Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott Bagian 6
beristirahat bagaikan sebuah perahu setelah diterjang badai, dan
kini aman berlabuh di pelabuhan yang tenang. Mrs. March menolak meninggalkan sisi Beth, tetapi ia beristirahat di kursi besarnya.
Kerap kali, ia terbangun untuk melihat, menyentuh, dan bersikap
amat melindungi putrinya itu, seperti seseorang yang baru saja
mendapatkan hartanya kembali.
Sementara itu, Laurie menemani Amy dan menceritakan semua kejadian itu dengan begitu baik, sampai-sampai Bibi March
ikut "terisak" terharu, dan tidak sekali pun berkata, "Sudah kubilang." Dalam peristiwa itu, Amy berhasil bertahan dengan baik.
Kupikir, semua pikiran baik yang ia sampaikan di dalam kapel
pastilah telah membuahkan hasil. Ia mengeringkan air matanya
dengan cepat, menahan ketidaksabarannya untuk bertemu dengan
ibunya, dan bahkan tidak lagi memikirkan cincin toska ketika dengan sungguh-sungguh Bibi March menyetujui pendapat Laurie
betapa Amy bersikap layaknya "wanita muda yang pantas." Polly
pun tampak terkesan, karena ia berseru, "Anak baik," memberkati
kancingnya, dan memohon agar Amy mengajaknya "keluar dan
berjalan-jalan, Manis," dengan nada yang paling lembut. Amy pasti akan dengan senang hati pergi keluar untuk menikmati cuaca
musim dingin yang cerah; namun, ia melihat bagaimana Laurie
nyaris jatuh tertidur meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menutupi kelelahannya. Amy lantas meminta Laurie beristirahat di
sofa, sementara ia menulis surat untuk ibunya. Cukup lama waktu yang dibutuhkan Amy untuk menyelesaikan suratnya. Saat ia
kembali, Laurie sudah berbaring dengan kedua tangan di bawah
kepalanya, tertidur lelap. Bibi March menutup tirai-tirai dan duduk tanpa melakukan apa pun, memperlihatkan kebaikan yang tidak biasanya ia tunjukkan.
Waktu terasa berlalu lambat dan mereka yakin Laurie tidak
akan bangun hingga malam hari. Dan aku pun yakin itulah yang
akan terjadi, kalau ia tidak terbangun oleh seruan bahagia Amy
saat melihat ibunya. Pada hari itu, kurasa ada cukup banyak gadis
kecil yang berbahagia di sekitar kota itu, tetapi, menurut pendapatku, Amy adalah gadis kecil yang paling bahagia dari semuanya,
saat ia duduk di pangkuan ibunya dan menceritakan semua kesulitannya, menerima penghiburan dan pujian dalam bentuk senyum
manis serta usapan lembut. Mereka duduk berdua di dalam kapel,
yang sama sekali tidak membuat ibunya keberatan ketika Amy
menjelaskan tujuan tempat tersebut.
"Sebaliknya, aku malah sangat menyukainya, Sayang," katanya. Tatapannya berpindah dari rosario yang berdebu ke kitab kecil yang tampak lusuh, serta gambar indah yang dihiasi rangkaian
daun hijau segar. "Adalah hal yang sangat baik untuk memiliki
tempat di mana kita bisa menyendiri, saat ada hal-hal yang mengganggu atau membuat kita bersedih. Ada banyak sekali masa sulit
dalam kehidupan ini, tetapi kita akan selalu mampu menanggungnya jika kita meminta bantuan dengan cara yang benar. Kurasa,
gadis kecilku telah memetik pelajaran ini?"
"Ya, Ibu, dan setelah pulang nanti, aku ingin membereskan
satu sudut di ruang pakaian besar untuk buku-bukuku, serta tiruan
gambar itu. Aku sedang mencoba membuatnya. Aku belum bisa
meniru wajah wanita itu, ia terlalu indah bagiku, tetapi bayi di
sana itu cukup baik, dan aku sangat menyukainya. Aku senang
memikirkan bahwa dulu Dia juga seorang bayi kecil, karena dengan begitu aku tidak lagi merasa Dia begitu jauh, dan hal ini
membantuku."
Saat Amy menunjuk bayi Kristus yang sedang tersenyum di
pangkuan ibunya, Mrs. March melihat sesuatu terpasang di jari tangan yang terangkat itu, dan ia pun tersenyum. Ia tidak mengatakan apa pun, namun Amy memahami sorot matanya, dan setelah
diam sesaat, berkata dengan serius,?
"Aku ingin memberitahu Ibu tentang ini tadi, tetapi aku lupa.
Bibi memberikan cincinnya kepadaku hari ini; ia memanggilku
dan menciumku, kemudian mengenakan cincin ini di jariku. Katanya, aku sangat baik di matanya, dan ia ingin selalu dekat denganku. Ia memberikan pengganjal lucu agar batunya tidak lepas,
karena ini masih terlalu besar. Aku ingin mengenakannya, Ibu;
boleh, ya?"
"Cincinmu sangat indah, tetapi kurasa kau masih terlalu muda
untuk perhiasan seperti itu, Amy," sahut Mrs. March, menatap
tangan mungil yang tampak sehat dan berisi itu, dengan cincin
berbatu warna biru langit di jari telunjuk, dan pengganjal mata
cincin aneh yang membentuk dua tangan mungil berwarna emas,
bertautan.
"Aku akan berusaha agar tidak sombong," kata Amy. "Kurasa,
aku tidak menyukainya sekadar karena keindahannya; aku ingin
mengenakannya seperti seorang gadis dalam sebuah cerita yang
mengenakan gelangnya, agar aku selalu ingat."
"Maksudmu ingat kepada Bibi March?" tanya ibunya, tertawa.
"Bukan?agar aku selalu ingat untuk tidak bersikap egois."
Amy tampak begitu sungguh-sungguh dan tulus, sehingga ibunya
berhenti tertawa dan mendengarkan dengan sikap hormat ketika
Amy menjelaskan rencana kecil itu.
"Akhir-akhir ini aku berpikir banyak tentang ?sekumpulan kenakalanku?, dan sikap mementingkan diri sendiri adalah kenakalanku yang terbesar. Jadi, aku ingin berusaha keras untuk menghilangkannya, kalau bisa. Beth tidak egois, dan karena itu semua
orang menyayanginya, serta merasa begitu sedih saat membayangkan harus kehilangan dia. Tidak ada yang akan merasa sama buruknya jika aku sakit, dan aku memang tidak layak mendapat perhatian sedemikian besar; tetapi aku ingin dicintai dan dirindukan
oleh banyak orang, jadi aku ingin mencoba dan menjadi seperti
Beth, semampuku. Aku mudah melupakan tekadku; namun, kalau
aku punya sesuatu yang selalu kukenakan untuk mengingatkanku,
kurasa aku bisa berusaha lebih baik. Bolehkah aku mencoba cara
ini?"
"Ya, walaupun aku lebih yakin pada sudut merenung di ruang
pakaian di rumah. Silakan kenakan cincinmu, Sayang, dan lakukanlah yang terbaik. Kurasa, kau akan berhasil, karena niat yang
baik bernilai separuh dari keseluruhan perjuanganmu. Nah, sekarang, aku harus kembali kepada Beth. Jaga semangatmu, putri kecilku, dan tidak lama lagi kita akan berkumpul kembali."
Malam itu, sementara Meg menulis untuk ayah mereka, untuk melaporkan kedatangan Mrs. March dengan selamat, Jo pergi
ke atas, ke kamar Beth. Ia menemukan ibunya di tempatnya yang
biasa. Jo berdiri sesaat sambil jarinya memutar-mutar rambutnya,
menandai sikap cemas, dan menampilkan ekspresi bingung.
"Ada apa, Sayang?" tanya Mrs. March, sambil menjulurkan tangannya, dan wajah yang mengundang rasa percaya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu, Ibu."
"Tentang Meg?"
"Betapa cepatnya Ibu menebak! Ya, memang tentang Meg, dan
meskipun ini hal kecil, tetapi pikiranku terganggu."
"Beth sedang tidur, bicaralah pelan-pelan, dan ceritakan kepadaku. Kuharap pemuda Moffat itu tidak bertamu ke sini?" tanya
Mrs. March tajam.
"Tidak; kalau ia berani datang, sudah kubanting pintu rumah
di mukanya," jawab Jo, sambil mengambil tempat duduk di lantai, di dekat kaki ibunya. "Musim panas lalu, Meg meninggalkan
sepasang sarung tangan di rumah keluarga Laurence, dan hanya
satu yang dikembalikan. Kami semua sudah melupakan perihal sarung tangan itu, sampai Teddy mengatakan kepadaku bahwa Mr.
Brooke-lah yang menyimpannya. Ia menaruhnya di dalam saku
mantelnya, dan sekali waktu sarung tangan itu terjatuh. Teddy
menggodanya, dan Mr. Brooke pun mengakui bahwa ia menyukai
Meg, walaupun tidak berani mengatakannya terang-terangan, karena Meg masih begitu muda, dan ia terlalu miskin. Nah, bukankah ini situasi yang mengerikan?"
"Apakah menurutmu Meg menyukainya?" tanya Mrs. March,
dengan pandangan gelisah.
"Mana kutahu! Aku tidak tahu apa-apa soal cinta, dan omong
kosong lain seputarnya!" kata Jo, dengan ekspresi lucu, campuran
rasa tertarik sekaligus benci. "Dalam novel-novel, tokoh-tokoh gadis menunjukkan mereka jatuh cinta dengan sikap mudah terkejut
dan wajah merona, kaki menjadi lemas, tubuh mengurus, juga bertingkah dungu. Meg tidak sesuai dengan satu pun gambaran itu; ia
tetap makan dan minum, juga tidur, seperti orang-orang normal.
Ia menatapku lurus-lurus saat aku berbicara tentang pria itu, dan
hanya merona sedikit saat Teddy bercanda tentang muda-mudi
yang saling jatuh cinta. Aku telah melarangnya bicara tentang itu,
tetapi ia tidak mengindahkan peringatanku."
"Jadi, menurutmu Meg tidak tertarik kepada John?"
"Siapa?" kata Jo, melongo.
"Mr. Brooke; aku memanggilnya ?John? sekarang; di rumah sakit, kami jadi terbiasa melakukannya, dan ia menyukainya."
"Oh, ya, ampun! Sudah kuduga, Ibu pasti memihak dia; ia begitu baik kepada Ayah, dan Ibu tidak akan mengusirnya, melainkan
membiarkan Meg menikahinya, jika Meg bersedia. Kejam sekali!
Merayu Pa dan menjerat hatimu, hanya agar Ibu menyukainya;"
lantas Jo menarik-narik rambutnya penuh kemarahan.
"Sayangku, jangan marah. Akan kuceritakan bagaimana itu
terjadi. John pergi denganku atas permintaan Mr. Laurence. Ia begitu baik terhadap ayahmu yang malang, sehingga kami tidak bisa
tidak menyayanginya. Ia sangat terbuka dan bersikap terhormat
menyangkut perasaannya terhadap Meg, karena ia mengakui kepada kami bahwa ia mencintai Meg, tetapi ia berniat membeli rumah
yang nyaman terlebih dahulu sebelum meminta Meg menikahinya. Ia hanya ingin kami izinkan untuk tetap mencintai Meg, dan
ia akan berusaha keras untuk itu, ia juga ingin kami menghormati
haknya untuk membuat Meg jatuh hati kepadanya, jika bisa. Ia pemuda yang hebat, dan kami tidak bisa menolak untuk memenuhi
permintaannya; tetapi aku tidak akan membiarkan Meg mengikatkan dirinya saat ia masih begitu muda."
"Tentu saja tidak! Itu konyol sekali! Aku tahu ada sesuatu yang
sedang terjadi; aku bisa merasakannya; dan ternyata hal ini lebih
buruk dari yang kubayangkan. Oh, kalau saja aku bisa menikahi
Meg dan menjaganya agar tetap aman di sini."
Keinginan Jo yang aneh itu membuat Mrs. March tersenyum.
Namun, ia kemudian berkata serius, "Jo, aku menceritakan ini secara rahasia, dan kuharap kau tidak mengatakan apa-apa kepada
Meg. Jika John kembali ke sini, aku akan bisa melihat mereka berdua, aku akan bisa menilai dengan lebih baik perasaan Meg kepadanya."
"Ia akan menatap sepasang mata tampan yang selalu ia bicarakan, dan setelah itu semuanya akan terjadi. Hati Meg begitu lembut, bisa-bisa langsung meleleh seperti mentega di bawah panas
matahari apabila ada satu orang saja yang menatapnya dengan cara
yang sentimental. Ia membaca surat-surat pendek pria itu lebih
sering ketimbang membaca surat Ibu, dan mencubitku saat aku
berkomentar, dan menyukai mata cokelat, dan tidak berpikir bahwa John adalah nama yang buruk, dan ia akan jatuh cinta, kemudian mengakhiri masa-masa kebersamaan kami yang damai dan
menyenangkan. Aku bisa membayangkannya! Mereka akan bersikap layaknya sepasang kekasih di rumah ini, dan kita akan harus
menyingkir. Perhatian Meg akan tersita, dan ia tidak akan memperlakukan aku seperti biasanya. Brooke, entah bagaimana, akan
berhasil mengumpulkan uang, membawa Meg pergi, dan membuat keluarga ini berlubang. Dan hatiku pun akan remuk, lantas segalanya akan terasa pahit, luar biasa pahit. Oh, ya ampun! Kenapa
kami tidak terlahir sebagai laki-laki? Dengan begitu, masalah ini
tidak akan pernah ada!"
Jo menyangga dagunya di atas lutut. Sikapnya gusar, dan ia
menggoyang-goyangkan tinjunya ke arah John yang menurutnya
patut dihukum. Mrs. March menghela napas, kemudian Jo menatap ke arahnya dengan lega.
"Kau juga tidak suka, kan, Ibu? Aku senang sekali; mari minta
pria itu untuk menjauh, tanpa mengatakan apa pun kepada Meg,
kemudian meneruskan bersikap ceria sebagaimana biasa."
"Seharusnya aku tidak menghela napas, Jo. Adalah hal yang
wajar dan benar bahwa kalian, pada waktunya, akan pergi untuk
tinggal di rumah masing-masing. Tapi aku pun ingin agar anakanak gadisku tetap tinggal di rumah selama mungkin; dan aku menyesal bahwa hal ini terjadi begitu cepat, pada Meg yang baru berusia tujuh belas tahun, sementara John akan memerlukan waktu
sebelum ia bisa menyediakan rumah untuk Meg. Ayahmu dan aku
telah setuju bahwa Meg tidak boleh mengikatkan dirinya, dengan
cara apa pun, ataupun menikah, sebelum usia dua puluh. Jika Meg
dan John saling mencintai, mereka bisa menunggu, dan menguji cinta mereka sementara itu. Meg adalah pribadi yang bermoral
tinggi, dan aku tidak khawatir John akan memperlakukannya dengan kurang baik. Anakku yang cantik dan berhati lembut! Kuharap hidupnya akan selalu bahagia."
"Tidakkah Ibu berharap ia akan menikah dengan pria kaya?"
tanya Jo; suara ibunya bergetar saat mengucapkan kata-kata terakhir.
"Uang adalah hal yang baik dan berguna; dan kuharap anakanakku tidak akan pernah merasa terlalu kekurangan, ataupun
tergoda karena memiliki terlalu banyak. Aku akan sangat senang
jika John punya posisi yang stabil di sebuah pekerjaan, yang akan
memberinya penghasilan cukup besar untuk menjaganya bebas
dari utang, dan dapat membuat Meg nyaman. Aku tidak menginginkan kekayaan berlebih, jabatan tinggi, ataupun gelar-gelar istimewa untuk anak-anakku. Jika gelar dan uang datang bersama cinta dan kebajikan, aku akan menerimanya dengan rasa syukur, dan
merasa senang atas keberuntungan kalian. Tetapi, dari pengalaman, aku tahu betapa kebahagiaan yang sejati bisa dirasakan dalam
sebuah rumah sederhana yang para penghuninya bekerja mencari
nafkah dengan sungguh-sungguh, dan sedikit kesulitan menjadi
bumbu bagi kemewahan-kemewahan yang sesekali hadir. Bagiku,
tidak apa jika Meg harus memulai dengan sederhana, karena, jika
aku tidak salah, ia akan sangat kaya apabila dimiliki oleh seorang
pria berhati baik, dan hal itu lebih baik ketimbang harta benda."
"Aku mengerti, Ibu, dan setuju denganmu; tetapi aku kecewa
pada Meg, karena aku ingin ia menikah dengan Teddy kelak, dan
duduk bergelimang kenyamanan setiap hari. Bukankah hal itu
akan menyenangkan?" tanya Jo, menatap ibunya dengan wajah
lebih cerah.
"Anak itu lebih muda usianya darinya, kau tahu," kata Mrs.
March, tetapi Jo memotongnya,?
"Oh, itu tidak masalah; ia cukup dewasa untuk usianya, dan
ia jangkung, dan sikapnya pun bagaikan pria sejati, jika ia mau.
Ia juga kaya, murah hati, dan baik, dan menyayangi kita semua.
Menurutku, sayang sekali jika rencanaku ini gagal."
"Ibu rasa, Laurie tidak cukup dewasa untuk Meg. Lagi pula,
saat ini, ia masih terlalu labil untuk dapat diandalkan?oleh siapa
pun juga. Tidak usah membuat rencana, Jo, biarkan waktu dan hati
yang menyatukan teman-temanmu. Kita tidak bisa turut campur
dalam hal-hal seperti ini, dan akan lebih baik apabila tidak membiarkan ?omong kosong cinta?, seperti istilahmu, mengusasai pikiran
kita, apalagi merusak persahabatan."
"Yah, tidak akan kubiarkan seperti itu. Aku hanya tidak suka
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat situasinya menjadi rumit, dan saling berjalin, padahal
sedikit tarikan di sini, dan sedikit pengenduran di sana, bisa meluruskan semuanya. Ah, kalau saja dengan meletakkan setrika di
kepala bisa menjaga kita agar tetap menjadi anak-anak selamanya.
Tapi bunga-bunga akan mekar, dan anak kucing akan menjadi kucing?sungguh sayang!"
"Apa itu yang kaukatakan tentang setrika dan kucing?" tanya
Meg, sembari menyelinap masuk ke dalam kamar, dengan sepucuk
surat yang telah selesai ditulis di tangannya.
"Hanya salah satu ocehan konyolku. Aku hendak tidur; ayo,
Peggy," kata Jo, sambil berdiri dari duduknya.
"Cukup baik, dan ditulis dengan indah. Tolong tambahkan
salam sayangku untuk John," kata Mrs. March setelah membaca
sekilas surat itu, dan menyerahkannya kembali kepada Meg.
"Apakah Ibu baru saja memanggilnya ?John??" Meg bertanya,
tersenyum, dengan pandangan polos menatap ke arah mata ibunya.
"Ya; ia bagaikan seorang anak bagi kami, dan kami sangat menyayanginya," jawab Mrs. March, membalas pandangan Meg dengan tatapan menyelidik.
"Aku senang mendengarnya; ia begitu kesepian. Selamat malam, Ibu sayang. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan
betapa senangnya aku karena Ibu telah pulang," adalah jawaban
tenang Meg.
Kecupan yang diberikan ibunya adalah kecupan yang sangat
lembut; dan, saat Meg berlalu, Mrs. March berkata, antara merasa
puas dan menyesal, "Ia belum mencintai John, tetapi tidak lama
lagi ia akan belajar untuk itu."
Laurie Berulah dan
Jo Menggalang
Perdamaian
eesokan harinya, wajah Jo tampak muram. Rahasia yang diketahuinya terasa berat, dan sulit bagi Jo untuk tidak tampak
misterius ataupun penting. Meg menyadari hal ini, tetapi enggan
bertanya lebih jauh. Menurut pengalamannya, cara terbaik untuk
menghadapi Jo adalah dengan berbuat sebaliknya, dan ia merasa yakin Jo akan menceritakan semuanya justru apabila ia tidak
bertanya. Jadi, betapa terkejutnya Meg ketika sikap diam Jo terus
berlanjut, dan Jo bertingkah sok tahu dan seperti mengguruinya.
Sikap Jo itu membuat Meg kesal, yang membalas dengan menahan
mulut dan menjaga harga dirinya, serta berkonsentrasi membantu
ibu mereka. Di tengah situasi itu, Jo terpaksa menghibur dirinya
sendiri. Mrs. March telah menggantikan Jo sebagai perawat, dan
ia menyuruh putrinya itu beristirahat, berolahraga, atau bermain
main setelah begitu lama berada di dalam rumah. Amy tidak ada,
jadi hanya bersama Laurie-lah Jo bisa berkegiatan. Tetapi, meskipun sangat menikmati persahabatan Laurie, Jo sedang merasa
tidak nyaman bersamanya, karena anak itu keterlaluan usilnya,
sehingga Jo takut rahasianya akan terbongkar.
Kekhawatiran Jo terbukti menjadi kenyataan; segera setelah
pemuda jahil itu mencium adanya sebuah misteri, ia langsung
berusaha mengoreknya, membuat Jo merasa amat kesulitan. Ia
membujuk, menyogok, mengejek, mengancam, dan mengomel;
berpura-pura tidak acuh, dengan harapan Jo akan kelepasan bicara;
mengatakan ia sudah tahu, dan bahwa ia tidak peduli. Namun, kegigihannya tidak membuahkan hasil, dan ia pun terpaksa berpuas
diri dengan menebak-nebak bahwa rahasia itu pasti menyangkut
Meg dan Mr. Brooke. Merasa gusar karena tutornya tidak memercayainya untuk hal ini, ia pun berpikir keras untuk merencanakan
pembalasan yang setimpal.
Sementara itu, Meg sama sekali telah lupa akan adanya rahasia
tersebut. Perhatiannya terserap penuh pada persiapan menyambut
kepulangan ayah mereka. Akan tetapi, tiba-tiba, pada suatu hari
dia berubah; selama satu atau dua hari Meg tidak seperti dirinya
yang biasa. Ia kerap terkejut saat diajak bicara, wajahnya memerah
jika ditatap, menjadi sangat pendiam, dan duduk menjahit dengan
ekspresi takut serta gelisah. Saat ditanya oleh Mrs. March, Meg
menjawab ia baik-baik saja, sementara kepada Jo ia hanya diam,
serta meminta dibiarkan sendiri.
"Ia merasakannya?cinta, maksudku?dengan cukup cepat. Ia
menampilkan semua gejalanya, cerewet dan gampang kesal, kehilangan selera makan, sulit tidur, dan bersikap murung di sudut
ruangan. Aku memergokinya menyanyikan sebuah lagu tentang
?Brook yang bersuara merdu,? dan sekali mendengarnya berkata,
?John,? seperti Ibu, kemudian wajahnya menjadi semerah bunga
poppy. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Jo, tampak siap untuk
mengambil tindakan apa pun, sedrastis apa pun.
"Tidak ada, kecuali menunggu. Biarkan ia sendiri, bersikap baiklah kepadanya dan bersabarlah. Kepulangan Ayah akan menyelesaikan segalanya," jawab ibunya.
Esoknya, Jo membagi-bagikan surat dari kantor pos kecil mereka. "Ini ada surat untukmu, Meg, dilem baik-baik. Aneh sekali!
Teddy tidak pernah mengelem suratnya untukku," kata Jo.
Mrs. March dan Jo lantas sibuk membaca surat-surat mereka
sendiri, dan terkejut saat mendengar pekikan Meg. Mereka menoleh dan mendapati Meg sedang membaca suratnya dengan ekspresi
ketakutan.
"Anakku, ada apa?" seru ibunya, berlari ke arah Meg, sementara Jo mencoba mengambil secarik kertas yang telah menciptakan
kekacauan itu.
"Ada kesalahan?Laurie tidak mengirimkannya?oh, Jo, bagaimana mungkin kau tega?" dan Meg pun menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya, menangis seakan-akan hatinya telah benar-benar patah.
"Meg, aku tidak melakukan apa-apa! Apa yang ia bicarakan?"
seru Jo, bingung.
Sinar mata Meg memancarkan kemarahan sembari ia menarik
secarik kertas kusut dari sakunya, melemparnya kepada Jo, dan
berkata menuduh,?
"Kau menulisnya, dan anak bandel itu membantumu. Bagaimana kau bisa begitu kasar, kejam, dan jahat kepada kami berdua?"
Jo nyaris tidak mendengar kata-katanya, karena ia dan ibunya
segera sibuk membaca surat tersebut, yang ditulis dengan tulisan
tangan yang tidak mereka kenali.
"Margaret tersayang,?
"Aku tidak bisa lagi menahan hasratku, dan harus mengetahui
nasibku sebelum aku kembali. Aku belum punya keberanian untuk mengatakan ini kepada orangtuamu, tetapi aku yakin mereka
akan setuju jika mengetahui bahwa kita saling mencintai. Mr. Laurence akan membantuku mendapatkan posisi yang baik. Setelah
itu, gadisku yang manis, kau akan membuatku bahagia. Kumohon,
jangan katakan apa pun dulu kepada keluargamu, tetapi titipkanlah jawaban singkatmu kepada Laurie, untuk
John
Yang setia kepadamu."
"Dasar anak bengal! Ternyata inilah yang ia maksudkan dengan balas dendam karena aku menjaga janjiku kepada Ibu. Akan
kumarahi ia habis-habisan, akan kuseret dia ke sini untuk meminta maaf," Jo berseru, terbakar amarah, dan ingin segera menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, Mrs. March menahannya dan berkata,
dengan ekspresi yang jarang ia perlihatkan,?
"Berhenti, Jo, kau harus menjelaskan peranmu dulu. Kau sudah
begitu sering memainkan lelucon, aku mau tahu apakah kau terlibat dalam hal ini."
"Aku bersumpah, Ibu, tidak! Aku tidak pernah melihat surat
itu sebelumnya, dan tidak tahu apa-apa mengenainya, sungguh
demi hidupku!" balas Jo dengan sungguh-sungguh. Mrs. March
dan Meg memercayainya. "Kalau aku memang terlibat, aku pasti
melakukannya dengan lebih baik, dan menulis surat yang lebih
masuk akal. Kupikir, kau pasti telah mengenal Mr. Brooke dan
tahu bahwa ia tidak akan pernah menulis sesuatu seperti ini," tambahnya, dengan kesal melempar kertas itu.
"Tulisan tangannya mirip," kata Meg lemas, membandingkannya dengan surat lain di tangannya.
"Oh, Meg, kau belum membalasnya, kan?" Mrs. March berseru.
"Sudah!" dikuasai rasa malu, Meg menyembunyikan wajahnya
lagi.
"Jadi begitu, ya! Biarkan aku menyeret anak bengal itu ke sini
untuk menjelaskan perbuatannya dan dimarahi. Aku tidak akan
berhenti sampai berhasil menangkapnya;" dan Jo pun kembali beranjak ke pintu.
"Hus! Biar Ibu yang menangani masalah ini, karena situasinya
lebih buruk dari dugaanku. Margaret, ceritakan semuanya," perintah Mrs. March, duduk di dekat Meg, sembari tetap memegangi Jo,
takut kalau-kalau anak itu tiba-tiba berlari ke luar.
"Aku menerima surat pertama dari Laurie, yang mengesankan
ia tidak tahu apa-apa," Meg memulai penjelasannya tanpa mengangkat kepala. "Awalnya, aku khawatir, dan berniat bercerita kepada Ibu; namun lalu aku teringat bahwa Ibu menyukai Mr. Brooke,
jadi kupikir Ibu tidak akan keberatan apabila aku menyimpan rahasia kecil ini selama beberapa hari. Aku begitu konyol hingga aku
tidak ingin ini diketahui orang lain. Sementara memikirkan apa
yang hendak kukatakan, aku merasa seperti tokoh gadis di dalam
buku-buku, yang juga mengalami situasi yang sama. Maafkan aku,
Ibu, inilah balasan atas kekonyolanku; sekarang, tidak mungkin
aku berhadapan lagi dengannya."
"Apa yang kautulis?" tanya Mrs. March.
"Aku hanya mengatakan bahwa aku masih terlalu muda untuk
memutuskan hal seperti itu; bahwa aku tidak ingin menyimpan
rahasia dari orangtuaku, dan ia harus berbicara kepada Ayah. Aku
berterima kasih atas kebaikan hatinya, dan sementara ini akan terus menjadi temannya, namun tidak lebih."
Mrs. March tersenyum, seakan merasa puas, dan Jo bertepuk
tangan, berseru sambil tertawa,?
"Kau ini memang hampir setara dengan Caroline Percy, yang
merupakan teladan sikap bijak dan hati-hati! Teruskan, Meg. Apa
balasannya?"
"Ia menulis dengan cara yang sama sekali berbeda; ia mengatakan tidak pernah mengirim satu pun surat cinta, dan sangat
menyesal bahwa adikku yang liar, Jo, telah bertindak terlalu jauh
dengan menyalahgunakan nama kami berdua. Suratnya sangat sopan dan penuh rasa hormat, tetapi bayangkan betapa buruknya itu
bagiku!"
Meg bersandar kepada ibunya, tampak putus asa, sementara Jo
berjalan hilir-mudik di ruangan itu, sambil mengumpati Laurie.
Tiba-tiba saja ia berhenti, kemudian mengangkat kedua surat tadi.
Setelah mengamati keduanya dengan teliti, ia pun menyimpulkan, "Kurasa Brooke tidak pernah melihat kedua surat ini. Teddy yang menulis keduanya, dan menyimpan surat darimu untuk
menggangguku, karena aku menolak untuk mengatakan rahasiaku
kepadanya."
"Jangan simpan rahasia apa pun, Jo; katakanlah kepada Marmee, dan jauh-jauh saja dari masalah, seperti yang selama ini kulakukan," Meg memperingatkan.
"Oh, Meg! Marmee-lah yang menyampaikan rahasia itu."
"Cukup, Jo. Aku akan di sini menenangkan Meg, dan kau pergilah memanggil Laurie. Akan kuselesaikan masalah ini sampai
ke akarnya dan menghentikan permainannya, sekali untuk seterusnya."
Jo langsung melesat pergi dan Mrs. March dengan hati-hati
menceritakan perasaan Mr. Brooke yang sebenarnya kepada Meg.
"Nah, Sayang, bagaimana dengan perasaanmu sendiri? Apakah
kau cukup mencintainya hingga mau menanti sampai ia bisa menyediakan rumah untukmu, ataukah kau lebih suka tetap bebas
sementara ini?"
"Rasanya, aku begitu takut dan cemas, aku tidak ingin berurusan dengan kekasih untuk sementara waktu?mungkin, tidak
akan," Meg menjawab kesal. "Kalau John benar tidak tahu akan
kekacauan ini, jangan ceritakan apa pun kepadanya, dan mintalah
agar Jo dan Laurie menahan lidah mereka. Aku tidak mau dipermainkan dan diganggu, ataupun menjadi sasaran kekonyolan mereka?sungguh memalukan!"
Melihat Meg, yang biasanya berperangai tenang, tampak marah dan terluka harga dirinya akibat lelucon yang keterlaluan
tersebut, Mrs. March menenangkannya dengan menjanjikan kerahasiaan penuh di masa mendatang. Meg pergi ke ruang belajar
begitu ia mendengar suara langkah Laurie di lorong. Mrs. March
menerima pelaku permainan itu sendirian. Jo tidak mengatakan
mengapa Laurie diminta datang, karena khawatir anak itu tidak
akan bersedia ikut. Namun, begitu melihat wajah Mrs. March,
Laurie langsung mengerti. Ia berdiri memutar-mutar topinya dengan sikap seseorang yang merasa bersalah, dan dengan begitu
serta-merta mengungkapkan kenakalannya. Jo diminta keluar dari
ruangan, tetapi ia berkeliaran di sekitar lorong bagaikan prajurit
pengawal, karena khawatir tawanan mereka akan melarikan diri.
Suara-suara di ruang duduk naik dan turun selama setengah jam.
Akan tetapi, tidak seorang pun di antara gadis-gadis March tahu
apa yang terjadi.
Saat mereka dipanggil masuk, Laurie berdiri di sisi ibu mereka dengan ekspresi seseorang yang bertobat, hingga Jo memaafkannya seketika, walaupun ia tidak memperlihatkan perasaannya.
Meg menerima permintaan maafnya, dan menjadi sangat lega
setelah diyakinkan bahwa Brooke sama sekali tidak mengetahui
peristiwa itu.
"Sampai mati pun aku tidak akan mengatakan apa-apa kepadanya?kuda liar sekalipun tidak akan bisa menarik keluar rahasia
ini dari mulutku; jadi maafkanlah aku, Meg, dan akan kulakukan
apa pun juga untuk menunjukkan betapa menyesalnya aku," tambah Laurie, tampak sangat malu akan perbuatannya.
"Akan kucoba; tapi apa yang kaulakukan itu sangatlah tidak
pantas. Aku tidak pernah mengira kau bisa begitu jahil dan keji,
Laurie," jawab Meg, mencoba menyembunyikan kebingungannya
di balik sikapnya yang sedikit galak.
"Perbuatanku itu memang keji dan tidak bisa dimaafkan. Aku
pantas dihukum dan tidak diajak bicara selama sebulan penuh; tapi
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau tidak akan begitu, kan?" setelah itu, Laurie melipat tangannya,
dengan sikap yang sangat memohon, serta memutar bola matanya
dengan cara penuh penyesalan, sembari berbicara menggunakan
nada suaranya yang paling memikat, sampai-sampai siapa pun
akan merasa sulit untuk tetap kesal kepadanya, meskipun ia telah melakukan kesalahan besar. Lantas, Laurie menyatakan akan
menebus kenakalannya dengan segala macam pertobatan, serta
merendahkan dirinya seperti seekor cacing di hadapan sang putri
yang terluka hatinya. Pernyataan ini membuat Meg memaafkannya, dan wajah tegang Mrs. March mengendur, walaupun ia tetap
berusaha tampil tegas.
Jo berdiri menjaga jarak dengan sikap dingin. Ia mencoba mengeraskan hatinya terhadap Laurie, namun hanya berhasil memunculkan ekspresi ketidaksetujuan pada wajahnya. Laurie menatapnya satu kali, dua kali, namun sikap Jo tidak melunak. Laurie
merasa terluka, kemudian berbalik memunggungi kawannya itu
sampai Mrs. March dan Meg selesai bicara. Setelah itu, Laurie
membungkuk dalam-dalam kepada Jo, dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Segera setelah Laurie pergi, Jo menyesal, dan berharap tadi ia
memperlihatkan bahwa ia juga memaafkannya. Meg dan Mrs.
March naik ke lantai atas, meninggalkan Jo yang merasa kesepian,
dan merindukan Teddy. Ia menahan diri untuk sesaat, namun lan334
tas menyerah pada dorongan yang dirasakannya dan, berbekalkan
sebuah buku untuk dikembalikan, Jo pun pergi ke rumah besar di
sebelah.
"Apakah Mr. Laurence ada di tempat?" tanya Jo, kepada seorang pelayan, yang sedang menuruni tangga.
"Ya, Nona; tapi sepertinya ia tidak bisa ditemui untuk sementara."
"Mengapa; apakah ia sakit?"
"Ah, tidak, Nona! Akan tetapi, ia tadi bertengkar dengan Mr.
Laurie, yang sedang kesal karena sesuatu, dan membuat Tuan Laurence sangat marah, jadi saya tidak berani dekat-dekat dia."
"Di mana Laurie?"
"Di kamarnya. Saya sudah mengetuk, tetapi ia tidak mau
membukakan pintu. Saya tidak tahu bagaimana nasib makan siang, karena hidangannya sudah siap, dan tidak ada seorang pun
yang mau turun makan."
"Akan kulihat ada apa. Aku tidak takut kepada mereka."
Jo naik ke atas lalu mengetuk pintu kamar belajar Laurie.
"Hentikan itu, atau akan kubuka pintu ini dan membuatmu
berhenti!" teriak si pemuda dari dalam kamarnya, dengan nada
mengancam.
Jo segera mengetuk lagi dengan keras. Pintu tiba-tiba membuka, dan Jo pun melompat masuk, sebelum Laurie pulih dari rasa
kagetnya. Melihat bahwa anak itu memang benar-benar sedang marah, Jo, yang tahu cara menghadapinya, segera memperlihatkan
ekspresi penuh sesal. Ia lantas menjatuhkan diri ke lantai dengan
penuh gaya, berlutut dan berkata memohon, "Mohon maafkan aku
karena tadi aku begitu marah. Aku datang untuk berbaikan, dan
aku tidak akan pergi sebelum berhasil."
"Tidak apa; bangunlah, jangan konyol begitu, Jo," adalah jawaban ringan Laurie atas permintaan maaf Jo.
"Terima kasih, aku akan berdiri sekarang. Boleh aku bertanya
apa yang telah terjadi? Sepertinya pikiranmu agak kacau."
"Aku diguncang-guncang, dan aku tidak akan membiarkannya!" Laurie menggeram, gusar.
"Siapa yang melakukannya?" Jo bertanya mendesak.
"Kakek. Kalau orang lain, pastilah aku sudah..." dan pemuda
yang terluka perasaannya itu menyelesaikan kalimatnya dengan
melakukan gerakan keras menggunakan lengan kanannya.
"Itu kan bukan masalah besar. Aku juga sering mengguncangmu, dan kau tidak keberatan," kata Jo.
"Huh! Kau anak perempuan, lagi pula kita kan bermain-main.
Tapi, tidak akan kubiarkan pria lain mengguncang diriku."
"Kurasa tidak akan ada yang berani mencobanya kalau kau
tampak seperti awan badai begini. Mengapa ia mengguncangmu?"
"Hanya karena aku tidak mau memberitahukan alasan ibumu
memanggilku. Aku sudah berjanji untuk tidak mengatakan apa
pun, dan tentu saja aku tidak akan mengingkari janjiku."
"Tidakkah kau bisa memuaskan keingintahuan kakekmu dengan cara lain?"
"Tidak; ia menuntut jawaban yang sebenarnya, seluruhnya, dan
tidak kurang sedikit pun. Kalau saja aku bisa bercerita tanpa menyebut nama Meg, aku pasti sudah mengakui perbuatanku kepadanya. Tetapi karena tidak bisa, aku pun menahan lidahku, dan
mendengarkan omelan orang tua itu sampai ia memegang kerah
kemejaku dan mengguncang-guncang aku. Setelah itu, amarahku
timbul, dan aku melarikan diri, takut kehilangan kendali."
"Ia tidak boleh begitu, tetapi aku tahu ia pasti menyesal. Pergi
sana, dan berbaikanlah. Akan kutemani kau."
"Lebih baik aku mati! Aku tidak mau dikuliahi dan diserang
semua orang, hanya karena sedikit kenakalan. Aku benar-benar me336
nyesal soal Meg, dan sudah meminta maaf layaknya seorang pria;
tetapi aku tidak mau mengalaminya lagi, karena kali ini aku tidak
bersalah."
"Kakekmu kan tidak tahu itu."
"Harusnya dia percaya kepadaku dan tidak bertindak seakanakan aku ini masih bayi. Tak ada gunanya, Jo; Kakek harus belajar
bahwa aku mampu mengurus diriku sendiri, dan tidak butuh banyak nasihat atau bimbingan."
"Kau sungguh keras kepala!" keluh Jo. "Lalu bagaimana kau
akan menyelesaikan masalah ini?"
"Yah, Kakek yang harus minta maaf, dan percaya kepadaku
jika kukatakan aku tidak bisa menceritakan masalahnya."
"Laurie! Ia tidak akan mau melakukan itu."
"Aku tidak mau turun sampai ia meminta maaf."
"Nah, Teddy, cobalah berpikir waras; biarkanlah masalah ini
berlalu. Akan kujelaskan apa yang kubisa. Kau tidak mungkin berada di sini terus-terusan, jadi apa gunanya bersikap melodramatis
begitu?"
"Aku memang tidak berencana tinggal lama-lama di sini. Aku
ingin menyelinap lalu pergi, entah ke mana. Setelah Kakek menyadari kepergianku, sikapnya pasti akan berubah."
"Pasti; tapi kau sebaiknya tidak pergi begitu saja dan membuatnya cemas."
"Jangan berkhotbah. Aku ingin pergi ke Washington, menemui Brooke; pasti seru di sana, dan aku akan bersenang-senang
setelah segala kesulitan ini."
"Betapa asyiknya! Ah, kalau saja aku juga bisa pergi!" kata Jo,
segera lupa akan perannya sebagai Pembimbing begitu mendengar
gambaran seru tentang kehidupan di ibu kota.
"Kalau begitu, ikutlah! Kenapa tidak? Kau bisa pergi dan membuat kejutan untuk ayahmu, dan aku akan mengejutkan si Brooke.
Pasti jadi lelucon yang hebat! Mari kita wujudkan, Jo! Kita tinggalkan surat yang mengatakan bahwa kita baik-baik saja, dan segera
pergi. Aku punya cukup uang; pasti tidak apa-apa, tidak akan berbahaya, karena kau toh mengunjungi ayahmu."
Untuk sesaat, Jo tampak akan setuju; rencana liar itu terdengar
memikat baginya. Ia sudah bosan merawat si sakit dan berhari-hari
terkurung di dalam rumah. Ia menginginkan perubahan. Gagasan
akan bisa menemui ayahnya bercampur dengan daya tarik petualangan, barak tentara, rumah sakit, kebebasan, dan kegembiraan.
Matanya menyala-nyala saat ia menatap penuh harap ke arah jendela. Namun pandangannya jatuh ke rumah tua di seberang sana,
dan ia pun menggelengkan kepala dengan sedih.
"Kalau saja aku anak lelaki, kita akan melarikan diri bersama,
dan bersenang-senang. Tapi, aku anak perempuan yang malang,
yang harus berperilaku pantas, dan berdiam di rumah. Jangan goda
aku, Teddy, dengan rencana gila itu."
"Itulah serunya!" Laurie yang emosinya sedang meluap angkat
bicara. Ia bertekad melepaskan diri, entah bagaimana caranya.
"Tahan kata-katamu!" seru Jo, sambil menutupi kedua telinganya. "Basa-basi dan sikap sok santun adalah musuhku, dan bisabisa aku memutuskan untuk ikut kau. Tapi, aku datang ke sini
untuk berbuat baik, bukan mendengarkan hal-hal yang bisa membuatku tergoda."
"Aku tahu Meg akan menolak mentah-mentah tawaran itu, tetapi kukira kau punya nyali lebih besar," Laurie membujuk lagi,
kali ini lebih halus.
"Anak bandel, diamlah kau. Duduklah dan renungi dosa-dosamu, jangan membuat aku menambah dosaku sendiri. Kalau aku
bisa membuat kakekmu meminta maaf karena telah mengguncang-guncang kau, apakah kau mau membatalkan rencana itu?"
tanya Jo dengan serius.
"Ya, tapi kau, kan tidak akan melakukannya?" sahut Laurie,
yang sebenarnya ingin "berbaikan", namun merasa harga dirinya
yang tersinggung harus dihibur terlebih dahulu.
"Kalau aku bisa menghadapi yang muda, aku pasti bisa menghadapi yang tua," gumam Jo sembari berlalu, meninggalkan Laurie
mengamati peta jalur kereta api, dengan kedua tangan menyangga
kepalanya.
"Masuk!" suara parau Mr. Laurence terdengar lebih parau dari
biasanya saat ia menjawab ketukan Jo di pintu.
"Ini aku, Sir, datang untuk mengembalikan sebuah buku," kata
Jo, datar, sambil melangkah masuk.
"Mau meminjam lagi?" tanya pria tua itu, tampak sedang muram dan kesal, tetapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya.
"Ya, kalau diizinkan. Aku suka sekali cerita Sam, dan kupikir aku mau melanjutkan dengan membaca jilid kedua," jawab Jo,
berharap bisa mengambil hati Mr. Laurence dengan menunjukkan
kesukaannya akan Boswell?s Johnson, yang direkomendasikan pria
tua itu.
Alis lebat Mr. Laurence mengendur. Ia lalu mendorong tangga
ke rak tempat buku-buku cerita Johnson diletakkan. Jo menaiki
tangga itu lalu duduk di anak tangga teratas, berpura-pura mencari
buku yang ia maksud, sementara pikirannya bekerja, mencari-cari
cara terbaik untuk membicarakan tujuan kunjungannya yang sebenarnya. Mr. Laurence sepertinya melihat bahwa ada sesuatu yang
sedang dipikirkan Jo. Ia berjalan mondar-mandir dengan langkahlangkah cepat di sekeliling ruangan, lantas membalikkan tubuh
dan menghadap ke arah Jo. Mr. Laurence berbicara begitu tiba-tiba
sampai Rasselas jatuh berdebum ke lantai.
"Apa lagi yang diinginkan anak itu? Jangan coba-coba melindunginya! Aku tahu ia telah bertingkah keterlaluan dan dimarahi
waktu aku melihat ia pulang. Aku tidak bisa mengorek satu kata
pun dari mulutnya. Waktu kuancam bahwa aku akan memaksanya mengungkapkan rahasianya, ia berlari ke atas dan mengunci
diri di kamarnya."
"Ia memang telah berbuat salah, tetapi kami telah memaafkannya, dan berjanji untuk tidak menceritakan apa-apa tentang hal ini
kepada siapa pun," kata Jo dengan ragu-ragu.
"Itu tidak cukup baik; ia tidak boleh berlindung di balik janjijanji kalian, gadis-gadis berhati lembut. Jika ia berbuat salah, ia
harus mengaku, meminta maaf, dan dihukum. Ayo, cepat katakan,
Jo! Aku tidak mau dipermainkan."
Mr. Laurence tampak begitu galak dan ia berbicara dengan begitu tajam, sampai Jo merasa lebih baik ia melarikan diri saja, kalau
bisa. Akan tetapi, ia sedang bertengger di puncak tangga, sedangkan Mr. Laurence berdiri di bawah, bagaikan singa yang menghalangi jalannya, jadi ia harus menghadapinya dengan tabah.
"Betul, Sir, aku tidak bisa bercerita apa-apa karena Ibu kami
telah melarang. Laurie telah mengaku, meminta maaf, dan menerima hukuman yang cukup layak. Kami tidak berdiam diri untuk
melindunginya, melainkan melindungi orang lain, dan campur tanganmu akan menciptakan keruwetan. Kumohon, jangan; sebagian dari masalah ini adalah salahku, tetapi semuanya sudah diluruskan sekarang, jadi mari kita lupakan saja, dan mengobrol tentang
Rambler, atau hal lain yang menyenangkan."
"Peduli amat dengan Rambler! Turunlah dan katakan sejujurnya bahwa cucuku yang bengal itu tidak melakukan apa pun yang
kurang ajar, atau tindakan tak tahu terima kasih lainnya. Setelah
segala kebaikan yang kalian berikan kepadanya, apabila ia melakukan sesuatu, akan kuhajar anak itu dengan tanganku sendiri."
Ancaman itu terdengar mengerikan, tetapi tidak membuat Jo
khawatir, karena ia tahu pria tua yang pemarah itu tidak akan per340
nah memukul cucunya, lepas dari apa pun yang ia ucapkan. Dengan patuh Jo turun, kemudian menceritakan perihal kenakalan
Laurie seringan mungkin, tanpa menyebut-nyebut Meg, atau menutupi kebenaran.
"Hum! Ha! Yah, jika anak itu menahan diri karena ia telah berjanji, dan bukan karena keras kepala, maka aku memaafkannya. Ia
memang anak yang keras kepala dan sulit diatur," kata Mr. Laurence sambil mengacak-acak rambutnya sampai ia tampak seperti
habis diterjang badai. Setelah itu, ia mengendurkan kedua alisnya
yang bertaut dengan ekspresi lega.
"Aku pun begitu; tapi satu kata baik saja sudah cukup untuk
menundukkan aku, meskipun sepasukan kuda dan selaksa prajurit tidak mampu," sahut Jo, mencoba menyampaikan hal-hal baik
mengenai sahabatnya, yang seolah masuk dari satu kesulitan ke
kesulitan lain.
"Menurutmu aku tidak baik kepadanya, ya?" adalah jawaban
tajam Mr. Laurence.
"Oh, tidak begitu, Sir; kadang kala Anda terlampau baik, dan
hanya sedikit kesal saat ia menguji kesabaran Anda. Tidakkah menurut Anda juga begitu?"
Jo telah memutuskan untuk berbicara terus terang, dan ia berusaha untuk tetap tenang setelah berkata-kata dengan berani. Dengan lega, juga terkejut, ia menyaksikan pria tua di hadapannya
melempar kacamatanya ke meja sampai berbunyi berkeretak, lalu
berseru lantang,?
"Kau benar, anakku! Aku menyayangi anak itu, tetapi ia sering
menguji kesabaranku sampai ke ambang batas, dan aku tidak tahu
bagaimana situasi ini akan berakhir jika kami terus bermusuhan."
"Dapat kukatakan?ia pasti akan kabur." Begitu selesai mengucapkannya, Jo langsung menyesal; ia hanya berniat memperingat341
kan Mr. Laurence bahwa Laurie tidak suka terlalu dikekang, dan
berharap Mr. Laurence mau lebih sabar terhadap Laurie.
Akan tetapi, wajah Mr. Laurence berubah seketika. Ia duduk
dengan sorot mata cemas, memandang foto seorang pemuda tampan yang tergantung di atas mejanya. Pria di foto itu adalah ayah
Laurie, yang dulu melarikan diri semasa muda, kemudian menikah
dengan gadis Italia, melawan perintah ayahnya yang bagaikan diktator. Jo merasa Mr. Laurence sedang teringat, sekaligus menyesali
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masa lalu, dan segera menyesal karena tidak bisa menahan katakatanya.
"Ia tidak akan melakukannya, kecuali ia benar-benar kalut,
dan hanya sesekali melontarkannya sebagai ancaman, ketika lelah belajar. Sering kali aku sendiri berpikir ingin melakukannya,
terutama sejak aku memotong rambutku. Jadi, jika kelak Anda
kehilangan kami, Anda boleh memasang pengumuman pencarian
untuk dua anak lelaki, dan mencari mereka di antara penumpang
kapal dengan tujuan India."
Jo berbicara sambil tertawa, dan Mr. Laurence tampak lega,
kini menganggap situasi itu sebagai lelucon.
"Kau anak cerdik, bagaimana mungkin kau berani bicara begitu? Mana rasa hormatmu kepadaku, dan mana sopan santunmu?
Dasar anak muda! Mereka adalah siksaan bagi kami, tetapi kami
tidak dapat hidup tanpa mereka," katanya, sambil mencubit pipi
Jo dengan jenaka.
"Pergilah dan panggillah Laurie untuk makan siang bersama.
Katakan kepadanya, semuanya sudah beres dan baik, dan minta
dia untuk tidak marah lagi kepada kakeknya; aku tidak mau melihatnya begitu."
"Ia enggan turun, Sir; ia masih sedih karena Anda tidak memercayai kata-katanya, ketika ia berkata ia tidak dapat menceritakan
apa pun. Kurasa, guncangan-guncangan tadi menyakiti hatinya."
Jo berusaha menampilkan wajah memelas, tetapi ia pasti telah
gagal, karena Mr. Laurence malah tertawa. Jo tahu, itu tanda keadaan telah kembali normal.
"Aku menyesal telah melakukannya, dan mungkin aku harus
berterima kasih karena ia tidak mengguncang-ku. Tapi, sebenarnya apa yang diharapkan anak itu?" kata Mr. Laurence yang tampak malu telah bersikap kelewatan.
"Kalau boleh kusarankan, tulislah surat permintaan maaf, Sir.
Katanya, ia tidak mau turun sampai mendapat surat seperti itu;
dan ia mengoceh soal Washington, juga bersikap aneh. Permintaan maaf resmi akan membuatnya melihat betapa konyolnya dirinya, dan akan membuatnya tenang dengan cepat. Coba saja; ia
suka bercanda, dan cara ini lebih baik daripada menceramahinya
dengan nasihat panjang. Biar aku yang membawanya ke atas; akan
kuberitahu dia tentang tugas dan kewajibannya."
Mr. Laurence menatap Jo dengan tajam, mengenakan lagi kacamatanya dan berkata, pelan, "Kau ini memang licin! Tapi aku
tidak keberatan diatur-atur olehmu dan Beth. Sini, beri aku secarik
kertas dan mari selesaikan masalah konyol ini."
Surat tersebut ditulis dengan gaya yang layak disampaikan
oleh seorang pria setelah membuat pria lainnya merasa tersinggung. Jo mengecup puncak kepala Mr. Laurence yang licin tanpa
rambut, kemudian berlari ke atas untuk menyelipkan permohonan
maaf itu dari bawah pintu. Lalu, melalui lubang kunci, Jo berniat
menasihati kawannya untuk menurut, bersikap sopan, serta sejumlah hal lain yang sepertinya mustahil. Namun, Jo menemukan bahwa pintu kamar Laurie telah kembali terkunci, sehingga ia
memasrahkan segalanya kepada surat dari Mr. Laurence. Ia baru
saja hendak pergi dengan diam-diam ketika tiba-tiba Laurie meluncur turun menggunakan pegangan tangga dan menunggunya
di bawah. Dengan ekspresi wajahnya yang tenang, Laurie berkata,
"Betapa baiknya kau, Jo! Tidakkah kau terkena dampratannya?"
tambahnya sambil tergelak.
"Tidak; sikapnya secara keseluruhan cukup baik."
"Ah! Aku memang salah! Bahkan kau sendiri tadi mengomeli?
ku, sampai aku merasa lebih baik aku mati saja," katanya, meminta
maaf.
"Jangan bicara seperti itu. Kau harus memulai lagi, dengan
membuka lembaran baru, Teddy, anakku."
"Aku sering membuka lembaran baru, kemudian menodai halaman itu, seperti aku menodai buku-buku pelajaranku; dan aku
membuat begitu banyak awal yang baru, sepertinya tidak akan
pernah ada habisnya," katanya, sedih.
"Pergi dan santaplah makan siangmu; kau pasti akan merasa
lebih baik setelahnya. Pria selalu mengoceh saat mereka lapar,"
dan Jo pun bergegas keluar dari pintu depan setelah mengucapkan
kalimat itu.
"Kau melabeli kaumku," sahut Laurie, mengutip Amy, sambil
beranjak untuk dengan patuh menemui kakeknya dan berbaikan.
Sepanjang sisa hari itu Mr. Laurence bersikap sebaik dan setenang
malaikat, dan luar biasa penuh hormat kepada cucunya itu.
Dengan begitu, semua orang mengira masalahnya telah selesai,
dan awan-awan gelap pun menjauh ditiup angin. Akan tetapi, kenakalan yang keterlaluan itu telah terjadi; dan meskipun yang lain
telah melupakannya, Meg selalu mengingatnya. Ia tidak pernah
merujuk pada satu nama khusus, tetapi ia sering memikirkan pria
ini, dan memimpikannya lebih sering dari biasanya. Sekali waktu, Jo, yang sedang membongkar meja kakaknya untuk mencari
prangko, menemukan sobekan kertas bertuliskan kata-kata "Mrs.
John Brooke". Jo mengerang sedih, lantas melempar kertas itu ke
perapian. Di dalam hatinya, ia merasa keisengan Laurie justru telah mempercepat datangnya hari yang ia benci.
Hari Bahagia
inggu-minggu berikutnya berjalan tenang dan terasa secerah cahaya matahari yang muncul setelah badai mereda.
Kesehatan para pasien di keluarga March membaik dengan cepat,
dan Mr. March pun mulai membicarakan kepulangannya pada
awal tahun. Beth, tidak lama kemudian, sudah dapat beristirahat
di sofa di ruang belajar, sepanjang hari. Pada awalnya, ia hanya
dapat bermain dengan kucing-kucingnya tersayang, namun kemudian diselingi dengan menjahit keperluan-keperluan boneka,
yang sudah amat tertinggal. Lengan-lengannya yang dulu selalu
bekerja kini terasa kaku serta lemah, sehingga Jo harus memapahnya setiap hari berjalan di sekeliling rumah. Meg dengan ceria
membiarkan tangan putihnya menghitam dan terluka karena api
saat memasak macam-macam hidangan untuk "yang tersayang".
Sementara Amy, abdi yang setia itu, merayakan kembalinya ia ke
rumah dengan memberikan sebanyak mungkin barang kesayangannya kepada kakaknya?sejauh Beth bersedia menerima.
Natal mendekat. Seperti biasa, keseruan mulai mengisi rumah
itu. Jo kerap membuat keluarganya terkejut dengan mengusulkan
berbagai ritual yang mustahil dilakukan, atau sebaliknya, luar biasa aneh, untuk menghormati Natal yang terasa lebih meriah ketimbang biasanya. Laurie pun sama anehnya?jika dibiarkan sesukanya, bisa-bisa ia mengadakan acara api unggun, peluncuran
roket, atau pertandingan memanah. Setelah berkali-kali didebat
dan ditolak, orang-orang merasa yakin bahwa pasangan sahabat
yang ambisius itu telah insaf. Mereka berkeliaran dengan tampang
suram, walaupun penyamaran itu kemudian terbongkar oleh ledakan tawa yang mereka pamerkan saat hanya berdua.
Hari Natal akhirnya tiba, diantarkan oleh beberapa hari yang
berhiaskan cuaca cerah. Hannah "merasakan di tulangnya bahwa
hari itu akan menjadi sangat istimewa," dan ramalannya terbukti
benar karena semua orang, juga segala hal, seolah tidak berhenti
membawa kabar baik. Pertama-tama: Mr. March mengirim surat,
mengatakan bahwa ia akan pulang tidak lama lagi; kemudian, giliran Beth mengatakan ia merasa jauh lebih sehat pagi itu. Dengan
mengenakan rok terusan hadiah dari ibunya?sepotong gaun berbahan lembut, berwarna merah lembut?ia dituntun ke arah jendela, lalu dengan wajah penuh semangat ia mulai membuka hadiah
dari Jo dan Laurie. Pasangan Tutup Mulut itu telah benar-benar
berusaha keras, hingga julukan itu pantas mereka sandang. Bagaikan sepasang peri, mereka bekerja sepanjang malam untuk menciptakan kejutan kocak. Di kebun, telah berdiri sesosok gadis salju
yang cantik, mengenakan rangkaian daun holly sebagai mahkota,
membawa keranjang berisi buah-buahan dan bunga-bunga di satu
tangan dan segulung not lagu-lagu baru di tangan lain. Di bahunya, tersampir syal rajut lebar yang cantik, dengan motif warnawarni pelangi. Kemudian, dari mulutnya, di antara hiasan-hiasan
kertas, keluar nyanyian Natal yang berbunyi?
"Dari Jungfrau Teruntuk Beth.
"Ratu Bess, Tuhan memberkatimu!
Semoga kau jauh dari kemalangan;
Sehat, damai, dan bahagia menyertaimu
Hari Natal ini, biar jadi kemenangan
"Ada buah untuk si lebah kecil,
Bunga untuk hidungnya,
Musik untuk piano mungil,
Dan syal untuk jemarinya
Lihat, ada potret Joanna
Karya Rafael nomor dua
Yang menggambar dengan susah payah
Agar hasilnya cantik dan indah
"Terimalah pita merah ini,
Untuk ekor Madam Purrer
Dan es krim dari Peg yang baik hati.?
Tampak bagaikan Mont Blanc di dalam ember
"Cinta dipersembahkan oleh penciptaku
Dimasukkan ke balik dada terbuat dari salju
Terimalah cinta mereka, juga gadis Alpen ini,
Dari Jo dan dari Laurie."
Beth tertawa keras saat melihatnya! Laurie berlari hilir-mudik
untuk mengambilkan hadiah-hadiah dari mereka, dan betapa konyol pidato Jo saat ia menyerahkan barang-barang itu!
"Aku merasa hampir meledak bahagia. Kalau saja Ayah ada
di sini, aku yakin aku tidak akan bisa menahan diriku lagi," kata
Beth, menghela napas puas saat Jo memapahnya kembali ke ruang
belajar untuk beristirahat setelah keseruan tadi, dan untuk mencicipi anggur-anggur lezat dari sang "Jungfrau".
"Aku juga," sahut Jo, memukul saku berisi buku Undine dan
Sintram, yang sudah lama ia idamkan.
"Aku yakin aku pun begitu," Amy membeo sambil tak bosanbosannya menatap salinan lukisan Madona dan Sang Putra, pemberian ibunya, dalam bingkai pigura cantik.
"Tentu saja aku juga," seru Meg sembari merapikan lipatan
keperakan gaun sutranya yang pertama, pemberian Mr. Laurence
yang bersikeras untuk menyerahkannya.
"Aku pun tidak mungkin merasa yang sebaliknya!" sahut Mrs.
March penuh syukur, sambil tatapannya berpindah dari surat
suaminya kepada wajah Beth yang penuh senyum. Tangannya
mengelus sebuah bros yang terbuat dari kumpulan rambut berwarna abu-abu dan keemasan, kuning kecokelatan, dan cokelat gelap,
yang baru saja disematkan anak-anaknya.
Nah, ada kalanya, di dunia yang penuh kerja keras, hal-hal indah sebagaimana digambarkan oleh buku-buku dongeng bisa terjadi?dan peristiwa tersebut menjadi luar biasa berharga. Setengah
jam setelah semua orang berkata mereka begitu bahagia, hingga
rasanya hanya akan sanggup menanggung satu bulir kegembiraan
lagi, dan satu bulir itu ternyata memang ditambahkan untuk mereka. Laurie membuka pintu ruang duduk dan perlahan menyelipkan
kepalanya masuk. Dari wajahnya, Laurie terlihat sedang susah payah menahan ledakan kegembiraan, hingga ingin rasanya ia melakukan lompatan akrobat, atau menyerukan seruan perang Indian.
Suaranya pun mengkhianati ketenangannya, karena mengandung
rasa senang yang meluap-luap, sampai-sampai semua orang me349
lompat berdiri, walaupun ia hanya berucap dengan cara yang ganjil
dan datar, "Satu lagi hadiah Natal untuk keluarga March."
Sebelum ada yang sempat berkata-kata, Laurie telah menghilang. Muncul menggantikannya adalah seorang pria bertubuh
jangkung, terbungkus baju hangat hingga ke bawah matanya, bersandar pada lengan seorang pria lain yang tidak kalah jangkung,
yang berusaha mengatakan sesuatu namun tidak mampu. Segera
saja, keadaan menjadi kacau-balau. Selama beberapa menit, semua
orang tampak menggila. Sesuatu yang sepertinya mustahil baru
saja terjadi, dan tidak ada yang dapat berkata-kata. Mr. March
langsung menghilang di balik pelukan empat pasang lengan penuh cinta; Jo mempermalukan dirinya dengan nyaris pingsan,
dan harus ditenangkan oleh Laurie di dalam lemari keramik; Mr.
Brooke mencium Meg tanpa sengaja?dan ia mencoba menjelaskannya meskipun kalimatnya tumpang tindih tidak keruan; dan
Amy, yang selalu berhati-hati dengan sikapnya, terjatuh dari kursi. Tanpa berhenti untuk berdiri terlebih dahulu, ia memeluk dan
menangis di kaki ayahnya, dengan tingkah yang amat mengharukan. Mrs. March adalah orang pertama yang pulih, kemudian
ia mengangkat tangan dan mengeluarkan peringatan, "Hus! Ingat
ada Beth!"
Namun, terlambat sudah; pintu ruang belajar terpentang terbuka. Sosok berbalut rok terusan berwarna merah lembut muncul di
ambang pintu. Kebahagiaan telah memberikan tenaga pada tangan
dan kakinya, dan Beth berlari ke pelukan ayahnya. Tidak masalah
lagi apa yang terjadi setelah itu; hati mereka yang penuh padat kini
tumpah ruah, melunturkan segala kepahitan masa lalu, dan hanya
menyisakan manisnya saat sekarang.
Akhir adegan itu sama sekali tidak romantis; tawa keras membuat semua orang pulih dan bersikap wajar lagi?ya, tawa keras
karena melihat Hannah menangis terisak-isak di balik pintu sam350
bil memeluk kalkun gendut yang siap dipanggang. Dalam ketergesaannya untuk melihat apa yang terjadi di ruang duduk, ia lupa
memasukkan kalkun itu ke dalam oven. Setelah tawa mereka mereda, Mrs. March berterima kasih kepada Mr. Brooke yang telah
dengan setia menjaga suaminya. Mendengar itu, Mr. Brooke tibatiba teringat bahwa Mr. March memerlukan istirahat dan, sambil
mengajak Laurie, ia pun berpamitan dengan tergesa-gesa. Setelah
itu, Mr. March dan Beth diperintahkan untuk menenangkan diri.
Keduanya menurut, dan mereka pun duduk di satu kursi besar,
mengobrol dengan tenang.
Mr. March bercerita bagaimana ia ingin memberikan kejutan
kepada mereka. Saat cuaca membaik, dokternya mengizinkan Mr.
March memanfaatkan situasi itu. Ia juga bercerita mengenai perhatian besar Mr. Brooke, dan bagaimana pria muda itu dinilainya
sebagai orang yang lurus dan pantas. Sampai di sini, akan kubiarkan pembaca menyimpulkan sendiri mengapa, pada titik ini, Mr.
March berhenti sesaat dan mencuri pandang ke arah Meg, yang
sedang mencolok-colok perapian dengan bersemangat, kemudian
memindahkan tatapannya ke arah istrinya, lengkap dengan alis
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terangkat seolah menanyakan sesuatu. Aku juga akan membiarkan pembaca menyimpulkan mengapa Mrs. March dengan
lembut menganggukkan kepalanya, lantas bertanya, tampaknya
dengan tiba-tiba, apakah suaminya ingin bersantap. Jo melihat dan
memahami pertukaran pandang orangtuanya; ia menyelinap keluar dengan muram untuk mengambil anggur dan minuman kaldu,
sambil mengomel kepada dirinya sendiri dan membanting pintu di
belakangnya, "Aku benci pria muda yang lurus dan pantas dengan
mata cokelat!"
Belum pernah ada hidangan Natal seperti yang mereka nikmati
pada hari itu. Kalkun gendut tadi begitu sedap dipandang. Hannah
menghidangkannya sudah penuh terisi, matang sempurna, serta
dihias cantik. Puding buah plumnya, yang meleleh di dalam mulut, tidak kalah hebat; begitu pula jeli, yang dihabiskan Amy bagaikan seekor lalat menempel di dalam guci madu. Setiap menu terasa
lezat?sesuatu yang patut disyukuri, kata Hanna, "Karena pikiranku buyar, Bu, sungguh suatu keajaiban bahwa aku tidak membuat
pudingnya terbakar atau memasukkan kismis ke dalam kalkun."
Mr. Laurence dan cucunya ikut bersantap di sana, juga Mr.
Brooke?yang dipelototi dengan galak oleh Jo, sementara Laurie
mengawasi sambil tersenyum geli. Dua buah kursi santai diletakkan di kepala meja. Di sanalah, duduk Beth dan ayahnya, dengan
pelan dan santai menikmati hidangan kalkun dan sedikit buah.
Mereka bersulang untuk kesehatan masing-masing, saling bertukar cerita, bernyanyi, atau seperti dikatakan orang-orang tua,
"bernostalgia", dan secara keseluruhan menikmati peristiwa yang
membahagiakan itu. Sebelumnya, anak-anak telah merancang acara berseluncur, namun para gadis March tidak ingin meninggalkan
sang ayah. Jadi, para tamu tidak tinggal berlama-lama, dan, setelah
matahari terbenam, keluarga yang bahagia itu duduk bersama di
depan perapian.
"Baru setahun lalu kita mengeluhkan Natal kelabu yang akan
kita hadapi. Ingatkah kalian?" tanya Jo, memecah kesunyian yang
menyusul pembicaraan panjang-lebar mengenai macam-macam
hal.
"Setahun ini, sebenarnya, secara umum menyenangkan!" sahut
Meg, tersenyum ke arah perapian, sembari menyelamati dirinya
sendiri karena berhasil memperlakukan Mr. Brooke dengan sikap
tenang dan hormat.
"Kupikir, malah tahun ini cukup sulit," Amy menyimpulkan,
mengamati cahaya yang terpantul pada cincinnya, dengan pandangan merenung.
"Aku senang tahun ini berakhir, karena kita mendapatkan
Ayah kembali," bisik Beth, yang duduk di pangkuan ayahnya.
"Memang cukup menantang jalan yang harus kalian tempuh,
para pengembara mudaku, terutama pada saat-saat terakhir. Tetapi, kalian bertahan dengan berani. Kupikir, beban yang ada akan
terangkat tidak lama lagi," kata Mr. March sambil menatap dengan
pandangan kebapakan ke arah empat wajah muda di sekelilingnya.
"Bagaimana Ayah tahu? Apakah Ibu mengatakan sesuatu?" Jo
bertanya.
"Tidak banyak; rumput-rumput bergoyang mengikuti arah
angin, dan aku mendapatkan beberapa penemuan baru hari ini."
"Oh, ceritakanlah kepada kami!" seru Meg, yang duduk di sisinya.
"Ini ada satu!" Mr. March mengangkat satu tangan yang tergolek di lengan kursinya. Ia menunjuk ke arah jari telunjuk yang
kasar, sebuah bekas luka bakar di punggung tangan, dan dua atau
tiga titik kapalan di telapak. "Aku masih ingat masa-masa ketika tangan ini putih dan mulus, dan keinginanmu pada awalnya
adalah menjaga agar tangan ini tetap demikian. Dulu, tangan ini
tampak indah, namun, bagiku, sekarang justru terlihat lebih indah?karena di balik noda-noda inilah aku melihat sebuah sejarah
kecil. Luka bakar merupakan pelajaran atas rasa bangga diri yang
berlebihan; telapak tangan yang kasar telah menghasilkan sesuatu
yang jauh lebih bermakna ketimbang sekadar luka lecet, dan kuyakin jahitan yang dihasilkan oleh jemari yang telah terluka oleh
tusukan jarum ini akan bertahan untuk waktu lama, karena ada
setumpuk niat baik yang menyusup bersama benang-benang yang
dijahitkan pada kain. Meg, sayangku, aku sangat menghargai keterampilan wanita yang mampu menjaga sebuah rumah tetap bahagia; aku bangga dapat menjabat tangan mungil yang baik dan rajin
ini; kuharap tidak ada yang datang terlalu cepat dan memintaku
memberikan tangan ini."
Kalaulah Meg pernah berharap mendapat penghargaan atas
kerja kerasnya selama berjam-jam, ia telah menerimanya dalam
bentuk genggaman hangat ayahnya, serta senyum penuh kebanggaan yang diberikannya.
"Bagaimana dengan Jo? Kumohon, katakanlah sesuatu yang
baik untuknya; ia telah berusaha begitu keras, dan sangat, sangat
amat baik kepadaku," kata Beth di telinga ayahnya.
Mr. March tertawa, lantas melihat ke arah gadis jangkung yang
duduk di seberangnya, dengan ekspresi lembut di wajah cokelatnya, tidak seperti biasa.
"Meskipun kini kepalanya berhias rambut pendek ikal, aku
tidak lagi melihat ?Jo si bocah lelaki? yang kutinggalkan setahun
lalu," kata Mr. March. "Aku melihat seorang wanita muda yang
kini menegakkan kerah bajunya, mengenakan sepatu yang ditalikan dengan rapi, dan tidak lagi bersiul, berbicara kasar, ataupun
berbaring di karpet, sebagaimana dulu suka ia lakukan. Wajahnya
sekarang tampak mengurus dan agak pucat termakan kewaspadaan
dan kegelisahan. Tapi, aku suka melihatnya, karena garis-garisnya
kini melembut, dan suaranya lebih rendah. Saat bergerak, ia tidak
lagi melambung-lambung, melainkan melakukannya dengan tenang, serta telah merawat seorang pasien mungil dengan cara yang
sangat keibuan, dan membuatku sangat gembira mendengarnya.
Aku merindukan putriku yang liar; namun jika sebagai gantinya
aku mendapatkan seorang wanita muda berkepribadian kuat, ringan tangan, serta berhati lembut, aku merasa puas. Entahlah apakah proses pencukuran telah membuat kuda hitam kita ini menjadi
jinak, tetapi yang kutahu, tidak ada satu pun benda di Washington
yang cukup indah untuk dibeli menggunakan uang dua puluh lima
dolar yang telah diberikan gadis baik ini untukku."
Mata Jo yang biasanya lincah, sesaat meredup, dan wajah kurusnya merona merah dalam temaram cahaya api saat mendengar
pujian ayahnya. Menurut perasaan Jo, ia memang layak menerima
setidaknya sedikit dari pujian tersebut.
"Sekarang giliran Beth," kata Amy, yang sesungguhnya tidak
sabar menunggu gilirannya, tetapi bersedia menunggu.
"Beth begitu kecil dan mungil, aku tidak ingin berkata banyak
karena khawatir ia akan menghilang, walaupun ia memang tidak
lagi sepemalu dahulu," kata ayah mereka dengan nada ceria pada
awalnya. Namun, ia lantas teringat betapa ia pernah nyaris kehilangan Beth, dan Mr. March pun mendekapnya sambil berkata
dengan lembut, dengan pipi mereka saling menempel, "Kau aman
sekarang, Beth-ku, dan akan kujaga kau, kuharap Tuhan mengizinkan."
Setelah semenit suasana hening, Mr. March memandang ke
arah Amy, yang duduk di bangku kecil di kakinya dan berkata,
sambil mengelus rambut Amy yang berkilau,?
"Kuperhatikan Amy mengambil potongan paha saat makan
malam tadi, membantu membelikan keperluan ibunya sepanjang
sore, memberikan Meg tempatnya malam ini. Ia menemani semua
orang dengan sabar, diiringi humor yang sehat. Aku juga memperhatikan bahwa ia tidak lagi terlalu rewel, atau berlama-lama mematut diri di depan kaca. Ia bahkan belum melontarkan sepatah
kata pun tentang cincin indah yang ia kenakan. Jadi, kusimpulkan
ia telah belajar untuk lebih memikirkan orang lain, dan tidak lagi
berfokus pada dirinya sendiri. Ia pun telah memutuskan untuk
mencoba dan membentuk karakternya dengan hati-hati, sebagaimana ia dengan cermat membentuk mainan-mainan tanah liatnya. Aku senang sekali; aku akan sangat bangga atas karya-karya
pahatan indah yang dibuatnya. Tetapi, kebanggaanku tidak akan
mengenal batas karena memiliki putri yang disayang semua orang,
dan dengan bakatnya membuat kehidupan ini menjadi bahagia,
bagi dirinya dan bagi orang lain."
"Apa yang kaupikirkan, Beth?" tanya Jo, setelah Amy berterima kasih kepada ayahnya, dan bercerita mengenai cincinnya.
"Hari ini, aku membaca di Perjalanan Pengembara bahwa, setelah melalui banyak kesulitan, Christian dan Hopeful sampai di
sebuah padang rumput indah, tempat bunga-bunga lili mekar sepanjang tahun. Di sana, mereka beristirahat dengan bahagia, seperti kita saat ini, sebelum mereka melanjutkan perjalanan sampai
ke akhir," jawab Beth. Lalu, ia turun dari pangkuan ayahnya dan
menambahkan, sambil berjalan pelan ke arah piano, "Sekaranglah
saatnya bernyanyi, dan aku ingin berada di tempatku yang biasa.
Aku ingin mencoba membawakan lagu yang dinyanyikan anak
gembala, dan kerap didengar oleh para pengembara. Aku membuat
musik ini untuk Ayah, karena ia menyukai liriknya."
Jadi duduk di belakang piano kecil, Beth dengan lembut menyentuh tuts-tutsnya. Kemudian, dengan suara lembut yang mereka pikir tidak akan pernah terdengar lagi, menyanyikan sendiri
sebuah himne indah, yang merupakan lagu yang sangat sesuai untuknya:?
"Ia yang berada di bawah, tidak perlu takut jatuh;
Ia yang rendah, tidak perlu berbangga;
Ia yang rendah hati akan selalu;
Memiliki Tuhan sebagai gembala.
"Hatiku bersyukur atas apa yang kumiliki,
Tak peduli jumlahnya;
Dan, Tuhan! Rasa itu masih kucari,
Karena Engkau melindungi para pendoa
"Kekayaan adalah beban,
Bagi mereka yang Mengembara;
Tanpanya, kebahagiaan
Adalah yang terbaik dari masa ke masa!"
Pertolongan Tak
Sengaja dari
Bibi March
sok harinya, Mr. March tidak pernah lepas dari istri dan
anak-anaknya, yang mengikutinya bagaikan kumpulan lebah
dan ratu mereka. Mereka mengabaikan semuanya untuk melihat,
menunggui, dan mendengarkan cerita si pasien baru, yang sepertinya sudah kewalahan menerima begitu banyak perhatian dan
kebaikan. Saat Mr. March duduk di kursi besar, di samping sofa
tempat Beth berbaring, dengan tiga anak yang lain di dekatnya,
serta Hannah berulang kali muncul untuk, "menjenguk Tuan Besar," rasanya tidak ada lagi yang diperlukan untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Namun, pada kenyataannya, ada sesuatu yang
masih dinantikan, dan orang-orang yang lebih tua bisa merasakan
hal ini, meskipun tidak ada yang membicarakannya secara terbuka. Mr. dan Mrs. March kerap saling bertatapan dengan ekspresi
gelisah, sembari pandangan mereka mengikuti Meg. Jo berkali-kali
kehilangan kesabaran, dan pernah sekali tepergok sedang menggoyangkan tinjunya ke arah payung Mr. Brooke, yang tertinggal
di lorong. Pikiran Meg terus melayang-layang, sikapnya menjadi
malu-malu serta pendiam, dan ia sering terkejut ketika bel berbunyi, atau merona apabila nama John terlontar. Menurut Amy,
"Semua orang seolah menunggu terjadinya sesuatu dan tidak bisa
tenang. Aneh, padahal Ayah sudah aman di rumah," dan Beth dengan polos bertanya-tanya mengapa tetangga mereka tidak mampir sesering biasanya.
Sore itu, Laurie melewati rumah keluarga March. Melihat Meg
sedang berada di dekat jendela, ia seakan-akan mendadak dikuasai
perasaan melodramatis. Laurie jatuh berlutut pada satu kaki di salju, memukuli dadanya, menjambak-jambak rambutnya, dan merapatkan kedua tangannya tanda memohon, seolah meminta sesuatu
yang konyol. Ketika Meg menyuruhnya mengendalikan diri dan
pergi, ia berpura-pura mengeluarkan saputangan, lantas berjalan
terhuyung-huyung ke sudut jalan, seakan-akan sedang mengalami
keputusasaan.
"Apa, ya, maksud si bodoh itu?" tanya Meg, tertawa, berusaha
tampak tidak acuh.
"Tentu saja ia memperlihatkan bagaimana John-mu akan bersikap nanti. Mengharukan, ya?" sahut Jo ketus.
"Jangan katakan John-ku, tidak pantas, dan juga tidak benar,"
namun suara Meg terasa berlama-lama saat mengucapkan kedua
kata itu, seolah ia senang mendengarnya. "Tolong, jangan ganggu
aku, Jo; sudah kukatakan aku tidak begitu peduli terhadapnya, dan
tidak ada yang perlu dikatakan, kecuali tetap bersikap ramah, dan
bergaul seperti biasa."
"Tidak bisa begitu, karena sesuatu telah terlontar. Kenakalan
Laurie telah merusakmu. Aku melihatnya, juga Marmee. Kau tidak
kelihatan seperti dirimu yang dulu, dan malah terasa begitu jauh
dariku. Aku tidak bermaksud mengganggumu, dan akan menghadapi semua ini dengan jantan. Namun, aku memang berharap situasi ini cepat selesai. Aku tidak suka menunggu; jika kau memang
ingin melakukannya, cepatlah, dan selesaikan saja," sergah Jo.
"Aku tidak bisa berkata atau berbuat apa pun sampai ia sendiri
yang angkat bicara. Dan ia tidak akan melakukannya, karena Ayah
telah berkata aku masih terlalu muda," jelas Meg sambil terus bekerja dengan senyum kecil misterius tersungging di bibirnya. Senyum itu mengisyaratkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat ayahnya.
"Jika ia mengutarakan isi hatinya, kau pasti tidak akan tahu
harus berkata apa, selain menangis atau membiarkan wajahmu
merona, atau membiarkannya mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kau tidak akan memberikan jawaban ?tidak? yang tegas dan jelas."
"Aku tidak sebegitu konyol dan lemah seperti perkiraanmu.
Aku tahu persis apa yang harus kukatakan, karena aku telah merencanakannya, agar aku tidak terkejut nanti. Tidak ada yang tahu
apa yang akan terjadi. Aku hanya ingin bersiap-siap."
Jo tidak bisa menahan dirinya tersenyum melihat tingkah penting, yang tanpa sadar ditampilkan oleh Meg. Sikap Meg itu tampak sama menariknya dengan warna-warni rona wajahnya.
"Apakah kau keberatan untuk menceritakan apa yang ingin
kaukatakan itu?" tanya Jo, kini dengan sikap lebih menghormati
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakaknya.
"Sama sekali tidak; kau sudah enam belas tahun, sudah cukup
dewasa untuk menjadi tempatku bercerita. Lagi pula, pengalamanku mungkin akan berguna untukmu kelak, apabila kau nanti
menghadapi urusan semacam ini."
"Aku tidak punya niat untuk itu; sudah cukup menyenangkan
menonton orang lain saling merayu, tetapi rasanya konyol sekali
membayangkan diriku melakukan hal yang sama," sergah Jo, tampak cemas akan gagasan tersebut.
"Kurasa tidak, kalau kau menemukan seseorang yang benarbenar kausukai, dan orang itu juga menyukaimu," Meg berkata seolah kepada dirinya sendiri, kemudian melempar pandang ke arah
tepi jalan. Di sana, ia sering melihat pasangan pria dan wanita berjalan bersama-sama, menikmati petang di musim panas.
"Eh, bukankah kau mau menceritakan kalimat yang sudah kaurancang untuk orang itu," kata Jo, dengan kasar memotong imajinasi kakaknya.
"Oh, aku akan sekadar berkata dengan tenang dan lugas, ?Terima kasih, Mr. Brooke, Anda sangat baik, tetapi saya setuju dengan
Ayah, bahwa saya masih terlalu muda untuk mengikatkan diri
dalam bentuk apa pun saat ini; dan saya mohon, jangan katakan
apa-apa lagi, tetapi izinkanlah kita tetap berteman seperti biasa.?"
"Hum! Memang kalimat itu cukup tegas dan jelas. Aku tidak
percaya kau akan mengatakannya, dan aku tahu ia pasti tidak akan
puas jika kau berhasil mengucapkannya. Apabila ia lantas bereaksi
seperti pria-pria lain yang ditolak, seperti digambarkan di bukubuku, kau pasti menyerah, karena tidak ingin menyakiti perasaannya."
"Tidak akan! Akan kukatakan aku telah membuat keputusan,
dan aku akan keluar dari ruangan itu dengan kepala tegak."
Meg berdiri sembari berbicara, dan ia baru saja hendak memperlihatkan caranya akan keluar dengan kepala tegak, ketika sebuah langkah terdengar di lorong. Meg terbang kembali ke tempat
duduknya, dan mulai menjahit seolah-olah hidupnya bergantung
pada selesai atau tidaknya keliman itu. Jo tercekik menahan tawa
melihat perubahan mendadak tersebut dan, setelah mendengar seseorang mengetuk pintu dengan sopan, membuka pintu tersebut
dengan wajah ketus. Ia sama sekali tidak terlihat ramah.
"Selamat sore, aku datang mengambil payungku?tepatnya,
aku ingin melihat keadaan ayahmu hari ini," ujar Mr. Brooke, kelihatan mulai bingung saat matanya berpindah-pindah antara dua
wajah yang menampilkan ekspresi sangat berbeda.
"Payungmu baik-baik saja, Ayah ada di rak, akan kuambilkan
dia, dan akan kukatakan kepadanya bahwa kau ada di sini." Setelah berbicara dengan mencampuradukkan antara payung dan
ayahnya, Jo menyelinap keluar dari ruangan itu untuk memberi
Meg kesempatan mempraktikkan dialognya, dan memancarkan
harga dirinya. Namun, begitu Jo menghilang, Meg malah berjalan
ke arah pintu sambil menggumam,?
"Ibu pasti ingin bertemu denganmu, silakan duduk, akan kupanggilkan beliau."
"Jangan pergi; apakah kau takut kepadaku, Margaret?" Mr.
Brooke tampak begitu terluka, sehingga Meg berpikir ia pasti telah melakukan sesuatu yang amat tidak sopan. Wajahnya merona
sepenuhnya, sampai ke ikal-ikal kecil di dahinya, karena pria itu
tidak pernah memanggilnya Margaret sebelumnya. Meg terkejut
saat mendengar betapa wajar panggilan itu terdengar, dan manis,
saat Mr. Brooke mengucapkannya. Karena ingin tampak ramah
dan santai, Meg lantas mengulurkan tangan yang mengisyaratkan
bahwa ia memercayai pria itu, dan berkata dengan nada penuh terima kasih,?
"Bagaimana mungkin aku takut kepadamu, padahal kau telah
begitu baik kepada Ayah? Aku hanya berharap aku bisa berterima
kasih kepadamu untuk itu."
"Bolehkah aku memberitahumu caranya?" tanya Mr. Brooke
sambil menggenggam tangan mungil Meg dengan mantap, dengan
kedua tangannya yang besar. Ia menatap Meg. Tatapan penuh cinta terpancar dari mata cokelatnya, sehingga hati Meg mulai berge
tar, dan merasa ingin melarikan diri, tetapi juga ingin mendengarkannya.
"Oh, tidak perlu, kumohon, jangan?ah, sebaiknya tidak usah,"
ujar Meg, mencoba menarik kembali tangannya. Walaupun sebelumnya menyangkal, Meg kini tampak ketakutan.
"Aku tidak akan menyusahkanmu, aku hanya ingin tahu apakah ada perasaan untukku di hatimu, Meg, meskipun sedikit. Aku
sungguh-sungguh mencintaimu, Sayang," tambah Mr. Brooke dengan lembut.
Inilah saatnya untuk menyampaikan pidatonya dengan tenang
dan pantas. Tapi, Meg tidak pernah melakukannya. Ia lupa setiap
kata yang sudah ia hafalkan. Meg hanya menundukkan kepala, kemudian menjawab, "Entahlah," begitu pelan, sampai John harus
menunduk untuk mendengar balasan yang tanpa makna itu.
Sepertinya, Mr. Brooke merasa reaksi tersebut sepadan dengan
usahanya, karena ia tersenyum kepada dirinya sendiri, seakan
puas, meremas tangan Meg dengan perasaan senang, dan berkata
dengan nada paling memikat, "Maukah kau mencoba dan mencari
tahu? Aku sangat ingin mengetahuinya. Tidak mungkin aku terus
berusaha memenangkan hati seseorang, jika aku tidak tahu hadiah
apa yang menantiku kelak."
"Aku terlalu muda," balas Meg lemah, bertanya-tanya dalam
hati mengapa ia begitu gemetar, sekaligus menyukai hal ini.
"Aku akan menunggu; sementara itu, kau bisa belajar untuk
menyukaiku. Apakah pelajaran tersebut akan terlalu sulit bagimu?"
"Tidak, jika aku memang memilihnya, tapi..."
"Maka tentukan pilihanmu, Meg. Aku senang mengajar, dan
hal ini jauh lebih mudah ketimbang bahasa Jerman," sergah John,
meraih tangan Meg yang satu, sehingga Meg tidak dapat lagi me
nyembunyikan wajahnya, saat John membungkuk untuk menatapnya.
Nada suaranya memohon, tetapi sopan. Namun, saat Meg
mencuri pandang malu-malu ke arahnya, ia melihat bahwa tatapan John mengandung keceriaan selain kelembutan, dan bahwa pria
itu sedang memperlihatkan senyum puas, khas seseorang yang
tidak lagi ragu akan keberhasilannya. Hal ini mengganggu Meg;
pelajaran-pelajaran konyol Annie Moffat tentang rayuan tiba-tiba
terlintas di benak Meg. Kekuatan cinta, yang berada di hati setiap
perempuan muda terbaik, mendadak bangkit dan menguasainya.
Meg merasa bersemangat, sekaligus ganjil. Tidak tahu apa yang
harus dilakukan, ia mengikuti dorongan untuk berubah, menarik
kedua tangannya, dan berkata gusar, "Aku tidak memilih; kumohon pergilah, dan biarkan aku!"
Mr. Brooke yang malang tampak seolah-olah kastil indah di
dalam bayangannya runtuh bergemuruh. Ia belum pernah melihat
Meg dalam suasana hati seperti ini sebelumnya, dan ia merasa bingung.
"Apakah kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu?" tanyanya,
gelisah, mengikuti Meg yang berjalan menjauh.
"Ya; aku tidak ingin memikirkan hal-hal seperti ini. Ayah berkata belum waktunya; terlalu cepat, dan aku memang tidak ingin."
"Dapatkah aku berharap kau akan mengubah pendapatmu kelak? Aku akan menunggu dan tidak mengatakan apa pun sampai
kau benar-benar siap. Jangan permainkan aku, Meg, aku tidak pernah punya pendapat seperti itu tentang dirimu."
"Tidak perlu berpendapat apa pun tentang aku. Aku lebih suka
jika kau tidak melakukannya," kata Meg, merasakan kepuasan jahil saat ia menguji kesabaran sang kekasih, sekaligus kadar kekuasaannya sendiri.
Mr. Brooke tampak murung dan pucat, dan justru tampak lebih menyerupai tokoh-tokoh pahlawan yang dikagumi Meg. Akan
tetapi, ia tidak memukul dahinya, atau berjalan hilir-mudik di ruangan seperti digambarkan dalam cerita-cerita. Mr. Brooke hanya
berdiri memandang Meg dengan sungguh-sungguh, begitu lembut,
hingga Meg merasakan hatinya meleleh meski berlawanan dengan
niatnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya, kalau
saja Bibi March tidak datang tepat pada menit yang menentukan
tersebut.
Perempuan tua itu tidak bisa melawan keinginan untuk menjenguk kemenakannya. Ia berpapasan dengan Laurie ketika ia sedang berjalan-jalan menghirup udara segar, dan mendengar kabar
bahwa Mr. March sudah pulang, Bibi March segera pergi menemuinya. Keluarga March sedang sibuk di bagian belakang rumah,
sehingga ia memilih masuk diam-diam, berniat mengejutkan mereka. Alih-alih, ia malah membuat Meg dan Mr. Brooke terkejut
setengah mati, sampai Meg tampak seolah ia sedang melihat hantu, dan Mr. Brooke mendadak menghilang ke ruang belajar.
"Wah, wah! Ada apa ini?" seru perempuan tua itu, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya dan melirik berpindah-pindah dari
wajah pucat seorang pria muda, ke wajah Meg yang begitu memerah.
"Ini teman Ayah. Aku sangat terkejut melihat Bibi!" Meg tergagap, merasa ia sudah pasti akan terpaksa mendengarkan ceramah bibinya sekarang.
"Jelas sekali," komentar Bibi March, lantas mengambil tempat
duduk. "Tapi, apa yang telah dikatakan teman Ayah, yang membuatmu seperti bunga peoni? Ada yang tidak beres di sini, dan aku
harus tahu yang sebenarnya!" tongkat Bibi March kembali diketuk-ketukkan.
"Kami sekadar mengobrol. Mr. Brooke datang untuk mengambil payungnya," Meg menjelaskan, berharap-harap cemas bahwa
Mr. Brooke dan payungnya telah dengan aman meninggalkan rumah itu.
"Brooke? Tutor si bocah? Ah! Aku paham sekarang. Aku tahu
segalanya. Jo tanpa sengaja menaruh pesan yang salah di dalam
salah satu surat ayahmu, dan aku memaksanya menceritakannya
kepadaku. Kau belum menerimanya, kan?" seru Bibi March, tampak tersinggung.
"Aduh! Nanti ia dengar! Haruskah kupanggilkan Ibu?" kata
Meg, tampak sangat kalut.
"Tidak perlu. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, dan
aku harus membebaskan pikiranku saat ini juga. Katakanlah?apakah kau berniat menikahi si Rook miskin itu? Kalau ya, tidak sepeser pun dari uangku yang akan kuberikan kepadamu. Ingat itu,
dan jadilah gadis yang berpikiran sehat," kata Bibi March, tegas.
Nah, Bibi March memiliki bakat sempurna untuk membangkitkan semangat perlawanan di dalam diri orang yang paling lembut sekalipun, dan ia senang melakukannya. Pribadi-pribadi yang
terbaik tetap memiliki bibit pemberontakan di dalam diri mereka, terutama saat berusia muda dan sedang jatuh cinta. Jika Bibi
March memohon agar Meg menerima John Brooke, mungkin Meg
akan segera mengatakan bahwa ia bahkan tidak berminat untuk
mempertimbangkannya. Akan tetapi, Meg ia perintahkan untuk
tidak menaruh hati pada pria itu, sehingga ia segera memutuskan
untuk melakukan yang sebaliknya. Dorongan sekaligus pemberontakan membuat keputusan itu keluar dengan mudah dan, karena
emosinya telah dibangkitkan sebelumnya, Meg pun melawan kerabatnya yang sudah tua itu dengan semangat cukup tinggi.
"Aku akan menikah dengan siapa pun yang kumau, Bibi
March. Kau bisa mewariskan uang itu kepada siapa pun yang kau
suka," balasnya sambil menganggukkan kepala dengan sikap yang
menyatakan kebulatan tekadnya.
"Anak sok! Begitukah caramu menjawab nasihatku, Nona?
Kau akan menyesal nanti, saat kau harus menguji cintamu di dalam sebuah pondok kecil, lantas gagal."
"Tidak mungkin lebih buruk ketimbang yang harus dihadapi
orang lain di dalam rumah-rumah besar," sahut Meg.
Bibi March mengenakan kacamatanya dan menatap Meg baikbaik, karena ia tidak begitu mengenalinya dalam suasana hati ini.
Meg pun hampir tidak mengenali dirinya; ia merasa begitu berani
serta mandiri, bahagia karena telah membela John, dan menggunakan haknya untuk mencintai pria itu, jika ia memang menginginkannya. Bibi March segera menyadari kekeliruannya. Setelah
diam sebentar, ia memutuskan untuk memulai lagi dan berkata,
seringan mungkin, "Nah, Meg, sayangku, pikirkanlah lagi, dan
turuti nasihatku. Aku bermaksud baik, dan tidak ingin kau merusak sisa hidupmu dengan membuat kesalahan pada awalnya. Kau
harus menikah dengan pasangan yang baik, kemudian membantu
keluargamu; adalah tugasmu untuk menemukan pasangan yang
kaya. Hal ini harus ditegaskan kepadamu."
"Ayah dan Ibu tidak berpendapat begitu. Mereka menyenangi
John, walau ia memang miskin."
"Pandangan ayah dan ibumu tentang dunia ini tidak lebih baik
dari dua orang bayi."
"Aku bersyukur untuk itu," seru Meg, keras kepala.
Bibi March tidak mengacuhkannya, dan terus saja berceramah.
"Si Rook ini miskin, dan tidak punya saudara yang berharta, ya?"
"Tidak; tetapi ia punya banyak sahabat yang berhati baik."
"Kau tidak bisa hidup mengandalkan sahabat; coba saja, dan
kau akan lihat betapa dinginnya mereka kelak. Ia tidak punya usaha apa pun, kan?"
"Belum; Mr. Laurence akan menolongnya."
"Tidak akan bertahan lama. James Laurence adalah pria tua
yang nyentrik, tidak bisa diandalkan. Jadi, kau berniat menikahi
seorang pria tanpa uang, jabatan, ataupun usaha, dan kau akan
bekerja lebih keras ketimbang sekarang, padahal kau bisa hidup
nyaman setiap hari, dan berada di tempat yang lebih baik, kalau
saja mau mendengarkan nasihatku. Kukira kau lebih cerdas dari
ini, Meg."
"Aku tidak mungkin mendapatkan yang lebih baik, kalaupun
aku menunggu selama separuh hidupku! John adalah pria yang
baik dan bijaksana; ia punya segudang bakat; ia mau bekerja keras, dan yakin akan maju. Ia juga amat bersemangat dan seorang
pemberani. Semua orang menyukai dan menghormatinya, dan aku
bangga bahwa ia menyukaiku, walaupun aku begitu miskin, muda,
dan konyol," sembur Meg, tampak semakin cantik saat sedang berapi-api.
"Ia tahu kau punya kerabat yang kaya; kuduga, itulah rahasia
di balik cintanya."
"Bibi March, mengapa kau tega mengatakan hal seperti itu?
John tidak mampu berlaku licik seperti itu, dan aku tidak akan
mendengarkanmu lebih lama lagi apabila kau berbicara seperti
ini," seru Meg, kesal, lupa akan segalanya, kecuali ketidakadilan
di dalam kecurigaan si wanita tua. "John-ku tidak akan menikah
demi uang, begitu pula aku. Kami bersedia bekerja, dan kami ingin
menunggu. Aku tidak takut menjadi miskin, karena sejauh ini aku
toh bahagia. Dan aku tahu aku akan bersamanya, karena ia mencintaiku, dan aku..."
Gadis Gadis March Little Women Karya Louisa May Alcott di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meg berhenti karena tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum membuat keputusan; bahwa ia telah menyuruh "John-nya" untuk pergi,
dan bahwa pria itu mungkin mendengar kata-katanya yang tidak
konsisten ini.
Bibi March sangat marah, karena di dalam hatinya ia telah
berniat menjodohkan cucu-kemenakannya yang cantik itu dengan
seorang pria yang pantas untuknya. Selain itu, ada sesuatu di balik
wajah muda yang bahagia tersebut, yang membuat perempuan tua
kesepian itu merasa sedih sekaligus bertambah keras kepala.
"Baiklah; aku angkat tangan dari urusan ini! Kau anak kepala
batu, dan kau akan kehilangan lebih besar ketimbang yang kaubayangkan dalam hal ini. Tidak, aku tidak akan berhenti; aku kecewa padamu, dan kini semangatku untuk menjenguk ayahmu sudah
hilang. Jangan harapkan apa-apa dariku saat kau menikah nanti.
Teman-teman Mr. Brooke-mu itu harus mengurusmu. Aku tidak
akan berurusan lagi denganmu selamanya."
Lantas, sambil membanting pintu di depan wajah Meg, Bibi
March pergi dalam keadaan murka. Tampaknya, perempuan tua
itu pergi dengan membawa serta segenap kekuatan Meg. Begitu ditinggalkan sendirian, Meg berdiri sejenak, tidak tahu harus menangis atau tertawa. Sebelum ia bisa memutuskan, Mr. Brooke kembali di hadapannya, dan berkata dalam satu tarikan napas, "Aku
tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan, Meg. Terima
kasih telah membelaku, dan kepada Bibi March yang membuktikan bahwa kau memang peduli kepadaku sedikit."
"Aku tidak tahu seberapa besar, sampai ia menghinamu," Meg
mengaku.
"Dan aku tidak perlu pergi menjauh, tetapi boleh tetap di sini
dan berbahagia?boleh, bukan, Meg?"
Ini adalah kesempatan kedua untuk menyampaikan kata-kata
pidatonya, serta memperlihatkan caranya keluar dari situasi itu dengan anggun, tetapi Meg tidak pernah terpikir untuk melakukan
keduanya. Ia lantas mempermalukan dirinya selamanya di mata
Jo dengan berbisik pelan, "Ya, John," kemudian menyembunyikan
wajahnya pada jaket Mr. Brooke.
Lima belas menit setelah kepergian Bibi March, Jo menuruni
tangga pelan-pelan. Ia berhenti sebentar di muka pintu ruang duduk dan, mendengar tidak ada suara dari dalam, ia mengangguk
dan tersenyum, dengan ekspresi puas, lantas berkomentar kepada
dirinya sendiri, "Meg telah mengusirnya sesuai rencana, dan masalah itu selesai. Kini, aku akan mendengar kisahnya, dan tertawa
keras-keras."
Akan tetapi, Jo yang malang tidak bisa tertawa. Di ambang
pintu, ia terpaku melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya, dan ia pun menatap dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Bagi Jo, yang masuk untuk merayakan jatuhnya si musuh,
serta memuji keteguhan tekad kakaknya karena telah mengusir
kekasih yang tidak ia sukai, pemandangan yang dilihatnya benarbenar membuatnya terguncang; musuhnya duduk santai di sofa,
sedangkan kakaknya yang bertekad teguh duduk di pangkuan pria
itu, dengan ekspresi menyerah dan pasrah. Situasi di luar dugaan
itu sungguh-sungguh mengejutkannya hingga Jo terpekik, seakan
tubuhnya disiram seember air dingin. Mendengar suara aneh itu,
sepasang kekasih tersebut berpaling dan melihatnya. Meg melompat berdiri, tampak bangga sekaligus malu. Namun, "pria itu", begitu Jo memanggilnya, malah tertawa, dan berkata santai, sembari
mengecup tamu yang terguncang itu, "Adik Jo, berikan selamat
kepada kami!"
Kata-kata itu bagaikan garam ditaburkan pada luka yang terbuka! Tidak mungkin tertanggungkan! Dan, setelah memperlihatkan gerakan-gerakan ganjil dengan tangannya, Jo menghilang
tanpa kata. Ia bergegas ke atas, mengejutkan kedua pasien dengan
berseru-seru tragis sambil berlari masuk ke kamar, "Oh, seseorang
harus turun sekarang juga! John Brooke sedang bertingkah kacau,
dan Meg menyukainya!"
Mr. dan Mrs. March secepat kilat meninggalkan kamar. Sementara itu, Jo melemparkan dirinya ke tempat tidur, lantas menangis dan berkata-kata dengan gusar, sambil menceritakan kabar
buruk itu kepada Beth dan Amy. Namun begitu, kedua gadis kecil
tersebut justru menganggap peristiwa di bawah sebagai hal yang
menarik dan menyenangkan. Tidak mendapatkan penghiburan
apa pun dari keduanya, Jo mengungsi ke loteng, dan mencurahkan
isi hatinya kepada para tikus.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di ruang duduk pada sore
itu, tetapi ada banyak pembicaraan yang dilakukan. Mr. Brooke
yang pendiam membuat teman-temannya tercengang dengan keluwesannya berbicara, serta semangat yang diperlihatkannya saat
ia menyampaikan isi hatinya, rencananya, serta membujuk mereka
untuk mengatur segala sesuatunya sebagaimana yang ia harapkan.
Bel minum teh berbunyi sebelum ia selesai menggambarkan
surga yang ingin ia persembahkan kepada Meg. Dengan bangga,
Mr. Brooke menggandeng Meg untuk menyantap hidangan sore.
Keduanya tampak begitu bahagia, sampai Jo tidak tega untuk bersikap cemburu, ataupun menampakkan kekesalannya. Amy luar
biasa terkesan melihat dalamnya perasaan John, sekaligus sikap
Meg yang santun dan terhormat. Wajah Beth bersinar-sinar dari
kejauhan, sementara Mr. dan Mrs. March mengamati pasangan
muda itu dengan ekspresi lembut dan senang, sehingga jelaslah sudah bahwa Bibi March memang benar saat menjuluki mereka "tidak ada bedanya dengan dua orang bayi." Tidak ada yang makan
berlebihan, tetapi semua orang tampak riang. Ruangan tua itu pun,
secara ajaib, tampak lebih terang, seiring dengan mekarnya kisah
cinta pertama di keluarga March.
"Sekarang, kau tidak bisa berkata ?tidak satu pun hal menyenangkan terjadi,? ya, Meg?" kata Amy, mencoba memutuskan
bagaimana ia akan menempatkan pasangan merpati ini di dalam
sketsa yang ingin ia buat.
"Tidak, kuyakin tidak bisa. Betapa banyak yang telah terjadi
setelah aku mengucapkan kata-kata itu! Rasanya, sudah setahun
berlalu," jawab Meg, yang sedang berada di dalam sebuah mimpi
indah, dan terangkat jauh ke atas melebihi hal-hal biasa seperti roti
dan mentega.
"Kali ini, kebahagiaan demi kebahagiaan datang menggantikan
kesusahan. Kupikir, akan ada banyak perubahan dan semuanya
sedang dimulai," komentar Mrs. March. "Di dalam sebagian besar keluarga, berbagai peristiwa terjadi silih berganti dalam satu
tahun. Ini tahun yang sangat penting bagi kita, dan aku bersyukur
semuanya berakhir dengan baik."
"Mudah-mudahan tahun depan berakhir dengan lebih baik,"
gumam Jo. Amat sulit baginya melihat Meg begitu terserap perhatiannya terhadap seorang asing di hadapannya, karena hanya
ada beberapa orang yang sungguh-sungguh dicintai oleh Jo, dan
ia sangat takut akan kehilangan cinta mereka, atau jika cinta itu
berkurang.
"Semoga, tahun ketiga dari tahun ini akan berakhir jauh lebih
baik; maksudku, mungkin?apabila aku berhasil mewujudkan rencananku," timpal Mr. Brooke sambil tersenyum ke arah Meg, seakan segalanya sekarang telah menjadi mungkin baginya.
"Tidakkah itu terlalu lama untuk menunggu?" tanya Amy,
yang begitu tak sabar ingin segera menyaksikan sebuah pernikahan.
"Masih ada banyak sekali yang perlu kupelajari sebelum aku
benar-benar siap, tiga tahun justru akan terasa singkat bagiku," sahut Meg, dengan ekspresi manis yang selama ini belum pernah
tampak di wajahnya.
"Kau hanya perlu menunggu. Aku yang akan bekerja keras,"
kata John, mengawali kerjanya dengan memungut serbet Meg, dengan ekspresi yang membuat Jo menggeleng-gelengkan kepalanya.
Terdengar pintu depan terbanting, dan Jo pun berkata kepada dirinya sendiri dengan lega, "Ini Laurie datang; sekarang, barulah kita
akan bercakap-cakap dengan pikiran waras."
Tapi, Jo lagi-lagi keliru. Laurie datang dengan bersemangat,
meluap-luap dengan keriangan. Ia membawa buket bunga yang dirangkai dengan gaya pesta pernikahan untuk "Mrs. John Brooke",
Jelas, di kepalanya, ia menganggap jalinan percintaan itu terjadi
berkat pengaturannya yang luar biasa cerdik.
"Aku tahu Brooke akan melakukannya dengan caranya?ia
memang selalu begitu, sekali ia membuat keputusan akan sesuatu,
maka ia akan mewujudkannya, meskipun langit runtuh," terang
Laurie, setelah ia selesai mempersembahkan hadiah serta memberikan ucapan selamatnya.
"Terima kasih banyak atas rekomendasimu. Kuanggap hal itu
sebagai pertanda baik, dan dengan ini kau kuundang untuk menghadiri pernikahanku," ucap Mr. Brooke, yang sedang merasa begitu damai di hadapan seluruh umat manusia, termasuk di hadapan
muridnya yang badung itu.
"Aku pasti datang, bahkan kalaupun aku sedang berada di
ujung dunia. Ekspresi wajah Jo sendiri, pada hari itu, pastilah sepadan dengan perjalanan jauh yang harus kutempuh. Nona, kau
tidak tampak ceria; ada apakah?" tanya Laurie, mengekor Jo ke
sudut ruang duduk, di mana semua orang berkumpul untuk menyambut Mr. Laurence.
"Aku tidak menyetujui perjodohan ini, tetapi sudah kuputuskan aku akan menerimanya, dan tidak akan mengatakan apa pun
untuk menentangnya," kata Jo serius. "Kau tidak mengerti, betapa
berat bagiku untuk melepaskan Meg," lanjutnya. Suaranya sedikit
bergetar.
"Kau tidak menyerahkannya. Kau hanya membaginya," kata
Laurie, menghibur.
"Tetap saja, keadaannya tidak akan pernah sama lagi. Aku telah kehilangan sahabat terbaikku," keluh Jo.
"Kan kau masih memiliki aku. Aku tahu, aku tidak terlalu berharga. Tetapi aku akan selalu bersamamu, Jo, setiap hari sepanjang
hidupku; aku berjanji!" dan Laurie memang bersungguh-sungguh
akan ucapannya.
"Aku tahu kau bersungguh-sungguh dalam hal itu, dan aku sangat berterima kasih. Kau selalu berhasil menghiburku, Teddy,"
balas Jo, menjabat tangan Laurie dengan penuh rasa terima kasih.
"Yah, sekarang, jangan kesal lagi. Nah, begitu. Tidak apa-apa.
Ia pria yang baik dan Meg bahagia; Brooke akan sibuk dan tidak
lama kemudian menemukan tempat tinggal; Kakek akan mengawasinya, dan pasti akan sangat menyenangkan apabila kita dapat
bertamu, menemui Meg di rumah mungilnya sendiri. Kita akan
bersenang-senang setelah Meg pergi, kemudian tanpa terasa aku
akan sudah menyelesaikan kuliah, dan setelahnya kita akan pergi ke luar negeri, atau berjalan-jalan, atau apa pun. Tidakkah itu
mengasyikkan?"
"Ya, aku pikir pun begitu. Tapi tidak ada yang tahu apa yang
bisa terjadi dalam tiga tahun," kata Jo merenung.
"Betul sekali! Tidakkah kau berharap, kau bisa melihat ke masa
depan, dan mengetahui di mana kita masing-masing kelak? Aku
ingin sekali," kata Laurie.
"Aku tidak, karena aku mungkin akan melihat peristiwa-peristiwa menyedihkan, padahal semua orang tampak begitu bahagia
saat ini. Kurasa, situasi ini tidak bisa lebih sempurna lagi," dan
pandangan Jo pun perlahan mengitari ruangan. Sorot matanya pe
lan-pelan berubah menjadi berbinar-binar, karena situasi yang ada
menimbulkan kemungkinan-kemungkinan indah di masa depan.
Ayah dan Ibu duduk bersama, diam-diam menikmati kembali
bab pertama perjalanan kasih mereka, yang bermula sekitar dua
puluh tahun yang lalu. Amy sedang menggambar Meg dan Mr.
Brooke, yang duduk terpisah, dan sedang tenggelam di dalam dunia mereka sendiri. Cahaya dari dunia tersebut menyentuh wajah
keduanya dengan keindahan yang tidak bisa ditiru sang artis cilik.
Beth berbaring di sofanya sambil mengobrol riang dengan sahabat
tuanya, yang menggenggam tangan Beth seakan baginya tangan
itu adalah kekuatan yang akan membimbingnya melalui jalan damai yang Beth lalui. Jo sendiri mengambil tempat di kursi rendah
kesukaannya, dengan ekspresi serius dan pendiam yang menguasainya, sementara Laurie bersandar di belakang kursinya. Dagunya berada tepat di atas rambut ikal Jo. Laurie tersenyum lebar,
kemudian mengangguk ke arah Jo melalui sebuah kaca panjang
yang memantulkan bayangan mereka berdua.
Dengan ini, tirai pun diturunkan di atas kisah Meg, Jo, Beth,
dan Amy. Apakah tirai itu akan dibuka kembali, bergantung pada
reaksi yang nanti diterima oleh babak pertama dalam drama keluarga ini, yang kuberi judul Gadis-Gadis March."1
Terjemahan judul sebelumnya dari buku saduran Little Women (disadur dengan menggabungkan Little Women dan The Good Wives dalam satu
buku) terbitan GPU tahun 1996 adalah Empat Dara.
TAMAT
Seruling Haus Darah Hiat Tiok Sian Jin Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Panah Kekasih Karya Gu Long
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama