gak sekarang Nina, aku gak mau kita
berdua sama-sama malu. Aku butuh waktu berpikir
sekarang."
Nyaris histeris Nina berteriak di depanku. "Tapi
ini bukan salahku, kamu yang mulai ini. Kamu gak
124
124
pernah serius sama aku. Kamu cuma jadiin aku
selingan kamu, kan? Apa kamu pikir kamu bisa mainmain sama aku? Aku gak bego Juna!"
Sedikit berputar, kumenghadap gadis itu, mele?
paskan cekalan tangannya pada kemejaku. Sebisa
mungkin berusaha kumenahan suara hanya di teng?
gorokan, aku gak mau teriak walaupun sangat ingin.
"Aku udah ngelamar kamu Nina, apa itu masih
belum cukup?"? Nyaris tanpa emosi aku berjalan cepat
ke arah lift yang ditahan Imam, melewati beberapa
orang yang semuanya diam melihat ke arah aku dan
Nina. Ya, Tuhan, berapa orang yang menyaksikan
semua ini?
Lari?
Mungkin tidak. Aku hanya butuh waktu, butuh
sendiri untuk menelaah ulang semuanya. Intros?
peksi mungkin. Kenapa bisa begini. Suara denting
lift menutup membawaku meninggalkan lobi tempat
Nina yang masih terus menangis.?
Tak kupedulikan Bu Mey yang menyapa riang
saat sampai di ruangan, kuambil tumpukan kertas
tak terpakai dan menuju penghancur kertas di meja
sudut. Aku butuh kegiatan tanpa kendali otak, aku
butuh pengalih perhatian, aku gak butuh mikir se?
karang. Aku ingin memutus sejenak suplai infor?masi
ke otak dan menjernihkan semua yang terasa ruwet.
Kenapa begini?
Apa memang ini salahku?
Aku gak serius sama dia?
Aku mainin dia?
125
125
Aku pura-pura aja sama dia?
Ya Tuhaan. Dari mana dia dapat kesimpulan bo?
doh seperti itu?
Damn!
Entah berapa lusin kertas kuhabiskan, dan entah
kenapa Bu Mey gak negur aku sedari tadi. Gak ada
suara apapun yang kudengar, tidak suara mesin fax,
tidak suara printer atau bahkan suara jari Bu Mey?
yang biasanya lincah menari di atas keyboard. Ke
mana semua orang? Haisshhh ... masa bodoh lah.
Paling juga sebentar lagi Pak Surya dateng dan ngasih
setumpuk kerjaannya padaku.
"Kakak...."
Deg
"Kak Juna...."
Ya Tuhan, kenapa di saat seperti ini malah dia yang
datang. Aku gak mau numpahin semua kekesalan dan
kemarahanku pada dia.?Tolong pergilahhh!!
"Kak...." Dengan keras kepala dia tetap memang?
gilku, suaranya tepat di belakang punggung. Setelah
berulang kali menarik nafas panjang kuputuskan
me?ladeninya sebentar. Hanya sebentar kurasa, ke?
mu?dian mengusirnya mungkin.
Aku mendapatinya tersenyum, entah apa arti
senyum itu, tak tau apa yang harus kukatakan aku
ha?nya menatapnya dalam diam. Diapun masih
diam, kemudian baru kusadari sedari tadi dia meng?
angsurkan sebuah mug besar berwana biru muda ber?
gambar boneka kecil padaku. Mug kesayangannya.
Tanganku terulur otomatis, mengambil alih mug itu
126
126
dalam genggaman. Teh hangat.
"Ayana udah siapin sarapannya di meja. Kak
Arjuna harus sarapan, ya Ayana tinggal dulu."
Ya, ampun anak kecil ini. Entah apa yang dia
pikir?kan. Kupikir dia bakalan dateng dengan semua
kecerewetannya dan semua sikapnya yang kadangan
tak tau malu. Kenapa dia malah dateng-dateng bawa
teh anget gini?
Tak ada kata terima kasih atau apapun yang ku?
katakan padanya. Aku seperti kehilangan orientasi.
Aku masih diam saat dia pergi. Aku masih diam saat
dia tak terlihat lagi. Bagai robot kuberjalan kaku
ke mejaku, menyesap perlahan cairan kemerahan
ber?aroma jasmine. Mengingatkanku pada parfum
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ayana.? Cairan itu bergerak turun ke lambung, rasa
hangatnya menyebar ke seluruh tubuh, menenang?
kan. Separuh cangkir telah habis saat kusadari sarap?
an yang tadi dikatakan Ayana memang telah rapi
di meja. Setumpuk pancake, sekotak susu UHT,
juga man?tau dalam piring kecil. Kapan dia nyiap?
in ini? Kenapa aku gak denger dia dateng, tadi?
Tangan?ku terulur pada sebuah mantau, tapi tibatiba aku teringat, pasti dia juga belum sarapan kan?
Kukeluarkan ponsel dan mulai mengetik cepat.
Kamu udah sarapan?
Belum.
Sarapan, yuk.
Kakak yakin?
Yuk ah, temenin aku. Biasanya kan sarapan
bareng.
127
127
Oke, Ayana ke situ sekarang.
Tak sampai dua menit seraut wajah mungil de?
ngan rambut coklat panjang itu berdiri di depanku.
Mata abu-abunya yang besar menatap ragu, dia
menggigiti bibirnya tampak khawatir, keningnya
ber??kerut, sedikit waspada. Hah ekspresinya malah
membuatku geli. Entah kenapa aku malah ingin
tertawa melihatnya. Kusembunyikan wajah di balik
kertas yang buru-buru kuambil dari atas meja dan
tertawa kecil di baliknya. Astagaa kenapa aku ini!
"Kak Arjuna gak papa?"
Aku menggeleng dan tak dapat menahan diri
lagi, akhirnya malah tertawa terbahak-bahak di de?
pan?nya. Ah mungkinkah aku sudah gila?
"Kak, iihh ... gak lucu ahh ... kenapa siihhh?"
Berusaha mengendalikan diri, aku memasang
ekspresi cool-ku seperti biasa. Tapi sepertinya mode
otomatisku sedang mati. Aku gagal total, gak bisa
jaim sama sekali di depannya dan kembali tertawa
seperti orang gila. Dia mengambil kursi dan duduk di
sampingku, menunggu tawaku reda.
"Ayana lucu banget, ya sampe segitunya ke?ta?
wanya?"
"Bukan, ekspresi kamu bikin geli. Aku kan bu?
kan monster pemakan orang yang kelayapan nyari
korban di sini, kenapa kamu jadi takut?" Aku masih
terkekeh.
"Emang, sih. Tapi kak Arjuna monster pencuri
hati."
"Kamu nyebelin."
128
128
"Emang."
"Cerewet."
"Dari dulu."
"Anak kecil tak tau diri."
"Biarin."
"Gak tau malu."
"Kak Juna juga sok kecakepan yang juga super
n?yebelin."
"Tapi kamu suka kan?"?Upppsss ... aku ngomong
apaaa?
"Emang, kan Ayana udah ngomong dari dulu."
Seperti di komando kami tertawa bersama. Dan
entah setan apa yang menempel di otakku, tanganku
tiba-tiba saja mampir di puncak kepalanya dan m?eng?
usap sedikit kencang, membuat rambut bocah itu
berantakan.
"Iiihhh usil aahhh...cepetan makan, gih, laper
nihh."
Dengan cekatan, dia menuang susu ke dalam dua
gelas bening dan memberikan satu padaku, kemudi?
an memberikan mantau isi daging yang tampak lezat
dan kami pun mulai makan bersama.
Tak seperti hari lain, pagi ini suasana sarapan
kami lebih ribut. Biasanya aku hanya akan bergu?
mam mengiyakan atau menggeleng kalau tak setu?
ju de?ngan perkataannya. Tapi gak tau kenapa,
hari ini semua hal yang dia ceritakan terasa sangat
mena?rik. Dengan cerewet aku akan mengomentari
semua yang dia ceritakan atau membantah semua
yang gak aku setujui. Padahal obrolan kami pagi
129
129
ini sangatlah ringan. Tentang liburan weekend-nya
kemarin, tentang serial komik detektif Conan yang
tak kunjung rilis, atau tentang berapa lama pinguin
jantan mengerami telurnya. Hah ... anak ini! Baru
kusadari, dalam ba??nyak hal ternyata obrolan kami
nyambung.
"Abisin Kak Junaaa kalo enggak, Ayana suapin,
nih." Dia melotot dan menggerutu dengan suaranya
yang manja, yang malah membuatku kembali me?
nahan tawa.
"Kenyang Ayana, udahan, ya." Aku hanya bisa
mengusap-usap perutku yang rasanya sudah full.
Aku curiga berat badanku naik bulan ini gara-gara
perlakuan semena-mena Ayana yang selalu me?nyik?
saku dengan banyak makanan.
"Eh, orang patah hati harus banyak makan, loh,
biar bisa nyalurin marahnya. Atau kalaupun akhir?
nya gak tersalurin paling enggak kalo mau berantem
sama lawannya udah kuat, kan makannya banyak."
Tersenyum dia mengangsurkan piring yang berisi
pancake yang sudah dipotongnya kecil-kecil.
"Diihh, tau dari mana, dasar anak kecil sok tau."
"Ayana kan tadi di lobi waktu Kak Juna lagi marah.
Kakak marahnya kayak Papa, serem, gak dike?luarin.
Bahaya loh, kak, ntar kalo numpuk keluarnya lebih
gede."
"Sotoy, ahh anak kecil." Sedikit kesal, kumasukkan
sekaligus ke mulut pancake yang tersisa di piringku
dan menenggak sisa susu di gelas lalu langsung
menghadap ke laptop.
130
130
"Nah kan bagus, itu baru anak pintar." Dengan
senyum kurang ajar dia mulai membereskan piring
di hadapan kami.
Lahhh ... kenapa aku ngerasa ketipu gini, ya?
Bukannya tadi aku udah kenyang dan perut six packku ini gak mampu nampung lagi banyak beban,
kenapa masih abis juga tuh semua yang dia sodorin
ke aku?
"Sabar aja ya kak, gak semua yang kita mau bisa
kita dapetin, kok. Tapi apapun itu yakin aja kalo itu
adalah yang terbaik yang Tuhan kasih ke kita. Kalo
ka?kak mau nangis, nangis aja gak ada yang ngela?rang,
kan? Ayana juga nangis waktu Mama di panggil Tuhan,
tapi Ayana masih bersyukur karena masih punya Papa
yang sayang Ayana. Semua hal yang terjadi, pa??ling
buruk sekalipun, pasti ada sisi baiknya. Udah, ahh,
Ayana balikin ini ke pantry dulu. Gih kerja."
Dan aku hanya bisa menatap punggungnya yang
menghilang di balik pintu. Shock. Anak kecil itu
ngomong apa tadi? Beneran gak sih kata-kata ajaib
tadi bisa keluar dari mulut anak kecil super nyebelin
yang ngangenin itu?
Tapi paling tidak, kehadiran Ayana di dekatku
hari ini membuat kerjaku lebih tenang dan nyaman,
sama sekali tak ada adegan adu mulut dibumbui
birahi yang terlintas di otakku. Bahkan semua keja?
dian tadi pagi dengan mudahnya kusingkirkan ke sisi
otak yang lain. Aku akan memikirkannya, aku akan
me?nyelesaikannya. Tapi nanti.
Sikap orang-orang yang sangat berhati-hati pa?
131
131
da?ku-lah yang akhirnya membuat moodku sediki?t
terganggu. Sepertinya semua orang lebih diam,
lebih sopan dan lebih menjaga bicara dan sikapnya
hari ini. Kupikir? mereka sengaja berusaha menjaga
perasaanku, yang malah membuat aku tak nyaman.
Untungnya ada Ayana yang menetralisir semuanya.
Dia tetep cerewet, bawel dan nyebelin seperti biasa.
Tak terpengaruh pada apapun, dia nemenin aku
kerja hari ini, gak hanya seperti kebiasaannya selepas
makan siang, tapi sejak selesai sarapan tadi pagi. Aku
hanya bisa mengangkat alis heran saat dia membawa
tumpukan komiknya ke mejaku dan menyeret kursi
ke belakangku serta dengan santai duduk di situ.
Dengan usil dia akan mendorong kursiku dengan
kakinya saat aku menghembuskan nafas kesal karena?
sesuatu. Atau saat aku sudah sangat ingin menggigit
Jono yang gak sengaja numpahin kopi di meja yang
dipenuhi berkas penting yang baru saja kuprint.
"Udah bikin lagi aja, gak usah marah," hanya itu
yang dia katakan, bahkan tanpa mengalihkan mata
dari komik di pangkuannya. Haaahh ... anak kecil
penuh tipu muslihat ini pasti mengawasiku dari tadi.
Tapi dengan curang, dia sok pura-pura sibuk de?ngan
kegiatan gak pentingnya itu.
"Kak...."
"Hmmm...."
"Ayana ngantuk nih, capek. Ayana bobo? dulu
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bentaran di kantor Papa. ya, ntar Ayana balik lagi jam
satu buat makan siang, ya."
Kualihkan mata dari komputer di hadapanku ke
132
132
arah Ayana yang matanya seperti sudah mau menu?
tup seluruhnya. Rambut bocah itu diikat sembarang?
an di puncak kepala, sangat berantakan. Tapi itu
malah membuatnya terlihat makin lucu.
"Tidur aja sana, makan siang gak usah dipikirin.
Perutku juga masih kenyang banget, kok gara-gara
sarapan kebanyakan tadi pagi."
"Oke, dehh kakak cakep. Ayana bobo? dulu, yaa."
Tersenyum lebar, dia berlalu setelah mengusap pipiku
yang walaupun pelan namun berhasil membuat jan?
tungku lari marathon dan? juga sukses membuatku
bengong seperti orang tolol.
"Saya lebih seneng kalau kamu sama yang ini.
Berasa manis sekali kalau melihat kalian berdua
ngobrol terus bercanda seperti tadi."
Suara itu sukses membuatku menoleh pada Bu
Mey yang sedang memisah-misahkan kertas yang
baru di copy-nya. Ah, aku lupa kalau sedari tadi Bu
Mey pasti merhatiin aku dan Ayana. Haiisshh bisa
jadi gosip panjang lagi ini mah.
"Udahlah Bu, gak usah dibesar-besarin. Gak ada
apa-apa, kok saya sama Ayana. Dia kayak adik saya si
Vio, mirip soalnya tingkah mereka." Coba kune?tralisir
situasi ini dengan alasan sekenanya. Tapi jujur aja,
dalam banyak hal, Ayana dan Vio itu memang mirip
tingkahnya, walaupun masih beda, sih. Kalau Vio
lebih cengeng dan manja, sedang Ayana walaupun
manja tapi gak cengeng sama sekali. Malah aku
liat dia sebenernya perempuan yang sangat kuat.
Mau dibentak, disindir, disinisin atau diperlakukan
133
133
apapun anak itu tetep aja cuek. Malah aku pernah
menganggapnya udah keilangan urat malu saking
seringnya kucuekin, tapi tetep aja dia gak pernah
mundur. Satu lagi, kurasa walaupun tampak aneh tapi
cara berpikir Ayana unik dan jauh lebih matang dari
umurnya yang masih 16 tahun. Ya, Tuhan ... kenapa
aku harus diingetin lagi soal umurnya dia?
"Jangan begitu Juna. Bisa aja sekarang kamu me?
ng?anggap dia sama seperti adikmu, tapi lama-lama
suka beneran. Kan gak ada yang tau. Saya lihat kamu
sama dia cocok banget, apa ya istilahnya, mmhhh ...
saling mengisi. Iya itu kalian berdua saling mengisi
dan melengkapi," tutur Bu Mey sambil tersenyum
menggoda.
Halaaahhh, emak-emak satu iniii. Rumpi ba?nget,
dah aaahh. Apa coba mengisi dan melengkapi, emang
di kata kita teka teki silang? Namun kuputuskan gak
mau ngeladenin omongan ngelantur Bu Mey dan
m?eneruskan kerjaanku yang sempet terbengkalai.
Aku masih tenggelam dalam data yang di-submit
bagian marketing saat derit halus kursi Bu Mey yang
di tarik terdengar.
"Juna, saya keluar duluan ya, udah jamnya makan
siang, nih."
"Oke, bu." Tanpa mengalihkan pandangan aku
menjawab dan memberikan acungan jempol pada Bu
Mey lalu? kembali menekuri layar di hadapanku.
Baru jam 12 siang, tadi Ayana bilang mau balik
Jam satu, jadi masih banyak waktuku menyelesaikan
ini. Kenapa aku ada niatan usil ngerjain anak kecil
134
134
itu, ya. Kalau selama ini dia yang maksa aku buat
makan banyak, kenapa gak sekarang aku paksa dia
agar makan banyak juga. Hmm mungkin dengan
sedikit?game?curang atau aksi tipu-tipu lainnya. Hah
... aku rasa aku bisa melakukannya. Masa iya, Arjuna
gak bisa ngerjain anak kecil macam Ayana.
Senyumku terkembang lebar membayangkan
ke?usilan yang kurencanakan pada Ayana, saat kemu?
dian aku sadar ada orang yang berdiri di depan meja
yang membuatku mendongak.
"Juna, saya ingin bicara dengan kamu."
Kurasa ekspresiku terlihat bingung, kaget atau
entahlah saat menyadari nada bicara lawan didepanku
ini. Apa lagi maunya Mas Yudi!
135
135
Delapan
?
"Ada apa?" Kurasa suaraku dingin, atau hanya pera?
saanku yang dingin? Entahlah, bahkan akupun bi?
ngung bagaimana harus bersikap padanya. Berulang
kali Mas Yudi menghembuskan nafas gugup. Dia
tampak bingung memulai pembicaraan. Kami ber?
hadapan dalam diam dengan mejaku sebagai pem?
batas. Walaupun aku harus sedikit mendongak ka?
rena dalam posisi duduk, tapi aku berusaha tetap
ber?konsentrasi. Kupusatkan pandanganku pada le?
laki yang beberapa jam lalu ingin kuhajar.
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan Juna."
"Memangnya apa yang saya pikirin, Mas?"
Laki-laki di hadapanku ini bertambah gugup,
b?eberapa kali dia membuka mulut seperti hendak
membantah, namun diurungkan. Tangannya me?
ngepal seperti ingin memukul sesuatu.? Wait,? kalau
urusan pukul memukul bukannya aku yang lebih
berhak?
"Nina gadis yang baik Juna, sangat baik. Hu?bung?
an kami tak lebih dari atasan dan bawahan, baik itu
di kantor maupun di luar. Tak ada hubungan khusus
di antara kami, kamu harus tau itu."
136
136
"Lalu apa yang saya liat tadi pagi? Pengarahan
atasan pada bawahan? Atau tugas tambahan bos
pada bawahannya?" Apa suaraku terdengar sinis?
Entah??lah, aku bahkan tak merasa.
"Tadi pagi tadi pagi Nina Nina bilang
kalian akan menikah,?right? Dia hanya bilang kamu
sudah melamarnya. Hanya hanya itu.."
"Lalu sang atasan memberi ucapan selamat,
begitu? Sebenarnya sejauh apa hubungan kalian
berdua?" Aku masih berjuang untuk membuat diriku
sendiri tenang. Namun kegugupan Mas Yudi atas
pertanyaanku, membuatku menggertakkan rahang
keras. Apa lagi yang disembunyikan dariku?
"Dia banyak masalah Juna, apa kamu tau itu?"
Sorot mata Mas Yudi begitu menuduh "Kamu gak
tau apa-apa tentang dia, kan? Kamu tidak tau kalau
Papanya punya simpanan dan ibunya hanya bisa me?
nangis tiap hari karena tak bisa ngelawan? Kamu tidak
tau itu, kan? Lalu kau pikir apa dia bisa percaya pada
laki-laki yang selalu mengacuhkannya dan malah
bermain-main dengan gadis kecil, putri bosnya?"
"Nina tidak...."
"Tidak pernah bercerita? Tentu saja dia tak per?
nah bercerita karena melihat kamu terlalu sibuk
dengan pancinganmu yang lebih besar!"
Ketenangan yang berusaha kubangun mulai
r?ubuh, apa maksudnya semua ini? Bagaimana mung?
kin mereka berdua bisa mengambil kesimpulan
macam itu? Atau ini hanya trik dia untuk mengalih?
kan fokus masalahnya padaku?
137
137
"Saya hanya berusaha membantunya melewati
masa-masa sulit, di mana kamu tak pernah ada dan
hanya memberikan dia harapan palsu!"
Kata-kata tajam Mas Yudi membuatku marah
sekarang. Aku berdiri dari kursiku sehingga kami
sejajar berhadapan. Mata kami beradu, sama keras?
nya, sama kuatnya. Tahan Juna ... tahan Juna ...
tahaaann....
"Maaf, tapi sebaiknya Mas Yudi jangan pernah
mengambil kesimpulan atas apa yang tidak Mas
pahami sama sekali. Saya masih menghormati Mas
sekarang ini sebagai rekan kerja.? Jadi saya mohon
dengan sangat, jaga bicara Anda!" Kutekan suaraku
serendah mungkin, aku gak mau teriak ya Tuhan,
tolonglah, berilah kesabaran lebih padaku.
"Itulah .... Itulah yang selalu membuat Nina
sakit hati padamu. Kamu tidak pernah menjelaskan
apapun padanya, kamu tak pernah bersikap serius
padanya. Saya hanya menawarkan bantuan sebagai
teman karena saya sangat yakin kamu tak mau men?
dengar penjelasan Nina!"
"Teman? Saya tidak pernah mencumbu teman
saya dengan penuh nafsu, saya juga tak pernah me?
manfaatkan teman saya dengan menggerayangi
tubuh?nya. Satu lagi, saya belum pernah menikah,
jadi saya tak punya kewajiban menjelaskan apapun
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada anak istri saya kalau mereka tau apa yang saya
lakukan di luaran!" Kulemparkan kata-kata itu telak.
Emosiku naik. Tapi rupanya kata-kataku itu makin
menyulut kemarahan lawan bicaraku.
138
138
"Kamu mau mengancamku, ha? Kamu mau mem?
beritahu keluargaku kejadian ini? Kamu memang
bangsat Juna. Kamu memang sengaja membuat Nina
bingung sedangkan kamu asik bermain dengan putri
Pak Surya, kan? Kamu senang udah dapet mainan
baru yang lebih menjanjikan? Apalagi setelah ini,
kamu mau menjilat ke Pak Surya, mau mengadukan
ini agar aku dan Nina dipecat, iya? Iya, kan!"
Sebelum kusadari, satu pukulan mengenai
rahang, membuatku terhuyung dan jatuh kembali
di kursi.? Siall! Kemudian hal terakhir yang kuingat
hanyalah tanganku yang menyambar kerah bajunya
sebelum menyarangkan pukulan tepat di rahang
kanannya. Aku tak tau apa, bagaimana dan berapa
lama selanjutnya yang terjadi, karena memang
mataku s?udah gelap oleh amarah.
"JUNAA!"
"KAKAK!"
"BANG!"
Teriakan bersamaan dari beberapa suara laki-laki
dan perempuan kudengar kemudian, namun otakku
masih saja sulit mencerna saat kemudian suara teriak?
an tertahan perempuan menarikku pada kesadaran.
Brugghhh
"Aaaaaaawwww"
"Ayana kamu gak papa?"
Ayana? Kenapa dia?
"Bang sabar Bangsabar!"
Nafasku masih memburu, sialan manusia satu itu
bisa memancing emosiku jadi tak terkendali. Kucoba
139
139
menenangkan diri, mengucap istighfar berkali-kali.
Barulah kemudian aku sadar bahwa tangan dan
tubuhku sudah ditahan oleh Riza dan Jono, sedang
di lantai Mas Yudi dibantu duduk oleh Darman dan
Edi. Kurasa bibirnya pecah karena ada sedikit darah
di sana. Dia juga tampak membungkuk memegang
perut, beberapa bagian wajahnya tampak memerah
memar. Sorot kebencian dan permusuhan tampak
jelas di wajah seniorku itu. Sedang di sudut ruangan,
Bu Mey membantu Ayana yang terlihat kepayahan
sambil mengusap-usap bahunya dan tampak meringis
kesakitan. Kenapa dia? Apa yang kulakukan tadi?
"Riza bawa Yudi ke pantry, obatin di sana. Jono,
Edi, Darman jangan diem aja bantu sini. Sebentar
lagi saya nyusul." Suara tegas Bu Mey terdengar ke?
mudian. Tapi aku nyaris tak memperhatikan karena
fokusku pada Ayana yang sekarang mendekat dan
memaksaku duduk kembali di kursi yang tadinya
terbalik dengan dia sendiri duduk di meja di hadap?
anku, menghalangi area pandang hingga aku tak
m?elihat apa yang mereka lakukan selanjutnya.
Mataku berkeliling pada ruangan yang super be?
rantakan. Kertas-kertas berceceran di lantai. Cang?kir
kopi yang pecah dan menciptakan noda men?jijikan
di kaki meja. Tempat sampah terbalik dan me?nam?
bah ?lagi daftar kekacauan yang kubuat. Belum lagi
mejaku yang penampakannya seperti kapal pecah.?
Astagaaa ... apa yang barusan kulakukan? Namun
fokus?ku kembali pada Ayana yang masih memegang
bahu kanannya erat, sorot matanya tampak sedih.
140
140
"Arjuna, kamu gak papa?" Suara Bu Mey disusul
wajahnya yang tampak khawatir kulihat kemudian.?
Aku hanya bisa menggeleng pelan sambil ber?
usaha menarik nafas dan menghembuskannya per?
lahan "Gak papa bu, makasih."
"Ayana kamu gimana? Ada yang sakit?"
"Enggak papa, tante," jawaban singkat itu diberi?
kan Ayana pada Bu Mey bahkan tanpa menoleh.
Tatapan matanya terarah padaku yang tak juga bisa
melepas pandang darinya.?
"Kamu ... kamu kenapa?" Tanyaku yang masih
tak bisa mengalihkan mata pada hal lain.
"Dia jatuh dan membentur mejaku Juna, kamu
tidak sadar hingga mendorongnya yang ingin mele?
rai," jawaban Bu Mey sukses membuatku kaget. Aku
mendorong Ayana?
"Sayang, kamu yakin gak papa? Tante mau ke pan?
try nge-check yang di sana," ujar Bu Mey pada A?yana.
"Iya Tante, Ayana gak papa, kok."
Keheningan yang ada sesudah Bu Mey me?
ninggalkan kami. Tak ada suara apapun, bahkan
Ayana tak juga bicara padaku. Aku sudah tak berani
lagi melihat kearahnya. Apa dia marah? "Maaf."
"Untuk apa?"
"Semuanya. Aku gak pernah ingin menyelesai?kan
masalah dengan begini. Ya Tuhan, apa yang sudah
kulakukan." Aku hanya bisa menyembunyikan wajah
pada telapak tangan dan berusaha menghilang?kan
apapun yang membuat otakku tercemar dengan
rasa marah ini serta menyesali semuanya. Kenapa
141
141
setan cepet sekali bertugas di saat seperti ini? Ya
Tuhan kenapa aku berubah jadi manusia bar-bar
begini? Kemana perginya ketenangan dan akal sehat
milikku?
"Papa sering bilang kalau kita gak punya rasa
marah, itu artinya kita bukan manusia. Kak Juna
cuma manusia biasa yang bisa marah juga bisa kesel,
jadi ini wajar, Kak. Bedanya, kalo Kak Arjuna marah?
nya suka ditahan, makanya keluarnya kaya tadi tuh,
serem. Untung tadi Riza dateng sama Tante Mey,
kalau enggak pasti Ayana yang kena tonjok Kak Juna,
deh." Dia membuka telapak tangan yang menutup
wajah?ku dan tersenyum lebar. Bahkan di saat seperti
ini dia masih bisa senyum? Entah apa yang ada di
otak anak kecil satu ini.
"Kamu kamu gak papa?"
"Enggak."
"Beneran? Bu Mey, bukannya tadi keluar makan
siang?"
"Bener, kakak. Cuma kaget aja kok tadi." Senyum
kecilnya terkembang sebelum kembali melanjutkan.
"Tante Mey ketemu Riza di lobby, trus mereka ke atas
lagi."
"Pak Surya tau?"
"Papa masih di luar, makan siang bareng temen?
nya. Sebenernya tadi Ayana, Riza sama Tante Mey
udah ada di depan pintu pas Om Yudi mulai ngo?
mong kenceng, cuma Tante Mey gak bolehin masuk.
Katanya biarin Kakak sama Om Yudi selesein masalah
dulu. Eh, gak taunya malah jadi begini. Sakit gak?"
142
142
Tangannya mengusap rahang kiriku yang sedikit
berdenyut, sesekali dia juga meniup buku tanganku
yang baru kurasakan sedikit perih disana.
"Enggak. Aku gak papa."
"Ih, beneran deh, harusnya tadi pagi sarapannya
jangan kebanyakan. Jadi gini nih, terlalu kuat. Kasihan
juga tadi liat Om Yudi udah kayak abis digebukin
orang sekampung, gak bisa ngelawan lagi. Kata Riza,
kakak dulu latihan karate, ya?"
"Itu dulu.Udah lama banget."
"Yang di sini masih sakit Kak?"
Tubuhnya condong ke arahku yang rebah di kursi
putar, jemarinya menelusuri rahang dan meng?usap
singkat disana. Wajahnya sangat dekat, nafasnya ha?
ngat di leher, aroma tubuhnya menghantamku ken?
cang dan ini sangat mengganggu.
"Se ... se ... sedikit."
"Ayana ambilin es ya buat kompres, biar gak nyeri
lagi."
Aku hanya bengong saat dia berlalu dari hadap?
anku. Tuhan, jangan bilang kalau aku butuh pe?lam?
piasan lain untuk amarahku. Kugelengkan kepala
kuat-kuat untuk menghalau segala pikiran kotor yang
melintas di otak. Tidak, aku tak serendah itu!
* * *
"Kamu gak bosen nongkrongin aku kerja begini, maen
sana sama Riza, kalian berdua cocok jadi pasangan.
Sama-sama keras kepala dan gak tau malu." Tanpa
143
143
mengalihkan pandangan dari berkas di ta?ngan,
kulontarkan kata-kata sindiran yang kuharap akan
sedikit berpengaruh buat Ayana.
Saat ini kami duduk berdampingan di karpet
kecil yang dibentangkan Ayana di belakang mejaku.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika tau kalau kursiku sedikit retak?gara-gara
entah siapa yang melemparnya saat adegan tinju tadi
siang?di bagian kaki, Ayana gak bolehin aku me?
makainya lagi. Dengan keras kepala dia membawa
karpet dari kantor Pak Surya dan memaksaku duduk
bersamanya. Bahkan makan siang kami sedikit lucu
kurasa, karena seperti scene piknik salah tempat di
film komedi.
"Justru karena sama-sama keras kepala dan gak
tau malu itu Ayana gak bakalan cocok sama Riza. Ya
kan, Za?"
"Hmm..."
Aku hanya menggeleng pelan mendengar ke?
kompakan mereka berdua. Bahkan hobi mereka pun
sama, membaca komik. Sama seperti Ayana, Riza juga
tak memalingkan wajah dari komik yang dipegang?
nya, dia hanya berdehem saat menjawab pertanyaan
Ayana. Sedang Ayana masih menggoyangkan kaki
kanannya pelan yang dia selonjorkan di pangkuanku.
Benar-benar gak sopan emang ni bocah.
"Kamu gak ada kuliah, Za? Tumben ke sininya
s?iang?"
"Enggak Bang, tadi dosennya cuma satu. Lagian
Riza udah males kuliah Bang, ini aja berangkat kuliah
cuma buat?dapet ijazah aja, biar nyenengin emak."
144
144
"Enak aja. Mau bagaimanapun harus tetep
kuliah sampai lulus, gak boleh DO. Awas aja kalau
kamu main-main, Mama usir dari rumah. Mama
gak restuin kamu nikah sama siapa pun." Bu Mey
men?delik marah pada putra pertamanya itu setelah
memberikan cubitan panjang pada lengan atas Riza
yang hanya bisa meringis pasrah.
"I ... i ... iya mak. Masa ini lagi yang ? dibahas,
kenapa ancemannya kagak boleh kawin, sih, yang
lainnya kenapa mak. Janji deh gak bakalan DO. Riza
mau cepetan selesein kuliah, biar cepet dikawinin, ya
Mak. Lagian ini kan juga demi pedekate sama calon
istri Mak. Pengertian sedikit kenapa." Riza tersenyum
tipis pada Bu Mey yang hanya dibalas dengan lirikan
sinis melegenda Bu Mey.
Aku hanya menahan senyum mendengar obrolan
ajaib Bu Mey dan Riza. Lucu sebenernya mengingat
sejarah bagaimana aku bisa dekat dengan keluarga
mereka. Aku mengenal Riza sejak kuliah dulu. Saat
itu aku dan Revan?sepupu Riza?mencoba per?
untungan dengan membuka FO secara patungan.
Saat itu dia masih anak SMP bercelana pendek culun
yang selalu mengikuti kami. Tiga tahun kemudian
dia mengejarku kemana-mana, membujukku dengan
rayuan mautnya agar mau diajak join bikin usaha
percetakan kecil-kecilan sebagai usaha sampingan.
Keputusanku meng-iyakan ajakannya berbuntut
omel?an panjang Bu Mey yang saat itu baru kutau kalo
Riza adalah putra beliau. Padahal saat itu aku baru
bebe?rapa bulan gabung di perusahaan.
145
145
Bagaimanapun Bu Mey gak bisa mencegah ke?
inginan anaknya itu untuk berwirausaha. Otak anak
kecil itu benar-benar udah diset jadi entrepreneur. Dia
bener-bener gak ada keinginan untuk jadi karyawan.
Siapa sangka Riza yang saat itu masih kelas 3 SMA
rela keluar masuk TK dan SD demi nyari orderan?orderan kecil buat usaha kecil kami. Dia menawarkan
mencetak logo sekolah pada buku pelajaran juga k?artu
nama para guru ataupun spanduk untuk seko?lah
dengan harga lebih miring dari percetakan lain. Aku
hanya bisa geleng-geleng saat itu melihat kegigih?
annya, dia beralasan ingin membuktikan padaku
bahwa usaha ini sangat menjanjikan.
"Tuh Ayana, Riza lagi nyari calon istri, kayanya
c?ocok kalau kamu jalan sama dia." Berpaling pada
Ayana kuberikan seringaian mengejek padanya.
"Ishhh ... Kak Arjuna pasti gak tau siapa yang
lagi di deketin sama Riza, kan? Gak usah sok-sok
ngejodohin gitu Kak. Seleraku sama Riza tuh sama,
kita pecinta sesuatu yang antik dan berumur. Yang
tua-tua model Kakak ginilah."?
Aappppaaaaa! Antik, berumur, dan tua? Berani
banget anak kecil satu ini ngatain aku begitu? Kuberi?
kan ekspresi paling marahku padanya, juga pelo?
totan yang kuharap bisa membuatnya sedikit takut.
Jangan dikira karena aku udah mulai lunak, jadi dia
bisa ngatain aku seenak perutnya. Tapi dasar tak tau
malu, bocah ini cuma senyum-senyum gak jelas dan
menjulurkan lidah padaku. Yeee ... ini bocah belum
pernah ngerasain dijitak beneran, nih.
146
146
"Ngomong apa tadi? Ulangin lagi, ayo kalo berani
ulangin lagi!" Kupegang kedua pergelangan tangan
Ayana dan menariknya? ke arahku yang? malah ber?
akhir dengan tubuhnya yang sepenuhnya berada di
pangkuanku.
"Aaaaa ... iiihhh kan emang bener, Kak Juna udah
tua kan, berumur gitu. Jadi bisa dibilang antik."
"Tapi kalimat kamu itu merendahkan, nona.
Awas, ya kalo berani ngulangin lagi, aku jitakin sampe
nangis."
"Enak ajaaaa...."
Dan sebelum kusadari sengatan tajam terasa di
lenganku. Bocah kecil itu menggigitku!
"Aaauuu ... isshhh sakit tau!"
"Udah ngaku aja kalo tua kenapa, sih?"
Aiihhhh ... kumat nyebelinnya bocah satu ini.
Beneran pingin kujitak kepalanya yang keras, juga
kucubit mulutnya yang asal njeplak aja ngomongnya.
Gimana bisa aku terlibat dengan remaja ababil ma?
cam ini sekian ?lama.
"Beneran Mak, mereka emang cocok. Kalo kata
Riza mah pasti jadi, deh ini, ngeliat dari bahasa tubuh
juga tatapan matanya pas banget."
"Mama kan gak pernah salah menilai sesuatu, Za.
Dari awal juga udah ketauan kalo mereka cocok."
Aku dan Ayana berpaling pada asal suara, saat
tanganku sudah bersiap terarah pada kepala coklat
dengan bibir masih menyeringai lebar itu. Bu Mey
dan Riza asik mengobrol sambil memperhatikan
kami berdua. Aku pun menyadari poseku dan Ayana
147
147
memang terlalu dekat dan terlihat tak sopan, nyaris
seperti berpelukan.
"Udah sana, ah siap-siap pulang, nanti Pak S?urya
manggil kamunya belum siap lagi." Kulepaskan
tangannya dan mendorong bocah itu pelan ke posisi
duduk. Tumben dia langsung menurut dan segera
berlalu dari hadapanku, anehnya wajah Ayana me?
merah. Apa dia malu? Ahh ... entahlah.
Tapi kenapa juga aku bersikap seperti ini? Bukan?
nya aku mau menjauh darinya? Ck ... kenapa situasi
gak menguntungkan selalu saja datang seperti ini?
Bagaimanapun aku gak ingin menambah keruh ma?
sa?lah dengan gosip baru yang mungkin timbul dari
hal ini. Sepertinya aku harus menghindar dari anak
ini secepat mungkin. Karena dia benar-benar mulai
mengganggu kestabilan perasaanku.
?
* * *
?
Kami berempat masih tertawa lepas mendengar c?erita
Riza tentang salah satu dosen laki-laki yang genit di
kampusnya saat keluar lift di lobby. Sewaktu berja?lan
santai menuju pintu keluar tiba-tiba langkah Ayana
terhenti mendadak dan kurasakan cengkeraman
tangannya pada sikuku bertambah erat. Pandangan
mata gadis itu terarah pada sofa panjang di sudut,
di sana ada Nina yang duduk dengan gelisah diapit
Aszumi dan Dian. Sepertinya mereka sengaja
menungguku karena jam pulang sudah lewat sejam
yang lalu.
148
148
"Sana, udah ditungguin, tuh." Bisikan pelan
A?yana begitu dekat di telingaku "Udah sana Kakak,
tapi jangan emosian kaya tadi, ya. Yang sabar." Ayana
mendorong tubuhku pelan saat aku masih saja ber?
diri diam.
"Aku nunggu sampai Pak Surya turun dulu, kalau
enggak, kuanter sampai parkiran."
"Paling bentaran lagi Papa turun. Lagian kan
m?asih ada Tante Mey. Kalau cuma nungguin atau ke
parkiran, Ayana bisa sendiri, kok. Iya kan, Tan?" A?yana
berpaling pada Bu Mey yang mengikuti obrolan kami?
berdua.
"Iya Juna, saya yang menjaga Ayana sampai Pak
Surya datang. Kamu tak bisa menghindar, mau tak
mau kamu harus bicarakan ini dengan dia. Lagipula
kasihan, sepertinya dia sangat tertekan." Bu Mey
me?narik pelan tangan Ayana dan menggandengnya
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluar saat aku mengangguk singkat pada mereka.
Bagaimanapun Bu Mey benar. Aku gak akan mung?
kin bisa lari dari ini.
Nina berdiri dari duduknya, tangannya saling
meremas gelisah lalu dia pun berjalan takut-takut ke
arahku "Juna ... bi ... bissaa ... kita bi ... bicarrraaa...."
Dia bahkan tak berani menatap mataku, kepalanya
menunduk dalam.
Perlahan dia mengusap sudut matanya saat aku
masih diam beberapa waktu kemudian. Apa dia me?
nangis lagi? Aisshhh aku gak pernah tahan dengan
air mata perempuan. Kenapa pula mereka selalu
b?erakhir dengan air mata bila menghadapi sesuatu.
149
149
"Oke, aku ambil mobil. Tunggu di sini."
Dengan langkah panjang aku berlalu dari hadap?
an Nina, saat itulah baru kusadari Riza tak meng?ikuti
Bu Mey keluar, dia masih di lobby ngobrol bareng
Aszumi. Samar kutangkap suara Aszumi yang sedikit
kesal pada Riza.
"Bodo, ah sono emang bukan labil."
"Kan aku cuma minta."
Satu ingatan kecil dari obrolan siang tadi mampir
di otakku, saat Ayana mengatakan siapa incaran Riza.
Tunggu, jangan bilang kalau ... jangan bilang kalau...
Riza? Aszumi? Astagaaa.
Kami duduk berhadapan di sini, Saung Sunda
tempat aku ?nembak? Nina beberapa minggu yang
lalu. Ironis bukan? Aku juga gak tau kenapa aku
milih tempat ini. Efisiensi waktu mungkin, entahlah.
Yang pasti aku gak ingin terlalu lama menggantung
masalah. Sepanjang perjalanan tadi Nina hanya diam
dan menatap keluar jendela sambil sesekali menyeka
air mata yang masih keluar dengan tisu yang dia
pegang.
Terus terang aku gak tega padanya, mata Nina
bengkak dan merah karena terlalu? banyak menangis,
kulitnya pucat seperti orang yang berhari-hari sakit,
hidungnya juga memerah dan dia tampak sangat
berantakan. Rambutnya hanya diikat sembarangan,
blazer dan roknya pun tampak kusut seperti habis
d?ipakai tidur berjam-jam. Aku hanya menghela
nafas singkat, tak ingin membayangkan apa saja yang
dilalui gadis di depanku seharian ini.
150
150
"Jadi?"
Nina mengangkat kepala dan melihatku gugup
sebelum akhirnya menjawab "A ... aku ... minta maaf
Juna, aku tapi aku bersumpah gak ada hubungan
serius di antara kami. Ini hanya ... ini hanya"
"Nina, tadi siang kamu udah makan?"
Dia tersentak mendapati suaraku agak kasar dan
tiba-tiba memotong ucapannya dengan pertanyaan
yang melenceng jauh dari topik. Gelengan kepalanya
membuatku gusar "Makan dulu. Kamu harus makan,
kalo enggak ntar kamu sakit." Kusorongkan piring di
depanku.
Aku juga gak tau kenapa tadi aku pesen ma?
kan??an, padahal aku sangat yakin gak akan bisa me?
nelan apapun malam ini. Pengalih perhatian? Entah?
lah. Anehnya Nina hanya bengong, bergantian dia
melihatku dan piring di depannya. Apa aku begitu
mirip dengan udang kremes yang tampak meng?
gemaskan di piring bundar itu sampai-sampai dia
membandingkanku berulang kali sedari tadi? Na?
mun di luar dugaan tangisnya bertambah kencang,
bahu?nya bergetar dan isakannya terdengar makin
menyedihkan. Apalagi ini? Aku hanya menyuruhnya
makan dan dia bereaksi sangat berlebihan.
"Makan Nina, kalo enggak, kita akan di sini s?am?
pai besok pagi. Itupun kalau pemilik restoran gak ke
buru ngusir kita."
Perlahan dia menyuap sedikit nasi, sambil
sesekali mengeringkan air mata yang tak berhenti
me?ngalir. Kusodorkan lagi tisu padanya untuk
151
151
menggantikan tisunya yang sudah sangat lembab.
Matanya menatapku kosong yang diikuti dengan air
mata yang makin deras mengalir. Haisshhh ... apalagi
maunya perempuan satu ini?
Satu jam kemudian Nina bisa duduk dengan
lebih tenang setelah berhasil menelan beberapa suap
nasi dan sholat maghrib di area restoran. Sudah ada
sedikit rona merah di pipinya, tak seperti saat kami
datang tadi. Aku masih menunggunya bicara sambil
menopangkan dagu pada kedua tangan.
"Juna..." Suara Nina yang sarat kesedihan tersen?
dat dan terputus begitu saja. Dia menarik nafas
gemetar dan satu isakan kecil lolos dari bibirnya. Dia
masih saja menundukkan kepala tanpa berani sedikit
pun melihat kearahku.
"Juna ... aku ... aku minta maaf. Aku janji J ... aku
janji gak akan ulangin ini lagi. Maafin aku."
"Sejak kapan?"
"Hemm...."
"Sejak kapan hubunganmu dengan dia?" Aku tak
tau kenapa, tapi susah sekali menahan rasa dingin
yang merayap di punggung. Aku khawatir ini per?
tanda buruk, tapi aku tetap harus menyelesaikan ini.
Apapun yang terjadi.
"Mas Yudi aku kami kami mulai ngobrol
sejak ... sejak ... kamu dekat dengan anak ... anak Pak
Carry Me Down Karya Mj Hyland Goosebumps Kisah Kisah Hantu Goosebumps_11 Si Pemaki Tuhan Karya Karl May
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama