Prodigy Karya Marie Lu Bagian 7
lumpur yang dalam), kami hanya tinggal berjarak kurang
lebih 39 km dari medan perang dan sekian ratus km dari
Denver.Day memberitahuku segala yang diceritakan Kaede
padanya,tentang Patriot dan karakter Razor sesungguhnya,
tentang Eden,tentang tekad Kongres untuk menyingkirkan
Elector. Segala yang sudah kuketahui dari mimpi, bahkan
lebih dari itu. Tadi, kepalaku berkabut saat kami lari dari
kamar dan memanjat ke atap rumah sakit.Sekarang,setelah
terkena udara dingin di luar dan merasakan kecepatan
manuver Kaede di udara,aku bisa mengalkulasi detail-detail
dengan sedikit lebih jelas.
~313~
"Kita mendekat ke medan perang," kata Kaede. Segera
setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, kudengar banyak
suara ledakan dari kejauhan. Suara itu teredam, tapi kami
pasti berada di ketinggian ratusan meter di udara dan aku
masih merasa terguncang setiap kali suara-suara itu meletus.
Mendadak, tubuh kami terangkat. Aku menekan diri
ke kursiku. Kaede sedang berusaha membawa jet setinggi
mungkin sehingga kami tidak ditembak jatuh oleh
misilmisil dari bawah. Kupaksa diriku menarik napas dalam
dan menenangkan saat kami terus naik. Telingaku
berdenging tanpa henti. Aku menonton Kaede membentuk
formasi dengan skuadron jet-jet Koloni.
"Kita harus memisahkan diri dari mereka secepatnya,"
dia bergumam. Ada kesakitan dalam suaranya,
kemungkinan dari luka tembak yang diperolehnya.
"Pegangan erat."
"Day?" aku berhasil berseru.
Aku tidak mendengar apa pun, dan sejenak kupikir dia
pingsan. Kemudian dia menyahut, "Ya." Suaranya
terdengar asing, seakan dia berjuang untuk tetap sadar.
"Denver tinggal beberapa menit lagi," kata Kaede.
Kami kembali stabil. Waktu aku mengintip keluar dari
bawah kokpit ke celah di antara awan jauh di bawah kami,
aku menahan napas. Banyak zeppelin (tak diragukan lagi,
ada lebih dari 150, sejauh mata memandang) menjadi
titiktitik di udara seperti miniatur belati yang membubung
tinggi di udara, membentang dalam barisan menuju
cakrawala. Semua zeppelin Koloni memiliki strip emas khas
di tengahtengah landasan pacu mereka yang bisa kami lihat
jelas dari atas sini. Tak jauh di depan mereka ada ruang
udara kosong yang luas, tempat semburan cahaya dan asap
beterbangan ke sana kemari. Di sisi yang satu lagi terdapat
barisan zeppelin yang bisa kukenali: zeppelin Republik,
ditandai dengan bintang berwarna merah darah di sisi
masing-masing lambung pesawat. Di seluruh tempat itu
jet-jet mengamuk, saling bertempur. Kami pasti berada
sekitar 150 meter di atas mereka?tapi aku tidak yakin
apakah jarak itu cukup aman.
Alarm di panel kendali Kaede berbunyi bip. Sebuah
suara terdengar di kokpit. "Pilot, kau tidak diizinkan berada
~314~
di area ini," katanya. (Laki-laki, beraksen Koloni.) "Ini
bukan skuadronmu. Kau diperintahkan untuk segera
mendarat di DesCon Sembilan."
"Negatif," balas Kaede. Dia menaikkan jet kami dan
terus meluncur ke atas.
"Pilot, kau diperintahkan untuk segera mendarat di
DesCon Sembilan."
Sesaat, Kaede mematikan mikrofonnya dan menoleh
pada kami. Dia tampak sedikit terlalu senang dengan situasi
kami sekarang. "Yang ngomong ini mengikuti kita," katanya
dalam nada mengejek yang meyakinkan. "Sekarang ini ada
dua yang membuntuti." Kemudian, dia menyalakan
mikrofonnya lagi dan membalas riang, "Negatif, DesCon.
Aku akan menembakmu jatuh dari langit."
Kali ini, orang di pesawat lainnya itu terdengar kaget
dan marah. "Ubah rutemu dan terimalah?"
Kaede mengeluarkan seruan yang menusuk telinga.
"Siap-siap meluncur!" Dia meluncurkan kami maju, lalu
naik dalam kecepatan yang membutakan, kemudian
berputar. Rentetan bunga api tembakan melewati jendela
kokpit?dua jet yang mengikuti kami pasti sudah cukup
dekat untuk menembak. Kurasakan perutku melorot saat
mendadak Kaede menukik tajam, menyebabkan mesin jet
kami mati dalam prosesnya. Kami meluncur dalam
kecepatan yang membuat pandanganku jadi hitam putih.
Kurasakan kesadaranku memudar.
Sesaat kemudian, aku tersentak bangun. Aku pasti
habis pingsan.
Kami jatuh. Kami terjungkir ke bumi. Zeppelinzeppelin di bawah kami membesar?kelihatannya kami
menuju langsung ke dek salah satu zeppelin itu. Tidak,
kami terlalu cepat; kami akan hancur berkeping-keping.
Lebih banyak rentetan bunga api melintas. Kedua jet yang
membuntuti kami juga terjun mengejar kami.
Kemudian, tanpa peringatan, Kaede menyalakan mesin
lagi. Mesin itu meraung hidup. Dia menarik keras-keras
sebuah tuas ke belakang dan seluruh jet berputar setengah
lingkaran sehingga hidung jet kembali menghadap ke atas.
Pandanganku menghitam lagi, dan kali ini aku tak tahu
berapa lama waktu telah berlalu. Beberapa detik? Menit?
~315~
Kusadari kami meluncur cepat kembali ke langit.
Kedua jet yang lain itu berdesing cepat, melaju turun.
Mereka berusaha naik lagi, tapi sudah terlambat. Di
belakang kami, ledakan besar mengguncang keras tubuh
kami di kursi?kedua jet itu pasti menabrak dek zeppelin
dengan kekuatan lusinan bom. Api jingga dan kuning
bercampur, membubung dari salah satu zeppelin Koloni.
Sekarang,kami berderu kencang melewati ruang udara
kosong antara kedua negara, dan Kaede kembali melakukan
putaran yang menyelamatkan kami dari bombardir
tembakan. Kami menyeberangi ruang udara kosong tersebut
dan melewati langit di atas zeppelin-zeppelin Republik.
Satu jet Koloni yang cuma sendirian, hilang di tengah
kekacauan. Aku menatap pemandangan di luar, bertanyatanya apakah Republik bingung karena Koloni menyerang
jet mereka sendiri. Kalau iya, hal itu akan memberi kami
cukup waktu untuk menyeberangi medan perang.
"Taruhan, tadi itu gerakan Split-S terbaik yang pernah
kalian lihat," kata Kaede sambil tertawa. Namun, terdengar
lebih tegang dari biasanya.
Sekarang, tak jauh dari kami menjulang menaramenara Denver dan Armor-nya yang menakutkan,
diselimuti lautan asap dan kabut permanen. Di belakang
kami, kudengar suara tembakan pertama saat jet-jet
Republik mulai mengikuti kami, berupaya menembak jatuh
kami.
"Bagaimana kita masuk ke sana?" teriak Day saat Kaede
memutar jet, mengirimkan misil ke belakang, dan memacu
jet kami lebih kencang.
"Aku akan membawa kita masuk," Kaede balas
berteriak.
"Kita tidak bisa masuk kalau kita lewat atas," kataku.
"Armor punya deretan misil di setiap sisi dindingnya.
Mereka akan menembak jatuh kita sebelum kita bisa
melintasi kota."
"Tak ada kota yang tak bisa ditembus." Kaede
merendahkan jet dan terbang datar saat jet-jet Republik
terus mengejar kami. "Aku tahu apa yang kulakukan."
Kami mendekat cepat ke Denver. Aku bisa melihat
dinding kelabu Armor yang menjulang di depan kami,
~316~
sebuah barikade yang menunjukkan seolah-olah tak ada apa
pun yang lain di Republik. Aku juga melihat pilar-pilar
kuat berwarna abu-abu (masing-masing berjarak sekitar tiga
puluh meter dengan pilar sebelahnya) yang menjajari sisisisi Armor.
Aku memejamkan mata. Mustahil?mustahil?Kaede
bisa membawa kami melewati itu. Satu skuadron jet bisa
tembus, mungkin, tapi bahkan itu pun kemungkinannya
kecil dan sangat berisiko. Kubayangkan sebuah misil
mengenai kami dan kursi kami melempar kami ke luar ke
langit, tembakan-tembakan yang akan mereka lontarkan ke
parasut kami, tubuh kami melayang jatuh ke tanah.
Armor sudah dekat sekarang. Mereka pasti sudah
melihat kami mendekat beberapa saat lamanya, dan
senjatasenjata mereka akan terarah pada kami. Aku
bertaruh, sebelumnya mereka belum pernah melihat jet
Koloni yang nakal.
Kemudian,Kaede menukik. Bukan tukikan biasa?dia
meluncur ke bawah hampir sembilan puluh derajat, siap
mengantarkan kami hancur menabrak bumi. Di
belakangku, Day menahan napas. Gedung-gedung di
bawah sana seolah siap menyerang kami. Kaede kehilangan
kendali jet ini. Aku tahu itu. Kami kena tembak.
Pada detik terakhir, Kaede menaikkan jet. Kami
meluncur di atas gedung-gedung dalam kecepatan suara,
sangat dekat sampai atapnya terlihat seperti akan merobek
bagian bawah jet kami. Segera saja Kaede mulai
melambatkan jetnya hingga kami meluncur dalam
kecepatan yang hampir tidak cukup cepat untuk menjaga
kami tetap terbang.
Mendadak aku sadar apa yang akan Kaede lakukan.
Benar-benar bodoh. Dia sama sekali tidak membawa kami
melewati Armor?dia akan berusaha menyusupkan jet ini
melalui pintu masuk terowongan yang digunakan kereta
untuk keluar masuk Denver. Terowongan yang sama
dengan yang kulihat waktu aku naik kereta bersama Elector.
Tentu saja. Sistem misil dari-darat-ke-udara yang
ditanamkan ke dinding Armor tidak didesain untuk
menjatuhkan sesuatu seperti kami yang lewat bawah, sebab
~317~
mereka tidak bisa menembak dalam sudut rendah semacam
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Dan, senapan mesin di dinding tidak cukup kuat.
Namun, kalau tujuan Kaede tidak benar-benar tepat, kami
akan meledak menabrak dinding dan terbakar. Kami cukup
dekat sampai aku bisa melihat para tentara berlari mondarmandir di puncak dinding Armor. Komunikasi di antara
mereka pasti berlangsung sangat cepat.
Tapi itu tidak penting. Satu detik Armor berada sekian
puluh meter di depan kami, dan detik berikutnya, kami
meluncur cepat ke pintu masuk terowongan yang gelap dan
terbuka.
"Pegangan!" teriak Kaede. Dia merendahkan jet,
seolah-olah hal itu mungkin. Pintu masuk tersebut menelan
kami dengan mulutnya yang menganga ke arah kami.
Kami takkan berhasil. Terowongan ini terlalu kecil.
Kemudian,kami berada di dalam, dan sesaat,
terowongan ini sepenuhnya gelap. Percikan bunga api
menyembur dari setiap ujung jet saat sayap-sayapnya
merobek sisi-sisi pintu masuk terowongan. Terdengar suara
gemuruh dari atas kami. Aku sadar mereka terburu-buru
menutup pintu masuk, tapi sudah terlambat.
Detik berikutnya, kami terus meluncur dari pintu
masuk menuju Denver. Kaede menarik tuas jet ke arah
sebaliknya, berupaya lebih memperlambat kecepatan kami.
"Naik, naik!" seru Day. Gedung-gedung menderu
melewati kami. Kami terlalu dekat ke tanah?dan menuju
tepat ke sisi sebuah barak tinggi.
Kaede membelok tajam ke satu sisi. Kami melewati
bangunan itu dengan jarak yang tipis sekali. Kemudian,
kami turun, benar-benar turun. Jet terbanting ke tanah dan
tergelincir, melempar tubuh kami ke depan?tertahan keras
oleh sabuk pengaman. Aku merasa bagian-bagian tubuhku
seperti dikuliti.
Warga sipil dan para tentara sama-sama berlarian
menyingkir ke kiri-kanan jalan. Beberapa bunga api
memecahkan kaca kokpit?aku sadar itu tembakan
sembarangan dari tentara yang terguncang. Kerumunan
memadati jalanan beberapa blok dari sini?mereka terkesiap
memandangi jet yang miring melintasi trotoar.
Kami akhirnya berhenti saat salah satu sayap mengenai
~318~
sisi sebuah gedung, menyebabkan kami menabrak dan
masuk ke sebuah gang dalam posisi miring. Aku tersentak
keras, kembali ke kursiku. Kaca penutup jet terbuka
sebelum aku bisa bernapas. Aku berhasil melepas sabuk
pengamanku dan dengan kepala pusing melompat ke
pinggir kokpit.
"Kaede." Aku menyipitkan mata untuk melihat dia dan
Day di tengah-tengah asap. "Kita harus?"
Kata-kataku lenyap di ujung lidah. Kaede merosot di
kursi pilot, sabuk pengamannya masih melingkar di pinggang. Kacamata pilotnya berada di kepala?kurasa dia
bahkan tak mau repot-repot memakainya. Matanya
menatap kosong ke tombol-tombol di panel kendalinya.
Sedikit noda darah membasahi bagian depan bajunya, tidak
jauh dari luka yang dia peroleh waktu kami naik ke jet ini.
Salah satu peluru nyasar telah menembus kaca penutup jet
dan mengenai Kaede waktu kami menabrak daratan. Kaede,
yang beberapa menit lalu tampak tak terkalahkan.
Sejenak, aku membeku. Suara-suara kekacauan di
sekelilingku pudar, dan asap menyelimuti segalanya kecuali
aku dan jenazah Kaede yang terikat ke kursi pilot. Satu
suara kecil berhasil menggema di pikiranku, menembus
kabut hitam-putih kekakuanku. Cahaya berdenyut yang
familier, yang membuatku tersadar kembali.
Pergi, kata suara itu. Sekarang.
Kualihkan pandangan, lalu dengan panik mencari-cari
Day. Dia tidak duduk di jet lagi. Aku berjuang menuju
tepi sayap dan dalam keadaan buta meluncur turun di
tengahtengah asap dan puing sampai aku terjatuh ke tanah
dengan tangan dan lututku. Aku tak bisa melihat apa pun.
Kemudian, dari balik asap, Day bergegas
mendatangiku. Dia menarikku berdiri. Mendadak aku
teringat saat pertama kali aku melihat dia, sosoknya
mewujud dari ketiadaan dengan mata biru dan wajah
tercoreng debu, mengulurkan tangan padaku.
Kali ini, wajah Day tersayat oleh kesedihan. Dia pasti
juga sudah melihat Kaede.
"Ternyata kau di sini?kupikir kau sudah keluar,"
bisiknya saat kami tersandung-sandung di antara
~319~
puingpuing jet. "Ke arah kerumunan."
Kakiku sakit. Tabrakan saat mendarat tadi pasti
membuat sekujur tubuhku lebam.
Kami berhenti di bawah salah satu sayap rusak ketika
pasukan tentara pertama berlari cepat menuju jet. Sebagian
dari mereka membentuk penghalang sementara untuk
menjaga warga sipil tidak mendekat, punggung mereka
menghadap ke kami. Tentara-tentara lain menyorotkan
senter ke tengah asap dan logam bengkok, mencari
penumpang yang bertahan hidup. Salah satu dari mereka
pasti telah melihat Kaede karena dia meneriakkan sesuatu
pada yang lain dan memberi isyarat agar mereka mendekat.
"Ini jet Koloni," serunya, terdengar tak percaya.
"Sebuah jet berhasil melalui Armor dan masuk ke Denver."
Untuk sementara, di bawah sayap ini aku dan Day
tersembunyi dari pandangan mereka, tapi sekarang mereka
bisa melihat kami kapan saja. Barikade sementara para
tentara itu memisahkan kami dengan kerumunan massa.
Di sekeliling kami dan di seluruh penjuru kota
semuanya suara kaca pecah, raungan tembakan, jeritan, kor
kompak orang-orang?hanya mereka yang berada paling
dekat dengan puing-puing jet kami sajalah yang tampaknya
sadar bahwa yang jatuh itu jet Koloni. Aku menatap lokasi
tem-pat Menara Gedung Parlemen menjulang. Suara
Anden terdengar dari setiap blok kota dan dari setiap
pengeras suara?siaran langsung dirinya pasti sedang
ditayangkan di setiap JumboTrons di kota ini juga di
seluruh negeri. Aku menyaksikan saat beberapa
pemberontak yang marah melempar bom Molotov pada
para tentara. Orang-orang itu tak tahu Kongres ongkangongkang kaki, menunggu kemarahan rakyat cukup meluap
untuk menempatkan Razor di posisi Anden.
Tidak mungkin Anden bisa menenangkan orang-orang
seperti ini. Kubayangkan protes-protes yang sama muncul
di seluruh negeri, di setiap jalan dan kota. Kalau kelompok
Patriot sukses menyiarkan kematian Elector ke publik dari
pengeras suara Menara Gedung Parlemen, berarti sudah
terjadi revolusi.
"Sekarang," kata Day.
Kami berlari dari bawah sayap, menembus barikade
~320~
tentara tanpa pertahanan apa pun. Sebelum salah satu dari
mereka bisa mencengkeram atau menembak kami, kami
terus berlari, merunduk di tengah kerumunan dan melebur
dengan orang-orang. Segera saja Day merendahkan
kepalanya dan membawa kami melewati sela-sela banyak
lengan dan kaki. Tangannya menggenggam tanganku eraterat. Napasku tidak teratur dan dipaksakan, tapi aku tidak
mau memperlambat kami sekarang. Aku terus maju.
Orang-orang berteriak kaget saat kami berlari cepat.
Di belakang kami, para tentara mulai menyadari
keberadaan kami. "Di sana!" teriak seseorang. Terdengar
beberapa tembakan. Mereka mengejar kami.
Kami cepat-cepat lari di tengah kerumunan.
Terkadang, aku mendengar orang-orang berteriak, "Apa itu
Day?", "Apa Day kembali ke sini dengan jet Koloni?" Saat aku
menoleh sekilas ke belakang, aku tahu setengah tentara
menuju arah yang salah, tidak tahu arah mana yang kami
ambil. Namun, beberapa di antara mereka masih mengejar
kami. Sekarang,kami hanya satu blok jauhnya dari Menara
Gedung Parlemen, tapi bagiku terasa seperti bermil-mil.
Kadang-kadang, aku melihat kilasan gedung itu di antara
tubuh-tubuh yang bergerak ke sana kemari. JumboTrons
menayangkan Anden sedang berdiri di sebuah balkon, satu
sosok kecil sendirian dalam balutan pakaian hitam dan
merah, mengulurkan tangan sebagai isyarat permohonan.
Dia butuh bantuan Day.
Di belakang kami, empat tentara akhirnya mendekat.
Kejar-kejaran ini menguras tenaga terakhirku. Aku
terengah, berjuang untuk bernapas. Day sudah
memperlambat langkah untuk menjajariku, tapi aku tahu
kami takkan berhasil dalam kecepatan seperti ini. Aku
meremas tangannya dan menggelengkan kepala.
"Kau harus pergi duluan," kataku tegas padanya.
"Kau gila." Dia menggigit bibir dan menarik kami
maju lebih cepat. "Kita hampir sampai."
"Tidak." Aku mencondongkan tubuh lebih dekat ke
arahnya saat kami terus melangkah di tengah orang-orang.
"Ini satu-satunya kesempatan kita. Tak ada satu pun dari
kita yang akan berhasil kalau aku terus memperlambat kita."
Day bimbang, terbagi dua. Kami sudah pernah
~321~
terpisah sebelumnya?sekarang dia bertanya-tanya apakah
membiarkanku pergi berarti dia takkan pernah melihatku
lagi. Tapi, kami tak punya waktu untuk berlama-lama
memikirkan itu.
"Aku tidak bisa lari cepat, tapi aku bisa bersembunyi
dalam kerumunan orang ini. Percayalah."
Tanpa peringatan, dia merangkul pinggangku,
memelukku erat, dan mencium bibirku kasar. Aku balas
menciumnya dan mengusap punggungnya.
"Maaf, aku tidak percaya padamu," dia bernapas.
"Sembunyi dan tetaplah selamat. Sampai ketemu lagi,
segera." Kemudian, dia meremas tanganku dan menghilang.
Aku menahan napasku yang dingin karena suhu udaranya.
Jalan, June. Jangan buang waktu.
Aku berhenti di tempatku berada, berbalik, dan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merunduk tepat ketika para tentara mencapaiku. Serdadu
pertama bahkan tidak melihatku. Satu detik dia berlari?
detik berikutnya aku menyelengkat kakinya dan dia jatuh
telentang. Aku tidak berani berhenti untuk melihat?alihalih begitu, aku terhuyung-huyung kembali ke kerumunan
yang marah, menyelip-nyelip di antara orang-orang dengan
kepala menunduk sampai para tentara tertinggal jauh di
belakang. Aku tak percaya betapa banyaknya orang di sini.
Perkelahian antara warga sipil dan polisi pecah di manamana. Di atas semua itu, layar-layar JumboTrons
menayangkan siaran langsung wajah Anden, ekspresinya
muram; dia memohon dari balik kaca pelindung.
Enam menit berlalu. Aku hanya tinggal belasan meter
dari bagian bawah Menara Gedung Parlemen saat kusadari
orang-orang di sekitarku perlahan-lahan terdiam. Mereka
tidak lagi fokus pada Anden.
"Di atas sana!" teriak seseorang.
Mereka menunjuk seorang pemuda dengan rambut
bercahaya terang yang bertengger di salah satu balkon
Menara pada sisi yang berlawanan tapi di lantai yang sama
dengan Anden. Kaca pelindung balkon tersebut menangkap
seberkas cahaya lampu jalanan, dan dari sini, pemuda itu
tampak bersinar. Aku menahan napas dan berhenti. Itu
Day.[]
~322~
PADA
SAAT AKU MENCAPAI MENARA GEDUNG
parlemen, aku basah kuyup karena keringat. Tubuhku
dibakar rasa sakit. Aku berputar ke salah satu sisi
Menara yang tidak menghadap alun-alun utama, lalu
mengawasi kerumunan saat dengan kasar orang-orang
saling dorong melewatiku dari kedua arah. Kami
dikelilingi layar-layar JumboTrons yang menyilaukan,
masing-masing menampilkan hal yang persis sama?
sang Elector Muda, memohon dengan sia-sia agar
rakyat pulang ke rumah dan tetap aman, bubar
sebelum segalanya tak terkendali. Dia berusaha
menghibur mereka dengan mengatakan rencananya
mereformasi Republik, menyingkirkan Ujian dan
mengubah cara penetapan karier yang diberikan pada
mereka. Tapi aku tahu, pidato politik ini tak sedikit pun
~323~
akan memuaskan massa. Dan, meskipun Anden lebih
tua serta lebih bijaksana dibanding June dan aku, dia
tidak menyadari fakta penting itu.
Rakyat tidak memercayainya, dan mereka tidak
yakin padanya.
Taruhan, Kongres pasti menyaksikan semua ini
dengan gembira. Razor juga. Apa Anden tahu, Razor-lah
yang ada di balik rencana? Kusipitkan mata, lalu
melompat untuk meraih birai lantai dua dari gedung
berkabel. Aku mencoba berpura-pura June berada
tepat di belakangku, menyemangatiku.
Semua pengeras suara di sini memang tampak
diutakatik kabelnya, seperti yang telah Kaede katakan
waktu kami di Lamar. Aku membungkuk di birai, tepat di
bawah atap
untukmempelajarikabelitu.Yap.Kabelnyadimodifikasidengan
cara yang hampir sama dengan yang kulakukan pada
tengah malam saat pertama kali aku bertemu June di
gang kecil itu, tempat aku meminta obat wabah
padanya dari sistem pengeras suara. Bedanya, kali ini
aku akan bicara bukan ke gang kecil, melainkan ke
seluruh penjuru ibu kota Republik. Ke seluruh negeri.
Angin menyengat pipiku dan bersiul kencang
melewati telingaku, memaksaku terus-menerus
menyesuaikan pijakan. Aku bisa mati sekarang. Tak ada
cara bagiku untuk tahu kalau tentara-tentara di
bubungan atap akan menembakku sebelum aku bisa
mencapai keamanan relatif di belakang dinding kaca
balkon, empat atau lima meter di atas sisa kerumunan.
Atau, mungkin para tentara itu akan menyadari siapa
aku dan menahan tembakan.
Aku memanjat sampai mencapai lantai sepuluh,
lantai yang sama dengan balkon tempat Elector berada.
Kemudian, aku berjongkok sejenak untuk melihat ke
bawah. Aku cukup tinggi?segera saat aku berbelok di
sudut gedung ini, semua orang akan melihatku.
Kebanyakan massa berpusat di sisi yang ini, wajah
mereka menengadah ke Elector, kepalan tangan
mereka terangkat dalam kemarahan. Bahkan dari sini,
aku bisa melihat betapa banyak dari mereka yang
~324~
memiliki corengan garis merah tua di rambutnya.
Rupanya usaha Republik untuk melarang hal itu tidak
berjalan lancar saat semua orang ingin melakukannya.
Di pinggir alun-alun, polisi dan tentara memukulmukul tanpa ampun dengan tongkat mereka,
mendorong mundur orang-orang dengan deretan perisai
transparan. Aku terkejut karena tak ada yang
menembak.
Tanganku
mulai
bergetar
dalam
kemarahan.
Ada
beberapa
hal yang sama
mengintimidasinya dengan ratusan tentara Republik
yang mengenakan pakaian antihuru-hara tanpa
memperlihatkan wajah, berdiri dalam barisan gelap
muram melawan massa pengunjuk rasa yang tidak
bersenjata. Aku merapatkan diri ke dinding dan
menghirup udara malam yang dingin, berjuang untuk
tetap tenang. Berjuang untuk mengingatkan diriku
tentang June, kakaknya dan Elector, juga bahwa
beberapa di balik topeng tanpa wajah para tentara
Republik itu adalah orang baik yang punya orangtua,
saudara dan anak-anak. Kuharap Anden-lah alasan
tidak ada tembakan terdengar?bahwa dia telah
memerintahkan para
tentaranya
untuk
tidak
menembak massa. Aku harus percaya itu. Kalau tidak,
aku takkan pernah meyakinkan rakyat tentang apa
yang akan kukatakan.
"Jangan takut," bisikku pada diri sendiri. Mataku
menutup rapat. "Kau sanggup melakukannya."
Kemudian, aku keluar dari kegelapan, berlari cepat
di birai sampai aku berbelok di sudut gedung, lalu
melompat ke balkon terdekat yang kutemukan. Aku
menghadap ke alun-alun pusat. Kaca pelindung balkon
terputus kurang dari semeter di atas kepalaku, tapi aku
masih bisa merasakan aliran angin dari atas. Kulepas
topiku dan kulempar dari tepi atas. Benda itu melayang
turun ke tanah, diembus miring oleh angin. Rambutku
melambai-lambai di sekitarku. Aku membungkuk,
memutar salah satu kabel pengeras suara, dan
mengangkat pengeras suara itu layaknya megafon. Lalu
aku menunggu.
~325~
Mulanya tak ada yang memperhatikanku. Tapi,
segera saja satu wajah menengadah ke arahku,
mungkin tertarik oleh terangnya rambutku. Kemudian
wajah lain, dan yang lain lagi. Sekelompok kecil.
Berkembang menjadi beberapa lusin, lalu semuanya
menunjuk ke atas, ke arahku. Seluruh raungan dan kor
marah di bawah mulai mereda. Aku bertanya-tanya
apakah June melihatku. Para tentara yang berbaris di
atap lain telah mengarahkan senapan mereka padaku?
tapi mereka tidak menembak. Mereka terjebak
bersamaku dalam situasi canggung dan tegang yang
tidak jelas ini. Aku ingin lari. Melakukan apa yang selalu
kulakukan, telah selalu kulakukan, selama lima tahun
terakhir hidupku. Lari, kabur ke dalam kegelapan.
Tapi kali ini, aku bertahan. Aku lelah berlari.
Kerumunan massa menjadi lebih tenang saat kian
lama kian banyak orang menolehkan wajah untuk
melihatku. Awalnya, aku mendengar omongan-omongan
tak percaya. Bahkan, beberapa orang tertawa. Tidak
mungkin itu Day, kubayangkan mereka berbisik satu
sama lain. Pasti penirunya. Namun, semakin lama aku
berdiri di sini, suara mereka semakin keras. Semua
orang kini melihatku. Pandanganku berkelana ke
tempat Anden di balkonnya; bahkan sekarang dia juga
memandangiku. Aku menahan napas, berharap dia
tidak
memutuskan
memberi
perintah
untuk
menembakku. Apa dia di pihakku?
Kemudian, mereka semua menyerukan namaku.
Day! Day! Day! Aku hampir tidak memercayai telingaku.
Mereka berseru untukku, dan suara mereka menggema
di setiap blok dan mencapai setiap jalan. Aku tetap
membeku di tempatku berdiri, masih bergelantungan
pada megafon hasil karyaku, tak bisa mengalihkan
pandangan dari kerumunan massa. Aku mengangkat
pengeras suara ke bibirku.
"Rakyat Republik!" teriakku. "Kalian dengar aku?"
Kata-kataku meraung dari setiap pengeras suara di
alun-alun?bahkan mungkin setiap pengeras suara di
negeri ini, begitulah yang kutahu. Hal itu membuatku
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
~326~
terpana. Orang-orang di bawah mengeluarkan soraksorai yang menggetarkan tanah. Para tentara pasti
telah mendapat perintah terburu-buru dari seseorang di
Kongres, sebab aku melihat beberapa di antara mereka
mengangkat senapannya lebih tinggi. Sebuah peluru
berdesing di udara dan mengenai kaca, memercikkan
bunga api. Aku tidak bergerak.
Elector memberi isyarat cepat pada para penjaga
yang berdiri bersamanya, dan mereka semua
menekankan sebelah tangan ke telinga dan bicara ke
mikrofon. Mungkin dia memberi tahu mereka untuk
tidak menyakitiku. Kupaksa diriku memercayai itu.
"Aku tidak akan melakukan itu," seruku ke arah
peluru tunggal tadi datang. Jaga dirimu tetap mantap.
Sorak-sorai orang-orang berubah menjadi raungan.
"Kalian tidak menginginkan pemberontakan, kan,
Kongres?"
Day! Day! Day!
"Hari ini, Kongres, kuberi kalian ultimatum."
Tatapanku berpindah ke JumboTrons. "Kalian telah
menangkap beberapa anggota Patriot atas kejahatan
yang kalian lakukan. Bebaskan mereka. Semuanya.
Kalau tidak, aku akan memanggil rakyat kalian untuk
bertindak, dan kalian akan mendapatkan revolusi. Tapi,
mungkin bukan revolusi seperti yang kalian harapkan."
Warga sipil menjeritkan persetujuan mereka. Kor
seruseruan berlanjut dalam nada penuh semangat.
"Rakyat Republik." Mereka menyorakiku saat aku
melanjutkan. "Dengarkan aku. Hari ini, kuberi kalian
semua ultimatum."
Kor mereka berlanjut sampai mereka sadar aku
terdiam, dan kemudian mereka mulai tenang juga.
Kudekatkan pengeras suara ke bibirku. "Namaku Day."
Suaraku memenuhi udara. "Aku telah melawan
ketidakadilan yang sama dengan yang kalian protes di
sini sekarang. Aku telah merasakan penderitaan yang
sama dengan kalian. Seperti kalian, aku telah
menyaksikan teman-teman dan keluargaku mati di
tangan tentara Republik." Aku mengerjap untuk
~327~
menyingkirkan memori yang mengancam akan
melandaku. Teruskan. "Aku pernah kelaparan,
dikalahkan, dipermalukan. Aku pernah disiksa, dihina,
ditindas. Aku tinggal di sektor kumuh seperti kalian. Aku
membahayakan nyawaku untuk kalian. Dan kalian
membahayakan nyawa kalian untukku. Kita telah
membahayakan nyawa kita untuk negara kita?bukan
negara tempat kita tinggal sekarang, melainkan negara
yang kita harapkan kita miliki. Kalian semua, tiap-tiap
orang, adalah pahlawan."
Sorak-sorai bahagia menjawab kata-kataku,
bahkan saat para tentara di bawah sia-sia mencoba
untuk menurunkan dan menangkapi orang-orang yang
terpisah dari kerumunan, sementara tentara yang lain
berusaha dengan percuma untuk menonaktifkan
sistem pengeras suara yang kabelnya sudah diutak-atik.
Aku sadar, Kongres ketakutan. Mereka takut padaku,
seperti biasa. Jadi, aku terus melanjutkan?kuceritakan
pada orang-orang tentang apa yang terjadi pada Ibu dan
kakak adikku, dan apa yang terjadi pada June. Kuberi
tahu mereka tentang Patriot, tentang usaha Senat
untuk membunuh Anden. Kuharap Razor mendengarkan
semua ini dan marah. Sepanjang ceritaku, perhatian
massa tidak pernah goyah.
"Kalian percaya padaku?" seruku. Kerumunan
massa menjawab dalam satu suara. Lautan orang-orang
dan raungan mereka yang menulikan sangat luar biasa.
Andai ibuku masih di sini, andai Ayah dan John di sini,
akankah mereka tersenyum padaku sekarang? Aku
menghela napas panjang, gemetar. Selesaikan
tujuanmu kemari. Aku fokus pada orang-orang, dan
pada sang Elector Muda. Kukumpulkan kekuatan.
Kemudian, kuucapkan kata-kata yang tak pernah
kuduga akan kukatakan.
"Rakyat Republik, kenali musuh kalian. Musuh
kalian adalah cara hidup Republik, hukum dan tradisi
yang membatasi kita, pemerintah yang menjadikan kita
seperti ini. Mendiang Elector. Kongres." Aku
~328~
mengangkat lengan dan menunjuk Anden. "Tapi Elector
baru . Bukan. Musuh. Kalian!"
Orang-orang itu terdiam. Tatapan mereka
selamanya tertuju padaku.
"Kalian pikir Kongres ingin mengakhiri Ujian, atau
menolong keluarga kalian? Itu bohong." Aku menunjuk
Anden saat aku mengatakan ini. Aku ingin, untuk
pertama kalinya, memercayai dia. "Elector masih muda
dan ambisius, dan dia bukan ayahnya. Dia ingin
berjuang untuk kalian, sebagaimana aku berjuang
untuk kalian, tapi pertama-tama kalian perlu
memberinya kesempatan. Dan, jika kalian memberinya
kekuatan dan mengangkatnya, dia akan mengangkat
kita. Dia akan mengubah berbagai hal untuk kita,
selangkah demi selangkah. Dia bisa membangun
negara yang kita semua harapkan untuk kita miliki.
Malam ini aku datang kemari untuk kalian semua?dan
untuk dia. Kalian percaya padaku?" Kunaikkan suara:
"Rakyat Republik, kalian percaya padaku?"
Hening. Kemudian, beberapa kor. Lebih banyak lagi.
Mereka mengangkat wajah dan kepalan tangan mereka
ke arahku. Teriakan mereka tak henti-henti, gelombang
perubahan.
"Maka, dukunglah Elector kalian, seperti yang
kulakukan, dan dia akan berikan dukungannya untuk
kalian!"
Sorak-sorai itu menulikan, menenggelamkan apa
pun, segalanya. Sang Elector Muda terus menatapku,
dan pada akhirnya aku sadar, bahwa June benar. Aku
tidak ingin Republik jatuh. Aku ingin melihatnya
berubah.[]
~329~
Dua hari telah berlalu. Atau, lebih tepatnya, 52 jam 8
menit telah berlalu sejak Day memanjat ke atas Menara
Gedung Parlemen dan mengumumkan dukungannya untuk
Elector kami.Kapan pun aku memejamkan mata,aku masih
bisa melihatnya di atas sana, rambutnya berkilauan seperti
lampu suar menghiasi malam. Kata-katanya terdengar jelas
dan kuat di seluruh kota dan negeri ini. Kapan pun aku
bermimpi, aku masih bisa merasakan ciuman terakhirnya di
bibirku,apidanketakutandibalikmatanya.Setiaporang
di
Republik mendengar dia malam itu.Dia mengembalikan
kekuasaan pada Anden dan Anden memenangkan hati
seluruh negeri.
Ini hari keduaku di kamar rumah sakit di pinggir Kota
Denver. Siang kedua tanpa Day di sisiku. Di sebuah kamar
beberapa lantai di bawah, Day sedang menjalani tes yang
sama, keduanya untuk memastikan kesehatannya dan
~330~
meyakinkan bahwa Koloni tidak menanam alat pengawasan
apa pun dalam kepalanya. Dia akan segera dipertemukan
kembali dengan adiknya.
Dokterku telah tiba untuk mengecek kesembuhanku?
tapi aku tidak akan mendapatkan privasi. Saat aku
mempelajari langit-langit kamar, kulihat kamera sekuriti di
setiap sudut, menyiarkan gambarku secara langsung ke
masyarakat.
Republik bahkan takut memberi kesan yang paling samar
sekalipun bahwa Day dan aku tidak dirawat dengan baik.
Sebuah layar di dinding menayangkan kamar Day.
Itulah satu-satunya alasanku setuju dipisahkan dengannya
sedemikian lama. Kuharap aku bisa bicara dengannya.
Segera setelah mereka selesai menyinariku dengan X-ray dan
sensor, aku memakai mikrofon.
"Selamat pagi, Miss Iparis," kata dokterku saat para
perawat membuat titik-titik di kulitku dengan enam sensor.
Aku menggumamkan sapaan sebagai balasan, tapi
perhatianku tetap tertuju pada rekaman kamera yang
menampilkan Day sedang bicara dengan dokternya sendiri.
Lengannya terlipat dengan sikap memberontak dan
ekspresinya skeptis. Terkadang,perhatiannya terfokus pada
satu titik di dinding yang tak bisa kulihat. Aku penasaran
apakah dia juga menontonku dari kamera.
Dokterku melihat apa yang mengalihkan perhatianku
dan dengan letih menjawab pertanyaanku sebelum aku
sempat bertanya.
"Kau akan segera bertemu dengannya, Miss Iparis.
Oke? Aku janji. Sekarang, kau tahu harus bagaimana.
Pejamkan mata dan tarik napas panjang."
Aku menekan rasa frustrasiku dan melakukan yang dia
suruh. Cahaya berkelip di balik kelopak mataku, kemudian
sensasi kesemutan yang dingin terasa di otakku dan
menjalari punggungku. Mereka melapisi mulut dan
hidungku dengan masker seperti gel. Aku selalu harus
meyakinkan diri untuk tidak panik dalam menjalani
prosedur ini, berjuang melawan klaustrofobia dan perasaan
tenggelam. Mereka cuma mengetesku, aku mengulangi tanpa
suara. Mereka mengetesku untuk mengecek adakah sisa-sisa
cuci otak Koloni, juga memeriksa stabilitas mentalku dan
~331~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat apakah Elector?Republik?bisa sepenuhnya
memercayaiku. Begitulah.
Jam demi jam berlalu. Akhirnya, pemeriksaan itu
selesai, dan dokter bilang aku boleh membuka mata lagi.
"Bagus sekali, Iparis," katanya sambil mengetikkan
sesuatu di papan catatannya. "Batukmu mungkin masih
ada, tapi kurasa kau telah melalui fase terburuk
penyakitmu. Kau bisa tinggal lebih lama kalau kau mau"?
dia tersenyum melihat kerutan jengkel di wajahku?"tapi
kalau kau lebih memilih untuk dibebaskan pergi ke
apartemen barumu, kami juga bisa mengatur itu hari ini.
Oh ya, Elector yang mulia ingin sekali bicara denganmu
sebelum kau pergi dari sini."
"Bagaimana Day?" tanyaku. Sulit bagiku untuk
menahan ketidaksabaran dalam suaraku. "Kapan aku bisa
menemuinya?"
Kening dokter berkerut. "Bukankah kita baru saja
membicarakan ini? Day akan dibebaskan tak lama setelah
kau. Pertama-tama dia harus menemui adiknya."
Dengan hati-hati, kupelajari wajah dokter itu. Saat ini
ada alasan yang membuat dia bimbang?sesuatu tentang
kesembuhan Day. Aku bisa melihat kedutan halus di balik
otot-otot wajah dokter itu. Dia tahu sesuatu yang aku tak
tahu.
Dokter itu mengembalikanku ke dunia nyata. Dia
mengempit papan catatannya di sebelah pinggang,
menegakkan tubuh, lalu menampilkan senyum palsu di
wajah. "Yah, sudah cukup untuk hari ini. Besok kami akan
memulai penyatuan resmimu kembali ke Republik, dengan
penetapan kariermu yang baru. Elector akan tiba di sini
dalam beberapa menit, dan kau akan punya cukup waktu
terlebih dahulu untuk menyiapkan diri." Setelah itu, dia
dan para perawat membereskan sensor dan mesin-mesin
mereka, lalu meninggalkanku sendirian.
Aku duduk di tempat tidurku sambil menatap pintu.
Jubah merah gelap tersampir di bahuku, tapi aku masih
tidak merasa sepenuhnya hangat di kamar ini. Saat Anden
masuk untuk melihatku, aku menggigil.
Dia melangkah masuk dengan sikap elegannya yang
khas, mengenakan seragam, sepatu hitam yang tidak
~332~
menimbulkan suara, serta scarf hitam. Rambut keritingnya
dipangkas sempurna, kacamata berbingkai tipis bertengger
rapi di hidungnya. Saat dia melihatku, dia tersenyum dan
memberi hormat. Gerakan itu, sedihnya, mengingatkanku
pada Metias, dan selama beberapa detik aku harus
berkonsentrasi menatap kakiku untuk menenangkan diri.
Untunglah, kelihatannya Anden pikir aku membungkuk ke
arahnya.
"Elector," aku menyapa.
Dia tersenyum; mata hijaunya menyapuku.
"Bagaimana perasaanmu, June?"
Aku balas tersenyum. "Cukup baik."
Anden tertawa kecil dan menundukkan kepala. Dia
melangkah mendekat, tapi dia tidak mencoba duduk di
sebelahku di tempat tidur. Aku masih bisa melihat
ketertarikan di matanya, caranya berlama-lama meresapi
setiap kata yang kuucapkan dan setiap gerakan yang
kulakukan. Pasti sekarang dia telah mendengar rumor
tentang hubunganku dengan Day. Namun, meskipun dia
tahu, dia tidak mengungkapkannya.
"Republik," dia melanjutkan, malu karena aku
mendapatinya
sedang
memandangiku,
"tepatnya,
pemerintah telah memutuskan bahwa kau siap kembali ke
militer dengan pangkat lengkapmu semula. Sebagai Agen,
di sini di Denver."
Jadi, aku tidak akan kembali ke Los Angeles. Terakhir
yang kudengar, karantina LA telah dicabut setelah Anden
memulai investigasi para pengkhianat di Senat?dan baik
Razor maupun Komandan Jameson ditangkap karena
berkhianat. Aku hanya bisa membayangkan betapa
bencinya Jameson pada Day dan aku sekarang .
Bahkan,memikirkan seperti apa kemarahan di wajah wanita
itu mengirimkan rasa dingin menjalari punggungku.
"Terima kasih," kataku setelah beberapa saat. "Aku
sangat bersyukur."
Anden mengibaskan tangan. "Tidak perlu. Kau dan
Day telah sangat membantuku."
Aku memberinya hormat cepat. Pengaruh Day sudah
terasa?setelah pidato dadakannya, Kongres dan militer
mematuhi Anden mengizinkan para pengunjuk rasa pulang
~333~
ke rumah masing-masing tanpa dihukum. Mereka juga
melepaskan anggota Patriot yang ditangkap saat percobaan
pembunuhan (dibebaskan di bawah pengawasan). Kalau
sebelumnya Senat tidak takut pada Day, sekarang mereka
takut. Saat ini Day punya kekuatan untuk memicu revolusi
berskala penuh hanya dengan beberapa kata-kata.
"Tapi ." Volume suara Anden menurun dan dia
mengeluarkan tangannya dari saku celana untuk
menyilangkannya di dada. "Aku punya penawaran lain
untukmu. Kupikir kau berhak atas posisi lain yang lebih
penting daripada Agen."
Sebuah memori muncul ke permukaan, saat aku berada
di kereta bersamanya waktu itu. Ada tawaran tak terucap
menggantung di bibirnya.
"Posisi macam apa?"
Untuk pertama kalinya, dia memutuskan untuk duduk
bersamaku di tepi tempat tidurku. Dia sangat dekat
sekarang sampai aku bisa merasakan embusan ringan
napasnya di kulitku dan melihat pangkal janggut
membayangi dagunya.
"June," dia memulai, "Republik tidak pernah lebih labil
dari sekarang. Day membawa Republik kembali dari
ambang kehancuran, tapi aku masih memerintah di saatsaat
berbahaya. Banyak Senator saling memperebutkan kendali
di antara mereka, dan banyak orang di negeri ini
mengharapkan aku mengambil langkah yang salah." Anden
terdiam sejenak. "Satu momen saja takkan membuatku
berada dalam dukungan rakyat selamanya, dan aku tidak
bisa menguasai negara ini sendirian saja."
Aku tahu dia mengatakan yang sebenarnya. Aku bisa
melihat kelelahan di wajahnya, dan rasa frustrasi yang
muncul karena dia bertanggung jawab atas negaranya.
"Waktu ayahku masih seorang Elector muda, dia dan
ibuku memerintah bersama-sama. Elector dan Princepsnya.
Beliau tak pernah lebih kuat dari dirinya kala itu. Aku juga
ingin seorang sekutu, seseorang yang pintar dan kuat yang
bisa kupercaya dengan kekuatan lebih besar dari siapa pun
di Kongres."
Napasku menjadi dangkal saat aku mulai mengerti
tawarannya yang berputar-putar itu.
~334~
"Aku ingin seorang partner yang akrab dengan rakyat,
seseorang yang luar biasa berbakat dalam segala yang
dilakukannya, dan seseorang yang bisa berbagi ide
denganku tentang bagaimana membentuk sebuah negara.
Tentu saja, orang tidak bisa diangkat dari Agen menjadi
Princeps dalam sekejap mata. Perlu latihan, instruksi, dan
pendidikan intensif. Kesempatan untuk bisa berkembang
sampai pantas menempati posisi itu butuh bertahun-tahun,
mungkin dekade. Mula-mula belajar menjadi Senator, lalu
menjadi pemimpin Senat. Ini bukan latihan yang diberikan
dengan mudah, apalagi bagi seseorang tanpa pengalaman
Senat. Tentu saja, akan ada calon Princeps lain yang juga
akan membayangiku." Dia berhenti di situ; nada suaranya
berubah. "Bagaimana menurutmu?"
Aku menggelengkan kepala, masih tidak begitu yakin
terhadap apa yang Anden tawarkan. Ada peluang untuk
menjadi Princeps?posisi nomor dua di belakang Elector.
Aku akan menghabiskan hampir sebagian besar hidupku
untuk menemani Anden, membayangi setiap langkahnya
untuk setidaknya sepuluh tahun. Aku takkan pernah
melihat Day. Tawaran ini membuat hidup yang telah
kubayangkan dengan Day menjadi goyah. Apa Anden
menawarkan promosi ini murni berdasarkan pikirannya
tentang kapabilitasku?atau dia membiarkan emosi
memengaruhinya, mempromosikan aku dengan harapan dia
akan mendapat kesempatan untuk menghabiskan lebih
banyak waktu bersamaku? Dan bagaimana mungkin aku
bersaing dengan calon Princeps lain yang potensial,
beberapa di antaranya mungkin berpuluh tahun lebih tua
dariku, bahkan mungkin sudah menjadi Senator?
Aku menghela napas panjang, lalu mencoba bertanya
padanya dengan diplomatis. "Elector," aku memulai.
"Menurutku?"
"Aku tidak akan memaksamu," selanya, lalu dia
menelan ludah dan tersenyum ragu. "Kau sepenuhnya
bebas menolak tawaran ini.Dan,kau bisa menjadi
Princepstanpa ."Apa Anden tersipu? "Kau tidak harus
menerimanya," alih-alih melanjutkan kata-kata tadi, itulah
yang dia katakan. "Hanya saja, aku?Republik?akan
bersyukur kalau kau terima."
~335~
"Aku tak yakin aku punya talenta semacam itu,"
kataku. "Kau butuh seseorang yang jauh lebih baik dariku."
Anden memegang kedua tanganku. "Kau terlahir
untuk mengguncang Republik, June. Tak ada seorang pun
yang lebih baik daripada dirimu."[]
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
~336~
MULANYA
DOKTER ITU TIDAK MENYUKAIKU. Aku juga
tidak menyukainya, tentu saja?aku tak pernah
benarbenar punya pengalaman bagus di rumah sakit.
Dua hari lalu, saat akhirnya mereka berhasil
menurunkanku dari balkon Menara Gedung Parlemen
Denver dan menenangkan kerumunan besar massa
yang menyorakiku, mereka mengikatku masuk ke
ambulans dan langsung membawaku ke rumah sakit. Di
sana, aku memecahkan kacamata dokter dan
menendang nampan-nampan logam di kamarku saat
mereka berusaha memeriksa luka-lukaku.
"Kalau kalian berani menyentuhku," bentakku pada
mereka, "akan kupatahkan leher kalian."
Staf rumah sakit harus mengikatku. Aku menjerit
memanggil-manggil Eden sampai serak, meminta untuk
bertemu dengannya, mengancam akan membakar
~337~
seluruh rumah sakit kalau mereka tidak mengantarkan
Eden. Aku berteriak memanggil June. Aku berseru
meminta bukti anggota Patriot dibebaskan. Aku
mendesak untuk melihat jenazah Kaede, memohon
agar mereka menguburnya dengan pantas.
Mereka menyiarkan reaksiku secara langsung ke
publik karena kerumunan massa yang berkumpul di
rumah sakit menuntut untuk melihat apakah aku
diperlakukan dengan baik. Tapi, perlahan-lahan aku
menjadi tenang, dan setelah melihatku hidup,
kerumunan di Denver mulai tenang juga.
"Ini tidak berarti kau tidak akan diawasi dengan
ketat sekarang," kata dokterku saat aku diberi satu set
kemeja dan celana tentara Republik. Dia bergumam
sehingga kamera sekuriti tidak bisa menangkap apa
yang dia bicarakan. Aku hampir tidak bisa melihat
matanya di balik cahaya menyilaukan yang mengenai
kacamata bundar kecilnya. "Tapi, kau telah sepenuhnya
diampuni oleh Elector, dan saat ini adikmu Eden akan
segera tiba di rumah sakit."
Aku diam saja. Setelah semua yang terjadi sejak
Eden pertama kali terjangkit wabah, aku hampir tidak
bisa memahami fakta bahwa Republik akan
mengembalikan dia padaku. Yang bisa kulakukan
adalah
tersenyum
pada
si
Dokter
sambil
menggertakkan gigi. Dokter itu balas tersenyum dengan
ekspresi penuh ketidaksukaan seraya melanjutkan
bicara tentang hasil tesku dan di mana aku akan tinggal
setelah semua ini selesai. Aku tahu dokter itu tidak
ingin berada di sini, tapi dia tidak mengatakannya
keras-keras, tidak dengan semua kamera menyala.
Dari sudut mataku, aku bisa melihat satu layar di
dinding yang menampilkan apa yang mereka lakukan
pada June. Dia kelihatan aman, sedang menjalani
pemeriksaan yang sama denganku. Namun, kecemasan
di tenggorokanku tak mau pergi.
"Ada satu hal terakhir yang ingin kuberi tahu
padamu secara pribadi," si Dokter melanjutkan. Aku
mendengarkan setengah hati. "Sangat penting.
Sesuatu yang kami temukan dalam X-ray-mu yang harus
~338~
kau ketahui."
Aku mencondongkan tubuh ke depan agar bisa
mendengar lebih baik. Tapi pada saat itu, interkom di
kamar ini terdengar menyala.
"Eden Bataar Wing ada di sini, Dokter," kata suara
dari interkom. "Tolong beri tahu Day."
Eden. Eden di sini.
Mendadak aku tak bisa lebih tidak peduli lagi pada
hasil X-ray-ku. Eden ada di luar, tepat di balik pintu
kamar ini. Si Dokter berusaha mengatakan sesuatu
padaku, tapi aku hanya bergegas melewatinya,
mendorong pintu terbuka, dan tersandung-sandung ke
luar ke koridor.
Pertama-tama aku tidak melihat dia. Ada terlalu
banyak perawat mondar-mandir di lorong. Kemudian,
aku menangkap satu sosok kecil sedang mengayunayunkan kaki di salah satu bangku koridor, kulitnya
sehat dan kepalanya penuh rambut pirang platina
keriting yang tidak bisa disisir rapi. Dia mengenakan
seragam sekolah yang terlalu besar dan sepatu bot
ukuran anak-anak. Dia tampak lebih tinggi, tapi
mungkin itu karena saat ini dia bisa duduk lebih tegak.
Saat dia menoleh padaku, aku sadar dia memakai
kacamata tebal berbingkai hitam. Matanya berwarna
ungu terang seperti susu, mengingatkanku pada bocah
laki-laki yang kulihat di gerbong pada malam dingin
berhujan es itu.
"Eden," teriakku serak.
Matanya tetap tidak fokus, tapi seulas senyum
memukau mekar di wajahnya. Dia bangkit dan mencoba
berjalan ke arahku, tapi dia berhenti saat dia tampak
tak tahu di mana tepatnya aku berada.
"Apa itu kau, Daniel?" tanyanya ragu, gemetar. Aku
berlari ke arahnya, meraup tubuhnya dengan kedua
lenganku dan memeluknya erat.
"Yeah," bisikku. "Ini Daniel."
Eden
hanya
menangis.
Sedu
sedan
meluluhlantakkan tubuhnya. Dia mempererat lengannya
di sekeliling leherku kuat-kuat sampai kupikir dia
takkan melepasnya. Aku menghela napas dalam-dalam
~339~
untuk menahan air mataku sendiri. Wabah telah
merenggut sebagian besar penglihatan Eden, tapi dia di
sini, hidup dan baik-baik saja, cukup kuat untuk
berjalan dan bicara. Itu sudah cukup untukku.
"Senang melihatmu lagi, Dik," kataku dengan suara
tercekik seraya mengacak-acak rambutnya. "Aku
kangen."
Entah berapa lama kami tetap di situ. Bermenitmenit? Berjam-jam? Tapi itu tidak penting. Waktu
berdetak lambat, detik demi detik. Kubuat momen itu
berlangsung selama mungkin. Rasanya seolah-olah aku
berdiri di sini dan memeluk seluruh keluargaku. Eden
adalah segalanya, yang berarti apa saja. Setidaknya,
aku punya dia.
Kudengar suara batuk di belakangku.
"Day," kata si Dokter. Dia bersandar di pintu
kamarku yang terbuka, wajahnya tampak serius dan
muram di bawah lampu neon. Dengan lembut, aku
menurunkan Eden sembari tetap meletakkan sebelah
tangan di bahunya. "Ikut aku. Ini tidak lama, aku janji.
Aku, ah ." Dia berhenti saat melihat Eden.
"Kusarankan adikmu tetap di luar saja. Cuma untuk
saat ini. Kupastikan kau akan kembali dalam beberapa
menit, lalu kalian berdua akan diantar ke apartemen
baru kalian."
Aku tetap berdiri di tempat, tak mau memercayai
dokter itu.
"Aku janji," ujarnya lagi. "Kalau aku bohong, yah,
kau punya cukup kekuasaan untuk meminta Elector
menangkapku gara-gara itu."
Yah, pada dasarnya itu benar. Aku menunggu
sedikit lebih lama, mengulum bagian dalam pipiku,
kemudian menepuk kepala Eden.
"Aku akan segera kembali, oke? Tetap di bangku.
Jangan pergi ke mana pun. Kalau seseorang berusaha
menyuruhmu pergi, teriaklah. Mengerti?"
Eden mengusap hidung dengan sebelah tangan, lalu
mengangguk. Kubimbing dia kembali ke bangku, lalu
mengikuti si Dokter masuk ke kamar. Dia menutup
~340~
pintu dengan bunyi klik pelan.
"Ada apa?" kataku tak sabar. Mataku tak bisa
berhenti menatap pintu, seakan pintu itu akan berubah
lenyap ditelan dinding kalau aku tidak waspada. Di
dinding pojok, layar June memperlihatkan dia sedang
menunggu sendirian di kamarnya.
Tapi, kali ini si Dokter tidak tampak kesal padaku.
Dia menekan sebuah tombol di dinding dan
menggumamkan sesuatu tentang mematikan suara di
kamera.
"Seperti yang kubilang sebelum kau keluar .
Sebagai bagian dari tesmu, kami memindai otakmu
untuk
melihat
apakahadamodifikasiyangdilakukanKoloni.Kamitidak
menemukan sesuatu untuk dikhawatirkan tapi kami
mendapatkan sesuatu yang lain." Dia berputar,
menekan sebuah alat kecil, lalu mengarahkannya ke
layar yang menyala di dinding. Layar itu menampilkan
gambar otakku. Dahiku berkerut, tidak bisa memahami
apa yang kulihat. Dokter menunjuk sebuah noda gelap
di dekat bagian bawah gambar. "Kami melihat ini di
dekat hipokampus8 sebelah kirimu. Kami rasa ini sudah
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama, mungkin sudah bertahuntahun, dan perlahanlahan memburuk seiring waktu."
Dengan bingung, kupandangi gambar itu sejenak,
lalu aku kembali beralih ke dokter. Noda itu masih
terasa sepele bagiku, apalagi saat Eden sedang
menunggu di lorong luar. Apalagi saat aku akan bisa
bertemu June lagi.
"Terus? Apa lagi?"
"Kau pernah mengalami sakit kepala parah?
Belakangan ini, atau dalam beberapa tahun ini?"
Ya. Tentu saja pernah. Aku sering sakit kepala sejak
malam ketika Rumah Sakit Pusat Los Angeles
melakukan tes padaku?malam ketika aku seharusnya
mati, tapi aku kabur.
Aku mengangguk. Dokter itu melipat lengan.
"Arsip kami menunjukkan bahwa kau telah
dijadikan percobaan setelah kau gagal dalam Ujianmu.
Ada beberapa tes yang dilakukan pada otakmu. Kau .
~341~
Ah"?dia terbatuk, berusaha mencari kata-kata yang
tepat?"dimaksudkan untuk mati agak cepat, tapi kau
bertahan. Yah, tampaknya
Bagian dari otak besar yang terletak di lobus temporal.
Hipokampus berperan dalam kegiatan mengingat (memori) dan
navigasi ruangan. (sumber: Wikipedia)
efek tersebut akhirnya mulai muncul." Dia mengecilkan
suara menjadi bisikan. "Tak ada yang tahu ini?bahkan
Elector. kami tak ingin negara ini kembali ke keadaan
revolusi. Mulanya kami pikir kami bisa menyembuhkan
itu dengan kombinasi antara operasi dan pengobatan,
tapi saat kami mempelajari area yang bermasalah lebih
jauh, kami sadar segalanya telah sangat terjalin dengan
bagian hipokampusmu yang sehat sehingga mustahil
untuk menstabilkan situasi tanpa sangat merusak
kemampuan kognitifmu."
Susah payah aku menelan ludah. "Jadi? Apa artinya
itu?"
Si Dokter melepas kacamatanya sambil mendesah.
"Artinya, Day, kau sekarat."[]
~342~
Pukul 20.07.
Dua hari setelah aku dibebaskan.
Menara Apartemen Oxford, Sektor Lodo, Denver.
72? Fahrenheit di dalam.
Day dibebaskan pukul tujuh pagi kemarin. Aku telah tiga
kali menghubunginya sejak itu,tapitidaksatupun yang
diangkat. Baru beberapa jam lalu akhirnya aku mendengar
suaranya di earpiece-ku.
"Hari ini kau tidak ada acara, June?" Aku menggigil
mendengar kelembutan dalam suaranya. "Keberatan kalau
aku mampir? Aku ingin bicara denganmu."
"Datang saja," sahutku. Dan, hanya itulah yang kami
katakan satu sama lain.
Dia akan tiba di sini secepatnya. Aku malu mengakui
bahwa meskipun satu jam ini aku berusaha menyibukkan
~343~
diri merapikan apartemen dan menyikat leher Ollie, yang
bisa kupikirkan hanyalah hal apa yang ingin Day
diskusikan.
Rasanya aneh kembali mendiami tempat tinggal
milikku sendiri, dilengkapi segudang hal-hal baru yang
tidak familier. Sofa lembut, lampu kristal rumit, meja kaca,
lantai kayu. Benda-benda mewah yang saat ini membuatku
tak nyaman memilikinya. Di luar jendela, salju musim semi
yang ringan berjatuhan. Ollie tidur di sebelahku di salah
satu dari kedua sofa.
Setelah aku boleh pulang dari rumah sakit, para tentara
mengantarku dengan jip ke sini, ke Menara Apartemen
Oxford?dan hal pertama yang kulihat saat aku melangkah
ke dalam adalah Ollie. Ekornya mengibas-ngibas
kegirangan, hidungnya mengendus-endus tanganku penuh
semangat. Para tentara memberitahuku bahwa Elector telah
lama meminta agar anjingku dikirim ke Denver untuk
diurus, tepat setelah Thomas menangkapku. Sekarang,
mereka mengembalikan Ollie, sepotong bagian kecil dari
Metias, padaku.
Aku penasaran apa pendapat Thomas tentang semua
ini. Akankah dia hanya mengikuti protokol seperti yang
selalu dia lakukan? Membungkuk padaku saat dia
melihatku lagi, mengucapkan janji setia sampai mati?
Mungkin Anden telah memerintahkan penangkapan-nya
bersama Komandan Jameson dan Razor. Aku tak bisa
memutuskan bagaimana perasaanku tentang itu.
Kemarin mereka menguburkan Kaede. Tadinya mereka
akan mengkremasi tubuhnya dan memberikan tanda kecil
biasa di dinding menara pemakaman, tapi aku memaksa
mereka memberi sesuatu yang lebih bagus. Sepetak tanah
sungguhan, beberapa meter persegi yang cukup untuknya.
Anden, tentu saja, menurut. Jika Kaede masih hidup, akan
ada di mana dia sekarang? Akankah pada akhirnya Republik
melantiknya ke pasukan udara mereka? Sudahkah Day
mengunjungi makamnya? Apa dia menyalahkan diri atas
kematian Kaede, seperti aku menyalahkan diri?
Mungkinkah ini alasan kenapa dia menunggu sangat lama
untuk menghubungiku setelah diizinkan pulang dari rumah
sakit?
~344~
Apa yang terjadi sekarang? Ke mana kami akan
melangkah?
Pukul 20.12. Day terlambat. Kujaga pandanganku
terpaku ke pintu, tak bisa melakukan hal lain, takut aku
akan kehilangan dirinya kalau aku berkedip.
Pukul 20.15. Dering lembut bel bergema di
apartemen. Ollie menggeliat, mengangkat telinga, dan
merengek. Dia di sini. Aku hampir melompat dari sofa.
Kaki Day sangat ringan sampai anjingku tidak
mendengarnya berjalan di lorong luar.
Aku membuka pintu?dan membeku. Sambutan yang
telah kusiapkan terhenti di tenggorokan. Day berdiri di
hadapanku, kedua tangan di saku celana, membuatku
menahan napas, dalam balutan seragam baru Republik (hitam, dengan strip abu-abu gelap membujur di sisi celana
panjangnya dan melingkari bagian bawah lengan bajunya.
Kerah diagonal tebal di jaket tentaranya dipotong dalam
gaya pasukan tentara ibu kota Denver, dan aku bisa lihat
sepasang sarung tangan karet putih menyembul dari saku
celana panjangnya, masing-masing dihiasi rantai emas tipis). Rambutnya jatuh ke bawah bahu dengan helaian yang
bersinar dan ditaburi butiran salju lembut musim semi
yang berjatuhan di luar. Matanya biru terang, memesona
dan indah; beberapa kepingan salju berkilau di bulu mata
panjang yang membatasi pinggirannya. Aku hampir tidak
tahan dengan pemandangan itu. Baru sekarang aku sadar
bahwa aku tak pernah benar-benar melihat dia mengenakan
pakaian resmi apa pun, apalagi pakaian resmi tentara. Aku
belum menyiapkan diri untuk melihat pemandangan seperti
ini, ketika ketampanannya benar-benar tampak jelas.
Day memperhatikan ekspresiku dan menyeringai
masam. "Ini untuk foto sebentar," katanya, menunjuk
pakaiannya, "fotoku berjabat tangan dengan Elector. Bukan
pilihanku. Jelas. Mudah-mudahan aku tidak menyesal telah
memberi dukungan untuk pria itu."
"Menghindari kerumunan massa yang berkumpul di
luar tempat tinggalmu?" akhirnya aku berkata.
Kutenangkan diriku cukup lama sampai aku bisa balas
tersenyum. "Menurut rumor, orang-orang meminta-mu
jadi Elector yang baru."
~345~
Dia cemberut jengkel dan menggerutu. "Day jadi
Elector? Yang benar saja. Aku bahkan belum menyukai
Republik. Butuh waktu untuk terbiasa. Sekarang, hanya
menghindar yang bisa kulakukan. Saat ini lebih baik aku
tidak menghadapi orang-orang."
Aku mendengar setitik kesedihan dalam suaranya,
sesuatu yang memberitahuku bahwa dia pasti belum
mengunjungi makam Kaede. Dia berdeham saat melihatku
mempelajari wajahnya, lalu memberiku sebuah kotak
beledu kecil. Ada kesopanan dalam tingkah lakunya yang
membuatku heran.
"Aku beli ini saat menuju kemari. Untukmu, Sayang."
Tanpa sadar, aku menggumam terkejut. "Trims."
Dengan hati-hati, kuterima kotak itu, mengaguminya
sesaat, lalu memiringkan kepala ke arah Day. "Dalam rangka
apa?"
Day menyelipkan rambut ke belakang salah satu
telinganya, berusaha tampak cuek. "Cuma berpikir itu
terlihat bagus."
Aku membuka kotak itu hati-hati, lalu menahan napas
saat melihat apa isinya. Sebuah kalung perak dengan liontin
kecil berbentuk tetes air mata dari batu rubi, pinggirannya
dihiasi berlian kecil-kecil. Tiga kawat perak kecil
terbungkus di sekeliling rubi itu sendiri.
"Ini cantik sekali," kataku. Pipiku rasanya terbakar.
"Ini pasti sangat mahal." Sejak kapan aku mulai
menggunakan basa-basi keramahan sosial saat bicara dengan
Day?
Dia menggeleng. "Rupanya Republik menghujaniku
dengan uang untuk membuatku tetap senang. Rubi batu
lahirmu, kan? Yah, aku cuma berpikir kau seharusnya
punya kenang-kenangan yang lebih bagus dariku dibanding
cincin dari penjepit kertas." Dia menepuk kepala Ollie, lalu
menunjukkan sikap mengagumi apartemenku. "Tempat
yang bagus. Sangat mirip punyaku."
Day telah diberi apartemen serupa yang dijaga ketat,
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa blok dari sini di jalan yang sama dengan
apartemenku.
"Terimakasih,"katakulagi, dengan hati-hati meletakkan
kotak itu di konter dapurku untuk sementara. Kemudian,
~346~
aku mengedipkan mata padanya. "Tapi, aku tetap paling
suka cincin penjepit kertasku."
Sejenak, kebahagiaan melintas di wajahnya. Aku ingin
melempar lenganku ke sekeliling tubuhnya dan
menciumnya, tapi?ada beban dalam posturnya yang
membuatku merasa aku harus menjaga jarak.
Kuberanikan diri mengajukan tebakan ragu-ragu tentang apa yang mengganggunya. "Bagaimana Eden?"
"Cukup baik." Day melihat sekeliling ruangan sekali
lagi, lalu membiarkan tatapannya kembali terpaku padaku.
"Segala hal diperhatikan dengan hati-hati, tentu saja."
Aku menunduk. "Aku turut menyesal tentang
penglihatannya. Dia?"
"Dia hidup," sela Day lembut. "Aku cukup senang
akan hal itu."
Aku mengangguk canggung, dan kami tergelincir ke
dalam keheningan panjang.
Akhirnya, aku berkata, "Kau ingin bicara."
"Ya." Day menatap ke bawah, mempermainkan sarung
tangannya gelisah, lalu memasukkan kedua tangannya ke
saku celana. "Aku sudah dengar tentang promosi yang Anden tawarkan padamu."
Aku memalingkan wajah dan duduk di sofa. Belum 48
jam dan aku sudah dua kali melihat berita itu muncul di
JumboTrons kota:
JUNE IPARIS DITUNJUK UNTUK IKUT
PELATIHAN POSISI PRINCEPS
Harusnya aku senang karena Day-lah yang mengungkit
hal itu?aku sudah berusaha mencari cara yang bagus untuk
mengangkat subjek itu, dan sekarang aku tak perlu
melakukannya. Tetap saja, denyut nadiku menjadi lebih
cepat dan kudapati diriku merasa segugup yang kutakutkan.
Mungkin dia marah karena aku tidak langsung mengatakan
hal ini.
"Seberapa banyak yang sudah kau dengar?" tanyaku
saat dia mendekat untuk duduk di sebelahku. Dengan
lembut, lututnya menyentuh pahaku. Bahkan, sentuhan
ringan seperti ini membuat kupu-kupu menari di perutku.
~347~
Aku melirik wajahnya sekilas untuk melihat apakah dia
melakukannya dengan sengaja, tapi bibir Day membentuk
garis tak nyaman, seolah-olah dia tahu dirinya akan
meneruskan percakapan ini meskipun tak ingin.
"Aku dengar selentingan, kau harus membayangi setiap
langkah Anden, ya? Kau akan dilatih untuk menjadi
Princeps-nya. Itu semua benar?"
Aku mendesah. Bahuku merosot dan kubenamkan
kepala ke tangan. Mendengar Day mengatakan ini
membuatku merasakan betapa gentingnya komitmen yang
harus kubuat. Tentu saja aku mengerti alasan-alasan praktis
kenapa Anden akan menunjukku untuk ini?kuharap
dirikulah seseorang yang bisa menolong Republik
bertransformasi. Seluruh pelatihan militerku, segala yang
Metias ajarkan padaku?aku tahu aku memang cocok
untuk pemerintah Republik. Tapi .
"Ya, itu semua benar," kataku, lalu buru-buru
menambahkan, "itu bukan lamaran pernikahan?sama
sekali bukan begitu. Itu posisi profesional, dan aku akan
menjadi salah satu dari beberapa orang yang bersaing untuk
memperoleh posisi itu. Tapi, itu berarti sewaktu-waktu aku
harus pergi berminggu-minggu yah berbulan-bulan.
Jauh dari ." Jauh darimu, aku ingin bilang. Tapi,
kedengarannya sangat norak, dan kuputuskan untuk tidak
meneruskan kalimat itu. Sebaliknya, kuceritakan padanya
semua detail yang meluncur di kepalaku. Kuberi tahu dia
tentang jadwal melelahkan seorang calon Princeps,
bagaimana aku berencana memberi diriku ruang untuk
bernapas jika aku menyetujui tawaran itu, bahwa aku tak
yakin seberapa banyak dari diriku yang ingin kuberikan
pada Republik. Setelah beberapa saat, aku tahu aku mulai
meracau, tapi sangat enak rasanya mengeluarkan semua dari
dadaku, membuka masalah-masalahku pada pemuda yang
kupedulikan. Aku tidak berusaha menghentikan diri. Jika
ada orang dalam hidupku yang berhak mendengar
segalanya, orang itu adalah Day.
"Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada Anden,"
kataku mengakhiri ceritaku. "Dia belum mendesakku, tapi
aku harus segera memberinya jawaban."
~348~
Day tidak menyahut. Banjir kata-kataku menggantung
di keheningan di antara kami. Aku tidak bisa
mendeskripsikan emosi di wajahnya?sesuatu telah hilang,
sesuatu telah direnggut dari tatapannya dan bertebaran di
lantai. Satu kesedihan mendalam tanpa suara yang
membuatku tercabik. Apa yang ada di benak Day? Apa dia
memercayaiku? Apa dia pikir, seperti yang kupikir saat
pertama kali mendengarnya, bahwa Anden menawarkan ini
karena ketertarikan pribadinya padaku? Apa dia sedih
karena itu berarti sepuluh tahun kami hampir tak bisa
melihat satu sama lain? Aku memperhatikannya dan
menunggu, berusaha mengantisipasi apa yang akan dia
katakan. Tentu saja dia tak akan senang dengan gagasan ini,
tentu saja dia akan protes. Aku sendiri tidak senang dengan
?
Mendadak Day bicara. "Terima tawaran itu," bisiknya.
Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, karena kupikir
aku tidak mendengarnya dengan benar. "Apa?"
Dengan
hati-hati,Day
mempelajari
wajahku.
Tangannya
bergetar
sedikit,
seolah
dia
ingin
mengangkatnya dan menyentuh pipiku. Namun, tangan itu
tetap berada di sisi tubuhnya.
"Aku datang ke sini untuk bilang padamu agar
menerima tawarannya," ulangnya lembut.
Aku mengerjap. Tenggorokanku sakit; penglihatanku
mengabur dalam kabut cahaya. Ini pasti salah?aku telah
menduga-duga lusinan jawaban berbeda dari Day, kecuali
yang satu itu. Atau, mungkin bukan jawabannya yang
membuatku sangat terguncang, melainkan caranya
mengatakan itu. Seakan-akan dia melepaskanku. Aku
memandanginya sesaat, bertanya-tanya apakah aku cuma
membayangkannya. Tapi ekspresi Day?sedih, jauh?tetap
sama. Aku memalingkan wajah dan bergeser ke tepi sofa,
dan di tengah kekakuan pikiranku aku hanya bisa berbisik,
"Kenapa?"
"Kenapa tidak?" tanya Day. Suaranya mengelopak,
kusut layaknya bunga yang layu.
Aku tidak mengerti. Mungkin dia cuma sarkastis.
Atau, mungkin dia akan bilang bahwa dia masih ingin
menemukan cara agar kami bisa bersama. Tapi, dia tidak
~349~
menambahkan apa pun lagi dalam jawabannya. Kenapa dia
memintaku menerima tawaran ini? Kupikir aku akan sangat
bahagia saat semua ini akhirnya selesai. Kami akan berusaha
menjalani sesuatu yang mirip kehidupan normal lagi, apa
pun itu. Akan sangat mudah bagiku untuk menemukan
jalan tengah atas tawaran Anden, atau bahkan menolaknya
sama sekali. Kenapa Day tidak menyarankan itu? Kupikir,
di antara kami berdua Day-lah yang lebih emosional.
Day tersenyum pahit saat aku tidak langsung
merespons. Kami duduk dengan tangan kami terpisah,
membiarkan dunia menggantung berat di antara kami,
mendengar detikdetik berdetak tanpa suara. Setelah
beberapa menit, dia menghela napas panjang dan berkata,
"Aku, ah punya sesuatu yang harus kukatakan juga
padamu."
Aku mengangguk dalam diam, menunggunya
melanjutkan. Takut pada apa yang akan dia katakan. Takut
dia akan menjelaskan kenapa.
Dia ragu-ragu sejenak, tapi saat dia bicara, dia
menggelengkan kepala dan memberiku tawa kecil yang
tragis. Aku tahu dia telah berubah pikiran, menyimpan
sebuah rahasia dan memasukkannya kembali ke hatinya.
"Kau tahu, terkadang aku bertanya-tanya segalanya
akan seperti apa seandainya aku hanya bertemu
denganmu pada suatu hari. Seperti yang orang normal
lakukan. Seandainya aku bertemu denganmu di jalan pada
suatu pagi yang cerah dan berpikir kau manis, lalu aku
berhenti, menjabat tanganmu, dan berkata, ?Hai, aku
Daniel.?"
Aku memejamkan mata, membayangkan pikiran
menyenangkan itu. Betapa bebasnya kalau itu terjadi.
Betapa mudahnya.
"Seandainya," bisikku.
Day menarik-narik rantai emas di sarung tangannya.
"Anden adalah Elector Primo Republik. Mungkin takkan
pernah ada kesempatan lain yang semacam ini."
Aku tahu apa yang dia coba katakan. "Jangan khawatir.
Tidak berarti aku tidak bisa memengaruhi Republik kalau
aku menolak tawaran ini, atau menemukan jalan tengah. Ini
~350~
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan satu-satunya jalan?"
"Dengarkan aku, June," katanya lembut, mengangkat
kedua tangannya untuk menghentikanku. "Aku tak tahu
apakah aku akan punya keberanian untuk mengatakan
semua ini lagi."
Aku gemetar melihat cara bibirnya mengucapkan
namaku. Dia memberiku seulas senyum yang
menghancurkan sesuatu di dalam diriku. Aku tak tahu
kenapa, tapi ekspresinya seolah-olah dia melihatku untuk
terakhir kalinya.
"Ayolah, kau dan aku sama-sama tahu apa yang
seharusnya terjadi. Kita baru beberapa bulan saling kenal.
Tapi,aku menghabiskan seluruh hidupku melawan sistem
yang sekarang ingin Elector ubah. Dan kau . Yah,
keluargamu menderita sebanyak keluargaku." Dia berhenti
sejenak, dan matanya menerawang jauh. "Aku mungkin
bagus dalam berpidato dari atas sebuah gedung, dan dalam
mengendalikan kerumunan massa. Tapi, aku tak tahu apa
pun tentang politik. Aku cuma bisa menjadi pemimpin
boneka. Sedangkan, kau kau selalu menjadi segala yang
orang-orang butuhkan. Kau punya kesempatan untuk
mengubah berbagai hal." Dia meraih tanganku dan
menyentuh titik di jariku tempat cincinnya tadinya berada.
Aku merasakan telapak tangannya yang kapalan, juga
kelembutan
menyakitkan
dalam
sikapnya.
"Ini
keputusanmu, tentu saja, tapi kau tahu bagaimana
seharusnya. Jangan memutuskan hanya karena kau merasa
bersalah atau apalah. Jangan khawatirkan aku. Aku tahu
itulah alasan kenapa kau bimbang?aku bisa melihatnya di
wajahmu."
Aku tetap tidak berkata apa-apa. Apa yang dia
bicarakan? Melihat apa di wajahku? Saat ini aku terlihat
seperti apa?
Melihat sikap diamku, Day mendesah. Derita di
wajahnya tak tertahankan.
"June," ujarnya pelan. Di balik kata-katanya, suaranya
terdengar seperti akan pecah kapan saja. "Hubungan kita
tak akan pernah berhasil."
Dan inilah alasan sebenarnya. Aku menggelengkan
~351~
kepala, tak ingin mendengar sisa kata-katanya. Jangan. Tolong jangan katakan, Day, tolong jangan katakan itu.
"Kita akan temukan cara," aku mulai berkata. Detaildetail mulai tumpah ruah. "Untuk sementara aku bisa
bekerja di patroli ibu kota. Itu akan jadi kemungkinan
pilihan terbaik. Bayangan seorang Senator, kalau aku betulbetul ingin terjun ke politik. Dua belas Senator?"
Day bahkan tidak bisa menatapku. "Kita tidak
ditakdirkan bersama. Ada terlalu banyak hal yang telah
terjadi." Suaranya memelan. "Terlalu banyak hal."
Beban itu menghantamku. Ini tidak ada hubungannya
dengan posisi Princeps, pasti ada sesuatu yang lain. Day
tetap akan mengatakan ini, bahkan meskipun Anden tak
pernah menawariku apa pun. Perdebatan kami di
terowongan bawah tanah. Aku ingin mengatakan betapa
salahnya dia, tapi aku tidak bisa mendebat inti katakatanya. Karena dia benar. Bagaimana bisa aku berpikir
bahwa kami tak pernah merasakan konsekuensi atas apa
yang telah kulakukan padanya? Bagaimana bisa aku sangat
arogan, berasumsi bahwa hubungan kami pada akhirnya
akan berhasil, bahwa beberapa hal baik yang kulakukan
dapat menyembuhkan seluruh luka yang kusebabkan
untuknya? Kebenaran itu takkan pernah berubah. Tak
peduli betapa keras dia berusaha, tiap kali dia menatapku,
dia akan teringat apa yang telah terjadi pada keluarganya.
Dia akan teringat apa yang telah kulakukan. Hal itu akan
selalu menghantuinya; akan selalu menjulang di antara
kami.
Aku harus melepaskan dia.
Aku bisa merasakan air mata mengancam untuk
tumpah dari mataku, tapi aku tidak berani mengalirkannya.
"Jadi," aku berbisik, suaraku bergetar karena usaha
menahan tangis. "Begitu saja? Setelah segalanya?" Bahkan,
saat mengatakan itu, aku tahu tak ada gunanya. Kerusakan
itu sudah telanjur ada. Tak ada jalan kembali.
Day membungkuk dan menekan kedua tangan ke
matanya. "Maafkan aku," bisiknya.
Detik-detik panjang berlalu.
Setelah beberapa lama, susah payah aku menelan
~352~
ludah. Aku tidak akan menangis. Cinta memang tidak
masuk akal, cinta memiliki konsekuensi?aku telah
membiarkan diriku jatuh cinta, dan aku harus bisa
menerima konsekuensinya. Jadi terimalah, June. Akulah
yang seharusnya minta maaf. Akhirnya, alih-alih
mengatakan apa yang ingin kukatakan, aku berhasil
menekan getar dalam suaraku dan memberi jawaban yang
lebih tepat. Apa yang seharusnya kukatakan.
"Aku akan beri tahu Anden."
Day menyapukan sebelah tangan di rambutnya,
membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi
menutupnya kembali. Aku tahu ada satu bagian dari
seluruh percakapan ini yang tidak dia katakan padaku, tapi
aku tidak memaksa. Tetap saja itu tidak akan membuat
perbedaan?sudah terlalu banyak alasan kenapa kami tidak
ditakdirkan bersama. Matanya menangkap sinar bulan yang
masuk melalui jendela. Sesaat penuh keheningan di antara
kami, hanya terdengara suara pelan napas.
"Yah, aku?" Suaranya pecah, dan dia mengepalkan
tangan. Sedetik lamanya dia tetap begitu, berusaha
menguatkan diri. "Harusnya aku membiarkanmu istirahat.
Kau pasti lelah." Dia bangkit dan meluruskan jaketnya.
Kami saling bertukar anggukan perpisahan terakhir.
Kemudian, dia membungkuk sopan padaku, berbalik, dan
mulai berjalan pergi. "Selamat malam, June."
Hatiku tercabik, terkoyak, mengucurkan darah. Aku
tidak bisa membiarkannya pergi seperti ini. Kami telah
melalui terlalu banyak hal bersama untuk saling menjadi
orang asing pada akhirnya. Perpisahan di antara kami
seharusnya lebih dari sekadar bungkukan sopan. Mendadak
aku berdiri dan berlari ke arahnya saat dia mencapai pintu.
"Day, tunggu?"
Dia berputar. Sebelum aku bisa berkata apa-apa, dia
melangkah maju dan memegang wajahku dengan kedua
tangannya. Lalu, dia menciumku untuk terakhir kalinya,
membanjiriku dengan kehangatan, napas kehidupan, cinta,
juga kesedihan yang menyakitkan. Kulingkarkan lengan ke
sekeliling lehernya dan dia memeluk pinggangku. Jangan
~353~
pergi, aku memohon tanpa kata. Tapi, aku bisa merasakan
selamat tinggal di ciumannya, dan sekarang aku tak bisa
menahan air mataku. Dia gemetar. Wajahnya basah. Aku
mendekapnya seolah dia akan hilang kalau aku melepasnya,
seolah aku akan ditinggalkan sendirian di ruangan gelap ini,
berdiri dalam kehampaan. Day, pemuda dari jalanan yang
tak punya apa-apa selain pakaian di punggungnya dan
kemurnian di matanya, telah memiliki hatiku.
Dia menawan, luar-dalam.
Dia adalah secercah cahaya di dunia yang penuh
kegelapan.
Dia cahayaku.[]
~354~
Tamat
UCAPAN TERIMA KASIH
Menulis Prodigy adalah pengalaman yang sangat berbeda
jika dibandingkan dengan saat menulis Legend. Kali ini
melibatkan banyak serangan kepanikan dan isak putus asa di
depan laptop, juga menggali lebih dalam inti
karakterkarakterku dan mengeksplorasi pikiran serta
kenangan tergelap mereka.Beruntung,aku didukung
sekelompok orang menakjubkan yang membantuku
menyelesaikan buku ini:
Untuk agenku Kristin Nelson, yang pertama kali
melihat manuskrip ini. Aku akan mati di rawa pasir isap
tanpa nasihat dan masukan darimu. Untuk seluruh tim
NLA, yang selalu menyambutku pulang.Untuk pembaca
sekaligus pengoreksiku Ellen Oh,yang melihat draf awal
Prodigy dan menjernihkan pikiranku pada beberapa adegan
yang sangat penting. Untuk JJ, yang telah menjadi
pendengar sekaligus komentator yang baik dan aneh, juga
pembaca sekaligus pengoreksi saat Prodigy berangsur-angsur
tercipta.
Untuk pasangan editorku yang luar biasa, Jen Besser
dan Ari Lewin, yang menerima draf pertama Prodigy dan
mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih hebat daripada
yang bisa kubuat sendiri.Terima kasih karena mendorongku
sangat keras untuk memperkuat karakter,dunia dan alurku;
siapa pun yang berpikir buku ini tidak perlu diedit lagi jelas
tak pernah bekerja sama dengan salah satu dari kalian.
Kalian luar biasa. (Sapaan spesial untuk Primo Kecil!)
Untuk seluruh tim Putnam Children?s dan Penguin
Young Readers atas dukungan tanpa henti mereka: Don
Weisberg, Shauna Fay, Anna Jarzab, Jessica Schoffel, Elyse
Marshall, Scottie Bowditch, Lori Thorn, Linda McCarthy,
~355~
Erin Dempsey, Shanta Newlin, Emily Romero, Erin
Gallagher, Mia Garcia, Lisa Kelly, Courtney Wood, Marie
Kent, dan semua orang yang telah membantuku
menghidupkan Legend maupun Prodigy.Tak ada pengarang
yang bisa meminta kelompok pendukung lebih hebat dari
kalian.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk tim menakjubkan CBS Films, Temple Hill,
dan UTA yang memberi dedikasi lanjutan bagi Legend:
Wolfgang Hammer, Grey Munford, Matt Gilhooley, Ally
Mielnicki,Christine Batista,Isaac Klausner,Wyck Godfrey,
Marty Bowen, Gina Martinez, Kassie Evashevski, dan
Wayne Alexander. Aku tak percaya betapa beruntungnya
aku.
Untuk semua blogger, peresensi, dan media yang telah
membahas Legend dan Prodigy,juga penjual buku di
seluruh negeri yang menyerahkan kedua buku tersebut ke
tangan pembeli.Terima kasih banyak?aku sangat berterima
kasih atas semua yang kalian lakukan untuk menjadi
jembatan antara buku yang tepat dan pembaca yang tepat.
Untuk pembaca dan penggemarku yang luar biasa,
untuk surat-surat penuh antusiasme dan kata-kata
penyemangat yang sangat baik. Setiap kali aku melihat
kesan dan pesan kalian tentang Legend, aku semakin
termotivasi untuk membuat Prodigy sebaik yang kubisa.
Terima kasih telah meluangkan waktu membaca bukuku.
Terakhir, untuk keluargaku: ibuku, Andre, dan seluruh
temanku. Terima kasih atas dukungan kalian?kalian tak
tergantikan.[]
~356~
TENTANG PENULIS
MARIE LU lulus dari University of Southern California
dan masuk ke industri video game, bekerja di Disney
Interactive Studios sebagai seniman program Flash.
Sekarang menjadi penulis purnawaktu, dia menghabiskan
waktu luangnya dengan membaca, menggambar, bermain
Assassin?s Creed, dan terjebak dalam kemacetan lalu lintas.
Dia tinggal di Los Angeles, California (lihat "kemacetan"di
atas), bersama seorang pacar,seekor anjing Chihuahua
campuran, dan dua anjing Pembroke Welsh.
Kunjungi
Marie
di
www.marielu.org
atau
www.legendtheseries.com.[]
~357~
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Anne Of Green Gables Karya Lucy M Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama