Istana Hantu Karya Batara Bagian 16
See-ong mengurut-urut jenggotnya, seminggu ini tidak mencukur dan matanya yang bersinar-sinar itu tampak jengkel dan geram.
Ada sorot kebencian tapi juga kagum di mata ini, sorot seorang tokoh tua terhadap seorang tokoh muda, yang agaknya sedang "naik daun"
Dan memang pantas dikagumi. Dan ketika Siang Le mengerutkan kening dan mengeluarkan suara mengejek dari hidung maka gurunya melotot dan berseru.
"Jangan bersikap sok. Aku lihat inilah pilihan paling baik dimana aku dapat mengangkat tinggi-tinggi derajatmu!"
"Apa maksud suhu?"
"Dengarkan. Bocah itu amat lihai, Siang Le. Aku tak dapat merobohkannya meskipun dia juga tak dapat merobohkan aku. Kami seri, berimbang. Dan karena dia menawarkan sebuah persahabatan dimana separuh dari pasukan ini diserahkan kepadaku maka timbul niatku untuk mengangkat tinggi-tinggi derajatmu sebagai orang yang hebat. Aku ingin mengangkatmu sebagai kaisar!"
"Suhu gila?"
Siang Le terkejut, melonjak dari kursinya.
"Suhu mau...."
"Dengar!"
Sang guru menyambar pundak sang murid, menekan agar Siang Le duduk kembali.
"Aku tak mau kalah dengan pemuda itu, Siang Le. Dan aku terus terang kecewa padamu! Kenapa kau tidak sehebat dan seambisi Togura itu? Kenapa kau demikian lemah dan melempem seperti layaknya pemuda tak bersemangat? Lihat, sebagai murid enam Iblis Dunia bocah itu menunjukkan jati dirinya, Siang Le. Dia sungguh pantas sebagai murid orang-orang sesat dan kelak menggantikan kita-kita ini yang harus masuk liang kubur! Kau tak pantas bersikap dingin begini karena kau adalah murid See-ong, si Raja Iblis! Kau harus menunjukkan watak dan semangat seperti pemuda itu, bukan melempem dan tidak bersemangat begini!"
"Aku tak butuh nama besar, aku tak ingin menjadi raja!"
"Goblok! Itulah satu di antara sekian watakmu yang mengecewakan aku, Siang Le. Sebagai murid dari seorang tokoh macam aku seharusnya kau menunjukkan keberingasan dan kekejaman sebagaimana layaknya murid seorang sesat. Tapi kau lain, kau seperti perempuan dan bukannya laki-laki! Hah, kau tak boleh menolak rencananku dan niat ini timbul setelah aku melihat kehebatan si Togura itu!"
"Suhu mau apa?"
"Sudah kubilang ingin menjadikan dirimu sebagai kaisar. Aku ingin mempergunakan kesempatan dan ambisi serta serbuan pemuda itu untuk mengangkat naik dirimu, merebut dan menyerang kota raja, melempar kaisarnya!"
"Dan suhu mau memberontak? Ikut-ikutan menjadi pengkhianat dan melawan pemerintah?"
"Bodoh! Aku selamanya tak ada hubungan dengan pemerintah, Siang Le. Aku adalah orang bebas dan tokoh yang hidup sendiri. Aku tak terikat!"
"Tapi suhu hidup di negeri ini, suhu makan minum di negeri ini. Dan suhu orang Han!"
"Hm, aku tergelitik setelah melihat sepak terjang pemuda itu, Siang Le. Dan sudah kubilang bahwa semuanya ini kulakukan untukmu, bukan untukku!"
"Benar, tapi... ah!"
Siang Le bangkit berdiri.
"Aku tak setuju semuanya ini, suhu. Kita selamanya tak pernah bermusuhan dengan kaisar pula. Aku tak ingin menjadi kaisar, aku tak ingin merebut kekuasaan!"
"Inilah yang menggemaskan aku!"
See-ong mulai gusar.
"Kau selamanya tak sejalan dengan gurumu, Siang Le. Kau selalu menentang dan tak pernah sependapat dengan aku. Mana itu ciri-ciri dirimu sebagai murid seorang tokoh sesat? Mana itu kekejaman dan kelicikan yang seharusnya dipunyai seorang murid tokoh sesat? Kau menjengkelkan, Siang Le. Kau selamanya ingin membuat aku marah. Sungguh aku kecewa melihat dirimu ini yang berbeda jauh dengan si Togura itu. Kau tak mengangkat nama gurumu melainkan malah sebaliknya membuat malu gurumu!"
See-ong menghantam pecah ujung permukaan meja, melotot dan merah padam memandang muridnya itu dan Siang Le tertegun sejenak.
Pemuda ini melihat sinar mata gurunya yang berapi-api dan mendadak dia menarik napas.
Dan ketika dia menunduk dan memegang tangan suhunya itu maka pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu, aku tahu kau kecewa sekali kepadaku. Tapi inilah watakku, pembawaanku. Sudah kubilang berkali-kali bahwa aku tak dapat melakukan sepak terjang yang jahat. Aku tak dapat melakukan seperti apa yang biasa kau lakukan. Bahkan, berkali-kali aku menentangmu. Maaf, aku memang mengecewakan, suhu. Kalau kau tak suka padaku lebih baik bunuhlah aku daripada membuat marah saja. Aku sadar budi kebaikanmu yang besar, dan aku tak ingin mengecewakanmu. Aku siap mati di tanganmu!"
See-ong tergetar.
Setelah muridnya bicara dan berlutut seperti itu mendadak saja dia sadar.
Memang muridnya ini tak pernah sejalan dengannya.
Artinya, apa yang dia lakukan dan jalani sehari-hari tak pernah ditiru muridnya ini.
Keganasan dan kekejamannya tak pernah dicontoh muridnya.
Siang Le baik dan selalu menentang apa yang dirasa tak cocok di hati.
Pemuda ini lebih pantas menjadi murid seorang pendekar daripada dirinya yang tokoh sesat! Dan ketika See-ong tertegun dan menjublak memandang muridnya itu tiba-tiba dilihatnya mata Siang Le yang berlinang, membuat dia terkejut dan tiba-tiba terharu, menyambar dan mencengkeram muridnya itu mengangkat bangun.
"Cengeng, jangan menangis! Bersikaplah keras dan tegas sebagaimana layaknya laki-laki!"
Namun See-ong diam-diam mengusap dua titik air matanya.
Lucu! Kakek ini membentak muridnya agar tidak menangis namun dia sendiri ternyata juga menitikkan air mata oleh keharuan.
See-ong si kakek iblis tak tahan juga oleh keharuan hatinya ini.
Dan ketika kakek itu membentak sementara Siang Le diangkat bangun maka pemuda ini duduk dengan lesu di muka gurunya.
"Aku tak dapat menyenangkan hatimu, aku selalu mengecewakan....."
"Sudahlah,"
Gurunya memotong.
"Kau selamanya begitu, Siang Le. Tapi kali ini kau tentu akan berusaha menyenangkan hati gurumu, bukan?"
"Aku enggan membantu Togur...."
"Bukan membantu Togur, melainkan membantu gurumu! Aku ingin mengangkat namamu dalam serbuan besar-besaran ini, dan kuminta kau tidak menolak! Lihat, bangka macam gurumu ini tak mungkin hidup lebih lama di dunia, Siang Le. Kau puaskanlah hati gurumu dengan menurut apa yang kurencanakan. Aku ingin menunggangi maksud dan ambisi si Togur itu untuk kepentingan kita. Aku ingin melaksanakan serbuan besar- besaran untuk mengenyahkan kaisar. Dan kalau kita sudah berhasil maka aku ingin melihat kau menduduki kursi singgasana itu dan menjadi manusia agung!"
"Aku tak bernafsu, suhu...."
"Ah, kau selamanya begitu. Tapi sekali ini tidak! Kau harus mengikuti gurumu atau aku bakal mati tak meram kalau kau selalu mengecewakan hatiku! Heh, mana itu balas budimu kepada gurumu, Siang Le? Bukankah kau ingin membalas semua kebaikanku kepadamu? Nah, jangan membantah lagi, kau turutlah kata-kataku dan besok kita menyerbu selatan!"
Siang Le mengerutkan kening.
"Kau tak setuju?"
"Hm....!"
Pemuda ini yang menarik napas dalam.
"Banyak hal-hal yang tak kusetuju kalau menyangkut sepak terjangmu, suhu. Tapi karena kau sudah membawa-bawa tentang balas budi baiklah, aku akhirnya setuju."
"Ha-ha, begitu bagus! Kau selamanya akan mengalah kalau sudah kusebut-sebut tentang balas budi itu. Dan sekarang satu lagi permintaanku. Kau harus mempelajari Hek- kwi-sut!"
"Tidak!"
Siang Le tiba-tiba terlonjak, kaget meloncat bangun.
"Aku tak suka mempelajari ilmumu itu, suhu. Hek-kwi-sut terlampau keji bagiku karena harus bertapa di atas sepuluh mayat! Aku tak suka, aku tak mau mewarisi ilmumu itu!"
"Hm, jangan bodoh. Lihat kepandaianmu sekarang ini, Siang Le. Betapa kau tak mungkin menang dengan si Togura itu. Menghadapi Siauw-jin atau kawan-kawannya saja kau tentu susah, lebih baik latihlah ini untuk keselamatan dirimu juga!"
"Tapi aku tak suka, suhu. Ilmu itu terlampau keji!"
"Siapa bilang? Keji atau tidak hanya pandangan orang lain, Siang Le. Masih ada hal- hal yang lebih keji dan jahat lagi daripada melatih ilmu ini. Kau akan tahu kelak!"
"Tapi aku tetap tidak suka...."
"Kau harus suka! Kau tak boleh memalukan aku kalau tak ingin pecundang oleh Togura itu!"
"Hm, memaksakan ilmu kepada orang yang tidak mau tak akan membawa hasil baik, suhu. Kau tahu itu dan tak usah bersikeras. Aku tidak cocok dan justeru muak dengan Hek-kwi- sutmu itu!"
"Keparat! Kau demikian sombong dan sok suci? Kau tak ingat budi gurumu ini yang telah membesarkan dan mendidikmu?"
"Suhu,"
Siang Le tiba-tiba bersikap keras.
"Kalau berkali-kali kau menyinggung- nyinggung tentang balas budi maka kukatakan di sini tak ada yang lebih berharga lagi untuk membalas budimu itu selain nyawaku. Nah, ambillah itu dan bunuhlah aku, agar hutang budiku impas!"
"Kau...?"
See-ong terkejut.
"Berani seperti itu? Kau bilang begitu kepada gurumu? Keparat, kalau saja aku memiliki murid yang lain tentu kau benar-benar kubunuh, Siang Le. Tapi karena muridku hanya kau seorang biarlah kau berbangga hati dengan menentang gurumu..... plak-plak!"
See-ong melompat, gusar menampar muridnya dua kali dan terpelantinglah pemuda itu oleh kemarahan gurunya.
See-ong berkelebat dan menyumpah- nyumpah meninggalkan muridnya itu.
Dan ketika Siang Le bangun terhuyung dan mengusap bekas tamparan gurunya maka di sana See-ong gemas dan marah tercampur dongkol.
Kalau saja Siang Le tak disayangnya begitu rupa barangkali dia benar-benar akan membunuh muridnya itu.
Tapi, ah....
Siang Le adalah murid yang amat dicinta.
Ada sesuatu yang mengagumkan hatinya dari muridnya itu.
Ada sesuatu yang lain daripada yang lain yang dimiliki muridnya itu.
Siang Le muridnya yang patuh dan setia pada kebenaran, menentang dan selalu akan menolak pada ketidakbenaran.
Aneh, dia seorang tokoh sesat bisa memiliki murid macam itu, padahal biasanya seorang murid akan mencontoh dan mengikuti sepak terjang gurunya.
Bagaimana hal ini bisa terjadi dan dia selalu kalah? Sudah bukan sekali dua ini dia selalu mengalah pada muridnya.
Kalau dia sudah bersikeras dan bersikap memaksa maka muridnya itu selalu minta dibunuh, siap menyerahkan nyawa.
Berkata bahwa itulah satu-satunya "benda"
Berharga yang pantas dipakai untuk penukar budi kebaikan gurunya.
Keparat, Siang Le selalu mempergunakan itu sebagai senjata, dan dia selalu tak berkutik.
Mati kutu! Murid macam apa ini namanya? Bukankah murid yang kurang ajar dan patut dibunuh? Tapi tidak.
Dia justeru akan selalu tertegun dan mengalah kalau sudah begitu.
Ada semacam kekaguman dan rasa hangat di hati.
Muridnya ini pemuda baik-baik yang tak seperti dirinya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak mau melakukan kejahatan atau kesesatan layaknya murid seorang datuk.
Muridnya itu memang istimewa! Dan ketika See-ong mengumpat caci namun diam-diam kagum dan juga bingung maka di tempat lain Togur bersidang dengan guru-gurunya.
"Kau gegabah, terlampau tergesa-gesa. Kenapa menyerahkan separuh pasukan kita kepada See-ong, Togur? Apakah tidak berakibat buruk di kelak kemudian hari?"
Cam- kong, gurunya yang tinggi kurus menegur.
Cam-kong memang lega terlepas dari tangan See-ong namun dia tak puas melihat muridnya membagi pasukan.
Separuh dari pasukan yang ada tak kurang dari lima ribu jumlahnya.
Kalau itu dipecah maka kekuatan mereka berkurang, ini tak baik bagi sebuah pasukan besar, yang kini mempunyai dua orang pimpinan.
Tapi ketika Togur tertawa dan menoleh pada gurunya itu maka pemuda ini menggeleng.
"Suhu, kau penakut. Memangnya apa yang dapat diperbuat See-ong meskipun dia memiliki separuh dari pasukan kita? Apa yang dapat dia lakukan? Cucigawa dan para pembantunya yang kutaruh di sana tak mungkin sepenuhnya membantu kakek itu, suhu. Kalau See-ong hendak menyerang dan menguasai kita umpamanya maka Cucigawa dan para pembantunya itu tak mungkin patuh. Mereka orang-orang kita, dan kita tetap dapat memakainya meskipun di kubu See-ong!"
"Aku tak mengerti....."
"Kau selamanya tak mengerti. Ha-ha, tanya saja pada suhu Hek-bong Siauw-jin!"
Cam-kong melengak. Dia tak mengerti kata- kata muridnya ini tapi cepat menoleh pada Siauw-jin, rekannya yang cebol itu. Dan ketika si cebol tertawa dan terkekeh keras maka kakek pendek ini berseru.
"Cam-kong, masa kau tak mengerti? Kalau begitu lihatlah ini.... wut!"
Sebutir pil hitam dilempar kepada si tinggi kurus itu, diterima dan Cam-kong tertegun. Tapi ketika kakek ini mengerti dan menyeringai lebar tiba-tiba dia berkata.
"Ah, inikah kiranya? Cucigawa dan para pembantunya ini menelan pil Maut?"
"Ha-ha, sekarang kau mengerti? Bebal amat, tak cepat tanggap!"
"Weh, ini tentu kerjaanmu, Siauw-jin. Kalau dari tadi kulihat pil ini tentu aku mengerti. Ah, sungguh murid kita bocah yang pintar!"
"Dan kita tak usah takut. Kakek iblis itu sudah mendapat lawan setanding dengan murid kita!"
"Ya, tapi betapapun kita harus berhati-hati. Kalau kita sendirian dan tidak selalu dekat dengan murid kita ini tentu kita celaka!"
"Tak usah ketakutan,"
Togur tertawa.
"See-ong tak berani melakukan itu, suhu. Kalau dia melanggar tentu akupun dapat menangkap muridnya. Sudahlah, kalian percaya padaku dan tak perlu takut!"
Semua menyeringai.
Tiba-tiba mereka merasa bahwa keselamatan dan nyawa mereka betul- betul di tangan muridnya ini.
Tanpa Togur tentu mereka sudah dihajar See-ong, mungkin dibunuh.
Dan karena murid mereka betul-betul lihai dan terbukti dapat mengimbangi See-ong maka mereka bertanya apa yang selanjutnya hendak dilakukan pemuda itu.
"Kita menyerbu ke selatan, membalas kegagalan. Dan karena See-ong ada di sini maka tak perlu kita takut lagi kalau Pendekar Rambut Emas muncul!"
"Tapi Thai Liong...."
Toa-ci tiba-tiba merasa ngeri.
"Bocah itu selihai bapaknya, Togur. Dan kau tahu bahwa diapun bukan lawanmu!"
"Aku akan membagi tugas,"
Pemuda ini berkerut kening.
"See-ong dan muridnya dapat kugunakan, subo. Dan kalian juga jangan tinggal diam. Tapi kuharap ayah dan anak itu tak muncul bersama-sama."
"Kalau muncul juga?"
"Hm, memang repot. Tapi See-ong akan kusuruh menghadapi Pendekar Rambut Emas sementara Thai Liong akan kuhadapi bersama Siang Le, juga kalian berlima!"
"Tapi See-ong tak mungkin mau!"
Nenek Ji-moi kini tiba-tiba berseru.
"Daripada menyuruh muridnya membantu orang lain tentu lebih baik muridnya disuruh membantu dirinya sendiri, Togur. Ingat ini dan jangan lupa!"
"Benar,"
Nenek Naga kini mengangguk-angguk, menyambung.
"Apa yang dikata Ji-moi betul, Togur. Jangan ambil gampangnya saja dan melupakan itu."
"Ah, kalian tak usah khawatir. Aku akan membuat jebakan kalau Thai Liong dan ayahnya muncul. Kita buat sumur yang dalam dan pancing mereka agar terjeblos di situ!"
"Kalau begitu di Palung Maut!"
Siauw-jin tiba- tiba berseru.
"Heh-heh, di sini paling tepat, Togur. Kalau kau ingin mengubur hidup-hidup dua ayah dan anak itu maka Palung Mautlah yang paling tepat. Semua gurumu pasti membantu!"
"Hm, Palung Maut? Di mana itu?"
"Tak jauh dari Sam-liong-to. Dan kami telah mengubur dua murid Hu Beng Kui yang sial. Ha-ha, tanya nenek Naga!"
Nenek Naga tersenyum.
Akhirnya dia mengangguk dan berseri menceritakan itu, tentang Hauw Kam dan suhengnya yang dikubur dan dilempar ke Palung Maut, sebuah palung atau sumur yang amat dalam dimana tak mungkin ada manusia dapat menyelamatkan diri.
Mereka terpaksa membuang dua orang itu karena Hauw Kam dan suhengnya dirasa tak membawa keuntungan lagi.
Membawa-bawa mereka hanya menambah beban saja.
Dan ketika Togur tersenyum dan bersinar-sinar mendengarkan itu maka dia setuju dan mengangguk.
"Hm, Kim-mou-eng memang merupakan duri bagiku. Selama dia masih hidup maka aku memang tak dapat tenang. Baiklah, Palung Maut kita siapkan dan kalian tunjukkan padaku nanti dimana tempat itu."
"Juga Thai Liong, kita masukkan sekalian!"
"Ha-ha, bukan hanya Thai Liong saja, suhu. Melainkan semua musuhku, yang berbahaya!"
"Dan See-ong!"
Nenek Naga tiba-tiba berseru.
"Kakek itu juga berbahaya untukmu kelak, Togur. Memecah kekuatan disini saja sudah mengurangi kewibawaanmu sebagian. Kakek iblis itu juga harus dimasukkan daftar!"
Togur terkejut. Seperti diingatkan sesuatu mendadak dia menoleh dan berdehem, memandang subonya itu tapi kemudian tersenyum. Dan ketika dia mengangguk dan berkata perlahan maka dia menjawab.
"Subo benar. See-ong juga berbahaya dan patut masuk daftar. Tapi sudahlah, tak perlu kalian ribut-ribut, subo. Siapa pun yang menjadi musuhku pasti sudah kuperhitungkan! Sekarang kalian tenang saja dan tiga hari lagi persiapkan diri kalian untuk melakukan serbuan lagi ke selatan. Kedudukan kita sekarang bertambah kuat karena See-ong ada di sini!"
"Dan kau tak khawatir kakek ini membuat sesuatu di tengah jalan? Dengan muridnya misalnya?"
"Hm, suhu maksudkan apa?"
"Aku takut See-ong dan muridnya bersimpang jalan, Togur. Karena kita sama tahu siapa pemuda itu!"
"Benar,"
Cam-kong kini bicara.
"Bocah bernama Siang Le itu tak pantas menjadi murid gurunya, Togur. Pemuda ini terlalu lemah dan banci seperti perempuan. Belum pernah selama ini kulihat dia berbuat jahat!"
"Hm, kalian tak perlu khawatirkan itu. Aku dapat meraba keadaan. Sudahlah, sekarang kalian istirahat dan tiga hari lagi siapkan diri kalian untuk menyerbu selatan. Panggil para penari dan penghibur itu, suruh mereka bermain di sini!"
Siauw-jin terkekeh.
Tiba-tiba mendahului temannya dia sudah berkelebat dan melaksanakan perintah itu, memanggil para penari dan penghibur yang dimaksud muridnya.
Di tengah-tengah mereka memang terkumpul belasan para penari dan pemain musik, semuanya wanita, cantik-cantik.
Terdiri dari campuran suku bermacam-macam karena Togur merampasnya dari mana-mana.
Ada yang milik Cucigawa dan ada pula dari selir- selir raja liar, ketika Togur dan gurunya menaklukkan suku-suku bangsa di luar pedalaman.
Dan ketika tak lama kemudian Siauw-jin sudah datang lagi dengan dua belas penari cantik dan penghibur yang berpakaian gemerlapan maka nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi melengos, berkelebat pergi.
"Aku tak mau melihat pertunjukan ini. Biarlah Togur menikmati senang-senangnya!"
"Ha-ha!"
Iblis cebol itu terbahak.
"Tak usah sakit hati melihat kaummu menjadi permainan Togur, nenek siluman. Kaupun di masa mudamu sering juga menghibur laki-laki!"
"Cuh!"
Nenek Naga meludah.
"Siapa bilang? Jaga mulutmu, atau kutampar nanti!"
Dan ketika nenek itu pergi sementara Siauw- jin terkekeh-kekeh maka seorang di antaranya, yang tercantik dan berbaju merah sudah dilempar ke arah pemuda itu, ditangkap dan diterima.
"Ha-ha, apa kabar, Wi Ni? Kau tak rindu padaku? Hayo, menyanyilah, hibur aku dengan sebuah lagu indah! Dan kalian.... he!"
Togur menuding yang lain.
"Bermain musiklah yang merdu dan biarkan kedua guruku ikut bersenang-senang!"
Para wanita itu, yang sudah dilempar dan terhuyung di tengah ruangan lalu tersenyum dan terkekeh manis, tentu saja buatan karena mengeluh atau meratap di situ hanya akan menambah sengsara saja.
Siauw-jin si kakek cebol meremas-remas mereka tadi dan tak ada di antara mereka yang berani menolak.
Berminggu-minggu atau berbulan-bulan mengikuti pasukan besar ini dan harus melayani Togur serta dua gurunya adalah hal yang dianggap biasa adanya, kalau mereka tak ingin mati.
Dan ketika Wi Ni, si cantik berpakaian merah sudah dicium dan diremas tubuhnya maka musikpun ditabuh dan Wi Ni menyanyi, tersenyum dan melenggak- lenggokkan tubuhnya dan Togur tertawa gembira.
Dalam keadaan seperti itu tak ada jalan lain untuk mengendorkan ketegangan selain mencari dan mendapatkan hiburan, mendengarkan lagu-lagu indah serta suara merdu Wi Ni.
Gadis atau wanita baju merah ini sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika Siauw-jin terkekeh-kekeh dan meminta arak pada wanita yang lain maka Cam-kong menyeringai dan bangkit nafsunya.
"Hayo, bersenang-senang, Cam-kong. Atau kau pergi dan mendengkur di kamarmu, sendirian!"
"Heh-heh, siapa mau? Jelek-jelek kau sudah mengajari aku, Siauw-jin. Kalau Togur sudah memperkenankan kita tak baik menolek rejeki. Marilah, berikan seorang dan biarkan aku bersenang-senang!"
Siauw-jin terbahak.
Kalau sudah begitu maka dia akan melempar seorang penari yang sudah dilirik temannya ini.
Cam-kong menerima seorang wanita baju hijau dan menjeritlah wanita itu ketika dilempar ke arah kakek ini.
Cam-kong adalah kakek tinggi kurus yang tentu saja tak menyenangkan mukanya.
Kakek ini bermuka pucat dan penampilannya pun dingin.
Tapi ketika dia disambar dan dipeluk kakek itu maka Cam-kong dapat juga tertawa, berbisik.
"A-cheng, kau sudah pernah melayaniku, bukan? Nah, marilah. Kita berjoget sebentar dan setelah itu masuk kamar!"
"Ih!"
Si cantik ngeri.
"Jangan terlampau keras mencengkeram tubuhku, locianpwe. Aduh, kendorkan sedikit!"
"Ha-ha, kalau begitu boleh. Tapi aku sudah tak tahan melihat kulit tubuhmu yang halus... bret!"
Dan Cam-kong yang merenggut serta merobek baju pundak lawannya lalu terkekeh dan menyambar gadis ini kembali, menciumi dan mendengus-dengus dan A-cheng, gadis itu, terpaksa menyambut.
Menolak dan bahkan bersikap jijik terhadap kakek iblis ini amatlah berbahaya.
Dia dulu pernah dibanting dan dihajar pingsan.
Maka ketika Cam-kong meremas dan mencium mulutnya tiba-tiba gadis ini membiarkan dan pura-pura menyambut, menahan napas dan muntahnya karena hampir saja dia tak kuat menahan bau busuk yang keluar dari mulut kakek itu.
Cam- kong agaknya iblis yang tak pernah membersihkan mulut, juga jarang sekali mandi! Dan ketika gadis itu ah-uh-ah-uh menggeliat dan mengerang menahan takut maka temannya yang lain sudah disambar Siauw-jin pula, ditubruk dan diremas dan bau arak segera menguar di ruangan itu.
Togur sendiri tertawa-tawa melihat tingkat dua gurunya.
Masing-masing kakek yang rupanya ingin menjadi muda kembali dan penuh semangat, mulai menari dan mengikuti irama musik.
Dan ketika musik ditabuh semakin panas dan dua gurunya itupun agaknya semakin bergairah maka Siauw-jin sudah membelejeti pakaian penarinya hingga telanjang.
"Hayo, ha-ha! Hayo menari dan tanggalkan pakaian kalian. Tunjukkan kepada kami tarian Puteri Ular!"
Cam-kong tertawa aneh.
Dia sendiri juga sudah merenggut semua baju A-cheng hingga gadis itu telanjang bulat.
Tubuh yang mulus putih sungguh menggetarkan setiap lelaki yang melihatnya.
Gadis itu menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terpenting tapi Cam-kong malah tertawa-tawa menyibaknya.
Ruangan menjadi hingar-bingar karena wanita-wanita itu menjerit oleh tingkah Siauw-jin yang melompat-lompat kegirangan.
Sebentar kakek ini colek sana-sini dan menyuruh yang lain membuka pakaian.
Lampu yang semula terang-benderang tiba-tiba dimatikan sebelah, suasana menjadi remang-remang namun itulah kesukaan mereka bila sudah mulai berpesta gila.
Seperti inilah biasanya nafsu mereka bangkit kalau sudah dirangsang seperti itu.
Tapi ketika Siauw-jin terbahak-bahak sementara Cam-kong terkekeh melempar- lempar A-cheng ke atas mendadak Togur berkelebat dan berseru pada kakek cebol itu.
"Suhu, tahan sebentar nafsumu. Panggil See- ong atau muridnya kemari!"
Siauw-jin terkejut.
Dua belas wanita itu sudah tak berpakaian lagi karena mereka menari sambil memainkan alat musik tiada ubahnya bayi-bayi polos yang baru lahir ke dunia.
Nafsunya sudah menggelegak dan sebentar- sebentar kakek ini menenggak arak seraya menyambar tubuh-tubuh penari itu dengan tawanya yang serak parau.
Tapi begitu muridnya datang mengganggu dan memerintahkan dia untuk memanggil See-ong atau Siang Le tiba-tiba kakek ini melempar seorang penari yang baru saja dicubit ketiaknya, bukan cubit sembarang cubit melainkan sebuah cubitan yang mengarah pada siksaan, sebagai pelampias dongkol atau marah akibat perintah itu.
"Aduhh...!"
Siauw-jin terbahak-bahak.
Penari yang dicubit itu menjerit dan tentu saja berteriak kesakitan.
Kakek ini tak berani membalas Togur dan wanita itulah yang menjadi gantinya.
Dan ketika wanita itu ditendang mencelat sementara suara musik juga mulai kacau karena kakek ini kelihatan beringas maka Siauw-jin berkelebat keluar sambil membetulkan celananya yang kedodoran, tak lama kemudian sudah datang lagi dengan membawa Siang Le.
See-ong tak ditemukan dan kakek itu berkata pada Siang Le bahwa Togur mengundangnya.
Ribut-ribut di ruangan itu memang menarik perhatian pemuda ini.
Tapi begitu Siang Le melihat wanita-wanita yang telanjang bulat tiba-tiba saja dia terkejut dan marah sekali.
"Keparat, untuk apa kau membawaku kemari, Siauw-jin? Kau menghinaku?"
"Ha-ha, sabar. Yang memanggilmu adalah Togur, bocah, bukan aku. Kau akan diajaknya bersenang-senang dan marilah masuk ke dalam!"
"Bedebah, terkutuk. Aku tak mau!"
Namun Siang Le yang melompat dan mau pergi dari tempat itu tiba-tiba mendengar jerit tertahan dari seorang penari, melihat dilemparnya sesosok tubuh ke arahnya dan itulah perbuatan Togur.
Pemuda ini berseru agar Siang Le berhenti dulu sebentar, wanita itu dilempar dan akan terbanting kalau Siang Le tidak menangkapnya.
Paling tidak wanita itu akan pingsan, salah-salah luka parah! Dan ketika Siang Le terkejut dan tentu saja menangkap tubuh itu untuk menyelamatkan wanita ini maka tubuh-tubuh yang lain mendadak beterbangan ke arahnya.
"Ha-ha, jangan pergi, Siang Le. Aku mengundangmu baik-baik untuk menikmati pertunjukan ini. Marilah, masuk dan bawa mereka kembali ke dalam!"
Siang Le merah padam.
Tubuh-tubuh telanjang yang dilemparkan kepadanya tak kurang dari tujuh orang itu tentu saja membuat pemuda ini panas dingin.
Siang Le belum pernah melihat wanita telanjang sebanyak itu, tujuh diluar dan masih lima di dalam.
Rata-rata memiliki tubuh- tubuh yang menggairahkan dan kencang serta berisi.
Tak tahan dia! Dan karena Siang Le segera maklum bahwa dia hendak dijebak ke dalam sebuah perbuatan kotor tiba-tiba pemuda ini membentak dan melempar wanita terakhir pada Togur.
Lalu begitu Togur menangkap dan menerimanya mendadak pemuda ini sudah berkelebat dan menyerang pemuda itu! "Togur, aku bukan pemuda hidung belang.
Kalau kau menghinaku dan hendak memaksa agar aku mempermainkan wanita-wanita ini kau salah besar.
Mampuslah!"
Togur mengelak.
Dia terkejut tapi segera tertawa ketika serangan-serangan lain susul- menyusul.
Tentu saja dengan mudah dia menghindari serangan lawannya itu.
Dan ketika satu serangan kilat tak dapat dielak kecuali ditangkis maka Togur sudah mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan tertawa berkata, mengejek.
"Sudahlah, kalau kau tak suka silahkan pergi. Kita bukan musuh.... duk!"
Dan Siang Le yang terpental serta berjungkir balik ke belakang lalu dihadang Siauw-jin dan Cam-kong.
Dua iblis itu cepat melindungi Togur karena itu tugas mereka.
Dan ketika Siang Le marah- marah dan Cam-kong membujuk agar pemuda itu keluar baik-baik maka Siang Le justeru membentak dan menyerang kakek ini.
"Kau pun keparat! Kalian semua iblis, Cam- kong. Bedebah!"
Cam-kong menangkis.
Suasana menjadi ribut karena Siang Le mengamuk.
Pemuda itu gusar dan menyerang kakek ini.
Tapi ketika Cam- kong menangkis serangan-serangannya dan Siauw-jin maju sambil tertawa lebar maka Siang Le terdesak dan tentu saja bukan tandingan dua kakek ini, yang maju berbareng dan masing-masing mengerahkan kepandaiannya.
Siang Le terdesak dan terus terdesak, akhirnya menerima satu pukulan keras dan pemuda itu mengeluh.
Dan ketika dia terlempar dan Cam-kong membujuk agar dia keluar baik-baik, disertai maaf dan sikap hormat mereka berdua maka Siang Le terhuyung melotot pada mereka, tahu diri.
"Baiklah, aku mau keluar. Tapi kalian harus mencium kakiku sebagai tanda maaf!"
Siauw-jin terkejut.
Kakek ini terbelalak dan merah mukanya.
Tapi karena Togur tertawa dan menyuruh mereka melakukan itu, tak mau ribut-ribut karena See-ong ada di belakang pemuda ini maka Siauw-jin berlutut dan apa boleh buat mencium kaki Siang Le, begitu juga Cam-kong! "Nah, lain kali jangan main-main denganku.
Atau aku akan bersikap lebih kejam kepada kalian!"
Dua kakek itu melotot.
Mereka menahan gusar tapi tak berani macam-macam lagi ketika Siang Le melompat pergi.
Togur tertawa merasa geli kepada dua gurunya ini yang marah tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Dia saka sekali tak merasa kasihan, bahkan mentertawakan dua gurunya itu.
Dan ketika pesta dilanjutkan lagi dan dua kakek ini melepas geram kepada penari-penari cantik yang tadi sejenak tertegun dan membelalakkan mata maka Siang Le berkelebat dan sudah keluar dari ruangan itu.
Pemuda ini merah padam dan berkerot gigi.
Dia tadi didatangi Siauw-jin dan diajak ke tempat itu, katanya dipanggil Togura untuk suatu keperluan penting.
Tentu saja dia tak menduga bahwa dia bakal disuguhi belasan penari telanjang bulat dan ingin diajak serta untuk melakukan kecabulan disitu.
Togur memang sudah didengarnya sebagai pemuda bejat yang suka mempermainkan wanita.
Dia marah dan tentu saja menolak.
Dan ketika pemuda ini berkelebat dan mengutuk serta mengepal tinju tiba-tiba didengarnya rintihan dan kekeh aneh di balik gerumbul sebelah kiri.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa yang terjadi? Siang Le ingin tahu.
Dia menahan langkahnya untuk berbelok ke tempat itu.
Tapi begitu dia melihat apa yang terjadi tiba-tiba Siang Le mengutuk dan mengumpat caci.
Apa yang dilihat? Bergumulnya nenek Naga dengan seorang perajurit muda yang sedang birahi! Nenek itu terkekeh-kekeh dan bermain cinta dengan seorang perajurit muda yang disuruhnya melayani, tentu saja mempergunakan kepandaiannya dan nenek itu mencekoki pula obat perangsang.
Tanpa begini tak mungkin perajurit muda itu bangkit nafsunya.
Nenek ini sudah kempong peyot, mukanya penuh keriput.
Siapa mau melayani kalau tidak dipaksa dengan obat atau kepandaiannya? Dan ketika Siang Le tahu itu dan tentu saja meninggalkan tempat menjijikkan itu sambil memaki si nenek maka di tempat-tempat yang lain dia melihat pula Toa-ci dan Ji-moi melakukan hal yang sama.
Rupanya, melampiaskan kegeraman dan benci mereka melihat Siauw-jin dan Cam-kong mempermainkan penari-penari cantik maka tiga orang nenek ini ganti mempermainkan tiga laki-laki muda sebagai balas dendam.
Hal itulah yang dilihat Siang Le dan tentu saja pemuda ini semakin muak.
Apa yang dilihat sungguh tokoh-tokoh yang amat jahat.
Baik Togur maupun guru-gurunya sama-sama orang yang tidak kenal malu.
Dan ketika pemuda itu meninggalkan tempat itu sambil memaki habis- habisan maka disana Togur dan guru-gurunya berpesta dalam suasana pesta gila! **SF** "Berhenti, aku capai.
Kakek itu iblis dan sungguh-sungguh siluman!"
Hauw Kam, yang gemetar dan melempar tubuh di mulut hutan setelah berlarian tiga hari tiga malam oleh rasa takutnya yang hebat kepada See-ong sudah meminta suhengnya berhenti dan megap- megap disitu.
Laki-laki ini pucat dan tiga hari tiga malam berlarian tanpa henti sungguh membuat dia kelelahan.
Gwan Beng sebenarnya juga begitu namun si cambang bermuka gagah ini menguat-nguatkan tubuhnya.
Dia lelah lahir batin dan juga ketakutan hebat.
See-ong yang mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan mampu menghilang seraya melepas pukulan-pukulan di balik ilmu hitamnya sungguh membuat dia gentar bukan main.
Maka begitu sutenya mengeluh dan roboh melempar tubuh disana, di mulut hutan kecil maka Gwan Beng pun terhuyung dan jatuh terduduk.
"Iblis! Kakek itu siluman. Kita bukan ketemu manusia lagi!"
"Benar, dan ilmu setannya itu hebat benar, suheng. Dua kali kita kalah oleh orang-orang yang kepandaiannya di atas kita!"
"Hm, siapa maksudmu?"
"Eh, bukankah Kim-mou-eng dan kakek itu? Dan kita keok, sungguh kepandaian kita dangkal!"
Gwan Beng menutupi muka.
Laki-laki gagah yang sayang terganggu jiwanya ini tiba-tiba menangis.
Entah kenapa tiba-tiba dia tersedu dan mengguguk.
Dan ketika sutenya terbelalak dan menyeringai aneh mendadak Hauw Kam menutupi mukanya pula dan menangis, tersedu-sedu, mengguguk seperti suhengnya pula! "Benar, hu-hukk.....
kita tak berdaya menghadapi orang-orang lihai seperti Kim- mou-eng dan kakek iblis itu, sute.
Kita sungguh dangkal dan bodoh sekali!"
"Dan kita hampir saja dibunuh! Ah, tak mampukah kita membalas dendam, suheng? Apakah kita selamanya menjadi permainan orang-orang lihai?"
"Tapi Kim-mou-eng lebih baik. Pendekar Rambut Emas itu tak bermaksud membunuh kita. Dan isterinya, he...!"
Gwan Beng tiba-tiba berseru, membuka telapaknya.
"Apakah kau tak merasa kenal dengannya, sute? Dan dia menyebut kita suheng. Ha-ha, sandiwara gila apakah yang dilakukan Kim-hujin (nyonya Kim) itu?"
Hauw Kam membuka pula telapak tangannya. Melihat suhengnya tertawa setengah menangis tiba-tiba iapun tersenyum lebar dan tertawa. Dan ketika dia terpingkal dan suhengnya menggaruk kepala maka Hauw Kam melompat bangun, berseru.
"Benar, Kim-hujin itu rupanya gila, suheng. Tapi diingat-ingat agaknya aku serasa mengenal dirinya. Ha-ha, kita orang-orang gila ketemu orang-orang tidak waras!"
"Hm, agaknya begitu. Tapi, ssst... ada orang datang!"
Gwan Beng menoleh ke kiri, cepat menyuruh sutenya berhenti ketawa tapi dua bayangan yang berkelebat itu sudah menyambar tiba.
Mereka terkejut dan tersentak karena satu dari dua bayangan itu adalah seorang pemuda berambut keemasan.
Dan begitu pemuda ini tiba di depan mereka maka Gwan Beng dan sutenya mencelat ke belakang.
"Kim-mou-eng...!"
Pemuda itu, yang sudah datang bersama temannya ikut terkejut.
Dia adalah Thai Liong dan tadi dua pemuda yang dalam perjalanan ini mendengar percakapan di hutan.
Thai Liong berhenti karena mendengar disebut-sebutnya nama ayahnya, juga ibunya.
Dan karena dia ingin tahu dan tentu saja berkelebat ke arah dua orang itu maka dia tertegun melihat dua laki-laki setengah gembel yang langsung menyebut dirinya sebagai Kim-mou-eng, ayahnya.
Dan begitu dua orang itu terkejut melihat kedatangannya mendadak mereka memutar tubuh dan mengambil langkah seribu, lari lintang-pukang! **SF** (Bersambung
Jilid 26) Bantargebang, 11-01-2019,21.53 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU
Jilid 26 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .
SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .
OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.
Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.
CETAKAN PERTAMA U.P.
DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .
Batara
Jilid . 26 * * * "HE!"
Thai Liong berseru.
"Berhenti, orang tua, aku bukan Kim-mou-eng!"
Namun dua orang itu malah melarikan diri lebih cepat.
Melihat Thai Liong yang berambut keemasan seperti ayahnya langsung saja mereka mengira itulah Kim-mou-eng, mereka sudah terlanjur gentar dan lari terbirit-birit.
Seruan Thai Liong yang memanggil-manggil nama mereka tak digubris, Hauw Kam dan suhengnya sudah keburu takut.
Tapi begitu Thai Liong mengerahkan Jing-siang-engnya dan seperti burung menyambar tahu-tahu dia sudah berjungkir balik dan melewati kepala dua orang ini tiba-tiba pemuda itu mendorongkan kedua lengannya.
"Berhenti, kalian dengarlah kataku.... bress!"
Dua orang itu terkejut, membentak dan menangkis kedua lengan Thai Liong yang menyambar ke arah mereka.
Dari kedua lengan pemuda itu menyambar serangkum angin kuat dimana gerakan mereka tiba-tiba terhenti, mereka terkejut dan tentu saja menghantam.
Tapi begitu tenaga dahsyat Thai Liong bertemu pukulan mereka tiba-tiba keduanya malah terlempar dan terbanting dan dua orang ini berteriak-teriak ketakutan.
"Bangsat, kita lari!"
Thai Liong tertegun.
Terguling-guling dan meloncat bangun mendadak dua orang itu sudah melarikan diri lagi.
Mereka begitu ketakutan, begitu pucat.
Dan ketika dua orang ini membalik dan lari ke lain arah maka Hauw Kam dan suhengnya seperti dikejar setan.
"Kim-mou-eng, jangan seperti kakek jahat itu. Kami masih ingin hidup!"
Thai Liong membelalakkan mata.
Dia melihat bahwa dua orang ini rupanya bukan orang- orang yang sehat jiwanya.
Mereka seperti orang gila tapi harus diakui cukup lihai.
Angin pukulan mereka yang menyambar dahsyat tadi bukanlah main-main.
Kalau bukan Khi-bal-sin- kang yang dikerahkan barangkali dia akan terpental.
Hebat! Dan ketika Thai Liong sadar dan berseru lagi tiba-tiba pemuda ini sudah membentak dan mengejar.
"Hei, aku bukan Kim-mou-eng. Kim-mou-eng adalah ayahku!"
"Berpencar!"
Hauw Kam tiba-tiba berseru pada suhengnya.
"Kau ke kiri aku ke kanan, suheng. Dia datang mengejar kita!"
Thai Liong terkejut.
Dua orang itu tiba-tiba berpencar, yang satu ke kiri sedang yang lain ke kanan.
Mereka tak menghiraukan seruannya tadi dan tetap menganggap bahwa dia adalah Kim-mou-eng.
Thai Liong semakin tertarik tapi juga penasaran kepada dua orang ini.
Maka begitu keduanya berpisah dan Thai Liong harus mengejar satu di antaranya maka pemuda itu memilih Gwan Beng yang kebetulan lebih dekat, berpikir akan menangkap dulu orang ini baru yang satunya.
Dan ketika dia sudah menetapkan keputusannya dan bergerak mengerahkan Jing-sian-engnya tiba-tiba Thai Liong telah berkelebat dan melayang di atas kepala orang, melewati dan langsung berjungkir balik di depan lawan.
Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba untuk kedua kali seperti siluman menyambar tahu-tahu pemuda itu sudah ada di depannya, langsung dia membentak dan menghantam penuh kaget.
Tapi karena Thai Liong sudah bersiap sedia dan dia memutar pinggang meliukkan tubuh tiba- tiba pemuda ini menggerakkan tangan kiri menangkis serta menangkap pergelangan tangan orang.
"Aku bukan Kim-mou-eng.... crep!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu memindahkan kekuatan lawan, menerima tapi secepat kilat membuang tenaga hantaman itu.
Dan ketika Gwan Beng terpekik karena pergelangan tangannya seperti diremas atau dicengkeram tanggem maka Thai Liong sudah menariknya ke depan dan jari telunjuk pemuda itu sudah bergerak menotok pundaknya.
"Hayaa...!"
Gwan Beng menggerakkan kaki dengan cepat.
Mau ditotok dan dirobohkan pemuda itu tiba-tiba dengan lihai dan cepat luar biasa tahu-tahu ia menendang lawannya ini.
Bukan tendangan sembarang tendangan melainkan tendangan cangkul yang bergerak dari atas kepala ke bawah.
Thai Liong terkesiap karena kaki itu tahu-tahu sudah menghantam mukanya dengan cepat sekali.
Inilah tendangan istimewa yang luar biasa! Dan ketika apa boleh buat Thai Liong harus melepaskan cengkeramannya untuk menangkis tendangan gila itu maka tenaga di antara mereka tak dapat dicegah untuk bertemu lagi dan Thai Liong mengerahkan sinkangnya.
"Dess!"
Gwan Beng berteriak terlempar.
Kalah oleh Khi-bal-sin-kang yang akan selalu menolak pukulan lawan maka dia mencelat dan dia terguling-guling.
Thai Liong sendiri mengusap keringatnya karena tendangan itu sungguh berbahaya.
Kalau tidak cepat dia bergerak tentu wajahnya menjadi sasaran, paling tidak hidung bisa bocor! Dan ketika lawan berteriak terguling-guling di sana dan Gwan Beng marah mencabut pedangnya maka laki-laki ini sudah menerjang dan menyerang Thai Liong dengan dahsyat, maklum bahwa lawannya ini tak akan melepaskan dirinya dan dia marah sekali.
Dan ketika pedang bergerak dan sudah bergulung naik turun bagai naga atau siluman maut maka Thai Liong tertegun melihat dan mengenal ilmu pedang itu.
"Giam-lo Kiam-sut!"
Thai Liong bengong.
Tentu saja dia mengenal dan hapal betul akan ilmu pedang itu.
Itulah Giam-lo Kiam-sut atau Ilmu Pedang Maut, warisan atau ciptaan mendiang kakeknya Hu Beng Kui.
Dan ketika dengan cepat dan terheran-heran dia menghindar sana-sini dan tahu jurus-jurus berikutnya kemana akan menyambar maka Gwan Beng tertegun dan terbelalak melebarkan matanya.
Ilmu pedangnya dikenal dan untuk kesekian kali ilmu pedangnya itu disebut Giam-lo Kiam-sut.
Dulu oleh Soat Eng dan ayah ibunya dan kini oleh pemuda ini, terkejut dia.
Dan ketika Thai Liong dapat mengelak dan beterbangan di antara bacokan-bacokan atau tusukan pedangnya yang ganas maka saat itu Ituchi, pemuda satunya yang datang bersama Thai Liong berkelebat menyusul.
"Hei, siapa dia ini, Thai Liong? Dan mana yang satunya?"
"Ah, aku tak mengenal. Tapi yang satu melarikan diri ke utara. Coba kau kejar!"
Ituchi terbelalak.
Bersama Thai Liong dia tadi melihat dua orang suheng dan sute ini, Thai Liong mendahului dan dia tertinggal di belakang.
Tapi begitu dia bergerak dan menyusul temannya ini ternyata Thai Liong sudah bertanding namun orang satunya lagi tak dilihatnya, entah kemana.
Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan mata maka Thai Liong menyuruhnya mengejar Hauw Kam.
"Baik!"
Pemuda itu memutar tubuhnya.
"Kukejar dia, Thai Liong. Dan biar kubantu kau!"
Gwan Beng pucat.
Dia melihat bahaya mengancam sutenya di sana, berteriak dan tiba-tiba meninggalkan Thai Liong untuk menyerang pemuda tinggi besar ini.
Tapi ketika Ituchi menangksi dan Thai Liong di belakang juga berseru mengejar dirinya maka Gwan Beng terpelanting dan pedangnya tersampok miring.
"Plak-dess!"
Ituchi tertawa meninggalkan laki-laki itu.
Thai Liong sudah berkata padanya agar cepat dia menangkap Hauw Kam, mengejar dan setidaknya menghalangi laki-laki itu agar tidak jauh melarikan diri.
Dan ketika Gwan Beng membentak marah dan gusar menyerang pemuda ini maka Thai Liong bergerak dan melayani lagi lawannya itu.
"Keparat, kau akan kubunuh!"
Gwan Beng menggerakkan pedangnya, gusar menyerang pemuda ini namun Thai Liong sudah berkelebatan dengan Jing-sian-engnya.
Sekarang Thai Liong tak ragu lagi bahwa lawannya itu benar-benar memainkan Giam-lo Kiam-sut, hebat dan cukup berbahaya namun dia dapat mengelak sana-sini.
Permainan pedang yang sudah dikenal tak membuat Thai Liong kerepotan.
Dan ketika pedang menyambar dalam satu tikaman yang disebut Pedang Maut Menembus Matahari tiba-tiba Thai Liong membentak dan mengerahkan Khi-bal- sin-kangnya menangkis pedang itu, berani dan tidak takut menghadapi mata pedang yang tajam.
"Lepaskan.... plak!"
Pedang mencelat, benar- benar terlepas dari tangan Gwan Beng dan laki-laki itu pucat berteriak tertahan, terpelanting dan Thai Liong sudah maju ingin menyelesaikan pertempuran.
Dia jadi curiga sekaligus tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya lawannya ini.
Tapi ketika dia bergerak dan melepas totokan untuk merobohkan lawan tiba-tiba kesepuluh jari lawannya itu bergetar dan terkejutlah Thai Liong ketika dari ujung jari-jari itu menyambar semacam benang laba-laba diiringi pekikan lawan.
"Bocah, robohlah. Jangan anggap mudah menangkap aku.... bret!"
Thai Liong tak menduga, tahu-tahu sudah disambar jaring- jaring aneh itu dan sekejap tubuhnya sudah terlilit habis.
Cepat dan luar biasa dirinya sudah terperangkap benang laba-laba itu.
Dan karena Thai Liong tertegun dan bengong melihat kepandaian ini, ilmu aneh yang seumur hidup baru kali itu disaksikan tiba-tiba dia sudah terbanting dan roboh terbungkus jaring.
"Bluk!"
Thai Liong terkesima.
Sama seperti adiknya dulu diapun tak menduga kepandaian lawannya itu, ilmu simpanan yang memang hanya akan dikeluarkan Gwan Beng atau sutenya kalau mereka benar-benar terdesak.
Ilmu silat itu memang akan mengejutkan lawan karena seperti sihir.
Inilah Jaring Naga yang diciptakan Gwan Beng kakak beradik untuk menghadapi lawan-lawan tangguh.
Dan ketika Thai Liong terbanting dan melongo dengan tubuh terbungkus rapat maka tertawalah Gwan Beng terbahak-bahak.
"Ha-ha, lihat bocah. Sekarang aku menang!"
Thai Liong tak sempat mengelak, sebuah totokan ganti menyambar dan robohlah dia di tangan lawan.
Kejadian cepat yang diluar dugaan ini memang tak bakal dikiranya jauh- jauh sebelumnya.
Dia sudah menguasai lawan dan Giam-lo Kiam-sut yang dikeluarkan lawan tak membuat dia takut.
Karena sudah mengenal dan hapal akan jurus-jurus ilmu pedang itu justeru dia seperti menghadapi teman berlatih saja.
Tapi begitu kemenangan yang siap diraih mendadak berubah menjadi kekalahan yang tak disangka maka Thai Liong bengong dalam keheranannya dan saat itulah terdengar pula pekikan atau jeritan Ituchi di kejauhan sana.
Apa yang terjadi? Mirip seperti yang dialami Thai Liong ini.
Ituchi, seperti yang diminta Thai Liong sudah mengejar dan tadi membuat Gwan Beng terhuyung.
Pemuda tinggi besar ini tak melihat Hauw Kam namun sudah mendapat petunjuk.
Dia cepat bergerak ke utara untuk mencari si gimbal itu.
Dan ketika bayangan laki-laki itu dilihatnya lari di sana dan benar saja mau menyembunyikan diri maka pemuda ini membentak dan menyuruh lawan berhenti.
"Hei, jangan kemana-mana. Berhenti!"
Hauw Kam terkejut.
Dia mendengar suara berat yang bukan Thai Liong, menoleh dan melihat pemuda tinggi besar itu.
Dan ketika dia tertegun dan Ituchi sudah beberapa tombak di belakangnya tiba-tiba pemuda itu mengulurkan lengannya untuk mencengkeram pundaknya.
"Dukk!"
Hauw Kam tentu saja tak mau ditangkap.
Melihat Ituchi tak setakut kalau dia melihat Thai Liong.
Pemuda berambut emas itu tetap masih disangkanya sebagai Kim-mou-eng dan tentu saja dia lebih gentar menghadapi pemuda itu daripada Ituchi.
Maka begitu Ituchi berteriak dan menyuruh dia berhenti, sudah dekat di belakangnya tiba-tiba Hauw Kam menjadi marah dan menangkis cengkeraman pemuda ini, terpental namun Ituchi juga terlempar setindak.
Hauw Kam melotot dan menggeram membentak pemuda itu, memakinya.
Dan ketika Ituchi terkejut namun menyerang lagi maka Hauw Kam sudah berseru keras dan melayani pemuda tinggi besar ini.
"Duk-dukk!"
Ituchi terbelalak dan kaget.
Sekarang dia mendapat kenyataan bahwa lawannya ini hebat, sudah melihat lawan berkelebat membalas dirinya dan menyambarlah pukulan- pukulan kuat yang tak boleh dipandang enteng.
Namun karena Ituchi juga bukan pemuda lemah dan dia marah serta mengelak dan membentak maka keduanya sudah bertanding dan Hauw Kam menjadi gusar karena lawannya ini mementalkan semua serangan-serangannya.
"Kau pemuda keparat, kubunuh kau nanti!"
"Ha, boleh coba, orang gila. Kau agaknya tidak waras namun kepandaianmu lumayan juga!"
Keduanya bertanding.
Hauw Kam akhirnya melotot karena lawannya ini alot dan lihai, Ituchi memang bukan pemuda sembarangan.
Dan ketika benturan-benturan di antara mereka menunjukkan bahwa tenaga mereka tak berbeda jauh maka Hauw Kam mencabut pedangnya dan dengan senjata ini dia menerjang lawan.
"Heii...!"
Ituchi terkejut.
"ilmu pedang apa ini? Wah, ganas sekali. Berbahaya.... plak-bret!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baju pemuda itu robek tersambar, sudah dikelit namun pedang masih memburu juga.
Itulah Giam-lo Kiam-sut yang hebatnya memang bukan kepalang.
Dan ketika Ituchi berteriak kaget dan pedang sudah menyambar serta menusuk-nusuk ganas maka pemuda ini terdesak dan dua tiga tusukan mengenai tubuhnya, untung ditahan dengan pengerahan sinkang dan Hauw Kam membelalakkan mata.
Pemuda ini tak terluka dan dia kagum juga, di samping marah.
Dan ketika dia mulai melakukan serangan-serangan berbahaya ke arah mata dan ulu hati pemuda itu, ke bagian- bagian lemah yang tak sepenuhnya dapat dilindungi sinkang akhirnya Ituchi tersudut dan apa boleh buat mencabut senjatanya pula, sebuah gendewa kecil, senjata yang biasa dipakai memanah binatang-binatang buruan di hutan, lebih bersifat penjagaan diri dan biasanya dengan gendewa ini Ituchi merobohkan buruannya untuk dimakan, satu kebiasaan yang memang banyak dilakukan pemuda-pemuda perantau.
Dan ketika dengan gendewa ini dia dapat menahan pedang di tangan lawan yang mendesing naik turun menyerang dirinya maka Hauw Kam tertegun lagi melihat kelihaian lawannya ini.
Keparat, pikirnya.
Siapa pemuda lihai yang gagah dan berkulit kehitaman ini? Bocah dari mana? Tapi melihat pedangnya dapat ditahan pemuda itu dan Giam-lo Kiam-sut yang hebat selalu terbentur gendewa di tangan pemuda itu mendadak Hauw Kam melengking dan bergeraklah tangan kirinya melepas Jaring Naga, sebuah ilmu simpanan yang mengejutkan lawannya itu.
"Siut-sret!"
Ituchi berseru keras.
Tangan kiri lawan yang tiba-tiba mengeluarkan benang-benang aneh seperti jaring laba-laba mendadak sudah menyambar dirinya.
Dia mengelak namun pedang di tangan kanan mengejar, apa boleh buat dia terpaksa menangkis namun betapa kagetnya pemuda ini ketika benang seperti laba-laba itu lengket di tangannya.
Dan ketika dia berteriak dan lawan tertawa bergelak maka satu tusukan pedang tak dapat dihindari tepat sekali menusuk pundaknya.
"Cret!"
Ituchi terluka.
Kaget dan terkejut oleh Jaring Naga lawan yang aneh dan luar biasa maka konsentrasi sinkangnya pecah, akibatnya pemuda ini tak sepenuhnya dapat menahan ketajaman pedang dan terlukalah dia, meskipun hanya luka ringan yang tak dalam.
Tapi ketika pedang bergerak-gerak lagi dan tangan kiri lawan yang menyambar-nyambar dengan Jaring Naganya itu berkelebatan menutupi pandangannya akhirnya Ituchi kacau dan sibuk menghindar sana-sini, kaget dan berulang-ulang mengeluarkan seruan keras karena Jaring Naga yang amat rekat itu mengganggu sekali, menempel dan mulai bertebaran di seluruh tubuhnya seperti benang laba-laba, sungguh mengejutkan di samping menggelisahkan.
Dan ketika tak ada bagian tubuh Ituchi yang terlewat dari jaring laba-laba ini dan benang yang amat kuat dari benang berperekat itu membungkus hampir semua tubuhnya akhirnya Ituchi roboh dan terguling seperti harimau dibungkus jala! "Ha-ha, robohlah anak muda.
Sekarang kau tak berkutik lagi.....
bluk!"
Ituchi benar-benar roboh, jatuh terbanting dan berteriak keras dengan tubuh terbungkus jaring.
Teriakannya itu terdengar di kejauhan dimana pada saat yang hampir berbareng Thai Liong juga roboh di tangan Gwan Beng, juga oleh jaring atau benang laba-laba ini.
Dan ketika pemuda itu tak berkutik dan pucat memandang lawan maka menyambar sesosok bayangan dan Gwan Beng, si cambang yang gagah berdiri di situ, memanggul Thai Liong.
"Sute, kau sudah berhasil mengalahkan lawanmu?"
"Ha-ha, benar, suheng. Dan kaupun agaknya juga sudah berhasil mengalahkan Kim-mou- eng?"
"Bukan, bukan Kim-mou-eng!"
Sang suheng menggeleng kepala, telah mengamati tawanannya.
"Bocah ini masih muda, sute. Memang benar bukan Kim-mou-eng, tapi dia mengaku puteranya!"
"Hah, sama saja. Kalau begitu kita berarti telah mengalahkan Kim-mou-eng!"
Hauw Kam tertawa-tawa. Dia menyambar dan melempar tubuh Ituchi, menerima dan menendangnya lagi ke atas, dua tiga kali. Dan ketika pemuda itu mengumpat karena dijadikan seperti bola maka laki-laki ini berseru.
"Kita bunuh mereka, dan buang mayatnya ke hutan!"
"Jangan!"
Gwan Beng menggeleng.
"Mereka orang-orang muda berbakat, sute. Dan terus terang aku kagum pada bocah ini, juga lawanmu itu. Sebaiknya kita tawan mereka karena siapa tahu dapat dijadikan penolong kalau kita bertemu Kim-mou-eng!"
Lalu menghadapi Thai Liong yang ditotok dan diikat kaki tangannya Gwan Beng bertanya.
"Kau siapa? Namamu siapa?"
Thai Liong sudah memperhatikan gerak-gerik si cambang yang gagah ini.
Dari pertempurannya tadi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki ini adalah orang baik-baik, pada dasarnya bukanlah seorang jahat dan tentu saja dia tertarik.
Dia sudah ditotok dan diikat tapi kalau dia mau dia dapat membebaskan totokan atau ikatan itu.
Dulu ketika ditotok dan ditawan See-ong si kakek iblis saja dia dapat menyelamatkan diri, apalagi hanya oleh laki- laki ini, yang kepandaiannya memang hebat tapi dia merasa sanggup mengatasi.
Dia roboh karena tadi dia bengong oleh Jaring Naga itu, ilmu silat aneh yang belum pernah selama hidupnya dilihat.
Maka begitu dia roboh namun diam-diam tenaga sinkangnya dikerahkan dan dengan Khi-bal-sin-kang sebenarnya dia mementahkan totokan lawan maka Thai Liong tersenyum ketika ditanya.
"Aku Thai Liong, Kim Thai Liong. Sedang temanku itu, hmmm..... kau tanya saja dia!"
Gwan Beng terbelalak.
Dia heran dan kagum juga melihat sikap pemuda ini, begitu tenang dan tak kelihatan takut.
Sikapnya seperti bukan tawanan melainkan orang yang bebas saja, bukan main.
Tentu saja dia tak tahu bahwa kalau mau memang Thai Liong dapat membebaskan dirinya.
Pemuda itu hanya berpura-pura saja karena ingin melihat apa selanjutnya yang akan dilakukan dua orang ini, lawan-lawannya yang memiliki Giam-lo Kiam- sut, ilmu pedang warisan kakeknya.
Maka ketika dia menjawab begitu tenang sementara lawan membelalakkan mata maka Hauw Kam yang bertemperamen lebih tinggi berteriak.
"Hei, kurang ajar dia. Lebih baik kutampar mulutnya.... plak!"
Dan Hauw Kam yang berkelebat marah menempeleng pemuda ini tiba-tiba membuat Thai Liong terpelanting dan bengap mulutnya, tadi ditampar begitu keras namun untung dia bertahan.
Kalau sinkangnya tidak bekerja barangkali mulutnya pecah.
Hm, laki-laki yang ini lebih ganas! Tapi ketika dia melotot gusar dan menahan kemarahannya maka si cambang membentak sutenya.
"Sute, jangan main kasar. Dia tawananku!"
"Maaf, he-he!"
Hauw Kam tertawa.
"Aku tak sabar melihat sikapnya, suheng. Merendahkan mata. Sialan, sebaiknya kau lempar pemuda itu dan tak perlu bertanya-tanya lagi!"
"Tidak, mereka ini menarik. Aku masih ingin tahu kenapa mereka berada di sini...."
Lalu menghadapi Ituchi ganti dia bertanya.
"Kau, siapa namamu? Kau bukan bangsa Han asli?"
Ituchi tidak seperti Thai Liong. Ditangkap dan dirobohkan seperti itu dia marah besar. Maka begitu ditanya dan dipandang seperti itu kontan mulutnya mendamprat.
"Hei, kau! Tak usah tanya nama kalau ingin membunuh. Aku tak suka memperkenalkan diriku kepada kalian. Bebaskan atau bunuh aku!"
"Ha-ha!"
Hauw Kam tertawa bergelak.
"Bocah ini galak dan sombong amat, suheng. Berani dia bicara seperti itu. Biarlah kupencet hidungnya.... cet!"
Dan Ituchi yang benar- benar dipencet dan dicengkeram hidungnya tiba-tiba tak dapat bicara ketika masih memaki-maki, bindeng dan Hauw Kam terbahak-bahak kegelian.
Sikap gilanya muncul dan bergeraklah tangannya yang lain untuk menggelitik ketiak pemuda itu.
Dan ketika Ituchi diserang rasa geli tapi juga marah campur aduk maka akhirnya hidungnya dilepas dan terdengarlah makian bercampur tawanya yang tak keruan.
"Hei, bangsat! Lepaskan aku! Aduh, ha-ha.... keparat!"
Kiranya Hauw Kam menotok jalan darah di bawah ketiak pemuda ini untuk membuat Ituchi terpingkal-pingkal.
Tadi setelah menggelitik tiba-tiba dia menotok jalan darah itu, jalan darah yang akan membuat orang tertawa-tawa karena geli, tentu saja bukan ketawa yang sehat melainkan tawa yang bercampur sakit.
Ituchi sedang marah namun saat itu lawan mempermainkan dirinya, tak ayal tawanya menjadi tawa bercampur sumpah serapah.
Sejam pemuda ini seperti itu tentu dia bakal mati lemas, hal ini berbahaya dan Thai Liong yang mengetahui itu terkejut.
Tapi ketika temannya tersiksa dan Hauw Kam tak membebaskan totokannya tiba-tiba Gwan Beng kembali bergerak dan si cambang inilah yang membebaskan Ituchi.
"Sute, jangan siksa pemuda ini. Biarkan mereka kepadaku!"
Ituchi terengah-engah.
Dia melotot dan gusar bukan main memandang Hauw Kam, yang dipandang ha-ha-he-he saja dan balas melotot padanya.
Pandangan tak waras menjadi semakin jelas ketika laki-laki itu menggaruk- garuk rambutnya.
Dan ketika Ituchi hampir memaki namun Thai Liong disana tiba-tiba berseru padanya agar tidak melawan, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh maka pemuda ini tertegun.
"Jangan gusar, tak perlu marah-marah. Kita tak berada dalam bahaya karena setidaknya aku tidak tertawan!"
Ituchi tertegun. Dia melihat Thai Liong menggerakkan tangannya secara rahasia. Benar, temannya itu bebas! Ituchi terkejut, juga girang. Tapi Thai Liong yang mengedip padanya berseru lagi, mengerahkan Coan-im- jip-bitnya itu, suara jarak jauh.
"Jangan cemas, Ituchi. Kau tenanglah dan biarkan dua orang ini menawan kita. Aku ingin mengetahui siapa mereka ini sebenarnya dan kau baik-baiklah disitu."
Ituchi tertegun, mata bersinar-sinar. Dan ketika dia tersenyum dan tak jadi memaki- maki maka Gwan Beng, si cambang, mengusap pundaknya, bersikap lebih baik.
"Kau beritahukanlah siapa namamu dan apa hubunganmu dengan Pendekar Rambut Emas. Benarkah pemuda itu puteranya dan kalian mau apa datang mengganggu kami."
"Hm, siapa mengganggu? Aku Ituchi, putera Raja Hu!"
Ituchi bermaksud menggertak, menyebut namanya dan bersinar-sinar memandang si cambang ini. Tapi karena Gwan Beng tak mengenal nama raja itu dan mendiang Raja Hu juga sudah tinggal namanya saja maka dia mengerutkan kening menarik napas.
"Aku tak kenal siapa itu Raja Hu. Tapi kau gagah. Hm, kalau begitu benar kau bukan asli orang Han. Baiklah, siapa temanmu ini, anak muda? Dia benar putera Pendekar Rambut Emas?"
"Benar, dan kalian lihat kepandaiannya tadi!"
"Ha-ha, kepandaian apa!"
Hauw Kam tertawa mengejek.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia roboh oleh suhengku, anak muda. Tak perlu berlagak!"
"Kalian curang!"
Ituchi memaki.
"Bagaimana dapat merobohkan putera Pendekar Rambut Emas kalau tidak bersikap licik? Dan kaupun menggunakan benang laba-labamu itu, tidak ksatria!"
"Ha-ha, bocah tak kenal puas! Eh, apakah kau masih penasaran? Boleh, maju lagi, bocah. Tak usah aku takut setelah suhengku di sini pula!"
Hauw Kam berkelebat, tiba-tiba membebaskan totokan Ituchi dan pemuda tinggi besar ini tertegun.
Tentu saja dia gembira dan meloncat bangun.
Dan ketika Gwan Beng disana mengerutkan kening tapi rupanya tak khawatir pemuda ini bebas sejenak maka Hauw Kam yang tertawa-tawa itu sudah menantang berkelahi.
"Hayo, maju lagi. Boleh keok untuk kedua kali!"
Ituchi mengerling.
Dia mendengar bisikan Thai Liong agar berhati-hati, mendapat isyarat supaya dia mempergunakan kesempatan itu.
Ini kesempatan baik! Hauw Kam dan suhengnya yang tentu saja tak mengira Thai Liong sudah mementahkan totokan menganggap hanya Ituchi itulah yang dihadapi.
Gwan Beng ada di situ dan tersenyum mengangguk-angguk.
Tadi sutenya sudah merobohkan dan kini mereka berdua tentu lebih kuat lagi, tak perlu takut.
Dan ketika Ituchi membentak dan sudah mengambil lagi gendewanya yang terpelanting di tanah maka dia berseru keras dan tanpa banyak cakap sudah menerjang maju.
Langsung dia membabat dan memukulkan gendewanya itu, tangan kiri berjaga dari serangan lawan yang aneh luar biasa itu, benang laba-laba.
Dan ketika Hauw Kam tertawa dan mengelak melompat ke kiri maka laki-laki itu berseru agar Ituchi berhati-hati.
"Waspadalah, aku akan merobohkan kali ini dengan lebih cepat lagi!"
"Jangan banyak mulut!"
Ituchi membentak.
"Kau yang akan kutangkap dan kurobohkan, gimbal busuk. Lihat saja siapa yang akan menang!"
"Ha-ha, berani takabur? Wah, pemuda bersemangat tinggi, tapi sayang, kau pula yang akan kalah.... plak!"
Dan gendewa yang mulai ditangkis karena menyambar dahsyat akhirnya terpental tapi menyambar lagi dari atas ke bawah, dipukulkan dan terdengar suara bersiut saking keras dan kuatnya ayunan.
Ituchi tak menggerakkan tangan kirinya karena waspada terhadap pukulan laba-laba lawan, waspada dan hanya senjata di tangan kanannya itulah yang menderu dan menyambar kesana kemari.
Dan ketika lawan berlompatan dan Ituchi membentak agar lawan mengeluarkan senjatanya, pedang yang disembunyikan itu maka Hauw Kam akhirnya tertawa karena memang sebentar kemudian sudah terdesak.
"Baiklah, kau yang minta. Dan aku memang kewalahan... crang!"
Dan pedang yang bertemu gendewa tiba-tiba mengeluarkan pijaran api dan sama-sama terpental, sudah diserang lagi namun si gimbal ini segera mengimbangi dengan permainan Giam-lo Kiam-sutnya.
Dan ketika ilmu pedang itu kembali dilihat maka Thai Liong tertegun.
"Hm, siapa mereka ini? Darimana dapat mainkan Giam-lo Kiam-sut dengan baik? Dan laki-laki yang satu ini tak kalah dengan temannya itu. Sinkangnya kuat dan sambaran pedangnyapun mantap. Kalau Ituchi tak memiliki daya tahan atau sinkang yang seimbang tentu Ituchi roboh! Thai Liong membatin dengan membelalakkan mata. Dia melihat Ituchi bertempur sengit untuk menebus kekalahan, disini mereka imbang namun tangan laki-laki itu mulai bergerak-gerak. Dan ketika tangan itu menyambar dan segumpal benang laba-laba melecut ke arah Ituchi maka pemuda ini terkejut, menggerakkan gendewanya menangkis.
"Plak-bret!"
Ituchi terkesiap.
Sama seperti tadi mendadak dia kaget setelah benang laba-laba ini keluar.
Meskipun sudah berjaga-jaga namun tak urung dia terkejut juga karena gendewanya lengket, tak dapat ditarik! Tapi ketika dia berseru keras dan menendang lawan dengan gemas maka lawan menarik benang laba-labanya itu dan terbahak-bahak.
"Ha-ha, lihat bocah. Kaupun masih tak menang!"
Benar saja, Ituchi sebentar kemudian terdesak dan mundur-mundur.
Begitu benang laba-laba dikeluarkan tiba-tiba dia gugup dan panik, selalu menangkis namun benang-benang itu menempel tak dapat dihalau.
Kalau ditolak paling-paling terdorong sedikit dan karena sifatnya yang elastis justeru membalik dan mengganggu lagi, susah pemuda ini menghindarinya.
Dan ketika pedang di tangan lawan juga mulai mengganggu untuk mengacau perhatiannya maka Ituchi terjengkang ketika harus buru-buru menghindari lecutan benang laba-laba.
"Bret!"
Pedang mendapat sasaran.
Baju pemuda ini robek dan Ituchi mengeluh.
Dia melotot penasaran dan mulailah Thai Liong melihat kekalahan temannya ini.
Benang laba-laba itu memang sulit dihalau kalau sudah melecut ke depan.
Ditangkis tentu lengket tidak ditangkis ternyata selalu memburu, jadi membingungkan dan memang membuat lawan panik, mudah gugup.
Dan ketika untuk itu Ituchi melupakan sambaran pedang dan kembali dia terbabat sebuah jurus dari Giam-lo Kiam-sut yang hebat maka Thai Liong tak tahan berseru, membantu.
"Jaga pinggangmu dari tusukan pedang. Awas gerakan berikutnya yang akan menyambar kaki!"
Lalu ketika pemuda itu memperhatikan dan mengelak sesuai perintah Thai Liong maka pemuda ini kembali berseru.
"Tahan tikaman beranting dengan gerak melengkung. Dan lempar tubuh kalau benang laba-laba itu menghantammu dari kanan!"
Hauw Kam melotot.
Ituchi tiba-tiba membuat menuruti perintah Thai Liong ini, mengelak dan menggerakkan gendewanya secara melengkung untuk menahan tikaman beranting yang akhirnya memang dilakukan lawannya itu.
Dan ketika dia disuruh melempar tubuh karena pukulan laba-laba menghantamnya dari kanan, di saat dia menghadapi serangan pedang maka pemuda ini selamat dan benang laba-laba itu menyambarnya sia-sia.
"Ha-ha!"
Ituchi tertawa bergelak.
"Kau beritahukan aku lagi, Thai Liong. Dan katakan bagaimana aku merobohkan lawanku ini!"
"Kau tak boleh menangkis benang laba- labanya. Jauhi dan jangan dihadapi secara berdepan!"
Ituchi menurut.
Akhirnya pemuda ini mengikuti saja apa omongan Thai Liong, kian lama kian luwes dan Ituchi akhirnya mulai dapat mendahului lawan ketika Thai Liong memberitahukan jurus-jurus yang akan dilancarkan Hauw Kam, dicegat dan mati kutulah Giam-lo Kiam-sut yang hebat itu.
Dan karena Ituchi selalu mengelak atau menjauhi benang laba-laba dan ini tentu saja membuat Hauw Kam gusar maka akhirnya Thai Liong berseru agar temannya itu melakukan tekanan.
"Sekarang desak dia, matikan langkah- langkahnya. Pergunakan gendewamu dengan babatan-babatan lurus!"
"ha-ha, dan tetap tidak menyambut pukulan laba-laba itu, Thai Liong?"
"Ya, jangan sambut. Hindarkan saja. Kau pasti menang!"
Ituchi tertawa bergelak.
Thai Liong yang pandai mainkan Giam-lo Kiam-sut tentu saja tahu dan dapat mematikan gerak pedang itu.
Pemuda ini adalah cucu Hu-taihiap dan sebagai cucu si jago pedang tentu saja Thai Liong hapal dan tahu kemana arah serangan-serangan pedang berikutnya.
Dan karena sebagai penonton dia dapat melihat lebih jelas pula akan pukulan laba-laba itu dimana setiap kali menyambar tentu dia menyuruh temannya membanting tubuh ke kiri atau ke kanan akhirnya Thai Liong mengajari temannya ini bagaimana menghadapi lawannya itu, menekan dan mendahului gerakan-gerakannya dan Hauw Kam tentu saja mencak-mencak.
Setelah Ituchi mendapat petunjuk dan seruan- seruan Thai Liong tiba-tiba saja dia dapat menghadapi lawannya itu dengan baik.
Thai Liong adalah pemuda lihai dan memang pemuda ini masih lebih hebat daripada Ituchi.
Robohnya tadi karena Thai Liong sedang bengong, bukan oleh lawan yang lebih tinggi.
Maka begitu dia memberi petunjuk-petunjuk dan Ituchi mulai dapat mengikuti dan menjalankan petunjuknya ini akhirnya Ituchi dapat mematikan langkah lawan dan gendewa di tangannya akhirnya menghantam pundak Hauw Kam.
"Dess!"
Hauw Kam terpelanting bergulingan.
Ituchi tertawa bergelak-gelak dan terus melanjutkan serangan-serangannya, akhirnya tak memberi kesempatan untuk lawan mengeluarkan pukulan benang laba-labanya.
Dan ketika pemuda itu terus merangsek dan mendesak serta gendewa di tangan kanannya berubah seperti gendewa malaikat yang mulai menghajar dan mendera tubuh lawan akhirnya Hauw Kam berteriak-teriak dan menyuruh suhengnya maju, kewalahan.
"Bunuh pemuda itu. Bantu aku. Ah, tutup mulut pemuda itu agar tidak membantu temannya, suheng. Atau aku bakal roboh dan dua pemuda terkutuk ini mempermainkan kita!"
Gwan Beng terkejut.
Akhirnya dia juga melihat kejadian itu dan betapa sutenya mendapat pukulan atau gebukan gendewa, tak dapat mempergunakan pukulan laba-labanya karena Ituchi selalu mendahului dan mendesak.
Celaka, itulah berkat mulut pemuda berambut keemasan ini! Dan ketika sutenya kembali terjungkal dan terpelanting oleh sambaran gendewa akhirnya Gwan Beng berkelebat dan menotok mulut Thai Liong.
"Tutup mulutmu, atau aku terpaksa membungkamnya.... dukk!"
Gwan Beng berteriak, mencelat karena tiba-tiba Thai Liong bangkit berdiri, menangkis dan langsung membuat lawan terpental karena ia mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya.
Gwan Beng terkejut karena lawan yang tadi tertotok tahu-tahu sudah meloncat bangun, bergerak dan tidak apa-apa dan kini menangkis totokannya.
Dan ketika dia sadar bahwa kiranya pemuda itu sudah bebas, entah dengan cara bagaimana maka Thai Liong tertawa dan berseru padanya.
"Orang tua, sekarang aku yang akan menangkapmu. Berjagalah!"
Dan Thai Liong yang berkelebat dan melepas pukulan tiba-tiba membuat Gwan Beng berteriak tertahan karena semakin kaget saja, menangkis dan terlemparlah dia oleh pukulan Khi-bal-sin-kang yang dahsyat.
Dan ketika dia bergulingan meloncat bangun sementara Ituchi terbahak- bahak disana, mendesak dan menekan sutenya yang tak dapat mainkan Jaring Naga, ilmu silat laba-laba itu maka diapun sudah terdesak dan tertekan oleh tamparan-tamparan Khi-bal-sin- kang yang dilakukan Thai Liong.
"Keparat, kalian rupanya menipu.... plak-dess!"
Gwan Beng marah dan kaget, menerima dan menangkis sebuah serangan tapi dia malah mencelat. Dan ketika dia memekik dan mencabut pedangnya, menusuk dan membacok maka Thai Liong tertawa berkata padanya.
"Orang tua, ilmu pedang ini adalah ciptaan kakekku. Aneh sekali dapat kau miliki demikian baik. Apakah kau mencurinya atau mendapatkannya secara kebetulan? Hm, aku akan merobohkanmu. Dan sekarang aku tak takut menghadapi pukulan laba-labamu itu.... des-dess!"
Thai Liong merangsek, menyambar dan sudah membuat lawan jungkir balik karena pedang dikibas ke samping.
Giam-lo Kiam-sut dikeluarkan tapi semua itu percuma menghadapi pemuda ini.
Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas sekaligus cucu mendiang Hu-taihiap, tentu saja tertawa dan dapat menghalau serangan-serangan pedang.
Dan ketika lawan berjungkir balik dan mengeluh pucat, gentar dan marah maka Gwan Beng mengeluarkan Jaring Naganya, sadar bahwa pemuda itu tak mungkin dirobohkan dengan ilmu pedangnya karena ilmu pedangnya sudah dikenal.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemuda itu tahu kemana serangan-serangan pedang akan menuju, jadi dapat dikelit atau dimatikan langkahnya, kalau pemuda itu mendahului.
Dan karena dengan Jaring Naga dia tadi dapat merobohkan pemuda ini, ingin mengulang dan mencobanya maka Gwan Beng membentak dan sudah melakukan pukulan-pukulan yang diandalkannya itu.
Namun alangkah kagetnya si cambang ini.
Thai Liong berseru nyaring dan tiba-tiba lenyap berkelebatan mengelilingi dirinya, kecepatannya dua kali lipat daripada tadi dan tentu saja dia tak dapat mengikuti.
Laki-laki ini tak tahu bahwa Thai Liong sudah mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya (Ginkang Mengejar Dewa), menggabung dengan Jing- sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dan tentu saja kecepatannya menjadi berlipat-lipat.
Pemuda ini memang hendak menaklukkan lawan dengan sungguh-sungguh, ingin membuktikan bahwa sesungguhnya dia tak kalah, dapat merobohkan atau mengalahkan lawannya itu.
Dan ketika lawan kabur oleh kecepatannya yang luar biasa maka Thai Liong mulai menampar atau menepuk sana-sini, tertawa mempermainkan lawannya itu dan pukulan laba-laba dihalau atau ditiup Lui- ciang-hoatnya, pukulan panas dimana benang laba-laba yang lemas dan berperekat itu leleh! Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba saja dia mati kutu.
Kejadian ini tak lebih dari beberapa menit saja.
Dan ketika dia kaget dan pucat terlempar sana-sini akhirnya Thai Liong yang sudah berhasil menguasai lawan berseru agar dia roboh.
"Sekarang kau roboh, menyerahlah!"
Gwan Beng menjerit.
Orang tua ini terbanting ketika sebuah totokan lihai mengenai jalan darah di belakang lehernya, terpelanting dan berteriak dan pedang di tangannyapun terlepas.
Dan ketika dia mengaduh dan Hauw Kam disana kaget maka Ituchi menghantamkan gendewanya di saat lawannya meleng.
"Dess!"
Hauw Kam pun terpelanting.
Laki-laki ini sudah terdesak dan tertekan hebat oleh serangan- serangan Ituchi yang tak kenal ampun.
Ituchi sudah mendapat petunjuk-petunjuk Thai Liong bagaimana mengunci lawannya ini, mematikan langkah dan menutup semua gerak lawan supaya pukulan laba-laba itu tidak keluar.
Ituchi tak dapat bersikap seperti Thai Liong yang berkelebatan dengan gabungan Jing-sian- eng dan Cui-sian Gin-kangnya, juga tak memiliki pukulan Lui-ciang-hoat yang melelehkan benang laba-laba itu.
Maka ketika dia merangsek dan mendesak lawan dengan caranya sendiri setelah dibantu petunjuk- petunjuk Thai Liong maka lawannya terbanting ketika hantaman gendewa mendarat demikian keras, disusul dan dikejar lagi dan Hauw Kam pucat.
Dia sudah terkunci oleh pemuda ini, tak dapat bergerak kemana-mana.
Maka ketika lawan mengejar dan menotok dengan ujung gendewa tiba-tiba diapun roboh dan terjengkang, tak dapat mengelak lagi.
"Bluk!"
Ituchi tertawa bergelak.
Selisih beberapa gebrak dari Thai Liong yang telah merobohkan lawannya lebih dulu pemuda ini akhirnya dapat menaklukkan lawannya pula, berkelebat dan sudah berdiri di samping si gimbal itu.
Dan ketika Hauw Kam melotot dan memaki-maki dirinya, marah dan malu maka Ituchi menyambar dan menendang tubuhnya, membalas apa yang dia rasakan tadi.
"Ha-ha, tak perlu marah-marah. Kau kalah dan aku yang menang.... dess!"
Tubuh Hauw Kam terlempar tinggi, berdebuk dan ditendang lagi dua tiga kali hingga si gimbal ini mirip Ituchi tadi yang diperlakukan seperti bola.
Ituchi memang ingin melampiaskan gemasnya pada si gimbal ini.
Tapi ketika Thai Liong berseru dan berkelebat menahan pundak temannya maka pemuda berambut keemasan ini menolong Hauw Kam dari bantingan keempat kalinya.
"Sudah, tahan kegemasanmu. Musuh sudah kalah dan tak perlu kita mempermainkan lagi!"
Lalu memandang dan menghadapi Gwan Beng, yang sejak tadi terbelalak dan gentar memandangnya pemuda ini bertanya, tidak kasar.
"Kalian berdua siapakah sebenarnya? Kau bernama siapa dan siapa sutemu itu?"
"Hm, kau mau apa?"
"Tak apa-apa, hanya ingin mengenal dan mengetahui siapa kalian."
"Kami Siang-koai-lojin (Sepasang Kakek Gila)...."
"Aku tidak tanya julukannya, melainkan nama kalian!"
Thai Liong memotong.
"Aku tak akan mengapa-apakan kalian, orang tua. Dan tak perlu kalian takut. Aku melihat bahwa kalian sebenarnya merupakan orang baik-baik...."
"Ha-ha, tak usah memperkenalkan nama, suheng. Biar saja kita dibunuhnya. Rupanya bocah itu ingin tahu bagaimana kita memiliki Giam-lo Kiam-sut!"
Hauw Kam, yang melotot dan gusar disana tiba-tiba berteriak. Dia tak menginginkan suhengnya bicara dan Gwan Beng sadar, mengerutkan keningnya. Dan ketika apa yang dikata sutenya dianggap benar maka Gwan Beng bersikap dingin dan tak acuh.
"Benar, kami tak mau bicara, anak muda. Kalau tak senang boleh bunuh, kami sudah kalah!"
"Hm, kalian bodoh. Kenapa tak mau bicara baik-baik? Memang tak dapat kusangkal bahwa aku ingin tahu bagaimana kalian dapat memiliki Giam-lo Kiam-sut itu, tapi bukan lalu bermaksud untuk mencelakakan atau menyiksa kalian. Kalian sebutkan saja siapa diri kalian dan aku tak akan marah!"
"Memangnya kenapa kalau kau marah?"
Hauw Kam tertawa mengejek, lagi-lagi mendahului.
"Kami dua tua bangka sudah jatuh di tangan kalian, bocah. Kami tak takut mampus atau takut kemarahanmu itu. Hayolah, suhengku tak mungkin mau bicara dan kalian tak perlu memaksa!"
"Hm, si gimbal ini menyebalkan!"
Ituchi tiba- tiba marah.
"Bagaimana kalau kugelitik dia, Thai Liong? Tadi dia menyiksaku, menyuruh ketawa tak wajar. Aku ingin membalas dan perkenankan aku menghajarnya!"
"Tidak, jangan...!"
Thai Liong, yang lembut dan penyayang tiba-tiba mencekal lengan temannya.
"Biarkan mereka itu dengan sikapnya, Ituchi. Kalau tak mau bicara biarlah kita biarkan mereka."
"Dan kau mau apa? Menawannya? Membawa mereka sepanjang jalan?"
"Hm, tadinya begitu, tapi sekarang tidak. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar pergi!"
"Apa?"
Ituchi terkejut.
"Dibebaskan? Setelah dengan susah payah kita merobohkannya?"
Thai Liong tersenyum.
"Bagiku tak susah payah, Ituchi. Aku dapat menguasai mereka, tak usah khawatir. Aku melihat mereka orang baik-baik, sepatutnya dibebaskan. Dan lagi merekapun tadi membebaskanmu!"
"Tapi itu lain. Si gimbal ini membebaskan aku karena dia ingin mempermainkan dan menghina aku, dengan ilmu silatnya!"
"Sudahlah, betapapun mereka bukan orang- orang jahat, Ituchi. Dan kita tak dibunuhnya ketika tertangkap. Aku ingin membebaskan mereka hitung-hitung sebagai pembalas budi!"
Dan ketika Ituchi bengong dan melotot tak puas, kecewa, Thai Liong sudah membebaskan totokan Gwan Beng dan dari jauh ia menggerakkan jarinya pula menyentil jalan darah di pundak Hauw Kam, yang segera dapat melompat bangun.
"Kaliang tak mau bicara, tak apa. Dan aku juga tak merasa mempunyai ikatan permusuhan dengan kalian. Pergilah, dan maafkan kami berdua yang mungkin telah menghina kalian!"
Hauw Kam bengong. Dia tak menyangka bahwa demikian mudah pemuda itu membebaskan dirinya, juga suhengnya. Dan ketika suhengnya juga bengong dan tertegun disana, tak percaya, maka Thai Liong mundur dan menjura di depan mereka.
"Silahkan, kalian sudah bebas. Aku tak mempermainkan atau menipu kalian."
Hauw Kam sadar.
Tiba-tiba dia memekik gembira dan terbang meloncat pergi, menyambar tangan suhengnya.
Tapi ketika sang suheng memberontak dan melepaskan dirinya maka suhengnya itu berkelebat dan meloncat membalik, menghadapi Thai Liong lagi, menggigil dan menahan-nahan keheranannya.
"Anak muda, kau.... kau sungguh-sungguh membebaskan kami? Kau tak dusta?"
"Hm, untuk apa dusta? Kalian boleh pergi dan kami tak akan mengganggu, orang tua. Dan percayalah bahwa aku tak mempermainkan kalian. Kenapa?"
"Kalau begitu.... terima kasih!"
Dan Gwan Beng yang membungkuk dan melipat punggungnya tiba-tiba mengucap terima kasih dengan suara serak, mengejutkan Thai Liong karena tiba-tiba keharuan menyelinap di hatinya.
Gwan Beng kembali dilihatnya sebagai orang tua yang baik, meskipun Hauw Kam tak boleh dibilang jahat.
Dan ketika dia tertegun dan mendorong lawannya itu maka Gwan Beng mengusap air matanya dan melompat pergi.
"Anak muda, kau persis ayahmu. Ah, semoga aku benar dan terima kasih untuk kebaikanmu ini!"
Ituchi tertegun.
Dia melihat Thai Liong mengangguk dan mengejapkan matanya yang berair.
Aneh, Thai Liong tiba-tiba juga menangis! Tapi ketika mereka melompat pergi dan terbang bergandengan tangan maka Ituchi membanting kakinya dan menegur temannya itu.
"Thai Liong, kau terlalu! Kenapa melepas dan membebaskan mereka begitu saja? Bukankah sudah jelas mereka itu mencuri dan mendapatkan Giam-lo Kiam-sut? Kalau kakekmu masih hidup tentu kau akan dicacinya habis-habisan. Mereka itu tak boleh dilepas begitu saja dan harus dipaksa mengaku darimana mendapatkan atau mencuri ilmu pedang itu!"
"Kau keliru,"
Thai Liong sadar, tiba-tiba bercahaya dan bersinar-sinar matanya.
"Aku tak membebaskan mereka begitu saja, Ituchi. Melainkan justeru menyelidiki dan ingin tahu siapa mereka itu dengan caraku yang lain."
"Maksudmu?"
Ituchi terbelalak.
"Membohongi mereka dan akan menangkap lagi?"
"Tidak."
"Lalu bagaimana? Dan kenapa kau menangis pula? Eh, aneh kau ini, Thai Liong. Sungguh tak dapat kumengerti dan membuat bingung!"
"Aku merencanakan sesuatu, dan mereka itu tak ingin kusakiti. Aku merasa dekat dengan mereka dan entah kenapa dengan si cambang itu terutama aku merasa lebih dekat!"
"Dan kau menangis?"
"Aku terharu, kakek itu orang baik-baik..."
"Ah, dan mereka sudah pergi, Thai Liong. Kau sudah membebaskan mereka!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Salah, aku tidak berkata begitu. Aku.... ah, sudahlah. Kau ikuti aku dan kita kejar mereka, Ituchi. Kita kuntit mereka secara diam-diam dan di perjalanan nanti kuceritakan!"
Dan Thai Liong yang berkelebat menyambar temannya tiba-tiba mengajak Ituchi terbang ke depan, mengerahkan Jing-sian-engnya dan berteriaklah Ituchi karena tubuhnya tiba-tiba terangkat dari atas tanah, tak menempel bumi lagi dan bergeraklah dia di gandengan temannya ini.
Dan ketika Thai Liong menjelaskan apa yang dia maui dan berkata bahwa dua orang itu sebenarnya akan diikuti dan diselidiki secara diam-diam, karena orang seperti mereka tak mungkin mau dipaksa begitu saja maka Ituchi mendusin ketika Thai Liong menutup.
"Aku memang membebaskan mereka, membiarkan mereka pergi. Tapi bukan berarti membiarkan rahasia ini tak kuketahui dan melepas begitu saja. Karena itu ketahuilah bahwa gerak-gerik mereka akan kuikuti secara diam-diam, Ituchi. Aku ingin mendapatkannya secara tak melukai lawan dan baik-baik menemukan siapa mereka itu sebenarnya!"
"Ah, begitukah?"
"Ya, dan lagi, kalau kita menawan, menangkapnya, maka kita akan mendapat beban karena dua orang itu tentu harus kita panggul atau bawa, tak mungkin kita menyeret-nyeretnya sepanjang jalan. Daripada begitu lebih baik mereka kulepaskan dan berjalan sendiri tapi diam-diam kita mengikuti di belakang dan hasilnya akan sama saja nanti!"
Ituchi mengangguk-angguk.
Memang, sekarang dia mengerti.
Dia tahu Thai Liong ini pemuda yang berwatak halus dan lembut, tak suka menyakiti lawan dan kiranya pemuda itu bermaksud membebaskan lawan tapi bukan berarti membiarkan rahasia itu lewat begitu saja.
Memang mengherankan bahwa Giam-lo Kiam-sut bisa dipelajari lawan, hal yang memang harus dicurigai.
Tapi karena dia juga melihat bahwa betapapun dua kakek itu rupanya bukan orang-orang jahat dan Thai Liong juga melihat hal ini maka itulah akal yang dipergunakan temannya ini.
Dan begitu dia sadar dan mengerti maka Ituchi pun tak banyak bicara dan segera keduanya terbang menguntit perjalanan Hauw Kam dan suhengnya! **SF** "Serbu! Bunuh mereka itu, gilas.
Ha-ha-ha....!"
Sebuah pasukan besar mendobrak benteng di perbatasan Tiongkok, melaju dan ribuan orang berteriak-teriak mengawali serangannya.
Ratusan orang merayap ke atas tapi enam bayangan bergerak dengan caranya yang luar biasa mendaki tembok tebal yang menjadi batas pemisah ini, bukan mendaki seperti ratusan orang-orang lain yang mempergunakan tali melainkan merayap dan menempel seperti cicak, lekat dan naik dengan cepat mendaki tembok besar itu.
Bagian yang dinaiki juga tak tanggung-tanggung, bukan tempat kasar yang mudah dilekati kaki atau tangan melainkan justeru tempat berlumut yang orang biasa pasti tak mampu melakukannya.
Enam bayangan ini enak saja merayap dan setiap kali tangan mereka menepuk maka bergetarlah dinding tembok itu.
Lumut yang menempel tiba-tiba rontok terkena tepukan, hancur dan bekas jari atau tangan yang menepuk dinding ini selalu meninggalkan lubang.
Dengan lubang itulah mereka menekan dan mengangkat naik tubuh, tak perduli pada hujan serangan yang diluncurkan dari atas, karena panah atau tombak akan terpental atau patah-patah bertemu tubuh enam orang ini.
Dan ketika mereka hampir tiba di puncak dan pasukan di atas tentu saja terkejut maka yang ada di depan, yang paling gesit dan ringan sudah menggerakkan tubuhnya dan berjungkir balik di atas sana.
"Ha-ha, mana itu San-ciangkun. Suruh dia menyerah atau kalian semua kubunuh..... plak- plak-plak!"
Bayangan ini, pemuda tinggi besar yang ganas dan tak kenal ampun sudah mengibas ke kanan tiga kali.
Angin yang dahsyat menyambar dari tangan kanannya itu dan berteriaklah tujuh perajurit yang terlempar roboh.
Mereka langsung terpelanting dan jatuh keluar, dari atas tembok yang letaknya begitu tinggi itu.
Dan ketika pekik atau jerit kematian mereka disusul tubuh yang berdebuk di bawah maka lima bayangan yang lain, yang juga sudah melempar tubuh dan berjungkir balik di situ tertawa menyeramkan.
"Togur, cari dan bunuh San-ciangkun (panglima San). Kami akan membuka pintu- pintu gerbang dan membiarkan pasukan masuk!"
"Bagus, boleh suhu, dan bantai siapa saja yang tidak mau menyerah..... prak-bluk!"
Dua orang perajurit menerima sasaran, ditangkap dan diadu kepalanya dan pecahlah kepala dua perajurit itu.
Mereka tak sempat berteriak lagi dan tubuh mereka ditendang mencelat, roboh menumbuk dinding dan tertawa bergelaklah pemuda itu menyambar tujuh panah yang mendesing menyerang bagian mukanya.
Dan ketika dia menangkap dan dua di antaranya diterima dengan cara digigit, maka panah- panah itu sudah digerakkan kembali dan tujuh pemanah yang tadi menyerangnya tiba-tiba roboh terkapar karena anak panah mereka sendiri sudah menyambar dan menancap di dada kiri dengan kecepatan setan.
"Crep-crep-crep.....!"
Tujuh tubuh itu bergelimpangan tanpa nyawa.
Togur, pemuda tinggi besar ini telah bergerak ke kiri, berkelebat dan puluhan orang yang muncul dari balik menara pengawas tiba-tiba disambutnya.
Dengan tawanya yang menyeramkan dan gerak tubuhnya yang cepat pemuda ini sudah mendatangi mereka.
Puluhan orang yang berteriak melepas panah dan tombak sama sekali tak digubrisnya, dia terus menerjang dan kedua tangannya bergerak berulang-ulang.
Dan ketika panah atau tombak runtuh dan patah-patah mengenai tubuhnya maka pukulan jarak jauhnya itu sudah membuat orang-orang itu beterbangan bagai disapu angin puyuh.
"Bres-bres-plakk...!"
Teriakan ngeri dan jerit susul-menyusul sudah mengiringi orang-orang yang terlempar ini.
Mereka mencelat dan terbanting di sana-sini, belum menyentuh tanah saja sudah tewas karena kepala atau dada mereka pecah, begitu dahsyat pukulan yang dilancarkan Togur ini.
Dan ketika yang lain menjadi ngeri dan pucat oleh tandangnya yang ganas maka yang semula mau menyerang tiba-tiba membalik dan berlarian.
"Awas, pemuda iblis itu menyeramkan. Dia putera mendiang Gurba!"
Semua tunggang-langgang.
Togur tertawa bergelak karena nama ayahnya disebut-sebut.
Memang benar, dia adalah putera Gurba dan postur tubuhnya yang tinggi besar mirip benar dengan ayahnya itu.
Bagi yang sudah pernah berhadapan dengan mendiang suheng Kim- mou-eng ini tentu akan merasa seram berhadapan dengan Togur.
Pemuda itu ganas, matanya mencorong.
Sikapnya tak kenal ampun dan siapapun yang menyerangnya bakal dibalas dan dibunuh.
Pemuda ini bergerak dari satu tembok ke tembok yang lain, dari satu menara ke menara yang lain.
Dan ketika dia tertawa-tawa menggerakkan kedua lengannya meroboh-robohkan perajurit sambil mencari-cari San-ciangkun, komandan atau panglima disitu maka di bawah pasukannya berteriak-teriak dan sudah pula ada yang berhasil masuk.
Kelima gurunya, nenek Naga dan lain-lain sudah membobol pintu gerbang.
Kelima kakek dan nenek iblis ini tak kalah ganas sepak terjangnya dengan sang murid.
Mereka membentak dan berkelebatan membagi-bagi pukulan.
Dan karena yang dihadapi hanya perajurit-perajurit rendahan dimana mereka itu tentu saja bukan lawan kakek dan nenek-nenek iblis ini maka semuanya mencelat dan terlempar roboh.
"Hi-hik, majulah kalian. Maju..... des-des- dess!"
Tubuh-tubuh beterbangan, terlempar ke sana-sini dan nenek Naga melepas pukulan- pukulan Tee-sin-kangnya dan berteriaklah perajurit-perajurit itu karena tahu-tahu mereka sudah kesakitan di kepala atau perut, mengeluh namun sekejap kemudian merekapun sudah tak sadar apa yang terjadi berikutnya.
Mereka roboh dan tumbang seperti batang pisang dibabat, satu per satu dibantai nenek ini.
Dan ketika yang lain juga melakukan begitu dan Siauw-jin berpesta pora di antara perajurit-perajurit yang menyerangnya maka kakek ini bergerak di bawah dan tubuhnya yang pendek kecil mencomot selangkangan lawan yang tentu saja berteriak ngeri karena bagian mereka yang paling vital diremas hancur.
"Ha-ha, ini penambah kekuatan. Bisa membuat tubuh semakin sehat.... plup!"
Kakek itu menelan sesuatu, entah apa tapi orang tentu merasa ngeri melihat perbuatannya.
Dan ketika Cam-kong di tempat lain juga mendengus-dengus dan pukulan jarak jauhnya menderu ke depan maka disini para perajurit yang berhadapan dengan kakek ini hangus dan gosong, terkena Cam-kong-ciang yang berhawa panas seperti petir! "Heh-heh, buka pintu gerbang.
Hayo, buka pintu gerbang...!"
Para perajurit mencelat tak keruan.
Memang mereka bukan tandingan kakek tinggi kurus ini, disana Toa-ci dan Ji-moi juga melepas pukulan-pukulan Mo-seng-ciang hingga lawan terbanting mandi darah, roboh dan terlempar- lempar seperti daun-daun kering yang dihempas badai.
Dan ketika lima kakek dan nenek-nenek iblis ini membantu Togur yang mencari-cari San-ciangkun akhirnya mereka dikepung ratusan orang ketika sudah mendekati pintu gerbang, siap membukanya.
"Heh, jangan menghalang-halangi. Mundur!"
Kakek tinggi kurus tiba di bagian timur.
Cam- kong atau kakek ini meluncur ke bawah ketika dari menara yang tinggi dia siap menggempur pasukan di bawah.
Di sana menunggu dua ratus lebih para perajurit dan perwira mereka, menyambut kakek itu ketika turun dengan hujan panah atau tombak.
Tapi ketika semua itu terpental dan patah-patah bertemu tubuh si kakek, yang mengibas dan menyampok runtuh maka Cam-kong sudah berhadapan dengan sembilan belas perwira muda yang merupakan bawahan San-ciangkun, diserang namun dengan mudah kakek ini menangkis dan mengelak.
Dua ratus pasukan sudah meluruk dan menerjang marah, membantu perwiranya.
Namun ketika kakek ini hah-hah-heh-heh dan memutar lengannya sebanyak delapan kali maka orang-orang yang ada di depan mencelat dan terlempar roboh, terkena pukulan berhawa panas itu dan lima perwira menjerit dengan teriakan mengerikan.
Mereka itu tertampar dan mukanya segera menghitam, tewas dan melotot dengan wajah hangus.
Dan ketika yang lain menjadi gentar namun harus maju kembali maka Cam-kong membagi-bagi pukulannya dan gerakan kakek ini yang luar biasa cepat dan mengejutkan sudah menghantam yang lain, susul-menyusul para perwira yang terakhir roboh terjengkang.
Banjir darah terjadi disitu.
Dan ketika semua tersapu mundur dan kakek ini terkekeh mendekati pintu gerbang maka palang pintu yang mengancing kuat ditampar kakek ini dengan pukulan ujung bajunya.
"Kraakkk...!"
Palang pintu itu hancur.
Diluar sudah terjadi dorongan dan pukulan-pukulan kuat yang dilakukan pasukan penyerbu, anak buah kakek itu.
Maka begitu palang pintu hancur dan engsel-engselnya lepas dihantam kakek ini maka daun pintu terkuak lebar dan pasukan diluar menyerbu dengan suaranya yang hiruk- pikuk.
"Serbu! Ha-ha, serang dan bunuh musuh!"
Pasukan San-ciangkun kalut.
Mereka menghadapi tokoh-tokoh lihai yang tak dapat dilawan.
Dari dalam sudah dikacau kakek dan nenek-nenek iblis ini sedang dari luar oleh teriakan dan serbuan pasukan musuh.
Tak ayal mereka menjadi kalut dan kacau.
Dan ketika pasukan bangsa liar itu berteriak-teriak dan menyerbu dengan tandangnya yang buas maka banjir darah semakin tak dapat dihindarkan lagi, roboh satu per satu dan dengan cepat pasukan San-ciangkun kehilangan semangatnya.
Perasaan mereka seakan digedor oleh sepak terjang pasukan besar itu, dari mana-mana musuh datang menyerbu dan nenek Naga serta yang lain-lain membantu, inilah pukulan kuat yang membuat pasukan kerajaan patah dan ciut nyalinya.
Dan ketika mereka mundur dan terdesak hebat maka di sebelah barat terdengar suara tawa menyeramkan dan terlihatlah pimpinan pasukan ini, Togur, menenteng kepala San- ciangkun yang berlumuran darah.
"Hei, lihat. Ha-ha! Lihat ini dan menyerah baik- baik. San-ciangkun panglima kalian telah kubunuh!"
Pasukan kerajaan ribut.
Mereka melihat bahwa benar saja di tangan pemuda tinggi besar itu terdapat kepala San-ciangkun, kepala yang berlumuran darah dan rupanya baru saja dipenggal.
Masih segar dan menetes-netes! Dan ketika mereka menjadi gempar dan tentu saja gaduh maka Togur memerintahkan agar mereka menyerah, bergabung dengan pasukan bangsa liar atau mereka dibunuh.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang berhati ciut segera membuang senjata, tapi yang masih berani dan setia kepada kerajaan tiba- tiba berteriak dan menyerang lawan.
Dan ketika keadaan menjadi gaduh lagi karena pasukan San-ciangkun pecah menjadi dua, yang satu menyerah sedang yang lain melakukan perlawanan kembali maka Togur di atas menara melihat seorang pemuda gagah perkasa yang mengamuk sambil berteriak- teriak di barisan utara.
"Jangan takut, mati dengan gagah jauh lebih baik daripada menjadi pengkhianat dan anjing pengekor. Hayo ikuti aku yang masih bernyali naga dan bunuh lawan-lawan kita!"
Togur mengerutkan kening.
Pemuda itu adalah pemuda tampan dengan baju hijau, gagah dan bersenjatakan pedang yang sudah berlumuran darah.
Pemuda ini tampak mengamuk dan puluhan orangnya roboh binasa, lihai pemuda itu.
Dan ketika Togur menjadi marah dan memandang seorang gurunya yang terdekat dengan pemuda itu, yakni nenek Toa-ci maka nenek ini sudah berkelebat namun bayangan lain tiba-tiba mendahului.
"Biarkan pemuda ini menjadi bagianku!"
Kiranya itulah Siang Le.
Pemuda ini, yang bergerak dan menyerbu dari barat akhirnya melihat juga pemuda itu.
Kegagahan dan keperkasaan pemuda ini segera menarik perhatian murid See-ong tersebut, melihat Togur sudah membunuh San-ciangkun dan kini dengan kejam serta tak kenal kasihan Togur sudah memperlihatkan penggalan kepala itu di atas menara tertinggi.
Siang Le merasa ngeri namun juga benci.
Entah kenapa dia tak menyukai semua itu, dia benci pada rencana serbuan ini tapi gurunya telah memaksanya sedemikian rupa.
Dia diminta membalas budi, diungkit-ungkit tentang kebaikan gurunya di masa lalu, tak berdaya pemuda ini.
Dan ketika dia melihat betapa kejamnya pasukan Togur yang membantai dan membunuh-bunuhi musuh yang melawan dengan sengit maka dia tertegun melihat pemuda baju biru itu, segera tahu bahwa pemuda ini akan segera roboh binasa.
Entah kenapa dia merasa sayang dan kagum kepada pemuda itu.
Maka begitu melihat nenek Toa-ci hendak menghadapi pemuda ini dan dia tahu apa yang bakal terjadi maka cepat-cepat dia mendahului dan Siang Le mengibas nenek itu, menyuruh mundur dan pemuda baju biru itu sudah dihadapinya.
Nenek Toa-ci terbelalak dan marah tapi tak dapat berbuat apa-apa.
Dan ketika Siang Le sudah berhadapan dengan lawannya dan menyuruh menyerah, hal yang tentu saja tak mungkin dituruti lawan maka pemuda baju biru itu sudah membentak dan menyerangnya, bertempur dan keduanya sudah terlibat dalam satu pertandingan sengit.
Siang Le melihat bahwa pemuda ini memiliki keberanian besar, tapi bukan kepandaian yang cukup untuk menghadapi dirinya atau kakek dan nenek- nenek iblis itu, karena setiap dia menangkis tentu pedang di tangan pemuda itu terpental dan hampir terlepas dari tangannya.
Dan ketika Siang Le sudah berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya dan berkali-kali pemuda itu disuruh membuang senjata namun tidak mau akhirnya murid See-ong yang memang lebih lihai ini berhasil merobohkan dan mengalahkan lawannya, menotok lepas pedang di tangan si pemuda baju biru.
"Baiklah, lepaskan pedangmu dan robohlah.... bluk!"
Pemuda itu menjerit, terlepas pedangnya dan Siang Le telah mengakhiri pertandingan ini, pertandingan yang tidak memakan banyak waktu.
Dan ketika pasukannya bersorak sementara nenek Toa-ci berkelebat untuk menghabisi pemuda itu, membantunya, tiba-tiba Siang Le membentak dan menampar nenek ini.
**SF** (Bersambung
Jilid 27) Bantargebang, 14-01-2019,20.42 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU
Jilid 27 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .
SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .
OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang- undang.
Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.
CETAKAN PERTAMA U.P.
DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .
Batara
Jilid . 27 * * * "JANGAN lancang.... dukk!"
Dan nenek Toa-ci yang tergetar dan terhuyung mundur tiba-tiba melengking dan marah kepada pemuda ini, tak dihiraukan dan Siang Le sudah menyambar lawannya itu.
Pemuda baju biru ini sudah tertangkap dan dia cepat menyuruh pembantunya mengikat pemuda itu, membawanya pergi dari peperangan yang masih berkecamuk.
Siang Le telah memberi isyarat bahwa siapapun yang mengganggu tawanannya itu akan berhadapan dengan dirinya, tak perduli nenek Toa-ci.
Dan karena nenek itu gentar terhadap See-ong dan memandang muka kakek iblis itu maka nenek ini mengumpat dan menahan kedongkolan hatinya sementara Siang Le sudah pergi ke tempat lain, menghadapi musuh yang masih berani melawan namun ternyata robohnya pemuda tadi sudah membuat sisa-sisa pasukan kerajaan menyerah.
Mereka membuang senjata dan hari itu kemenangan mutlak diperoleh pasukan penyerbu ini.
Nenek Toa-ci dan lain-lain berkumpul, membicarakan kemenangan itu sekaligus juga perbuatan Siang Le yang menghinanya ketika berebut pemuda baju biru.
Tapi ketika Togur tertawa dan berkata biarlah pemuda itu menawan musuhnya maka di tempat lain Siang Le telah menyelidiki dan mendapat keterangan bahwa pemuda baju biru itu adalah San Tek, putera San-ciangkun.
"Mau apa kau menangkap pemuda itu? Buat apa lagi? Bunuh dan habisi dia, Siang Le. Tak perlu ditawan!"
Gurunya, yang siang tadi tidak ikut pertempuran karena malas melihat lawan yang tidak setanding menegur muridnya dan malas-malasan di baraknya.
Kakek ini makan minum ketika semua orang bekerja keras, hanya mendengarkan saja hasil peperangan itu dan mendengar bahwa muridnya menangkap San Tek, putera panglima yang telah dibunuh Togur.
See-ong memang mewakilkan pada muridnya untuk maju menumpas musuh.
Selama belum ada musuh-musuh yang berat dia tak akan maju.
Kakek ini tiada ubahnya seorang raksasa yang sedang bermalas- malasan, atau singa yang belum kelaparan.
Dan ketika Siang Le berkata bahwa musuh yang kalah tak perlu dibunuh atau disakiti maka kakek itu mendengus mendengar kata- kata muridnya.
"Kau berhati lemah, tak pantas menjadi pemimpin. Huh, coba bawa bocah itu dan perlihatkan kesini!"
"Suhu mau apa?"
"Melihat macamnya, Siang Le. Bagaimana kau sampai melindunginya sedemikian rupa. Katanya kau menyerang Toa-ci ketika memperebutkan pemuda itu!"
"Hm, aku memang tak suka pada nenek itu, juga Togur. Mereka terlampau ganas dan tak kenal ampun!"
"Ha-ha, aneh sekali kau ini, juga memalukan! Eh, tak pantas kau bicara seperti itu, Siang Le. Justeru kau harus memuji dan mencontoh mereka. Kau murid See-ong, tokoh sesat. Jangan memalukan gurumu dengan bicara seperti itu lagi. Bawa dan suruh tawananmu itu kemari!"
Siang Le memutar tubuhnya.
Dia melihat muka gurunya yang merah meskipun tertawa seperti itu, tahu gurunya gusar dan marah dan sama sekali tak senang melihat dia bersikap seperti itu.
Memang sepatutnya sebagai murid See- ong dia harus bersikap kejam dan berwatak keji, seperti Toa-ci dan lain-lainnya itu, juga Togur.
Gurunya bahkan bersinar-sinar dan bangga melihat kekejaman pemuda ini.
Sayang bukan muridnya.
Dan karena dia tak melihat watak-watak atau sikap seperti itu pada Siang Le maka diam-diam kakek ini kecewa namun juga ada perasaan lain di hatinya.
Entah kenapa See-ong tak puas tapi sekaligus juga sayang kepada muridnya itu.
Bantahan dan debatan-debatan muridnya jelas menunjukkan muridnya seorang yang berani.
Masalah keberanian barangkali Siang Le tak akan kalah dengan Togur, hal itu tak perlu diragukan.
Tapi bahwa muridnya tak seganas atau sekejam Togur, yang pantas sebagai murid seorang tokoh sesat maka kakek ini diam-diam gemas dan marah juga kepada muridnya itu.
Tapi tak lama kemudian pemuda itu tiba-tiba muncul, berkelebat membawa tawanannya.
"Nih,"
Siang Le melempar pemuda itu di depan gurunya.
"Kau boleh melihat dan memeriksanya, suhu. Tapi jangan sekali-kali mengganggu atau membunuhnya. Dia milikku, tak boleh diganggu!"
"Hm, bebaskan totokannya,"
Kakek ini bersinar-sinar.
"Coba lihat seberapa keberaniannya itu, Siang Le. Kudengar dia amat gagah dan pemberani!"
Siang Le membebaskan totokan.
Memang dia menotok tawanannya itu karena sejak tadi San Tek memaki-maki.
Putera San-ciangkun ini memberontak dan di dalam kurungannya tadi bersikap melawan.
Tapi begitu Siang Le menotok dan kini membebaskannya lagi mendadak pemuda ini melompat bangun dan tidak merasa gentar sedikitpun dia menerjang kalap.
"Aku boleh dibunuh tapi tak boleh dihina. Mampuslah!"
Siang Le berkelit, diserang dan tentu saja dengan mudah pemuda ini mengelak.
San Tek menyerang lagi membabi- buta namun tiba-tiba See-ong membentak.
Kakek itu menggerakkan tangannya ke depan dan tiba-tiba serangkum angin dahsyat menyedot pemuda ini.
Dan ketika San Tek terkejut dan berteriak tertahan tiba-tiba dia sudah roboh dan jatuh di depan kakek itu, kakek yang kini mendapat perhatiannya dan berwajah menyeramkan seperti iblis.
"Kau di sini bukan untuk berkurang ajar. Berlutut dan menyerahlah baik-baik!"
"Keparat, kau siapa? Siapa mau berlutut dan menyerah kepada musuh? Aku tak sudi memenuhi permintaanmu, kakek jahanam. Bunuh dan habisilah aku, aku tak gentar!"
"Hm, berlutut kataku."
"Tidak!"
"Kalau begitu kupatahkan kakimu!"
Dan See- ong yang bergerak cepat mengerotokkan buku- buku jarinya mendadak menampar dan San Tek menjerit tinggi ketika tempurung lututnya retak.
Pemuda ini terguling dan tanpa ampun lagi dia mengaduh-aduh berlutut di depan See- ong.
Siang Le terkejut dan membentak berkelebat di depan gurunya, kejadian itu tak diduga dan dia kalah cepat.
Namun ketika gurunya tertawa bergelak dan mengibaskan lengan maka dia terdorong mundur.
"Minggir, aku tak membunuh tawananmu!"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siang Le terhuyung membelalakkan mata.
Dia melihat gurunya memang tidak membunuh tawanan melainkan menciderainya, hal itu hendak dibantah namun gurunya sudah mengibas dia ke pinggir.
Dan ketika Siang Le terdorong dan kakek ini menghadapi San Tek maka pemuda itu tergetar oleh sorot mata lawannya yang mencorong menakutkan, dingin dan seolah menembus sumsum tulang belakangnya.
"Kau tak perlu macam-macam di sini, tak perlu sombong. Kalau kau minta mati tentu mudah, tapi muridku tak mengijinkan. Hm, siapa namamu, anak muda? Kau bisa bicara?"
"Kau kakek jahanam keparat! Aku tak perlu menyebut namaku di depanmu!"
"Hm, jangan berlagak. Aku dapat memukul pecah mulutmu nanti!"
"Aku tak takut...!"
Dan baru ucapan ini selesai diucapkan tiba-tiba See-ong menggerakkan tangannya dan pemuda itu terpelanting.
San Tek berteriak lagi karena mulutnya pecah berdarah.
Walet Emas 06 Nyi Wungkuk Dari Bendo Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama