The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 1
Oleh: Pittacus Lore
Penerbit Mizan Fantasi
Bandung, 2011
THE POWER OF SIX
Diterjemahkan dari The Power of Six
Karya Pittacus Lore
Terbitan HarperCollins Children's Books,
a division of HarperCollins Publishers, 10 East 53rd Street,
New York, NY 10022
Copyright ? 2011 by Pittacus Lore
All rights reserved
Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada
Penerbit Mizan Fantasi
Penerjemah: Nur Aini
Penyunting: Esti A. Budihabsari
Proofreader: Wiwien Widyawanti
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Cetakan 1, November 2011
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Fantasi PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI
Jln. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan),
Ujungberung, Bandung 40294
Telp. (022) 7834310 ? Faks. (022) 7834311
e-mail: kronik@mizan.com
http://www.mizan.com
facebook: Mizan Fantasy
twitter: @mizanfantasi
Desain sampul: BLUEgarden
ISBN 978-979-433-671-7
ebook by
www.facebook.com/indonesiapustaka
1 N
AMAKU MARINA, YANG BERARTI PUTRI DARI laut. Tapi dulu
namaku bukan itu. Awalnya, aku dikenal sebagai Nomor
Tujuh, salah satu dari sembilan Garde Planet Lorien yang
selamat, dan sejak saat itu mengemban takdir planet kami.
Suratan kami yang masih bertahan hidup.
Umurku enam tahun ketika kami tiba. Saat pesawat
berguncang dan akhirnya mendarat di Bumi, walaupun masih
kecil, aku bisa merasakan berapa banyak yang dipertaruhkan
demi kami, sembilan Cepan dan sembilan Garde. Aku juga
bisa merasakan bahwa kesempatan kami hanya ada di sini.
Kami memasuki atmosfer Bumi di tengah badai yang kami
ciptakan. Aku ingat gumpalan uap yang bergulung menjauhi
pesawat serta bulu roma lenganku yang berdiri saat kami
menjejakkan kaki di Bumi untuk pertama kalinya. Sudah satu
tahun aku tak merasakan angin bertiup, dan udara di luar
begitu dingin. Seseorang menanti kami. Aku tak tahu siapa
dia. Orang itu hanya memberikan dua set pakaian serta
sebuah amplop besar kepada setiap Cepan. Sampai sekarang
aku tak tahu apa isi amplop itu.
Kami semua berpelukan, sadar bahwa mungkin kami
tak akan pernah bertemu lagi. Kami saling mengucapkan
kata-kata perpisahan dan berangkulan. Setelah itu kami
berpencar, karena memang harus, dan berjalan menuju
sembilan arah berbeda, berpasang-pasangan. Aku terus
menerus menoleh ke belakang, melihat yang lainnya
mengecil di kejauhan hingga lenyap dari pandangan satu
demi satu. Lalu hanya ada aku dan Adelina, berjalan di dunia
yang sama sekali asing bagi kami. Pasti waktu itu Adelina
sangat ketakutan.
Aku ingat kami menaiki kapal ke suatu tempat tak
dikenal, lalu naik dua atau tiga kereta api yang berbeda
setelahnya. Adelina dan aku menyendiri, meringkuk
berdempetan di pojok gelap, jauh dari semua orang. Kami
berjalan dari kota yang satu ke kota yang lain, mendaki
gunung dan melintasi ladang, mengetuk pintu-pintu yang
langsung dibanting di depan muka kami. Kami lapar, lelah,
dan takut. Aku ingat duduk di pinggir jalan dan mengemis.
Aku ingat aku menangis dan bukannya tidur. Aku yakin
Adelina menukarkan permata berharga Lorien kami demi
sekadar mendapat makanan hangat, sebesar itulah
kebutuhan kami. Mungkin dia malah memberikan semuanya.
Lalu, kami menemukan tempat ini di Spanyol.
Seorang perempuan galak yang kemudian kukenal
sebagai Suster Lucia membuka pintu kayu ek berat.
Dia memicingkan mata ke arah Adelina, mengamati
rasa putus asanya serta bahunya yang melorot.
"Kau percaya firman Tuhan?" tanya perempuan itu
dalam bahasa Spanyol sambil mengerucutkan bibir dan
memicingkan mata curiga.
"Firman Tuhan adalah sumpahku," jawab Adelina
sambil mengangguk khidmat. Aku tak tahu dari mana Adelina
tahu harus menjawab apa?mungkin dia mempelajarinya
ketika kami tinggal di ruang bawah tanah sebuah gereja
beberapa minggu sebelumnya. Yang jelas, jawabannya itu
benar. Suster Lucia membukakan pintu.
Sejak itu kami tinggal di sini, selama sebelas tahun
dalam biara batu dengan ruangan-ruangan pengap, lorong
berangin, dan lantai keras bagai lempengan es. Selain
sejumlah pengunjung, internetlah satu-satunya
penghubungku dengan dunia di luar kota kecil kami. Aku
selalu menjelajahi internet, mencari petunjuk bahwa yang
lainnya ada di luar sana, mencari, dan mungkin malah
bertempur. Mencari petunjuk bahwa aku tidak sendirian,
karena saat ini aku tak yakin Adelina masih percaya dan
masih bersamaku. Sikapnya berubah sejak berada di
pegunungan. Mungkin rasa sakit hati saat melihat pintu
dibanting di depan muka kami pada suatu malam musim
dingin tak pernah bisa dilupakannya. Apa pun penyebabnya,
tampaknya Adelina tak lagi merasakan keharusan untuk terus
berpindah. Keyakinannya bahwa Lorien akan bangkit kembali
pun telah digantikan oleh keyakinan terhadap agama para
Suster biara. Aku ingat perubahan di mata Adelina dan juga
ceramahnya mengenai pentingnya bimbingan dan struktur
jika ingin bertahan hidup.
Keyakinanku terhadap Lorien tetap utuh. Satu
setengah tahun lalu di India, empat orang menyaksikan
seorang anak laki-laki memindahkan benda hanya dengan
menggunakan kekuatan pikiran. Walaupun awalnya kejadian
itu seperti tak berarti, tidak lama kemudian, anak laki-laki itu
menghilang sehingga daerah itu pun gempar. Dia pun mulai
diburu. Sejauh yang aku tahu, dia tak ditemukan.
Beberapa bulan lalu, ada berita mengenai seorang
gadis di Argentina yang mengangkat lempeng beton seberat
lima ton demi menyelamatkan seorang lelaki yang terkubur
di bawahnya akibat gempa. Begitu berita mengenai tindakan
heroik itu menyebar, dia lenyap tak berbekas. Seperti anak
laki-laki dari India itu, anak perempuan itu pun belum
ditemukan.
Lalu, ada sepasang ayah-anak yang menjadi berita
hangat di Ohio, Amerika. Polisi memburu mereka atas
tuduhan menghancurkan seluruh sekolah dan menyebabkan
kematian lima orang. Keduanya tidak meninggalkan jejak apa
pun, selain tumpukan abu misterius.
"Sepertinya terjadi pertempuran di sini. Saya tidak
tahu bagaimana menjelaskannya," begitulah kata kepala
penyidik. "Tapi kami akan terus menyelidiki hingga ke
akarnya. Kami akan menemukan Henri Smith serta anaknya,
John."
Mungkin John Smith, jika memang itu nama aslinya,
hanyalah seorang pemuda pemarah dan sesuatu memicunya
sehingga dia melakukan itu. Tapi kurasa bukan. Jantungku
berdebar setiap kali fotonya muncul di monitor komputer
yang kupakai. Rasa putus asa mendalam mencengkeramku.
Jauh di lubuk sanubariku, aku bisa merasakan bahwa John
Smith salah satu dari kami. Dan aku harus menemukan John
Smith, entah bagaimana caranya.
2 K
USANDARKAN LENGAN DI BINGKAI JENDELA YANG dingin,
memandangi salju turun dari langit gelap, menghujani di
lereng gunung yang dihiasi titik-titik pinus, ek gabus, pohon
beech, serta batu di berbagai tempat. Salju turun tanpa henti
sepanjang hari, dan katanya akan terus turun sepanjang
malam. Aku nyaris tak bisa memandang melampaui tepi
utara kota?dunia lenyap di balik kabut putih. Pada siang
hari, saat langit cerah, biasanya Taut biru di Teluk Biscay
dapat terlihat. Tapi tidak dalam cuaca seperti ini. Aku juga tak
bisa berhenti bertanya-tanya apa yang menanti di balik
semua warna putih di hadapanku.
Aku menoleh ke belakang. Di ruangan berangin
dengan langit-langit tinggi ini ada dua komputer. Untuk
menggunakannya, kami harus menulis nama kami di sebuah
daftar dan menunggu giliran. Pada malam hari, kami hanya
boleh menggunakannya selama sepuluh menit jika ada yang
mengantre, dua puluh menit jika tidak ada orang lain. Kedua
gadis itu sudah menggu nakan komputer selama setengah
jam, dan kesabaranku menipis. Aku belum mengecek berita
sejak pagi, sejak menyelinap ke sini sebelum sarapan. Pagi
tadi tak ada berita baru mengenai John Smith, tapi aku
berdebar-debar menanti berita apa yang mungkin muncul.
Sejak berita itu muncul, selalu ada berita baru setiap hari.
Santa Teresa merupakan biara sekaligus panti asuhan
bagi anak perempuan. Sejak gadis terakhir yang berulang
tahun kedelapan belas pergi enam bulan lalu, akulah gadis
paling tua di antara tiga puluh tujuh anak yang tinggal di sini.
Pada umur delapan belas tahun, kami diberi pilihan untuk
keluar atau tetap tinggal di sini. Tak ada gadis yang tinggal di
tempat ini begitu menginjak delapan belas tahun. Aku tak
bisa menyalahkan mereka. Hari ulang tahunku yang
kedelapan belas?Adelina mengarang tanggal kelahiran kami
saat tiba di tempat ini?tinggal lima bulan lagi. Seperti gadis
gadis lain, aku berniat meninggalkan penjara ini, entah
Adelina ikut bersamaku atau tidak. Sayangnya, sulit
membayangkan Adelina turut serta.
Biara ini sendiri dibangun tahun 1510, dan seluruhnya
terbuat dari batu serta terlalu besar bagi sedikit orang yang
tinggal di sini. Sebagian besar ruangan di biara ini kosong.
Ruangan yang tidak kosong terasa lembap dan berbau tanah
dengan langit-langit yang memantulkan suara. Biara ini
berdiri di atas bukit tertinggi dan menghadap desa dengan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nama yang sama, terletak jauh di dalam Picos de Europa?
Puncak Eropa?di Spanyol utara. Seperti biara, desa itu juga
terbuat dari batu, dengan banyak bangunan yang dibangun di
lereng gunung. Orang tak bisa berjalan di jalan utama kota,
Calle Principal, tanpa merasa kewalahan dengan jalannya
yang jelek. Tempat ini seakan dilupakan waktu. Ratusan
tahun yang telah berlalu menyebabkan segalanya berubah
menjadi cokelat dan hijau lumut, disertai bau jamur yang
menguar di udara.
Sudah lima tahun berlalu sejak aku mulai memohon
kepada Adelina untuk pergi, untuk terus bergerak seperti
yang diperintahkan. "Sebentar lagi Pusakaku muncul, dan aku
tak mau Pusakaku muncul saat kita di sini, dengan semua
gadis dan suster di sekelilingku," kataku. Adelina menampik
permohonanku dan mengutip La Biblia Reina Valera?Alkitab
bahasa Spanyol bahwa kami harus bertahan demi
keselamatan. Sejak saat itu, setiap tahun aku memohon.
Setiap tahun pula, dia memandangku dengan tatapan kosong
dan menceramahiku dengan berbagai macam kutipan. Tapi
aku tahu keselamatanku tak ada di sini.
Di balik gerbang gereja di bawah bukit landai, samar
samar terlihat cahaya lampu kota. Di tengah badai seperti ini,
lampu-lampu itu tampak seperti lingkaran suci yang
melayang-layang. Walaupun tak bisa mendengar musik dari
dua kantin yang ada di sana, aku yakin kedua tempat itu
dipadati orang. Selain kedua kantin itu, ada pula restoran,
kafe, pasar, toko bahan makanan, dan berbagai kios
pedagang yang berjajar di Calle Principal sepanjang pagi dan
sore hari. Di bawah bukit, di ujung selatan kota, berdirilah
sekolah tempat kami belajar.
Aku menoleh saat lonceng berbunyi: lima menit lagi
waktu berdoa tiba, yang diikuti dengan waktu tidur. panik.
Aku harus tahu apakah ada berita baru. Mungkin John
tertangkap. Mungkin polisi menemukan sesuatu di sekolah
yang hancur itu, sesuatu yang sempat terlewatkan. Bahkan
walaupun tak ada berita baru, aku harus tahu. Kalau tidak,
aku tak akan bisa tidur.
Aku menatap Gabriela Garcia?atau Gabby?yang
duduk di depan salah satu komputer. Gabby berumur enam
belas tahun dan sangat cantik. Rambutnya hitam panjang dan
matanya cokelat. Dia selalu berpakaian seksi saat berada di
luar biara, mengenakan atasan ketat serta memamerkan
pusarnya yang ditindik. Pada pagi hari, dia mengenakan
pakaian longgar. Tetapi begitu para Suster tak melihat, Gabby
melepaskan pakaian longgar itu dan memperlihatkan pakaian
minim dan ketat di baliknya. Kemudian, di sepanjang
perjalanan ke sekolah, dia mengenakan riasan serta menata
ulang rambutnya. Keempat temannya juga begitu, tiga di
antaranya tinggal di sini. Pada sore hari, mereka menghapus
riasan wajah hingga bersih dan kembali mengenakan pakaian
longgar tadi.
"Apa?" tanya Gabby dengan suara sengau sambil
memelototiku. "Aku sedang menulis e-mail."
"Aku sudah menunggu lebih dari sepuluh menit,"
kataku. "Lagi pula kau bukan menulis e-mail. Kau
memandangi laki-laki yang bertelanjang dada."
"Terus kenapa? Apa kau akan mengadukanku, Mulut
Bocor?" ejeknya, seolah bicara dengan anak kecil.
Gadis di sampingnya tertawa. Dia bernama Hilda, tapi
dipanggil La Gorda?"gendut"?oleh seluruh sekolah (tanpa
sepengetahuannya, bukan di depannya).
Gabby dan La Gorda adalah pasangan yang tak
terpisahkan. Aku menahan lidahku dan kembali menatap
jendela sambil menyilangkan tangan di dada. Aku merasa
sangat kesal, sebagian karena aku memerlukan komputer itu
dan sebagian lagi karena aku tak pernah tahu bagaimana
membalas olok-olok Gabby. Tinggal empat menit lagi. Rasa
tak sabarku berubah jadi rasa putus asa. Mungkin sekarang
ada berita baru?berita terkini!?tapi aku tak bisa
mengetahuinya karena gadis-gadis egois sialan itu tidak mau
menyingkir dari komputer.
Tiga menit lagi. Aku hampir gemetar karena marah.
Tiba-tiba, sebuah gagasan muncul di kepalaku. Aku
menyeringai. Berisiko, tapi sepadan jika berhasil.
Aku berputar sedikit sehingga bisa melihat kursi
Gabby dengan sudut mata, lalu menarik napas dalam. Sambil
memusatkan seluruh energiku ke kursi Gabby, aku
menggunakan telekinesis untuk menyentakkan Benda itu ke
kiri. Kemudian, aku mendorongnya keras-keras ke kanan
sehingga kursi itu hampir terjungkal. Gabby terlonjak dan
memekik. Aku memandangnya, purapura kaget.
"Ada apa?" tanya La Gorda.
"Entah. Kursiku seperti ditendang orang. Kau
merasakan sesuatu?"
"Tidak," kata La Gorda. Begitu dia selesai
mengucapkan kata itu, aku menarik kursinya beberapa senti
ke belakang, lalu menyentakkannya ke kanan sambil tetap
duduk manis di tempatku di samping jendela. Kali ini, kedua
gadis itu menjerit. Aku mendorong kursi Gabby, lalu kursi La
Gorda lagi. Tanpa melirik lagi ke komputer, mereka langsung
lari pontang-panting keluar sambil menjerit-jerit.
"Bagus!" kataku. Kemudian, aku bergegas ke
komputer yang tadi Gabby pakai dan mengetikkan alamat
situs berita yang menurutku paling bisa dipercaya. Aku
menunggu laman itu terbuka dengan tak sabar. Komputer tua
plus internet lamban. Inilah kutukan hidupku.
Peramban memutih lalu laman pun muncul, bads
demi baris. Saat seperempat laman itu terbuka, lonceng
terakhir berbunyi. Satu menit lagi waktunya berdoa. Aku
berniat mengabaikan lonceng itu walaupun berisiko
mendapat hukuman. Saat ini, aku benar-benar tak peduli.
"Lima bulan lagi," bisikku kepada diri sendiri.
Setengah laman itu sudah tampak. Aku bisa melihat
bagian atas wajah John Smith serta matanya, yang gelap dan
tampak percaya diri, walaupun di baliknya ada perasaan
canggung yang nyaris tidak pada tempatnya. Aku beringsut ke
ujung kursi, menunggu dengan dada berdebar-debar
sehingga tanganku bergetar.
"Ayolah," kataku pada monitor komputer, berusaha
mempercepatnya walaupun sia-sia. "Ayolah, ayolah, ayolah."
"Marina!" terdengar bentakan dari pintu yang
terbuka. Aku tersentak dan menoleh. Suster Dora, seorang
perempuan gemuk yang merupakan kepala koki di dapur,
memandang tajam ke arahku. Itu tidak aneh. Dia menatap
tajam ke arah semua orang yang membawa nampan saat
mengantre makan siang, seolah kebutuhan kami untuk
makan merupakan penghinaan pribadi. Dia merapatkan
bibirnya hingga membentuk garis lurus, lalu menyipitkan
mata. "Ayo! Sekarang! Dan itu artinya sekarang juga!"
Aku mendesah, sadar tak punya pilihan lain selain
menurut. Aku menghapus riwayat peramban dan
menutupnya, lalu mengikuti Suster Dora menyusuri koridor
yang gelap. Ada berita baru di monitor tadi. Aku yakin. Kalau
tidak, kenapa wajah John dipasang besarbesar di laman itu?
Sebuah berita akan basi setelah satu setengah minggu, jadi
pasti ada informasi baru yang penting karena fotonya
dipajang besar-besar.
Kami berjalan menuju panti umat Santa Teresa.
Ruangan itu sangat besar, pilar-pilar menjulang ke kubah di
langit-langit yang tinggi, dan dinding-dindingnya dihiasi
jendela kaca patri. Bangku-bangku kayu berderet di ruangan
itu dan bisa menampung hampir tiga ratus orang. Aku dan
Suster Dora yang terakhir masuk. Aku duduk sendiri di salah
satu bangku tengah. Suster Lucia, yang dulu membukakan
pintu untukku dan Adelina, hingga kini masih memimpin
biara, berdiri di mimbar, menutup mata, menundukkan
kepala, dan mengatupkan tangan di depan. Semua
mengikutinya.
"Padre divino," semua mulai berdoa bersama-sama.
"Que nos bendiga y nos proteja en su amor ...."
Aku mengikuti sambil memandang bagian belakang
kepala-kepala di depanku, semuanya menunduk penuh
konsentrasi. Atau hanya sekadar menunduk. Mataku mencari
Adelina yang duduk di baris pertama, enam bangku di
depanku, dan agak ke kanan. Dia berlutut dan sangat
khusyuk, rambut cokelatnya yang dikepang erat menjuntai ke
tengah punggungnya. Dia tidak mendongak sama sekali. Dia
juga tidak berusaha mencariku di bagian belakang, kemudian
diam-diam melemparkan senyum saat mata kami beradu,
menyadari kami punya rahasia, seperti yang biasa
dilakukannya pada tahun-tahun pertama. Kami masih
memiliki rahasia itu, tapi perlahan-lahan Adelina mulai
menyangkalnya. Dulu, kami berencana mengulur waktu
hingga cukup kuat dan cukup aman untuk pergi. Namun,
perlahan-lahan rencana itu digantikan dengan keinginan
Adelina?atau rasa takutnya?untuk menetap.
Sebelum ada berita mengenai John Smith, yang
langsung kusampaikan kepada Adelina begitu berita itu
muncul, sudah berbulan-bulan kami tidak membahas misi
kami. Pada bulan September, aku memperlihatkan goresan
ketiga, peringatan ketiga yang memberitahukan bahwa
seorang Garde lain telah tewas dan juga sebentar lagi, aku
dan Adelina akan diburu dan dibunuh oleh para Mogadorian.
Dia bersikap seakan goresan itu tak ada. Seakan goresan itu
tak berarti apaapa, padahal kami tahu apa artinya. Saat
mendengar berita mengenai John, Adelina hanya memutar
matanya dan menyuruhku berhenti memercayai dongeng.
"En el nombre del Padre, y del Hijo, y del Espiritu
Santo. Amen," kata mereka. Seiring dengan itu, semua orang
di ruangan membuat tanda salib, termasuk aku agar tidak
tampak aneh: kening, dada, bahu kiri, dan bahu kanan.
Tanda ketiga muncul saat aku sedang tidur dan
bermimpi berlari menuruni bukit dengan tangan terentang
seolah akan lepas landas. Aku terbangun akibat rasa sakit dan
sinar dari goresan ketiga yang muncul di sekeliling kakiku.
Cahayanya membuat beberapa gadis di kamar terbangun,
tapi untungnya tidak membangunkan Suster yang menjaga
kami. Gadis-gadis itu mengira aku membaca majalah di balik
selimut dengan menggunakan senter dan melanggar jam
malam. Gadis yang tidur di samping tempat tidurku, Elena,
gadis pendiam berusia enam belas tahun dengan rambut
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hitam legam yang selalu menempel di mulutnya saat
berbicara, melempar bantal ke arahku. Kulitku mulai
melepuh. Sakitnya bukan main sehingga aku harus menggigit
ujung selimutku agar tak bersuara. Aku menangis diam-diam
karena di suatu tempat, Nomor Tiga pergi untuk selamanya.
Sekarang hanya tinggal kami berenam.
Malam ini aku keluar dari panti umat bersama gadis
gadis lain menuju bangsal tidur kami yang penuh dengan
tempat tidur tua berderit. Otakku sibuk membuat rencana.
Untuk mengimbangi kamar yang dingin dan tempat tidur
yang keras, kami diberi seprai lembut dan selimut tebal,
satu-satunya kemewahan yang bisa kami nikmati. Tempat
tidurku ada di pojok belakang, paling jauh dari pintu, dan
merupakan tempat paling diincar. Tempat itu paling tenang,
dan aku perlu waktu lama untuk mendapatkannya, pindah
tempat tidur setiap ada anak yang pergi.
Begitu semua anak sudah di tempat tidur, lampu
dimatikan. Aku berbaring terlentang dan menatap garis-garis
di langit-langit yang tinggi. Sesekali bisikan memecah
keheningan, yang langsung disusul desisan "ssst" Suster jaga
kepada siapa pun yang berbisik. Aku membuka mata, tak
sabar menunggu semua orang tidur. Setelah setengah jam,
bisik-bisik mereda dan digantikan dengan suara dengkuran
lembut. Tapi aku tak berani mengambil risiko. Terlalu cepat.
Lima belas menit berlalu dan tetap tak ada suara. Aku tak bisa
menunggu lebih lama lagi.
Aku menahan napas dan mengulurkan kaki ke tepi
tempat tidur, mendengarkan napas teratur Elena yang ada di
sebelah tempat tidurku. Kakiku langsung terasa dingin saat
menyentuh lantai dingin. Aku bangkit perlahan-lahan agar
tempat tidur tak berderit. Kemudian, aku berjinjit-jinjit
melintasi ruangan menuju pintu, pelan-pelan dan hati-hati
agar tidak menyenggol tempat tidur. Setelah tiba di pintu,
aku bergegas menyusuri koridor hingga sampai di ruangan
komputer. Kutarik kursi dan menekan tombol power
komputer.
Aku gelisah menanti komputer menyala dan terus
menerus mengintip ke arah koridor untuk melihat apakah
ada yang membuntuti. Akhirnya, aku bisa mengetikkan
alamat web tadi. Layar berubah putih, lalu di tengah laman
tampaklah dua buah gambar dikelilingi teks serta judul berita
dengan huruf tebal hitam yang masih terlalu kabur untuk
dibaca. Dua gambar?aku penasaran apa yang berubah sejak
aku mengecek tadi. Kemudian, akhirnya teks jadi jelas:
TERORIS INTERNASIONAL?
John Smith, dengan rahang kukuh, rambut pirang
gelap kusut, dan mata biru, mengisi bagian kiri monitor,
sementara ayahnya?atau lebih mungkin Cepannya?Henri
ada di sebelah kanan. Yang terpampang di sana bukanlah
foto, melainkan sketsa pensil hitam putih karya seorang artis.
Aku melewatkan bagian yang sudah kuketahui?
menghancurkan sekolah, lima kematian, tiba-tiba
menghilang?lalu tiba di berita terkini yang baru saja
dilaporkan:
Hari ini FBI menemukan benda-benda yang diyakini
sebagai peralatan pemalsu profesional. Sejumlah mesin yang
biasa digunakan dalam pembuatan dokumen ditemukan di
rumah yang disewa oleh Henri dan John Smith di Ohio,
Paradise, disembunyikan di bawah lantai kayu kamar tidur
utama. Ini membuat penyidik mempertimbangkan
keterkaitan dengan terorisme. Setelah membuat huru-hara
di Paradise, sekarang Henri dan John Smith dianggap sebagai
ancaman terhadap keamanan nasional, buronan. Penyidik
meminta masyarakat memberikan inforrnasi yang bisa
membantu melacak kedua orang tersebut.
Aku kembali memandangi gambar John. Saat
menatap matanya, tanganku mulai bergetar. Matanyabahkan
di sketsa ini pun aku merasa kenal dengan matanya. Aku
pasti mengenal mata itu dari perjalanan selama satu tahun ke
sini. Tidak mungkin tidak. Sekarang aku yakin, John adalah
salah satu dari enam Garde tersisa yang masih hidup di dunia
asing ini, dan tak seorang pun bisa menggoyahkan
keyakinanku itu.
Aku bersandar dan menyibakkan poniku dari mata,
berharap bisa pergi mencari John. Tentu saja, Henri dan John
Smith bisa menghindari polisi. Mereka telah bersembunyi
selama sebelas tahun, seperti Adelina dan aku. Tapi
bagaimana aku bisa menemukannya saat seluruh dunia
mencari? Bagaimana kami bisa bertemu?
Mata-mata para Mogadorian ada di mana-mana. Aku
tak tahu bagaimana Nomor Satu atau Nomor Tiga bisa
ditemukan, tapi aku yakin mereka menemukan Nomor Dua
karena sebuah tulisan dalam blognya. Setelah menemukan
tulisan itu, aku duduk selama lima belas menit memikirkan
bagaimana cara menjawabnya tanpa membahayakan diriku.
Walaupun telah disamarkan, pesan itu tampak jelas bagi
kami: Sembilan, sekarang delapan. Apakah kalian ada di luar
sana? Tulisan itu dikirim menggunakan akun seseorang
bernama Nomor Dua. Jari-jariku menyentuh keyboard dan
mengetikkan jawaban singkat, tapi sebelum sempat
menekan tombol Kirim, seseorang sudah menjawab.
Kami di sini, begitulah tulisannya.
Aku memandang dengan mulut ternganga karena
kaget. Kedua pesan singkat itu membuat harapanku
melambung. Tetapi saat jari-jariku mengetikkan jawaban
lain, cahaya terang muncul di kakiku diiringi bunyi berdesis
daging terbakar serta rasa sakit teramat sangat sehingga aku
jatuh ke lantai dan menggeliat kesakitan, menjerit sekeras
kerasnya memanggil Adelina sambil memegangi pergelangan
kaki sehingga tak ada yang bisa melihat. Saat Adelina tiba dan
menyadari apa yang terjadi, aku menunjuk ke arah monitor.
Namun tak ada apa-apa di sana. Kedua tulisan tadi sudah
dihapus.
Aku berpaling dari mata John Smith di monitor. Di
samping komputer ada sebuah bunga kecil yang terlupakan.
Bunga itu layu dan lunglai, mengerut hingga setengah
ketinggian normal, pinggiran daunnya berwarna cokelat dan
mengering. Sejumlah kelopak bunganya rontok, kering, dan
keriput di meja di sekitar pot itu. Tumbuhan itu masih hidup,
tapi sebentar lagi pasti mati. Aku mencondongkan tubuh dan
mengatupkan tanganku di sekeliling bunga itu, mendekatkan
wajah sehingga bibirku menyentuh tepi daunnya, lalu
mengembuskan udara panas. Rasa dingin menjalari
punggungku. Bunga kecil itu hidup kembali. Batangnya
kembali tegak, daun-daun hijau, tangkai, serta bunga baru
bermunculan, awalnya tak berwarna, tapi kemudian berubah
menjadi ungu terang. Senyum tersungging di bibirku. Aku
ingin tahu bagaimana reaksi para Suster jika melihat Mi. Tapi
aku tak akan membiarkan mereka mengetahuinya. Mereka
akan menyalahartikannya, dan aku tak mau diusir saat cuaca
dingin. Aku belum siap untuk itu. Segera, tapi bukan
sekarang.
Aku mematikan komputer dan bergegas kembali ke
tempat tidur sembari memikirkan John Smith, di suatu
tempat di luar sana.
Jaga dirimu dan tetaplah bersembunyi, pikirku. Suatu
saat nanti kita akan bertemu.
3 A
KU MENDENGAR BISIKAN PELAN BERNADA DINGIN.
Tubuhku tak bisa bergerak, tapi aku berusaha
mendengarkannya.
Aku tidak tidur, tapi juga tidak terjaga. Tubuhku kaku.
Saat bisikan itu semakin keras, mataku menembus kegelapan
pekat kamar motel. Sengatan listrik yang kurasakan saat citra
itu terbuka di atas tempat tidurku membuatku teringat saat
Pusaka pertamaku, Lumen, menyala di telapak tanganku
ketika aku masih di Paradise, Ohio. Saat Henri masih ada,
masih hidup. Tapi Henri sudah pergi. Dia tak akan kembali.
Bahkan dalam keadaan ini pun, aku tidak bisa melarikan diri
dari kenyataan.
Aku memasuki citra di atasku, menyorotkan sinar di
tangan, tapi kegelapan menelannya. Tiba-tiba, aku terhenti.
Segalanya hening. Aku mengulurkan tangan ke depan. Tapi
aku tak menyentuh apa pun, kakiku tidak menjejak tanah,
aku melayang dalam kekosongan besar.
Terdengar bisik-bisik dalam bahasa yang tak kukenal,
tapi entah kenapa masih bisa kupahami. Kata-kata penuh
kecemasan. Kegelapan memudar. Dunia tempatku berada
berubah menjadi abu-abu, lalu putih menyilaukan sehingga
aku harus memicingkan mata agar dapat melihat. Kabut di
depanku menipis lalu menghilang, menguak sebuah ruangan
luas dengan lilin berderet-deret di dinding.
"Aku?aku tak tahu apa yang salah," terdengar suatu
suara, terguncang.
Ruangan itu panjang dan besar, seukuran lapangan
football. Aroma tajam belerang membakar hidung, membuat
mataku berair. Udara begitu panas dan pengap. Kemudian,
aku melihat mereka di ujung ruangan: dua sosok terselubung
bayangan, yang satu lebih besar, bahkan dari jauh pun
tampak lebih mengancam.
"Mereka kabur. Entah bagaimana mereka berhasil
melarikan diri. Aku tak tahu bagaimana ...."
Aku maju. Aku merasa tenang seperti saat kau sadar
bahwa dirimu sedang tidur dan bermimpi, dan tak ada yang
bisa menyakitimu. Selangkah demi selangkah, mendekati
bayangan kegelapan yang kian membesar.
"Semua, mereka semua mati. Juga tiga piken dan dua
kraut," kata sosok yang bertubuh lebih kecil. Dia berdiri
sambil meremas-remas tangannya di samping laki-laki
berbadan besar itu.
"Kami mengepung mereka. Saat kami akan?," tapi
pria yang lebih besar langsung menyuruhnya diam. Sosok
besar itu mencari-cari wujud dari kehadiran yang
dirasakannya. Aku berhenti, berdiri tak bergerak sambil
menahan napas. Dia menemukanku. Aku merinding ngeri.
"John," kata seseorang, suaranya terdengar jauh dan
bergema.
Sosok besar itu melangkah ke arahku. Tubuhnya
tinggi menjulang, enam meter, berotot, dengan rahang
kukuh. Rambutnya tidak panjang seperti yang lain, tapi
dipangkas pendek. Kulitnya kecokelatan. Kami saling
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap dan dia perlahan-lahan mendekat. Sembilan meter
lagi. Enam meter. Dia berhenti pada jarak tiga meter. Liontin
di dadaku terasa berat, rantainya seakan mengiris leherku.
Aku melihat bekas luka keunguan yang melingkar bagai
kalung di sekeliling lehernya.
"Aku menantimu," katanya dengan nada tenang dan
datar. Dia mengangkat tangan kanan, lalu menarik pedang
dari sarung pedang di punggungnya. Sontak pedang itu
hidup. Logamnya seakan meleleh, tapi bentuknya tetap
seperti pedang. Luka di bahuku, akibat belati Mogadorian
saat pertarungan di Ohio, terasa sangat sakit seolah aku
ditikam lagi. Aku jatuh berlutut.
"Sudah lama sekali," katanya.
"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan," kataku dengan
bahasa yang belum pernah kugunakan.
Aku ingin cepat-cepat meninggalkan tempat Aku
mencoba berdiri, tapi tubuhku seakan terpaku ke lantai.
"Masa?" tanyanya.
"John," suara itu terdengar lagi dari suatu tempat. Si
Mogadorian sepertinya tidak mendengar. Tatapan nya
mengunci mataku. Aku tak bisa mengalihkan pandangan.
"Aku seharusnya tak di sini," kataku. Suaraku
bergetar. Segala sesuatu meredup hingga hanya ada kami
berdua, tanpa yang lain.
"Aku bisa melenyapkanmu jika itu yang kau mau,"
katanya sambil menggerakkan pedang membentuk angka
delapan, meninggalkan garis putih terang di udara yang
dilewati bilah pedang itu. Kemudian dia menerjang.
Pedangnya diangkat tinggi-tinggi dan berderak penuh
kekuatan. Dia mengayunkan pedang ke bawah dengan cepat,
menyasar tenggorokanku. Aku tahu tak ada yang bisa
kulakukan untuk mencegah pedang itu memenggal kepalaku.
"John!" suara itu berteriak lagi.
Mataku terbuka. Dua tangan mencengkeram bahuku
keras-keras. Tubuhku penuh keringat dan napasku tersengal
sengal. Mulanya aku melihat Sam berdiri di dekatku. Lalu,
aku melihat Nomor Enam?dengan mata merah
kecokelatannya yang kadang tampak biru dan kadang tampak
hijau. Dia berlutut di sampingku dan tampak lelah, seolah
aku membuatnya terbangundan bisa jadi memang begitu.
"Ada apa?" tanya Sam.
Aku menggeleng, membiarkan citra tadi menghilang,
lalu memandang sekeliling. Kamar itu gelap karena
gordennya ditutup, dan aku berbaring di atas tempat tidur
yang selama satu setengah minggu ini kutiduri, memulihkan
luka-luka akibat pertempuran. Nomor Enam yang ada di
sampingku juga mulai pulih. Sejak tiba di tempat ini, aku
ataupun Nomor Enam tidak pernah pergi dan hanya
mengandalkan Sam untuk mencari makanan dan membeli
perbekalan. Sebuah kamar lusuh dengan dua tempat tidur di
sebuah motel di jalan utama Trucksville, North Carolina.
Untuk menyewa kamar, Sam menggunakan salah satu SIM
yang Henri buatkan untukku sebelum dia terbunuh.
Untunglah, kakek penjaga meja tamu itu terlalu sibuk
menonton TV sehingga tidak melihat fotonya baik-baik.
Motel ini terletak di ujung barat laut negara bagian North
Carolina, sekitar lima belas menit berkendara dari Virginia
maupun Tennessee. Kami memilih lokasi ini karena inilah
tempat terjauh yang bisa kami capai dengan luka-luka di
tubuh kami. Untungnya perlahan-lahan luka-luka kami mulai
sembuh, dan kekuatan kami mulai pulih.
"Kau bicara dalam bahasa asing yang belum pernah
kudengar," kata Sam. "Kupikir kau mengarang-ngarang."
"Tidak, dia bicara dengan bahasa Mogadorian,"
Nomor Enam mengoreksi Sam. "Dan juga sedikit bahasa
Loric."
"Oh, ya?" tanyaku. "Aneh."
Nomor Enam berjalan ke jendela dan menyingkap
gorden sebelah kanan. "Kau mimpi apa?"
Aku menggelengkan kepala. "Entahlah. Aku mimpi,
tapi juga tidak bermimpi. Mengerti? Kurasa aku melihat citra
mengenai mereka. Kami sepertinya akan bertarung, tapi aku,
entahlah, terlalu lemah atau bingung, atau apa." Aku melihat
Sam yang diam memandangi TV "Ada apa?"
"Kabar buruk," katanya sambil mendesah dan
menggelengkan kepala.
"Apa?" aku duduk, mengucek mata menghilangkan
kantuk.
Sam mengangguk ke bagian depan kamar dan aku
menoleh memandang TV yang menyala. Wajahku
menghabiskan bagian kiri layar, sementara sketsa wajah
Henri ada di sebelah kanan. Sketsa itu sama sekali tidak mirip
dengan Henri: wajahnya tampak tajam dan kurus sehingga
tampak cekung, membuatnya terlihat lebih tua dua puluh
tahun.
"Seakan disebut ancaman bagi keamanan nasional
atau teroris belum cukup parah," kata Sam. "Sekarang
mereka menawarkan hadiah."
"Untukku?" tanyaku.
"Untukmu dan Henri. Seratus ribu dolar untuk
informasi yang bisa membuat kau dan Henri ditangkap. Dua
ratus lima puluh ribu untuk orang yang bisa menangkap salah
satu dari kalian," kata Sam.
"Aku sudah melarikan diri seumur hidup," kataku
sambil menggosok-gosok mata. "Jadi, apa bedanya?"
"Yeah, aku belum pernah dan mereka juga
menawarkan hadiah untukku," kata Sam. "Cuma dua puluh
lima ribu dolar. Percaya, nggak? Dan aku tak tahu bisa nggak
aku jadi buronan? Aku belum pernah melakukan ini."
Hati-hati aku bergeser sedikit di tempat tidur,
badanku masih kaku. Sam duduk di tempat tidur lain sambil
menunduk memegangi kepalanya.
"Tapi kau bersama kami, Sam. Kami akan
melindungimu," kataku.
"Aku tidak cemas," katanya tertunduk.
Sam mungkin tidak cemas, tapi aku iya. Aku
menggigit bagian dalam pipiku, berpikir bagaimana agar Sam,
dan juga aku serta Nomor Enam, tetap hidup tanpa Henri.
Aku memandang Sam yang sangat stres sehingga tanpa sadar
mencubiti kaus NASA hitamnya hingga bolong. "Dengar, Sam
... seandainya saja Henri ada di sini, aku tak bisa
mengungkapkan betapa aku sangat ingin dia ada di sini,
karena berbagai alasan. Bukan hanya karena dia menjagaku
selama kami berpindah dari satu negara bagian ke negara
bagian lain, melainkan juga karena dia memiliki pengetahuan
mengenai Lorien dan keluargaku. Dia juga memiliki caranya
sendiri sehingga kami tidak terkena masalah. Aku tak tahu
apakah aku akan bisa melakukan apa yang Henri lakukan
untuk menjaga kita semua? Aku yakin jika Henri hidup, dia
pasti tak akan mengizinkanmu ikut. Dia tak mungkin
melibatkanmu dalam bahaya seperti ini. Tapi, dengar, kau
sekarang ada di sini. Itu kenyataan. Aku janji tak akan
membiarkan hal buruk menimpamu."
"Aku ingin ada di sini," kata Sam. "Ini hal paling keren
yang pernah aku alami." Hening sejenak. Kemudian dia
menatap mataku. "Lagi pula kau sahabatku, dan aku belum
pernah punya sahabat."
"Aku juga," kataku.
"Sana pelukan," kata Nomor Enam. Aku dan Sam
tertawa.
Wajahku masih terpampang di layar. Foto di TV itu
foto yang Sarah ambil pada hari pertamaku di sekolah, saat
aku pertama kali bertemu dengannya. Aku tampak canggung
dan tak nyaman. Bagian kanan layar sekarang dipenuhi
dengan foto berukuran kecil dari lima orang yang katanya
kami bunuh: tiga guru, pelatih basket murid laki-laki, dan
pesuruh sekolah. Kemudian, gambar di TV berganti lagi
dengan gambar sekolah yang hancur?dan bangunan itu
benar-benar luluh-lantak. Seluruh sisi kanan bangunan itu
sudah berubah jadi puing-puing. Kemudian ada berbagai
wawancara dengan penduduk Paradise. Ibu Sam
diwawancarai paling akhir. Saat muncul di layar, dia
menangis dan memandang lurus ke kamera sambil memohon
kepada "para penculik" untuk "tolong, tolong, tolong
kembalikan anakku dengan selamat". Aku yakin Sam
terenyuh saat melihat wawancara itu.
Selanjutnya, ada adegan dari pemakaman minggu
lalu serta aksi renungan dan penyalaan lilin. Sekejap aku
melihat wajah Sarah, dia memegang lilin dengan air mata
mengalir di pipi. Aku merasa tenggorokanku tersumbat. Aku
mau memberikan apa saja demi meneleponnya, mendengar
suaranya. Aku tersiksa saat membayangkan apa yang harus
dia hadapi. Video mengenai aku dan Sarah meloloskan diri
dari rumah Mark yang terbakar?penyebab semua ini?
meledak di internet. Aku juga dituduh sebagai penyebab dari
kebakaran itu. Namun, Mark bersumpah bahwa kebakaran itu
tak ada kaitannya denganku, padahal dia bisa saja
menggunakanku sebagai kambing hitam.
Saat kami meninggalkan Ohio, mulanya dikatakan
bahwa sekolah itu rusak akibat tornado yang salah musim.
Namun, kemudian regu penyelamat menyisir puingpuing dan
menemukan lima mayat?tanpa tanda apa pun di jasad
mereka?dengan jarak seragam antara satu sama lain dalam
ruangan yang sama sekali tak terkena pertempuran. Hasil
autopsi menyebutkan bahwa mereka meninggal karena
sebab-sebab alami, bukan akibat obat-obatan atau trauma.
Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat seorang
wartawan mendengar cerita mengenai aku yang melompat
menembus jendela kantor kepala sekolah, kemudian kabur
?apalagi karena setelah itu, Henri dan aku tidak bisa
ditemukan?dia menulis cerita yang menyalahkan kami atas
segalanya. Wartawan yang lain langsung mengikuti jejaknya.
Karena polisi kemudian menemukan alat-alat pemalsuan
Henri dan juga sejumlah dokumen palsu yang dia tinggalkan
di rumah, kegemparan publik pun berkembang.
"Kita harus lebih hati-hati sekarang," kata Nomor
Enam yang duduk bersandar di tembok.
"Lebih hati-hati daripada tinggal di kamar motel
sempit dengan gorden ditutup?" tanyaku.
Nomor Enam berjalan kembali ke jendela dan
menarik salah satu gorden untuk mengintip ke luar. Seberkas
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sinar matahari menyoroti lantai. "Tiga jam lagi matahari
terbenam. Kita pergi begitu gelap."
"Syukurlah," kata Sam. "Malam ini ada hujan meteor.
Kita bisa melihatnya jika pergi ke selatan. Lagi pula aku bisa
gila jika harus menghabiskan satu menit lagi dalam kamar
sumpek ini."
"Sam, sejak pertama kali mengenalmu, kau sudah
gila," aku bercanda. Sam melempar bantal ke arahku, yang
langsung kutangkis tanpa mengangkat tangan. Aku memutar
mutar bantal itu di udara dengan menggunakan kekuatan
telekinesisku, lalu meluncurkannya dengan cepat bagai roket
ke arah TV untuk mematikan benda itu.
Aku tahu Nomor Enam benar bahwa kami harus terus
bergerak, tapi aku frustrasi. Ini seakan tak ada akhirnya. Tak
ada tempat aman bagi kami. Di kaki tern- pat tidur, membuat
kakiku hangat, ada Bernie Kosar yang hampir tak pernah pergi
jauh-jauh dariku sejak di Ohio. Dia membuka mata,
menguap, lalu meregangkan tubuhnya. Dia memandang ke
arahku dan, melalui telepati, menyampaikan bahwa dia juga
merasa lebih baik. Sebagian besar luka kecil di sekujur
tubuhnya sudah hilang dan luka yang paling besar sembuh
dengan baik. Kaki depannya yang patah masih dipasangi
bebat darurat. Selama beberapa minggu ke depan, dia masih
akan tetap pincang, tapi setidaknya dia sudah kembali
seperti yang dulu. Bernie Kosar mengibaskan ekor dengan
pelan dan menyentuh kakiku. Aku menunduk dan
mengangkatnya ke pangkuanku, lalu menggaruk perutnya.
"Bagaimana denganmu, Teman? Siap meninggalkan
tempat kumuh ini?"
Bernie Kosar mengetuk-ngetukkan ekornya ke
tempat tidur.
"Jadi, kita ke mana?" tanyaku.
"Entahlah," kata Nomor Enam. "Sebaiknya ke tempat
yang hangat dan jauh dari salju. Aku muak dengan salju. Tapi
aku lebih kesal karena tak tahu di mana yang lain berada."
"Saat ini ada kita bertiga. Empat tambah Enam
tambah Sam."
"Aku suka aljabar," kata Sam. "Sam sama dengan x.
Variabel x."
"Dasar kutu buku," kataku.
Nomor Enam masuk ke kamar mandi, lalu keluar lagi
dengan tangan penuh perlengkapan mandi. "Sisi positif dari
kejadian ini, setidaknya para Garde lain tahu bahwa John
tidak hanya selamat, tapi juga memenangkan pertempuran
pertamanya. Mungkin mereka akan merasakan secercah
harapan. Prioritas utama kita saat ini adalah menemukan
yang lain. Dan juga berlatih."
"Tentu saja," kataku. Kemudian, aku memandang
Sam. "Belum terlambat untuk pulang dan meluruskan
masalah, Sam. Jika mau, kau juga bisa mengarang cerita.
Bilang saja kami menculikmu dan menahanmu, lalu kau
melarikan diri begitu ada kesempatan. Kau akan dianggap
pahlawan. Gadis-gadis akan mengerubungimu."
Sam menggigit bibir bawahnya dan menggeleng.
"Aku tak ingin jadi pahlawan. Lagi pula gadis-gadis sudah
mengerubungiku."
Nomor Enam dan aku memutar mata, tapi aku sempat
melihat wajah Nomor Enam merona. Tapi bisa saja aku
berkhayal.
"Aku sungguh-sungguh," kata Sam. "Aku tak akan
pergi."
Aku mengedikkan bahu. "Kurasa okelah. Sam sama
dengan x dalam persamaan ini."
Nomor Enam berjalan ke tas ransel kecilnya yang ada
di samping TV, dan Sam memandangi dengan raut muka yang
menunjukkan ketertarikannya dengan begitu jelas. Nomor
Enam mengenakan celana pendek katun hitam dan tank top
putih. Rambutnya diikat ke belakang. Beberapa utas rambut
menjuntai di wajahnya. Di paha kiri depan tampak bekas luka
berwarna ungu, dan bekas jahitan di sekelilingnya berwarna
merah muda serta masih berkeropeng. Jahitan itu dia jahit
dan juga dia buka sendiri. Saat Nomor Enam mendongak, Sam
mengalihkan pandangannya dengan malu-malu. Jelas ada
alasan lain yang menyebabkan Sam mau terus bersama kami.
Nomor Enam membungkuk dan merogoh tasnya,
mengeluarkan sebuah peta terlipat. Dia membuka peta itu di
kaki tempat tidur.
"Kita di sini," katanya sambil menunjuk Trucksville.
"Dan di sini," lanjutnya, sambil menggerakkan jari dari North
Carolina menuju gambar bintang merah kecil di pusat West
Virginia, "adalah gua para Mogadorian, satu-satunya gua yang
kuketahui."
Aku memandang ke arah yang ditunjuknya. Bahkan di
peta pun lokasi itu tampak sangat terisolasi, tak ada jalan
utama dalam jarak sepuluh hingga lima belas kilometer dari
sana.
"Kenapa kau bisa tahu di mana letak gua itu?"
"Ceritanya panjang," katanya. "Sebaiknya disimpan untuk
perjalanan nanti."
Dia menyusuri jalur lain dengan jarinya, dari West
Virginia menuju barat daya, melintasi Tennessee, dan
akhirnya tiba di suatu tempat di Arkansas, dekat Sungai
Mississippi.
"Ada apa di sana?" tanyaku.
Nomor Enam menggembungkan pipi dan
mengembuskan napas panjang, pasti karena teringat sesuatu
yang telah terjadi. Wajahnya tampak berbeda jika sedang
berkonsentrasi.
"Petiku dulu ada di sana," katanya. "Dan juga barang
barang lain yang Katarina bawa dari Lorien. Kami
menyembunyikannya di sana."
"Apa maksudmu dengan dulu?"
Dia menggelengkan kepala.
"Sekarang, Peti itu tak ada di sana?"
"Tidak. Mereka melacak kami dan kami tak ingin
mereka mendapatkannya. Peti itu tak aman bersama kami,
jadi kami menyembunyikannya bersama artifak-artefak
Katarina di Arkansas, lalu pergi secepat mungkin. Kami kira
kami bisa menjauhi mereka ...," katakatanya melirih.
"Mereka berhasil mengejar kalian, ya?" tanyaku,
karena tahu bahwa Katarina, Cepan Nomor Enam, meninggal
tiga tahun lalu.
Nomor Enam mendesah. "Itu cerita lain yang
sebaiknya disimpan untuk di jalan."
Hanya butuh beberapa menit untuk memasukkan
pakaianku ke dalam ransel, dan aku teringat bahwa
sebelumnya, Sarah-lah yang mengepak tas ini. Baru satu
setengah minggu berlalu, tapi rasanya seperti satu setengah
tahun. Aku bertanya-tanya apakah Sarah diinterogasi oleh
polisi atau dikucilkan di sekolah. Sekolah itu hancur, lalu dia
bersekolah di mana? Aku yakin Sarah bisa bertahan. Namun
tetap saja itu tak mudah, apalagi karena dia tak tahu di mana
aku berada atau apakah aku baik-baik saja. Seandainya aku
bisa menghubungi Sarah tanpa membahayakan kami berdua.
Sam menyalakan TV dengan cara kuno?dengan
remote control?dan menonton berita. Sementara itu,
Nomor Enam membuat dirinya tak terlihat untuk mengecek
truk pickup. Kami sudah memperkirakan bahwa ibu Sam akan
sadar truknya hilang dan melapor polisi. Pada awal minggu
ini, Sam mencuri plat mobil depan truk lain. Mungkin itu bisa
membantu hingga kami tiba di tempat yang kami tuju.
Setelah selesai mengepak barang, aku meletakkan
tasku di samping pintu. Sam tersenyum saat fotonya muncul
di layar TV, di siaran ulangan, dan aku tahu dia menikmati
saat-saat menjadi selebriti walaupun dianggap buronan. Lalu,
berita itu menampilkan fotoku lagi, yang berarti juga sketsa
wajah Henri. Walaupun sketsa itu sama sekali tidak mirip
Henri, hatiku tercabik saat melihatnya. Tak ada waktu untuk
merasa bersalah dan bersedih. Namun, aku sangat
merindukannya. Salahkulah sehingga dia mati.
Lima belas menit kemudian, Nomor Enam masuk
sambil membawa sebuah kantung plastik putih. Dia
mengangkat kantung itu dan mengguncangnya. "Aku
membawa sesuatu untuk kalian."
"Oh, ya? Apa?" tanyaku.
Dia merogoh dan mengeluarkan alat cukur rambut.
"Aku rasa ini sudah saatnya memangkas rambutmu dan Sam."
"Yang benar saja. Kepalaku terlalu kecil. Bisa-bisa
nanti aku tampak seperti kura-kura," Sam keberatan.
Aku tertawa dan mencoba membayangkan Sam tanpa
rambut berantakannya. Lehernya kecil dan panjang, jadi
kurasa Sam benar juga.
"Kau tak akan dikenali," jawab Nomor Enam. "Yah,
aku tak mau tidak dikenali. Aku ini Variabel x."
"Berhentilah bersikap pengecut," tukas Nomor Enam.
Sam memberengut. Aku berusaha tetap ceria. "Yeah,
Sam," kataku sambil membuka kemeja. Nomor Enam
mengikutiku ke kamar mandi dan membuka kemasan alat
cukur itu saat aku menunduk di atas bathtub. Jarijarinya agak
dingin sehingga punggungku bergidik. Andai saja Sarah yang
memegangi bahuku agar tetap tegak serta memangkas
rambutku. Sam memandang dari pintu, mendesah keras
keras, memastikan kami tahu bahwa dia tidak suka.
Nomor Enam selesai. Aku mengelap potongan
rambut dengan handuk, lalu berdiri dan memandangi cermin.
Kepalaku lebih putih daripada wajahku, tapi itu karena
kepalaku tak pernah kena sinar matahari. Beberapa hari di
Florida Keys, tempat tinggalku dan Henri sebelum pindah ke
Ohio yang panas, pasti akan mengatasi masalah ini dengan
cepat.
"Lihat, John justru tampak gagah dan kuat. Aku bakal
tampak seperti pecundang," erang Sam.
"Aku memang gagah dan kuat, Sam," jawabku.
Sam memutar matanya, sementara Nomor Enam
membersihkan alat cukur. "Menunduk," katanya.
Sam menurut. Dia berlutut dan membungkuk di atas
bathtub. Saat Nomor Enam selesai, Sam berdiri dan
memandangku dengan tatapan memelas.
"Seberapa buruk?"
"Oke juga," kataku. "Kau tampak seperti buronan.
Sam menggosok kepalanya beberapa kali dan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akhirnya memandang cermin. Dia meringis. "Aku tampak
seperti alien!" serunya sambil berpura-pura jijik. Lalu, dia
melirikku dari batik bahu. "Bercanda," tambahnya santai.
Nomor Enam mengumpulkan rambut dari bathtub
dan membuangnya ke toilet, dengan saksama sehingga
semua helai rambut terbuang. Dia menggulung kabel alat
cukur itu hingga rapi, lalu memasukkannya ke dalam kantung.
"Ayo, kita pergi!" katanya.
Kami menyampirkan tas kami di bahunya. Nomor
Enam memegang kedua tas itu, membuat dirinya beserta
kedua tas itu tak terlihat. Dia bergegas keluar dan
memasukkan tas-tas ke dalam truk tanpa dilihat. Saat Nomor
Enam pergi, aku meraih ke ujung dalam lemari paling kanan,
menyingkirkan beberapa handuk, dan mengambil Peti Loric.
"Kapan kau akan membuka benda itu?" tanya Sam.
Sejak aku menceritakan tentang Peti itu, dia sangat ingin
melihat isinya.
"Yeah, tentu," kataku. "Setelah aku merasa aman."
Pintu kamar motel terbuka, lalu tertutup lagi. Nomor
Enam muncul kembali dan melirik ke arah Peti Loric.
"Aku tak akan bisa membuat kau dan Sam, dan juga
benda itu tak terlihat sekaligus. Aku hanya bisa
menghilangkan apa yang kusentuh. Aku akan memasukkan
Peti itu ke truk dulu."
"Tak perlu. Bawa Sam. Aku akan menyusul kalian.
"Itu konyol, John. Bagaimana caramu menyusul?"
Aku mengenakan topi dan jaket, lalu menarik
ritsleting dan memasang tudungnya di kepala hingga hanya
wajahku yang terlihat.
"Aku akan baik-baik saja. Pendengaranku juga bagus,
sepertimu," kataku.
Nomor Enam memandangku ragu dan
menggelengkan kepala. Aku meraih tali Bernie Kosar dan
memasang tali itu ke kalungnya.
"Hanya sampai kita naik truk," kataku kepada Bernie
Kosar. Dia benci berjalan dengan tali. Kemudian, aku berubah
pikiran dan membungkuk untuk menggendongnya karena
kakinya masih belum pulih, tapi Bernie Kosar menyampaikan
bahwa dia lebih suka berjalan sendiri.
"Kapan pun kalian siap," kataku.
"Oke, kita berangkat," kata Nomor Enam.
Sam mengulurkan tangannya ke arah Nomor Enam
dengan agak terlalu bersemangat. Aku menahan tawa.
"Apa?" tanya Sam.
Aku menggelengkan kepala. "Bukan apa-apa. Aku
akan menyusul sebisaku, tapi jangan berjalan terlalu jauh."
"Kalau kau tak bisa mengikuti, batuk saja dan kami
akan berhenti. Truknya cuma beberapa menit jalan kaki dari
sini, di balik sebuah kandang terlantar," kata Nomor Enam.
"Pasti ketemu."
Saat pintu berayun terbuka, Sam dan Nomor Enam
hilang dari pandangan.
"Itu petunjuk kita, BK. Sekarang tinggal kita berdua."
Bernie Kosar mengikutiku keluar, berlari kecil dengan
riang sementara lidahnya terjulur. Selain buang air di petak
rumput di samping motel, Bernie Kosar juga terkurung
seperti kami.
Udara malam terasa dingin dan segar serta beraroma
pinus. Angin membelai wajahku dan membuatku merasa
hidup kembali. Sambil berjalan, aku menutup mata dan
mencoba merasakan keberadaan Nomor Enam dengan cara
menyisir udara dengan pikiranku. Aku menjangkau dan
merasakan keadaan di sekelilingku dengan telekinesis,
seperti saat berada di Athens. Ketika itu aku memegang
semua yang ada di udara sehingga bisa menghentikan peluru
yang melesat. Aku merasakan mereka, beberapa langkah di
depanku dan agak ke kanan. Aku menyenggol Nomor Enam,
menyebabkan dia kaget dan menahan napas. Tiga detik
kemudian, dia mendorongku dengan bahunya, membuatku
hampir terjatuh. Aku tertawa. Dia juga.
"Kalian sedang apa?" tanya Sam. Dia terganggu
dengan permainan kecil kami. "Kita seharusnya tak bersuara,
ingat?"
Kami tiba di truk yang diparkir di sebuah kandang tua
bobrok, dan tampaknya bisa ambruk setiap saat. Nomor
Enam melepaskan tangan Sam. Sam naik dan duduk di
tengah. Nomor Enam melompat ke belakang kemudi. Aku
duduk di samping Sam dengan Bernie Ko, sar di kakiku.
"Ya, ampun! Rambutmu kenapa?" aku menggoda
Sam.
"Diam."
Nomor Enam menyalakan truk. Aku tersenyum saat
dia mengarahkan truk ke jalan dan mengedipkan lampu
depan saat roda menyentuh aspal.
"Apa?" tanya Sam.
"Aku sedang berpikir bahwa di antara kita berempat,
ada tiga alien, ada dua buronan yang memiliki kait an dengan
teroris, tapi tak ada seorang pun yang memiliki SIM. Ini bakal
menarik."
Bahkan, Nomor Enam pun tersenyum mendengarnya.
4 U
MURKU TIGA BELAS TAHUN SAAT MEREKA Menangkap
kami," kata Nomor Enam saat kami melintasi Tennessee, lima
belas menit setelah meninggalkan Motel Trucksville. Aku
memintanya menceritakan bagaimana dia dan Katarina bisa
tertangkap. "Waktu itu kami di Texas Barat, melarikan diri
dari Meksiko karena bertindak sembrono. Kami berdua
terpana membaca sebuah tulisan konyol di internet yang
dikirim Nomor Dua?walaupun kami tak tahu apakah benar
dia itu Nomor Dua?lalu menjawabnya. Saat di Meksiko itu,
kami tinggal di kota berdebu yang jauh dari mana-mana,
kesepian, dan merasa harus tahu apakah dia itu anggota
Garde."
Aku mengangguk, mengerti apa yang dia bicarakan.
Saat kami di Colorado, Henri juga melihat tulisan di blog itu.
Waktu itu aku sedang mengikuti kompetisi mengeja di
sekolah dan goresannya muncul saat aku di panggung. Aku
segera dilarikan ke rumah sakit. Di sana, dokter melihat
goresan pertama dan juga goresan kedua yang membakar
hingga ke tulang. Saat Henri tiba, mereka menuduhnya
melakukan penganiayaan anak, yang akhirnya menyebabkan
kami kabur dari Colorado dan menggunakan identitas baru,
memulai kehidupan baru lagi.
"'Sembilan, sekarang delapan. Apakah kalian ada di
luar sana?"' tanyaku.
"Ya, yang itu."
"Jadi, kalian yang menjawab," kataku. Henri
membuat screen shot tulisan itu agar aku bisa melihatnya.
Dia mati-matian meretas komputer agar bisa menghapus
tulisan itu sebelum terlambat. Tapi Henri kalah cepat. Nomor
Dua dibunuh. Setelah itu, tulisan tersebut dihapus. Kami
menduga para Mogadorian yang melakukannya.
"Ya, kami yang merespons. Aku menulis "Kami di
sini'. Tak sampai satu menit kemudian, goresan itu muncul,"
kata Nomor Enam sambil menggelengkan kepala. "Bisa
bisanya Nomor Dua menulis itu, padahal dia tahu dia yang
berikutnya. Aku masih tak mengerti kenapa dia mau ambil
risiko."
"Kalian tahu waktu itu dia ada di mana?" tanya
Sam.
Aku memandang Nomor Enam. "Kau tahu? Henri pikir
di Inggris, tapi dia tidak yakin."
"Entah. Yang kami tahu hanyalah jika mereka berhasil
menemukannya secepat itu, pasti mereka juga bisa
menemukan kami dengan cepat."
"Tapi bagaimana kau tahu dia yang menulisnya?"
tanya Sam.
Nomor Enam melirik ke arah Sam. "Maksudmu?"
"Ya, kalian kan tak tahu pasti di mana dia berada, jadi
kenapa kalian yakin dia itu benar-benar Nomor Dua?"
"Memangnya siapa lagi?"
"Yah, maksudku, aku melihat betapa kau dan John
sangat waspada. Rasanya sulit membayangkan kalian berdua
melakukan sesuatu yang begitu bodoh, padahal tahu
berikutnya giliran kalian. Terutama dengan segala hal yang
kalian tahu tentang Mogadorian. Kupikir kalian tak mungkin
menulis apa pun di web."
"Memang."
"Jadi, mungkin para Mogadorian sudah menangkap
Nomor Dua dan berusaha memancing kalian sebelum
membunuhnya. Karena itulah, dia langsung dibunuh setelah
kau menjawab. Mungkin saja itu hanya gertak sambal. Atau
mungkin Nomor Dua tahu apa yang mereka lakukan sehingga
dia bunuh diri untuk memperingatkan kalian atau
semacamnya. Entahlah. Itu cuma dugaan."
"Benar," kataku. Tapi itu dugaan yang bagus dan tak
terpikirkan olehku. Aku bertanya-tanya apakah Henri pernah
menduga seperti itu.
Kami diam memikirkan itu. Nomor Enam menginjak
gas hingga batas kecepatan dan melewati beberapa mobil.
Lampu jalan berderet di sepanjang jalan raya itu,
menyebabkan bukit-bukit di kejauhan tampak
menyeramkan.
"Dia mungkin takut dan putus asa," kataku. "Mungkin
karena itulah, dia bertindak konyol, seperti menulis macam
itu di internet."
Sam mengedikkan bahu. "Menurutku itu tak
mungkin."
"Benar," kataku. "Tapi mungkin mereka sudah
membunuh Cepannya, dan dia kalut. Saat itu, dia pasti baru
dua belas atau mungkin tiga belas tahun. Bayangkan berusia
tiga belas tahun dan sebatang kara," kataku, terlambat
mengingat itulah yang dialami Nomor Enam. Dia melirik ke
arahku, lalu kembali menatap jalan.
"Kami tak pernah berpikir itu tipuan," katanya.
"Walaupun kalau dipikir-pikir sekarang memang masuk akal
juga. Dulu kami hanya ketakutan. Lalu pergelangan kakiku
terbakar. Sulit untuk berpikir dengan benar saat kaki seolah
digergaji."
Aku menganggukkan kepala dengan muram.
"Walaupun awalnya merasa takut, kami tetap tidak
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memikirkan kemungkinan itu. Kami menjawab, dan
akibatnya mereka berhasil melacak kami. Kami ceroboh.
Mungkin kau benar, Sam. Aku harap kami yang tersisa ini
menjadi lebih bijaksana."
Kalimat terakhirnya menggantung di udara. Yang
tersisa tinggal kami berenam. Kami berenam melawan entah
berapa jumlah mereka. Dan kami tak tahu apakah kami bisa
saling bertemu. Kami satu-satunya harapan. Kekuatan dalam
jumlah. Kekuatan enam Lorien. Pikiran itu membuat
jantungku berdetak dua kali lebih kencang.
"Apa?" tanya Nomor Enam.
"Tinggal kita berenam."
"Ya, aku tahu. Terus kenapa?"
"Kita berenam, dan mungkin ada yang masih
memiliki Cepan, tapi mungkin ada yang tidak. Tapi enam
Loric melawan entah berapa banyak Mogadorian? Seribu?
Seratus ribu? Sejuta?"
"Hei, jangan lupakan aku," kata Sam. "Dan Bernie
Kosar."
Aku mengangguk. "Maaf, Sam. Kau benar. Kita
berdelapan." Tiba-tiba, aku teringat sesuatu yang lain.
"Enam, kau tahu tentang pesawat kedua yang meninggalkan
Lorien?"
"Pesawat lain selain pesawat kita?"
"Ya. Pesawat itu berangkat setelah pesawat kita.
Atau, setidaknya kurasa pesawat itu berangkat. Pesawat itu
mengangkut Chimra. Sekitar lima belas ekor, dan tiga Cepan,
dan mungkin satu bayi. Aku melihat citra itu saat Henri dan
aku berlatih. Tapi dia tak percaya. Namun sejauh ini, semua
citra yang kulihat itu terbukti benar."
"Aku tak tahu."
"Pesawat itu lepas landas dengan roket tua, seperti
pesawat ulang-alik NASA. Yang menggunakan bahan bakar
minyak dan meninggalkan jejak asap di belakangnya."
"Kalau begitu, pesawat itu tak mungkin sampai ke
sini," kata Nomor Enam.
"Yeah, kata Henri juga begitu."
"Chimra?" tanya Sam. "Hewan yang sama seperti
Bernie Kosar?"
Aku mengangguk. Sam menegakkan tubuh. "Mungkin
begitulah cara Bernie sampai di sini. Bayangkan kalau mereka
semua sampai di sini. Kalian lihat kan, apa yang Bernie
lakukan dalam pertempuran itu?"
"Pasti luar biasa," aku sepakat. "Tapi aku yakin,
Bernie ada di pesawat kami."
Aku membelai punggung Bernie Kosar dan
merasakan keropeng yang menyelubungi sebagian besar
tubuhnya. Sam mendesah, lalu bersandar kembali ke
kursinya dengan raut yang tampak lega, mungkin
membayangkan sepasukan Chimera membantu kami
mengalahkan para Mogadorian pada menit-menit terakhir.
Nomor Enam memandang kaca spion, cahaya dari lampu
depan mobil di belakang kami memantul dan menimbulkan
pita cahaya di wajahnya. Dia memandang ke belakang sambil
menatap curiga, seperti yang biasa Henri lakukan ketika
menyetir.
"Mogadorian," katanya pelan. Dia menelan Judah
saat aku dan Sam memperhatikannya. "Pada hari kami
menjawab tulisan Nomor Dua, mereka berhasil menemukan
kami di sebuah kota terpencil di Texas Barat. Katarina sudah
mengemudi selama lima belas jam terus-menerus dari
Meksiko. Hari sudah larut dan kami berdua sangat lelah
karena tidak tidur. Kami berhenti di sebuah motel di tepi
jalan raya, mirip dengan motel yang baru saja kita tinggalkan.
Motel itu ada di sebuah kota yang tampak seperti dalam film
koboi lama, penuh dengan koboi dan peternak. Bahkan di
luar beberapa bangunan ada tempat mengikatkan kuda
sehingga orang bisa mengikat kuda mereka di sana. Kota itu
tampak sangat aneh. Tapi karena baru raja meninggalkan kota
berdebu di Meksiko, kami pun berhenti tanpa pikir panjang."
Nomor Enam terdiam saat sebuah mobil melewati
kami. Dia memandangi mobil itu, mengecek spidometer, lalu
kembali menatap jalan.
"Kami turun di sebuah kedai makan untuk mengisi
perut. Saat sedang makan, seorang lelaki masuk dan duduk.
Dia mengenakan kemeja putih dan dasi, tapi dasinya seperti
dasi dalam film koboi dan pakaiannya tampak kuno. Kami
tidak memperhatikannya. Tapi aku tahu orang-orang di kedai
itu memandanginya, dengan cara yang sama seperti saat
memandangi kami. Kemudian lelaki itu berbalik dan
memandangi kami. Tapi kami tidak curiga karena orang lain
juga memandangi kami. Aku baru tiga belas tahun, dan saat
itu sulit untuk memikirkan hal lain selain tidur dan makan.
Setelah kenyang, kami kembali ke kamar. Katarina langsung
mandi. Saat dia keluar dari kamar mandi, masih berbalut
jubah mandi, pintu diketuk. Kami saling pandang. Katarina
bertanya siapa itu, dan orang itu menjawab bahwa dia
manajer motel yang membawakan handuk bersih serta es.
Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke pintu dan
membukanya."
"Oh, tidak," kata Sam.
Nomor Enam mengangguk. "Ternyata yang datang
lelaki berdasi koboi dari kedai tadi. Dia langsung masuk
kamar dan menutup pintu. Jimatku tidak tersembunyi. Dia
langsung tahu siapa aku. Aku dan Katarina juga langsung tahu
siapa dia. Dengan satu gerakan mulus, laki-laki itu menarik
pisau dari ikat pinggang celananya, lalu mengayunkannya ke
kepalaku. Dia cepat. Aku tak sempat bereaksi. Pusakaku
belum muncul dan aku tak punya alat untuk bertahan. Aku
yakin akan mati. Tapi kemudian terjadi hal aneh. Saat pisau
itu membelah tengkorakku, ternyata yang terbelah justru
tengkorak laki-laki itu. Aku tak merasakan apa pun. Baru
kemudian, aku tahu bahwa mereka tak tahu bagaimana
mantra pelindung bekerja, bahwa dia tak bisa membunuhku
sebelum Nomor Satu hingga Nomor Lima mati. Dia ambruk
dan berubah jadi abu."
"Hebat," kata Sam.
"Tunggu," aku menyela. "Bukannya para Mogadorian
itu sangat mudah dikenali? Kulit mereka sangat putih seakan
diputihkan. Lalu, gigi dan mata mereka ...," suaraku
memelan. "Kenapa kau tak bisa mengenalinya saat di kedai?
Kenapa kau mengizinkan dia masuk ke kamar?"
"Aku yakin hanya para pengintai dan prajurit yang
tampak seperti itu. Mereka itu versi militernya para
Mogadorian. Setidaknya, itulah yang Katarina katakan. Para
Mogadorian yang lain tampak seperti manusia biasa, seperti
kita. Mogadorian yang masuk ke kedai itu tampak seperti
akuntan, dengan kacamata berbingkai logam, celana hitam,
kemeja putih lengan pendek, dan dasi itu. Dia bahkan
memiliki kumis yang sangat aneh. Aku ingat kulitnya juga
kecokelatan. Kami tak tahu mereka membuntuti kami."
"Itu melegakan," komentarku sarkastis. Aku
membayangkan bagaimana pisau membelah tengkorak
Nomor Enam, tapi justru menyebabkan si Mogadorian tewas.
Jika salah satu dari mereka mencoba melakukan yang sama
kepadaku, saat ini juga, aku pasti mati. Aku menepis pikiran
itu dan bertanya, "Menurutmu mereka masih ada di
Paradise?"
Nomor Enam diam selama satu menit. Saat akhirnya
dia membuka mulut, aku menyesal karena tidak diam saja.
"Kupikir mereka mungkin di sana."
"Jadi, Sarah dalam bahaya?"
"Semua orang dalam bahaya, John. Semua orang yang
kita kenal di Paradise, semua orang yang tak kita kenal di
Paradise."
Seluruh Paradise mungkin diawasi. Aku tahu aku tak
aman jika berada dalam radius delapan puluh kilometer dari
sana. Atau menelepon. Atau bahkan mengirim surat. Jika aku
melakukan itu, para Mogadorian akan tahu perasaanku
terhadap Sarah serta hubungan kami.
"Omong-omong," kata Sam, kembali ke cerita tadi.
"Akuntan Mogadorian itu roboh dan mati. Lalu?"
"Katarina melemparkan Peti ke arahku dan
mengambil koper. Lalu kami berlari keluar dari kamar. Truk
tak dikunci, dan kami langsung naik. Mog lain mengejar dari
balik motel. Kat panik dan tak bisa menemukan kunci. Tapi
dia mengunci pintu truk dan menutup jendela. Tapi laki-laki
itu tak membuang-buang waktu dan meninju kaca jendela di
sisi penumpang, lalu mencengkeram kemejaku. Katarina
menjerit. Sejumlah lelaki yang ada di dekat itu langsung
bertindak. Orangorang keluar dari kedai untuk melihat apa
yang terjadi.
Mogadorian itu tak punya pilihan lain, selain
melepaskanku dan menghadapi para lelaki itu."
"Kuncinya di kamar motel!" teriak Katarina. Dia
memandangku, terbelalak putus asa. Panik. Kami berdua
panik. Aku melompat turun dari truk dan berlari ke kamar
kami untuk mengambil kunci. Kami bisa kabur berkat para
lelaki di Texas itu. Mereka menyelamatkan nyawa kami. Saat
aku keluar dari kamar motel sambil membawa kunci, salah
satu warga Texas menodongkan senjata kepada si
Mogadorian.
"Kami tak tahu apa yang kemudian terjadi karena
Katarina langsung tancap gas dan kami tak menoleh ke
belakang. Beberapa minggu kemudian, kami
menyembunyikan Peti, tepat sebelum mereka menangkap
kami."
"Apakah mereka sudah punya Peti dari tiga yang
pertama?" tanya Sam.
"Aku yakin begitu, tapi apa gunanya? Begitu kami
mati, gembok Peti itu langsung membuka dan segala isinya
jadi tak berguna," kata Nomor Enam. Aku mengangguk
karena dulu Henri sudah memberitahuku soal itu.
"Benda-benda itu bukan hanya jadi tak berguna,"
kataku. "Benda-benda itu langsung berubah jadi abu persis
para Mogadorian saat mereka mati."
"Hebat," kata Sam.
Kemudian, aku teringat sticky note yang kutemukan
saat menyelamatkan Henri di Athens, Ohio.
"Kau ingat, orang-orang yang Henri kunjungi waktu
itu yang menerbitkan majalah They Walk Among Us?"
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeah?"
"Mereka punya narasumber yang sepertinya
menangkap satu Mogadorian dan menyiksanya untuk
mendapatkan informasi. Dia tahu bahwa Nomor Tujuh
dibuntuti di Spanyol dan Nomor Sembilan ada di suatu
tempat di Amerika Selatan."
Nomor Enam berpikir sejenak. Dia menggigit bibir
dan melirik kaca spion. "Aku tahu Nomor Tujuh itu
perempuan, begitulah yang kuingat saat kita berada di
pesawat." Begitu dia menutup mulut, kami mendengar bunyi
sirene dari belakang.
5 P
ADA SABTU MALAM, HUJAN SALJU REDA. BUNYI gesekan
sekop dengan aspal meramaikan malam gelap. Dari jendela,
aku bisa melihat siluet samar para penduduk membersihkan
salju agar mereka bisa berjalan saat berangkat ibadah pada
hari Minggu. Ada suatu kedamaian saat melihat warga kota
bekerja bersama-sama pada malam hening itu, mereka
semua diikat oleh satu tujuan. Andai saja aku berada di sana.
Lalu lonceng tidur berdentang. Keempat belas anak
perempuan yang tinggal di kamar ini langsung naik ke tempat
tidur, kemudian lampu dimatikan.
Begitu menutup mata, aku langsung bermimpi. Aku
berdiri di padang bunga pada suatu musim panas yang
hangat. Di kejauhan di sebelah kananku, pegunungan
bergerigi berdiri dengan latar belakang matahari terbenam.
Di kiriku lautan membentang. Tiba-tiba, muncullah seorang
anak perempuan berpakaian hitam, dengan rambut hitam
dan mata abu-abu tajam. Dia tersenyum, sinis sekaligus
percaya diri. Hanya ada kami berdua. Kemudian dari
belakangku terjadi kegemparan, dunia berguncang dan tanah
terbelah. Aku tak menoleh untuk melihat apa yang terjadi.
Anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke arahku
sambil menatap mataku lekat-lekat. Aku mengulurkan
tangan untuk meraihnya. Aku terbangun.
Cahaya menembus jendela. Walaupun rasanya baru
sebentar, tapi ternyata malam telah berlalu. Aku
menggelengkan kepala untuk melupakan mimpi itu. Minggu
adalah hari untuk beristirahat. Namun ironisnya, bagi kami
Minggu justru hari paling sibuk, diawali dengan Misa panjang.
Orang-orang datang berbondong-bondong bukan
karena mereka jemaat yang taat, melainkan karena El Festin,
jamuan makan setelah Misa selesai. Kami yang tinggal di
sinilah yang harus bekerja. Aku bertugas di antrean kantin.
Kami baru bebas setelah jamuan makan itu selesai. Jika aku
beruntung, kami bisa saja selesai pada pukul empat dan
bukan setelah matahari terbenam. Pada musim ini, matahari
terbenam pada pukul enam lebih sedikit.
Kami bergegas ke kamar mandi, mandi, menggosok
gigi, dan keramas dengan cepat, lalu mengenakan pakaian
terbaik khusus hari Minggu?seragam hitamputih yang hanya
memperlihatkan tangan dan kepala kami. Saat sebagian
besar anak perempuan lain telah pergi, Adelina masuk. Dia
berdiri di depanku dan merapikan bagian leher tunikku. Aku
merasa seperti anak kecil. Aku bisa mendengar orang-orang
berdatangan memenuhi panti umat. Adelina tetap diam.
Jadi, aku pun diam. Aku memandang rambut cokelat
kemerahannya yang mulai dihiasi dengan uban, yang selama
ini tidak kuperhatikan. Ada keriput di mata dan mulutnya.
Usianya empat puluh dua, tapi dia tampak sepuluh tahun
lebih tua.
"Alm mimpi tentang seorang anak perempuan
dengan rambut hitam dan mata abu-abu yang mengulurkan
tangannya ke arahku," kataku, memecah keheningan. "Dia
ingin aku meraih tangannya."
"Oke," katanya, bingung mengapa aku menceritakan
mimpi itu.
"Apa menurutmu dia itu salah satu dari kita?" Adelina
menyentakkan kerah bajuku. "Menurutku kau tak perlu
memikirkan apa arti mimpimu."
Aku ingin membantah, tapi tak tahu harus berkata
apa. Jadi, aku hanya berkata, "Rasanya seperti sungguhan."
"Memang ada mimpi yang begitu."
"Tapi kau bilang, dulu di Lorien kadang-kadang kita
bisa berkomunikasi dengan satu sama lain walaupun jaraknya
jauh."
"Ya, dan setelah itu, aku akan membacakan cerita
tentang serigala yang bisa meniup rumah hingga roboh dan
angsa yang bertelur emas."
"Itu kan dongeng."
"Semuanya hanya dongeng belaka, Marina."
Aku menggertakkan gigi. "Kenapa kau berkata
begitu? Kita berdua tahu itu bukan dongeng. Kita berdua
tahu dari mana kita berasal dan kenapa kita ada di sini. Aku
tak mengerti kenapa kau bersikap seolah-olah kau ini bukan
berasal dari Lorien dan tak punya kewajiban untuk
mengajariku."
Adelina mengaitkan kedua tangannya di belakang
punggung dan memandang langit-langit. "Marina, sejak aku
di sini, sejak kita di sini, kita beruntung karena bisa belajar
mengenai kebenaran penciptaan dan dari mana asal kita,
serta apa misi sejati kita di Bumi ini. Semua itu ada di
Alkitab."
"Dan Alkitab bukan dongeng?"
Bahu Adelina menegang. Dahinya berkerut dan
rahangnya mengeras.
"Lorien bukan dongeng," kataku sebelum dia sempat
menjawab. Lalu, dengan menggunakan telekinesis, aku
mengangkat bantal yang ada di tempat tidur terdekat dan
memutarnya di udara. Adelina melakukan sesuatu yang
belum pernah dilakukannya seumur hidup: dia menamparku.
Keras. Aku menjatuhkan bantal itu dan memegangi pipiku
yang panas dengan mulut ternganga.
"Jangan sampai mereka melihatmu melakukan itu!"
katanya murka.
"Yang kulakukan tadi itu bukan dongeng. Aku bukan
bagian dari dongeng. Kau itu Cepanku, dan kau bukan bagian
dari dongeng."
"Terserah kau mau menyebutnya apa," katanya.
"Tapi apa kau tidak dengar berita? Kau pasti tahu
anak laki-laki di Ohio itu salah satu dari kita! Mungkin dia
satu-satunya kesempatan kita!"
"Kesempatan kita untuk apa?" tanyanya.
"Mendapatkan kehidupan."
"Lalu ini kau sebut apa?"
"Menghabiskan waktu dengan berpura-pura
bukanlah kehidupan," kataku.
Adelina menggelengkan kepala. "Lupakan, Marina,"
katanya. Lalu dia pergi. Aku tak punya pilihan lain selain
mengikutinya.
Marina. Sekarang nama itu terdengar begitu normal,
begitu diriku. Aku tak lagi bingung ketika Adelina
mendesiskan nama itu kepadaku atau ketika salah satu anak
di panti asuhan meneriakkan nama itu saat keluar dari kelas
sambil melambai-lambaikan buku matematikaku yang
ketinggalan. Tapi dulu namaku bukan itu. Dulu, saat kami
berjalan tanpa tujuan sambil berusaha memperoleh
makanan atau tempat untuk tidur, sebelum Spanyol dan
Santa Teresa, sebelum Adelina bernama Adelina, namaku
adalah Genevieve. Waktu itu nama Adelina adalah Odette.
Itu nama Prancis kami.
"Kita harus ganti nama setiap kali berada di negara
baru," bisik Adelina ketika namanya Signy dan kami berada di
Norwegia, tempat kapal kami mendarat setelah berbulan
bulan berlayar. Dia memilih Signy karena nama itu tertera di
blus perempuan di balik konter.
"Lalu, namaku apa?" tanyaku.
"Apa pun yang kau mau," katanya. Saat itu kami
berada di sebuah kafe di suatu desa yang suram, menikmati
kehangatan secangkir cokelat panas yang kami minum
berdua. Signy bangkit dan mengambil surat kabar akhir
minggu dari meja sebelah. Di halaman utama ada perempuan
paling cantik yang pernah kulihat. Rambut pirang, tulang pipi
tinggi, dan mata biru gelap. Namanya Birgitta. Jadi, namaku
pun Birgitta.
Bahkan, saat berada di dalam kereta api dan negara
negara berlalu di jendela seperti pohon-pohon, kami selalu
berganti nama, walaupun hanya untuk beberapa jam. Selain
untuk menghindari Mogadorian atau orang lain yang mungkin
membuntuti kami, cara itu juga termasuk salah satu hal yang
membuat kami bersemangat setelah mengalami banyak
sekali kekecewaan. Kupikir akan menyenangkan seandainya
kami berkeliling Eropa beberapa kali. Di Polandia, namaku
Minka dan Adelina namanya Zali. Namanya Fatima saat di
Denmark, dan namaku Yasmin. Aku punya dua nama di
Austria: Sophie dan Astrid. Adelina menyukai nama
Emmalina.
"Kenapa Emmalina?" tanyaku waktu itu.
Dia tertawa. "Aku juga tak tahu. Mungkin karena
seperti mendapatkan dua nama sekaligus dalam satu nama.
Keduanya nama yang indah, dan begitu digabung langsung
menjelma jadi nama yang unik."
Aku bertanya-tanya apakah itu terakhir kalinya aku
mendengar Adelina tertawa. Atau, terakhir kalinya kami
berpelukan atau memproklamirkan takdir kami. Aku yakin itu
terakhir kalinya aku merasakan kepeduliannya sebagai
Cepanku atau kepeduliannya terhadap apa yang terjadi di
Lorien?apa yang terjadi kepadaku.
Kami tiba saat Misa akan dimulai. Tinggal kursi di
barisan belakang yang tersisa, dan aku memang lebih suka
duduk di sana. Adelina menyelinap ke baris depan, tempat
para Suster duduk. Pastor Marco mengucapkan doa pembuka
dengan suaranya yang selalu muram dan seperti bergumam
hingga sebagian besar kata-katanya tak bisa kupahami. Aku
senang seperti ini, duduk diam di sepanjang Misa. Aku
berusaha untuk tidak mengingat tamparan Adelina dan sibuk
memikirkan apa yang akan kulakukan saat El Festin berakhir.
Salju belum mencair, tapi aku berniat untuk pergi ke gua. Aku
ingin membuat lukisan baru. Aku juga ingin menyelesaikan
lukisan John Smith yang kumulai minggu lalu.
Misa itu berlangsung seumur hidup, atau setidaknya
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa seperti itu, dengan ritus pembuka, liturgi, komuni,
pembacaan, doa, dan ritus penutup. Saat akhirnya kami
mencapai doa penutup, aku kelelahan dan tak mau repot
repot berpura-pura berdoa seperti yang biasa kulakukan. Aku
malah duduk dengan kepala terangkat dan mata terbuka,
memandangi bagian belakang kepala orang-orang. Hampir
semuanya kukenali. Seorang laki-laki tidur di bangkunya
dengan lengan disilangkan sambil menunduk hingga dagunya
menempel di dada. Aku memandangi laki-laki itu hingga
sesuatu dalam mimpinya menyebabkan dia terbangun sambil
menggerutu. Beberapa kepala menoleh ke arahnya saat
lelaki itu terbangun. Aku tak bisa menahan senyum. Saat
mengalihkan pandangan, aku melihat Suster Dora cemberut
ke arahku. Aku menunduk, menutup mata, dan pura-pura
berdoa, mengikuti katakata yang Pastor Marco bacakan di
depan, tapi aku sadar tertangkap basah. Itulah yang Suster
Dora inginkan. Dia sangat ingin memergoki saat kami
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kami lakukan.
Doa diakhiri dengan membuat tanda salib. Misa pun
selesai. Sebelum orang-orang berdiri, aku bangkit dari
tempat duduk dan bergegas ke dapur. Suster Dora mungkin
yang paling gemuk dibandingkan Suster-Suster lainnya, tapi
adakalanya dia sangat lincah, dan aku tak ingin memberinya
kesempatan untuk menangkapku. Jika dia tak bisa
menangkapku, aku tak akan dihukum. Aku lolos. Suster Dora
baru tiba di kantin lima menit kemudian ketika aku sibuk
mengupas kentang bersama Paola, gadis empat belas tahun
berbadan kurus, dan Lucia, adik Paola yang berusia dua belas
tahun. Suster Dora hanya memelototiku.
"Kenapa dia?" tanya Paola.
"Dia memergokiku tersenyum saat Misa." "Untung
kau tidak dipukul," bisik Lucia.
Aku mengangguk dan melanjutkan pekerjaan.
Walaupun singkat, saat-saat seperti inilah yang membuat
kami kompak karena kami memiliki musuh yang sama. Saat
masih kecil, kupikir kesamaan seperti ini?serta karena
sama-sama anak yatim piatu dan hidup di bawah atap tirani
yang sama?akan mempersatukan kami dengan cepat dan
juga membuat kami bersahabat seumur hidup. Tapi pada
kenyataannya, semua itu hanya semakin memecah-belah
kami menjadi kelompokkelompok kecil?kelompok anak
cantik (La Gorda termasuk kelompok ini walau tidak cantik),
anak pintar, anak atletis, serta anak-anak yang masih kecil?
dan aku hanya sendirian.
Setengah jam kemudian, saat semuanya sudah siap,
kami membawa makanan itu dari dapur ke antrean. Orang
orang yang menunggu bertepuk tangan. Di belakang antrean
ada orang yang paling kusuka di Santa Teresa: Hector Ricardo.
Pakaiannya kotor dan kusut, rambutnya pun berantakan.
Matanya merah, wajah dan pipinya juga merah. Dan jauh pun
aku bisa melihat tangannya agak bergetar, seperti yang biasa
terjadi pada hari Minggu?hanya pada hari itu dia tidak
minum-minum. Hector tampak sangat berantakan hari ini.
Namun saat akhirnya tiba di tempatku, dia menyorongkan
bakinya dan memasang senyum paling optimis yang bisa dia
tunjukkan.
"Bagaimana kabarmu, Ratu Lautku?" tanyanya. Aku
membungkuk sopan ke arahnya. "Aku baik-baik saja, Hector.
Bagaimana denganmu?"
Dia mengangkat bahu, lalu berkata, "Hidup itu bagai
segelas anggur yang bagus, sebaiknya dihirup dan dinikmati."
Aku tertawa. Hector selalu mengucapkan kata-kata
seperti itu.
Aku bertemu Hector untuk pertama kalinya saat
berusia tiga belas tahun. Waktu itu dia duduk sendirian
sambil minum sebotol anggur di luar sebuah kafe sepi di
Calle Principal. Saat itu tengah hari, dan aku sedang berjalan
pulang dari sekolah. Mata kami saling menatap saat aku
lewat.
"Marina, yang berarti putri dari laut," katanya. Aku
heran karena dia tahu namaku. Namun seharusnya aku tidak
bingung karena sejak tiba di tempat ini, aku selalu
melihatnya di gereja setiap minggu. "Ayo, temani pemabuk
ini sebentar."
Aku menurut. Aku tak tahu kenapa. Mungkin karena
ada sesuatu yang menyenangkan dari dirinya. Dia
membuatku tenang karena tidak menunjukkan kepura
puraan seperti yang biasa dilakukan orang-orang. Dia
menunjukkan sikap "Inilah diriku. Aku tak peduli kau suka
atau tidak".
Pada hari itu, kami duduk bersama dan mengobrol
cukup lama sehingga anggur di botolnya habis dan dia
memesan botol kedua.
"Kau harus terus bersama Hector Ricardo," katanya
saat aku pamit untuk pulang ke biara. "Aku akan menjagamu.
Itu arti namaku. Hector berasal dari bahasa Latin yang artinya
"pelindung dan teguh'. Dan Ricardo berarti luat dan berani',"
katanya sambil memukul dada dua kali dengan tinju
kanannya. "Hector Ricardo akan menjagamu!"
Aku tahu dia sungguh-sungguh.
Dia melanjutkan. "Marina. "Putri dari laut'. Itu arti
namamu, kau tahu itu?"
Aku bilang aku tidak tahu. Aku ingin tahu apa arti
Birgitta. Yasmin. Emmalina berasal dari bahasa apa. "Itu
artinya, kau Ratu Laut Santa Teresa," katanya dengan bibir
menyeringai miring.
Aku tertawa. "Kurasa kau terlalu banyak minum,
Hector Ricardo."
"Ya," jawabnya. "Aku ini pemabuk di kota ini, Marina.
Tapi jangan sampai kau terkecoh. Hector Ricardo itu
pelindung semua orang. Lagi pula, tunjukkanlah seseorang
yang tak punya sifat buruk dan akan kutunjukkan seseorang
yang tak punya kebijakan!"
Bertahun-tahun kemudian, dia menjadi salah satu
dari sedikit orang yang bisa kusebut teman.
Perlu dua puluh lima menit agar sekitar seratus orang
itu mendapatkan jatah masing-masing. Setelah orang
terakhir meninggalkan antrean, kami pun bisa makan dan
duduk jauh dari yang lain. Kami makan secepat mungkin,
tahu bahwa semakin cepat kami menghabiskan makanan dan
merapikan semuanya, maka semakin cepat kami bebas.
Lima belas menit kemudian, kami berlima yang
bekerja di antrean pun sibuk membersihkan panci, wajan,
dan mengelap konter. Bersih-bersih itu selesai dalam waktu
sekitar satu jam, paling cepat?yang hanya terjadi jika semua
orang langsung meninggalkan kantin begitu selesai makan.
Namun itu jarang sekali terjadi. Saat sedang bersih-bersih,
ketika yang lain tak melihat, aku memasukkan makanan yang
tak mudah busuk ke dalam kantung untuk kubawa ke gua hari
ini: buah kering, kacang, sekaleng ikan tuna, dan sekaleng
kacang. Ini semacam tradisi mingguanku. Selama ini, aku
meyakinkan diriku bahwa aku melakukan ini agar bisa makan
saat melukis dinding gua. Namun sebenarnya, aku
menimbun persediaan makanan, kalau-kalau aku harus
bersembunyi jika ada kejadian buruk. Dan yang kumaksud
dengan kejadian buruk itu adalah mereka.
6 S
ETELAH MENGENAKAN PAKAIAN YANG LEBIH hangat dengan
gulungan selimut di lenganku, aku berjalan keluar. Matahari
sudah bergeser ke barat dan langit tak berawan. Setengah
empat lebih, artinya aku punya waktu sekitar satu setengah
jam. Aku tak suka dengan ketergesaan hari Minggu, awalnya
waktu seakan merayap pelan, tapi langsung berlalu cepat
begitu kami bebas. Aku memandang ke timur dan
memicingkan mata melihat cahaya yang dipantulkan salju.
Gua itu ada di balik dua bukit berbatu. Aku tak yakin bisa
melihat mulut gua itu karena salju begitu tebal. Aku
mengenakan topi, menarik ritsleting, menyelubungi diri
dengan selimut seperti mengenakan jubah, lalu berjalan ke
arah timur.
Dua pohon birch tinggi menandai awal jejakku, dan
kakiku langsung dingin saat menginjak salju yang lebih
dalam. Jubah-selimutku menyapu salju di belakangku,
menghapus jejak kaki. Aku melewati sejumlah tanda-tanda
jalan?batu yang menonjol dibandingkan batu lainnya,
pohon yang agak miring ke sudut berbeda. Setelah dua puluh
menit, aku melewati formasi batu yang mirip punggung unta.
Itu artinya aku hampir sampai.
Aku merasa seperti sedang diawasi, mungkin malah
dibuntuti. Aku berbalik dan memandang lereng gunung.
Hening. Hanya salju, tak ada yang lain. Selimut di sekeliling
leherku menghapus jejak dengan sangat baik. Bulu kudukku
meremang. Aku pernah melihat seekor kelinci berbulu
menyatu dengan suasana putih karena salju di sekitarnya, tak
terlihat hingga kau berada di atasnya. Karena itu, aku sadar
bahwa walaupun aku tak bisa melihat orang lain, bukan
berarti orang lain itu tak bisa melihatku.
Lima menit kemudian, tampaklah semak bulat yang
menutupi mulut gua. Mulut gua itu mirip lubang marmot
tanah yang luar biasa besar dan menembus hingga ke dalam
gunung. Dulu, aku memang menyangka begitu. Tapi saat
diamati lebih saksama, ternyata aku salah. Gua itu dalam dan
gelap. Dulu, aku bahkan hampir tak bisa melihat apa pun
karena hanya ada sedikit sinar yang masuk, sehingga aku
merasa sangat ingin mengetahui rahasia gua itu. Sekarang,
aku bertanya-tanya apakah keinginan itu yang menyebabkan
Pusakaku muncul: kemampuan melihat dalam gelap. Itu
bukan berarti aku bisa melihat seperti pada siang hari, tapi
setidaknya, di mataku relung gelap itu tampak terang seolah
diterangi cahaya lilin.
Aku berlutut dan menyingkirkan cukup banyak salju
hingga bisa merangkak masuk. Kemudian, aku melemparkan
tas ke dalam, membuka ikatan selimut dari leher dan
menyapukannya di salju untuk menyembunyikan jejak, lalu
menggantungkannya di bagian dalam mulut gua agar tidak
tertiup angin. Aku harus melewati bagian depan gua berupa
terowongan sempit sepanjang tiga meter, yang kemudian
agak melebar dan berbelok tajam ke bawah serta cukup
besar untuk berdiri. Setelah itu, barulah aku tiba di gua.
Langit-langit gua itu tinggi dan memantulkan gema.
Lima dindingnya bersatu dengan mulus, menciptakan poligon
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang hampir sempurna. Di pojok kanan belakang ada sebuah
mata air. Aku tak tabu dari mana asalnya ataupun ke mana air
itu mengalir. Air itu muncul dari salah satu dinding gua,
kemudian menghilang ke perut bumi. Namun, tinggi air itu
tak pernah berubah dan menjadi sumber air dingin, baik pada
musim panas maupun pada musim dingin. Dengan adanya
sumber air bersih yang terus mengalir, tempat ini sangat
ideal untuk bersembunyi, dari para Mogadorian, Suster,
anakanak perempuan?bahkan Adelina. Tempat ini juga
sempurna untuk mengasah Pusakaku.
Aku menjatuhkan tas di samping mata air,
mengeluarkan makanan, meletakkan makanan itu di birai
batu?yang sudah berisi beberapa batang cokelat, granola,
oatmeal, sereal, susu bubuk, setoples selai kacang, dan
berbagai kaleng buah, sayur, dan sop. Cukup untuk beberapa
minggu. Setelah meletakkan semua makanan ke birai itu,
barulah aku berdiri dan membiarkan diriku disambut oleh
pemandangan dan wajah-wajah yang kulukis di dinding gua.
Begitu memegang kuas untuk pertama kalinya waktu
di sekolah dulu, aku langsung jatuh cinta dengan kegiatan
melukis. Melukis memungkinkanku melihat segala
sesuatunya seperti apa yang kuinginkan dan bukan seperti
kenyataan. Melukis itu suatu pelarian, cara mengawetkan
pikiran dan kenangan, serta cara menciptakan harapan dan
impian.
Aku mencuci kuas dan menggosoknya agar tidak
kaku. Kemudian, aku mencampur cat dengan air dan sedimen
dari dasar mata air, meramu warna tanah yang sesuai dengan
dinding abu-abu gua itu. Lalu, aku berj alan ke wajah John
Smith yang belum selesai. Lukisan itu menyapaku dengan
senyuman canggungnya.
Aku menghabiskan banyak waktu di mata biru
gelapnya, berusaha melukiskannya setepat mungkin. Ada
suatu kilatan khas di mata itu yang sulit untuk ditiru. Setelah
merasa lelah melukis mata John Smith, aku mulai melukis
lukisan baru, lukisan gadis dengan rambut hitam yang kulihat
dalam mimpi. Tidak seperti mata John, aku tak mengalami
kesulitan saat melukis gadis itu dan membiarkan dinding
abu-abu gua melakukan keajaibannya. Dan kurasa kalau aku
menyalakan lilin di depan lukisan matanya, warna mata itu
akan berubah, sesuai dengan suasana hati dan cahaya di
sekitarnya. Entah bagaimana, tapi aku yakin itu benar. Wajah
wajah lain yang pernah kulukis adalah wajah Hector, Adelina,
dan beberapa pedagang di kota yang kulihat setiap hari.
Karena gua itu dalam dan gelap, aku yakin tak ada orang lain
selain diriku yang bisa melihat lukisan-lukisan ini. Aku tahu
ini berisiko, tapi aku tak bisa menahan diri.
Setelah beberapa saat, aku naik, menyingkapkan
selimutku, dan menjulurkan kepala keluar gua. Tak ada apa
pun selain warna putih dan bagian bawah matahari yang
menyentuh cakrawala?yang berarti saatnya untuk pulang.
Aku belum melukis sebanyak atau selama yang kuinginkan.
Sebelum membersihkan kuas, aku berjalan ke dinding yang
berseberangan dengan John dan memandangi kotak merah
besar yang kulukis di sana. Sebelum lukisan itu menjadi
lukisan kotak merah, aku melakukan sesuatu yang bodoh,
sesuatu yang bisa mengungkapkan jati diriku sebagai Garde.
Aku melukis sebuah daftar.
Aku menyentuh kotak itu dan memikirkan tiga angka
pertama yang ada di baliknya, menelusuri cat kering yang
pecah-pecah dengan jariku, dan merasa sangat sedih
mengingat arti ketiga angka itu. Setidaknya, sekarang mereka
sudah beristirahat dengan tenang dan tak lagi hidup dalam
ketakutan.
Aku berbalik dari kotak lukisan itu, dari daftar yang
disembunyikan dan dihancurkan itu, membersihkan kuas,
dan mengembalikan barang-barang ke tempat masing
masing.
"Sampai bertemu lagi minggu depan," kataku pada
semua wajah.
Sebelum meninggalkan gua, aku memandangi lukisan
pemandangan di dinding di samping terowongan depan.
Lukisan pertama yang kulukis di sini, waktu umurku masih
sekitar dua belas tahun. Lukisan itu masih tetap sama
walaupun kemudian aku memperbaikinya di sana-sini. Ini
lukisan pemandangan Lorien dari jendela kamar tidurku dan
aku masih mengingatnya dengan jelas. Perbukitan dan
padang rumput dengan sejumlah pohon tinggi. Sebuah
sungai biru membelah daratan. Titik-titik cat di sana dan di
sini mewakili Chimra yang sedang meminum air sungai yang
sejuk. Kemudian, di kejauhan sana, di atas sembilan
lengkungan yang melambangkan kesembilan Tetua Lorien,
berdirilah patung Pittacus Lore. Patung itu tampak begitu
kecil dan nyaris tak terlihat, tapi begitu menonjol dan tak
mungkin salah dikenali: tugu harapan kami.
Aku bergegas meninggalkan gua dan kembali ke
biara, memperhatikan segala hal yang tidak biasa dengan
waspada. Matahari baru saja tenggelam di balik cakrawala
saat aku meninggalkan jalan itu, yang berarti aku terlambat.
Aku mendorong pintu ek berat dan mendengar lonceng
sambutan berbunyi. Ada anak baru.
Aku mengikuti anak-anak lain menuju area tidur.
Kami memiliki tradisi penyambutan, berdiri di samping
tempat tidur dengan tangan berkait di belakang punggung,
menghadap ke si anak baru, dan memperkenalkan diri kami
satu demi satu. Saat pertama kali tiba di sini, aku tak
menyukai upacara itu. Aku benci diperhatikan, apalagi karena
yang kuinginkan hanyalah bersembunyi.
Di ambang pintu, di samping Suster Lucia, berdirilah
seorang anak perempuan kecil dengan rambut cokelat
kemerahan, mata cokelat yang penuh rasa ingin tahu, dan
tubuh mungil yang agak mirip tikus. Dia menunduk menatap
lantai batu. Jari-jarinya memilin-milin pinggang gaun wol
abu-abu bercorak bunga merah muda. Ada jepit rambut
merah muda kecil di rambutnya. Dia juga mengenakan
sepatu hitam dengan gesper perak. Aku merasa kasihan
melihatnya. Suster Lucia menunggu hingga kami semua, tiga
puluh tujuh anak perempuan, tersenyum. Kemudian dia
berbicara.
"Ini Ella. Dia berusia tujuh tahun dan akan tinggal di
sini bersama kita semua. Aku yakin kalian akan membuatnya
betah."
Desas-desus yang beredar setelah itu menyebutkan
bahwa orangtua Ella tewas dalam kecelakaan mobil, dan dia
ada di sini karena tidak memiliki sanak keluarga lain.
Ella mengerjap-ngerjapkan mata saat kami semua
memperkenalkan difi, tapi dia lebih sering menatap lantai.
Jelas dia takut dan sedih, tapi aku tahu Ella itu anak yang
mudah disukai siapa pun. Dia tak akan lama tinggal di sini.
Kami semua berjalan ke panti umat bersama-sama
sehingga Suster Lucia dapat menjelaskan kepada Ella
pentingnya makna gereja bagi panti asuhan. Gabby Garcia
menguap di belakang barisan, dan aku menoleh ke arahnya.
Di belakang Gabby, di balik salah satu panel Bening jendela
kaca patri di dinding, satu sosok gelap berdiri di luar dan
memandang ke dalam. Aku bisa me lihatnya walaupun hari
mulai gelap. Rambutnya hitam, alisnya tebal, dan kumisnya
juga tebal. Matanya mengikuti gerak-gerikku. Itu panti.
Jantungku seakan melompat. Aku terkesiap dan melangkah
mundur. Semua orang langsung menoleh ke arahku.
"Marina, kau baik-baik saja?" tanya Suster Lucia.
"Bukan apa-apa," kataku sambil menggelengkan
kepala. "Maksudku, ya, aku baik-baik saja. Maaf."
Jantungku berdegup dan tanganku gemetar. Aku
mengatupkan tanganku agar tak ada yang melihat. Suster
Lucia mengatakan sesuatu tentang menyambut Ella, tapi aku
tak mendengarnya karena pikiranku sibuk. Aku kembali
menoleh ke jendela itu. Sosok itu lenyap. Kami dibubarkan.
Aku bergegas melintasi panti umat dan memandang
ke luar jendela. Aku tak melihat siapa pun, tapi aku bisa
melihat jejak sepatu bot di salju. Aku menjauhi jendela itu.
Mungkin laki-laki itu calon orangtua angkat yang sedang
menilai gadis-gadis dari kejauhan. Atau mungkin, dia itu
orangtua kandung salah satu gadis dan dia menyelinap untuk
melihat anak perempuan yang tak bisa diurusnya. Tapi entah
kenapa aku merasa tak aman. Aku tak suka cara laki-laki itu
memandangku.
"Kau baik-baik saja?" terdengar suara di belakangku.
Aku terlonjak dan berbalik. Adelina, dengan tangan terkatup
di depan pinggang dan sebuah rosario menggantung dari jari
jarinya.
"Ya, aku baik-baik saja," kataku.
"Kau seperti baru melihat hantu."
Lebih buruk daripada hantu, pikirku, tapi aku tidak
mengatakannya. Setelah ditampar tadi pagi, aku merasa
takut kepada Adelina, jadi aku memasukkan tangan ke saku.
"Tadi di jendela ada orang yang mengawasiku,"
bisikku. "Baru saja."
Adelina memicingkan mata.
"Lihat itu. Lihat jejak itu," kataku sambil berbalik dan
menunjuk ke tanah.
Punggung Adelina menjadi tegak dan kaku. Sesaat,
kupikir dia benar-benar peduli. Namun, kemudian
punggungnya melentur dan dia melangkah maju. Dia
mengamati jejak itu.
"Aku yakin itu bukan apa-apa," katanya.
"Apa maksudmu bukan apa-apa? Kenapa kau bilang
begitu?"
"Aku tak akan mencemaskan itu. Bisa jadi siapa saja."
"Laki-laki itu mengawasiku."
"Marina, sadarlah. Dengan adanya anak baru, berarti
di sini ada tiga puluh delapan anak perempuan. Kami
berusaha sebaik mungkin untuk menjaga agar kalian tetap
aman, tapi itu bukan berarti anak-anak laki-laki dari kota tak
Bisa datang ke sini untuk mengintip. Kami bahkan pernah
menangkap sebagian dari mereka. Dan jangan kira kami tak
tahu ada anak yang mengganti pakaiannya dengan pakaian
yang lebih provokatif saat menuju sekolah. Di sini ada enam
anak yang akan berusia delapan belas tahun, dan semua
orang di kota tahu itu. Jadi, aku tak akan mencemaskan laki
laki yang tadi kau lihat. Dia mungkin hanya seorang anak lakiThe Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
laki dari sekolah."
Aku yakin laki-laki itu bukan anak laki-laki dari
sekolah, tapi aku tidak mengungkapkannya.
"Omong-omong, aku minta maaf atas kejadian tadi
pagi. Aku salah karena menamparmu."
"Tak apa," kataku. Selama satu menit aku berpikir
untuk mengungkit masalah John Smith lagi, tapi kemudian
aku membatalkannya. Itu hanya akan menimbulkan
pertengkaran, dan aku ingin menghindarinya. Aku ingin kami
kembali seperti dulu. Lagi pula, kehidupan di tempat ini
sudah cukup sulit tanpa Adelina yang marah terhadapku.
Sebelum dia berkata lebih banyak lagi, Suster Dora
bergegas menghampiri dan membisikkan sesuatu ke telinga
Adelina. Adelina memandangku, mengangguk, dan
tersenyum.
"Kita bicara nanti," katanya.
Mereka menjauh dan meninggalkanku sendiri. Aku
menunduk menatap jejak sepatu bot itu. Bulu kudukku
berdiri.
Selama satu jam berikutnya, aku berjalan dari satu
ruangan ke ruangan lain sambil memandang ke bawah ke
arah kota yang gelap, tapi sosok itu tak tampak lagi. Mungkin
Adelina benar.
Namun, tak peduli seberapa kerasnya usahaku untuk
meyakinkan diri, aku yakin Adelina salah.
7 T
RUK HENING. NOMOR ENAM MELIRIK KACA SPION. Sinar
merah dan biru menyapu wajahnya.
"Gawat," kata Sam.
"Sial," ujar Nomor Enam.
Sinar terang dan sirene yang meraung-raung
membangunkan Bernie Kosar. Dia langsung menempelkan
wajahnya ke jendela belakang.
"Gimana, nih?" tanya Sam, terdengar ketakutan dan
putus asa.
Nomor Enam mengangkat kakinya dari pedal gas dan
meminggirkan truk ke sisi kanan jalan.
"Mungkin bukan apa-apa," katanya.
Aku menggelengkan kepala. "Yang benar?" "Tunggu.
Kenapa kita berhenti?" tanya Sam. "Jangan berhenti. Injak
gasnya!"
"Kita lihat dulu apa yang terjadi. Kita tak akan bisa
kabur jika polisi ini mengejar kita. Dia bakal meminta bala
bantuan dan mereka akan mengirimkan helikopter. Lalu, kita
tak akan bisa meloloskan diri."
Bernie Kosar mulai menggeram. Aku menyuruhnya
tenang. Dia berhenti menggeram, tapi matanya terus
memandangi jendela. Kerikil berloncatan terlindas truk saat
kami melambat di sepanjang bahu jalan. Mobil-mobil melaju
di kiri kami. Mobil polisi berhenti tiga meter Bari bemper
belakang, lampu depannya menyinari bagian dalam truk
kami. Polisi itu mematikan lampu depan, lalu mengarahkan
lampu sorot ke jendela belakang. Sirene berhenti berbunyi,
tapi lampunya masih tetap menyala.
"Bagaimana menurutmu?" tanyaku sambil
memandang dari spion samping. Lampu sorot itu sangat
terang. Namun, saat sebuah mobil lewat, aku bisa melihat
tangan polisi itu memegang radio di dekat mulut, mungkin
membacakan plat mobil kami atau memanggil bala bantuan.
"Mungkin nanti kita terpaksa jalan kaki," kata Nomor
Enam. "Jika memang itu yang terjadi."
"Matikan mesin dan cabut kunci dari kontak," bentak
si polisi melalui pengeras suara.
Nomor Enam mematikan truk. Dia memandangku dan
mencabut kunci.
"Jika dia menyampaikan tentang kita melalui radio,
kita harus berasumsi bahwa mereka juga akan
mendengarnya," kataku.
Nomor Enam mengangguk tanpa berbicara.
Terdengar bunyi pintu mobil polisi dibuka di belakang kami.
Sepatu larsnya berderak suram di aspal.
"Apa menurut kalian dia bakal mengenali kita?" tanya
Sam.
"Ssst," kata Nomor Enam.
Saat aku memandang melalui spion samping lagi,
ternyata polisi itu tidak berjalan ke sisi pengemudi dan justru
berbelok ke kanan dan menghampiriku. Dia mengetuk
jendela dengan senter kuningannya. Aku terdiam sejenak,
lalu menurunkan kaca jendela. Polisi itu menyorotkan senter
ke wajahku, membuatku memicingkan mata. Lalu, dia
menyorotkan senter kepada Sam dan kepada Nomor Enam.
Dia mengerutkan kening hingga alisnya bersatu, mengamati
kami baik-baik sambil berusaha mengingat-ingat wajah kami
yang sepertinya dia kenal.
"Ada masalah, Pak?" tanyaku.
"Kalian dari sekitar sini?"
"Tidak, Pak."
"Mau menjelaskan kenapa kalian semua berkendara
melintasi Tennessee menggunakan Chevy S-10, padahal plat
mobil kalian itu adalah plat North Carolina dari mobil Ford
Ranger?"
Polisi itu memelototiku, menunggu jawaban.
Wajahku terasa panas saat aku berusaha mencari alasan yang
tepat. Tidak ketemu. Polisi itu menunduk dan sekali lagi
menyorotkan senter ke arah Nomor Enam. Lalu ke arah Sam.
"Ada yang mau mencoba menjelaskan?" tanyanya.
Hening. Dia terkekeh.
"Tentu saja," katanya. "Tiga anak dari North Carolina
melintasi Tennessee dengan truk curian Sabtu malam
kemarin. Kalian ini sedang menyelundupkan narkoba, ya?"
Aku menoleh dan menatap wajahnya yang
kemerahan dan dicukur bersih.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku.
"Apa yang akan aku lakukan? Ha! Kalian masuk
penjara!"
Aku menggelengkan kepala. "Aku bukan bicara
denganmu."
Polisi itu membungkuk ke depan dan menyandarkan
sikunya ke pintu.
"Jadi, mana barangnya?" katanya sambil
menyorotkan senter ke dalam truk. Saat sinar senter
mengenai Peti di kakiku, dia berhenti dan senyuman puas
pun mengembang di bibirnya. "Sepertinya, aku berhasil
menemukannya."
Dia mengulurkan tangan untuk membuka pintu.
Secepat kilat, aku menghantam pintu dengan bahu hingga
terbuka dan memukul mundur si polisi. Dia menggeram dan
mengeluarkan pistolnya sebelum jatuh ke tanah. Dengan
menggunakan telekinesis, aku merebut pistol itu dan
mengambilnya sambil turun dari truk. Aku membuka pistol,
Manusia Harimau Marah Karya S B Chandra Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama