Ceritasilat Novel Online

The Power of Six 6

The Power of Six Karya Pittacus Lore Bagian 6

pohon beech?menghampiri Ella dan Petiku. Kemudian, aku

tertembak. Sakitnya dua kali lipat lebih kuat daripada yang

kurasakan sebelumnya. Aku hanya melihat warna merah dan

kilasan warna putih. Aku berguling-guling tak terkendali,

merintih kesakitan.

"Marina!" aku mendengar Ella menjerit.

Aku berguling terlentang dan menatap langit. Darah

mengucur dari mulut dan hidungku. Aku bisa merasakannya.

Aku bisa menciumnya. Sejumlah burung terbang melingkar di

atasku. Saat menanti kematianku tiba, aku melihat langit

diambil alih oleh banyak sekali awan hitam tebal. Awan
awan itu bertubrukan dan berpusar, berdenyut-denyut

seolah bernapas. Kupikir aku berhalusinasi, melihat hal-hal

aneh sebelum mati. Kemudian, setetes air jatuh di pipi

kananku. Aku berkedip saat tetes air mengenai bagian atas

mataku. Lalu, kilat membelah langit jadi dua.

Satu Mogadorian besar dengan baju besi emas dan

hitam berdiri di atasku sambil tersenyum. Dia menekankan

meriam di pelipisku, lalu meludah ke tanah. Sebelum

menarik pelatuk, dia menengadah memandang badai di

langit. Aku cepat-cepat meletakkan tanganku di perutku yang

terluka. Rasa dingin yang kukenal menjalari kulitku. Lalu,

hujan tumpah ruah di atasku saat awan-awan berkumpul

membentuk dinding gelap.

31

DARI RAUT MUKA SAM, AKU TAHU KEYAKINANNYA untuk bisa

keluar hidup-hidup dari tempat ini pupus sudah. Bahuku

sendiri merosot saat memandang sepasang mata putih besar

milik hewan yang bangkit berdiri di depan kami. Dia

bersantai-santai, meregangkan lehernya yang berotot,

menyebabkan urat setebal pilar Romawi menonjol di kedua

sisi. Kulit gelap di mukanya kering dan pecah-pecah seperti

tonjolan di atas kepalanya yang mirip batu. Lengannya yang

panjang membuat hewan itu tampak seperti gorila versi

alien.

Saat raksasa itu mengangkat tubuhnya hingga berdiri,

menjulang setinggi lima belas meter, gagang belatiku sudah

membalut pergelangan tangan kananku.

"Kepung dia!" teriakku. Sam berlari ke kiri dan aku

melesat ke kanan.

Raksasa itu bergerak ke arah Sam, yang langsung

berbelok dan berlari menyusuri tepi parit melengkung. Dia

mengejar Sam dengan lamban. Saat itulah, aku berlari

menghampirinya dan menebaskan belatiku ke kanan dan ke

kiri, memotong gumpalan kecil daging dari betisnya. Hewan

itu mendongak hingga hidungnya menghantam langit-langit,

lalu mengayunkan tangannya ke arahku, salah satu jarinya

mengenai kaki belakangku. Aku terlempar berputar-putar

dan bahu kiriku menghantam dinding hingga bergeser.

"John!" teriak Sam.

Raksasa itu mengayunkan tangannya lagi ke arahku,

tapi aku berhasil melompat menghindari tinjunya. Raksasa

itu mungkin kuat, tapi lamban. Namun, gua tempat kami

berada tak cukup besar untuk berlari menjauh sehingga lebih

menguntungkan hewan itu walaupun dia lamban.

Aku tak melihat Sam di mana pun saat aku berlari dari

satu batu ke batu lain. Raksasa itu kesulitan mengikutiku.

Begitu punya waktu, aku mengangkat tangan kiriku pelan
pelan ke atas kepala, lalu memutarnya sehingga telapak

tanganku berada di belakang kepalaku. Nyeri menjalar dari

leher hingga tumit. Namun, aku menguatkan diri dan terus

menjangkau ke belakang hingga bahuku yang bergeser tadi

kembali ke tempatnya semula. Lega rasanya. Namun,

perasaan itu langsung pudar saat aku mendongak dan

melihat tangan kanan si raksasa berada di atas kepalaku.

Aku mengangkat belatiku sehingga telapak tangan

hewan itu tertusuk. Namun itu tak cukup untuk

menghentikan hewan itu melingkarkan jari-jarinya di

sekelilingku. Dia mengangkatku. Cengkeramannya begitu

kuat sehingga belatiku jatuh. Aku mendengar bilah berlian

itu berdentang. Saat tubuhku dijungkirbalikkan, aku mencari
cari belati agar bisa mengambilnya dengan menggunakan

kekuatan telekinesis.

"Sam! Kau di mana?"

Aku kehilangan arah saat hewan itu menegakkan

tubuhku lagi, lalu memegangku beberapa meter di atas

hidungnya. Kemudian, aku melihat Sam muncul dari retakan

di dinding. Dia berlari dan mengambil belatiku, sedetik

kemudian, raksasa itu mendengking karena kaget dan

kesakitan. Hewan itu meremasku keras-keras dan aku

mendorong jari-jarinya sekuat mungkin. Saat jari-jarinya

terdorong ke belakang, aku berhasil meloloskan bahu,

lengan, dan tanganku. Aku menyalakan telapak tanganku dan

menyorotkan Lumen tepat ke matanya. Dia langsung silau

dan mundur ke dinding sehingga aku berhasil membebaskan

tubuhku lalu melompat.

Sam melemparkan belatiku dan aku melontarkan

senjata itu ke arah si hewan buas, menghunjamkan bilahnya

ke kulit di setiap jari kaki. Raksasa itu melolong. Dia

membungkuk. Aku menyorotkan Lumenku lagi ke matanya.

Dia kehilangan keseimbangan. Aku mencabut batu besar di

belakang hewan itu dan menghantamkan batu itu ke

punggungnya. Raksasa itu terhuyung ke depan, lengannya

yang panjang terjulur untuk menahan jatuhnya. Tangan

raksasanya masuk ke parit berisi cairan hijau panas?sedetik

kemudian, terdengar bunyi daging terbakar. Aku

memandangi kepala hewan buas yang sudah tak bernyawa

itu menubruk bagian bawah perisai energi listrik serta alas

batu tebal tempat Peti Loric berada. Tubrukan itu

mengacaukan perisai energi dan melontarkan alas batu

melintasi ruangan, yang pecah saat menghantam gua.

Raksasa itu tergeletak tak bergerak.

"Katakan kau memang merencanakan itu," kata Sam

sambil mengikutiku ke arah Peti.

"Seandainya memang begitu," kataku.

Aku membuka Petiku. Isinya masih utuh, termasuk

kaleng kopi tempat abu Henri serta kristal aneh yang

dibungkus handuk. "Sepertinya oke," kataku. Sam

mengambil Peti yang satunya lagi.

"Apa yang terjadi saat kita melintasi pintu itu?" tanya

Sam sambil mengarahkan dagu ke pintu kayu kecil yang tadi

kami lewati.

Kami membunuh hewan buas dan juga mendapatkan

Peti. Namun, kami tak bisa menjadikan diri kami tak terlihat,

lalu melenggang melewati ratusan Mogadorian begitu saja.

Aku membuka Petiku dan memegang berbagai kristal serta

barang-barang. Sayangnya, aku tak tahu apa kegunaan

sebagian besar benda-benda itu, dan benda-benda yang

kuketahui cara penggunaannya tak dapat membawaku

melewati sebuah gunung penuh alien. Aku memandang

ruangan itu dan merasa putus asa. Saat memandangi kulit

hewan raksasa yang meleleh serta tulangnya yang hancur,

aku mendapat sebuah gagasan.

Aku memasukkan belati ke saku celana jinsku, lalu

mendekati pant dengan cairan hijau yang bergolak. Setelah

menarik napas dalam, aku mencelupkan satu jari dengan

hati-hati. Seperti yang kuduga, rasanya sangat panas, tapi

hanya menggelitik kulitku. Cairan itu seperti lava hijau.

"Sam?"

"Yeah?"

"Saat aku bilang buka pintu, buka pintu dan

menyingkirlah secepatnya."

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Sam.

Aku teringat ketika Henri menyapukan kristal Loric di

tubuhku saat aku berbaring di meja kopi dengan tangan

dalam bara api. Aku mencelupkan tanganku ke dalam parit

dan menyiduk lava hijau itu. Lalu, aku menutup mata dan

berkonsentrasi. Saat membuka mata kembali, cairan itu

melayang-layang di tanganku seperti bola api.

"Sepertinya ini," kataku.

"Keren."

Sam berlari ke pintu kayu. Aku mengangguk untuk

mengisyaratkan bahwa aku siap.

Dia membuka pintu, lalu berlari merunduk ke arah

kanan. Sekerumunan Mogadorian bersenjata berat berlari ke

arah kami. Namun, saat melihat bola api hijau meluncur ke

arah mereka, mereka berusaha berbalik mundur. Ketika bola

api itu hampir menghantam dada Mogadorian pertama, aku

menggunakan kekuatan telekinesisku untuk menyebarkan

cairan itu ke segala arah sehingga mengenai sejumlah

Mogadorian. Setelah beberapa saat terbakar, mereka pun

berubah jadi abu.

Aku menerbangkan bola-bola lava hijau ke banyak

Mogadorian, menghabisi mereka. Sam memunguti senjata

mereka. Begitu serbuan Mogadorian reda, aku mengambil

dua bola cairan lava hijau dan berlari keluar pintu. Sam

mengikutiku sambil membawa dua buah pistol hitam

panjang di masing-masing tangannya.

Jumlah Mogadorian yang berlari di lorong gelap itu

sangat banyak. Cahaya yang menyilaukan dan sirene yang

memekakkan membuat indraku seakan kelebihan muatan.

Sam menarik pelatuk kedua pistol tadi dan membantai

gelombang demi gelombang Mogadorian. Tapi, mereka terus

berdatangan. Saat kehabisan peluru, Sam meraih dua pistol

lain.

"Aku perlu bantuan!" teriak Sam sambil membantai

sebaris Mogadorian.

"Aku lagi mikir!" Dinding gua yang diselimuti lendir

tampaknya tak cukup membantu menyebarkan api. Lava

hijau yang ada di tanganku juga tak cukup banyak untuk

menyebabkan kerusakan parah. Di sebelah kiriku ada tangki

gas perak serta tangki tinggi dengan pipa besar, katup, dan

pipa aluminium. Di samping tangki tertinggi ada panel

kontrol dengan kabel listrik yang menyembul di sana-sini.

Jeritan dan raungan hewan-hewan buas dalam sel-sel

berjeruji terdengar dari seberang terowongan, membuatku

bertanya-tanya seberapa lapar mereka.

Aku melemparkan bola api ke panel kontrol,

menyebabkan benda itu rusak diiringi percikan bunga api.

Jeruji dari kandang-kandang yang berjajar di dinding mulai

terangkat. Kemudian, aku melemparkan bola hijau lain ke

bagian dasar tangki-tangki gas.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menarik Sam dan kami berlari kembali ke

kandang raksasa tadi. Saat ledakan meletus, aku

melemparkan Sam ke bagian batu di antara pintu kayu dan

jeruji baja yang terangkat, membiarkan gelombang api

menerjangku. Telingaku dibanjiri derak dan dengungan api.

Puluhan kraul mendobrak kandang mereka dan

menyerang para Mogadorian yang lengah dari belakang.

Sejumlah piken mengentakkan kaki di terowongan sambil

meraung dan mengayunkan lengan. Mutan reptil bertanduk

menyerbu ke bagian belakang terowongan, melindas

Mogadorian dan kraul yang ada di bawah kaki piken. Makhluk

bersayap mirip gargoyle berdengung di langit-langit,

menukik dan menyambar apa pun yang bisa mereka gigit.

Monster dengan kulit transparan menghunjamkan gigi-geligi

mereka ke betis seekor piken. Semua itu terjadi dalam

sekejap mata, lalu mereka semua lenyap dalam lautan api.

Beberapa menit kemudian, api di terowongan keluar

menuju gua spiral dan terus merajalela di seluruh bagian

gunung. Terowongan panjang di depanku dipenuhi gundukan

abu dan tulang monster yang menghitam. Aku memadamkan

api yang ada di sekelilingku, lalu mengelap tangan ke

pahaku.

Sam agak hangus, tapi dia baik-baik saja.

"Itu benar-benar ide brilian," katanya.

"Ayo, keluar dari sini, setelah itu kita bisa

merayakannya."

Aku mengepit Petiku dan Sam mengangkat Peti yang

satu lagi. Kami berlari melintasi kehancuran akibat api itu.

Aroma kematian begitu menyesakkan. Tangga hangus di

ujung terowongan itu masih tampak kokoh. Kami

memanjatnya dengan susah payah karena hanya bisa naik

menggunakan satu tangan. Begitu kaki kami menjejak birai

spiral yang hitam terbakar, kami berlari menyusurinya,

berputar-putar hingga tiba di pusat gua.

Neraka yang kulepaskan menyebabkan kehancuran

yang lebih besar daripada dugaanku. Kami melihat banyak

sekali gundukan abu. Kami juga melihat ratusan Mogadorian

merangkak keluar menuju koridor dan terowongan dengan

tubuh terbakar, menjerit kesakitan, tak mampu mengangkat

senjata, dan tak bisa melakukan apa pun saat kami melompat

melewati mereka. Ada tentara lain yang berlari di birai di

atas kami, sebagian membawa senjata dan sebagian lain

membawa yang terluka.

Aku bingung terowongan mana yang mengarah

keluar. Saat aku berlari di depan menyusuri serangkaian

terowongan dengan liontin berayun di leherku, aku dan Sam

mengambil pistol yang tak bertuan. Kami berlari sambil

mengacungkan pistol setinggi dada, menembak semua yang

menghalangi kami. Meski tak tahu ke arah mana kami berlari,

kami tak berhenti hingga tiba di sel-sel tempat manusia

ditawan. Saat itulah, aku sadar kami berlari ke arah yang

salah. Aku menarik Sam ke arah yang lain, tapi dia bergeming

dan menghentikanku. Aku bisa melihat rasa cemas sekaligus

rasa penuh harap di wajahnya. Pintu sel-sel itu terangkat tiga

puluh senti di atas lantai dan perisai energi birunya sudah

hilang.

"Pintunya terbuka, John!" teriak Sam sambil

melemparkan Peti ke dekat kakiku. Aku menurunkan pistol

dan mengambil Peti itu. Akhirnya, Sam mengucapkan kata
kata yang sudah bisa kuduga: "Bagaimana jika ayahku ada di

sini?"

Aku menatap mata Sam, dan aku tahu kami harus

mengeceknya. Dia berlari ke sebelah kiri koridor, berteriak

memanggil ayahnya di setiap sel. Aku menyelidiki sel-sel di

sebelah kanan. Tiba-tiba, seorang pemuda sepantaranku

menjulurkan kepalanya yang berambut hitam panjang ke

bawah pintu. Saat melihatku, dia mengulurkan tangannya

dengan hati-hati ke koridor.

"Perisai energinya benar-benar hilang!" teriaknya.

"Kurasa begitu!" teriakku.

Sam memegang senjatanya setinggi bahu dan

menundukkan kepala ke bawah pintu sel pemuda itu. "Kau

kenal laki-laki bernama Malcolm Goode? Empat puluh tahun,

rambut cokelat? Dia di sini? Kau pernah melihatnya?"

"Diam dan mundurlah," kata pemuda itu. Suaranya

terdengar begitu berani, dan entah kenapa membuatku

gelisah. Aku langsung menarik Sam ke samping. Pemuda itu

memegang bagian bawah pintu, lalu merobeknya dari

dinding dan melemparkannya ke koridor seperti

melemparkan frisbee. Langit-langit retak dan batu-batu

besar runtuh. Aku melindungi diriku dan Sam dengan

telekinesis agar tidak remuk tertimpa batu. Sebelum aku

sempat mengucapkan apa pun, pemuda itu muncul sambil

mengibaskan debu dari tangannya. Dia bertelanjang dada,

tubuhnya lebih tinggi daripada aku serta berotot.

Sam melangkah maju. Aku kaget melihatnya

menodongkan pistol ke kepala anak itu. "Katakan! Kau kenal

ayahku? Malcolm Goode? Tolong!"

Pemuda itu memandang melewati Sam dan

pistolnya. Dia memperhatikan Peti di tanganku. Saat itulah,

aku melihat tiga goresan di kakinya. Goresan itu seperti

punyaku. Dia salah satu dari kami.

Aku menjatuhkan Peti karena kaget. "Kau nomor

berapa? Aku Nomor Empat."

Dia memicingkan mata ke arahku, lalu mengulurkan

tangan. "Aku Nomor Sembilan. Untunglah, kau berhasil

bertahan hidup, Nomor Empat."

Nomor Sembilan meraih Peti Loric yang kujatuhkan.

Sam menurunkan pistolnya, lalu kembali menyusuri koridor

sambil berhenti setiap beberapa detik untuk memandang ke

dalam setiap sel. Nomor Sembilan meletakkan tangannya di

gembok Peti dan gembok itu bergetar lalu terbuka. Sinar

kuning menyinari wajahnya saat dia membuka tutup Peti itu.

"Bagus." Dia tertawa sambil merogoh ke dalam Peti.

Nomor Sembilan mengeluarkan sebuah batu merah kecil dan

menunjukkannya kepadaku. "Kau punya ini?"

"Entahlah. Mungkin." Aku malu karena tak banyak

yang kutahu tentang barang-barang di Petiku sendiri.

Nomor Sembilan meletakkan batu itu di antara buku
buku jarinya, lalu mengacungkan tinju ke dinding terdekat.

Sebuah kerucut cahaya muncul, dan kami bisa melihat

menembus dinding ke dalam sel penjara yang kosong.

Sam berlari menghampiri kami. "Sebentar! Kau punya

penglihatan sinar X?"

"Si Aneh ini nomor berapa?" tanya Nomor Sembilan

kepadaku sambil memeriksa isi Petinya lagi.

"Namanya Sam. Dia bukan Loric, tapi dia teman kita.

Dia mencari ayahnya."

Nomor Sembilan melemparkan batu merah itu ke

arah Sam. "Ini bisa membantumu, Sammy. Bidik dan remas."

"Dia itu manusia," kataku. "Dia tak bisa menggunakan

benda itu."

Nomor Sembilan meletakkan ibu jarinya di dahi Sam.

Rambut Sam berkibar dan tercium bau listrik. Sam terhuyung

ke belakang. "Wow."

Nomor Sembilan mengulurkan tangannya ke dalam

Peti lagi. "Kau punya sepuluh menit. Cepat."

Aku takjub karena Nomor Sembilan mempunyai

kemampuan untuk memindahkan kekuatannya kepada

manusia. Sam berlari menyusuri koridor, memeriksa sel-sel

dengan mengarahkan tangannya. Saat tiba di pintu logam

besar di ujung koridor, dia mengarahkan batu ke pintu logam

itu, memperlihatkan lebih dari selusin Mogadorian

bersenjata di baliknya. Salah satu Mogadorian memilin kabel

di sebuah papan tombol yang terbuka.

"Sam!" teriakku sambil mengambil pistol. "Kembali!"

Wuuus ... Pintu terangkat dan para Mogadorian

menyerbu. Sam berlari menjauh sambil menembak ke

belakang.

"Kau punya Pusaka lain?" tanyaku kepada Nomor

Sembilan sambil menembak.

Dia mengedipkan mata lalu menghilang, berlari

menyusuri langit-langit yang retak dengan kecepatan super.

Para Mogadorian tak melihat Nomor Sembilan hingga dia

melompat turun ke belakang mereka. Terlambat. Nomor

Sembilan bergerak bagai tornado, menyerang para

Mogadorian dengan begitu ganas?aku tak tahu Loric bisa

seganas itu. Aku yakin Nomor Enam pun bakal terkesan. Aku

dan Sam berhenti menembak, membiarkan Nomor Sembilan

merobek setiap Mogadorian dengan tangan kosong.

Saat selesai, Nomor Sembilan berlari kembali di

sepanjang dinding kiri koridor, berputar ke langit-langit, lalu

ke dinding kanan. Abu melayang di belakangnya.

"Antigravitasi," kata Sam. "Nah, itu baru Pusaka yang

keren."

Nomor Sembilan mengerem hingga berhenti di

depan Peti Loric, lalu menendangnya hingga tertutup. "Aku

juga bisa mendengar dengan sangat jelas sejauh berkilo
kilometer."

"Oke, ayo kita pergi," kataku sambil mengambil

Petiku. Nomor Sembilan memanggul Peti Loric miliknya di

bahunya yang bidang dengan mudah, lalu mengambil senjata

dari lantai.

"Sel-sel yang lain bagaimana?" tanyanya kepada Sam

sambil menunjuk ke koridor. Seratus atau lebih pintu sel

berjajar di dinding di belakang tempat para Mogadorian tadi

masuk.

"Kita harus pergi," kataku, sadar kami sudah mengadu

untung. Sebentar lagi kami bakal dikepung. Tapi aku tak bisa

meyakinkan Sam.

Sam berlari ke bawah pintu besar itu, masih

memegang batu merah. Tiba-tiba, puluhan Mogadorian

muncul dari terowongan tersembunyi yang ada di antara

kami. Sam bersandar ke dinding lalu menembak. Aku melihat

beberapa Mogadorian meledak jadi abu, tapi kemudian

pandanganku terhalang segerombolan kraut dengan mulut

penuh liur.

Aku berkonsentrasi ke sebuah batu besar dan

melontarkannya ke arah kraul-kraut itu. Hanya sedikit kraut

yang mati. Nomor Sembilan merenggut kaki belakang seekor

kraut dan menghantamkan hewan itu ke dinding. Dia
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meremukkan dua ekor kraut lagi. Begitu selesai, dia

memandang ke arahku dan tertawa. Saat aku akan bertanya

apanya yang lucu, Nomor Sembilan melontarkan sebuah batu

besar tepat ke arahku. Aku melompat menghindar, dan

sesaat kemudian punggungku penuh dengan abu hitam.

"Mereka di mana-mana!" katanya sambil tertawa.

"Kita harus menjemput Sam!" Saat aku berusaha berlari

melewati Nomor Sembilan, tangan raksasa seekor piken

meraih kami berdua.

"Sam!" aku berteriak. "Sam!"

Sam tak bisa mendengar suara kami karena bunyi

pistolnya yang keras. Piken itu menarik kami ke arah yang

berlawanan. Perlahan-lahan, bagai dalam adegan lambat,

sahabatku lenyap dari pandangan. Sebelum sempat bisa

berteriak lagi, piken itu melemparkan kami ke terowongan

seberang. Aku menubruk dinding dan mendarat di salah satu

Peti. Peti lain mendarat di atasku. Udara di paru-paruku

terempas keluar. Saat memandang ke atas, aku melihat

Nomor Sembilan meludahkan darah. Dia menyeringai.

"Kau sudah gila, ya?" tanyaku. "Kau menikmati ini?"

"Aku dikurung di sini selama satu tahun. Ini hari

terbaik dalam hidupku!"

Dua piken merunduk dan memasuki terowongan,

menghalangi jalan kami menuju Sam. Nomor Sembilan

mengusap darah dari dagunya, lalu membuka Peti Loric. Dia

mengeluarkan sebuah pipa perak pendek. Ujungujungnya

menjulur hingga pipa itu jadi sepanjang dua meter dan

berbinar merah. Dia berlari ke arah para -piken sambil

mengacungkan pipa di atas kepalanya. Aku berdiri untuk

mengikutinya, tapi merasakan sentakan sakit dari rusukku.

Aku mencari batu penyembuh di Petiku. Saat berhasil

menemukannya, Nomor Sembilan sudah membunuh kedua

piken tadi. Dia kembali sambil berlari di langit-langit dan

memutarkan pipa itu di samping tubuhnya. Saat jarak kami

tinggal enam meter, dia berteriak menyuruhku bergerak.

Pipa berbinar merah itu terbang di atas kepalaku seperti

sebuah tombak, menusuk perut seekor piken.

"Terima kasih kembali," kata Nomor Sembilan

sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.

Segerombolan piken berdesakan di ujung

terowongan. Saat aku berbalik untuk berlari, sekawanan

burung transparan dengan gigi setajam silet terbang ke arah

kami. Nomor Sembilan meraih seuntai batubatu hijau dari

Peti, lalu melemparkannya ke arah kawanan burung itu.

Rangkaian batu hijau itu melayang di udara dan, bagai lubang

hitam, menyedot burungburung tadi.

Nomor Sembilan menutup mata dan untaian batu

hijau itu melesat ke arah para piken, lalu berputar dan

memuntahkan kawanan burung tadi ke arah para piken.

Nomor Sembilan menunjuk ke arahku dan berteriak,

"Hantam mereka!"

Aku mengikutinya sambil melontarkan batu besar

demi batu besar ke arah kekacauan itu. Piken-piken dan

burung-burung roboh terkena serangan kami.

Beberapa piken lain berdesakan memasuki

terowongan sambil meraung. Aku meraih lengan Nomor

Sembilan agar dia tidak berlari menyerbu.

"Mereka akan terus berdatangan," kataku. "Kita harus

mencari Sam dan keluar dari sini. Nomor Enam menanti kita."

Nomor Sembilan mengangguk. Kami berlari. Di mulut

terowongan berikutnya, kami berbelok ke kifi, tak yakin

apakah kami menuju jalan keluar atau justru makin tersesat.

Setiap kali berbelok, musuh yang muncul di belakang kami

semakin banyak. Nomor Sembilan menghancurkan semua

terowongan yang kami lewati, meruntuhkan langit-langit dan

merobohkan dinding dengan telekinesis, serta melemparkan

batu besar tepat pada sasaran.

Kami tiba di jembatan lengkung rendah yang panjang

dan terbuat dari batu padat, mirip dengan yang aku dan Sam

lewati tadi. Di bawahnya ada kolam lava hijau yang

menggelegak. Di depan kami, segerombolan Mogadorian

berbaris menyerbu ke jembatan sempit itu. Di belakang,

sejumlah piken keluar dari terowongan dan berlari ke arah

kami.

"Kita ke mana?!" teriakku saat kami melangkah ke

jembatan.

Nomor Sembilan berkata, "Ke bawah."

Begitu mencapai puncak jembatan, Nomor Sembilan

meraih tanganku dan membuat dunia jungkir balik saat kami

berlari menyusuri bagian bawah jembatan itu. Tanpa

peringatan, Nomor Sembilan melepaskanku, tapi entah

bagaimana caranya, kakiku masih menjejak di jembatan itu.

Aku meraih ke atas kepalaku dan menyiduk lava hijau. Saat

akhirnya kami berdiri di ujung jembatan, aku sudah

memegang bola api hijau. Aku mengayunkannya pada

Mogadorian di jembatan, lalu menyebarkannya. Kulit mereka

mendesis terbakar saat kami masuk ke gua lain.

Aku kehabisan napas saat kami tiba di sebuah

turunan curam. Saat sedang mengira-ngira seberapa terjal

turunan itu, aku dihantam dari belakang. Aku terjungkal ke

depan dan jatuh dengan kecepatan luar biasa. Saat tanah

akhirnya melandai, bahuku yang tadi bergeser mendarat

duluan.

Aku berguling telungkup karena sangat kesakitan.

Sesuatu menghantam punggungku lagi dan otot-ototku

kejang tak terkendali. Aku tak bisa bernapas, apalagi mencari

batu penyembuh dari dalam Peti. Satu-satunya yang bisa

kulakukan hanyalah menatap potongan sinar bulan yang

muncul dan menghilang di ujung terowongan itu. Kain terpal.

Kain terpal berkibar-kibar tertiup angin dari hutan. Aku

kembali ke pintu masuk gua.

Aku mendengar batu-batu bergemuruh di

belakangku. Sakit yang kurasakan benar-benar tak

terbayangkan, dan satu-satunya yang bisa kupikirkan

hanyalah meninggalkan gunung ini. "Lurus saja. Itu pintu

keluar. Kita bisa berkumpul lagi di sana," akhirnya aku

berkata.

Jika kami bisa keluar, aku bisa menyembuhkan diriku

dan menyembunyikan Peti kami di hutan. Mungkin Bernie

Kosar juga bisa turut serta karena kami sudah

menghancurkan tangki gas itu. Empat Mogadorian yang

menjaga pintu gua sudah menghilang. Nomor Sembilan

melompat menerobos kain terpal dan masuk ke hutan. Aku

menyusul. Bau busuk bangkai hewan mati menerjang kami,

membuat kami sangat mual saat Nomor Sembilan berlari ke

barisan pepohonan. Aku jatuh di atas sebuah batang pohon.

Lima menit, pikirku. Lalu, kami akan kembali untuk

menjemput Sam, menyerbu dengan kekuatan penuh.

Nomor Sembilan mengaduk-aduk Petinya dan aku

menutup mata. Air mata bergulir menuruni wajahku. Aku

terkejut saat sesuatu yang kasar menyentuh lengan kiriku.

Aku membuka mata dan melihat Bernie Kosar dalam wujud

anjing, menjilati jari-jariku.

"Aku tak pantas menerimanya," kataku. "Aku ini

pengecut. Payah."

Bernie Kosar memandangi luka-luka dan

memarmemar di tubuhku, kemudian mengendus wajah

Nomor Sembilan dan berubah wujud menjadi kuda.

"Wow!" Nomor Sembilan terlonjak. "Kau ini apa?"

"Chimera," bisikku. "Dia kawan. Dia juga dari Lorien."

Nomor Sembilan langsung membelai moncong

Bernie Kosar. Lalu, dia menekankan batu penyembuh ke

punggungku. Saat batu itu bekerja, aku melihat badai mulai

menggelegak di atas gunung.

Langit tiba-tiba dipenuhi kilat dan guntur. Merasa

sangat senang karena Nomor Enam kembali, aku berdiri dan

mengabaikan sisa rasa sakit di punggungku. Namun, awan
awan itu bergerak dan berkumpul dengan cara yang belum

pernah kulihat, dan tiba-tiba langit tampak mengerikan. Ini

bukan Nomor Enam. Dia tidak kembali untuk membantu

kami.

Aku memandang awan berbentuk corong yang

selama ini hanya kulihat dalam visi terburukku.

Bernie Kosar mengangkat kepala dan menoleh ke

belakang saat sebuah pesawat bulat dengan warna putih

susu bagai mutiara turun menembus mata tornado itu.

Pesawat itu mendarat tepat di depan mulut gua,

menggetarkan tanah. Seperti yang kulihat dalam citraku,

dinding pesawat itu seakan meleleh, lalu sebuah pintu

muncul begitu Baja di samping pesawat. Pemimpin

Mogadorian yang kulihat dalam citraku. Dia di sini.

Nomor Sembilan terkesiap. "Setrakus Ra. Dia di sini.

Ini saatnya."

Aku membisu, membeku ketakutan. "Jadi itu

namanya," akhirnya aku bisa berbisik.

"Nama yang akan segera terhapus dari muka Bumi.

Aku akan menikamnya dengan ini demi hari-hari yang dia

habiskan untuk menyiksaku dan Cepanku." Pipa merah di

tangan Nomor Sembilan menyala. Ujung-ujung pipa itu

membesar dan membentuk baling-baling. "Aku akan

membunuhnya. Dan kau harus membantuku."

Setthkus Ra berjalan ke arah mulut gua, tapi berhenti

sebentar sebelum masuk. Siluetnya besar, kaku, dan gelap.

Dia menoleh lalu memandang menembus angin dan hujan

yang menderu-deru ke arah kami. Bahkan, dari jarak yang

begitu jauh, aku bisa melihat kilauan samar dari tiga liontin di

lehernya yang kokoh.

Aku dan Nomor Sembilan berlari menyerbu, diikuti

Bernie Kosar yang berderap di belakang kami. Namun, kami

terlambat. Setrakus Ra sudah menghilang ke dalam gua, dan

perisai energi biru seperti yang ada di pintu sel penjara

muncul di mulut gua itu.

"Tidak!" teriak Nomor Sembilan. Dia berhenti lalu

menghunjam tanah dengan pipanya.

Aku terus berlari sambil memegang belati. Aku

mendengar Nomor Sembilan berseru menyuruhku berhenti,

tapi yang bisa kupikirkan hanyalah membunuh Setrakus Ra,

menyelamatkan Sam dan ayahnya, serta mengakhiri perang

ini, di sini, sekarang juga. Saat aku menghantam perisai

energi biru itu, segalanya gelap.

32
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

GUNTUR MENGGELEGAR, KILAT MEMBELAH LANGIT. Saat

langit jadi terang, aku bisa melihat awan semakin besar dan

rendah. Hujan makin lebat. Mogadorian bersenjata itu

menunduk memandangku. Dia menekankan meriam di

liontin biruku dan mengucapkan sesuatu yang tak bisa

kupahami. Luka di perutku hampir sembuh. Aku mendengar

Ella meneriakkan namaku mengatasi bunyi guruh.

Jika aku Bakal mati, aku harus membebaskan Ella

dulu. Salah satu dari kami harus hidup untuk memberi tahu

yang lainnya. Dengan hati-hati, aku mengangkat tangan dan

membayangkan pohon itu terbelah. Tiba-tiba, kilat

menyambar dari kejauhan. Kurang dari sedetik kemudian,

kilat itu menghantam Mogadorian yang berdiri di atasku,

membuatnya berubah jadi abu yang langsung hilang ditiup

angin.

Aku berdiri dan melihat bahwa batang pohon beech

itu barn terbuka separuhnya. Aku terus memisahkan pohon

itu sambil berlari menghampirinya. "Ella? Kau baik-baik

saja?"

Ella keluar dari batang pohon, lalu berlari

memelukku. "Aku tak bisa melihatmu," katanya sambil

memelukku erat. "Kupikir kau sudah mati."

"Belum," kataku sambil meraih Peti Loricku. "Ayo."

Kami berbalik untuk lari, tapi melihat Crayton serta

Hector menghampiri kami. Hector terluka. Lengannya

ditopangkan di bahu Crayton. Angin dan hujan mengamuk. Di

belakang Hector dan Crayton, gelombang pertama

Mogadorian dan kraul berlari mengejar. Aku langsung

mematahkan batang pohon yang sudah mati dan

melemparkannya keras-keras ke kawanan kraul terdekat.

Batang itu menghantam beberapa kraul, tapi mereka

langsung berdiri kembali. Satu prajurit Mogadorian

melemparkan granat. Aku menangkapnya dengan

telekinesisku, lalu mengembalikannya ke perutnya. Granat

itu meledak, melemparkan sejumlah Mogadorian dan kraul

ke tanah dalam bentuk abu basah. Aku mengirimkan pohon

demi pohon, batu demi batu, menghantam banyak dari

mereka dan membunuh lebih banyak lagi.

"Bantu aku!" teriak Crayton.

Aku bergegas mengambil Hector. Ada luka gigitan di

perutnya dan lubang peluru di lengannya. Kedua luka itu

berdarah sangat parah.

"Ayo, semua!" teriak Crayton seraya mengambil

peluru dari saku jubah dan memasukkan peluru itu ke

magasin pistol yang kosong. "Kita harus ke bendungan!"

Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi sebuah

kilat besar menyambar di atas kami. Kilat itu menyebar di

langit bagaikan pembuluh darah para dewa, meninggaikan

rasa logam di udara. Gelegar guntur yang memekakkan

telinga bergema di pegunungan. Air dan hujan mereda.

Awan-awan berputar-putar dalam pusaran raksasa hingga

sebuah mata gelap berbinar terbentuk dan menatap kami

dari atas puncak pegunungan. Para Mogadorian terpana

seperti kami. Angin bertiup kembali, diikuti dengan awan

hitam, kilat, dan guntur. Awalnya pelan, tapi kemudian

semakin cepat dan bergerak ke arah kami. Badai yang luar

biasa. Pusat badainya begitu indah, tak seperti apa pun yang

pernah kulihat. Kami semua hanya bisa memandang awan

tebal itu bergulung ke arah kami sambil meraung keras.

"Apa yang terjadi?" aku berteriak mengatasi angin

kencang.

"Aku tak tahu!" jawab Crayton. "Kita harus mencari

perlindungan!"

Namun, dia tak bergerak. Kami semua tak bergerak.

Hector juga terpana dan seakan lupa dengan rasa sakit akibat

luka-lukanya.

"Lari!" akhirnya Crayton berteriak. Dia berputar dan

menembaki para Mogadorian untuk melindungi kami saat

berlari menaiki bukit kecil, lalu menuruni lembah. Di sebelah

kananku ada bendungan yang menghubungkan dua gunung

rendah. Jaraknya terlalu jauh dan mustahil kami bisa

mencapainya. Wajah Hector memucat dan dia mulai pingsan.

Aku mencari tempat untuk beristirahat agar bisa

menyembuhkannya. Pistol Crayton tak berbunyi lagi. Aku

menoleh, takut terjadi hal buruk, tapi ternyata Crayton hanya

kehabisan amunisi. Dia mengangkat pistol setinggi bahu dan

menyusul kami.

"Kita tak akan bisa mencapai bendungan!" teriaknya.

"Lari ke danau!"

Hujan mulai turun lagi saat kami berempat berganti

arah. Peluru berdesingan menembaki jejak kaki kami di

rumput dan memantul di batu-batu besar. Awan di atas kami

bergeser sambil meraung. Sedetik kemudian, kami seakan

berlari di bawah jembatan: hujan tiba-tiba berhenti. Aku

menoleh ke belakang dan melihat hujan masih turun dengan

derasnya. Angin semakin kencang. Tiba-tiba saja, para

Mogadorian di belakang kami terjebak dalam badai terburuk

yang pernah kulihat. Mereka benar-benar lenyap dari

pandangan.

Kami menjejakkan kaki di pasir di tepi danau. Ella dan

Crayton masuk ke air dengan kepala terlebih dahulu.

"Aku tak bisa melakukannya, Marina," kata Hector

sambil berhenti sebelum kakinya menyentuh air.

Aku menurunkan Petiku dan meraih lengannya

seraya berkata, "Aku bisa menyembuhkanmu, Hector. Kau

bisa melakukan ini."

"Percuma. Aku tak bisa berenang."

"Aku Marina, si Putri Laut, Hector. Ingat?" Aku

membiarkan rasa dingin menjalar dari ujung jariku ke lubang

peluru di lengannya. Luka itu berubah dari hitam, abu-abu,

dan merah menjadi sepotong kulit kecokelatan yang

berkeriput. Aku segera berkonsentrasi ke luka gigitan di

perut di balik bajunya. Hector tiba-tiba berdiri tegak penuh

energi. Aku memandang matanya. "Sebagai Ratu Lautan, aku

akan berenang bersamamu."

"Tapi ada itu," kata Hector sambil menunjuk Peti

Lorie.

"Kau yang pegang," kataku sambil menyerahkan Peti

itu ke tangannya.

Kami berlari ke air hingga kaki kami tak lagi

menyentuh dasar danau. Kemudian, aku mengalungkan

lengan kananku di dada Hector dan mengayuh dengan lengan

kiriku. Hector memeluk Peti di perutnya. Dia mengapung

terlentang dengan kepala di atas permukaan air. Ella dan

Crayton meninggalkan jejak air di tengah danau. Aku menarik

Hector ke sana.

Awan di atas kami memudar, memencar menjadi

ratusan garis halus abu-abu di langit. Para Mogadorian yang

menyusul kami tak lagi tampak buram di balik hujan badai.

Begitu bisa melihat, mereka menyerbu ke arah danau

bersama puluhan kraul yang menyalak di depan.

Saat awan terakhir menghilang, sebuah titik hitam

turun dari atas. Semakin lama, titik itu tampak semakin mirip

manusia. Dengan liontin biru besar di lehernya, sosok itu

mendarat di tepian, membuat pasir berdesir. Dia gadis yang

sangat cantik dengan rambut hitam legam. Begitu

melihatnya, aku tahu wajah itulah yang kulihat dalam mimpi,

yang kulukis di dinding gua.

"Dia salah satu dari kita!" teriakku.

Gadis itu memandang berkeliling, mata kami beradu,

lalu sekejap kemudian dia lenyap. Aku kaget, hatiku

mencelos. Aku pikir aku hanya mengkhayalkannya.

"Ke mana dia?" tanya Ella.

Saat sadar Ella juga melihat gadis itu, yang berarti aku

tidak berkhayal, aku melihat dua kraul terdekat direnggut ke

belakang. Mereka melayang, menyalak, dan menggeram ke

sesuatu di belakang mereka. Kemudian, mereka

dihantamkan satu sama lain hingga lemas. Salah satu kraul

dilemparkan ke kaki dua prajurit, dan kraul yang satu lagi

dilontarkan ke atas, menubruk kraul dan prajurit lainnya.

"Tak terlihat. Pusakanya adalah kemampuan

menghilang," ujar Crayton sambil menarik napas.

Gadis itu tak terlihat? Aku kagum sekaligus iri, tapi

juga merasa sangat bersyukur. Setiap kraul yang menyentuh

air direnggut ke belakang oleh sebuah tangan tak terlihat,

lalu dilemparkan keras-keras ke pasir atau ke prajurit

Mogadorian. Sebuah meriam tak bertuan melayang dari atas

rumput dan mulai menembak ke segala arah. Satu per satu

kraul dihancurkan. Puluhan Mogadorian meledak menjadi

awan abu.

Meriam menyalak dari sisi lain danau. Aku berputar

dan melihat dua puluh Mogadorian atau lebih mengarungi

danau. Air setinggi pinggang mereka. Sinar-sinar mengenai

air di sekeliling kami, menimbulkan uap sehingga aku sulit

melihat Hector yang ada di depanku.

"Ella!" teriakku. "Di sini!" teriaknya dari sebelah

kiriku.

"Bawa Hector."

Ella mengalungkan lengannya di dada Hector.

"Kenapa?"

"Karena aku tak bisa diam saja, sementara gadis itu

bertempur sendirian. Ini pertempuranku juga."

Sebelum ada yang bisa menghentikanku, aku

menyelam dan air menggelitik paru-paruku. Aku berenang

lebih dalam hingga warna biru-hijau danau berubah jadi abu
abu. Aku melihat tubuh raksasa Olivia di bawahku yang

tergeletak tanpa nyawa di dasar danau. Darah mengambang

dari ratusan luka gigitan di punggungnya.

Aku bergerak ke tepi. Setelah satu menit, akhirnya

aku bisa melihat kaki para Mogadorian. Aku berenang ke

samping salah satu Mogadorian terjauh di sebelah kiri.

Kemudian, aku menjejakkan kakiku di dasar danau yang

berlumpur, lalu melompat keluar dari air. Mogadorian itu tak

sempat bereaksi saat aku melontarkannya ke tengah danau

dengan telekinesisku. Aku menerbangkan meriamnya ke

tanganku, menembaknya, dan jariku terus menempel di

pelatuk. Para Mogadorian di sepanjang danau itu meledak

jadi abu. Saat telah membunuh mereka semua, aku

mengacungkan meriam itu ke arah ratusan Mogadorian lain

yang ada di dekat kendaraan.

Air di belakangku bergerak. Aku terlalu lambat.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seekor kraul melompat dan membenamkan giginya ke

samping tubuhku. Sakitnya luar biasa, seakan seseorang

menempelkan besi cap yang membara ke tulang rusukku.

Hewan itu mengayunkanku ke dalam air dengan kepala

terlebih dahulu, lalu ke pasir di tepi danau. Aku menarik

napas dan berteriak saat hewan itu mengayunkanku kembali

ke dalam air. Aku yakin kematianku segera tiba, tapi tiba-tiba

mulut kraul itu melebar dan aku pun terlepas. Aku jatuh

tertelungkup di tepian dan memandang saat mulut kraul itu

terus melebar hingga akhirnya aku mendengar tulang

berderak patch. Gadis berambut hitam itu menampakkan

dirinya di depanku. Tangannya masih memegangi bibir

hewan itu. Gadis itu memandangku, lalu menyentakkan

rahang hewan itu hingga benar-benar lurus, membunuh si

kraul.

"Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu.

Aku mengangkat baju dan meletakkan tangan di

lukaku. "Sebentar lagi, aku akan baik-baik saja."

Dia menunduk menghindari tembakan meriam.

"Bagus. Kau nomor berapa?"

"Tujuh."

"Aku Enam," katanya sebelum kemudian menghilang.

Rasa dingin menyebar dari jariku ke seluruh tubuhku.

Namun, aku tabu aku tak bisa menyembuhkan diriku

sepenuhnya sebelum para prajurit Mogadorian mencapai

tempatku berada. Aku berguling ke dalam danau dan

berdiam di bawah air. Lukaku hampir sembuh saat aku naik

ke permukaan.

Nomor Enam berdiri di atas salah satu Humvee

bersenjata sambil memegang pedang bersinar. Dia bertarung

melawan beberapa prajurit sekaligus: menebas anggota

tubuh, menahan tembakan meriam dengan pedangnya,

menggunakan telekinesis untuk mengarahkan sebuah

meriam yang melayang di atas kepalanya dan menembaki

puluhan Mogadorian. Lalu, dia melemparkan pedangnya ke

kerumunan Mogadorian dan menusuk tiga prajurit sekaligus.

Nomor Enam meraih senjata besar yang ada di atas

kendaraan itu dan membantai puluhan Mogadorian dalam

sekejap.

Tinggal dua puluh atau tiga puluh prajurit lagi dan

sekitar empat kraul. Nomor Enam mengangkat satu

tangannya, sementara tangan yang lain menembakkan

senjata dan menghancurkan Humvee di sepanjang tepian.

Awan hitam terbentuk di atas pegunungan dan kilat

menyambar membelah tanah di dekatnya. Untuk pertama

kalinya, para Mogadorian tampak takut. Aku memandang

sebagian dari mereka menjatuhkan senjata dan berlari ke

hutan.

"Keluar dari air!" teriakku, takut dengan petir itu. Ella

menyeret Hector ke tepi danau dan Crayton mengikuti.

Aku tiba di tepi danau, di dekat Nomor Enam, lalu

mengambil dua meriam. Aku berusaha keras untuk tetap

berdiri saat menekan pelatuknya, mengubah banyak prajurit

jadi abu dan menghancurkan dua kraul. Satu prajurit yang

bersembunyi di balik Humvee, yang sudah hancur,

melemparkan granat ke belakang Nomor Enam, tapi aku

berhasil menembaknya di udara. Ledakannya menyebabkan

Nomor Enam dan juga senjata yang dia pegang berputar.

Sekejap saja prajurit itu hanya tinggal abu.

Aku tak bisa melepaskan pandangan dari Nomor

Enam. Kekuatannya memukau. Liontin biru berayunayun saat

pistol di tangannya yang satu menghantam begitu banyak

prajurit. Dia berputar ke kiri dan meledakkan kraul menjadi

serpihan. Kemudian, dia berputar ke kanan dan membantai

habis sejumlah Mogadorian dengan kilat.

Lembah itu terang dan berasap. Lembap dan gosong.

Aku memandang sekeliling, tak percaya sebentar lagi kami

meraih kemenangan. Crayton berlari menghampiri dan aku

melemparkan salah satu pistolku ke arahnya. Dia langsung

membunuhi prajurit yang melarikan din ke hutan. Hector

berlari sambil membawa Petiku. Segera saja dia dan Ella

berdiri di belakangku. Aku mengangguk ke arah Nomor Enam

dan tersenyum ke arah teman-temanku, berpikir keadaan

paling buruk sudah berlalu. Namun, kemudian Ella

mendongak dan wajahnya memucat.

"Piken!" teriak Ella.

Empat monster bertanduk berlari menuruni lereng

gunung dengan kecepatan penuh. Tepat di bawah mereka,

Nomor Enam sibuk membantai sisa prajurit dan kraul. Aku

mencabut pohon cemara sebanyak mungkin dan

meluncurkan pohon-pohon itu bagai roket. Empat pohon

cemara menghantam piken paling depan, membuatnya

terjungkal ke belakang ke jalur tiga piken lainnya, sehingga

dia mati terinjak-injak.

"Nomor Enam!" teriakku. Dia mendengarku. Aku

menunjuk ke arah para piken yang berlari turun menuju

lembah. Nomor Enam memutar pistol dan meledakkan lutut

monster yang sebelah kiri. Hewan itu berguling turun dengan

cepat meninggalkan dua piken lainnya. Nomor Enam

melompat dari Humvee tepat sebelum piken yang terguling

dari atas meratakan kendaraan itu, diiringi bunyi berderak

keras.

Aku dan Crayton menembakkan meriam kami ke dua

piken lainnya. Namun, mereka terlalu cepat dan berpencar

saat tiba di dasar lembah. Awan meraung saat Nomor Enam

berdiri. Satu kilat besar menyambar salah satu piken,

memenggal tangannya. Hewan itu melenguh dan jatuh

berlutut. Namun dengan cepat, hewan itu kembali berdiri

dan menyerbu dengan darah menyembur dari samping.

Piken yang lain menghindari tembakan Crayton dan berlari

menyerbu dari arah lain. Kami semua berlari ke arah Nomor

Enam. Namun, Hector yang membawa Petiku terlalu lambat.

Piken itu mendekat. Sebelum sempat membantu, monster

bertangan satu meraih dan merenggut Hector serta Petiku.

"Tidak!" aku menjerit. "Hector!"

Aku begitu kaget sehingga saat piken itu

melemparkan tubuh Hector yang tak bernyawa serta Petiku

ke danau, aku tak menggunakan telekinesisku untuk

menahan keduanya agar tak tenggelam.

Nomor Enam sudah membunuh piken yang satu lagi.

Dia menoleh ke arah kami dan mengangkat kedua tangannya

ke langit. Kilat menyambar dan memenggal kepala monster

itu.

Dan untuk pertama kalinya sepanjang hari ini,

keadaan begitu tenang. Aku bersandar kepada Nomor Enam,

memandang Ella dan Crayton serta kebakaran dan

kehancuran di belakang mereka. Aku tabu aku akan jarang

sekali mendapatkan ketenangan semacam ini.

"Petimu, Marina," kata Crayton. "Kau harus

mengambilnya."

Aku memandang Nomor Enam dan memeluknya.

"Terima kasih. Terima kasih, Nomor Enam."

"Aku yakin kita bakal punya kesempatan untuk

melakukan itu lagi," katanya sambil merangkul bahuku. "Dan

panggil aku Enam."

"Aku Marina. Ini Crayton dan Ella. Dia Nomor

Sepuluh."

Ella melangkah maju dan menyusutkan tubuhnya

menjadi gadis tujuh tahun. Dia mengulurkan tangan kecilnya

ke arah Nomor Enam, yang ternganga tak bisa bicara.

Crayton mulai menjelaskan mengenai Ella dan

pesawat kedua saat aku berjalan ke dalam danau. Untuk

pertama kalinya, aku merasa danau itu dingin. Aku berenang

ke tengah, lalu menyelam dan terus turun hingga cahaya tak

lagi menembus air dan kakiku menyentuh lumpur di dasar

danau. Aku menjelajahi dasar danau itu hingga melihat

Petiku. Aku menggoyanggoyangkannya untuk melepaskan

Peti itu dari lumpur. Lalu, aku berenang ke permukaan

dengan satu tangan. Saat air berubah jadi biru, aku melihat

tubuh Hector dan mengalungkan lenganku yang satu lagi di

pinggangnya.

Ella dan Crayton berdiri bersama Nomor Enam di tepi

danau. Aku meletakkan Peti itu. Kemudian, aku

menamparkan tanganku yang basah ke tulang kering Hector,

lengan, leher, serta punggungnya yang hancur, berharap rasa

dingin muncul di jariku.

"Dia sudah meninggal," kata Crayton sambil menarik

bahuku.

Aku tak mau menyerah. Aku menyentuh wajah

Hector, dan membenci diriku karena tidak mencoba hal yang

sama kepada Adelina. Aku membelai rambutnya yang

beruban. Aku bahkan menerbangkannya beberapa

sentimeter dari pasir. Lalu, aku mengulang semua itu lagi.

Tapi benar. Hector sudah tiada.

33

AKU MELAYANG DI ATAS RUMPUT. AKU MENGAMBANG di

atas sungai. Tubuhku terasa mual dan kaku. Setiap kali

memberanikan diri untuk membuka mata, aku sedang

terlonjak di atas batang pohon atau meluncur di bukit

berbatu. Aku mendengar suara yang sama terusmenerus, dan

perlu beberapa menit untuk menyadari bahwa itu bunyi

derap kaki Bernie Kosar. Aku berbaring di punggungnya dan

kami bergerak cepat melintasi pegunungan.

"Sudah bangun?" tanya Nomor Sembilan. Aku

mengangkat kepala dan melihatnya duduk di belakangku.

Kedua Peti kami ada di tangannya.

"Entahlah," kataku sambil menutup mata. "Apa apa

yang terjadi?"

"Kau lari tepat ke benda biru itu. Seharusnya kau tak

melakukan itu, baik di Bumi, di Lorien, maupun di mana

pun." Dia terdengar jengkel, seakan aku baru saja

menyeretnya meninggalkan pesta ulang tahunnya.

"Setrakus Ra bagaimana?" tanyaku.

"Bersembunyi dalam gunung itu. Dasar pengecut!

Aku tak bisa menemukan jalan masuk lain. Dan aku sudah

mencari."

Aku memaksa diriku duduk dengan perasaan panik.

"Di mana Sam?"

"Lupakan saja, Empat. Temanmu itu sudah tiada atau

sekarang sedang tergantung terbalik dan menatap ujung

pisau yang salah."
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku muntah. Bernie Kosar langsung berlutut agar aku

bisa meluncur turun dari punggungnya. Kemudian, aku

muntah lagi. Nomor Sembilan berusaha menjelaskan bahwa

rasa mual itu akan segera hilang, bahwa dia sudah

mengalaminya beberapa kali saat mencoba kabur dari selnya,

bahwa batu penyembuh tampaknya tak berdaya melawan

efek perisai energi itu. Namun, aku tidak menyimak karena

terlalu puling membayangkan Sam disiksa. Rasa mualku

disebabkan oleh pengkhianatanku, bukan akibat perisai

energi Mogadorian. Aku rasa aku tak akan pernah bisa

memaafkan diriku sendiri. Akulah yang menyebabkan Sam

pergi ke sana, dan akulah yang menyebabkan dia tertinggal.

Aku mengkhianati sahabatku.

"Kita harus kembali," kataku. "Sam pasti akan kern
ball untukku."

"Tak mungkin. Bukan sekarang. Keadaanmu parah

sekali. Dan seperti yang kau bilang, kita butuh banyak orang."

Aku menegakkan diri, tapi langsung ambruk ke

tangan dan lututku. "Kau bahkan tak tahu di mana kita

berada."

"Kita beberapa kilometer dari mobilmu," jawab

Nomor Sembilan. Wajahku pasti tampak bingung karena dia

tersenyum dan menepuk punggung Bernie Kosar. "Siapa kira

ternyata aku bisa bicara dengan hewan? Bernie Kosar yang

memimpin jalan. Ayo!"

Aku terlalu lemah untuk membantah. Bernie Kosar

berderap secepat mungkin. Perutnya bergesekan dengan

pucuk semak-semak dan pohon yang ambruk saat membawa

kami melompati rintangan-rintangan itu. Tubuhku sakit dan

aku mencengkeram leher Bernie Kosar saat kami berzig-zag

menaiki dan menuruni bukit serta lembah dan melintasi dua

sungai deras. Bintang-bintang mulai bermunculan, tinggi di

langit sana. Aku tahu salah satunya, jauh di atas sana, adalah

matahari Lorien, memancarkan sinarnya yang terang ke

sebuah planet yang sedang berhibernasi.

"Jadi, apa rencana kita selanjutnya?" tanya Nomor

Sembilan saat kami berjalan di kegelapan.

Aku diam, memikirkan apa yang akan Henri katakan

mengenai langkah kami selanjutnya. Aku ingin tahu seperti

apa raut mukanya. Apakah wajahnya akan berbinar bangga

karena aku berhasil mengambil kernbali Peti,

menyelamatkan anggota Garde, dan membunuh begitu

banyak Mogadorian? Atau apakah dia akan kecewa karena

aku tidak membunuh pemimpin Mogadorian saat punya

kesempatan dan meninggalkan Sam?

Bayangan Sam yang terkurung di balik salah satu

pintu besi itu muncul setiap beberapa detik, dan aku melihat

air mataku meluricur ke leher Bernie Kosar. Aku benci

memikirkannya, tapi aku lebih suka Sam mati daripada

terpaksa menjalani siksaan demi informasi mengenai diriku.

Aku berusaha menyalahkan Sarah karena melaporkan

kami kepada polisi. Tapi yang bisa kusalahkan hanyalah diriku

sendiri karena menghubunginya walaupun semua orang

sudah melarangku. Aku tetap diam dan menekankan tumitku

ke bulu Bernie Kosar. Dia memperkencang larinya.

Nomor Enam ada di suatu tempat di Spanyol, semoga

dengan anggota Garde yang lain. Sebagian dari diriku ingin

naik pesawat dan menyusulnya. Namun, aku Baru saja kabur

dari penjara federal dan wajahku masih ada di Daftar

Penjahat Paling Dicari FBI, aku rasa itu tak mungkin

dilakukan.

Kami berhasil mencapai mobil. Tubuhku terasa sakit

saat turun dari punggung Bernie Kosar. Aku membuka pintu

belakang dan Nomor Sembilan memasukkan kedua Peti Loric

ke dalam bagasi tanpa bersuara. Aku merangkak naik ke kursi

belakang, muak dengan diriku sendiri. Aku bertanya apakah

Nomor Sembilan mau menyetir.

"Aku memang berharap kau bertanya," jawab Nomor

Sembilan. Aku memberikan kuncinya dan merasakan mesin

menyala.

Ada sesuatu di bawah badanku. Aku bergeser dan

menemukan kacamata ayah Sam. Aku memegangnya di atas

kepalaku, membiarkan bulan terpantul di lensanya. Aku

menarik napas dalam dan berbisik, "Kita akan segera

bertemu, Sam. Aku janji." Lalu, saat kupikir keadaan tak

mungkin jadi lebih buruk lagi, aku tersentak saat teringat

sesuatu yang lebih buruk lagi. "Sial! Alamat tempat

pertemuan dari Nomor Enam ada di saku Sam. Aku bodoh

sekali! Sekarang, bagaimana cara kita saling bertemu?"

Nomor Sembilan menoleh ke belakang dan berkata,

"Jangan cemas, Empat. Semua terjadi karena suatu alasan.

Jika kita memang harus bertemu dengan Nomor Enam atau

Nomor Lima, atau siapa pun, kita pasti bertemu. Dan jika Sam

masih menjadi bagian dari semua ini, dia juga akan datang."

Bernie Kosar melompat ke kursi belakang dengan

wujud anjing dan menjilati pipiku. Aku menepuk kepalanya

dan menghela napas panjang, sama sekali tak percaya bahwa

setelah segala sesuatu yang kacau selama empat puluh

delapan jam terakhir ini, aku juga menghilangkan alamat

yang Nomor Enam tulis. Aku memandang ke luar jendela dan

melihat angin bertiup ke utara. Aku bertanya-tanya apakah

angin itu menyampaikan sesuatu kepadaku, atau setidaknya

menunjukkan kepadaku arah yang benar seperti yang

diyakini Nomor Enam.

"Ke utara," kataku. "Kurasa utara bagus."

"Oke, Bos." Nomor Sembilan menginjak pedal gas

dan aku memandang Bernie Kosar, yang sudah bergelung dan

tidur. Kami menguburkan tubuh Hector di dasar bendungan,

di tempat beton putih bertemu rumput.

"Dia pernah bilang bahwa kunci perubahan itu adalah

melepaskan rasa takut," kataku sambil memandang mata

Ella, Crayton, dan Nomor Enam. "Aku tak tahu apakah aku

sudah melepaskan rasa takut, tapi perubahan sedang terjadi.

Perubahan benar-benar terjadi. Dan kuharap kalian semua

mau membantuku melewatinya."

"Kita satu tim," kata Ella. "Tentu saja, kami akan

membantu."

Setelah mengucapkan selamat jalan, kami memanjat

tangga bendungan. Kami berdiri di atas bendungan dan

memandang ke lembah serta danau. Di ujung lain bendungan

ada serangkaian kunci yang menahan danau yang lebih besar.

Aku tak bisa menahan diri dan berpikir itu suatu metafora

dari yang kurasakan saat ini. Di hadapanku terbentanglah

masa laluku?tampak kecil, jauh, dan dihiasi pembantaian?

yang bisa terkena banjir kapan pun. Di belakangku serta para

anggota Garde, terdapat masa depan besar yang ditahan oleh

kekuatan tidak alami.

Aku berpaling ke arah Nomor Enam dan bertanya,

"Kau tahu John Smith di Ohio? Apakah dia salah satu dari

kita?"

Dia tersenyum lebar. "Aku kenal John. Dia Nomor

Empat."

Aku meraih tangan Ella dengan tangan kananku dan

Nomor Enam dengan tangan kiriku. Kami berdiri,

membiarkan angin gunung meniup rambut kami. Ella

memandang Nomor Enam dan bertanya, "Bisakah kita ke

Amerika?"

"Mantra pelindungnya sudah terpatahkan. Aku rasa

tak ada lagi yang menghalangi kita untuk berkumpul," kata

Nomor Enam sambil mengedikkan bahu, lalu berbalik dan

memandang danau yang ada di bawah.

Crayton bergabung. "Aku tak suka mengatakan ini,

tapi ini hanya keadaan tenang sebelum badai kembali

mengguncang. Kita memenangkan terlalu banyak

pertempuran sehingga para Mogadorian tak akan lagi

meremehkan kita. Kalian semakin kuat, dan mereka akan

mengerahkan seluruh kekuatan yang mereka miliki. Mereka

tak akan lagi mengirimkan pasukan kecil dengan beberapa

ratus prajurit serta sejumlah hewan yang canggung. Sebentar

lagi, pemimpin mereka akan datang. Setrakus Ra."

"Siapa?" tanyaku.

"Setrakus Ra." Crayton menggelengkan kepala. "Dan

kurasa kita belum siap menghadapinya."

"Kalau begitu," kataku, "kita pergi ke Ohio untuk

bergabung dengan John Smith."

"West Virginia. Dalam dua minggu," kata Nomor

Enam.

"Aku tak yakin itu bijaksana." Crayton mulai

melangkah pergi. "Kita harus mengumpulkan yang lain."

Nomor Enam berjalan menyusulnya. "Itu rencana

yang bagus, tapi aku tak tahu di mana mereka berada."

"Aku tahu," kata Crayton tanpa menoleh. "Aku juga

tahu di mana Chimmra kami berada. Jika Setrakus Ra pikir ini

bakal mudah, dia akan menyesal."

Kami mengikutinya. Langkah kaki pertama dari

perjalanan panjang ke seberang bendungan.

THE LOST FILES: SIX?S LEGACY

PITTACUS LORE

Penerbit: Mizan Fantasi

I AM NUMBER FOUR THE LOST FILES:

SIX'S LEGACY THE POWER OF SIX

Diterjemahkan dari The Lost Files: Six's Legacy the Power of

Six

Karya Pittacus Lore

Terbitan HarperCollins

Children's Books, a division of HarperCollins Publishers,

10East 53rd Street, New York, NY 10022

Copyright ? 2011 by Pittacus Lore

Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada

Penerbit Mizan Fantasi

Penerjemah: Esti A. Budihabsari

Proofreader: Wiwien Widyawanti

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved Cetakan 1, November 2011

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan Fantasi

PT Mizan Pustaka

Anggota IKAPI

Jln. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan),

Ujungberung, Bandung 40294

Telp. (022) 7834310 ? Faks. (022) 7834311

e-mail: kronik@mizan.com
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://www.mizan.com

facebook: Mizan Fantasy

twitter: @mizanfantasi

Desain sampul: Abiyoga ISBN 978-979-433-671-7

Didistribusikan oleh

Mizan Media Utama (MMU)

Jln. Cinambo No. 146 (Cisaranten Wetan),

Ujungberung, Bandung 40294

Telp. (022) 7815500 ? Faks. (022) 7802288

e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id

Perwakilan: Jakarta (021) 7874455;

Surabaya (031) 60050079, 8281857;

Makassar (0411) 873655

BAB 1

KATARINA BILANG ADA LEBIH DARI SATU CARA untuk

sembunyi. Sebelum kami datang ke Meksiko, kami tinggal di

pinggiran Denver. Namaku saat itu adalah Sheila, nama yang

lebih kubenci daripada namaku sekarang, Kelly. Kami tinggal

di Denver selama dua tahun. Aku mengenakan topi baret dan

gelang karet pink, seperti semua gadis di sekolahku. Aku

pernah menginap di rumah beberapa anak dari sekolahku,

gadis-gadis yang kusebut "temanku". Aku pergi sekolah dan

di musim panas aku pergi ke kamp berenang di YMCA. Aku

suka teman-temanku, dan kehidupan kami di Denver

lumayan menyenangkan. Tetapi Cepanku, Katarina, sudah

cukup sering membawaku berpindahpindah sehingga aku

tahu bahwa kehidupan kami ini tak akan permanen. Aku tahu

ini bukanlah hidupku yang sebenarnya.

Kehidupanku yang sebenarnya berlangsung di ruang

bawah tanah kami, tempat Katarina dan aku melatih

kemampuan bertarung. Di siang hari, ruang bawah tanah itu

tampak seperti ruang rekreasi biasa, dengan sofa besar yang

nyaman, TV di salah satu pojokan dan meja pingpong. Malam

hari, ruangan itu berubah menjadi ruang latihan bertarung,

lengkap dengan sansak, matras, senjata, bahkan juga palang

kuda-kuda.

Di muka umum, Katarina mengaku sebagai ibuku, dan

mengatakan bahwa "suaminya" atau "ayahku" tewas dalam

kecelakaan saat aku masih bayi. Nama kami, hidup kami, dan

kisah kami semuanya adalah karangan. Hanya identitas yang

menjadi tabir persembunyian kami. Tapi setidaknya,

identitas-identitas palsu itu memungkinkan kami hidup

bersama orang lain, bermasyarakat. Bersikap normal.

Membaur: itu adalah salah satu cara bersembunyi juga.

Namun, kami terpeleset. Hingga sekarang, aku masih

ingat percakapan kami saat berkendara dari Denver menuju

Meksiko. Hanya karena kami berdua belum pernah ke sana.

Saat itu, kami berdua mencoba memahami bagaimana bisa

samaran kami terkuak. Ternyata, sesuatu yang kukatakan

kepada temanku, Eliza, bertentangan dengan apa yang

dikatakan Katarina kepada ibu Eliza. Sebelum di Denver, kami

tinggal di Nova Scotia yang saat itu mengalami musim yang

sangat dingin, tapi yang kuingat adalah untuk "kisah kami",

kisah yang kami karang bersama, harusnya aku mengatakan

bahwa kami tinggal di Boston sebelum pindah ke Denver.

Tetapi, ingatan Katarina lain lagi dan dia mengatakan bahwa

kami tinggal di Tallahassee sebelum di Denver. Lalu, Eliza

mengatakan kepada ibunya, dan saat itulah orang mulai

curiga.

Sebenarnya, terbongkarnya samaran kami bukanlah

sebuah malapetaka. Kami tak percaya bahwa kesalahan kami

tersebut akan menimbulkan kecurigaan yang bisa menarik

perhatian kaum Mogadorian ke lokasi kami tinggal. Tapi,

kehidupan kami jadi tak nyaman, dan Katarina merasa bahwa

kami sudah tinggal di Denver lumayan lama, dan kami perlu

pindah lagi.

Matahari bersinar terik di Puerto Blanco, udara sangat

kering. Katarina dan aku tak berusaha berbaur dengan

penduduk, para petani Meksiko dan anak-anak mereka.

Kontak kami dengan mereka hanya sekali seminggu saat kami

pergi ke kota untuk berbelanja kebutuhan pokok di toko kecil

di sana. Kami satu-satunya orang kulit putih di daerah itu,

dan meskipun kami berdua lancar berbahasa Spanyol, tak

mungkin orang akan salah mengira bahwa kami adalah orang

asli Meksiko. Bagi para tetangga kami adalah gringas, kulit

putih penyendiri yang aneh.

"Kadang kau bisa bersembunyi dengan menjadi

berbeda," kata Katarina.

Rupanya dia benar. Hampir setahun kami di sini dan

tak sekali pun kami diganggu. Kami tinggal menyendiri di

sebuah rumah pertanian di antara dua ladang luas. Kami

bangun saat fajar, dan sebelum sarapan ataupun mandi,

Katarina menyuruhku berlatih di halaman belakang: lari naik

turun bukit, senam peregangan, dan tai chi. Kami

memanfaatkan cuaca pagi hari yang sejuk.

Latihan pagi diikuti dengan sarapan ringan, lalu tiga

jam belajar: bahasa, sejarah dunia, dan apa pun yang bisa

didapatkan Katarina dari internet. Dia bilang metode

mengajarnya dan pelajaran yang dipilihnya adalah "eclectic".

Aku tak tahu apa artinya, tapi aku senang karena bahan

pelajaran kami sangat bervariasi.

Katarina adalah wanita yang tenang dan serius.

Meskipun dia adalah orang terdekat yang bisa kusebut ibu,

Katarina sangat berbeda dariku. Dia paling suka saat jam

belajar, sedangkan saat-saat favoritku adalah ketika kami

berlatih.

Setelah belajar, kami keluar ke udara yang terik, yang

panasnya membuatku pusing sehingga aku nyaris

berhalusinasi berhadapan dengan musuh. Aku berlatih

bertarung dengan boneka jerami: memanah mereka,

menikam, atau meninju mereka dengan tangan kosong.

Setengah buta karena silau oleh cahaya matahari, aku

membayangkan boneka jerami itu adalah Mogadorian, dan

aku bersukacita merobek-robek tubuh mereka. Katarina

bilang, meskipun umurku baru tiga belas, aku sangat tangkas

dan kuat sehingga aku dengan mudah bisa mengalahkan

orang dewasa yang terlatih.

Salah satu hal yang menyenangkan ketika tinggal di

Puerto Blanco adalah aku tak harus menyembunyikan

keahlianku. Di Denver, aku harus selalu menahan diri, baik

saat berenang di kamp YMCA maupun sekadar bermain. Aku

harus selalu waspada agar kekuatan dan kecepatan superku

hasil latihan bersama Katarina tidak diketahui. Di sini, kami

tinggal menyendiri, jauh dari mata orang lain sehingga aku

tak perlu sembunyi.

Hari ini Minggu, jadi latihan siang kami lebih pendek,

hanya sejam. Aku berlatih tinju bayangan bersama Katarina

di halaman belakang, dan aku bisa merasakan bahwa dia

sudah tak sabar untuk berhenti, gerakannya hanya setengah

hati. Mata Katarina menyipit menahan sinar matahari dan dia

terlihat lelah. Aku suka berlatih dan tak keberatan berlatih

seharian. Tapi melihat kondisi Katarina, aku mengusulkan

kami berhenti latihan lebih cepat.

"Oh, kurasa kita bisa saja berhenti lebih cepat,"

katanya. Aku tersenyum diam-diam, membiarkan Katarina

mengira akulah yang lelah.

Kami masuk ke rumah dan Katarina menuangkan dua

gelas agua fresca, hidangan istimewa kami tiap Minggu. Kipas

angin menyala dengan kecepatan penuh di ruang tamu kami

yang sederhana. Katarina menyalakan komputer
komputernya, sementara aku melepas sepatu botku yang

kotor dan penuh keringat, serta menjatuhkan diri ke lantai.

Aku meregangkan lengan agar tidak kram, lalu mengayunkan

salah satu tanganku ke rak buku di pojok ruangan untuk

mengambil setumpuk kotak mainan yang kami simpan di

sana; Risk, Stratego, dan Othello. Katarina pernah mencoba

mengajakku bermain permainan seperti Life dan Monopoly,

dengan alasan bahwa tak ada salahnya mencoba "hal baru".

Tapi, permainan semacam itu tak pernah menarik hatiku dan

Katarina menyadarinya. Sekarang, kami hanya memainkan

permainan pertempuran dan strategi.

Risk adalah permainan favoritku. Permainan strategi

perang dengan peta dunia ini menarik karena pemainnya

harus memikirkan strategi terbaik agar bisa mengalahkan

lawan dan mendominasi dunia. Mumpung kami selesai lebih

awal hari ini, kurasa Katarina akan mau bermain meskipun

Risk butuh waktu bermain lebih lama daripada permainan

yang lain.

"Risk?"

Katarina sedang duduk di mejanya, memperhatikan

beberapa monitor komputer bergantian.

"Risiko apa?" tanyanya.

Aku tertawa, lalu menggoyangkan kotak permainan

di dekat kepalanya. Dia tak mengalihkan pandangan dari

monitor, tetapi suara bidak yang berguncang di dalam kotak

sudah cukup baginya untuk memahami maksudku.

"Oh," katanya. "Oke."

Aku menyiapkan papan permainan. Tanpa diminta,

aku memisahkan bidak menjadi dua pasukan, pasukanku dan

pasukan Katarina. Lalu, menempatkan semuanya di peta

papan permainan. Kami sangat sering memainkan permainan

ini sehingga aku tak perlu lagi menanyakan negara mana saja

yang dia inginkan atau wilayah mana yang ingin dia perkuat

pertahanannya. Dia selalu memilih Amerika Serikat dan Asia.

Dengan senang, aku meletakkan pasukan Katarina di

tempatnya, karena tahu pasti dari wilayahku yang lebih

mudah dipertahankan, aku akan bisa mengumpulkan

pasukan cukup kuat untuk mengalahkan pasukannya.

Aku sangat asyik menata permainan sehingga tidak

menyadari Katarina yang diam terpaku menatap monitor.

Baru ketika aku meregangkan leher hingga berbunyi dan dia

tidak menegurku seperti biasanya, aku mengangkat kepala

dan menoleh kepadanya. Karena saat aku membunyikan

leher, biasanya Katarina akan bilang, "Hentikan." Namun, kali

ini Katarina seakan tak mendengarnya, matanya terpaku ke

monitor komputer.

"Kat?" tanyaku.

Dia diam saja.

Aku berdiri, melangkahi papan permainan dan

mendekatinya. Barulah aku melihat apa yang membuatnya

terpaku. Sebuah breaking news tentang ledakan sebuah bus
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di Inggris.

Aku mengerang.

Katarina selalu mengecek internet dan mencari

berita tentang kematian misterius. Kematian yang mungkin

diakibatkan oleh Mogadorian. Kematian yang mungkin

berarti bahwa anggota Garde kedua telah dikalahkan. Dia

melakukan kebiasaan itu sejak kami tiba di Bumi, dan aku

muak oleh nuansa kengerian dan kemurungan dari

kebiasaannya itu. Lagi pula, membaca berita dan mengecek

internet tak akan banyak bedanya bagi kami. Seperti saat

kematian pertama terjadi.

Saat itu aku baru berumur sembilan tahun, tinggal di

Nova Scotia bersama Katarina. Loteng rumah menjadi ruang

latihan kami. Katarina sudah berhenti latihan hari itu, tapi

aku masih punya energi dan sedang berlatih di palang kuda
kuda ketika tiba-tiba rasa sakit yang luar biasa panas

membakar pergelangan kakiku. Aku kehilangan

keseimbangan dan terjatuh ke matras, mencengkeram

pergelangan kakiku dan menjerit kesakitan.

Luka pertamaku. Itu artinya, Mogadorian telah

membunuh Nomor Satu, Garde yang pertama. Dan kebiasaan

Katarina mengecek internet dan berita tak bisa

mencegahnya. Kejadian hari itu benar-benar mengejutkan

kami.

Berminggu-minggu setelahnya, kami tegang

menunggu perkembangan situasi, menunggu adanya

kematian kedua dan luka kedua, sembari siap untuk lari

kapan saja. Tapi, luka kedua tak kunjung muncul. Kurasa

Katarina masih tetap tegang, waspada, dan siap lari kapan

saja. Tiga tahun pun telah berlalu?nyaris seperempat

umurku?dan aku tak lagi terlalu memikirkan peristiwa itu.

Aku melangkah di antara dia dan monitor komputer.

"Sekarang Minggu. Waktunya permainan."

"Tolonglah, Kelly." Dia mengatakan nama samaranku

dengan kaku. Aku tahu aku akan selalu menjadi Nomor Enam

baginya. Di hatiku juga begitu. Namanama samaran yang

kugunakan hanyalah cangkang, bukan diriku sebenarnya. Aku

yakin, di Lorien aku punya nama, nama sebenarnya, bukan

sekadar nomor. Tapi itu masa dulu sekali, dan sejak itu, aku

punya begitu banyak nama sehingga aku tak bisa lagi

mengingat namaku yang sebenarnya.

Enam adalah namaku sebenarnya. Enam adalah

diriku.

Katarina mendorongku minggir, tak sabar ingin

membaca lebih terperinci.

Kami sering kehilangan kesempatan memainkan

permainan karena berita-berita seperti ini. Dan berita-berita

itu, ternyata tak pernah berhubungan dengan kami. Berita
berita itu hanya tragedi biasa.

Bumi, kurasa, tak pernah kekurangan tragedi. "Nggak.

Itu cuma kecelakaan bus. Ayo, kita main saja." Aku menarik

lengan Katarina, berusaha membuatnya agar bersikap lebih

santai. Dia terlihat lelah dan cemas, dia butuh istirahat.

Namun, Katarina menolak. "Itu ledakan bus. Dan

rupanya," katanya, menjauh dariku agar bisa terus membaca

berita di layar komputer, "konflik masih terus berlangsung."

"Konflik selalu berlangsung," kataku, memutar mata.

"Ayolah."

Katarina menggeleng, sambil tertawa gugup.

"Baiklah," katanya. "Baik."

Katarina menjauh dari monitor komputer, dan duduk

di lantai di dekat papan permainan. Aku berusaha sekuat

tenaga untuk tidak tersenyum puas. Aku selalu menang saat

main Risk.

Aku mulai berlutut di sebelahnya.

"Kau benar, Kelly," katanya, berusaha tersenyum.

"Aku tak perlu panik setiap ada kejadian kecil?"

Salah satu layar komputer Katarina mengeluarkan

bunyi ding! Salah satu alarmnya. Komputer-komputer

Katarina diprogram untuk memindai laporan berita, posting

blog, bahkan perubahan cuaca global yang tak biasa?

semuanya untuk mencari berita tentang Garde.

"Oh, ayolah," kataku.

Namun, Katarina sudah berdiri dan kembali ke meja,

memegang mouse dan mengklik berbagai link lagi.

"Baiklah," kataku kesal. "Tapi aku tak akan memberi

ampun saat permainan dimulai."

Tiba-tiba saja Katarina diam, terpaku oleh sesuatu

yang dia temukan. Aku berdiri dan melangkahi papan

permainan, mendekat ke monitor. Menatap layar.

Tidak seperti yang kubayangkan, layar komputer

tidak menayangkan laporan berita dari Inggris. Di layar

terpampang sebuah posting blog anonim. Hanya dua kalimat

yang mencekam, menghantui:

"Sembilan, sekarang delapan. Apa kalian ada di

sana?"

BAB 2

PANGGILAN DARI BELANTARA, DARI SEORANG anggota

Garde. Seorang gadis atau anak lelaki, seusiaku, mencari

kami. Aku langsung merebut keyboard dari Katarina dan

mengetikkan respons di kotak komentar. "YA! KAMI DI SINI!"

Katarina menepis tanganku sebelum aku bisa

menekan. "Enam!"

Aku mundur, malu oleh kelancanganku,

ketergesaanku.

"Kita harus berhati-hati. Kaum Mogadorian sedang

memburu. Mereka sudah membunuh Nomor Satu, mungkin

saja mereka sudah melacak jejak ke Nomor Dua, Tiga?"

"Tapi mereka sendirian!" tukasku. Kalimat itu

terlontar begitu saja sebelum aku sempat berpikir.

Aku tak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa tahu

ini. Ini hanya sebuah firasat. Jika anggota Garde yang satu ini

cukup putus asa untuk mem-posting panggilan itu di

Internet, untuk mencari yang lain, Cepannya pasti sudah

tewas. Aku membayangkan kepanikannya, ketakutannya.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya apabila aku

kehilangan Katarina, ditinggal sendirian. Menghadapi

semuanya tanpa Katarina? Sungguh tak terbayangkan!

"Bagaimana kalau itu benar Nomor Dua? Bagaimana

kalau dia ada di Inggris, Mogadorian mengejarnya, dan dia

meminta bantuan?"

Padahal baru beberapa menit lalu, aku

menyepelekan obsesi Katarina pada berita. Tapi ini berbeda.

Ini adalah benang merah yang mungkin menghubungkan aku

dengan seseorang sepertiku. Dan sekarang, aku tak sabar

untuk membantunya, menjawab panggilannya.

"Mungkin waktunya sudah tiba," kataku dengan tinju

tergenggam.

"Waktu?" Katarina ketakutan dan bingung. "Waktu

untuk melawan!"

Katarina tertunduk, kedua tangannya menangkup

kepala dan dia tertawa.

Saat tertekan, Katarina kadang bereaksi seperti ini;

dia tertawa saat harusnya dia bersikap tegas, dan malah jadi

serius saat harusnya dia tertawa.

Katarina mengangkat kepala dan aku menyadari

bahwa dia tidak menertawaiku. Dia hanya gugup dan

bingung.

"Pusakamu bahkan belum muncul!" protesnya.

"Bagaimana mungkin kita memulai perang sekarang?" Dia

berdiri, menggelengkan kepala.

"Tidak. Kita belum siap bertempur. Kita tak akan

bertempur sebelum kekuatan Pusakamu muncul. Kita harus

tetap bersembunyi sampai para Garde siap."

"Kaiau begitu, kita harus mengirim pesan kepada

gadis ini."

"Gadis? Dari mana kau tahu dia perempuan? Dia bisa

saja bukan siapa-siapa. Hanya orang iseng menggunakan

kalimat yang kebetulan menyalakan alarmku."

"Aku tahu dia salah satu dari kita," kataku menatap

lurus Katarina. "Dan kau juga tahu."

Katarina mengangguk, mengaku kalah.

"Hanya satu pesan. Untuk memberi tahu bahwa dia

tidak sendirian. Memberi gadis itu harapan." "?Gadis' lagi,"

tawa Katarina, nyaris sedih.

Kurasa dia memang perempuan karena aku

membayangkan siapa pun yang menulis pesan itu, dia pasti

sepertiku. Versi diriku yang lebih kesepian dan ketakutan?

karena Cepannya sudah tiada.

"Oke," kata Katarina.

Lalu, aku melangkah ke depan komputer, jemariku di

atas keyboard. Kurasa pesan yang sudah kuketik "YA! KAMI DI

SINI!"?sudah cukup.

Aku menekan Enter.

Katarina menggelengkan kepala, merasa malu karena

telah membiarkanku bertindak semaunya. Sesaat kemudian,

dia langsung sibuk di depan komputer, menghapus semua

jejak lokasi dari transmisi kami di internet.

"Nah, kau merasa lebih baik?" tanyanya, mematikan

komputer.

Memang, sedikit. Mengetahui bahwa diriku baru saja

memberikan sedikit penghiburan kepada salah satu Garde,

membuatku merasa senang. Aku merasa benar-benar

menjadi bagian dalam sebuah perjuangan besar, bukan

hanya pertempuranku sendiri.

Namun, sebelum aku sempat menjawab, rasa sakit

menyambarku bagai petir Rasa sakit yang pernah kualami

sebelumnya; seakan lava panas merembes keluar dari

pergelangan kaki kananku. Kaki kananku terjulur dengan

sendirinya dan aku menjerit, berusaha mengurangi rasa sakit

dengan memegangi pergelangan kakiku. Lalu aku

melihatnya, kulit di pergelangan kakiku seakan mendidih,

mengeluarkan asap. Luka baru, luka keduaku, mengular di

sana.

"Katarina!" jeritku, meninju lantai kesakitan. Katarina

terpaku ngeri.

"Luka kedua," katanya. "Nomor Dua telah mati."

BAB 3

KATARINA BURU-BURU KE KERAN AIR, MENGISI teko dan

menuangkan isinya ke kakiku. Aku nyaris lumpuh karena

kesakitan, bibirku berdarah karena kugigit kuat-kuat. Air yang
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dituangkan Katarina meletup-letup saat mengenai

pergelangan kakiku yang terbakar, lalu mengalir membanjiri

papan permainan, menghanyutkan bidak-bidak pasukan yang

tadi kutata di lantai.

"Kau menang," kataku berusaha melucu.

Katarina tak tertawa mendengar gurauanku yang

lemah. Sebagai pelindungku, dia langsung berubah menjadi

Cepanku sepenuhnya: mengambil kotak obat pertolongan

pertama. Sebelum aku benar-benar tersadar, dia sudah

mengoleskan salep dingin ke lukaku, membebat, dan

memplesternya.

"Enam," katanya, matanya berkaca-kaca ketakutan

dan iba.

Aku terenyak?Katarina hanya menggunakan nama

asliku pada saat-saat kritis. Namun, kemudian aku menyadari

bahwa sekarang adalah saat kritis.

Bertahun-tahun berlalu sejak kematian Nomor Satu.

Tahun-tahun tanpa insiden sehingga mudah sekali

membayangkan bahwa peristiwa luka pertamaku hanyalah

kebetulan. Bahkan, kami sempat berharap bahwa Nomor

Satu mati karena kecelakaan. Bahwa kaum Mogadorian

belum berhasil melacak jejak kami.

Kini, ilusi itu menghilang. Kami tahu pasti sekarang.

Mogadorian telah menemukan Garde kedua dan

membunuhnya. Pesan Nomor Dua kepada kami, kepada

dunia, adalah hal terakhir yang dia lakukan. Kematian Nomor

Satu dan Dua yang mengenaskan, kini tercatat di kedua bekas

lukaku. Kami tahu bahwa dua kematian itu bukanlah

kebetulan. Penghitungan menuju akhir sudah benar-benar

dimulai.

Aku nyaris pingsan, tapi aku tetap berusaha sadar

dengan menggigit bibirku makin keras.

"Enam," kata Katarina, mengusap darah dari mulutku

dengan lap. "Rileks."

Aku menggeleng.

Tidak. Aku tak akan bisa rileks. Tak akan pernah.

Katarina berjuang keras untuk tetap tenang. Dia tak

ingin membuatku ketakutan. Tetapi, dia juga ingin

melakukan hal yang benar, memenuhi tanggung jawabnya

sebagai Cepan. Berbagai emosi pasti berkecamuk dalam

dirinya, mulai dari dorongan panik hingga kebutuhan untuk

tetap tenang; berusaha melakukan apa pun yang terbaik

bagiku dan bagi nasib Garde.

Dia merangkulku, mengusap keringat di alisku. Air

dan salep telah banyak mengurangi rasa sakit, tapi lukaku

masih nyeri seperti luka pertama, dan mungkin lebih buruk.

Aku tak mau mengeluh. Aku bisa melihat bahwa rasa sakitku,

dan bukti bahwa Nomor Dua telah tewas sudah cukup

menyiksa Katarina.

"Kita akan baik-baik saja," kata Katarina. "Masih

banyak yang lain ...."

Aku tahu dia hanya asal bicara. Dia tak bermaksud

menyelepekan nyawa para Garde sebelum aku?Tiga, Empat,

dan Lima. Dia hanya berusaha menenangkanku. Tetapi, aku

tak bisa menerimanya.

"Yeah. Menyenangkan sekali masih ada orang lain

yang harus mati sebelum aku."

"Bukan itu maksudku." Perkataanku telah melukai

hatinya.

Aku menghela napas, menyandarkan kepala ke

bahunya. Kadang, jauh di lubuk hatiku, aku menggunakan

nama yang berbeda untuk Katarina. Terkadang, dia bukan

Katarina atau Vicky, atau Celeste ataupun nama-nama

samarannya yang lain. Terkadang?dalam hati?aku

memanggilnya "Ibu".

BAB 4

SEJAM KEMUDIAN, KAMI SUDAN DI JALAN. KATARINA

mencengkeram kemudi truk kami melewati jalan pedesaan,

sembari merutuki diri sendiri karena memilih tempat

persembunyian yang terpencil. Jalanan pedesaan ini terlalu

rusak dan berdebu sehingga kami tak bisa berkendara lebih

dari enam puluh kilometer per jam, padahal yang kami

inginkan adalah pergi secepatnya. Apa pun akan kami

lakukan untuk segera menjauh dari rumah pertanian yang

selama ini kami tinggali. Katarina sudah berusaha

semaksimal mungkin meng. hapus jejak kami, tetapi apabila

apa yang kami bayangkan benar bahwa Mogadorian

membunuh Nomor Dua hanya beberapa detik setelah kami

membaca posting blog-nya, mereka pasti langsung bergerak

cepat dan berusaha menuju rumah yang baru saja kami

tinggalkan.

Sembari memandang ladang dan perbukitan yang

berkejaran di sisi jalan, aku menyadari bahwa kaum

Mogadorian mungkin saja sudah sampai di rumah pertanian

itu. Bahkan, mungkin saja mereka sekarang sedang

membuntuti kami. Seperti pengecut yang ketakutan, aku

menengok ke kaca belakang, ke debu yang beterbangan di

belakang truk kami. Tak ada mobil yang membuntuti.

Setidaknya belum.

Kami tak banyak membawa barang. Truk kami sudah

dilengkapi dengan kotak pertolongan pertama, peralatan

kemping, berbotol-botol air, senter, dan selimut. Begitu aku

bisa berjalan lagi setelah rasa sakit luka keduaku berkurang,

aku langsung mengambil beberapa lembar pakaian dan

Petiku dari kotak persembunyian di bawah lantai rumah.

Kepanikan karena harus segera lari tak memberiku

banyak waktu untuk merasakan sakit akibat luka keduaku.

Namun, rasa sakit itu kini kembali, berdenyut dan seakan

mencabik-cabik pergelangan kakiku.

"Harusnya tadi kita tidak menjawab," kata Katarina.

"Entah apa yang kita pikirkan tadi, menjawab seperti itu."

Aku menatap wajah Katarina, mencari tahu apakah

dia menyalahkanku?karena akulah yang mendesak agar

kami menjawab posting-an blog itu. Dan aku sangat lega saat

tak ada tanda-tanda Katarina menyalahkanku. Yang kulihat di

wajahnya hanyalah ketakutan dan tekadnya untuk

membawaku pergi sejauh mungkin.

Aku menyadari bahwa dalam kebingungan dan

ketergesaan, aku lupa memperhatikan apakah tadi kami

belok ke utara atau selatan di jembatan tepi Kota Puerto

Blanco.

"Amerika Serikat?" tanyaku.

Katarina mengangguk, mengeluarkan paspor terbaru

kami dari saku jaket Army-nya, dan melemparkan pasporku

ke pangkuanku. Aku membukanya dan membaca nama

baruku.

"Maren Elizabeth," bacaku keras-keras.

Katarina sangat teliti dalam menyiapkan

dokumendokumen palsu kami, meskipun aku biasanya

protes terhadap nama-nama yang dia pilihkan untukku. Saat

aku berusia delapan tahun dan kami pindah ke Nova Scotia,

aku memohon dan memohon agar dinamai Starla. Katarina

langsung menolaknya. Menurutnya, nama itu "terlalu

mencolok", terlalu eksotis. Aku nyaris tertawa kalau

mengingatnya sekarang. Nama Katarina di Meksiko sangatlah

eksotis. Dan tentu saja, dia akan mempertahankannya.

Katarina sudah terlalu suka dengan namanya. Kadang, kurasa

Cepan memang tak jauh berbeda dari orangtua.

Maren Elizabeth ... memang bukan Starla, tetapi aku

suka bunyinya.

Kuulurkan tangan ke bawah dan kuurut betisku, tepat

di atas luka yang berdenyut. Dengan menekan betisku, aku

bisa mengurangi rasa sakit di kulitku yang terbakar. Namun

dengan berkurangnya sakit, rasa takutku bertambah.

Ketakutan akan situasi yang kami hadapi sekarang, kengerian

akan kematian Nomor Dua. Kulepaskan tangan dari betisku

dan kubiarkan lukaku membara.

Katarina tak mau berhenti, kecuali untuk mengisi

bensin dan buang air kecil. Perjalanan kami panjang, tapi ada

banyak cara untuk menghabiskan waktu. Sering kali kami

bermain Shadow, bayangan. Permainan karangan Katarina

dalam perjalanan kami sebelumnya, didorong oleh keinginan

untuk terus berlatih meskipun kami tak bisa melakukan

latihan fisik.

"Seorang pelacak Mogadorian mengejarmu dari

posisi jam dua, menghunus pedang sepanjang setengah

meter di tangan kiri. Dia mengayunkan pedangnya." "Aku

merunduk," kataku. "Mengelak ke kiri." "Dia mengayunkan

pedangnya lagi, di atas kepalamu."

"Dari bawah, kutendang selangkangannya.

Tendangan rendah memutar dari sisi kanan ke kiri."

"Dia jatuh terlentang, tetapi mencengkeram

lenganmu."

"Kubiarkan dia. Akan kugunakan tenaga

cengkeramannya untuk melepaskan kakiku, kugerakkan ke

atas, lalu kuhantamkan kakiku ke mukanya. Kuinjak mukanya,

tanganku terlepas."

Itu adalah sebuah permainan yang aneh. Memaksaku

memisahkan fisik dari realitas, bertempur dengan otakku dan

bukan badanku. Aku dulu sering mengeluh dengan

permainan ini, beralasan bahwa ini semua hanyalah

karangan, tak nyata. Bertarung melibatkan tinju, kaki, dan

kepala. Bukan otak. Bukan kata-kata.

Namun semakin sering kami memainkan Shadow,

aku jadi semakin bagus saat latihan, terutama di latihan

tangan kosong bersama Katarina. Aku tak bisa menyangkal

bahwa permainan itu merupakan latihan yang bagus. Itu

membuatku jadi petarung yang lebih baik. Dan aku pun jadi

menyukainya.

"Aku lari," kataku.

"Terlambat," kata Katarina. Aku hampir protes, tahu

apa yang akan dia katakan. "Kau lupa pedangnya," katanya.

"Dia sudah mengayunkannya dan memotong pinggangmu."

"Tidak," kataku. "Aku membekukan pedangnya dan

pedang itu pecah berhamburan menjadi serpihan."

"Oh, yang benar saja?" Katarina terlihat lelah,

matanya merah karena menyetir sepuluh jam terus
menerus, tetapi aku bisa melihat kalau dia geli. "Aku pasti

terlewat pas bagian itu."

"Yeah," kataku, menahan senyum.

"Dan bagaimana kau bisa melakukan itu?"
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pusakaku. Baru saja muncul. Ternyata, aku bisa

membekukan benda-benda."

Ini semua hanya pura-pura. Pusakaku belum muncul,

dan aku tak tahu Pusaka apa saja yang akan kumiliki nanti.

"Itu tadi bagus," kata Katarina.

BAB 5

KAMI BERHASIL MENYEBERANGI PERBATASAN Amerika

Serikat berjam-jam lalu tanpa halangan. Aku tak pernah

mengerti bagaimana Katarina bisa membuat pemalsuan

identitas dengan luar biasa.

Katarina berhenti di sebuah tempat peristirahatan

berdebu di jalan raya. Ada sebuah motel kecil, restoran kuno

dan reyot, serta porn bensin yang terlihat lebih baru dan

cerah dibandingkan dua bangunan lainnya.

Fajar baru menyingsing saat kami keluar dari truk.

Segaris rona merah jambu terlihat di cakrawala, membiaskan

nuansa asing di kulit kami saat berjalan melewati lap angan

berkerikil.

Katarina mengumpat dan kembali ke truk. "Lupa isi

bensin," katanya. "Tunggu di sini."

Aku patuh, menatapnya mengundurkan truk dari

parkiran motel menuju pompa bensin. Kami sepakat untuk

beristirahat di motel ini sehari atau dua hari, untuk

memulihkan kondisi dari perjalanan berkendara tanpa henti

selama lima belas jam dan syok atas kejadian yang baru

terjadi. Meskipun kami akan menginap di sini beberapa hari,

tangki bensin harus tetap terisi penuh. Itu prinsip Katarina.

"Jangan pernah biarkan tangki bensin kosong,"

katanya. Kurasa dia mengatakan itu untuk mengingatkan

dirinya sendiri selain mengajariku. Itu prinsip yang bagus.

Kau tak akan pernah tahu kapan kau harus buru-buru pergi

secepatnya.

Aku memandang Katarina berhenti di pompa bensin

dan mulai mengisi bensin.

Kuamati sekeliling. Dari jendela depan restoran di

seberang lapangan parkir terlihat beberapa sopir truk tua

sedang makan. Di antara bau asap kendaraan dan bensin, aku

bisa mencium aroma sarapan.

Aku mungkin hanya berkhayal. Aku kelaparan.

Mulutku berliur saat memikirkan sarapan.

Aku berbalik membelakangi restoran, mencoba tidak

memikirkan makanan dan menatap kota di balik pagan

Rumah-rumah panggung dari kayu. Tempat yang usang dan

terpencil.

"Halo, Nona." Kaget, aku berputar dan melihat

seorang koboi jangkung beruban lewat. Butuh beberapa saat

bagiku untuk menyadari bahwa dia tidak mengajak ngobrol,

tapi hanya menyapa sopan sembari lewat. Dia mengangguk

dan melewatiku menuju restoran.

Jantungku berdegup kencang.

Rupanya aku sudah melupakan situasi di perjalanan.

Saat kami tinggal di suatu tempat, bahkan tempat terpencil

seperti Puerto Blanco, kami mengenal wajahwajah lokal.

Setidaknya, kami tahu siapa yang harus dipercaya. Aku belum

pernah melihat Mogadorian selama hidupku, tetapi Katarina

bilang sebagian besar Mogadorian kelihatan seperti orang

kebanyakan. Setelah apa yang terjadi kepada Nomor Satu

dan Dua, aku menjadi lebih waspada. Pemberhentian pinggir

jalan sangat berbahaya karena semua orang adalah orang

asing. Hanya orang-orang yang lewat. Bagi kami, itu berarti

siapa raja bisa jadi ancaman.

Katarina memarkir truk dan mendekatiku dengan

senyum cemas.

"Makan atau tidur?" tanyanya. Sebelum aku bisa

menjawab, dia mengangkat tangannya penuh harap.

"Aku pilih tidur."

"Aku pilih makan." Katarina langsung lesu mendengar

pilihanku. "Kau tahu makan lebih baik daripada tidur,"

kataku. "Selalu begitu." Itu adalah salah satu aturan kami di

jalan, dan Katarina langsung menerima pilihanku.

"Baiklah, Maren Elizabeth," katanya. "Tunjukkan

jalannya."

BAB 6

RESTORAN ITU BERBAU LEMAK. BELUM PUKUL enam pagi, tapi

hampir semua kursi sudah terisi, sebagian besar oleh para

sopir truk. Sambil menunggu pesanan kami, aku memandang

para pria itu menyuapkan sarapan mereka?sosis, bacon,

scrapple. Ketika akhirnya pesananku datang, aku langsung

melahapnya. Tiga pancake, empat daging bacon, hash, dan

satu gelas besar jus jeruk.

Setelah selesai, aku bersendawa keras, tetapi

Katarina terlalu lelah untuk mengomel atas sikap kurang

santunku.

"Bisa nggak ...?" tanyaku.

Katarina tertawa, sudah mengantisipasinya. "Masih

kuat?"

Aku mengangkat bahu. Dia mengangguk dan

memanggil pelayan. Dengan cengiran bersalah, aku

memesan setumpuk pancake lagi.

"Wah, wah," kata si pelayan, dengan tawanya yang

serak akibat rokok, "gadis kecilmu ini rupanya banyak makan

juga, ya." Si pelayan adalah wanita tua dengan wajah sangat

keriput dan keras sehingga orang bisa saja salah sangka dia

lelaki.

"Ya, Bu," kataku. Dan si pelayan pergi.

"Selera makanmu selalu membuatku kagum," kata

Katarina. Tetapi, dia tabu alasannya. Aku terus berlatih, dan

meskipun aku baru tiga belas tahun, otot-ototku sudah

seperti otot pesenam. Aku butuh banyak energi dan aku tak

malu dengan selera makanku.

Seorang pelanggan masuk ke restoran.

Aku memperhatikan para pelanggan lain menatapnya

curiga saat pelanggan itu berjalan menuju kursi di bagian

belakang. Mereka tadi juga memandangku dan Katarina

penuh curiga saat kami masuk. Kukira tadi tempat ini

lumayan terpencil dan hanya dipenuhi orang asing yang tak

saling kenal, tetapi rupanya ada beberapa orang asing yang

pantas dicurigai dan ada yang tidak. Katarina dan aku sudah

berusaha semaksimal mungkin memakai baju-baju yang

biasa dijual di mal Amerika; kaus dan celana pendek khaki.

Kini, aku menyadari kenapa kami terlihat mencolok?

rupanya definisi "biasa" berbeda di pedalaman Texas Barat.

Namun, orang asing yang baru saja masuk tadi lebih

susah ditebak. Sebagian gaya bajunya sudah mirip dengan

orang-orang di sini, dasi model Texas dengan hiasan tali kulit.

Dan seperti yang lain, dia mengenakan sepatu bot. Bajunya

seperti ketinggalan zaman, dan ada sesuatu yang

menakutkan tentang kumis tipisnya. Kumis itu awalnya

terlihat lurus, tapi semakin lama dilihat, kumis itu semakin

terlihat nggak benar.

"Menatap orang itu tidak sopan," tegur Katarina. "Aku

tidak menatap," bohongku. "Aku melihat, dengan rasa

tertarik."

Katarina tertawa. Dia lebih sering tertawa selama 24

jam terakhir dibandingkan selama berbulan-bulan

sebelumnya. Jelas, aku akan butuh waktu untuk

membiasakan diri dengan Katarina yang baru in Bukannya

aku keberatan, sih.

Aku meregangkan tubuh dengan nikmat di ranjang

motel, sementara Katarina mandi. Seprainya murahan, dari

polister atau rayon, tetapi aku sangat lelah sehingga seprai

itu terasa sehalus sutra.

Saat Katarina membuka selimut, ada serangga di

kasur. Itu membuatnya jijik, tetapi aku tak terganggu.

"Bunuh," kata Katarina sambil memejamkan mata.

"Itu kan, cuma serangga," tolakku.

"Bunuh!" mohonnya lagi.

Namun, aku hanya menyapunya ke lantai dan

melompat ke seprai yang dingin. "Nggak," kataku keras

kepala.

"Terserah," kata Katarina dan masuk ke kamar mandi.

Dia menyalakan keran, tetapi sesaat kemudian, dia keluar

dari kamar mandi. "Aku khawatir?" katanya.

"Tentang apa?" tanyaku.

"Aku khawatir bahwa aku tak melatihmu dengan

baik."

Aku memutar mata tak percaya. "Hanya karena aku

tak mau membunuh serangga?"

"Ya. Tidak, maksudku ... itu memang membuatku

berpikir. Kau harus belajar membunuh tanpa ragu. Aku

belum pernah mengajarimu memburu tikus, apalagi

Mogadorian ... kau belum pernah membunuh apa pun?"

Katarina terhenti, suara air mengalir di belakangnya.

Berpikir.

Aku bisa melihat bahwa dia lelah, tenggelam dalam

pikirannya. Kadang, Katarina memang seperti itu, terutama

setelah kami berlatih terlalu keras.

"Kat," kataku, "mandilah."

Katarina tersadar dari lamunannya. Renungannya

buyar. Dia terkekeh dan masuk ke kamar mandi. Menutup

pintu.

Sambil menunggunya selesai mandi, aku menyalakan

TV Penyewa kamar sebelumnya, rupanya menyalakan CNN

dan sekarang liputan dari helikopter tentang

"peristiwa" di Inggris memenuhi layar TV Aku

menonton cukup lama untuk tahu bahwa media ataupun

otoritas Inggris kebingungan memahami apa yang

sebenarnya terjadi kemarin. Aku terlalu lelah untuk

memikirkan ini, aku akan mencari tahu lagi nanti. Kumatikan

TV dan berbaring terlentang, tak sabar untuk tidur.

Tak lama kemudian, Katarina keluar dari kamar

mandi, memakai jubah mandi dan menyisir rambut. Aku

mengamatinya dengan mata setengah tertutup.

Terdengar ketukan di pintu.

Katarina menjatuhkan sisirnya ke meja rias.

"Siapa?" tanyanya.

"Manajer, Nona. Membawa handuk bersih."

Aku sangat kesal dengan gangguan itu?aku ingin

tidur dan sudah jelas bahwa kami tak butuh handuk bersih

karena kami baru saja masuk ke kamar inisehingga aku

langsung berdiri, tanpa berpikir.
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami tak butuh," kataku sambil membuka pintu.

Di belakangku, Katarina berkata, "Jangan?" Namun

terlambat, aku melihatnya berdiri di depanku. Pria berkumis

yang tadi!

Jerit tercekik di tenggorokanku saat pria itu

mendorongku masuk dan menutup pintu.

BAB 7

AKU LANGSUNG BEREAKSI TANPA BERPIKIR, mendorongnya

ke arah pintu, tetapi pria itu melemparku ke ranjang dengan

mudah. Otomatis aku mencengkeram dadaku, dan dengan

ngeri menyadari bahwa liontinku keluar dari balik kaus.

Terlihat jelas.

"Kalung yang indah," geram pria itu, pengenalan

berkilas di matanya.

Kalau tadi dia ragu tentang siapa diriku, kini dia tahu

pasti.

Katarina menyerbu, tetapi pria itu menghantamnya

keras. Katarina terjatuh menabrak TV, sikunya mengenai

tabung TV dan dia melorot ke lantai.

Pria itu menarik sesuatu dari pinggangnya, pedang

tipis panjang dan mengangkatnya cepat sekali sehingga aku

tak sempat berdiri. Yang kulihat hanyalah kilasan ayunan

pedang saat dia mengayunkannya, langsung ke otakku.

Kepalaku langsung dibanjiri oleh sensasi hangat dan

cahaya. Beginilah rupanya rasa kematian, pikirku.

Namun, tidak. Rasa sakit itu tak kunjung datang.

Aku mengangkat kepala?bagaimana mungkin aku

masih bisa melihat? pikirku. Aku sudah mati. Tapi aku

memang bisa melihat, dan menyadari bahwa dari ujung

kepala sampai ujung kaki, tubuhku berlumuran darah segar.

Pria berkumis itu lengannya masih terentang,

mulutnya membeku dalam teriakan kemenangan, tetapi

tengkoraknya pecah membuka, seakan-akan telah dibelah

dan darahnya tumpah mengalir ke lututku.

Aku mendengar lolongan Katarina?jeritan primitif

yang tak bisa kupastikan apakah itu tangisan duka, jeritan,

atau ekspresi kelegaan?saat pria itu, kehabisan darah dan

tubuhnya berubah menjadi onggokan abu.

Sebelum aku bisa menarik napas, Katarina sudah

berdiri, melepaskan jubahnya, memakai baju dengan cepat,

dan meraih tas-tas kami.

"Dia mati," kataku. "Aku tidak."

"Ya," jawab Katarina. Dia memakai blus putih yang

langsung terkena darah dari sikunya yang robek terkena kaca

TV Dia langsung membukanya kembali, mengusap darah di

sikunya dengan handuk, dan memakai baju yang lain.

Aku merasa seperti anak-anak, terpaku, terpana

berlumuran darah, dan terduduk di lantai.

Sepanjang hidup aku menghabiskan waktu untuk

berlatih dan ketika saat genting tiba, yang bisa aku lakukan

hanyalah mendorong panik sebelum akhirnya terlempar dan

ditikam pedang.

"Dia tak tahu," kataku.

"Dia tak tahu," kata Katarina.

Mogadorian tadi tidak tahu bahwa apabila dia

berusaha melukaiku tanpa mengikuti urutan yang sudah

ditetapkan, justru penyerangkulah yang akan terkena

akibatnya. Aku aman dari serangan langsung. Aku sudah

diberi tahu itu, tetapi baru kali ini aku benar-benar tahu.

Ketika pria tadi menebasku di kepala, kukira aku sudah mati.

Memang kau harus melihat dulu agar bisa percaya.

Kusentuh kepalaku. Masih utuh, tak ada satu goresan

pun.

Ini buktinya. Kami dilindungi mantra. Selama kami

berjauhan, kami hanya bisa dibunuh sesuai urutan.

Kini, darahnya yang melumuri tubuhku berubah pula

menjadi abu seperti tubuhnya. Aku tak lagi berlumuran

darah.

"Kita harus pergi." Katarina setengah mendorong

Petiku ke lenganku, wajahnya nyaris menyentuh wajahku.

Aku tersadar bahwa tadi aku nyaris hilang kesadaran,

tenggelam dalam diriku akibat syok atas apa yang baru

terjadi. Dari cara Katarina bicara, sepertinya ini kali ketiga

atau keempat dia mengulang kata-katanya, meskipun aku

baru mendengar.

"Sekarang," katanya.

Katarina menarik lenganku, tasnya tergantung di

bahu. Lapangan parkir beraspal terasa panas di kakiku yang

telanjang saat kami berlari menuju truk. Aku membawa

Petiku yang terasa berat.

Seumur hidup, aku bersiap untuk pertempuran, dan

sekarang saat pertempuran itu datang yang kuinginkan

hanyalah tidur. Kakiku tersaruk, lenganku terasa berat.

"Lebih cepat!" kata Katarina, setengah menyeretku.

Truk kami tak terkunci. Aku naik ke kursi penumpang,

sementara Katarina melemparkan barang-barang kami ke bak

belakang dan melompat ke kursi pengemudi. Begitu dia

menutup pintu, aku melihat seorang pria berlari ke arah

kami.

Sesaat aku mengira dia manajer motel yang mengejar

kami karena belum membayar sewa. Tetapi, lalu aku

mengenalinya sebagai pria koboi yang tadi menyapaku.

Sekarang, dia berlari ke arah kami dengan tinju terangkat,

penuh ancaman.

Tangannya menghantam jendela di sisi kursi

penumpang dan serpihan kaca menghujaniku. Tangannya

mencengkeram bagian depan kausku dan aku terangkat dari

kursi.

Katarina menjerit.

"Heir terdengar suara dari luar.

Tanganku meraba-raba, mencari sesuatu, apa pun

yang bisa menahanku tetap di kursi. Tetapi, aku hanya

menemukan sabuk pengaman yang belum sempat kupasang.

Sabuk pengaman yang lepas dengan mudah saat Mogadorian

ini menarikku keluar jendela. Tangan Katarina

mencengkeram bagian belakang bajuku.

"Sebaiknya kau berpikir ulang untuk menculiknya!"

terdengar teriakan seorang pria, dan segera cengkeraman di

bajuku terlepas, membuatku terduduk kembali di kursi.

Aku tersengal-sengal, kepalaku terasa berputar.

Di luar truk sudah terbentuk kerumunan. Sopir truk

dan koboi, pria-pria Amerika biasa. Mereka mengelilingi si

Mogadorian. Salah satu dari para pria itu menodongkan

senapan. Dengan senyum datar, si Mogadorian mengangkat

tangan menyerah.

"Kuncinya," kata Katarina panik, nyaris menangis.

"Aku meninggalkannya di kamar."

Aku tak berpikir. Aku langsung bergerak. Aku tak tahu

berapa lama si Mogadorian bisa ditahan oleh kerumunan itu;

penyelamat kami. Tapi aku tak peduli. Aku lari kembali ke

kamar, meraih kunci, dan lari keluar lagi.

Si Mogadorian berlutut di tanah sekarang, dikelilingi

oleh para pria yang marah.

"Kami sudah menelepon polisi, Nona," kata salah

satu dari mereka.

Aku mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Aku

terlalu tegang, bahkan untuk mengucapkan terima kasih.

Sungguh menakjubkan! Orang-orang ini tak mengenal kami,

tapi mereka tak ragu menolong. Tetapi juga menakutkan

karena mereka tak tahu kekuatan sebenarnya si Mogadorian,

kalau saja si Mogadorian tidak diperintah untuk tidak

menarik perhatian, dia pasti sudah mencabik-cabik mereka

semua sekarang.

Aku masuk ke truk dan mengulurkan kunci kepada

Katarina. Dan kami langsung bergerak pergi.

Aku menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya dan

bersirobok pandang dengan si Mogadorian. Matanya yang

seperti reptil bersinar penuh kebencian.

Dia mengedipkan salah satu matanya saat kami

menjauh.

BAB 8

KATARINA SALAH. AKU PERNAH MEMBUNUH. Bertahun-tahun

lalu di Nova Scotia.

Saat itu awal musim dingin, Katarina membatalkan

jam belajarku dan membiarkanku bermain di halaman

belakang yang bersalju. Aku lari ke halaman, berlari

melingkar-lingkar dalam bajuku yang kebesaran, melompat

ke parit penuh salju, dan melemparkan bola salju ke arah

matahari.

Aku benci jaket tebal dan celana tahan air yang

menghalangiku. Jadi, begitu aku yakin Katarina sudah pergi

dari jendela, aku melepaskannya, hingga tinggal memakai

celana jins dan kaus. Suhunya di bawah nol, tapi sejak dulu

aku tahan dingin. Aku sedang asyik bermain ketika Clifford,

anjing St. Bernard milik tetangga, melompat-lompat

mendekat untuk bermain denganku.

Dia anjing yang besar, dan saat itu aku masih kecil.

Tubuhku bahkan berukuran cukup kecil untuk usiaku. Jadi,

aku menaikinya, mencengkeram bulu lehernya yang hangat.

"Hiyaaa!" teriakku, dan Clifford berlari. Aku

menaikinya seperti kuda poni, memutari halaman.

Ketika itu Katarina baru saja menceritakan kepadaku

tentang sejarah kami dan masa depanku. Aku belum cukup

umur untuk benar-benar memahaminya, tetapi aku tahu

bahwa itu artinya adalah aku seorang pejuang. Aku suka itu

karena sejak dulu aku ingin menjadi pahlawan, sang juara.

Menaiki Clifford, aku membayangkan sedang mengejar

musuh di salju, memburu, dan menghabisi mereka.

Clifford membawaku ke pinggir hutan ketika tibatiba

dia berhenti dan menggeram. Aku mengangkat kepala dan

melihat seekor kelinci berbulu kecokelatan meloncat di

antara pepohonan.

Beberapa detik kemudian, aku jatuh terlentang,

dilemparkan oleh Clifford. Aku langsung berdiri dan

mengejar Clifford ke hutan. Mainan kejar-kejaran yang tadi

aku bayangkan, kini menjadi kenyataan, saat Clifford lari

mengejar si kelinci dan aku mengejarnya.

Aku seakan melayang, bahagia. Setidaknya, hingga

pengejaran itu berakhir.

Clifford menangkap si kelinci di rahangnya, dan
The Power of Six Karya Pittacus Lore di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rajawali Emas 07 Pengusung Jenazah Roro Centil 15 Langkah Langkah Manusia Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector

Cari Blog Ini