Ceritasilat Novel Online

The Power of Six 2

The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 2

menjatuhkan pelurunya ke tanganku, lalu menutup kembali

pistol itu.

"Apa ...," kata polisi itu bingung.

"Kami tidak menjual narkoba," kataku.

Sam dan Nomor Enam sudah keluar dari truk dan

berdiri di sampingku.

"Masukkan ini ke sakumu," kataku sambil

menyerahkan peluru dan juga pistol itu kepada Sam.

"Terus ini harus aku apakan?" tanya Sam.

"Tak tahu. Masukkan saja ke tas dengan pistol

ayahmu."

Di kejauhan, tiga kilometer dari sana, terdengar

raungan sirene kedua. Si polisi menatapku dengan saksama,

matanya melebar saat mengenali kami.

"Sial! Kalian itu anak-anak yang masuk berita, ya?

Kalian semua teroris!" katanya, lalu dia meludah ke tanah.

"Diam," kata Sam. "Kami bukan teroris."

Aku berbalik dan mengambil Bernie Kosar, yang

masih diam di dalam truk karena kakinya yang patah. Saat

menurunkan Bernie Kosar ke tanah, terdengar jerit kesakitan

membelah malam. Aku tersentak dan melihat Sam kejang
kejang. Perlu satu detik untuk memahami apa yang terjadi.

Polisi itu menyetrumnya dengan Taser (Senjata listrik). Aku

merenggut Taser itu walaupun jarakku enam meter. Sam

roboh ke tanah dengan tubuh kejang-kejang.

"Kau ini kenapa?!" teriakku kepada si polisi. "Kami

mencoba menyelamatkanmu, apa kau tidak mengerti?"

Si polisi tampak bingung. Aku menekan tombol Taser

yang melayang di udara. Kilatan biru memercik di bagian

atasnya. Si polisi beringsut menjauh. Dengan menggunakan

telekinesis, aku menyeret polisi itu di sepanjang tepi jalan

yang berkerikil dan kotor. Dia menendang-nendang dan

berusaha kabur, tapi sia-sia.

"Kumohon," katanya memelas. "Maaf, aku minta

maaf."

"Jangan, John," kata Nomor Enam.

Aku mengabaikannya. Aku tak bisa memikirkan apa

pun selain pembalasan. Aku juga tak merasa menyesai

sedikit pun saat menghunjamkan Taser itu ke perut si polisi

selama dua detik.

"Bagaimana rasanya, ha? Laki-laki kuat berbadan

besar dengan Taser? Kenapa tak ada yang sadar bahwa kami

bukan orang jahat?!"

Polisi itu menggelengkan kepala dengan cepat,

wajahnya meringis ngeri, butir-butir keringat berkilauan di

dahinya.

"Kita harus pergi secepat mungkin," kata Nomor

Enam saat sinar merah dan biru mobil polisi kedua tampak di

cakrawala.

Aku mengangkat Sam dan menaikkannya ke bahuku.

Bernie Kosar bisa berlari hanya dengan tiga kaki. Aku

mengepit Peti di lengan kiriku, sementara Nomor Enam

membawa barang-barang lainnya.

"Ke sini," katanya sambil melompati pembatas jalan

dan memasuki ladang tandus yang mengarah ke perbukitan

gelap sejauh satu setengah kilometer.

Aku berlari secepat mungkin sambil membawa Sam

dan Peti Lode. Bernie Kosar bosan berjalan

terpincangpincang dan berubah wujud menjadi seekor

burung, lalu terbang di depan kami. Tak sampai satu menit

kemudian, mobil polisi kedua tiba di tempat kejadian, diikuti

dengan mobil ketiga. Aku tak tahu apakah polisi-polisi itu

akan mengejar kami dengan berjalan kaki.

Jika mereka melakukan itu, aku dan Nomor Enam bisa

meloloskan diri dari mereka walaupun membawa beban.

"Turunkan aku," kata Sam akhirnya.

"Kau baik-baik saja?" aku menurunkannya.

"Yeah, aku baik-baik saja." Sam masih agak gemetar.

Butir-butir keringat menghiasi dahinya, dan dia mengelapnya

dengan lengan jaket, lalu menarik napas dalamdalam.

"Ayo," kata Nomor Enam. "Mereka tak akan

membiarkan kita kabur begitu saja. Kita punya sepuluh

menit, lima belas menit paling lama, hingga kita bisa

menghindari helikopter."

Kami berhasil mencapai bukit, Nomor Enam di depan,

aku, lalu Sam yang berusaha keras mengimbangi kecepatan.

Dia berlari lebih cepat daripada saat kami berlari waktu

pelajaran olahraga beberapa bulan lalu. Kejadian itu seperti

sudah lama sekali. Kami sama sekali tak menoleh ke

belakang. Namun saat mencapai tanjakan pertama, lolongan

anjing polisi memenuhi udara. Salah satu polisi membawa

anjing polisi.

"Ada ide?" aku bertanya kepada Nomor Enam.

"Aku berharap bisa menyembunyikan barang-barang

kita dan menjadi tak terlihat. Kita bisa menghindari

helikopter, tapi anjing itu tetap bisa mencium jejak kita."

"Sial," kataku. Aku memandang berkeliling. Di kanan

kami ada sebuah bukit.

"Ayo, ke atas bukit itu dan lihat ada apa di sisi

sebelah sana," kataku.

Bernie Kosar melesat duluan dan menghilang di

langit malam. Nomor Enam memimpin sambil tersandung
sandung. Aku menyusul di belakangnya, diikuti Sam, yang

masih terengah-engah, tapi bergerak dengan cepat.

Kami berhenti saat tiba di puncak. Aku hanya bisa

melihat garis samar bukit-bukit di kejauhan. Lalu terdengar

bunyi air berdeguk yang sangat pelan. Aku berbalik. Delapan

lampu sirene berderet di jalan, mengepung truk ayah Sam. Di

kejauhan, dari kedua arah, dua mobil polisi lain melaju

menuju tempat itu. Bernie Kosar mendarat di sampingku dan

berubah wujud kembali menjadi anjing beagle, dengan lidah

terjulur. Anjing pemburu polisi menyalak, lebih dekat

dibandingkan tadi. Jelas anjing itu membuntuti aroma kami,

itu berarti polisi yang berjalan kaki pastilah berada tidak jauh

di belakangnya.

"Kita harus mengecoh anjing itu," kata Nomor Enam.

"Kau dengar itu?" tanyaku.

"Dengar apa?"

"Bunyi air. Mungkin ada air di bawah bukit ini.

Mungkin sungai."

"Aku mendengarnya," timpal Sam.

Sebuah gagasan muncul di benakku. Aku membuka

jaket dan melepaskan kemeja. Aku mengelap wajah, dada,

menyerap seluruh keringat dan aroma tubuhku dengan

kemeja itu. Aku melemparkan kemeja itu ke arah Sam.

"Lakukan yang kulakukan tadi," kataku.

"Ogah. Menjijikkan."

"Sam, seluruh Tennessee mengikuti jejak kita. Kita

tak punya banyak waktu.."

Sam mendesah, tapi mematuhiku. Nomor Enam juga

melakukan yang sama, tak yakin rencana apa yang ada di

benakku, tapi hers edia mengikutinya. Aku mengenakan

kemeja baru dan juga jaketku. Nomor Enam melemparkan

kemeja kotor itu ke arahku, lalu aku menggosokkan kemeja

itu ke seluruh wajah dan tubuh Bernie Kosar.

"Kami butuh bantuanmu, Teman. Bisa?"

Aku tak bisa melihat wajahnya dalam kegelapan, tapi

ekornya mengetuk-ngetuk tanah dengan riang. Selalu siap

membantu, senang karena masih hidup. Aku bisa merasakan

perasaan berdebar-debar Bernie Kosar karena diburu. Aku

sendiri juga merasa seperti itu.

"Apa rencanamu?" tanya Nomor Enam.

"Kita harus buru-buru," kataku sambil melangkah

menuruni bukit menuju air yang mengalir itu. Sekali lagi,

Bernie Kosar berubah menjadi burung dan kami berlari turun.

Sesekali terdengar salakan dan lolongan anjing polisi. Jarak di

antara kami semakin dekat. Jika rencanaku gagal, aku

penasaran apakah bisa berkomunikasi dengan anjing itu dan

menyuruhnya berhenti mengikuti kami.

Bernie Kosar menunggu kami di tepi sungai besar.

Permukaan sungai tampak tenang, yang berarti sungai itu

lebih dalam daripada yang kuduga saat mendengar suaranya

dari atas bukit.

"Kita harus berenang ke seberang," kataku. Tak ada

pilihan lain.

"Apa? John, kau tabu apa yang terjadi pada tubuh

manusia jika dimasukkan ke dalam air sedingin es? Jantung

berhenti bekerja akibat syok, itu satu. Lalu, jika itu tak

membuat mati, lengan dan kaki akan mati rasa sehingga tak

mungkin berenang. Kita akan membeku dan tenggelam,"

kata Sam keberatan.

"Ini satu-satunya cara untuk mengecoh anjing itu agar

dia tak lagi mengikuti bau kita. Setidaknya, kita punya

kesempatan jika melakukan

"Ini bunuh diri. Tolong ingat, aku ini bukan alien."

Aku berlutut di depan Bernie Kosar. "Kau harus

membawa kemeja ini," kataku kepadanya. "Seret kemeja ini

di tanah secepat mungkin, sejauh tiga atau lima kilometer.

Kami akan menyeberangi sungai sehingga anjing itu tak lagi

membaui kami dan justru mengikuti jejak yang ini. Lalu kami

akan terus berlari. Kau pasti bisa menyusul kami jika kau

terbang."

Bernie Kosar berubah wujud menjadi elang botak

besar, mengambil kemeja itu dengan cakarnya, lalu terbang.

"Jangan buang-buang waktu," kataku sambil

mencengkeram Peti dengan tangan kiri sehingga bisa

berenang dengan tangan kanan. Saat akan terjun ke air,

Nomor Enam mencengkeram lenganku.

"Sam benar. Kita bisa beku, John," katanya. Dia

tampak takut.

"Mereka terlalu dekat. Kita tak punya pilihan lain,"

kataku. Dia menggigit bibir, menyapukan pandangan ke arah

sungai itu, menatapku, lalu meremas lenganku sekali lagi.

"Kita punya pilihan," katanya. Nomor Enam

melepaskan lenganku, bagian putih matanya berkilau di

kegelapan. Dia mendorongku ke belakangnya dan melangkah

maju ke arah sungai, kemudian memiringkan kepalanya

untuk berkonsentrasi. Anjing polisi itu menyalak, lebih dekat

dibandingkan tadi.

Nomor Enam mengembuskan napas pelan sambil

mengangkat tangannya ke depan. Air sungai di depan kami

pun mulai terbelah. Air bergolak dan berbuih diiringi bunyi
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergemuruh. Sungai terbelah dan di depan kami terkuaklah

jalan berlumpur selebar dua meter menuju seberang. Air di

bagian kiri dan kanan tampak bagaikan dinding ombak yang

siap mengempas kapan pun. Namun ombak itu tetap

tertahan di sana, sementara kabut dingin menyelimuti wajah

kami.

"Jalan!" perintah Nomor Enam, wajahnya tegang

karena berkonsentrasi, matanya menatap air.

Sam dan aku melompat turun dari tepi sungai. Kakiku

terbenam, lumpur nyaris mencapai lututku, tapi ini jauh

lebih baik daripada berenang pada malam hari yang

dinginnya hingga empat derajat Celcius. Kami menyeberangi

sungai, melangkah dengan langkah yang besar dan bersusah
payah mengangkat kaki dari lumpur tebal. Begitu tiba di

seberang, Nomor Enam menyusul, memutar tangannya saat

berjalan di antara dua ombak raksasa yang siap menghantam,

ombak ciptaannya sendiri. Dia mendaki tepi sungai, lalu

melepaskan ombak itu. Ombak di kanan dan kiri saling

hantam dengan bunyi berdegum seperti saat sungai

ditembaki meriam. Air berayun naik dan turun, lalu menjadi

tenang kembali seperti sebelumnya.

"Luar biasa," kata Sam. "Seperti Musa."

"Ayo, kita harus ke hutan sebelum anjing itu melihat

kita," katanya.

Rencana itu berhasil. Beberapa menit kemudian,

anjing itu berhenti di tepi sungai dan mengendus-ngendus

dengan liar. Setelah berputar-putar, akhirnya dia berlari

menyusul Bernie Kosar. Aku, Sam, dan Nomor Enam, berlari

ke arah yang berlawanan, masuk ke hutan, tapi tidak terlalu

dalam sehingga masih bisa melihat sungai. Kami berlari

secepat yang kaki Sam bisa.

Selama beberapa menit awal, kami mendengar suara

laki-laki yang saling berteriak. Namun, suara itu tidak

terdengar lagi setelah kami menjauh. Sepuluh menit

kemudian, kami mendengar helikopter pertama. Kami

berhenti dan menunggu helikopter muncul. Helikopter itu

datang beberapa menit kemudian, lampu sorotnya diarahkan

ke arah Bernie Kosar terbang. Lampu itu menyapu bukit
bukit, menyorot lama di satu tempat, dan melintas cepat di

tempat lainnya.

"Harusnya dia sudah kembali," kataku.

"Dia baik-baik saja, John," kata Sam. "Dia Bernie

Kosar, hewan paling tangguh yang kukenal." "Kakinya patah."

"Tapi dia punya dua sayap yang sehat," kata Nomor

Enam. "Dia baik-baik saja. Kita harus terus. Sebentar lagi

mereka pasti sadar, mungkin sekarang pun mereka sudah

sadar. Kita harus terus berlari. Semakin lama kita menunggu,

semakin mereka dekat."

Aku mengangguk. Dia benar. Kami harus terus berlari

Setelah sekitar satu kilometer, sungai itu berbelok

tajam ke kanan, kembali ke arah jalan, dan menjauhi bukit.

Kami berhenti dan berdiri berdempetan di bawah cabang

rendah sebuah pohon tinggi.

"Sekarang apa?" tanya Sam.

"Entah," kataku.

Kami kembali ke tempat asal kami tadi. Helikopter itu

semakin dekat, lampu sorotnya masih disapukan ke depan

dan ke belakang di atas bukit.

"Kita harus menjauhi sungai," kataku.

"Benar," kata Nomor Enam. "Dia akan menemukan

kita, John. Pasti."

Kami mendengar pekikan elang di puncak pohon tak

jauh dari tempat kami. Terlalu gelap untuk melihat di mana

Bernie Kosar berada, dan mungkin terlalu gelap baginya

untuk melihat kami. Tanpa berpikir lagi, bahkan walaupun itu

bisa mengungkapkan posisi kami?aku mengarahkan telapak

tanganku ke langit dan menyalakan sinarku seterang

mungkin selama setengah detik. Kami menunggu,

mendengarkan sambil menahan napas. Aku mendengar suara

anjing, Bernie Kosar, yang sudah kembali ke wujud anjing

beagle, berlari menghampiri dari tepi sungai. Dia kehabisan

napas, tapi bersemangat, lidahnya terjulur dan ekornya

dikibaskibaskan penuh semangat. Aku berlutut dan menepuk

kepalanya.

"Kerja bagus, Sobat!" kataku sambil mencium atas

kepalanya.

Namun, kegembiraan itu tiba-tiba berakhir.

Saat aku berlutut, helikopter kedua muncul dari balik

bukit di belakang kami, menyoroti kami dengan sinar

terangnya.

Aku terpaku, terbutakan oleh sinar menyilaukan itu.

"Lari!" kata Nomor Enam.

Kami berlari ke bukit terdekat. Helikopter itu turun

dan melayang sehingga angin dari baling-balingnya

menghantam punggung kami dan menyebabkan pepohonan

membungkuk. Tanah dan daun-daun di dasar hutan

beterbangan. Aku menutupi mulutku dengan lengan agar

bisa bernapas sambil memicingkan mata agar tanah tidak

masuk ke mataku. Berapa lama hingga FBI dipanggil?

"Diam di tempat!" terdengar suara laki-laki dari

helikopter itu. "Kalian semua ditahan."

Kami mendengar teriakan-teriakan. Para polisi yang

berjalan kaki, pastilah hanya sekitar seratus lima puluh meter

dari kami.

Nomor Enam berhenti berlari, yang menyebabkan

aku dan Sam juga berhenti.

"Kita tertangkap!" teriak Sam.

"Oke, berengsek. Aku layani kalian," kata Nomor

Enam geram. Dia menjatuhkan tas. Sesaat, kupikir dia ingin

membuat aku dan Sam tak terlihat. Walaupun aku tidak

keberatan meninggalkan tas-tas itu, apa dia pikir aku akan

mau meninggalkan Petiku? Nomor Enam juga tidak akan bisa

membuat kami semua tak terlihat.

Cahaya terang kilat membelah langit malam, diikuti

dengan gemuruh guntur.

"John!" teriaknya tanpa mengalihkan pandangan.

"Ya."

"Urus polisinya. Jauhkan mereka dariku."

Aku langsung mengerti maksud Nomor Enam. Aku

menyorongkan Peti Loric ke lengan Sam, yang berdiri di

sampingku, tak tahu harus berbuat apa. "Jaga ini dengan

nyawamu," kataku. "Dan merunduk!" Aku menatap Bernie

Kosar dan menyampaikan bahwa dia harus tetap bersama

Sam seandainya rencanaku gagal.

Aku berlari menuruni bukit saat kilat lain menyambar

di langit, diikuti gelegar guntur yang menyeramkan. Semoga

beruntung, pikirku, karena tahu seperti apa kekuatan Pusaka

Nomor Enam. Kalian perlu itu.

Aku tiba di dasar bukit dan bersembunyi di balik

sebuah pohon ek. Suara-suara mendekat, bergerak cepat ke

kedua pilar cahaya. Hujan mulai turun, lebat dan dingin. Aku

memandang menembus hujan lebat dan melihat kedua

helikopter itu berjuang melawan angin kencang, tapi entah

bagaimana berhasil menjaga kemantapan sorotan mereka.

Itu tak akan lama.

Dua polisi berlari melewatiku, diikuti polisi ketiga.

Saat jarak mereka lima meter dari tempatku berdiri, aku

meraih dengan benakku, menangkap ketiga polisi itu dengan

cepat, lalu menyentakkan mereka ke arah pohon ek besar

itu. Mereka melesat cepat sehingga aku harus melompat agar

tak tertubruk. Dua dari mereka langsung merosot ke tanah,

pingsan setelah menghantam pohon. Polisi ketiga

mengangkat kepalanya, bingung, lalu meraih pistolnya.

Sebelum dia menyentuh pistol itu, aku merenggut senjata itu

dari sarungnya. Logamnya terasa dingin di telapak tanganku.

Aku berpaling ke arah kedua helikopter dan melemparkan

pistol itu bagai peluru ke helikopter terdekat. Lalu, aku

melihat mata itu, muram dan hitam di tengah badai.

Kemudian, wajah tua dan berkeriput terbentuk. Wajah yang

sama dengan yang kulihat di Ohio saat Nomor Enam

membunuh hewan buas yang menghancurkan sekolah.

"Jangan bergerak!" terdengar suara di belakangku.

"Angkat tangan!"

Aku berbalik menghadap polisi itu. Tanpa pistolnya,

dia menodongkan Taser tepat ke dadaku.

"Yang mana, nih? Angkat tangan atau jangan

bergerak? Aku kan nggak bisa melakukan dua-duanya."

Dia mengokang Taser itu. "Jangan sok pintar, Nak,"

katanya.

Kilat menyambar, diikuti dengan gelegar guntur.

Polisi itu terlonjak kaget. Si polisi memandang ke arah bunyi

itu, matanya melebar ketakutan. Wajah di awan itu bangun.

Aku merenggut Taser dari tangan si polisi, lalu

meninju dadanya keras-keras. Dia terlontar sepuluh meter ke

belakang dan menabrak samping pohon. Tiba-tiba, belakang

kepalaku dipukul tongkat polisi. Aku jatuh tertelungkup ke

lumpur, mataku berkunang-kunang. Aku segera berbalik,

mengangkat tangan ke arah polisi yang memukulku,

mencengkeramnya dengan erat sebelum dia bisa

memukulku lagi. Dia menggeram. Dengan sekuat tenaga, aku

melemparkannya ke udara. Polisi itu berteriak hingga

suaranya hilang ditelan deru baling-baling helikopter dan

gemuruh guntur. Aku meraba belakang kepalaku, lalu

memandang tanganku. Darah. Aku menangkap polisi itu saat

jaraknya tinggal satu setengah meter, sebelum dia terempas

ke tanah dan mati. Aku membiarkannya melayang selama

beberapa detik sebelum melemparkannya ke pohon dan

membuatnya pingsan.

Bunyi ledakan merobek malam, menyebabkan deru

helikopter berhenti. Angin berhenti. Hujan juga berhenti.

"John!" teriak Nomor Enam dari atas bukit. Suaranya

terdengar putus asa dan begitu memelas, tapi aku tahu dia

ingin aku melakukan apa.

Tanganku menyala, dua sinar seterang lampu sorot

yang baru saja padam. Kedua helikopter itu hancur dan

bengkok, asap membubung saat kedua benda itu terjun

bebas. Aku tak tahu apa yang dilakukan wajah itu terhadap

mereka, tapi aku dan Nomor Enam hams menyelamatkan

orang yang ada dalam helikopter itu.

Saat kedua helikopter itu jatuh, salah satu helikopter

yang jauh dariku tertarik ke atas. Nomor Enam berusaha
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghentikannya. Aku ragu dia bisa menghentikan

helikopter itu, dan aku tahu, aku tak akan bisa

melakukannya. Terlalu berat. Aku menutup mata. Ingat ruang

bawah tanah di Athens, sewaktu menangkap semua yang ada

di dalam kamar untuk menghentikan peluru. Dan itulah yang

kulakukan. Aku merasakan semua yang ada di dalam kokpit

helikopter itu. Alat kendalinya. Senjatanya. Kursinya. Tiga

lelaki yang duduk di dalamnya. Saat pepohonan mulai

berderak terkena berat helikopter yang jatuh, aku

memegang ketiga lelaki itu lalu menyentakkan mereka

keluar. Helikopter itu jatuh berdentum di tanah.

Pada saat yang sama, helikopter Nomor Enam juga

menghantam tanah. Kemudian terjadi ledakan besar hingga

mencapai puncak pepohonan, dua bola api merah

membubung dari logam bengkok itu. Aku menahan ketiga

lelaki tersebut di udara pada jarak yang cukup jauh dari

kehancuran itu, lalu menurunkan mereka ke tanah dengan

hati-hati. Kemudian, aku berlari menaiki bukit ke tempat

Nomor Enam dan Sam berada.

"Ya, ampun!" kata Sam dengan mata membelalak.

"Kau berhasil menarik mereka?" tanyaku kepada

Nomor Enam.

Dia mengangguk. "Tepat pada waktunya."

"Sama," kataku.

Aku meraih Peti dari Sam dan menyorongkannya ke

lengan Nomor Enam. Sam memunguti tas kami. "Kenapa ini

kau berikan kepadaku?" tanya Nomor Enam.

"Karena kita harus pergi dari sini!" kataku. Aku

meraih Sam dan mengangkatnya di bahuku. "Pegangan!"

teriakku.

Kami berlari kencang, mendekati bukit-bukit

menjauhi sungai. Bernie Kosar terbang di depan dalam wujud

elang. Coba saja kejar kami, pikirku.

Sulit untuk berlari dengan Sam di bahuku, tapi tetap

saja aku berlari tiga kali lebih kencang daripada jika Sam

berlari sendiri. Dan jauh lebih cepat daripada para polisi.

Teriakan-teriakan para polisi memudar. Lagi pula

memangnya mereka akan terus mengejar setelah melihat

helikopter yang hancur lebur itu?

Setelah dua puluh menit berlari kencang, kami

berhenti di sebuah lembah kecil. Keringat mengalir dari

wajahku. Aku menurunkan Sam dan dia menurunkan tas-tas.

Bernie Kosar mendarat.

"Yah, aku rasa kita bakal masuk berita lagi setelah

yang tadi itu," kata Sam.

Aku mengangguk. "Tetap bersembunyi ternyata lebih

sulit daripada yang kuduga." Aku menunduk, terengah-engah

dengan tangan di lutut. Aku tersenyum, kemudian tergelak,

tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Nomor Enam menyeringai miring, membetulkan

letak Peti di tangannya, lalu mulai mendaki bukit berikut.

"Ayo," katanya. "Kita masih belum keluar dari hutan."

8 K

AMI MENUMPANG KERETA BARANG DI TENNESSEE. Setelah

semua duduk tenang, Nomor Enam menceritakan bagaimana

dia dan Katarina bisa tertangkap saat berada di New York,

satu bulan setelah berhasil meloloskan diri dari Mogadorian

di Texas Barat. Setelah percobaan pertama yang gagal, kali ini

para Mogadorian menyusun rencana dengan baik. Ada lebih

dari tiga puluh Mogadorian mendobrak kamar mereka.

Nomor Enam dan Katarina berhasil merobohkan beberapa

Mogadorian, tapi mereka pun segera diringkus, disumpal,

dan dibius. Saat Nomor Enam terbangun?tanpa tahu sudah

berapa lama waktu berlalu?dia sendirian di sebuah sel

dalam gua di gunung. Tak lama kemudian, barulah dia tahu

berada di West Virginia. Dia juga kemudian mengetahui

bahwa para Mogadorian telah membuntuti mereka dan

mengamati, berharap dia dan Katarina bisa mengarahkan

Mogadorian kepada Loric lainnya. Ini karena, seperti kata

Nomor Enam, "Kenapa mesti membunuh jika yang lainnya

mungkin ada di dekat sini?" Aku beringsut gelisah saat

Nomor Enam mengucapkan itu. Bisa jadi dia masih dibuntuti

dan para Mogadorian menunggu saat yang tepat untuk

membunuh kami.

"Mereka menyadap mobil saat kami makan di kedai

di Texas, dan sama sekali tak terpikirkan oleh kami untuk

mengeceknya," katanya, lalu terdiam cukup lama.

Sel tempat Nomor Enam dikurung berukuran kecil

dan seluruhnya terbuat dari batu dengan masing-masing sisi

berukuran dua setengah meter, kecuali pintu besi dengan

lubang geser di bagian tengah untuk memasukkan makanan.

Dia tidak diberi tempat tidur ataupun toilet. Sel itu juga gelap

gulita. Dua hari pertama berlalu dalam kegelapan dan

keheningan total, tanpa makanan ataupun air (namun dia tak

merasa lapar atau haus, yang katanya ternyata akibat mantra

pelindung). Tapi nasib baiknya tak berlangsung lama. Pada

hari ketiga, para Mogadorian datang.

"Saat mereka membuka pintu, aku meringkuk di

pojok terjauh. Mereka menyiramku dengan seember air

dingin, menarikku, menutup mataku, lalu menyeretku

pergi."

Setelah diseret di sepanjang terowongan, mereka

membiarkan Nomor Enam berjalan sendiri dengan dikawal

sepuluh atau lebih Mogadorian. Dia tak bisa melihat apa pun.

Namun dia mendengar banyak?jeritan dan teriakan para

tawanan lain yang ada di sana entah karena alasan apa

(begitu mendengarnya, Sam tersentak dan tampak ingin

menyela serta bertanya, tapi dia tak mengucapkan sepatah

kata pun), raungan hewan buas yang dikurung di kandang

masing-masing, dan dentangan logam. Kemudian, Nomor

Enam didorong masuk ke satu ruangan, pergelangan

tangannya dirantai ke dinding, lalu mulutnya disumpal. Para

Mogadorian membuka penutup matanya. Saat matanya

terbiasa, dia melihat Katarina di dinding di depannya, juga

dirantai dan disumpal serta keadaannya tampak lebih parah

daripada Nomor Enam.

"Kemudian dia masuk. Lelaki Mogadorian itu tampak

mirip manusia pada umumnya, seperti orang yang

berpapasan denganmu di jalan. Tubuhnya kecil, lengannya

berbulu, dan kumisnya tebal. Hampir semua Mogadorian

memiliki kumis, seakan mereka belajar berbaur dengan cara

menonton film-film awal tahun delapan puluhan. Dia

mengenakan kemeja putih dengan kancing atas dibuka, dan

entah kenapa mataku terus menatap segumpal rambut hitam

tebal yang menyembul. Aku memandang mata gelapnya dan

Mogadorian itu tersenyum kepadaku, seolah ingin

menyampaikan bahwa dia tak sabar untuk melakukan apa

yang akan dia lakukan. Lalu, aku mulai menangis. Aku

merosot di dinding hingga tergantung di rantai yang

membelenggu tanganku, memandang dari balik air mata saat

dia mengambil pisau cukur, pisau, tang, dan obor dari meja di

tengah ruangan."

Setelah selesai memindahkan sekitar dua puluh alat,

Mogadorian itu menghampiri Nomor Enam dan berdiri

beberapa senti di depan wajahnya sehingga napasnya yang

bau tercium.

"Kau lihat semua ini?" tanya si Mogadorian. Nomor

Enam tak menjawab. "Aku akan menggunakan semua benda

ini kepadamu maupun Cepanmu, kecuali jika kau menjawab

semua pertanyaan yang kuajukan dengan jujur. Jika tidak,

aku jamin kalian akan berharap sudah mad."

Dia mengambil salah satu benda?pisau cukur

dengan gagang berlapis karet?dan membelai wajah Nomor

Enam dengan benda itu.

"Sudah lama sekali aku memburu kalian," kata si

Mogadorian. "Kami sudah membunuh dua dari kalian, dan

sekarang kami berhasil menangkap satu lagi di sini, nomor

berapa pun dirimu. Seperti yang bisa kau bayangkan, aku

harap kau itu Nomor Tiga."

Nomor Enam tak menjawab. Dia merapat ke dinding,

berharap bisa lenyap ke dalamnya. Si Mogadorian

menyeringai, bagian tumpul pisau cukur itu masih

menyentuh wajah Nomor Enam. Lalu, si Mogadorian

memutar pisau cukur itu sehingga mata pisaunya menekan

pipi Nomor Enam. Sambil menatap mata Nomor Enam, si

Mogadorian menyabetkan pisau cukur itu dan membuat

sebuah luka tipis dan panjang di wajah Nomor Enam. Atau

setidaknya, itulah yang akan dia lakukan, karena justru

wajahnya sendiri yang terluka. Darah langsung mengalir dari

pipinya. Mogadorian itu berteriak karena sakit dan marah,

menendang meja hingga semua alatnya beterbangan, lalu

bergegas pergi meninggalkan ruangan. Nomor Enam dan

Katarina diseret kembali ke sel mereka, ditinggalkan dalam

kege lapan selama dua hari, lalu disumpal dan dirantai lagi ke

dinding ruangan itu.

Duduk di meja dengan pipi berbalut perban,

duduklah Mogadorian yang sama, tampak tak sepercaya diri

sebelumnya. Dia melompat dari meja dan menyingkirkan

sumpal di mulut Nomor Enam, mengambil pisau cukur yang

sebelumnya dia gunakan, lalu memegang benda itu di depan

wajah Nomor Enam, dan memiringkannya sehingga cahaya

berkilauan di sepanjang mata pisaunya. "Aku tak tahu kau ini

nomor berapa ...." Sesaat, Nomor Enam pikir si Mogadorian

akan berusaha melukainya lagi, tapi ternyata Mogadorian itu

justru berbalik dan melintasi ruangan menghampiri Katarina.

Dia berdiri di samping Katarina sambil memandangi Nomor

Enam, lalu menyentuhkan mata pisau itu ke lengan Katarina.

"Tapi kau akan mengatakannya kepadaku."

"Tidak!" jerit Nomor Enam.

Si Mogadorian menyayat lengan Katarina

perlahanlahan, untuk memastikan dia bisa melakukannya.

Lalu, dia menyeringai lebar dan membuat sayatan lain, yang

lebih dalam daripada sayatan pertama tadi. Katarina

mengerang kesakitan, sementara darah mengaliri lengannya.

"Aku bisa melakukan ini sepanjang hari. Paham? Kau

akan mengatakan semua yang ingin kuketahui, mulai dari

nomormu."

Nomor Enam menutup mata. Saat dia membuka

matanya, si Mogadorian sudah duduk di meja sambil

memegang belati yang berubah warna saat digerakkan. Dia

mengacungkannya agar Nomor Enam bisa melihat bilah
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belati itu bersinar dan bergerak seolah hidup. Nomor Enam

dapat merasakan rasa haus belati itu, keinginannya untuk

mereguk darah.

"Nah nomormu. Empat? Tujuh? Atau mungkin kau si

Nomor Sembilan?"

Katarina menggelengkan kepala agar Nomor Enam

tutup mulut. Nomor Enam juga tahu bahwa siksaan seberat

apa pun tak akan bisa membuat Cepannya buka mulut. Tapi

dia juga tahu lebih baik mati daripada melihat Katarina

dilukai dan disiksa.

Si Mogadorian kembali menghampiri Katarina dan

mengacungkan belati tepat di depan jantungnya. Belati itu

tersentak, seolah jantung menariknya. Si Mogadorian

menatap mata Nomor Enam.

"Aku punya banyak sekali waktu untuk melakukan

ini," katanya datar. "Sementara kau di sini bersamaku, ada

banyak kaum kami di luar sana dengan kalian yang tersisa.

Jangan pikir kami berhenti begitu mendapatkanmu. Kami

tahu lebih banyak daripada yang kau kira. Tapi kami ingin

tahu semuanya. Jika kau tak mau melihatnya diiris-iris,

sebaiknya kau mulai bicara, secepatnya. Dan sebaiknya kau

jujur. Aku pasti tahu jika kau berbohong."

Nomor Enam pun menceritakan segala hal yang dia

ingat mulai dari meninggalkan Lorien, perjalanan ke sini, Peti

Loric, dan tempat-tempat persembunyian mereka. Dia

berbicara dengan sangat cepat sehingga semuanya campur
aduk. Nomor Enam mengatakan bahwa ya, dia Nomor

Delapan, dengan nada yang begitu putus asa sehingga si

Mogadorian percaya.

"Kau ini benar-benar menyedihkan, ya? Kerabatmu di

Lorien, walaupun dapat ditaklukkan dengan mudah,

setidaknya tak menyerah begitu saja. Mereka punya

keberanian dan harga diri. Tapi kau," katanya sambil

menggelengkan kepala seakan kecewa. "Kau tak berharga,

Nomor Delapan."

Mogadorian itu menghunjamkan belati, menembus

jantung Katarina. Nomor Enam hanya bisa menjerit. Mata

mereka bertaut selama satu detik sebelum Katarina, dengan

mulut masih tersumpal, perlahanlahan merosot di dinding

hingga tergantung lemas di rantai pergelangan tangannya,

sementara cahaya di matanya memudar.

"Mereka akan tetap membunuhnya," kata Nomor

Enam pelan. "Dengan menceritakan apa yang kulakukan,

setidaknya dia tak mengalami siksaan mengerikan, jika yang

kulakukan itu memang baik."

Nomor Enam memeluk lututnya dan memandang ke

luar jendela kereta.

"Tentu saja yang kau lakukan itu baik," kataku,

berharap cukup berani untuk berdiri dan memeluknya.

Ternyata, justru Sam yang berani melakukan itu. Dia

berdiri dan menghampiri Nomor Enam. Saat duduk di

samping Nomor Enam, dia tak mengatakan apa-apa dan

hanya merentangkan tangannya. Nomor Enam

membenamkan wajahnya di bahu Sam lalu menangis.

Setelah tangisnya reda, Nomor Enam menjauhkan

diri dan menyeka pipinya. "Saat Katarina mati, mereka

mencoba segala macam cara untuk membunuhku?

menyetrumku, menenggelamkanku, meledakkanku. Mereka

menyuntikku dengan sianida, dan tak terjadi apa-apa?aku

bahkan tidak merasakan jarumnya menembus lenganku.

Mereka memasukkanku ke ruangan berisi gas beracun, dan

rasanya seperti menghirup udara paling segar yang pernah

kurasakan. Namun, Mogadorian yang menekan tombol di

balik pintu itu langsung mati." Nomor Enam menyeka pipinya

lagi dengan punggung tangan. "Rasanya lucu. Aku rasa aku

membunuh lebih banyak Mogadorian saat ditawan daripada

saat di sekolah di Ohio. Lalu, akhirnya mereka

memasukkanku ke sel lain. Kupikir mereka berencana untuk

mengurungku di sana hingga mereka berhasil membunuh

Nomor Tiga sampai Nomor Tujuh."

"Aku senang karena kau mengatakan kepada mereka

bahwa kau itu Nomor Delapan," kata Sam.

"Sekarang aku menyesalinya. Rasanya seperti

menodai Pusaka Katarina, atau Nomor Delapan yang asli."

Sam memegang kedua bahu Nomor Enam. "Tentu

saja tidak, Enam."

"Berapa lama kau di sana?" tanyaku.

"Seratus delapan puluh lima hari. Kurasa."

Aku melongo. Dikurung selama lebih dari setengah

tahun, sendirian, menunggu dibunuh. "Aku turut menyesal,

Enam."

"Yang kulakukan hanyalah menunggu dan berdoa

agar Pusakaku muncul sehingga aku bisa keluar dari tempat

itu. Lalu pada suatu hari, Pusaka pertamaku muncul.

Kejadiannya setelah sarapan. Aku menunduk dan melihat

tangan kiriku tak ada. Tentu saja, aku ketakutan, tapi

kemudian aku sadar aku masih bisa merasakan tanganku. Aku

mencoba mengangkat sendok, dan bisa. Kemudian, aku

mengerti apa yang terjadikemampuan menjadi tak terlihat

adalah yang kubutuhkan untuk kabur."

Kemunculan Pusaka Nomor Enam tak terlalu berbeda

dibandingkan kemunculan Pusakaku, saat tanganku mulai

bersinar di tengah-tengah pelajaran pertamaku di Paradise

High.

Dua hari kemudian, Nomor Enam berhasil membuat

seluruh tubuhnya tak terlihat. Saat makan malam diberikan,

saat celah pintu dibuka dan makanannya didorong masuk,

Mogadorian yang menjaga tempat itu melihat sel kosong. Dia

mencari-cari lalu menekan tornbol, dan alarm pun meraung

di gua itu. Pintu besi terbuka lebar dan empat Mogadorian

menyerbu masuk. Sementara mereka berdiri, terheran-heran

karena tawanan mereka kabur, Nomor Enam menyelinap dan

bergegas keluar dari sel, menyusuri terowongan, dan melihat

gua untuk pertama kalinya.

Gua itu seperti sebuah labirin raksasa dengan

terowongan panjang yang berhubungan serta gelap dan

berangin. Kamera di mana-mana. Nomor Enam melewati

jendela-jendela berkaca tebal dan di baliknya tampak

ruangan-ruangan bersih dan terang seperti laboratorium.

Para Mogadorian di dalam ruangan itu mengenakan pakaian

plastik putih dan kacamata, tapi Nomor Enam berlari cepat

sehingga dia tak melihat apa yang mereka kerjakan. Lalu ada

ruangan berisi ribuan monitor komputer yang masing-masing

diawasi oleh satu Mogadorian, Nomor Enam pikir mereka

sedang mencari tanda-tanda keberadaan kami. Seperti Henri,

pikirku. Salah satu terowongan dilapisi pintu besi tebal dan

dia yakin para tawanan ada di baliknya. Tapi dia terus berlari,

sadar bahwa Pusakanya belum sempurna dan mungkin saja

kemampuan menghilangnya tak bertahan lama. Sirene terus

meraung. Akhirnya, Nomor Enam tiba di jantung gunung itu,

sebuah gua raksasa dengan lebar satu kilometer dan begitu

gelap serta suram sehingga sulit melihat apa yang ada di sisi

seberang.

Udaranya sangat gerah dan Nomor Enam berkeringat.

Teralis kayu besar berjajar di dinding dan langit-langit untuk

menjaga agar gua itu tidak runtuh. Birai sempit dipahat di

permukaan batu untuk menghubungkan terowongan
terowongan yang ada di dinding-dinding gelap itu. Di

atasnya, sejumlah jembatan lengkung panjang dipahat dari

gunung itu sendiri untuk menghubungkan sisi satu ke sisi

yang lain.

Nomor Enam merapatkan tubuhnya ke batu karang,

matanya melirik ke sana dan ke sini mencari jalan keluar. Ada

banyak sekali terowongan di gua itu. Dia berdiri

kebingungan, matanya menyapu kegelapan, tak melihat apa

pun yang menjanjikan. Tapi kemudian dia melihatnya. Jauh

di seberang jurang, di ujung terowongan yang lebih besar

tampaklah cahaya sebesar ujung jarum. Sebelum sempat

memanjat teralis kayu untuk meraih jembatan batu yang

mengarah ke sana, matanya melihat sesuatu: Mogadorian

yang membunuh Katarina. Dia tak bisa membiarkan

Mogadorian itu pergi begitu saja. Dia membuntuti si

Mogadorian.

Mogadorian itu memasuki ruangan tempat Katarina

dibunuh.

"Aku menghampiri mejanya dan mengambil pisau

cukur paling tajam, lalu menyerangnya dari belakang dan

menggorok tenggorokannya. Saat memandangi darah

menyembur dan menyebar di lantai, serta tubuhnya meledak

jadi abu, aku mendapati diriku berpikir seandainya ada cara

untuk membunuhnya perlahan-lahan. Atau membunuhnya

sekali lagi."

"Apa yang kau lakukan begitu keluar?" tanyaku.

"Aku mendaki gunung yang ada di seberang gua itu.

Saat tiba di atas, aku menunduk dan memandangi gua selama

satu jam, mengingat-ingat semuanya. Kemudian, aku berlari

sejauh delapan kilometer menuju jalan raya terdekat sambil

memperhatikan semua hal yang kulihat. Saat tiba di jalan

raya, aku melompat ke belakang sebuah truk pickup yang

meluncur pelan. Setelah beberapa kilometer, mobil itu

berhenti untuk mengisi bensin dan aku pun mengambil peta,

buku catatan, dan sejumlah bolpoin dari dalam. Oh, dan

sekantung keripik kentang."

"Baguuus. Rasa apa?" tanya Sam.

"Ya ampun, Sam," kataku.

"Apa?"

"Rasa barbecue, Sam. Aku menandai lokasi gua di

peta yang kutunjukkan kepada kalian saat di motel.

Kemudian, aku menggambar semua hal yang kuingat di buku

catatan, membuat semacam denah sehingga siapa pun yang

memegangnya bisa menemukan pintu masuk gua. Aku agak

panik dan menyembunyikan denah itu tak jauh dari kota.

Tapi petanya kusimpan. Setelah itu, aku mencuri mobil dan

langsung pergi ke Arkansas, tapi sayangnya, Petiku sudah

diambil."

"Aku turut menyesal, Enam."

"Aku juga," katanya. "Tapi mereka tak akan bisa

membuka peti itu tanpa diriku. Mungkin suatu saat nanti, aku

bisa memperoleh Peti itu kembali."

"Setidaknya, Petiku masih ada," jawabku.

"Kau harus segera membukanya," katanya. Aku tahu
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia benar. Seharusnya aku sudah membuka Peti itu. Apa pun

yang ada di dalam Peti, apa pun rahasia di dalamnya, Henri

ingin aku mengetahuinya. Rahasianya. Petinya. Henri

mengatakan itu dengan sisa napas terakhirnya. Aku merasa

sangat bodoh karena menunda-nunda. Tapi aku yakin, benda

apa pun yang ada dalam Peti itu akan membuat kami

berempat melakukan perjalanan jauh.

"Tentu," kataku. "Tapi kita harus turun dari kereta ini

dan menemukan tempat aman."

9 A

KULAH YANG PALING PERTAMA TURUN DARI tempat tidur

saat lonceng pagi berbunyi. Selalu begitu. Bukan karena suka

bangun pagi, melainkan karena aku lebih suka masuk dan

keluar kamar mandi sebelum orang lain.

Aku cepat-cepat membereskan tempat tidur, yang

kulakukan semakin baik seiring dengan berjalannya waktu.

Kuncinya adalah menyelipkan seprai dan selimut dalam
dalam di bagian kaki. Setelah itu, aku tinggal menariknya ke

bagian kepala, menyelipkan bagian sisi, lalu meletakkan

bantal, dan tempat tidur itu pun tampak rapi dan licin.

Setelah selesai, aku melihat Ella?anak yang tiba hari

Minggu?di seberang kamar, di tempat tidur dekat pintu. Dia

satu-satunya anak lain yang sudah bangun. Seperti dua hari

sebelumnya, dia mencoba meniru caraku merapikan tempat

tidur. Namun tampaknya dia masih kesulitan melakukannya.

Masalahnya, dia bekerja dari bagian kepala ke bawah dan

bukan sebaliknya. Walaupun Suster Katherine sabar dalam

menghadapi Ella, pagi ini giliran jaganya berakhir dan Suster

Dora akan menggantikannya mulai malam ini. Aku tabu

Suster Dora akan menuntut kesempurnaan, tak peduli Ella itu

anak baru ataupun apa yang dialaminya.

"Perlu bantuan?" tanyaku sambil melintasi ruangan.

Ella memandangku dengan tatapan sedih. Aku tahu

dia tak peduli dengan tempat tidurnya. Aku rasa saat ini dia

juga tak peduli dengan apa pun, dan aku tak

menyalahkannya, apalagi karena orangtuanya baru

meninggal. Aku ingin berkata bahwa dia tak perlu khawatir

karena, tak seperti kami yang tinggal di sini "seumur hidup",

dia pasti segera keluar dari tempat ini dalam waktu satu atau

paling lama dua bulan. Tapi apa gunanya kata-kata seperti itu

pada saat ini?

Aku membungkuk di kaki tempat tidur dan menarik

seprai dan selimut hingga keduanya bisa diselipkan ke bawah

kasur. Setelah itu, aku merapikan selimut di atasnya.

"Kau yang urus sebelah sana, ya?" kataku sambil

mengangguk ke kiri tempat tidur, sementara aku berjalan ke

sebelah kanan. Kami merapikan tempat tidur itu bersama
sama hingga rapi seperti tempat tidurku.

"Sempurna," kataku.

"Terima kasih," kata Ella pelan dan malu-malu. Aku

menunduk menatap mata cokelatnya yang besar, dan

langsung menyukainya serta merasa perlu menjaganya. "Aku

turut berduka atas kedua orangtuamu," kataku.

Ella mengalihkan pandangan. Kupikir aku

membuatnya sedih, tapi kemudian dia tersenyum kecil ke

arahku. "Terima kasih. Aku sangat merindukan mereka."

"Pasti mereka juga merindukanmu."

Kami meninggalkan kamar bersama-sama, dan aku

melihat dia berjalan dengan berjinjit seakan berusaha supaya

tak berisik.

Di wastafel kamar mandi, Ella menggenggam sikat

giginya di bagian atas, hampir menyentuh bulu sikat dengan

jari-jarinya yang kecil dan menyebabkan sikat gigi itu tampak

lebih besar. Saat memergokinya sedang memandangiku di

cermin, aku meringis. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan

dua deret gigi-geligi kecil. Pasta gigi mengalir dari mulutnya,

meluncur ke lengan, lalu menetes dari siku. Pola seperti

huruf S itu tampak akrab dan aku memandanginya,

membiarkan pikiranku berkelana.

Suatu hari yang panas di bulan Juni. Awan berarak di

langit biru. Air dingin beriak di bawah sinar matahari. Angin

segar membawa aroma pinus. Aku menghirupnya,

membiarkan ketegangan di Santa Teresa memudar dan

lenyap.

Walaupun yakin Pusaka keduaku muncul tak lama

setelah Pusaka pertama, aku tak menyadarinya hingga

hampir setahun kemudian. Aku menemukannya secara tak

sengaja, sehingga aku pun bertanya-tanya apakah ada Pusaka

lain yang belum kusadari.

Setiap tahun, saat libur musim panas, untuk

menghadiahi kami yang dianggap "baik" oleh para Suster,

diaturlah liburan berkemah selama empat hari di gunung

terdekat. Aku menyukai liburan itu dengan alasan yang sama

seperti mengapa aku menyukai gua yang tersembunyi di

balik bukit. Liburan itu semacam pelarian?kesempatan

langka untuk menghabiskan empat hari dengan berenang di

sebuah danau besar di gunung, atau kesempatan untuk

mendaki gunung, tidur di bawah langit berbintang,

menghirup udara segar dan bukannya udara apak Santa

Teresa. Pada dasarnya, liburan itu merupakan cara untuk

bersikap apa adanya. Aku bahkan memergoki beberapa

Suster tertawa dan tersenyum saat mereka pikir tak ada yang

melihat.

Di danau ada dermaga terapung. Aku tak pintar

berenang. Pada musim panas, biasanya aku hanya duduk di

tepi danau dan menonton anak-anak lain tertawa dan

bermain serta melompat dari dermaga terapung ke dalam air.

Selama dua musim panas, aku berlatih berenang sendiri di

tempat yang dangkal. Pada musim 'panas saat usiaku tiga

belas tahun, akhirnya aku bisa berenang seperti anjing?

dengan pelan dan tidak cukup bagus?untuk menjaga agar

kepalaku tetap berada di atas air. Aku berhasil mencapai

dermaga dengan berenang, dan menurutku itu sudah cukup.

Anak-anak yang ada di dermaga sedang main dorong
dorongan. Setiap kelompok bahu-membahu untuk

mendorong jatuh kelompok lain hingga hanya satu kelompok

yang tersisa. Setelah itu, setiap anak berusaha mendorong

jatuh anak yang lain. Kupikir La Gorda bisa menang dengan

mudah karena dia anak terbesar dan terkuat di Santa Teresa,

tapi ternyata tidak. Dia sering dikecoh oleh anak-anak lain

yang lebih kecil dan cerdik. Kupikir tak ada anak lain yang

lebih sering menang daripada Bonita.

Aku tak mau ikut main La Reina del Muelle?Ratu

Dermaga. Aku cukup senang dengan hanya duduk di tepi

dermaga sambil membiarkan kakiku terendam air, tapi

Bonita mendorongku keras-keras dari belakang sehingga aku

tercebur ke danau dengan kepala terlebih dahulu.

"Ikut main atau kembali ke tepi," kata Bonita sambil

mengibaskan rambutnya dari bahu.

Aku memanjat naik dan bergegas menghampirinya,

kemudian mendorongnya sekuat mungkin. Dia terjungkal ke

belakang dan tercebur ke danau.

Aku tak mendengar La Gorda di belakangku, dan tiba
tiba dua tangan kuat mendorong punggungku. Kakiku

terpeleset di atas kayu basah. Bagian samping kepala dan

bahuku menghantam tepi dermaga, pandanganku

berkunang-kunang. Aku pingsan sebentar. Saat mataku

terbuka, ternyata aku tenggelam. Aku tak melihat apa pun

selain kegelapan, dan secara naluriah aku menendang
nendang dan mengayun-ayunkan lengan untuk mencapai

permukaan. Tapi kepalaku membentur bagian bawah

dermaga, jarak antara papan kayu dermaga dengan

permukaan air hanya beberapa senti. Aku berusaha

memiringkan kepala ke belakang agar hidung dan mulutku

berada di atas permukaan, tapi air justru masuk ke hidungku.

Aku panik, paru-paruku panas. Aku bergeser ke kiri, tapi

percuma. Aku terperangkap di antara gentong plastik apung

yang menandai dermaga. Air memasuki paru-paruku,

sementara pikiran tentang kematian akibat tenggelam

muncul dalam benakku. Aku memikirkan yang lain, dan

goresan yang akan muncul di pergelangan kaki mereka.

Apakah mereka akan berpikir bahwa Nomor Tiga dibunuh,

atau apakah mereka akan tahu bahwa akulah yang mati?

Apakah pergelangan kaki mereka akan terbakar dengan cara

yang berbeda jika aku mati akibat kebodohanku dan

bukannya tewas di tangan para Mogadorian? Mataku

menutup dan aku mulai tenggelam. Saat gelembung udara

terakhir meninggalkan bibirku, mataku langsung membuka,

dan suatu perasaan tenang yang aneh menerpaku. Paru
paruku tak lagi terasa seakan terbakar.

Aku bernapas.

Air menggelitik paru-paruku, tapi pada saat yang

sama aku juga bernapas. Saat itulah, aku tahu Pusakaku yang

kedua: kemampuan bernapas dalam air. Aku menemukannya

hanya karena aku hampir mati.

Anak-anak menyelam untuk mencariku, tapi aku

belum ingin ditemukan. Jadi, aku membiarkan diriku

tenggelam hingga ke dasar danau. Dunia perlahan menjadi

gelap gulita hingga kakiku terbenam dalam lumpur dingin.

Begitu mataku terbiasa, aku bisa melihat menembus air

cokelat yang kotor. Sepuluh menit berlalu. Dua puluh menit.

Akhirnya, anak-anak itu berenang menjauhi dermaga. Aku

rasa bel makan siang berbunyi. Aku menunggu hingga benar
benar yakin mereka semua telah pergi. Setelah itu, aku

berjalan menyusuri dasar danau hingga tiba di tepi, kakiku

terbenam lumpur saat melangkah. Setelah beberapa saat, air

danau yang dingin mulai terasa hangat dan terang, lumpur

pun perlahan-lahan digantikan oleh bebatuan, lalu pasir.

Kemudian kepalaku muncul. Aku mendengar anakanak,

termasuk La Gorda dan Bonita, bersorak dan berlari

menghampiriku dengan perasaan lega. Aku mengamati diriku

di tepi danau, memandangi luka di bahuku dan darah yang

mengalir menuruni lengan dengan bentuk mirip huruf S.

Para Suster menyuruhku istirahat dan duduk di meja

piknik di bawah pohon sepanjang sore itu. Aku tak

keberatan. Aku punya Pusaka lain.

Di kamar mandi, Ella memergokiku memandangi busa

pasta gigi yang mengaliri lengannya melalui cermin. Dia

tampak malu. Saat mencoba meniru caraku menggosok gigi,

justru makin banyak busa pasta gigi yang tumpah dari

mulutnya.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau seperti pabrik busa," kataku sambil tersenyum

dan mengambil handuk untuk membersihkannya.

Kami meninggalkan kamar mandi saat yang lain

datang. Kami berpakaian dengan cepat di kamar, lalu keluar

saat yang lain masuk. Kami lebih dulu daripada anak-anak

lain, seperti yang kusuka. Kami mengambil bekal makan

siang dari kantin, lalu keluar menyapa pagi yang dingin. Aku

makan apel sambil berjalan ke sekolah. Ella mengikutiku.

Aku lebih cepat sepuluh menit hari ini, artinya masih ada

sedikit waktu untuk mengecek apakah ada berita baru

mengenai John Smith di internet. Aku tersenyum

memikirkan itu.

"Kenapa kau tersenyum? Kau suka sekolah?" tanya

Ella. Aku memandangnya. Apel yang baru setengah dimakan

itu tampak besar di tangannya yang kecil.

"Kurasa ini pagi yang indah," kataku. "Dan hari ini,

aku bersama teman yang baik."

Kami berjalan melintasi kota saat para pedagang

membuka toko mereka. Salju belum mencair dan masih

menumpuk di sepanjang tepi jalan Calle Principal, tapi

jalannya sendiri bersih. Di depan di sebelah kanan, pintu

depan rumah Hector Ricardo terbuka dan ibunya yang

berkursi roda keluar, didorong oleh Hector. Ibu Hector sudah

lama menderita penyakit Parkinson. Sejak lima tahun

terakhir, dia menggunakan kursi roda dan sejak tiga tahun

terakhir, dia tak bisa bicara lagi. Hector memosisikan ibunya

di bawah sedikit sinar matahari, lalu menurunkan penahan

roda. Walaupun sepertinya ibunya menyukai sinar matahari,

Hector sendiri justru menghindarinya dan duduk di tempat

teduh, dengan kepala tertunduk.

"Pagi, Hector," seruku. Laki-laki itu mengangkat

kepala dan membuka sebelah mata. Dia melambaikan

tangannya yang gemetar.

"Marina, yang berarti putri dari laut," katanya serak.

"Yang membatasi masa depan adalah keraguan kita akan hari

Aku berhenti dan tersenyum. Ella juga berhenti. "Itu

kutipan yang bagus."

"Jangan pernah meragukan Hector. Dia masih punya

sejumlah kejutan," katanya.

"Kau baik-baik saja?"

"Kekuatan, keyakinan, kerendahan hati, dan cinta.

Empat prinsip hidup bahagia Hector Ricardo," katanya, tidak

menjawab pertanyaanku tadi, tapi setidaknya aku senang

mendengarnya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Ella.

"Siapa malaikat kecil ini?"

Ella meraih tanganku dan bersembunyi di

belakangku.

"Namanya Ella," kataku sambil menunduk

memandangi Ella. "Itu Hector. Dia temanku."

"Hector itu salah satu orang baik," kata Hector. Tapi

Ella tetap di belakangku.

Hector melambaikan tangan saat kami melanjutkan

perjalanan ke sekolah.

"Kau tahu harus ke mana?" tanyaku.

"Pelajaran Senora Lopez," katanya sambil tersenyum.

"Wah, kau beruntung. Hari ini aku juga ada pelajaran

dengannya. Dia itu salah satu orang baik di kota, seperti

Hector," kataku.

Mati aku. Ketiga komputer sekolah sudah dipakai

oleh tiga anak perempuan dari kota yang berjibaku

menyelesaikan tugas ilmu pengetahuan alam. Jafi-jari

mereka menari-nari di atas keyboard. Aku menjalani hari itu

dengan menyendiri dan terus-menerus memikirkan satu hal.

John Smith, sedang melarikan diri di Amerika dan entah

bagaimana selalu berhasil menghindari yang berwajib.

Sementara itu, aku terjebak di sini, di Santa Teresa, sebuah

kota tua berjamur tanpa kejadian apa pun. Aku selalu

berpikir bahwa aku akan pergi begitu usiaku delapan belas

tahun. Tapi sekarang, John Smith ada di luar sana, diburu.

Aku tahu aku harus pergi secepat mungkin untuk bergabung

dengannya. Masalahnya hanyalah bagaimana

menemukannya.

Pelajaran terakhirku adalah pelajaran sejarah

Spanyol. Guru menerangkan mengenai Jenderal Francisco

Franco dan Perang Sipil Spanyol tahun 1930-an. Aku tak

menyimak dan justru menulis tentang John di buku,

memerinci segala hal yang kuketahui berdasarkan berita

yang kubaca.

John Smith

Tinggal selama empat bulan di Paradise, OH

Dihentikan oleh polisi di Tennessee saat berkendara

ke arah barat dengan truk pickup. Di tengah malam, bersama

dua orang lain yang sepantaran.

Mereka menuju ke mana?

Diyakini bahwa salah satu dari dua orang yang

bersamanya adalah Sam Goode, juga berasal dari Paradise,

dulu diduga sebagai sandera, tapi sekarang dianggap kaki

tangan.

Siapa yang ketiga? Gadis dengan rambut hitam. Gadis

di mimpiku berambut hitam.

Di mana Henri?

Bagaimana cara mereka meloloskan diri dari kejaran 2

helikopter dan 35 polisi? Bagaimana cara helikopter itu

jatuh?

Bagaimana caraku menghubungi dia ATAU yang

lainnya?

Menuliskan sesuatu di internet?

Terlalu berbahaya. Apakah ada cara untuk melakukan

itu tanpa ketahuan oleh para Mogadorian?

Jika ada, apakah yang lain akan bisa melihatnya?

John sedang melarikan diri. Apakah dia bisa

mengecek internet?

Apakah Adelina tahu sesuatu yang tak kuketahui?

Apakah aku bisa membicarakan ini dengan Adelina

tanpa mengungkapkannYa dengan jelas?

Penaku menari-nari di atas buku. Internet dan

Adelina. Hanya itu yang terpikirkan olehku. Keduanya

tampak tidak menjanjikan. Tapi, apa lagi yang bisa

kulakukan? Cara yang lain tampaknya sama sia-sianya seperti

naik ke atas gunung dan mengirimkan sinyal asap. Tapi aku

merasa seperti ada yang luput dari perhatiankusuatu elemen

penting yang begitu jelas dan berada tepat di depan

hidungku.

Guru terus bicara. Aku menutup mata dan

memikirkan semuanya baik-baik. Sembilan Garde. Sembilan

Cepan. Sebuah pesawat yang membawa kami ke Bumi, yang

juga akan membawa kami pulang, tersembunyi di suatu

tempat di Bumi. Yang bisa kuingat hanyalah kami mendarat di

suatu tempat terpencil di tengah badai. Mantra pelindung

dirapalkan untuk melindungi kami dari para Mogadorian.

Mantra itu barn bekerja begitu kami berpencar dan hanya

berfungsi jika kami semua terus berjauhan satu sama lain.

Tapi kenapa? Mantra yang mengharuskan kami berpencar tak

akan membantu dalam melawan dan mengalahkan para

Mogadorian. Apa gunanya? Sambil bertanya-tanya begitu,

aku memikirkan hal lain. Aku menutup mata dan

membiarkan logika menuntunku.

Kami harus bersembunyi, tapi sampai kapan? Sampai

Pusaka kami muncul dan kami memiliki alat untuk bertarung,

untuk menang. Apa yang bisa kami lakukan begitu Pusaka

pertama kami muncul?

Jawabannya tampak begitu jelas sehingga sulit

dipercaya. Dengan pena di tangan, aku menulis satu-satunya

jawaban yang terpikirkan olehku:

Peti Loric.

10

SEKARANG AKU SELALU BERMIMPI BURUK. SETIAP malam aku

dikejutkan wajah Sarah, yang melayanglayang selama satu

detik kemudian lenyap ditelan kegelapan, disusul jeritan

minta tolongnya. Sekeras apa pun aku mencari, dia tak bisa

kutemukan. Dia terus memanggil, dengan suara ketakutan,

muram, dan kesepian, tapi aku tetap tak bisa

menemukannya.

Lalu ada Henri, tubuhnya terpuntir dan berasap saat

memandangku, tahu bahwa ini waktunya kami berpisah. Aku

tak pernah melihat rasa takut di matanya, atau rasa sesal,

atau rasa sedih. Aku hanya melihat rasa bangga, rasa lega,

dan rasa sayang. Sepertinya dia menyuruhku untuk terus,

untuk bertarung, dan untuk menang. Lalu, pada akhirnya,

sekali lagi matanya melebar dengan pandangan memelas.

"Ke sini, ke Paradise, bukan kebetulan," katanya lagi. Aku

masih tak mengerti apa maksudnya. "Aku tidak akan

menyesali apa yang terjadi walau hanya sedetik, Nak. Walau

ditukar dengan seluruh Lorien. Walau ditukar dengan seluruh

dunia." Ini kutukanku. Setiap kali memimpikan Henri, aku

terpaksa menyaksikannya mati. Lagi dan lagi.

Aku melihat Lorien, hari-hari sebelum perang, hutan

dan laut yang sudah ratusan kali kulihat dalam mimpi. Diriku

waktu masih kecil, berlari kencang menembus rumput
rumput tinggi, sementara orang-orang di sekitarku

tersenyum dan tertawa, tak sadar apa yang akan terjadi. Lalu

aku melihat perang, penghancuran, pembantaian, dan darah.

Terkadang, pada malam seperti malam ini, aku melihat citra

lain yang kuyakini merupakan citra masa depan.

Mataku belum lama terpejam, tapi aku langsung

bermimpi. Bahkan saat mimpi itu dimulai pun aku sadar

diriku memasuki tempat yang sepertinya kukenal, padahal

aku yakin belum pernah melihat tempat itu.

Aku berlari menyusuri jalan yang dipenuhi sampah

dan puing-puing. Pecahan kaca. Plastik terbakar. Besi

bengkok karatan. Kabut berbau tajam memenuhi hidungku

dan menyebabkan mataku berair. Bangunan bobrok berdiri

tegak di depan langit kelabu. Sungai hitam yang tak mengalir

berada di sebelah kananku. Di depan ada keributan. Suara

teriakan dan gemerincing logam membahana di udara pekat.

Aku mencapai kerumunan massa yang marah. Mereka

mengelilingi landasan tempat sebuah pesawat besar bersiap

lepas landas. Aku menembus pagar kawat berduri yang

menghalangi kerumunan itu dan memasuki landasan.

Landasan itu ditandai dengan sejumlah aliran kecil

sungai-sungai magma. Prajurit Mogadorian menahan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerumunan di pinggir, sementara segerombolan peng intai

menyiapkan pesawat?sebuah bola batu akik yang melayang

di udara.

Kerumunan itu meraung ke arah pagar saat para

prajurit menahan mereka. Tubuh mereka lebih kecil

dibandingkan tubuh para prajurit, tapi warna kulit mereka

sama, abu-abu. Gemuruh dari pesawat semakin keras.

Kerumunan itu diam, mundur ketakutan, sementara

Mogadorian yang ada di aspal berbaris tertib.

Lalu, sesuatu turun dari langit suram. Sebuah pusaran

gelap mengisap awan-awan yang ada di sekitarnya dan

meninggalkan asap hitam tebal di belakangnya. Aku

menutup telinga sebelum benda itu menghantam dan

mengguncang tanah, membuatku nyaris terjatuh. Segalanya

hening saat debu mulai menghilang dan memperlihatkan

sebuah pesawat bulat sempurna dan berwarna putih susu

seperti mutiara. Pintu bergeser terbuka dan satu makhluk

raksasa keluar. Itu makhluk yang mencoba memenggalku di

puri batu.

Kerumunan di sepanjang pagar menjadi rusuh, semua

berebut untuk kabur dari monster itu. Dia tampak jauh lebih

besar daripada yang kuingat, dengan tubuh berotot dan kaku

serta rambut dipotong pendek. Tato merambati lengannya.

Bekas-bekas luka tampak di pergelangan kakinya. Bekas luka

paling besar tampak menonjol di lehernya, ungu dan

mengerikan. Salah satu prajurit mengambilkan sebuah

tongkat emas dari kapal, bagian atasnya melengkung seperti

palu, mata hitam dicat di salah satu sisinya. Saat makhluk itu

memegang tongkat tersebut, mata di tongkat itu jadi hidup,

bergulir ke kiri lalu ke kanan, mengamati sekelilingnya, dan

akhirnya menemukanku.

Si Mogadorian memandang kerumunan, menyadari

bahwa aku ada di dekat situ. Dia memicingkan mata, lalu

berjalan ke arahku dengan langkah-langkah besar sambil

mengangkat tongkat emas. Mata tongkat itu berdenyut.

Kemudian, satu laki-laki di kerumunan berteriak ke

arah si Mogadorian sambil mengguncang-guncangkan pagar

dengan berang. Si Mogadorian berpaling ke arah si tukang

protes, lalu mengulurkan tongkat tadi ke arahnya. Mata

tongkat itu berbinar merah, dan tubuh si tukang protes

tertarik menembus pagar berduri hingga tubuhnya robek

tercabik-cabik. Keadaan jadi hiruk-pikuk karena semua sibuk

melarikan diri.

Si Mogadorian kembali memperhatikanku,

mengarahkan tongkat ke kepalaku. Aku dihantam sensasi

jatuh. Isi perutku seolah melayang naik sehingga aku merasa

ingin muntah. Yang kulihat di sekeliling lehernya begitu

mengganggu, begitu menghantui, sehingga aku langsung

terjaga seakan disambar kilat.

Sinar fajar menerobos jendela, kamar yang kecil itu

bermandikan terangnya cahaya pagi. Bentuk-bentuk mulai

terlihat. Aku bermandikan keringat dan kehabisan napas.

Tapi aku ada di sini. Rasa sakit dan kebingunganku

menunjukkan bahwa aku masih hidup, dan bukan berada di

suatu tempat mengerikan dengan orang yang bisa ditarik

menembus lubang-lubang pagar kawat berduri hingga

tubuhnya hancur.

Kami menemukan sebuah rumah kosong di tepi

kawasan konservasi, beberapa kilometer dari Danau George.

Henri pasti suka rumah ini: terisolasi, kecil dan tenang, aman

tapi tak menonjol. Rumah ini hanya satu lantai. Bagian

luarnya dicat hijau lemon, sedangkan bagian dalamnya dicat

dengan berbagai warna beige, dan lantainya dilapisi karpet

cokelat. Kami sangat beruntung karena air di rumah ini belum

dimatikan. Menilai dari tebalnya debu di udara, aku bisa

menyimpulkan bahwa sudah cukup lama sejak terakhir kali

rumah ini ditinggali.

Aku berguling ke samping dan melirik telepon di

sebelah kepalaku. Setelah penglihatan mengerikan tadi,

satu-satunya yang bisa menghapusnya hanyalah Sarah. Aku

mengenang saat kami berada di kamarku ketika dia baru

kembali dari Colorado?saat aku memeluknya. Jika aku

hanya boleh menyimpan satu kenangan saat bersamanya,

aku akan memilih yang satu itu. Aku menutup mata dan

membayangkan apa yang dia lakukan saat ini, apa yang dia

kenakan, dan dengan siapa dia bicara. Berita melaporkan

bahwa semua murid sekolah itu ditampung di enam sekolah

yang ada di sekitar Paradise sampai gedung baru selesai

dibangun. Aku ingin tahu Sarah pergi ke sekolah yang mana

dan apakah dia masih memotret.

Aku meraih ponselku, prabayar dan didaftarkan

dengan nama Julius Seazar. Selera humor Henri sering

membuatku terheran-heran. Sempat-sempatnya dia

memikirkan nama yang mirip dengan Julius Caesar. Aku

menyalakan ponsel itu untuk pertama kalinya setelah

berhari-hari. Aku hanya perlu menekan nomor Sarah untuk

mendengar suaranya. Sesederhana itu. Aku menekan angka
angka yang sudah kuhafal satu demi satu hingga yang tersisa

tinggal satu angka lagi. Kemudian aku menutup mata,

menarik napas, dan mematikan ponsel. Aku tahu aku tak bisa

menekan angka terakhir. Rasa khawatir akan keselamatan

Sarah?dan juga kami semua?menghentikanku.

Di ruang duduk, Sam memangku laptop Henri.

Menonton CNN. Untungnya kartu internet nirkabel Henri,

entah dengan nama samaran apa yang dipilihnya, masih

berfungsi. Sam mencatat di buku tulis dengan cepat. Sudah

tiga hari sejak kejadian di Tennessee, dan kami baru tiba di

Florida tadi malam, setelah menaiki tiga truk gandeng?salah

satunya membawa kami sejauh tiga ratus kilometer ke arah

yang salah?dan akhirnya menaiki kereta hingga tiba di sini.

Tanpa menggunakan Pusaka kami?kecepatan dan juga

kemampuan tak terlihat Nomor Enam?kami tak akan

mungkin tiba di tempat ini. Kami memang berniat untuk

tidak menarik perhatian sampai berita-berita mengenai kami

menghilang. Kami akan berkumpul, berlatih, dan dengan

segala cara menghindari kecerobohan lain seperti yang

melibatkan helikopter waktu itu. Yang pertama kali harus

kami lakukan adalah mencari mobil baru. Yang kedua adalah

memikirkan langkah selanjutnya. Kami semua sama sekali tak

tahu apa yang harus dilakukan. Sekali lagi, ketiadaan Henri

terasa begitu besar.

"Di mana Enam?" tanyaku sambil berjalan ke ruang

keluarga.

"Di belakang, berenang atau apalah," jawab Sam.

Satu-satunya yang bagus di rumah ini adalah di

belakangnya ada kolam renang, yang langsung Nomor Enam

isi dengan cara mengarahkan hujan badai ke sana. "Kukira

kau ingin melihat Nomor Enam dengan pakaian renangnya,"

kataku sambil menyenggol Sam. Wajahnya memerah.

"Jangan berisik, ah. Aku ingin mengecek berita. Melakukan

sesuatu yang berguna."

"Ada sesuatu?"

"Selain bahwa sekarang aku dianggap kaki tangan dan

dihargai setengah juta dolar?" tanya Sam.

"Kau kan suka."

"Yeah, memang keren," katanya sambil menyeringai.

"Omong-omong, tak ada berita ba'. Aku tak mengerti

bagaimana cara Henri melakukan semua ini. Setiap hari ada

ribuan berita."

"Henri tak pernah tidur."

"Kau sendiri tak berminat melihat Enam dengan

pakaian renang?" tanya Sam sambil mengalihkan pandangan

kembali ke monitor. Aku kaget karena nada suara Sam tidak

sinis. Dia tahu bagaimana perasaanku terhadap Sarah. Aku

juga tahu bagaimana perasaannya terhadap Nomor Enam.

"Maksudmu?"

"Aku melihat caramu memandangnya," kata Sam. Dia

mengklik satu tautan mengenai pesawat jatuh di Kenya. Satu

orang selamat.

"Dan bagaimana caraku memandangnya, Sam?"

"Lupakan saja." Yang selamat itu perempuan tua.

Jelas bukan salah satu dari kami.

"Seorang Loric jatuh cinta untuk seumur hidup. Dan

aku cinta Sarah. Kau tahu itu."

Sam memandang monitor laptop. "Aku tahu. Hanya

saja, entahlah. Kau itu tipe laki-laki yang pasti disukainya,

bukan penggila matematika yang terobsesi dengan alien dan

ruang angkasa. Aku rasa Enam tak mungkin bisa menyukai

orang sepertiku."

"Kau sendiri hebat, Sam. Jangan lupa."

Aku berjalan ke pintu kaca geser di belakang yang

mengarah ke kolam renang. Di balik kolam itu ada halaman

tak terurus yang dikelilingi tembok sehingga memberikan

privasi dari orang-orang yang lewat. Tetangga terdekat

jaraknya sekitar setengah kilometer. Kota terdekat berjarak

sepuluh menit dengan mobil.

Nomor Enam meluncur membelah air, berenang

bagai seekor serangga air. Di sampingnya, melesat dua kali

lebih cepat, seekor mamalia seperti platypus berbulu putih

panjang serta berjenggot?entah hewan apa Yang ditiru

Bernie Kosar. Nomor Enam menyadari kehadiranku dan

berhenti di tepi kolam, menarik tubuhnya setengah keluar

dari air dan meletakkan lengannya di pinggir kolam. Bernie

Kosar melompat keluar dan kembali ke wujud anjing beagle
nya, mengguncangkan tubuh hingga kering, mencipratiku.

Rasanya segar. Aku senang karena berada di Selatan lagi.

"Jangan bikin anjingku kelelahan," kataku. Aku

mendapati diriku memandangi bahu Nomor Enam yang

sempuma dan lehernya yang jenjang. Mungkin Sam benar.

Mungkin aku memang memandang Nomor Enam seperti

Sam. Aku ingin berlari ke dalam rumah, menyalakan ponsel,

dan mendengar suara Sarah.

"Justru dia yang bikin aku kecapaian. Caranya

berenang seperti sudah benar-benar sembuh. Omong
omong, bagaimana kepalamu?"

"Masih sakit," jawabku sambil mengusap kepala.

"Tapi tak terlalu parah, kok. Aku siap latihan sekarang juga,

jika itu maksudmu."

"Bagus," katanya. "Aku resah. Sudah lama sekali aku

tak berlatih dengan orang lain."

"Kau yakin mau latihan denganku? Kau bisa terluka,
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu!"

Nomor Enam tertawa, lalu menyemburkan air ke

arahku. "Oke," kataku sambil menatap permukaan kolam

renang dan memecut angin di atasnya. Air menyerbu ke

arahnya. Nomor Enam menyelam agar tak dihantam air. Saat

muncul kembali, dia menaiki puncak gelombang raksasa yang

hampir membuat kolam itu kosong dan menerjang ke arahku.

Sebelum aku sempat bereaksi, dia menghindar, tapi

gelombang itu terns menerjang, menghantam, dan

mengempaskanku ke tembok belakang rumah. Aku

mendengarnya tertawa. Air menyurut ke dalam kolam. Aku

berdiri dan berusaha mendorongnya jatuh ke kolam. Dia

mengelak telekinesisku. Tiba-tiba, aku direnggut hingga

terbalik, tergantung tanpa daya di udara.

"Kalian sedang apa?" tanya Sam. Dia berdiri di

samping pintu kaca geser.

"Emm. Enam mengejekku, jadi aku memutuskan

untuk menghajarnya. Seperti yang kau lihat."

Aku masih tergantung terbalik, melayang sekitar satu

meter di atas bagian tengah kolam. Aku bisa merasakan

Nomor Enam mencengkeram pergelangan kaki kananku,

rasanya seakan dia benar-benar memegangku dengan satu

tangan.

"Oh, ya. Aku lihat. Kau menghajarnya habis-habisan,"

kata Sam.

"Aku sedang menunggu saat yang tepat."

"Jadi, menurutmu bagaimana, Sam?" tanya Nomor

Enam. "Apa dia sebaiknya kulepaskan?"

Senyum mengembang di wajah Sam. "Silakan saja."

"Hei!" kataku tepat sebelum Nomor Enam

melepaskanku dan membuatku tercebur dengan kepala

terlebih dahulu ke dalam air. Saat aku muncul, Nomor Enam

dan Sam sedang tertawa terpingkal-pingkal.

"Itu baru ronde satu," kataku sambil memanjat ke

luar. Aku melepaskan kemejaku dan melemparkannya ke

lantai semen. "Aku tadi belum siap. Lihat saja nanti.

"Bukannya kau itu kuat dan gagah?" tanya Sam. "Itu

kan yang kau bilang waktu rambutmu dicukur?"

"Strategi," kataku. "Aku ingin Enam berpikir bahwa

aku bisa dikalahkan dengan mudah, setelah itu aku akan

mengalahkannya."

"Ha! Yeah, benar," kata Sam, lalu menambahkan,

"Andai aku punya Pusaka."

Nomor Enam, yang mengenakan baju renang hitam

polos, berdiri di antara aku dan Sam. Dia masih tertawa, air

mengalir dari lengan dan kakinya saat dia membungkuk

sedikit ke depan dan memeras rambutnya. Bekas luka di

kakinya mulai memudar, warnanya tidak seungu minggu lalu.

Dia mengayunkan kembali rambutnya ke punggung. Aku dan

Sam sama-sama terpesona.

"Jadi, sore ini kita latihan?" tanya Nomor Enam. "Atau

kau masih berpikir aku bisa terluka?"

Aku menggembungkan pipi dan mengembuskan

napas pelan-pelan. "Mungkin sebaiknya aku pelan-pelan

saja. Maksudku, luka di kakimu masih terlihat mengerikan.

Tapi, yeah, kita mulai latihan."

"Sam, kau ikut, kan?"

"Kalian ingin aku ikut latihan? Serius?"

"Pasti, dong. Kau kan bagian dari kita," jawab Nomor

Enam.

Sam mengangguk sambil menggosok-gosokkan kedua

tangannya. "Oke," katanya seraya menyeringai seperti anak

kecil pada pagi hari Natal. "Tapi, kalau aku cuma kalian

jadikan sasaran tembak, aku pulang."

Kami mulai pada pukul dua. Langit tampak mendung

sehingga kupikir latihannya tak akan lama. Sam melompat
lompat sambil berjinjit. Dia mengenakan celana olahraga

pendek dan kaus yang kebesaran. Tubuhnya mungkin kurus,

tapi jika kesungguhan hati dan kebulatan tekadnya dihitung,

kurasa dia akan tampak sebesar Mogadorian yang kulihat di

pesawat itu.

Nomor Enam menunjukkan teknik-teknik tempur

yang telah dia pelajari, yang ternyata lebih banyak daripada

yang kupelajari. Tubuhnya bergerak mulus dengan ketepatan

tinggi saat menendang atau memukul, atau saat bersalto ke

belakang untuk menghindari serangan. Dia menunjukkan

cara membalas serangan serta manfaat dari kecakapan dan

koordinasi, dan latihan jurus agar bisa melakukannya secara

naluriah. Sam melahap semua itu, bahkan saat Nomor Enam

menghantamnya mundur hingga jungkir balik dan napasnya

terempas keluar. Nomor Enam juga melakukan yang sama

kepadaku. Walaupun mencoba menertawakannya seolah

sedang bermain-main, aku tetap kepayahan dan dia

menghajarku habis-habisan. Aku tak mengerti bagaimana dia

bisa mempelajari semua itu sendiri. Setelah mulutku penuh

rumput dan tanah untuk kedua kalinya, aku sadar banyak

sekali yang bisa Nomor Enam ajarkan kepadaku.

Setengah jam kemudian hujan mulai turun. Mulanya

hanya gerimis, tapi segera saja air mengguyur dan membuat

kami berlari ke dalam untuk berlindung. Sam masuk ke dalam

rumah sambil melemparkan tendangan dan pukulan pada

musuh bayangan. Aku duduk di kursi sambil memegangi

liontin biruku dan menatap ke luar jendela depan lama

sekali, memandangi hujan sambil mengenang dua badai

terakhir yang mengamuk karena diperintah oleh Nomor

Enam.

Saat berbalik, aku melihat Nomor Enam tidur

nyenyak di pojok ruang keluarga, meringkuk sambil memeluk

Bernie Kosar seperti bantal. Begitulah cara dia tidur,

meringkuk miring seperti bola sehingga tampak tak

berbahaya.

Telapak kakinya yang putih mengarah ke arahku. Aku

menggelitik telapak kaki kanannya dengan telekinesis. Dia

menggoyangkan kaki seolah mengusir lalat pengganggu. Aku

menggelitiknya lagi. Dia menggoyangkan kakinya lebih keras.

Aku menunggu beberapa detik, lalu pelan-pelan menggelitik

seluruh telapak kakinya, mulai dari tumit hingga ibu jari kaki.

Nomor Enam menarik kaki lalu menendang,

mengempaskanku dengan kekuatan telekinesisnya hingga

dinding berlubang dan kabel-kabel di dalamnya terlihat. Sam

menyerbu ke dalam ruangan dan melompat dalam posisi siap

berkelahi.

"Ada apa? Siapa di situ?" teriak Sam.

Aku berdiri, meraba siku yang menghantam dinding

dengan keras.

"Bodoh," kata Nomor Enam sambil duduk.

Sam memandangku, lalu memandang Nomor Enam.

"Kalian konyol," katanya sambil berjalan kembali ke

dapur. "Cara kalian saling goda bikin aku kaget setengah

mati."

"Aku juga kaget setengah mati," jawabku,

mengabaikan komentar soal "saling goda" itu, tapi Sam sudah

pergi dan tak mendengar. Apakah aku menggodanya? Apakah

Sarah akan berpikir bahwa itu menggoda?

Nomor Enam menguap sambil mengangkat tangan ke

atas. "Masih hujan?"

"Lebat. Tapi lihat sisi baiknya, cuaca

menyelamatkanmu dari terkena memar-memar lebih lanjut."

Dia menggelengkan kepala. "Sikap sok kuatmu itu

membosankan, Johnny. Dan jangan lupa apa yang bisa

kulakukan dengan cuaca."

"Tak akan," kataku. Aku berusaha mengalihkan

pembicaraan. Aku benci diriku karena menggoda gadis lain.

"Sudah lama aku ingin tanya: wajah siapa yang ada di awan

itu? Setiap kali kau membuat badai, aku melihat wajah

seram."

Nomor Enam menggaruk telapak kaki kanannya.

"Entahlah, tapi sejak aku bisa mengendalikan cuaca, wajah

itu selalu muncul. Kurasa dia itu dari Lorien."

"Yeah, mungkin. Aku pikir itu wajah seorang mantan

pacar gila yang belum bisa melupakanmu."

"Karena jelas sekali aku suka dengan kakek-kakek

sembilan puluh tahunan. Kau mengenalku dengan sangat

baik, John."

Aku mengedikkan bahu. Kami tersenyum.

Malam itu aku memasak makan malam menggunakan

alat pemanggang berkarat yang masih bisa digunakan di teras

belakang. Sebenarnya, mungkin lebih tepat disebut berusaha

memasak. Karena pernah mengikuti pelajaran tata boga

dengan Sarah di Paradise, akulah satu-satunya yang tahu

bagaimana memasak sesuatu yang mirip makanan. Malam

ini: dada ayam, kentang, dan piza pepperoni beku.

Kami duduk membentuk segitiga di atas karpet di

ruang keluarga. Di balik selimut yang membungkus kepala

dan tubuhnya, Nomor Enam mengenakan tank top hitam dan

liontinnya terlihat jelas. Aku teringat citra yang kulihat. Aku

merindukan makan malam normal di meja makan dan tidur

malam normal ketika aku tak disiksa oleh masa laluku di

Lorien. Apakah yang seperti itu pernah terjadi dulu di Lorien,

sebelum kami pergi?

"Kau sering mengingat orangtuamu?" tanyaku kepada

Nomor Enam. "Maksudku, ketika mereka masih hidup di

Lorien."

"Tidak sesering dulu. Aku bahkan tak tahu seperti apa

tampang mereka. Tapi aku ingat bagaimana rasanya saat

berada di dekat mereka, kalau kau mengerti. Kurasa aku

lebih memikirkan perasaan itu. Kalau kau?"

Aku mengambil sepotong piza yang gosong. Aku

bertekad tak akan pernah lagi memasak piza beku

menggunakan alat pemanggang. "Aku sering melihat mereka

dalam mimpi. Rasanya luar biasa, tapi juga membuat hatiku

sakit. Mengingatkanku bahwa mereka sudah meninggal."

Selimut meluncur turun dari kepala Nomor Enam dan

tersangkut di bahunya. "Kalau kau bagaimana, Sam? Apakah

saat ini kau merindukan orangtuamu?"

Sam membuka mulut lalu menutupnya lagi. Aku tahu

dia sedang menimbang untuk memberi tahu Nomor Enam

bahwa dia pikir ayahnya dibawa alien, diculik saat sedang

pergi membeli susu dan roti. Akhirnya dia berkata, "Aku

merindukan mereka, ibuku dan ayahku, tapi aku tahu lebih

baik berada di sini bersama kalian. Mengingat apa yang
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuketahui, kurasa aku tak mungkin tinggal di rumah."

"Kau tahu terlalu banyak," kataku. Aku merasa

bersalah karena Sam justru memakan masakanku yang tidak

enak serta duduk di lantai di sebuah rumah tak berpenghuni

dan bukannya menikmati masakan ibunya serta duduk di

meja makan.

"Sam, aku minta maaf karena membuatmu terlibat,"

kata Nomor Enam. "Tapi aku senang kau ada di sini."

Wajah Sam merona. "Aku tak tahu cara

menjelaskannya, tapi aku mulai merasakan suatu koneksi

aneh dengan seluruh situasi yang kita alami. Boleh aku tanya

sesuatu? Seberapa jauh Planet Mogadore dari Bumi?"

Aku terkenang ketika Henri meniup tujuh bola kaca,

membuat bola-bola itu jadi hidup, lalu segera saja kami

melihat sebuah replika sistem tata surya kami. "Lebih dekat

daripada ke Lorien, kenapa?"

Sam berdiri. "Berapa lama yang dibutuhkan untuk

tiba di sana?"

"Mungkin beberapa bulan," kata Nomor Enam.

"Tergantung pesawat jenis apa yang dipakai dan energi apa

yang digunakan pesawat itu."

Sambil berjalan mondar-mandir, Sam berkata, "Aku

pikir pemerintah Amerika Serikat pasti punya pesawat yang

dibuat entah di mana dan bisa mencapai jarak itu. Aku yakin

pesawat itu baru prototipe saja dan juga dirahasiakan serta

disembunyikan di dalam gunung yang tersembunyi di balik

gunung lain. Aku baru saja memi kirkan apa yang terjadi jika

kita tak bisa menemukan pesawat kalian dan harus pergi

melawan mereka?pergi ke Mogadore, planetnya

Mogadorian. Kita punya Rencana B, kan?"

"Pasti. Apa Rencana A kita?" tanyaku sambil

menggigit lidah. Aku tak bisa membayangkan bertarung

melawan seluruh penghuni Planet Mogadore di habitat

mereka.

"Mengambil Petiku," kata Nomor Enam. Dia menarik

selimut menutupi kepalanya lagi.

"Lalu apa?"

"Latihan?"

"Lalu apa?" tanyaku.

"Kurasa kita harus menemukan yang lainnya."

"Itu terdengar seperti sibuk melarikan diri tanpa

melakukan apa-apa. Aku pikir Henri atau Katarina pasti ingin

kita melakukan sesuatu yang lebih produktif, seperti

mempelajari cara membunuh musuh tertentu. Kau tahu apa

piken itu?"

"Itu hewan buas raksasa yang menghancurkan

sekolah," kata Nomor Enam.

"Kalau kraut?"

"Itu hewan buas yang ukurannya lebih kecil, yang

menyerang kita di gedung olahraga," jawabnya. "Kenapa?"

"Aku mendengar kedua nama itu dalam mimpi,

waktu kita di North Carolina, waktu kau dan Sam

mendengarku berbicara dengan bahasa Mogadorian.

Padahal, sebelumnya aku tak pernah mendengarnya. Aku

dan Henri biasanya menyebut hewan-hewan itu dengan

?hewan buas'." Aku berhenti. "Baru-baru ini aku juga

bermimpi."

"Mungkin kau bukan bermimpi," kata Nomor Enam.

"Mungkin kau mendapatkan penglihatan."

Aku mengangguk. "Sulit mengatakan perbedaannya.

Maksudku, kedua mimpi itu terasa seperti saat aku melihat

citra Lorien, tapi aku bukan berada di Lorien," kataku. "Henri

pernah bilang bahwa aku melihat citra karena citra tersebut

memiliki kaitan tertentu denganku. Dan memang selalu

begitu?citra-citra yang selama ini kulihat selalu berupa hal
hal yang sudah terjadi. Tapi kupikir apa yang kulihat dalam

mimpi pagi ini Entahlah. Rasanya aku menyaksikan sesuatu

yang benar-benar terjadi."

"Keren," kata Sam. "Kau seperti TV"

Nomor Enam menggumpalkan tisu, lalu

melemparkannya ke atas. Tanpa berpikir, aku membakarnya

dan tisu itu pun lenyap sebelum mendarat di karpet. Lalu,

Nomor Enam berkata, "Itu bukannya tidak mungkin, John.

Sebagian orang Lorien memang bisa begitu, setidaknya itulah

yang Katarina bilang."

"Tapi anehnya, aku pikir aku ada di Mogadore?

omong-omong, planet itu memang tampak menjijikkan

seperti yang kubayangkan. Udaranya pekat dan membuat

mataku berair. Segalanya tampak tandus dan kelabu. Tapi,

bagaimana aku bisa ada di sana? Dan kenapa salah satu

Mogadorian berbadan besar di Mogadore itu seperti bisa

merasakan bahwa aku ada di sana?"

"Sebesar apa?" tanya Sam.

"Raksasa. Dua kali lipat prajurit yang pernah kulihat.

Enam meter, mungkin lebih. Dari melihatnya saja, aku tahu

dia juga jauh lebih pintar dan kuat. Mogadorian itu pasti

semacam pimpinan. Sudah dua kali aku melihatnya. Yang

pertama ketika aku mencuri dengar informasi yang

disampaikan oleh salah satu anak buah kepadanya?

mengenai kami dan apa yang terjadi di sekolah. Pada kali

kedua, aku melihatnya saat bersiap menaiki pesawat. Namun

sebelum dia naik, salah satu anak buahnya berlari dan

menyerahkan sesuatu kepadanya. Awalnya aku tak tahu

benda apa itu. Tapi tepat sebelum pintu pesawat ditutup, dia

berbalik ke arahku untuk memastikan aku bisa melihat benda

itu."

"Benda apa itu?" tanya Sam.

Aku menggelengkan kepala, menggulung tisuku, Ialu

membakarnya di telapak tanganku. Aku memandang ke pintu

belakang, melihat matahari tenggelam, jingga dan merah

muda terang seperti matahari terbenam di Florida yang biasa

aku dan Henri pandangi dari beranda rumah kami.

Seandainya dia ada di sini untuk membantu memahami

semua ini.

"John? Benda apa itu? Benda apa yang dia pegang?"

tanya Nomor Enam.

Aku mengangkat tangan dan memegang liontinku.

"Ini. Liontin-liontin seperti ini. Dia punya liontin.

Tiga. Para Mogadorian pasti mengambilnya setelah

membunuh. Dan pemimpin bertubuh raksasa itu, atau apa

pun jabatannya, dia mengenakan liontin-liontin itu di

lehernya seperti medali Olimpiade. Dia berdiri cukup lama di

sana sehingga aku bisa melihatnya. Setiap liontin berpijar

biru terang. Saat aku terbangun, liontinku juga bersinar."

"Jadi maksudmu kau melihat masa depan, seperti

baru saja melihat takdirmu? Atau mungkin kau hanya mimpi

aneh karena stres?" tanya Sam.

Aku menggelengkan kepala. "Aku rasa Nomor Enam

benar dan semua itu adalah penglihatan akan apa yang

sedang terjadi. Tapi yang membuatku takut adalah jika

Mogadorian itu naik pesawat, kemungkinan besar dia

menuju ke sini. Dan, jika Nomor Enam benar mengenai

seberapa cepat pesawat itu bergerak, pasti tak lama lagi dia

sampai."

11

YANG KUINGAT MENGENAI KEDATANGAN KAMI KE Santa

Teresa kebanyakan hanya berupa potongan-potongan dari

perjalanan panjang yang kukira tak akan pernah berakhir. Aku

ingat perut lapar, kaki sakit, dan terus-menerus kelelahan.

Aku ingat Adelina mengemis recehan demi makanan. Aku

ingat mabuk laut dan muntah karenanya. Aku ingat

pandangan jijik orang-orang yang lewat. Aku ingat setiap kali

kami ganti nama. Aku juga ingat Peti Loric itu, yang begitu

membebani. Namun seburuk apa pun situasi kami, Adelina

tak mau melepaskan Peti itu. Saat akhirnya kami mengetuk

pintu yang dibukakan Suster Lucia, aku ingat Peti itu ada di

bawah, tersembunyi di antara kedua kaki Adelina. Aku yakin

dia menyembunyikannya di salah satu pojok gelap dan

tersembunyi di panti asuhan. Aku selalu mencari, tanpa hasil,

tapi aku terns mencari.

Pada hari Minggu, satu minggu setelah Ella tiba, kami

duduk bersama di bangku belakang pada saat Misa. Ini Misa

pertamanya. Misa itu sama seperti aku dulu, juga sama sekali

tak menarik perhatian Ella. Selain waktu sekolah, dia selalu

berada di sampingku sejak pagi ketika aku membantunya

merapikan tempat tidur. Kami pergi dan pulang sekolah

bersama-sama, sarapan dan makan malam bersama-sarna,

mengucapkan doa malam bersama-sama. Aku semakin dekat

dengannya. Aku tahu dia juga semakin dekat denganku dari

caranya mengikutiku ke mana-mana.

Pastor Marco sudah berceloteh selama empat puluh

lima menit, dan akhirnya aku menutup mata, memikirkan gua

dan menimbang apakah sebaiknya membawa Ella ke sana

bersamaku hari ini. Ada beberapa masalah. Pertama, di

dalam sana tak ad a cahaya sama sekali, Ella tak mungkin bisa

melihat di alam gelap sepertiku. Kedua, salju belum mencair,

dan aku tak yakin Ella bisa berjalan sejauh itu. Tapi yang

paling penting, aku khawatir dia akan terlibat bahaya jika aku

membawanya. Para Mogadorian bisa tiba kapan pun, dan Ella

tak bisa melawan. Namun, aku tetap ingin mengajaknya

walaupun dengan banyak masalah seperti itu. Aku ingin

menunjukkan lukisanku kepadanya.

Pada hari Selasa, beberapa saat sebelum kami

berangkat ke sekolah, aku mendapati Ella membungkuk di

tempat tidurnya. Aku memandang dari balik bahunya dengan

mulut sibuk mengunyah biskuit dan melihat, ternyata dia

sedang mengarsir gambar kamar tidur kami. Kemampuannya

menggambar sinar matahari yang menembus jendela pada

pagi hari, serta setiap retakan di dinding dengan begitu tepat

benar-benar luar biasa. Aku seperti melihat sebuah foto

hitam-putih.

"Ella!" seruku.

Dia membalik kertas itu, lalu menjejalkannya ke

dalam buku sekolah dengan tangan mungilnya yang kotor

terkena noda pensil. Dia tahu itu aku, tapi dia tak berbalik.

"Dari mana kau belajar itu?" bisikku. "Dari mana kau

belajar menggambar sebagus itu?"

"Ayahku," bisiknya sambil membalikkan gambar tadi.

"Dia seniman. Ibuku juga."

Aku duduk di tempat tidurnya. "Padahal, kupikir aku

ini pelukis hebat."
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayahku pelukis yang sangat hebat," katanya datar.

Sebelum bisa bertanya lebih banyak, percakapan kami

terputus dan kami disuruh keluar dari ruangan itu oleh Suster

Carmela. Malam itu aku menemukan gambar Ella di bawah

bantalku. Itu hadiah terbaik yang pernah kuterima.

Sambil duduk di Misa, kupikir mungkin Ella bisa

membantuku dengan lukisan-lukisan guaku. Aku yakin bisa

menemukan senter atau lentera di sini untuk dibawa ke

sana. Lamunanku terputus akibat cekikikan di sampingku.

Aku membuka mata dan melihat. Seekor ulat bulu

merah-dan-hitam sedang merayap memanjat lengan Ella.

Aku meletakkan jari di depan bibir untuk menyuruhnya diam.

Ella berhenti sejenak, tapi kemudian ulat itu merayap lebih

tinggi dan dia mulai cekikikan lagi. Wajahnya memerah

karena menahan tawa, tapi usahanya itu justru membuatnya

semakin ingin tertawa. Akhirnya, dia tak kuat menahannya

dan serangkaian tawa pun terlepas dari mulutnya. Setiap

kepala di ruangan itu menoleh untuk melihat apa yang

terjadi. Pastor Marco menghentikan khotbahnya di tengah
tengah kalimat. Aku mengambil ulat itu dari lengan Ella, lalu

duduk tegak, menatap orang-orang yang memandang kami.

Ella berhenti tertawa. Perlahan-lahan kepala-kepala itu

kembali memandang ke depan. Pastor Marco, yang lupa

sampai di mana kata-katanya tadi, melanjutkan khotbahnya.

Aku duduk dengan tangan memegang ulat. Ulat itu

meronta berusaha membebaskan diri. Satu menit kemudian,

aku membuka kepalan tanganku dengan begitu tiba-tiba

sehingga hewan kecil berbulu itu bergelung. Ella mengangkat

alis dan menangkupkan kedua tangannya. Aku meletakkan

ulat itu di tangan Ella. Dia duduk dan tersenyum memandangi

hewan itu.

Aku memandang deretan bangku depan. Aku sama

sekali tak terkejut melihat Suster Dora melotot tajam ke

arahku. Dia menggelengkan kepala sebelum berpaling

kembali menatap Pastor Marco.

Aku membungkuk ke arah Ella.

"Saat doa selesai," bisikku ke telinganya, "kita harus

keluar dari sini secepat mungkin. Dan jauh-jauh dari Suster

Dora."

Ella menatapku dengan mata cokelatnya yang besar,

menyebabkan kepalanya seolah terbebani dengan

rambutnya yang kukepang erat sebelum Misa.

"Apa aku kena masalah?"

"Kita akan baik-baik saja," kataku kepadanya. "Tapi

untuk jaga-jaga, kita harus cepat-cepat keluar dari sini

sebelum Suster Dora menangkap kita. Mengerti?"

"Mengerti," katanya.

Namun, kami gagal. Saat Misa tinggal beberapa menit

lagi, Suster Dora bangkit lalu berjalan dengan tenang ke

belakang dan berdiri di dekat pintu, tak jauh dari kami. Ketika

aku membuka mataku kembali sambil membuat tanda salib

setelah doa penutup selesai, Suster Dora meletakkan

tangannya di bahu kiriku.

"Tolong, ikut aku," kata Suster Dora kepada Ella

sambil mengulurkan tangan melewatiku untuk meraih

pergelangan tangannya.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku.

Suster Dora menarik Ella melewatiku. "Bukan

urusanmu, Marina."

"Marina," Ella memohon. Dia memandangku dengan

mata ketakutan sambil diseret pergi. Aku panik dan bergegas

ke depan tempat Adelina berdiri dan berbicara dengan

seorang perempuan dari kota.

"Suster Dora menarik dan menyeret Ella pergi,"

kataku cepat, menyela percakapannya. "Kau harus

menghentikannya, Adelina!"

Adelina memandangku heran. "Aku tak akan

melakukan itu. Dan panggil aku Suster Adelina. Nah, Marina,

maaf tapi aku sedang sibuk," katanya.

Aku menggelengkan kepala. Air mata menggenangi

mataku. Adelina tak ingat seperti apa rasanya meminta

tolong tanpa hasil.

Aku berbalik dan berlari keluar dari ruangan itu, lalu

menaiki tangga yang berkelok-kelok menuju kantor gereja.

Di kiri, di ujung lorong, satu-satunya pintu yang tertutup

adalah pintu kantor Suster Lucia. Aku berlari

menghampirinya sambil menimbang-nimbang apa yang

harus kulakukan. Haruskah aku mengetuk? Haruskah aku

menerjang masuk? Tapi aku tak sempat melakukan apa pun.

Saat hampir meraih knop pintu, aku mendengar lecutan alat

pukul yang langsung disusul suara jeritan. Aku membeku

karena kaget. Ella menangis di balik pintu, dan sedetik

kemudian, pintu itu dibuka oleh Suster Dora.

"Apa yang kau lakukan di sini?!" bentaknya. "Aku

ingin bertemu Suster Lucia," aku berbohong.

"Dia tidak di tempat, dan kau seharusnya ada di

dapur. Pergilah," katanya sambil mengusirku pergi.

"Aku juga mau ke sana."

"Apa dia baik-baik saja?"

"Marina, itu bukan urusanmu," tukas Suster Dora.

Kemudian, dia mencengkeram lenganku, memutar tubuhku,

lalu mendorongku pergi.

"Pergilah!" perintahnya.

Aku menjauhi kantor itu dengan perasaan benci

terhadap rasa takut yang meliputiku setiap kali menghadapi

konfrontasi. Selalu begitu, baik dengan para Suster, Gabriela

Garcia, maupun Bonita saat di dermaga. Aku selalu dilanda

perasaan gelisah, yang kemudian langsung berubah jadi rasa

takut, dan akhirnya membuatku mundur.

"Jalan yang cepat!" bentak Suster Dora yang berjalan

di belakangku. Kami menuruni tangga menuju dapur tempat

tugas El Festin menanti.

"Aku harus ke kamar mandi," kataku sebelum

mencapai dapur. Aku bohong. Aku ingin memastikan Ella

baik-baik saja.

"Ya, sudah. Tapi, sebaiknya kau cepat-cepat.

Waktunya kuhitung."

"Ya."

Aku bersembunyi di belokan dan menunggu tiga

puluh detik untuk memastikan dia sudah pergi. Kemudian

aku bergegas kembali, menaiki tangga, dan melintasi koridor.

Pintu kantor itu terbuka sedikit dan aku masuk. Bagian

dalamnya gelap, suram. Selapis debu menutupi rak-rak berisi

buku-buku kuno yang berderet di dinding. Cahaya di ruangan

itu hanya berasal dari sinar yang menembus jendela kaca

patri yang kotor.

"Ella?" kataku, mengira bahwa dia bersembunyi. Tak

ada jawaban. Aku berjalan dan mengintip ke dalam ruangan
ruangan yang ada di koridor utama itu, semuanya kosong.

Aku memanggil namanya sambil berjalan. Kamar tidur para

Suster ada di seberang koridor. Di sana juga tak ada tanda
tanda keberadaan Ella. Aku kembali menuruni tangga. Orang
orang berjalan menuju kantin. Aku pergi ke panti umat

mencari Ella. Dia tak ada di sana. Dia juga tidak ada di kedua

kamar tidur, atau di ruangan komputer, atau di ruangan

penyimpanan. Saat selesai mengecek semua tempat yang

terpikirkan olehku, setengah jam sudah berlalu dan aku tahu

aku akan kena masalah jika pergi ke kantin.

Namun, aku malah bergegas melepaskan pakaian hari

Mingguku, meraih mantel dari gantungan, mengambil

selimut dari tempat tidur, kemudian berlari keluar. Aku

berjalan melintasi salju menjauhi kota, tanpa bisa

menyingkirkan suara lecutan alat pukul dan jeritan Ella dari

benakku. Aku juga tak bisa memaafkan sikap kasar Adelina

terhadapku. Seluruh tubuhku tegang. Aku memusatkan

energi ke sejumlah batu besar yang kulewati, kemudian

mengangkat dan melemparkan batu-batu itu ke lereng

gunung dengan menggunakan telekinesis. Itu cara yang

bagus untuk meredakan amarah. Permukaan salju sudah

mengeras, menciptakan lapisan tipis es yang langsung remuk

saat diinjak, tapi tak bisa menahan batu-batu meluncur

turun. Aku begitu marah sehingga ingin membiarkan batu
batu itu meluncur ke arah kota. Tapi aku menghentikan batu
batu itu. Aku tidak marah terhadap kota itu, tetapi terhadap

tempat yang namanya sama dengan kota itu serta orang
orang yang tinggal di situ.

Aku melewati punggung bukit?setengah kilometer

lagi. Matahari tergantung tinggi di langit dan agak miring ke

arah timur, sinarnya terasa hangat di wajahku. Itu berarti aku

punya setidaknya lima jam sebelum terpaksa pulang. Sudah

lama aku tak memiliki waktu bebas selama ini. Matahari

bersinar cerah dan angin segar bertiup, membuat suasana

hatiku membaik. Aku tak peduli jika kena masalah saat

pulang nanti. Aku berbalik untuk mengecek seberapa

bagusnya selimut menyembunyikan jejakku di salju yang

mengeras. Tapi, ternyata selimutku tak berfungsi sama sekali

hari ini. Aku cemas.

Meskipun begitu, aku terns berjalan hingga melihat

semak-semak bulat mencuat di atas salju. Aku berlari

menghampirinya. Awalnya, aku tidak memperhatikan

sesuatu yang seharusnya kulihat: salju di bagian bawah gua

itu berantakan. Tapi, saat aku mencapai mulut gua, aku

langsung sadar ada yang tak beres.

Dari arah selatan, sepasang jejak sepatu bot dengan

ukuran dua kali kakiku menghiasi lereng gunung membentuk

sebuah garis lurus membelah salju, mengarah dari kota

menuju gua. Jejak itu tampak seperti berputar-putar

mengelilingi mulut gua. Aku bingung, yakin ada sesuatu yang

terlewatkan. Lalu, aku menyadarinya. Jejak itu?jejak itu

mengarah ke gua, tapi tidak mengarah keluar.

Siapa pun pemilik jejak itu masih ada di dalam sana.

12

MEREKA DI SINI! PIKIRKU. SETELAH SEKIAN lama, akhirnya

para Mogadorian ada di sini!

Aku berbalik terlalu cepat sehingga terpeleset dan

jatuh di salju. Aku cepat-cepat merangkak mundur menjauhi

mulut gua, sepatuku terbelit selimut. Air mata merebak

mengaburkan pandanganku. Jantungku berdegup kencang.

Aku berhasil mengendalikan diri dan berlari secepat

mungkin. Aku bahkan tak menengok ke belakang untuk

melihat apakah ada yang membuntutiku. Aku melesat
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintasi daerah bersalju yang tadi kulewati, berlari kencang

tanpa melihat ke mana kakiku berpijak. Pepohonan di

bawahku tampak kabur, begitu juga dengan awan di atasku.

Aku bisa merasakan selimut berkelepak di belakang bahuku,

berkibar-kibar terkena angin seperti jubah pahlawan super.

Aku tersandung dan tergelincir, tapi segera bangkit dan

berlari kencang kembali, melompati tebing yang berbentuk

seperti punggung unta, dan jatuh kembali saat mendarat.

Akhirnya, aku berlari melewati pohon birch dan kembali ke

biara. Perjalanan ke atas tadi memakan waktu hampir dua

puluh lima menit, berlari ke bawah hanya menghabiskan

lima menit. Seperti kemampuan bernapas dalam air,

kemampuan berlari kencang juga muncul pada saat aku

memerlukannya.

Aku melepaskan selimut dari leherku, bergegas

melewati pintu ganda, dan mendengar keriuhan makan siang

dari ruang makan. Aku berlari menaiki tangga berkelok, lalu

menyusuri koridor sempit. Minggu ini giliran Adelina libur.

Aku memasuki kamar tempat para Suster tidur. Adelina

duduk dengan anggun sambil memangku Alkitab di salah satu

dari dua kursi bersandaran tinggi. Dia menutup Alkitab itu

saat melihatku datang.

"Kenapa kau tidak di kantin?" tanyanya.

"Kupikir mereka di sini," kataku kehabisan napas,

tanganku gemetaran. Aku membungkuk memegangi lutut.

"Siapa?"

"Kau tahu siapa!" teriakku. Lalu, dengan gigi terkatup:

"Mogadorian."

Matanya menyipit tak percaya. "Di mana?"

"Aku pergi ke gua?"

"Gua apa?" selanya.

"Tak penting gua apa! Ada sepasang jejak sepatu bot

di luarnya, jejak sepatu bot yang besar?"

"Tunggu, Marina. Jejak sepatu bot di luar sebuah

gua?"

"Ya," jawabku.

Adelina tersenyum dan aku langsung sadar bahwa

mendatanginya itu suatu kesalahan. Seharusnya aku tahu dia

tak akan memercayaiku, aku merasa begitu bodoh dengan

berdiri di depannya. Aku menegakkan tubuh. Aku tak tahu

tanganku harus kuapakan.

"Aku ingin tahu di mana Petiku," kataku, bukan

dengan nada yang percaya diri, tapi juga bukan dengan nada

yang segan-segan.

"Peti apa?"

"Kau tahu Peti apa!"

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku masih

menyimpan benda usang itu?" tanyanya dengan tenang.

"Karena jika tidak menyimpannya, itu berarti kau

mengkhianati bangsamu," kataku.

Adelina membuka Alkitabnya kembali dan pura-pura

membaca. Aku berpikir untuk pergi, tapi aku kembali teringat

jejak sepatu bot di salju.

"Di mana benda itu?" tanyaku.

Adelina terus mengabaikanku. Jadi, aku menjangkau

dengan pikiran dan merasakan benda itu, halaman
halamannya yang tipis dan berdebu serta kontur sampulnya.

Aku menutup Alkitab itu dengan cepat. Adelina terlonjak.

"Katakan di mana benda itu!"

"Kurang ajar! Kau pikir kau itu siapa?"

"Aku ini anggota Garde, dan takdir seluruh bangsa

Lorien bergantung pada keselamatanku, Adelina! Kenapa kau

berpaling dari mereka? Kenapa kau berpaling dari manusia

juga? John Smith, yang aku yakini merupakan anggota Garde,

sedang melarikan diri di Amerika Serikat. Saat dihadang

polisi baru-baru ini, John Smith bisa menggerakkan si polisi

itu tanpa menyentuhnya. Seperti aku. Seperti yang baru saj a

kulakukan terhadap kitabmu. Apa kau tak lihat apa yang

terjadi, Adelina? Jika kita tidak mulai membantu, tidak hanya

Lorien yang lenyap untuk selamanya, tapi juga Bumi serta

panti asuhan konyol dan kota konyol ini!"

"Beraninya kau mengatakan tempat ini konyol!"

Adelina melangkah menghampiriku dengan tangan terkepal.

"Ini satu-satunya tempat yang mengizinkan kita masuk,

Marina. Kita hidup karena tempat ini. Lalu, apa yang Lorien

lakukan untuk kita? Para Loric menyuruh kita pergi naik

pesawat selama satu tahun, lalu menelantarkan kita di

sebuah planet kejam tanpa rencana atau petunjuk apa pun,

selain bersembunyi dan berlatih. Berlatih untuk apa?"

"Untuk mengalahkan para Mogadorian. Untuk

merebut kembali Lorien." Aku menggelengkan kepala. "Saat

ini yang lainnya mungkin ada di luar sana, bertempur,

memikirkan cara untuk berkumpul dan pulang, sementara

kita terjebak di penjara ini tanpa melakukan apa pun."

"Aku menjalani hidupku dengan tujuan membantu

manusia dengan doa dan pelayananku. Dan seharusnya kau

juga begitu."

"Tugasmu di Bumi ini hanyalah untuk membantu

diriku."

"Kau masih hidup, kan?"

"Hanya sekadar hidup, Adelina."

Adelina duduk kembali di kursinya dan membuka

Alkitab di pangkuan. "Lorien sudah mati, Marina. Jadi, apa

gunanya?"

"Lorien tidak mati. Lorien berhibernasi. Kau sendiri

yang bilang. Dan yang penting, kita belum mati."

Dia menelan ludah. "Hukuman mati sudah dijatuhkan

kepada kita semua," katanya dengan suara agak serak. Lalu,

dengan nada yang jauh lebih lembut, dia berkata, "Sejak

awal, hidup kita sudah penuh malapetaka. Kita harus berbuat

baik agar kehidupan kita di alam baka nanti juga baik."

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Karena begitulah kenyataannya. Kita ini yang

terakhir dari sebuah bangsa yang akan punah, sebentar lagi

kita juga akan lenyap. Semoga Tuhan menolong kita ketika

waktunya telah tiba."

Aku menggelengkan kepala. Aku tak ingin membahas

Tuhan.

"Di mana Petiku? Di kamar ini?" Aku berjalan

mengelilingi kamar itu sambil mendongak menelusuri tepi

langit-langit, lalu berjongkok dan mengintip ke bawah

beberapa tempat tidur.

"Kalaupun kau berhasil menemukannya, Peti itu tak

akan bisa kau buka tanpa diriku," katanya. "Kau kan tahu itu."

Adelina benar. Jika kata-katanya waktu itu bisa

dipercaya, ketika aku masih bisa memercayai apa yang dia

katakan, aku tak akan bisa membuka Peti itu tanpa dirinya.

Kesia-siaan itu menghantamku. Jejak sepatu di salju; John

Smith yang sedang dikejar-kejar; Santa

Teresa yang begitu terpencil; dan Adelina, Cepanku,

yang seharusnya menolong dan membantu melatih

Pusakaku, sekarang sudah melupakan misi kami. Dia bahkan

tak tahu Pusaka apa saja yang kumiliki. Aku memiliki

kemampuan melihat dalam gelap, bernapas dalam air, berlari

superkencang, menggerakkan benda-benda menggunakan

pikiranku, serta menghidupkan kembali tumbuhan yang

hampir mati. Rasa gelisah menerpaku. Lalu, pada saat yang

buruk itu, Suster Dora masuk. Dia berkacak pinggang.

"Kenapa kau tidak di dapur?"

Aku memandangnya dan cemberut, seperti diri
nya.

"Berisik," kataku sambil berderap keluar sebelum dia

sempat menjawab. Aku menyusuri koridor, menuruni tangga,

mengambil mantelku lagi, lalu mendorong pintu ganda.

Aku menatap sekelilingku dengan liar sambil berjalan

di tepi jalan yang dinaungi bayangan. Walaupun masih


Pendekar Rajawali Sakti 75 Kabut Hitam Pagi Siang Dan Malam Morning Noon Night You Got Me From Hello Karya Santhy

Cari Blog Ini