Ceritasilat Novel Online

Prodigy 6

Prodigy Karya Marie Lu Bagian 6

walau cuma sedikit. Aku masih tidak menyesal atas apa

yang kukatakan padanya tadi, itu yang sebenarnya, tapi

aku juga sudah bersikap tidak adil. Apa pun yang hilang

dariku, June juga telah mengalami kehilangan yang

sama. Dulu dia kaya, lalu dia meninggalkan semuanya

untuk menyelamatkan hidupku. Dia memang berperan

dalam kematian keluargaku, tapi .

Kuusap rambutku, merasa bersalah sekarang. Aku

tak bisa menyalahkannya atas apa pun. Dan, aku tak

bisa sendirian pada saat seperti ini?tanpa rekan, tanpa

siapa pun untuk berpaling.

Tubuh June terkulai.

Kusangga diriku bangkit dengan sikuku. "Kau tidak

apa-apa?"

Dia menggeleng dengan kening berkerut, berusaha

mengenyahkan apa yang mengganggunya. "Aku tidak

apa-apa. Kurasa aku tertular penyakit atau apalah.

Bukan sesuatu yang serius."

Kuamati wajahnya di bawah cahaya buatan.

Sekarang, saat aku memperhatikan rona wajahnya

lebih lekat, aku bisa lihat dia lebih pucat dari biasanya,

dan pipinya tampak memerah karena kulitnya sangat

pasi. Aku duduk lebih tegak, memaksanya bergeser, lalu

menekan sebelah tangan ke dahinya.

Segera saja kutarik tanganku. "Ya ampun, kau

panas sekali."

June mulai protes, tapi seolah sesi latihan kami

telah membuatnya lemah, dia terkulai lagi dan berusaha

memantapkan posisi dengan sebelah lengan. "Aku baikbaik saja," gumamnya. "Ngomong-ngomong, kita harus

pergi."

Dan di sini aku marah-marah padanya, melupakan

semua yang telah dia alami. Aku betul-betul orang paling

berengsek tahun ini. Kulingkarkan sebelah lengan ke

~259~



sekeliling punggungnya dan lengan yang satunya ke

bawah lututnya, lalu kuangkat tubuhnya. Dia merosot

ke dadaku, panas di dahinya menyengat kulitku yang

dingin.

"Kau harus istirahat."

Kugendong dia ke salah satu kamar bungker.

Kemudian kulepas sepatu botnya, kubaringkan dia hatihati di tempat tidur, dan kuselimuti dia. Dia mengerjap

padaku.

"Aku tidak bermaksud buruk akan apa yang

kukatakan tadi." Tatapannya linglung, tapi masih ada

emosi di sana. "Tentang uang. Dan aku tidak?"

"Berhenti bicara." Kurapikan rambut yang

berantakan di dahinya. Bagaimana kalau dia terserang

sesuatu yang serius saat ditangkap kemarin? Virus

wabah?

tapi dia dari kalangan atas. Seharusnya dia

sudah divaksinasi. Kuharap.

"Akan kucarikan obat untukmu, oke? Pejamkan

saja matamu."

June menggelengkan kepala frustrasi, tapi dia tidak

berusaha mendebat.

Setelah menggeledah seluruh bungker, akhirnya

aku berhasil menemukan sebotol aspirin yang masih

tersegel. Aku kembali ke sisi tempat tidur June sambil

membawa itu. Dia minum beberapa pil. Saat dia mulai

menggigil, kuambil dua selimut tambahan dari tempat

tidur lain di kamar tersebut dan menyelimutinya, tapi

tampaknya hal itu tidak berguna.

"Tidak apa-apa. Aku akan bertahan," bisiknya saat

aku hampir pergi untuk mencari selimut lagi. "Tak

penting seberapa tinggi kau menumpuk selimut itu?aku

hanya perlu demamku turun." Dia bimbang sejenak, lalu

meraih tanganku. "Bisakah kau tetap di sini?"

Nada lemah dalam suaranya mencemaskanku lebih

dari apa pun. Aku naik ke tempat tidur, berbaring di

sampingnya di atas tumpukan selimut, lalu menariknya

ke dalam pelukan. June tersenyum kecil, matanya

terpejam. Lekuk tubuhnya yang menyentuh tubuhku

mengalirkan kehangatan dalam diriku. Aku tak pernah

~260~



berpikir menggambarkan kecantikan June sebagai

kecantikan yang lembut, sebab lembut bukanlah kata

yang cocok untuk June tapi di sini, saat dia sakit

sekarang, baru kusadari betapa dia bisa serapuh ini.

Bibir kecilnya yang lembut bersanding dengan mata

besar terpejam yang dilingkari garis bulu mata gelap.

Aku tak suka melihatnya selembut ini. Nuansa

panas perdebatan kami tadi masih terngiang di

benakku, tapi saat ini aku harus melupakannya.

Bertengkar hanya akan memperlambat kami. Kami

akan menyelesaikan masalah di antara kami nanti.

Perlahan, kami berdua terlelap.

*** Sesuatu membuatku

tersentak bangun dari tidurku. Bunyi bip. Kudengarkan

bunyi itu sejenak, berusaha menemukan asal suaranya

di tengah rasa peningku. Kemudian, aku merangkak

turun dari tempat tidur tanpa membangunkan June.

Sebelum meninggalkan kamar, kucondongkan tubuh

untuk menyentuh dahinya lagi. Masih belum membaik.

Butiran keringat membanjiri dahinya, jadi pasti

demamnya sudah turun setidaknya sekali, tapi saat ini

dia masih sepanas sebelumnya.

Saat aku mengikuti suara bip itu sampai ke dapur,

kulihat sebuah lampu isyarat kecil berkedip di atas

pintu masuk bungker. Ada kata-kata menyala merah

terang di bawahnya, mengancam.

MENDEKAT?122 METER

Ketakutan dingin mencekamku. Pasti seseorang

sedang berjalan di terowongan, mengarah ke bungker

ini?mungkin Patriot, atau tentara Republik. Aku tak bisa

memutuskan mana yang lebih buruk. Tumitku berputar

dan bergegas menuju tempat aku menumpuk karung

goni berisi makanan dan air, lalu kukeluarkan beberapa

kaleng dari salah satu karung. Saat karung itu sudah

cukup ringan, kusampirkan kedua tali karungnya ke

lenganku seolah karung itu tas ransel. Setelah itu, aku

berlari cepat ke sisi tempat tidur June. Dia bergerak

dengan erangan pelan.

~261~



"Hei," bisikku, berusaha terdengar kalem dan

menenteramkan. Aku membungkuk dan mengelus

rambutnya. "Saatnya pergi. Ayo." Kusingkirkan

tumpukan selimut, hanya menyisakan satu untuk

membungkus tubuhnya. Kupakaikan sepatu bot ke

kakinya dan kupapah dia di lenganku. Dia berjuang

sejenak seolah dia berpikir akan jatuh, tapi dia

berpegangan lebih erat.

"Tenanglah,"

bisikku

di

rambutnya.

"Aku

memegangimu."

Posisinya sudah mantap di pelukanku, setengah

sadar.

Kami meninggalkan bungker dan kembali berjalan

ke dalam kegelapan terowongan. Sepatu botku

memercik di genangan air dan lumpur. Napas June

dangkal dan cepat, panas karena demam. Di belakang

kami, alarm itu terdengar semakin pelan. Setelah kami

berbelok di beberapa tikungan, suaranya memudar

menjadi dengung halus. Aku setengah mengira akan

mendengar langkah kaki di belakang kami, tapi segera

saja dengung alarm itu memudar juga, meninggalkan

kami berjalan dalam keheningan. Bagiku, rasanya

seperti berjam-jam telah berlalu?meskipun June

menggumam "sudah 42 menit 33 detik". Kami terus

berjalan dengan susah payah.

Bagian terowongan yang ini lebih panjang dari yang

pertama, dan sesekali diterangi cahaya remang dari

bohlam yang berkedip di atap. Aku akhirnya berhenti

berjalan dan merosot di bagian yang kering, meneguk

air dan sup kaleng (paling tidak, kupikir itu sup?aku tak

bisa melihat banyak dalam kegelapan ini, jadi aku hanya

membuka tutup kaleng pertama yang kuambil).

June kembali menggigil. Tidak mengejutkan. Di

bawah sini dingin, cukup dingin bagiku untuk melihat

uap samar napasku. Kurapatkan selimut di sekeliling

June, lalu memeriksa dahinya sekali lagi dan berusaha

menyuapinya sup. Dia menolak.

"Aku tidak lapar," bisiknya. Saat dia menggeser

kepalanya rebah ke dadaku, kurasakan panas dahinya

di bajuku.

~262~



Kuremas tangannya. Lenganku sangat kaku sampai

melakukan ini pun sulit.

"Ya sudah. Tapi kau harus minum, oke?"

"Baik." June mendekat padaku dan merebahkan

kepalanya ke pangkuanku. Kuharap aku bisa

menemukan cara untuk membuatnya tetap hangat.

"Apa mereka masih mengikuti kita?"

Aku menyipitkan mata ke arah kegelapan pekat

tempat kami datang. "Tidak," dustaku. "Mereka sudah

tidak ada. Sekarang kau rileks saja, tak usah khawatir.

Tapi, kau harus berusaha tetap bangun."

June mengangguk. Dia memainkan sesuatu di

tangannya, dan saat kulihat lebih dekat, kusadari

bahwa itu cincin penjepit kertas. Dia mengusapnya

seolah hal itu bisa memberinya kekuatan.

"Bantu aku tetap bangun. Ceritakan sesuatu." Saat
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini matanya setengah terpejam, meski aku tahu dia

berjuang untuk tetap membukanya. Dia bicara sangat

pelan sampai aku harus mendekatkan diri ke mulutnya

untuk mendengar kata-katanya.

"Cerita macam apa?" sahutku, bertekad untuk

menjaganya agar tetap sadar.

"Entahlah." June memiringkan kepalanya sedikit

untuk menghadap ke arahku. Setelah diam sejenak, dia

berkata mengantuk, "Ceritakan tentang ciuman

pertamamu. Bagaimana?"

Awalnya, pertanyaan itu membingungkanku?

setahuku tak ada gadis yang suka aku membicarakan

gadis lain di depannya. Tapi kemudian aku sadar: ini

June, dan dia mungkin menggunakan kecemburuan

untuk menjaga dirinya tidak jatuh tertidur. Mau tak mau

aku tersenyum dalam kegelapan. Selalu saja pintar, dia

ini.

"Waktu itu aku dua belas tahun," bisikku. "Gadis itu

enam belas."

Mata June menjadi lebih waspada. "Kau pasti

bermulut manis."

Aku mengangkat bahu. "Mungkin. Waktu itu aku

lebih ceroboh?beberapa kali aku hampir membuat

diriku terbunuh. Ngomong-ngomong, gadis itu mengelola

~263~



sebuah dermaga di Lake bersama ayahnya, dan dia

menangkap basah aku waktu aku berusaha

menyelundupkan makanan keluar dari peti kayu

mereka. Aku bicara serius dengannya tentang niatku

menyerahkan diri, dan sebagai bagian dari kesepakatan

kami, dia melepaskanku di gang belakang di dekat air."

June berusaha tertawa, tapi yang keluar hanya

suara batuk. "Dan dia menciummu di sana?"

Aku nyengir. "Bisa dibilang begitu."

Dia berhasil mengangkat sebelah alis penasaran

mendengar balasan singkatku, yang kuanggap sebagai

pertanda bagus. Setidaknya saat ini dia bangun. Aku

mendekat padanya, bibirku tepat di samping telinganya.

Napasku menggoyangkan untaian rambutnya. "Pertama

kali aku melihatmu, waktu kau melangkah ke arena

Skiz melawan Kaede, kupikir kau adalah gadis tercantik

yang pernah kulihat. Aku bisa menontonmu selamanya.

Pertama kali aku menciummu ." Kenangan itu

membanjiriku sekarang, membuatku terkejut. Aku ingat

setiap detailnya, hampir cukup untuk mengusir

bayangan yang tak mau pergi dari kepalaku?bayangan

Elector yang menarik June ke arahnya. "Yah, mungkin

seharusnya itulah ciuman pertamaku."

Bahkan dalam kegelapan, aku bisa melihat tandatanda senyuman merayap ke wajah June. "Yeah. Kau

memang bermulut manis."

Aku mengerutkan dahi ke arahnya, pura-pura sakit

hati. "Sayang, pernahkah aku bohong padamu?"

"Jangan coba-coba. Aku bakal langsung tahu."

Aku tertawa lemah. "Cukup adil."

Kata-kata kami terdengar ringan dan hampir tanpa

beban, tapi kami berdua bisa merasakan ketegangan di

baliknya. Usaha untuk melupakan, untuk mengubur

dalamdalam akibat dari kata-kata yang tak seorang pun

dari kami bisa menariknya kembali.

Kami berlama-lama di sana selama beberapa menit

lagi, lalu aku membungkus barang-barang bawaan kami.

Dengan hati-hati kuangkat June, dan melanjutkan

berjalan menyusuri terowongan. Sekarang, lenganku

bergetar, dan setiap napas yang kuhela terasa berat.

~264~



Tak ada tanda-tanda bungker di depan. Meskipun

terowongan ini lembap dan dingin, aku berkeringat

seperti sedang berada di pertengahan musim panas di

Los Angeles. Aku jadi lebih sering beristirahat, sampai

akhirnya aku betul-betul berhenti di bagian terowongan

yang kering dan merosot di dinding.

"Berhenti sebentar ya," kataku menenangkan June

sembari memberinya air. "Kurasa kita hampir sampai."

Seperti yang tadi dia bilang, dia bisa langsung

membaca kebohonganku. "Kita tak bisa berjalan lebih

jauh," katanya lemah. "Ayo istirahat dulu. Kau takkan

bertahan satu jam lagi kalau seperti ini terus."

Kukesampingkan kata-katanya. "Terowongan ini

pasti berakhir di suatu tempat. Sekarang, kita pasti

berada tepat di bawah medan perang, yang berarti kita

telah berada di tanah Koloni." Aku berhenti sejenak?

kesadaran itu menyentakku pada saat yang sama

dengan keluarnya kata-kataku, mengirimkan sensasi

bersemangat menjalari punggungku. Tanah Koloni.

Seolah diberi aba-aba, sebuah suara datang dari

suatu tempat di atas terowongan, suatu tempat jauh di

atas kami. Aku terdiam. Sejenak kami mendengarkan,

dan segera saja suara itu datang lagi?suara dengung

keributan teredam di permukaan bumi, datang dari

suatu benda besar.

"Apa ada zeppelin di luar sana?" tanya June.

Suara itu memudar setelah membawa angin es

dingin ke dalam terowongan. Aku menengadah. Tadi

aku terlalu lelah untuk memperhatikan, tapi sekarang

aku bisa melihat sekerat cahaya kecil persegi empat.

Pintu keluar menuju permukaan. Malah, ada beberapa

cahaya seperti itu berderet di langit-langit dalam jarak

yang terpencar-pencar. Kemungkinan kami sudah lama

melewatinya.

Kupaksa diriku berdiri lagi dan kuulurkan tangan

untuk menyapukan jariku di sepanjang tepian tempat

asal secercah cahaya itu. Halus, logam beku. Kudorong

benda itu sedikit.

Benda itu bergerak. Aku menekan logamnya lebih

keras dan mulai menggesernya ke satu sisi. Meski

~265~



sepertinya saat ini malam hari di luar sana, lebih banyak

cahaya yang masuk ke terowongan dibandingkan

beberapa jam lalu. Aku menyipitkan mata. Butuh

sedetik bagiku untuk sadar bahwa sesuatu yang dingin

dan ringan melayang jatuh dengan lembut ke wajahku.

Aku mengibaskannya dari wajahku, sesaat kebingungan

sampai kusadari bahwa itu?kupikir?kepingan salju.

Degup jantungku menjadi lebih cepat. Setelah aku

menggeser logamnya sejauh mungkin, kulepas jaket

tentara Republik yang kukenakan. Tidak lucu kalau

kami ditembak tentara tepat ketika kami telah

mencapai tanah impian.

Usai membuka kemeja dan rompi, aku melompat

dan mencengkeram bagian tepi bukaan dengan lengan

gemetar, lalu kutarik setengah tubuhku ke atas untuk

melihat di mana kami berada. Semacam gang gelap.

Tak ada siapa pun di sekitar situ. Aku kembali

melompat ke bawah dan meraih tangan June, tapi dia

mulai hampir tertidur lagi.

"Bertahanlah," bisikku seraya memapahnya di

lengan. "Coba lihat apa kau bisa naik."

June melepas selimutnya. Aku berlutut dan

membantunya naik ke bahuku. Dia terhuyung dan

napasnya berat, tapi dia berhasil menarik dirinya ke

permukaan. Aku menyusul sambil mengapit selimutnya

di salah satu lengan, lalu tubuhku tiba di atas dengan

satu dorongan.

Kami berada di gang sempit gelap yang tidak

berbeda dengan tempat kami datang, dan selama

sedetik aku berpikir entah bagaimana kami kembali ke

Republik lagi. Kalau iya, itu lucu sekali. Namun, sesaat

kemudian, aku tahu ini sama sekali bukan Republik.

Tanahnya datar dan diaspal rapi di bawah lapisan salju

yang rata, dan dinding bangunan sepenuhnya ditutupi

poster berwarna-warni cerah, dengan gambar anakanak tersenyum dan para tentara meringis. Di sudut

setiap poster ada simbol yang kukenali setelah

beberapa detik. Seekor burung semacam elang

berwarna emas. Dengan getar penuh semangat,

kusadari betapa miripnya simbol itu dengan gambar

~266~



burung yang terukir di kalung bandulku.

June memperhatikan poster itu juga. Tatapannya

lebar dan kabur karena demam, napasnya

menghasilkan uap panas samar. Di sekeliling kami

tampak barak militer, temboknya dari atas sampai

bawah tertutup poster-poster cerah yang sama. Lampulampu jalanan berderet di kedua sisi jalan dengan pola

yang rapi dan teratur. Pasti dari situlah terowongan dan

bungker di bawah tanah tadi mendapat pasokan listrik.

Angin dingin meniupkan lebih banyak salju ke wajah

kami.

Mendadak, June mencengkeram tanganku. Dia

menahan napas bersamaan denganku. "Day di

sana." Dia gemetar tak terkendali, tapi aku tak tahu itu

efek udara dingin atau apa yang kami lihat.

Membentang di hadapan kami, mengintip di antara

celah bangunan-bangunan militer, ada sebuah kota:

gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan

berkilauan menjulang ke awan dan salju lembut, dan

setiap gedung diterangi cahaya biru indah yang tercurah

dari hampir setiap jendela di setiap lantai. Jet-jet

tempur berjajar di atap gedung pencakar langit itu.

Seluruh daratannya bersinar. Aku mempererat

genggaman tanganku di tangan June. Kami hanya

berdiri di sana, selama sedetik tak bisa melakukan apa

pun. Pemandangan itu tepat seperti yang digambarkan

ayahku.

Kami telah tiba di kota gemerlap Koloni Amerika.[]
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

~267~



Metias selalu bilang padaku, kapan pun aku sakit, aku

selalu mencapai kondisi terparah yang mungkin terjadi.

Aku tahu di sini dingin, tapi aku tak tahu berapa

suhunya. Aku tahu sekarang malam, tapi aku tak tahu jam

berapa. Aku tahu Day dan aku entah bagaimana telah

berhasil melintasi perbatasan dan sampai ke Koloni, tapi

aku terlalu lelah untuk mencari tahu negara bagian mana

yang kami capai. Sebelah lengan Day merangkul

pinggangku erat, menyangga tubuhku meskipun aku bisa

merasakan dia gemetar kelelahan karena berusaha

membimbingku sedemikian jauh. Dia membisikkan katakata penyemangat padaku, mendorongku untuk jalan terus.

Tinggal sebentar lagi, katanya. Pasti ada rumah sakit di dekat

medan perang. Kakiku gemetar karena terus berusaha

berdiri, tapi aku tak mau pingsan sekarang. Kami berjalan

dengan menimbulkan derak di salju ringan, tatapan kami

~268~



tertuju pada kota yang berkilauan di depan kami.

Tinggi gedung-gedungnya antara lima sampai ratusan

lantai, beberapa di antaranya menghilang di balik awan.

Pemandangan ini familier di satu sisi dan sepenuhnya baru

di sisi lain: Tembok-tembok berderet dengan bendera asing

yang berbentuk seperti kupu-kupu, warnanya biru gelap

dan emas; gedung-gedungnya memiliki desain gapura yang

diukir di sisi dindingnya; dan jet tempur berjajar di atap.

Model jet-jet itu benar-benar berbeda dengan yang di

Republik, dengan struktur sayap terbalik yang aneh yang

membuatnya tampak seperti trisula. Seluruh sayap jet itu

dilukisi burung emas liar, juga simbol lain yang tidak

kukenali. Tak heran aku selalu mendengar bahwa Koloni

punya pasukan udara yang lebih baik dari Republik?jet-jet

ini lebih baru dari yang pernah kugunakan dan, menilik

penempatan pesawat-pesawat itu di atap, pasti bisa

melakukan lepas landas serta pendaratan vertikal tanpa

cacat. Kota medan perang ini kelihatannya lebih dari siap

untuk mempertahankan diri.

Dan orang-orangnya. Ada di mana-mana, baik tentara

maupun warga sipil memenuhi jalan, berdesakan dengan

mengenakan mantel bertudung untuk melindungi diri dari

salju. Saat mereka lewat di bawah cahaya lampu neon,

wajah mereka bernuansa hijau, jingga, dan ungu. Aku

terlalu lelah untuk melakukan analisis yang tepat tentang

bagaimana hal itu bisa terjadi, tapi satu hal yang

kuperhatikan adalah seluruh pakaian mereka?sepatu bot,

celana, baju, mantel?memiliki berbagai variasi emblem

dan kata-kata. Aku terkejut dengan banyaknya iklan di

dinding bangunan?iklan-iklan itu membentang sejauh

mata bisa memandang, terkadang ditempel berdekatan

sangat rapat sampai sepenuhnya menenggelamkan dinding

di bawahnya. Tampaknya iklan-iklan itu mempromosikan

segalanya, semua hal yang ada di dunia?hal-hal yang

belum pernah kulihat atau kudengar sebelumnya. Sekolah

yang disponsori perusahaan? Natal?

Kami melewati sebuah jendela yang memajang

kumpulan layar mini, masing-masing menyiarkan berita

dan video.

!

DIJUAL

Begitu tulisan yang tertempel di jendela.

~269~



30% SAMPAI HARI SENIN! Beberapa saluran progam

siaran tampak familier?berita-berita dari medan perang,

DISKO N

, PERUSAHAAN DESCON CETAK KEMENANGAN

PERBATASAN DAKO TA/ MINNESO TA. DIJUAL PUINGPUING REPUBLIK

konferensi politik.

KO LO NI DI

LAGI

UNTUK

UNTUK

SUV ENIR! Layar lain menayangkan film, sesuatu yang hanya

ditampilkan Republik di bioskop sektor-sektor kaya.

Kebanyakan layar menampilkan iklan. Tidak seperti iklan

propaganda Republik, iklan-iklan ini berusaha membujuk

rakyat untuk membeli barang. Aku ingin tahu, pemerintah

macam apa yang menjalankan tempat seperti ini. Mungkin

mereka sama sekali tidak punya pemerintah.

"Ayahku pernah bilang, kota-kota Koloni seperti

bubuk berkilauan dari kejauhan," kata Day. Matanya

beralih dari satu iklan berwarna cerah ke iklan lain sembari

tetap menolongku berjalan di tengah orang yang lalulalang. "Ternyata tepat seperti yang dia gambarkan, tapi aku

tidak mengerti semua iklan ini. Tidakkah semuanya aneh?"

Aku mengangguk. Di Republik, iklan mengatur

tampilannya dengan gaya pemerintahan yang jelas dan

konsisten, yang selalu sama tak peduli di negara bagian

mana kau berada. Di sini, iklan tidak mengikuti teori warna

semacam itu. Warnanya campur aduk, paduan kerlapkerlip cahaya neon. Seolah-olah iklan-iklan itu tidak dibuat

oleh semacam pemerintah pusat, melainkan oleh beberapa

kelompok independen yang lebih kecil.

Salah satu iklan menampilkan video seorang anggota

polisi berseragam yang sedang tersenyum. Narasinya

mengatakan, "Departemen Kepolisian Tribune. Perlu

melaporkan kejahatan? Hanya butuh deposit uang Anda 500

Notes!" Di bawah anggota polisi itu ada kata-kata kecil

tercetak:

DEPARTEMEN KEPO LISIAN TRIBUNE ADALAH ANAK

Iklan lain bertuliskan

DISPO NSO RI

PERUSAHAAN

PEMERIKSAAN

?27 JANUARI.

O LEH CLO UD

~270~

DESCO N

*

LKP

.

NASIO NAL BERIKUTNYA

? PIL

BUTUH BANTUAN UNTUK LULUS



KEBAHAGIAAN YANG BARU DARI MEDITECH KINI TERSEDIA DI TO KO TO KO

!

Di bawah

tulisan tersebut, ada tanda kecil lain yang diikuti teks: LKP,

LEV EL KEBAHAGIAAN

PEGAW AI

.

Iklan ketiga benar-benar membuatku terkejut sampai

aku harus melihat dua kali untuk memastikan. Iklan itu

menampilkan video anak-anak yang berbaris, semuanya

berpakaian serupa, tersenyum dengan senyum terlebar yang

pernah kulihat. Saat sebuah teks muncul, bunyinya:

DAPATKAN ANAK ATAU

ADALAH ANAK

PEGAW AI

YANG

.

PERUSAHAAN EV ERGREEN

SEMPURNA

.

TO KO

WARALABA SW APSHOP

Dahiku berkerut, bingung. Mungkin beginilah Koloni

mengurus anak-anak yatim piatu atau semacamnya. Ya,

kan?

Sementara kami terus berjalan, kuperhatikan bahwa ada

satu gambar yang tidak berubah di sudut kanan bawah

setiap iklan. Itu adalah simbol sebuah lingkaran yang dibagi

empat, dengan satu simbol lebih kecil di masing-masing

kuadran. Di bawahnya terdapat tulisan berikut dalam

huruf-huruf balok:

Koloni Amerika

CLOUD . MEDITECH . DESCON .

EVERGREEN

Negara yang Bebas adalah Negara Perusahaan

Tiba-tiba kurasakan napas hangat Day di telingaku.

"June," bisiknya.

"Ada apa?"

"Seseorang mengikuti kita."

Itu detail lain yang seharusnya kuperhatikan sejak awal.

Aku tak tahu sudah berapa banyak hal yang gagal

kutangkap. "Kau bisa lihat wajahnya?"

"Tidak. Tapi, kalau dilihat dari sosoknya, dia

perempuan," sahutnya. Aku menunggu beberapa detik lagi

sampai punya kesempatan menoleh. Tak ada apa

pun,kecuali lautan orang-orang Koloni. Siapa pun itu tadi,

~271~



dia telah menghilang dalam keramaian.

"Mungkin kau salah," bisikku. "Paling-paling hanya

gadis Koloni."

Tatapan Day menyapu jalan, kebingungan. Lalu, dia

tidak mengungkitnya lagi. Aku takkan heran kalau kami

mulai merasa melihat beberapa hal, khususnya di tengah

seluruh keanehan cahaya berkilauan dan iklan neon yang

baru bagi kami.

Seseorang mendekati kami tepat ketika perhatian kami

sudah teralih kembali ke jalan. Tinggi wanita itu 174 cm,

pipinya berkedut, kulitnya merah muda kecokelatan dan

beberapa helai rambut hitam mengintip dari balik topi

musim dingin. Ada sebuah tablet datar di tangannya. Dia

memakai scarf di sekeliling leher (wol buatan, dilihat dari
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tekstur seragamnya), dan kristal es kecil menggantung di

bagian baju di bawah dagunya, tempat uap napasnya

membeku. Di lengannya terdapat jahitan kata-kata

Pengawas Jalan, tepat di atas simbol aneh lain.

"Kalian tidak muncul. Dari perusahaan mana?" dia

menggumam pada kami. Tatapannya tetap terpaku pada

tablet yang di layarnya ada gambar seperti peta dan

gelembung-gelembung bergerak. Setiap gelembung

kelihatannya dapat disamakan dengan satu orang di jalanan.

Pasti maksud dia tadi kami tidak muncul di sana.

Kemudian, kusadari bahwa ada banyak orang seperti dia

menjadi titik-titik di jalanan, semuanya mengenakan

mantel biru gelap yang sama.

"Dari perusahaan mana?" ulangnya tak sabar.

Day hampir menjawab saat aku menghentikannya.

"Meditech," kataku tanpa berpikir, mengingat keempat

nama dari iklan yang kami lihat.

Wanita itu berhenti sejenak untuk menatap kami dari

atas sampai bawah. Dia tampak tak suka pada pakaian kami

(kemeja kotor, celana panjang hitam, dan sepatu bot).

"Kalian pasti orang baru," tambahnya pada diri sendiri,

mengetik sesuatu di layar tabletnya. "Kalian jauh sekali dari

tempat seharusnya kalian berada, kalau begitu. Aku tak

tahu apakah kalian sudah menjalani masa orientasi, tapi

Meditech akan memotong gaji kalian kalau kalian

terlambat." Lalu,dia memberi kami senyum palsu dan

~272~



dengan ceria meluncurkan kata-kata aneh yang sudah

menjadi rutinitasnya. "Aku disponsori oleh Perusahaan

Cloud. Mampirlah ke Alun-alun Pusat Tribune untuk

membeli merek terbaru roti kami!" Mulutnya kembali

berubah menjadi garis cemberut seperti sebelumnya, dan

dia buru-buru pergi. Kulihat dia menyetop satu orang lagi

di kejauhan, lalu menampilkan pertunjukan yang sama.

"Ada yang aneh dengan kota ini," kataku pada Day saat

kami berjuang untuk terus berjalan.

Pegangan tangan Day padaku erat dan tegang. "Itulah

kenapa aku tidak tanya perempuan tadi di mana rumah

sakit terdekat," sahutnya. Gelombang rasa pusing kembali

menghantamku. "Bertahanlah. Kita akan mengatasi ini."

Kucoba merespons, tapi sekarang aku hampir tidak bisa

melihat ke mana aku pergi. Day mengatakan sesuatu

padaku, tapi aku tak mengerti sepatah kata pun?

kedengarannya dia seperti bicara di dalam air.

"Kau bilang apa?" Dunia kini berputar. Lututku

goyah.

"Kubilang, mungkin kita berhenti rumah sakit

."

Kurasakan diriku roboh. Lengan dan kakiku

mengelilingiku seperti bola pelindung, dan di suatu tempat

di atasku, mata biru indah Day menahanku. Dia

meletakkan tangan di bahuku, tapi dia terasa bagaikan

jutaan mil jauhnya. Kucoba bicara, tapi rasanya mulutku

penuh pasir. Aku tenggelam dalam kegelapan.

Kilatan emas dan kelabu. Ada tangan dingin seseorang

di dahiku. Kuulurkan tangan untuk menyentuhnya,tapi

segera saat jari-jariku menyapu kulitnya, tangan itu

menjauh. Aku tak bisa berhenti menggigil?di sini amat

sangat dingin.

Waktu aku akhirnya berhasil membuka mata, kudapati

diriku terbaring di ranjang putih sederhana dengan kepala

di pangkuan Day. Sebelah lengan Day melingkari

pinggangku. Sesaat kemudian, kusadari dia sedang menatap

orang lain?tiga orang lain?yang berdiri di ruangan ini

bersama kami. (Mereka mengenakan seragam yang berbeda

dengan tentara Koloni di medan perang: mantel luar tentara

berwarna biru gelap bertabur kancing emas dan epolet,

~273~



dengan strip emas dan putih di sepanjang pinggiran bawah

dan simbol khas elang emas dibordir pada setiap lengan.)

Aku menggelengkan kepala. Wajar saja kami ditangkap.

Saat ini aku sangat lamban.

"Lewat terowongan," kata Day. Cahaya di langit-langit

membutakanku. Sebelumnya aku tak memperhatikan

cahaya itu di sana.

"Sudah berapa lama kalian berada di Koloni?" salah

satu dari orang-orang itu bertanya. Aksennya terdengar

asing. Dia memiliki kumis berwarna pucat dan rambut

lemas berminyak. Cahaya membuat tekstur kulitnya

tampak sakit. "Sebaiknya kau jujur, Nak. DesCon tidak

menoleransi pembohong."

"Kami baru tiba di sini malam ini," sahut Day.

"Dan kalian dari mana? Apa kalian bekerja untuk

kelompok Patriot?"

Bahkan dalam kelinglunganku, aku tahu ini pertanyaan

berbahaya. Mereka takkan senang kalau tahu kamilah yang

menggagalkan rencana mereka untuk Elector. Mungkin

mereka bahkan belum tahu apa yang terjadi. Razor pernah

bilang, dia hanya mengabari Koloni sesekali.

Day juga sadar betapa pertanyaan itu berbahaya sebab

dia menghindarinya. "Kami datang ke sini sendirian." Dia

berhenti sejenak, lalu kudengar dia bicara dengan setitik

ketidaksabaran. "Tolonglah, gadis ini panas sekali. Bawa

kami ke rumah sakit, dan akan kuberi tahu apa pun yang

kalian inginkan. Aku tidak susah payah datang ke sini

hanya untuk melihat dia mati di kantor polisi."

"Di rumah sakit kau harus membayar, Nak," kata pria

itu.

Day menepuk salah satu kantong celanaku dan

mengeluarkan lembaran Notes kami yang sedikit. Kulihat

pistolnya kini tidak ada, mungkin diambil. "Kami punya

empat ribu Notes Republik?"

Para tentara itu menyelanya sambil tertawa mengejek.

"Nak, kau bahkan tidak bisa mendapat semangkuk sup

dengan empat ribu Notes Republik," kata salah satu dari

mereka. "Selain itu, kalian berdua harus menunggu di sini

sampai komandan kami datang. Kemudian, kalian akan

dikirim ke kamp tawanan perang kami untuk interogasi

~274~



standar."

Kamp tawanan perang. Untuk beberapa alasan, hal ini

memicu kenangan saat Metias membawaku serta dalam

misinya lebih dari setahun lalu, saat kami memburu

tawanan perang dari Koloni jauh ke pelosok Republik dan

membunuhnya di Yellowstone City. Aku ingat darah di

tanah, membasahi seragam biru gelap tentara itu. Sejenak,

kepanikan melandaku, dan kuulurkan tangan untuk

mencengkeram kemeja Day. Orang-orang lain di ruangan

itu berdengung khawatir. Kudengar beberapa bunyi klik

logam.

Lengan Day melingkar lebih erat di sekelilingku,

melindungi. "Tenang," bisiknya.

"Siapa nama gadis itu?"

Day kembali menatap orang-orang tersebut. "Sarah,"

dustanya. "Dia tidak berbahaya?dia cuma sakit parah."

Orang-orang itu mengatakan sesuatu yang membuat

Day marah, tapi pandanganku kembali dipenuhi

warnawarna yang bergerak liar, dan aku tenggelam lagi

dalam keadaan setengah tidur karena demam. Kudengar

suarasuara keras, lalu suara ayunan berat pintu, kemudian

tak ada suara apa pun untuk waktu lama. Terkadang,

kupikir aku melihat Metias berdiri di sudut barak,

memandangiku. Kali lainnya dia berubah menjadi Thomas,

dan aku tak bisa memutuskan apakah aku harus merasa

marah atau sedih melihat sosoknya itu. Terkadang pula, aku

bisa mengenali tangan Day menggenggam tanganku. Dia

memberitahuku untuk tetap rileks bahwa segalanya akan

baik-baik saja. Pemandangan itu menghilang.

Setelah sekian lama, aku mulai mendengar

potonganpotongan samar percakapan lagi.

"?dari Republik?"

"Ya."

"Kau Day?"

"Betul."

Beberapa suara campur aduk, lalu ekspresi

ketidakpercayaan. "Tidak, aku mengenalinya," seseorang

terus berkata. "Aku mengenalinya, aku mengenalinya. Ini

memang dia."

Lebih banyak suara campur aduk. Lalu,kurasakan Day

~275~



berdiri, dan aku jatuh sendirian ke lapisan dingin ranjang di

bawahku. Mereka telah membawanya ke suatu tempat.

Mereka telah membawanya pergi.

Aku ingin berpegangan pada pikiran ini, tapi halusinasi

demamku mengambil alih dan aku kembali melayang ke

kegelapan.

Aku berada di apartemenku di sektor Ruby, kepalaku

yang terbaring di bantal basah karena keringat.Tubuhku

dibungkus selimut tipis dan bermandikan cahaya keemasan

matahari siang yang masuk lewat jendela kami. Ollie tidur

tak jauh dariku, cakarnya yang besar untuk ukuran anak

anjing bertumpu malas di ubin marmer yang dingin.

Kusadari hal ini tidak masuk akal, karena aku hampir enam

belas tahun dan Ollie seharusnya sembilan tahun. Aku pasti

bermimpi.

Handuk basah menyentuh dahiku?aku menengadah

untuk melihat Metias duduk di sampingku, dengan

hatihati menempatkan handuk itu sehingga airnya tidak

menetes ke mataku.

"Hei, Junebug," katanya sambil tersenyum.

"Tidakkah kau akan terlambat?" bisikku. Ada perasaan

jengkel di perutku karena Metias seharusnya tidak di sini.

Sepertinya dia terlambat untuk sesuatu.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi, kakakku hanya menggelengkan kepala,

menyebabkan segumpal rambut gelap jatuh melintangi

wajahnya. Matahari membuat matanya bercahaya dalam

kilatan emas. "Yah, aku tak bisa meninggalkanmu sendiri di

sini, kan?" Dia tertawa, dan suara itu memenuhiku dengan

begitu banyak kebahagiaan sampai kupikir aku bisa

meledak. "Hadapilah, kau terjebak bersamaku. Sekarang,

makan supmu. Aku tak peduli betapa kau pikir sup ini

sangat menjijikkan."

Aku meneguk supnya sedikit. Sumpah, aku hampir

bisa merasakannya. "Apa kau benar-benar akan tetap di sini

bersamaku?"

Metiasmembungkukdanmengecupdahiku."Selamanya,

Dik, sampai kau bosan dan capek melihatku."

Aku tersenyum. "Kau selalu merawatku. Kapan kau

punya waktu dengan Thomas?"

Metias bimbang sejenak mendengar kata-kataku,

~276~



kemudian tertawa kecil. "Aku tak bisa merahasiakan

sesuatu, ya, dengan adanya kau di sini?"

"Kau bisa memberitahuku tentang kalian berdua,

tahu." Kata-kata itu menyakitkan untuk kukatakan, tapi

aku sepenuhnya tak yakin mengapa. Aku merasa seperti

melupakan sesuatu yang penting. "Aku takkan bilang siapasiapa. Apa kau cuma khawatir Komandan Jameson akan

tahu, lalu memisahkanmu dan Thomas ke kelompok patroli

berbeda?"

Metias menunduk, bahunya merosot. "Aku tak pernah

benar-benar punya alasan untuk mengungkit itu."

"Kau mencintainya?"

Aku ingat aku sedang bermimpi, dan apa pun yang

Metias katakan hanyalah pikiranku sendiri yang

diproyeksikan ke gambaran dirinya. Tetap saja, aku merasa

sakit saat dia menatapku dan menjawab dengan anggukan

singkat.

"Kurasa ya," sahutnya. Aku hampir tak bisa

mendengarnya.

"Aku minta maaf," bisikku. Dia menatapku dengan

berlinang air mata.

Aku berusaha mengulurkan tangan dan melingkarkan

lenganku di lehernya. Tapi, pemandangan itu bergeser,

cahaya memudar, dan tiba-tiba aku berbaring di kamar

remang-remang berdinding kapur, di atas ranjang yang

bukan tempat tidurku. Metias menghilang dalam gumpalan

asap. Yang merawatku menggantikan tempatnya adalah

Day. Wajahnya dibingkai rambut sewarna cahaya,

tangannya membetulkan posisi handuk di dahiku, matanya

menatap mataku lekat-lekat.

"Hei, Sarah," katanya. Dia menggunakan nama palsu

yang diberikannya untukku. "Jangan khawatir, kau aman."

Aku

mengerjap

pada perubahan

mendadak

pemandangan di depanku. "Aman?"

"Polisi Koloni membawa kita. Mereka mengantar kita

ke rumah sakit kecil setelah mereka tahu siapa aku. Kutebak

mereka semua sudah mendengar tentangku di sini, dan hal

itu menguntungkan kita." Day memberiku cengiran malu.

Tapi,kali ini aku kecewa melihat Day, sangat sedih dan

pahit harus kehilangan Metias lagi di kedangkalan mimpiku

~277~



sampai aku harus menggigit bibir untuk mencegah diriku

menangis. Lenganku terasa sangat lemah. Bagaimanapun,

aku tidak bisa melingkarkannya ke sekeliling leher kakakku,

dan karena aku tak bisa, aku tidak mampu menahan Metias

supaya tidak menghilang.

Cengiran Day lenyap?dia merasakan kesedihanku.

Dia mengulurkan tangan dan menyentuh pipiku.

Wajahnya sangat dekat, bersinar dalam cahaya sore yang

lembut. Kuangkat tubuhku dengan sedikit kekuatan yang

kupunya dan kubiarkan dia menarikku mendekat.

"Oh, Day," bisikku di rambutnya, suaraku pecah

karena isak tangis yang selama ini kutahan. "Aku betulbetul merindukannya. Aku kangen sekali padanya. Dan aku

minta maaf, aku minta maaf untuk segalanya." Terusmenerus kuulangi kata-kata itu, kata-kata yang kukatakan

pada Metias di mimpiku dan kata-kata yang akan

kukatakan pada Day sepanjang sisa hidupku.

Day mempererat pelukannya. Tangannya membelai

rambutku, dan dia mengayun-ayunkan tubuhku perlahan

seolah-olah aku anak kecil. Aku sangat bergantung padanya,

tak bisa bernapas, tenggelam dalam demam, kesedihan dan

kehampaan.

Metias kembali pergi. Dia selalu pergi.[]

~278~



BUTUH SETENGAH JAM BAGI JUNE untuk akhirnya

kembali jatuh tertidur, pengaruh obat apalah yang

perawat Koloni suntikkan ke lengannya. Dia menangisi

kakaknya lagi. Rasanya seperti dia telah jatuh ke

lubang dan pertahanannya runtuh, luka hatinya terbuka

sehingga semua orang bisa melihatnya. Mata gelapnya

yang selalu tampak kuat?sekarang, ekspresi di mata

itu hanya hancur. Dahiku berkerut. Tentu saja aku

tahu betul bagaimana rasanya kehilangan seorang

kakak. Kuperhatikan mata June bergerak-gerak gelisah

di balik kelopak yang tertutup, kemungkinan sedang

mendapat mimpi buruk lain. Aku tak bisa membantunya

keluar dari situ, jadi aku hanya melakukan apa yang

selalu dia lakukan untukku?kuratakan rambutnya, lalu

kucium dahinya yang basah, juga pipi dan bibirnya.

Kelihatannya itu tidak berguna, tapi aku tetap

~279~



melakukannya saja.

Rumah sakit ini agak sepi, tetapi beberapa bunyibunyian membentuk lapisan suara-suara gaduh di

kepalaku: Desir samar yang datang dari lampu di langitlangit, juga semacam keributan kabur di jalanan di luar.

Seperti di Republik, sebuah layar yang dipasang di

dinding menayangkan aliran siaran berita dari medan

perang. Tidak seperti Republik, berita-berita itu

dibumbui iklan yang sama dengan poster-poster di

jalanan luar, mempromosikan hal-hal yang tidak

kupahami. Setelah beberapa saat, aku berhenti

menonton. Aku terus memikirkan cara ibuku

menenteramkan Eden saat dia pertama kali terjangkit

wabah, bagaimana beliau membisikkan kata-kata

menenangkan sambil menyentuh wajah Eden dengan

tangan malangnya yang diperban. Juga, bagaimana John

akan datang ke sisi tempat tidur dengan membawa

semangkuk sup.

Aku minta maaf untuk segalanya, kata June.

Beberapa menit kemudian, seorang serdadu

membuka pintu kamar opname kami dan berjalan ke

arahku. Itu serdadu yang sama dengan yang menyadari

siapa aku dan mengirim kami ke rumah sakit berlantai

dua puluh ini. Wanita itu berhenti di depanku dan

membungkuk singkat, seolah aku ini pejabat atau

apalah. Yang mengejutkan adalah fakta bahwa dia satusatunya tentara yang berada di kamar ini bersama

kami. Tak ada borgol, bahkan tak ada penjaga di pintu

kamar ini. Apa mereka tahu, kamilah yang

menggagalkan pembunuhan Elector? Kalau mereka

mensponsori Patriot, cepat atau lambat mereka harus

mencari tahu. Mungkin mereka sama sekali tak tahu

dulu kami bekerja untuk Patriot. Razor memang

terlambat menyertakan kami dalam rencananya.

"Kondisi temanmu stabil, saya kira?" Mata wanita

itu terarah pada June. Aku hanya mengangguk. Lebih

baik tak ada seorang pun di sini yang tahu bahwa June

adalah genius kesayangan Republik.

"Melihat kondisinya," serdadu itu menambahkan,

"dia harus tinggal di sini sampai dia cukup kuat berjalan

~280~



sendiri. Kau bisa tinggal bersamanya di sini, atau

Perusahaan DesCon akan senang memberi kamar

tambahan untukmu."

Perusahaan DesCon?istilah Koloni lain yang tidak

kumengerti. Namun, aku tidak berani mulai

menanyakan sumber kemurahan hati mereka. Kalau

aku cukup terkenal di sini sampai mendapat perlakuan

seorang bintang di rumah sakit, aku akan

memanfaatkannya sebaik mungkin.

"Trims," sahutku. "Tidak masalah, aku di sini saja."

"Kami akan membawakan kasur tambahan

untukmu," ujarnya, mengedik ke area kosong di kamar

ini. "Kami akan datang memeriksa kalian lagi besok

pagi."

Aku kembali mengawasi June. Saat kusadari

serdadu itu tidak pergi juga, aku mengangkat kepala,

menatapnya sambil mengangkat alis. Wajah serdadu

wanita itu memerah.

"Ada lagi yang bisa kulakukan untuk Anda?"

Dia tidak menghiraukan pertanyaanku dan

berusaha tampak santai. "Tidak. Aku hanya . Jadi, kau

Daniel Altan Wing, eh?" Dia menyebut namaku seolah

sedang mengetes. "Perusahaan Evergreen selalu

memuat cerita tentangmu di tabloid mereka. Sang

Pemberontak Republik, Si Siluman, Si Tak Terduga?

kemungkinan mereka memunculkan nama dan foto

baru untukmu setiap hari. Mereka bilang kau kabur dari

penjara Los Angeles tanpa bantuan siapa pun. Hei, apa

kau benar-benar berkencan dengan Lincoln?"

Gagasan itu sangat menggelikan sampai aku harus

tertawa. Aku tak tahu orang-orang Koloni mengikuti

gosip penyanyi yang ditunjuk pemerintah Republik untuk

menyebarkan propaganda.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidakkah Anda pikir Lincoln sedikit terlalu tua

untukku?"

Tawaku memecah ketegangan, dan serdadu itu ikut

tertawa bersamaku. "Yah, begitulah berita tentangmu

minggu ini. Minggu lalu Perusahaan Evergreen

melaporkan, kau berhasil mengelak dari seluruh peluru

regu penembak dan kabur dari eksekusimu." Serdadu

itu tertawa lagi, tapi aku tetap diam.

~281~



Tidak, aku tidak mengelak dari peluru mana pun.

Kubiarkan kakakku menerima peluru itu untukku.

Tawa si Serdadu lenyap dengan canggung saat dia

melihat ekspresiku. Dia berdeham. "Soal terowongan

tem-pat kalian berdua datang, kami sudah

menyegelnya. Itu terowongan ketiga yang kami segel

bulan ini. Dari waktu ke waktu ada imigran gelap seperti

kalian datang, tahu, dan orang-orang yang tinggal di

Tribune sudah sangat lelah berurusan dengan mereka.

Tak ada siapa pun yang suka warga sipil dari teritori

musuh tiba-tiba menetap di kampung halamannya.

Biasanya, pada akhirnya kami menendang mereka

kembali ke medan perang. Kalian beruntung." Serdadu

itu mendesah. "Dulu, semua daratan ini adalah Amerika

Serikat. Kau tahu itu, kan?"

Kalung bandul di sekeliling leherku mendadak

terasa berat. "Aku tahu."

"Kau tahu tentang banjir? Datang dengan cepat,

dan dalam kurun waktu kurang dari dua tahun,

menyapu setengah dataran rendah selatan. Itu tempattempat yang mungkin orang Republik sepertimu takkan

pernah dengar. Louisiana, lenyap. Florida, Georgia,

Alabama, Mississippi, Carolina Selatan dan Utara,

lenyap. Sangat cepat sampai kau akan bersumpah

negara-negara bagian itu dulunya tak pernah ada,

setidaknya kalau kau tidak bisa melihat beberapa

gedungnya yang masih mencuat jauh di tengah

samudra."

"Dan karena itulah kalian datang kemari?"

"Ada lebih banyak daratan di barat. Kau tahu dulu

berapa banyak pengungsi di sana? Kemudian, orangorang barat membangun dinding untuk mencegah orang

timur memadati negara-negara bagian mereka, dari

Dakota Utara dan Selatan melalui Texas." Serdadu itu

memukulkan tinju ke telapak tangan. "Jadi, kami harus

membuat terowongan untuk bisa masuk. Dulu ada

ribuan terowongan saat migrasi sedang mencapai

puncaknya. Lalu perang dimulai. Ketika Republik mulai

menggunakan terowongan itu untuk melancarkan

serangan mendadak pada kami, kami menyegel

~282~



semuanya. Perang itu berlangsung sangat lama sampai

kebanyakan orang, bahkan tak ingat bahwa

pertempuran tersebut awalnya demi memperebutkan

daratan. Namun, saat akhirnya banjir surut, berbagai

hal di sini mulai stabil. Dan kami menjadi Koloni

Amerika." Dia mengatakan ini dengan dada

membusung. "Perang ini takkan lama lagi?sekarang

kami sudah menang cukup lama."

Aku ingat, saat pertama kali tiba di Lamar, Kaede

memberitahuku bahwa Koloni menang perang. Aku

tidak begitu memikirkannya?bagaimanapun, apa

pentingnya asumsi seseorang? Itu kan cuma rumor. Tapi

sekarang, tentara ini mengatakannya seolah itulah

kebenarannya.

Kami berdua berhenti sejenak saat keributan di

luar gedung menjadi semakin keras. Kumiringkan

kepala. Memang ada kerumunan orang yang datang

dan pergi dari rumah sakit sejak kami tiba, tapi aku

tidak memikirkannya. Sekarang, kurasa aku mendengar

namaku disebut.

"Anda tahu apa yang terjadi di luar sana?" tanyaku.

"Bisakah kita pindahkan temanku ke kamar yang lebih

sepi?"

Serdadu itu melipat lengan. "Mau lihat sendiri

keributan yang menyambutmu?" Dia memberiku isyarat

untuk bangkit dan mengikutinya.

Teriakan-teriakan di luar telah mencapai tahap

menggelegar. Saat serdadu itu membuka pintu balkon

dan memimpinku keluar ke udara malam, aku disambut

embusan angin dingin dan sorak-sorai. Kilasan cahaya

membutakanku?selama sedetik yang bisa kulakukan

hanya berdiri di sana, menempel pada jeruji besi dan

membiarkan pemandangan tersebut. Sekarang, pasti

sudah sangat larut malam, tapi tentunya ada ratusan

orang di bawah jendela kami, lupa bahwa tanah yang

mereka pijak diselimuti salju. Seluruh mata mereka

tertuju padaku. Banyak dari mereka yang memegang

poster-poster buatan sendiri. Selamat datang di pihak

kami! Begitu tulisan di salah satu poster.

Sang Bayangan Hidup, tulis yang lain.

~283~



Jatuhkan Republik, bunyi poster ketiga. Ada lusinan

yang seperti itu. Day: Warga Kehormatan Koloni!

Selamat Datang di Tribune, Day! Rumah kami rumahmu

juga!

Mereka tahu siapa aku.

Sekarang, serdadu itu menunjuk padaku dan

tersenyum ke arah kerumunan. "Ini Day," serunya.

Sorak-sorai meledak lagi. Aku tetap membeku

seperti sebelumnya. Apa yang harus kau lakukan saat

sekelompok orang menyerukan namamu seolah

mereka sepenuhnya gila? Aku tak punya petunjuk sama

sekali. Jadi, aku mengangkat tangan dan melambai,

yang menyebabkan nada jeritan mereka meninggi.

"Kau selebriti di sini," kata serdadu itu padaku di

selasela keriuhan. Wanita itu tampak lebih tertarik pada

hal ini daripada aku. "Rupanya seorang pemberontak

Republik tidak bisa dengan mudah ditemui. Percayalah,

kau akan terpampang di seluruh tabloid besok pagi.

Perusahaan Evergreen ingin sekali mewawancaraimu."

Dia terus bicara, tapi aku tidak

lagi

memperhatikannya. Salah satu dari orang-orang yang

memegang poster telah mengalihkan perhatianku. Dia

seorang gadis dengan scarf di sekeliling mulutnya dan

tudung menutupi sebagian wajahnya.

Tapi aku tahu itu Kaede.

Kepalaku terasa pusing. Segera saja aku teringat

alarm

merah

yang

berkedip

di

bungker,

memperingatkan June dan aku bahwa ada seseorang

mendekati tempat persembunyian itu. Aku ingat orang

yang kupikir telah membuntuti kami di jalanan Koloni.

Apa itu Kaede? Apakah itu berarti anggota Patriot yang

lain juga ada di sini? Kaede memegang poster yang

hampir tenggelam di antara lautan poster-poster lain.

Tulisan di poster itu: Kau harus kembali. Sekarang.[]

~284~



Aku bermimpi lagi. Aku yakin itu mimpi sebab Metias ada

di sini, padahal aku tahu dia seharusnya sudah meninggal.

Kali ini aku sudah siap, dan aku dapat mengendalikan

emosiku.

Metias dan aku berjalan di jalanan Pierra. Di sekeliling

kami, tentara Republik berlarian di sekitar puing-puing dan

ledakan. Namun, bagi kami berdua, segalanya terasa lambat dan sunyi, seolah kami sedang menonton film dalam

gerakan yang sangat lambat. Hujan debu dan pecahan

peluru granat berpencaran tanpa membahayakan kami. Aku

merasa tak terkalahkan, atau tak terlihat. Salah satu dari itu,

mungkin keduanya.

"Ada sesuatu yang aneh di sini," kataku pada kakakku.

Tatapanku beralih ke atap, lalu kembali ke jalanan yang

kacau. Mana Anden?

Metias mengerutkan kening ke arahku, berpikir. Dia

berjalan dengan tangan di belakang punggung, elegan

~285~



sebagaimana seorang kapten seharusnya. Rumbai emas di

seragamnya berdenting pelan saat dia melangkah.

"Aku tahu pemandangan ini mengganggumu,"

sahutnya, seraya menggaruk bulu-bulu halus di dagunya.

Tidak seperti Thomas, dia selalu agak longgar terhadap

peraturan ketat militer. "Katakan padaku."

"Pemandangan ini," kataku, menunjuk ke sekeliling

kami. "Seluruh rencana ini. Ada yang salah."

Metias melangkahi setumpuk puing sungguhan. "Apa

yang salah?"

"Dia." Aku menunjuk ke atap. Untuk alasan tertentu,

Razor berdiri di sana, siapa pun bisa melihatnya dengan

jelas. Dia menonton segala yang terjadi dengan lengan

terlipat. "Sesuatu yang salah tentang dia."

"Yah, Junebug, coba jabarkan alasannya," kata Metias.

Aku menghitung dengan jari-jariku. "Waktu aku

masuk ke jip di belakang Elector, instruksi untuk sopir

sudah jelas. Elector memberi tahu mereka untuk

membawaku ke rumah sakit."

"Lalu?"

"Lalu, Razor memerintahkan para sopir untuk

mengambil

rute pembunuhan.

Dia sepenuhnya
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengabaikan perintah Elector. Dia pasti memberi tahu

Anden bahwa aku yang bersikeras untuk tetap mengambil

rute pembunuhan. Itu satu-satunya cara agar Anden

menerimanya."

Metias mengangkat bahu. "Apa artinya itu? Si Razor

itu ingin tetap memaksakan pembunuhan?"

"Tidak. Kalau terjadi pembunuhan, semua orang akan

tahu siapa yang mengabaikan perintah Elector. Semua

orang akan tahu Razor-lah yang menyuruh jip-jip itu

untuk terus." Aku mencengkeram lengan Metias. "Republik

akan tahu, Razor berusaha membunuh Anden."

Bibir Metias membentuk satu garis tegas. "Kenapa

Razor menempatkan diri dalam bahaya yang sudah jelas

seperti itu? Apa lagi yang aneh?"

Aku kembali berpaling ke kekacauan bertempo lambat

di jalan. "Yah, sejak awal pun, dia bisa dengan mudah

membawa anggota Patriot ke markas resminya di Vegas.

~286~



Dia menaikkan dan menurunkan anggota Patriotnya ke

zeppelin seolah itu bukan apa-apa. Rasanya seperti dia

punya kemampuan manusia super untuk bersembunyi."

"Mungkin dia memang punya," kata Metias.

"Bagaimanapun, Koloni mensponsorinya, kan?"

"Itu benar." Aku mengusap rambutku frustrasi. Dalam

keadaan bermimpi ini, jemariku terasa kebas dan aku tak

bisa merasakan helaian rambut di kulitku. "Itu tidak masuk

akal. Seharusnya mereka membatalkan pembunuhan itu.

Seharusnya Razor tidak meneruskan rencananya sama sekali,

tidak setelah aku mengacaukannya. Mereka bisa kembali ke

markas, memikirkan ulang berbagai hal, lalu mencoba

serangan lain. Mungkin dalam satu atau dua bulan. Kenapa

Razor membahayakan jabatannya kalau pembunuhan itu

terancam gagal?"

Metias memperhatikan saat seorang tentara Republik

berlari melewati kami. Tentara itu menengadahkan kepala

menatap Razor yang berdiri di atap, lalu memberi hormat.

"Kalau Koloni ada di belakang Patriot," kata kakakku,

"dan mereka tahu siapa Day, bukankah seharusnya kalian

berdua dibawa untuk dihadapkan langsung pada siapa pun

yang berwenang?"

Aku mengangkat bahu. Kuingat lagi saat-saat yang

kuhabiskan bersama Anden. Hukum-hukum barunya yang

radikal, caranya yang baru dalam berpikir. Kemudian, aku

teringat ketegangan di antara dia dengan Kongres serta para

Senator.

Dan saat itulah mimpinya berakhir. Mataku membuka

cepat. Aku tahu kenapa Razor sangat menggangguku.

Koloni tidak mensponsori Razor?faktanya, Koloni

sama sekali tak tahu-menahu apa yang Patriot lakukan.

Itulah kenapa Razor meneruskan rencananya?tentu saja

dia tidak takut Republik tahu dirinya bekerja untuk Patriot.

Republik telah mengupah Razor untuk membunuh

Anden.[]

~287~



SETELAH

SERDADU ITU DAN AKU MENINGGALKAN

balkon beserta kerumunan orang di luar kamar opname

kami, aku memastikan para penjaga berdiri di luar pintu

kamar ("Untuk jaga-jaga kalau ada penggemar yang

menerobos masuk," kata serdadu yang bersamaku tadi

sebelum dia pergi), kemudian kuminta selimut

tambahan dan obat untuk June. Aku tak mau bangun

dan melihat Kaede masih berdiri di bawah balkon.

Berangsur-angsur, teriakan di luar mulai mereda.

Akhirnya, segalanya menjadi hening. Sekarang, kami

benar-benar sendirian, kecuali para penjaga yang berdiri

di luar.

Aku sudah menyiapkan semua yang kami perlukan

untuk kabur, tapi aku tetap berdiri tak bergerak di sisi

tempat tidur June. Tak ada satu pun di sini yang bisa

~288~



kujadikan senjata, jadi kalau kami benar-benar harus

lari malam ini, yang bisa kami harapkan hanyalah

menghindari perkelahian dengan siapa pun. Tak ada

yang menyadari kepergian kami sampai pagi menjelang.

Aku bangkit dan berjalan ke balkon. Salju di

halaman bawah sana sepenuhnya terinjak-injak dan

warnanya gelap karena kotoran dari sepatu-sepatu bot.

Kaede tidak ada di sana lagi, tentu saja. Sesaat, aku

tenggelam memperhatikan pemandangan daratan

Koloni, sekali lagi kebingungan karena isyarat Kaede

tadi.

Kenapa Kaede menyuruhku kembali ke Republik?

Dia

sedang

mencoba

menjebakku

atau

memperingatkanku? Di sisi lain?kalau dia ingin

menyakiti kami, kenapa dia memukul Baxter dan

membiarkan kami pergi waktu di Pierra? Dia bahkan

memaksa kami kabur sebelum anggota Patriot lain

menangkap kami. Aku beralih pada June, yang masih

tertidur. Napasnya sekarang lebih stabil, dan rona di

pipinya sudah memudar dibanding beberapa jam lalu.

Tetap saja, aku tidak berani mengganggunya.

Beberapa menit berlalu. Aku menunggu untuk

melihat kalau-kalau Kaede akan datang lagi. Setelah

segalanya terjadi dengan cepat dan memusingkan, aku

tidak terbiasa terjebak di sini seperti ini. Mendadak ada

banyak sekali waktu kosong.

Terdengar suara gedebuk mengenai pintu balkon.

Aku terlonjak. Mungkin sebuah ranting jatuh dari pohon,

atau sirap merosot dari atap. Sekarang aku menunggu,

waspada. Sesaat, tak ada yang terjadi. Kemudian,

terdengar bunyi gedebuk lain mengenai kaca.

Aku bangkit dari tempat tidur June, berjalan ke

pintu balkon, lalu dengan hati-hati mengintip dari kaca.

Tak ada siapa pun. Tatapanku berpindah ke lantai

balkon. Di sana, jelas sekali, ada dua batu kecil?di

salah satunya terikat secarik kertas.

Kubuka kunci pintu balkon, kugeser sedikit, lalu

kuambil kertas itu dari batu. Setelah itu, kukunci

pintunya lagi dan kubuka kertasnya. Kata-kata yang

tertera di situ berantakan, jelas ditulis terburu-buru.

~289~



Keluarlah. Aku sendirian. Darurat. Aku

datang untuk menolong. Kita harus

bicara. ?K

Darurat. Kuremas kertas itu di tanganku. Apa yang dia

pikir darurat? Bukankah saat ini semuanya darurat? Dia

memang telah menolong kami kabur?tapi itu tidak

berarti aku siap memercayainya.

Belum semenit berlalu saat batu ketiga mengenai

pintu. Kali ini, pesannya berbunyi:

Kalau kau tidak bicara denganku

sekarang, kau akan menyesal. ?K

Ancaman itu membuatku emosi. Kaede memang

punya kuasa untuk melaporkan kami karena kami telah

mengacaukan rencana Patriot. Aku tetap berdiri di

tempatku berada, membaca ulang kertas di tangan.

Mungkin cuma beberapa menit, kataku pada diri

sendiri. Begitu saja. Cukup lama untuk tahu apa yang

Kaede inginkan. Setelah itu, aku langsung masuk lagi.

Aku meraih mantel, menghela napas panjang, dan

melangkah kembali ke pintu balkon. Tanpa suara,

jarijariku membuka gerendel. Angin dingin menerpa

wajahku saat aku menyelinap keluar ke balkon,

berjongkok rendah, mengunci pintu balkon dan

mendorongnya menutup. Kalau ada orang hendak

masuk untuk menyakiti June, mereka akan banyak

membuat keributan untuk menyiagakan para penjaga di

luar. Aku melompat ke sisi balkon, berputar, dan

mencengkeram birai. Kemudian, aku turun sampai aku

setengah bergelantungan di antara lantai satu dan dua.

Lalu, kulepaskan peganganku.

Sepatu botku mendarat di lapisan salju dengan

bunyi derak pelan. Kutatap birai lantai dua untuk

terakhir kalinya sambil mengingat-ingat letak gedung

~290~



rumah sakit ini di jalan, lalu memasukkan rambutku ke

dalam mantel dan merapatkan diri di dinding.

Jam segini jalanan lengang dan hening. Semenit

lamanya aku menunggu di sisi gedung sebelum

melangkah keluar. Datanglah, Kaede. Embusan

napasku bagai letusan uap pendek-pendek. Mataku

menjelajahi semua sudut dan celah di sekelilingku,

memeriksa tanda-tanda bahaya. Tapi aku sendirian.

Kau ingin aku menemuimu di luar sini? Yah, aku sudah

di sini.

"Bicaralah padaku," bisikku pelan sembari berjalan

di sepanjang sisi gedung. Mataku mencari-cari patroli

jalanan, tapi tidak ada siapa-siapa di luar sana.

Mendadak aku berhenti. Ada bayangan samar

berjongkok di salah satu gang dekat sini. Aku

menegang. "Keluarlah," bisikku, cukup keras untuk

orang itu mendengarku. "Aku tahu kau di sana."

Sosok Kaede mewujud dari kegelapan, lalu

melambai memintaku mendekat. "Ikut aku," dia balas

berbisik. "Cepat." Dia bergegas ke gang sempit yang

tersembunyi di balik deretan semak-semak bersalju.
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami menyusuri gang itu sampai tiba di jalan yang lebih

lebar. Kaede berbelok tajam ke situ. Aku segera

menyusul. Mataku mencari-cari di setiap sudut. Aku

mengukur semua titik tempat aku bisa memanjat cepat

ke lantai yang lebih tinggi untuk jaga-jaga seandainya

ada orang berusaha menangkapku tiba-tiba. Seluruh

bulu kudukku berdiri kaku karena tegang.

Perlahan-lahan Kaede memperlambat langkah

sampai kami berjalan sejajar. Dia mengenakan celana

dan sepatu bot yang sama dengan yang dia pakai saat

percobaan pembunuhan, tapi dia telah menukar jaket

tentaranya dengan mantel wol dan scarf. Belang hitam

sudah disapu bersih dari wajahnya.

"Baiklah, cepat saja bicaranya," kataku padanya.

"Aku tak ingin meninggalkan June terlalu lama. Apa yang

kau lakukan di sini?"

Kupastikan tetap menjaga jarak aman di antara

kami, berjaga-jaga seandainya dia memutuskan untuk

menyerangku dengan pisau atau apalah. Kelihatannya

~291~



kami sendirian, kuakui kebenaran kata-katanya di

kertas tadi, tapi aku tetap pastikan kami berada di

jalan utama sehingga aku bisa pergi kalau perlu.

Beberapa buruh Koloni berjalan cepat melewati kami,

berkilauan tertimpa cahaya dari iklan-iklan di gedung.

Ada kilat kecemasan mendekati panik di mata Kaede,

ekspresi yang sepenuhnya asing di wajahnya.

"Aku tidak bisa memanjat ke kamarmu," katanya.

Scarf di sekitar mulutnya meredam kata-katanya, dan

dengan tak sabar dia menurunkannya. "Para penjaga

sialan itu akan mendengarku. Itulah kenapa kau yang

Buronan, bukan aku. Sumpah, aku ke sini bukan untuk

menyakiti June-mu yang berharga. Kalaupun dia cuma

sendirian di atas sana, dia akan baik-baik saja."

"Apa kau mengikuti kami di terowongan?"

Kaede mengangguk. "Aku berhasil menyingkirkan

cukup puing untuk menyusup masuk."

"Di mana yang lain?"

Dia merapatkan sarung tangan, meniupkan udara

hangat ke tangannya dan menggumamkan gerutuan

sebal akan kondisi cuaca. "Mereka tidak di sini. Cuma

aku. Aku harus memperingatkanmu."

Perutku mulai terasa sakit. "Tentang apa? Tess?"

Kaede menghentikan apa yang sedang dia lakukan

untuk

menyodok

tulang

rusukku

keras.

"Pembunuhannya gagal." Dia mengangkat kedua

tangannya sebelum aku bisa menyela. "Ya, ya, aku tahu

kau sudah menyadari itu. Banyak anggota Patriot

ditangkap. Beberapa di antara mereka juga berhasil

kabur?setidaknya, Tess juga. Dia lari bersama

beberapa Pilot dan Buronan. Pascao dan Baxter juga."

Aku mengutuk diri. Tess. Kurasakan dorongan

mendadak untuk mengejarnya, untuk memastikan dia

selamat? kemudian aku teringat kata-kata terakhirnya

padaku.

Suara

Kaedemenjadilebih

pelan

saatkami

melanjutkan berjalan. "Aku tak tahu di mana mereka

sekarang. Tapi, ini yang kau tidak tahu. Aku bahkan

tidak tahu, sampai kau dan June menghentikan

~292~



pembunuhan itu. Jordan?si Gadis Buronan, kau ingat,

kan??membongkar semua informasi ini dari sebuah

perangkat komputer dan menyerahkannya ke salah

satu Hacker." Dia menghela napas panjang, berhenti,

dan menunduk menatap tanah. Kekuatan yang biasa

ada

dalam

suaranya

lenyap.

"Day,

Razor

mempermainkan kita semua. Dia membohongi Patriot,

lalu menyerahkan mereka pada Republik."

Aku berhenti berjalan. "Apa?"

"Razor memberi tahu kami bahwa Koloni mengupah

kami untuk membunuh Elector dan memulai revolusi,"

kata Kaede. "Tapi itu tidak benar. Baru terungkap pada

hari pembunuhan bahwa Senat Republik-lah yang

mensponsori Patriot." Dia menggelengkan kepala. "Kau

percaya itu? Republik mengupah Patriot untuk

membunuh Anden."

Aku terdiam. Terperangah. Kata-kata June

bergaung di pikiranku, bagaimana dia memberitahuku

bahwa Kongres tidak menyukai Elector baru mereka,

bagaimana dia pikir Razor berbohong. Hal-hal yang

Razor katakan pada kita tidak masuk akal, katanya.

"Membahayakan kita semua?kecuali Razor," kata

Kaede saat aku tidak merespons. Kami mulai berjalan

lagi. "Para Senator ingin Anden mati. Mereka pikir

mereka bisa menggunakan kita dan melimpahkan

kesalahan pada kita juga."

Darah dalam tubuhku mengalir sangat cepat

sampai aku hampir tidak bisa mendengar diriku bicara.

"Kenapa Razor menjual Patriot seperti itu? Bukankah

dia sudah bertahun-tahun bersama mereka? Dan

kupikir Kongres berusaha tidak menyebabkan revolusi."

Bahu Kaede merosot. Dia mengembuskan napas

beruap. "Beberapa tahun lalu dia ketahuan bekerja

untuk Patriot. Jadi, dia membuat kesepakatan dengan

Kongres: Dia akan memimpin Patriot membunuh Anden,

si Pemuda Revolusioner yang meledak-ledak, dan

Kongres akan melupakan pengkhianatannya. Pada

akhirnya, Razor akan menjadi Elector baru?dan dengan

kau serta June bekerja untuknya, dia akan sukses

~293~



menjadi semacam pahlawan rakyat atau sesuatu

seperti itu. Publik akan mengira kelompok Patriot

mengambil alih pemerintahan, padahal sebenarnya itu

semua kembali ke Republik lagi. Razor tidak ingin

Amerika Serikat didirikan kembali?dia cuma ingin

mempertahankan kedudukannya. Dan, dia akan

bergabung ke pihak mana pun yang paling tepat untuk

mencapai itu."

Aku memejamkan mata. Duniaku berputar.

Bukankah June sudah memperingatkanku tentang

Razor? Ternyata selama ini aku telah bekerja untuk

Senator Republik. Merekalah yang ingin Anden mati.

Tidak heran Koloni tampak tak tahu-menahu apa yang

Patriot lakukan.

Kubuka mataku lagi. "Tapi mereka gagal," kataku.

"Anden masih hidup."

"Anden masih hidup," ulang Kaede. "Syukurlah."

Seharusnya dari awal aku memercayai June.

Kemarahanku pada sang Elector muda bergetar dan

goyah, melemah. Apa ini berarti dia betul-betul

membebaskan Eden? Apa adikku bebas dan aman?

Aku menatap Kaede lekat. "Kau datang jauh-jauh ke

sini untuk memberitahuku itu?" bisikku.

"Yup. Tahu kenapa?" Dia mencondongkan tubuh

mendekat, sampai hidungnya hampir menyentuh

hidungku. "Anden hampir kehilangan kendali atas

negara. Rakyat sudah sedekat ini untuk memberontak

melawannya." Dia mengangkat dua jari yang

berdekatan. "Kalau dia jatuh, kita akan mendapat

banyak kesulitan untuk menghentikan Razor mengambil

alih Republik. Sekarang ini, Anden sedang berjuang

untuk mengendalikan militer, sementara Razor dan

Komandan Jameson berusaha menjauhkannya dari itu.

Pemerintah hampir terbagi dua."

"Tunggu?Komandan Jameson?" tanyaku.

"Ada rekaman transkrip obrolan antara dia dan

Razor di perangkat komputer itu. Ingat waktu kita tidak

sengaja bertemu dengannya di PR Dynasty?" sahut

Kaede. "Razor membuatnya terdengar seperti dirinya

tak tahu-menahu Komandan Jameson akan ada di situ.

~294~



Tapi, kupikir wanita itu sepenuhnya mengenalimu. Dia

pasti ingin melihatmu dengan mata kepalanya sendiri

agar dia tahu kau betulbetul bagian dari rencana

Razor." Kaede menyeringai. "Harusnya aku mencium

sesuatu yang salah tentang Razor. Aku juga salah

tentang Anden."

"Kenapa kau peduli terhadap apa yang terjadi pada

Republik?" kataku. Angin menerbangkan butiran salju

dari jalanan, menggemakan intonasi dingin dalam katakataku. "Dan kenapa sekarang?"

"Aku bergabung karena uang?kuakui itu." Kaede

menggelengkan kepala, mulutnya membentuk satu

garis tegas. "Tapi pertama-tama?aku tidak dibayar,

karena rencana itu tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Kedua, aku tidak menandatangani kontrak

untuk menghancurkan negara, untuk menyerahkan

semua warga sipil Republik kembali ke Elector sialan

lain." Lalu, kata-katanya menghilang sejenak, dan

matanya berkabut. "Entahlah . Mungkin aku berharap

kelompok Patriot bisa memberiku tujuan yang lebih

berharga daripada menghasilkan uang. Menyatukan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali kedua negara yang terpecah ini. Itu bakal

bagus."

Angin dingin menyengat wajahku. Kaede tak perlu

memberitahuku kenapa dia jauh-jauh datang ke sini

untuk menemuiku. Setelah mendengar kata-katanya,

aku tahu kenapa. Aku ingat apa yang Tess katakan

padaku di Lamar. Semua orang melihatmu, Day.

Mereka menunggu langkahmu berikutnya. Mungkin

sekarang ini aku satu-satunya orang yang bisa

menyelamatkan Anden. Aku satu-satunya orang yang

akan didengarkan rakyat Republik.

Kami terdiam dan tenggelam lebih jauh dalam

kegelapan saat sepasang polisi Koloni berjalan tergesa

melewati kami. Salju beterbangan di bawah sepatu bot

mereka. Aku memperhatikan sampai mereka

menghilang di gang terakhir tempat kami datang. Mau

ke mana mereka?

Saat Kaede hanya melanjutkan berjalan dengan

scarf menutupi mulutnya lagi, aku bertanya,

~295~



"Bagaimana dengan Koloni?"

"Bagaimana dengan mereka?" bisiknya di balik

kain.

"Bagaimana dengan membiarkan Republik jatuh

dan Koloni mengambil alih? Bagaimana dengan gagasan

itu?"

"Gagasan itu tidak pernah tentang membiarkan

Koloni menang. Kelompok Patriot ingin mendirikan ulang

Amerika Serikat. Bagaimanapun caranya." Kaede

berhenti sejenak, lalu memberi isyarat agar kami

berbelok ke jalan berbeda. Kami berjalan dua blok lagi

sebelum dia berhenti di depan sederetan bangunanbangunan besar yang sudah bobrok.

"Apa ini?" tanyaku pada Kaede, tapi dia tidak

meres-pons. Aku kembali menatap bangunan yang

berada tepat di depanku. Tingginya sekitar tiga puluhan

lantai, tapi membentang tak terputus sejauh beberapa

blok. Setiap beberapa belas meter, ada pintu masuk

kecil gelap di lantai bawah kompleks tersebut. Air

menetes-netes dari sisi bangunan?dari jendela dan

balkon rusak?mengukir banyak garis jelek karena

jamur di dinding. Rangka bangunan ini membentang di

jalanan dari tempat kami berdiri. Dari langit, pasti

bangunan ini terlihat seperti balok semen berongga,

warnanya hitam dan berukuran raksasa.

Aku ternganga melihatnya. Setelah menyaksikan

cahaya di gedung-gedung pencakar langit Koloni,

mengejutkan saat tahu bangunan semacam ini ada di

sini. Aku telah melihat kompleks-kompleks terbengkalai

di Republik, yang tampak lebih bagus dari ini. Jendela

dan koridornya sangat rapat dan berdekatan sampai

tak mungkin ada cahaya masuk ke bawahnya. Aku

mengintip ke dalam salah satu pintu masuk berwarna

hitam.

Tak ada apa-apa, hanya kegelapan. Suara tetesan

air dan langkah kaki samar bergema di dalam. Kadangkadang, aku melihat kerlip cahaya melintas, seolah-olah

seseorang di dalam sana lewat membawa lentera. Aku

memandang ke lantai yang lebih tinggi. Kebanyakan

jendelanya rusak dan pecah, atau tidak ada kacanya.

~296~



Ada selotip plastik melintangi beberapa di antaranya.

Pot-pot tua di balkon menampung tetesan air, dan di

beberapa tempat ada deretan pakaian compangcamping yang dijemur di birai.

Pasti ada orang yang tinggal di sini. Tapi, pikiran itu

membuatku gemetar. Sekali aku menoleh ke gedunggedung pencakar langit yang berkilauan di blok tepat di

belakang kami, kemudian kembali menatap rangka

bangunan semen rusak ini.

Keributan di ujung jalan mengalihkan perhatian

kami. Aku berpaling dari kompleks tersebut. Satu blok

dari sini, seorang wanita setengah baya yang

mengenakan mantel lusuh dan sepatu bot laki-laki

memohon-mohon kepada dua orang pria yang

mengenakan pakaian plastik tebal. Keduanya memakai

goggle berkaca jernih yang menutupi wajah, serta topi

besar bertepi lebar di kepala.

"Perhatikan," bisik Kaede. Kemudian, dia

menyeretku ke dalam salah satu pintu masuk gelap di

antara dua pintu di lantai bawah kompleks. Kami

menjengukkan kepala sedikit sehingga kami bisa

mendengar apa yang terjadi. Meskipun mereka sangat

jauh, suara wanita itu terdengar jelas dalam udara

dingin yang sunyi ini.

"?hanya melewatkan sekali pembayaran tahun ini,"

kata wanita itu. "Saya bisa langsung pergi ke bank

besok pagi dan memberi Anda uang Notes sebanyak

yang saya punya?"

Salah satu pria itu menyela. "Ini kebijakan DesCon,

Nyonya. Kami tidak bisa menginvestigasi kejahatan

untuk klien yang telah menunggak pembayaran pada

polisi lokalnya."

Wanita itu berurai air mata, meremas tangannya

sangat keras sampai aku merasa dia akan menggosok

kulitnya sampai lepas. "Pasti ada sesuatu yang bisa

Anda lakukan," katanya. "Sesuatu yang bisa saya

berikan atau departemen kepolisian lain yang saya?"

Pria kedua menggeleng. "Semua departemen

kepolisian menerapkan kebijakan DesCon. Siapa yang

mempekerjakan Anda?"

~297~



"Perusahaan Cloud," kata wanita itu penuh harap,

seakan informasi tersebut mungkin bisa membujuk

mereka menolongnya.

"Perusahaan Cloud melarang para pekerjanya

keluar selewat jam sebelas malam." Dia mengangguk

ke arah kompleks. "Kalau Anda tidak pulang,

Perusahaan DesCon akan melaporkan Anda ke Cloud

dan Anda mungkin akan kehilangan pekerjaan."

"Tapi, mereka mencuri semua yang saya punya!"

Wanita itu terisak keras. "Pintu rumah saya sepenuhnya

?sepenuhnya didobrak?semua makanan dan pakaian

saya hilang. Orang yang melakukannya tinggal selantai

dengan saya?kalau Anda bersedia ikut saya, Anda bisa

menangkap mereka?saya tahu mereka tinggal di

apartemen yang mana?"

Kedua pria itu sudah mulai berjalan pergi. Wanita

tersebut berlari-lari di belakang mereka, memohon

bantuan meskipun mereka tetap mengabaikannya.

"Tapi rumah saya?kalau Anda tidak melakukan

sesuatu?bagaimana saya akan?" dia terus bicara.

Kedua pria itu mengulangi peringatan mereka untuk

melaporkan wanita itu.

Setelah mereka pergi, aku menoleh pada Kaede.

"Apa itu tadi?"

"Bukankah sudah jelas?" balasnya sinis sembari

kami melangkah keluar dari kegelapan bangunan itu

dan kembali ke jalan.

Kami tidak bersuara. Akhirnya, Kaede berkata,

"Kelas buruh di sini diperlakukan tidak adil di manamana, kan? Intinya adalah: Koloni memang lebih baik

dari Republik dalam beberapa hal. Tapi, percaya atau

tidak, sebaliknya juga benar. Tidak ada utopia bodoh

seperti yang kau khayalkan, Day. Tidak ada. Dan, tak

ada gunanya aku memberitahumu sebelumnya. Itu

adalah sesuatu yang harus kau lihat sendiri."

Kami mulai berjalan kembali ke rumah sakit. Lagi,

dua tentara Koloni terburu-buru melewati kami, tak ada

di antara mereka yang mau repot-repot membawa kami

pergi. Jutaan pikiran berputar di kepalaku. Ayahku pasti

tidak pernah menginjakkan kaki ke Koloni?atau

~298~



kalaupun pernah, dia pasti hanya melihat sekilas

permukaannya, seperti yang June dan aku lakukan saat

kami pertama kali tiba. Tenggorokanku tersekat.

"Kau percaya Anden?" kataku setelah beberapa

saat. "Apa dia pantas diselamatkan? Apa Republik

pantas diselamatkan?"

Kaede berbelok beberapa kali lagi. Akhirnya, dia

berhenti di depan sebuah toko dengan layar-layar mini

di jendelanya, masing-masing menayangkan program

siaran Koloni yang berbeda-beda. Kaede memimpin

kami ke jalan kecil di samping toko itu, di mana

kegelapan malam menelan kami. Dia berhenti untuk

mengedik ke arah layar yang sedang menyiarkan

tayangan di dalam toko. Aku ingat melewati toko

seperti ini saat aku dan June berjalan ke kota.

"Koloni selalu menampilkan kilasan-kilasan berita

dari gelombang udara Republik," ujarnya. "Mereka

punya seluruh salurannya. Potongan berita yang ini

sudah diulangi terus sejak pembunuhan itu gagal."

Tatapanku berkelana ke berita utama di layar.

Mulamula aku hanya menatap kosong, tenggelam

dalam pikiranku yang campur aduk tentang Patriot, tapi

sesaat kemudian kusadari bahwa siaran itu bukan

tentang pertempuran di medan perang atau beritaberita Koloni, melainkan ten-tang Elector Republik.

Secara naluriah, gelombang ketidaksukaan mengalir

dalam diriku saat melihat Anden di layar. Aku berusaha

keras mendengar siaran beritanya, bertanya-tanya akan

seberbeda apa Koloni menginterpretasikan peristiwa

yang sama.

Sebaris tulisan muncul di bawah rekaman pidato

Anden. Aku membacanya tak percaya.

ELECTOR

BEBASKAN

ADIK

PEMBERONTAK
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

TERKENAL "DAY"; BESOK AKAN DIUMUMKAN KE PUBLIK

SECARA RESMI DARI MENARA GEDUNG PARLEMEN.

"Mulai hari ini," kata Elector di video rekaman,

"secara resmi Eden Bataar Wing dibebaskan dari tugas

militer dan, sebagai tanda terima kasih untuk

kontribusinya, diperkenankan untuk tidak mengikuti

Ujian. Semua anak lain yang dibawa ke medan perang

~299~



juga telah dikembalikan ke keluarga masing-masing."

Aku harus menggosok mata, lalu membaca tulisan

itu lagi.

Tulisan itu masih di sana. Elector telah

membebaskan Eden.

Mendadak aku tidak bisa merasakan udara dingin

lagi. Aku tidak bisa merasakan apa pun. Kakiku terasa

lemah. Napasku seirama dengan degup jantungku yang

bertalu-talu. Ini pasti tidak benar. Elector mungkin

mengumumkan ini ke publik sehingga dia bisa

membujukku kembali ke Republik untuk menolongnya.

Dia berusaha mengelabuiku dan membuat dirinya

terlihat baik. Mustahil dia membebaskan Eden?dan

semua anak lain, termasuk anak yang kulihat di kereta

?atas kemauannya sendiri. Tidak mungkin.

Tidak mungkin? Bahkan, setelah semua yang June

katakan padaku, bahkan setelah apa yang barusan

Kaede bilang? Bahkan, sekarang pun aku tetap tidak

memercayai Anden. Apa yang salah denganku?

Kemudian, saat aku melanjutkan menonton,

rekaman pidato Elector sempat menampilkan sebuah

video yang menayangkan Eden dikawal keluar dari

sebuah gedung pengadilan, tidak diborgol dan

mengenakan pakaian yang biasanya hanya dimiliki anak

keluarga elite.

Rambut pirang keritingnya disikat rapi. Dia menatap

sekeliling dengan mata buta, tapi dia tersenyum.

Kutekankan tangan ke salju lebih dalam, berusaha

menenangkan diri. Eden tampak sehat, diurus dengan

baik. Kapan video itu direkam?

Siaran Anden akhirnya berakhir, dan sekarang

video tersebut menayangkan rekaman percobaan

pembunuhan yang gagal, diikuti putaran berita

pertempuran di medan perang. Tulisan di bawahnya

sangat berbeda dari apa yang pernah kulihat di

Republik.

PERCOBAAN PEMBUNUHAN YANG GAGAL ATAS ELECTOR

PRIMO BARU, TANDA-TANDA TERAKHIR PEMBE RONTAK REPUBLIK

~300~



Tulisan itu disertai sebaris tulisan lain yang lebih

kecil di sudut layar, berbunyi: TAYANGAN INI DISIARKAN UNTUK ANDA

O LEH PERUSAHAAN EV ERGREEN. Simbol lingkaran yang kini familier

berada di sampingnya.

"Ubah pandanganmu tentang Anden," bisik Kaede.

Dia berhenti untuk mengusap kepingan salju dari bulu

matanya.

Aku salah. Keyakinan akan hal itu bercokol di

perutku seperti beban yang tak nyaman, sebersit rasa

bersalah karena sebegitu kasarnya menyanggah katakata June waktu dia berusaha menjelaskan semuanya

padaku di bungker bawah tanah. Hal-hal mengerikan

yang kukatakan padanya. Aku memikirkan iklan-iklan

aneh dan meresahkan yang kulihat di sini, kekecewaan

yang kurasakan setelah tahu Koloni bukanlah sumber

inspirasi gemilang seperti yang ayahku bayangkan.

Mimpi Ayah tentang gedung-gedung pencakar langit

yang berkilauan dan kehidupan yang lebih baik cuma

begitu saja.

Aku ingat mimpiku tentang apa yang akan

kulakukan setelah semua ini selesai . Lari ke Koloni

bersama June, Tess dan Eden . Memulai hidup baru,

meninggalkan Republik. Mungkin aku telah berusaha

kabur ke tempat yang salah dan lari dari hal-hal yang

salah. Kuingat-ingat seluruh waktu yang kuhabiskan

untuk melawan para tentara. Kebencian yang

kurasakan pada Anden dan semua orang yang tumbuh

sebagai orang kaya. Kemudian, kubayangkan sektor

kumuh tempatku tumbuh. Aku memandang rendah

Republik, ya kan? Aku ingin melihatnya tumbang, kan?

Tapi, baru sekaranglah aku membedakan?aku

memandang rendah hukum Republik, tapi aku cinta

Republik itu sendiri. Aku cinta rakyatnya. Aku tidak

melakukan ini untuk Elector; aku melakukan ini untuk

mereka.

"Pengeras suara di Menara Gedung Parlemen

masih terhubung ke JumboTrons?" tanyaku pada

Kaede.

"Sejauh yang kutahu, ya," sahutnya. "Dengan

semua keributan dalam 48 jam belakangan, tak ada

~301~



yang memperhatikankabelnyatelahdimodifikasi."

Tatapanku tertuju ke atap, tempat deretan jet

tempur diparkir. "Apa kemampuan terbangmu sebaik

yang kau bilang?" tanyaku.

Kaede mengangkat bahu dan menyeringai. "Malah

lebih baik."

Perlahan, sebuah rencana terbentuk di pikiranku.

Sepasang tentara Koloni lain berlari melewati kami.

Kali ini, rasa gelisah menjalari leherku. Para tentara

barusan, seperti yang terakhir tadi, juga berbelok ke

gang tempat kami datang. Kupastikan tidak ada lagi

tentara yang datang, lalu berlari cepat menembus

kegelapan jalan. Tidak, tidak. Tidak sekarang.

Kaede mengekor rapat di belakangku. "Ada apa?"

bisiknya. "Kau sepucat badai salju."

Aku

meninggalkan

June

sendirian

tanpa

pertahanan di tempat yang tadinya kupikir akan

menjadi tempat perlindungan yang aman untuk kami.

Aku meninggalkannya di sarang serigala. Dan, jika saat

ini terjadi sesuatu padanya gara-gara aku .

Aku langsung berlari. "Kurasa para tentara itu

menuju rumah sakit," kataku. "Untuk menangkap

June."[]

~302~



Aku tersentak bangun dari mimpiku, mengangkat kepala,

dan pandanganku menyapu ruangan. Ilusi Metias lenyap.

Aku berada di kamar rumah sakit, dan Day tidak terlihat di

mana pun. Saat ini tengah malam. Bukankah tadi kami juga

di sini? Aku punya ingatan samar-samar akan Day di sisi

tempat tidurku, dan Day melangkah keluar ke balkon

untuk menyapa kerumunan yang bersorak-sorai. Sekarang,

dia tidak di sini. Ke mana dia?

Butuh sedetik lagi bagiku, sambil masih merasa pusing,

untuk menemukan apa yang membuatku terbangun. Aku

tidak sendirian di kamar ini. Ada lusinan tentara Koloni di

sini. Seorang serdadu wanita tinggi berambut merah

panjang mengangkat senapannya dan mengacungkannya

padaku.

"Jadi ini orangnya?" dia bertanya, tetap menahanku di

bawah ancaman senapannya.

Seorang serdadu pria yang lebih tua mengangguk.

~303~



"Yup. Kami tak tahu Day menyembunyikan seorang tentara

Republik. Gadis ini tak lain tak bukan adalah June Iparis,

genius paling terkenal di Republik. Perusahaan DesCon

akan senang. Tawanan ini akan mendatangkan banyak

uang." Dia tersenyum dingin padaku. "Sekarang, Sayang.

Beri tahu kami ke mana Day pergi."Enam belas menit telah

berlalu. Para tentara itu sudah mengamankan tanganku di

belakang

punggung

dengan

satu

set

borgol

temporer.Mulutku disumbat.Tiga di antara mereka berdiri

di dekat pintu kamar yang terbuka,sementara yang lainnya

menjaga balkon. Aku mengerang. Meskipun demamku

sudah hilang dan tulang sendiku tidak sakit, kepalaku masih

terasa pusing. (Ke mana Day pergi?)

Salah satu dari para tentara itu bicara ke earpiece. "Ya,"

ujarnya. Jeda sejenak, lalu, "Kami akan memindahkannya ke

sel. DesCon akan memperoleh banyak informasi bagus dari

yang satu ini. Kami juga akan mengirim Day untuk

ditanyai setelah kami menangkapnya."

Serdadu lain menahan pintu terbuka dengan sepatu

botnya. Aku sadar mereka menunggu tempat tidur dorong

tiba, jadi mereka bisa membawaku pergi. Itu berarti

kemungkinan aku punya kurang dari dua atau tiga menit

untuk mengeluarkan diri dari situasi ini.

Aku menggertakkan gigi di balik sumbat, menahan rasa

mualku dan menelan ludah. Pikiran dan memoriku campur

aduk. Aku mengerjap, bertanya-tanya apakah aku sedang

berhalusinasi. Kelompok Patriot disponsori Republik.

Kenapa aku tidak melihatnya dari dulu? Sangat jelas, tepat

sejak awal?perabotan dengan hiasan rumit di apartemen

itu, bagaimana Razor dengan mudahnya bisa

menyelundupkan kami dari satu tempat ke tempat lain

tanpa tertangkap.

Kini, aku memperhatikan tentara yang melanjutkan
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicara ke earpiece-nya. Bagaimana aku memperingatkan Day

sekarang? Dia pasti pergi lewat pintu balkon. Saat dia

datang, aku sudah akan pergi dan mereka akan tetap di sini,

siap menanyainya. Mungkin mereka bahkan berpikir kami

mata-mata Republik. Berulang-ulang, kusapukan satu jari

di cincin penjepit kertasku.

Cincin penjepit kertas.

~304~



Jariku berhenti bergerak. Kemudian, perlahan-lahan

aku melepaskannya dari jari manisku di belakang punggung

dan berusaha menguraikan spiral kawat logamnya. Seorang

serdadu menatapku sekilas, tapi aku memejamkan mata dan

mengeluarkan erangan pelan dari balik sumbat mulutku.

Serdadu itu kembali ke percakapannya.

Kubiarkan jemariku menelusuri cincin spiral itu dan

menariknya lurus-lurus. Penjepit kertas tersebut dulu

dibengkokkan enam kali. Kuuraikan dua yang pertama, lalu

kuluruskan sisa penjepit kertas itudankubengkokkan

menjadi apa yang kuharapkan sebagai bentuk huruf Z.

Gerakan itu membuat kedua lenganku kram menyakitkan.

Mendadak, salah satu serdadu di balkon berhenti

bicara untuk memeriksa jalanan di bawah. Selama beberapa

saat dia tetap seperti itu, matanya mencari-cari. Kalau dia

mendengar Day, Day pasti sudah pergi lagi. Dengan

cermat, serdadu tersebut meneliti atap, lalu kehilangan

minat dan kembali ke sikap berdirinya semula. Jauh dari

koridor rumah sakit, aku mendengar orang-orang bicara dan

?tak salah lagi?suara roda di lantai ubin. Mereka sedang

membawa tempat tidur dorong itu.

Aku harus cepat. Kumasukkan satu, lalu dua penjepit

kertas ke dalam lubang kunci borgolku. Lenganku sakit

sekali, tapi aku tak punya waktu mengistirahatkannya.

Dengan hati-hati, kudorong salah satu kawat mengelilingi

lubang kunci. Kurasakan kawat itu mengorek bagian dalam

lubang kunci sampai akhirnya menyentuh pasak. Kuputar

penjepit kertas itu, menyingkirkan pasaknya.

"DesCon sedang dalam perjalanan kemari bersama

beberapa pasukan tambahan," bisik salah seorang tentara.

Saat dia mengatakannya, kugerakkan penjepit kertas kedua.

Kudengar pasak di dalam kunci berbunyi klik pelan yang

hampir tidak terdengar.

Dua tentara dan seorang perawat menyorongkan tempat tidur dorong ke kamarku, berhenti sebentar di pintu,

lalu mendorongnya ke arahku. Kunci borgolku terbuka?

kurasakan borgol itu lepas dari tanganku dengan bunyi

gerincing pelan. Seorang serdadu menatapku dengan mata

biru susunya dan mengerutkan bibirnya yang tebal. Dia

menyadari perubahan samar ekspresiku, juga mendengar

~305~



bunyi klik tadi. Tatapannya menyapu lenganku.

Kalau aku hendak lari, sekaranglah satu-satunya

kesempatan.

Mendadak aku berguling ke tepi tempat tidur dan

melompat. Borgolku jatuh kembali ke tempat tidur dan

kakiku menyentuh lantai. Rasa pusing menyerangku seperti

dinding air, tapi aku berhasil menghalaunya. Tentara yang

senapannya terarah padaku meneriakkan peringatan, tapi

dia terlalu lambat. Kutendang tempat tidur dorong sekeras

yang kubisa. Benda itu roboh, menjatuhkan seorang

serdadu bersamanya. Satu tentara lain mencengkeramku,

tapi aku merunduk dan berhasil lepas dari genggamannya.

Pandanganku fokus ke balkon.

Namun, di sana masih ada tiga tentara berdiri menjaga.

Mereka bergegas memburuku. Kuhindari dua dari mereka,

tapi yang ketiga menangkap bahuku dan melingkarkan

sebelah lengan di leherku. Dia melemparku ke lantai,

membuatku terengah. Dengan panik, aku berusaha

membebaskan diri.

"Tetap di situ!" seseorang berteriak, sementara seorang

yang lain berusaha memasangkan set borgol baru di

pergelangan tanganku. Dia meraung saat aku berputar dan

menggigit lengannya dalam-dalam.

Ini tidak bagus. Aku tertangkap, aku terperangkap.

Mendadak, kaca pintu balkon pecah berkeping-keping.

Para tentara menoleh, kebingungan. Segalanya berputar. Di

tengah-tengah teriakan dan langkah kaki, kulihat dua sosok

manusia menerobos masuk ke kamar dari balkon. Salah

satunya gadis yang kukenali. Kaede? Pikirku tak percaya.

Yang satunya lagi adalah Day.

Kaede menendang leher salah satu tentara, sementara

Day meluncur cepat ke serdadu yang memegangiku dan

menjatuhkannya ke lantai. Sebelum siapa pun dapat

bereaksi, Day sudah bangkit lagi. Dia mencengkeram

tanganku dan menyentakku berdiri. Kaede sudah siap di

birai balkon.

"Jangan tembak mereka!" kudengar seorang serdadu

berteriak di belakang kami. "Mereka aset berharga!"

Day bergegas membawaku ke balkon, lalu melompat ke

birai berteralis dalam satu loncatan. Dia dan Kaede

~306~



berusaha menarikku ke atas saat dua tentara lain berlari ke

arah kami.

Tapi, aku mulai jatuh berlutut. Ledakan energi

mendadakku tidak cocok dengan penyakitku yang tak mau

pergi?aku terlalu lemah. Day melompat turun lagi dari

birai dan berlutut di sampingku. Kaede berteriak penuh

semangat sambil menyelengkat salah satu tentara sampai

jatuh. "Sampai ketemu di sana!" serunya pada kami.

Kemudian, dia bergegas ke dalam kamar di tengah-tengah

semua kebingungan, melepaskan diri dari para tentara.

Kulihat dia menghindari cengkeraman mereka dan

menghilang ke koridor.

Day meraih kedua lenganku, lalu mengalungkannya ke

lehernya. "Jangan lepaskan." Saat dia menegakkan tubuh,

kurapatkan kakiku di sekeliling tubuhnya dan

bergelantungan di punggungnya seerat yang kubisa. Dia

memanjat birai balkon, sepatu botnya berderak di atas

pecahan kaca. Lalu, dia melompat ke dinding tonjolan batu

yang menyelimuti lantai dua. Segera saja aku paham ke

mana kami pergi. Kami semua menuju atap, tempat jet-jet

tempur diparkir. Kaede lewat tangga, sementara kami

melalui rute yang lebih langsung.

Pelan-pelan kami tiba di birai lantai dua. Aku sangat

bergantung pada Day. Helaian rambutnya menyapu

wajahku saat dia membawa kami naik ke dinding tonjolan

batu lantai tiga. Kurasakan napasnya yang cepat, ototototnya keras di kulitku. Tinggal dua lantai lagi. Seorang

serdadu berusaha mengikuti kami, tapi kemudian

memutuskan tidak jadi dan bergegas kembali ke dalam

untuk lewat tangga.

Day berjuang menemukan pijakan saat dia membawa

kami naik satu lantai lagi. Para tentara mulai memenuhi

halaman rumput di bawah. Aku bisa lihat mereka

mengarahkan senapan pada kami. Day menggertakkan gigi

dan menurunkanku di birai.

"Kau duluan," bisiknya, lalu mendorongku.

Kucengkeram bagian atas birai sambil mengumpulkan

seluruh kekuatan, lalu kuangkat tubuhku. Ketika akhirnya

aku berhasil naik ke birai, aku berputar dan mencengkeram

tangan Day. Dia ikut melompat ke atap. Tatapanku beralih

~307~



ke satu garis merah gelap yang menodai tangannya. Pasti

dia terluka waktu memanjat.

Aku merasa sangat pusing. "Tanganmu," aku mulai

berkata, tapi dia hanya menggelengkan kepala ke arahku,

melingkarkan lengan di pinggangku, dan memimpin kami

ke jet tempur terdekat yang berderet di atap. Para tentara

mulai membanjiri pintu masuk atap?aku bisa melihat jelas

orang yang berlari paling cepat ke arah kami. Kaede.[]

~308~



KAEDE TIDAK MEMBUANG-BUANG WAKTU. Dia memberi

isyarat ke jet tempur yang paling dekat dengan kami

dan berlari secepat mungkin untuk memindahkan

tangga pesawat ke kokpit. Tembakan-tembakan

meletus. June bersandar kepayahan padaku. Aku bisa

merasakan

kekuatannya

memudar,

jadi

aku

menggendongnya dan mengangkatnya ke dekat

dadaku. Para tentara yang telah mencapai atap

bergerak lebih cepat saat mereka melihat apa yang

Kaede lakukan. Tapi, Kaede terlalu jauh di depan

mereka. Aku bergegas menuju tangga pesawat.

Mesin jet menderu hidup saat kami sampai ke anak

tangga pertama, dan tepat di bawah badan pesawat,

dua knalpot besar perlahan-lahan miring ke bawah

menghadap lantai. Kami bersiap langsung lepas landas

ke langit.

~309~



"Cepat!" pekik Kaede dari kokpit. Kemudian, dia

kembali merunduk sambil memuntahkan serangkaian

sumpah serapah, menghilang dari pandangan.

"Turunkan aku," kata June. Dia melompat berdiri,

terhuyung, lalu menegakkan tubuh dan menapaki dua

anak tangga pertama. Aku tetap di belakangnya,

tatapanku tertuju pada para tentara. Mereka hampir

sampai di sini. June berhasil mencapai puncak tangga

dan memanjat naik ke kokpit. Aku sudah setengah

jalan berlari di tangga ketika seorang serdadu
Prodigy Karya Marie Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencengkeram kain celanaku dan menarikku turun

lagi.

Ingat keseimbangan. Tetaplah terpaku pada

jantung kakimu. Pukul dia di tempat yang tepat.

Mendadak, pelajaran bertarung dari June melintas

cepat di kepalaku. Saat serdadu itu mengayunkan

tangan ke arahku, aku merunduk, berpindah ke

sampingnya, dan memukulnya sekeras yang kubisa

tepat di bawah tulang rusuk. Tinju ulu hati.

Dua tentara lain mencapaiku dan aku memperkuat

diri. Tapi kemudian, salah satu dari mereka menjerit,

jatuh ke bawah tangga dengan sebuah luka peluru di

bahunya. Aku menengadah ke kokpit. June memegang

pistol Kaede dan mengarahkannya pada kedua tentara

itu. Aku kembali menaiki anak tangga dan melompat ke

atas, di mana June sudah memasang sabuk pengaman

di kursi tengah tepat di belakang Kaede.

"Cepat masuk!" bentak Kaede. Mesin pesawat

kembali mengeluarkan raungan bernada tinggi. Di

belakangku, beberapa tentara sudah mulai menaiki

anak-anak tangga pertama.

Aku melompat ke teralis logam yang memagari

pinggiran tangga, mencengkeram sisi kokpit, dan

mendorongnya dengan seluruh kekuatanku. Tangga itu

bergoyang-goyang sejenak?kemudian mulai terguling.

Para tentara meneriakkan peringatan dan cepat-cepat

berlari menyingkir. Saat tangga itu mengenai lantai atap,

aku sudah berada di dalam jet dan memakai sabuk

pengaman di kursi terakhir. Kaede menutup pintu

kokpit. Kurasakan perutku melorot saat kami meluncur

~310~



lurus dari atap, terbang di atas gedunggedung. Dari

kaca kokpit, aku bisa melihat para pilot bergegas

menuju jet-jet lain di gedung-gedung sekitar, juga jet

kedua yang diparkir di atap rumah sakit.

"Sialan semua," maki Kaede dari kursi depan. "Aku

akan bunuh mereka?tembakan mereka kena

pinggangku." Kurasakan knalpot jet ini berubah arah.

"Bertahanlah. Ini akan jadi penerbangan yang liar."

Kami berhenti terbang ke atas. Bunyi mesin jet ini

menjadi raung menulikan. Kemudian, kami meluncur

lurus. Dunia berdesing cepat dan tekanan di kepalaku

mulai terbentuk saat Kaede mengemudikan jetnya kian

lama kian kencang. Dia mengeluarkan seruan penuh

semangat. Tak lama kemudian, aku mendengar suara

gemeresik di kokpit.

"Pilot,

kau

diperintahkan

untuk

segera

mendaratkan pesawatmu." Orang yang bicara itu

terdengar gugup. Pasti dari salah satu jet yang

mengikuti kami. "Kami akan menembak. Kuulangi,

segeralah mendarat, atau kami akan menembak."

"Cuma ada satu jet yang terbang mengejar kita.

Mari bereskan itu. Tarik napas dalam-dalam, Guys."

Kaede berbelok kasar, dan aku hampir pingsan garagara perubahan tekanan udara.

"Kau tidak apa-apa?" teriakku pada June. Dia

menjawab sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya

gara-gara suara raungan mesin.

Tiba-tiba Kaede menyentakkan sebuah tombol ke

belakang dan mendorong sebuah tuas sampai pol ke

depan. Kepalaku terbanting ke sisi kokpit. Kami

berputar 180 derajat penuh dalam kurang dari sedetik.

Kulihat sebuah jet terbang lurus ke arah kami dalam

kecepatan

mengerikan.

Secara

naluriah

aku

mengangkat tangan.

Bahkan June berseru, "Kaede, itu?"

Kaede menembak. Semburan cahaya terang

meluncur beruntun dari jet kami ke jet di depan. Mesin

jet menyentak kami maju dan naik. Terdengar suara

ledakan di belakang kami?pasti serangan kami

mengenai tank bahan bakar atau langsung mengarah

~311~



ke kokpit jet lain itu.

"Sekarang, mereka akan kesulitan membuntuti

kita," teriak Kaede. "Kita terlalu jauh di depan dan

mereka takkan mau menyeberangi medan perang. Aku

akan memacu si Manis ini sampai ke titik maksimalnya

?kita akan tiba di Republik dalam beberapa menit."

Aku tidak bertanya bagaimana dia berencana

melewati medan perang tanpa ditembak jatuh.

Saat aku melihat gedung-gedung menjulang Koloni

melalui kokpit, aku mengembuskan napas dan merosot

di kursiku. Cahaya gemerlapan, gedung-gedung

pencakar langit berkilauan, semua yang ayahku

gambarkan padaku selama beberapa malam pada

tahun ketika kami masih bisa melihat beliau.

Pemandangan itu sangat menawan dari kejauhan.

"Jadi," kata Kaede, "tidak sia-sia aku membakar

tank bahan bakar, kan? Day?tujuan kita masih

Denver?"

"Ya," sahutku.

"Apa rencananya?" June masih terdengar lemah,

tapi di balik itu ada niat membara, perasaan bahwa

kami akan melakukan sesuatu yang penting. Dia tahu

ada sesuatu yang berubah dalam diriku.

Anehnya, aku merasa tenang. "Kita akan ke

Menara Gedung Parlemen," jawabku. "Aku akan

umumkan dukunganku pada Anden ke rakyat

Republik."[]

~312~



Beberapa menit lagi sebelum masuk perbatasan Republik.

Itu berarti, pada kecepatan kami sekarang (tidak diragukan

lagi, lebih dari 1288 km/jam. Mendadak kami semua

merasakan perubahan tekanan udara saat kami sudah bisa

memecahkan hambatan suara,seolah diseret keluar dari


Pendekar Rajawali Sakti 78 Perawan Goosebumps 2000 24 Manusia Bumi Mesti Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng

Cari Blog Ini