Ceritasilat Novel Online

The Power of Six 3

The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 3

merasa seperti diamati, aku tak melihat ada sesuatu yang

aneh. Aku mempercepat langkah saat menuruni bukit tanpa

kehilangan kewaspadaan. Saat tiba di kafe, aku masuk karena

hanya itu satu-satunya tern- pat yang buka. Sekitar setengah

dari dua puluh meja di kafe itu sudah ditempati, yang

membuatku bersyukur karena merasa perlu dikelilingi

banyak orang. Saat akan duduk, aku melihat Hector, sendirian

di pojokan, minum anggur.

"Kenapa kau tidak di El Festin?"

Hector melirikku. Dagunya dicukur bersih dan

matanya tampak jernih dan tajam. Dia juga tampak cukup

tidur, bahkan pakaiannya pun rapi. Sudah lama aku tak

melihatnya seperti ini. Aku bertanya-tanya berapa lama dia

bisa seperti ini.

"Kupikir kau tidak minum di hari Minggu," kataku,

dan langsung menyesal mengatakannya. Temanku hanyalah

Hector dan Ella, dan aku sudah kehilangan satu ternan hari

ini. Aku tak ingin membuat Hector marah juga.

"Kupikir juga begitu," katanya, tidak merasa

tersinggung. "Jika kau bertemu seseorang yang berusaha

menenggelamkan kesedihannya, tolong sampaikan

kepadanya bahwa kesedihannya itu bisa berenang. Sini,

duduk, duduk," katanya sambil menendang kursi di

depannya. Aku mengempaskan din ke kursi itu. "Apa kabar?"

"Aku bend tempat ini, Hector. Aku sangat

membencinya."

"Hari yang buruk?"

"Setiap hari di sini buruk."

"Eh, tempat ini tak terlalu parah."

"Kok, kamu bisa selalu ceria?"

"Alkohol," katanya sambil menyeringai miring. Dia

menuangkan isi botol dan mengisi gelas pertamanya. "Alcu

tak akan menyarankan ini kepada yang lain. Tapi sep ertinya

bagus buatku."

"Oh, Hector," kataku. "Andai kau tidak banyak

minum."

Dia terkekeh, lalu menyeruput minumannya. "Kau

tahu apa yang kuinginkan?"

"Apa?"

"Andai kau tidak selalu berwajah sedih, Marina si

Putri Laut."

"Aku tak tahu, aku begitu."

Hector mengedikkan bahu. "Aku memperhatikannya,

tapi Hector memang orang yang sangat peka."

Aku memandang ke kiri dan ke kanan, diam sebentar

untuk melihat setiap orang yang ada di kafe. Lalu, aku

mengambil serbet dari meja dan meletakkannya di

pangkuanku. Aku mengembalikannya ke meja. Kemudian,

aku meletakkannya lagi di pangkuanku.

"Apa yang mengganggumu?" tanya Hector, lalu

menenggak minuman itu.

"Semuanya."

"Semuanya? Termasuk aku?"

Aku menggelengkan kepala. "Oke, tidak semuanya."

Hector mengangkat alis, lalu mengerutkannya.

"Katakan."

Aku sangat ingin menceritakan rahasiaku kepadanya,

alasan mengapa aku ada di sini dan dari mana aku berasal.

Aku ingin menceritakan mengenai Adelina serta apa

tugasnya, dan apa yang sekarang dia lakukan. Aku ingin

Hector tahu tentang yang lainnya, yang ada di luar sana

melarikan diri atau bertempur, atau mungkin juga hanya

duduk diam sepertiku hingga debu menumpuk. Jika ada

orang yang bisa kupercaya untuk jadi sekutuku, yang akan

membantuku dengan segala cara, pastilah itu Hector. Lagi

pula, dia itu seorang pelindung yang teguh dan juga

dilahirkan dengan kekuatan dan keberanian seperti

namanya.

"Apa kau pernah merasa bahwa tempatmu bukan di

sini, Hector?"

"Ya. Sering."

"Jadi, kenapa kau tinggal? Kau kan, bisa pergi ke

mana Baja."

Dia mengangkat bahu. "Karena beberapa hal." Dia

menuangkan anggur ke gelasnya lagi. "Salah satunya, tak ada

orang lain yang bisa merawat ibuku. Lagi pula tempat ini

rumahku, dan aku tak yakin keadaan di luar sana lebih baik.

Pengalaman mengajarkanku bahwa keadaan tidak menjadi

lebih baik jika kita hanya mengubah pemandangannya."

"Mungkin begitu, tapi aku ingin segera pergi.

Waktuku di panti asuhan tinggal empat bulan kurang. Jangan

katakan ini kepada siapa pun, tapi aku pikir aku akan pergi

lebih cepat."

"Kupikir itu bukan gagasan yang bagus, Marina. Kau

masih terlalu muda untuk hidup sendiri. Kau mau ke mana?"

"Amerika," jawabku tanpa ragu.

"Amerika?"

"Ada orang yang ingin kutemui di sana."

"Jika pendirianmu begitu teguh, kenapa kau belum

pergi juga?"

"Takut," kataku. "Terutama karena takut."

"Kau bukan yang pertama," kata Hector sambil

mengosongkan gelasnya. Matanya tidak setajam tadi. "Kunci

perubahan adalah mengatasi rasa takut."

"Aku tahu."

Pintu kafe terbuka, dan seorang lelaki tinggi masuk.

Dia berjubah panjang dan membawa sebuah buku tua. Laki
laki itu melewati kami dan duduk di meja di sudut sebelah

sana. Rambutnya hitam dan alisnya tebal. Kumis tebal

menutupi bibir atasnya. Aku tak pernah melihat laki-laki itu.

Namun, saat dia mendongak dan menatap mataku, aku

langsung merasa ada sesuatu dari dirinya yang tidak kusukai

sehingga aku buruburu mengalihkan pandangan. Dari sudut

mataku, aku bisa melihat lelaki itu masih menatapku. Aku

berusaha mengabaikannya. Aku melanjutkan

perbincanganku dengan Hector, atau lebih tepat jika

dikatakan aku mengoceh tak jelas sambil memandangi

Hector menuangkan anggur merah ke dalam gelasnya. Aku

tak menyimak apa pun yang Hector katakan.

Lima menit kemudian, lelaki itu masih menatapku.

Aku merasa sangat terganggu sehingga kafe tampak berputar.

Aku mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik kepada

Hector, "Kau kenal laki-laki yang ada di ujung sebelah sana

itu?"

Dia menggelengkan kepala. "Tidak, tapi aku juga tahu

dia mengamati kita. Dia ada di sini hari Jumat, duduk di kursi

yang sama, dan membaca buku yang sama."

"Ada sesuatu yang tak kusuka dari dirinya, tapi aku

tak tahu apa."

"Jangan khawatir, ada aku di sini," katanya.

"Aku harus pergi," kataku. Aku merasa sangat ingin

kabur. Aku berusaha tidak melihat laki-laki itu, tapi ternyata

aku tetap memandangnya. Dia sedang membaca buku.

Sampul bukunya seakan sengaja dimiringkan ke arahku agar

aku bisa melihat. Sampul buku itu berwarna abu-abu kotor

dan tampak rapuh serta usang.

PITTACUS DARI MYTILENE

DAN

PERANG ATHENA
Pittacus? Pittacus? Laki-laki itu memandangku lagi.

Walaupun tak bisa melihat bagian bawah wajahnya, dari

matanya aku tahu dia sedang menyeringai. Aku langsung

merasa seolah ditubruk kereta api. Mungkinkah ini

Mogadorian pertamaku?

Aku terlompat sehingga lututku menabrak bagian

bawah meja dan hampir saja menumbangkan botol anggur

Hector. Kursiku terguling ke belakang dan jatuh ke lantai.

Semua orang di kafe itu menoleh ke arahku.

"Aku harus pergi, Hector," kataku. "Aku harus pergi."

Aku tersaruk-saruk ke pintu, lalu berlari lintang
pukang, lebih cepat daripada mobil yang sedang ngebut, tak

peduli jika ada yang melihatku. Aku tiba di Santa Teresa

dalam beberapa detik. Aku menerobos pintu ganda, lalu

langsung membantingnya hingga tertutup. Aku bersandar di

pintu dan menutup mata. Aku berusaha meredakan napasku

yang memburu, juga kaki dan lenganku yang berdenyut
denyut, serta bibir bawahku yang bergetar. Keringat mengalir

di samping wajahku.

Aku membuka mata. Adelina berdiri di depanku dan

aku langsung menyurukkan kepala ke pelukannya,

melupakan kemarahan kami satu jam yang lalu. Dia

memelukku ragu-ragu, mungkin bingung karena tibatiba aku

menunjukkan perasaan yang sudah lama tak kuperlihatkan.

Dia melepaskan pelukannya. Aku membuka mulut untuk

mengatakan apa yang baru saja kulihat, tapi dia

menyentuhkan jari ke bibirnya, persis yang kulakukan

terhadap Ella di Misa. Lalu, dia berbalik dan pergi.

Malamnya, setelah makan malam dan sebelum

berdoa, aku berdiri di samping jendela kamar tidur,

memandangi kegelapan, mengamati jika ada sesuatu yang

mencurigakan di luar.

"Marina? Kau sedang apa?"

Aku berbalik. Ella berdiri di belakangku. Aku tak

mendengarnya mendekat. Caranya berjalan di koridor

seperti hantu.

"Eh, ternyata kamu di sini," kataku dengan perasaan

lega. "Kau baik-baik saja?"

Ella mengangguk, tapi mata cokelatnya yang besar

berkata lain. "Kau sedang apa?" ulangnya.

"Hanya memandang ke luar."

"Untuk apa? Kau selalu memandang ke luar jendela

sebelum tidur."

Benar. Sejak malam ketika Ella tiba, sejak aku melihat

seorang laki-laki memandangiku dari jendela di aula, aku

selalu memandang ke luar sebelum tidur untuk mengecek

laki-laki itu. Sekarang, aku yakin lakilaki itu sama dengan laki
laki yang kulihat di kafe hari ini.

"Aku mengamati orang jahat, Ella. Kadang-kadang di

luar sana ada orang jahat."

"Oh, ya? Seperti apa mereka?"

"Sulit dijelaskan," jawabku. "Kupikir mereka sangat

tinggi dan biasanya wajah mereka tampak kejam dan jahat.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kadang-kadang mereka juga berotot, seperti ini,"

tambahku sambil berpose seperti binaragawan.

Ella terkikik. Kemudian, dia berjalan ke jendela,

berjinjit, lalu mengangkat tubuhnya untuk memandang ke

luar.

Sudah beberapa jam berlalu sejak kejadian di kafe

tadi, dan aku sudah agak tenang.

Aku menyentuhkan jari telunjukku ke jendela

berembun dan menorehkan dua garis membentuk satu

gambar.

"Itu angka tiga," kata Ella.

"Betul. Aku yakin kau bisa menggambar lebih baik

dari itu, ya?"

Ella tersenyum, lalu menempelkan jarinya ke bagian

bawah jendela. Segera saja dia membuat sebuah gambar

indah, rumah pertanian serta kandang di belakangnya. Aku

memandang saat angka tigaku hilang di balik lumbung Ella

yang sempurna.

Tiga adalah satu-satunya alasan kenapa hari ini aku

dibiarkan pergi dari kafe itu. Tiga adalah jarak antara John

Smith hingga diriku. Dari caranya diburu, sekarang aku benar
benar yakin bahwa John Smith itu si Nomor Empat?sama

seperti aku yakin bahwa lelaki di kafe itu adalah Mogadorian.

Kota ini begitu kecil sehingga aku jarang melihat orang yang

tak kukenali. Lagi pula bukunya?Pittacus dari Mytilene dan

Perang Athena?serta matanya yang terus-menerus

menatapku bukanlah suatu kebetulan. Aku sudah mendengar

nama "Pittacus" sejak kecil, lama sebelum kami tiba di Santa

Teresa.

Nomorku: Tujuh. Itu satu-satunya perlindunganku,

pertahanan terkuatku. Walaupun mungkin terdengar kejam,

tiga Loric lain harus mati sebelum aku bisa dibunuh. Selama

mantra pelindung masih berfungsi. Kupikir karena itulah, aku

dibiarkan duduk di kafe tanpa diserang. Yang jelas, jika lelaki

itu memang Mogadorian, mereka tahu di mana aku berada.

Mereka juga bisa menculikku kapan pun mereka mau dan

mengurungku sampai Nomor Empat hingga Nomor Enam

dibunuh. Andai aku tahu apa yang menahan mereka dan

mengapa aku diizinkan tidur di tempat tidurku malam ini.

Aku hanya tahu bahwa mantra pelindung menyebabkan kami

tak bisa dibunuh secara acak. Tapi mungkin masih ada rahasia

lain.

"Kita, aku dan kau, sekarang satu tim," kataku. Ella

memberikan sentuhan terakhir pada lukisan jendelanya,

menorehkan tanduk di atas kepala sejumlah sapi.

"Kau mau satu tim denganku?" tanyanya dengan nada

tak percaya.

"Pasti," kataku sambil mengulurkan jari kelingking.

"Ayo, kita berjanji."

Ella tersenyum lebar dan mengaitkan jari

kelingkingnya ke jari kelingkingku. Aku menggoyangnya satu

kali.

"Nah, janji," kataku.

Kami kembali memandang jendela. Ella menghapus

lukisan dengan bagian bawah telapak tangannya. "Aku tak

suka di sini."

"Percayalah, aku juga tak suka di sini. Tapi jangan

khawatir, sebentar lagi kita berdua akan keluar dari tempat

ini."

"Benarkah? Kita pergi sama-sama?"

Aku menoleh dan memandangnya. Bukan itu yang

kumaksud, tapi tanpa berpikir dua kali aku mengangguk

setuju. Kuharap ini bukan suatu janji yang nantinya akan

kusesali. "Jika kau masih di sini saat aku pergi, kita akan pergi

sama-sama. Setuju?"

"Setuju! Dan aku tak akan membiarkan mereka

menyakitimu."

"Siapa?" tanyaku.

"Orang jahat."

Aku tersenyum. "Aku senang sekali."

Ella menjauhi jendela itu dan berjalan ke jendela

lain, sekali lagi mengangkat tubuhnya untuk memandang ke

luar. Seperti biasa, dia berjalan seperti hantu, tanpa suara.

Aku masih tak tahu di mana dia bersembunyi hari ini, tapi di

mana pun tempat persembunyiannya, pastilah tempat itu tak

bisa ditemukan orang. Lalu, suatu gagasan muncul di

benakku.

"Hei, Ella! Aku perlu bantuanmu," kataku. Ella turun

dari jendela dan memandangku dengan bersemangat. "Aku

sedang mencari sesuatu, tapi benda itu disembunyikan."

"Benda apa?" tanyanya sambil mencondongkan

tubuh dengan bersemangat.

"Sebuah peti. Peti itu terbuat dari kayu dan tampak

sangat tua, seperti yang biasa ada di kapal bajak laut." "Peti

itu ada di sini?"

Aku mengangguk. "Peti itu ada di suatu tempat di

sini, tapi aku tak tahu di mana. Seseorang menyembunyikan

Peti itu dengan sangat baik. Kau gadis paling pintar yang

kukenal. Kurasa kau bisa menemukannya dengan cepat."

Wajah Ella berseri-seri dan dia mengangguk
anggukkan kepala dengan cepat. "Aku akan mencarikannya,

Marina! Kita kan satu tim!"

"Benar," aku sepakat. Kita memang satu tim!"[]

13

NOMOR ENAM MENYETIR SUV HITAM LEGAM KAMI, pergi ke

kota untuk berbelanja. Beberapa hari lalu, SUV itu terparkir

di sebuah halaman rumah dengan tulisan "Dijual", sekitar

lima kilometer dari tempat kami menginap. Dan kami

langsung membelinya seharga seribu lima ratus dolar, tunai.

Sementara Nomor Enam pergi, aku dan Sam berlatih tanding

di halaman belakang. Sudah seminggu kami bertiga berlatih,

dan aku kagum karena kemampuan bertarung Sam sangat

bagus, padahal dia baru belajar sebentar. Walaupun

tubuhnya kecil, dia punya bakat alam. Dia tidak kuat, tapi dia

mengimbanginya dengan teknik bela diri yang jauh lebih baik

daripada aku.

Pada malam hari, saat aku dan Nomor Enam pergi ke

pojok kami masing-masing di ruang keluarga atau ke kamar

kami yang kosong, Sam tetap bangun untuk mempelajari

teknik bela diri di internet. Apa yang kupelajari dari Henri

maupun yang Nomor Enam pelajari dari Katarina merupakan

teknik bertarung yang agak menyerupai campuran jujitsu,

taekwondo, karate, dan bojuka. Semua teknik bela diri Bumi

tersebut dirancang dengan membina memori otot, yang

meliputi cara mencengkeram, menahan serangan, gerakan

yang mengalir, manipulasi sendi, serta difokuskan pada titik
titik vital sistem saraf pusat seseorang. Bagiku dan Nomor

Enam yang memiliki telekinesis, masalahnya adalah

bagaimana merasakan gerakan kecil di sekeliling kami lalu

bereaksi. Namun bagi Sam, dia harus menjaga agar lawan

selalu berada di depannya.

Ketika setiap sesi latihan berakhir, tubuh Nomor

Enam tetap mulus tanpa goresan sedikit pun, sedangkan aku

dan Sam selalu mendapatkan luka-luka dan memar-memar

baru. Namun begitu, Sam tak pernah patah semangat. Hari ini

juga begitu. Sam menghadapiku, merunduk dan waspada. Dia

mengirimkan pukulan silang kanan yang langsung kutangkis.

Sejurus kemudian, Sam melayangkan tendangan samping

yang kubalas dengan menyapu kaki kanannya sehingga dia

jatuh. Dia segera berdiri, lalu menyerangku lagi. Walaupun

sering melancarkan serangan, pukulan atau tendangannya

tak cukup untuk melawan kekuatanku. Kadang-kadang, aku

pura-pura kesakitan untuk meningkatkan rasa percaya

dirinya.

Satu jam kemudian, Nomor Enam pulang. Dia

berganti pakaian dengan celana pendek dan kaus, lalu

bergabung bersama kami. Kami berlatih jurus-jurus,

melakukan gerakan menangkis-dan-mengirimkan tendangan

balasan terus-menerus hingga bisa melakukannya tanpa

berpikir. Aku tak mengerahkan seluruh kemampuanku saat

berlatih tanding bersama Sam. Namun saat berlatih tanding

bersama Nomor Enam, dia menggunakan seluruh

kekuatannya, melemparkanku ke belakang dengan sangat

kuat sehingga udara di paru-paruku terempas keluar. Kadang
kadang aku merasa kesal, tapi kurasa aku semakin bagus.

Nomor Enam tak lagi menangkis telekinesisku dengan

mengibaskan pergelangan tangannya. Sekarang, dia harus

menangkis dengan menggerakkan seluruh tubuhnya.

Sam beristirahat dan menonton dari pinggir bersama

Bernie Kosar.

"Kau bisa melakukan lebih balk daripada itu, Johnny.

Tunjukkan kemampuanmu yang terbaik," kata Nomor Enam.

Dia barn saja menjungkirbalikkanku setelah aku mengirimkan

tendangan berputar yang buruk.

Aku berlari menyerbu ke arah Nomor Enam,

mempersempit jarak di antara kami dalam sepersepuluh

detik. Aku melayangkan hook kiri, tapi Nomor Enam

menahannya, memegang bisepsku, lalu menggunakan

momentum untuk mengangkat badanku. Aku bersiap

Menghantam tanah, tapi ternyata dia tidak melepaskan

lenganku dan justru memutarku di bahunya sehingga kakiku

menyentuh tanah.

Nomor Enam menelikung lenganku dari belakang.

Punggungku menempel erat di dadanya. Dia mengulurkan

wajahnya ke wajahku dan iseng-iseng mengecup pipiku.

Sebelum aku sempat beraksi, dia sudah menendang

belakang lututku dan aku jatuh terduduk. Lenganku ditarik

dari bawah tubuh sehingga aku terkapar terlentang. Nomor

Enam mengunciku dengan mudah, dan dia begitu dekat

sehingga aku bisa menghitung rambut alisnya. Jantungku

langsung berdebar-debar.

"Oke," sela Sam. "Kurasa kau menghajarnya dengan

sangat bagus. Kau bisa melepaskannya sekarang."

Nomor Enam tersenyum lebar, begitu juga aku. Kami

diam selama satu detik, lalu akhirnya Nomor Enam menjauh

kemudian memegang bahuku untuk membantuku berdiri.

"Giliranku dengan Nomor Enam," kata Sam.

Aku menarik napas, lalu mengibas-ngibaskan lengan

untuk menghilangkan rasa gugup.

"Dia milikmu," kataku sambil berjalan.

"John?" kata Nomor Enam saat aku tiba di pintu
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang.

Aku berbalik, berusaha menenangkan sensasi aneh di

perutku saat melihatnya. "Ya?"

"Kita sudah seminggu di rumah ini. Kurasa sudah

saatnya melupakan perasaan takut atau sentimentil yang

selama ini kau rasakan."

Sejenak kupikir dia bicara soal Sarah, apalagi karena

kejadian tadi.

"Petinya," kata Nomor Enam.

"Aku tahu," kataku sambil masuk ke rumah dan

menggeser pintu hingga menutup.

Aku ke kamarku dan mondar-mandir, menarik napas

dalam-dalam, berusaha memahami apa yang terjadi di

halaman barusan.

Aku pergi ke kamar mandi, mencuci muka dengan air

dingin, lalu memandangi cermin. Sarah akan membunuhku

jika memergokiku memandangi Nomor Enam seperti tadi.

Aku meyakinkan diriku bahwa tak ada yang perlu kutakutkan

karena bangsa Lorien hanya akan mencintai satu orang

seumur hidup. Jika Sarah satu-satunya orang yang kucintai,

Nomor Enam hanyalah sekadar orang yang kusukai.

Saat kembali ke kamar, aku berbaring terlentang,

melipat tangan di atas perut, lalu menutup mata. Aku

menarik napas dalam, menahan selama lima hitungan, lalu

mengembuskannya melalui hidung.

Tiga puluh menit kemudian, aku membuka pintu dan

menyelinap ke koridor, mendengar Sam dan Nomor Enam

mondar-mandir di ruang tamu. Satu-satunya tempat yang

bisa kugunakan untuk menyembunyikan Petiku hanyalah

lemari barang, di atas pemanas air. Aku berusaha

mengeluarkan Peti itu tanpa membuat keributan. Lalu, aku

berjingkat-jingkat kembali ke kamarku, membuka dan

mengunci pintu dengan pelan.

Nomor Enam benar. Sudah waktunya. Tak bisa

ditunda lagi. Aku memegang gembok Peti itu. Benda itu

menghangat, menggeliat di telapak tanganku, seolah akan

meleleh, lalu terbuka. Bagian dalam Peti Loric bersinar

terang. Padahal, sebelumnya tak pernah begini. Aku meraih

ke dalam, lalu mengeluarkan kaleng kopi berisi abu Henri

dan suratnya yang masih tersegel dalam amplop. Aku

menutup Peti dan menguncinya kembali. Aku tahu ini

konyol, tapi aku merasa Henri masih hidup jika aku tak

membaca surat yang ditinggalkannya. Begitu Peti dibuka dan

begitu surat dibaca, maka tak ada lagi yang perlu dia

ceritakan, tak ada lagi yang perlu dia ajarkan kepadaku?dan

dia hanya akan menjadi kenangan. Aku belum siap untuk itu.

Aku membuka lemari, lalu menyembunyikan kaleng

kopi dan surat itu di bawah tumpukan baju. Kemudian, aku

mengambil Peti dan keluar dari kamar, berdiri di lorong

sambil mendengarkan Sam dan Nomor Enam menonton acara

Ancient Aliens yang ditayangkan secara online. Sam

menanyakan kebenaran semua teori alien yang dia tahu dan

Nomor Enam mengiyakan atau membantah teori-teori itu

berdasarkan apa yang dipelajarinya dari Katarina. Sam

menulis jawaban-jawaban itu dengan tergesa-gesa di buku

catatannya, yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan.

Dengan sabar, Nomor Enam memberikan jawaban atau hanya

mengangkat bahu. Sam menelan semua itu, menghubung
hubungkannya dengan apa yang sudah dia ketahui.

"Piramida di Giza? Dibangun oleh Loric?" "Sebagian,

tapi sebagian besar oleh para Mogadorian."

"Kalau Tembok Besar Cina?"

"Manusia."

"Roswell, New Mexico?"

"Aku pernah menanyakan itu kepada Katarina dan dia

tidak tahu. Jadi, aku juga tak tahu."

"Sebentar, sejak kapan Mogadorian mengunjungi

Bumi?"

"Kurang lebih sama dengan para Loric," jawab Nomor

Enam.

"Jadi, perang di antara Mogadorian dan Loric ini

terhitung baru?"

"Tidak juga. Yang kutahu, selama ribuan tahun kedua

pihak sudah sering mengunjungi Bumi. Kadangkadang, Loric

dan Mogadorian ada di sini pada saat yang sama, dan dari

yang kutangkap, biasanya keduanya bersahabat. Tapi,

kemudian terjadi sesuatu yang merusak hubungan itu, lalu

para Mogadorian pergi untuk waktu yang lama. Hanya itu

yang kutahu. Aku juga tak tabu sejak kapan mereka mulai

mengunjungi Bumi lagi."

Aku melintasi ruang tamu, lalu meletakkan Peti itu di

tengah lantai ruang makan. Sam dan Nomor Enam

mengangkat kepala. Nomor Enam tersenyum lebar,

membuatku berdebar-debar aneh. Aku balas tersenyum, tapi

rasanya tidak tulus.

"Kurasa sebaiknya ini kita buka sama-sama." Sam

mulai menggosok-gosokkan tangan dengan mata yang

tampak liar.

"Waduh, Sam," kataku. "Kau seperti ingin membunuh

seseorang."

"Ah, yang benar saja," katanya. "Hampir sebulan ini,

aku penasaran dengan Peti itu. Aku bersabar dan tak banyak

tanya karena menghormati Henri. Tapi sejujurnya, kapan lagi

aku bisa melihat harta karun dari planet alien? Aku rasa

orang-orang NASA pasti rela mati demi berada di tempatku

sekarang. Kau tak bisa menyalahkanku karena begitu

bersemangat."

"Apa kau akan marah jika isinya ternyata cuma

pakaian kotor?"

"Pakaian kotor alien?" tanya Sam sinis.

Aku tertawa, lalu meraih dan memegang gembok

Peti Loric. Tanganku langsung bersinar saat menyentuh

logam dingin itu, dan gembok itu langsung menghangat,

bergetar dan berpuntir dalam genggamanku, melawan

kekuatan kuno yang membuatnya tetap tertutup. Saat

akhirnya terbuka, aku melepaskan gembok,

menyingkirkannya, lalu meletakkan tanganku di atas Peti.

Nomor Enam dan Sam mencondongkan tubuh karena

penasaran.

Aku membuka tutupnya. Sekali lagi, Peti itu bersinar

dengan cahaya yang menyilaukan mata. Yang pertama-tama

kulakukan adalah mengambil kantung beledu berisi tujuh

bola kaca yang merupakan replika sistem tata surya Lorien.

Aku teringat saat aku dan Henri memandang pusat Lorien

yang bersinar dan berdenyut, menunjukkan bahwa planet itu

masih hidup, berhibernasi. Aku meletakkan kantung itu di

tangan Sam. Kami bertiga mengintip ke dalam Peti. Ada

sesuatu yang bersinar.

"Yang bersinar itu apa?" tanya Nomor Enam.

"Entahlah. Dulu tak begini."

Nomor Enam meraih dan memungut semacam batu

dari dasar Peti. Batu itu ternyata sebuah kristal bulat

sempurna. Ukurannya tak lebih besar daripada bola

pingpong. Saat dia menyentuhnya, kristal itu semakin terang,

lalu memudar, dan mulai berdenyut pelan. Kami memandang

kristal itu, terpesona akan cahayanya. Tiba-tiba, Nomor Enam

menjatuhkannya. Kristal itu berhenti berdenyut dan kembali

bersinar terang. Sam mengulurkan tangan untuk

memungutnya.

"Jangan!" bentak Nomor Enam.

Sam mendongak, bingung.

"Rasanya ada yang tak beres dengan benda itu," kata

Nomor Enam.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Telapak tanganku terasa seperti ditusuk-tusuk. Saat

memegangnya, aku mendapat firasat yang sangat buruk."

"Ini Warisanku," kataku. "Mungkin hanya aku yang

bisa menyentuhnya?"

Aku membungkuk dan memungut kristal bercahaya

itu dengan hati-hati. Begitu menyentuhnya, aku me- rasa

seperti memegang kaktus radioaktif. Perutku mual. Serta
merta aku melemparkan kristal itu ke selimut. Aku menelan

ludah. "Mungkin caraku salah."

"Mungkin kita tak tahu cara menggunakannya.

Maksudku, kau bilang Henri melarangmu melihat isi Peti

Loric karena kau belum siap. Mungkin kau masih belum

siap?"

"Yah, sayang sekali," kataku.

"Menyebalkan," kata Sam.

Nomor Enam pergi ke dapur, lalu kembali sambil

membawa dua buah handuk dan sebuah kantung plastik.

Dengan hati-hati, dia mengambil kristal yang masih bersinar

itu menggunakan handuk, memasukkannya ke dalam

kantung plastik, lalu membungkusnya dengan handuk kedua.

"Apa perlu?" tanyaku. Perutku masih mual.

Dia mengangkat bahu. "Aku tak tahu apa yang kau

rasakan, tapi aku merasakan firasat buruk begitu

menyentuhnya. Lebih baik jaga-jaga daripada menyesal di

kemudian hari."

Sekarang yang ada di Peti itu adalah sisa Warisanku,

dan aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku meraih dan

mengambil sebuah benda yang pernah kulihat, kristal

panjang yang Henri gunakan untuk menyebarkan Lumen dari

tanganku ke seluruh tubuh. Kristal itu hidup dan menyinari

ruang makan dengan sinarnya yang terang. Kabut di bagian

tengah kristal mulai berputar, berpusar, seperti yang pernah

kulihat.

"Nah, gitu, dong," kata Sam.

"Ini," kataku sambil memberikan kristal itu kepada

Sam. Kristal itu langsung mati saat berpindah tangan. "Aku

sudah pernah melihatnya."

Di dalam Peti itu juga ada sejumlah kristal yang lebih

kecil, berlian hitam, seikat daun kering, dan jimat berbentuk

bintang berwarna biru pucat seperti liontin di leherku?yang

berarti benda itu adalah Loralite, permata terlangka yang

hanya bisa ditemukan di pusat Planet Lorien. Selain itu, ada

juga gelang oval merah cerah dan batu kuning berbentuk

seperti tetes hujan.

"Menurutmu, itu apa?" tanya Sam sambil menunjuk

sebuah batu bulat datar berwarna putih susu, seperti mutiara

yang ada di pojok Peti.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak tahu," kataku.

"Kalau itu?" tanyanya sambil menunjuk ke sebuah

belati kecil dengan bilah yang tampaknya terbuat dari

berlian.

Aku mengangkat belati itu. Gagangnya terasa nyaman

dan pas di tangan, seakan memang dibuat khusus untukku,

dan kurasa memang begitu. Panjang bilahnya tak lebih dari

sepuluh senti. Menilai dari bagaimana sinar memantul di

sepanjang tepinya, aku tahu belati itu jauh lebih tajam

daripada pisau cukur mana pun di Bumi.

"Kalau itu?" tanya Sam lagi sambil menunjuk benda

lain. Aku yakin dia akan terus bertanya seperti itu hingga

semua benda yang ada di dalam Peti habis.

"Ini," kataku sambil meletakkan belati dan

mengeluarkan tujuh bola kaca untuk menyibukkannya. "Lihat

ini."

Aku meniup dan kerlipan cahaya pun muncul di

permukaan bola-bola itu, lalu aku melemparkannya ke udara.

Bola-bola itu pun menyala, berputar, dan mengorbit

mengelilingi matahari seukuran jeruk yang *ada di tengah.

"Ini sistem tata surya Lorien," kataku. "Enam planet,

satu matahari. Dan yang satu ini," tambahku sambil

menunjuk bola keempat, yang tetap berwarna abuabu dan

hitam seperti saat terakhir kali aku melihatnya, "adalah

Lorien, tepat pada saat Mi. Yang tersisa hanyalah cahaya di

bagian pusatnya."

"Wow," kata Sam. "Orang-orang NASA bakal

kebakaran jenggot kalau melihat ini."

"Lihat ini," kataku sambil menyalakan tangan kanan.

Aku menyapukan cahaya ke bola kaca itu, dan permukaannya

yang abu-abu menyedihkan langsung berubah menjadi biru

laut dan hijau hutan yang hidup. "Beginilah planet itu sehari

sebelum penyerbuan."

"Wow," kata Sam lagi sambil memandang takjub

dengan mulut ternganga. Sementara planet-planet yang

berputar itu menyibukkannya, aku kembali memandang Peti.

"Apa kau tahu benda-benda apa ini? Atau apa

fungsinya?" aku bertanya kepada Nomor Enam, yang tidak

menjawab. Aku berbalik dan melihatnya terpukau

memandangi sistem tata surya yang berputar-putar sekitar

setengah meter dari lantai, seperti Sam. Karena Henri

berkata bahwa sistem tata surya itu bukanlah bagian dari

Pusakaku, yang berarti tidak dimasukkan ke dalam Peti, aku

kira Nomor Enam pernah melihatnya. Ternyata aku salah.

Tapi wajar raja jika dia belum pernah melihatnya. Sistem tata

surya itu baru bisa diaktifkan setelah Pusaka pertama

muncul.

"Enam," kataku lagi. Dia tersadar dan menoleh ke

arahku. Aku berpaling saat mata kami beradu. "Apa kau tahu

benda-benda apa ini?"

"Entah, ya," gumamnya sambil menyentuh

permukaan batu-batu itu. "Ini batu penyembuh yang aku dan

Henri gunakan saat di sekolah," katanya sambil menunjuk ke

sebuah batu hitam datar yang pernah kulihat. Lalu, dia

membeku dan mendesah pelan. Aku dan Sam bertukar

pandang kebingungan. Nomor Enam mengangkat sebuah

batu kuning pucat dengan permukaan mulus dan halus dari

dalam Peti, lalu mengangkatnya ke arah cahaya. "Ya, ampun,"

katanya kagum sambil membalikkan batu itu.

"Apa itu?" desakku. Nomor Enam menatap mataku.

"Xitharis," jawabnya. "Ini berasal dari bulan pertama

kita."

Dia menempelkan batu itu ke dahinya, lalu menutup

mata. Batu berwarna pucat itu menjadi agak gelap. Nomor

Enam membuka mata, lalu memberikan batu itu kepadaku.

Aku terdiam dan meraih batu itu, Ujung jariku menyentuh

telapak tangannya. Sam terkesiap.

"Apa yang ...," dia tampak ketakutan, meraba-raba ke

arahku seolah buta.

"Ada apa?" tanyaku sambil menepis tangan Sam dari

wajahku.

"Kau tak terlihat," kata Nomor Enam pelan. Aku

menunduk memandang pangkuanku. Benar. Seluruh tubuhku

menghilang. Seolah memegang besi panas, aku menjatuhkan

Xitharis ke lantai dan langsung terlihat kembali.

"Xitharis," Nomor Enam menjelaskan,

"memungkinkan seorang Garde memindahkan satu Pusaka

kepada Garde lain, tapi hanya sebentar. Mungkin cuma satu

atau dua jam. Aku tak tabu pasti. Yang perlu kau lakukan

hanyalah mengisinya dengan cara memusatkan energimu ke

batu itu. Letakkan di keningmu, dan bum, siap dipakai."

"Mengisinya, seperti baterai?" tanya Sam. "Tepat,

dan batu itu barn berfungsi jika disentuh."

Aku memandang batu itu. "Keren. Sepertinya

sekarang ada orang lain selain dirimu yang bisa pergi ke

kota."

"Dan ada orang lain selain dirimu yang bisa jadi tahan

api," canda Nomor Enam.

"Bisa saja jika kau bersikap baik terhadapku," kataku.

Sam mengambil batu itu dan berkonsentrasi sangat

kuat. Tak terjadi apa pun. "Ayo, dung," katanya pada batu itu.

"Aku janji akan menggunakan kekuatan demi kebaikan. Aku

tak akan masuk ke ruang ganti perempuan. Sumpah."

"Maaf, Sam," kata Nomor Enam. "Aku yakin benda ini

hanya berfungsi kepada kami."

Sam meletakkan Xitharis itu. Kami menyelidiki

seluruh isi Peti Loric, kalau-kalau ada benda lain yang bisa

diaktifkan dengan sentuhan. Namun, setelah satu jam

memeriksa dan memegang tujuh betas artefak, meniupkan

udara panas, menggenggam erat-erat, ternyata tak ada benda

lain yang memberikan reaksi seperti kristal bersinar yang

dibungkus handuk, kristal panjang dengan bagian tengah

berkabut, dan sistem tata surya yang masih berputar di atas

kepala kami. Untungnya, batu penyembuh bisa digunakan

untuk menyembuhkan luka dan memar di tubuhku yang

disebabkan oleh Nomor Enam.

"Seumur hidup aku menunggu-nunggu untuk

membuka benda ini, tapi sekarang, setelah dibuka,

sepertinya tak ada yang berguna bagiku," kataku.

"Aku yakin kegunaan benda-benda ini akan kita

ketahui nanti," Nomor Enam menenangkanku. "Halhal

seperti ini sebaiknya tidak dipikirkan. Biasanya, jawabannya

baru muncul jika kau tak memikirkannya."

Aku mengangguk, lalu memandang semua benda

yang tersebar di sekeliling Peti. Nomor Enam benar, jika kami

berusaha mencari jawabannya, biasanya jawaban itu justru

tidak akan muncul.

"Yeah, mungkin sebagiannya baru bisa diaktifkan jika

Pusaka lain muncul. Siapa yang tahu," kataku sambil

mengangkat bahu. Aku mengembalikan semua benda ke

dalam Peti Loric, termasuk kristal bersinar yang kurasa

sebaiknya tetap dibalut handuk. Aku meninggalkan sistem

tata surya yang masih terus berputarputar di luar. Aku

menutup dan mengunci Peti, lalu membawanya ke lorong.

"Jangan sedih, John," kata Nomor Enam dari

belakangku. "Seperti kata Henri, mungkin kau belum siap

untuk melihat semua."[]

14

AKU TAK BISA TIDUR. SALAH SATUNYA KARENA Peti itu. Yang

aku tahu, salah satu permata di dalam Peti Loric bisa

memberiku kemampuan untuk berubah wujud menjadi

makhluk lain, seperti Bernie Kosar, atau bisa membuat suatu

penghalang besi di sekelilingku yang tak mungkin ditembus

serangan musuh. Tapi tanpa Henri, bagaimana aku tahu? Aku

merasa sedih dan kalah.

Namun, sebenarnya aku tak bisa tidur karena terus
menerus memikirkan Nomor Enam. Aku tak bisa berhenti

membayangkan saat wajahnya berada beberapa senti di

depanku, aroma napasnya yang manis, atau bagaimana

matahari terbenam membuat matanya bersinar. Pada saat

itu, aku merasa sangat ingin berhenti berlatih, lalu

merangkul dan memeluknya erat. Bahkan sekarang, berjam
jam setelah latihan usai, perasaan itu masih menancap di

benakku. Membuatku tak bisa tidur. Itu, dan juga perasaan

bersalah karena merasa tertarik terhadapnya. Seharusnya

aku hanya merindukan Sarah.

Terlalu banyak yang kupikirkan sehingga tak bisa

tidur, terlalu banyak emosi: rasa sakit, rasa rindu, rasa

bingung, dan rasa bersalah. Aku berbaring selama dua puluh

menit lagi, dan akhirnya menyerah. Aku menyibakkan

selimut, lalu mengenakan celana dan kaus abu-abu. Bernie

Kosar mengikutiku keluar kamar dan menyusuri koridor. Aku

mengulurkan kepala ke ruang tamu untuk melihat apakah

Sam sudah tidur. Ternyata sudah. Dia tidur di lantai dan

berbalut selimut seperti ulat dalam kepompong. Aku

berbalik dan pergi. Kamar Nomor Enam ada di seberang

kamarku, pintunya terbuka sedikit. Aku berdiri memandangi

pintu, lalu mendengar lantai di kamarnya bergemerisik.

"John?" bisiknya.

Aku meringis, jantungku langsung berdebar-debar.

"Yeah?" jawabku, tetap berdiri di luar.

"Sedang apa?"

"Tak ada," bisikku. "Aku tak bisa tidur."

"Masuk," katanya. Aku mendorong pintu hingga

terbuka. Kamarnya gelap gulita dan aku tak bisa melihat apa

pun. "Kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja," kataku. Aku menyalakan

Lumenku pelan, sinar redup membuat kamar itu temaram.

Aku berusaha tidak memandangnya dan hanya memandang

karpet. "Terlalu banyak mikir. Aku sedang berpikir untuk

jalan-jalan atau berlari, atau apalah."

"Tapi itu kan, agak berbahaya? Jangan lupa kau itu

ada di Daftar Sepuluh Orang yang Dicari FBI, dan ada imbalan

besar untuk kepalamu," katanya.

"Aku tahu, tapi ... di luar masih gelap, dan kau bisa

membuat kita tak terlihat, kan? Maksudku, kalau kau mau

ikut."

Aku memperkuat cahaya tanganku sehingga bisa

melihat Nomor Enam duduk di lantai dengan dua selimut di

kaki dan rambutnya yang dikuncir, beberapa helai rambut

terjuntai di sekitar wajahnya. Dia mengedikkan bahu, lalu
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melemparkan selimut ke samping dan berdiri. Nomor Enam

mengenakan celana yoga hitam dan tank top putih. Aku tak

bisa berhenti menatap bahunya. Aku mengalihkan

pandangan saat merasa bahwa dia tahu aku memandanginya.

"Oke," katanya sambil menarik ikat rambut dan

menguncir rambutnya kembali. "Aku selalu susah tidur.

Apalagi di lantai."

"Begitu," kataku.

"Apa kita perlu membangunkan Sam?"

Aku menggelengkan kepala. Sebagai balasannya, dia

hanya mengedikkan bahu lalu mengulurkan tangan. Aku

langsung meraihnya. Nomor Enam jadi tak terlihat, tapi

tanganku masih bersinar dan aku bisa melihat karpet yang

melesak di bawah kakinya. Aku memadamkan tanganku.

Kami keluar dari kamar, lalu menyusuri koridor dengan

mengendap-endap. Bernie Kosar mengekor. Saat kami tiba di

ruang tamu, Sam mengangkat kepalanya dari lantai dan

menatap tepat ke arah kami. Aku dan Nomor Enam berhenti,

dan aku menahan napas agar tak bersuara. Aku memikirkan

Sam yang naksir Nomor Enam dan betapa sedihnya dia jika

melihat kami berpegangan tangan.

"Hei, Bernie," kata Sam pelan, lalu menjatuhkan

kepalanya dan berguling membelakangi kami. Kami tetap

diam selama beberapa detik, lalu Nomor Enam membawaku

melintasi ruang tamu, ke dapur, lalu keluar lewat pintu

belakang.

Malam itu hangat dan terdengar bunyi jangkrik serta

daun palem melambai. Aku menarik napas dalam sambil

berjalan bergandengan tangan. Rasanya aneh karena tangan

Nomor Enam terasa begitu kecil dan rapuh di tanganku,

padahal tubuhnya luar biasa kuat. Aku suka memegang

tangannya. Bernie Kosar berlari menembus semak-semak

lebat yang berjajar di jalan setapak berkerikil, sementara aku

dan Nomor Enam berjalan tanpa bicara. Jalan itu buntu dan

mengarah ke suatu jalan sempit, lalu kami berbelok ke kiri.

"Aku tak bisa berhenti memikirkan apa yang kau

alami," kataku akhirnya, padahal sebenarnya yang ingin

"kukatakan adalah aku tak bisa berhenti memikirkannya.

"Dikurung selama setengah tahun, terpaksa menyaksikan

Katarina di?Yah, kau tahu maksudku."

"Kadang-kadang, aku lupa itu pernah terjadi. Kadang
kadang hanya itu yang kupikirkan selama berhari-hari,"

jawabnya.

"Yeah," kataku, berusaha mengungkapkan isi hatiku.

"Entahlah. Kurasa sudah jelas bahwa aku merindukan Henri

dan juga sangat kehilangan dirinya. Tapi setelah mendengar

ceritamu, aku sadar betapa berun tungnya aku ini. Maksudku,

aku masih sempat mengucapkan perpisahan. Selain itu, dia

ada saat Pusaka pertamaku muncul. Aku tak bisa

membayangkan menjalani itu sendirian, seperti dirimu."

"Memang benar-benar sulit. Aku akan sangat

terbantu seandainya Katarina ada pada saat kemunculan

Pusakaku, kemampuan menjadi tak terlihat itu. Aku juga

akan sangat terbantu seandainya dia ada sehingga kami bisa

bicara dari hati ke hati sebagai sesama perempuan saat aku

beranjak dewasa. Mereka itu seperti orangtua kita di Bumi,

kan?"

"Benar," kataku. "Anehnya, setelah Henri pergi, yang

paling kuingat justru hal-hal tentang dirinya yang tak kusuka.

Seperti saat kami meninggalkan suatu tempat. Kami

berkendara selama berjam-jam menyusuri jalan raya menuju

suatu tempat yang namanya bahkan tak pernah kudengar,

saat itu aku sangat ingin keluar dari mobil. Sekarang, aku

justru paling ingat dengan apa yang kami bicarakan selama

perjalanan-perjalanan itu. Atau saat kami mulai berlatih di

Ohio, dan dia menyuruhku melakukan hal yang sama

berulang-ulang. Aku benci itu. Tapi sekarang, aku selalu

tersenyum saat mengenangnya.

Seperti ketika kemampuan telekinesisku telah

muncul. Kami berlatih di salju dan Henri melemparkan

benda-benda supaya aku belajar menangkis. Aku harus

membalikkan benda-benda itu ke sumbernya. Nah, suatu

saat Henri melemparkan palu daging dengan begitu keras ke

arahku, dan aku menggunakan kecepatan palu itu untuk

membalikkannya ke arah Henri dengan begitu kencang

sehingga dia menjatuhkan diri ke salju agar tak terhantam,"

kataku sambil tersenyum sendiri. "Gundukan salju itu

ternyata semak mawar, lengkap dengan duri-durinya, yang

tertutup salju. Kau tak akan bisa membayangkan seperti apa

teriakan Henri waktu itu. Yang seperti itu tak akan pernah

kulupakan."

Sebuah mobil datang dan kami menepi ke selokan,

mengamati mobil itu lewat dan berbelok ke pekarangan

sebuah rumah yang ada di dekat situ. Seorang laki-laki

dengan jaket kulit hitam keluar dari dalam mobil itu. Dia

menggedor pintu depan, berteriak kepada orang yang di

dalam rumah agar membuka pintu.

"Ya, ampun. Jam berapa ini?" tanyaku kepada Nomor

Enam.

Nomor Enam berjalan ke arah si laki-laki dan rumah

itu, masih menggenggam tanganku. "Apa itu penting?"

Kami menyelinap mendekat hingga berjarak tiga

meter dari laki-laki itu. Aku membaui aroma alkohol. Laki
laki itu berhenti menggedor pintu dan berteriak, "Sebaiknya

kau buka pintu sialan ini, Charlene! Kalau tidak, kau tak ingin

tahu apa yang akan aku lakukan!"

Nomor Enam melihat revolver di ikat pinggang laki
laki itu berbarengan pada saat aku melihat benda itu. Dia

meremas tanganku. "Laki-laki sialan," bisik Nomor Enam.

Laki-laki itu menggedor lagi dan lagi hingga jendela

depan menyala. Terdengar teriakan seorang perempuan dari

balik pintu, "Pergi! Pergi, Tim!"

"Buka pintunya sekarang!" balas laki-laki itu dengan

berteriak. "Kalau tidak, awas! Awas, Charlene! Dengar?"

Kami berada sejangkauan lengan dari laki-laki itu.

Aku bisa melihat tato yang memudar di bawah telinga

kirinya, gambar elang botak dengan cakar mencengkeram

ular.

Perempuan itu balas berteriak, suaranya gemetaran:

"Tinggalkan aku, Tim! Kenapa kau ke sini? Kenapa kau tak

bisa membiarkanku?"

Laki-laki itu menggedor dan berteriak lebih keras.

Baru aku berniat akan mencekik laki-laki itu, meremas elang

botak dan ular di lehernya, kulihat pistolnya merayap naik di

punggungnya hingga akhirnya melayang, dipegang tangan

Nomor Enam yang tak terlihat. Dia menodongkan moncong

senjata tersebut ke belakang kepala laki-laki itu,

membenamkan ke rambut cokelatnya. Nomor Enam

mengokang pistol itu dengan suara "klik" yang keras.

Laki-laki itu berhenti menggedor pintu. Dia juga

berhenti bernapas. Nomor Enam menekankan pistol itu lebih

keras ke tengkorak si laki-laki, lalu menggesernya ke kanan,

memaksanya berputar. Muka laki-laki itu langsung pucat

melihat pistol melayang di depan wajahnya. Dia mengerjap
ngerjapkan mata, lalu mengguncang kepalanya keras-keras,

berharap terbangun di tempat tidurnya atau di suatu gang

belakang suatu bar. Nomor Enam menggerak-gerakkan pistol

itu dan aku menantinya mengatakan sesuatu, untuk

menakutnakuti laki-laki itu. Namun, tiba-tiba dia

mengarahkan pistol itu ke mobil si laki-laki. Nomor Enam

menembak dan retakan melingkar muncul di kaca depan

mobil itu. Laki-laki itu menjerit melengking, lalu menangis.

Nomor Enam menodongkan pistol ke wajah laki-laki

itu lagi sehingga dia menghentikan tangisnya, ingus mengalir

ke bibir atasnya. "Ampun, ampun, ampun," katanya. "Ampun,

Tuhan. Aku, aku, aku pergi sekarang juga. Sumpah. Aku

pergi." Nomor Enam mengokang pistol itu sekali lagi. Aku

melihat gorden di jendela depan bergeser ke kanan dan

tampaklah wajah seorang perempuan berbadan besar dan

berambut pirang. Aku meremas tangan Nomor Enam dan dia

membalasnya. "Aku pergi sekarang juga. Aku pergi, aku

pergi," ujar laki-laki itu tergagap-gagap ke arah pistol. Sekali

lagi, Nomor Enam mengarahkan pistol ke mobil si laki-laki,

menembakkan peluru dengan bunyi letusan yang keras.

Jendela samping belakang yang ada di sisi pengemudi pecah

hingga ribuan keping.

"Jangan! Oke, oke!" teriak laki-laki itu. Tiba-tiba,

celana di paha bagian dalamnya tampak basah. Nomor Enam

menggerakkan pistol ke jendela depan rumah. Laki-laki itu

menatap mata perempuan berambut pi- rang di dalam. "Dan

aku tak akan pernah kembali. Aku tak akan pernah kembali

selama-lamanya." Pistol berayun ke kiri dua kali,

mengisyaratkan bahwa laki-laki itu boleh pergi. Laki-laki itu

membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalam. Kerikil

berloncatan terlindas ban saat dia memundurkan mobil dari

pekarangan, lalu berbelok ke jalan. Perempuan di jendela

masih menatap pistol yang melayang di pintu depan

rumahnya. Kemudian, Nomor Enam melemparkan pistol itu

kuat-kuat melewati atap rumah. Pasti pistol itu mendarat di

kota sebelah.

Kami kembali ke jalan, lalu berlari hingga tiba di area

yang sepi. Seandainya aku bisa melihat wajah Nomor Enam.

"Aku bisa melakukan yang seperti itu sepanjang

hari," akhirnya dia berkata. "Rasanya seperti pahlawan

super."

"Manusia menyukai pahlawan super," hanya jawaban

itu yang terpikir olehku. "Menurutmu apakah perempuan itu

akan menelepon polisi?"

"Tak mungkin. Dia mungkin akan berpikir semua tadi

hanya mimpi buruk."

"Atau mimpi terbaik," kataku. Saat berjalan pulang,

kami membicarakan kebaikan-kebaikan yang bisa kami

lakukan untuk Bumi dengan kekuatan Pusaka kami andai saja

tak terlalu sibuk diburu atau dibenci.

"Omong-omong, bagaimana caramu berlatih

sendirian?" tanyaku. "Rasanya aku tak akan belajar banyak

tanpa dorongan keras Henri."

"Aku tak punya pilihan lain. Beradaptasi atau

musnah. Jadi, aku beradaptasi. Sebelum kami tertangkap,

aku dan Katarina sudah berlatih selama bertahun-tahun, tapi

itu terjadi sebelum Pusakaku muncul. Saat akhirnya berhasil
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar dari gua itu, aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa

kematian Katarina tak akan sia-sia dan akan menuntut balas.

Jadi, aku melanjutkan apa yang kami lakukan. Mulanya sulit,

terutama karena sendirian, tapi pelan-pelan aku mulai

belajar dan jadi lebih kuat. Selain itu, aku punya lebih banyak

waktu dibandingkan dirimu. Pusakaku muncul lebih cepat

daripada Pusakamu. Aku juga lebih tua daripada dirimu."

"Sebenarnya," kataku, "dua hari lalu, hari ulang

tahunku yang keenam belas?atau setidaknya, hari yang aku

dan Henri rayakan sebagai hari ulang tahunku."

"John! Kenapa nggak bilang?" tanyanya. Lalu, Nomor

Enam melepaskan tanganku dan mendorongku dengan main
main, membuatku langsung terlihat. "Kita kan, bisa

merayakannya."

Aku tersenyum dan mengulurkan tangan ke arahnya,

merasa seperti orang buta karena gelap. Dia meraih tanganku

dan menautkan jari-jarinya di jari-jariku, sehingga ibu jariku

menempel di atas ibu jarinya. Aku teringat Sarah dan

langsung menyingkirkan pikiran itu.

"Jadi, Katarina itu orangnya bagaimana?" tanyaku.

Keadaan hening selama beberapa saat. "Suka

menolong. Dia selalu menolong orang lain. Dan dia lucu.

Kami sering bercanda dan tertawa, yang mungkin sulit

dipercaya melihat betapa seriusnya diriku."

Aku terkekeh. "Bukan aku yang bilang, lho." "Jangan

mengalihkan pembicaraan. Kenapa kau tak bilang apa-apa

soal ulang tahunmu?"

"Entahlah. Aku benar-benar lupa dan baru ingat

kemarin, lalu kupikir itu tak terlalu penting, apalagi dengan

segala peristiwa yang terjadi."

"Ini ulang tahunmu, John. Jangan berkata ulang tahun

itu tidak penting. Setiap hari ulang tahun yang bisa kita

lewati patut dirayakan, apalagi mengingat apa yang

memburu kita. Lagi pula, kalau aku tahu kan, aku bisa

mengurangi kekuatan saat latihan."

"Yeah, kau pasti merasa buruk karena menghajar

habis-habisan orang yang sedang berulang tahun," kataku

sambil menyikutnya. Dia balas menyikutku. Bernie Kosar

melompat dari balik semak berduri, lalu berderap di camping

kami. Sejumlah duri-duri kecil melekat di bulu Bernie Kosar

dan aku melepaskan tangan Nomor Enam untuk

mencabutinya.

Kami tiba di ujung jalan. Di depan kami terbentang

rumput tinggi dan sungai yang berkelok-kelok. Kami berbalik

dan berjalan pulang pelan-pelan.

"Apa kau risau karena tak bisa mengambil Petimu?"

tanyaku memecah keheningan.

"Aku rasa itu justru membuatku semakin

bersemangat. Petiku hilang, dan tak ada yang bisa kulakukan

tentang itu. Jadi, aku melakukan apa yang menurutku lebih

baik untuk dilakukan dan memusatkan perhatian untuk

menemukan yang lain. Andai saja aku bisa menemukan

Nomor Tiga sebelum mereka."

"Yah, kau menemukanku. Aku tak mungkin bisa

bertahan begini lama tanpa dirimu. Atau Bernie Kosar

atau juga Sarah." Begitu menyebutkan nama Sarah,

pegangan Nomor Enam agak melonggar. Rasa bersalah

memenuhi dadaku saat kami berjalan ke rumah. Aku

memang mencintai Sarah, tapi rasanya sulit membayangkan

kehidupan bersamanya jika aku berada begitu jauh, sibuk

melarikan diri, tanpa tahu ke mana masa depan membawaku.

Satu-satunya kehidupan yang bisa kubayangkan saat ini

hanyalah kehidupan yang sedang kujalani. Kehidupan

bersama Nomor Enam.

Kami tiba di rumah. Aku menyesal karena jalanjalan

kami sudah berakhir. Aku berusaha menunda, melambatkan

langkahku, lalu berdiam di ujung halaman.

"Kau tahu, aku hanya mengenalmu sebagai Nomor

Enam," kataku. "Apa kau pernah punya nama?"

"Tentu saja, tapi aku jarang memakainya. Aku tidak

bersekolah sepertimu. Yah, aku memang sempat bersekolah,

tapi kemudian Katarina dan aku memutuskan bahwa aku

lebih baik tak bersekolah."

"Jadi, siapa namamu?"

"Maren Elizabeth."

"Wah, yang benar?"

"Kenapa kau heran begitu?"

"Entahlah. Maren Elizabeth terdengar cantik dan

feminin. Aku pikir namamu itu lebih kuat dan seperti

legenda, seperti Athena, atau mungkin Xena, kau tahu, gang

Putri Kesatria? Atau Storm. Storm sangat cocok denganmu."

Nomor Enam tertawa, suaranya membuatku ingin

memeluknya. Tentu saja, aku tidak melakukan itu, tapi aku

ingin, dan mungkin itulah yang menunjukkan aku benar
benar menyukainya.

"Asal kau tahu, waktu kecil aku suka pakai pita

rambut."

"Oh, ya? Warna apa?"

"Merah muda."

"Aku rela bayar banyak demi bisa melihat kau dan

pita merah muda."

"Lupakan saja, uangmu tak cukup."

"Asai kau tahu," kataku, meniru nada jahilnya, "aku

punya permata langka satu Peti penuh. Tinggal cari

pegadaian."

Nomor Enam tertawa, lalu berkata, "Aku akan buka

mata lebar-lebar."

Kami terus berdiri di pekarangan. Aku mendongak

memandang bintang dan bulan, yang tiga perempat penuh.

Aku mendengarkan suara angin dan suara kaki Nomor Enam

di atas kerikil saat dia memindahkan be- rat badannya ke kaki

yang lain. Aku menarik napas dalam.

"Aku senang kita pergi jalan-jalan," kataku. "Aku

juga."

Aku melihat ke tempatnya berdiri, berharap dia

terlihat sehingga aku bisa membaca raut wajahnya. "Bisakah

kau bayangkan jika setiap malam seperti ini, hidup tanpa

perlu khawatir dengan apa atau siapa yang mengintai di

kejauhan, tanpa harus selalu menengok ke belakang untuk

memastikan tak ada yang membuntuti? Pasti menyenangkan

jika kita bisa melupakan, sekali saja bahwa ada yang

mengamati kita."

"Pasti menyenangkan," katanya. "Dan akan

menyenangkan jika akhirnya kita bisa begitu."

"Aku benci dengan apa yang harus kita lakukan. Aku

benci dengan situasi yang kita alami. Seandainya kejadiannya

tak begini." Aku menatap Lorien di langit dan melepaskan

tangan Nomor Enam. Dia membuat dirinya terlihat, dan aku

meraih bahunya, lalu memutar tubuhnya hingga

menghadapku.

Nomor Enam menarik napas dalam.

Saat aku menunduk ke wajahnya, terdengar suara

ledakan dari belakang rumah. Aku dan Nomor Enam berteriak

kaget, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Bola api membubung

lebih tinggi dari atap, api langsung menyebar di dalam.

"Sam!" teriakku. Aku menarik lepas jendela dari jarak

lima belas meter. Jendela itu pecah berkepingkeping saat

terempas di jalan semen. Asap membubung keluar.

Sebelum sadar, aku sudah berlari kencang. Aku

menarik napas dalam-dalam, lalu melompat, menghantam

rumah dan menyebabkan pintu terlepas dari engselnya.

15

AKHIR-AKHIR INI, SETIAP MALAM AKU BERBARING dalam

keadaan terjaga selama berjam-jam, dengan mata terbuka

dan telinga waspada terhadap keheningan di sekelilingku.

Aku sering mengangkat kepala saat mendengar suara samar

?setetes air yang jatuh ke lantai, seseorang yang bergerak

saat tidur?dan kadangkadang, aku turun dari tempat tidur

dan berjalan ke jendela untuk memastikan tak ada sesuatu di

luar sana, mencari tanda-tanda bahwa aku aman, sekecil apa

pun.

Malam-malam berlalu dan aku semakin kurang tidur.

Aku jadi lemah, kelelahan hingga mengalami gangguan

emosional. Aku juga tak bernafsu makan. Aku tahu rasa

cemas tak baik untukku, tapi perasaanku tetap tak berubah

walaupun sudah berusaha untuk tidur atau makan. Saat

akhirnya bisa tidur, aku selalu bermimpi buruk dan

terbangun.

Sejak melihat laki-laki berkumis itu di kafe,

sepanjang minggu ini aku tak melihat batang hidungnya.

Namun, aku tak bisa mengabaikan pikiran bahwa hanya

karena aku tak melihatnya bukan berarti dia tak ada di luar

sana. Aku selalu kembali memikirkan pertanyaan yang sama:

siapa yang ada di guaku; siapa atau apa laki-laki berkumis di

kafe itu; mengapa dia membaca buku dengan nama Pittacus

di sampulnya; dan, yang paling penting, mengapa dia

membiarkanku pergi jika dia itu Mogadorian? Semuanya tak

masuk akal, termasuk judul bukunya. Aku tak menemukan

apa pun di internet, selain ringkasan singkat buku itu:

seorang jenderal Yunani yang suka mengeluarkan

pernyataanpernyataan menyakitkan mengalahkan pasukan

Athena saat pasukan Athena hendak menyerang Mytilene.

Terus hubungannya apa?

Terlepas dari kedua pertanyaan mengenai gua dan

buku itu, aku mengambil dua kesimpulan. Pertama, aku tidak

diapa-apakan karena nomorku. Untuk sementara ini, aku

aman. Tapi, berapa lama? Kedua, orangorang di kafe

menyebabkan si Mogadorian tak bisa bertindak. Tapi dari apa

yang kuketahui tentang mereka. Mogadorian tak akan

mengurungkan niatnya hanya karena ada saksi. Sekarang, aku

tak lagi pergi dan pulang sekolah lebih cepat daripada yang

lain, tapi ikut berjalan bersama anak-anak lain. Agar Ella

aman, aku tak lagi berjalan dengannya di depan umum. Aku

tahu aku menyakiti perasaannya, tapi ini yang terbaik. Aku

tak ingin melibatkan Ella dalam masalahku.

Ada satu hal yang memberiku secercah harapan.

Sikap Adelina yang jelas-jelas berubah. Rasa khawatir

membuat dahinya berkerut. Saat dia pikir tak ada orang yang

mengamati, matanya berkedut serta melirik cepat ke kanan

ataupun ke kiri seperti hewan yang ketakutan dan terancam,

seperti dulu saat dia masih percaya. Walaupun kami tak lagi
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara sejak aku memeluknya setelah berlari pulang dari

kafe, perubahan inilah yang membuatku berpikir bahwa

Cepanku kembali.

Gelap. Senyap. Lima belas tubuh yang sedang tidur.

Aku mengangkat kepala dan memandang melintasi ruangan.

Aku tak melihat gundukan kecil di tempat tidur Ella.

Selimutnya tersibak dan tempat tidurnya kosong. Sudah tiga

malam berturut-turut aku tahu Ella tak ada, tapi aku tak

pernah mendengarnya pergi. Aku punya masalah yang lebih

besar daripada memikirkan ke mana Ella pergi.

Kuempaskan kepala ke bantal dan melirik ke luar

jendela. Bulan purnama kuning terang bergantung di luar

sana. Aku menatapnya lama-lama, terpesona melihat bulan

yang melayang di langit. Aku menarik napas dalam dan

menutup mata. Saat membuka mata kembali, bulan yang

tadinya kuning terang telah berubah jadi merah darah dan

tampak berkilau. Namun, ternyata yang kutatap itu bukan

bulan, melainkan pantulannya yang bersinar terang di kolam

besar yang gelap. Uap naik dari permukaan kolam, bau besi

yang menusuk menguar. Aku mengangkat kepala lagi dan

melihat, ternyata aku berdiri di tengah medan perang

bersimbah darah.

Tubuh-tubuh bertebaran di mana-mana, yang sudah

mati maupun yang sekarat, akhir peperangan tanpa ada yang

selamat. Secara naluriah, aku meraba tubuhku, mencari luka

tusukan atau sayatan. Namun, aku tidak cedera. Kemudian

aku melihatnya, gadis bermata abu-abu yang kulihat dalam

mimpi, yang kulukis di dinding gua di samping John Smith.

Dia berbaring tak bergerak di tepi pantai. Aku berlari

menghampirinya. Darah mengalir dari samping tubuhnya,

membasahi pasir, lalu ke laut. Rambut hitamnya menempel

di wajahnya yang pucat. Dia tak bernapas. Aku sangat

terpukul karena tak ada yang bisa kulakukan. Tiba-tiba dari

belakangku terdengar tawa mencemooh yang serak. Aku

menutup mata, lalu berbalik perlahan untuk menghadapi

musuhku.

Saat aku membuka mata, medan perang itu hilang.

Aku kembali melihat tempat-tempat tidur di kamar yang

gelap. Bulan tampak normal dan berwarna kuning terang.

Aku bangkit dan berjalan ke jendela, mengamati kegelapan

yang hening dan tenang. Tak ada tanda-tanda laki-laki

berkumis atau yang lainnya. Salju sudah mencair. Pantulan

bulan tampak berkilau di batu basah. Apakah lelaki misterius

itu mengamatiku?

Aku berbalik dan merayap naik ke tempat tidur,

kemudian berbaring terlentang, menarik napas dalamdalarn

untuk menenangkan diri. Seluruh tubuhku tegang dan kaku.

Aku memikirkan gua, sejak melihat jejak sepatu bot itu aku

belum pernah ke sana lagi. Aku berguling ke samping

membelakangi jendela, tak ingin melihat apa yang ada di luar

sana. Ella masih belum kembali. Aku ingin menunggu hingga

Ella kembali, tapi aku tertidur. Kali ini tanpa mimpi.

Saat lonceng pagi berdentang, aku mengangkat

kepala dari bantal. Tubuhku pegal-pegal. Air hujan yang

dingin menerpa jendela. Aku memandang ke seberang

ruangan dan melihat Ella duduk di ranjangnya, mengangkat

tangan ke atas, dan menguap dalam-dalam.

Kami keluar dari kamar bersama-sama, tanpa

mengatakan apa pun. Kami menjalani rutinitas hari Minggu

dan duduk di sepanjang Misa dengan kepala tertunduk. Pada

satu saat, aku menyikut Ella agar bangun. Dua puluh menit

kemudian, dia melakukan yang sama terhadapku. Aku

berhasil melewati antrean El Festin, membagikan makanan

sambil mencari orang yang mencurigakan. Segalanya tampak

normal. Aku tak tabu harus merasa lega atau kecewa. Tapi

yang jelas, aku sangat sedih karena tak melihat Hector.

Saat bersih-bersih hampir berakhir, La Gorda dan

Gabby mulai bersenda-gurau. Mereka saling menyemprot

dengan selang di bak dapur saat aku mencuci dan

mengeringkan piring-piring. Aku mengabaikan mereka,

bahkan saat mukaku tersemprot. Dua puluh menit kemudian,

saat aku baru saja selesai mengeringkan piring terakhir dan

meletakkannya dengan hati-hati di tumpukan tinggi, seorang

gadis bernama Delfina tergelincir di lantai basah dan

menabrakku hingga aku terjatuh ke atas tumpukan piring.

Ketiga puluh piring itu masuk kembali ke air kotor, dan

sebagiannya pecah.

"Lihat-lihat, dong," kataku sambil mendorongnya

dengan satu tangan.

Delfina berbalik dan balas mendorongku.

"Hei!" bentak Suster Dora dari seberang dapur.

"Kalian berdua! Berhenti! Sekarang!"

"Awas nanti!" kata Delfina. Aku tak sabar menanti

hubunganku dengan Santa Teresa berakhir. "Terserah,"

kataku, masih cemberut.

Delfina mengangguk ke arahku, dengan tatapan

bengis. "Awas!"

"Demi Tuhan, jika aku sampai harus ke sana, kalian

akan menyesal," kata Suster Dora.

Aku kembali menghadapi piring-piring dan tidak

menggunakan telekinesis untuk melemparkan Delfina ke

langit-langit?atau Suster Dora atau Gabby atau La Gorda.

Saat akhirnya selesai, aku pergi keluar. Di luar masih

hujan. Aku berdiri di bawah atap dan memandang ke arah

gua. Lereng gunung pasti berlumpur, dan itu berarti aku bakal

kotor. Kugunakan itu sebagai alasan supaya tidak pergi.

Padahal, sebenarnya aku tahu bahwa seandainya hujan tidak

turun pun aku tak akan berani pergi ke gua, walaupun hatiku

penasaran apakah ada jejak sepatu bot baru atau tidak.

Aku kembali ke dalam. Tugas hari Minggu untuk Ella

mengharuskannya membersihkan bangku-bangku di panti

umat setelah semua orang pergi. Tapi saat aku ke sana,

semua bangku sudah dibersihkan.

"Lihat Ella?" tanyaku kepada gadis sepuluh tahun

bernama Valentina. Dia menggelengkan kepala. Aku kembali

ke kamar tidur, tapi ternyata Ella juga tak ada di sana. Aku

duduk di tempat tidurnya, menyebabkan kasur memantul

sehingga sebuah benda berwarna perak menyembul dari

bawah bantal. Senter kecil. Aku menyalakannya. Cahayanya

terang. Aku memadamkan senter itu dan mengembalikannya

ke tempat semula agar para Suster tidak melihatnya.

Aku menjelajahi koridor-koridor sambil mengintip ke

dalam ruangan-ruangan. Karena hujan, sebagian besar anak
anak tinggal di dalam, membentuk kelompok-kelompok

kecil, tertawa, mengobrol, dan bermain.

Sesampainya di persimpangan koridor lantai dua

yang mengarah ke dua bagian sayap gereja, aku berbelok ke

kiri dan menyusuri koridor yang gelap dan berdebu. Kamar
kamar kosong dan patung-patung kuno menjorok di dinding

batu dan langit-langit melengkung. Aku menjulurkan kepala

di ambang pintu, mencari Ella. Bahkan, batang hidungnya pun

tak terlihat. Koridor itu menyempit dan bau debu berubah

menjadi bau tanah lembap. Di ujung koridor ada sebuah

pintu kayu ek bergembok yang kubuka dengan linggis saat

mencari Peti Loric satu setengah minggu lalu. Di balik pintu

itu ada tangga batu melingkar yang mengarah ke menara

lonceng utara, tempat salah satu dari dua lonceng Santa

Teresa. Peti itu juga tak ada di sana.

Aku berselancar di internet selama beberapa saat,

tapi tak menemukan berita baru mengenai John Smith.

Kemudian, aku pergi ke kamar tidur, berbaring di ranjang,

dan pura-pura tidur. Untung La Gorda, Gabby, dan Delfina

tidak masuk ke kamar. Aku juga tak melihat Ella. Aku turun

dari tempat tidur dan berjalan ke koridor.

Aku pergi ke panti umat dan menemukan Ella di

bangku belakang. Aku duduk di sampingnya. Dia tersenyum

ke arahku, tampak lelah. Pagi ini aku menguncir rambutnya,

tapi sekarang kuncir itu sudah lepas. Aku menarik pitanya

dan Ella memunggungiku agar aku bisa menguncir rambutnya

lagi.

"Seharian ini kau ke mana saja?" tanyaku. "Aku

mencarimu."

"Aku menjelajah," jawab Ella dengan bangga. Aku

langsung merasa bersalah karena mengabaikannya selama

perjalanan ke sekolah.

Kami berdiri lalu pergi ke kamar, saling mengucapkan

selamat malam. Saat masuk ke bawah selimut dan menunggu

lampu dimatikan, aku merasa putus asa dan sedih. Aku ingin

meringkuk dan menangis. Jadi, itulah yang kulakukan.

Aku terbangun di tengah malam dan tak tahu jam

berapa saat itu. Tapi, aku yakin pasti sudah tidur selama

beberapa jam. Aku berguling dan menutup mata lagi, tapi

rasanya ada yang salah. Rasanya ada sesuatu yang berubah di

kamar itu, tapi aku tak bisa menjelaskannya, dan itu

membuat rasa tegang yang kurasakan selama seminggu ini

meningkat.

Aku membuka mata lagi. Begitu mataku terbiasa

dengan kegelapan, aku melihat sebuah wajah menatapku.

Aku tercekat dan cepat-cepat mundur, menubruk dinding di

belakangku. Aku terperangkap, pikirku, terperangkap di

pojok paling dalam. Kenapa aku menginginkan tempat tidur

ini? Tanganku tegang. Begitu akan menjerit dan menendang

wajah itu, aku mengenali mata cokelatnya.

Aku langsung merasa lega. Aku bertanya-tanya sudah

berapa lama dia berdiri di situ.

Pelan-pelan dia mendekatkan jari telunjuknya yang

mungil ke bibir. Matanya melebar dan dia tersenyum sambil

mendekat ke arahku, lalu mengatupkan tangan di telingaku.

"Aku menemukan Peti itu," bisiknya.

Aku menarik kepalaku dan memandang wajahnya

yang berseri-seri dengan saksama. Aku langsung tahu dia

mengatakan yang sebenarnya. Mataku melebar. Aku tak bisa

menahan kegembiraanku. Aku menarik dan memeluknya

dengan sangat erat, seerat yang bisa ditahan tubuhnya yang

mungil.

"Oh, Ella. Aku tak bisa mengatakan betapa bangganya

aku terhadapmu."

"Aku bilang aku akan menemukannya. Kita satu tim

dan kita saling tolong."

"Benar," bisikku.

Aku melepaskan pelukanku. Wajahnya berbinar
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangga. "Ayo, biar kutunjukkan di mana benda itu!" Dia

memegang tanganku dan aku mengikutinya mengitari

tempat tidur, berjingkat-jingkat tanpa suara.

Peti Loric?cahaya harapan yang berbinar terang di

saat aku tak menduganya, saat aku benar-benar

membutuhkannya.

16

KAMI MENINGGALKAN KAMAR. AKU SANGAT INGIN berlari ke

mana pun Ella membawaku. Dia meluncur dengan cepat

tanpa suara di atas lantai dingin. Koridor itu gelap. Walaupun

aku bisa melihat segalanya dengan jelas, sesekali Ella

menyalakan senter untuk mengetahui di mana dia berada,

lalu mematikannya.

Kami tiba di panti umat. Kupikir Ella akan pergi ke

menara utara, tapi dia justru membawaku menyusuri lorong

tengah. Kami berjalan cepat melintasi deretan bangku. Di

depan panti umat ada dinding melengkung yang dihiasi

deretan kaca patri berlukiskan para orang suci. Sinar bulan

yang menerangi menyebabkan orang-orang suci itu

memancarkan cahaya surgawi dan tampak lebih agung

daripada biasanya. Suara air menetes-netes terdengar dari

suatu tempat.

Begitu sampai di bangku depan, Ella berbelok ke

kanan menuju salah satu ceruk yang berderet di sepanjang

dinding. Aku mengikuti. Udara di sini lebih dingin daripada di

panti umat. Patung Bunda Maria menju lang di atas kami

dengan lengan terangkat di samping tubuhnya. Ella berjalan

ke belakang patung itu. Saat tiba di pojok kiri belakang, dia

menoleh ke arahku.

"Aku hares menurunkannya," katanya sambil

menggigit senter. Ella memegang pilar batu, lalu memanjat

seperti bajing memanjat pohon. Yang bisa kulakukan

hanyalah memandang dengan takjub, terpesona melihat

gerakannya yang lincah.

Saat hampir tiba di langit-langit, Ella berhenti lalu

berayun mengelilingi pilar itu dan menghilang ke re- lung

sempit yang hampir tak terlihat dari tempatku berdiri.

Aku belum pernah melihat relung itu. Hanya Tuhan

yang tahu bagaimana cara Ella menemukannya. Aku

mengulurkan kepala dan mendengar gesekan sepatu dengan

batu, yang berarti relung itu cukup luas sehingga dia bisa

merangkak. Semacam terowongan. Aku tersenyum. Aku tahu

Peti Loricku ada di sini, di suatu tempat, tapi aku tak akan

pernah bisa menemukannya jika bukan karena Ella. Aku

tertawa membayangkan Adelina memanjat pilar sambil

membawa Peti Loric bertahun-tahun lalu. Ella berhenti. Aku

tak mendengar apa pun. Dua puluh detik berlalu.

"Ella," bisikku. Dia menjulurkan kepala dan

memandang ke bawah. "Apa aku perlu naik?"

Ella menggelengkan kepala. "Petinya nyangkut, tapi

tak masalah. Sebentar lagi aku akan membawanya turun,"

bisiknya. Kemudian, dia menyentakkan kepala dan

menghilang. Aku berdebar-debar karena tak tahu apa yang

terjadi di atas sana. Aku memandang bagian bawah pilar dan

memegangnya. Tepat sebelum aku memanjat, terdengar

suara dari belakang, seperti seseorang tersandung bangku.

Aku berbalik. Patung Bunda Maria menghalangi

pandanganku. Aku mengitari patung itu dan memandang ke

arah panti umat, tapi aku tak melihat apa pun.

"Berhasil!" terdengar suara Ella berseru.

Aku bergegas kembali ke belakang patung dan

mendongak, menunggu Ella muncul. Aku bisa mendengar Ella

mendengus dan bersusah payah menyeret Peti itu ke tepi

relung, tapi aku tak tahu apakah itu karena Petinya berat atau

karena terowongan itu sangat sempit. Ella terus menyeret

Peti itu sedikit demi sedikit. Aku tidak meras a gembira

karena akhirnya berhasil mendapatkan Peti itu. Aku juga

tidak memikirkan bagaimana cara membukanya. Aku akan

memikirkannya nanti, setelah mendapatkan Peti itu. Saat Ella

hampir tiba di mulut relung, terdengar suara dari belakangku.

"Lagi apa?"

Aku berbalik. Gabby dan Delfina berdiri di bawah

lengan kiri patung Bunda Maria, sementara La Gorda dan

Bonita, juara permainan dermaga yang juga hampir

membunuhku waktu di danau, berdiri di bawah lengan

kanan.

Aku melirik ke belakang dan melihat dua mata kecil

mengintip dari dalam relung.

"Mau apa?" tanyaku.

"Cuma mau tahu si Pengadu sedang apa. Aku

melihatmu menyelinap keluar kamar, lalu kupikir jika aku

bangun akhirnya, aku akan bisa melihat apa yang selalu kau

cari di komputer. Tapi lucunya, ternyata kau tak ada di sana,"

kata Gabby sinis sambil memasang tampang bingung. "Kau

malah ada di sini. Benar-benar aneh."

"Benar-benar aneh. Sangat-sangat aneh," kata La

Gorda. Untungnya aku tidak mendengar Ella menyeret Peti.

"Apa pedulimu?" tanyaku. "Selama ini aku kan, tak

pernah merecoki siapa-siapa dan selalu tutup mulut."

"Aku sangat peduli denganmu, Marina," kata Gabby

sambil melangkah maju. Dia mengibaskan rambut hitamnya

yang panjang. "Sejujurnya, aku benar-benar peduli dan

mengkhawatirkanmu karena kau sering mengobrol dengan

Hector, si Pemabuk Pecundang. Apa kau pernah mabuk

bersamanya?" Dia berhenti sejenak. "Kau pernah minum dari

botolnya?"

Entah karena Gabby menyebut Hector pecundang,

atau karena dia pikir hubunganku dan Hector lebih daripada

pertemanan biasa, atau karena dia menyelidiki apa yang

kulakukan di komputer, yang jelas aku melakukannya begitu

saja. Aku menutup mata dan dengan telekinesis,

kucengkeram mereka berempat sekaligus. La Gorda menjerit,

sementara yang tiga lagi gemetar karena kaget. Aku

mengangkat mereka dari tanah sehingga kaki telanjang

mereka menendangnendang di udara dan bahu mereka

berbenturan. Kemudian, aku melemparkan keempatnya di

lantai licin hingga mereka menubruk tangga yang mengarah

ke mimbar.

La Gorda menepuk lantai dengan tangannya, berdiri

seperti seekor banteng yang murka dan siap menyerbu sang

matador. Aku berlari menghampirinya dan tiba di depannya

dalam sekejap. La Gorda mengayunkan pukulan. Aku

merunduk, lalu langsung berdiri sambil menyarangkan tinju

kananku di dagunya. Dia terlempar ke belakang dengan

napas tersentak, kepalanya menghantam lantai. La Gorda

pingsan.

Bonita melompat ke punggungku dan menjambak

rambutku. Seseorang meninju pipi kiriku dan yang lainnya

menendang tulang keringku. Bonita meluncur turun dari

punggungku dan memeluk lengan atasku sehingga aku tak

bisa bergerak. Delfina mengayunkan tinju dan aku

merunduk. Tinju itu menghantam mulut Bonita,

menyebabkan cengkeramannya melonggar sehingga aku bisa

meloloskan diri. Aku mencengkeram lengan kanan Bonita,

lalu melemparkannya ke arah Gabby.

"Awas kau, Marina! Awas!" jerit Bonita. Aku

menariknya ke samping, lalu menyarangkan lututku di

perutnya, hingga napasnya terempas keluar. Lalu, aku

melemparkannya ke lantai, ke samping La Gorda.

Kepercayaan diri Delfina lenyap. Dia memandang

pintu. "Masih mau menggangguku?" tanyaku.

"Tak masalah. Akan kubalas besok," katanya. "Saat

kau tak siap."

"Salah besar kalau kau ngomong begitu." Aku

purapura mengarah ke kanan, lalu menerjang ke kiri dan

menangkap pinggangnya. Gabby berusaha menjambak

rambutku, tapi aku memutar Delfina menjadikannya tameng.

Kemudian, aku berputar dan melemparkan Delfina di lorong

panti umat. Punggungnya menghantam anak tangga pertama

di altar, erangannya bergema di langit-langit berkubah.

Gabby memutariku. 'Akan kulaporkan ke Suster Dora.

Kau bakal kena masalah besar." Aku berputar agar bisa terus

menatapnya. Gabby berhenti tepat di samping pilar. Aku

tahu dia akan menyerbu dan aku siap.

Tiba-tiba, aku melihat kilasan putih di atas kepala

Gabby. Sekejap kemudian, aku sadar itu Ella yang melompat

turun ke bahu Gabby dari relung di atas. Gabby mengayun
ayunkan tangan untuk memegang Ella. Begitu berhasil, dia

melemparkan Ella ke lantai diiringi suara berderak paling

parah yang pernah kudengar.

"Tidak!" jeritku. Lalu, aku meninju ulu Kati Gabby

sekeras mungkin. Dia terlontar dan menghantam din- ding,

merontokkan semen dari tembok itu.

Ella berbaring terlentang, merintih, dan menggeliat

kesakitan. Aku melihat dia berusaha menjaga agar kaki

kanannya tetap diam. Aku berlutut di sampingnya dan

mengangkat bagian bawah baju tidurnya. Tulang putih tajam

mencuat dari kulitnya, tepat di bawah lutut. Aku tak tahu

harus berbuat apa. Aku meletakkan tanganku di bahunya dan

berusaha menenangkannya. Tapi, dia begitu kesakitan dan

tak bisa merasakan tanganku.

"Aku di sini, Ella," kataku. "Aku di sini, di sampingmu,

segalanya akan baik-baik saja."

Matanya membuka dan dia menatapku dengan mata

memelas. Barulah aku menyadari apa yang terjadi dengan

tangan kanannya. Tangannya yang mungil hancur, bengkok.

Darah merembes keluar di antara telunjuk dan jari

tengahnya. Tangan yang menjadi modal utamanya melukis.

"Ya, Tuhan. Ella. Maafkan aku," aku menangis.

"Maafkan aku."

Ella hanya menangis. Aku merasa tubuhku mulai

berkeringat. Baru kali ini aku merasa begitu tak berguna.

"Jangan bergerak," kataku, walaupun sadar

sebenarnya itu tak perlu. Rumah sakit terdekat jaraknya

setengah jam dengan mobil. Dia bakal pingsan akibat

kesakitan.

Ella mulai bergoyang ke kiri dan ke kanan. Aku

mengarahkan tanganku yang gemetaran di atas ujung runcing

tulang yang mencuat dari kakinya, tak tahu apakah sebaiknya

aku menekannya atau berusaha mendorongnya kembali ke

bawah kulit. Aku memutuskan untuk menekan. Begitu jariThe Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jariku menyentuh kulitnya, Ella menarik napas dalam sambil

gemetaran. Rasa dingin menjalari punggungku, seperti saat

aku mengembalikan kehidupan bunga di ruang komputer,

kemudian menyebar ke seluruh tubuhku. Apakah

kemampuanku untuk menyembuhkan tumbuhan juga bisa

digunakan untuk manusia? Ella berhenti menangis. Dia mulai

bernapas dengan cepat. Dadanya yang mungil naik dan turun,

naik, turun. Aku bisa merasakan dingin berkumpul di telapak

tanganku, lalu berpusar keluar melalui ujung jariku. "Kupikir,

kupikir aku bisa menyembuhkanmu."

Dada Ella terus naik dan turun dengan kecepatan tak

wajar. Namun, wajahnya tampak damai, tak terpengaruh.

Aku takut. Tapi kutempelkan tanganku di atas tulang yang

mencuat dari kakinya. Aku bisa merasakan ujungnya yang

patah dan kasar. Tak lama kemudian, tulang itu mulai

bergerak kembali ke bawah kulit. Luka yang semula berwarna

merah dan putih berubah menjadi warna kulit. Aku bisa

melihat tulang yang bergerigi bergerak dan bergeser di

dalam kakinya, kembali ke tempat semula. Aku takjub

dengan apa yang baru saja kulakukan. Ini mungkin Pusakaku

yang paling penting.

"Diam," kataku. "Satu lagi."

Aku menutup mata dan menggenggam pergelangan

tangannya yang kecil. Rasa dingin mengalir lagi dari ujung

jariku. Aku membuka mata dan melihat telapak tangan Ella

terangkat dan jari-jarinya saling menjauh. Luka di antara jari

telunjuk dan jari tengahnya menutup, dua jari patah kembali

lurus dan sehat. Ella mengepalkan tangan, lalu membukanya

kembali.

Aku melakukan apa yang Lorien takdirkan untukku.

Memperbaiki kerusakan yang menimpa mereka yang tak

pantas mengalaminya.

Ella menoleh ke kanan untuk melihat tanganku yang

memegang pergelangan tangannya. "Kau baikbaik saja,"

kataku. "Lebih daripada sekadar baik-baik saja." Ella

mengangkat kepala dari lantai, lalu menahan tubuhnya

dengan siku. Aku menarik dan memeluknya.

"Kita satu tim," bisikku ke telinganya. "Kita saling

jaga. Terima kasih sudah membantuku."

Ella mengangguk. Aku memeluknya erat, lalu

melepaskannya. Aku memandang gadis-gadis lain. Mereka

semua tak sadar, tapi masih bernapas. Aku melihat ujung Peti

Loric mencuat dari relung tadi.

"Aku senang karena kau menemukan Peti itu. Aku tak

bisa mengungkapkan betapa senangnya diriku," kataku. "Kita

ambil besok pagi, setelah istirahat."

"Yakin?" tanya Ella. "Aku bisa memanjat kembali dan

mengambilnya."

"Jangan, jangan. Bersihkan dirimu di kamar mandi,

aku tunggu di sini."

Saat Ella sudah pergi, aku memandang Peti itu.

Sambil berkonsentrasi, aku menurunkan benda itu ke lantai.

Sekarang tinggal meminta Adelina membukanya bersamaku.

17

BEGITU AKU MENDOBRAK PINTU YANG TERBAKAR dan

mendarat di karpet cokelat yang meleleh di ruang tamu,

sejumlah hal berkelebat di benakku. Sam. Surat Henri. Peti

Loric. Abu Henri. Aku membiarkan diriku ditelan api agar bisa

bergerak dengan mudah dari satu ruangan ke ruangan lain.

"Sam?!" teriakku. "Kau di mana, Sam?"

Saat melewati ruang keluarga, aku melihat seluruh

dinding belakang rumah terbakar. Sebentar lagi rumah ini

akan ambruk. Aku berlari ke kamar tidur sambil berteriak

memanggil Sam. Pintu kamar mandi meledak saat

kutendang. Aku mengecek dapur serta ruang makan. Begitu

akan kembali ke ruang keluarga, aku memandang ke luar

melalui jendela. Di tepi kolam renang ada Peti Loric beserta

tumpukan barang-barang kamitermasuk laptop, kaleng kopi

berisi abu Henri, dan surat yang belum dibuka. Suatu benda

kecil muncul di tengah kolam. Kepala Sam. Dia melihatku dan

melambai-lambaikan tangan.

Aku menerobos jendela, membuat alat pemanggang

terguling, lalu menceburkan diri ke dalam kolam. Api yang

menyelubungiku berdesis dan berubah jadi asap abu-abu

dan hitam. "Kau baik-baik saja?"

"Kurasa," jawab Sam. Kami keluar dari kolam dan

berdiri di dekat barang-barang yang berhasil dia selamatkan.

"Apa yang terjadi?"

"Mereka di sini. Mereka benar-benar di sini. Para

Mogadorian." Begitu Sam mengatakan itu, perutku terasa

mual. Rahangku gemetar. Lalu, Sam berkata, "Aku melihat

mereka di jendela depan lalu, bum, rumah terbakar. Aku

mengambil yang bisa kuambil ...."

Ada gerakan di atap. Dan celah-celah lidah api, aku

melihat Mogadorian pengintai dengan jubah panjang hitam,

topi, dan kacamata hitam berjalan turun. Setiap kali

melangkah, kakinya melesak ke dalam genteng. Dia

membawa sebuah pedang panjang berkilau.

Aku berlutut dan mencengkeram gembok Peti, yang

langsung terbuka dalam tanganku yang bercahaya.

Menyingkirkan kristal-kristal di bawah Peti, aku mengambil

belati dengan bilah berlian. Mata belati yang tajam

memantulkan tarian lidah api dari rumah. Aku kaget saat

pegangan belati itu memanjang, lalu melingkar mengelilingi

tangan kananku. "Mundur," kataku kepada Sam.

Si Pengintai mencapai talang atap yang mulai runtuh.

Dia menjatuhkan diri ke teras di bawahnya, menyebabkan

semen retak saat mendarat. Mogadorian itu mengibaskan

pedang di depannya, meninggalkan jejak berkilau di udara.

Aku mengatur napas dan mengingat-ingat latihan yang

kujalani minggu ini.

Begitu aku melangkah maju, si Pengintai meraung

dan menyerbu ke arahku, jubah panjangnya berkibar-kibar.

Aku melihat bayanganku di kacamata hitamnya sesaat

sebelum pedang menyabet tubuhku. Aku menarik kepalaku

ke belakang cukup jauh sehingga dia tak mengenaiku, tapi

saat kembali tegak, aku menyentuh jejak berkilau yang

ditinggalkan pedang itu. Leherku terasa sakit, dan sakitnya

menjalar hingga ke pinggang. Aku terpukul mundur dan jatuh

ke dalam kolam.

Saat kepalaku menyembul di air, aku melihat Sam

bertarung dengan si Pengintai. Dia mengangkat tangan dalam

posisi siaga, bahunya berayun ke kiri dan ke kanan. Si

Pengintai tertawa dan menjatuhkan pedangnya ke semen,

lalu meniru kuda-kuda Sam. Sebelum sempat mengangkat

tubuhku dari kolam untuk membantu, Sam sudah

memindahkan berat badannya ke kaki kiri, lalu memutar kaki

kanannya ke belakang. Sepatu kanannya yang basah kuyup

menghantam wajah si Pengintai dengan begitu kuat sehingga

Mogadorian itu terhuyung-huyung mundur beberapa

langkah.

Si Pengintai yang bingung itu memungut pedang

berkilaunya. Sebelum dia mencapai Sam, aku sudah keluar

dari kolam dan mengangkat belatiku untuk menahan

hantaman pedang. Bilah pedang dan bilah belati beradu,

diiringi sinar yang begitu terang sehingga aku tak bisa

melihat. Saat sinar itu memudar, pedang si Pengintai patah

tepat di bagian yang beradu dengan belatiku. Memanfaatkan

kekagetannya, aku menghunjamkan belati ke dadanya, lalu

menarik belati itu ke bawah. Si Mogadorian berubah jadi abu

yang langsung menyelubungi kakiku.

Rumah itu akhirnya roboh?tiang-tiang kayu patah ke

berbagai arah, jendela meledak dari dindingdiikuti atap yang

ambruk di atasnya. Awan badai muncul, kilat membelah

langit, dan menyambar tepat di samping rumah.

"Kita harus ke Nomor Enam!" teriak Sam. Dia benar.

Kilat yang menyambar begitu dekat hanya berarti satu hal.

Nomor Enam sedang bertempur. Atau mengakhiri

pertempuran. Dengan satu tanganku yang bebas, aku

mengangkat Peti Loric, lalu melemparkannya melewati

tembok belakang setelah memastikan keadaan aman. Sam

melemparkan barang-barang lain ke arahku. Setelah itu, aku

menariknya ke atas tembok. Kami melompat ke balik

tembok, lalu berguling di rum- put lembap. Setelah

mengamankan semua barang di balik semak tebal, kami

berlari mengitari rumah menuju halaman depan.

Di halaman depan, hanya beberapa langkah dari SUV

kami, Nomor Enam sedang memiting leher seorang

pengintai, otot-otot lengannya bertonjolan. Dua pengintai

lain mendekat, salah satunya mengacungkan sebuah tabung

panjang ke arahku, lalu sinar hijau melontarkanku ke

belakang. Aku tak bisa bernapas. Tak bisa melihat. Aku

berguling ke rumput tinggi dan merasakan panas dari dalam

rumah.

Saat bisa membuka mata kembali, aku melihat

pengintai dengan tabung tadi berdiri di dekatku. Perlahan
lahan, aku bisa merasakan tangan dan kakiku. Napasku pun

kembali normal. Pegangan belati masih membelit tangan

kananku. Si Pengintai mengatur tombol di tabung itu,

mungkin mengubah dari melumpuhkan menjadi membunuh,

lalu menginjak pergelangan tangan kananku. Aku berusaha

mengayunkan kaki ke atas tubuhku, tapi kakiku tidak

bereaksi seperti yang kuinginkan, lumpuh akibat sinar tadi.

Laras tabung itu ada di antara kedua mataku. Aku teringat

saat Nomor Enam mengacungkan pistol ke arah laki-laki

pemabuk satu jam yang lalu. Ini dia, pikirku. Para Mogadorian

berhasil menjalankan misi mereka. Nomor Empat, beres.

Berikutnya Nomor Lima.

Aku melihat ratusan cahaya di dalam pipa itu

memercik dan hidup, berputar-putar jadi satu. Saat si

Mogadorian meletakkan jarinya di pelatuk, Bernie Kosar

menggigit pahanya. Si Pengintai terhuyung-huyung di

dekatku selama sesaat sebelum kilat memenggalnya.

Kepalanya menggelinding di rumput tepat di sampingku,

hidung kami sempat bersentuhan sebelum kepala itu

berubah jadi tumpukan abu. Aku menahan napas agar tidak

menghirup abunya. Tubuh di atasku runtuh dan menutupi

jinsku dengan abu.

"Bangun!" teriak Nomor Enam, tiba-tiba muncul di

tempat si Pengintai tadi berdiri.

Sam juga muncul di atasku, wajahnya kotor dan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegang. "Kita harus pergi sekarang juga, John."

Raungan sirene membelah malam. Satu setengah

kilometer, mungkin kurang. Bernie Kosar menjilat pelipis

kiriku dan mendengking.

"Apa yang terjadi dengan Mogadorian yang ketiga?"

bisikku.

Nomor Enam memandang Sam dan mengangguk.

"Aku berhasil memegang pedangnya dan menggunakan

pedang itu untuk menusuknya. Momen terbaik dalam

hidupku," kata Sam.

Nomor Enam memanggulku di bahunya, lalu

memasukkanku ke kursi belakang mobil. Bernie Kosar duduk

di tulang keringku, menjilati tangan kananku yang lumpuh.

Sam mengambil kunci dan duduk di kursi pengemudi,

sementara Nomor Enam mengambil barang-barang kami.

Begitu tiba di jalan raya dan tak lagi mendengar sirene, aku

menjadi lebih rileks dan memusatkan perhatian ke tangan

kananku. Pegangan belati itu berubah wujud dan menarik

diri dari buku-buku dan pergelangan tanganku. Aku

menjatuhkan belati itu ke lantai mobil.

Lima belas menit kemudian, Nomor Enam menyuruh

Sam menepi dan kami masuk ke tempat parkir restoran yang

sudah tutup. Dia turun sebelum mobil berhenti dan

membiarkan pintu tetap terbuka.

"Bantu aku," perintahnya.

"Bukannya nggak mau banal, tapi aku tak bisa

menggerakkan tangan dan kakiku."

"Coba sajalah. Kita harus mengecoh mereka,"

katanya. "Kalau tidak, kau mati. Pikirkan itu."

Aku berusaha untuk duduk dan merasakan darah

mengalir ke kakiku. Kemudian, aku turun dari mobil dan

berdiri kebingungan dengan pakaian hangus, tak tahu harus

berbuat apa.

"Cari penyadapnya," kata Nomor Enam. "Sam, biarkan

mobil menyala."

"Oke," jawab Sam.

"Cari apa?" tanyaku.

"Mereka menggunakan penyadap untuk melacak

kendarAnn. Percayalah. Itu yang mereka gunakan untuk

menemukanku dan Katarina."

"Bentuknya seperti apa?"

"Entah. Tapi, waktu kita hanya sedikit, jadi cepat

cari."

Aku nyaris tertawa. Kurasa saat ini aku tak bisa

melakukan apa pun dengan cepat. Namun, Nomor Enam

bergegas mengelilingi mobil sementara aku pelan-pelan

berlutut dan merangkak, lalu menyorotkan tanganku ke

bagian bawah mobil itu. Bernie Kosar mengendusendus, dari

bemper belakang ke depan. Aku langsung melihatnya, benda

bulat kecil sebesar koin seperempat dolar menempel di

tutup tangki bensin.

"Ketemu!" teriakku sambil mencabut benda itu. Aku

keluar dari bawah mobil kemudian, masih berbaring

terlentang, menyerahkan benda itu kepada Nomor Enam. Dia

mengamati benda itu, lalu memasukkannya ke saku.

"Lho? Nggak dirusak?"

"Nggak," jawabnya. "Periksa lagi. Kita harus

memastikan tak ada yang kedua, atau ketiga."

Aku kembali ke bawah mobil dengan tangan

menyala, memeriksa dari belakang hingga ke depan. Aku tak

melihat apa pun.

"Yakin?" tanya Nomor Enam saat aku bangkit.

"Ya."

Kami masuk ke dalam mobil lalu pergi. Pukul dua dini

hari. Sam mengarahkan mobil ke barat. Mengikuti perintah

Nomor Enam, Sam melajukan SUV dengan kecepatan antara

135 hingga 145 kilometer per jam. Aku khawatir polisi

muncul. Setelah sekitar lima puluh kilometer, dia berbelok

ke jalan raya antarnegara bagian, lalu melaju ke selatan.

"Kita hampir sampai," kata Nomor Enam. Tiga

kilometer kemudian, Nomor Enam menyuruh Sam keluar dari

jalan antarnegara bagian itu. "Berhenti! Berhenti di sini!"

Sam meminggirkan mobil di samping sebuah truk gandeng

yang sedang berhenti. Pemiliknya sedang mengisi bensin.

Nomor Enam membuat dirinya tak terlihat lalu keluar,

membiarkan pintu mobil sedikit terbuka.

"Dia mau apa?" tanya Sam.

"Entah."

Beberapa detik kemudian, pintu mobil kami

dibanting tertutup. Nomor Enam muncul kembali dan

menyuruh Sam kembali ke jalan raya, kali ini ke utara. Dia

tampak lebih santai, tangannya tak lagi memegangi dasbor

hingga buku-bukunya memutih.

"Apa kau ingin aku bertanya apa yang baru saja kau

lakukan?" tanyaku.

Nomor Enam melirik ke belakang. "Truk itu menuju

Miami. Aku menempelkan alat pelacak itu ke bagian bawah

trailernya. Semoga para Mogadorian mengikutinya ke

selatan, sementara kita ke utara selama berjamjam."

Aku menggeleng. "Pasti akan jadi malam yang

mengesankan buat sopir truk itu."

Begitu kami melewati tanda Ocala, Nomor Enam

menyuruh Sam keluar dan memarkirkan mobil di belakang

sebuah pusat perbelanjaan, beberapa menit dari jalan

antarnegara bagian.

"Malam ini kita tidur di sini," kata Nomor Enam.

"Sebaiknya, kita tidur bergiliran."

Sam membuka pintu agar bisa duduk menyamping

dan mengulurkan kaki keluar mobil. "Emm. Mungkin

seharusnya aku bilang, tapi yah, tadi aku terluka cukup parah

dan sekarang mulai sakit, lalu kurasa aku bakal pingsan."

"Apa?" Aku turun dari mobil dan berdiri di depannya.

Sam menggulung kaki kanan celana jinsnya yang kotor untuk

memperlihatkan luka di atas lututnya. Lukanya agak lebih

kecil daripada kartu kredit, tapi dalamnya sekitar dua atau

tiga sentimeter. Darah segar dan kering menutupi lutut dan

tulang keringnya.

"Ya, ampun, Sam," kataku. "Kapan kejadiannya?"

"Tepat sebelum aku mengambil pedang si

Mogadorian. Bisa dibilang pedang itu kutarik dari kakiku."

"Oke, ayo keluar," kataku. "Berbaringlah."

Nomor Enam menopang Sam dan membantunya

turun.

Aku membuka pintu belakang mobil dan mengambil

batu penyembuh dari Peti Loric. "Pegangan. Ini bakal sakit."

Nomor Enam mengulurkan tangan dan Sam meraihnya.

Begitu aku menekankan batu itu ke lukanya, Sam merintih

kesakitan dan otot-ototnya menegang. Sepertinya dia bakal

pingsan. Kulit di sekitar lukanya berubah jadi putih, lalu

hitam, lalu merah cerah seperti darah. Aku langsung

menyesal karena mencoba menggunakan batu itu kepada

manusia. Apakah Henri pernah bilang batu ini tak berfungsi

kepada manusia? Aku berusaha mengingat-ingat apa yang

Henri katakan saat Sam mengeluarkan erangan panjang

sampai kehabisan napas. Bagian tepi luka itu menutup ke

arah dalam, lalu menghilang tanpa bekas. Sam melonggarkan

pegangannya dan pelan-pelan mulai bernapas kembali.

Setelah satu menit, dia bisa duduk.

"Wah, aku sangat ingin jadi alien," akhirnya dia

berkata. "Kalian punya banyak barang keren."

"Kau bikin aku cemas setengah mati," kataku. "Aku

tak yakin ini bakal berhasil karena banyak benda di Peti Loric

yang tak berfungsi bagimu."

"Sama," tambah Nomor Enam. Dia menunduk dan

mengecup pipi Sam yang kotor. Sam kembali berbaring dan

mendesah. Nomor Enam tertawa dan mengusap rambut

cepaknya. Aku kaget merasakan dadaku panas terbakar

cemburu.

"Kau mau ke rumah sakit?" tanyaku.

"Aku mau di sini," jawab Sam. "Selamanya."

"Kau tahu? Untung tadi kita keluar jalan-jalan," kata

Nomor Enam setelah kami masuk kembali ke dalam mobil.

"Benar," kataku.

Sam menempelkan pipi kanannya di sandaran kepala

sehingga bisa melihat aku dan Nomor Enam. "Kenapa kalian

berdua pergi jalan-jalan?"

"Aku tak bisa tidur. Nomor Enam juga," jawabku. Itu

memang benar, tapi aku tetap merasa bersalah. Aku tahu

Sarah itu kekasihku, tapi aku tak bisa menahan perasaan baru

yang saat ini kurasakan.

Nomor Enam menghela napas. "Kau tahu kan, ini

artinya apa?"

"Apa?"

"Mereka mungkin sudah berhasil membuka Petiku."

"Tapi kau kan, tak tahu pasti."

"Memang. Tapi, sejak memegang batu dari Petimu

yang kemudian berdenyut serta menyakiti tanganku, sampai

sekarang aku belum bisa menghilangkan perasaan itu. Baru

sekarang terpikir olehku bahwa mungkin itu ada kaitannya

dengan Petiku."

"Petimu sudah mereka simpan selama tiga tahun,"

kataku. "Jadi, menurutmu mereka bisa membuka Peti Loric

tanpa kita, walaupun kita belum mati?"

Nomor Enam mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin?

Tapi, aku merasa mereka berhasil membuka Petiku. Aku juga

merasa entah bagaimana batu itu mengarahkan para

pengintai ke rumah kita begitu aku menyentuhnya."

"Kenapa mereka mengirim sedikit Mogadorian?"

tanya Sam sambil menguap. "Maksudku, kenapa tidak

menunggu bala bantuan datang sebelum menyerang?"

"Mungkin mereka takut dan panik," kata Nomor

Enam.

"Mungkin salah satu dari mereka ingin sok

pahlawan," kataku.

Nomor Enam membuka jendela dan mendengarkan.

Setelah puas, dia berkata, "Walaupun begitu, lain kali bakal

ada lebih banyak Mogadorian, piken, kraul, dan apa pun yang

bisa mereka gunakan untuk melawan kita."

"Mungkin kau benar," bisik Sam. Dia mulai tertidur.

"Yang jelas, jadi pelarian itu bikin aku lelah."

"Coba lakukan itu selama sebelas tahun," kataku.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku rasa aku agak kangen rumah," gumamnya.

Aku menjulurkan kepala dan melihat Sam memegang

kacamata tua ayahnya di pangkuannya, kacamata berlensa

tebal yang biasa dia gunakan saat di Paradise.

"Kau masih bisa pulang, Sam. Kau tahu itu, kan?"

Sam terdiam. "Aku tak akan pulang." Kali ini, dia tidak

begitu yakin seperti saat pertama kali mengatakannya ketika

berada di motel di North Carolina. "Tidak sebelum berhasil

menemukan ayahku. Atau setidaknya sampai aku tahu apa

yang terjadi kepadanya."

Ayahnya? tanya Nomor Enam tanpa suara kepadaku,

bingung.

Nanti, balasku, juga tanpa suara.

"Oke," kataku. "Kita bakal mengetahuinya." Aku

menoleh ke arah Nomor Enam. "Jadi, besok pagi kita ke

mana?"

"Karena sepertinya mereka berhasil membuka

Petiku, kurasa kita lihat saja ke mana angin membawa kita.

Sampai saat ini angin belum pernah mengecewakanku,"

katanya dengan nada muram sambil melirik ke arahku. "Jika

bukan karena angin dan kebutuhanku akan kafein pada suatu

malam di Pennsylvania, malam sebelum pertempuran di

Paradise itu, tak mungkin aku tiba di sana tepat waktu."

"Maksudmu?" tanyaku.

"Saat itu aku sedang berada di daerah Barat. Setelah

menemukan berita di web yang kurasa dibuat oleh para

Mogadorian, di Athens di dekat universitas itu, aku pikir

kalian ada di Ohio atau di West Virginia, atau Pennsylvania.

Namun, setelah beberapa minggu mencari tanpa hasil,

kurasa aku kehilangan jejak kalian. Aku pikir kalian pergi ke

California atau ke Kanada. Jadi, di sanalah aku berada, berdiri

di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan ini, lelah dan

tersesat, kehabisan uang. Tiba-tiba, angin kencang

menerpaku dan membuka pintu kedai kopi di sebelah kiriku.

Kupikir aku akan mengisi bensin, pergi, dan memikirkan

rencana lain, tapi di pojok toko itu ada komputer yang bisa

digunakan oleh pelanggan. Aku membeli secangkir besar

kopi dan mulai mencari di internet. Tak lama kemudian, aku

menemukan artikel mengenai rumah yang terbakar dan kau

yang melompat dari atas rumah itu."

Aku malu saat menyadari betapa mudahnya diriku

ditemukan. Pantas saja Henri ingin aku selalu ada di rumah

atau di sekolah.

"Jika bukan karena angin kencang yang membuka

pintu itu, pasti aku sudah pergi ke kedai makanan dan minum

kopi sampai pagi. Aku menulis semua informasi yang bisa

kutemukan tentang kalian, lalu pergi dan mencari tempat

fotokopi yang buka malam hari. Kemudian, aku mengirim

faks dan surat dengan nomorku, berusaha memperingatkan

kalian atau, setidaknya, memberi petunjuk agar kau bertahan

hingga aku tiba di sana. Dan aku tiba tepat pada waktunya."

18

ANGIN MEMBAWA KAMI KE UTARA, KE SEBUAH motel di

Alabama. Kami menginap di sana selama dua malam, sekali

lagi Sam menggunakan salah satu kartu identitasku.

Kemudian, kami pergi ke barat dan tidur di bawah taburan

bintang-bintang di sebuah lapangan di Oklahoma. Setelah

itu, kami menginap dua malam di Holiday Inn di pinggiran

Omaha, Nebraska. Dari sana, tanpa alasan jelas?yang tak

ingin dikatakannya?Nomor Enam membawa kami sejauh

seribu lima ratus kilometer ke arah timur untuk menyewa

sebuah pondok kayu di Pegunungan Maryland, hanya

berjarak lima menit dengan mobil dari perbatasan West

Virginia dan tiga jam dari gua Mogadorian. Kami hanya 317

kilometer dari Paradise, Ohio, tempat perjalanan kami

dimulai. Sarah hanya berjarak setengah tangki bensin.

Sebelum terjaga pun aku tahu hari ini akan terasa

berat, seperti ketika kenyataan bahwa Henri sudah tiada

terasa bagaikan hantaman palu godam. Apa pun yang

kulakukan, rasa sakitnya tak mau hilang. Aku sudah sering

mengalami hari-hari seperti ini. Hari-hari dipenuhi rasa

menyesal. Dipenuhi rasa bersalah. Dipenuhi perasaan

berduka karena tahu aku tak akan pernah bisa bicara

dengannya lagi. Pikiran itu membuatku lumpuh. Andai aku

bisa mengubahnya. Tapi seperti yang pernah Henri katakan,

"Ada hal-hal yang tak bisa diubah." Kemudian Sarah. Sejak

meninggalkan Florida, aku digerogoti rasa bersalah karena

membiarkan diriku dekat dengan Nomor Enam serta hampir

menciumnya.

Aku menarik napas dalam dan membuka mata.

Cahaya pagi yang pucat memasuki kamar. Surat Henri,

pikirku. Aku tak punya pilihan lain, selain membacanya.

Terlalu berbahaya jika aku menundanya. Apalagi surat itu

hampir hilang di Florida.

Aku menyelipkan tangan ke bawah bantal, lalu

mengambil belati serta surat Henri. Kedua benda itu

kusimpan di dekatku. Aku memandang amplop selama

beberapa saat, berusaha membayangkan dalam keadaan apa

surat ini ditulis. Kemudian aku mendesah, sadar bahwa itu

tak penting dan hanya membuang-buang waktu. Aku

membuka segel amplop dengan belati, lalu mengeluarkan

kertas di dalamnya. Tulisan tangan Henri dengan tinta hitam

tebal memenuhi lima lembar kertas kuning. Aku menarik

napas dan menatap bagian atas kertas itu.

19 Januari

J ?

Aku sudah sering menulis surat ini tanpa tahu kapan

hidupku berakhir. Jika kau membaca surat ini, jelas aku sudah

tiada. Aku minta maaf John. Aku benar-benar minta maaf.

Kami, para Cepan, ditugaskan melindungi kalian bersembilan

dengan segala cara, bahkan jika itu berarti mengorbankan

jiwa kami. Tapi saat menulis surat ini di atas meja makan kita,

beberapa jam setelah kau menyelamatkanku di Athens, aku

sadar bahwa yang membuatku terus bersamamu bukanlah

tugas, melainkan rasa sayang, ikatan yang lebih kuat daripada

kewajiban apa pun. Bagaimanapun, aku akan tetap mati.

Masalahnya hanya kapan dan bagaimana aku mati. Jika bukan

karenamu, pasti aku sudah mati hari ini. Bagaimanapun

caraku mati, tolong jangan salahkan dirimu. Aku tak berharap

akan selamat di sini. Selain itu, begitu kita meninggalkan

Lorien bertahun-tahun lalu, aku tahu aku tak akan pernah

kembali.

Aku penasaran berapa banyak yang sudah kau

ketahui sejak aku menulis surat ini hingga saat kau

membacanya. Aku yakin, sekarang ini kau tahu aku

merahasiakan banyak hal darimu. Mungkin malah lebih

banyak daripada yang seharusnya. Selama ini, aku ingin kau

tetap fokus, tetap berlatih dengan giat. Sebisa mungkin, aku

ingin kau bisa menjalani hidup normal di Bumi ini. Aku yakin,

kau akan berpikir ini menggelikan, tapi mengetahui seluruh

kebenaran akan membuat ketegangan kita berlipat ganda.

Jadi, dari mana aku harus mulai? Ayahmu bernama

Liren. Dia Loric yang berani dan kuat, serta menjalani

hidupnya dengan penuh integritas serta tujuan. Seperti yang

kau saksikan saat melihat citra perang di Lorien, ayahmu

terus menunjukkan sifat-sifat itu hingga akhir hayatnya,

bahkan walaupun tahu perang itu tak mungkin dimenangkan.

Dan itulah yang kita semua inginkan, mati dengan penuh

martabat, gugur dengan gagah dan terhormat. Meninggal

dengan kesadaran bahwa kita telah melakukan yang terbaik.

Itulah yang bisa diteladani dari ayahmu. Dan kau juga seperti

itu, walaupun mungkin kau tak percaya.

Aku duduk tegak, bersandar ke bagian kepala tern
pat tidur, membaca nama ayahku berulang-ulang. Gumpalan

di tenggorokanku terasa bagai batu. Seandainya Sarah ada di

sini dan memaksaku melanjutkan, dengan kepala bersandar

di bahuku. Aku memusatkan pandangan ke paragraf

berikutnya.

Saat kau masih anak-anak, ayahmu selalu

berkunjung, bahkan walaupun seharusnya dia tidak datang.

Dia sangat menyayangimu. Dia bisa duduk berjam-jam

memandangimu bermain di rumput bersama Hadley (aku

penasaran, apakah kau sudah tahu apa Bernie Kosar

sebenarnya?). Dan walaupun aku yakin kau tak terlalu ingat

seperti apa masa kanak-kanakmu, aku bisa berkata bahwa

kau itu anak yang bahagia. Untuk beberapa lama, kau

memiltki masa kanak-kanak yang patut diterima semua anak,

walaupun tak semua anak mendapatkannya.

Meski sering bertemu dengan ayahmu, aku hanya

bertemu ibumu satu kali. Namanya Lara. Seperti ayahmu,


Pendekar Rajawali Sakti 109 Darah Di Taj Mahal Kisah Cinta Abadi Karya Lima Sekawan 6 Rahasia Di Pulau Kirrin

Cari Blog Ini