Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 14

Istana Hantu Karya Batara Bagian 14


Beng An terbelalak, tiba-tiba marah.

"Mereka menawan enci dan datang ke sini, ayah? Keparat, di mana mereka itu dan biar kulabrak!"

"Hm, kau jangan terlampau sembrono. Kalau encimu dapat ditangkap orang dan kini dibawa ke sini tentu orang itu lihai. Jangan terlalu pemberani, An-ji. Aku tidak melarangmu tapi sikap hati-hati harus selalu kau tanamkan!"

"Dan ibu tak ingin kau ikut campur. Kau anak kecil diam saja di sini dan lihat saja apa yang akan ayah ibumu lakukan. Jangan membantah!"

Swat Lian merangkul pundak anaknya ini, kagum dan jelas gembira karena anaknya itu begitu pemberani.

Beng An setelah mulai besar memang menunjukkan watak- watak yang berani.

Ditunjang oleh ayah ibunya yang hebat anak laki-laki ini memang berkembang amat pesat.

Latihan-latihan ilmu silat yang diberikan padanya dipelajarinya dengan cepat.

Anak ini sudah dapat berburu dan merobohkan harimau-harimau dewasa, bahkan orang pun dia tak takut dan lawan sebangsa pengawal tentu dengan mudah dia robohkan.

Hasil didikan atau gemblengan ayah ibuny, yang memang hebat dan amat lihai.

Dan ketika hari itu ayah ibunya duduk bersamadhi dan dia berburu maka sebentar saja ssekor rusa sudah didapat tapi sayang ayah ibunya akhirnya memanggil.

**SF** (Bersambung

Jilid 22) Bantargebang, 21-12-2018,16.34 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 22 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 22 * * * "SEKARANG lempar buruanmu itu ke sini. Biar ibumu menguliti dan kau cari kayu-kayu kering."

"Aku sudah mendapatkannya, yah. Lihat itu!"

Beng An berkelebat, lenyap di kerimbunan semak belukar dan tak lama kemudian sudah muncul lagi, membawa seonggok kayu kering untuk memanggang rusa buruan itu.

Dan ketika ayahnya tersenyum dan Swat Lian juga tertawa maka Beng An sudah menyerahkan rusanya untuk dikuliti sang ibu.

"Aku ingin makan enak, tapi musuh mau datang. Eh, bolehkah aku menyambut, yah? Atau aku harus mengambil bumbu-bumbu untuk diracik ibu?"

"Hm, memang benar. Kau harus pulang dulu mengambil semuanya itu, Beng An. Musuh akan datang masih satu dua jam lagi. Kau tak boleh keluar, ambil itu dan kemari lagi."

"Sudah kuduga!"

Beng An membanting kaki.

"Kau terlalu mengkhawatirkan aku, ayah. Kalau saja aku sudah besar tentu aku bebas bergerak seperti Thai Liong-koko atau enci Eng Eng!"

"Hush!"

Ibunya berseru.

"Sudah besar pun tak boleh sebebas-bebasnya, Beng An. Kami ayah dan ibumu sayang semuanya. Kalian tak boleh mencemaskan orang tua seperti apa yang telah dilakukan dua kakakmu itu. Hayo, ambil bumbu-bumbu itu dan kemari lagi!"

Beng An terkejut.

Dia takut melihat ibunya marah, sang ayah pun mengerutkan kening dan tampak memandangnya dengan tidak senang.

Dan karena menyadari bahwa dia telah membuat ayah ibunya marah tiba-tiba anak ini mengangguk dan berkelebat pergi, cepat melaksanakan perintah ibunya dan Pendekar Rambut Emas menggeleng-geleng kepala.

Sekecil itu sudah berani membandingkan diri dengan yang besar-besar, tentu kalau besar akan lebih berani lagi.

Namun karena Beng An memang anak yang pemberani dan sebagai putera seorang pendekar besar memang wajar watak seperti itu dimiliki puteranya maka Kim-mou-eng menyuruh isterinya diam.

"Sudahlah, Beng An memang benar. Meskipun anak-anak tapi pikirannya seperti orang dewasa saja. Dia iri, dan telah menyatakan ketidakpuasannya dengan Thai Liong dan Eng Eng. Tak perlu kita marah."

"Tapi kita harus mengekang keberaniannya itu. Bocah itu pandai berdebat, suamiku. Kalau tidak cepat-cepat kita potong tentu akan kelewat saja!"

"Yah, itulah anak keturunan kita. Sudahlah, dia datang dan kita berhenti."

Anak itu berkelebat, datang membawa bumbu-bumbu yang disuruh ibunya dan Beng An membawa pula sumpit dan saos tomat. Dan ketika ibunya bertanya kenapa dia membawa itu maka anak ini berkata.

"Ayah suka panggang daging saos tomat, ibu hanya menyuruhku mengambil kecap saja. Bukankah kurang?"

"Ha-ha, kau benar, Beng An. Dan menikmati daging rusa hasil buruanmu tentu sedap sekali. Ah, kau memang tidak salah, ibumu lupa. Sudahlah, menikmati rusa panggang dengan masakan ibumu tentu akan menghabiskan sepiring besar. Hayo, kau bantu ibumu dan biar aku menunggu!"

Swat Lian tersenyum.

Memang dia lupa tapi puteranya sudah membawa itu, segera tertawa dan Beng An gembira bahwa ibunya tidak marah lagi.

Dan ketika daging mulai dipanggang dan bumbu-bumbu juga sudah mulai diaduk maka bau daging bakar sungguh menusuk hidung.

"Ini ayah, ini aku!"

Beng An menyambar sepotong hati, memberikan itu pada ayahnya dan mulailah mereka menikmati daging panggang.

Rusa bakar yang dipanggang isterinya memang enak, Pendekar Rambut Emas memuji dan lupalah sejenak mereka akan musuh yang datang.

Dan ketika semua bergembira dan Beng An mencomot ini-itu mengunyah masakan ibunya maka sejam lewat tanpa terasa.

"Hm, derap langkah mereka mulai terdengar!"

Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bangkit berdiri, telinganya bergerak ke arah kiri.

"Kita sisakan masakan ini untuk Cun-lopek, isteriku. Dan kau suruh Beng An membawa kembali!"

"Benar, aku juga dapat merasakan itu. Mereka terbang seperti iblis, kesiur bajunya kutangkap!"

Beng An tertegun.

Anak ini melompat bangun namun tidak melihat atau mendengar apa-apa.

Dia melongo dan bengong saja mendengar pembicaraan ayah ibunya itu.

Bukan main.

Gerakan musuh yang masih jauh sudah ditangkap dan didengar ayah ibunya? Dan ibunya mendengar kesiur baju di jarak yang masih jauh.

Ah, hampir dia tak percaya! Tapi ketika lamat-lamat Beng An juga mulai melihat berkelebatnya dua bayangan di tempat yang amat jauh di sana maka anak ini terkejut dan juga kagum.

"Ibu, mereka datang!"

"Ssst, kau jangan berteriak-teriak. Bawa semua sisa-sisa makanan ke rumah!"

"Tapi aku ingin menonton....!"

"Eh, jangan bandel, An-ji. Kau dapat membawa itu dulu dan setelah itu kemari!"

"Benar,"

Ayahnya juga berkata.

"Kau laksanakan dulu perintah ibumu, Beng An. Dan kembali setelah kau bawa pulang!"

Beng An tak berani membantah.

Kalau ayahnya sudah ikut bicara maka dia tak akan banyak berdebat.

Ayahnya ini lebih pendiam daripada ibunya namun wibawa ayahnya justeru lebih besar.

Tapi melihat dua bayangan itu kian dekat saja dan Beng An menjadi tegang tiba-tiba dia menyambar semua sisa- sisa masakan dan pergi sesuai perintah ibunya, bukan pulang melainkan menyembunyikan itu di semak terdekat.

Ayah ibunya sudah berdebar melihat yang datang dan tak memperhatikan ulahnya.

Dan ketika semua selesai dan tepat sekali Beng An muncul maka di kejauhan terdengar suara terbahak-bahak disusul maki-makian nyaring.

"Heh, inikah tempatnya, kuntilanak betina? Ini tempat tinggal ayah ibumu? Haha, ingin aku segera bertemu, dan melihat seberapa hebat kepandaian si Pendekar Rambut Emas itu!"

Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas berdetak.

Dia melihat dua bayangan itu berkelebat luar biasa cepatnya, bagai terbang.

Dan ketika mereka benar-benar dekat dan benar saja Soat Eng dan Siang Le di pondongan dua orang itu maka bayangan atau dua orang yang datang seperti hantu ini berkelebat dan tahu-tahu sudah memasuki mulut lembah.

"Beng An harap dijaga!"

Pendekar Rambut Emas bergerak, cepat melindungi isteri dan anaknya dan Swat Lian mengangguk.

Wanita cantik itu juga bergerak dan Beng An ditarik ke belakang, di balik punggungnya.

Dan ketika dua bayangan yang tertawa-tawa itu berkelebat dan langsung bertemu dengan Pendekar Rambut Emas maka mereka hampir menabrak karena secepat kilat Pendekar Rambut Emas atau Kim-mou-eng itu memalangkan lengannya.

"Berhenti.... plak-dess!"

Dua bayangan itu terpekik, menggerakkan kedua tangan mereka dan bertemulah lengan Pendekar Rambut Emas dengan dua pasang tangan yang menghantam serta menolak.

Mereka tadi terkejut karena Pendekar Rambut Emas tahu-tahu menghadang, muncul dari sebelah kiri dan mereka terhalang pohon besar di mulut lembah.

Tapi begitu mereka terkejut dan membentak keras maka dua pasang tangan sudah bertemu dengan sepasang legnan dan mereka terpental berjungkir balik.

"Haiyaa...!"

"Haihhh....!"

Pendekar Rambut Emas terkejut.

Dia sendiri terdorong setindak sementara dua bayangan atau dua orang yang baru datang ini terlempar di udara.

Mereka berjungkir balik dan melayang turun dengan indah, yang di sebelah kanan memaki-maki dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas itu melihat dua laki-laki brewok dan gimbal di lembah tempat tinggalnya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dan ketika mereka melayang turun dan sudah berjungkir balik indah di udara maka dua orang laki-laki itu sudah berhadapan dengan pendekar yang matanya mencorong ini.

"Ayah...!"

Dua orang itu tertegun.

Mereka adalah Gwan Beng dan sutenya, Hauw Kam, dua pendatang yang memang sengaja mencari Pendekar Rambut Emas.

Maka ketika Soat Eng berteriak dan gadis itu meronta turun maka Gwan Beng dan Hauw Kam tergetar melihat pandangan yang mencorong dari Pendekar Rambut Emas ini.

Dan belum mereka bertegur sapa tiba-tiba Swat Lian membentak dan menyambar Hauw Kam, yang memanggul Soat Eng.

"Lepaskan anakku!"

Hauw Kam terkejut.

Dia tersentak ketika tadi bertemu dengan sinkang yang amat luar biasa dari Pendekar Rambut Emas.

Kini isterinya maju dan nyonya cantik itu sudah berkelebat ke arah Hauw Kam, marah membentak melepas pukulan.

Dan karena Hauw Kam tak mengenal nyonya ini sementara Swat Lian juga belum mengenal suhengnya yang cambang dan gimbal-gimbal maka Hauw Kam menangkis dan marah membentak nyonya itu pula.

"Dukk!"

Swat Lian dan Hauw Kam sama-sama mencelat.

Hauw Kam berteriak kaget ketika pukulan panas menyambar dirinya sementara Swat Lian juga melengking tinggi ketika berjungkir balik di udara, terlempar.

Namun ketika nyonya itu sudah melayang turun dan merah melotot beringas tiba-tiba Gwan Beng bergerak dan membentak sutenya.

"Berhenti, jangan menyerang dulu!"

Dan membalik menghadapi suami isteri itu Gwan Beng bertanya, suaranya lirih namun dia lekat memandang si nyonya cantik, yang lapat-lapat dikenal.

"Kalian siapa? Kau Pendekar Rambut Emas? Dan ini isterimu?"

"Benar!"

Swat Lian membentak, mendahului suaminya.

"Aku Hu Swat Lian, iblis jahanam. Dan katakan kenapa kau menawan puteriku. Hayo, lepaskan dia atau aku akan memukulmu mampus!"

Dan Swat Lian yang bergetar hendak menyerang lagi tiba-tiba ditahan suaminya yang lebih tenang.

"Tunggu, tahan. Biarkan aku yang bicara,"

Dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berhadapan dengan Gwan Beng lalu mengerutkan alisnya karena muka yang gagah serasa diingatnya itu juga agak mengganggu.

"Maaf, aku adalah Pendekar Rambut Emas. Kau betul. Siapakah kalian ini dan kenapa datang- datang membuat marah kami? Dan itu adalah Soat Eng, puteriku. Lepaskan dia kalau tak ingin bermusuhan dan sebutkan siapa kalian dan apa maksud kalian datang kemari."

"Ha-ha, kau Pendekar Rambut Emas?"

Hauw Kam, yang sudah melayang turun dan berdiri di sebelah suhengnya tiba-tiba bergerak, mendahului.

"Kalau begitu kebetulan. Kami ingin bertempur dan menantangmu secara jantan. Heh, kami Koai-lojin, Pendekar Rambut Emas. Dan anak perempuanmu ini membakar- bakar hati kami bahwa katanya kami takut kepadamu. Nah, kami datang dan ingin membuktikan bahwa kami tak takut kepadamu, juga sekalian melihat kepandaianmu yang dipuji-puji setinggi langit oleh anak perempuanmu ini, ha-ha!"

Kim-mou-eng mengerutkan kening.

Melihat sikap Hauw Kam yang matanya berputaran ini jelas segera dia dapat menduga bahwa lawan bukanlah orang sehat.

Artinya, si gimbal yang dihadapi itu seperti orang tidak waras dan matanya yang berputaran itu seperti orang yang tidak stabil jiwanya.

Kim-mou-eng mengerutkan kening mendengar nama julukan orang pula, Koai-lojin (Si Gila).

Maka ketika lawan berhenti tertawa dan dia memandang lekat-lekat maka isterinya lagi-lagi hendak bergerak namun Beng An tiba-tiba melompat maju.

"Ayah, orang-orang ini gila. Daripada banyak cakap lebih baik diserang saja. Biar aku memberi adat!"

Dan Beng An yang maju membentak Hauw Kam tiba-tiba sudah menubruk dan menyerang si gimbal itu, berseru agar melepaskan encinya dan Pendekar Rambut Emas tentu saja terkejut.

Swat Lian juga terkejut dan membentak puteranya itu.

Namun karena Beng An sudah maju menubruk dan kedua tinju kecil anak laki-laki ini sudah menghantam perut Hauw Kam maka Hauw Kam terkejut tapi berkelit menangkap kedua tangan anak ini, tertawa.

"Hei, kau minggirlah!"

Swat Lian dan Pendekar Rambut Emas tak sempat menolong.

Putera mereka yang tiba- tiba nyelonong dan maju menyerang sungguh diluar dugaan.

Keberanian Beng An diluar penjagaan dua orang suami isteri ini dan Beng An tiba-tiba berteriak, tertangkap dan dilempar ke udara, tinggi sekali.

Namun ketika anak itu berjungkir balik dan turun dengan cara mengembangkan kedua tangannya di kiri kanan tubuh maka Beng An sudah selamat dan Hauw Kam kagum, terkekeh-kekeh.

"Heh, anak hebat. Ayo maju kembali dan biar tak kulepaskan kau!"

"Tidak!"

Swat Lian marah, membentak berkelebat menangkap anaknya itu.

"Jangan kau gegabah, Beng An. Kembali dan sembunyi di punggung ibumu!"

Dan Beng An yang ditotok roboh dilempar ke belakang akhirnya membuat sang ibu mangar-mangar namun Kim-mou-eng lega, tadi sudah mau menangkap puteranya tapi sang isteri sudah mendahululi.

Beng An memang nakal dan terlampau pemberani, benar-benar seperti anak harimau yang tidak takut segala apa.

Buaya ataupun ular maunya diterjang saja.

Maka ketika isterinya sudah menotok anak mereka itu dan Soat Eng di sana juga berseru agar adiknya itu tak maju menyerang maka gadis ini berseru agar dua orang itu segera berhadapan dengan ayah ibunya.

"Hayo jangan buang waktu saja. Serang ayahku dan biar kalian tahu rasa!"

"Heh-heh, kenapa tidak? Aku memang tak takut, siluman betina. Dan liat siapa yang akan kuserang!"

Namun Gwan Beng yang lagi-lagi menahan dan mencekal tangan sutenya tiba- tiba berkata.

"Tidak, nanti dulu. Kita datang memang untuk bertanding tapi biarkan lawan maju memilih kita. Nah..."

Membalik menghadapi Pendekar Rambut Emas si cambah yang gagah ini menyambung.

"Maksud kedatangan kami sudah kau ketahui, Pendekar Rambut Emas. Anggap saja puterimu yang kami tangkap ini dijadikan taruhan. Kalau kau kalah biarkan anak gadismu menjadi murid kami. Sedang kalau kami kalah maka anak gadismu akan kami serahkan baik-baik...."

"Tentu saja!"

Swat Lian tiba-tiba melengking, berkelebat dengan Jing-sian-engnya.

"Kalah atau menang gadis itu memang anak perempuanku, iblis jahanam. Nah, daripada pentang bacot lebih baik kau layani aku dan mari kita bertanding... siut-dess!"

Dan Swat Lian yang sudah menghantam dengan pukulan Lui-ciang-hoatnya tiba-tiba ditangkis lawan namun si cambang yang gagah ini terpental, kaget berseru keras dan Swat Lian sudah berkelebat kembali, membentak dan mengelilingi lawan dengan pukulan-pukulannya yang cepat dan bertubi-tubi.

Dan ketika si cambang itu terkejut dan mengelak dan menangkis lagi tiba-tiba dia mencelat dan terlempar terbanting roboh, kaget dengan muka berubah dan lawan pun melengking- lengking.

Swat Lian girang karena lawan telah dibuatnya terkejut, menerjang dan sibuklah si cambang menangkis dan mengelak.

Namun ketika Swat Lian mengeluarkan satu jurus dari Lui-ciang-hoatnya yang lihai dan lawan terbelalak bingung maka Gwan Beng terjengkang ketika satu tamparan mendarat di lehernya.

"Dess!"

Gwan Beng mengeluh.

Dengan muka pucat si cambang ini menggulingkan tubuh menjauhi lawan, Swat Lian tiba-tiba seakan harimau betina yang haus darah, kelaparan dan begitu girang menyerang lawan.

Si cambang itu seolah mangsa empuk yang tiada habis- habisnya mendapat hujan pukulan dan tendangannya.

Dan ketika lawan melompat bangun dengan muka berubah maka Swat Lian kagum karena lawan tidak apa-apa.

"Aih, kau kebal? Sinkangmu kuat? Bagus, tahan lagi yang ini, setan tua bangka. Dan lihat apakah kau mampu bertahan!"

Namun Gwan Beng yang lenyap berkelebat ke kiri dan menghilang dengan gerakan luar biasa tiba- tiba berseru pada sutenya.

"Kam-te (adik Kam), layani nyonya ini. Biar kulihat ilmu silatnya dari jauh!"

Dan Hauw Kam yang mencelat menggantikan suhengnya tiba- tiba sudah terbahak menghadang di depan, menangkis dan menerima pukulan Swat Lian namun si gimbal yang tertawa-tawa inipun terkejut, terpental dan terpekik dan jadilah Hauw Kam kelabakan menerima serangan berikut.

Swat Lian melengking dan melepas pukulan bertubi-tubi.

Dan ketika di sana Gwan Beng menonton sementara adiknya sudah berteriak-teriak bagai kambing kebakaran jenggot maka satu pukulan Lui-ciang-hoat coba-coba ditangkis si gimbal ini.

"Dess!"

Hauw Kam mencelat.

Sama seperti suhengnya tadi dia tak tahan menerima pukulan Lui-ciang- hoat ini, bagai disambar petir dan si gimbal yang berteriak itu terpaksa melempar tubuh bergulingan.

Dan ketika dia dikejar dan sebentar kemudian Hauw Kam terdesak tiba- tiba laki-laki yang marah ini membentak dan mencabut pedangnya.

"Sing-singgg...!"

Sinar putih menyilaukan mata.

Giam-lo Kiam- sut, Ilmu Pedang Maut, tiba-tiba sudah dimainkan dan digerakkan Hauw Kam.

Si gimbal yang marah ini mendapat seruan suhengnya agar mencabut senjata, karena tak mungkin menghadapi pukulan-pukulan lawan dengan tangan kosong belaka.

Gwan Beng telah merasakan itu dan menasihati sutenya agar menggunakan senjata.

Dan ketika sutenya mengangguk dan pedang keluar dari sarungnya maka sinar bergulung-gulung mengejutkan Swat Lian yang segera tertegun dan tentu saja mengenal ilmu pedang ayahnya itu.

"Giam-lo Kiam-sut... bret-plak!"

Swat Lian kaget sekali.

Saking bengong dan kagetnya sampai dia berhenti membuka mata lebar-lebar, menerima satu tusukan pedang namun cepat dia menggerakkan ujung lengan bajunya.

Pedang terpental tapi ujung bajunya robek, terkejutlah nyonya ini.

Dan ketika lawan terbahak gembira dan pedang menukik lagi dari atas ke bawah maka leher dan ulu hati nyonya ini menjadi sasaran.

"Bret-brett!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swat Lian sampai melempar tubuh bergulingan.

Dia begitu kaget dan bengong hingga nyaris tertikam pedang.

Angin bersiut tajam dan itulah jurus yang disebut Pedang Maut Mengincar Nyawa, satu dari jurus-jurus Giam-lo Kiam-sut yang tentu saja amat berbahaya.

Dan ketika dia melompat bangun sementara lawan terbahak dan mengejarnya lagi maka Soat Eng, puterinya, berseru dari jauh.

"Ibu, hati-hati. Dua siluman ini pandai mainkan Giam-lo Kiam-sut. Awas!"

"Ha-ha!"

Hauw Kam terbahak-bahak.

"Giam-lo Kiam-sut atau apa aku tak tahu, bocah. Tapi yang jelas ibumu kelabakan dan lihat aku segera akan merobohkannya!"

"Tak mungkin! Ibu pun tahu dan dapat mainkan Giam-lo Kiam-sut! Heh, jangan sombong, Koai-jin. Lihat ibu akan mencabut pedangnya dan siapa yang lebih unggul!"

Benar saja, sang nyonya membentak penasaran.

Swat Lian kaget dan marah bukan main karena si gimbal ini menyerang dan mendesaknya dengan Giam-lo Kiam-sut.

Itu warisan ayahnya, ilmu pedang yang amat ganas dan tiada tandingannya.

Bagaimana bisa jatuh ke tangan si gila ini dan kini dipakai untuk mencecarnya? Maka begitu melengking dan berteriak marah tiba-tiba Swat Lian mencabut pedangnya dan mainkan Giam-lo Kiam-sut pula, bukan tak berani menghadapi pedang lawan dengan tangan kosong melainkan semata ingin melihat dan membuktikan sampai di mana lawannya pandai mainkan ilmu pedang itu.

Si nyonya ingin melihat dan mengadu kepandaian bermain pedang dengan pedang pula.

Dan ketika sinar putih juga menyambar dari balik punggung si nyonya dan pedang di tangan lawan bertemu dengan pedang di tangan nyonya ini maka keduanya yang kebetulan sama-sama mempergunakan jurus yang disebut Bianglala Menari tiba-tiba terpekik kaget karena sama- sama terpental.

"Cringg!"

Swat Lian terhuyung dengan mata mendelik. Lawan terpental dan terhuyung pula namun sudah menyerangnya lagi, membentak dan bergeraklah pedang menusuk tenggorokan. Dan ketika Swat Lian juga melengking dan membentak marah maka dua pedang kembali beradu.

"Cringg!"

Swat Lian memuji kepandaian lawan.

Dia yang sudah menambah tenaganya ternyata mendapat kenyataan bahwa lawan menambah pula tenaganya, jadi berimbang dan bergeraklah keduanya dengan jurus-jurus berikut.

Giam-lo Kiam-sut sudah dimainkan oleh tangan-tangan yang terampil dan berkelebatanlah dua sinar putih yang gulung- menggulung.

Yang satu hendak menguasai yang lain namun keduanya sama-sama dapat melepaskan diri.

Pedang bergerak kian cepat dan kian terbelalaklah nyonya ini melihat kelihaian lawan memainkan pedang.

Dilihat begitu lawannya ini sudah mencapai tingkat mahir, pedang seolah menjadi satu dengan genggaman dan kemana jari bergerak ke situ pula pedang manyambar.

Inilah permainan yang layaknya sudah dikuasai seseorang yang sudah berlatih sejak kecil, bukan setahun dua melainkan sudah sejak kanak-kanak.

Pedang begitu hidup dan dapat dikendalikan kemanapun pemiliknya suka.

Seperti ular yang menyambar-nyambar dengan patukan atau pagutannya yang buas! Dan ketika Swat Lian tertegun dan tentu saja terkejut maka lawan juga terbelalak karena si nyonya mampu mainkan ilmu pedang yang sama dengan tak kalah hebat dan mahir! "Keparat, betina ini mencuri ilmuku! Eh, dia mahir selihai anaknya, suheng.

Lihat dia pandai meniru-niru dan mainkan ilmu pedang kita!"

"Benar,"

Gwan Beng juga tertegun, untuk kedua kalinya terbelalak dan bingung.

"Nyonya ini serasa kukenal, sute. Dan ia benar-benar pandai menirukan ilmu pedangmu. Ah, jangan- jangan dia mencuri ilmu kita!"

"Keparat!"

Swat Lian membentak.

"Inilah ilmu pedang yang kumiliki sejak kecil, manusia busuk. Kalianlah yang mencuri dan mengaku- aku. Ah, kalian harus kuhajar dan menerima hukuman berat!"

Dan si nyonya yang melengking menerjang maju tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya pula dan dilepaslah pukulan Khi-bal-sin-kang.

Kali ni Swat Lian tak sabar dan pedang di tangannya dibantu pukulan tangan kiri.

Khi-bal-sin-kang, pukulan Bola Sakti menyambar dahsyat.

Pukulan ini mendahului gerakan pedang dan lawan terkejut.

Pedang dan pukulan hanya selisih serambut saja, bukan main hebatnya.

Namun karena Khi-bal-sin-kang lain dengan Lui-ciang-hoat dan Hauw Kam belum mengenal ilmu pukulan ini maka dia menangkis sementara pedang di tangan kanannya bergerak menahan bacokan lawan.

"Cring-dess!"

Hauw Kam terpelanting.

Kaget dan menjerit keras tiba-tiba si gimbal ini melempar tubuh bergulingan, terpekik bertemu Khi-bal-sin-kang karena pukulannya sendiri membalik.

Seperti bola atau karet saja pukulan lawan itu diterima, maksudnya ditahan tapi apa lacur tenaganya tertolak, membalik dan menghantam sedemikian dahsyat hingga laki- laki ini tersentak, kaget buka nmain.

Dan ketika tenaga dorongan yang amat luar biasa kuat mengangkatnya tinggi dan melempar dia ke udara maka Hauw Kam berjungkir balik dan cepat melempar tubuh bergulingan.

"Hayaa.. ilmu setan!"

Gwan Beng terbelalak.

Dia tak tahu apa yang terjadi dan tentu saja tak merasakan benturan itu.

Yang terlibat dan merasakan langsung adalah sutenya.

Maka ketika sutenya membanting tubuh bergulingan dan si nyonya menjengek tertawa mengejek tiba-tiba wanita cantik itu telah mengejar sutenya, membentak dan melepas lagi pukulan Bola Sakti itu sementara tangan kanannya tetap menggerakkan pedang.

Sinar putih sudah lenyap bentuknya terganti secercah cahaya yang menyambar tenggorokan sutenya.

Dan ketika ledakan di tangan kiri juga menghantam dan menyambar sutenya maka Hauw Kam yang masih kaget oleh Khi-bal-sin-kang dipaksa menangkis lagi.

"Des-dess!"

Laki-laki ini mengeluh.

Sekarang Hauw Kam terbanting dan terjengkang lagi, dikejar dan kembali menangkis namun tetap saja dia mencelat.

Segila-gilanya Hauw Kam laki-laki ini merasa gentar juga, takut.

Maklumlah, pukulannya membalik dan setiap menangkis tentu dia terpental.

Dia seakan digencet oleh dua tenaga gabungan, satu dari si nyonya cantik itu sementara yang lain lagi adalah tenaganya sendiri, jadi Hauw Kam ngeri dan pucat.

Dan karena semua ini terjadi bukan hanya sekali dan mau tak mau si gimbal itu ketakutan dan gentar maka dia berteriak-teriak dan permainan pedangnya otomatis kacau! "Suheng, wanita ini siluman.

Dia...

dia menggabung tenagaku pula!"

"Menggabung bagaimana?"

Gwan Beng bingung, tak mengerti.

"Dia menolak balik setiap pukulanku, suheng. Wanita ini memiliki tenaga seperti karet dan aku selalu kalah!"

"Ah,"

Gwan Beng mengerti.

"Kalau begitu kau mundurlah, biar aku yang coba!"

Dan Gwan Beng yang bergerak menjejakkan kakinya tiba- tiba sudah menyambar dari atas melepas sebuah pukulan, dahsyat menghantam dan Swat Lian terkejut.

Diserang dalam keadaan dia masih serang-menyerang dengan Hauw Kam sama halnya dikoroyok dua.

Nyonya ini membentak dan cepat miringkan tubuh.

Dan ketika pukulan Gwan Beng disambut dan pedang di tangannya membacok laki-laki itu maka Gwan Beng menerima dan membuka tangannya yang telanjang.

"Plak!"

Si nyonya tergetar.

Nyata si cambang ini memiliki sinkang setingkat lebih tinggi dari sutenya, terkejut tapi sudah melengking lagi mengelak serangan Hauw Kam.

Dan ketika si gimbal terkekeh-kekeh tapi tak mau pergi sesuai perintah suhengnya maka Gwan Beng marah menampar sutenya itu.

"Kau keluar, biar aku berhadapan satu lawan satu!"

Hauw Kam terpelanting.

Baru dia mau keluar setelah sang suheng mencengkeram dan melemparnya, berjungkir balik dan memaki- maki namun si gimbal ini tertawa-tawa.

Apa boleh buat dia harus mundur dan menyimpan pedangnya.

Dan ketika di sana Gwan Beng sudah menghadapi lawannya dan Swat Lian terbelalak karena lawan yang baru ini berani menerima dan menyambut pedangnya maka dengan tangan kosong Gwan Beng berkelebatan menghadapi lawannya itu.

Tapi tak lama kemudian diapun mulai berubah.

Swat Lian yang melengking-lengking dan melihat lawan bertangan kosong tiba-tiba menyimpan pedangnya pula dan mainkan Lui- ciang-hoat dengan tangan kosong.

Gwan Beng mula-mula menangkis tapi terhuyung karena hawa panas menerpanya.

Dan ketika si nyonya membentak dan berkelebatan mengerahkan Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa) maka Gwan Beng terkejut karena lawan dapat mengimbangi kecepatannya, malah lebih cepat! "Ah, siluman.

Hebat sekali!"

Dan Gwan Beng yang mau tak mau menjadi penasaran dan menambah kecepatannya akhirnya menjadi kagum dan memuji berulang-ulang, menambah kecepatannya tapi masih kalah cepat, mau tak mau akhirnya mulai menerima tamparan- tamparan atau pukulan.

Dan ketika laki-laki ini terhuyung-huyung dan tergetar tapi tak pernah roboh, hal yang membuktikan betapa kuatnya dia maka Swat Lian menjadi geregetan dan kagum pula.

"Keparat, daya tahanmu luar biasa. Tapi jangan sombong. Sekarang terima ini... dess!"

Dan Swat Lian yang mengeluarkan Khi-bal-sin- kang untuk menghantam lawan akhirnya membuat Gwan Beng mencelat, kaget berteriak tertahan tapi si cambang ini dapat melompat bangun lagi, terhuyung dan terbelalak dan sekarang mengertilah dia kenapa sutenya tadi terpentak dan terdesak selalu.

Kiranya ilmu seperti karet yang berpegas ini menolak balik setiap pukulan yang menahan, jadi tentu saja hebat bukan main dan semakin kuat dia bertahan akan semakin kuat pula tenaga tolak itu.

Dan ketika Gwan Beng mulai maju mundur dan terdesak hebat maka apa boleh buat tiba-tiba si cambang ini mencabut pedang, mengajak bersenjata.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hebat, kau hebat. Tapi mari kita bermain senjata dan lihat apakah kau tetap dapat mendesak aku... singg!"

Dan pedang yang sudah menyambar dan menuju tenggorokan Swat Lian tiba-tiba dibarengi dengan pukulan tangan kiri, dari bawah menyambar dan Swat Lian membentak.

Khi-bal-sin-kang dipergunakan dan diapun menangkis.

Tapi ketika dengan lihai pedang tak menyambut secara berdepan melainkan miring menyamping maka Khi-bal-sin-kang meleset ke kiri sementara ujung pedang sudah menyontek pinggiran bajunya.

"Brett!"

Swat Lian terkejut.

Ini kecerdikan lawan yang harus diakui, membalik lagi namun lawan selalu bergerak menyamping.

Dengan begitu Khi-bal-sin-kang tak sepenuhnya mengenai sasaran dan marahlah nyonya itu karena lawan benar-benar bersikap cerdik.

Dan ketika apa boleh buat dia harus mencabut pedangnya untuk menangkis pedang lawan maka dua senjata itu berbenturan nyaring ketika bertemu di udara.

"Cranggg...!"

Hauw Kam terbahak-bahak.

Sekarang dia melihat kecerdikan suhengnya ini dan memuji.

Memang dia tak berpikir ke situ dan watak berangasannya maunya hantam kromo saja, yang keras dilawan keras tapi ternyata dia kalah.

Maka begitu melihat suhengnya mampu melencengkan Khi-bal-sin-kang dan dua pedang sudah sambar-menyambar maka si gimbal ini terbahak-bahak dengan air mata bercucuran.

"Ah-ah, kau hebat, suheng. Juga cerdik. Ah, kau memang tak berangasan seperti aku. Ha- ha, lawanmu itu sekarang berang. Pukulan karetnya itu berpindah arah!"

Gwan Beng tersenyum.

Memang dia berotak encer daripada adiknya itu, cepat dapat mencari akal bagaimana baiknya.

Pukulan karet itu selalu melemparnya tinggi kalau dia menahan, lama-lama dia gugup juga.

Tapi ketika dengan cerdik pukulan itu tak dihadapinya secara berdepan dan Khi-bal-sin- kang dihadapinya secara menyamping maka pukulan-pukulan nyonya cantik itu tak sepenuhnya menghantam dan dengan begini dia dapat bertahan, bertempur dengan sengit dan Pendekar Rambut Emas diam-diam kagum.

Lawan yang ini memang cerdik tapi isterinya belumlah mengeluarkan semua kepandaian.

Gabungan Khi-bal-sin-kang dengan Lui-ciang-hoat belumlah dikeluarkan dan lawan tak usah buru-buru berbesar hati dulu.

Dan ketika mereka sudah bermain senjata dan pedang bergulung naik turun disambut pedang yang lain maka dua permainan Giam-lo Kiam-sut kini sama-sama dikeluarkan oleh tangan-tangan yang mahir.

"Ah, kalian pencuri. Terkutuk. Manusia- manusia hina yang tidak tahu malu!"

Swat Lian melengking-lengking, akhirnya mendapat kenyataan bahwa untuk permainan pedang mereka sama-sama tangguh.

Heran wanita ini, juga terkejut.

Dan ketika di pihak sana Gwan Beng juga terheran-heran dan kaget serta terbelalak maka Swat Lian tiba-tiba membentak mengeluarkan lengkingan yang menggetarkan lembah.

"Sekarang aku akan merobohkanmu. Lihat, pedang akan kusimpan dan rasakan ini.... haittt!"

Dan si nyonya yang berkelebat menghilang di sebelah kiri lawan tiba-tiba menggerakkan kedua tangannya dengan pukulan yang berbeda.

Satu mengandung hawa panas yang bukan lain Lui-ciang-hoat adanya sedang yang lain adalah pukulan karet yang bukan lain Khi-bal-sin-kang adanya.

Pedang sudah disimpan dan nyonya cantik ini berkelebat dengan gabungan dua ilmu meringankan tubuh sekaligus, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang (Ginkang Pengejar Dewa).

Dan karena Jing-sian-eng saja sudah cukup membuat lawan terkejut karena mampu bergerak sedemikian cepatnya hingga Gwan Beng kalah seusap maka gabungan dua ilmu meringankan tubuh dibantu dua pukulan gabungan Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang benar-benar tak dapat ditandingi laki-laki ini.

"Des-dess!"

Gwan Beng mencelat.

Berteriak mengeluh tertahan laki-laki ini kaget bukan main.

Dia terlempar bergulingan dan lawan mengejar lagi, kecepatannya luar biasa dan tahu-tahu dia tak dapat menghindar.

Dan ketika empat pukulan kembali bertubi-tubi mengenai tubuhnya dan si cambang ini terlempar dan terbanting bergulingan maka untuk berikutnya si nyonya sudah berkelebatan ke sana ke mari menghajar lawannya ini, lenyap bagai siluman dan pukulan atau tamparan menghantam dengan amat kerasnya.

Bak-bik-buk atau plak- des-des suara pukulan mendarat puluhan kali.

Cepat dan luar biasa Gwan Beng benar-benar dibuat tak berdaya mengelak atau menangkis.

Jangankan menangkis, mengelak saja dia tidak sempat dan tak kurang dari tiga puluh tamparan atau pukulan menghujani tubuhnya.

Hebat sekali.

Si cambang ini seharusnya roboh tapi dia hanya mengeluh panjang pendek saja.

Semua pukulan-pukulan Swat Lian hanya menyengat dan "menggigit"

Tapi tak sampai membuat Gwan Beng terluka, tanda betapa hebat daya tahan atau kekuatan si cambang ini.

Dan ketika Swat Lian juga terbelalak dan marah karena tak satu pun pukulannya membuat laki-laki itu roboh atau pingsan maka Soat Eng yang melihat jalannya pertandingan itu tiba-tiba bersorak-sorak.

"Ha, rasakan sekarang. Ayo, hantam terus, ibu, hantam terus. Tambah tenagamu dan buat lawanmu itu tak dapat bangkit lagi!"

Swat Lian merah mukanya.

Sebenarnya dia sudah menambah tenaganya tapi lawan yang betul-betul memiliki daya tahan luar biasa.

Si cambang ini kuat sekali dan pukulan- pukulannya tak dapat membuat roboh.

Lawan hanya kesakitan dan mengeluh panjang pendek, terbelalak dan melotot padanya namun aneh sama sekali tak memiliki rasa benci atau marah.

Bahkan lawan terbelalak kepadanya dengan aneh seolah pandang mata atau sikap seorang anak yang takut kepada ibunya, merintih dan memelas namun tak keluar kata-kata minta ampun.

Dan ketika pedang di tangan lawan sudah mencelat terlempar karena sejak tadi sudah tak kuat menerima pukulan nyonya ini maka Hauw Kam yang terbelalak di sana tiba-tiba berteriak.

"Suheng, pergunakan Jaring Naga. Keluarkan Jaring Naga!"

"Ah, aku tak sanggup,"

Gwan Beng, suhengnya, mengeluh.

"Aku tak dapat menyakiti nyonya ini, sute. Aku serasa kenal wajahnya dan tak dapat melawannya sungguh- sungguh. Dia.... dia seperti adikku atau apa..."

"Tapi kau akan dihajarnya sampai mampus!"

"Tidak, aku dapat bertahan, sute. Biarlah dia marah-marah seperti ini karena aku merasa nikmat digebuki!"

Aneh, Swat Lian sampai melotot.

Kalau tidak mendengar dan melihat sendiri ketidakwarasan lawannya ini barangkali dia akan merasa dihina.

Kata-kata itu bukannya membuat dia lemah melainkan justeru melonjak, naik pitam.

Tapi karena lawan bicara begitu sungguh- sungguh dan pandang mata si cambang ini memang seolah memandangnya sebagai seorang kakak terhadap adik maka Swat Lian terbelalak dan bingung.

Bingung dan merah mukanya karena tak tahu harus berbuat apa! Dan ketika nyonya itu berkelebatan memaki lawannya tiba-tiba Hauw Kam yang tak tahan dan tak dapat membiarkan itu mendadak sudah berkelebat maju dan membentak, langsung mengeluarkan Jaring Naga, ilmu yang membuat kedua lengannya tiba-tiba penuh dengan benang-benang lembut yang berperekat amat kuat.

"Berhenti, dan terima ini...!"

Dan Swat Lian yang terkejut diserang dari belakang tiba-tiba membalik namun berteriak kaget karena kedua lengannya yang bertemu dengan lengan lawan mendadak penuh dengan benang-benang halus mirip benang laba-laba.

"Plak!"

Si nyonya menjerit.

Kaget dan ngeri oleh ilmu lawan yang aneh tiba-tiba Swat Lian menendang.

Dia melepaskan diri dari benang- benang aneh mirip jaring laba-laba itu, bergerak dan melepas tendangan dari bawah.

Dan ketika lawan terkekeh dan melompat mundur maka Hauw Kam berseru pada suhengnya agar menangkap dan membawa pergi nyonya ini.

"Hayo, anggap dia sumoimu. Tangkap dan kita bawa pergi, suheng. Adikmu yang nakal ini tak mau sudah kalau belum dirobohkan!"

Gwan Beng tergerak.

Dibujuk dan diajak seperti itu tiba-tiba dia mengangguk, tersenyum dan melompat bangun setelah tubuhnya matang biru.

Laki-laki ini hanya kesakitan di luar tapi tak luka dalam.

Maka ketika sutenya mengajak dan sudah mengeluarkan Jaring Naga untuk menjerat dan menangkap Swat Lian maka si cambang itu bergerak dan sudah membantu sutenya, hal yang membuat Soat Eng pucat.

"Ayah, bantu ibu. Dua siluman ini mengeluarkan ilmu aneh!"

Kim-mou-eng tertegun.

Sejak tadi sebenarnya dia mengamati pertempuran itu dan diam-diam mendapat kenyataan bahwa meskipun aneh tapi dua orang ini tidaklah jahat.

Mereka tak memiliki ilmu-ilmu keji layaknya kaum sesat.

Ilmu-ilmu mereka bersih dan tergolong "sehat".

Artinya tak ada ilmu-ilmu curang seperti misalnya mempergunakan racun atau sebangsanya, hal-hal curang yang biasanya sudah menjadi watak kaum sesat.

Maka begitu puterinya berteriak dan kini isterinya dikeroyok dua, melihat benang-benang aneh yang kian tebal dari sepasang lengan dua orang itu maka Kim-mou-eng terkejut juga.

"Ilmu apakah ini? Dari mana mereka dapatkan?"

Dan Swat Lian juga terkejut.

Nyonya cantik itu juga bingung dan marah karena dia selalu berhadapan dengan benang-benang aneh itu.

Kalau diteruskan tentu tertangkap tapi kalau tidak diteruskan justeru lawan merangsek dan mendesak.

Benang-benang panjang yang mirip benang laba-laba ini membuat dia jijik.

Sebagai wanita tentu saja nyonya cantik itu tak mau bersentuhan.

Benang-benang itu amat lengket sekali dan daya rekatnya besar.

Kedua tangannya yang sudah bersentuhan penuh dengan benda-benda aneh itu, diusap tapi tak mudah hilang, mengganggu dan tentu saja membuat dia marah.

Maka ketika Hauw Kam membantu suhengnya dan si cambang itu juga mengeluarkan benang laba-labanya, lengket dan berseliweran ke sana-sini maka Swat Lian membentak dan mempergunakan angin pukulannya untuk mendorong atau menggebah.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Plak-wut!"

Benang laba-laba itu terusir.

Swat Lian dapat menghalau namun sejenak saja, kembali sudah diserang dan tentu saja nyonya ini bingung.

Dan ketika dia gugup dan marah serta gusar maka satu dorongan tiba-tiba malah membuat benang laba-laba membalik, melentur dan dengan amat mengerikan sekali benang laba- laba itu membelit lengannya.

Sang nyonya berteriak sementara Hauw Kam bersorak.

Dialah yang membelit nyonya ini dengan Jaring Naganya itu.

Dan ketika Swat Lian mengibas namun jaring laba-laba yang lain datang menyambar dan mengganggu lagi maka dua pasang lengan dari dua orang lawannya itu telah menjerat dan membelit tubuhnya, cepat sekali.

"Aiihhhh....!"

Nyonya atau wanita cantik ini berteriak tinggi.

Dia telah digubat dan dililit benang-benang halus itu.

Semuanya lekat dan lengket di tubuhnya seperti lintah.

Dan karena ilmu begini aneh baru kali itu dijumpai nyonya ini dan Swat Lian bingung maka nyonya itu terbanting ketika terjirat dan tertangkap jaring! Namun bayangan kuning emas tiba-tiba berkelebat.

Hauw Kam, yang terbahak-bahak dan girang sekali merobohkan korbannya tiba- tiba berteriak kaget ketika disambar pukulan dari samping.

Dia melihat bayangan kuning emas menyambar datang dan sebuah pukulan dahsyat datang menghantam.

Dan karena saat itu seluruh perhatian dan tenaganya terpusat pada nyonya cantik ini maka Khi-bal-sin-kang menghantam dan membuat tubuhnya mencelat.

"Minggir, lepaskan isteriku.... dess!"

Si gimbal itu berteriak, jauh terlempar tinggi namun Pendekar Rambut Emas tidak hanya berhenti sampai di sini saja.

Pendekar itu mencengkeram dan bergerak pula ke arah Gwan Beng, si cambang.

Dan ketika lawan terkejut namun tak sempat mengelak maka jari-jari pendekar ini telah menancap dan mengangkat naik tubuh si cambang itu.

"Bress!"

Gwan Beng pun mencelat terbanting roboh.

Laki-laki ini berseru tertahan karena jari-jari Pendekar Rambut Emas bagai tanggem baja, menancap begitu kuat dan kalau tidak kuat sinkangnya mungkin tulang pundaknya itu patah, dagingnya bisa hancur dan si cambang ini terkejut sekali melihat kehebatan lawannya itu.

Namun ketika dia bergulingan melompat bangun dan sutenya juga melakukan hal yang sama ternyata Pendekar Rambut Emas sudah menolong isterinya dan tidak menyerang lagi.

"Mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka!"

Dua laki-laki itu tertegun.

Swat Lian memaki- maki dan marah bukan main, tubuhnya penuh benang namun sang suami bantu membersihkan.

Nyonya cantik ini mangar- mangar dan melotot memandang dua orang lawannya itu.

Tapi ketika sang suami mendorong dan Soat Eng berteriak di sana maka wanita ini sadar dan segera berkelebat menolong, dibiarkan saja oleh Hauw Kam dan suhengnya yang masih tertegun memandang Pendekar Rambut Emas.

"Kau hebat. Ah, gerakanmu cepat sekali, Pendekar Rambut Emas. Tapi kami tak takut!"

Hauw Kam penasaran, marah membentak maju dan suhengnya juga bergerak.

Mereka tak memperdulikan Soat Eng yang sudah dibebaskan ibunya.

Swat Lian menyelamatkan puterinya itu namun diam saja tak menghiraukan Siang Le, yang justeru mendapat pelototan dan ketidaksenangan wanita cantik ini.

Dan ketika di sana Hauw Kam dan suhengnya sudah berhadapan dengan Pendekar Rambut Emas maka Soat Eng meloncat dan berkelebat maju, berdiri di samping ayahnya.

"Yah, mereka ini orang-orang gila yang busuk. Berhari-hari mereka menangkap dan menawan aku. Robohkan mereka tapi hati-hati terhadap Jaring Naganya itu!"

"Benar,"

Swat Lian, yang marah dan masih penasaran terhadap dua orang ini berkelebat pula di samping suaminya.

"Kau minggirlah biarkan aku maju kembali, suamiku. Aku masih belum kalah dan penasaran terhadap mereka ini. Biar kali ini aku menghajar mereka!"

"Tidak, mundurlah..."

Sang suami berkata, sabar.

"Sudah cukup main-main ini, isteriku. Aku ingin menghadapi mereka dan aku telah menemukan cara untuk menghadapi Jaring Naga mereka."

"Tapi aku belum kalah, mereka licik!"

"Kau memang belum kalah, isteriku, dan tak mungkin kalah. Kau hanya bingung dan belum mendapatkan cara bagaimana menghadapi benang laba-laba mereka. Sudahlah, aku menemukan caranya dan biar kucoba ini. Sebaiknya kau minggir bersama Eng-ji dan jangan ganggu konsentrasiku."

Swat Lian mundur.

Kalau suami sudah bicara seperti itu tentu saja dia harus mengalah.

Mukanya mangar-mangar dan perasaan tidak puas jelas tak dapat disembunyikan nyonya ini.

Kalau bukan suaminya yang minta tak mungkin dia mau sudah.

Kekalahannya tadi bukanlah kekalahan dan dia penasaran bukan main.

Tapi melihat sang suami sudah maju dan mendorong tubuhnya dengan halus maka nyonya ini berapi-api memandang dua orang itu, geram karena melihat Hauw Kam mengejek padanya, tertawa menyakitkan.

Dan ketika Soat Eng juga mundur dan berbisik pada ibunya bahwa dua orang itu memang berbahaya kalau sudah mengeluarkan Jaring Naganya maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas bertanya.

"Kalian kulihat orang-orang yang gagah, sayang tidak waras. Nah, sebelum kita bertanding sebutkan siapa nama kalian agar kalah menang dapat mengetahui nama musuh...."

"Aku Hauw Kam, ha-ha!"

Hauw Kam tiba-tiba menari, mendahului suhengnya.

"Aku tak takut kau cari, Pendekar Rambut Emas. Dan justeru kebetulan kalau kau tak takut mampus!"

"Apa?"

Pendekar Rambut Emas terkejut, mundur tersentak.

"Hauw Kam? Kau.... kau.... kalau begitu ini suhengmu Gwan Beng?"

Hauw Kam balik terkejut.

Bersama suhengnya dia mundur selangkah, Gwan Beng mendesis mencengkeram sutenya karena kenapa memberi tahu nama.

Mereka sudah memperkenalkan diri sebagai Koai-lojin, cukup, tak usah memperkenalkan nama.

Maka ketika Pendekar Rambut Emas terbelalak memandang mereka dan Swat Lian di sana juga berseru tertahan dan mundur selangkah tiba-tiba Hauw Kam dan suhengnya malah pucat, ketakutan melirik sana-sini.

"Kau tahu nama kami?"

Hauw Kam tiba-tiba menyesal, berbalik melebarkan mata dan melotot.

"Kalau begitu kau akan melaporkan kami pada nenek dan kakek iblis itu? Keparat, kalau begitu bunuh Kim-mou-eng ini, suheng. Jangan sampai dia melapor dan mencelakakan kita!"

Dan Hauw Kam yang menubruk serta melepas Jaring Naganya tiba-tiba mendahului sang suheng bergerak, ketakutan dan membentak dan Gwan Beng yang semula tenang tiba-tiba juga menjadi gugup dan beringas.

Dia mengangguk dan menerjang pula, cepat dan menghantam dan Pendekar Rambut Emas terkejut, berkelit.

Tapi ketika dua orang itu mengejarnya lagi dan mereka berkelebatan cepat tiba-tiba keduanya menyerang dengan marah dan Jaring Naga dikeluarkan sepenuhnya! "Bunuh laki-laki ini.

Awas dia melapor pada kakek dan nenek iblis itu!"

Kim-mou-eng terkejut.

Lawan sudah menyerangnya gencar dan jaring atau benang laba-laba sudah bersiutan menyambar kesana kemari.

Bagai ulat-ulat kecil benda-benda panjang itu beterbangan mengurungnya, tak lama kemudian sudah menutup jalan keluar dan Kim-mou-eng tak dapat melepaskan diri.

Dan ketika pendekar itu tersentak karena segala penjuru sudah dipenuhi jaring atau benang-benang ini maka Swat Lian di sana cemas sementara Soat Eng juga berteriak memperingatkan ayahnya.

"Awas, jangan tertangkap!"

Kim-mou-eng bergerak cepat.

Kaget dan heran bahwa dua orang ini menyerangnya seperti gila Pendekar Rambut Emas itu terkejut juga.

Dia mendorong dan menampar dan segera benang-benang berseliweran itu tertolak dan terpental.

Sinkang yang dimiliki pendekar ini memang lebih kuat daripada yang dimiliki isterinya, maklumlah, Pendekar Rambut Emas adalah laki-laki gagah yang kepandaiannya sudah sedemikian tinggi karena dia adalah murid langsung Bu-beng Sian-su, kakek dewa maha sakti itu.

Maka begitu mendorong dan bergerak menampar sana-sini pendekar ini menolak atau setidak-tidaknya menjauhkan jaring laba-laba itu, membentak dan girang tapi kaget bahwa dua orang ini ternyata Hauw Kam dan suhengnya, dua orang yang dulu dicari-cari tapi tak pernah didapat, menghilang dan dianggap tewas karena mereka dulu diculik atau dibawa oleh nenek Naga Bumi dan Siauw- jin, iblis cebol yang amat lihai itu.

Maka begitu berkelebatan dan menolak serta menampar benang laba-laba yang kian diperhebat saja oleh dua orang lawannya ini Pendekar Rambut Emas itu berseru berulang-ulang agar lawan menghentikan serangannya.

"Hei, kita kawan sendiri. Hentikan, Gwan- twako. Hentikan! Jangan menyerang. Kalian adalah suheng dari isteriku sendiri!"

Namun Hauw Kam dan suhengnya tak percaya.

Mereka itu terlanjur terkejut bahwa Pendekar Rambut Emas mengenal mereka, menyebut nama dan hal inilah yang membuat dua laki- laki itu ketakutan.

Dan karena mereka bertahun-tahun ini bersepak terjang aneh dan mendekati orang tidak waras karena pengaruh obat pelupa ingatan yang berlarut-larut maka justeru seruan Pendekar Rambut Emas diterima salah oleh suheng dan sute ini.

"Dia membujuk kita. Ah, hati-hati. Jangan percaya mulutnya. Serang! Bunuh dia, suheng. Jangan berhenti dan kita bunuh Pendekar Rambut Emas ini!"

"Benar, dan dia tahu siapa kita, sute. Jangan- jangan diapun komplot si nenek dan kakek iblis itu!"

"Maka jangan berhenti. Bunuh dan robohkan dia!"

Dan Hauw Kam yang menerjang lebih sengit dan mata terbelalak lebar tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas berkerut kening, tak jelas siapa yang dimaksud tapi tiba-tiba dia mengerti.

Ah, kiranya nenek iblis Naga Bumi dan Hek-bong Siauw-jin, tentu dua orang kakek dan nenek iblis itu.

Tapi ketika dia menyebut mereka dan Hauw Kam dan suhengnya semakin terkejut dan berubah mukanya tiba-tiba mereka berteriak dan kaget melancarkan pukulan lebih ganas.

"Celaka! Benar saja. Dia komplot nenek itu dan jangan diberi ampun. Bunuh dia, suheng. Jangan biarkan dia menangkap atau merobohkan kita!"

Kim-mou-eng kewalahan.

Menyebut-nyebut nama nenek Naga dan Hek-bong Siauw-jin ternyata malah menimbulkan keadaan yang runyam.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Dia mengerahkan Jing-sian-engnya dan berkelebatan cepat, berganti-ganti dengan Cui-sian Gin-kang hingga dua lawannya itu bingung, sebentar lenyap di kiri dan sebentar kemudian di kanan.

Bahkan tak lama kemudian bayangan Pendekar Rambut Emas ini sudah berpindah-pindah dari muka ke belakang, atau sebaliknya.

Dan ketika dorongan-dorongan Khi-bal-sin-kang atau Lui-ciang-hoat juga dipakai berganti-ganti hingga dua orang itu bingung maka tubuh Pendekar Rambut Emas yang juga berkeringat tiba-tiba tak dapat ditempel benang atau jaring laba-laba itu! "Srut!"

Benang atau jaring laba-laba itu luput.

Hauw Kam sudah berhasil menjirat lawan namun bertemu keringat yang licin, bukan keringat sembarang keringat melainkan keringat yang sudah diisi semacam kekuatan aneh dimana keringat pendekar ini berubah seperti minyak.

Itulah yang dilakukan Pendekar Rambut Emas untuk menghadapi Jaring Naga.

Jadi, lawan otomatis tak dapat melekatkan benang laba- labanya karena dengan keringat yang licin tak mungkin benang atau jaring laba-laba itu menempel! Dan ketika Hauw Kam dan suhengnya terkejut karena ilmu mereka mati kutu menghadapi kehebatan pendekar ini maka Soat Eng bersorak karena ayahnya tak mampu ditangkap.

"Hore, kalian ketemu batunya. Hi-hik, ayo perketat Jaring Naga kalian, Koai-jin. Biar kalian lihat betapa lihainya ayahku!"

"Keparat!"

Hauw Kam memaki, terkejut.

"Pendekar Rambut Emas ini hebat, suheng. Keringatnya licin!"

"Ya, dan tubuhnya juga seperti belut. Awas, dia membalas!"

Dan ketika Gwan Beng merunduk namun sutenya terlambat maka satu tamparan Lui-ciang-hoat diterima laki-laki ini, menjerit dan terlempar namun dia dapat bergulingan meloncat bangun, menerjang dan menyerang lagi namun Kim-mou-eng sudah berkelebat ke arah Gwan Beng.

Laki-laki yang inipun diserangnya dan Gwan Beng mengelak.

Namun ketika Lui-ciang-hoat berubah menjadi Khi-bal- sin-kang dan mau tak mau dia harus menangkis juga maka si cambang ini terpelanting dan kaget bergulingan mengeluh tertahan.

"Bres-bress!"

Dua orang itu mulai gentar. Jaring Naga mereka, yang amat diandalkan dan mampu menundukkan Siang Le dan Soat Eng ternyata kandas bertemu Pendekar Rambut Emas ini. Dengan cerdik dan pintar ternyata Pendekar Rambut Emas mampu "meredam"

Benang- benang atau jaring laba-laba itu, membuat kulitnya licin dan tentu saja menghadapi kulit yang licin begini tak mungkin jaring itu dapat menjerat, akan selalu meleset dan luput menangkap sasaran.

Kim-mou-eng kiranya telah menemukan cara atau akal untuk menghadapi ilmu aneh yang dimiliki lawan.

Dan ketika mereka terkejut dan gentar memandangnya maka Pendekar Rambut Emas itu membalas dan berkelebatan mengelilingi mereka.

"Kalian berhentilah menyerang, kita bicara baik-baik. Atau aku akan merobohkan kalian dan apa boleh buat harus menundukkan kalian!"

Hauw Kam memekik.

Dibalas dan didesak seperti itu tiba-tiba si gimbal ini marah, dia mencabut pedang dan kini dengan pedang di tangan kanan dia mainkan Giam-lo Kiam-sut.

Namun karena Kim-mou-eng hapal karena Giam-lo Kiam-sut adalah ilmu pedang yang diwarisi isterinya maka dengan mudah dia menggerakkan ujung baju dan pedang selalu tersampok miring atau terpental, mempergunakan kuku jarinya pula untuk menjentik atau menyentil dan membaliklah pedang menghantam tuannya sendiri.

Dan ketika hal itu terjadi berulang-ulang dan Gwan Beng juga mencabut pedang namun tertolak dan terkibas maka dua orang ini mulai terhuyung-huyung sementara Swat Lian di sana berdiri menjublak.

"Suamiku, mereka tampaknya memang benar seperti Hauw Kam-suheng dan Gwan Beng- suheng. Tapi aku belum yakin. Bolehkah aku maju untuk membantumu?"

"Kau mau apa?"

"Mencukur mereka itu, membersihkan wajahnya!"

"Ah, dapat kulakukan. Biarlah kau disana saja!"

Dan Pendekar Rambut Emas yang tiba-tiba bergerak dan ingin membuktikan pada isterinya sekonyong-konyong menangkap pedang di tangan Hauw Kam.

Lawan saat itu menyerangnya dengan pedang menusuk leher, tak dikelit bahkan diterima.

Kelima jarinya menyambut dan mencengkeram.

Dan ketika Hauw Kam terkejut karena pedang tertangkap dan tak dapat dilepas lagi tiba-tiba Pendekar Rambut Emas membetot dan terlepaslah pedangnya.

"Hayaaa...!"

Untuk berikutnya dua orang ini semakin pucat saja.

Giam-lo Kiam-sut, yang mereka mainkan ternyata dapat dimainkan pula oleh Pendekar Rambut Emas itu.

Pedang bergerak-gerak dan gulungan sinar putih biru menyambar-nyambar di atas kepala.

Gwan Beng terpental ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan lawannya itu, maklumlah, Pendekar Rambut Emas mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya untuk menolak atau mementalkan pedang lawan.

Dan ketika Gwan Beng terdesak dan Hauw Kam berteriak-teriak maka rambut gimbal-gimbal di kepala Hauw Kam ini mulai mendapat bagian.

"Crat!"

Rambut itu tercukur.

Hauw Kam berteriak tapi lawan mengejar, membanting diri namun bayangan lawan tetap menempel, demikian dekat, demikian tak berjarak.

Dan ketika pedang bergerak lagi dan Hauw Kam mengelak namun tetap saja tersambar maka berturut- turut rambutnya terbabat dan gimbal- gimbalnya di kepalanya itu telah bersih! "Benar, dia Hauw Kam-suheng!"

Swat Lian berseru, tertegun membelalakkan mata sementara Hauw Kam sendiri memaki kalang kabut.

Lawan mencukur rambutnya yang gimbal-gimbal dan bersihlah sekarang kepala itu dari rambut yang kotor dan tak terawat.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas ganti bergerak ke kanan dan pedang bergerak menyilang ke muka Gwan Beng maka Gwan Beng yang bercambang ini juga mulai dicukur, cepat luar biasa.

"Bret-bret!"

Gwan Beng terhuyung.

Selama bertahun-tahun ini barulah Kim-mou-eng yang mampu mengunggulinya habis-habisan.

Pendekar Rambut Emas itu mampu menghadapi Jaring Naganya dan kini bahkan mencukur sutenya sampai berambut pendek.

Hal itu luar biasa dan kini wajahnya pun "dikerjain", ah, mengejutkan sekali.

Dan ketika laki-laki ini menjadi gentar dan tak lama kemudian cambang di wajahnya pun itu telah bersih maka tampaklah wajah seorang laki-laki gagah yang beroman cakap.

"Benar, diapun Gwan Beng-suheng!"

Gwan Beng terhuyung.

Dicukur dan dikerjai habis-habisan begitu tentu saja membuat laki- laki ini gentar.

Gwan Beng merasa jerih sementara sutenya Hauw Kam juga ngeri.

Lawan mereka itu hebat sekali sehingga dapat mempermainkan mereka dengan mudah.

Yang satu rambutnya dipotong sementara yang lain cambangnya dibabat.

Siluman! Dan ketika dua orang ini pucat terbelalak dan bukannya menyerah atau apa tiba-tiba Hauw Kam membalik dan sudah menyambar suhengnya.

"Lari, kita bertemu hantu!"

Gwan Beng mengangguk.

Memang dia mau memutar tubuhnya dan melarikan diri.

Kepandaian dan kehebatan Pendekar Rambut Emas itu jelas bukan tandingan mereka.

Maka begitu disambar dan terbang mengerahkan ginkang tiba-tiba kakak beradik ini meninggalkan Pendekar Rambut Emas, melarikan diri.

"Heii...!"

Swat Lian berteriak.

"Tunggu suheng. Jangan lari. Aku sumoimu, Hu Swat Lian...!"

Dan si nyonya yang berkelebat mengejar dan memanggil dua orang itu ternyata malah membuat Hauw Kam dan suhengnya tancap gas, gentar setelah bayangan Pendekar Rambut Emas juga ikut mengejar.

Pendekar itu berseru agar mereka berdua berhenti, tak dibunuh dan jangan takut.

Namun karena dua orang ini dalam keadaan tidak normal dan Hauw Kam malah berteriak-teriak memaki pendekar itu maka Swat Lian gemas namun juga gelisah, ikut tancap gas, menggabung Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya.

"Suheng, berhenti.... berhenti kataku!"

Bayangan nyonya ini berkelebat di atas kepala lawan, berjungkir balik dan sudah mendahului mereka dan melayang turun memalangkan lengan. Tapi begitu dia membentak dan menyuruh lawan berhenti tiba-tiba Hauw Kam dan suhengnya malah mengibas.

"Pergi!"

Swat Lian tak berani ambil resiko.

Ia menangkis dan mengerahkan Khi-bal-sin- kangnya, menerima dan otomatis pukulan Bola Sakti itu membuat lawan terbanting sendiri.

Dan ketika hal itu sudah dialami dua kakak beradik ini dan Hauw Kam mengeluh maka Pendekar Rambut Emas juga sudah tiba menyusul isterinya.

"Kita kawan, bukan musuh!"

Namun dua orang itu menjadi beringas melihat Pendekar Rambut Emas datang dan membantu isterinya tiba-tiba dua orang ini bergerak menghantam.

Mereka telah melompat bangun dan Swat Lian disana mengeluh.

Nyonya ini memang melihat ketidaknormalan suheng- suhengnya itu, berseru membujuk namun percuma saja.

Dan ketika suaminya menangkis dan Khi-bal-sin-kang juga dipergunakan maka Hauw Kam dan suhengnya mencelat ke arah mereka tadi bertempur.

"Bres-bress!"

Kakak beradik ini pucat.

Mereka kini membalik dan ganti melarikan diri ke selatan, tadi ke timur dan Kim-mou-eng suami isteri tertegun.

Dua orang itu seperti orang ketakutan hebat dan benar-benar tidak waras.

Namun bergerak dan mengerahkan Jing-sian-engnya tiba-tiba Pendekar Rambut Emas telah berkelebat dan melampaui kepala lawan.

"He, kalian tak perlu melarikan diri, Gwan- twako (kakak Gwan). Aku dan isteriku bukan musuh melainkan sahabat. Kalian adalah suheng isteriku itu!"

Namun bergerak dan menghantam marah tiba-tiba dua orang itu menyambut tubuh Kim-mou-eng.

"Des-dess!"

Lagi-lagi mereka yang terpental.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim-mou-eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya itu untuk menolak pukulan lawan, mereka mencelat dan kembali terguling-guling.

Namun ketika mereka melompat bangun dan memutar tubuh maka mereka kini melarikan diri ke arah barat.

"Suheng!"

Swat Lian akhirnya menangis.

"Bagaimana kalian ini? Aku Swat Lian, sumoi kalian. Jangan lari dan dengarlah dulu!"

Namun dua orang itu yang lagi-lagi menyambut Swat Lian dengan pukulan dan hantaman akhirnya menggeram dan bergulingan terlempar jauh.

Sang nyonya melindungi diri dengan Khi-bal- sin-kang dan bingunglah nyonya itu oleh tingkah suhengnya yang aneh.

Diajak bicara baik-baik tak dapat dan bergeraklah suaminya di sampingnya.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas berkata bahwa biarlah mereka melarikan diri karena mereka dapat menguntit secara diam-diam tiba-tiba Swat Lian meronta dan tidak setuju.

"Tidak... tidak. Mereka itu tak sehat dan harus cepat disembuhkan. Agaknya mereka lupa atau apa!"

"Benar, tapi jangan begini, niocu. Mereka tak mau didekati dan barangkali telah ketakutan oleh sepak terjangku tadi. Biarkan mereka menenangkan diri dan beri kesempatan agar tidak ketakutan!"

Swat Lian tertegun.

Akhirnya dia berhenti dan menangis melihat dua orang itu melompat bangun.

Hauw Kam terkekeh-kekeh sementara suhengnya terbelalak pucat, menggeram.

Namun melihat suami isteri itu tidak mengejar lagi dan hanya memandang mereka tiba-tiba Hauw Kam terbahak dan berkelebat menyambar Siang Le.

"Heh-heh, kita bebas. Sekarang kita bebas!"

"Hei!"

Siang Le berteriak.

"Lepaskan aku, Koai- jin. Biarkan aku di sini!"

"Tidak!"

Hauw Kam tertawa bergelak.

"Kau dapat menjadi jaminan kalau Pendekar Rambut Emas mengancam kami, bocah. Hayo ikut dan jangan bandel!"

Dan Siang Le yang berteriak- teriak namun tidak dihiraukan akhirnya dibawa kabur dan terbang seperti siluman, sebentar saja lenyap di luar lembah dan Pendekar Rambut Emas maupun isterinya menjublak.

Mereka itu bingung mau berbuat apa, maklumlah, Hauw Kam dan suhengnya tak mau didekati.

Namun ketika dua orang itu membawa Siang Le dan Soat Eng terkejut tiba- tiba gadis ini berteriak dan lari mengejar.

"Hei, lepaskan dia....!"

Sang ibu jadi terkejut.

Soat Eng sudah berkelebat dan terbang mengejar dua orang supeknya (pakde) itu, berteriak-teriak sementara Siang Le yang dipondong Hauw Kam tiba-tiba berseri.

Pemuda ini jadi tak berteriak-teriak lagi karena Soat Eng sudah melakukan bentakan-bentakan dan makian.

Entah kenapa tiba-tiba saja Soat Eng khawatir melihat Siang Le dibawa kabur.

Maka begitu terbang dan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya tiba-tiba gadis ini melesat secepat kijang betina.

**SF** (Bersambung

Jilid 23) Bantargebang, 04-01-2019,14.39 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 23 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 23 * * * "LEPASKAN pemuda itu. Atau aku akan membunuh kalian!"

Hauw Kam dan suhengnya terkejut.

Soat Eng mengerahkan Jing-sian-engnya dan sama seperti ibunya tiba-tiba gadis ini sudah berkelebat di samping mereka, kebetulan di sisi Gwan Beng dan gadis itu membentak, melepas Khi-bal-sin-kang.

Namun ketika Gwan Beng menangkis dan Jaring Naganya bergerak maka Soat Eng berteriak kaget karena tubuhnya terguling dan terjerat bagai lalat di sarang yang lekat.

"Des-dess!"

Gwang Beng terhuyung.

Jelek-jelek gadis itu adalah puteri Pendekar Rambut Emas, tentu saja hebat.

Tapi ketika Soat Eng terguling- guling melepaskan diri dari jaring yang mengerikan itu maka Gwan Beng mengajak sutenya lari lagi, melihat bayangan Pendekar Rambut Emas suami isteri bergerak.

"Jangan hiraukan gadis itu. Pergi!"

Soat Eng memaki-maki.

Dia bingung dan gugup karena sementara dia melepaskan diri dari jaring yang seperti benang laba-laba itu ternyata lawan melarikan diri lagi, tak mau melepas Siang Le.

Dan ketika dia memaki-maki dan menangis tak keruan maka ayah ibunya berkelebat dan menolongnya mengangkat bangun.

"Supek-supekmu tak dapat dibujuk. Jangan kejar, dia tak akan mau!"

"Tapi..."

Soat Eng menggigil, pucat.

"Siang Le dibawa mereka, ayah. Pemuda itu dalam bahaya!"

"Eh,"

Ayahnya bertanya.

"Ada apa dengan pemuda itu? Kenapa kau pusing-pusing memikirkannya? Dia murid See-ong, Eng-ji. Dan gurunya telah membunuh kakekmu. Selama ini kau tak pernah memperhatikan dan mengacuhkan dia!"

"Benar,"

Ibunya juga berkata.

"Tak biasanya kau bersikap seperti ini, Eng-ji. Biarkan saja pemuda itu mampus dan kau bersama kami!"

Soat Eng tertegun.

Pandang mata ayahnya yang tajam namun lembut disusul pandang mata ibunya yang keras namun penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini tak dapat bicara.

Entah kenapa bentrok dengan pandang mata ayahnya yang lembut dan penuh senyum itu tiba-tiba membuat dia lebih malu dan likat dibanding beradu pandang dengan ibunya.

Soat Eng mengeluh dan pucat.

Dan ketika ibunya memegang lengannya dan bertanya apakah dia akan mengejar dan menyelamatkan pemuda itu maka gadis ini tak dapat menjawab dan bingung! "Kau tak perlu menghiraukannya, kecuali ada apa-apa antara dirimu dengan pemuda itu!"

"Dan kusangka kau tak ada apa-apa dengannya,"

Sang ayah ikut menyambung.

"Biarkan saja dia bersama supekmu, Eng-ji. Dibunuhpun agaknya patut. Kakekmu dibunuh gurunya!"

"Tapi..."

Gadis ini gemetar.

"Siang Le berkali- kali menolongku, ayah. Dia banyak berkorban. Dan lagi bukan dia yang membunuh kong-kong melainkan See-ong, gurunya!"

"Benar, tapi See-ong maupun muridnya sama saja, Eng-ji. Tak ada murid yang jauh dengan gurunya. Kalau See-ong jahat pasti pemuda itu juga tak berbeda. Dia banyak menolongmu atau baik hanyalah pura-pura saja untuk menarik perhatianmu!"

"Hm, sekarang biarkan Eng-ji saja,"

Ayahnya menengahi.

"Kalau ingin mengejar silahkan, kalau tidak ya terserah. Hanya kami tentu dapat menilai bagaimana bila kau bersikeras ingin menyelamatkan pemuda itu!"

Dan Soat Eng yang tersudut dan tentu saja merah padam tiba-tiba membalik dan mengeluh meninggalkan ayah ibunya, kembali ke lembah dan saat itu muncullah adiknya, Beng An.

Dan ketika anak laki-laki itu berteriak memanggil encinya maka Soat Eng menyambar dan langsung mengajak adiknya ini pulang.

"Musuh sudah pergi, ayo kita kembali!"

Dan menahan isak yang hampir berubah sedu- sedan tiba-tiba gadis ini terbang dan kembali ke lembah, bingung dan tak tahu harus berbuat apa namun gadis itu gelisah bukan main.

Siksaan-siksaan yang dialami Siang Le ketika dibawa dan dikuasai supeknya tak dapat dia hilangkan begitu saja.

Siang Le yang rela diseret-seret agar dia dipondong dan dibawa secara baik-baik adalah sikap mengharukan yang membuat gadis ini tergetar juga.

Namun karena perasaannya juga harus dikekang kalau tak ingin malu dilihat ayah ibunya maka hari itu Soat Eng menangis tak keruan, melempar tubuh di atas pembaringannya dan semalam dia tak mau diganggu.

Ayah ibunya memanggil namun gadis ini diam saja.

Dan ketika disana ayah ibunya saling pandang dan mengamati dari jauh maka Pendekar Rambut Emas berseri-seri sementara isterinya cemberut! "Hm, Eng-ji jatuh cinta! Dia bingung, isteriku.

Dan jangan kita menyudutkannya sedemikian rupa!"

"Dengan bocah she Siang itu? Hm, tidak! Tak boleh, suamiku. Aku tak setuju dan akan menentang!"

"Jangan keras-keras,"

Sang suami berbisik.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Aku tahu isi hatimu, niocu. Tapi, ah... sudahlah. Aku akan melihat saja dan sekarang kita bicarakan bagaimana dengan dua suhengmu itu!"

Sang nyonya tiba-tiba terisak.

"Hauw Kam- suheng dan Gwan Beng-suheng ternyata masih hidup..."

Nyonya ini menahan diremasnya hati.

"Dan aku ingin menyusul mereka, suamiku. Mereka sakit, tak waras! Bagaimana pendapatmu? Maukah kau pergi mencari mereka?"

"Hm, sekarang sudah waktunya bagi kita untuk meninggalkan lembah. Eng-ji sudah kembali, tapi Liong-ji belum. Dan sekarang ditambah lagi dengan munculnya dua suhengmu yang gila! Hm, kita memang harus pergi, niocu. Dan kita cari semuanya!"

"Dan Beng An kita bawa!"

"Tentu saja. Masa harus ditinggal sendiri? Dan Eng-ji pun sebaiknya mengikuti kita. Besok kita berangkat!"

Dan ketika sang isteri mengangguk dan menyatakan setuju maka malam itu mereka meninggalkan pesan-pesan untuk pembantu-pembantu mereka.

Maklumlah, suku bangsa Tar-tar yang dipimpin Pendekar Rambut Emas ini tak mungkin ditinggalkan begitu saja.

Mereka di bawah pimpinan tunggal dan rencana kepergian Kim-mou-eng tentu saja mengejutkan mereka, apalagi ketika sang nyonya turut, beserta anak laki-lakinya yang gagah, Beng An.

Namun karena mereka juga bukan orang-orang yang picik dan kepergian pemimpin mereka justeru untuk menyelesaikan masalah-masalah penting maka pembantu- pembantu Pendekar Rambut Emas ini dapat menerima, menarik napas dalam.

"Kalau taihiap hendak mencari Liong-kongcu dan beberapa orang lagi tentu saja kami siap menjaga disini. Mudah-mudahan taihiap cepat pulang dan selamat beserta hujin."

Kim-mou-eng mengangguk.

Malam itu dia merasa lega dan beberapa pembantunya sudah disuruh mundur.

Malam telah larut dan sang isteri pun sudah mulai tidur.

Mereka akan berangkat pagi-pagi namun ketika pendekar ini hendak bergerak ke atas pembaringannya mendadak sebuah suara didengar di luar.

Suara itu halus dan nyaris tak tertangkap.

Tapi begitu pendekar ini mengerti dan berkelebat keluar maka sesosok bayangan tampak melesat dan keluar dari kamar puterinya.

"Berhenti!"

Pendekar Rambut Emas membentak perlahan.

"Mau kemana kau, Eng- ji. Jangan bergerak dan katakan kemana kau mau pergi!"

Bayangan itu, Soat Eng, sudah dicengkeram.

Dengan kepandaiannya yang tinggi dan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa ternyata pendekar ini telah mengetahui siapa kiranya bayangan itu, yang bukan lain puterinya sendiri.

Dan ketika dia berseru dan menangkap puterinya itu, yang tersedu dan tiba-tiba menutupi mukanya maka gadis ini menubruk sang ayah, tak menjawab.

"Kau mau kemana?"

Sang ayah tertegun.

"Malam-malam begini tak pantas keluyuran, Eng-ji. Kalau ibumu tahu tentu kau mendapat marah!"

"Aku... aku..."

Gadis ini mengguguk.

"Aku mau keluar lembah, ayah. Pergi..."

"Hm, kemana?"

Gadis itu tak menjawab. Soat Eng tersedu dan menubruk ayahnya itu, mengguguk. Dan ketika sang ayah memeluk dan mengusap- usap rambutnya maka Pendekar Rambut Emas kembali bertanya, kini dengan lebih lembut.

"Eng-ji, agaknya aku dapat menduga kemana kau akan pergi. Tentu mengejar dan menyelamatkan Siang Le, bukan? Kau mau melakukan itu?"

"Beb... benar..."

Gadis itu mengguguk.

"Aku... aku tak dapat melupakan Siang Le, ayah. Aku gelisah dan khawatir akan keadaannya. Supek Hauw Kam dan Gwan Beng tak waras!"

"Hm, aku tahu gejolak hatimu. Tapi tak usah khawatir. Eh, ada sesuatu yang agaknya kau sembunyikan, Eng-ji. Masalah perasaan hatimu kepadanya! Apakah kau suka? Apakah kau, hmm... menerima cinta pemuda itu?"

Soat Eng pucat.

Ditodong dan ditanya demikian langsung dan tanpa tedeng aling-aling lagi mendadak membuat gadis ini gemetar.

Pandang mata ayahnya yang tajam namun tidak menusuk, lain dengan pandang mata ibunya yang beringas dan penuh kebencian tiba-tiba membuat gadis ini serasa dihunjam sesuatu yang keras namun lembut.

Entahlah, meskipun pertanyaan ayahnya itu mengejutkan namun terasa tidak menyakitkan.

Pandang mata ayahnya yang lembut dan sejuk meskipun tajam tidaklah sama dengan pandang mata ibunya itu.

Namun karena dia adalah seorang gadis dan tentu saja sukar menjawab secara terang-terangan pula maka gadis ini menangis dan menyusupkan kepalanya di dada sang ayah, menyatakan tak tahu.

"Aku... aku bingung. Hanya aku tak ingin membiarkan Siang Le celaka. Entahlah, betapapun pemuda itu telah menolongku berkali-kali, ayah. Terakhir dengan pencuri Cermin Naga itu!"

"Ya, dan kulihat pula bahwa pemuda itu sungguh-sungguh. Hm, repot. Sayang dia murid See-ong, Eng-ji. Kalau tidak, hmm...!"

Sang pendekar menarik napas panjang.

"Sudahlah,"

Katanya melanjutkan.

"Betapapun tak boleh kau malam-malam begini keluar lembah, Eng-ji. Tak baik dan tak pantas untukmu. Ibumu bakal marah, dan tak baik menyakiti hati ibumu yang sudah berbulan- bulan menunggu kedatanganmu. Besok kita semua akan berangkat, kau bersama kami dan tak boleh sendiri lagi. Nah, masuklah ke kamarmu dan bersabar bersama kami. Kau tentu tak akan memalukan ayah ibumu, bukan? Atau kau mau menjadi gadis berandal dan tak patuh pada orang tua?"

"Tidak!"

Soat Eng tersedu.

"Tapi aku bingung, ayah. Siang Le..."

"Pemuda itu tak akan diapa-apakan supekmu!"

Sang pendekar meyakinkan hati puterinya.

"Meskipun gila tapi kedua supekmu bukanlah orang kejam. Tidak, aku percaya pemuda itu tak akan apa-apa, Eng-ji. Kalaupun menderita tentu hanya sekedar pukulan fisik. Dia laki-laki, tak akan apa-apa. Kau tak perlu khawatir dan kembalilah ke kamarmu untuk besok bersama- sama kami pergi meninggalkan lembah!"

"Ayah yakin?"

"Aku yakin! Nah, pergi ke kamarmu dan tidurlah!"

Soat Eng terisak.

Akhirnya dia mendapat kecupan lembut di kening, ayahnya membelai dan menyuruhnya masuk.

Malam sudah semakin larut karena kentongan terdengar dua kali.

Namun karena dia percaya kata-kata ayahnya ini dan agaknya sang ayah jauh lebih maklum akan perasaan hatinya maka Soat Eng terhibur dan agak lega juga.

"Aku tak menghalangi dengan siapa pun kau menjatuhkan cinta. Tapi jaga perasaan ibumu, jangan dilukai!"

"Aku mengerti. Baik, ayah. Terima kasih!"

Dan Soat Eng yang bahagia meninggalkan ayahnya lalu berkelebat dan kembali memasuki kamarnya.

Tadi memang hendak minggat untuk mencari Siang Le.

Dia terlalu khawatir dan entah kenapa begitu gelisah melihat pemuda itu dibawa supeknya.

Atau, lebih tepat, gelisah karena dia ditinggal pemuda itu! Dan ketika dia memasuki kamarnya dan lega menarik selimut di pembaringan maka malam itu tak terjadi apa-apa hingga Pendekar Rambut Emas lega.

Betapapun diam-diam mengawasi segala gerak-gerik puterinya itu dan tentu saja dia dapat merasakan kegelisahan anak perempuannya itu.

Sebagai orang tua bijak pendekar ini tahu apa yang terjadi, meskipun dia juga harus berhati-hati karena tampaknya dalam hal ini dia akan berbeda pendapat dengan isterinya sendiri.

Namun karena hal itu masih berupa perkiraan dan semuanya belum kongkrit maka malam itu pendekar ini memasuki kamarnya pula dan duduk bersamadhi, memperhatikan isterinya yang telah tidur pulas dan dia menarik napas lega.

Kalau dia tak mencegah kepergian puterinya tadi entah apa yang akan terjadi dengan isterinya ini.

Tentu isterinya itu akan marah-marah dan mengutuk Soat Eng habis- habisan, yang tak tahu bahwa beberapa bulan ini ibunya gelisah memikirkan sang anak gadis.

Tapi begitu semuanya tenang dan sang anak rupanya juga dapat dinasihati baik-baik maka keesokan harinya, pagi-pagi ketika ayam jantan mulai berkokok pendekar ini sudah menyiapkan segalanya.

Dan begitu sang isteri melompat bangun dan tertegun melihat suaminya menyiapkan kereta dengan empat ekor kuda maka nyonya ini terbelalak mengucek matanya.

"Kau menyiapkan itu untuk apa?"

"Ah,"

Sang suami tertawa.

"Tentu saja untuk perjalanan jauh kita, niocu. Untuk apa lagi?"

"Tapi kita dapat berlari cepat, bahkan terbang melebihi kuda!"

"Benar, tapi apakah Beng An juga dapat melakukan seperti apa yang kita lakukan? Tidak, aku ingin membuat perjalanan ini tak begitu melelahkan, isteriku. Terutama untuk anak-anak kita. Ingat, Eng-ji juga baru saja kembali dan tentu dia lelah kalau diminta berlari cepat. Sebaiknya dengan kereta ini saja dan setiap kali dapat melakukan pergantian kuda."

"Tapi makan waktu lama!"

"Ah, siapa bilang? Di tempat-tempat tertentu kita dapat menitipkan kereta kita, niocu, melakukan perjalanan dengan ilmu lari cepat. Tapi di tempat-tempat tertentu pula kita memerlukan kereta ini untuk tidak menarik perhatian. Sudahlah, kau bangunkan Eng-ji dan Beng An dan kita berangkat!"

Sang isteri membelalakkan mata.

Nyonya ini mau tak setuju tapi akhirnya dia mengangguk juga, mendesis dan berkelebat membangunkan dua anaknya itu, Beng An dan Soat Eng.

Dan ketika Soat Eng juga tertegun melihat ayahnya menyiapkan kuda maka Beng An justeru bersorak.

"Horee, kita dapat bersantai!"

"Hush!"

Ibunya menegur.

"Bukan bersantai, Beng An, melainkan agar perjalanan jauh ini tidak melelahkan dirimu. Hayo, naik ke kereta dan ikuti ayahmu!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng An meleletkan lidah. Dibentak dan didorong ibunya tiba-tiba anak ini melompat naik, sudah duduk di dalam. Tapi bergerak dan pindah keluar ternyata ia ingin duduk di depan, di samping ayahnya yang menjadi sais.

"Aku ingin di sini. Biar Ibu dan enci Eng di dalam!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum.

Anak laki- lakinya yang bungsu ini memang nakal tapi pemberani, suka kepada petualangan- petualangan dan tentu saja dia senang.

Begitulah seharusnya anak laki-laki, gagah dan pemberani! Dan ketika semua sudah siap dan kereta bergerak tiba-tiba secara diam-diam dan hanya diketahui beberapa orang pembantunya saja pendekar ini meninggalkan lembah.

Dan begitu kereta berderap keluar lembah maka Pendekar Rambut Emas sudah melarikan keretanya dengan kencang! **SF** "Kita berhenti di sini,"

Dua anak muda itu melempar buntalan mereka.

Wajah yang murung dan kesal jelas menyelimuti keduanya, yang tampak sudah melakukan perjalanan jauh namun tak berhasil menemukan apa yang dicari.

Dan ketika keduanya duduk dan melempar pantat di rumput yang tebal maka pemuda yang bicara, yang tinggi besar dan berkulit kehitaman sudah membuang rusa yang dipanggulnya kepada seorang gadis yang berkelebat datang.

"Hoa-moi, buatlah panggang rusa. Sebentar kami istirahat dan setelah itu aku akan memasuki perkampungan itu!"

"Hm,"

Pemuda satunya, yang duduk berkerut- kerut kening bertanya.

"Kau mau kemana, Ituchi? Mau melakukan apa?"

"Aku mau mencari adikku, juga ibuku!"

"Tidak!"

Pemuda itu berkata.

"Untuk ini serahkan padaku, Ituchi. Sudah kubilang bahwa kita harus berhati-hati memasuki daerah yang belum kita kenal. Adikmu katanya ada di sana, tapi aku belum yakin. Sebaiknya serahkan hal ini padaku dan kau bersama Mei Hoa."

"Hm, masa harus selalu begitu, Thai Liong? Aku lama-lama jadi malu kepadamu. Tidak, aku yang pergi dan biar kau menjaga kekasihku di sini!"

"Jangan,"

Dua pemuda ini, yang ternyata Thai Liong dan Ituchi, menggeleng kepala, bersitegang.

"Aku mendengar satu di antara lima Iblis Dunia berada di sini, Ituchi. Dan kalau kau bertemu dengannya tentu celaka. Tidak, kau yang di sini dan biar kau yang menjaga kekasihmu!"

Dan bangkit tak menunggu temannya membantah tiba-tiba Thai Liong berkelebat dan meluncur ke perkampungan di depan.

"Heii...!"

Ituchi berteriak.

"Tunggu dulu, Thai Liong. Kita semua lapar dan tunggu matangnya daging rusa!"

"Biarlah, nanti saja,"

Thai Liong tersenyum, menjawab dari jauh.

"Kalian berdua makanlah dulu, Ituchi. Dan biarkan aku mencari adikmu!"

Dan Ituchi yang tertegun tapi mengepal-ngepal tinju akhirnya membanting kaki dan cemas namun juga bingung, di samping marah.

"Terlalu Thai Liong ini. Apa-apa dikerjakan sendiri! Ah, aku jadi banyak berhutang budi padanya, Mei Hoa. Kalau begitu cepat kita bakar daging rusa ini dan setelah itu kita susul!"

"Ini semua gara-gara aku,"

Mei Hoa terisak.

"Kalau saja aku berkepandaian tinggi dan tak perlu dijaga tentu kau dapat menyusul temanmu, Ituchi. Ah, betapa tidak enaknya menjadi orang bodoh!"

"Sudahlah,"

Ituchi terkejut.

"Kau tak perlu menyesali diri, Hoa-moi. Akupun juga laki-laki yang kurang berkepandaian kalau dibanding sahabatku itu. Ah, sebaiknya kutemui guruku itu dan lain kali akan kuminta tambah ilmunya!"

Mei Hoa, gadis ini, dipeluk dan dicium.

Selama ini sebagaimana diketahui tiga orang ini selalu bersama.

Sejak Thai Liong dan Ituchi menolong Mei Hoa dan Mei Ling dari keganasan Togura maka Mei Hoa akhirnya menjadi kekasih Ituchi.

Mei Ling, adik Mei Hoa, ternyata tewas tak kuat menahan derita.

Mei Hoa tinggal sendiri namun untunglah Ituchi ada di situ, jatuh cinta dan segera menghibur.

Kedukaan Mei Hoa memang beralasan.

Orang tuanya terbunuh dan kini adiknya pun ikut tiada, gara-gara kebiadaban Togura, murid enam Iblis Dunia itu yang kini bagai harimau tumbuh sayap karena mewarisi pula Khi-bal- sin-kang dan Jing-sian-eng, ilmu yang dimiliki mendiang si jago pedang Hu Beng Kui yang tewas di Sam-liong-to, juga gara-gara kecurangan pemuda itu, putera mendiang Gurba yang dahsyat dan kini mewarisi watak ayahnya, yang ambisius dan ingin menguasai dunia! Dan ketika Mei Hoa menangis dipeluk kekasihnya ini maka Ituchi teringat daging panggang yang harus dibalik.

"Hei, hampir hangus. Awas, kubalik dulu!"

Dan Mei Hoa yang didorong dan melepaskan dirinya akhirnya menghapus air mata dan membantu kekasihnya itu, diam-diam menahan penyesalan di hati kenapa dia demikian bodoh dan lemah.

Dibanding Ituchi apalagi Thai Liong maka ilmu silat yang dimilikinya sungguh hampir tak berarti sekali.

Ah, mengeluh dia.

Namun ketika Ituchi menghibur dan berkali- kali menyuruhnya menerima semuanya ini maka pemuda itu menutup bahwa mereka harus cepat menyelesaikan pekerjaan ini untuk segera menyusul Thai Liong.

"Salini dan Nangi adalah adik-adikku. Seharusnya aku yang menemukan mereka dan bukan Thai Liong. Ah, sudahlah. Putera Pendekar Rambut Emas itu memang ringan hati dan ringan tangan, Mei Hoa. Marilah kita selesaikan ini dan setelah itu menyusulnya!"

Mei Hoa mengangguk.

Bagaimana pun akhirnya ia dapat menerima semua ini, menarik napas dan bekerjalah mereka menyelesaikan daging panggang itu.

Dan sementara mereka bekerja sambil menunggu kedatangan Thai Liong, yang memasuki perkampungan di depan maka Thai Liong sendiri sudah tiba di sana dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, berkelebat dan sudah berada di dalam.

Namun aneh, Thai Liong disambut kesunyian yang mencekam.

Rumah-rumah yang tertutup dan beberapa gulungan asap yang tampak keluar dari cerobong-cerobong rumah ternyata tampaknya tak berpenghuni.

Atau, mungkin baru saja berpenghuni namun sekarang penghuninya sudah meninggalkan kampung itu, hal yang mencurigakan.

Dan ketika Thai Liong celingukan dan berhenti memandang kesana kemari tiba-tiba telinganya mendengar rintihan sayup-sayup sampai, rintihan wanita.

"Wut!"

Pemuda ini berkelebat, lenyap menuju ke rumah sebelah kiri.

Bagai siluman atau bayangan iblis tahu-tahu pemuda ini sudah sampai di tempat rintihan itu, menendang dan melihat dua orang gadis tampak saling terikat dan menangis, mulutnya disumbat dan mereka mau berteriak-teriak namun tak dapat, jadilah terganti rintih dan suara-suara memilukan itu.

Dan ketika Thai Liong melihat siapa mereka tiba-tiba pemuda ini terkejut namun girang bukan main.

"Salini.... Nangi....!"

Dua gadis itu, yang terikat dan ah-uh-ah-uh tampak gembira bukan main.

Mereka membelalakkan mata dan tentu saja segera mengenal Thai Liong.

Inilah pemuda yang dulu menyelamatkan mereka dari kemarahan raja Cucigawa, ketika raja diserang dan diamuk kakaknya, Ituchi.

Dan ketika Thai Liong berkelebat dan langsung menggerakkan tangan melepas ikatan dan sumbatan tiba-tiba saja tanah di depan dua orang gadis itu bergerak dan sebuah lubang menerima tubuh pemuda ini, yang terjeblos ke bawah.

"Awas...!"

Thai Liong terkejut.

Tak menyangka namun membentak berseru keras tiba-tiba pemuda ini menjejakkan kaki berjungkir balik.

Bagi pemuda selihai Thai Liong bukanlah masalah kalau hanya sebuah lubang jebakan saja.

Tapi ketika pemuda itu berhasil melayang keluar dan berjungkir balik menghindari lubang tahu- tahu enam pisau belati beterbangan dari kiri kanan disusul puluhan anak panah yang menjepret dari dinding-dinding sebelah.

"Ha-ha, mampus kau...!"

Thai Liong kaget.

Dari sebelah kirinya tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak itu, tak kelihatan orangnya namun Thai Liong cepat menampar dan menggerakkan kaki tangannya.

Puluhan anak panah dan enam pisau belati ditangkis mencelat, sebagian patah-patah.

Dan ketika pemuda itu turun kembali dan menjadi marah maka Nangi dan Salini yang tadi ada di depannya mendadak terseret ke belakang dan...

lenyap menerobos dinding.

"Kim-kongcu!"

Thai Liong terkejut.

Dua gadis di depannya itu mendadak hilang karena disedot keluar.

Kiranya sebuah tali telah menghubungkan dua gadis ini dan Thai Liong tentu saja marah bukan main.

Dan ketika dia membentak dan melepas pukulan menghantam dinding maka dinding itu roboh dan rumah beserta tiang atau gentengnya ambruk.

"Bress!"

Thai Liong keluar bagai harimau yang baru terperangkap.

Pemuda ini berkelebat dan mendengar tawa yang dikenal.

Dan ketika dia keluar dan melempar sisa-sisa bangunan yang menimpanya maka tertegunlah pemuda itu melihat Siauw-jin mencengkeram dua kakak beradik Salini dan Nangi.

Dan sementara dia terkejut menggeram marah maka puluhan tanah di situ bergerak dan muncullah orang- orang yang merupakan pasukan pendam, satu di antaranya meloncat berjungkir balik dan Ui Kiok, wanita cabul yang dulu hampir mencekoki Thai Liong dengan obat perangsang muncul di situ, terkekeh di samping Siauw-jin, si iblis cebol! "Hi-hik, selamat bertemu lagi, Kim-kongcu.

Dan kau tentu tak lupa padaku!"

"Ha-ha!"

Siauw-jin, si iblis cebol tertawa ngakak, menyambung ucapan Ui Kiok.

"Bocah ini tak mungkin melupakanmu, Ui Kiok. Apalagi kalau dia sudah kau beri kenang-kenangan yang tak bakalan dilupakannya seumur hidup. Aih, aku ingin melihatmu bergulingan dengan pemuda ini dalam cinta yang panas. Ha-ha, sayang dulu gagal tapi sekarang tak mungkin lagi!"

Dan si cebol yang meraih serta menciumi wanita ini lalu meremas buah dadanya dengan gemas.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Hiih, semontok ini tak dapat merobohkan pemuda itu adalah keterlaluan, Ui Kiok. Marilah kubantu dan perlihatkan padaku nanti bagaimana kau merobohkan pemuda ini!"

Thai Liong merah padam.

Mendengar kata-kata cabul dan sikap cabul dari si iblis ini dia hampir tak kuat menahan lagi.

Ui Kiok sendiri terkekeh-kekeh diremas buah dadanya dan tak malu-malu dipandangi puluhan laki-laki yang mengilar melihat kepadanya, mata-mata nyalang yang begitu bernafsu ketika Siauw-jin meremas buah dada wanita itu, yang memang montok dan besar serta menggairahkan! Namun Thai Liong yang justeru muak dan marah tiba-tiba membentak.

"Siauw-jin, tak perlu banyak tingkah. Lepaskan dua gadis itu dan kuampuni kau!"

"Ha-ha, apa kau bilang? Mengampuni aku? Melepaskan gadis ini? Weh, kau terlalu bocah, bocah. Mereka adalah calon kekasihku dan tak mungkin kulepaskan begitu saja. Ha, kau menyerahlah dan baik-baiklah bersama kami!"

"Hm, kalau begitu aku akan menghajarmu!"

Dan Thai Liong yang tidak banyak cakap langsung menghantam iblis ini tiba-tiba berkelebat dan lenyap meninggalkan tempatnya semula, begitu cepat, begitu luar biasa.

"Dess!"

Siauw-jin menangkis, tapi terjengkang! Dan ketika iblis itu berteriak kaget karena Thai Liong mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya maka pemuda itu sudah berkelebatan menghajar si cebol yang tak tahu malu ini.

"Des-dess!"

Siauw-jin kelabakan.

Berteriak-teriak dan menyuruh semua orang maju tiba-tiba kakek itu bergulingan melempar tubuh, empat kali menerima pukulan dan empat kali itu pula matang biru! Kakek ini berkaok-kaok dan tentu saja kesakitan, dikejar dan sudah mengerahkan kekebalannya namun tetap saja pukulan pemuda itu menerobos dan menembus kekebalannya, tak ayal kakek ini melempar tubuh untuk menghindari pukulan-pukulan atau tamparan berikut.

Dan ketika dia memaki-maki dan Ui Kiok serta puluhan laki- laki di situ dibentak dan diperintah kakek ini untuk menyerang maka Thai Liong menghadapi puluhan lawan yang bergerak dan mengepungnya, menusuk dengan tombak atau pedang dan golok yang berseliweran menyambar-nyambar.

"Berhenti, mampus kau!"

Thai Liong mendengus.

Membalik dan menerima serta menggerakkan kedua tangannya ke muka belakang tiba-tiba pemuda itu mengibas.

Hujan golok dan tombak yang menyerang tubuhnya dari segala penjuru tentu saja tak perlu ditakuti.

Dan ketika semua golok atau tombak patah-patah bertemu tubuhnya maka Thai Liong mengangkat kakinya dan...

puluhan orang itu terlempar bagai layang- layang putus.

"Enyahlah.... des-dess!"

Thai Liong memberi pelajaran.

Puluhan laki-laki itu yang tadi mengeroyok dan mengepung tiba-tiba mencelat semua, mereka mengaduh- aduh dan Thai Liong gemas kepada si iblis cebol itu.

terang si cebol tahu bahwa puluhan pembantunya itu adalah kerbau-kerbau dungu semua, sengaja dikorbankan padanya untuk menyelamatkan diri.

Dan ketika benar saja Siauw-jin bergulingan dan meloncat bangun di sana, terkekeh dan menyeringai tiba-tiba setan cebol yang tahu bukan tandingan pemuda ini sudah melompat pergi dan menghilang meninggalkan pertempuran.

"Heii...!"

Thai Liong berseru.

"Lepaskan dua gadis itu, Siauw-jin. Atau kau roboh!"

Thai Liong menangkap seorang di antara pengeroyok, menimpuk dan melempar orang ini bagai sebatang pisang yang besar.

Orang itu berteriak dan kaget sekali karena tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi dia sudah meluncur ke setan cebol itu, siap menumbuk belakang punggung.

Tapi Siauw-jin yang tentu saja juga kaget dan melotot tiba-tiba menggerakkan tangan ke belakang dan...

pecahlah jeritan ngeri yang mendirikan bulu kuduk karena dengan telak dan dahsyat pukulan si cebol ini menghantam dada lawan.

"Krakk!"

Tubuh bagai batang pisang itu ambruk.

Dada orang ini pecah dan tulang serta isi dalamnya hancur, nyaris orang ini tak berujud manusia lagi karena tubuhnya sudah terlipat dua, roboh dan muncratlah darah membanjiri tempat itu.

Dan ketika Salini mengeluh pingsan dan terbang lagi dibawa kakek ini maka Thai Liong pucat melihat kekejian kakek itu.

"Wut!"

Sebuah serangan di belakang tiba-tiba menyadarkan pemuda ini.

Ui Kiok, yang diam- diam berkelebat dan selama ini menunggu kesempatan, menyuruh anak buahnya maju tiba-tiba bergerak dan menyerang tanpa suara.

Sebuah jarum dilepas dan wanita itupun masih menyusuli dengan pukulan tangan kiri dan kanan, yang hampir tak terdengar suaranya kecuali setelah dekat, karena saat itu Thai Liong sedang tertegun ke depan, memandang kekejian si setan cebol itu.

Tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas dan tentu saja segala syaraf baik sadar maupun tidak telah mendarah daging di tubuh pemuda ini maka secara otomatis dan cepat pemuda ini bergerak menangkis dan seketika memutar tubuhnya.

"Des-bluk!"

Ui Kiok menjerit.

Wanita ini terlempar dan kaget serta gentar karena hanya dalam sekali gebrakan saja Thai Liong membuatnya mencelat.

Dia terlempar dan jarumnya pun membalik, mengenai pipinya dan mengaduhlah wanita itu oleh rasa sakit yang sangat, karena jarumnya juga mengandung racun dan tentu saja pipinya seketika menggembung, bengkak kebiruan! Tapi ketika wanita ini bergulingan menjauhkan diri dan Thai Liong tidak begitu memperdulikannya karena yang dikehendaki adalah tawanan di tangan si kakek cebol tiba- tiba pemuda ini bergerak dan terbang mengejar kakek iblis itu.

"Siauw-jin, serahkan mereka. Atau kau kubunuh!"

Kakek ini terkejut.

Thai Liong tahu-tahu telah berada di belakangnya dan cepat seperti iblis pemuda itu sudah meluncur dekat sekali, kakek ini ngeri dan pucat.

Maklumlah, dia sudah tahu bahwa pemuda ini bukanlah tandingannya.

Dan ketika Thai Liong sudah tinggal dua meter saja di belakangnya dan pemuda itu membentak serta mengayunkan lengan maka kakek ini gentar menggerakkan lengan menangkis.

"Dess!"

Siauw-jin mencelat.

Thai Liong memukulnya dengan Khi-bal-sin-kang, tangkisan si kakek membalik dan mengenai dirinya sendiri, tentu saja iblis cebol itu berteriak dan bergulingan menjauh.

Dan ketika dia meloncat bangun dan memaki-maki maka Thai Liong membentak dan menyuruh dia menyerahkan tawanannya.

"Serahkan, atau kau kubunuh!"

"Keparat!"

Kakek ini mencabut sabitnya, senjata andalan.

"Berani membunuhku berarti membunuh dua orang gadis ini, bocah. Hayo kau bunuh aku dan aku akan membunuh mereka dulu!"

Thai Liong terkejut.

Si kakek sudah memutar sabitnya dengan cepat sekali, gerakan- gerakannya menyerempet-nyerempet dua kakak beradik itu dan satu bacokan akhirnya mengenai leher baju Nangi, yang pucat dan sejak tadi menangis tak henti-hentinya.

Dan ketika suara "bret"

Itu seakan membuat nyawa gadis ini terbang dari tubuhnya maka Siauw-jin terbahak-bahak melihat Thai Liong yang pucat mukanya.

"Ha-ha, membunuh aku berarti membunuh dua gadis cantik ini dulu, bocah. Hayo kau buktikan ancamanmu dan aku juga akan membuktikan ancamanku.... bret!"

Kali ini sabit dibelokkan arahnya ke dada Salini, yang pingsan. Dan ketika baju gadis itu terkuak lebar dan Thai Liong terkejut maka pemuda ini berseru marah membentak lawannya.

"Siauw-jin, sekali kau membunuh mereka maka aku tak akan mengampunimu lagi. Serahkan baik-baik, dan kau dapat pergi dengan aman!"

"Ha-ha!"

Kakek ini merasa di atas angin.

"Mana mungkin itu, bocah? Togur menyuruh aku mendapatkan mereka, dan aku tentu harus menyerahkannya kepada muridku!"

"Kalau begitu aku akan menghajarmu!"

Dan Thai Liong yang marah berkelebat maju tiba- tiba menerima sambaran sabit yang menuju kepalanya, dielak sedikit dan sabit pun lewat sejengkal di atas kepalanya.

Lalu ketika si kakek terkejut dan menarik serangannya tiba- tiba Thai Liong sudah mengetuk siku kakek itu.

"Aduh!"

Siauw-jin menjerit.

Kalah cepat dengan gerakan pemuda ini tahu-tahu siku si cebol tertotok.

Thai Liong melakukan itu dan Salini yang ada di tangan kanan kakek ini pun terlepas.

Dan ketika Siauw-jin bergulingan melempar tubuh dan kaget melihat seorang tawanannya terlepas maka kakek ini memaki- maki dan meloncat bangun serta menyambitkan lagi sabit-sabit kecilnya.

"Wut-wut!"

Thai Liong waspada.

Dengan mudah dia menampar runtuh tiga buah sabit yang menyambar ke arahnya, bergerak dan sudah menyambar Salini yang terlepas dari tangan kakek itu.

Tapi ketika dia memeluk dan menangkap gadis ini sekonyong-konyong tujuh buah sabit bercuitan menyambar tubuh Salini.

"Keparat!"

Thai Liong marah.

"Kau benar-benar keji, Siauw-jin. Tak berperasaan dan tak berperikemanusiaan sama sekali. Rasakanlah, dan jangan main-main lagi.... plak!"

Dan tujuh sabit yang ditangkap serta diraup Thai Liong tiba-tiba diretour dan dilempar balik ke kakek itu, kecepatannya dua kali lipat karena Thai Liong gemas mempergunakan sinkang sepenuh bagian, marah dan ingin menghajar kakek itu.

Dan ketika Siauw-jin menjerit karena tujuh sabitnya tak dapat dielak dan menancap di sekujur tubuhnya, menembus kekebalan sinkangnya maka kakek ini roboh namun hebatnya dapat bergulingan meloncat bangun dan...

lari lagi.

"Thai Liong, kau bocah keparat. Jahanam, terkutuk kau...!"

Thai Liong kagum.

Ditancapi tujuh sabit kecil yang tak sempat dicabut karena terburu-buru melarikan diri kakek iblis itu jatuh bangun meninggalkan pertempuran.

Thai Liong merasa kasihan dan geli juga.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi melihat Nangi masih dibawa kakek itu dan Siauw-jin lintang- pukang tak mau melepaskan tawanan maka pemuda ini bergerak dan mengejar lagi.

Siauw- jin dibentak dan diminta menyerahkan gadis itu, tak mau dan terus melarikan diri.

Dan ketika kakek itu mulai masuk keluar memasuki rumah-rumah penduduk maka Thai Liong kebingungan mencari dimana kakek ini.

"Kau serahkan gadis itu, dan kau dapat pergi baik-baik!"

"Keparat!"

Kakek itu bersembunyi di rumah yang besar.

"Aku tak mau menyerahkannya kepadamu, bocah. Lebih baik mampus di tanganmu daripada mampus di tangan muridku. Majulah, dan kau akan melihat gadis ini mampus sebelum aku terbunuh!"

Thai Liong bingung.

Sudah dua kali ia hampir menangkap kakek ini namun si kakek selalu mempergunakan Nangi untuk membuatnya mundur.

Kakek itu mengancam dan Thai Liong percaya ancaman kakek ini.

Iblis macam Siauw-jin tak akan segan-segan membunuh korbannya kalau dia kepepet.

Dan ketika kakek itu lolos lagi sementara Nangi menangis dan berteriak-teriak di pondongan kakek ini maka gadis itu berseru agar Thai Liong menyelamatkan kakaknya dulu.

"Biarkan aku... biarkan aku. Kau pergilah bersama kakakku dan lain kali saja kau cari!"

"Ha-ha!"

Si cebol tertawa bergelak, melihat kebingungan pemuda itu.

"Kau dengar, bocah. Gadis ini lebih suka kepadaku daripada kepadamu. Kau pergilah, dan lain kali memang dapat kau cari lagi!"

"Hm!"

Thai Liong melotot.

"Kau licik, Siauw-jin, juga curang. Awas kau, aku akan membekukmu dan biarlah sementara ini kau boleh kucing-kucingan lagi denganku!"

Thai Liong mengejar, memburu namun lawan lari lagi dan kucing-kucinganlah kakek ini dikejar si pemuda.

Nangi sudah tak terdengar suaranya lagi karena setiap jeritan atau teriakannya berarti memberitahukan keberadaan kakek itu, Siauw-jin rupanya membungkamnya dengan sebuah totokan.

Dan ketika suara gadis itu tak terdengar lagi dan Thai Liong bingung maka bayangan Ituchi dan Mei Hoa akhirnya muncul.

"Heii...!"

Pemuda tinggi besar itu berteriak.

"Dimana kau, Thai Liong? Sudah kau dapatkah adikku?"

"Eh!"

Suara Mei Hoa terdengar menjerit lirih.

"Ada mayat di sini, pecah dadanya. Aih, Kim- kongcu rupanya bertempur sengit, Ituchi. Mari kita bantu dan cari dia!"

Thai Liong melihat bayangan dua sahabatnya itu.

Ituchi dan Mei Hoa sudah bergerak memasuki perkampungan, berteriak dan memanggil-manggil namanya.

Dan karena kehadiran dua orang itu terutama Mei Hoa bakal memberinya beban untuk melindunginya dari keganasan Siauw-jin akhirnya apa boleh buat pemuda ini muncul dan berkelebat keluar.

"Adikmu kutemukan, tapi hanya seorang!"

"Ah!"

Ituchi girang, melompat mencengkeram sahabatnya.

"Siapa ini, Thai Liong? Ah, Salini...!"

Dan Ituchi yang girang tapi terkejut melihat adiknya yang pingsan segera sudah mendapatkan adiknya itu, menotok dan memeriksa sana-sini dan Thai Liong mengusap keringatnya.

Mengejar dan mencari si iblis cebol yang kucing-kucingan dengan mengancam keselamatan Nangi sudah membuat dia gemas.

Pencariannya gagal dan hanya Salini itulah yang berhasil diselamatkan.

Tapi ketika Ituchi girang dan sudah menolong adiknya itu maka gadis ini sadar dan terkejut tapi girang serta menangis mengguguk menubruk Ituchi.

"Kakak...!"

Ituchi terharu. Dia merangkul dan meremas adiknya ini, bertanya dimana Nangi, adik satunya. Tapi ketika Salini terkejut dan menoleh pada Thai Liong, karena pemuda itulah yang menyelamatkannya maka Thai Liong menarik napas dalam membuang kekecewaan.

"Nangi dibawa Siauw-jin. Iblis cebol itu memaksa aku mundur dengan mengancam keselamatan adikmu. Maaf, aku gagal, Ituchi. Dan baru adikmu inilah yang berhasil kuselamatkan!"

"Ah,"

Ituchi tertegun, tapi cepat membuang kekecewaannya.

"Terima kasih, Thai Liong. Ini sudah cukup. Kalau aku sendiri belum tentu berhasil menyelamatkan adikku ini! Ah, cukup. Kau sudah memberi budi terlalu banyak!"

Dan pemuda ini yang cepat merangkul dan mendorong adiknya lalu menoleh pada Mei Hoa.

"Dapatkah kau menjaga adikku?"

"Kau mau kemana?"

"Mengejar iblis cebol itu, membantu Thai Liong!"

"Hm!"

Thai Liong mengerutkan kening.

"Memberikan Salini pada Mei Hoa tak mengurangi bahaya, Ituchi. Lebih baik kau jaga mereka dan aku melanjutkan pencarianku!"

"Tidak, jangan!"

Ituchi menggoyang lengan, mencekal tangan Thai Liong.

"Cukup kau membantu kami, Thai Liong. Sekarang bagianku dan biarkan aku yang bekerja!"

"Tapi iblis cebol itu bukan tandinganmu,"

Thai Liong mengerutkan kening.

"Tidak, jangan, Ituchi. Biarlah kau di sini dan aku melanjutkan pengejaranku!"

"Kau terlalu banyak memberikan budi!"

Pemuda ini mencengkeram lengan Thai Liong.

"Jangan tambah lagi budi itu, Thai Liong. Atau aku tak akan mempunyai muka lagi dan bisa mati karena malu! Kau bersamaku atau tidak sama sekali!"

Thai Liong tertegun. Dan ketika dia tergetar menarik tangannya maka Mei Hoa terisak dan berkata.

"Ituchi benar, Kim-kongcu. Jangan menambah lagi kebaikan-kebaikanmu atau kami sama sekali tak akan mempunyai muka lagi menemuimu. Biarkan Ituchi bersamamu dan masalah aku dan Salini ini dapatlah kupikirkan. Bukankah masih ada ibunya yang harus dicari pula? Bukankah kami dapat bergabung kalau Salini memberi tahu dimana ibunya?"

"Benar!"

Ituchi tiba-tiba menepuk kepalanya, girang.

"Kau benar, Mei Hoa. Ah, kutanya dulu adikku ini dimana ibu!"

Dan membalik menghadapi adiknya pemuda ini bertanya.

"Salini, dimana ibu? Kau tahu?"

Salini terisak.

"Aku tak tahu, tapi... tapi kudengar kabar ibu ke tempat kakek...."

"Apa? Memasuki Tiong-goan?"

"Benar, tapi benar atau tidak aku tak tahu, kak. Aku hanya mendengar kabar angin yang lewat."

"Ah!"

Dan Ituchi yang tertegun melepas adiknya lalu bingung memandang Mei Hoa.

"Bagaimana ini? Kita sudah terlanjur di sini, di luar tembok besar. Kalau kita kembali maka tempat itu jauh bukan main!"

"Begini saja,"

Mei Hoa memberi jalan.

"Biarkan aku mengawal adikmu, Ituchi. Dengan menyamar dan membuang pakaian kami seperti petani barangkali tak akan ada orang mengganggu. Lihatlah, aku mendapatkan pakaian ini di rumah itu!"

Mei Hoa menyambar sepasang pakaian petani, mengenakannya di tubuh dan cepat serta tidak ragu-ragu ia pun menggosok mukanya dengan debu.

Dan ketika tak lama kemudian gadis cantik ini sudah berubah sebagai gadis dusun yang amat bersahaja maka Ituchi tertegun tapi Thai Liong tersenyum.

"Bagus,"

Pemuda ini berkata.

"Begitu juga boleh, Mei Hoa. Kalau begini kalian boleh pergi!"

"Apa?"

Ituchi terkejut.

"Membiarkan Mei Hoa mengantar adikku?"

"Ya, kau tak mau membiarkan aku sendirian mencari adikmu, Ituchi. Dan kalau kita bertambah beban dengan Salini di sini tentu perhatian kita banyak terpecah. Lebih baik begini dan Mei Hoa dapat melakukan perjalanan dengan aman!"

"Tapi..."

Ituchi bingung.

"Di jalan banyak penjahat, Thai Liong. Aku khawatir!"

"Hm, menghadapi penjahat bangsa rampok atau begal tentu Mei Hoa mampu menjaga diri. Tidak, mereka tak akan apa-apa, Ituchi. Dan setelah kita berhasil maka kita menyusul mereka. Atau, kau bersama mereka dan biarkan aku sendiri!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Ituchi menjublak.

Sekarang dia di persimpangan jalan antara membiarkan kekasihnya ini atau membiarkan Thai Liong.

Menurut patut seharusnya kekasihnya yang dikawal.

Thai Liong laki-laki, tak perlu dikhawatirkan.

Tapi karena kepergian Thai Liong adalah untuk menolong adiknya yang lain dan tak mungkin terus-terusan dia membiarkan sahabatnya itu berbuat kebaikan maka apa boleh buat pemuda ini mengangguk, menarik napas berat.

"Baiklah, aku melepas mereka, Thai Liong. Betapapun kau pergi juga untuk menolong adikku!"

"Nah,"

Thai Liong tersenyum.

"Sekarang bawa Salini, Mei Hoa. Antarkan ke kakeknya dan nanti kami menyusul."

"Kalian tak akan lama?"

"Tergantung keadaan. Kalau cepat tentu saja tak akan lama-lama. Tapi kalau lambat, yach... mau dikata apalagi? Sudahlah, Ituchi sudah siap melepasmu pergi dan jaga baik-baik Salini!"

Mei Hoa terisak.

"Ituchi, selamat berpisah. Jaga baik-baik dirimu dan hati-hati!"

Kelembutan Dalam Baja Karya Sherls Dewa Arak 68 Biang Biang Iblis Pendekar Pulau Neraka 45 Sengketa

Cari Blog Ini