Low Pressure Karya Sandra Brown Bagian 1
LOW
PRESSURE
Sandra Brown
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
LOW PRESSURE
by Sandra Brown
his translation is published by arrangement with
Maria Carvainis Agency, Inc.
Translated from the English Play Dirty.
Copyright ? 2012 by Sandra Brown Management, Ltd.
First published in the United State by Grand Central Publishing,
New York.
All rights reserved.
LOW PRESSURE
GM 402 01 13 0069
Alih bahasa: Dini Pandia
Desain sampul: Eduard Iwan Mangopang
Hak cipta terjemahan Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 29-37
Blok I, Lt. 5
Jakarta 10270
Indonesia
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI,
Jakarta, Mei 2013
632 hlm; 18 cm
ISBN: 978 ? 979 ? 22 ? 9552 ? 8
ebook by
www.facebook.com/indonesiapustaka
bacaan-indo.blogspot.com
Kepada
Mary Lynn dan Len Baxter
dengan terima kasih tak terhingga untuk kepercayaan
kalian padaku,
persahabatan kalian yang tak lekang oleh waktu,
dan kasih kalian yang luar biasa.
A.K.A.
7
Prolog
Tikusnya sudah mati, tapi tetap saja menakutkan
seperti kalau masih hidup.
Bellamy Price membungkam jeritannya di balik
tangan dan, sambil membekap mulut, mundur menjauhi kotak hadiah yang terbungkus kertas kado
mengilap dan pita satin. Binatang itu tergeletak di
hamparan kertas tisu perak, ekor pinknya yang panjang bergelung di badannya yang gemuk.
Ketika punggungnya menyentuh dinding, Bellamy
merosot sampai bokongnya mengenai lantai. Dengan
tubuh membungkuk, ia menurunkan tangan dari mulut dan menutup mata. Tetapi, ia begitu ketakutan
sehingga tak bisa menangis. Isakannya kering dan serak.
Siapa yang tega berbuat sekeji itu? Siapa? Dan
mengapa?
8
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hari ini
pun mulai berkelebat di benaknya bagai rekaman
video yang dipercepat.
"Kau hebat sekali!"
"Terima kasih." Bellamy berusaha mengikuti kecepatan tinggi publisis dari penerbitnya. Wanita itu
melakukan segala hal seolah sarapannya dibubuhi obat
speed saja.
"Pertunjukan tadi nomor satu di slot waktunya."
Omongannya yang bagai rentetan senapan mesin sesuai dengan detak sepatu stiletto-nya. "Jauh di depan
pesaing. Kita berurusan dengan lima juta penonton.
Kau tampil dalam skala nasional yang sangat luas."
Padahal tepat itulah yang ingin dihindari Bellamy.
Namun, ia tidak mau buang waktu untuk mengatakannya. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Baik si publisis
maupun agennya, Dexter Gray, tidak mengerti mengapa Bellamy ingin mengarahkan publisitas ke buku
larisnya, bukan ke dirinya sendiri.
Dexter, dengan tangan memegang erat siku
Bellamy, membimbingnya melintasi lobi marmer gedung pencakar langit Manhattan. "Kau luar biasa.
Tanpa cela, tapi hangat. Manusiawi. Wawancara tadi
mungkin bisa mendongkrak penjualan Low Pressure
sampai seribu eksemplar, dan memang itulah tujuannya." Dexter membawa Bellamy menuju pintu keluar,
penjaga pintu berseragamnya menyentuh topi saat
Bellamy berlalu.
9
"Saya sampai begadang membaca buku Anda, Ms.
Price."
Bellamy nyaris tidak sempat mengucapkan terima
kasih padanya sebelum didorong memasuki pintu putar, yang seolah memuntahkannya ke plaza. Terdengar
teriakan dari kerumunan yang berkumpul untuk melihat sekilas para narasumber pagi ini ketika orangorang itu masuk dan keluar studio televisi.
Si publisis senang sekali. "Dexter, bantu dia menemui kerumunan. Aku akan memanggil fotografer ke
sini. Kita bisa menggunakan ini untuk liputan televisi
lagi."
Dexter, yang lebih sensitif terhadap keengganan
kliennya pada publisitas, berjinjit dan berbicara langsung ke telinga Bellamy supaya suaranya kedengaran
di antara keriuhan jam sibuk Midtown. "Tidak ada
salahnya memanfaatkan situasi dan menandatangani
beberapa buku. Sebagian besar penulis bekerja keras
sepanjang kehidupan profesional mereka?"
"Dan tak pernah memperoleh sorotan media yang
seperti ini," tukas Bellamy, menyelesaikan kalimat
Dexter. "Ribuan penulis rela menyerahkan tangan kanan demi ini. Begitu katamu padaku. Berulang
kali."
"Tidak mengapa kok diulang-ulang." Dexter menepuk lengan Bellamy sambil membawanya mendekati
orang-orang penuh semangat yang berjejalan di balik
barikade. "Senyumlah. Masyarakat pengagummu sudah menunggu."
Para pembaca yang langsung menyukai Bellamy
10
berdesak-desakan untuk bersalaman derngannya dan
memintanya menandatangani Low Pressure milik mereka. Dengan setenang mungkin ia mengucapkan terima
kasih dan tersenyum saat difoto dengan kamera ponsel.
Tangannya sedang dijabat penggemar yang antusias
ketika, di sudut mata, Bellamy melihat Rocky Van
Durbin, penulis tabloid harian EyeSpy. Van Durbin
berdiri agak terpisah dari kerumunan, menyeringai
bangga dan memberikan instruksi pada fotografer
yang mendampinginya.
Van Durbin-lah yang mengetahui lalu dengan penuh semangat membeberkan fakta bahwa T. J. Davis,
yang buku pertamanya menggemparkan dunia perbukuan juga Hollywood, ternyata Bellamy Price, wanita
menarik berusia tiga puluhan:
"Mengapa warga asli Texas ini?bermata biru, berkaki panjang, dan bertubuh seksi, itulah yang kita
sukai, bukan??ingin bersembunyi di balik nama samaran yang tidak menarik, reporter yang satu ini tidak tahu. Meski penulisnya suka berahasia, Low
Pressure melesat ke puncak daftar-daftar buku laris,
dan sekarang, rupanya Ms. Price keluar dari persembunyian dan terjun sepenuhnya ke dunia ini. Ia melupakan sepatu bot dan topinya, meninggalkan negara bagian Lone Star, dan sekarang tinggal di apartemen penthouse yang menghadap ke Central Park di
Upper West Side, menikmati status selebritas mendadaknya."
Sebagian besar omongan itu cuma isapan jempol,
11
kebenarannya hanya cukup supaya tidak dianggap
pencemaran nama baik. Bellamy memang bermata
biru, tapi tingginya rata-rata, tak bisa dibilang jangkung, seperti yang disiratkan tulisan Van Durbin.
Menurut standar mana pun, Bellamy tidaklah seksi.
Ia memang memiliki topi koboi, namun sudah bertahun-tahun ia tidak memakainya. Ia tak pernah punya sepatu bot bertaji, juga tidak kenal siapa pun
yang memilikinya. Ia tidak meninggalkan negara bagian kampung halamannya, seperti yang disiratkan
Van Durbin. Ia hanya pindah ke New York beberapa
tahun lalu, lama sebelum bukunya diterbitkan. Ia memang tinggal di Upper West Side, berseberangan dengan taman, namun bukan di penthouse.
Tetapi, ketidakakuratan yang paling buruk adalah
Van Durbin menyatakan Bellamy menikmati statusnya
sebagai selebritas, yang dianggap Bellamy lebih sebagai
cahaya menyilaukan daripada memesona. Cahaya itu
makin terang ketika Van Durbin menulis artikel lanjutan di halaman depan yang kembali berisi pembeberan mengejutkan.
Meskipun diterbitkan sebagai karya iksi, Low
Pressure sebetulnya kisah nyata yang dinovelisasi. Kisah nyata Bellamy. Kisah nyata tragis keluarganya.
Dengan kecepatan roket, pembeberan itu melemparkannya ke langit ketenaran yang lebih tinggi. Bellamy
membencinya. Ia menulis Low Pressure bukan untuk
mendapatkan uang dan ketenaran. Menulis kisah itu
bagai terapi baginya.
Sejujurnya, ia memang berharap kisah itu bakal
12
diterbitkan, dibaca secara luas, dan diterima baik oleh
pembaca serta kritikus, tapi ia menerbitkannya dengan
nama samaran netral, tidak jelas nama perempuan
atau laki-laki, untuk menghindari sorotan yang sekarang mengarah padanya ini.
Low Pressure sudah ditunggu-tunggu bahkan sebelum tersedia di toko buku. Karena sangat meyakini
potensinya, penerbit menyediakan dana besar untuk
publikasi, memasang papan iklan di kota-kota besar
dan iklan cetak di banyak majalah, koran, serta Internet. Jejaring media sosial heboh berbulan-bulan sebelum tanggal penjualannya. Semua ulasan memuji. T.
J. David disandingkan dengan para penulis kriminal,
iksi dan noniksi. Bellamy menikmati kesuksesan
buku itu dari balik perlindungan nama samaran.
Tetapi, begitu Rocky Van Durbin mengungkapkan
semuanya, segalanya pun buyar. Bellamy merasa penerbitnya dan Dexter, serta siapa saja yang diuntungkan
penjualan bukunya, diam-diam senang identitas serta
latar belakang bukunya sekarang ketahuan.
Sekarang mereka tidak hanya punya buku untuk
dipromosikan, tapi juga individu, yang mereka anggap
"impian publisis".
Mereka menggambarkannya sebagai wanita yang
menarik, berpendidikan, pandai bicara, tidak terlalu
muda sehingga centil, tapi juga tidak terlalu tua sehingga membosankan, ahli waris yang menjadi penulis
buku laris. Bellamy punya banyak "sisi" untuk dimanfaatkan, yang paling utama adalah Bellamy ingin anonim. Usahanya bersembunyi di balik nama samaran,
13
ternyata, membuat dirinya semakin bikin penasaran.
Rocky Van Durbin menikmati ketertarikan media
pada Bellamy, ia ikut menciptakannya, dan, tak pernah puas, terus membangkitkan rasa ingin tahu publik dengan info-info kecil tentang Bellamy, sebagian
besar merupakan kebohongan besar, spekulatif, atau
sangat dilebih-lebihkan.
Sambil terus memberikan tanda tangan dan berfoto
bersama para pengagumnya, ia pura-pura tidak melihat pria itu, tapi gagal. Van Durbin dengan kasar
menyikut kanan-kiri untuk menerobos kerumunan
agar bisa mendekatinya. Karena melihat ia datang,
Dexter mewanti-wantinya dengan berbisik, "Jangan
biarkan ia memancing emosimu. Orang-orang mengamati. Ia pasti ingin membuatmu mengatakan sesuatu
yang bisa ditulisnya di luar konteks."
Waktu si "jurnalis" berhadap-hadapan dengan
Bellamy, membuat Bellamy mustahil mengabaikannya,
pria itu tersenyum, menampakkan dua baris gigi kuning bengkok, yang dibayangkan Bellamy dikikir Van
Durbin supaya seringainya bisa terkesan buas begitu.
Sambil memandang Bellamy dari ujung rambut
sampai ujung kaki, ia bertanya, "Berat badanmu berkurang ya, Ms. Price? Mau tidak mau aku menyadari
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau tampak lebih kurus."
Beberapa minggu lalu Bellamy dibilang seksi. Besok
ia bisa saja dibilang mengalami gangguan makan.
Tanpa memedulikan pertanyaan licik laki-laki itu,
Bellamy bercakap-cakap dengan wanita yang memakai
kaus tangan panjang Ohio State dan mahkota Statue
14
of Liberty dari spons hijau. "Klub buku saya sekarang
membaca buku Anda," wanita tersebut memberitahunya sementara mereka berpose untuk difoto suaminya
yang juga antusias.
"Saya sangat berterima kasih."
"Para anggota lain takkan percaya saya bertemu
Anda!"
Bellamy mengucapkan terima kasih sekali lagi dan
kembali berjalan. Tanpa peduli, Van Durbin menjajarinya, sibuk menulis di notes spiral kecil. Kemudian,
menyusup di antara Bellamy dan orang berikut yang
menunggu perhatian Bellamy, ia bertanya, "Menurutmu, siapa yang akan jadi pemeran utama di ilmnya,
Ms. Price?"
"Bukan siapa-siapa. Aku tidak tahu soal ilm."
"Tapi tidak lama lagi akan tahu. Semua tahu para
produser antre untuk menghujanimu dengan uang
agar boleh memilmkan Low Pressure. Ada desas-desus
beberapa aktor dan aktris papan atas sedang berkampanye agar terpilih untuk jadi pemeran. Bagian casting
belum pernah sesibuk ini."
Bellamy memandangnya dengan kesal.
"Tidak ada komentar tentang masalah itu?"
"Tidak ada," katanya, menekankan kata itu sedemikian rupa supaya tidak ada pertanyaan lagi. Tepat pada
saat itu seorang pria menyelinap di antara dua wanita
muda dan menyodorkan buku pada Bellamy. Bellamy
segera mengenalinya. "Wah, halo lagi. Hmm"
"Jerry," sahutnya, tersenyum lebar.
"Jerry, ya." Wajah Jerry terbuka dan ramah, rambut15
nya sudah menipis. Ia beberapa kali menghadiri acara
penandatanganan buku dan Bellamy melihatnya di antara penonton waktu ia berceramah di toko buku kampus NYU. "Terima kasih kau mau datang pagi ini."
"Aku tidak pernah melewatkan kesempatan bertemu denganmu."
Bellamy menandatangani halaman judul, yang dibentangkan Jerry. "Dengan ini, jadi sudah berapa
bukuku yang kaubeli, Jerry?"
Laki-laki itu tertawa. "Aku membelinya sebagai
kado ulang tahun dan Natal."
Bellamy menduga pria itu juga terpesona padanya.
"Yah, aku dan penerbitku mengucapkan terima kasih."
Ia bergerak lagi dan, sementara Jerry kembali berbaur dengan kerumunan, Van Durbin dengan berani
menyikut orang-orang supaya bisa terus berdekatan
dengan Bellamy. Laki-laki tersebut ngotot dengan pertanyaan mengenai kemungkinan dibuatnya ilm berdasarkan buku Bellamy.
"Ayolah, Ms. Price. Beri para pembacaku petunjuk
siapa yang menurutmu cocok memainkan tokoh-tokoh kunci. Siapa yang akan kaujadikan pemeran anggota keluargamu?" Ia mengedipkan sebelah mata dan
mencondongkan tubuh ke depan, bertanya dengan
suara pelan, "Siapa yang menurutmu cocok jadi si
pembunuh?"
Bellamy memandangnya tajam.
Van Durbin menyeringai dan berkata pada si fotografer, "Kuharap kau memotretnya tadi."
16
* * *
Sisa hari itu sama hebohnya.
Ia dan Dexter menghadiri rapat di penerbit untuk
mendiskusikan kapan edisi paperback Low Pressure
akan diterbitkan. Setelah lama bertukar pikiran, diputuskan bahwa buku tersebut begitu laris dalam format
hardcover dan e-book sehingga edisi alternatif sebaiknya
baru ada enam bulan lagi.
Setelah rapat, mereka makan siang bersama produser ilm. Sehabis menyantap salad lobster dan asparagus dingin di suite hotelnya yang aman, pria itu dengan sepenuh hati menjelaskan ilm yang akan
dibuatnya, menjamin bahwa kalau mereka menjual
hak pembuatan ilm padanya, ia akan mengadaptasi
bukunya sebaik mungkin.
Ketika mereka meninggalkan pertemuan itu, Dexter
bercanda, "Temanmu si Van Durbin pasti sangat gembira kalau tahu tentang pertemuan barusan."
"Ia bukan temanku. Identitas asli T. J. David
mestinya jadi rahasia yang tertutup rapat. Siapa yang
disogok Van Durbin supaya tahu namaku?"
"Pegawai magang penerbit, asisten di bagian kontrak. Bisa siapa saja."
"Orang di agensimu?"
Dexter menepuk tangan Bellamy. "Kita mungkin
takkan pernah tahu. Apakah penting mengetahui siapa orangnya sekarang?"
Bellamy mendesah pasrah. "Tidak. Nasi sudah jadi
bubur."
17
Pria itu tertawa. "?Bubur? ada yang suka juga."
Dexter mengantarkannya sampai di depan gedung
apartemen, lalu memperingatkan, "Besok hari yang
sangat padat juga. Istirahatlah malam ini. Aku akan
datang menjemputmu jam tujuh pagi."
Bellamy berpisah dengannya sambil berjanji takkan
terlambat, lalu memasuki lobi gedung. Concierge berseru padanya dari balik meja. "Paket untuk Anda
baru saja diantarkan beberapa saat lalu."
Paket itu tampak cukup aman ketika Bellamy meletakkannya di meja makan bersama setumpuk surat.
Kardusnya ditutup selotip bening. Ia menyadari nama
dan alamatnya tercantum di label, tapi tidak ada informasi tentang si pengirim. Aneh juga, namun ia tidak
terlalu memikirkannya waktu merobek selotip, membuka tutup kardus, dan mengangkat kotak terbungkus
kertas kado di dalamnya.
Ia takkan pernah menyangka isinya ternyata begitu
mengerikan.
Sekarang, duduk di lantai dengan punggung tersandar di dinding, ia menurunkan tangan dari mata dan
menatap kotak yang bagian atasnya dipenuhi kertas
tisu mencuat tersebut. Penampilannya yang indah
begitu tidak sesuai dengan isinya sehingga pasti dimaksudkan sebagai lelucon.
Lelucon? Tidak. Ini tidak lucu. Ini jahat.
Namun, Bellamy tidak bisa memikirkan siapa yang
pernah disakitinya, juga siapa yang bisa demikian
membencinya. Apakah Rocky Van Durbin, meskipun
18
sangat menyebalkan, mampu melakukan tindakan serendah dan sekotor mengiriminya bangkai tikus?
Pelan-pelan ia bangun sambil tetap bersandar, punggungnya menempel di dinding sementara ia dengan
goyah menjejakkan kaki. Setelah tegak sepenuhnya, ia
bisa melihat tikus yang tergeletak di kertas mengilap
itu. Bellamy berusaha mematikan perasaan supaya
mampu memandangnya. Ia mencoba menatap bangkai
itu dengan objektif, tapi karena tikus tersebut sangat
menjijikkan, semua bagian badannya seolah begitu
jelas kelihatan.
Ia menelan ludah yang terasa pahit, menggosok lengannya yang merinding, dan dengan susah payah
menguatkan diri. Bagaimanapun, itu kan hanya bangkai hewan pengerat. Tikus berseliweran di stasiun
kereta bawah tanah. Ia tidak pernah bereaksi sehebat
ini ketika melihat tikus terbirit-birit di rel.
Ia akan memasang kembali tutup kotak dan membawanya ke saluran sampah di ujung koridor. Dengan
berbuat begitu ia akan menyingkirkannya; ia bakal
dapat melupakannya dan melanjutkan hidup, menolak
membiarkan orang jail mengerjainya.
Dengan menguatkan hati, Bellamy maju selangkah,
kemudian selangkah lagi, dan lagi, sampai hampir di
dekat kotak.
Lalu tahu-tahu ekor si tikus bergerak.
19
Dent mengangkat telepon sambil menggerutu.
"Apa?"
"Kau masih di tempat tidur?"
"Jam berapa sekarang?"
"Kedengarannya kau mabuk."
"Apakah aku perlu tidak mabuk?"
"Kalau mau pekerjaan ini."
"Hari ini?"
"Begitu kau sampai di sini."
"Aku memang takut kau akan bilang begitu. Apakah hasilnya sepadan dengan susah payahku?"
"Sejak kapan kau mampu menolak tawaran carter?"
"Oke, oke. Berapa?"
"Dua ribu, pulang-pergi."
"Ke?"
Bab 1
20
"Houston Hobby."
"Menginap?"
"Tidak."
Dent duduk dan menapakkan kaki di lantai, menguji tingkat kesadarannya. Ia menyisir rambut dengan
jari lalu membiarkan tangannya tetap di sana, memegang kepalanya yang pusing. "Dua ribu lima ratus
plus ongkos bahan bakar."
"Orang ini sakit. Ia akan ke MD Anderson untuk
kemo."
"Dua ribu lima ratus plus ongkos bahan bakar."
Gumaman tidak jelas tentang kerakusan, kemudian,
"Kurasa aku bisa mengusahakannya."
"Lakukan, maka semua beres. Bagaimana cuaca?"
"Panas, pengap, Texas pada bulan Mei."
"Prakiraan?"
"Kemungkinan hujan sporadis disertai kilat malam
ini. Pasti bisa kauhadapi, tak ada yang menakutkan."
Setelah ragu sejenak, "Kau yakin sanggup terbang?"
"Isi bahan bakar pesawat."
Ketika menuju kamar mandi, kaki telanjangnya
tersangkut kabel listrik lampu berbentuk leher angsa
sehingga lampu itu jatuh dari nakas. Lampu tersebut
jatuh berdebam, tapi untunglah bohlamnya tidak
pecah. Ia menendang lampu dan tumpukan baju supaya tidak menghalangi jalan dan terhuyung-huyung
masuk ke kamar mandi, memaki kilau cahaya yang
tanpa ampun saat ia menekan sakelar.
Ia bercukur dengan panduan perasaan di bilik
pancuran, menyikat gigi sambil membungkuk di was21
tafel, dan memutuskan membiarkan rambutnya kering
sendiri, tidak memakai pengering rambut. Penyingkatan proses merapikan penampilan ini lebih dipilihnya daripada memandang pantulan diri di cermin.
Sekembalinya di kamar, ia memakai seragam pilot:
jeans, kemeja oxford putih, dasi hitam, yang diikat tapi
dibiarkannya longgar di bawah kerah terbuka. Ia mengentakkan kaki saat memakai sepatu bot, lalu menyambar dompet, kunci, dan kacamata hitam aviator
dari bufet. Di pintu, ia berhenti sebentar untuk menatap si wanita telanjang di tempat tidur. Wanita itu,
entah siapa namanya, masih pulas. Ia mempertimbangkan untuk meninggalkan pesan, meminta wanita tersebut mengunci pintu ketika meninggalkan apartemen.
Lalu matanya yang merah menyapu apartemen,
dan ia berpikir, Kenapa repot? Tak ada isinya yang
mungkin diinginkan pencuri.
Jam sibuk pagi hari sudah berlalu, jadi lalu lintas lumayan lancar. Satu-satunya sisa hidup Dent yang dahulu hanyalah merah, dilengkapi dengan mesin berkuatan 530 tenaga kuda yang dimodiikasi setelah
dibeli, transmisi 6 kecepatan, leher knalpot panjang,
dan knalpot titanium Corsa. Dengan memacu
Corvette-nya sampai 120 km/jam lebih setiap ada kesempatan, ia melesat melewati batas utara kota Austin
menuju lapangan terbang pribadi.
Ia bisa saja menyimpan pesawatnya di lapangan
terbang lebih bagus, yang dilengkapi menara kontrol,
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
22
tapi ada masalah loyalitas yang harus dipertimbangkannya. Lagi pula, lapangan ini lebih cocok untuknya.
Pesawatnya diparkir di landasan, yang merupakan
apron beton di depan hanggar berdinding logam bergelombang. Tempat itu dulu lebih bagus. Dulu maksudnya sekitar dua puluh tahun lalu, saat Dent mulai
datang ke sini.
Ilalang tumbuh bagai poni di sekeliling bagian bawah dinding luar hanggar yang berkarat. "Kaus kaki"
angin berwarna jingga pudar itu sepertinya satu-satunya yang pernah dilihat Dent di sini, dan ia menduga
memang benda itulah yang dipasang di tiangnya tidak
lama setelah Perang Dunia II.
Diparkir di belakang, tidak sesuai dengan penampilan lusuh bangunan dan truk pickup reyot Gall,
tampak mobil Escalade hitam mengilap dengan jendela kehitaman.
Dent mengemudikan Vette ke dalam hanggar, mengeremnya dengan diiringi entakan dan decitan ban,
mematikan mesin, lalu keluar. Gall duduk di balik
meja berantakan di dalam kantor hanggar, yang memiliki dinding kaca kabur yang menghadap bagian dalam hanggar dan tiga dinding lain dari gipsum yang
tidak dicat dan tidak diplester kasa. Ruangan itu luasnya satu meter persegi dan penuh sesak.
Berbagai peta, diagram, peta topograi, dan kliping
koran yang sudah menguning berisi kisah-kisah penerbangan dipasang dengan paku payung di dinding,
yang penuh lubang bekas paku. Majalah-majalah penerbangan lama dengan sampul sudah keriting ditum23
puk di semua permukaan yang ada. Di atas lemari
arsip berkarat dan penyok, duduk rakun yang diair
keras, mata kacanya tertutup sarang laba-laba dan
bulunya botak-botak. Kalender di atasnya dari tahun
1978 dan berhenti pada Miss March, tersenyum
mengundang, tak mengenakan apa pun selain kupukupu yang diletakkan secara strategis.
Ketika Dent melangkah masuk, Gall berdiri. Sambil menumpukan kepalan tangan di pinggul, ia memandang Dent dari atas ke bawah, lalu menggeram
dengan kekesalan yang tak ditutup-tutupi dan menggerakkan cerutu yang belum dinyalakan dari satu sisi
bibirnya yang kehitaman ke sisi lain. "Kau kelihatan
kacau-balau."
"Kau simpan uangku?"
"Yeah."
"Kalau begitu, tidak usah menghina dan cepat ambilkan."
"Tidak secepat itu, Ace. Aku jadi perantara carter
ini dan bertanggung jawab atas keselamatan tiga penumpangnya."
"Aku bisa menerbangkan pesawat sialan itu."
Gall Hathaway tidak terpengaruh oleh nada suara
Dent. Ia satu-satunya manusia di dunia ini yang dihormati Dent sebab hanya pendapat Gall-lah yang
dipedulikannya. Pria tua itu menatapnya tajam, dan
Dent mengalah.
"Ayolah, Gall. Memangnya aku bakal terbang kalau
tidak it?"
Gall ragu-ragu beberapa saat lagi, kemudian menge24
luarkan cek terlipat dari saku celana terusan bernoda
minyak dan menyerahkannya pada Dent.
"Cek?"
"Ada dananya kok. Aku sudah menelepon bank."
Dent membuka lipatan cek, melihat dananya ditarik
dari bank Georgetown sejumlah 2.500 dolar untuk
dibayarkan padanya dan sudah ditandatangani. Sepertinya semua beres. Disimpannya cek itu di dompet.
"Kuisikan 90 galon bahan bakar," kata Gall. "Wanita itu akan membayar tagihan bahan bakar setelah
kau kembali."
Dent memandang Gall tajam.
"Aku percaya padanya. Ia meninggalkan kartu kredit sebagai jaminan." Gall membuka laci meja logam.
Di dalamnya ada pensil-pensil pendek, klip-klip kertas
bengkok, kunci-kunci tidak jelas, bolpoin Bic dengan
ujung halus, dan kartu kredit American Express Platinum. "Ia meyakinkan aku kartunya valid. Tetap
kucek. Memang benar. Sampai dua tahun lagi. Lapangan terbang mana yang ingin kaupakai? Ia menyerahkannya padamu."
Dent menyebutkan pilihannya.
"Bahan bakar lebih murah?" tanya Gall.
"Popcorn lebih baru. Transportasi darat?"
"Ia minta aku mengusahakan jemputan limusin.
Sudah beres."
"Mereka menunggu di Escalade?"
"Ia bilang di dalam hanggar terlalu panas dan pengap."
"Kelihatannya ia mengatur semuanya."
25
"Kurasa bisa dibilang begitu." Gall mendadak tidak
mampu menatapnya. "Orang tua itu sakit parah. Bersikap sopanlah."
"Aku selalu sopan."
Gall mendengus. "Pokoknya ingat, jangan menolak
rezeki."
"Ada lagi? Ibu?" Gall menggeram, tapi Dent memotong apa pun yang akan dikatakannya dengan pertanyaan soal kopi. "Masih panas?"
"Bukannya selalu begitu?"
"Bilang pada mereka aku butuh waktu dua puluh
menit, lalu kami berangkat. Apa pun yang harus mereka lakukan sementara itu, ke kamar mandi, apa
pun?"
"Aku tahu bagaimana biasanya." Gall menggumamkan sesuatu yang tidak didengar Dent, dan mungkin
memang sebaiknya begitu, lalu menambahkan, "Sebelum kau menemui mereka, tetesi matamu. Matamu
merah seperti peta jalanan."
Dent masuk ke kantor hanggar dan duduk di meja
yang komputernya terus terhubung ke situs cuaca
favoritnya. Ia mencatat ramalan badai nanti malam,
tapi langit saat ini cerah.
Ia sering ke Houston Hobby. Meski begitu, Dent
tetap mempelajari informasi yang dibutuhkannya untuk bagian penerbangan perjalanan ini, juga untuk
bandaranya. Ia punya Gamin di kokpit. Direktori Fasilitas Bandara untuk setiap negara bagian, plus data
FBO?Fixed-Based Operator, sudah diunggah ke iPadnya, bisa diakses dari kokpit. Tetapi, untuk jaga-jaga,
26
ia selalu mencetak dan membawa semua informasi
yang berhubungan dengan tinggal landas, bandara tujuan, dan bandara alternatif. Terakhir, ia menghubungi
ATC?pengatur lalu lintas udara?dan melaporkan
rencana terbang.
Di luar, ia melakukan pemeriksaan praterbang pada
pesawat, walau tahu Gall telah melakukannya. Ia pergi ke bawah sayap untuk mengeluarkan bahan bakar
dari lima lokasi berbeda, memeriksa tabung kacanya
guna memastikan tidak ada air di dalam tangki bahan
bakar. Tugas itu memakan waktu, tapi ia kenal orang
yang tidak melakukannya. Orang itu jatuh dan
mati.
Setelah puas karena tahu pesawatnya siap terbang,
ia memberi isyarat pada Gall dengan mengacungkan
jempol. "Siap berangkat kalau mereka juga siap." Ia
pergi ke toilet, memercikkan air dingin ke wajah dan
menenggak tiga aspirin sambil minum kopi, yang tidak sepanas yang dikatakan Gall tapi kekuatannya
dua kali lipat yang direkomendasikan. Dan, sesuai
saran Gall, Dent memakai obat tetes yang dijamin
bisa menghilangkan mata merah. Meski begitu, ia
tetap memakai kacamata hitam.
Ketika ia keluar dari gedung, ketiga penumpang
sudah menunggunya di landasan, berdiri berdekatan.
Mudah mengetahui yang mana si pasien. Pria itu
tinggi dan berwibawa, namun wajahnya abu-abu kekuningan khas akibat kanker dan pengobatan kimiawi
keras. Ia memakai celana panjang santai dan jaket
27
sport yang tampak terlalu besar beberapa ukuran.
Topi bisbol menutupi kepala botaknya.
Di tengah trio itu ada wanita menarik, sedikit lebih muda daripada si pria, namun sudah berusia
akhir enam puluhan. Ada sesuatu pada dirinya
Langkah Dent tersendat, lalu ia terpaku. Tatapannya kembali ke si pria dan mencoba membayangkan
versi sehat orang itu. Sialan. Ia Howard Lyston.
Tak mungkin salah sebab di sampingnya berdiri
sang istri, Olivia, tampak serapi yang diingat Dent. Ia
wanita cantik yang rela menghabiskan waktu dan tenaga demi penampilan. Ia masih langsing, walaupun
penyebaran berat badannya berbeda sekarang, agak
terpusat di tengah. Rambutnya lebih terang. Kulit di
sekitar bibir dan di bawah dagunya lebih kendor daripada hampir dua puluh tahun lalu. Tetapi, ekspresi
angkuhnya tetap sama.
Dent memandangi mereka beberapa lama, lantas
menoleh. Gall bersembunyi di ambang pintu kantor,
jelas-jelas menonton untuk melihat bagaimana perkembangan kejadian ini. Karena pelototan Dent, ia buruburu masuk ke kantor lagi dan menutup pintu. Dent
ingin memakinya, tapi urusan itu bisa menunggu.
Ia berpaling kembali dan memandang keluarga
Lyston dengan penuh kebencian. "Ini lelucon? Kalau
ya, aku tidak merasakan kelucuannya."
Olivia menoleh dan berbicara pada wanita lebih
muda yang berdiri di sisi lainnya. "Sudah kubilang
ini salah besar."
Wanita lebih muda itu maju dua langkah mende28
kati Dent. "Ini bukan lelucon, Mr. Carter. Kami harus ke Houston."
"Ada jalan raya bebas hambatan antara sini dan
sana."
"Daddy tidak bisa bepergian sejauh itu naik mobil."
"Daddy?"
Wanita tersebut membuka kacamata hitam besar
yang sedari tadi menutupi hampir sepertiga wajahnya.
"Aku Bellamy. Ingat?"
Yeah, tentu saja Dent ingat, tapi ini benar-benar
Bellamy? Adik perempuan Susan? Yang dulu mirip
kucing penggugup, selalu bersembunyi setiap kali
Dent datang. Kurus, ceking, memakai kawat gigi, dan
wajah berje-rawat. Ini dia?
Sosok kurusnya sekarang berisi di tempat-tempat
yang tepat. Wajahnya mulus, giginya rapi. Pakaiannya
santai tapi mahal, dan kucir hitam mengilap yang disampirkan di salah satu bahu tak lagi bercabang
ujung-ujungnya. Secara keseluruhan, wanita yang menarik.
Tetapi, auranya sedingin es.
Ia menampilkan sikap angkuh seperti orangtuanya.
Ditujukan terutama pada Denton Carter. Olivia menatap Dent seolah Dent belum mandi tadi pagi. Si
orang tua entah terlalu kepayahan atau terlalu tak peduli untuk bicara sekalipun. Sedangkan Bellamy, ia
menunjukkan perilaku kurang ajar yang mengesalkan
Dent, padahal mereka baru bicara beberapa patah
kata.
29
Dent tak sudi menerima perlakuan tidak sopan
mereka. Tidak lagi.
"Ada bandara komersial di tenggara pusat kota," ia
berkata, ditujukan pada Bellamy. "Mungkin kau pernah dengar? Pesawat-pesawat besar mengilap? Mereka
menerbangkannya beberapa kali sehari dari dan ke
Houston."
Bellamy menanggapi sarkasmenya dengan senyum
yang sama masam. "Ya, well, terima kasih atas usulmu. Tapi, kasihan Daddy kalau harus melewati pemeriksaan keamanan bandara dan sebagainya. Aku diberitahu"?ia melirik ke belakang Dent, ke hanggar,
tempat Gall bersembunyi?"aku diberitahu kau punya
pesawat yang bisa dicarter. Aku menerima syarat-syaratmu dan membayar jasamu di depan."
Sialan, Dent butuh uang itu.
Dua ribu lima ratus dolar tidak ada artinya bagi
keluarga Lyston. Bagi Dent, jumlah itu berarti listrik,
makanan, dan cicilan pembayaran pesawat. Ia kesal
sekali karena tidak meminta bayaran lebih tinggi. Ia
makin kesal pada Gall sebab Gall tidak memberitahukan siapa penumpangnya. Menjebaknya tanpa tahu
apa-apa begini, apa sih yang ada di pikiran si tua
brengsek itu?
Sehubungan dengan itu, apa yang ada di pikiran
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluarga Lyston? Mengapa mereka memilihnya padahal ada begitu banyak pilihan carter, termasuk pesawat jet sewaan, yang jelas mampu mereka bayar? Ia
ragu mereka ingin menjalin persahabatan dengannya.
30
Yang jelas, ia sama sekali tidak mau berurusan dengan mereka.
Namun, sayangnya, omongan Gall tentang jangan
menolak rezeki ada benarnya. Kalau mereka sanggup
berhadapan dengannya, ia juga sanggup berhadapan
dengan mereka. Houston hanyalah penerbangan singkat.
Dent menoleh pada Howard Lyston, memaksa pria
itu mengakui keberadaannya. "Jam berapa pertemuanmu?"
"Jam dua."
"Akan kubawa kau ke sana lebih cepat daripada
itu."
"Bagus," Bellamy menimpali. "Kalau tidak ada apaapa lagi, bisakah kita berangkat?"
Sikap soknya begitu tak asing, Dent jadi ingin mengertakkan gigi. Namun, ia hanya tersenyum dan
menunjuk anak-anak tangga yang menuju kabin pesawat. "Silakan."
Penerbangannya lancar. Satu-satunya kesulitan yang
mereka hadapi adalah memasukkan dan mengeluarkan
Howard Lyston dari pesawat. Ia bukan hanya begitu
lemah sehingga hampir tidak punya tenaga untuk bergerak, Dent bisa melihat orang itu kesakitan. Waktu
duduk di bangku belakang limusin yang sudah menunggu ketika mereka tiba, ia kelihatan sangat lega
karena berhasil sampai sejauh itu. Olivia duduk di
sampingnya, prihatin dan protektif, seperti biasa.
31
Bellamy masih bersama Dent, berteriak supaya
kedengaran di antara deru mesin pesawat dan angin
kencang Teluk. "Staf dan para dokter selalu meleset
dari jadwal, jadi aku tidak bisa mengira-ngira kami
akan berapa lama di sana."
Ia kembali memakai kacamata hitam, tapi bagian
bawah wajah Bellamy kencang dan tegang, yang diduga Dent mungkin akibat prihatin soal kondisi ayahnya. Atau barangkali wanita itu, seperti orangtuanya,
memandang rendah Dent. Hanya Tuhan yang tahu
apa saja yang didengarnya dikatakan orang tentang
Dent selama delapan belas tahun terakhir.
"Aku mengikuti jadwal kalian, jadi akan berada di
sini kapan pun kalian kembali." Ia menyerahkan kartu
nama. "Nomor ponselku ada di situ. Kalau kau memberitahuku sebelum meninggalkan rumah sakit, aku
akan menyiapkan pesawat sehingga kita bisa langsung
terbang begitu kalian sampai di sini."
"Terima kasih." Bellamy ragu sesaat, lalu membuka
tas bahu besar yang dibawanya, mengeluarkan buku
hardcover, dan menyodorkannya. "Kau pernah baca
ini?"
Dent mengambil buku itu. "Low Pressure. T. J.
David."
"Alias Bellamy Lyston Price. Apakah kau tahu aku
menulis novel?"
"Tidak." Dan ia ingin menambahkan, Aku juga tidak peduli.
Tetapi, ia menahan komentar itu sebab Bellamy
mendongak memandangnya, kepalanya dimiringkan
32
dengan gaya bertanya-tanya. Ia tidak bisa melihat
mata wanita itu di balik kacamata hitam, namun merasa Bellamy dengan hati-hati menilai jawabannya.
"Tidak," ia mengulangi. "Aku tidak tahu kau jadi penulis. Price, katamu tadi?"
"Nama setelah menikah."
"Jadi kenapa pakai nama T. J. segala?"
"Kupilih dari buku telepon."
"Mengapa?"
Olivia memanggil dari pintu limusin yang terbuka.
"Bellamy? Ikut?"
Pada Dent, Bellamy berkata, "Buku itu mungkin
bisa mengisi waktu sementara kau menunggu kami."
Setelah berkata begitu, ia berbalik dan bergabung
dengan orangtuanya di dalam limusin.
Saat mobil itu menjauh, Dent memandanginya,
memaki pelan. Sambil masuk ke gedung, ia mengeluarkan ponsel dan menghubungi Gall menggunakan
speed dial. Gall menjawab dengan, "Cepatlah. Aku
sibuk."
"Apa-apaan, Gall?"
"Memangnya kau bisa pilih-pilih penumpang? Dalam situasi ekonomi seperti ini?"
"Mestinya aku yang menentukan siapa yang akan
kuterbangkan. Kalau tahu penumpangnya mereka, lebih baik aku tidur lagi."
"Kau takut pada mereka."
"Kenapa kau berusaha membuatku lebih marah?"
"Kau butuh carter ini. Uang mereka banyak. Coba
33
bilang apa salahku." Setelah keheningan beberapa
lama, ia mendengus puas, lalu berkata, "Ada yang
harus kukerjakan," dan menutup telepon.
Dahulu, Dent senang berada di bandara macam
apa pun, baik yang besar maupun lapangan terbang
pedesaan dengan landasan lapangan rumput yang biasanya dipakai pesawat penyemprot insektisida. Ia paling suka berbincang-bincang dengan pilot lain.
Sekarang, ia menghindari percakapan dengan mereka. Mereka juga tidak ingin berbicara dengannya begitu ia menyebutkan nama. Ia masuk ke ruang duduk
pilot hanya untuk mengambil dua koran, lalu duduk
nyaman di kursi yang jauh dari lobi utama. Ia membaca bagian olahraga kedua koran itu. Mencoba mengisi TTS namun tidak lama. Dengan santai ia menonton pertandingan sepak bola lima tahun lalu yang
disiarkan ESPN.
Ketika tiba saat makan siang, ia membeli burger
keju di restoran dan membawanya ke luar, ke area
makan berupa patio. Ia menghabiskan burger sambil
menonton pesawat-pesawat tinggal landas dari Hobby.
Setiap kali ada yang meninggalkan landasan, ia merasakan tarikan familier dan mengasyikkan jauh di dalam
perut. Bagaimanapun, mungkin bahkan lebih daripada
apa pun, ia merindukan gelombang adrenalin yang
ditimbulkan tenaga jet, dorongan yang bisa dibilang
bersifat sensual. Hal itu bagaikan obat bius baginya,
dan ia telah mengundurkan diri dengan pengecut.
Akhirnya panas menyesakkan Houston memaksanya
masuk lagi ke gedung ber-AC itu. Ia kembali ke tem34
patnya dan, karena sangat bosan, membuka novel
Bellamy Price dan mulai membaca.
Prolognya membuat Dent terpana tak percaya. Setelah lima bab, ia jadi marah. Ketika ia sampai di bab
terakhir, darahnya mendidih.
35
Ini namanya ketenangan sebelum badai datang, atau
dikenal juga sebagai makan malam di Maxey?s.
Karena restoran-restoran yang tergabung dalam satu
kelompok dengannya di New York dan Boston sudah
punya reputasi, jadi waktu Maxey?s Atlanta buka lima
belas bulan lalu di area mahal Buckhead, hampir
seketika ia jadi tempat gaul pilihan kalangan modis
dan cantik?juga yang ingin terkenal.
Salah satu pemiliknya, Steven Maxey, duduk di bar
dari krom mengilap, memeriksa menu spesial chef
malam ini dan dalam hati bersiap menyambut
serbuan yang akan dimulai begitu pintu-pintu dibuka
pada pukul 17.30. Ketika ponselnya bergetar, ia melirik nomor si penelepon dan, dengan jantung berdebar,
mengangkatnya. "Halo, Ibu."
"Aku tahu kau sibuk."
Bab 2
36
"Tidak apa. Apakah soal Howard?"
"Kami di Houston. Kami kemari untuk melihat
ada pilihan-pilihan apa saja menyangkut pengobatan
lebih lanjut."
Pilihan-pilihan sahih bagi mereka terus berkurang,
namun tak satu pun di antara mereka berdua tega
mengatakannya. "Sampaikan salamku padanya," ujar
Steven.
"Tentu saja. Ia tidur sekarang. Bellamy menemaninya. Aku keluar sebentar untuk meneleponmu."
Steven tahu ibunya ingin bicara lebih banyak, meski selama beberapa detik kemudian hanya ada keheningan hampa di saluran telepon. Lalu, "Kami datang
naik pesawat sewaan."
Pemberitahuan itu, walaupun terkesan biasa-biasa
saja, entah mengapa terasa mengandung bahaya.
Steven menunggu.
"Bellamy mencarternya. Coba tebak siapa pilotnya."
Perut Steven langsung mulas. "Tolong jangan bilang Ibu sebentar lagi akan mengatakan?"
"Denton Carter."
Steven menumpukan siku di bar, menundukkan
kepala ke tangan, dan menggosok pelipis dengan bantalan jemari untuk mengusir migren yang pasti bakal
timbul akibat informasi ini.
"Aku berusaha membujuknya," lanjut Olivia. "Ia
tak tergoyahkan."
"Demi Tuhan, mengapa?"
37
"Ia bilang ingin menuntaskan urusan, memperbaiki
masa lalu. Kau tahu seperti apa saudara tirimu."
"Selalu jadi penengah."
"Ia ingin semua menyenangkan."
"Pria itu sendiri?"
"Menyenangkan? Tidak. Sama tidak sukanya dengan kami soal pertemuan ini."
"Kalau begitu, kenapa ia setuju menerbangkan kalian?"
"Si laki-laki tua pemilik lapangan terbang itu?"
"Ia masih hidup?"
"Ia yang mengatur, rupanya tanpa memberitahu
Dent siapa yang mencarter pesawatnya. Ketika menyadari siapa kami, Dent bersikap tak menyenangkan
dan angkuh, seperti biasa. Kami pun begitu."
"Apakah ia tahu mengenai buku Bellamy?"
"Menurut Bellamy, tidak. Tapi, Dent mungkin
pura-pura tidak tahu, atau bersikap bodoh. Siapa
yang tahu? Kami harus terbang pulang bersamanya
setelah semua urusan di sini selesai." Steven mendengar isakan dan sadar betapa risau ibunya. "Aku tidak pernah ingin bertemu bocah itu lagi."
Olivia terus berkeluh-kesah tentang betapa tidak
menyenangkan situasi ini. Steven memahami perasaan
ibunya. Emosinya sendiri berubah dari kecewa ke
waswas lalu marah, seperti yang terjadi sejak hari Low
Pressure diterbitkan. Kecemasannya menjadi-jadi ketika
iden-titas Bellamy dan sifat biograis buku itu
diketahui publik.
William Stroud, partner bisnisnya, menepuk pun38
dak Steven dan memberi isyarat bahwa sudah waktunya restoran dibuka. Resepsionis berada di tempatnya
di dekat pintu. Para pramusaji mondar-mandir di
ruang bersantap, melakukan sentuhan-sentuhan akhir
pada penataan meja. Sommelier berdiri di dekat situ,
siap menjawab pertanyaan tentang daftar panjang
wine.
"Ibu," kata Steven, memotong ucapan Olivia,
"maaf, aku harus pergi. Kami sebentar lagi buka untuk makan malam."
"Maaf, mestinya aku sadar?"
"Tidak usah minta maaf. Wajar kalau Ibu risau.
Bellamy seharusnya tidak membuat Ibu bertemu
Denton Carter, itu sudah jelas."
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia sudah minta maaf ribuan kali, Steven. Sejak
dulu ia tidak ingin orang-orang tahu bahwa bukunya
berdasarkan fakta."
"Aku yakin permintaan maafnya tulus, tapi buat
apa? Bellamy memilih menulis buku itu. Ia mengambil risiko identitasnya diketahui masyarakat. Tapi, ia
juga mengambil risiko membeberkan kita semua. Itu
sangat tidak adil."
"Ia menyadari hal itu sekarang," ujar Olivia, diikuti
desahan berat. "Bagaimanapun, semua telah terjadi."
"Ya, semua telah terjadi. Tapi, Ibu kan tidak perlu
diingatkan lagi pada sosok Dent Carter. Singkirkanlah
dia dari pikiran Ibu dan fokuslah pada Howard. Jangan lupa sampaikan salamku."
Steven menutup telepon sebelum pembicaraan berlanjut, lantas bergerak ke ujung bar untuk menyedia39
kan tempat bagi para tamu pertama yang sudah tak
sabar. Tanpa mencolok ia minta salah satu bartender
menuangkan segelas vodka dengan es baginya. Diamatinya ruang bersantap mulai penuh, bar dikerumuni orang sampai tiga lapis. Setelah sibuk membereskan beberapa urusan, William bergabung
dengannya dan pasti bisa menebak dari minuman dan
sikap muram Steven bahwa telepon barusan mengguncangnya.
"Kondisi ayah tirimu memburuk?"
Steven menceritakan perkembangan terbaru keadaan Howard. "Memang buruk, tapi ada lagi. Denton
Carter sekarang bergabung." William tahu sejarahnya,
jadi Steven tidak perlu memberitahukan atau menerangkan mengapa kabar itu meresahkan. "Karena diundang Bellamy. Bayangkan."
Steven memberitahu bagaimana suasana reuni itu.
William menggeleng takjub. "Mengapa ia menghubungi pria itu sekarang? Sejak meninggalkan New
York dan kembali ke Texas, Bellamy menunda semua
publisitas untuk bukunya dan bisa dibilang menghilang dari pandangan publik. Untuk apa ia mengacaukan suasana lagi?"
"Demi Tuhan, entahlah."
Dengan prihatin, William bertanya, "Apa yang
akan kaulakukan?"
"Yang kulakukan hampir sepanjang hidupku."
Steven menenggak sisa minuman. "Memperbaiki situasi."
40
* * *
Bellamy menduga Dent sejak tadi menunggu kedatangan limusin dari dalam gedung. Bahkan sebelum
mobil berhenti, pria itu sudah ada di sana, menggedor pintu pengemudi agar orang itu membuka pintu
belakang. Begitu Bellamy turun, Dent menyodorkan
Low Pressure ke depan batang hidungnya.
"Aku ingin tahu mengapa, demi Tuhan, kau menulis buku sialan ini."
Bellamy bertanya-tanya apakah kemarahan Dent
merupakan pertanda baik, atau buruk. Baik, ia duga,
sebab itu menunjukkan bahwa Dent berkata jujur
waktu bilang tidak tahu apa-apa mengenai novelnya,
yang berarti mustahil dialah pengirim tikus terbungkus tisu perak itu.
Tetapi, Dent mengamuk, dan Bellamy harus menenangkannya sebelum mereka menarik perhatian orangorang dan ada yang mengenalinya. Bellamy pulang ke
Texas supaya tidak jadi sorotan. Sejauh ini ia berhasil.
Ia mengitari lelaki itu dan masuk terminal. "Aku
minta maaf karena tidak meneleponmu begitu meninggalkan rumah sakit. Aku lupa." Ketika melihat
meja-meja di dekat tempat camilan, ia berkata, "Aku
akan menunggu di sana sementara kau melakukan
apa pun yang harus kaulakukan sebelum tinggal landas. Beritahu aku kalau kau sudah siap."
Ia melangkah ke arah itu, namun kali ini Dent
bergerak, menghalangi jalannya. "Jangan abaikan aku.
Aku ingin tahu mengapa kau menulis ini."
41
Bellamy memandang berkeliling dengan waswas.
"Tolong pelankan suaramu."
"Supaya dapat uang? Harta Daddy tidak cukup
untukmu? Atau apakah suamimu menghabiskan
warisanmu?"
"Aku tidak mau membicarakan ini denganmu, karena ini tempat umum, dan karena kau membentakbentakku."
"Aku ingin tahu?"
"Sekarang bukan saat yang tepat, Dent."
Mungkin karena suara Bellamy yang meninggi dan
nadanya yang tajam, atau karena namanya disebut,
atau Dent mungkin melihat air mata wanita itu merebak dan ia jadi sadar bahwa Bellamy sedih dan kembali ke sini sendirian.
Dent mengalah, memandang sekilas ke luar jendela,
ke limusin yang menjauh, lalu kembali pada Bellamy
dan mengatakan fakta yang sudah jelas. "Orangtuamu
tidak ikut."
"Daddy menginap di rumah sakit. Olivia menemaninya." Dent tidak berkomentar dan Bellamy memanfaatkan sikap tenang sesaat laki-laki itu. "Aku akan
menunggu di sana."
Ia melewati Dent dan bahkan tidak menoleh untuk
melihat apakah pria tersebut mengikutinya. Dalam
keadaan marah begitu, Dent bisa saja berangkat tanpa
dirinya, membiarkan ia telantar di sini dan terpaksa
pulang ke Austin naik pesawat komersial. Tak apa.
Malah, mungkin itu yang terbaik.
Seperti kata Olivia beberapa kali sepanjang hari ini,
42
berurusan kembali dengan Dent setelah bertahun-tahun merupakan kesalahan. Bellamy mengira ini perlu
untuk ketenangan pikirannya, tapi sekarang ia menyesal tak mengikuti saran Olivia untuk tidak cari masalah. Ia jadi punya musuh baru.
Di mesin minuman, ia mengisi gelas kertas dengan
es dan Diet Coke lalu duduk di salah satu meja, lega
karena tidak ada orang lain di tempat penjualan camilan. Hari ini sangat menguras emosi. Saraf dan
emosinya kacau-balau. Ia butuh ketenangan beberapa
saat untuk menguatkan diri sebelum konfrontasi tak
terelakkan dengan Dent.
Dari jendela-jendela besar, ia memandang laki-laki
itu melakukan pemeriksaan praterbang sambil mengepit bukunya. Ia tidak paham sama sekali soal pesawat,
tapi tahu bahwa pesawat Dent putih dengan hiasan
biru dan memiliki dua mesin, satu di setiap sayap.
Dent mengawasi pengisian bahan bakar dan memeriksa sesuatu di sayap kiri. Ia berjongkok untuk mengecek ban dan perlengkapan mendarat. Sambil berdiri,
ia membersihkan tangan dan mengitari sayap menuju
bagian ekor. Semua gerakannya terlatih dan eisien.
Berapa umurnya sekarang? Tiga puluh enam? Tiga
puluh tujuh?
Dua tahun lebih tua daripada Susan kalau masih
hidup.
Bellamy sempat penasaran bagaimana tahun-tahun
yang telah berlalu memengaruhi lelaki itu, apakah
Dent sekarang buncit, botak, santai karena sudah
43
memasuki usia pertengahan. Tetapi, Dent tidak
menampakkan tanda-tanda penuaan yang drastis.
Rambut cokelat mudanya masih tebal dan berantakan. Di sudut mata tampak kerut-kerut akibat hampir
seumur hidup menyipit memandang matahari dari
kaca depan kokpit. Kedewasaan?dan pastilah karena
bertahun-tahun bekerja keras dan lembur?membuat
wajahnya lebih tirus dan tajam. Namun, ia sama menariknya sekarang dengan ketika berusia delapan belas
tahun, waktu ia menyebabkan Bellamy tak sanggup
bicara dan malu akibat jerawat serta kawat giginya.
Setelah selesai memeriksa, Dent memberi isyarat
jempol pada kru darat, lalu, dengan langkah-langkah
panjang dan mantap, berjalan menuju gedung. Embusan angin ikut masuk bersamanya, menyebabkan wanita-wanita muda di balik meja penerima tamu berhenti melakukan apa yang mereka kerjakan dan
memandang kagum saat Dent dengan tidak sabar
menyentakkan dasi untuk merapikannya dan meratakannya di bagian depan tubuh yang masih tegap dan
rata. Ia melepas kacamata hitam, dengan asal-asalan
menggunakan jemari untuk menyisir rambutnya yang
berantakan ditiup angin, lantas melangkah ke tempat
Bellamy menunggu.
Ia mengambil segelas kopi dan membawanya ke
meja. Ketika duduk di seberang Bellamy, ia menjatuhkan buku ke meja. Suaranya sangat keras ketika mendarat di meja.
Selama beberapa detik yang panjang, ia hanya memandangi Bellamy, masih marah. Bellamy ingat mata
44
kelabu-hijaunya. Dihiasi bintik-bintik cokelat, mata
itu sewarna lumut. Ciri-ciri tersebut dikenalnya. Kemarahan yang terpancar di sana, tidak.
Akhirnya, Dent berkata, "Kondisinya buruk?"
"Daddy? Sangat. Onkolognya mengusulkan serangkaian kemoterapi lagi, tapi tindakan itu begitu melemahkan sehingga ia dan Olivia bertanya-tanya apakah
pengobatan tersebut sepadan dengan efeknya. Bagaimanapun, dokter beranggapan ia terlalu lemah untuk
pulang malam ini."
"Kemo lagi mungkin berguna."
"Tidak," sahut Bellamy pelan. "Tidak akan. Dengan atau tanpa kemo, tidak lama lagi ia akan meninggal."
Dent membuang muka dan bergerak-gerak resah di
kursi. "Aku ikut prihatin."
Bellamy menyesap Coke dan menunggu sampai
Dent memandangnya lagi sebelum berkata, "Jangan
bicara kalau kau tidak sungguh-sungguh."
Dent menyapukan tangan ke bibir lalu menuruni
dagu. "Jujur? Oke. Menyedihkan kalau orang harus
meninggal seperti itu, tapi ayahmu tidak pernah menyukaiku."
"Dan sebaliknya."
"Memangnya apa yang pernah kulakukan padanya?
Oh, tunggu. Kalau ingin tahu, aku tinggal membaca
bukumu. Semua langsung jelas." Ia menuding buku
itu dengan marah.
"Kalau kau membacanya sampai selesai?"
"Sudah cukup yang kubaca."
45
"?kau akan tahu bahwa tokoh yang terinspirasi
dirimu?"
"Terinspirasi? Yang kurang cuma namaku."
"?akhirnya jadi korban juga."
"Tahi kucing."
Dari tadi ia mencondongkan tubuh ke arah
Bellamy dari seberang meja, tapi setelah pernyataan
singkat dan padat itu, ia bersandar di kursi dan menjulurkan kaki, tidak minta maaf bahkan ketika kakinya menyenggol Bellamy di kolong meja.
"Kenapa kau mengungkit-ungkit masa lalu?"
"Kenapa kau peduli?" balas Bellamy.
"Kau harus bertanya?"
"Kejadiannya sudah lama, Dent. Efeknya pada hidupmu berapa lama, beberapa minggu? Beberapa bulan? Kau lalu melanjutkan hidupmu."
Dent mendengus.
"Kau punya keluarga?"
"Tidak."
"Kau tak pernah menikah?"
"Ya."
"Kau punya pesawat sendiri?"
"Dalam proses memilikinya."
"Kau jelas masih dekat dengan Mr. Hathaway."
"Yeah. Sampai hari ini. Gall saat ini ada di daftar
bajinganku."
"Ia tidak bilang kami penumpangmu?"
"Ya. Bahkan saat menyerahkan cekmu."
"Nama Bellamy Price tidak berarti apa-apa bagimu?"
46
"Aku hanya melihat apakah jumlahnya benar."
"Kukira kau pernah melihatku di TV."
"Kau pernah masuk TV?"
Bellamy mengangguk sedikit.
"Membicarakan itu?" Dent menggerakkan dagu ke
arah buku di meja.
Sekali lagi Bellamy menjawab dengan anggukan.
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus. Bagus sekali." Dent mengangkat gelas kopi
ke bibir, namun meletakkannya kembali di meja tanpa meminumnya dan mendorongnya ke pinggir begitu kuat sehingga kopinya tumpah.
"Selama beberapa minggu, banyak liputan media."
Sambil bergumam, Bellamy menambahkan, "Aku tak
tahu bagaimana kau bisa tidak mengetahuinya."
"Sedang beruntung, kurasa."
Tak ada yang diucapkan selama satu menit penuh.
Orang-orang yang berada di lobi karena satu dan lain
hal tidak mendekati area camilan, seolah merasakan
ketegangan di antara mereka dan memberikan privasi
untuk membereskannya. Setiap kali Bellamy melirik
para wanita yang bertugas di konter, ia memergoki
mereka memandang dirinya dan Dent dengan rasa
ingin tahu yang tidak ditutup-tutupi.
Dent-lah yang akhirnya memecahkan keheningan.
"Jadi mengapa kau mencarter pesawatku? Kau kan bisa
membawa ayahmu ke sana dengan cara lain. Jet pribadi. Kau tidak butuh aku dan Cessna kecil reyotku."
"Aku ingin tahu seperti apa kau sekarang. Aku tidak mendengar kabar apa pun tentang kau sejak
masalah perusahaan penerbangan itu."
47
"Ah! Jadi kau tahu tentang itu?"
"Ada di berita."
"Aku tahu," sahutnya masam. "Kau akan menulis
buku tentang itu juga?"
Bellamy menatapnya tajam.
"Aku bisa memberimu banyak bahan, A.k.a. Coba
kita lihat." Ia mengusap dagu sambil berpikir. "Bagaimana dengan waktu si janda muda mencarter aku
untuk menerbangkannya ke Nantucket? Jauh dari
sini. Ketika kami sampai di pantai Massachusetts, sudah malam dan terjadi badai. Tidak ada yang tewas,
tapi perempuan itu berusaha bercinta denganku sampai aku hampir mampus."
Bellamy meringis mendengarnya, tapi tidak sudi
membiarkan Dent memengaruhinya. Ia tahu itulah
yang diinginkan laki-laki itu. Dengan wajah tetap datar, dan sambil menyabarkan diri, ia berkata, "Aku
menyewamu karena ingin tahu apakah kau sudah
membaca bukuku dan, kalau sudah, apa reaksimu."
"Yah, sekarang kau tahu. Membuatmu menghabiskan 2.500 dolar plus biaya bahan bakar. Apakah sepadan?"
"Ya."
"Bagus. Aku tidak ingin para penumpangku merasa
membuang-buang uang. Si janda jelas tidak merasa
begitu." Ia nyengir untuk memancing emosi Bellamy,
tapi Bellamy mengabaikannya. Lalu cengirannya lenyap dan Dent memaki pelan. "Kalau Gall mengira
bakal dapat jatah broker dari carteran ini, ia salah
besar."
48
"Mungkin ia tidak memberitahumu karena?"
"Karena ia tahu aku akan menolak."
"Karena ia kira bagus kalau kau bertemu kami."
"Bagaimana bisa bagus untukku?"
"Kita semua jadi punya kesempatan untuk memperbaiki jembatan yang rusak."
"Memperbaiki jembatan yang rusak."
"Ya. Menyingkirkan masalah. Melupakan?"
"Melupakan?" Dent memajukan tubuh lagi, kali ini
dengan begitu marah sehingga meja tersentak. "Itulah
yang kulakukan selama delapan belas tahun terakhir.
Setidaknya itulah yang berusaha kulakukan. Kau bilang kejadiannya sudah lama. Yah, tidak cukup lama,
lady. Tidak cukup lama bagiku sehingga bisa menyingkirkannya. Melupakannya. Semua orang melupakannya. Dan sekarang kau, kau datang dan menulis buku
sialanmu tentang Memorial Day itu?"
"Yang diterbitkan sebagai iksi. Aku tak pernah bermaksud?"
"?dan seluruh urusan memuakkan tersebut muncul lagi untuk dikunyah-kunyah semua orang di dunia. Kalau kau ingin menulis cerita, silakan. Kenapa
kau tidak mengarang saja?" Ia memukulkan tinju ke
buku. "Kenapa kau harus menulis cerita ini?"
Bellamy benci harus menjelaskan tindakannya pada
pria itu, dan ia membiarkan Dent tahu perasaannya
tersebut dengan ikut marah juga. "Karena aku ingin
melupakannya juga."
Dent tertawa keras dengan sinis. "Lucu sekali cara
melupakannya, dengan menuliskan semuanya."
49
"Aku berusia dua belas tahun waktu peristiwa itu
terjadi. Efeknya luar biasa bagiku. Sebagian besar berhasil kulupakan, tapi aku harus mengeliminasinya."
"Mengeliminasi?" Dent mengangkat sebelah alis.
"Kata yang canggih. Apakah kau pakai di bukumu?"
"Aku perlu menuliskan semuanya supaya masalahnya jadi nyata, bisa kukumpulkan, lalu kubuang."
"Nah, baru jelas. Silakan." Ia mendorong buku itu
lagi ke arah Bellamy. "Kau bisa mulai dari yang ini.
Lemparkan ke tempat sampah terdekat." Ia berdiri dan
berpaling ke pintu, berkata sambil menoleh, "Ayo."
"Kau mengerti? Dent? Apakah kita baik-baik saja?"
Itulah kata-kata pertama yang diucapkan penumpangnya sejak naik ke pesawat. Untuk jaga-jaga seandainya Bellamy perlu bicara dengannya selama penerbangan, Dent mengajarinya cara menggunakan
headset. "Kau hanya perlu mencolokkan ini ke sini,
dan ini ke sini." Ia mendemonstrasikannya dengan
kabel terpasang di headset. "Letakkan mik di dekat
bibir, seperti ini." Ia menggerakkannya sehingga mik
itu nyaris menyentuh bibir bawah Bellamy. "Dan bicaralah. Mengerti?"
Bellamy mengangguk, tapi menurut Dent tidak
penting apakah wanita itu mengerti atau tidak; ia takkan mau bicara. Dan itu bukan masalah bagi Dent.
Tetapi sekarang, sekitar dua puluh menit pertama
dalam penerbangan yang lamanya empat puluh menit
ini, mereka menghadapi turbulensi ringan dan
50
Bellamy bicara padanya dengan suara cemas. Dent
menoleh supaya bisa melihat ke kabin. Bellamy mencengkeram lengan kursi dan memandang khawatir ke
luar jendela. Di horizon barat kelihatan petir menyambar, menampakkan awan hitam yang bergumpal-gumpal. Mereka terbang pararel dengan gumpalan awan
itu, tapi Bellamy tetap cemas.
Dent tahu keadaan cuaca, tahu setelah melihat radar di mana badai itu berada, arah dan kecepatan
geraknya. Ia mengajukan rencana terbangnya dengan
mempertimbangkan badai tersebut. "Tidak usah khawatir," ia berkata ke mik. "Badai itu berkilo-kilometer
dari sini dan tidak terlalu berbahaya juga."
"Aku cuma berpendapat mungkin kita bisa ambil rute lain?"
"Aku sudah mendaftarkan rencana terbang."
"Aku tahu, tapi Tidak bisakah kita terbang lebih
jauh dari badai itu?"
"Bisa saja. Tapi, aku lebih suka berkelit ke sana
kemari dalam hujan badai daripada berhadapan dengan MD80 yang tidak tahu aku terbang di atas
sana." Ia memutar tubuh sehingga Bellamy dapat melihat wajahnya, bukan bagian belakang kepala. "Tapi
mungkin hanya aku yang merasa begitu."
Bellamy menatapnya sebal, menyentakkan kabel
dari colokan di dinding dekat kursi, dan melepas
headset. Dent memusatkan perhatian pada tugasnya,
tapi ketika turbulensi makin hebat, ia menoleh ke
belakang untuk mengecek kondisi Bellamy. Mata wanita itu terpejam, dengan bibir bergerak-gerak. Ia en51
tah berdoa atau merapal. Atau barangkali memakinya.
Gall, yang diberitahu Dent tentang kedatangannya,
sudah menyalakan lampu-lampu landasan. Dent menurunkan pesawat dengan keluwesan berkat latihan
panjang dan kemampuan jempolan, lalu meluncur
menuju hanggar. Ia bisa melihat siluet Gall di pintu
bangunan yang terbuka lebar.
Dent menghentikan pesawat dan mematikan mesin.
Gall datang untuk mengganjal roda. Dent keluar dari
kokpit dan pergi ke kabin, membuka pintu, lalu turun duluan dan berbalik untuk menolong Bellamy
menuruni tangga. Wanita itu mengabaikan tangannya
yang terulur.
Dent jadi kesal. Ia meraih tangan wanita tersebut
dan meletakkan kuitansi di telapaknya. "Kau berutang
biaya bahan bakar di Houston."
"Mr. Hathaway menyimpan kartu kreditku. Permisi. Aku harus ke kamar mandi."
Ia buru-buru memasuki gedung.
Gall mengitari sayap dan melirik kabin yang kosong. "Di mana orangtuanya?"
"Mereka tetap di Houston."
"Aku sih tidak heran. Si laki-laki tua kelihatan payah sekali. Selain itu, bagaimana tadi?"
"Tidak usah bermanis-manis, Gall. Aku marah besar padamu."
"Malam ini kau lebih kaya daripada?"
"Aku mau jawaban singkat. Apakah kau tahu tentang bukunya?"
52
"Buku?"
"Buku. Kau tahu, yang dibaca orang."
"Apakah ada gambarnya?"
"Tidak."
"Kalau begitu, aku tidak tahu."
Dent mengamati mata Gall, yang kemerahan tapi
tidak memancarkan kebohongan. "Nanti saja kau kubunuh. Sekarang ini, aku ingin membereskan pesawat
dan pulang."
Sementara ia melakukannya, Bellamy dan Gall
membereskan urusan administrasi di kantor hanggar.
Tetapi, Dent terus mengawasi mereka, dan, waktu
Bellamy muncul dari hanggar, Dent berdiri tepat di
depannya, menghalangi jalannya.
Dengan kaku wanita itu berkata, "Terima kasih."
Dent tidak sudi membiarkannya lolos semudah itu.
"Aku mungkin memang tidak menggunakan kata
canggih seperti ?mengeliminasi?, tapi aku tahu cara
terbang. Aku pilot yang baik. Kau tidak perlu takut
tadi."
Tanpa menatap matanya, Bellamy berkata, "Bukan
terbang yang kutakutkan."
53
Bersama-sama, Dent dan Gall memasukkan pesawat
ke hanggar. Dent masuk lagi ke pesawat untuk mengambil kacamata hitam dan iPad, lalu melihat buku
Low Pressure tergeletak di kursi yang tadi diduduki
Bellamy. "Bangsat." Ia menyambar buku itu dan, begitu keluar dari pintu pesawat, langsung menuju mobil
Vette-nya.
Gall berpaling dari kulkas yang mendengung berisik, kemasan berisi enam kaleng bir Bud di tangannya. "Kupikir sebaiknya kita minum beberapa kaleng?Mau ke mana kau?"
"Mengejarnya."
"Apa maksudmu, mengejarnya?"
Dent naik ke kursi pengemudi dan menyalakan
mesin, tapi waktu ia akan menutup pintu, Gall menghalangi, kemasan bir di satu tangan, tangannya yang
Bab 3
54
lain menahan pintu mobil yang terbuka. "Jangan suka
cari masalah, Ace."
"Oh, lucu sekali. Kan kau yang menghubungkan
aku dengan mereka."
"Aku salah."
"Begitu ya." Ditariknya pintu. "Lepaskan."
"Kenapa kau mengejarnya?"
"Bukunya ketinggalan. Aku akan mengembalikannya."
Disentakkannya pintu kuat-kuat dan Gall melepaskannya. "Mestinya kaubiarkan saja."
Dent tidak memedulikan perkataan itu. Ia memasukkan gigi satu dan melesat ke luar hanggar. Ia kenal
jalanan ini, untungnya, sebab sementara sebelah tangannya memegang kemudi, ia menggunakan tangan
yang satu lagi untuk bersusah payah menarik dompet
dari saku belakang, mengeluarkan cek, dan setelah
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membaca lagi alamatnya, membuka aplikasi GPS di
iPad. Dalam beberapa menit ia punya peta menuju
tempat Bellamy.
Georgetown, tidak sampai lima puluh kilometer di
utara Austin, terkenal karena arsitektur gaya zaman
Victoria-nya. Alun-alun dan jalanannya yang diapit
pepohonan menampilkan bangunan-bangunan dengan
teras berhiasan bagai renda.
Bellamy tinggal di rumah seperti itu. Bangunan tersebut berada di antara pohon-pohon pecan dan memiliki beranda lebar di sepanjang bagian depan rumah.
Dent parkir di jalan masuk dan, sambil membawa
buku, menyusuri jalan setapak bertepian bunga menu55
ju tangga ke teras. Ia menaiki anak tangganya dua-dua
dan mengulurkan tangan melewati tanaman Boston
fern dalam pot untuk membunyikan bel.
Lalu ia melihat bahwa pintu depan terbuka. Ia mengetuk pintu. "Halo?" Ia mendengar suara, tapi bukan suara yang menyilakannya masuk. "Halo?
Bellamy?" Mengingat Dent tadi mengemudi dengan
cepat, Bellamy tak mungkin terlalu jauh mendahuluinya. "Halo?"
Bellamy muncul di celah di antara kusen dan daun
pintu; dan menurut Dent, seolah kalau tidak bersandar, wanita itu bakal ambruk. Mata Bellamy terbuka
lebar dan berair, wajahnya pucat, kontras dengan bintik-bintik di hidung dan pipinya yang baru disadari
Dent.
Bellamy menjilat bibir. "Mengapa kau ke sini?"
"Kau baik-baik saja?"
Bellamy mengangguk mengiyakan, namun Dent
tidak percaya.
"Kau tampak" Ia menunjuk wajah wanita itu.
"Apakah karena penerbangan tadi? Apakah akibatnya
seburuk itu?"
"Bukan."
"Kalau begitu, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
Dent ragu, bertanya-tanya dalam hati mengapa ia
tidak langsung saja menyerahkan buku dan menyuruh
Bellamy melemparkannya ke tong sampah, itulah tujuan Dent datang ke sini, lalu berbalik dan pergi.
Untuk selamanya. Seterusnya dan selamanya, amin.
56
Ia punya irasat kuat bahwa kalau tinggal di sini
sedetik saja lebih lama, ia akan menyesal seumur hidup. Akhirnya, walaupun ada dorongan hati untuk
pergi dari sini dan menjauhi Bellamy serta segala hal
yang berhubungan dengan Lyston, ia mendorong pelan pintu, dan Bellamy menahannya. Dent mendorong lebih kuat sampai wanita itu menyerah dan
pintu terbuka lebar.
"Apa-apaan!" Dent berseru.
Ruangan di belakang Bellamy tampak seperti lokasi
pawai bertaburan confetti. Lantai kayu mengilapnya
dipenuhi potongan kertas. Dent masuk dengan menerobos melewati Bellamy, membungkuk, dan memungut salah satu potongan kertas yang agak besar. Ternyata sudut halaman buku: T.J. David tercetak di
sana, bersama nomor halaman.
"Kau mendapati keadaannya seperti ini ketika tiba
di rumah?"
"Aku cuma beberapa menit di depanmu," jawabnya. "Aku baru sampai di ruangan ini."
Dent langsung berpikir bahwa si penyusup mungkin
saja masih berada di dalam rumah. "Sistem alarm?"
"Tidak ada di rumah ini. Aku baru beberapa minggu pindah ke sini." Ia menunjuk kotak-kotak tertutup
yang menumpuk di dekat dinding. "Aku bahkan belum selesai bongkar-bongkar."
"Suamimu tidak di sini?"
Pertanyaan itu awalnya seperti membingungkan
Bellamy, lalu ia tergagap menjawab, "Ya. Maksudku
Aku tidak Kami bercerai."
57
Hah. Dent menyimpan informasi itu untuk dipikirkan nanti. "Hubungi 911. Aku akan memeriksa."
"Dent?"
"Tidak apa-apa."
Ia menaruh novel Bellamy di bufet, lalu melanjutkan menelusuri koridor melewati ruang makan dan
ruang duduk, yang terletak berseberangan dan samasama terbuka. Koridor membawanya ke bagian belakang rumah, tempat Dent melihat ada dapur dan
ruang ruang perlengkapan. Pintu menuju halaman
terbuka lebar. Mekanisme kuncinya menjuntai dari
lubang bundar rapi di pintu.
Seekor kucing loreng dengan penuh rasa ingin tahu
mengintip dari celah pintu. Begitu melihat Dent,
kucing itu kabur. Dengan hati-hati supaya tidak menyentuh apa pun, Dent keluar menuju bangku beton,
tempat sekantong tanah untuk bertanam dan tumpukan pot bunga dari tanah liat tersandar di dinding luar
rumah. Salah satu pot itu pecah. Potongan-potongannya berserakan di anak tangga menuju tanah. Halaman berpagar itu kosong.
Ia menduga si penyusup bukan lagi merupakan
ancaman, namun tetap ingin mengecek ke atas. Ia
menyusuri lagi jalannya melewati dapur dan kembali
ke koridor yang lebar. Bellamy masih berada di tempatnya tadi, sambil memegang ponsel.
"Kurasa ia datang dan pergi lewat pintu ruang perlengkapan. Aku akan memeriksa ke atas."
Ia menaiki tangga dengan cepat. Pintu pertama di
kiri membuka ke kamar tidur cadangan, yang kelihat58
annya direncanakan Bellamy menjadi ruang kerja.
Peralatan komputer di meja kayu sepertinya tidak diusik, tapi seperti di ruang depan, halaman buku
Bellamy dirobek-robek dan berserakan di mana-mana.
Dent memeriksa lemari, tapi tidak apa apa-apa di dalamnya selain beberapa kotak berisi perlengkapan
kantor standar.
Di tengah koridor, terbentang sepasang pintu kaca.
Ia memasukinya dan berada di kamar Bellamy. Di
sini, ia berhenti mendadak. Ruangan itu telah divandalisasi, tapi bukan dengan confetti.
Cepat-cepat ia memeriksa lemari dan menemukan
pakaian, sepatu, beberapa kotak yang belum dibuka,
dan wangi bunga yang menguar. Kamar mandi juga
kosong, hanya ada perlengkapan berwarna krem, handuk-handuk tebal, dan benda-benda feminin di meja
rias.
Ia kembali ke pintu ganda kamar dan berseru ke
bawah. "Semua aman, tapi sebaiknya kau kemari."
Beberapa saat kemudian Bellamy bergabung dengannya, bersikap sama persis dengan Dent waktu masuk
ke kamar. Ia langsung berhenti melangkah dan memandang terpana.
"Kutebak itu bukan bagian dekorasi."
"Ya," sahutnya serak.
Tertulis dengan cat merah di dinding: Kau akan
menyesal.
Catnya mengalir, meninggalkan alur di dasar setiap
huruf yang tampak seperti aliran darah. Alih-alih
59
menggunakan kuas, huruf-huruf itu ditulis dengan
celana dalam Bellamy.
Fakta mengerikan itu tidak lolos dari perhatian mereka.
Dent menunjuk gumpalan sutra berlumuran cat
yang tergeletak di karpet. "Punyamu?" Ketika wanita
itu mengangguk, Dent berkata, "Bangsat sakit jiwa.
Polisi menuju kemari?"
Bellamy menyentakkan diri, dengan susah payah
mengalihkan pandangan dari tulisan di dinding, dan
mendongak memandang Dent. "Aku tidak menelepon
mereka."
"Astaga, kenapa?"
"Sebab aku tidak mau ribut-ribut soal ini."
Dent yakin telinganya salah dengar, dan ekspresinya
pasti menunjukkan perasaan tak percayanya.
"Ini lelucon jail," kata Bellamy. "Waktu aku pindah
kemari, ada tetangga yang memperingatkan bahwa
hal-hal seperti ini terjadi di daerah sini. Sudah beberapa kali. Para remaja yang kurang kegiatan. Mungkin
semacam inisiasi. Mereka menyerakkan sampah di halaman. Merobohkan kotak surat. Aku diberitahu bahwa bulan lalu mereka menyerang satu blok penuh."
Dent memandang dinding yang divandalisasi itu,
pakaian dalam di lantai; lalu kembali pada Bellamy.
"Celana dalammu dipakai untuk menulis pesan mengancam di dinding kamarmu dan kau menyamakan itu
dengan menyebarkan sampah serta merusak kotak surat?"
"Aku tidak mau menghubungi polisi. Toh tak ada
60
yang hilang. Setidaknya, tidak ada yang bisa langsung
kuketahui. Ini hanya kenakalan."
Ia berbalik cepat dan meninggalkan kamar. Dent
menyusulnya, bergegas menuruni tangga di belakang
wanita itu. "Ketika aku sampai di sini, kau terguncang hebat. Sekarang kau anggap ini cuma keisengan?"
"Aku yakin memang cuma itu."
Ia mengitari tiang tangga dan berjalan ke dapur,
Dent hanya setengah langkah di belakang. "He-eh.
Aku tidak percaya. Apa yang akan kausesali?"
"Aku tidak tahu."
"Kurasa kau tahu."
"Bukan urusanmu. Lagi pula, kenapa kau kemari?"
Bellamy menyeret kursi meja makan dari dapur ke
ruang perlengkapan dan menempelnya ke pintu supaya pintunya tertutup. "Kucing tetangga sering datang
tanpa diundang."
Ketika ia berbalik, Dent menghalangi jalannya.
"Aku ingin menghubungi polisi."
"Jangan lancang. Media akan mengendus ini, lalu
aku harus membereskan itu juga."
"Juga? Sebelumnya apa?"
"Tidak ada. Hanya tolong biarkan saja. Aku
menunggu telepon yang mengabarkan bahwa ayahku
meninggal. Aku tidak sanggup kalau harus menghadapi hal lain lagi sekarang. Tidak bisakah kau memahami itu?"
Dent tahu kontrol diri wanita itu nyaris jebol. Ekspresi mata Bellamy penuh dengan sesuatu. Ketakutan?
61
Suaranya goyah, seolah hampir pecah. Ia mencengkeram tepi meja, tapi tetap bertahan, dan Dent mau
tidak mau mengaguminya karena itu.
Diperhalusnya pendekatannya. "Dengar, berkat keluargamu, aku juga bukan penggemar polisi. Tapi,
aku tetap beranggapan kau seharusnya melaporkan
ini."
"Mereka bakal datang dengan lampu berpendar-pendar."
"Mungkin."
"Tidak mau. Aku tak menginginkan segala kehebohan itu. Aku tidak akan menghubungi mereka."
"Oke. Kalau begitu, tetangga."
"Untuk apa?"
"Tanya apakah kau boleh menginap di rumah mereka."
"Jangan konyol."
"Teman? Orang yang bisa datang?"
"Tidak."
"Kalau begitu, telepon polisi."
"Kau ingin menelepon mereka, silakan telepon.
Kau saja yang berurusan dengan mereka. Aku takkan
ada di sini." Ia mendorong Dent supaya minggir dan
berjalan kembali ke lorong. "Aku akan berada di rumah orangtuaku."
"Aku mendukung ide itu. Kau gila kalau tinggal di
sini sendirian. Tapi tunggulah satu jam. Biarkan polisi
datang?"
"Tidak. Aku ingin menyetir sebelum badai sampai
di sini."
62
"Badainya tidak akan kemari."
Bellamy melirik sekilas ke jendela. "Bisa saja." Ia
membungkuk untuk mengambil tas dari lantai, tempat ia rupanya menjatuhkannya ketika masuk. Ia menyampirkan talinya di bahu. "Kau masih belum memberitahu mengapa kau membuntutiku pulang."
"Untuk mengembalikan buku jelekmu." Ia menunjuk bufet tempatnya menaruh buku itu. Kemudian ia
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggerakkan sepatu botnya di antara tumpukan robekan kertas. "Tampaknya ada yang lebih tidak menyukainya daripada aku."
Bellamy akan menyahut, tapi tergagap dan membuang muka, lalu mendadak berputar dan membuka
pintu depan.
Dent mengulurkan tangan ke depan wanita itu dan
mendorong pintu hingga tertutup. Bellamy berbalik
dengan marah, namun Dent-lah yang duluan bicara.
"Ini memang menyangkut buku itu. Benar, kan?"
Bellamy tidak berkata apa-apa, tapi memang tidak
perlu. Ekspresinya sudah mengungkapkan segalanya.
"Kau benar-benar takut, kan?"
"Aku?"
"Sebab kau sama tahunya dengan aku bahwa ini
bukan sekadar kejailan remaja."
"Aku tidak tahu maksudmu."
"Apa lagi yang bisa kausesali? Kau menulis buku
itu, dan ada yang sangat tidak suka karenanya."
"Aku tak pernah bilang?"
"Begitu tidak suka sampai ia mengancammu dan
kau menganggap serius ancaman itu. Aku tahu karena
63
kau ketakutan. Jangan bantah. Aku bisa menebaknya.
Jadi ada apa sebenarnya? Apa masalahnya?"
"Apa pedulimu?"
"Anggap saja aku orang baik."
"Tapi kau kan bukan orang baik."
Itu memang benar. Selama beberapa detik mereka
berpandangan, lalu kepala Bellamy terkulai ke depan
dan ia tetap menunduk begitu beberapa lama. Ketika
mengangkat kepala lagi, ia mengusap sehelai rambut
yang terlepas dari kucir ekor kudanya.
"Dent, ini hari yang sangat buruk bagiku. Pertama,
aku harus berhadapan denganmu, padahal kau begitu
tidak ramah dan menolak tawaran damaiku. Aku hanya bisa menonton, tanpa daya, di bangsal kanker
dan melihat ayahku, yang kusayang lebih daripada
siapa pun di dunia, mengalami kesakitan dan penderitaan yang tak terkatakan beratnya.
"Aku tidak mau meninggalkannya, namun ia
mengarang urusan bisnis yang harus kubereskan besok
pagi begitu kantor buka. Tapi, alasan sebenarnya ia
menyuruhku pulang adalah supaya aku tidak perlu
melihatnya seperti itu.
"Kemudian, dalam penerbangan pulang, aku harus
menenangkan diri supaya tidak mengalami serangan
panik hebat, yang tak hanya mengerikan tapi juga
memalukan sebab kau akan bisa melihatnya. Aku sampai di rumah dan mendapati rumahku berantakan,
lalu kau datang dan merecokiku. Cukup sudah. Aku
mau pergi. Kau boleh saja tinggal, atau pulang, atau
pergi ke neraka. Tak ada bedanya bagiku."
64
Sambil melangkah ke luar, ia menjentikkan sakelar
utama yang mematikan semua lampu di rumah, meninggalkan Dent dalam kegelapan.
Ray Strickland sebaiknya dihindari, dan ia membuat
dirinya menampilkan kesan itu.
Wajahnya yang jahat memang didapatnya dari lahir, tapi ia mengembangkan sikap yang sesuai dengan
penampilannya. Alis tebal dan rendah membentuk
kerutan abadi yang membuat mata cekungnya bagai
berada dalam bayang-bayang. Bahu lebar dan lengan
berototnya sebetulnya bisa membuatnya tampak gempal kalau saja kakinya tidak kekar juga.
Ia tidak menggunduli kepalanya, melainkan membabat habis rambutnya dengan alat cukur listrik beberapa hari sekali. Di tengkuknya ada tato salib besi,
seperti medali perang Jerman. Tato-tato lain menghias
lengan dan dada. Ia terutama bangga pada tato ular,
taringnya meneteskan bisa, yang melingkari lengan
kirinya dari bahu sampai pergelangan tangan.
Ular itu menyembunyikan luka-lukanya.
Di ikat pinggangnya tergantung sarung kulit berisi
pisau yang selalu diasahnya dan siap digunakan kalau
ada yang tidak takut pada penampilan seramnya dan
ingin "main-main".
Ia memancarkan aura Jangan Macam-macam Denganku. Sebagian besar orang yang berhadapan dengannya dengan senang hati mengindahkan auranya.
65
Malam ini suasana hatinya lebih buruk daripada biasanya.
Bar tempat ia mampir untuk minum ini penuh
sesak dan panas, band-nya jelek dan berisik. Semua
pelanggan baru yang masuk dari pintu kaca buram
menambah kekesalan Ray. Mereka memenuhi wilayahnya dan menghirup udaranya. Ia membuka rompi
kulit, untuk ventilasi, tapi tetap merasa terjerat.
Ia memberi tanda pada pramusaji supaya dibawakan segelas tequila lagi. Wanita itu memakai topi koboi hitam dengan pita bulu, bra kulit hitam, dan jins
low-rise. Pusarnya ditindik dengan cincin perak, dan
dari cincin itu menjuntai rantai yang panjangnya persis sampai situ.
Ray membiarkan si pramusaji tahu bahwa ia menyadarinya. "Aku suka rantai itu."
"Trims," sahutnya, dengan nada yang mengatakan
Jangan bawel. Setelah menuangkan minuman Ray, ia
berbalik dan melenggang ke ujung lain bar, membiarkan Ray memandangi bokongnya yang berbentuk
hati.
Penolakan itu membuat Ray marah besar. Sebenarnya ia sudah biasa ditolak. Wanita sepertinya tidak
berminat padanya, kecuali ia merayu mereka dengan
cukup banyak minuman keras sehingga mereka cukup
bersahabat dan menurut. Ia tak pernah menggairahkan
bagi mereka.
Ia memang tidak punya bakat itu. Tak seperti
abangnya, Allen. Nah, itu baru penakluk wanita.
Allen tinggal memberi tanda dengan satu jari pada
66
wanita dan si wanita pasti langsung lari mendekat.
Dalam waktu singkat, Allen mampu memikat wanita
sehingga mau ditidurinya. Ia mencintai wanita dan
wanita pun mencintainya.
Hanya satu yang pernah menolak Allen.
Susan Lyston.
Setelah si jalang itu, tak ada wanita lagi buat Allen.
Nihil.
Ray meraih gelas minuman dan menghantamkannya
ke meja setelah menenggak habis tequila yang membakar kerongkongan itu.
Kalau bukan karena Susan Lyston, Allen pasti bersama Ray malam ini, main-main, mabuk, bersenangsenang seperti dulu. Tentu saja mereka sepasang anak
liar dan gila waktu itu, tapi Ray menganggap tak ada
alasan mereka sekarang tidak seasyik 18 tahun lalu.
Tapi ia takkan pernah tahu, bukan? Ya. Gara-gara
Susan Lyston.
Sekarang adik perempuan Susan juga berada di jalur yang menghancurkan itu. Ia menulis buku tentang
hal tersebut, demi Tuhan! Oh, ia memang mengubah
nama-nama, bahkan namanya sendiri. Ia menggunakan
kota iktif sebagai lokasinya. Namun, samaran-samaran
ala kadarnya itu tak ada artinya kalau kau tahu kisah
yang sebenarnya. Tokoh-tokoh karangannya mudah
dicocokkan dengan orang-orang yang sungguhan
ada.
Ray selalu marah setiap kali memikirkan bagaimana
wanita itu mendeskripsikan tokoh yang mewakili
Allen. Ia menyebutnya "licin". Ray tak tahu pasti arti67
nya, tapi kedengarannya tidak bagus. Abangnya diolok-olok dan dihina lagi di halaman-halaman buku
terkutuk itu. Dan untuk memastikannya, adik Susan,
yang sekarang telah dewasa dan mestinya lebih punya
otak, muncul di TV untuk membicarakannya, mengambil untung dari Allen dan peristiwa yang menghancurkan hidup abang Ray tersebut.
Tak mungkin itu benar. Ray takkan membiarkan
wanita itu lolos begitu saja.
Begitu mendengar Bellamy kembali ke Austin, Ray
memulai aksi untuk mengusik hidup sempurna wanita
tersebut. Ia ingin Bellamy khawatir, gugup, takut, seperti Allen waktu ditangkap. Seperti Ray ketika Allen
ditangkap.
Lalu, setelah bersenang-senang dengan Bellamy, ia
akan membuat wanita itu menyesal pernah menulis
bahkan sepatah kata tentang abangnya.
Hari ini, ia memutuskan memperingatkan Bellamy.
Meskipun tidak suka memberi Bellamy lebih banyak
uang berkat bukunya, Ray membeli buku itu dan
menikmati merobek halaman-halamannya dengan
pisau. Di toko Ace Hardware, ia membeli sekaleng
cat merah dan kuas. Masuk ke rumah Bellamy sih
gampang, begitu juga menemukan kamar tidurnya.
Dan ini bagian terhebatnya: Pada saat terakhir, ia
mendapat ide untuk memakai celana dalam wanita
itu sebagai kuas. Ia menemukan celana-celana dalamnya terlipat rapi di laci lemari. Ia berlama-lama memilih yang paling disukainya. Celana dalam itu tidak
terlalu menyerap cat, tapi hasilnya tetap lumayan.
68
Setelah selesai, ia pindah ke dapur dan menunggu
Bellamy pulang. Siang berlalu. Suhu meningkat, begitu juga tingkat kelembapan, namun ia tidak menghidupkan AC. Entah mengapa, ia menganggap dirinya
tidak boleh merasa nyaman. Ia tidak mau ini mudah.
Ia melakukan ini demi Allen.
Malam pun datang, tapi suhu tidak turun bersama
matahari. Keringatnya sudah merembes di jins, dan
rompi kulitnya melekat di tubuh waktu ia akhirnya
mendengar mobil Bellamy meluncur di jalan masuk.
Ia mendengarkan ketika wanita itu membuka kunci
pintu depan dan tahu kapan persisnya Bellamy melihat kekacauan di koridor. Entakan napas wanita itu
karena kaget membuat Ray ingin terbahak-bahak.
Ia tergoda untuk menerjang dari dapur sambil meneriakkan pekikan perang dan membuat Bellamy ketakutan setengah mampus. Namun, ia bertindak cerdas. Ia menunggu, memasang telinga untuk mendengar
ke mana Bellamy pergi atau apa yang dilakukannya
sebelum memutuskan tindakan selanjutnya.
Lalu ia mendengar deru pelan mesin mobil. Pintu
dibanting. Langkah kaki di jalan.
Sial! Ray menyambar kantong plastik berisi kaleng
cat dan buru-buru kabur. Ia bahkan tidak berhenti
untuk menutup pintu belakang. Ia melompati pot
bunga yang dipecahkannya ketika membuka paksa
kunci pintu. Ia melompati pagar dan lari menyeberangi halaman belakang tetangga.
Akhirnya ia melewati beberapa blok dan sampai di
tempatnya meninggalkan pickup. Ia terengah-engah
69
dan basah kuyup oleh keringat saat tiba di truknya,
tapi ia lebih marah daripada takut. Ada yang ikut
campur dalam rencananya.
Ia mengambil risiko dengan menyetir lewat rumah
Bellamy, tapi orang-orang seperti dirinya memang
suka bahaya dan risiko. Ternyata, tindakannya ada
gunanya. Ia mengenali si bangsat yang merusak kesenangannya.
Denton Carter.
Mula-mula Ray tak memercayai matanya waktu
melihat pria itu berdiri di bawah lampu teras rumah
Bellamy Price. Tapi tak mungkin salah mengenali
orang itu.
"Dasar pilot sombong," gumam Ray sekarang sambil membungkuk di bar dan memutar-mutar gelas
minuman kosong di antara kedua tangan. Kebencian
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggelegak dalam dirinya. Dent Carter salah satu
bajingan mujur yang meski diseret melewati kubangan
kotoran entah bagaimana bisa tetap sewangi mawar.
Ray tahu pria itu pernah mengalami masa-masa sulit.
Ia dipecat dari maskapai penerbangan. Ada hubungan
dengan pesawat yang hampir jatuh.
Tetapi, seperti bisa ditebak, Dent kembali beraksi.
Di jalan depan rumah Bellamy terparkir Corvette merah seksi, dan Ray melihat sendiri bahwa kedatangan
Dent disambut. Mengapa tidak, kan di bukunya,
Bellamy menganggap tokoh Dent jagoan super?
Seluruh masalah ini membuat Ray marah besar.
Ia memberi tanda pada pramusaji dan mengeluarkan segulung uang dari saku depan. Bersemangat
70
melihat uang, si pramusaji langsung mendekat, membawa sebotol Patron.
"Mau lagi, Tampan?"
Oh, sekarang ia tampan ya? Uang memang bisa
bikin orang berubah pikiran. Ray bertanya-tanya sampai mana uang bisa memperlancar urusannya dengan
wanita ini. Bagaimana reaksinya kalau Ray mengulurkan tangan dan menyentakkan rantai itu? Benar-benar
menyentakkannya. Si pramusaji mungkin bakal menjerit sekuat tenaga.
"Bikin dobel."
Ia mengambil gelas kedua dan mengisinya. "Kau
merayakan apa?"
"Aku sedang berdukacita."
"Oh, maaf. Siapa yang meninggal?"
"Tidak ada." Ia mengangkat gelas pada wanita itu.
"Belum."
71
Dent gelagapan meraba-raba ponselnya yang berdering, menyipitkan mata menatap nomor si penelepon,
dan menjawab dengan geraman. "Kau bercanda ya?
Dua pagi berturut-turut?"
"Cepat kemari."
Gall menutup telepon tanpa mengatakan apa-apa
lagi, yang terasa ganjil. Ia hidup untuk berdebat. Ia
suka beradu mulut dengan Dent. Pasti ada yang tidak
beres.
Dent menyibakkan selimut dan mengulangi prosedur kemarin, tapi kali ini ia tidak bercukur dan menukar kemeja chambray koboi dengan kemeja putih serta
dasi. Ia sudah keluar pintu dalam lima menit.
Dua puluh menit kemudian ia telah sampai di lapangan terbang, tempat Gall menunggu di hanggar,
berdiri di sebelah pesawat Dent. Ia berkacak pinggang
Bab 4
72
dan cerutu basah bergerak-gerak di antara geligi yang
mengunyah-ngunyah.
Ketika Dent melangkah ke arahnya, Gall memberi
tanda dengan kesal ke arah pesawat, tapi Dent sudah
melihat kerusakannya begitu turun dari mobil. Kaca
depan kokpit retak. Di badan pesawat terdapat penyok-penyok sebesar bola sofbol. Semua ban ditusuk.
Bilah salah satu baling-baling bengkok. Yang paling
parah adalah robekan di bagian atas setiap sayap, seolah dilakukan dengan pembuka kaleng raksasa.
Ia pelan-pelan mengelilingi pesawat, mengamati
kerusakan, makin lama makin marah. Ketika bergabung lagi dengan Gall, ia harus menggerakkan rahang
dengan susah payah untuk bertanya, "Mesin?"
"Belum kuperiksa. Kupikir harus kubiarkan apa
adanya sampai orang asuransi memeriksa. Aku juga
sudah menelepon kantor Sherif. Mereka akan mengirim orang. Sayapnya saja, atau baling-baling, salah
satu sudah cukup untuk membuatmu tidak bisa terbang. Tapi, dua-duanya"
Dent menatapnya.
Ia mengangkat bahu, berkata dengan prihatin, "Sebulan, minimal. Mungkin lebih lama."
Dent memaki-maki. Bagi dirinya, ini bukan sekadar pesawat. Atau cuma gaya hidup. Ini hidupnya.
Rasanya seolah ia sendirilah yang diserang dengan
palu dan pisau tajam. "Bagaimana ia bisa masuk?"
"Menggunakan pemotong baut untuk membuka
gembok. Aku sudah beberapa lama bermaksud meng73
gantinya dengan jenis yang lebih baru, tapi, kau
tahu tidak pernah sempat."
"Jangan salahkan dirimu, Gall. Bukan kau yang
melakukan ini. Kalau sampai aku bertemu dengan
orang atau orang-orang yang melakukan?"
"Berjanjilah menyisakan bajingan itu untukku."
Dilemparkannya cerutu ke drum minyak ukuran 50
galon yang difungsikan sebagai tong sampah. "Ini dia
si orang hukum."
Satu setengah jam berikutnya dihabiskan bersama
deputi penyelidik itu, yang tampaknya cukup bisa
diandalkan, tapi Dent tahu kejahatan ini tidak akan
jadi prioritas para detektif. Pertanyaan-pertanyaan si
deputi menyiratkan bahwa vandalisme ini tindakan
balas dendam yang ada sangkut pautnya dengan
Dent.
"Kau punya utang yang tidak dilunasi, Mr.
Carter?"
"Tidak."
"Maksudku bukan kartu kredit. Bandar judi, mungkin? Pinjaman?"
"Tidak."
"Punya musuh? Akhir-akhir terlibat pertengkaran?
Berkelahi dengan seseorang? Tahu ada yang menyimpan dendam padamu?"
"Tidak."
Ia memandang Dent dari kepala sampai kaki seakan tidak yakin pada jawabannya, tapi gentar melihat wajah Dent yang berkerut kesal, ia tidak bertanya
lebih lanjut. Ia mulai mengajukan pertanyaan pada
74
Gall sementara Dent menemui petugas penyelidik
asuransi, yang datang tidak lama setelah si deputi.
Penyelidik itu kaku, lurus, dan datar, jenis pegawai
perusahaan besar yang dibenci Dent. Ia mengajukan
banyak pertanyaan, sebagian besar dianggap Dent tidak perlu atau bodoh. Ia banyak mencatat, banyak
memotret, dan mengisi banyak formulir, yang dimasukkannya ke tas dengan eisiensi menjengkelkan tapi
tanpa sepotong pun ucapan ikut prihatin.
"Mereka akan menipuku," kata Dent pada Gall
ketika orang itu melaju pergi. "Lihat saja nanti."
"Yah, akan kunaikkan biaya suku cadang dan perbaikannya, jadi bakal impas."
Dent tersenyum muram, bersyukur bahwa setidaknya ia punya satu sekutu yang paham betapa kejadian
ini berdampak besar baginya, dan bukan cuma secara
inansial. Ia tak punya istri atau anak, binatang pun
tidak. Pesawat ini kesayangannya, buah hatinya.
"Periksalah dia dengan cermat. Nanti aku kembali
untuk mendengar prognosisnya."
Ia bergerak menuju mobil tapi Gall menghentikannya. "Tunggu dulu. Masuklah ke kantor sebentar."
"Untuk apa?"
"Kau belum minum kopi."
"Kok tahu?"
Gall cuma mendengus dan berjalan perlahan ke
kubikel, melambai pada Dent sebagai tanda agar Dent
mengikutinya. Dent sebetulnya ingin segera pergi tapi
tahu bahwa Gall merasa tidak enak hati gara-gara
75
gembok lemahnya. Ia bisa meluangkan beberapa
menit untuk orang itu.
Ia mengisi muk yang sudah geripis dan bernoda
dengan kopi kental, membawanya ke dalam kantor,
dan duduk di kursi yang menghadap meja, tidak lupa
soal kaki belakangnya yang tak bisa diandalkan.
"Aku tahu apa yang kaukatakan pada si deputi,"
ujar Gall. "Sekarang beritahukan apakah kau punya
dugaan siapa yang melakukan ini." Ia menghindari
kontak mata dan menarik-narik daun telinga, tanda
pasti bahwa ada yang disembunyikannya.
"Apa yang ada di pikiranmu?"
Gall membuka bungkus cerutu baru dan menancapkannya di sudut bibir. "Sebelum meninggalkan rumah
pagi ini, aku melihatnya di TV. Acara pagi, sangat
pagi. Katanya itu wawancara rekaman."
Dent tidak mengatakan apa-apa.
"Buku yang ditulisnya Low Pressure?"
"Yeah."
Pria yang lebih tua itu mendesah berat. "Yeah."
Dent menyesap kopi.
Gall menggerak-gerakkan cerutu, lalu berkata, "Aku
tidak tahu apa-apa. Kalau tahu, aku takkan menerima
carteran itu. Kau tahu itu, kan?"
"Jangan siksa dirimu, Gall. Cepat atau lambat, aku
pasti tahu soal buku tersebut. Sebetulnya, ia bilang ia
bingung mengapa aku bisa tidak mendengar mengenai
buku itu."
"Baik sekali kau tidak menyalahkan aku," sahut si
pria lebih tua, "tapi aku tak habis-habisnya menyesali
76
diri kenapa tidak menutup telepon waktu ia menghubungiku dan bilang ingin memesan penerbangan denganmu." Setelah hening sejenak, ia bertanya, "Kau
baca buku sialan itu?"
"Sebagian besar. Sisanya kubaca sekilas."
"Apakah ceritanya sesuai?"
"Lumayan. Akhirnya ambigu." Dent diam sedetik.
"Persis kisah sebenarnya."
"Menurutku, tidak ambigu," gerutu Gall.
"Kau tahu maksudku."
Gall mengangguk, ekspresinya suram. "Pantas saja
kau kelihatan ingin membunuhnya waktu ngebut dari
sini tadi malam. Apakah kau berhasil menyusulnya?"
"Ya, tapi perkembangannya tidak sesuai dengan
rencana." Dent menggambarkan apa yang ditemukannya di rumah wanita itu. "Bajingan itu menggunakan
pakaian dalam Bellamy untuk menuliskan kata-katanya di dinding."
"Ya Tuhan." Gall menyisir rambut tipisnya dengan
jemari. "Menurutmu, ada hubungannya?"
Dent mengerutkan kening sebagai jawaban dan
melihat tatapan Gall ke arah pesawatnya yang rusak.
"Benar. Rumahnya. Pesawatku. Malam yang sama.
Hebat sekali kalau cuma kebetulan." Diletakkannya
gelas kopi yang sudah kosong di meja dan berdiri.
"Kau mau ke mana?"
"Membicarakan ini dengannya."
"Dent?"
"Aku tahu kau akan bilang apa. Diamlah."
77
"Delapan belas tahun lalu kusuruh kau menjauhi
gadis Lyston itu. Kau tidak mendengarkan."
"Ini gadis Lyston yang berbeda."
"Yang ternyata sama beracunnya dengan si kakak."
"Itulah yang akan kubicarakan dengannya."
Jantung Bellamy bagai berhenti berdetak ketika ponselnya berdering. Sepanjang malam ia meletakkannya
dekat-dekat, juga pagi ini, takut akan ada telepon dari
Olivia tapi pada saat yang sama ingin mendapat kabar
juga. "Halo?"
"Di mana kau?"
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa ini?"
Ia tidak mau repot-repot menjawab.
"Apa maumu, Dent?"
"Pesawatku dirusak tadi malam."
"Apa?"
"Di mana kau?"
"Kantor Daddy."
"Aku akan ke sana tak sampai setengah jam lagi.
Aku akan datang, aku akan naik, dan jangan berani
kau melarangku masuk." Ia menutup telepon.
Lyston Electronics berada di gedung kaca tujuh
tingkat, salah satu dari sekumpulan bangunan kontemporer dalam kompleks bisnis tak jauh dari MoPac.
Alat-alat komunikasi produksi mereka berteknologi
tinggi dan sangat diincar, jadi semua orang yang bekerja di sana memakai tanda pengenal, dan keamanannya ketat.
78
Bellamy menghubungi penjaga di lobi dan mengatur supaya Dent diizinkan masuk. "Tolong arahkan
dia ke kantor ayahku."
Dua puluh menit kemudian Dent dibawa masuk
oleh resepsionis ayah Bellamy, yang dipersilakan pergi
oleh Bellamy dengan anggukan tanda terima kasih. Ia
tetap duduk di balik meja sementara Dent mengamati
ruangan luas itu dengan santai, tatapannya berhenti
pada kepala rusa yang diawetkan dan lemari kaca tempat koleksi ukiran-ukiran giok yang harganya tak ternilai milik ayahnya dipamerkan. Ia terutama tertarik
pada potret keluarga yang mendominasi dinding berpanel. Ia mendekatinya dan memandanginya lamalama.
Foto itu dibuat pada Natal terakhir keluarga Lyston
masih lengkap. Howard berpose di depan pohon
Natal sangat besar yang bekerlap-kerlip, tampak cocok
sebagai kepala keluarga yang bangga. Olivia, anggun
memakai beledu merah anggur dan berlian-berlian
kenari, bergandengan dengan Howard. Steven, anak
14 tahun yang pemberontak, menjejalkan tangan ke
saku celana panjang lanel abu-abu. Susan duduk di
karpet Oriental di depan yang lain-lain, roknya terhampar di sekelilingnya. Ia tersenyum lebar, yakin
pada kecantikan dan pesonanya. Bellamy di sampingnya, tidak tersenyum karena memakai kawat gigi, bisa
dibilang bersembunyi di balik anjing Scottish terrier
hitam yang dipeluknya di pangkuan.
Dent berbalik untuk menatapnya. "Apa yang terjadi pada anjing itu? Scooter?"
79
"Umurnya sampai tiga belas tahun."
"Abangmu? Apa yang dilakukannya sekarang?"
"Secara teknis, Steven saudara tiriku. Aku sepuluh
tahun, ia dua belas, Susan empat belas tahun waktu
Daddy dan Olivia menikah. Begitulah, Steven meninggalkan Austin setelah lulus SMA. Kuliah di timur dan
tinggal di sana."
Tanggapan Dent terhadap informasi itu cuma hah
yang tak acuh.
"Apa maksudmu dengan ?pesawatku dirusak??"
Dent berjalan menuju meja kerja, lalu duduk?
berselonjor, tepatnya?di salah satu kursi di depannya,
tampak tidak sadar atau tidak peduli bahwa ia kelihatan aneh karena memakai jins dan kemeja koboi yang
ekornya dikeluarkan sementara aturan berbusana di
kantor-kantor eksekutif adalah jas dan dasi.
Tetapi, sejak dahulu ia memang tidak terlalu peduli
pada peraturan.
Ia menjalin jemari dan menumpukan tangan di
perut. "Bagian mana yang tidak kau mengerti?"
"Sudahlah, Dent. Ceritakan apa yang terjadi pada
pesawatmu."
"Tadi malam ada yang masuk tanpa izin ke hanggar dan memukulinya." Digambarkannya kerusakannya. "Itu yang kelihatan. Gall belum memeriksa sistemnya."
"Aku sangat prihatin."
"Kau prihatin tapi aku didaratkan. Didaratkan artinya tidak ada carter. Yang berarti tak ada pemasukan.
80
Bagimu Sialan, kau mungkin bahkan tidak paham
konsepnya."
Ejekannya tepat, karena sebenarnya Bellamy tidak
pernah mengalami masalah inansial. Dalam keluarganya, uang tidak pernah jadi masalah.
"Bank takkan menunda pembayaran cicilanku sementara pesawatku diperbaiki. Aku harus membayar
pesawat yang tidak bisa kuterbangkan. Sampai aku
kehabisan uang sama sekali dan tidak bisa membayar
lagi, lalu mereka akan datang mengambilnya. Kalau
mereka menyita pesawatku, aku akan didaratkan selamanya. Jadi keprihatinanmu tidak terlalu berguna,
bukan?"
"Aku amat menyesali ini. Sungguh. Aku tahu kau
butuh pekerjaan."
Ia memandang Bellamy tajam, lalu tertawa hambar
dan membuang muka. Namun, waktu ia memandang
Bellamy lagi, matanya kelam dengan kemarahan.
"Jadi. Kau memeriksaku. Tahu bahwa hidupku paspasan. Mengasihaniku. Itukah penjelasannya kemarin?
Kau melemparkan derma pada Dent yang malang?"
"Sudah kuberitahu mengapa aku menghubungimu."
Ia terus memandangi Bellamy dengan tatapan menusuk sampai Bellamy menyerah.
"Baiklah, ya. Aku membaca bahwa maskapai penerbangan itu memecatmu setelah insiden tersebut."
"Salah. Aku mengundurkan diri setelah insiden
itu."
"Pensiun? Tunjangan?"
81
"Harus kurelakan waktu kuberitahu mereka bahwa
mereka semua bangsat." Ia menarik kakinya yang panjang dan duduk sambil mencondongkan tubuh ke
depan. "Tapi kita tidak akan membicarakan masalah
keuanganku sekarang. Yang akan kita bicarakan adalah
mengapa ada yang merusak pesawatku setelah masuk
tanpa izin ke rumahmu dan menuliskan peringatan di
dinding kamarmu."
"Apa yang membuatmu beranggapan bahwa keduanya berhubungan?"
Ia menatapnya tajam lagi.
"Memang aneh, harus kuakui."
"Tidak, A.k.a. Biar kuberitahu kau apa yang aneh.
Yang aneh adalah waktu aku ke rumahmu tadi malam,
kau ketakutan setengah mati. Hampir pingsan, malah.
Tapi, kau sama sekali tidak mau menghubungi polisi.
Itu aneh. Dan jangan katakan omong kosong soal publisitas, kau kan mengakui tampil di TV dan menjual
bukumu. Gall melihat rekaman wawancara pagi ini."
"Aku tidak menginginkan publisitasnya!" ia berseru.
Ia bercerita tentang Rocky Van Durbin dan EySpy.
"Sejak ia menampilkan nama dan gambarku di sampah itu, lalu mengumumkan bahwa novelku berdasarkan fakta, tak sedetik pun aku merasakan ketenangan.
Aku tidak mau jadi buah mulut."
"Oh, yang benar saja," ejek Dent. "Penjualan bukumu jadi terdongkrak, kan?"
"Aku tidak membantah bahwa penjualan bukuku
meningkat drastis begitu aku tampil dan mulai mem82
promosikannya. Aku sekarang punya banyak penggemar."
"Dan satu musuh."
Bellamy berdiri cepat-cepat dan melangkah dari
balik meja untuk pindah ke jendela. Selama beberapa
saat ia memandangi lalu lintas yang melesat di jalan
raya, lalu berbalik untuk menghadap ke ruangan lagi.
Tatapan Dent terpaku padanya ketika wanita itu berjalan ke sofa kulit di bawah foto Natal keluarga dan
duduk.
Mata Dent menyipit dan ia berkata lembut, "Kau
tahu siapa pelakunya."
"Tidak, aku tidak tahu. Sumpah. Kalau tahu, apakah menurutmu aku takkan melakukan sesuatu sebelum sekarang untuk menghentikannya?"
"Menghentikannya? Menghentikan apa? Ada yang
terjadi sebelum tadi malam? Apa? Kapan?"
"Bukan masalahmu, Dent."
"Enak saja bukan." Dent bangun dari kursi yang
didudukinya dari tadi dan menyeretnya ke dekat sofa,
meletakkannya persis di depan Bellamy lalu duduk
dengan mantap di kursi itu. Ia menumpukan lengan
di lutut yang terbuka lebar dan membungkuk ke arah
Bellamy. "Ada yang merusak pesawatku. Karenanya
ini jadi masalahku."
"Aku tidak suka ini jadi melibatkanmu."
"Yeah. Aku juga."
Bellamy menghela napas. "Sungguh. Aku minta
maaf. Aku mengerti mengapa kau marah. Kau memang
berhak. Kalau aku bisa mengulang segalanya?"
83
"Tapi kau tak bisa. Aku sudah terlibat, dan demi
Tuhan aku akan mencari tahu siapa pelakunya, dan
kalau ketemu, aku takkan bergantung pada hukum
negara ini untuk menghukum bangsat itu. Akan kubereskan sendiri. Nah, ceritakan apa yang terjadi."
Bellamy merasa terjebak oleh pria itu tapi sadar
Dent takkan menyerah sampai ia memberikan informasi pada lelaki tersebut. Ia juga sadar betapa melegakan untuk akhirnya memberitahu seseorang apa yang
dialaminya selama beberapa minggu ini.
"Awalnya di New York." Ia mengusap-usapkan telapak tangannya yang lembap di paha, mengeringkannya di bahan celana. Ketika menyadari bahwa Dent
memandangi, mengikuti gerakan itu dengan penuh
minat, ia mengepalkan tangan dan melipat lengan di
atas perut.
Bahasa tubuhnya tidak lolos dari perhatian Dent.
"Takut padaku?"
"Tidak."
Ia mengamati wajah Bellamy beberapa lama, lalu
bertanya apa yang terjadi di New York.
Dengan tersendat-sendat ia menceritakan kotak berbungkus kertas kado yang diantarkan ke gedung apartemennya. "Bangkai tikus sudah mengerikan. Tapi waktu
kulihat ekornya bergerak dan aku sadar binatang itu
masih hidup" Sekarang pun, memikirkan-nya membuat Bellamy bergidik. Dent berdiri. Sambil berkacak
pinggang, ia berjalan dalam lingkaran kecil dan mengusap tengkuk. "Bajingan sakit jiwa macam apa?" Ia
terdiam dan menyemburkan serentetan makian.
84
"Aku bahkan tidak berkemas," lanjut Bellamy.
"Aku kabur. Itulah kata yang tepat. Kusambar tas dan
bergegas keluar dari apartemen. Aku mampir di lobi
gedungku hanya untuk bertanya pada concierge tentang kiriman itu. Ia tidak menyadari nama perusahaannya, tidak melihat mobilnya. Hanya ?laki-laki
berseragam dan bertopi Yankees?.
"Ia tak bisa menggambarkan detail yang lebih banyak daripada itu. Kuberitahu ia harus memanggil
pembasmi hama ke apartemenku, kukatakan aku akan
pergi entah sampai kapan, lalu aku memanggil taksi
ke bandara dan pergi naik penerbangan pertama yang
bisa kupesan.
"Kutelepon Dexter, agenku, dari taksi, dan kuminta
dia membatalkan semua jadwal tampil dan wawancara. Aku terpaksa menutup telepon sementara ia masih
mengoceh tentang alasan-alasan mengapa aku gila
karena meninggalkan rangkaian panjang acara publisitas. Sejak saat itu aku belum mau diwawancara. Kuhindari media lokal. Akhirnya para reporter berhenti
berusaha menghubungiku." Ia mengangkat bahu.
"Mereka menyerah. Kisah-kisah lain terjadi. Aku tak
peduli. Aku hanya senang tak lagi jadi sorotan."
Dent memikirkan semua ucapannya. "Oke, kau terbirit-birit pulang ke Austin. Kau muncul mendadak
begitu, ayah dan ibu tirimu pasti menganggapnya aneh.
Apakah kau memberitahu mereka soal tikus itu?"
"Tidak. Dan mereka memang terkejut soal keputusanku meninggalkan New York untuk sementara. Bahkan lebih terkejut waktu aku menyewa rumah di
85
Georgetown pada hari kedua kepulanganku. Aku sendiri juga agak kaget," ia menambahkan dengan serius.
Low Pressure Karya Sandra Brown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kubilang pada mereka bahwa aku bosan pada kota
dan butuh istirahat. Mereka tidak minta penjelasan
lebih lanjut, sebab tahu alasan sebenarnya. Bahwa aku
ingin berada di sini dan dekat dengan Daddy sampai
ia meninggal. Tapi lebih baik bagi kami semua kalau
aku punya rumah sendiri."
Bellamy berdiri dan pergi ke bar yang berada di
dinding seberang. "Air?"
"Tentu."
Ia membawakan Dent sebotol air dan membuka
botol air miliknya sendiri saat kembali ke tempatnya
di sofa. Dent bersandar di kursi. "Kapan semua ini
mulai terjadi?"
"Tiga minggu lalu, kira-kira. Ketika meninggalkan
New York, kupikir aku juga meninggalkan si penguntit. Itulah istilah yang paling tepat. Orang yang menyimpan dendam padaku, atau yang tidak sengaja
kusakiti."
Ketika Bellamy terdiam sejenak, Dent mencondongkan tubuh lagi. "Tapi?"
Ia menggosok-gosok lengan. "Tapi, aku sering merasa diawasi. Diikuti. Mula-mula aku mengabaikan
perasaan itu. Insiden tikus menimbulkan segala macam skenario melodramatis dalam otakku, membuatku
gelisah, paranoid. Lalu, sekitar seminggu lalu, ada
yang menyusup ke mobilku waktu aku di supermarket. Tak ada yang diambil, tapi aku hampir berharap
sebaliknya."
86
"Mungkin aksi calon maling itu terhenti. Ia membobol kunci pintu mobilmu tapi lalu takut dan kabur."
Bellamy menggeleng. "Ia sudah masuk ke mobil.
Aku segera bisa merasakannya. Interior mobilku bau
keringat. Bau badan." Sekarang pun ia masih mual
memikirkannya.
Dent mengerutkan kening. "Ia cuma ingin menerobos masuk wilayahmu. Menakut-nakutimu."
"Dan itu lebih mengerikan daripada pencurian."
Dent bersandar di kursi dan minum air beberapa
teguk. Ketika menutup botol, ia bertanya, "Tak punya
dugaan siapa si gila yang bau itu?"
"Ya. Tapi seperti katamu tadi malam, ia pasti orang
yang tidak menyukai bukuku. Sangat tidak suka." Ia
memalingkan muka namun tidak bisa menyembunyikan ekspresi bersalahnya.
"Oh, aku mengerti sekarang," ujar Dent, memanjang-manjangkan ucapannya. "Kau tadinya berpikir
orang itu aku. Itu sebabnya kau memesan pesawatku.
Semua omong kosong bahwa kau ingin melihat bagaimana kondisiku sekarang berarti memang cuma itu.
Omong kosong. Kau ingin melihat apakah aku si gila
yang jahat."
"Dent, aku?"
"Sudahlah," tukasnya marah, sambil bangkit dari
kursi. "Pantas saja kau mengerut seperti tanaman putri malu setiap kali aku terlalu dekat denganmu. Kau
takut aku akan menerkam." Ia memandang Bellamy
penuh kebencian. "Ingat ya, aku tidak ke New York
87
akhir-akhir ini. Aku takkan menyentuh tikus, hidup
atau mati. Aku biasa mandi lalu pakai deodoran, dan
aku jelas tidak bisa berada di dua tempat sekaligus
kemarin. Aku di Houston bersamamu, bukan di kamarmu di sini. Dan kalau tanganku sampai pernah
menyentuh celana dalammu, percayalah, aku takkan
menggunakannya untuk mengecat."
Bellamy merasa pipinya memanas dan mengutuki
Animorphs 35 Tawaran Proposal Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Pendekar Slebor 36 Susuk Ratu Setan
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama