The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 5
cepat dari kendaraan itu. Seseorang menendang perutku.
Borgol dipasang di pergelangan tanganku. Deru helikopter
terdengar di atas.
Otakku memikirkan satu-satunya penjelasan yang
paling mungkin.
Sarah. SMS itu. SMS itu bukan dari Emily. SMS itu dari
polisi. Hatiku hancur berkeping-keping.
Aku menggelengkan kepala dengan wajah menempel
ke semen. Aku merasakan seseorang mengambil belatiku.
Tangan-tangan mengambil tablet yang terselip di
pinggangku. Aku memandang saat Sam ditarik berdiri. Mata
kami bertemu sekejap. Aku tahu apa yang dia pikirkan.
Pergelangan kakiku dipasangi borgol. Rantai
menghubungkan borgol di kakiku dengan borgol di
pergelangan tanganku. Aku disentakkan dari tanah. Borgol itu
terlalu ketat dan menyakiti pergelangan tanganku. Tudung
hitam dipasangkan ke kepalaku dan diikatkan di leherku. Aku
tak bisa melihat. Dua petugas menarik sikuku, sementara
satu petugas lain mendorongku maju.
"Kau berhak untuk diam," kata salah seorang petugas
saat aku dibawa pergi. Lalu, aku didorong ke dalam bagian
belakang sebuah mobil.
24
SETELAH LIMA MENIT, AKU TURUN DARI TEMPAT tidur dan
membuka lemari untuk memilih pakaian yang akan kubawa.
Saat sedang memegang sebuah sweter hitam, aku merasa
sebaiknya berpamitan dengan Hector sebelum pergi.
Aku mengambil jaket anak lain dari dinding, yang ada
tudungnya, lalu menulis pesan singkat untuk Adelina: Harus
pamitan dengan seseorang di kota.
Pintu ganda itu terbuka dan aku memasuki udara
dingin. Begitu melihat mobil polisi dan mobil media massa
yang berderet di Calle Principal, aku merasa lebih baik. Para
Mogadorian tak akan mencoba melakukan apa pun dengan
begitu banyak saksi. Aku berjalan melintasi gerbang dengan
kepala ditutupi tudung. Pintu rumah Hector sedikit terbuka,
lalu aku mengetuk kusennya pelan. "Hector?"
Seorang perempuan menjawab. "Halo?"
Pintu terbuka dan ibu Hector, Carlotta menyambut.
Rambut hitamnya yang beruban disematkan dengan hati-hati
di kepalanya. Wajahnya merona dan dia tersenyum. Dia
mengenakan gaun merah yang cantik dan celemek biru.
Rumah itu bau kue.
"Apa Hector ada di rumah, Senora Ricardo?" tanyaku.
"Malaikatku," katanya. "Malaikatku kembali."
Dia ingat apa yang kulakukan untuknya bahwa akulah
yang menyembuhkan penyakitnya. Aku merasa malu dengan
caranya memandangiku, tapi dia membungkuk untuk
memeluk dan aku tak bisa menolaknya. "Malaikatku
kembali," katanya lagi.
"Aku senang Anda sudah merasa lebih baik, Senora
Ricardo."
Air mata mengalir turun di pipinya dan segera saja
mataku juga digenangi air mata. "Sama-sama," bisikku. Ada
suara mengeong dari belakang Carlotta. Aku membungkuk
dan melihat Pusaka berlari menghampiriku dari dapur
dengan susu menetes dari dagunya. Dia mendengkur di
kakiku dan aku membungkuk untuk membelai bulunya yang
tebal.
"Kapan dia datang?" tanyaku.
"Pagi ini dia muncul di depan pintu rumahku, dan
kupikir dia manis sekali. Aku menamainya Feo."
"Senang bertemu denganmu, Feo."
"Dia kucing yang baik," katanya dengan tangan di
pinggul. "Dan sangat lapar."
"Aku senang kalian berdua bertemu. Carlotta, maaf,
tapi aku harus pergi. Aku perlu bicara dengan Hector. Dia di
rumah?"
"Dia di kafe," katanya. Wajahku pasti tampak begitu
kecewa mengira Hector sudah minum pagi-pagi karena
kemudian Carlotta menambahkan, "Hanya kopi. Dia minum
kopi."
Aku memeluknya untuk berpamitan dan dia
mencium kedua pipiku.
Kafe itu penuh. Aku meraih pintu, tapi sebelum
sempat menariknya hingga terbuka, sesuatu
menghentikanku: Hector duduk di meja kecil, tapi aku tak
begitu memperhatikannya. Mataku terpaku pada orang yang
duduk di kursi di depan Hector?Mogadorian tadi ma- lam.
Sekarang dia sudah bercukur dan rambut hitamnya dicat
dengan warna cokelat kekuningan. Tapi jelas itu dia. Dia
tinggi dan berotot seperti sebelumnya, bahunya lebar, serta
tetap tampak suram dan menyeramkan, alisnya juga sama
tebalnya. Aku tak butuh petunjuk lain untuk tahu dia itu
orang yang sama, dengan atau tanpa rambut yang diwarnai
ataupun tanpa kumis.
Aku melepaskan gagang pintu dan melangkah
mundur. Oh, Hector, pikirku. Bisa-bisanya?
Kakiku gemetar, jantungku berdebar. Saat aku berdiri
memandangi mereka, si Mogadorian menoleh ke belakang
dan melihatku di jendela. Tubuhku membeku. Dunia seakan
berhenti berputar. Aku terpaku tak mampu bergerak.
Mogadorian itu memandangiku dan menyebabkan Hector
menoleh ke arahku. Saat melihat wajahnya, aku tersadar.
Aku terhuyung-huyung mundur, lalu berbalik dan
lari. Namun, sebelum cukup jauh, aku mendengar pintu kafe
dibuka. Aku tidak menoleh. Jika Mogadorian itu mengejarku,
aku tak mau tahu.
"Marina!" teriak Hector. "Marina!"
Empat petugas mengawalku. Aku menyentuh rantai
tebal itu dengan ujung jari. Aku yakin bisa memutuskannya
jika mau. Aku juga bisa membuka borgol dengan telekinesis.
Tapi saat memikirkan Sarah, energiku seakan terkuras. Tak
mungkin Sarah melaporkanku. Kuharap bukan dia yang
melaporkanku.
Perjalanan pertama itu berlangsung dua puluh me
nit, dan aku tak tahu di mana kami berada. Aku ditarik keluar
dan didorong masuk ke dalam kendaraan kedua yang
mungkin lebih aman dan memang dimaksudkan untuk
perjalanan yang lebih lama. Perjalanan itu seakan
berlangsung seumur hidup?dua atau mungkin tiga jam. Saat
kami akhirnya berhenti, sekali lagi aku disentakkan ke luar.
Rasa sakit atas apa yang mungkin Sarah lakukan sudah
berkembang sehingga nyaris tak tertahankan.
Aku dituntun ke sebuah bangunan. Aku harus
menunggu pintu dibuka di setiap belokan. Aku menghitung
ada empat pintu. Udaranya juga berubah di setiap koridor,
semakin jauh semakin apak. Akhirnya, aku di dorong masuk
ke dalam sebuah sel.
"Duduk," perintah salah satu dari mereka.
Aku duduk di ranjang semen. Tutup kepalaku dibuka,
tapi borgolnya tidak. Empat polisi keluar dan membanting
pintu tertutup. Dua petugas yang bertubuh besar duduk di
luar selku, sementara yang dua lagi pergi.
Sel itu kecil, tiga kali tiga meter dan berisi tempat
tidur yang kududuki, yang berlapis noda-noda kuning, serta
sebuah wastafel dan toilet logam. Hanya itu. Tiga dari empat
temboknya terbuat dari beton, dan ada jendela kecil di
sebelah atas tembok belakang.
Meskipun kasurnya kotor, aku berbaring, menutup
mata, dan menunggu pikiranku tenang.
"John!" terdengar Sam berteriak.
Aku membuka mata, lalu bergegas ke bagian depan
sel dan mencengkeram jeruji. "Di sini!" aku balas berteriak.
"Diam!" bentak penjaga yang bertubuh lebih besar
sambil mengacungkan pentungannya ke arahku. Di ujung
koridor, seseorang juga membentak Sam. Sam tidak
mengatakan apa-apa lagi, tapi setidaknya aku tahu dia ada di
dekat sini.
Aku mengulurkan tangan melewati jeruji selku, lalu
menekankan telapak tangan di permukaan kunci yang
terbuat dari logam dan datar. Aku menutup mata,
berkonsentrasi dengan telekinesis untuk merasakan bagian
dalam kunci itu. Namun, aku tak merasakan apa pun selain
getaran yang membuat kepalaku sakit setiap kali
berkonsentrasi dengan keras.
Sel itu?sel itu dikontrol secara elektronis. Aku tak
bisa membukanya dengan telekinesis. Aku berlari ke panti
asuhan secepat mungkin, tudung di kepalaku menggembung
terkena angin. Saat mempercepat lariku, awan dan langit biru
di atas kepalaku memudar menjadi warna putih terang.
Aku menerobos pintu ganda dan berlari ke kamar
tidur. Adelina duduk di tempat tidurku, dengan kertas
terlipat di pangkuannya. Sebuah koper kecil berdiri di
samping kakinya. Saat melihatku, dia melompat dan
memelukku.
"Kau harus melihat ini," katanya sambil memberikan
kertas itu. Aku membuka lipatannya dan melihat, ternyata itu
bukan catatan yang tadi kutinggalkan, melainkan sebuah foto
hasil fotokopi.
Perlu satu detik untuk mengenali foto itu. Saat
mengenalinya, hatiku mencelos. Seseorang menggambar
sebuah simbol besar dan rumit di sisi gunung terdekat. Garis
dan sudut tajam simbol itu sama persis dengan bekas luka di
pergelangan kakiku.
Kertas itu terlepas dari tanganku dan melayang pelan
ke bawah.
"Itu ditemukan kemarin, dan polisi menyebarkan
salinan foto itu untuk mendapatkan informasi," kata Adelina.
"Kita harus pergi sekarang."
"Ya, tentu. Tapi sebelumnya, aku perlu bicara tentang
Ella," kataku.
Adelina memiringkan kepala. "Kenapa dengan Ella?"
"Aku ingin dia ikut bersama?"
Sebelum selesai mengucapkannya, aku terjatuh
akibat guncangan keras. Adelina juga jatuh dan bahu nya
menubruk lantai. Ada ledakan, di suatu tempat di panti
asuhan. Sejumlah anak perempuan berlari ke kamar sambil
menjerit-jerit, sementara yang lainnya lari melewati ambang
pintu, mencari perlindungan di tempat lain. Aku mendengar
Suster Dora berteriak menyuruh semua orang pergi ke sayap
selatan.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku dan Adelina berdiri lalu bergegas ke koridor, tapi
ada ledakan lagi, dan tiba-tiba, aku bisa merasakan angin
dingin. Aku tak bisa mendengar apa yang Adelina katakan
karena keadaan begitu ribut, tapi aku mengikuti
pandangannya ke langit-langit. Di sana ada lubang sebesar
bus. Saat aku memandanginya, seorang laki-laki tinggi
dengan jubah panjang dan rambut merah panjang berjalan di
tepi lubang itu. Dia menunjukku.
25
RUANGAN INTEROGASI ITU PANAS DAN GELAP gulita. Aku
menyandarkan kepala di meja di hadapanku dan berusaha
untuk tidak tidur. Tetapi setelah terjaga semalaman, aku tak
kuasa menahan kantuk. Segera saja aku melihat sebuah visi
terbentuk dan mendengar bisikan-bisikan. Aku merasa diriku
melayang dalam kegelapan, lalu, seolah ditembakkan
meriam, aku meluncur dalam sebuah lorong gelap. Hitam
berubah jadi biru. Biru berubah jadi hijau. Suara bisikan itu
mengikutiku, semakin pelan saat aku meluncur semakin
jauh. Tiba-tiba, aku tersentak dan berhenti. Segalanya
hening. Lalu, aku merasa angin bertiup diiringi cahaya terang.
Saat memandang ke bawah, ternyata aku sedang berdiri di
atas puncak gunung bersalju.
Pemandangannya luar biasa. Pegunungan itu
membentang hingga berkilo-kilometer. Di bawahku ada
sebuah lembah hijau dan danau biru bagai kristal.
Perhatianku tertarik ke arah danau dan aku mulai berjalan
turun saat melihat percikan cahaya di sekelilingnya. Seolah
memandang melalui teropong, visi itu tiba-tiba membesar
dan aku bisa melihat ratusan Mogadorian bersenjata berat
menembaki empat sosok yang sedang berlari.
Kemarahanku meletup dan warna-warna mengabur
saat aku berlari menuruni gunung. Beberapa ratus meter dari
danau, langit di atasku bergemuruh dan muncullah awan
hitam tebal. Kilat menyambar-nyambar ke arah lembah
diiringi raungan guntur. Aku terjatuh saat kilat menyambar di
sekelilingku. Kemudian, aku melihat sebuah mata berkilau
muncul di awan itu dan memelototiku.
"Enam!" teriakku, tapi guntur menenggelamkan
suaraku. Aku tahu itu matanya, tapi apa yang dia lakukan di
sini?
Awan memudar dan seseorang jatuh ke lembah. Visi
itu kembali membesar, dan aku tahu aku benar: Nomor Enam
berdiri dengan murka di antara tentara Mogadorian yang
berderap mendekati dua gadis dan dua laki-laki. Tangannya
diangkat, dan hujan lebat pun turun.
"Enam!" teriakku lagi. Lalu, bahuku disentakkan ke
belakang.
Mataku terbuka dan aku mengangkat kepala dari
meja. Lampu di ruang interogasi menyala, dan seorang laki
laki tinggi dengan wajah bundar berdiri di dekatku. Dia
mengenakan setelan hitam dengan ikat pinggang dipasangi
lencana. Tangannya memegang tablet putih yang kutemukan
tadi.
"Tenang, Nak. Aku Detektif Will Murphy, FBI.
Bagaimana kabarmu?"
"Tak pernah sebaik ini," jawabku, bingung mengingat
visi tadi. Siapa yang Nomor Enam lindungi?
"Bagus," katanya. Detektif itu duduk. Di depannya
ada sebuah pena dan buku catatan. Dia meletakkan tablet itu
di sebelah kiri meja dengan hati-hati.
"Jadi," dia memulai, sambil menyorongkan benda itu.
"Enam apa? Kau punya enam apa?"
"Apa?"
"Kau mengigau dan meneriakkan angka enam. Apa
kau mau menjelaskan apa maksudnya?"
"Itu handicap golfku," jawabku. Aku berusaha
mengingat wajah kedua gadis yang berdiri di belakang
Nomor Enam di lembah, tapi muka mereka buram.
Detektif Murphy terkekeh. "Yeah, oke. Bagaimana
kalau kita ngobrol-ngobrol sebentar? Mulai dari akta
kelahiran yang kau berikan ke Paradise High, sekolahmu.
Akta kelahiran itu palsu, John Smith. Malahan, kami tak bisa
menemukan berkas-berkas mengenai di' rimu sebelum kau
muncul di Paradise beberapa bulan yang lalu," katanya
sambil memicingkan mata, seolah menanti jawaban. "Nomor
di kartu jaminan sosialmu, ternyata milik seorang lelaki yang
sudah meninggal di Florida."
"Jadi, apa yang Anda tanyakan?"
Senyumannya berubah menjadi seringai. "Bagaimana
kalau kau mulai dengan memberitahuku siapa namamu yang
sebenarnya?"
"John Smith."
"Oke," katanya. "Ayahmu di mana, John?"
"Sudah meninggal."
"Kebetulan sekali."
"Sebenarnya, itu justru pengalaman paling tidak
menyenangkan buatku hingga saat ini."
Detektif itu menulis sesuatu di buku catatannya.
"Asalmu dari mana?"
"Dari Planet Lorien, empat ratus delapan puluh juta
kilometer dari sini."
"Pasti makan waktu lama untuk ke sini, John Smith."
"Hampir satu tahun. Lain kali aku akan bawa buku."
Detektif Murphy meletakkan pensilnya di atas meja,
menautkan jari-jari di belakang kepala, lalu bersandar.
Kemudian, dia mencondongkan tubuh ke depan dan
memegang tablet itu. "Bisakah kau jelaskan benda apa ini?"
"Aku justru berharap Anda yang memberitahuku.
Kami menemukannya di hutan."
Dia memegang tepi tablet itu dan bersiul. "Kau
menemukan ini di hutan? Di sebelah mana?"
"Dekat pohon."
"Apa kau akan terus bersikap menyebalkan saat
menjawab?"
"Tergantung, Detektif. Apa Anda bekerja untuk
mereka?"
Dia mengembalikan tablet itu ke atas meja. "Aku
bekerja untuk siapa?"
"Para Morlock," kataku, mengucapkan hal pertama
yang kuingat dari pelajaran bahasa Inggris.
Detektif Murphy tersenyum.
"Anda bisa tersenyum, tapi mungkin sebentar lagi
mereka tiba," kataku.
"Para Morlock?"
"Ya, Pak."
"Seperti dalam novel The Time Machine itu?" "Benar.
Itu semacam Kitab Suci kami."
"Biar kutebak. Kau dan temanmu, Samuel Goode,
adalah anggota Eloi?"
"Sebenarnya sih, Loric. Tapi untuk hari ini, Eloi juga
boleh, deh."
Detektif itu merogoh sakunya, lalu membanting
belatiku ke meja. Aku menatap bilah berlian sepanjang
sepuluh senti itu seakan belum pernah melihatnya. Aku bisa
membunuh laki-laki ini dengan mudah, tinggal
menggerakkan mataku dari belati ke lehernya, tapi aku harus
membebaskan Sam dulu. "Ini untuk apa, John? Kenapa kau
memerlukan belati seperti ini?"
"Aku tak tahu apa fungsi belati semacam itu, Pak.
Meraut?"
Detektif itu mengambil buku dan pensilnya.
"Ceritakan apa yang terjadi di Tennessee!"
"Tak pernah ke sana," kataku. "Katanya itu tempat
yang indah. Mungkin aku bisa ke sana setelah selesai di sini,
berwisata, melancong. Ada saran?"
Detektif Murphy mengangguk, melemparkan buku ke
atas meja, lalu melemparkan pensil ke arahku. Aku
menangkisnya tanpa mengangkat tangan dan pensil itu
terpental di dinding. Namun, si Detektif tidak melihatnya.
Dia keluar melalui pintu baja sambil membawa tablet dan
belatiku.
Sesaat kemudian, aku didorong masuk ke sel lamaku.
Aku harus keluar dari sini.
"Sam?!" teriakku.
Penjaga yang duduk di luar selku bangkit dari
kursinya dan mengayunkan pentungan ke jari-jariku. Aku
melepaskan jari-jariku dari jeruji sebelum diremukkan.
"Diam!" bentaknya sambil mengacungkan pentungan
ke arahku.
"Kau pikir aku takut?" tantangku. Mungkin bagus juga
jika aku bisa memancingnya masuk ke sel.
"Aku tak peduli, Bocah. Tapi, kalau kau terus-terusan
begitu, kau bakal menyesal."
"Kau tak akan bisa memukulku. Aku terlalu cepat dan
kau terlalu gendut."
Penjaga itu terkekeh. "Kenapa kau tidak duduk saja di
tempat tidur dan tutup mulut, he?!"
"Kau tahu? Aku bisa membunuhmu kapan pun aku
mau. Tanpa menggerakkan jari sedikit pun!"
"Oh, ya?" jawab penjaga itu sambil melangkah maju.
Napasnya bau tengik, seperti kopi basi. "Apa yang
menahanmu?"
"Rasa putus asa dan patah hati," kataku. "Tapi toh
perasaan itu bakal hilang juga. Setelah itu, aku tinggal berdiri
dan pergi."
"Aku tak sabar menunggunya, Houdini," katanya.
Aku hampir berhasil memancingnya masuk. Begitu
dia membuka kunci pintu, aku dan Sam bakal bebas. "Kau
tahu kau mirip siapa?" tanyaku.
"Siapa?" tanyanya.
Aku berbalik dan membungkuk.
"Cukup!" Si penjaga meraih ke sebuah panel kontrol
di dinding. Begitu dia melangkah ke pintu selku, suara
memekakkan telinga mengguncang seluruh penjara. Si
penjaga tersandung. Dahinya menghantam jeruji dan dia
jatuh berlutut. Aku tiarap dan secara naluriah berguling ke
bawah tempat tidur. Keadaan hiruk-pikuk?teriakan dan
tembakan, logam-logam berkeontangan, dan ledakan keras.
Alarm mati, dan cahaya biru berkelap-kelip di koridor.
Aku berguling terlentang, lalu melilitkan rantai di
tangan agar bisa memegang erat rantai yang mengikat
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergelangan tanganku. Dengan menggunakan kaki sebagai
tumpuan, aku menarik dan memutuskan rantai yang
mengikat tangan dan kakiku. Aku membuka borgol dengan
telekinesis, kemudian melemparkannya ke lantai. Aku
melakukan yang sama terhadap borgol di pergelangan
kakiku.
"John!" teriak Sam dari ujung lorong itu.
Aku merangkak ke depan selku. "Aku di sini!"
"Apa yang terjadi?"
"Aku juga mau tanya itu!" aku balas berteriak.
Tawanan-tawanan lain berteriak dari balik jeruji sel
mereka. Penjaga yang jatuh di balik pintu selku mengerang
dan berusaha berdiri. Darah mengalir dari luka di kepalanya.
Lantai berguncang lagi, kali ini lebih kuat dan lebih
lama daripada tadi. Kabut debu meluncur masuk ke koridor
dari arah kanan. Sesaat aku tak bisa melihat. Namun, aku
menjulurkan tangan dan memegang jeruji, lalu berteriak
kepada si penjaga, "Keluarkan aku!"
"Hei! Kok, borgolmu lepas?"
Aku melihat dia bingung, terhuyung-huyung ke kanan
dan ke kiri, mengabaikan penjaga lain yang berlari
melewatinya dengan pistol di tangan. Debu
menyelubunginya.
Ribuan tembakan terdengar dari ujung kanan koridor.
Yang langsung dijawab dengan raungan hewan buas.
"John!" jerit Sam dengan jeritan melengking yang
belum pernah kudengar.
Aku menatap mata si penjaga dan berteriak, "Kita
semua bakal mati di sini kalau kau tak mengeluarkanku!"
Si penjaga menengok ke arah raungan tadi. Teror
menyebar di wajahnya. Perlahan-lahan dia meraih
senjatanya, tapi sebelum sempat memegangnya, senjata itu
melayang menjauh. Aku pernah melihat yang seperti itu?
aku melihatnya di Florida, saat jalan-jalan malam. Aku
melihat si penjaga berbalik kebingungan, lalu lari pontang
panting.
Nomor Enam memperlihatkan dirinya di depan pintu
selku. Liontin besar masih tergantung di lehernya. Begitu
melihat wajahnya, aku tahu dia kesal kepadaku. Aku juga
melihat dia ingin cepat-cepat mengeluarkanku dari tempat
ini.
"Apa yang terjadi di sana, Enam? Sam baik-baik saja?
Aku tak bisa melihat apa-apa," kataku.
Nomor Enam memandang ke arah koridor, lalu
berkonsentrasi pada sesuatu, serenteng kunci melayang di
koridor menuju tangannya. Dia menyelipkan kunci itu ke
panel logam di dinding. Pintu selku terbuka. Aku keluar dari
sel dan akhirnya bisa melihat koridor itu. Lorong itu sangat
panjang, setidaknya ada empat puluh sel di antara selku dan
pintu keluar. Tapi pintu keluarnya sudah tak ada, begitu juga
dengan tembok tempat pintu itu seharusnya berada. Aku
menatap kepala raksasa bertanduk milik seekor piken. Mulut
piken itu berisi dua penjaga. Liur bercampur darah menetes
dari giginya yang setajam silet.
"Sam!" teriakku, tapi dia tak menjawab. Aku menoleh
ke arah Nomor Enam. "Sam di sana!"
Nomor Enam menghilang di depan mataku. Lima
detik kemudian, aku melihat pintu sel lain terbuka. Sam
bergegas menghampiriku. Aku berteriak, "Oke, Enam! Mari,
kita bantai makhluk itu!"
Wajah Nomor Enam muncul dua senti di depan
hidungku. "Kita tidak akan melawan piken itu. Tidak
sekarang."
"Kau bercanda?" tanyaku.
"Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan,
John!" bentaknya. "Kita harus pergi ke Spanyol."
"Sekarang juga?"
"Sekarang juga!" Nomor Enam meraih tanganku, lalu
menarikku di belakangnya hingga aku berlari dengan
kecepatan penuh. Sam berada tepat di belakangku. Kami
berhasil melewati dua buah pintu dengan menggunakan
kunci yang Nomor Enam pegang. Saat pintu kedua berayun
terbuka, kami menghadapi tujuh Mogadorian yang berlari
dengan membawa pedang dan tabung seperti meriam.
Secara naluriah, aku meraih belatiku, tapi senjata itu tak ada
di tempatnya. Nomor Enam melemparkan pistol si penjaga
ke arahku, lalu menahanku dan Sam di belakangnya. Dia
menunduk berkonsentrasi. Pemimpin Mogadorian itu
berputar, pedangnya menghantam dua Mogadorian di
belakangnya, mengubah mereka jadi abu. Kemudian, Nomor
Enam menendang punggung salah satu Mogadorian dan
menyebabkan tubuhnya jatuh menimpa pedangnya sendiri.
Sebelum Mogadorian itu coati, Nomor Enam sudah
menghilang.
Aku dan Sam menunduk menghindari tembakan
pertama. Tembakan kedua menyerempet leher kemejaku.
Aku memuntahkan peluru di pistolku sampai habis sambil
meluncur ke tumpukan abu. Aku membunuh satu
Mogadorian, kemudian mengambil tabung yang dia jatuhkan.
Ratusan cahaya memercik hidup begitu jariku menempel di
pemicu. Sinar hijau menghantam Mogadorian lain. Aku
membidik dua Mogadorian yang tersisa, tapi Nomor Enam
sudah muncul di belakang mereka dan mengangkat keduanya
ke langit-langit dengan telekinesis. Dia mengempaskan
mereka ke lantai di depanku, lalu ke langit-langit, lalu ke
lantai lagi. Abu kedua Mogadorian itu mengotori jinsku.
Nomor Enam membuka pintu lain dan kami masuk ke
sebuah ruangan besar dengan lusinan bilik yang dilahap api.
Langit-langit ruangan itu oolong. Para Mogadorian
menembaki polisi dan polisi balas menembak. Nomor Enam
merebut pedang dari Mogadorian terdekat dan memotong
lengannya, kemudian melompat ke atas dinding bilik yang
terbakar. Aku menembak punggung Mogadorian bertangan
satu yang sedang terhuyung-huyung itu dengan tabung, dan
dia jatuh menjadi tumpukan abu.
Aku melihat Detektif Murphy yang pingsan di lantai.
Nomor Enam melesat melintasi bilik-bilik sambil
mengayunkan pedang dengan cepat sehingga pedang itu
berkelebat. Para Mogadorian langsung berubah jadi abu.
Polisi mundur ke pintu di ujung sebelah kiri saat Nomor
Enam menyabetkan pedang melingkar ke arah para
Mogadorian yang merubunginya. Aku menembak dan terus
menembak, menghancurkan para Mogadorian yang ada di
pinggir.
Begitu ada peluang, kami lari menyusuri koridor
keluar di antara kilatan listrik dan percikan api.
"Di sana!" kata Sam sambil menunjuk sebuah lubang
besar yang mengarah ke tempat parkir. Tanpa menunggu,
kami semua langsung melompat melewati percikan api dan
asap. Sebelum berlari ke udara pagi yang dingin, aku melihat
tablet dan belatiku tergeletak di meja kantor itu. Aku
merenggut kedua benda itu dan langsung menyusul Nomor
Enam dan Sam ke dalam parit sehingga kami terlindungi.
"Sekarang bukan saatnya membicarakan itu," kata
Nomor Enam sambil berjalan cepat. Dia sudah menjatuhkan
pedang itu satu kilometer sebelumnya. Aku melemparkan
tabung senjata Mogadorian ke bawah semak-semak.
"Kau berhasil mendapatkannya, kan?"
"Jangan sekarang, John."
"Tapi kau ber?"
Nomor Enam langsung menghentikan langkahnya.
"John! Kau mau tahu di mana Petimu berada?"
"Di bagasi mobil?" tanyaku sambil mengangkat alis
untuk minta maaf.
"Bukan," katanya. "Coba lagi."
"Disembunyikan di tempat sampah?"
Nomor Enam mengangkat tangan, membuat angin
menerbangkan dan membantingku ke sebuah pohon ek
besar. Dia berderap mendekatiku sambil berkacak pinggang.
"Bagaimana kabarnya?"
"Siapa?" tanyaku.
"Pacarmu, Berengsek! Apa itu sepadan? Apakah
menemui Sarah itu sepadan dengan membiarkanku sendirian
melawan para Mogadorian demi mendapatkan Peti Loric
milikmu kembali? Apa itu sepadan dengan ditahan? Apa kau
mendapatkan cukup banyak ciuman sehingga kau rela
wajahmu yang muncul di berbagai berita?"
"Tidak," gumamku. "Kupikir Sarah yang melaporkan
kita."
"Menurutku juga begitu," kata Sam.
"Dan kau!" Nomor Enam berputar dan menunjuk
Sam. "Kau ikut-ikutan! Aku pikir kau lebih pintar daripada itu,
Sam. Kau itu kan genius. Apa menurutmu pergi ke satu
satunya tempat di seluruh dunia yang pasti diawasi polisi itu
ide yang bagus?"
"Aku tak pernah menyebut diriku genius," jawab Sam
sambil mengambil tablet yang kujatuhkan dan
membersihkannya. Nomor Enam terus berjalan. "Lagi pula,
aku tak punya pilihan lain, Enam. Sungguh. Aku sudah
berusaha sebisa mungkin membujuk John agar kembali
untuk mencari serta menolongmu."
"Betul," gumamku, membela Sam. "Jangan salahkan
Sam."
"Yah, John, sementara kalian, dua insan yang
dimabuk asmara, asyik bermesraan, aku dihajar habishabisan
karena membantumu. Aku pasti sudah mati andaikan Bernie
Kosar tidak berubah wujud menjadi gajah-beruang dan
membantuku. Mereka mengambil Petimu. Dan aku yakin,
saat ini Peti itu diletakkan di samping Petiku di gua di West
Virginia."
"Jadi, ke sanalah aku pergi," kataku.
"Tidak. Kita pergi ke Spanyol. Sekarang."
"Tidak!" bentakku sambil membersihkan lengan
bajuku. "Tidak sebelum aku mendapatkan Petiku kembali."
"Yah, aku tetap pergi ke Spanyol," jawab Nomor
Enam.
"Kenapa sekarang?" tanya Sam.
Mobil kami mulai terlihat. "Aku baru saja online tadi.
Keadaan di sana gawat. Sekitar satu jam yang lalu, seseorang
membakar simbol raksasa di lereng pegunungan di dekat
Santa Teresa, dan bentuknya sama persis dengan cap yang
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada di pergelangan kaki kita. Seseorang membutuhkan
bantuan kita dan aku akan pergi."
Kami naik ke mobil. Nomor Enam menyetir
pelanpelan di jalan. Aku dan Sam bersembunyi di lantai di
kursi belakang. Bernie Kosar menyalak dari tempat duduk
penumpang, senang bisa duduk di depan.
Aku dan Sam bolak-balik melihat laptop, membaca
artikel tentang Santa Teresa dua atau tiga kali. Tak salah lagi,
simbol yang dibakar di gunung itu simbol Loric. "Bagaimana
jika ini perangkap?" tanyaku. "Saat ini Petiku lebih penting."
Mungkin kedengarannya ego- is, tapi aku menginginkan
Warisanku sebelum meninggalkan benua ini. Bagiku
kemungkinan Mogadorian bisa membuka Petiku sama
pentingnya dengan apa pun yang terjadi di Spanyol.
"Aku harus tahu cara ke gua itu," kataku.
"John! Yang benar saja. Kau benar-benar tidak mau
ikut bersamaku ke Spanyol?" tanya Nomor Enam. "Setelah
membaca semua itu, kau akan membiarkan aku dan Sam
pergi berdua saja?"
"Teman-teman, dengar Mi. Di Santa Teresa juga ada
perempuan yang dilaporkan tiba-tiba sehat kembali, padahal
penyakitnya itu tak bisa disembuhkan. Santa Teresa itu
seperti pusat segala aktivitas. Aku yakin semua anggota
Garde sedang ke sana," kata Sam.
"Kalau begitu," kataku, "aku tak akan ikut. Aku akan
mengambil Petiku kembali."
"Itu gila," kata Nomor Enam.
Aku menjulurkan tubuh melewati kursi penumpang
dan membuka laci dasbor. Aku menemukan batu yang kucari,
menjatuhkannya di pangkuan Nomor Enam, lalu kembali
bersembunyi di lantai mobil.
Dia mengangkat batu kuning pucat itu di atas setir,
mengarahkannya ke sinar matahari, lalu tertawa. "Kau
mengeluarkan Xitharis?"
"Kupikir mungkin akan berguna," kataku. "Ini tak
tahan lama, ingat?" katanya.
"Berapa lama?"
"Satu jam, mungkin lebih sedikit."
Hatiku ciut mendengarnya, tapi setidaknya batu itu
masih bermanfaat. "Bisa tolong diisi?"
Nomor Enam menempelkan Xitharis ke dahinya, dan
aku tahu dia setuju membiarkanku pergi mengejar Peti Loric,
sementara dia sendiri pergi ke Spanyol.
26
AKU BERTINDAK SECARA NALURIAH. BEGITU laki-laki itu
menunjukku dari tepi lubang di atap, aku menerbangkan dua
tang logam tempat tidur dengan cepat ke arahnya. Tiang
kedua tepat mengenai sasaran. Mogadorian itu jatuh ke
kamar tidur. Begitu menghantam lantai batu, dia berubah
jadi tumpukan tanah atau abu, membuatku terheran-heran.
"Lari!" jerit Adelina.
Kami lari pontang-panting ke lorong, melawan arus
anak-anak dan para Suster yang berlari ke sayap selatan
untuk menyelamatkan diri. Aku memegang tangan Adelina
dan berlari ke dalam panti umat, lalu menyusuri lorong
tengahnya.
"Kita ke mana?" tanya Adelina.
"Kita harus mengambil Peti Loric!"
Sekali lagi, panti asuhan berguncang akibat ledakan,
membuatku menubruk bangku.
"Aku segera kembali," bisikku, melepaskan tangan
Adelina, lalu terbang ke arah relung.
Nomor Enam bilang kami ada di dekat Washington,
DC. Itu masuk akal. Aku dianggap teroris yang berbahaya dan
bersenjata. Tak heran, aku dibawa ke ibu kota untuk
diinterogasi.
"Di Bandara Dulles International ada penerbangan
yang berangkat kurang dari satu jam lagi," kata Nomor Enam
sambil membelokkan mobil. "Aku akan naik pesawat itu.
Sam, kau ikut aku atau John?"
Sam menyandarkan kepala ke kursi belakang dan
menutup mata.
"Sam?" tanya Nomor Enam.
"Sebentar, aku pikir dulu," katanya. Setelah satu
menit, dia mengangkat kepala dan memandangku. "Aku ikut
John."
Aku mengucapkan terima kasih tanpa suara. "Yah, lagi
pula lebih mudah jika aku pergi sendirian," kata Nomor
Enam, tapi dia terdengar sakit hati. "Kau akan bertemu
anggota Garde yang lebih berpengalaman," aku
rnenenangkannya. "Lagi pula, perlu dua orang untuk
mengambil dua Peti Loric dari sana." Bernie Kosar menyalak
dari bangku depan. "Yeah, Teman," kataku. "Kau juga bagian
dari tim ini."
Petinya hilang. Tubuhku berkeringat karena panik.
Aku hampir muntah. Apakah selama ini para Mogadorian
tahu Peti itu ada di atas sana? Kenapa mereka tidak
menjebakku di sini saat punya kesempatan? Aku melayang
turun ke pant umat.
"Hilang, Adelina," bisikku.
"Petinya?"
"Hilang." Aku memeluk Adelina dan membenamkan
wajahku di bahunya. Adelina menarik sesuatu dari
kepalanya. Liontin jimat berwarna biru pucat nyaris
transparan yang tergantung di tali berwarna krem. Dengan
hati-hati, dia memasukkannya melewati kepalaku hingga
liontin itu menyentuh leherku. Rasanya dingin sekaligus
hangat di kulitku, kemudian liontin itu bersinar terang. Aku
terkesiap.
"Apa ini?" tanyaku sambil menutupi cahayanya
dengan tangan.
"Loralite, permata terkuat di Lorien, hanya ada di inti
planet," bisik Adelina. "Selama ini aku menyembunyikannya.
Ini milikmu. Tak ada gunanya menyembunyikan benda ini
lebih lama lagi. Mereka tahu siapa kau, dengan atau tanpa
liontin itu. Aku tak akan pernah bisa memaafkan diriku
karena tidak melatihmu dengan baik. Tak akan pernah.
Maafkan aku, Marina."
"Sudahlah," kataku, merasa air mata mulai
menggenang di mataku. Selama bertahun-tahun, inilah yang
kuinginkan darinya. Pengertian. Persahabatan. Pengakuan
akan rahasia kami.
Kami mendekati bandara. Rasa cemas karena harus
berpisah memberati dada karni. Sam berusaha melupakan
kecemasannya dengan mempelajari kertas-kertas yang
Nomor Enam ambil dari kantor ayahnya. "Seandainya aku
bisa mengecek semua ini di bagian referensi perpustakaan."
"Setelah West Virginia," kataku. "Janji."
Nomor Enam memberikan petunjuk yang terperinci
ke tempat yang dia gunakan untuk menyembunyikan peta
gua yang kami cari. Sepanjang sisa perjalanan itu, kami tak
bicara. Kami masuk ke tempat parkir McDonald, sekitar satu
setengah kilometer dari Bandara Dulles.
"Ada tiga hal yang harus kalian ketahui."
Aku mendesah. "Kenapa aku mendapat firasat bahwa
segalanya bakal buruk?"
Nomor Enam mengabaikanku dan menulis sesuatu di
balik sebuah tanda terima. "Pertama, tepat pukul lima sore
dua minggu lagi, aku akan ada di alamat ini. Temui aku di
sana. Jika aku tak ada di sana, atau, jika entah kenapa
ternyata aku tak menemukan kalian di sana, kembalilah
minggu depannya pada saat yang sama. Jika sampai pada
kesempatan kedua itu salah satu dari kita tak ada di sana,
kurasa kita bisa menyimpulkan bahwa yang lainnya tak akan
datang." Dia menyerahkan kertas itu kepada Sam. Sam
membacanya sekilas, lalu memasukkan kertas itu ke saku
celana.
"Dua minggu, pukul lima sore," kataku. "Oke. Lalu
yang kedua?"
"Bernie Kosar tak bisa masuk ke gua bersamamu."
"Kenapa?"
"Karena dia bakal mati. Aku tidak tahu caranya, tapi
para Mogadorian mengontrol hewan-hewan buas mereka
dengan cara memasukkan semacam gas yang hanya
memengaruhi hewan. Jika salah satu hewan meninggalkan
tempatnya, hewan itu langsung mati. Saat aku berhasil
keluar, ada tumpukan hewan mati tepat di mulut gua.
Hewan-hewan bumi yang berkeliaran terlalu dekat."
"Menjijikkan," kata Sam.
"Lalu yang terakhir?"
"Gua mereka dilengkapi dengan segala macam
detektor. Kamera, sensor gerak, sensor panas tubuh, dan
inframerah. Semuanya. Xitharis bisa membantumu melewati
semua itu, tapi begitu dayanya habis, berhati-hatilah, karena
mereka pasti akan menemukanmu."
"Kita ke mana?" aku bertanya kepada Adelina. Peti
itu hilang dan aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bahkan
walaupun ada jimat di leherku.
"Kita pergi ke menara lonceng, dan gunakan
telekinesismu untuk menurunkan kita ke halaman. Lalu kita
lari."
Aku meraih tangan Adelina dan mulai berlari saat
tiba-tiba bola api menerjang dari bagian belakang panti
umat. Api itu menghantam bangku belakang, lalu terlontar ke
langit-langit yang tinggi. Panti umat jadi lebih terang
dibandingkan saat Misa Minggu. Seorang lakilaki dengan
jubah panjang dan rambut pirang panjang melangkah mantap
dari lorong di sebelah utara, jalan kebebasan kami. Otot-otot
tubuhku terasa lemas, semua bulu romaku berdiri.
Laki-laki itu berdiri memandangi kami, bola api tadi
masih menerjang barisan bangku-bangku. Perlahan-lahan
seringai lebar merekah di wajah laki-laki itu. Dari sudut
mataku, aku melihat Adelina merogoh ke dalam bajunya dan
mengeluarkan sesuatu. Tapi aku tak tahu benda apa itu. Dia
berdiri di sampingku, matanya menatap bagian belakang
panti umat. Lalu, dengan sangat pelan, dia meraih dan
mendorongku ke belakangnya.
"Aku tak mungkin bisa menebus waktu kita yang
hilang ataupun kesalahan yang telah kulakukan," katanya.
"Tapi aku akan berusaha. Jangan sampai mereka
menangkapmu."
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu juga si Mogadorian berlari menyusuri lorong
tengah, menyerbu ke arah kami. Dia jauh lebih besar
daripada yang terlihat dari kejauhan. Mogadorian itu
mengangkat sebuah pedang panjang yang bersinar hijau
terang.
"Pergi sejauh mungkin," kata Adelina tanpa menoleh.
"Beranilah, Marina."
Nomor Enam meletakkan Xitharis di penyangga gelas
dasbor, lalu keluar dari mobil. "Aku harus buru-buru,"
katanya sambil menutup pintu.
Aku dan Sam keluar dari mobil setelah mengamati
tempat parkir, mobil-mobil lain, dan orang-orang di sana
dengan saksama.
Aku mengitari kap depan mobil dan memandang
Nomor Enam memeluk Sam.
"Hajar Mogadorian yang ada di sana," kata Sam.
Mcreka berpisah dan Nomor Enam berkata, "Sam,
terima kasih sudah mau membantu kami. Kau hebat."
"Kamu yang hebat," bisik Sam. "Terima kasih sudah
mengizinkanku ikut."
Nomor Enam mendekat dan mencium pipi Sam,
membuat aku dan Sam kaget. Mereka saling tersenyum.
Begitu melihatku dari balik bahu Nomor Enam, wajah Sam
merona. Kemudian, dia membuka pintu pengemudi dan naik
ke mobil.
Aku tak ingin Nomor Enam pergi. Walaupun
menyakitkan untuk diakui, aku tahu mungkin aku tak akan
pernah bertemu dengannya lagi. Nomor Enam
memandangku dengan lembut, baru kali ini aku melihatnya
begitu.
"Aku suka kamu, John. Selama minggu-minggu
terakhir ini, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa aku tidak
menyukaimu, terutama karena Sarah dan juga karena kau itu
tolol sekali tapi aku suka kamu. Aku benar-benar suka kamu."
Kata-katanya membuatku kaget. Aku ragu sejenak,
lalu berkata, "Aku juga suka kamu."
"Kau masih mencintai Sarah?" tanya Nomor Enam.
Aku mengangguk. Dia pantas mengetahui yang
sebenarnya. "Ya, tapi semua ini rasanya membingungkan.
Sarah mungkin melaporkanku, dan dia mungkin tak mau
melihatku lagi karena aku bilang kurasa kau cantik. Tapi, dulu
Henri pernah bilang bahwa Loric itu hanya jatuh cinta satu
kali seumur hidupnya. Dan itu berarti aku akan terus
mencintai Sarah."
Nomor Enam menggelengkan kepala. "Jangan
tersinggung mendengar ini, oke? Tapi Katarina tak pernah
berkata begitu. Sebenarnya, dia malah pernah bercerita
mengenai cinta-cinta yang dia alami di Lorien selama
bertahun-tahun. Aku yakin Henri itu laki-laki yang baik, dan
jelas dia sangat menyayangimu. Tapi kedengarannya, dia itu
orang yang romantis dan ingin kau mengikuti jejaknya. Jika
dia hanya memiliki satu cinta sejati, dia ingin kau juga
begitu."
Aku terdiam, mencerna teorinya dan menyingkirkan
teori Henri.
Nomor Enam tahu aku memikirkan kata-katanya.
"Maksudku, jika Loric jatuh cinta, sering kali itu memang
untuk selamanya. Jelas, itulah yang terjadi kepada Henri.
Tapi tidak selalu begitu."
Sambil mengucapkan itu, Nomor Enam
menghampiriku dan aku menghampirinya. Kami berciuman,
ciuman yang tak jadi kami lakukan setelah jalan-jalan di
Florida, ciuman yang tadinya kupikir hanya layak kuberikan
kepada Sarah seorang. Aku tak ingin itu berakhir, tapi Sam
menyalakan mesin dan kami pun berpisah.
"Sam juga menyukaimu," kataku.
"Dan aku menyukai Sam."
Aku memiringkan kepala. "Tapi, tadi kau bilang kau
suka aku."
Dia mendorong bahuku. "Kau suka aku dan Sarah. Aku
suka kamu dan Sam. Terima sajalah."
Nomor Enam menghilang, tapi aku bisa merasakan
dia masih ada di depanku.
"Hati-hati di sana, Enam. Kuharap kita semua bisa
terus bcrsama."
Aku hanya mendengar suaranya. "Aku juga, John.
Tapi, Spanyol membutuhkan bantuan. Apa kau tak bisa
merasakannya?"
Aku tahu dia sudah pergi saat aku menjawab, "Ya."
Aku berusaha bergerak, tapi kakiku seakan tertancap
di tanah. Aku melihat kilauan di tangan Adelina. Ternyata,
tadi dia mengeluarkan pisau dapur. Adelina berlari ke arah si
Mogadorian, dan aku berlari ke arah yang berlawanan.
Dengan kelincahan yang belum pernah kulihat, Adelina
merunduk saat si Mogadorian melompat dan mengayunkan
pedang ke lehernya. Si Mogadorian itu meleset. Sambil
berdiri, Adelina menyabetkan pisau ke paha kanan si
Mogadorian. Darah hitam muncrat, tapi tidak sedikit pun
memperlambat si Mogadorian. Si Mogadorian berbalik dan
mengayunkan pedang ke bawah. Adelina berguling ke
depan, dan dengan terheran-heran, aku menyaksikan
Adelina menyabetkan pisau itu ke kaki Mogadorian yang lain
saat menjejak lantai kembali. Aku tak mungkin meninggalkan
Adelina bertarung sendirian.
Aku berhenti berlari dan mengepalkan tinju. Tapi
sebelum sempat melakukan apa pun, tangan kiri Mogadorian
itu sudah mencengkeram leher Adelina dan mengangkatnya.
Tangan kanannya mendorong pedang itu menembus jantung
Adelina.
"Tidak!" jeritku sambil melompat ke bangku dan
melontarkan kayu ke arah mereka.
Mata Adelina tertutup. Dengan sisa napasnya, dia
mengangkat tangan, lalu mengayunkan pisau itu ke bawah.
Pisau itu jatuh dan berkelontangan di lantai. Sesaat kupikir
Adelina meleset, tapi aku keliru. Adelina menyabetkan pisau
dengan begitu kuat sehingga baru dua detik kemudian, darah
hitam mengucur. Mogadorian itu menjatuhkan Adelina lalu
jatuh berlutut. Dia mencengkeram lehernya dengan kedua
tangan untuk menghentikan pendarahan, tapi darah tetap
merembes dari jari-jarinya. Aku berjalan menghampiri si
Mogadorian, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku
menaikkan tangan dan mengangkat pisau Adelina dari lantai.
Aku membiarkan pisau itu melayang sebentar. Begitu si
Mogadorian terbelalak melihatnya, aku membenamkan pisau
itu ke dadanya. Mogadorian itu hancur di depan mataku,
tubuhnya berubah jadi abu yang kemudian menyebar di
lantai.
Aku berlutut dan memeluk tubuh Adelina yang tak
bernyawa, memegangi belakang kepalanya lalu
mendekapnya. Pipi kami bersentuhan. Aku mulai menangis.
Adelina sudah pergi. Walaupun memiliki Pusaka untuk
menyembuhkan makhluk hidup, aku tahu aku tak bisa
menghidupkannya kembali. Aku butuh bantuan.
27
MENDENGAR GERAMAN DARI SEBELAH KIRI, AKU
menengadah dan melihat laki-laki lain dengan jubah panjang
dan rambut cokelat panjang. Aku bergegas berdiri saat
Mogadorian itu mengangkat tangannya. Kilatan cahaya keluar
dari tangannya dan menghantam bahu kiriku,
melemparkanku ke belakang. Rasa sakitnya menjalar ke
seluruh lenganku dengan cepat dan menyakitkan, sangat
panas seolah listrik menyetrum lalu mengalir di tulangku.
Tangan kiriku serasa mati. Aku mengangkat tangan kanan dan
menyentuh luka di bahuku. Aku menengadah dan
memandang si Mogadorian dengan putus asa.
Mantra pelindungnya, pikirku. Saat berkelana,
Adelina mengatakan bahwa aku tak akan bisa dibunuh,
kecuali jika sesuai dengan urutan yang ditetapkan para Tetua.
Luka ini cukup parah dan bisa membuatku mati. Aku
menunduk memandang pergelangan kakiku untuk melihat
apakah tiga bekas luka yang beberapa bulan terakhir ada di
sana sudah bertambah jadi enam, tapi tidak. Jadi, bagaimana
mungkin aku bisa mati? Bagaimana mungkin aku bisa terluka
separah ini kecuali jika mantra pelindungnya terpatahkan.
Aku menatap mata si Mogadorian, dan dia meledak
menjadi setumpuk abu. Aku kaget dan berpikir bahwa
kekuatan pikirankulah yang membunuhnya. Tapi kemudian,
aku melihat seseorang berdiri di belakangnya. Mogadorian
yang ada di kafe. Mogadorian yang membawa buku.
Mogadorian yang membuatku lari. Aku bingung. Apakah
bangsa Mogadorian begitu egois sehingga bisa saling bantai
demi membunuhku?
"Marina," katanya.
"Aku, aku bisa membunuhmu," kataku dengan suara
gemetar dan sedih. Darah terus keluar dari bahuku dan
mengalir menuruni lengan. Aku memandang tubuh Adelina
dan mulai menangis.
"Aku bukan seperti yang kau duga," kata laki-laki itu
sambil berlari kecil menghampiriku dan mengulurkan tangan.
"Waktunya sangat pendek," katanya. "Aku salah satu dari
kalian, dan aku di sini untuk membantu.
Aku meraih tangannya. Tak ada pilihan lain. Laki-laki
itu mengangkat dan membawaku pergi meninggalkan panti
umat sebelum Mogadorian lain tiba. Dia berjalan di depanku
menyusuri koridor utara, lalu naik ke lantai dua, ke menara
lonceng, sambil menahan sakit di bahuku dalam setiap
langkah.
"Siapa kau?" tanyaku. Berbagai pertanyaan
berkelebat di benakku. Jika dia salah satu dari kami, kenapa
dia menunggu begitu lama untuk memberitahuku? Ke napa
membuatku tersiksa dengan mengira bahwa dia adalah salah
satu Mogadorian? Apakah aku bisa memercayainya?
"Ssst," bisiknya. "Diam."
Koridor pengap itu hening. Saat koridor menyempit,
aku mendengar puluhan langkah kaki berat di lantai di bawah
kami. Akhirnya, kami tiba di pintu kayu ek. Pintu itu terbuka
sedikit, dan seorang anak perempuan menyembulkan
kepalanya. Aku terkesiap. Ram- but cokelat kemerahan, mata
cokelat yang penuh rasa ingin tahu, dan tubuh yang kecil.
Usianya beberapa tahun lebih tua, tapi aku tak mungkin salah
mengenalinya.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ella?" tanyaku.
Dia tampak seperti berusia sebelas tahun, mungkin
dua belas. Wajahnya, yang berbinar begitu melihatku,
tampak lebih ramping. Ella menarik pintu agar terbuka
sehingga kami bisa masuk.
"Hai, Marina," katanya dengan suara yang tak
kukenali.
Laki-laki itu menarikku masuk, lalu menutup pintu.
Dia memblokir pintu dengan meletakkan papan kayu tebal di
antara pintu dan anak tangga terbawah. Kemudian, kami
bertiga bergegas menaiki tangga batu melingkar itu. Saat tiba
di menara lonceng, aku melihat Ella lagi. Yang bisa kulakukan
hanyalah menatapnya, terbelalak, dan bingung, serta lupa
dengan darah yang mengalir turun dan menetes dari ujung
ujung jariku.
"Marina, namaku Crayton," kata laki-laki itu. "Aku
turut berduka atas Cepanmu. Andai aku tiba lebih cepat."
"Adelina meninggal?" tanya Ella yang tampak lebih
tua itu.
"Aku tak mengerti," kataku, masih menatap Ella.
"Nanti akan kami jelaskan, aku janji. Tak banyak waktu. Kau
kehilangan banyak darah," kata Crayton.
"Kau bisa menyembuhkan orang, bukan? Bisakah kau
menyembuhkan dirimu sendiri?"
Karena bingung dan sibuk berlari, tak terpikirkan
olehku untuk menyembuhkan diri sendiri. Namun, aku
meletakkan telapak tangan kananku di atas luka dan
mencobanya. Rasa dingin menggelitikku saat luka itu
menutup sendiri, rasa kebas meninggalkan tangan serta
lenganku. Setelah tiga puluh detik, aku kembali sehat
walafiat.
"Tolong, hati-hati dengan ini," kata Crayton. "Ini jauh
lebih penting daripada yang kau kira."
Aku memandang ke arah yang dia tunjuk. "Petiku!"
Terdengar ledakan di dekat kami. Menara itu
bergoyang, debu dan batu berjatuhan dari langit-langit dan
dinding. Lebih banyak batu yang runtuh saat ledakan lain
membuatku terjatuh. Aku menggunakan telekinesis untuk
menghentikan batu-batu, lalu melemparkannya ke luar
jendela.
"Mereka mencari kita. Sebentar lagi, pasti mereka
menyadari di mana kita berada," kata Crayton. Dia
memandang Ella, lalu memandangku. "Dia salah satu dari
kalian. Dia salah satu Garde dari Lorien."
"Tapi dia masih kecil," kataku sambil menggeleng
kepala, tak bisa melupakan Ella kecil yang kukenal dan
menggantikannya dengan Ella yang lebih besar. "Aku tak
mengerti."
"Kau tahu apa Aeternus itu?"
Aku menggeleng.
"Tunjukkan kepadanya, Ella."
Ella berdiri di depanku dan mulai berubah.
Lengannya memendek dan bahunya mengecil. Tubuhnya
memendek dua puluh senti dan berat badannya berkurang
banyak. Tapi yang paling membuatku terguncang adalah saat
wajahnya menciut dan langsung tampak seperti gadis kecil
yang kusayangi.
"Dia ini Aeternus," kata Crayton. "Dia bisa mengubah
usia, menjadi lebih tua atau lebih muda."
"A?aku tak tahu itu mungkin," aku tergagap.
"Ella ini sebelas tahun," katanya. "Dia datang
bersamaku dengan pesawat kedua dari Lorien, yang
berangkat setelah pesawatmu. Waktu itu dia masih bayi,
baru beberapa jam dilahirkan. Loridas, Tetua terakhir Lorien,
mengorbankan dirinya agar Ella dapat menggantikan peran
Loridas."
Saat aku memandang Crayton, Ella menyelipkan
tangannya ke dalam tanganku seperti yang sering dia
lakukan, tapi kali ini rasanya berbeda. Aku menoleh dan
melihat Ella sudah kembali menjadi dirinya yang lebih tua
dan lebih tinggi. Menyadari kejengahanku, Ella menyusut
kembali menjadi dirinya yang tujuh tahun.
"Dia anak kesepuluh," kata Crayton. "Tetua
kesepuluh. Kami membuat gosip tentang Tatar belakangnya
bahwa orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Lalu,
kami mengirimnya ke sini untuk tinggal bersamamu dan
mengawasimu serta menjadi mataku."
"Maaf karena aku tak bisa mengatakan yang
sebenarnya, Marina," kata Ella lembut. "Tapi aku ini penjaga
rahasia terbaik di dunia, seperti yang kau bilang."
"Aku tahu," kataku.
"Aku hanya menunggu Adelina memberikan Peti itu
kepadamu," katanya seraya tersenyum.
"Kau tahu siapa Tetua kesepuluh itu?" tanya Crayton.
"Setelah Tetua lain tiada, Loridas bisa hidup selama itu
dengan cara mengubah usianya. Setiap kali menua, dia
mengubah dirinya menjadi muda lagi, dan kurasa dengan
begitu, dia juga mendapatkan kemudaan."
"Kau Cepan Ella?"
"Hanya sekadar dalam pengertian seperti itu. Sejak
dia dilahirkan, belum ada yang ditunjuk menjadi Cepannya."
"Kupikir kau Mogadorian," kataku.
"Aku tahu, tapi itu karena kau salah mengartikan
petunjuk-petunjuknya. Saat bicara dengan Hector pagi tadi,
aku berusaha menunjukkan kepadamu bahwa aku ini
teman."
"Tapi kenapa kau tidak datang dan langsung
membawaku begitu tiba di sini? Kenapa mengirim Ella?"
"Mulanya aku berusaha mendekati Adelina. Namun,
dia mengusirku begitu mengetahui siapa diriku sebenarnya.
Selain itu, kau harus mendapatkan Petimu. Aku tak bisa
membawarnu tanpa Peti itu," katanya. "Jadi, aku mengirim
Ella ke sini, dan dia sudah mencari Peti itu bahkan sebelum
kau memintanya. Sudah beberapa lama ini, para Mogadorian
tahu di mana kira-kira kau berada, dan aku sudah berusaha
sebaik mungkin untuk menjauhkan mereka dari jejakmu. Aku
membunuh beberapa, yah, sebenarnya sih, membunuh
cukup banyak. Aku juga menyebarkan cerita-cerita di
berbagai desa yang jaraknya ratusan kilometer dari sini,
cerita tentang anak-anak yang melakukan hal-hal luar biasa
seperti anak laki-laki yan mengangkat mobil dan anak
perempuan yg berjalan melintasi danau. Usahaku berhasil
sampai akhirnya mereka mengetahui bahwa kau ada di Santa
Teresa. Namun, mereka masih tidak tahu kau yang mana.
Kemudian, Ella menemukan Peti Loric dan kau membukanya.
Setelah itu, barulah aku ke sini untuk bicara denganmu. Saat
kau membuka Peti, para Mogadorian tahu di mana kau
berada."
"Karena aku membuka Peti?"
"Ya. Kau bisa membuka Peti itu sekarang."
Aku melepaskan tangan Ella, lalu memegang gem
bok. Aku mual memikirkan sekarang aku bisa membu- ka Peti
itu sendiri, karena Adelina sudah tiada. Aku melepaskan
gembok dan membuka tutupnya. Kristal kecil itu masih
menyala dengan cahaya biru pucat.
"Jangan sentuh," kata Crayton "Kristal yang bersinar
itu artinya Makrokosmos ada di orbit. Jika kau
menyentuhnya, kristal itu akan memberi tahu mereka di
mana tepatnya kau berada. Aku tak tahu Makrokosmos siapa
yang berfungsi, tapi aku yakin para Mogadorian mencurinya,"
Crayton mengakhiri. Aku sama sekali tak mengerti apa yang
dia bicarakan.
"Makrokosmos?" tanyaku.
Crayton menggelengkan kepala, frustrasi. "Tak ada
waktu untuk menjelaskan," jawabnya. "Kunci lagi Petinya."
Dia membuka mulut untuk mengatakan lebih banyak, tapi
pintu di bawah tangga digedor. Kami mendengar suara-suara
asing yang teredam.
"Kita harus pergi," kata Crayton sambil bergegas ke
belakang ruangan itu dan mengambil sebuah koper hitam
besar. Dia membukanya. Koper itu berisi sepuluh macam
senjata, banyak granat, dan sejumlah belati. Dia
menjatuhkan jubahnya ke lantai, memperlihatkan rompi
kulit di baliknya. Crayton cepat-cepat menyelipkan semua
senjata itu ke rompinya, lalu mengenakan jubahnya lagi.
Para Mogadorian mendobrak pintu di bawah meng
gunakan benda berat, kemudian kami mendengar langkah
langkah kaki menaiki tangga. Crayton mengeluarkan salah
satu senjata dan memasang magasin.
"Simbol di gunung itu," kataku. "Itu kau yang buat?"
Crayton mengangguk. "Aku terlalu lama menunggu.
Aku cemas, Saat kau membuka Peti itu, aku tak mungkin
menyelinap tanpa mereka ketahui. Jadi, aku membuat suar
terbesar yang bisa kubuat, dan sekarang kita tinggal berdoa
semoga yang lainnya melihat suar itu, lalu datang ke sini. Jika
tidak ...," kata-katanya melirih. "Yah, jika tidak, tak ada lagi
yang bisa kita lakukan. Sekarang, kita harus ke danau. Itu
satu-satunya kesempatan kita."
Aku tak tahu danau mana yang dia bicarakan, atau
kenapa dia ingin ke sana, tapi sekujur tubuhku gemetar. Aku
hanya ingin melarikan diri.
Langkah-langkah kaki semakin dekat. Ella meraih dan
memegang tanganku. Dia sudah kembali ke dirinya yang
sebelas tahun. Crayton mengokang senjata itu dan aku
mendengar peluru masuk ke tempatnya. Dia membidik ke
arah jalan masuk menara lonceng.
"Kau punya teman yang sangat baik di kota," kata
Crayton.
"Hector?" tanyaku. Tiba-tiba, aku paham mengapa
pagi tadi mereka berdua bicara di kafe. Crayton mengatakan
yang sebenarnya, dan bukan menyebarkan berita bohong.
"Ya, dan semoga dia memegang kata-katanya."
"Dia pasti memegang kata-katanya," jawabku yakin
walaupun tak tahu apa yang Crayton minta Hector lakukan.
"Sesuai namanya," tambahku.
"Bawa Petinya," kata Crayton.
Aku membungkuk dan mengambil Peti dengan
tangan kiri tepat pada saat kami mendengar langkah kaki
mencapai tikungan terakhir di tangga.
"Kalian berdua tetaplah di dekatku," kata Crayton
sambil memandang Ella, lalu aku. "Dia dilahirkan dengan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuan mengubah umur, tapi dia masih muda dan
Pusakanya belum muncul. Jaga dia. Dan jangan lepaskan Peti
itu."
"Jangan khawatir, Marina. Aku ini cepat," kata Ella
sambil tersenyum.
"Kalian berdua siap?"
"Siap," jawab Ella sambil memegang tanganku
dengan erat.
"Mereka semua mengenakan pelindung tubuh yang
bisa menahan hampir semua peluru di Bumi ini," kata
Cratyon, "Tapi aku sudah merendam peluruku dalam
Loricyde, dan di sini tak ada satu tameng pun yang bisa
menahannya. Aku akan membantai setiap Mogadorian
sampai tak satu pun tersisa." Matanya menyipit. "Berdoalah
semoga Hector sudah menunggu kita di luar gerbang."
"Dia pasti di sana," kataku.
Lalu, Crayton menarik pemicu, tanpa melepaskannya
hingga semua peluru dimuntahkan.
28
KAMI MEMBIARKAN JENDELA TERBUKA, TAK BANYAK bicara,
gelisah akibat tugas yang menanti. Sam memegang setir erat
erat, sementara kami meluncur di jalan melintasi Virginia.
"Menurutmu Nomor Enam bisa naik pesawat?" tanya
Sam.
"Aku yakin dia berhasil naik, tapi aku tak tahu apa
yang akan dia temukan di sana."
"Ciuman kalian tadi hebat sekali."
Aku membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Semenit
kemudian, aku berkata, "Dia juga menyukaimu."
"Yeah, sebagai teman."
"Sebenarnya, Sam, dia benar-benar menyukaimu."
Sam merona. "Tentu saja. Aku bisa melihat itu dari
caranya menciummu."
"Dia juga menciummu. Aku melihatnya," kataku
sambil menepuk dadanya dengan punggung tanganku. Aku
bisa melihat dia mengingat ciuman tadi. "Setelah
menciumnya, aku tanya apakah dia tahu kau menyukainya
dan?"
Kami terlonjak saat mobil melindas garis kuning
ganda di jalan. "Kau apa?"
"Tenang. Jangan bikin kita mati." Sam membelokkan
mobil kembali ke jalurnya. "Dia bilang dia juga
menyukaimu."
Seringai nakal terukir di wajah Sam. "Menarik.
Rasanya sulit dipercaya," kata Sam akhirnya.
"Ya ampun, Sam. Kau pikir aku bohong?"
"Tidak. Aku tak percaya semua ini sungguhan. Bahwa
kau itu sungguhan atau Nomor Enam itu sungguhan, atau
bahwa satu bangsa alien jahat tersebar di seluruh planet ini
dan sepertinya tak ada orang yang mengetahuinya.
Maksudku, mereka melubangi gunung yang ada di sini. Kok,
bisa-bisanya tak ada yang tahu? Apa yang mereka perbuat
dengan semua tanah dan batu yang mereka gali? Walaupun
tempat itu jarang penduduk seperti umumnya tempat
tempat di West Virginia, pasti ada orang yang tak sengaja
menemukan tempat itu. Orang yang suka hiking atau
mungkin pemburu. Pilot-pilot pesawat kecil. Lalu, bagaimana
dengan pencitraan satelit? Dan siapa yang tahu ada berapa
banyak pangkalan atau markas, atau apa pun sebutannya
yang mereka miliki di Bumi ini? Aku tak mengerti bagaimana
mereka bisa bergerak dengan begitu bebas."
"Betul," kataku. "Aku juga tak mengerti, tapi aku rasa
banyak sekali yang tak kita ketahui. Kau ingat teori konspirasi
pertama yang kau katakan kepadaku?"
"Tidak," kata Sam.
"Waktu itu kita bicara tentang seluruh Kota Montana
yang diculik, dan kau bilang pemerintah mengizinkan
penculikan itu demi teknologi. Ingat?"
"Ya, sepertinya."
"Nah, sekarang itu masuk akal. Mungkin ini tak ada
kaitannya dengan teknologi, dan mungkin pemerintah tidak
mengizinkan penculikan, tapi aku pikir ada semacam
kesepakatan yang dibuat. Karena kau benar, tak mungkin
mereka bisa bepergian tanpa ada yang memperhatikan. Dan
jumlah mereka juga sangat, sangat banyak."
Sam tidak menjawab. Aku menoleh dan melihatnya
tersenyum.
"Sam?" tanyaku.
"Aku cuma sedang berpikir di mana aku berada saat
ini seandainya kalian tidak datang. Mungkin sendirian di
ruang bawah tanah, mengumpulkan berbagai teori
konspirasi, dan bertanya-tanya apakah ayahku masih hidup.
Itulah yang kulakukan selama bertahuntahun. Tapi yang luar
biasa, sekarang aku benar-benar yakin dia masih hidup. Dia
ada di suatu tempat, John. Aku yakin. Dan itu karena kalian."
"Kuharap begitu," kataku. "Aku rasa keren sekali
Henri datang ke Ohio untuk menemuinya, dan aku serta kau
langsung jadi teman. Seperti suratan takdir."
Sam tersenyum. "Atau keselarasan kosmis."
"Dasar kutu buku," kataku.
Setelah diam sejenak, Sam bertanya, "Eh, John ...,
kau benar-benar yakin kerangka yang ada di sumur itu bukan
kerangka ayahku, kan?"
"Seratus persen. Kerangka itu kerangka Loric dan
besar. Lebih besar daripada manusia mana pun." "Jadi,
menurutmu itu siapa?"
"Aku tak tabu. Kuharap bukan Loric yang cukup
penting."
Empat jam berlalu. Akhirnya, kami melihat tanda
yang mengarah ke Ansted, sekitar sepuluh kilometer lagi.
Kami diam. Sam berbelok ke jalan dua jalur yang berkelok
kelok ke atas gunung hingga kami mencapai perbatasan kota.
Kami melewatinya, lalu belok kiri di satu-satunya lampu lalu
lintas di kota itu.
"Hawks Nest, kan?"
"Ya, dua atau tiga kilometer lagi," kata Sam. Di
sanalah Nomor Enam menyembunyikan peta yang dia buat
tiga tahun lalu.
Peta itu berada tepat di tempat yang Nomor Enam
katakan, tersembunyi di Hawks Nest State Park, di depan
New River. Tepat empat puluh tujuh langkah menuruni Gysp
Trail, aku, Sam, dan Bernie Kosar tiba di pohon bertorehkan
E6. Dari sana, kami berbelok ke kanan dan berjalan tiga puluh
langkah, keluar dari jalan tadi. Kemudian, kami berbelok
tajam ke kin dan akhirnya, sekitar seratus lima puluh meter
dari sana, kami melihat pohon yang menjulang tinggi
dibandingkan pohon-pohon lainnya. Di dalam celah kecil di
dasar batangnya yang bengkok, kami menemukan peta lokasi
gua tersimpan dengan aman di dalam kotak plastik hitam.
Kami kembali ke mobil, lalu pergi sejauh kuranglebih
dua puluh lima kilometer, dan akhirnya tiba di jalan
berlumpur yang sepi. Itu jalan paling dekat dengan gua, yang
jaraknya sekitar delapan kilometer ke arah utara. Sam
mengeluarkan alamat yang Nomor Enam tulis dari saku, lalu
memasukkannya ke laci dasbor. "Setelah dipikir-pikir lagi,"
katanya sambil mengambil kertas itu dan memasukkannya
kembali ke saku, "lebih aman di sini."
Aku memasukkan Xitharis dan lakban ke ransel
Nomor Enam yang ditinggalkannya. Sam mencangklong tas
itu. Aku memutar belati di tangan, lalu memasukkannya ke
saku belakangku.
Kami keluar dan aku mengunci pintu mobil. Bernie
Kosar berlari berputar-putar di kakiku. Beberapa jam lagi hari
akan gelap. Kami tak punya banyak waktu. Walaupun
tanganku bisa bersinar, aku rasa tak mungkin menemukan
gua itu tanpa sinar matahari.
Sam memegang peta. Di sebelah kanan peta ada
tanda X tebal yang digambar Nomor Enam. Di antara tanda X
dengan tempat kami berdiri saat ini?di sebelah kiri peta?
ada jalan berkelok-kelok sepanjang sekitar delapan
kilometer. Kami harus menyusuri tepi sungai dan melewati
berbagai tanda alam yang khas, semuanya ditandai dengan
saksama agar kami tetap berada di jalur yang benar. Batu
Penyu. Joran Pancing. Dataran Tinggi Bundar. Singgasana
Raja. Sepasang Kekasih. Titik Pengintai.
Aku dan Sam sama-sama mengangkat kepala dan
melihat sebuah batu yang sangat mirip cangkang penyu.
Bernie Kosar menyalak.
"Kurasa itu tanda pertamanya," kata Sam.
Kami pun berangkat, mengikuti jalur yang ada di peta
itu. Tak ada jalan setapak atau apa pun yang menunjukkan
bahwa pegunungan ini pernah diinjak-injak oleh makhluk
dari planet lain, atau bahkan makhluk dari planet ini. Begitu
tiba di Batu Penyu, Sam melihat sebuah pohon tumbang yang
tergantung di tepi tebing dengan sudut empat puluh lima
derajat sehingga tampak seperti joran pancing yang menanti
digigit. Jadi, kami terus berjalan mengikuti jalur itu,
sementara matahari turun ke arah barat.
Setiap langkah yang kami ambil merupakan
kesempatan untuk berbalik dan pergi. Tapi, kami tidak
melakukan itu. "Kau itu teman yang hebat, Sam Goode,"
kataku kepadanya.
"Kau juga," jawabnya. Lalu, Sam melanjutkan,
"Tanganku tak bisa berhenti gemetar."
Setelah melewati Singgasana Raja?sebuah batu
tinggi ramping dan tampak seperti kursi bersandaran tinggi?
aku langsung melihat dua pohon tinggi saling bersandar agak
miring, dahan-dahannya yang seperti lengan membuat kedua
pohon itu seakan sedang berpelukan. Aku tersenyum,
sejenak lupa dengan kengerian yang kurasakan.
"Tinggal satu lagi," kata Sam, menarikku kembali ke
dunia nyata.
Lima menit kemudian, kami tiba di Titik Pengintai.
Perjalanan itu makan waktu satu jam sepuluh menit, bayang
bayang memanjang dan lenyap saat cahaya senja terakhir
menghilang. Tanpa peringatan, terdengar geraman rendah di
sampingku. Aku menunduk. Bernie Kosar menyeringai
memperlihatkan gigi-giginya, bulu di punggungnya berdiri,
matanya menatap ke arah gua. Dia mundur perlahan-lahan
menjauhi gua itu.
"Tenang, Bernie Kosar," kataku sambil menepuk
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punggungnya.
Aku dan Sam merunduk, lalu tiarap. Kami berdua
menatap pintu masuk gua yang hampir tak terlihat di
seberang lembah kecil. Mulut gua itu jauh lebih besar
daripada yang kubayangkan, mungkin lebar dan tingginya
masing-masing enam meter, tapi juga tersembunyi dengan
baik. Mulut gua itu ditutupi sesuatu, jaring atau kain terpal,
membuatnya menyatu dengan sekelilingnya sehingga baru
terlihat jika kita memang tahu ada gua di sana.
"Lokasi yang sempurna," bisik Sam.
"Benar sekali."
Segera saja rasa gugupku berubah jadi rasa ngeri
setengah mati. Walapun gua itu tampak misterius, yang jelas
aku tahu di sana ada banyak sekali benda yang bisa membuat
kami mati?senjata, hewan buas, ataupun perangkap. Dua
puluh menit lagi, aku bisa saja mati. Sam juga.
"Ide siapa, sih ini?" tanyaku.
Sam mendengus. "Idemu."
"Yah, kadang-kadang ideku itu konyol."
"Memang. Tapi kita tetap harus mengambil Petimu."
"Ada banyak barang dalam Peti yang belum
kuketahui cara menggunakannya tapi mungkin mereka tahu,"
kataku. Lalu, aku melihat sesuatu.
"Lihat tanah di depan gua itu," kataku sambil
menunjuk ke sejumlah benda gelap di mulut gua. "Batu?"
"Bukan. Itu bangkai hewan," kataku.
Sam menggelengkan kepala. "Luar biasa," katanya.
Seharusnya aku tidak kaget, apalagi Nomor Enam
sudah pernah menceritakannya, tapi setelah melihat bangkai
itu rasa takutku semakin besar. Pikiranku berpacu.
"Oke," kataku sambil duduk. "Tak ada waktu yang
lebih baik lagi."
Aku mencium kepala Bernie Kosar, lalu membelai
punggungnya, berharap ini bukan terakhir kalinya aku
melihatnya. Dia melarangku pergi dan aku menyarnpaikan
bahwa aku harus, tak ada pilihan lain. "Kau yang terbaik,
Bernie Kosar. Aku menyayangimu."
Lalu, aku berdiri. Aku memegang bagian bawah
bajuku dengan tangan kanan agar bisa mengeluarkan Xitharis
dari tas tanpa menyentuhnya.
Sam mengotak-atik tombol jam digitalnya,
memasang stopwatch. Begitu menjadi tak terlihat, kami tak
akan bisa membaca jam itu, tapi begitu masa pakai Xitharis
habis, jam itu akan berbunyi?walaupun kurasa pasti saat itu
kami akan tahu tanpa bantuan jam.
"Siap?" tanyaku.
Kami melangkah bersama-sama. Satu langkah, dua
langkah, menuruni jalan setapak menuju malapetaka. Aku
hanya menoleh ke belakang sekali, saat hampir tiba di gua,
dan melihat Bernie Kosar menatap kami.
29
KAMI MENDEKATI GUA SEDEKAT MUNGKIN TANPA terlihat,
lalu merunduk bersembunyi di balik pohon. Aku meletakkan
batu Xitharis di bagian lakban yang berperekat. Sam
memandang sambil memegangi stopwatch-nya.
"Siap?" tanyaku.
Sam mengangguk. Aku menekankan Xitharis dan
lakban ke bawah tulang dadaku. Aku langsung tak terlihat
dan Sam menekan tombol jam, diiringi bunyi bip lembut. Aku
meraih tangan Sam, dan bersamasama kami mengitari pohon
dan berlari ke gua. Konsentrasi pada misi. Dengan berpikir
begitu, aku tak lagi gugup seperti tadi.
Gua itu ditutupi dengan terpal kamuflase besar. Kami
melewati bangkai-bangkai hewan, berusaha untuk tidak
menginjaknya. Itu sulit dilakukan dengan kaki yang tak
terlihat. Tak ada Mogadorian di luar. Aku bergegas maju dan
menyingkapkan kain terpal. Aku dan Sam masuk, dan empat
penjaga bangkit dari kursi mereka sambil mengangkat
meriam berbentuk tabung, seperti yang diacungkan ke
kepalaku pada malam di Florida itu. Kami berdiri tak
bergerak. Sesaat kemudian, kami diam-diam menyelinap
melewati mereka, berharap mereka menganggap terpal tadi
terbuka karena angin.
Angin dingin segar berembus dari sistem ventilasi,
yang terasa aneh bagiku mengingat udara itu dicampur
dengan gas beracun. Dinding gua yang abu-abu dipoles
hingga mulus. Kabel listrik menghubungkan lampulampu
redup yang masing-masing berjarak enam meter.
Kami berpapasan dengan sejumlah pengintai dan
lewat tanpa terdeteksi. Waktu yang terbatas menyebabkan
kami luar biasa tegang. Kami berderap, berlari, berjingkat
jingkat, dan berjalan. Saat terowongan menyempit dan
menurun, kami berjalan miring menyusurinya. Udara yang
tadinya dingin berubah jadi panas dan gerah. Kemudian,
kami melihat cahaya merah di ujung terowongan. Kami
bergegas mendekati cahaya itu hingga akhirnya tiba di pusat
gua.
Tempat itu jauh lebih besar daripada apa yang
kubayangkan dari penjelasan Nomor Enam. Sebuah birai
panjang sambung-menyambung di sepanjang din- ding
melingkar itu mulai dari bawah hingga ke atas, sehingga
tempat itu tampak seperti sarang lebah. Setiap tempat yang
ada di sana tampak begitu ramaiada ratusan Mogadorian
berseliweran, melintasi jembatan lengkung batu, keluar
masuk terowongan. Jarak dari lantai bawah hingga langit
langit gua itu delapan ratus meter. Aku dan Sam berada
kurang-lebih di tengahnya. Dua pilar besar muncul dari lantai
dan menjulang hingga ke langit-langit, menahan agar gua itu
tidak roboh. Jumlah jalan yang ada di sekitar kami tak terkira
banyaknya.
"Ya ampun," desis Sam takjub sambil memandangi
semua itu. "Perlu berbulan-bulan untuk menjelajahi
semuanya."
Aku melihat danau dengan cairan hijau bercahaya di
bawah sana. Walaupun jaraknya cukup jauh, panasnya
membuat sulit bernapas. Walaupun temperaturnya hampir
seperti oven, dua puluh atau tiga puluh Mogadorian bekerja
di sekitar danau itu, mengisi gerobak dengan benda
mendidih tersebut dan membawanya pergi. Aku melihat
sesuatu di seberang danau itu.
"Kurasa kita bisa menebak apa yang ada di
terowongan dengan jeruji raksasa itu," bisikku. Lebar dan
tinggi terowongan itu tiga kali terowongan yang tadi kami
lewati, jeruji besi kotak-kotak menutupinya, mengurung
hewan apa pun yang ada di dalam sana. Kami bisa mendengar
hewan-hewan itu melolong rendah dan agak sedih. Yang
jelas, jumlah mereka tidak sedikit.
"Pasti makan waktu berbulan-bulan," bisik Sam lagi
dengan terkagum-kagum.
"Yah, waktu kita tak sampai satu jam," aku balas
berbisik. "Jadi, kita sebaiknya bergegas."
"Kurasa kita bisa melupakan semua terowongan yang
sempit, gelap, dan tampak terhalang."
"Setuju. Kita bisa mulai dengan yang tepat di depan
kita," kataku sambil memandang terowongan yang
tampaknya merupakan terowongan utama di pusat gua itu.
Ukurannya lebih besar dan tampak lebih terang dibandingkan
yang lain, serta paling sering dilalui Mogadorian. Jembatan
yang mengarah ke terowongan itu hanya berupa batu padat
panjang melengkung yang lebarnya sekitar setengah meter.
"Menurutmu kau bisa menyeberangi jembatan itu?"
"Kita lihat saja," jawab Sam.
"Di depan atau di belakang?"
"Depan."
Sam melangkah ragu. Karena harus terus
berpegangan tangan, kami berjalan miring sepanjang sekitar
dua belas meter atau lebih. Rasanya lama sekali. Kami tak
mungkin kembali dengan kecepatan seperti ini setelah tiba
di sana.
"Jangan lihat ke bawah," kataku kepada Sam. "Jangan
bicara," jawabnya sambil menegakkan tubuh. Kami bergerak
pelan-pelan dan aku berpikir seandainya bisa melihat kakiku.
Aku berkonsentrasi keras supaya tidak jatuh dan tak sadar
saat Sam berhenti, yang menyebabkanku menubruknya dan
hampir jatuh dari jembatan itu.
"Kenapa?" tanyaku dengan jantung berdegup
kencang. Aku memandang dan melihat kenapa dia berhenti.
Prajurit Mogadorian berlari ke arah kami. Jaraknya sudah
terlalu dekat sehingga tak ada waktu untuk bereaksi.
"Kita tak bisa ke mana-mana," kata Sam. Si prajurit
terus maju sambil menggendong sebuah bungkusan. Saat dia
sudah cukup dekat, aku merasakan Sam berjongkok. Sedetik
kemudian, kaki Mogadorian itu disapu, membuatnya kaget
setengah mati. Dia jatuh ke tepi jembatan dan berhasil
berpegangan dengan satu tangan, sementara buntalan yang
dibawanya jatuh. Mogadorian itu menjerit kesakitan saat jari
jarinya kuinjak dengan kakiku yang tak terlihat sehingga dia
melepaskan pegangannya dan jatuh dengan bunyi
bergedebuk mengerikan.
Sam berlari maju sebelum masalah lain muncul.
Setiap Mogadorian yang ada di sana berhenti, saling pandang
kebingungan. Aku penasaran apakah mereka pikir kejadian
tadi hanyalah kecelakaan ataukah justru membuat mereka
waspada.
Sam meremas tanganku lega saat kami tiba di
seberang. Dia bergerak maju dengan percaya diri karena
telah membunuh prajurit tadi.
Koridor berikutnya besar dan ramai. Sebentar saja
aku dan Sam sadar kami menuju arah yang salah. Ruangan
ruangan yang kami lewati ternyata ruangan pribadi, dan
tampaknya merupakan tempat tinggal para Mogadorian: gua
gua dengan tempat tidur, kantin besar dengan ratusan meja,
dan lapangan tembak. Kami bergegas menyusuri koridor yang
ada di dekat situ, tapi hasilnya sama saja. Akhirnya, kami
mencoba koridor ketiga.
Kami menyusuri terowongan berliku dan masuk ke
gunung. Terowongan utama itu bercabang-cabang. Aku dan
Sam mengeceknya secara acak hanya dengan mengandalkan
naluri. Selain lorong utama yang kami masuki, sisa gunung itu
hanyalah kumpulan koridor-koridor batu lembap yang
berhubungan, dan masing-masing mengarah ke berbagai
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruangan pusat penelitian dengan meja pemeriksaan,
komputer, dan alat-alat tajam mengilap. Kami melewati
sejumlah laboratorium ilmiah. Sambil bergegas
melewatinya, kami berdua berpikir seandainya saja punya
lebih banyak waktu untuk menyelidiki. Kami mungkin berlari
sejauh dua atau tiga kilometer. Aku semakin tegang karena
setiap koridor yang kami periksa, ternyata tak menghasilkan
apa pun.
"Waktu kita tinggal kurang dari lima belas menit,
John."
"Aku tahu," bisikku, jengkel sekaligus putus asa.
Saat berbelok dan bergegas menaiki sebuah
tanjakan, kami melewati tempat yang paling kutakuti:
sebuah ruangan yang penuh dengan sel penjara. Sam
berhenti di tengah jalan dan memegang tanganku dengan
erat, membuatku berhenti. Dua puluh atau tiga puluh
Mogadorian menjaga deretan lebih dari empat puluh sel
dengan pintu baja tebal. Di depan masing-masing pintu ada
perisai energi biru yang berdenyutdenyut dialiri listrik.
"Lihat sel-sel itu," kata Sam. Aku tahu dia memikirkan
ayahnya.
"Tunggu dulu," kataku, tiba-tiba suatu gagasan
muncul dalam benakku. Jelas sekali.
"Apa?" tanya Sam.
"Aku tahu di mana Peti itu," kataku.
"Yang benar?"
"Bodohnya aku," bisikku. "Sam, dari semua tempat di
lubang neraka ini, ruangan mana yang tak akan kau datangi?"
"Gua dengan hewan-hewan buas yang melolong itu,"
jawabnya tanpa ragu.
"Tepat," kataku. "Ayo!"
Aku memimpinnya kembali ke koridor yang
mengarah ke pusat gua. Sebelum sempat meninggalkan
selsel itu, sebuah pintu berdentang terbuka dan Sam
menyentakkan tangannya untuk menghentikanku.
"Lihat," katanya.
Pintu sel yang ada di dekat kami terbuka lebar. Dua
penjaga masuk. Selama sepuluh detik, mereka marah-marah
dengan bahasa ibu mereka, lalu keluar sambil
mencengkeram lengan seorang laki-laki berusia akhir dua
puluhan yang kurus dan pucat. Dia tampak begitu lemah
sehingga sulit berjalan. Pegangan Sam mengencang saat para
penjaga mendorong laki-laki itu. Salah satu penjaga
membuka pintu kedua, lalu ketiganya masuk dan
menghilang.
"Menurutmu siapa lagi yang mereka kurung di sana?"
tanya Sam, sementara aku menariknya.
"Kita harus pergi, Sam," kataku. "Waktu kita tidak
banyak."
"Mereka menyiksa manusia, John," katanya saat
akhirnya kami tiba di pusat gua. "Manusia."
"Aku tahu," kataku sambil mencari jalur tercepat
menuju sel hewan buas itu. Mogadorian ada di mana mana,
tapi aku terlalu sering melewati mereka sehingga tak lagi
merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Lagi pula, aku
yakin akan melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan
daripada pengintai ataupun prajurit.
"Keluarga mereka mungkin tak tahu ke mana mereka
hilang," bisik Sam.
"Aku tahu," kataku. "Ayo, jalan. Kita akan
membicarakannya setelah keluar dari tempat ini. Mungkin
Nomor Enam punya semacam rencana."
Kami berlari menyusuri birai melengkung hingga
mencapai sebuah tangga tinggi. Namun, kami tak mungkin
menuruni tangga itu sambil memegang tangan orang yang
ada di atas. Aku memandang ke bawah. Jaraknya jauh.
"Kita harus lompat," kataku kepada Sam. "Jika tidak,
perlu sepuluh menit untuk sampai ke bawah sana."
"Lompat?" katanya tak percaya. "Kita bisa mati."
"Jangan khawatir," aku menenangkannya. "Aku akan
menangkapmu."
"Bagaimana mungkin kau bisa menangkapku jika
tanganmu terus kupegangi?"
Namun, tak ada waktu untuk berdebat. Aku menarik
napas dalam-dalam, lalu melompat dari birai yang jaraknya
tiga puluh meter dari dasar gua. Sam melolong. Untunglah,
suaranya ditenggelamkan keriuhan Mogadorian yang sibuk
bekerja. Kakiku mendarat di batu keras, dan aku hampir
terjungkal ke belakang. Namun, aku memegangi Sam yang
mendarat di atasku dengan erat.
"Jangan pernah melakukan itu lagi," kata Sam sambil
berdiri.
Lantai dasar itu begitu panas sehingga rasanya sulit
bernapas, tapi kami berlari mengelilingi danau hijau menuju
gerbang kokoh tempat hewan-hewan buas dikurung. Saat
kami tiba di sana, angin dingin berembus dari balik jeruji.
Sekarang aku mengerti. Embusan udara segar yang terus
menerus itu berfungsi untuk mencegah gas lain masuk ke
terowongan ini.
"John, kurasa kita sudah tak punya waktu lagi," ujar
Sam memelas.
"Aku tahu," kataku sambil membiarkan sekitar
sepuluh Mogadorian pergi meninggalkan tempat itu.
Kami masuk ke sebuah terowongan yang gelap.
Dinding terowongan itu seperti diselimuti lendir. Sel-sel
berjeruji berderet-deret di sepanjang dinding terowongan.
Di bagian tengah langit-langit ada sepuluh kipas angin
industri, semuanya mengarah ke mulut terowongan yang
baru solo kami lewati, menjaga agar udara tetap dingin dan
lembap. Ada sel yang berukuran kecil, tapi ada juga yang
berukuran besar. Dari dalam sel-sel itu terdengar suara-suara
liar dan ganas. Dalam kandang di sebelah kiri kami ada dua
puluh atau tiga puluh kraul yang saling melompati satu sama
lain sambil menyalak dengan nada tinggi. Di sebelah kanan
kami ada sekumpulan anjing yang tampak seperti setan,
dengan tubuh sebesar serigala, mata kuning, dan tak
berbulu. Di samping sel anjing-anjing itu, berdirilah makhluk
yang tampak seperti troll, lengkap dengan hidung penuh
kutilnya. Di sebuah sel ber ukuran besar di depan sana ada
seekor piken raksasa, mirip dengan piken yang
menghancurkan dinding penjara waktu itu. Raksasa itu
berjalan mondar-mandir sambil mengendus-endus udara.
"Kita tak perlu repot-repot memeriksa sel yang
kecil," kataku. "Jika Petiku ada di sini, pastilah diletakkan di
kamar terbesar di ujung terowongan. Aku tak ingin menduga
duga hewan buas macam apa yang membutuhkan pintu
sebesar itu."
"Tinggal beberapa detik lagi, John."
"Kalau begitu, kita harus cepat," kataku sambil
menarik Sam maju dan mengamati dengan cepat berbagai
hewan mengerikan yang ada di sini: makhluk bersayap mirip
gargoyle, monster dengan enam kaki dan kulit merah,
beberapa piken yang tingginya enam meter, semacam reptil
mutan besar dengan tanduk trisula, serta monster dengan
kulit transparan sehingga isi perutnya terlihat.
"Wooo," kataku, berhenti di sejumlah tangki dan
tabung bulat, sebagian besarnya berwarna perak, tapi ada
dua yang berwarna tembaga dan dilengkapi pengukur panas.
Semacam ruang pemanas, kurasa.
"Jadi ini yang menghidupkan tempat ini," kata Sam.
"Harusnya," jawabku. Tangki tertinggi menjulang
hingga ke langit-langit, dan setiap tangki dihubungkan
dengan pipa besar, katup, dan pipa aluminium. Di samping
tangki tinggi ada panel kontrol yang menempel di dinding,
dengan kabel listrik menyembul di sana-sini.
"Ayo," kata Sam sambil menyentakkan tanganku tak
sabar.
Kami berlari ke ujung terowongan. Di sana ada
sebuah pintu besar yang seluruhnya terbuat dari baja,
dengan tinggi dua belas meter dan lebar lima belas meter. Di
sebelah kanannya ada pintu kayu kecil. Pintu itu tak dikunci
dan aku langsung mengerti kenapa.
"Ya ampun," bisik Sam ngeri melihat hewan buas itu.
Aku sendiri sempat tertegun sejenak dan terpana
memandanginya: sosok raksasa yang tidur di ujung ruangan
itu. Matanya tertutup dan napasnya teratur. Tinggi hewan itu
pastilah sekitar lima belas meter jika berdiri. Tubuhnya mirip
dengan tubuh manusia, tapi dengan lengan yang lebih
panjang.
"Aku tak ingin masuk ke sana," kata Sam. "Yakin?"
tanyaku sambil menyenggolnya, menarik perhatiannya dari si
monster. "Lihat."
Di sana, di tengah-tengah ruangan itu, sejajar dengan
mata, di atas sebuah meja batu tebal, terdapat Petiku. Dan
tepat di sebelahnya ada Peti lain, yang sangat mirip Petiku.
Kami hanya tinggal mengambilnya. Namun, Peti itu
dikelilingi jeruji besi di bagian dalam dengan perisai energi
listrik yang berderak di bagian tengah, dan parit berisi cairan
hijau mengepul di bagian terluar, serta raksasa tidur itu.
"Itu bukan Peti Nomor Enam," kataku.
"Apa maksudmu? Memangnya itu Peti siapa?" tanya
Sam, bingung.
"Mereka menemukan kita, Sam. Di Florida, mereka
menemukan kita dengan membuka Peti Nomor Enam."
"Ya, aku tahu."
"Tapi lihat gemboknya. Buat apa mereka memasang
gembok itu kembali ke Peti, padahal mereka sudah bersusah
payah membukanya? Menurutku Peti yang satu itu belum
pernah dibuka."
"Mungkin kau benar."
"Peti itu bisa milik siapa saja," bisikku sambil
menggelengkan kepala menatap kedua Peti itu. "Milik
Nomor Lima atau Nomor Sembilan, atau siapa pun yang
belum mati."
"Jadi, mereka mencuri Peti dan tidak membunuh
Garde?"
"Seperti yang mereka lakukan terhadapku. Atau
mungkin, para Mogadorian menangkap dan menahan mereka
seperti Nomor Enam dulu," kataku.
Sam tak sempat menjawab karena alarm di jam
tangannya mulai berbunyi. Tiga detik kemudian, suara itu
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disusul dengan raungan seratus sirene yang bergaung di
dinding gua.
"Ah, sial," kataku sambil menoleh. "Aku bisa
melihatmu, Sam."
Dia mengangguk. Wajahnya tampak panik. Sam
melepaskan tanganku. "Aku juga bisa melihatmu."
Saat memandang melalui bahu Sam, mata si hewan
buas itu mulai terbuka?hitam dan putih?lalu menyipit
memandangi kami.
30
TEMBAKAN ITU MEMBUAT TELINGAKU BERDENGING lama.
Ujung laras senjata itu berasap, tapi Crayton tidak
membuang-buang waktu, dia membuang magasin pistol itu
dan memasang yang baru. Banyaknya abu menyebabkan
udara dipenuhi debu tebal. Aku dan Ella berdiri menunggu di
belakang Crayton. Dia berdiri dengan pistol terangkat, jarinya
menempel di pelatuk. Satu Mogadorian memanjat sambil
menodongkan meriamnya, tapi Crayton menembak duluan
menyebabkan si Mogadorian terlempar ke belakang.
Mogadorian itu meledak sebelum menghantam dinding.
Mogadorian kedua muncul sambil memegang senjata
bercahaya yang tadi merobek bahuku, tapi Crayton
membunuhnya sebelum senjata itu bersinar.
"Mereka tahu kita di sini. Ayo!" teriaknya sambil
berlari menuruni tangga sebelum aku sempat menawarkan
untuk menerbangkan kami keluar jendela. Aku dan Ella
mengikuti, masih bergandengan tangan. Crayton berhenti di
belokan tangga kedua dan menekan matanya dengan tangan.
"Mataku kemasukan abu. Aku tak bisa melihat apa-apa,"
katanya. "Marina, kau di depan. Jika terjadi sesuatu di depan,
teriak dan minggirlah."
Aku mengepit Peti Loric dengan lengan kiri. Ella
berjalan di tengah sambil memegangi tanganku dan Crayton.
Aku memimpin mereka menuruni tangga. Saat keluar dari
pintu ek rusak, menara di atas kami meledak.
Aku menjerit dan merunduk sambil menarik Ella.
Tanpa berpikir, Crayton langsung menembak. Pistol itu
memuntahkan amunisi?delapan sampai sepuluh peluru per
detik?dan aku bisa melihat sekelompok Mogadorian roboh.
Crayton berhenti menembak.
"Marina?!" seru Crayton sambil menganggukkan
kepala ke depan tanpa memandangku.
Aku berbalik dan mengamati lorong yang penuh abu.
"Kurasa aman," kataku. Begitu mengucapkan itu, satu
Mogadorian melompat ke ambang pintu dan menembak,
cahaya putih menyilaukan menerjang bagai meteor ke arah
kami. Kami tiarap tepat pada waktunya dan cahaya kematian
putih itu meleset seujung rambut.
Crayton langsung mengangkat senjatanya dan
menembakkan rentetan peluru, Mogadorian itu langsung
mati.
Aku berjalan di depan. Aku tak tahu berapa banyak
Mogadorian yang Crayton bunuh, tapi lantai berselimutkan
abu setinggi mata kaki. Kami berhenti di ujung tangga.
Cahaya dari jendela menembus abu yang mulai memudar.
Mata Crayton sudah pulih. Dia berjalan ke depan kami,
menggenggam pistolnya erat-erat di dada sambil
bersembunyi di balik sudut. Begitu berbelok, kami harus
melewati tangga, lorong pendek, bagian belakang panti
umat, dan ruang depan utama untuk mencapai pintu keluar.
Crayton menarik napas dalamdalam, mengangguk, lalu
berbelok sambil mengacungkan senjatanya, siap menembak.
Tapi ternyata tak ada apa-apa.
"Ayo," geramnya.
Kami mengikuti dan Crayton mendampingi kami
melintasi bagian belakang panti umat, yang menghitam
akibat terbakar. Aku sempat melihat tubuh Adelina yang
tampak kecil dari tempat kami berada. Dadaku nyeri saat
melihatnya. Beranilah, Marina, kata-katanya terngiang di
telingaku.
Terdengar ledakan dari balik dinding di sebelah
kanan kami. Batu-batu terlontar ke dalam. Aku mengangkat
tangan tanpa berpikir dan menahan batu-batu itu agar tidak
mengenaiku dan Ella. Namun, ledakan itu mengempaskan
Crayton ke tembok di kiri kami, dan dia mengerang saat
merosot dari dinding. Pistol terlepas dari tangannya. Satu
Mogadorian memasuki katedral melalui lubang tadi. Dia
memegang meriam. Dengan satu gerakan mulus, aku
melemparkan Mogadorian itu ke belakang menggunakan
telekinesisku, menerbangkan pistol Crayton ke tanganku,
lalu menarik pelatuknya. Daya tolak senjata itu lebih keras
daripada yang kuduga sehingga aku hampir menjatuhkannya.
Namun, aku langsung pulih dan terns menembak hingga
Mogadorian itu berubah jadi abu.
"Ini," kataku sambil menyorongkan senjata ke tangan
Ella. Dari caranya yang tenang saat menerima senjata itu, aku
tahu dia sudah terbiasa dengan senjata api.
Aku bergegas menghampiri Crayton. Lengannya
patah dan darah mengucur dari luka di kepala dan wajahnya.
Meski begitu, matanya terbuka dan dia tampak waspada. Aku
memegang pergelangan tangannya, lalu menutup mata, rasa
dingin menjalari tubuhku dan Crayton. Aku melihat tulang
tulang di lengannya masuk kembali ke bawah kulit serta luka
di wajahnya menutup dan lenyap. Dadanya naik turun
dengan sangat cepat sehingga aku pikir paru-parunya bakal
meledak. Namun, dia kembali tenang. Crayton duduk dan
menggerakkan lengannya.
"Bagus," katanya.
Dia mengambil pistol dari Ella. Kami memanjat
menembus lubang di dinding dan keluar ke halaman depan
Santa Teresa. Tak terlihat seorang pun saat aku dan Ella
berlari dan melintasi gerbang besi, sementara Crayton
mengayunkan pistolnya ke depan dan ke belakang, kalau
kalau ada yang harus dia tembak. Pandanganku beralih cepat
dari bahu kiri Crayton ke ledakan merah dari atap katedral.
Diiringi letusan keras, sebuah roket meluncur cepat ke arah
Crayton. Aku menatap ujung roket itu dan mengangkat
tangan sambil berkonsentrasi sekuat mungkin. Pada detik
terakhir, aku berhasil menyelewengkan roket itu. Roket itu
meleset dan berbelok ke arah gunung, menghantam, dan
meledak. Crayton mendorong kami agar lari ke gerbang
sambil mengacungkan senjata dan terns waspada. Dia lalu
berbalik, memandang berkeliling.
Crayton menggelengkan kepala. Kami mendengar
pintu gereja didorong terbuka di belakang kami.
"Dia tak ada," kata Crayton. Tepat sebelum dia
berbalik dan mulai menembak, terdengar bunyi ban
berdecit. Plastik yang menyelubungi truk merosot. Bagian
belakang truk itu bergoyang-goyang saat Hector, dengan
mata melotot di balik setir, menginjak pedal gas. Dia ngebut
ke arah kami, lalu menginjak rem saat sampai di dekat kami.
Truk itu berdecit dan berhenti. Hector mengulurkan tangan
melewati kursi dan membuka pintu penumpang. Setelah
melemparkan Peti Loricku ke samping Hector, aku dan Ella
naik. Crayton berjaga di luar cukup lama untuk memuntahkan
semua pelurunya ke arah para Mogadorian yang tumpah ruah
dari pintu gereja. Beberapa Mogadorian roboh, tapi masih
banyak yang hidup. Crayton melompat masuk dan
membanting pintu. Ban berputar menekan kerikil, mencari
pijakan. Suara roket lain mendekat, tapi ban berhasil
mendapatkan pijakan dan kami melesat menyusuri Calle
Principal.
"Aku menyayangimu, Hector," cetusku. Dadaku
terasa begitu hangat saat melihat dia berada di belakang
setir.
"Aku juga menyayangimu, Marina. Seperti yang
selalu kukatakan, tetaplah bersama Hector Ricardo, dia akan
menjagamu."
"Aku tak pernah meragukannya," kataku, walaupun
sebenarnya itu bohong. Tadi pagi aku meragukannya.
Kami tiba di kaki bukit dan meluncur cepat melewati
plang perbatasan kota.
Aku berbalik dan mengintip melalui jendela
belakang, memandangi Santa Teresa yang menghilang
dengan cepat. Aku tahu ini terakhir kalinya aku melihat kota
itu. Walaupun sudah lama ingin meninggalkannya, sekarang
kota itu sudah menjadi tempat peristirahatan terakhir
Adelina. Segera saja kota itu lenyap dari pandangan.
"Terima kasih, Senorita," kata Hector.
"Untuk apa?"
"Aku tahu kaulah yang menyembuhkan ibuku. Dia
bilang begitu. Dia juga bilang kau itu malaikatnya. Aku tak
akan pernah bisa membalas kebaikanmu."
"Kau sudah membalasnya, Hector. Aku sangat senang
bisa membantu."
Hector menggelengkan kepala. "Aku belum
membalasnya, tapi aku akan berusaha."
Sementara Crayton mengisi kedua magasin dan
menyiapkan cadangan amunisi, Hector menyetir truk di jalan
yang berkelok-kelok dan naik-turun itu. Kami terlonjak
lonjak. Ban berkeciut saat truk berbelok tajam atau tiba-tiba
menurun. Kami melaju dengan kencang, tapi segera saja
konvoi kendaraan tampak di belakang kami.
"Jangan pikirkan mereka," kata Crayton. "Bawa kami
ke danau."
Walaupun truk sudah ngebut, konvoi tersebut
semakin dekat. Setelah sepuluh menit, kilatan cahaya
meluncur ke depan truk dan meledak di pedesaan yang ada
di depan kami. Secara naluriah, Hector merunduk.
"Waduh!" katanya.
Crayton berbalik dan memecahkan jendela belakang
dengan popor pistolnya, lalu melepaskan tembakan.
Kendaraan paling depan terpental, menyebabkan kami
semua bersorak-sorai.
"Itu bisa menahan mereka," kata Crayton sambil
cepat-cepat mengisi magasin.
Benar saja. Para Mogadorian tertahan selama
beberapa menit. Namun, karena jalan jadi semakin tidak rata
dan berkelok-kelok tajam menuruni gunung, mereka berhasil
mengejar kami. Hector komat-kamit saat membanting setir di
setiap belokan. Pedal gas ditekan dalam-dalam, ban
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang truk berayun mengerikan di setiap tikungan tebing
yang menjulang.
"Hati-hati, Hector," kata Crayton. "Jangan bikin kami
mati sebelum sampai di sana. Beni kami kesempatan."
"Tenang, Hector yang nyetir," jawab Hector, yang
tidak membuat Crayton tenang karena dia tetap
mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga buku-bukunya
memutih.
Satu-satunya yang membuat kami aman hanyalah
jalan yang berkelok-kelok sehingga walaupun para
Mogadorian menembak, mereka sulit mengenai kami.
Saat kami melaju di suatu tikungan tajam, Hector
tidak berbelok cukup cepat sehingga kami keluar dari tepi
jalan. Truk meluncur menuruni lereng gunung cu- ram tujuh
puluh lima derajat yang juga lebat. Kami menebas anak-anak
pohon, memantul di bebatuan, serta nyaris menabrak pohon
besar. Aku dan Ella menjerit-jerit. Crayton berteriak saat dia
terlempar ke depan dan menghantam kaca depan. Hector
diam seribu bahasa. Dia menggertakkan gigi, berbelok, dan
membanting setir menghindari segala rintangan. Dan secara
ajaib, kami mendarat di jalan lain. Kap truk itu penyok
penyok dan berasap, tapi mesinnya masih jalan.
"Ini, eh, jalan pintas," kata Hector. Dia menginjak
pedal gas dan kami melaju berderu di jalan itu.
"Kurasa kita berhasil kabur," kata Crayton sambil
memandang ke atas gunung.
Aku menepuk bahu Hector dan tertawa. Crayton
mengacungkan laras pistolnya ke jendela belakang dan
menunggu.
Akhirnya, kami melihat danau. Aku bertanya-tanya
kenapa Crayton yakin danau itu bisa menyelamatkan kami.
"Memangnya di danau itu ada apa?" tanyaku.
"Kau pikir aku mencarimu hanya bersama Ella?"
Sesaat aku ingin mengatakan bahwa hingga beberapa
jam yang lalu, kupikir dia datang untuk membunuhku. Tapi,
begitu para Mogadorian tampak di belakang kami lagi,
Crayton menghadap ke belakang sementara Hector melirik
cepat ke kaca spion.
"Nyaris saja kita lolos," kata Crayton.
"Kita bakal lolos, Papa," kata Ella sambil memandang
Crayton. Saat mendengarnya, hatiku terenyuh. Crayton
tersenyum hangat ke arah Ella, lalu mengangguk. Ella
meremas tanganku. "Kau pasti suka Olivia," katanya
kepadaku.
"Siapa Olivia?" aku bertanya. Tapi, Ella tak sempat
menjawab karena jalan berbelok sembilan puluh derajat dan
menurun tajam ke arah danau di depan. Ella memegang
tanganku erat saat jalanan terputus, tetapi Hector terus
menekan pedal gas hingga truk menerobos pagar rantai yang
mengelilingi danau itu. Truk kami menabrak gundukan kecil
di tanah, terbang, mendarat dengan bergedebuk, lalu
memantul di tepi danau. Hector melaju kencang ke arah
danau. Sebelum kami semua tercebur, dia menginjak rem
dan ban berdecit hingga truk berhenti. Crayton mendorong
pintu penumpang dengan bahunya, lalu berlari ke danau, dan
tents berlari hingga air mencapai lututnya. Dengan tangan
kiri memegang pistol, dia melemparkan suatu benda sejauh
mungkin dengan tangan kanan dan mulai berkomat-kamit
dengan bahasa yang tak kupahami.
"Ayo!" teriaknya sambil mengepalkan tinju ke udara
seolah menyemangati. "Ayo, Olivia!"
Aku, Ella, dan Hector cepat-cepat keluar dari truk dan
berlari di sampingnya. Aku mengepit Peti Loric di lenganku.
Tiba-tiba, air di tengah danau mulai meluap dan
bergelembung.
"Marina, kau tahu apa Chimwra itu?"
Sebelum sempat menjawab, sebuah kendaraan
Mogadorian, kendaraan tempur Humvee dengan senjata
terpasang di atapnya, muncul dan melaju menuruni bukit.
Kendaraan itu melesat ke arah kami, yang berdiri di dalam
danau. Crayton memuntahkan rentetan peluru ke kaca
depannya. Kendaraan itu langsung melaju tanpa kendali dan
menabrak bagian belakang truk Hector, diikuti dentuman
memekakkan telinga dan bunyi logam remuk serta kaca
pecah. Konvoi puluhan kendaraan lain bergemuruh
menuruni bukit terakhir dan mulai menembak. Tepi danau
berguncang akibat ledakan yang diiringi api dan asap. Kami
menjatuhkan diri ke tanah. Air dan pasir menghujani kami
dan kami berusaha bangkit. Crayton meraih kerah bajuku.
"Lari!" teriaknya.
Aku meraih tangan Ella dan kami berlari secepat
mungkin di tepi kiri danau. Crayton mulai menembak. Tapi,
aku mendengar dua senjata dan bukan hanya satu. Kuharap
Hector-lah yang menarik pelatuk senjata kedua itu.
Kami berlari ke arah sekumpulan pohon yang turnbuh
miring di lereng gunung, mencuat ke arah danau. Kaki kami
menjejak bebatuan basah. Ella mempercepat larinya untuk
mengimbangiku. Bunyi tembakan terus membahana. Saat
tembakan berhenti, terdengar raungan yang begitu keras,
menyebabkan jantungku berhenti sesaat. Aku menoleh
untuk memandang hewan dengan raungan melumpuhkan
itu, dan tersadar makhluk itu bukan berasal dari Bumi.
Sebuah leher panjang dan berotot muncul dari air, menjulang
setinggi bangunan sepuluh atau lima belas lantai, kulitnya
abu-abu berkilau. Di ujung leher itu, sebuah kepala kadal
raksasa membuka bibirnya yang kasar untuk memperlihatkan
serangkaian gigi raksasa.
"Olivia!" Ella bersorak.
Olivia mengangkat kepalanya dan mengeluarkan
raungan panjang memekakkan telinga. Sebelum raungan itu
selesai, terdengar suara salakan bernada tinggi menuruni
gunung. Aku memandang ke atas dan melihat segerombolan
hewan buas berukuran kecil berlari turun ke arah danau.
Aku terkesiap. "Apa itu?" tanyaku kepada Ella.
"Kraul. Banyak pula."
Leher Olivia keluar sepenuhnya dari air, menjulang
setinggi bangunan tiga puluh lantai. Saat bagian tubuhnya
muncul di permukaan, lehernya melebar dan badannya
membesar. Para Mogadorian langsung menembakinya. Olivia
menghantamkan kepalanya ke bawah beberapa kali,
menciptakan tumpukan besar abu. Aku bisa melihat siluet
Crayton dan Hector, keduanya dengan senjata menyala. Para
Mogadorian mundur saat seratus kraul memasuki danau dan
berenang ke arah Olivia. Hewan-hewan itu melompat keluar
dari air dan menyerang. Mereka memanjat punggung Olivia
dan merobek bagian bawah lehernya. Darah mengalir. Air
danau memerah.
"Tidak!" jerit Ella.
Dia berusaha berlari kembali, tapi aku memegang
erat lengannya.
"Kita tak bisa kembali," kataku.
"Olivia!"
"Itu bunuh diri, Ella. Mereka terlalu banyak."
Olivia meraung kesakitan. Dia melecutkan kepalanya
ke samping dan ke belakang, berusaha meremukkan atau
menggigit kraul-kraul hitam yang mengerumuninya. Crayton
mengacungkan senjatanya ke arah hewan-hewan buas itu.
Tapi kemudian, dia menurunkan pistolnya saat menyadari
Olivia bisa tertembak. Dia dan Hector kembali menembaki
pasukan Mogadorian yang berbaris dan bersiap melancarkan
serangan baru.
Olivia bergoyang ke kiri dan ke kanan, melolong ke
arah pegunungan, lalu mundur ke tengah danau dan
perlahan-lahan tenggelam dalam gelombang warna merah.
Kraul-kraul pergi dan berenang ke arah para Mogadorian.
"Tidak!" terdengar suara teriakan Crayton. Aku
melihatnya berusaha masuk ke danau, tapi Hector
menariknya kembali ke tepi.
"Merunduk!" teriak Ella sambil merunduk menarik
lenganku. Angin berderu di atas kepala kami. Sebuah kuku
hitam raksasa menghantam tanah di sampingku. Aku
mendongak dan melihat seekor monster bertanduk.
Kepalanya sebesar truk Hector. Saat raksasa itu meraung,
rambutku berkibar.
"Ayo!" teriakku. Kami berlari ke arah pepohonan.
"Berpencar," kata Ella. Aku mengangguk dan berlari
ke kiri, menuju pohon beech tua dengan batang berkeriput.
Aku menurunkan Peti dan secara naluriah mengangkat
tangan, lalu memisahkannya. Aku terkejut saat pohon beech
itu terbuka, menciptakan sebuah ruang kosong yang
tampaknya cukup besar untuk dua orang dan sebuah Peti
kayu.
Aku menoleh ke belakang dan melihat makhluk itu
mengejar Ella menembus pepohonan lebat. Aku
melemparkan Peti Loric ke dalam batang pohon yang
terbuka. Kemudian dengan menggunakan telekinesis, aku
mencabut dua buah pohon dan melemparkannya bagai rudal
ke punggung hewan itu. Kedua pohon itu pecah saat
bertabrakan dengan kulitnya yang gelap. Hewan itu tersuruk.
Aku berlari dan meraih tangan Ella yang gemetar, menariknya
ke arah yang berlawanan. Pohon beech dengan Petiku
tampak.
"Ke pohon, Ella! Masuk ke sana!" teriakku. Ella duduk
di atas Peti dan berusaha membuat tubuhnya kecil dengan
memudakan kembali usianya.
"Itu piken, Marina! Masuklah!" dia memohon.
Sebelum Ella sempat mengucapkan sepatah kata lagi, aku
menutup batang pohon itu, membiarkan sebuah celah kecil
sehingga dia dapat melihat.
"Maaf," kataku melalui celah itu, berharap monster
itu tak melihat tempatku menyimpan Peti dan
menyembunyikan temanku.
Aku berbalik dan berlari, berusaha agar piken itu
mengejarku. Namun, segera saja dia menyusul dan
memukulku dari belakang. Kekuatan pukulan itu
mengejutkan. Aku jatuh meluncur di lereng curam hingga
tanganku berhasil mencengkeram batu. Aku menoleh ke
belakang. Ternyata, tak ada semeter lagi aku bisa jatuh ke
tebing berbatu.
Piken itu muncul di atas lereng, lalu berjalan
menyamping hingga akhirnya berada tepat di depanku. Dia
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meraung begitu keras hingga kepalaku terasa kosong. Aku
mendengar Ella berteriak memanggil namaku di kejauhan.
Tapi aku tak bisa bernapas, apalagi berteriak balik.
Hewan itu berlari menuruni lereng. Aku mengangkat
satu tangan dan mencabut sebuah pohon kecil kurus di
sampingku. Kemudian, aku meluncurkannya ke dada si
monster. Pohon itu menusuk dadanya cukup kuat sehingga si
piken kehilangan keseimbangan dan jatuh miring. Dia
menjerit dan meluncur tepat ke arahku. Aku memejamkan
mata dan bersiap menghadapi tubrukan. Namun, bukannya
menubruk dan melemparkanku ke tebing, tubuhnya justru
menghantam batu tempatku berpegangan, lalu terlontar ke
atasku. Aku menoleh dengan cepat untuk melihat piken itu
jatuh ke tebing berbatu.
Akhirnya, aku bisa berkonsentrasi untuk
menerbangkan diriku menaiki lereng. Aku segera berlari ke
Roro Centil 15 Langkah Langkah Manusia Mustika Lidah Naga 1 Dewi Ular 48 Perempuan Penghisap Darah
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama