Bumi Karya Tere Liye Bagian 1
BUMI
Oleh Tere Liye
ebook by http://pustaka-indo.blogspot.com
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Desain sampul: eMTe
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2014
www.gramediapustakautama.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978-602-03-0112-9
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan
NAMAKU Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belas
tahun. Aku anak tunggal, perempuan. Untuk remaja seumuranku, tidak
ada yang spesial tentangku. Aku berambut hitam, panjang, dan lurus.
Aku suka membaca dan mempunyai dua ekor kucing di rumah. Aku
bukan anak yang pintar, apalagi populer. Aku hanya kenal teman-teman
sekelas, itu pun seputar anak perempuan. Nilaiku rata-rata, tidak ada
yang terlalu cemerlang, kecuali pelajaran bahasa aku amat menyukainya.
Di kelas sepuluh sekolah baru ini, aku lebih suka menyendiri dan
memperhatikan, menonton teman-teman bermain basket. Aku duduk
diam di keramaian di kantin, di depan kelas, dan di lapangan. Sebenarnya
sejak kecil aku terbilang anak pemalu. Tidak pemalu-pemalu sekali
memang, meskipun satu-dua kali jadi bahan tertawaan teman atau
kerabat. Normal-normal saja, tapi sungguh urusan pemalu inilah yang
membuatku berbeda dari remaja kebanyakan.
Aku ternyata amat berbeda. Aku memiliki kekuatan. Aku tahu itu
sejak masih kecil meskipun hingga hari ini kedua orangtuaku, temanteman dekatku tidak tahu.
Waktu usiaku dua tahun, aku suka sekali bermain petak umpet.
Orangtuaku pura-pura bersembunyi, lantas aku sibuk mencari. Aku
tertawa saat menemukan mereka. Kemudian giliranku bersembunyi.
Kalian pernah melihat anak kecil usia dua tahun mencoba bersembunyi?
Kebanyakan mereka hanya berdiri di pojok kamar, atau di samping sofa,
atau di belakang meja, lantas menutupi wajah dengan kedua telapak
tangan. Mereka merasa itu sudah cukup sempurna untuk bersembunyi.
Kalau sudah menutupi wajah, gelap, sudah tersembunyi semua, padahal
tubuh mereka amat terlihat.
Aku juga melakukan hal yang sama saat Papa bilang, "Raib, ayo
bersembunyi. Giliran Mama dan Papa yang jaga." Maka aku tertawa
comel, berlari ke kamarku, berdiri di samping lemari, menutupi wajah
dengan kedua telapak tanganku.
1
Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum genap
dua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah kumainkan
dengan penuh antusias.
Namun, ternyata permainan itu tidak seru. Orangtuaku curang.
Waktu giliranku jaga dan mereka bersembunyi, aku selalu berhasil
menemukan mereka. Di balik gorden, di balik pot bunga besar, di
belakang apalah, aku bisa menemukan mereka meskipun sebenarnya aku
tahu dari suara mereka menahan tawa. Tetapi saat aku yang
bersembunyi, mereka tidak pernah berhasil menemukanku. Mereka
hanya sibuk memanggil-manggil namaku, tertawa, masuk kamarku,
sibuk memeriksa seluruh kamar. Mereka melewatkanku yang berdiri
persis di samping lemari.
Aku sebal. Aku mengintip dari balik jemari kedua telapak tanganku.
Orangtuaku pastilah pura-pura tidak melihatku. Bagaimana mungkin
mereka tidak melihatku? Itu berkali-kali terjadi. Saat aku bersembunyi di
ruang tengah, mereka juga berpura-pura tidak melihatku. Bahkan saat
aku hanya bersembunyi di tengah ruang keluarga rumah kami, menutup
wajah dengan telapak tangan, mereka juga pura-pura tidak melihatku.
Saat kesal, kulepaskan telapak tangan yang menutupi wajahku.
Mereka hanya berseru, "Astaga, Raib? Kamu ternyata ada di situ?" atau
"Aduh, Raib, bagaimana kamu tiba-tiba ada di sini? Kami dari tadi
melewati tempat ini, tapi tidak melihatmu." Lantas mereka memasang
wajah seperti terkejut melihatku yang berdiri polos. Mereka memasang
wajah tidak mengerti bagaimana aku bisa tiba-tiba muncul. Padahal aku
sungguh sebal menunggu kapan mereka akan berhenti berpura-pura
tidak melihatku.
Permainan petak umpet itu hanya bertahan satu-dua bulan. Aku
bosan.
Aku sungguh tidak menyadari saat itu. Itulah kali pertama
kekuatan itu muncul. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku mengerti
hingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan dari siapa pun hingga
usiaku lima belas. Aku tinggal menutupi wajahku dengan kedua telapak
tangan, berniat bersembunyi, maka seketika, seluruh tubuhku tidak
terlihat. Lenyap. Orangtuaku sungguh tidak punya ide bahwa anak
2
perempuan mereka yang berusia kurang dari dua tahun bersembunyi
persis di depan mereka, berdiri di tengah karpet, mengintip dari sela-sela
jarinya.
Namaku Raib, gadis remaja usia lima belas tahun.
Aku bisa menghilang, dalam artian benar-benar menghilang.
3
DUH, Ra, berhentilah mengagetkan Mama!" Mama berseru,
wajahnya pucat.
Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, bergabung di meja
makan, tertawa melihat Mama yang sedang mengelus dada dan
mengembuskan napas.
Mama menatapku kesal.
"Sejak kapan kamu sudah duduk di depan meja makan?"
"Dari tadi, Ma." Aku ringan mengangkat bahu, meraih kotak susu.
"Bukannya kamu tadi masih di kamar? Berkali-kali Mama teriaki
kamu agar turun, sarapan. Sampai serak suara Mama. Ini sudah hampir
setengah enam. Nanti terlambat. Eh, ternyata kamu sudah di sini?" Mama
menghela napas sekejap, lantas di kejap berikutnya, tanpa menunggu
jawabanku, sudah gesit mengangkat roti dari pemanggang, masih
bersungut-sungut. Celemeknya terlihat miring, ada satu-dua noda yang
tidak hilang setelah dicuci berkali-kali. Rambut di dahinya berantakan,
menutupi pelipis. Mama gesit sekali bekerja.
"Ra sudah dari tadi duduk di sini kok. Mama saja yang nggak lihat."
Aku menuangkan susu ke gelas. "Beneran."
"Berhenti menggoda mamamu, Ra." Papa memperbaiki dasi,
menarik kursi, duduk, lalu tersenyum. "Mamamu itu selalu tidak
memperhatikan sekitar, sejak kamu kecil. Selalu begitu."
Aku membalas senyum Papa dengan senyum tanggung.
Itu adalah penjelasan sederhana Papa atas keanehan keluarga kami
sejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak permainan petak umpet yang
tidak seru. Sesimpel itu. Mama tidak memperhatikan sekitar dengan baik.
Padahal, kalau aku sedang bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atau
sedang iseng, aku menutupi wajahku dengan telapak tangan, menghilang.
4
Seperti pagi ini, Mama berteriak membangunkan Papa dan
meneriakiku agar bergegas. Mama sibuk memulai hari, menyiapkan
sarapan, dan membereskan kamar. Mama selalu begitu, terlihat sibuk.
Terlepas dari peraturannya aku benci peraturan-peraturan Mama yang
kalau dibukukan bisa setebal novel Mama ibu rumah tangga yang hebat,
cekatan, mengurus semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpa
pembantu.
Dulu, sambil menunggu Papa turun bergabung ke meja makan, aku
suka memperhatikan Mama bekerja di dapur. Tentu saja kalau aku hanya
duduk bengong menonton, paling bertahan tiga detik, sebelum Mama
segera melemparkan celemek, menyuruhku membantu. Jadi, untuk
menghindari disuruh mencuci wajan dan sebagainya, aku iseng
"menonton" sambil bertopang tangan di meja dengan kedua telapak
tangan menutupi wajah, membuat tubuhku menghilang sempurna,
mengintip Mama yang sibuk bekerja.
Mama sibuk meneriakiku, "Raaa! Turun, sudah siang." Lantas dia
mengomel sendiri, bicara dengan wajan panas di depannya, "Anak gadis
remaja sekarang selalu bangun kesiangan. Alangkah susah mendidik
anak itu." Lantas dia menoleh lagi ke atas, ke anak tangga, berteriak,
"Papaaa! Turun, sudah jam enam lewat. Bukankah ada rapat penting di
kantor?" Lantas dia mengomel lagi sendirian, bicara dengan wajan panas
lagi, sambil membalik omelet, "Kalau mandi selalu saja lama. Contoh yang
buruk. Bagaimana Ra akan bisa tangkas mengerjakan pekerjaan rumah
kalau papanya juga selalu santai. Anak sama papa sama saja
kelakuannya."
Dulu aku suka tertawa melihat Mama mengomel sendiri. Lucu
sekali. Aku mengintip dari balik jari, bersembunyi, sambil menguap
karena masih mengantuk walau telah mandi. Aku bisa bermenit-menit
diam, bertopang tangan, menonton Mama. Itu membuatku tidak perlu
bekerja pagi-pagi membantunya, sekaligus tahu banyak rahasia,
misalnya apakah aku jadi dibelikan sepeda atau tidak, apa hadiah ulang
tahunku besok, dan sebagainya.
Sekarang serunya hanya sedikit, tidak sesering dulu. Sejak usia
belasan aku lebih dari tahu tanggung jawabku. Sekali-dua kali saja
isengku kambuh. Seperti pagi ini, aku sebenarnya sudah sejak tadi turun
5
dari lantai dua rumah kami, rapi mengenakan seragam sekolah,
bergabung di meja makan. Tetapi karena bosan menunggu Papa turun,
daripada disuruh-suruh Mama, aku memutuskan "bersembunyi", iseng
menonton.
"Kamu sudah lama menunggu, Ra?" Papa bertanya, mengambil
koran pagi.
"Papa tahu tidak, tarif air PAM sekarang naik dua kali lipat?" Mama
lebih dulu memotong, berseru soal lain. Tangannya cekatan
memindahkan omelet ke atas piring.
"Oh ya?" Papa yang mulai membuka koran pagi mengangkat wajah.
"Itu artinya Papa jangan mandi lama-lama," aku menyikut Papa,
berbisik pelan, membantu menjelaskan maksud celetukan Mama.
Papa ber-oh sebentar, tertawa, mengedipkan mata, pura-pura
mengernyit tidak bersalah. "Siapa sih yang mandi lama-lama?"
"Memang selalu susah mengajak kalian bicara serius. Sudahlah,
mari kita sarapan," Mama melotot, memotong kalimat Papa lagi, menarik
kursi. Semua hidangan sarapan sudah tersedia di atas meja. "Kamu mau
sarapan apa, Ra?"
"Omelet terlezat sedunia, Ma. Minumnya segelas susu ini," aku
menunjuk.
Mama tertawa yang segera membuat wajah segarnya kembali.
"Nah, Papa mau apa?"
"Roti panggang penuh cinta," Papa nyengir, meniru teladanku.
"Jangan gombal." Mama melotot, meski di separuh wajahnya
tersungging senyum.
"Siapa yang gombal? Sekalian jus jeruk penuh kasih sayang."
Aku tertawa. "Tentu saja gombal, Pa. Jelas-jelas itu hanya roti dan
jus jeruk."
6
Mama tidak berkomentar, menuangkan jus jeruk, ikut tertawa,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit tersipu. Lantas Mama mengambil sisa makanan yang belum
diambil, meraih sendok dan garpu. Kami mulai sibuk dengan menu
masing-masing.
"Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci," Mama bicara di sela
mulut mengunyah.
Papa menelan roti. "Eh, sekarang rusak apanya?"
"Pengeringnya rusak, tidak bisa diisi penuh. Kadang malah tidak
bergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Mama menyerah, Pa. Beli
baru saja."
Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut berkomentar.
Pembicaraan sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Itu lebih baik?
daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolah baruku, bertanya ini,
bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu, lantas membacakan sepuluh
peraturan paling penting di keluarga kami.
"Mau Papa temani ke toko elektronik nanti malam?"
Dua-tiga menit berlalu, mesin cuci masih jadi trending topic.
"Tidak usah. Nanti sore Mama bisa pergi sendiri. Sekalian mengurus
keperluan lain. Paling minta ditemani Ra. Eh, Ra mau menemani Mama,
kan?"
Papa mengangguk takzim. Mama memang selalu bisa diandalkan?
tadi waktu bilang sudah diotak-atik, itu bahkan berarti Mama sudah
berprofesi setengah montir amatir. Aku juga mengangguk sekilas, asyik
mengunyah "omelet terlezat sedunia".
Ponsel Papa tiba-tiba bergetar, menghentikan sarapan.
Papa menyambar ponselnya, melihat sekilas nama di layar. Aku dan
Mama bertatapan.
"Ya, halo." Papa bicara sejenak, lantas menjawab pendek-pendek,
ya, oke, baik, ya, oke, baik. Papa meletakkan ponsel sambil menghela
napas panjang.
7
"Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskan
sarapan bersama. Tiga puluh menit lagi Papa harus segera ada di kantor.
Tuan Direktur memanggil."
Tuan Direktur? Aku menepuk jidat. Selalu begitu.
Papa tertawa. "Ayolah, Papa harus bergegas, Ra. Papa janji, Ma,
gantinya kita makan malam bersama nanti."
Mama menghela napas tipis. Kecewa.
Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belum
sepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, harus berangkat ke
sekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut buru-buru.
Mereka telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok, beranjak
berdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan keperluan
sekolah.
"Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa."
"Tentu saja. Bila perlu, Papa akan sarapan sambil rapat dengan
Tuan Direktur. Itu pasti akan menarik." Papa mengedipkan mata,
bergurau.
Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah. "Papa
tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita: sarapan selalu
penting." Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama tersenyum.
Papa memang sedang berada di titik paling penting karier
pekerjaannya?setidaknya demikian kalau Papa menjelaskan kenapa dia
harus pulang larut malam, kenapa dia harus bergegas pagi-pagi sekali.
"Papa harus berhasil melewati fase ini dengan baik, Ra. Sekali Papa
berhasil memenangkan hati pemilik perusahaan, karier Papa akan
melesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih tinggi. Keluarga kita harus
kompak mendukung, termasuk kamu. Toh pada akhirnya kamu juga yang
diuntungkan. Mau liburan ke mana? Mau beli apa? Semua beres."
Aku hanya bisa mengangguk, setengah paham (soal jalan-jalan
atau belanja), setengah tidak (soal memenangkan hati pemilik
perusahaan).
8
"Dasi Papa miring."
Mama
menunjuk,
beranjak
mendekat,memperbaiki
"Terima kasih." Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan.
"Celemek Mama juga miring." Papa ikut memperbaiki, meski sekali lagi
melirik pergelangan tangan.
"Jangan pulang larut malam, Pa."
"Mama lupa ya? Kan tadi Papa bilang nanti malam kita makan
malam bersama. Spesial. Tidak akan terlambat." Papa mendongak.
"Alangkah lamanya anak itu mengambil tas sekolah."
"Tentu saja."
"Tentu saja apanya?"
"Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melakukan
sesuatu, dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu." Mama
tersenyum simpul.
"Oh, itu entahlah meniru siapa." Papa pura-pura tidak mengerti,
sambil ketiga kalinya melirik jam tangan. "Yang Papa tahu, anak itu
cantiknya meniru siapa."
Mama tersipu. Mereka berdua tertawa.
Papa melihat jamnya lagi, mengeluh. "Lima menit? Lama sekali
anak itu mengambil"
"Ra sudah selesai dari tadi kok." Aku nyengir, menurunkan telapak
tangan.
"Eh? Ra?" Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku tiba-tiba
sudah berdiri di anak tangga terakhir. "Bagaimana kamu sudah ada di
sana? Kamu selalu saja mengejutkan orangtua." Papa bersungut-sungut,
meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas.
"Jangan menggoda papamu, Ra. Dia selalu saja tidak
memperhatikan. Sejak kamu kecil malah." Sekarang giliran Mama yang
menggunakan kalimat itu, tersenyum.
9
Aku tersenyum tanggung membalas senyum Mama.
Itu juga menjadi penjelasan sederhana Mama atas keanehan
keluarga kami sejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak permainan
petak umpet. Sesimpel itu. Papa tidak memperhatikan sekitar dengan
baik. Padahal, kalau aku lagi bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atau
sedang iseng, aku tinggal menutupi wajah dengan kedua telapak tangan,
menghilang.
Seperti pagi ini, aku iseng ingin melihat percakapan akrab
orangtuaku. Sudah sejak tadi aku turun mengambil tas, berdiri di anak
tangga paling bawah dengan kedua telapak tangan menutupi wajah,
mengintip wajah mereka yang saling tersipu. Baik dulu maupun
sekarang, itu selalu seru.
"Ayo berangkat." Papa berjalan lebih dulu.
Aku mengangguk.
"Jangan lupa sarapan lagi di sekolah, Ra."
"Ra tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita: sarapan
selalu penting." Aku mengangkat tangan, hormat.
Mama mengacak poni rambutku.
Lima menit kemudian, mobil yang Papa kemudikan sudah melesat
di jalanan. Pagi itu aku sungguh tidak tahu, setelah sarapan bersama
yang selalu menyenangkan, beberapa jam lagi, kejutan itu tiba. Ada yang
tahu rahasia besarku, bukan hanya satu, melainkan susul-menyusul.
Seluruh kehidupanku mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.
Perang besar siap meletus di Bumi. Aku tidak bergurau.
10
ERIMIS turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papa
mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Aku
menatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka hujan.
Menatap butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan.
"Kamu nanti pulang sore?" Papa bertanya, tangannya menekan
klakson, ada angkutan umum mengetem sembarangan, menghambat lalu
lintas pagi yang mulai macet di depan.
"Tidak ada les, Pa. Ra langsung pulang dari sekolah," aku
menjawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap.
"Oh. Berarti kamu bisa ya, menemani Mama ke toko elektronik?"
Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin.
"Mesin cuci itu. Kamu pernah memikirkannya, Ra?" Papa sepertinya
masih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi. Ia menekan
klakson, menyuruh dua motor di depan yang sembarangan menyelip di
tengah kemacetan agar menyingkir.
"Ya?" Aku ikut menatap ke depan.
"Usianya sudah lima tahun,
membayangkan sekaligus berhitung.
bukan?"
Papa
tertawa
kecil,
"Ya?"
"Kamu tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaian
sebanyak dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebih
dari 36.000 potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, minta
diganti. Hebat, bukan?"
Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja kami lewati.
Ada lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutan
umum dan beberapa pekerja kantoran. Lampu kendaraan menyala,
11
kedip-kedip. Beberapa pedagang asongan berdiri dan seorang pengamen
membiarkan gitarnya tersampir di pundak. Pemandangan yang biasa
sebenarnya, tapi hujan gerimis membuat suasana terlihat berbeda.
"Konsisten. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yang
lebih tepat. Kamu tahu, Ra, persisten membuat kita bisa melakukan hal
hebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapi
dalam waktu lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba kamu bayangkan
36.000 potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruh
department store besar." Papa tertawa lagi.
Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalu
suka "menasihatiku" dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara hal
unik pada pagi yang basah menuju sekolah ini. Mungkin orangtua
kebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajak
anak-anak remajanya bicara sesuatu, menasihati, dan berharap kalimatkalimat itu bekerja baik?meskipun hanya urusan mesin cuci. Terlepas
dari kesibukannya?juga topik pembicaraan yang kadang tidak
menyambung dengan situasi?bagiku Papa menyenangkan. Dia selalu
ada saat aku butuh seorang papa.
"Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagi
yang hebat."
"Oh ya?" Aku memperhatikan wajah Papa yang riang.
"Coba kamu hitung. Jika setiap hari Mama mencuci lima potong
pakaianmu, maka selama lima belas tahun terakhir, dihitung sejak kamu
bayi, itu jumlahnya sekitar, eh, 30.000 potong lebih. Atau, untuk Papa,
tujuh belas tahun sejak menikah, angkanya lebih banyak lagi. Bisa
40.000 potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan? Total 70.000 potong
lebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry ke kita ya, Ra?
Kalau satu potong Mama tarik seribu perak saja, wuih, banyak sekali
tagihannya." Papa tertawa.
Aku ikut tertawa, mengangguk.
Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hingga
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mobil yang dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. Gerimis
menderas, para siswa yang satu sekolah denganku berhamburan turun
12
dari angkutan umum, mobil pribadi, motor, atau jalan kaki. Mereka
bergegas masuk menuju bangunan yang kering.
"Kamu bawa saja payungnya, Ra." Papa menoleh, menunjuk ke
belakang. "Tenang saja, di kantor nanti Papa bisa minta tolong satpam
membawakan payung ke parkiran. Atau menyuruh siapalah untuk
memarkirkan mobil." Papa seakan mengerti apa yang kupikirkan.
Tanpa banyak bicara, aku meraih payung di belakang kursi,
mencium tangan Papa, membuka pintu mobil, lalu beranjak turun.
"Dadah, Papa!"
"Dadah, Ra!"
Aku menutup pintu mobil. Dua detik kemudian, mobil Papa kembali
masuk ke jalanan.
Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhi
langit. Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awan
hitam terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata memandang.
Bergumpal-gumpal,
terlihat
begitu
suram.
Terlihat
seperti
menyembunyikan sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan. Semakin
lebat, semakin seru. Aku membayangkan awan-awan gelap itu dan berdiri
di antaranya.
Dulu waktu usiaku masih empat-lima tahun, setiap kali hujan aku
selalu memaksa bermain di halaman. Sesekali Mama mengizinkan malah
menawari. Itu permainan kedua yang kukenal, setelah petak umpet yang
berakhir membosankan. Aku berlari melintasi rumput yang basah,
menggoyang dahan pohon mangga yang menjatuhkan airnya dari daun,
menduduki lumpur, melempar sesuatu, menendang sesuatu, dan tertawa
gembira. Itu selalu seru.
Sayangnya, Mama memiliki definisi ketat soal main hujan-hujanan.
"Masuk, Ra, sudah setengah jam. Cukup." Aku menggeleng, tidak mau.
"Ra, tanganmu sudah biru kedinginan. Masuk. Besok kan bisa lagi."
Mama melotot?Papa mengamini, juga menyuruhku masuk. Aku kalah
suara, dua banding satu. Aku merengut, terpaksa menerima uluran
handuk kering. Atau, "Aduh, Ra, kan baru kemarin kamu main hujanhujanan?" Mama menggeleng tegas. "Sebentar saja, Ma. Kan kata Mama
13
besok bisa main lagi," kilahku. Mama tetap menggeleng. "Lima menit?"
Tidak. "Tiga menit?" Tidak. Seberapa pun aku merajuk, menangis,
jawaban Mama tetap tidak Papa mengamini. Aku kalah suara lagi,
dikurung dalam rumah.
Usiaku baru empat-lima tahun. Rambutku masih tampak lucu
dikepang dua oleh Mama. Aku hanya bisa protes dalam hati, bukankah
kemarin-kemarin Mama yang menyuruhku main hujan-hujanan, kenapa
jadinya sekarang dibatasi banyak peraturan? Karena itu, rasanya senang
sekali saat aku dapat izin bermain hujan-hujanan. Aku berlari ke sana
kemari dan membujuk dua kucingku agar ikut bermain air kucingku
mengeong panik, lari masuk ke dalam rumah. Aku tertawa, membiarkan
tubuhku kotor oleh lumpur. Akhirnya setelah lelah, aku duduk di
halaman, mendongak menatap langit gelap. Awan hitam. Aku
membayangkan apa yang sedang berkecamuk di awan-awan itu.
Tetes air hujan deras menerpa wajahku. Aku meletakkan telapak
tanganku, berusaha melindungi mata. Saat itu aku belum tahu, masih
terlalu kecil. Tepat saat telapak tanganku melindungi wajah, seluruh
tubuhku hilang begitu saja. Tubuhku menjadi lebih bening dibanding
kristal air, menjadi lebih transparan dibanding tetes air. Aku asyik
mendongak menatap langit, belum menyadari bahwa jutaan tetes air
hujan itu hanya melewati tubuhku, tidak pecah saat mengenai wajah. Ini
main hujan yang menyenangkan, melamun menatap langit langsung di
bawah tetes air dan yang lebih penting lagi, setiap kali aku duduk
bersimpuh di rumput halaman, mendongak melindungi wajah dengan
telapak tangan, entah bagaimana caranya, aku bisa bermain hujan lebih
lama. Mama di dalam rumah hanya sibuk mengomel mencariku, bukan
meneriakiku agar bergegas masuk.
"Pagi, Ra," Seli, teman satu mejaku, berseru membuyarkan
lamunanku.
Kepalaku yang mendongak menoleh.
"Kenapa kamu bengong di sini, Ra?" Seli tertawa riang. Dia baru
turun dari mobil yang mengantarnya, mengembangkan payung berwarna
pink.
14
"Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel." Aku menyeka wajah yang basah
oleh gerimis.
"Cepat, Ra, sebentar lagi bel." Seli sudah berlari-lari kecil melintasi
gerbang sekolah.
Aku mengembangkan
menyejajarinya.
payungku,
menyusul
langkah
Seli,
"Kamu sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?" Seli menoleh,
wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika aku
menjawab tidak.
Aku tertawa. "Sudah dong."
"Oh, syukurlah." Seli ikut menghela napas lega. "Aku baru tadi
subuh menyelesaikannya. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyik
nonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang tidak
mengerjakan PR-nya lagi. Iya kalau cuma dimarahi, kalau disuruh berdiri
di dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, bukan?"
Aku tidak berkomentar, menguncupkan payung. Kami sudah tiba di
bangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Kelas
sepuluh terletak di lantai dua bangunan sekolah. Bel berdering persis saat
kami hendak naik tangga, membuyarkan dengung suara keramaian
anak-anak bercampur suara gerimis. Sialnya, saat bergegas menaiki
anak tangga, Seli bertabrakan dengan teman lain yang juga bergegas.
"Heh, lihat-lihat dong!" Seli berseru ketus.
"Kamu yang seharusnya lihat!" yang ditabrak balas berseru ketus.
"Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?" Seli melotot.
"Duluan dari mana? Aku lebih cepat."
"Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!" suara
Seli melengking.
Aku menyikut Seli, memberi kode, cueki saja. Pertama, karena
sudah bel, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di
15
lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kami tidak akan
merusak mood pagi yang menyenangkan dengan bertengkar dengan Ali
teman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah. Lihatlah, Ali
hanya cengar-cengir, tidak peduli. Dia sejenak menatap Seli, lantas
bergegas menaiki sisa anak tangga. Dia sama sekali tidak merasa
bersalah.
"Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Janganjangan matanya ditaruh di dengkul," Seli mengomel pelan, menepuk
lengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga.
Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dari
ruang guru, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambat
saat pelajaran dimulai.
"Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel," aku berbisik,
menahan tawa.
"Memangnya di mana?"
"Di pantat kayaknya."
Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-lari
melintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anak
lain sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihat
menggaruk kepala. Seperti biasa, kemeja seragamnya berantakan,
dimasukkan separuh. Aku hanya melihat selintas?paling juga si biang
kerok itu sedang mencari buku PR-nya.
Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba di
pintu kelas. Dalam satu bulan, semua murid baru sekolah ini tahu dialah
guru paling galak di sekolah. Wajahnya jarang tersenyum, suaranya tegas,
dan hukumannya selalu membuat murid merasa malu. Aku sebenarnya
tidak punya masalah dengan guru galak, tapi itu tetap bukan kabar baik
bagiku, karena Miss Keriting mengajar matematika, pelajaran yang tidak
terlalu kukuasai.
"Pagi, anak-anak," Miss Keriting memecah suara hujan.
Kami menjawab salam.
16
"Keluarkan buku PR kalian. Sekarang." Kalimat standar pembuka
pelajaran Miss Keriting.
Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Aku
seketika tertegun. Di mana buku PR matematikaku? Aduh, ini sepertinya
akan menjadi pagi yang buruk. Aku menumpahkan buku dari dalam tas.
"Ada apa, Ra?" Seli bertanya.
Aku tidak menjawab, berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal di
kamar. Aku menyeka dahi, gerah. Aku ingat sekali tadi malam sudah
mengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja. Tadi pagi, saat
Papa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya.
"Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibu
periksa." Suara tegas Miss Keriting membuatku menghela napas
tertahan.
"Ayo, maju. Sekarang!" Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami.
Aku menggigit bibir. Mau apa lagi? Aku melangkah ke depan.
"Ra?" Seli menatapku bingung.
Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapan
teman-teman.
"Kamu tidak mengerjakan PR, Ra?" Miss Keriting menatapku tajam.
"Saya mengerjakan PR, Bu."
"Lantas kenapa kamu maju ke depan?"
"Saya lupa membawa bukunya."
Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja, lalu terdiam saat
Miss Keriting mengangkat tangan.
Miss Keriting menatapku lamat-lamat. "Itu sama saja dengan tidak
mengerjakan PR. Dengan amat menyesal, kamu terpaksa Ibu keluarkan
dari kelas. Kamu menunggu di lorong selama pelajaran berlangsung.
Paham?" Suara Miss Keriting sebenarnya tidak menunjukkan intonasi
17
"menyesal", karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, dia
kembali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, membiarkanku
beranjak gontai ke bingkai pintu kelas.
Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengar
menggelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan
lembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik di
lorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susah
payah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masih
dua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian di
lorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkan
meski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman.
Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kali
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerah
sepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitam
itu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas,
suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripada
biasanya.
Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramai
teman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapa
menit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Dia
memperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. Miss
Keriting tanpa ampun juga "mengusirnya". Aku mengeluh melihat Ali
melangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yang
lengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya di
lorong? Aku menyeka dahi yang berkeringat?yang membuatku
melupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahal
dingin udara terasa mencekam.
Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok
itu.
Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah,
sebelum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapak
tanganku, meletakkannya di wajah.
Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat,
mendongak ke atas?meski tidak mengurungkan gerakan tanganku
18
menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan suram.
Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangan
sekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilang
sempurna saat telapak tanganku menutupi wajah.
Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,
memperhatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mungkin
sedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Dia
mengomel sendirian, melintasiku. "Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa,
tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah." Aku
menahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak iseng
menambahi kesalnya dengan mengait kakinya.
"Halo, Gadis Kecil."
Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambar
terang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telah
berdiri di depanku. Matanya menatap memesona.
19
EMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosok
kurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persis
di depanku?aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan,
refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapak
tanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali terlihat.
Kejadian itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh,
mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tiba
menyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, menyisakan hujan
deras sejauh mata memandang. Angin kencang membuat bendera di
lapangan sekolah berkelepak. Tempias air mengenai lorong lantai dua
tepercik ke wajahku yang setengah pucat.
Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihat
sosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bahkan aku
ingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah dia
sekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksa
semua kemungkinan. Aku hendak beranjak mendekati tepi lorong, tidak
peduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku.
"Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!" Seruan Ali membuat
kakiku berhenti.
Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat di
belakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresi
wajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik sekali.
Sedangkan ekspresi wajahku pasti sebaliknya.
"Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?" Ali mendekat,
wajahnya menyelidik.
Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding lorong.
Kenapa pula urusan ini harus terjadi dalam waktu bersamaan? Kenapa
pula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah
20
mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, janganjangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan kedua
telapak tangan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup mata
sebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengan
tatapan mata Ali yang penuh rasa ingin tahu.
"Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?" Ali bahkan sekarang
menyelidik seluruh tubuhku. "Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada di
sini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Ini
menarik sekali."
"Apanya yang menarik?" Aku membalas tatapan menyelidik Ali,
pura-pura tidak mengerti.
"Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra," Ali tidak mudah
percaya.
"Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?" aku
akhirnya berseru ketus.
"Kamu tidak bisa membohongiku." Ali nyengir lebar. "Aku memang
pemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagian
kecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakin
seratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun di
lorong. Lantas petir menyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tiba
muncul. Aku yakin sekali."
Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Ali
dengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Dia
memang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajaran
tertentu dia bisa membuat guru-guru terdiam hanya karena pertanyaan
masa bodohnya.
"Bagaimana kamu melakukannya?"
"Aku tidak melakukan apa pun."
"Kamu jangan bohong, Ra." Ali menatapku seperti sedang menatap
anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar.
21
"Siapa yang berbohong!" aku berseru ketus sebenarnya separuh
suaraku terdengar cemas.
"Ali! Ra!" Suara tegas Miss Keriting menyelamatkanku.
Kami serempak menoleh.
"Suara percakapan superpenting kalian mengganggu pelajaran."
Miss Keriting melotot, berdiri di bawah bingkai pintu kelas, tangannya
memegang penggaris kayu panjang. "Sekali lagi kalian bercakap-cakap
terlalu kencang, Ibu kirim kalian ke ruang BP, dan semoga ada yang
menyelamatkan kalian dari pemanggilan orangtua ke sekolah."
Mulut Ali yang hendak mencecarku dengan banyak pertanyaan
terpaksa bungkam. Dia menunduk, mengusap-usap rambutnya yang
berantakan. Aku juga menunduk.
"Benar-benar brilian. Sudah tidak membuat PR, berteriak-teriak
pula di lorong kelas. Pasangan paling serasi pagi ini." Miss Keriting
kembali masuk setelah memastikan kami diam beberapa detik. Temanteman sekelas yang ikut melihat ke luar tertawa ramai, lalu diam kembali
saat Miss Keriting menunjuk papan tulis.
Suara Miss Keriting terdengar samar di antara suara hujan deras
yang mengguyur sekolah. Aku masih penasaran siapa sosok tinggi kurus
yang tiba-tiba muncul di depanku tadi. Aku memeriksa sekitar, berusaha
mengabaikan Ali yang terus menatapku. Tidak ada. Sosok itu benar-benar
sudah pergi.
Mungkin aku bisa pura-pura ke toilet sebentar, meninggalkan Ali,
menutup wajah di sana, lantas berjalan kembali ke lorong lantai dua.
Dengan begitu aku bisa mencari sosok tinggi kurus itu, sekaligus juga
bisa menghilang dari si biang kerok ini. Tetapi itu ide buruk. Ali yang
penasaran, bahkan sangat penasaran, pasti akan mengikuti ke mana
pun aku pergi, dan dia bisa mengacaukan banyak hal. Miss Keriting,
dengan kejadian ribut barusan, bisa kapan pun memeriksa lorong lantai
dua lagi, memastikan kami patuh pada hukumannya.
Aku mendongak, menatap siluet petir yang kembali menyambar.
Suara guntur bergemuruh. Sepertinya pagi ini aku benar-benar akan
22
menghabiskan dua jam bersama biang kerok ini. Baiklah, aku
memutuskan duduk bersandar di dinding kelas, berusaha lebih santai,
menghela napas pelan.
"Hei, Ra?" Ali berbisik.
Aku melirik dengan ujung mata, dia ternyata ikut duduk, tiga
langkah dariku.
"Kamu bisa menghilang, ya?" Ali berbisik lagi, berusaha tidak
membuat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu.
Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan.
"Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisa
melakukan itu. Tidak hanya di film-film." Ali bahkan tidak merasa perlu
menunggu jawabanku.
"Kamu gila," aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik.
"Apanya yang gila?"
"Tidak ada yang bisa menghilang."
"Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat oleh
mata, tapi sebenarnya ada." Ali mengangkat bahu.
"Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata," aku bersikukuh, mulai
sebal. "Kecuali yang kamu maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seram
itu."
"Kata siapa tidak ada?" Ali nyengir. "Dan jelas maksudku bukan
hantu-hantu itu. Coba, lihat." Tangan Ali menggapai ke depan. "Setiap
hari, setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihat
oleh mata. Udara. Kamu bernapas dengannya, tanpa pernah berpikir
seperti apa wujud asli udara. Apakah udara seperti kabut? Seperti uap?
Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?"
Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, Ali pendebat yang
baik.
23
"Bahkan, kamu tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak terlihat."
Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai
ujung mata. "Jika kamu terlalu kecil atau sebaliknya terlalu besar dari
yang melihat, kamu bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut,
misalnya, kamu coba saja lihat semut yang ada di lapangan sekolah dari
lantai dua ini, dia menghilang karena terlalu kecil untuk dilihat.
Sebaliknya, Bumi, misalnya, karena bola Bumi terlalu besar, tidak ada
yang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kita
hanya tahu dia mengambang lewat gambar, televisi, tapi tidak pernah
melihat dengan mata kepala sendiri. Tidak terlihat dalam definisi lain."
"Sok tahu," aku berbisik ketus.
Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya tepatnya
tidak tertarik bertengkar seperti biasanya. "Aku tahu sekali, Ra. Internet.
Aku membaca lebih banyak dibanding siapa pun di sekolah ini. Termasuk
Miss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematika
penting katanya, puh, itu mudah saja. Bahkan kalau sekarang masih di
sekolah dasar, aku bisa mengerjakan PR itu. Kamu sungguhan bisa
menghilang ya, Ra?"
Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa memancing
Miss Keriting keluar. Aku segera menurunkan volume suara, menjawab
datar. "T-i-d-a-k."
"Kamu justru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kamu bisa
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghilang." Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan bahasa tubuh.
"Terima kasih, Ra. Itu berarti aku tidak seaneh yang sering orangtuaku
katakan."
Aku mengembuskan napas sebal. Sudah kujawab tidak, Ali tetap
menganggap aku menjawab iya.
Aku kembali menatap hujan, memutuskan menyerah menanggapi
rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya telah keliru, bukan hanya dua jam
pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok ini.
Kemungkinan seharian ini, bahkan besok-besoknya lagi, dia akan terus
tertarik mengikutiku, memastikan.
24
Hujan deras terus mengguyur sekolah, Seli dan teman-teman yang
lain pasti sedang pusing mengikuti pelajaran Miss Keriting di dalam kelas
yang kering, sama pusingnya dengan aku menghadapi Ali di lorong yang
tempias basah.
25
ASANGAN serasi." Seli memajukan bibir, menahan tawa.
Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awas
saja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini.
"Bercanda, Ra." Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan,
separuh masih menahan tawa. "Miss Keriting memang sok galak,
menyebalkan, banyak ngasih PR, tapi itu yang aku suka darinya. Dia
selalu telak menyindir orang. Pasangan paling serasi pagi ini. Hehehe. Eh,
lagian kenapa pula kalian harus berteriak-teriak di lorong, membuat
semua teman sekelas menoleh ingin tahu," Seli membela diri, berusaha
berlindung dari lemparan sedotan.
Bel istirahat pertama sudah bernyanyi lima menit lalu. Hujan deras
sudah reda, menyisakan rintik kecil yang bisa dilewati tanpa terlalu
membuat basah. Udara dingin dan lembap. Seli mengajakku ke kantin,
menghabiskan semangkuk bakso dan segelas air jeruk hangat, pilihan
yang baik dalam suasana seperti ini. Seli bilang dia yang traktir. Aku
awalnya tidak tertarik. Setelah dua jam lebih saling ngotot
menghabiskan waktu bersama Ali, yang membuat mood-ku hilang, aku
sebenarnya lebih tertarik menghabiskan waktu sendirian di kelas, duduk
di kursi, memikirkan siapa si tinggi kurus itu. Apakah itu hanya
imajinasiku karena belasan tahun menyimpan rahasia? Tetapi melirik
gelagat Ali yang juga akan ikut menghabiskan waktu di kelas,
menyelidikiku, aku menerima tawaran Seli.
"Kalian sebenarnya membicarakan apa sih? Sampai bertengkar
begitu?" Sayangnya Seli yang sambil ber-hah kepedasan menghabiskan
semangkuk baksonya seperti kehabisan ide percakapan selain tentang
kejadian di lorong kelas.
"Tidak membicarakan apa pun." Aku malas menanggapi.
"Masa iya?" Seli menyelidik. "Sampai bertengkar begitu."
26
"Siapa yang bertengkar? Dia saja yang selalu menyebalkan. Mencari
masalah," aku mengarang jawaban.
"Eh, kalian tidak sedang membicarakan PR matematika, kan?
Mengerjakan PR di lorong tadi?" Seli tertawa dengan kalimatnya sendiri.
Aku melotot, mengancam Seli dengan bola bakso.
"Bercanda, Ra. Kamu sensitif sekali pagi ini. Aku saja yang dia
tabrak tadi di anak tangga nggak ilfil. Biasa saja." Seli nyengir tanpa dosa.
Semangkuk bakso kantin ini lumayan lezat, apalagi saat udara
dingin, tapi topik pembicaraan ini memengaruhi lidahku. Apalagi menatap
wajah jail Seli.
"Kamu tahu, Ra," Seli tiba-tiba berbisik, menurunkan volume suara,
di tengah ingar-bingar kantin yang dipenuhi teman-teman sekolah, yang
cepat merasa keroncongan saat udara dingin begini.
"Tahu apanya?" Aku tidak semangat menatap wajah penuh rahasia
Seli.
"Ali pernah ikut seleksi Olimpiade Fisika," Seli masih berbisik.
"Terus apa pentingnya?" Aku mengangkat bahu tidak peduli.
"Dia peserta seleksi olimpiade paling muda sepanjang sejarah, Ra.
Waktu itu dia masih kelas delapan. Dia nyaris masuk dalam tim yang
dikirim ke entah apa nama negaranya, Uzbekistan kalau tidak salah. Dia
termasuk enam siswa paling pintar, genius malah. Itu penting sekali,
bukan?" Seli ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. "Tapi si biang kerok
itu batal dikirim. Pada minggu terakhir seleksi, dia meledakkan
laboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi. Iseng melakukan
percobaan entah apa. Betul-betul meledak, Ra."
"Dari mana kamu tahu itu?" aku basa-basi menanggapi.
"Perusahaan tempat papaku bekerja jadi sponsor utama tim
olimpiade itu, Ra. Kejadian itu dirahasiakan, wartawan hanya tahu tim
olimpiade pulang membawa beberapa emas dua minggu kemudian. Kata
papaku, profesor pembimbing tim olimpiade tetap ngotot membawa Ali,
27
bilang bahwa anak itu yang paling pintar. Dan menurut sang profesor,
rasa ingin tahu kadang membuat seseorang nekat melakukan sesuatu,
dan itu bisa dimaklumi, tapi panitia lokal menolaknya. Ali batal jadi
peserta Olimpiade Fisika termuda sedunia."
Melihat wajah Seli yang semangat bercerita, aku setengah tidak
percaya, setengah hendak tertawa. Lihatlah, Seli berbisik seperti sedang
menceritakan kisah berkategori top secret?Seli sepertinya terlalu banyak
menonton serial Korea.
"Nah, Ali juga sudah empat kali pindah-pindah sekolah selama
SMP." Seli mengambil sambal setengah sendok, tadi dia kebanyakan
menumpahkan kecap, membuat baksonya jadi terasa manis. "Empat kali,
Ra. Itu rekor."
"Kamu tahu dari mana?"
"Kalau yang ini sih sudah rahasia umum." Seli ber-hah kepedasan
lagi, volume suaranya kembali normal. "Semua anak di sekolah ini juga
tahu. Kamu saja yang tidak memperhatikan, lebih suka menyendiri di
dalam kelas saat bel istirahat. Ali dikeluarkan dari sekolah, katanya sih
karena sering berkelahi."
Aku tidak tertarik dengan cerita Seli. Aku sedang menatap kasihan
temanku itu. Lihatlah, dia sekarang menumpahkan kecap lagi. Sudah
empat kali Seli bolak-balik menambahkan sambal dan kecap di mangkuk
baksonya, membuat bening kuah bakso berubah hitam.
"Nah, saat penerimaan sekolah baru kemarin, banyak SMA yang
menolak menerimanya. Katanya sih bukan semata-mata karena dia sering
berkelahi. Tapi seram saja." Seli menyeka keringat di dahi.
"Seram apanya?"
"Seram kan kalau kamu harus menerima murid sepintar dia? Guruguru kita saja sering grogi di kelas kalau dia mulai bertanya yang anehaneh. Kalau kamu dalam posisi harus mengajari anak sepintar dia, pasti
kamu salah tingkah. Horor dalam arti berbeda. Hanya Miss Keriting yang
tidak peduli, bahkan tega menghukumnya." Seli nyengir lebar.
28
Aku ber-oh pelan. Aku lebih tertarik menghabiskan baksoku.
"Sebenarnya sih... eh, tapi kamu jangan marah ya?" Seli tiba-tiba
terlihat seperti menahan tawa.
Apa lagi ini? Tanganku yang menyendok bakso terhenti.
"Tapi kamu jangan marah ya, Ra...," Seli mengulangi.
Aku menggeleng. "Kenapa aku harus marah? Aku tidak peduli
kamu cerita tentang si biang kerok itu."
"Ali tuh sebenarnya termasuk gwi yeo wun..." Seli kini sungguhan
tertawa.
"Gwi yeo wun?" Dahiku terlipat.
"Cute, Ra. Kalau saja dia lebih rapi, sikapnya lebih manis,
rambutnya diurus, pasti mirip bintang serial Korea yang aku tonton.
Serasi sekali dengan Ra yang manis dan berambut panjang."
Kali ini aku sungguhan menimpuk Seli dengan bola bakso. Seli
tertawa dan cekatan menghindar. Tapi gawat! Baksoku mengenai kepala
anak kelas dua belas! Kami terpaksa bergegas kabur dari kantin, sambil
berteriak ke tukang bakso bahwa bayarnya nanti-nanti.
"Kamu cari masalah, Ra. Cewek itu ketua geng cheerleader." Seli
berlari-lari kecil menarikku, berbisik sebal. Aku patah-patah mengikuti
langkah kaki Seli, melewati keramaian kantin.
Tadi itu jelas-jelas bukan salahku. Sasaranku kepala Seli, dan salah
siapa mereka duduk persis di belakang Seli?
"Semoga mereka tidak tahu kita yang melemparnya." Seli nyengir.
"Bakso yang kamu lempar telak mengenai kepalanya. Mereka pasti lagi
marah-marah mencari tahu siapa yang melempar."
Kami bergegas kembali ke kelas. Ruangan kelas X-9 masih kosong,
hanya ada Ali yang entah kenapa sedang berada di meja kami, seperti
habis melakukan sesuatu. Seli melotot, mengusirnya.
29
Ali hanya mengangkat bahu, merasa tidak bersalah. "Sejak kapan
orang dilarang duduk di kursi mana saja saat istirahat?" dalihnya. Dia
bersiap mengajak bertengkar.
Aku menyikut Seli, menyuruhnya tidak menanggapi Ali.
Setidaknya, hingga bel sekolah berbunyi, tidak ada kejadian yang
membuatku tambah jengkel. Pelajaran bahasa, aku suka. Aku memasang
wajah semringah selama pelajaran berlangsung. Sepertinya hampir
seluruh teman sekelas menyukai guru bahasa kami. Dia persis seperti
tutor acara berbahasa yang baik dan benar di siaran televisi nasional,
pintar, tampan, dan pandai bergurau. Hanya Ali yang tampak kusut,
dengan wajah tertekuk di pojokan kelas. Aku tertawa dalam hati,
meliriknya, mengingat cerita Seli di kantin tadi?yang entah betul atau
tidak, mungkin Ali benci pelajaran ini karena tidak tahu bagian mana
yang bisa diledakkannya.
Bel pulang sekolah bernyanyi kencang, dengung gaduh memenuhi
seluruh bangunan sekolah. Aku pulang naik angkutan umum bersama
Seli.
Sayangnya, tiba di rumah aku menemukan masalah baru. Masalah
dengan dua kucingku. Dan itu lebih serius dibanding kejadian tadi pagi di
sekolah dengan sosok tinggi kurus yang mendadak muncul kemudian
hilang di depan mataku.
30
ISA hujan sepanjang pagi sudah menguap di jalanan saat
angkot yang kutumpangi merapat di depan rumah. Seli bilang nanti dia
yang bayar. Aku mengangguk, lalu turun dari angkot.
Aku berlari-lari di rumput halaman, membuka pintu depan,
berteriak mengucap salam?suara Mama terdengar menjawab dari dapur.
Aku naik ke lantai dua, menuju kamarku, melempar tas sekolah
sembarangan ke atas kasur. Mama yang sedang memasak di dapur
meneriakiku agar bergegas ganti baju, makan siang, dan bersiap-siap.
Pukul tiga kami harus segera berangkat ke toko elektronik. Aku balas
berteriak, "Siap, Ma!" Aku tertawa riang. Jalan bersama Mama selalu
menyenangkan.
Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah melongok ke sana
kemari. Ini aneh sekali, biasanya dua kucingku sudah riang menyambut
saat aku masuk ke dalam rumah. Tapi tadi yang loncat dari balik pintu
hanya si Putih. Si Hitam tidak kelihatan sama sekali.
"Hei, si Hitam mana, Put?"
Si Putih seperti
mengeong pelan.
biasa
menyundul-nyundul
manja
betisku,
"Kamu lihat di mana si Hitam, Put?" Aku lembut mengangkatnya
dengan kedua telapak tangan, memeluknya, terus memeriksa kamar
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil menggendong si Putih. Aduh, ke mana pula kucingku yang satu
lagi? Tidak ada di kamarku. Juga tidak ada di kamar lain lantai dua. Aku
beranjak menuruni tangga, boleh jadi si Hitam sedang malas-malasan di
dapur, menghabiskan makanan.
"Kamu belum berganti pakaian, Ra?" Mama menegurku.
Aku menggeleng, masih sibuk mencari.
Si Hitam tidak ada di dapur. Tidak ada juga di bawah meja makan,
di sebelah lemari, atau di tempat favoritnya selama ini. Aku menghela
31
napas. Ini jarang sekali terjadi, bahkan seingatku tidak pernah terjadi.
Dua kucing "kembar"-ku ini selalu bersama-sama menyambutku. Selalu
berdua ke mana-mana, bermain berdua, kompak.
"Apa si Hitam sakit, Put?"
Si Putih yang sedang kugendong hanya mengeong. Mata bulatnya
bekerjap-kerjap. Baiklah, aku beranjak memeriksa ruang tengah, ruang
tamu, kamar mandi, bahkan garasi, apa pun tempat yang mungkin. Lima
menit sia-sia, aku kembali masuk ke dapur.
"Kamu belum berganti pakaian, Ra? Ayo bergegas, kita tidak bisa
lama-lama di toko elektronik. Mama harus menyiapkan makan malam,
papamu pulang lebih awal malam ini." Mama menatapku tidak mengerti.
Gerakan tangannya yang sibuk membereskan peralatan masak terhenti
sejenak, memperhatikanku yang sedang mencari sesuatu.
Aku menggeleng.
"Kamu mencari apa sih, Ra?"
"Ma, lihat si Hitam?"
"Si Hitam?
kesayanganmu?"
Bukannya
kamu
sedang
menggendong
kucing
"Bukan yang ini, Ma. Satunya lagi."
"Satunya lagi apa?"
"Iya, kucing Ra yang satunya lagi, Mama nggak lihat?"
"Aduh, Mama nggak ngerti deh. Kamu jangan aneh-aneh lagi kayak
waktu SD dulu. Jelas-jelas sejak dulu hanya ada satu kucing di rumah
ini." Mama melotot, lantas sedetik kemudian tangannya kembali
membereskan peralatan. "Ayo cepat ganti seragammu, lalu makan siang.
Jangan keseringan menggoda Mama seperti yang sering papamu lakukan,
Ra."
32
Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ingin mengeluh, karena Mama
terlihat santai-santai saja padahal kucingku hilang satu, tapi aku
langsung mengurungkannya. Aku seketika tertegun.
Eh, Mama barusan bilang apa? Satu ekor?
Aku benar-benar baru menyadari hal itu sekarang, detik ini. Seperti
ada yang melemparkan pemikiran itu di kepala. Ditambah dengan
kejadian tadi pagi, melihat sosok tinggi kurus di sekolah, tiba-tiba
membuatku berpikir ada yang benar-benar keliru dengan dua ekor kucing
"kembar" kesayanganku selama ini. Setelah enam tahun punya kucing,
aku pikir itu semua hanya gurauan Mama dan Papa.
Jangan-jangan...
"Ayo, cepat ganti seragam. Jangan malah bengong," Mama berseru
mengingatkan.
***
Sejak usia enam tahun aku ingin punya kucing. Saking inginnya,
aku pernah menculik kucing anggora milik Tante Anita, adik Mama,
waktu kumpul arisan keluarga di rumahnya. Aku seharian bermain
bersama kucing itu, memegang bulunya yang tebal seperti beludru KW1,
hangat memeluknya sambil tiduran, berlari mengejarnya di taman.
Akhirnya saat pulang, aku gemas dan memasukkan kucing itu ke
dalam tas. Dua hari kucing itu kusembunyikan di kamar. Persis hari
ketiga, Mama menemukannya.
Mama marah besar, bilang tanteku justru cemas mencari ke sana
kemari kucing kesayangannya dua hari terakhir. Aku hanya menatap
polos. "Kucingnya lucu, Ma. Lagian Tante juga bilang, kalau Ra mau,
kucingnya boleh dipinjam beberapa hari."
Mama tambah marah. "Dipinjam itu berarti bilang-bilang. Kamu
mencurinya."
Papa hanya tertawa, meredakan marah Mama, bilang bahwa aku
masih enam tahun. Papa lantas mengantar kembali kucing itu pulang ke
rumah Tante Anita, membiarkan aku merengek menangis.
33
"Nanti-nanti, kalau Ra sudah besar dan bisa mengurus kucing
peliharaan sendiri, baru boleh," Mama tegas berkata, dan itu berarti tidak
bisa ditawar-tawar lagi.
Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Persis ulang tahunku yang
kesembilan, kucing "kembar" itu hadir di rumah kami.
Aku yang tahu hari itu ulang tahunku berseru-seru riang
menuruni anak tangga. Sambil mengucek mata, menguap, masih ileran,
rambut panjang berantakan, aku berteriak-teriak, "Mama! Papa! Ra ulang
tahun. Mana hadiahnya?"
Mama dan Papa yang sudah bangun lebih awal tertawa. Mereka
menungguku di meja makan sejak tadi. Aku ikut tertawa demi melihat
tumpukan kotak hadiah di lantai. Aku langsung loncat bersemangat.
Ada enam kotak hadiah?dua dari Papa dan Mama, yang lain dari
saudara dekat dan tetangga. Persis saat aku selesai membongkar kotak
keenam dan tertawa membentangkan sweter hijau, bel rumah ditekan
seseorang, bernyanyi nyaring.
"Biar Ra yang buka." Aku beranjak berdiri?siapa tahu itu kadoku
yang ketujuh.
"Sejak kapan Ra mau disuruh membukakan pintu kalau ada
tamu?" Mama tertawa, menggoda. "Yang ada malah berteriak-teriak
menyuruh orang lain."
Aku menjulurkan lidah. "Biarin. Hehe." Aku berlari-lari kecil ke
pintu depan.
Dugaanku tepat, itu kado ketujuh. Kado paling spesial. Di dalam
kardus berwarna pink, beralaskan talam lembut, ditutup kain sutra,
hadiah ulang tahunku menunggu. Saat aku membuka kain sutra tipis,
dua anak kucing berbulu tebal terlihat mengeong tidak sabar, saling
gelitik, bermain satu sama lain. Aku sungguh kehilangan ekspresi terbaik,
tidak bisa berkata-kata lagi. Aduh, dua anak kucingnya lucu sekali. Mata
mereka bundar bercahaya, bulunya lebih lebat daripada yang bisa
kubayangkan. Dua anak kucing anggora usia dua minggu. Keduanya
tampak mirip. Warna bulu mereka hitam dengan bintik-bintik putih, atau
34
boleh jadi sebenarnya putih dengan bintik-bintik hitam, saking ratanya
warna hitam-putih tersebut. Dua ekor kucing itu tidak bisa dibedakan,
kembar.
"Mama yang membelikan kucing?" Papa berbisik. Papa dan Mama
sudah berdiri di belakangku.
Mama menggeleng. "Mungkin dari tantenya."
"Aduh lucunya." Itulah kalimat pertamaku setelah terdiam satu
menit menatap dua makhluk menggemaskan itu. Aku akhirnya
merengkuh dua ekor kucing itu, menoleh ke Mama dan Papa. "Boleh Ra
pelihara ya, boleh ya, Ma?"
Mama mengangguk, dan aku sudah rusuh membawa kotak itu ke
dalam, berlari, bahkan sebelum anggukan Mama terhenti.
***
Masih enam tahun lalu, saat usiaku sembilan tahun.
"Kamu sudah memberi nama kucingmu, Ra?" Papa bertanya,
meletakkan secangkir minuman hangat ke atas meja. Kami sedang
berkumpul di ruang keluarga, habis makan malam ulang tahunku.
Sekarang jadwal menonton DVD, film kartun favoritku.
"Sudah, Pa," aku menjawab pendek, sedang asyik bermain bersama
dua ekor kucing baruku di atas karpet.
"Papa boleh tahu namanya?" Papa antusias, mendekat.
"Si Hitam dan si Putih," aku menjawab, tersenyum manis.
"Si Hitam atau si Putih, maksudmu?" Papa mendekat lagi,
keningnya berkerut tipis, ikut melihat kucing yang merangkak naik di
pahaku.
"Bukan, Pa. Si Hitam dan si Putih."
35
"Eh? Maksudmu, nama kucingnya ada dua? Dikasih dua nama ya,
karena warna bulunya tidak bisa dibedakan hitam berbelang putih atau
putih berbelang hitam?" Papa bingung.
"Bukan, Pa." Aku menoleh. Masa Papa nggak ngerti juga, ujarku
dalam hati. "Kucingnya kan ada dua, Pa. Jadi yang satu namanya si
Hitam, satunya lagi si Putih."
Waktu itu aku tidak terlalu menganggap penting percakapan
tersebut. Mama menyikut pelan Papa, mengedipkan mata. Papa
mengangkat bahu, menoleh, menatap Mama tidak mengerti, lalu kembali
duduk di sofa.
"Biasa, Pa. Beberapa anak juga begitu. Selalu punya ?teman lain?,"
Mama berbisik.
"Teman lain?" Papa ikut berbisik.
"Teman imajinasi." Mama tersenyum simpul. "Bermain dengan
imajinasi. Karena kucingnya hanya satu, biar seru, mungkin Ra
menganggap ada anak kucing lain, biar ada temannya. Jadilah dia seperti
punya dua kucing."
"Mama serius?" Papa menelan ludah.
"Tentu saja. Coba Papa tanyakan ke teman kantor, tetangga,
kenalan, mereka pasti bilang anak-anak biasa mengalami fase itu. Tidak
berbahaya, lama-lama hilang sendiri."
"Tapi Ra kan sudah sembilan tahun, Ma?"
Mama tertawa pelan. "Bukannya Papa sendiri yang bilang bahwa Ra
masih bayi? Setiap malam selalu mengecup dahinya, bilang, ?Selamat
tidur, bayi besarku.?"
Papa tertawa, lalu mengangguk. Dia meraih remote DVD player.
"Mama benar. Ra masih anak-anak. Setidaknya dia senang sekali dengan
kucing barunya. Bahkan film kartun kesayangannya pun diabaikan. Kita
nonton yang lain saja. Mumpung Ra tidak akan protes."
36
Malam itu, aku telanjur senang dengan hadiah kucing di dalam
kotak berwarna pink itu. Aku sedikit pun tidak memperhatikan
percakapan Papa dan Mama. Dan karena sejak usiaku dua puluh dua
bulan, sejak bermain petak umpet itu, keluarga kami terbiasa dengan halhal aneh, soal kucing itu cepat atau lambat juga dianggap biasa saja.
Bahkan saat arisan keluarga diadakan di rumah kami beberapa
bulan kemudian, Tante Anita berseru riang, "Aduh, sejak kapan Ra punya
kucing? Kok nggak bilang-bilang sih, Ra. Cantik sekali. Kayaknya lebih
cantik dibanding kucing Tante, ya."
Sebelum aku menjawab, Mama justru memotong, bertanya balik ke
Tante, "Bukannya kamu yang kirim kotak pink itu? Hadiah ulang tahun
Ra enam bulan lalu?"
Tante Anita menggeleng bingung. "Aku kan mengirimkan sweter.
Lagi pula kalau kucingnya secantik ini, lebih baik untuk aku saja." Tante
Anita lantas tertawa.
Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya yang mengirimkan kotak
berwarna pink, beralaskan beludru dan ditutup kain sutra terbaik itu,
dan
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak
ada
yang
berusaha
mencari
tahu
siapa
yang
mengirimkannya. Seiring waktu yang berjalan cepat, tidak ada yang
terlalu memperhatikan saat aku bermain kejar-kejaran dengan dua
kucingku di taman, saling menggelitiki, basah-basahan, memberikan
susu, dan menyiapkan makanan. Bagiku, kucing itu selalu ada dua, si
Putih dan si Hitam. Aku tidak pernah merasa kucing itu hanya satu
seperti yang dilihat Papa, Mama, tetangga, atau kerabat. Mereka hanya
tahu aku punya seekor kucing anggora lucu.
***
"Ra!" Suara Mama mengagetkanku. Mama sudah berdiri di depan
pintu kamar. Aku menoleh.
"Aduh, berapa kali lagi Mama harus bilang. Cepat ganti baju, lalu
makan siang. Kita harus jalan sekarang. Kalau kesorean, nanti toko
elektroniknya tidak bisa mengantar mesin cucinya hari ini. Mama juga
harus masak makan malam." Mama sepertinya terlihat marah,
menatapku, tidak mengerti kenapa aku masih mengenakan seragam
37
sekolah. "Ayo, Mama tunggu lima belas menit di garasi, sekalian Mama
membereskan garasi. Kalau kamu tidak siap-siap juga, Mama tinggal."
"Iya, Ma," aku menjawab pelan.
"Dan satu lagi. Bermain kucingnya bisa nanti-nanti. Si Putih atau si
Hitam kan bisa main sendiri. Dari tadi kucingnya digendong, dibawa ke
mana-mana." Mama menunjuk kucing yang masih kugendong.
Aku menelan ludah, mengangguk.
Punggung Mama hilang dari bingkai pintu, turun ke lantai satu
menuju garasi.
Sekarang suasana hatiku benar-benar berubah. Suram.
Separuh hatiku sedih karena si Hitam tetap tidak berhasil
kutemukan setelah hampir setengah jam memeriksa rumah?aku mulai
cemas jangan-jangan si Hitam kenapa-napa, separuh hatiku bingung
dengan semua pemikiran baru yang berkembang di kepalaku. Bagaimana
mungkin kucing itu hanya satu? Aku sendiri yang setiap hari
menyusuinya dengan botol susu hingga usia beberapa bulan, memberikan
piring berisi makanan, memandikannya, mengeringkan bulunya,
menyisir bulunya. Mama pasti keliru.
"Kamu lihat si Hitam tidak, Put?" aku berbisik.
Kucing yang kugendong hanya mengeong pelan. Mata bulatnya
terlihat bercahaya seperti biasa, manja menyundul-nyundulkan
kepalanya ke lenganku.
"Sungguhan tidak lihat?" Aku mengelus kepalanya.
Kucing yang kugendong tetap mengeong pelan.
Baiklah. Aku menghela napas, meletakkan si Putih di lantai,
beranjak merapikan isi lemariku yang tadi kubongkar. Aku memasukkan
kembali kotak berwarna pink yang enam tahun lalu tergeletak rapi di
depan pintu rumah kami, tanpa pernah tahu siapa yang mengantarnya,
tidak ada siapa-siapa di halaman, tidak ada kurir atau petugas yang
mengantarkan kotak itu.
38
Baiklah. Urusan ke mana perginya si Hitam bisa kuurus setelah
pulang menemani Mama ke toko elektronik. Saatnya berganti seragam,
makan siang dengan cepat. Siapa tahu saat aku pulang dari toko, dua
kucingku sudah bermain bersama lagi.
39
IMA belas menit kemudian, setelah mengunci pintu dan
menutup gerbang pagar, Mama memboncengkan aku dengan Vespa,
melaju di jalanan pukul tiga sore. Belum terlalu macet, cahaya matahari
mulai terasa lembut, meski udara pengap kota tetap terasa. Mama gesit
menyalip kendaraan lain kalau saja aku lebih riang, aku akan
menceletuk, "Salip lagi yang di depan, Ma! Lebih cepat!" dan tertawa.
Mama akan balas tertawa. "Tapi jangan bilang papamu kalau kita
ngebut."
Mama ke mana-mana lebih suka mengendarai motor, jago sejak
kuliah. Menurut cerita versi Papa, bahkan dulu waktu kuliah Mama
pernah ikut balapan motor, tapi aku memutuskan tidak percaya.
Setengah jam acara salip-menyalip, Vespa Mama sudah terparkir
rapi di basement pusat perbelanjaan besar. Aku berusaha menyejajari
langkah Mama yang kalau jalan juga selalu supercepat menuju tangga
eskalator. Tujuan pertama kami adalah toko elektronik.
Aku sering ke toko ini, menemani Mama, tapi belum pernah ke
bagian mesin cuci. Terhampar di bagian tersendiri, berpuluh-puluh model
mesin cuci berjejer. Aku menatap terpesona seluruh mesin cuci itu sambil
berpikir, ternyata tidak berbeda dengan ponsel, banyak model, banyak
fitur, banyak spesifikasi, dan jelas banyak mereknya.
"Tergantung kebutuhannya, Bu," petugas sales toko elektronik
sudah melesat menyambut kami, tersenyum dua senti sesuai SOP,
memulai strategi menjualnya. "Kalau Ibu butuh mesin cuci yang bisa
mencuci pakaian sekotor apa pun, kinerjanya kinclong, Ibu pilih saja yang
front loading. Kapasitasnya besar, listriknya lebih hemat, dan efisien
tempat. Meskipun kekurangannya, mesinnya lebih bergetar, suaranya
lebih berisik, agak beraroma karena sering menyisakan air di dalam, dan
lebih mahal."
Aku tertawa dalam hati, melihat gaya petugas sales itu. Aku
membayangkan Ali dalam versi lebih dewasa, sok tahu sedang
40
menjelaskan teori menghilang, eh mesin cuci. Seli salah, apanya yang
cute, Ali itu lebih mirip petugas sales ini, malah lebih rapi petugas salesnya.
"Atau kalau Ibu hanya mencuci pakaian yang tidak terlalu kotor,
bujet terbatas, dan tidak punya masalah dengan tempat di rumah, pilih
saja yang top loading. Kinerja mencucinya tidak sebaik front loading, tapi
siapa pula yang hendak mencuci seragam penuh lumpur? Anak Ibu tidak
suka pulang kotor-kotor, kan?" Petugas sales tertawa, menunjukku. "Atau
Ibu mau mencoba jenis mesin cuci terbaru kami, hybrid dua model yang
saya jelaskan sebelumnya, high efficiency top loading? Ini paling
mutakhir, meski paling mahal." Sedetik tertawa dengan gurauannya,
petugas sales sudah kembali lagi dengan jualannya.
Lima belas menit mendengarkan cuap-cuap petugas sales, Mama
menunjuk pilihannya. Model mesin cuci yang sama persis dengan punya
kami yang rusak di rumah.
Aku bingung menatap Mama.
"Setidaknya Mama tahu, yang ini bisa awet hingga lima tahun ke
depan, Ra. Tidak perlu yang aneh-aneh," Mama berbisik, menjelaskan
alasannya.
"Terus kenapa Mama tadi sok mendengarkan penjelasan petugas
sales kalau memang akan memilih yang ini?" balasku, juga dengan
berbisik.
"Yah, setidaknya Mama jadi tahu model terbaru mesin cuci, kan?
Lagi pula, kasihan petugas sales-nya kalau dicuekin."
Aku menepuk dahi, akhirnya tidak kuat menahan tawa. Betul, kan.
Jalan-jalan bersama Mama selalu menyenangkan. Petugas sales yang
sedang mengepak mesin cuci yang kami beli menoleh, tidak mengerti
kenapa aku tiba-tiba tertawa, berbisik-bisik.
Setelah memastikan mesin cuci itu akan diantar sore ini juga ke
rumah, paling telat tiba nanti malam, kami meninggalkan toko elektronik,
pindah ke supermarket. Mama belanja keperluan bulanan. "Kamu tidak
41
mau ke toko buku?" Mama bertanya, mendorong troli masuk ke lorong
detergen dan teman-temannya.
"Buku yang kemarin-kemarin saja belum Ra baca. Lagian banyak
PR dari guru, Ma. Nggak sempet baca novel." Aku menggeleng.
"Nah, lalu jatah uang bulanan buat beli bukumu kamu pakai buat
apa?" Mama menunjuk dompetnya di saku. "Buat nambahin beli
keperluan Mama saja ya." Mama mengedipkan mata.
"Nggak boleh. Curang," aku
"Sebentar, Ra punya ide lebih baik."
buru-buru
berseru,
memotong.
Aku bergegas meninggalkan Mama, pindah ke lorong lain di
supermarket. Aku kembali lima menit kemudian, saat Mama sudah
mendorong troli di lorong minyak goreng dan teman-temannya. Aku
tersenyum, meletakkan satu kotak es krim batangan ke dalam troli. "Ide
bagus, kan?"
Mama menghela napas, tidak berkomentar. Itu pula enaknya pergi
bersama Mama, aku bebas belanja apa saja sepanjang itu memang
jatahku.
Persis jam tangan menunjukkan pukul lima sore, aku dan Mama
membawa kantong plastik belanjaan ke parkiran motor. Jalanan semakin
padat, suara klakson dan asap knalpot bergabung dengan kesibukan
orang pulang kantor dan aktivitas lainnya. Setelah hujan sepanjang pagi
tadi, langit sore ini terlihat bersih, awan tipis tampak jingga oleh matahari
senja. Mama gesit mengemudikan Vespa-nya, menaklukkan kemacetan.
Satu tanganku memegangi belanjaan, satu tangan lagi berpegangan.
Rambut panjangku berkibar keluar dari helm.
"Jangan bilang-bilang Papa kita ngebut, ya," Mama berseru.
Aku tertawa, tidak menimpali.
***
Tiba di rumah, tetap hanya si Putih yang berlari-lari
menyambutku. Aku menelan ludah, hendak menggendong kucingku?
namun urung, takut Mama mengomel. Aku membantu meletakkan
42
belanjaan di dapur, beres-beres sebentar, lantas buru-buru menyingkir
sebelum Mama menyuruhku membantu memasak. "Ra ke kamar ya, Ma,
ada PR." Aku meraih kotak es krim batanganku, dan sebelum Mama
berkomentar, aku sudah menuju ruang tengah, diikuti si Putih.
Setelah lima belas menit mengerjakan PR matematika dari Miss
Keriting, aku berpendapat bahwa yang menyusun jadwal pelajaran kelas
X-9 pasti genius seperti Ali. Bayangkan, dua hari berturut-turut pelajaran
pertamanya adalah matematika?mood-ku menyelesaikan PR langsung
menguap. Mataku memang menatap angka-angka di atas kertas, tetapi
kepalaku memikirkan hal lain.
"Kira-kira si Hitam ke mana ya, Put?" Aku beranjak meraih si Putih
yang melingkar anggun di ujung kaki, menemaniku mengerjakan PR.
Si Putih hanya mengeong. Mata bundarnya mengerjap bercahaya.
"Atau jangan-jangan tadi dia menemukan kucing betina ya, Put?
Jatuh cinta? Jadi minggat?" Aku nyengir dengan ide yang melintas jail itu.
Si Putih tetap mengeong seperti biasa, manja minta dielus dahinya. Aku
tertawa sendiri. Itu ide buruk. Sepertinya aku harus membaca buku
tentang kucing lagi, supaya tahu kenapa kucing minggat dari rumah. Iya
kalau cuma minggat? Kalau kenapa-napa? Aku menelan ludah, buruburu mengusir jauh-jauh kemungkinan buruk itu. Atau jangan-jangan
Mama benar? Memang hanya ada satu kucing di rumah ini sejak dulu. Si
Hitam hanya imajinasiku. Teman "lain". Aku menelan ludah lagi, buruburu mengusir penjelasan itu.
Aku tahu persis ada dua kucing di rumah ini. Aku menamai yang
satu si Hitam dan satunya lagi si Putih karena meski nyaris terlihat
sama, dua kucing itu berbeda. Warna bulu yang mengelilingi bola mata
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berbeda. Si Hitam seperti mengenakan kacamata hitam tipis, dan
si Putih sebaliknya.
Hingga Mama meneriakiku agar segera mandi, bergegas turun
makan malam, aku lebih sibuk memikirkan kucing-kucing itu dibanding
PR matematika. Sempat untuk kesekian kali aku berusaha mencari si
Hitam, berkeliling rumah dengan kedua telapak tangan menutupi wajah,
agar Mama tidak melihatku. Si Hitam tidak ada di mana-mana, di
43
halaman depan maupun belakang. Kucingku itu sepertinya betulan
minggat. Aku sementara menyerah.
Sudah pukul tujuh malam, setengah jam lewat dari jadwal
biasanya Papa pulang. Setelah mandi, membantu Mama menyiapkan
makan malam di meja, membantu Mama mengurus mesin cuci yang
diantar toko elektronik, aku dan Mama duduk di ruang keluarga,
menunggu Papa pulang.
"Papa kenapa belum pulang juga ya, Ma?" aku bertanya.
"Mungkin macet." Mama memencet remote, mengganti saluran
stasiun televisi.
"Kita makan duluan yuk, Ma."
"Tunggu Papa, Ra," Mama menjawab pendek.
"Tapi Ra lapar, Ma." Aku nyengir?memasang wajah seperti tidak
makan tiga hari.
Mama tertawa, melambaikan tangan. "Bukannya kamu sudah
menghabiskan tiga batang es krim sore tadi? Dasar gembul."
Aku memajukan bibir. Namanya lapar, ya tetap saja lapar.
Pukul delapan malam, Papa belum pulang juga. Gerimis turun
membasuh rumah. Belum deras, tapi cukup membuat jendela terlihat
basah, berembun.
"Tetap nggak diangkat, Ma," aku berseru dari meja telepon. Baru
saja, untuk yang keempat kali aku menelepon ponsel Papa.
Mama menghela napas.
"Kantor juga mulai kosong, sudah pada pulang." Aku mendekati
sofa; aku juga barusan menelepon ke kantor. "Kata satpam kantor yang
menerima telepon, Papa dari tadi siang nggak ada di kantor. Ra makan
duluan ya, lapar berat, hampir sempoyongan jalannya nih."
44
Mama menatapku yang pura-pura melangkah gontai. "Ya sudah,
kamu makan duluan saja."
"Terima kasih, Ma." Aku tersenyum lebar, langsung sigap menuju
meja makan.
Pukul sembilan malam, Papa belum pulang juga. Hujan turun
semakin deras. Hari-hari ini musim hujan, cerah sejenak seperti sore tadi
bukan berarti cuaca tidak akan berubah dalam hitungan jam. Petir
menyambar terlihat terang dari jendela dengan tirai tersingkap. Gelegar
guntur mengikuti.
Aku bahkan sudah dua kali naik-turun kamar, ruang keluarga,
mengerjakan PR matematika, mengecek Mama yang masih menunggu
sambil menonton televisi. Urusan kucingku si Hitam sedikit terlupakan?
aku menghibur diri dengan meyakini si Hitam minggat ke rumah
tetangga, nanti-nanti juga pulang. "Mungkin Papa tiba-tiba diajak pemilik
perusahaan pergi ke luar negeri kali, Ma? Kayak enam bulan lalu." Waktu
itu, Papa malah baru pulang besok sorenya, mendadak diajak survei
mesin pabrik yang baru. Tetapi setidaknya, waktu itu Papa menelepon,
memberitahu, jadi tidak ada yang menunggunya.
Mama menoleh, terlihat mengantuk. "Kamu tidur duluan saja, Ra.
Biar Mama yang menunggu Papa."
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kasihan melihat Mama
yang pasti keukeuh tidak akan tidur, tidak akan makan sebelum Papa
pulang.
"Atau jangan-jangan Papa lagi berusaha memenangkan hati pemilik
perusahaan, Ma? Eh, misalnya dengan bikin konser musik di rumahnya,
ngasih hadiah kejutan, kali-kali saja pemilik perusahaan ulang tahun hari
ini."
Mama tertawa kecil. "Kamu ada-ada saja. Sudah, kamu tidur
duluan. Paling juga papamu pergi ke pabrik luar kota. Ponselnya
ketinggalan di kantor. Lupa memberitahu."
Pukul setengah sepuluh, setelah dipaksa Mama, aku akhirnya naik
kembali ke kamar. Kucingku si Putih sudah malas-malasan meringkuk
45
tidur di pojok ranjang. Hujan deras membungkus rumah kami. Aku
mengintip dari sela tirai kamarku. Halaman basah, sejauh mata
memandang hanya kerlip cahaya lampu di antara jutaan butir air. Aku
menghela napas pelan, setidaknya Papa kan naik mobil, jadi kalau
sekarang dalam perjalanan pulang tidak akan kehujanan.
46
APA baru pulang lewat pukul sepuluh. Aku yang belum tidur,
meski sudah mematikan lampu sejak tadi, bergegas turun saat
mendengar mobil memasuki garasi. Aku menempelkan kedua telapak
tangan ke wajah, mengintip dari sela jemari, berdiri di anak tangga.
"Papa minta maaf, Ma." Suara Papa terdengar lelah, menyeka
rambut di dahi. "Hari ini di pabrik kacau sekali.
"Tadi pagi Papa buru-buru berangkat ke kantor, karena jadwal
pengoperasian mesin yang dibeli enam bulan lalu itu ternyata dimajukan
hari ini. Pemilik perusahaan mengajak beberapa manajer senior ke
pabrik, melihat seberapa baik mesin itu bekerja."
Papa mengembuskan napas, mengempaskan tubuh di sofa,
melepas sepatu. "Setengah jam pertama, mesin itu sepertinya tidak
bermasalah, bahkan sangat prima, tapi entah kenapa, persis saat kami
akan kembali ke kantor, salah satu sabuk mesin terlepas. Itu mesin
pencacah raksasa, terbayang saat sabuk dengan lebar setengah meter,
panjang tiga puluh meter, terlempar begitu saja ke udara. Sebelas
karyawan luka parah seketika, dilarikan ke rumah sakit. Belasan lain
luka ringan, terkena bahan mentah yang seperti peluru ditembakkan ke
segala penjuru. Rombongan dari kantor beruntung ada di boks terlindung
kaca, hanya dindingnya yang retak."
"Tapi tidak ada yang meninggal, kan?" Mama bertanya prihatin,
membantu membereskan sepatu dan kaus kaki Papa.
Papa menggeleng. "Tetap saja itu kecelakaan paling serius yang
pernah terjadi. Operasional pabrik terpaksa dihentikan hingga mesin itu
diperbaiki, kemungkinan hingga seminggu ke depan. Dan itu otomatis
berarti Papa harus berangkat pagi pulang malam seminggu ke depan.
Semua ini benar-benar seperti di luar akal sehat. Itu mesin baru. Teknisi
bule yang memasangnya bahkan masih ada di pabrik. Sabuk setebal itu
putus begitu saja, seperti ada yang memotongnya dengan benda tajam."
47
Mama tidak berkomentar lagi, hanya tatapan matanya yang lembut
seolah berkata sebaiknya Papa mandi dulu, makan malam, istirahat,
semua masalah pasti bisa diselesaikan.
"Belum lagi, pemilik perusahaan marah-marah, dan Papa-lah yang
paling kena batunya. Papa yang menyarankan membeli mesin itu,
memeriksa spesifikasinya, memilih vendornya, dia bahkan berteriak-teriak
mengancam akan memecat siapa saja yang tidak becus. Hari ini
melelahkan sekali, mengurus buruh yang terluka, juga mengurus bos
besar yang mengamuk. Papa minta maaf lupa menelepon. Ponsel Papa
ketinggalan di kantor, tidak tahu kalau Ra dan Mama sudah menelepon
berkali-kali, cemas menunggu makan malam bersama." Papa menyisir
rambutnya dengan jemari, menatap Mama, merasa bersalah.
Mama tersenyum anggun. "Ya sudah. Sekarang Papa cepat mandi,
pasti jadi lebih segar."
Aku yang mengintip dari balik jari tengah dan telunjuk di anak
tangga menghela napas. Kalau sudah begini, pasti urusan di kantor
besok-besok akan tambah rumit. Kalau sudah begini, siapa pula yang
sedang berusaha memenangkan hati pemilik perusahaan dengan konser
musik? Aku beranjak naik ke lantai atas, kembali ke kamar.
"Papa sudah makan?"
"Belum sempat. Tepatnya tidak kepikiran. Mama sudah?"
"Belum. Hanya Ra yang sudah. Dia pura-pura mau pingsan bahkan
sejak pukul tujuh. Anak itu semakin susah disuruh makan malam
bersama."
Suara bergurau Mama terdengar lamat-lamat, juga tawa Papa yang
lelah. Aku pelan mendorong pintu kamarku. Aku menatap kamarku yang
gelap, menyisakan selarik cahaya dari lampu jalanan. Hujan deras terus
turun di luar. Si Putih tidur meringkuk di pojokan kasur. Jam dinding
berbunyi pelan detik demi detik. Aku menghela napas, melangkah ke
ranjang sambil menatap cermin besar di meja belajar.
Eh? Bukankah itu...? Aku hampir berseru kaget. Remang cahaya
lebih dari cukup untuk melihat pantulan cermin, dan lihatlah, ada si
48
Hitam di cermin, tidur di dekat si Putih. Aku refleks menoleh ke atas
ranjang. Tidak ada. Refleks kembali menoleh ke cermin. Tidak ada.
Aku menelan ludah, melangkah lebih dekat ke cermin besar persis
di samping ranjangku, memastikan. Aku tidak mungkin salah lihat, aku
tadi melihatnya di dalam cermin, si Hitam tidur di sebelah si Putih. Ini
benar-benar ganjil.
Aku menatap lamat-lamat cermin besar, yang sekarang hanya
memantulkan apa yang ada di kamar. Hanya ada si Putih dan aku?yang
merapikan rambut panjangku, sambil menatap sekitar dengan bingung.
Ini bukan hari terbaikku. Tadi pagi aku dihukum Miss Keriting,
menunggu di lorong kelas selama pelajarannya, bertengkar dengan Ali.
Siangnya, pulang sekolah, kucingku hilang satu. Malam ini, baru saja aku
tahu Papa punya masalah di kantor, ditambah pula aku jadi susah tidur.
Aku sudah berbaring, menutup tubuh dengan selimut, memeluk
guling, tapi aku hanya menatap cermin di kamar. Aku mematut-matut,
meletakkan tangan di wajah, menghilang, lantas mengintip dari sela jari,
menatap cermin besar itu, berharap melihat sesuatu. Tidak ada si Hitam
di sana.
Suara hujan deras memenuhi langit-langit kamar. Kelebat petir
terlihat dari balik tirai jendela. Guntur menggelegar. Cahaya remang
kamarku terlihat memantul di cermin besar. Temaram. Tidak ada apa pun
di sana.
Aku menghela napas kecewa. Aku yakin sekali tadi melihat si Hitam
di dalam cermin.
Hingga satu jam berikutnya, tetap tidak ada apa pun dan siapa pun
di cermin besar itu.
Aku kelelahan, dan jatuh tertidur.
***
Pagi sekali, jam beker alami rumah kami, Mama, sudah berteriakteriak membangunkan. "Ra, bangun! Papa harus berangkat pagi, ayo
bangun!"
49
Aku menguap, menyingkap selimut. Si Putih masih malas
meringkuk di ujung kakiku. Teringat percakapan orangtuaku tadi malam,
aku bergegas loncat dari ranjang. Aku harus membantu Papa, setidaknya
dengan tidak merepotkan membuatnya menungguku. Aku mandi dengan
cepat, berganti seragam, menyiapkan tas sekolah, memastikan buku PR
matematika itu kubawa. Lantas bergabung turun.
"Pagi, Ra," Papa
menyentuh koran pagi.
menyapaku.
Papa
sedang
sarapan?tidak
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pagi, Pa." Aku langsung menyeret kursi.
"Kamu mau sarapan apa, Ra?"
"Nasi goreng saja, Ma."
Mama menyendok nasi goreng dari atas wajan.
"Bagaimana sekolah kamu kemarin?" Papa bertanya.
"Seperti biasa, Pa."
Papa
mengangguk,
tidak
bertanya
lagi.
Aku
bergegas
menghabiskan sarapanku. Mama sibuk membereskan peralatan masak
kotor. Sarapan cepat, sepuluh menit aku sudah melangkah di belakang
Papa menuju garasi. Kucium tangan Mama, dan tiga puluh detik
kemudian, mobil yang dikemudikan Papa meluncur ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan Papa lebih sering menelepon dan ditelepon.
Aku bisa mendengar percakapan Papa karena ponsel Papa disetel
menggunakan pengeras suara. Tentang buruh di rumah sakit, apakah
keluarga mereka sudah datang, Papa bertanya memastikan. Juga tentang
mesin pencacah raksasa, tadi malam teknisi bule itu pulang jam berapa.
Papa mengangguk mendengar jawabannya.
Aku menatap ke luar jendela, tidak terlalu tertarik menguping
pembicaraan.
Pagi ini cerah, wajah-wajah sibuk menyambut pagi disiram cahaya
lembut matahari. Langit terlihat bersih, hanya sisa air hujan di ujung atap
rumah, halte, pepohonan, juga genangan kecil di jalan.
50
"Bagaimana mesin cuci Mama? Oke, bukan?"
"Eh?" Aku menoleh ke depan.
"Kamu kemarin jadi menemani Mama ke toko elektronik?" Papa
bertanya, tersenyum.
"Oh, jadi, Pa. Tapi Mama cuma beli model dan merek yang sama
persis dengan yang lama kok. Kata Mama biar sama awetnya, lima
tahun." Aku nyengir lebar.
Papa mengangguk. "Kamu hari ini pulang sore?"
Aku menggeleng. "Tidak ada les, Pa. Pertemuan Klub Menulis juga
ditiadakan."
Mobil hampir tiba di sekolah. Dengan kesibukan baru Papa, hanya
itu percakapan kami. Tidak sempat ada momen Papa memberikan petuah
saktinya?meskipun kadang tidak nyambung. Aku bersiap-siap
menyandang tas di punggung. Mobil merapat ke gerbang sekolah. Aku
memajukan kepala, mendekat ke Papa. "Semangat ya, Pa!"
"Eh?" Papa menoleh, tidak mengerti. "Semangat buat apa?"
"Pokoknya semangat aja!" Aku tertawa. "Semangat ya, Pa!"
Papa diam sejenak, menyelidik, akhirnya mengangguk. "Iya, kamu
juga semangat ya!"
"Dadah, Papa!" Aku membuka pintu mobil, beranjak turun.
"Dadah, Ra!"
Mobil segera meninggalkan gerbang sekolah. Aku menatapnya
hingga hilang di kelokan jalan.
Sejak aku sudah mengerti, aku tahu bahwa di keluarga kami juga
ada peraturan tidak tertulis?di luar peraturan Mama yang setebal novel
itu. Papa tidak akan pernah membicarakan masalah kantor kepadaku.
Juga Mama, tidak akan pernah membicarakan masalah apa pun di luar
sana kepadaku. Mereka berjanji tidak akan melibatkanku yang masih
51
kecil (sekarang sudah remaja), membuatku ikut memikirkan, cemas,
mengganggu jam belajarku. Biarkan Ra menikmati masa-masa
terbaiknya, demikian penjelasan Mama yang aku tahu dari mengintip di
balik sela jemari. Biarkan masalah-masalah itu hanya ada pada Mama
dan Papa.
Aku berlari kecil melewati lapangan sekolah yang masih sepi.
Sepertinya aku orang pertama yang tiba di sekolah pagi ini.
Aku menaiki anak tangga, berjalan di lorong lantai dua, masuk ke
kelas. Lengang. Aku menuju meja, meletakkan tas, melihat sekitar yang
kosong, dan melangkah ke lorong depan kelas. Sepertinya aku lebih baik
menunggu teman-teman di sini, sambil menatap lapangan sekolah.
Mungkin asyik menatap bangunan sekolah yang lengang.
"Pagi, Ra." Suara khas itu membuatku menoleh.
Itu bukan suara Seli. Itu suara Ali. Tapi sejak kapan si biang kerok
ini ramah menegur orang lain? Biasanya dia tidak peduli, jalan seradakseruduk, mencari masalah. Sejak kapan pula dia datang sepagi ini?
Bukankah biasanya dia nyaris terlambat?
"Kamu tidak menjawab salamku, Ra?" Ali menatapku sambil
cengar-cengir, tidak membawa tas, menepuk-nepukkan tangannya untuk
membersihkan debu. Sepertinya dia habis melakukan sesuatu, habis
memasang sesuatu, entahlah.
"Kamu sudah datang dari tadi?" aku menyelidik.
"Setengah jam lalu. Gerbang sekolah malah masih dikunci." Ali
tertawa. "Kamu belum menjawab salamku, Ra? Tidak sopan lho, disapa
baik-baik tapi malah dijawab dengan pertanyaan."
"Bodo amat," jawabku, lalu kembali menatap lapangan.
"Bagaimana kabar kucingmu? Si Hitam sudah ketemu?"
Aku refleks menoleh, mematung sejenak, menatap Ali tidak
mengerti.
52
Si biang kerok itu tertawa, melambaikan tangan, melangkah masuk
ke kelas.
53
H, hei." Aku bergegas menyejajari langkah Ali. "Dari mana
kamu tahu si Hitam hilang?"
Sambil nyengir, Ali tidak mengacuhkan pertanyaanku, dan terus
berjalan.
"Dari mana kamu tahu?" Aku menghalangi langkahnya. Sebal.
"Jawab dulu salamku yang tadi," Ali berkata santai, "baru
kupikirkan akan memberitahumu atau tidak."
Aku melotot, sebal bukan kepalang. Kutatap wajah Ali dengan
galak, tapi tidak mempan. Sepertinya aku tidak punya pilihan. Ali tidak
akan mengalah hanya karena aku cewek. Baiklah. "Pagi juga," jawabku.
"Ah, itu sih bukan menjawab salam. Itu orang lagi ketus."
Ingin rasanya aku mendorong tubuh si biang kerok itu.
"Coba diulangi. Nah, selamat pagi, Ra...."
Aku menelan ludah, meremas jemari.
"Selamat pagi, Ra," Ali mengulang salamnya, cengar-cengir, sengaja
benar menunggu jawabanku.
"Selamat pagi, Ali." Aku benar-benar kalah.
"Masih belum pas, Ra. Masih kayak orang kebelet ke toilet." Ali
tertawa.
Aku hampir mendorong badannya, jengkel.
"Selamat pagi, Ra," Ali mengulang salamnya sambil menahan tawa.
"Selamat pagi, Ali." Kali ini aku menjawab sungguh-sungguh.
54
"Nah, itu baru keren. Bye! Aku lapar, Ra, mau ke kantin dulu." Ali
justru balik kanan, kembali ke lorong, hendak menuju anak tangga.
"Eh, hei, nanti dulu!" Aku bergegas menghalangi. "Tadi kamu sudah
janji mau kasih tahu aku dari mana kamu tahu kucingku hilang."
"Siapa yang janji?" Ali memasang wajah paling bodoh sedunia?
maksud ekspresi wajah itu sebenarnya adalah akulah yang paling bodoh
sedunia karena tidak mengerti kalimatnya. "Aku tadi hanya bilang nanti
kupikirkan akan memberitahumu atau tidak. Hanya itu."
Aku terdiam, menggeram.
"Atau kamu mau mentraktirku bubur ayam, Ra?" Ali tersenyum,
mengedipkan mata. "Nanti baru kupikirkan lagi apakah akan
memberitahumu atau tidak."
"Tidak mau." Sebalku nyaris di ubun-ubun.
"Atau kamu jawab dulu pertanyaanku kemarin. Kamu sungguhan
bisa menghilang, kan? Nanti akan kuberitahu apa pun pertanyaanmu,
bahkan termasuk misalnya, apakah Miss Keriting itu rambutnya benarbenar keriting atau hanya wig."
Aku berpikir sejenak, lantas mengembuskan napas, berusaha
mengempiskan rasa jengkel. Urusan ini sama seperti yang kubilang pada
Seli. Percuma, tidak pantas ditanggapi. Semakin ditanggapi, Ali malah
semakin senang, dan dia semakin punya amunisi. Aku menyeka dahi,
memutuskan melangkah meninggalkan Ali.
"Hei, Ra, kok kamu malah pergi?" Ali mengangkat bahu, bingung.
Aku masuk ke dalam kelas, tidak menoleh. Tapi Ali sudah
menyusulku.
"Kita ngobrol di kantin yuk, mumpung sepi. Nanti aku beritahu dari
mana aku tahu kucingmu hilang. Di sana tidak akan ada yang menguping
pembicaraan tentang hilang-menghilang itu." Ali berusaha membujuk,
sedikit menyesal gagal menjebakku mengaku. "Atau kamu mau tahu
sesuatu? Misalnya, apakah si Hitam itu sungguhan ada atau tidak? Aku
bisa membantu."
55
Aku sudah memutuskan tutup telinga, melangkah menuju meja. Ali
memang genius, serbatahu, banyak akal, tapi dia lupa satu hal:
kegeniusan dan rasa ingin tahunya itulah yang menjadi kelemahannya.
Cepat atau lambat, karena rasa penasaran, dia akan mengalah, dan aku
akan tahu dari mana dia bisa tahu si Hitam hilang?termasuk seruannya
barusan.
"Dasar jerawatan! Begitu saja marah, cewek banget." Ali bergumam
kesal, menyerah, meninggalkanku sendirian di kelas.
Apa Ali bilang? Jerawatan? Kalau saja menurutkan perasaan, sudah
kutimpuk si biang kerok itu dengan sepatu. Sejak kapan ada yang
mengataiku jerawatan? Dia itu?yang seluruh sekolah juga tahu?sudah
berantakan rambutnya, ketombean pula.
***
Matahari beranjak naik, langit cerah, membuat cahayanya
menerabas lembut melewati kisi-kisi ruangan. Sekolah mulai ramai,
teman-teman sekelas satu per satu masuk, meletakkan tas. Mereka saling
sapa. Suara dengung percakapan, teriakan, ada yang bermain bola di
lapangan, apa saja memenuhi sekolah. Seli tiba setengah jam kemudian,
menyapaku. "Pagi, Ra." Aku tersenyum, mengangguk. "Kamu tidak
ketinggalan buku PR Miss Keriting lagi, kan?" Seli tertawa, sambil
memasukkan tas ke laci meja. Aku mengangkat buku PR matematikaku.
Pukul 07.15, bel bernyanyi nyaring, menghentikan seluruh
keramaian. Anak-anak bergegas masuk ke kelas. Pelajaran pertama hari
ini akan segera dimulai.
Seperti biasa, ketukan suara sepatu Miss Keriting terdengar di
lorong, jauh sebelum dia tiba di kelas. Hari ini dia mengenakan kemeja
cokelat lengan panjang, celana kain berwarna senada, dan sepatu hitam.
Cocok dengan wajahnya yang penuh disiplin. Rambut keritingnya terlihat
rapi. Eh, apakah itu rambut asli atau wig? Aku buru-buru mengusir
pertanyaan dalam hati saat melihat rambut Miss Keriting?ini pasti garagara Ali barusan, semua yang keluar dari mulutnya memancing rasa
penasaran.
"Selamat pagi, anak-anak."
56
"Pagi, Bu," kami kompak menjawab.
"Keluarkan buku PR kalian." Itu selalu kalimat standar pembuka
Miss Keriting. Dia tidak merasa perlu mengabsen kami, cukup mengabsen
buku PR.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak-anak bergegas mengeluarkan buku PR dari dalam tas. Rasa
sebalku dibilang jerawatan oleh Ali akhirnya terbayar. Lihatlah, Ali lagilagi tidak mengerjakan PR. Tepatnya dia mengerjakan, hanya saja salah
halaman. "Brilian sekali, Ali. Ibu suruh kerjakan halaman 50, kamu
malah mengerjakan halaman 40. Sebagai informasi, itu PR kita minggu
lalu. Makanya lubang telingamu yang besar itu harus sering-sering
dibersihkan."
Teman-teman sekelas tertawa. Satu-dua menepuk ujung meja. Seli
menyikutku, memasang wajah senang (yang jahat). Kami menatap Ali
meninggalkan kelas. Sambil menggaruk kepalanya, rambutnya
berantakan, dia melangkah menuju pintu. Aku menatap punggung Ali,
menilik raut wajahnya, sepertinya dia tidak malu atau keberatan diusir
dari kelas pagi ini, malah senang.
Pelajaran matematika yang selalu terasa lebih lama daripada
biasanya dimulai. Satu jam berlalu, tiga-empat orang teman menguap
memperhatikan seliweran rumus di papan tulis. Mereka mulai gelisah,
seperti duduk di bangku panas.
Miss Keriting sebenarnya guru yang baik. Dia menjelaskan dengan
terang dan sistematis.
Dua jam berlalu, separuh teman menyusul menguap, mengeluh
tidak mengerti, konsentrasi berkurang cepat, meskipun Miss Keriting
berusaha bergurau di tengah pelajaran, intermezzo. Akhirnya bel istirahat
pertama berbunyi nyaring, menyelamatkan sisa teman yang belum
menguap. Dengung riang memenuhi langit-langit kelas, meski bungkam
sejenak saat Miss Keriting berseru minggu depan ulangan sumatif. Tidak
apalah, setidaknya masih minggu depan penderitaan ulangan itu.
"Ra, temani aku ke kantin, yuk!" Seli memegang lenganku. Isi kelas
tinggal separuh.
57
"Aku tidak lapar." Aku menggeleng malas.
"Ayolah, aku traktir makan bakso lagi." Seli mengedipkan mata.
Aku nyengir lebar. Bukan soal ditraktir atau tidak. Aku lagi malas
ke mana-mana, lebih suka duduk di kelas. Tapi Seli berhasil
membujukku.
Kelas dengan segera kosong. Teman-teman memilih melemaskan
badan di luar setelah sepagian menatap rumus matematika, menyisakan
satu anak di kelas, dan itu adalah Ali. Dia justru melangkah masuk ke
kelas, menepuk-nepukkan tangannya, membersihkan debu, lagi-lagi
seperti habis memasang sesuatu. Kayaknya Ali akan tinggal di kelas. Dia
bahkan melirik mejaku. Baiklah, lebih baik aku ikut Seli ke kantin.
Letak kantin ada di belakang sekolah, bangunan tersendiri, persis di
sebelah parkiran motor dan bangunan gardu listrik dengan tiang-tiang
tinggi. Aku dan Seli berjalan cepat menuruni anak tangga, melintasi
lorong bawah, sesekali menyapa dan disapa teman yang lain. Kantin tidak
seramai kemarin, tapi tetap tidak mudah memperoleh meja kosong.
"Jangan di sana, Ra." Seli mendadak menahan lenganku.
"Eh, bukannya kita mau makan bakso?" Aku menatap Seli tidak
mengerti.
"Ada kakak kelas geng cheerleader kemarin. Yang kamu timpuk
kepalanya." Seli menarik tanganku, berbisik cemas. Lalu ia ngacir sambil
berkata, "Kita makan batagor saja, ya."
Aku tertawa, menatap kerumunan kakak kelas itu. "Tapi bisa jadi
mereka sudah lupa kejadian kemarin, kan? Kita tetap makan bakso, ya?"
Seli menggeleng tegas.
Baiklah, aku mengikuti punggung Seli.
Lima menit menunggu, dua piring penuh batagor terhidang.
"Kamu tidak sempat sarapan di rumah, Sel?" Aku menatap Seli
yang antusias meraih sendok.
58
"Sarapan kok. Selalu." Seli menyendok dua potong batagor
sekaligus. "Lapar saja. Pelajaran Miss Keriting menghabiskan banyak
energi, Ra."
Aku tertawa, mengangguk setuju, meraih piringku.
"Kamu tahu tidak, rambut Miss Keriting itu asli keriting atau
bohongan?" Aku asal comot ide percakapan, tiga menit setelah diam,
karena Seli asyik sekali dengan batagornya.
"Eh?" Dahi Seli terlipat. "Rambut asli, kan? Memangnya wig, Ra?"
Aku mengangkat bahu. Aku juga bertanya. Penasaran gara-gara
ucapan Ali tadi pagi. Dua gelas es jeruk dikirimkan ke meja kami. Seli berhah kepedasan, bilang terima kasih.
"Kamu sekarang jerawatan ya, Ra?" Seli menyelidik, menatap
jidatku, sambil meneguk sepertiga isi gelasnya.
Eh? Aku refleks menyentuh jidat yang ditatap Seli. Jadi ingat lagi
tadi pagi diumpat Ali. Benar, ternyata di jidatku ada benjol kecil. Aku
mengangkat sendok, melihat bayangan jerawat di jidat. Aku mengeluh.
Sebenarnya aku tidak jerawatan. Jerawat seperti ini selalu muncul
kalau aku lagi banyak pikiran. Sepertinya, memikirkan kejadian si Hitam
hilang dan masalah kantor Papa semalaman sukses membuatku
berjerawat, merekah seperti jamur pada pagi penghujan.
"Itu bakal jadi jerawat besar lho, Ra."
Aku memegang-megang jerawatku, memang terasa besar.
Seli menepis tanganku. "Jangan dipegang, Ra. Nanti tambah besar.
Apalagi kalau kamu pencet-pencet, nanti bisa pecah dan beranak-pinak,
jadi tambah banyak. Horor, Ra." Wajah Seli serius sekali?seperti wajah
dokter spesialis kulit dan kecantikan para boyband Korea yang
digemarinya.
Aku melotot. Bukannya menghibur teman yang jerawatan, Seli
malah menakut-nakuti. Apa mau dikata, usiaku masih lima belas tahun,
59
kelas sepuluh, dan seperti kebanyakan remaja seumuranku, jerawat satu
saja bisa bikin rusak suasana hati.
Aku akhirnya hanya mampu menghabiskan separuh porsi
batagorku. Selera makanku hilang. Seli menawarkan diri menghabiskan
batagorku. Tuntas satu menit, aku mengajak Seli kembali ke kelas,
menunggu bel masuk yang tinggal beberapa menit lagi.
"Lusa kantinnya tutup lho, Neng. Sudah tahu belum?" Mamang
batagor basa-basi mengajak bicara, sambil mencari uang kembalian dari
sakunya.
"Tutup? Kok tidak ada pengumuman jauh-jauh hari?" Seli yang
selalu berkepentingan dengan kantin bertanya memastikan.
"Mendadak, Neng. Itu gardu listrik dekat kantin mau diperbaiki.
Karena kantin ini dekat gardu, jadi diminta ditutup sama petugasnya.
Tadi baru saja petugas PLN-nya bilang. Cuma tutup sehari kok. Eh, nggak
ada kembaliannya nih. Gimana?"
"Ya sudah, sekalian buat bayar Mamang bakso. Kemarin saya beli
dua mangkuk. Tolong dibayarkan, ya. Sama es jeruknya juga." Seli gesit
punya ide lain?melirik meja dekat gerobak bakso yang masih diisi geng
cheerleader.
Mamang batagor mengangguk, sudah
pembayaran "canggih" seperti ini di kantin.
terbiasa
dengan
pola
Sisa pelajaran hari ini lebih santai, teman-teman lebih banyak
tertawa mengikuti pelajaran sejarah. Gurunya kocak, meski sudah
beruban, sepuh, hampir pensiun. Mr. Rosihan lebih banyak mengajar dari
pengalamannya dibanding buku teks yang kami pegang, membawa
kliping-kliping koran ke dalam kelas yang tebalnya membuat kami
semakin respek padanya. Menurut bisik-bisik Seli, Mr. Rosihan bahkan
kenal dengan beberapa tokoh nasional dalam buku sejarah kami.
Lewat istirahat kedua, jam pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris.
Mr. Theo, guru yang tampan dan pintar berbahasa Inggris itu (lima tahun
pernah tinggal di London), menyuruh kami bermain drama, praktik
conversation. Seli?yang ngefans berat dengan Mr. Theo?terlihat
60
menyunggingkan senyum sepanjang pelajaran. Dia lebih banyak
memperhatikan wajah Mr. Theo lantas mengangguk sok paham dibanding
menyimak penjelasan. Dua kali Seli salah paham, sok siap maju ke depan
kelas padahal belum dipanggil. Teman sekelas ramai tertawa, Seli hanya
cemberut kembali ke bangku.
Aku juga suka pelajaran ini, juga pelajaran sejarah, tapi jerawat
sialan di jidat membuatku tidak konsen. Meskipun Seli sejak dari kantin
berkali-kali menyikut, berbisik, "Jangan dipegang-pegang, Ra. Nanti
menular ke pipi, dagu, hidung, ke mana-mana," aku tetap saja refleks
memegang jerawat itu. Rasanya ingin kupencet kuat-kuat. Ini situasi
yang menyebalkan, belum lagi aku satu kelompok dengan Ali
mementaskan drama. Si biang kerok itu berkali-kali sengaja menunjuk
jidatku dengan ujung bibirnya.
Bel pulang berbunyi nyaring. Mr. Theo menutup pelajaran dengan
mengajak kami bertepuk tangan, mengapresiasi pentas drama amatiran di
depan kelas barusan. Teman-teman bergegas membereskan buku dan tas.
Aku melangkah malas kembali ke meja. Hari yang buruk, sekali lagi
aku refleks menyentuh jerawat besar di jidat, mengeluh dalam hati,
jangan-jangan dua-tiga hari ke depan aku akan terus berurusan dengan
jerawat ini?hingga kempis dan hilang sendiri.
Aku sama sekali belum menyadari, justru gara-gara jerawat batu
inilah terjadi sesuatu yang mencengangkan beberapa jam ke depan.
61
KU boleh mengerjakan PR bahasa Indonesia nanti sore di
rumahmu ya, Ra?" Seli memegang lenganku. Kami dalam perjalanan
pulang sekolah. Angkutan umum yang kami tumpangi penuh.
Aku menoleh. "Di rumahku?"
"Kamu yang paling pandai di kelas soal bahasa, Ra. Meskipun Ali
bisa membuat mobil terbang, tidak mungkin aku belajar mengarang
dengannya. Aku belajar di rumahmu saja, ya? Boleh?" Seli memajukan
bibirnya.
Aku berpikir sejenak. "Oke deh."
"Trims, Ra. Nanti sore jam setengah
kemalaman pulang." Seli tersenyum riang.
tiga,
ya.
Biar
nggak
Angkutan umum terus mengambil jalur kiri, merangsek macet,
membuat tambah macet?meski penumpang seperti kami senang-senang
saja, jadi lebih cepat.
Aku tiba di rumah sesuai jadwal. Seli bilang dia saja yang traktir
bayar ongkos. Aku menggeleng, tapi Seli duluan berseru ke sopir. "Nanti
saya yang bayar, Pak." Aku tersenyum, turun dari angkot tanpa
membayar.
Aku membuka gerbang pagar, melangkah di halaman rumput
terpangkas rapi, mendorong pintu, berseru memanggil Mama. "Ra sudah
pulang, Ma!"
Lagi-lagi hanya si Putih yang riang berlari menuruni anak tangga
menyambutku, mengeong-ngeong antusias. Aku melepas sepatu,
melemparkannya sembarangan ke rak.
"Halo, Put." Aku meraih kucingku, menggendongnya. Si Putih
menyundul-nyundulkan wajah manja. Bulu tebalnya terasa lembut di
lengan.
62
"Si Hitam belum kembali juga, ya?" Aku menatap
memeriksa. Si Putih mengeong pelan. Mata bulatnya bercahaya.
sekitar,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku berjalan melewati ruang keluarga, menuju dapur. Biasanya
baru mendengar pintu didorong pun Mama sudah tahu aku yang pulang,
menyuruh bergegas makan. Tapi kali ini tidak ada yang menyambutku.
Aku tahu penyebabnya saat tiba di belakang rumah. Mama dengan
tangan penuh busa dan rambut berantakan sedang mencuci pakaian.
"Kamu sudah pulang, Ra? Tidak ada pertemuan Klub Menulis?"
Mama bertanya, tangannya tetap sibuk mengucek pakaian di dalam
ember besar.
"Eh, kenapa nggak pakai mesin cuci baru, Ma?" Aku tidak
menjawab, sebaliknya bertanya sambil menatap bingung.
"Mesin cuci baru itu rusak, Ra." Suara Mama terdengar sebal. "Dari
tadi Mama utak-atik, tetap saja tidak menyala. Awas saja kalau mereka
tidak datang sore ini, bakal Mama tulis ke semua koran bahwa toko
elektronik itu tidak becus. Tega sekali mereka menjual barang rusak."
Aku terdiam sejenak, berusaha mengerti kalimat Mama, lantas
sejenak tersenyum kecil, menahan tawa. Lihatlah, wajah Mama yang
menggelembung bete selalu lucu.
"Masa sudah rusak, Ma?"
"Kamu lihat saja, Ra. Tuh, sama rusaknya seperti mesin cuci yang
lama. Malah lebih parah. Tidak mau dinyalakan sama sekali." Mama
menunjuk pojok belakang rumah dengan jari penuh busa. "Mereka janji
datang sebelum jam tiga, ditukar dengan mesin cuci yang baru. Tadi
Mama sudah ancam, telat satu menit pun, Mama akan bikin konferensi
pers. Tantemu kan wartawan televisi, bila perlu Mama masuk liputan
berita."
Aku benar-benar tertawa sekarang. Kalau lagi sebal, Mama suka
berlebihan.
"Kenapa malah tertawa? Sana cepat ganti seragam. Makan siang."
Mama melotot. "Aduh, masa tiba di rumah langsung main dengan kucing?
63
Si Hitam atau si Putih itu kan bisa main sendiri, atau mainnya nantinanti?"
Aku buru-buru melipat tawa, mengangguk. Kalau Mama sudah
bete, memang lebih baik segera menyingkir. Kalau tidak, bakal ikutan
kena semprot. Aku meletakkan si Putih di lantai, berlari kecil menaiki
anak tangga, masuk ke kamar, melemparkan tas ke kursi, refleks melihat
cermin, teringat tadi malam aku melihat bayangan si Hitam di sana. Tidak
ada. Aku mengeluh dalam hati, kenapa aku jadi aneh sekali? Aku
berharap menemukan si Hitam di dalam cermin. Itu mustahil, kan?
Telanjur menatap cermin, aku sejenak menatap jidatku, menghela napas.
Jerawatku terlihat seperti bintang terang di gelap malam?atau malah
bulan saking besarnya. Hendak kupencet, tapi urung. Lebih baik segera
menyibukkan diri, supaya aku lupa ada jerawat batu sialan di jidat.
Mood Mama membaik saat aku duduk hampir menghabiskan
makan siang setengah jam kemudian. Mama mengeringkan tangan
dengan handuk, bergabung ke meja makan.
"Sudah selesai, Ma?"
"Sudah," Mama menjawab pendek.
"Ma, nanti sore Seli mau main ke sini, mengerjakan PR bareng.
Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama