Ceritasilat Novel Online

Wesi Adji Belambangan 2

Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps Bagian 2

diseberang jalan berjatuhan dua sosok tubuh. Ternyata Suta dan Naya

yang mengetahui arah datangnya beberapa anak panah musuh segera

mementang gendewa.

Oleh karena sudah menduga akan berhadapan dengan pasukan

Belambangan maka Empu Krepa membuat beberapa puluh anak panah

yang ujungnya terbuat dari aji Belambangan. Memang prajurit

Belambangan sangat terkenal kekebalannya. Mereka kebal terhadap

segala macam senjata asalkan senjata itu tidak dibuat dari wesi aji

Balambangan. Untuk memperoleh kekebalan mereka setiap hari makan

daun Rajeg Wesi.

Walaupun sudah ada dua orang yang dirobohkan, namun bahaya

belum lewat. Hujan anak panah datang lagi. Jaka dan Bambang terpaksa

menangkis anak panah yang berdatangan. Kali ini Suta dan Naya

membantu menaikkan Candra dan Dewi kepunggung kuda.

Setelah selesai membantu Suta dan Naya segera membalas serangan

anak panah itu. Prajurit Belambangan ketemu batunya. Mereka

menghadapi pemanah yang ulung. Menghadapi Suta dan Naya pemanah
pemanah Belambangan menjadi tidak berkutik. Mereka terpaksa

menghentikan serangannya. Melihat kesempatan itu Jaka dan Bambang

segera menerjang keluar.

Suta dan Nayapun segera meloncat kepunggung kuda dan

mengikuti dari belakang. Pada waktu itu datang lagi hujan anak panah,

tetapi sudah tidak berarti banyak. Kesemuanya dapat ditangkis oleh Jaka

dan Bambang yang menggerakkan kerisnya masing-masing dengan

cepatnya. Suta agak lengah. Sebuah anak panah menancap dilengannya.

Tiba-tiba dari kiri kanan jalan itu berloncatan beberapa orang yang

menghadang mereka. Melihat itu Jaka berkata pada Dewi yang berada

dipunggung kuda bersama dengan dia.

?Dewi pergunakan cambukku ini sedapat mungkin". Sambil berkata

demikian ia menyerahkan cambuk pusakanya pada Dewi.

Ketika itu seorang prajurit Belambangan melancarkan serangan

kearah Jaka. Tetapi keris Jaka bergerak lebih cepat .dan .. crat

Keris itu tepat mengenai dada prajurit. Prajurit jtu tidak mengira kalau

keris yang dipegang Jaka adalah keris Belabangan. Sementara itu

seorang prajurit datang lagi. Kini yang diarah adalah Dewi. Namun Dewi

tidak tinggal diam. Dengan cepat cambuknya diayunkan tar ujung

cambuk itu tepat kena dipipi prajurit itu. Demikianlah prajurit yang46

menghalang didepan Jaka dan Dewi dapat dipukul mundur.

Lain halnya dengan Bambang yang kepandaian memainkan keris

tidak semahir Jaka. Apalagi keris yang dipakai adalah keris biasa dan ia

harus melindungi kakaknya. Suatu ketika seorang prajurit Belambangan

melancarkan sebuah pukulan. Pada saat itu Bambang sedang

menggunakan kerisnya untuk mengancam biji mata seorang prajurit.

Pukulan yang berikut ini tak dapat dihindarkan. Padahal Jaka, Suta dan

Naya sedang menghadapi lawannya masing-masing, hingga tak mungkin

memberikan pertolongan. Melihat datanganya serangan yang mengancam

adiknya Candra menjerit. Tetapi pada saat pukulan itu hampir sampai

tiba-tiba prajurit tadi jatuh terjerembab sambil memegangi kepalanya.

?Jangan khawatir anakku. Santa Jaya telah kurobohkan. Ayo

terjang terus. Jangan mundur setapak langkahpun". Terdengar Empu

Krepa berseru dari belakang.

Kiranya Santa Jaya bukan tandingan Empu Krepa. Sehabis

membereskan musuhnya maka Empu Krepa segera meloncat kepunggung

kuda. Sebelum itu tak lupa disambarnya beberapa butir batu yang cukup

besar. Batu itulah yang dipergunakan untuk menyerang prajurit tadi.

Dengan adannya Empu Krepa kepungan prajurit Belambangan

dapat didobrak. Kemudian mereka segera memacu kuda mereka. Empu

Krepa berada dimuka untuk memimpin perjalanan. Kirannya jalan2 yang

akan ditempuh itu telah direncanakan oleh Empu Krepa. Suta dan Naya

ada dibelakang sendiri sambil mengawasi ke belakang.

Desa demi desa telah dilampau. Mereka terus memacu kuda-kucla

mereka. Yang dipikir oleh mereka hanyalah maju, terus maju. Tiba-tiba

Bambang berseru :

?Ayah. Apakah prajurit Belambangan itu tidak mengejar?"

?Inilah yang menjadikan diriku heran, Kemarin saya lihat seorang

pedagang kuda datang kedesa kami. Ini suatu hal yang aneh bagiku.

Bukankah desa kifa tidak seberapa besar? Suatu hal yang aneh. Bahwa

desa sekecil itu kedatangan pedagang kuda dengan berpuluh-puluh kuda

dagangannya. Untung aku sempat memperhatikan pedangnya. Dia

kukenal sebagai seorang perwira pasukan berkuda dari Belambangan".

Sambil berkata demikian Empu Krena terus melarikan kudanya.

?Kuda kuda mereka adalah kuda pilihan. Hal inilah yang

mempercepat niatku untuk meloloskan diri. Dan satu-satunya yang

kukhawatirkan adalah pengejaran mereka. Tetapi hingga kini mereka

belum nampak mengejar".

?Paman. Apakah sebabnya paman dikejar-kejar oleh prajurit

Belambangan?" Terdengar Jaka menyela.

?Jaka, bukan disini tempatnya berbicara. Sabarlah ! Krepa

memutus.

Tiba-tiba Jaka menahan kudanya dan terdengar ia berteriak Paman:

?Marilah kita berhenti sebentar''.47

?Kenapa Jaka?" Empu Krepa segera menghentikan kudanya; begitu

pula Bambang, Suta dan Naya. Mereka semua terheran-heran.

?Bukankah Suta sedang terluka. Marilah kita bebat luka itu. Dan

keduanya disini saya mempunyai sahabat yang dapat saya mintai

pertolongan untuk membendung kejaran prajurit Belambangan".

?Candra. Dewi. Suta. Naya. Tutuplah telingamu rapat-rapat".

Dengan terheran-heran mereka mematuhi perintah Jaka. Apa gerangan

yang akan dikerjakan oleh Jaka. Tiba-tiba Jaka bersiul. Mula-mula

perlahan, tetapi makin lama makin nyaring dan achirnya sangat nyaring

dan tajam lengkingannya. Jika Candra, Dewi. Suta dan Naya tidak

mematuhi perintah Jaka tadi entahlah apa jadinya. Siulan itu sangat

panjang dan bergelombang Empu Krepa dan Bambang sangat heran

memperhatikan tingkah laku Jaka.

Tiba-tiba dari jauh terdengar suara aneh.

Tuuu . . . . Tuuu Tuu . . Mula-mula mereka mengira itu suara

burung tuhu.

?Kolik ..... kolik, kolik, kolik " Terdiengar jawaban dan kemudian

dua macam suara itu balas membalas, se-akan2 suasana malam dirajai

oleh bunyian2 itu

?Kolik, kolik, kolik .. Tuuu, tuuu, tuuu .. Kolik, kolik,

Tuuu, tuuu Kolik, kolik . Tuuu tuuu "

Suara itu sangat mirip bunyi burung Kolik dan burung Tuhu. Tetapi

kenapa demikian banyak dan timbulnya dengan tiba-tiba. Mereka semua

keheranan kecuali.. Empu Krepa yang dapat menanggapi kejadian itu.

?Astaga. Jaka kiranya Penyamun-penyamun Burung Kolik dan

Burung Tuhu telah berhasil kamu tundukkan. Kamu memang pantas

menjadi putra kak Anggara".

Tak berapa lama dari kejauhan terlihat sinar api.dan kemudian

terus bertambah, seluruh dataran itu dipenuhi oleh cahaya yang berkelip
kelip. Cahaya bergerak kearah mereka.

Sementara itu Jaka telah berhenti bersiul dan suara yang mirip

burung Kolik dan burung Tuhu yang saling sahut menyahut itu sudah

lenyap pula.

Tiba-tiba sebuah obor tampak bergerak dengan cepat kearah

mereka dan terdengar suara yang keras bagaikan guntur.

?Rangga Wulung dengan anak buahnya datang menghadap tuanku

Raden Jaka Prasetya ..". Demikian suku kata terakhir selesai diucapkan

terlihat seorang yang bertubuh besar meloncat dari galengan sawah.

Ditangan kiri orang itu memegang obor dan sebuah golok yang berkilat
kilat berada ditangan kanannya.

?Rangga Wulung menanti perintah Raden". Terdengar orang itu

berkata sambil membungkukkan badannya. Melihat sikap menghormat

yang berlebih-lebihan itu semua kawan Jaka merasa heran. Sedangkan

Candra dan Dewi yang tadinya merasa takut kini ketakutan mereka sudah48

berkurang banyak.

Rangga Wulung. Ketahuilah olehmu. Malam ini kami di-kejar-kejar

kira2 tiga puluh orang prajurit Belambangan. Tahanlah mereka supaya

tidak dapat mengejar lagi. Cegah! Jangan sampai anak buahmu tidak

jatuh korban yang banyak setelah cukup lama mengganggu tinggalkan

mereka". Demikian Jaka Prasetya memberi perintah pada orang tadi.

?Rangga Wulung telah memahami perintah raden. Raden Jaka

Prasetya tak usah khawatir. Percayalah pada kemampuan kami".

?Kalau begitu selamat bekerja. Sampai berjumpa lain waktu''.

Setelah itu Jaka segera memberi isyarat pada pamannya untuk

melanjutkan perjalanannya meninggalkan kawanan penyamun itu.

Kawanan penyamun yang telah ditaklukkan oleh Jaka beberapa minggu

yang lalu ketika Jaka dalam perjalanan menuju perbatasan Kerajaan

Belambangan.

X X X

Marilah kita tengok keadaan prajurit Belambangan yang gagal

menangkap Empu Krepa. Hajaran Empu Krepa menyebabkan Santa Jaya

jatuh terjerembab hingga sukar untuk bangkit apalagi apa yang terjadi

dihadapannya disaksikan dengan kemarahan. Ia melihat betapa para

calon tawanannya menerjang kepungan dari anak buahnya. Alangkah

marahnya Santa Jaya. Dengan mata merah membara bangkitlah ia.

Dirasakan betapa ngilunya seluruh tubuhnya.

Keadaan prajurit Belambangan ternyata sungguh mengenaskm.

Empat orang mati terpanah, tiga orang mati dibawah keris Jaka tiga

orang luka berat dan beberapa orang luka ringan. Menyaksikan keadaan

anak buahnya yang seperti itu kemarahan Santa Jaya bertambah
tambah.

?Lekas siapkan kuda. Kejar bangsat-bangsat itu. Bakar saja rumah

mereka". Demikian terdengar Santa Jaya berteriak-teriak memberi

perintah.

Beberapa prajurit segera melaksanakan perintah pemimpinnya

menyiapkan kuda dan sebagian lagi menyulut api untuk membakar rumah

Empu Krepa.

Tetapi kiranya prajurit-prajurit Belambangan itu sedang sial. Ketika

api sedang, berkobar-koba, dari rumah tinggal Empu Krepa meloncat

keluar seseorang, seorang pemuda yang berwajah cakap. Gerakan

pemuda itu sangat gesit.

?Bangsat Bambang! Berani benar kamu menyuruh orang untuk

membakarku hidup-hidup". Sehabis berkata demikian ia melancarkan

pukulan-pukulan pada prajurit Belambangan itu.

Pemuda itu tak lain dan tak bukan adalah Panji yang dipukul hingga

pingsan oleh Bambang. Panji Jatmika dibiarkan oleh Bambang terkapar

disitu oleh karena Bambang sedang sibuk melaksanakan perintah49

ayahnya. Ketika Panji Jatmika siuman terlihat olehnya api yang menyala
nyala. Tanpa berfikir panjang ia mengira bahwa Bambanglah yang

membakarnya.

Dihadapan Panji Jatmika pada waktu itu berdiri tiga orang prajurit yang

sedang keheran-heranan melihat munculnya musuh yang tidak terduga
duga. Tetapi serangan Panji Jatmika telah melenyapkan keheranan

Sebuah pukulan Panji Jatmika kena telak dihidung salah seorang prajurit

itu. Pukulan yang kedua kena telak didada prajurit yang lainnya. Untung

prajurit yang ketiga sempat menghindar dan kemudian membalas

menyerang. Adapun kedua prajurit yang kena pukul itu segera rasa

sakitnya hilang ia segera membantu temannya. Kini Panji Jatmika

menghadapi tiga orang prajurit yang telah waspada. Meskipun demikian

dia tetap ia unggul. Prajurit yang lainnya ketika menyaksikan keadaan itu

segera membantu temannya untuk mengeroyok. Pemuda itu dikiranya
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga dari Empu Krepa.

Sementara itu orang-orang desa disekitar rumah Empu Krepa telah

mendengar suara hiruk-pikuk dari rumah Empu Krepa. Mereka

memandang Empu Krepa sebagai anggauta terhormat. Kini terlihat oleh

mereka adanya sesuatu yang tidak beres dirumah itu. Salah seorang dari

mereka menjenguk kerumah itu. Dan Empu Krepa sedang bertempur

dengan seorang. Maka oleh orang itu segera dipukul kentongan

Kentongan ditabuhnya bertalu-talu. Bagi yang mendengarnya sudah

merupakan berita, bahwa ada perampok sedang beraksi di-desa. Mereka

semuanya keheranan. Perampok dari manakah yang berani mendatangi

desa ini? Apakah mereka tidak tahu bahwa didesa ini tinggal pendekar

yang sakti? Demikian pikir mereka.

Pemuda-pemuda didesa itu kebanyakan telah dilatih dilatih dalam

ilmu perang oleh Empu Krepa. Mereka sudah terlatih menggunakan

senjata dan mengatur bermacam barisan. Mendengar bunyi kentongan itu

para pemuda desa itu segera berkumpul ketempat asal datangnya suara

kentongan itu. Alangkah heran dan marahnya mereka demi mengetahui,

bahwa rumah Empu Krepalah yang diserang perampok. Namun mereka

tidak panik. Seorang pemuda tampil kedepan sebagai pemimpin. Dengan

segera membentuk barisan ?Supit Urang" untuk mengepung perampok2

itu, Dalam waktu singkat terbentuklah sudah barisan itu. Dan dengan

teratur barisan itu bergerak menuju rumah Empu Krepa bertambahlah

kemarahan mereka demi dilihatnya rumah Empu yang mereka hormati itu

dibakar oleh ?perampok2" itu.

?Serbu!" Demikian terdengar teriak pemimpin barisan. Seketika

barisan ?Supit Urang" yang terdiri atas kurang lebih 100 orang pemuda

desa itu segera menyerbu kearah rumah Empu Krepa.

Memang, rupanya prajurit2 Belambangan itu sedang sial. Sehabis

dihajar oleh Empu Krepa dan sedang menghadapi Panji Jatmika yang

berangasan, kini diserbu oleh barisan pemuda desa.50

Walaupun prajurit2 Belambangan itu terdiri dari prajurit2 pilihan,

namun menghadapi sekian banyak pemuda mereka kewalahan juga.

Apalagi pemuda2 desa itu menyerang dalam formasi ?Supit Urang" dan

banyak diantara para prajurit itu yang sedang luka-luka. Untunglah

bahwa mereka kebal-,kebal terhadap senjata tajam. Kalau tidak demikian

entahlah bagimana akibatnya.

Panji Jatmika ketika melihat datangnya pemuda2 desa itu segera

melarikan diri karena mengira bahwa dirinya yang akan diserbu. Hal ini

sangat menguntungkan prajurit2 Belambangan. Mereka dapat

memusatkan perhatian pada serbuan rakyat desa yang sedang marah
marah itu.

Dalam beberapa saat saja prajurit2 Belambangan itu telah dikepung

oleh barisan pemuda desa itu.

Alangkah herannya penduduk desa itu ketika mereka mulai

menyadari bahwa mereka menghadapi suatu kenyataan yang aneh.

Perampok yang mereka hadapi itu ternyata tidak mempan oleh senjata

tajam.

Difihak lain Santa Jaya semakin gemas. Ia mengamuk dengan

hebat. Sehingga dalam sekejap banyaklah pemuda desa yang luka parah.

Tiba-tiba terdengar suara yang melengking tajam.

?Santa Jaya! Tinggalkan saja mereka. Ingatlah akan pesan terakhir

ayahanda".

?Aduhai. Kiranya gusti Cinde Seta. Ampunilah Santa Jaya, raden.

Tawanan yang raden kehendaki telah berhasil meloloskan diri". Demikian

jawab Santa Jaya sambil mencari jalan keluar dari kepungan.

?Santa Jaya! Memang sudah kusangka dari semula bahwa

menangkap Empu Krepa bukan pekerjaan yang mudah". Terdengar suara

yang melengking tajam tadi. Suara yang melengking tajam itu memberi

pengaruh yang besar pada para prajurit. Semangat mereka bertambah.

Tiha-tiba terdengar suara tadi:

?Cepat! Cepat! Tinggalkan pemuda2 tolol itu! Lekas! Susullah aku!

Mendengar perintah itu mereka segera berusaha untuk menembus

kepungan itu. Dalam singkat para prajurit Belambangan itu telah dapat

menembus kepungan dan kemudian segera mengendarai kuda yang telah

mereka persiapkan. Pemuda2 desa itu tidak mengejar karena menurut

mereka lebih penting menolong Empu Krepa. Disamping itu juga teman
teman mereka yang luka juga membutuhkan pertolongan. Berkat kerja

sama yang erat diantara mereka tidak ada korban jiwa. Mereka yang

tidak luka cepat-cepat memadamkan api yang sedang berkobar-kobar itu.

Tetapi alangkah herannya mereka ketika ternyata bahwa orang yang

mereka tolong tidak mereka temukan. Dimanakah gerangan Empu Krepa?

Diculikkah? Siapa demikian berani menculiknya? Bahkan penghuni juga

tidak mereka temukan, Kemanakah mereka semua itu?51

X X X

Biarkan kita tinggalkan mereka yang sedang keheran-heranan itu.

Kita mengikuti Santa Jaya yang sedang memacu kudanya menuju arah

datangnya suara yang melengking tajam tadi dengan diikuti oleh anak

buahnya. Tidak berapa lama sampailah mereka ditepi desa dimana

menanti seorang penunggang kuda. Penunggang kuda itu seorang

pemuda yang berbadan tegap. Matanya bersinar tajam. Alisnya tebal.

Diatas bibirnya tumbuh kumis yang teratur rapi.

?Raden Cinde Seta, maki-makilah hamba. Hukumlah hamba,

Hukumlah hamba yang tidak berhasil menjalankan tugas yang diberikan".

DemiKan sapa Santa Jaya dengan tidak berani memandang penunggang

kuda itu.

Raden Cinde Seta, demikian nama pemuda penunggang kuda itu

memandang Santa Jayaa dengan tajam. Santa Diaja menundukkan

kepala tidak berani memandang junjungannya.

?Sudahlah Santa Jaya. Tak ada gunanya aku menegurmu. Kini

sebelum orang2 itu terIalu jauh melarikan diri marilah kita mengejarnya".

Selesai berkata demikian tanpa menanti jawaban, Raden Cinde Seta

segera memacu kudanya menuju kebarat untuk mengejar Empu Krepa.

Kuda-kuda prajurit2 Belambangan itu lari dengan pesatnya. Pada waktu

mereka membungkam. Tak ada satupun yang berbicara.

Telah lebih dari sepemakan nasi mereka mengejar, tetapi musuh

yang mereka kejar belum juga terlihat. Setiap melalui sesuatu desa lima

orang prajurit disuruh menyelidiki adakah orang yang mereka cari ber
sembunyi disitu. Bila ternyata tak ada mereka segera meneruskan

pengedjaran menyusur jalan desa.

Hari semakin gelap tetapi musuh yang mereka kejar beum juga

terkejar. Tiba-tiba Raden Cinde Seta menghentikan kudanya dan

memandang kedepan dengan taja. Kemudian berseru :

?Lekas kembali! Cari sebuah tikungan!".

Para prajurit Belambangan merasa heran mendengar perintah itu.

Tetapi mereka tidak berani membantah. Dan disaat mereka sedang

membalikkan kuda mereka, dari arah depan berlari berpuluh-puluh ekor

kerbau. Jalan yang tidak begitu lebat itu dipenuhi oleh barisan itu. Kerbau

itu seperti sedang marah. Seketika keadaan dalam barisan berkuda

menjadi kacau. Tanpa diperintah oleh penunggangnya kuda-kuda itu

segera dan melarikan diri dengan pesat. Setiap kali Para prajurit itu

menoleh kebelakang setiap kali mereka bahwa barisan kerbau itu maasih

berlari dibelakang mereka. Milik siapakah kerbau-kerbau gila itu? Kenapa

malam-malam dibiarkan terlepas?

Lama mereka berlari kembali. barulah berhasil mereka menemukan

sebuah tikungan. Dan mereka menarik nafas lega. ketika dlihatnya

kerbau-kerbau menggila itu membelok.52

?Santa Saya, saya merasa yakin kalau hal iri diatur oleh seseorang.

Agaknya mereka menginginkan kita menghentikan pergejaran terhadap

Empu Krepa". Demikian Raden Cinde Seta berkata, ketika dilihatnya

bahaya telah lampau. Kemudian Raden Cinde Seta segera memerintahkan

melanjutkan perjalanan.

Tetapi malam itu prajurit Belambangan memang sedang sial. Belum

lama mereka melarikan kudanya sekoyong-koyong dimuka mereka

terdengar dua buah benda jatuh.

?Bluk . Bluk ."

Mereka terus berlari tanpa menghiraukan suara benda jatuh tadi,

tetapi tiba-tiba seorang prajurit berteriak:

?Awas lebah! Aduh ...... Aduh .. Aku disengatnya".

?Aduh aku juga disengat".

Seketika itu timbullah kepanikan lagi dikalangan para prajurit itu.

Beratus-ratus ekor lebah beterbangan didalam kelompok prajurit itu

sambil menyengati. Kiranya dua buah benda jatuh itu adalah dua buah

sarang Lebah-lebah itu merasa diganggu oleh karena itu sangat marah.

Kuda-kuda dari prajurit itu dengan tak sengadja telah mengindjaknya.

Seketika beterbanganlah lebah-lebah itu dari dalam sarangnya. Tetapi

kekacauan tidak berhenti sampai disitu. Ketika mereka dapat menghindar

dari bahaya amukan2 lebah itu tiba-tiba beberapa ekor kuda yang

dikendarai oleh prajurit2 Belambangan itu roboh ketanah dan ketika

diselidiki kiranya beberapa anak panah menancap ditubuh kuda-kuda

yang malang itu. Alangkah marahnya Raden Cinde Seta. Seketika ia

berteriak:

?Hai jahanam! Keluarlah kalau kamu benar-benar ksatria!"

Suara pekikan yang melengking tajam itu memecah kesunyian

malam. Mula-mula teriakan itu tidak mendapat jawaban tetapi tiba-tiba

terdengar suara yang nadanya bagaikan grungan singa.

?Kamu bukan ksatria. Kami adalah penyamun-penyamun".

Demikian jawaban itu. Kalau para prajurit Belambangan merasa sakit

telinganya mendengar suara itu maka bagi Raden Cinde Seta lebih

sakitlah hatinya. Ketika ia akan mengejar kearah suara itu tiba-tiba

terdengar suara teriakan saut-menyaut.

?Kolik, kolik,kolik, Tuuu tuuu....... tuuu Kolik ..

kolik .. kolik .. Tuutt . tuuu . tuuu " Demikian suara saut
menyaut yang didengar oleh Raden Cinde Seta.

Maka sadarlah Raden Tiinde Seta siapa yanq sedang dihadapinya.

Kalau ia nekat mengejar makin lamalah ia terlibat disitu. Penyamun

Burung Kolik dan Burung Tuhu bukan lawan yang boleh dipandang,

ringan.

?Astaga! Kiranya kawanan Buruno Kolik dan Burung Tuhu. Pantas

mereka demikian pandai mengatur jeba-53

kan'', kata Santa Jaya.

?Huh'', desis Raden Cinde Seta. Perasaan mengkal gemas, marah

dan bingung campur aduk menjadi satu. Kematian ayahandanya yang

sangat dicintainya kembali terbayang dipelupuk matanya. Peristiwa itulah54

yang menggoncangkan hatinya serta menimbulkan pertanyaan
pertanyaan yang belum terjawab, Peristiwa itu pulalah yang

membawanya sampai kemari. Diruang matanya kembali terbayang wajah

ayahnya, ketika akan menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

?Seta . anakku . kamulah .. satu-satunya . harapanku .

harapan ibumu dan . harapan Belambangan .. Pesanku .. padamu

adalah .. pertama pertahankan ...... kerajaan Belambangan .. mati

matian .. dari .. serbuan manapun juga. Kedua .. carilah . Empu

Krepa . dialah . yang . menyuruh . seseorang untuk

membunuhku. Balaskan nak. Balaskan . dendamku ....."

Demikian kata-kata terakhir yang diucapkan ayahnya. Yang selalu

berkumandang ditelinganya. Sehabis mengatakan itu ayahnya segera

pergi, pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Pergi dengan

meninggalkan teka-teki bagi dirinya. Siapakah Empu Krepa? Kenapa

ayahnya dibunuh olehnya? Dimana tempat tinggalnya?

Untunglah bahwa Santa Jaya dapat memberi keterangan padanya

siapakah Empu Krepa itu sebenarnya. Berdasarkan petunjuk Santa Jaya

maka ia segera mengatur siasat untuk menangkap Empu Krepa. Tetapi
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala usahanya telah gagal dan musuh yang hendak ditangkapnya telah

melarikan diri.

Tetapi walau bagaimanapun ia harus menangkap Empu itu. Maka

dengan sisa kuda yang masih hidup ia bermaksud meneruskan

pengejaran.

Untunglah bahwa masih ada sepuluh ekor kuda yang selamat.

Dengan sisa tenaga yang ada itu Raden Cinde Seta bermaksud

melanjutkan pengejaran.

Sedang sebagian yang lain yaitu prajurit yang luka atau yang

kudanya terpanah disuruh kembali ke Belambangan.

Kini tinggallah Raden Cinde Seta dan Santa Jaya beserta delapan

orang prajurit pilihan melanjutkan pengejaran.

X X X

Kini marilah kita ikuti Waja Cempani.

Waja Cempani sangat marah bercampur malu ketika ternyata,

bahwa dia tidak dapat merampas keris ciptaan Empu Krepa dari tangan

Jaka Prasetya. Bukan saja dia gagal merampas keris itu, bahkan sebagian

dari kain yang dikenakannya menjadi sobek karena tusukan keris itu,

bahkan sebagian dari kain yang dikenakannya menjadi sobek karena

tusukan keris itu. Dengan membawa kemarahan yang berkecamuk dalam

dadanya ia berlari meninggalkan rumah Empu Krepa.

Rumah Empu Krepa adalah dikaki gunung Kawi sebelah Selatan

sedangkan rumah kediaman Kyai Candra Ketu dilereng gunung Kawi

bagian Utara.

Semenjak perkawinannya dengan Warsi maka Waja Cempani55

berdiam dirumah kediaman Kyai Candra Ketu. Semenjak itulah ia hidup

bersama dengan Warsi. Semenjak itulah pula ia melatih ilmu kekebalan

yang diidam-idamkannya, ilmu kekebalan ajaran Kyai Candra Ketu. Ilmu

itulah yang sangat diingininya semendjak ia mulai belajar pencak dan

silat. Segala macam jalan ditempuhnya untuk memperoleh ilmu itu.

Dahulu ketika ia memohon pada Kyai Candra Ketu untuk mengajarinya

ilmu kekebalan. Kyai itu menyanggupinya asalkan ia mau diambil

menantu. Syarat itu diterimanya.

Kiranya sjarat itu tidak seringan dugaan Waja Cempani semula.

Oleh karena perkawinannya dengan Warsi maka ia terpaksa bertentangan

dengan saudara2 seperguruannya yaitu Anggara dan Empu Krepa. Karena

semenjak saat itulah mereka tidak mau menjumpainya.

Sejak kedua orang kakaknya meninggalkan dirinya setiap kali Waja

Cempani bertanya dalam hatinya. Mengapa kedua orang kakaknya

demikian benci pada mertuanya?

?Waja Cempani. Sadarlah adikku. Kamu telah keliru memilih isteri.

Wanita itu tak sepadan bersuamikan engkau. Dia adalah wanita setan

seperti juga ayahnya". Demikian Krepa berkata dulu. Kata2 itu selalu

terngiang-ngiang ditelinganya. Betulkah perkataan kakaknya itu. Telah

lebih dari dua puluh tahun ia hidup bersama Warsi, tetapi tidak pernah

dia mendapatkan suatu bukti yang menguatkan perkataan kakaknya itu

Selama itu Warsi menunjukkan sikap yang baik kepadanya Dan iapun

mencintai Warsi sepenuh hati.

Tidak ada tanda2 bahwa Warsi berlaku serong.

Tidak!

Warsi adalah seorang isteri yang setia. Tak mungkin ia mau

melakukan perbuatan yang rendah itu. Dan bagaimana halnya dengan

Kyai Candra Ketu. Betulkah ia manusia setan seperti yang disangkakan

kakaknya. Dalam hal inipun ia tidak pernah mendapat bukti.

Tetapi kalau pendapat kakak2nya itu tiada beralasan mengapa

mereka sampai hati meninggalkannya. Ia tidak pernah mendengar

kakaknya berdusta. Ataukah tnereka mendapat hasutan dari orang yang

membenci mertuanya, Kemungkinan inilah yang menghibur hatinya.

Walau bagaimanapun dimata Waja Cempani Warsi adalah seorang isteri

yang setia dan Kyai Candra Ketu adalah seorang mertua yang ramah

tamah dan pemurah.

Disaat ini hatinya sedang tiada keruan rasanya. Ia sedang

merasakan bahwa jerih payahnya selama bertahun-tahun menjadi tiada

berarti. Ia dapat dikalahkan oleh seorang pemuda yang baru berumur dua

puluh tahun. Hatinya merasa pedih dan marah. Ia merasa heran melihat

kemajuan Jaka Prasetya yang demikian pesat. Dalam waktu yang kurang

dari setengah tahun sudah sedemikian kemajuannya. Dulu ketika

bertemu untuk pertama kali dengan mudah Jaka Prasetya dapat

dikalahkannya.56

Tetapi kini berbalik dialah yang dengan mudah dapat dikalahkan oleh

Jaka Prasetya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa sebab utama dari

kekalahannya adalah sikap terlalu memandang rendah pada Jaka

Prasetya.

Dengan membawa kemarahan yang berkobar-kobar ia berlari

menuju kerumah tinggalnya. Ia berlari terus. Terus. Akhirnya sampailah

ia kerumahnya.

Ketika itu dijumpainya rumah tinggalnya dalam kesunyiann yang

mencekam. Memang pada bulan-bulan yang akhir-akhir ini Kyai Candra

Ketu sering meninggalkan rumah dan beberapa hari yang lalu Kyai

Candra Ketu pulang sebentar dan kemudian pergi lagi dengan mengajak

dua orang muridnya Tuluh Braja dan Candra Mawa.

Ketika Waja Cempani memauki rumah ia merasakan sesuatu yang

aneh. Entah kenapa hatinya tiba-tiba berdebar-debar. Dan kesunyian

yang mecekam dirumahnya itu menambah kegelisahannya. Apakah

gerangan sebabnya? Ia merasa heran karena selamanya belum pernah

mengalami perasaan yang demikian itu.

Dimanakah Warsi, isterinya? Ketika ia akan memanggilnya untuk

membuka pintu tiba-tiba ia mendengar suara orang berbicara dari arah

kamarnya.

Bukan. Bukan orang yang berbicara yang didengarnya. Melainkan

orang yang berbisik-bisik. Telinga Waja Cempani cukup terlatih sehingga

suara yang bagaimana halusnya dapat didengar.

Dengan perlahan-lahan dan hati-hati ia berjalan mendekati

kamarnya. Ketika ia sampai didekat kamarnya suara yang didengarnya

tadi semakin jelas. Dan apa yang didengarnya membangkitkan

kembali kemarahannya yang sebetulnya sudah hampir reda. Mula-mula ia

tidak percaya akan apa yang didengarnya, tetapi ketika telinganya

dirapatkan kedinding dan mendengar lebih jelas lagi ia menjadi percaya.

Tetapi inipun belum memuaskan hatinya. Ia mengintai dari celah-ceelah

dinding. Dan .. kini ia betul-betul marah. Apa yang dilihat Waja Cempani

dari celah-celah dinding itu? Mengapa ia menjadi marah?

Apa yang dilihatnya tak pantas diceritakan disini. Waja Cempani

betul-betul tak dapat menahan kemarahannya. Dengan sekuat tenaga

dihantamnya jendela kamarnya. Sesaat kemudian terdengar suara yang

menggeledek. Seakan lakan hendak robohlah rumah itu dibuatnya.

?Warsi! Sudah berapa kalikah perbuatan laknat ini kamu lakukan?"

Saat itu juga dari didalam kamar Waja Cempani bangkitlah dua

tubuh manusia dengan pakaian yang tidak teratur. Dua tubuh yang

berlainan jenis. Seorang wanita dan seorang laki-laki.

Kini jelaslah bagi kita apa ang telah terjadi. Warsi telah tertangkap

basah oleh Waja Cempani, suaminya ketika sedang berbuat serong

dengan laki-laki lain.

?Suradental Kiranya wajahmu yang tampan itu hanya untuk57

menyelimuti jiwa anjingmu''. Demikian bentak Waja Cempani kepada

orang laki-laki itu yang ternyata adalah Suradenta murid termuda Kyai

Candra Ketu.

Disaat itu kembali mendengung ditelinganya suaranya. Wanita

setan .. wanita setan . Wanita sekakaknya.

.. Dia adalah wanita setan seperti juga ayahnya. Disiram minyak

kemarahan Waja Cempani semakin orang yang dcarinya itu bersembunyi

disalah sebuah hentinya bagaikan mengejeknya. Seumpama api yang

menghebat. Kini wanita yang sedang berdiri dimukanya itu menjelma

menjadi seseorang yang belum dikenalnya. Dengan sinar mata yang

menyala-nyala dipandangnya Warsi. Ketakutan yang amat sangat

membayang dimata Warsi. Ia segera berjongkok didepan suaminya.

?Kak Waja Cempani ampunilah aku kak. Ampunilah isterimu sekali

ini. Tetapi andaikan Warsi memohon maaf seribu kali pada Waja Cempani

tidak mungkin ia memperolehnya.

Dengan berteriak tajam Waja Cempani menendang tubuh Warsi

yang sedang berjongkok dihadapannya. Terdengar jerit yang mengerikan

dan .. brak .. dinding papan yang memisahkan ruang itu dengan

ruang lain, berantakan diterjang oleh tubuh Warsi yang melayang oleh

tendangan Waja Cempani.

Sesudah membereskan isterinya yang menyeleweng itu Waja

Cempani menoleh kearah Suradenta. Dilihatnya Suradenta sedang berlari

kearah pintu.

?Suradenta! Berhenti!" Bentak Waja Cempani. Suaranya tajam dan

berpengaruh. Sungguh aneh. Ketika mendengar bentakan itu Suradenta

berhenti berlari. Hanya sesaat ia berhenti, tetapi saat itu merupakan saat

yang menentukan.

Dengan geraman yang mengerikan Waja Cempani meloncat kearah

Suradenta berdiri. Sebuah pukulan yang bagaikan geledek dihantamkan

kepunggung Suradenta. Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga penuh

dan . duk .. pukulan itu tepat mengenai sasarannya dan . duk ..

sekali lagi sebuah pukulan tepat didagu Suradenta. Kedua pukulan itu

dibarengi oleh jerit tertahan. Tetapi hanya jeritan tertahan itu.

Sesudahnya kamar itu sunyi.

Warsi dan Suradenta telah pergi meninggalkan dunia yang fana ini.

Warsi dan Suradenta telah pergi sama-sama kealam baka untuk

memperhitungkan segala dosa yang telah diperbuatnya didunia. Tak

berapa lama terdengar helaan nafas yang panjang dari kamar itu. Tak

berapa lama terdengar seruan yang bernada pilu:

?Kak Anggara! Kak Krepa! Aku akan kemball padamu!"

Sehabis itu terlihat sebuah bayangan meloncat keluar jendela. Kini

Cempani telah memperoleh bukti yang dicarinya. Kini Waja Cempani telah

menyadari bahwa kata-kata kakak2nya betul belaka.

Demikian kakinya menginjak tanah ia terus berlari, berlari , berlari58

meninggalkan rumah terkutuk itu, berlari meninggalkan segala-galanya

yang ada dirumah itu. Tempat yang ditujunya adalah rumah Empu Krepa.

Belum berapa lama ia berlari dari muka terlihat seseorang berlari

mendatanginya. Ketika diperhatikan ternyata adalah Panji Jatmika.

?Bapa guru! Hendak kemanakah, bapa".

Waja Cempani tidak mnenyaut melainkan terus berlari. Panji

Jatmika merasa heran melihat tingkah gurunya yang aneh itu. Kenapakah

tengah malam begini sang guru berlari-lari bagaikan orang gila.

Namun Waja Cempani tidak memperhatikan apa yang sedang

dipikirkan oleh sang murid. Ia terus berlari, secepat angin. Sedangkan

Panji Jatmika terus mengekor dibelakang. Tak berapa lama kemudian

Panji Jarmika mulai dapat menduga arah yang dituju oleh gurunya.

Kiranya sang guru menuju ketemat kediaman Empu Krepa. Ia merasa

girang. Dikirannya gurunya akan melabrak Empu Krepa. Tak disangkanya

sama sekali bahwa dugaannya itu meleset. Ketika ia sedang berfikir itu

gurunya telah berlari jauh meninggalkannya.

Alangkah terkejutnya Waja Cempani ketika ia sampai dirumah

Empu Krepa. Yang dijumpai olehnya hanya puing-puing dari rumah yang

habis terbakar. Apakah gerangan yang telah terjadi? Waja Cempani

segera memeriksa keadaan dipekarangan itu. Namun ia tidak

mendapatkan apa yang dicarinya. Pekarangan rumah Empu Krepa

terpendam dalam kesunyian. Kemanakah gerangan kak Krepa? Demikian

katanya dalam hati. Maka pergilah Waja Cempani menanyakan pada

seorang penduduk yang berumah didekat situ. Penduduk yang ditanya
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas menceriterakan apa yang telah terjadi. Tetapi ketika ditanya

kemanakah Empu Krepa pergi orang itu tidak dapat menjawab. Diantara

mayat-mayat yang bergelimpaingan disitu, tidak terdapat mayat Empu

Krepa beserta keluarganya.

Dengan lesu Waja Cempani segera berbalik kembali kerumahnya. Ia

bermaksud untuk mengambil si putih kuda kesayangannya. Ia bertekad

untuk mencari kakak-kakaknya bersama dengan kuda putih itu. Ketika ia

sedang berlari menuju rumahnya sekali lagi dijumpainya muridnya.

Melihat gurunya berlari kembali ia merasa heran. Tentu saja ia segera

memutar tubuh untuk berlari mengikuti gurunya dengan penuh tanda

tanya. Tetapi baru saja ia melangkahkan kakinya terdengar sang guru

berteriak:

?Panji Jatmika! Mulai sekarang kamu bukan muridku lagi. Aku jijik

melihat wajahmu. Lekas pergi''. Mendengar bentakan itu tidak beranilah

Panji Jatmika membantah. Ia segera pergi meninggalkan gurunya dengan

dendam berkobar-kobar. Ia sama sekali tidak insyaf terhadap

kesalahannya.

Kini kita ikuti perjalanan Empu Krepa dalam usahanya untuk

membebaskan diri.

Mereka terus melarikan kudanya dengan pesat. Setelah melewati59

lima buah desa mereka segera berhenti untuk beristirahat. Kebetulan

didesa yang terakhir ini Empu Krepa mempunyai sahabat yang karib

sehingga mereka dapat mengaso dirrumah sahabat itu. Setelah dirasanya

cukup lama beristirahat maka Empu Krepa dengan ketiga orang putranya

beserta Jaka Prasetya. Suta dan Naya segera melanjutkan perjalanan.

Selama beristirahat itu Empu Krepa tampak membisu.

Mereka kembali memacu kuda mereka supaya berlari lebih cepat.

Dalam saat yang seperti itu Jaka Prasetya teringat akan kuda putihnya

yang telah direbut oleh pamannya karena kesalah fahaman. Kalau kuda2

yang mereka pergunakan itu seperti kuda putihnya alangkah mudahnya

menghindarkan diri dari kejaran musuh.

Mereka terus terus melanjutkan perjalanan menempuh sepanjang

malam.60

Ketika ayam jantan terdengar berkokok disebuah desa yang dilalui

tiba-tiba Bambang Sutejo yang berada dibarisan yang paling belakang

berteriak:61

?Celaka! Orang Belambangan itu ternyata dapat mengejar kita .."

Jaka Prasetya dan yang lain-lain segera menoleh ke belakang.

Pada waktu itu fajar mulai menyingsing. Cahaya kemerah-merahan

terlihat disebelah timur. Dengan samar-samar terlihat oleh Jaka Prasetya,

bahwa dibelakang mereka terlihat beberapa penunggang kuda. Betulkah

mereka itu Prajurit Belambangan?

Tiba-tiba terdengar suara yang melengking tajam menusuk-nusuk

telinga.

?Empu Krepa. Lekas kembali".

Mendengar suara itu Empu Krepa segera berseru:

?Lekas pacu kuda. Mereka betul-betui prajurit2 Belambangan".

?Paman", terdengar Jaka berkata. ?Mengapa tidak kita lawan saja

mereka. Dengan mendengarkan, bunyi telapak kuda mereka dapat saya

pastikan bahwa jumlah mereka tidak lebih dari sepuluh orang".

?Jaka. Jumlah mereka tidak seberapa tetapi tidakkah kamu dengar

suara yang melengking tajam itu. Dia adalah Raden Cinde Seta.

Kesaktiannya tidak boleh diremehkan".

?Raden Cinde Seta???"

Pada waktu itu Empu Krepa terus-menerus mencambuk kudanya.

Kuda itu berlari dengan pesat diikuti oleh ketiga orang anaknya beserta

Jaka Prasetya, Suta dan Naya.

Mereka terus melarikan kudanya. Namun kuda-kuda mereka sudah

mulai payah. Kuda-kuda itu tidak sekuat yang dipergunakan prajurit

Belambangan. Jarak antara mereka dengan prajurit2 Belambangan

bukannya semakin jauh, tetapi bahkan semakin dekat.

Tiba-tiba terdengar teriakan mengaduh dari belakang Jaka Prasetya

segera menoleh kebelakang. Apa yang dilihatnya? Jaka Prasetya melihat

Suta menebah dadanya. Sebuah anak panah menancap didadanya.

Apa yang sebetulnya telah terjadi? Suta dan Naya yang melihat

bahwa jarak orang2 Belambangan itu dengan mereka semakin dekat

bersepakat untuk menahan gerakan musuh itu. Mereka segera

menyiapkan busumya beserta anak panahnya. Kuda mereka segera

dipacu berbalik. Jarak antara Suta dan Naya dengan orang2 Belambangan

itu semakin dekat. Suta dan Naya segera memencang busur. Dua batang

anak panah se gera meluncur. Dan . terdengar pekikan tadi. Tetapi

pekikan itu datangnya justru datangnya dari Suta. Kenapa? Anak panah

yang meluncur kearah orang2 Belambangan itu dapat disambar oleh

Raden Cinde Seta dan tanpa menggunakan busur anak panah itu

dilempar kembali kearah sipemanah. Meskipun demikian anak panah itu

meluncur dengan pesatnya. Sebelum Suta dan Naya menyadari hal itu

anak panah tadi telah datang. Untung bagi Naya Dia sempat menghindar.

Tetapi Suta yang belum sembuh dari lukanya agak lambat dan .. anak

panah itu menancap didadanya. Seketika itu Suta menebah dadanya dan

jatuhlah ia dari kudanya. Ketika Jaka menoleh pemandangan itulah yang62

dilihatnya.

Jaka Prasetya segera menarik les kudanya dan memutar kuda itu

kembali. Dan kemudian melarikannya kearah Suta dan Naya berada.

Ketika melihat Suta jatuh dari kudanya Nayapun segera datang

mendekat. Naya segera meloncat dari kuda untuk menolong temannya.

Pada saat itulah prajurit jaraknya. Naya terancam keselamatannya.

Sampai di-Belambangan yang datang mengejar semakin dekat dekat

Naya terdengar Raden Cinde Seta berseru:

?Tangkap orang itu!"

Dua orang prajurit Belambangan meloncat turun dari kuda. Disaat

itulah Jaka datang. Cambuknya se
Tetapi tiba-tiba tangan yang memegang cambuk itu bergetar.

Cambuk yang dipegang oleh Jaka Prasetya hampir terlepas dari

pegangan. Apa yang telah terjadi?

Raden Cinde Seta melihat dua orang prajuritnya terancam oleh

cambuk Jaka Prasetya. Dengan sepenuh tenaga ia segera mencentikkan

dua buah jarinya. Jentikan itu tepat pada sasarannya. Itulah yang

menyebabkan tangan Jaka Prasetya tergetar.

Jaka Prasetya segera mengalihkan serangannya kearah Raden

Cinde Seta.

?Jaka!" Terdengar seruan. ?Dia bukan tandinganmu. Mundurlah".

Seruan itu adalah seruan Empu Krepa yang telah menyusul.

?Empu Krepa! Memang kamulah yang kucari!" kata Raden Cinde

Seta sambil menahan serangan cambuk Jaka Prasetya. Sekali lagi tangan

Jaka Prasetya bergetar. Maka tahulah ia bahwa kata2 Empu Krepa tadi

benar adanya. Maka mundurlah ia untuk memberi kesempatan pada

Empu Krepa.

Disaat itu terdengar Dewi berteriak :

?Kak Jaka! Lekas tolonglah Naya!" Jaka Prasetya segera menoleh

kearah yang ditundjuk oleh Dewi. Naya telah diikat prajurit Belambangan

tadi.

?Santa Jaya! Tangkap dua orang pemuda itu!" terdengar perintah

Raden Cinde Seta pada Santa Jaya. Jaka Prasetya tahu, bahwa yang

dimaksud dengan dua orang pemuda itu adalah dia dan Bambang Suteja.

Betul juga dugaannya. Santa Jaya dengan prajurit2 Belambangan itu

menyerbu kearah mereka. Andaikata Jaka Prasetya dan Bambang Suteja

tidak melindungi Dewi dan Candra maka serbuan dari beberapa prajurit

Belambangan itu bukan merupakan masalah yang penting bagi mereka.

Namun demikian Jaka Prasetya tetap tabah. Ia segera bertindak.

Dilarikannya kudanya kedekat Bambang Suteja.

?Bambang! Lindungilah saudara2mu! Biar kulawan mereka!". Tanpa

menanti jawaban Bambang Suteja dia segera meloncat dari kudanya. Dan

diturunkannya dari punggung kuda. Kemudian dengan cambuk

ditangannya ia menghadang Santa Jaya yang datang menyerang dengan63

anak buahnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang dahsyat.

Jaka Prasetya dengan kecepatan yang sukar dilukiskan menggerak
gerakkan cambuknya. Setiap prajurit yang dekat dipukul dengan

cambuknya.

Sementara itu pertempuran antara Raden Cinde Seta dengan Empu

Krepa juga berlangsung dengan hebat.

Mereka beldua menggunakan tangan kosong. Mula-mula mereka saling

serang menyerang dipunggung kuda. Tetapi oleh karena merasa kurang

bebas kemudian turun dari kuda dan melanjutkan pertempuran itu diatas

tanah. Pertempuran semakin menghebat. Dengan segala kesaktian yang

ada pada mereka, mereka berjuang untuk merebut kemenangan. Tetapi

lama kelamaan serangan Raden Cinde Seta semakin hebat. Tiba2 Raden

Cinde Seta membentak:

?Butalah kamu!"

Apa yang terjadi kemudian? Tangan Raden Cinde Seta yang

ditamparkan kemuka Empu Krepa mengeluarkan asap yang berwarna

ungu dan asap itu mengenai mata Empu Krepa. Terdengar suara

keluhan Empu Krepa. Saat itu Empu Krepa merasakan kepedihan yang

amat sangat pada matanya. Disaat itu Raden Cinde Seta melancarkan

pukulan dengan sepenuh tenaga.

?Kak Bambang. Lekas tolong ayah". Terdengar Dewi berteriak pada

kakaknya. Padahal jarak antara mereka dengan ayah mereka cukup jauh.

Disaat yang genting itu tiba-tiba sesosok bayangan yang bergerak luar

biasa cepatnya menerjang kearah Raden Cinde Seta. Pukulan yang

dilancarkan oleh Raden Seta ditahan oleh bayangan itu. Dan Raden Seta

merasakan tangannya seolah-olah lumpuh. Kemudian sebuah dorongan

pada dadanya membuatnya terhuyung-huyung.

?Raden Cinde Seta, kalau kamu akan menuntut balas pada

pembunuh ayahmu selidikilah dahulu masa lampau ayahmu. Adakah

perbuatan2 yang dilakukan ayahmu dimasa lampau pantas kamu bela".

Terdengar suara yang halus tetapi berpengaruh.

?Paman Samun. Adakah kamu yang datang?" teriak Empu Krepa.

Kala itu matahari menjelang terbit. Keadaan disekitar tempat itu

sudah mulai terang.

?Kak Bambang. Lihatlah Kakek Samun yang datang". Terdengar

Dewi berseru.

Adapun Raden Cinde Seta menyadari, bahwa kakek yang

dihadapinya itu bukan lawannya. Pada pikirnya jika melawan percuma.

Maka segera ia berseru :

?Santa Jaya! Berhentilah bertempur! Musuh bukan lawan kita".

Santa Jaya beserta anak buahnya mematuhi perintah itu dan segera

mengundurkan diri. Kemudian Cinde Seta berkata:

?Baiklah Empu Krepa. Akan kuselidiki dahulu tentang kematian

ayahku. Adakah ayahku yang bersalah ataukah kamu. Lain kali kita64

bertemu kembali".

Sehabis demikian ia segera meloncat kepunggung kuda dan diikuti

oleh Santa Jaya beserta anak buahnya. Naya yang dalam keadaan terikat

juga mereka tinggalkan.65

Sepeninggal pradiurit2 Belambangn itu maka Jaka Prasetya segera

menghampiri Empu Krepa. Ia merasa heran melihat kehadiran orang

yang pernah menolongnya. Saat itu dilihatnya pak Samun sedang sibuk

merawat Empu Krepa.

?Paman Samun. Apa yang terjadi atas diri paman Krepa?"

Ki Samun menoleh pada Jaka Prasetya sambil berkata :

?Nak Jaka, pamanmu Krepa telah dilukai matanya oleh Raden Cinde

Seta. Luka itu akan membawa akibat yang tidak baik bagi mata

pamanmu. Tetap, kamu tidak usah khawatir. Karena beruntung bahwa
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku datang tepat pada waktunya". Ki Samun berhenti sejenak ?Bila aku

tidak melihat pukulan jaing dilancarkan oleh pemuda Belambangan itu tak

akan dapat aku menyembuhkannya".

Memang ki Samun, orang yang baru datang itu mempunyai

hubungan keluarga yang erat dengan Empu Krepa. Dia adalah adik dari

mertua Empu Krepa, yaitu Resi Mandraguna. Dismping pengetahuan yang

luas dalam dunia ketabihan ternyata dia memiliki tenaga batin yang

sudah sampai dipuncaknya. sehingga Raden Cinde Seta dapat diusir

dengan mudah.

Jaka Prasetya sangat girang mendapat jawaban yang

menyenangkan itu. Kemudian dia mendekati Naya untuk menolongnya

dan .. dilihatnya Suta yang terlentang ditengah jalan dengan anak

panah menancap didadanya. Jaka segera mendekati Suta. Diperiksanya

tubuh yang malang itu. Maka mengeluhlah ia.

?Bagaimana raden? Dapatlah ia ditolong". Terdengar Naya berkata

dalam keadaan masih terikat. Jaka mendekati Naya untuk membuka

ikatannya.

?Sudahlah, Naya. Relakan dia. Dia telah pergi." Mendengar jawaban

itu Naya menggigit bibir untuk menahan keluarnya air mata.

Sementara itu Ki Samun sibuk menolong Empu Krepa. Candra

dengan saudara2nya memperhatikan dengan penuh rasa khawatir. Oleh

karena luka yang dideritanya itu maka mata Empu Krepa terpaksa

dibebat. Menurut nasehat Ki Samun bebat itu baru boleh dibuka selang

dua hari.

Sehabis memberikan pertolongan berkatalah Ki Samun pada Empu

Krepa:

?Krepa! Lekas pergi kedesa Butuh! Kakakmu Anggara yang

menyembunyikan diri disitu kini sedang terancam bahaya".

Jaka Prasetya agak terkejut mendengar berita itu.

?Bahaya apakah gerangan yang mengancam diri ayah?"

?Nak Jaka! Jadi Anggara ayahmu".

?Betul paman. Didesa Butuh ia dikenal dengan nama Ki Rangga.

Dahulu ketika paman menanyakan tentang diri ayah saya belum

mengetahui bahwa Anggara adalah sama dengan Ki Rangga itu . bahaya

apakah yang mengancam ayah''.66

?Jaka". Demikian Empu Krepa berkata. ?Sebetulnya aku sudah tahu

bahaya apakah yang dimaksud oleh paman Samun. Tetapi jangan

mengkhawatirkan hal itu. Pada saat ini Kyai Candra Ketu dengan dua

orang muridnya datang kedesa Butuh. Dia akan mengatur siasat untuk

merobohkan kak Anggara. Telah lama kak Anggara dicari oleh Kyai

Candra Ketu. Tetapi seperti tadi telah kukatakan tak usah khawatir,

karena gerak-geriknya Kyai Candra Ketu telah dibayangi oleh seorang

berilmu. Kepandaian orang itu cukup untuk menghadapi Kyai Candra Ketu

beserta murid2nya".

?Siapakah orang itu, paman?"

?Nanti kamu akan mengetahui sendiri. Sabarlah''.

?Dan sekarang marilah kita segera meninggalkan tempat ini. Paman

Samun adakah paman juga bermaksud kedesa Butuh?''

?Tentu! Tetapi sayang saya tak dapat pergi bersama dengan kalian

Saya masih mempunyai sedikit urusan. Pergilah dulu. Saya akan segera

menyusul setelah menyelesaikan urusan saya'', jawab Ki Samun.

Saat-saat berikutnya merupakan saat-saat prihatin yaitu ketika Ki

Samun memimpin upacara penguburan jenazah Suta yang telah membela

Empu Krepa tanpa menghiraukan keselamatan dirinya. Candra dan Dewi

menangis terisak-isak. Hubungan mereka dengan Suta sangat akrabnya.

Kini orang itu meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Pengawal

yang setia itu dikubur disebuah belukar ditepi sebuah jalan. Kuburannya

sangat sederhana. Setelah tanda sekedarnya pada kuburan itu mereka

segera melanjutkan perjalanan.

Kali ini Empu Krepa berkuda disamping Naya. Dan Jaka Prasetva

serta Bambang Suteja berkuda bersama dengan Dewi dan Candra seperti

semula. Sedang kuda si Suta diserahkan pada Ki Samun.

Jaka Prasetya melakukan perjalanan ini dengan peruh kekhawatiran

terhadap keselamatan ayahnya. Sesekali ia ingat akan si Putih kuda

kesayangannya. Kalau kuda itu masih ada padanya maka dapatlah ia

mempercepat perjalanannya. Tetapi walaupun demikian berkuda bersama

Dewi kekhawatirannya banyak berkurang.

Desa Butuh

Keadaan rumah Ki Rangga tetap seperti dahulu. Tak ada suatu

perubahanpun dirumah itu. Wajah Penghuni penghuninyapun tetap tanpa

suatu perubahan. Wajah-wajah yang masam tanpa senyum tetap

menghiasi rumah itu.

Sejak Jaka Prasetya pergi meninggalkan desa Butuh, maka sikap Ki

Rangga bertambah aneh. Ia jarang keluar rumah. Tetangga-tetangga

disekelilingnya semakin heran.

Apa sebetulnya dikerjakan Ki Rangga? Semenjak Jaka Prasetya

pergi pekerjaan Ki Rangga hanyalah bersemedi dan berlatih

mempermainkan ilmu keris. Diwaktu pagi hingga sore hari ia bersemedi

untuk mempertinggi tenaga batinnya. Sedangkan diwaktu malam ia giat67

menyempurnakan ilmu keris yang diciptakannya. Begitulah yang

dikerjakan setiap hari. Ia merasa seperti kekuatan gaib yang

mendorongnya untuk melakukan semua hal itu. Dalam hatinya seperti

ada yang membisikkan bahwa jerih payahnya itu akan berguna.

Dengan tanpa disadari dua bulan telah berlalu.

Malam ini bulan sabit menghias angkasa. Keadaan desa Butuh sunyi

senyap. Tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tiada satupun

yang dilihatnya.

Ia meneruskan latihannya.

Sekonyong-konyong didaun telinganya bergetar suatu suara yang

memanggil-manggilnya.

?Anggara .. Anggara Anggara ....."

Alangkah terkejutnya Ki Rangga. Pertama ia dipanggil dengan

nama Anggara. Kedua suara panggilan itu sangat halus tetapi sangat

aneh bunyinya. Suara itu seakan-akan mengandung kekuatan gaib dan

bergetar lama didaun telinganya. Diperhatikannya arah datang suara itu.

?Anggara .. Anggara .. Anggara "

Sungguh aneh. Setiap panggilan itu datang dari tempatnya. Tetapi

sesudah ia tidak mendengar lagi suara panggilan itu. Ia meneruskan

latihan dengan hati yang tidak tenang.

Sesudah malam itu setiap malam ia selalu mendapat ganggguan

dari suara aneh itu. Suara yang menganggu latihannya. Suara yang selalu

mengganggu ketenangan jiwanya. Karena kini ia mulai mengenal siapa

gerangan orang yang telah mengganggunya.

Pada suatu hari ketika ia sedang bersemedi tiba-tiba, ia mendengar

suara memanggil-manggilnya, Ia terkejut. Ketika ia membukakan

matanya ternyata Nyi Rangga yang berdiri dihadapannya.

?Kak Anggara ."

?Ada apa Nyi .."

Nyi Rangga tidak menjawab melainkan menangis terisak-isak. Ki

Rangga terkejut bercampur heran.

?Apa gerangan yang telah terjadi. Jawablah yang jelas. Bila kamu

tidak berkata dengan jelas bagaimana aku dapat mengetahui

kesukaranmu".

Dengan menahan tangisnya Nyi Rangga mulai ber-kisah:

?Tadi ketika aku sedang mencuci ditepi sungai aku seperti

mendengar suara orang memanggilku. Ketika kutoleh tak ada seorangpun

yang berada disekitar tempat itu. Padahal arah datangnya suara itu

sangat dekat, tetapi kak, yang kutakutkan bukan itu." Nyi Rangga behenti

berkata sambil menangis terisak-isak. Kemudian sambungnya :

?Suara panggilan itu memanggilku . dengan nama kecilku . Aku

takut kak . Aku takut..Ketakutanku menjadi-jadi ketika aku kembali

dari sungai dalam perjalanan kerumah. Ah kak . tak dapat aku

menceriterakannya .. ."68

?Kuatkan hatimu. Ceriterakan, apa yang telah terjadi''. Desak Ki

Rangga.

?Kak .. Apa yanq kulihat disepanjang jalan . Menjadikan diriku

merana. Setiap.. setiap orang . Yang kujumpai dijalan ..

memandangku dengan aneh . dan .. tanpa menyapaku . mereka

meludah dihadapanku"

Nyi Rangga berhenti sebentar untuk menyaksikan reaksi Ki Rangga.

Ki Rangga tampak mengerutkan dahinya mendengar laporan isterinya.

?Kak . Aku takut kak .. Jangan-jangan rahasia kita sudah

ketahuan oleh mereka Dan aku semakin takut mereka salah

faham .

Kalau mereka menyangka yang tidak tidak tentang diri kita berdua .."

Mendengar semua kata-kata Nyi Rangga maka tertegunlah Ki

Rangga. Pada saat itu terbayanglah diruang matanya semua

pengalamannya dimasa lampau. Pengalaman yang pahit. Pengalaman

yang getir. Pengalaman yang digenangi oleh tetesan air mata. Tiba-tiba ia

ter-ingat sesuatu.

?Lastri .". Tanpa disadarinya ia berseru. Berseru dengan

menyebut nama kecil Nyi Rangga.

?Kenapa kak ..

?Aku tahu siapa yang telah menggodamu dengan panggilan itu. Dan

ketahuilah bahwa suara memanggil-manggil itu juga telah menggangguku

selama beberapa malam

?Jadi kakak juga mengalami hal seperti itu . dan siapa orang itu

menurut dugaan kakak?"

?Nanti akan kau ketahui duga hal ini. Dan sekarang tenangkanlah

hatimu". Demikian kata Ki Rangga. Nyi Rangga tidak mendesak.

Keduanya terbungkam dalam kesunyian. Dalam saat yang seperti itu,

tiba-tiba Sari masuk dalam ruangan itu. Kedua orang tuanya menoleh

mtenghadapi sang anak. Demikian pandangan mereka bertemu dengan

pandangan mata Sari terkejutlah mereka. Muka Sari merah padam. Tiba
tiba menghamburlah Sari kedalam pelukan ibunya.

?Ibu Ayah.. Berterus teranglah padaku. Katakan padaku.

Apakah yang sebetulnya telah terjadi. Apa sebabnya mereka

memandangku seperti itu. Dosa apa yang kita tanggung terhadap

mereka. Ayah ibu .. Saya tidak tahan terhadap hinaan

?Sari Anakku . Tenanglah nak. Ceritakanlah apa yang baru kau

alami".

Setelah meredakan tangisnya berceriteralah Sari. Ternyata

pengalamannya sama dengan pengalaman ibunya. Ketika ia sedang

berada ditengah ladang tiba-tiba ia mendengar suara memanggil-manggil

namanya ?Sari. Sari .. Sari " Ketika ia menoleh kekiri dan

kekanan tak dilihatnya seorangpun yang berada disitu. Ia segera

melanjutkan pekerjaaanya, Tiba-tiba ia mendengar suara panggilan.69

Panggilan itu sangat menyakitkan hatinya.

?Sari anak haram ...... Sari anak haram " Ia menoleh dan

melihat kekiri dan kekanan dan sekali lagi ia tidak mendapatkan

seorangpun berada disekitar itu. Ia segera mengelilingi ladanginya. Tetapi

tak seorangpun dijumpainya. Ia mulai takut. Ini diluar kebiasaannya.

Biasanya ia tidak mudah takut. Namun kali ini ia merasakan ketakutan

itu.

?Sari anak haram .. Sari anak haram .."

Sekali lagi ia mendengar suara itu. Dengan menggigit bibir ia

menuju kearah datangnya suara tadi tetapi sekali lagi ia mendapatkan

tempat kosong. Tak ada seorangpun diketemukan disitu. Dengan

setengah berlari ia segera pulang dan . ditengah perjalanan itullah ia

menjumpai sesuatu yang lebih menyebabkan-nya merana. Ditengah

perjalanan ke rumah, setiap orang yang didjumpainya memandang
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sinar mata yang aneh. Ada yang meludah dan ada yang

membicarakannya dengan tertawa-tawa. Dengan mengeraskan hati ia

terus berjalan kerumah.

Itulah yang dialami Sari. Mendengarkan cerita anaknya sang ibu tak

dapat nenahan tangisnya.

?Ibu Ayah .. Betulkah aku .. anak .. seperti yang telah

disebutkan oleh suara yang kudengar itu ."

?Sari!" Tiba-tiha Ki Rangga berseru. Suaranya bercampur kepiluan

hati. ?Dengarlah. Sekali-kali jangan percayai hal itu. Semua itu hanya

fitnahan belaka. Nah sekarang tenangkan hatimu, Sari".

Sari merasa berkurang kesedihannya mendengar kata-kata

ayahnya. Tangisnya menjadi agak reda. Nasib apa yang telah menimpa

keluarga itu? Apa yang sebetulnya telah terjadi?

Malam itu ketika kesunyian merejainya terlihat seseorang dengan

langkah yang gesit keluar dari pekarangan Ki Rangga. Orang itu tak lain

dari pada Ki Rangga yang bertekad bulat untuk mencari orang yang telah

mengganggu ketenteraman rumah tangganya. Ia bermaksud mencari

keseluruh pelosok desa itu. Ia yakin bahwa orang yang dicarinya itu

bersembunyi disalahsebuah rumah penduduk.

Setiap rumah didatanginya tanpa sepengetahuan penghuninya,

Tetapi orang yang dimaksud tak dijumpainya. Tiba-tiba ia berhenti

berjalan. Ia mendengar suara memanggil-manggilnya.

?Anggara . Anggara . Anggara .."

Pada hari-hari yang belakangan ini ia telah memperhatikan dan

mempelajari sifat-sifat dari ilmu mengirim getaran dari orang yang

memanggil-manggilnya itu. Maka pada waktu ia mendengar suara

panggilan itu ia dapat mengira-kira dimana lawannya berada. Secepat

kilat ia berlari kearah datangnya suara itu.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang mencaci maki. Suara itu

datangnya dari tanah lapang yang sering digunakan untuk mengembala70

ternak pada siang harinya.

?Setan alas! Berani benar kamu menggangguku!"

Ki Rangga segera mempercepat langkahnya menuju ketempat

datangnya suara itu. Apa yang dijumpainya? Ditanah lapang itu

dijumpainya dua orang yang sedang bertempur dengan hebatnya. Ki

Rangga segera mendekati dua orang itu. Mereka bertempur dengan

tangan kosong. Seorang dari padanya adalah seorang yang sudah agak

lanjut usianya. Dari cahaya bulan yang remang-remang terlihat betapa

rambut orang itu telah mulai memutih. Ki Rangga memandang orang itu

dengan beringas. Kenapa? Orang itu adalah orang yang paling

dibencinya. Orang itu adalah orang yang pernah merusakkan

kebahagiaan hidupnya. Orang itu adalah orang yang disangkanya telah

mengganggunya pada akhir-aihir ini. Dia tak lain dan tak bukan adalah

Kyai Candra Ketu. Tetapi siapakah orang yang bertempur dengan Kyai

Candra Ketu itu? Orang itu mengenakan pakaian yang serba hitam.

Rambutnya dibiarkan tidak terurus dan seluruh mukanya ditumbuhi

rambut sehingga wajahnya sukar dikenal.

?Siapa kamu sebenarnya .." kata Kyai itu sambil melancarkan

sebuah pukulan. Pukulan itu mengeluarkan asap yang berwarna hitam.

?Candra Ketu! Terlalu banyak orang yang menjadi korban karena

keganasanmu. Pantas kalau kamu tidak mengenal salah seorang dari

padanya". Orang itu menjawab sambil menangkis pukulan Kyai Candra

terhuyung-huyung. Sedangkan orang aneh itu tetap tegak berdiri.

Alangkah terkejutnya Ki Rangga menyaksikan kejadian itu. Sebab ia tahu

bahwa tenaga pukulan yang dipergunakan Kyai Candra Ketu adalah

tenaga hitam yang luar biasa dahsyatnya dan orang aneh itu berani

menangkisnya dengan tangan, bahkan dia dapat mendorong Kyai itu

beberapa langkah kebelakang. Kesaktian itu tak dapat diukur tingginya.

Siapakah sebenarnya orang itu? Selama hidupnya Ki Rangga belum

pernah melihat orang itu. Apalagi mengenalnya.

Sebetulnya apa yang disaksikan Ki Rangga itu bukan suatu

pertempuran, karena semua serangan datangnya dari Kyai Candra Ketu

sedangkan orang aneh itu hanya menghindari atau menangkis. Ia tidak

melakukan serangan pembalasan. Namun Kyai Candra Ketu tak dapat

berbuat banyak pada orang itu. Setiap serangan Kyai Candra Ketu dapat

dipatahkan dengan mudah oleh orang itu.

Serangan Kyai Candra Ketu semakin ganas. Setiap serangan

dilakukan dengan cepat dan mengarah tempat-tempat yang mematikan.

Namun kesemuanya itu dapat dipatahkan dengan mudah oleh orang aneh

itu dengan gerakan-gerakan yang aneh serta membingungkan lawan.

Ki Rangga terkejut menyaksikan kemajuan Kyai Candra Ketu. Kalau

dia yang menghadapinya sukarlah untuk memperoleh kemenangan,

meskipun kemajuannyapun tak kurang pesatnya.

Kini dia menyaksikan sendiri bahwa Kyai Candra Ketu dengan71

mudah dipermainkan oleh orang yang belum dikenalnya. Sementara itu

serangan Kyai Candra Ketu semakin hebat. Tiba-tiba orang itu berteriak :

?Candra Ketu. Sudah puaskah kamu. Kini tiba giliranku untuk

menyerangmu".

Orang itu berkata sambil menghindar dan menangkis serangan Kyai

Candra Ketu.

?Pukulan pertama untuk membalaskan dendam dari bayi-bayi yang

telah menjadi korban kebiadabanmu yang menjadi korban dari usahamu

mompelajari ilmu hitam".

Kyai Candra Ketu mendengus sambil melancarkan serangan

mematikan.

?Lihat pukulan pertama!"

Dengan gerakan yang aneh dan sukar diduga orang itu

melancarkan sebuah pukulan kearah Kyai itu. Ki Rangga merasakan angin

yang sangat dingin menyambar mukanya. Kyai Candra Ketu mencoba

menghindari tetapi pukulan itu sangat anah gerakannya dan

terdengar jeritan tertahan. Dan dilain saat Ki Ranggga melihat Kyai

Candra Ketu meloncat kebelakang hendak melarikan diri.

?Candra Ketu! Jangan lari!"

Dengan gerakan yang sangat cepat orang itu mengejar Kyai Candra

Ketu menerobos kedalam hutan yang terdapat didekat lapangan itu.

Orang aneh itu dengan tanpa ragu ragu mengejar kedalam hutan itu. Ki

Rangga mula-mula agak ragu-ragu tetapi hanya sebentar, kemudian

segera mengikuti kedua orang itu.

Namun ia telah kehilangan jejak. Kedua orang itu bagaikan lenyap

kedalam hutan. Lama dia berlari-lari didalam hutan itu untuk mencari

mereka. Ternyata bahwa usahanya tak berhasil. Ki Rangga berhenti

dibawah pohon randu untuk beristirahat. Kini ternyata bahwa dugaannya

tentang orang yang mengganggunya setiap malam ternyata betul. Dia

menduga bahwa orang itu adalah Kyai Candra Ketu. Orang itulah yang

menyebarkan kabar yang memburukkan namanya. Dan rakyat didesanya

terpengaruh oleh Kyai itu.

Sayup-sayup sampai ia mendengar ayam jantan berkokok. Ia

terkejut. Tanpa dirasainya semalam suntuk telah ia lewati dengan

mengejar-ngejar musuh besarnya. Ki Rangga memutuskan untuk pulang.

Ia segera berjalan keluar dari hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara saling

mencaci. Ia segera mempercepat langkahnya. Ditengah sebuah jalan

ditepi hutan itu melihat seseorang bertempur melawan tiga orang musuh.

Orang yang dikeroyok itu ternyata adalah orang aneh yang

dilihatnya tadi malam. Yang mengeroyok adalah Kyai Candra Ketu dengan

dua orang yang belum pernah dikenalnya.

Meskipun orang aneh itu sangat tinggi kepandaiannya tetapi

pengeroyoknya adalah orang2 yang tak boIeh dipandang ringan. Ia

melihat bahwa orang aneh itu agak kewalahan.72

?Jangan kuatir sahabat. Aku akan membantumu". kata Ki Rangga.

la segera menyiapkan cambuknya dan terjun kemedan perkelaian.

?Tuluh Braja bereskanlah si Anggara manusia haram itu. Bersama

dengan Candra Mawa aku cukup kuat untuk melawan orang ini."

terdengar Kyai Candra Ketu berseru.

Seorang yang bertubuh jangkung menghadang Ki Rangga. Orang

inilah kiranya yang dipanggil dengan nama Tuluh Braja. Dia adalah murid

kedua Kyai Candra Ketu. Orang ini bersenjatakan golok, Diayunkannya

cambuknya kearah Tulur Braja.

Gerakan Ki Rangga sangat cepat sehingga Braja terpaksa

menghindar dan tak dapat melanjutkan serangan. Seketika ditempat itu

terjadi pertempuran yang maha hebat.

Pada saat itu disebelah timur langit sudah mulai bersinar merah.

Kyai Candra Ketu bersama muridnya yang pertama bertekad untuk

membunuh orang aneh itu. Segala macam kepandaian yang telah

dipelajari dikeluarkan sedangkan Candra Mawa muridnya juga membantu

gurunya dengan sepenuh hati.

Namun setelah pengeroyokan berkurang seorang maka orang aneh

itu dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi Kyai Candra Ketu sudah

terluka oleh sebuah pukulan orang aneh itu.

Adapun pertempuran antara Tuluh Braja dengan Ki Rangga

berlangsung dengan seimbang.

Pertempuran dikedua kalangan itu terus berlangsung dengan

serunya, Tiba-tiba dari sebelah Timur terlihat beberapa penunggang

kuda. Pada saat itu suasana sudah agak terang. Seorang dari

penunggang2 kuda itu berlari mendahului teman2nya.

?Ayah! Jangan khawatir! Jaka datang membantu!" Terdengar orang

tadi berteriak. Memang penunggang kuda yang mendahului teman2nya

itu adalah Jaka Prasetya. Dan rombongan penunggang kuda itu adalah

rombongan Empu Krepa.

Mendengar teriakan itu tahulah Ki Rangga. bahwa anaknya datang.

Sesaat serangannya agak kendor. Kesempatan ini dipergunakan oleh

Tuluh Braja untuk melarikan diri.

Melihat Tuluh Braja melarikan diri Candra Mawa menjadi tidak

bersemangat. Ia segera mengikuti adik seperguruan itu melarikan diri,

Tentu saja Kyai Candra Ketu sangat marah melihat pengkhianatan para

muridnya.

?Murid pengecut! Berhenti!" Tetapi kedua orang orang muridnya itu

telah menerobos kedalam hutan.

?Ha ha . ha . Candra Ketu. Rasakanlah pembalasanku".

Terdengar orang aneh itu tertawa dan dengan bertubi-tubi melancarkan

pukulan2 yang aneh.

Sementara itu Ki Rangga yang ditinggalkan lari lawannya semula

akan mengejar, tetapi segera dibatalkannya. karena ia merasa belum73

kenal pada musuhnya tadi. Tak ada gunanya menguber-uber orang yang

belum jelas kejahatannya.

?Ayah! Anak datang bersama paman Krepa". Terdengar Jaka

Prasetya berkata pada ayahnya.

Ki Rangga seakan-akan tidak mendengar. Saat itu perhatiannya

sedang tertuju pada pertempuran yang terjadi dihadapannya. Demikian

pula orang2 yang baru datang itu. Candra, Bambang Suteja dan Dewi

serta Naya juga memperhatikan peteempuran itu, Hanya Empu Krepa

yang tak dapat menyaksikan perisiwa dihadapannya. Luka dimatanya

belum sembuh

Kyai Candra Ketu tidak berdaya menangkis serangan- serangan

orang aneh itu. Segala macam ilmunya seakan-akan tidak mempan

dipergunakan untuk menjatuhkan lawannya. Ia bermaksud melarikan diri

tetapi jalan untuk itu tertutup.

Keadaan Kyai Candra Ketu seperti tikus yang dipermainkan kucing.

Kemarahan terhadap kedua orang muridnya yang telah melarikan diri

mengurangi kewaspadaannya.

Tiba-tiba orang aneh itu mengayunkan sebuah pukulan yang luar

biasa dahsyatnya. Angin yang menderu-deru membarengi pukulannya.
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan terdengar jeritan yang ngeri. Kyai Candra Ketu nampak

terhuyung-huyung kebelakang dan kemudian jatuh terlentang. Jatuh

terlentang tanpa berkutik.

?Ayah Ibu ananda telah membalaskan dendammu". Orang

aneh itu terdengar berseru dengan nada yang pilu. Kemudian segera

berlari meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan keadaan

sekelilingnya.

Baik Ki Rangga maupun Jaka Prasetya dan semua yang ada disitu

merasa heran terhadap sikap yang aneh dari orang itu. Siapa gerangan

dia?

?Akhirnya jahanam itu telah memetik buah dari perbuatannya yang

jahat", demikian terdengar Ki Rangga berkata seorang diri. Ia terpaku

menyaksikan tubuh Kyai Candra Ketu yang terlentang tak berkutik

dihadapannya. Kyai Candra Ketu orang yang paling dibencinya kini telah

mati. Sayang bukan binasa dibawah tangannya. Walau demikian ia

merasa lega bahwa dengan meninggalnya Kyai Candra Ketu berkuranglah

sebuah kejahatan.

Tiba-tiba Ki Rangga tersadar bahwa ia tidak seorang diri disitu. Ia

cepat-cepat menoleh. Mula-mula nya anaknya kemudian ..

?Krepa . adikku . Kiranya kamu yang datang".

?Kak Anggara betul katamu. Sayalah yang datang mengunjungimu.

Saya amat rindu padamu.

?Hai kenapa matamu .." kata Ki Rangga ketika melihat mata adik

angkatnya yang dibebat. Kemudian Jaka Prasetya segera menceriterakan

apa yang telah mereka alami bersama pamannya.74

Empu Krepapun segera memperkenalkan ketiga orang anaknya.

?Dan mana . Sariwati'', kata Ki Rangga tiba-tiba. Yang dimaksud

adalah isteri Empu Krepa. Ketika itu teringatlah ia pengalamannya dimasa

lampau. Tadi ketika ia melihat Candra dia mengira itulah Sariwati. Tetapi

ternyata bukan. Ketika Empu Krepa ditanya tentang Sariwati maka

berkatalah ia dengan lesu:

?Sariwati telah tiada lagi. Ia telah pergi meninggalkan daku

bersama ketiga orang anaknya. Dan "

?Sudahlah Krepa nanti sajalah hal itu kau ceriterakan padaku.

Sekarang marilah kita bersama-sama kerumahku. Jaka, bereskanlah

mayat Kyai jahanam ini".

Demikianlah Ki Rangga segera menggandeng tangan adik

angkatnya. Orang yang pernah ditinggalkannya. orang yang pernah

melukai hatinya. Mereka berjalan bersama menuju kerumah Ki Rangga

diikuti oleh Candra dan Dewi. Adapun Bambang Suteja dan Naya

membantu Jaka Prasetya mengubur jenazah Kyai Candra Ketu.

Sehabis mengubur jenazah kyai itu Jaka Prasetya beserta Bambang

Suteja dan Naya segera berjalan menuju kerumahnya.

Pada saat itu matahari sudah mulai terbit. Desa itu mulai sibuk.

Petani2 sudah mulai berbondong-bondong pergi kesawah.

Sudah agak lama Jaka Prasetya meninggalkan desanya. Ia merasa

rindu pada penghuni desa itu. Oleh karena itu disapanya setiap orang

yang dijumpainya.

Disaat itulah ia merasakan suatu keanehan. Setiap kali ia menyapa orang

yang dijumpainya orang itu selalu memalingkan muka dan meludah.

Betapa heran dan kecut perasaan Jaka Prasetya. Mengapa mereka

bersikap demikian? Apa gerangan sebabnya?

Jaka Prasetya segera mempercepat langkahnya menuju kerumah

untuk segera menanyakan hal itu pada ayahnya.

Sesampai dirumahnya Jaka Prasetya melihat ayahnya sedang asyik

berbicara dengan pamannya, Disaat ia hendak menanyakan keadaan

yang aneh itu tiba-tiba ia melihat seorang penunggang kuda

menghentikan kudanya dimuka halaman rumahnya.

Jaka Prasetya segera memperhatikan si penunggang kuda itu.

Betapa gembira hatinya ketika mengetahui bahwa penunggang kuda itu

ternyata adalah Ki Samun. Jaka Prasetya segera memberitahukan

kedatangan Ki Samun pada ayahnya. Betapa girang Ki Rangga

mendengar kedatangan Ki Samun. Dengan cepat menyambut kedatangan

Ki Samun dukun sakti itu.

Setelah bercakap sejenak dengan Ki Rangga berkatalah Ki Samun

pada Empu Krepa.

?Krepa,hari ini tiba saatnya kamu membuka bebat matamu.

Bukankah kamu ingin melihat wajah kakakmu".

?Betul katamu, paman, Aku betul-betul ingin melihat wajah kak75

Anggara. Dan akupun sangat ingin melihat wajah kakak iparku".

Tiba-tiba Ki Rangga nampak gemetar. Tetapi tidak diperhatikan oleh

semua orang yang hadir disitu. Nyi Rangga yang berada disitupun agak

gemetar.

Ki Samun segera bertindak. Dibukanya bebat yang menutupi mata

Empu Krepa.

Kini terbukalah sudah tutup mata itu. Empu Krepa memperhatikan

keadaan sekelilingnya. Matanya menjadi silau menghadapi cahaya

matahari pagi yang menyerang matanya. Agak sejenak ia menguasai

pandangan matanya setelah itu berkatalah ia pada Jaka Prasetya.

?Jaka, mana ibumu?"

Itulah yang ditanyakan pada Jaka Prasetya. Jaka Prasetya merasa

heran. Bukankah ibunya ada dimuka pamannya?

?Dialah ibuku", kata Jaka sambil menunjuk ibunya. Empu Krepa

memperhatikan arah yang ditunjuk. Dan tiba wajahnya berubah.

?Jaka, jangan bergurau .."

?Mengapa saya mesti bergurau. Dialah Ibuku".

Tiba-tiba Ki Rangga mencela ?Krepa, betul apa yang dikatakan oleh

Jaka. Jaka Prasetya tidak pernah bergurau''.

Dan disaat itu diwajah Empu Krepa terlihat raut keheranan.

Ditatapnya wajah Nyi Rangga.

?Kak Anggara apakah artinya ini".

?Krepa, apa yang kau herankan. Dialah ibu Jaka Prasetya''.

Tiba-tiba Empu Krepa berkata setengah berteriak: ?Kak Anggara ..

tidak tulikah saya .. Atau mataku yang salah melihat orang".

?Tidak! Sekali-kali tidak!"

Empu Krepa menatap wajah Ki Rangga dan Nyi Rangga silih

berganti. Ki Rangga melawan tatapan Empu Krepa dengan tabah, tetapi

Nyi Rangga tunduk tak berani memandang Empu Krepa. Mukanya

nampak kemerah-merahan. Pemandangan diruangan itu menimbulkan

rasa heran pada sekalian hadirin. Kesunyian mencekam ruangan itu.

,,Ayah! Apakah artinya semua ini?'' terdengar cetusan kata dari

mulut Jaka Prasetya.

Tiba-tiba terdengar sedu yang tertahan.

?Krepa! Janganlah memandangku seperti ini. Kak Anggara mengapa

kau tak membunuhku saja. Bunuhlah saya kak! Karena sayalah kamu

menderita". Demikian kata Nyi Rangga sambil menahan tangisnya.

?Lastri! Tenangkan hatimu! Aku akan mencoba untuk menerangkan

hal ini pada Krepa".

Tetapi sebelum Ki Rangga membuka mulut untuk memulai

keteranaannya tiba-tiba dari arah luar terdengar suara sorak-sorai.

Semua orang yang ada didalam rumah itu segera bangkit menuju

pintu rumah. Apa yang mereka lihat betul-betul mengejutkan. Dari jalan

dimuka pekarangan itu mereka melihat berpuluh-puluh orang petani yang76

memandang mereka dengan sinar mata yang berapi-api. Mereka

berteriak-teriak sejadi-jadinya.

?Usir manusia haram itu!"

?Rangga jahanam. Enyah kamu dari sini!"

?Rangga! Enyah kamu dari rumah yang telah kamu kotori".

?Bunuh saja binatang itu!"

Alangkah marahnya Jaka Prasetya mendengar caci maki yang

ditujukan pada ayahnya itu. Dengan sigap ia segera meloncat kearah

gerombolan orang itu.

?Hai diam! Apakah kamu semua telah menjadi gila?"

?Ha, ha, ha, ha, ha Ha ha ha .. Orang desa yang berkumpul

didepan rumah Ki Rangga itu tertawa bersaut-sautan.

?Amboi Lihat anak haram itu Tentu saja ia membela

ayahnya Ha ha ha ha . ha ha ha .."

Bermacam-macamlah olok-olok petani2 itu pada Jaka. Kemarahan

Jaka tak dapat ditahan lagi. Dia segera meloncat kearah orang yang

paling ceriwis. Ditamparnya orang itu.

?Apa yang kamu katakan. Lekas ulangi!"

Melihat temannya ditampar oleh Jaka Prasetya petani2 itu menjadi

marah. Mereka bergerak untuk mengeroyok pemuda itu.

Pada saat dari jauh terlihat dua orang penunggang kuda yang

melarikan kudanya dengan pesat kearah rumah Ki Rangga. Melihat

keributan dimuka rumah Ki Rangga tiba-tiba salah seorang dari padanya

berteriak.

?Berhenti! Berhenti! Apakah kamu semua telah gila".

Suara itu bagaikan geledek kerasnya dan berwibawa. Semua orang

segera menoleh kearah suara itu. Seorang dari pada penunggang kuda itu

sangat aneh nampaknya. Rambutnya tak terurus. Sebagian besar dari

mukanya ditumbuhi rambut. Dialah orang aneh yang membunuh Kyai

Candra Ketu.

Yang seorang lagi seorang yang usianya sudah setengah umur.

Wajahnya sangat berwibawa. Matanya bersinar tajam. Dialah orang yang

berteriak tadi.

Tiba-tiba Jaka Prasetya berlari kearah orang itu dan kemudian

menyembah berkata:

?Gusti Pangeran Hamba Jaka Prasetya berdatang sembah".

Siapakah gerangan orang itu? Orang itu adalah Pangeran. Danureja

seorang pangeran dari Mataram. Pangeran tadi memandang Jaka

Prasetya dengan tajam. Jaka Prasetya merasakan pandangan yang aneh

dari sinar mata Pangeran itu. Ia terpaksa menunduk tak berani beradu

pandang dengan mata Pangeran itu. Orang2 yang berkumpul disitu

memandang kedua orang itu dengan keheranan. Mengapa? Wajah kedua

orang itu ?wajah Pangeran Danureja dengan wajah Jaka Prasetya sangat

mirip. Meraka hanya berbeda dalam usia. Tetapi ksemuanya itu tak77

diperhatikan oleh sang Pangeran. Dengan nada tajm ia berkata

?Apakah kamu semua sudah gila? Apa yang kamu perbuat atas

pemuda ini? Tidak ingatkah kamu pada jasanya. Tak adakah diantaramu

yang mengenal siapa Jaka Prasetya itu? Kiranya kamu balas air susu

dengan air tuba".

Keadaan dipekarangan itu sunyi senyap. Sunyi seperti dikuburan,

Semua petani2 tadi tunduk tak berani memandang Pangeran Danureja.

?Lekas minta ampun pada pemuda itu". Terdengar teriakan yang

menggeledek.

?Ampun gusti pangeran. Ampunilah kami yang bodoh ini". Demikian

terdengar salah seorang dari petani2 itu berdatang sembah. Kemudian

sambungnya. ?Tetapi berilah kami keadilan pada orang yang telah

mengotorkan desa kami".

Mendengar kata2 itu timbullah rasa heran dihati Danureja. Ia

segera membuka mulut untuk menanyakan hal itu. Tetapi sebelum ia

sempat berkata terdengar suara menyaut:

?Danureja! Pandai betul kamu memilih waktu untuk datang kesini.

Sungguh tepat kamu memilih waktu. Betul-betul tepat".

Semua orang heran mendengar nada ucapan Ki Rangga yang

seperti memandang rendah pangeran Danureja. Pangeran Danureja

seperti tidak menghiraukan kata2 yang diucapkan oleh Ki Rangga. Ia

segera turun dari kuda dan berjalan mendekati Ki Rangga.

?Kak Anggara. Mana Lastri?

?Apa maksudmu menanyakan dia".
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Aku ingin mengatakan sesuatu padanya".

Ki Rangga menyambut kata2 Pangeran Danureja dengan wajah

tawar.

?Lastri". Terdengar Ki Rangga memanggil Nyi Rangga. Nyi Ragaga

nampak muncul diambang pintu dan . bertemulah pandangan matanya

dengan pandangan mata Pangeran Danureja. Dengan cepat ia berbalik

kembali kedalam rumah.

?Lastri. kasihanilah aku". Terdengar Pangeran Danureja berkata

dengan nada memohon tanpa menghiraukan martabatnya sebagai

seorang pangeran yang diagung-agungkan dibumi Mataram. Semua

orang heran menyaksikan tindak tanduk Pangeran Danureja yang aneh

itu.

Lastri berhenti melangkah tetapi tidak menoleh.

?Apa yang akan kamu katakan padaku".

?Sebetulnya tak ada muka bagiku untuk bertemu dengamu Tetapi

sekali ini aku harus memberanikan diri''.

Pangeran itu berhenti sejenak.

?Lastri apa yang akan kukatakan padamu hanyalah Berilah

ampun terhadap semua dosaku padamu". Sekali lagi Pangeran itu berkata

dengan nada memohon.78

Sekali lagi Pangeran itu berkata tanpa menghiraukan martabatnya

sebagai seorang Pangeran. Sekali lagi semua orang nampak keheranan.

?Ampun? Mengapa kamu memintanya padaku' .

?Demi Allah, Lastri. Ampunilah segala dosaku padamu".

?Mengapa kamu meminta ampun padaku. Dosaku belum mendapat

ampun, kini kau datang meminta ampun padaku''.

Pangeran Danureja terdiam.

Jaka Prasetya heran mendengar percakapan itu. Ki Rangga tegak

berdiri disamping isterinya. Semua orang yang ada disitu mendengarkan

semua percakapan itu dengan tidak mengerti.

Tiba-tiba terdengar Jaka Prasetya berkata setengah berteriak.

?Ayah. Apakah artinya semua ini? Jangan biarkan anakmu menjadi

gila menyaksikan semua ini".

Ki Rangga tetap diam. Dia tetap berdiri tegak disamping Nyi

Rangga. Perhatian semua orang dicurahkan padanya. Kesunyian tetap

mencekam pekarangan rumah itu.

Tiba-tiba terdengar Ki Rangga berkata. Suaranya menggeledek.

?Betul katamu, Jaka. Kini tiba saatnya aku akan menjelaskan

semua hal ini padamu. Rahasiaku, rahasia ibumu dan rahasia kita".

Ki Rangga diam sejenak. Kemudian :

?Jaka. Ketahuilah olehmu, Sebetulnya .. aku . bukan ayahmu

......"

?Apa kata ayah?"

?Aku bukan ayahmu".

?Ayah .."

?Tulikah kamu Tidak mendengarkah kamu Ataukah suaraku yang

kurang keras".

?Ayah .."

?Aku bukan ayahmu".

Jaka Prasetya bagaikan orang yang linglung. Ia tidak percaya pada

pendengarannya. Ia memandang sekelilig seakan-akan hendak bertanya

pada setiap orang yang hadir disitu.

?Jaka". Terdengar Ki Rangga memecahkan kesunyian.

?Tahukah kamu siapa dia?" Berkata begitu sambil menunjuk pada

Nyi Rangga. Nyi Rangga tetap tidak beranjak dari tempat berdirinya.

?Dia. Lastri. Ibumu. Adalah adik kandungku".

Jaka Prasetya semakin bingung mendengar kata2 ayahnya yang

terakhir ini.

Kemudian sambil menunjuk pada orang2 yang habis memaki
makinya Ki Rangga berkata :

?Inilah sebabnya mengapa mereka memandangmu dengan aneh.

Inilah sebabnya mengapa mereka mencaci makimu. Jaka, kalau Kyai

jahanam itu masih hidup ingin benar aku merobek-robek mulutnya.

Dialah yang menyebarkan kabar beracun ini, Huh. kiranya aku tiada79

mengetahuinya. Dia mengatakan bahwa aku sampai hati .. hidup

sebagai .. suami isteri .. dengan adikku ? adik kandungku

sendiri".

Ki Rangga diam sejenak. Kemudian : ?Kyai jahanam itu

menghambur-hamburkan fitnahannya dengan mengatakan pada mereka

bahwa kamu dengan adikmu Sari adalah hasil dari perkawinan kami

kakak beradik. Mereka percaya. Mereka percaya pada setiap kata yang

diucapkan oleh Kyai keparat itu ."

Kata-kata Ki Rangga itu betul-betul mengombang-ambingkan

perasaan Jaka Prasetya. Jika perasaan Jaka Prasetya dapat diumpamakan

sebuah perahu maka kata Ki Rangga itu bagaikan ombak bagaikan

gelombang samudra yang mempermainkan perahu tadi. Berbagai

perasaan silih berganti merajai diri Jaka Prasetya. Bigung, heran, terkejut

dan marah bercampur aduk jadi satu.

Sementara itu Ki Rangga masih terus berbicara dengan suara yang

tetap menggeledek.

?Sekarang kamu telah mengetahui mengapa mereka memanggil

?anak-haram" padamu". Berhenti sebentar.Kemudian sambungnya

dengan nada yang rendah:

?Jaka. Kalau kamu ingin tahu sipa ayahmu yang sejati. Dialah

orangnya .."

Jaka Prasetya memandang arah yang ditunjuk olaeh Ki Rangga.

Betapa terkejutnya. Orang yang ditunjuk oleh Ki Rangga itu tak lain dan

tak bukan adalah Pangeran Danureja.

Jaka Prasetya memandang ayahnya dengan bingung.

?Dialah ayahmu yang sejati". Demikian kata Ki Rangga selanjutnya.

?Dialah ayahmu yang sejati .. Dialah ayahmu yang sejati..

Dialah ayahmu yang sejati ." Demikian kata-karta itu terngiang
ngiang didaun telinga Jaka Prasetya. Betulkah kata-kata yang

didengarnya itu. Sekali lagi ia tak percaya pada pendengarannya

? Jaka! Mengapa tidak lekas-lekas kamu memberi hormat pada

ayahmu".

Keadaan disekitar itu bertambah hening. Semua perhatian

dicurahkan pada adegan itu.

Jaka Prasetya tak tahu apa yang akan diperbuatnya. Dipandangnya

Pangeran Danureja, Dilihatnya Pangeran itu bagaikan orang yang

termenung. Jaka melihat wajah yang aneh pada Pangeran itu. Tak

tahulah ia perasaan apa yang terkandung didalamnya. Dengan langkah

yang ragu dia berjalan kedekat Pangeran itu.

? Ayah Ayah . Terimalah sembah sungkemku".

Jaka Prasetya berkata berlutut dihadapan Pangeran Danureja.

Tetapi pangeran itu tidak menunjukkan suatu reaksipun. Dari wajahnya

terlukis suatu perasaan yang hampa.

?Ayah? Kamu panggil ayah padaku" Jawab Pangeran Danureja.80

Suara itu demikian perlahan sangat perlahan. Kalau pada saat itu

disekeliling tempat itu tidak sunyi senyap dan semua perhatian ditujukan

pada kedua orang itu maka suara itu tentu tiada terdengar.

? Jaka!" Tiba-tiba Pangeran Danureja berkata dengan keras.

Suaranya berwibawa.

?Kamu orang tolol. Kau panggil ayah padaku? Salah! Sama sekali

salah. Bukankah seorang ayah itu harus memberi didikan pada anaknya?

Bukankah seorang ayah itu harus membceri bimbingan pada anaknya?''

Pangeran Danureja berhenti sejenak. Suasana tetap hening.

?Apa yang telah kuberikan padamu? Didikan? Bimbingan? Tidak.

Tidak Jaka. Tak satupun kuberikan padamu. Hanya derita dan air mata

yang kuberikan padamu. Kamu terlalu suci untuk memanggilku ayah.

Menyingkirlah. Jangan dekat-dekat padaku. Kalau tidak badanmu yang

suci itu akan dikotori oleh badanku yang penuh dosa ini ."

Tiba-tiba pangeran mencabut keris yang diselipkan dipinggangnya.

Sebuah bayangan yang laksana kilat cepatnya bergerak menyambar keris

itu.

?Gusti Pangeran. Mengapa Gusti mengambil jalan sependek ini?"

Demikian bayangan tadi yang tak lain adalah orang aneh itu berkata.

?Mengapa kau halang-halangi maksudku? Bukankah tak berguna

lagi hidupku didunia inir"

?Gusti. Pendapat Gusti sama sekali tak benar. Bukankah tenaga

Gusti masih dibutuhkan oleh Sri Sultan Agung. Bila Gusti Pangeran

mengambil jalan yang sependek ini maka Sri Sultan Agung akan merasa

kehilangan. Bukan. Bukan hanya Sri Baginda. Bahkan seluruh Mataram

akan merasa kehilangan".

Pangeran Danureja termenung mendengar kata-kata itu. Akhirnya

berkatalah beliau.

?Terima kasih, nak. Kamu telah membangkitkan kembali

semangatku".

Kemudian berkatalah pangeran itu pada Ki Rangga:

?Kak Anggara. Peliharalah Jaka Prasetya seperti anak kakak sendiri.

Aku tidak cukup berharga untuk menjadi ayahnya. Demikian juga Sari

anakku yang kedua. Nah selamat tinggal, kak. Sampai berjumpa lagi".81

Kemudian tanpa menoleh lagi Pangeran Danureja berjalan menuju

kekudanya dan segera meloncat punggung kuda itu. Setelah itu

dipacunya kudanya untuk berlari meninggalkan desa Butuh.

Kemudian orang aneh itu segera membangkitkan Jaka Prasetva

masih berlutut.

? Kartika. Sudahilah sandiwaramu". Tiba-tiba terdengar Empu Krepa

berkata.

Mendengar perkataan Empu Krepa itu, orang aneh itu segera

mengusap-usap mukanya dan . muka yang penuh rambut itu seketika

menjadi bersih. Semua rambut yang ?tumbuh" dimuka itu rontok.

Kemudian rambut dikepalanya diaturnya. Seketika disitu berdiri seorang

pemuda yang gagah dan berwajah tampan.

Tiba-tiba terdengar Dewi berkata : ?Kak Kartika. Tega benar kamu

mempermainkan kak Candra".

?Maafkan Dewi. Bukan maksudku untuk mempermainkannya".

Ternyata pemuda itu adalah Kartika, tunangan Candra.

Jaka Prasetyapun terkejut.82

?Oh kiranya kakak Kartika. Alangkah besarnya rasa terima kasihku

padamu. Kamu telah menolong ayah dari ancaman Kyai Candra Ketu".

?Sudahlah, adik. Jngan kita sebut-sebut soal budi''.

Sementara itu orang2 dari desa Butuh semula bermaksud mengusir

Ki Rangga sekeluarga karena hasutan Kyai Caindra Ketu kini telah mulai

memahami duduknya perkara. Mereka segera meminta maaf pada Ki

Rangga. pada Lastri dan pada Jaka Prsetya. Tentu saja Ki Rangga

menyambut permintaan maaf itu dengan ramah. Kemudian mereka

segera bubaran.

Malam harinya

Rumah kediaman Ki Rangga nampak meriah. Para tetangga Ki

Rangga berdatangan di rumah pendekar itu. Disamping menyatakan

perasaan bersalahnya mereka juga bermaksud menjamu tamu Ki Rangga

yang datang dari Brang Wetan. Alangkah gembira mereka demi

mengetahui bahwa tamu itu tidak lain daripada saudara angkat Ki

Rangga.

Sari, Candra dan Dewi dengan dibantu oleh gadis2 didesa Butuh

sibuk menyiapkan santapan malam untuk dipenjamukan malam itu.

Sungguh berlainan suasana malam itu jika dibandingkan dengan

suasana pagi tadi. Dibandingkan dengan hari-hari kemarin Ki Rangga

nampak lebih gembira. Agaknya Ki Rangga merasa sedikit lega karena

beban yang menghimpitnya selama bertahun-tahun telah mulai
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terungkap. Kabut yang meliputi diri Ki Rangga telah menipis. Dan apa

yang diceriterakan Ki Rangga malam itu akan mempertipis kabut itu.

Awal dari cerita Ki Rangga kepada para tetangganya sama dengan

apa yang pernah diceritakan pada Jaka Prasetya. Dan marilah kita ikuti

lanjutannya.

Kepedihan hati Anggara tak terkirakan. Kenyataan yang

dihadapinya betul-betul menyiksa dirinya. Sungguh tak pernah terpikir

olehnya, bahwa saingannya dalam bercinta justru laki-laki yang sangat

disayanginya.

Dengan pikiran yang tiada menentu pergilah ia menuruti kehendak

langkahnya. Hari demi hari dilampaunya diperantauan. Ia mengembara

terus mengembara selama luka dihatinya belum sembuh.

Pada suatu hari ketika sedang berjalan disebuah jalan didekat desa

Butuh Anggara melihat seorang wanita yang sedang duduk dibawah

sebuah pohon ditepi jalan itu. Entah karena apa ia merasa tertarik untuk

memperhatikan keadaan wanita ittu. Anggara segera berjalan mendekati

wanita tadi. Wanita itu ternyata sedang menyusui anaknya yang

nampaknya baru berusia beberapa bulan. Disamping wanita itu terbaring

tubuh seorang anak laki-laki. Anak itu menyandarkan kepalanya diatas

pangkuan wanita itu.

Keadaan wanita itu menimbulkan rasa haru dihati Anggara.

Diperhatikannya wanita itu. Tetapi betapa terkejutnya. Ia tak percaya83

pada pandangan matanya. Selagi diperhatikannya wanita itu. Wanita itu

merasa kalau sedang diperhatikan. Iapun menengadah memandang

Anggara. Bertemulah pandang mareka, Dan kedua-duanya nampak

terkejut.

?Lastri .. Adikku "

?Kak Anggara. Betulkah kamu ini kak?"

Wanita itu segera bangkit berdiri tanpa menghiraukan anaknya

yang sedang tidur nyenyak dipangkuannya. Dengan mengemban anaknya

yang baru disusuinya ia hendak berjalan mendekati Anggara. Anggara

segera mencegah.

Pertemuan sungguh mengejutkan mereka berdua. Wanita itu

ternyata adalah Lastri adik kandung Anggara. Anggara amat heran

bercampur terkejut menyaksikan keadaan adiknya.

Ia ingat perpisahan dengan adiknya tiga tahun yang telah lalu.

Lastri dipinang oleh seorang putra pangeran. Ia bernama Raden

Danureja. Tak lama sesudah itu kawinlah kedua orang muda-mudi itu.

Lastri dibawa ke Karta. Tetapi mengapa sekarang ia ada disini dalam

keadaan seperti itu.

Tetapi rasa heran itu segera berubah menjadi kemarahan setelah

mendengar cerita Lastri.

Setahun setelah Lastri hidup bersama-sama dengan Raden

Danureja ia dianugerahi Tuhan seorang putra. Tetapi disaat ia sedang

mengandung putranya yang kedua datanglah malapetaka baginya.

Raden Danureja mengambil seorang selir. Selir ini sangat jahat

sifatnya. Ia telah difitnahmja. dikatakan oleh selir itu bahwa anak yang

dikandungnya adalah hasil perhubungan gelap antara dia (Lastri) dengan

laki-laki lain. Entah karena apa Raden Danureja mempercayai fitnahan

itu. Raden Danureja sangat marah pada Lastri. Ia segera diusir oleh

Raden Danureja.

Dalam keadaan hamil tua ia segera berjalan pulang kedesa tempat

kelahirannya. Tetapi rumah itu ternyata dalam keadaan kosong. Tidak

hanya rumahnya saja bahkan rumah para tetangganya dalam keadaan

kosong.

Kiranya desa itu telah diserbu perampok. Cepat-cepat ia segera

meninggalkan desa itu dan bermaksud mencari kakaknya.

Segala macam penderitaan dialaminya disepanjang jalan. Tetapi

semua itu tak dihiraukannya. Hasratnya untuk berjumpa dengan

kakaknya sangat besar. Disebuah dusun ia mendapat pertolongan

seorang laki-laki untuk menginap dirumahnya.

Disitulah ia melahirkan putranya yang kedua. Bayi itu seorang

perempuan. Laki-laki itu sangat baik sikapnya. Tetapi ketika laki-laki itu

bermaksud mengambilnya sebagai isterinya maka malam harinya

bersama kedua orang anaknya dengan diam-diam ia meninggalkan laki
laki itu. Dan kiranya Tuhan mempertemukan kedua orang kakak beradik84

itu.

Alangkah sedihnya Anggara mendengar kisah adiknya itu. Maka

bersama-sama dengan adiknya beserta kedua orang kemenakannya, ia

segera menuju kedesa didekat tempat itu. Dan desa itu adalah desa

Butuh.

Mereka mengaku sebagai suami isteri. Anggara mengaku bernama

Rangga.

Pada suatu hari Anggara berjasa mengusir serombongan perampok.

Maka oleh kepala desa Butuh dihadiahi sebuah rumah. Selama duapuluh

tahun Anggara berdiam didesa Butuh. Dan selama itulah ia dapat

menyimpan rahasia tentang dirinya.

?Aku terpaksa mengaku Lastri sebagai isteriku. Hal ini terutama

untuk kepentingan Jaka Prasetya dan Sari. Lastri sangat takut kalau

anaknya menanyakan ayahnya. Untuk menjaga kemungkinan itu maka

aku harus mengaku sebagai suaminya. Aku harus mengaku sbagai bapak

dari anak-anak itu". Demikian Ki Rangga menutup cerita.

Malam itu perjamuan dilanjutkan dengan penuh kegembiraan.

Setelah larut malam maka pulanglah para tetangga itu.

Setelah para tetangga pulang maka bertanyalah Ki Rangga tentang

Sariwati pada adik seperguruannya.

Karena Ki Rangga merasa tidak leluasa untuk menanyakan hal itu dimuka

para tetangga.

?Kak Anggara", demikian Empu Krepa memulai ceriteranya. ?Tak

kusangka sama sekali kak bahwa kamu meninggalkan aku karena

Sariwati. Namun hal itu telah lampau dan sekarang Sariwati sudah tiada

lagi.

?Semenjak perkaiwinanku dengan kami hidup berumah tangga

dikaki gunung Kawi. Kami dianugerahi Tuhan tiga orang putera. Dialah

Candra, Bambang dan Dewi. Kami merasakan suatu keluarga yang

bahagia.

Tetapi datanglah mala petaka menimpa keluargaku. Pada suatu hari

didesa itu lewat sepasukan prajurit Belambangan. Mereka sedang dalam

keadaan marah. Agaknya pasukan itu habis dipukul mundur oleh tentara

Mataram. Pemimpin pasukan itu bernama Pangeran Cinde Kusuma.

Pada waktu itu Sariwati sedang berada ditepi sungai. Pangeran

Cinde Kusuma terkenal sebagai pangeran yang mata keranjang. Melihat

wajah Sariwati tertariklah ia. Tanpa sepengetahuanku Sariwati mereka

culik.

Dapatlah kau bayangkan betapa kemarahanku. Aku segera

menyusul ke Belambangan. Tetapi sesampai di Belambangan aku

mendengar kabar bahwa Sariwati telah membunuh diri ketika dipaksa

oleh Cinde Kusuma untuk dijadikan isteri.

Pada mulanya aku akan mendatangi gedung Pangeran Cinde

Kusuma. tetapi pada saat itu saya ingat bahwa pangeran mata keranjang85

itu memiliki kekebalan yang hanya dapat dipecahkan oleh senjata yang

berasal dari wesi Belambangan. Maka tindakan itu segera kubatalkan.

Mulai saat itu aku segera berusaha untuk mendapatkan wesi aji itu.

Bertahun-tahun usahaku selalu gagal. Baru tahun yang lalu aku berhasil

memperolehnya. Aku membuatnya menjadi keris dan beberapa anak

panah. Baru saja keris itu selesai kubikin, datanglah seorang pemuda

dengan dendam kesumat yang berkobar-kobar didadanya. Dia juga

bermaksud membunuh Pangeran Cinde Kusuma. Pemuda itu juga

menjadi korban kebandotan Pangeran Cinde Kusuma. Sedang ayahnya

mati secara mengenaskan disebabkan memakan racun buatan Kyai

Candra Ketu atas perintah Pangeran Cinde Kusuma.

Dengan rela kuserahkan keris itu padanya untuk melaksanakan

pembunuhan itu, Usahanya berhasil. Tetapi apa lacur Kyai Candra Ketu

yang pada waktu itu kebetulan ada di Belambangan mengetahuinya. Ia

segera menghasut Raden Cinde Seta putra Pangeran Cinde Kusuma untuk

membunuhku dan membunuh pemuda tadi. Oleh karena itulah aku

terpaksa pergi meninggalkan desa dikaki gunung Kawi itu. Cerita

selanjutnya tanyakan pada Jaka".

?Mengapa kamu rela menyerahkan keris yang kau bikin selama

bertahun-tahun itu pada pemuda tadi?" tanya Ki Rangga.

?Karena pemuda itu adalah Kartika".

?Kartika?"

?Ya. Kartika. Calon menantuku", kata Empu Krepa. Dia diam

sejenak. Kemudian :

?Kartika beruntung bertemu dengan Resi Candra Kusuma kakak

Kyai Candra Ketu. Meskipun saudara kandung tetapi Resi Candra Kusuma

tidak menyetujui sepak terjang adiknya. Oleh karena tidak tega

berhadapan dengan adiknya maka resi yang malang itu menurunkan

semua kepandaiannya pada Kartika. Kartikalah yang disuruh menghadapi

Kyai Candra Ketu. Dan jerih payah Resi Candra Kusuma itu tiada sia-sia.

Kartika berhasil menyingkirkan Kyai Candra Ketu''.

Tiba-tiba bertanyalah Ki Rangga pada Kartika.

?Kartika. Aku merasa heran mengapa Danureja dapat mengetahui

bahwa aku berdiam disini. Dan aku merasa heran mengapa ia datang

hanya untuk meminta ampun. Peristiwa apakah yang mendorong dirinya

untuk berbuat hal yang menjatuhkan martabatnya sebagai seorang

bangsawan.

?Paman Anggara. Peristiwa ini kujumpai dengan tidak terduga-duga.

Selama beberapa hari yang akhir-akhir ini saya selalu mengikuti gerak
gerik Kyai Candra Ketu. Pada mulanya saya mengira kalau dia akan

menuju kerumah paman. Dugaanku itu ternyata meleset. Dia menuju ke

Karta. Apa gerangan yang akan diperbuatnya disana? Aku sangat heran.

Tetapi setelah aku mengetahui apa yang diperbuatnya di Karta

terkejutlah saya".86

Sesampai di Karta Kyai Candra Ketu segera mendatangi gedung

Pangeran Danureja. Disana, ia langsung menjumpai Raden Ayu Sarwitri.

Hal yang mengejutkan saya ialah bahwa mereka merencanakan untuk

membunuh Pangeran Danureja. Mendengar maksud mreka itu aku segera

memberi kisikan pada Pangeran Danureja. Pada saat itu saya jumpai

Pangeran sedang melatih prajurit2nya. Beliau segera kubawa ketempat

kedua orang pengkhianat itu berunding. Untunglah perundingan itu belum

selesai. Alangkah marahnya Pangeran Danureja mendengar perundingan

itu. Hari itu juga beliau segera mengusir isterinya yang busuk itu. Adapun

Kyai Candra Ketu mula-mula akan melawan tetapi saya tidak tinggal

diam. Dia berhasil kuusir dan kukejar hingga sampai didesa ini.

Kartika diam sejenak. Setelah itu berkatalah ia :

?Semua peristiwa didesa ini saya ikuti. Selanjutnya paman

mengetahui sendiri. Namun saya masih tetap heran mengapa Gusti

Pangeran Danureja mengetahui bahwa bibi Lastri berada disini".

?Akulah yang memberitahukan padanya", sela Ki Samun dengan

tiba-tiba.

Kini jelaslah sudah jalan peristiwa yang berbelit-belit itu. Jelas bagi

semua orang yang hadir disitu. Kabut yang meliputi keluarga Ki Rangga

telah musnah.

Keesokan harinya.

Suara ringkik kuda yang memecahkan kesunyian dipagi harl itu

betul-betul mengejutkan Jaka Prasetya. Ketika itu ia sedang berlatih

dengan Bambang Suteja.

Dia segera berlari kearah suara ringkik kuda itu. Ringkik kuda itu sudah

sangat dikenalnya. Dipekarangan dengan rumahnya Jaka Prasetya segera

berhadapan dengan seorang penunggang kuda. Orang itu mengendarai
Wesi Adji Belambangan Karya Hartanto Ps di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor kuda yang berbulu putih. Alangkah terkejutnya Jaka Prasetya

demi mengetahui bahwa penung-gang kuda itu tak lain dan tak bukan

dari pada pamannya Waja Cempani.

Sementara itu ia melihat ?ayahnya" muncul diambang pintu rumah

dibelakangnya terlihat Sari mengikuti.

?Putih .. Oh Putih. Akhirnya kita berjumpa pula". Sari berlari

kearah kuda itu.

?Sari berhenti". Terdengar Ki Rangga membentak. Sari berhenti

berlari. Dipandangnya penunggang kuda putih itu. Mukanya segera

menjadi kemerah-merahan ketika ternyata bahwa penunggang kuda itu

belum dikenalnya.

Sementara itu Waja Cempani telah turun dari kuda putih itu.

?Biarkan dia melepaskan rindunya pada kuda ini kak".

?Apa maksudmu datang kesini.".kata Ki Rangga dengan keras.

?Kak Anggara. Bila kakak masih mau menerimaku sebagai adik

maka akan kujalani sisa hidupku ini menurut nasehat kakak. Saya telah

memperoleh keyakinan bahwa semua kata2 kakak yang dulu itu benar87

belaka".

Ki Rangga terharu mendengar kata2 Waja Cempani.

?Waja Cempani. Bukankah dulu aku berkata padamu bahwa setiap

waktu aku bersedia menerimamu kembali?"

Mendengar jawab Ki Rangga segeralah Waja Cempani berlari

mendapatkan kakak seperguruannya itu. Sesampai dimuka Ki Rangga ia

segera merobohkan diri untuk memeluk kaki Ki Rangga.

?Kak Anggara. Saya tahu, kak. Bahwa dosaku ini tiada ampun.

Tetapi rupanya kakak masih mau memberi kesempakan untuk menebus

dosaku.itu".

?Waja Cempani. Tuhan adalah Maha Asih. Dia selalu memberi

penerangan kepada mahluknya yang tersesat untuk kembali kejalan yang

benar". Terdengar Empu Krepa berkata. Agaknya dia telah terbangun

mendengar keriuhan pagi hari itu.

?Kak Krepa kiranya kamupun berada disini".

Demikiainlah hari itu tiga saudara seperguruan yang dulu telah

bercerai-berai kini telah berkumpul kembali.

Hari-hari berikutnya rumah Ki Rangga yang tadinya sunyi kini selalu

diliputi oleh suasana yang gembira. Pendekar2 besar pada jaman itu

berkumpul dirumah itu.

Waja Cempani mengutarakan maksudnya untuk mengabdikan diri

pada Mataram. Hal ini disambut dengan gembira oleh Jaka Prasetya.

Keinsyafan Waja Cempani untuk berjuang membela negara akan

merupakan sumbangan yang tidak kecil bagi kekuatan pasukan Mataram.

Sementara itu baik Ki Rangga maupun Empu Krepa mengetahui

bahwa antara Jaka Prasetya dan Dewi terjalin hubungan asmara. Kedua

orang itu segera berunding untuk menentukan nasib kedua remaja itu.

Pendek kata Ki Rangga mengajukan lamaran pada Empu Krepa untuk

menjodohkan Dewi dengan Jaka Prasetya. Lamaran itu diterima dengan

gembira oleh Empu Krepa. Dan sudah barang tentu kedua muda-mudi

itupun menyetujuinya.

Dan berdasarkan persetujuan kedua belah fihak maka hubungan

antara Bambang dan Sari pun dibicarakan. Keputusan terakhir Bambang

dipertunangkan dengan Sari. Hal inipun disetujui oleh kedua orang muda
mudi itu.

Sekali lagi suasana gembira meliputi rumah Ki Rangga. Mereka

betul-betul merasakan kegembiraan Kegembiraan yang mereka peroleh

setelah mengarungi berbagai-bagai kegetiran.

?TAMAT?


Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung Pedang Siluman Darah 4 Memburu Bah Jenar Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu

Cari Blog Ini