Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 12

Istana Hantu Karya Batara Bagian 12


"Cring-cringg!"

Uang tiba-tiba berhamburan, dilempar Lauw-wangwe.

"Aku juga ingin ikut main-main, orang she Ma. Entahlah kenapa tiba-tiba hatiku gatal melihat kemenanganmu ini. Hayo, aku juga lima puluh ribu hingga genap seratus ribu dengan punyamu!"

"Wangwe maju bertaruh?"

Si Copet tertegun.

"Wah, tak berani aku menerimanya, wangwe. Kau tuan rumah sedang aku tamu yang tak diundang!"

"Ha-ha, tak apa. Aku tertarik melihat dirimu, Ma Kiat. Dan aku sekarang mengundangmu. Kau tamuku yang paling istimewa!"

Dan ketika si Copet tertegun dan terbelalak mengerling suhengnya maka Lu Sam tertawa menggoyang pundi-pundi uang.

"Ma Kiat tak memiliki seratus ribu.

"Dia hanya memiliki setengahnya saja, karena yang setengah adalah bagianku. Bagaimana dia menerima tantanganmu, wangwe? Lagi pula sungkan rasanya berjudi dengan tuan rumah!"

"Benar,"

Si Copet teringat, tiba-tiba tertawa.

"Seratus ribu itu bukan punyaku semua, wangwe. Setengah dari jumlah itu telah dimiliki orang she Sam ini, sebagai upahnya menjadi hakim!"

"Hm, tak apa. Kami berdua sama-sama yang tak terlibat langsung. Kalau begitu kutantang dia untuk sama-sama mempertaruhkan yang lima puluh ribu itu. Kalau pun tak apa baginya karena uang itu toh hasil hadiah, pemberian cuma-cuma!"

"Ha-ha, bagaimana, Sam-heng (kakak Sam)? Kau berani menerima taruhan Lauw-wangwe ini?"

"Hm, bagaimana, ya?"

Lu Sam tertawa, pura- pura sayang dan menimang-nimang uang bagiannya itu.

"Aku pribadi tak pernah berjudi, wangwe. Tapi kalau ditantang tentu saja aku berani. Orang tuaku telah melatih keberanian dan semangat besar padaku!"

"Bagus, memang sudah kuduga!"

Dan Lauw- wangwe yang tertawa dan menyuruh ambil lagi uang lima puluh ribu lalu meletakkan uang itu di sudut panggung.

Kemudian berbisik dan bicara dengan rombongan Hek-bin hartawan ini tampak mengebut-ngebutkan lengan jubahnya.

Dan ketika Hek-bin dan teman-temannya berseri mengangguk-angguk maka si tinggi kurus meloncat naik menyuruh mundur si Ouw Sek itu.

"Wangwe menyuruhku maju. Kau turunlah!"

Orang she Ouw ini turun.

Dia terbelalak sejenak tapi tersenyum mendapat kedipan, meloncat turun dan sudah berhadapanlah Kiat Ma dengan si tinggi kurus itu.

Dan ketika si Copet tertawa dan diam-diam melirik suhengnya, Lu Sam, maka Lauw-wangwe berkelebat di atas panggung dan mengejutkan si Copet, karena gerakan hartawan itu sungguh amat cepat dan ringannya, tanda sebuah ilmu meringankan tubuh yang cukup membuat hati keder! "Orang she Ma, aku sebagai tuan rumah ingin memberimu arak selamat datang.

Ayolah, minum ini dan jangan buat aku malu di depan tamu-tamuku!"

"Eh-eh!"

Kiat Ma mundur-mundur, mukanya berubah.

"Aku... aku tak biasa minum arak, wangwe. Tersedak aku nanti!"

"Ha-ha, kau laki-laki, bukan perempuan. Kenapa takut dan enggan? Ayolah, minum secawan ini saja, orang she Ma. Atau kau sengaja menghinaku yang sungguh-sungguh ingin menghormatimu sebagai tamuku!"

Kiat Ma terpojok.

Lauw-wangwe memang sudah berkata bahwa sejak itu dia merupakan tamu undangan, bukan lagi tamu liar dan kini sebagai tamu undangan memang sewajarnya saja hartawan itu menyuguhkan arak.

Tapi karena dia tahu bahwa arak itu sudah tercampur obat dan memang si Copet ini sudah mengetahui adanya kecurangan di situ maka Kiat Ma tertegun dan bingung mundur-mundur, melihat cawan sudah disodorkan kepadanya dan Lauw-wangwe itupun maju terus.

Menolak terus berarti menghina tuan rumah, tak memberi penghargaan.

Dan ketika si Copet itu bingung dan pucat mukanya mendadak Lu Sam maju tergopoh-gopoh dan suhengnya yang menyamar sebagai orang biasa itu berkata.

"Wangwe, agaknya tak adil memberi arak pada orang she Ma ini saja. Bagaimana kalau dibagi juga dengan si tinggi kurus ini? Adalah adil jika penghargaan itu dibagi sama, wangwe. Baik ini maupun itu sama-sama mendapat setengah cawan!"

Lauw-wangwe tertegun. Dia tampak terkejut dan mengerutkan keningnya. Tapi Kiat Ma yang sudah merasa mendapat bantuan suhengnya tiba-tiba berseru.

"Benar, kalau begitu aku mau, wangwe. Biarlah sebagai laki-laki aku coba-coba menenggak arak, ha-ha!"

Hartawan ini tersudut. Akhirnya apa boleh buat dia mengangguk juga, tersenyum. Tapi ketika dia menyodorkan arak terlebih dulu pada si Copet tiba-tiba lelaki cerdik ini tertawa, menolak.

"Jangan aku dulu, biarlah kehormatan itu kuberikan pada lawanku dulu!"

"Hm!"

Hartawan ini gemas.

"Kau begitu licik dan pengecut? Baiklah, minum ini, Siu Pin. Dan tenggaklah setengah cawan!"

Arak terpaksa dibalik arahnya, diberikan pada si tinggi kurus itu dan Siu Pin atau si tinggi kurus ini tampak ragu.

Dia berubah mukanya tapi Lauw-wangwe tiba-tiba menyentil sebutir obat, langsung memasuki mulutnya.

Dan karena gerakan itu tak diketahui orang luar kecuali Soat Eng dan si kakek pengemis yang kebetulan duduk di atas pohon maka Soat Eng terkejut dan membelalakkan mata melihat kejadian ini.

"Keparat, kiranya ada apa-apa dengan arak itu! Eh, kau melihat perbuatan Lauw-wangwe itu, lo-kai? Kau melihat si tinggi kurus diberi obat?"

"Ha-ha, aku melihatnya!"

Si kakek pengemis tertawa bergelak.

"Dan justeru itulah kemenangan-kemenangan mereka diperoleh, nona. Barangkali kau sekarang tahu kenapa jagomu selalu keok!"

"Mereka diberi arak obat! Ah, tahu aku. Kiranya arak itu telah melemahkan tenaga dan kekuatan jago-jagoku!"

"Ha-ha, benar. Dan sekarang Kiat Ma bakal pecundang, nona. Kecuali kalau si Copet itu bersikap cerdik. Dan aku percaya kecerdikannya!"

"Apa yang akan dia lakukan?"

"Bantuan suhengnya itu, lihat!"

Dan Soat Eng yang menoleh dan cepat menengok tiba-tiba melihat Lu Sam bersikap sama cepat seperti hartawan she Lauw, menjentikkan sesuatu dan sinar hitam meluncur memasuki mulut temannya.

Tak ada yang tahu gerakan ini karena semua mata saat itu sedang melihat perbuatan Lauw-wangwe, memberikan arak pada si tinggi kurus itu.

Dan ketika sinar atau benda bulat kecil ini lenyap di mulut si Copet dan saat itu hartawan Lauw membalik dan memberikan sisa araknya pada laki-laki ini maka tanpa ragu atau takut si Copet itu sudah menerima araknya dan menenggak.

Namun apa yang terjadi? Baru sebagian arak itu memasuki mulut si Copet tiba-tiba Kiat Ma tersedak, batuk dan menyemprotlah arak dari mulutnya keluar membasahi baju hartawan she Lauw.

Dan ketika semua orang terkejut karena muka hartawan ini segera berubah maka seekor lalat terbang keluar melalui mulut si Copet itu, yang batuk terkekal-kekal.

"Huwaduh... ugh-ugh... celaka, wangwe. Arak ini tercampuri lalat. Mulut bau si kurus itu rupanya begitu busuk. Arak sisanya kemasukan lalat dan aku tak dapat meminumnya... ugh-ugh!"

Semua orang terkejut.

Mereka tiba-tiba geli dan ikut terpingkal-pingkal.

Lalat yang terbang dan keluar dari mulut si Copet sungguh membuat mereka geli.

Namun ketika Lauw- wangwe membentak dan semuanya diam maka hartawan ini merah mukanya memandang Kiat Ma, yang entah disengaja atau tidak telah membasahi bajunya! "Orang she Ma, kau terkutuk dan kurang ajar.

Kalau saja ini bukan di panggung lui-tai barangkali kau sudah menerima hukuman dariku.

Baiklah, kalian cepat bertanding dan siapa kalah dia harus segera menyingkir dari sini!"

Hartawan itu berkelebat turun, disambut leletan lidah di mulut si Copet, yang entah main-main atau sungguh-sungguh dengan perbuatannya itu.

Dan ketika dia mengangguk dan memutar tubuhnya maka si kurus sudah mengerotokkan buku jarinya mengancam dengan suara dingin.

"Orang she Ma, hati-hati saja kau kali ini. Awas kita mulai dan jaga seranganku!"

Dan begitu menubruk serta mengeluarkan bentakan keras tiba-tiba laki- laki itu sudah memulai pertandingan, maju berkelebat dan kesepuluh jari tangannya menyambar bagai kuku-kuku elang.

Kiat Ma mengelak dan serangan itu pun luput, mengelak dan serangan itu pun luput, mengenai angin kosong.

Tapi ketika lawan membalik dan menyerang lagi tiba-tiba dia sudah menghadapi hujan pukulan dan cengkeraman yang ganas dan berbahaya, susul-menyusul menghadang semua jalan larinya dan tak dapatlah si Copet ini menghindar.

Dia harus menangkis.

Dan ketika hal itu dilakukan dan dua tangan mereka beradu maka Kiat Ma terpental sementara lawan hanya terhuyung dan tergetar saja.

"Dukk!"

Kiat Ma terkejut. Dia merasa tenaga si kurus amatlah kuatnya, penasaran dan maju kembali. Dan ketika dia menyerang dan lawan menangkis maka lagi-lagi si Copet ini terpental.

"Duk-dukk!"

Kiat Ma terkejut. Si kurus tertawa menyeramkan dan berkerutlah kening si Copet melihat kenyataan itu. Dan ketika lawan membalas dan dia harus mengelak sana-sini maka untuk jurus-jurus pertama si Copet ini terdesak.

"Celaka, Lauw-wangwe benar-benar licik. Di samping memberikan obat penawar bius juga dia memberikan obat penambah tenaga. Aih, ini perbuatan curang Kim-siocia. Harus dicegah dan dibantu!"

Soat Eng terkejut.

"Dari mana kau tahu?"

"Lihat tenaga si kurus itu, bukankah dia bertambah hebat? Wah-wah, obat yang dimasukkan ke mulut si kurus itu ternyata berfungsi ganda, nona. Selain untuk menawarkan pengaruh arak juga merangsang atau menambah tenaga si kurus. Celaka, kalau begini Kiat Ma bisa kalah!"

Soat Eng terbelalak.

"Kau yakin?"

"Aih, kenapa ditanya lagi? Lihat si kurus itu kuat tenaganya, nona. Padahal dia sudah bertanding dua kali! Masa kau tidak ingat?"

Soat Eng sadar. Tiba-tiba dia ingat bahwa si kurus itu sudah bertanding dengan si pendek dan seorang lagi, jadi sudah dua kali naik panggung, ketiga dengan yang ini. Maka terheran tapi mengangguk-angguk gadis ini sadar, berkata.

"Kau betul. Mengherankan bahwa si kurus itu mampu bertanding secara maraton, lo-kai. Barangkali benar bahwa obat yang dijentikkan Lauw-wangwe tadi berfungsi menambah tenaganya. Aih, hartawan itu licik dan curang!"

"Dan Kiat Ma akan kalah. Wah, aku harus maju membantu!"

"Kau mau ke mana?"

Soat Eng terkejut, melihat orang bersiap turun.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Apakah kau mau ke panggung?"

"Benar, aku mau mengobrak-abrik perhatian Lauw-wangwe, nona. Agar si Copet itu menang!"

"Tak usah turun!"

Soat Eng mencegah.

"Aku sendiri dapat membantunya dari sini!"

"Kau?"

"Ya, kau mau lihat? Nih, buktikan!"

Dan Soat Eng yang menyentil sebutir kacang tiba-tiba menyerang belakang lutut si kurus, yang saat itu sedang tertawa-tawa dan mendesak lawannya.

Dan begitu benda bulat kecil ini mengenai sasarannya tiba-tiba si kurus menjerit dan terpelanting, pincang dan dia terkejut ketika kakinya sebelah kanan hampir tak bertenaga.

Soat Eng telah menotok jitu jalan darah hu-keng-hiatnya di belakang lutut itu, jalan darah yang akan membuat lawan tersentak dan berjengit, kaget karena lima per sepuluh bagian tenaganya hilang.

Dan ketika hal itu terjadi dan tentu saja si kurus ini terkesiap karena ketika dia meloncat bangun tahu-tahu kaki kanannya pincang maka lawan membentak keras menerjang dirinya, membalas dan melakukan pukulan-pukulan cepat dan jadilah keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat.

Si Copet tiba-tiba berada di atas angin dan Siu Pin atau lawannya terdesak mundur, terpincang-pincang menangkis tapi selalu dia terpelanting.

Dan ketika si kurus itu semakin pucat karena kaki kanannya akhirnya kaku tak dapat digerakkan maka sebuah pukulan lurus menghantam dadanya.

"Dess!"

Si kurus terlempar.

Dia hampir mencelat keluar panggung kalau saja secara kebetulan kakinya tidak tersangkut pinggiran lui-tai, beringsut dan maju lagi namun lawan berbalik terlalu lihai.

Kakinya yang pincang benar-benar merupakan gangguan bagi si kurus ini, terdesak dan dua tiga pukulan kembali mengenai tubuhnya.

Dan ketika dia terhuyung- huyung dan keadaan tidak menguntungkan itu tak dapat dirubah lagi tiba-tiba kaki lawannya menyapu kakinya itu dan mencelatlah si tinggi kurus ini keluar panggung.

"Ha-ha, cukup, kurus. Kau pergilah dan jangan di sini lagi... dess!"

Laki-laki itu mengeluh, jauh terlempar di sana dan dia berdebuk dengan keras.

Kiat Ma telah menyudahi pertandingan dengan manis, lawan dibuat tergeletak dan tak mampu di sana.

Dan ketika sorak tiba-tiba menggegap-gempita di kelompok si pendek, Sin Cek, maka Lu Sam bergulingan tertawa- tawa menyambar uang milik hartawan Lauw, kegirangan.

"Ha-ha, ini punyaku, wangwe. Sekarang punyaku!"

Sang hartawan tertegun.

Dia memang tidak mengira kekalahan itu, mendelong dan tertegun.

Tapi ketika dia menggeram dan menyuruh pembantunya maju maka dia menantang sekali lagi si Copet itu, menambah jumlah taruhan hingga seratus ribu tail.

Hartawan ini rupanya hendak menguras isi kocek si Copet.

Ouw Sek kali ini diperintahkannya maju.

Sekarang turun tangan si hartawan sudah beradu langsung dengan si Copet.

Dan ketika Kiat Ma tertegun dan ganti terkejut maka Ouw Sek sudah melayang naik dan berjungkir balik di atas panggung.

"Hayoh, Lauw-wangwe kini menantang langsung, orang she Ma. Kalahkan aku karena aku menggantikan temanku!"

"Tapi aku sudah bertanding dua kali. Mana kuat?"

"Ha-ha, kau takut? Kalau begitu serahkan semua uang itu, dan kau pergi!"

Namun Kiat Ma dan suhengnya yang tentu saja mempertahankan miliknya tiba-tiba tertawa menyambut.

"Baiklah... baiklah, orang she Ouw. Aku akan bertanding lagi tapi biar temanku ini menyimpan uangnya dulu!"

"Kau mau ke mana?"

Ouw Sek tiba-tiba membentak, melihat Lu Sam mengangguk dan sudah mau ngacir, membawa uangnya itu.

"Kau di sini tak boleh pergi, orang she Sam. Kecuali Lauw-wangwe atau aku memerintahmu!"

"Tapi aku tak mau bertaruh lagi. Aku ingin menikmati uangku ini!"

"Tak bisa. Kau tetap di sini atau kau akan dibunuh... srat!"

Ouw Sek mencabut goloknya, bhal yang mengejutkan semua orang karena pibu rupanya sudah bersifat lain, tidak lagi bertangan kosong melainkan bersenjata.

Dan ketika benar saja orang she Ouw itu tertawa bengis dan mendapat anggukan dari Lauw- wangwe maka dia berkata pada lawannya.

"Kali ini wangwe ingin melihat kita bertanding dengan senjata. Nah, cabut senjatamu dan kita tentukan darah siapa yang harus mengalir!"

"Wah, aku tak membawa senjata,"

Si Copet pura-pura pucat.

"Senjata bakal mengalirkan darah, orang she Ouw. Aku ngeri!"

"Ha-ha, kau takut?"

"Bukan takut, melainkan ngeri..."

"Sama saja. Kalau begitu serahkan uangmu itu dan kau selamat!"

"Ah, mana bisa? Tak adil! Belum bertempur pantang menyerah, orang she Ouw. Baiklah kulayani kau dan kupinjam dulu senjata siapa saja yang ada di sini!"

Kiat Ma meringis, membalikkan tubuh dan coba meminjam senjata siapa saja yang ada di situ.

Tapi begitu dia membalik dan semua orang tak ada yang memberikan senjatanya, takut pada pandang mata Lauw-wangwe yang tiba-tiba berkilat dan memandang mereka itu maka si Copet ini gagal mendapatkan senjata.

"Nih, kau pakai pedang ini!"

Lauw-wangwe tiba-tiba melontarkan sebatang pedang, mendesing dan menancap di kaki si Copet itu.

Kiat Ma hampir tertembus kakinya kalau tidak cepat-cepat menarik ke kiri.

Dan ketika Copet itu terkejut namun tertawa lebar, hal yang mengherankan serta mengagumkan semua orang maka Copet ini berkata, menjura pada Lauw-wangwe.

"Terima kasih. Satu kehormatan besar bagiku menerima pinjaman ini, wangwe. Mudah- mudahan menang dan doa restumu tetap bersamaku!"

"Tak perlu cerewet!"

Suara si hartawan mulai meninggi.

"Kau layani pembantuku itu, orang she Ma. Dan lekaslah roboh menghadap nenek moyangmu!"

"Hm,"

Lu Sam tiba-tiba berseru.

"Di mana uang taruhanmu, wangwe? Bolehkah diperlihatkan pada kami?"

"Kau minta aku menunjukkannya? Khawatir dan tak percaya?"

"Ah-ah, tidak. Bukan begitu, wangwe. Melainkan semata agar adil saja. Bukankah uang orang she Ma ini di sini? Aku diminta menjadi penjaga sekaligus hakim, tentu saja aku layak bertanya dan harus bersikap adil!"

Hartawan itu mendengus.

Dia menyurh orangnya mengambil uang lagi, kali ini bukan seratus ribu melainkan dua ratus ribu.

Dia menantang Lu Sam sekalian agar menggabung uangnya itu.

Dan ketika laki-laki ini terkejut dan membelalakkan mata maka Kiat Ma tertawa.

"Aneh sekali. Kenapa hakim atau wangwe harus ikut-ikutan bertaruh, wangwe? Bukankah seharusnya dia bersikap netral dan tidak memihak? Kalau kau menantangnya aku khawatir dia justeru berpihak padaku, membantu. Sebaiknya dia dibebaskan saja dan biar kita berdua bertaruh!"

"Aku tak perlu nasihatmu. Kalian berdua terima tantangan ini atau pergi secara baik-baik dan tinggalkan uang itu!"

"Wah, mana bisa? Kalau begitu baiklah, wangwe. Aku hanya mengikuti dan silahkan Sam-loheng (kakak Sam) menolak atau menerima kalau setuju!"

"Aku setuju, tapi... ah, aku jadi merinding. Uang sebanyak ini sungguh repot harus kubawa-bawa. Eh, aku ingin kencing! Wah, aku boleh pergi sebentar, wangwe? Pertandingan harap ditunda dan tunggu aku dulu!"

Dan tidak menunggu jawaban lawan karena sudah ngebet dan agaknya tak kuat menahan tiba- tiba Lu Sam sudah berlari menuruni panggung, menahan kancing celananya dan sejenak orang pun menjadi geli.

Tingkah yang lucu dan kocak dari orang she Sam ini membuat mereka tertawa.

Memang menggelikan kalau seorang wasit tiba-tiba ingin buang air kecil, padahal saat itu semua orang tertuju perhatiannya padanya.

Dan ketika Lu Sam menghilang di bawah dan Soat Eng melihat betapa laki-laki itu tiba-tiba berkelebat dan memasuki gedung si hartawan maka si pengemis yang ada di sampingnya terkekeh.

"Heh-heh, anak-anak yang nakal. Tapi pandai!"

"apa yang dia lakukan?"

"Wah, mana aku tahu? Tapi dapat kuduga, nona. Pasti ke peti uang!"

"Untuk apa?"

"Ssst, kau diam saja. Lihat dia sudah kembali!"

Dan ketika benar saja Lu Sam sudah kembali dan pura-pura mengancing celananya maka dia bergegas naik dan berlari-lari kecil di tangga adu pibu itu.

"Sudah... sudah... wah, hampir bocor di tengah jalan!"

Semua orang tertawa.

Soat Eng sendiri geli karena jelas mengetahui laki-laki itu tidak membuang hajat, justeru memasuki dan menggerayang rumah si hartawan.

Dan ketika laki-laki itu bersiap di sudut sementara golok di tangan Ouw Sek sudah diputar-putar dan mengancm mengerikan maka jago Lauw- wangwe ini berseru.

"Sekarang kita siap, awas seranganku.... wut!"

Dan golok yang membacok dengan bengis dan ganas tahu-tahu menyambar muka Kiat Ma, dielak tapi memburu lagi dengan cepat, membalik dan sudah bertubi-tubi melepas serangan lain.

Dan ketika apa boleh buat si Copet ini harus menangkis maka pedang pinjamannya bergerak dan menyambut bacokan golok.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Crakk!"

Pedang patah! Kiat Ma terkejut karena pedang pinjamannya ternyata rapuh, jelas bukan pedang yang baik dan bersoraklah pihak atau kelompok Ouw Sek.

Lauw-wangwe sendiri tampak tersenyum dan mengangguk geli.

Dan ketika Kiat Ma berteriak kaget dan harus mengelak serangan lain maka lawan sudah mengejar dan tertawa terbahak-bahak.

"Ha-ha, awas, orang she Ma. Kau mampus atau menyerah saja baik-baik!"

Kiat Ma mengeluarkan keringat dingin.

Tahulah dia bahwa lagi-lagi Lauw-wangwe berbuat licik, tak berhasil dengan araknya kini memberikan pedang rapuh.

Tampaknya berbaik hati dengan memberi pinjaman namun justeru sesungguhnya berniat mencelakakan! Si Copet merah mukanya dan Lu Sam pun terkejut, kaget oleh kejadian itu dan melihat sutenya sudah terdesak hebat.

Sebentar saja Kiat Ma ini harus mengelak atau mundur-mundur, sekali dua menangkis namun pedang lagi-lagi patah.

Kini tinggal separoh dan nyaris gagangnya saja yang dipegang si Copet ini! Dan ketika Kiat Ma bingung terdesak hebat sementara sang suheng terbelalak dengan muka pucat maka sebuah bacokan golok mengenai bahu si Copet ini.

"Brett!"

Kiat Ma menggigit bibir.

Dia mengaduh sejenak dan lawan pun sudah menyerang lagi, kian ganas dan berbahaya karena keluarnya darah seakan mengundang kebuasan laki-laki ini.

Dan ketika Kiat Ma harus mundur-mundur dan lawan minta agar dia menyerah, hal yang selalu disambut gelengan kepala maka di atas pohon kakek pengemis itu memaki-maki si hartawan.

"Busuk dan tak tahu malu. Aih, agaknya aku tak dapat tinggal diam lagi, nona. Lauw- wangwe menunjukkan kecurangannya yang memalukan. Dia sengaja memberi pedang yang tidak berguna!"

"Hm, kau mau turun?"

"Ya, sebelum bocah itu roboh. Atau kau mau menolong lagi?"

Soat Eng tersenyum.

"Kau duduklah, tenanglah. Kenapa seperti kambing kebakaran jenggot? Kalau sekarang aku tahu sepak terjang hartawan ini sungguh tak ada lain bagiku kecuali membantu si Copet itu, lo-kai. Kau diamlah di sini saja dan lihat apa yang akan kulakukan!"

"Tapi bocah itu harus cepat ditolong, dia sudah kewalahan!"

"Hm, kenapa memberi tahu aku? Tanpa diberi tahu aku sudah tahu, lo-kai. Kau lihatlah ini dan biar si sombong itu kuberi ganjaran... wut!"

Sebutir kacang kembali menyambar, cepat dan luar biasa dan mata tua kakek itu hampir tak melihat.

Demikian cepat dan luar biasanya biji kacang itu disentil, hanya tampak sebuah sinar hitam menuju ke bawah.

Dan ketika di bawah terdengar jeritan karena tepat sekali benda kecil itu menotok belakang lutut Ouw Sek, yang tentu saja tak menduga dan mengira maka laki-laki itu tiba-tiba roboh dan terpelanting bergulingan, berkaok-kaok karena kakinya mati separuh.

Kaki kiri itu tak dapat digerakkan dan Kiat Ma tertegun.

Sebenarnya dua kali si Copet ini dibuat heran oleh hal-hal seperti itu, robohnya lawan dan menjerit- jeritnya oleh sesuatu yang tak dimengerti.

Namun karena itu merupakan kesempatan baik baginya dan tentu saja si Copet tak menyia- nyiakan kesempatan maka dia menubruk dan tertawa bergelak, membalas, menusuk dengan pedangnya yang tinggal separoh.

"Ha-ha, kau kemasukan setan, orang she Ouw. Kualat kau dan kini terima pembalasanku.... cret!"

Pedang buntung itu mengenai pangkal paha, tidak menusuk terlalu dalam tapi cukup membuat orang she Ouw itu mengaduh.

Kiat Ma kini tertawa-tawa membalas lawannya, mengejar dan kembali sebuah tusukan mengenai pundak lawannya.

Dan ketika Ouw Sek berteriak-teriak karena satu kakinya benar-benar tak dapat digerakkan lagi, kaku dan mengganggu gerakannya akhirnya dia menjerit ketika pergelangan tangannya ditusuk, golok terlepas dan satu ayunan kaki dari si Copet membuat laki-laki itu terlempar keluar panggung.

Dan ketika tubuh orang she Ouw itu berdebuk dan pertandingan selesai, si Copet terbahak-bahak dan gembira bukan main maka Lauw-wangwe tersentak dan bangkit dari kursinya.

"Brukk!"

Tubuh orang she Ouw itu menggeliat di tanah.

Laki-laki ini tak dapat bergerak lagi karena seluruh tubuhnya lemah.

Dia tak dapat berbuat apa-apa selain merintih dan mengeluh.

Namun ketika sebuah bayangan berkelebat dan menendang tubuh laki-laki ini maka Ouw Sek menjerit dan roboh telungkup, pingsan mengejutkan semua orang dan Lauw-wangwe telah berdiri di situ.

Hartawan ini marah bukan main karena kekalahannya itu membuat sekian ratus ribu uangnya amblas.

Hartawan ini merah padam dan berkerot-kerot, kumisnya naik turun dan terdengarlah geraman pendek yang keluar dari mulutnya.

Dan ketika semua tertegun dan pucat mukanya, melihat kemarahan besar hartawan ini maka Lauw- wangwe membentak si Copet.

"Orang she Ma, sekarang aku yang akan maju menghadapimu. Kau lihai benar, dua kali dapat merobohkan jago-jagoku. Hm, sekarang kau hadapilah aku, orang she Ma. Dan kita bertaruh empat ratus ribu tail!"

"Wangwe...!"

Kiat Ma terpekik.

"Kau mau membunuh aku? Kau tidak menyuruh aku beristirahat dulu?"

"Hm, orang lihai macammu tak perlu beristirahat, orang she Ma. Kecuali kemenanganmu tadi tidaklah murni karena kau dibantu seseorang. Ayo majulah, perlihatkan kepandaianmu dan aku akan merobohkanmu tak lebih dari sepuluh jurus!"

"Wangwe...!"

Si Copet terpekik lagi, pucat.

"Kau tak main-main? Kau memaksa aku?"

"Hm, tak perlu banyak cakap. Kau majulah dan aku bertangan kosong, kau bersenjata!"

Si Copet gentar. Melihat kemarahan dan kemurkaan si hartawan ini tiba-tiba saja dia menggigil. Tapi sebelum dia bicara tiba-tiba suhengnya melompat maju, berkata terbata- bata.

"Wangwe, tanding boleh tanding. Tapi keluarkan dulu uang taruhanmu!"

"Keparat!"

Hartawan ini mengibas.

"Kau tak mempercayai aku, tikus busuk? Lihatlah, pembantuku akan mengeluarkan uang itu dan kau sebaiknya turun dari panggung.... bress!"

Lu Sam menjerit, roboh keluar panggung dan berteriaklah laki-laki itu bergulingan di sana.

Dia terlempar dari panggung yang tinggi namun untunglah tidak cidera, hal yang mengherankan hartawan ini.

Namun ketika Lauw-wangwe sudah memerintahkan pembantunya untuk mengambil uang itu, menghadapi kembali si Copet maka hartawan ini menggeram.

"Orang she Ma, kulihat sebenarnya kepandaianmu biasa-biasa saja. Tapi aneh bahwa jago-jagoku kalah. Hm, kau mencurigakan, aku ingin tahu apa sebenarnya di belakang ini dan kau bersiaplah!"

"Tunggu... tunggu...!"

Lu Sam tiba-tiba melompat bangun, berlari menaiki panggung lui-tai itu.

"Tak boleh bertanding kalau tak ada uang taruhannya, wangwe. Jangan bersikap seperti perampok yang mau mengganyang harta milik orang lain!"

Lauw-wangwe mendelik.

Hampir saja dia melepas pukulan menghajar dari jauh kalau tidak terdengar teriakan pembantunya yang aneh, yang berlari-lari dan berteriak bahwa uangnya tak ada, hilang berikut petinya.

Dan ketika hartawan itu tertegun dan berseru tertahan, kaget dan berubah mukanya maka pembantunya itu menjatuhkan diri berlutut, tergagap-gagap.

"Wangwe, am... ampun. U... uang itu tak ada di tempatnya. Hi... hilang...!"

"Apa?"

Sang hartawan berkelebat, menyambar leher pembantunya ini.

"Hilang? Kau maksudkan uang itu tak ada di tempatnya? Lenyap seperti siluman?"

"Beb... benar, wangwe. Uang itu hilang. Ada... ada siluman di sini...!" **SF** (Bersambung

Jilid 19) Bantargebang, 05-12-2018,16.31 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 19 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 19 * * * "PLAK-PLAK!"

Sang hartawan menampar pembantunya ini, mengeluarkan satu bentakan kaget. Dan ketika sang pembantu menjerit dan berteriak mengaduh, giginya rontok empat buah maka Lauw-wangwe menendang dan memaki pembantunya itu.

"Keparat bodoh! Kau jahanam busuk, A-seng. Kalau begitu pergi dan biar kulihat sendiri.... des-plak!"

Dan sang hartawan yang kembali menendang dan menampar pembantunya tiba- tiba membuat A-seng, laki-laki itu, terlempar dan menjerit roboh, terguling-guling dan tidak bergerak lagi di sana karena tewas.

Isi dadanyaa pecah dihantam kaki Lauw-wangwe tadi, sebuah tendangan maut! Dan ketika semua orang geger karena satu jiwa telah melayang maka di sana Lauw-wangwe sendiri sudah lenyap memasuki gedungnya, merah padam karena kaget sekali mendengar peti uangnya tidak ada di tempat.

Di dalam kamarnya itu dia menyimpan tak kurang dari sepuluh peti uang, semuanya penuh dan amat banyak.

Dan ketika hartawan itu tiba di kamarnya dan benar saja melihat lemari kamarnya terbuka, isinya tak ada sama sekali maka hartawan ini menggereng dan tiba-tiba meremas hancur lengan kursi yang dipegangnya.

"Bedebah, keparat terkutuk... kress!"

Kursi itu hancur, lantak menjadi tepung dan hartawan ini berkelebat kembali keluar.

Di sana orang- orang sudah mulai hiruk-pikuk dan gaduh oleh mayat A-seng.

Mereka itu pucat oleh gusarnya hartawan ini.

Dan ketika sang hartawan berkelebat keluar dan melayang ke atas panggung maka sesosok bayangan lain muncul dan berkelebat pula.

"Ayah, ada apa?"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Seorang pemuda muncul.

Sama seperti Lauw- wangwe ini pemuda itu pun memiliki gerakan yang ringan dan cepat, tahu-tahu sudah di atas panggung.

Dialah Lauw Sun putera Lauw- wangwe, pengantin laki-laki yang sejak tadi berada di dalam, kini terpaksa keluar karena ayahnya tak masuk juga, mendengar keributan dan kegaduhan itu.

Dan ketika pemuda ini keluar sementara matanya membentur mayat A-seng maka Lauw Sun tertegun dan bertanya pada ayahnya itu.

"Di sini ada siluman jahanam. Uangku habis disikat!"

"Maksud ayah dicuri?"

"Benar, dan kau tolong ayahmu membekuk jahanam itu, Sun-ji (anak Sun). Cari dan suruh orang-orang kita menemukan si keparat itu!"

"Dan dua orang ini, hmm.... siapa mereka?"

"Mereka Ma Kiat dan Sam Lu, orang-orang busuk. Gara-gara merekalah aku kehilangan banyak uang dan mendapat malu!"

Dan sang hartawan yang membentak dan berkelebat maju tiba-tiba menendang Lu Sam yang kontan menjerit terlempar dari panggung, harus berpura-pura tak pandai silat tapi di bawah panggung laki-laki ini sudah menggulingkan tubuhnya dengan lihai, memasang pundaknya hingga tidak sampai cidera.

Dan ketika keadaan menjadi ribut lagi dan laki-laki itu meloncat bangun maka dia berteriak agar sutenya lari, sudah mengambil kantong uangnya.

"Aih, Lauw-wangwe murka. Lari...!"

Kiat Ma bergerak.

Dia sudah melihat keadaan yang tidak menguntungkan, cepat menyambar hasil kemenangannya dan membawa lari uangnya itu, berkelebat dan meloncat turun.

Tapi baru dia bergerak dan tiba di bawah panggung tahu-tahu hartawan itu sudah berkelebat dan berdiri di depannya.

"Kau mau ke mana? Lari? Hm, tak ada jalan, orang she Ma. Bertanding dulu atau serahkan uang itu kepadaku!"

"Tapi... tapi... eh!"

Kiat Ma terkejut.

"Ini uang- uangku sendiri, wangwe. Bukan hasil rampokan atau mencuri. Aku ingin pergi!"

"Begitu enak? Boleh kalau kau serahkan semua uang itu, tikus busuk. Karena uang itu adalah milikku!"

Si hartawan mendengus.

Tapi belum dia selesai bicara tiba-tiba si Copet ini menerjang, melepas satu pukulan miring dan dihantamlah hartawan itu dengan bentakan pucat.

Kiat Ma marah namun juga gentar menghadapi hartawan ini, terlihat dari gerak- geriknya yang gugup.

Tapi begitu si hartawan mengeluarkan suara dari hidung dan tidak mengelak tiba-tiba pukulan si Copet diterima dan....

Kiat Ma menjerit, terpelanting.

"Bukk... aduh!"

Si Copet terguling-guling.

Ternyata dia seakan menghantam tubuh dari baja, mental dan pukulannya membalik sendiri.

Dan ketika laki- laki itu mengaduh dan berteriak bergulingan maka sang hartawan sudah berkelebat menyambar buntalan uang dari kempitan si Copet, menampar dan si Copet berusaha keras untuk mengelak.

Buntalan tertarik namun si Copet menahan, tak ayal tiba-tiba pecah dan robek isinya.

Dan ketika semua uang emas berhamburan dan Lauw-wangwe membentak marah maka satu tendangan kuat menyapu pinggang si Copet ini.

"Keparat... dess!"

Si Copet mengeluh.

Dia terbanting dan terlempar lagi terguling-guling, pinggangnya seakan patah dan Lauw-wangwe sudah menyuruh orangnya untuk mengambil semua uang-uang yang berceceran itu.

Dan ketika hartawan itu menjadi berang sementara kekacauan sudah terjadi di antara penonton atau para tamu maka di sana Lu Sam atau yang membalik namanya sebagai Sam Lu itu dikejar dan dibentak Lauw Sun, putera sang hartawan yang sudah mendapat perintah ayahnya agar tidak melepaskan dua orang ini.

"He, kau!"

Putera hartawan itu berseru.

"Lepaskan buntalan di punggungmu, orang she Sam. Dan berhenti atau kau kurobohkan!"

"Aku tak ada urusan apa-apa lagi. Aku tak bersalah, aku ingin pergi... eitt!"

Dan Lu Sam yang terpekik melihat sebuah bayangan menyambar tiba-tiba berhenti karena putera si hartawan sudah berkelebat di depannya, menghadang jalan larinya dan terkejutlah suheng dari si Copet ini.

Dan ketika dia tertegun dan menjublak kaget maka putera Lauw-wangwe itu sudah menyambar kantong uangnya.

"Serahkan padaku!"

Lu Sam terkesiap.

Dia mengelak dan sambaran Lauw-kongcu (tuan muda Lauw) luput, menjejakkan kaki dan tiba-tiba suheng dari Kiat Ma ini tak menyembunyikan kepandaiannya lagi, berkelebat dan meluncurlah dia di bawah ketiak lawan.

Dan ketika lawan terkejut karena laki-laki itu lolos dan kabur maka muncul tiga laki-laki berpakaian hitam yang menuding Lu Sam dan sutenya ini.

"Mereka Jing-ci-cu-siang! Hei, awas, Lauw- wangwe. Lawanmu itu adalah si Copet Jari Seribu sedang ini adalah suhengnya!"

Terkejutlah hartawan she Lauw.

Saat itu dia sedang menghajar Kiat Ma, copet ini ditendang pulang-balik dan berteriak terguling-guling.

Maka begitu dia mendengar bahwa lawannya adalah Jing-ci-cu-siang alias Sepasang Copet Seribu Jari dan mereka berdua ini kiranya adalah copet-copet lihai di mana tiba-tiba dia bercuriga bahwa jangan-jangan uangnya yang hilang itu disambar copet-copet ini maka hartawan itu menjadi marah besar dan membentak berang.

"Kau kiranya Jing-ci-cu-siang? Dan itu suhengmu si keparat? Bedebah, kau harus mampus, copet busuk. Aku akan membunuhmu dan membuatmu tidak ingat sorga!"

Lauw-wangwe marah sekali, berkelebat dan menghantam lawannya dan menjeritlah Kiat Ma oleh pukulan si hartawan ini.

Keramaian pesta tiba-tiba berubah menjadi ajang keributan, si Copet terlempar dan terbanting roboh.

Dan ketika dia mencoba bangun namun lawan berkelebat maju tiba-tiba tangan kiri hartawan itu telah mencengkeram tengkuk si Copet ini.

"Kembalikan uangku, dan setelah itu kau mati baik-baik!"

"Aduh!"

Si Copet berteriak ngeri.

"Lepaskan aku, wangwe. Aku tak tahu apa-apa. Lepaskan!"

"Hm!"

Si hartawan menggeram, menggencet jalan darah di belakang telinga.

"Aku akan melepaskanmu kalau baik-baik kau mengembalikan uangku, copet hina. Hayo katakan padaku di mana uangku itu!"

"Aku tak tahu. Aku tak mengerti kata-katamu!"

"Hm, uangku hilang. Pasti kau atau suhengmu itu yang mengambil!"

"Oh, aku tak tahu apa-apa, wangwe. Kau lihat sendiri bahwa aku selalu di atas panggung!"

"Tapi tadi suhengmu turun. Kalian berdua pasti kong-kalikong!"

"Tidak... tidak! Aku... ohh!"

Dan si Copet yang menjerit dipencet jalan darahnya tiba-tiba berteriak dan menggelepar, sakit dan hangus tengkuknya karena si hartawan mengerahkan singkang panas, membakar dan membuat tubuh si Copet melepuh! Dan ketika copet itu berteriak-teriak sementara tiga laki-laki baju hitam yang tadi meneriaki Lauw-wangwe sudah mendekat datang maka tampaklah mereka siapa kiranya.

"Kwi-san-sam-houw, keparat!"

Kiat Ma berseru terbelalak.

"Kiranya kalian, harimau-harimau pecundang. Kalian tak tahu malu datang ke sini!"

"Ha-ha, bagus!"

Twa-houw (Harimau Tertua) tertawa bergelak, terpincang-pincang.

"Inilah pencopet yang harus dihukum berat, wangwe. Uangmu diambil dia ini atau suhengnya!"

"Tidak, aku tak tahu apa-apa. Kalian.... ohh!"

Dan Kiat Ma yang kembali menjerit dan berteriak kesakitan tiba-tiba dibanting dan diinjak tubuhnya.

Lauw-wangwe menyambar pedang dan bertanyalah hartawan itu hukuman apa kiranya yang paling pantas diberikan pada lawannya itu.

Dan ketika Twa-houw berkata bahwa sebaiknya hartawan itu membacok putus tangan si copet, karena itulah bagian yang paling menjijikkan dari lawannya ini maka tanpa pikir panjang hartawan itu sudah menggerakkan pedangnya.

"Baiklah, dia tak akan mampus. Masih bisa bicara untuk menunjukkan di mana uangku itu... wut!"

Dan pedang yang terayun ganas ke tangan si Copet tiba-tiba siap membuntungi pergelangan si copet ini, tentu saja disambut jeritan dan kengerian Kiat Ma.

Laki-laki ini merasa tangannya bakal putus dibabat pedang.

Tapi ketika pedang menyambar ke bawah dan siap menetak keji sekonyong-konyong terdengar bentakan dan menyambarnya sebutir kerikil hitam, disusul berkelebatnya sesosok bayangan dan Kwi-san-sam-houw terpekik kaget ketika tubuh mereka tahu-tahu terlempar.

Entah dari mana datangnya tiba- tiba mereka sudah dihantam sebuah tendangan berputar oleh seorang kakek pengemis, yang tampaknya meluncur dan turun dari langit! Dan ketika mereka terlempar sementara kerikil hitam sudah membentur pedang di tangan Lauw-wangwe, yang siap menabas buntung tangan si copet tiba-tiba saja tendangan kakek itu masih diteruskan dan tepat mengenai pergelangan hartawan she Lauw ini.

"Des-des-plak!"

Lauw-wangwe terkejut.

Dia tergetar dan mundur terhuyung, pedangnya hampir terlepas namun hartawan ini masih sanggup mencekal erat, tanda si hartawan memang bukan orang sembarangan.

Dan ketika kakek yang menendang itu berjungkir balik dan sudah menarik Kiat Ma, yang nyaris dan buntung tangannya maka Lauw-wangwe tertegun melihat siapa yang datang, juga seruan si Copet yang tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Suhu...!"

Sang hartawan tertegun.

"Kau?"

Pertanyaannya pendek.

"Kau datang mengacau di sini, Sin-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Sakti)? Dan tikus busuk ini muridmu?"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha-ha, tak ada yang busuk. Muridku harum dan bersih, Lauw-wangwe. Memang benar aku datang tapi bukan untuk mengacau!"

"Keparat jahanam!"

Lauw-wangwe membentak.

"Kau bisa bilang tidak mengacau namun jelas menyuruh muridmu ini mencuri uangku? Kau bilang muridmu bersih dan harum padahal dia menyambar harta milik orang lain? Bedebah, kau di mana-mana selalu mengganggu dan merusak acaraku, Lo-kai. Kau tak dapat diampuni lagi dan pantas dibunuh!"

Sang hartawan menggerakkan sepasang tangannya, meledak dan melakukan pukulan jarak jauh. Namun ketika si kakek terkekeh-kekeh dan mengelak, menendang muridnya agar menjauhi tempat itu maka pukulan dahysat Lauw-wangwe mengenai tempat di belakang.

"Dess!"

Tanah dan batu berhamburan.

Sin-tung Lo-kai sudah meloncat tinggi dan berjungkir balik, turun ke bahwa namun lawan sudah membentak dan mengejarnya.

Kali ini Lauw- wangwe berkelebat dan menyusuli serangannya yang gagal dengan serangan baru, dua pukulan sinkang yang berkeredep mengeluarkan cahaya kebiruan.

Dan ketika si kakek terpaksa menangkis dan mengangkat kedua tangannya untuk menahan ternyata kakek ini terpental dan masih tak sanggup menandingi kekuatan lawannya.

"Bress!"

Lo-kai si pengemis tua bergulingan menjauh.

Lauw-wangwe menggeram dan sudah maju lagi, tak memberi kesempatan dan bertubi- tubilah serangan demi serangan mengejar si kakek pengemis itu.

Kiat Ma terbelalak namun sudah disuruh gurunya pergi, ternyata kakek ini adalah suhu atau guru dari sepasang copet itu, Sin-tung Lo-kai yang sebetulnya cukup terkenal di daerah selatan.

Maka begitu sadar dan melihat gurunya sudah bertanding melawan hartawan she Lauw maka laki-laki ini teringat Kwi-san Sam-houw yang tadi membuka rahasianya, melihat tiga harimau itu terpincang-pincang mau kabur, karena mereka sesungguhnya masih cidera oleh hajaran Soat Eng di restoran.

"Heii...!"

Si Copet membentak.

"Jangan kalian lari, Sam-houw. Tadi kalian menyuruh aku dibunuh dan sekarang aku ingin membalas kelakuan kalian. Marilah, kita main-main sebentar dan aku ingin menggebuk kalian bertiga.... buk-buk-buk!"

Dan Kiat Ma yang ternyata sudah mematahkan sebuah kaki kursi dan mempergunakan potongan kayu ini sebagai tongkat tiba-tiba telah menghajar berturut-turut punggung tiga orang lawannya itu, yang menjerit dan terpelanting roboh dan segeralah si Copet ini mengejar lawan, bak- bik-buk menjatuhkan pukulan namun saat itu tiba-tiba berlompatan bayangan Hek-bin dan kawan-kawannya.

Si muka hitam ini telah melihat pertandingan Lauw-wangwe dan diminta agar mencegah lolosnya sepasang copet itu, melihat Kiat Ma yang paling dekat dan sudah menghajar Kwi-san Sam-houw, yang sebenarnya adalah antek atau pembantu Lauw-wangwe, karena hartawan itu sering menampung atau menadah barang-barang rampokan, hal yang tentu saja tak diketahui orang luar! Maka ketika Kiat Ma menggebuki Tiga Harimau Kwi-san itu sementara si harimau berteriak-teriak tak dapat mengadakan perlawanan dengan baik, karena mereka masih cidera oleh hajaran Soat Eng maka Hek-bin dan teman-temannya meluruk menerjang si Copet ini.

"Keparat kau, lepaskan teman kami!"

Kiat Ma terkejut. Dia membalik dan menangkis serangan enam orang itu namun terpental, tongkat kursinya bahkan terbacok kutung. Dan ketika si Copet terkejut dan berseru keras maka Sam-houw membalik dan kini berani menerjang si Copet itu.

"Rasakan, sekarang kami mengejar-ngejar dirimu, tikus buduk. Kau tak akan kami lepaskan dan pasti terbunuh!"

Kiat Ma sibuk.

Laki-laki ini terpaksa berloncatan ke sana ke mari sambil mencari senjata baru, kebetulan menemukan bangku pendek yang cepat diangkat dan dijadikan senjata.

Dan ketika kursi buntung juga disambar dan bergeraklah si Copet ini berkelebatan mengimbangi lawan maka tertahanlah sembilan pengeroyoknya itu untuk sejenak.

"Ha-ha, lihat. Aku tak mungkin terbunuh, Twa- houw. Justeru kalian yang akan kurobohkan dan kupanggang seperti babi!"

"Mulut tajam... sringg!"

Dan golok di tangan Twa-houw yang luput menyambar lawan sudah bergerak kembali ketika memutar setengah jalan, dibantu delapan yang lain namun si Copet lincah menari-nari.

Kiat Ma mampu menjaga diri dengan baik, nyata bahwa ilmu silatnya boleh juga.

Tapi karena dia sudah bertanding berkali-kali dan hajaran Lauw- wangwe itu juga masih membuatnya pedih dan nyeri maka gerakannya akhirnya tak setangkas semula, mulai menerima satu dua tikaman dan baju si Copet ini robek-robek.

Kiat Ma gugup namun dia masih memperlihatkan keberanian yang besar, pantang mundur kalau hanya menghadapi orang-orang begini saja.

Tapi ketika sebuah bacokan golok menyerempet pundaknya dan sang guru rupanya melihat itu maka Sin-tung Lo-kai berteriak.

"Hei, dengar kataku, Kiat Ma. Pergi dan jangan di sini lagi!"

"Tapi suheng masih belum kutemukan. Aku masih harus mencarinya!"

"Goblok! Dia di samping gedung ini, bocah. Lihat siapa di sana yang menyambar-nyambar itu!"

Lo-kai membentak muridnya, marah dan mendongkol karena sang murid tak mau menurut perintahnya.

Kiranya murid ini mencari-cari suhengnya, boleh pergi tapi harus bersama-sama.

Dan ketika Kiat Ma menoleh dan melihat sebuah bayangan kuning menyambar-nyambar dan melengking di sana maka Copet ini tertegun namun berseri-seri.

"Hei, dia gadis yang lihai itu. Benar dia!"

"Dan kau tak segera pergi? Bodoh, aku menahan semuanya di sini, Kiat Ma. Dan bawa cepat semua hasilmu itu!"

"Tapi suheng membawa harta karun Lauw- wangwe ini. Masa aku harus pergi begitu saja, suhu?"

"Kalau begitu bantu suhengmu, tunggu aku di tempat yang telah dijanjikan!"

"Baik!"

Dan si Copet yang tertawa mengelak sebuah tikaman tiba-tiba mengayun kakinya dari bawah menyerampang lawan, berputar dan bangku serta kursi rusak di tangannya tiba-tiba dilempar, semuanya menuju pada Kwi-san Sam-houw dan kawan-kawannya itu.

Dan ketika mereka berteriak karena tentu saja tak mau ditimpa kursi maka si Copet melejit dan menyelinap keluar.

"Ha-ha, terima kasih, suhu. Tapi hati-hati!"

"Tak perlu cerewet. Aku dapat menjaga diriku, anak tengik. Hayo pergi dan suruh gadis itu ke sini!"

Kiat Ma sudah meninggalkan lawan-lawannya.

Di sana terdengar teriakan gaduh dan keributan yang lebih besar.

Bayangan kuning menyambar-nyambar dan di mana bayangan ini tiba pasti di situ seorang musuh atau lebih terpelanting dan roboh tak keruan.

Dialah Soat Eng yang tadi menolong Lu Sam, membagi tugas bersama si pengemis karena mereka tak dapat membiarkan lagi dua orang di bahwa itu menjadi sasaran kemarahan Lauw-wangwe.

Si pengemis sudah berkata bahwa Lauw-wangwe adalah bagiannya, Soat Eng diminta untuk menyelamatkan si Lu Sam itu.

Maka begitu si kakek pengemis melayang ke bawah sementara gadis ini sudah berkelebat dengan Jing-sian-engnya hingga semua orang terkejut ketika sesosok bayangan kuning tahu-tahu menyambar mereka maka Soat Eng sudah menyibak dan menampar semua orang untuk membebaskan Lu Sam, yang saat itu terdesak hebat oleh pukulan-pukulan Lauw Sun, putera Lauw-wangwe.

"Kalian minggir, jangan di sini... plak-plak- plak!"

Soat Eng membuat terkejut orang-orang itu, yang berteriak dan terlempar oleh tamparan atau sentuhan jari-jarinya yang halus.

Dan ketika mereka berpelantingan tak keruan sementara Soat Eng terus menyambar dan menuju pada Lauw-kongcu yang merangsek lawannya ini maka tepat sekali gadis itu menangkis sebuah pukulan yang hampir saja mengenai dahi Lu Sam.

"Jangan bersikap kejam... duk!"

Lauw Sun terkejut, terpental ke belakang dan kontan pemuda itu menjerit karena Soat Eng mempergunakan Khi-bal-sin-kang.

Pukulan Bola Karet ini menolak balik hantaman si pemuda, tak dapat ditahan dan Lauw Sun berteriak terguling-guling.

Dan ketika pemuda itu meloncat bangun dan tertegun namun marah melihat hadirnya seorang gadis cantik, yang tenaganya begitu luar biasa hingga dia seakan tersengat listrik maka pemuda ini membentak dan maju lagi, marah tapi juga heran dan untuk kedua kalinya dia melepas penasaran.

Tapi begitu Soat Eng menjengek dan menangkis pukulannya maka gadis ini mendorong Lu Sam sementara mulutnya berkata pendek.

"Kau jangan di sini lagi. Berikan pemuda ini padaku... dukk!"

Lauw Sun mencelat, kali ini bahkan terbanting dan terlempar lebih jauh, kaget dan marah bukan main karena sadarlah dia bahwa seorang gadis yang betul-betul lihai sedang dihadapinya.

Pemuda itu marah dan mencabut pedangnya.

Dan ketika dia membentak dan menyuruh anak buah ayahnya maju menerjang, mengeroyok gadis itu maka Lu Sam melongo dan kagum bukan main karena gadis yang segera dikenalnya sebagai gadis di restoran itu membagi-bagi pukulan dan berkelebatan seperti walet menyambar- nyambar, tak dapat diikuti mata.

"Boleh kalian maju, dan lihat seberapa kuat kalian dapat bertahan... des-des-dess!"

Dan Soat Eng yang dengan mudah menghajar orang-orang itu akhirnya mendapat bentakan dari belakang ketika sebatang pedang mendesing panjang, menusuk dari belakang dan Lu Sam berteriak memperingatkan.

Laki- laki itu jadi melongo tapi kaget melihat serangan Lauw Sun, berseru tapi Soat Eng sebenarnya sudah tahu.

Pendengarannya yang tajam melebihi apapun dapat menangkap gerakan pedang itu.

Maka begitu dia membalik dan menyentil ke belakang tiba-tiba pedang si pemuda mencelat dan Lauw Sun sendiri terpekik membanting tubuh bergulingan karena pedangnya sendiri ganti membabat dan menuju kepalanya.

"Crass!"

Rambut pemuda ini terbabat.

Lauw Sun mengeluarkan keringat dingin ketika melompat bangun, sudah menyuruh anak buahnya menyerang lagi sementara dia pun diam-diam mencari kesempatan baik, menyambar pedangnya dan menyerang lagi dari belakang atau kiri kanan.

Namun karena Soat Eng mempergunakan Jing-sian-engnya dan tak mungkin orang biasa mengikuti gerakannya lagi maka pemuda itu bingung karena sang gadis selalu berpindah-pindah dengan amat luar biasa cepatnya.

"Kau keparat!"

Lauw Sun tiba-tiba membalik, menyerang Lu Sam dan terkejutlah laki-laki itu karena si pemuda marah kepadanya. Dan ketika Lu Sam mengelak namun lawan mengejar maka pinggiran baju laki-laki ini tertabas.

"Bret!"

Lu Sam terkejut.

Segera dia mencabut senjatanya dan membentak menghadapi lawannya itu, sebuah tongkat pendek di mana laki-laki ini sudah membalas dan menangkis lawannya.

Tapi ketika Lauw Sun memekik dan memutar pedangnya dengan hebat tiba-tiba pedang itu sudah menjadi sinar bergulung- gulung di mana hawa pedangnya saja sudah membuat baju lawannya robek berlubang- lubang.

"Aih, Giam-lo Kiam-sut (Ilmu Pedang Maut)!"

Soat Eng yang ada di sana berteriak tertahan.

Gadis ini melihat gerakan pedang yang luar biasa dan tentu saja mengenal dengan baik.

Lauw Sun terkejut tapi tertawa bergelak, mendesak dan mencecar lawan hingga si Copet ini kewalahan, pucat dan berubah mukanya.

Maklumlah, tikaman-tikaman pedang itu meskipun tidak menyentuh tubuhnya tapi angin sambarannya saja sudah cukup melubangi pakaiannya.

Dan ketika Lu Sam terdesak dan sebentar saja seluruh pakaian laki-laki itu berlubang demikian banyaknya maka Soat Eng yang melihat ilmu pedang itu menjadi tertegun dan kaget setengah mati.

Itulah ilmu pedang keluarganya, tepatnya berasal dari kakeknya karena dari mendiang Hu-taihiap si jago pedang itulah Giam-lo Kiam- sut diciptakan.

Bahkan kakeknya itu dijuluki Giam-lo-kiam alias Si Pedang Maut sebelum mendapatkan warisan Cermin Naga, yakni dua ilmu dahsyat Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian- eng, ilmu yang hampir saja membuat ayahnya kalah dan tak dapat mengawini ibunya (baca.

Sepasang Cermin Naga).

Maka begitu ilmu ini dilihat di situ dan bukan sanak bukan kadang tiba-tiba saja putera Lauw-wangwe itu dapat mainkan Giam-lo Kiam-sut maka Soat Eng kaget sekali namun tiba-tiba menjadi marah, hilang rasa kagetnya terganti rasa murka dan berang.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dia merasa ilmu-ilmu warisan keluarganya dicuri orang melulu.

Dulu Khi-bal- sin-kang dan Jing-sian-eng dan kini mendadak saja Giam-lo Kiam-sut, silat pedang yang tiada duanya itu.

Siapa tak marah dan gusar? Maka begitu melihat Lauw Sun mainkan ilmu pedang itu dan lawannya terdesak dan mulai terluka tiba-tiba Soat Eng melengking dan berkelebatan menampar sepuluh orang pengeroyoknya, anak buah Lauw-wangwe.

"Kalian semua pergi, minggir.... des-dess!"

Sepuluh orang itu terlempar, menjerit berteriak tak keruan dan Soat Eng sudah menuju ke tempat pemuda ini.

Saat itu Kiat Ma ditolong gurunya dan sudah meninggalkan lawan- lawannya, menuju dan melihat sepak terjang gadis yang luar biasa ini.

Dan begitu Soat Eng melengking dan membentak Lauw Sun tiba- tiba tangan kirinya menampar dan mengetuk pergelangan si pemuda.

"Kau pencuri hina, lepaskan pedangmu... pletak!"

Pedang itu patah, kontan membuat Lauw Sun terkejut karena tangan lawan masih menyambar juga, tak berhenti bergerak.

Dan ketika pelipisnya terkena dan sebuah tamparan membuat pemuda ini menjerit maka Lauw Sun terlempar terguling-guling dengan pelipis nyaris retak! "Aduh, tolong, ayah....

tolong!"

Lauw-wangwe terkejut.

Saat itu dia sedang bertempur hebat dengan Sin-tung Lo-kai, akhirnya mencabut pedang dan terdesaklah pengemis itu oleh sebuah permainan pedang yang lihai.

Sama seperti puteranya itu hartawan ini juga mainkan ilmu pedang Giam- lo Kiam-sut, silat pedang yang segera membuat si pengemis berkali-kali terpekik kaget dan pakaiannya pun berlubang-lubang.

Hebat ilmu silat itu, meskipun sudah ditahan oleh tongkat namun juga masih mampu menerobos, membuat si pengemis kewalahan dan Sin-tung Lo-kai pucat mukanya, mengeluh.

Tapi begitu sang anak berteriak kepadanya dan hartawan ini tertegun maka rangsekan kepada lawannya terhenti setengah jalan dan Sin-tung Lo-kai pun dapat bernapas lega.

"Keparat, apa yang terjadi, Sun-ji? Kenapa dengan pedangmu?"

"Aduh, gadis ini menyerangku, ayah. Dia lihai dan hebat bukan main. Dia mengenal ilmu pedangku. Senjataku dipatahkannya. Aku... aku, aduh...!"

Dan Lauw Sun yang berteriak memegangi pelipisnya tiba-tiba terguling dan tak berani bicara banyak.

Tadi tak seharusnya bicara banyak banyak karena hal itu membuat rahangnya terbuka naik turun, menimbulkan rasa nyeri yang hebat di kepala dan tak tahanlah pemuda itu.

Dan ketika Lauw-wangwe tertegun dan terkejut melihat bayangan Soat Eng, yang sudah dikeroyok dan dikerubut lagi maka hantaman tongkat Sin-tung Lo-kai tiba- tiba menghajar pundaknya.

"Dess!"

Hartawan itu terhuyung.

Sesungguhnya dia ditakuti dan dimalui lawan-lawannya sejak dia mendapatkan ilmu pedang luar biasa itu, Giam-lo Kiam-sut yang diperolehnya dari dua orang laki-laki yang tidak waras.

Dua laki-laki itu gila namun lihai bukan main, suka kepada makanan-makanan enak dan dengan kekayaannya yang melimpah hartawan ini dapat menyajikan masakan-masakan istimewa pada dua orang laki-laki itu, yang doyan makan dan lahap kalau sudah menghadapi meja penuh hidangan.

Maka begitu puteranya berteriak dan rupanya sudah terluka, karena terhuyung dan jatuh berkali-kali maka hartawan ini menjadi bingung namun juga marah ketika si pengemis terbahak-bahak dan ganti mengejarnya.

"Hayoh, pertandingan kita belum selesai, wangwe. Kau jagalah tongkatku dan hati-hati jangan kena gebuk... wut-dess!"

Sang hartawan mendelik lagi, menerima sebuah pukulan namun dia sudah mengerahkan sinkangnya.

Tongkat terpental dan menggeramlah dia ketika pengemis lihai itu mencecarnya lagi.

Dan ketika serangan demi serangan dilancarkan lagi sementara puteranya terhuyung dan jatuh terduduk di sana, mengeluh panjang pendek maka hartawan ini tiba-tiba membentak dan menangkis datangnya tongkat yang menyambar dari atas ke bawah.

"Keparat kau... crak!"

Tongkat putus sejengkal adanya, mengejutkan si pengemis tua karena pedang masih terus bergerak menyerang menusuk dada.

Kakek itu kaget dan berteriak keras, miringkan tubuh namun masih dikejar juga.

Dan ketika dia membanting tubuh bergulingan namun pedang mengikuti bagai bayangan maka kakek ini berteriak pada Soat Eng agar cepat menolongnya.

"Hei, mati aku. Tolong...!"

Soat Eng melihat.

Saat itu dia menoleh dan mendengar teriakan si pengemis, kakek ini menarik simpatinya dan tentu saja dia tidak membiarkan sahabat barunya celaka.

Maka begitu melihat gerakan pedang dan Soat Eng mengenal itulah jurus yang dinamakan Pedang Hitam Mengejar Roh, satu di antara jurus-jurus Giam-lo Kiam-sut tiba-tiba dia membentak dan berkelebat meninggalkan lawan-lawannya.

"Pencuri-pencuri hina. Kiranya ayah dan anak sama-sama mempelajari ilmu pedang curian... plak-dess!"

Dan Soat Eng yang sudah menampar dan memukul dari jauh tiba-tiba membentak dan menyebut nama jurus ilmu silat pedang itu, mengejutkan Lauw-wangwe dan terpekiklah hartawan ini ketika pedangnya melenceng, patah dan dia sendiripun terlempar dan terangkat naik tubuhnya.

Dan ketika Soat Eng mengejar dan tahu-tahu berkelebat di sampingnya tiba-tiba hartawan ini mengeluh karena sebuah tendangan membuat dia mencelat dan jatuh di panggung lui-tai yang tinggi, berdebuk dan bergulingan di sana tapi jatuh lagi ke bawah, jadi sudah sial bertambah sial.

Dan ketika hartawan itu mengerang tak keruan tapi anak buahnya sudah maju membantu maka para tamu atau sahabat- sahabatnya yang datang di situ tiba-tiba membentak dan menyerang Soat Eng.

"Gadis siluman liar, tangkap atau bunuh dia!"

Soat Eng menjengek.

Dia sudah dikerubut puluhan orang yang menjadi pembantu atau sahabat Lauw-wangwe, berkelebatan dan menerima atau menangkis hujan pukulan.

Kedua tangannya yang bergerak ke sana ke mari disertai dorong-dorongan jarak jauh membuat lawan menjerit dan terlempar tak keruan, bertemu Khi-bal-sin-kang dan tentu saja orang-orang itu tak ada yang sanggup bertahan.

Dan ketika Lauw-wangwe di sana terbelalak dan sudah ditolong pembantunya maka hartawan ini gentar dan pucat.

"Dia... iblis! Siapa siluman betina ini? Dari mana ia datang?"

"Ha-ha!"

Sin-tung Lo-kai berkelebat.

"Dia puteri Pendekar Rambut Emas, wangwe. Kim- siocia yang akan menamatkan riwayatmu!"

"Apa? Puteri Kim-mou-eng?"

"Benar, dan kau sudah tak dapat menadah atau menerima barang-barang haram lagi!"

Lo- kai tertawa bergelak, melayang di atas kepala hartawan ini dan tongkat di tangan menghantam.

Para pembantu Lauw-wangwe membentak dan menangkis, tak tahunya mereka malah terlempar dan mencelat tak keruan, karena pengemis sakti itu memang terlalu hebat bagi mereka.

Dan ketika semua berteriak dan sang pengemis masih memburu hartawan she Lauw maka hartawan itu menggeram dan menangkis.

"Plak!"

Sang hartawan mengeluh.

Dia sudah kehilangan pedangnya dan terhuyung, juga sudah dua tiga kali menerima tamparan Soat Eng.

Maka begitu diserang si pengemis dan semangat sudah terbang sebagian maka hartawan ini tergetar dan mundur, pucat oleh kehadiran gadis yang lihai itu dan hartawan ini ngeri mendengar nama Kim-mou-eng.

Pendekar Rambut Emas itu adalah orang yang amat lihai dan luar biasa, jelas puterinya bukan tandingannya.

Maka ketika tongkat kembali menyambar dan hartawan ini gugup dan jerih maka dia terpental lagi ketika menangkis dengan setengah hati.

"Dukk!"

Hartawan ini mengeluh.

Kalau terus-terusan begini tentu dia bakal celaka.

Keparat pengemis ini, rupanya mengundang dan minta bantuan puteri Pendekar Rambut Emas.

Maka ketika si pengemis menyerang lagi sementara gadis lihai di sana itu menyambar-nyambar bagai burung srikatan akhirnya hartawan ini membentak dan memutar tubuhnya, lari, masuk ke dalam gedung.

"Keparat, kau curang dan licik, Lo-kai. Kau mengandalkan bantuan dari luar!"

"Ha-ha, ke mana kau mau pergi?"

Si pengemis tertawa.

"Eh, tunggu, wangwe. Serahkan dulu semua kekayaan harammu untuk dibagi- bagikan kepada rakyat miskin!"

Sang hartawan menggeram.

Lo-kai mengejarnya dan dia tiba-tiba membalik, melepas tujuh senjata rahasia yang terpaksa ditangkis dan membuat si pengemis berhenti.

Dan ketika pengemis itu memaki namun sang hartawan sudah lari lagi maka kebetulan puteranya juga tertatih dan melompat mendekati sang ayah.

"Kita panggil Koai-jin. Kita minta bantuannya!"

"Benar, di mana mereka itu? Kau tak melihatnya, Sun-ji?"

"Tidak, tapi tadi mereka di belakang, ayah. Coba kita ke sana dan cepat panggil!"

Dua orang ini menyelinap ke dalam gedung.

Lo-kai tertawa-tawa tak mendengar itu, sudah meruntuhkan semua senjata-senjata rahasia dan kini mengejar lagi.

Kakek itu tetap waspada meskipun tampaknya tak hati-hati.

Dan ketika benar saja dua tiga kali sambaran senjata rahasia meluncur dari dalam gedung namun dia mampu meruntuhkannya maka tibalah mereka di belakang.

"Keparat, pengemis itu selalu mengejar-ngejar kita!"

"Dan kita cedera! Ah, kita panggil mereka, ayah. Coba kita sama-sama bersuit!"

Ayah dan anak tiba-tiba bersuit nyaring.

Mereka sudah tiba di sumur tua di mana sebentar lagi Lo-kai akan merobohkan mereka.

Kalau saja hartawan she Lauw itu tak terpukul pukulan Soat Eng barangkali dia masih dapat melawan.

Maklumlah, dia sedikit di atas si pengemis apalagi kalau berpedang, mainkan Giam-lo Kiam-sutnya itu.

Tapi karena dia sudah tergetar dan pukulan sinkang gadis itu membuat dadanya sesak maka hartawan ini mengulur-ulur waktu dan coba mengajak lawannya ke suatu tempat, memanggil seseorang dan terkejutlah Lo-kai ketika tiba- tiba dari dalam sumur terdengar suara tawa bergemuruh.

Dan ketika hartawan she Lauw sudah melewati sumur itu sementara dia baru datang mendekat tiba-tiba muncul sesosok bayangan iblis, hitam bagai asap.

"Heh, ada apa kau memanggilku, wangwe? Dan siapa pengemis busuk ini?"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia musuhku! Tangkap dan cegah dia mengejarku, Koai-jin. Pukul dan bekuk dia!"

Sin-tung Lo-kai terkejut.

Dia hampir berseru tertahan ketika tiba-tiba dari dalam sumur tua itu muncul sesosok asap bagai hantu, didahului tawa gemuruh yang hampir saja membuat dia terpeleset! Pengemis ini merasa betapa bumi yang diinjak bergetar hebat dan nyaris dia terpelanting.

Maka begitu asap itu muncul dari sumur dan tawa yang menyeramkan diiring pukulan angin dingin tiba-tiba Lo-kai terkejut karena serangkum tangan raksasa tahu-tahu sudah di depan hidungnya.

"Heii... dess!"

Sang pengemis terbanting.

Sosok asap yang seperti hantu itu sudah menggerakkan tangannya, datang dari atas ke bawah seperti tangan setan, mencengkeram dan tentu saja dia mengelak, menangkis.

Tapi ketika dia terbanting dan tawa gemuruh itu terdengar lagi tiba-tiba dari sebelah kirinya menyambar "hantu"

Lain yang mencengkeram tubuhnya yang sedang bergulingan.

"Heh, mau apa pengemis ini, wangwe? Minta diapakan dia?"

"Tangkap atau bunuh dia. Dia mau merampas harta kekayaanku!"

".... wut!"

Sang pengemis kaget bukan main, baru saja bergulingan tahu-tahu disambar dan dicengkeram tangan yang lain, mengelak namun kalah cepat.

Dan ketika bajunya robek dan pengemis itu menjerit maka lima kuku tajam langsung menembus dan memasuki daging tubuhnya.

"Aduh, tolong. Kim-siocia. Mati aku....!"

Sang pengemis meraung.

Entah siapa yang menyerang pengemis ini tak tahu.

Dia hanya mendengar dua tawa aneh yang suaranya bergulung-gulung, dingin menyeramkan dan tentu saja dia kaget, muka seketika pucat dan kaget bagai bertemu iblis.

Munculnya dua sosok bayangan dari dalam sumur sudah membuat pengemis ini seakan bertemu hantu dari liang kubur, pucat pasi dan dia menjerit ketika lima kuku tajam menembus tubuhnya.

Maka begitu dia menjerit dan memanggil nama Soat Eng, yang sedang menghajar dan meroboh-robohkan lawannya tiba-tiba gadis itu berkelebat dan datang dengan bentakan marah, melihat si pengemis dicengkeram seorang laki-laki gagah tegap namun mukanya penuh cambang.

"Lepaskan dia. Keparat jahanam!"

Soat Eng langsung melepas pukulan sinkang.

Gadis ini marah karena temannya ditembus kuku-kuku mengerikan, mirip pisau-pisau tajam atau kuku rajawali, kuat dan ampuh.

Maka begitu dia membentak sementara seorang laki-laki lain yang gimbal-gimbal terkekeh dan terbelalak di situ maka pukulan gadis ini mengenai sasarannya dan laki-laki tegap gagah yang mencengkeram tubuh si pengemis berteriak terkejut.

"Dess!"

Orang itu mencelat.

Soat Eng juga terkejut karena lawan bergerak demikian ringannya, mencelat ke belakang dan tahu-tahu hilang, masuk ke dalam sumur.

Tapi ketika orang itu menggeram dari dalam dan sumur seakan pecah oleh geram suaranya maka laki-laki itu mumbul lagi dan...

sudah bergoyang-goyang di depan si gadis.

"Heh, ilmu mujijat. Penolak tenaga!"

Soat Eng tertegun.

Sekarang dia melihat lebih jelas siapa lawannya ini, seorang laki-laki gagah yang usianya sekitar empat puluhan, gagah namun sayang matanya kosong.

Bola mata bergerak-gerak tapi seolah tak ada pikiran yang hidup di otaknya.

Jadi, dia berhadapan dengan seorang gila, agaknya begitu.

Dan ketika gadis ini tertegun dan terbelalak marah maka laki-laki satunya, yang gimbal-gimbal dan sejak tadi terkekeh-kekeh sekonyong-konyong berkelebat dan sudah berdiri di samping temannya ini, seorang laki- laki yang usianya juga sekitar empat puluhan tahun, tertawa-tawa.

"Ha-heh, apa yang kau alami, suheng? Gadis ini memiliki pukulan luar biasa?"

"Benar, dia, ah... kita menemukan lawan yang hebat, sute. Pukulannya tadi seperti bola yang membuat tenaga kita membalik!"

"Begitu? Biar kucoba dia!"

Dan si gimbal ini yang tertawa menjejakkan kakinya tahu-tahu berkelebat dan kedua lengannya terjulur ke arah Soat Eng.

Satu ke leher gadis ini sementara yang lain ke perut.

Kuku-kuku tajam yang dipunyai juga bercuit seperti pisau.

Benar-benar sebuah serangan yang berbahaya! Dan Soat Eng yang tentu saja tak mau menerima dan berkelit membentak marah tiba- tiba menangkis.

"Dukk!"

Lawan pun mencelat.

Sama seperti temannya tadi si gimbal ini terpekik, jatuh dan melayang ke dalam sumur.

Tapi ketika dia terbahak dan mumbul ke atas tiba-tiba laki-laki ini pun sudah keluar dengan amat cepatnya dan tahu- tahu telah berdiri di samping suhengnya itu, laki-laki bercambang.

"Heh-heh, hebat. Benar-benar pukulan penolak tenaga!"

"Dan kau tahu apa namanya?"

"Tidak, tapi hebat, suheng. Biarlah kumain- main lagi dan kau menonton di sini, ha-ha!"

Dan si gimbal yang kembali bergerak dan sudah berkelebat ke depan tiba-tiba membentak dan menyerang Soat Eng.

Sepuluh kukunya menyambar-nyambar dan Soat Eng tertegun melihat gerak silat Eng-jiauw-kun (Silat Kuku Garuda), sebuah ilmu silat yang dipunyai mendiang kongkongnya dan berupa ilmu silat tangan kosong.

Dan ketika sepuluh kuku tajam itu bercuitan bagai pisau dan Soat Eng lambat berkelit, karena tertegun, maka bajunya robek terkena sebuah guratan.

"Bret!"

Soat Eng terkejut.

Tiba-tiba dia melengking tinggi dan marah berkelebatan mempergunakan Jing-sian-eng, Sin-tung Lo- kai di sana terbelalak karena tiba-tiba tubuh gadis ini lenyap mengelilingi lawan.

Dan ketika gadis itu membalas dan pukulan-pukulan Khi- bal-sin-kang menyambar dan menghujani lawannya maka sepuluh kuku itu bergerak luar biasa cepatnya untuk menangkis atau mengelak serangan-serangan lawan.

"Plak-bret-crit!"

Sin-tung Lo-kai ternganga.

Akhirnya dia mendengar teriakan-teriakan kaget si gimbal ini, berkali-kali terpental dan terhuyung menerima Khi-bal-sin-kang.

Maklumlah, pukulan itu memang akan selalu menolak balik pukulan lawan, mementalkan tenaga musuh untuk akhirnya menyambar tuannya sendiri, jadi si gimbal terkejut dan berkali-kali mengeluarkan seruan tertahan.

Dan ketika Soat Eng berkelebatan semakin cepat dan si gimbal membentak mengerahkan kepandaiannya tiba-tiba laki-laki itu pun lenyap berkelebatan mengimbangi Soat Eng.

"Wut-wut!"

Dua-duanya sudah tak kelihatan.

Sin-tung Lo- kai yang pandai ternyata tak mampu mengikuti gerakan dua orang itu lagi, matanya kabur sementara hartawan she Lauw dan puteranya terbelalak lebar, tertegun dan pucat menyaksikan pertandingan itu.

Namun ketika bayangan kuning akhirnya lebih cepat dan pasti tetapi perlahan bayangan si gimbal mulai terdesak maka laki-laki ini memaki panjang pendek sementara temannya si gagah itu tertegun.

"Huwaduh, keparat. Hebat sekali, luar biasa!"

Temannya berkejap-kejap.

Akhirnya Eng- jiauw-kun yang diterapkan si gimbal itu tak berdaya.

Sepuluh kuku tajam yang bercuitan bagai pisau itu akhirnya patah sebuah ketika ditampar Khi-bal-sin-kang.

Dan ketika si gimbal itu terpekik dan menjerit marah, hal yang baru kali ini didengar Soat Eng mendadak si gimbal itu berjungkir balik menjauh dan mencabut sesuatu dari dalam sumur.

"Srat!"

Sinar menyilaukan membuat Soat Eng terkejut.

Gadis itu melihat lawan mencabut pedang dan sebuah sinar hitam kehijauan berkelebat panjang.

Dan ketika lawan kembali membentak dan sudah maju menerjang maka ilmu silat pedang yang luar biasa telah ditunjukkan si gimbal ini, jauh lebih hebat daripada Lauw- wangwe sendiri karena dalam jarak lima meter tiba-tiba baju Lauw-wangwe ataupun Sin-tung Lo-kai berlubang-lubang ditembus angin pedang yang luar biasa tajamnya.

"Minggir!"

Soat Eng berteriak.

"Menjauh, Lo- kai. Ini Giam-lo Kiam-sut yang dimainkan seorang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi!"

"Apa?"

Sang pengemis terkejut.

"Giam-lo Kiam- sut? Ilmu Pedang Maut yang dimiliki si jago pedang Hu Beng Kui itu?"

"Benar, dan kau menjauh, lo-kai. Atau aku tak dapat menolongmu kalau kau terluka!"

Kakek ini melompat mundur.

Akhirnya dia menjauh dan pucat memandang pertandingan itu.

Si gimbal membentak panjang dan sinar hitam pedangnya berkelebat bagai pelangi.

Dari jarak enam meter saja masih terasa jelas angin tusukannya itu, kulit terasa dingin dan sedikit perih.

Tanda bahwa pedang betul-betul dimainkan oleh seorang ahli yang sudah mencapat tingkat amat tinggi.

Dan ketika Soat Eng berkelebatan menghindar dan terbelalak bahwa ilmu silat pedang yang dimainkan lawannya ini benar-benar Giam-lo Kiam-sut, warisan atau ciptaan mendiang kongkongnya maka gadis ini berdetak dan tiba-tiba berseru keras mencabut pedangnya sendiri, menarik Khi-bal-sin-kang untuk menghadapi Giam-lo Kiam-sut dengan Giam-lo Kiam-sut pula! "Sing-cranggg...!"

Lawan terkejut.

Soat Eng tiba-tiba merubah gerakan dan bergulung-gulunglah sinar putih menyambut sinar hitam.

Pedang di tangan Soat Eng sudah bergerak bagai pelangi pula menyambut atau mengiringi pedang lawan.

Dua sinar hitam dan putih melengkung panjang pendek, indah di udara dan benturan pertama kali itu membuat si gimbal berseru keras karena pedangnya terpental.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Soat Eng mengisi tenaganya dengan Khi-bal-sin-kang meskipun gadis itu sendiri tak mainkan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang, hal yang tentu saja membuat lawan kaget dan berteriak keras.

Dan ketika bunga api memuncrat demikian tingginya dan tempat itu menjadi terang-benderang maka untuk sekejap semua yang menonton bengong.

Namun si gimbal sudah menggeram.

Laki-laki ini terbelalak melihat Soat Eng mengiringi ke mana saja gerakan pedangnya, jadi menempel dan seolah merupakan bayangannya.

Dan ketika pedang di tangannya bergulung naik turun namun pedang di tangan gadis itu juga mengikuti dan bergulung naik turun maka si gimbal ini menjadi marah namun anehnya terbahak-bahak.

"Keparat, hebat sekali. Gadis ini rupanya pandai meniru-nirukan gerakan pedangku!"

"Hm!"

Soat Eng mengejek.

"Justeru kaulah yang mencuri dan menjiplak warisan kakekku, manusia gila. Sebutkan namamu dan dari mana kau dapatkan ilmu silat pedang Giam-lo Kiam-sut ini!"

"Giam-lo Kiam-sut? Ha-ha, aku tak tahu. Aku tak tahu apa itu Giam-lo Kiam-sut tapi kau sudah menyebut namanya.... singg!"

Dan pedang yang bergerak menyerong tiba-tiba menusuk dan menyambar ganas, langsung ke ulu hati gadis ini namun Soat Eng tentu saja mengelak mudah.

Dia tahu itulah jurus Pedang Maut Mengeluarkan Bianglala, akan dilanjutkan lagi dengan gerakan menyontek dari bawah ke atas.

Jadi dia harus berhati-hati.

Dan ketika benar saja lawan membentak dan melakukan gerakan itu, menyontek melanjutkan serangannya maka Soat Eng berputar dan dengan manis serta indah dia membalikkan ujung pedangnya untuk menyambut sontekan itu.

"Crangg!"

Lawan menjerit.

Untuk kesekian kalinya pula Soat Eng selalu tahu gerakannya.

Ke manapun pedang bergerak ke situ pula gadis ini mengiringi.

Jadi dia dibuat mencak-mencak dan tentu saja marah bukan main.

Dan ketika si gimbal itu terpental karena tenaga Khi-bal- sin-kang kembali mendorongnya lewat adu pedang maka temannya, si gagah bermuka cambang itu mulai berkerut-kerut.

"Sute, agaknya siluman cilik ini mengetahui pula ilmu silat kita. Sebaiknya kubantu kau dan kita mainkan Siang-kiam-hek-mo-sut (Silat Iblis Hitam Sepasang Pedang) kita yang telah kita latih bersama!"

"Nanti dulu!"

Si gimbal atau sang sute berteriak mencegah.

"Aku masih penasaran, suheng. Kalau sepuluh jurus lagi aku belum dapat merobohkan siluman betina ini biarlah kau maju!"

"Tapi dia terlalu hebat, dan mengenal silat pedang kita!"

"Hm, bukan saja mengenal, manusia busuk. Melainkan akulah pewarisnya karena silat pedang ini adalah milik kongkongku!"

"Eh, mengoceh tak keruan. Biarkan aku mencoba lagi, suheng. Mundur dan jangan bantu aku!"

Si gimbal berteriak, mukanya menjadi merah sementara matanya melotot lebar.

Dia marah karena Soat Eng selalu tahu gerakannya, mencoba yang lain namun gadis itu dapat juga mendahului atau menyambut sambaran pedangnya.

Dan ketika enam jurus lewat lagi dengan cepat sementara pedang berkelebatan bagai naga menari-nari maka satu tikaman miring akhirnya dibarengi dengan satu cengkeraman lima jari tangan kiri dari si gimbal itu, yang cepat dan luar biasa menuju tenggorokan dan dada Soat Eng.

"Crep-cring!"

Si gimbal terbelalak.

Soat Eng menangkis dan tangan kirinya bergerak pula menerima cengkeraman si gimbal itu.

Gadis ini membentak dan mengerahkan Khi-bal-sin- kang di situ, membagi tenaga dan pedang mereka berdua lekat dan saling tempel.

Dan ketika dua tangan mereka bertemu sementara kelima kuku panjang itu mencengkeram dan mematahkan tangan Soat Eng tapi gagal bertemu Khi-bal-sin-kang yang kuat mendadak laki-laki ini menjerit dan melepas sebuah tendangan dari bawah.

"Dess!"

Soat Eng tak menduga.

Dia tergetar tapi tidak terdorong mundur, kedua kakinya menancap kuat sementara pedangnya mendorong pedang lawan.

Dan karena lawan membagi tenaganya untuk melepas tendangan tadi maka tiba-tiba Soat Eng berhasil mendorong dan pedang lawan tertindih untuk akhirnya tertekan oleh tenaga Soat Eng yang dahsyat.

"Aih-plak!"

Laki-laki itu membanting tubuh bergulingan.

Akhirnya dia tak kuat dan pedangnya terlepas, mencelat dan tangan kiri Soat Eng menghantam pundaknya, cepat dan luar biasa hingga si gimbal itu berteriak bergulingan.

Dan ketika Soat Eng mengejar namun lawan meloncat bangun dan membentak marah tiba- tiba sembilan jarum hitam menyambar gadis ini.

"Keparat, benar-benar lihai. Luar biasa.... cet- cet-cet!"

Sembilan jarum hitam menuju gadis itu, menyambar secara berturut-turut dari atas ke bawah, membentuk garis vertikal di mana mau tak mau Soat Eng memuji kagum.

Namun ketika gadis itu menggerakkan pedangnya dan meruntuhkan semua jarum-jarum tadi maka lawan terbelalak pucat sementara si gagah bercambang di sampingnya itu tak tahan lagi, berseru.

"Sute, sekarang sudah waktunya. Maju lagi dan kubantu kau... wut!"

Dan si gagah yang berkelebat ke depan dan tahu-tahu menghantam gadis ini dengan pukulan lurus mendadak menggerakkan tangan kirinya yang lain untuk mencengkeram dan menusukkan kelima kuku panjangnya itu.

"Cret-dess!"

Soat Eng terhuyung.

Dia sudah menangkis cengkeraman lawan namun kuku lawan melentur, tak dapat dipatahkan sementara pukulan lurus si gagah ini disambut tangan kirinya.

Dan ketika lawan tergetar namun dia sendiri juga terhuyung mundur maka laki-laki itu kagum dan pandang matanya yang kosong tiba-tiba menjadi hidup dan bersinar-sinar.

"Hm, hebat. Luar biasa!"

Dan bergerak maju lagi dengan seruan keras tiba-tiba si gagah ini sudah mencabut pedang, sebatang pedang panjang di mana warnanya juga hitam kehijauan.

Dia melengking dan sudah mainkan Giam-lo Kiam-sut yang cepat dan luar biasa, mengaung-ngaung dan hawa dingin yang lebih menyakitkan muncul dari gerakan pedangnya itu.

Sin-tung Lo-kai mundur lagi dengan muka gentar, kulitnya tergores hawa dingin dan luka, seperti disayat bambu! Dan ketika si gagah itu sudah membentak dan mainkan pedang di tangan kanannya dengan cepat dan luar biasa maka sutenya tadi juga sudah melompat dan beterbangan mengelilingi gadis ini.

"Hayah, bekuk dan tangkap gadis ini, suheng. Dia hebat dan mengagumkan sekali!"

"Ya, dan dapat menirukan ilmu pedang kita pula. Hm, hati-hati. Ini siluman betina yang cukup berbahaya, sute. Mainkan Siang-kiam- hek-mo-sut kita yang belum dikenal.... cring- crangg!"

Dua pedang tiba-tiba bertemu, memuncratkan bunga api dan Soat Eng terkejut karena lawan tiba-tiba sudah bergabung, mainkan dasar-dasar ilmu pedang Giam-lo Kiam-sut namun kembangan atau variasinya berbeda.

Tangan kiri mereka itu ikut membantu dan kini berubahlah sepuluh kuku panjang di tangan mereka sebagai pedang- pedang yang pendek, tajam dan kuat karena mereka sudah mengisi itu dengan sinkang yang istimewa.

Dan ketika sebentar kemudian silat pedang yang aneh dimainkan dua orang ini dan Soat Eng kewalahan karena betul saja dia menjadi bingung dan kaget karena jurus- jurus pedang itu sering bertolak belakang dan mirip orang gila yang sering bentur sendiri maka gadis itu tiba-tiba terdesak dan silat pedangnya tidak jalan, tertahan! "Ha-ha, betul, suheng.

Gadis ini bingung!"

"Ya, tapi tetap hati-hati. Dia memiliki penolak tenaga itu!"

Si gimbal tertawa-tawa.

Akhirnya dia membuat Soat Eng marah, gemas dan bingung karena silat Giam-lo Kiam-sut yang sudah dicampur- aduk dengan kuku-kuku panjang itu sungguh tak keruan.

Sebentar menusuk ke kiri namun tak lama kemudian mencengkeram ke kanan.

Kuku-kuku itu membantu gerakan pedang mereka yang berseliweran naik turun, tentu saja menjadi hebat dan gabungan silat pedang yang dimainkan dua orang macam begini sungguh menjadi luar biasa.

Dan karena Soat Eng mempergunakan silat pedang Giam-lo Kiam-sut sementara lawan mengenal dan juga mempergunakan dasar-dasar ilmu silat pedang itu untuk serangan-serangan mereka maka justeru Siang-kiam-hek-mo-sut mereka yang tidak dikenal gadis ini membuat Soat Eng bingung, kewalahan.

"Bret!"

Soat Eng akhirnya terdesak.

Baju pundaknya robek namun kulit gadis ini tak apa-apa, pedang lawan bahkan mental ketika mengenai bahunya.

Namun ketika pedang di tangan si gagah berkelebat maju dan dua pedang saling menggunting tiba-tiba sekali lagi lengan kanan gadis ini menjadi sasaran.

"Bret-bret!"

Soat Eng marah.

Akhirnya dia melengking dan apa boleh buat menyimpan pedangnya, mengerahkan Jing-sian-eng dan lenyaplah gadis itu ketika tubuhnya berkelebatan dengan ilmunya Seribu Bayangan ini, bergerak dengan luar biasa cepatnya dan lawan kehilangan sasaran.

Dua pedang yang menyambar- nyambar ternyata kalah cepat dengan Jing- sian-eng ini.

Soat Eng selalu menyelinap dan mampu beterbangan di antara dua batang pedang itu.

Dan karena bayangan gadis ini jadi seperti kupu-kupu yang bermain di antara sinar hitam dua pedang di tangan lawan maka baju kuning yang dikenakan puteri Pendekar Rambut Emas itu berkelebatan cepat mengagumkan semua orang.

"Aih, ini benar-benar ilmu ginkang yang membuat mata lamur menjadi melek dan lebih terbuka lagi. Wah, hebat kau, Kim-siocia. Hebat!"

Sin-tung Lo-kai memuji-muji, sering bertepuk tangan dan matanya yang terbelalak lebar itu bersinar-sinar.

Kakek ini menjadi kagum dan apa yang dilihat membuatnya takjub.

Jing-sian-eng memang luar biasa dan gerakan pedang di tangan dua laki-laki itu selalu didahului gadis ini.

Tapi ketika Soat Eng membalas dan melakukan tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kang, atau totokan-totokan berdasar Ilmu Silat Bola Sakti itu ternyata dia tertahan oleh sepasang pedang yang saling menghadang melindungi dua orang itu, jadi masing-masing melindungi yang lain hingga sepasang pedang yang berseliweran naik turun itu tak mampu ditembus! "Keparat!"

Gadis ini menjadi marah.

"Kalian saling melindungi dan tidak memberi lubang? Hm, lihat saja, iblis-iblis busuk. Aku akan memecahkan pertahanan kalian dan kutembus!"

"Ha-ha, cobalah!"

Si gimbal tertawa.

"Kau boleh lakukan itu kalau mampu, anak manis. Coba tembus pertahanan kami dan robohkan kalau bisa!"

"Aku tentu bisa. Kalian akan roboh!"

Dan Soat Eng yang marah berkelebatan mengelilingi lawan tiba-tiba mempercepat gerakannya dan coba menembus sepasang pedang yang menutup rapat itu, bertubi-tubi menampar atau memukul namun pertahanan sepasang pedang itu kuat bukan main.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soat Eng tak dapat menembus dan gadis ini gagal.

Dan ketika dia merah padam dan hampir menangis, saking marah dan jengkelnya maka lawan juga tak dapat berbuat banyak karena Khi-bal-sin- kang bakal selalu menolak balik serangan- serangan mereka, akibatnya mereka berimbang dan baru kali ini Soat Eng ketemu batunya.

Dia mencak-mencak namun pertahanan sepasang pedang di tangan lawan benar-benar rapat.

Dan karena pertandingan menjadi seru namun masing-masing tak dapat mendesak atau mengalahkan yang lain maka dua laki-laki itu juga kebingungan karena mereka dibuat tak berdaya menghadapi Khi- bal-sin-kang yang lihai! "Ha-ha, ini sial kita.

Eh, mimpi apa semalam kita berdua, suheng? Perbuatan apa yang telah kita lakukan hingga kita berhadapan dengan bocah siluman ini?"

"Hm, tak tahu. Tapi kita harus juga berusaha merobohkannya, sute. Bocah ini menarik perhatianku karena wajahnya mirip seseorang!"

"Ya, dia mirip sumoi. Tapi aku lupa siapa sumoi kita itu!"

"Dan dia mengenal ilmu pedang kita. Hm, kita harus menangkapnya hidup-hidup, sute. Pergunakan Jaring Naga!"

Soat Eng tak mengerti.

Dia tak tahu apa itu Jaring Naga, mengira sebuah jaring yang mungkin akan dilepas dua orang itu, menakup kepalanya.

Tapi ketika dua orang itu membentak dan bersama-sama menggerakkan tangan kiri, yang penuh dengan kuku-kuku panjang itu sekonyong-konyong dari ujung kuku-kuku itu muncul semacam benang- benang halus mirip benang laba-laba.

"Heii...!"

Soat Eng terkejut.

Dia meloncat tinggi namun benang-benang itu memanjang, mengejarnya.

Dan ketika dia membabat namun benang-benang itu ulet dan merekat, seperti lem, maka benang-benang itu justeru menempel dan merekat di tangannya, tak dapat putus, persis benang laba-laba yang tak mau patah! "Aihhhh...!"

Gadis ini berteriak keras.

Soat Eng sudah melayang turun dan benang-benang panjang itu sebentar saja sudah memenuhi kedua lengannya.

Soat Eng kaget karena dia tak dapat memutuskan benang-benang itu.

Dan ketika sebentar saja kedua lengannya sudah dipenuhi benda-benda aneh yang amat merekat ini, yang kiranya merupakan perwujudan dari silat aneh yang bernama Jaring Naga maka gadis itu terbanting ke bawah karena seluruh tubuh tiba-tiba saja sudah terbungkus dan penuh oleh benang laba-laba ini! "Keparat, jahanam!"

Soat Eng kaget dan marah sekali.

Kedua tangan kiri dua orang itu terus bergerak-gerak.

Kuku-kuku mereka mengeluarkan benda-benda aneh itu.

Dan ketika Soat Eng bergulingan namun benang laba-laba kian erat dan membungkus tubuhnya tiba-tiba dua orang itu berkelebat mengejar dan Soat Eng roboh oleh sebuah totokan lihai.

"Ha-ha!"

Si gimbal tertawa bergelak.

"Kini kami dapat merobohkanmu, anak manis. Dan harus kami akui bahwa kau merupakan lawan terkuat di antara lawan-lawan kami yang lain!"

Soat Eng melotot. Dia mengumpat dan memaki-maki dua orang itu. Si gimbal tertawa- tawa dan tidak menghiraukan. Dan ketika tubuhnya disambar dan si gagah memandangnya tak berkedip maka Lauw- wangwe tiba-tiba melompat maju dan berseru.

"Koai-jin, bunuh saja gadis siluman ini. Dia berbahaya!"

"Benar,"

Lauw Sun tiba-tiba juga menyambung, melompat maju.

"Berikan dia padaku, Koai-jin. Aku akan membunuhnya dan kalian makan enak di dalam!"

Pemuda itu bersinar-sinar, mata melahap kecantikan gadis ini dan pikiran kotor tak dapat disembunyikan dalam pandang mata pemuda itu. Namun ketika Sin-tung Lo-kai bergerak dan berkelebat marah tiba-tiba kakek pengemis itu membentak.

"Lauw-wangwe, jangan bicara macam-macam. Membunuh gadis itu berarti harus lebih dulu membunuh aku!"

Dan tongkat yang menyambar serta menghantam kepala hartawan itu tiba-tiba bersiut menyambar Lauw Sun pula, bergerak dari kiri ke kanan dengan cepat sekali.

Dan ketika dua orang itu mengelak dan memaki si pengemis maka Kiat Ma dan suhengnya tiba-tiba muncul.

"Benar, membunuh gadis ini berarti harus membunuh kami pula, suhu. Ayo kita bunuh dan lempar hartawan ini... wut-wut!"

Kiat Ma dan suhengnya berkelebat, langsung menyerang ayah dan anak dan senjata di tangan mereka bersiut mengejutkan dua orang ini.

Lauw-wangwe dan puteranya masih cidera oleh pukulan Soat Eng, mereka tak memiliki kecepatan atau kekuatan seperti biasa.

Tapi karena di situ ada dua orang andalan mereka dan hartawan ini mendengus maka dia membentak dan menyambut pukulan Kiat Ma.

"Dess!"

Si Copet itu terpental.

Kiat Ma terpekik karena baginya Lauw-wangwe masih terlalu lihai.

Tapi ketika gurunya maju dan membentak agar dua orang itu menyerang Lauw Sun, karena hartawan she Lauw menjadi bagian pengemis ini maka Lauw-wangwe terkejut ketika Lo-kai sudah menyerangnya bertubi-tubi, kepandaiannya jelas lebih tinggi daripada Kiat Ma dan tenaga kakek pengemis itu juga lebih kuat.

Hartawan ini sedang cidera dan serangan-serangan itu menyudutkannya.

Dan ketika sebuah sambaran tongkat mengenai bahunya dan dia roboh terpelanting maka di sana Lauw sun juga terhuyung-huyung dan bak-bik-buk menerima pukulan-pukulan Kiat Ma, kian lama kian terdesak dan berteriaklah dua orang itu agar si gimbal atau suhengnya menolong.

Tapi ketika dua orang itu saling pandang dan tersenyum aneh, si gimbal berkejap dan menggaruk punggungnya dia justeru malah bertanya pada si hartawan.

"Kalian mau apa lagi? Bukankah ilmu silat sudah kuajarkan pada kalian berdua? Eh, pergunakan itu baik-baik, Lauw-wangwe. Kami sekarang ingin pergi membawa gadis yang menarik ini. Kami sudah tak suka tinggal di sini!"

"Apa?"

Sang hartawan terkejut.

"Kalian membiarkan kami didesak pengemis sialan dan dua muridnya ini? He, bantu kami dulu, Koai- jin. Jangan biarkan kami terhina dan dimalui si jembel ini!"

"Ha-ha, tapi kami ingin pergi. Itu urusanmu!"

"Eh!"

Sang hartawan pucat.

"Pengemis ini menghina ilmu silatmu tak ada mutunya, Koai- jin. Lihat dia menggebuk dan mempermainkan aku... dess!"

Si hartawan mencelat, Sin-tung Lo-kai memang mengejeknya dan mempermainkan hartawan itu. Dan ketika si gimbal mengerutkan kening sementara suhengnya berkilat marah tiba-tiba si gagah yang bercambang ini mendengus.

"Siapa menghina ilmu silat kami harus dihajar. Kau pengemis busuk. Pergilah!"

Sin-tung Lo-kai terkejut.

Saat itu dia mengejar Lauw-wangwe yang bergulingan mengeluh di tanah, tongkatnya siap menyambar dan menimpa kepala hartawan ini.

Tapi begitu di belakang tubuhnya berkesiur angin dingin dan kakek ini terkesiap karena itulah pukulan jarak jauh si orang aneh yang lihai maka dia berteriak dan langsung membalik, tak jadi mengejar lawan karena tongkat dipakai menangkis pukulan si orang aneh itu.

"Dess!" **SF** (Bersambung

Jilid 20) Bantargebang, 18-12-2018,12.57 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 20 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid .

20 * * * SIN-TUNG LO-KAI mencelat.

Kakek pengemis ini berteriak keras ketika tubuhnya terlempar, tongkatnya patah dan melayanglah kakek itu bagai layang-layang putus.

Dan ketika dia berdebuk dan terbanting di sana, mengeluh tak keruan maka si gagah yang bercambang itu tertawa mengejek.

"Nah, kau tahu rasa, pengemis busuk. Sekarang jangan bicara macam-macam lagi kalau tak ingin kubunuh!"

Lalu, berkelebat dan memandang sutenya si gagah itu berseru.

"Sute, kita pergi!"

Dan begitu tubuhnya lenyap membawa Soat Eng si gagah ini telah meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan tidak perduli kiri kanan lagi, diteriaki hartawan itu tapi tak menggubris.

Lauw-wangwe terkejut dan membelalakkan mata di sana.

Tapi ketika terdengar erangan dan gebukan tongkat tiba- tiba saja kakek pengemis itu dilihatnya bangkit berdiri sementara puteranya di sana menjerit dan terlempar roboh, kena serangan Kiat Ma dengan suhengnya.

"Aduh... bluk-dess!"

Hartawan ini pucat.

Kalau puteranya di sana terpekik dan keadaan sungguh tidak menguntungkan maka satu-satunya jalan adalah segera angkat kaki dari situ.

Sin-tung Lo-kai tampak memandangnya bersinar-sinar sementara kakek pengemis itu kelihatan akan menyerangnya lagi.

Tongkat andalannya tak ada, dia sendiri.

Dan ketika terdengar lagi teriakan serta jeritan puteranya maka hartawan ini membentak dan berkelebat ke depan.

"Manusia busuk, lepaskan puteraku!"

Kiat Ma dan suhengnya terpental.

Mereka terkejut ketika hartawan itu menyerang mereka, melakukan satu pukulan keras dan mereka terpelanting.

Memang dua orang ini masih bukan tandingan si hartawan she Lauw dan mereka terpekik.

Tapi ketika dua orang itu bergulingan meloncat bangun dan Sin-tung Lo- kai bersiap untuk membantu muridnya, menggeram, ternyata Lauw-wangwe tak mengejar dan justeru menyambar puteranya untuk dibawa pergi.

"Sun-ji, kita pergi. Tak guna di sini!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan hartawan itu yang sudah membawa puteranya tak mau berlama-lama tiba-tiba melepas beberapa senjata gelap untuk menghalau Sin- tung Lo-kai dan dua muridnya, berkelebat dan lenyap di belakang gedung dan kakek pengemis itu berteriak kecewa.

Sin-tung Lo-kai mengambil tongkat barunya dan mengejar, setelah menangkis runtuh semua jarum dan paku-paku yang disambitkan Lauw-wangwe.

Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya juga memburu namun si hartawan sudah menghilang maka tiga orang ini marah-marah dan mengobrak-abrik tempat itu, tetap tak mendapatkan lawan mereka dan gegerlah keramaian di situ.

Pengantin puteri lari tak keruan dan para tamu pun panik.

Mereka sudah kacau sejak Sin-tung Lo-kai dan Soat Eng muncul di situ, bertanding dan melempar- lemparkan pembantu si hartawan yang tentu saja bukan tandingan dua orang ini.

Dan ketika semua melarikan diri dan Sin-tung Lo-kai teringat puteri Pendekar Rambut Emas itu tiba- tiba kakek ini berkata bahwa mereka harus menemukan Soat Eng, mencarinya.

"Kita tak menemukan hartawan itu, tak apalah. Tapi kita harus mencari dan menemukan gadis ini. Hayo, kita pergi, Kiat Ma. Tak usah lagi mengobrak-abrik tempat ini karena Lauw- wangwe sudah melarikan diri!"

"Tunggu!"

Sang murid berkata.

"Kau betul, suhu. Tapi aku ingin menyelesaikan ini!"

"Apa?"

"Ini!"

Dan Kiat Ma yang menepuk-nepuk punggung suhengnya memberi tahu tentang pundi-pundi uang yang demikian penuh, berkata bahwa mereka ingin membagi-bagikan itu kepada fakir miskin.

Memang dua copet ini bekerja untuk rakyat jelata, hasil pekerjaan mereka sebagian besar diberikan kepada orang-orang miskin, cara kerja yang aneh.

Dan karena Sin-tung Lo-kai sudah mengetahui itu dan kakek ini mengangguk maka berkelebatlah kakek itu meninggalkan muridnya.

"Baiklah, kau boleh lakukan itu, Kiat Ma. Tapi cepat susul aku begitu selesai!"

"Terima kasih!"

Dan Kiat Ma serta suhengnya yang berseri mendengar itu lalu mengangguk dan tertawa membalikkan tubuh, sudah meloncat ke arah timur dan berpisahlah guru dan murid ini.

Mereka sementara akan membagi pekerjaan masing-masing.

Gurunya mencari Soat Eng dan mereka menyusul.

Dan karena semua sudah diatur dan dua copet itu meninggalkan gedung hartawan she Lauw maka di sana Soat Eng sudah dibawa kabur dua orang aneh ini.

Siapa mereka? Bagaimana dapat menurunkan ilmu pedang Giam-lo Kiam- sut kepada Lauw Sun dan ayahnya? Mari kita ikuti.

**SF** Dulu, belasan tahun yang lewat si jago pedang Hu Beng Kui mempunyai beberapa orang murid.

Yang terlihai tentu saja putera dan puterinya, Beng An dan Swat Lian.

Tapi karena Beng An telah tewas dan Swat Lian akhirnya menjadi isteri Pendekar Rambut Emas, ibu dari Soat Eng itu maka yang mewarisi ilmu kepandaian si jago pedang itu tinggal puterinya ini dan dua orang murid utama, karena yang lain-lain akhirnya tewas dan terbunuh (baca.

Pendekar Rambut Emas dan Sepasang Cermin Naga).

Jago pedang itu, yang kini tewas oleh See-ong, memang betul-betul seorang yang lihai.

Dia disegani dan ditakuti baik oleh kawan maupun lawan.

Ilmu pedangnya yang hebat, Giam-lo Kiam-sut, amatlah luar biasanya.

Ditunjang oleh kematangannya dan kemahirannya bermain pedang memang jago tua ini merupakan lawan teramat berbahaya.

Apalagi setelah Hu Beng Kui atau Hu-taihiap (pendekar besar Hu) itu mendapat tambahan ilmu-ilmu dari Cermin Naga, Jing-sian-eng dan Khi-bal- sin-kang itu.

Dan karena sebelumnya jago pedang ini sudah merupakan tokoh yang dimalui dan ilmu pedangnya Giam-lo Kiam-sut itu amat hebat dan berbahaya sekali maka tambahan ilmu-ilmu dari warisan Cermin Naga menjadikan pendekar ini semakin dahsyat dan lihai, Kim-mou-eng sendiri hampir bukan menjadi tandingannya kalau saja Pendekar Rambut Emas itu tidak mewarisi Lu-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, dua ilmu luar biasa yang didapatnya dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa maha sakti itu.

Dan karena Hu Beng Kui akhirnya tunduk dan kalah setingkat oleh menantunya ini maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu akhirnya berhasil memperoleh puterinya yang kini menjadi isterinya itu, Swat Lian atau Hu Swat Lian yang menjadi ibu dari Soat Eng.

Adakah jago pedang itu puas oleh kekalahannya dari menantunya itu? Sebenarnya tidak.

Jago tua ini dikenal sebagai orang yang keras hati dan keras kemauan.

Diam-diam dia penasaran oleh kekalahannya dari Pendekar Rambut Emas itu.

Tapi karena anak perempuannya sudah menjadi isteri Pendekar Rambut Emas itu dan tak mungkin dia harus bermusuhan dengan menantunya sendiri maka penasaran atau ketidakpuasan jago pedang ini dipendam.

Memang aneh.

Hu Beng Kui dikenal sebagai jago tua yang tak kenal menyerah.

Lihat saja nasibnya sewaktu dia mendarat di Sam-liong- to.

Bukankah dia sudah tahu bahwa di sana dia akan menghadapi lawan-lawan berbahaya? Bukankah dia sudah tahu bahwa dalam keadaan luka dan tidak sehat begitu dia tak akan selamat? Tapi jago tua ini tetap menerjang juga.

Memang dia seorang tokoh yang keras hati namun gagah.

Kegagahannya tak perlu disangsikan lagi dan orang memang mau tak mau menjadi kagum.

Jago tua ini hebat, kepandaiannya tinggi dan ilmu silatnya pun luar biasa.

Ketegaran hatinya tak perlu disangsikan lagi.

Tapi karena kekerasan hatinya terlampau luar biasa dan watak ini memberi kesan kaku maka nasib malang akhirnya tak dapat dicegah lagi menimpa jago tua itu.

Dan sekarang, kembali pada cerita muridnya itu adakah yang masih hidup? Adakah di antara mereka yang kelihatan? Sebenarnya ada.

Di kisah yang lalu, dalam "Sepasang Cermin Naga"

Kita tahu bahwa dua murid Hu Beng Kui masih hidup.

Mereka itu adalah Gwan Beng dan Hauw Kam, dua orang suheng atau kakak seperguruan dari nyonya Pendekar Rambut Emas, Hu Swat Lian itu.

Namun karena mereka diculik dan belasan tahun ini tak pernah ditemukan maka dua orang itu nyaris hilang.

Di "Sepasang Cermin Naga"

Telah diceritakan betapa dua orang murid si jago pedang itu diculik oleh nenek iblis Naga Bumi dan temannya, si setan cebol Hek-bong Siauw-jin, yakni ketika perebutan Cermin Naga di puncak bukit di mana waktu itu hampir semua orang kang-ouw datang berduyun-duyun.

Dua murid Hu Beng Kui ini, Gwan Beng dan Hauw Kam, juga datang dan ikut menyaksikan jalannya perebutan.

Bersama Swat Lian atau sumoi (adik seperguruan perempuan) yang waktu itu masih gadis dua orang pemuda ini ikut dan menyaksikan jalannya perebutan.

Tapi karena di tengah jalan mereka menemui kesialan, bertemu dua di antara enam Iblis Dunia maka Hauw Kam akhirnya diculik nenek Naga Bumi sementara Gwan Beng, suhengnya, disambar dan dibawa si iblis cebol Hek-bong Siauw-jin.

Dua orang itu mengalami penderitaan besar di tangan dua kakek dan nenek iblis ini.

Mereka disiksa dan dipermainkan, terakhir menelan obat pelupa ingatan dan jadilah dua orang pemuda itu sebagai manusia-manusia yang lupa akan dirinya sendiri.

Dan ketika dua kakek dan nenek iblis itu memaksa mereka menjadi murid, Hauw Kam di bawah kekuasaan Dewi Api sementara suhengnya dikendalikan Hek- bong Siauw-jin maka dua orang murid Hu Beng Kui ini menjadi tawanan dua nenek dan kakek iblis itu.

Mereka dibawa ke mana saja tapi akhirnya dijebloskan ke palung maut, jauh di dasar bumi di mana mereka tak berdaya apa- apa.

Nenek Naga Bumi sedang dibuat marah oleh kegagalannya merebut Cermin Naga, begitu pula Siauw-jin.

Dan karena persoalan demi persoalan mengganggu mereka dan dua nenek dan kakek iblis itu akhirnya tak mau direpotkan dua pemuda ini maka mereka dilempar dan dijebloskan ke palung maut, sebuah sumur dalam yang tak mungkin dipanjat naik kalau tak dibantu seorang pandai.

Dan nasib sial menghabiskan harapan murid- murid Hu Beng Kui ini.

Tapi apakah betul begitu? Teoritis memang benar, tapi sesuatu yang tak diduga terjadi di dalam palung maut itu.

Karena Hauw Kam dan suhengnya, yang sudah terlempar dan terkubur hidup-hidup ternyata tiba-tiba menemukan jalan keluar yang tak dinyana dan sungguh tak diduga nenek dan kakek-kakek iblis itu.

Hauw Kam dan suhengnya ketika terlempar ke bawah ternyata malah terbanting di air.

Tempat ini demikian tinggi hingga riak atau kecipak air tak terdengar.

Mereka itu pingsan tapi akhirnya sadar, ketika tubuh disundul- sundul sesuatu dan mereka merintih.

Dan ketika Hauw Kam dan suhengnya tertegun karena lima ekor lumba-lumba mempermainkan moncong mereka di tubuh, menyundul dan mengeluarkan suara-suara aneh maka suheng dan sute ini terbelalak karena mereka ternyata berada di laut, atau lebih tepat lagi, berada di sebuah terowongan laut di mana palung di atas itu merupakan sumur bumi yang bawahnya berhubungan dengan samudera, sebuah palung aneh hingga mereka masih hidup! Dan ketika dua pemuda itu tertegun dan sadar, rupanya sudah terhanyut dan berada di sekelompok ikan lumba-lumba yang menolong dan menyadarkan mereka tiba-tiba saja seekor di antaranya menyelam dan mengangkat tubuh Hauw Kam untuk digendong di atas punggungnya.

"Slup!"

Hauw Kam tergelincir. Pemuda ini terkejut tapi tidak mengerti apa yang diinginkan sang ikan, berteriak tapi lumba-lumba itu sudah menyelam dan muncul lagi, memasang punggung untuk menerima atau "menggendong"

Tubuh pemuda itu. Dan ketika dua tiga kali gagal namun untuk yang keempat kalinya tidak maka Hauw Kam sudah dibawa meluncur dan ikan lumba-lumba ini berenang cepat ke laut bebas.

"Slup-slup!"

Hauw Kam terbelalak.

Akhirnya dia mengerti dan mengeluh kegirangan, perutnya di punggung ikan dan menelungkuplah pemuda itu di atas tubuh lumba-lumba.

Tapi ketika Hauw Kam sadar bahwa dia tidak sendiri dan berteriak memanggil suhengnya tiba-tiba saja suhengnya itu sudah berada di sampingnya di atas punggung lumba-lumba pula, menelungkup persis dia! "Suheng...!"

"Sute...!"

Dua pemuda ini terkejut. Sama seperti dirinya ternyata Gwan Beng, suhengnya itu, dibawa dan "digendong"

Lumba-lumba pula, lumba- lumba yang lain. Dan ketika mereka berteriak dan saling melambaikan tangan maka tiga lumba-lumba pengiring berenang di belakang mereka seperti pengawal! "Ha-ha!"

Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak.

"Kita menjadi raja di lautan bebas, suheng. Dan kita selamat!"

"Benar, dan kita tak perlu bertemu dua orang guru kita lagi, sute. Mereka mau membunuh kita!"

"Dan aku ngeri. Ih, palung itu dalam luar biasa, suheng. Kalau tidak terjatuh ke air tentu kita tewas. Kejam, suhu dan subo kejam!"

Hauw Kam mengangguk kegirangan, merasa lolos dari maut dan kini meluncurlah mereka di atas punggung lumba-lumba.

Lima ikan besar itu menyelamatkan mereka dan dua di antaranya sudah menjadi "perahu", membawa dan menggendong mereka untuk berenang di laut bebas.

Dan ketika ikan-ikan itu berenang kian cepat dan pengalaman tak terlupakan ini membuat Hauw Kam melonjak kegirangan tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk dan mencengkeram punggung ikan sambil terbahak-bahak.

"Suheng, kita mempunyai tunggangan istimewa. Ha-ha, mereka ini lumba-lumba luar biasa yang menjadi perahu!"

"Benar, tapi hati-hati, sute. Awas jatuh!"

"Tidak, eh... byurr!"

Dan Hauw Kam yang benar saja tergelincir dan jatuh dari punggung ikan tiba-tiba berteriak karena tak mengikuti nasihat suhengnya, terlempar dan jatuh ke dalam air namun lumba-lumba tunggangannya mendadak berhenti.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga yang lain juga berhenti dan seekor di antaranya tiba-tiba menyelam, muncul dan sudah membawa Hauw Kam di punggungnya.

Jadi, seolah menggantikan temannya itu.

Dan ketika Hauw Kam terkejut dan membelalakkan matanya maka lumba-lumba ini sudah berenang dan...

meluncur lagi.

"Ha-ha, ajaib, suheng. Aku ditolong lagi!"

"Hm!"

Suhengnya terkejut, juga membelalakkan mata.

"Kau jangan ceroboh lagi, sute. Atau kau bakal terlempar dan tidak tertolong lagi!"

"Ah, tentu. Aku sekarang hati-hati!"

Dan Hauw Kam yang terbahak di punggung ikan lalu menelungkup dan membelai serta berbisik di atas kepala ikan itu, menyatakan terima kasihnya dan kini berenanglah lagi lima ekor lumba-lumba itu di laut bebas. Mereka "slap- slup-slap-slup"

Di atas laut dan Gwan Beng yang pendiam berkali-kali harus mencengkeram leher tunggangannya kalau tak ingin lepas, karena tubuh ikan itu demikian licin dan nyaris saja dia terlempar.

Dan ketika dua hari dua malam dua pemuda itu dibawa entah ke mana maka di waktu mereka kelelahan, juga masih sakit-sakit oleh bantingan di dasar palung tiba-tiba saja mereka sudah berada di sebuah pulau ketika tertidur! Waktu itu Hauw Kam dan suhengnya sama-sama letih.

Lima ekor lumba-lumba ini membawa mereka berenang jauh sekali, mungkin ribuan li.

Dan ketika mereka kelelahan dan mengantuk, tertidur di atas punggung ikan tahu-tahu mereka sudah berada di sebuah pulau ketika terbangun, pagi harinya.

"Hei, mana mereka, suheng? Di mana kita kini?"

Gwan Beng juga tertegun.

Murid pertama Hu Beng Kui yang paling pendiam ini terkejut, melihat di depannya laut bebas tapi tak ada lagi lima ekor lumba-lumba itu.

Mereka sudah berada di pantai pesisir dengan pasirnya yang lunak lembut, jauh dari mahluk hidup dan hanya deburan ombak yang terhampar di depan mata.

Selebihnya kosong dan tak ada siapa pun.

Pulau itu kecil dan hanya tanaman perdu dan satu dua pohon besar berdiri di sekeliling mereka.

Pendekar Naga Putih 70 Gendruwo Rimba Jiwa Remaja Karya Yos Guwano Dewa Arak 49 Geger Pulau Es

Cari Blog Ini