Ceritasilat Novel Online

Emas Di Ngarai Gelap 1

Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario Bagian 1

Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para

pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi

pengetahuan dan pengalaman.

Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk

melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di

pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan

dalam bentuk digital.

Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media

diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,

maupun kondisi fisik.

Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari

kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek

buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan

kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital

sesuai kebutuhan.

Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari

buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

Salam pustaka!

Team Kolektor E-Book

EMAS

Di NGARAI GELAP

Karya : Darmo Ario

Penerbit : ANALISA c.v.

JAKARTA 1966

Pustaka Koleksi : Aditya Indra Jaya

Image Source : Awie Dermawan

Kontributor : Yons

Juli 2019, Kolektor - Ebook1

PENDAHULUAN

CERITERA ini sesungguhnya berasal dari ceritera2 rakyat didaerah lereng

Gunung Talang, terutama disebelah Timurnya, yaitu, dari Alahan Panjang,

Salimpat, Talang Babungo, Sariak Alahan Tigo, dan Sungai Abu, Nagari2

ini (negeri, menurut cerita2 orang2 tua, terbilang nagari2 yang makmur,

tapi kini hanya merupakan dusun2 yang tidak dapat dicari dalam peta

ilmu bumi sekolah dasar diabad sekarang ini. Sudah jelas bahwa ceritera

rakyat itu berasal dari beberapa abad yang lalu, ketika di Alam Minang

Kabau belum dikenal mata uang sebagai alat pembayaran, Nagari2

tersebut diatas terletak sepanjang aliran Sungai Gumanti (Batang

Gumanti) yang bersumber di danau di Baruah. Sungai ini kemudian

menjadi Sungai Batanghari sampai kedaerah Jambi, dan bermuara di

pantai Selatan.

Dalam ceritera2 yang telah mendahului ceritera ini, pernah juga

dikisahkan tentang Orang Lecoh, yaitu orang2 kerdil yang mendiami

hutan belantara didaerah Minang Kabau, Jambi dan Palembang. Juga

tentang Urang Gadang (orang besar) pernah dikisahkan pula, yaitu,

sebangsa orang hutan yang amat besar yang tingginya sampai mencapai

enam meter, Makhluk2 ini suka minta tembakau pada pedagang2 yang

bermalam dalam hutan. Cara2nya minta tembakau itu yalah dengan

menjulurkan tangannya yang besar dan berbulu ketengah2 kumpulan

orang yang mengelilingi api unggun dan menyebut: ? A K A U " yang

maksudnya, tembakau.

Ceritera2 ini berasal dari masa, ketika jalan2 belum ada, yaitu jalan

yang kita kenal dimasa sekarang ini. Yang disebut jalan ketika itu,

hanyalah yang merupakan jalan-2 kecil dihutan yang hanya dapat

ditempuh dengan berjalan kaki, atau menunggang kuda, Demikianlah

perhubungan nagari yang satu kenagari yang lain. Dan perjalanan

menempuh jalan-2 kecil itu sangat berbahaya, maka karena itulah sangat

di butuhkan keberanian, kepribadian yang kuat, kepandaian dan

kegesitan dalam ilmu pertahanan diri, ilmu silat.

Mereka yang mengunjungi nagari2 lain, seperti dari Alahan Panjang

ke Sungai Abu, adalah dengan niat menukar barang2 kerajinan mereka

dengan barang2 yang mereka butuhkan, yang dibuat oleh penduduk

Sungai Abu. Misalnya, Orang Alahan Panjang, karena sudah pandai

menempa besi, ,membawakan mata bajak, rudus dan lain sebagainya ke

Sungai Abu, untuk ditukar disana dengan pasangan serta bajaknya yang

terbuat dari kayu keras, Sungai Abu ialah nagari yang menghasilkan

kayu2 keras yang mereka ambil didalam hutan, sedang di Alahan Panjang

hutan sangat tipis. Hutan2 lebat terletak sangat jauh dilereng gunung

yang susah dicapai, Selain itu, nagari2 lain seperti Talang Babungo dan

Sariak Alahan Tigo mempunyai keistimewaan masing2. Dikedua nagari

terdapat banyak emas, sehingga penduduk kedua nagari itu terbilang2

penduduk yang paling makmur dimasa itu. Selain itu Sariak Alahan Tigo

terkenal pula dengan tikar pandannya yang baik2 dan bagus2. Karena

keadaan kepandaian berbeda2 ini, maka terjadilah tukar menukar alat2

kebutuhan sehari2 sampai pada alat2 keperluan pertanian dan

sebagainya. Dan istilah tukar menukar ini hingga kini masih dapat kita

dengar dikampung2, sebab bila seorang Ibu yang hendak pergi kepasar

ditegor oleh seorang temannya biasa menyahut,, Pui manuka kapasa",

artinya pergi menukar kepasar. Meskipun si Ibu itu membawa uang

sebagai alat pembayaran, namun dia masih saja memakai istilah uang

itu, MENUKAR.

Yang dimaksud dengan Taratak. ialah sebuah kampung yang

dibangun oleh beberapa keluarga. Tidak jarang pula Taratak ini

berkembang menjadi satu nagari, dan nama Taratak itu tetap melekat

pada Nagari itu sehingga kaburlah maksud yang sebenarnya dari

TARATAK itu.

Kini, marilah kita mulai dengan kisah TARATAK BARU ini.

TARATAK BARU.

PADA pagi itu udara dipegunungan sangat sejuk. Angin yang

bertiup rasa menambus kedalam tulang, tapi bagi si Kilai, kepala Nagari

Taratak Baru, udara sejuk itu sama sekali, tidak mengganggu. Malahan ia

merasa tubuhnya panas, dan napasnya sesak ketika ia sampai didataran

puncak Bukit Tinjauan yang luasnya hanya kira2 sepuluh meter persegi

itu. Matanya memandang kepuncak batu yang menjulang tinggi diatas

dataran itu. Anak tangga yang dipahatkan dalam batu karang itu menuju

kepuncaknya. Kepala Nagari, itu berhenti sebentar melepaskan lelahnya,

Meskipun ia masih muda, kira2 berumur duapuluh lima tahun, namun

pendakian menjelang sampai kedataran Bukit Tinjauan itu menyesakkan

napasnya juga. Matanya memandang keliling, se-olah2 hendak

menembus belukar yang melingkari dataran kecil itu. Ia seperti teringat

pada satu peristiwa yang pernah terjadi ditempat itu.

Setelah napasnya yang sesak itu berasa lega, maka si Kilai mendaki

kepuncak batu yang tingginya kira2 tujuh meter dari dataran kecil itu.

Tiba diPuncak ia bersandar pada dinding batu karang, kemudian

meluncurkan badannya sampai terduduk diatas batu yang datar, sengaja

dipahatkan untuk tempat duduk orang yang ditugaskan mengawal

ditempat itu. Dikakinya tampak sebuah lobang dalam batu, dan didalam

lobang itu tampak sebuah tongtong. Palu untuk memukul tong-tong itu

terdapat didalam tong-tong itu. Benda yang ter buat dari kayu itu sudah

hampir lapuk karena ditimpa hujan dan dijemur cahaya matahari.

Kepala Nagari Taratak Baru itu melayangkan pandangannya keliling3

dari tempatnya yang ketinggian itu. Jauh dihadapannya terbentang

daerah peguungan yang ditumbuhi oleh hutan lebat, dengan pohon2

kayunya yang besar2. Dilatar belakang tampak puncak Gunung Talang

yang senantiasa menyemburkan asap dari dalam kepundannya, dan lebih

jauh lagi tampak dua puncak Gunung lagi sebesar jeruk Bali saja

tampaknya dari tempatnya itu, yaitu puncak2 Gunung Merap dan

Singgalang. Kedua gunung itu dimasa itu seperti berlomba2

mengeluarkan asap dari perutnya. Ketika ia menukikkan pandangannya

kekaki Bukit Tinjauan itu, tampak olehnya mulut ngarai yang menganga,

berbelok2 sampai menghilang diselubungi hutan lebat. Tepat dimuka kaki

bukit itu tampak sebuah jembatan bergantung yang terbuat dari rotan

berjalin. Diseberang jembatan bergantung itu tampak jalan kecil gundul

menguning, yaitu jalan yang biasa ditempuh oleh orang yang pergi dan

datang ke Taratak Baru. Jembatan yang terbuat dari rotan itu setiap

tahun harus diperbaiki. Penduduk Taratak Baru bergotong royong

memelihara keutuhan jembatan itu. Sebagian pergi masuk hutan mencari

rotan, dan sebagian lagi, menjalin rotan2 itu sampai menjadi tali yang

kasar dan kuat, dan sebagian lagi merentang dan mengikatkan tali2 yang

baru dibuat itu keseberang ngarai yang dalam itu. Jembatan yang baru

separo lapuk itu telah ditukar sebelum dapat membahayakan orang2

yang melintas diatasnya, yang membawa beban dan kadang2pun ternak,

seperti sapi dan kerbau. Pemakaian jembatan bergantung itu diatur

dengan rapih sekali. Diujung dan pangkal jembatan2an itu ada seorang

penjaga yang mengatur penyeberangan. Serombongan empat orang yang

menjunjung beban boleh sekaligus menyeberang, tapi mereka yang

membawa ternak, hanya boleh menuntun seekor sapi atau kerbau saja

melewati jembatan itu. Dengan jalan demikian keselamatan orang yang

mempergunakan jembatan itu terjamin, berkat pimpinan yang bijaksana

dari kepala Nagari Taratak Baru. Inilah sebabnya pula maka si Kilai

sangat disayang dan dihormati oleh anak nagari Taratak Baru yang kian

lama kian bertambah itu.

Dari tempatnya yang ketinggian si Kilai memperhatikan ngarai yang

dalam serta gelap dibawahnya itu. Sudah lima tahun ia menjadi kepala

Nagari di Taratak Baru itu, semenjak ia diangkat oleh penduduknya, tapi

sampai pada saat itu ia belum mengetahui apa isi ngarai yang dalam

serta gelap itu. Pinggir ngarai itu ditumbuhi oleh belukar dan pohon kayu

dengan akar2nya yang menjulaj sampai kedasar nya, tersumbur dari

sela2 batu yang merupakan dinding kukuh ngarai itu. Air jernih

senantiasa menetes dari sela2 begitu hitam berlumut. Tentulah udara

didalam ngiarai itu sangat dingin dan lembab.

Kepala Nagari yang bijaksana itu adalah seorang yang tidak suka

membuang waktu dengan percuma, maka hingga saat itu tidak pula

menampak kemanfaatan untuk memeriksa isi ngarai itu. Pemandangan

pada ngarai itu hanya mengingatkannya pada peristiwa yang terjadi4

jujung dan pangkal jembatan bergantung itu, ketika ia bersama

kawan2nya, di bawah pimpinan seorang pemuda bernama Malin Bungsu,

merebut Taratak Baru dari tangan seorang penjahat yang bernama si

Cengkok. Empat mayat pengawal2 penjahat itu telah masuk kedalam

ngarai. Kini tentu hanya tinggal tulang belulangnya saja.

Dengan sendirinya si Kilai teringat pula pada kejadian kira2 lima

bulan setelah ia diangkat menjadi kepala Nagari di Taratak Baru.

Diputarnya badannya untuk memandang ke Taratak Baru yang

terbentang dibalik Bukit Tinjauan itu. Taratak Baru dalam masa lima

tahun telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Lima tahun yang

silam, daerah yang dihuni orang hanyalah bagian yang dilingkari oleh

pagar yang terbuat dari rujung berduri itu, tapi kini didalam lingkungan

pertahanan maupun didaerah diluarnya, tampak rumah2 bergonjong

berdiri disana sini. Petani 2 yang mendapat pembagian tanah untuk

digarap lebih suka membuat rumah mereka diatas tanah mereka sendiri

supaya dekat pada pekerjaan mereka. Daerah dalam lingkungan pagar

yang telah padat dengan rumah2 penduduk, menjadi pusat Taratak Baru,

dan kumpulan2 dari empat sampai lima buah rumah yang tersebar

dilereng2 bukit merupakan perluasan dari Nagari Baru itu. Sebenarnya

nama Taratak itu sudah tidak sesuai lagi, tapi karena dari semula telah

diberi nama Taratak Baru, maka nama Nagari itu tetap saja Taratak Baru.

Si Kilai teringat pada masa ia mula2 menjadi kepala Nagari. Ketika

itu penduduk Taratak Baru terdiri dari empat puluh enam orang prajurit

bekas tawanan perang yang dibebaskan, termasuk si Kilai sendiri,

ditambah kira2 seratus petani lelaki dan wanita yang diculik oleh penjahat

yang bernama Si Cengkok itu, mereka dijadikannya budak2 untuk

menggarap tanah menjadi sawah serta untuk keperluannya sendiri.
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Penjahat itu ingin menjadi raja di daerah itu, tapi ia telah dapat dibasmi

oleh seorang pendekar bernama Malin Bungsu. Karena itu penduduk

Taratak Baru terlepas dari belenggu penindasan penjahat yang kejam itu

dan semenjak itu pula Taratak Baru mengalami kemajuan yang pesat.

Petani2 yang dibawa ke Taratak Baru sebagai budak lebih suka menetap

di Nagari Baru itu karena tanahnya sangat subur. Pengairan untuk

sawah2 cukup, malahan lebih dari cukup. Tanah peladangannya, karena

berasal dari tanah hutan yang d tebas, sangat subur. Padi ladang, jagung

dan tanaman2 lain tumbuh dengan sangat suburnya, dan hasil panen

berlipat ganda dari hasil panen di tempat asal mereka. Karena itu bekas

budak2 itu pergi kenegeri asal mereka untuk menjemput keluarga dengan

demikian penduduk Taratak Baru makin lama makin ramai. Rumah2

bertambah ganyak. Juga bekas2 prajurit bekas tawanan perang, seperti si

Kilai sendiri, telah pandai bercocok tanam meskipun mereka berasal dari

daerah pesisir, dimana pertanian diserahkan pada orang2 dusun saja.

Karena penduduk Taratak Baru bertambah banjak, maka terbuka

pula kesempatan bagi bekas2 prajurit yang telah menjadi tani itu, untuk5

diterima menjadi menantu oleh petani, yang membawa sanak saudara

mereka ke Taratak Baru. Penghidupan berlangsung dengan rukun dan

damai, karena mereka sudah menciptakan hubungan keluarga dengan

perkawinan, sudah sumanda menyumanda, kata orang.

Kepala Nagari Taratak Baru melayangkan pandangannya

kekelompok2 rumah di-lereng2 gunung. Matanya kemudian menjelajahi

seluruh daerah yang menjadi tanggung jawabnya, maka sampailah

pandangannya pada dua buah tumpukan tanah yang tingginya kira2 tiga

meter dan lebarnya ki ra2 tiga meter pula, tapi yang sebuah berbeda

dalam pandangannya, yaitu dua kali sepanjang yang lain. Si Kilai

mengetahui apa sebabnya terjadi perbedaan itu, ialah karena dibawah

tumpukan tanah yang panjang itu, terkubur lima mayat Urang Gadang

yang tingginya enam meter. Dibawah tumpukan tanah yang sebuah lagi,

terkubur tigapuluh-tiga mayat perampok2 yang henclak merebut kembali

Taratak Baru. Tapi berkat keberanian pemuda Malin Bungsu, yang

kemudian kembali kekampung halamannya sendiri di Alahan Panjang,

perampok2 berikut raksasa2 hutan itu dapat dimusnahkan.

Si Kilai masih ingat betapa prajurit2 yang bertahan diatas seteling

pagar berduri itu lari puntang panting karena ketakutan melihat lima

orang raksasa hutan litu datang. Masih tampak diruang matanya betapa

ngerinya melihat wajah2 buruk dari raksasa2 hutan itu, ketika mereka

menguburkan mayat2 yang bergelimpangan itu. Bersusah payah mereka.

mendorong mayat yang besar2 itu masuk lubang kuburan yang kemudian

dibuat menjulang tinggi sampai tiga meter sebagai monumen atas

kemenangan mereka yang gemilang itu, sebagai lambang kebesaran

mereka dari perbudakan.

Ketika si Kilai memperhatikan tumpukan tanah yang tinggi2 itu, ia

samasekali tidak mengetahui bahwa hari itu adalah hari pertemuan

raksassa2 hutan, yang diadakan sekali dalam tujuh tahun. Jauh dari

Taratak Baru, dalam jarak duapuluh hari perjalanan, dalam hutan lebat

didaerah Jambi, raksasa2 hutan yang dinamakan orang didaerah itu

?Urang-Gadang", datang berkumpul. Sebagai tradisi bagi penghuni2

hutan yang besar2 itu, mereka mengadakan pertemuan didalam hutan

yang lebat dan gelap sekali dalam tujuh tahun. Mereka sangat bodoh,

tidak pandai menghitung hari, tapi waktu pertemuan itu dapat mereka

ketahui dengan perasaan. Dari segala pelosok dalam hutan didaerah

Minang Kabau, Jambi dan Palembang mereka datang berkumpul ke

tempat itu. Binatang2 itu, kalau masih hendak menamakan6

mereka binatang, tidak pandai menghitung, tapi mereka mempunyai

perasaan yang sangat tajam. Ditempat perkumpulan itu mereka masing2

mempunyai tunggul sendiri2 untuk tempat duduk, yaitu potongan pohon

kayu besar yang ditanamkan kedalam tanah. Tiap kali diadakan

pertemuan mereka melihat tunggul2 yang kosong, yang berarti bahwa

pemilik tunggul itu sudah tewas dalam masa tujuh tahun itu. Pemimpin

mereka menunjuk salah seorang dari anak2 yang belum mempunyai

tunggul sebagai pemilik baru. Bila anak2 mereka yang belum mempunyai

tunggul tidak cukup jumlahnya untuk mengisi tempat2 yang kosong itu,

maka tunggul2 yang kosong itu diberi sebuah pancang di-tengah2nya,7

yang berarti bahwa kekosongan itu tidak dapat diisi lagi. Kalau kita dapat

melihat ditempat pertemuan itu, ketika raksasa2 hutan itu berkumpul,

maka dapatlah kita menyaksikan bahwa telah puluhan tunggul yang tidak

berpemilik lagi. Ini menunjukkan bahwa Urang2 Gadang ini menghadapi

kepunahan. Kepunahan terutama sekali disebabkan karena Urang Gadang

ini tidak hidup dalam kelompok kelompok. Mereka suka hidup menyendiri.

Hanya sekali dalam tujuh tahun mereka mengadakan pertemuan, dan itu

pulalah terjadi perkawinan antara jantan dengan betina.

Saat perpisahan tiba setelah mereka bersama2 mengunjungi

tempat kuburan bersama. Biasanya mereka menjumpai tulang belulang,

atau mayat dari Urang Gadang yang telah meninggal dunia dalam masa

tujuh tahun itu. Setelah mendapat keyakinan bahwa mayat Urang Gadang

yang tidak menghadiri pertemuan itu berada dalam ngarai tempat

kuburan bersama maka mereka berpisah. Masing2 kembali kedaerah dari

mana mereka datang. Bila mayat keluarga yang tidak menghadiri

pertemuan itu tidak ditemukan dalam ngarai kuburan bersama itu, maka

mereka yang berasal dari daerah yang sama ditugaskan mencari mayat

yang yang hilang itu. Bila mayat itu diketemukan, maka mayat atau

tulang belulangnya mereka angkut untuk ditempatkan dalam ngarai

kuburan bersama itu. Demikian pulalah kebiasaan gajah2 dari daerah

Minang Kabau, Jambi dan Palembang. Gajah2 itu mempunyai pula sebuah

ngarai yang dikunjungi oleh gajah2 yang sudah tua yang mengetahui

bahwa ajal mereka akan sampai. Didalam ngarai itu tulang belulang serta

taring2 gajah berserakan kian kemari. Demikian pulalah dengan Urang

Gadang ini, hanya mereka mempunyai kebiasaan lain dari Gajah2, yaitu

mengadakan pertemuan untuk mengetahui keadaan masing2 dan untuk

mengadakan perkawinan, sedangkan gajah2 hidup dalam kelompok.

Betina Urang Gadang yang melahirkan anak ditengah hutan,

memelihara anaknya hanya selama dua tahun. Setelah anak itu pandai

mencari makan sendiri, makanan yang terdiri dari daun2 kayu yang pahit

rasanya, dan buah2 kayu yang asam atau kelat (sepet), sang anak itu

diharuskan hidup sendiri, mencari makan sendiri. Inipun menjadi sebab

dari kepunahan Urang Gadang itu, sebab tidak jarang sang anak yang

masih kecil mendapat bahaya didalam hutan lebat itu. Kehilangan anak

ini tidak dapat diketahui pada waktu2 pertemuan, sebab bagi mereka

belum tersedia tunggul tempat duduk. Anak2 Urang Gadang yang berhasil

melalui masa ujian lima tahun hidup sendiri dalam hutan dapat diberi

tunggul2 yang dikosongkan oleh bapak atau ibunya. Biasanya tunggul

yang kosong lebih banyak dari pada jumlah anak yang akan

menempatinya, Dari tiga daerah hutan. yang berkumpul masa itu hanya

seratus limapuluh orang saja, termasuk anak2 yang menempati tunggul2

kosong.

Tepat pada waktu si Kilai mengenangkan peristiwa yang

mengerikan, ketika ia melihat sendiri muka2 buruk dari Urang Gadang8

yang besar2 itu datang mendekati Pagar pertahanan Taratak Baru, ketika

itu pula disatu daerah hutan lebat dan gelap di Jambi. Urang2 Gadang

mengadakan pertemuan. Ketika itu pemimpin mereka mengetahui bahwa

telah ada lagi tunggul2 yang kosong, yaitu yang ditinggalkan oleh mereka

yang gugur di Taratak Baru. Hanya ada dua orang anak yang berumur

empat lima tahun yang menempati tempat2 yang kosong itu. Jadi dalam

masa tujuh tahun itu telah ada penyusutan sebanyak tiga orang dalam

kaum Urang Gadang.

Dari tempat pertemuan itu mereka pergi besama kesebuah ngarai,

kuburan bersama bagi kaum mereka. Biasanya diatas batu2 yang datar

mereka temukan mayat2 atau tulang belulang dari mereka yang datang

ketempat itu untuk mati. Tulang ataupun mayat mereka, kalau masih

baru dikumpulkan dan dimasukkan kedalam sebuah goa batu yang gelap.

Tapi, ketika mereka sampai didalam ngarai itu, tidak ada terdapat mayat

ataupun tulang belulang dari kawan2 mereka yang hilang itu. Maka pada

mereka yang mendiami hutan didaerah Minang Kabau diperintahkan

untuk mencari tulang belulang kawan mereka itu sampai dapat.

Kemudian berpisahlah Urang2 Gadang itu. Mereka menuju kembali

kehuhan masing2. Mereka yang bertugas mencari mayat kawan2 yang

hilang itu kini bergerak dalam jarak pengimbauan. Ada yang bergerak

dalam jumlah tiga, ada pula yang lebih, sampai tujuh Urang Gadang.

Pada malam hari terdengarJah suara mereka dalam hutan2 yang sunyi,

?Ooooi ahuuuu! O0000i ahuuuu!" Demikian mereka berseru seru sambil

berjalan.

Si Kilai, kepala Nagari yang rajin serta penuh semangat itu masih

saja memperhatikan onggokan tanah yang menimbulkan kenang

kenangannya itu. Bagi si Kilai onggokan tanah itu merupakan lambang

kemenangan yang gemilang, demikian juga bagi orang2 yang mengalami

peristiwa pertempuran yang dahsyat itu. Kini onggokan tanah itu sudah

ditumbuhi alam2 bahkan ada pula rumpun2 Rinju, sebangsa tanaman

yang tumbuh dengan suburnya disamping rumput alang2. Tinggi

rumpun2 belukar itu sampai mencapai dua meter.

Si Kilai menaiki puncak Bukit Tinjauan itu ialah dengan niat

memeriksa jembatan berayun yang menyeberangi ngarai dalam itu.

Sebelum turun ia naik dahulu kepuncak menara tinjauan untuk

memandang daerah yang dipecayakan padanya itu, yang selama berada

dibawah pimpinannya telah menjadi satu Nagari yang makmur dan

berkembang dengan baik. Si Kilai merasa bangga juga atas

kesanggupanya memimpin.

Dengan perasaan bangga ia turun kebawah sampai kejembatan

bergantung. Rotan yang dijalin menjadi tali yang besar, yang menjadi

pendukung jembatan itu tampaknya sudah amat kering. Meskipun belum

lagi lapuk, menurut pendapat si Kilai sudah harus dimulai usaha

pengumpulan rotan, yang biasanya memakan waktu sebulan.9

Kepala Nagari itu pulang kerumahnya, sebuah rumah yang telah

dibangun dengan bergotong royong. Si Kilai sudah ber isteri, dan ia tidak

bersedia tinggal dirumah bekas kediaman penjahat si Cengkok bersama

isterinya. Maka tinggallah si Lengah bersama beberapa anggauta dewan

pemerintahan Taratak Baru yang belum beruntung mendapat pasangan

mendiami rumah asal di Taratak Baru itu.

Keesokan harinya, rencana untuk mengirim rombongan masuk

hutan mencari rotan, diterima dengan baik oleh Dewan pemerintah

Taratak Baru, Orang2 yang dengan sukarela menyediakan diri untuk

pekerjaan itu didapat dengan mudah sekali. Dengan perbekalan yang

cukup mereka berangkat masuk hutan. Berhari2 mereka berjalan kian

kemari dalam hutan mencari rotan dari jenis yang kuat dan yang cukup

tua. Rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu telah membuat sebuah

pondok di-tengah2 hutan, ditempat yang banyak sekali ditumbuhi

rumpun2 rotan dari jenis yang mereka hendaki, yang tumbuh menjalar

dan keatas pohon2 kayu, dengan akar yang diselimuti kelopak2 daun

yang penuh dengan duri2 yang tajam.

Membersihkan rotan dari duri2nya mengehendaki keahlian dari

pencari rotan itu. Rotan yang pokoknya diputuskan mulai dari ujungnya

di-tarik2 dengan renggut2 yang terukur benar untuk merontokkan

kelopak2nya yang berduri tajam itu. Setelah akar rotan itu bersih dari

duri2nya, maka akar rotan itu digulung menjadi satugumpalan dan dipikul

ke pondok Penginapan mereka ditengah2 hutan gelap.

Demikianlah pencari rotan telah bekerja selama empat belas hari

dalam hutan dan mereka telah dapat mengumpulkan sejumlah akar rotan

yang ditumpuk2kan dimuka pondok mereka.

Pada malam hari dimufakatkan untuk kembali ke Taratak Baru

keesokan harinya. Hasil rotan sudah cukup banyak dan persediaan
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makanan sudah menipis pula.

Api unggun dimuka pondok sudah tinggal bara saja ke10

tika ketujuh pencari rotan tidur nyenyak dalam pondok, tapi ketujuh

orang itu serentak terbangun karena mendengar seruan yang

menakutkan.

?Ooooi ahuuuu! Ooooi ahuuu!"

Suara berat dan seram menggegarkan hutan yang sunyi sepi itu.

Pencari rotan keluar dari pondok dan menyalakan api unggun sampai

menggejolak supaya disekitar mereka menjadi terang. Tak lama

kemudian terdengarlah gerakan yang lamban dalam hutan dibelakang

pondok mereka, Ranting2 kayu lapuk berderak derak terinjak kaki besar.

dan dahan2 kayu terkuak, maka tampaklah muka buruk Urang Gadang11

dengan sepasang mata yang jauh terbenam dalam sarangnya itu.

Seorang pencari rotan yang telah berpengalaman dengan Urang

Gadang berkata pada kawan2nya, ?Jangan takut, ambilkan saja

tembakau, Urang Gadang ini hanya datang untuk minta tembakau".

Urang Gadang itu kembali berseru, ?O000i ahuuuu!" dan seruannya

itu segera disahuti oleh dua orang kawannya yang berada disekitar

tempat itu. Setelah itu raksasa hutan itu mengulurkan tangannya yang

berbulu dan besar, dan terdengar suara beratnya, ?A K A U !"

Pencari rotan yang tujuh orang itu jadi sangat ketakutan. Orang

yang sudah berpengalaman dengan raksasa2 hutan itu, baru kali inl

mendengar seruan ?Ooooi ahuutt!' itu. Dengan tangan gemetar seorang

memberikan segumpalan tembakau ketangan yang besar dan berbulu itu.

Gumpalan tembakau itu langsung masuk kedalam mulutnya dan raksasa

hutan itu meneruskan perjalanannya. Kini terdengar dari arah lain seruan

yang serupa, ?Ooooi ahuuu! Ooooi ahunuu!" dan tidak lama kemudian

bunyi derak derik langkah yang lamban terdengar pala mendekati pondok

pencari rotan itu. Berganti ganti raksasa hutan itu datang minta

tembakau setelah mana mereka meneruskan perjalanan dalam malam

gelap. Tapi setelah mereka mendapat tembakau, tidak terdengar lagi

seruan yang menakutkan tadi, maka ketujuh pencari rotan ltu kembali

masuk pondok untuk tidur.

Keesokan harinya mereka mengumpulkan hasil rotan mereka, dan

dengan beban yang berat diatas bahu masing2 mereka berjalan

menempuh hutan belukar untuk kembali ke Taratak Baru.

Lewat senja mereka baru sampai didalam pagar pertahanan. Rotan

yang mereka bawa dari hutan ditinggalkan saja dipinggir jalan menuju

Bukit Peninjauan, sebab tidak ada perlunya untuk dibawa masuk kedalam

lingkangan pertahanan Taratak Baru.

Kedatangan mereka disambut oleh penduduk yang diam di dalam

lingkungan pertahanan. Juga si Kilai dengan Lengah datang menemui

orang2 pencari rotan itu. Segera mereka melaporkan pada Kepala nagari

mereka tentang pengalaman mereka didalam hutan dengan Urang2

Gadang yang tiga orang itu. Si Kilai dan Lengah sangat terkejut

mendengar peristiwa itu, maka segera kedua orang itu mengumpulkan

kawan2nya yang turut dalam dewan pemerintahan. Mereka berunding

tentang kemungkinan penyerbuan Urang2 Gadang itu seperti yang terjadi

lima tahun yang silam. Mertua Si Kilai adalah seorang yang berambut

putih, karena tuanya. Mendengar tentang persoalan yang dibicarakan

oleh dewan pemerintahan dengan menantunya, maka orang tua itu

berkata dengan tenang.

?Anak2ku sekalian, bapak telah mendengar apa yang menjadi

pokok pembicaraan anak2 itu. Kalau boleh, bapak ingin memberikan

keterangan pada anak2 semuanya, yaitu tentang pengalaman2 bapak

semenjak kecil, dan tentang apa2 yang bapak dengar dari orang2 tua,12

sewaktu bapak masih muda".

?Terimakasih, lebih dulu, Pak. Kami sangat membutuhkan nasehat2

dari orang2 yang telah berpengalaman dan mengetahui banyak tentang

Urang2 Gadang ini".

Sementara itu diluar terdengar bunyi tongtong bahaya di bunyikan,

suara ribut2 dari orang banyak sampai kerumah si Kilai. Seorang pesuruh

segera dikirim untuk menanyakan apa sebabnya tongtong bahaya itu

dibunyikan.

?Baiklah. anak2ku",kata mertua si Kilai itu. ?Bapak mendengar,

bahwa pencari2 rotan itu telah bertemu dengan tiga Urang Gadang

didalam hutan yang minta tembakau pada meReka. Ini adalah satu tanda

bahwa kedatangan mereka bukanlah dengan niat jahat. Memang sangat

jarang Urang2 Gadang ltu berjalan dalam rombongan. Mereka selalu

mengasingkan diri dari kawan2 mereka. Hanya satu kali dalam tujuh

tahun mereka mengadakan pertemuan didalam hutan lebat. Dimana

tempatnya bapak tidak tahu, dan orang2 tua yang menceritakan pada

bapak juga tidak tahu dimana letaknya tempat pertemuan itu.

Pendeknya, mereka mengadakan pertemuan sekali dalam tujuh tahun.

Dalam pertemuan itu mereka mengetahui bertambah atau berkurangnya

kaum mereka, sebab masing2 mereka mempunyai sebuah tunggul untuk

tempat duduk. Bila tampak bahwa sebuah tunggul atau lebih yang tidak

ditempat, maka mereka tahu bahwa sudah ada diantara mereka yang

meninggal dunia maka sebagai penghormatan terakhir mereka pergi

berramai2 ke pekuburan bersama. Pekuburan bersama ini adalah sebuah

ngarai yang dalam serta gelap. Disana menurut keterangan orang2 tua,

ada sebuah lataran itulah mereka akan menemui mayat ataupun tulang

belulang dari kawan mereka yang meninggal dunia itu. Tapi . bila tulang

belulang atau mayat kawan mereka yang mati itu tidak ada di tempat itu,

maka beberapa Urang Gadang ditugaskan mencari mayat atau tulang

belulang kawan mereka itu. Bila ditemukan, mereka akan mengangkut

tulang-belulang kawan mereka itu untuk ditempatkan didalam sebuah goa

batu didalam ngarai tempat kuburan bersama mereka itu". Si Kilai

dengan seluruh kawan2nya mendengarkan cerita orang tua itu dengan

penuh perhatian, sementara diluar terdengar orang makia ramai. Pesuruh

tadi telah kembali pada Kepala nagari dan mengabarkan bahwa orang

kampung memanggil penduduk yang diam diluar pagar pertahanan untuk

mendengarkan keputusan rapat darurat itu.

?Mentiari mayat atau tulang belulang dari kawan2 mereka itu

biasanya dilakukan dengan rombongan yang berjalan dalam jarak

pengimbauan. Itulah maka mereka selalu ber seru2 sambil berjalan.

Menurut yang bapak dengar tentang peristiwa yang terjadi lima tahun

yang lalu di Taratak Baru ini, maka bapak sudah mengerti bahwa Urang2

Gadang yang meminta tembakau pada pencari2 rotan itu baru kembali

dari tempat pertemuan mereka. Kini mereka sedang mencari mayat13

kawan2 mereka yang berkubur diluar pagar pertahanan itu".

Si Kilai, si Lengah serta kawan2 mereka lainnya sangat terkejut

mendengar keterangan itu.

?Apakah mereka akan tahu bahwa mayat2 kawan mereka berada

dibawah tumpukan tanah itu, Pak?" tanya Kilai ketakutan.

?Entahlah, nak, Tentang itu bapak tidak tahu, sebab kami ataupun

orang2 tua bapak belum pernah mengalami kejadian seperti itu".

Isteri si Kilai serta keluarga yang lain yang mendengarkan cerita

orang tua itu jadi ketakutan pula. Kopi daun yang telah dituangkan

dimuka mereka sudah menjadi dingin tanpa diminum, dan diluar suara

orang ramai yang tidak sabar lagi menunggu hasil rapat darurat itu,

makin riuh terdengar.

?Apakah mereka akan mengadakan pembalasan kalau mereka tahu

bahwa kita menguburkan kawan2 mereka itu, Pak?" tanya si Lengah

dengan cemas.

?Itu sudah jelas, nak", sahut orang tua itu. ?Sudah jelas, kalau

mereka tahu bahwa kita yang membunuh kawan2 mereka itu . tapi .

kemungkinan besar mereka tidak akan mengetahuinya, sebab Urang2

Gadang itu sebenarnya sangat bodoh. Mereka hanya berpedoman pada

apa yang mereka lihat saja. Mereka tidak pandai berpikir seperti kita.

Tapi, sekalipun demikian, mereka mempunyai kelebihan dari kita semua,

penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam. Kekuatan mereka

sama dengan seekor gajah, tapi cuma pada lengan mereka saja. Kaki

mereka sangat lemah, karena itu gerakan mereka sangat lamban, Rumah

kita ini akan dapat mereka hancurkan dengan sekali dorong saja".

?Kalau begitu, lebih baik penduduk semuanya kita kumpulkan

didalam lingkungan pertahanan ini, Pak", kata si Lengah segera.

?Aku kira, percuma saja, nak Kilai, sebab bila mereka berniat

merusakkan pertahanan kita ini, tidak akan susah bagi mereka. Sekali

renggut saja, ruyung yang berduri dan tertanam dalam ketanah itu akan

tercabut semuanya. Sedangkan pohon kayu dapat mereka cabut dengan

sekali renggut saja".

?Kalau begitu rumah2 penduduk yang berada di-tengah2 sawah dan

dilereng bukit itu akan mereka hancurkan, Pak:" kata si Kilai dengan

cemasnya.

?Saya kira tidak, nak Kilai, sebab Urang Gadang itu sangat takut

melihat lumpur. Mereka tidak mau menempuh tanah lumpur karena kaki

mereka sangat lemah. Bila mereka jatuh didalam lumpur, amat susah

bagi mereka untuk bangun kembali. Demikian juga rumah2 yang berada

dilereng2 bukit. Mereka tidak suka menempuh lereng, kecuali dengan

merangkak, Lereng yang mereka tempuh hanyalah lereng yang ditumbuhi

pohon2 kayu, dimana mereka dapat berpegang".

?Jadi, bagaimana sebaiknya yang kita lakukan untuk

menghindarkan bahaya kehancuran ini. Pak?" tanya si Kilai lagi.14

?Hanya dua jalan, nak Kilai, yaitu dengan menempatkan ditiap2

penjuru rumah masing2 segumpalan tembakau di atas sebuah tongkat

bambu yang tingginya tiga depa, supaya lekas tampak oleh mereka, dan

mudah mereka jangkau. Dan kedua, ialah dengan menggali tulang

belulang kawan2 mereka itu dan menempatkannya diatas tanah supaya

dapat mereka kumpulkan dan mereka angkut kengarai tempat pekuburan

bersama mereka itu".

?Apakah pekerjaan itu tidak berbahaya, Pak? Apakah mereka tidak

akan tahu bahwa kita yang menempatkan tulang belulang kawan2

mereka itu disana?".

?Memang berbahaya, nak Kilai, kalau mereka menampak kita

mengeluarkan tulang belulang dari dalam kuburan itu. tapi kalau

pekerjaan kita itu tidak mereka lihat, maka Bapak kira tidak akan

berbahaya. Mereka akan mengamuk dan membuas, bila mereka melihat

sesuatu kejahatan yang di lakukan terhadap mereka atau kawan2

mereka, Juga bila mereka diganggu atau disakiti oleh musuh mereka,

seperti harimau dahan atau ular, Mereka akan mengamuk, dan

menghancurkan apa saja yang berada didekat mereka".

Kembali orang2 yang mendengar keterangan itu ketakutan.

?Bagaimana kalau hal seperti itu terjadi, Pak?" tanya si Kilai segera.

?Kalau mereka mengamuk, maka kita harus siap semuanya untuk

melawan, nak", sahut mertuanya dengan tenang dan senyum. ?Nak Kilai

tidak usah cemas seperti itu, Urang2 Gadang seperti yang telah bapak

katakan tadi, hanya mempunyai kekuatan yang luarbiasa pada kedua

tangan mereka. Pada kaki mereka sangat lemah. Jadi dengan keberanian

kita dapat melawan mereka. Kalau seorang dapat memancung

dengkulnya, maka Urang Gadang itu akan jatuh dan tidak dapat bangun

lagi, tinggal kita menunggu saat yang baik untuk memancung lehernya.

Asal kita dapat mengelak kan tangan Urang Gadang yang akan

menyambar kita, maka kita akan dapat memancung lehernya. Kalau

bapak masih semuda nak Kilai ini, maka bapak akan sanggup membunuh

tiga sampai sepuluh Urang Gadang", kata mertuanya dengan tersenyum

yang membuat si Kilai sangat malu terhadap kawan2nya.

?Baiklah Pak", sahut Kilai segera untuk menebus kehilangan

mukanya tadi. ?Aku akan lakukan sebagaimana petunjuk bapak tadi".

?Bagus nak Kilai,dengan bantuan kawan2 yang lain, tentu pekerjaan

memusnahkan Urang Gadang itu tidak akan terlalu susah, hanya ..
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal satu hal yang akan menyulitkan kita dikemudian hari, nak".

?Kesulitan apa, Pak?" tanya si Lengah.

?Sekali tujuh tahun kita akan mengalami gangguan dari mereka,

Sekali tujuh tahun mereka akan datang mencari mayat kawan2 mereka

yang kita bunuh ltu". Orang tua itu memandang keliling. Tiap2 yang hadir

diperhatikannya. Kemudian ia menyambung lagi: ?Tapi. , untuk apa

kita membunuh makhluk yang pada dasarnya tidak bertekad jahat15

terhadap kita? Kalau kita bertemu mereka ditengah hutan. paling banyak

mereka meminta tembakau pada kita. Bila kita berikan tembakau mereka

pergi dengan tidak mengganggu kita. Jadi sebaiknya kita elakan saja

pembunuhan kalau masih dapat kita elakkan. Tempatkanlah tembakau di

luar rumah masing2 seperti bapak katakan tadi. dan supaya mereka lekas

meninggalkan daerah kita ini, kita keluarkanlah tulang belulang kawan2

mereka itu dari dalam kuburan itu".

Si Kilai dengan si Lengah berpandangan. Anggauta dewan

pemerintahan juga saling berpandangan.

?Baiklah, Pak", kata si Kilai akhirnya. ?Kami sangat ber terimakasih

atas segala keterangan serta petunjuk2 bapak itu, maka sekarang kami

sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Selanjutnya kita tunggulah

perkembangan keadaan". Pada si Lengah ia berkata; ?Marilah kita

beritahukan Pada penduduk semuanya tentang apa yang harus mereka

lakukan untuk menghadapi bencana ini".

Rapat darurat bubar, si Kilai berdiri diambang pintu rumahnya dan

melangkah keanak tangga dan turun dua tingkat, disana berhenti.

?Kawan2 serta sanak saudara sekalian". katanya dengan suara

lantang. ?Kita sudah mengetahui bahwa pencari2 rotan kita telah bertemu

dengan tiga Urang Gadang didalam hutan. Keadaan ini memang luar

biasa, sebab tidak pernah Urang2 Gadang itu berjalan dalam rombongan.

Maka, supaya sekalian sanak saudara dapat mengetahui keadaan yang

sebenarnya, maka baik aku terangkan bahwa mereka itu sedang mencari

mayat kawan, mereka yang pada lima tahun yang lalu kita bunuh dan

kuburkan diluar pagar pertahanan".

Penduduk yang mendengar keterangan itu ketakutan, terdengar

wanita2 menjerit ketakutan.

?Janganlah kita cemas karena keadaan ini, sebab usaha untuk

menghindarkan bencana ini adalah sangat mudah kalau dilakukan dengan

sebaik2nya. Yaitu, hendaklah kita masing2 menempatkan segumpalan

tembakau sudut dinding rumah kita. Tempatkanlah gumpalan tembakau

itu diatas sebuah tongkat bambu yang tingginya tiga depa, supaya dapat

terlihat oleh mereka, dan mudah mereka jangkau. Setelah mendapat

tembakau, mereka akan berlal., Ini adalah satu usaha mengelakkan

bahaya untuk sementara waktu.

Pada waktu mereka tidur karena dimabuk tembakau, maka kita

bersama harus menggali kuburan Urang Gadang itu, dan menempatkan

tulang belulangnya diatas tanah. Bila inereka menemukan tulang belulang

kawan2 mereka itu, maka mereka akan mengangkutnya, dan tidak akan

kembali lagi mengganggu kita disini. Janganlah kita menentang atau

menyakiti Urang Gadang itu, jika tidak perlu. Mereka itu pada dasarnya

tidak bertekad jahat terhadap kita, kecuali bila mereka diganggu atau di

sakiti. Bahaya bagi kita hanyalah bila mereka itu dengan tidak kita

ketahui diganggu oleh musuh mereka, yaitu, harimau dahan dan ular,16

yang banyak sekali terdapat didalam hutan kita itu ".

Si Kilai memandang keliling, dan wajah2 mereka yang diterangi

oleh obor2 yang mereka pegang menunjukkan kecemasan.

?Kawan2 semua, bila hal seperti itu terjadi, maka terpaksalah kita

memusnahkan Urang2 Gadang itu, satu perbuatan yang samasekali tidak

kita sukai atau kehendaki.

?Bagaimana kita dapat membunuh Urang Gadang yang tingginya

empat depa itu?" terdengar suara dari orang banyak.

?Tampaknya memang sukar, kawan" sahut si Kilai, ?tapi kalau kita

tahu bagaimana melakukannya, pekerjaan itu adalah sangat mudah,

Pendeknya, serahkanlah pekerjaan itu pada kami".

Ucapan itu menyebabkan berbagai tafsiran diantara penduduk. Ada

yang mengejek, mengatakan Si Kilai tekebur, tapi kebanyakan antara

mereka percaya pada kesanggupan kepala Nagari mereka yang bijaksana

itu. Orang2 yang mengatakan si Kilai tekebur itu dengan cepat

dibungkamkan oleh yang lain2.

?Tapi ..", sambung si Kilai lagi. ?Bila kita membunuh Urang

Gadang itu lagi, maka tiap2 sekali dalam tujuh tahun kita akan mendapat

gangguan dari mereka, maka lebih kita menghindarkan perkelahian

dengan mereka yang pada dasarnya tidak bertekad jahat terhadap kita

itu. Hanya kita harus menjaga supaya mereka tidak menemui musuh2

mereka didaerah kita ini".

Penduduk Taratak Baru berdiam diri. Mereka tidak tahu apa yang

akan mereka katakan.

?Sekarang, kembalilah kerumah masing2 dan kerjakanlah apa yang

telah aku katakan tadi tentang menempatkan tembakau itu sementara

waktu masih ada".

Mendengar ucapan itu masing2 mengundurkan diri dengan cepat,

sungguhpun banyak diantara mereka yang masih berada dalam keadaan

bimbang dan takut. Pada malam itu, setelah melakukan apa yang

dinasehatkan oleh kepala nagari mereka itu, tidak seorangpun yang tidur.

Mereka menunggu sa'at terdengarnya seruan yang menakutkan itu. Baru

lewat tengah malam terdengar dari jauh suara berat menggegarkan

kesunyian m.alam.

?Oooooi ahuuuu! Oooou ahuuu!" seruan mana disahut oleh dua

orang Urang Gadang lagi.

Ketika mendengar seruan yang menakutkan itu, mertua Si Kilai

berkata pada menantunya. ?Nak Kilai, marilah kita ke luar

memperhatikan Urang Gadang itu. Kebetulan hari terang bulan. Kita akan

dapat melihat kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan".

Tampak bahwa si Kilai masih sedikit ragu2, tapi dengan cepat ia

menguasai rasa takutnya. Dengan gerakan cepat ia mengambll rudusnya

yang tergantung didinding, Mertuanya sementara itu telah siap pula

menggantungkan rudus dipinggangnya. Meskipun sudah tua, tapi17

kegesitan masih tampak padanya. Berjalan ia masih kuat, tidak kalah

dengan si Kilai menantunya yang baru berusia duapuluh lima tahun itu.

Isteri si Kilai sangat cemas melihat ayah serta suaminya keluar

rumah untuk menyaksikan perbuatan2 Urang Gadang yang menakutkan

itu, tapi ia tidak menyatakan kecemasan nya itu.

?Bawalah tembakau secukupnya, nak Kilai", kata orang tua itu.

Kepala nagari itu segera mengambil segumpalan tembakau sebesar

kepala dan dibungkusnya dalam destarnya.

Mereka berdua turun dari rumah, Ketika si Kilai selesai menuruni

anak tangga yang lima buah dari rumahnya itu, maka kembali terdengar

seruan yang menggegerkan kesunyian malam itu. Tapi kali itu makin

dekat. Dengan bergegas ke dua orang itu, si Kilai dengan mertuanya

menuju seteling dibalik pagar pertahanan, Dengan cepat si Kilai naik,

Mertuanya tidak kalah cepat dengan si Kilai.

Di hadapan mereka terbentang daerah peladangan yang subur,

yang sampai dekat kepinggir hutan ditumbuhi padi ladang. Di-tengah2

daerah peladangan itu tampak sepetak tanah yang tidak dipeladangi,

melainkan dipagar dengan ruyung setinggi pinggang. Ditengah petak

tanah itu tampak dua onggokan tanah setinggi tiga meter. Yang sebuah

panjangnya kira2 tiga meter, tapi yang sebuah lagi panjangnya kira2

enam meter. Itulah yang merupakan lambang kemenangan bagi

Penduduk Taratak Baru, tapi yang terbukti sekarang menjadi pokok

katakutan mereka bersama.

Mertua si ingin tahu apa yang dilakukan Urang2 Gadang itu, bila

mereka sampai didekat onggokan tanah itu. Mata mereka memperhatikan

pinggir hutan yang gelap. Cahaya bulan tidak menembus daun2 kayu

yang rindang.

Kembali terdengar suara yang menakutkan itu dan tidak lama

kemudian tampak sebuah bayangan hitam bergerak dipinggir hutan,

Urang Gadang itu sebentar berhenti, memandang keliling daerah

peladangan itu. Matanya yang tajam sudah melihat dua orang yang

berdiri diatas seteling itu. Penciumannya, yang sangat tajam telah dari

tadi mencium bau manusia. Urang Gadang itu sudah dari tadi mengetahui

bahwa dia telah dekat ketempat yang didiami manusia. Selain itu,

hidungnya juga telah mencium bau tembakau yang di tempatkan

penghuni rumah tidak berapa jauh dari tempat Urang Gadang itu berdiri.

?Oooooi ahuuuu!" kembali terdengar suara beratnya. dan Urang

Gadang itupun melangkah kesudut rumah itu. Tangannya menjangkau

tembakau yang ditempatkan diujung galah disudut dinding rumah,

Gumpalan tembakau itu menghilang kedalam mulutnya, dan ia kembali

masuk hutan. Tak berapa lama kemudian tampak seorang lagi, yang lebih

tinggi dari yang pertama, tangannya juga menjangkau tembakau untuk

kemudian menghilang pula masuk hutan. Setelah yang kedua itu masuk

kedalam hutan, maka tiba pula seorang lagi, yang juga mengikuti18

perbuatan kawan2nya. Segumpalan tembakau hilang pula kedalam

mulutnya, dan ia kembali masuk hutan. Setelah itu tidak terdengar lagi

seruan mereka yang menakutkan itu. Orang yang diam dirumah dekat

pinggir hutan itu sudah pasti gemetar ketakutan.

Si Kilai dengan mertuanya tetap saja berdiri diatas seteling Setelah

lama tidak terengar seruan Urang Ga_dang itu, mereka hendak turun

kebawaah, tapi Bapak mertua si Kilai tertegun. Ia menahan menantunya.

?Nak Kilai", bisik orang tua itu. ?Dengarkanlah seruan yang jauh itu.

Menilik arahnya seruan itu datangnya dari balik Bukit Tinjauan, mungkin

dari dalam lurah dalam atau didalam hutan diseberang lurah itu''.

Si Kilai berdiri memperhatikan suara Urang Gadang dari jauh itu.

Lama juga ia menunggu sambil berdiri tidak ber gerak2. Kemudian

sayup2 sampai ketelinganya seruan yang menakutkan itu.

?Seruan itu bukan berasal dari tiga orang yang baru mengambil

tembakau itu. nak Kilai, sebab yang tiga orang itu kini sedang menikmati

makanan yang sangat mereka gemari itu, dan sebentar lagi mereka akan

tidur karena dimabuk tembaka".

?Kalau begitu, ada rombongan lain lagi, Pak, Dengarlah sahutan2

mereka didalam hutan itu. Rupanya, mereka dalam rombongan yang

lebih banyak dari yang tadi, Pak", kata si Kflai.

Ketika itu mereka melihat dua orang bergerak dalam sinar bulan

yang terang benderang itu. Kedua orang itu baru turun dari rumah

kediaman si Lengah.

?Itu mungkin si Lengah dengan kawannya Pak, mari kita temui

mereka itu", Si Kilai dengan mertuanya turun dari seteling.

?Kau Lengah?" tanya si Kilai ketika ia telah dekat.

?Ja, betul! Kau Kilai?" Si Lengah dengan kawannya segera berlari

dan berediri dimuka si Kilai dengan mertuanya.

?Oh, bapak juga turut menyaksikan Urang2 Gadang itu. Pak?"

?Ya nak Lengah. Aku juga ingin tahu yang mereka lakukan".

?Apa yang telah dapat bapak lihat tadi?" tanya Lengah segera.

?Oh, tiga Urang Gadang sudah mengambil tembakau yang

disediakan oleh Si Hitam disudut rumahnya, dan mereka sudah kembali

masuk hutan. Sebenarnya kalau kita ingin membunuh Urang Gadang itu.,

maka sangat mudah bagi kita. Kita masuk saja kedalam hutan mencari

dimana mereka tidur, dan kita pancung saja leher mereka. Tapi pekerjaan

itu tidak usah kita lakukan, nak, kecuali kalau keadaan memaksa''.

?Betul, Pak, kami sudah maklum tentang itu".

?Tapi, .nak Lengah., rupanya sudah ada rombongan lain lagi yang

datang, dan rombongan yang lebih banyak dari yang pertama.

Dengarkanlah baik2". Dan pada saat itu terdengar sayup2 sampai seruan

yang menakutkan itu.
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Ya,betul, Pak. Kini aku dengar pula seruan itu. Rupanya mereka

masih sangat jauh., Pak", kata si Lengah.19

?Kalau tidak salah, mereka kini sedang berada didataran dibawah

lereng gunung tempat kita berburu rusa beberapa hari yang lalu. Disana

aku sudah tunjukkan padamu, nak Lengah, sebuah lobang yang gelap

diantara dua buah batu besar. Kau masih ingat?"

?Ya,Pak, aku masih ingat, dan Bapak mengatakan bahwa mungkin

sekali lobang itu didiami oleh ular besar, karena ada tanda2nya yang kita

temukan ditanah yang menuju kedalam lobang itu".

?Betul nak Lengah, dan Bapak mengira bahwa lobang di antara dua

buah batu besar itu, adalah permulaan dari ngarai yang kita seberangi

dengan jembatan bergantung itu, maka sudah jelas bahwa ngarai itu

didiami oleh ular2 besar-besar"

?Jadi apa hubungannya dengan Urang2 Gadang itu Pak?"

?Nak Lengah, bapak sudah terangkan juga bahwa musuh2 Urang

Gadang itu adalah harimau dahan, dan ular, yaitu ular besar dan kecil.

Bila mereka menemukan sarang ular2 maka sudah tentu mereka masuk

kedalam sarang ular itu untuk memerangi musuh mereka sambil mencari

kawan2 mereka, yang mungkin tewas karena berkelahi dengan ular

didalam ngarai itu, Inilah pendapat bapak, nak Lengah".

Si Lengah dengan Si Kilai berdiam diri beberapa lama. Sementara

itu terdengar kembali seruan Urang Gadang dari jauh.

?Ya, Pak", kata si Kilai. ?Setelah mendengar keterangan bapak itu,

aku juga yakin bahwa Urang2 Gadang itu akan memasuki lobang yang

gelap diantara dua buah batu besar itu. sebab aku sudah yakin pula

bahwa didatam lobang itu bersarang ular besar, memiliki pada tanda2

yang kita lihat ditanah itu, Pak".

?Dan kalau betul pula taksiranku, bahwa lobang itu adalah

permulaan dari ngarai yang dalam dan ber-batu2 itu, maka sudah pasti

pula bahwa didalam ngarai itu akan terdapat ular2 yang besar".

Ketika itu terdengar kembali seruan Urang Gadang tapi kali itu

suara besar itu seperti keluar dari satu tempat terkurung.

?Nah, dengarkanlah itu, nak Kilai, suara itu keluarnya dari dalam

lurah!" kata mertua Kepala Nagari itu.

?Ya, Pak. Taksiran bapak itu tidak meleset rupanya. Mari kita lihat

dari puncak Bukit Tinjauan, Pak, Bulan sangat terang, tentu kita akan

dapat memperhatikan mereka dari tempat yang ketinggian itu".

?Ayoh, mari kita berangkat sekarang juga!"

Kawan si Lengah tadi tampaknya agak ragu2, tapi ketika dilihatnya

ia telah tinggal seorang diri saja ditempat ia berdiri itu, maka iapun

berlari mengejar kawan2nya tadi. Dua orang yang mengawal pintu

gerbang yang rupanya juga telah mendengar seruan yang menakutkan

itu sangat heran melihat keempat orang itu memerintahkan membukakan

pintu gerbang, tapi karena kepala nagari mereka yang memerintahkan

maka segera saja dipatuhi.

Sambil ber-lari2 kecil keempat orang itu menuju Bukit Tinjauan.20

Bapak mertua si Kilai tampaknya agak kepayahan juga, tapi orang tua itu

tidak mau mengaku kalah dengan yang muda2. Juga ketika mereka mulai

mendaki lereng Bukit Tinjauan. malahan Si Kilailah yang lebih dahulu

menghempaskan dirinya ketika mereka sampai didataran kecil di puncak

Bukit Tinjauan itu, Setelah beristirahat sebentar maka mereka berbaris

mendaki menara batu yang tinggi itu, dan sampai dipuncaknya, mereka

berdesak desakan diatas dataran yang sempit itu memandang kebawah.

Seruan Urang Gadang itu sudah bertambah jelas terdengar dari,

tempat ketinggian itu, meskipun mereka belum terlihat.

?Ooooooi ahuuuuu! Oooooi ahnuuu!"

Sudah jelas bahwa suara itu datangnya dari dalam ngarai dalam itu,

dan sahutan yang terdengar ada lebih dari tiga.

?Kalau tidak salah, ada tujuh orang semuanya, nak Kilai", kata

orang tua itu pada menantunya.

?Ya, Pak, aku juga sudah menghitung suara yang menyahut tadi,

dan aku juga sependapat dengan bapak bahwa ada tujuh orang

semuanya yang telah berada dalam ngarai itu. Dan rupanya mereka

sudah dekat kejembatan bergantung itu Pak".

Ketika itu terdengar suara yang lain dari yang lain dari yang telah

mereka dengar. Dari dalam ngarai itu terdengar suara. ?Ha , ha ..

uhaaaa!" dan bersamaan dengan suara itu terdengar bunyi seperti barang

berat tapi lembut jatuh keatas dasar yang basah, setelah itu terdengar

suara menggeram. Dari bagian atas terdengar suara yang ramai. Ha .. ,

ha..., uhaaaa!"

?Itu! Itu dia!" teriak mertua si Kilai sambil menunjuk kebawah.

Semuanya mengikuti petunjuk orang tua itu. Didalam ngarai itu

yang hanya separo diterangi oleh cahaya bulan tampak tubuh hitam

bergerak, tapi dikeliling tubuh itu tampak tubuh yang putih ke-kuning2an

membelit. Terdengar bunyi tulang berderak dan berdetak. Batu2 teranjak

tersentuh kaki21

atau tangan Urang Gadang itu.

?Lihat! Urang Gadang itu sedang berkelahi dengan ular besar!

Lihatlah. tubuhnya sudah dibeljt oleh ular itu. Tu! Kawan2 mereka

sudah datang untuk membantu!" demikian teriak mertua si Kilai. ?Mari

kita turun kebawah supaya dapat melihat dengan lebih nyata!" dan

sebagai bukti kesungguhan orang tua itu, ia langsung meluncur dari

menara batu itu. Yang lain ragu2 tapi akhirnya mengikuti juga. Mereka

berlari sambil meluncur2 kebawah, dan ketika sampai dmuka jembatan

bergantung, perkelahian antara ular besar dengan Urang Gadang didalam22

ngarai sudah makin seru. Seorang kawannya telah datang, dan mencekek

leher ular besar yang telah mencengkamkan giginya dileher Urang

Gadang yang dapat disergapnya itu. Tangan Urang Gadang yang dibelit

ular besar itu menolakkan tubuh ular yang makin mengencangkan belitan

pada tubuhnya sehingga terdengar tulang ke-dua2nya berderak2. Tapi

ular itu, karena lehernya sudah dipegang oleh Urang Gadang yang datang

membantu itu, tidak dapat bertahan lama lagi. Ia segera melepaskan

giginya dari leher lawannya. Tampak giginya yang mengandung bisa itu

berkilat dalam cahaya bulan. Tak berapa lama antaranya, mulut ular itu

berderak dan terbelah karena dikoyakkan Urang Gadang yang datang

menolong kawannya itu.

Si Kilai dengan mertuanya telah berdiri diatas jembatan rotan

sedang yang dua orang jainnya memperhatikan kedua orang itu dengan

ketakutan. Si Lengah dengan kawannya yang sudah gemetar ketakutan,

berdiri dipinggir ngarai sambil berpegang pada tali jembatan.

Lima tubuh besar lagi tampak datang ketempat kawan2 mereka

diserang ular itu. Dengan perjahan tampak tubuh ular tadi melayu, dan

Urang Gadang yang disergapnya tadi, masih bergerak tampaknya, tapi ia

tidak dapat berdiri dgn, segera. Beberapa lama ia masih berbaring saja

didasar yang basah dan penuh batu2 itu. Kawan2nya menarik tangan

yang berbaring itu, maka barulah ia dapat berdiri. .,Ha ., ha., ha.. !"

terdengar kawan2nya berseru. Yang tadi diibelit ular masih berdiri

terhuyung2, tapi akhirnya ia menggerakkan kakinya selangkah demi

selangkah. Kawan2nya yang enam orang telah mendahuluinya berjalan

dengan gerakan yang lamban menuruni ngarai kesebelah bawahnya,

Terdengar kaki mereka ber-lecek2 diair yang mengalir diatas batu2

didasar ngarai itu. Sambil berjalan yang enam orang itu menarik dan

menghempaskan semak clan belukar yang dapat dicapai tangan mereka.

Habis berpelantingan tanah dan batu2 kecil sampai2 mengenai si Kilai dan

mertuanya yang berdiri diatas jembatan. Dalam keadaan berang itu

keenam Urang Gadang itu meneruskan perjalanan mereka.

Tak lama antaranya maka terdengar kembali suara perkelahian

seperti tadi. Batu2 besar bergulingan karena ditolakkan Urang Gadang

itu, dan terdengar suara seperti pelepah dibantingkan ke batu. ?Pak! Pk!

Pak!" dan sesuatu melayang diudara, kemudian tersangkut diatas

jembatan, Tampak oleh Kilai dan yang lain2 bahwa yang tersangkut itu

tidak lain dari tubuh ular sebesar paha yang telah pecah kepalanya.

Binatang itu masih bergerak meskipun kepalanya sudah hancur,

kemudian menggelincir kebawah, Disebelah bawah ngarai itu terdengar

suara, ,,Ha. , ha. , ha ."

Rupanya, telah terjadi lagi pergulatan seorang Urang Gadang

dengan seekor ular besar yang dengan tiba2 membelit tubuh seorang

antara yang berenam itu, tapi karena mereka berada berdekatan, maka

pergulatan itu tidak berlangsung lama, Segera ular yang tubuhnya23

sebesar pohon aren itu terpaksa mengalah dan melepaskan belitannya

ditubuh lawannya. Urang2 Gadang itu meneruskan perjalanan mereka ke

hilir ngarai, dan berkali2 lagi terdengar perkelahian mereka melawan

musuh2 mereka yang mendiami ngarai gelap itu.

?Apakah nak Kilai sudah tahu kemana beloknya ngarai ini?"

terdengar suara mertua si Kilai bertanya.

?Ngarai itu berachir diujung bukit ini, Pak. Disana ada air terjun.

Anak Sungai yang mengalir dalam ngarai ini di tempat itu menerjuni

tebing batu yang sangat curam dan memecah batu2 keras kemudian

mengalir mengairi sawah2 kita dibagian bawah".

?Nah, kalau begjtu, Urang2 Gadang itu tentu akan, kembali mudik

ngarai ini, dan keluar didataran diatas ini. Mari kita dahuluj mereka

ketempat itu, Kita akan cari tempat yang cukup aman untuk

memperhatikan perbuatan mereka".

?Apakah tidak berbahaya bagi kita, Pak?" tanya Kilai pula.

?Tidak, nak Kilai, Gerakan Urang2 Gadang itu sangat lamban, apa

lagi setelah melakukan pertarungan2 lang meletihkan mereka tentu

gerakan2 mereka akan bertambah lamban. Mereka tidak akan dapat

mengejar kita".

Setelah itu keempat orang itu berjalan menyusur tepi ngarai sampai

kedataran disebelah atasnya. Sampai dimuka dua buah batu yang

merupakan pintu gerbang masuk nagari itu, maka mertua si Kilai

mengambil bungkusan tembakau dari tangan menantunya. Bungkusan itu

dibukanya dan gumpalan tembakau sebesar kepala itu dibaginya menjadi

tujuh tumpuk, diletakkannya ditanah dalam jarak sedepa. Setelah itu

mereka mencari tempat perlindungan didalam hutan tidak jauh dari pintu

ngarai itu.

?Karena bau tembakau itu, mereka tidak akan mencium bau kita

disini, nak Kilai. Dan karena dimabuk tembakau mereka mungkin sekali

akan tidur saja cditempat terbuka, didataran ini. Juga karena keletihan

mereka akan duduk untuk beristirahat''.

Lama juga mereka menunggu, barulah terdengar gerakan lamban

didalam Pintu ngarai itu. Keempat orang didalam hutan kini dengan hati

berdebar menunggu yang akan terjadi,

Seorang demi seorang tampak Urang2 Gadang itu keluar dari

lobang diantara dua buah batu besar itu. Mereka sangat letih tampaknya,

tapi hidung mereka masih dapat mencium tembakau yang terletak

didekat lobang itu.

?Akau ..!" kata seorang berseru sambil membungkuk menjangkau

tembakau itu setumpuk. Segera datang yang seorang lagi mendesak, dan

tangannya menjangkau pula. Yang lain datang bergegas pula dan

akhirnya masing2 mendapat bagiannya. Sambil mengunyah tembakau

mereka meneruskan perjalanan menyeberangi tempat terbuka itu, tapi

karena sangat letih, seorang duduk, segera diikuti oleh yang lain. Mereka24

masih mengunyah tembakau. Tampaknya sangat memikat bagi mereka

tembakau itu. Cepak mereka sampai terdengar ketempat keempat orang

itu bersembunyi.

Akhirnya seorang menggulingkan tubuhnya diatas rumput,

kemudian yang lain mengikuti pula berbaring.

Keempat orang didalam hutan masih menunggu sampai mereka

mendengar dengkur yang menakutkan, Per-lahan2 mereka

mengundurkan diri dan meninggalkan tempat dataran itu. Sampai dekat
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jembatan bergantung barulah mertua si Kilai bicara.

?Nak Kilai, yakinkah anak bahwa kita tadi sudah akan sanggup

membunuh Urang2 Gadang itu?"

?Ya Pak", sahut Kilai segera. "Tapi tidak ada fa'edahnya membunuh

mereka Pak".

?Betul, maka kini, supaya mereka meninggalkan daerah kita ini

dengan lekas, baiklah kita bangunkan beberapa orang, pada malam ini

juga dan mulai mengeluarkan tulang belulang Urang Gadang dari dalam

kuburan itu. Besok malam, bila mereka datang ketempat kita mereka

akan menemukannya dan terus mengangkutnya dan tidak akan kembali

lagi mengganggu kita disini".

?Baikkah, Pak, Baik juga pekerjaan ini kita langsungkan sementara

mereka sedang enak2 tidur," sahut si Kilai pula.

BENCANA YANG MENGUNTUNGKAN.

KEESOKAN harinya penduduk Taratak baru dapat melihat tulang

belulang dari Urang2 Gadang yang telah dikeluar kan dari dalam kuburan

itu memutih diluar, tersusun dengan baik. Pada malam itu seluruh

penduduk Taratak Baru tidak tidur barang sepicingpun. Mereka semuanya

berada dalam ketakutan yang amat sangat, lebih2 lagi keluarga si Hitam

yang diam didekat Pinggir hutan, dimana Urang Gadang yang bertiga itu

mengambil tembakau. Tapi mereka tidak tahu bahwa empat orang

diantara mereka telah memberanikan diri untuk menyaksikan sekalian

kejadian didalam ngarai yang dalam itu. Baru setelah mendengar dari

pengawal Pintu gerbang serta orang2 yang dibangunkan untuk membantu

mengeluarkan tulang belulang Urang Gadang itu, orang2 yang tadinya

menganggap bahwa si Kilai sangat terkebur, menjadi insyaf bahwa

mereka mempunyai seorang Kepala Nagari yang betul2 bekerja dengan

penuh rasa tanggung jawab.

Pada siang hari itu tidak ada terjadi apa2. Urang2 Gadang yang

diketehui berjumlah sepuluh orang itu rupanya masih tidur saja. Kalau

mereka dapat melihat didataran diatas pintu ngarai, maka mereka akan

dapat menyaksikan bahwa tujuh tubuh besar serta hitam, dengan muka25

serta tangan berdarahan, kini sudah pindah kedalam hutan untuk

meneruskan istirahat mereka dibawah lindungan pohon2 kayu, Yang tiga

lagi berada disatu tempat didalam hutan dekat rumah si Hitam. Keluarga

di rumah itu sepanjang malam dapat mendengar dengkur yang

menakutkan, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang dapat

memicingkan mata.

Pagi2 benar si Hitam telah meluncur dari rumahnya dan berlari

menemui Kepala Nagari untuk melaporkan keadaan itu. Tapi ia dengan

heran mendengar bahwa si Kilai telah mengetahui tentang hal itu, dan

menasehatkan supaya dia jangan berbuat apa2 menjelang malam.

?Lihatlah didekat kuburan itu", kata si Kili. "Disana tulang belulang,

Urang2 Gadang sudah kami keluarkan tadi malam, dan mereka yang

berada didekat rumahmu itu tentu akan datang ketempat tulang belulang

itu terletak, dan memanggil tujuh orang kawan2 mereka lagi yang kini

berada didataran diatas ngarai dalam itu".

?Hai, bagaimana Angku Palo (kepala Nagari) dapat mengetahui hal

itu?" tanya Hitam dengan heran.

"Tadi malam kami keluar ketika mendengar seruan mereka dalam

hutan. Kami menampak bahwa mereka mengambil tembakau disudut

rumahmu itu. Kami juga sudah pergi menyaksikan perkelahian Urang2

Gadang itu memerangi ular2 besar yang mendiam ngarai yang dalam itu.

Kini kita tidak usah khawatir lagi bahwa ternak kita akan dicuri oleh ular2

besar didalam ngarai itu. Rupanya selama ini ular2 itulah yang mencuri

ternak kita yang dilepaskan didataran dibawah kaki bukit itu. Disanalah

terdapat pintu masuk ngarai itu. Lobang diantara dua buah batu besar itu

rupanya menjadi Pintu gerbang untuk masuk ngarai itu". Demikianlah si

Kilai menerangkan pada si Hitam yang mendengarkannya dengan mulut

menganga.

Dalam perjalanan kembali kerumahnya, si Hitam sengaja berjalan

melewati kuburan yang terdapat di-tengah2 ladang padi itu, dan disana

disaksikannya tulang2 yang panjang2 ruasnya tersusun. Tengkorak2

Urang Gadang itu dengan giginya yang besar2 sangat menakutkan. Tapi

disamping tengkorak yang ruasnya panjang2 itu, ada pula satu susun

yang panjangnya hanya separo saja dari yang lain2. Tengkoraknya yang

jauh lebih kecil tampak terbelah dua. Rupanya bekas kena rudus.

Si Hitam kembali dengan cepat kerumahnya untuk mengabarkan

pada keluarganya bahwa nanti malam mereka akan dapat menyaksikan

kedatangan Urang Gadang itu untuk mengangkut tulang belulang kawan2

mereka yang telah dikelurkan dari kuburan.

Sepanjang hari itu tidak ada seorangpun yang keluar mengerjakan

sawah atau ladang. Seluruh penduduk Taratak Baru menunggu dengan

hati berdebar kedatangan Urang2 Gadang itu, sebab kekhawatiran bahwa

Urang2 Gadang itu akan mengamuk karena menemukan tulang belulang

kawan2 mereka didekat perkampungan manusia. Sepanjang hari mereka26

memperhatikan pinggir hutan, kalau2 disana muncul tubuh2 yang besar

itu. Tapi selama hari masih siang, tidak ada sesuatu yang terjadi.

Setelah matahari tenggelam dan waktu senja telah ber ganti

dengan malam, barulah didalam hutan dekat rumah si Hitam terdengar

gerakan. Ranting2 kayu terdengar berderak dan patah2. Tak lama

kemudian terdengar seruan, ?Ooooi ahuuuuu!"

Segera seruan itu disahuti oleh yang lain2 yang berada didekat

pinggir hutan dekat rumah si Hitam. Tapi dari jauh27

terdengar pula seruan yang serupa. Ditempat yang jauh itu rupanya

berada lebih banyak Urang Gadang lagi dari yang didekat rumah si Hitam

itu. Seruan2 yang menakutkan itu ber ulang kali terdengar.

Pada malam itu, atas perintah si Kilai, tidak boleh disediakan

tembakau diluar rumah, sebab tembakau itu akan merayu Urang2

Gadang itu, dan melupakan mereka pada tugas mereka untuk

mengangkut tulang belulang kawan2 mereka itu.

Dari atas seteling dibalik pertahanan puluhan duduk Taratak Baru

telah berdiri untuk menyaksikan kejadian yang mengerikan tapi juga

mengharukan itu.

Dengan gerakan yang lamban Urang Gadang dekat rumah si Hitam

telah keluar dari hutan sambil berseru-seru, dan tak lama kemudian

kawan2nya yang dua lagi mengikuti dari belakang. Yang pertama keluar

dari tadi telah berdiri tegak dengan tidak bergerak2. Matanya tertuju

pacia satu tempat di tengah ladang padi, kemudian menjelajahi pagar

pertahanan. Urang Gadang itu telah melihat tulang belulang kawan2

mereka, tapi juga telah melihat orang2 Taratak Baru yang berderet diatas

seteling dibalik pagar pertahanan.

?Ha . ha ., ha ahuuuu!" terdengar Urang Gadang itu berseru

sambil bergerak maju. Kawan2nya yang menyusul dibelakang tampak

agak bergegas berjalan. Yang datang dibelakang yang pertama tadi

berdiri pula sejenak untuk memperhatikan tulang belulang kemudian

mata mereka menjelajahi pula seteling dibalik pagar pertahanan.

?Rupanya mereka memperhatikan kita", bisik mertua si Kilai.

?Betul Pak", sahut si Kilai. "Bagaimana akal kita nanti kalau mereka

mengamuk?"

?Apa boleh buat .nak, kita harus hadapi mereka. Kita akan terpaksa

membunuh Urang2 Gadang ini untuk menjaga keselamatan penduduk di

Taratak Baru ini".

?Perintahkanlah supaya kawan2 kita bersiap dengan rudus mereka".

Demikian kata mertua si Kilai.

Ketiga Urang Gadang tadi telah bergerak maju menempuh ladang padi

yang sedang berbuah. Batang2 padi yang diinjak kaki2 mereka yang

besar2 itu hancur luluh. Penduduk Tara tak Baru semuanya berada dalam

ketakutan. Mereka semuanya menyangka bahwa Urang2 Gadang itu akan

menyerang mereka. Menjelang sampai ketempat tulang belulang itu,

ketiga Urang Gadang itu berhenti sejenak. Mereka memperhatikan

seteling dibalik pagar pertahanan. Yang ketakutan sudah

menyembunyikan diri dengan membungkuk dibalik pagar diatas seteling,

dan ada pula yang meloncat kebawah. Melihat keadaan seperti, itu,

beberapa orang wanita menjerit. Tapi si Kilai dengan mertuanya serta si

Lengah tetap saja ditempat mereka dengan rudus ditangan.

?Tampaknya seperti kita bertiga saja yang akan menghadapi

Urang2 Gadang itu, Pak", kata si Kilai pada mertuanya. ?Lihatlah kawan228

kita pada lari ketakutan".

?Tidak apa nak Kilai, hanya kita harus bergerak cepat kalau

umpamanya yang tujuh orang didataran itu datang pula membantu

kawan2 mereka nanti. Tapi . marilah kita tunggu dahulu perkembangan

keadaan. Belum tentu Urang2 Gadang itu akan menyerang kita".

"Ha . ha , ha ., ahuuuu!" terdengar yang tiga orang itu

berseru.

Kawan2 mereka yang tujuh orang dari dataran rupanya sudah

sampai didalam hutan, sehingga sahutan mereka se-olah2 menggetarkan

pohon2 kayu. Urang Gadang yang tiga orang maju kembali, dan . ketika

seorang sampai pada tulang2 kawan2 yang mereka cari itu, ia segera

duduk dan memegang tulang2 kawan2nya, menciumnya dan

meletakkannya kembali. Diluar dugaan penduduk Taratak Baru, Urang

Gadang itu mulai menangis dan meratap. Kawan2nya yang dua orang

segera pula, duduk dan mencium tulang kawan2 mereka, dan mereka

mulai pula menangis dan meratap. Kawan2 mereka yang tujuh orang

telah sampai dipinggir hutan dekat rumah si Hitam. Mereka dengan

bergegas datang ketempat kawan2 mereka yang tiga orang itu. Maka,

tampaklah dimuka mata penduduk Taratak Baru satu kejadian yang

mengharukan. Ketujuh kawan2 Uran.g Gadang yang baru datang itu

sama mencium tulang2 kawan2 mereka dan mulai pula meratap.

Demikian mengharukan keadaan itu, sehingga yang melihat turut pula

mengeluarkan airmata.

Lebih kurang selama satu jam Urang2 Gadang yang sepuluh orang

itu menangisi tulang belulang kawan2 mereka. Akhirnya seorang

mengumpulkan beberapa potong dan memangkunya dengan kedua belah

tangan, dan berdiri menuggu kawan2nya memungut pula bagian yang

akan dibawanya. Kemudian mereka ber-deret2 berjalan masuk hutan

dengan tujuan hutan lebat didaerah Jambi, dimana terdapat kuburan

bersama bagi Urang Gadang yang tewas atau mati karena sakit atau

ketuaan.

Si Kilai merasa sangat lega melihat keberangkatan Urang2 Gadang

itu.

?Akhirnya kita luput juga dari bahaya yang menakutkan itu Pak";

katanya pada mertuanya.

"Ya, nak Kilai, kini kita tidak usah khawatir lagi bahwa Urang2

Gadang itu akan kembali ketempat kita ini. Tapi damhal ini ada yang

sangat menarik bagiku, nak Kilai".

?Apakah yang menarik itu?, Pak?" tanya si Kilai dengan segera.

"Meskipun Urang2 Gadang itu makhluk2 yang bodoh, dan hidup

menyendiri dalam hutan, tapi rasa kasih sajang mereka serta rasa

persatuan antara mereka sangat mendalam. Meskipun dalam keadaan

senang mereka hidup terpisah, tapi dalam kesusahan mereka bersatu

padu. Ini adalah satu contoh teladan bagi kita penduduk Taratak Baru ini,29

nak".

Sebentar si Kilai termenung mendengar ucapan mertuanya.

?Benar, benar sekali, Pak"; sahutnya kemudian. "Demikian pulalah

kita di Taratak Baru ini hendaknya. Hidup rukun dan damai dan bersatu

dalam segala hal, baik menghadapi pekerjaan yang baik, maupun dalam

waktu2 susah"

?Inilah pedoman bagi nak Kilai sebagai Kepala Nagari di Taratak

Baru ini. Pimpinlah anak buahmu menuju persatuan yang kukuh".

Pada malam itu penduduk Taratak Baru tidur dengan nyenyaknya
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setelah sehari semajam bertanggung dan berada dalam kecemasan.

Keesokan harinya, si Kilai dibangunkan oleh mertuanya pagi2

benar. Setelah minum kopi daun dan makan ketan sedikit mereka turun

dari rumah bersamaan dengan munculnya matahari. Dengan rudus

tergantung dipinggang masing, mereka berjalan menuju dataran diatas

ngarai, dan ketika sampai dimuka lobang diantra batu2 besar itu mertua

si Kilai mengumpulkan ranting2 kering yang dibuatnya menjadi empat

ikat. Dua jkat diberikannya pada menantunya dan dua ikat dipegangnya

sendiri setelah membakar ujung ikatan rantingnya sebuah.

Per-lahan2 mereka memasuki lobang yang gelap menakutkan itu,

Setelah beberapa lama berjalan melalui batu, yang licin berlumut dan

menempuh anak sungai yang menimbul seperti mata air dari sela2 batu,

maka sampailah mereka ke dekat jembatan bergantung. Dari jauh

mereka telah melihat seperti pohon aren terbelintang dihadapan mereka,

Setelah dekat barulah mereka mengetahui bahwa yang tampak itu adalah

bangkai ular besar yang telah membelit Urang Gadang kemarin malam,

Leher Ular besar itu ter-koyak2. Sebagian dari tubuh ular itu masih

berada didalam sebuah lobang, Mereka meneruskan perjalanan sampai

dibawah jembatan bergantung, dan mata si Kilai mencari cari didasar

ngarai. Ia merasa heran apa sebabnya tidak menemukan tulang belulang

dari Si Harimau Campo serta kawan2nya yang tiga orang, yang jatuh

kedalam ngarai itu.

?Apa yang kau cari, nak?" tanya mertuanya.

?Dahulu, ketika kami merebut Taratak Baru ini dari tangan penjahat

si Cengkok itu, Pak, ada empat mayat musuh kami yang kami lemparkan

kedalam ngarai ini. Kalau tulang belulang Urang2 Gadang itu masih utuh

dalam kuburannya, tentu tulang, si Harimau Campo dengan kawan2nya

akan kita jumpaj pula disini".

?Tidak, nak Kilai. Mereka tentu mudah ditelan oleh ular besar yang

bersarang dekat jembatan ini, dan tulang2 mereka tentu sudah hancur

luluh didalam perut ular ini".

Mereka meneruskan perjalanan sampai kehilir ngarai. Sepanjang

ngarai itu mereka menemukan bangkai2 ular dari yang sebesar paha

sampai yang sebesar pohon aren. Didinding ngarai mereka melihat

banyak lobang2 yang gelap bekas sarang ular2 besar itu. Mertua si Kilai30

tiba2 membalik dan memasuki sebuah lobang yang terbesar dekat

jembatan bergantung. Obornya ditinggikannya dan matanya membelalak

memandang kedalam lobang. Orang tua itu makin jauh masuk kedalam

lobang itu. Kemudian terdengar suaranya, ?Nak Kilaikemarjlah".

Si Kilai datang dengan cepat, ?Ini tampaknya seperti bekas

kediaman orang Lecoh nak Kilai, tapi mereka rupanya sudah dikalahkan

oleh ular2 besar sehingga yang dapat menyelamatkan diri terpaksa

mengungsi ketempat lain, Lihatlah simpang2 lobang dalam batu ini,

seperti kamar2 saja".

?Mari kita periksa sampai kedalamnya, Pak", kata si Kilai.

Mereka berjalan terus. Mertua si Kilai berhenti sebentar untuk

menyalakan obor yang kedua, Yang pertama sudah pendek, dan sebentar

lagi akan habis terbakar,

?Apa itu yang seperti api menyala diujung sana. Pak?" tanya si Kilai.

?Marilah kita periksa", sahut orang tua itu.

Setelah dekat maka mereka berada dimuka tumpukan biji2 emas

yang besr2 seperti biji pinang. Kedua2nya sama2 menjangkau dan

menimang biji emas itu dalam tangan.

?Emas, Pak!" kata si Kilai dengan suara keras sehingga seruannya

menggema dalam lobang itu.

?Ya, nak Kilai, emas, Rupanya tempat ini adalah tambang emas

yang dibuat oleh orang2 Lecoh".

?Kita jadi kaya, Pak!" kata si Kilai pula.

?Kita? Siapa maksudmu dengan kita nak Kilai?"

?Ya, kita berdua dan keluarga kita, Pak?!"

?Bagaimana dengan penduduk Taratak Baru yang lain2? Apakah

mereka tidak akan mendapat bagian?"

?Tentu saja tidak, Pak, Bukankah kita berdua yang menemukan

tambang emas ini?"

?Betul kita berdua yang menemukannya, nak Kijai, tapi dengan

demikian nak Kilai tidak lagi mengindahkan kata2ku kemarin malam, Kita

harus rukun dalam segala keadaan dan segala, masa. Kita harus rukun

dalam susah dan senang. Mengapa nak Kilai sekarang yang hendak

senang sendiri dengan kekayaan ini? Kalau begitu, nak Kilai tidak akan

lama menjadi pemimpin yang setia pada anak buahnya."

Lama si Kilai termenung setelah mendengar ucapan mertuanya itu.

Akhirnya ia berkata, ?Jadi. , bagaimana sebaiknya Pak?

?Nah, cobalah kau pikirkan sendiri, nak Kilai. Kaulah yang menjadi

kepala nagari di Taratak Baru, kaulah yang menjadi pemimpin anak

buahmu. Cobalah pikirkan satu jalan supaya kita dapat mengecap

kebahagiaan dari kekayaan ini bersama''.

Si Kilai duduk diatas sebuah batu sambil menimang nimang biji2

emas murni yang berat2 itu dalam tangannya. Lama ia tidak menyahut

perkataan mertuanya. "Baiklah, Pak, Aku kira, jalan yang se-baik2nya31

ialah, bahwa sepertiga dari hasil tambang ini adalah milik Nagari, yang

dua pertiga adalah milik penduduk bersama. Pembagian yang aku

inginkan ialah, bahwa kita berdua mendapat hak masing2 dari dua saham

kita yang menemukan tambang ini, dan penduduk yang lain kita berikan

hak satu saham. Sebagaj tanda saham kita berikan mereka sepotong kulit

ular setelah dijemur kering. Selanjutnya penduduk harus patuh pada

peraturan yang akan kita tetapkan bersama, dan barang siapa

menyeleweng akan menerima hukuman berat".

?Bagus, nak. Itu tandanya nak Kilai akan menjadi seorang

pemimpin yang adil dan dihormati anak buah''.

?Lihatlah dalam lobang2 yang kekiri dan kekanan itu!" teriak si

Kilai. ?Disana tampaknya lebih banyak tumpukan emas seperti ini!"

Mereka berdua pergi memeriksa; ditiap2 sisi jobang yang mereka

masuki itu, terdapat tumpukan emas yang sangat banyak. Tinggal

mengangkut keluar saja. Selain itu yang belum dikeluarkan dari dalam

batu2 masih sangat banyak pula.

?Lihatlah sendiri, nak Kilai. Kita tidak akan kekurangan pembagian

emas dengan memberikan hak pada kawan2 kita penduduk Taratak

Baru", kata mertua si Kilai.

?Betul Pak, Kita tidak boleh bersifat tamak".32

Mereka keluar dari lobang tambang itu lalu memeriksa pula lobang2

lainnya, dan menemukan keadaan yang hampir sama, hanya jumlah

emasnya tidak sebanyak yang mereka temukan dalam lobang pertama.

Demikianlah penduduk Taratak Baru menjadi orang2 yang kaya

dengan emas. Untuk tidak mengurangkan pekerjaan diladang dan33

sawah2, maka secara bergiliran mereka mengerjakan tambang emas.

Hasilnya mereka bagi menurut peraturan2 yang telah ditetapkan bersama

yang sejiwa dengan buah pikiran Si Kilai didalam lobang tambang itu.

Mereka hidup dengan rukun dan damai berkat pimpinan si Kilai selalu

menerima nasehat dari mertuanya yang cerdik cendekia itu.

KEMASUKAN PENGARUH LUAR.

PANDAI2 emas telah didatangkan dari daerah2 lain untuk

mengerjakan emas di Taratak Baru menjadi perhiasan. Sampai2 alat2

rumah tangga mereka diperbuat dari emas, seperti piring2, tempat2

minum dan cuci tangan dan sebagainya. Berita tentang kekayaan

pendaduk Taratak Baru ini tersiar kemana mana, sampai2 kedaerah

Jambi. Maka pada suatu hari datanglah lima orang ke Taratak Baru yang

katanya ingin hendak berdagang, menukar alat2 keperluan pertanian

dengan perhiasan emas atau biji2 emas. Mereka juga berjanji akan

mengajarkan pemakaian alat2 pertanian yang mereka bawakan itu,

sehingga beberapa orang memberikan tempat di-rumah2 mereka.

Tiga orang diantara pendatang2 baru itu adalah orang2 yang

berkulit kuning, mata dan rambut mereka yang panjang dijalin menjadi

satu seperti buntut sapi. Yang tiga orang itu bagaimanapun diajar oleh

penduduk Taratak Baru tidak pandai menyebut "R" melain yang keluar

dari mulut mereka ialah "L". Menurut keterangan mereka, mereka itu

datangnya dari Muaro Tembesi didaerah Jambi. Mereka telah berjalan

menyusur sungai Batang Hari dan sampai di Taratak Baru. Kebiasaan

mereka yang bertiga itu ialah bila berjalan membawa sebuah tongkat

yang panjangnya satu depa lebih, dan sebagai senjata tajam mereka

membawa sebuah pedang yang keujungnya makin lebar. Yang dua orang

lagi bentuk2nya adalah serupa dengan orang penduduk Taratak Baru,

hanya logat mereka saja yang berbeda, sebagai tanda bahwa mereka

datang dari daerah lain.

Setelah beberapa lama pendatang2 baru itu tingggal di Taratak

Baru, mengajarkan pemakaian alat2 pertanian seperti bajak dan sikat

untuk mendatarkan lumpur di-2awah2, barulah tampak apa yang

sebenarnya mereka maksudkan datang ke Taratak Baru itu. Tidak lain

dan tidak bukan, untuk menyelidiki keadaan tambang emas serta

kekayaan penduduuk Taratak Baru. Mereka berpendapat bahwa tanah

tempat Taratak Baru itu sangat subur, dan tambang emas yang ada

dalam itu sangat kaya raya, maka mulailah mereka memasukkan

pengaruh mereka dengan tujuan menguasai kekayaan penduduk Taratak

Baru.

Yang pertama mereka lakukan, ialah mengadu dombakan penduduk34

dengan Kepala Nagari mereka yang jujur serta penuh rasa tanggung

jawab itu.

Seorang pendatang baru yang bermata sipit itu menerangkan

bahwa namanya adalah Tiong, kawannya yang berdua ialah Beng dan

Seng, sedang dua orang lagi ialah si Tuding dan Turi. Penduduk Taratak

Baru, karena tidak pernah melawat ke daerah Jambi, tidak mengetahui

bahwa daerah itu sudah banyak didatangi oleh bangsa2 asing, terutama

sekall orang dari Tiongkok, mereka yang bertiga bermata sipit itu adalah

orang Tiongkok dan mereka memberikan nama palsu. Biasanya mereka

memakai nama yang terdiri dari tiga suku kata.

Penduduk Taratak Baru, selama berada dibawah pimpinan Si Kilai

tidak pernah bertengkar ataupun curiga mencurigai, hanya tahu pada

kerukunan hidup bersama, tidak pula menaruh curiga terhadap

pendatang baru itu.

Yang menamakan dirinya si Tiong itu, orangnya berkumis yang

bergantung seperti dua utas tali disudut bibirnya, dan rambutnya yang

berjalin itu disebut orang Taratak Baru, "cacing''. Karena dia tinggal

dirumah si Hitam, yang rumahnya paling dekat ke pinggir hutan dan

ketambang emas didalam ngarai, maka si Hitam pulalah yang pertama

sekali menerjma hasutan si Tiong itu. Kawan2nya yang lain tinggal

bersama keluarga lajn, dan mereka masing2 atas petunjuk2 si Tiong telah

mulai pula menghasut keluarga dimana mereka menumpang.

?Hai, Hitam", kata si Tiong nada suatu malam. "Bagianmu dari

tambang emas itu sudah ada satu ruas bambu, bukan?"

?Ya, betul, satu ruas, Cuma sebagian sudah aku jadikan perhiasan

dan alat2 rumah tangga"., sahut si Hitam.

?Baiklah, satu ruas bambu, dan bambunya cukuplah besar nya,

lebih kurang sama dengan betisku ini, bukan?"

?Ya, tapi, apa maksudmu dengan menanyakan hal itu, Tiong?"

tanya si Hitam.

?Oh, tidak apa2, cuma aku teringat keteranganmu dahulu, bahwa

semua penduduk Taratak Baru yang berjumlah seratus kepala keluarga

masing2 mendapat satu saham".

?Betul, sahut si Hitam pula yang tidak menduga sedikit juga tentang

niat jahat si Tiong itu, masing2 kami telah diberi satu saham meskipun

kami tidak turut berjasa dalam menemukan tambang emas itu'.

?Berjasa ataupun tidak, tapi kau sebagai penduduk Taratak Baru
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah selayaknya mendapat hak satu saham, Hitam, tapi yang aku

maksud dengan pertanyaanku tadi ialah bahwa sungguh banyak benar

hasil tambang ngarai itu, Seratus saham penduduk, berarti seratus ruas

bambu sebesar betisku ini yang telah diterima oleh penduduk Taratak

Baru ini, bukan?"

?Ya, kira2 begitulah", sahut si Hitam pula. ?Kecuali Kepala Nagari

kami bersama Mertuanya mendapat dua saham, karena merekalah yang35

menemukan tambang yang kaya raya itu".

?Oh, kalau begitu si Kilai mempunjai emas dua kali sebanyak

emasmu ini. Hitam?"

?Ya, dan mertuanya juga".

?Hmmm, kau pernah juga menerangkan bahwa untuk kekayaan

Nagari dikeluarkan sepertiga dari hasil tambang, bukankah begitu,

Hitam?"

?Ya, betul, tapi apa perlunya kau menyelidiki sampai sejauh itu,

Tiong?" tanya si Hitam dengan perasaan kurang senang.

?Oh, tidak apa2, cuma iseng2 saja, sebab menurut perhitunganku

tentu kekayaan nagari sekarang ini sudah ada lebih kurang tigapuluh ruas

bambu yang sebesar2 betisku bukan?"

?Ya, kira2 begitulah. Dan aku tahu juga bahwa emas itu disimpan

dalam parian yang ruas2nya sebesar paha. Parian2 itu terdiri dari tiga

ruas".

?Oh, kalau begitu, serupa saja dengan parian2 yang dipakai untuk

mengambil air minum dipancuran, betulkah?"

"Ya, memang parian2 penduduklah yang diminta untuk tempat

emas itu. Tiap kali sebuah parian diisi penuh dengan emas, maka

dimintakan pada penduduk sebuah parian, dan demikan seterusnya

semenjak kami mempunyai tambang emas ini".

?Hai, hitam. Apakah kau percaya bahwa emas itu sesungguhnya

dipergunakan oleh si Kilai bersama si Lengah dan seluruh anggauta

dewan pemerintahan untuk keperluan Nagari Taratak Baru ini. Tidakkah

mungkin mereka menukarkan emas itu dengan ternak didaerah lain dan

menyerahkannya pada orang didaerah itu untuk memelihara ternak itu?"

?Hai, Tiong! Mengapa kau berkata seperti itu? Kami disini tidak

pernah mencurigai Kepala Nagari kami beserta Dewan pemerintahan",

sahut si Hitam dengan garangnya.

?Oi, oi, Hitam, Janganlah kau marah karena perkataanku tadi. Aku

berkata begitu, cuma karena aku melihat sendiri si Kilai menyuruh

keluarga isterinya pergi ke Alahan Panjang, dan aku dengar pula bahwa

mereka menyebut nyebut tentang ternak. Aku tidak menuduh si Kilai

memakai emas Nagari untuk menukarnya dengan ternak itu".

?Aku tidak percaya bahwa Angku Palo kami akan bertindak curang

seperti yang kau gambarkan itu, Tiong! Dia adalah orang yang paling

jujur serta pemurah, kalau tidak masakan dia bersedia memberikan kami

semuanya saham dalam tambang emas yang ditemukannya sendiri itu?"

?Ya, kalau si Kilai tidak akan berbuat curang, apakah anggauta

dewannya tidak akan berbuat curang, Hitam? Seperti si Lengah itu

bagaimana? Dia setiap waktu dapat mengambil sebuah parian yang berisi

emas dan menyembunjikannya dimana-mana, bukan?"

Si Hitam menjadi marah mendengar ucaoan si Tiong itu.

?Hai Tiong! Kau rupanya mau mengadu dombakan kami dengan36

pemimpin2 kami! Kau orang pendatang disini, kau tidak berhak berkata

seperti itu tentang pemimpin2 kami!"

?Janganlah kau marah, Hitam. Aku cuma mengemukakan satu

kemungkinan saja. Aku tidak menuduh bahwa mereka telah berbuat

curang, Hitam. Samasekali sahut si Tiong yang pandai memutar lidah itu.

Si Hitam tetap saja menggerutu. Dia samasekali tidak merasa

senang mendengar ucapan2 yang berbisa yang keluar dari mulut orang

asing seperti Si Tiong itu. Memang orang itu datang ke Taratak Baru

dengan membawa pertanian yang belum mereka kenal, dan mengajarkan

pemakaiannya sekali, tapi , bukankah dia dibayar untuk jerih

payahnya itu. Dibayar dengan emas murni, dan penghidupan mereka

berlima ditanggung pula oleh penduduk bersama. Si Hitam sudah

menaruh benci terhadap si Tiong, tapi belum di nyatakannya benar.

Perasaannya itu disimpannya sendiri.

Si Tiong, seorang yang datang ke Taratak Baru sengaja dengan niat

jahat, melihat jalan buntu untuk melanjutkan niat jahatnya dengan

bantuan si Hitam. Tapi sebagai seorang penjahat yang lihay orang itu

tidak putus asa. Masih banyak akal lain yang akan dipergunakannya.

Lebih dahulu dia menunggu hasil2 yang dapat dicapai oleh kawan2nya

yang empat orang itul. Keesokan harinya si Tiong mengadakan

pertemuan dengan kawan2nya dan mendapat kenyataan bahwa

penduduk Taratak Baru tidak dapat ditipu dan tidak dapat diadu

dombakan. Mereka semuanya percaya serta patuh pada pemimpin2

mereka.

?Kalau begitu, kita terpaksa mencuri emas itu", kata si Tiong pada

kawan2nya.

?Tapi , bagaimana kita dapat mencurinya? Bagaimana kita akan

dapat naik kerumah si Lengah dan kawan2nya itu? Dan bagaimana kita

akan dapat keluar dari pintu gerbang yang selalu dikawal itu?"

?Serahkan sajalah hal itu padaku, asal kalian mematuhi saja segala

perintahku".

Setelah pertemuan rahasia itu mereka bubar dan kembali ketempat

masing2 dan berbuat seperti tidak ada terjadi suatu apa. Pada hari itu

juga, ketika si Hitam ,tidak ada dirumah dan ketika isteri si Hitam

membawakan kopi daun dengan beberapa potong kuweh kepada Si

Tiong, orang asing itu berkata, ?Ibu . apakah tidak mengenal minuman

yang lebih enak dari kopi-daun ini?"

?Mengapa begitu, Tiong?" sahut isteri si Hitam segera.

?Oh, bukan aku hendak mengatakan bahwa kaum ibu di Taratk

Baru tidak pandai membuat minuman dan juadah yang lezat2, tapi ..,

dinegeriku sendiri kaum ibu pandai membuat satu macam minuman yang

sangat enak, Mereka membuatnya dari beras yang direndam dengan

nira".

?Kami belum pandai membuat minuman seperti itu, Tiong? Maukah37

kau mengajarkannya padaku?"

?Dengan segala senang hati, Ibu, Berilah aku beras ketan barang


Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Pendekar Mabuk 046 Kapak Setan Kubur Gajah Mada Perang Bubat Karya Langit

Cari Blog Ini