Ceritasilat Novel Online

Istana Hantu 17

Istana Hantu Karya Batara Bagian 17


See-ong benar-benar membuktikan ancamannya! Namun ketika kakek itu terkekeh perlahan dan pemuda ini kesakitan sambil memaki-maki, makian yang tentu saja tidak jelas maka Siang Le berkelebat dan menolong pemuda itu.

"Suhu tak boleh kejam, atau aku terpaksa melawanmu!"

"Heh!"

Kakek ini terbeliak.

"Apa kau bilang, Siang Le? Kau mau melawan gurumu sendiri?"

"Kalau suhu menyakiti dan sekali lagi menyiksa pemuda ini maka aku akan terpaksa melawan dan menghadapimu. Kau tahanlah tanganmu atau aku akan marah!"

"Ha-ha!"

See-ong tertawa bergelak.

"Kenapa baru sekarang kau dapat bersikap seperti ini, Siang Le? Hah, kau mulai kurang ajar, mulai tak tahu aturan. Tapi bagus, aku senang. Itulah seharusnya yang kau perlihatkan sebagai murid See-ong!"

Dan tak marah serta girang memandang muridnya itu kakek ini berseri-seri dan Siang Le pun sadar.

Kata- katanya tadi bukan membuat gurunya gusar melainkan justeru senang.

Orang seperti See- ong ini memang aneh, dasar seorang sesat! Namun ketika Siang Le menolong dan membangunkan pemuda itu maka Siang Le berkata agar San Tek bersikap baik-baik kepada gurunya.

"Kau tak usah menunjukkan kesombongan di sini. Tahu dirilah. Dia adalah guruku dan harap pandang mukaku kalau kau seorang pemuda baik-baik."

San Tek tertegun.

Melihat dan mendengar semuanya ini diapun merasa heran namun juga kagum terhadap Siang Le.

Tak dia sangkal, pemuda ini lihai dan bukan tandingannya.

Tiga kali dia menyerang namun tiga kali pula dia dirobohkan, tak merasa begitu sakit atau tersiksa seperti sekarang, ketika dia mendapat hajaran si kakek iblis itu.

Dan karena Siang Le memang baik dan baru dia tahu bahwa kakek di depannya itu adalah guru pemuda ini, jauh bedanya antara guru dan murid maka San Tek menahan sakit dan marahnya ketika ditanya sekali lagi oleh kakek itu.

"Nah, katakan siapa namamu. Dan belajarlah bicara yang baik di depan orang tua."

"Aku San Tek...."

"Apa hubunganmu dengan San-ciangkun?"

"Dia ayahku...."

"Ha, bagus. Dan ayahmu mampus! Hm, kau mau membalas dendam, anak muda? Kau berani menghadapi orang yang telah membunuh ayahmu si tolol itu?"

"Ayahku tak tolol, dia panglima dan pahlawan sejati!"

"Ha-ha, kalau tak tolol tentu tak mampus. Eh, jangan tersinggung kalau aku memaki ayahmu, bocah. Ayahmu memang tolol dan kau lebih tolol lagi. Tapi kau memiliki keberanian. Hm, dan aku paling suka dengan anak-anak muda yang pemberani. Eh...!"

Kakek itu menoleh pada muridnya, tiba-tiba menggoyang lengan menyuruh muridnya keluar.

"Tinggalkan aku sebentar dengan anak muda ini, Siang Le. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya!"

"Suhu mau apa?"

Siang Le mengerutkan kening.

"Mau main gila?"

"Hm, kau terlalu curiga, dan semakin kurang ajar saja! Ha-ha, tidak. Aku hendak pinjam sebentar tawananmu ini dan percayalah dia akan kukembalikan baik-baik kepadamu, utuh!"

Siang Le ragu.

Dia memandang tajam gurunya itu dan sangsi.

Gurunya ini orang aneh dan apa saja dapat dilakukannya secara tiba-tiba.

Tapi ketika gurunya tertawa dan berkata bahwa dia dapat membunuh San Tek meskipun dirinya ada di situ maka Siang Le menarik napas panjang dan pergi.

"Aku tak mengapa-apakan boah ini, hanya ingin berbicara sedikit. Kalau aku mau membunuh apakah sangkamu tidak bisa? Biarpun kau menghalangi tetap saja aku dapat melakukannya, Siang Le. Pergilah dan tinggalkan aku sebentar!"

Siang Le sadar.

Dia melompat dan pergi meninggalkan gurunya namun berkata bahwa akan meminta tanggung jawab gurunya kalau sampai gurunya menipu.

See-ong tersenyum dan berkata baik, kini sudah berhadapan lagi dengan putera San-ciangkun itu dan pandangan aneh terpancar di mata kakek ini.

San Tek tertegun dan seolah terhisap oleh pandang mata si kakek yang dalam, begitu menusuk dan tajam.

Namun ketika kakek itu menggapai padanya dan entah bagaimana tubuhnya tiba-tiba terangkat naik dan jatuh di depan lawannya maka untuk kesekian kali pemuda ini terkesiap.

"Aku mau bicara baik-baik padamu. Kau dengarlah!"

Lalu melihat pemuda itu meringis kesakitan karena lututnya yang retak tiba-tiba See-ong sudah mengusapkan telapaknya dan lutut San Tek sembuh, seperti sihir! "Lihat, kesaktianku tinggi.

Aku akan bersikap baik-baik kalau kau juga bersikap baik-baik.

Hm, apakah kau suka mempelajari ilmu silat tinggi, bocah? Kau tak ingin memiliki kesaktian seperti yang kumiliki?"

"Apa maksudmu?"

San Tek tertegun.

"Aku tak mengerti, dan bingung. Aku belum tahu kemana kau akan membawa pembicaraan ini. Dan sebutkan dulu siapa kau dan muridmu itu!"

"Ha-ha, aku See-ong. Dan muridku tadi Siang Le."

"See-ong? Kakek iblis dari Barat itu?"

San Tek terkejut bukan main, terbelalak dan tiba-tiba perasaannya terguncang benar.

Memang dia tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan See- ong.

Pantas begitu lihai, dan kejam! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengangguk mendadak pemuda ini mengeluarkan keringat dingin, namun sekejap saja karena tiba-tiba dia tidak gentar atau takut lagi.

