Ceritasilat Novel Online

Berislam Dengan Senyum 1

Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah Bagian 1

Berislam dengan Senyum

Ali Abdullah

ebook by pustaka-indo.blogspot.com

" Membaca buku ini saya dibuat tersenyum-senyum sendiri. Kisahnya lucu nan menggelikan, tetapi juga mengandung hikmah. Bila Anda ingin membaca buku keislaman sambil tertawa riang, bacalah buku ini. Hehehe...." " M. Iqbal Dawami, Editor buku nonfiksi Islam

" Membacanya tidak hanya membuat kita tertawa, tetapi juga tercerahkan. Mengapa? Karena, buku ini tidak hanya bahan tertawaan, tetapi juga bahan inspirasi Islam."

" Muhammadun As, Pimpinan Redaksi Majalah BANGKIT

" Islam yang melontarkan teriakan " Allahu Akbar kemudian dibarengi dengan pengrusakan itu bikin kita takut. Islam yang melontarkan kasih sayang dengan senyum itu bikin kita tertarik. Maka dari itu, berislamlah dengan " senyum !"

" Noval Maliki, Peresensi Buku

Adalah Muhammad Ngajiyo, seorang santri dari sebuah pondok pesantren yang menjalani kehidupan di kota sebagai mahasiswa dan di desa sebagai pemuda biasa. Di kota, dia bertemu berbagai kalangan dalam dunia intelektual yang memaksanya berpikir kritis tentang Islam, tetapi tetap santun. Sementara itu, di desa, dia bertemu kearifan dan keawaman masyarakatnya tentang Islam yang memaksanya menempuh jalur dakwah, tetapi tetap santun.

Meskipun dia tetap santun di kota dan di desa, tapi sesungguhnya dia adalah orang yang cerdik dan konyol. Bagaimana kisah Ngajiyo dalam mengamalkan keilmuan yang didapatkannya dari pesantren? Bagaimana kecerdikan dan kekonyolannya ketika menghadapi orang-orang kota yang bergelut dengan dunia intelektual? Bagaimana kecerdikan dan kekonyolannya ketika menghadapi orang-orang desa yang arif tetapi awam?

Silakan menyimak ulasan-ulasan di dalam buku ini dan ambil hikmahnya! Paling tidak, Anda akan tersenyum.

Berislam

dengan Senyum

Penerbit PT Elex Media Komputindo Ali Abdullah

Berislam dengan Senyum Ditulis oleh Ali Abdullah

2014 Ali Abdullah Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang

Diterbitkan Pertama kali oleh: Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Jakarta 2014 Anggota IKAPI, Jakarta

998141576

ISBN: 9786020244839 Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Daftar Isi

Latar Cerita. .............................................................................. vii

" Nama Asli. ................................................................... 1

" Sekejap pun Jadi. ...................................................... 9

" Terlalu Patuh............................................................. 16

" WIB. ............................................................................... 22

" Hukum Merokok...................................................... 29

" Maulid Nabi. ............................................................... 35

" Cerita tentang Ulama Tuli.................................... 40

" Membohongi Setan. ................................................ 45

" Kembali pada Al-Qur an dan Sunah. ................ 52

" Jilbaber Bicara Poligami....................................... 57

" Mendoakan Orang yang Meninggal................. 64

" Kapan Menyusul?.................................................... 71

" Shalat Jenazah. .......................................................... 77

" Celana Cingkrang. .................................................... 85

" Haram!......................................................................... 91

" Jilbab Modis............................................................... 98

" Orang-Orang Kaya dan Seorang Arif. ............... 103 " Perbedaan Awal Bulan.......................................... 109

" Jumlah Rakaat Shalat Tarawih........................... 115

" Siapa yang Imam?. ................................................... 121

" Shalat di Saf Terdepan........................................... 128

" Ingin Berkurban. ...................................................... 133

" Gelar Haji.................................................................... 141

" Kiblat Shalat. .............................................................. 148

" Pelatihan Shalat Khusyuk.................................... 155

" Pilih Kekayaan atau Kebijaksanaan?............... 162

" Cinta Tanah Air......................................................... 169

" Meneladani Aisyah. ................................................. 176

" Qunut atau Tidak?. .................................................. 183

" Menjadi Pengemis................................................... 190

" Sudah Kaya, Tidak Perlu Shalat Duha............. 197

" Bangun Kesiangan. .................................................. 202

" Rezeki Dipatuk Ayam. ............................................ 208

" Mengetes Kiai. ........................................................... 213

" Mengetes Wali. .......................................................... 221

" Lafal Iqamah.............................................................. 228

" Selamat Hari Raya................................................... 233

" Ziarah Kubur. ............................................................. 240

" Korupsi Itu Boleh. .................................................... 247 " Makanan Tidak Enak. ............................................. 255

Daftar Pustaka. ....................................................................... 262 Tentang Penulis..................................................................... 264

Latar Cerita

M uhammad Ngajiyo, itulah namanya. Dia adalah seorang santri yang belajar mengaji di sebuah pondok pesantren di Yogyakarta. Letak pondok pesantren ini secara geografis berada di lingkungan yang setengahsetengah, maksudnya setengah desa setengah kota. Gaya hidup masyarakatnya juga demikian. Terlebih lagi para santri karena latar santri itu bermacam-macam, ada yang dari desa dan ada juga yang dari kota.

Ngajiyo atau Jiyo, begitu dia akrab dipanggil, merupakan salah seorang santri yang berasal dari pinggiran Pulau Jawa, perbatasan antara Indonesia dengan Australia dan juga perbatasan antara alam manusia dengan alam gaib. Lho, kok bisa? Rumah Ngajiyo ada di daerah dekat Pantai Parangtritis. Mengapa disebut perbatasan antara Indonesia dengan Australia? Karena, daerah Pantai Parangtritis itu adalah ujung selatan Provinsi DI. Yogyakarta, ke selatan lagi agak serong ke timur, tepatnya ke arah tenggara, tidak ada yang memisahkan dengan Benua Australia kecuali hanya samudra atau lautan yang sangat luas.

Sementara itu, mengapa disebut perbatasan antara alam manusia dan alam gaib? Karena, mitos yang berkembang, bahwa di Pantai Parangtritis itu adalah kerajaan yang dikuasai oleh Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan. Dia adalah jin perempuan yang paling terkenal, fenomenal, populer, familiar, dan cantik menurut mitologi Jawa. Oleh karena itu, daerah pantai tersebut merupakan perbatasan antara alam manusia dan alam jin. Dengan demikian, tetangga Ngajiyo adalah orang-orang bule (Australia) dan jin-jin (masyarakat di kerajaan Nyi Roro Kidul).

Berasal dari daerah pinggiran, tentu saja Ngajiyo itu berkarakter layaknya orang desa. Ndesa atau katrok, begitu sebutan bagi orang yang berkarakter desa. Akan tetapi, karena sudah tiga tahun lebih Ngajiyo berada di pesantren yang agak kota, dia pun mampu beradaptasi. Otaknya pun tidak bodoh dan tidak pula ketinggalan dengan teman-temannya yang dari kota. Artinya, dia mampu menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kiai dan gurugurunya di pesantren.

Tidak hanya itu, Ngajiyo pun juga tidak lekas puas dengan keilmuan yang ada di pesantren. Dia pun kuliah di salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta. Berstatus mahasiswa dan santri, dia pun mencirikan diri sebagai santri yang santun dan mahasiswa yang tekun. Meski demikian, dia juga sering kali konyol tetapi cerdas dalam membaca keadaan. Ingin mengetahui kekonyolan dan kecerdasannya? Silakan simak cerita-cerita berikut ini sampai akhir halaman dan ambil hikmah dari cerita-ceritanya!

Nama Asli

Masa-masa awal kuliah, tentu saja Ngajiyo belum punya banyak teman. Dia masih belum kenal dengan teman-temannya. Maklum saja, masih baru dan masih agak malu-malu. Ngajiyo pun sering berkenalan dengan para mahasiswa yang satu kelas, satu jurusan, dan satu angkatan, agar cepat punya teman. Dia pun akhirnya punya banyak teman kenalan meskipun hanya sebatas kenal, belum bisa dikatakan akrab.

Namun demikian, ada satu hal yang tidak dilupakan oleh Ngajiyo ketika berkenalan dengan dua temannya yang bernama Fauzan dan Lucky. Berkenalan dengan dua teman ini memang unik dan tentu saja, Ngajiyo terlihat " cerdas" .

Suatu ketika, saat hari pertama kuliah, Ngajiyo duduk berdampingan dengan dua orang tersebut. Saking ingin cepat mempunyai teman yang bisa diajak bicara dan menghilangkan kekakuan dalam berteman, Ngajiyo pun berkenalan saat dosen sedang keluar sebentar di tengahtengah jam kuliah.

" Perkenalkan, saya Muhammad Ngajiyo!" dia memulai. " Siapa namamu?"

" Hmm... namamu lucu dan aneh. Itu nama aslimu?" kata Fauzan. " Saya Fauzan."

" Oh... Fauzan. Bagian mana yang lucu dan aneh dari nama saya?" sahut Ngajiyo.

" Namamu terkesan katrok. Dan saya juga heran, ternyata manusia sekarang masih ada yang namanya Ngajiyo. Hahaha...!" ejek Fauzan.

" Ngajiyo? Itu nama jadul alias jaman dulu," sahut Lucky yang duduk di samping Fauzan.

" Oh... begitu ya?" ucap Ngajiyo.

" Ini Lucky, teman saya dari Jakarta," kata Fauzan menjelaskan. " Oh ya, saran saya, kamu cepat ganti nama saja. Nama seperti itu sudah tidak populer lagi di zaman sekarang!"

" Menurut saya, tidak ada yang lucu ataupun aneh dengan nama saya. Nama Ngajiyo itu apanya yang lucu dan aneh?" Ngajiyo mulai beraksi. " Nama Ngajiyo adalah nama lokal yang diberikan oleh orangtua saya. Nama ini asli produk lokal, bukan impor dari Arab atau Inggris. Artinya, nama saya benar-benar nama orisinal dan saya yakin, orangtua saya benar-benar menghargai tradisi lokal ini sehingga memberikan nama kepada saya Muhammad Ngajiyo.

Diberi nama Muhammad karena orangtua saya sangat mengidolakan Nabi Muhammad saw., sementara nama Ngajiyo karena orangtua saya mendoakan agar saya rajin mengaji."

" Weh... malah ceramah!" sergah Fauzan.

" Iya, ceramah bukan di sini, Bro!" sambung Lucky.

" Kalau begitu, apa yang bisa dibanggakan dari nama kalian berdua?" tanya Jiyo.

Fauzan dan Lucky pun terdiam.

" Nama kalian itu nama impor. Kenapa kalian tidak dinamakan Bejo atau Untung saja? Arti dari nama kalian kan itu! Hanya saja, itu nama impor!" ledek Ngajiyo.

" Apaan sih?" Fauzan geram.

" Ya iyalah. Kalau nama saja impor, bagaimana bisa menghargai produk lokal? Lebih baik, kalian saja yang ganti nama dengan nama Bejo dan Untung! Silakan kalian berembuk untuk memilih salah satu di antara dua nama itu! Hahaha...!" Ngajiyo pun merasa menang.

Sebelumnya, penulis minta maaf jika guyonan dengan nama Fauzan dan Lucky itu menyinggung orangorang yang punya kedua nama tersebut. Penulis tidak bermaksud menyinggung karena cerita tersebut hanyalah fiktif. Hanya saja, itu pernah dialami oleh penulis yang secara kebetulan diberi nama oleh orangtua dengan nama lokal, bukan impor dari Arab atau Inggris.

Cerita tersebut memang tampak sepele, tetapi banyak orang yang mempunyai nama agak " kuno" atau " katrok" itu terkadang kurang PD (kecuali namanama pejabat negara, salah satunya: Susilo Bambang Yudhoyono, hehehe....). Mengapa demikian? Karena, nama-nama seperti itu dianggap sudah tidak lagi ada di zaman sekarang oleh kebanyakan masyarakat. Sepertinya, para orangtua tidak akan memberikan nama-nama warisan leluhur asli dan produk lokal tersebut kepada anak-anak mereka. Mereka lebih suka memberikan nama kepada anak dengan nama-nama impor, baik dari Arab agar terkesan islami (padahal bukan islami, tetapi hanya ke arab-arab an) ataupun dari Inggris atau Barat biar terkesan keren. Padahal, nama-nama lokal tersebut juga tidak jelek dan tidak buruk artinya. Bahkan, nama " Ngajiyo" pun pada dasarnya adalah nama yang baik dan mulia.

Realitas pemberian nama yang meninggalkan namanama lokal itu pada dasarnya menjadi potret bangsa

dan masyarakat kita yang lebih gemar mempunyai atau menggunakan produk-produk asing. Sebagaimana pemberian nama yang menggunakan nama-nama berbahasa impor. Contohnya, makanan. Kita memandang bahwa nongkrong di KFC dengan harga yang tidak murah (dibandingkan dengan daging ayam yang dijual di warung), itu membuktikan bahwa produk luar negeri lebih disukai. Mereka yang makan KFC merasa lebih berbangga diri. Tidak jarang pula update status atau nge-twit kalau tengah makan daging ayam KFC. Tidak cukup, bahkan meng-upload foto untuk menegaskan bahwa mereka benar-benar tengah makan daging ayam KFC.

Pada dasarnya, daging ayam KFC itu tidak lebih enak daripada daging ayam di warung makan sederhana atau lesehan pinggir jalan. Namun, yang dicari bukanlah kenikmatan daging ayam, tetapi kode yang ada di balik itu, yakni menggunakan produk luar negeri. Orang yang makan daging ayam KFC dianggap dan dipersepsikan sebagai orang " kota" atau orang yang hidup mewah. Padahal, seorang teman yang pernah tinggal di Amerika Serikat (negara yang memproduksi KFC), mengatakan bahwa KFC di Amerika Serikat itu biasanya dimakan oleh orang-orang yang berduit pas-pasan. Realitas di Indonesia justru tidak demikian, " rating" orang yang makan daging ayam KFC justru tinggi dan dianggap tajir. Nah, lho...!

Hal itu juga diperkuat oleh sebuah realitas. Salah seorang pedagang menjajakan makanan ringan, pop corn. Pop corn sangat laris karena pada papannya ditulis " pop corn . Akan tetapi, pedagang lain yang menjual pop corn dengan rasa yang sama justru tidak laku. Mengapa demikian? Karena, papannya tidak ditulis " pop corn , tetapi " berondong jagung . Dengan demikian, nama makanan ringan yang menggunakan bahasa Inggris itu lebih memikat masyarakat kita. Kesimpulannya, apa-apa yang menggunakan" atau paling tidak, tersentuh" kata-kata luar negeri punya nilai yang lebih tinggi bagi masyarakat kita. Padahal, itu semua belum tentu benar.

Terutama soal bahasa, berbagai hal yang dinamakan dengan bahasa asing (misal: bahasa Inggris) lebih memiliki daya pikat tersendiri. Akhirnya, berbagai hotel, taman hiburan, perusahaan, warung makan, dan lain sebagainya dinamakan dengan bahasa asing. Dengan demikian, bagaimana dengan Sumpah Pemuda yang menyatakan berbahasa satu, bahasa Indonesia? Ngajiyo pantas diacungi jempol, karena kecerdasannya membalikkan keadaan. Namanya yang terkesan lucu dan aneh oleh masyarakat sekarang, justru ia malah sangat nasionalis dan PD terhadap lokalitas, bukan impor. Ngajiyo justru bisa membuktikan bahwa nama lokal itu tidak lebih buruk dengan nama
nama berbahasa asing. Terkecuali nama " Muhammad" , itu merupakan nama seorang tokoh, tidak tergolong dalam golongan nama berbahasa impor meskipun dari bahasa Arab. Hal itu dikarenakan bahwa nama " Muhammad" lebih ditekankan pada aspek ketokohannya, bukan bahasanya. Ya, Muhammad saw., adalah seorang nabi terakhir yang diutus oleh Allah Swt., untuk mencerahkan umat manusia. Orang-orang yang diberi nama Muhammad tentunya berharap bahwa si anak yang diberi nama tersebut akan senantiasa meneladaninya.

Pada dasarnya, memberikan nama kepada anak dengan nama berbahasa asing itu tidaklah menjadi masalah. Akan tetapi, anggapan masyarakat bahwa nama dari bahasa asing itu lebih baik adalah salah. Tidak hanya itu, anggapan masyarakat bahwa nama yang kuno dan jadul itu jelek adalah salah besar. Asalkan artinya mengandung maksud yang baik, apa masalahnya? Perlu diketahui, nama adalah doa. Hal itu juga yang disampaikan melalui cerita tersebut yang menguraikan nama Ngajiyo (mengajilah, belajarlah) dengan tujuan agar kelak menjadi anak yang gemar belajar dan pandai serta pintar.

Masyarakat kita juga beranggapan bahwa nama yang menggunakan bahasa Arab adalah nama yang islami. Padahal, Abu Jahal,

itu juga menggunakan bahasa Arab. Akan tetapi, apakah mereka baik? Yang islami adalah nama yang berarti baik, doa yang baik, harapan yang baik, bukan yang bermakna negatif dan tidak merendahkan.

Sekejap Pun Jadi

S uatu hari, Ngajiyo dipanggil oleh kiainya. Tanpa pikir panjang, Ngajiyo pun langsung menghadap Sang Kiai. Ternyata, Kiai mau minta tolong kepada Ngajiyo untuk menjemput dua anak dari teman Kiai. Kedua orang tersebut adalah kakak beradik yang baru saja lulus dari luar negeri. Si kakak menyelesaikan S2-nya di Belanda, sedangkan si adik baru menyelesaikan S1-nya di Amerika Serikat.

Dua bersaudara tersebut sepakat untuk bertemu di Jakarta, lalu keduanya bersama-sama menuju Yogyakarta. Sesampainya di Bandara Adi Sucipto, keduanya dijemput oleh Ngajiyo menuju rumahnya di daerah Malioboro. Berhubung yang meminta bantuan adalah Kiai, Ngajiyo pun langsung tancap gas setelah dikasih kunci mobil oleh Kiai. Ya, dia bisa mengendarai mobil. Bahkan dia pun sudah punya SIM. Meskipun dari desa, Ngajiyo juga bisa naik mobil.

Ketika kedua orang tersebut sudah masuk mobil, Ngajiyo pun langsung mengantarkan mereka ke rumah. Di dalam mobil, kedua bersaudara itu menyombongkan kedigdayaan negara tempat mereka belajar.

" Belanda itu hebat banget. Gedung pencakar langit yang tinggi dan entah ada berapa puluh lantai itu bisa diselesaikan hanya dalam waktu sebulan saja. Padahal, gedungnya tinggi banget!" kata si kakak.

" Ah... itu belum seberapa," sahut si adik. " Amerika lebih hebat lagi. Kalau gedung-gedung seperti itu, di Amerika hanya diselesaikan dalam waktu dua puluh hari. Kurang dari sebulan kan?"

" Tidak hanya itu! Belanda juga bisa bikin kincir angin dan tanggul dalam waktu yang tidak lama lho...!"

" Amerika malah sudah bisa bikin puluhan pesawat tempur dalam waktu yang tidak lama. Jalur transportasi bawah tanah pun dapat diselesaikan hanya memakan waktu beberapa hari saja!"

Kedua kakak beradik itu terus-menerus berdebat. Mereka saling menyombongkan negara yang mereka tinggali dan banggakan. Sebenarnya Ngajiyo merasa risih, tapi ia hanya diam sambil menyopir mobil. Jarak tempuh dari Bandara Adi Sucipto ke Malioboro yang bisa ditempuh hanya dalam waktu kurang dari satu jam pun ternyata molor. Sudah hampir tiga jam mobil tidak sampai ke tujuan. Mengapa demikian? Apakah Ngajiyo tersesat? Apakah Ngajiyo tidak hafal jalan?

" Mas, kok lama sekali sampainya?" tanya si Kakak.

" Seingatku dulu, jalan pulang itu tidak jauh, kok!" lanjut si Adik.

" Maaf, Mas. Tiba-tiba saya kok jadi tidak ingat jalan, ya?!" kata Ngajiyo.

" Kok bisa?" kata kedua bersaudara itu hampir bersamaan.

" Sepertinya, tadi itu belum ada jalan ini. Gedung-gedung itu juga tidak ada. Tadi juga belum ada mal-mal itu. Makanya, saya jadi bingung. Semuanya, tadi itu belum ada. Eh... sekarang kok semuanya sudah ada. Saya nggak tahu, berapa jam gedung-gedung dan jalan-jalan itu dibangun ya? Sepertinya tidak ada tiga jam!" kata Ngajiyo. " Maaf, Mas. Sepertinya kita tersesat! Saya benar-benar lupa jalan pulang karena dalam sekejap pun sudah berubah."

Mendengar perkataan dari Ngajiyo itu, kakak beradik itu pun hanya melongo sambil membayangkan bahwa Amerika dan Belanda masih kalah jauh di bawah Indonesia.

Mengapa negara sekaliber Amerika Serikat, Belanda, dan negara-negara Barat yang maju lainnya bisa sedemikian hebat? Jika kita membaca sejarah, kehebatan dan kejayaan peradaban pernah berada digenggaman bangsa-bangsa Timur, khususnya Islam ketika pernah berhasil menjadi salah satu peradaban superpower dunia. Ketika negara-negara Barat masih tertidur pulas, banyak gedung megah dan mewah didirikan oleh orang-orang Islam. Taman kota ditata sedemikian indah. Jalan-jalan dihiasi di lampu-lampu sehingga malam menjadi terang. Tidak hanya itu, para ilmuwan juga memberikan kontribusi yang sangat besar bagi umat manusia. Karya-karya dan pemikiran-pemikiran mereka sangat membantu umat manusia membangun peradaban.

Yang terjadi di masa kini sungguh terbalik. Negaranegara Barat justru menguasai dunia di berbagai bidang. Kecanggihan teknologi sangat maju. Ilmu pengetahuan sungguh luar biasa perkembangannya. Sementara itu, negara kita masih berkutat pada kekaguman-kekaguman ketika mendengarkan kehebatan negara-negara maju.

Ada berbagai permasalahan sehingga menyebabkan kemajuan di negara kita tertunda-tunda secara terus-menerus. Pejabat yang korup, perpolitikan yang picik, eksploitasi alam yang ganas, keserakahan para elite politik, terlantarnya pendidikan nasional, terabaikannya program kesejahteraan rakyat, dan lain sebagainya merupakan berbagai persoalan rumit yang saling terkait.

Masyarakat disuruh berhemat, tapi pemerintahnya boros anggaran. Masyarakat disuruh sabar, ternyata pemerintahannya yang malas. Giliran kebijakan diputuskan, masyarakat berdemonstrasi karena kebijakan dianggap menyalahi program kesejahteraan rakyat. Harga BBM dinaikkan, rakyat tidak terima. Rakyat disuruh untuk tertib pajak, tapi pajak dikorupsi. Wah, benar-benar parah!

Pada dasarnya, Islam merupakan jawaban atas semua persoalan dan problematika tersebut. Islam merupakan resolusi yang tepat jika benar-benar diaplikasikan di berbagai ranah. Tentunya, Islam bukanlah agama yang selalu meneriakkan lafal " Allahu Akbar" dan merusak berbagai fasillitas yang ada. Islam bukan pula yang meledakkan Bali dan dua hotel berbintang. Islam adalah rahmat, wujud kasih sayang terhadap manusia dan alam.

Islam mengajarkan umatnya untuk terus menuntut ilmu. Islam melarang mencuri (korupsi). Islam mengajarkan kesabaran. Islam mengajarkan tatanan kemasyarakatan yang baik agar tercipta masyarakat madani. Islam mengecam perusakan terhadap alam. Islam tidak mengajarkan keserakahan. Islam justru

mengajarkan hidup hemat dan sederhana. Pokoknya, Islam mengajarkan seluruh kebaikan dan melarang seluruh keburukan kecuali di saat darurat.

Jika semua ajaran Islam dilakukan dan semua larangannya ditinggalkan, maka negara ini akan menjadi negara yang maju. Jangankan hanya untuk membuat gedung pencakar langit, bahkan membuat gedung pencakar surga saja bisa. Hahaha... Bukankah kekayaan negara ini melimpah dan sangat cukup untuk membuat gedung-gedung tersebut? Bukankah perut bumi dan dasar lautan di negara ini kaya akan hasilnya untuk menyejahterakan rakyatnya? Bukankah Indonesia ini mempunyai SDM yang unggul untuk membangun peradaban?

Pada dasarnya, semua itu bisa terjadi di Indonesia. Sayangnya, setan telah membisiki masyarakat Indonesia. Para elite politik dibisiki oleh setan agar pada korupsi. Para penceramah dibisiki oleh setan agar menyampaikan bab tentang kesabaran tetapi tidak menyampaikan bab tentang giat bekerja di tengahtengah kondisi yang menghimpit sehingga umat pada malas. Rakyat miskin dibisiki oleh setan agar bermalas-malasan. Orang kaya dibisiki oleh setan agar tidak dermawan. Orang pintar dibisiki oleh setan agar menyembunyikan ilmu. Orang bodoh dibisiki oleh setan agar tidak suka membaca buku, dan lain sebagainya.

Untuk itu, hal yang paling utama adalah melawan diri sendiri. Jika malas, maka kita harus melawannya agar tidak malas. Jika kita serakah, maka kita harus melawannya agar tidak serakah. Jika kita hendak berbohong, maka kita harus melawannya agar berkata jujur. Semua itu harus dimulai dari kita sendiri sebagai bagian terkecil dari negara ini. Kita juga harus memulainya sekarang juga dan menularkan Islam kepada orang lain. Jika semua orang berpikiran demikian, maka yang terjadi adalah peristiwa yang mengejutkan dunia. Dunia akan memandang Islam sebagai agama kemajuan, bukan agama yang kolot lagi sebagaimana yang dipersepsikan oleh orang-orang Barat.

Terlalu Patuh

Hujan memang membawa berkah. Hujan turun mem
basahi kekeringan sehingga tanah pun kembali berair. Para petani juga bersorak-sorai gembira karena tidak perlu repot-repot memompa air dari dalam tanah. Sumur-sumur sebagai sumber air juga mulai terisi. Pohon-pohon yang layu pun kembali segar. Debu-debu pun terbasahi dan tidak beterbangan. Bau tanah basah pun tercium.

Di balik keberkahan hujan tersebut, ternyata ada sampah yang mengikuti. Sampah plastik, dedaunan, dan lain sebagainya turut hanyut ke mana-mana sehingga taman rumah Kiai menjadi kotor. Bunga-bunga yang mekar dari taman milik Kiai pun malah jadi kotor karena sampah tersebut.

Kiai pun memanggil Ngajiyo dan menyuruhnya untuk segera membersihkan taman kecil yang mungil tersebut ketika hujan telah reda.

" Jiyo, tolong bersihkan taman itu, ya!" perintah Kiai kepada Ngajiyo.

" Iya, Kiai. Segera saya laksanakan!" jawab Ngajiyo. Setelah beberapa saat, Ngajiyo pun selesai membersihkan taman. Dia pun segera melapor kepada Kiai bahwa pekerjaannya telah selesai. Setelah itu, Ngajiyo pun pamit.

" Sudah selesai, Kiai. Saya mau pamit dulu!" " Oh ya, silakan. Terima kasih, ya, Ji!" " Iya, sama-sama, Kiai!"

Ngajiyo pun pamit meninggalkan rumah Kiai. Setelah itu, Kiai pun melihat taman yang tadi dibersihkan oleh Ngajiyo. Tiba-tiba saja, Kiai pun kaget melihat taman tersebut. " Ngajiyo...!" teriak Kiai memanggil Ngajiyo yang baru saja pamit.

Mendengar namanya dipanggil, Ngajiyo pun kembali menghadap Kiai.

" Ada apa, Kiai?" tanya Ngajiyo seketika di hadapan Kiai. " Kamu itu bagaimana? Kok tanaman dan bunga-bunga di taman kamu hilangkan semua?" tanya Kiai agak dengan nada tinggi.

" Saya hanya menuruti perintah Kiai. Tadi disuruh membersihkan taman, maka saya bersihkan taman itu. Sampahnya saya buang, tanamannya juga saya buang beserta

bunga-bunganya biar bersih semua. Ya beginilah, sekarang tamannya jadi bersih, tidak ada kotoran dan tanamannya," jelas Ngajiyo lugu.

Kiai pun hanya menempelkan telapak tangan di jidatnya.

Pendidikan di pesantren diwarnai dengan kentalnya ketundukan dan kepatuhan kepada guru atau kiai. Di peseantren, terutama pesantren-pesantren tradisional (salaf), ditekankan penghormatan terhadap kiai atau guru. Kiai menjadi figur yang sangat dipatuhi dan dihormati. Kepatuhan dan ketundukan tersebut bahkan dilakukan santri dengan wujud berbagai hal; mencium tangan ketika bertemu, tidak menatap wajah ketika berbicara, menunduk jika berlalu di depannya, serta penuh dengan unggah-ungguh sebagaimana masyarakat Jawa yang menghormati seseorang.

Hal itu merupakan sebuah bentuk kepatuhan dan penghormatan seorang murid (santri) terhadap gurunya (kiai). Hendaknya, perilaku seperti itu menjadi perilaku yang umum sehingga pemandangan seperti itu tidak hanya terjadi di pesantren, tetapi juga di pendidikan nonpesantren.

Sayangnya, di pendidikan nonpesantren hal itu tidak ada. Pemandangan seperti itu hanya ada dan dijumpai di pesantren. Kepatuhan dan ketundukan murid terhadap sang guru di luar pesantren tidak sedemikian hebatnya jika dibandingkan dengan yang ada di pesantren. Di pesantren itu, santri yang nakal saja mencium tangan kiai ketika bersalaman. Akan tetapi, di luar pesantren tidak terjadi. Seorang murid yang nakal malah tidak mau bersalaman dengan gurunya,

terlebih lagi guru yang dibencinya. Sementara itu, seorang santri yang habis di-ta zir (dihukum) oleh kiai karena melanggar peraturan, tetap cium tangan ketika bersalaman. Rasa kesal memang ada, tetapi cium tangan kiai itu tidak bisa ditinggalkan oleh santri.

Etika pesantren berupa penghormatan terhadap kiai atau guru tersebut seharusnya tidak hanya ada di pesantren, tetapi juga di luar pesantren. Di sekolah nonpesantren, di sekolah, di tempat bimbingan belajar, di kursus-kursus, dan lain sebagainya hendaknya ada etika semacam itu.

Akan tetapi, terkadang perilaku seperti itu membuat risih orang nonpesantren yang melihat. Hal itu dianggap terlalu berlebihan. Mereka menilai bahwa murid terlalu dikekang oleh guru. Hal itu dianggap sebagai pengikatan murid oleh guru. Padahal, bukan begitu maksudnya. Perilaku atau etika semacam itu pada dasarnya untuk memuliakan guru. Perlu diketahui, guru adalah orang yang patut dihormati dan dimuliakan karena darinya kitas mendapatkan ilmu. Guru mentransfer ilmu dan etika, digugu lan ditiru. Oleh karena itu, guru selayaknya mendapatkan penghormatan, terutama dari murid-muridnya.

Tidak salah bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata, " Aku adalah hamba bagi orang yang pernah mengajarkanku (guru) walau hanya mengajari satu huruf."

Sahabat Ali bin Abi Thalib, orang yang pernah menjabat sebagai khalifah, pun rela menjadi hamba atau budak bagi gurunya. Hal itu sudah seharusnya menjadi keteladanan bagi umat Islam semuanya.

Akan tetapi, kepatuhan terhadap guru itu hendaknya tidak seperti Ngajiyo. Dia memang patuh kepada Kiai, tetapi kepatuhannya dilakukan secara " membabi buta" . Dia memang disuruh untuk membersihkan taman, tetapi justru tamannya memang benar-benar bersih karena semua tanaman dan bunga ditaman tersebut bersih dari taman. Padahal, kiai menyuruhnya membersihkan taman itu agar tamannya bersih dari kotoran dan sampah, bukan membersihkan taman dari seluruh isi yang ada di taman tersebut. Hal itu memang kepatuhan, tetapi tidak dipikir secara rasional.

Kesimpulannya, kepatuhan terhadap guru merupakan bentuk penghormatan. Ketika murid itu diperintahkan oleh guru, selama perintah itu baik dan bukan larangan agama, tentu harus dipatuhi. Guru adalah orangtua kedua bagi para murid. Oleh karena itu, sudah selayaknya guru diperlakukan sebagaimana orangtua kandung.

WIB

A khir-akhir ini, Ngajiyo dan beberapa santri lainnya

terlihat sangat sibuk. Setelah rapat LPJ beberapa waktu lalu, kini giliran pembentukan pengurus baru di pondok pesantren. Ngajiyo adalah salah seorang santri senior yang di dalam struktur kepengurusan pesantren menjabat sebagai dewan pembimbing santri, menjadi pusat pertanyaan dan berbagai hal yang terkait dengan kepengurusan santri. Dia juga yang menjadi penasihat para pengurus pondok.

Masa-masa pergantian kepengurusan menjadi masa yang sangat melelahkan. Terutama bagi Ngajiyo, karena kalau ada apa-apa, dia juga yang menjadi tumpuan untuk menyelesaikan persoalan kepengurusan. Setelah rapat LPJ sukses, kini giliran pelantikan pengurus baru. Berbagai hal pun dipersiapkan dengan matang. Dalam acara pelantikan pengurus baru, Kiai pun diundang untuk membaiat para pengurus baru. Di dalam undangan, tertera waktu bahwa pelantikan diadakan pada malam hari pukul 20.00 WIB, alias pukul delapan malam.

Kiai adalah sosok yang disiplin. Beliau selalu tepat waktu dan tidak pernah telat menghadiri suatu undangan. Jika undangan pelantikan pengurus baru itu di undangan tertera pukul 20.00 WIB, maka Kiai datang lima menit sebelumnya.

Ketika datang di aula pondok, tempat pelantikan dilangsungkan, Kiai pun kaget. Di tempat itu masih sepi. Yang ada hanya Ngajiyo yang sedang mengecek sound system. Melihat kesepian tersebut, Kiai pun bertanya kepada Ngajiyo.

" Jiyo, kok para santri dan pengurus yang akan dilantik belum pada datang?" tanya Kiai.

" Mereka masih pada di kamar, Kiai."

" Lho, lima menit lagi acara dimulai. Seharusnya mereka sudah siap di sini. Kok malah pada santai-santai di kamar!"

" Memangnya, acaranya dimulai kapan, Kiai?"

" Kalau di undangan itu acaranya akan dimulai pukul 20.00 WIB."

" Ya, pantas saja, Kiai. Acaranya kan pukul 20.00 WIB."

" Terus kenapa? Sebentar lagi pukul 20.00 WIB. Seharusnya mereka sudah datang ke sini toh?"

" Wah, sepertinya Kiai belum tahu ya? Pukul 20.00 WIB itu bukan pukul 20.00 Waktu Indonesia Barat. WIB itu maksudnya Waktu Insya Allah Berubah," jelas Ngajiyo. " Haaahhh...,"

Entah mengapa budaya disiplin waktu atau tepat waktu begitu sulit berlaku di dalam masyarakat. Baik di acara formal maupun di acara nonformal, selalu saja molor. Bahkan sering kali seorang teman yang membuat janji pukul sekian, tidak tahunya molor dari waktu yang dijanjikan. Sepertinya, tradisi molor waktu itu memang sudah menjadi budaya yang mendarah daging dalam kemasyarakatan kita.

Di sekolah saja, kita bisa melihat ada berapa murid yang terlambat masuk sekolah. Tidak hanya murid, bahkan para guru pun tidak jarang terlambat dengan berbagai dalih dan alasan. Kita juga sering kecele ketika memesan tiket kereta api. Di dalam jadwal, kereta api berangkat pukul sekian, ternyata molor hingga setengah jam atau bahkan satu jam. Tidak hanya kereta api, bahkan pesawat terbang pun sering sekali delay hingga berjam-jam. Mengapa demikian? Karena, molor waktu adalah budaya.

Terkait dengan waktu, Islam telah mengajarkan ajaran yang sangat indah. Kita diingatkan untuk tetap mengingat lima perkara sebelum datangnya lima perkara. Lima sebelum lima itu adalah (1) ingat waktu sehat sebelum sakit, (2) ingat waktu muda sebelum tua, (3) ingat waktu kaya sebelum miskin, (4) ingat waktu lapang sebelum sempit, (5) ingat waktu hidup sebelum mati.

Ajaran lima sebelum lima tersebut merupakan ajaran agar kita tidak menyia-nyiakan waktu yang ada. Ketika kita sedang sehat, kita disuruh untuk mengingat sakit karena dengan begitu kita bisa bersyukur betapa sehat itu mahal. Ketika kita masih muda, kita diharuskan untuk mengingat bahwa kelak kita akan menjadi tua dan renta. Dengan begitu, kita bisa memanfaatkan waktu muda kita untuk berbagai hal positif, kreatif, dan produktif. Sementara itu, ketika kita dalam keadaan kaya atau berkecukupan, hendaknya kita ingat bahwa kemiskinan itu merupakan suatu siklus waktu sebelum kaya atau bahkan setelah kaya. Dengan demikian, ketika kaya hendaknya kita turut berbagi kekayaan (sedekah dan berbagi) dengan orang-orang yang membutuhkan. Jika kita dalam keadaan lapang, hendaknya kita memanfaatkannya dengan sebaik mungkin untuk berbuat halhal yang positif, karena ketika kita sudah terdesak waktu yang sempit, kita tidak akan bisa berbuat banyak. Satu hal lagi, ketika hidup hendaknya kita mengingat mati karena mati akan menjadi refleksi bagi kita untuk mengisi kehidupan dan menyiapkan perbekalan menyongsong kematian. Ingat, mati itu sebuah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup.

Lima sebelum datang lima tersebut merupakan ajaran Islam yang mengingatkan kita akan pentingnya manajemen waktu. Kita dituntut untuk bisa mengatur waktu karena waktu itu terus berputar dan

tidak bisa kembali. Selayaknya sejarah, tidak dapat diulangi lagi karena hal yang sudah terlewat itu tidak mungkin dialami dalam waktu yang sama. Sejarah hanya tinggal cerita, tidak bisa diulangi lagi dalam kondisi yang pasti sama. Dengan demikian, jika kita lupa akan waktu dan tidak memanajemen waktu, kita hanya akan termakan waktu. Usia semakin menua, jika tidak dimanfaatkan selagi waktu masih ada bagi kita, kita akan menyesal di kemudian hari. Sementara itu, molor waktu merupakan tradisi yang sangat buruk. Padahal, Islam telah mengajarkan ajaran yang indah tentang waktu. Untuk itu, hendaknya ajaran tentang waktu tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Waktu itu sangat penting. Bahkan Allah Swt., saja dalam beberapa firman-Nya bersumpah menggunakan waktu; Demi Masa (Al-" Ashr), Demi Waktu Duha (Al- Dhuha), dan lainnya. Waktu digunakan oleh Allah Swt., untuk bersumpah agar manusia itu senantiasa mengingat waktu dan menyadari betapa pentingnya waktu itu sehingga Allah Swt., yang menciptakan waktu pun bersumpah menggunakan waktu.

Allah Swt., juga mengajarkan tentang tertib waktu melalui shalat fardu lima waktu. Di sisi teologi dan syariat, shalat fardu lima waktu adalah hal yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Di sisi lain, shalat fardu lima waktu adalah ajaran untuk manajemen

waktu bagi umat Islam agar senantiasa ingat kepada Allah Swt., dan sebagai patokan akan keberlangsungan hari. Oleh karena itu, shalat fardu lima waktu itu mengingatkan kita tentang waktu kerja, waktu istirahat, waktu santai, dan waktu-waktu lainnya selain waktu untuk bercengkerama dengan Sang Kekasih (Allah Swt,).

Dengan demikian, tradisi molor waktu hendaknya dihilangkan karena molor waktu tidak diajarkan oleh agama Islam. Jika tidak diajarkan oleh Islam tetapi tetap saja dikerjakan, maka itu namanya bidah. Hehehe....

Hukum Merokok

N gajiyo tampak terburu-buru ke kampus karena jam

kuliah hampir dimulai. Ngajiyo pun mengendarai motornya dengan cepat karena takut telat masuk kelas. Ketika sampai di kampus dan hampir masuk kelas, ternyata teman-temannya tidak masuk kelas. Ternyata dosen sedang berhalangan karena sedang ada kegiatan lain. Jadi, kelas ditiadakan dan langsung pada pulang, tetapi ada juga yang tidak meninggalkan kampus. Mereka berkumpul membentuk lingkaran dan tengah membicarakan sesuatu. Ternyata, teman-teman Ngajiyo tersebut sedang membicarakan hukum merokok. Ngajinya pun ikut nimbrung

" Merokok itu haram. Merokok itu kan merugikan kesehatan. Seseorang bisa terbunuh karena merokok!" kata Fauzan.

" Iya, rokok itu haram hukumnya!" tegas Nisa, teman sekelas juga.

" Tetangga saya usianya baru tujuh hari. Dia masih bayi dan dia tidak merokok. Tapi dia meninggal. Nyatanya, tidak merokok saja semua orang itu pasti meninggal," bantah Ahmad.

" Hmm... itu tidak bisa dijadikan argumentasi, Mad!" sangkal Fauzan. " Yang jelas, rokok itu haram karena merugikan kesehatan. Paru-paru bahkan bisa saja menghitam dan terbakar karena merokok. Jadi, rokok itu mengandung hal yang membahayakan, karena membahayakan, hukumnya haram," lanjut Fauzan sambil menyeruput es tehnya.

Tiba-tiba Ngajiyo ikut nimbrung dan langsung duduk. Tanpa basa-basi, Ngajiyo langsung angkat bicara. " Zan... jangan diminum es teh itu!" selak Ngajiyo. " Kenapa?"

" Es teh itu haram!"

" Kok bisa haram? Saya nggak nyuri kok! Saya beli lho...!"
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Es teh kan mengandung hal yang membahayakan. Katamu, yang mengandung hal yang membahayakan itu haram. Jadi, es teh itu juga haram hukumnya!"

Yang turut nimbrung di situ pun terperanjak semua. Bengong dan diam seribu bahasa. Sementara itu, Ngajiyo pun ngeloyor begitu saja.

Ngajiyo langsung pulang menuju pesantren karena hari itu kuliah memang hanya ada satu mata kuliah. Itu pun ditiadakan.

Sesampai di pesantren, Ngajiyo bertemu dengan Hadi, salah satu temannya yang juga nyantri di pesantren. Ngajiyo pun langsung menghampirinya.

" Uhuk.. uhuk...." Hadi terus sambil menghisap rokoknya meskipun dia sedang batuk parah.

" Wah... kamu itu lagi batuk, Di. Kalau kamu terus merokok, nanti kamu bisa sakit. Lama-lama, kesehatanmu terus terancam dan kamu bisa meninggal!" ucap Ngajiyo sambil menakut-nakuti.

" Meninggal? Hahaha...!" kata Hadi sambil mengakak. " Hidup dan mati itu di tangan Tuhan, Ji. Kamu nggak usah pusing-pusing mikir kematian! Kalau sudah waktunya mati ya mati. Tapi kalau belum ya belum...!" ledek Hadi sambil terus menghisap rokoknya.

Ngajiyo pun tiba-tiba melihat sebongkah kayu besar. Diambil kayu itu oleh Ngajiyo.

" Di, kira-kira kamu akan mati nggak, kalau kupecahkan kepalamu dengan kayu ini?" tanya Ngajiyo.

" Apa-apaan kamu ini, Ji? Hati-hati...! Nanti kalau kepalaku pecah beneran, mati dong!"

" Kata kamu, hidup dan mati itu di tangan Tuhan!" " Hmm... anu..., anu...." Hadi kebingungan.

Hukum merokok memang masih menjadi kontroversi hingga kini. Pro dan kontra tentang keharaman rokok pun terus bergulir. Fatwa haram yang dikeluarkan oleh MUI pun banyak mendapat penolakan keras. Berbagai alasan digunakan sebagai dalil, baik bagi yang pro maupun kontra. Berbagai kajian ilmiah (kedokteran) dan syariat (fikih" Islam) pun dilakukan. Tidak kalah dengan hal itu, kajian sosial, ekonomi, budaya, dan politik pun juga tidak lepas dari perihal rokok.

Rokok memang demikian adanya. Perilaku merokok telah dimulai masyarakat semenjak lama, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Konon, negeri ini dijajah karena kualitas tembakaunya yang hebat. Hal itu sebagaimana yang diucapkan KH. Agus Salim ketika ditegur oleh seorang Belanda agar tidak merokok di acara formal. Dengan berwibawa, KH. Agus Salim menjawab bahwa Belanda datang ke Indonesia karena " ini" (baca: tembakau).

Bagi yang pro, rokok itu tidaklah haram dan akan berdampak untuk petani tembakau jika benar-benar diharamkan. Para petani tersebut benar-benar menggantungkan hidup dan mata pencarian mereka pada tembakau. Jika rokok diharamkan, akan makan apa mereka?

Sementara itu, bagi kontra menganggap kalau rokok itu merusak kesehatan dan membunuh banyak orang.

Tidak hanya merusak kesehatan bagi si perokok, tetapi juga merusak kesehatan bagi yang tidak merokok. Apalagi kalau ia berada di lingkungan perokok dan menghisap asap rokok setiap hari.

Ada anggapan bahwa fatwa haram rokok itu penuh dengan intrik politik. Mengapa demikian? Ketika fatwa haram rokok dikampanyekan dan digembor-gemborkan, justru di saat yang sama impor tembakau dan serangan rokok putih (rokok dari perusahaan luar negeri) justru semakin meningkat. Para pengamat menduga bahwa ada politisasi tentang fatwa haram rokok dan ada kepentingan ekonomi dari pihak kapital. Mereka menganggap bahwa fatwa haram rokok hanya untuk melemahkan tembakau lokal sehingga perusahaan rokok dari luar negeri bisa melenggang di pasaran Indonesia dan memenangkan pasarnya.

Haram atau tidak, pada dasarnya hukum merokok itu kembali pada diri masing-masing. Bagi yang tidak suka merokok, hendaknya ia tidak merokok. Bagi yang suka merokok, silakan saja merokok asalkan jangan sampai mengganggu orang-orang di sekitarnya. Hal itu akan menjadi adil bagi siapa saja, baik yang merokok atau tidak.

Dalam cerita tersebut, Ngajiyo dengan cerdas melerai dua pendapat yang berbeda. Satu pendapat menolak tentang keharaman rokok karena argumen yang tidak tepat. Pendapat lainnya justru melarang

rokok jika hal itu benar-benar membahayakan secara kritis bagi kesehatan. Dengan demikian, hendaknya rokok memang harus ditempatkan pada posisinya yang tepat. Proporsional. Hukum rokok itu bolehboleh saja jika tidak mengganggu orang lain dan diri sendiri. Akan tetapi, rokok itu justru mengandung mudarat jika mengganggu kesehatan orang lain dan diri sendiri.

Terkait dengan isu politik dan ekonomi, terutama rokok dari luar negeri yang memiskinkan para petani tembakau lokal, rokok memang menjadi persoalan yang pelik. Oleh karena itu, jika ingin merokok dengan niatan membantu masyarakat kelas menengah ke bawah (petani tembakau lokal), maka merokoklah dari tembakau mereka! Hahaha.... h

Maulid Nabi

S aat itu, Ngajiyo ingin pulang ke rumahnya yang berte
tanggaan dengan Nyi Roro Kidul. Dia pun minta izin kepada Kiai agar diberikan waktu untuk bisa menengok keluarga di rumah, tiga hari saja. Kebetulan, di rumahnya ada acara pengajian untuk menyemarakkan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.

" Kamu kok ingin pulang, memangnya ada apa di rumah?" tanya Kiai ketika Ngajiyo sowan kepada Kiai.

" Di rumah ada pengajian dalam rangka menyemarakkan peringatan Maulid Nabi," jawab Ngajiyo penuh hormat. " Maulid Nabi?"

" Iya, Kiai. Maulid Nabi."

" Hanya untuk peringatan Maulid Nabi saja kamu harus pulang. Memangnya, cara menyemarakkan Maulid Nabi itu bagaimana?" tanya Kiai.

" Ehm...." Ngajiyo tidak tahu.

" Kalau hanya untuk menyemarakkan peringatan Maulid Nabi, di pondok juga ada. Tapi kalau kamu ingin pulang, ya nggak apa-apa. Yang penting, kamu harus tahu bagaimana cara menyemarakkan peringatan Maulid Nabi," jelas Kiai.

" Aduh, bagaimana, ya, Kiai?" Ngajiyo tampak bingung.

" Memperingati Maulid Nabi itu tidak hanya dengan selawatan, membaca barzanji, atau membaca diba i. Memperingati Maulid Nabi itu juga tidak hanya sekaten, grebeg, dan lain sebagainya. Itu semua hanya tradisi," jelas Kiai.

" Terus, bagaimana cara menyemarakkan Maulid Nabi, Kiai?"

" Caranya yaitu dengan meneladani Nabi Muhammad saw."

Warna-warni umat Islam untuk menyemarakkan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Berbagai tradisi pun digelar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad saw. Di Yogyakarta sendiri ada tradisi sekaten dan grebeg, di Cirebon ada panjang jimat, daerah lain ada ini dan itu, dan sebagainya. Bahkan di negara lain tentunya juga ada tradisi lain.

Namun demikian, Maulid Nabi ternyata hanya sekadar peringatan. Maulid Nabi hanya membuat kalender merah dan menjadi hari libur nasional. Selain untuk memperingatinya secara seremonial berupa berbagai tradisi dan pembacaan selawat, karena hari libur, banyak umat Islam Indonesia yang justru menyempatkan waktu libur untuk jalan-jalan, senangsenang, hura-hura, dan lain sebagainya. Alih-alih membaca selawat atau menyelenggarakan pengajian untuk peringatan Maulid Nabi, banyak yang hanya sekadar mengisi waktu liburan dengan hal-hal yang tidak terkait dengan hal tersebut.

Dengan demikian, benar apa yang didhawuhkan oleh Kiai kepada Ngajiyo bahwa peringatan Maulid Nabi itu adalah meneladani beliau saw. Oleh karena itu, Maulid Nabi tidak hanya diperingati pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal, tetapi setiap saat karena meneladani Nabi Muhammad saw., itu di setiap perbuatan dan tindakan.

Keteladanan beliau tertuang dalam ajaran agama Islam. Meneladani Nabi Muhammad saw., berarti juga mengamalkan ajaran agama karena pada dasarnya keduanya itu hanyalah satu. Tidak hanya itu, bahasa lain dari takwa pun juga adalah bentuk agama Islam karena keduanya juga satu. Dengan demikian, meneladani Nabi Muhammad saw., adalah bentuk ketakwaan kita terhadap Tuhan. Itulah yang menjadi pokok ajaran agama Islam. Jika mengamalkan ajaran Islam, tentu saja keimanan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, semua hal itu saling terkait dan esensi dari semua itu adalah sama.

Hal ini menjadi refleksi bagi kita bahwa setiap saat kita itu dianjurkan untuk meneladani Nabi Muhammad saw., mengamalkan Islam, bertakwa, dan beriman. Akan tetapi, kita sering kali lalai dan abai dengan itu semua. Kita lebih cenderung melihat kenikmatan duniawi yang jelas-jelas tampak oleh mata telanjang kita. Padahal, nilai ibadah itu bisa saja kita munculkan dari segala sesuatu yang tengah dikerjakan. Kita belajar, niatkan menuntut ilmu, dan beribadah. Kita bekerja, niatkan untuk ibadah. Kita bergaul dengan istri, niatkan untuk ibadah. Dan lain sebagainya.

Sementara itu, tanggal merah setiap hari peringatan Maulid Nabi pada dasarnya adalah untuk mengingatkan bahwa keteladanan Nabi Muhammad saw., ha
rus kita rayakan. Merayakannya dengan meneladani beliau. Jika demikian halnya, maka perayaan Maulid Nabi itu tidak hanya pada setiap tanggal merah 12 Rabiul Awal, tetapi di setiap hari hingga ajal menjemput kita.

Percuma kita menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi jika perayaan tersebut hanya sebatas seremonial tanpa melihat esensinya. Padahal, setiap harinya kita justru dituntut untuk terus meneladani beliau. Oleh karena itu, marilah kita memperingati Maulid Nabi setiap hari.

Cerita tentang Ulama Tuli

S uatu ketika, Kiai sedang bepergian ke luar kota untuk

waktu lama. Tidak tega dan tidak rela membiarkan para santri tidak mengaji hanya karena Kiai sedang pergi, maka Ngajiyo diminta agar menggantikannya mengisi pengajian untuk para santri. Sebagai santri senior yang patuh, Ngajiyo pun menerima tugas tersebut. Terlebih lagi, Ngajiyo adalah tangan kanan Kiai, dia juga selalu diandalkan. Jika Kiai memerintahkan ini atau itu, Ngajiyo langsung sendika dhawuh.

Malam itu, Ngajiyo pun mengisi pengajian di hadapan para santri. Dalam pengajiannya, Ngajiyo bercerita tentang seorang ulama yang bernama Khatim Al-" Asham.

" Ada seorang ulama yang populer, namanya Khatim Al- " Asham. Ketika itu, ada seorang wanita yang ingin berkonsultasi tentang permasalahan agama yang tengah dihadapinya kepada sang ulama. Ketika sampai di rumah sang ulama, wanita muda yang cantik itu tiba-tiba kentut. Wajahnya pun pusat pasi, malu," jelas Ngajiyo. " Hahaha...," para santri pun bergemuruh tertawa.

" Tapi, apa yang dilakukan oleh ulama itu?" para santri pun kembali lagi menyimak cerita Ngajiyo.

" Untuk menjaga harga diri si wanita itu, ulama itu pun pura-pura tuli. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu. Katanya, " Kencangkan suara kamu biar saya dengar. Telinga saya agak tuli. Begitu kata ulama itu. Si wanita itu pun berkata dalam hati bahwa suara bicaranya saja tidak didengar oleh ulama, apalagi suara kentutnya. Wanita itu pun lega dan merasa bahwa ulama itu tidak mendengar kentutnya yang membuatnya malu. Akhirnya, wanita itu pun tidak malu lagi di hadapan sang ulama," cerita Ngajiyo ringkas.

Para santri pun menunduk-nunduk. Mereka tertarik dan terkesan dengan cerita dari Ngajiyo itu. Tiba-tiba, ada salah seorang santri yang " nyelonong" .

" Duuuutttt...," terdengar suara kentut yang keras dari salah seorang santri.

Ngajiyo pun sebenarnya mendengar kentut itu karena kentutnya memang sangat keras. Para santri pun riuh dan gaduh mencari siapa pelakunya. Ngajiyo hanya terdiam, mati kutu. Dia baru saja menceritakan sang ulama yang menjaga harga diri seorang wanita yang kentut. Dia merasa bingung, dia baru saja menceritakan keteladanan, dia pun harus bisa mengamalkannya.

" Aduh, bagiamana ya, caranya menjaga harga diri si santri yang kentut ini? Apakah harus berpura-pura tuli juga ya?" Ngajiyo bertanya-tanya dalam hati.

Orang-orang bijak memberikan berbagai keteladanan. Termasuk juga Khatim Al-" Asham, salah satu ulama bijak yang sangat masyhur pada saat itu. Dia diberi gelar Al-" Asham yang berarti tuli, karena dia pura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan dan harga diri seorang wanita. Bisa kita bayangkan, hanya demi menjaga harga diri seorang wanita dari kalangan masyarakat biasa, ulama masyhur itu rela " ditulikan" . Dengan kata lain, seorang yang mempunyai ketenaran dan popularitas itu justru bersedia dipanggil dengan sapaan hina (tuli) hanya untuk membuat masyarakat kecil nyaman.

Sepertinya, hal itu kini hanya menjadi cerita. Dalam kenyataannya, keteladanan seperti itu sudah sangat langka. Terlebih lagi orang-orang terpandang di sekitar kita, mereka justru tidak mau memberikan kenyamanan kepada masyarakat atau paling tidak membuat masyarakat kecil tidak malu. Justru, orang-orang elite kita, terutama yang berkecimpung di dunia politik, malah saling menjatuhkan, bukan saling menjaga martabat. Itulah kenyataannya.

Seseorang dikuak aibnya hingga merasa malu dan harga dirinya jatuh di mata masyarakat. Perbuatan seperti itu sering terjadi dan menjadi hal yang wajar. Seseorang yang tidak disukai, misalnya, akan dihujat habis-habisan dan harga dirinya dijatuhkan. Bahkan difitnah. Semua itu hanya untuk mencari populari
tas agar ketika dia mencalonkan diri sebagai pejabat (bupati, DPR, DPRD, Gubernur, dan lain-lain), bisa dipilih oleh masyarakat karena telah mendapatkan simpati.

Realitas seperti itu jauh dari apa yang diteladankan oleh Khatim Al-" Asham tersebut. Sepertinya, menjatuhkan harga diri orang lain merupakan sebuah kepuasan dan prestasi. Padahal, sesungguhnya hal itu hanyalah bom waktu yang suatu saat bisa meledak. Ketika bom tersebut meledak, dia akan hancur lebur dan harga dirinya jatuh di dasaran yang paling bawah.

Hal itu terjadi pada dunia perpolitikan kita. Masingmasing golongan bermanuver dan menjatuhkan golongan yang lain. Bahkan, sesama golongan pun saling menjatuhkan hanya untuk sebuah ambisi. Hendaknya kita tahu dan bisa membedakan antara ambisi yang tercampur dengan hawa nafsu dan ambisi untuk berprestasi. Jika ambisi tercampur dengan hawa nafsu, maka segala cara, termasuk cara yang tidak beradab, akan dilakukan. Cara yang tidak beradab itu dimaksudkan untuk menjatuhkan orang lain demi tujuan yang diraih. Oleh karena itu, ambisi untuk berprestasi hendaknya tidak tercampur dengan hawa nafsu.

Membohongi Setan

K iai belum juga pulang ke pondok. Mau tidak mau,

Ngajiyo harus mem-badali (menggantikan) Kiai untuk mengisi pengajian di pondok. Para santri pun sudah pada berkumpul di aula pengajian. Ngajiyo pun memulai pengajiannya. Kali ini, Ngajiyo menerangkan tentang ketercelaan berbohong.

" Berbohong itu pada dasarnya membuat pelakunya merasa tidak nyaman. Tetapi, jika itu terus dilakukan, maka berbohong tidak lagi mengganjal di dalam hati. Oleh karena itu, jangan pernah berbohong. Berbohong itu dosa," terang Ngajiyo dalam pengajian tersebut.

Panjang lebar Ngajiyo menerangkan perihal berbohong. Mungkin karena terlalu panjang dan terlalu lebar, para santri merasa bosan dengan isi pengajian Ngajiyo.

" Ketika di akhirat kelak, kita tidak bisa berbohong lagi. Mulut kita terkunci, dan yang berbicara dan memberi kesaksian atas perbuatan kita di dunia adalah tangan dan kaki kita!" lanjut Ngajiyo.

Di tengah-tengah kebosanan para santri itu, tiba-tiba saja ada santri yang mengacungkan jarinya. Dia mau bertanya kepada Ngajiyo.

" Kang, saya mau tanya. Boleh?" kata si santri tadi.

" Oh, boleh. Silakan!" jawab Ngajiyo.

" Tadi pagi, saya melakukan sandiwara dengan teman. Kami berkompromi untuk berpura-pura mencuri," cerita si santri.

" Berpura-pura mencuri? Maksudnya?"

" Ya, tadi saya punya uang. Saya nyuruh teman saya untuk mencuri uang saya itu dan nantinya dikembalikan kepada saya lagi. Jadi, saya nyuruh teman itu untuk nyuri uang saya. Padahal, itu hanya sandiwara. Lha uangnya dibalikin lagi kok."

" Terus, apa yang mau kamu tanyakan?" tanya Ngajiyo.

" Kata Kang Ngajiyo tadi, berbohong itu dosa. Sandiwara saya dan teman saya untuk berpura-pura mencuri itu kan untuk berbohong kepada setan. Setan itu kan suka menggoda manusia untuk mencuri. Nah, jadi kalau kami berpura-pura mencuri, tapi sebenarnya tidak mencuri, bukankah kami telah berbohong kepada setan? Terus, bagaimana hukumnya berbohong kepada setan? Dosa tidak?"

Seluruh santri yang sedari tadi bosan pun langsung tertawa lepas. Sementara itu, Ngajiyo hanya bengong.

" Membohongi setan?" Ngajiyo bingung.

Dengan gayanya, Ngajiyo pun menjawab, " Membohongi setan itu tidak ada dalilnya!"

Serentak, seluruh santri pun tertawa lagi.

Berbohong memang bukan hal yang sepele. Akan tetapi, banyak orang di dunia ini yang berbohong. Jika ada detektor bohong, pasti setiap detiknya ada banyak orang yang ketahuan berbohong. Begitulah realitas manusia. Seolah kejujuran itu menjadi " barang langka" . Padahal, berbohong itu akan menimbulkan ketidaknyamanan di dalam hati dan akan mengganjal perasaan. Ia menjadi kerikil di dalam hati sehingga perasaan menjadi waswas. Orang yang berbohong akan merasa selalu dibayangi oleh kekhawatiran bahwa suatu saat kebohongannya akan terbongkar. Oleh karena itu, hendaknya perilaku berbohong itu menjadi hal yang sepatutnya untuk dihindari dan dijauhi sejauh-jauhnya.

Ada kisah menarik tentang larangan berbohong. Di masa Rasulullah saw., ada seorang pencuri yang mendatangi Rasulullah saw. Pencuri itu berkata, " Wahai Rasul, saya hendak memeluk agama Islam. Akan tetapi saya ini pencuri. Apakah ketika masuk Islam, saya masih bisa mencuri?"

Rasulullah saw., pun membolehkannya mencuri dan memeluk Islam tetapi Rasulullah saw., mensyaratkan agar dia tidak berbohong. Si pencuri itu pun mengiyakan. Ia masuk Islam dan akan tetap menjadi pencuri.

Suatu malam, ketika ia hendak beraksi untuk mencuri, ia ingat pesan Rasulullah saw., agar tidak berbohong. Ia pun merasa bimbang untuk beraksi karena khawatir jika ketika hendak berangkat, nanti ada orang yang bertanya, " Kamu mau ke mana?" atau " Apa yang akan kamu lakukan?" Tidak mungkin si pencuri itu akan berkata jujur, " Saya mau mencuri." Jika ia berkata jujur, maka tentunya ia akan dimusuhi dan bisa jadi gagal mencuri. Akhirnya, si pencuri itu mengurungkan niatnya untuk mencuri dan tidak jadi mencuri hanya karena pesan Rasulullah saw., untuk tidak berbohong. Pencuri pun tidak lagi mencuri pada malam-malam setelah itu hingga ia benar-benar berislam.

Dari kisah tersebut, dapat kita ambil hikmah dan pelajarannya bahwa ternyata perilaku tidak berbohong itu berbuntut pada perbuatan baik. Kebohongan yang kita lakukan akan menjadikan kita khawatir, tetapi tidak berbohong menjadikan kita lepas dari beban.

Kebiasaan berbohong itu pada dasarnya awal dari sikap buruk. Seorang koruptor pasti berbohong sehingga banyak rakyat yang menderita kelaparan karena kemiskinan. Para penyogok juga berbohong sehingga ia bisa lolos pada suatu seleksi atau hukum yang menjeratnya. Yang disogok pun berbohong sehingga ia menikmati uang haram dari sogokan ter
sebut. Tidak salah bahwa perilaku berbohong itu berbuntut juga pada perilaku-perilaku tercela yang lainnya. Dengan demikian, berbohong adalah awal dari perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang oleh agama.

Berbohong itu terkait erat dengan lisan atau mulut yang tidak terjaga. Jika kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut seseorang itu adalah perkataan yang dusta alias bohong, maka buruklah perangai orang itu. Jika ketahuan, ia tidak akan dipercaya lagi oleh orang lain. Ia pun akan tersingkir dari pergaulan dan solidaritas masyarakat, terkucil dan terbuang.

Rasulullah saw., telah memberikan banyak keteladanan kepada kita sebagai umat beliau. Salah satu teladan beliau yang paling terkenal adalah bahwa Rasulullah saw., itu bisa menjaga lisan dan mulut dari kata-kata dusta dan bohong. Oleh karena itu, Rasulullah saw., diberi julukan Al-Amin yang berarti dapat dipercaya. Ketika sebelum beliau menjadi nabi dan rasul, gelar itu sudah melekat pada diri beliau karena memang beliau bisa menjaga lisan untuk tidak bohong. Beliau pun dipercaya oleh masyarakat Arab ketika itu.

Hendaknya, sebagai umat Rasulullah Muhammad saw., kita turut meneladani beliau. Menjaga lisan dari perkataan dusta dan bohong bahkan telah dicontohkan Rasulullah saw., sebelum menjadi pewar
ta risalah. Oleh karenanya, beliau dipercaya oleh masyarakat. Bahkan ketika berdagang pun lisan beliau tetap terjaga. Beliau berkata jujur, tidak berbohong atas barang dagangan yang dijual. Hal itu berbeda dengan para pedagang di sekitar kita yang hanya menjual omong kosong dengan bualan. Sementara itu, ketika Rasulullah saw., menjadi pemimpin umat Islam di Madinah, bahkan yang keluar dari mulut beliau adalah kata-kata kejujuran. Hal itu juga sangat jelas berbeda dengan para pemimpin di sekitar kita yang korup, yang keluar dari mulutnya justru hanya janji-janji palsu.

Hendaknya kita sadar bahwa bisa saja kita berbohong di dunia, tetapi di akhirat kelak sungguh berbohong di pengadilan agung adalah sebuah hal yang sangat mustahil. Mulut kita terkunci, sementara tangan dan kaki kitalah yang berbicara.

Kembali pada Al-Qur an dan Sunah

P agi itu, Ngajiyo sudah ada di kampus. Kebetulan, hari

itu ada kuliah. Teman-teman Ngajiyo pun juga sudah pada datang. Mereka menanti dosen yang akan mengajar, ada yang duduk-duduk di depan ruang kelas, ada juga yang sudah masuk kelas sambil ngobrol dengan teman. Ngajiyo sendiri, dia baru datang. Dia pun hendak berkumpul bersama teman-temannya yang sedang duduk di depan ruang kelas.

Di situ, ternyata ada juga Abu Azam, begitu dia ingin dipanggil. Nama sebenarnya adalah Andi Wijaya. Biar terdengar kearab-araban, maka dia menamai dirinya sendiri dengan nama Abu Azam. Abu Azam adalah orang yang suka menggembor-gemborkan ajaran Islam. Memang baik sih, tetapi banyak temannya yang tidak memperhatikannya.

Ketika itu, dengan tegas dia langsung menceramahi teman-temannya, termasuk Ngajiyo yang duduk-duduk bersama mereka.

" Kita harus kembali pada Al-Qur an dan Sunah. Kita sudah terlalu jauh menyimpang agama!" katanya menggebu-gebu.

Sementara itu, teman-temannya pun menyimak dengan baik. Ada juga yang hanya menguap, pertanda ia tidak terlalu menghiraukan apa yang dikatakan oleh Abu Azam itu. Dialah Ngajiyo.

" Kita? Kamu saja kali!" kata Ngajiyo.

" Apa maksudmu? Aku kan mengajak kebaikan kepada kalian!" sergah Abu Azam.

" Terus, aku harus koprol untuk bilang wow gitu? Hahaha...," ucap Ngajiyo ngawur.

" Ini serius, Ji. Kita harus kembali kepada Al-Qur an dan Sunah."

" Kamu sajalah, saya nggak ikut."

" Lho... kenapa?"

" Saya kan nggak meninggalkan Al-Qur an dan Sunah. Jadi, saya nggak perlu kembali pada keduanya. Kalau kamu merasa sudah meninggalkan, silakan kembali. Hahaha....!" jawab Ngajiyo enteng.

Abu Azam pun mati kutu.

Terkadang, kita tidak tahu bahwa teriakan " Allahu Akbar" yang dilafalkan oleh orang-orang militan itu benar-benar menyaksikan " kebesaran Allah" . Lafal " Allahu Akbar" kini banyak dianggap sebagai lafal kekerasan jika dilafalkan di luar shalat dan azan. Mengapa demikian? Sering sekali lafal tersebut kemudian diikuti dengan aksi-aksi kebrutalan.

Ketika bulan Ramadan, lafal " Allahu Akbar" diikuti dengan penghancuran warung-warung makan di pinggir jalan yang tetap buka di siang hari. Ketika di tengah jalan, lafal " Allahu Akbar" diikuti dengan aksi pemukulan dan penghancuran beberapa fasilitas di sekitarnya. Di tempat yang lain, lafal tersebut menjadi hal yang ditakuti oleh masyarakat.

Para militan yang melafalkan " Allahu Akbar" , pada dasarnya memiliki niat yang baik, yakni amar makruf nahi mungkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran). Akan tetapi, hendaknya kita juga menilik dulu dalam QS. An-Nahl ayat 125.

" Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."

Terjemahan dari dalil Al-Qur an tersebut memberikan kepada kita cara untuk menyeru umat manusia pada kebaikan dan melarang atau mencegah mereka pada kemungkaran. Keduanya harus dilakukan dengan baik untuk semua. Perbuatan baik yang dilakukan dengan cara tidak baik ibarat mencuci tangan dengan air limbah. Hal itu sama saja dengan melakukan shalat tetapi sarung yang digunakan adalah sarung hasil mencuri. Sama juga dengan membayar zakat, tapi zakat yang digunakan untuk membayar itu adalah hasil dari mencuri. Beginilah perumpamaan bagi orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar tetapi cara yang digunakan tidak dengan cara yang baik.

Terkadang mereka asal bilang kembali pada Al-Qur an dan sunah, hanya mengacu pada dua hal tersebut tetapi tidak mengindahkan asbab al-nuzul dari suatu ayat dan asbab al-wurud dari suatu hadis. Mereka asal comot sana dan comot sini, tetapi ternyata yang dicomot itu tidak dikondisikan dengan realitas.

KH. Henry Soetopo dari PP. Krapyak Yogyakarta, dalam suatu ceramahnya pernah menyampaikan bahwa agama Islam itu ibarat tongseng. Tongseng itu bisa enak dimakan ketika dimasak dengan takaran bumbu yang tepat dan disajikan dengan nasi serta acar yang pas. Rasanya tidak terlalu pedas, tidak terlalu manis, tidak terlalu asin, dan tidak terlalu kental,

tetapi semuanya serba pas sesuai takaran. Dagingnya juga halal dan sehat, bukan daging yang sudah tidak layak dikonsumsi. Akan tetapi, para militan Islam itu hanya memakan tongseng bagian cabainya saja, sehingga lidah mereka kepedasan. Sama halnya bahwa mereka hanya mengambil ayat-ayat amar makruf nahi mungkar atau ayat-ayat tentang jihad, tetapi mereka tidak mengambil ayat-ayat dan hadis-hadis tentang kasih sayang, hikmah, nasihat, kesabaran, dan lain sebagainya. Padahal jika semua ajaran Islam itu diambil tanpa asal comot, maka rasanya akan jauh lebih nikmat dari sekadar tongseng. Hmm... yummy.... Eh... ini pembahasan tongseng atau apa sih?

Jilbaber Bicara Poligami

D ahulu, Ngajiyo punya teman di kampus, seorang

perempuan dengan jilbab yang lebar dan panjang. Tren zaman sekarang, perempuan-perempuan itu menyebut diri mereka sendiri jilbaber, karena mengenakan jilbab sebagai pakaian ideologis yang bentuknya panjang dan lebar sehingga menutup badan. Nama panggilannya adalah Maryam. Dia teman sekelas Ngajiyo di kampus.

Suatu ketika, di kelas sedang ada diskusi tentang gender dan poligami. Biasanya, pembahasan gender itu terkait dengan kedudukan perempuan sejajar dengan laki-laki dan mereka mengecam pologami. Itu yang biasanya terjadi. Menurut Ngajiyo, padahal laki-laki dan perempuan itu memang sudah sejajar, kenapa harus disejajarkan? Begitulah pemikiran Ngajiyo yang dicampur dengan pemikiran dari pesantren. Soal poligami, biarlah itu berlalu. Toh, sekarang juga banyak laki-laki yang monogami. Jika dibandingkan antara laki-laki yang monogami dan poligami, pasti banyak laki-laki yang monogami. Sementara itu, para perempuan terlalu banyak menyuarakan monogami karena ketakutan mereka. Hehehe....

Seperti biasa pula, teman-teman perempuan Ngajiyo pasti bersemangat membicarakan persamaan gender ini. Sementara itu, teman-teman yang laki-laki hanya bersikap biasa-biasa saja. Akan tetapi, ada yang menarik dari diskusi tersebut. Siapa lagi kalau bukan Maryam yang memiliki pemikiran " unik" terkait dengan persamaan gender dan poligami. Dia cenderung berbeda dengan pandangan para perempuan atau mahasiswi yang ada di kelas tersebut.

" Buat apa sih, menyejajarkan antara laki-laki dan perempuan? Bukankah Islam sudah membicarakan ini di dalam Al-Qur an?" kata Maryam. " Rasulullah saw., dulu pernah poligami. Di dalam Al-Qur an juga ada ayat yang memperbolehkan poligami. Kenapa kalian mengingkari itu dan tidak membenarkan poligami?" lanjutnya.

Semua yang ada di situ pun terperanjat dengan celetukan dari Maryam tersebut. Termasuk Ngajiyo, dia heran bahwa ternyata ada perempuan yang berpikiran seperti itu.

" Terus, besok kalau kamu menikah dan dipoligami oleh suamimu, kamu mau?" tanya Ngajiyo pada Maryam.

" Ya, tentu mau, dong. Itu kan sudah diteladankan oleh nabi kita...!" jawabnya mantap.

Ngajiyo dan yang lainnya pun hanya bisa manggut-manggut.

Setahun kemudian, Maryam sudah menikah di usia yang masih muda. Kini, dia pun berstatus sebagai mahasiswi yang sudah menikah. Statusnya kini adalah mahasiswiistri.

Ngajiyo pun ingat bahwa dalam suatu diskusi yang dulu pernah diikutinya yang mengulas tentang persamaan gender dan poligami. Tiba-tiba, keisengan Ngajiyo pun muncul. Dia pun mendatangi Maryam dan hendak bertanya.

" Sekarang kan kamu sudah menikah, bagaimana rasanya?" tanya Ngajiyo.

" Alhamdulillah, saya bahagia. Setengah dari agama telah saya lakukan," jawab Maryam.

" Kalau suamimu poligami, kamu rela tidak?" tanya Ngajiyo lagi.

" Hahh.... ya, jelas tidak lah. Bisa kutendang dia, kalau berani poligami!"

" Hahaha...." Ngajiyo mengakak mendengar jawaban itu.

Dalam hati, Ngajiyo bilang, " Dulu menggebu-gebu ketika diskusi dan menyerukan poligami. Eh... sekarang beda seratus delapan puluh derajat. Ternyata, ideologi kalah dengan perasaan cinta."

Pembahasan tentang poligami memang sudah bukan merupakan hal yang baru lagi. Seperti biasa, dari dulu, argumentasi dari pembahasan itu adalah boleh poligami atau tidak. Islam sendiri telah mengemukakan beberapa dalil, salah satunya terdapat pada QS. An-Nisa ayat 3:

" Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Terjemah ayat tersebut sudah cukup jelas bahwa Islam memperbolehkan poligami bagi seorang laki-laki. Islam membatasinya hanya sebatas empat istri. Tidak diperkenankan bahwa seorang laki-laki menikahi lebih dari empat perempuan dalam waktu semasa. Syarat dari diperbolehkannya poligami juga tidak sulit, yakni adil. Tidak sulit bukan, hanya adil terhadap istri-istrinya.

Oh, ternyata tidak demikian halnya. Berbuat adil terhadap istri-istri itu ternyata tidak mudah, tetapi sangat sulit. Bagaimana kesulitannya? Bukankah cukup digilir saja? Malam pertama untuk istri pertama, malam kedua untuk istri kedua, malam ketiga untuk

istri ketiga, malam keempat untuk istri keempat, dan terus berlanjut seperti itu. Soal nafkah, semua dikasih mobil satu-satu, dikasih uang belanja sama rata, dikasih perhiasan satu paket semua (kalung, gelang, cincin, dan anting), dikasih satu rumah mewah semua, dan dikasih berbagai hal yang semua sama rata. Eh, tidak tahunya, para istri malah kabur karena kebanyakan dikasih. Hahaha....

Nyatanya, adil itu tidak sesederhana itu. Adil tidak harus rata. Keadilan itu sangat sulit, terlebih lagi urusan hati perempuan. Perlu diketahui bahwa perempuan itu memang sangat rentan dengan urusan hati atau perasaan. Mereka itu sensitif, kecemburuan yang mereka rasakan akan bisa berakibat buruk pada mereka sendiri dan suami. Dengan demikian, jika seorang istri menuntut keadilan, tentunya ia akan merasa kekurangan dan ia akan terus membandingkan keadilan yang didapat dengan istri yang lainnya. Jika hal itu terus-menerus terjadi, bisa pecah rumah tangga tersebut. Rata-rata perempuan ingin suaminya itu memberikan cinta yang hanya kepadanya, tidak rela jika suami memberikan cinta kepada istri atau perempuan lain. Toh, sangat jarang ada perempuan yang mau dipoligami. Rata-rata mereka menolak, bahkan perempuan seperti Maryam pun menolak untuk dipoligami meskipun ketika dia belum menikah, ideologi yang dipegangnya adalah rela dipoligami. Hmm....

Selain itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh para laki-laki yang hendak berpoligami. Poligami itu hendaknya meneladani Rasulullah saw., yakni menikahi para janda yang kesusahan dalam kehidupan mereka. Boleh dikatakan, istri-istri Rasulullah saw., itu janda ketika dinikahi kecuali Aisyah. Bahkan, dengan Khadijah, istri pertama saja adalah seorang janda. Tidak hanya itu, semua istri Rasulullah itu miskin, selain Khadijah. Dengan demikian, poligami yang dijalani Rasulullah saw., pada dasarnya bukan karena ingin bersenang-senang. Bayangkan saja, semua istri itu hanya satu yang perawan, yang lainnya janda. Bahkan ada yang dinikahi ketika usia sudah tidak subur. Selain itu, semua istri beliau itu miskin, kecuali Khadijah. Dengan demikian, apa enaknya berpoligami?

Itulah keteladanan dari Rasulullah saw. Beliau menikah secara poligami tidak berdasarkan nafsu, tetapi untuk kepentingan menolong dan dakwah. Apa enaknya menikah dengan janda dan miskin? Ya, itulah alasan Rasulullah poligami, bukan untuk bersenangsenang.

Beda dengan orang-orang sekarang. Mereka yang poligami itu berdasarkan hawa nafsu. Mereka sudah menikah dengan perempuan cantik, tetapi karena masih merasa belum puas, mereka mencari lagi perempuan yang statusnya masih gadis untuk dinikahi

lagi. Tidak cukup berparas cantik dan masih gadis, tetapi juga kaya. Model poligami seperti apa ini?

Alasan mereka, daripada berbuat zina, poligami itu lebih baik. Alasan yang demikian itu bukanlah alasan yang masuk akal dan hanya digunakan oleh para laki-laki yang bernafsu tanpa melihat perasaan perempuan atau istri. Menikah itu untuk membangun keluarga yang maslahah, bukan hanya untuk pemuas nafsu. Memang benar bahwa menikah itu merupakan bentuk kehalalan dari nafsu, tetapi bukan itu melulu yang ada pada pernikahan. Hal itu hanyalah satu kewajiban dari sederetan kewajiban lainnya dari pernikahan.

Dengan demikian, jika ada orang beralasan lebih baik poligami daripada zina, sungguh hal itu hanyalah kebejatan nafsu. Menikah dipandang hanya sebagai pemuas nafsu, bukan untuk ibadah. Dengan demikian, jangan asal comot dalil poligami saja bahwa poligami itu diperbolehkan, tetapi juga harus ditelusuri dulu kaidah-kaidahnya beserta tafsirnya!

Mendoakan Orang yang Meninggal

M alam itu, Ngajiyo ikut dalam acara tahlilan di rumah

Pak Kepala Dusun. Tahlilan itu untuk mengirim doa kepada ibunya Pak Kepala Dusun yang telah meninggal 40 hari yang lalu. Acara pun berjalan khidmat dan khusyuk hingga selesai. Siang harinya, ketika Ngajiyo sedang duduk-duduk di pos ronda sambil asyik ngobrol dengan salah seorang temannya, Agus, tiba-tiba Adin mendatangi mereka yang tengah asyik mengobrol.

" Assalamu alaikum...," sapa Adin.

" Wa alaikumussalam," jawab Ngajiyo dan Agus serentak.

" Akhi, bagaimana kabarnya?"

Agus bingung dan tilang-tilung ke sekitar, mencari orang yang namanya Akhi.

" Akhi? Siapa dia?" tanya Agus.

" Oh... " afwan Akhi Agus dan Akhi Ngajiyo, saya menyapa antum berdua."

" Antum, siapa lagi itu?" tanya Agus lagi.

" Masya Allah... ya sudah, Ana ingin bicara dengan Akhi Ngajiyo dan Akhi Agus saja," kata Adin.

" Ana? Anaknya Pak RT itu ya? Mana orangnya?" celetuk Agus yang benar-benar tidak tahu. Wajar, Agus memang tidak tahu bahasa Arab yang digunakan oleh Adin.

" Astaghfirullah..." Adin terlihat bingung, sementara Ngajiyo hanya tersenyum geli.

" Ada apa, Din?" tanya Ngajiyo.

" Begini. Ana ini merasa risih dengan kebiasaan masyarakat di sini. Mereka suka membaca-baca doa untuk orang yang sudah meninggal. Padahal, doa yang sampai kepada orang yang sudah meninggal itu kan hanya dari anakanaknya yang saleh dan salehah. Jadi, tidak usah mendoakan orang-orang yang sudah meninggal itu secara berjemaah. Itu bidah dan doanya tidak sampai. Itu hanya perbuatan sia-sia," jelas Adin.

" Oh, begitu, ya?" tanya Ngajiyo.

" Betul, Akhi! Tentunya, antum sudah tahu itu. Antum kan belajar di pesantren!" jawab Adin. " Acara tadi malam juga sebenarnya bidah. Acara di rumah Pak Kepala Dusun untuk mengirim doa kepada orang yang meninggal tadi malam itu tidak boleh."

Percakapan antara mereka itu pun berakhir. Ngajiyo dan Agus hanya manggut-manggut.

Beberapa hari kemudian, ada berita duka yang datang dari keluarga Adin. Ternyata, ayahnya meninggal dunia. Ngajiyo pun turut bertakziyah ke rumah duka dan bertemu dengan Adin.

" Din, saya ingin shalat jenazah, memberi penghormatan untuk ayahmu," kata Ngajiyo.

" Oh, terima kasih, Akhi. Tafaddhal!"

Ngajiyo pun segera shalat jenazah bersama beberapa orang lain. Setelah shalat selesai, Ngajiyo pun bikin ulah.

" Ya Allah, laknatlah orang ini. Masukkanlah dia ke neraka Jahanam. Siksalah dia di dalam neraka-Mu!" Ngajiyo mendoakan jenazah dengan suara yang agak keras.

Sontak, warga pun geger ketika itu. Adin pun langsung mendatangi Ngajiyo yang bikin onar itu.

" Hai, Akhi, mengapa antum mendoakan ayah ana seperti itu?" bentak Adin dengan nada tinggi.

" Lho... tempo hari, kamu bilang kalau doa untuk orang yang sudah meninggal itu tidak sampai kalau bukan dari anaknya. Benar, kan? Makanya, doa saya tadi tidak akan sampai. Santai saja!" jelas Ngajiyo dengan ulahnya itu. Adin pun bingung, " Anu... anu... anu...."

Islam itu tidak hanya syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Islam itu keseluruhan hidup yang berasaskan keimanan kepada Allah Swt. Keimanan kepada Allah Swt., ini tentunya berpengaruh pada gaya berperilaku dan tindakan seseorang. Jika seseorang mengingat Allah, tentunya ia akan selalu berada dalam jalan keimanan dan ketakwaan. Tidak hanya itu, ia akan merasa diawasi oleh-Nya sehingga gerak-geriknya terkontrol oleh keimanan tersebut.

Islam juga tidak hanya sebatas agama individual dan ritualistik. Islam itu juga sebagai agama sosial yang bertoleransi terhadap nilai-nilai kearifan lokal di masing-masing daerah. Telah kita ketahui bersama bahwa klaim kebenaran di antara umat Islam sering terjadi. Terutama di Indonesia, yang hanya mengulas masalah-masalah cabang (furu ) yang tentunya justru menjadi perdebatan kusir berkepanjangan dan membuat sekat-sekat perbedaan.

Kisah tersebut menjadi contohnya. Adin dengan serta-merta melarang ritual-ritual yang lazim di masyarakat, yakni mendoakan seseorang yang sudah meninggal. Dia beranggapan bahwa doa tidak akan terkabul dan mengklaim bahwa ritual tersebut adalah bidah. Artinya, perbuatan tersebut memang dilarang oleh agama karena tidak ada dalilnya. Sementara itu, masyarakat kebanyakan mengamalkan perbuatan tersebut karena dinilai ibadah; berdoa, berzikir, selawat,

dan tahlil tentunya ada ajarannya dan dalilnya banyak sekali.

Ritual-ritual semacam itu banyak dipermasalahkan oleh kaum puritan. Hal itu menyerupai ajaran kaum Hindu, terutama tentang ritual mendoakan orang yang meninggal ketika meninggalnya itu berusia 7 hari, 40 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. Hal ini jelas tercatat dalam kitab suci agama Hindu. Pada dasarnya, hal itu sama sekali tidak seperti ritual dari warisan agama Hindu yang telah lebih dulu ada di Nusantara (Indonesia) ini. Apakah di dalam ritual Hindu ada lafal doa dan zikir dengan bahasa Arab? Apakah ada pula lantunan selawat kepada Nabi Muhammad saw.? Apakah ada juga lafal-lafal tahlil yang mengesakan Allah Swt.? Jawabannya tentu saja jelas tidak ada. Dengan demikian, ritual-ritual tersebut tidaklah ritual agama Hindu, tetapi ritual tradisional yang kemudian diisi secara islami.

Akan tetapi, perbedaan pendapat itu pasti ada. Ada yang mengklaim bahwa ritual tersebut adalah bidah. Akan tetapi, ada yang membela ritual-ritual tersebut. Inilah yang disebut dengan perbedaan pendapat. Dengan demikian, harus ada sikap dalam diri setiap muslim untuk bertoleransi atas perbedaan tersebut. Jika mengklaim bidah itu mempunyai landasan, maka yang membela pun mempunyai landasannya secara

syar i. Keduanya mempunyai landasan dan hal ini menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Akan tetapi, tidak semestinya menjadi perdebatan panjang dan sampai memecah belah persatuan umat Islam. Ada yang mengatakan bahwa tidak perlu bom atom untuk memorakporandakan umat Islam. Umat Islam akan hancur sendiri dari dalam karena perseteruan mereka sendiri tentang berbagai perbedaan. Perlu diketahui bersama bahwa perbedaan itu hendaknya dimaknai sebagai kasih sayang, bukan laknat. Sandal saja antara yang kanan dan kiri harus berbeda. Bayangkan saja jika sandal kanan dan kiri itu sama, apakah nyaman untuk dipakai? Bayangkan saja jika semua umat manusia di dunia ini adalah orang kaya, apakah akan ada yang menjadi karyawan suatu perusahaan yang bisa menjalankan eksistensi kekayaan perusahaan tersebut? Andai saja semua di dunia ini adalah manusia yang miskin, dari mana mereka mendapatkan upah?

Demikianlah keberagaman yang harus senantiasa dihormati dan dihargai. Jika umat Islam itu bisa bertoleransi terhadap umat agama lain, tentunya harus bisa lebih bertoleransi terhadap umat yang seagama. Bukan malah kemudian memusuhi dan menganggap beda atau bahkan menganggap kafir. Semua ada dasarnya dan harus dipertimbangkan. Wajar saja jika

agama Islam kini disebut oleh orang-orang Barat sebagai agama kekerasan. Hal itu bisa dimaklumi, lha wong sebagian umatnya sering membidah-bidahkan suatu ritual secara keras kok. Huft...!

Kapan Menyusul?

U sia Ngajiyo memang sudah menginjak kepala dua.

Akan tetapi, sebagai seorang laki-laki Ngajiyo belumlah terlalu tua untuk menikah. Meski demikian, banyak orang yang sudah menanyakan perihal pernikahan, padahal Ngajiyo masih menyandang status mahasiswa dan biasanya, mahasiswa itu jarang yang sudah menikah.

Beberapa bulan yang lalu, Ngajiyo datang ke acara resepsi pernikahan temannya, Andi. Ada yang bertanya kepada Ngajiyo, " kapan menyusul?" . Hal itu tidak terjadi sekali atau dua kali. Beberapa hari sebelumnya, ketika Ngajiyo mendatangi acara resepsi pernikahan temannya yang lain, Agus, pertanyaan tersebut juga muncul, " kapan menyusul?" .
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam hati, Ngajiyo hanya berkata, " Rasulullah saja menikah di usia 25 tahun. Saya kan belum ada 25?"

Sialnya, banyak teman seangkatan Ngajiyo yang menikah di usia muda, apalagi teman perempuan. Bahkan di antara mereka ada yang sudah punya anak. Tidak hanya teman-teman perempuan, bahkan beberapa teman lakilaki pun sudah menikah. Oleh karena itu, Ngajiyo terus

ditekan dengan pertanyaan " kapan menyusul?" oleh tetangganya.

Salah seorang bapak yang sering menanyakan " kapan menyusul?" kepada Ngajiyo adalah Pak Amat. Dia berusia sekitar 60-an tahun. Setiap kali bertemu dengan Ngajiyo, terlebih lagi di acara suatu resepsi pernikahan, pertanyaan Pak Amat kepada Ngajiyo selalu muncul dan pertanyaannya itu selalu sama, " kapan menyusul?" .

Mau bagaimana lagi, Ngajiyo sangat risih mendengar pertanyaan itu. Ngajiyo capek menjawab pertanyaan yang sama yang dilontarkan kepadanya. Jawaban dari Ngajiyo pun selalu sama, " nanti" . Akan tetapi, yang namanya orang tua, apalagi sudah bapak-bapak, semakin bertanya justru merasa semakin menang. Hehehe....

Hari ini, ayah dari Adin meninggal dunia. Acara takziyah pun dilaksanakan. Ketika pemakaman, masyarakat sekitar pun turun memakamkannya di pemakaman umum milik dusun. Ketika itu, Ngajiyo pun turut mengantar jenazah hingga ke pemakaman, begitu pula Pak Amat. Di pemakaman tersebut, mereka berdua bertemu. Kesempatan emas bagi Ngajiyo untuk " membalas dendam" kepada Pak Amat pun tidak disia-siakannya.

Ngajiyo mendekati Pak Amat, orang yang sering menanyakan, " kapan menyusul?" ketika ada acara resepsi. Dengan harapan memberi pelajaran sekaligus balas dendam, Ngajiyo pun dengan lantang bertanya kepada Pak

Amat di pemakaman itu.

" Pak, kapan menyusul?" tanya Ngajiyo.

" Apa katamu?" Pak Amat pun naik pitam. Sementara itu, Ngajiyo lari kencang meninggalkan pemakaman meskipun acara pemakaman belum selesai.

" Hehehe...," Ngajiyo tertawa.

Dasar Ngajiyo...!!!

Kematian adalah sesuatu yang pasti dialami oleh setiap makhluk yang berjiwa atau bernyawa. Kematian tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Termasuk pula manusia, kematian adalah hal yang pasti terjadi. Akan tetapi, kedatangannya selalu misteri. Kematian datang dengan berbagai dalih. Dia terkadang mendatangi orang sakit parah, terkadang mendatangi orang yang sehat tetapi mendadak sakit. Terkadang juga, kematian mendatangi setiap orang yang kecelakaan saat berkendaraan, terkadang mendatangi orang yang sedang tidur dengan pulasnya tanpa bangun. Dan lain sebagainya.

Kematian terkadang menghampiri orang tua. Akan tetapi, tidak jarang pula orang yang sepertinya belum pantas didatangi kematian, justru malah dihampirinya. Lebih dari itu, bahkan bayi pun tidak jarang yang didatangi kematian sehingga tidak dapat merasakan getir dan manisnya alam dunia ini. Kematian menjadi catatan yang tidak tersingkap di dalam takdir-Nya, tetapi menjadi keniscayaan yang pasti terjadi. Kematian menjadi misterius dan lazimnya menjadi hal yang paling ditakutkan. Akan tetapi, terkadang manusia itu justru menginginkan kematian karena mereka merasa bahwa kehidupan ini sungguh berat adanya, sehingga mereka mengira bahwa kematian akan menyudahi semuanya. Intinya, kematian itu mempunyai beragam motif dan banyak alasan untuk datang menghampiri setiap yang bernyawa.

Yang perlu kita ingat adalah kita makhluk yang fana dan tidak akan kekal. Setidaknya, kematian menyiratkan dua hal kepada kita yang masih hidup. Pertama, kematian mengingatkan kepada kita bahwa kita itu akan segera berpindah alam menuju alam berikutnya, yakni dari alam dunia ke alam barzakh untuk menuju alam akhirat. Ketika kita sudah meninggalkan alam dunia, tentu kita sudah tidak bisa lagi beramal. Penyesalan memang selalu tidak pernah di awal. Oleh karena itu, sebelum kita menyesal di kemudian hari dan selagi kita masih hidup, sebaiknya kita benarbenar mempersiapkan bekal amal kebaikan sebanyakbanyaknya. Selagi kita masih sehat, kuat, dan ada banyak kesempatan, hendaknya kita benar-benar meluangkan waktu di setiap saat untuk berbuat kebaikan dan kebajikan sebagai bekal di hari kelak.

Oleh karena itu, Rasulullah saw., menganjurkan kita sebagai umat Islam untuk senantiasa ingat bahwa kita pasti akan mati. Salah satu cara untuk mengingat kematian adalah dengan ziarah kubur. Akan tetapi, ziarah kubur yang dimaksudkan adalah untuk mengingat kematian agar senantiasa bertambah derajat ketakwaan selain untuk mendoakan mayat. Ziarah kubur bukan untuk ajang kemusyrikan, seperti meminta wangsit, keperluan untuk ilmu hitam, dan lain sebagainya. Dahulu ziarah kubur memang pernah dilarang oleh Rasulullah saw., karena dijadikan sebagai tradisi kemusyrikan. Ketika umat Islam

sudah kuat akidahnya, barulah Rasulullah saw., menganjurkannya.

Kedua, kematian mengingatkan kepada kita akan kefanaan. Dengan kematian, kita memang sudah tidak lagi bernyawa. Dengan begitu, kita menyadari bahwa di balik kematian itu ada yang Mahakekal yang bisa menghidupkan dan mematikan semuanya. Dialah Allah Swt., Zat yang tidak pernah istirahat dan tidur. Dia mengawasi semuanya dan tidak mempunyai kelemahan. Dia kekal dan kekekalannya itu tidak terbatas oleh waktu.

Manusia zaman kini usianya sangat singkat. Zaman sekarang, usia 80 tahun itu sudah sangat langka karena manusia itu meninggal sekitar usia 70-an atau bahkan kurang dari itu. Hal ini perlu kita ketahui bahwa manusia itu makhluk fana dan terbatas. Jika manusia diberikan umur panjang, maka tentunya akan ada hal yang tidak berfungsi sebagaimana selayaknya, seperti pendengarannya semakin berkurang dan penglihatannya semakin buram. Begitulah manusia, semakin panjang usianya, maka akan semakin tidak normal beberapa organ tubuhnya. Oleh karena itu, kematian memang mengingatkan bahwa kita sebagaimana manusia itu tidak bisa terlepas dari kefanaan.

Shalat Jenazah

A din memang tengah berduka atas meninggalnya

sang ayah. Dia pun ingin menjadi anak saleh, dengan mendoakan orangtuanya, terutama sang ayah yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Selain itu, ia juga menyalatinya sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah sang ayah. Bersama beberapa orang yang hendak mau menyalati jenazah ayah Adin, dia pun menata barisan sehingga terbentuklah saf yang diatur sedemikian rupa menjadi tiga barisan.

Beberapa orang yang ingin menyalatinya itu segan terhadap Adin sebagai anak dari jenazah, orang-orang itu pun bersepakat bahwa yang menjadi imam adalah Adin. Apalagi, Adin dikenal sebagai seorang pemuda yang sering berdakwah. Adin dipandang oleh masyarakat tersebut sebagai salah satu orang Islam yang melek tentang Islam, tidak seperti kebanyakan masyarakat yang baca Al-Qur an saja masih banyak yang salah.

Tidak bisa berkilah, Adin pun harus menjadi imam shalat jenazah tersebut. Pada dasarnya, Adin juga belum pernah melakukan shalat jenazah. Dia menjadi pemuda pendakwah yang sering membidah-bidahkan seperti itu juga

karena mengikuti suatu pengajian entah di mana tempatnya. Selain itu, dia sedikit tahu Islam dan tata cara shalat pun juga hanya dari buku-buku bacaan berbahasa Indonesia. Parahnya lagi, dia belum pernah membaca tentang bab shalat jenazah.

" Allahu akbar!" Adin mulai bertakbir. Takbir shalat jenazah pun diikuti oleh para makmum, " Allahu akbar!" .

" Allahu akbar!" Adin pun mengucap takbir lagi sambil menggerakkan badan. Dia rukuk. Para makmum pun keheranan. Mereka bertanya-tanya dalam hati bahwa shalat jenazah ada rukuknya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Mereka hanyalah para makmum yang awam. Mau tidak mau, mereka pun mengikuti gerakan imam.

" Sami allahu liman hamidah!" Adin sebagai imam pun berdiri, iktidal. Begitu pula para makmum yang mengikuti gerakannya. Akhirnya, shalat jenazah dilakukan dengan empat rakaat dengan sekali salam. Shalat dilakukan seperti shalat wajib empat rakaat (Isya, Zuhur, Asar); ada rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, tasyahud akhir, dan dua salam.

Setelah shalat selesai, Adin pun berdoa. Dia tidak menghendaki doa bersama, dia berdoa sendiri dalam hati, mendoakan jenazah sang ayah.

Setelah semua itu selesai, para makmum dan masyarakat sekitar yang ada di situ bertanya-tanya perihal shalat yang dilakukan Adin tersebut.

" Tadi itu shalat jenazah atau salah apa ya?" tanya Pak Amat yang menjadi makmum ketika itu.

" Shalat jenazah itu kok ada rukuk dan sujudnya juga ya?" tanya Pak Bardo yang turut menyaksikan shalat tersebut.

" Ini shalat jenazah model baru!" celetuk warga yang lain.

Karena mereka hanya bertanya-tanya ke sana dan kemari tanpa tahu jawabannya, mereka pun bertanya langsung kepada Adin.

" Din, tadi itu shalat jenazah?" tanya seorang warga yang ketika itu jadi salah satu makmumnya.

" Iya, Pak. Memang kenapa?" jawab Adin agak ragu karena dia baru sekali itu shalat jenazah, jadi imam pula.

" Oh, ternyata shalat jenazah itu ada rukuk dan sujud juga ya?" tanya seorang warga tersebut.

" Ehm... anu... begini, Pak. Ini shalat jenazah khusus, Pak. Khusus jenazah bapak saya. Saya sangat menghormatinya, sehingga shalat jenazahnya sebagaimana yang tadi dilakukan!" jawab Adin mencari alasan.

" Oh... ternyata begitu ya?" para warga pun kini tahu bahwa shalat jenazah yang tadi dilakukan itu karena terkhususkan untuk sang ayah.

Berita tentang shalat jenazah khusus yang diimami oleh Adin itu pun cepat menyebar di kampung. Maklum, war
ga kampung itu selalu memperbincangkan hal-hal yang mereka anggap aneh. Berita itu pun sampai ke Ngajiyo yang ketika itu mau berangkat takziyah ke rumah Adin.

" Eh... Ji, kamu sudah tahu belum, shalat jenazah khusus?" tanya Agus yang ketika itu bersama Ngajiyo hendak berangkat takziyah.

" Hah... shalat jenazah khusus? Bagaimana itu? Saya kok belum pernah tahu ya?" Ngajiyo balik tanya.

" Itu lho, shalat jenazah yang dilakukan Adin ketika menyalati bapaknya tadi malam!"

" Memang bagaimana shalatnya?"

" Shalat jenazah dikhususkan kepada bapaknya karena dia sangat menghormatinya. Shalatnya ada rukuk, ada sujud, dan lainnya, seperti shalat Isya itu lho...!" " Haaahh...," Ngajiyo keheranan. " Itu bidah!"

" Bidah?" Agus terkejut.

" Wadduuuuhhh...!!! Bagaimana sih Adin itu? Suka membidah-bidahkan orang kok malah dia sendiri berbuat bidah?" celetuk Ngajiyo.

Ketika suatu perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya (kehancurannya). (HR. Bukhari)

Yang pasti, hadis tersebut menginspirasikan kepada kita agar kita berbuat sesuai dengan porsinya. Gampangnya, jika kita sakit, maka yang kita datangi adalah dokter. Janganlah kita mendatangi dukun atau tukang ramal. Jika kita sakit mata, maka yang kita datangi adalah dokter spesialis mata, buka dokter ginjal atau paru-paru. Sementara itu, jika motor kita mogok, hendaknya kita mengundang teknisi yang berkompeten. Janganlah kita mendatangi bupati untuk memperbaiki mesin. Akan tetapi, jika motor kita macet dan kita mendatangi warung makan, itu tidak ada salahnya karena setelah mendorong motor terlalu jauh, perut kita tentunya terasa lapar. Di situlah solusinya. Hahaha....

Hadis tersebut mengisyaratkan kepada kita agar kita berpikir dan berlaku secara proesional dan proporsional. Profesional maksudnya adalah hendaknya kita berlaku sesuai bidang yang dibutuhkan. Proporsional adalah berbuat sesuai dengan kadarnya, pas, dan tidak kurang serta tidak lebih.

Cerita tentang Adin tersebut menjadi contoh bahwa masyarakat telah salah memilih imam untuk shalat jenazah. Ya, begitulah, jika suatu perkara tidak

diserahkan kepada ahlinya, maka kacaulah perbuatan tersebut. Masyarakat memasrahkan imam kepada si Adin yang tidak tahu tentang shalat jenazah, maka shalat jenazah pun menjadi kacau. Itulah contoh bidah yang sesungguhnya.

Menurut fikih atau syariat Islam, shalat jenazah itu hanya dilakukan dengan empat takbir, bukan empat rakaat. Shalatnya tanpa rukuk, tanpa sujud, tanpa iktidal, tanpa duduk di antara dua sujud, tanpa tasyahud awal, dan tanpa tasyahud akhir. Dengan demikian, shalat jenazah tidak sah jika dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Adin ketika menyalati ayahnya meskipun dengan dalih ter khusus kan penghormatan untuk sang ayah. Tidak ada dalil yang demikian itu.

Di era kini, banyak orang yang berbuat seperti Adin alias tidak mengamalkan hadis. Mereka menyerahkan sebuah tanggung jawab kepada pihak yang bukan ahlinya. Contohnya, banyak masyarakat kita yang terbuai dengan mitos. Orang yang sakit justru malah dibawa ke dukun yang beraliran hitam. Padahal, selain bukan ahlinya, hal itu juga merupakan kemusyrikan yang nyata.

Tidak hanya permasalahan dukun yang bikin syirik, terkadang kita juga melihat sebuah realitas yang sangat menggelikan. Seorang anak kecil yang diang
gap ajaib mampu menyembuhkan berbagai penyakit dengan air yang dicelupkan batu ajaib, sebagaimana kasus Ponari beberapa tahun yang lalu. Realitas tersebut benar-benar membuat logika kita berjungkir balik. Bagaimana bisa, batu yang dicelupkan pada air kemudian bisa menyembuhkan berbagai penyakit meskipun itu sudah terbukti. Akan tetapi, akibatnya adalah kemusyrikan yang masif. Ketika pengobatan Ponari ditutup, yang ada banyak masyarakat yang mengambil air bekas mandi Ponari atau apa saja yang berbau Ponari. Jika demikian halnya, di mana posisi Allah Swt., Tuhan yang menyembuhkan dan menciptakan? Padahal, jika kita sakit, hendaknya kita pergi ke dokter, bukan pergi ke tempat-tempat yang tidak masuk akal.

Bahkan ada yang aneh lagi. Seseorang yang ingin maju sebagai kandidat lurah, dukuh, camat, bupati, atau pemimpin apa saja, tidak jarang mereka itu pergi ke tempat dukun untuk minta petunjuk agar memenangkan pemilihan. Tidak cukup dengan pergi ke dukun, bahkan pergi ke kuburan yang dikeramatkan. Jika otak kita berpikir, apa mereka itu kurang kerjaan? Bisakah dukun dan kuburan itu memenangkan pemilihan? Demikianlah realitas yang ada, banyak orang yang mendatangi sesuatu bukan pada ahlinya dan tidak berbuat sebagaimana mestinya.

Contoh lain lagi adalah para pemimpin di negeri kita ini. Mereka seharusnya tidak layak dipilih jika akhirnya tidak mementingkan kepentingan rakyat tetapi hanya berlaku korupsi. Kita sebagai masyarakat pemilih, hanya disogok dengan sedikit sembako dan amplop yang berisi Rp25.000 aja mau. Dengan begitu, masyarakat kita memilih penyogok itu. Padahal, si penyogok itu tidak berkompeten untuk memimpin rakyat. Akhirnya, kepentingan pribadilah yang diutamakan oleh penyogok itu ketika dia menjadi pemimpin sementara kepentingan rakyat diabaikan begitu saja.

Itulah kesalahan kita sebagai pemilih. Sering kali kita memasrahkan tanggung jawab atau suatu hal kepada seseorang yang bukan ahlinya. Akhirnya, negeri ini kocar-kacir, kemiskinan merebak di mana-mana, dan birokrasi pemerintahan sangat buruk. Lebih parahnya lagi, korupsi merupakan " makanan sehari-hari" sehingga kita hanya mengelus dada ketika media memberitakannya.

Cerita tentang Adin, tentunya cukup untuk kita ambil sebagai pelajaran yang sangat penting terkait dengan hadis. Ketidakahlian seseorang justru menjadi hal yang diprioritaskan untuk dipasrahi tanggung jawab, padahal akibatnya fatal juga. Dengan demikian, waspadalah...!

Celana Cingkrang

P enampilan seseorang terkadang atau bahkan sering

kali menjadi patokan klasifikasi orang itu sendiri. Seseorang yang sering kali mengenakan pakaian bermerek dan berkualitas, bisa ditebak bahwa dia adalah orang kaya atau berasal dari keluarga kaya. Seseorang yang berpakaian sederhana dan terkesan biasa-biasa saja, dicitrakan sebagai seorang yang demikian adanya. Seseorang yang berpenampilan dengan pakaian yang sobek dan lusuh, mungkin dia adalah seorang pengemis. Sementara itu, seseorang yang tidak berpakaian dan tidak malu berjalan-jalan di jalanan dengan tanpa pakaian, berarti dia orang gila. Hahaha....


Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pendekar Naga Geni 22 Jejak Telapak Pendekar Rajawali Sakti 88 Topeng Setan

Cari Blog Ini