Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 13

Istana Hantu Karya Batara Bagian 13


Lainnya hening dan sepi.

Dan ketika pemuda ini tertegun dan membelalakkan matanya, terkejut tapi juga menyesal maka sutenya berkelebat tapi terguling roboh.

"Heii...!"

Hauw Kam terpekik.

"Aku lemah, suheng. Aku kehilangan banyak tenaga!"

"Hm!"

Gwan Beng akhirnya sadar, tubuh sendiri juga tiba-tiba terhuyung, roboh.

"Kita kelaparan, sute. Dua hari ini tak makan kecuali minum air laut!"

"Benar, dan aku, ah... aku tak tahu ke mana lumba-lumba penolong kita itu, suheng. Aku menyesal tak menemukan mereka kembali!"

Hauw Kam bangkit terhuyung, tertatih menghampiri suhengnya dan dua pemuda ini saling pandang. Mereka benar-benar menyesal dan "getun"

Kenapa mereka tertidur sampai lelap, tak mengetahui perbuatan lumba-lumba itu yang melempar tubuh mereka ke atas daratan, jatuh dan masih saja pulas karena mereka memang kelelahan, habis tenaganya.

Namun ketika suhengnya berkata bahwa mereka tak usah menyesal lagi karena lumba- lumba itu rupanya penolong mereka tanpa pamrih maka Hauw Kam mengangguk dan berkata.

"Betul, kita sudah diselamatkan. Mereka bekerja tanpa pamrih. Aih, jauh benar bedanya mereka dengan dua orang guru kita, suheng. Rupanya kita harus tinggal di sini dan tak usah keluar!"

"Hm, dan mencari makan. Perutku lapar, kita kehabisan tenaga. Apa yang kira-kira kita dapat di sini, sute? Kau masih bisa berjalan?"

"Aku... aku dapat. Tapi, ah... kakiku berat sekali. Asal perlahan-lahan aku dapat menyertaimu, suheng. Kita memang harus mencari makan kalau tak mau mati di sini!"

"Hm, tak usah bicara tentang kematian. Dewa maut rupnya belum menyukai jiwa kita. Mari, kita berpegangan, sute. Hati-hati dan mari kutapak!"

Gwan Beng memegang sutenya, berjalan terhuyung dan akhirnya dua pemuda ini mengitari pulau.

Dengan kaki berat dan sering terjatuh suheng dan sute ini mencari makan.

Mereka bermaksud mencari kelinci atau binatang kecil, ular atau apa saja.

Tapi ketika mereka tak menemukan itu dan isi pulau ternyata hanya dedaunan melulu, pohon-pohon besar dan tanaman perdu akhirnya Hauw Kam mengeluh, jatuh terduduk.

"Celaka, kita rupanya harus mati, suheng. Tak ada makanan apa pun di sini!"

"Hm, tidak,"

Suhengnya menggeleng, bersinar- sinar memandang sejenis tanaman yang daunnya hijau segar.

"Tak ada daging kita bisa makan sayur, sute. Tak perlu putus asa karena ini pun makanan!"

Gwan Beng meraup dedaunan hijau segar itu, mengamatinya sejenak lalu mengunyah.

Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu tampak lahap dan segenggam daun segar habis dimamah, memasuki mulutnya maka Hauw Kam terbelalak melihat suhengnya itu mengambil lagi, tampak demikian enak! "Sute, dedaunan ini pun makanan.

Ayolah, ambil segenggam dan nikmati rasanya.

Manis dan segar!"

Hauw Kam tiba-tiba meneteskan air liur.

Pemuda itu melihat betapa dengan enak dan lahap sekali suhengnya sudah menikmati dedaunan ini, mengunyah dan memamahnya seperti kambing! Dan ketika pemuda itu ragu namun rasa lapar menyerangnya hebat tiba- tiba dia pun mengikuti dan sudah mengambil dedaunan itu, menggigitnya sepotong dan aneh serta mengejutkan ternyata dedaunan itu mengandung aroma yang khas dan tidak pahit, manis dan segar dan segera saja pemuda ini melahapnya segenggam! Dan ketika cepat kemudian dedaunan mentah itu dilalap habis maka Hauw Kam dan suhengnya seolah berebutan mengisi perutnya, mirip kambing atau hewan ternak yang kelaparan! "Ha-ha, betul katamu, suheng.

Dedaunan ini manis dan segar sekali.

Ah, luar biasa.

Tenagaku pulih dengan cepat!"

Memang benar.

Gwan Beng juga merasakan itu dan pemuda ini mengangguk.

Daun mentah yang mereka makan ternyata sayuran bergizi yang cepat sekali memulihkan kekuatan mereka.

Dan ketika Gwan Beng tersenyum- senyum sementara sutenya terbahak-bahak tiba-tiba Hauw Kam berteriak ketika kepalanya tiba-tiba pusing.

"Hei, aku tak dapat berdiri tegak lagi, suheng. Bumi rasanya berputar!"

"Dan aku juga,"

Gwan Beng terkejut, merasakan hal yang sama.

"Aku melihat langit terbalik-balik, sute. Dan, ah... jangan-jangan daun ini beracun... bluk!"

Gwan Beng dan sutenya jatuh berbareng, kaget berteriak tertahan dan dua pemuda ini semakin terkejut ketika perut mereka melilit-lilit.

Usus seakan diremas dan bergulinganlah Hauw Kam mendahului suhengnya.

Pemuda ini berteriak- teriak dan akhirnya kesakitan, demikian hebat rasa sakit itu disertai rasa mual.

Dan ketika semuanya itu diiringi rasa tak enak di mana Hauw Kam tiba-tiba ingin membuang kentut maka bunyi yang nyaring seakan meledak seperti knalpot mobil.

"Prootttt....!"

Gwan Beng mengalami hal yang sama.

Pemuda ini pun membuang kentut nyaring yang amat keras, demikian kerasnya hingga pohon di sekitar mereka berderak, mau tumbang! Dan ketika Hauw Kam di sana mengaduh-aduh sementara Gwan Beng yang lebih tahan dan menggigit bibirnya juga harus berjuang mati- matian tiba-tiba Hauw Kam sudah berteriak dan mencebur ke laut.

"Suheng, aku ingin membuang hajat. Wadaoh, aku ingin membuang hajat..... prot-proottt!"

Kentut panjang mendahului teriakan pemuda itu, susul-menyusul dan pemuda ini sudah melempar tubuhnya ke laut.

Tanpa banyak pikir lagi Hauw Kam sudah melepas celananya, yang hampir tak tertahan karena saat itu juga isi perutnya sudah memberobot tanpa ampun.

Dan ketika pemuda ini ah-uh-ah-uh berendam di air laut maka muka yang tegang namun lucu tampak di wajah pemuda ini.

Gwan Beng di sana juga akhirnya melakukan hal yang sama.

Pemuda ini terhuyung jatuh bangun mencebur ke laut, melepas celananya.

Dan ketika dua pemuda itu sama "ndodhok"

Dan membuang hajat aneh namun nyata Hauw Kam terbahak-bahak menyaksikan suhengnya berkerut-kerut, saat itu rasa sakit tiba-tiba hilang.

"Suheng, aku lega. Isi perutku terkuras!"

"Hm, aku juga. Namun aneh tubuhku sekarang terasa ringan, sute. Rasanya seringan kapas dan ingin terbang!"

"Ah, aku juga. Apakah mimpi? Eh, aku merasa ringan!"

Hauw Kam terkejut, sudah selesai membuang hajat namun kepala terasa enteng dan ringan.

Sewaktu dia melangkah tiba-tiba saja seakan melayang dan mau jatuh.

Dan ketika Gwan Beng di sana juga selesai dan terhuyung menjauhi pantai mendadak pemuda itu mengeluh dan roboh tersungkur jatuh.

Hauw Kam ternyata lebih dulu dan sudah mengerang tak keruan, bukan kesakitan melainkan ketakutan.

Pemuda ini seakan tak menginjak bumi karena tubuh serasa melayang-layang di tempat yang ringan, serasa berada di ruang hampa udara dan tentu saja pemuda itu terkejut.

Mereka berdua sama-sama tak tahu bahwa itulah hasil makanan "sayur bergizi", dedaunan hijau segar yang mengandung semacam gas atau zat pelambung semangat.

Perut yang tak tahan akan segera bereaksi mulas-mulas, seperti Hauw Kam dan suhengnya tadi.

Dan setelah isi perut terkuras dan dua pemuda itu terbiasa maka reaksi berikutnya adalah perasaan semacam ingin melayang, tak mampu berdiri tegak dan jadilah dua pemuda itu terhuyung- huyung.

Gwan Beng yang lebih tenang dapat menekan perasaannya yang tidak keruan namun lama-lama pemuda itu cemas juga.

Gwan Beng berpikir bahwa mereka keracunan, hal yang sebenarnya tidak.

Dan ketika gas atau zat pelambung semangat itu bekerja tinggi dan mereka berdua tak dapat berjalan tiba-tiba keduanya ambruk dan Hauw Kam mengeluh panjang pendek.

Pemuda ini merasa tak menginjak bumi lagi karena seakan berada di dunia yang lain, semacam awang-awang atau apa, dunia yang ringan dan benar-benar merampas kesadaran.

Dan ketika Gwan Beng di sana juga "teler"

Dan setengah sadar setengah tidak maka Hauw Kam dan suhengnya seperti orang mabok, mengeluh panjang pendek dan dua pemuda itu berada dalam keadaannya yang tidak pasti selama sehari semalam.

Mereka roboh tak bergerak-gerak dan masing-masing selalu menyebut yang lain.

Hauw Kam memanggil- manggil suhengnya sementara sang suheng pun memanggil-manggil dirinya, mirip orang linglung.

Namun ketika semalam lewat dengan cepat dan reaksi gas sudah biasa di tubuh mereka maka keesokannya dua pemuda ini pulih dan sadar seperti biasa.

"Aduh, aku bertemu dewa-dewi yang cantik dan gagah-gagah. Sialan, mimpi apakah aku semalam, suheng?"

"Hm, aku juga. Aku bertemu empat dewi cantik jelita, sute. Mereka mencumbu dan coba merayu aku."

"Ah, aku juga. Aku juga dirayu dan dicumbu! Ha-ha, kalau begitu mana mereka, suheng? Dan mana pula kekasih-kekasihmu itu?"

"Aku mimpi, aku hanya mimpi... ah, sayang sekali!"

Dan Hauw Kam yang tertegun namun kecewa juga sadar bahwa dia pun kiranya sedang bermimpi, mimpi indah namun kosong.

Ah, betapa sayangnya.

Dan ketika dua pemuda itu saling pandang dan Gwan Beng teringat tiba-tiba pemuda itu menunjuk dedaunan yang mereka makan.

"Kita rupanya korban dedaunan ini. Makanan ini beracun!"

"Hm, kukira tidak. Kalau beracun tentunya kita mampus, suheng. Tapi nyatanya hidup. Kita masih hidup! Makanan ini tidak beracun!"

"Tapi membuat perut kita mulas, juga pusing- pusing!"

"Benar, tapi setelah itu mimpi indah, suheng. Ha-ha, mimpi yang indah sekali. Aku ingin memakannya lagi biar mabok!"

"Jangan...!"

Dan sang suheng yang mencegah serta menyambar tangan sutenya lalu minta agar Hauw Kam tidak menjamah itu, kini perut berkeruyuk lagi dan mereka lapar.

Sehari semalam dalam keadaan teler dan tidak makan atau minum memang akhirnya membuat lapar lagi, Gwan Beng minta agar mereka mencari yang lain, jangan menjamah dedaunan itu.

Dan ketika sang adik tertegun namun menurut, dengan sedikit tidak puas maka Gwan Beng sudah berkelebat dan mengajak sutenya mencari makanan yang lain, tak tahunya sebagian besar di pulau itu hanya terisi oleh jenis tanaman ini, daun segar hijau yang dapat dimakan.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan karena mencoba yang lain ternyata pahit dan tidak enak, Hauw Kam mengomel maka Gwan Beng akhirnya mengalah ketika adiknya minta agar daun- daun itulah yang dimakan.

"Aku lapar, tak tahan lagi. Kalau suheng takut biarlah aku mencoba dan kau melihat."

"Hm, bagaimana kalau mulas lagi?"

"Tak apa, suheng. Tinggal buang hajat dan selesai!"

Gwan Beng menarik napas.

Setelah sutenya bicara seperti itu dan apa boleh buat dia harus mengikuti maka pemuda ini mendahului menyambar dan melalap daun-daun itu lagi, memamah dan memakannya.

Tapi ketika tak ada rasa mual seperti tadi maka pemuda ini menjadi heran, melihat sutenya tertawa.

"Bagaimana, suheng? Sudah tahan, bukan?"

"Hm, rupanya begitu. Bagaimana perasaanmu, sute? Kau juga tak apa-apa?"

"Aku malah merasa enteng. Tubuhku rasanya lebih ringan!"

"Dan tidak ingin melayang-layang?"

"Kali ini tidak, suheng. Tapi justeru aku ingin menikmati perasaan seperti itu!"

"Hush, kau ingin mimpi dan bertemu dewa- dewimu itu? Kau mau kencan?"

"Ha-ha, benar, suheng. Aku ingin teler dan mabok lagi. Aku ingin bertemu mereka!"

Dan ketika suhengnya tersenyum namun kali ini mereka tak diganggu perasaan itu lagi maka Hauw Kam berani memakan lebih banyak meskipun agak kecewa juga, kecewa karena perasaan seperti "fly"

Itu tak ada.

Dia tak dapat bermimpi dan menikmati mimpinya yang indah.

Ah, dia tak dapat bertemu dengan dewa-dewinya itu.

Namun ketika tenaga terasa pulih dan semangat rasanya bertambah maka sehari-hari akhirnya dua pemuda ini menyantap dedaunan itu, tak ada lain karena di pulau itu benar-benar tak ada binatang atau mahluk hidup.

Semuanya tanaman melulu dan heranlah mereka akan keganjilan ini, tak tahu bahwa mereka berada di Pulau Hijau, sebuah pulau yang terletak di antara gugusan pulau- pulau Naga Sakti yang jauh terpencil di selatan, jauh dari keramaian dan dunia.

Dan karena tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik karena Hauw Kam maupun suhengnya takut bertemu nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin maka dua murid utama Hu Beng Kui ini bertahun-tahun hidup di pulau itu.

Makanannya hanya daun-daunan itu dan mereka pun tak tahu bahwa daun yang mereka makan adalah daun Cheng-sian-bi- ceng, daun Dewa Hijau yang khasiatnya luar biasa karena dapat memberikan tenaga yang ringan bagi yang bersangkutan, membuat secara alami seseorang memiliki ginkang tingkat atas.

Memberikan perasaan lebih segar dan semangat lebih besar.

Kalau saja Hauw Kam dan suhengnya ini tidak linglung justeru dengan penemuannya itu mereka dapat meningkatkan mutu ilmu meringankan tubuh mereka, yang sebelumnya sudah cukup tinggi dan termasuk golongan kelas satu.

Tapi karena mereka dicekoki obat pembius dan ilmu-ilmu silat yang mereka punyai adalah akibat gerak kebiasaan sehari-hari di mana kepandaian atau ilmu ini memang selalu lekat pada tuannya maka tak ada peningkatan mutu atau silat pada diri dua orang pemuda ini.

Mereka sehari- hari hanya bermain-main dan keluyuran di sekitar pulau, kadang-kadang berlatih pernapasan untuk melawan hawa dingin, satu sikap atau reaksi untuk menghangatkan tubuh, bila musim hujan atau dingin tiba.

Dan karena semuanya ini mereka lakukan berdasarkan kebiasaan sehari-hari, di bawah kekuasaan bawah-sadar maka dua pemuda itu akhirnya bertahun-tahun menyembunyikan diri dengan baik.

Sampai suatu hari, ketika Hauw Kam sedang berjalan-jalan dan kaget disambar ular laut tiba-tiba pemuda ini menjerit karena dari kiri dan kanan mendadak muncul belasan ular laut ini yang tidak disangka-sangka, maklumlah, hampir tujuh tahun ini mereka tak menemukan sejenis ular atau binatang hidup lainnya.

"Ser-ser!"

Pemuda itu mengelak.

Otomatis dengan gerakan seorang ahli silat pemuda ini menghindari tubrukan ular di sebelah kiri, tak tahunya yang lain-lain muncul dan menyerang dari kanan dan belakang, juga depan.

Dan ketika Hauw Kam harus berlompatan dan tujuh ular laut itu luput semua maka pemuda ini terkejut ketika seekor di antaranya yang ada di bawah, tak kelihatan, tahu-tahu menggigit dan melibat kakinya.

"Augh!"

Teriakan Hauw Kam ini menggetarkan isi pulau.

Pemuda itu kaget dan marah dan tiba- tiba dengan gusar dia membungkuk, mencengkeram ular di bawah itu.

Dan ketika ular ini tertangkap dan langsung dicekik, tidak menghiraukan ular-ular yang lain tiba-tiba Hauw Kam menggigit putus leher ular itu dan mengkeremus kepalanya.

"Kres-kres!"

Hauw Kam marah sekali.

Kepala ular seketika remuk dan sudah dikunyah pemuda ini, Hauw Kam tak perduli dan marah menghisap darah ular, yang tiba-tiba membanjir dan memenuhi mulutnya.

Dan ketika Hauw Kam melotot menghadapi serangan ular-ular yang lain namun mendadak tubuhnya limbung ke kiri kanan tiba-tiba suhengnya muncul dan berkelebat datang.

"Sute, ada apa?"

"Keparat, ular-ular ini menyerangku, suheng. Jahanam dan sungguh mengejutkan bahwa mereka tiba-tiba datang!"

"Ah!"

Dan Gwan Beng yang terkejut melihat ular-ular itu segera terbelalak melihat sutenya diserang ular-ular ini, satu di antaranya mati dikerumus dan dikunyah sutenya.

Mengerikan.

Sutenya itu menikmati daging mentah seperti orang gila saja.

Tapi ketika sutenya limbung dan terhuyung ke kiri kanan tiba-tiba kembali seekor di antaranya menggigit dan menancap di lengan kiri sutenya, bergelantungan.

"Augh!"

Teriakan ini membuat sang suheng tak membuang-buang waktu lagi.

Gwan Beng berkelebat dan langsung menampar ular itu, yang seketika pecah kepalanya dan mati.

Tapi ketika sutenya juga roboh dan ular-ular yang lain menyerang dirinya maka Gwan Beng terkejut mendengar sutenya mengeluh panjang pendek.

"Suheng, bunuh mereka semua. Bunuh mereka itu!"

"Tentu, dan ini makanan baru bagi kita, sute. Sudah lama kita tidak menikmati makanan berdaging!"

"Ah, dan aku pusing. Keparat, darah ular agaknya mengandung racun, suheng. Mati aku!"

Gwan Beng terkejut.

Dia melihat sutenya mengerang dan mendekap perut, lengah dan empat ular di kiri kanannya tiba-tiba terbang menggigit.

Ular-ular laut itu memang dapat terbang! Dan ketika Gwan Beng tersentak namun terlambat tak dapat mengelak lagi maka empat ekor ular itu sudah bergelantungan dan menancap di punggung dan kedua lengannya, juga kaki.

Persis belatung! "Keparat!"

Gwan Beng marah, terkejut bukan main.

"Jahanam kalian, ular-ular busuk. Enyahlah!"

Pemuda ini merenggut, bermaksud menarik dan membetot ular-ular itu namun celaka sekali ular-ular ini tak dapat lepas.

Mereka lekat seperti lintah.

Dan ketika Gwan Beng berteriak dan mencabut dengan paksa maka taring ular menancap di lengannya meskipun ular itu sendiri sudah berhasil dilepas dan dibantingnya remuk! "Plak-dess!"

Gwan Beng ngeri.

Dia merasa tubuhnya tiba- tiba panas dan tak enak, marah kepada dua yang lain yang ada di punggungnya.

Ular-ular yang ada di sini agak repot diraih.

Gwan Beng membalik dan menyambar ekor mereka yang kebetulan bergoyang-goyang, gontai ke kiri kanan.

Dan ketika dia membentak dan mengerahkan sinkangnya, hal yang terlambat dan baru diingat saat itu maka ular ini terlepas karena tubuh sang pemuda tiba-tiba keras seperti besi.

"Krak-pletak!"

Gwan Beng melakukan seperti apa yang dilakukan sutenya.

Dalam marah dan sakitnya tiba-tiba seekor dari dua ekor ular ini disambar kepalanya, dibawa ke dekat mulut dan digigitlah lehernya sampai putus.

Dan ketika yang lain mati dibanting sementara yang seekor ini sudah dikerumus dan "dikletak"

Kepalanya maka robohlah Gwan Beng dengan kepala ular hancur memasuki mulutnya.

"Augh, keparat. Pusing!"

Gwan Beng ambruk.

Hauw Kam di sana sudah lebih dulu roboh dan pingsan.

Gwan Beng menyusul dan akhirnya dua pemuda ini tak sadarkan diri.

Mereka diserang ular-ular berbisa yang ahli ular menyebutnya Cheng-hai- coa (Ular Laut Hijau).

Dan ketika mereka ambruk dan tak sadarkan diri, terserang panas dan dingin berulang-ulang maka dua hari dua malam dua pemuda ini mengalami siksaan hebat.

Mereka seakan memasuki terowongan gelap yang amat panas, terowongan maut, pintu menuju akherat.

Tapi ketika mereka tertarik mundur dan tak jadi memasuki terowongan itu maka di sebelah sini di dunia yang mereka kenal mereka diserang hawa dingin yang membuat mereka seakan mati kaku.

Hauw Kam dan suhengnya mengalami keadaan kritis yang benar-benar mengkhawatirkan.

Gigitan ular-ular Cheng-hai-coa seharusnya membuat mereka binasa.

Ular-ular itu adalah ular-ular ganas yang bisanya amatlah berbahaya.

Cukup sekali gigit biasanya manusia akan tewas tak lebih dari lima menit.

Namun karena di tubuh mereka sudah terdapat semacam daya penolak racun karena sesungguhnya dedaunan Cheng- sian-bi-ceng yang mereka makan bertahun- tahun adalah tumbuhan yang berkhasiat menangkal bisa ular, hal yang kebetulan, maka dua suheng dan sute itu selamat.

Mereka tak tahu semuanya ini karena semuanya itu memang berjalan secara tak diperhitungkan.

Mereka juga tak tahu bahwa ular-ular Cheng- hai-coa itu datang untuk "membunuh"

Dedaunan Cheng-sian-bi-ceng itu, musuh mereka, menyemprot atau menyembur tanaman itu dengan uap racun mereka, karena Cheng-sian-bi-ceng memang akan layu dan mati kalau disembur uap ular-ular Cheng-hai- coa ini.

Jadi ular-ular itu datang untuk membinasakan musuh mereka, tanaman Cheng-sian-bi-ceng itu.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi karena Hauw Kam dan suhengnya sudah bertahun-tahun melalap dedaunan itu dan di tubuh mereka telah terdapat zat penolak racun khusus untuk menghadapi gigitan ular-ular Cheng-hai-coa maka tadi ular-ular itu marah karena mereka dapat merasakan adanya perlawanan di tubuh dua pemuda ini, racun mereka yang tertolak namun tetap dipaksa masuk.

Akibatnya membuat Hauw Kam pusing dan roboh, terjadi pertarungan seru antara zat yang dimiliki dedaunan Cheng-sian-bi-ceng melawan racun yang ada di tubuh ular-ular Cheng-hai-coa, satu pertarungan sengit di mana tentu saja yang menjadi korban adalah Hauw Kam dan suhengnya ini.

Mereka tersiksa dan dua hari dua malam tak sadarkan diri, sebentar rasanya hendak memasuki terowongan neraka namun sebentar kemudian tertarik lagi ke bumi.

Mereka jatuh bangun dan nyaris binasa.

Maklumlah, mereka bukan hanya sekali tergigit dan Gwan Beng malah mendapat "hadiah"

Lima gigitan ular, jadi lebih banyak dari sutenya sendiri dan tentu saja juga lebih tersiksa! Tapi karena dedaunan Cheng-sian-bi-ceng telah bertahun-tahun mereka makan dan zat atau penolak racun dari tetumbuhan itu lebih banyak dari racun yang menyerang tubuh mereka maka akhirnya Cheng-sian-bi-ceng menang dan racun dari gigitan ular-ular Cheng-hai-coa kalah! Racun ini hancur dan luluh di bawah kekuasaan Cheng-sian-bi-ceng, akhirnya tawar dan tak bekerja lagi.

Dan ketika dua hari dua malam itu Hauw Kam dan suhengnya terbebas dari siksaan yang hebat maka dua pemuda itu sadar namun aneh dan mengerikan di tubuh mereka mendadak muncul semacam benang atau lendir-lendir halus mirip benang laba-laba! "Ih, apa ini?"

"Hei, apa itu?"

Hauw Kam dan suhengnya sadar hampir berbareng.

Mereka saling tuding dan menunjuk tubuh sendiri, terbelalak dan bangkit duduk.

Dan ketika mereka teringat bahwa mereka diserang ular-ular yang ganas maka Hauw Kam melompat bangun sementara suhengnya tertegun melihat tujuh ular Cheng-hai-coa bergeletakan di situ dengan tubuh yang rata- rata tanpa kepala! "Kita habis bertempur.

Kita melawan ular-ular berbisa!"

Hauw Kam teringat, berteriak dan suhengnya mengangguk. Hauw Kam sendiri sudah melihat tujuh ular yang bergeletakan itu, terbelalak dan dia marah. Dan ketika Hauw Kam menyambar dan bangkai ular ditekuknya maka pemuda ini menggeram membanting hancur.

"Suheng, kita mengalami hal yang aneh-aneh. Aku mimpi bertemu pintu neraka dan keluar masuk di situ!"

"Benar, dan aku juga,"

Gwan Beng pucat, tergetar menggigil.

"Aku juga mimpi yang seram-seram, sute. Tapi aneh bahwa kita selamat!"

"Ya, dan iblis rupanya tak menghendaki jiwa kita. Keparat, kita panggang ular-ular ini, suheng. Kita santap dagingnya!"

"Kau tak takut?"

"Takut apa?"

"Daging atau tulangnya mungkin beracun bagi kita, sute. Kita harus berhati-hati kalau tak ingin mati konyol!"

"Tapi sekarang kita hidup, selamat! Aku yakin bahwa racun ular-ular ini sudah tak mempan lagi!"

Dan Hauw Kam yang marah melompat ke kiri tiba-tiba sudah mengambil ranting dan daun-daun kering, membakar dan segera api unggun terdapat di situ.

Cepat dan gemas Hauw Kam menusuk-nusuk bangkai ular itu seperti sate, lalu memanggang dan sudah mengumpat caci pemuda ini membolak-balik daging ular, yang sebentar saja sudah matang dan dirobeklah kulitnya dengan kasar.

Hauw Kam marah dan tidak menguliti daging ular itu lebih dulu, langsung memanggangnya dan melempar di api unggun.

Dan ketika bau keras mulai teruar dan ssekor di antaranya sudah matang pemuda ini langsung menggeragoti dagingnya dengan gigi berkeriuk-keriuk.

"Suheng, jangan beri ampun. Ganyang daging ular-ular ini sampai ludas!"

"Hm!"

Sang suheng terbelalak, mulut tiba-tiba berkecap.

"Enak, sute? Tidak apa-apa?"

"Ah, ada apa-apa pun aku tak perlu takut, suheng. Rasanya aku sudah berkali-kali masuk keluar terowongan neraka! Ayolah, coba yang ini dan sikat sampai habis!"

Hauw Kam melempar sepotong sate ularnya, langsung ditangkap dan diterima sang suheng. Dan ketika Gwan Beng mencicipi dan daging ular ternyata gurih maka pemuda ini tersenyum dan langsung menyikatnya.

"Hm, kau benar. Enak rasanya, sute. Dan tak perlu takut. Aku juga berkali-kali mimpi masuk keluar neraka. Biarlah, kita sikat mereka dan habiskan sampai tak bersisa lagi!"

"Ha-ha, dan aku baru puas. Wah, enak sekali, suheng. Ayo tambah lagi dan sikat sekuat perutmu!"

Gwan Beng mengangguk-angguk.

Akhirnya dia menerima lagi sepotong dua potong, tak sabar dan langsung menyambar seekor yang utuh.

Dia tak merasa apa-apa selain rasa enak dan gurih.

Tanpa bumbu atau garam ternyata daging-daging ular ini sudah luar biasa lezatnya.

Dan ketika tujuh bangkai ular itu habis dan mereka kekenyangan maka benang- benang tipis yang keluar dari pori-pori mereka itu kian banyak saja, padahal sudah berkali- kali diusap dan dihapus hilang.

"Keparat, apa artinya ini? Bagaimana semakin banyak dan tebal saja?"

"Dan aku juga begitu. Eh, coba sedot pernapasanmu, sute. Benang-benang ini dapat dihisap!"

Gwan Beng tiba-tiba berseru, menarik dan mengeluarkan napasnya dan tanpa sadar pemuda itu mengerahkan sinkang. Aneh dan ajaib tiba-tiba benang-benang itu "tertarik"

Ke dalam, memasuki pori-pori kulit.

Dan ketika Hauw Kam mencoba dan benar saja benang mirip jaringan laba-laba itu dapat disedot dan lenyap ke dalam tubuhnya tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak melihat seekor kelinci muncul, meloncat dari balik semak-semak.

"Ha-ha, ini makanan lain lagi, suheng. Ah, kita mulai kedatangan tamu... jrrttt!"

Hauw Kam menggerakkan tangannya, melempar ke kiri dan tiba-tiba benang itu muncul lagi, menyambar dan sudah menjirat kelinci yang kaget itu.

Binatang ini tahu-tahu muncul dan membuat Gwan Beng di sana tertegun.

Maklumlah, pulau itu belum kedatangan binatang hidup selain tujuh ular yang menyerang mereka itu.

Kehadiran kelinci yang amat tiba-tiba ini sungguh mengejutkan, di samping mengherankan.

Tapi begitu sutenya menggerakkan tangan dan benang laba-laba itu sudah menyambar dan menjerat si kelinci gemuk tiba-tiba binatang itu menguik dan meronta-ronta di jaring sutenya.

"Ha-ha, kemarilah!"

Hauw Kam menyendal, langsung menarik dan kelinci itu pun tersentak. Hauw Kam mengetuk keningnya dan kelinci itu pun berteriak. Tapi ketika Hauw Kam hendak membunuh dan Gwan Beng berkelebat tiba- tiba pemuda ini berseru mencegah lengan sutenya.

"Tahan, jangan bunuh!"

Dan Gwan Beng yang bergerak ke kanan dan lenyap sekejap tiba- tiba sudah menjaring kelinci yang lain dan Hauw Kam pun ganti tertegun, melihat suhengnya tertawa dan sudah melakukan seperti apa yang dia lakukan.

Suhengnya itu mengeluarkan benang laba-labanya dan terjeratlah kelinci itu di bawah kekuasaan suhengnya.

Dan ketika suhengnya bergerak dan sudah berdiri di sampingnya maka pemuda ini tertawa berkata padanya.

"Lihat, jangan gampang main bunuh, sute. Kelinci ini ada sepasang terdiri dari jantan dan betina. Kita dapat mengembang-biakkan mereka!"

"Ah, maksudmu..."

"Benar,"

Sang suheng memotong.

"Kita ternakkan mereka ini, sute. Kita kembang- biakkan mereka untuk konsumsi makanan kita!"

"Ha-ha, kau benar. Aku bodoh!"

Dan Hauw Kam yang melepas kelinci itu tapi menotoknya roboh lalu segera mengerti maksud suhengnya, bahwa kelinci itu tak boleh dibunuh karena ada sepasang.

Jantan dan betinanya ada di situ, lengkap.

Jadi mereka tinggal mengembang- biakkannya hingga anak-beranak.

Itu konsumsi makanan mereka, makanan berdaging, makanan berprotein tinggi! Maka begitu mengerti maksud suhengnya dan Hauw Kam terbahak maka pemuda ini berseru kegirangan dan sudah cepat menguasai binatang gemuk- gemuk itu, membuatkan kerangkeng dan untuk satu bulan dua pemuda ini menunggu perkembangbiakan kelinci jantan dan betina itu.

Dan ketika beberapa bulan kemudian sepasang kelinci itu benar saja beranak-pinak maka Hauw Kam dan suhengnya mendapat konsumsi makanan baru, daging kelinci yang gemuk dan lezat pengganti dedaunan Cheng- sian-bi-ceng yang lama-lama membuat mereka jemu.

Makanan yang itu-itu saja memang mudah membuat mereka bosan, ingin pengganti.

Dan ketika tak lama kemudian suheng dan sute ini tak kehabisan masalah makan namun mereka "risi"

Oleh benang laba- laba yang sering keluar dengan sendirinya maka Gwan Beng mengajak sutenya melatih dan menguasai benang-benang aneh ini, menciptakan sebuah kepandaian langka di mana mereka akhirnya menamakan itu sebagai Jaring Naga.

Akhirnya setelah pandai menguasai benang-benang aneh ini suheng dan sute itu pergi melaut, menangkap dan menjaring ikan dengan kepandaian mereka yang aneh itu.

Dan ketika lima tahun kemudian keduanya sudah berhasil menciptakan ilmu silat Jaring Naga di mana kepandaian ini merupakan kepandaian khas mereka yang tak ada duanya di dunia maka Hauw Kam akhirnya mengajak suhengnya keluar, meninggalkan pulau.

"Lihat, hiu sebesar ini dapat kutangkap demikian mudah, suheng. Kita sudah dapat menangkap atau menjala apa saja dengan Jaring Naga! Kita keluar, kita main-main lebih jauh dan jangan di sini saja!"

"Hm,"

Sang suheng mengerutkan kening, selamanya amat hati-hati.

"Aku takut bertemu suhu atau subo, sute. Aku khawatir bertemu mereka."

"Takut apa? Untuk apa? Mereka dulu hendak membunuh kita, suheng. Sekarang pun ketemu aku tidak takut. Bahkan hendak kubalas kekejaman mereka itu!"

"Hush, jangan begitu. Tak boleh!"

Gwan Beng membentak, terkejut.

"Jelek-jelek mereka adalah guru, sute. Tak patut murid melawan guru!"

"Tapi mereka kejam, kita hendak dibunuh!"

"Hm, mungkin ada dasarnya, sute. Barangkali kita memang salah dan telah melanggar aturannya!"

"Ah, kau selalu menyalah diri sendiri,"

Hauw Kam mengomel, tak puas.

"Kau selalu membela begitu, suheng. Padahal sepatutnya mereka itulah yang tidak bisa dibenarkan. Guru yang baik tak seharusnya melakukan itu, membunuh murid sendiri!"

"Sudahlah,"

Sang suheng menggeleng kepala.

"Murid melawan guru adalah tak benar, sute. Kalau kau ingin jalan-jalan dan keluar sedikit jauh dari tempat ini boleh saja, sendiri. Aku tak ikut dan kau puaskan hatimu."

"Mana bisa? Aku di sini selalu berdua denganmu, suheng. Kalau kau tak mau maka akupun tak sudi berangkat!"

Gwan Beng terkejut.

Sang sute tak senang dan sudah berkelebat pergi, mukanya gelap dan tahulah Gwan Beng akan kekecewaan sutenya ini.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan ketika berhari-hari sutenya tak tampak gembira dan sedikit bicara, hal yang membuat Gwan Beng tak enak hati maka pemuda ini menyetujui keinginan sutenya dengan menepuk perlahan pundak sutenya itu.

"Baiklah, kita pergi. Aku jadi tak tahan kalau melihat kau cemberut begini. Mari, kita berangkat, sute. Kita tinggalkan pulau!"

Hauw Kam terkejut.

"Kau sungguh-sungguh?"

"Hm, pernahkah aku main-main?"

"Tapi... tapi aku tak bermaksud main-main lalu kembali ke sini, suheng. Aku bermaksud meninggalkan pulau ini untuk mencari kesenangan di luar!"

"Aku tahu, marilah!"

Dan sang suheng yang tersenyum berkelebat ke depan tiba-tiba sudah menyambar sebuah perahu dan meminta sutenya naik, membuat sutenya tertegun tapi Hauw Kam girang bukan main.

Pemuda ini berteriak dan kontan melesat ke atas perahu, berjungkir balik.

Dan ketika Hauw Kam terbahak-bahak sementara suhengnya sudah menggerakkan dayung, kuat dan bertenaga maka pemuda itu menciumi muka suhengnya dengan perasaan girang luar biasa.

"Suheng, kau baik. Ah, kau manusia yang memang baik!"

Dan Gwan Beng yang tertawa mendorong sutenya ini lalu memberikan dayung yang lain menyuruh sutenya membantu, tak lama kemudian perahu pun mencelat bagai didorong tangan raksasa.

Hauw Kam sudah tertawa bergelak mengayun dayungnya.

Dan ketika perahu melesat dan meluncur di tengah-tengah ombak samudera maka sebulan dua bulan kakak beradik seperguruan ini segera menjadi perhatian orang lain, naik turun daratan menyambar makanan-makanan enak, bak-pao atau apa saja yang dijajakan orang di pinggir jalan.

Hauw Kam yang merasa paling lapar sudah rakus sekali menyambar ini-itu, diteriaki para penjual karena mereka menyambar makanan itu begitu saja, tanpa bayar.

Tentu saja geger dan ributlah orang melihat sepak terjang kakak beradik ini, karena Gwan Beng pun akhirnya tertarik dan ikut-ikutan menyambar ini-itu, tertawa dan menganggap itu miliknya sendiri.

Dan ketika mereka membuat keributan kecil namun selalu menjaga keributan-keributan besar akhirnya mereka dikejar-kejar namun tak ada satu pun yang dapat menangkap suheng dan sute ini.

Hauw Kam dan suhengnya memang bertahun-tahun hidup terlampau sederhana di Pulau Hijau, tak aneh menjadi lahap dan berkesan rakus melihat makanan- makanan enak.

Dan ketika mereka bertemu Lauw-wangwe di mana hartawan itu akhirnya melihat bahwa dua orang lihai sedang berada di depannya maka cepat-cepat hartawan ini mengambil hati, menyuruh puteranya maju berlutut dan menyebut "suhu", kontan membuat Hauw Kam dan suhengnya terbelalak.

Hauw Kam merasa geli dan tiba-tiba terkekeh, karena panggilan itu serasa menggelitik telinganya.

Tapi ketika Lauw- wangwe sendiri cepat-cepat berlutut dan puluhan penampan berisi makanan enak disodorkan dan diberikan dua orang ini, terutama Hauw Kam maka hartawan itu melaksanakan aksinya.

"Ji-wi taihiap (dua pendekar besar) boleh tinggal di gedung kami. Boleh makan dan ambil apa saja sepuas hati. Tapi tolong, berikan sedikit kepandaian kepada puteraku yang bodoh ini dan syukur kalau aku juga mendapat pelajaran."

"Ha-ha, kau bicara apa? Eh, aku melihat bahwa kau dan puteramu ini sudah memiliki dasar- dasar silat yang cukup, wangwe. Tak usah menyuruh kami tinggal di sini atau apa!"

"Tidak.... tidak! Kami tahu kesukaan ji-wi yang aneh, makanan-makanan yang enak dan luar biasa. Bukankah ji-wi belum menikmati sup naga atau hati burung hong goreng? Bukankah ji-wi juga belum menikmati empedu singa masak kecap? Nah, tinggallah di sini bersama kami, ji-wi taihiap. Dan kami jamin kesenangan ji-wi di tempat ini. Marilah, inilah empedu singa dan hati burung hong goreng. Coba ji-wi cicipi, di istana pun tak mungkin ada!"

Lauw-wangwe buru-buru membujuk, tadi dua pembantunya lari melapor bahwa toko makanannya diserbu dua orang gila, mengambil ini-itu dan penjaga atau satpam tak dapat mencegah.

Mereka itu didorong dan mencelat semua.

Dan karena Lauw-wangwe adalah hartawan kaya di mana toko serta usaha dagangnya yang lain ada di mana-mana maka hartawan ini merasa marah dan cepat keluar untuk melihat siapa dua orang gila itu, membentak dan menyuruh pembantunya menyerang namun semua pembantunya itu mencelat.

Akhirnya hartawan ini maju sendiri dan bersama puteranya yang juga belajar ilmu silat dari guru-guru silat yang pandai ayah dan anak mengeroyok Gwan Beng dan sutenya ini.

Tapi ketika mereka mencelat dan terpelanting tak keruan, Lauw Sun malah merintih di sudut sana maka Lauw-wangwe sadar bahwa yang dihadapinya kali ini adalah orang-orang luar biasa, tokoh-tokoh aneh yang sepak terjangnya seperti orang gila, gimbal-gimbal dan penuh cambang karena Hauw Kam dan suhengnya itu memang tidak pernah merawat tubuh mereka lagi.

Dan ketika semua terlempar dan Lauw-wangwe tertegun maka timbullah satu akal licin di otak hartawan ini, yakni ingin menjadikan dua orang itu sebagai "pembantunya", menarik mereka sebagai guru dari puteranya namun tentu saja akal hartawan ini tak begitu saja berhasil.

Hauw Kam tak berniat untuk menerima tawaran itu.

Tapi ketika sang hartawan mengeluarkan masakan- masakannya yang luar biasa dan nama-nama seperti empedu singa dan hati burung hong membuat Hauw Kam terbelalak maka pemuda yang kini sudah menginjak usia empat puluhan tahun itu bangkit seleranya.

"Ha-ha, mana empedu singa? Yang mana hati burung hong goreng?"

"Ini, dan itu, taihiap. Mari silahkan cicipi dan rasakan apakah ji-wi pernah menikmati masakan seperti ini!"

Lauw-wangwe girang, sudah melihat angin baik dan cepat dia sendiri melayani Hauw Kam dan suhengnya itu.

Dengan cekatan dan pandai hartawan ini memberikan masakan-masakan yang dimaksud, disambar dan dicicipi Hauw Kam dan pemuda itu tertawa bergelak.

Apa yang disodorkan sungguh luar biasa, istana sendiri agaknya tak pernah membuat masakan seperti ini.

Dan ketika Hauw Kam tertawa bergelak dan suhengnya diminta mencicipi pula maka Lauw-wangwe berlutut dan puteranya pun dikedipi agar cepat-cepat memanggil "suhu".

"Maaf, boleh ambil semuanya, taihiap. Dan masih banyak lagi masakan-masakan kami yang istimewa. Ada jantung beruang masak kuah, ada kaki gajah saos tomat. Ji-wi (anda berdua) tentu belum menikmati masakan- masakan ini, bukan? Nah, tinggallah bersama kami, taihiap. Dan kami akan menyajikan semua itu tanpa bayar!"

"Benar, dan aku akan menurut segala perintahmu, suhu. Apapun yang kalian berikan pasti kuterima!"

Lauw Sun membenturkan dahi, sudah melihat isyarat ayahnya dan Hauw Kam terbelalak.

Gatal telinganya mendengar sebutan itu.

suhu! Dan ketika dia tertawa bergelak dan menyambar Lauw Sun, diangkat dan dibanting ke lantai maka Lauw-wangwe berteriak kaget karena mengira puteranya mau dibunuh! "Ha-ha, pintar bicara kau bocah, manis benar mulutmu.

Aih, ayahmu pandai membujuk.

Kalau begitu kulihat dulu seberapa kuatkah tulangmu...

brukk!"

Lauw Sun mengeluh, kaget berteriak tertahan tapi pemuda ini segera teringat bahwa orang-orang aneh macam begitu biasanya harus dilayani dengan cara yang aneh pula.

Kalau tubuh sakit-sakit sebaiknya tertawa, kalau hati ingin tertawa sebaiknya menangis! Maka ketika Lauw Sun terbahak-bahak sementara tubuh yang sakit tak dirasakan sama sekali maka Hauw Kam membelalakkan matanya melihat keadaan yang ganjil ini.

"Eh, kau tertawa? Tidak meringis?"

"Ha-ha, bantinganmu tidak sakit, suhu. Boleh banting lagi kalau kurang!"

"Betul?"

"Tentu!"

Dan Hauw Kam yang sudah menyambar serta mengangkat pemuda ini lagi lalu membanting dan terheran-heran, penasaran dan empat lima kali putera Lauw-wangwe itu diangkat dan dibenturkan ke lantai.

Tapi ketika Lauw Sun semakin terbahak-bahak sementara rasa sakit ditahan sekuat tenaga maka Hauw Kam kagum dan terkekeh memandang suhengnya, yang diam-diam juga terkejut dan heran.

"Suheng, bocah ini luar biasa. Tulangnya kuat bukan main!"

"Ya, dan dia tahan sakit, sute. Sungguh mengagumkan!"

"Ha-ha, suhu masih mau mencoba lagi? Ayo, banting lagi, suhu. Sampai mampus!"

Lauw Sun menantang, diam-diam marah karena sesungguhnya dia gusar.

Kalau saja dua orang ini bukan dicalonkan untuk menjadi gurunya tentu dia sudah memaki-maki.

Bantingan demi bantingan yang diterimanya tadi bukannya tidak apa-apa.

Lauw Sun merasa remuk tubuhnya dan dia geregetan.

Maka ketika dia menantang sementara tantangannya itu lebih bersifat pelampiasan rasa marah karena dia memang marah maka Hauw Kam yang terbahak-bahak melilhat ini tiba-tiba menyambar pemuda itu.

"Cukup, ha-ha, cukup! Tak perlu dicoba lagi, bocah. Kami sudah cukup puas dan kau boleh menjadi murid kami berdua!"

"Dan ayah!"

"Eh!?"

"Benar, sedikit-sedikit ayah juga kalian perkenankan mendapat satu dua ilmu silat kalian, suhu. Agar kami berdua tak usah takut menghadapi lawan-lawan tangguh, kalau kebetulan suhu berdua sedang tak berada di rumah!"

"Hm, begitu?"

"Ah!"

Lauw-wangwe buru-buru membungkuk.

"Omongan anakku ada benarnya, taihiap. Tapi kalau ji-wi tak setuju tentu saja aku tak memaksa!"

"Ha-ha, jangan sebut kami taihiap. Eh. Boleh saja, Lauw-wangwe. Tapi lihat apakah kalian mampu atau tidak!"

Dan Hauw Kam yang terbahak membawa pemuda itu tiba-tiba berkelebat dan menghilang di luar, berkata bahwa hari itu juga Lauw Sun menjadi muridnya.

Makan minum yang enak harus disediakan hartawan itu kalau ingin mereka berdua kerasan di situ, permintaan yang tentu saja disanggupi hartawan ini.

Dan ketika dengan girang Lauw-wangwe memenuhi permintaan itu dan mulai hari itu Hauw Kam tinggal di gedung hartawan she Lauw maka hari demi hari dilewatkan dua orang murid Hu Beng Kui ini dengan senang.

Mereka dapat melakukan apa saja di situ dan segala keinginan mereka dipenuhi.

Lauw-wangwe tak tanggung-tanggung untuk melayani sendiri permintaan tamunya ini.

Dan karena sepak terjang dua orang itu memang aneh dan mereka tak mau dipanggil taihiap maka sebulan kemudian Lauw-wangwe merobah sebutannya dengan Koai-jin, orang aneh, atau bisa juga disebut atau diartikan Orang Gila.

Sebutan yang justeru membuat Hauw Kam terpingkal-pingkal dan senang bukan main.

Maklumlah, Hauw Kam dan suhengnya ini memang kadang-kadang "amot"

Alias kumat kalau ketidakwarasan mereka datang, karena bagaimanapun obat yang diberikan nenek Naga maupun Hek-bong Siauw-jin masih bekerja, merampas dan menanggalkan segala ingatan dua laki-laki ini, yang kini sudah berusia empat puluhan tahun dan cambang serta rambut mereka semakin panjang dan tak terurus.

Dan ketika semuanya itu berjalan secara rutin dan Lauw-wangwe akhirnya mengadakan pesta pernikahan anaknya tapi diganggu atau dibuat ribut oleh datangnya Sepasang Copet Jari Seribu maka kekacauan itu timbul dan muncullah Soat Eng, yang akhirnya mengobrak-abrik gedung hartawan itu tapi akhirnya dirobohkan atau dikalahkan Hauw Kam dan suhengnya mengandalkan Jaring Naga, silat aneh yang tentu saja baru kali itu dilihat gadis ini di mana akhirnya gadis itu dibawa lari atau diculik sepasang suheng dan sute ini, yang sebenarnya masih paman gurunya, seperti yang sudah kita ketahui di depan.

Dan bagaimana nasib Soat Eng selanjutnya? Mari kita lihat.

**SF** "Brukk!"

Soat Eng dilempar di sudut guha ketika dengan tersengal-sengal Hauw Kam mengomel panjang pendek.

Pria ini merasa tubuh gadis itu kian berat saja, terkejut dan memberikan pada suhengnya tapi Gwan Beng juga merasakan hal yang sama.

Di sepanjang jalan gadis itu memaki-maki dan Hauw Kam berang, dua kali mau menampar tapi sang suheng mencegah.

Gwan Beng teringat wajah seseorang dan berkali-kali dia memeras otak.

Wajah Soat Eng serasa dikenalnya, begitu dikenalnya namun sayang dia tak ingat lagi kapan dan di mana, karena sesungguhnya yang dikenal atau diingat laki-laki itu adalah wajah sumoinya, Swat Lian, ibu gadis ini.

Maka ketika mereka sudah jauh meninggalkan rumah hartawan she Lauw dan Gwan Beng maupun sutenya tertarik oleh kepandaian Soat Eng maka Gwan Beng akhirnya minta berhenti di sebuah guha untuk mulai mencari data.

"Gadis ini menarik, dia pandai mainkan ilmu silat pedang kita. Dan dia tahu namanya pula. Eh, kita berhenti di sini, sute. Kita korek keterangan darinya dari mana dia tahu semua itu!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm!"

Hauw Kam bersungut-sungut.

"Dan dia menyebut ilmu pedang kita Giam-lo Kiam-sut. Gila! Apakah kita yang tak tahu namanya atau gadis ini menyebutnya secara sembarangan saja, suheng? Baik, kita istirahat dan kompres mulutnya. Kalau dia tidak mau mengaku maka kita siksa!"

"Heii!"

Soat Eng berteriak-teriak.

"Kalian boleh siksa atau bunuh aku, manusia-manusia siluman. Aku tidak takut! Kalian pencuri, kalian pendusta. Itu adalah Giam-lo Kiam-sut dan warisan kakekku yang gagah pemberani Hu Beng Kui. Kalian siluman dari mana entah bagaimana mencuri ilmu pedang kakekku itu!"

"Hm, berkali-kali dia menyebut Hu Beng Kui. Siapa orang ini, suheng? Di mana dia?"

"Aku tak tahu. Sebaiknya kita tanya dia,"

Dan Gwan Beng yang berkerut-kerut menghadapi gadis itu lalu memandang bersinar-sinar dan bertanya, suaranya halus, lain dengan Hauw Kam yang suka membentak-bentak.

"Anak baik, siapa itu Hu Beng Kui? Di mana dia? Dan bisakah kau menemukan kami dengan orang yang kau sebut-sebut sebagai kongkongmu (kakek) itu?"

"Bangsat keparat! Lepaskan aku dulu, cambang tengik. Bebaskan aku dan baru kita bicara!"

"Hm, kau liar. Dan amat lihai. Sementara ini tak dapat kami bebaskan dan kau bicaralah terus terang..."

"Terus terang apa lagi? Aku cucu Hu Beng Kui. Dan awas kalian kalau bertemu dengan ayahku. Pendekar Rambut Emas!"

"Hm, nama ayahmu pun menarik. Kami juga sering mendengar nama ayahmu ini disebut- sebut sepanjang jalan, Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas! Eh, di mana kalau begitu ayahmu itu, anak baik? Kau dapat menemukan kami dengan ayahmu itu?"

"Kau segera akan diantarnya ke akherat. Ayah dan ibuku tinggal di luar tembok besar. Hayo kalian ke sana kalau berani!" **SF** (Bersambung

Jilid 21) Bantargebang, 19-12-2018,10.57 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 21 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 21 * * * "TENTU BERANI!"

Hauw Kam tiba-tiba mencelat, bangun dengan muka berang.

"Kami tak takuti siapapun, anak liar. Biarpun ayahmu itu lihai namun kami tidak takut!"

"Bagus, kalau begitu antar aku ke sana. Kalian akan tahu rasa!"

Soat Eng menantang, diam- diam girang dan memancing kemarahan orang. Tapi ketika Gwan Beng, si cambang itu mengulapkan lengan dan menyuruh sutenya diam, hal yang membuat gadis ini kecewa maka laki-laki itu berkata.

"Sute, tak perlu terbakar. Gadis ini pandai mulutnya. Kau tenanglah di situ dan biar aku yang bertanya jawab."

"Hm, dia memang pandai membakar orang, tapi aku tak terbakar!"

Si gimbal itu menjawab, mata melotot tapi Soat Eng geli karena laki-laki ini jelas marah, terbakar.

Namun ketika si cambang mengulapkan lengannya sekali lagi dan minta agar sutenya itu tak membantah maka laki-laki ini sudah kembali menghadapi Soat Eng.

"Kau pintar, dan jelas lihai. Hm, bolehkah aku tahu lebih banyak tentang ayah ibumu itu, anak baik? Apakah kau tak keberatan untuk kita bicara secara baik-baik?"

"Aku mau bicara baik-baik, tapi bebaskan aku dulu!"

Soat Eng berkata, mulai lunak sikapnya karena si cambang yang gagah ini memang lembut kepadanya. Dan ketika laki-laki itu tampang bimbang dan mengerutkan kening maka buru-buru gadis ini berkata.

"Kalian di sini ada berdua, aku sendiri. Rasanya tak perlu khawatir kalau aku melarikan diri!"

"Hm, bukan masalah khawatir. Tapi kami tak mau kau melakukan tindak kekerasan!"

"Bukankah sama saja? Kalian berdua dan aku sendiri, lo-koai (orang aneh). Tak perlu takut apalagi menghadapi aku yang hanya seorang anak kecil!"

Si cambang tersenyum.

Akhirnya apa boleh buat dia membebaskan totokan gadis itu, bersiap dan waspada kalau Soat Eng menyerang.

Tapi ketika Soat Eng melompat bangun dan mengosok-gosok tangannya, yang terasa pedas dan sedikit sakit maka si cambang ini memperingatkan.

"Awas, jangan membuat onar. Kau berjanji untuk bicara baik-baik setelah kubebaskan. Nah, bicaralah, anak baik. Aku mendengar dan kau bercerita!"

"Apa yang harus kuceritakan?"

Soat Eng mendongkol.

"Kalian telah mendengar nama ayahku dan bilang tidak takut!"

"Hm, bukan takut atau tidak. Melainkan berceritalah siapa ayah ibumu itu."

"Ibuku puteri Hu-taihiap, dan ayahku adalah murid Bu-beng Sian-su!"

"Bu-beng Sian-su?"

Gertakan Soat Eng gagal.

"Aku tak pernah mendengar semuanya ini, bocah. Rasanya semuanya itu asing bagi kami!"

"Sungguh buta!"

Gadis itu membanting kaki.

"Bu-beng Sian-su adalah kakek dewa maha sakti, lo-koai. Kalau kau tak mendengar namanya padahal semua orang di kolong jagad mengetahui belaka maka kalian bagai katak dalam tempurung. Rupanya kalian ini tak pernah melongok keluar dan selalu menyembunyikan diri bagai seorang pengecut!"

"Hm, kami memang menyembunyikan diri, tapi bukan pengecut!"

Gwan Beng berkata, mata bersinar tajam.

"Tak dapat kami sangkal bahwa belasan tahun kami tak menengok dunia kang-ouw, nona. Tapi kami sama sekali bukan pengecut. Kami sungguh tak tahu apa- apa dan justeru muncul untuk tahu apa-apa!"

Soat Eng tertegun.

"Kalian berdua ini siapakah? Apakah nama sendiri juga tak diingat-ingat?"

"Aku Hauw Kam!"

Hauw Kam tiba-tiba meloncat maju, seakan hendak menerkam mangsanya.

"Dan itu suhengku...."

"Stop!"

Gwan Beng mencegah sutenya.

"Tak perlu memperkenalkan nama, sute. Kalau gadis ini berbahaya untuk kita sebaiknya tak usah menyebut nama kita. Siapa tahu ayah ibunya adalah musuh!"

"Hm!"

Hauw Kam teringat, bayangan nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin segera ditangkap.

"Maaf, suheng. Aku hampir terlanjur."

"Sudahlah, kau mundur, dan biarkan aku bicara dengan bocah ini."

Hauw Kam mundur, mengangguk dan mengerti maksud suhengnya.

Memang mereka tak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan, dalam kaitannya dengan nenek Naga atau Hek-bong Siauw-jin itu, suhu dan subo yang mereka takuti, yang bayangannya masih membekas dalam dan Hauw Kam maklum.

Dan ketika Soat Eng tertegun dan membelalakkan mata, tak mengerti maka si cambang itu sudah menghadapinya kembali dan berkata tersenyum, ramah.

"Maaf, siapa kami sebaiknya ditunda dulu. Kami tak tahu siapa kau dan ayah ibumu itu. Kami masih gelap, tak tahu apakah kau lawan atau bukan."

"Hm, bukankah kau sudah kuberi tahu bahwa ayah ibuku adalah Kim-mou-eng? Bukankah sudah kuberi tahu pula bahwa kakekku adalah Hu-taihiap atau Hu Beng Kui yang gagah perkasa?"

"Benar, tapi kami belum pernah bertemu atau berkenalan dengan orang-orang yang kau sebut itu, nona. Kami hanya mendengar di luaran saja dan tak tahu apakah mereka itu orang baik atau bukan!"

"Apa? Kau menganggap ayahku orang jahat dan ibu atau kakekku orang-orang golongan sesat? Keparat, hati-hati, cambang. Aku bisa marah dan menyerangmu nanti!"

"Hm, sabar. Tahan dulu!"

Si cambang menggoyang lengan.

"Benar atau tidak barulah yakin kalau sudah kami buktikan, anak baik. Seperti halnya kau melihat kami berdua ini..."

"Aku menganggap kalian jahat, jelas berbeda dengan ayah ibuku, juga kakekku!"

"Terserah, tapi kami tak mengganggu atau membunuhmu. Bukankah kau bebas juga berkat kebaikan kami? Bukankah kau bisa bicara adalah berkat kemurahan kami pula? Tak perlu berdebat, ceritakan lagi tentang ayah ibumu itu, anak baik. Karena aku serasa mengenal wajahmu, dirimu!"

Soat Eng mangar-mangar.

Kalau dia tak tahu bahwa dua orang ini amat lihai dan Jaring Naga benar-benar membuat dia tak berkutik, dan karena itu dia roboh, barangkali dia sudah menyerang dan lompat menerjang musuh- musuhnya ini.

Tapi karena dia maklum bahwa dua orang itu memang lihai dan tak perlu marah-marah kalau betul-betul tak terpaksa akhirnya gadis ini mengepal tinju dan duduk membanting tubuh di sudut.

"Sudah kuberi tahu tadi, tak usah cerita lagi!"

Si cambang tertegun.

Sikap Soat Eng dan keberaniannya yang mengagumkan sungguh membuat dia memuji.

Gadis ini pemberani dan gagah, ilmu kepandaiannya juga tinggi dan kalau tidak berkat Jaring Naga terus terang barangkali dia tak dapat merobohkan.

Maka melihat Soat Eng marah dan muka yang ditekuk itu tampak cemberut dan gelap, tapi tidak mengurangi kecantikannya tiba-tiba si cambang ini tersenyum dan tertawa.

"Baiklah,"

Dia tak marah.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Maaf kalau kami membuatmu tak senang, nona. Tapi harap jangan coba-coba lari kalau ingin beristirahat."

"Siapa mau lari?"

Soat Eng melotot.

"Asal kalian tidak menggangguku aku tak akan lari, cambang. Tapi sekali kalian kurang ajar maka jangan harap aku akan menepati janjiku lagi!"

"Hm, aku tahu,"

Dan Gwan Beng atau si cambang yang tersenyum dan menarik napas di sebelah adiknya lalu berkata agar gadis itu diperhatikan baik-baik.

"Dia ingin beristirahat tanpa diganggu. Biarlah dia sendirian dan setelah itu kita melanjutkan perjalanan kita lagi."

"Kemana?"

"Ke tempat ayah ibunya itu, sute. Ke tempat Kim-mou-eng!"

"Mau menyerahkan bocah siluman itu?"

"Tidak, melainkan untuk menunjukkan pada gadis ini bahwa kita tak takut, biar terhadap ayah atau ibunya itu. Dan sekalian mencari tahu siapa ibu atau ayah gadis ini, karena aku serasa sudah mengenalnya!"

Hauw Kam, sang sute, terbelalak.

"Kalau kita mau ke sana sebaiknya gadis ini disembunyikan, suheng. Jangan dibawa serta!"

"Kenapa?"

"Dia... dia dapat membantu ayah ibunya nanti, merepotkan kita!"

"Hm, kalau dia kita totok dan kita kuasai tak mungkin hal itu terjadi, sute. Aku tak khawatir."

"Tapi Pendekar Rambut Emas kudengar amat lihai, dan isterinya juga tak kalah hebat!"

"Kau takut?"

"Bukan takut, suheng. Melainkan semata berhati-hati!"

"Sudahlah, kita hanya takut dan perlu berhati- hati kalau bertemu dengan suhu atau subo. Kalau gadis ini dirasa membahayakan boleh saja kita sembunyikan dia sebelum bertemu ayah ibunya. Tapi, hmm.... kau tidak merasa pernah melihat gadis ini, sute. Kau tidak merasa pernah mengenal wajah itu?"

"Aku, hmm... aku serasa mengenalnya. Tapi aku tak tahu di mana dan kapan!"

"Cocok, aku juga begitu. Karena itu jangan bertindak gegabah sebelum kita tahu benar siapa sebenarnya gadis ini!"

Soat Eng mendongkol.

Akhirnya percakapan yang dilakukan setengah bisik-bisik itu tak terdengar lagi.

Dia merasa girang tapi juga mendongkol bahwa dua orang laki-laki itu akan tetap menguasainya, hal yang sebenarnya membuat dia marah tapi tak berdaya.

Tapi karena mereka akan ke tempat ayah ibunya dan hal ini dianggapnya sebagai ular mencari gebuk maka Soat Eng gembira dan mengharap dua laki-laki itu tak berbohong, tak takut menghadapi ayah ibunya dan diam-diam timbul semangat yang berkobar di hatinya.

Kalau dua musuhnya itu sudah bertemu ayah ibunya dan menerima hajaran tentu mereka tahu rasa.

Tapi membayangkan bahwa dia akan disembunyikan dulu sebelum bertemu ayah ibunya tiba-tiba perasaan gadis ini terbakar dan dia mengancam akan berbuat sesuatu, kalau mereka sudah tiba di tembok besar.

Dan ketika malam itu dia tetap dijaga dan percuma agaknya melarikan diri maka Soat Eng mendengus dan...

tidur nyenyak! **SF** "Ssst, jangan berisik,"

Sin-tung Lo-kai memberi isyarat dua muridnya.

"Aku mencium bau manusia, Lu Sam. Kalian hati-hati dan lihat guha di depan itu!"

Lu Sam, bersama sutenya Kiat Ma melihat arah yang dituding gurunya.

Mereka akhirnya berkumpul lagi setelah melakukan tugasnya masing-masing.

Sepasang Copet ini telah membagi-bagikan hasil kerjaannya kepada fakir miskin.

Mereka telah membagi pundi- pundi uang milik Lauw-wangwe seperti membagi-bagi uang miliknya sendiri saja.

Sepasang copet ini memang penolong kaum lemah dan perbuatan mereka direstui gurunya, kakek pengemis yang lihai ini.

Dan ketika mereka menyusur dan mencari jejak Hauw Kam dan suhengnya, dua orang "gila"

Itu maka malam itu mereka tiba di guha itu dan melihat api unggun yang menerangi luar guha, sayup- sayup tapi sudah cukup membuat tiga orang ini mengerti bahwa di dalam ada orang.

Dan ketika kakek pengemis itu menyuruh muridnya berhenti dan hati-hati, sikap yang tiba-tiba membuat Lu Sam dan sutenya tegang maka si kakek berkelebat dan sudah mendahului melihat keadaan.

"Kalian di sini saja, lohu (aku) akan melihat ke dalam guha itu!"

Kiat Ma dan suhengnya mengangguk.

Mereka melihat guru mereka itu sudah berkelebat cepat ke guha itu, ringan namun hati-hati.

Dan ketika mereka tak bersuara karena takut mengganggu gurunya maka Sin-tung Lo-kai sudah melongok dan berhati-hati melihat ke dalam guha.

Dan kakek pengemis ini girang.

Dia melihat Soat Eng di situ, meringkuk.

Dan tak melihat siapa pun lagi di tempat itu, selain si gadis, tiba-tiba kakek ini menggapai dan berkelebat masuk.

"Kalian ke sini, Kim-siocia ada di dalam!"

Kiat Ma dan suhengnya girang.

Akhirnya mereka juga merasa gembira dan berkelebat keluar, berlomba memasuki guha dan benar saja melihat Soat Eng meringkuk di situ, tidur.

Tak melihat dua orang lihai itu dan kakak beradik seperguruan ini langsung saja berteriak memanggil Soat Eng.

Dan ketika Soat Eng terkejut dan terbangun dengan membelalakkan mata, tak dapat bergerak karena dirinya ternyata sudah ditotok maka gadis ini girang tapi mengeluh melihat Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini.

"Kim-siocia, kami datang. Aih, selamat dan syukur tak ada apa-apa!"

"Dan di mana si gila yang lihai itu? Ha-ha, kau agaknya dapat melepaskan diri, siocia. Kami sudah khawatir setengah mati melihat kau dibawa si gila itu!"

Soat Eng berkejap-kejap.

Kiat Ma dan suhengnya sudah berkelebat datang dan tertawa-tawa.

Sin-tung Lo-kai memandangnya tersenyum tapi kakek ini tertegun melihat Soat Eng tak bangkit duduk, hal yang membuat kakek ini curiga.

Dan ketika dua muridnya tertawa girang dan menubruk si nona, sementara Soat Eng membelalakkan mata dan memandang lurus ke belakang maka bagai diperintah saja kakek itu menoleh dan....

terkejut melihat dua orang "gila"

Itu ada di mulut guha, menutup jalan lari mereka! "Kiat Ma, si gila ada di sini. Cabut senjata kalian!"

Kiat Ma dan suhengnya terperanjat.

Mereka juga curiga dan baru tertegun setelah melihat Soat Eng tak dapat bangkit duduk, tanda bahwa gadis itu tertotok dan mereka tentu saja terkejut.

Dan ketika guru mereka berteriak dan mereka menoleh serta melihat dua orang itu maka Lu Sam dan sutenya ini bagai disengat aliran listrik bertegangan tinggi.

"Koai-jin ada di sini, ahh...!"

Dan Kiat Ma serta suhengnya yang mencabut tongkat serta berseru keras tiba-tiba sudah didahului gurunya karena Sin-tung Lo-kai sudah menghantam, berkelebat dan melepas serangan dan Gwan Beng di sebelah kiri mengelak.

Dia memberi kesempatan pada sutenya dan Hauw Kam tertawa mengejek, tidak menangkis melainkan menyambut pukulan tongkat itu.

Dan ketika tongkat diterima dan Sin-tung Lo-kai berteriak sekuat tenaga maka tongkat meledak namun hancur di tangan Hauw Kam yang lihai ini.

"Kraakk!"

Sin-tung Lo-kai kaget sekali.

Memang dia tahu bahwa lawan yang dihadapi ini amat lihai.

Tapi bahwa dalam sekali gebrakan saja tongkatnya tahu-tahu hancur dan tak dapat dipergunakan maka kakek ini tentu saja kaget bukan main di samping marah, marah karena dia menghadapi lawan yang lihai, yang sudah diketahui kelihaiannya dan jelas dia bukan tandingannya.

Tapi karena kakek itu bukanlah seorang penakut dan biarpun jelek dia adalah seorang gagah maka kakek itu membentak dan mencabut tongkat yang lain, menghantam dan menyerang lagi dan kali ini lawan mengelak ke sana-sini.

Hauw Kam tertawa mengejek lawannya itu, merendahkan.

Dan ketika Kiat Ma dan suhengnya ikut membantu dan menerjang dua orang itu maka Gwan Beng mendengus dan berkelebat lenyap entah ke mana.

"Sute, robohkan tiga orang ini. Tangkap mereka!"

Hauw Kam tertawa bergelak.

Tongkat yang menyambar naik turun sudah diketuk atau disentil, Sin-tung Lo-kai terkejut karena ketukan atau sentilan itu selalu menggetarkan tangannya.

Kian lama kian hebat hingga telapaknya pedas, perih dan luka, terbeset! Tapi ketika kakek itu menggeram dan nekat memegang tongkat seerat-eratnya maka di sana Kiat Ma dan suhengnya juga membentak dan merasakan yang lebih dari gurunya.

Mereka bertiga terus menyerang namun lawan benar-benar bukan tandingan.

Hauw Kam memuji kagum karena lawan benar-benar keras hati, padahal telapak mereka sudah pecah-pecah berdarah.

Dan ketika pertandingan dirasa cukup dan dia gemas melihat kenekatan tiga orang ini maka Hauw Kam membentak dan satu tendangan keras membuat tongkat mencelat dan Sin-tung Lo- kai bersama dua muridnya terlempar.

"Haihh, sekarang kalian roboh.... des-des- plakk!"

Kiat Ma dan suhengnya mengeluh, jauh terbanting di sudut guha dan terkaparlah mereka mendesis-desis.

Sin-tung Lo-kai sendiri mencelat dan akhirnya pingsan, kakek itu mendapat pukulan amat keras di mana tongkatnya tiba-tiba membalik, menghantam dada sendiri.

Dan ketika kakek itu terjengkang dan semua roboh tak berdaya maka Gwan Beng muncul dan sudah menyuruh sutenya mengikat tiga orang itu.

"Tak perlu dibunuh. Ikat saja menjadi satu dan lempar mereka di sana!"

Hauw Kam tertawa-tawa.

Dia telah melakukan apa yang telah diperintah suhengnya dan Kiat Ma serta gurunya kebetulan paling dekat dengan Soat Eng.

Tapi karena kakek pengemis itu pingsan dan Kiat Ma meringis menahan sakit maka Lu Sam memaki-maki namun tak dihiraukan dua orang itu.

"Kalian bodoh,"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soat Eng bersinar-sinar, kagum namun kecewa.

"Kenapa datang dan kurang hati-hati? Sekarang kita berempat menjadi tawanan, Kiat Ma. Dan aku menyesal bahwa kalian tak dapat kutolong."

"Tak apa."

Kiat Ma meringis.

"Kami datang memang siap menanggung resiko, Kim-siocia. Kalau gagal itulah nasib kami."

"Tapi dua orang ini cukup baik-baik. Mereka tak suka membunuh."

"Siapa takut dibunuh? Kalau pun mati aku tak takut, siocia. Mati membelamu adalah sebuah kehormatan bagiku!"

"Hm!"

Soat Eng merah mukanya.

"Kenapa kau bicara begitu?"

"Kenapa tidak?"

Si copet bersemangat.

"Kau adalah puteri Pendekar Rambut Emas, nona. Dan kau cucu Hu-taihiap yang gagah perkasa pula. Mati membela orang baik-baik macam dirimu ini adalah satu keberuntungan besar!"

"Hm, sudahlah,"

Soat Eng tiba-tiba muram.

"Kakekku tiada lagi, Kiat Ma. Tapi kalau dua orang ini bertemu ayah atau ibuku tentu mereka tahu rasa. Kalian diam saja, suruh suhengmu tak memaki-maki karena gatal rasanya telingaku!"

Kiat Ma tertegun.

Memang suhengnya memaki- maki namun dua orang itu tak ada di tempat.

Tadi kedatangan mereka sebenarnya diketahui dan orang lihai macam Hauw Kam atau suhengnya ini tentu saja tertawa melihat Sin- tung Lo-kai dan dua muridnya ini.

Mereka membiarkan dua orang itu masuk lalu berkelebat menampakkan diri, setelah menotok Soat Eng karena dikhawatirkan gadis itu membuat repot, kalau membantu si pengemis dan dua muridnya ini.

Maka begitu mereka muncul dan Soat Eng terbelalak melihat kedatangan teman-temannya maka gadis itu mengeluh karena Sin-tung Lo-kai tak mungkin dapat menolongnya, benar saja dirobohkan dan kini tiga orang itu tergeletak di dekatnya, bangga sekaligus kecewa karena orang-orang macam guru dan murid ini tak mungkin mampu menghadapi Hauw Kam dan suhengnya.

Dan ketika mereka meringkuk dan malam itu semuanya menjadi tawanan maka keesokannya mereka diseret sementara dia dipanggul si cambang, Gwan Beng.

"Kalian harus dihukum, berani coba-coba menolong tawanan. Nah, rasakan sepanjang jalan dan siapa tak kuat sakit boleh berteriak- teriak, ha-ha!"

Kiat Ma dan suhengnya mendelik.

Mereka diseret dan diejek untuk berteriak-teriak, kalau sakit.

Namun karena guru mereka tak berteriak meskipun sakit dan mereka diminta untuk menggigit bibir menahan sakit maka Kiat Ma dan suhengnya tak berteriak-teriak.

Yang mereka lakukan adalah memaki-maki penawannya ini namun Hauw Kam terkekeh- kekeh.

Gwan Beng tersenyum-senyum sementara sebentar saja pakaian guru dan murid itu sudah robek-robek.

Kulit mereka pecah berdarah dan hanya Sin-tung Lo-kai ini yang dapat bertahan.

Kakek itu dapat mengerahkan sinkangnya hingga batu-batu tajam atau kerikil tak dapat "menggigit"

Tubuhnya, lain dengan Kiat Ma maupun suhengnya yang tentu saja tak sekuat guru mereka.

Dan ketika Soat Eng tak tahan karena siksaan itu dirasa kejam, tak ingat diri sendiri yang pernah melakukan hal yang sama terhadap Ituchi maka gadis itu berteriak dan minta berhenti.

"Bebaskan mereka, biar aku saja yang kalian bawa!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Maksudku jelas, cambang. Mereka tak bersalah dan akulah yang kalian inginkan. Hayo bebaskan mereka dan berhenti!"

Gwan Beng berhenti. Tapi sutenya yang terus menyeret dan tertawa-tawa tiba-tiba dibentak Soat Eng.

"Gimbal, dengar kata-kataku. Berhenti atau aku mampus menggigit telinga suhengmu!"

Hauw Kam terkejut. Suhengnya di sana berseru tertahan karena Soat Eng tiba-tiba telah menggigit telinga Gwan Beng hingga suhengnya tersentak. Dan ketika dia berhenti dan tertegun melihat itu maka Soat Eng mengancam.

"Nah, kau turuti kata-kataku dan bebaskan mereka atau aku akan menggigit putus telinga suhengmu ini dan dia menghantam mampus aku!"

Hauw Kam tertegun.

"Bagaimana, suheng?"

"Kau berhenti, dan lepaskan mereka!"

"Kau takut akan ancamannya?"

"Tidak."

"Kalau begitu pukul mampus dia, atau aku..."

"Tidak!"

Gwan Beng tiba-tiba membentak.

"Aku tak tahan melihat gadis ini menangis, sute. Bebaskan mereka dan biarkan mereka pergi!"

Hauw Kam melongo.

Suhengnya tiba-tiba menangis ketika melihat Soat Eng menangis.

Memang gadis itu menangis karena tak tahan melihat penderitaan Kiat Ma dan suhengnya, karena gurunya sendiri dapat bertahan dan Sin-tung Lo-kai tak apa-apa, meskipun tentu saja kakek itu juga tersiksa dan diam-diam mengeluh.

Dan ketika Hauw Kam tertegun melihat suhengnya menangis sementara dia dibentak untuk membebaskan tiga orang itu tiba-tiba Hauw Kam tertawa bergelak menendang guru dan murid ini, berseru.

"Heh, kalian beruntung, orang-orang sial. Kalau tak heran melihat suhengku menangis gara-gara seorang perempuan menangis pula tentu kalian sudah kuseret dan kusiksa sepanjang jalan lagi. Baiklah, kalian bebas dan cepat pergi dari sini.... des-des-dess!"

Hauw Kam menendang guru dan murid-muridnya itu, mencelat dan mereka bakal terbanting kalau saja sesosok bayangan tidak berkelebat dan menerima Sin-tung Lo-kai dan dua muridnya ini, membentak dan menyambarlah seorang pemuda di situ yang sudah menurunkan guru dan murid ini.

Dan ketika Hauw Kam terkejut sementara Sin-tung Lo-kai sendiri melongo dan membelalakkan mata lebar-lebar maka jeritan atau teriakan tertahan terdengar dari mulut Soat Eng, yang melihat dan segera mengenal pemuda itu.

"Siang Le...!"

Gwan Beng ikut terkejut dan tertegun.

Di depan mereka berdiri seorang pemuda gagah yang matanya bersinar-sinar, tadi menerima dan menangkap kakek pengemis itu beserta muridnya, menurunkan dan kini sudah tegak dengan mata bersinar marah.

Dan ketika Hauw Kam maupun suhengnya terkejut dan membelalakkan mata maka Siang Le menoleh dan mengangguk pada Soat Eng, tersenyum.

"Ya, aku, Kim-siocia. Kau tak apa-apa? Kau baik-baik saja?"

"Ah, cepat serang dua orang ini, Siang Le. Tapi hati-hati karena mereka tangguh dan berbahaya!"

"Hm, aku memang akan melakukan itu. Aku tak takut!"

Dan Siang Le yang sudah membalik dan menghadapi dua lawannya ini lalu berkata dengan suara geram.

"Iblis-iblis busuk, kalian melakukan apa terhadap Kim-siocia? Kalian melakukan apa pula terhadap kakek pengemis dan murid-muridnya itu? Kalian suka menyiksa orang? Kalian tidak berperikemanusiaan?"

"Hm, siapa kau?"

Hauw Kam membentak, sudah hilang kagetnya.

"Kau teman bocah perempuan ini? Kau kekasihnya?"

"Bukan,"

Siang Le merah mukanya.

"Tapi aku teman baiknya di mana aku tak akan membiarkan kalian berbuat sesuka hati."

"Ha-ha, kalau begitu kau bohong!"

Dan Hauw Kam yang berkelebat dengan tawanya yang besar tiba-tiba menjulurkan lengan dan sudah mencengkeram pemuda ini, cepat dan kuat dan Sin-tung Lo-kai kaget karena gerakan itu amatlah cepatnya.

Siang Le sendiri terkejut dan tak sempat mengelak.

Namun karena pemuda ini adalah murid See-ong dan dia bukanlah pemuda sembarangan maka Siang Le menggerakkan lengan dan tentu saja menangkis.

"Dukk!"

Siang Le mencelat! Hauw Kam sendiri tergetar dan terdorong setindak, berseru tertahan karena sesungguhnya dia memang ingin mencoba, melilhat gerakan ringan dan kepandaian Siang Le ketika menerima dan menangkap Sin-tung Lo-kai dan murid- muridnya tadi.

Dan ketika cengkeramannya ditangkis dan Hauw Kam merasa betapa kuat dan hebat sinkang pemuda ini maka dia tergetar dan berseru kagum memuji lawan, yang mencelat dan jatuh berdiri dengan tubuh tidak bergoyang-goyang, seperti arca besi! "Wah, hebat, suheng.

Pemuda ini juga calon lawan yang berat!"

Gwan Beng terkejut.

Dia melihat mencelatnya pemuda itu namun tak melihat si pemuda terpelanting atau terjengkang, apalagi terguling-guling.

Dan ketika Siang Le tegak berdiri bagai arca besi dan pemuda itu seolah patung yang dipindah atau diangkat tanpa bergeming maka Gwan Beng melihat Jing-kin- kang atau Tenaga Pemberat Seribu Kati yang telah diperlihatkan pemuda ini, sama seperti ketika Soat Eng juga melakukan itu, ketika digendong.

"Hm, memang hebat!"

Gwan Beng memuji kagum.

"Dan kau menghadapi calon lawan yang tangguh, sute. Beranikah kau meneruskan main-mainmu?"

"Ha-ha, kenapa tidak? Meskipun hebat tapi aku belum mengetahui semua kepandaiannya, suheng. Biarlah kucoba-coba dan lihat apakah dia tidak roboh... slap!"

Dan Hauw Kam yang lenyap mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya tiba-tiba bergerak dan sudah menyerang.

Dua jarinya menusuk dan kecepatan Hauw Kam dua kali lipat dibanding tadi.

Sin-tung Lo-kai sekarang tak dapat mengikuti gerakannya karena tahu-tahu si gimbal itu sudah berada di depan hidung.

Siang Le sendiri tersentak dan berseru keras.

Tapi karena dia sudah waspada dan sejak tadi tak lengah barang sekejap maka pemuda itu bergerak dan tusukan dua jari lawan cepat ditamparnya dengan pengerahan sinkang.

"Plak!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Kali ini si pemuda terdorong dua tindak.

Siang Le tak mencelat lagi karena sudah menambah tenaganya, tadi terkejut dan kaget karena dia tak menyangka kehebatan lawannya.

Maka begitu kali ini ia mengerahkan sinkangnya dan tenaga ditambah maka Hauw Kam tergetar dan marah memandang pemuda itu, ditangkis dan untuk kedua kalinya dia melihat kehebatan lawannya ini.

Dia melotot dan membentak lagi.

Dan ketika dengan cepat dia berkelebat dan menyerang lagi maka Siang Le sudah menghadapi puluhan bayangan yang bergerak- gerak di sekitar tubuhnya, mencengkeram dan melepas pukulan atau tamparan dan Siang Le mengelak maju mundur.

Tapi ketika lawan mempercepat gerakannya dan Sin-tung Lo-kai berteriak tertahan karena ledakan nyaring terdengar bertubi-tubi maka Siang Le memekik dan cepat melejit dan mainkan ilmu silat Sin- re-ciangnya.

"Plak-des-dess!"

Gwan Beng terkejut.

Dia melihat sutenya menjerit ketika lengan si pemuda tiba-tiba mulur seperti karet, maju mundur dan ganti pemuda itu yang menusuk atau mencolook.

Dan karena gerakan ini sungguh tak diduga dan Hauw Kam lambat berkelit maka tusukan atau colokan Siang Le mengenai pinggir matanya.

"Crat!"

Hauw Kam melengking.

Tiba-tiba Siang Le sudah membalasnya dan pemuda itu pun berkelebatan cepat.

Dan karena Siang Le adalah murid See-ong dan sebagai murid datuk dari barat itu pemuda ini adalah pemuda yang lihai maka cepat dan bertubi-tubi pula Siang Le melepas pukulan-pukulan berbahaya.

Sin-re- ciang dimainkan sepenuhnya dan terbelalaklah Hauw Kam melihat lengan yang mulur mengkeret seperti karet.

Pemuda itu sering mengejutkannya dengan serangan-serangan tak diduga.

Kedua lengannya yang tiba-tiba memanjang tanpa diduga sungguh mirip lengan lutung yang panjang dan menjangkau, sekali mulur tahu-tahu sudah di depan hidung.

Dan ketika Hauw Kam tentu saja marah dan pria ini menjerit tiba-tiba saja gilanya amot (kambuh).

"Weh, her-herr...!"

Hauw Kam mencak-mencak.

Bergerak dan berkelebatan seperti monyet menari-nari mendadak Hauw Kam yang gimbal-gimbal ini marah besar.

Dia terpental ketika menangkis, tenaga lawan dirasa kian kuat saja setiap beradu.

Maklumlah, Siang Le sekarang memang mengerahkan segenap kepandaiannya setelah tadi terkejut oleh adu pukulan pertama.

Dan ketika pemuda ini membalas dan membuat kedua lengannya mulur mengkeret maka setiap perubahan atau maju mundurnya tangan Sin-re-ciang memang sering mengejutkan Hauw Kam.

"Plak-des-dess!"

Mereka kembali sama-sama tergetar.

Hauw Kam memekik dan menjerit seperti kera marah.

Sekarang gerak-geriknya tak keruan namun justeru di balik semua kekacau- balauannya ini Hauw Kam mainkan Sin-kauw- kun (Silat Kera Sakti), satu pelajaran baru ketika dia berada di hutan, bersama suhengnya.

Namun ketika Sin-kauw-kun masih juga terpental oleh mulur mengkeretnya Sin- re-ciang maka Hauw Kam melengking dan mencabut pedangnya.

"Jangan membunuh!"

Gwan Beng tiba-tiba berseru.

"Ganti pedangmu, sute. Jangan membunuh!"

Aneh, Hauw Kam mengangguk.

Siang Le melihat lawan tiba-tiba membentak dan melengking.

Pedang yang tajam tiba-tiba lenyap lagi di belakang punggung.

Dan ketika sinar lain berkelebat dan sebatang pedang kayu sudah berada di tangan lawannya ini maka si gimbal Hauw Kam terkekeh-kekeh.

"Ha-ha, roboh kau, bocah. Sekarang aku akan mainkan ilmu silatku ini... sing-wut!"

Pedang bergerak, maju membacok namun ternyata berubah di tengah jalan, tidak jadi membacok melainkan menusuk. Dan ketika Siang Le menangkis namun pedang berputar arah maka ujung pedang mencukil dan.... bahu Siang Le robek terkuak.

"Bret!"

Siang Le terkejut.

Tiba-tiba lawan tertawa gembira dan sudah melakukan jurus-jurus aneh, pedang bergulung-gulung dan terkejutlah Siang Le ketika dia terdesak.

Dan ketika satu tikaman miring kembali menuju lehernya namun ketika dikelit ternyata tiba- tiba berubah menusuk dada maka Siang Le kaget bukan main karena ujung pedang tahu- tahu sudah menyentuh dadanya itu.

"Cret!"

Siang Le kelabakan.

Kalau pedang itu pedang sungguhan dan dia tidak melindungi diri dengan sinkang mungkin dadanya sudah berlubang oleh tusukan lawan yang amat lihai.

Lawan tertawa terkekeh-kekeh dan pucatlah Siang Le ketika pedang kembali berkelebatan menari-nari.

Dia benar-benar terdesak dan menangkis tapi pedang selalu menyelinap atau melejit secara tak diduga, selalu mengenai tubuhnya dan rasa sakit atau pedas-pedas mulai mengganggu pemuda ini, maklumlah, setiap tusukan atau tikaman pedang meskipun hanya pedang kayu namun singkang yang dimiliki lawan cukup tinggi.

Pedang itu sebenarnya tak kalah ampuh dengan pedang sungguhan, hanya tajamnya saja yang berbeda.

Dan ketika pedang menyambar- nyambar dan perlahan tetapi pasti Siang Le semakin terdesak pucat maka Soat Eng yang melihat di sana tiba-tiba gelisah.

"Lompat ke kiri, jaga lambungmu...!"

Soat Eng mulai berbisik-bisik, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh.

"Jangan tangkis atau pukul pedang itu, Siang Le. Banting tubuh ke kanan dan setelah itu tendang si gimbal secara bergulingan!"

Siang Le terkejut.

Suara Soat Eng tiba-tiba menyusup di telinganya, mula-mula mendengung namun akhirnya jelas.

Dia melirik dan melihat mulut si nona berkemak-kemik, giranglah Siang Le dan cepat dia menuruti semua kata-kata ini.

Dan karena Soat Eng mengenal ilmu pedang Hauw Kam dan tentu saja tahu jurus-jurus yang dipergunakan paman gurunya itu maka Siang Le yang mengikuti semua kata-kata soat Eng tiba-tiba mulai dapat meloloskan diri! "Benar, dan sekarang ketuk pergelangan lawanmu itu.

Awas pedangnya akan memutar ke perut!"

Siang Le membuta.

Selama hidup pemuda ini belum berhadapan dengan Giam-lo Kiam-sut, jadi tak aneh kalau dia terdesak dan bingung oleh gerakan-gerakan pedang yang luar biasa itu.

Maka begitu dia mengikuti dan kata-kata Soat Eng selalu menyelamatkannya dari sambaran-sambaran pedang yang lihai dan Hauw Kam tertegun karena pemuda itu tiba- tiba sudah mengetahui ke mana dia akan menyerang maka Siang Le terlepas dan kini mulai melakukan serangan-serangannya dengan Sin-re-ciang itu.

"Des-plak!"

Hauw Kam terpelanting.

Ilmu Silat Karet atau Sin-re-ciang itu tiba-tiba hidup kembali, pedangnya mengenai tempat kosong dan lengan lawan yang mulur tahu-tahu sudah berada di depan mukanya.

Hauw Kam mengelak namun kalah cepat.

Dan ketika pundaknya terpukul dan laki-laki itu bergulingan maka untuk selanjutnya Siang Le sudah mendesak dan selalu menutup serangan-serangan pedang, menjadikan Giam- lo Kiam-sut mati kutu! "Keparat!"

Hauw Kam melotot, gusar.

"Bagaimana sekarang kau tahu gerakan- gerakan pedangku, bocah? Kau dapat membaca pikiran orang?"

"Ha-ha!"

Siang Le terbahak, gembira karena petunjuk Soat Eng benar.

"Aku memang dapat membaca gerakan-gerakan pedangmu, orang aneh. Dan sekarang kau tak dapat merobohkan aku!"

"Tak mungkin!"

Dan Hauw Kam yang memekik sambil menusuk ke kiri tiba-tiba berkelebat dan melakukan jurus yang disebut Pedang Maut Mencari Matahari, melakukan gerak berputar dan Siang Le terkejut.

Seperti biasa dia tak tahu kemana pedang itu selanjutnya akan menyerang, karena dia selalu mengandalkan petunjuk Soat Eng.

Dan ketika petunjuk itu datang dan Soat Eng memerintahkan agar dia menyambut dan mencengkeram pedang, satu perbuatan berbahaya, maka Siang Le sudah melakukan itu dan lawan terkejut karena dengan berani pemuda ini menyambut dan mencengkeram.

"Haiii...!"

Seruan itu menandakan marahnya Hauw Kam.

Sebenarnya Hauw Kam hendak melanjutkan lagi jurus mautnya tadi dengan satu bacokan ke bahu.

Tapi karena lawan tak mengelak dan justeru menyambut pedangnya, menangkap dan siap mencengkeram maka otomatis gerak selanjutnya menjadi gagal, melengking dan mengayun pedangnya dengan ganas.

"Plakkk!"

Siang Le mengerahkan Ilmu Karetnya itu.

Pedang adalah pedang kayu, tak perlu dia takut akan ketajamannya.

Dan karena Tangan Karet ini mempunyai gerakan lentur dan otomatis tak bakal terluka maka pedang yang tiba-tiba disambut dan dicengkeram pemuda ini seketika tertangkap.

"Jangan diadu...!"

Gwan Beng menjadi terkejut, kaget melihat sutenya marah dan kehilangan kontrol diri.

Apa yang seharusnya tak boleh dilakukan ternyata malah dilakukan sutenya itu.

Seharusnya sutenya menarik pedang dan melakukan serangan yang lain saja, jangan melampiaskan hawa marah dengan membiarkan pedang disambut lawan.

Dan ketika benar saja pedang tercengkeram dan lengket di tangan karet Siang Le tiba-tiba pedang tak dapat ditarik dan terlambat bagi sutenya itu untuk menyelamatkan diri, karena saat itu Siang Le sudah melakukan tendangan bawah pusar atas perintah Soat Eng.

"Dess!"

Hauw Kam mencelat.

Kelihaian Siang Le dan kepandaiannya yang sudah mengetahui kemana pedangnya selanjutnya bergerak membuat laki-laki ini mengeluh.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hauw Kam penasaran namun berkali-kali serangannya gagal.

Dan ketika pedangnya tercengkeram dan tak dapat ditarik, karena Siang Le membetot dan mengerahkan ilmu Karetnya maka tendangan si pemuda tepat sekali mengenai bawah pusarnya, roboh terpelanting dan Hauw Kam terguling-guling.

Siang Le ragu untuk mengerahkan semua tenaganya, karena tendangan itu dapat membunuh lawan.

Tapi ketika Hauw Kam melompat bangun dan terhuyung dengan mata mendelik, tanda bahwa lawan benar-benar orang yang amat kosen maka Gwan Beng berkelebat dan membentak menyerang pemuda itu, mengeluarkan Jaring Naga.

"Sute, tangkap pemuda ini dengan Jaring Naga. Kita bekuk dia!"

Siang Le terkejut.

Lawan tiba-tiba menggerakkan kedua tangan menghantam, ditangkis tapi tiba-tiba dari kedua lengan itu muncul benang laba-laba yang menggubat dan segera merekat di tangannya.

Dan ketika Siang Le berteriak kaget karena tangan tak dapat digerakkan, terbungkus dan sebentar saja dililit benang laba-laba itu maka Hauw Kam tertawa bergelak dan berkelebat menendang perutnya.

"Dess!"

Siang Le ganti mencelat.

Pemuda ini mengeluh dan Soat Eng terkejut.

Sekarang Siang Le bukan menghadapi permainan pedang lain melainkan silat Jaring Naga, ilmu silat yang mengeluarkan benang laba-laba itu.

Dan karena Soat Eng sendiri justeru tertangkap dan roboh oleh ilmu silat ini maka gadis itu tak dapat memberi tahu lagi apa yang harus dilakukan Siang Le.

"Bret-plak!"

Siang Le berseru keras.

Dia sedang bergulingan ketika dikejar dan menerima pukulan itu, berteriak karena Hauw Kam tiba- tiba juga mengeluarkan Jaring Naganya.

Si gimbal ini sudah menyimpan pedang dan tertawa-tawalah lawannya itu oleh kekagetan Siang Le.

Dan ketika Siang Le bingung dan gugup dan Gwan Beng berkelebat menyerang lagi maka ratusan atau ribuan benang laba- laba sudah mengurung pemuda ini dari segala penjuru.

"Kim-siocia, tolong. Bantu aku!"

Soat Eng pucat.

Dia tak dapat menolong kalau Gwan Beng dan sutenya sudah mengeluarkan ilmu silat yang aneh itu.

Dari sepasang lengan dua orang ini menyambar-nyambar benang- benang aneh yang daya rekatnya kuat.

Dan ketika Siang Le sibuk namun benang laba-laba itu terus mengejar dan mendesaknya akhirnya kaki dan tangan pemuda ini tergubat! "Ah, keparat!"

Siang Le memaki.

"Ini ilmu setan, manusia-manusia busuk. Kalian siluman dan benar-benar iblis!"

"Ha-ha!"

Hauw Kam tertawa bergelak.

"Boleh kau memaki-maki kami, bocah. Tapi sebentar lagi kau mampus!"

"Jangan bunuh!"

Gwan Beng berseru, memperingatkan sutenya.

"Tangkap hidup- hidup anak ini, sute. Aku jadi curiga dan ingin tahu bagaimana dia tahu ilmu pedang kita!"

"Benar,"

Hauw Kam teringat, mengangguk berseri.

"Kau benar, suheng. Aku juga jadi penasaran dan ingin tahu bagaimana tiba-tiba dia dapat mengetahui lebih awal semua ilmu silat pedangku tadi!"

Dan terkekeh serta mempergencar serangan-serangannya akhirnya Siang Le menjadi sibuk dan kewalahan, tak mampu berkelit lagi ketika benang laba-laba yang keluar dari Hauw Kam maupun suhengnya itu semakin tebal, mengurung dan sudah menggubat bahu dan lehernya.

Dan ketika Siang Le tak dapat bergerak karena sudah digubat demikian banyak benang laba-laba akhirnya pemuda itu jatuh berdebuk ketika sebuah totokan dilepas Gwan Beng.

"Bluk!"

Siang Le mengeluh. Sekarang pemuda ini tak berdaya dan memaki-makilah dia kepada dua orang lawannya itu. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan menggaplok mukanya maka pemuda ini mendesis dan melotot.

"Bocah, jangan macam-macam. Sekarang aku tak tahan mendengar semua makianmu. Nah, ikut baik-baik semua perintah kami!"

Lalu menghadapi suhengnya bertanya apa yang harus dilakukan si gimbal Hauw Kam ini berseru.

"Diapakan bocah ini, suheng? Dipanggang atau diasapi seperti babi disembelih?"

"Hm, itu nanti. Sekarang bagaimana dengan tiga tikus busuk itu!"

"Oh, pengemis ini? Ha-ha, lempar mereka ke sungai, suheng. Atau suruh pemuda ini menyeret ketiganya!"

"Tidak!"

Soat Eng tiba-tiba melengking.

"Kalian telah berjanji untuk melepaskan mereka itu, Koai-jin. Bebaskan mereka atau aku akan mengamuk!"

"Hm, gadis yang binar,"

Hauw Kam mengomel, geregetan.

"Gara-gara siluman betina ini kita jadi repot, suheng. Sebaiknya bocah ini diseret pula!"

"Tidak,"

Suhengnya menggeleng.

"Kita memang telah berjanji, sute. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar dua anak muda ini saja menjadi tawanan!"

"Kalau begitu biar kutendang mereka!"

Dan Hauw Kam yang sekali lagi menendang Sin- tung Lo-kai dengan marah membentak.

"Kalian pergi, pengemis busuk. Dan jangan perlihatkan tampang kalian lagi di depanku. Enyah!"

Sin-tung Lo-kai mengeluh.

Kakek pengemis ini mencelat dan segera dua muridnya menyusul.

Kiat Ma dan suhengnya mengaduh ditendang si gimbal.

Tapi ketika mereka dapat berdiri dan terhuyung bangun maka guru mereka tampak ragu-ragu memandang Soat Eng, yang segera berseru.

"Kalian jangan di sini. Tak usah khawatir, mereka akan membawaku menghadap ayah ibu!"

"Apa benar?"

Kakek ini tak percaya.

"Hanya orang gila yang berani menemui ayah ibumu, siocia. Dan lohu tak gampang percaya!"

"Cerewet!"

Hauw Kam berkelebat.

"Kau masih juga pentang mulut? Eh, pergi, pengemis busuk. Atau aku tak dapat menahan sabar dan kau kubunuh... des-dess!"

Sin-tung Lo-kai menjerit, langsung terbanting empat tombak dan Kiat Ma serta suhengnya pucat.

Mereka melihat guru mereka itu merintih dan tulang pundaknya retak, tak ayal melompat kaget dan menolong guru mereka itu.

Dan ketika Soat Eng kembali berseru dan berkata supaya mereka cepat pergi maka Kiat Ma menangis dan memanggul gurunya ini.

"Baiklah, kami pergi, siocia. Dan maaf bahwa kepandaian kami yang rendah sama sekali tak berguna!"

"Ha-ha, memang tak berguna!"

Hauw Kam tertawa bergelak.

"Kalian cepat enyah, tikus- tikus busuk. Atau kalian kupatahkan kakimu dan menyesal tak dapat pergi lagi!"

Lu Sam mengumpat. Suheng Kiat Ma ini cepat membantu sutenya dan dipondonglah guru mereka itu. Dan ketika mereka pergi dan tersaruk-saruk melangkah maka Soat Eng lega melihat mereka akhirnya lenyap.

"Nah, kau,"

Hauw Kam membalik, menghadapi tawanannya berdua.

"Ceritakan bagaimana kau tahu jurus-jurus ilmu pedangku, bocah. Dan bagaimana kau dapat berkelit sebelum seranganku berikut tiba!"

"Aku yang memberi tahu!"

Soat Eng tiba-tiba berseru, takut si pemuda disiksa.

"Pemuda ini tak tahu apa-apa, Koai-jin. Jangan marah kepadanya dan marah-marahlah kepadaku!"

"Apa?"

Hauw Kam terbelalak.

"Kau?"

"Ya, aku. Nah, kau boleh marah kepadaku dan bebaskan pemuda ini. Dia tak tahu apa-apa!"

"Ha-ha!"

Hauw Kam tiba-tiba tertawa bergelak, memandang suhengnya.

"Bagaimana pendapatmu, suheng? Apakah bocah ini yang gila atau aku yang tak mengetahui perasaan muda-mudi?"

"Hm, mereka jelas telah saling mengenal dengan baik. Dan Tangan Karet pemuda itu, hmm... kau pernah mendengar murid siapa kiranya pemuda ini, sute? Apakah ada hubungan dengan Kim-mou-eng?"

"Aku tak ada hubungannya dengan Kim-mou- eng!"

Siang Le tiba-tiba berseru.

"Aku dan puterinya adalah sahabat, Koai-jin. Kami bukan kerabat melainkan sahabat!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hm, sahabat yang istimewa,"

Hauw Kam tiba- tiba tertawa mengejek.

"Dan kau ikut-ikutan memanggil Koai-jin! Eh, siapa gurumu, anak muda? Berani kau mengatakan siapa gurumu itu agar kami dapat membawa kepalamu ke sana?"

"Dia murid See-ong!"

Soat Eng mendahului, coba menggertak.

"Kalian berani mati menanam permusuhan dengan kami berdua, Koai-jin. Lepaskan dia dan jangan ganggu lagi!"

"See-ong?"

Kali ini Gwan Beng mengerutkan kening.

"Siapa ini? Di mana tinggalnya?"

"Suhu tinggal di Istana Hantu. Dan kuminta kalian bebaskan Kim-siocia ini kalau ingin bertemu guruku!"

"Hm, Istana Hantu? Eh, tempat apa itu, anak muda? Di mana?"

"Di Sam-liong-to. Kalian dapat bertemu guruku kalau minta kuantar. Tapi bebaskan dulu nona ini dan kubawa ke sana!"

"Tidak,"

Soat Eng tiba-tiba berseru marah.

"Mereka akan membawaku ke ayah ibuku, Siang Le. Jangan dibujuk ke sana dan biar kau saja yang dibebaskan!"

"Tapi aku ingin menolongmu..."

"Aku tak butuh pertolonganmu!"

Soat Eng tiba- tiba membentak, memotong.

"Aku tak ingin hutang budi padamu, Siang Le. Kau lancang dan kini merepotkan aku!"

"Lho, merepotkan?"

Pemuda ini tertegun, tak mengerti.

"Bagaimana bisa begitu?"

"Bagaimana tidak?"

Soat Eng marah-marah.

"Gara-gara kau datang ke sini untuk menolongku maka kau tertangkap, Siang Le. Kalau kau tidak datang ke mari dan kita tidak bertemu tentu aku tak harus merasa bersalah kalau bertemu gurumu!"

"Ah, suhu tak tahu apa-apa. Aku datang karena kebetulan melihat dua orang ini menawanmu!"

"Itulah! Siapa suruh kau datang? Kalau kau tak ke sini dan tak tertangkap tentu aku tak harus merasa berhutang budi, Siang Le. Tapi karena gara-gara kau ingin menolongku dan kini tertangkap maka aku merasa berhutang budi!"

"Aku tak bermaksud menghutangkan budi,"

Siang Le tertegun.

"Aku menolongmu dengan ikhlas, nona. Tak usah dipikirkan masalah budi atau tidak."

"Siapa harus begitu? Memangnya aku orang sesat yang tak harus menghitung kebaikan orang? Keparat, dua kali kau menolongku, Siang Le. Dan dua kali aku jadi gemas padamu!"

Soat Eng tiba-tiba menangis, memaki-maki dan mengepalkan tinjunya dan terbelalaklah pemuda itu. Siang Le bengong dan Hauw Kam serta suhengnya juga tertegun. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan terkekeh- kekeh tiba-tiba si gimbal ini melompat.

"Ha-ha, cinta! Ini gara-gara cinta, suheng. Kalau bocah laki-laki ini tak mencintai si perempuan tentu dia tak senekat ini. Eh, kau jangan marah-marah kepadanya, siluman cilik. Kau harus berterima kasih kalau dua kali dia sudah menolongmu. Ha-ha, aku jadi ingin melihat kelakuan pemuda ini kalau dia membelamu!"

Dan Soat Eng yang seketika menghentikan tangisnya karena mendelik dengan muka merah tiba-tiba terkejut karena Hauw Kam si gimbal itu mencengkeramnya.

"Kau kuseret, dan pemuda ini akan kugendong!"

Dan Hauw Kam yang sudah terkekeh menyeret Soat Eng tiba-tiba menyambar dan berkelebat memanggul Siang Le.

"Suheng, ayo pergi. Kita lanjutkan perjalanan!"

Dan Soat Eng yang tentu saja terkejut tapi tidak berdaya tiba-tiba memaki- maki karena bajunya robek-robek, sepanjang jalan diseret saja sementara Siang Le juga terkejut.

Pemuda ini dipanggul sementara Soat Eng diseret, hal yang membuat pemuda ini marah dan tiba-tiba membentak agar si gimbal itu berhenti.

Namun ketika Hauw Kam mempercepat larinya dan Soat Eng terpental- pental di tanah berbatu maka Siang Le tiba- tiba menggigit dan menancapkan giginya di punggung si gimbal ini.

"Iblis kejam, lepaskan gadis itu....... augh!"

Dan Hauw Kam yang berteriak serta melepas Soat Eng tiba-tiba menampar dan melepas pemuda itu, menendang dan membantingnya dan mengeluhlah Siang Le ketika tubuhnya serasa remuk.

Dan ketika Hauw Kam terbelalak dan melotot marah maka si gimbal ini menyambar Soat Eng dan ganti menyeret Siang Le.

"Sekarang kau kuhajar. Berani benar menggigit!"

Dan Siang Le yang tersentak menahan sakit tiba-tiba sudah ganti diseret sepanjang jalan, kasar di tanah berbatu dan mendesislah pemuda ini menahan sakit.

Soat Eng sudah dipanggul dan Siang Le ganti terpental-pental di tanah yang keras.

Baju di bagian punggung pemuda itu seketika hancur dan Soat Eng ngeri.

Dan ketika si gimbal tertawa-tawa sementara kulit dan tubuh pemuda itu lecet-lecet maka Soat Eng terbelalak tapi bingung di samping marah.

"Ha-ha, sekarang kulihat reaksi gadis ini, bocah. Kalau dia tak berteriak-teriak dan menyuruh aku berhenti maka sampai di luar tembok besar kau akan kusiksa!"

"Siksalah!"

Siang Le menahan sakit, menggigit bibir sampai pecah berdarah.

"Kau boleh siksa dan bunuh aku, Koai-jin. Asal tidak membunuh atau menyiksa gadis itu!"

"Ha-ha, kau mencintainya?"

Siang Le tak menjawab, melotot. Dan ketika lawan mengulang pertanyaannya dan berlari semakin kencang maka Soat Eng membentak dan memaki-maki lawannya ini.

"Tua bangka, kau gila dan benar-benar tidak waras. Tak perlu menanyakan itu kalau tak ingin membuat malu dia!"

"Ha-ha, malu apanya? Eh, aku bertanya karena aku ingin tahu, bocah perempuan. Dan aneh bahwa kau tidak ganti berteriak-teriak menyuruh aku berhenti!"

"Aku... aku tidak sudi. Tapi jangan siksa atau perlakukan dia seperti itu di depan mataku!"

"Ha-ha, kau tak mencintainya?"

"Keparat, kau orang tua bermulut busuk!"

"Ha-ha, kalau begitu kuteruskan siksaanku. Dan baru kulepas kalau dia atau kau yang minta ampun!"

Dan Siang Le yang mengeluh diseret cepat akhirnya merintih dan kesakitan, tak dapat mengerahkan sinkang karena tubuhnya dalam keadaan tertotok.

Soat Eng akhirnya menutup mata ketika pemuda itu sudah berlumuran darah.

Dan ketika perbuatan Hauw Kam semakin kejam dan dia atau Siang Le diminta untuk minta ampun namun mereka sama sekali tak mau menjawab akhirnya si gimbal Hauw Kam ini gusar.

"Kalian sama-sama keras kepala? Tak mau minta ampun agar pemuda ini kulepaskan? Baik, aku akan terbang semakin cepat, bocah. Dan biar tubuhnya hancur di tanah berbatu!"

Dan Soat Eng yang menjerit melihat bukti kata- kata itu akhirnya berteriak menyuruh Siang Le minta ampun, memaki-maki Siang Le karena pemuda itu bodoh dan tak tahu diri.

Musuh akan melepas dirinya kalau dia mau bicara.

Tapi ketika Siang Le tersenyum dan menggeleng kepalanya maka ddg gagah namun kesakitan pemuda ini berkata.

"Biarlah, biar aku mati, Kim-siocia. Aku tak dapat dipaksa dan jangan harap minta ampun. Kalau kau yang mau mintakan ampun terserah, tapi bukan aku!"

Soat Eng melotot merah padam.

Dia bingung dan tentu saja tahu apa yang dimaksud pemuda ini.

Hauw Kam telah memaksa mereka minta ampun.

Siang Le ditantang kegagahannya sedangkan Soat Eng ditantang pernyataan cintanya.

Kalau gadis itu mencinta pemuda ini Hauw Kam menghendaki Soat Eng bicara, karena tentu dia akan segera membebaskan.

Tapi karena Soat Eng marah dan bingung dan tentu saja paksaan si gimbal itu membuat mukanya merah padam akhirnya dia mencoba untuk menutup mulut rapat- rapat, akhirnya memaki Siang Le yang dikata tak tahu diri dan ingin mampus.

Dan ketika Siang Le menanggapi semua makiannya itu dengan senyum tenang dan tabah akhirnya Soat Eng mulai tak tahan ketika pemuda itu pingsan untuk pertama kalinya.

"Biarlah, aku boleh mampus, nona. Asal jangan kau yang diseret!"

"Tapi kau akan mampus, tubuh dan tulangmu akan hancur!"

"Tak apa, aku siap berkorban, nona. Kalau ini untukmu biarlah kutahan.......augh!"

Dan Siang Le yang berlumuran darah mengeluh perlahan tiba-tiba tak dapat melanjutkan bicaranya lagi, pingsan dan Hauw Kam menyeretnya terus tertawa-tawa, tak perduli.

Soat Eng menggigit bibir dan akhirnya menangis.

Dan ketika Siang Le sadar tapi pingsan sampai tiga empat kali akhirnya gadis ini berteriak.

"Berhenti, lepaskan dia. Jangan seret lagi! Aku... aku mencintainya...!"

Dan Hauw Kam yang tertawa bergelak menghentikan larinya tiba-tiba melepas Siang Le yang segera terguling roboh, mengeluh namun pemuda itu berseri-seri memandang Soat Eng.

Gadis itu di sana tersedu-sedu dan si gimbal ini berjingkrak girang, merasa kemenangannya dan tak perduli ketika sejak tadi suhengnya menegur dan membentak, dikejar tapi dia justeru berlari semakin kencang.

Dan ketika Soat Eng mengakui cintanya dan berhasil dipaksa mintakan ampun akhirnya si gimbal Hauw Kam ini menari-nari.

"Ha-ha, benar.... benar, suheng. Dua sejoli ini sebenarnya saling mencinta. Lihat, gadis ini akhirnya tak tahan dan mengaku juga. Bukankah tebakanku tepat? Ha-ha, kalau tadi- tadi siluman betina ini mengaku tentu si pemuda tak perlu kusiksa. Ah, perempuan memang aneh dan minta dipaksa dulu!"

Hauw Kam yang tertawa-tawa merasa berhasil lalu berkelebat dan menolong Siang Le.

"Kau dengar kata-katanya?"

Serunya terkekeh.

"Bocah perempuan itu akhirnya jatuh ke tanganku, anak muda. Dia kalah, mengaku. Dan sekarang aku harus mengobatimu!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Siang Le yang diurut serta dibalur lalu diberi obat tapi pemuda itu sendiri tak menghiraukan semua pekerjaan si gimbal ini, berseri-seri dan bahagia sekali memandang Soat Eng.

Gadis itu menangis tapi melotot padanya.

Dan ketika Siang Le tersenyum dan mengangguk terima kasih tiba-tiba Soat Eng mendamprat, mempergunakan ilmunya Coan-im-jip-bit.

"Siang Le, jangan girang oleh pernyataanku ini. Aku hanya berpura-pura. Aku hanya ingin membalas budimu. Setelah bebas tentu aku akan berhitungan lagi denganmu!"

"Hm...!"

Pemuda ini mendesah, mata tiba-tiba muram.

"Kau tetap memusuhiku, Kim-siocia? Kau... kau hanya dusta belaka?"

"Memangnya aku sungguh-sungguh? Cih, manusia sesat macam dirimu tak mungkin kucinta, Siang Le. Tengok dirimu itu dan jangan merasa besar kepala!"

Siang Le tertegun. Dia telah selesai diobati dan Hauw Kam kini memanggulnya, menepuk- nepuk pinggulnya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan berkata bahwa mulai sekarang dia tak akan diseret lagi maka Hauw Kam menendang Soat Eng pada suhengnya.

"Pemuda ini harus kurawat, aku akan menebus dosa. Ha-ha, terima bocah perempuan ini, suheng. Dan sekarang kita masing-masing mendapat seorang!"

Gwan Beng menggeleng-geleng kepala. Untuk kedua kali dia menerima gadis itu, memanggulnya. Dan ketika sutenya berkelebat dan minta agar mereka pergi lagi maka dia mengangguk dan berseru.

"Baik, tapi jangan siksa lagi dua anak muda ini, sute. Aku tak suka kau membuat gadis ini menangis. Kalau kau melanggar dan tidak mendengar kata-kataku maaf saja bahwa kau akan kuhajar!"

"Ha-ha, boleh. Kali ini aku menurut!"

Dan Hauw Kam yang berkelebat membawa Siang Le akhirnya tertawa dan tidak melihat pertengkaran tadi, tak melihat muka Soat Eng yang merah dan Siang Le yang murung.

Murid See-ong ini terpukul bahwa dia dinyatakan orang sesat, tak layak mencinta gadis seperti Soat Eng karena puteri Pendekar Rambut Emas itu adalah gadis baik-baik, bukan seperti dia yang murid seorang kakek iblis, bahkan gurunya telah membunuh kakek gadis itu, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap si jago pedang.

Dan ketika Siang Le menggigit bibir dan menunduk di gendongan lawannya ini maka Gwan Beng di sana juga berkelebat dan menyusul sutenya, terbang dan menuju tempat Pendekar Rambut Emas! **SF** Di luar tembok besar, di sebuah lembah yang sunyi.

Dua orang duduk bersila dan masing- masing tampak memusatkan perhatian pada samadhi, duduk tak bergeming tapi yang di sebelah kiri, seorang wanita cantik berusia empat puluhan tampak gelisah, tak tenang duduknya.

Dan ketika dua jam mereka bersila namun wanita ini tak dapat memusatkan diri akhirnya wanita itu terisak dan gemetar, memanggil laki-laki yang duduk di sebelah kanannya itu.

"Suamiku, aku tak berhasil. Bangunlah, aku gagal....!"

Laki-laki itu membuka mata.

Dia terkejut dan mengerutkan kening ketika melihat si wanita menangis, mengguguk dan akhirnya menubruk dirinya, tersedu-sedu.

Dan ketika laki-laki itu terguncang namun cepat dapat menguasai dirinya maka laki-laki ini, yang bukan lain Pendekar Rambut Emas adanya mengusap rambut isterinya itu, yang bukan lain adalah Swat Lian.

"Hm, ada apa lagi, niocu? Kau gagal bersamadhi?"

"Benar, aku... aku tak tenang. Aku teringat anak-anak!"

"Hm, sudah berkali-kali kau nyatakan ini. Dan sudah kubilang pula bahwa kita tak perlu khawatir. Kenapa kau tak dapat mengendalikan dirimu, niocu? Kenapa kau berlebih-lebihan begini? Tenanglah, aku akan mengikuti apa kehendakmu bila kau ingin aku mencari mereka!"

"Aku... aku tak dapat terlalu lama tak bertemu anak-anakku. Aku cemas akan nasib mereka. ah, kita harus mencari mereka, suamiku. Dan Thai Liong sudah setahun ini tak pulang!"

"Ya, dan Soat Eng juga. Tapi aku tak khawatir. Aku tak merasakan apa-apa..."

"Ah, kau lelaki tak merasakan dukanya ibu, suamiku. Kau tak tahu perasaan perempuan. Kau selalu menghiburku tapi aku tak merasa tenteram. Aku ingin meninggalkan tempat ini, apalagi setelah kau bicara tentang Togura itu!"

"Hm, tenang,"

Sang suami, Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bangkit berdiri.

"Aku merasa getaran sesuatu mendekatiku, niocu. Ada orang akan datang menemui kita!"

"See-ong?"

Sang isteri meloncat bangun, tiba- tiba beringas, cuping telinganya bergerak naik turun.

"Aku juga merasakan itu, suamiku. Dan, ah... agaknya membawa Eng-ji (anak Eng)!"

Sang suami menoleh ke kiri.

Dari sana getaran itu dia tangkap, sang isteri menyusul dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas melihat dua bayangan mendekati mereka.

Dua bayangan itu masih jauh dan jaraknya barangkali masih ratusan li, satu atau dua jam kalau melakukan perjalanan dengan berlari cepat, itu pun sudah mempergunakan ilmu meringankan tubuh seperti Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kang.

Dan ketika isterinya juga tertegun dan terbelalak ke depan, melihat bayangan samar-samar itu maka mereka menoleh dan saling pandang.

"Aku melihat dua orang laki-laki, seorang di antaranya membawa Eng-ji. Hm, dan bagaimana yang satu itu, niocu?"

"Yang satu memanggul seorang pemuda. Aku juga melihatnya. Tapi mereka masih jauh!"

"Hm, benar. Dan mereka bukan See-ong! Apa yang kau lihat lagi, isteriku? Kau dapat melihat siapa pemuda yang dipanggul itu?"

"Dia... dia Siang Le, murid kakek iblis itu! Ah, siapa dua laki-laki ini, suamiku? Kau mengenalnya?"

"Hm, masih terlalu jauh. Dan mereka mendatangi tempat kita, sengaja! Ah, ini getaran yang kutangkap itu, niocu. Kita kedatangan tamu tapi mereka tak kukenal!"

"Hm, benar. dan aku harus mencari An-ji (anak An)!"

Dan Swat Lian yang bersuit melengking nyaring tiba-tiba memanggil seorang anak laki- laki yang tiba-tiba berkelebat datang.

Anak ini masih berusia dua tiga tahun namun gerak- geriknya gesit.

Dialah Beng An, putera terkecil Pendekar Rambut Emas ini bersama isterinya.

Dan ketika anak itu muncul dan di bahunya terpanggul seekor kijang besar maka Swat Lian berseri dan berkelebat menyambar anak laki- lakinya itu, bocah yang mengagumkan karena sekecil itu sudah dapat berburu dan mendapatkan seekor rusa besar! "An-ji, kau tak apa-apa? Kau mendapatkan buruanmu?"

"Ah,"

Anak ini mengomel, cemberut.

"Aku belum puas, ibu. Kau menggangguku. Suitanmu membuat seekor harimau belang lari dari incaranku!"

"Tapi kau sudah mendapatkan rusa besar ini..."

"Tidak, yang kuincar adalah si raja hutan itu, ibu. Aku meletakkan rusa ini dan hampir saja disambar si harimau loreng. Tapi kau membuatnya terkejut, dan aku gagal mendapatkan buruanku yang lebih besar lagi!"

"Hm, maaf,"

Si ibu bersinar-sinar, mencium pipi anaknya ini.

"Harimau itu dapat kau cari lagi, An-ji. Ibu memanggil karena ada bahaya datang mengancam. Ibu tak ingin kau jauh dari sini!"

"Siapa yang datang mengganggu? See-ong? Hm, aku tak takut, ibu. Kalau dia datang biarlah dia kuhadapi dan ingin kubalas kejahatannya dulu ketika berani menggangguku!"

"Tidak,"

Sang ibu tertawa, kagum.

"Bukan See- ong, Beng An. Tapi orang lain yang belum ibu kenal. Mereka sebentar lagi datang dan kau dekat-dekat ayah ibumu di sini!"

"Hm,"

Pendekar Rambut Emas bicara, menyambung.

"Apa yang dikata ibumu benar, An-ji. Dua orang akan menemui kita dan mereka membawa encimu. Kau berjaga- jagalah dan dekat-dekat di sini!"

"Enci Eng Eng?"

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Mustika Lidah Naga 2

Cari Blog Ini