Ceritasilat Novel Online

The Fall of Five 5

The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 5

kemudian tersadar itu tak ada gunanya. Kami ingin Ella dan

John bangun. Aku seharusnya justru menabuhi panci-panci.

~249~

"Yanglainberkumpuldiruangduduk."

Sarah berbalik dan menggeleng. "Aku akan tetap di

katanyapelan."Akutak maumeninggalkanmereka."

Aku mengangguk dan tak memaksanya, Setelah itu,

akumeninggalkankamardanberjalankeruangkerja,tempat

ayahku membungkuk di depan komputer sepanjang sisa

malam. Saat aku masuk, contoh-contoh bahasa bergulir di

monitor, tapi sepertinya isi dokumen Mogadorian itu masih

belumakanterkuak dalamwaktudekat.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Belum ada apa-apa," jawab Dad sambil berbalik

memandangku. Dia harus mengerjap beberapa kali, pupil

matanya melebar akibat memelototi monitor. "Aku sudah

menyalakan pengurai sandi otomatis supaya tidak perlu

duduk terusdi sini sambil memelototi perkembangannya. Ini

agak, yah kuno. Aku agak ketinggalan zaman dalam urusan

perangkat lunak, tapi kita pasti dapat menguak isinya.

Semogasajacukupcepat."

Aku memandang kertas-kertas Mogadorian yang

sudahdipindai. "Menurutmuini adakaitannyadenganmimpi

buruk itu?"

"Entahlah.Waktunyamemangpassekali."

"Benar." Aku melihat ponsel ayahku yang tergeletak

di meja, lalu mengetuknya."Sudah mencoba menghubungi

Adamlagi?"

Aku pikir ini tidak mungkin, tapi wajah ayahku

bertambahmuram."Ya.Belumadakemajuanjuga."

Aku menepuk bahunya."Ayo, yang lain sedang rapat

danmerekainginkitaikut."

Garde yang tersisa menunggu di ruang duduk

apartemen. Mereka sudah membahassituasi mimpi buruk ini

selamabeberapajam,tanpaadakemajuansamasekali.

"Ella pernah melakukan itu kepadaku," kata Marina

~250~

sambil berbisik. "Menyeretku ke dalam mimpinya.

Seharusnya aku memperingatkan John, memperingatkan

kalian semua. Tapi sebelum itu, aku pernah menyentuh Ella,

waktu mencoba membangunkannya, dan tidak terjadi apa
apa. Aku panik ...."

Nomor Delapan yang duduk di sofa di sampingnya

merangkul bahu Marina. Gadis itu menyandarkan kepalanya

ke Nomor Delapan yang berkata, "Tidak apa-apa. Kau tidak

tahu kejadiannya bakal begini."

Nomor Sembilan mondar-mandir di sepanjang

ruangan, yang sebenarnya merupakan kemajuan mengingat

tadi dia mondar-mandir di langit-langit. Dia mungkin akan

terus berjalan mengitari kandelir seandainya Nomor Enam

tidak menghardiknya karena mengganggu. Sekali ini, Nomor

Sembilan tidak repot-repot membalas dan hanya

melanjutkan mondar-mandirnya di tempat yang tidak aneh.

Dia mendongak memandangku penuh harap begitu aku

masuk.

"Bagaimana?" Nomor Sembilan bertanya.

Aku menggeleng. "Tidak ada perubahan. Keduanya

masih belum bangun."

Nomor Lima menepuk paha frustrasi. "Ini

mengesalkan. Aku merasa tak berguna karena cuma bisa

duduk-duduk di sini."

Alis Nomor Enam bertaut erat saat aku masuk tadi,

tapi dia mendongak saat Nomor Lima berbicara. Dia

mengangguk pelan sambil berpikir."Kita harus membahas

itu."

"Membahas apa?" tanya Marina.

"Tentang melanjutkan misi kita. Peti Loric Lima tak

akan muncul begitu saja."

Nomor Sembilan berhenti mondar-mandir dan

memikirkan kata-kata Nomor Enam. Marina tampak terkejut

~251~

mendengar gagasan untuk melaksanakan misi tersebut.

"Kau mau pergi sekarang?" tanya Marina. "Apa kau

sudah gila?"

"Nomor Enam benar," Nomor Lima menyela. "Tidak

ada gunanya kita duduk-duduk di sini."

"Teman-teman kita koma dan kalian mau

meninggalkan mereka?" Marina berdesis.

"Kau membuat ini terdengar dingin, tapi aku cuma

berusaha bersikap praktis," kata Nomor Enam. Ini mirip

yang dikatakannya kepadaku sewaktu di atap tadi bahwa dia

enggan menjalin hubungan karena sewaktu-waktu keadaan

bisa saja memburuk. Sepertinya sekaranglah saat buruk itu.

"Memang praktis, tapi bukan berarti benar," aku

bergumam. Aku tak bermaksud mengucapkannya keras
keras, tapi malam ini ada banyak kejadian dan ada banyak

yang kupikirkan.

Ekspresi terluka muncul sekilas di wajah Nomor

Enam, tapi hilang begitu dia mengalihkan pandang dariku.

Dia memandang Nomor Sembilan. "Bagaimana menurutmu?"

"Entahlah," jawabnya. "Aku tidak suka mengabaikan

John dan bocah itu."

"Kalau Nomor Sembilan saja tidak mau pergi, kau

pasti tahu ini bukan ide bagus," hardik Marina yang

terdengar putus asa."Bagaimana kalau mereka

membutuhkan kita, Enam?"

"Kita tidak mengabaikan mereka," jawab Nomor

Lima dengan tenang. "Setidaknya, kita tidak mengabaikan

mereka seperti sekarang, dengan duduk-duduk di sini sambil

berdiskusi tanpa guna. Para manusia akan menjaga mereka,

seperti yang mereka lakukan saat ini."

"Tentu saja," kata ayahku. "Kami akan melakukan

yang terbaik."

"Kita harus menyelidiki mengapa ini terjadi," kata

~252~

Marina. "Kalau bukan mengetahui apa penyebab mimpi

buruk itu, setidaknya mengetahui apa yang Ella lakukan

sehingga John pingsan."

"Kalian lihat tadi, saat menyentuh John, tangan Ella

bersinar?" aku bertanya. "Seperti Pusaka atau semacamnya."

"Pusaka macam apa yang menyebabkan itu?" tanya

Nomor Sembilan sambil menunjuk ke kamar.

"John pikir Ella menggunakan Pusaka baru saat

mengusir Setrakus Ra di New Mexico waktu itu," ujar Marina

sambil berpikir. "Kami tak sempat mengujinya."

"Atau mungkin telepati Ella menggila. Mungkin dia

masuk ke benak John, lalu lepas kendali," Nomor Delapan

menebak. "Pusaka Ella baru muncul. Siapa yang tahu apa

yang bisa dilakukannya?"

Aku teringat ketika kami masih di Paradise, saat John

harus bekerja keras untuk mengendalikan Lumennya pada

minggu-minggu pertama. Sepertinya telepati Ella merupakan

Pusaka yang lebih sulit lagi untuk dikuasai. Aku melihat

Nomor Lima mengangguk pelan, seolah teringat sesuatu.

"Waktu Externaku baru muncul, aku kesulitan

membuat kulitku kembali normal," kata Nomor Lima.

"Albert menggunakan benda prisma dari Petiku dan ternyata

benda itu membantu, entahlah membuatku rileks. Aku

berhasil membuat kulitku normal kembali."

Nomor Enam menunjuk Nomor Lima. "Itu dia. Alasan

lain pergi ke Everglades untuk mengambil benda apa pun

itu."

Nomor Sembilan mengangguk setuju. "Aku tak

percaya, tapi mungkin benda itu berguna, Lima."

Nomor Lima mengangkat tangan. "Eh, tunggu. Aku

tak tahu apakah prisma itu akan berfungsi pada Ella? Atau

bagaimana cara kerjanya?"

"Aku masih tetap merasa seharusnya kita tidak

~253~

meninggalkan mereka seperti ini," kata Marina.

"Sebenarnya, kupikir memisahkan kalian semua dari

John dan Ella adalah ide yang bagus," kata ayahku."Siapa

yang dapat menjamin ini tidak akan menular, apalagi kalau

memang ternyata ada kaitannya dengan telepati Ella? Kita

tidak ingin kalian semua tak sadarkan diri."

"Bagaimana cara kita melawannya?" Nomor

Sembilan bertanya pelan dengan alis berkerut, mungkin

kehabisan cara untuk menghajar mimpi buruk. "Maksudku,

kalau Setrakus Ra dapat menjerumuskan kita ke dalam

mimpi-koma, bagaimana cara kita melawannya?"

"Dia pernah mendatangi kita dalam mimpi," kata

Nomor Delapan. "Tapi kita bangun dengan mudah."

"Yang ini beda," Marina bersikukuh.

"Biasanya Johnny bangun," kata Nomor Sembilan.

"Itu artinya mimpi ini makin kuat."

"Atau mungkin perbedaannya adalah Ella," kata

Nomor Enam."Mungkin Setrakus Ra memusatkan

perhatiannya kepada Ella karena tahu itu akan membuat

kekuatan psikis Ella korslet."

Aku memandang Nomor Lima. "Menurutmu benda

prisma di Petimu dapat membantu?"

Dia hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. "Aku

tidak tahu apa tepatnya yang dilakukan benda itu, tapi

prisma itu membantuku. Pergi mengambilnya rasanya lebih

bermanfaat dibandingkan cuma duduk-duduk di sini."

Nomor Sembilan menepuk tangan. "Aku setuju

dengan Lima. Ayo, kita pergi."

Walau tadi menentang pergi ke Everglades, kali ini

Marina hanya diam. Nomor Enam mengulurkan tangan dan

memegang tangan Marina. "Kau oke dengan ini?" tanyanya.

Marina mengangguk pelan. "Kalau kalian yakin ini

cara terbaik untuk menolong mereka, aku ikut."

~254~

Aku turun ke garasi untuk mengantar para Garde

pergi. Sarah tidak mau beranjak dari sisi John dan ayahku

kembali mengecek alat penerjemah bahasa Mogadorian. Aku

memegang map berisi dokumen yang dibuat menggunakan

komputer Sandor atas permintaan John?SIM palsu untuk

masing-masing Garde, kertas berisi laporan karya wisata

sekolah palsu, jadwal penerbangan dari Chicago menuju

Orlando. Mereka seharusnya dapat bepergian tanpa

terdeteksi.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengeluarkan surat-surat milik John dari map

dan memasukkannya ke saku."Mungkin kalian tidak akan

membutuhkannya," kataku sambil menyerahkan sisanya

kepada Nomor Enam. Aku memegang map itu sedetik terlalu

lama sehingga Nomor Enam harus menariknya dari

tanganku.

"Maaf. Aku cuma gugup."

"Ini langkah yang benar, Sam. Kami akan baik-baik

saja."

Nomor Sembilan menepuk bahuku dan pergi untuk

memilih mobil yang akan dipakai ke bandara. Nomor Lima

mengikuti tanpa repot-repot mengucapkan selamat berpisah.

Namun, aku kaget saat Marina memelukku.

"Jaga mereka, ya?" pintanya.

"Tentu," jawabku sambil berusaha terdengar

meyakinkan. "Mereka akan baik-baik saja. Cepat pulang, ya."

Nomor Delapan mengangguk ke arahku, lalu

mengikuti Nomor Sembilan bersama Marina. Tinggal aku dan

Nomor Enam. Dia pura-pura memeriksa dokumen-dokumen

yang kuberikan, tapi aku tahu dia tetap di sini karena ada

yang ingin dikatakannya.

"Semuanya ada di dalam," kataku.

"Aku tahu. Cuma mengecek ulang," jawabnya sambil

~255~

mendongak memandangku."Paling lambat, besok malam

kami sudah kembali."

"Hati-hati," kataku.

"Trims," jawabnya sambil menyentuh lenganku.

Ada jeda canggung, kami sama-sama tidak tahu harus

apa. Seandainya kami punya waktu lima belas menit

berduaan di atap. Aku merasa seharusnya ada cukup banyak

tanda untuk mengetahui apa yang terjadi di antara kami.

Namun, sekarang kami hanya berdiri seperti pasangan yang

baru saja pulang dari kencan pertama yang aneh, tidak yakin

apa yang dipikirkan yang lain atau apakah ini saat yang tepat

untuk melakukan sesuatu. Yah, mungkin Nomor Enam tahu

apa yang kupikirkan, tapi tidak tahu harus bagaimana

menindaklanjutinya. Aku sendiri jelas tidak punya petunjuk

sedikit pun mengenai apa yang ada dalam pikirannya. Aku

merasa seharusnya mengucapkan atau melakukan sesuatu.

Namun waktu berlalu, tangannya melepaskan lenganku, dan

dia berbalik untuk bergabung dengan yang lain. Apa pun

yang ada di antara kami, itu harus menunggu.

Setelah semua pergi, apartemen Nomor Sembilan

terasa semakin besar. Aku berjalan menyusuri koridor sepi

dan kamar-kamar kosong, tidak tahu harus apa. Akhirnya,

aku kembali ke kamar Ella untuk mengecek, tepat pada saat

Sarah akan pergi. Sejak John tak sadarkan diri, baru kali ini

Sarah meninggalkannya.

"Ayahmu memaksaku makan," Sarah menjelaskan

dengan muram, tampak lelah akibat bergadang semalam

suntuk.

"Yah, dia selalu memastikan tidak ada yang mati

kelaparan," jawabku.

Sarah tersenyum lemah ke arahku dan aku

memegang punggungnya, lalu menuntunnya ke dapur. Dia

~256~

menyandarkan kepala di bahuku, sementara kami berjalan.

"Kami sering berdebat mengenai siapa di antara kami

yang akan tersakiti. Itu masalah yang paling sering membuat

kami bertengkar." Dia tertawa getir. "Lucunya, aku pikir,

akulah yang akan terluka, bukan John. Dia seharusnya tak

kenapa-kenapa."

"Waduh, Sarah, kau bersikap seakan-akan tubuh

John terbelah dua atau apa. Mungkin satu jam lagi John

bangun, kemudian marah-marah karena mereka pergi

menjalankan misi tanpa dirinya." Aku berusaha terdengar

optimis. Sarah mungkin terlalu lelah untuk menyadari

keraguan yang meliputi suaraku.

"Kalau tubuhnya terbelah dua, mereka mungkin

dapat menyembuhkannya," kata Sarah. "Tapi ini beda. Dari

mukanya saja, aku tahu dia kesakitan. John seperti disiksa di

depan kedua mataku, tapi aku tidak bisa apa-apa untuk

menolongnya."

Aku menuangkan segelas air untuknya, lalu

mengambil sisa makanan Cina dari kulkas tanpa repot-repot

memanaskannya. Kami makan tanpa bicara, mengambil nasi

goreng dingin dan daging iga tanpa tulang langsung dari

kotak. Aku mengulangi kata-kata John akan baik-baik saja

berulang-ulang di benakku, seperti mantra, sampai aku yakin

dapat mengucapkannya dengan mantap, bahkan meskipun

aku sendiri tidak yakin itu benar.

"John akan baik-baik saja," aku berkata dengan tegas

kepada Sarah.

Setelah Sarah kembali untuk mengawasi John dan

Ella, aku berusaha istirahat di ruang duduk. Sepertinya jika

kita baru melihat sahabat kita terisap ke dalam keadaan tidur

tanpa akhir, tidur sejenak jadi agak menggetarkan saraf.

Meski begitu, ternyata tubuhku lebih lelah daripada rasa

~257~

cemasku sehingga aku tertidur selama beberapa jam.

Begitu bangun, aku langsung mengecek John dan Ella.

Masih tidak ada perubahan.

Aku berjalan ke Aula Kuliah karena berpikir mungkin

lebih balk aku latihan. Mungkin kalau aku menggunakan

senjata api paling berisik yang ada di gudang senjata Nomor

Sembilan untuk latihan tembak, tidur John dan Ella akan

terganggu.

Aku mampir ke ruang kerja. Kosong. Ayahku

mungkin di kamarnya, beristirahat.

Tablet masih terhubung dengan komputer dan aku

dapat melihat lima titik biru sudah tiba di Florida, dan saat

ini sedang bergerak pelan melintasi ujung selatan. Bagus. Itu

artinya Nomor Enam dan yang lainnya tidak mengalami

gangguan saat menggunakan identitas palsu mereka di

bandara dan tidak ada pengintai Mogadorian yang menunggu

untuk menawan mereka. Sepertinya semua berjalan tepat

seperti yang John rencanakan. Andai saja dia bangun untuk

menyaksikannya.

Aku melihat sesuatu berkedip-kedip di ujung salah

satu monitor komputer. Program penerjemahan yang

digunakan ayahku, rupanya selama ini program itu bekerja

secara otomatis. Aku memperbesar Window-nya, lalu suatu

kotak muncul.

PENERJEMAHAN SELESAI. CETAK SEKARANG?

Aku menelan ludah, tidak yakin apakah aku berhak

menjadi yang pertama kali melihat hasil terjemahan

Mogadorian tersebut, tapi tetap menekan tombol YES.

Printer di bawah meja berdesis menyala dan memuntahkan

dokumen tersebut. Aku meraih halaman pertama, bahkan

sebelum halaman lainnya selesai dicetak.

~258~

Kata-katanya campur aduk dan berantakan, program

penerjemahan itu jelas tidak seratus persen akurat.

Meskipun ada kata-kata yang salah tempat, aku langsung

mengenali isinya. Aku pernah melihatnya.

Aku menahan napas, sementara jari-jariku

meremasnya begitu kuat sehingga kertas tersebut jadi kusut

dan bengkok. Kakiku terpaku di tempat. Rasa tidak percaya

dan rasa takut menyebabkan fungsi motorik yang saat ini

sangat kubutuhkan tidak bekerja.

Di tanganku, aku memegang salinan dari catatan

Warisan para Garde yang dibuat ayahku. Lalu, di bagian

akhirnya ada alamat John Hancock Center.

~259~

31

AKU MENERJANG KELUAR DARI RUANG KERJA,

menyebabkan pintu berdebam keras di belakangku. Telapak

tanganku berkeringat, seakan-akan dokumen yang kupegang

memancarkan panas. Benakku berpacu.

Apa yang akan Mogadorian lakukan dengan salinan

catatan ayahku? Bagaimana mereka mendapatkannya?

Aku teringat acara makan malam saat kami baru tiba

di sini, ketika ayahku mengungkapkan fakta mengenai

dirinya yang telah lama ditawan oleh Mogadorian. Aku

teringat sebagian Garde tampak curiga, terutama saat ayahku

bercerita mengenai apa yang Mogadorian lakukan terhadap

pikirannya. Nomor Sembilan bahkan mengungkapkannya

secara terang-terangan, mengatakan mungkin itu perangkap.

Namun itu tidak mungkin. Dia ayahku. Kami dapat

memercayainya.

Aku berlari di koridor menuju kamar ayahku.

Namun, aku tak tahu apa yang akan kulakukan setelah

menemukannya. Melawannya? Mengatakan kita harus pergi

dari sini?

Kamar ayahku kosong. Aku memandang ke sekeliling

dengan cepat, tak tahu harus mencari apa. Semacam alat

komunikasi Mogadorian? Kamus Bahasa Mogadorian? Tidak

ada sesuatu yang terlihat janggal.

Pasti ada penjelasan yang masuk akal untuk ini,

bukan?

Bukankah aku pernah menyaksikan sendiri

permainan pikiran macam apa yang dapat dilakukan oleh

para Mogadorian? Aku pernah melihat Adam menggunakan

Pusaka yang sepertinya merupakan efek samping dari

merenggut ingatan seorang Garde yang telah mati. Saat ini

pun, John dan Ella tak sadarkan diri karena serangan telepati

~260~

Setrakus Ra. Para Mogadorian menahan ayahku selama

bertahun-tahun dan melakukan eksperimen-eksperimen

terhadap pikirannya.

Apakah tidak mungkin Mogadorian mencuci

otaknya?

Ay

ahku mungkin tidak sadar dirinya dikendalikan

oleh para Mogadorian. Mereka mungkin sudah melakukan

sesuatu terhadap otak ayahku, lalu sengaja membiarkannya

lolos karena tahu dia lebih berguna saat bebas,

mengumpulkan informasi. Mungkin Mogadorian, entah

dengan cara apa, sudah memprogram ayahku sehingga dia

akan memberikan laporan rahasia kepada mereka ketika
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur?aku ingat pernah membaca mengenai agen ganda

yang dapat dihipnotis untuk merupakan rencana mereka

sendiri. itu artikel sungguhan atau komik? Aku tidak

ingat.

Aku kembali ke koridor dan berseru, "Dad? Di mana

kau?" sambil berusaha agar suaraku tetap tenang seperti

biasa. Karena bagaimana kalau ayahku ternyata memang

mata-mata Mogadorian? Aku tidak mau dia tahu.

"Di sini," ayahku balas berseru dari kamar Ella dan

John.

Ay

ahku mata-mata alien? Yang benar raja. Kuasai

dirimu, Sam. Teori konspirasi semacam itulah yang biasa

kubaca di They Walk Among Us. Konyol. Yang terpenting,

hatiku tahu itu tidak benar.

Kalau begitu, mengapa aku merasa sangat gugup?

Aku berdiri di pintu kamar Ella sambil menggenggam

dokumen yang telah diterjemahkan tersebut. Sarah sedang

tidur di kamarnya sendiri, jadi di kamar ini hanya ada

ayahku dan Bernie Kosar yang menjaga John dan Ella. BK

tidur bergelung, sementara ayahku menggaruk belakang

telinganya tanpa berpikir.

"Ada apa, Sam?" dia bertanya.

~261~

Ay

ahku pasti tahu ada yang salah begitu melihat

mataku yang melebar. Dia menjauhi BK dan berjalan ke

arahku, tapi secara naluriah, aku melangkah mundur ke

koridor. Aku menjaga jarak aman dari ayahku yang

penyayang dan telah membebaskanku dari sel penjara.

Hebat.

Aku menyodorkan dokumen itu kepadanya. "Kenapa

Mogadorian punya ini?"

Dia membalik kertas-kertas itu, semakin cepat saat

menyadari apa isinya. "ini?ini catatanku."

"Aku tahu. Mengapa Mogadorian memilikinya?"

Ay

ahku pasti menyadari apa yang sebenarnya

kutanyakan karena ekspresi terluka merundungi wajahnya.

"Sam, aku tidak melakukannya," dia berusaha

meyakinkanku, tapi dengan nada yang digelayuti perasaan

tidak yakin.

"Kau yakin? Bagaimana kalau?bagaimana

seandainya mereka melakukan sesuatu padamu, Dad?

Sesuatu yang tidak kau ingat?"

"Tidak. Itu tidak mungkin," katanya sambil

menggeleng, hampir seperti berusaha meyakinkan dirinya

sendiri. Dari nada suaranya, aku tahu dia sendiri tidak benar
benar yakin itu mustahil. Malahan, kupikir gagasan itu

membuatnya takut. "Apakah yang asli masih ada di

kamarku?"

Kami berdua berlari ke kamarnya. Buku catatan itu

masih ada di laci lemari, tepat di tempat seharusnya. Ayahku

membalik-balik isinya, seakan mencari tanda-tanda bahwa

buku itu diotak-atik. Tubuhnya tegang, seperti yang biasanya

terjadi saat dia berusaha mengingat sesuatu. Kupikir ayahku

tersadar dia tidak dapat memercayai dirinya sendiri karena

mungkin Mogadorian telah melakukan sesuatu kepadanya.

Dia berbalik memandangku dengan wajah muram.

"Kalau catatanku jatuh ke tangan Mogadorian, kita harus

menganggap tempat ini sudah tidak aman. Persenjatai

~262~

dirimu, Sam. Sarah juga."

"Bagaimana denganmu?" aku bertanya, perutku

terasa mulas.

"Aku?aku tak dapat dipercaya," dia tergagap. "Kau

harus mengunciku di dalam sini sampai para Garde pulang."

"Pasti ada penjelasan lain," kataku dengan suara

parau. Aku tidak yakin apakah aku benar-benar memercayai

kata-kataku itu atau apakah aku hanya berharap itu benar.

"Aku tak ingat pernah pergi," katanya. "Tapi kurasa,

saat ini ingatanku tidak dapat diandalkan."

Ay

ahku duduk terpuruk di tempat tidur. Dia melipat

tangan di pangkuan dan menunduk menatapnya. Dia tampak

putus asa. Ingatannya tidak dapat dipercaya, sementara

anaknya sendiri pun tidak memercayainya.

Aku melangkah ke pintu. "Dengar, aku akan

menjemput Sarah dan mengambil senjata. Tapi aku tak akan

menguncimu. Jadi, tetaplah di sini, oke?"

"Sebentar," Dia mengangkat sebelah tangan

menghentikanku, "apa itu?"

Aku juga mendengarnya. Suara gemuruh rendah,

berasal dari meja nakasnya. Aku yang pertama kali tiba di

sana dan langsung menarik lacinya hingga terbuka.

Ponsel yang digunakan ayahku untuk berkomunikasi

dengan Adam layarnya menyala. Telepon dari nomor yang

tersembunyi. Di ujung layar ponsel itu tampak ada sembiIan

belas panggilan tak terjawab. Aku mengacungkan ponsel itu

kepada ayahku. Wajahnya jadi cerah, tapi aku semakin

gugup. Terlalu banyak kejadian dalam waktu yang

bersamaan. Dinding-dinding seakan merapat menekanku.

Aku menekan tombol dan menempelkan ponsel itu

ke telinga, suaraku gemetar. "Halo?"

"Malcolm!" seru suara terengah itu. "Dari mana sofa

kau?!"

"Ini Sam," aku mengoreksinya, rasa ngeri timbul di

~263~

perutku begitu aku mengenali suara tersebut. "Adam, ini

kau?"

Ay

ahku melompat dan meremas bahuku, senang

karena Adam masih hidup. Aku ingin sekali bisa merasa lega,

tapi dari cara Adam berbicara, sepertinya bakal ada kabar

buruk.

"Sam? Sam! Ayahmu mana?"

"Dia?"

"Lupakan! Tidak penting!" dia berseru. "Dengar, Sam.

Kau di Chicago, kan? John Hancock Center?"

"Dari?dari mana kau tahu?"

"Mereka tahu, Sam!" Adam berteriak. "Mereka tahu

dan mereka sedang ke sana!"

~264~

32

"PEGANGAN!"

Tubuh kami condong ke satu sisi saat Nomor

Sembilan dengan liar menyetir perahu fan boat kami?

seperti namanya, perahu kecil ini menggunakan tenaga

dorong dari kipas raksasa yang ada di bagian belakang?

mengitari batang pohon terapung di air rawa yang cokelat

berlumpur. Pegangan Nomor Delapan terlepas sehingga dia

harus memegangi lenganku untuk menahan tubuhnya. Dia

melemparkan senyum malu ke arahku saat melepaskan

lenganku untuk menepuk nyamuk. Udara terasa berat dan

lembap, dengungan serangga terdengar lebih keras daripada

bunyi kipas perahu kami. Tempat ini menguarkan aroma

tanahsuburhutanlebat.

"Lihat!" Nomor Delapan berseru mengatasi bunyi

perahu. Aku memandang ke samping dan melihat dedaunan

padat teratai diusik oleh sesuatu yanghanyut di air. Mulanya

kupikir itu batang pohon, tapi kemudian sisik ekor kasar

berayun di air dan aku tersadar itu buaya. "Jaga tangan

kaliandiperahu!" NomorDelapanberseru.

Aku memandangi buaya itu menghilang ke

rerimbunan pepohonan di kiri kami. Sekarang, aku mengerti

mengapa Nomor Lima pikir Everglades adalah tempat yang

aman untuk menyembunyikan Warisannya. Tempat ini

merupakan labirin penuh rerumputan tinggi dan air

berlumpur yang tidak dihuni oleh siapa-siapa, selain

seranggadanhewan-hewanyangbersembunyi.

Kami mengarungi jalan air, tempat rumput alang
alang lebat dan pepohonan di kanan maupun kiri kami

tersibak sehingga dapat dilalui perahu. Di sini tidak ada

orang lain?kami belum bertemu satu manusia pun sejak

mengambil perahu dari tempat penyewaan satu jam yang

~265~

lalu. Bahkan, tempat penyewaan itu pun hanya berupa kabin

bobrok yang berdiri di antara ujung jalan pedalaman dan tepi

rawa. Kami harus memilih dari tiga perahu karatan yang

ditambatkan di dermaga reyot. Lelaki yang tinggal di sana,

yang kulitnya terbakar matahari serta aroma tubuhnya

bagaikan campuran alkohol dan bahan bakar jet,

mengajarkan cara mengoperasikan perahu sambil terus

cegukan sebelum akhirnya menerima uang tunai sebagai

imbalan atas peta kumal daerah ini serta kunci perahu.

Untungnya, dia tidak menanyakan apa-apa.

Nomor Enam sibuk mempelajari peta milik lelaki

tadi. Dia membandingkan peta itu dengan peta Everglades

dari internet yang telah kami cetak, peta yang sudah

dibubuhi tanda tempat Peti Nomor Lima berada. Nomor

Enam bolak-balik mengamati peta kami dan peta usang yang

lebih detail itu. Dia memegang kedua peta tersebut jauh-jauh

dengan kesal. "Aku sama sekali tidak mengerti," gerutunya.

"Jangan khawatir," Nomor Sembilan menjawab

sambil membawa kami meluncur ke depan menuju matahari

terbenam. "Nomor Lima bilang dia tahu harus ke mana.

Sekali-sekali, biarlah dia berguna."

Aku memandang langit mencari Nomor Lima. Sekitar

lima belas menit lalu, dia terbang karena yakin dapat

mencari Peti Loric dengan mudah dari atas sana. Cakrawala

mulai berubah menjadi merah muda. Biasanya aku

menganggap itu indah, tapi di luar sini rasanya justru tidak

menyenangkan.

"Bukannya takut," kataku dengan hati-hati sambil

menyampirkan helaian rambut ke belakang telinga, "tapi aku

sama sekali tak mau berada di luar sini setelah matahari

terbenam."

"Aku juga," Nomor Delapan menambahkan sambil

menjentik peta di tangan Nomor Enam. "Terutama kalau ahli

~266~

navigasi kita yang tepercaya tidak tahu bagaimana cara
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa kita kembali ke peradaban."

Nomor Enam menyipitkan mata ke arah Nomor

Delapan, tapi tidak membalas kata-katanya. Nomor Sembilan

hanya tertawa. Noda keringat besar membuat kausnya jadi

gelap dan serangga terus-menerus berdengung di sekitarnya,

tapi sepertinya dia tidak peduli. Malahan, dia tampak

menikmati ini?kelembapan, rasa lengket, dan rasa

terancam. "Aku pikir mungkin nanti kita bisa berkemah,"

katanya.

Aku dan Nomor Delapan mengerang. Seandainya

tidak ada buaya yang berkeliaran di air di bawah kami, aku

akan menggunakan kesempatan ini untuk mencipratkan air

ke Nomor Sembilan. Aku memandang langit lagi, mencoba

mencari Nomor Lima.

"Aku yakin dia akan segera kembali," kataku. Tidak

ada alasan untuk bersikap pesimistis. Sampai saat ini, misi

kami berjalan dengan mulus tanpa tanda-tanda bahaya. Aku

masih merasa meninggalkan John dan Ella itu salah. Meski

begitu, yang lain benar. Di Chicago sana tidak ada yang dapat

kami lakukan untuk mereka. Aku belum seantusias Nomor

Sembilan, tapi memang rasanya lebih baik berada di luar sini

dan melakukan sesuatu, mencari cara untuk membantu

teman kami dan memenangkan perang. Asalkan kami tidak

tersesat di rawa ini. Itu tidak akan membawa kebaikan apa
apa.

Sebuah bayangan lewat di atas kepalaku. Nomor

Lima. Dia berputar mengelilingi perahu selama beberapa saat

sebelum akhirnya mendarat dengan lembut di samping kami.

Keringatnya bercucuran, kaus putihnya basah kuyup.

Nomor Sembilan terkekeh. "Mungkin berat badanmu

bakal turun kalau kita cukup lama di sini, ya?"

Nomor Lima menggertakkan gigi sambil melepas

~267~

kaus basahnya dengan jengah. Kami semua berkeringat dan

kotor, tapi entah mengapa Nomor Sembilan tidak bisa

menahan diri untuk tidak mengejek Nomor Lima. Tadinya

kupikir pertandingan rebut bendera itu dapat membantu

keduanya berbaikan, tapi ternyata ketegangan di antara

keduanya masih ada.

"Jangan pedulikan dia," kataku kepada Nomor Lima.

"Petimu ketemu?"

Nomor Lima mengangguk sambil menunjuk ke arah

yang kami tuju. "Sekitar satu kilo di depan sana ada petak

tanah. Petiku ada di sana."

Nomor Sembilan mendesah. "Kenapa kau tidak

mengambil Petimu itu dan membawanya ke sini?"

Nomor Lima tersenyum ke arah Nomor Sembilan.

"Kau tidak menyimak rencananya, ya? Kami sepakat kaulah

yang akan mengurusi semua pekerjaan berat dan

melelahkan."

"Hah?!" Dengan bingung, Nomor Sembilan

memandang Nomor Delapan. "Apa itu benar?"

Nomor Delapan mengangkat bahu, mengikuti

permalukan Nomor Lima.

Nomor Enam mendengus jengkel. "Arahkan perahu

sialan ini ke sana, Sembilan!"

"Aye-aye, Kapten," sahut Nomor Sembilan sambil

menggoyangkan jemari. "Satu Peti, segera datang."

Nomor Enam mengalihkan pandangannya ke arah

Nomor Lima. Dia lebih pendiam daripada biasanya. "Kenapa

kau tidak mengambil Petimu?" tanyanya tajam.

Nomor Lima mengangkat bahu. "Hari mulai gelap dan

tempat itu bagus untuk istirahat, kalau kita perlu istirahat."

"Tuh, kan?" Nomor Sembilan berseru senang. "Kita

berkemah!"

"Tidak mau," kata Nomor Delapan sambil

~268~

menggeleng keras-keras. "Kemudikan perahu ini lebih cepat

supaya kita bisa keluar dari sini!"

Nomor Sembilan mempercepat perahu, menyibak

air.

Kurasa tempat yang Nomor Lima tunjukkan kepada

kami tidak dapat disebut pulau. Sungguh. Tempat itu

ternyata cuma gundukan lumpur di tengah rawa, sistem

penyokong hidup sebuah pohon besar berbonggol yang

tampaknya sudah tumbuh sejak awal zaman. Akar-akar

pohon itu begitu besar dan panjang sehingga Nomor

Sembilan harus mengemudikan perahu dengan hati-hati

supaya tidak tersangkut. Kami turun dari perahu. Kaki kami

terbenam lumpur dan tergelincir saat menginjak tonjolan
tonjolan pohon yang tidak rata tersebut. Di sekeliling kami

ada lingkaran rumput tinggi yang tumbuh dari air dan di atas

kami ada begitu banyak ranting pohon tebal sehingga

bayang-bayang langsung menaungi begitu kami

menginjakkan kaki ke pulau kecil ini. Suhu di sini sepuluh

derajat lebih dingin daripada di air.

"Tempat ini benar-benar bagus," kataku kepada

Nomor Lima.

Karena jarang dipuji, dia membusungkan dada sedikit

mendengarnya. "Ya. Aku pernah berkemah di sini selama

satu malam. Pohon tua ini luar biasa. Aku tahu tak akan sulit

menemukannya lagi."

"Selamat," gerutu Nomor Sembilan sambil menepuk

serangga di lehernya. "Nah, mana Peti sialanmu?"

Nomor Lima memimpin kami ke datar pohon. Kami

berdiri di jalinan rumit akar-akar. Pohon ini bagaikan tinju

yang menghunjam bumi dengan akar-akar sebagai jemari.

Lumpur keluar di antara cengkeraman erat pohon tersebut.

Nomor Lima berlutut di salah satu simpul akar, tempat akar
akar itu berkumpul, yang mirip buku jari. Dia mengulurkan

~269~

tangan ke lumpur lembut di bawah akar-akar pohon

tersebut.

"Di bawah sini," kata Nomor Lima sambil meraba
raba. "Hampir dapat."

Lumpur tersebut mengeluarkan bunyi menyedot

basah saat Nomor Lima menarik Peti keluar, seakan tak rela

melepaskannya. Nomor Lima berlutut di depan Peti, lalu

menyeka lumpur dari permukaan kayunya.

Nomor Delapan menepuk bahuku seraya menunjuk

ke tempat rumput tinggi tersibak. Aku dapat melihat kepala

datar dan mata kuning, mungkin itu buaya yang tadi.

"Sepertinya ada yang lapar," Nomor Delapan bergurau.

"Apakah dia mengikuti kita?" aku bertanya, setengah

bercanda tapi juga sekaligus agak ngeri. Aku beringsut

mendekati Nomor Delapan.

"Di sini banyak buaya," ajar Nomor Lima acuh tak

acuh sambil mengangkat Petinya.

"Kau bisa bicara dengan hewan, kan?" aku bertanya

kepada Nomor Sembilan. "Bilang pada makhluk itu kita tak

ingin cari gara-gara."

"Mungkin aku bisa memeliharanya. Atau membuat

jubah keren darinya," jawab Nomor Sembilan sambil

menyipitkan mata berkonsentrasi ke arah hewan yang

mendekat itu. Namun, tiba-tiba air mukanya berubah.

"Sebentar?"

Kepala buaya kedua menyembul di samping yang

pertama, dan beberapa detik kemudian, kepala ketiga juga

muncul dari air berlumpur. Mulanya kupikir kami dikuntit

oleh sekawanan buaya, kalau itu mungkin terjadi. Namun,

kemudian ketiga kepala tersebut terangkat dari air dan

memperlihatkan leher tebal bersisik yang menghubungkan

ketiga kepala itu ke satu tubuh. Sisik-sisik menghilang ke

balik bulu hitam berminyak basah di badan hewan tersebut.

~270~

Air menetes-netes deras saat hewan tersebut

membentangkan sepasang sayap kulit kelelawarnya. Pada

akhirnya, hewan tersebut berdiri setinggi kurang lebih lima

meter di atas sepasang kaki yang mirip kaki manusia. Dia

membungkuk ke depan, enam pasang mata kuning menatap

kami dengan lapar.

"Awas!" seru Nomor Enam saat hewan tersebut

mengepakkan sayapnya dan terbang.

Hewan itu terbang di atasku. Anehnya, pada saat

seperti ini, aku malah memperhatikan hal-hal kecil. Kaki

monster itu besar. Cakar melengkung keluar dari ketiga jari

di masing-masing kaki dan juga dari tumitnya. Namun,

telapak kaki monster itu tampak lembut. Sepasang bekas

luka berbentuk huruf S terukir di kakinya,- seakan-akan

ditandai oleh ilmuwan Mogadorian.

Aku dapat melihat semua itu sebelum hewan

tersebut mencoba menginjakku.

"Awas!" Nomor Delapan meraih pinggangku lalu

membawaku ke belakang dengan teleportasi. Jari-jari

bercakar monster mutan itu mencabik sepotong akar di

tempatku berdiri tadi.

"Bagaimana cara mereka menemukan kita?" gerutu

Nomor Sembilan sambil memanjangkan tongkatnya.

"Aku tak melihat Mogadorian," aku berseru sambil

berputar, berusaha mengamati semua area di rawa ini.

"Mungkin dia sendirian?"

"Biar kutanya."

Nomor Sembilan menyerbu. Salah satu mulut hewan

buas itu berusaha menggigitnya. Nomor Sembilan

mengangkat tongkat ke atas dan menusukkannya ke mulut

terdekat, menyebabkan dua taring kuning rontok. Sementara

salah satu kepala meraung kesakitan, hewan tersebut

mengayunkan sebelah sayapnya, memaksa Nomor Sembilan

~271~

mundur.

Nomor Lima meletakkan Peti di tanah, lalu

membukanya. Nomor Enam meraih bahu Nomor Lima. "Apa
apaan ini?" dia berteriak. "Kau tidak melihat hewan itu saat

melakukan pengintaian tadi?"

"Dia datang dari bawah air. Bagaimana mungkin aku

melihatnya?" suara Nomor Lima tenang. Dia sama sekali

tidak tampak gentar, tidak seperti apa yang John ceritakan

tentang pertarungan di Arkansas. "Jangan khawatir," dia

melanjutkan, "aku punya benda yang bisa membantu di sini."

"Bisa bantu?!" teriak Nomor Sembilan saat dia

melompat menghindari salah satu mulut monster itu.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nomor Delapan melakukan teleportasi tepat ke atas

ketiga kepala hewan itu. Dia menendang salah satu moncong

keras-keras, menghilang, dan muncul kembali di samping

Nomor Sembilan. Hewan tersebut meraung frustrasi sambil

mengepakkan sayapnya dan berusaha lepas landas. Nomor

Sembilan dan Nomor Delapan berpencar untuk mengepung

hewan buas tersebut.

Sementara Nomor Lima mengaduk-aduk isi Peti,

Nomor Enam mengangkat tangan ke udara. "Marina, lindungi

aku, sementara aku melakukan ini." Aku mendengar tetes

hujan pertama bergerak menembus dedaunan lebat.

Nomor Lima menarik semacam selongsong kulit dari

Peti, lalu memasukkan lengannya ke sana. Saat dia

menegangkan otot, sebuah bilah ramping sepanjang tiga

puluh senti keluar di bagian dalam pergelangan tangannya.

Dia tersenyum lebar. "Aku merindukanmu," ucapnya ke alat

tersebut seraya menggerakkan lengan dan menyebabkan

bilah tersebut kembali masuk.

"Cepat petirnya, Enam!" teriak Nomor Sembilan.

Monster itu menunduk di atasnya. Nomor Sembilan hanya

mampu mengangkat tongkat untuk menangkis gigitan trio

~272~

mulut bertaring itu. Dia berlari mundur tanpa memandang ke

belakang, lalu tersandung dahan pohon hingga jatuh

terduduk. Tepat pada saat hewan buas itu akan melompat ke

arah Nomor Sembilan, Nomor Delapan berubah wujud

menjadi manusia-babi hutan bertubuh besar, yang

sepertinya merupakan salah satu awatara Wisnu. Dia

mencengkeram ekor monster itu, lalu menyentakkannya ke

belakang, mencegah hewan tersebut melahap Nomor

Sembilan.

Hewan buas itu berbalik dan membenamkan gigi
geliginya ke bahu Nomor-Delapan, membuat moncong

babinya mengeluarkan raungan keras dan wujudnya mulai

berkedip. Aku sadar Nomor Delapan sulit mempertahankan

konsentrasi akibat rasa sakit dari gigitan itu.

"Delapan!" aku berteriak. Aku ingin menghampiri

dan menyembuhkannya, tapi aku tidak dapat meninggalkan

Nomor Enam yang masih berkonsentrasi membuat badai.

"Pergi dan bantu dia," kata Nomor Enam dengan gigi

terkatup. "Aku sudah siap."

Aku berlari maju, berusaha mencapai Nomor

Delapan. Sebelum monster terbang itu menggigit Nomor

Delapan lagi, kilat membelah langit dan menghantam hewan

buas itu hingga tersungkur, menyebabkannya menggelepar

dan berasap. Hujan semakin deras, Nomor Enam benar
benar membuat badai besar.

Nomor Sembilan yang sudah berdiri kembali

langsung berpacu menerjang, sementara hewan buas itu

berusaha bangkit. Dia menghantamkan tongkatnya ke hewan

itu, tapi pukulannya hanya menimbulkan penyok di kulit

yang tertutupi sisik.

Karena Nomor Sembilan sudah kembali menyerang,

Nomor Delapan yang masih menggunakan wujud Wisnu

terhuyung menjauh dari monster itu. Dia kembali ke wujud

~273~

semula begitu aku mencapainya. Aku dapat melihat robekan

dalam dan bergerigi menutupi bahu kanannya. Aku

menekankan tangan ke bahu Nomor Delapan, membiarkan

sensasi sedingin es mengalir dari diriku ke dalam dirinya dan

menyaksikan lukanya menutup.

"Aku bisa menciummu," kata Nomor Delapan.

"Mungkin nanti, setelah hewan ini mati," jawabku.

Monster itu berdiri dan mengayunkan sebelah sayap

kulitnya ke arah Nomor Sembilan, mengempaskannya ke

belakang. Begitu Nomor Sembilan menyingkir, Nomor Enam

menjatuhkan dua kilat lagi. Petir itu menghantam dan

menyebabkan si monster kembali jatuh serta melubangi

membran sayapnya, tapi hewan itu kembali berdiri dan

meraung. Sepertinya kami cuma membuatnya makin marah.

"Bagaimana cara menghentikan hewan sialan ini?"

teriak Nomor Sembilan.

Siulan bernada tinggi melengking di udara, begitu

keras dan tajam sehingga kulitku bergidik, bagaikan kuku

yang dicakarkan ke papan tulis. Aku berbalik dan melihat

Nomor Lima meniup peluit dari batu obsidian padat berukir

rumit. Sementara nada melengking itu memenuhi udara, dia

menatap monster tersebut tanpa berkedip.

Sekonyong-konyong, keinginan untuk bertarung

seakan lenyap dari hewan buas itu. Dia melipat sayapnya

yang besar melingkupi tubuh lalu melesak ke tanah dengan

ketiga kepala ditundukkan ke dada, seolah-olah memberi

hormat.

"Wow," Nomor Delapan terkesiap.

"Lihat?" kata Nomor Lima sambil menurunkan peluit

dan memandang berkeliling. "Gampang."

"Benda itu ada di tanganmu sejak tadi, kenapa tidak

kau gunakan?" bentak Nomor Sembilan.

"Kupikir kau ingin olahraga," ujar Nomor Lima

~274~

sambil tersenyum dingin ke arah Nomor Sembilan.

Nomor Enam menggeleng. "Bisakah salah satu dari

kalian membunuh hewan itu supaya kita bisa pergi dari

sini?"

"Dengan senang hati," sambut Nomor Lima, kulitnya

berubah jadi logam berkilau. Dia maju dua langkah menuju

hewan itu, tapi berhenti di samping Nomor Enam. "Aku yang

membuat hewan kata Nomor Lima dengan acuh tak acuh.

"Mana mungkin aku membunuhnya?"

"Kau apa?" aku berseru heran.

Tinju besi Nomor Lima berayun dengan kekuatan

yang belum pernah kulihat dan menghantam rahang Nomor

Enam.

Tubuh Nomor Enam melayang akibat terkena

pukulan tersebut, kemudian mendarat di kakiku. Aku dapat

melihat matanya bergulir membalik dan darah mengalir dari

kedua lubang hidungnya. Kemungkinan terbaiknya gegar

otak, kemungkinan terburuknya tengkoraknya retak. Secara

naluriah, aku bergerak untuk menyembuhkannya. Namun

begitu akan berjongkok, sesuatu menghantam dadaku?

tidak keras, tapi cukup kuat dan menyebabkan napasku

sesak. Aku tidak dapat bergerak. Telekinesis. Nomor Lima

menahanku dengan lembut. Aku memandangnya, air mata

bingung menggenangi mataku.

Nomor Delapan memecahkan keheningan dengan

berteriak, "Kenapa kau melakukannya?!" Namun, suaranya

ditenggelamkan oleh teriakan Nomor Sembilan.

Tubuh Nomor Lima sudah menjadi seperti karet dan

lengannya menjulur bagaikan tentakel, membelit leher

Nomor Sembilan dua kali. Nomor Sembilan memberontak,

tapi dengan mudah Nomor Lima mengangkatnya hingga

kakinya tidak menjejak tanah. Lengannya terulur lebih jauh,

mengangkat Nomor Sembilan tiga meter dari tanah, lalu

~275~

turun ke bawah dengan cepat. Dia membenamkan Nomor

Sembilan ke dalam rawa dan menahannya.

Menenggelamkannya.

Aku maupun Nomor Delapan terpaku di tempat saat

Nomor Lima menoleh untuk memandang kami. Anehnya,

raut wajah Nomor Lima tampak ramah meskipun lengannya

yang terulur menahan Nomor Sembilan di bawah air dan

pukulan mematikan yang keji tadi menyebabkan Nomor

Enam terbaring pingsan di kakiku. Aku dapat melihat lengan

Nomor Lima bergetar di bagian yang pastilah ditinju Nomor

Sembilan demi membebaskan diri. Namun, pukulan itu

tampaknya tidak menyebabkan rasa sakit karena Nomor

Lima seakan tidak menyadarinya.

Dia duduk di Petinya dan memandang kami.

"Kurasa sebaiknya kita bertiga bicara," ujarnya

dengan tenang.

~276~

33

TELEPON TIBA-TIBA TERPUTUS. AKU MEMANDANG layar

ponsel, tapi Adam menyembunyikan nomor teleponnya.

Kami tidak dapat menelepon dia kembali. Di mana pun dia

berada, kedengarannya Adam sedang bergerak cepat. Bisa

dibilang, tadi itu dia berteriak demi mengatasi deru angin di

sekelilingnya. Dia sedang berlari dan terdengar panik. Aku

justru sebaliknya: terpaku di tempat dan nyaris mati rasa.

Apa yang akan John lakukan jika menghadapi situasi

ini? Bergerak, tentu saja. Aku menyelipkan ponsel itu ke saku

belakang celana dan bergegas melewati ayahku menuju

koridor.

"Dia bilang Mogadorian tahu kita di sini, dan mereka

sedang ke sini. Kita harus pergi. Sekarang juga!" aku berseru

kepada ayahku.

Saat menoleh, ternyata dia masih berdiri di samping

tempat tidur.

"Ayo," kataku, "tunggu apa lagi?"

"Bagaimana kalau?," ayahku memijit batang

hidungnya, "bagaimana kalau aku tak bisa

dipercaya?" Oh, benar. Ada suatu kemungkinan

besar bahwa ayahku ini ternyata merupakan agen ganda

Mogadorian, secara tidak dia sadari. Pasti ada alasan yang

lebih baik yang dapat menjelaskan mengapa catatannya

jatuh ke tangan mereka. Mungkin ayahku tidak yakin apakah

dirinya dapat dipercaya. Mungkin dia cemas memikirkan

ingatannya gagal atau bekerja melawannya. Itu tidak

masalah. Aku mengambil keputusan seketika itu juga. Aku

memercayainya. "Ingat tidak ketika kita berada di luar

Markas Dulce dan aku ingin segera kembali ke dalam untuk

membantu para Garde bertempur? Waktu itu Dad bilang

akan ada saat lain untuk membuktikan diriku berguna bagi

~277~

para Loric. Yah, kurasa inilah saatnya. Aku percaya padamu,

Dad. Aku tak dapat melakukan ini tanpa

dirimu."

Ay

ahku mengangguk serius. Tanpa berkata-kata lagi,

dia meraih ke bawah tempat tidur dan menarik keluar

senapan yang digunakannya untuk membunuh monster di
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Arkansas, lalu memasukkan peluru ke

dalamnya.

"Adam bilang tidak, berapa banyak waktu yang kita

miliki?" tanyanya.

Seakan menjawab, gedung bergoyang dan lampu
lampu berkedap-kedip. Bunyi mesin membahana di luar,

kebisingan itu berada di atas kami dan sangat dekat, diikuti

derit tajam logam. Sesuatu baru saja mendarat di

atap.

"Tampaknya, tidak terlalu lama."

Kami berlari ke koridor dan berpapasan dengan

Sarah yang baru saja keluar dari kamar. Matanya

membelalak saat melihat ayahku membawa senapan. "Suara

apa itu?" tanyanya. "Apa yang terjadi?"

"Para Mog di sini," jawabku.

"Oh, tidak," kata Sarah sambil berjalan mundur ke

kamar tempat John dan Ella yang terbaring tak

berdaya.

Jendela-jendela setinggi dinding yang melapisi ruang

duduk apartemen terlihat dengan jelas dari koridor.

Setengah lusin tali dilemparkan dari atap, kemudian

digunakan oleh para Mogadorian untuk meluncur turun di

sisi gedung.

"Aku harus ke John!" kata Sarah.

Aku meraih pergelangan tangannya. "Kita tidak bakal

selamat kalau tidak mengambil senjata."

Jendela-jendela pecah berhamburan akibat

~278~

tembakan serentak meriam-meriam Mogadorian. Angin

dingin berembus kencang memasuki apartemen. Para

Mogadorian berayun ke dalam, melepaskan diri dari tali yang

mereka gunakan dengan cepat, lalu memandang berkeliling

mencari sasaran. Mereka di ruang duduk, berdiri di antara

kami dan lift--pintu keluar kami satu-satunya. Aku kaget

karena jumlah mereka tidak begitu banyak. Andai aku

menyerang tempat persembunyian Garde, aku akan

mengirimkan seluruh pasukan. Mereka sepertinya menduga

tidak akan mendapatkan perlawanan berarti.

Kami bertiga merunduk dan kembali ke kamar

ayahku "Aku akan ke kamar John dan Ella," kata

ayahku."Kalian berdua ke Aula Kuliah."

Aku dapat mendengar para Mogadorian bergerak di

ruang duduk dan mulai mendekati koridor. "Mereka datang.

Pada hitungan ketiga. Satu?"

Sebelum menyebut "dua", terdengar raungan ganas

dari koridor yang langsung dibalas dengan tembakan blaster

Mogadorian. Aku melongok dan melihat Bernie Kosar yang

berwujud beruang grizzly membantai dua Mogadorian. Aku

sama sekali lupa dengan BK! Mungkin keadaan tidak seburuk

yang kuduga.

"Ayo!" ayahku berlari ke kamar Ella. "Ambil

senjatanya, lalu kita tahan mereka."

BK menerjang satu Mogadorian, lalu yang lain,

merobek tubuh mereka dengan cakarnya, melemparkan

perabotan yang mereka gunakan untuk berlindung.

Beberapa tembakan blaster menghantam samping tubuhnya

dan bau rambut terbakar menguar di udara, tapi sepertinya

itu cuma membuat amukan BK semakin parah. Ayahku

berjongkok di pintu kamar Ella, membidik, lalu mulai

menembaki para Mogadorian.

Aku dan Sarah berlari ke arah yang berlawanan,

~279~

menuju Aula Kuliah dan gudang senjata. Di belakangku

terdengar desing tembakan blaster mengenai dinding dan

salakan senapan ayahku sebagai jawaban. Kami harus cepat.

Pasti akan ada lebih banyak lagi yang turun dari atap.

Ay

ahku maupun BK tak akan mampu menahan para

Mogadorian itu selamanya.

Tiba-tiba, pintu kamar tidur di kananku terbuka

dengan keras. Sesaat aku merasakan hantaman angin dingin

dari jendela yang rusak, dan sekejap kemudian satu

Mogadorian sudah menekanku. Dia mendorong samping

tubuhku dengan bahunya, menahanku di dinding.

Mogadorian itu menempelkan lengannya ke leherku, lalu

mendekatkan muka pucatnya ke wajahku, mata hitamnya

yang tak bernyawa memenuhi pandanganku.

"Manusia," desis si Mogadorian, "katakan di mana

gadis itu dan aku akan membunuhmu dengan cepat!"

Sebelum aku sempat bertanya gadis mana yang dia

maksud, Sarah menghantam kepala Mogadorian dengan vas

kosong. Si Mogadorian mengguncang kepalanya, lalu

berbalik menghadapi Sarah. Kemarahan menggelegak di

dadaku?teringat saat-saat aku ditawan, teringat apa yang

mereka lakukan terhadap John dan Ella. Aku meraih gagang

pedang si Mogadorian dan menariknya keluar dari sarung.

Sambil berteriak, aku menusukkan pedang itu menembus

dadanya dan mengubahnya menjadi abu.

"Wow!" Sarah bersorak.

Aku dapat mendengar bunyi kaca pecah dari segala

penjuru apartemen. Pintu-pintu kamar di sepanjang koridor

terbuka dengan keras dan Mogadorian bermunculan,

memisahkan aku dan Sarah dari ayahku dan Bernie Kosar.

Tadi aku berpikir apartemen sepi ini terasa seram, tapi ini

mengerikan. Aku tidak dapat melihat ayahku di ujung

koridor sana. Namun, aku masih dapat mendengar bunyi

~280~

senapan ayahku, tembakannya makin lama makin cepat.

Aku mendengar dentuman keras, sesuatu jatuh di

kamar Ella.

"Kalian mencari gadis itu?" aku berseru menarik

perhatian mereka, berharap sebagian dari mereka dapat

menjauhi ayahku. "Dia di sini!"

Aku dan Sarah berpacu ke ruang kerja, sepuluh atau

lebih Mogadorian berlari menyusuri koridor mengejar kami.

Kami sama-sama mendorong jatuh tumpukan alat tua

dan suku cadang mesin di samping pintu?ternyata barang

yang Sandor timbun ini ada gunanya juga. Satu Mogadorian

berusaha membuka pintu, tapi tertahan oleh segala macam

rongsokan di lantai.

"Itu akan menahan mereka sebentar," kataku.

"Apakah mereka mengira aku ini gadis yang mereka

cari?" tanya Sarah dengan napas terengah. "Atau apakah

menurutmu mereka di sini karena Ella?"

Pintu ruang kerja meledak akibat tembakan blaster,

serpihan kayu panas berhamburan melewati pipiku serta

nyaris masuk ke mataku. Sepertinya waktu kami habis. Sarah

meraih lenganku, dan dengan terhuyung-huyung kami

melintasi ruangan, sementara pintu di belakang kami lumat

dihancurkan oleh Mogadorian yang menyerbu.

Tembakan nyasar menghantam lantai di antara kami,

memisahkan kami, melontarkan Sarah ke meja. Tembakan

lain susul-menyusul. Aku merunduk dan meraih tangan

Sarah untuk membantunya berdiri. "Aku baik-baik saja!" dia

berseru. Kami berlari sambil merunduk menuju Aula Kuliah.

Sekarang, pintu ruang kerja hanya tinggal berupa

lubang berasap di dinding berkat semua tembakan

Mogadorian. Mereka mendesak masuk, tersandung sampah

yang kami jatuhkan, tapi terus maju. Monitor di sampingku,

yang menunjukkan lokasi Garde, meledak diikuti hujan

~281~

bunga api, blaster Mogadorian itu nyaris mengenaiku.

"Bagaimana cara melawan mereka yang sebanyak

ini?" seru Sarah, sementara kami menerjang masuk ke Aula

Kuliah. "Aku sudah latihan, tapi bukan melawan sepuluh

sasaran sekaligus!"

"Kita unggul karena kenal medan."

Di dalam Aula Kuliah, Sarah berlari ke rak senjata dan

aku naik ke Podium. Mogadorian pertama masuk ke ruangan

tepat pada saat aku menyalakan program Aula Kuliah dan

memilih salah satu program latihan Sandor program latihan

dengan tingkat kesulitan GILA-GILAAN. Para Mogadorian itu

belum memperhatikanku yang duduk di balik Podium sambil

menekan tombol-tombol. Mereka lebih memperhatikan

Sarah. Andaipun mereka menyadari Sarah bukanlah gadis

yang mereka cari, tetap saja dia itu merupakan ancaman

berbahaya karena mengacungkan sepasang pistol kepada

para Mogadorian secara terang-terangan. Ancaman

berbahaya sekaligus sasaran empuk.

"Sarah! Di kiri!" aku berteriak sambil menaikkan

balok dari lantai agar dia dapat berlindung di baliknya. Dia

terjun ke balik perlindungan itu tepat pada saat para

Mogadorian menembak.

Lubang di sepanjang dinding mengeluarkan asap

memenuhi ruangan. Sebagian Mogadorian tampak bingung,

sementara yang lainnya hanya tertarik untuk meledakkan

Sarah. Sejumlah tembakan mulai memantul dari bagian

depan Podium dan aku merunduk di kursi, berusaha

mengecilkan diri. Kuharap Podium ini cukup kuat untuk

menahan hantaman blaster. Di antara bunyi tembakan,

terdengar dengung Aula Kuliah yang menyala.

Setengah lusin panel di sepanjang keempat dinding

menggeser terbuka dan memunculkan meriam yang sarat

bola besi.

~282~

"Terus merunduk!" aku berteriak kepada Sarah.

"Sudahmulai!"

Meriam-meriam kecil itu memuntahkan tembakan di

Aula Kuliah, para Mogadorian terjebak di tengahnya. Latihan

ini dimaksudkan untuk membantu Garde melatih

kemampuan telekinesis mereka, bukan untuk melukai, jadi

peluru seukuran kelereng yang ditembakkan dari dinding itu

tidak cukup kencang untuk membunuh para Mogadorian.

Meski begitu, rasanya pasti sakit. Karena terjebak di antara

peluru dan bola-bola beban yang tiba-tiba berayun dari

langit-langit,paraMogadorianitumenjadikewalahan.

Aku terjun dari Podium. Namun, sebelum mencapai

lantai, bola beban menghantam bahuku dengan keras.

Lenganku sakit, tapi aku berhasil meratakan tubuhku ke

lantai sambil memandangi para Mogadorian yang diserang

darisegalapenjuru.Saatmelihatku,Sarahmeluncurkansalah
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu pistolnya melintasi lantai. Aku mengambil pistol itu dan

berjongkok di balik Podium. Aku dan Sarah cuma punya dua

tempatperlindungandiruanganini.

Kami menembak. Kami tidak perlu membidik dengan

baik. Para Mogadorian ini bisa dikatakan sasaran empuk.

Dengan segala tembakan dari dinding, mereka mulai panik.

Sebagian besar mereka jatuh berlutut akibat terkena

hantaman mesiu atau bola beban, dan saat itulah aku dan

Sarah menembaki mereka. Sebagian lainnya mencoba lari ke

pintu. Kalau mereka berhasil lari sejauh itu, imbalan yang

mereka dapatkan atas upaya tersebut adalah peluru di

punggung.

Program latihan di Aula Kuliah ini baru berjalan satu

menit, tapi para Mogadorian sudah lenyap. Padahal, para

Garde biasanya harus bertahan selama tujuh menit sebelum

boleh istirahat. Kurasa itu karena tidak ada yang menembaki

para Garde dengan peluru sungguhan. Aku mengulurkan

~283~

tangan dan menampar kontrol di Podium hingga sistem

tersebut mati.

"Berhasil!" Sarah bersorak dengan agak terkejut.

"Kita berhasil, Sam!"

Sementara Sarah berdiri, aku melihat luka bakar di

luar kaki kirinya. Jinsnya robek dan kulit di baliknya tampak

merah muda seperti terbakar meskipun tidak berdarah. "Kau

tertembak!" aku berseru.

Sarah menunduk. "Sialan!" Aku bahkan tidak

menyadarinya. Tampaknya cuma tergores."

Karena tidak lagi tegang, Sarah terpincang-pincang

menghampiriku. Aku melingkarkan lengan untuk

menyokongnya, lalu kami bergerak secepat mungkin

meninggalkan Aula Kuliah. Kami mengambil banyak senjata

dalam perjalanan keluar. Aku menyelipkan pistol kedua ke

belakang jinsku untuk cadangan kalau-kalau kehabisan

peluru. Sarah menjatuhkan pistolnya yang sudah kosong dan

meraih pistol mesin berbobot ringan yang tampak garang,

senjata yang selama ini kuyakini cuma ada di film-filmlaga.

"Kau tahu cara menggunakan benda itu?" aku

bertanya.

"Pada dasarnya semua ini sama," jawabnya. "Tinggal

bidik dan tembak."

Aku akan tertawa seandainya tidak terlalu

mencemaskan ayahku serta John dan Ella yang tak sadarkan

diri. Kami tidak mendengar bunyi baku-tembak saat berjalan

dengan hati-hati melintasi ruang kerja yang hancur sambil

melewati sampah-sampah yang kami jatuhkan. Suasana di

penthouse sunyi mencekam. Aku tidak tahu apakah itu

pertanda baik atau pertanda buruk.

Aku melongok ke koridor. Tidak ada tanda-tanda

siapa-siapa. Lantai diselimuti abu Mogadorian, tapi keadaan

begitu sepi. Suara paling bising yang terdengar adalah deru

~284~

angin yang berembus ke dalam gedung melewati jendela
jendela yang sudah dihancurkan oleh para Mogadorian

ketika mereka masuk.

"Menurutmu kita sudah menghabisi mereka semua?"

bisik Sarah.

Sebagai jawaban, dari atap terdengar bunyi-bunyian,

seperti bunyi sepatu bot yang berlari. Pasti di atas sana ada

banyak Mogadorian yang sedang bersiap untuk melakukan

serangan kedua beberapa saat lagi, begitu mereka tahu

kelompok pertama gagal.

"Kita harus pergi dari sini," kataku sambil membantu

Sarah yang terpincang-pincang. Kami bergegas menyusuri

koridor.

Bernie Kosar berjalan dengan susah payah dan

muncul di hadapan kami, masih dengan wujud beruang.

Tampaknya dia terluka, samping kanan tubuhnya berasap

akibat tembakan blaster. Dia menatapku seakan berusaha

menyampaikan sesuatu. Andai aku punya kemampuan

telepati dengan binatang seperti John. Entah mengapa, BK

tampak sedih. Sedih, tapi penuh tekad.

"Kau baik-baik saja, Bernie?" tanya Sarah.

BK menggeram, lalu berubah wujud menjadi elang.

Dia terbang ke jendela lalu keluar dan membubung.

Tampaknya BK pergi untuk menahan Mogadorian di atap,

sementara kami mengevakuasi John dan Ella. Tiba-tiba, aku

sadar apa arti tatapan BK tadi. Dia mengucapkan selamat

berpisah, kalau-kalau ini kali terakhir kami melihatnya. Aku

menarik napas dalam-dalam.

"Ayo, jalan," kataku pelan.

Pintu menuju kamar Ella diblokir oleh rak buku yang

dibalik. Rak itu penuh lubang peluru. Pasti ayahku

menggunakan rak ini sebagai perlindungan.

"Dad?" bisikku. "Sudah aman. Ayo, kita pergi."

~285~

Tidak ada jawaban.

"Dad?!" aku mengulangi lebih keras, suaraku

gemetar.

Tetap tidak ada jawaban. Aku menghantamkan bahu

keras-keras ke rak buku itu, tapi benda tersebut tak

bergerak. Aku merasa mual dan putus asa. Kenapa dia tak

menjawab?

"Di atas!" ujar Sarah sambil menunjuk. Di atas sana,

di antara rak buku dan bagian atas kusen pintu, ada rongga

yang cukup besar untuk dilewati. Aku memanjat

melewatinya, menyebabkan Iututku tergores dan menda rat

dengan canggung di balik rak itu. Cuma beberapa detik, tapi

cukup untuk membayangkan tubuh ayahku bolongbolong

terkena tembakan, sementara John dan Ella terbunuh dalam

tidur mereka.

"Dad??" Aku tersengal. Waktu seakan melambat.

Aku berjalan terhuyung ke tempat tidur dengan kaki lemas.

"Dad?"

John dan Ella tampaknya tidak apa-apa. Mereka

masih tidak sadarkan diri, benar-benar tak menyadari

kekacauan di sekeliling mereka. Juga tidak menyadari tubuh

ayahku yang tergeletak menyelimuti mereka.

Mata ayahku tertutup. Tubuhnya berdarah akibat

luka di perut. Kedua tangannya mencengkeram perut,

seolah-olah berusaha menahan agar dirinya tetap utuh.

Senapannya yang kehabisan peluru tergeletak di lantai,

gagangnya dibalut noda darah berbentuk telapak tangan.

Aku bertanya-tanya berapa lama ayahku terus

melawan setelah tertembak.

Sarah terkesiap saat memanjat dari balik rak buku.

"Oh, tidak. Sam ...."

Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain memegang

tangan ayahku. Dingin. Air mataku menggenang. Aku teringat

~286~

percakapan terakhir dengan ayahku. Aku menganggapnya

pengkhianat. "Maafkan aku," bisikku.

Aku nyaris melompat saat tanganku diremasnya.

Mata ayahku membuka. Dia tampak berusaha

memusatkan pandangan ke arahku, dan aku tersadar

kacamatanya tidak ada, hancur entah di mana pada saat

pertempuran tadi.

"Aku melindungi mereka selama mungkin," kata

ayahku dengan suara tercekik, cairan menggelegak dari

tubuhnya dan mengalir dari ujung bibir.

"Ayo, kita pergi dari sini," jawabku sambil berlutut di

sampingnya.

Bayangan nyeri berkelebat di wajahnya. Dia

menggeleng. "Aku tidak, Sam. Kalian yang harus pergi."

Terdengar lolongan dari pertempuran di atap. Bernie

Kosar, putus asa dan kesakitan.

Sarah menyentuh bahuku dengan lembut. "Sam,

maaf. Kita tak punya waktu."

Aku mengangkat bahu menepiskan tangan Sarah, lalu

menggeleng. Aku memandangi ayahku dengan pipi dialiri air

mata. "Tidak," aku mendesis marah, "kau tidak boleh

meninggalkan aku lagi."

Sarah berusaha menyelinap melewatiku dan menarik

tubuh Ella dari bawah ayahku. Aku tidak membantu. Aku

tahu tindakanku ini bodoh dan egois, tapi aku tak dapat

membiarkan ayahku pergi begitu saja. Seumur hidup aku

mencarinya, tapi sekarang semuanya berantakan.

"Sam ... pergilah," bisik ayahku.

"Sam," pinta Sarah yang menggendong Ella. "Kau

harus membawa John, lalu kita harus pergi."

Aku menatap ayahku. Dia mengangguk pelan. Darah

mengucur dari samping bibirnya. "Pergi, Sam," katanya.

"Tidak," bantahku sambil menggeleng, karena tahu

~287~

meninggalkannya itu salah dan tidak berbelas kasihan.

"Tidak, kecuali kau ikut."

Namun, kami terlambat. Tali yang tergantung di luar

jendela menegang saat satu Mogadorian meluncur masuk.

Kami terlalu lama. Bernie Kosar tak sanggup menghentikan

mereka. Serangan kedua dimulai.

~288~

34

GELEMBUNG UDARA MUNCUL KE PERMUKAAN RAWA di

tempat Nomor Sembilan dibenamkan. Sudah hampir satu

menit dia ditahan di sana. Aku berjalan ke tepi, ingin

mencebur masuk dan menyelamatkan Nomor Sembilan, tapi

tidak yakin apakah Nomor Lima akan membiarkanku.

Nomor Lima memandangiku lekat-lekat dengan sebelah alis

terangkat, seakan-akan ingin tahu bagaimana reaksiku dan

Nomor Delapan.

"Di mana Nomor Lima yang asli?" tanya Nomor

Delapan pelan. "Kau apakan dia?"

Nomor Lima mengerutkan alis karena bingung, lalu

tersenyum. "Oh, kau mengira aku Setrakus Ra," kata Nomor

Lima sambil menggeleng. "Tenang, Delapan. Aku Nomor

Lima yang asli. Ini sama sekali bukan tipuan."

Seakan ingin membuktikan kata-katanya, Nomor

Lima mengulurkan tangan yang satu lagi ke bawah untuk

membuka kunci Peti. Setelah itu, dia menutupnya lagi lalu

memandang kami. "Lihat?" Aku dan Nomor Delapan tetap

diam di tempat, tidak tahu harus berbuat apa.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keluarkan Nomor Sembilan dari air, Lima," kataku

sambil menjaga agar suaraku tetap tenang, sebisa mungkin

tidak panik.

"Sebentar," jawabnya. "Aku ingin bicara dengan

kalian berdua tanpa diganggu Nomor Enam dan Nomor

Sembilan.

"Kenapa?kenapa kau menyerang kami?" Nomor

Delapan bertanya, marah sekaligus tak percaya. "Kami ini

temanmu."

Nomor Lima memutar bola mata. "Kau spesiesku,"

jawabnya, "tapi bukan berarti kita berteman."

"Keluarkan Nomor Sembilan dari air, setelah itu kita

~289~

bicara," aku memintanya.

Nomor Lima mendesah, lalu mengangkat Nomor

Sembilan. Dia megap-megap, sorot matanya berapi-api dan

marah, masih terperangkap dalam cekikan erat Nomor Lima.

Sekuat apa pun mencoba, dia tidak dapat membebaskan diri.

"Tidak begitu kuat, toh?" ejek Nomor Lima. "Oke,

tarik napas dalam-dalam."

Dia mencelupkan Nomor Sembilan kembali ke air.

Sementara itu, Nomor Enam tidak bergerak.

Kepalanya miring dengan tidak nyaman dan memar besar

terbentuk di rahangnya. Napasnya juga pendek-pendek. Aku

berjalan ke arah Nomor Enam, ingin menyembuhkannya,

tapi telekinesis Nomor Lima mendorongku mundur dengan

lembut.

"Kenapa kau melakukan ini?!" aku berteriak ke

arahnya dengan mata berkaca-kaca.

Dia tampak agak terkejut mendengarku

membentaknya. "Karena kalian berdua baik kepadaku,"

jawabnya seakan-akan itu hal yang jelas. "Karena kalian

tidak seperti Sembilan dan Enam. Kurasa kalian belum dicuci

otak oleh Cepan kalian sehingga berpikir melawan adalah

satu-satunya cara untuk maju. Delapan, kau membuktikan

itu di India, saat membiarkan para prajurit mati demi

dirimu."

"Jangan ungkit-ungkit itu," Nomor Delapan berdesis.

"Aku tak pernah berniat menyebabkan siapa pun terluka."

"Cuci otak?" aku berseru. "Kau bilang kami dicuci

otak?"

"Tak apa," Nomor Lima menenangkan kami.

"Pemimpin Tercinta adalah orang yang pemaaf. Dia akan

menyambut kalian. Masih ada waktu untuk bergabung

dengan tim pemenang."

Tim pemenang? Aku tak dapat memercayai

~290~

pendengaranku. Perutku mual, aku merasa ingin muntah. Ini

mustahil? "Kau bekerja sama dengan mereka?"

"Aku minta maaf sudah membohongi kalian, tapi ini

perlu dilakukan. Aku baru enam bulan di planet ini saat

mereka menemukanku," Nomor Lima menjelaskan dengan

muram. "Saat itu Cepanku sudah tiada akibat penyakit

manusia yang mengerikan?bagian itu benar, hanya saja

kejadiannya tidak seperti yang kuceritakan. Para

Mogadorian membawaku. Mereka menolongku. Kalau kalian

sudah membaca Kitab Agung, kalian akan mengerti mengapa

seharusnya kita tidak melawan mereka. Seluruh planet ini?

seluruh jagat raya bisa jadi milik kita."

"Mereka melakukan sesuatu kepadamu, Lima,"

kataku, nyaris berbisik, merasa kasihan sekaligus ngeri

terhadapnya. "Tidak apa. Kami dapat menolongmu."

"Lepaskan Sembilan," Nomor Delapan

menambahkan. "Kami tidak ingin menyakitimu."

"Menyakitiku?" Nomor Lima mengulangi, lalu

tergelak. "Itu bagus juga."

Dia menyentakkan Nomor Sembilan keluar dari air,

lalu melontarkan tubuhnya ke pohon yang berbonggol
bonggol itu. Aku berusaha menghentikan lajunya dengan

telekinesis, tapi kejadiannya terlalu cepat dan Nomor Lima

terlalu kuat. Punggung Nomor Sembilan menghantam batang

pohon dengan begitu kuat sampai-sampai ranting- ranting di

bagian atas pohon tersebut bergetar. Dia menjerit sambil

melengkungkan tubuh, aku tahu tulang rusuk dan mungkin

juga tulang punggungnya patah.

"Apakah kalian tahu pura-pura jadi orang lemah itu

sangat mengesalkan?" tanya Nomor Lima. Lengan karetnya

merayap ke tubuhnya dan kembali normal. "Kalian dilatih

oleh Cepan-Cepan yang menyedihkan, kalau beruntung.

Melakukan hal tak penting dengan Peti dan Pusaka kalian,

~291~

tanpa memahami apa-apa. Aku dilatih oleh pasukan tempur

paling kuat di dunia dan kau mengancam akan

menyakitiku?"

"Kurang lebih begitulah," jawab Nomor Delapan. Dia

berubah wujud menjadi singa bertangan sepuluh, menjulang

di atas Nomor Lima.

Namun, sebelum Nomor Delapan sempat menyerang,

Nomor Lima meniup sulingnya. Monster mutan yang selama

ini menanti dengan sabar, tiba-tiba melompat ke udara dan

menghantam Nomor Delapan. Hewan itu mengepak
ngepakkan sayap dan mengatup-ngatupkan rahangnya,

sementara tangan bercakar Nomor Delapan menebasnya

sebagai balasan. Kedua makhluk raksasa itu jatuh ke lumpur

dan bergulingan. Dengan senang, Nomor Lima menonton

Nomor Delapan bergulat dengan monster peliharaannya.

"Jangan saling menyakiti," Nomor Lima berseru

kepada mereka. "Kita masih bisa berteman."

Aku tidak tahu apakah Nomor Lima bercanda atau

apakah dia memang benar-benar tidak waras. Namun yang

penting saat ini perhatiannya teralihkan. Nomor Sembilan

mengerang di dasar pohon. Dia berusaha mendorong

tubuhnya hingga berdiri, tapi tampaknya kakinya tidak

dapat digerakkan. Sementara itu, Nomor Enam masih belum

bergerak. Aku tidak tahu yang mana yang lebih

membutuhkanku. Namun, karena Nomor Enam lebih dekat

denganku, aku menghampiri dan berlutut di sampingnya, lalu

menekankan tangan ke tengkoraknya yang luka.

Tiba-tiba, tubuhku terangkat dari tanah sehingga

kakiku menggantung di udara. Nomor Lima. Dia

mengangkatku dengan menggunakan telekinesis.

"Hentikan!" aku berteriak kepadanya. "Biarkan aku

menyembuhkannya!"

Nomor Lima menggeleng-geleng kecewa. "Aku tak

~292~

mau dia disembuhkan. Dia itu seperti Sembilan?dia tak

akan pernah mengerti. Jangan melawanku, Marina."

Sepotong dahan menghantam belakang kepala

Nomor Lima, membuyarkan konsentrasinya sehingga aku

jatuh ke tanah. Nomor Lima berbalik tepat waktu dan

melihat Nomor Sembilan mencabut dahan lain dengan

telekinesis.

"Manisnya," komentar Nomor Lima sambil mengelak

dari bidikan Nomor Sembilan dengan mudah.

"Sini!" geram Nomor Sembilan yang berhasil

membuat tubuhnya duduk bersandar ke pohon. "Aku tidak

butuh kaki buat menendang pantat gendutmu."

"Selalu bicara kasar sampai titik darah penghabisan,"

Nomor Lima mendesah. "Kau tahu apa yang terjadi di

Chicago saat ini? Apartemen mewahmu diserbu oleh para

Mogadorian. Sebelum kau mati, aku ingin kau tahu tempat

konyolmu itu dibakar habis, Sembilan."

"Kau memberi tahu mereka tentang Chicago?" aku

berseru. Aku benar-benar kaget, tapi saat Nomor Lima

menoleh ke arahku, aku melihat kesempatan. Dia suka

mendengar suaranya sendiri?nah, aku dapat menggunakan

itu untuk mengalihkan perhatiannya. Nomor Sembilan tidak

mampu bertarung. Aku perlu mengulur waktu demi dirinya.

"Tega sekali kau! Bagaimana dengan Ella dan yang lain?"

"Ella akan baik-baik saja," kata Nomor Lima.

"Pemimpin Tercinta menginginkannya hidup-hidup."

"Dia menginginkan Ella hidup-hidup? Kenapa?

Kukira dia ingin kita semua mati."

Nomor Lima hanya tersenyum, lalu kembali

memandang Nomor Sembilan.

"Apa yang diinginkannya dari Ella, Lima?!" aku

menjerit, merasakan panik melanda. Nomor Lima

mengabaikanku dan terus berjalan menuju Nomor Sembilan.

~293~

Kuharap Nomor Sembilan sanggup menahannya cukup lama

supaya aku dapat menyembuhkan Nomor Enam. Aku

merangkak menghampiri Nomor Enam dan memangku

kepalanya. Tengkoraknya retak, hidung dan rahangnya

patah. Aku berusaha berkonsentrasi dan mengalirkan energi

sedingin es dari Pusakaku.

Namun, jeritan liar membuyarkan konsentrasiku. Di

lumpur, Nomor Delapan berhasil menindih si monster. Dua

kepala monster itu sudah tergantung lemas. Namun yang

tengah masih hidup dan sedang menyerang Nomor Delapan

dengan ganas. Nomor Delapan berhasil menangkap

rahangnya dengan keenam tangannya, membuka paksa

rahang hewan tersebut sampai berderak patah,

menyebabkan kepalanya terbelah dua. Sayap raksasa si

monster mengepak-ngepak liar sebentar sebelum akhirnya

diam. Kemudian, tubuhnya perlahan-lahan mulai terburai.

Nomor Lima menonton adegan itu. "Bagus sekali!"

dia berseru kepada Nomor Delapan. "Tapi percayalah, masih

ada banyak di tempat asalnya."

Nomor Delapan berlutut di lumpur. Dia sudah

kembali ke sosoknya yang normal, tak sanggup

mempertahankan wujud awataranya lebih lama. Aku tahu

dia terluka. Sekujur dada, lengan, bahkan telapak tangannya

dihiasi bekas gigitan yang masih berdarah. Nomor Delapan

sudah mati-matian mengalahkan hewan buas itu. Namun, dia

masih berusaha bangkit dengan tubuh gemetar.

Nomor Lima, dengan kulit logam berkilauan tertimpa

sinar matahari yang memudar, berdiri menjulang di dekat

Nomor Sembilan yang mencibir menantang. "Mau memukul

orang yang tak bersenjata? Dasar pengkhianat berengsek!"

Sebelum Nomor Lima sempat menjawab, Nomor

Sembilan meraih dengan menggunakan telekinesis.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tongkatnya, yang pastilah terjatuh saat lehernya dibelit

~294~

Nomor Lima, terangkat dari air lumpur lalu melesat kencang

ke arahnya.

Nomor Lima menangkap tongkat yang sedang

melesat tersebut. Aku melihat dia menangkap tongkat

dengan tangan kanan. Itu berarti, bola yang dia gunakan

untuk mengaktifkan Pusakanya ada di genggaman tangan

kiri.

Nomor Lima mengangkat tongkat itu, lalu

menghantamkan ke lutut logamnya, lalu membelahnya

menjadi dua bagaikan sepotong kayu bakar. "Ya. Itu betul."

Sebelum Nomor Lima sempat bergerak, Nomor

Delapan berteleportasi di antara Nomor Lima dan Nomor

Sembilan. Tubuhnya terbungkuk, napasnya terengah-engah,

dan tubuhnya berdarah-darah. Meskipun begitu, dia tetap

berdiri. "Hentikan kegilaan ini, Lima!"

Aku terus mengawasi apa yang terjadi di dekat

pohon itu sambil berkonsentrasi menyembuhkan Nomor

Enam. Aku dapat merasakan tengkoraknya mulai menyatu

dan bengkak di wajahnya mengempes. Kuharap aku dapat

menyembuhkannya dengan cepat. Kami sangat

memerlukannya.

"Ayolah, Enam ...," bisikku. "Bangunlah."

Nomor Lima bimbang melihat Nomor Delapan yang

berdiri di hadapannya, sebagian kemarahannya terhadap

Nomor Sembilan lenyap. "Menyingkirlah, Delapan.

Tawaranku masih berlaku, tapi hanya kalau kau

membiarkanku menghabisi si tolol besar mulut ini."

"Coba saja!" seru Nomor Sembilan.

"Diam!" bentak Nomor Delapan sambil menoleh. Dia

mengulurkan tangan kepada Nomor Lima. "Kau tidak

berpikir dengan baik, Lima. Mereka melakukan sesuatu

kepadamu. Tapi hatimu tahu, ini tidak benar."

Nomor Lima mendengus. "Kau ingin bicara tentang

~295~

apa yang benar? Apakah mengirimkan sekelompok anak

kecil ke planet asing supaya mereka dapat bertarung dalam

perang, yang bahkan tidak mereka pahami itu benar? Apakah

memberi nomor dan bukannya nama kepada anak-anak

tersebut itu benar? Itu gila."

"Begitu juga menyerang planet lain," Nomor Delapan

membantah. "Menghabisi rakyatnya."

"Tidak! Kau tidak tahu apa-apa," balas Nomor Lima

sambil tertawa. "Ekspansi Agung harus terjadi."

"Pembantaian harus terjadi? Itu gila!"

Nomor Enam di pangkuanku bergerak. Dia belum

sadar, tapi tampaknya aku berhasil menyembuhkannya. Aku

menurunkannya dengan lembut, lalu berjalan pelan

mendekati yang lain. Nomor Lima tidak memperhatikanku.

Sekarang dia mengoceh, hampir seperti meracau.

"Kalian bertarung karena Cepan kalian bilang itulah

yang diinginkan oleh Tetua kalian! Pernahkah kalian

bertanya mengapa? Atau siapa sebenarnya Tetua kalian itu?

Tidak, tentu saja tidak! Kalian cuma menjalankan perintah

para orang tua yang sudah tiada tanpa pernah

mempertanyakannya! Dan kalian bilang aku gila?"

"Yah!" geram Nomor Sembilan. "Apakah kau

mendengar kata-katamu sendiri?"

"Kau bingung. Kau telah menjadi tawanan mereka

selama bertahun-tahun tanpa kau sadari. Tenanglah. Kita

bisa membicarakannya," kata Nomor Delapan. "Kita

seharusnya tidak bermusuhan."

Namun, Nomor Lima sudah tidak mendengarkan

Nomor Delapan. Kupikir tadi Nomor Delapan punya

kesempatan untuk membujuk Nomor Lima, tapi komentar

terakhir Nomor Sembilan membuatnya marah lagi. Nomor

Lima menurunkan bahu dan mencoba menerjang Nomor

Delapan.

~296~

Aku meraih tangan kiri Nomor Lima dengan

menggunakan telekinesis, berusaha membuka jari-jarinya

agar bola di tangannya jatuh. Dia tersentak menjauh dari

Nomor Delapan, kaget, berusaha melawanku.

"Tangan kirinya!" aku berseru. "Bantu aku

membukanya!"

Dari ekspresi mereka, aku tahu Nomor Delapan dan

Sembilan memahami maksudku. Nomor Lima berteriak

kesakitan sekaligus kesal. Sesaat aku merasa diriku ini jahat.

Sekali lagi, kami bertiga bersekongkol melawannya. Sejak

bergabung dengan kami, pasti dia selalu merasa seperti ini?

orang asing. Dia tersesat, bingung, dan marah. Namun, kami

bisa memikirkan soal memperbaiki hubungan kami dan

meluruskan persepsinya yang kacau itu nanti. Saat ini, dia

harus dihentikan.

"Tolong jangan melawan," aku menangis. "Kau cuma

membuatnya jadi makin parah."

Nomor Lima menjerit lagi saat buku-buku jarinya

berderak keras. Tulang-tulang kecil di tangannya mungkin

remuk akibat serangan telekinesis gabungan kami. Kedua

bola yang dipegangnya jatuh ke tanah dan bergulir ke bawah

akar-akar pohon. Nomor Lima mendekap tangannya dan

jatuh berlutut. Dia memandangku, sepertinya dia tahu akulah

yang pertama kali menyerang tangannya dan itu membuat

kekalahannya terasa lebih pahit.

"Semua akan baik-baik saja," aku berkata, tapi kata
kataku terdengar hampa. Aku berusaha menghibur Nomor

Lima, tapi saat memandangnya, aku merasa jijik seperti yang

kurasakan terhadap Mogadorian. Nomor Lima ingin

membunuh Nomor Sembilan?salah satu rasnya, salah satu

dari kami. Bagaimana mungkin kami memaafkannya?

Nomor Delapan mendekat dan memegang bahu

Nomor Lima. Sepertinya keinginan untuk bertarung sudah

~297~

lenyap dari dirinya.

Nomor Lima terisak sambil menggeleng. "Seharusnya

tidak begini ...," katanya pelan.

"Cengeng," ujar Nomor Sembilan.

Sekonyong-konyong, ekspresi Nomor Lima

menggelap. Sebelum kami sempat menghentikannya, dia

sudah mendorong Nomor Delapan ke samping,

menyebabkannya terhuyung dan jatuh. Nomor Lima terbang.

"Jangan!" aku berseru.

Namun, Nomor Lima sudah melesat ke arah Nomor

Sembilan. Pedang pergelangan tangan yang diambilnya dari

Peti memanjang diiringi derit melengking logam, panjangnya

tiga puluh sentimeter dan bentuknya seperti jarum, akurat

sekaligus mematikan.

Nomor Sembilan berusaha berguling ke samping, tapi

lukanya terlalu parah dan dia tidak dapat bergerak. Rumput

di sekitar Nomor Sembilan rata dengan tanah, dan aku tahu

Nomor Lima menahannya dengan menggunakan telekinesis.

Aku berusaha menggunakan telekinesis untuk

menarik Nomor Sembilan ke arahku, tapi tubuhnya tidak

bergerak. Cengkeraman telekinesis Nomor Lima terlalu kuat.

Kejadiannya begitu cepat.

Nomor Lima menukik kencang dengan pedang

terhunus. Nomor Sembilan yang tidak mampu bergerak

menggertakkan gigi memandangi tikaman mematikan itu

turun mendekat.

Tiba-tiba, Nomor Delapan muncul di depan Nomor

Sembilan?dia melakukan teleportasi. "TIDAK!" teriak

Nomor Sembilan.

Bilah pedang Nomor Lima menghunjam ke dalam

jantung Nomor Delapan.

Nomor Lima mundur dengan kaget saat menyadari

apa yang telah dilakukannya. Mata Nornor Delapan

~298~

membelalak, noda darah muncul di dadanya. Dia terhuyung

menjauhi Nomor Lima, menuju diriku, dengan tangan

terulur. Dia berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada

kata-kata yang keluar. Lalu, tubuhnya roboh.

Aku menjerit saat goresan baru membakar

pergelangan kakiku.

~299~

35

AKU BERJALAN MELINTASI KOTA YANG HANCUR. Aku

berdiri di tengah jalan, tapi tidak ada kendaraan yang lalu
lalang. Mobil-mobil rusak menumpuk di pinggir jalan,

sebagian besar tinggal berupa rangka terbakar. Gedung
gedung di sekitarku?yang masih berdiri?hancur dan

diselimuti bekas-bekas terbakar. Sepatuku menginjak selapis

pecahan kaca.

Aku tidak mengenal kota ini. Kota ini bukan Chicago.

Aku berada di kota lain. Bagaimana aku bisa sampai di sini?

Hal terakhir yang kuingat adalah Ella meraih

lenganku lalu tempat ini. Bau terbakar yang menusuk

menguar di udara, tidak dapat dihindari. Mataku perih akibat

awan abu yang bertiup di jalanan lengang. Aku dapat

mendengar bunyi berderak dari kejauhan, di suatu tempat

masih ada kebakaran.

Aku terus berjalan melewati bekas medan perang ini.

Mulanya kupikir tidak ada orang lain. Namun, kemudian aku

melihat sekelompok laki-laki dan perempuan bertubuh

kotor berkerumun di puing-puing suatu kompleks

apartemen. Mereka berdiri mengerumuni tong sampah berisi

api, menghangatkan diri.

Aku mengangkat tangan untuk menyapa, lalu

berseru, "Halo! Apa yang terjadi?"

Para manusia itu mengerut saat melihatku. Mereka

ketakutan, lalu satu demi satu lenyap ke dalam kegelapan

gedung. Kurasa kalau aku mengalami apa pun yang terjadi di

sini, aku juga akan takut melihat orang asing. Aku terus

berjalan.

Angin berderu melewati jendela-jendela rusak dan

ambang-ambang pintu yang miring. Aku menajamkan

pendengaran. Kalau aku berusaha keras, aku dapat

~300~

mendengar suara yang terbawa angin.

John .... Tolong aku, John ....

Suara itu pelan dan jauh, tapi aku masih
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenalinya. Ella.

Kini, aku tahu di mana aku berada?yah, bukan

secara geografis, tapi di mana benakku berada. Entah

bagaimana, aku ditarik ke dalam mimpi buruk Ella. Rasanya

begitu nyata, seperti visi-visi mengerikan yang Setrakus Ra

gunakan untuk memengaruhiku. Aku menutup mata,

berkonsentrasi, dan memaksa diriku bangun. Tidak berhasil.

Saat membuka mata, aku masih berdiri di kota yang hancur

ini.

"Ella?" aku memanggil, merasa agak konyol karena

berbicara dengan udara. "Di mana kau? Bagaimana cara kita

keluar dari sini?"

Tidak ada jawaban.

Selembar robekan surat kabar terbang ke depanku

dan aku membungkuk untuk memungutnya. Halaman depan

Washington Post. Jadi, saat ini aku ada di Kota Washington.

Tanggal di koran menunjukkan beberapa tahun dari

sekarang. Ini visi masa depan yang kuharap tidak akan

pernah jadi kenyataan. Aku mengingatkan diriku bahwa

beginilah cara Setrakus Ra mempermainkan kami. Semua

yang ada di sini adalah ciptaannya.

Meski menyadari itu, foto di halaman depan koran

tersebut tetap membuatku terkesiap. Armada pesawat

Mogadorian muncul dari langit berawan di Washington,

melayang tepat di atas Gedung Putih. Tajuk utamanya hanya

berupa satu kata, dicetak tebal-tebal menggunakan huruf

kapital.

INVASI.

Saat mendengar bunyi berderu dari depan, aku

membuang surat kabar itu dan mulai berlari ke sana. Truk

~301~

militer gelap melintasi persimpangan jalan, bergerak lambat,

kanan dan kirinya diapit para Mogadorian. Aku buru-buru

berhenti untuk menunduk dan berlindung di salah satu gang

terdekat, tapi sepertinya para Mogadorian itu tak melihatku.

Kerumunan orang bergerak lambat di belakang truk.

Manusia. Mereka kurus dan pucat dengan pakaian usang

serta robek-robek, juga tampak kotor serta lapar, dan

sebagian besar terluka. Para manusia itu berbaris muram

dengan kepala tertunduk, wajah mereka mu rung. Prajurit

Mogadorian yang membawa meriam berjalan di samping

para manusia, tato gelap yang menutupi kulit kepala mereka

terpampang jelas. Tidak seperti para manusia, semua

Mogadorian itu tersenyum. Ada sesuatu yang terjadi?suatu

peristiwa penting atau semacamnya, dan para Mogadorian

ini ingin manusia menyaksikannya.

Angin berembus lagi. John ... lewat sini ...

Aku menyelinap ke kerumunan itu dan berjalan

bersama para manusia sambil menunduk. Aku mencuri-curi

kesempatan untuk memandang berkeliling Monumen

Washington menjulang kasar di cakrawala, setengah bagian

atasnya telah hancur. Kengerian memenuhi dadaku. Inilah

yang akan terjadi jika kami gagal.

Kami semua dibawa ke tangga Lincoln Memorial. Di

sana sudah ada manusia lain yang menanti dimulainya

pertunjukan memuakkan Mogadorian. Bendera Amerika

yang biasanya berkibar di atas gedung tersebut sudah

diturunkan dan digantikan oleh bendera hitam dengan

simbol merah Mogadorian. Yang lebih parah lagi, di

sepanjang tepi jalan ada tumpukan pecahan batu?yah,

awalnya kupikir itu batu. Saat mengamatinya, aku dapat

melihat wajah Lincoln dengan dahi dihiasi retakan besar.

Para Mogadorian menghancurkan patung itu dan

membuangnya dari gedung.

~302~

Aku mendesak maju ke depan kerumunan. Manusia
manusia ini tidak ingin berada di depan, jadi mereka

membiarkanku lewat begitu saja. Sebaris prajurit

Mogadorian berdiri di ujung bawah tangga, mengawasi

sambil mengarahkan meriam ke arah manusia-manusia

putus asa ini.

Setrakus Ra duduk di singgasana di atas Lincoln

Memorial. Tubuhnya yang besar dibalut seragam hitam yang

dihiasi tanda pangkat di bahu dan medali. Sebilah pedang

Mogadorian besar yang dilindungi sarung berukir terletak di

pangkuannya. Lehernya digantungi tujuh liontin Loric yang

permukaan birunya berkilauan diterpa sinar matahari sore.

Mata hitam Setrakus Ra memandangi kerumunan dengan

malas. Pandangannya melewatiku dan aku berjengit, siap

berlari, tapi dia seperti tidak melihatku.

John ... kau melihatku ...?

Aku menahan diri agar tidak terkesiap. Ella duduk di

singgasana kecil di samping Setrdkus Ra. Dia tampak lebih

tua dan lebih pucat. Rambutnya yang dicat hitam legam dan

dikepang ketat menjuntai dari bahu. Gaun yang

dikenakannya begitu anggun sehingga seolah-olah

dimaksudkan untuk mengejek para manusia berpakaian

compang-camping yang menatap kagum kepadanya.

Wajahnya datar, seakan dia sangat terbiasa menyaksikan

pemandangan suram seperti

Setrakus Ra menggenggam tangannya.

Aku menahan keinginan untuk berlari menaiki

tangga dan membunuhnya, mengingatkan diriku bahwa ini

semua tidak nyata, Lagi pula, kalaupun ini nyata, aku tidak

akan mampu melakukannya. Pasukan Mogadorian berdiri di

antara aku dan Setrakus Ra.

Kerumunan menyibak memberi jalan pada truk

militer tadi, yang kemudian berhenti di tangga Lincoln

~303~

Memorial. Bagian belakang truk itu terbuka. Aku dapat

melihat dua tawanan yang duduk berdempetan di dalamnya

dengan kepala menunduk dan tangan dibelenggu. Rasanya

aku kenal mereka.

Setrakus Ra berdiri saat truk tersebut berhenti.

Semua orang terdiam.

"Bawa mereka ke depan!" seru Setrakus Ra.

Satu prajurit Mogadorian bertubuh gempal keluar

dari barisan. Dia tidak mirip Mogadorian lainnya. Wajahnya

tidak begitu pucat dan tato gelap di kulit kepalanya seperti

masih baru. Salah satu matanya ditutupi penutup mata.

Matanya yang lain, yang masih berfungsi, tidaklah hitam dan

dingin seperti mata Mogadorian. Tanpa sadar, aku

melangkah mundur saat menyadari prajurit yang kulihat itu

sama sekali bukan Mogadorian.

Itu Nomor Lima! Ada apa ini? Mengapa dia

mengenakan seragam Mogadorian?

Nomor Lima menuntun tawanan pertama turun dari

belakang truk. Meski agak lebih tua dan ada bekas luka

panjang yang melintang melintasi hidung dan kedua pipinya,

aku langsung mengenali Sam. Dia terus menunduk, tidak

menatap mata Nomor Lima, tampak takut dan pasrah. Aku

menyadari kaki Sam pincang, yang semakin terlihat saat dia

dipaksa menaiki tangga Lincoln Memorial. Dia terantuk,

nyaris jatuh, dan sebagian Mogadorian yang menonton

terkekeh melihat pemandangan memalukan itu. Kemarahan

menggelegak di dadaku sehingga aku harus menarik napas

dalam-dalam karena merasakan Lumenku mulai aktif.

Tawanan kedua tidak begitu pasrah seperti Sam.

Meskipun tangan dan kakinya dibelenggu, Nomor Enam

berdiri dengan gagah. Rambut hitamnya sudah dipotong

pendek gaya spike seperti laki-laki dan wajahnya yang

masam menampakkan topeng kemarahan abadi, tapi dia

~304~

tetap luar biasa cantik. Dia mengedarkan pandangan ke arah

kerumunan manusia, menyebabkan sebagian besar dari

mereka menunduk malu. Nomor Lima mengucapkan sesuatu

yang tidak dapat kudengar, tapi sikapnya tampak seperti

menyesal. Sebagai jawaban, Nomor Enam meludahi

wajahnya. Sementara Nomor Lima menyeka ludah dari

pipinya, sekelompok prajurit Mogadorian memegangi

Nomor Enam dan menyeretnya ke tangga. Petarung hingga

titik darah terakhir.

Nomor Enam dan Sam dipaksa berlutut di hadapan

Setrakus Ra yang memelototi mereka sejenak sebelum

menyapa para penonton.

"Lihat!" dia berseru. Suaranya terdengar jelas karena

tidak ada yang bersuara. "Pemberontak Loric terakhir! Hari

ini, kita merayakan kemenangan besar dari orang-orang

yang menghalangi kemajuan yang Mogadorian buat."

Para Mogadorian bersorak-sorai. Para manusia tetap

diam.

Benakku berpacu. Kalau Nomor Enam dan Sam

adalah yang tersisa, itu artinya di masa depan ini, aku dan

yang lainnya sudah mati. Liontin-liontin yang tergantung di

leher Setrakus Ra?salah satunya adalah milikku. Sekali lagi

aku mengingatkan diriku bahwa ini sama sekali tidak nyata,

tapi tetap saja aku merasa ngeri.

Nomor Lima menaiki tangga dan berdiri di samping

Setrakus Ra. Dia memegangi sarung berukir, sementara

Setrakus menghunuskan pedang besarnya yang berkilauan.

Pemimpin Mogadorian itu mengacungkan pedang tersebut

agar semua orang dapat melihatnya, lalu berlatih

mengayunkannya tepat di atas kepala Sam. Seseorang di

kerumunan menjerit dan langsung dibungkam.

"Hari ini, kita mempererat perdamaian abadi antara

manusia dan Mogadorian," Setrakus melanjutkan. "Akhirnya,

~305~

kita akan mencabut duri terakhir yang mengganggu kejayaan

kita."

Ini sama sekali tidak tampak jaya. Para manusia

tampak putus asa setelah berbulan-bulan dijajah oleh Para

Mogadorian. Aku bertanya-tanya berapa banyak manusia

yang akan mengikutiku kalau aku berusaha menyerang

Setrakus Ra. Mungkin tidak ada. Aku tidak marah terhadap

para manusia ini, tapi aku marah kepada diriku. Seharusnya

aku dapat menyelamatkan mereka. Seharusnya aku

menyiapkan mereka untuk menghadapi apa yang akan

terjadi.

Setrakus belum selesai berpidato. "Pada hari

bersejarah ini, aku memutuskan untuk melimpahkan

kehormatan menjatuhkan hukuman kepada dia yang suatu
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari nanti akan menggantikanku sebagai Pemimpin Tercinta

kalian." Dengan sikap agung, Setrakus Ra memberi isyarat

kepada Ella. "Pewarisku? Bagaimana keputusanmu?"

Pewaris? Itu sama sekali tidak masuk akal. Ella

bukan Mogadorian. Dia itu Loric, seperti kami.

Sayangnya, aku tidak sempat merenungkan apa arti

itu semua. Aku memandangi Ella bangkit dari singgasananya

dengan tubuh gemetar, seperti terbius. Dia menunduk

menatap Nomor Enam dan Sam, matanya gelap dan tanpa

ekspresi. Kemudian, dia memandang para penonton dan

menatapku.

"Bunuh mereka," kata Ella.

"Baiklah," jawab Setrakus.

Setrakus membungkuk dalam-dalam. Kemudian,

dengan luwes, dia menebas kepala Nomor Enam dengan

pedangnya. Para penonton sama sekali tidak bersuara saat

tubuh Nomor Enam roboh, begitu sunyi sampai-sampai aku

dapat mendengar jeritan Sam. Dia menjatuhkan tubuhnya ke

jasad Nomor Enam, menangis sambil menjerit.

~306~

Aku merasakan sakit membakar di pergelangan

kakiku. Goresan baru terbentuk. Aku menutup mata saat

Nomor Lima menarik Sam dan menghadapkan tubuhnya ke

pedang Setrakus Ra. Aku tidak ingin melihat apa yang akan

terjadi, tidak ingin menyaksikan akibat kegagalanku

terhadap mereka semua. Ini tak nyata, aku berkata kepada

diriku.

Ini tak nyata, ini tak nyata ...

~307~

36

AKU TAHU NOMOR DELAPAN SUDAH TIADA. RASA sakit

dari goresan baru di kakiku masih terasa. Rasa itu mungkin

tidak akan pernah hilang, selalu menyertaiku sepanjang

hidup.

Namun, aku harus mencoba.

Aku berlutut di Lumpur di samping tubuh Nomor

Delapan. Lukanya tidak terlihat mengerikan. Darahnya tidak

sebanyak waktu di New Mexico, dan saat itu dia tetap hidup.

Seharusnya aku bisa menyembuhkannya, bukan? Mungkin

bisa. Harus bisa. Namun, luka yang satu ini menembus

jantungnya. Aku menekankan tanganku di luka tusukan itu

dan memaksa Pusakaku bekerja. Aku pernah melakukan ini.

Aku mampu melakukannya lagi. Harus.

Tidak terjadi apa-apa. Sekujur tubuhku terasa dingin,

tapi bukan rasa dingin seperti es dari Pusakaku.

Aku ingin sekali berbaring di samping Nomor

Delapan di air berlumpur ini dan melupakan semua yang

terjadi di sekelilingku. Aku bahkan tidak menangis?air

mataku seakan-akan habis dan hatiku terasa begitu hampa.

Beberapa meter di depanku, Nomor Lima berteriak,

tapi otakku tidak dapat memahami kata-katanya. Mata pisau

yang digunakannya untuk menikam Nomor Delapan sudah

kembali ke dalam sarung pergelangan tangannya. Dia

memegangi kepala, seakan-akan tidak memercayai apa yang

telah dilakukannya. Di bawah pohon, Nomor Sembilan

terdiam, syok. Andai tadi dia menutup mulutnya dan tidak

menyulut kemarahan Nomor Lima.

Nomor Enam akhirnya berdiri dengan linglung,

berusaha memahami luka baru di pergelangan kakinya.

Segalanya berantakan.

"Aku tak sengaja!" Nomor Lima mengoceh. "Aku

~308~

tidak bermaksud begitu! Marina, aku minta maaf. Aku tidak

bermaksud begitu!"

"Diam!" aku mendesis.

Seketika itu juga, terdengar dengung mengerikan me
sin pesawat Mogadorian. Alang-alang di sekeliling kami

bergoyang liar saat pesawat perak ramping tersebut

bergerak turun dari langit. Ini semua jebakan yang telah

diatur oleh Nomor Lima, jadi tentu saja dia sudah

menyiapkan bala bantuan di dekat sini.

Aku membungkuk dan mengecup pipi Nomor

Delapan dengan lembut. Aku ingin mengucapkan sesuatu,

mengatakan betapa mengagumkannya dirinya, betapa dia

membuat kehidupan mengerikan yang terpaksa kami jalani

menjadi terasa jauh lebih baik. "Aku tak akan pernah

melupakanmu," aku berbisik.

Aku merasakan bahuku disentuh. Saat berbalik,

ternyata Nomor Lima berdiri di dekatku.

"Seharusnya tidak begini," katanya membujukku.

"Ini kesalahan mengerikan, aku tahu! Tapi semua yang

kukatakan tadi itu benar."

Dia gila. Gila karena berani menyentuhku. Aku tak

percaya dia berani menyentuhku setelah apa yang

dilakukannya. "Tutup mulutmu!" aku memperingatkan.

"Kau tak mungkin menang, Marina!" dia melanjutkan.

"Sebaiknya kau bergabung denganku. Kau?kau?" Nomor

Lima tergagap saat napas yang keluar dari mulutnya jadi uap,

udara lembap di sekitar kami mendadak jadi dingin. Giginya

bergemeletuk. "Apo yang kau lakukan?"

Sesuatu dalam diriku terpicu. Aku tak pernah

semarah ini dan rasanya hampir menenangkan. Rasa dingin

Pusaka penyembuhku menyebar ke seluruh tubuh, tapi

entah bagaimana yang ini berbeda. Dingin, getir, sekaligus

mati. Aku memancarkan dingin. Air rawa keruh di dekatku

~309~

dan Nomor Lima berderak karena permukaannya

sekonyong-konyong menjadi es. Tanaman-tanaman di

sekelilingku melayu, terkulai lemas diterjang kebekuan.

"Ma-Marina? Hentikan ...." Nomor Lima, yang

memeluk tubuhnya agar tetap hangat, melangkah

menjauhiku. Dia terpeleset di es dan nyaris terjatuh.

Dengan tubuh dialiri Pusaka baru, aku bertindak

murni berdasarkan kemarahan. Aku menyentakkan tangan

ke atas, menyebabkan es di bawah Nomor Lima berubah

menjadi pasak es bergerigi yang melesat naik dari tanah.

Nomor Lima tidak cukup cepat menyingkir sehingga

pasak es itu menembus kakinya, memakunya di tempat. Dia

menjerit, tapi aku tidak peduli.

Saat Nomor Lima membungkuk dan mencengkeram

kakinya yang tertusuk, pasak es lain melesat naik

menghunjam wajahnya. Seandainya pasak es itu lebih besar,

mungkin dia sudah mati. Namun, es itu hanya mengenai

sebelah matanya.

Nomor Lima roboh ke tanah beku dengan posisi aneh

karena kakinya masih tertancap di es. Dia memegangi

wajahnya sambil menjerit. "Hentikan! Tolong, hentikan!"

Dia itu monster. Dia pantas mendapatkannya. Tapi

tidak. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak seperti dia.

Aku tidak akan membunuh kaumku dengan darah dingin,
bahkan setelah apa yang dilakukannya.

"Marina!" Nomor Enam berseru. "Ayo!"

Pesawat Mogadorian sudah mendarat dan pintunya

membuka. Di samping pohon yang sekarang ranting
rantingnya diberati es, Nomor Enam menaikkan Nomor

Sembilan ke bahunya. Dia mengulurkan tangan ke arahku.

Aku memandang Nomor Lima sekali lagi. Dia

menutupi wajah dengan kedua tangan, memegangi matanya

yang hancur. Dia menangis, air mata membeku di pipinya.

~310~

"Kalau aku melihatmu lagi, pengkhianat keparat,"

teriakku,"kucongkelmatamuyangsatulagi!"

Nomor Lima mengeluarkan suara berdeguk lemah.

Menyedihkan.

Saat akanberlari menuju Nomor Enam, aku berhenti.

Di kakiku ada tubuh Nomor Delapan yang terbungkus

sepotong es padat. Saat aku menyadari apa yang kulakukan,

udara di sekelilingku mulai menghangat. Aku berlutut, lalu

menempelkan tangan ke lapisan es yang memisahkanku dari

Nomor Delapan. Aku ingin membawanya bersama kami,

menjauhkannya dari para Mogadorian, lalu

membaringkannya agar dapat beristirahat dengan layak, tapi

kami tidak dapat menunggu es mencair. Nomor Enam

berseru ke arahku, sementara para Mogadorian semakin

dekat.

"Maafkan aku," bisikku, sekali lagi hatiku terasa

hampa.

Aku berlari menghampiri Nomor Enam dan meraih

tangannyayangterulur.Kamimenghilang.

~311~

37

AKU TERSENTAK BANGUN DAN LANGSUNG DUDUK tegak

di tempat tidur yang bukan tempat tidurku. Seketika itu juga,

aku tahu aku sudah kembali ke dunia nyata. Sakit membakar

dari goresan baru di pergelangan kakiku begitu luar biasa

sampai-sampai aku terbangun. Sebentar---mimpi buruk itu


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Pengemis Binal 06 Malaikat Bangau Sakti

Cari Blog Ini