Bumi Karya Tere Liye Bagian 2
Boleh ya?" Aku teringat percakapan di angkot tadi, memberitahu.
Mama mengangguk, meraih piring, mendekati rice cooker.
"Setidaknya mencuci dengan tangan bikin Mama jadi berkeringat,
olahraga." Mama bergumam, beranjak membuka tutup mangkuk sup
daging. "Eh, kamu habisin semua sup dagingnya, Ra?"
Aku mengangkat bahu. "Kirain Mama sudah makan."
"Aduh, Ra, kan kamu bisa tanya Mama dulu." Mama mengomel,
membuka mangkuk lainnya. "Kamu seharusnya tahu, Mama butuh
makan banyak setelah menaklukkan seember besar cucian."
Aku menahan tawa, sebenarnya Mama selalu melampiaskan sebal
dengan makan. Semakin bete, Mama semakin sering dan banyak makan.
"Setidaknya Mama tidak melampiaskannya dengan belanja, Ra. Itu
64
berbahaya, bisa membuat bangkrut keluarga," Papa dulu pernah berbisik
saat Mama uring-uringan dua hari karena Papa lupa tanggal ulang tahun
pernikahan. "Untungnya Mama hanya punya dua pelampiasan ya, Ra.
Satu makan, satunya lagi kamu tahu sendiri deh apa."
Mama mengambil apa pun masakan yang tersisa di atas meja, lalu
duduk, mengembuskan napas, mulai makan. Aku tidak banyak komentar,
ikut menghabiskan makanan di piringku.
"Eh, Ma, Ra boleh tanya sesuatu?" tanyaku setelah lima menit
hanya terdengar suara sendok.
"Ya?" Mama mengangkat kepala.
"Mama dulu waktu remaja jerawatan nggak sih?"
Mama menyelidik wajahku, melihat jidatku. "Jerawatan itu biasa,
Ra."
"Tapi nggak sebesar ini, Ma. Lihat, besar banget, sudah kayak
bisul." Aku kecewa melihat ekspresi Mama?mengira Mama bakal
bersimpati.
"Wajah kamu tetap manis bahkan dengan jerawat dua kali lebih
besar dibanding itu. Percaya Mama deh." Mama menunjuk jidatku dengan
sendoknya.
Aku menyeringai. Tentu saja Mama akan bilang begitu, aku jelasjelas anak gadisnya?dalam situasi sebal sekalipun Mama pasti akan
memilih menyemangatiku.
"Ada obatnya nggak sih, Ma?" aku bertanya lagi setelah diam
sejenak.
"Nanti juga hilang sendiri."
"Iya kalau hilang, kalau tambah banyak?"
Mama tertawa. "Kamu ada-ada saja. Kalaupun tambah banyak,
wajahmu tetap manis. Eh, atau jangan-jangan kamu malu punya
jerawat, ya?"
65
Aku menggeleng. Siapa pula yang malu, ini cuma menjengkelkan.
"Atau jangan-jangan kamu malu dilihat teman laki-laki di sekolah,
ya? Ada yang naksir, Ra? Atau sebaliknya? Kamu naksir seseorang?"
Mama menyelidik. "Siapa sih, Ra?"
Aku memonyongkan bibir. Mama itu tidak seru kalau lagi sebal. Hal
kedua pelampiasan Mama yang dibilang Papa dulu, selain makan, apa lagi
kalau bukan menggodaku.
"Papa pulang malam lagi, Ma?" aku buru-buru banting setir
pembicaraan.
"Iya, tadi Papa telepon. Papa lagi punya banyak urusan di kantor."
Mama menghela napas prihatin, enggan bercerita lebih detail?meskipun
sebenarnya aku sudah tahu dari menguping semalam. "Bos Papa marahmarah terus." Mama mengedipkan mata, tersenyum tipis. "Nah,
setidaknya, nanti malam kamu boleh makan lebih dulu, tidak perlu
menunggu Papa pulang."
Aku balas tersenyum tipis. Semoga Papa terus semangat.
Agar uring-uringan Mama tidak menjadi-jadi, aku menawarkan diri
mencuci piring, juga membersihkan meja dan peralatan masak. Mama
membawa ember ke halaman belakang, menjemur pakaian basah. Tidak
banyak yang kulakukan setelah itu, memilih membawa buku pelajaran
turun ke ruang tamu, menunggu Seli sambil membaca novel?seraya
berkali-kali refleks memegang jerawat di jidat, memencet-mencet gemas.
Pukul setengah tiga persis bel rumah berbunyi nyaring.
"Ra, ada tamu tuh!" Mama berteriak dari dalam.
Aku mengangguk, lalu berdiri hendak membuka gerbang pagar. Seli
sepertinya sudah tiba. Si Putih berlari menemaniku melewati halaman
rumput. Eh? Gerakan tanganku terhenti saat hendak membuka gerbang,
menatap ke depan. Bukan Seli yang datang.
66
ELAMAT siang, Ra," suara tegas dan disiplin itu menyapa.
"Miss Ke?" Aku buru-buru menelan ludah, menghentikan nama
panggilan itu, hampir saja aku kelepasan menyebut Miss Keriting. "Miss
Selena? Eh, selamat siang, Bu."
Aku bukan saja bingung karena ternyata bukan Seli yang datang,
tapi lebih dari itu. Kepalaku segera dipenuhi banyak pertanyaan. Kenapa
guru matematikaku ada di sini? Di depan gerbang rumahku? Kalau guru
BP yang datang, masih dengan mudah dicerna. Kali-kali saja aku sudah
melanggar peraturan sekolah tanpa sadar.
"Boleh Ibu masuk, Ra?" Miss Keriting tersenyum.
Eh? Aku buru-buru mengangguk, balas tersenyum sebaik mungkin.
"Silakan, Bun. Maaf, saya tadi kaget. Kirain siapa yang datang."
Aku bergegas membuka gerendel gerbang, mendorongnya.
"Kamu sedang menunggu tamu lain, Ra?" Miss Keriting melangkah
masuk.
Aku menggeleng, kemudian mengangguk. "Iya, Bu. Saya menunggu
Seli. Kami mau belajar bareng."
"Oh." Miss Keriting tersenyum tipis. Wajahnya yang tegas dan
disiplin terlihat mengesankan dari jarak sedekat ini.
Meskipun aku bingung, kenapa Miss Keriting tiba-tiba datang ke
rumah, aku setengah kaku segera menyilakan Miss Keriting jalan duluan.
Guru matematikaku itu berjalan dengan langkah teratur, berirama. Suara
sepatunya yang mengentak tegel taman terdengar pelan. Masih dengan
pakaian tadi pagi, kemeja lengan panjang berwarna cokelat, celana kain
berwarna senada, dan sepatu hitam?bedanya, sekarang Miss Keriting
membawa tas jinjing berukuran sedang, bermotif simpel, berwarna gelap.
Rambut keritingnya bergerak lembut seiring gerakan tubuh tinggi
67
rampingnya. Dari jarak sedekat ini pula, aku baru menyadari postur
Miss Keriting terlihat berbeda. Dia tidak seperti wanita usia empat
puluhan kebanyakan. Dia berbeda sekali. Sepertinya aku?dan teman
sekelas?tidak memperhatikan Miss Keriting dengan baik di kelas, lebih
dulu takut dengan rumus matematika di papan tulis.
Aku membukakan pintu depan. "Eh, sepatunya boleh dipakai kok,
Bu. Tidak apa-apa." Di rumah, Papa biasa mengenakan sepatu hingga
ruang depan, Mama juga tidak melarangku.
"Terima kasih, Ra." Miss Keriting tetap melepas sepatunya, anggun
dan cepat, tanpa sedikit pun membungkuk. "Orangtuamu ada di rumah?"
"Seli sudah datang, Ra? Kalian mau dibuatkan minum apa sambil
belajar?" Suara Mama lebih dulu terdengar sebelum aku menjawab. Mama
melangkah dari ruang tengah, bergabung, sambil menyeka tangannya
yang basah dengan handuk. "Eh?" Mama terdiam sejenak, menatap ruang
tamu, menatapku, pindah menatap Miss Keriting.
"Ini guru Ra, Ma," aku segera menjelaskan. "Guru matematika.
Nah, ini mama saya, Miss Selena. Kalau Papa masih di kantor, belum
pulang."
"Saya minta maaf karena tidak memberitahu lebih dulu akan
bertamu." Miss Keriting maju satu langkah, tangannya terulur,
tersenyum.
Masih separuh bingung, Mama ikut tersenyum, menerima uluran
tangan Miss keriting. "Eh, tidak apa. Hanya saja, aduh, saya berpakaian
seadanya, kotor pula." Mama melirik pakaiannya yang basah habis
mengurus dapur. Beberapa bercak minyak dan kotoran terlihat.
"Selena." Miss Keriting menyebut nama.
"Selena?" Mata Mama membulat, mulai terbiasa. "Aduh, Selena itu
kan nama yang kami rencanakan untuk Ra sebelum dia lahir. Artinya
bulan. Tapi orangtua kami tidak setuju, menyuruh menggantinya
menjadi Raib. Mereka bilang itu nama leluhur yang harus dipakai bayi
kami. Eh, maaf, jadi membahas hal-hal yang tidak perlu." Mama tertawa,
segera menyebut namanya, balas memperkenalkan diri.
68
Aku yang berdiri di antara mereka menatap lamat-lamat wajah
Mama?aku tidak tahu cerita itu. Mama dan Papa tidak pernah bercerita
bahwa aku dulu hampir diberi nama Selena.
"Ra tidak membuat masalah di sekolah, bukan?" Mama menoleh
kepadaku, sedikit cemas.
Miss Keriting menggeleng. "Ra murid yang baik. Kalian akan bangga
memiliki anak dengan bakat hebat seperti dia. Satu-satunya masalah
yang pernah Ra buat hanya lupa membawa buku PR-nya. Tapi siapa pula
yang tidak pernah lupa?"
"Oh, syukurlah." Mama memeluk bahuku. "Saya pikir Ra membuat
masalah. Oh iya, silakan duduk." Mama menoleh lagi kepadaku. "Ra,
tolong bikinkan minum, ya. Biar Mama yang menemani Ibu Selena."
Aku mengangguk, tapi Miss Keriting menahan gerakan tanganku.
"Saya hanya sebentar. Waktu saya amat terbatas, dan tidak leluasa,
karena itulah dari sekolah saya bergegas menemui Ra." Suara Miss
Keriting terdengar lugas. Dia mengambil sebuah buku dari tas jinjing
berwarna gelapnya. "Nah, Ra, ini buku PR matematikamu yang kamu
kumpulkan tadi pagi. Sudah Ibu periksa. Meski lebih sering kesulitan,
kamu selalu berusaha mengerjakan tugas dengan baik. Saran Ibu, apa
pun yang terlihat, boleh jadi tidak seperti yang kita lihat. Apa pun yang
hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga. Ada banyak sekali
jawaban dari tempat-tempat yang hilang. Kamu akan memperoleh
semua jawaban. Masa lalu, hari ini, juga masa depan."
Aku menatap Miss Keriting dengan bingung. Bukan saja bingung
dengan kalimat terakhirnya yang begitu misterius, tapi bingung kenapa
Miss Keriting sendiri yang mengantarkan buku PR matematikaku ke
rumah. Sore ini? Mendadak sekali? Kenapa tidak besok pagi? Di sekolah?
"Saya harus bergegas, Bu. Mengejar waktu dan dikejar waktu." Miss
Keriting mengulurkan tangan kepada Mama, hendak berpamitan. "Sekali
lagi, saya minta maaf kalau mengganggu. Saya sungguh merasa
tersanjung Ibu dulu hampir memberikan nama itu kepada Ra. Selena. Ibu
benar, itu artinya bulan. Bagi bangsa tertentu, artinya bahkan lebih dari
69
sekadar ?bulan yang indah?, tapi juga pemberi petunjuk, penjaga warisan,
benteng terakhir."
Eh? Mama menelan ludah, lebih bingung lagi menatap wajah Miss
Keriting yang tersenyum cemerlang. Ragu-ragu, Mama ikut menerima
uluran tangan Miss Keriting.
"Selamat sore, Bu." Miss Keriting mengangguk, melepas jabat
tangan. "Dan kamu, Ra, jangan lupa baca buku PR-mu," ujar Miss
Keriting sambil mengedipkan mata, tersenyum. Sedetik, tubuh tinggi
ramping Miss Keriting sudah melangkah ke pintu, mengenakan sepatu,
tanpa membungkuk sedikit pun.
Aku seketika teringat sesuatu saat melihat gayanya membalik
badan dan memakai sepatunya. Itu kan persis sekali dengan cara pemain
drama Korea dengan latar belakang cerita bangsawan yang sering ditonton
Seli bedanya tentu saja Miss Keriting tidak sedang berakting, dan dia
melakukannya seperti memang dia adalah golongan itu. Terlihat anggun,
cekatan.
Lima detik, Miss Keriting sudah berjalan cepat di sepanjang
halaman rumput. Suara ketukan sepatunya terdengar pelan, berirama.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku dan Mama ikut mengantar ke depan, masih belum mengerti?dan
tidak sempat bertanya?menatap punggungnya. Miss Keriting menaiki
mobil berwarna gelap yang terparkir rapi di depan gerbang, melambaikan
tangan. Jendela kaca mobil lantas naik menutup. Mobil bergerak maju,
dengan cepat hilang di kelokan jalan.
70
URUMU berbeda sekali, Ra." Mama masih berdiri di depan
rumah.
Aku menoleh, melihat Mama yang masih menatap jalanan. "Beda
apanya, Ma?"
"Zaman Mama dulu sih masih ada guru seperti itu, rajin
mengunjungi rumah muridnya, bertanya ke orangtua, bicara tentang
kemajuan kami. Tetapi sekarang murid kan ribuan, itu tidak mudah
dilakukan. Belum lagi kesibukan-kesibukan lain."
Aku mengangkat bahu. Sebenarnya, aku belum mengerti kenapa
Miss Keriting sengaja datang mengantarkan buku PR matematika. Aku
balik kanan, masuk ke dalam rumah.
"Seli jadi datang, Ra?" Mama ikut melangkah masuk.
Bel pagar berbunyi nyaring sebelum aku menjawab. Aku dan Mama
menoleh. Panjang umur, teman satu mejaku itu sudah berdiri di gerbang,
melambaikan tangan. Aku tersenyum, yang ditunggu datang juga, berlarilari kecil ke pagar.
"Ra...!" Begitu masuk, Seli langsung memegang lenganku. "Tadi itu
Miss Keriting, kan?" Seli berseru, menatapku penasaran setengah mati.
"Iya, pasti Miss Keriting. Aku melihatnya naik mobil pas aku turun dari
angkot. Sekilas, tapi aku yakin sekali. Miss Keriting, kan?"
Aku mengangguk, berjalan melintasi halaman rumput.
"Aha. Tebakanku tepat. Eh, Ra, kenapa dia ke sini?"
Aku menjawab pendek, "Mengantarkan buku PR." Aku mengangkat
buku PR-ku, memperlihatkannya pada Seli.
"Buku PR? Memangnya kenapa dengan buku PR-mu?" Seli tidak
mengerti, menatap buku PR-ku seperti sedang menatap buku mantra
71
sakti atau menatap buku diary penuh rahasia dalam drama Korea yang
sering ditontonnya.
"Tidak tahu."
"Ini sungguhan buku PR-mu, kan?"
"Ya iyalah." Aku tertawa. "Tidak usah dipelototi. Nanti terbakar."
"Dia tidak bicara sesuatu, kan? Maksudku, kamu tidak kenapakenapa, kan? Seharusnya kan guru BP yang datang kalau kamu kenapanapa, kan ya? Eh?"
"Cuma mengantarkan buku PR, Seli." Aku mengangkat bahu,
mengembuskan napas. "Tidak ada yang lain. Aku juga tidak tahu kenapa
dia harus mengantarkannya langsung. Jangan-jangan habis dari
rumahku, dia ke rumahmu, mengantarkan buku PR berikutnya."
"Jangan bergurau, ah." Seli masih melotot.
"Siapa yang bergurau?" Aku nyengir lebar.
"Aku serius nih, Ra, kenapa Miss Keriting ke sini? Jangan-jangan
kamu merahasiakan sesuatu, ya?" Seli menyelidik, ingin tahu?sudah
mirip kelakuan Ali.
"Kalian mau minum apa?" Suara Mama memotong bisik-bisik Seli.
"Mau Mama buatkan pisang cokelat dan jus buah?"
"Eh, selamat siang, Tante." Seli menoleh, buru-buru mengangguk,
lupa belum menyapa tuan rumah, padahal sudah sejak tadi rusuh masuk
ke ruang tamu. "Apa saja, Tante, asal jangan merepotkan."
Mama tersenyum. "Tidak merepotkan kok."
"Apa saja, Ma. Asal yang banyak. Soalnya Seli suka makan." Aku
tertawa, menambahkan.
Seli menyikut lenganku. Sebal.
Mama ikut tertawa. "Nah, selamat belajar ya. Mama ke belakang
dulu."
72
Kami berdua mengangguk.
Tetapi lima belas menit berlalu, jangankan mengerjakan PR,
membuka buku bahasa Indonesia pun tidak. Seli lebih tertarik dan
memaksa ingin tahu kenapa Miss Keriting datang ke rumahku. Aku mau
jawab apa, coba? Seli bahkan memeriksa buku PR-ku, penasaran, apa
istimewanya buku PR itu hingga diantar langsung Miss Keriting. Lima
menit sibuk memeriksa, Seli menyerahkan lagi buku itu sambil menghela
napas kecewa. "Tidak ada apa-apanya. Sama saja dengan buku PR-ku,
malah nilainya lebih bagus punyaku. Kenapa sih Miss Keriting ke
rumahmu, Ra?"
"Aku tidak tahu." Aku melotot, bosan memegang buku bahasa
Indonesia yang sejak tadi tidak kunjung dibuka. "Atau begini saja, besok
kamu tanyakan ke dia langsung. Kan jadi jelas. Nanti aku temani."
Seli memajukan bibirnya, lagi-lagi hendak berkomentar sesuatu,
tapi suara bel gerbang depan sudah berbunyi nyaring.
"Biar Mama yang buka, Ra." Suara Mama terdengar dari dalam.
"Kalian belajar saja."
Aku tertawa. Apanya yang belajar? Aku beranjak berdiri. Seli juga
ikut berdiri, mengikutiku ke depan hendak membuka gerbang. Dua
karyawan toko elektronik terlihat sedang repot menurunkan boks besar
dari mobil. "Ma, mesin cucinya datang!" aku berteriak dari halaman.
Sekitar lima belas menit kami menonton Mama mengomeli
karyawan yang sibuk bolak-balik menukar mesin cuci baru, menguji
coba mesin cucinya, memastikan kali ini tidak ada masalah. Mereka
terlihat serbasalah, mengangguk-angguk mendengar omelan Mama.
"Ternyata mamamu sama seperti mamaku, Ra," Seli berbisik.
Karyawan toko elektornik itu untuk kesekian kali minta maaf,
membungkuk, hendak berpamitan.
"Apanya yang sama?" Aku menoleh ke Seli. Kami masih berdiri
menonton.
"Galak! Kasihan karyawan tokonya," Seli bergumam pelan.
73
Aku tertawa, tidak berkomentar, memperhatikan karyawan toko
yang akhirnya bernapas lega, buru-buru menaiki mobil, lantas cepat
mengemudikan mobil, hilang di kelokan jalan.
Setidaknya, selingan menonton mesin cuci baru ditukar membuat
rasa penasaran Seli tentang Miss Keriting berkurang banyak. Kami bisa
mulai mengerjakan PR bahasa Indonesia, membuat karangan dengan
jenis persuasif sebanyak dua ribu kata. Apalagi saat minuman dan
makanan diantar Mama, Seli memutuskan melupakan Miss Keriting.
Sayangnya, baru pukul setengah empat, kami baru sepertiga jalan
mengerjakan PR, bel gerbang depan berbunyi lagi. Nyaring. Aku
mendongak, mengangkat kepala. Alangkah banyaknya orang yang
bertamu ke rumah kami hari ini. Ini sudah keempat kalinya. Seli di
sebelahku masih asyik menuliskan karangannya.
"Biar Mama yang buka, Ra." Mama yang sedang santai menonton
di ruang tengah sudah beranjak lebih dulu ke depan. Aku kembali
menatap buku PR-ku. Paling juga tetangga sebelah, perlu sesuatu. Atau
tukang meteran listrik, PAM. Atau pedagang keliling.
"Selamat siang, Tante."
Eh, aku mendongak lagi. Suara itu khas sekali terdengar?meski
jaraknya masih sepuluh meter dari ruang tamu. Suara yang menyebalkan,
aku kenal. Mama menjawab salam.
"Ra ada, Tante?"
Mama mengangguk, lalu bertanya, "Ini siapa ya?"
"Saya teman sekelas Ra, mau ikutan mengerjakan PR bahasa
Indonesia."
Aku langsung meloncat dari posisi nyaman menulis. Seli yang kaget
ikut meloncat, tanpa sengaja mencoret buku PR-nya, menatapku sebal.
"Ada apa sih, Ra?"
Aku tidak menjawab. Aku sudah bergegas ke depan rumah. Seli
ikutan keluar rumah. Sial! Lihatlah, Mama bersama tamu keempat sore
ini, Ali si biang keerok, berjalan menuju kami.
74
"Katanya hanya Seli yang datang, Ra?" Mama mengedipkan mata.
"Kamu tidak bilang-bilang akan ada teman sekelas yang lain?"
Aduh. Aku seketika mematung melihat Ali. Lihatlah, si biang kerok
itu bersopan santun sempurna, berpakaian rapi. Ya ampun, rapi sekali
dia. Berkemeja lengan panjang, bercelana kain, berikat pinggang,
bersepatu, bahkan aku lupa kapan terakhir kali melihat rambutnya disisir
rapi, terlihat lurus, hitam legam, dan tersenyum seperti remaja paling
tahu etika sedunia. "Selamat sore, Ra. Selamat sore, Seli. Maaf aku
terlambat."
Bahkan Seli, kali ini pun ikut mematung, menatap Ali yang seratus
delapan puluh derajat berubah tampilan, di halaman rumput, di bawah
cahaya matahari sore yang mulai lembut.
75
NI akan jadi momen paling ganjil sejak aku remaja. Aku melotot,
hendak mengusir Ali dari halaman rumah. Di sampingku Seli bengong
melihat penampilan Ali yang berubah, susah membedakannya dengan
pemain drama Korea favoritnya. Sementara Ali tersenyum lebar seolah
tidak ada masalah sama sekali, seolah aku dan Seli memang habis
bercakap sebal karena Ali tidak kunjung datang untuk belajar bareng.
"Ra, Seli, kenapa kalian malah bengong di situ?" Mama yang tidak
memperhatikan, telanjur masuk ke ruang tamu, menoleh, kepalanya
muncul dari bingkai pintu. "Ayo, ajak temanmu masuk. Ayo, Nak Ali,
masuk."
Sebelum aku bereaksi atas tawaran Mama?misalnya dengan
mencak-mencak mengusir Ali, anak itu mengangguk amat sopan, (purapura) malu melangkah ke teras.
"Anggap saja rumah sendiri, ya." Mama tersenyum.
"Iya, Tante." Ali mengangguk lagi.
Aku benar-benar kehabisan kata. Aduh, kenapa Mama ramah sekali
pada si biang kerok itu? Aku menyikut Seli, menyadarkan ekspresi wajah
Seli yang berlebihan, mengeluh kenapa Seli juga ikut tertipu dengan
tampilan baru Ali. Aku bergegas ikut melangkah masuk ke ruang tamu.
"Nak Ali mau minum apa?"
"Nggak usah, Tante. Nanti merepotkan."
"Tentu saja tidak. Tunggu sebentar ya, Tante siapkan di dapur."
Belum sempurna hilang punggung Mama dari bingkai pintu, aku
sudah loncat, mencengkeram lengan baju Ali. "Kamu, kenapa kamu
datang, hah? Tidak ada yang mengajakmu belajar bareng?"
Ali hanya nyengir. "Aku datang baik-baik lho, Ra."
76
"Bohong! Kamu pasti ada maunya," aku berseru ketus.
"Eh, iya dong. Tentu saja ada maunya." Ali menatapku, tersenyum.
"Maunya adalah belajar bareng. Minta diajari mengarang jenis persuasif.
Kamu kan yang paling pintar soal bahasa Indonesia."
"Bohong! Kamu pasti sedang menyelidiki sesuatu."
Ali mengangkat bahu, wajahnya seolah bingung. Dia menoleh ke
Seli?yang serius menonton kami bertengkar. Jangan-jangan Seli berpikir
ada adegan drama Korea live di depannya.
Aku menelan ludah. Cengkeraman tanganku mengendur. Aku tidak
mungkin menuduh Ali sengaja datang untuk menyelidiki apakah aku bisa
menghilang atau tidak. Ada Seli di ruang tamu, urusan bisa tambah
kacau.
"Karanganmu sudah berapa kata, Sel?" Mengabaikanku, Ali
beranjak mendekati Seli. "Boleh aku lihat?" Ali menunjuk buku PR Seli.
"Eh, silakan," Seli nyengir, "tapi nggak bagus kok. Baru tiga
paragraf."
Aku menepuk dahi. Nah, sejak kapan pula Seli jadi ikutan ramah
pada Ali? Bukannya kemarin dia marah-marah karena ditabrak Ali di
anak tangga?
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, ini bagus sekali, Sel." Ali membaca sejenak.
"Oh ya?"
Aku menyikut lengan Seli, mengingatkan dia sedang bercakapcakap dengan siapa.
"Sebenarnya bagusan karangan Ra. Tadi aku juga dikasih ide
tulisan sama dia." Seli tidak merasa aku menyikutnya. Dia malah
menunjuk buku PR milikku di ujung meja.
"Boleh aku lihat karanganmu, Ra?" Ali menoleh padaku.
77
"Enak saja. Nggak boleh." Aku bergegas hendak menyambar buku
PR-ku.
"Nah, satu gelas jus buah tiba." Mama lebih dulu masuk ke ruang
tamu, menghentikan gerakan tanganku. "Silakan, Nak Ali. Jangan malumalu."
"Terima kasih, Tante." Ali menerima minuman sambil tersenyum
santun.
"Ra tidak pernah cerita punya teman laki-laki di sekolah." Mama
duduk sebentar, bergabung, seolah ikut punya PR bahasa Indonesia?
tepatnya Mama sengaja menggodaku.
"Mereka berdua tidak temanan, Tante," Seli yang menjawab,
tertawa.
"Tidak temanan?" Mama menatapku dan Ali bergantian.
"Di sekolah mereka lebih sering bertengkar."
"Oh ya?" Mama ikut tertawa.
Sore itu berakhir menyebalkan. Selama satu jam kemudian aku
terpaksa mengalah, membiarkan Ali mengeluarkan buku dari tasnya, ikut
mengerjakan PR di ruang tamu. Sebenarnya, terlepas dari mendadaknya,
tidak ada yang aneh dari kedatangan Ali. Dia sungguh-sungguh
mengerjakan PR mengarang. Seli membantu menjelaskan ide tulisan?
seperti yang aku jelaskan kepada Seli. Ali mengarang dengan serius.
Setengah jam kemudian Ali minta izin ke toilet. Karena Mama
sedang memakai kamar mandi bawah, aku ketus menyuruhnya naik ke
lantai atas. Ada toilet di sebelah kamarku.
"Kamu memang mengajak Ali belajar bareng, Ra?" Seli berbisik,
saat kami tinggal berdua.
"Tidak," aku menjawab ketus.
"Kok dia tahu kita belajar bareng?"
78
"Mana aku tahu." Aku melotot ke Seli, menyuruh dia
menyelesaikan karangannya. Tidak usah membahas hal lain. Seli
nyengir, balik lagi ke buku PR. Hening sejenak.
"Gwi yeo wun, Ra," Seli berbisik lagi.
"Apanya yang yeo wun?" Aku sebal menatap
kedatangan Ali, aku mudah sebal pada siapa saja.
Seli?sejak
"Benar kan yang kubilang, Ra." Seli tersenyum lebar, matanya
bekerjap-kerjap. "Ali itu aslinya cute, gwi yeo wun. Dengan pakaian rapi,
rambut disisir lurus, eh?"
"Kamu mau menyelesaikan PR atau tidak? Sudah hampir jam lima,
tahu."
"Eh, iya-iya, ini juga lagi diselesaikan." Seli kembali ke buku. "Kamu
kenapa pula sensitif sekali, jadi mudah marah."
Pukul setengah enam, Ali dan Seli pamit. Mama mengantar ke
halaman, bilang hati-hati di jalan. Aku masuk ke rumah setelah mereka
naik angkutan umum. Segera kubereskan piring dan gelas.
"Ternyata..." Wajah Mama terlihat menahan tawa, melangkah ke
dapur.
"Kalau Mama mau menggoda Ra, tidak lucu, Ma." Aku cemberut
galak.
"Dia yang membuat kamu malu punya jerawat di jidat." Mama tetap
tertawa. "Dia tampan dan sopan sekali lho, Ra. Pantas saja."
Aku hampir menjatuhkan piring. Pantas apanya?
***
Sore berlalu dengan cepat. Gerimis turun membungkus kota saat
lampu mulai dinyalakan satu per satu. Awan hitam bergelung memenuhi
setiap jengkal langit. Kilau tajam petir dan gelegar guntur menghiasi awal
malam.
79
Pukul tujuh, aku makan malam sesuai jadwal. Mama
menemaniku?hanya menemani. "Mama makannya nunggu Papa
pulang, Ra." Aku mengangguk, mengerti.
Pukul delapan, gerimis berubah menjadi hujan deras. Aku duduk di
ruang keluarga, malas belajar. Daripada di kamar sibuk memencet
jerawat, kuputuskan membaca novel saja, menemani Mama yang
menonton televisi. Sialnya, tetap saja aku refleks memegang-megang
jerawat sambil membaca. Urusan jerawat selalu begitu, semakin berusaha
dilupakan, semakin sering aku mengingatnya. Aku mengeluh dalam hati,
hampir bertanya untuk kesekian kalinya kepada Mama, apa obat mujarab
jerawat, tapi kemudian aku mengurungkannya. Nanti Mama jadi punya
amunisi kembali menggodaku.
"Ma, Papa sudah telepon lagi atau belum?"
"Sudah," Mama menjawab pendek.
"Papa bilang pulang jam berapa?" Aku memperbaiki posisi duduk,
membiarkan si Putih meringkuk manja di ujung kakiku. Bulu tebalnya
terasa hangat.
"Sampai urusan di kantor selesai, Ra. Belum tahu persisnya." Mama
menghela napas tipis, berusaha terdengar biasa-biasa saja. Aku manggutmanggut, tidak bertanya lagi. Kembali kubaca novel, tangan kiriku juga
kembali memegang-megang jidat.
Pukul sembilan, hujan deras mereda. Mama menyuruhku tidur
lebih dulu. Aku mengangguk, sudah waktuku masuk kamar. Baiklah, aku
menutup novel yang kubaca. Si Putih ikut bangun, berlari-lari menaiki
anak tangga.
Meski sudah masuk kamar, aku tidak bisa segera tidur seperti
malam sebelumnya. Banyak yang kupikirkan. Lewat tirai jendela, kutatap
kerlap-kerlip lampu di antara jutaan tetes air. Aku menghela napas,
semoga Papa baik-baik saja di kantor, urusan hari ini lebih mudah.
Refleks aku memegang jidat.
Si Putih mengeong, naik ke atas tempat tidur. Aku menoleh. "Kamu
tidur duluan saja, Put. Aku belum mengantuk." Aku kembali mengintip
80
lewat sela-sela tirai jendela. Semoga si Hitam, di mana pun dia minggat
sekarang, juga baik-baik saja. Hujan deras seperti ini, semoga dia
menemukan loteng kering untuk tidur. Sudah dua hari kucingku itu tidak
pulang. Aku refleks memegang jidatku.
Aku juga memeriksa buku PR matematika dari Miss Keriting, duduk
di atas kasur. Lima menit sibuk membolak-balik halaman, tidak ada yang
istimewa, hanya buku PR-ku seperti biasa. Aku mengingat-ingat pesan
Miss Keriting, apa dia bilang? Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak
seperti yang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti
yang kita duga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang
hilang. Entahlah. Kalimat itu aneh sekali.
Hujan di luar semakin deras. Aku hendak memasukkan bukuku
kembali ke dalam tas, tapi sepertinya tasku ketinggalan di ruang televisi.
Ah, rasanya malas turun mengambil tas. Jadi aku beranjak, duduk
di kursi belajar, menatap cermin besar, memperhatikan jerawatku.
Jerawatku besar sekali?merah, dengan bintik putih tipis. Aku mematutmatut beberapa menit, akhirnya gemas memencetnya. Tidak meletus,
hanya menyisakan sakit dan semakin merah di sekitarnya. Aku mengeluh
dalam hati, menyesal sudah memencetnya.
Pukul sepuluh, langit gelap kembali menumpahkan hujan. Lebih
deras daripada sebelumnya. Kilau petir membuat berkas cahaya di dalam
kamar, guntur terdengar menggelegar. Aku masih termangu menatap
jidatku, sudah tiga kali memencet jerawatku. Aku menyesal, kupencet
lagi, menyesal lagi. Begitu-begitu saja, tambah geregetan.
Kenapa pula jerawat ini datang pada waktu yang tidak tepat? Susah
sekali membuatnya meletus. Aku menatap cermin dengan kesal. Kenapa
aku tidak bisa membuatnya menghilang seperti saat aku membuat
tubuhku menghilang dengan menempelkan telapak tangan di wajah?
Telunjukku geregetan terus menekan-nekan. Atau aku bisa membuatnya
menghilang seperti itu? Aku menelan ludah. Kenapa tidak? Apa susahnya
membuat jerawat batu ini hilang? Jangan-jangan, aku bisa menyuruhnya
menghilang. Telunjukku terangkat, sedikit gemetar menunjuk jerawat
itu.
81
Saat telunjukku terarah sempurna ke jerawat, aku bergumam,
"Menghilanglah," dan kilau petir menyambar begitu terang di luar
kelaziman. Suara guntur bahkan terdengar lebih cepat daripada
biasanya, berdentum kencang. Aku hampir terjatuh dari kursi, menutup
mulut karena hampir berseru. Lihatlah! Jerawat di jidatku sungguhan
hilang.
Aku sedikit gemetar memastikan, berdiri, mendekatkan wajah ke
cermin. Benar-benar hilang. Aku hampir bersorak senang, sebelum
sesuatu menghentikannya.
"Halo, Gadis Kecil." Sosok tinggi kurus itu telah berdiri di dalam
cermin, menatapku lamat-lamat dengan mata hitam memesona. Kali ini
aku benar-benar terjatuh dari kursi. Kaget.
Apa yang barusan kulihat? Sosok itu? Aku bergegas berdiri, refleks
menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa berdiri di dalam kamarku.
Kembali aku menoleh ke cermin, sosok tinggi kurus itu masih ada di
sana, tersenyum. Matanya menatap memesona.
"Kamu sepertinya
jerawat, Nak. Selamat."
baru
saja
berhasil
menghilangkan
sebuah
82
IAPA kamu?" aku berseru dengan suara bergetar bukan
karena takut, lebih karena kaget setengah mati melihat ada sosok yang
tiba-tiba berdiri di dalam cermin besar.
Ini bukan imajinasiku. Ini nyata, senyata aku berusaha
mengendalikan napas. Jantungku berdetak amat kencang. Sosok itu
benar-benar ada di dalam cermin besar, hanya di dalam cermin, tanpa
ada fisiknya di kamarku. Perawakannya tinggi dan kurus. Wajahnya tirus.
Telinganya mengerucut. Rambutnya meranggas. Bola matanya hitam
pekat. Dia mengenakan?aku tidak tahu, apakah itu pakaian atau bukan
kain yang seolah melekat ke tubuhnya, berwarna gelap.
Sejenak tersengal menatap sosok itu, aku melompat. Tanganku
refleks menyambar apa saja di atas kasur, mencari senjata, dan
mengeluh, karena yang ada hanyalah novel tebal. Sementara suara hujan
deras di luar semakin keras, membuat keributan di kamar tidak terdengar
hingga ruang tengah, tempat Mama sedang menonton televisi?menunggu
Papa pulang. Kilau petir dan gelegar guntur susul-menyusul. Napasku
menderu kencang.
"Siapa kamu?" aku berseru, suaraku serak.
"Aku siapa?" Suara sosok itu terdengar seperti mengambang di
langit-langit kamar, seolah dia bicara dari sisi kamar mana pun, bukan
dari dalam cermin. "Kalau mau, kamu bisa memanggilku ?Teman?, Nak."
Aku menggeleng, beringsut menjaga jarak. Mataku menyelidik
setiap kemungkinan. Tanganku bergetar mencengkeram novel. Kalau
sosok ganjil ini tiba-tiba menyerangku, akan kupecahkan cerminnya
dengan novel tebal di tanganku?dan semoga dia tidak justru keluar dari
cemin pecah itu, malah bisa berdiri nyata di tengah kamarku.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kamu mau apa? Kenapa kamu ada di dalam cerminku?" aku
berseru, bertanya, terus berhitung dengan posisiku.
83
Sosok itu tidak langsung menjawab. Diam sejenak lima belas detik.
Kucingku si Putih meringkuk tidur, tidak terganggu dengan segala
keributan. Menyisakan aku dan sosok tinggi kurus di dalam cermin
saling tatap dengan pikiran masing-masing.
"Ini menarik, Nak." Sosok itu akhirnya bersuara setelah
menatapku lamat-lamat. "Kebanyakan orang dewasa menjerit
ketakutan melihat cermin di hadapannya yang tiba-tiba berisi bayangan
orang lain. Ini menarik sekali, rasa penasaran yang kamu miliki ternyata
lebih besar dibanding rasa takut. Rasa ingin tahu yang kamu miliki
bahkan lebih besar dibanding memikirkan risikonya. Aku siapa? Kamu
selalu bisa memanggilku ?Teman?. Apa mauku? Apa lagi selain
menemuimu?"
Aku menggeleng, memutuskan tidak mudah percaya, berjaga-jaga
kalau ada sesuatu yang mencurigakan. Tanganku semakin dekat untuk
melemparkan novel tebal ke arah cermin.
Sosok tinggi kurus itu mengangguk. "Baik, kamu benar, aku
mungkin bukan teman. Tidak ada teman yang datang lewat cermin,
bukan? Membuat semua akal sehat terbalik. Siapa pula yang akan riang
gembira saat sedang menatap cermin tiba-tiba ada sosok lain di
dalamnya. Sayangnya, kita tidak leluasa bertemu. Belajar dari
pengalaman dua hari lalu, kini aku tidak bisa berharap kamu akan
bersedia menangkungkan telapak tanganmu ke wajah, bukan? Mengintip
dari sela jari agar aku bisa terlihat berdiri di kamar ini. Kamu pasti tidak
mau melakukannya."
Angin kencang yang menyertai hujan di luar membuat tetes air
menerpa jendela kaca. Aku tetap berusaha konsentrasi menatap sosok
tinggi kurus di dalam cermin.
"Sayangnya ini pertama kali kita berbicara. Kamu belum siap
mendengar penjelasan, Gadis Kecil. Sebesar apa pun bakat yang kamu
miliki sekarang, kamu belum siap. Jadi aku tidak akan lama. Dua hari
lalu, amat mengejutkan ternyata kamu bisa melihatku, tapi kupikir itu
kebetulan. Malam ini, kamu mampu melakukan hal yang lebih menarik,
berhasil menghilangkan jerawat di wajah, karena itu aku memutuskan
sudah saatnya menyapa."
84
Sosok tinggi kurus itu diam sejenak, mengembuskan napas. Dia
sungguh nyata. Lihatlah, cerminku berembun oleh napasnya yang hangat.
"Kamu pasti punya banyak pertanyaan, Nak." Sosok itu
menghapus embun di cermin dengan jari-jarinya yang kurus dan
panjang. "Tapi malam ini aku tidak akan menjawabnya. Aku pernah
melakukan kesalahan dengan terlalu banyak menjelaskan." Gerakan
tangannya terhenti. Mata hitamnya menatap tajam ke arah lain.
Aku tahu apa yang didengar sosok di dalam cermin. Aku juga
mendengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Papa sudah pulang.
"Ingat baik-baik yang akan kusampaikan, Gadis Kecil." Dia
menatapku tajam. "Peraturan pertama, jangan pernah memercayai siapa
pun. Teman dekat, kerabat, orangtua, siapa pun. Aku tidak akan
mengajarimu agar tidak bercerita ke orang lain, lima belas tahun kamu
berhasil menyimpan rahasia sendirian. Itu tidak pernah terjadi
sebelumnya. Jadi, kita hilangkan saja peraturan kedua." Sosok tinggi itu
diam sejenak, kembali menatap tajam ke arah lain.
Suara percakapan Papa dan Mama di ruang tengah terdengar
sayup-sayup di antara suara hujan. Papa menanyakan apakah aku sudah
tidur atau belum.
"Ingat baik-baik peraturan tersebut. Sekali bercerita kepada orang
lain, kamu bisa membuat semua menjadi di luar kendali. Semua bakat
besar itu akan berubah melawan dirimu sendiri, dan membahayakan
orang-orang yang kamu sayangi." Mata hitam itu menyapu seluruh
tubuhku.
Aku menelan ludah, tidak semua kalimat sosok di dalam cermin itu
bisa aku mengerti. Jemariku semakin bergetar mencengkeram novel
tebal. "Apa yang kamu inginkan dariku?"
Sosok tinggi kurus itu mengangguk. "Kamu memiliki bakat hebat,
Nak. Kamu tidak hanya bisa menghilang dengan menangkupkan kedua
telapak tangan ke wajah. Kamu bisa melakukan lebih dari sekadar
mengintip orang dari sela jari. Kita akan segera melihatnya, apakah
hanya kebetulan kamu bisa menghilangkan jerawat atau lebih dari itu.
Buku tebal yang kamu pegang, itu tugas pertama, kamu akan
85
menghilangkannya dalam waktu dua puluh empat jam ke depan. Aku
akan kembali besok malam, memastikan kamu mengerjakan pekerjaan itu
dengan sungguh-sungguh."
Sosok di dalam cermin lantas perlahan menyingkap pakaiannya?
ternyata itu tidak menempel ke kulit, pakaian di pinggangnya longgar
dan menjuntai. Entah dari mana datangnya, dia mengeluarkan kucing
berbulu tebal.
Aku hampir berseru tertahan, itu si Hitam!
Sosok tinggi kurus itu tersenyum tipis. Jarinya yang panjang
mengelus kepala kucingku. "Sejak usia sembilan tahun kamu telah
diawasi, Gadis Kecil. Itu cara terbaik untuk memastikan kamu tidak
bersentuhan dengan sisi lain. Tapi dua hari lalu, keberadaanmu
diketahui, itu memicu semua sinyal di empat klan. Kamu bisa membuat
pekerjaan ini menjadi mudah atau sulit, tergantung dirimu sendiri.
Camkan baik-baik, kamu tidak pernah dimiliki dunia ini, bahkan sejak
lahir. Kamu dimiliki dunia lain. Selalu ingat itu."
Aku tidak mendengarkan kalimat berikutnya dari sosok itu dengan
baik, aku sedang berseru tanpa suara. Astaga, aku sungguh tidak percaya
apa yang kulihat. Itu kucingku, si Hitam, berada di pangkuan sosok yang
berada dalam cermin.
"Nah, saatnya mulai berlatih, Nak." Sosok tinggi kurus itu menepuk
pelan kucing di pangkuannya, lalu berbisik, "Kamu temani dia." Dengan
suara meong yang amat kukenal, si Hitam lompat dari tangannya,
menembus cermin, mendarat di meja belajarku. Aku tertegun. Si Hitam
sudah meloncat ke lantai, langsung menuju kakiku, seperti biasa,
hendak antusias menyundul-nyundulkan kepalanya ke betisku.
Aku terkesiap. Entah harus melakukan apa. Kakiku bergetar saat
disentuh bulu lembut si Hitam. Apa yang baru saja kulihat? Kucingku
menembus cermin? Aku menatap si Hitam yang manja berada di antara
kakiku. Jadi, kucingku ini nyata atau bukan? Atau pertanyaannya
adalah, ini kucingku atau bukan? Apa yang dikatakan sosok tinggi kurus
itu? Aku telah diawasi sejak lama?
86
Kilau petir menyambar terang, aku mengangkat kepala, menatap ke
depan. Cermin itu hanya memantulkan bayanganku sekarang, kosong.
Sosok tinggi kurus itu telah pergi.
87
ELAMAT pagi, Ra." Mama sedang menggoreng sosis saat aku
menuruni anak tangga. Mama tertawa kecil. "Wah, ini rekor baru kamu
bangun pagi. Jam segini malah sudah siap berangkat sekolah."
"Pagi, Ma," aku menjawab pendek, menarik kursi, meletakkan tas.
"Tidur nyenyak, Ra?" Perhatian Mama kembali ke wajan, tidak
menunggu jawabanku. "Hujan deras semalaman selalu bikin nyenyak
tidur lho."
Aku menghela napas pelan, menatap punggung Mama yang asyik
meneruskan menyiapkan sarapan. Sebenarnya aku tidak bisa tidur tadi
malam. Siapa yang bisa tidur nyenyak setelah tiba-tiba ada sosok tinggi
kurus berdiri di dalam cermin kamar kalian? Bicara panjang lebar tentang
hal-hal yang tidak aku mengerti, penuh misteri.
Belum lagi si Hitam. Itu yang paling susah membuatku tidur?
tidak peduli seberapa manjur suara hujan mampu meninabobokan.
Bagaimana kalian akan tidur jika di atas kasur meringkuk kucing
kesayangan kalian, yang ternyata selama ini tidak terlihat oleh siapa pun,
yang ternyata bisa menembus cermin. Dan itu belum cukup?kucing itu
ternyata juga memata-matai kalian selama enam tahun terakhir! Itu
mimpi buruk yang nyata. Meskipun si Hitam sebenarnya terlihat biasabiasa saja, dia menatapku dengan bola mata bundar bercahaya, manja
menempelkan badannya yang berbulu tebal ke betis, meringkuk tidur.
Setengah jam sejak sosok tinggi kurus itu pergi, situasi ganjil di
kamarku masih tersisa pekat. Aku menatap si Hitam dengan kepala sesak
oleh pikiran. Sikapku jelas berbeda kalau si Hitam hanya minggat karena
naksir kucing tetangga. Tanganku gemetar berusaha menyentuh kepala
si Hitam. Kucing itu mengeong, menatapku, sama persis seperti kelakuan
kucing kesayanganku selama ini. Aku terdiam. Lihatlah, si Hitam amat
nyata, sama nyatanya dengan si Putih yang sejak tadi terus tidur, tidak
merasa terganggu dengan keributan. Aku menggigit bibir. Bagaimana
mungkin si Hitam "makhluk lain"? Bagaimana mungkin matanya yang
88
indah itu ternyata mengawasiku selama ini? Bagaimana mungkin dia
kucing paling aneh sedunia, bukan hanya karena tidak ada yang
melihatnya, tapi boleh jadi dia juga punya rencana-rencana di kepalanya.
Melaporkan kepada dunia lain?
"Lho, Ra, kok malah melamun?" Mama menumpahkan sosis goreng
ke piring di atas meja. "Pagi-pagi sudah melamun. Itu tidak baik untuk
anak gadis."
Aku menggeleng, tersenyum kecut.
"Papa semalam baru pulang jam sepuluh. Larut sekali." Mama
memberitahuku?yang aku juga sudah tahu. "Pekerjaan kantor Papa
semakin menumpuk. Seperti biasa, sibuk berat." Hanya itu penjelasan
Mama.
Aku mengangguk.
"Mama senang, dua hari terakhir kamu selalu siap sekolah sebelum
Papa berangkat. Jadi Mama tidak perlu teriak-teriak membangunkanmu."
Mama menatapku, tersenyum, tangannya masih memegang wajan kosong.
"Kita semua harus mendukung Papa pada masa-masa sibuknya."
"Iya, Ma," aku menjawab pendek.
"Kamu mau sarapan duluan?"
"Nanti saja, Ma. Tunggu Papa turun."
Mama mengangguk, kembali ke kompor gas, melanjutkan aktivitas
masak-memasaknya.
Aku menatap lamat-lamat piring berisi sosis di hadapanku,
mengembuskan napas pelan.
Tadi malam, berkali-kali aku menatap si Hitam?aku urung
mengelus bulu tebalnya, membiarkan dia meringkuk tanpa diganggu. Aku
berkali-kali menatap cermin besar, memastikan tidak ada siapa pun lagi
di dalamnya yang tiba-tiba menyapa. Aku berkali-kali meletakkan telapak
tangan di wajah, mengintip dari sela jemari, siapa tahu sosok tinggi kurus
itu ada di dalam kamarku, hanya kosong, tetap tidak ada siapa-siapa.
89
Bahkan aku yang bosan tidak bisa tidur-tidur juga akhirnya memutuskan
beranjak duduk. Teringat percakapan dengan sosok itu, aku menatap
novel tebal di atas kasur, menghela napas. Aku berkonsentrasi, berkalikali menyuruh novel itu menghilang?lima belas menit berlalu, novel tebal
itu tetap teronggok bisu.
Akhirnya aku menarik selimut lagi, berusaha tidur, hingga jatuh
tertidur pukul dua malam. Di luar sana, hujan deras terus menyiram
kota. Lampu seluruh kota terlihat kerlap-kerlip oleh tetes air. Irama
konstan air menerpa atap, jalanan, dan pohon.
Aku terbangun mendengar kesibukan Mama di dapur. Melihat jam
di dinding, pukul lima, rasanya baru sebentar sekali aku tidur. Aku
memutuskan turun dari ranjang, memulai aktivitas pagi.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar hujan sudah reda, masih gelap, menyisakan halaman
rumput yang basah. Si Putih mengeong riang, menyapa. Aku balas
menyapa. "Pagi, Put." Tapi tidak ada si Hitam. Kucingku itu jika aku
masih bisa menyebutnya "kucingku" tidak terlihat di kamarku.
Aku merapikan poni yang berantakan di dahi, menatap cermin,
tidak ada hal yang ganjil di dalamnya. Kuperiksa kamar, si Hitam tetap
tidak kelihatan. Aku menggaruk kepala, sebaiknya aku mandi dan
bersiap berangkat sekolah.
"Eh, Ra? Jerawatmu sudah hilang, ya?" Seruan Mama sedikit
mengagetkan.
Aku mendongak. Entah sejak kapan, Mama sudah berdiri di
hadapanku. Tangannya memegang wajan kosong, habis menggoreng telur
dadar. Aku tadi pasti lagi-lagi melamun.
"Wah, benar-benar hilang! Kamu pencet, ya? Tapi kenapa tidak ada
bekasnya?" Mama tertarik ingin tahu.
"Nggak tahu, Ma. Hilang begitu saja."
"Hilang begitu saja?" Mama tertawa antusias. "Wah, ini hebat, Ra.
Hanya dalam satu malam, jerawat sebesar itu sembuh. Kamu kasih obat
90
apa sih? Kita bisa buka klinik khusus jerawat lho. Mahal bayarannya.
Nanti Mama suruh tantemu bantu cari modal. Dia relasinya kan luas."
Aku tersenyum kecut menatap Mama?yang biasa berlebihan kalau
sedang semangat. Seandainya Mama tahu bahwa jerawatku memang
hilang begitu saja saat aku suruh menghilang, Mama mungkin akan
berteriak panik. Mama tidak pernah suka cerita horor, kejadian penuh
misteri, dan sejenisnya.
"Pagi, Ra, Ma." Papa ikut bergabung, menyapa, menghentikan
kalimat rencana-rencana Mama tentang klinik jerawat. "Ternyata Papa
terakhir yang bergabung ke meja makan. Padahal tadi Papa sudah mandi
ngebut sekali lho."
Aku dan Mama menoleh. Papa sudah rapi.
"Kalian sedang membicarakan apa?"
"Jerawatnya Ra, Pa." Mama tertawa.
"Oh ya? Ra jerawatan lagi? Seberapa besar?" Papa ikut tertawa.
Sarapan segera berlangsung dengan trending topic jerawatku.
Sempat diseling Papa bertanya soal mesin cuci baru yang diganti,
Mama bilang sejauh ini penggantinya tidak bermasalah. Mama juga
sempat bilang tentang rencana arisan keluarga minggu depan di rumah.
Papa diam sejenak, mengangguk. "Semoga minggu depan Papa sudah
tidak terlalu sibuk lagi di kantor, Ma, jadi bisa membantu." Papa
melirikku sekilas. Aku tidak ikut berkomentar. Aku tahu, maksud kalimat
Papa sebenarnya adalah semoga masalah mesin pencacah raksasa di
pabrik sudah beres.
Lima belas menit sarapan usai, aku berpamitan pada Mama, duduk
rapi di kursi mobil di samping Papa. Papa mengemudikan mobil melewati
jalanan yang masih sepi. Baru pukul enam, itu berarti jangan-jangan aku
orang pertama lagi yang tiba di sekolah.
"Bagaimana sekolahmu, Ra?" Papa bertanya, di depan sedang
lampu merah.
91
"Seperti biasa, Pa," aku menjawab pendek, menatap langit
mendung. Ribuan burung layang-layang terbang memenuhi atas kota,
sepertinya selama ini aku mengabaikan pemandangan itu.
"Kamu tidak punya sesuatu yang seru yang hendak kamu ceritakan
kepada Papa?" Papa menoleh, mengedipkan mata, timer lampu merah
masih lama. "Selain soal jerawat lho."
"Eh, tidak ada, Pa." Aku menggeleng.
"Sungguhan tidak ada?" Papa tetap antusias.
Aku menggeleng lagi. Aku tahu, Papa sedang mencari topik
pembicaraan, lantas memberikan nasihat yang menyambung dengan
topik itu, menasihati putrinya.
Papa kembali memperhatikan ke depan. Aku menatap jalanan dari
balik jendela. Teringat percakapan dengan sosok tinggi kurus tadi malam.
Itu benar, bertahun-tahun aku mampu menyimpan rahasia itu sendirian.
Tidak bocor sedikit pun, tidak tempias satu tetes pun. Aku tidak pernah
membicarakannya kepada Papa dan Mama. Mereka dengan sendirinya
terbiasa, selalu punya penjelasan sederhana setiap melihat hal ganjil di
rumah kami. Aku yang tiba-tiba muncul. Aku yang tiba-tiba tidak ada di
sekitar mereka. Bahkan tentang kucingku, mereka selalu bilang si Hitam
atau si Putih, bukan si Hitam dan si Putih.
"Papa minta maaf ya, Ra."
"Eh? Minta maaf apa, Pa?" Aku menoleh ke depan. Lampu merah
berikutnya.
"Hari-hari ini Papa jadi jarang memperhatikan kamu, mengajak
ngobrol. Tidak ada makan malam bersama. Sarapan juga serbacepat.
Papa cemas, kemungkinan Sabtu-Minggu lusa Papa juga harus lembur di
kantor. Rencana weekend kita batal."
Aku mengangguk, soal itu ternyata. "Tidak apa kok, Pa. Ra paham.
Kan demi memenangkan hati pemilik perusahaan."
Papa ikut tertawa pelan. "Kamu selalu saja pintar menjawab kalimat
Papa."
92
Lampu hijau, iringan kendaraan bergerak maju.
Lima belas menit kemudian tiba di gerbang sekolah, aku
mengangkat tas, membuka pintu, berseru, berpamitan. Mobil Papa hilang
di kelokan jalan. Aku menatap lapangan sekolah yang lengang. Langit
semakin mendung. Ribuan burung layang-layang masih ada di atas
gedung-gedung kota, terbang menari menanti hujan. Aku menghela
napas, berusaha riang melangkah masuk ke halaman sekolah.
Setidaknya, dengan segala kejadian aneh tadi malam, hari ini aku tidak
perlu menutupi jidatku.
Jerawatku sudah hilang.
93
KU langsung menuju kelasku, kelas X-9. Tiba di kursiku, aku
memasukkan tas ke laci meja. Sekolah masih lengang. Di kelas tidak ada
siapa-siapa. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali melamun menunggu.
Baiklah, aku mengeluarkan novel tebal yang sudah seminggu tidak tamattamat kubaca?pengarang yang satu ini novelnya semakin tebal saja,
menguras uang jatah bulanan dari Mama.
Aku teringat lagi percakapan tadi malam. Aku tidak mau patuh
pada sosok tinggi kurus dalam cermin itu. Aku belum tahu dia berniat
baik atau buruk, tapi kalimat-kalimatnya membuatku penasaran.
Apakah aku memang bisa menghilangkan novel tebal ini?juga bendabenda lain.
Aku menatap konsentrasi novel tebal beberapa detik, menghela
napas, mengarahkan telunjukku, bergumam pelan menyuruhnya
menghilang. Sedetik. Aku mengembuskan napas. Sama seperti tadi
malam, novel itu tetap teronggok bisu di atas meja. Sekali lagi aku
mengulanginya, lebih berkonsentrasi. Tetap saja, jangankan hilang
seluruhnya, hilang semili pun tidak.
Aku melempar tatapan ke luar jendela kelas, lengang. Hanya suara
petugas kebersihan yang sedang menyapu lapangan dari dedaunan
kering.
Aku berkali-kali mencoba, memperbaiki posisi duduk?kalau
sampai ada yang mengintip, pasti akan aneh melihatku sibuk menunjuknunjuk buku tebal.
Teman-teman mulai berdatangan, menyapa. Aku mengangguk,
tersenyum tipis, memasukkan kembali novel ke dalam tas. Setengah jam
berlalu, sekolah ramai oleh dengung suara. Beberapa teman duduk di
dalam kelas dan berdiri di lorong. Anak-anak cowok bermain basket atau
bola kaki. Lapangan basah, mereka tidak peduli, bahkan lebih seru, lebih
ramai tertawa.
94
"Halo, Ra," Seli menyapaku.
"Halo, Sel," aku balas menyapa.
"Kamu datang pagi lagi, ya?"
Aku mengangguk. Aku menghitung dalam hati, satu, dua, tiga, dan
persis di hitungan ketujuh, Seli yang menatapku sambil memasukkan tas
ke laci meja berseru, "Eh, Ra? Jerawatmu yang besar itu sudah hilang,
ya?"
Aku tertawa. Benar kan, tidak akan lebih dari sepuluh hitungan.
"Beneran hilang, Ra. Kok bisa sih?" Saking tertariknya, Seli bahkan
memegang jidatku, melotot, memeriksa, untung saja tidak ada kaca
pembesar, yang boleh jadi akan dipakai Seli. "Wah, beneran hilang. Bersih
tanpa bekas. Diobatin pakai apa sih?"
Aku tidak menjawab, menyeringai.
"Pakai apa sih, Ra? Ayo, jangan rahasia-rahasiaan. Pasti obatnya
manjur sekali. Semalaman langsung mulus!" Seli penasaran, memegang
lenganku, membujuk. "Ini ngalahin treatment wajah artis-artis Korea lho,
Ra. Tokcer."
"Nggak diapa-apain." Aku menggeleng.
"Nggak mungkin." Bukan Seli kalau mudah percaya.
"Beneran nggak diapa-apain. Aku hanya tunjuk jerawatnya, bilang
?hilanglah?, eh hilang beneran." Demi mendengar kebiasaan Seli yang
mulai menyebut-nyebut drama favorit Korea-nya, dan setengah jam
terakhir bosan menatap novel tebal di atas meja yang tidak kunjung
berhasil kuhilangkan, aku jadi menjawab iseng.
"Jangan bergurau, Ra." Seli melotot memangnya aku anak kecil bisa
dibohongi, begitu maksud ekspresi wajahnya.
Aku tertawa. "Beneran. Memang begitu. Kusuruh hilang."
95
Setidaknya itu manjur. Seli masih melotot setengah menit, lantas
wajahnya berubah menyerah, malas bertanya lagi. "Temani aku ke kantin
yuk. Cari camilan."
Aku mengangguk, bosan di kelas terus.
Kami bergegas keluar kelas, menuruni anak tangga, bel masuk
tidak lama lagi. Sayangnya, Seli bertabrakan dengan seseorang yang
sebaliknya hendak naik.
"Lihat-lihat dong!" Orang itu berseru ketus.
"Eh, Ali?" Seli mencoba tersenyum, setengah bingung. Wajah Seli
seolah mengatakan "Bukankah kamu baru kemarin belajar bareng
bersamaku? Terlihat rapi dan menyenangkan. Tapi kenapa pagi ini
kembali terlihat acak-acakan, dan tantrum seperti balita gara-gara
senggolan kecil?"
"Makanya, kalau jalan, mata tuh jangan ditaruh di pantat." Ali
melotot menjawab sapaan Seli, lantas berlalu. Dia terlihat buru-buru
menaiki anak tangga.
"Bukankah, eh?" Seli menatap punggung Ali, menoleh, menatapku
tidak mengerti.
"Makanya, jangan tertipu penampilan. Jelas-jelas anak itu biang
kerok. Apanya yang gwi yeo wun. Sekali biang kerok, suka bertengkar,
itulah sifat aslinya." Aku mengangkat bahu, tertawa. Aku berjalan lebih
dulu, menarik tangan Seli, sebentar lagi bel.
"Tapi kemarin kan...?" Seli menyejajari langkahku.
"Kemarin apa? Tampilannya kemarin itu menipu, karena dia lagi
ada maunya." Aku nyengir.
"Ada maunya? Memang apa maunya Ali?" Seli bingung.
"Mana kutahu." Aku mengangkat bahu.
"Ali menyelidiki rumahmu ya, Ra? Ini jadi aneh. Kemarin Miss
Keriting juga datang ke rumahmu. Ada apa sih, Ra?"
96
Aku menelan ludah, bergegas mengalihkan percakapan, menatap
kasihan Seli. "Entahlah. Aku tidak tahu. Nah, yang aku tahu persis, kamu
apes sekali, Sel."
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apes apanya?"
"Barusan Ali bilang, matamu jangan ditaruh di pantat, kan?"
Seli melotot sebal. Aku tertawa.
Setidaknya hingga hampir pulang sekolah, aku (dan Seli) tidak
bermasalah dengan Ali. Anak lelaki itu masih sering mengamatiku dari
bangkunya, tapi tidak tertarik memperhatikan jidatku yang sudah bersih
dari jerawat. Sepertinya anak cowok selalu begitu, tidak peduli dengan hal
baik dari anak cewek, sukanya memperhatikan yang buruknya saja.
Pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris. Mr. Theo menyuruh kami
mengeluarkan kertas ulangan. Aku mengangguk riang. Aku menyukai
pelajaran bahasa, tidak masalah walaupun ulangan mendadak. Mr.
Theo membagikan soal, empat puluh soal isian.
Seli di sebelahku mengeluarkan puh pelan, mengeluh. Aku tertawa
dalam hati, padahal Seli selalu mengaku fans berat Mr. Theo, ternyata itu
tidak cukup untuk membuatnya menyukai ulangan mendadak ini.
Yang jadi masalah adalah ketika bel pulang tinggal lima belas menit
lagi, Mr. Theo mengingatkan, "Selesai-tidak selesai, kumpulkan jawaban
kalian saat bel."
Aku meringis. Tinta bolpoinku habis. Aku bergegas mengambil
bolpoin cadangan di dalam tas. Ada dua bolpoin yang kukeluarkan. Eh,
aku sedikit bingung kenapa ada bolpoin berwarna biru. Bukankah aku
tidak pernah punya bolpoin seperti ini? Mungkin bolpoin Papa yang tidak
sengaja kutemukan di mobil atau ruang tamu. Tapi tidak apalah, yang
penting bisa buat menulis. Aku memutuskan menggunakannya, tapi
tidak bisa, tintanya tidak keluar.
Aku menggerutu, kenapa aku menyimpan bolpoin ini di dalam tas
kalau tintanya habis. Aku hendak menukarnya dengan bolpoin cadangan
yang lain, tapi gerakanku terhenti. Ada yang aneh dengan bolpoin biru ini.
97
Aku memperhatikan lebih detail, menyelidik. Bolpoin ini terlalu berat dan
sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Aku perlahan membuka bolpoin itu.
Yang keluar bukan batang isi bolpoin seperti lazimnya, tapi benda kecil,
berkelotak pelan menimpa meja. Aku bergumam pelan, "Benda apa ini?"
Bentuknya mungil, ada kabel-kabel kecil.
Seli di sebelahku ber-ssst menyuruhku diam. Dia sudah pusing
dengan soal ulangan, merasa terganggu pula dengan kesibukanku. Aku
balas ber-ssst menyuruh Seli diam.
"Is there something wrong, Ra?" Mr. Theo menoleh ke mejaku.
"Nothing?s wrong, Sir. My pen jammed," aku buru-buru menjawab,
menelan ludah.
Mr. Theo memastikan sejenak, kembali menatap ke arah lain.
Aku mengamati benda itu lamat-lamat. Ini apa? Buat apa? Kenapa
benda berkabel ini ada di dalam bolpoin biru yang rusak? Setengah
menit, aku teringat cerita Seli tentang Ali yang suka sekali membuat
peralatan "canggih", meledakkan laboratorium.
Aku berseru dalam hati. Aku tahu benda ini, setidaknya aku bisa
menebak benda ini untuk apa. Dasar Ali! Tentu saja dia tahu aku
kehilangan si Hitam, dia tahu aku dan Seli mengerjakan PR kemarin
sore, karena genius amatiran itu menyelundupkan bolpoin berisi alat
penyadap ke dalam tasku. Dia pasti melakukannya beberapa hari lalu,
setelah penasaran dengan kejadian aku dihukum Miss Keriting
menunggu di lorong kelas.
Ternyata itu tidak spesial?aku pikir dia tahu dari manalah,
dengan cara lebih canggih atau misterius. Ternyata hanya karena bolpoin
biru ini. Aku tersenyum lebar, teringat sesuatu, setidaknya tadi malam
tasku tertinggal di ruang televisi, jadi dia tidak bisa menguping
percakapanku di kamar dengan sosok dalam cermin. Tapi senyumku
segera terlipat, jangan-jangan kemarin sore dia ke rumah, berpakaian
rapi, menipu Mama dan Seli, untuk menyelundupkan alat pengintai. Aku
menyibak poni di dahi. Nanti setiba di rumah, aku akan periksa setiap
pojok ruangan. Awas saja, tidak akan kubiarkan lagi.
98
Bel pulang berbunyi nyaring, memutus pikiranku.
"Collect your answer sheet now!" Mr. Theo berseru tegas.
Aku mengeluh, menyesal telah menghabiskan waktu berhargaku
untuk bolpoin biru rusak. Aku bergegas menyelesaikan soal yang tersisa.
Teman-teman sekelas lainnya juga ikut bergegas, terutama Seli. Dia
terlihat panik, menulis secepat tangannya bisa. Sudah seperti cabai
keriting bentuk tulisannya.
"Come on. Time?s up, students!"
99
APANGAN sekolah dipenuhi anak-anak yang baru saja keluar
dari kelas, hendak pulang. Juga lorong kelas dan anak tangga. Suara
mereka bagaikan dengung lebah mengisi langit-langit. Sementara itu, di
langit sesungguhnya, gumpalan awan tebal mengisi setiap pojokan.
Musim hujan, pemandangan biasa. Aku bergegas mengejar Ali di antara
keramaian, sedikit menyikut teman yang lain.
"Hei! Tunggu sebentar!" aku meneriaki Ali. Kerumunan anak yang
hendak menuruni anak tangga membuatku terhambat.
"Hei, Ali! Tunggu!" aku meneriakkan namanya.
Ali menoleh sekilas, tidak tertarik melihatku mengejarnya, tetap
berjalan santai.
Aku berhasil mengejarnya, menutup jalan di depannya. "Nih, hadiah
buatmu." Aku nyengir, menyerahkan bolpoin biru.
Demi menatap bolpoin biru yang kusodorkan ke depan wajahnya,
si genius itu termangu. Tebakanku tadi saat mengerjakan ulangan
bahasa Inggris benar, kurang-lebih beginilah ekspresi khas orang
tertangkap tangan. Benda ini memang milik si biang kerok ini.
"Brilian sekali, kamu mematai-mataiku selama ini. Tapi lain kali
jangan gunakan bolpoin bodoh seperti ini, gampang ketahuan. Lakukan
dengan lebih cerdas." Aku sengaja meniru intonasi dan cara bicara Miss
Keriting satu-satunya guru yang cuek mengusir si genius ini.
Ali menelan ludah, ragu-ragu menerima bolpoin itu. Dia
cengengesan. Sepertinya itu ekspresi terbaik rasa bersalah yang dia
miliki.
Aku menatapnya galak. "Nah, sebaiknya kamu tahu, rumahku
bukan laboratorium fisika tempat kamu bebas bereksperimen,
meledakkan apalah, menyelidiki entahlah. Sore ini aku akan memeriksa
100
seluruh rumah. Kamu pasti juga meletakkan sesuatu setelah kemarin
jual muka kepada Mama dan Seli. Awas saja kalau aku menemukannya."
Aku meninggalkan Ali yang entahlah mau bilang apa. Aku segera
bergabung dengan kerumunan anak-anak yang hendak menuruni anak
tangga. Seli menunggu di lapangan. Kami selalu pulang bareng. Dia
bertanya kenapa aku lama sekali keluar dari kelas. Aku mengangkat
bahu, menunjuk langit mendung, lebih baik bergegas mencari angkutan
umum yang kosong.
***
Setiba di rumah, Mama terlihat repot mengangkat jemuran. Gerimis
turun saat aku turun dari angkot. Mama menyuruhku membantu, aku
mengangguk. Tanpa meletakkan tas sekolah, aku membantu membawa
sebagian tumpukan pakaian, meletakkannya di ruang depan. Masih
lembap, Mama bilang biar dijemur lagi di halaman belakang yang semi
tertutup.
"Halo, Put," aku menyapa kucingku yang riang menyambutku di
ruang tengah. Kepalanya menyundul-nyundul ke betis. Bulu tebalnya
terasa hangat.
"Kamu sudah makan siang?" aku bertanya.
Si Putih mengeong pelan, manja kuusap-usap kepalanya.
Aku teringat sesuatu, menoleh sekitar. Baru saja aku bertanya
dalam hati, ke mana kucing satunya itu pergi sejak tadi pagi, si Hitam
justru terlihat berjalan pelan menuruni anak tangga. Mata bundarnya
menatapku. Aku tidak tahu persis, apakah karena kejadian tadi malam,
kali ini aku merasa si Hitam sedang menatapku tajam, bukan tatapan
antusias menyambutku pulang seperti enam tahun terakhir. Aku merasa
kucing itu tidak sekadar kucing lagi. Dia mengawasiku. Dan lihatlah, si
Hitam duduk diam di anak tangga terakhir, kepalanya mendongak, tidak
meloncat menyambutku seperti biasanya.
"Kamu lihat si Hitam di sana, Put?" aku berbisik pada kucingku.
Si Putih balas mengeong pelan.
101
"Kamu hari ini bermain dengannya, tidak?" aku berbisik lagi.
Si Putih tetap mengeong seperti biasa. Aku menghela napas.
Seandainya tahu bahasa kucing, aku bisa bertanya pada si Putih, apakah
si Hitam sungguhan tidak terlihat. Apakah si Putih selama ini sebenarnya
hanya bermain sendirian. Apakah si Putih berteman dengan si Hitam?
"Lho, kenapa belum berganti pakaian, Ra? Ayo, bergegas,
seragammu itu kan juga lembap terkena gerimis. Nanti masuk angin."
Mama yang membawa sisa jemuran menegurku.
"Iya, Ma." Aku mengangguk. "Kita ke kamar yuk, Put," aku berbisik
ke kucingku, lantas beranjak menaiki anak tangga, melewati si Hitam
yang tetap tidak bergerak dari duduknya, hanya melihatku.
Kecuali merasa ganjil karena terus diperhatikan si Hitam, sisa
hariku berjalan normal. Aku berganti seragam, makan siang, membantu
Mama mencuci piring dan peralatan dapur, lantas bebas sepanjang sore.
"Kamu sebenarnya mencari apa sih, Ra?" Mama yang sedang
menyetrika bingung melihatku mondar-mandir satu jam kemudian.
"Ada yang hilang, Ra?" Mama yang sudah pindah merapikan keping
DVD di ruang televisi bertanya untuk kesekian kalinya.
Aku mengangkat bahu. "Bolpoin Ra hilang, Ma."
"Bolpoin? Segitunya dicari? Kan bisa beli lagi?"
Aku nyengir. Namanya juga alasan asal, mana sempat kupikirkan
baik-baik. Tapi setidaknya Mama tidak bertanya lagi, membiarkanku
terus mengacak-acak rumah.
Dua jam tidak kunjung lelah, aku akhirnya mengembuskan napas
sebal. Tidak ada sesuatu yang ganjil. Ali boleh jadi tidak sempat
memasang sesuatu, atau dia kali ini memang genius sekali, meletakkan
alat penyadap yang tidak bisa ditemukan. Satu jam lagi berlalu sia-sia,
aku mengempaskan tubuh di kursi kamarku, juga tidak menemukan apa
pun.
102
Jam bebasku habis percuma. Padahal aku sudah membayangkan
menemukan alat penyadap yang besok bisa kulemparkan kepada Ali. Aku
bergegas mandi sore setelah diingatkan Mama.
Lampu jalanan mulai menyala, matahari beranjak tenggelam.
Gerimis tetap begitu-begitu saja, tidak menderas, tidak juga mereda.
"Papa pulang malam lagi ya, Ma?" aku bertanya saat makan
malam, ditemani Mama.
"Iya. Tadi siang Papa sudah menelepon. Kemungkinan Papa pulang
lebih malam dibandingkan kemarin. Pekerjaan Papa di kantor semakin
menumpuk." Mama menghela napas prihatin.
Aku sedikit menyesal bertanya soal Papa. Seharusnya aku bisa
mencari topik percakapan yang lebih baik, bukan bilang apa saja yang
terlintas di kepalaku. Asal komen.
"Minggu depan, pas arisan, semua keluarga datang ya, Ma?" Aku
kali ini sengaja memilih topik yang pasti membuat Mama lebih tertarik,
lebih riang.
Mama tersenyum,
menginap semalam."
mengangguk.
"Iya,
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tantemu
bahkan
mau
"Oh ya?" aku berseru riang?tuh kan, bahkan aku sendiri ikut
semangat.
"Iya, Tante Anita bilang bakal bawa si Jacko, biar bisa bermain
bersama si Putih atau si Hitam."
"Sungguh?" Mataku membesar. "Mama tidak sedang menggoda Ra,
kan?"
Mama tertawa, mengangguk, itu sungguhan. Jacko itu nama kucing
milik Tante Anita.
Makan malam selesai setengah jam kemudian, dihabiskan dengan
membahas rencana arisan keluarga minggu depan. Di luar hujan mulai
turun dengan lebat.
103
***
Agak ajaib memang hari ini, tumben tidak ada PR yang harus
kukerjakan untuk besok. Aku malas belajar matematika persiapan
ulangan minggu depan, masih lama, nanti-nanti saja, juga malas
membaca novel tebal itu. Aku akhirnya hanya bermain dengan si Putih.
Tapi itu pun tidak lama. Rasanya ganjil sekali melempar gulungan
benang wol, lantas si Putih riang menyambarnya, antusias membawanya
kembali ke pangkuanku. Sementara si Hitam, kucing satunya lagi,
duduk di atas kasur, memperhatikan, tidak tertarik.
Aku melirik si Hitam, lalu berbisik kepada si Putih yang manja
kugendong. Aku bertanya lagi apakah si Putih melihat si Hitam yang
duduk mengawasi. Mana ada kucing normal yang tidak tertarik main
lempar-lemparan? Bukankah dulu si Hitam senang sekali melakukannya.
Atau tidak?
Aku menghela napas, beranjak berdiri, meletakkan si Putih. Baru
pukul sembilan, aku memutuskan tidur lebih awal. Tidak ada hal seru
yang bisa kulakukan dengan seekor kucing aneh terus mengawasiku. Aku
malas mengenakan sandal, pergi ke kamar mandi, gosok gigi.
Keluar dari kamar mandi, aku benar-benar melupakan sepotong
kalimat percakapan tadi malam. Tepatnya, aku tidak memperhatikan
bahwa kami ada "janji pertemuan" berikutnya. Aku bersenandung pelan,
kembali ke kamar, menutup pintu, menguap, bersiap meloncat ke atas
kasur. Saat itu telingaku mendengar si Hitam justru menggeram di atas
kasurku. Belum genap aku memperhatikan kenapa si Hitam terdengar
begitu galak, sosok tinggi itu telah berdiri di dalam cermin.
"Halo, Gadis Kecil."
Aku refleks menoleh.
"Kamu sepertinya tidak sedang menungguku." Sosok tinggi kurus
itu tersenyum suram. Cerminku terlihat lebih gelap dibanding biasanya.
Tidak ada bayangan apa pun di dalamnya selain wajah tirus, kuping
mengerucut, rambut meranggas. Sosok tinggi kurus itu telah kembali,
memandangku dengan tatapan berbeda seperti malam sebelumnya. Dia
marah.
104
Aku refleks meraih sesuatu. Sial, tidak ada yang bisa kujadikan
senjata selain sandal jepit yang kukenakan. Aku menyesal meletakkan
pemukul bola kasti di dalam lemari.
"Seharusnya kamu mulai terbiasa, Nak," sosok tinggi kurus itu
berkata datar, menatap sandal jepit yang kupegang. Suaranya
mengambang di seluruh ruangan?meski dia bicara dari dalam cermin
dua dimensi, tidak berkurang jelasnya, padahal hujan deras turun di luar.
"Bagaimana latihanmu hari ini?" sosok itu bertanya, langsung ke
pokok persoalan.
"Latihan apa?" aku balas bertanya, menatap tidak mengerti ke
dalam cermin.
Si Hitam menggeram keras. Aku menoleh. Kucing itu meloncat ke
kursi tempat tas sekolahku berada. Dengan mulut dan cakar kakinya, si
Hitam menarik keluar novel tebal itu, mengeong galak. Dia menunjukkan
novel dengan mulutnya.
Aku menelan ludah. Ternyata latihan itu.
"Bukankah sudah kukatakan, Gadis Kecil, kita bisa melakukan ini
dengan mudah, atau dengan sulit, tergantung dirimu sendiri." Sosok
tinggi kurus itu menatapku kecewa. "Kamu tidak melakukan
perintahku. Bahkan kamu menganggap ringan perintahku."
Aku refleks mundur satu langkah.
"Kamu tahu, kamu seharusnya sudah bisa menghilangkan novel
itu!" sosok tinggi itu membentak. Cerminku semakin gelap, bahkan aku
bisa melihat cermin itu seolah mengerut karena amarah.
"Eh, aku sudah melakukannya," aku menjawab ketus, mekanisme
bertahanku muncul. "Bukan salahku kalau novel itu tidak mau
menghilang."
"Itu karena kamu tidak sungguh-sungguh! Kamu pikir ini semua
lelucon?" Sosok tinggi kurus tidak mengurangi volume bicaranya.
Napasnya menderu, menimbulkan embun tebal di cermin.
105
"Baik. Dia membutuhkan motivasi untuk melakukannya." Sosok itu
menoleh ke si Hitam. "Kamu berikan apa yang dia butuhkan!"
Sebelum aku mengerti maksud kalimat sosok tinggi kurus di dalam
cermin, si Hitam menggeram kencang, loncat ke atas kasur, menyergap si
Putih. Gerakannya cepat sekali, bahkan sebelum si Putih sempat
bereaksi, dua kaki depan si Hitam sudah mencengkeram leher si Putih. Si
Hitam mendesis galak, menatapku.
"Inilah motivasinya, Gadis Kecil." Sosok tinggi kurus itu menatap
tipis. "Akan kuhitung sampai sepuluh. Jika kamu tidak berhasil
menghilangkan buku tebal itu, si Hitam akan merobek kepala kucing
kesayanganmu."
Kilau petir menyambar terang di ujung kalimatnya. Gelegar guntur
membuat ngilu. Hujan deras terus membungkus kota. Aku mematung,
bukan karena menyaksikan sosok tinggi kurus itu menatapku begitu
marah, atau cerminku yang gelap sempurna menyisakan sosok itu, tapi
karena melihat dua kucingku. Si Putih mengeong lemah, seperti minta
tolong, sama sekali tidak bisa bergerak. Tubuhnya dikunci si Hitam di
atasnya. Mulut si Hitam membuka, memperlihatkan taring panjang,
suaranya mendesis mengancam. Bulu tebalnya yang lembut sekarang
berdiri. Aku tidak akan pernah bisa mengenali lagi si Hitam, kucingku itu.
106
AKIKU gemetar karena rasa marah yang menyergap. Suara
mengeong si Putih semakin lemah. Matanya menatapku meminta
pertolongan. Sementara si Hitam yang mengunci tubuhnya dari atas,
entah dia sebenarnya makhluk apa, tubuhnya membesar sedemikian
rupa hingga empat kali lipat dalam hitungan detik. Ekornya bergerak
garang. Kupingnya memanjang. Bulu tebalnya berdiri seperti ribuan
jarum tipis. Mata bundar yang dulu aku suka berubah menjadi kuning
pekat. Taringnya memanjang. Suara geramannya membuat kamarku
seperti mati rasa. Si Hitam berubah sebesar serigala.
"Konsentrasi, Nak!" sosok tinggi kurus di dalam cermin
membentakku. "Konsentrasi pada buku tebalnya. Tidak yang lain."
Aku menoleh ke arah cermin, menoleh lagi ke si Putih di atas kasur.
Bagaimana aku bisa konsentrasi dalam situasi seperti ini? Bagaimana aku
bisa konsentrasi ke novel tebal di atas kursi?
"Kamu siap atau belum, hitungannya akan kita mulai." Suara sosok
tinggi kurus itu terdengar mengancam.
Aku menggigit bibir. Aku tidak punya banyak pilihan. Waktuku
amat sempit untuk berhitung atas situasi yang kuhadapi. Sandal jepit
yang kupegang bahkan boleh jadi tidak bisa melawan si Hitam yang
berubah menjadi sangat mengerikan. Si Putih dalam bahaya. Suara
mengeongnya begitu menyedihkan.
Aku menelan ludah kecut. Bagaimana mungkin dia dikhianati
teman sepermainannya sejak ditemukan dalam kotak berwarna pink,
beralas kain beludru, dan bertutup kain sutra? Atau tidak? Karena
memang kucing itu tidak pernah hadir kasatmata di rumah kami? Si
Hitam tidak pernah menjadi teman si Putih?
"Satu..." Sosok tinggi mengembuskan napas, mulai menghitung.
Kali ini bahkan uap dari napasnya seperti melewati cermin kamarku,
mengambang.
107
Napasku menderu kencang. Jatungku berdetak lebih cepat. Apa
yang harus kulakukan?
"Dua..."
Aku melepaskan sandal jepit ke lantai. Tidak banyak pilihan yang
kupunya. Dari terbatasnya pilihan, aku tidak akan membiarkan si Putih
disakiti. Baiklah.
"Tiga..."
Tanganku bergetar menunjuk novel tebal di kursi. Jika semua ini
hanya permainan, ini permainan paling mahal yang pernah kulakukan.
Aku bertaruh dengan seekor kucing yang kupelihara sejak kecil, kususui
dengan botol...
"Empat. Kosentrasi. Hilangkan buku tebal itu!"
membentakku, menyuruhku berhenti memikirkan hal lain.
sosok
itu
Baiklah. Aku mendesis dengan bibir gemetar. "Menghilanglah!" aku
menyuruh novel tebal di kursi hilang seperti jerawatku kemarin malam.
Satu detik senyap, hanya suara hujan deras mengenai jendela, atap, dan
halaman. Novel itu tetap teronggok membisu di kursi.
Aku mengeluh.
"Lima. Berusaha sungguh-sungguh atau kamu akan kehilangan
kucing kesayanganmu." Sosok tinggi kurus dalam cermin tidak
menurunkan volume suara.
Aku menggigit bibir, lebih konsentrasi. Kutatap novel tebal untuk
kedua kalinya. Telunjukku semakin bergetar, mendesis menyuruhnya
menghilang. Senyap. Tetap tidak terjadi apa pun.
"Enam. Kamu sungguh akan mengecewakan teman terbaikmu
selama ini, Nak."
Aku menggigit bibir, memejamkan mata. Untuk ketiga kalinya aku
berusaha konsentrasi, menyuruh novel itu menghilang. Apa susahnya.
Ayolah. Aku membuka mata. Tapi percuma. Tidak terjadi apa pun. Ini
benar-benar tidak mudah. Bahkan sebenarnya kemarin malam saat
108
jerawat itu berhasil kuhilangkan, aku tidak ingat bagaimana caranya. Ini
tidak seperti menutup wajah dengan kedua telapak tangan, lantas
tubuhku hilang seketika. Itu mudah dilakukan.
Suara mengeong si Putih semakin lemah. Geraman buas si Hitam
yang berubah menjadi kucing berukuran besar semakin memenuhi langitlangit kamar.
"Tujuh. Jangan menyalahkan siapa pun kalau kamu kehilangan
kucing."
"Aku tidak bisa menghilangkannya!" aku memotong kalimatnya,
balas menatap galak sosok di dalam cermin. Aku sudah empat kali
mencobanya, novel itu tetap tidak hilang. "Sejak tadi pagi aku sudah
berusaha melakukannya. Novel itu tidak bisa hilang."
"Delapan..." Sosok tinggi kurus menatap dingin.
"Kamu, kamu tidak boleh melakukannya!" Aku mulai berteriak
panik, bahkan tidak peduli seandainya Mama yang sedang menonton
televisi bisa mendengar keributan di lantai dua.
"Sembilan..." Sosok tinggi kurus menoleh ke si Hitam.
"Kamu, awas saja kalau kamu berani menyuruhnya!" Aku gemetar
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunjuk ke cermin, berusaha mengancam dengan kalimat kosong?
waktuku hampir habis, entah apa yang harus kulakukan.
"Sepuluh...." Sosok itu menyeringai tidak peduli. "Habisi kucing
lemah itu."
Belum hilang kalimat sosok tinggi kurus di dalam cermin, si Hitam
sudah menggeram panjang kegirangan. Mata kuningnya berkilat-kilat.
Kakinya yang sekarang lebih besar dibanding kepala si Putih terangkat
naik, siap mematuhi perintah pemilik aslinya.
Astaga! Apa yang bisa kulakukan sekarang? Aku sungguhan panik.
Si Hitam menghantamkan kakinya ke kepala si Putih. Petir
menyambar terang. Cahayanya berkelebat masuk ke kamar. Guntur
109
menggelegar. Dalam hati aku berseru, tidak ada yang boleh menyakiti si
Putih.
Sepersekian detik sebelum kaki si Hitam mencakar si Putih yang
tidak berdaya, lima jemari tangan kananku bergerak cepat, mendesis.
"Menghilanglah!"
Geraman si Hitam lenyap bagai suara televisi dipadamkan. Juga
bulunya yang berdiri, ekornya yang tegak, taringnya yang panjang, dan
matanya yang kuning lenyap bagai kabut terkena matahari terik. Tidak
berbekas apa pun di atas kasur.
Langit-langit kamarku lengang sejenak. Bahkan si Putih yang
terbaring di kasur tidak mengeong. Dia meringkuk gemetar. Tubuhnya
terlalu lemah. Mungkin takut hingga batas terakhir. Si Putih menatapku.
Mata bundarnya terlihat buram, penuh sorot berterima kasih.
Sosok tinggi kurus itu juga menatapku lamat-lamat, seperti habis
menyaksikan pertunjukan yang tidak dia kira. Aku tersengal. Napasku
menderu. Tanpa memedulikan sosok tinggi kurus itu, aku meloncat ke
kasurku, menarik si Putih, menggendongnya erat-erat, melindunginya
dari kemungkinan apa saja. "Semua akan baik-baik saja, Put," bisikku
lirih sambil terus memeluk kucing kesayanganku itu.
"Kamu? Ini menakjubkan, Gadis Kecil." Sosok tinggi kurus masih
menatapku, suaranya kembali datar. "Ini sama sekali di luar dugaanku."
Aku tidak mendengarkan dengan baik sosok tinggi kurus itu. Aku
merapat ke dinding, menatap cermin dengan galak, jemari tangan
kananku mengacung ke cermin.
"Bagaimana
bertanya.
kamu
melakukannya?"
sosok
tinggi
kurus
itu
Aku menggeleng, berusaha mengendalikan napas. Aku sungguh
tidak tahu bagaimana aku bisa menghilangkan monster kucing yang
memiting si Putih. Kejadiannya terlalu cepat. Aku panik. "Aku tidak tahu,"
aku menggeleng sekali lagi. "Pergi! Kamu pergi jauh-jauh dari sini!" Lima
jemariku mengarah ke cermin, mengancam.
110
AMU tidak bisa menghilangkan sesuatu yang sejatinya sudah
tidak kasatmata, Nak." Sosok tinggi kurus di dalam cermin tertawa pelan.
Aku tidak mengerti kalimatnya, tapi itu tidak masalah, karena aku
juga tidak peduli padanya sekarang. Si Putih mengeong pelan di
gendonganku,
meringkuk
memasukkan
kepalanya.
Aku
masih
bersandarkan dinding kamar.
Sosok tinggi kurus itu bergumam. Tangannya terangkat sedikit
seperti menggapai udara. Lantas suara sesuatu, seperti gelembung air
pecah, terdengar pelan. Si Hitam, entah dari mana datangnya, sudah
berada di pangkuannya, dengan bentuk normal, menggeram panjang.
"Tetapi ini sungguh menarik. Pertunjukan yang hebat." Sosok tinggi
kurus itu mengelus tengkuk si Hitam. "Kamu berhasil menghilangkan
kucingku. Kamu tahu, sejenak aku hampir khawatir, kucingku hilang
sungguhan."
"Kamu, siapa pun kamu, pergi dari kamarku!" Suaraku mendesis
galak, tidak peduli dengan tawa berguraunya.
"Kita sedang berlatih, Nak. Aku sedang melatihmu. Bagaimana
mungkin kamu mengusirku?" Sosok tinggi kurus itu menggeleng. "Soal
kucingmu tadi, aku minta maaf. Aku tahu itu sedikit berlebihan, tapi itu
terpaksa kulakukan. Kita tidak akan pernah tiba di level berikutnya kalau
tidak dipaksa."
"Aku tidak peduli!" aku membentaknya, memotong. "Kamu pergi
dari kamarku. Sekarang!"
Hujan di luar semakin deras, boleh jadi Mama di bawah jatuh
tertidur sambil menonton televisi, sehingga tidak mendengar keributan di
kamarku. Atau boleh jadi Mama memang tidak bisa mendengar kejadian
di dalam kamar.
111
Sosok tinggi kurus itu menatapku lamat-lamat, mengangguk
takzim. "Baiklah, Nak. Sepertinya kamu akan memilih menghilangkan
cermin kalau aku tidak segera pergi. Kemungkinan itu akan membuat
orangtuamu bingung saat mereka masuk ke kamar ini. Kita bahkan
belum tahu apakah kamu bisa mengembalikan benda yang telah kamu
hilangkan. Baiklah. Aku akan pergi. Lagi pula latihan malam ini lebih dari
cukup."
Aku tidak mau tertipu lagi dengan ekspresi wajah bersahabat yang
kembali menatapku dengan mata hitam memesonanya. Lima jemariku
terus bersiaga. Si Putih masih meringkuk dalam pelukanku, tidak berani
bergerak.
"Sebelum aku pergi, kamu harus tahu. Kamu baru saja
membuktikan bahwa rasa marah, panik, cemas bisa diubah menjadi
kekuatan besar. Tapi itu bukan sumber motivasi yang baik. Kita tidak
berharap kamu terdesak oleh sesuatu baru berhasil mengeluarkan
kekuatan itu, bukan? Semua akan telanjur berantakan, bahkan sebelum
kamu menyadarinya untuk marah.
"Nah, camkan baik-baik. Sumber kekuatan terbaik bagi manusia
adalah yang kalian sering sebut dengan tekad, kehendak. Jutaan tahun
usia Bumi. Ribuan tahun kehidupan tiba di dunia ini. Semua mencoba
bertahan hidup. Kehendak besar mereka bahkan lebih kuat
dibandingkan kekuatan itu sendiri. Dalam kasusmu, dibandingkan
kekuatan menghilangkan, kehendak yang kokoh bisa menggandakan
kekuatan yang kamu miliki menjadi berkali-kali lipat.
"Selamat berlatih kembali, Nak. Kamu tetap belum berhasil
menghilangkan buku tebal, meskipun aku yakin itu akan mudah saja
sekarang. Aku akan kembali besok malam, dan kamu akan siap di level
berikutnya." Sosok tinggi kurus itu tersenyum, mengelus kucingnya,
hendak berbisik.
"Kamu bawa pergi dia! Aku tidak ingin melihatnya lagi di rumah
ini!" aku segera berseru, teringat malam sebelumnya si Hitam menembus
cermin. Dengan kejadian barusan, sedetik pun aku tidak akan
mengizinkan makhluk mengerikan itu berkeliaran di rumah.
112
Sosok tinggi kurus itu tertawa, membuat suara tawanya
mengambang di langit-langit kamarku. "Kamu tidak akan pernah bisa
mengusir sesuatu yang sejatinya sudah terusir dari dunia kalian, Nak.
Tetapi baiklah, jika itu akan membuatmu lebih bersahabat setelah awal
yang sulit ini."
Sosok itu menunduk, berbisik pada kucingnya, "Kamu mau
mengucapkan selamat tinggal?"
Si Hitam menggeram. Kepalanya terangkat. Matanya menatapku
tajam.
Aku memutuskan melihat pinggir cermin, benci bertatapan dengan
kucing itu. Saat aku kembali menatap cermin, sosok tinggi kurus itu
telah hilang bersama kucingnya.
Kamarku lengang beberapa detik, menyisakan suara hujan deras.
Cermin besar milikku kembali seperti cermin kebanyakan, tidak
mengerut, tidak gelap, dan tidak berembun.
Aku menghela napas panjang setelah memastikan sosok tinggi
kurus itu benar-benar telah pergi, lantas mendongak, menyeka pelipis
yang berkeringat, mengempaskan badan di atas kasur. Astaga, bertahuntahun merahasiakan diriku bisa menghilang, aku tidak akan pernah
mengira malam ini akan menjadi rumit sekali.
Siapa sebenarnya sosok aneh di cerminku? Kenapa dia
mengirimkan kucing untuk memata-mataiku? Kenapa dia melatihku?
Apakah dia jahat? Apakah dia berniat baik? Apakah dia teman seperti
yang dia bilang? Atau sedang menipuku? Aku sama sekali tidak punya
jawaban atas pertanyaan yang memenuhi kepalaku saat ini.
Aku menatap jam dinding, sudah lewat pukul sepuluh malam. Di
luar sana belum terdengar tanda-tanda mobil Papa memasuki halaman.
Mungkin masalah di pabrik bertambah rumit.
Aku mengembuskan napas kesekian kalinya, merapikan rambut
panjangku. Si Putih akhirnya bergerak pelan. Dia keluar dari dekapanku,
merangkak ke atas kasur. Kepalanya menyundul pahaku, bergelung,
menatapku dengan tatapan yang kusuka darinya selama ini.
113
"Kamu baik-baik saja, Put?"
Si Putih mengeong sekali lagi.
Mama dan Papa benar. Tidak ada si Putih dan si Hitam. Sejak dulu,
sejak pertama kali kotak kardus itu tergeletak di depan pintu rumah
kami, hanya si Putih yang ada di sana. Siapa yang meletakkan kardus
itu? Aku menggeleng. Tidak ada ide sama sekali. Dan besok pagi-pagi, aku
bahkan tidak menduga, sesuatu yang lebih serius telah menungguku.
114
KU lagi-lagi tidak bisa tidur. Setelah mematikan lampu, menarik
selimut, aku berkali-kali berusaha memejamkan mata. Tapi percuma, aku
hanya bisa melamun menatap remang langit-langit kamar.
Sesekali cahaya petir yang melintasi kisi-kisi jendela membuat
terang kamarku. Hujan di luar masih deras. Aku beranjak duduk,
memeluk lutut, menatap si Putih yang sudah meringkuk tidur di
sampingku.
Aku menatap cermin kamarku. Besok lusa sepertinya aku bisa
menutup cermin ini dengan kain atau koran biar tidak mengganggu. Aku
mengembuskan napas. Itu jelas bukan ide yang baik. Sosok tinggi kurus
itu tidak bisa diusir bahkan dengan memecahkan cerminnya. Mama akan
bingung melihat cerminku dibungkus sesuatu.
Papa belum kunjung pulang hingga tengah malam, pukul sebelas
lewat. Mama mungkin sudah tertidur pulas di sofa, menunggu, seperti
yang Mama lakukan selama enam belas tahun sejak mereka menikah.
Aku menguap kesekian kalinya, kembali menarik selimut,
melemaskan badan, menutup mata. Di benakku malah muncul dengan
jelas kejadian saat si Putih diterkam si Hitam. Aku mengeluh, membuka
mata. Apa susahnya memaksa benakku berhenti memikirkan hal itu. Apa
susahnya menyuruh pikiranku berhenti memikirkan hal-hal yang tidak
ingin kupikirkan. Tidak sekarang, aku ingin tidur.
Satu jam lagi berlalu, aku menyerah. Bahkan orang dewasa paling
mampu mengurus masalah pun tidak bisa mengontrol pikiran-pikiran di
kepalanya. Aku duduk kembali di atas kasur, menatap novel di atas
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kursi, berpikir. Apakah aku bisa menghilangkannya? Ragu-ragu aku
mengacungkan jemari.
Hei, novel itu bahkan sudah hilang sebelum aku selesai
konsentrasi. Aku menelan ludah. Hilang begitu saja? Mudah sekali?
Bukankah beberapa hari terakhir aku sudah bersusah payah, tetapi tidak
115
berhasil? Aku beringsut di atas kasur, memeriksa kursi. Tidak ada sama
sekali novelnya. Aduh, aku menggaruk kepala yang tidak gatal, menyesal.
Padahal aku belum selesai membacanya. Ke mana novel itu pergi? Aku
menatap cermin siapa tahu seperti si Hitam yang muncul di dalam
cermin. Tidak ada yang berbeda di dalam cermin, hanya ada wajahku
yang bingung.
Tapi apakah memang semudah itu menghilangkan novel? Atau
hanya kebetulan? Seperti saat aku panik berusaha menghilangkan
kucing hitam? Aku ragu-ragu menatap kursi belajarku. Jemariku
teracung. Baiklah, akan kucoba sekali lagi. Hilanglah!
Kursi belajarku lenyap dari kamar! Astaga. Aku hampir jatuh dari
tempat tidur karena kaget. Kursi itu benar-benar lenyap. Harus kuakui ini
mulai keren.
Aku turun dari kasur, memeriksa lantai. Tanganku menyibaknyibak udara kosong, tidak ada kursi belajarku di sana.
Aku menelan ludah. Bagaimana kalau besok Mama bertanya ke
mana kursi belajarku? Aku menepuk dahi pelan. Kenapa aku tidak
memikirkannya tadi sebelum mencoba menghilangkannya? Tidak
mungkin aku mengarang cerita kursi itu hilang sendiri, seperti bolpoin
atau buku yang terselip. Atau aku bisa mengembalikan kursi itu?
Bukankah sosok tinggi kurus itu bilang begitu? Mengembalikan sesuatu
yang hilang?
Sisa malam kuhabiskan dengan mencoba mengembalikan kursi
belajarku. Setengah jam berlalu, tidak ada kemajuan. Aku gemas sendiri,
berkonsentrasi, tapi tetap tidak berhasil. Aku mengusap wajah, mungkin
bendanya terlalu besar. Jika lebih kecil, mungkin lebih mudah?
Aku berganti mencoba mengembalikan novelku, tapi lima belas
menit berlalu tetap tidak ada kemajuan. Mungkin novel masih terlalu
besar. Baiklah. Akan kucoba gunting, yang lebih kecil. Aku
mengembuskan napas sebal, lima menit, guntingnya tetap tidak kembali.
Juga flash disk aku lagi-lagi menyesal, kenapa aku iseng, sembarangan
saja memilih benda yang harus dihilangkan. Di dalamnya kan banyak file
116
lagu-lagu yang kusuka. Klip buku, tutup bolpoin, jarum pentul, peniti,
banyak sekali benda yang sudah kulenyapkan setengah jam kemudian,
semakin lama semakin kecil, tapi tidak ada satu pun yang berhasil
kembali, termasuk kancing salah satu kemejaku yang sangat kecil.
Aku mengusap wajah yang berkeringat. Meski udara dingin dan di
luar gerimis, konsentrasi terus-menerus membuatku berkeringat. Si
Putih tidur melingkar, nyenyak, tidak tahu pemiliknya sibuk
menghilangkan benda-benda kecil di sekitarnya.
Baiklah. Aku menyerah. Sebaiknya aku kembali tidur. Sudah terlalu
banyak yang kuhilangkan malam ini. Apalagi kursi belajar itu. Lihat saja
besok. Semoga Mama tidak masuk kamarku dan menanyakan ke mana
kursi itu.
***
Pagi kembali datang.
"Pagi ini Mama antar kamu ke sekolah, ya. Naik motor." Mama
langsung menyambutku di meja makan dengan kalimat itu, sambil sibuk
mengangkat masakan dari wajan.
Aku menatap Mama, tidak mengerti. Aku sudah rapi dengan
seragam sekolah.
"Papa baru pulang tadi jam lima subuh. Sekarang masih tidur, jadi
tidak bisa mengantarmu," Mama menjelaskan. Wajah Mama terlihat letih
mungkin semalam terus menunggu Papa. "Itu pun harus segera
berangkat lagi nanti jam sembilan. Pekerjaan di kantor Papa sedang
banyak-banyaknya."
Tadi malam aku juga baru tidur jam dua. Aku tahu Papa belum
pulang hingga jam tersebut. Meski Mama tidak mau bercerita masalah di
kantor, aku tahu, sepertinya masalah mesin pencacah yang rusak itu
masih panjang.
"Ra naik angkutan umum saja, Ma. Kalau diantar,
merepotkan Mama." Aku menggeleng, menarik bangku, duduk.
nanti
117
"Tidak repot lho, Ra. Kan Mama bisa ngebut. Paling juga bolak-balik
hanya setengah jam." Mama mengedipkan mata, mencoba bergurau.
"Tidak usah, Ma. Kan Mama banyak pekerjaan di rumah. Lagian,
siapa tahu Papa bangun lebih cepat, nanti teriak-teriak cari dasi dan kaus
kaki. Mama kan tahu, Papa itu kalau kecapekan suka error, bahkan dasi
yang sudah dipasang saja masih dia cari." Aku nyengir.
Mama tertawa kecil. "Kamu selalu bisa menghibur orangtua, Ra. Ya
sudah, kamu naik angkutan umum. Ayo, Mama temani kamu sarapan."
Lima belas menit ke depan aku dan Mama menghabiskan nasi
goreng.
"Oh iya, Ma, nanti sore Ra ada pertemuan Klub Menulis, jadi pulang
agak sore. Boleh kan, ya?" Aku teringat sesuatu.
Mama mengangguk. "Iya. Nanti Mama siapkan bekal makan
siangnya."
"Oh iya lagi, Ma, kamar Ra sudah dibereskan tadi. Jadi tidak perlu
Mama bersihkan lagi." Aku berusaha berkata senormal mungkin.
"Iya," Mama menjawab pendek.
Aku bersorak dalam hati. Mama tidak curiga dengan kalimatku
barusan. Setidaknya pagi ini Mama tidak akan masuk kamarku.
"Sebenarnya Papa di kantor ada pekerjaan apa sih, Ma?" Aku basabasi, masih berusaha menutupi jejak soal memeriksa kamar.
Mama diam sebentar, menelan makanan di mulut. "Entahlah, Ra.
Sepertinya pekerjaan besar."
Aku mengangguk-angguk sok paham.
Mama menghela napas. "Kasihan Papa, masa baru pulang jam lima
pagi. Ini rekor."
"Bukannya rekornya yang dulu, Ma? Papa nggak pulang, malah ke
Singapura?" Aku tertawa.
118
"Itu sih beda, Ra. Papa memang bilang nggak akan pulang. Tiba-tiba
harus dinas ke luar kota." Mama menggeleng.
Aku lagi-lagi mengangguk.
"Asyik kali ya, Ra, kalau tiba-tiba pekerjaan Papa di kantor itu bisa
dihilangkan begitu saja. Wush, hilang. Papa jadi tidak perlu lagi bekerja
habis-habisan." Mama menatap piring nasi goreng di hadapannya.
Aku hampir tersedak, buru-buru minum.
"Nggak mungkinlah, Ma." Aku pura-pura tertawa.
Mama ikut tertawa. "Iya, kan kali-kali saja bisa."
Kami berdua tertawa. Aku lamat-lamat memperhatikan wajah letih
Mama yang segar sejenak karena tawa. Kalau saja Mama tahu anak
remajanya semalam telah menghilangkan bangku belajar, mungkin
Mama sekarang sudah berteriak-teriak panik dengan wajah pucat.
***
Pagi hari di sekolah.
"Pagi, Ra." Seli mengagetkanku saat turun dari angkot. "Kamu naik
angkot? Papamu ke mana?"
"Masih tidur," aku menjawab pendek, menerima uang kembalian,
melotot ke sopir yang kalau dilihat dari gelagatnya belum mandi pagi.
Dasar sopir angkot pelit, biasanya juga kalau anak sekolah tarifnya
separuh. Aku mengalah. Salahku juga sih, seharusnya tadi pakai uang
pas.
"Papaku lagi sibuk di kantor. Semalam pulang larut sekali, jadinya
aku berangkat sendiri," aku menjawab pertanyaan Seli lebih baik.
Seli ber-oh sebentar.
119
Hari ini sekolah berjalan lancar. Tepatnya mungkin karena aku
sedang memikirkan banyak hal, jadinya mengabaikan Ali yang bertengkar
dengan kakak-kakak kelas dua belas di kantin saat istirahat pertama.
Aku menatap kosong papan tulis yang penuh rumus kimia. Atau
mengabaikan Seli, di pelajaran terakhir, yang terus menatap Mr. Theo
dengan ekspresi terpesona, padahal ulangan bahasa Inggris sudah
dibagikan dan nilai di atas kertas jawaban Seli jelek sekali. Seli tetap
bahagia dengan kenyataan apa pun.
Lonceng pulang bernyanyi.
"Aku memutuskan ikut Klub Menulis lho, Ra." Seli membereskan
buku.
"Oh ya?" aku berseru senang. Itu kabar yang bagus sekali. Sejak
kami masuk sekolah ini, satu kelas, satu meja sejak perkenalan pertama,
aku sudah membujuk Seli agar ikut ekskul Klub Menulis. Tapi Seli selalu
menolak, bilang klub itu tidak seru, hanya untuk anak-anak suka buku
saja. Dia bakal bosan.
"Sejak kapan kamu berubah pikiran, Sel?" aku menyelidik.
"Barusan." Seli tersipu malu.
"Barusan?" Aku tidak mengerti.
"Kamu tidak memperhatikan pelajaran Mr. Theo tadi ya, Ra?
Kebanyakan ngelamun sih." Seli nyengir lebar. "Tadi Mr. Theo bilang
mulai hari ini dia akan jadi pembina di Klub Menulis. Kalau ada murid
yang tertarik, bisa ikut bergabung di pertemuan siang ini setelah pulang
sekolah."
Aku melongo. Ya ampun!
"Kamu tidak senang mendengarnya, Ra?" Seli protes melihat
ekspresi wajah begoku.
Aku tertawa, buru-buru menggeleng. "Aku senang kok, Sel."
Pertemuan Klub Menulis hari ini agak mendadak, setelah beberapa
hari lalu dibatalkan. Guru pembinanya mutasi ke sekolah lain. Hari ini
120
ditunjuk penggantinya yang baru. Aku juga baru tahu bahwa Mr. Theo
yang jadi penggantinya. Seli benar, aku sejak tadi hanya melamun
memperhatikan penghapusku, bahkan nyaris tergoda menghilangkannya.
Ini kabar baik, karena setidaknya bukan Miss Keriting yang jadi pembina
baru. Mr. Theo guru bahasa, jadi masih berkaitan dengan Klub Menulis.
Seli memasang tasnya di punggung, bertanya riang, "Sambil
menunggu pertemuan Klub Mr. Theo, eh Klub Menulis, kita bagusnya
makan siang di mana ya?"
Aku menggeleng, menunjukkan kotak bekal di dalam tas.
"Aku tidak membawa bekal, Ra." Seli cemberut. "Kamu sih enak
sudah persiapan. Aku kan baru saja memutuskan untuk ikut. Kalau
pulang dulu, nanti terlambat."
Aku tertawa, siapa suruh pula dia mendadak ikut. "Bagaimana
kalau aku bagi bekalku untukmu?"
"Mana cukup." Seli menatap kotak bekalku, menggeleng. "Kita
makan di kantin, yuk! Kamu bawa saja bekalnya, Ra. Temani aku."
Kelas sudah sepi. Lorong depan kelas juga lengang. Murid-murid
sudah bergerak serempak menuju gerbang sekolah.
Demi menatap wajah memelas Seli?yang mulai mengeluh bilang
perutnya lapar?kami akhirnya beranjak menuju kantin di belakang
sekolah. Kami menuruni anak tangga, melewati deretan kelas dua belas,
belok ke belakang, melewati gardu listrik. Aku memperhatikan sekilas,
perbaikan di gardu listrik sepertinya sudah dimulai. Ada beberapa
petugas berseragam oranye yang sibuk bekerja.
Sekolah semakin sepi, tidak terlihat siapa-siapa di belakang
sekolah. Kami terus melangkah ke kantin. Wajah Seli langsung terlipat
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecewa melihat kantin yang kosong. Biasanya meski sudah pulang, tetap
ada pedagang kantin yang buka, karena masih ada guru-guru atau murid
yang pulang sore. Tapi ini kosong melompong. Ada plang besar di
depannya: "Libur Sehari. Perbaikan Gardu Listrik". Aku baru ingat
kalimat mamang bakso beberapa hari lalu, kantin diliburkan saat
perbaikan gardu. Aku menoleh, memperhatikan petugas PLN yang sibuk.
121
Sekolah kami memang dekat dengan gardu listrik. Dulu katanya gardu
listriknya mau dipindahkan karena penduduk sekitar sudah protes. Tapi
hingga sekarang tidak pindah juga.
"Kita makan di resto fast food dekat sekolah saja ya, Ra?" Seli balik
kanan, mengembuskan napas sebal.
"Kamu punya uangnya, Sel?" aku bertanya balik.
Seli menggelang. "Tidak. Tapi kan nggak ada pilihan lain."
"Mau kupinjami uang?"
"Nggak usah, Ra. Mungkin kalau beli yang paket hemat ada
uangnya."
Aku nyengir, ikut melangkah di belakang Seli. Nasib jadi murid
kelas sepuluh seperti kami ini uang saku serba terbatas. Aku bahkan
dibawakan bekal oleh Mama, agar berhemat.
"Tapi nanti pas pulang kamu yang traktir bayar angkot, ya." Seli
menoleh.
Aku tertawa, mengangguk. Siap.
Tapi ternyata urusan makan siang ini jadi panjang sekali, juga
urusan Klub Menulis, apalagi rencana Mama yang mau ada arisan di
rumah dan Papa yang masih sibuk dengan masalah mesin pencacah di
pabriknya.
Siang itu, seluruh cerita berbelok tajam.
Saat kami melewati kembali lorong di belakang sekolah, asyik
mengobrol tentang Klub Menulis, salah satu petugas PLN berteriak panik,
"Awas!"
Aku dan Seli refleks menoleh. Belum genap mengerti apa yang
sedang terjadi, terdengar suara meletup dari gardu listrik. Beberapa
petugas lain berlarian menghindar, berteriak lebih panik. "Awas!
Menghindar!"
122
Sepersekian detik setelah teriakan itu, salah satu trafo menyusul
meledak, kali ini lebih kencang dibandingkan letupan pertama. Suara
dentumannya terdengar memekakkan telinga, kemungkinan hingga duatiga kilometer. Tanah yang kami injak terasa bergetar. Itu ledakan yang
besar sekali hingga merontokkan salah satu tiang listrik di trafo.
Tiang listrik setinggi pohon kelapa itu berderak roboh. Arahnya
justru persis menuju kami berdua yang menatap kejadian dengan wajah
bingung. Delapan kabelnya yang panjang tercerabut putus dari tiang
lain, bergerak liar bagai tentakel gurita. Kabel-kabel dengan muatan listrik
itu lebih dulu menyambar ke arah kami sebelum tiangnya datang.
Percikan api di mana-mana, seperti ada petir kecil merambat di kabelkabel itu. Mengerikan.
Aku berteriak panik, berusaha lari.
Seli mematung mendongak.
"Lari, Seli!" Aku berusaha menarik lengan Seli.
Delapan kabel itu bergerak lebih cepat. Seperti delapan tangan
panjang yang siap menyengat.
"Lari, Seli!" aku menjerit, menarik Seli yang mendongak, mematung.
Terlambat. Kami hanya bisa lari pontang-panting tiga langkah saat
dua kabel pertama siap menghantam, menyengat dengan tegangan tinggi.
Aku bahkan terjatuh, pegangan tanganku di lengan Seli terlepas. Aku
menatap pasrah dua kabel itu datang. Ya Tuhan! Apa yang akan terjadi
saat kabel itu menyentuh kami?
Sepersekian detik sebelum dua kabel itu sampai, Seli justru
mengangkat tangannya. Dia memasang badannya persis di hadapanku,
melindungiku.
Aku menjerit panik. Apa yang dilakukan Seli?
Astaga! Seli justru menangkap dua kabel itu. Bagai halilintar, aliran
listrik merambat di tangan kiri Seli, meletup-letup. Tapi jangankan
menjerit kesakitan, wajah Seli mengernyit pun tidak. Dia melemparkan
dua kabel itu ke samping, menghantam tembok sekolah, membuat
123
percikan api besar. Dinding sekolah hangus terbakar, hitam hingga
radius dua meter. Enam kabel lain segera menyusul. Seli gesit menepis
tiga di antaranya ke samping, sementara tiga yang lain tidak bisa dia
hindari, menghantam telak dada, perut, dan pahanya.
Aku gemetar menyaksikan tubuh Seli dibalut listrik. Percikan api
membungkus badannya. Letupan cahaya merambat hingga leher, kepala,
rambut. Sedetik berlalu, Seli menghantamkan tangannya ke tanah,
seluruh aliran listrik itu mengalir melewati tangannya, masuk ke dalam
tanah, kemudian hilang tak bersisa.
Napasku tersengal. Apa yang sedang kulihat?
Tapi masalahnya jauh dari selesai. Sebuah tiang listrik raksasa
berderak kencang dari atas kami. Tidak ada aliran listriknya, tapi itu lebih
dari cukup untuk menghancurkan atap dan tembok bangunan sekolah
apalagi kami yang ringkih berada di bawahnya.
Demi menatap tiang besar itu, Seli lompat, bergegas, tiga kabel yang
melilit tubuhnya luruh ke bawah. Dia menyambar lenganku. Kali ini dia
yang berseru panik, "Lari, Ra!"
Aku masih terduduk, mendongak.
menyaksikan Seli dibalut aliran listrik.
Kakiku
masih
gemetar
Lagi pula tidak akan cukup waktunya. Tiang listrik yang terbuat
dari beton itu sudah dekat sekali. Ujungnya sudah menghantam atap
bangunan sekolah, bergemuruh. Genteng berjatuhan. Siku-siku kayu
dan plafon patah, menyusul dinding sekolah berguguran, dan tiang besar
itu terus meluncur ke bawah, tidak kuasa ditahan bangunan sekolah
yang robek.
Aku gemetar menatapnya. Apa yang harus kulakukan?
"Lari, Ra!" Seli berusaha menyeretku, yang tetap mematung.
Tiang listrik besar itu semakin dekat, bongkahan dinding
berguguran di sekitar kami. Seli panik mengangkat tangannya,
melindungi kepala. Dia berusaha memelukku. Satu-dua bongkahan
dinding berukuran kecil mengenai tubuhku, terasa sakit.
124
Apa yang harus kulakukan? Napasku semakin tersengal.
Kami tidak akan bisa melarikan diri dari tiang listrik ini. Tinggal
dua meter lagi tiang listrik besar itu menghantam kepala kami, tidak akan
cukup waktunya.
Tanganku gemetar. Aku tidak tahu apa yang menuntunku, lima
jemariku kalap teracung ke atas, dan aku menjerit kencang. "Hilanglah!"
Seluruh tiang itu lenyap seketika.
Aku segera meringkuk di sebelah Seli yang jatuh terduduk. Kami
berpelukan. Meskipun tiangnya sudah hilang, pecahan genteng dan
tembok yang telanjur terhantam tiang berjatuhan di sekitar kami, seperti
hujan batu. Kepulan debu memenuhi belakang sekolah.
Aku dan Seli terbatuk, menutup wajah. Seragam kami kotor. Wajah
kami cemong. Kotak bekalku terbanting. Isinya tumpah berserakan.
Setengah menit berlalu, debu masih berhamburan tinggi menutupi
sekitar, hingga hujan batu dari reruntuhan dinding sekolah reda.
"Astaga! Apa... apa yang telah kamu lakukan,
menatapku, matanya membulat, melepas pelukan.
Ra?"
Seli
Apalagi aku, balik menatapnya dengan tatapan lebih tidak mengerti.
"Apa... apa yang telah kamu lakukan tadi, Seli?"
"Kamu bisa menghilangkan tiang listrik, Ra." Seli memegang
lenganku.
"Kamu juga tadi," aku menelan ludah, "kamu tadi menangkap kabel
listrik, Seli."
Tangan kami masih gemetar. Kaki kami masih susah disuruh
berdiri. Kejadian itu cepat sekali. Di sekitar kami hiruk-pikuk terdengar,
lebih ramai. Petugas berseragam oranye panik berlarian. Beberapa
mengaduh kesakitan, berteriak minta tolong. Kebakaran besar
menyambar sisa gardu. Api menjulang tinggi, asap hitam mengepul.
Aku dan Seli masih saling memegang lengan, mencoba mencerna
kejadian barusan.
125
"Kalau aku jadi kalian, aku akan segera pergi meninggalkan lokasi
ini." Suara khas itu terdengar dari lorong belakang sekolah.
Aku dan Seli menoleh. Sosok itu melangkah mendekat.
Ali muncul dari balik debu beterbangan, berdiri di dekat kami,
menatap serius.
"Segera tinggalkan tempat ini, Ra, Seli." Ali mengulurkan tangan,
menawarkan bantuan. "Hanya butuh dua menit orang-orang akan
bergegas datang, ingin tahu apa yang telah terjadi. Seluruh sekolah ini
akan dipenuhi penduduk hingga radius dua kilometer yang mendengar
ledakan. Juga hanya butuh dua belas menit, puluhan mobil pemadam
kebaratan tiba dari pool terdekat. Kalian tidak ingin ditemukan dalam
situasi seperti ini, bukan? Karena jelas sekali tidak mudah menjelaskan
ke mana tiang listrik besar itu lenyap." Ali menatapku, kemudian pindah
ke Seli. "Juga menjelaskan bagaimana seluruh aliran listrik satu gardu
seperti disedot Bumi."
Aku dan Seli saling tatap. Wajah kami kotor berdebu, menyisakan
mata.
"Ayo, Ra! Seli! Sudah empat puluh detik sia-sia, di ujung sana
sudah terdengar penduduk yang mendekat. Juga dari ruang guru,
setidaknya menurut perhitunganku, ada lima guru yang akan kemari.
Kalian bergegas!" Ali berseru tegas.
Aku menelan ludah. Meski aku masih bingung kenapa Ali ada di
hadapan kami, juga jelas aku tidak mudah percaya dengan si biang kerok
ini, tapi kalimatnya masuk akal. Kami tidak mau ditemukan dalam situasi
seperti ini. Akan ada banyak sekali pertanyaan.
Aku terbatuk, meraih tangan Ali, beranjak berdiri. Seli juga ikut
berdiri, memegang tanganku, sambil menepis ujung pakaian yang kotor.
Nanti-nanti bisa dibicarakan soal kejadian ini. Kami harus segera
menyingkir.
"Kalian bisa jalan sendiri?" Ali memastikan.
Aku dan Seli mengangguk.
126
Ali sudah berjalan gesit di depan. Dia masih sempat
kotak bekal dan tas kami yang terjatuh. "Tidak ada
menemukan barang-barang kalian yang bisa menimbulkan
Ali menjelaskan cepat. "Ikuti aku! Aku tahu tempat
sementara."
menyambar
yang boleh
pertanyaan,"
menghindar
127
LI memimpin kami ke aula sekolah. Dia gesit mendorong pintu
aula, dan segera menutupnya saat kami sudah di dalam. Itu pilihan yang
paling masuk akal. Dalam kondisi masih kaget, kaki gemetar, kami tidak
bisa menghindar jauh. Dari arah depan sudah terdengar derap kaki guru
mendekat, berseru dan bertanya satu sama lain apa yang terjadi.
Bumi Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rombongan itu persis melintas saat pintu aula ditutup rapat.
"Kalian tidak apa-apa?" Ali bertanya.
Aku dan Seli menggeleng. Aku hanya lecet di lengan karena terjatuh
duduk saat hendak menghindari kabel listrik. Seli sama sekali tidak
terluka.
"Ini hal gila yang pernah kusaksikan." Ali membuka tas ransel
miliknya, mengeluarkan botol air minum, menyerahkannya padaku.
"Kamu mau minum, Ra?"
Aku menatap sekilas wajah Ali yang biasanya selama ini terlihat
menyebalkan. Dia tersenyum ramah. Wajahnya antusias. Aku menerima
botol air minum itu, menenggak beberapa teguk. Terasa segar di
kerongkongan. Aku berikan kepada Seli.
"Kalian tahu, ini lebih keren dibanding di film-film." Ali nyengir
lebar, menatap kami bergantian. "Setidaknya aku tidak keliru, ada banyak
sekali hal hebat di dunia ini yang tidak disadari orang banyak. Lihat,
kamu baru saja menghilangkan tiang listrik raksasa yang bahkan
dinaikkan ke mobil kontainer pun tidak muat, Ra."
Aku menggeleng, menepuk-nepuk sisa debu di seragam. Kalau Ali
ingin bilang kejadian barusan itu keren dan hebat, dia keliru. Itu
Pendekar Rajawali Sakti 56 Pembunuh Fear Street Kamar Rahasia Secret Bedroom Patung Pembawa Maut Karya Aryani
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama