Ceritasilat Novel Online

Berislam Dengan Senyum 2

Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah Bagian 2

Tidak hanya klasifikasi sosial yang dapat dilihat dari penampilan atau cara berpakaian. Lebih dari itu, ideologi juga terkadang bisa terlihat dari segi penampilan seseorang dalam berpakaian. Seseorang yang terbiasa mengenakan sarung berarti dia berasal dari latar pesantren, seorang santri, atau orang desa yang gemar bersarung. Seseorang yang suka mengenakan celana panjang tetapi cingkrang, bisa dikatakan bahwa ia memahami dalil agama secara tekstual.

Celana cingkrang itu biasa dikenakan oleh dua orang teman Ngajiyo, yakni Abu Azam di kampus dan Adin di kampung. Suatu ketika, Ngajiyo berdialog dengan Abu Azam di kampus tentang celana cingkrang.

" Ji, apa kamu itu tidak diajarin di pesantren soal isbal?" tanya Abu Azam.

" Memangnya kenapa?" tanya Ngajiyo.

" Lha iya, sebagai umat Islam, kita kan dianjurkan untuk tidak isbal, tidak mengenakan celana yang ukurannya di bawah mata kaki. Celanamu itu lho, menutupi mata kaki. Lihat, celanaku kan di atas mata kaki! Jadi, saya nggak isbal."

" Memangnya kenapa kalau celana saya menutupi mata kaki?"

" Ya jelas itu dilarang. Kalau dilarang, berarti itu dosa!" tegas Abu Azam.

" Oh, jadi saya berdosa ya?" Ngajiyo mulai beraksi.

" Ya iyalah. Celanamu itu menutupi mata kaki kok!" terang Abu Azam.

" Kalau boleh tahu, mengapa isbal itu dilarang?"

" Ada dua hal yang menyebabkan isbal itu dilarang. Pertama, karena celana yang isbal itu dikhawatirkan nanti akan menyapu najis jika di jalanan ada kotoran semisal

kotoran ayam dan kotoran lainnya. Kita kan nggak tahu kondisi lingkungan yang kita lalui. Terus kalau kita mau shalat, kan jadi meragukan karena pakaian yang dikenakan itu ternyata ada najisnya yang menempel di ujung bawah celana. Kedua, pakaian yang menutupi mata kaki itu memperlihatkan kesombongan. Dahulu, di zaman Rasulullah, pakaian yang sampai bawah alias sampai menutupi mata kaki itu adalah orang-orang sombong. Mentang-mentang punya kain yang banyak dan mencukupi, pakaian yang digunakan kemudian dipanjangkan," Abu Azam menjelaskan.

" Oh, begitu ya?"

" Iya..."

" Tapi kan kalau untuk menghindari najis, saya bisa kok, walaupun celana saya menutupi mata kaki. Yang penting kan tidak sampai menyapu tanah atau lantai. Lagi pula, di sini itu bukan di padang pasir. Semua bersih, tidak ada ayam ataupun unta. Toh, jika ini najis, saya bawa sarung di tas kok kalau mau shalat. Ini sarungnya! Jadi, saya nggak apa-apa dong, pakai celana begini! Hehehe..."

" Ya iya sih... tapi... ehm...," Abu Azam bingung.

" Kalau untuk alasan sombong, saya kira enggak deh. Saya nggak pernah sombong soal celana kok. Toh celana saya juga bukan celana mahal. Belinya saja di pinggiran jalan. Selain itu, lha wong tradisi masyarakat kita itu kalau pakai

celana panjang ya memang menutupi mata kaki kok. Itu sewajarnya. Yang tidak wajar itu yang pakai celana panjang kok tidak seperti biasanya. Seperti kamu itu, pakai celana panjang yang cingkrang. Apalagi, kamu kemudian malah menyombongkan diri dengan celana cingkrang itu. Kamu jadi merasa sok paling bisa mengikuti ajaran Islam, merasa sok benar. Jadi, siapa yang sombong? Yang pakai celana cingkrang apa yang pakai celana panjang yang ukurannya wajar-wajar saja?" Ngajiyo mengeles.

" Anu... begini... anu... maksudku...," Abu Azam kebingungan tidak bisa menjawab.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan celana cingkrang. Selain mengikuti sunah Nabi saw., hal itu juga bisa mengantisipasi kotor dan basah saat banjir. Yang salah adalah jika orang-orang yang celana cingkrang itu menyalahkan orang-orang yang tidak seragam dengan mereka. Maksudnya, merasa menjadi pihak yang paling benar merupakan hal yang terlampau egois. Abu Azam dalam cerita tersebut tampaknya terlihat seperti merasa paling benar sehingga berusaha agar orang lain juga mengikuti. Merasa dirinya paling benar, maka timbullah sebuah " penyakit" yakni menganggap orang lain salah. Dengan demikian, hal itu diikuti dengan kesombongan akan kebenarannya.

Itulah masalahnya. Pada dasarnya, tidak ada yang menyalahkan jika ada orang yang mengenakan celana cingkrang. Akan tetapi, tidak dibenarkan pula bagi orang-orang yang bercelana cingkrang itu menyombongkan diri bahwa diri mereka itu paling benar. Celana cingkrang yang pada dasarnya ingin mengikuti ajaran Islam tentang larangan isbal agar terhindar dari sifat sombong, justru malah jatuh pada kesombongan yang lain. Ibarat keluar dari kandang harimau, malah jatuh tertimpa tangga. Eh salah, ibarat keluar dari kandang harimau, malah masuk ke dalam sangkar buaya. Padahal, yang salah adalah tidak bercelana alias telanjang. Hehehe....

Islam ditafsirkan secara beragam oleh masing-masing pribadi. Artinya, sebuah ayat bisa multitafsir. Begitu pula dengan sebuah hadis tentang isbal. Ada yang menafsirkannya secara tekstual sehingga isbal yang dilarang itu adalah celana atau gamis laki-laki yang ukuran bawahnya di bawah mata kaki. Ada pula yang menafsirkan bahwa isbal dilarang karena memang mengandung arti kecongkakan, kesombongan, dan keangkuhan yang kerap kali ditunjukkan oleh orangorang kafir ketika itu (di zaman Rasulullah saw). Dengan demikian, penafsiran-penafsiran tersebut melahirkan pemahaman yang berbeda-beda dengan gaya implentasi yang berbeda-beda pula.

Islam itu indah meskipun penafsiran yang ada itu berbeda-beda. Mengapa indah? Ibarat pelangi, Islam itu ada mejikuhibiniu. Warna-warna itu kontras, tetapi sungguh indah. Andai saja pelangi itu hanya satu garis merah, apa bedanya dengan sehelai benang merah? Oleh karenanya, perbedaan itu boleh-boleh saja, asalkan terlihat indah dan benar-benar indah (baca: rukun).

Haram!

H aji Karso adalah satu-satunya orang yang sudah ber
gelar haji di kampung. Oleh karena itu, dia sangat disegani dan dihormati oleh masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat yang awam itu, Haji Karso selalu dipatuhi karena dianggap paling paham tentang berbagai persoalan agama. Seperti halnya ketika Haji Karso memerintahkan kepada masyarakat sekitar agar tidak lupa mengakikahi anak yang lahir, sontak masyarakat pun mematuhinya. Tidak hanya itu, bahkan di masjid pun dia sering kali ditunjuk untuk menjadi imam shalat. Tidak hanya menjadi imam shalat, bahkan khotbah juga dipercayakan kepada Haji Karso.

Masyarakat memang sangat menghormatinya. Oleh karena itu, jika ada suatu perkara yang terkait dengan agama, dia selalu menjadi rujukan masyarakat. Namanya yang terus melambung di mata masyarakat, membuat Haji Karso berkeinginan untuk membuat pengajian warga. Yang mengasuh adalah dirinya sendiri. Masyarakat pun berdatangan ketika pengajian itu diadakan.

Di waktu-waktu santai, Haji Karso sering berjalan-jalan. Dia sering menyapa dan menegur warga. Ketika menyapa warga yang ditemui, dia pun kemudian menanyakan, " Sampean sudah shalat apa belum?" Jika sudah ditanya, warga pun kebingungan untuk menjawab jika memang belum shalat. Akhirnya, mereka malu sendiri. Jika ada yang mengobrolkan aib orang lain, dengan lembut ditegur oleh Haji Karso. Akhirnya, kebiasaan ngrasani pun semakin berkurang.

Pengaruh Haji Karso bagi masyarakat kampung memang sangat luar biasa. Meskipun dia lebih pandai dari masyarakat tentang berbagai persoalan agama, tetapi ternyata Haji Karso juga gaptek. Apalagi terhadap HP. Dia sering lupa cara mengoperasikan HP meskipun dia juga punya HP. Dia hanya bisa mengangkat telepon dan membaca SMS yang masuk, untuk membalas SMS, dia sering minta bantuan orang lain. Maklum, usianya sudah kepala lima.

Tidak hanya gaptek, Haji Karso juga sering kali salah pengertian terhadap berita yang ada. Ketika ada berita lumpur Lapindo di Sidoarjo beberapa tahun lalu, dia menyangka bahwa itu adalah banjir lumpur dari laut. Ketika ada berita Tsunami di Pangandaran, dia mengira bahwa Pangandaran itu bukan di Indonesia, tetapi di luar negeri. Masih banyak hal lain lagi yang dia sendiri salah terima.

Terkait dengan itu, ternyata Haji Karso juga mempunyai sikap anti terhadap Israel yang suka membikin rusuh. Apalagi setelah melihat beritanya di televisi tentang pe
nyerangan Israel terhadap Palestina. Dia selalu geram terhadap Israel. Namun kali ini, dia tidak salah dalam menerima berita tentang kekejaman Israel terhadap Palestina.

" Kita turut merasa berduka atas penyerangan dan penyiksaan Israel terhadap saudara-saudara kita di Palestina!" kata Haji Karso dalam suatu pengajiannya dengan beberapa warga di teras rumahnya.

Haji Karso berkoar-koar seolah berpidato di atas podium di depan ribuan massa, ternyata para warga yang mendengarkan itu tidak tahu apa-apa. Mana mungkin masyarakat petani tahu tentang Israel-Palestina?

" Oleh karena itu, mari kita bantu mereka dengan doa. Untuk Israel, mari kita hindari barang-barang yang dibikin oleh Israel. Barang-barang bikinan Israel itu banyak beredar di sini, seperti minuman bersoda, beberapa merek sabun, dan lain sebagainya. Produk Israel itu haram!" kata Haji Karso lagi.

Tiba-tiba, suara HP terdengar. Ternyata itu adalah HP milik Haji Karso. Ya, ada SMS. Haji Karso pun kemudian mengeluarkan HP dari sakunya dan membaca SMS tersebut. Hanya membaca, tidak bisa membalas.

Di tengah-tengah keheningan karena Haji Karso diam dan sedang membaca SMS itu, ternyata ada yang nyeletuk. Siapa lagi kalau bukan si pemuda yang usil, Ngajiyo.

" Haji, HP itu bikinan siapa?" celetuk Ngajiyo.

" Wah, saya nggak tahu!" jawab Hai Karso.

" Waduh, jenengan ini bagaimana toh? Itu bikinan Israel lho. Haram...!" kata Ngajiyo.

" Haahhh... yang benar saja! Waduh, kalau begitu, nggak tak pakai saja HP ini. HP ini haram," kata Haji Karso sembari meletakkan HP.

" Oh ya... jenengan kan dulu pernah ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Jenengan ke sana itu naik apa ya?" Ngajiyo kembali beraksi lagi.

" Ya pesawat terbang to...!"

" Setahu saya, pilot dari pesawat terbang yang menerbangkan para jemaah haji itu orang Israel lho...!"

" Haahh... yang benar saja, Ji!" sergah Haji Karso.

" Iya, benar. Dia orang Israel," jawab Ngajiyo yang tidak berdasar itu. Padahal Ngajiyo juga tidak tahu siapa pilotnya.

" Waduhhh... kalau begitu, haji saya tidak sah dong!"

Muka Haji Karso pun terlihat pucat. Sementara itu, beberapa orang yang ada di situ hanya bengong. Mereka tidak tahu apa atau siapa Israel itu. Mereka saling bertanya satu sama lain. Ada yang menjawab bahwa Israel itu seorang menteri atau pejabat. Hahaha....

Dalam satu dekade terakhir ini kita sering mendengar propaganda " Anti-Israel" . Hal itu berdampak pada beberapa hal, yakni banyak masyarakat yang melek berita itu menghindari produk-produk Israel. Bahkan, menteri dalam negeri di tahun 2012 lalu sempat menyuarakan wacana embargo produk-produk Israel ke Indonesia. Hal itu merupakan ekspresi betapa geramnya masyarakat muslim Indonesia terhadap Israel yang telah meluluhlantakkan Palestina dan mencoba merebut kembali Jerusalem, tanah yang dijanjikan Tuhan itu dan memperluas wilayahnya.

Kabar kebiadaban Israel telah sampai ke telinga masyarakat kita melalui berbagai siaran dari televisi, internet, dan surat kabar. Semua itu membuat kita menjadi geram dan sangat membenci Israel. Jika kita renungkan, kita akan teringat tentang petuah dari Nabi Muhammad saw., yang mengajarkan kepada kita agar mencintai sesuatu atau seseorang dan membenci sesuatu atau seseorang itu sekadarnya saja karena bisa jadi di kemudian hari justru bisa berkebalikan adanya; yang dulunya benci jadi cinta, dan yang dulunya cinta jadi benci.

Hendaknya pesan Rasulullah saw., kita resapi dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, Rasulullah saw., mengajarkan yang demikian itu agar kita sebagai umat Islam tidak terjebak pada kebencian dan kecintaan yang berlebihan. Kita telah

mafhum bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Berlebihan dalam makan akan menimbulkan kekenyangan yang bisa mengakibatkan sikap malasmalasan dan bahkan penyakit obesitas. Berlebihan begadang juga tidak baik karena bisa menimbulkan sakit serius. Berlebihan beribadah (mahdlah) pun juga kurang baik karena bisa melalaikan urusan dunia lainnya yang sangat penting; makan, minum, bergaul dengan istri, dan lainnya. Berlebihan duduk juga tidak baik karena bisa berakibat persendian menjadi kaku dan menimbulkan berbagai penyakit. Berlebihan punya uang juga tidak baik karena akan semakin melalaikan urusan akhirat dan bahkan bisa dicurigai oleh tetangga. Berlebihan tidur juga tidak baik karena bisa menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Oleh karena itu, berlebihan tidak baik.

Itulah takaran dalam kehidupan kita, agar kehidupan yang dijalani ini berjalan dengan seimbang. Kita tidak dituntut untuk melulu shalat dan puasa, karena kita tidak boleh melupakan tanggung jawab kita di dunia. Kita tidak dituntut untuk melulu berzikir dengan berdiam diri di masjid, karena kita bisa melakukan zikir sambil berbisnis agar bisnis kita berkah dan selalu ingat akan kebajikan.

Kasus dari Haji Karso tersebut memang sering terjadi. Akan tetapi, Haji Karso juga tidak salah jika membenci Israel karena kekejaman mereka membantai

umat Islam di Palestina. Hanya saja, kita tidak boleh terlalu berlebihan dalam menghentikan kebutuhan kita dari berbagai produk Israel yang kita butuhkan. Produk-produk Israel di Indonesia banyak berbedar; minuman bersoda, sabun, peralatan teknologi, program-program komputer, media sosial di internet, dan lain sebagainya. Memang benar setiap penjualan tersebut sebagian dana tersebut mengalir kepada orang-orang Israel yang punya produk. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak bahwa kita juga membutuhkannya. Oleh karena itu, kita tidak usah terlalu ambil pusing dengan hal itu. Jika kita ingin benar-benar menghindari produk-produk tersebut, kita akan kesusahan sendiri. Dengan demikian, hendaknya kita

biasa-biasa saja dan sekadarnya saja. pustaka-indo.blogspot.comh t t p

Jilbab Modis

M odel berpakaian di pesantren dengan model berpa
kaian di kampus itu ada bedanya. Itulah yang dilihat oleh Ngajiyo. Jika di kampus itu banyak yang mengenakan berbagai model celana sebagai pakaian bawahan, di pesantren justru banyak yang mengenakan sarung. Jika di kampus itu model jilbab yang dikenakan oleh mahasiswi sangat beragam dan model-model, di pesantren hanya biasa-biasa saja. Setidaknya itulah yang bisa ditangkap oleh Ngajiyo.

Salah seorang teman Ngajiyo di kampus yang mengenakan jilbab dengan gaya model-model atau yang disebut jilbab modis itu adalah Nisa. Setiap hari, model jilbabnya berganti-ganti. Terkadang jilbabnya ada punuknya, terkadang bulat, terkadang berlapis-lapis, terkadang model serban seperti para wali. Pernah juga dilipat-lipat ke sana dan kemari, dilambai-lambaikan kemari dan ke sana, terkadang model jilbab yang terlihat rambutnya, terkadang model ini, terkadang model itu, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, Ngajiyo masih agak asing dengan gaya bermodel dari jilbab-jilbab yang sering dipakai oleh Nisa dan teman lainnya di kampus. Ngajiyo pun bertanya kepada

Nisa yang hari itu memakai jilbab dengan model lapislapis ada punuknya.

" Nis, kalau saya perhatikan, setiap hari kamu pasti gontaganti gaya jilbab. Kamu itu jualan jilbab po? Hehehe....! tanya Ngajiyo.

" Weehhh... enak saja jualan jilbab. Begini, agama kita itu kan mengajarkan setiap perempuan untuk berjilbab. Nah, agar terlihat menarik, ada bagusnya memakai jilbab yang lagi nge-trend kayak gini," jawab Nisa.

" Oh, jadi pakai jilbab itu biar menarik to?" tanya Ngajiyo lagi.

" Ya iyalah... masak ya iya dong! Hehehe...," jawab Nisa.

" Sekarang saya mau tanya lagi. Mengapa Islam mengajarkan agar perempuan itu berjilbab?" Ngajiyo mulai beraksi.

" Apa ya? Aku lupa," Nisa pun berpikir. " Oiya, agar perempuan itu terjaga dari pandangan laki-laki. Jilbab itu untuk melindungi perempuan!" jawabnya tegas.

" Terus, kenapa kamu pakai jilbab modis yang katamu biar menarik itu? Katanya untuk melindungi perempuan, kok jilbabmu malah justru menarik dan bikin laki-laki tertarik?" tanya Ngajiyo lagi.

" Uhm...," Nisa tidak bisa menjawab.

Model berpakaian orang berbeda-beda. Ada yang suka memakai kaus, kemeja, celana jins, celana panjang, celana cingkrang, dan lain sebagainya. Bagi kaum perempuan, ada yang memakai jilbab dengan model biasa, ada yang memakai jilbab dengan model langsungan, ada yang memakai jilbab dengan modelmodel (bingung, sekarang banyak model dalam berjilbab, biar enak disebut jilbab model-model saja), dan ada pula yang tidak memakai jilbab.

Itu terserah mereka. Apa pun modelnya, itu terserah mereka yang memakai. Akan tetapi, yang tidak boleh ditinggalkan adalah etika dan pesan dari pakaian itu sendiri. Sebagaimana pesan dari jilbab yang selain mengandung keanggunan muslimah, juga mengandung nilai-nilai estetika dan etika spiritual beragama. Memang benar bahwa fungsi jilbab adalah untuk melindungi kaum muslimah dari pandangan-pandangan laki-laki yang nakal. Tidak hanya melindungi kaum muslimah, tetapi juga untuk mengontrol diri bagi muslimah agar berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam.

Akan tetapi, kini jilbab telah mengalami pergeseran fungsi. Pada dasarnya, jilbab difungsikan untuk melindungi kaum muslimah dan mengontrol diri, ternyata kini sudah berubah. Jilbab kini hanya sebatas model untuk dipamerkan. Kini banyak perempuan

muslimah yang mengenakan jilbab modis. Tidak lain bahwa mereka mengenakan jilbab modis seperti itu adalah untuk gaya-gayaan, biar dikatakan gaul, biar dianggap tidak jadul, dan alasan-alasan yang telah jauh dari syariat Islam. Jilbab-jilbab yang demikian itu bukan untuk melindungi kaum muslimah dari pandangan nakal laki-laki, melainkan justru menimbulkan ketertarikan pada laki-laki untuk terus memandang perempuan berjilbab modis dengan pandangan nakal. Bahkan, jilbab seperti itu juga bukan untuk mengontrol diri kaum muslimah, melainkan justru memperlihatkan sikap berlebihan perempuan dalam berpakaian.

Apakah yang demikian itu disebut jilbab? Kalau dilihat secara fisik, yang demikian itu memang disebut jilbab. Akan tetapi, secara hakikatnya yang demikian itu bukanlah jilbab, melainkan aurat konsumerisme. Padahal, selain mengajarkan untuk berjilbab, Islam juga mengajarkan untuk berpakaian dengan sopan dan tidak berlebihan. Sementara itu, jilbab modis itu sangat berlebihan. Apalagi, kini jilbab modis itu dibarengi dengan paket kaus dan celana yang ketat. Sungguh hal itu tidak sopan. Sudah berlebihan, ditambah lagi tidak sopan. Dengan demikian, jilbab modis merupakan hal yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang hakiki.

Akan tetapi, sekali lagi, itu terserah kepada mereka yang memakai. Penulis hanya bisa mengingatkan lewat buku ini. Huft... L #pasangmukamarah.

Orang-Orang Kaya dan Seorang Arif

S uatu sore, Ngajiyo dipanggil oleh Kiai untuk mene
mani mengobrol di rumahnya. Ketika tengah serius mengobrolkan tentang pengajian pesantren, tiba-tiba ada seorang tamu. Tidak berselang lama, ada tamu satu lagi. Tidak lama kemudian, datang lagi seorang tamu. Sore itu, ada tiga tamu yang datang ke rumah Kiai. Maklum, Kiai adalah seorang yang banyak relasinya, jadi, tidak jarang Kiai ada tamu seperti yang terjadi sore itu.

Ngajiyo disuruh oleh Kiai untuk membuat minuman dan menyuguhkan beberapa makanan ringan untuk para tamu. Ngajiyo pun mengiyakan perintah Kiai tersebut.

Ketika Ngajiyo sedang menghidangkan minuman di hadapan para tamu, Ngajiyo mendengar percakapan para tamu itu.

" Hmm... anak saya yang paling besar itu sekarang jadi manajer perusahaan. Dia sekarang punya rumah mewah. Saya saja dibangunkan rumah," kata tamu 1 menyombongkan.

" Kalau anak saya sekarang jadi anggota DPR. Mobil yang saya pakai ke sini itu adalah mobil baru anak saya yang dikasihkan kepada saya," kata tamu 2 juga tidak mau kalah.

" Anak saya dua-duanya jadi pengusaha. Setiap awal bulan, rekening saya ditransfer uang dari anak-anak saya itu. Walaupun cuma lima puluh juta setiap bulan, ya, lumayanlah untuk kebutuhan sehari-hari dalam sebulan," kata tamu 3 menimpali.

Percakapan mereka tidak hanya sebatas sombong-sombongan. Lebih jauh lagi, mereka menceritakan usahausaha mereka dan berbagai hal yang bisa dipamerkan.

Tiba-tiba, Kiai pun menyelak pembicaraan mereka.

" Aduh, beruntung sekali Anda semua ya? Kalau saya ini hanya orang miskin jika dibandingkan dengan Tuhan yang sangat kaya. Tapi, ya, alhamdulillah, saya masih diberi kesehatan dan rezeki yang cukup. Selain miskin, saya juga orang yang punya banyak dosa. Wah, malu sekali saya jika dibandingkan dengan Anda semua yang beruntung itu," kata Kiai.

Para tamu pun diam dan berhenti bicara. Para tamu yang menyombongkan kekayaan justru dihadapi oleh seorang yang arif, rendah hati, dan tidak sombong. Ternyata, orang-orang kaya itu malah merasa malu.

Banyak orang yang menyombongkan diri dengan kekayaan harta yang dimiliki. Mereka merasa menjadi orang yang terhebat di dunia ini. Padahal, kaya harta tidak menjamin hidup bisa tenang. Terkadang, mereka waswas kalau-kalau kekayaannya dicuri orang melalui modus penipuan. Terkadang juga mereka tidak bisa tidur karena khawatir mobil yang ada di garasi rumah justru kemalingan. Tidak hanya itu, terkadang mereka juga takut jika kekayaan harta itu justru akan dijadikan rebutan oleh anak-anak mereka kelak.

Pepatah Arab mengatakan bahwa kekayaan itu (sejatinya) adalah kaya hati. Ya, kekayaan hati. Hati yang kaya adalah hati yang selalu membimbing pemiliknya pada jalan kebajikan. Hati yang kaya itu mempunyai berbagai kekayaan; ikhlas, sabar, rendah hati, dan lain sebagainya. Hati yang kaya itu juga terhindar dari berbagai penyakit hati; iri, dengki, sombong, dan lain sebagainya.

Sementara itu, tidak jarang bahwa kekayaan harta itu membuat hati menjadi miskin. Dengan kekayaan harta, terkadang manusia lupa akan tanggung jawabnya terhadap Tuhan; yakni bersyukur dan bersedekah. Kekayaan harta itu bisa membuat orang menjadi sombong, tetapi kekayaan hati itu membuat orang menjadi rendah hati. Orang sombong selalu dibenci oleh orang lain, berkebalikan dengan orang yang selalu rendah hati.

Akan tetapi, kekayaan harta itu tidak menjadi masalah asalkan hatinya juga kaya. Kekayaan harta yang dibarengi dengan kekayaan hati, menjadikan orang selalu bisa bersyukur dan bersedekah. Dengan demikian, orang yang kaya harta sekaligus kaya hati ini akan bisa membantu orang lain yang berada dalam himpitan ekonomi.

Kisah Abdurrahman bin Auf menjadi contohnya. Dia adalah seorang sahabat Nabi Muhammad saw., yang saleh dan kaya. Usahanya adalah bisnis atau berdagang. Dengan bisnis yang dijalankannya itu, membuat Abdurrahman menjadi seorang yang kaya raya. Akan tetapi, dia tidak terlenakan oleh harta kekayaannya yang banyak dan melimpah itu. Kekayaannya itu justru banyak digunakan untuk bersedekah, membantu jihad Islam, dan lain sebagainya. Bahkan, setiap malam dia menangis dan tidak bisa tidur jika hartanya itu masih ada gudangnya dan belum digunakan untuk sedekah dan membantu sesama. Walaupun kaya, ternyata Abdurrahman tidak pernah menyombongkan diri akan kekayaan hartanya itu. Dia adalah sahabat yang kaya harta tetapi juga kaya hati.

Keteladanan yang diberikan oleh Abdurrahman bin Auf tersebut mungkin saja masih asing bagi orangorang kaya di masa kini. Mereka terlampau sibuk dengan kekayaan mereka dan justru lalai terhadap hakhak dari para fakir miskin atas kekayaan yang mereka

kuasai. Apalagi jika jalan yang digunakan untuk mendapat kekayaan itu adalah jalan yang tidak dibenarkan oleh agama. Tentunya, kekayaan itu tidak berkah dan justru akan mengundang malapetaka.

Jika kita mendapatkan nikmat berupa kekayaan harta, itu adalah cobaan bagi kita. Cobaan itu bisa berupa kesusahan dan kenikmatan. Cobaan yang berupa kesusahan itu banyak disadari. Akan tetapi, cobaan yang berupa kenikmatan itu jarang disadari bahwa itu adalah cobaan. Oleh karena itu, kaya hati akan mengingatkan kita pada berbagai hal yang benar dan bajik.

Setidaknya, kenikmatan itu disikapi dengan rasa bersyukur. Allah Swt., telah mengajarkan kepada kita melalui QS. Ibrahim ayat 7 ini:

" ... Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku (Allah) akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Dengan bersyukur, nikmat yang kita dapat akan semakin banyak. Akan tetapi jika kita kufur terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Allah, maka azab siap menanti.

Menyukuri kenikmatan yang berupa kekayaan harta, tidak hanya dengan melafalkan hamdalah dan ingat

akan Allah yang Mahakaya. Lebih dari itu, bersyukur terhadap nikmat kekayaan harta itu juga dilakukan dengan perbuatan, yakni bersedekah dan membantu orang-orang yang membutuhkan. Inilah salah satu konsep kekayaan harta yang dibarengi dengan kekayaan hati. Orang-orang kaya harta yang dibarengi kaya hati itulah teladan manusia. Meskipun kaya, mereka tidak terlena dengan harta. Akan tetapi, mereka justru bisa membantu meringankan beban ekonomi orang-orang yang kesusahan.

Perbedaan Awal Bulan

B ulan Sya ban sudah hampir habis. Bulan Ramadan

pun sudah di depan mata. Umat Islam pun menyambutnya dengan riang gembira. Akan tetapi, hal yang menjadi keresahan bersama bagi umat Islam di Indonesia adalah bahwa awal bulan Ramadan itu sering tidak bersamaan. Jika awal bulan Ramadan bersamaan, nanti awal bulan Syawal atau hari raya Idul Fitri ada yang tidak bersamaan. Hal itu sudah sering kali terjadi di Indonesia. Begitu pun dengan teman-teman Ngajiyo di kampus, ada yang mengikuti keputusan pemerintah dan ada pula yang mengikuti keputusan ormas yang diikutinya.

" Kita itu akan mulai puasa Ramadan pada hari Kamis. Saya ikut salah satu ormas yang telah menetapkan bahwa tanggal 1 Ramadan itu jatuh pada hari Kamis besok," kata Fauzan.

" Kalau saya, pasti ikut keputusan pemerintah saja. Yang berhak memutuskan untuk kemaslahatan keagamaan negara kita itu kan pemerintah! Makanya, saya ikut pemerintah. Mau Kamis atau Jumat, saya tetap ikut pemerintah," Rahmat berpendapat.

" Perhitungan dengan metode hisab sudah tepat dan benar. Kenapa harus mengikuti pemerintah yang terlalu berlebihan menggunakan rukyat?" timpal Fauzan.

" Lho, memang begitulah dalilnya. Untuk menentukan awal bulan itu tidak hanya dengan hisab, tapi juga dengan rukyat dong," tegas Rahmat membantah.

" Kalau begitu, yang dirukyat kenapa harus Ramadan dan Syawal saja? Bulan-bulan yang lain kok nggak?" bantah Fauzan yang tidak mau kalah.

" Emangnya kamu mau puasa Ramadan di bulan Muharram, Safar, dan lainnya?" timpal Rahmat.

Perdebatan di depan kelas itu pun semakin ramai. Dalil tentang hisab dan dalil tentang rukyat mereka keluarkan. Akan tetapi, perdebatan di antara mereka tidak selesaiselesai. Satu pihak mengikuti ketetapan salah satu ormas besar di Indonesia, sementara pihak lain lebih memilih keputusan pemerintah tentang awal bulan Ramadan. Kedua pendapat tersebut terus diperdebatkan hingga mereka benar-benar lelah mengeluarkan dalil ini dan itu.

" Sudah... sudah... kalian tidak akan selesai!" Ngajiyo yang sedari tadi diam saja, tiba-tiba menyela perdebatan mereka.

" Menurutmu, bagaimana menyelesaikan persoalan ini, Ji?" tanya Fauzan.

" Iya, Ji, bagaimana?" Rahmat juga menambahi tanya.

" Saya sudah bilang tadi, ini tidak akan selesai!" jawab Ngajiyo.

" Terus, bagaimana?" tanya Fauzan dan Rahmat hampir bersamaan.

" Nggak usah diselesaikan karena memang nggak bisa selesai. Biarin aja!" jawab Ngajiyo enteng.

" Wah, kamu itu! Kalau begitu, kamu mau mulai puasa Ramadan kapan?" tanya Rahmat.

" Tanggal 1 Ramadan aja." " Kapan itu?" tanya Fauzan. " Ya, beberapa hari lagi."

" Hari apa?" desak Fauzan dan Rahmat.

" Ah, itu nggak penting. Yang pasti saya akan mulai puasa tanggal 1 Ramadan," jawab Ngajiyo kemudian ngeloyor, meninggalkan perdebatan yang tidak akan selesai itu.

Rahmat, Fauzan, dan beberapa mahasiswa yang turut berdebat di situ pun cuma bengong.

Hal yang paling sering menjadi bahan perbincangan dan perdebatan bagi masyarakat muslim Indonesia ketika bulan Sya ban sudah hampir berakhir adalah keberagaman terkait dengan bulan Ramadan. Bulan Ramadan adalah suatu bulan di mana umat Islam menjalankan ibadah puasa. Sementara itu, tema perbedaan pun muncul lagi ketika bulan Ramadan hampir selesai, yakni penentuan Idul Fitri yang jatuh setiap tanggal 1 Syawal. Bulan Syawal adalah bulan yang jatuh setelah Ramadan, pada bulan itulah umat Islam merayakan kemenangan dengan menunaikan shalat Idul Fitri.

Yang paling penting dari kondisi itu adalah terbukanya keran perbedaan umat Islam dalam menentukan jatuhnya bulan-bulan penting itu. Tentu saja, perbedaan itu berpengaruh langsung pada masyarakat sosial Islam. Tentunya pengaruh tersebut meluas karena kaum muslim di Indonesia merupakan golongan mayoritas. Perbedaan tersebut juga berpengaruh pada peribadatan umat. Meskipun di Indonesia ini terkenal dengan heterogenitas masyarakat yang multikultural, menjadi aneh ketika masyarakat disatukan dalam bingkai agama (Islam) yang satu tetapi justru mengalami perbedaan.

Realitas seperti itu menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil hari raya (lebaran) terbanyak. Awal bulan Ramadan tidak jarang jatuh dalam dua hari

yang berbeda atau bahkan lebih, yang hal itu berpengaruh pada umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Selain itu, perbedaan jumlah hari dalam bulan Ramadan juga sering terjadi. Terkadang bulan Ramadan hanya berumur 29 hari dan terkadang berumur 30 hari.

Jika demikian halnya, perbedaan di Indonesia tersebut selamanya tidak bisa disamakan. Umat Islam di Indonesia akan " selamanya" mengalami perbedaan. Oleh karena itu, hendaknya masyarakat awam juga diinformasikan agar tidak mengalami kebingungan dalam hal ini.

Demikian pula, perbedaan tersebut akan selalu ada dan tidak bisa disatukan. Sementara itu, perbedaan justru mengancam umat Islam di Indonesia terjerembap pada jurang perselisihan yang semakin dalam. Solusi dari perbedaan tersebut memang sulit untuk diuraikan, oleh karenanya sikap toleransi harus menjadi landasan utama dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Sikap toleransi adalah satu-satunya gerbang untuk menuju persatuan di tengah perbedaan umat Islam. Perbedaan tersebut memang sensitif menimbulkan perselisihan, tetapi jika seluruh umat Islam di Indonesia mengesampingkan prasangka-prasangka buruk terhadap yang lain dan mengedepankan sikap tole
ransi, maka perbedaan tersebut tidak akan menjadi hal yang diperselisihkan lagi. Kerukunan sesama umat pun bisa terwujud dengan sikap toleransi.

Perdebatan antara Fauzan dan Rahmat tersebut mewakili perbedaan umat Islam di negara kita tercinta. Tidak dapat dimungkiri bahwa perbedaan yang ada terkait datangnya bulan Ramadan dan Syawal itu memang sangat membingungkan. Jika perbedaan ini terus saja meruncing dan justru semakin meruncing, maka perbedaan ini bukan rahmat, melainkan laknat. Agar tidak menjadi laknat, maka toleransi harus kita terapkan untuk menyikapi perbedaan yang ada. Toh, toleransi semacam itu juga tidak membuat kita rugi kan? Kalau rugi, ya, harus berusaha lagi dagangannya biar untung. Lho... kok jadi begadang? Eh... berdagang?

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

T ernyata, tidak hanya awal bulan Ramadan yang ber
beda-beda. Jumlah rakaat shalat tarawih juga berbeda. Sebagian umat ada yang melakukan shalat tarawih dengan dua puluh rakaat, sebagian yang lain delapan rakaat. Yang delapan rakaat pun berbeda-beda. Ada yang setiap dua rakaat satu salam dan ada yang setiap empat rakaat satu salam.

Masalah itu pun menjadi runcing di kampung, karena banyak yang memperdebatkan soal jumlah rakaat shalat tarawih. Padahal, perdebatan tentang awal bulan Ramadan baru selesai, kini malah sudah ada perdebatan lagi.

Haji Karso pun bingung menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari para warga. Beberapa hari lalu, Pak Karman bertanya, " Haji, rakaat tarawih yang benar itu delapan apa dua puluh?"

Tidak hanya Pak Karman, Bu Par pun bertanya, " Shalat tarawih itu yang benar berapa rakaat?"

Sampai hari ini, tidak kurang dari sepuluh warga telah bertanya kepada Haji Karso perihal rakaat shalat tarawih itu. Haji Karso pun tidak bisa menjawab lagi karena memang pada dasarnya Haji Karso tidak pernah mengkaji Islam secara lebih mendalam. Hanya saja dia itu sudah bergelar haji" satu-satunya orang yang bergelar haji di kampung" makanya sering dijadikan rujukan berbagai pertanyaan para warga terkait keagamaan. Padahal, dirinya belum terlalu bisa dan mumpuni.

Menerima berbagai pertanyaan yang intinya sama, Haji Karso hanya menjawab dengan jawaban yang satu, " Semua benar."

Akan tetapi, Haji Karso tidak lekas puas dengan menjawab demikian. Haji Karso pun kini semakin sibuk dengan membaca buku-buku. Lagi-lagi, pendapat-pendapat yang ada dari buku-buku yang dibacanya itu ada yang menyatakan delapan dan ada yang dua puluh. Bertambahlah kebingungannya.

Suatu ketika, Ngajiyo melihat Haji Karso sedang serius membaca buku di teras rumahnya. Ngajiyo pun menghampirinya.

" Assalamu alaikum, Haji!" ucap Ngajiyo. " Wa alaikum salam...," jawab Haji Karso. " Kok kelihatannya serius banget, Haji?"

" Iya, ini. Sini, duduk sini!"

" Iya, terima kasih...."

" Begini, Jiyo. Saya bingung. Di bulan Ramadan ini, banyak warga yang bertanya tentang jumlah rakaat shalat tarawih. Yang benar itu berapa sih? Delapan atau dua puluh?" kata Haji Karso. " Kamu kan dari pesantren. Tentunya kamu tahu itu!"

" Ya jelas, saya tahu mana yang benar, Haji!" " Terus, berapa rakaat shalat tarawih yang benar itu?" " Nol rakaat!" jawab Ngajiyo tegas.

" Maksudnya?" tanya Haji Karso bingung.

" Nol rakaat itu maksudnya nggak usah shalat tarawih. Itu baru benar, daripada shalat tapi malah ragu-ragu benar atau salah. Hahaha...," jawab Ngajiyo sambil terkekeh. " Wah, dasar kamu itu!"

Perbedaan demi perbedaan menjadi persoalan pelik bagi umat Islam di Indonesia. Contohnya adalah jumlah rakaat dalam shalat tarawih. Sejak dulu sampai sekarang, jumlah rakaat shalat tarawih tersebut terus menjadi perdebatan panjang yang tidak berkesudahan.

Jika kita berkeliling di malam hari di bulan Ramadan untuk menyambangi masjid-masjid, maka kita akan menemukan bahwa masjid A itu jemaah yang shalat tarawih delapan rakaat, masjid B dua puluh rakaat, masjid C delapan rakaat juga, masjid D dua puluh rakaat juga, masjid E tidak ada jemaahnya karena masjidnya belum selesai dibangun, hahaha.... dan seterusnya. Setiap masjid akan menentukan jumlah rakaat sendiri-sendiri. Ada pula masjid yang menghargai perbedaan. Masjid tersebut mengadakan shalat tarawih dua puluh rakaat, ketika sampai delapan rakaat, imam mempersilakan jemaah yang delapan rakaat untuk selesai dan segera shalat witir.

Perbedaan-perbedaan tersebut seolah menjadi jurang pemisah antara muslim yang shalat delapan rakaat dan dua puluh rakaat. Anehnya, mereka terus berselisih dan tetap bersikukuh dalam pendapat masing-masing. Sekat-sekat antara mereka semakin terlihat jelas ketika seorang berkata, " Aku tidak mau shalat di masjid itu karena shalatnya delapan rakaat." Ada pula yang mengatakan, " Masjid seberang sana

itu mengerjakan tarawih dua puluh rakaat, itu bidah." Perkataan-perkataan lain yang senada dengan itu sering kita dengar untuk mencibir pihak yang tidak sama dengan jumlah rakaat tarawih yang kita lakukan. Padahal, kita semua itu umat Islam, samasama umat Nabi Muhammad saw., yang bertuhankan Allah Swt., dengan pedoman kitab suci Al-Qur an yang mulia. Akan tetapi, perbedaan yang bersifat furu iyah (masalah cabang) tersebut justru semakin diperlihatkan. Jika berbeda, justru semakin bangga.

Hendaknya, perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih tersebut disikapi sebagaimana menyikapi perbedaan ketentuan awal bulan Ramadan, yakni dengan toleransi. Jika kita berdebat tentang jumlah rakaat Tarawih yang asli, pada dasarnya kita kesulitan jika kita saling menyalahkan. Berbagai dalil-dalil yang ada di dalam hadis banyak redaksinya. Ada yang mengatakan delapan dan ada yang mengatakan dua puluh. Bagaimana yang benar, itu bergantung pada masingmasing pemahaman saja.

Sebuah refleksi; Rasulullah saw., itu ketika malam di bulan Ramadan, melakukan shalat sunah sampai kaki beliau bengkak. Dengan demikian, apakah shalat tarawih delapan rakaat itu membuat kaki kita bengkak? Apakah shalat tarawih dua puluh rakaat itu membuat kaki kita bengkak? Tentu saja tidak. Kesimpulan yang diambil, Rasulullah saw., melakukan

shalat di malam Ramadan itu lebih dari dua puluh rakaat karena kaki beliau bengkak. Shalat dua puluh rakaat saja tidak membuat kaki kita bengkak, apalagi cuma delapan rakaat. Mana mungkin...!

Siapa yang Imam?

S halat Zuhur berjemaah di masjid sudah selesai. Para

jemaah pun pada pulang setelah wiridan dan doa sebentar. Akan tetapi, ada empat orang remaja yang datang telat. Mereka itu adalah Agus, Toni, Yanto, dan Adi. Akhirnya, mereka berempat bersepakat untuk shalat berjemaah. Kebetulan, Ngajiyo ketika itu masih di masjid, belum bubar sebagaimana jemaah yang lain. Ngajiyo memperhatikan mereka yang saling tunjuk untuk jadi imam.

" Gus, kamu saja yang jadi imam. Hafalan surat kamu kan sudah agak banyak. Kamu sudah hafal sampai Al-Kafirun. Kalau aku kan baru sampai Qulhu," kata Adi.

" Iya, Gus. Kamu saja!" kata Toni dan Yanto serentak.

" Waduh, saya takut. Nanti kalau salah, bagaimana?" kata Agus ragu.

" Nggak apa-apa. Yang penting kita shalat berjemaah. Pahalanya kan lebih banyak," sahut Toni.

" Ya sudah, baiklah," Agus mengalah.

Keputusan pun sudah disepakati bahwa Agus menjadi imam shalat Zuhur di siang itu. Dengan gayanya, Agus mengatur saf yang terdiri atas satu barisan saja, tiga orang.

" Allahu akbar...." shalat pun dimulai.

Di tengah-tengah shalat, tiba-tiba salah seorang dari mereka kentut.

" Ton, kamu kentut ya? Kentut itu membatalkan shalat lho...!" kata Adi mengingatkan Toni.

" Hehehe... iya, kentut. Jadi, shalatku batal dong!" kata Toni.

" Ya iyalah...," sahut Adi.

" Lho, kamu juga batal, Di. Shalat itu nggak boleh ngomong. Kalau ngomong itu membatalkan shalat," sergah Yanto.

" Oh iya, ya... saya lupa. Eh, tapi kamu kok ngomong juga? Shalatmu batal juga dong!" kata Adi.

" Aduh... lupa," ucap Yanto.

" Hei... kalian ini bagaimana? Shalat kok berisik, pada ngomong sendiri-sendiri. Mbok kayak saya ini lho, shalat dengan tenang," kata Agus.

Dari kejauhan, Ngajiyo memperhatikan shalat mereka. Dia pun tertawa terbahak-bahak.

" Hahaha... kalian batal semua!" kata Ngajiyo sambil tertawa. " Coba, ulang lagi shalat kalian. Oh ya, Toni kan sudah kentut. Sana wudu lagi!"

Mereka menunggu Toni wudu. Setelah Toni selesai wudu dan sudah siap untuk melakukan shalat Zuhur berjemaah lagi, mereka pun kembali mengatur saf dan hendak memulai takbir.

" Allahu akbar...," Agus memulai takbir shalat yang kemudian diikuti oleh ketiga jemaahnya.

Ketika sudah sampai rakaat ketiga, ternyata Agus lupa untuk sujud yang kedua. Setelah sujud pertama pada rakaat ketiga, Agus langsung berdiri untuk melanjutkan rakaat keempat. Berhubung salah, maka Yanto pun menegur dengan membaca tasbih.

" Subhanallah...," tegus Yanto.

Bukannya menghiraukan, Agus malah bingung bagian mana yang salah. Perasaannya, shalatnya itu benar dan tidak ada yang salah.

" Subhanallah...," Adi dan Toni pun juga mengucap tasbih.

Bingunglah Agus. Dia kemudian menengok ke belakang, " Emangnya ada yang salah ya?"
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Lho, kok malah nanya. Shalat kita batal lagi nih!" kata Toni.

" Aduh...," keluh Yanto dan Adi.

Akhirnya, shalat mereka gagal lagi. Mereka pun mengulangi shalat dari awal. Ketika sudah sampai rakaat keempat dan tinggal mengucap salam sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, lagi-lagi Agus bikin ulah.

" Assalamu alaikum warahmatullah...," ucap Agus sambil menoleh ke kanan yang kemudian diikuti oleh ketiga makmumnya.

" Wa alaikum salam warahmatullah...," ucap Agus sambil menoleh ke kiri.

Lho, kok salam sendiri dijawab sendiri?

Menjadi imam shalat sebenarnya tidaklah mudah. Imam harus berani dan bisa bertanggung jawab dalam kepemimpinannya ketika shalat. Oleh karena itu, agama kita mensyaratkan bahwa seorang imam itu memenuhi kualifikasi yang baik dibandingkan dengan para jemaahnya. Seorang imam itu hendaknya adalah seorang yang cerdas dalam hal agama, sehingga ia bisa memimpin shalat sesuai dengan ajaran Islam. Selain cerdas, disyaratkan pula bacaannya yang baik, benar, dan bagus. Setelah itu, hendaknya yang ditunjuk untuk yang menjadi imam adalah orang yang sudah mumpuni dalam hal usianya, maksudnya lebih tua.

Jelasnya begini, di antara para jemaah itu yang paling berhak adalah seorang yang paling cerdas dan paling paham dalam hal keagamaan. Jika orang yang mempunyai kualifikasi seperti itu ada banyak dan lebih dari satu, maka sebaiknya dipilih yang paling bagus bacaannya. Jika kualifikasi itu ada banyak dan lebih dari satu, maka sebaiknya dipilih yang paling tua di antara mereka yang memenuhi kualifikasi tersebut. Demikian urutannya.

Akan tetapi, secara praktiknya tidaklah serumit itu. Asalkan seorang imam itu cerdas dan paham tentang keagamaan bisa memimpin shalat meskipun bacaannya benar tapi kurang bagus, dibandingkan dengan yang lain dan usianya juga lebih muda, maka ia pun

bisa menjadi imam. Yang paling penting, seorang imam adalah orang yang bisa memimpin jemaahnya untuk menghadap Allah Swt., melalui shalat.

Pada dasarnya, shalat berjemaah itu menjadi pengibaratan dari suatu organisasi atau negara. Dalam suatu organisasi atau negara, hendaknya dipilih seorang imam atau pemimpin (presiden/raja) yang bisa memimpin rakyatnya sehingga bisa membawa rakyat menuju kehidupan yang lebih baik dan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Jika imam itu batal shalatnya, maka hendaknya ia mengundurkan diri dan rela digantikan oleh salah seorang jemaahnya. Selain rela diganti, ia juga harus rela wudu lagi dan menjadi makmum. Begitu pula seorang pemimpin, jika ia batal (gagal dan merasa tidak sanggup) dalam kepemimpinannya, maka hendaknya ia rela digantikan oleh orang lain dan rela pula untuk menjadi makmum atau rakyat yang dipimpin.

Tidak hanya itu, seorang imam dalam shalat juga harus bisa mengatur, merapikan, dan meluruskan saf jemaahnya. Begitu pula seorang pemimpin, ia harus bisa mengatur rakyatnya agar tertib dan terciptalah suatu negara yang baik.

Begitulah idealnya pemimpin yang hal itu dicontohkan oleh agama Islam dalam shalat. Keterpilihan seorang imam dalam shalat pun memang benar-benar

harus mempunyai kualifikasi yang berkualitas. Tidak seperti keterpilihan pemimpin kita di negara ini, kebanyakan menggunakan politik uang yang sangat licik. Dengan demikian, imam atau pemimpin yang ada pun hanya sebatas guyonan dan tidak kompeten memimpin rakyat. Padahal, salah satu kaidah fikih menyatakan, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah, yang artinya kebijakan imam itu (harus) disandarkan pada kemaslahatan (umat/rakyat).

Subhanallah, seandainya orang-orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin itu memperhatikan kepemimpinan dalam shalat (kualifikasi imam), maka para pemimpin akan bisa membawa yang dipimpin pada kemajuan dan kemaslahatan. Islam benar-benar telah memberikan contoh yang baik, hendaknya contoh itu benar-benar diimplementasikan.

Shalat di Saf Terdepan

N amanya adalah Pak Bandi, usianya sekitar 40 tahun.

Dia adalah seorang petani yang sukses di kampung. Sawahnya banyak, ketika panen pun hasilnya sangat menggembirakan. Rezekinya memang di sawah dan dari sawah. Meski kesehariannya di sawah, Pak Bandi tidak melupakan shalat berjemaah di masjid. Alasannya sederhana, dia tidak bisa shalat sendiri. Makanya, dia memilih berjemaah di masjid agar bisa menjadi makmum. Hehehe....

Setiap kali shalat berjemaah di masjid, Pak Bandi selalu mengambil saf yang paling depan, tepat di belakang imam. Keistikamahannya untuk shalat di belakang imam saf terdepan sungguh tidak tergantikan. Setiap kali mendengar azan, dia langsung saja pergi ke masjid agar tidak ketinggalan untuk menempati saf terdepan tepat di belakang imam. Sesampai di masjid, Pak Bandi pun langsung menempati tempat makmum yang paling istimewa tersebut. Ngajiyo yang kagum akan keistikamahan Pak Bandi pun memuji.

" Pak Bandi, jenengan itu luar biasa. Kalau shalat berjemaah pasti berada di saf paling depan tepat di belakang imam. Tempat makmum yang paling utama itu ya di tempat itu," puji Ngajiyo kepada Pak Bandi.

" Oh... iya to? Jadi, shalat di saf terdepan dan tepat di belakang imam itu adalah shalat makmum yang paling utama?" tanya Pak Bandi dengan keawamannya.

" Wah... alhamdulillah nek ngono. Saya itu tidak tahu kalau shalat di saf terdepan tepat di belakang imam itu pahalanya banyak!" Pak Bandi bangga.

" Iya, Pak. Pahalanya memang paling banyak karena shalat di saf terdepan itu paling istimewa," kata Ngajiyo lagi.

" Padahal, saya itu selalu shalat di saf terdepan tepat di belakang imam karena di atasnya ada kipas angin. Jadi terasa segar. Maklum, di sawah kan panas. Kalau shalat di sini kan segar rasanya," ucap Pak Bandi dengan polosnya. " Haahhhh...." Ngajiyo hanya bengong sendiri, salah terka.

Umat Islam di Indonesia masa kini banyak yang tidak menyadari akan keistimewaan saf terdepan. Banyak yang justru berebut saf paling belakang. Katanya itu lebih baik daripada tidak shalat di masjid dan tidak berjemaah. Yang terjadi, para jemaah justru saling mendorong satu dengan yang lainnya agar mengisi saf depan, sementara yang mendorong itu ingin shalat di belakang saja. Padahal, yang demikian itu tidaklah dianjurkan dan justru merupakan " kesalahan besar" karena menyia-nyiakan pahala dan keutamaan shalat yang besar.

Lain lagi dengan konser musik. Para pengunjung justru berebut untuk menempati yang terdepan. Mereka ingin melihat secara langsung penyanyi idola mereka dari dekat dan turut berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorai di barisan yang terdepan. Padahal, yang demikian hanyalah kesia-siaan.

Banyak hadis yang menganjurkan saf terdepan pada shalat berjemaah. Salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud,

Sesungguhnya saf pertama itu seperti dengan saf para malaikat. Seandainya kalian mengetahui keutamaannya, maka pasti kalian akan bergegas menempatinya. (HR. Abu Daud)

Akan tetapi, entah mengapa para jemaah justru mengabaikan saf terdepan, apalagi yang tepat di

belakang imam. Mereka justru enggan menempati saf terdepan kecuali memang sedari tadi sudah di depan. Sementara itu, ketika jemaah datang terlambat dan ketika itu masih ada tempat yang ada di saf depan, tidak jarang ia malah membuat saf sendiri di belakang. Begitu pula jemaah yang datang telat berikutnya. Akibatnya, saf menjadi tidak rapi dan terlihat berantakan. Padahal, shalat dengan saf yang rapi dan rapat sangat ditekankan oleh ajaran Islam.

Dahulu kala, ketika Umar bin Khatthab menjadi imam, beliau meluruskan saf shalat para makmumnya sampai-sampai menggunakan pedang. Hal itu menandakan bahwa saf yang lurus dan rapi itu memang penting, bahkan sangat penting.

Luruskanlah saf-saf kalian, karena sesungguhnya lurusnya saf termasuk kesempurnaan shalat. (HR. Muslim)

Dari hadis tersebut dapat kita ketahui bahwa saf yang lurus merupakan kesempurnaan shalat. Begitulah Islam mengajarkan barisan yang lurus agar terlihat rapi, indah, dan kompak. Inilah pengibaratan tentang persatuan umat Islam. Dalam shalat berjemaah, saf ditata agar rapi dan lurus, tidak bengkok-bengkok. Hal itu agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu serentak untuk menjunjung kalimat Allah Swt. Luruskan dan janganlah saf kalian bengkok sehingga berakibat hati kalian berselisih. (HR. Muslim)

Saf yang lurus pertanda kekompakan para jemaah atau makmum dalam satu kepemimpinan imam dalam shalat. Hal itu pula yang diharapkan dalam kenyataan selain shalat. Umat Islam hendaknya bersatu dan tidak berselisih. Bisa jadi bahwa umat Islam yang sering kali berselisih saat ini, dikarenakan setiap saf shalat yang ditata dalam setiap shalat berjemaah itu bengkok dan tidak diperhatikan lurus dan rapinya.

Untuk itu, marilah kita bersama-sama menyadari dalam pembuatan dan penataan saf. Hendaknya kita selalu berebut untuk mendapatkan saf terdepan karena hal itu adalah keutamaan. Selain itu, hendaknya kita juga meluruskan saf-saf kita ketika shalat berjemaah. Janganlah kita membuat saf yang bengkok karena akan berakibat pada perselisihan di antara kita sebagai umat Islam. Ingat itu! (aduh... galaknya!!!)

Bahkan dalam membuat saf saja, Islam dengan detail memberikan petunjuk. Islam benar-benar agama yang lengkap dan sempurna.

Pak Bandi masih jauh lebih baik walaupun motivasi untuk menempati saf pertama ketika shalat berjemaah itu dikarenakan adanya kipas angin. Itu sudah jauh lebih baik daripada jemaah yang hanya mendorong jemaah lain untuk mengisi saf depan. Sungguh ter...la...lu...! Demikian kata Bang Haji Rhoma Irama.

Ingin Berkurban

P ak Bandi sadar akan kewajibannya, sebagai salah

satu orang yang cukup berpunya, dia sering bersedekah ke tetangga sekitar. Pak Bandi dikenal dermawan kepada orang lain, apalagi terhadap orang yang tidak mampu. Akan tetapi, akhir-akhir ini Pak Bandi merasa resah. Pasalnya, dia ingin berkurban selagi sapi peliharaannya yang jantan sudah layak potong. Sementara itu, anggota keluarganya ada delapan orang yang terdiri atas Pak Bandi beserta istri dan enam anaknya. Padahal, satu sapi itu hanya untuk tujuh orang. Dia bingung, kalau kurban sapi satu lagi, dia harus mencari enam orang lagi. Itu pun Pak Bandi sudah tidak punya sapi lagi. Jika harus membeli sapi lagi, budget yang dianggarkan tidak cukup. Dengan kata lain, perekonomian rumah tangganya baru sebatas itu.

Pak Bandi semakin resah jika mendengarkan ceramahceramah tentang kurban, bahwa kelak di akhirat, hewan yang dikurbankan itu akan menjadi kendaraan orang yang berkurban. Jika satu sapi itu untuk kendaraan tujuh orang, lantas salah seorang dari keluarganya itu bagaimana? Apakah akan ditinggal?

Pak Bandi pun bertanya kepada Haji Karso, karena dia kebingungan. Dia mendatangi rumahnya dan segera mengutarakan maksudnya.

" Haji, sebentar lagi kan Idul Adha. Saya itu pengin banget bisa berkurban. Kebetulan, sapi jantan peliharaan saya sudah layak potong," kata Pak Bandi memulai.

" Iya, bagus itu. Kalau memang punya yang dikurbankan, ya, memang begitu seharusnya!" timpal Haji Karso.

" Tapi, saya bingung. Kurban sapi itu kan buat tujuh orang, sementara keluarga saya itu ada delapan orang. Saya, istri, dan enam anak saya. Nah, kalau begitu, bagaimana ini? Hewan kurban itu nanti kan akan menjadi kendaraan bagi yang berkurban di hari kiamat. Lalu, salah satu dari keluarga saya itu bagaimana? Besok nggak ikut naik dong?" tanya Pak Bandi, bingung.

" Ya sudah, biarkan saja kalau begitu. Biarkan anakmu yang paling kecil yang tidak ikut naik kendaraan. Dia kan masih kecil, nanti takutnya jatuh kalau kamu lupa memegangnya," jawab Haji Karso.

" Oh, begitu ya?" kata Pak Bandi.

Usulan dari Haji Karso pun tidak membuatnya puas. Dia tidak tega terhadap anaknya yang harus ditinggal jika kelak sapi kurbannya akan menjadi kendaraan. Dia masih bingung. Bertemulah Pak Bandi dengan Adin di jalan ketika hendak pulang dari rumah Haji Karso.

" Adin, saya mau tanya. Boleh?" kata Pak Bandi memulai percakapan.

" Oh, silakan saja. Sebisa mungkin ana jawab permasalahannya," jawab Adin.

" Saya mau berkurban sapi. Sapi itu kan kurban untuk tujuh orang. Sementara itu, keluarga saya ada delapan orang. Boleh tidak kalau sapi itu untuk delapan orang?" tanya Pak Bandi.

" Oh, tidak boleh. Sapi itu hanya untuk tujuh orang," jawab Adin tegas.

" Lha, keluarga saya itu kan ada delapan orang. Terus bagaimana?" Pak Bandi masih ngotot bertanya.

" Tetap tidak bisa. Satu sapi itu hanya untuk tujuh orang!" tegas Adin.

Percakapan dengan Adin pun masih menyisakan keresahan bagi Pak Bandi. Akibatnya, akhir-akhir ini dia pun sering melamun di teras rumahnya sembari memikirkan kurban tersebut.

Ngajiyo ketika itu tengah melewati rumah Pak Bandi dan melihatnya murung di teras rumah. Dia pun mampir. " Kulo nuwun," sapa Ngajiyo.

" Mangga...," jawab Pak Bandi.

" Pak Bandi ini kok kelihatan murung gitu, ada apa, Pak?" tanya Ngajiyo memulai pembicaraan.

" Haduuh, saya punya masalah besar, Jiyo."

" Masalah apa?"

" Begini, saya itu mau berkurban untuk Idul Adha yang akan tiba beberapa hari lagi. Masalahnya, sapi yang saya kurbankan itu kan hanya satu. Satu sapi itu hanya untuk tujuh orang, sementara keluarga saya ada delapan orang. Bisa tidak, kalau satu sapi untuk delapan orang? Kalau tidak bisa, mending saya tidak jadi kurban, karena saya tidak tega dengan anak saya yang paling kecil di hari kiamat kelak. Dia tidak ikut naik sapi yang saya kurbankan itu."

" Lho... bisa saja!"

" Bisa, masa sih, Ji? Katanya, satu sapi itu kan untuk tujuh orang, masa bisa untuk delapan orang?"

" Ya, bisa saja. Kata siapa nggak bisa, Pak?"

" Tadi saya ke rumah Haji Karso. Katanya tidak bisa. Kata Adin juga tidak bisa."

" Tapi, kalau kata saya kan bisa, Pak?"

" Yang benar saja, Ji. Bisa kan? Kalau bisa, saya jadi kurban!"

" Iya, bisa. Tapi begini, Pak. Anak yang paling kecil itu kan kalau mau naik sapi pasti kesulitan karena sapi itu terlalu tinggi. Benar kan?"

" Iya, benar."

" Makanya, coba anak yang paling kecil itu suruh naik kambing saja. Kasihan kalau naik sapi yang terlalu tinggi. Kasihan sapinya juga, harus mengangkut delapan orang. Sapinya nanti kelelahan," terang Ngajiyo.

" Terus, bagaimana?" tanya Pak Bandi.

" Kurbannya tetap sapi. Ditambah satu kambing lagi saja, biar anak yang paling kecil itu bisa naik kambing," jawab Ngajiyo.

" Wah, ide yang bagus itu. Kalau begitu, nanti saya beli kambing saja. Kalau cuma beli satu kambing, saya ada uangnya, tapi kalau beli sapi, uangnya nggak cukup," kata Pak Bandi girang.

" Ya, Pak. Beli saja seekor kambing biar anak jenengan yang paling kecil itu bisa ikut ke surga. Malah bisa balapan dengan sapinya. Hahaha...," timpal Ngajiyo.

Banyak orang yang hanya mengatakan halal-haram, boleh-tidak boleh, dan wajib-sunah dalam ajaran agama Islam. Hal itu membuat cara keberislaman kita menjadi saklek, kaku, dan terkesan sangat menyulitkan. Kasus tersebut adalah contohnya. Ketika Haji Karso dan Adin begitu saklek dengan aturan, justru membuat Pak Bandi yang ingin berkurban menjadi ciut nyalinya. Cara berpikir tentang Islam hendaknya tidak demikian adanya, tetapi harus lentur dan meringankan. Ngajiyo telah membuktikannya dan justru bisa memotivasi perbuatan baik, sehingga Pak Bandi menjadi yakin untuk berbuat kebaikan.

Cerita tersebut pada dasarnya digubah dari kisah dua orang kiai yang ditanya tentang kurban seperti itu. Seorang kiai mengatakan tidak bisa sementara kiai yang lain mengatakan bisa, sebagaimana jawaban Ngajiyo. (Maaf, penulis lupa itu ceritanya bagaimana dan dua orang kiai itu siapa saja, penulis hanya ingat sedikit yang nyantol di kepala. Maklum, penulis juga manusia, punya sifat lupa juga. Hehehe....)

Kisah tersebut pada dasarnya memberikan penjelasan kepada kita bahwa hendaknya Islam itu tidak kaku. Islam adalah agama rahmat yang lentur. Islam bukan sekumpulan doktrin yang harus dilakukan secara kaku, tetapi jalan hidup untuk menempuh kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian, umat Islam hendaknya tidak hanya terpaku pada

ajaran-ajaran, tetapi juga harus melihat realitas yang ada.

Melihat realitas yang ada? Ya, seperti itulah agama kita itu. Bahkan, Al-Qur an dan hadis yang menjadi dua sumber hukum paling utama turun dan datangnya tidak sekadar membawa ajaran halal dan haram, tetapi juga menjawab pertanyaan masyarakat sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada. Ayat-ayat Al- Qur an juga banyak yang menampakkan tanya-jawab. Hal itu salah satunya tampak pada ayat yang di dalamnya ada lafal " yas aluunaka " an..." yang artinya " mereka (para sahabat/masyarakat) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang...." Terlebih lagi dalam beberapa redaksi hadis dari berbagai riwayat. Hadishadis juga banyak yang lafalnya dialogis, yakni tanyajawab dari para sahabat kepada Rasulullah Muhammad saw. Terkadang, Rasulullah saw., sendiri yang memancing pertanyaan kepada para sahabat.

Ayat-ayat Al-Qur an dan riwayat-riwayat hadis yang demikian itu telah memberikan kepada kita sebuah cara yang asyik untuk berislam, yakni berislam dengan melihat realitas yang ada dan tengah terjadi. Dengan begitu, Islam menjawab pertanyaan umat dan terlihat tidak kaku. Pemahaman Islam pun menjadi lebih cair dan fleksibel meskipun tetap berada pada koridor syariat.

Begitulah salah satu Islam membimbing umat. Islam tidak datang secara langsung dengan berbagai ajaran yang mendoktrin, tetapi datang secara bertahap dan adaptif terhadap kondisi yang ada dengan bijak. Era saat ini, dakwah Islam harus mengena dan renyah dibaca, terutama oleh kalangan orang awam yang benar-benar sangat tidak paham terhadap Islam.

Bukankah anak kecil itu harus berjalan dulu sebelum bisa berlari? Begitulah kira-kira. Umat Islam yang awam hendaknya harus diajarkan cara berjalan dahulu, tidak langsung berlari. Khawatirnya, umat akan bisa berlari tetapi tidak bisa berjalan. Itulah yang bahaya karena dikhawatirkan umat Islam hanya akan bikin bom dan meledakkannya di titik-titik tertentu tanpa bisa caranya menegur sapa dengan lafal " assalamu alaikum...."

Gelar Haji

J emaah haji dari Indonesia tahun ini sudah pulang se
mua. Kisah suka pun mereka ceritakan kepada keluarga dan tetangga. Bahkan kisah perjuangan mereka selama di Tanah Suci menjadi topik yang paling sering diperbincangkan. Tidak hanya itu, sedikit cerita duka juga dibubuhkan untuk menjadi bumbu dramatisasi cerita mereka selama di Tanah Suci.

Salah satu jemaah haji tahun ini adalah Pak Sukir. Dia adalah seorang petani yang telah menabung hingga bertahun-tahun untuk biaya haji. Akhirnya, tahun ini dia sudah resmi bergelar haji. Dengan demikian, di kampung tidak hanya Haji Karso yang bergelar haji, tetapi Pak Sukir pun sudah mendapat gelar mulia tersebut.

Haji Karso sebagai satu-satunya orang yang sudah naik haji kini ada temannya. Bedanya, Haji Karso itu telah lebih dahulu dan lebih paham tentang ajaran-ajaran agama Islam. Sementara itu, Pak Sukir hanyalah orang awam yang mempunyai niatan besar untuk berhaji. Sebelumnya, Pak Sukir selalu tergugah untuk naik haji karena sering mendengarkan ceramah-ceramah dari radio, televisi, dan pengajian-pengajian di kampung tentang haji dan kemu
liaannya. Termotivasi dengan ceramah-ceramah tersebut, Pak Sukir akhirnya benar-benar giat dalam bekerja dan menabung untuk mengumpulkan biaya haji. Cita-cita tersebut akhirnya tuntas sudah di tahun ini. Kini, Pak Sukir resmi disebut Haji Sukir dan sering dipanggil Pak Haji oleh masyarakat. Akan tetapi, panggilan itu tidak dipahami oleh Haji Sukir.

" Pak Haji...," ucap Pak Karman memanggil Haji Sukir.

Haji Sukir pun tidak menghiraukan. Dia belum terbiasa dengan panggilan baru itu. Akhirnya, dia pun tidak menoleh ketika dipanggil oleh Pak Karman.

" Pak Haji...," Pak Karman mengulangi lagi panggilannya.

Pak Sukir hanya menoleh dan tidak merasa bahwa yang dipanggil itu adalah dirinya. Merasa diabaikan, Pak Karman kemudian menghampiri Haji Sukir.

" Wah, dipanggil-panggil kok nggak noleh?" kata Pak Karman.

" Lho, sampean tadi manggil saya to? Kapan?" kata Haji Sukir.

" Sampean tadi tidak dengar po? Tadi sudah dua kali saya manggil sampean!"

" Masak sih? Kok saya tidak dengar?"

" Lha, tadi itu saya panggil " Pak Haji gitu, dengan suara keras, masak nggak dengar?" protes Pak Karman.

" Lho, nama saya kan Sukir, bukan Haji. Yang namanya Haji itu kan Pak Haji Karso!" ucap Haji Sukir tanpa sadar bahwa gelar haji itu sudah tersemat pada dirinya.

" Sampean kan sudah naik haji, makanya saya panggil " Pak Haji gitu."

" Oh, jadi orang yang sudah naik haji itu namanya berubah to?"

" Aduuuhhh... saya jadi pusing begini ngomong dengan sampean," kata Pak Karman sambil menepuk jidatnya.

" Saya kira, tadi ada Haji Karso lewat. Terus sampean manggil dia. Nama dia kan Pak Haji. Kalau saya kan Sukir," kata Haji Sukir polos dan benar-benar tidak tahu.

Berhubung Haji Sukir belum paham tentang panggilan Haji, dia sukses bikin Pak Karman pusing tujuh keliling. Capek deh...!

Gelar haji merupakan sebuah gelar kehormatan bagi orang yang sudah naik haji. Namun demikian, terkadang orang yang sudah naik haji dan dipanggil dengan panggilan " Haji" itu menjadi pembeda antara orang kaya dan miskin. Panggilan " Haji" tidak jarang menjadi stratifikasi sosial untuk mengklasifikasikan masyarakat dengan tingkatan kaya dan miskin. Akan tetapi, itu juga bukan sebuah ukuran.

Pada dasarnya, naik haji adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Naik haji merupakan rukun Islam yang terakhir sekaligus paling berat bagi masyarakat Islam di Indonesia karena antara Tanah Suci dengan Tanah Air terbentang jarak yang sangat jauh. Oleh karenanya, naik haji merupakan kewajiban yang sangat berat secara finansial dan fisik.

Namun demikian, grafik dari tahun ke tahun yang sudah mendaftarkan haji pun semakin meningkat. Jika dahulu, mendaftar naik haji itu kemudian tahun itu pula bisa langsung berangkat, tetapi kini tidak lagi. Sekarang, kalau daftar tahun ini, bisa jadi berangkatnya lima tahun yang akan datang, bahkan bisa hingga sepuluh tahun karena antrean begitu banyak.

Hal itu mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya pendaftar haji, semakin banyak pula orang yang sudah terlepas dari belenggu kemiskinan. Itu menjadi salah satu tafsirannya. Namun demikian, motif naik haji itu kini beragam, tidak hanya karena ingin

melengkapi rukun Islam yang kelima. Niatan untuk naik haji di masa kini banyak mengalami pergeseran. Ada yang meniatkan naik haji itu untuk menuntaskan kerinduan terhadap Tanah Suci sehingga ia naik haji lebih dari satu kali. Ada pula yang memang murni ingin menjalankan rukun Islam yang terakhir. Akan tetapi, ada pula yang naik haji itu karena tuntutan politik karena gelar haji itu sangat berpengaruh dan menjual. Bagi masyarakat yang di dalamnya itu terdapat mayoritas muslim, tentunya gelar haji menjadi hal yang diperhitungkan. Oleh karenanya, seseorang yang mendaftarkan diri sebagai calon gubernur, calon bupati, calon legislatif, atau calon pejabat lainnya pada pemilihan umum dengan membawa gelar haji, tentunya menjadi perhitungan tersendiri bagi masyarakat. Tidak pelak bahwa kini banyak orang yang mendaftarkan haji karena menginginkan pemenangan dalam suatu pemilihan pemimpin. Naif bukan?

Haji Sukir jauh lebih baik dari itu. Dia naik haji karena benar-benar ingin menuntaskan rukun Islam yang kelima meskipun dirinya sendiri masih awam terhadap agama. Yang terpenting adalah niatnya. Niat Haji Sukir itu memang bagus, bukan karena ada keinginan lain selain menjalankan rukun Islam. Bahkan, gelar haji dan dipanggil Pak Haji oleh masyarakat pun tidak disadarinya meskipun dia sudah naik haji. Orang-orang seperti Haji Sukir itulah yang menjadi haji mabrur. Bukankah Islam mengajarkan melalui

Hadis Nabi Muhammad saw., yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang niat bahwa suatu perbuatan itu bergantung pada niatnya? Jika niat seseorang itu beramal karena ingin mencari rida Allah Swt., maka itulah yang didapatkannya. Akan tetapi jika niat seseorang itu beramal karena ingin dipuji oleh orang lain, maka itu pula yang akan didapatkan.

Sementara itu, tantangan bagi seseorang yang sudah berhaji yang sering bikin keblinger adalah kesombongan. Mengapa demikian? Seseorang yang sudah naik haji itu biasanya dipanggil dengan panggilan " Haji" . Namun terkadang, seseorang yang sudah naik haji itu ingin dirinya dihormati daripada orang lain yang belum naik haji. Bahkan, orang yang berhaji itu menginginkan namanya pun harus diawali dengan " Haji" ketika ada orang yang memanggil, seperti Haji Karso, Haji Sukir, dan lainnya. Tidak hanya itu, namanya juga harus ditambah dengan tulisan " H" di depan namanya dalam berbagai catatan. Jika tidak, dia akan marah.

Itulah yang dinamakan dengan kesombongan. Padahal, gelar haji itu tidak untuk sombong-sombongan dan dipersombongkan. Haji itu adalah untuk mencari keridaan Allah Swt., bukan untuk ketenaran di hadapan umat manusia. Dengan demikian, pada dasarnya tantangan bagi orang yang sudah naik haji itu sangat sulit dan berat. Tidak hanya seputar gelar

haji, bahkan perilaku pun menjadi perhatian dan sorotan orang banyak. Orang yang sudah naik haji itu dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang sudah benar-benar saleh. Oleh karena itu, jika orang yang sudah punya gelar haji itu berbuat hal yang dianggap menyimpang (maksiat) atau memalukan di mata masyarakat, maka tentunya dia akan menjadi bahan cemoohan. " Orang sudah naik haji kok tingkahnya begitu...!" begitu cibir masyarakat tentang orang yang sudah bergelar haji tetapi tidak menunjukkan sikap terpuji dari gelarnya.

Jika Anda sudah naik haji, maka waspadalah dengan hal-hal yang sepertinya sepele sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya. Waspadalah...! Waspadalah...!

Lho... ini Bang Napi atau Bang Haji sih...? Hehehe....

Kiblat Shalat

A gus senang ayahnya pulang dengan selamat dari Ta
nah Suci. Kepulangan Haji Sukir sudah dirindukan oleh Agus, anaknya, beserta keluarga yang lain. Setelah selama kurang lebih sebulan berada di Tanah Suci, kini Agus sudah bersua kembali dengan sang ayah yang sudah punya gelar baru, Haji.

Namun demikian, seminggu ini Agus begitu resah melihat keadaan ayahnya, Haji Sukir. Memang benar bahwa setelah pulang dari Tanah Suci, ayahnya semakin giat beribadah. Dia tidak meninggalkan shalat berjemaah di masjid. Selain shalat di masjid, Haji Sukir juga melakukan shalatshalat sunah di rumah, seperti shalat tahajud dan shalat duha. Akan tetapi, Haji Sukir itu tidak menentu posisi shalatnya ketika shalat di rumah. Terkadang dia menghadap ke arah barat, terkadang ke arah utara, terkadang ke arah timur, terkadang ke arah selatan, bahkan terkadang menyerong-nyerong tidak pasti. Melihat kondisi seperti itu, Agus mengingatkan sang ayah.

" Pak, jenengan ini kalau shalat kok tidak tentu posisinya? Kadang ke sana dan kadang ke sini. Yang benar itu kan menghadap ke barat agak serong ke kanan!" kata Agus.

" Wah... kamu itu tidak tahu saja, Le. Saya itu sudah pernah shalat di Masjidilharam, kiblat umat Islam sedunia. Di sana itu, ada yang shalat menghadap ke barat, utara, timur, dan selatan. Masak saya shalat seperti shalat umat Islam di sana kok malah kamu protes!" ujar Haji Sukir.

" Oh... begitu ya?" Agus juga tidak tahu-menahu.

" Saya juga baru tahu di sana itu, Le. Ternyata, shalat itu nggak harus menghadap ke barat," jelas Haji Sukir.

Agus pun termenung dan meresapi kata-kata ayahnya. Namun demikian, itu tidak membuatnya puas. Gairah darah mudanya pun keluar. Dia ingin mencari tahu yang sebenarnya karena masalah itu membuatnya penasaran. Wah... wah... wah....

Agus pun menemui Ngajiyo di pos ronda depan rumahnya. Kebetulan, Ngajiyo saat itu sedang tidak di pesantren.

" Ji, bapak saya itu kalau shalat di rumah posisinya nggak tentu," ujar Ngajiyo memulai percakapan.

" Nggak tentu bagaimana maksudmu, Gus?" tanya Ngajiyo.

" Begini, setelah Bapak pulang dari haji, dia memang meningkat ibadahnya. Tapi, shalatnya itu aneh. Kadang menghadap ke barat, kadang ke utara, kadang ke timur, kadang ke selatan, dan kadang ke mana-mana," jelas Agus.

" Kok bisa begitu? Kamu sebagai anaknya, harus mengingatkan dong!"

" Sudah, Ji. Saya sudah mengingatkan. Katanya, orangorang di Masjidilharam itu posisi shalatnya ke berbagai arah. Ada yang ke barat, utara, timur, dan selatan. Makanya, Bapak juga menghadap ke semua arah itu."

" Hahaha.... Bapakmu memang nggak tahu, Gus!" kata Ngajiyo sambil tertawa.

Keawaman seseorang terhadap agama memang bisa berakibat fatal. Haji Sukir, misalnya. Dia memang telah menuntaskan kewajiban sebagai seorang muslim, naik haji. Akan tetapi, pada dasarnya Haji Sukir masihlah orang yang belum lengkap pengetahuannya tentang Islam, sehingga apa yang dilihat pada sebuah ajaran itu dijadikannya landasan dalam bertindak tanpa didasari dengan pengetahuan tentang ajaran itu sendiri.

Haji Sukir masih mending karena dia tidak mengajarkan aliran sesat. Kini, banyak orang yang sudah mengaku berpengetahuan Islam secara mendalam kemudian membuat sebuah ajaran atau aliran tersendiri sehingga sesatlah ajaran tersebut. Padahal, mereka itu tidak terlalu paham terhadap agama. Ketika ditanya tentang sebuah ayat, mereka langsung menafsirkannya dengan cara mereka sendiri, sesuka hati mereka. Padahal, tafsiran tersebut sangat menyimpang, yang kemudian melahirkan aliran atau ajaran sesat di dalam Islam.

Islam itu rahmat, kasih sayang. Setiap sesuatu, ada aturannya tersendiri dalam Islam. Bahkan hanya untuk masuk ke kamar kecil untuk sekadar buang air kecil pun telah diatur etikanya oleh Islam. Sedemikian detail ajaran Islam, bahkan hingga hal-hal yang kecil pun diatur untuk tujuan yang baik. Aturan-aturan tersebut bukan untuk mengikat dan mempersulit

umat Islam, melainkan untuk tujuan kebaikan. Andai saja Islam tidak mengatur etika buang air kecil, tentunya toilet atau kamar kecil hanya akan kotor, bau, dan penuh najis karena setelah buang air kecil tidak disiram. Itu hanya sekadar buang air kecil, belum halhal lain yang lebih besar.

Sedemikian Islam mengatur berbagai perbuatan kita. Hal itu bukan berarti bahwa Islam adalah agama yang penuh peraturan. Memang benar di dalam Islam itu ada banyak aturan, tetapi aturan itu bukan untuk mengikat atau mengekang, melainkan untuk kebaikan umat Islam. Bahkan aturan-aturan yang ada di dalam Islam itu detail dan lengkap yang tidak jarang hal itu tidak diatur dalam agama lain selain Islam.

Sebagaimana Islam mengatur arah kiblat ketika shalat. Umat Islam diwajibkan untuk menghadap ke satu kiblat, yakni Ka bah yang ada di Masjidilharam, dan di dalamnya terdapat sebuah batu hitam atau hajar aswad. Kalangan non-Islam menyangka bahwa umat Islam menyembah batu, padahal batu tersebut bukan sesembahan. Batu hitam tersebut hanyalah untuk menyamakan arah umat Islam dalam menyembah Allah Swt. Selain itu, kiblat yang terpusat pada batu hitam atau Ka bah tersebut pertanda untuk mempersatukan umat Islam, dalam arti umat Islam menghadap dalam satu arah dan satu tujuan.

Dengan demikian, seorang muslim yang shalat di Indonesia itu menghadap ke arah barat agak serong ke kanan sedikit karena posisi Indonesia itu ada di sebelah timur agak serong ke selatan jika dilihat dari letak Ka bah. Sementara itu, seorang muslim yang shalat di Amerika itu menghadap ke arah timur agak serong ke kanan karena posisi Amerika itu ada di sebelah barat agak serong ke utara jika dilihat dari telak Ka bah. Orang yang berada di sisi utara Ka bah, tentunya akan shalat menghadap ke arah selatan. Orang yang berada di sisi selatan Ka bah, tentunya akan shalat menghadap ke arah utara. Begitu pula orang yang berada di sisi barat Ka bah, tentunya akan shalat menghadap ke arah timur. Sementara itu, orang yang berada di sisi timur Ka bah, tentunya akan shalat menghadap ke arah barat.

Jika shalat di Masjidilharam, tentu arah shalat itu berkiblat pada pusat kiblat, yakni Ka bah. Oleh karena itu, seseorang bisa shalat menghadap ke arah mata angin mana saja bergantung pada posisinya jika dilihat dari sudut letak posisi Ka bah. Shalat, dengan begitu tidak bertumpu pada arah mata angin, tetapi memang disatukan pada arah kiblat.

Oleh karenanya, bertumpu pada arah mata angin itu tidak dapat dibenarkan. Haji Sukir tidak memahami hal ini, karena melihat keadaan shalat di Masjidilharam yang menghadap ke arah mata angin mana saja,

itulah yang kemudian disimpulkannya. Padahal, yang harus dipahami adalah letak kiblat, bukan arah mata angin yang menjadi acuannya.

Kisah Haji Sukir tersebut hanyalah pengibaratan bahwa sesuatu yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu atau pengetahuan, maka hasilnya adalah sebuah kesalahan dan kesesatan. Otak-atik mesin komputer tetapi tanpa dasar keilmuan mesin komputer, yang ada malah meledak karena konsleting listrik ketika disambungkan dengan listrik. Otak-atik pesawat terbang tetapi tanpa dasar keilmuan mesin pesawat terbang, yang ada hasilnya malah menjadi kapal selam yang tenggelam di dalam air, karena jatuh dan tenggelam ke lautan ketika terbang. Otak-atik televisi tanpa dasar keilmuan mesin televisi, yang ada hasilnya malah menjadi kembang api yang menyala-nyala apinya karena terbakar ketika disambungkan dengan listrik. Demikian halnya dengan Islam, jika diotak-atik tanpa dasar keilmuan Islam, yang ada hasilnya malah menjadi aliran sesat karena telah jauh menyimpang dari ajaran agama Islam yang sebenarnya.

Pelatihan

Shalat Khusyuk

K esadaran berislam di kampung mulai meningkat.

Para pemuda dan masyarakat kini gemar belajar Islam. Haji Karso menjadi rujukan mereka. Hal seperti itu patut disyukuri karena dalam sejarahnya, kampung tersebut bukanlah kampung yang agamis. Penduduk kampung tersebut masih sangat awam terhadap pengetahuan agama. Padahal, mayoritas penduduk di situ menganut agama Islam. Bahkan seratus persen Islam karena di dalam KTP mereka tidak ada yang beragama selain Islam.

Berhubung baru giat dalam belajar Islam, para pemuda juga punya inisiatif untuk mengadakan pelatihan shalat khusyuk. Pelatihnya ditunjuk dari luar daerah yang sering mengadakan pelatihan shalat khusyuk dan dakwahdakwah di mana-mana. Tentu saja yang punya link untuk itu adalah Adin, karena dialah yang belajar Islam dari sebuah lembaga yang kerap kali mengadakan pelatihan shalat khusyuk tersebut.

Tiba waktunya pelatihan shalat khusyuk dilakukan. Adin pun telah datang beserta seorang pelatih shalat khusyuk,

namanya Ustaz Ahwan. Dengan gaya pakaian yang mirip Arab, khas jenggot yang dipanjangkan dan celana yang cingkrang, Ahwan menyapa para pemuda yang telah berkumpul di serambi masjid kampung.

" Assalamu alaikum...," sapa Ustaz Ahwan. " Wa alaikum salam...," jawab para pemuda kampung. Acara pun dimulai. Ustaz Ahwan berceramah dahulu sebelum akhirnya mempraktikkan shalat khusyuk. Dia mengajari para pemuda tata cara dan tip-tip agar bisa shalat khusyuk. Para pemuda pun hanya menganggukanggukkan kepala, entah paham atau tidak.

Sementara itu, Ngajiyo hanya menguap. Maklum, semalaman dia begadang karena ronda. Ditambah lagi, isi ceramah dan pelatihan dari Ustaz Ahwan terlampau membosankan. Wajar saja, Ngajiyo telah belajar di pesantren hingga bertahun-tahun sehingga pelatihan seperti itu dianggap membosankan. Dia mendatangi pelatihan tersebut pun karena untuk menghormati geliat dan gairah para pemuda yang sedang membara dalam belajar agama saja, bukan untuk berlatih shalat.

Pelatihan dilakukan dari pagi hari, tetapi sampai siang begini acaranya juga belum kunjung selesai. Jarum jam pun menunjukkan bahwa waktu shalat Zuhur telah tiba. Akhirnya, acara pelatihan tersebut ditunda sejenak untuk melakukan shalat Zuhur. Semua peserta langsung berwudu. Ustaz Ahwan pun mengambil wudu setelah para

pemuda berwudu semua. Ngajiyo juga sengaja mengakhirkan wudu. Sebelum wudu, Ustaz Ahwan menaruh dompetnya di atas tempat wudu. Setelah itu, dia baru mengambil air wudu. Setelah wudu, dia langsung masuk masjid dan melakukan shalat sunah. Ternyata, dia lupa bahwa dompetnya ketinggalan di tempat wudu. Ngajiyo masih di tempat wudu dan mengambil dompet milik Ustaz Ahwan tersebut. Dibukanya dompet itu, ternyata isinya lumayan banyak setelah dihitung-hitung oleh Ngajiyo, sekitar delapan ratus ribuan. Mulailah Ngajiyo iseng dan membuat ulah.

Ngajiyo pun masuk masjid. Dia melihat bahwa Ustaz Ahwan masih mengerjakan shalat sunah.

" Ini dompet siapa ya? Saya nemu di tempat wudu!" ucap Ngajiyo setengah berteriak ketika masih di pintu masjid.

Para pemuda pun menoleh ke arah Ngajiyo. Mereka cuma diam karena tidak ada yang merasa memiliki dompet tersebut.

" Kalau tidak ada yang mengaku, ya sudah, dompet ini saya ambil. Kebetulan saya lagi mau beli makan. Lapar nih...!" kata Ngajiyo.

" Hei... itu punyaku!" kata Ustaz Ahwan tiba-tiba, padahal shalatnya belum selesai.

" Hahahaha... pelatih shalat khusyuk kok tiba-tiba menghentikan shalatnya padahal belum selesai!" kata Ngajiyo.

Ustaz Ahwan pun terlihat salah tingkah setelah Ngajiyo bilang seperti itu.

" Hahaha...," semua orang yang ada di masjid pun tertawa.

Shalat Khusyuk memang sulit dilakukan bagi kita. Jangankan untuk khusyuk, terkadang kita sering kali terburu-buru ketika melakukan shalat karena diburu waktu. Shalat terburu-buru itu masih mending, daripada tidak shalat sama sekali. Hahaha....

Mengapa kita sulit untuk melakukan shalat khusyuk? Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan sulitnya kita melakukan shalat khusyuk. Pertama, keimanan kita baru tipis dan keyakinan kita terhadap Tuhan terkadang masih dikalahkan dengan hal-hal yang lainnya. Alkisah, sahabat Ali bin Abi Thalib pernah terkena anak panah di punggung beliau setelah mengikuti perang melawan orang-orang kafir. Beliau pun sangat kesakitan, tetapi anak panah tersebut harus dicabut. Jika tidak, luka beliau bisa lebih parah. Akan tetapi, jika anak panah tersebut dicabut, sungguh rasanya sangat sakit. Inilah sebuah dilema. Jika anak panah tersebut tidak dicabut, maka luka akan lebih parah dan tidak bisa diobati. Sementara itu, jika anak panah itu dicabut, perihnya sangat menyayat. Bahkan lebih perih daripada ketika anak panah tersebut tertancap di punggung.

Mau tidak mau, anak panah tersebut harus dicabut karena sahabat Ali tidak punya pilihan lain. Beliau pun berkata kepada para sahabat untuk mencabut anak panah tersebut ketika beliau dalam keadaan shalat. Benar, ketika Sahabat Ali sedang shalat,

anak panah itu dicabut. Darah pun mengucur, tetapi beliau tidak bergeming sedikit pun. Beliau tidak merasakan sakit akibat dicabutnya anak panah yang menancap di punggung tersebut. Beliau sama sekali tidak berteriak atau mengerang kesakitan. Jangankan mengerang, sungguh jika anak panah tersebut ditancapkan lagi, beliau pasti tidak akan merasakan sakit dan tidak tahu bahwa punggungnya sedang ditusuk dengan anak panah.

Itulah yang disebut shalat khusyuk. Sahabat Ali bin Abi Thalib begitu konsentrasi saat shalat sehingga ketika anak panah yang tertancap di punggung beliau dicabut, sontak beliau tidak merasakan kesakitan. Demikianlah shalat khusyuk. Orang yang benarbenar khusyuk dalam shalatnya itu tidak merasakan hal-hal yang ada di sekitarnya dan ia tidak terpengaruh dengan sesuatu yang tengah terjadi di sekitarnya. Hal itu dikarenakan bahwa yang ada di pikiran orang yang shalat khusyuk hanyalah Allah Swt. Shalat dijadikannya mediasi untuk bercinta dengan Sang Khalik sehingga karena terlalu cinta, hal-hal lainnya tidak dihiraukannya. Begitulah khusyuk dalam shalat.

Kedua, kita sulit untuk melakukan shalat khusyuk karena hati kita masih terisi oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Kita masih membayangkan sepiring nasi goreng yang kita tinggalkan di atas meja makan keti
ka kita shalat. Kita juga masih memikirkan jemuran kita di luar sana karena tiba-tiba saja hujan deras turun, padahal jemuran belum diangkat. Kita masih memikirkan perut kita yang lapar karena sedari pagi tadi belum sarapan. Kita juga masih membayangkan hal-hal lain yang mengganggu konsentrasi kita ketika shalat. Itulah yang namanya godaan duniawi.

Hati kita masih cenderung memikirkan hal-hal duniawi. Padahal, untuk bisa mencapai khusyuk, kita harus menanggalkan dan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi tersebut. Jika pikiran kita masih terisi dengan keduniawian ketika kita sedang shalat, maka akan menjadi sulit bagi kita untuk mengisi pikiran kita dan memenuhinya dengan cinta kepada Allah Swt., semata.

Bahkan, Ustaz Ahwan yang telah mengajarkan pelatihan shalat khusyuk pun sulit menghindari hal-hal yang menggoda itu. Memang sulit, tetapi jika diusahakan secara terus-menerus, pasti bisa. Shalat khusyuk " hanyalah" berkonsentrasi kepada Sang Khalik dan meninggalkan hal-hal lain selain-Nya.

Mudah bukan? Kalau begitu, silakan mencoba! Hehehe....

Pilih Kekayaan atau Kebijaksanaan?

D i sela-sela kekosongan jam kuliah yang cukup lama,

Ngajiyo menyempatkan diri untuk makan siang di warung makan dekat kampus. Perutnya sudah mulai keroncongan karena belum sarapan. Ngajiyo memang terbiasa tidak sarapan sehingga sarapannya sekalian di waktu siang. Entah, itu namanya sarapan atau makan siang? Kalau sarapan kok di siang hari? Kalau makan siang kok dari pagi belum sarapan? Ah... tidak usah ambil pusing. Ngajiyo memang seperti itu adanya. Dia biasa men-jamak ta khir makan, yakni menggabungkan antara sarapan dengan makan siang. Meski demikian, dia tidak pernah meng-qashar-nya. Hahaha....

Lagi-lagi, Ngajiyo bertemu dengan seorang aktivis yang tempo hari ditemuinya. Dia adalah Firman, karena sudah saling kenal, mereka pun duduk dalam satu meja. Seperti biasa, Firman yang seorang aktivis mengajak diskusi tentang hal-hal yang dirasanya tidak adil, kemapanan, dan pemikiran-pemikiran sosial lainnya. Terutama kasus-kasus politik, pejabat yang korup, dan penegakan hukum yang tebang pilih.

" Ji, saya merasa prihatin dengan penegak hukum kita. Terutama para hakim yang terkesan tidak bijaksana. Mereka hanya mau menerima sogokan, tetapi menolak kebenaran," ujar Firman.

" Ya, namanya juga manusia. Hakim pasti tergoda juga dengan godaan kekayaan meskipun pada dasarnya kebijaksanaanlah yang harus diutamakan," kata Ngajiyo.

" Ya para hakim itu memang manusia, Ji. Tapi kan mereka juga harus sadar bahwa kebijaksanaan mereka itu harus diutamakan. Manusia macam apa mereka itu?" Firman merasa dongkol.

" Hehehe... ya namanya memang manusia. Manusia ya manusia, Man!" kata Ngajiyo enteng.

" Hmm... terus, kalau kamu jadi hakim kayak mereka, kamu pilih kekayaan atau kebijaksanaan?" tanya Firman sambil menyantap nasi ayamnya.
Berislam Dengan Senyum Karya Ali Abdullah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ya tentu saja saya pilih kekayaan dong!" jawab Ngajiyo.

" Haahh... nista sekali pilihanmu, Ji. Orang pesantren sepertimu kok pilih kekayaan."

" Kalau kamu pilih mana? Kekayaan atau kebijaksanaan?" Ngajiyo balik bertanya.

" Ya jelas kebijaksanaanlah...!" jawab Firman. " Oh... begitu ya!"

" Ya iyalah. Kamu itu aneh. Kamu dari pesantren, tentunya kamu sudah dibekali dengan nilai-nilai moral. Ternyata, kamu keblinger juga dengan kekayaan."

" Ya wajar saja. Saya kan dari pesantren, jadi saya sudah punya kebijaksanaan. Tapi, saya belum punya kekayaan. Wajar saja saya memilih kekayaan, sedangkan kamu itu kan sudah punya kekayaan, tapi kamu tidak bijaksana. Wajar saja kalau kamu memilih kebijaksanaan. Hahaha...," jelas Ngajiyo sambil mengakak.

Firman mati kutu lagi.

Di negeri ini, keadilan seakan-akan malu untuk muncul di hadapan orang yang benar-benar membutuhkan. Keadilan di negeri ini malu karena uang dapat mempermalukannya. Kira-kira seperti itulah kondisi miris di negeri kita. Pada dasarnya, negeri kita adalah negeri yang sangat kaya. Negeri kita itu merupakan sebuah negeri dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Bahkan, dalam sejarahnya, negeri kita ini dijajah oleh pihak asing memang karena menginginkan sumber daya alam yang memiliki kualitas. Dalam perut bumi, dalam lautan, dan di atas tanah-tanahnya, negeri kita sangat kaya dengan berbagai sumber daya alamnya.

Akan tetapi, justru kekayaan tersebut tidak membuat negeri kita berdiri sebagai sebuah negara yang maju dan mandiri. Yang terjadi justru sebaliknya, rakyat masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, gelandangan yang hidup di jalanan masih bertebaran, dan masih banyak anak-anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Realitas seperti itu merupakan dualisme negeri kita yang saling terkait. Hal itu diperparah dengan keterbelakangannya sehingga hal itu memunculkan kebergantungan pada negara lain.

Idealnya, negeri yang kaya akan sumber daya alamnya bisa menjadi negeri yang maju dan menyejahterakan rakyatnya. Secara rasional, kekayaan tersebut bisa

dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa dan negara, menghapus kemiskinan yang ada, menyejahterakan seluruh rakyatnya, dan mengangkat harga diri bangsa di mata internasional. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi di negeri kita yang merupakan sebuah negara dengan kekayaan dan sumber daya alam sangat melimpah. Negeri kita justru bergantung pada bangsa lain dan menjadi bangsa yang terbelakang. Mengapa demikian?

Tidak lain dan tidak bukan penyebab dari kebergantungan dan keterbelakangan negeri kita itu adalah keserakahan pihak pengelola dan penyelenggara negara. Kekayaan alam kita memang luar biasa, tetapi dirampas oleh mereka yang serakah. Sementara itu, rakyat mengais sisa-sisa nasi dari makanan yang mereka buang. Sungguh ironis bukan?

Selain mereka yang serakah yang mencuri kekayaan alam kita, para koruptor juga bermain dalam sisi yang lain. Mereka menguras harta negara sampai rakyat benar-benar miskin. Ketika rakyat merana karena sengsara dan kelaparan, para koruptor mempunyai perut buncit karena kekenyangan makan makanan yang sangat lezat, enak, nikmat, dan mahal. Ketika orang-orang serakah dan para koruptor tersebut terjerat hukum, mereka tinggal menyodorkan tulisan angka yang nominalnya terbilang triliunan rupiah kepada para hakim dan para penegak hukum. Dengan

begitu, mereka bisa bebas dari penjara. Jika mereka benar-benar dijebloskan ke penjara, maka penjara pun disulapnya menjadi hotel berbintang sepuluh. Eh... ada nggak sih, hotel bintang sepuluh? Hotel yang paling bagus itu bintang berapa ya? Ya begitulah. Pokoknya penjara yang digunakan untuk menghukum mereka, justru dijadikan tempat istirahat yang sangat nyaman layaknya hotel berkelas.

Padahal, Islam telah dengan tegas menyatakan keharaman menyogok atau menyuap. Rasulullah saw., pernah bersabda bahwa orang yang menyuap dan orang yang disuap itu (sama-sama) di dalam neraka (hukumannya kelak di hari kiamat). Dalil seperti itu pada tidak digubrik karena kekayaan menjadi tujuan utama mereka, bukan kebijaksanaan.

Lain lagi jika yang terjerat hukum itu adalah rakyat jelata. Mereka benar-benar disalahkan, bahkan tanpa perlu bukti yang jelas-jelas bisa diterima. Mereka kemudian dijebloskan ke penjara yang gerbangnya selalu tertutup rapat, temboknya dipasang kawat duri yang beraliran listrik, dan penjagaannya sangat ketat sehingga mereka hanya bisa menderita di dalam penjara. Para hakim tidak perlu lelah-lelah mengetok palu di pengadilan karena orang-orang yang dianggap terdakwa dari kalangan rakyat jelata itu tidak mempunyai uang untuk menyuapnya.

Bagaimana dengan nasib negeri kita ini?

Sudah bisa ditebak, negeri kita terlunta-lunta karena keserakahan pihak-pihak tertentu. Mereka terbutakan oleh kekayaan yang mereka keruk dari alam kita. Sementara itu, kita hanya bisa bengong seperti anak ayam kehilangan pacarnya, galau...! Hahaha....

Inilah yang menjadi perhatian utama bangsa kita. Kita sering kehilangan moral kita sebagai orang Timur. Pada dasarnya, orang-orang Timur itu mempunyai karakter etika dan moral yang khas. Cara bertutur kata pun terbilang sopan dan murah senyum adalah ciri khasnya. Akan tetapi, ternyata karakter Timur itu tercederai oleh kebiasaan berbohong. Wujud berbohong yang paling menyakitkan adalah para pejabat yang membohongi rakyatnya, para hakim yang membohongi publik dengan penyimpangan kasus hukum, para elite politik yang membohongi rakyatnya dengan memasang foto muka manis di baliho-baliho serta spanduk-spanduk untuk meraih suara.

Cinta Tanah Air

C inta Tanah Air harus kita sematkan dalam diri pri
badi kita. Kita itu hidup di Tanah Air kita sendiri. Kita lahir di Tanah Air kita sendiri. Kelak, ketika kita meninggal, kita juga akan dikuburkan di Tanah Air kita sendiri. Oleh karenanya, kita harus mencintai Tanah Air kita. Hubbul wathon minal iman. Cinta Tanah Air itu sebagian dari iman."

Demikian ceramah Haji Karso pada sebuah majelis taklim. Masyarakat yang mendengarkan pun seolah-olah membara hatinya untuk membela Tanah Air. Termasuk juga Pak Bandi, yang hadir dalam majelis taklim tersebut.

Pak Bandi pun sebisa mungkin mengamalkan ceramah dari Haji Karso tersebut. Haji Karso memang orang yang berpengaruh di kampung, sehingga nasihat dan ceramahnya begitu didengar oleh masyarakat.

Akan tetapi, kegundahan menyelimuti hati dan pikiran Pak Bandi. Bagaimana tidak, dia mau mengamalkan ceramah Haji Karso tetapi merasa keberatan. Dia pun semakin gundah gulana dan tampak pucat sore itu, istri dan "

anak-anaknya pun terlihat pucat. Bahkan anaknya yang paling kecil menangis terus.

Kebetulan, sore itu Ngajiyo bertamu ke rumah Pak Bandi. Berhubunga rumah Pak Bandi itu berdekatan dengan rumah Ngajiyo, wajar saja jika Ngajiyo sering datang ke rumah Pak Bandi. Ketika melihat Pak Bandi dengan keadaan pucat seperti itu, Ngajiyo kaget sekaligus heran.

" Pak Bandi, ada apa? Kok pucat gitu?" tanya Ngajiyo.

" Iya, Ji. Saya bingung. Tadi pagi, Haji Karso ceramah tentang cinta tanah air. Tapi saya keberatan untuk mengamalkannya," jawab Pak Bandi lemas.

" Lho, memangnya kenapa? Cinta Tanah Air itu memang dianjurkan oleh Islam. Benar apa yang dikatakan Haji Karso."

" Makanya itu, Ji. Saya dan keluarga saya jadi lemas begini. Apalagi si Ragil, dari tadi nangis terus karena kami sekeluarga berusaha mengamalkan cinta tanah air yang dikatakan Haji Karso tadi pagi."

" Cinta Tanah Air kok bikin lemas sih, Pak? Kok bisa?"

" Saya dan keluarga dari tadi pagi nggak minum. Makanya saya lemas."

" Lho, kenapa nggak minum?"

" Kita kan harus cinta tanah air. Oleh karena itu, saya dan keluarga saya dari tadi pagi nggak minum air, kan katanya kita harus cinta tanah air. Tanah dan air yang ada itu harus kita cintai. Tanah nggak boleh kita injak karena kalau diinjak, nanti dia akan kesakitan. Air juga harus dicintai, maka jangan diminum nanti dia mati. Saya juga bingung, penghidupan saya kan dari sawah. Kalau harus cinta tanah air, bagaimana saya bisa bertani ya, Ji?" kata Pak Bandi salah pengertian.

" Owalah... maksudnya itu bukan begitu, Pak. Cinta Tanah Air itu adalah cinta terhadap bangsa dan negara sendiri. Tanah Air itu ya bangsa dan negara, bukan tanah yang kita injak dan bukan air yang kita gunakan untuk minum, mandi, wudu, dan lain sebagainya itu! Tanah Air itu hanya ungkapan. Jangan dimaknai mentah-mentah begitu!" terang Ngajiyo.

" Oh... jadi Tanah Air itu bukan tanah dan air ini to? Maksudnya bangsa dan negara to? Waduh... saya salah kalau begitu!"

Beberapa waktu lalu, ada seorang pemilik akun twitter yang isi twit-nya menggemparkan. Mengapa menggemparkan? Twit tersebut menyatakan bahwa membela nasionalisme itu tidak ada dalilnya dan membela agama itu wajib hukumnya, jadi sia-sia saja membela nasionalisme.

Hal tersebut sontak mendapatkan respons yang beragam dari publik dan masyarakat. Yang pasti, twit tersebut banyak disindir dan dicemooh oleh banyak orang. Bagaimana tidak, nasionalisme itu tidak ada dalilnya, padahal Islam mengajarkan untuk membela nasionalisme yang punya nama lain cinta Tanah Air. Ceramah Haji Karso tersebut setidaknya bisa menjadi refleksi bagi kita bersama tentang anjuran cinta Tanah Air.

Jika seseorang benar-benar mencintai Islam sebagai agamanya, tentulah ia akan cinta pula terhadap nasionalisme atau Tanah Air. Orang-orang bijak Muslim-Arab mengatakan bahwa hubbul wathan minal iman, yang artinya cinta Tanah Air itu sebagian dari iman. Dalil tersebut cukup memberikan kita pengertian bahwa cinta terhadap tanah air itu tidak sia-sia dan dianjurkan oleh agama. Dengan demikian, barangsiapa yang mencintai agama (Islam), tentunya mencintai Tanah Air.

Terkait dengan hal itu, Rasulullah saw., telah memberikan keteladanan. Ketika beliau mendapatkan tekanan yang sangat dahsyat dari kaum kafir Quraisy di Mekah, beliau berhijrah ke Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan berhasil lolos dari ancaman pembunuhan yang akan dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap diri beliau. Ketika berangkat menuju Madinah secara sembunyi-sembunyi dengan berjalan kaki, Rasulullah saw., pun mengatakan bahwa Mekah adalah tanah air beliau dan beliau sangat mencintai tanah air beliau itu.

Dari sekelumit kisah tentang hijrah bukankah cukup membuktikan bahwa Rasulullah saw., saja mengajarkan cinta terhadap tanah air. Dengan kata lain, Rasulullah saw., itu seorang nasionalis. Dengan demikian, mengapa ada yang bilang bahwa membela nasionalisme itu sia-sia dan tidak dapat pahala? Rasulullah saw., itu seorang teladan, maka sudah selayaknya bagi kita sebagai umat beliau untuk meneladani. Termasuk keteladanan tentang cinta tanah air. Rasulullah saw., adalah panutan umat Islam. Jika panutan kita saja meneladankan cinta tanah air, mengapa ada seorang muslim yang bilang bahwa membela nasionalisme itu sia-sia? Sungguh hal itu merupakan kesesatan yang nyata.

Lebih dari itu, kita wajib bersyukur atas perjuangan para pahlawan terdahulu yang dengan gagah berani memperjuangkan nasionalisme agar Indonesia merdeka. Tanpa mereka, Indonesia hanya negara jajahan dan bahkan tidak diakui sebagai negara karena tidak berdiri sendiri dan tidak berdaulat secara hukum. Berkat kegigihan dan perjuangan para pahlawan yang cinta tanah air itulah, kita bisa menikmati kemerdekaan dan terlepas dari penjajahan fisik.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita wajib bersyukur atas rasa cinta Tanah Air yang dipertahankan oleh para pahlawan bangsa, sehingga kita tinggal mengisi kemerdekaan untuk kemajuan bangsa. Lha, sudah diperjuangkan dengan membela nasionalisme oleh para pahlawan, kok masih saja ada yang bilang bahwa membela nasionalisme itu sia-sia. Sungguh ter...la...lu.... (kata Bang Haji.)

Para pahlawan rela darahnya tertumpah, badannya tertembus timah panas, hartanya dikorbankan, dan jiwa raganya dipertaruhkan untuk memperjuangkan dan membela nasionalisme. Jika ada yang mengatakan bahwa membela nasionalisme itu sia-sia, betapa sakit hati mereka di alam sana. Mereka akan merasa kecewa dengan pernyataan seperti itu. Padahal mereka dengan susah payah memberikan kemerdekaan bagi bangsa, eh sekarang ada anak bangsa yang meng
anggap bahwa membela nasionalisme itu sia-sia. Sekali lagi, sungguh ter...la...lu.... (kata Bang Haji lagi.)

Sebuah refleksi bagi kita. Jika tidak ada nasionalisme, akan ke mana kita berlabuh dalam suatu tatanan bermasyarakat dan bersosial? Peradaban Madinah yang dibangun Rasulullah saw., kemudian memunculkan paham nasionalisme untuk naungan masyarakat Islam, mengapa ada yang bilang nasionalisme itu tidak berdalil? Hukum tidak akan berlaku secara de jure dan de facto jika tidak ada yang namanya Tanah Air berikut tatanan sosialnya. Bisa jadi, yang ada hanyalah hukum rimba; yang menang akan menguasai. Jika demikian halnya, penjajahan akan lagi ada di dunia ini. Makanya, membela nasionalisme itu penting karena cinta Tanah Air itu memang sebagian dari iman. pustaka-indo.blogspot.comh t t p


Pendekar Rajawali Sakti 208 Ancaman Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Lima Sekawan 05 Berkelana

Cari Blog Ini