Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz Bagian 3
Surya."
Aku masih diam menunggunya melanjutkan.
D?iapun masih setia memandang pinggiran meja dan
tak bersedia melihat ke arahku. "Aku takut J. Aku takut
152
152
kamu cuma mau jadiin aku selingan kamu, aku takut
berakhir menyedihkan seperti Mama. Aku gak mau
terlalu mengharap kamu, tapi kamunya punya sese?
orang yang lebih kamu pilih ketimbang aku. Kamu
kamu baik, kamu ramah, kamu populer, selalu jadi
topik pembicaraan temen-temen di kantor. Aku bah?
kan gak pernah nyangka kalau kamu kalau kamu
ada sedikit perasaan padaku. Aku gak berani berha?
rap lebih Juna. Aku gak ingin terlihat menyedihkan
saat nantinya kamu ninggalin aku. Jadi ... jadi...."
"Jadi kamu main dibelakangku? Nina, dari mana
kamu bisa mendapat kesimpulan bodoh macam itu.
Berapa kali harus kubilang ke kamu?"
Nina tampak terkejut menyadari suaraku yang
begitu rendah dan penuh emosi. Aku tak tau lagi
seperti apa rupaku sekarang ini, saat kesabaran nyaris
hilang dan lebih banyak amarah yang bermain.
"Aku aku baru sadar kamu serius saat kamu
melamarku Juna. Aku gak nyangka gak pernah
n?yangka kalau ... kalau ...."
"Apa kamu berencana memberitauku tentang
hubunganmu dengan Yudi?"
Nina terisak kembali. Aku merasa ada sesuatu
yang bergolak di perut. Astaga kenapa semua harus
seperti ini? "Sejauh apa hubunganmu dengan dia?"
"Dia hanya teman curhat Juna, gak pernah lebih."
"Sejauh apa?" Aku bahkan tak mencoba mengen?
dalikan suaraku yang lebih mirip teriakan tertahan
sekarang. Aku takut, takut akan apa yang akan
kudengar.
153
153
"Tadi pagi tadi pagi aku aku bilang ke Mas
Yudi kalau kamu udah ngelamar aku. Aku aku ingin
mengakhiri semuanya. Aku aku gak mau gak
mau kalau nantinya semuanya berakhir buruk. Jadi
jadi aku aku janji ketemu ketemu dia buat ... buat
buat menjelaskannya ... supaya ... maksudku ... dia
... biar ... biar...."
"Kalian sudah pernah ...." Suaraku tercekik di
tenggorokan, aku bahkan tak sanggup menerus?kan?
nya, apalagi membayangkan apa yang ingin kuta?nya?
kan padanya.
"Ju ... Junnaa ... a ... aa ... akkkuu ... iiiitttuuu ....."
Wajah Nina pias, airmata kembali mengalir deras.?
Kegugupannya sudah cukup menjadi jawaban.
Astaga kenapa bisa semuanya menjadi separah ini?
Akukah yang menyebabkannya? Gara-gara akukah
gadis ini kehilangan akal sehatnya? Ada s?esuatu se?
perti tangan yang dingin meremas jantungku pelan,
mengirimkan pesan ke inti sel otakku agar me?ma?
tikan fungsinya. Aku merasa lebih rendah, rendah
sekali. Apa yang sudah kulakukan?
"Nina, kamu tau kan Mas Yudi sudah beristri?
Anaknya bahkan baru berusia beberapa bulan. Kamu
... astagaaa ... Ninaa..." Aku bahkan tak tau apa yang
harus kukatakan padanya.
Nina menutup wajah dengan kedua tangan dan
nyaris histeris dalam tangisnya "Ini ... inni ... bukan
kesengajaan Juna, hiks ... ini terjadi begitu saja ...
kami sama-sama kalut. .. dia pun sedang ... sedang ...
ada ... ada masalah ... ini ... ini ... kesalahan ... kami
154
154
khilaf ... Junaaa maaf Junaaa ... maaf...."
Aku hanya bisa memijit pelipis dengan keras.
Tiba-tiba kepalaku pusing, berputar dan perutku
mual. Brengsekkkk. "Jelaskan itu pada keluarganya,
jangan padaku."
"Junaaaa ... ampun Juna ... maafin aku Juna ...
maafin akuuu."
Perasaanku mati, bahkan saat dia meraih tangan?
ku dengan tangisan yang menyayat. Aku nyaris tak
bisa berfikir. Bisakah aku memaafkannya? Bisakah
aku menerimanya lagi? Bisakah aku melihatnya tanpa
berpikir tentang perzinahan yang sudah dia laku?kan?
Aku memang tak sempurna Tuhan. Kesalahan lain
mungkin masih bisa kutolerir, tapi ini??
Namun di sisi lain perempuan di depanku ini
hanya manusia biasa yang sangat wajar bila mela?ku?
kan kesalahan. Apalagi hal yang dilakukannya tak
lepas pula dari campur tanganku. Mungkin benar
dia terlalu kalut, mungkin benar dia terlalu putus
asa. Hingga akhirnya tak bisa berpikir dengan kepala
dingin dan hanya mengedepankan emosi.
Bayangan Vio dan Mbak Era melintas di depanku,
juga senyuman Ariella dan Iva. Bagaimana kalau ini
terjadi pada keluarga mereka? Aku menelisik sudut
hatiku. Mengorek-orek tempat di mana rasa itu
dulu pernah ada, berusaha memunculkannya lagi,
menguatkan memori indah yang pernah kami lalui
bersama. Mungkinkah ini hanya cobaanku sebelum
menikah? Inikah ujianku sebelum memulai bahtera
rumah tangga? Tuhan, berikan aku petunjukmu. Dan
155
155
aku shock saat dia sudah bangkit dari duduknya dan
bersimpuh di kakiku.
"Maafin aku Juna, kumohon. Aku aku ... gak
akan ngulangin lagi. Aku akan jadi apapun yang kau
mau, tapi maafin aku Junaaa...."
Aku hanya bisa menatapnya perih.
156
Sembilan
Tiiiiiiinnnnn .... tiiiiiiiiinnnnnnnn....
Apalagi ini? Apa orang-orang di belakang gak liat
kalo di depanku itu mobil sedang antri? Apa mereka
gak liat kalo emang jalanan macet dan penuh?
Kenapa sembarangan aja nyalain klakson berjamaah.
Apa mereka gak tau kalau perasaanku sunguh sangat
halus dan sensitif? Bahkan hanya dengan mende?ngar
klakson yang ramai seperti anak TK berebut mainan
pun, aku akan sangat terpengaruh.
Terpengaruh buat datengin orangnya dan mena?
nyakan padanya, udah sampai bab berapa baca buku
tentang sopan santun dan tata krama.
Hadeeehhhhh ... bahkan di perempatan jalan
Pangkalan Jati ini pun aku harus rela menunggu
lam?pu merah yang melotot seksi selama 300 detik.
Bayangkan Jendraaaall, 300 detik itu sama saja de?
ngan lima menit. Tambahan lima menit pun sudah
membuat kepalaku makin berdenyut mem?bayang?
kan entah berapa titik macet lagi harus kulalui.
Mamaaaaa ... bisa gak, sih Mam rumah dipindah aja?
Kulirik sekilas jam di dashboard yang menunjuk?
kan angka Duapuluh. Hasyeeeeemmmmm ... tiga
157
157
jam lebih pantat seksiku harus bercumbu dengan
jok mobil. Walaupun seksinya nyaris menyamai aku,
tapi kalau boleh milih mah aku mendingan cumbuan
sama cewek dari pada sama jok mobil.
Kalau saja tadi aku gak nawarinn tumpangan
pada Nina dan Aszumi mungkin aku udah santai
layaknya di pantai bersama Iva, Mama dan Papa di
rumah. Tapi masa iya, aku merelakan mereka berdua
naik angutan umum, sedangkan mobilku masih
cukup luas untuk di tumpangi. Apalagi rumah Mama
kan searah dengan Nina dan Aszumi. Maka jadilah
si keren Arjuna ini jadi sopir pribadi buat dua nona
cantik tadi yang pada akhirnya membawa kemalang?
an padaku karena salah memilih jalan. Dengan
bodohnya aku masuk tol Cikampek dari arah Cawang
yang membuatku terjebak macet. Lebih menderita
lagi begitu keluar pintu tol Pondok Gede barat 4
mobilku harus rela mejeng di pinggir jalan karena
lagi-lagi harus menghadapi kemacetan di sepanjang
jalan Jatiwaringin menuju rumah. Aku lupa, sama
sekali lupa kalau Sabtu adalah saat paling macet di
sepanjang jalan ini.
Dengan langkah gontai, aku keluar dari mobil,
capek. Bahkan tas kerjaku rasanya sudah seperti ka?
rung beras isi setengah kwintal yang harus kubopong
dengan mesra. Badan pun rasanya sudah berteriak
sangat ingin direbahkan ke atas kasur empuk. Setelah
semalam hanya tidur beberapa jam saja, harus lembur
pula di hari sabtu begini, lalu langsung diajak makanmakan dengan teman sekantor membuat staminaku
158
158
terkuras habis. Belum lagi suasana hati yang kacau,
ikut menyumbangkan rasa lelah lahir batin luar biasa.
Tapi abis ini pasti aku gak akan bisa istirahat
dengan tenang, bayangan Iva yang cerewet tampak
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperti poster film horor dalam pikiranku. Kenapa
aku tadi gak mampir di apotek aja buat beli obat
tidur, ya? Ide membeli obat tidur buat dicekokin ke
Iva agar dia cepat tidur rasanya sungguh cemerlang.
Tapi bayangan Vio yang mengacungkan golok mem?
buatku bergidik. Walaupun sudah keliatan lebih
jinak, Vio tetep aja makhluk paling sadis yang pernah
kukenal. Dan sayangnya aku sering kalah kalau
berantem sama dia.
Suara tawa serempak terdengar saat aku melang?
kahkan kaki di undakan pendek teras rumah. Tum?ben
rame banget, apa ada tamu? Ishh tamu di malam
minggu adalah hal terakhir yang akan kupilih untuk
menghabiskan weekend-ku kali ini. Apa aku harus
pura-pura sakit? Atau mungkin balik lagi ke apotek
terdekat untuk mewujudkan ideku tadi membeli
obat tidur? Biar sekalian gitu tamunya dikasih obat
tidur semua. Jadi nanti kita tidur bersama-sama.
"Uncle J..."
Lengkingan suara bening itu menyambut begitu
aku melangkahkan kaki ke ruang keluarga. Iva tam?
pak riang di pangku Mas Dave yang tersenyum lebar
ke arahku.Tangan mungil Iva melambai ringan, tapi
dia tak tampak berniat bangkit dari tempatnya yang
nyaman.
Hmm ... jadi Vio dan Mas Dave sudah pulang,
159
159
syukurlah sekarang aku bisa bernafas lega. Bukan
apa-apa sih, lama-lama kasian juga Iva yang mulai
sering ngambek karena jauh dari orang tuanya.
Segera pula kubuang bayangan obat tidur yang sedari
tadi betah ngendon di otakku. Bagaimanapun Vio
itu seperti nenek sihir yang kadang dengan anehnya
tau apa yang kupikirkan. Dan kali ini aku yakin bakal
panjang urusan kalau dia tau anaknya bakalan aku
cekokin obat.
Mama duduk di samping Mas Dave di sofa pan?
jang sedang Papa di sofa single di seberangnya.
Mereka bertiga mendengarkan Iva yang berceloteh
tanpa henti menceritakan kegiatannya selama
diting?gal Mas Dave pergi. Tapi aku tak melihat Vio di
mana?pun. Suara Iva melengking tinggi dan berirama
cepat seperti tembakan mesin yang memberondong
tiada henti. Ketiga penontonnya memperhatikan tak
berkedip pada wajah mungil itu seolah memahami
apa yang tuyul cilik itu bicarakan. Aku tau tak semua?
nya seperti itu, Papa pernah dengan jelas mengatakan
kalau seringkali beliau pusing saat mendengarkan
Iva yang berbicara tanpa titik dan koma. Lalu kenapa
juga Papa sekarang berperan seperti seorang Kakek
baik hati yang sangat perhatian pada cucunya? Hahhh
dasar munaroh nih aki-aki.
"Hai baby D, cantik deehh dikepang dua gini,
siapa yang kepangin?" Kutarik lembut kepangan
rambut? Iva yang berhiaskan pita berwarna soft pink
sambil merebahkan punggungku santai di sebelah
Mas Dave.
160
160
"Uncle J nakaaaal. Jangan tarikin rambut Iva,
ntar rusak, loh. Kan Uncle J gak bisa benerin lagi
kalo rusak." Iva merengut kesal padaku yang kubalas
dengan seringaian usil yang kuyakin tak mengurangi
pesona wajahku.
"Daddyyy..."
"Sshhh gak papa. Uncle J cuma kangen sama
Iva, nanti Daddy benerin kalau rusak, ya sayang."
"Junaaaaaa, jangan usil sama Iva, ah. Cup ... cup
sayang, udah jangan diliatin Uncle J nya, biarin aja,
ya." Mama melotot singkat padaku dan langsung
menghibur Iva.
Isshhh bahkan mama pun membela Iva. Apa
gak ada seorang pun di rumah ini yang bisa diajak
bercanda? Sapa kek, cobalah buat hatiku ceria lagi.
"Baru pulang J? Lembur lagi?" Tanpa menoleh,
Mas Dave melontarkan pertanyaan, dia masih asik
mendengarkan celotehan Iva yang malas kude?ngar?
kan.
"... kan ... merah ... trus ... jelek ... biru ... Iva ... ya,
kan, Daddy?"
"Iya Mas. Biasa, lagi banyak kerjaan. Pak Surya
banyak ngerombak sistem makanya tiap Sabtu seka?
rang pada lembur terus. Dateng kapan, mas?" Aku
menoleh pada Mas Dave yang hanya melirik sekilas.
"Harusnya Iva bilang dong ke anak itu kalau itu
perbuatan buruk. Tadi jam 2-an J." Mas Dave meno?
leh padaku singkat setelah mengomentari cerita Iva
tentang anak sekelasnya yang selalu dia cap usil.
Cerita yang sudah kudengar bolak balik seminggu
161
161
belakangan ini.
"Nyonya mana?"
"Lagi mandi, o ya tadi...."
"Dadyyyyyy, Uncle J, Iva lagi cerita kenapa
enggak didengerin? Iva mau marah aahhh...." Suara
lengkingan nyonya kecil ini serasa bisa menjebol
gendang telingaku yang tipis. Hadeehhh makan
apaaa ini bocah sampe kekuatan suaranya begitu
menyeramkan.
"Daddy dengerin kok sayang. Ah, anak Daddy
kenapa jadi pemarah gini, ntar gak cantik, loh." Mas
Dave memeluk Iva sambil mengelus lembut pung?
gung nyonya kecil cerewet itu.
"Iyaaaaaa ... Uncle J pergi, deeh, baby D gak sayang
sama Uncle J lagi. Kita gak temenan lagi sekarang.
Kemaren aja minta gendong kemana-mana, sekarang
lupa, yaaaa...." Pura-pura aku membere?ngutkan
wajah ?pada Iva sebelum beranjak pergi.
"Uncle J kok maraaahh? Uncle J jangan maraaahhh
... Daddy...?"
"Junaaaaaa ... jangan godain Iva, dong. Usil
banget nih omnya Iva." Teguran Mama hanya kubalas
tawa kecil.
"Hehehehhehe ... enggak kok, sayang. Uncle J
cuma mau mandi sebentar. Nanti kemari lagi, terus
kita maen bentaran, ya."
"Abis ini Iva mau bobok, Uncle J. Soalnya besok
Iva, Daddy sama Mommy?mau pergi jalan-jalan." Iva
mendongak ke arahku dengan mata berbinar dan
senyum mengembang lebar. Membuat lesung pipinya
162
162
tercetak dalam. Beneran ponakanku satu ini mirip
boneka, lucu dan cantik.
"Asyik banget, jalan-jalan ke mana baby D?" Aku
kembali duduk di samping Mas Dave yang masih
memperhatikan Iva yang terlihat sangat ceria malam
ini.
"Ke Taman Safari, terus ke mana lagi Daddy?"
"Ke manapun yang Iva mau. Daddy sama
Mommy ikut ke mana aja Iva mau pergi." Mas Dave
mengangguk lembut pada Iva yang ekspresi wajahnya
seperti anak kecil yang gak pernah di kasih permen
selama hidupnya.
"Yeeeeaaaaayyyyy ... jadi bener besok seharian
kita jalan-jalan Dad? Uncle J mau ikut? Ikut, ya Uncle
J, nanti kaya waktu itu lagi, kita tur gajah lagi. Boleh
kan, Dad?"
Kepala mungil itu menoleh padaku dan Mas Dave
bergantian. Dan demi apa? Aku ikut acara keluarga
mereka? Ogaaaaaaahhhhhh! Tak sudi aku jadi body
guard nyonya kecil ini sementara bapaknya pasti
akan mencari alesan mojok dimanapun mereka bisa.
Issshhh ... aku tak sehina itu.
"Uummmm ... besok Uncle J mau istirahat baby
D. Lain kali aja ya, lagian kan udah lama Iva gak maen
sama Mommy sama Daddy. Nah sekarang Uncle J mau
mandi dulu, dan karena Iva udah mau bobok, Uncle J
juga mau langsung bobok. Oke?"
"Oke, dehhh. Bye Uncle J."
"Bye, baby D." Kukecup puncak kepala Iva sebe?
lum berbalik ke kamar, namun panggilan Mama
163
163
meng?hentikanku kemudian.
"Juna mau langsung tidur? Gak makan dulu?
Mama masak sop buntut lho, semua udah makan
tadi, Mama temenin makan ya?" Mama sudah berdiri
di sampingku dan sepertinya hendak menyeretku ke
ruang makan.
"Tadi Juna udah makan sama temen-temen
kantor, Mam. Ntar deh kalau Juna laper, pasti Juna
makan lagi." Tersenyum singkat, aku berjalan ber?
iring?an dengan Mama menuju tangga.
"Juna, tadi siang Papa nanya kapan rencananya
kita ke rumah Nina? Mumpung Vio sudah pulang,
jadi nanti kita bisa sekeluarga kesana semua." Mama
memandangku dengan binar bahagia yang tak dapat
disembunyikan. Membuatku bingung dalam mem?
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berikan jawaban. Ahh taukah kau Mama?
"Nanti-nantilah Mam diomongin lagi. Mungkin
gak dalam waktu dekat ini."
"Lho kenapa? Sesuatu yang baik harus disege?ra?
kan, lho Juna. Gak baik ditunda-tunda. Kamu sudah
bicara dengan keluarganya Nina?"
"Eemm kita obrolin besok aja ?ya, Mam. Juna
capek banget nih. Mau tidur cepet aja kayanya."
Kuhin?dari mata Mama sebisa mungkin. Bagaimana
aku harus menjelaskan ini pada beliau?
"Juna kamu gak papa sayang? Ada masalah?"
Mata Mama yang menyelidik membuatku makin ser?
ba salah. Kenapa juga malam ini Mama penuh per?
hatian. Alasan apa yang harus kuberikan pada be?liau
sekarang. Gak mungkinkan aku menceritakan semua
164
164
masalahku sama Mama sekarang. Harus mulai dari
mana?
"Gak papa Mam, Juna cuma capek aja, kok. Juna
ke atas ya, Mam." Aku pun segera berlalu ke lantai dua
meninggalkan Mama yang masih menatapku heran.
Lama aku bersandar di pintu kamar, berpikir
ulang tentang semuanya. Apa yang harus kulakukan
sekarang? Andai saja kondisinya tak serumit ini,
tentu semuanya akan lebih mudah. Ah, entahlah akan
kupikirkan itu nanti. Sebaiknya aku cepat mandi dan
tidur agar bisa berfikir lebih tenang.
Tapi baru saja hendak menuju kamar mandi,
l?engkingan suara Vio di balik pintu disertai dorong?
annya yang seperti gempa lokal dadakan menga?
getkanku.
"Junaaaaaaaaa ... bukaaa jangan lari dari gue!"
Tubuhku yang seksi dan berotot ini pun harus rela
terjatuh di lantai kamarku dengan posisi menung?
ging karena perlakuan semena-mena Vio yang men?
dorong pintuku tanpa ampun. Astagaahhhhh
makan apaa ini bocah, tenaganya kuat banget, udah
hampir ngalahin Agung Hercules.
"Apaan, sih, Vi brutal amat jadi cewek, lembut?
an dikit kenapa?" Kuusap-usap lututku yang sedikit
nyeri karena terjatuh dengan telak di atas lantai tak
berkarpet.
"Gue mau tau semuanya dari elu, tanpa ada yang
ditutupin lagi. Ayo ikut gue!"
"Eeeeeehh gue mau mandi Vi, tega lu. Mau nanya
apa, sih?" Aku masih bingung karena dengan kejam
165
165
Vio menarik paksa tanganku untuk mengikutinya.
Lahh kayanya mau diajak ke bawah lagi ini mah.
Haisshhh apalagi maunya emak-emak labil satu ini?
Dengan pasrah, akupun duduk setelah Vio meng?
hempaskanku di sofa panjang kosong yang tadi di huni
Mas Dave dan Mama. Apapun yang akan dibicarakan
Vio, sepertinya kali ini serius. Tak ada gurat bercanda
di wajahnya yang kulihat sedikit chubby sekarang.
"Lu gemukan ya, Vi? Diapain di Raja Ampat
sama Mas Dave kok kayanya lu makin banyak lemak
sekarang?"
"Haaaaaaa ... gue gak gemuk Arjuna Narenda.
Enak aja ngatain orang gemuk. Dari dulu gue seginigini aja, kok. Eeeehhh lu sengaja, ya? Lu sengaja
ngalihin pembicaraan, kan? Dasar Juna jelek ...
jeleeeekkkkkkk!" Tangannya yang bebas mencubiti
tubuhku dengan kejam. Ya ampuunn ini bisa dikira
korban perkosaan kalo kaya gini ceritanya. Tubuh
menawanku bisa merah-merah gak jelas gara-gara
tangan usil ?Vio yang tak tau diri.
"Heehhh, Vio Juna ... sudah. Kenapa kalian
berdua masih suka seperti ini? Malu udah pada
gede semua." Suara Papa yang dalam menghentikan
serangan Vio yang membabibuta padaku.
"Tuh Vio, dengerin Papa, tuh. Adudduuhhh
lepas, Vi. Sakit tahu." Aku hanya bisa meringis pasrah
saat tangan Vio tak juga beranjak dari pinggangku.
Anak ini gak bisa di lawan nih, soalnya dia akan
dengan kejam memutar jarinya, hingga bisa dipastiin
pinggangku bakalan merah dan luka dalam.
166
166
"Papaaa ... Juna nih, masa ngatain Vio gemuk.
Enak aja, Vio gak gemuuukkkk!"
Papa hanya berlalu dari hadapan kami sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Lah, siapa yang mau
nolongin aku kalo kaya gini ceritanya?
"Udah ya Vi, gue capek nih. Stop deh berantem?
nya, kita lanjutin besok ya adekku yang cantik, yang
seksi, yang kurus, yang manis, yang baik ya ya
ya...." Pengen rasanya gosok mulutku pake sikat WC
karena udah dengan rela menistakan diri memuji
Vio. Untungnya air muka emak-emak labil ini ber?
ubah sedikit ramah. Kalo enggak, bisa disiksa lahir
batin sampe malem judulnya.
"Oke gue ampuni lu sekarang. Tapi awas ngatain
gue lagi bakalan gak ada ampun buat elu." Matanya
masih melotot lebar padaku tapi syukurlah dia sudah
melepaskan tangannya yang sedari tadi betah men?
jamah tubuhku.
"Udah, ya gue mau mandi sekarang." Kakiku yang
sedang dalam posisi setengah berdiri terpaksa ter?
duduk lagi di sofa karena Vio kembali mendorong
kasar.
"Enggak bisa, urusan lu ama gue belom selesai."
"Apa lagi sih, Vi?" Aku hanya bisa menatap Vio
dengan horor saat melihat ekspresinya yang seperti
emak-emak menang kuis undian 100 juta. Pasti ada
yang salah ini, sedikit kugeser bokong seksiku ke?sam?
ping memberi tempat duduk baginya yang merang?
sek ke tempatku. Aku yakin tampangku seka?rang
ketakutan, persis seperti perawan hendak diperkosa.
167
167
"Minggu lalu lu bawa cewek kemari, ya? Siapa? Lu
serius sama dia? Kapan lu bawa kemari lagi? Kok gue
gak dikenalin? Ajak ke rumah ya, gue mau kenalan."
Binar di mata Vio malah membuat hatiku menciut
tajam. Kenapa bahas ini lagi sih?
"Temen aja, Vi."
"Aahhh, lu pasti boongin gue kan? Kata Mama lu
serius sama dia. Malahan kata Mama, lu udah ngajak
Mama sama Papa ngelamar ke emaknya. Ceritaaaa ...
siapa dia?"
Jiaahh, ekspresi muka Vio mengingatkan aku
pada pembawa acara gosip di tipi pagi-pagi yang se?
ring di tonton si Darman di pantry. Dan aku hanya
bisa memejamkan mata serta berharap interogasi ini
ce?pat berakhir. Tak berapa lama kurasakan sofa se?
di?kit melesak ke arah Vio, menandakan ada penam?
bah?an beban. Pasti Mas Dave, siapa lagi ambil tempat
duduk di samping Vio kalo bukan suami mesumnya
itu. "Itu udah berlalu Vi, gak ada gunanya dibahas
lagi."
"Lhooo kok gitu? Bukannya baru minggu ke?
maren lu bawa kemari. Gue nelpon Mbak Era, kata?
nya cewek lu cakep J. Seriusan, dong ceritanya, jangan
bikin gue penasaran, ah. Gimana-gimana juga gue
kan mau kenalan sama calon lu."
Aku membuka?mata dan mendapati Vio dengan
sorot mata bingung dan Mas Dave yang tampak tekun
menyimak. Aku menimbang kemungkinan untuk
bercerita pada pasangan ini. Seminggu lamanya aku
lari dari masalah ini dan tak berniat membahasnya
168
168
lebih dalam dengan siapapun.
"Gue emang ajak dia makan malem di sini
m?inggu kemaren, kenalin ke semuanya. Gue juga
udah ngelamar secara gak resmi ke dia."
"Nahh, kaan. Terus kapan lamaran resminya?
Iiihh, gue udah gak sabar banget." Binar di mata Vio
mengiris hatiku perih.
"Ah, lu mau ?tau aja, sih. Jangan penasaran gitu Vi,
penasaran itu bisa bikin stress." Kuberikan senyum
penuh ejekan pada Vio yang sekarang melotot lebar.
O ... o ....
"Cerita gak ke gue. Haaaaa...!"
"Aaaaaawwwwww ... Vi lepas Vi, sakit tau. Ya,
ampuun, sadis. Ini KDRT, ini pelecehan, pelanggar?
an HAM, ini penistaan, penghinaan, penganiayaan."
Kurasa wajahku sekarang penuh keringat menahan
nyeri yang tak mau lepas dari pinggangku karena
cubitan Vio.
"Jangan bilang lu ragu, trus mutusin cewek lu,
trus milih ABG labil buat jadi kakak ipar gue!"
Pipi mulusku berasa ditabok denger kalimat
terakhir Vio. Dari mana dia tau? Hahhh pasti ABG
tua di sampingnya yang mulutnya bocor kaya genteng
di musim ujan. Mulutku hanya bisa menyeringai
memamerkan gigi taringku yang tak seberapa pan?
jang pada Mas Dave.
"Sorry J, aku disiksa Vio. Aku gak kuat J beneran,
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maap ya." Dengan tampang polos Mas Dave mem?
berikan tampang pasrahnya diikuti jari telunjuk dan
tengahnya yang membentuk huruf V.
169
169
"Mendingan gue dari pada elu, milih suami omom tua, genit, mesum macam dia. Apaan, gak ada
yang lebih mutu buat jadi? adek ipar gue apa!"
"Apa lu bilang? Sembarangan ngatain laki gue
seenak udel, lu. Ada juga laki gue keren, emang cewek
lu masih nembelas taun."
"Tapi cewek gue lebih muda. Emang laki lu tua!"
"Enakan laki gue udah dewasa, mateng. Lu apaan,
itu ?cewek pantes jadi kakaknya Ariel, masa iya mau
lu jadiin bini!"
"Eh, biar lebih muda dia mikirnya lebih dewasa
dari pada elu. Emak-emak labil gak tau diri. Pasti om
mesum ini dulu mabok berat pas liat elu, makanya
mau sama lu!"
"Apa lu bilang?"
"Lu yang mulai!"
"Lu yang gak tau diri!"
"Jadi gimana??
"Gue diem asal lu diem."
"Deal."
"Deal." Kuberikan kelingking pada Vio yang lang?
sung diadukannya dengan kelingkingnya.
"Astagaaaaaa..."
Serentak aku dan Vio berpaling ke asal suara.
Dibelakang Vio, Mas Dave menepuk jidatnya keras
dilanjutkan dengan meremas rambutnya kasar. Ber?
ulang kali dia menggelengkan kepala, tampak seperti
keheranan dan sangat putus asa. Kenapa?
"Kenapa Mas?"
"Sayang kenapa? Sakit? Pusing?"
170
170
?Aku dan Vio hanya bisa menatap Mas Dave yang
melihat kami berdua dengan ekspresi susah ditebak.
"Enggak gak papa. Mmhh bisa gak kalian
berantemnya agak sedikit masuk akal? Tapii ... ahhh
sudahlah terusin lagi, deh." Dia pun menghempaskan
punggung ke sandaran sofa dan menghembuskan
nafas panjang, tampak seperti kelelahan.
Aku menatap Vio dengan pandangan?kenapa
laki lu?yang kemudian dibalasnya dengan mengen?
dikkan bahunya seolah menjawab?meneketehe.
"So, siapa dia? Apa dia cukup pantas untuk jadi
kakak ipar gue?" Vio menatapku dengan pandangan
menyelidik. Aku menggeleng pelan mengukur ke?
mung?kinan lari dari interogasinya yang bisa dipas?ti?
kan nyaris mustahil.
Vio dan rasa ingin tau adalah kombinasi yang
merusak semuanya. Bahkan ketika kau mempunyai
rahasia paling dalam dia akan dengan sukarela me?
nempuh? cara paling hina sekalipun untuk mengo?rek?
nya. Aku sebenernya tau, Mas Dave pastinya terjatuh
dalam tipu muslihat nenek sihir ini.
"Namanya Nina. Gue naksir dia udah setahun
terakhir. Cantik, anggun, baik, pinter juga lembut.
Gue udah nembak dia dan seperti yang lu tau, dia
udah gue ajak kemari minggu lalu. Gue juga udah
ngelamar dia, belom resmi ke orang tuanya, sih,
tapi baru ngomong niatan gue ke dia. Dan dia juga
udah terima itu." Aku diam sejenak untuk menarik
nafas dalam, dalam sekali. Untuk menata hati juga
perasaanku. Aku gak yakin bakalan bisa nahan emosi
171
171
apapun yang akan muncul jika aku terus bercerita
pada Viona.
"Senin kemaren, gue ngeliat dengan mata kepala
gue sendiri dia lagi mesra-mesraan sama atasannya.
Gue udah ketemu langsung sama keduanya, sempet
gue hajar juga tuh lakinya. Tapi ternyata hubungan
mereka sudah sangat jauh. Nina ngaku kalo dia udah
tidur sama bosnya," kudengar Vio terkesiap kencang
dan dari ekor mata, bisa kuliat dia mendekap
mulutnya dengan dua tangan. Tapi aku pura-pura tak
menyadarinya dan kembali meneruskan. "Dia minta
maaf, dia janji gak ngulanginnya lagi, tapi ah gak
taulah, Vi. Gue juga bingung." Aku memijit dahiku
keras mencoba menghilangkan lagi bayangan tangis?
an Nina Senin lalu. Saat itulah kurasakan bahuku di
tarik ke arah samping. Vio memeluk erat.
"Gue ikut sedih J, pasti ini berat banget buat, lu."
Vio berbisik lemah di telingaku.
"Yang masih gak gue pahami Vi alesan dia
ngelakuin itu. Nina gak yakin sama perasaan gue ke
dia, Nina takut kalo gue cuma mainin dia. Apa gue
keliat?an sebajingan itu? Apa di muka gue ada cap
playboy segede papan reklame? Lucunya lagi dia
cemburu sama anak nembelas tahun itu. Masuk akal
gak sih? " Aku menghembuskan nafas keras.
"Kamu gak bisa maafin dia J, kamu beneran cinta
gak sama dia?" Mas Dave ikut ambil suara di balik
tubuh Vio.
Cinta? Ahh aku pun gak tau.
"Juna serius Mas, buat jadiin dia istri. Juna udah
172
172
naksir lama sama dia, cuma gak taulah kenapa se?
muanya jadi begini." Aku hanya bisa melihat pasang?
an itu sedih.
Sedih? Ah, akupun tak tau apakah ini tatapan
sedih.
"Mungkin kamu hanya terobsesi sama dia J, atau
kamu emang cuma kepikiran nyari istri. Jadi kamu
cuma nyari kriteria istri yang kamu mau seperti
apa. Padahal dalam suatu hubungan, landasan yang
paling penting adalah faktor perasaan," ujar Mas Dave
dengan senyum getir. Hmm mungkin ada benarnya
juga apa yang dibilang playboy satu ini. "Tanyalah
hatimu J, buatlah keputusan dengan kepala dingin."
Aku hanya bisa menoleh pada Vio yang meng?
usap kepalaku pelan. "Hhhhhh ... gue selalu keingat?
an, Vi. Gimana caranya mereka ciuman, gimana
mereka keliatan napsu banget. Gue gak sanggup sisa
hidup gue harus ngebayangin apa yang gue pegang
pernah dipegang orang lain. Gue bukan malaikat Vio,
bukan orang suci. Walaupun gue juga bukan orang
yang sempurna, apa salah kalo gue nyari yang lebih
baik? Gue mungkin bisa maafin kesalahan yang lain,
tapi perselingkuhan? Gue gak bisa." Aku hanya bisa
menenggelamkan kepala pada lututku sendiri saat
mengucapkan kalimat terakhir. Rengkuhan Vio di
bahuku pun mengencang, dia kembali mengusap
lenganku pelan.
"Sabar ya ,J."
"Saat mencintai seseorang, kita tak akan pernah
peduli dengan masa lalunya, dengan apa yang meng?
173
173
ikutinya, bahkan dengan semua keburukan dan ke?
bu?sukannya. Kita hanya akan melihat dia apa ada?nya
dan hanya mengharapkan semua hal yang terbaik
untuknya. Bahkan tak akan pernah peduli kalau
akhir?nya hanya sakit yang bisa kita terima. Kamu
hanya ingin melihat dia tersenyum, hanya ingin dia
bahagia." Suara Mas Dave terasa sangat dekat, ?namun
aku tetap tak ingin menoleh.?
Menerima? Rasanya aku belum sampai di tahap
itu saat ini.
"Jadi sekarang apa status hubungan lu sama dia J."
"Gue bilang kita jalan sendiri-sendiri dulu. Jujur
gue gak sanggup kalo inget semuanya. Tapi gue juga
gak tega kalo ngeliat dia, apalagi banyak temen kantor
yang tau masalah ini. Gue kasian liat dia, Vi. Gue juga
belom bilang masalah ini ke Mama sama Papa. Tau,
ahh gue bingung gimana ngomongnya."
Mengingat Nina sekarang menerbitkan ibaku.
Bagaimana teman-teman memperlakukannya, juga
bisik-bisik gosip yang beredar. Dia dan Yudi seperti
pesakitan yang selalu dipandang sinis. Aku tak tau
efek ke keluarga Yudi, bukan urusanku juga. Tapi
kudengar istrinya sudah tau masalah ini.
Namun, sekarang ini aku berusaha sebisa mung?
kin menetralisir semuanya dengan mencoba bersikap
sebiasa mungkin pada Nina. Bukannya mau sok jadi
pahlawan sih, aku hanya berpendapat kalau Nina
tetap berhak mendapat perlakuan sewajarnya. Tapi
itupun berbuah protes dari Aszumi dan Dian. Mereka
beranggapan aku masih memberi harapan pada Nina
174
174
yang juga masih berharap padaku. Jadi aku harus
gimana??
Lama kami bertiga terdiam sampai akhirnya
Vio menanyakan suatu hal yang membuatku ingin
menimpuk kepalanya dengan sepatu.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jadi, eemmm ... kalo lu udah gak sama Nina
berarti masih ada kesempatan dong buat ABG itu?"
Senyum tanpa dosa Vio membuatku benar-benar
terhina.
"Gak usah mulai deh Vi, dia baru nembelas taun.
Gak mungkinlah gue suka sama anak bau kencur. Gue
gak kayak laki lu yang tanpa perhitungan buat suka
sama seseorang." Kulirik Mas Dave dengan senyum
puas.
"Terserah kamu J mau ngomong apa, yang pen?
ting aku dapet istri."
"Mulai mulai ... mulai ... jangan sampe berbuat
mesum di sini ya, kamar masih banyak." Kupelototi
Mas Dave yang merengkuh pinggang Vio dan mena?
rik ke arahnya.
"Ya, siapa tau ngeliat kami begini kamu jadi pe?
ngen J, jadinya cepet nyari yang lain.? Move on-lah."
Playboy mesum itu nyengir ke arahku masih sambil
memainkan rambut Viona.
"Nanti dululah Mas, Juna masih mau menata hati
dulu. Mau kasih penjelasan ke Mama Papa, trus ya
sembuhin sakitnya dululah. Gak enak banget rasa?nya
di gini-in."
"Apapun itu J, kami selalu ada buat kamu. Jangan
ragu buat dateng ke rumah ataupun menghubungi
175
175
kami, ya." Viona menatapku dengan mata berkacakaca. Tatapan mata Vio membuatku mau tak mau
ter?bawa perasaan melankolis kembali. Dari kecil Vio
adalah satu- satunya temanku berbagi dan bermain.
"Thanks?ya, Vi, lu emang sodara paling baek buat
gue." Kupeluk tubuh mungilnya erat. Kembar kecilku,
boneka mungilku.
"Sabar ya, mungkin ini cara Tuhan untuk me?nun?
jukkan yang baik buat elu. Jangan lama-lama sedih?
nya, gue ikutan sedih, J."
"Enggak. Gue udah mulai bisa? move on,? kok.
Cuma mungkin masih menutup hati dari hubungan,
apapun itu bentuknya." Kutepuk-tepuk ringan pung?
gung Vio yang menenggelamkan kepalanya makin
dalam ke dadaku.
"Ehm ... ehm emmm kamu ... kamu bisa peluk
aku aja J kalo masih sedih." Wajah Mas Dave tampak
kesal dan tak sabar di belakang Vio. Matanya tak lepas
dari tanganku yang menempel ketat pada punggung
Vio. Apa maksud perkataannya? Jangan bilang dia
cemburu melihatku yang memeluk Vio erat-erat? Yah
dasar om-om tua aneh. Masa iya dia cemburu sama
aku. Hah mungkin inilah saatnya pembalasan.
"Makasih ya, Vio sayang, aku mau ke kamar dulu
istirahat." Kupegang sisi wajah Vio lalu mengecup
bibirnya singkat dan kuat yang kemudian kudengar
suara Mas Dave yang terkesiap kaget di sampingku.
"Ju Junaaaa ... hey Juna ... Juna ... tunggu!" Mas
Dave yang tampak kesal beranjak dari duduknya
namun segera ditahan Vio. Aku pun melenggang
176
176
sambil bersiul santai pergi meninggalkan pasangan
itu. Menyimpan tawa yang hampir meledak.
"Dave udah, ah."
"Tapi dia cium kamu sayang, di bibir lagi."
"Sayang, udah, ?dong. Juna cuma...."
Tak kudengarkan obrolan mereka lagi karena aku
sudah melompati tangga untuk sampai ke kamar.
Aku nyaris pingsan karena menahan tawa melihat
ekspresi shock Mas Dave yang seperti orang baru di
pukul kepalanya dengan palu godam. Ha gak tau
dia, kalau aku bisa membalas perlakuan kejamnya
padaku.
* * *
Triiiingggggg....
Suara notifikasi Whatsapp mendengung persis di
samping telinga. Ughh apa aku lupa mengaktif?k an
mode silent semalam? Tapi, ahh sudahlah, mung?
kin itu anak-anak di grup yang iseng. Tapi bukankah
aturan di grup, Minggu adalah? family time, hingga
tak ada satupun yang boleh mengirim sesuatu di grup
saat Minggu? Jadi bagaimana kalo itu penting? Tapi
kalau penting dia pasti menelpon, kan??
Sstt ... sssttt ... ada sms? sstt ... sssttt ... ada sms?
sstt ... sssttt ... ada sms? sstt ... sssttt ... ada sms.
Astagaaa ... siapa sih sms pagi-pagi begini? Baru
kali ini aku merasa benci dengan nada yang kupasang
di hapeku. Suara burung beo yang berteriak lucu saat
ada sms terasa gak lucu lagi ketika kau ngantuk dan
177
177
dia berbunyi seperti nenek-nenek cerewet ngajak
kencan. Kututup kepala dengan bantal besar. Bodo
amat, ahh!
Kriiiiiiiinggg......kriiiiingggggg....kringggg.......
Kamfreeeeeeettttttt.... Apaaa iniiiiiiii? Tak bisa?
kah tidak menggangguku? Aku baru tidur lagi setelah
subuh tadi. Hasyeeeeemmmmm!
"Halo!" Kuraih handphone kasar dan dengan tak
kalah kasarnya kubentak lawan bicara di seberang
sana.
"KAK ARJUNAAAA KENAPA GAK ANGKAT
TELPON AYANA DARI PAGII!"
Hei, kenapa dia yang lebih marah dari aku?
Bukan?nya dia yang menggangguku pagi-pagi gini?
Tapi tunggu, Ayana? Dia udah pulang?
"Ayana, aku ngantuk banget. Coba kamu tel?pon?
nya siangan dikit, pasti lain ceritanya." Kusibak?kan
selimut dan segera beranjak dari ranjang. Dengan
langkah gontai kuseret kaki menuju jendela yang
mengarah ke balkon dan membuka hordennya.?
"Kak ini udah jam satu siang, kenapa bisa dibilang
pagi. Ih, kak Juna gak asik, ahh."
Apaa jam satu! Otomatis kepalaku terarah ke jam
yang menempel dengan indah di dinding kamar. Ya,
ampun jadi aku tidur seperti raja kebo dari jam
lima pagi tadi?
"Hehhehe maaf Ayana, aku gak liat-liat jam,
kupikir masih pagi. Ada apa?" Kubuka jendela dan
benar saja sinar matahari yang masuk rasanya sudah
silau dan sangar di kulit eksotisku.
178
178
"Ayana kangen kakak ..."? Suaranya terputus dan
sepertinya dia sangat sedih. Ada apa lagi dengan anak
ini.
"Bukannya Ayana lagi liburan sama Papa? Gimana
liburannya?"
"Biasa aja. Gak kemana-mana, cuma dalem apar?
temen aja."?Suara malasnya terdengar di telingaku.
"Ayana pulang kapan? Masih di Singapura?"
Aku duduk santai pada kursi rotan di balkon yang
menghadap taman belakang. Entah kemana rasa
kantuk yang dari tadi mencumbuku mesra.
"Enggak, udah nyampe Jakarta semalem, kakak
lagi ngapain?"
?"Duduk."
"Kangen Ayana gak?"
"Enggak, tuh."
"Aaaaaaaa...jahaaattttjelek!"
Sambungan mendadak terputus, aku sampai
mengecek lagi layar ponsel berulang kali untuk me?
mastikan telepon sudah berakhir. Ada apa dengan
anak ini? Tumben banget dia ngambek. Bukannya
bocah sinting itu udah gak punya urat malu sama
sekali? Kuping tebal dan muka temboknya pun sudah
sangat kuhafal. Lalu kenapa sekarang dia marah
hanya karena aku bilang aku gak kangen dia? Bocah
aneh. Aku mempertimbangkan untuk menelfon balik
tapi panggilan alam dikantung kemih memaksaku
setoran ke kamar mandi.
Kuputar-putar ponsel di tangan dengan gemas,
sudah dua jam berlalu dan Ayana gak menelpon lagi.
179
179
Apa dia benar-benar marah? Sejujurnya aku agak kaget
dengan reaksinya, kenapa gadis itu marah. Ini sa?ngat
di luar kebiasaan. Apa aku sungguh keterlaluan? Tapi
apa aku kangen dia? Entahlah.
Empat hari kemarin Ayana emang gak dateng,
pesan yang kuterima hari Kamis mengatakan kalau
dia memulai week end nya lebih cepat di Singapura.
Empat hari aku sarapan sendiri dan makan siang
sendiri. Tak ada cengiran usil yang menggodaku, tak
ada dia yang sering kali datang tanpa permisi meng?
ganggu atau sikap perhatiannya yang berlebihan yang
rutin kuterima dua bulan ini.
Sering aku harus kecewa saat melihat siapa yang
datang dari ? pintu lift, atau saat Pak Parno mem?
bawa?kanku kopi, aku sedikit berharap dialah yang
tiba-tiba datang memberikan mugnya padaku. Atau
saat Jum?at kemarin jantungku berdebar keras saat
melihat seorang perempuan dengan rambut cok?
lat di lobby kantor yang ternyata saudara Imelda
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang datang. Apa itu yang namanya rindu? Apa aku
me?mang merasa kehilangan dia empat hari ini?
Aaaarrgggghhh... kenapa semua jadi serumit ini?
Kutimang lagi ponselku. Telpon enggak ... tel?
pon ... enggak ... telpon ... enggak. Tak sabar ku?pencet
speed dial, dering pertama ... dering kedua ... dering
ketiga ... tut ... tu ... tut.?
Kenapa panggilanku di?reject??
Kuulangi lagi sampai tiga kali, dan semuanya
direject. Kenapa dengan Ayana? Jadi dia benar-benar
marah? Jariku pun menari cepat pada ponsel dan
180
180
mengirim sms singkat permintaan maaf. Mungkin
aku memang sangat keterlaluan. Tak sampai lima
menit ponselku kembali berbunyi.?Ayana.
"Halo ... Ayana," Berhati-hati kutata suaraku
selembut mungkin. Bagaimanapun aku tak ingin
mem?buat dia makin tersinggung. "Ayana...."
"Hhhmm...."
"Kamu marah, ya." Aku menunggu jawaban yang
tak kunjung kudengar. Gadis kecil itu masih diam
dan hanya diam sampai beberapa menit kemudian.
"Ayanaaa...."
Lawan bicaraku di seberang sana tak menunjuk?
an tanda kehidupan, bahkan hembusan nafasnya
pun tak kudengar sama sekali. Apa dia bener-bener
marah?
"Ayanaa ... oke, aku aku minta maaf. Aku
aku salah, beneran aku minta maaf. Maafin aku, ya."
Aku bingung bagaimana aku harus bersikap sekarang
ini. Dia masih saja tak bersuara, sampai kemudian
kudengar tarikan nafasnya yang sedikit bergetar.
"Apa ... apa Ayana ganggu banget? Kak Arjuna
kesel, ya sama Ayana?" Suaranya terdengar sedih,
atau itulah yang kudengar. Ada apa dengan anak ini?
"Enggak. Hanya saja aku tadi kan pas bangun ?tidu?r,
mungkin belum bisa fokus buat dengerin kamu."
Suasana menjadi kaku, tak ada yang memulai
pem?bicaraan lagi. Aku benar-benar heran dengan
anak kecil satu ini. Tak biasanya dia bersikap aneh
seperti ini. "Ayana kamu tidur?"
"Enggak. Kenapa?"
181
181
"Kok dari tadi diem?"?
"Ayana pengen dengerin kakak ngomong. Kan
selama ini Ayana terus yang banyak omong kalo kita
ketemu. Sekarang Ayana pengen denger kakak yang
banyak omongnya."?
Aku terbahak mendengar kalimat terakhirnya.
Bocah ajaib ini tak pernah berhenti membuatku
selalu berpikir. Isi otaknya sungguh susah ditebak.
"Kamu udah makan Ayana?" Kutanyakan saja hal
pertama yang melintas diotakku.
"Udah, Kak Juna udah?"? Suaranya seperti ter?
senyum, membuat aku mau tak mau pun menahan
senyuman.
"Udah, tadi pas kamu ngambek, sekalian mandi,
gosok gigi, beresin tempat tidur, nyapu kamar, nge?
pel, nyuci piring, nyuci baju, mau sekalian motong
rumput sebenernya. Tapi rumput di rumahku belum
gondrong, jadi kubiarin aja. Munggkin 2-3 hari lagi.
Udah kayak pembantu, ya?"
Ledakan tawa di seberang sana membuatku
kembali tersenyum. Kalau ada yang bilang tawa itu
indah, mungkin sekarang baru kutemui. Cara Ayana
tertawa indah, dengan suaranya yang bening namun
sama sekali tak ditahan-tahan. Ah, kenapa aku gak
sabar buat ngantor, ya?
"Kok ketawa Ayana?"
"Abisnya kakak lucu, sih, Ayana gak percaya kalo
tadi kakak ngelakuin itu semua."
"Emang enggak. Cuma sempet mandi sama ma?
kan aja. Kan katanya Ayana tadi pengen denger aku
182
182
ngomong panjang, ya udah dipanjang-panjangin
kegiatannya biar lama ngomongnya." Aku menahan
senyum demi mengingat ekspresi yang mungkin dia
tampilkan.
?"Mmmhhhh ... kakak gak sibuk sekarang? Ayana
ganggu gak?"
"Enggak, kok. Aku masih di rumah Mama di
Jakarta Timur, kebetulan orangtuaku lagi pergi ke
resepsi nikahan kenalannya Papa. Jadi aku sendiri di
rumah. Ayana mau ke sini?"
"Mauuuu ... dijemput, yaaaa."
"Boleh, kebetulan banyak cucian kotor di sini.
Gen?teng bocor, rumah juga kayanya perlu dicat
ulang."?
"Kakak jahaaaaaaaaattttttttttt. Emangnya Ayana
tukang, disuruh benerin genteng segala. Gak asik,
ahhh."
Aku tertawa sampai perutku sakit membayangkan
bibir cemberut juga mata abu-abu yang pastinya akan
melotot tajam padaku. Ah, anak ini. "Eeehhh jangan
marah, dong. Nanti kalo marah, Ayana gak k?eliatan
cantik lagi, loh. Nanti mukanya jadi cemberut paten
kan, lucu."
Kurebahkan badan di sofa dengan berbantal ta?
ngan. Kenapa aku betah banget, ya menelpon ber?
lama-lama begini. Biasanya aku gak akan betah me?
nel?pon orang, aku lebih memilih bertemu dari pada
harus ngobrol tanpa tau air muka lawan bicaraku.
"Me menurut Kak Juna, Ayana cantik?"? Suara
Ayana yang diliputi penasaran membuatku terse?
183
183
nyum. Apa dia gak percaya diri kalau dia cantik? A?staga
orang yang menderita rabun dekat paling parah pun
pasti tetap akan tau kalau dia cantik. Kulitnya yang
putih mulus, bibirnya yang tipis dan berwarna pink,
matanya yang lebar dan berwarna abu-abu, tubuhnya
yang ... eeeitttsssss stop stop ... stop ... apa yang ada
di otak kotormu Juna!
"Apaaa? Cantik? Emang aku tadi ngomong gitu?
Waduuhh pasti aku khilaf. Ini kesalahan serius.
Lupain aja."
"Iiihhhh dasar Kak Juna nyebelin!" Suara Ayana
mendesis, tampak kesal. Haduh, kalo ngambek lagi
panjang ini urusannya.
"Ayana cantik kok, cantik banget. Beneran lebih
cantik dari pada Darman sama Edi. Sumpah."
"Gak lucu, deh kayanya."
"Emang enggak, aku kan bukan sodaranya Sule
ataupun anggota Cagur. Jadi pasti gak lucu."
"Kak Arjunaaaaa ... jelekkkk iiihhh."
Aku menahan tawa jangan sampai meledak
karena mendengar keluhannya. Dasar anak kecil.
"Kak Juna."
"Hmm..."
"Bulan depan, Ayana ulang tahun, loh."?Suaranya
yang penuh semangat menularkannya padaku. Mau
tak mau akupun ikut tersenyum bahagia men?de?
ngarnya.
"O ya,?sweet seventeen,?dong."
"Hu um. Karena Ayana mau ulang tahun, Ayana
mau minta kado dari Kak Juna."
184
184
"Kan masih bulan depan, kenapa minta kadonya
sekarang?"
"Kemungkinan Ayana mau rayain ulang tahun di
rumah Tante Belinda di Holand, jadi Kakak pasti ntar
lupa, deh gak kasih kado."
Kubayangkan wajah cemberut Ayana yang se?
ringkali tampak menggemaskan, membuat senyum?
an terbit lagi di wajahku yang sudah seperti orang
bodoh ini. "Enggak, janji deh gak bakalan lupa. Ayana
mau kado apa?"
"Gak, ah. Ayana tetep mau besok kadonya. Tapi
kadonya harus sama kaya yang Ayana minta."
"Ya udah, tapi jangan yang susah-susah ya. Udah
sore nih kalo terlalu rumit nanti malah gak dapet lagi
yang Ayana mau."
"Kadonya gak susah kok. Tapi kakak harus janji
dulu buat kabulin semuanya."
Ampun deh ini bocah, apalagi maunya. Kalau
aku janjiin, ntar dia mau sesuatu yang aneh bin ajaib
lagi. Berpikir mengenai kado ulangtahun untuk anak
seperti Ayana mau tak mau membuat keningku ber?
kerut dalam. Apa yang belum di punyai bocah satu
itu, kalo dia minta mobil gimana? Yaelahhh, mobilku
aja masih tiga bulan lagi lunasnya, masa iya aku harus
kreditin dia mobil juga.?
"Eiitsss apa dulu. Ntar Ayana minta ambilin
b?ulan atau bintang pastinya aku gak bisa lah." M?en?
coba berkelit, ku berikan alasan sekenanya pada
Ayana.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
185
185
"Kan Ayana udah bilang ini gak susah. Dan setelah
ini pun Ayana janji gak bakalan minta apa-apa lagi
dari Kakak. Sumpah deh, abis ini Kakak gak bakalan
Ayana gangguin lagi, deh. Ya kak, mau ya?"
Ada perasaan aneh ?yang merayap turun ke perut,
rasa tak nyaman yang sangat aneh. Tapi kucoba untuk
membuang semuanya karena aku pun tak tau apa ini.
Walaupun begitu dengan hati-hati tetap kuucapkan
juga janji yang sepertinya akan kusesali.
"Oke, aku janji bakalan kabulin semua mau kamu
besok."
?
?
186
Sepuluh
"Jadi?"
Kusilangkan kedua lengan di depan dada, me?
nunggu bocah kecil di depanku ini bersuara. Tapi
yang di lakukannya hanya menatapku dengan se?
nyuman aneh. Jemarinya tak berhenti mengetuketuk pinggiran meja dengan bahu bergoyang-goyang,
seperti mengikuti irama musik.
Yah, walaupun berat, kemarin aku akhirnya se?
pakat akan menuruti apapun kemauan Ayana hari ini
sebagai kado ulang tahunnya yang baru akan terjadi
bulan depan?hah permintaan yang aneh bukan?
dan dia sukses besar membuatku penasaran setengah
mati karena tak mau mengatakan apa maunya sam?
pai kami bertemu hari ini di kantor.
Pagi ini pun aku dibuat kaget, karena ternyata dia
sudah nangkring dengan manisnya di mejaku begitu
aku datang. Senyumnya seperti matahari pagi di
musim kemarau, ceria, manis dan ... panas.
Aku hanya bisa menaikkan alis heran pada bocah
tengil ini saat dia dengan kurang ajar menggerak?
kan jari telunjuk padaku, mengisyaratkan aku untuk
mendekat. Kumajukan kursi putar yang kududuki
187
187
hingga menyentuh lututnya dan kembali menunggu
apa mau gadis kecil ini.
Punggungku mundur paksa sampai rebah di
sandaran kursi saat Ayana mendekat hingga wajah
kami hanya berjarak beberapa sentimeter saja. Kedua
ta?ngannya di letakkan di pegangan kursi, memerang?
kapku. Tiba-tiba senyumnya hilang, tak ada cengiran
kurang ajar yang selama ini betah banget mangkal
di wajahnya, sorot mata gadis itupun tampak serius,
langsung ke mataku. Satu hal yang tak pernah
kutemui sejak aku mengenalnya.
"Ayana mau untuk hari ini saja, please lupain
semuanya. Lupain Papa, lupain Nina, lupain juga
umur Ayana. Untuk hari ini aja tolong liat Ayana se?
ba?gai seorang perempuan dewasa yang pantes buat
Kakak, yang bisa jadi pendamping hidup Kakak. Hari
ini, tolong bales perasaan Ayana ke kakak."
Aku terperangkap di dalam tatapan mata sendu
itu, berharap dapat lepas namun yang terjadi aku
malah makin jauh tersesat dalam mata abu-abu
paling indah yang pernah kulihat. Anehnya mata
itu berkaca-kaca. Apa yang harus kukatakan? Dan
demi Tuhan apa maunya tadi? Menganggap dia
seorang kekasih? Melupakan bahwa ayahnya adalah
bosku yang memberikan gaji bulanan padaku? Lalu
melupakan Nina yang minggu kemarin baru meng?
khianatiku?ehm, kurasa untuk satu ini aku bisa?
lalu melupakan umur dia yang baru?AKAN?17
tahun? Apa aku cukup gila? Atau aku sudah gila? Dan
kurasa,ya, aku memang gila karena dengan pasrah
188
188
menganggukkan kepala pada Ayana yang masih
menatapku dengan kesedihan teramat nyata, yang
baru kutau bisa dimiliki seorang Ayana.
Senyum lebar itu kulihat sedetik lebih lambat dari
yang seharusnya. Dia memang tersenyum setelah?
entah mungkin perasaanku saja?ada kilatan air di
sudut matanya.
"Oke, deh, aturan pertama orang pacaran....."
"Ayana kamu ngapain?" Aku menatap sekeliling
pa?nik, ketika tiba-tiba Ayana melompat dari meja
dan duduk di pangkuanku. Bagaimana kalau Pak
S?urya tau? Apa yang harus kukatakan?
"Ssstt ... diem. Aturan pertama saat orang pacar?
an ?yaitu gak boleh panggil nama. Jadi Kakak gak boleh
panggil nama Ayana, harus ada embel-embelnya."
Tangan mungilnya menutup mulutku yang bersiap
protes. "Jangan protes, hari ini kan kakak janji mau
nurutin semua permintaan Ayana. Jadi terima aja."
"Tapi gak gini juga kali Ayana, yang sedikit masuk
akal bisa kan? Tapi tunggu tunggu, ini buat hari ini
aja kan? Besok udah enggak kan?" Aku bergerak risih
karena Ayana sudah merebahkan kepalanya di dadaku
dan dengan santai memainkan dasi yang k?upakai. Ya
Tuhan, pak bos, tolong jangan kesini dulu, atau kau
akan shock melihat tingkah anakmu yang liar ini.
"Iyaaa ... buat hari ini aja, nanti sore begitu Kakak
anterin Ayana pulang kita udah putus, kok. Udah gak
usah ribut deh, cepetan mau manggil Ayana apa?
Kalo enggak Ayana telanjangin di sini nih, biar kita
dinikahin sekarang juga sama Papa." Senyum kurang
189
189
ajar itu kembali mampir, tampak sangat melecehkan
harga diriku. Bener kan aku bakal nyesel kenapa mau
aja meng-iya-kan maunya bocah ini.
"Dek?"
"Ayana bukan adekmu Kak Juna."
"Princess?"
"Ayana itu dipangggil angel sama Papa, kenapa
turun pangkat jadi princess?"
"Bocah tengilku yang manis." Kukulum senyuman
di ujung bibir demi mendapatinya cemberut makin
dalam saat kata itu terlontar.
"Yang romantis, kalo enggak bakalan nambah
nih waktu buat kita jadi sepasang kekasih yang harus
bersikap mesra di depan umum."
Aku hanya bisa menelan ludah panik. Untuk hari
inipun aku sudah bingung apa yang akan dilakukan
bocah ini, apalagi kalau sampai besok dia masih
menginginkan ini dariku. Aku malah sibuk berpikir
apa yang di makan anak kecil aneh ini tadi malam,
sampai otaknya agak miring seperti ini. Ck ... pak
bos, kenapa anakmu begitu menyusahkan, sih?
"Ayanaaa!" Dan aku benar-benar panik sekarang
karena dengan lincahnya tangan nakal itu melucuti
dasiku cepat.
"Cepet mikirnya, Ayana gak kasih perpanjangan
waktu, loh." Senyum miring bocah itu membuatku
menitikkan keringat dingin saat tangannya mem?
buka kancing kemejaku sigap.
Astagaa ... bocah ini bener-bener sakit jiwa.
Ta?ngannya segera menangkap jariku yang ingin
190
190
membetulkan kancing kemejaku seperti semula.
Bocah labil itu menggeram marah dan mencubit
dadaku pelan.?Tiga kancing sudah lepas jendralll!?Ya,
Tuhan, ini pemerkosaan. Aku berpikir cepat, meng?
ingat b?agaimana Mas Dave dan Vio saling menyapa,
siapa tau aku bisa menjiplak panggilan sayang
mereka untuk membungkam Ayana. Tapi otakku
serasa buntu saat kancing mansetku pun sudah lepas.
Serius ini judulnya. Maaakkk ... gimana kalo anak?
mu ini benaran ternistakan di sini? Apa yang harus
kulakukan? Ehh, ngomong-ngomong tadi pagi aku
pake pakaian dalam yang gak malu-maluin, kan? ?Aku
takut kelupaan pake kolor kembang-kembang warna
kuning cerah yang kubeli di Bali taun lalu. Atau
akan lucu jadinya kalau Ayana tau aku pake kolor
bergambar Spiderman.?
"Oke, my lovely, honey bunny, sweetie pie, baby
doll, mi amore, maunya gimana? Mau dipanggil apa
sayang?" Kurenggut dagunya kesal dan mengarahkan
ke wajahku, begitu dekat.
"Aaaaaa ... Ayana suka itu. Suka suka ... sukaaaaaa.
Iiiiihhh, romantis banget. Gemeeess, deh sama pacar
Ayana yang cakep ini. Ayana suka di?pang??gil begi?tuu ... pokoknya mulai sekarang kalo Kak Arjuna
mang?gil Ayana harus ada panggilan romantis kaya
tadi, yaaa! "Senyuman puas yang dia sunggingkan
mem???buat?ku benar-benar ingin mencubit mulut ku?
rang ajarnya.
Tuhan, tolong berikan aku kekuatan lebih hari
ini, agar dapat selamat melewati cobaan yang Kau
191
191
berikan. Aku punya firasat kalau ini tidak akan
berjalan dengan sederhana. Apapun tentang Ayana
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah sebuah kegilaan dan kemustahilan.?
"Oke, deh sayang." Berbisik, sengaja kusem?bu?
nyikan panggilan sayangku agar tak didengar Bu Mey
yang sedari tadi senyum-senyum geje sambil me?
ngetik. "Sekarang Kakak mau kerja dulu, ya, silah?kan
membaca komik seperti biasanya. Atau mau balik ke
kantor Papa?" Kusingkirkan tangan Ayana yang ma?
sih melingkari leherku bagai ular dan sedikit mendo?
rong tubuhnya agar menyingkir.
"Hari ini kakak gak kerja, kita mau jalan-jalan.
Jadi ini dasinya gak usah di pake lagi, bajunya gulung
aja deh biar gak gerah," Dengan sigap pacar gadung??
anku itu menggulung lengan bajuku sampai siku.
"Kan jadi tambah cakep, keren banget, ih pacar
A?yana."
"Kok gitu, gak bisa gitu, dong Aya sayang.
Aku kan harus kerja." Tergagap kuubah panggilanku
karena mendapati Ayana yang melotot galak sambil
menarik leherku kencang ke arahnya.
"Ayana udah bilang sama Papa, boleh, kok. Kak
Juna dapet cuti sehari dari Papa buat kencan sama
Ayana. Jadi gak usah buang waktu karena udah mulai
siang, kita langsung ?jalan aja."
"Ke mana? Hei, kita mau ke mana?"
Gadis tengil itu hanya melompat ringan dari
pangkuanku, merapikan sweaternya yang berwarna
plum dan berlari ke kantor Pak Surya. Beberapa saat
kemudian dia kembali membawa keranjang piknik
192
192
besar dan menyerahkannya padaku. Lalu dengan
santai menyeretku ke arah lift.?
?
* * *
?
Mataku terpejam, menikmati semilir angin yang
mem?belai bulu-bulu halus di wajah, sinar matahari
yang hangat sesekali mengintip di sela-sela pelepah
kelapa yang menaungi kami. Suasana sungguh
tenang dan nyaman. Aku berbaring di atas selimut
piknik tebal yang di bentangkan di atas pasir yang
empuk, dengan kepala bocah kecil tak tau diri itu di
perutku. Semuanya tampak sangat sempurna untuk
sebuah piknik.
Bocah gila itu berhasil memaksakan kehendaknya
untuk mengajakku piknik. Ya, benar-benar piknik.
Dengan keranjang piknik besar berisi stok makanan
dan minuman yang cukup untuk sebuah ke?luarga,
juga selimut piknik dan?sunblock. Ayana hanya me??
ngatakan ingin menghabiskan hari di pantai bersa?
maku. Satu-satunya pantai yang kutau dan jang?
kauannya dekat hanyalah Ancol di kawasan Jakarta
Utara, ke sanalah kubawa kekasih jadi-jadianku itu.
Entah sudah berapa lama kami seperti ini,
mungkin setengah atau satu jam. Aku pun tak tau.
Setelah melahap sarapan ringan sandhwich tuna yang
dia siapkan, kami memang hanya menikmati waktu
dengan berdiam seperti ini. Untungnya suasana
pantai sepi, hanya ada beberapa orang lalu lalang
yang bahkan tak sedikitpun mempedulikan kami.
193
193
Karena memang tak ada orang yang cukup gila untuk
piknik pada hari Senin pagi di bulan yang susah di
prediksi cuacanya setiap hari.
"Mulai panas ya?"
"Hu um.?
"Jadi sebenarnya kapan tepatnya ulang tahunmu?"
Kupicingkan mata melawan sengatan matahari yang
mulai memanas di kulit.
"Dua puluh empat Januari."?
"Ini bahkan baru tanggal sepuluh Desember
A?ya?na!" Nyaris berteriak aku otomatis terduduk,
membuat kepalanya melorot di pangkuanku.
Wajah Ayana yang kemerahan menunjukkan
ekspresi tak suka. Tiba-tiba saja dia bangun dan
duduk di atas pangkuanku. Tangannya meraih kerah
bajuku dan menarik kuat ke arahnya hingga wajah
kami nya?ris bertemu. Heii ... ada apa ini? Apa aku
melakukan kesalahan?
"Ayana rasa sedari tadi Kakak sengaja menghindar
manggil nama Ayana, kan? Kenapa? Mau mangkir
dari kesepakatan? Sekarang ulangin lagi semuanya,
pake kata-kata yang romantis. Cepetan. Nadanya
juga harus lembut, gak boleh bentak-bentak!"
Aku tak bisa berkelit dari sorot matanya yang
tampak sangat marah. Hadehhh kenapa Tuhan
memberikan kebaikan tanpa batas padaku gini sih?
Hingga aku gak bisa menolak keinginan anak kecil
satu ini. Kuhirup nafas panjang, menghembuskan?nya
pelan dan memasang senyum bodoh. Oke kita mulai
lagi dramanya.?
194
194
"Mulai panas, ya sweetie."
"Hu um honey."
"Jadi, kapan tepatnya ulang tahunmu my lovely?"
"Dua puluh empat Januari sayang."
"Waahhh masih jauh yaa, ini baru tanggal se?
puluh kan babe? Emmm, kira-kira kalau pesen cake
sekarang kelamaan gak ya babydoll?"
Kami saling menatap lama sampai akhirnya le?
dakan tawa kami berdua membuyarkan suasana sepi
di pantai. Situasi ini sungguh-sungguh menggelikan.
Kurasa aku bisa setengah gila dan nyaris sakit jiwa
kalau lama-lama nurutin semua mau Ayana. Gadis
ini benar-benar definisi sebuah absurditas. Walaupun
kuakui, kehadirannya memberikan warna lain pada
suasana hatiku belakangan ini.
Tiba-tiba tangannya melepaskanku kemudian
me?raih tas kecil di samping kami dan mengambil
ka?mera mungil dari sana. Dasar ABG, masih sempatsem?patnya dia ingat untuk berfoto.
"Kak Juna deketan Ayana sini, dong, nunduk ya
jangan terlalu tinggi kepalanya. Gak lucu kalo Ayana
foto sama leher. Oke senyuummm."
Seperti orang idiot aku pun menuruti maunya,
berfoto layaknya seorang narsis yang memang ingin
selalu eksis. Kurasa kadar aneh anak ini emang sudah
mencapai tahap tidak wajar. Dan parahnya aku ke?
tularan pula, tak mampu untuk menolak sedikitpun
saat tangannya mengobrak-abrik rambutku atau saat
dia menyuruhku menampakkan muka bodoh kelewat
bodoh demi menghasilkan belasan foto alay dan jijay.
195
195
Astagaaaa ... mana ijazahku? Dulu di sekolahan aku
selalu juara kelas, kan? Sekarang ini kok bisa aku
dibodohi sama ABG tak tau diri ini?
"Kakak ?nyanyi, dong buat Ayana. Yang romantis,
yaa...." Permintaan aneh satu lagi yang dia utarakan
setelah bosan mengambil entah berapa ?banyak foto
gantengku.
"Nyanyi apa sayang?"
"Lagu yang romantislah, kan kita lagi pacaran."
Wajah Ayana berbinar ceria, sambil melipat kaki
dan menopang dagu dia menghadapku. Senyumnya
kurasa bisa diukur dengan penggaris kayu panjang
milik tukang bangunan.
dudidudidamdam dudidudidam....
dudidudidamdam dudidudidam....
kamu makannya apaaa...
saya juru masaknya...
"Kak Junaaaaa ... Ayana bilang lagu romantis,
b?ukan lagu anak-anak!"
"Itu romantis sayang, perhatiin dong isi lagunya.
Itu kan Kakak nanya kamu mau makan apa, nanti Kak
Juna yang masakin, romantis, kan?" Kutahan s?eri?ngai
puasku saat wajahnya sudah ditekuk kesal.
"Enggak, ganti lagu yang lain, sekarang!"
Itsy bitsy spider climbed up the water spout
Down came the rain and washed the spider out
out came the sun and dried up all the rain
196
196
and the itsy bitsy spider climbed up the spout
again
"Kak Juna, bisa seriusan dikit gak, sih? Masa lagu
anak-anak mulu dari tadi. Kak Juna masih anggep
Ayana anak kecil, ya?" Wajah cemberutnya sama
s?ekali tak berusaha di sembunyikan.
"Mmmhh ... begitulah, kan kamu emang masih
kecil sayangku. Kalo Ayana gak suka kak Juna nya?nyi?
in, kenapa gak nyanyi sendiri?" ujarku sambil mem?
posisikan bibir pada pose mencibir.
"Kalo orang pacaran gak ada ceweknya yang nya?
nyi. Pasti cowoknya sambil ngerayu-ngerayu gituu,
dan itu romantis banget tau! kak Juna payah." Mata
abu-abunya melotot, diikuti lidahnya yang melelet
mengingatkanku pada film siluman ular putih.
Hah, ku rasa aku akan sanggup meladeni per?
mainan anak ini sepanjang hari kalau aku mengingat
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Vio. Tinggal bayangin aja wajah Vio pada bocah gila
tak tau malu ini. Pasti beres urusannya, dan akupun
akan terbebas dari perjanjian konyol tentang ulang
tahun yang bahkan masih sangat jauh panggang dari
api.
Lama kemudian dia masih menatapku, mata sa?
yunya tampak ingin mengatakan sesuatu, namun tak
ada apapun yang keluar dari bibir tipisnya. Akupun
bingung? Tak tahu bagaimana harus bersikap.
"Kak jalan di tepian yuk." Tiba-tiba dia berdiri
dan menarik tanganku untuk mengikutinya.
"Nanti sayang, Kakak lepas sepatu dulu."
197
197
"Enggak usah. Pake aja." Dengan tak sabar gadis
kecil gila itu menyentakkan tangan dan menuntunku
ke tepian garis pantai.
Lagi-lagi aku hanya bisa menurut tanpa bisa
melancarkan protes sedikitpun. Jadilah aku dan dia
seperti sepasang orang gila yang berjalan menyusuri
tepian pantai dengan sepatu lengkap. Dengan mera?
na kulihat sepatuku yang sudah basah seluruhnya,
air laut yang dingin pun sudah berhasil masuk dan
membuat kaus kakiku lembab. Haiishh, bakalan
tamat riwayat sepatuku ini. Padahal baru kubeli 2
bulan yang lalu.
Berbalik menghadap pantai, dia menyandarkan
punggung pada dadaku dan menyilangkan kedua
tanganku di perutnya, memeluknya. Siapapun yang
melihat kami saat ini pasti mengira kami adalah
pasangan kekasih yang sedang jatuh cinta.
"Kak Juna pernah kayak gini gak sama pacar
Kakak?" Suaranya lemah terdengar, membuatku pe?
na?saran tentang apa yang dia fikirkan saat ini.
"Enggak, kenapa ... sayang." Kagok panggilan
sayang itu sedikit terlambat setelah punggung ta?
nganku kena jatah cubitan darinya.
"Gak papa, nanya aja. Tau gak kak, Ayana belum
pernah loh liat sunset di pantai. Kita di sini sampai
sore ya, biar bisa liat sunset."?
"Hahh ... Ay eh, sayang ini baru jam 10 pagi.
Sunset itu masih 8 jam lagi. Yakin mau nunggu
delapan jam di sini? Kamu gak capek?"
Beneran sarap ini bocah, masa iya mau nunggu
198
198
matahari terbenam, bisa kering aku di sini. Dan
kulitku bisa jadi sewarna karamel gosong kalau
diteruskan.
"Mau sampai kapan juga, kalo sama Kakak, Ayana
gak keberatan. Kalo bisa sih Ayana mau selamanya
begini, menghentikan waktu cuma berdua sama Kak
Juna." Dia menghembuskan nafas, sepertinya sangat
lelah.
"Kamu pasti akan bosan Ayana sayang, mungkin
tidak sekarang. Tapi suatu saat nanti." Aku masih
melingkarkan tanganku di perutnya karena dia me?
narikku makin rapat. Aku pasti gila karena di titik ini
aku benar-benar merasa nyaman.
"Itukah yang kakak takutkan? Bahwa suatu hari
nanti Ayana akan bosan? Mungkin itu tak akan per?
nah terjadi." Dia melepaskan genggaman tanganku,
lalu berjalan agak ke tengah. Kakinya sudah teng?
gelam nyaris sampai lutut saat dia berhenti dan hanya
menatap laut dalam diam.?
Dan entah setan apa yang berbisik saat kemudian
aku menyusulnya dan melingkarkan tanganku pada
pinggangnya kembali, memeluknya dari bela?kang.
Me?nikmati pemandangan pantai yang sebenarnya
j?elek namun entah mengapa, apa yang aku lihat
s?emuanya tampak indah dan nyaman saat ini. Aku
tak tau berapa lama kami ada dalam posisi ini, yang
pastinya aku sedang tak ingin melepasnya, pun k?u?
rasakan padanya yang menyandarkan kepalanya ke
dadaku sehingga aku bisa menghirup rambutnya
yang wangi.
199
199
Tiba-tiba dia berbalik menghadapku. "Kejar Aya?
na, kak!" diikuti dengan kakinya yang melompat
lompat di dalam air, menjauh. "Kejaaaarrrrr...!" Dia
berteriak di kejauhan yang hanya kubalas gelengan
kepala. Untuk kali ini maaf nona, aku tak ingin
seperti orang gila kurang kerjaan yang mengharap?
kan kewarasan yang tak kunjung datang.
"Kok gak ngejar, sih!"
Aku hanya tersenyum malas saat dia berjalan
mendekat, walaupun sedikit waspada karena tampak
sekali kemarahan di wajahnya.
"Kejar gak?"
"Ogah."
"Kejar."
"Gak mau."
"Kejaaaaarrr."
"Eh, anak kecil, kita udah cukup kayak orang gila
sekarang ini. Masih mau dipertegas kegilaannya de?
ngan lari-larian di sepanjang pantai?" Kusilangkan
tanganku di dada sembari mengukur reaksi gadis kecil
ini. Oke, aku siap sekarang, kita beneran perang kalo
kaya gini. Emang dia aja yang bisa main perintah.
Namun sesuatu yang tak kusangka kemudian
dilakukan bocah songong ?itu. Dia menabrakku keras
hingga aku yang ada dalam posisi tidak siap pun
terjengkang dan ambruk dengan posisi terlentang
di bagian air yang cukup dalam. Akibatnya, paruparuku seperti terbakar karena kebanyakan air laut
yang masuk. Seluruh tubuhku pun basah sia-sia.?
"Ayanaaaaaaa... dasar bocah sarap sakit jiwa tak
200
200
tau malu. Awaassss kamuuuu!" Sialan bocah gila ini.
Akhirnya aku terpancing mengejarnya sepanjang
pan????tai sambil berteriak-teriak seperti orang gila yang
keabisan obat.?
Sialaaaannnnn!
Lagi-lagi bocah sarap itu hanya tertawa saat
menghindar dari kejaranku dan ketika aku berhasil
menangkap pinggangnya, dia malah menjerit kegi?
rangan dan tertawa keras. "Kamu tau sayang, kamu
harus membayar untuk semua ini," kubisikan
ancamanku tepat di telinganya.
"O, yaaa? Ayana gak yakin kakak bisa."
Aku nyaris tertawa setengah gila karena ekspresi
ketakutan yang ditunjukkan Ayana saat kugendong
dia dengan gaya?bridal style?dan melangkah mantap
kembali ke air. Tapi kutahan itu agar dia tak merasa
aku sedang bermain-main dengannya. Tangannya
memeluk leherku erat, dan berkali-kali kepalanya
menggeleng panik.
"Kakak, enggaaaak... jangaaaannnn."
"Hhhmm ... bukannya kamu yang mulai baby?
Ayolah, kamu mau main kan? Lepaskan tanganmu
sayang!"
"Enggak."
"Lepas sayang. Kalo enggak kutelanjangi kamu
dan kita berdua mandi di sini seperti sepasang
duyung puber keranjingan seks dengan libido tinggi.
Gimana?" Kupamerkan senyum iblisku padanya,
benar-benar berharap dia akan ketakutan, karena aku
gak punya ide lagi bagaimana caranya mengintimi?
201
201
dasi anak ini.
Dengan pasrah Ayana melepaskan pelukan
tangannya di leherku, memejamkan mata rapat dan
tampak seperti menahan nafas. Kubawa dia agak ke
tengah dan menjatuhkannya ke air yang dingin.
"Aaaaaaaaaa... uhuk... uhuk... uhuk."
Tubuh kecil itu tenggelam sesaat, kemudian
mun?cul kembali dengan wajah merah dan batuk
yang berulang. Aku sedikit khawatir saat dia tak
juga berhenti batuk, tangan kecilnya memegangi
dada erat. Kenapa dengannya? Dia gak sedang ber?
sandiwara kan?
"Ayana kamu gak papa? Sayang ... hei ... hei..."
Kuguncangkan tubuh gadis kecil yang terduduk
sebatas garis air itu dengan panik saat dia tak juga
menyahut. Saat itulah tubuhku tertarik kearahnya
dan kami berdua jatuh tenggelam lagi. Dasar penyihir
kecil tak tau diri. Bisa-bisanya aku jatuh dalam
perangkapnya lagi!?
?
* * *
"Kenapa kencan kita di pantai?" Kuungkapkan juga
pertanyaan yang membuatku bingung dari pagi,
tanganku sibuk menyirami rambutnya dengan air
laut.
Saat ini kami duduk berhadapan dengan sete?ngah
tubuh yang terendam, mengobrol bagai orang kurang
waras tanpa memperdulikan apapun di sekitar kami.
Ck beneran ketularan gila, nih aku.
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
202
202
"Ayana mau ke tempat yang sepi, dengan begitu
Kakak pasti perhatiin Ayana terus. Kalo kita ken?can?
nya di mall kakak bisa liat-liat banyak cewek, kalo
enggak pasti ngeliatin banyak dagangan yang dipa?
jang di etalase."
Aku hanya tersenyum melihat Ayana yang meng?
isi saku bajuku dengan air yang ditempatkannnya
pada gelas plastik air mineral yang terbawa ombak.
Dasar bocah gila. "Emangnya mukaku keliatan kaya
emak-emak abis ngerampok bank yang mau belanja
gitu?"
"Enggak sih, tapi mirip opa-opa abis jual tanah
terus mau ketemu pacarnya." Kali ini tangan mu?ngil?
nya membawa gelas plastik yang penuh berisi air itu
ke leherku, dan menumpahkannya ke dalam baju
setelah menarik kerah bajuku sedikit. Dasar bocah
sarap.
"Enak aja!"
"Kalau misalnya Kakak yang ngajak kencan
sehari, Kak Juna mau ajak Ayana ke mana?"
"Hhhmmm ... kemana ya, mungkin kuajak kamu
makan gado-gado di depan kampusku dulu, trus ke
apartemenku nonton DVD sewaan sambil kita beresberes tempatku yang berantakan."
Senyumnya melebar, sebelum dengan ceria dia
menjawab, "Kalau saja ada lain kali, Ayana mau, deh."
Sesaat dia berhenti bermain air dan hanya melihat ke
arahku dalam diam. "Kak makasih, ya."
"Untuk apa?"
"Karena udah mau nurutin Ayana hari ini. Ini
203
203
kado ulangtahun paling indah yang pernah Ayana
dapet."
"Gak masalah, walaupun kalau di pikir-pikir ini
sungguh aneh. Cara merayakan ulang tahun yang gak
masuk akal."
"Kenapa?"
"Apa untungnya semua ini buat kamu sayang?
Coba kalo dari kemaren Ayana ngomongnya, kan
Kak Juna bisa siap-siap. Jadi gak salah kostum
begini. Baru kali ini juga aku merayakan ulang tahun
seseorang dengan mengikhlaskan ponselku ikut
mandi bersama." Hah, kurasa besok aku harus segera
mengurus upgrade kartu baru dan semuanya ke
gerai langganan, juga menjemur semua uang tunai,
atm dan seluruh isi dompet. Aku menggeleng pelan,
membayangkan semua kejadian tak masuk akal yang
entah kenapa tak menggangguku sedikitpun.?
"Masih di saku celana?"
"Masih."
"Kunci mobil?"
"Semuanya masih lengkap sayang." Kuselipkan
rambutnya yang basah kebelakang telinga dan hanya
tersenyum melihat wajahnya yang bersemu merah.
"Iya, deh, besok semua Ayana ganti. Totalin aja
berapa semuanya." Tangannya kembali sibuk mengisi
saku bajuku dengan air.
"Memangnya aku terlihat seperti laki-laki pang?
gilan yang menerapkan tarif untuk setiap? job? yang
kuterima?" Kudorong jidatnya sedikit dengan jari
t?elunjuk.
204
204
"Ayana lebih suka kakak jadi lelaki bayaran,
jadinya dari dulu kita bisa pacaran kayak gini." Ayana
menghentikan apa yang dikerjakannya. Dia berbalik
perlahan, menghadap ke arah laut. Tubuh kurusnya
merapat, dengan punggung yang bersandar pada
d?adaku.
"Kalau nanti aku kangen kamu, aku akan meng?
ingat hari ini sebagai kenangan terindah yang pernah
kumiliki. Percayakah? Aku hanya perlu memejamkan
mata dan kamu akan hadir. Itu karena kamu selalu
hidup dalam anganku." Ada nada sedih dalam suara
lemahnya yang sulit kucerna? Lama setelahnya dia
berbalik menghadapku, tangannya yang mungil me?
nangkup pipiku. "Setelah sekian lama baru kali ini
aku kembali ingin bertanya ?kenapa? pada Tuhan. Tapi
pantaskah itu? Bukankah kita hanya perlu b?ersyu?
kur atas semua yang kita dapat? Tapi kadang saat sisi
egois itu muncul, aku ingin mempertanyakan kehen?
dak Tuhan yang seakan selalu saja mempermainkan
nasib. Kenapa harus seperti ini?" Mata abu-abu itu
menatapku redup.
Aku membeku, entah oleh berapa hantaman
lang?sung di otak kecilku. Apa maksudnya? Jujur tak
satupun dari perkataannya barusan yang bisa ku?
cer?na. Sejak kapan pula dia ber aku-kamu padaku?
Kenapa sepertinya aku menangkap nada perpisahan
dalam kalimatnya? Tapi semua pemikiran itu tak sem?
pat diolah otakku yang lemot ini karena rasa panas
dari telapak tangannya yang membuatku sadar.
"Ayana, sayang, kamu sakit, ya? Kok demam."
205
205
"Enggak kok, Ayana gak papa," bibir pucatnya
masih saja tersenyum.
"Gak papa gimana, ini kamu demam. Udah gak
boleh bantah lagi, sekarang juga kita pulang!" Kusen?
takkan tangan dan menariknya paksa, dia pun hanya
pasrah mengikuti.
Setelah membersihkan diri di toilet umum
dan berganti pakaian dengan kaus yang kami beli
di toko souvenir, aku melarikan mobil kencang ke
apar?temen karena Ayana berkeras gak mau kembali
ke rumahnya ataupun kubawa ke rumah sakit. Dia
mengatakan sudah biasa mengalami demam ringan
kalau kedinginan dan akan cepat pulih kalau banyak
meminum air hangat. Ahh, dasar bocah aneh.
"Ayana biasa minum obat apa buat turun panas?"
Kuletakkan keranjang piknik yang kubawa di atas
meja dan buru-buru mencari persediaan obat yang
kupunya begitu kami tiba di apartemen. Semoga saja
dia biasa minum parasetamol untuk demam, karena
aku hanya punya stok itu.
"Gak usah Kakak, Ayana cuma butuh minum
air anget yang banyak, kok. Abis itu pasti turun de?
mamnya. Lagian sepanjang jalan tadi Ayana juga
udah banyak minum air mineral." Dia hanya terse?
nyum menatapku yang blingsatan mencari air dan
obat untuknya "Kak, Ayana mandi di sini ya, masih
lengket nih tadi mandinya ngasal aja disana."
"Ya udah. Nih minum air angetnya dulu, nanti
k?alau demamnya turun ?baru boleh mandi." Kuberi?
kan padanya satu gelas besar air hangat yang di
206
206
terimanya dengan cengiran lebar.
Namun acara mandi terpaksa ditunda karena
ternyata cacing-cacing di perut sudah demo minta
jatah. Jadilah kami makan siang yang sedikit terlam?
bat dengan bekal piknik yang dibawa Ayana.?Seperti
kebiasaan saat kami makan, kali ini pun Ayana tak
bisa mengerem mulut cerewetnya untuk berbicara
tanpa henti. Sesekali dia mencoba mengajakku ber?
canda dengan melempar remah-remah makanan atau
kepal?an kecil nasi yang mengingatkanku pada mo?
nyet di Ragunan yang selalu diberi lemparan kacang
dan sisa makanan oleh pengunjung. Apa dikiranya ini
lucu ya? Apa dia gak tau aku sangat khawatir melihat
dia seperti ini? Ah, salahku juga membiarkan dia
ber?lama-lama berendam dalam air laut yang dingin.
Harus?nya aku bisa menjaga dia dengan lebih baik lagi
bukan malah ikut ambil bagian menjadi remaja labil
kurang kerjaan macam tadi siang.
Tapi benar saja, setelah minum dan makan
demam Ayana turun, aku sampai meraba dahinya
bolak balik untuk memastikan tak ada sarafku yang
salah deteksi karena suhu tubuhnya benar-benar
su?dah normal kembali. Dasar anak aneh, bahkan
badan?nya pun ikut aneh.
"Udah, aaahh bener kan udah gak demam.
Kak Juna gak percaya, sih sama Ayana." Bocah
tengil itu masih menggerutu saat tanganku sesekali
masih mampir di kulitnya. Aku benar-benar perlu
memastikan.
"Emang aku gak percaya sama kamu, percayanya
207
207
sama Tuhan. Ya, udah sana kalau mau mandi, aku
mau beresin ini semua dulu." Kudorong bocah sete?
ngah waras itu ke kamarku dan segera membereskan
kekacauan yang kami buat saat acara makan tadi.
Setelah membereskan baju-baju basah kami
untuk di kirim ke laundry, akupun menyerah untuk
menggunakan kamar mandi di sebelah dapur karena
badanku pun sangat-sangat tidak nyaman. Kurasa aku
akan mati kesemutan kalau nekat menunggu Ayana
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk bergantian mandi. Bahkan setelah aku selesai
mandipun dia belum keluar dari kamar. Benar-benar
seperti puteri keraton, lama banget.
"Kak Junaaaa.." Teriakan Ayana mengagetkanku
yang sedang membongkar ponsel dan dompet di
depan televisi.
"Iya, sayang kenapa?" Kutempelkan telinga di
pintu kamar, menunggu jawaban Ayana yang tak
kunjung datang. Ahh, kenapa aku jadi ingat adegan
malam pertama di film yang pernah kutonton, ya.
Saat itu sang suami berusaha mencari tau apa yang
dilakukan istrinya di kamar dengan menguping di
pintu.
"Ayana pinjem baju, yaaa ... baju yang tadi
basaahhh." Rengekan dari balik pintu kamar mem?
buat ku tertawa. Astaga kupikir apaan, gak taunya
cuma mau pinjem baju.
"Ambil aja Ayana sayang, pilih yang kamu mau."
Aku benar-benar merasa seperti adegan di film itu.
Mana ada sayang-sayangnya segala pula. Aaiiiihhh
Juna... jangan ikutan gila!
208
208
"Kakaaakkk!"
"Iyaaa..."
"Ini gitar punya Kak Juna?"
"Iya, kenapa?"
"Nanya aja."
Jiaahhh, anak kecil ini, ngajakin aku ngobrol
udah mirip Tarzan sama Jane, maennya teriak-teriak?
an serasa tinggal di hutan.?
Akupun berbalik kembali ke depan televisi ketika
tak mendengar suaranya lagi. Melanjutkan aktivi?
tasku semula, mengoperasi ponsel dan dompet. Bah
... ponselku beneran tamat riwayat nih, akhir cerita
banget buat gadget satu ini. Kujejerkan HP yang
sudah kupreteli bersama lembaran-lembaran uang
tunai, kartu kredit, kartu debit, kartu nama, SIM,
struk belanjaan, kartu time zone Iva, juga entah be?
rapa banyak kertas yang bahkan tulisannya sudah
tak terbaca. Ini dompet apa tempat pembuangan
sampah? Banyak banget isinya.
Tanganku berhenti otomatis di atas STNK
mobilku yang basah saat kudengar petikan gitar
yang manis dari kamar. Siapa yang mainin gitarku?
Ayana? Walau dalam hatiku meneriakkan kata-kata
bodoh tetap saja aku penasaran.Ya, iyalah pastinya
Ayana, siapa lagi? Masa kuntilanak mau ngegodain
aku sambil main gitar. Lagi pula setahun tinggal di
sini, aku belum pernah bertemu dengan kuntilanak
atau pun keluarganya disini.
Tak lama kemudian suara bening yang begitu
lembut terdengar, membuatku didera penasaran
209
209
yang sangat. Membawaku menyeret kaki ke kamar
tempat dia sedang menyenandungkan sebuah lagu
yang tak kukenal namun entah kenapa terasa sangat
pilu di telinga. Akupun hanya berdiri seperti orang
dungu di pintu saat mendapatinya duduk di tengah
ranjang sambil memainkan gitar.?
?Kamu takkan pernah mendapatkan cinta
Cinta seperti yang aku berikan kepada kamu
kamu nanti pasti kan menyadarinya
saat aku tak lagi ada
Kamu tak kan pernah tau betapa aku
memuja kamu seperti ku memuja dewa cinta
kamu nanti pasti kan menyadarinya
saat aku tak lagi ada
Cinta ini cinta yang tak perlu
mendapatkan balasan Cinta meski hati ku perih
tuk menahan cinta yang terluka
cinta yang buat ku luka
cinta yang buatku bertahan
meski ada air mata
(Cinta Mati - Ahmad Dani)
?
Bukan suara beningnya yang membuatku mem?
beku, bukan juga permainan indah gitarnya yang
membuat otakku korslet. Tapi ekspresinya saat me?
nyanyikan lagu itu begitu menyentuh hati. Ayana
me?mejamkan mata, tampak sangat menghayati. Bah?
kan beberapa kali kulihat bibirnya bergetar seperti
210
210
menahan emosi yang dalam. Ada ketakutan, ada
kepasrahan, ada penyerahan.?
Saat lagunya berakhir dia membuka mata dan
aku tak bisa lepas dari tatapan teduhnya. Kami hanya
saling menatap seolah ini adalah pertemuan per?ta?ma
kali setelah sekian tahun terpisah. Aku terkunci pada
matanya, begitupun dia. Tak ada sinar jahil atau?
pun kilatan usil dan manja seperti yang seharian ini
kulihat. Begitu rapuh, begitu pasrah. Ayana...
Bagai robot aku pun menurut saat dia mengulur?
kan tangan, mengundang untuk duduk di samping?
nya. Mulutku kering melihat Ayana memakai kaosku
yang kebesaran ditubuh mungilnya, juga celana pen?
dek norak warna kuning cerah milikku. Rambut?nya
yang setengah basah membingkai wajahnya yang
terlihat damai. Kulitnya lembab sehabis mandi me?
nguarkan aroma sabun mandi dan shampooku.
Sudahkah kukatakan kalau bocah gila ini sangat can?
tik dan mmhh seksi??Astaga ?Junaa ?apa yang kau?
pikirkan?
"Ayana pinjem kaosnya ya kak, Ayana ambil
sendiri di lemari tadi."?
"I ... iiiyaaa ... gak papa kok. Mmmhhh.... "Sial
sial sial. Kenapa aku gugup?
Aku berusaha menenangkan debar jantung yang
gak tau kenapa sekarang seperti derap lari kuda. Ada
apa dengan diriku? Aku benar-benar ingin melari?
kan diri sekarang. Tapi kenapa aku bahkan tak bisa
meng?alihkan mataku dari wajahnya?
211
211
"Kak.."
"Hmm.."
"Boleh Ayana minta satu hal lagi sebelum kita
putus nanti?" Matanya yang besar menatapku tanpa
kedip. Dan walaupun tau akan menyesalinya, aku
tetap mengiyakan.
"Apapun," jawabku bagai terhipnotis.
Tubuhku membeku saat tangannya membelai sisi
wajahku, mengelus garis rahangku dan menangkup
pipiku lembut. Aku ingin bergerak, aku ingin me?ne?
piskan tangan kurang ajar yang membuat darahku
berdesir dan nadiku berdenyut kencang. Tapi kenapa
tak bisa?
Saat Ayana membuka mulutnya, suaranya yang
serak terdengar sangat seksi di telinga dan berhasil
membuat jantungku berhenti berdetak.
"Kiss me."
212
Sebelas
?
Apa dia bilang? Ini gila! Benar-benar gila. Dan nafasku
serasa pergi saat dia menghadapku sepenuhnya.
Tangannya tak lepas dari wajahku, dan dia begitu
dekat.?
"Aya...."
"Please...."
Aku benar-benar tak bisa berpaling darinya, bah?
kan berkedip pun tidak. Tubuhku sudah sedingin es
saat tangan lancang itu mengusap dadaku pelan dan
berhenti di mana jantungku seperti sedang ber?juang
untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Jari-jari tangan
kanannya menyusuri bibir bawahku mengirimkan
sengatan listrik jutaan Volt yang membuat sekujur
tubuhku merinding. Dia begitu dekat, sangat dekat.
Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang ringan
di leherku, aku bisa melihat semua sisi wajahnya,
hidung mancungnya, kulit mulusnya, mata abuabunya yang meredup, bibirnya yang ... yang ...
aaarrggghhh Tuhan ... dia masih 16 tahun! Apa
yang harus kulakukan?
Oke, bagaimana kalau satu kecupan ringan saja.
Aku biasa mencium Vio begitu, kan? Tentu gak akan
213
213
susah kan? Dia hanya gadis kecil. Hanya gadis kecil.
Ingat itu J!
Walau begitu, jantungku tetap berdetak makin
tak beraturan saat kudekatkan wajah kearahnya.
Pemi?kiran tentang kepatutan dan kepantasan kem?
bali membayang. Aaaarrrggghhh ... hanya satu ke?
cup?an kecil, lakukan dan selesai. Lagipula seharian
ini entah sudah berapa kali aku dan dia berpelukan
bukan? Seharian ini sudah penuh dengan kegilaankegilaan yang bahkan tak akan sempat kubayangkan
kemarin. Ditambah dengan satu ciuman kecil tak
akan banyak membawa pengaruh kan? Bayangkan
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja dia itu Vio, bodoh!
Mata jernihnya yang begitu polos menatapku tak
berkedip. Tatapanku beralih pada bibirnya yang tipis
dan berwarna pink. Beberapa kali dia mem?basahi
bibirnya yang bagiku tampak sungguh ... menggoda.
Fokus Juna, fokus! Satu ciuman kecil dan selesai,
ting?galkan dia.
Sangat perlahan, kukecup dia lembut. Bibirku ma??
sih menempel padanya saat kemudian kurasakan bi?
bir?nya sedikit terbuka dan menghisap pelan. Darah?
ku terpompa deras, membuat jantungku ber?detak
lebih cepat. Apa ini? Entah, kenapa kemu?dian seperti
ada yang menggerakkan, ketika lidahku penasaran
me?ngusap bibirnya, menelusuri setiap sisi dan per?
mu?kaan halusnya. Seluruh tubuhku mene?gang saat
ke?mudian erangannya begitu dekat di telingaku,
Ayana....
Saat mulut bertemu mulut, lidah saling membelit
214
214
dan bibir berpagutan mesra ?Tak ada apapun yang ku
ingat selain dirimu. Saat kulit saling bergesek, jemari
saling mengusap dan mencari semua keindahan dan
kelembutan ini, aku tau aku tak akan pernah bisa
berhenti. Aku tak pernah tau kalau semua bisa seindah
ini, aku tak pernah tau kalau semua bisa senikmat
ini. Apa yang kusentuh, apa yang kubelai, apa yang
kurasakan, semua ini adalah tentang kamu ... kamu ...
dan hanya kamu.
Nafasku tersengal, saat bibir kami terpisah. Hanya
sesaat, karena kemudian aku tak sanggup untuk
menolak ketika tangannya mencengkeram rambutku
dan menarik kepalaku ke arahnya. Kembali terbuai
dalam semua fantasi indahnya dunia.
Tuhan, tolong aku. Tolong hentikan aku.
Tapi ini terlalu indah, ini terlalu nikmat.
Seseorang, sesuatu, tolong datanglah.
Karena aku tak bisa menghindari ini, sungguh
tak bisa.
Mama Papa ... maafin Juna ... Mbak Era maaf
...Vio
"Juna, a a ... aku gak punya apa apa lagi, dia
udah ambil semuanya, aku ... aku.."
Vio ...vio ... vio....
"tapi aku ...aku ... aku udah gak kayak dulu lagi J.
Aku ... aa ... akuu ... kotorrr J.."
?Vionaa.....
Astaga ... apa yang telah kulakukan? Matanya
masih terpejam saat aku mengangkat kepala. Posisi
kami yang saling bertindihan, dengan semua lekuk
215
215
tubuh yang saling menempel, menyadarkanku satu
hal yang makin membuatku terguncang. Tak ada
penghalang apapun pada dadaku dan dadanya!
Nafas kami masih memburu saat kudorong tu?
buhnya kasar. Aku hanya bisa merutuki kebodoh?an?
ku saat menyadari semuanya. Bagaimana bisa ?semua
ini terjadi? Menyingkir dari atas tubuhnya, ku bering?
sut ke tepian ranjang. Aku benar-benar tak sanggup
melihat tubuhnya yang nyaris telanjang. Ya Tuhan,
ampuni aku.
Ada gerakan kecil yang tertangkap sudut mata?
ku, sepertinya dia beranjak. Kemudian tubuhku me?
ne?gang saat dia me?melukku dari belakang, bisa kura?
sa?kan kulitnya yang hangat menggoda, kelem?butan
tubuhnya sungguh menyiksa, menempel erat di
punggungku. Kilasan kejadian beberapa menit yang
lalu masih sangat segar diingatan. Kepalaku pusing
oleh sensasi aneh yang memukul-mukul seluruh
syaraf hingga membuatku gemetar.?
"Apapun kak, Ayana rela." Suaranya lemah,
terisak.
Ya tuhan, jangan biarkan aku berbuat lebih jauh
lagi. Ini sungguh sulit kulawan. Ini diluar kendaliku
"Enggak, jangan. Ini sudah terlalu jauh Ayana." Aku
bahkan hanya bisa berbisik pelan, mencoba meng?
abaikan darahku yang menggelegak liar.
"Kakak Aya..."
"Cukup! Apa kamu gak denger apa yang kukata?
kan? Kubilang ini sudah terlalu jauh. Kamu me?
mang gila, pakai bajumu, kuantar kau pulang. Dan
216
216
hentikan semua omong kosong tentang ulang tahun
atau apapun itu." Kasar, kutepiskan tangannya dari
pinggangku dan meraih selimut untuk menutupi
tubuh atasnya yang polos.
Aku jijik melihat semuanya, tanda merah terlihat
jelas di leher, dada, perut, pinggang, ... nyaris di
seluruh tubuhnya! Ini membuatku mual, marah dan
membenci diri sendiri. Bagaimana aku bisa sejauh
ini? Bagaimana aku bisa serendah ini? Bagaimana
bisa aku sebodoh ini? Bagaimana bisa?
Kupungut kaos yang teronggok di kaki ranjang
dan bergegas keluar kamar laknat ini. Aku bahkan
tak sanggup melirik padanya lagi, matanya seperti
terluka, penuh kesedihan. Tentu saja dia terluka dan
sedih kan? Gadis mana yang tak akan terluka dan sedih
saat hampir diperkosa oleh laki-laki dewasa macam
aku? Ya, Tuhaaannn ... apa aku sebejat itu? Apa aku
benar-benar akan menjadi seorang pemerkosa?
Untuk kedua kalinya dalam rentang waktu satu
jam aku masuk lagi ke dalam kamar mandi, me?
ring?kuk di kotak shower, membiarkan air dingin
meng?guyur tubuhku. Mendinginkan darahku yang
masih mendidih oleh ... gairah. Ya tuhan, aku ber?
gairah pada anak kecil itu?? Brengsek ... Brengsek ...
Brengseeeeeeeeeeeeekkkkkk!!
Ini salah, benar-benar salah! Bayangan Vio de?
ngan mata kosongnya, wajah pucatnya, cahaya
hidup?nya yang seolah hilang kembali terlintas di
benakku. Tubuh kurusnya yang tergeletak di lantai
dengan darah berceceran menghantuiku. Apa yang
217
217
kau pikirkan Juna? Apa yang ada di otakmu yang
kecil itu? Dasar bodoh bebal bejat! Ayana
bahkan lebih muda dari Vio saat itu.?Setan kau Junaa.
Setaaaaannnnnn!
Dengan terpaksa aku masuk kembali ke kamar
setelah dua jam lamanya menunggu Ayana yang tak
kunjung keluar. Kudapati dia meringkuk memeluk
guling, mata dan hidungnya tampak sembab dan
merah. Apa dia menangis? Tentu saja dia menangis
bodoh! Apa lagi yang tak bisa kamu pahami dari
situasi ini Juna?
"Kuantar kau pulang sekarang!"
Gadis itu perlahan mengubah posisinya menjadi
duduk, rambut coklatnya acak-acakan membingkai
wajahnya yang tampak sangat menyedihkan. Dia
masih memakai kaos yang sama, kaos yang tadinya
kulucuti tanpa sadar. Tapi dia hanya tertunduk, tak
mau menatap mataku.
Bergegas menuju lemari, kuambil satu kemejaku,
asal. "Pakai ini." Kuulurkan kemeja yang diterimanya
dalam diam. Aku tak sanggup melihat bekas-bekas
memerah yang tercetak jelas di kulit putihnya yang
tak tersamarkan kaos yang dia pakai.
Kami masih diam saat mobilku meluncur mem?
belah jalanan menuju rumahnya, tak ada yang ber?
usaha memulai pembicaraan ataupun sekedar ber?
basa-basi. Dia duduk sangat jauh, menempel di pin?
tu dan memeluk dirinya sendiri. Apa dia menyesali
semuanya? Apa dia membenciku? Harusnya begitu
kan? Karena aku pun membenci diriku sendiri,
218
218
membenci situasi ini, membenci semuanya. Kenapa
juga aku harus terlibat dengan hal paling bodoh dan
konyol seperti ini?
"Ayana, kamu ... kamu ... gak papa?" Kulontarkan
pertanyaan pertama sejak kami keluar apartemen
yang hanya dibalasnya dengan gelengan lemah. Dan
sudah. Tak ada apapun lagi yang memecah kekakuan
di antara kami. Berulang kali kulirik Ayana yang tak
bersuara sedikitpun. Aku hanya bisa menghembuskan
nafas kesal karena akupun tak tau apa yang harus
kulakukan. Kenapa hari ini harus berakhir seperti
ini?
Jantungku berdetak cepat saat mobilku mema??
suki halaman luas dengan pagar tinggi berwarna
h?itam, kediaman Pak Surya. Lampu di ?rumah ber?
lantai dua itu masih menyala terang menandakan
penghuninya masih terjaga. Kulirik jam di dashboard,
22.00. Ayana hanya menurut saat kugiring keluar dari
mobil dan membawanya masuk, kepalanya masih
saja tertunduk?
"Papamu ada?"
Gadis itu mengangkat kepala, menatapku tapi
tetap diam, menggeleng pelan sebelum akhirnya
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunduk lagi.
"Kamu menggeleng karena gak tau atau karena
Papamu gak ada di rumah?" Tak sabar kubentak gadis
itu. Apa dia tidak tau kalau akupun bingung dengan
situasi ini? "Aku ingin bertemu Pak Surya kalau beliau
tidak sedang sibuk."
"Untuk apa?"?
219
219
Untuk apa? Astaga, dia masih bertanya untuk
apa! Aku harus bertemu dan menjelaskan pada bos?
ku kan? Kenapa aku memulangkan anaknya dengan
kondisi sangat berantakan. Kenapa aku memulang?
kan anaknya dengan mata memerah dan bengkak
seperti seorang janda ditinggal mati suaminya.
Kenapa ada tanda merah nyaris di seluruh tubuhnya.
Aku harus menjelaskan bukan? Dan bersiap kurasa,
untuk beberapa pukulan di rahang dan di perut atau
juga mengepak barangku besok pagi di kantor atau
paling parahnya berakhir di kantor polisi dengan
tuduhan pelecehan seksual terhadap anak di bawah
umur. Aku harus menjelaskan semua hal sialan,
breng?sek dan bejat itu pada ayahnya kan? Kenapa
dia masih bertanya? Apa yang ada di otak anak kecil
bodoh ini??
"Ada apa Juna?" Suara dalam dan berwibawa itu
muncul dari arah tangga di samping kanan pintu,
memutus semua umpatan dibenakku. Pak Surya.
Aku menelan ludah gugup. Tak siap dengan kon?
frontasi langsung dan tiba-tiba ini. "Ma maaf Pak,
saya ... saya..."?
"Terima kasih sudah mengantar Ayana pulang,"
Tatapan mata bosku ini tajam seperti menguliti,
sebelum akhirnya berpindah pada Ayana. "Angel, kau
harus istirahat sekarang."?
"Ya, Papa."
Jantungku kembali hendak meloncat saat tibatiba Ayana memelukku. "Kakak, makasih ya buat
semuanya, buat hari ini juga. Ayana ... eemmm ...
220
220
makasih." Gadis itu tak melanjutkan kalimatnya
dan segera menjauh menuju tangga putar lebar yang
menuju k?amarnya kurasa dan hanya melewati Pak
Surya tanpa berkata-kata.
"Arjuna, ke ruang kerja saya sekarang." Suara
berat itu mengalihkanku dari Ayana. Ya Tuhan, sedari
tadi aku memelototi Ayana di depan ayahnya? Dan
Pak Surya melihat kami berpelukan? Bunuh saja aku
sekarang! Tenggelamkan aku di Laut Selatan! Jadi?kan
aku makanan hiu lapar!
Dengan pasrah aku mengikuti Pak Surya yang
berjalan cepat melewati sofa kulit berwarna merah
tua, menuju ruang dengan pintu berat yang di pelitur
warna coklat di samping pintu ganda.
Ruang kerja Pak Surya luas, dengan rak-rak tinggi
berisi buku-buku tebal yang kebanyakan bersampul
kulit. Detak sepatuku teredam karpet ?yang melapisi
lantai. Aku duduk pada kursi di depan meja kerja
Pak Surya, menghadap bosku itu langsung sambil
ber?usaha menenangkan debaran jantung yang tak
terkontrol. Dan inilah dia, saat eksekusi telah tiba.
Pak Surya menatap mataku langsung dan tampak
sangat serius. Kami sama-sama diam dan demi apa?
pun, saat ini aku sangat-sangat ingin tau apa yang
dipikirkan Boss ku ini
"Juna, mulai besok saya akan pindah ke lantai
enam. Saya pikir sudah saatnya saya bertanggung
jawab terhadap perusahaan ini walaupun saya merasa
belum siap. Untuk sementara kamu meng-handle
semua pekerjaan saya sebelum pengganti yang resmi
221
221
ditetapkan."
Kurasa wajahku saat ini sangat unik. Aku takut,
jelas. Kaget, tentu. Terguncang, apalagi. Dan itu
meng??hasilkan ekspresi seperti orang idiot dengan
ting?kat keparahan tinggi.
Tunggu! Aku gak salah denger kan? Kenapa Pak
Surya gak marahin aku? Kenapa gak ada tampang
murka di wajahnya? Kenapa dia tampak santai dan
malah ngomongin kerjaan?
Heloo Pak, aku membawa pergi anakmu selama
hampir lima belas jam dan bisa kubilang aku me?
ngembalikannya nyaris tak utuh. Mana marahmu?
Apa kau juga gak akan peduli kalau kubilang aku
n?yaris mem....
Tunggu tunggu sebelum aku salah meng?
am?bil kesimpulan sebaiknya kucerna dulu semua?nya
pelan-pelan. Pak Surya pindah ke lantai enam dan
mengambil alih tanggung jawab, berarti Pak Surya
resmi jadi Direktur Utama kan? Lalu aku menghandle tugas beliau sampai penggantinya yang resmi
ditetap?kan. Jadi ... apa?
"Tapi ... tapi ... Pak, sa saya rasa, saya belum
sang?gup untuk posisi ini. Walaupun ... walaupun
hanya untuk sementara, saya belum bisa." Aku masih
dalam masa transisi dari idiot ke bodoh kurasa.
Karena tetap tak bisa berpikir jernih.?
Rasanya semuanya tumpang tindih dan tak bisa
diolah otakku yang sudah overload dengan ber?tum?
puknya info yang masuk. Oke, aku gantiin Pak Surya,
tapi kenapa? Kenapa aku gak dipecat aja? Bukannya
222
222
aku udah grepe-grepein anaknya? Bukannya Pak
Surya liat sendiri Ayana keliatan sangat sedih dan
beran?takan?
"Saya yakin kamu bisa Juna. Selama ini kamu
yang paling tau pekerjaan saya. Lagipula nanti kamu
bertanggung jawab langsung pada saya. Staf lainnya
pasti akan membantu, juga jajaran manager lain. Saya
akan tetap memonitor dan saya percaya padamu."
Mata abu-abu beliau tak lepas dariku, membuatku
makin bingung untuk bersikap.
?"Tapi Pak..."
"Semua terjadi dengan mendadak Arjuna. Saya
pun tak menginginkan ini. Hanya saja saat keputus?
an telah dibuat, saya ingin semua tetap berjalan di
tempatnya. Saya harap kamu bisa mengerti dan dapat
bekerja sama. Sementara itu, saya juga masih menya?
ring kandidat yang sesuai untuk menggantikan posisi
yang saya tinggalkan. Sampai orang tersebut terpi?
lih, kamu yang saya serahi tanggung jawab. Jangan
kecewakan saya."
Aku benar-benar seperti orang bodoh karena
tak bisa berkelit dan hanya mengiyakan perintah tak
masuk akal dari Pak Surya. Selanjutnya tanganku
sudah penuh dengan binder map-map tebal juga
sebuah flashdisk milik Pak Surya.
"Kalau ada kesulitan kamu bisa konsultasi lang?
sung pada saya. Evaluasi menyeluruh tetap akan
dilakukan. Jadi jangan khawatir, anggap saja tak ada
yang berubah." Pak Surya sudah berdiri dari kursinya
dan menghampiriku yang masih setengah shock.
223
223
Oh, ini mungkin momen yang pas untuk aku
minta maaf dan menjelaskan semuanya sebelum
ter?jadi salah paham "O, ya pak tentang siang ini,
saya..."
"Terima kasih sudah membawa Ayana pergi,
dia sudah lama ingin ke pantai, tapi saya selalu
tidak punya waktu," kata-kata Pak Surya memotong
ucapanku,? mata tajamnya menatapku tanpa kedip
sebelum melanjutkan "Kalau tak ada yang ditanyakan
kamu boleh pulang."
Pulang? Apa aku diusir? Tapi kenapa?
Bagai orang mabuk aku berjalan mengikuti Pak
Surya yang mendahuluiku menuju pintu. Tolong
resmikan saja aku jadi orang paling dungu sekarang
ini karena sama sekali tak bisa berpikir jernih dan
juga tak bisa menolak semua permintaan gila bapak
dan anak ini.
Memang kau dungu Juna! Idiot, bodoh, bebal! Apa
kau baru sadar??
?
* * *
?
"Mas Jun, mau ngopi sekarang Mas?" Sebuah suara
yang sangat kukenal membuyarkan konsentrasiku
dari tumpukan kertas kerja di atas meja.
Mengangkat kepala, kudapati Pak Parno dengan
senyum dan wajah polosnya berdiri dengan sedikit
membungkuk di depanku "O ... emmm ... iya Pak.
Boleh, deh, kopi item aja, ya," Sedikit tersenyum,
kualihkan kembali mataku pada kertas di tangan saat
224
224
menyadari aku sama sekali belum bangkit dari duduk
sedari tadi." Pak Parno tunggu."
Akulah Arjuna Karya Nima Mumtaz di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya Mas?"
"Saya minum di pantry aja, Pak." Kususul Pak
Parno yang berdiri terheran-heran di pintu.
"Lha ndak papa Mas, saya anterin saja ke sini kalo
Mas Arjuno-nya lagi sibuk."
"Enggak Pak, saya perlu sedikit peregangan otot
biar gak kaku." Kurangkul bahu bapak tua itu dan
kami pun beriringan menuju pantry. "Kabar keluarga
dikampung gimana, anak istri sehat Pak?"
"Alhamdulillah, sehat semua mas. Sebentar lagi
saya jadi simbah ini, anak saya yang nikah taun lalu,
kemaren telpun dari kampung, lagi ngisi katanya.
Weehhhh, seneng saya mas. Lahh anak yang kedua ini
yang bikin mumet, saya suruh kuliah kok ndak mau.
Malah mau bantu-bantu jualan di pasar sama tementemennya.? Yo weslah, mau gimana lagi. Mungkin
belom ada kepinginan buat sekolah lagi. Anak ketiga
sekarang masih kelas tiga es-empe, rengking satu
semester ini. Terus anak yang keempat baru masuk
es-empe, satu sekolahan sama mbakyunya. Adeknya
lagi kelas lima es-de. Kalo istri saya, yaa begitulah,
sibuk ngurusin bocah-bocah."
Aku memperhatikan wajah Pak Parno yang ter?
senyum lebar dengan mata berbinar saat men?ce?ri?
takan keluarganya. Tampak sekali kedamaian dan
kebahagiaan terpancar dari sosok sederhana ini dan
entah kenapa aku sedikit merasa ... iri. Iri kenapa?
"Pak Parno pasti seneng banget ya, pak? Udah
225
225
berapa lama gak pulang pak?"
"Yaaahh, begitulah Mas, namanya juga sama anak
istri. Sudah tiga bulan ndak pulang Mas, nanti mau
sekalian semesteran anak-anak saja saya pulangnya.
Tinggal dua minggu lagi. Lha Mas Juno kapan
nikahnya? Apa masih belum nemu yang di-sreg-in?"
"Pak ada gelas yang gedean dikit gak? Saya lagi
butuh kafein yang banyak nih. Segitu rasanya perlu
di-refill bolak-balik." Aku sedikit protes saat tangan
Pak Parno membalik sebuah cangkir berwarna putih
di atas tatakannya. Meskipun sebenernya aku me?
mang sengaja ingin memotong pertanyaan Pak Parno
dengan jawaban yang tidak perlu.
"Weeehhh ... ra ono,? mas." Tatapan penuh sesal
ditunjukkan Pak Parno sebelum akhirnya melan?jut?
kan. "Eh, tapi ada?ding?itu gelas besar, sebentar dulu
tak cari yo, mas."
Pak Parno mulai mengobrak-abrik kitchen set
mencari gelas yang dia maksud dan aku membeku
saat tangan Pak Parno mengacungkan sebuah mug
biru besar bergambar boneka padaku. Mug milik
Ayana.?
"Ini punya Mbak Ayana. Pasti Mbak Ayana ndak
bakalan marah kalau gelasnya dipake Mas Arjuno,
kan?" Tanpa menunggu persetujuanku, tangan tua
itu meracik kopi dan gula, meninggalkanku yang
masih bengong.
"Eeeeehhh, ada Mas Juna, tumben ini boss besar
ke sini. Pentri rasanya jadi bersinar terang ada pim?
pinan dateng." Sebuah suara cempreng menyam?bar
226
226
dari arah pintu. Jono dan Edi beriringan membawa
nampan berisi cangkir-cangkir kotor dan tersenyum
cerah.
"Apa sih, Jon, gak usah lebay. Jangan nyebar gosip
yang aneh-aneh."
"Lho siapa yang nyebar gosip sih, Mas, lah satu
gedung sudah tau semua kalo Mas Juna sekarang
nggantiin Pak Surya. Lagi pula bener tho mas? Lha
wong menejer-menejer laporannya sama Mas Juna.
Sudah Mas, ndak usah berkelit. Sudah jelas di depan
mata gitu masih aja ndak mau ngaku. Jadi saya mang??
gilnya apa ini Mas sekarang? Pak Juna apa Pak Boss?"
"Issshhh ... pada aneh-aneh deh. Saya cuma gan?
tiin Pak Surya sementara kok, sebelum penggan?ti?nya
yang resmi ditetapkan. Jadi jangan suka bergosip yang
gak jelas dan satu lagi panggil saya Juna seperti biasa,
gak pake embel-embel ?pak? segala." Kulirik Jono dan
Edi yang sudah duduk manis di sampingku.
"Ini Mas kopinya, monggo diminum," Pak Parno
mengangsurkan mug besar milik Ayana ke arahku.
"Pemimpin kalau bener-bener pemimpin ya begini
Jon, merendah terus, ndak suka gembar-gembor ke?
mana-mana. Yang penting kerjaannya beres. Saya sa?
lut lho Mas Juno, masih muda udah bisa jadi GM."?
Aku mengernyit sambil menyesap kopiku yang
masih panas. Inilah susahnya jadi sasaran gosip, udah
dikonfirmasi bolak-balik pun masih saja mengam?
bang beritanya "Pak kan saya sudah bilang tadi, saya
cuma sementara menghandle kerjaan Pak Surya. Saya
mah bukan apa-apa Pak. Cuma karena saya asisten
227
227
beliau aja jadinya saya yang dipercaya menyelesai?kan
pekerjaan yang masih nanggung."
"Tapi Mas, kabar yang beredar itu beneran ndak
Mas?" Suara Edi ?yang penuh selidik mengalihkanku
dari kopi panas.
"Berita yang mana, Di?"
"Katanya Mas Juna itu disuruh gantiin Pak Surya,
karena Mas Juna udah tunangan sama Mbak Ayana
dan sebentar lagi Mas Juna sama Mbak Ayana mau
nikah. Bener ya Mas?"
Tiga pasang mata menatapku penuh tanya se?
dang aku hanya melongo seksi pada mereka. Gosip
apa lagi ini?
"Ya, ampun, gosip apa lagi ini. Siapa ?yang bilang?
Enggak bener itu. Lagi pula dilihat dari sisi mana?pun
pasti udah ketauan kalo itu kabar bohong." Kutam?pik
kabar itu sesantai mungkin walaupun nadiku rasa?
nya berdenyut lebih cepat. Aku dan Ayana menikah?
Menikah?
"Bohong ?gimana Mas? Saya percaya tuh, soalnya
dilihat dari kaca mata saya yang pengamat jodoh ini,
Mas Juna sama Mbak Ayana itu cuocok pollll. Masnya
ganteng, Mbak Ayana cantik, terus sama-sama baik,
sama-sama suka guyon, terus kalo lagi ngobrol berdua
itu rasanyaaaaa ... widihhh, saya berasa ngeliat sim?
bah saya yang di kampung."
Aku hanya bisa menaikkan alis, heran, saat men?
dengar kalimat terakhir Edi. Diikuti tepukan keras
Jono pada kepala belakang makhluk aneh itu. Sedang
Pak Parno melotot pada Edi yang nyengir mengusap
228
228
usap kepalanya.
"Heh, sembarangan, masa kamu nyamain Mas
Juna sama simbahmu yang bau sawah itu. Ngomong
diayak Di, Mas Juna kesinggung baru tau rasa?kowe."
"Eeh, jangan salah paham dulu?ngopo,?Jon. Mak?
sudku ki? ngene? lho, coba kamu perhatiin kalo Mas
Juna sama Mbak Ayana lagi ngobrol, auranya itu,
lho bersinar-sinar, ceria, cemerlang. Rasanya mereka
berdua itu cocok banget, apa ya kalo bahasa keren?
nya, kemistrinya dapet banget. Nahh, itu persis sama
simbah saya di kampung, umurnya sudah tua,?wes?95
tahun tapi aura cintanya itu masih keroso banget.
Padahal mbah saya itu dikawinin sama mbah buyut
saya pas umur 15 tahun. Bayangin itu Jon, 80 tahun
hidup bareng ndak ada itu bosen-bosennya." Edi
menjelaskan panjang lebar pada Jono yang disambut
anggukan mengerti Jono.
Sedang aku berusaha menahan senyum atas
analogi yang disampaikan Edi sambil menyesap
kopiku lagi.
"Eh, iyo, yo, bener, Mas. Saya berasa juga. Wah,
saya jadi inget simbah saya di kampung juga kalau
begini."
"Lah, kok malahan pada?kelingan?sama simbah?
nya masing-masing, tho? Wes podo mulih sana.
Di sini kerja, bukan buat nostalgia. Kerja saja yang
bener, nanti gampang kalo mau balik kampung. Ka?
lau kerjanya bener, penghargaan dari atasan pasti
gede. Contoh paling jelas Mas Juno ini, kerjanya
bagus, berdedikasi tinggi, hasilnya? Langsung
229
229
dikasih anaknya boss, mana cantik lagi. Ndak rugi
pokoknya."
Uhuk ... uhuk ... uhuk....
Aku terbatuk hebat mendengar buntut dari kali?
mat Pak Parno. Apa maksudnya pak tua satu ini?
"Mas ... Mas ... Mas Juna. Ini gara-gara Pak Parno,
Mas Juna sampek keselek kopi, Mas ... ndak papa
Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Kisah Cinta Karya Sherls Astrella
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama