Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat Bagian 1
Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor E-BookGUNTUR GENI
&
TJAMBUK KILAT
Karya : WIDI WIDAJAT
Gambar : SRIWIJONO
Penerbit : CV GEMA, Surakarta
Pustaka Koleksi : Aditya Indra Jaya
Image Source : Awie Dermawan
Kontributor : Yons
Juni 2019, Kolektor - EbookSipengung nora nglegewa
Sansajarda denira cacariwis
Ngandar andar angandukur
Kandane nora kaprah
Saya elok alangka longkangipun
Si wasis waskita ngalah
Ngalingi marang si pingging.
( Sekar Pangkur Wedatama).=GUNTUR GENI DAN CAMBUK KILAT=
(oleh : Widi Widajat)
JILID I
?A DUHHHH . . . . lepaskan aku tolooonggg !!!" ?Ha - ha-ha- ha, diamlah
manis.!" Laki2 brewok itu ter-bahak2 senang menyaksikan polah sigadis
yang meronta2 berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Sehingga
kain penutup dada (kemben) terobek dan membayangkan isinya yang padat
montok.
,,..lepaskan aku...,.. jahanam kau...... tolonggg!" pekik gadis kedua
yang juga meronta2 dalam pelukan laki2 lain yang berkumis sekepal
sebelah. Ia berhasil merenggut lepas sebelah tangannya serta merta
ditamparnya muka laki-laki yang mengerikan, kasar dan berpeluh itu: ?Piak!
Plak!"
?.. Heh- heh, hwaduhhh . seperti dipijati rasanya. Nikmat ..... I Lagi
denok, lagi . . . . pijatilah mukaku ini . Heh- heh, makin marah kau makin
cantik dan menggairahkan !" Laki2 ber-kumis tebal itu senang.
Tiga orang laki2 lain yang menyaksikan peristiwa itu ketawa bergelak
amat senang, seakan menyaksikan suatu pertunjukan yang amat menarik.
Namun, didalam hati mereka kemudan timbul rasa iri kepada dua kawannya
yang menyikap garlis jelita itu.
?Ha - ha, kakang Kalintung dan adi Wonojoyo, jangan kalian berdua
enak2an berpesta dengan dua juwita ini. Jangan2 nanti ketahuan kakang
Wirotaksoko, kalian bisa celaka. Aku khawatir kau disangka mendahuluinya
ha- ha- ha l" tegur salah seorang diantara mereka, ketika menyaksikan
betapa sibrewok dan sikumis-tebal itu bergumul dengan dua orang gadis itu.
?Huhl Kau kira aku sengaja memeluk dan mencumbunya? Heh. dia ini
liar sekali. Tahukah kau bahwa bunga camik ini liar dan banyak durinya?
Nih, lihat, lenganku berdarah oleh gigitannya!" jawab sibrewok sambil
menyikap gadis jelita yang bertubuh lencir ramping dan berkulit kuning
keputih-putihan itu.
?Siapa yang mendahului kakang Wirotaksoko? Kau jangan ngaco!"
damprat sikumis tebal. ?Dara inl seperti kuda betina yang liar, sulit disuruh
berdiam diri".?Ha-ha! Heh-heh! Bunga liar biarpun berduri lebih segar mengharum!
Dan kuda betina liar biarpun buas malah lebih ?
?Diam! Jangan kau banyak bicara! Ayoh, bantulah aku memegang
gadis ini!"
?Sumbat saja mulut mereka dengan saputangan. Dengan begitu ia
tidak lagi dapat melolong2!"
?Hati2 kawan, mulut2 mungil itu jangan kalian sumbat dengan
saputangan kotor!"
?Awas! Jangan kasar2, sayang sih bibir merah delima itu terluka dan
pecah".
?Hwaduhhb, giginya putih rapi...... bagai biji timun".
?Hush! Seperti mutiara .."
Dengan tertawa2 lima orang laki2 kasar itu mengucapkan kata2 kotor.
Dan akhirnya mereka berhasil mengikat tangan dua oang gadis itu, dan
menyumbat mulut mereka. Kasihan sekali dua orang gadis ini. Mereka
merupakan gadis2 jelita yang sulit dicari. Yang seorang bertubuh ramping
tinggi, sedang yang seorang montok padat. Melihat kulit tubuh mereka yang
halus dan putih kuning itu, rambut yang hitam dan ikal teratur rapi dangan
hiasan emas berbentuk sisir bulan separo, telapak tangan dan kaki yang
halus tak membekas pekerjaan kasar, dengan pakaian merelea yang terdiri
dari kain halus dan hiasan2 emas permata, membuktikan bahwa dua orang
dara jelita ini tentulah puteri2 bangsawan.
Tetapi keberanian mereka pantas dipuji. Sekalipun sekarang sudah
diikat tangannya dan disumbat mulut mereka namun karena kaki masih
bebas, mereka masih juga berusaha melepaskan diri. Meronta2 dan malah
menendang sedapat mungkin dengan kaki2 mereka yang kecil. Kain yang
tersingkap oleh perbuatannya meng-akibatkan betis2 yang memadi bunting
dan putih kuning itu tampak nyata.
Oleh polah mereka yang menggeliat, menyepak dan menendang itu,
maka lima orang laki2 kasar ini makin senang sambil tertawa2. Karena
mereka amat tertarik dapat menikmati tubuh2 yang indah bergerak-gerak.
Namun demikian lima orang laki2 itu tidak berani berlama2 bersuka
ria. Dua orang gadis itu segera diseret agar cepat dapat masuk hutan yang
sudah tidak jauh lagi dimukanya. Mereka akan merasa aman sesudah jauh
dengan ibukota Pajang dan masuk hutan ini.
Tiba2 berkelebatlah sesosok bayangan putih yang amat cepat
gerakannya. Dan tampaklah kemudian seorang pemuda yang dengan
gerakan kilat dan mendadak, sudah menyerang salah seorang penjahat itu.
Terdengar pekik ngeri dan robohlah ia dengan muntah darah segar.
Kawan2nya amat terkejut dan dengan cepatnya sudah mencabut
senjata masing2. Lalu bersama menyerang dan mengeroyok pemudaberbaju putih itu. Untung bahwa pemuda ini dapat bertindak cepat dan
tangkas. Kalau tidak, tentu sudah terobek kulitnya oleh senjata2 penjahat
yang ganas itu.
Empat orang penjahat yang masih hidup itu menyerang dengan amat
ganas dan dapat bekerja sama begitu rapi. Mereka bukannya menyerang
bersama2 melainkan bergantian. Apabila dua orang kawannya menyerang,
maka yang dua orang siap siaga membantu. Dan dengan gerak yang cepat,
menolong kawannya terancam bahaya.
Dalam hati pemuda ini mengeluh juga dikeroyok oleh empat penjahat
yang terlatih dan berilmu lumayan. Apabila dibandingkan dengan
pengalamannya ketika ia melawan para prajurit Tamtama Pangeran Pangiri
sekarang lebih berat. Untung juga bahwa pemuda ini bukan pemuda lemah.
Ia sudah mendapat bekal ilmu dari orang tuanya yang sakti, warisan dari
seorang pertapa bernama Kiageng Mahesotopo Maka gerakannya amat
lincah dan ringan, dan meskipun hanya bertangan kosong namun dapat
mengimbangi. Melihat itu para penjahat juga tidak berani serampangan
menyerang.
Penjahat- penjahat yang dihadapi inipun bukan penjahat sembarangan
Mereka merupakan penjahat2 terpilih dalam gerombolannya. Itulah
sebabnya mereka berani masuk ibukota Pajang dan berbuat kejahatan.
Makin lama pertempuran itu makin seru. Dan tiba2 gerak pemuda
berbaju puuh ini berobah menjadi amat cepat dan sulit diduga. Tubuhnya
seakan lenyap dan yang nampak hanyalah bayangan putih dari pakaiannya.
Tidak terduga salah seorang penjahat itu mengeluh perlahan: ?Celaka!
Raden Mayangseto......"
Meskipun keluhan itu perlahan, namun kawan2nyapun dapat
mendengar. Akibatnya timbullah rasa gentar dalam hati, dan perlawanannya
makin kacau.
Terdengar kemudian jerit kesakitan diantara mereka. Dua orang sudah
roboh, seorang kepalanya pecah dan seorang yang lain tulang dadanya
remuk.
Dua orang penjahat yang lain menjadi gentar menyaksikan nasib
kawannya. Mereka cepat membuang senjatanya lalu duduk bersimpuh dan
meratap: ?Ampun . ampun raden Mayangseto. Hamba menyerah dan
mohon hidup".
Pemuda itu, yang bernama Mayangseto terkejut. la mengenal suara
orang ini. Ia menghentikan serangannya dan berdiri tegak seraya
menyelidik. Akan tetapi karena keadaan masih gelap maka belum juga
berhasil mengenal siapa penjahat yang dihadapi.
?Siapa kamu?" Mayangseto menyelidik.
?Raden tentu sudah mengenal hamba berdua".Sekali lagi Mayangseto mengamati penjahat tersebut. Akan tetapi
hasilnya sami mawon, tidak berhasil mengenal penjahat itu.
?Katakan namamu!" hardik Mayangseto.
Terdengar jawaban yang tidak lancar. ?Hamba..... hamba Kalintung".
?Kau . Kalintung?" Mayangseto terkejut.
Tiba2 penjahat yang lain meratap ders mengakui namanya: ?Ampun
raden . hamba Wonojoyo".
?Apa? Kau Wonajoyo?" Mayangseto makin terkejut.
?benar raden".
Mayangseto berdiri tertegun setelah mengenal dua penjahat yang
bersimpuh dimukanya. Dalam hati mengakui bahwa Kalintung dan Wonojoyo
ini bekas kawan sepermainan waktu kecil. Mereka adalah pemuda2 dalam
wilayah desa Mayang ( sekarang letaknya sebelah selatan Kartosuro).
Mereka meninggalkan desa Mayang dengan seijin ayahnya, Tumenggung
Mayang, untuk membantu gerakan rahasia untuk Mataram, dibawah
pimpinan Wirotaksoko.
?Tetapi mengapa kalian berbuat sejahat ini?" tanya Mayangseto tiba
tiba.
?Hamba berharap agar raden tidak menuduh dan menyalahkan kami
berbuat kejahatan". Jawab Kalintung hati2. ?Kami bukannya berbuat
kejahatan, dan apa yang kami lakukan adalah sejalan dengan perjoangan
untuk kejayaan Pajang yang dipelopori oleh Mataram".
?Apa ? Dengan menculik gadis2 ini untuk kejayaan Pajang?"
?Benar raden, justru dengan jalan ini berarti kami mengadakan
kekacauan".
?Apakah keuntungan yang diperoleh?" Mayangseto menyelidik.
?Dengan kekacauan itu berarti rakyat dalam ketakutan. Lalu merasa
tidak terjamin keamanannya oleh penguasa. Dan kemudian mendorong
kepada rakyat untuk tidak puas, dau selanjutnya ber-fihak kepada kita".
?Apakah dengan perbuatan itu tidak berakibat sebaliknya? Rakyat
membenci perjoangan kita karena merasa dirugikan?"
?Tidak mungkin! Karena mereka tidak tahu bahwa yang melakukan
perbuatan itu kami. Rakyat tentu beranggapan bahwa perbuatan itu datang
dari para penjahat dan pemerintah Pajang di anggap tidak mempunyai
kemampuan menyelenggarakan keamanan".
?Apakah Wirotaksoko sendiri yang merencanakan semua ini?"
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mayangseto tak percaya.
?Begitulah raden. Dan kami percaya bahwa apa yang kami lakukan
dapat memberi pukulan secara tidak langsung kepada Pangeran Pangiri".
Mayangseto menganggukkan kepala seakan setuju.
Baik Kalintung maupun Wonojoyo amat gembira dalam hatimenyaksikan Mayangseto menganggukkan kepala. Maka sambung
Kalintung: ?Dan gadis2 yang kami ambil bukanlah kami sia siakan. Lagi pula
bukan untuk barang permainan. Karena mereka kami ambil untuk
menambah kekuatan. Mereka kami didik untuk me-ngerti siasat perang dan
dididik pula dalam hal menolong kecelakaan. Agar diantara kami yang
menderita luka dalam peperangan kemudian hari mendapatkan perawatan.
Didalam pertempuran haruslah terdapat tenaga2 ini, dan usaha kami amat
berguna kelak tiba masanya".
?Bagus I" Puji Mayangseto. ?Lalu bagaimana jalan dan usahamu
mendapatkan beaya ?"
?Kami berusaha dengan jalan merampok. Merampok tiap orang yang
menentang Mataram dan memihak Demak". Jawab Kalintung bersungguh.
?Hasil itu kami kumpulkan dan pada saatnya nanti akan berguna bagi
Mataram".
?Bagus! Bagus sekali usahamu! Teruskan Kalintung".
Tiba tiba dengan gerakan yang sangat cepat dan hampir tak terlihat
oleh pandangan mata, ujung pedang telah menempel depan dada mereka.
Kalintung dan Wonojoyo kaget dan menjadi ketakutan.
Ujung pedang yang sekarang mengancam jiwa mereka ini adakah
senjata Kalintung dan Wonojoyo sendiri yang tadi dibuangnya. Pedang itu
diambil Mayangseto dan dipergunakan untuk mengancam.
Kemarahan Mayangseto menggelegak dalam dada, sesudah
mendengar apa yang diperbuat Wirotaksoko dan anak buabnya. Ter
dengarlah kemudian bentak Mayangseto: ?Bicaralah yang benar Kalintung,
dan jangan berusaha menutupi perbuatanmu yang jahat".
Dengan tubuh yang gemetar karena takut, Kalintung menjawab:
?Hamba sudah berkata sebenarnya raden, bahwa apa yang kami perbuat
adalah seirama dengan gerakan rahasia Mataram. Kami tidak merasa
berbuat jahat, justru perampokan dan penculikan itu merupakan siasat
untuk menghancurkan musuh dengan jalan damai".
?Omong kosongl" bentak Mayangseto seraya menghentakkan kakinya
?Untuk menarik simpati ralijat bukanlah cara itu yang harus ditempuhnya.
Bukan merusak ketenteraman rakyat dan merugikan barang miliknya.
Tahukah kau bahwa betapa sedih orang-orang tua yang kehilangan
anaknya? Tahukah kamu betapa sedih mereka yang kau rampas harta
bendanya? Dan ingatkah kamu akan pesan rama dan kangmas Pabelan?"
Kalintung dan Wotojoyo tidak segera menjawab.
?Ayo jawab!" Bentak Mayangseto seraya menekankan ujung
pedangnya.
Kalintung dan Wimojoyo merintih dan kemudian jawab Kalintung :
?Ampun raden, hamba hanyalah pelaksana belaka. Hamba berbuat adalahatas perintah Wirotaksoko. Lain tidak".
?Aku tidak menanyakan soal itu. Yang aku tanyakan ingatkah kau
akan pesan rama dan kangmas Pabelan?"
? Ya hamba ingat".
?Coba tirukan".
?Ketika itu, raden Pabelan menyatakan bahwa kami harus berusaha
dan berbuat yang dapat menarik simpati rakyat didesa2 dan agar memihak
kepada perjoangan Mataram.
?Dengan jalan apa?"
?Dengan memberikan penerangan kepadanya, bahwa keturunan
Pajanglah yang harus menjabat sebagai raja sesudah Sultan Hadiwijoyo
nanti wafat. Karena dibawah pimpinan Pajang, ternyata rakyat hidup aman
dan sentausa".
?Lalu bagaimana terusnya?"
?Kami harus menunjukkan kasih sayang kepada mereka. Membantu
kebutuhan mereka dengan jalan menyumbangkan tenaga dan pikiran"
?Ya betul", kata Mayangseto. ?Lalu bagaimana disamping semua itu?"
?Juga harus menghimpun para pemuda dan para laki -laki yang masih
kuat tubuhnya, sebagai tenaga cadangan apabila kelak terjadi pertempuran
antara kita dengan Demak. Mereka harus kita latih dan kita pimpin agar
mereka menjadi tenaga2 perwira dalam medan laga. Mereka harus kita latih
membela diri dan menggunakan bermacam senjata. Mereka harus kita
gembleng semangat dan jiwanya, agar setia kepada Pajang".
?Dan sudahkah hal itu dilakukan ?"
?Sudah raden. Hamba, Wonojoyo dan beberapa orang yang lain
berkewajiban melatih mereka. Jumlah ribuan yang berhasil kami tempa.
Mereka kini merupakan tenaga perkasa dan berani".
?Hem", dengus Mayangseto. Kemudian katanya: ?Dan sesudah kamu
berhasil menghimpun kekuatan, maka kamu beranggapan sudah kuat. Lupa
akan perjouaganmu dan bermaksud memisahkan diri baik kepada Mataram
maupun kepada Pajang".
?Kau jangan berusaha berdusta, Kalintung!" sambung Mayangseto.
?Jangan berusaha menutupi kesalahanmu dengan dalih demi perjoangan.
Karena apa yang kamu lakukan, dengan merampok rakyat dan mengambil
gadis orang bukanlah perbuatan baik. Dan sekaligus bertentangan dengan
pedoman2 yang harus kamu lakukan, yaitu menunjukkan kasih sayang
kepada mereka. Perbuatanmu, merampok dan menculik gadis, bukanlah
perbuatan yang memberi kasih sayang. Tetapi langsung kamu melukai hati
mereka. Katakan lekas Kalintung, untuk apa gadis2 itu kamu ambil?"
?Untuk dilatih tentang ilmu membela diri dan dalam hal memberipertolongan".
?Bohong!"
?Benar raden".
?Bohong ! Ayo katakan terus terang. Atau kamu menginginkan mati
tertembus oleh pedangmu sendiri ?"
?Ampun raden, hamba mohon hidup".
?Karena itu katakanlah yang benar".
?Hamba takut melanggar sumpah".
?Sumpah yang mana ?"
?Dari pemimpin kami Wirotaksoko".
?Mengapa kau takut?"
?Hamba bisa dibunuh mati".
?Aku akan melindungimu. Katakan lekas !"
Tetapi Kalintung tidak segera menjawab.
?Ayo, katakan lekas!" Bentak Mayangseto.
?Kami merampok harta dan benda orang agar kami bisa
mengumpulkan kekayaan tersebut "
?Aku tak membutuhkan keterangan tentang itu". Putus Mayangseto.
?Yang aku butuhkan adalah keteranganmu untuk apa kamu menculik gadis2
itu".
?Ampun raden, hamba tidak ikut serta berbuat. Dan hamba hanyalah
melakukan perintah".
?Aku tidak bertanya soal itu. Jangan kau berbelit- belit. Katakan yang
jelas".
?Gadis2 itu .. adalah dikumpulkan oleh pemimpin kami pada , sebuah
rumah khusus. Mereka untuk persediaan sebagai isteri pemimpin
Wirotaksoko dan.. "
?Slapa? Ayo katakan lekas". Bentak Mayangseto.
Kalintung tidak segera menjelaskan. Ia menebarkan pandangannya
kesekeliling. Agaknya ia merasa takut untuk mengucapkan.
?Mengapa diam? Katakan lekas. Atau kau mati !"
?Hamba takut"
?Kepada siapa ?"
?Kepadanya".
?Siapa?"
?Orang itu".
?Orang itu siapa?"
?Orang yang selalu mengenakan topeng untuk penutup muka".
?Orang bertopeng? Siapa dia?"
?Hamba takut".
Kemarahan Mayangseto sudah amat memuncak menghadapi seorangyang berbelit-belit ini. Namun masih berusaha untuk sabar, agar dapat
mengorek keterangan lebih lanjut. Dan keterangan tersebut amat
dibutuhkan demi untuk perjoangan Mataram.
Tidak lama kemudian Kalintungpun segera bercerita, dengan nada
suara menggeletar: ?Mereka itu mengalami nasib sengara. Mereka yang
menolak disiksa dan dibunuh mati. Tetapi gadis yang menyerah dan sudah
tak dibutuhkan lagi, kemudian diberikan kepada anak buah dengan cara
undian".
?Dan kau sudah mendapatkan juga ?"
?Sudah, lima orang".
?Kau apakan mereka kemudian? Apakah kau dapat memberi hidup
kepada isteri senyumlah itu?"
Kalintung tidak segera menjawab. Entah apa yang sedang di
pikirkannya. Mungkin sekali ia teringat kepada wanita2 yang hidup sengsara
dirumahnya, karena wanita2 tersebut hanya merupakan barang permainan
dan sebagai pemuas nafsu belaka. Benar gadis2 itu diperisterikannya. Tetapi
bukan sebagai isteri yang benar, karena tidak mempunyai hak seperti
seorang isteri.
?Hai! Tulikah kau!" Bentak Mayangseto.
Kalintung terkejut, lalu jawabnya tergagap: ? Ya raden, hamba
peristerikan. "
?Berapa sudah gadis yang dikumpulkan pemimpinmu?"
?Banyak. Dan hamba tidak tahu jumlahnya."
?Dari manakah mereka dikumpulkan?"
?Dari beberapa daerah, terdapat pula antaranya berasal dari
Mataram".
?Dan bagaimana dengan orang bertopeng itu?"
?Ampun, hamba tak berani menyebutkan".
?Kapan kau mengenal orang itu?"
Kalintung diam berusaha mengingat-ingat.
Kemudian terlintaslah gambaran peristiwa kala itu. Orang bertopeng
icu, sekalipun berjalan terpincang-pincang, namun tidak gentar dikeroyok
oleh beberapa orang. Malah berakibat beberapa orang diantaranya luka dan
mati. Ketika Wirotaksoko melawannya, ternyata hanya tak berarti.
Wirotaksoko terpaksa menyerah dalam tiga gebrakan.
Orang bertopeng itu, seakan bertubuh baja. Seluroh senjata tiada
sebuahpun yang berhasil melukainya. la malah ketawa. dan tahu2 senjata
yang menyerangnya direbut dan dipatahkan. Hingga kemudian seluruh
penghuni Krendawahana takluk dan menyerah.
Dan sesudah peristiwa itu orang bertopeng menghuni Krenda wahana.
Maka keadaan lalu berobah Wirotaksoko yang semula selalu kasih dansayang terhadap rakyat, berobah amat kejam dan ganas.
Kemudian anak buah mendapalkan tugas untuk merampok harta
benda dan gadis orang. Gadis2 yang dirampainya, dirusakkan dan dibuat
permainan. Mereka banyak yang membunuh diri atau mati karena siksaan.
Dan bagi gadis2 yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh Wirotaksoko
diberikan kepada anak buah sebagai hadiah dengan undian. Namun seluruh
anak buah tentu mendapat, karena undian itu hanyalah untuk menentukan
siapa yang lebih dahulu mendapatkan. Mereka yang sudah mendapatkan,
untuk undian selanjutnya tidak ikut, hingga seluruhnya kebagian.
Tetapi disamping itu, Wirotaksoko juga memberi hadiah secara lain.
Dengan mangingat jasa yang didapat dalam tugasnya. Sedang Kalintung
mendapatkan lima gadis, tiga orang diantaranya adalah hadiah atas jasanya.
Sedang dua orang yang lain, hasil undian.
?Hai! Mengapa kau tak menjawab?" bentak Mayangseto marah,
?Katakan cepat, kapan kau mengenal orang bertopeng tersebut ?"
?Kira2 enam bulan yang lalu raden, sesudah kami seluruhnya
dikalahkan".
?Juga Wirotaksoko?"
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?Tiada terkecuali. Dan sekarang Krendawahana dalam kekuasaan
orang bertopeng tersebur. Wirotaksoko hanyalah merupakan orang kedua".
?Jadi kerjamu sekarang melulu bersenang-senang dan merampok ?"
Kalintung dan Wonojoyo tidak menjawab. Mereka terdiam justru
tuduban itu benar segalanya. Memang seluruh perhatian sekarang hanyalah
merampok dan menculik.
Karena Kalintung dan Wonojoyo tak memberi jawaban, kemarahan
Mayanseto makin menggelora. Darahnya menggelagak, dan tidak lagi dapat
menahannya. Tanpa mengeluarkan kata sepatahpun, tiba2 kedua tangan
Mayangaeto bergerak. Menjeritlah Kalintung dan Wonojoyo, lalu terkapar
diatas tanah mandi darah. Mereka tewas.
Ia tidak dapat mengampuni dua orang ini. Ucapannya sudah
membuktikan bahwa mereka sudah tidak lagi dapat diperbaiki. Sesudah
Kalintung dan Wonojoyo tewas, maka Mayangseto menebarkan
pandangannya, mengawasi tubuh2 tergolek tak bernyawa.
la tak sampai hati membiarkan jenazah2 itu tergeletak tak terawat.
Maka ia cepat membuat lobang mencari tanah yang lunak, dan sesudah
dianggap cukup jenazah itu dikubur.
Ketika Mayangseto selesai mengubur jenazah2 itu ufuk timur sudah
merah membara. Merupakan pertanda bahwa pagi hampir tiba. Jagad ini
segera akan diterangi oleh sinar matahari.
Kemudian ia teringat akan peristiwa yang terjadi semalam. Rumahnya
secara tiba2 sudah terkepung oleh prajurit2 Demak. Ia akan memberikanperlawanan, akan tetapi ayahnya Tumenggung Mayang tidak mengijinkan.
Malah kemudian disuruh pergi secara diam2 lewat belakang Karena
Tumenggung Mayang tidak hendak melawan, untuk menghindari tuduhan
sudah memberontak.
Kemudian ia melarikan diri lewat tembok belakang. Sesudah ia
berhasil menerobos kepungan prajurit Demak yang ketat, kemudian ia
mendengar bahwa Ayah bunda dan keluarga sudah ditawan oleh prajurit
Demak itu dibawa menuju Pajang. Kalau saja ia tidak mengingat akan pesan
ayahnya, sudah tentu Mayangseto mengamuk dan berusaha merebut orang
tuanya. la bersedia mati untuk membela orang tuanya. Akan tetapi karena
ingat akan pesan ayah itu, Mayangseto tidak berani bertindak. la cepat
menuju Pajang untuk memberitahu persoalan itu kepada saudara tuanya
raden Pabelan, yang saat itu sedang disana.
Mayangseto menemui Kebobangah dirumah. Tetapi apa kabar yang
diterima ? Kabar itu amat mengejutkan dan membuat darahnya mendidih
karena marah. Ternyata saudara tuanya itu, sudah dibunuh mati oleh para
Tamtama atas perintah Pangeran Pangiri, dengan tuduhan bahwa Pabelan
sudah menghina keraton. Ia sudah melakukan hubungan cinta gelap dengan
Puteri Sekar Kedaton. Sesudah Pabelan dibunuh, tubuh yang remuk itu
dibuang kesungai Sala (bukan Bengawan Sala. Kali Sala ini dahulu mengalir
dari Pajang ketimur. Melewati beberapa tempat yang sekarang sudah
menjadi perkampungan, Alun2 Utara kampung Kedunglumbu dan sampai
Bangawan Sala - Pen).
Akibat berita yang menyedihkan itu kemudian, Mayangseto
mengamuk. Delapan belas prajurit Tamtama yang sedang bermabuk
mabukan dibunuh mati, dan selanjutnya berusaha mencari jenazah Pabelan
kekali Sala. Akan tetapi karena keadaan gelap, maka usahanya mendapat
kesulitan. Pada saat ia sedang menyusuri kali Sala, terdengarlah jeritan
wanita. Ketika ia tahu lima orang penjahat menyeret dua orang gadis, maka
ia segera menerjang. Itulah sebabnya Mayangseto bertempur tadi.
Tiba tiba ia teringat akan dua orang gadis yang tadi ditolong nya.
Ternyata dua orang gadis itu sekarang duduk diatas rumput. Mereka sudah
berhasil mengambil saputangan yang menyumbat mulut dan melepaskan
ikatan tangannya, sambil menangis terisak-isak.
Tersirap darah Mayangseto yang muda, tatkala menyaksikan wajah
gadis2 itu yang cantik. Tetapi juga agak terkejut karena ia merasa sudah
pernah mengenal wajah mereka itu. la berusaha mengingat2 siapa mereka,
namun ia masih juga belum ingat.
Namun kaki Mayangseto sudah bergerak perlahan mendekati, dan
ketika pandangan matanya tertumbuk oleh kilatan mata gadis yang
ramping, gadis itu menunduk. Agaknya ia merasa malu oleh pertemuanpandang itu.
?Mari kuantar pulang, nona", ajak Mayangseto halus.
?Dimana aku sekarang?" tanya gadis yang bertubuh montok dengan
suara agak gemetar.
?Nona diluar kota, dan hutan disebelah utara ini sudah termasuk hutan
Krendawahana". Mayangseto menjelaskan.
Dua gadis itu tampak terkejut. Matanya memandang hutan yang
terbentang luas disebelah utara. Diam2 mereka bergidik. Kalau saja tiada
pertolongan pemuda im, tentu sudah dibawa masuk kehutan itu. Mereka menggigil, tidak dapat membayangkan apa yang akan
dialami dibawah cengkeraman laki- laki kasar dan bermulut kotor itu
?Mari kuantar," ajak Mayangseto lagi.
?Saudara siapa ?" tanya gadis yang ramping.
?Saya, Mayangseto nona." Mayangseto agak tergetar.?Oh.. putera Tumenggung Mayang?" seru dara yang montok seraya
memandang.
?Benar nona, mengapa?" Mayangseto agak heran.
?Tentang Tumenggung Mayang dan raden, saya sudah banyak
mendengar dari rama". Jawab gadis yang montok itu, agaknya ia bukan
pemalu seperti gadis yang ramping.
?Siapa ayah nona?" Mayangseto mendesak.
?Wirengpati".
?Paman Wirengpati? Oh jadi kalian puteri paman Wirengpati yang
bernama Widowati dan Widorini?"
Dua gadis itu sekarang menyungging senyum, tetapi segera
menundukkan kepala. Hati Mayangseto menjadi tergetar. Gadis yang sudah
dikenalnya itu ternyata sekarang sudah menjadi dara remaja jelita. Terlebih
pula Widowati, merupakan dara yang amat menarik hati.
Akan tetapi untung Mayangseto segera berhasil menekan perasaan.
Maka bertanyalah Mayangseto kemudian : ?Tetapi mengapa diajeng
(adik) jatuh ketangan penjahat2 ini?"
?Semalam rama tidak dirumah". Widowati menjawab, dan tiba2
tubuhnya kembali menggigil karena teringat akan peristiwa yang baru saja
dialami.
?Oh!" Mayangseto terkejut. .Pantas mereka berhasil. Apabila paman
Wirengpati dirumah, tentu mereka akan disikat habis. Hem, marilah kita
segera pulang. Aku khawatir apabila paman dan bibi ribut mencarimu".
Widowati dan Widorini tidak menjawab. Hanya kemudian mereka
bangkit dan berjalan perlahan diiringi oleh Mayangseto. Didalam berjalan ini,
Mayangseto selalu memperhatikan Widowati. Ia amat tertarik kepada gadis
ini, yang sekarang begitu jelita.
Didalam hati Mayangatto merasa, seakan seperti sang Harjuno yang
sedang mengiringkan Dewi Suprobo dalam perjalanan menuju negeri
Imantoko. Bedanya kalau Harjuno hanya berduaan dengan Suprobo, sedang
mereka sekarang bertiga.
? O ?
Kemudian Mayangseto kembali dan menuju hutan. Ia dengan cepat
sudah menerobos belantara Krendawahana, dengan maksud untuk dapat
cepat bertindak kepada Wirotaksoko yang murtad dan merugikan
perjoangan. Maksud semula untuk mencari jenazah saudara tuanya yang
dibuang kekali Sala sudah tidak teringat lagi dalam benaknya.
Akan tetapi kemudian ia merasa amat letih. Maka ia segera
beristirahat dengan duduk bersandar pada sebatang pohon besar. Dalam
duduk bersandar ini, serangan kantuk amat terasa. Maka ia segera mencaripohon yang rindang untuk kemudian memanjat keatas. Akan tetapi belum
lagi mulai tidur, telinganya menangkap suara langkah kaki orang, dan
disamping itu terdengar pula mereka bicara. Dengan hati2 ia menyibakkan
daun2 didepan mukanya, dan terkejutlah Mayangseto ketika ia mengenal
dua ang diantara mereka.
Mereka berjumlah empat orang, dua orang diantaranya adalah
Gotrang dan Panolih. Mereka termasuk orang2 kepercayaan ayahnya yang
bertugas menyusun kekuatan didesa.
Terdengar kemudian Panolih berkata ?Hampir habis hutan ini kita
jeladjah, namun belum bertemu juga dengan mereka,"
?Ya, amat mengherankan," saut Gotrang, ?Tentu telah terjadi sesuatu
atas diri mereka. Mungkin mereka tertangkap."
?Lebih baik kita kembali pulang," ajak kawannya.
?Lalu ?" tanya Gotrang
?Melaporkan bahwa tidak dapat ditemukan."
?Benar !" saut yang lain, ?Sia2 kita mencari."
?Bagaimana caranya melapor?" tanya Gotrang.
?Gampang saja. Laporkan mereka sudah tertangkap oleh prajurit
Pajang".
?Apakah kakang Wirotaktoko percaya begitu saja atas laporanmu itu?"
tanya Panolih.
Atas pertanyaan itu, tak seorangpun menjawab. Mereka kemudian
meneruskan perjalanan dengan wajah tegang.
?Mengapa semua orang sudah berobah tabiat?" Mengeluh Mayangseto
dalam hati. ?Hem . sayang sekali, mereka telah berobah pendirian."
Tiba2 saja darah Mayangseto bergolak. Rasa marah timbul kambali,
setelah teringat akan nasib wanita2 yang jatuh ketangan Wirotaksoko.
Dalam pada itu timbul maksudnya pula untuk bisa mendapatkan keterangan
langsung tentang Krendawahana dari orang2 ini. Keterangan itu amat
diperlukan, justru ia akan menuju kesana.
Dengan gerakan yang amat indah Mayangseto sudah meloncat turun
dari pohon. Kemudian berdiri tegak menghalang perjalanan mereka.
Gotrang dan Panolih yang sudah mengenalnya amat terkejut, Akan tetapi
hanya sekejap dan tiba2 wajah mereka menjadi cerah. Seperti mendapatkan
aba-aba Gotrang dan Panolih mencabut pedang. Lalu bergerak amat cepat
dan .. sekali tusuk mereka merobohkan dua orang kawan seperjalanan
mereka tadi!
Dan sesudah membunuh kawan sendiri itu, kemudian Gontrang dan
Panolih lalu membuang pedangnya, dan duduk bersimpuh dimuka
Mayangseto.
Mayangseto tertegun menyaksikan peristiwa yang tak terduga itu.Lama ia berdiri terpaku, mengamati Gotrang dan Panolih. Agak lama
kemudian, barulah terdengar Mayangseto membuka mulut : ..Hai Gotrang
dan Panolih! Apa maksudmu dengan semunya ini?"
Gotrang mengangkat kepala, menatap Mayangseto dan kemudian
jawabnya dengan suara gementar: ?Raden, hamba orang2 bersalah. Oleh
sebab itu, hamba menantikan hukuman raden. Kesalahan hamba amat berat
karena itu hanyalah hukuman mati sajalah yang layak sebagai penebus
dosa."
Terkejut dan terharu Mayangseto mendengar jawaban Gotrang.
Membuktikan bahwa orang2 ini masih tetap dapat memegang kejujuran dan
tanpa malu2 bersedia mengakui kesalahan mereka. Namun demikian
Mayangseto matih pura2 tidak tahu persoalannya, dan bertanya: ?Hai
Gotrang, mengapa kau mengatakan bersalah? Apa salahmu?"
?Hamba sudah maklum bahwa raden mengetahui keadaan kami".
Jawab Gotrang.
?Keadaanmu yang mana?"
?Hamba sudah dapat membaca dari wajah raden dan sinar mata
raden, bahwa raden mudah mengetahui sepak terjang kami yang merugikan
perjuangan."
Mayangseto tersenyum mendengar jawaban Gotrang yang ber-terus
terang dan secara jantan mengakui segala kesalahannya. Namun ia masih
ingin memancing isi hati mereka, apakah orang ini benar2 masih
mempunyai kesadaran ataukah hanya berpura pura ?
?Merugikan perjuangan? Hem mustahil! Aku tidak percaya bahwa kau,
Panolih, Wirotaksoko dan kawanmu yang lain sudah merugikan perjuangan,
Bukankah kamu selalu tegak berdiri pada landasan? Berusaha menghimpun
kekuatan dan membela Pajang?"
?Hamba percaya bahwa raden sudah mengetahui keseluruhannya.
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tahu pula bahwa kami sudah menyeleweng."
?Gotrang! Aneh benar kau ini. Aku manusia biasa dan bukan orang
waskita. Mengapa kau katakan bahwa aku mengerti keadaanmu ?"
?Keadaan raden yang memberitahukan hamba."
?Mengapa ?"
?Raden berada dalam hutan ini dan tiba2 menghalangi perjalanan.
Hamba yakin bahwa raden sudah mengetahui keadaan kami yang
sebenarnya. Dan sebabnya raden dalam hutan ini tentu bermaksud
mengadakan penyelidikan. Mustahil raden masuk hutan ini tanpa sesuatu
maksud." Gotrang menyapu bibirnya dengan lidah, kemudian melanjutkan :
?Raden, hamba sudah bersalah. Dan hukuman apapun yang raden jatuhkan,
akan kami terima dengan Senang hati. Tetapi tanpa maksud untuk menutupikesalahan hamba itu, perkenankanlah hamba mengutarakan sesuatu yang
penting."
?Tentang apa ?"
?Hamba dan adi Partolih sebenarnya sudah amat lama akan melarikan
diri dari tangan kakang Wirotaksoko. Tetapi selalu dicurigai dan tidak
mendapatkan kepercayaan. Hamba dan adi Panolih dikhawatirkan akan
membocorkan segala rahasia yang terjadi di Krendawahana. Dan dua orang
ini, yang telah hamba bunuh adalah merupakan pengawal yang selalu
membayangi hamba. Dan sekarang hamba sudah bebas, menyerah kepada
raden."
Panolih yang sejak tadi berdiam diri memandang kepada Mayangseto
kemudian berkata: ?Raden, hamba dan kakang Panolih berusaha melarikan
diri karena tahu bahwa kakang Wirotaksoko sudah berkhianat."
Lalu dengan panjang lebar oleh Panolih diceritakan tentang
perampokan dan penculikan gadis orang.
?Dan bagaimana dengan orang yang selalu mengenakan topeng itu?"
tanya Mayangseto.
Gotrang dan Panolih terkejut, kemudian Gotrang bertanya cepat :
?Jadi raden sudah tahu?"
Mayangsato hanya tersenyum dan tidak menjawab.
?Hamba makin jelas sekarang bahwa raden telah berhasil menangkap
Kalintung dan kawannya." Kata Panolih kemudian. ?Dan tentang orang
bertopeng itu agak panjang untuk diceritakan."
?Marilah kita mencari tempat yang baik." Ajak Mayangeeto. ?Tetapi
kuburlah dulu jenazah itu."
Sesudah selesai mengubur jenazah itu dan mendapatkan tempat yang
baik. Gotrang segera mulai bercerita, seperti apa yang sudah diceritakan
Kalintung.
?Tahukah kau siapa namanya?" tanya Mayangseto.
?Ki Jogosatru". Jawab Panolih
?Dan yang penting ada seuatu rencana yang sudah disiapkan".
Sambung Gotrang. ?Hamba mendengar bahwa atas nasihat orang bertopeng
itu, maka kakang Wirotaksoko akan mengangkat dirinya sebagai raja. Dan
tempat yang dipilih adalah hutan Ketonggo, dan akan menggunakan gelar
Ratu Adil".
?Ratu Adil? Seperti yang tersebut dalam ramalan Joyoboyo?"
?Ya, Agaknya apa yang diperolehnya sekarang ini untuk batu loncatan.
Dan kakang Wirotaksoko mengandalkan kesaktian Jogosatru".
?Keparat! Akan kulabrak para bedebah itu". Kata Mayangseto penuh
grram.
?Hamba akan ikut serta untuk membantu raden". Sambung Gotrang.?Hamba juga," sahut Panolih
?Kalian tidak takut?"
?Apa yang ditakuti? Matipun hamba rela".
Mayangseto tersenyum. Akan tetapi dalam hati Mayangseto
mempunyai rencana. Maka kemudian Panolih diberinya tugas untuk
menghubungi Kebobangah di Pajang. Kemudian disuruhnya pula
menghubungi Pangeran Benowo, dan sesudah itu disuruhnya ke Mataram
memberi laporan kepada Panembahan Senopati.
Dalam pada itu kepada Gotrang oleh Mayangseto ditugaskan untuk
mencari makanan dan minuman, karena dirasakan perutnya amat lapar.
Dua orang itu menyanggupkan diri dan kemudian bersama pergi
meninggalkan hutan.
Mayangseto menjadi gelisah sesudah Gotrang dan Panolih pergi. Ia
hilir mudik sambil memutar otak, mengapa dalam permulaan orang2 yang
dipercaya sudah lupa tugas dan kewajibannya? Untuk memenangkan
perjuangan memerlukan persiapan- persiapan yang matang. Ternyata
sekarang malah dibikin berantakan sendiri oleh orang2 yang bertanggung
jawab. Ia mengbela napas, dan menyesal.
Pada saat beberapa macam persoalan berkecamuk dalam benaknya
ini, tiba2 terdengar suara ketawa orang. Mayangseto amat terkejut dan
membalikkan tubuh. Dan tampaklah seorang laki2 berumur tigapuluhan,
bertubuh kurus dan tinggi. berkumis panjang tetapi tidak berjenggot.
Matanya bersinar dan rambutnya tertutup ikat kepala berwarna merah. Baju
yang dipakainya berwarna hijau dan kain panjangnya yang dlikatkan
pinggang ber-corak parang. Celana yang berwarna merah agak panjang
hampir mencapai lutur.
?Wirotaksoko!" Seru Mayangseto lancang,
?Ha-ha- ha- ha. ternyata kau masih belum lupa kepadaku,
Mayangseto?? ejek Wirotaksoko, ?Apa kabar yang kau bawa ? Dan mengapa
kau tak segera datang ke Krendawahana dan sebaliknya duduk melamun
disini? Kau teringat seorang gadis cantik? Ha-ha . di Krendawahana amat
banyak dan untuku dapat kusediakan yang cantik lakasna bidadari agar
menghibur dirimu".
?Gila!" Teriak Mayangseto marah. ?Itukah yang kau pikirkan tiap hari?
Hingga kau melupakan tugas kewajibanmu?"
Wirotaksoko ketawa keras, berdesis desis semacam suara ular, Cocok
dengan nama yang dipilihnya, Wirotaksoko berarti ular naga yang sakti.
Kemudian terdengarlah ia menjawa: ?Apakah kau sudah mimpi,
Matangseto? Kapankah aku melupakan tugas dan kewajibanku ? Hitunglah
Mayangseto, sudah hampir setahun aku meninggalkan kota menyusun
barisan didesa. Tanyakan kepada dirimu sendiri, siapa yang lupa, akuataukah orang2 yang hidup bermewah2 didalam kota?"
Tertcgun Mayangseto mendengar jawaban Wirotaksoko. Karena
tuduhannya itu tidak benar. Kiranya Wirotaksoko kurang mengetahui
persoalan2 baru yang terjadi di Pajang, sesudah Sultan Hadiwjoyo makin tua
dan banyak kali gering.
Mengingat akan perjanjian semula dengan Ratu Kalinyamat bahwa
duduknya Sultan Hadiwijoyo sebagai raja di Pajang hanyalah mewakili
Pangeran Pangiri ( menantu ) yang pada kala itu masih belum dewasa. Maka
layak pulalah sesudah Sultan Hadiwijoyo tua dan kerap kali gering,
kekuasaan dikembalikan kepada pada Pangeran Pangiri sebagai pewaris
Demak yang syah. Tetapi amat sayang bahwa pada saat geringnya Sultan
Hadiwijoyo, pertentangan faham antara keturunan Pajang dan keturunan
Demak sudah sedemikian panasnya. Sehingga setelah kekuasaan berada
ditangan Pangeran Pangiri, terjadilah pemecatan dan pergeseran
kedudukan, dengan mengingat kepentingan Pangeran Patagiri sendiri. Dan
berakibat pula para penjabat tinggi kerajaan yang pro Pajang disingkirkan
dan diganti orang2 yang pro Demak.
Dalam situasi yang demikian inilah sudah barang tentu orang2 Pajang
dan Mitaram amat sibuk dibuatnya. Hingga berakibat pula kurang dapat
memperhatikan orang2 yang ditanam di desa2 untuk menghimpun
kekuatan. Bukannya mereka itu dilupakan, tetapi keadaanlah yang
memaksa, dan tidak secara sengaja.
Akan tetapi persoalan2 ini tiada perlunya untuk diberitahukan kepada
Wirotaksoko. Karena baginya yang sudah tamak akan kedudukan, tidak
akan memberikan kesadaran baru.
Terpikir oleh Mayangseto bahwa sangatlah kebetulan dalam saat
sekarang ini dapat bertemu muka dengan Wirotaksako diluar kubunya.
Kalau ia dapat menundukkannya, maka persoalan yang dihadapi dan perlu
diselesaikan agak lebih mudah.
Sesudah mendapat pikiran yang demikian, maka Mayangseto
tersenyum dan kemudian berkata: .Bagus sekali dalihmu, agar semua
perbuatanmu yang buruk, semua perbuatanmu yang terkutuk dapat kau
tutup dan kau bela".
Wirotaksoko ketawa lagi amat menyeramkan. Suara ketawa yang
mengandung tenaga gaib, dan bagi orang biasa akan bisa mati berdiri.
Tetapi bagi Mayangseto yang sudah mempunyai perisai daya gaib, tidak
terpengaruh sama sekali. Hanya dirasakanaja rongga telinganya menjadi
bising.
?Apa perdulimu Mayangseto", kata Wirotaksoko mengejek. ?Kalau
orang kota bisa berhuat semaunya, maka orang didesapun berhak
menentukan langkah sendiri. Kau boleh setuju dan boleh tidak!"?Gila!" pekik Mayangseto marah. ?Sampai dimanakah kesetiaanmu
kepada pemimpin?"
?Untuk apa pemimpin yang tidak tahu akan anak buahnya itu?"
?Hem," dengus Mijaagseto, ?dan dengan alasanmu itu kau merampok
dan menculik gadis orang?"
?Tepat apa yang kuduga," kata Wirotakeoko dan disusul ketawa yang
amat panjang. ?Kaulah yang sudah membunuh Kalintung, Wonojoyo dan
beberapa orangku yang lain. Dan sebelum kau bunuh, maka kau paksa
memberi pengakuan. Dan paksaanmu itulah yang menyebabkan mereka
membocorkan rahasia Krendawahana. Hem . . . jangan kau menyesal dan
menyalahkan aku, sebagai orang yang lebih tua yang tak tahu dirl. Karena
sudah terlanjur berbuat peraturan tak terulis, barang siapa yang mengerti
persoalanku, dan orang itu tidak mempunyai sangkut paut dengan aku,
harus dibunuh mati".
Bersamaan dengan kata terakhir diucapkannya, Wirotaksoko
membuka dua belah tangannya, terpentang sebagai sayap elang raksasa
Lalu meloncat dan menyerang kepada Mayangseto. Untung sekali bahwa
sejak mula Mayangseto sudah bersiap diri, maka dengan mudahnya ia
mengelak dan sekaligus membalas dengan hantaman pada lambung.
Terjadilah kemudian perkelahian yang amat sengit, dengan masing2
bertangan kosong.
Wirotaksoko bukanlah orang lemah. Ia termasuk salah seorang yang
amat dekat dengan Panembahan Senopati dan Kiageng Pemanahan
almarhum. Dimana Wirotaksoko sebagai murid Kiageng Pemanahan malah,
hingga berhasil mendapatkan gemblengan baik lahir maupun batin. Padahal
Kiageng Pemanahan bekas Perwira Tamtama Demak. Maka dapat diukur
akan kepandaian dan kesaktiannya.
Tetapi sebaliknya Mayangseto pun bukan sembarang orang.
Masing2 sama lincah dan dapat bergerak amat ringan. Pada mulanya
masing2 masih bergerak lambat, tetapi makin lama makin cepat. Kemudian
hanya tampak gulungan sinar putih dan sinar merah yang berbelit dan
berkejaran.
Akan tetapi makin lama Wirotaksoko terdesak. Serangan Mayangseto
amat deras dan bertubi-tubi susul-menyusul sulit diduga, sehingga banyak
kali Wirotaksoko terkena pukulan, Dan akibatnya pula Wirotaksoko hanya
mampu menangkis dan mengelak, tanpa mendapat kesempatan untuk
membalas serangan.
Tiba2 Witotaksoko meloncat amat tinggi. Ketika kaki sudah menginjak
tanah, maka tombak pendek sudah tergenggam ditangan kanan. Dan secara
kilat mulai menyerang amat sengit.
Kian lama, serangan Wirotaksoko makin berbahaya. Berbelit-belit danmematuk seakan seekor naga yang sedang marah. Wirotaksoko memang
sudah berhasit menyelaraskan nama dengan geraknya, seekor ular naga
yang sakti. Gerakannya mirip dengan ular, kadang membelit dan kadang
bergerak lambat.
Mereka bertempur amat sengit dan menyabung nyawa, sehingga
mereka tidak menyadari hadirnya orang lain yang selalu mengamati penuh
perhatian. Mata yang mengawasi itu bersinar ber-kilat2 amat tajam,
terlindung oleh sebuah topeng berwarna kuning pucat, terbuat dari kulit
rusa yang sudah dihilangkan bulunya dan dibuat dengan beberapa ramuan
obat hingga menyebabkan tidak berbau. Orang bertopeng itu, berdiri dan
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlindung pada sebatang pohon besar, sedang kaki kiri tergantung. Orang
ini mengenakan ikat kepaha berwarna ungu, sama pula dengan baju dan
celananya. Pada pinggangnya terikat kain panjang bercoret kawung.
Akan tetapi potongan tubuh orang ini nampak kokoh kuat sekalipun
pada pemukaan kulit tangannya nampak mulai berkeriput dan jaluran otot
menghiasinya.
Mata yang tajam itu tak pernah berkedip mengawasi terus kepada
mereka yang sedang bertempur.
Orang inilah sebenarnya yang di sebut2 oleh Gotrang dan Kalintung
sebagai penasihat dan guru Wirotaksoko sekarang. Dan oleh gemblengan
orang ini pulalah maka Wirotaksoko menjadi lebih tangguh. Kalau saja
Wirotaksoko tidak mendapatkan tambahan ilmu kepandaian dari orang ini,
barangkali dalam waktu singkat dapat dilumpuhkan oleh Mayangseto.
Seraya mengawasi pertempuran ini, orang tersebut sangat
memparhatikan gaya dan gerak Mayangseto. Dalam hatinya timbul tanda
tanya, mengapa orang muda ini memiliki tata kelahi yang lincah dan ulet.
Dan gerak maupun gaya orang muda ini, serupa benar dengan gerak
maupun gaya permainan orang yang amat dibencinya. Orang yang
menyebabkan ia menderita cidera, dan cidera ini sudah diderita sejak
duapuluh lima tahun yang lalu, sesudah mengalami pertempuran hampir
sehari penuh. Apakah orang muda ini mempunyai hubungan dengan
seseorang yang dibencinya itu?
Cidera yang diderita sejak itu. menyebabkan hidupnya selanjutnya
selalu dihinakan orang. Lebih2 para wanita merasa jijik melihatnya.
Kadangkala malah, wanita yang melihatnya terpekik dan pingsan.
Kesengsaraan batin yang dideritanya bertahun tahun ini. dan hinaan2
yang selalu diterima dari orang menyebabkan ia berobah tabiat. Amat
membenci kepada orang lain yang tidak menderita cacat, apapula orang
tersebut mempunyai wajah yang tampan. Dalam hati jadi iri.
Padahal orang muda yang sekarang bertempur dengan muridnya ini,
adalah seorang muda yang tampan dan mempunyai gerak dan gaya kelahiyang mirip benar dengan orang yang dibencinya sejak bertahun-tahun.
Karena itu timbullah amarah yang amat sangat dalam dadanya, untuk dapat
membekuk orang muda itu dan membuatnya cidera agar menjadi cacat
selama hidup dan selalu dihina dan dicemoohkan orang.
Akan tetapi perasaannya yang bergolak itu masih ditahannya. Ia
merasa amat sayang apabila mengganggu muridnya yang sedang
bertempur. Biarlah muridnya itu melawannya terus, hingga pada saatnya
nanti muridnya minta pertolongan. Berarti ia mendapat alasan untuk
bertindak terhadap orang yang lebih muda.
Tetapi tiba2 ia menjadi terkejut, karena Wirotaksoko secara mendadak
bergulingan dan tombaknya lepas dari tangan. Muridnya dalam bahaya.
Maka tanpa pikir panjang lagi, diambillah dua butir batu kecil dan
dilemparkan susul-menyusul.
Pada saat itu, Mayangseto sedang mendekati Wirotaksoko dan akan
menurunkan tangan maut. Akan tetapi tiba2 berdesirlah angin yang amat
keras. Dan sebelum sempat menghindari, pergelangan tangannya terasa
panas. Dan belum pula sempat berbuat sesuatu, dada tepukul dan sakit
sekali rasanya, lalu ia roboh dan muntah darah segar. Diantara sadar dan
tidak, Mayangseto mendengar suara genta yang nyaring melengking tinggi,
lalu pandangannya gelap dan tak tahu lagi akan dirinya.
Ki Jogoratru yang bertopeng itu segera mengulurkan tangan untuk
membikin pemda ini cacat scumur hidup. Akan tetapi ketika terdengar suara
genta yang nyaring melengking tinggi, maka tangan yang sudah terulur itu
ditariknya cepat2, dan dengan gugup memerintahkan muridnya : ?Lekas!
Lari!"
Dan tanpa menunggu jawaban Wirotaksoko. ia sudah mendahului lari
laksana terbang. Dalam waktu sekejap sudah tidak nampak oleh rimbunnya
daun belantara yang lebat.
Wirosaksoko terkejut bukan main melihat tingkah gurunya yang
nampak ketakutan itu. Namun demikian ia juga segera melompat dan lari
mengikuti arah gurunya.
?Oh kasihan . " terdengarlah kemudian suara lembut yang penuh
kasih sayang. Dan bersamaan pula muncullah seorang tua berjubah biru
secara tiba2. Orang tua ini bertubuh ramping, rambut yang ditutup oleh ikat
kepala berwarna biru muda itu seluruhnya sudah putih. Wajahnya sudah
agak berkeriput, namun masih tampak bercahaya dan berwibawa. Mata
yang bersinar tajam tapi penuh welas asih itu, dilindungi alis yang berwarna
putih.
Sedang kumis dan jenggotnyapun sudah putih laksana perak dan
sudah panjang. Pada pinggangnya tampak bergantungan semacam genta
terbuat dari kayu. Dan genta inilah yang tadi menebarkan suara nyaringmelengking tinggi memenuhi udara, sehingga mengejutkan guru
Wirataksoko dan lari lintang pukang karena takut.
Agak terkejut tersirat pada wajah orang tua ini, setelah melihat
keadaan Mayangseto yang pingsan. Lalu ia membungkuk dan mengamati.
Tangan kirinya segera memeluk leher Mayangseto sedang tangan kanan
memasukkan butiran sebesar kacang tanah yang berwarna hijau mengkilat
kedalam mulut Mayangseto.
Tubuh Mayangseto yang pingsan itu kemudian diangkat. Ia tampak
tidak merasa kesukaran mengangkat tubuh Mayangseto, dan begitu kakinya
bergerak orang tua ini sudah melompat dan dalam waktu sekejap sudah
lenyap seperti setan. Kepergiannya serupa dengan kedatangannya, muncul
dan lenyap secara tiba2 seakan bisa muncul dan menyusup bumi.
Dalam pada itu Wirotaksoko dan Jogosatru terus berlarian menjauhi
tempat tersebut.
?Guru. Guru . " seru Wirotaksoko.
Jogosatru yang bertopeng itu berhenti, memutar tubuh lalu
mengawasi Wirotaksoko yang nampak memburu napasnya.
?Guru, mengapa kita harus lari?" tanya Wirotaksoko gugup.
?Bodoh! Tak tahukah bahwa kita diancam bahaya?" jawab gurunya
cepat.
?Bahaya ? Manusia mana yang berani mengganggu guru?" tanya
Wirotaksoko penuh heran.
Ki Jogosatru ketawa. Dalam hatinya timbul rasa malu apabila harus
mengakui kekurangannya. Justru dengan pengakuan itu, akan berakibat
berobahnya pandangan muridnya terhadap dirinya. Oleh sebab itu sekalipun
sebenarnya ia amat ketakutan kepada orang tua yang membunyikan genta
nyaring melengking ilu, namun ia berkata lain : ?Hem, katamu benar Wiro.
Tetapi kau harus mengerti bahwa dirimu masih terlalu lemah. Coba
renungkan kembali apa yang terjadi apabila aku tak segera menolongmu ?
Eh siapa anak muda tadi ?"
?Mayangseto " jawab Wirotaksoko cepat.
?Mayangseto? Eh Mayangseto? Siapa dia?" kata Ki Jogosatru ini
seakan bertanya kepada diri sendiri.
?Mayangseto adalah anak Tumenggung Mayang, guru".
?Apa? Anak Tumenggung Mayang?"
?Benar guru".
Ia tampak menundukkan kepala, termenung agak lama. Benar apa
yang sudah diduganya, bahwa tentu anak muda itu mempunyai hubungan
dengan orang yang amat dibencinya sejak lama.
?Lalu siapa orang tua tadi guru?" tanya Wirotaboko seraya
memandang gurunya.?Hem .dia manusia gila. Genta itu! Yah genta itu amat
mempengaruhi hatiku. Ah Wiro, biarlah hal itu tak usah kau pikirkan dahulu.
Marilah kita pulang".
?Pulang ? Bukankah kita pergi untuk menyelidiki dimana beberapa
anak buah kita yang belum pulang ?"
?Ah, akan sia saja anakku. Agaknya kau belum bisa mengenal gelagat.
Munculnya orang muda itu dalam hutan ini, tentu berhubungan erat dengan
hilangnya anak buah kita".
?Maksud guru, orang2 kita yang bertugas sudah mati dibunuh orang
muda itu?"
Ia mengangguk, lalu mulai melangkahkan kakinya perlahan. Dan
Wirotaksoko lalu mengikuti gurunya dengan benaknya dipenuhi bermacam2
pertanjaan siapa orang yang mempunyai genta dan menghalangi
maksudnya ?
Pada mulanya ia takut2 untuk bertanya. Akan tetapi oleh desakan hati
yang ingin tahu, akhirnya ia bertanya juga : ?Guru, perkenankan saya
mohon keterangan, siapakah sebenarnya orang tua yang datang dan
membunyikan genta tadi?"
Gurunya ketawa, dan kemudian menjawab: ?Hem. baiklah
kuberitahukan padamu, bahwa ia adalah guruku . "
Amat terkejut Wirotaksoko sesudah mendengar pengakuan gurunya
itu. Dan tiba2 saja ia memaklumi, mengapa gurunya ini takut setengah
mati.
Ki Jogosatru memandang muridnya, lalu ketawa dan katanya
melanjutkan: ?Wiro, pada mulanya aku bermaksud untuk tidak
memberitahukan hal ini kepadamu, Tetapi aku khawatir bahwa kau
beranggapan salah terhadapku, mengapa aku takut. Wiro, persoalannya
bukan aku takut mati. Dan belum tentu pula aku dapat dikalahkan. Akan
tetapi kau harus mengerti, bahwa ia adalah guruku. Apa kata orang nanti
apabila orang yang pernah mendidikku itu harus kulawan?"
Wirotaksoko menganggukkan kepala. Ia dapat menerima keterangan
gurunya itu. Lalu ia bertanya lagi: ?Bolehkah saya bertanya, siapa dia?"
?Hem, kau ingin tahu segalanya. Baiklah kuberitahukan kepadamu,
bahwa ia adalah Kiageng Gunturselo yang bermukim di lereng Merapi".
?Kiageng Gunturselo?" Wirotakeoko terkejut dan tiba-tiba wajahnya
pucat.
?Kau terkejut Wiro?"
?Hem.. sangkaku ia sudah meninggal. Ternyata belum juga. Lalu
apakah dia tidak berbahaya bagi kita guru ?"
?Ha - ha - ha - ha", ketawa oraug bertopeng itu. ?Kodrat hidup
manusia didunia ini, tiap cita dan kehendak tentu melewati beberaparintangan yang sulit dan memerlukan usaha. Kau tidak perlu takut Wiro,
akan rintangan2 yang kau hadapi. Percayalah bahwa takdir Tuhan akan
terbukti. Hutan Ketonggo akan berobah menjadi istana dan kaulah yang
ditentukan Tuhan untuk menjadi raja. Itu pasti anakku, tinggal menunggu
saatnya saja".
Mendengar keterangan gurunya yang bersungguh itu, hati
Wirotaksoko kembali gembira. Tergambar dalam benaknya bahwa kelak
kemudian hari akan duduk sebagai raja yang besar, dihormati dan dipuja
oleh seluruh rakyat. Alangkah senangnya nanti apa bila menjadi raja.
Kekuasaan tak terbatas, dan tak seorangpun berani membantah
perintahnya. Hidupnya akan selalu dikelilingi oleh harta benda yang
melimpah ruah. Dan wanita2 jelita selalu mengerumuninya, siap sedia
melayani kebutuhannya. Dan kalau saja melihat wanita cantik, apabila
menghendakinya, wanita itu tiap saat dapat diambilnya. Dan orang yang
menghalangi, sehagai raja berhak memutuskan hukuman mati. Agar dengan
demikian seluruh rakyat takut dan tunduk.
Padahal sekarang ini, belum lagi menjadi raja. Namun, gadis2 jelita
dapat dikumpulkan ratusan jumlahnya. Meskipun harus secara paksa,
melarikan gadis orang. Hem, tentu akan lebih menyenangkan.
Wirotaksoko tersenyum membayangkan semua itu. Tetapi ia terkejut
ketika gurunya bertanya: ?Mengapa kau tersenyum Wiro?"
?Saya saya membayangkan beberapa hal tentang betapa nikmat
hidup saya nanti sesudah berhasil. Tentu makin menyenangkan".
?Hem kau hanya berpikir tentang kegembiraan hidup saja anakku.
Itu boleh, tetapi sebaiknya kau jangan lupa. Bahwa kodrat didunia ini, selalu
ada dua hal yang berlawanan. Baik dan buruk, gembira dan duka, gelap dan
terang, dan seterusnya. Karena itu kita wajib ber hati2.
Wirotaksoko mengangguk tanda mengerti. Mereka berjalan terus
menyusuri bukit dan lembah untuk menuju kubunya kembali.
Tiba- tiba Wirotaksoko memandang gurunya lalu bertanya ?Guru,
mengapa tadi secara tiba-tiba Kiagang Gunturselo datang? Apakah ia
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sengaja menolong Mayangseto ?"
?Hem, aku tak tahu", jawab gurunya, ?tetapi mungkin hanya secara
kebetulan saja. Hem . kalau saja ia tidak datang. Tentu ia sudah kubikin
cacat seumur hidup dau lunaslah dendam yang tersimpan dalam dadaku".
Mendadak Ki Jogosatru menggeram amat marah, Kaki dibentakkan
ketanah, dan Wirotaksoko terkejut panuh kagum menyaksikan kehebatan
gurunya. Hentakan kaki tadi tidak begitu keras, tetapi ternyata tanah yang
terkena tumit sudah amblong begitu dalam.
?Mayang. Mayang . hem, selama hidup aku takkan melupakan
budimu" Gumam Ki Jogosatru.?Apa yang sudah terjadi guru ?"
?Hem, tahukah kau bahwa cacat yang kuderita ini adalah akibat dari
perbuatannya ? Ah, mestinya hutang itu akan kubayar beserta bunganya.
Tetapi sayang .."
?Tetapi ia tadi anaknya, guru, bukan Tumenggung Mayang".
?Apa salahnya ?" hardik gurunya.
Wirotaksoko menundukkan kepala. tak berani memandang gurunya. la
merasa takut apabila gurunya ini menjadi marah.
?Hai Wiro. Mayangseto adalah anak seorang yang amat kubenci
selama hidup. Padahal la tadi mempunyai gerak dan gaya kelahi yang mirip
benar dengan Tumenggung Mayang. Dan kala itu menyebabkan aku kalah
dan menderita cacat seperti sekarang ini. Oleh karena itu terang bahwa
anak muda itu mewarisi kepandaian ayahnya. Apabila aku belum bisa
membalas kepadanya, namun hatiku sudah agak bisa puas mencelakakan
anaknya. Biarlah dia mengalami hinaan seperti yang kualami ha ha ha
ha".
Ia ketawa melengking panjang, amat seram dan penuh menebarkan
kebencian.
Bulu kuduk Wirotaksoko berdiri. Ia tahu pasti bahwa gurunya
berusaha mengurangi rasa sesak dalam dadanya yang penuh rasa benci.
?Ketika itu aku bertempur hampir sehari penuh," kata Ki Jogosatru
seraya duduk pada sebnah batu. Dan Wirotaksoko mengikuti, dengan duduk
pada hatu yang lain.
?Hingga berakhir dengan kekalahanku," sambungnya kemudian
dengan nada menyesal. ?Aku mengakui Wiro, bahwa Tumenggung Mayang
memang sakti."
?Apa persoalannya guru?"
?Hem kau mengungkat masa mudaku Wiro. Masa muda yang penuh
kepahitan hidup. Masa muda yang dikejar kejar oleh cinta. Ah ..kenangan
muda itu hanya menyebabkan aku sedih dan masgul."
Kemudian ia menundukkan kepalanya. Karena ia mengenakan topeng
maka tiada tampak perobahan pada wajahnya. Tetapi melihat sikap dan
gayanya, Wirotaksoko dapat menduga bahwa gurunya sedang sedih. Karena
itu kemudian katanya cepat : ?Guru oh . . . maafkan aku, Aku tidak
sengaja menyedihkan guru. Kalau memang hal itu hanya akan
mengingatkan kenangan pahit pada masa muda . sudahlah guru, aku
tidak ingin mengganggu."
?Kau tidak bersalah Wiro. Memang bisa jadi kau ingin mendengar
kisah hidupku yang penuh kesedihan ini. Terlebih pula kau adalah muridku
dan sekaligus anakku. Barang tentu keinginan itu selalu mengganggu
hatimu."Tidak guru, tidak I Aku tidak ingin meminta keterangan apabila
berakibat menyusahkan guru." Jawab Wirotaksoko bersungguh. ?Marilah
guru, kita segera pulang dan hal itu tidak perlu dibicarakan lagi."
Ki Jogosatru tersenyum getir. Lalu melangkah perlahan diikuti oleh
Wirotaksoko meneruskan perjalanan pulang. Mereka hanya berjalan lambat,
tetapi sudah agak jauh masih belum pula membuka mulut.
? O ?
Mayangseto amat terkejut ketika membuka matanya, sudah berbaring
pada sebuah ambin kayu dan melihat sinar pelita dengan minyak jarak
dalam sebuah rumah. Dan dalam pada itu ia mendengar seseorang sedang
melagu dan memuji keagungan Tuhan.
Ia bermaksud bangkit untuk menanyakan sebab sebabnya berada
dalam rumah ini kepada orang yang sedang melakukan ibadah itu. Akan
tetapi ia merasakan dadanya amat sakit. Ia malah jadi terkejut dan kagum
ketika mendengar suara lembut tertuju kepadanya ?Kau jangan bergerak
anak muda, untuk mengembalikan kesehatan tubuhmu yang mendapat luka
dalam."
Ketika suara lembut itu lenyap, maka kembali terdengar suara
seseorang meneruskan lagu memuji Tuban.
Mayangseto amat takjub. Mata dilayangkan keseluruh sudut rumah,
tetapi tidak menangkap bayangan seseorang. Akan tetapi mengapa orang
yang sedang memuji keagungan Tuhan itu mengetahui secara tepat
keadaannya?
Dan sesudah kesadarannya putih kembali, teringatlah ia bahwa tadi
sedang bertempur melawan Wirotaksoko didaerah hutan Krendawahana.
Wirotaksoko terguling, tiba2 pergelangan tangannya terasa sakit dan panas.
Belum juga sempat berbuat sesuatu, dadanya terpukul amat berat dan
terguling muntah darah.
Amat pedih hatinya teringat kembali peristiwa perkelahiannya dengan
Wirotaksoko. Tetapi disamping itu juga amat bersyukur bahwa datang
seseorang menolong dan membawa kerumah ini. Namun siapa yang sudah
menolongnya ? Apakah orang yang kini sedang memuji Tuhan itu yang
sudah menolongnya ?
Terlintas pikirannya yang demikian, maka Mayangseto bermaksud
untuk bertanya. Tetapi lagi2 ia merasa kagum karena orang ituseakan sudah bisa membaca batinnya : ?Tidak perlu kau gelisah anak muda,
beberapa hari lagi kesehatanmu akan pulih kembali. Hanya secara kebetulan
saja aku dapat menyelamatkanmu dari bahaya, dan aku percaya bahwa
pertemuan secara tidak sengaja ini adalah sudah kehendak Tuhan. Aku
diberiNya petunjuk untuk lewat dihutan Krendawahana. O ya, namamu
siapa?"
?Hamba Mayangseto Panembahan," jawab Mayangseto penuh hormat,sedang matanya ditebarkan untuk mencari dimana orang tersebut berada.
Hatinya amat ingin bertemu muka, tetapi mengapa belum juga muncul?
Terdengar suara ketawa yang lembut menebarkan raut sejuk. Lalu
terdengar suara katanya lagi : ?Aku bukan raja, maka tidaklah sepantasnya
kau menyebut dirimu hamba, dan cukup gunakanlah saya atau aku begitu
saja. Dan lagi kau jangan salah sangka, aku bukan seorang panembahan
atau pendeta atau resi data sebagainya. Aku hanyalah seorang biasa yang
hidup dari hasil ladang. Jika kau tidak berkeberatan, sebutlah saja aku,
dengan bapa. Dan dapat juga kau menyebut secara lengkap, bapa
Gunturselo".
Mendengar nama tersebut, Mayangsero terkejut tetapi juga amat
gembira dalam hati. Ia banyak mendengar cerita dari ayahnya bahwa orang
yang bernama Gunturnelo ini bermukim dilereng Merapi. Dan pada masa
guru ayahnya masih hidup adalah sahabatnya. Karena guru ayahnya juga
bermukim dilereng Merapi, sebagai seorang pertapa. Menurut cerita
ayahnya, gurunya tersebut bernama Kiageng Mahesotopo. Dan sebenarnya
Kiageng Mahesotopo ini adalah seorang putera Adipati Pengging yang tertua,
Tetapi ia tidak mau menggantikan kedudukan ayahnya, dan kedudukan itu
malah diserahkan kepada adiknya, lalu ia pergi bertapa dilereng Merapi
hingga meninggal.
?Mengapa kau diam anak muda, bersediakah kau menganggap aku
bapa ?"
Mayangseto terkejut mendapat teguran itu. Maka ia cepat menjawab :
?Terimakasih bapa, bahwa bapa sudi menolong saya. Saya amat bergembira
bapa Gunturselo, bahwa pada achirnya saya dapat bertemu dengan bapa".
?Apa ? Kau sudah mengenal namaku?"
?Sudah bapa".
?Siapa yang memberitahu kepadamu tentang aku ?"
?Bapa adalah seorang yang dipuja orang sebagai ksatrya bijaksana
tanpa pamrih."
?Hem," terdengar dengus Kiageng Gunturselo, ?banyak orang keliru
dan keterlaluan caranya memandang. Ah sudahlah anakku, itu urusan yang
sangat kecil. Hem, beritahukan kepadaku siapa ayahmu?"
?Ayah saya bernama Tumenggung Mayang dan murid Ki-ageng
Mahesotopo sahabat bapa."
?Aku sudah mengira," kata Kiageng Gunturtello seraya ketawa lembut,
?cambukmu itu yang memberitahukan kepadaku bahwa kau adalah ahli
waris dari perguruan kakang Mahesotopo."
?Tetapi bapa, cambuk ini bukan milik saya." Jawab Mayangseto
dengan jujur. ?Ayahlah yang memberikan kepadaku, dan entah apa
kegunaannya."Kiageng Gunturtelo bersuara heran, dan kemudian bertanya: ?Apakah
ayahmu tidak memberitahukan kegunaannya?"
?Ya bapa. Ayah hanya mengatakan bahwa barangkali berguna apabila
saya dalam keadaan bahaya,"
?Ceroboh! Ayahmu amat sembrono! Jangan kau kira bahwa cambuk
itu cambuk kerbau seperti yang banyak kau dapatkan. Hem, sayang ayahmu
tidak memberi penjelasan. Kapan kau menerima dari ayahmu ?"
?Baru kemarin malam bapa, ketika rumah sudah terkepung rapat oleh
prajurit Demak yang berusaha menawan ayah. Cambuk itu diberikan kepada
saya pada saat saya disuruhnya melarikan diri,"
Kiageng Gunturselo berseru kaget dan kemudian berkata : dengan
nada yang sedih : ?Aneh dunia ini, tidak pernah sepi dari keributan dan
pertentangan paham untuk berkuasa, mengejar ke duniawian dan lupa
kepada Tuhan. Kiranya Tuhan sudah menakdirkan bahwa Pajang akan
segera runtuh dan timbullah kekuasaan dau kerajaan yang baru. Tentu
dunia ini hanya akan dipenuhi oleh riwayat timbul dan tenggelamnya
kekuasaan apabila orang terus menerus bernafsu mengejar kedudukan dan
kekuasaan. Dan untuk apa prajurit Demak menawan ayahmu?"
?Kemungkinan erat hubungannya dengan pertentangan paham antara
yang pro Pajang dan Mataram dengan yang pro Demak. Justru ayah
termasuk pembela Pajang."
?Hem . itu lagi. Tidak lain orang yang selalu berebut. Menjemukan
sekali. Ah biarlah urusan itu tidak perlu kita pikirkan sekarang. Mayangseto,
kiranya ayahmu memang tidak sempat untuk memberi petunjuk kepadamu
bahwa sebenarnya cambuk itu cambuk pusaka warisan dari kakang
Mahesotopo. Cambuk itu merupakan senjata yang amat ampuh kalau saja
dapat mempergunakan dengan tepat. Disamping itu juga merupakan tanda
pengenal bahwa sipemilik mempunyai hubungan erat dengan kakang
Mahesotopo. Padahal kakang Mahesotopo seorang yang amat dipuja orang.
Maka kau amat beruntung, karena semua orang akan selalu menghargaimu
seperti kepada kakang Mahesotopo sendiri."
?Tetapi saya amat bodoh bapa, apakah saya tidak akan ditertawakan
orang memiliki cambuk ini tanpa dapat menggunakannya? Dan apakah
dengan cambuk ini pula dalam tangan saya, tidak berarti menurunkan
martabat eyang Mahesotopo? Bapa, saya tidak berani untuk memiliki
cambuk ini seterusnya. Dan karena itu sudilah bapa mewakili saya, agar
kewibawaan Kiageng Mahesotopo tidak mendapat noda."
Kiageng Gunturselo tertawa lembut dan kemudian terdengar katanya
perlahan: ,Hem, kau begitu jujur dan itu amat baik. Kau mengakui
kekuranganmu, juga merupakan pertanda bahwa kau bukannya orang yang
angkuh dan sombong serta suka membanggakan diri. Itu benar anakku,kesombongan dan membanggakan diri hanyalah membawa malapetaka
bagimu. Karena kau akan banyak mempunyai musuh. Dalam pada itu
ketahuilah bahwa aku dan kau ini hanyalah manusia biasa. Apabila Tuhan
sudah menghendaki, aku dan kau seperti yang lain pula. Kembali kepada
asal mula. Kembali menjadi tulang dan hancur bersama tanah. Oleh karena
itu wajiblah tiap manusia mengerti akan kewajibannya bahwa hidup didunia
ini bukannya untuk bersenang2. Tetapi mengemban tugas berbuat kebaikan
menurut kemampuannya, dan selalu ingat kepada siapa sebenarnya yang
menguasai hidupnya".
Hening sejenak. Dan kemudian terdengarlah Kiageng Gunturselo
berkata lagi : ?Dan tentang kekuranganmu itu, apabila kau mau berusaha
tentu bisa kau capai. Hanya sayang bahwa kakang Mahesotopo sudah
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meninggal. Sedang ayahmu juga tidak mungkin mendidikmu. Ah kalau
kakang Mahesotopo masih hidup, niscaya kau akan bisa minta
bimbingannya".
Mendengar kata Kiageng Gunturselo yang bernada mengeluh dan
menyesalkan keadaan itu, hati Mayangseto merasa sedih tiba2. Karena
memiliki senjata pusaka tetapi tidak dapat mempergunakan.
Kiageng Gunturselo sendiri, kemudian kembali melagu memuji
keagungan Tuhan. Hingga keadaan dikuasai oleb suara Kiageng Gunturselo
yang mengalun dan menarik hati tiap orang yang mendengar.
Mayangseto kembali mengingat-ingat peristiwa yang telah terjadi atas
dirinya. Kemudian ia teringat bahwa pada waktu ia terkena sambitan gelap,
matanya yang tajam masih sempat melihat berkelebatnya seorang laki2
yang pincang dan bertopeng. Maka timbullah niatnya untuk bertanya kepada
Kiagang Gunturselo, mengenai orang yang bertopeng tersebut.
?Bapa," ujar Mayangseto?.beberapa saat sebelum saya pingsan dan
mendapat luka, saya sempat melihat seorang bertopeng dan berjalan
terpincang2". Saya mendengar bahwa ia bernama Jogosatru dan amat sakti.
Tahukah bapa akan riwayat orang tersebut?"
Lama tiada jawaban dari Kiageng Gunturselo. Hanya sayup2 telinga
Mayangseto dapat menangkap suara orang tua itu mengeluh, Mayangseto
merasa heran, mengapa Kiageng Gunturtelo agaknya bersedih. Tetapi ia
tidak berani mengulang pertanyaannya, dan menunggu sampai orang tua ini
menjawabnya.
Akan tetapi ditunggunya agak lama Kiageng Gunturselo belum juga
menjawab. Ketika Mayangseto akan membuka mutut untuk mengulang
pertanyaan, terdengarlah suara Kiageng Gunturselo yang pelan dan bernada
sedih : ?Oh tak pernah kusangka bahwa begini panjang ekor
kecerobohanku. Kiranya sudah takdir Tuhan bahwa hidupku ini harus
melewati beberapa macam persoalan yang tidak pernah kuduga semula.Dan mungkin disebabkan oleh beberapa persoalan yang belum selesai itu,
Tuhan masih menghukum diriku hidup lebih lama didunia dan menyaksikan
terus peristiwa2 yang menyedihkan, yang timbul oleh kecerobohanku".
Mayangseto." kata Kiageng Gunturselo sesudah diam sementara saat,
tahukah kau bahwa orang yang sudah setua aku ini, yang diharapkan
sebenarnya hanyalah satu? Ialah mati l Akan tetapi kematian yang selalu
kuharapkan itu belum juga tiba, dan Tuhan masih belum menghendaki.
Akan tetapi aku sendiri juga insyaf dan sadar bahwa Tuhan menghukumku.
Berkenaan dengan pertanggungan jawabku kepada orang yang kau sebut2
tadi. Ah, kisah ini sebenarnya amat panjang anakku. Padahal kau
membutuhkan istirahat yang cukup untuk menyembuhkan luka dalam yang
kau derita. Maka besok sajalah perkara itu kuceritakan. 0 ya, tentunya kau
lapar dan haus, Ambillah air yang sudah kusediakan didekat
pembaringanmu. Dan untuk pengisi perut, makanlah ketela rebus itu.
Maafkanlah aku, hanya itu sajalah yang bisa kusediakan untukmu. Kuharap
kau jangan bertanya tentang nasi. Aku tidak menanam padi, maka sebagai
penyambung hidupku sehari2 hanyalah apa yang dapat dihasilkan oleh
ladang yang kukerjakan saja."
Sebenarnya Mayangseto ingin menyatakan terimakasihnya. Tetapi
maksud itu ditariknya kembali karena Kiageng Gunturselo sudah kembali
melagu memuja nama Tuhan. Ia tidak ingin mengganggu perhatiannya yang
khikmat melakukan ibadah. Mayangseto kemudian memiringkan tubuhnya
untuk minum, dan kemudian mengambil ketela rebus yang sudah tersedia.
Pada kala membuka matanya keesokan harinya, Mayangseto agak
terkejut karena sinar matahari sudah memancarkan sinar amat terang
melewati lobang dinding. Ia dapat menduganya, bahwa matahari sudah
agak tinggi. Namun ia masih merasakan pangaruh hawa yang dingin.
la menarik napas agak dalam. Rasa sesak pada dada sudah jauh
berkurang. Lalu ia menggerakkan duabelah tangannya, juga sudah tidak
menyebabkan rasa sakit pada dada. la menyadari bahwa apa yang dirasakan
pagi ini adalah berkat ohat yang sengaja ditaruhkan Kiageng Gunturselo
dalam air minumnya.
Lalu ia dengan perlalhan mencoba bangkit. Juga sudah tidak
merasakan apa2. Tetapi ia agak terbelalak ketika matanya tertumbuk
kepada selimut yang hampir separo terjulur kebawah ambin. Barulah ia
menyadari bahwa Kiageng Gunturselo menyelimuti tubuhnya agar tidak
menderita kedinginan. Dan ketika ia menoleh kekiri, ternyata sudah tersedia
kentang rebus dan air the. Ditempatkan pada sebuah rak yang terbuat dari
bambu seperti kemarin malam.
Perutnya menjadi lapar dan kemudian dengan lahapnya makan. Dan
sesudah selesai makan, perlahan ia melangkahkan kaki untuk mengetahuikeadaan rumah.
Rumah Kiageng Gunturselo hanya beratapkan daun ilalang dan
berdinding bambu. Tidak besar dan terbagi menjadi dua ruangan. Pada
pekarangan yang luas tumbuh subur ubi rambat diseling jagung yang sudah
mulai mengering, ubi kayu dan bermacam sayuran. Membuktikan bahwa
Kiageng Gunturselo ini seorang pertapa yang rajin bekerja sebagai petani.
Rumah Kiageng Gunturselo terletak amat dekat dengan puncak
Merapi. Barulah ia menyadari sekarang sebabnya tanah amat subur dan
hawa amat dingin. Puncak Merapi itu tampak agak merah pagi ini, dan asap
mengepul tenang dari kepundan. Puncak Merapi yang merah itu tentunya
oleh panas yang terus-menerus menimpa dan lahar2 yang membeku.
Ia kemudian duduk pada sebuah batu. Merenungkan peristiwa2 yang
dialami dua hari ini. Ayahnya tertawan, saudara tuanya mati terbunuh dan
sekarang ia sendiri secara tidak sengaja berdiam dilereng Merapi.
Tiba2 ia mendengar suara ketawa yang lembut. Ketika menoleh,
dilihatnya Kiageng Guntursero memanggul cangkul dan disamping itu
menjinjing pula empat batang ubi kayu. Ia berdiri untuk menjemputnya,
tetapi Kiageng Gmturseto mencegahnya ?Tak usah, kau belum sehat benar.
Dan untuk dua tiga hari ini, kau harus dalam keadaan istirahat Hiburlah
dirimu dengan me-lihat2 kebun dan ladangku, dimana kebun dan ladang itu
merupakan sumber hidupku yang terpencil ini".
?Disamping itu anakku." kata Kiageng Ganturselo sesudah berhenti
sesaat. ?Alam disekitar ini memberi pemandangan yang bagus dan memikat,
hingga aku percaya kau tidak merasa kesepian. Cobalah kau ber jalan2
untuk menyaksikan keindahan alam itu. Tetapi jangan terlalu jauh, agar
tidak tersesat".
?Terimakasih bapa, memang saya amat ingin melihat2 keadaan
daerah ini. Bapa, apakah disekitar tempat ini tiada desa yang didiami orang?
"
?Ada, tetapi jauh. Disana, didaerah agak bawah, banyaklah desa2
makmur dan penduduknya hidup dalam keadaan aman. Antara lain desa
Tlogolele, desa Selo, desa Parangjurang, desa Jurangmulyo dan sebagainya.
Tetapi kau tidak usah ke-desa2 mengingat kesehatanmu belum pulih
seluruhnya".
?Lalu dimanakah letak makam Kiageng Mahesotopo?"
?Makam itu terletak disana", jawab Kiageng Gunturselo seraya
mengangkat telunjuknya menuding puncak Merapi.
?Dipuncak Merapi itu?"
?Bukan, mungkin kau beranggapan bahwa kita ini sudah berada amat
dekat dengan puncak Merapi. Itu salah. Kita masih amat jauh, karena kita
masih dibatasi oleh anak Merapi yang disebut Pangrantunan. DaerahPangrantunan ini dengan puncak Merapi, dibatasi oleh jurang yang amat
dalam dan lebar. Tak mungkin orang bisa turun kejurang ini, apabila bukan
orang sakti. Karena amat berbahaya. Di Pangrantunan utara dan dibawah
naungan pobon beringin tua, itulah makam Kiageng Mahesotopo. Tetapi itu
hanyalah sekedar peringatan saja".
?Mengapa, hanya peringatan?" tanya Mayangseto dengan heran.
?Karena yang benar kakang Mahesotopo itu mendapat anugerah
Tuhan. Ia bukan meninggal seperti kita, tetapi ?mukswa" ber sama
raganya".
Mayangseto pernah mendengar pula kata orang tentang mukswa ini.
Akan tetapi ia tidak mengerti bagaimana keadaan yang sebenarnya. Lalu
tanya Mayangseto: ?Mengapa tanda peringatan itu diletakkan disana?"
?Itu adalah kehendak kakang Mahesotopo sendiri, mungkin ia amat
cinta kepada daerah yang didiami selama puluhan tahun sesudah ia
meninggalkan Pengging dan bertapa disini. Memang mengherankan juga
kakang Mahesotopo, menolak kedudukan sebagai Adipati di Pengging, malah
bertapa ditempat yang sepi. Ah, inilah keanehan dunia. Cobalah kau pikir,
sebabnya Pangeran Pangiri menangkap dan menawan ayahmu. adalah
karena kedudukan. Sebabnya Pangeran Pangiri tidak bisa rukun dengan
Panembahan Senopati Mataram, tidak lain karena kedudukan pula. Dan
bukan hanya itu, banyak sekali orang yang melakukan penipuan, kejahatan
dan sebagainya, tujuan yang pokok hanyalah satu. Ingin bisa hidup enak
dan serba cukup. Memang, kedudukan dan harta benda banyak kali
mendorong orang berbuat tidak baik. Mendorong orang melakukan
kekejaman yang tiada taranya. Tetapi kakang Mahesotopo adalah
sebaliknya. la tidak mau menjabat sebagai Adipati Pengging sebagai
pengganti ayahnya, malah pergi bertapa ke Merapi ini dan tiada tujuan lain
untuk menyusahkan dirinya didaerah terpencil. Karena itu Mayangseto, aku
berharap agar kelak kemudian hari kaupun selalu ingat, janganlah hidupmu
sela!u diperkuda oleh pikiran yang tidak baik".
Kiageng Gunturselo memandang Mayangseto penuh perhatian,
kemudian lanjutnya: ?Kau jangan salah terima anakku, aku tidak
mengatakan janganlah hidupmu diperkuda oleh nafsu, tetapi oleh pikiran
yang tidak baik".
?Mengapa demikian ?"
?Nafsu itu tunggal. Tidak mempunyai sifat baik atau buruk. Nafsu itu
adalah daya penggerak dari hidup, dan bisa diibaratkan kertas kosong yang
putih. Maka tergantung kepada warna apa yang dituangkan kedalam kertas
putih itu. Kalau warna hitam barang tentu juga menjadi hitam Tetapi kalau
merah, juga akan menjadi merah".
?Lalu siapa yang memberi warna itu ?"?Ialah fikiran kita. Otak kita inilah yang menyebabkan nafsu
mempunyai warna dan corak. Tergantung kepada otak ini terwujudnya nafsu
menjurus kepada hal2 yang buruk atau baik. Nafsu tak akan bergerak
apablla otak tidak menggerakkan kejurusan itu. Maka anakku, hatillah kau
menghadapi otak atau pikiranmu, apabila tak ber hati2, kau akan
diperkudanya".
? O ?
Mayangseto menuruni Merapi dengan hati2 dan kemudian mulai
memasuki hutan. Desa yang tampak diseberang hutan tadi akan dicapainya.
Hutan ini tidak begitu luas, tetapi penuh dengan pohon rimba yang
belum dijamah manusia ratusan tahun, Batang pohonnya amat besar, tinggi
dan rindang. Hingga nnakin dalam ia masuk, keadaan makin gelap
disebabkan sinar matahari tidak bisa menembusnya.
Disamping itu kadang2 pula ia terpaksa berputar dan berbelok
menghindari jurang yang lebar dan dalam, disamping tanaman liar yang
sulit ditembus. Tetapi makin lama ia menjadi heran. Mengapa hutan yang
tadi tampak tidak begitu luas itu belum juga selesai diseberangi. Kaki
dirasakan sudah capai dan perut terasa lapar, namun usahanya belum
berhasil.
Ia tidak menyadari sama sekali bahwa perjalanannya sudah salah
arah. Ia bukannya melintang hutan tetapi menyusur panjangnya hutan.
Barang tentu hutan yang sebenarnya tidak lebar itu belum juga dapat
ditembusnya. Karena hutan ini sambung-menyambung melingkar menyusuri
pinggang gunung Merapi dan akhirnya nanti bersambung dengan hutan
lebat pada pinggang gunung Merbabu.
la mengeluh dalam hati. Akan tetapi untuk berbalik kembali, sekalipun
bisa belum tentu dapat dicapai sebelum matahari terbenam. Maka ia nekad
meneruskan perjalaman, sekalipun perut dirasakan sudah amat lapar.
Mayangseto melepaskan lelah sambil duduk disebuah batu hitam.
Timbul rasa menyesal mengapa tadi memasuki hutan ini. Dan yang
disusahkannya, luka dalann belum sembuh benar. Apabila dipergunakan
untuk mengeralikan tenaga, kawatir apabila kambuh kembali.
Untung otaknya segera bisa berpikir bahwa kesulitan ini bisa ditembus
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan jalan memanjat pohon yang besar dan tinggi hingga kemudian bisa
mengenal dimanakah daerah yang lapang dan terdekat.
Ia memanjat pohon yang kecil lebih dahulu, kemudian melewati dahan
beralih kepohon yang lebih besar. Tak lama kemudian berhasil mencapai
puncak, dan ditebarkannya pandangan matanya. Hatinya menjadi gembiratatkala menyaksikan bahwa tidak jauh dari tempatnya, disebelah timur
terbentang luas ladang yang penuh tanaman palawija, disamping sawah
yang penuh tanaman daun tembakau.
Sambil menghela napas lega, ia menoleh kekiri dan kekanan. Ternyata
bahwa sebelah kiri dan kanan jauh membentang daun2 hijau hutan yang
amat lebat sambung menyambung. Lalu ia memutar badannya, dan hatinya
amat terkejut. Karena puncak Merapi tidak tampak dan sebagai gantinya
puncak Merbabu. Matahari sudah amat rendah diatas puncak Merbabu yang
tak berasap.
Ia sadar sekarang, bahwa tidak lama lagi matahari segera terbenam.
Berarti perjalanan yang ditempuhnya hampir satu hari. Maka sesudah
mengamati daerah yang akan ditujunya, ia cepat2 turun dari pohon menuju
sebelah timur.
Perjalanan yang ditempuhnya lebih sulit, karena cuaca dalam hutan
makin gelap akibat makin lemahnya sinar matahari. Tetapi bagaimanapun
sulitnya perjalanan tidak mungkin dihindari. Karena apabila harus menginap
dalam hutan ini akan menderita dingin dan lapar.
Sesudah dengan amat susah payah menembus semua rintangan,
terbetiklah wajah gembira karena hanya tinggal beberapa langkah lagi
sudah nampak daerah yang berwarna agak merah. Membuktikan bahwa
perjalanan tidak tersesat lagi.
Ketika ia mencapai tepi hutan yang berbatasan dengan ladang itu,
hatinya amat lega dan dada terasa lapang. Kemudian ia menyusuri
pematang ladang menuju desa yang terdekat.
Akan tetapi ketika langkah kakinya sudah dekat dengan desa itu, ia
terkejut karena pada saat itu seorang laki2 lari dari rumpun bambu dan
berteriak keras: ?Rampok datang. Hai siap. siap!"
Mayangseto berdiri tertegun, Dalam benaknya timbul rasa heran,
mengapa orang yang lari itu tanpa menyelidiki lebih dahulu akan dirinya
sudah menuduh perampok. Maka untuk membuktikan kebersihannya, ia
tetap berdiri ditempat, seraya memperhatikan perkembangan.
Tak lama kemudian datanglah berbondong orang-orang desa itu,
membawa obor dan senjata aneka ragam.
?Hai, kalian salah sangka!" seru Mayangsato lantang. ?Aku orang yang
tersesat jalan, dan bukan perampok."
Akan tetapi salah seorang dari mereka berseru lebih lantang: ?Cepat,
tangkap dia! Tak mungkin orang datang kedesa kita sesudah matahari
silam."
Tetapi tidak seorangpun diantara mereka menyerbu untuk me
nangkap. Hanya kemudian membuat lingkaran mengepung secara rapat.
Mayangseto sedang berpikir. Apa yang harus dilakukan untukmembela diri? Melawan, ataukah menyerah untuk kemudian memberi
penjelasan? Karena ia tidak menginginkan perkelahian dengan orang2 desa
yang salah paham.
Dan pemimpin desa itu ketika melihat tidak seorangpun yang
bergerak, menjadi marah. Tanpa mengucapkan sepatah katapun sudah
mulai menyerang secara kilat mengarah dagu.
Mayangseto amat terkejut, tidak diduganya bahwa orang tersebut
sudah menyerang secara ganas. Untuk menghindari serangan ini baginya
tidak sulit. Kaki berkisar sedikit, tubuhnya direndahkan, tetapi tidak
membalas menyerang. Maka serangan orang itu mendapat angin.
Ternyata orang yang menyerang ini seludah serangannya yang
pertama gagal, segera melancarkan serangan yang kedua, dengan kepalan
tangan kanan mengarah dada. Mayangseto menangkis dengan tangan kiri.
Tetapi orang itu dengan cepat menarik tangan kanannya dan tangan kirinya
menyerang perut. Mayangseto tidak gugup, ia hanya memiringkan tubuhnya
dan kembali tidak membalas.
Orang yang menyerang ini bernama Maruto, seorang pemuda
terpandang didesa Troketon. Maka sesudah dua kali serangannya gagal, ia
menjadi amat marah. Ia mulal menyerang secara beruntun dan bertubi
tubi. Hingga memaksa kepada Mayangseto untuk mulai melawan.
Pertempuran sudah berlangsung beberapa durus, dan melihat
serangannya selalu dapat digagalkan, Maruto segera mencabut pedangnya.
Pedang yang tajam itu segera mengarah leher. Dan kemudian secara tiba2
berobah menusuk kearah perut.
Untung bahwa Mayangseto waspada, ia bukannya menghindari dengan
merendahkan badan, tetapi mengisarkan kaki kiri kebelakang dan badan
dicondongkan kebelakang pula. Lalu berkisar kekiri, dan secara cepat tangan
kanan memukul pergelangan tangan Maruto.
Terdengar pekik kesakitan, pedang Maruto terlepas. Tetapi pukulan
kepada Maruto bukannya untuk mencelakakan, ia sekedar membela diri agar
senjata itu tidak dipergunakan. Akan tetapi sikap Mayangseto yang
mengalah ini malah menimbulkan kemarahan Jogotirto, tulang punggung
desa Troketon. Maka sesudah ia menyaksikan bahwa Maruto bukan
tandingan perampok muda ini, ia segera melompat dan menyerang.
Terkejut juga Mayangseto mendapat serangan tiba2 ini. Timbul
dugaan dalam hati, bahwa orang inilah kiranya sipemimpin desa. Apabila
dapat ditangkap, akan berakhirlah kesalah fahaman ini. Terpikir demikian,
Mayangseto segera menggunakan kepandaian yang sebenarnya. Dengan
gerakan yang cepat dan gesit dari ilmu Garudasakti warisan Kiageng
Mahesotopo, Mayangseto yang berpakaian putih itu sekarang nampak
seperti bayangan putih yang bergerak melibat libat amat cepat.Orang2 yang menyaksikan amat terkejut. Demikian pula Jogotirto
sendiri, menjadi agak pusing dibuatnya. Namun sebagai seorang pimpinan,
ia tidak mau mengaku kalah begitu saja, dan dengan penuh semangat
mengimbangi lawan. Pukulan2 yang dilancarkan bertenaga besar dan
menerbitkan angin.
Ketika itu Mayangseto mengayunkan kakinya menendang perut
Jogotirto. Tetapi dengan menyeringai, Jogotirto segera mengayunkan tangan
untuk memukul dan mematahkan tulang kaki. Akan tetapi sebenarnya
Jogotirto salah hitung, Tendangan Mayangseto itu hanyalah pancingan
belaka. Ketika tangan Jogotirtu bergerak, kaki ditariknya cepat, dan
kemudian berkisar sedikit kesamping disertai tangan memukul lambung.
Jogotirto terkejut, cepat menangkis dengan tangan kanan. Padahal
saat iuilah yang ditunggu Mayangseto. Maka secara cepat Mayangseto
segera menangkap pergelangan tangan, dan urat nadi-tua digencet dengan
ibu jari secara keras.
Jogotirto memekik kesakitan. Dan sebelum sempat berbuat apa- apa,
tangan sebelah kiri sudah dapat ditangkap Mayangseto, lalu secara cepat
diputar kepunggung,
?Perintahkan semua mundur", perintah Mayangseto.
Akan tetapi Jogotirto diam saja, seakan tidak mendengar perintah
Mayangseto.
?Dengarkan ?! Perintahkan semua mundur", ulang Mayangseto, seraya
menggencet urat nadi lengan.
Jogotirto mendesis kesakitan, tetapi tidak mau memerintahkan
orang2nya supaya mundur, malah menantang: ?Bunuhlah aku, Habis
perkara".
?Kalian salah sangka. Aku bukan perampok".
?Apa tandamu bukan perampok?"
Mayangseto tergagap sebentar. Untung otaknya dapat bekerja,
kemudian membalas bertanya: ?Apa dasarmu menuduh aku perampok?"
?Kau mendekati desa ini sesudah matahari terbenam. Padahal sudah
ada perjanjian diantara penghuni desa sekitar daerah ini, bahwa seseorang
yang akan memasuki desa lain diharuskan membawa obor. Padahal kau
tidak, maka aku tidak segan menuduhmu seorang perampok yang akan
mengganggu desa ini".
?Tetapi aku tidak mengerti perjanjian itu". Bela Mayangseto.
?Hem, siapa yang mau percaya? Lekas, bunuhlah aku dan jangan kau
hina dimuka orang2ku".
?Tidak. Aku bukan perampok dan tidak akan membunuh orang" .
Dalam pada itu keadaan sudah amat tegang dan berbahaya. Karena
orang2 desa yang mengepungnya nampak siap untuk membelapemimpinnya. Padahal ia tidak bermaksud berkelahi dengan orang2 desa ini,
justru malah butuh penginapan.
Keadaan sudah amat tegangnya. Dalam pada itu Jogotirto yang dapat
merasakan sikap Majengseto yang tidak sekasar perampok2 yang datang
dalam daerah ini, demi sedikit mulai berobah pendiriannya,
?Kau datang dari mana?" tanya Jogotirto.
?Aku dari Pajang". Jawab Mayangseto.
?Dari Pajang ? Namanau?"
?Mayangseto".
?Mayangseto?" Jogotirto terbelalak. Lalu bertanya dengan agak gugup
: ?Putera Tumenggung Mayang?"
?Ya, aku inilah Mayangseto putera Tumenggung Mayang", Jawab
Mayangseto tegas.
Tiba2 Jogotirto berseru : ?Mundur ! Mundurlah kalian dan
berkumpullah dirumahku".
?Maafkanlah hamba raden," kata Jogotirto kemudian dengan nada
meminta. ?Hamba tidak menyangka bahwa raden yang datang kedesa kami"
Tangan Jogotirto sudah ditepaskan, sedang orang2 desa yang lain
sudah bubar menuju desanya kembali.
Jogotirto segera mengajak Mayangseto menuju desanya. Akan tetapi
pada saat itu Mayangseto merasakan dadanya sesak tak dapat untuk
bernapas. Luka pada dadanya kambuh, lalu roboh muntah darah.
Untung sekali bahwa Jogotirto tangkas. Secara cepat tubuh
Mayangseto segera dipondong menuju rumahnya.
Orang2 yang menyaksikan terkejut, tetapi Jogotirto segera memberi
isyarat: ?Tenanglah hati kalian. Akan kucobanya menolong tamu kita ini.
Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah raden Mayangseto, putera
Tumenggung Mayang di Pajang".
Jogotirto langsung masuk kerumah. sedang orang2 yang memenuhi
pendapa berpandangan. Dan tiba2 saja mereka segera ribut untuk dapat
menyambut tamunya. Masing2 berserabutan untuk pulang kerumah
mengambil barang yang dimiliki, untuk secara. gotongrotong dapat
menjamu tamu yang tak diduga ini.
Mruto mengikuti Jogotirto masuk kerumah, dan kemudian masuk
kedalam kamar dimana Mayangseto dibaringkan.
?Bagaimana pendapatmu Maruto?" tanya Jogotirto penuh rasa
khawatir.
Maruto menghela napas. Karena ia sendiri tidak mengerti akan hal
pengobatan. Kemudian oleh dua orang ini diputuskan untuk meminta
pertolongan kepada kyai Kusen yang berumah di Ampel.
?Tetapi, berhati2lah dalam perjalananmu. Karena usahamumenentukan martabat kita sekalian ini sebagai orang2 yang setia kepada
Panembahan Senopati".
Maruto menyanggupkan diri, dan kemudian keluar dari kamar untuk
menunaikan tugas. Beberapa pemuda ditugaskan untuk me-ngawal desa,
sedang sepuluh pemuda pilihan dibawanya menuju Ampel.
Sepeninggal Maruto, Jogotirto yang menunggui Mayangseto selalu
gelisah. Ia menyesali diri sendiri mengapa tidak mempunyai pengetahuan
cukup hal pengobatan. Disamping kegelisahannya menyaksikan Mayangketo
yang masih pingsan, ia juga gelisah memikirkan perampok2 yang tangguh
dan berani sedang mengganggu desa2 daerah ini. Hingga sudah makan
korban jiwa ber puluh2 didesa Giyanti, Tengaran, Sruwen dan sementara
desa yang lain. Untunglah bahwa sampai saat ini desa Troketon belum
pernah kedatangan perampok2 yang ganas tersebut.
Gadis2 dalam desanya tidak seorangpun hilang, dan harta benda
penduduk masih selamat. Akan tetapi bahaya setiap waktu masih
mengancam, mengingat pada saat ini perampok masih mengganas.
Tiba2 sayup2 terdengar suara kentong susul menyusul dari arah timur.
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jogotirto amat terkejut, lalu keluar dari kamar dengan tergesa Ketika
sampai dipendapa didapatinya orang2 sibuk membawa senjata dan
menyebar ketempat gelap.
Agak terhibur sedikit hatinya, sesudah menyaksikan orang-orang desa
Troketon dalam keadaan siap sadia. Dalam hati selalu mohon perlindungan
Tuhan, agar desa selamat dari bahaya dan yang sedang menunaikan
tugaspun selamat pula. mengingat tanggung-jawabnya kepada Mayangseto
yang diakui sebagai pemimpinnya.
Dalam pada itu Maruto dengan sepuluh pemuda yang sedang bertugas
menuju Ampel mencari obat, ketika mendengar tanda bahaya amat terkejut.
Maruto segera memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan senjata
masing2, obor yang dibawanya telah dimatikan, dan mereka maju satu
persatu dengan penuh kewaspadaan. Maruto berjalan paling muka, untuk
melindungi anak buahnya apabila terjadi sesuatu.
Tiba tiba dari arah muka terdengar suara orang berlarian. Maruto dan
kawan kawannya segera menyebar dan bersiap diri. Ternyata orang yang
berlarian itu berjumlah empat orang bersenjata golok dan pedang. Dengan
amat beraninya, Maruto dan kawan-kawannya segera menerjang. Dan
terjadilah pertempuran secara keroyokan, empat orang dikerojok sebelas.
Terdengar salah seorang perampok itu berkata: ?Hem, tikus2 kecil ini
berani mati benar."
?Mereka sudah bosan hidup," sambung yang lain. ?Ayolah kita segera
berpesta,"
Dengan menggertakkan gigi menahan marah, Maruto dan kawan2nyatidak menjawab, tetapi menyerang dengan serempak. Senjata mereka saling
berkelebat dalam gelap malam, dan tiap saat akan dapat menyobek kulit
dan daging.
Maruto dibantu seorang kawannya, mengeroyok seorang penjahat
yang tadi mengejek sebagai tikus kecil. Penjahat tersebut bersenjata golok
panjang dan diputarkan amat cepat, sehingga menerbitkan angin. Hal ini
membuktikan bahwa penjahat tersebut bertenaga besar. Dan agaknya
penjahat tersebut mengerti, babwa kawan Maruto lebih lemah. Maka untuk
mengurangi kekuatan lawan, penjahat ini banyak memusatkan serangannya
kepadanya.
Maruto amat terkejut. Dengan pedangnya ia segera memberikan
tekanan. Pedang diputarkan cepat untuk menyerang sambil melindungi
kawan.
Akan tetapi penjahat tersebut memang tangguh. Dengan ketawa2 ia
dapat melayani keroyokan dua orang. Malah banyak kali menyerang
pengeroyoknya dengan serangan2 yang mematikan.
Penjahat dan pemuda2 tersebut bertempur mati matian. Karena bagi
ke empat penjahat tersebut, apabila dapat merobohkan musuhnya berarti
dapat selamat. Dan sebalikrija pemuda2 desa Troketon yang benci akan
kejahatan, juga berusaha untuk merobohkan musuhnya Merekapun juga
mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki.
Namun pada kenyataannya, pemuda2 desa Troketon ini merupakan
pemuda2 yang belum berpengalaman, dan belum memiliki kapandaian yang
berarti. Maka meskipun mengeroyok, belum juga berhasil menundukkan
lawan.
Tiba2 terdengarlah pekik kesakitan, disusul dengan robohnya salah
seorang kawan Mituto. Dan sebelum dapat berbuat apa2, seorang lagi
menjerit dan kemudian menyusul roboh.
Menyaksikan dua orang kawan mereka telah terluka, timbullah rasa
gentar dalam dada para pemuda yang belum berpengalaman itu. Hal ini
mengakibatkan perlawanan mereka menjadi kendur dan merugikan fihak
mereka.
Dengan tidak terduga, pemuda yang membantu Maruto berbuat
lengah. Pundaknya terkena tusukan golok, ia menjerit dan kemudian
menyusul roboh. Peristiwa ini menyebabkan pemuda2 tersebut makin gentar
dan perlawanannyapun makin lemah. Maruto merasa khawatir, karena
kekalahan berarti gagalnya usaha menolong Mayangseto yang diakui
sebagai pemimpin fihak Mataram. Maka sambil bertempur Maruto memberi
semangat kepada kawan2nya; ?Rapatkan kerjasamamu kawan, jangan
lengah. Kita berdiri pada fihak yang benar, Tuhan tentu menyertai kita "
Terdengar jawaban salah seorang penjahat dengan mengejek: ?Ya,rapatkan kerjasamamu kawan. Agar kami lebih cepat mengantarkan kamu
semua keakhirat."
Mendengar ejekan itu seakan meledak dada Maruto karena marah.
Bersama kawannya ia mulai mengadakan serangan balasan untuk menebus
kekalahannya. Akan tetapi meskipun Maruto dan kawan2nya berusaha
sekuat tenaga untuk menghalau penjahat2 tersebut, tetap tidak berhasil.
Makin lama Maruto dan kawan2nya malah mendapat tekanan hebat dan
hanya tinggal mampu menangkis tanpa dapat membalas serangan.
Gelagat ini makin mengkhawatirkan Maruto. Karena semangat mereka
bertempur makin turun dan napaspun makin memburu. Keadaan Maruto dan
kawan2nya dalam bahaya, dan setiap saat para penjahat itu akan dapat
menyapu kekuatan pemuda Troketon ini. Karenanya, tiada harapan lain
kecuali mohon perlindungan Tuhan agar tugasnya berusaha obat bagi
Mayangseto tidak gagal di tengah jalan.
Pada saat Maruto dan kawan2nya dalam keadaan bahaya ini, secara
tiba2 berkelebatlah bayangan hitam yang bergerak amat cepat. Tanpa
diketahui bagaimana gerakan orang pendatang ini, tahu2 empat perampok
tersebut sudah roboh tak berkutik. Pertolongan yang datang secara tak
terduga ini sudah barang tentu amat menggembirakan Maruto dan
kawan2nya. Dan terdorong oleh rasa marah kepada para penjahat yang
sudah melukai kawan2nya itu, dengan serempak Maruto dan kawan2nya
menggerakkan senjata untuk membunuh. Akan tetapi dengan tak terduga,
orang tersebut bergerak amat cepat, dan tahu2 senjata mereka sudah
terampas.
Lalu terdengarlah suara orang itu perlahan penuh wibawa : ?Biarkan mereka
hidup. Kamu tidak mempunyai hak turun tangan."
Maruto dan kawan2nya memandang orang yang menolong ini penuh
rasa, heran dan kagum. Samar2 dalam gelap Maruto dapat menyaksikan
bahwa orang yang datang ini sudah berusia lanjut, bertubuh tinggi agak
kurus. Dan sebelum Maruto dapat membuka mulut, terdengarlah
pertanyaannya: ?Sudah selesaikah tugasmu?"
Amat terkejut Maruto mendengar pertanyaan itu. Karena Maruto cepat
menyadari bahwa sekarang sedang bertugas mencari obat. Maka jawab
Maruto singkat: ?Belum."
?Mengapa tidak segera kamu laksanakan? Bukankah kamu bermaksud
ke Ampel untuk mendapatkan obat ?"
Maruto lehih terkejut lagi mendengar kata2 yang amat tepat itu.
Dalam hati merasa bingung, mengapa orang ini mengetahui gerak geriknya.
Hampir saja Maruto mengakui kebenaran orang tersebut. Tetapi untunglah
bahwa sebelum membuka mulut Maruto cepat menyadari bahwa tugas yang
sedang dipikul tidak perlu diketahui orang lain. Mayangseto perlu mendapatperlindungan dengan jalan apapun. Oleh karena itu jawabnya kemudian:
?Tidak! Kami tidak akan pergi ke Ampel".
Orang itu tertawa lembut, tetapi bernada tidak percaya, dan tiba2 saja
ia berkata : ?Bukankah kamu akan pergi mencarikan obat untuk menolong
seorang tamu yang menderita luka dalam? Dan diantara kamu tidak
seorangpun yang tahu hal pengobatan?"
Baik Maruto maupun kawan2nya lebih terkejut lagi mendengar kata
orang itu. Apa yang dikatakan ternyata selalu tepat dan benar. Tetapi tiba2,
timbullah rasa kecurigaan dalam hati Maruto, bahwa amat mungkin orang
inilah yang sudah mencelakakan dan melukai Mayangseto. Karena melihat
gerak dan kepandaiannya berkelahi, tidaklah mustahil apabila Mayangseto
dapat dikalahkan dan menderita luka dalam. Oleh kecurigaannya yang tiba2
timbul itu, apapun yang terjadi, tidaklah sudi Maruto untuk mengaku.
Karena itu, jawab Maruto tegas : ?Tidak! Desa kami tidak menerima
seseorang tamu, apapula menderita luka seperti yang tuan sebut itu".
?Hem, anak2 muda sekarang banyak yang pintar berbohong". Kata
orang itu tetap perlahan. ?Ternyata kamu ini terdiri dari pemuda2 yang tak
berguna. Pemuda2 yang tidak mengenal terima-kasih dan budi orang. Kamu
telah kutolong dari bahaya, mengapa masih tidak mau berterus terang
kepadaku ? Apakah keuntungan, yang kau peroleh dari usahamu berdusta
itu, anak muda ?"
Maruto menjadi makin curiga demi insyaf bahwa penolongnya ini
tampak amat mendesak supaya mengaku. Maka jawab Maruto hati2 ?Kami
berkata sebenarnya. Kami tidak menerima seseorangpun tamu, apapula
dalam keadaan luka seperti kata tuan. Dan maafkanlah kami, apabila kami
lupa menghaturkan terima-kasih kepada tuan. Atas budi kebaikan tuan kami
menghaturkan terimakasih. Dan perkenankanlah sekarang mohon diri".
?Tidak!" Jawab orang itu. ?Karena ucapanmu itu tidak jelas. Kamu
masih menyembnnjikan hal2 yang sebenarnya, dan masih berdusta. Ayoh,
berkatalah sebenarnya sekarang, bahwa kamu menerima seorang tamu
bernama Mayangseto, bukan ?"
Mendengar bahwa orang tersebut dapat menerka secara tepat siapa
orang yang sedang menderita luka didesanya, Maruto makin curiga dan
tidak sudi mengaku.
?Terserah anggapan tuan. Kami tidak membohong dan kami
bertanggung jawab akan sesuatu yang sudah kami lakukan". Jawab Maruto
tegas.
Terdengarlah orang tersebut tertawa, dan kemudian katanya: ?Nah,
kau secara tidak sadar sudah mengakui sekarang bahwa dalam desamu
kamu simpan seorang bernama Mayangseto dan menderita luka".
Maruto dan kawan2nya tertegun mendengar kata orang ter-sebut,hingga tiada yang kuasa membuka mulut.
?Ternyata kamu masih kurang hati2 bicara anak muda," kata orang
tersebut seakan memberi nasihat. ?Karena sekalipun kamu tadi berusaha
menyembunjikan rahasia itu tetapi sekarang sudah kau akui sendiri. Hem,
orang2 seperti kamu ini masih perlu mendapat kursus, dan mendapat
didikan dalam berbicara dan menyimpan rahasia. Ketahuilah anak muda,
bahwa ketertiban bicara itu amat penting dalam tugasmu. Hidup dan mati,
derita dan bahagia, serta hal2 yang menyangkut soal hidup kita ini, adalah
tergantung kepada tata tertib bicaramu. Ingatlah akan pepatah yang
berbunyi : ? ajining diri saka kedaling lati (harga diri seseorang ditentukan
oleh gerak dari bibir). Oleh karena itu kamu harus berlatih setertib mungkin
dalam tutur dan bicaramu".
Maruto berdiam diri, dan merasa bingung menghadapi orang yang
secara tiba2 malah memberi nasihat begitu baik. Timbul pertanyaan dalam
hati Maruto, apakah rahasia yang disimpan oleh orang tua ini?
Orang tua itu mengamati Maruto tajam2, lalu meluncurlah
pertanyaannya: ?Mengapa kamnu menolong Mayangseto? Dan apakah
keuntunganmu?"
Mendengar pertanjaan itu, tiba2 Maruto menjadi marah. ?Tiap orang
mempunyai kebebasan dan kemerdekaan menentukan langkah. Mengapa
tuan turut campur?"
Orang itu malah tertawa, lalu mengejek : ?Aku tahu alasanmu.
Tidakkah kamu berusaha melindungi Mayangseto itu disebabkan kamu
beranggapan bahwa ia termasuk pemimpinmu? Sebagai pemimpin pembela
Mataram dan Pajang ? Apakah untungmu membela Pajang?"
?Tuan siapa? Apakah pengikut Pangeran Pangiri?"
Orang itu tertawa lagi mendengar pertanyaan Maruto. Dan tiba2
semua senjata yang tadi dirampasnya, dilempartan kepada glaruto dan
kawananya seraya berkata: ?Terimalah senjatamu. Benarlah dugaanmu
bahwa aku pengikut Pangeran Pangiri. Mayangseto yang terluka sekarang,
akibat bertempur dengan aku. Kamu akan membela?"
Darah Maruto mendidih tiba2 mendengar ejekan itu. Meskipun ia
menyadari bahwa orang tersebut tidak akan dapat dilawannya, namun
Maruto tidak sudi perjuangan yang dibelanya diremehkan orang. Maka
segera diberikan aba2 untuk segera menyerang kepada orang tersebut.
Atas serangan Maruto dengan kawan2nya itu, orang tersebut tertawa
melayani serangan delapan orang tanpa bergeser sedikitpun. Ia melayani
dengan tangan kosong, tetapi tiap senjata tersentuh oleh tangannya,
Guntur Geni Dan Cambuk Kilat Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sipemegang senjata merasakan telapak tangannya panas.
Maruto mengeluh dan cemat menghadapi seorang pengikut Pangeran
Pangiri yang sakti ini. Dan ternyata bahwa ia bukannya membalasmenyerang, malah seakan mempermainkan. Maruto dan kawan2nya sudah
mandi peluh dan napas tersengal-sengal, namun usahanya untuk
merobohkan orang tersebut tidak berhasil.
?Bagus!" serunya tiba tiba. ?Ternyata kamu terdiri dari pemuda2 yang
tabah, pantang menyerah sekalipun karnu menghadapi orang yang bukan
tandinganmu. Ha, ba, ba, beberapa saat lagi kamu semua akan roboh
kehabisan nafas. Dan aku akan menang tanpa memukulmu".
Atas ejekan itu hati Maruto makin panas. Ia segera mengerahkan
seluruh tenaganya untuk dapat melukai lawan. Akan tetapi usahanya tetap
tak berhasil, dan tiap senjata bersentuhan dengan tangan orang itu, Maruto
merasakan panas dan pedas pada telapak tangannya, hingga hampir tidak
lagi bisa mempertahankan senjata dalam tangannya.
Beberapa saat kemudian, benar juga apa yang dikatakan orang itu
Seorang demi seorang kawan2 Maruto roboh kepayahan dan akhirnya
Maruto tinggal seorang diri terus melawan sekuat tenaga.
Tiba - tiba tangan orang itu bergerak, dan dengan tak disadari,
pedang Maruto sudah berhasil direbut. Kamudian secepat kilat orang
tersebut menangkap dua belah tangan Maruto. Karena pemuda ini sudah
amat payah, ia tidak dapat berkutik lagi dan menyerah menanti saat
dibanting ketanah.
Akan tetapi ternyata apa yang disangkanya tidak terjadi Dan
kemudian terdengar kata orang tersebut perlahan: ?Anak muda, kau tidak
perlu takut. Pulanglah segera dan tolonglah tamumu secepatnya. Terimalah
obat dalam kantong ini, dan minumkanlah. Niscaya Mayangseto segera
sembuh. Harap kau ketahui bahwa ia memang sedang menderita luka dalam
yang belum sembuh. Dan akibat perkelahiannya dengan kamu dan dengan
Jogosatru sore tadi, luka itu kambuh kembali."
?Tidak!" Jawab Maruto lantang dan cepat. ?Aku tidak sudi menerirna
obatmu."
Orang itu ketawa lembut, lalu katanya : ?Ternyata kamu masih tetap
mencurigaiku anak muda, menganggap aku benar2 pengikut Pangeran
Pangiri dan yang menyebabkan Mayangseto luka dalam. Kau keliru anak
muda, karena apabila aku benar2 pengikut Pangeran Pangiri, apakah kamu
masih hidup? Tentu kamu semua sudah aku bunuh, atau kubiarkan kamu
mati terbunuh oleh para perampok itu. Percayalah bahwa aku sengaja
menolongmu dan menolong tamumu yang sedang menderita luka."
Tetapi Maruto masih diam tak mau menjawab.
?Anak muda," kata orang itu lagi, ?ketahuilah bahwa apa yang
kulakukan tadi adalah sengaja untuk menguji sampai di-mana kesetiaanmu
kepada Mataram dan Pajang dan kesetiaanmu kepada seorang yang kau
akui sebagai pemimpin."Dalam hati Maruto kemudian mengakui, bahwa apa yang dikatakan
orang itu seluruhnya benar. Dan apabila ia bermaksud jelek sudah barang
tentu ia dan kawan kawan2nya sudah menjadi mayat oleh para perampok.
Maka kemudian timbullah kepercayaan dalam hati Martuo bahwa orang ini
benar2 datang untuk menolong Oleh karena itu kata Maruto kemudian:
?Apakah kata2 tuan itu dapat kami percaya, siapa nama dan getar tuan ?"
Orang itu katawa, dan kemudian jawabnya : ?Tak usah kamu
Gaung Keheningan Eloquent Silence Karya Tamu Dari Gurun Pasir To Liong Keng Animorphs 1 Serbuan Makhluk Asing
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama