Ceritasilat Novel Online

The Fall of Five 4

The Fall of Five Karya Pittacus Lore Bagian 4

Delapan, "tapi apa gunanya jika kita satu-satunya yang

tersisa?"

"Aku mau mencoba sesuatu," kataku sambil

mengambil kembali botol itu dari John. Denganhati-hati, aku

memiringkantabungtersebut sehinggahanyasatutetesyang

jatuh ke telapak tanganku. Cairan tersebut berubah jadi biru

dan sensasi geli menyebar di telapak tanganku. Kemudian,

tetesan itu bergetar dan membesar, bertambah berat dan

padat, hingga akhirnya di tanganku ada segumpal batu

Loralitemulus.

"Wow," Nomor Delapan berseru. Dia mengambil

batu itu dari tanganku dan membolak-baliknya sambil

memeriksa.

"Wow." Malcolmmembungkuk danmenatapbatuitu

dengan kagum. "Apa pun bahannya, benda ini melawan

hukumfisika."

"Jadi, kita dapat membuat Loralite dengan cairan

itu," John merenung. "Aku dan Nomor Sembilan punya

sesuatuyangtampaknyadapat digunakanuntuk bertani atau

~186~

bercocok tanam. Nomor Delapan punya benda yang dapat

memanggil Chimaera. Itu semua adalah barang yang dapat

membantu kami memulihkan Lorien, bukan?"

"Benar," Malcolm menyepakati.

Aku menutup kembali botol itu karena tidak ingin

menghamburkan cairan Loralite kami yang berharga.

Kami kembali melakukan pendataan barang yang

Malcolm catat secara terperinci. Kami semua ingin

mempelajari Warisan kami dengan sebaik mungkin?yah,

kecuali Nomor Sembilan yang terus-terusan memandangi

pintu Aula Kuliah. Dia memaksa kami berjanji untuk berlatih

bersamanya setelah selesai melakukan semua "pekerjaan

otak" ini. Sejujurnya, aku juga tak sabar ingin segera berlatih.

Aku merasa harus belajar banyak supaya siap bertempur

seperti yang lain.

Setelah yang lain pergi, aku dan Nomor Delapan

tinggal di ruangan tersebut sambil memasukkan kembali

semua barang ke Peti Loric masing-masing. Aku juga

memasukkan batu Loralite yang kubuat, tapi Nomor Delapan

mengambilnya. Dia meremas batu itu kuat-kuat sambil

berkonsentrasi.

"Apa yang kau lakukan?"

Dia membuka mata dan mendesah. "Aku ingin tahu

apakah batu ini dapat kugunakan untuk melakukan

teleportasi ke salah satu batu Loralite lain. Aku pernah

mencoba menggunakan liontinku, tapi tak berhasil. Mungkin

karena kurang besar."

"Apa? Kau ingin pesiar sebentar ke Stonehenge? Atau

Somalia?" Aku mengambil kembali batu itu, dan

memasukkannya ke Peti, lalu mengunci Peti tersebut.

"Mulai saat ini, segala sesuatunya pasti akan bergulir

dengan cepat. Aku hanya berharap kita sempat melakukan

penjelajahan."

~187~

"Kita?" aku berseru. Wajahku tiba-tiba terasa papas.

"Kaumauakuikutbersamamudenganteleportasi?"

Nomor Delapan melemparkan senyuman memesona.

"Cumasebentar.Memangnyakautak butuhistirahat?"

Nomor Delapan benar, jelas. Setelah terbangun

sebelumfajarkarenajeritanElladanmenyaksikangambaran

mengerikan Chicago, aku perlu istirahat sejenak dari urusan

Loric. Namun, sekarang tidak ada waktu untuk itu. Aku

menyentuhlenganNomorDelapan.

"Maaf," aku menjawab. "Kita harus serius. Seperti

kata Sembilan, tidak ada waktu untuk berjalan-jalan ke

negeriasingataubahkanpantai."

Nomor Delapan mendesah kecewa, tapi tidak kesal.

"Yah," katanya, "setidaknya masih ada pizza." Dia diam

sejenak, seperti ingin mengatakan hal lain. Namun, tiba-tiba

Nomor Sembilan muncul. Dia sudah mengenakan pakaian

olahraga.

"Hei,pecundang,sudahsiaplatihan?"

~188~

22

"AYO, KITA JEMPUT LIMA," USUL NOMOR

SEMBILAN dengan geram setelah aku dan Nomor Delapan

gantipakaian.

"Anak ituperluolahraga."

Kami menemukan Nomor Lima berselonjor di salah

satu sofa di ruang duduk. Dia sedang memainkan salah satu

video game koleksi Nomor Sembilan di televisi layar besar.

Karena tidak pernah memainkan permainan seperti itu, aku

jadi pusing melihat Nomor Lima bermain. Game itu

menggunakan sudut pandang orang pertama. Karakter yang

Nomor Lima mainkan berlari melintasi medan perang sambil

membawa senapan mesin dan menembaki tentara. Nomor

Lima bahkan tidak sadar kami sudah ada di ruangan itu

sampaiNomorDelapanberdehamkeras-keras.

"Oh, halo Teman-Teman," ujar Nomor Lima tanpa

repot-repot menghentikan game. "Game ini keren banger.

Kamitak punyayangsepertiinidipulau.Lihat."

Di layar, karakter Nomor Lima melemparkan granat.

Segerombolan prajurit musuh yang bersembunyi di balik

tumpukan pasir meledak dan anggota tubuh mereka jatuh

berhamburan. Aku berpaling. Setelah melihat mimpi Ella tadi

pagi,video gameituterasaagak terlalurealistis.

"Keren," ujarNomorDelapansopan.

Nomor Sembilanmenguap. Dia berdiri tepat di depan

televisi sehingga Nomor Lima terpaksa menghentikan

permainannya. "Waktu kecil aku sangat suka permainan

seperti ujar Nomor Sembilan. "Sekarang aku lebih suka yang

sungguhan.Mauikut?"

Nomor Lima mengangkat sebelah alisnya. "Yang

sungguhan? Kita akan membunuh para tentara di ... mmm

??" Dia menyipitkan mata ke arah kotak video game

~189~

tersebut. "Perang Dunia Kedua. Sepertinya sejarah duniaku

agak karatan karena kupikir perang itu sudah selesai."

"Kami mau latihan," ujar Nomor Sembilan jengkel.

"Dari cerita tentang kejadian di Arkansas yang kudengar,

sepertinya kau butuh latihan."

Aku melihat kilatan marah di mata Nomor Lima dan

sesaat kupikir dia bakal melompat dari sofa. Namun,

kemudian dia bersandar, menyilangkan lengan di dada, dan

berusaha keras menjaga agar ekspresinya tetap datar.

"Aku sedang tidak mau," sahut Nomor Lima. Dia

meregangkan tubuh di sofa dengan gaya dilebih-lebihkan.

"Lagi pula, game ini bagus untuk koordinasi tangan dan mata.

Mungkin latihan terbaik yang dapat kulakukan di sini."

Aku tersadar tindakannya itu berbahaya. Nomor

Sembilan adalah orang paling tidak diplomatis yang pernah

kutemui. Setelah agak lama mengenal Nomor Sembilan, aku

belajar untuk tidak terlalu serius menanggapinya. Namun,

sepertinya Nomor Lima belumdapat menoleransinya.

"Tapi latihan itu asyik, lho," kataku, berusaha

memperbaiki suasana. Kalau Nomor Lima tidak merasa

dipaksa, mungkin dia mau berlatih bersama kami. "Kita jadi

bisa belajar bekerja sama sebagai satu tim. Lagi pula, kami

ingin sekali mengenalmu lebih jauh."

Sesaat, sorot mata Nomor Lima melembut. Seperti

yang kuduga, kalau kita baik, dia jadi tenang. Tidak ada orang

yang suka disuruh-suruh, terutama jika selama ini dia hidup

sendiri seperti Nomor Lima. Aku tahu dia akan menurut dan

ikut berlatih bersama kami.

Sayangnya, Nomor Sembilan tidak terlalu pintar

membaca bahasa tubuh, atau mungkin memang pada

dasarnya tidak sabaran. Dia berjalan santai ke belakang sofa

Nomor Lima kemudian, dengan sebelah tangan,

menjungkirkan sofa itu. Nomor Lima terjungkal ke lantai.

~190~

Nomor Delapan menggeleng. Meski begitu, sudut

bibirnya agak tertarik ke atas. Aku tahu dia tidak

mendapatkan kesan pertama yang baik dari Nomor Lima

karena mengungkit tentang apa yang dilakukannya di India.

Namun, tetap saja ini bukan cara yang baik memperlakukan

Garde terbaru kami.

"Ayolah, Sembilan," kataku, dengan nada kecewa,

tapi tidak marah seperti saat para biarawati menegurku,

"kau keterlaluan."

Nomor Sembilan mengabaikanku. Nomor Lima sudah

melompat berdiri dan memelototi Nomor Sembilan. "Apa
apaan, sih?"

"Sofaku," kata Nomor Sembilan. "Suka-suka aku."

Nomor Lima mendengus jijik. "Itu kekanak-kanakan.

Tingkahmu itu konyol."

"Mungkin," jawab Nomor Sembilan sambil

mengangkat bahu santai, "kau boleh menunjukkan

kekonyolanku dalam latihan."

Ternyata ini cuma akal-akalan Nomor Sembilan

untuk memotivasi. Dia sengaja membuat Nomor Lima marah

supaya mau bertarung di Aula Kuliah. Khas laki-laki, Padahal,

kami bisa saja mengajaknya dengan cara baik-baik. Nomor

Lima memelototi Nomor Sembilan, menilainya. Lalu dia

tersenyum, matanya berbinar licik, dan aku mendapat kesan

Nomor Lima menyadari taktik Nomor Sembilan itu.

"Begini, deh," ujar Nomor Lima, "kau boleh

memukulku di sini. Kalau kau berhasil menyakitiku, aku

akan berlatih bersama kalian. Tapi kalau tidak, singkirkan

sikap sok jagomu itu dari mukaku selama sisa hari ini."

Nomor Sembilan menyeringai lebar. "Kau ingin aku

memukulmu, Kerdil?"

"Tentu," jawab Nomor Lima sambil memasukkan

tangan ke saku dan mengangkat dagu. "Coba saja."

~191~

"Ini konyol," aku berusaha meredakan situasi yang

tiba-tiba jadi sangat absurd. Nomor Lima maupun Nomor

Sembilan begitu sibuk membuat jengkel satu sama lain,

padahal seharusnya kami belajar bekerja sama. Aku melirik

Nomor Delapan mencari dukungan. Senyum simpul

menghiasi ujung bibirnya, seakan-akan dia terhibur melihat

semua ini. Saat melihatku kesal, Nomor Delapan tersenyum

malu,lalumemegangbahuNomorSembilan.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita latihan saja, yuk," kata Nomor Delapan yang

berusahatetapsantai."Limabolehikutkalausudahsiap."

Nomor Sembilan menepiskan tangan Nomor Delapan

dan mengangkat tinju sambil mengangkat alis memandang

NomorLima."Yakinmaumenantangku,Frodo?"

"Kuharap tinjumu lebih hebat daripada ejekanmu,"

balas Nomor Lima. Harus kuakui, aku agak kagum melihat

sikapnya. Tentu saja, ini semua dapat dihindari seandainya

tadi dia mau menelan harga dirinya. Sikap Nomor Lima

maupun Nomor Sembilan benar-benar menyedihkan. Dua

dariLoric yangtersisadijagatiniperludisetrap.

Seperti aku, Nomor Delapan akhirnya menyerah dan

membiarkan drama ini berlanjut. Kami berdua melangkah

mundur.

Nomor Sembilan bersiap-siap dengan agak

berlebihan. Dia menggeretakkan buku jari, memutar leher,

mengedikkan bahu. Sepertinya aku lebih gugup

dibandingkan Nomor Lima yang cuma berdiri diam

menungguNomorSembilanmelayangkanpukulan.

Akhirnya, Nomor Sembilan mengayunkan tinju

samping dan walaupun itu pasti bikin pingsan, sepertinya

tinjunya tidak sekuat dan secepat biasa. Kurasa dia sengaja

mengurangi tenaga karena tidak ingin menyakiti Nomor

Lima.

Sementara tinju itu meluncur, mendadak kulit

~192~

Nomor Lima berubah jadi logam berkilau. Tinju Nomor

Sembilan berderak keras saat menghantam logam. Dia

langsung menjerit. Rasanya pasti seperti meninju balok

logam. Aku menutupi mulut dengan sebelah tangan untuk

meredam pekik kaget. Di sampingku, Nomor Delapan

menghentikan tawa kagetnya saat menyadari tangan Nomor

Sembilan patah. Nomor Sembilan berbalik menjauhi Nomor

Lima, sambil mendekap tangannya.

Kulit Nomor Lima kembali normal. "Cuma segitu?"

Nomor Sembilan menggerutukan serangkaian

makian. Aku bergegas mendekat untuk memeriksa

tangannya, tapi dia mendorongku menjauh dan pergi ke Aula

Kuliah. Aku yakin dia bakal memintaku menyembuhkan

tangannya begitu kepalanya dingin. Tetapi, setelah

bertingkah berengsek seperti itu, ada bagusnya dia

merasakan sakit sedikit.

"Kalau dia benar-benar menyimak cerita Nomor

Empat tentang pertarungan di Arkansas, seharusnya dia tahu

itu bakal terjadi," ujar Nomor Lima dengan santai dan agak

bosan sambil memandangi Nomor Sembilan pergi.

"Dia memang bukan genius," jawab Nomor Delapan

dengan tenang. "Yah, selamat bergabung. Selamat menikmati

video game, kurasa."

Nomor Delapan keluar mengikuti Nomor Sembilan.

Nomor Lima memandanginya, tampak agak bingung karena

Nomor Delapan mengabaikannya. Aku membantunya

mengembalikan sofa yang dijungkirkan.

"Aku tak tahu apa yang salah," kata Nomor Lima

pelan. "Kenapa jadi aku yang jahatnya?"

"Kau tidak jahat," aku menjawab. "Situasinya cuma

agak kacau. Kalian berdua bertingkah konyol."

"Sejak aku tiba di sini, dia selalu cari gara-gara,"

Nomor Lima melanjutkan. "Kupikir kalau aku tidak

~193~

melawan, dia akan terus melakukannya."

Aku duduk di sofa di samping Nomor Lima. "Aku

mengerti," kataku. "Nomor Sembilan memang pintar

membuat orang kesal. Kata John, dulu dia dan Nomor

Sembilan pernah hampir saling bunuh. Kau akan terbiasa."

"Itulah masalahnya. Aku tak mau terbiasa." Nomor

Lima mengambil kendali video game, tapi tidak bermain

kembali. Dia menekan sejumlah tombol, lalu layar jadi gelap.

"Masalahnya, aku ingin berlatih bersama kalian. Aku tidak

mau ditinggalkan. Aku ingin menyaksikan kemampuan

kalian dan belajar bekerja sama. Tapi cara Sembilan

mengajak latihan bikin aku tak tahan untuk tidak membalas."

Aku menepuk bahu Nomor Lima dengan lembut.

"Tahu tidak? Kau dan Nomor Sembilan tidak jauh berbeda."

Dia menunduk memandangi karpet memikirkan

kata-kataku. "Yah. Sepertinya itu benar. Apa aku perlu minta

maaf karena membuat tangannya patah?"

Aku menggeleng sambil agak terkekeh. "Mungkin

yang remuk justru harga dirinya, tapi kau juga tak perlu

meminta maaf untuk itu." Aku banget dan meraih lengan

Nomor Lima, menariknya berdiri. "Kita latihan, yuk."

Nomor Lima ragu-ragu. "Setelah kejadian tadi,

apakah menurutmu aku akan diterima?"

"Kau bagian dari kami, kan?" jawabku tegas.

"Memangnya ada waktu yang lebih baik untuk belajar

bekerja sama daripada setelah meninju muka rekan satu

tim?"

Nomor Lima hampir tertawa. Namun, dia

mengangguk dan kami pun bersama-sama pergi ke Aula

Kuliah. "Terima kasih, Marina," katanya. "Kau tahu? Kau

orang pertama yang membuatku merasa diterima di sini."

Untunglah. Aku mungkin tak dapat membantu Ella

dengan mimpinya, atau mengidentifikasi sebagian dari

~194~

benda-benda Warisanku, atau bertarung sehebat yang lain.

Tapi paling tidak, aku pintar membuat orang berengsek jadi

lebih baik. Mungkinkah itu Pusaka?

~195~

23

JOHN MENGANGKAT IDENTITAS ILLIONIS ITU ke arah

lampu. Dia membengkokkan kartu itu, lalu mencungkil

fotonya dengan ibu jari. Kemudian, dia memandangku sambil

tersenyum lebar.

"Bagus sekali, Sam. Ini sebagus yang biasa Henri

buat."

"Akhirnya," aku mendesah lega. Selusin kartu

identitas serupa, masing-masing dengan cacat kecil,

teronggok di samping komputer utama Sandor. Wajah John

serta nama John Kent tertera di semua kartu itu.

"Kau juga perlu bikin satu buatmu," kata John.

"Mungkin kau bisa menggunakan nama Sam Wayne sebagai

nama samaran."

"Sam Wayne?"

"Iya. Seperti Bruce Wayne. Sahabat Superman yang

tak punya kekuatan super. Kau memilih Kent sebagai nama

belakangku karena itu, kan? Karena mengacu pada

Superman." "Wah, kukira kau tidak tahu," jawabku."Aku tak

pernah tahu kau suka komik."

"Memang tidak, tapi kami alien saling mengawasi."

John berjalan mengitari meja, melewati salah satu dari sekian

banyak tumpukan barang, untuk melihat monitor di balik

bahuku. "Semua ini ada di komputer Sandor?"

"Yup," jawabku sambil menggerakkan kursor ke

berbagai program pembuat identitas palsu dan basis data

pemerintah yang sudah diretas, yang ada di mesin komputer

Sandor. "Masalahnya cuma bagaimana cara mengaksesnya.

Dan, eh, belajar menggunakannya ...," kataku sambil

menunjuk tumpukan kartu identitas palsu yang gagal.

"Keren," John berkata."Kita perlu membuat identitas

baru untuk semua orang. Dengan begitu, mengambil Peti

~196~

Nomor Lima bisa lebih mudah."

"Apakah Nomor Delapan tidak dapat membawa ke

sana dengan menggunakan teleportasi?"

John menggeleng. "Dia cuma mampu melakukan

teleportasi jarak jauh ke batu-batu Loralite besar yang

disebutnya semalam. Sedangkan teleportasi jarak dekat

dapat menarik perhatian karena kami tiba-tiba muncul di

tempat kosong. Atau bisa juga dia membawa kami muncul di

dinding."

"Ya, rasanya pasti sakit." Aku mengatur webcam

yang terpasang di monitor untuk membidik diriku. Saat

wajahku muncul di monitor, aku merapikan rambut, lalu

menyunggingkan senyuman paling oke.

"Bagus," kata John yang masih memperhatikan.

"Apa mau dikata? Aku ini fotogenik."

"Selama ini aku bertanya-tanya mengapa hari

berfoto di SMA Paradise disebut Hari Apresiasi Sam Goode."

"Sekarang kau tahu."

Aku menggeser foto tersebut ke salah satu program

yang sudah diinstal Sandor dan program tersebut langsung

bekerja mengatur ukurannya di SIM baru. "Nah," kataku

pelan, mengganti topik dengan tidak lancar, "ada yang ingin

kutanyakan."

"Apa?"

"Bagaimana hubunganmu dengan Nomor Enam

karena sekarang Sarah, eh, bukan pengkhianat?"

John tertawa. "Kami membahasnya saat menuju

Arkansas. Kurasa sekarang hubungan kami baik-baik saja.

Mulanya memang agak aneh. Tapi aku mencintai Sarah.

Seratus persen."

"Oh, begitu," jawabku sambil berusaha bersikap acuh

tak acuh. Namun, John tetap saja menyikutku.

"Dia milikmu," godanya. Wajahku langsung panas.

~197~

"Akubertanyabukankarenaitu."

"Oh, ya. Oke," kata John sambil memungut baut dari

meja dan melemparkannya ke arahku, "kau mau pura-pura

lupa dengan apa yang terjadi sebelum Enam pergi ke

Spanyol? Melupakan Enam yang bilang dia menyukaimu?

Menciummu?"

Aku mengangkat bahu sambil menjentikkan baut itu

kembali kearahJohn. "Hmmm, sepertinyaakuingat kejadian

itu,tapibukanituyangkupikirkan." Meskiberkatademikian,

aku terkenang saat Nomor Enam memelukku ketika kami

bertemukembalidiArkansas.Wajahkujadisemakinpanas.

Untungnya, sebelum John sempat menjailiku lebih

jauh, ayahku masuk. Dia tersenyum kepada kami sambil

mengelap tangannya yang kotor dengan lap. Ayah tampak

lelah seusai memperbaiki mesin di Aula Kuliah, tapi senyum

puas tersungging di wajahnya. Mengotak-atik mesin yang
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibuat Loric benar-benar dapat menebus harihari menjadi

tawananMogadorian.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Otak manusia itu luar biasa, Sam," ayahku

merenung. "Kalauingatanmubolong-bolong, seperti aku, kau

akan lebih menghargai hal-hal yang kau ingat. Tangan kita

dapat melakukan pekerjaan yang sudah sering kita lakukan,

bahkan tanpa perlu memikirkannya. Siapa yang butuh

Pusaka kalau kita punya kekuatan otak manusia yang tak

terbatas,betul?"

"Sebenarnya, aku tak keberatan punya Pusaka,"

kataku sambil melirik ke arah John. "Maaf, ayahku biasanya

jadifilosofissaatmembahashal-halyangilmiah."

"Tak apa," kata John yang tersenyum sendu saat

melihatakudanayahku.

"Tidak mudah memperbaikinya," ayahku

melanjutkan. "ApayangSandorbuat itusangat luarbiasadan

~198~

aku?yah?sudah lama tidak melakukan yang seperti ini.

Segala sesuatunya bekerja seperti yang kuingat, hanya

ukurannya jauh lebih kecil. Podium mungkin terlalu rumit

bagiku sehingga aku tak dapat membuatnya kembali

berfungsi sepenuhnya. Namun, aku berhasil memperbaiki

sebagian pengendali. Sejumlah perangkap juga sudah dapat

digunakan kembali. Tidak sempurna, tentu saja, tapi

lumayan."

"Pasti bagus," kata John. "Apa pun yang dapat

meningkatkan latihan kami akan membantu. Aku ingin

mengadakan latihan tim sebelum pergi ke Flo?"

Nomor Sembilan membuka pintu ruang kerja begitu

keras sampai-sampai pintu itu hampir lepas dari engselnya.

Dia melangkah lebar-lebar, lalu menendang tumpukan

barang kuat-kuat, menyebabkan papan sirkuit dan

lempengan logam melesat ke arah kami. Aku melindungi

wajahku, tapi John menahan benda-benda terbang itu

dengan telekinesis.

"Apa-apaan, nih?" bentak John. "Tenang!"

Nomor Sembilan mendongak, kaget, seakan-akan

baru menyadari keberadaan kami. "Maaf," gumamnya.

Kemudian, dia berjalan sambil mengentak-entakkan kaki ke

arah John, lalu mengulurkan tangan kanannya yang bengkak

mengerikan."Nih, sembuhkan!"

"Wow," kataku. "Kenapa itu?"

"Aku meninju kepala Nomor jawab Nomor Sembilan

dengan begitu saja. "Tidak berhasil."

Yah, ternyata tidak lama, pikirku. Sejak kami

memasuki apartemen, Nomor Sembilan selalu berusaha

membuat Nomor Lima jengkel. Sebenarnya aku kaget sekali

melihat ternyata justru Nomor Sembilan yang perlu

disembuhkan. Sama sekali tidak seperti yang kubayangkan.

Aku hanya diam dan membiarkan John mengurusi anjing

~199~

penyerangnya yang terluka. Dia menarik lengan Nomor

Sembilan, dengan agak kasar, lalu mengulurkan tangannya ke

tinju Nomor Sembilan yang bengkak. Namun, John tidak

menyembuhkannya.

"Kau harus mendinginkan kepalamu," kata John

sambil menatap mata Nomor Sembilan lurus-lurus. "Jangan

meninju teman. Jangan menantang teman bertarung di atap.

Jangan melakukan hal konyol."

Nomor Sembilan menunduk menatapnya dan, sesaat,

kupikir dia bakal mengayunkan tinju ke arah John. Namun,

ternyata tidak. Dia malah tersenyum lebar, seakan-akan

semua ini cuma lelucon besar. "Aku ini panitia penyambutan

paling buruk di dunia, ya?"

"Di Paradise, ibu Sarah selalu memasak untuk siapa

pun yang baru pindah. Mungkin kau perlu memanggang kue

setiap kali meninju orang," aku mengusulkan.

John yang sedang bersiap menyembuhkan tangan

Nomor Sembilan langsung tergelak. "Aku suka ide itu, Sam."

"Aku tidak masak," gerutu Nomor Sembilan sambil

melemparkan pelototan maut ke arahku.

Ay

ahku berdeham, menyebabkan kami semua

memandangnya. Dia berdiri tegak dengan tangan dilipat di

belakang. Aku yakin para mahasiswa ayahku sering

melihatnya seperti itu. "Sembilan, mungkin kau mau

membantuku di Aula Kuliah?"

"Membantu apa?"

"Cepanmu membuat peralatan di sana. Aku pikir

mungkin kau tahu cara kerjanya."

Nomor Sembilan tertawa tak percaya."Yah, mmm

maaf, deh. Aku tak pernah membantunya mengurusi tetek
bengek itu."

"Oke," jawab ayahku, tidak gentar menghadapi sikap

Nomor Sembilan. "Kalau begitu, mungkin kita dapat

~200~

mempelajari cara kerjanya bersama-sama sebagai tim?

Kecuali kalau kau terlalu sibuk meninju barang-barang."

Anehnya, Nomor Sembilan mempertimbangkan usul

ayahku. Aku melihat wajahnya jadi sendu, seperti John tadi,

dan aku tersadar mereka memikirkan Cepan mereka. Lalu,

aku mengerti apa yang ayahku lakukan. Ayah mengulurkan

tangannya kepada pemuda yang marah dan berusaha

melibatkannya dalam suatu proyek dengan gaya khas

Afterschool Special?serial televisi yang ditayangkan pada

sore hari kerja, dengan cerita tentang masalah-masalah khas

anak dan remaja, yang juga serta sering kali kontroversial.

Tindakan khas orangtua,tapi aku mengaguminya.

"Baiklah," kata Nomor Sembilan. "Ini apartemenku.

Aku pasti tahu cara kerjanya. Tunjukkan jalannya."

Saat ayahku dan Nomor Sembilan pergi ke Aula

Kuliah, John memandangku.

"Ayahmu itu orang baik," katanya. "Kami mungkin

akan menjadikannya Cepan kehormatan."

"Trims," sahutku sambil tersenyum lemah. Simpul

dingin rasa ngeri memilin perutku, karena aku tahu apa yang

terjadi pada Cepan yang berada di sekitar para Garde, apa

yang terjadi pada orang dewasa. Aku tahu itu pikiran buruk,

tapi aku tak dapat mencegahnya. Aku baru bertemu kembali

dengan ayahku?aku tidak ingin kehilangan dia. Tanpa

sadar, aku menggosok bekas luka di pergelangan tanganku.

John pasti mengetahui perasaanku karena dia memegang

bahuku.

"Jangan khawatir, Sam," katanya. "Kita tidak akan

kehilangan siapa pun."

Kuharap dia benar.

~201~

24

"JADI KAPAN KALIAN BERANGKAT KE FLORIDA?" tanya

Sarah santai, seakan-akan ini liburan yang sudah

kurencanakan.

Aku lelah. Lelah dalam arti yang bagus?hari ini

banyak yang kami lakukan. Kami tidak menghabiskan waktu

dengan melakukan pelarian atau bersembunyi. Tidak ada

waktu yang tersia-sia. Kami membuat daftar dari isi Peti

Loric kami, Sam berhasil mencetak kartu identitas palsu

yang bagus, dan aku sempat latihan di Aula Kuliah yang baru

diperbaiki.

"Lusa, kuharap," aku menjawab Sarah sambil

menurunkan tubuh ke lantai untuk melakukan push-up

sebelum tidur. "Aku ingin semua orang berkumpul di Aula

Kuliah besok, untuk melihat bagaimana tim kita. Aku

berharap dapat mengambil Peti Nomor Lima tanpa banyak

masalah, tapi lebih baik jaga-jaga. Ada bagusnya kalau semua

orangsempatberlatihbersama.Setelahitu,kamipergi."

Sarah hanya diam sehingga aku mendongak

memandangnya.Diaduduk bersiladitepitempattidur.Sarah

mengenakan piama?kaus abu-abu dengan kerah V dan

celana pendek. Dia memandangiku, tapi tidak menyimak

kata-kataku. Aku berdeham sehingga dia mengerjap, lalu

tersenyum. "Maaf, pikiranku melantur melihatmu push-up.

Kitasedangbicaraapa?"

Aku duduk di sampingnya, membelai rambutnya

yang baru disisir. Dia tersenyum dan tiba-tiba rasa lelahku

hilang. Bohong kalau kubilang aku tidak memikirkan apa

yang dapat terjadi saat kami bersama. Sejak tiba di Chicago,

kami sibuk sekali karena ada mimpi buruk Ella, panggilan

dari Nomor Lima, dan insomniaku. Selain itu, semua orang

tidurdikamar-kamardiapartemenini,jadirasanyaaneh.

~202~

"Florida," akumengingatkannya.

"Oh, iya," kata Sarah, "kau pernah tinggal di sana,

kan?"

"Ya,beberapabulanraja.Kenapa?"

"Cuma ingin tahu. Ada banyak hal yang tidak

kuketahuitentangdirimu,JohnSmith."

Aku beringsut mendekat. "Tahu tidak? Sepertinya

malaminitenang.Kurasayanglainnyatidur."

Seakan dipanggil, seseorang mengetuk pintu kami.

Sarah terperangah lalu tertawa, wajahnya merona. "Waktu

yangtidak pasmerupakansalahsatuPusakamu?"

Aku membuka pintu dan melihat Nomor Enam

menunggudengantubuhterbalutmantel,sepertinyadiabaru

dari luar. Dia memandang Sarah melewati bahuku,

menyadari ekspresi kenal di wajahku, lalu tersenyum jail.

"Ups," katanya,"akumengganggu,ya?"

"Tak apa," jawabku yang tak ingin

mempermasalahkannya."Adaapa?"

"Kalian harus ke atap dan melihatnya sendiri. BK jadi

gila."

Setelah mengenakan pakaian untuk menutupi baju

tidur, aku dan Sarah berlari menyusuri koridor mengikuti

Nomor Enam. Bahkan, sebelum aku menaiki tangga yang

mengarah ke atap, suara BK sudah terdengar. Suaranya

seperti lolongan serigala dan tiupan belalai gajah, keras dan

penuh perasaan?bunyinya tidak jelek, tapi jelas-jelasbukan

suarayangbiasaterdengardiBumi.

"Diatak mau diam," kataNomor Sembilanbegitu aku

muncul di atap. Dia menggosok-gosok pelipis, mungkin

karenalelahmenggunakantelepatiuntuk menenangkanBK.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bernie Kosar masih dalam wujud anjing beagle,

walaupun sosoknya membengkak dan memanjang tak

menentu, seakan-akan sewaktu-waktu tubuhnya dapat

~203~

berubah. Meski moncongnya menggigit tanduk dari Peti

Nomor Delapan, suaranya sama sekali tidak teredam. Liur

menetes dari tanduk itu ke bulu BK. Dia berdiri dengan kaki

belakang dan kepala mendongak ke bukan. Melodi aneh

keluar dari mulutnya. BK seperti kerasukan.

Nomor Delapan melakukan teleportasi dari lantai

bawah. "Aku sudah meminta Sam dan Malcolm mengawasi

saluran telepon darurat kalau-kalau ada tetangga usil yang

menelepon polisi," katanya. "Aku tidak tahu kenapa BK

begitu, John. Tapi kurasa ini ada kaitannya dengan tanduk

itu."

"Sialan," ujar Nomor Enam. Dia menjentikkan jari ke

arah BK. "Diam, Bernie Kosar!"

Namun, sepertinya BK tidak melihat. Aku melihat

Marina di tepi atap, menggunakan pandangan malamnya

untuk mengawasi kalau-kalau ada yang melihat kami.

Untungnya, tempat kami ini cukup tinggi dan Chicago cukup

bising sehingga kurasa tidak akan ada yang mendengar BK.

Meski begitu, aku tak mau mengambil risiko.

"Sudah coba ambil tanduknya?" aku bertanya.

"Sudah," sahut Nomor Sembilan. "Dia tidak suka. Dia

menggeram ke arahku dan tak mau melepasnya. Aku tak

ingin menyakitinya."

"Itu tidak seperti BK yang kita kenal," kata Sarah

dengan mata melebar cemas.

"Mungkin ini semacam mimpi buruk Chimaera?"

Nomor Enam berpendapat.

Aku menggeleng. Tindakan BK yang aneh ini dimulai

sejak dia mendapatkan tanduk itu. Kurasa tidak mungkin

benda-benda yang ada di Peti Loric merugikan kami. Bahkan,

gelangku, yang awalnya menyakitkan luar biasa, ternyata

bermanfaat. Pasti ada penjelasan yang masuk akal atas ini

semua.

~204~

"Ellamana?" tanyaSarah. "Apakahini versi Chimaera

dariapayangterjadipadaElla?"

"Ella tidur sepanjang mimpi buruk," jawab Marina.

"Samasekalitidak sepertiini."

Aku meraih dengan telepati?Bernie Kosar, kau

harus diam?tapi tidak mendapat respons. Karena tidak

melihat pilihan lain, kecuali mencoba merebut tanduk itu

darinya, aku melangkah maju. Namun, sebelum langkah

kedua, Bernie sudah menurunkan tubuh kembali dan berdiri

dengan keempat kaki serta melepaskan tanduk itu.

Lolongannya terus bergaung di telingaku selama beberapa

detik setelahnya. Aku menggunakan telekinesis untuk

meraih tanduk penuh liur. BK terengah senang dan

memandangkamisemua.

Aku memandang Nomor Sembilan. Kami berdua

berkomunikasi dengan BK secara telepati. "Sepertinya dia

tidak tahuapayangbarusajaterjadi," kataku.

"Kaumabuk,BK?" tanyaNomorSembilanbingung.

BK melompat-lompat ke arah kami sambil

mengibaskan ekor. Dia tampak senang, terengah-engah khas

anjing,sepertisaatkamibarupulangdariberlarisampaipuas

diluar.

"Kau bikin kami takut," kataku kepadanya. "Kau

tahu,tadikaumembuatkeributan?"

BK duduk di kakiku. Sarah berjongkok dan

menggaruk kupingnya.

"Bisakah kalian bertanya apa yang tadi

dilakukannya?" tanya Sarah sambil mendongak

memandangkudanNomorSembilan.

"Akankucoba," jawabku.NomorSembilanjuga

mengangguk sambilmenyipitkanmatakearahBK.

"Ada banyak citra dan perasaan. Bukan kata-kata."

"Salakan telepati," Nomor Delapan mengamati. "Seperti

~205~

itulah," jawab Nomor Sembilan.

"Dia bilang?" aku berhenti, ingin memastikan

penafsiranku terhadap pikiran BK benar. "BK bilang dia

memanggil yang lain." Aku mengangkat tanduk itu. "Kurasa

itulah fungsi benda ini."

"Yang lain?" tanya Marina. "Maksudmu Chimaera

dari pesawat Ella?"

"Sepertinya begitu," aku menjawab sambil

menunduk memandang BK. Apakah menurutmu mereka

mendengarmu?

BK berguling terlentang, meminta Sarah menggaruk

perutnya. Kurasa bagi Chimaera itu sama dengan

mengangkat bahu.

"Dia tidak tahu," kataku.

Nomor Sembilan menggeleng, "Yah, krisis sudah

lewat. Aku mau tidur. Bisakah kita menikmati malam tanpa

jeritan atau lolongan?"

Yang lainnya mengikuti Nomor Sembilan turun,

meninggalkan aku, Sarah, dan BK. Malam ini sejuk dan

tenang, karena BK sudah berhenti membuat keributan. Aku

berlutut di samping Sarah dan memeluknya. "Dingin?"

"Tidak juga," katanya sambil tersenyum. "Tapi

tanganmu di situ saja. Sekarang, aku mengerti mengapa kau

suka di sini."

Kami duduk seperti itu selama beberapa saat,

mengamati langit di atas Chicago. Ini salah satu momen

sempurna, momen yang perlu kusimpan dan kukenang jika

keadaan berubah jadi suram.

Tiba-tiba?mungkin Sarah benar bahwa waktu yang

buruk adalah salah satu Pusakaku?satu siluet gelap muncul

di langit malam dan bergerak ke arah kami.

~206~

25

"APAITU?" SARAHBERSERU.

"Entahlah," sahutku sambil melompat bangkit, lalu

secara naluriah berdiri di antara Sarah dan sosok hitam yang

turun ke arah kami. Aku menyalakan Lumen, panasnya

membuatkumerasatenangdansiapmenghadapi apapun.

Sosok hitam itu melambat. Orang, aku menyadari.

Kemudian, dia mendarat dengan anggun di seberang atap

sambil mengangkat tanganmemberi isyarat damai.

"Lima."

"Halo, Kawan-Kawan," kata Nomor Lima. "Kalian

masih bangun malam-malam begini. Apakah aku membuat

kalianketakutan?"

"Menurutmu?" tanya Sarah sambil memberi isyarat

ke arah bola api di tanganku. Walau kesal, aku membiarkan

bola apiku lenyap. Nomor Lima, yang mengenakan kaus dan

celana hitam, menurunkan tudung jaketnya sehingga aku

dapat melihat ekspresi menyesal di wajahnya.

"Waduh, maaf. Kupikirtak adayangmelihatku."

Aku tadi sungguh-sungguh menyangka kami

diserang, jadi kata-kataku yang keluar lebih keras daripada

yangkuinginkan. "Apayangkaulakukan?"

"Cuma terbang keliling. Kadang-kadang aku ingin

tahu, akubisaterbangsetinggi apa."

Aku berusaha memikirkan jawaban yang tidak akan

membuatku terdengar terlalu sok mengatur. Aku setuju

dengan latihan, tapi terbang keliling Kota Chicago rasanya

sangat konyol. Bersembunyi di tempat terbuka benar-benar

tidak dapat disamakan dengan bersembunyi, sementara

seseorangterbangdi sekitarmarkas.

"Kau tidak takut dilihat orang?" tanya Sarah,

menyuarakanisi hatiku.

~207~

Nomor Lima menggeleng. "Maaf, Sarah, tapi kau akan

terkejut kalau tahu manusia tidak terlalu suka memandang

ke atas. Lagi pula, ini malam hari dan aku mengenakan

pakaian gelap. Percayalah, Kawan-Kawan, aku berhati-hati."

"Tapi kan, masih ada kamera, pesawat, dan entah apa

lagi," kataku sambil berusaha agar tidak terdengar seperti

sedang menguliahi.

Nomor Lima mendesah dan mengangkat tangan,

seperti bosan berdebat. Setelah percekcokannya dengan

Nomor Sembilan tadi, kupikir dia tidak ingin bikin masalah

lagi. "Aku akan berhenti kalau kau mau," katanya. "Tapi kau

harus tahu aku makin jago. Jarak terbangku juga makin jauh.

Malahan, mungkin aku bisa terbang ke Everglades,

mengambil Petiku, dan kembali sebelum sarapan."

Aku suka sikap "aku-bisa" Nomor Lima ini. Tiba-tiba,

dia tidak terlihat seperti anak yang membuat kami cemas

karena lebih suka melewatkan latihan demi main video

game. Namun, aku menggeleng. "Kita pergi bersama sebagai

tim, Lima. Kita tak perlu lagi melakukan segala sesuatunya

sendirian."

"Makin banyak makin aman. Kau benar." Nomor

Lima menguap dan meregangkan lengannya. "Oke, aku mau

tidur. Aula Kuliah besok pagi, betul?"

"Ya."

Begitu Nomor Lima berderap turun, aku memandang

Sarah. Dia menatap langit malam dengan senyum simpul

menghiasi bibirnya. Aku meraih tangannya.

"Bagaimana menurutmu?" aku bertanya.

Dia mengangkat bahu. "Kalau kau bisa terbang

seperti itu, memangnya kau tak mau melakukannya?"

"Hanya kalau kau terbang bersamaku."

Sarah memutar bola matanya dan menyikut rusukku

pelan. "Oke, Sentimentil. Ayo, kita tidur sebelum hal gila lain

~208~

terjadi."

~209~

26

"KAU YAKINSIAP MENGHADAPI INI?"

Ella mengangguk, sementara kami berjalan bersama

menuju Aula Kuliah. Wajahnya pucat dan matanya yang

lebar dihiasi lingkaran gelap. Dia seperti baru sembuh dari

sakit parah. Semalam Ella tidur tanpa bermimpi buruk atau

menjerit-jerit,tetapitetapsajadiatampak kuyu.

"Aku sanggup melakukannya," kata Ella sambil
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menegakkandiri.

"Tidak ada yang akan mengejek kalau kau cuma

menonton," kataku.

"Kau tak perlu memperlakukanku seperti bayi!"

bentaknya. "Aku sanggup berlatih dengan keras seperti

kaliansemua."

Aku mengangguk dan berhenti membujuk. Mungkin

aktivitas fisik bagus buat Ella. Paling tidak, ini akan

membuatnya sangat lelah sehingga dia dapat benar-benar

istirahat.

Kami yang paling akhir tiba di Aula Kuliah. Yang

lainnya sudah berdiri di tengah ruangan dan memakai baju

olahraga. Malcolm duduk di Podium, memeriksa tombol
tombolyangbersinardantuasdaribalik kacamatanya.

Nomor Sembilan bertepuk tangan saat melihat kami.

"Oke! Ayo, kita mulai! Saatnya pertandingan rebut bendera!

Ujian utama kerja sama tim dan, mmm kemampuan

menghajarmusuh."

Nomor Enam memutar bola mata, sedangkan Nomor

Lima mengerang pelan. Aku berdiri di samping Nomor

Delapan yang melemparkan senyum singkat ke arahku.

Kuharapkamisatutim.

"Aturannya sederhana," Nomor Sembilan

menjelaskan. Dia menunjuk ke ujung-ujung ruang latihan

~210~

tempat bendera yang dibuatnya dari kaus Chicago Bulls

terpasang, "tim pertama yang berhasil merebut bendera tim

lawan dan membawanya kembali ke sisi mereka adalah

pemenangnya. Kalian harus benar-benar memegang bendera

itu, tidak boleh menggunakan telekinesis. Juga tidak boleh

membawa bendera itu pulang dengan menggunakan

teleportasi?ehm, itu artinya kau, Delapan."

Nomor Delapan tersenyum. "Tidak masalah. Aku

suka tantangan.

Di lantai, teronggok empat senjata Mogadorian yang

diambil dari Arkansas. Tampaknya kami memerlukannya

untuk latihan semacam ini. Aku melihat Sam memandang

senjata itu dengan ragu. "Itu buat apa?" dia bertanya.

"Masing-masing tim mendapat dua senjata," John

menjelaskan. "Malcolm sudah memodifikasinya sehingga

senjata ini tidak akan mematikan dan lebih seperti pistol

kejut listrik. Dalam pertempuran, kita sering menggunakan

senjata para Mogadorian untuk melawan mereka, jadi kurasa

ini bagus buat latihan."

"Selain itu, kami ingin memberi kalian, yang bukan

Garde, kesempatan untuk bertarung," Nomor Sembilan

menambahkan sambil memandang Samserta Sarah.

Malcolm berjalan menghampiri dari Podium dengan

tangan di punggung. "Aku akan menggunakan sistem di Aula

Kuliah ini untuk memasukkan sejumlah rintangan," katanya.

"Ingat, kalau ada yang terluka, kalian boleh minta waktu

istirahat supaya Marina atau John dapat menyembuhkan

kalian."

Nomor Sembilan mendesah jengkel. "Dalam

pertarungan, sesungguhnya tak ada yang namanya waktu

istirahat, jadi usahakan jangan cengeng."

John memandang berkeliling tanpa bersikap ala

militer. "Ingat, ini cuma latihan. Kita tidak benar-benar ingin

~211~

saling membunuh."

Kami dibagi menjadi dua tim. John dan Nomor

Sembilan kaptennya. Pertama-tama, John memilih Nomor

Enam, sementara Nomor Sembilan memilih Nomor Delapan.

Selanjutnya, John memilih Nomor Lima dan Nomor Sembilan

memilih Marina. Kemudian, John memilih Bernie Kosar,

sedangkan Nomor Sembilan mengejutkan semua orang

dengan memilih Sarah. Aku sudah menduga akan dipilih

terakhir. Itu tidak memalukan mengingat sebagian besar

pemain memiliki kekuatan super. Mungkin karena ingin

membagi rata manusia, John memilihku sehingga Ella

otomatis masuk tim Nomor Sembilan.

Kami berkerumun di sisi aula yang menjadi wilayah

kami.

"Aku akan langsung melenyapkan diri," kata Nomor

Enam. "Kalau kalian bisa bikin mereka sibuk, aku dapat

mengambil bendera mereka tanpa masalah."

John mengangguk setuju. "Yang paling kucemaskan

itu Nomor Delapan. Dia mungkin akan melakukan teleportasi

ke sisi kita dan mengambil bendera. Sam, aku ingin kau dan

Bernie Kosar berjaga."

Aku menepuk kepala Bernie Kosar. Bulu anjing

beagle-nya berubah jadi bulu harimau yang mulus tepat di

bawah tanganku."Mmm,tentu. Kami sanggup

melakukannya."

"Lima, kau dan aku jadi penyerang yang akan

menyibukkan mereka, sementara Nomor Enam merebut

bendera."

Nomor Lima menoleh ke tempat tim lawan

berkerumun. "Aku akan menghadapi Nomor Sembilan."

Aku dan John saling pandang karena teringat insiden

kemarin. Tidak setiap hari seseorang mengajukan diri untuk

~212~

melawan Garde penggila pertarungan itu. John mengangkat

bahu. "Tentu. Aku akan menjagamu. Tapi kali ini jangan

terlalu keras padanya, oke?"

Nomor Lima tersenyum dengan sorot mata sombong.

"Tidak janji."

Setelah kami bubar, aku tersenyum ke arah Nomor

Enam. "Sukses, ya. Mereka tak akan menduga

kedatanganmu."

Picisan sekali. Huh, bagus, Sam. Nomor Enam balas

tersenyum, lalu mengambil salah satu senapan blaster

Mogadorian dan melemparkannya ke arahku. "Trims, Sam.

Lindungi aku, oke?"

"Aku akan melakukan teleportasi ke sana, merebut

bendera mereka, lalu berlari ke sini," kata Nomor Delapan

sambil menjentikkan jari. "Kita bahkan tak akan

berkeringat."

Nomor Sembilan menggeleng. "Mereka pasti sudah

menduga itu. Jadi, ya, lakukan saja. Tapi cuma sebagai

pengalih perhatian."

Sarah mengangkat tangan untuk menyela. "Maaf,

Sembilan, tapi aku perlu bertanya. Kenapa kau memilihku?"

Nomor Sembilan tersenyum lebar. "Kau itu senjata

rahasiaku, Hart. John tidak akan dapat bertindak dengan

efektif kalau kau menunjukkan wajah menggoda ke

arahnya."

"Wajah menggoda?" Sarah mengulangi dengan nada

datar sambil mengokang blaster Mogadorian yang

dipungutnya. "Kau ingin ditembak?"

"Aku pernah melihatnya menembak. Dia tidak akan

meleset," aku angkat bicara. Aku memang memperhatikan

Sarah menembak saat latihan. Aku iri dengan bidikannya.

Sampai sekarang pun aku belum terbiasa memegang senjata

api seperti dirinya. Senjata api bikin aku gugup.

~213~

"Aku tahu dia tak akan meleset," jawab Nomor

Sembilandenganserius. "Karena itulah, dia harusmengawasi

NomorEnam."

"Enam pasti akan melenyapkan diri," kata Nomor

Delapan."Bagaimanacarakitamenghentikannya?"

"Nah,inipentingnyaElla," jawabNomorSembilan.

Ella mendongak dari blaster yang sedang ditimang
timangnya, kaget mendengar namanya disebut. Kurasa dia

agak sakithatikarenadipilihpalingakhir.

"Aku?" diabertanyaheran.

"Iya. Kau," jawab Nomor Sembilan. "Kau harus

menggunakan sihir telepatimu untuk mengetahui di mana

Nomor Enamyangtak kelihatanberada. Setelah ketemu, kau

danSarahharusmenembaknya."

"Mmm,akutak tahuapakahdapatmelakukannya."

"Dulu kau berhasil mengetahui Nomor Enam ada di

markas besar New Mexico. Sekarang kan, cuma ada satu

ruangan." Nomor Sembilan mengguncang bahu Ella untuk

meyakinkannya."Cobalahdemiaku,oke?"

"Lalu,akuharusapa?" akubertanya.

Wajah Nomor Sembilan begitu bangga?kurasa aku

pernah mendengar John menyebutnya "seringaian
serigala"?yangberarti,diayakinpunyaidesupercemerlang.

Dia meraih tanganku, menyebabkan bulu roma di lenganku

berdiri dan tubuhku serasa dialiri listrik. "Kau, Marina,

adalahsenjatarahasiakuyangsesungguhnya."

"Masing-masing tim siap?" seru Malcolm dari

Podium.

Kedua tim berdiri berhadapan dengan jarak sekitar

sepuluh meter di dekat titik tengah Aula Kuliah. Aku

memandang berkeliling. Seluruh anggota timku tampak

yakin. Sammalah sudah agak berkeringat danterus-menerus

~214~

membetulkan pegangan blaster-nya. Di seberangku, Sarah

melemparkan senyum polos sambil mengacung-acungkan

blaster. Jantungku berdebar sebagai akibatnya, tapi aku

berusaha menjaga agar wajahku tetap serius.

"Siap!" aku berseru kepada Malcolm.

"Saatnya bertarung!" Nomor Sembilan berseru.

Malcolm menekan sejumlah tombol di Podium.

Ruangan berdengung hidup di sekeliling kami. Sejumlah

bagian lantai mulai terangkat, menjadi balok-balok untuk

tempat berlindung. Sepasang bola beban berantai berayun

dari langit-langit. Pipa sembur muncul dari dinding dan

mengeluarkan asap.

"Mulai!" Malcolm berseru.

Sesaat, tidak ada yang bergerak. Lalu, tiba-tiba,

gelangku bergetar menyala. Perisai merahku membuka tepat

waktu untuk menahan tembakan blaster. Aku memandang

ke seberang ruang latihan dan melihat Sarah meringis ke

arahku, moncong senapannya berasap.

"Maaf, Sayang!" serunya sebelum menukik ke balik

perlindungan.

Aku melihat Nomor Enam yang berdiri di sebelahku

lenyap. Di sisi yang lain, Sam mundur ke bendera kami.
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang bergerak dan tiba-tiba ini terasa seperti perang

sungguhan. Kacau balau.

Lalu, aku melihat Nomor Sembilan menerjang ke

arahku. Dia begitu cepat sehingga aku nyaris tak sempat

menyalakan Lumen dan hanya sanggup melontarkan bola api

kecil ke arahnya. Dia melompat melewati bola api itu dan

mendarat di atasku. Aku jatuh terlentang, perisaiku berada di

antara kami, sementara dia menekanku ke lantai. Nomor

Sembilan meninju perisai dengan segenap kekuatan yang

dimilikinya sehingga perisai merah tersebut penyok-penyok.

Untunglah perisaiku tetap utuh. Karena frustrasi, dia

~215~

melompat menjauh, menyebabkan perisaiku langsung

menutup menjadi gelang kembali. Aku berdiri secepat

mungkin. Napasku habis meskipun tadi perisaiku menahan

tinju Nomor Sembilan. Gerakanku lamban daripada biasanya.

"Kau dan perhiasan sialanmu, Johnny," Nomor

Sembilan menggerutu. "Aku selalu memikirkan benda itu

sejak perkelahian kita waktu itu. Gelang itu menyetrumku

saat aku berusaha menariknya dengan tangan, jadi aku ingin

tahu apa yang terjadi kalau?"

Aku merasakan telekinesisnya bekerja. Namun

terlambat, dia sudah merenggut gelang itu dari lengan ku dan

melemparkannya ke samping.

"Ha!" Nomor Sembilan berseru senang. "Sekarang

apa?"

Tepat pada saat Nomor Sembilan akan menerjangku,

lengan karet Nomor Lima membelit pinggangnya dan

mengempaskannya ke samping. Nomor Sembilan langsung

melompat berdiri. Nomor Lima berdiri menghadapinya, bola

karet dan bola besi berputar di tangannya, menyebabkan

kulitnya berubah dari karet jadi besi padat.

"Mau coba lagi?" Nomor Lima bertanya. "Banget,"

jawab Nomor Sembilan sambil menggeram.

Kejadiannya seperti yang John bilang. Begitu aku

berlindung di dekat bendera kami, Nomor Delapan muncul di

dekat situ. Karena ingat peraturan yang melarangnya

membawa bendera ke seberang ruangan dengan

menggunakan teleportasi, aku menunggu Nomor Delapan

merampas bendera kami dari dinding. Begitu dia

melakukannya, aku menembakkan blaster.

Nomor Delapan memekik kaget saat tembakan

pertamaku menyetrum punggungnya dan menyebabkannya

jatuh. Dia berguling. "Sialan, Sam! Menembak orang dari

~216~

belakang. Tidak sportif."

Aku membidikkan blaster ke arahnya. "Jatuhkan

benderanya!"

"Nggak akan," jawabnya sambil berdiri. Aku

memuntahkan sejumlah tembakan lagi, tapi Nomor Delapan

berkelit dengan gesit dan bersembunyi di balik perlindungan.

Meski begitu, aku berhasil membuatnya terpojok dan dia

juga menyadarinya. Nomor Delapan tidak mungkin kembali

ke seberang ruangan sambil membawa bendera kami.

"Oke, Sam. Coba lawan ini," Nomor Delapan berseru.

Nomor Delapan menggigit bendera itu lalu berubah wujud

menjadi makhluk singa ganas bertangan sepuluh. Dia

melewati barikade menghampiriku, lalu menepiskan

senapan dari tanganku dengan satu cakarnya.

"Serang dia, BK!" aku berseru.

Sebelum Nomor Delapan sempat bergerak lagi,

Bernie Kosar menubruknya. BK sudah berubah wujud

menjadi ular boa pembelit. Dia melilit tubuh Nomor Delapan,

menjepit lengan Loric itu. Saat Nomor Delapan menarik

napas, bendera kami jatuh dari mulutnya. Aku mengambil

bendera itu dan memasangnya kembali ke dinding kami.

Aku menyaksikan, sementara Sarah dan Ella, yang

merunduk di balik perlindungan di dekat bendera kami,

mengacungkan senapan ke sekeliling ruangan. Mereka

mencari target yang tak terlihat.

"Ayo, Ella," kata Sarah penuh harap. "Kau pasti bisa."

Wajah Ella berkerut penuh konsentrasi untuk

menemukan Nomor Enam dengan menggunakan telepati.

Kuharap tindakan itu tidak terlalu menguras tenaganya,

apalagi setelah kejadian kemarin. Tiba-tiba, wajah Ella jadi

cerah.

"Di sana!" dia berseru sambil menembakkan blaster

~217~

ke ruang kosong di sebelah kanan. Sarah langsung mengikuti,

tidak membidik satu titik tertentu, tapi hanya berusaha

menembak ke area yang sama dengan Ella.

Tembakan-tembakan itu menghantam ke dinding

tanpa mengenai apa-apa. Namun, setelah beberapa

tembakan, salah satu arus listrik seakan berhenti di udara.

Arus listrik itu memercik sejenak dan, seperti terkena sinar
X, aku melihat garis tepi rangka tubuh Nomor Enam yang

terjengkang ke lantai. Sosok Nomor Enam kembali terlihat,

wajahnya kaget dan bingung karena ketahuan. Dia harus

merangkak mundur untuk menghindari hujan tembakan dari

Sarah dan Ella.

"Bagus!" aku berseru. Ella dan Sarah melakukan

"tos", lalu kembali membidik Nomor Enam.

Aku menyelinap di sepanjang dinding, menonton aksi

mereka dari pinggir. Sampai saat ini, tidak ada yang

memperhatikanku, dan memang itu yang tim kami inginkan.

Di tengah ruangan, Nomor Sembilan merunduk di

bawah tinju besi Nomor Lima, mencengkeram lengan yang

sedang meluncur di atas kepalanya, menikung lengan itu,

kemudian menguncinya ke punggung Nomor Lima. Setelah

itu, dia mulai menarik jari-jari Nomor Lima.

"Kau mungkin terbuat dari logam," aku mendengar

Nomor Sembilan menggeram, "tapi tetap masih kalah kuat

dariku."

Nomor Sembilan membuka paksa tangan Nomor

Lima. Aku mendengar logam berdentang saat bola besi milik

Nomor Lima jatuh ke lantai. Seketika itu juga, kulit Nomor

Lima kembali normal. Nomor Sembilan mendorongnya ke

depan, tepat ke salah satu bola beban yang berayun. Bola itu

menghantam wajah Nomor Lima dan membuatnya

terjungkal. Dia mengerang sambil memegangi kepalanya.

"Ups," kata Nomor Sembilan, "ada yang bolanya

~218~

hilang, nih."

Aku terlalu sibuk memperhatikan perkelahian itu

sehingga hampir raja menginjak gelang yang Nomor

Sembilan cabut dari pergelangan tangan John. Karena merasa

mungkin benda itu Bakal berguna, aku memungut gelang

tersebut dan memasangnya ke pergelangan tanganku. Rasa

dingin menjalari lenganku, membuatku terkejut sehingga aku

nyaris melepaskan benda itu. Aku memaksakan diri

berkonsentrasi, menyelinap di sepanjang dinding,

menghindari perhatian.

"Hei!" John berteriak. Sejenak kemudian, barulah aku

tersadar dia bicara kepadaku. "Yang kau pakai itu punyaku!"

Kedua tinju John menyala. Dua bola api seukuran

bola basket melesat lurus ke arahku.

Aku tidak akan melontarkan bola api sebesar itu ke

arah Marina kalau aku tak yakin gelang tersebut dapat

mengatasinya. Perisai gelang terbuka tepat waktu dan

menyerap bola api tersebut, tapi daya dorongnya

menyebabkan tubuh Marina menghantam dinding,

membuatnya tertegun. Aku tidak tahu mengapa dia

menyelinap di pinggir ruangan, tapi aku yakin ini bagian dari

rencana yang digodok oleh tim mereka.

Aku menoleh ke belakang dan melihat Nomor Lima

berusaha mundur menjauhi Nomor Sembilan yang

mendekat. Tidak bagus. Aku melemparkan bola api ke arah

Nomor Sembilan dan menyebabkannya langsung merunduk

menjauh. Nomor Lima jadi punya kesempatan untuk berdiri

dan menjauh dari Nomor Sembilan. Sayangnya, begitu

Nomor Lima berdiri, dia langsung ambruk lagi akibat

hantaman energi blaster yang Sarah tembakkan. Meskipun

Sarah menghajar timku, tak urung aku senang melihatnya

dapat mengurusi diri sendiri dengan baik.

~219~

Untuk sementara, Nomor Lima harus melindungi

dirinya sendiri. Aku harus menyelidiki apa rencana Marina

dan merebut kembali gelangku. Aku berpacu ke arahnya saat

dia mendorong tubuhnya menjauh dari dinding. Matanya

membelalak melihatku mendekat, tapi kemudian dia

melayangkan tendangan ke kakiku. Aku menangkis

hantaman itu dan menekan Marina ke dinding, berusaha

merebut gelangku.

"Apa rencanamu, Marina?"

"Aku tak akan bicara!" teriaknya, berusaha

menghantamkan kepalanya ke arahku dengan sekuat tenaga.

Sepertinya ada yang belajar cara bertarung dengan kotor

dari Nomor Sembilan.

"John!" aku mendengar Sam berseru dari seberang

ruangan. "Awas!"

Meski seketika itu juga aku tahu apa yang akan

terjadi, aku tak dapat menghindar. Nomor Delapan

melakukan teleportasi ke sampingku, meninju rahangku, dan

menjauhkanku dari Marina. Begitu aku berbalik untuk

menghadapinya, dia melakukan teleportasi ke belakangku

dan menendang punggungku dengan kedua kaki. Aku

terhuyung dan jatuh berlutut. Bagaimana aku dapat

mengalahkan ahli teleportasi dalam perkelahian tangan

kosong?

Aku berusaha membidik Nomor Delapan, tapi

gerakannya terlalu cepat. Dia terus berteleportasi di sekitar

John, melancarkan tinju cepat, lalu menghilang sebelum John

sempat membalas. Di sampingku, Bernie Kosar masih

berwujud boa.

"BK, bantu John! Biar aku yang jaga benteng."

Dia berubah wujud menjadi elang raksasa, lalu

terbang untuk membantu John. Tinggallah aku sendiri yang

~220~

menjaga bendera.

Harapan terbaik kami untuk meraih kemenangan

masih pada Nomor Enam. Dia terpojok di batik
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlindungan, sementara Sarah dan Ella terus menembak

untuk menjaganya agar tetap di sana. Aku dapat melihatnya

dengan jelas dari tempatku berada. Dia berjongkok,

berkonsentrasi, lalu angin sepoi-sepoi meniup rambut

gelapnya.

Sebentar Dari mana asal angin itu?

Tiba-tiba, aku merasakan tekanan udara dalam

ruangan berubah. Nomor Enam berdiri di batik

perlindungannya, lalu menyentakkan tangan ke depan ke

arah Sarah dan Ella. Ella terdorong ke belakang, terguling ke

arah dinding. Sarah juga terjengkang dan blaster yang

dipegangnya terlepas.

Sementara mereka masih terdorong angin, Nomor

Enam berlari maju. Sarah mengulurkan tangan untuk

mengambil kembali blasternya, tapi Nomor Enam

menepiskan benda itu dengan telekinesis. Nomor Enam

melompat, merenggut bendera dari dinding, lalu berbalik

untuk kembali ke sisi kami.

"Ayo, Enam!" aku berseru dengan perasaan bangga.

Di sini mungkin tidak ada yang menyadarinya, tapi aku

menganggap aku, John, dan Nomor Enam adalah anak lama

yang bertanding melawan anak baru. Dan kami menang!

Sementara Nomor Enam berlari kembali ke wilayah

kami, aku terus mengacungkan senapan dan bersiap untuk

menembak.

Nomor Delapan terlalu sibuk menghadapi John dan

BK sehingga tidak menyadari Nomor Enam membawa

bendera. Namun, Nomor Sembilan melihatnya. Dia

mencampakkan Nomor Lima yang lelah dan babak belur, lalu

berlari ke tengah ruangan untuk mencegat Nomor Enam.

~221~

Aku berharap Nomor Enam menghilang, saat Nomor

Sembilan berpacu ke arahnya. Namun, Nomor Enam tidak

melakukannya. Malahan, sepertinya dia ingin menghadapi

Nomor Sembilan.

Nomor Sembilan mengayunkan tinju kanan yang

langsung dihindari oleh Nomor Enam dengan mudah. Lalu

dengan cepat, dia melayangkan dua tinju ke sisi tubuh

Nomor Sembilan, kemudian berusaha menyapu kakinya.

Nomor Sembilan melompati kaki Nomor Enam, setelah itu

meraih pergelangan tangannya saat Nomor Enam berusaha

menghantam hidung Nomor Sembilan dengan telapak

tangan. Dengan tangannya yang bebas, Nomor Sembilan

melancarkan tinju, tapi Nomor Enam menahan hantaman itu,

lalu menikung lengan Nomor Sembilan. Mereka bergumul,

saling memegangi tangan masing-masing. Nomor Enam

meliuk dan meronta, tapi aku tahu tenaga Nomor Sembilan

lebih kuat.

Sesaat, aku terpana memandang Nomor Enam dan

Nomor Sembilan berkelahi. Kurasa sudah jadi naluri

alamiahku untuk diam saat Garde bertarung, baik saat

melawan Mogadorian maupun saat berkelahi satu sama lain.

Namun, kemudian aku tersadar dapat menembak Nomor

Sembilan. Punggungnya yang lebar merupakan sasaran

empuk. Aku dapat mengakhiri permainan ini. Aku hanya

perlu menarik pelatuk, lalu Nomor Sembilan akan jatuh dan

Nomor Enam akan bebas sehingga dapat kembali ke sisi

kami.

Aku membidikkan senjataku dan menembak.

Entah bagaimana cara Nomor Sembilan

melakukannya. Mungkin ini karena peruntunganku yang

buruk. Nomor Sembilan memutar Nomor Enam tepat pada

saat aku menembak sehingga tembakanku menghantam

punggung Nomor Enam dan menyebabkannya meringkuk

~222~

serta kejang-kejang, lalu ambruk. Bendera terlepas dari

tangan Nomor Enam dan Nomor Sembilan memungutnya.

"Enam!" aku berseru karena kaget. "Maafkan aku!"

Aku sama sekali tidak melihat kedatangan Marina.

Sekarang kesempatanmu, Marina. Lari!

Sementara Sam sibuk memperhatikan hal lain, aku

berlari melewatinya dan merampas bendera mereka dari

dinding. Dia Baru menyadari keberadaanku saat aku mulai

berlari kembali ke sisiku sambil menjaga agar terus berada di

dekat dinding. Dia berusaha membidik, tapi aku merenggut

blaster itu dari tangannya dengan telekinesis. Sekarang Sam

tak akan mengganggu. Nomor Lima tergeletak beberapa

meter dariku, tampak linglung setelah bertarung melawan

Nomor Sembilan. Dia juga tidak akan mengganggu.

John dan Bernie Kosar-lah yang kucemaskan.

Keduanya menjauh dari Nomor Delapan begitu

melihatku berlari membawa bendera. Nomor Delapan

langsung melakukan teleportasi ke jalur lari BK,

memegangnya, lalu melakukan teleportasi kembali ke

seberang ruangan sambil membawa hewan itu. Tinggal John.

Nomor Sembilan berusaha mencegat John, tapi

Nomor Enam, yang masih belum pulih dari pengaruh

tembakan blaster, berhasil mengulurkan kaki dan

menyebabkan Nomor Sembilan terjatuh. Dengan begitu,

tidak ada yang menghalangi John mendekatiku. Aku masih

mengenakan gelangnya, jadi dia pasti tahu tidak ada gunanya

menembakkan bola api ke arahku. Dia justru langsung

berlari kencang untuk mencegatku.

Aw

alnya memang agak pusing saat aku

menggunakan Pusaka antigravitasi yang Nomor Sembilan

pindahkan kepadaku ketika permainan dimulai. Aneh

rasanya menyaksikan dunia berputar ke sisi, sementara aku

~223~

berlari di dinding dan kakiku menjejak ke tempat yang

mustahil. John mendekat begitu kencang sehingga tidak

sempat mengerem dan langsung menabrak dinding di

bawahku.

Aku berpacu di langit-langit menuju dinding kami,

lalu menjatuhkan diri ke lantai sambil mengacungkan

bendera tinggi-tinggi. Sebagian diriku tak dapat

memercayainya, bahkan saat Malcolm meniup peluit yang

menandakan permainan berakhir. Aku berhasil. Kami

menang!

"Sialan," kataku sambil menggosok kepala yang

menghantam dinding. "Aku sama sekali tak menyangka."

Namun, mau tak mau, aku tersenyum menyaksikan

Marina merayakannya. Nomor Delapan berteleportasi ke

seberang ruangan, lalu memeluknya erat-erat, sementara

Ella berlari menghampiri. Nomor Sembilan berjalan

terpincang-pincang ke arahku sambil mengulurkan tangan.

"Pertandingan bagus, Bos," katanya.

"Kau juga," kataku sambil menjabat tangannya.

Beberapa minggu yang lalu, kalah dari Nomor

Sembilan bakal membuatku gila. Namun, sekarang itu sama

sekali tidak penting. Yang penting adalah masing-masing tim

bekerja sama dengan baik. Penggunaan Pusaka,

keterampilan bertarung, saling menjaga satu sama lain?aku

tahu ini cuma permainan, tapi permainan ini membuatku

yakin, kami dapat menghadapi apa pun.

Nomor Sembilan menjauh dariku untuk membantu

Nomor Lima berdiri. Nomor Lima tampak babak belur,

samping wajahnya memar-memar, sementara sebelah

lengannya tergantung lemas di sisi. Nomor Sembilan

menghajarnya habis-habisan .

"Jangan marah, ya," kata Nomor Sembilan sambil

~224~

meringis.

"Yah, tentu," jawab Nomor Lima cemberut.

Aku melihat Sam berlutut di samping Nomor Enam

yang masih gemetar akibat sengatan listrik blaster. Aku tahu

Sam merasa bersalah.

"Enam," katanya, "aku minta maaf. Aku sama sekali

tidak bermaksud."

Nomor Enam melambaikan tangan untuk

menenangkannya. "Lupakan, Sam. Kan, tidak sengaja."

"Tidak juga," Nomor Sembilan menyela sambil

berjalan menghampiri. "Ella memperingatkanku soal

tembakan itu lewat telepati. Karena itulah, aku tahu aku

harus memutarmu."

Kami semua memandang Ella. Wajahnya merah

karena senang. Dia tampak lebih sehat dibandingkan ketika

permainan dimulai. Juga lebih terjaga.

Sementara yang lain melintasi ruangan untuk

menyelamati Marina dan meminta disembuhkan, Malcolm

menghampiri dan menepuk punggungku.

"Selamat," katanya.

"Tapi kami kalah."

Malcolm menggeleng. "Bukan itu maksudku. Selamat

karena berhasil menyatukan semuanya. Kau tahu apa yang

kulihat saat menonton tadi, John?"

Aku memandang Malcolm, menunggu jawaban.

"Kekuatan yang tak bisa dianggap enteng."

~225~

27

SETELAH LATIHAN, SAAT AKU SELESAI MANDI, ternyata

Sam sudah menungguku di koridor di luar kamar mandi.

Keningnya berkerut, ekspresinya kurang lebih sama seperti

saat pertandingan rebut bendera berakhir, seakan-akan dia

seoranglah yang menyebabkan kami kalah dan bukan cuma

melakukan satu kesalahan dalam latihan tersebut.

"Aku benar-benar mengacau tadi," katanya. "Aku

mengerti mengapa kau tidak membawaku ke Everglades."

Setelah semua orang disembuhkan, kami berkumpul

untuk memilih siapa saja yang pergi ke Everglades besok.

Sam tinggal, tapi alasannya sama sekali bukan karena sepak

terjangnya di Aula Kuliah, melainkan karena lebih masuk

akal jika dia dan Malcolm tinggal di Chicago. Dia

menggunakan tablet untuk mengoordinasi seandainya kami

terpisah serta memantau berita kalau-kalau ada masalah. Itu

tugas penting, tapi bukan sesuatu yang dapat dilakukan oleh

orang lain. Tidak ada Garde yang ingin ditinggalkan dalam

misi pertama kami sebagai Garde yang sudah berkumpul.

"Kau tahu alasannya bukan itu, Sam."

"Ya, ya," jawabnya setengah hati.

"Ayolah ... yang tadi itu cuma permainan. Jangan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimasukkan ke hati," jawabku sambil meninju lengannya.

Dia mendesah. "Tindakanku tadi benar-benar

memalukan. Di depan Nomor Enam pula."

"Ohhh," sahutku yang mulai mengerti masalahnya.

"Jadi, kau menembak punggung gadis yang kau suka. Bukan

masalah besar."

"Tapi itu masalah buatku," Sam bersikeras. "Aku ini

seperti idiot yang tak mampu melindungi diri sendiri. Atau

mungkin lebih parah, seperti orang yang dapat menyebabkan

orang yang disayanginya terluka."

~226~

Aku tidak tahu harus berkata apa. Dia belum pernah

punya pacar. Berusaha mengejar Nomor Enam itu seperti

memutuskan untuk mencoba mendaki gunung dan memilih

Everest sebagai gunung pertama.

"Dengar, andai saja ada sesuatu yang dapat

kukatakan kepadamu, Kawan. Tapi jujur saja, Nomor Enam

membuatku bingung setengah mati. Kalau kau benar-benar

suka dia, jujurlah kepadanya. Dia menghargai kejujuran.

Atau, lebih tepatnya, sikap terus terang. Hantam langsung."

"Hantam langsung? Seperti manusia gua saja."

Aku menepuk punggungnya. "Berterusteranglah, tapi

jangan coba-coba menghantamnya. Kau tak bakal selamat."

Aku bercanda, tapi dahi Sam semakin berkerut.

"Apakah aku punya kesempatan, John? Mungkin sebentar

lagi Enam bakal mengencani Sembilan. Setidaknya, Sembilan

bisa berkelahi."

"Sembilan?!" Itu membuatku tertawa. Aku menepuk

bahu Sam. "Ayolah, Kawan. Enam kan, tak tahan menghadapi

Sembilan."

"Oh, ya?" Sam memandangku. Sekarang dia

tersenyum rileks, tapi masih agak malu. "Maaf sudah

merecokimu dengan semua ini," katanya. "Sepertinya aku

cuma perlu dukungan moril atau semacamnya."

Kami sudah tiba di depan kamarku. Aku memegang

bahu Sam dan menatap matanya. "Sam, lakukan saja. Tak ada

ruginya, kan?"

Aku meninggalkan Sam yang sibuk memikirkan

langkah selanjutnya di koridor. Kuharap dia berhasil. Di satu

sisi, kurasa dia dan Nomor Enam dapat bekerja sama dengan

baik, tapi aku tak ingin membuang-buang waktu dengan jadi

makcomblang. Ada hal yang lebih penting yang perlu

kucemaskan. Belum lagi pacarku sendiri yang perlu

kupikirkan.

~227~

Sarah sudah di kamar dan sedang mengeringkan

rambut dengan handuk. Dia melemparkan sorot mata paham

setelah aku menutup pintu, wajahnya riang dan dihiasi

senyuman.

"Saran yang bagus," katanya.

Aku menoleh ke arah koridor, bertanya-tanya sejauh

mana percakapanku dengan Sam yang didengarnya. "Oh,

ya?"

Dia mengangguk. "Sam sudah dewasa. Emily bakal

patah hati."

Setelah beberapa saat, barulah aku ingat dengan

teman Sarah di Paradise, gadis yang Sam taksir sejak kami

naik gerobak jerami. Rasanya sudah lama sekali. "Kuharap

aku tidak menyebabkan Sam patah hati. Menurutmu Sam

punya kesempatan dengan Nomor Enam?"

"Mungkin," jawab Sarah seraya menghampiri. "Di

balik sikapnya yang keras itu, Enam tetaplah seorang gadis.

Sam itu manic serta lucu, dan dia jelas-jelas menyayangi

Nomor Enam. Apa yang kurang?"

"Mungkin kau perlu memberinya nasihat tentang

bagaimana cara memikat Loric. Kau pintar melakukannya."

"Oh, ya?" jawab Sarah sambil memainkan alis. Dia

berdiri dan memelukku. Seketika itu juga, aku melupakan

Sam dan semua masalah serius yang kami hadapi. Rasanya

luar biasa. Andai aku dapat terus seperti ini. Sarah perlahan

menjauh, lalu memandangku sambil tersenyum. "Itu karena

tadi aku menembakmu."

"Kalau itu yang kudapatkan, kau boleh menembakku

kapan saja."

"Jadi, besok apa?" tanya Sarah sambil menghitung

kegiatan harianku dengan jarinya. "Bikin rencana lagi?

Membuat peta? Menyelamatkan dunia?"

Aku menggeleng. "Aku pikir mungkin kita bisa

~228~

keluar."

Aku dan Sarah akhirnya berjalan-jalan di Kebun

Binatang Lincoln Park. Karena sering menghabiskan waktu

di atap John Hancock Center, sejak tiba di Chicago, aku tidak

benar-benar merasa terkungkung. Namun tetap saja di

bawah sini, bersama orang-orang, kota ini terasa berbeda.

Bahkan, meskipun udara dipenuhi asap knalpot dan bau

sampah khas kota besar, entah kenapa udara terasa lebih

segar. Mungkin karena di bawah sini, aku merasa lebih hidup

dan bebas dibandingkan saat di atas bersama masalah
masalahku. Dengan tangan Sarah yang menggandengku,

mudah saja membayangkan kami sebagai pasangan normal

yang sedang kencan.

Bukan berarti aku tidak waspada. Aku mengenakan

gelang di balik jaket tipis, buat berjaga-jaga kalau-kalau ada

bahaya. Kami berhenti di depan kandang singa, tapi aku tidak

dapat melihat apa-apa, selain bulu bokong keemasan si singa

yang sedang tidur di balik ban yang sudah digigiti.

"Tidak asyik berkunjung ke kebun binatang," kata

Sarah. "Hewan-hewannya malas dan mengantuk, terkadang

malah kita tak dapat melihat mereka."

"Bukan masalah buat kita," kataku. Aku meraih

dengan telepati, membangunkan singa itu dengan lembut.

Hewan itu berdiri, mengibaskan surainya, lalu berjalan lurus

ke arah kami. Dia menatap kami dari samping lubang air,

mata hitamnya berkedip penasaran.

Aku memintanya mengaum dan singa itu

melakukannya, auman sepenuh hati yang menyebabkan

anak-anak di dekat kami lari sambil menjerit dan tertawa.

"Pintar," bisikku. Sarah meremas lenganku.

"Kau ini seperti Dr. Doolittle," katanya. "Kalau kau

harus bersembunyi lagi, sirkus pasti cocok."

~229~

Aku menggunakan telepati hewanku di kandang
kandang lain. Aku membujuk anjing laut yang tampak bosan

untuk melakukan atraksi dadakan dengan bola pantai. Aku

meminta monyet mendekat dan menempelkan tangannya ke

kaca supaya Sarah bisa melakukan "tos". Ini cara bagus

untuk melatih Pusaka yang biasanya hanya kugunakan

untuk berkomunikasi dengan BK.

Kebun binatang mulai tutup saat matahari terbenam.

Ketika aku dan Sarah berjalan menuju pintu keluar, dia

menyandarkan kepalanya ke bahuku dan mendesah. Aku

tahu dia sedang memikirkan sesuatu.

"Aku ingin bisa menghabiskan lebih banyak waktu

bersamamu seperti hari ini," katanya.

"Aku tahu. Aku juga ingin begitu. Aku janji kita akan

sering berduaan setelah kami mengalahkan para

Mogadorian."

Sorot mata Sarah tampak jauh, sepertinya dia sedang

membayangkan masa depan itu, tapi tidak merasa senang.

"Tapi setelah itu apa? Kau kembali ke Lorien, kan?"

"Kuharap. Kami masih harus mencari cara untuk

pulang. Dan semoga kata-kata Malcolm tentang Batu Phoenix

yang ada di Peti kami itu benar. Semoga kami punya cukup

banyak batu, dan semoga batu itu mampu memulihkan

planet kami."

"Kau ingin aku ikut bersamamu?"

"Tentu saja," aku langsung menjawab. "Aku tak mau

pergi ke mana pun tanpa dirimu."

Sarah tersenyum agak sedih, tidak seperti yang

kuduga. "Kau manis, John. Tapi ini bukan seperti permainan

yang kita mainkan bersama Nomor Enam waktu di mobil.

Aku serius. Apakah kita akan kembali?" tanya Sarah. "Ke

Bumi?"

"Ya, tentu saja," aku menjawab, karena tahu itulah

~230~

yang harus kukatakan pada situasi ini, meskipun aku tidak

yakin. Aku menunduk. "Aku yakin kami akan kembali."

"Serius? Bertahun-tahun di pesawat ruang angkasa,

John. Jangan salah, sebagian diriku sangat ingin pergi. Tidak

setiap hari ada gadis yang diminta pacarnya untuk ikut ke

galaksi lain. Tapi aku punya keluarga di sini, John. Aku tahu

mereka tidak sebanding dengan memulihkan seluruh planet

ke masa keemasannya, tapi mereka sangat penting bagiku."

Sekarang aku mengernyit, suasana hatiku yang bagus

berubah. Sedih. Kehilangan. "Aku tak ingin merenggutmu

dari keluargamu, Sarah. Kembali ke Lorien seharusnya

merupakan sesuatu yang bagus, suatu kemenangan." Aku

diam sejenak, berusaha menemukan kata-kata yang tepat

untuk mengutarakan perasaanku. "Aku selalu memikirkan

seperti apa seharusnya semua ini berakhir. Setelah perang

berakhir, kami akan kembali ke sana dan menemukan cara

untuk memulai lagi. Rasanya seperti takdir, tapi rasanya juga

tidak mungkin, kalau kau mengerti maksudku. Aku tak

pernah memikirkan detailnya. Kurasa, mungkin seharusnya

aku melakukannya."

Kami berhenti berjalan dan Sarah mengulurkan

tangan untuk menyentuh wajahku. "Aku tak ingin

merenggutmu dari takdirmu. Tolong jangan mengira aku

berusaha melakukan itu."

"Tidak, tentu saja tidak. Tapi aku tak ingin kembali

ke Lorien tanpa dirimu."

"Aku sendiri tak yakin apakah aku ingin tinggal di

Bumi tanpa dirimu," jawabnya.

"Jadi bagaimana?"

"Aku tak tahu apa yang akan terjadi di masa

mendatang," kata Sarah. "Tapi aku mencintaimu, John. Untuk

saat ini, hanya itu yang penting. Kita akan memikirkan

masalah lainnya ketika waktunya tiba."

~231~

"Aku juga mencintaimu," aku menjawab sambil
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik Sarahkedekatkudanmengecupnya.

Lalu,gelangkumulaibergetar.

~232~

28

"ADA APA?" TANYA SARAH SAAT AKU TIBA-TIBA menjauh

darinya.

"Gelangku memberi peringatan. Ada sesuatu,"

jawabku sambil berputar, berusaha memperhatikan semua

yang ada di sekitar kami sekaligus. "Sesuatu yang

buruk."

"Lagi?" kata Sarah tak percaya karena teringat

kejadianBKsemalam.

"Tidak,yanginibeda.Lebihgawat."

Secara naluriah, aku menyentuh gelang yang seakan

mengirimkan jarum-jarum es ke atas dan bawah lenganku.

Kami berada di jalan ramai di pusat Kota Chicago. Aku

mengamati wajah-wajah di sekeliling kami. Orang-orang

yang pulang kerja, pasangan yang akan makan malam,

semuanya manusia. Tidak ada wajah pucat berpakaian gelap

yangtampak. Namun, gelangini tidak pernahkelirumemberi

peringatan.Adabahayadidekatkami.

"Kita harus pulang," kata Sarah. "Lalu

memperingatkanyanglain."

Aku menggeleng. "Jangan. Kalau para Mogadorian ini

mengikuti kita, tapi kita tidak mengusir mereka, bisa-bisa

kita malah menuntun mereka ke tempat teman
teman."

"Sialan, kau benar. Jadi, apa yang harus kita

lakukan?" "Kita harus mencari mereka." Aku meraih

tanganSarah, laluberjalankesalahsatuarah. Sensasi ditusuk

jarum di pergelangan tanganku mulai memudar, yang berarti

bahaya itu ada di arah sebaliknya. Aku berbalik dan berjalan

ke arah itu, walaupun tidak melihat sesuatu yang tak

wajar.

"John ...," Sarah memperingatkan sambil

~233~

menggenggam tanganku. Dia berusaha menyembunyikan

sinar yang muncul di kulitku. Lumenku terpicu, kedua

tanganku menyala, siap bertempur. Aku menarik napas dan

menenangkan diri, memaksa tanganku kembali normal.

Untung tidak ada yang memperhatikan.

"Sini," kataku sambil menuntun Sarah ke mulut gang

gelap. Gelang itu seolah berteriak kepadaku, seluruh

lenganku kebas akibat rasa ditusuk-tusuk. Aku bersandar ke

dinding, lalu melongok melalui pojokan gang.

Tiga Mogadorian. Dilihat dari tampangnya,

sepertinya mereka itu pengintai. Ketiganya bahkan tidak

repot-repot menyamar jadi manusia. Kepala pucat mereka

dicukur licin tapi tanpa tato, sementara tubuh mereka

dibalut mantel panjang gelap yang bakal membuat ngeri

siapa saja. Apa pun yang dilakukan ketiganya di sini, jelas

mereka tidak mengira bakal ketahuan. Dua dari mereka terus

mengawasi, sementara yang ketiga mengulurkan tangannya

ke bawah tempat sampah. Dia menyentakkan sesuatu dari

bawah logam itu, semacam amplop.

"Ada tiga," aku berbisik ke arah Sarah. Dia berdiri di

sampingku dengan punggung merapat ke dinding. "Pastilah

mereka ini jenis Mogadorian-biakan seperti yang Malcolm

bilang. Pucat dan jelek, seperti biasanya."

"Sedang apa mereka di sini?"

"Entahlah," kataku. "Tapi mereka sasaran empuk."

"Aku tidak bawa pistol saat kencan," Sarah balas

berbisik. "Andai aku tahu ...."

"Tak masalah," sahutku. "Mereka belum melihat

kita."

Sarah menunduk memandang tanganku. "Kita tak

akan membiarkan mereka melakukan apa pun yang mereka

kerjakan, bukan?"

"Tidak akan," aku menjawab dan tersadar tanganku

~234~

sudah mengepal. Sekali ini, aku berhasil memergoki

Mogadorian. Aku ingin tahu apa yang mereka lakukan. Tidak

ada lagi lari ketakutan. "Kalau situasinya jadi kacau, lari dan

cari bantuan."

"Tidak akan kacau," jawab Sarah tegas,

menyebabkan rasa percaya diri melandaku. "Bakar semua

bajingan itu."

Aku melangkah ke dalam gang dan berjalan lurus

menuju para Mogadorian itu. Mata cekung mereka

menatapku berbarengan. Sesaat, rasa dingin yang kukenal

menjalari tubuhku, perasaan seperti buronan. Aku

menekannya. Kali ini, aku memilih untuk melawan dan

bukan melarikan diri.

"Kalian tersesat?" aku bertanya dengan santai sambil

terus mendekat.

"Pergilah, Bocah," desis salah satu dari mereka

sambil menyeringai. Mogadorian di sampingnya membuka

mantel dan memperlihatkan gagang blaster yang diselipkan

di celana. Mereka berusaha menakut-nakutiku seakan-akan

aku ini cuma manusia biasa yang melewati jalan pintas yang

sangat tidak disarankan. Mereka tidak mengenaliku. Itu

berarti apa pun yang dilakukan ketiganya di sini, mereka

bukan memburuku.

"Agak dingin, ya," kataku sambil berhenti sekitar

sembilan meter dari mereka. "Apakah tubuh kalian cukup

hangat?"

Tanpa menunggu jawaban, aku menyalakan Lumen.

Bola api berputar hidup di telapak tanganku dan

kulemparkan ke Mogadorian terdekat. Api tersebut langsung

menyelubungi wajah Mogadorian yang tak sempat bereaksi,

membakarnya dengan cepat bagai korek api dan

mengubahnya menjadi abu.

Mogadorian yang kedua berhasil meraih blaster, tapi

~235~

hanya itu yang dilakukannya. Aku menghantamkan bola api

tepat ke dadanya. Dia menjerit sebentar, lalu bergabung

dengan Mogadorian pertama sebagai abu di dasar gang kotor.

Aku tidak menggunakan Lumenku untuk

menghantam Mogadorian terakhir. Dia memegang amplop

dan aku tak ingin membakar amplop tersebut. Aku ingin tahu

apa yang dikejar para Mogadorian ini, misi rahasia apa yang

menyebabkan mereka bersembunyi di sekitar Chicago.

Mogadorian itu menatapku, seakan menungguku membantai

dirinya dengan cepat seperti teman-temannya. Amplop itu

didekapnya di dada. Saat menyadari aku menahan diri, dia

buru-buru lari menyusuri gang.

Mogadorian itu melarikan diri dariku. Wah, sekali
sekali asyik juga ada perubahan suasana.

Aku meraih bak sampah besar dengan telekinesis,

lalu melemparkannya ke arah si Mogadorian sebelum dia

terlalu jauh. Sisi logam tempat sampah berderit menggesek

dinding gang, lalu mengenai si Mogadorian dan menahannya

di dinding, sementara tulangnya meremuk.

"Katakan apa yang kau lakukan di sini dan aku janji

akan melakukannya dengan cepat," kataku sambil

menghampiri. Untuk menunjukkannya, aku menambah

tekanan telekinesis ke bak sampah itu, menekannya lebih

kuat ke tubuh remuk si Mogadorian. Darah gelap

menggelegak menuruni dagunya. Jerit frustrasi dan

kesakitannya membuatku menahan diri. Aku tidak pernah

melakukan yang seperti ini. Selama ini, aku membunuh

Mogadorian dengan cepat dan hanya demi mempertahankan

diri. Kuharap tindakanku kali ini tidak keterlaluan.

"Ka?kalian semua akan mati," si Mogadorian

meludah.

Buang-buang waktu saja. Mana mungkin aku bisa

mendapatkan sesuatu yang penting dari pengintai rendahan?

~236~

Aku mendorong tempat sampah itu lagi dengan telekinesisku

dan menghabisi si Mogadorian. Kemudian, aku menjauhkan

bak sampah itu dari dinding dan memungut amplop dari

tumpukan abu Mogadorian. Aku membalikkan amplop di

tanganku?benda ini penuh kertas.

"Apa itu?" tanya Sarah seraya mendekat dengan hati
hati dari ujung gang.

Aku menyalakan sebelah tangan agar dapat melihat

kertas-kertas itu dalam gelap. Di tanganku ada tiga halaman

yang dipenuhi aksara kaku mirip persilangan antara hieroglif

Mesir dan kanji Gina. Pasti bahasa Mogadorian. Kurasa

memergoki Mogadorian mengirimkan perintah rahasia

dalam bahasa Inggris terlalu indah untuk jadi kenyataan. Aku

mengacungkan kertaskertas itu agar Sarah dapat melihatnya.

"Kau kenal penerjemah Mogadorian yang bagus?"

aku bertanya.

Setelah kembali ke penthouse, aku mengumpulkan

semua orang di ruang makan dan menceritakan

pertemuanku dengan para Mogadorian tadi. Nomor Sembilan

menepuk punggungku saat aku tiba di bagian membunuh

ketiga Mogadorian tersebut.

"Seharusnya kau bawa satu ke sini," katanya. "Kita

dapat menyiksanya seperti mereka meriyiksa kita."

Aku menggeleng. Aku memandang Sam yang tanpa

sadar menggosok bekas luka di pergelangan tangannya. "Kita

tidak melakukan itu," kataku. "Kita lebih baik daripada itu."

"Ini perang, Johnny," jawab Nomor Sembilan. "Apa

arti itu semua?" tanya Marina. "Apakah mereka tahu di mana

kita berada?"

"Kurasa tidak," kataku. "Kalau para Mogadorian itu

ada di sini karena kita, pasti mereka mengirim lebih dari tiga.

Mereka bahkan tidak mengenaliku saat aku mendekat."

~237~

"Padahal, kau kan, pembunuh Mogadorian terkenal,"

NomorDelapanberkomentar."Aneh."

"Mereka pasti sudah sampai di sini kalau memang

mengejar kita," Nomor Enammenambahkan. "Mereka bukan

rasyangtahusopansantun. Ritaperlumenyelidiki isi kertas
kertasini.Mungkininisemacamrencanapenyerbuan."

"Sepertidalammimpiku," bisik Ella.

Kertas-kertas itu diedarkan, setiap orang melihat

simbol-simboltak bermaknapadahalaman-halamannya.

Malcolm mengambil kertas itu dan mengerutkan
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kening. "Aku cukup lama ditawan, tapi tak pernah

mempelajaribahasamereka."

"Rasanya di komputer Sandor ada program

penerjemahan," Nomor Sembilan mengusulkan. "Tapi aku

tak yakinapakahdisanaadabahasaMogadorian."

Malcolm mengusap janggut sambil terus

memandangi kertas-kertastersebut. "Di sini ada pola, seperti

halnya semua bahasa. Ini bisa dipecahkan. Tunjukkan

program itu kepadaku, mungkin aku dapat

menggunakannya."

Semua orang di meja tampak tegang. Sejak

pertempurandiArkansas,barukaliiniadaMogadorianlagi.

"Ini tidak mengubah apa-apa," kataku. "Apa pun isi

dokumen itu, aku yakin para Mogadorian tidak ingin kita

tahu. Kita dapat memanfaatkannya. Tapi, sebelum kita

mengetahui isinya, kita akan tetap melaksanakan rencana

yang sudah kita susun. Istirahatlah semua. Kita berangkat ke

Floridapagi-pagisekali."

~238~

29

AKU BERDIRI DI BELAKANG AYAHKU, SEMENTARA dia

memindai isi dokumen Mogadorian tersebut ke komputer

Sandor. Setelah semua dokumen dipindai, ayahku

menyalakan sejumlah program penerjemahan serta program

peretas yang seharusnya dapat menembus firewall dan

tetek-bengek semacamnya.

"Dad yakin dapat menerjemahkannya?" aku

bertanya.

"Tahap pertamanya ada!ah menentukan program

mana yang digunakan."

"Oh, ya?" aku melihat ayahku membuka dan

mengecilkan iTunes. Aku mengetuk monitor. "Dad mau

mendengarkan musik?"

"Aku?mereka tak punya iTunes saat aku dibawa.

Kupikir ini akan ...," ayahku mengangkat bahu dengan malu,

"kuakui, aku baru coba-coba, oke?"

"Jadi, sekarang apa?"

"Aku akan melakukan pendekatan dari segala sisi.

Semua bahasa?bahkan bahasa alien?punya kesamaan.

Cuma masalah menemukan kesamaan itu dan

menggunakannya untuk menerjemahkan tulisan ini." Dia

menoleh ke arahku. "Ini membosankan, Sam. Kau tak perlu

menemaniku."

"Tak apa," kataku. "Aku mau menemanimu."

"Oh, ya?" ayahku bertanya sambil memandangku.

"Kukira kau punya rencana lain."

Seperti biasa, ayahku jeli. Saat ini aku mengenakan

apa yang dapat dikatakan pakaian terbaik mengingat

pilihanku cuma tiga. Sweter abu-abu sederhana dan celana

jins yang tidak terlalu belel. Aku meyakinkan diriku untuk

melakukan seperti yang John bilang, mencoba mengutarakan

~239~

perasaanku kepada Nomor Enam tanpa mencemaskan masa

depan dan sebagainya. Masalah terbaru ini, walaupun hanya

melibatkan kertas-kertas, adalah alasan yang bagus untuk

menundanya.

"Bisa ditunda," kataku pelan sambil pura-pura

mengamati berbagai contoh bahasa di monitor komputer.

"Hm," ayahku tersenyum lembut, lalu kembali

memandang monitor, "besok mereka berangkat ke Florida.

Setelah itu, pasti akan ada misi lain. Lalu, entah apa informasi

yang bakal kita dapatkan dari dokumen-dokumen ini.

Banyak yang terjadi."

"Maksudnya?"

"Mungkin nanti jarang ada malam yang tenang

seperti malam ini," kata ayahku. "Jangan ditunda, Sam."

Aku menemukan Nomor Enam di atap penthouse,

yang tampaknya merupakan tempat populer bagi Garde yang

ingin sendirian. Hari sudah malam dan angin bertiup lebih

kencang daripada biasa, mungkin karena Nomor Enam

bermain-main dengan cuaca. Kedua tangannya terangkat.

Saat dia menggerakkannya ke depan dan ke belakang, langit

ikut bergerak, bagaikan cat yang berpusar bersama ketika

dicampur, membuatku teringat kelas seni. itulah yang

dilakukannya terhadap awan-awan. Kalau ada ahli cuaca

yang memperhatikan langit malam ini, dia pasti bakal

terheran-heran.

Mulanya aku tidak mengatakan apa-apa, karena tak

ingin mengganggu. Aku berdiri di samping Nomor Enam dan

memandanginya. Angin meniup rambut hitamnya ke wajah

yang bermandikan cahaya kelap-kelip merah dari lampu

yang memagari atap. Senyum simpul merayapi ujung-ujung

bibirnya. Andai tak mengenalnya, aku pasti akan mengira dia

sedang senang.

~240~

Perlahan, hampir seperti yang menyesal karena

berhenti, Nomor Enam menurunkan tangan dan

memandangku. Angin langsung diam. Awan-awan kembali

merayap melintasi langit malam. Aku merasa seperti

mengganggu sesuatu.

"Hei, kau tak perlu berhenti!"

"Tak apa. Ada apa?" dia bertanya. "Ayahmu sudah

tahu apa isi dokumen itu?"

"Mmm bukan. Belum ada apa-apa. Aku cuma ingin

bicara denganmu."

"Oh," jawab Nomor Enam sambil kembali menatap

langit malam, "oke."

"Tidak penting, sih," kataku buru-buru, merasa

bodoh. "Kau bisa kembali berlatih atau apa. Aku akan

meninggalkanmu sendirian."

"Jangan. Tetaplah di sini," katanya tiba-tiba.

"Dikurung terus-terusan di apartemen rasanya tidak

menyenangkan. Sejak punya Pusaka ini, aku merasa

terhubung dengan cuaca. Aku suka berhubungan dengannya,

kalau itu masuk akal."

"Aku mengerti," jawabku, seolah-olah aku paham

sekali tentang berhubungan dengan cuaca. "Kau hebat saat

latihan tadi. Maaf, aku bikin kacau."

"Ayolah, Sam," katanya sambil memutar bola mata.

"Berhenti minta maaf. Memangnya kau ke sini untuk

membahas itu?"

"Bukan," jawabku sambil mendesah. Sialan. Aku

memutuskan untuk mengikuti saran John. "Aku ingin tahu

apakah kau mau?eh, entahlah?bersamaku?"

Yah, mungkin bukan upaya mulus untuk mengajak

seseorang pacaran. Nomor Enam mengangkat alis matanya

dengan jenaka. "Bersama? Kita kan, sama-sama tinggal di sini.

Kita selalu bersama."

~241~

"Maksudku,sepertiberduasajadenganku."

"Bukannyasekarangjugakitasedangberduaan?"

"Ya?maksudku, mmm?," aku tergagap, tapi

kemudian melihat senyum jail menghiasi wajah Nomor

Enam."Kaumempermainkanaku,ya?"

"Sedikit," katanyasambil menyilangkanlengan. "Jadi,

kaumengajakkukencan?Begitumaksudnya?"

"Ya,danakumelakukannyadenganbagussekali."

"Tidak buruk, kok," katanya lembut sambil agak

mendekatkearahku."Tapisaatini,kamisedangperang,Sam.

Tidak adawaktuuntuk kencan.Kaukan,tahuitu."

"Mmm,JohndanSarahkekebunbinatanghariini."

"Tapi aku tak mau punya hubungan seperti John
dan-Sarah denganmu," ujar Nomor Enam, seakan-akan itu

halpalingjelasdidunia.

"Oh," hatiku ciut, perutku seolah ditonjok, "aku pikir

?waktu kau pergi ke Spanyol, John bilang tentang

perasaanmu terhadapku, lalu dari cara kita berpelukan saat

di Arkansas?ah, sialan. Aku ini idiot. Seharusnya aku tahu

kautak mungkintertarik padaorangsepertiaku."

"Hei, sebentar," kata Nomor Enam sambil meraih

tanganku sebelum aku berlari ke pintu, "maafkan aku, Sam.

Maksudkubukanbegitu.Akusukakamu."

"Tapi bukan suka yang seperti itu," aku

menyelesaikankalimatstandartersebut.

"Aku tidak bilang begitu. Aku suka. Yah, mungkin."

Nomor Enam mengangkat tangan. "Entahlah! Dengar!

Masalahnya, John dan Sarah, mereka pikir itu membuat

segalanya mudah bagi mereka, padahal tidak. Itu cuma bikin

masalah."

"Menurutkumerekabahagia," jawabku.

"Ya, saat ini," kata Nomor Enam, "Tapi bagaimana

kalau terjadi apa-apa? Kau tahu, John itu memang pemimpin

~242~

yang baik, tapi dia bukan orang yang realistis. Apa mungkin

kita memerangi pasukan Mogadorian tanpa ada korban yang

jatuh?"

"Wow, kelam sekali."

"Itu yang sebenarnya. Pada akhirnya semua bakal

jadi buruk, Sam." Dia mengulurkan tangan dan memungut

benang lepas dari bagian depan sweterku. "Aku berharap kau

menjauh dari kami. Pergi ke tempat aman. Saat ini berakhir,

mungkin situasinya berbeda ...."

Aku tertawa tak percaya. "Yang benar saja? Itu

seperti omong kosong yang dikatakan Spiderman saat

berusaha memutuskan MaryJane. Kau tahu betapa

memalukannya mendengar kata-kata itu, seakan-akan aku

ini gadis yang dicintai seorang pahlawan super?"

Nomor Enam ikut tertawa sambil menggeleng."Maaf.

Bukan begitu maksudku. Aku baru sadar aku ini munafik. Ini

bertentangan dengan apa yang kukatakan kepada John

tentang Sarah."

"Mungkin kau benar dan keadaan bakal jadi buruk,"

kataku. "Tapi itu bukan berarti kau harus menahan diri.

Selalu siap menghadapi perang? Itu tidak bagus. Mungkin kau

dapat menghabiskan 95 persen waktumu sebagai Nomor

Enam dan ... eh, lima persen sebagai Maren, bersamaku."

Aku tidak merencanakan pidato kecil itu. Nama

manusia Nomor Enam muncul begitu saja. Dia membuka

mulut, tapi tidak dapat berkata-kata. Nama itu membuatnya

kaget.

"Maren," bisiknya. "Aku tak yakin apakah aku ingat
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaimana menjadi dirinya."

Sekarang dia memandangku dengan cara yang agak

aneh, seperti telah membuang kewaspadaannya. Sama sekali

bukan tatapan acuh tak acuh yang biasa Nomor Enam

tunjukkan, tapi sesuatu yang lebih rapuh, seakan-akan dia

~243~

memutuskan untuk mengurangi sikap hati-hatinya. Aku

terus menggenggam tangannya.

"Berjanjilah kau tak akan mati," katanya terus terang.

Saat itu, aku akan berjanji apa pun kepadanya. "Aku

janji."

Pegangan tangannya mengencang, jari-jarinya

bertaut dengan jari-jariku. Nomor Enam mendekat. Angin

kembali bertiup dan aku mengulurkan tangan untuk

menyingkirkan rambut dari wajahnya, lalu membiarkan

tanganku di sana, di pipinya.

Seketika itu juga, Nomor Delapan muncul di atap.

Nomor Enam melompat menjauh dariku, seolah-olah

tersiram air panas. Aku ingin sekali mencekik Nomor

Delapan, tanpa merasa menyesal. Aku pikir dia akan

melontarkan guyonan, tapi wajahnya tegang dan serius.

"Kami butuh kalian di bawah!"

"Ada apa?"tanya Nomor Enam sambil berjalan

menghampiri Nomor Delapan. "Mogadorian?"

Nomor Delapan menggeleng. "Ella."

Sepertinya perkiraan ayahku bahwa ini akan menjadi

malam yang tenang, salah.

Nomor Delapan memegang tangan kami. Aku merasa

linglung merasakan dunia seolah dicerabut dari bawah

kakiku. Saat mengerjap, sekonyong-konyong kami sudah

berdiri di kamar Marina dan Ella.

Ella terlentang di tempat tidur, kaku seperti papan,

selimutnya sudah ditendang jatuh. Matanya tertutup rapat.

Mungkin yang paling mengerikan adalah adanya darah yang

mengalir dari ujung bibirnya. Ella menggigit bibir sampai

berdarah.

Marina berlutut di samping tempat tidur, menyeka

mulut Ella dengan tisu. Dia membisikkan nama Ella berulang

kali, berusaha membangunkannya. Namun, Ella tidak

~244~

bereaksi, hanya mengepal dan membuka genggaman

tangannya.

"sudah berapa lama dia seperti ini?" ayahku

bertanya.

"Aku tak tahu," ucap Marina panik."Dia tidur duluan,

katanya latihan tadi membuatnya lelah. Lalu, tahu-tahu dia

sudah seperti ini dan tak mau bangun."

Aku memandang berkeliling, tidak yakin harus

berbuat apa. Tampaknya semua yang ada di sini juga merasa

begitu. Kami semua berkumpul di kamar atau berdiri di pintu

dengan tata pan bingung.

"Selama ini, dia tidak pernah begini?" aku bertanya

kepada Marina.

"Kau ada di sini waktu dia menjerit-jerit, itu yang

paling buruk," jawabnya. "Biasanya dia selalu bangun."

"Aku tak suka ini," gerutu Nomor Sembilan dari

pintu. Tampaknya Bernie Kosar juga begitu. Dia berdiri di

kaki tempat tidur sambil mengendus-endus udara seperti

anjing penjaga yang mencium bau busuk.

"Keringatnya banyak sekali," kata Marina. "Demam?"

tanya John.

"Aku tak pernah mengalami yang seperti ini saat

mendapat visi," komentar Nomor Delapan. "Kalau kalian?"

John maupun Nomor Sembilan menggeleng.

Marina meraih handuk dari laci meja samping tempat

tidur dan mulai menyeka dahi Ella. Tangannya gemetaran

sehingga Sarah mengambil alih handuk itu. "Sini," katanya,

"biar aku saja."

Marina mundur dari tempat tidur. Nomor Delapan

memeluk serta membelai-belai punggungnya, sementara

Marina bersandar kepadanya dengan penuh rasa terima

kasih.

"Mungkin kita perlu mencoba menyembuhkannya?"

~245~

Nomor Enam mengusulkan. "Atau menggunakan salah satu

batu penyembuh?"

"Tak ada yang bisa disembuhkan," jawab John.

"Setidaknya, begitulah kelihatannya. Dan menggunakan batu

kita tak tahu apa yang bakal terjadi. Bagaimana kalau batu

itu justru melipatgandakan rasa sakitnya?"

"Kalian sudah coba membuka matanya secara

paksa?" Nomor Lima mengusulkan. Kami semua

memandangnya dengan bimbang, seakan-akan itu saran yang

kejam, tapi mungkin lebih baik daripada membiarkan Ella

menderita dalam mimpi buruknya. "Kenapa? Ada ide yang

lebih bagus?"

Ay

ahku membuka salah satu kelopak mata Ella

dengan lembut. Bola mata anak itu berputar ke belakang

sehingga yang terlihat hanyalah warna putih matanya. Aku

teringat ketika harus menjalani tes kesadaran setelah Mark

James membuatku terjatuh dari tali saat pelajaran olahraga.

Mereka menyorotkan sinar senter ke mataku.

"John, mungkin kau dapat menggunakan Lumenmu?"

aku menyarankan. "Cahayanya kan terang, mungkin itu

dapat membangunkannya."

John mendekat dan menyalakan tangan seperti

senter, lalu menyorotkannya ke mata Ella. Sesaat kemudian,

tubuh Ella berhenti bergerak-gerak dan tampaknya dia jadi

tenang.

"Sepertinya berhasil," aku menarik napas.

Ella, bangun," bujuk Marina.

Mendadak, tangan Ella teracung ke depan,

mencengkeram pergelangan tangan John dengan begitu kuat

sehingga membuat John kaget. Serta-merta aku teringat salah

satu film horor tentang anak kecil yang dirasuki setan.

Tangan Ella yang menyentuh kulit John berbinar merah.

"Apa yang dia lakukan?" Sarah terkesiap.

~246~

Sesaat, John tampak bingung. Dia membuka mulut

untuk mengucapkan sesuatu, tapi sekonyong-konyong bola

matanya berbalik dan tubuhnya menegang, seakan-akan

seluruh otot di tubuhnya kejang pada saat yang bersamaan.

Lalu, seolah-olah semua ketegangan itu terlepas, dia roboh

seperti boneka tali yang talinya putus dan jatuh ke lantai di

samping tempat tidur Ella.

"John!" jerit Sarah.

Ella masih mencengkeram pergelangan tangan John.

Nomor Sembilan menerjang ke dalam kamar. "Pisahkan

mereka!"

Marina menahan Nomor Sembilan. "Tunggu! Jangan

menyentuh Ella!"

Mengabaikan semua itu, Sarah merunduk dan

membuka paksa tangan Ella dari pergelangan tangan John.

Namun, John tetap tidak bergerak dan tidak sadarkan diri,

bahkan saat Sarah menggulingkan dan mengguncang

tubuhnya. Apa pun yang diakibatkan sentuhan Ella terhadap

John, tampaknya itu tidak berdampak pada manusia karena

Sarah tidak terpengaruh.

Nomor Enam mendekat untuk mengamati. Aku

melihat tangan Ella terulur ke arahnya, dengan jari-jari

mengatup dan membuka.

"Awas," kataku sambil meraih bagian belakang kaus

Nomor Enam dan menariknya mundur. Garde yang lain

menyadari tangan Ella yang mencari-cari itu dan kami semua

mundur menjauhi tempat tidur. Begitu tidak ada Garde lain

dalam jangkauannya,tangan Ella terkulai kembali ke tempat

tidur. Dia kembali seperti tadi, terperangkap dalam mimpi

buruk. Namun, sekarang John menemaninya.

"Apa yang terjadi?" tanya Nomor Sembilan.

"Ella melakukan sesuatu pada John," jawab Nomor

Lima sambil menarik napas.

~247~

Sarah memangku kepala John sambil membelai

rambutnya. Ayahku mengangkat tangan Ella dengan lembut,

lalu menyelipkannya ke balik selimut. Aku memandang para

Garde. Mereka terbiasa melarikan diri, terbiasa menghadapi

ancaman fisik yang dapat mereka lawan dan hancurkan.

Namun, bagaimana mereka dapat melarikan diri?atau

mengalahkan?sesuatu yang menyerang mereka dari dalam?

~248~

30

MALAM ITU, TAK ADA YANG BISA TIDUR. YAH,

kecuali kedua orang yang tak dapat dibangunkan itu. Namun,

kurasa tidak ada seorang pun yang ingin ikut tidur seperti

itu. Aku dan ayahku mengangkat John ke

tempat tidur, lalu membaringkannya di samping Ella.

Keduanya tidur dengan tidak tenang. Sarah tidak mau

meninggalkan kamar. Dia terus memegangi tangan John,

membelainya lembut, membujuknya agar bangun. Bernie

Kosar juga tak mau pergi. Dia bergelung di kaki tempat tidur

sesekali mendengking dan menyodokkan hidungnya ke kaki

John dan Ella.

Beberapa jam setelah John pingsan, aku melongok ke

kamar itu. Sarah sedang menunduk, kepalanya menempel ke

punggung tangan John. Entah dia tidur atau tidak, aku tidak

ingin mengganggunya. John dan Ella masih tetap seperti tadi.

Wajah mereka berkedut, dan tubuh mereka kadang-kadang

doyong seakan-akan di dalam mimpi itu mereka jatuh dan

berusaha menjaga keseimbangan. Aku pernah mengalami

mimpi yang seperti itu, mimpi tersandung atau jatuh dari

sepeda, tapi aku selalu terbangun sebelum menghantam

tanah. Namun, sepertinya itu tidak sama dengan yang dialami

John dan Ella. Aku mengamati John. Baru beberapa

jam, tapi kulitnya sudah menunjukkan tanda-tanda yang

mirip dengan kulit Ella, lingkaran gelap terbentuk di

sekeliling matanya seakan-akan tenaganya terkuras. Karena

berpikir begitu, aku jadi ingat pagi tadi sebelum latihan, Ella

juga tampak terkuras. Jangan-jangan mimpi buruk ini

memengaruhi keadaan fisik, seperti melemahkan John dan

Ella, atau lebih buruk lagi. "Sarah?" aku berbisik, tapi
The Fall of Five Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Roro Centil 02 Tiga Paderi Pemetik Bunga 09 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Wiro Sableng 073 Guci Setan

Cari Blog Ini