Kepala dikedikkan gagah! "Hm, kau kiranya sudah mengenal aku, tapi kau tidak takut! Bagus, tahukah kau siksaan apa saja yang dapat kuberikan padamu, anak muda? Pernahkah kau digigiti ribuan semut api dengan sebuah totokan perlahan? Seperti ini?"

See-ong menggerakkan jarinya perlahan, menotok pemuda itu dan San Tek berjengit.

Tepat seperti yang dikata si kakek tiba-tiba saja sekujur tubuhnya seperti digigiti ribuan semut api, bukan main panas dan sakitnya, melebihi ditusuk-tusuk jarum! Namun ketika dia menggelinjang dan mendesis-desis, melawan rasa sakit maka si kakek sudah membebaskannya tapi memberi totokan lain.

"Dan ini, kau akan tertawa terbahak-bahak!"

Benar saja, San Tek tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal.

Namun ketika si kakek menghentikan totokannya dan menotok jalan- jalan darah lain maka berturut-turut pemuda itu merasakan perasaan yang berlain-lainan seperti gatal atau ingin menangis, kesetrum dan terakhir sekali dia merasa sebelah tubuhnya mati separuh, roboh dan menggeliat- geliat seraya merintih kesakitan.

Bagian tubuhnya yang separuh itu rasanya hilang atau buntung.

Pemuda ini kaget dan membelalakkan mata namun kaki tangannya masih utuh.

Itulah akibat kesaktian See-ong yang ditunjukkan kepadanya, entah untuk maksud apa.

Dan ketika dia mengeluh melihat kakek itu menyeringai dan tersenyum lebar, menghentikan perbuatannya maka San Tek bertanya apa maksud kakek itu.

"Kau ingin memiliki kesaktian seperti ini? Kau tak ingin membalas dendam?"

"Maksudmu?"

San Tek mengulang.

"Apa yang tersembunyi di hatimu, See-ong. Katakan terus terang saja dan jangan memutar!"

"Heh-heh, bodoh dan tolol. Aku ingin mengangkatmu sebagai murid, San Tek, menggemblengmu ilmu-ilmu silat tinggi dan membuat kau ditakuti orang!"

"Apa? Menjadi muridmu? Kau hendak mengambil aku sebagai murid padahal kau sudah mempunyai murid bernama Siang Le itu?"

"Hm, aku tak puas padanya. Kau lihat sendiri muridku itu tak pantas sebagai murid See- ong!"

"Maksudmu...?"

"Siang Le terlalu lemah, tak memiliki sama sekali kekejaman layaknya murid seorang sesat. Aku mencari murid baru agar dapat memenuhi seleraku!"

"Jadi...."

"Benar. Satu saja syarat yang kuminta padamu, kalau kau mau. Yakni kau harus kejam dan telengas sebagaimana layaknya murid seorang tokoh sesat! Kau mau?"

San Tek tertegun.

Tiba-tiba saja dia seakan tak percaya pada kata-kata kakek ini.

See-ong hendak mengambilnya sebagai murid, bukan main.

Hal yang serasa mimpi dan hampir tak dapat dipercaya! Tapi ketika dia ragu dan bersinar-sinar memandang kakek ini, bimbang, maka kakek itu bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua lengannya.

"Aku memiliki sebuah ilmu dahsyat yang tidak mau dipelajari muridku itu, Hek-kwi-sut namanya. Kalau kau mau menjadi muridku maka justeru ilmuku yang hebat ini hendak kuwariskan padamu. Aku tak mau ilmuku yang luar biasa ini kelak lenyap kalau aku mati. Nah, itulah ceritanya, inti persoalannya. Kalau kau mengerti sekarang juga kau jawab tapi kalau tidak yach... aku tak mau menemuimu lagi!"

San Tek terkejut.

See-ong mendadak lenyap dan entah berada dimana.

Tadi secara cepat tubuhnya sudah berganti asap hitam keabu- abuan seperti roh, hilang dan sirna dari depan matanya.

Dan ketika dia terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan, seperti sedang berhadapan dengan hantu atau iblis mendadak pundaknya ditepuk orang dari belakang.

"Aku di sini!"

San Tek menoleh, tak ada.

"Aku di sini, ha-ha...!"

Dan ketika pemuda itu menoleh tapi tak ada lagi maka berturut-turut See-ong telah menepuk dan mengurut tengkuk atau leher pemuda itu, terakhir memijat mata kakinya dan pemuda ini menjerit.

See-ong memperlihatkan ilmunya yang hebat itu dan tentu saja pemuda ini ngeri.

Dia bukan berhadapan dengan manusia lagi melainkan dengan iblis, roh jahat! Dan ketika pemuda itu pucat pasi namun akhirnya dapat mengendalikan diri, marah karena tiba-tiba merasa dipermainkan mendadak dia membentak.

"See-ong, jangan main-main. Kalau kau main- main aku akan memakimu!"

"Ha-ha, makilah. Coba kau maki. Aku tak akan mengambilmu sebagai murid..."
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Kau kakek jahanam busuk! Kau See-ong jahanam keparat! Aku tak menjadi muridmu juga tak apa dan boleh aku mati di sini.... dess!"

Dan San Tek yang terpelanting oleh sebuah pukulan perlahan tiba-tiba berhenti berteriak ketika memotong ucapan kakek tadi, memaki dan See-ong tertawa bergelak.

Kakek itu tadi mencoba namun si pemuda ternyata memiliki keberanian besar.

Keteguhan pendirian telah diperlihatkan putera San- ciangkun itu dan mendaratlah sebuah tamparan kakek ini ke pundak lawan.

San Tek terbanting dan terguling-guling dengan kaget, pucat, siap menerima kematian tapi anehnya pukulan ke pundaknya tadi tidak sakit, biarpun tampaknya keras dan menggetarkan ruangan.

Dan ketika dia melompat bangun dan sudah melihat kakek itu berdiri di depannya, muncul seperti iblis maka pemuda ini mendelong melihat kakek itu tertawa-tawa meremas bahunya, berkata.

"Kau lulus, ujian pertama berhasil. Kau dapat menjadi muridku namun malam nanti masih harus kau buktikan lagi!"

"Ap.... apa? Kau... kau tidak marah dan membunuhku?"

"Ha-ha, keberanian dan keteguhan watakmu dapat dijadikan ukuran, San Tek. Kau berani mati dan siap menerima akibat apapun kalau sudah bertekad akan sesuatu. Bagus, cocok sekali dengan apa yang kudengar ketika kau dalam peperangan tadi. Nah, sekarang selesai dan malam nanti kita bertemu!"

Lalu berkata agar pemuda itu tidak membicarakan hasil pembicaraan pada Siang Le, yang saat itu dipanggil dan ditepuk gurunya maka See-ong berkata bahwa pemuda itu selesai dipinjam.

"Silahkan, bawa kembali. Lihat, aku tak mengganggu seujung rambutnya dan lempar dia ke dalam kerangkengnya!"

Siang Le lega.

Dia berjaga di pintu tapi tak mendengar atau melihat apa yang dilakukan suhunya.

Dia berdebar dan tegang saja ketika mendengar suara tawa gurunya yang keras, juga maki-makian San Tek yang keras.

Tapi ketika selanjutnya semua pembicaraan dilakukan secara perlahan dan Siang Le tak mendengar maka gurunya itu tiba-tiba memanggilnya dan menyuruhnya membawa kembali tawanan.

San Tek tak menampakkan perubahan kecuali di sinar mata pemuda itu terbayang kegembiraan.

Siang Le heran dan tak mengerti namun dia tak curiga.

Siang Le tak menduga bahwa diam-diam tawanannya ini kelak menjadi sutenya (adik seperguruan), diterima dan telah menerima isyarat gurunya agar rahasia itu disembunyikan.

See-ong memang tak menghendaki rencananya ini diketahui, atau pemuda itu akan dibunuh.

Dan ketika See-ong berbisik dalam ilmunya mengirim suara bahwa nanti malam mereka akan bertemu lagi, meminta pemuda itu tak membicarakan apapun juga yang telah mereka bicarakan semua maka San Tek berdebar karena sesuatu yang baru akan merubah hidupnya.

Dia telah memutuskan untuk menerima tawaran kakek itu sebagai muridnya, bukan apa-apa melainkan semata membalas dendam.

Dia teringat kematian ayahnya itu dan mata pemuda ini berapi-api.

Kepandaiannya memang terlalu rendah dan hanya dengan menjadi murid See-ong itu dia akan menjadi pandai.

Dan ketika malam itu pemuda ini dimasukkan kerangkengnya kembali dan dijaga oleh pasukan Siang Le, karena pemuda itu adalah tawanan pemuda ini maka pasukanpun beristirahat karena serbuan hari pertama itu selesai.

**SF** Entah bagaimana San Tek mendadak menguap panjang.

Malam yang dingin dan suasana yang sepi tiba-tiba membuat pemuda itu mengantuk berat.

Tiga orang penjaga, yang berdiri tak jauh dari kurungannya tiba-tiba juga menguap.

Mereka tadi bercakap-cakap namun tiba-tiba roboh.

San Tek membelalakkan mata melihat ini namun tiba-tiba diapun terguling.

Ada suatu pengaruh kuat yang menyerangnya saat itu.

kantuk.

Ada perasaan ingin tidur dan melepas lelah.

Dia sebenarnya tak ingin itu karena sedang menunggu See-ong.

Si kakek berjanji akan menemuinya dan karena itu tentu saja dia tak ingin tertidur.

Tapi ketika kantuk itu datang begitu hebatnya dan dia tak kuasa lagi maka pemuda ini roboh dan tiba-tiba masuk ke mimpi yang aneh.

Mula-mula sebuah bayangan hitam dilihatnya, tinggi besar dan menyeramkan.

Itulah See- ong, kakek yang dikenalnya.

Dan ketika dia berteriak dan memanggil, namun suara tak keluar maka See-ong tertawa dan masuk ke dalam kerangkengnya, begitu saja, tanpa membuka pintu alias menembus bak bayangan atau roh halus! "Ha-ha, selamat malam, bocah.

Ini aku.

Hayo kita ke hutan di luar sana!"

San Tek membelalakkan mata.

Dalam mimpinya yang samar-samar ini, entah benar atau tidak tiba-tiba dia sudah disambar si kakek.

See-ong berkelebat keluar dan diapun melewati celah-celah jeruji besi itu seperti makhluk halus juga.

San Tek terkejut karena bagaimana tubuhnya yang besar bisa melewati ruji-ruji besi itu, begitu mudah.

Padahal anak kecilpun tak mungkin dapat melewatinya karena lebar ruji-ruji itu hanya lima sentimeter saja.

Tersentak dia.

Namun ketika dia dibawa kabur dan sang kakek menggerakkan tangan kirinya mendadak tiba penjaga yang roboh di situ tahu-tahu tersedot dan....

dibawa lari kakek ini seperti boneka-boneka kecil yang ringan.

"Ha-ha, malam ini ujian kedua untukmu, San Tek. Dan ingin kulihat apakah pantas kau menjadi murid kedua See-ong!"

San Tek membelalakkan mata.

Dia dibawa ke hutan itu sementara tiga penjaga juga dibawa kakek ini, dengan tangan kirinya.

Entah bagaimana San Tek tak mengerti bagaimana tiga orang yang besar-besar itu dapat dibawa si kakek.

Semuanya ini seperti sihir dan San Tek sendiri serasa melayang ke dalam mimpi yang ganjil.

Dia tak tahu apakah semuanya itu benar atau tidak, yang jelas dia serasa terbang dan pergi bersama-sama kakek ini ke hutan di depan.

Dan ketika kakek itu sampai di sini dan melempar tubuhnya ke tanah maka tiga penjaga juga dibuang dan terbanting di rumput yang keras.

"Nah, kau katakan apakah kau suka atau tidak menjadi muridku!"

Kakek itu bicara kembali, mulai berkata dan San Tek masih ternganga oleh semuanya itu.

Dia serasa mimpi dan benar-benar tak tahu apakah pertemuannya itu sungguh-sungguh ataukah dalam khayalan saja.

Kakek ini sudah tegak dan bertanya kepadanya.

Namun ketika dia mengangguk dan girang tentu saja, karena See-ong adalah datuk sesat yang lihai luar biasa maka dia menjatuhkan diri berlutut.

"Kalau kau ingin mengambil aku sebagai murid tentu saja aku suka. Dan sebutkan apakah sekarang juga boleh kusebut dirimu suhu (guru)!"

"Ha-ha, nanti dulu, San Tek. Tadi kita telah bertemu dan kau telah berhasil melewati ujian pertama. Watakmu yang berani dan kekerasan hatimu dalam berpendirian sungguh tepat untuk kuambil murid. Tapi kau belum menunjukkan kekejaman yang sepantasnya dilakukan oleh seorang murid tokoh sesat. Nah, sekarang tunjukkan padaku watakmu yang kejam dan biar kunilai apakah kau cukup berbobot menjadi murid See-ong!"

"Apa yang harus kulakukan?"

"Membunuh, menyiksa! Aku ingin melihat kau membunuh dan menyiksa tiga orang ini. Bunuhlah mereka, siksalah. Buatlah yang paling kejam dan tunjukkan padaku bahwa kau dapat berbuat seperti itu!"

San Tek tertegun, terkejut.

"Kau tak mampu?"

"Hm!"

Pemuda ini berkilat matanya.

"Siapa bilang? Mereka ini memang musuh-musuhku, orang yang telah membunuh ayahku. Aku akan membunuh mereka kalau ingin kau lihat!"

"Bagus, kalau begitu kubangunkan mereka. Ambil pedang ini!"

Dan See-ong yang melempar sebatang pedang kepada pemuda itu lalu menotok dan membangunkan tiga penjaga itu.

Mereka terkejut dan tentu saja melompat bangun, See-ong menghilang dan berteriaklah mereka melihat San Tek.

Kakek iblis itu mempergunakan ilmunya Hek-kwi-sut dan tiga penjaga tak melihatnya.

San Tek juga terkejut karena si kakek tahu-tahu menghilang, entah kemana.

Dan ketika tiga penjaga itu melihatnya dan mereka terbelalak karena tawanan lolos, entah dengan cara bagaimana pula mendadak ketiganya berteriak dan menerjang San Tek.

"Heii, pemuda ini ada di sini. Tangkap dan robohkan dia!"

San Tek mendengus.

Tubrukan tiga orang itu yang dilakukan hampir berbareng tiba-tiba dikelit mudah.

Pemuda ini memang bukan pemuda sembarangan kalau hanya menghadapi orang-orang sebangsa penjaga itu.

Maka ketika mereka berteriak dan menerjang lagi, mencabut senjata maka San Tek sudah dikeroyok dan pemuda ini menggerakkan pedangnya.

"Crangg!"

Tiga golok terpental semua. Lawan terpekik karena San Tek tiba-tiba berkelebat, membalas. Dan ketika pemuda itu membentak dan menyerang lawan tiba-tiba seorang di antaranya terkena tusukan.

"Cras!"

Laki-laki itu mengaduh.

San Tek menendang dan terlemparlah lawan oleh sapuan kakinya itu, bergerak ke kiri dan penjaga nomor dua roboh.

Lalu ketika San Tek berkelebat dan menusukkan pedang ke kanan maka lawan terakhir pun menjerit dan jari kelingkingnya putus.

"Aduh.... crak-blek-dess!"

Tiga-tiganya berteriak tak keruan.

Dua yang belum terluka sudah bergulingan meloncat bangun, yang kelingkingnya putus mengaduh- aduh sambil mendekap kelingkingnya yang luka itu.

Dan ketika mereka berteriak lagi karena diserang si pemuda, karena San Tek sudah membentak dan mengelebatkan pedangnya maka dua penjaga ini kalut mengelak sana-sini, menjaga diri namun tusukan dan tendangan San Tek mengenainya juga.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Memang mereka bukan tandingan San Tek yang jelek-jelek adalah putera seorang panglima, yang gugur di medan laga.

Dan ketika San Tek menggerakkan kakinya lagi dan pedang menyambut dari depan maka dua penjaga itu roboh ketika paha mereka tertusuk dalam.

"Aduh, ampun.... ampun.....!"

San Tek tertawa dingin.

Dia berkelebat dan tegak di depan dua penjaga itu dengan pedang digerak-gerakkan di depan dada.

Bagian tajamnya berkilat-kilat kena pantulan sinar bulan, tentu saja membuat dua lawannya gentar.

Dan ketika San Tek menyuruh mereka berlutut, dan sudah dituruti mendadak pedang pemuda ini menabas dan satu di antara dua orang itu terpenggal kepalanya.

"Kalian tak dapat diberi ampun. Ini pelajaran dan bertobatlah pada ayahku di akherat!"

Penjaga satunya berteriak kaget.

Kepala temannya tahu-tahu putus, begitu cepat dan menggelinding di depannya.

Dan ketika kepala yang putus itu mendelik matanya karena mungkin penasaran dan marah, kenapa si pemuda membunuh lawan yang sudah tidak berdaya tiba-tiba orang ketiga, yang putus jari kelingkingnya dan mengaduh-aduh di sana mendadak memutar tubuhnya dan berteriak- teriak.

"Iblis! Tawanan lolos! Tolong.... tolong.....!"

San Tek melotot.

Dia memang belum menghukum laki-laki ketiga itu karena hendak menghajar dua lawannya ini dahulu.

Laki-laki itu nanti akan mendapat bagiannya pula tapi kini tiba-tiba sudah berteriak-teriak, melarikan diri dan lintang-pukang memanggil teman- temannya, hal yang tentu saja tak dibiarkan pemuda ini dan melompatlah San Tek mengejar lawannya itu.

Dan ketika dia membentak dan menyuruh lawan berhenti, hal yang tak dituruti karena lawan tiba-tiba berlari semakin kencang maka San Tek menggerakkan pedangnya dan tahu-tahu senjata itu menimpuk dari belakang.

"Jahanam, berhenti kataku. Atau kau mampus.... crep!"

Pedang itu menancap, tepat sekali di punggung dan meneganglah tubuh orang sesaat.

Tapi ketika laki-laki itu ambruk dan roboh binasa, tewas tak mengeluarkan suara lagi mendadak laki-laki kedua, yang terluka dan berlutut disitu mendadak bangun berdiri dan melarikan diri sambil menahan sakit, tidak berteriak-teriak seperti temannya dan hutan yang gelap menjadi persembunyiannya.

San Tek sedang mencabut pedangnya saat itu ketika laki-laki ini melarikan diri.

Tapi ketika laki-laki itu terjatuh karena keserimpet akar-akaran pohon, maklum pahanya terluka dan diseret pula maka San Tek menoleh dan terkejut melihat lawan sudah mendekati mulut hutan.

"Heii!"

Pemuda ini membentak.

"Jangan lari kau, jahanam busuk. Aku akan membunuhmu dengan bengis kalau kau melarikan diri!"

Tapi laki-laki ini sudah tertatih bangun.

Dia gemetar dan pucat ketika San Tek melihatnya.

Hal itu tak dikehendaki dan diam-diam dia mengumpat kenapa kakinya keserimpet di bawah, kenapa matanya tak melihat dan seperti buta saja.

Laki-laki ini mendesis dan tiba-tiba mengeluh mengangkat bangun tubuhnya, berlari dan sudah menyusup ke hutan.

Dan ketika San Tek mengejar dan membentak di belakang maka laki-laki ini sudah hilang dan bersembunyi di balik pohon- pohon gelap.

"Ha-ha, dia di sini!"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar.

San Tek tertegun karena itulah suara See-ong.

Dia memang kehilangan jejak karena musuh sempat mendahului dan menghilang.

Tapi begitu See-ong memberi tahu dan laki-laki itu kaget dan pucat karena suara tanpa rupa meniup di belakangnya maka San Tek berkelebat dan benar saja melihat laki-laki itu.

"Hei, kemari kau. Berhenti!"

Laki-laki itu mengeluh.

Dia meloncat dan menghilang lagi di tempat lain, celakanya suara See-ong mengikuti dan kakek itu selalu memberi tahu San Tek.

Kemanapun penjaga itu menyembunyikan diri ke situ pula suara si kakek memberitahunya.

Laki-laki ini putus asa dan dia serasa dikejar setan, akhirnya tak dapat bergerak lagi karena mendadak kedua lututnya lumpuh, mendeprok dan gemetaran ketika San Tek mendapatkannya di balik semak yang amat lebat.

Dan ketika pemuda itu berkelebat dan menotok pinggangnya maka laki-laki ini roboh dan meminta ampun dengan suara memelas.

"Jangan bunuh.... jangan bunuh.... aku ingin hidup dan ampunilah aku!"

Namun San Tek menendangnya.

Laki-laki itu mencelat dan pedangpun siap menusuk di tangan yang bergetar.

San Tek marah dan geram karena lawan tak menuruti kata- katanya, disuruh berhenti malah lari.

San Tek tak menyadari bahwa tentu saja lawannya itu harus melakukan itu.

Sebab, siapa yang mau terbunuh? Namun ketika San Tek menggeram dan hendak menusukkan pedangnya ke leher, menghabisi lawan tiba-tiba See-ong muncul dan berseru.

"San Tek, membunuh seperti ini bukan kejam namanya. Habis ditusuk habis pulalah nyawa lawanmu. Tidak, berikan siksaan dulu dan perlihatkan bahwa kau suka menyiksa!"

San Tek tertegun, membelalakkan mata.

"Kau ingat kematian ayahmu, bukan? Kau tahu betapa dia dilanda ketakutan dan kengerian hebat sebelum dibunuh? Nah, lakukan itu kepada lawanmu. Dua yang lain itu sudah terlanjur dibunuh cepat tapi yang terakhir ini biarkan menerima kengerian dulu. Siksa dan takuti jiwanya, tunjukkan bahwa kau pantas menjadi muridku atau kau tak mendapat ilmu kepandaian tinggi, tak dapat membalas kematian ayahmu!"

San Tek menggeram.

Sekonyong-konyong keberingasannya bangkit kembali, matanya berkilat-kilat dan tampak pemuda ini jauh menjadi lebih keji daripada tadi.

Karena ketika dia menyambar dan mengangkat tubuh lawan, bertanya pada kakek itu kekejian bagaimana yang harus dia perlihatkan maka See-ong tertawa serak memandang dua mayat di sana.

"Banyak sekali, satu di antaranya ialah menyembelih mayat disana itu. Ikat tawananmu ini dan perlihatkan padanya bahwa kau dapat mengganyang jantung musuhmu mentah-mentah!"

"Apa?"

San Tek terkejut, ingin muntah.

"Mengganyang jantung sebuah mayat?"

"Ha-ha, Hek-kwi-sut menuntut kekejaman yang lebih kejam lagi, San Tek. Kelak kau akan membunuh puluhan orang dan bersamadhi di atas tulang-tulang tengkorak lawanmu. Ini belum apa-apa. Kau harus belajar lebih kejam kalau ingin memperoleh kepandaian tinggi, atau kau tak akan dapat membalas dendam dan seumur hidup kau menjadi pemuda lemah!"

San Tek membentak.

Berkilat dan menampar tawanannya itu tiba-tiba pemuda ini mengikat sang penjaga, berkelebat dan sudah menyambar mayat terdekat.

Dan ketika dengan pedang pemuda ini menusuk dada mayat dan mencongkel keluar maka sebuah jantung segar telah berada di tangan pemuda ini.

Sang tawanan terbelalak dan hampir pingsan.

Dia tak dapat berkata apa-apa kecuali suara-suara takut.

Rasa ngeri yang hebat memang sedang melandanya saat itu.

See-ong tertawa bergelak dan menyuruh pemuda itu menyikat makanannya, jantung segar yang masih berdenyut perlahan.

Dan ketika San Tek membuka mulut dan mendekatkan jantung segar itu maka pemuda ini sudah menggigit dan....

keremus-keremus seperti harimau buas mendapat kerupuk basah! "Tidak.....

oh, tidak.....!"

Sang penjaga tak kuat, menangis dan menutupi mukanya tapi See-ong tertawa bergelak di balik ilmunya.

Kakek ini terbahak menyuruh San Tek mengambil lagi jantung yang lain setelah jantung pertama habis.

Mulut dan hidung pemuda ini penuh darah yang amis dan menjijikkan, sungguh membuat orang ingin muntah.

Dan ketika San Tek mencongkel dan mengeluarkan jantung satunya lagi untuk dimakan di depan tawanannya itu maka See- ong terbahak-bahak menyuruh pemuda ini untuk terakhir kalinya mengerat paha laki-laki itu dan memanggangnya untuk dijadikan sate, dimakan di depan pemiliknya! "Baik!"

San Tek sudah kehilangan kepribadiannya, menusuk dan mengerat paha orang.

"Kekejaman apapun yang kau suruh lakukan tentu kulakukan, locianpwe. Aku akan memanggang paha orang ini dan memanggangnya di depan hidungnya!"

Namun laki-laki itu pingsan.

Begitu San Tek menusuk dan melukai pahanya, mengambil segumpal maka laki-laki ini tak kuat lagi.

Dia sudah terlalu ngeri dan pucat melihat kekejaman yang diperlihatkan pemuda ini.

San Tek seolah bukan manusia lagi melainkan iblis, iblis yang diciptakan See-ong! Dan ketika See- ong terbahak-bahak sementara San Tek menyeringai dan memanggang daging itu, paha segar dari manusia yang masih hidup maka selanjutnya pemuda ini sudah mulai dijejali sebuah kekejaman yang kelak akan membuatnya ganas dan berbahaya.

See-ong menyuruh pemuda itu menghabiskan makanannya, menyadarkan dan menyuruh tawanan lari.

Dan ketika penjaga itu sadar dan lari, tentu saja dengan rintihan dan rasa sakit yang ditahan-tahan maka See-ong menyuruh pemuda itu mengejar dan menangkapnya kembali.

"Tangkap dan kerat dagingnya sepotong lagi setiap ketemu. Bebaskan dan cari lagi sampai lawan benar-benar dapat menyembunyikan diri!"

Namun mana mungkin laki-laki itu dapat menyelamatkan diri? Dikerat sepotong saja dia sudah mengaduh-aduh.

San Tek bersikap seperti anjing pemburu terhadap tikus hutan, tertangkap sebentar lalu dilepaskan lagi.

Dan karena tiga kali dia tertangkap dan itu berarti tiga kali pula dagingnya diiris si pemuda, sebagai hukuman maka akhirnya tawanan ini tak kuat lagi untuk berlari jauh karena ia sudah roboh terjerembab, tewas oleh rasa takut dan ngeri yang amat sangat, yang membuat syaraf di otaknya pecah! "Ha-ha, bagus, San Tek.

Sekarang kau benar- benar pantas menjadi muridku.

Bawa dan lempar kembali tiga penjaga ini di kerangkengmu!"

San Tek mengusap mulutnya, yang penuh minyak, juga darah.

Dia merasakan kegembiraan yang aneh dalam perburuan ini.

Setiap menangkap dan menyiksa lawannya seakan-akan dia dapat melampiaskan dendamnya yang membakar.

Penjaga itu akhirnya roboh juga dan tewas.

Dan ketika sang kakek memerintahkan dia untuk membawa tiga mayat itu, ke tempatnya semula maka San Tek memungut dan mengikat mereka menjadi satu.

Membawa seperti cara See-ong jelas tak mungkin baginya.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Yang dapat dilakukan adalah seperti itu, menyeret dan mengikat tawanan menjadi satu.

Dan ketika dia mulai berjalan dan kembali ke perbatasan, tak gentar atau takut karena dia tahu See-ong di belakangnya maka kakek iblis ini tertawa bergelak dan berseri-seri melihat calon muridnya itu.

Melihat San Tek benar-benar menuju ke tempatnya semula dan penjaga yang ada di depan tentu saja kaget dan berteriak.

Mereka melihat sikap yang mengerikan dari pemuda ini.

Namun sebelum mereka bergerak atau membunyikan tanda bahaya maka See-ong mengangkat tangannya dan semua penjaga itu roboh, tidak tewas tapi pingsan saja karena kakek ini tak bermaksud membunuh penjaga.

Mereka itu adalah anak buah muridnya dan tenaganya diperlukan.

Serangan ke kota raja masih jauh dan tentu saja kakek ini tak mau merugikan Siang Le, biarpun kini sudah mendapat murid baru.

Dan ketika San Tek melempar tiga mayat itu ke dalam kerangkengnya, tertawa dan membalik maka See-ong berkelebat dan menepuk pundaknya.

"Sekarang kau resmi menjadi muridku. Marilah, pegang tanganku dan bersembunyi di balik Hek-kwi-sut!"

San Tek mengikuti.

Pemuda ini sudah memegang tangan si kakek dan tiba-tiba ubun- ubunnya ditiup.

Semacam angin dingin mengusap tengkuknya pula dan mendadak terangkat.

Dan ketika San Tek terkejut karena tubuhnya tiba-tiba dirasa mengecil, kecil dan akhirnya lenyap maka dia sudah memasuki sebuah gulungan hitam yang muncul dari tubuh See-ong.

"Ha-ha, sekarang kau aman. Tak ada lagi yang melihatmu dan mulai hari ini juga kau belajar mewarisi kepandaianku!"

San Tek serasa dibawa ke alam gaib.

Dia tak tahu apa yang terjadi dan kakek See-ong tampak begitu besar di matanya, yang menjadi kecil karena tubuhnya sudah seperti sebuah boneka.

Dia tak mengerti bahwa dia telah disembunyikan kakek iblis ini ke dalam ilmu hitam, Hek-kwi-sut.

Ilmu yang dimiliki kakek itu telah menyembunyikan pemuda itu dan sejak saat itu juga San Tek bersama gurunya.

Bayang-bayang dirinya sudah menjadi bayang- bayang See-ong pula.

Dan ketika malam itu tiga penjaga tewas dan San Tek tak ada di kerangkengnya maka keesokannya pasukan gempar.

Mereka melapor pada Siang Le dan cepat pemuda ini melihat, dan begitu menyaksikan tiga mayat melintang tak keruan, dua di antaranya sudah tak berjantung lagi maka Siang Le tertegun dan bergidik, marah dan cepat mencari gurunya karena dia mengira gurunya itu yang melepas tawanan, dibunuh di lain tempat.

Tapi ketika gurunya tenang- tenang saja dan berkata bahwa tawanan sama sekali tak dibunuh, berani sumpah, maka Siang Le terhenyak.

"Kau tak perlu menuduhku yang bukan-bukan. Buat apa aku membunuh bocah itu? Pergilah, tak perlu aku berbohong di depanmu, Siang Le. Kalau aku melepas dan membunuhnya tentu aku tak perlu takut mengaku di depanmu!"

"Jadi siapa yang melepas? Kenapa pemuda itu pergi?"

"Heh, kenapa bertanya kepadaku, bocah? Anak itu pergi tentu karena tidak kerasan di tempat. Dan yang melepas tentu tiga pembantumu yang bodoh itu!"

"Hm, baiklah. Syukur kalau begitu, aku percaya padamu!"

Dan Siang Le yang lega melompat pergi tiba-tiba membuat gurunya malah terbelalak, memanggil.

"He, nanti dulu. Tunggu dan sebutkan kenapa malah kebetulan!"

"Aku memang tak berniat membunuh San Tek. Pemuda itu kelihatan sebagai pemuda baik- baik, dan aku merencanakan untuk membebaskannya beberapa hari lagi!"

Siang Le menjawab, berhent idan memandang gurunya itu dan See-ong pun melebarkan mata.

Dia jadi heran bahwa diam-diam ternyata muridnya hendak melepaskan tawanan, membebaskannya.

Tapi tertawa dan terbahak menepuk pundak muridnya itu kakek ini berkelebat duduk kembali.

"Baiklah, bagus kalau begitu, Siang Le. Berarti kau tak membenci pemuda itu!"

"Kenapa harus membencinya? Dia bukan musuh, dan termasuk pemuda yang gagah perkasa. Aku justeru bersimpati pada nasibnya yang buruk dan menyesalkan kematian ayahnya itu!"

"Ha-ha, bagaimana kalau dia menjadi saudaramu?"

See-ong tiba-tiba berkata.

"Bagaimana kalau kelak kau bertemu dia lagi?"

"Saudara? Hm, tak mungkin. Pemuda itu memusuhiku, suhu. Aku kasihan dan simpati padanya tapi tak mungkin kata-katamu itu terjadi. Sudahlah, aku lega dia melarikan diri meskipun agak aneh rasanya pemuda itu dapat lolos dengan selamat!"

Siang Le pergi, berkelebat meninggalkan gurunya dan terbahaklah See-ong oleh jawaban muridnya ini.

Dia lalu berkemak-kemik dan muncullah San Tek di hadapannya.

Pemuda itu telah mendengar kata-kata Siang Le dan See-ong bertanya bagaimana reaksi pemuda itu.

Dan ketika San Tek tersenyum dan mengangguk mengacungkan jempol maka pemuda ini menyeringai.

"Suheng (kakak seperguruan) memang orang baik-baik. Tak kusangka kalau dia diam-diam bermaksud membebaskan aku. Hm, baik benar muridmu itu, suhu. Kau beruntung!"

"Ha-ha, beruntung hidungmu! Justeru itu membuat namaku jatuh, San Tek. Menjadi murid See-ong harus ganas dan tak kenal kasihan. Sudahlah, kau kembali bersembunyi dan baik-baiklah hanya kepada suhengmu itu!"

Sang kakek menepuk, San Tek mengecil tubuhnya dan tiba-tiba lenyap di balik asap hitam di belakang punggung kakek ini.

Itulah keadaan San Tek sekarang.

Dan ketika hari- hari kemudian dilalui pemuda ini di balik bayang-bayang gurunya, tersembunyi dan menjadi satu dengan badan halus kakek itu, di dalam Hek-kwi-sut maka hari-hari selanjutnya dilalui pasukan liar ini dalam serbuan ke selatan.

Mereka akhirnya tak menghiraukan San Tek lagi dan Siang Le diajak rekannya, Togur, menggempur dan memasuki daerah pedalaman.

Di sini Siang Le harus menahan perasaannya melihat sepak terjang Togur, kekejaman dan keganasannya ketika menghadapi musuh.

Togur mendobrak pintu- pintu gerbang seperti halnya menyerbu perbatasan tembok besar dulu, mendaki dan naik ke atas seperti cicak terbang.

Tak ada yang mampu menghalangi pemuda itu dan berkelebatanlah pemuda itu di dalam daerah musuh, dibantu kelima gurunya.

Dan karena mereka memang orang-orang hebat di mana tak satu pun panglima yang sanggup menahan majunya pemuda ini maka satu per satu kota- kota Cin-po dan Cin-yang direbut, bahkan akhirnya Tai-yuan juga diserbu.

Kota ini sudah termasuk wilayah Shan-si dan tanpa terasa tiga propinsi sudah dikuasai pasukan Togur, dan Siang Le itu.

Dan ketika sebulan saja dari serangan besar-besaran ini sudah merobohkan banyak panglima atau jenderal, maka Ho-nan menjadi propinsi keempat yang siap digempur Togur.

Pemuda ini tertawa bergelak dan selalu merayakan kemenangannya dengan pesta- pora.

Siang Le harus membuang muka dan menjauh kalau sudah melihat itu.

Togur mempermainkan wanita-wanita rampasan dan pasukannya bersorak-sorai ketika dibagi-bagi seperti anak kecil mendapat kembang gula.

Setiap Siang Le hendak memberontak atau marah-marah maka gurunya muncul, berdehem dan mengajak dia menjauh.

Hanya karena gurunya itulah Siang Le menahan semua perasaan yang terbakar.

Dan ketika rencana serbuan ke Ho-nan yang berarti kian mendekati kota raja diumumkan dan mendapat sorakan ramai maka Togur mengutus seorang gurunya untuk menemui kaisar.

"Berikan surat ini kepada kaisar dan suruh dia menyerah baik-baik. Pasukanku sudah tinggal seminggu lagi ke istana atau kaisar akan kuturunkan dari tahtanya secara paksa. Nah, temui penguasa tolol itu, subo. Berikan surat ini dan kembalilah dalam tiga hari!"

Ternyata Togur memerintahkan nenek Naga.

Nenek itu sudah diberi sepucuk surat yang isinya adalah pemberitahuan sekaligus ancaman bagi kaisar bahwa pernyerbuan tak dapat ditahan lagi.

Pasukan kerajaan sudah dibuat porak-poranda dan kota demi kotapun direbut.

Istana memang gelisah dan tak ada seorangpun yang tidak pucat.

Para selir dan puteri-puteri cantik di istana rata-rata gemetar.

Mereka telah mendengar kebuasan dan kebrutalan Togur, yang sebentar saja sudah dikenal sebagai pemuda mengerikan yang suka mempermainkan tawanan-tawanan wanita, berkepandaian tinggi dan amat ganas serta kejam.

Dan ketika tiga propinsi sudah direbut pemuda itu dan pasukan bangsa liar sudah siap menggempur Ho-nan, yang merupakan benteng terakhir bagi istana maka saat itu nenek Naga berangkat.

Nenek ini berseri-seri dan kesukaannya yang aneh timbul.

Melihat muridnya mempermainkan wanita-wanita cantik maka diapun mempermainkan pemuda-pemuda tampan.

Ada kebiasaan baru yang buruk yang mulai menghinggapi nenek ini, juga dua nenek yang lain, Toa-ci dan Ji-moi.

Karena setelah melihat kebrutalan perang dan kebuasan prajurit, yang lahap dan saling berebut kalau mendapatkan tawanan wanita maka nenek Naga dan lain-lain tergerak, bangkit berahinya yang terpendam dan mereka mula-mula hanya menonton saja.

Tapi ketika menonton saja dirasa tak puas, nafsupun timbul maka nenek Naga dan dua nenek yang lain mulai melakukan hal yang sama.

Mereka tertawa dan membagi pemuda- pemuda tampan, tentu saja mudah karena kepandaian mereka yang tinggi.

Dan ketika kesenangan itu kian memuncak dan tidak mengarah pada pemuda-pemuda biasa saja, karena nenek ini dan lain-lain mulai mengincar pada putera-putera pembesar atau bangsawan tinggi maka baik wanita ataupun pria menjadi korban Togur dan nenek-nenek ini, tentu saja kian lama kian menggila dan ngerilah siapapun yang melihat tindak-tanduk mereka itu.

Togur dan guru-gurunya serasa orang-orang yang tidak waras lagi.

Namun ketika nenek itu berangkat melaksanakan tugas, menemui kaisar dan diberi waktu tiga hari untuk kembali ternyata nenek ini tak kembali.

Togur menunggu tiga hari lagi namun subonya itu tak muncul juga.

Terkejut dan heranlah pemuda itu.

Tak biasanya si nenek membangkang.

Pasti ada apa-apa.

Dan ketika dia mengutus lagi dua subonya yang lain, Toa-ci dan Ji-moi ternyata dua nenek itu juga tak kembali.

Apa yang terjadi? Membelotkah nenek-nenek sakti itu? Tak mungkin.

Mereka adalah nenek-nenek iblis yang sudah di bawah kekuasaan muridnya sendiri.

Kehebatan dan kesaktian Togur sekarang sudah bukan tandingan mereka.

Dan ketika Togur disana terbelalak dan mengepalkan tinju, marah dan siap menemui See-ong untuk membicarakan ini maka di lain tempat memang terjadi sesuatu.

Dan itu menimpa diri nenek Naga dan Toa-ci serta Ji- moi yang sial! **SF** Kereta berkuda itu lewat dengan tenang.

Derapnya yang teratur dan iramanya yang tik- plok-tik-plok memberi kesan bahwa penumpangnya sedang melakukan perjalanan santai.

Benar, itu tidak salah.

Mereka terdiri dari tiga orang dewasa dan seorang anak laki- laki kecil.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak ini, yang duduk di sebelah kusir yang menjalankan kereta tampak tertawa-tawa membunyikan kelenengan.

Kelenengan itu dibunyikan setiap kaki kuda berirama silih berganti, membentuk sebuah lagu dan meskipun sederhana namun enak juga didengar telinga.

Sedap! Anak itu tertawa-tawa dan kusir di sebelahnya, seorang laki-laki gagah berambut keemasan tersenyum-senyum melihat ulah anak ini.

Itulah Pendekar Rambut Emas bersama keluarganya.

Anak laki-laki kecil itu bukan lain adalah Beng An, Kim Beng An, seorang anak laki-laki yang berani dan berwatak keras, gagah dan tentu saja hebat untuk anak seusianya karena sekecil itu sudah digembleng ilmu silat oleh ayah ibunya.

Beng An telah mempelajari pukulan-pukulan Tiat-lui- kang ataupun Pek-sian-ciang, juga sering berlatih dengan sebatang pit hitam seperti ayahnya.

Kadang-kadang pit ini disisipkan di atas telinganya, dijepit.

Sepintas, seperti bocah tukang gambar yang siap melukis.

Anak ini memang mulai gemar melukis dan agaknya bakat ayahnya menurun.

Pendekar Rambut Emas, sebagaimana diketahui adalah juga seorang ahli lukis.

Dulu lukisannya telah membuat heboh istana ketika kaisar tergila- gila pada Cao Cun, Wang Cao Cun, puteri Wang-taijin.

Dan karena dia seorang ahli lukis maka kadang-kadang Pendekar Rambut Emas inipun mempergunakan pit hitamnya itu untuk menghadapi lawan.

Dan Beng An mewarisi bakat ayahnya itu, senang melukis.

Dan ketika pagi itu mereka melanjutkan perjalanan setelah menginap semalam di kampung Hok- chungcu (kepala kampung Hok) maka Beng An merasa gembira karena melewati hutan.

"Kita menerabas di tengah-tengah saja, sekalian berburu!"

"Hush,"

Ayahnya tersenyum.

"Ransum makanan sudah cukup, Beng An. Jangan berkeliaran lagi. Tadi Hok-chungcu telah memberi kita dendeng dan roti-roti kering."

"Ah, aku tidak bermaksud mencari makanan, ayah, melainkan ingin melatih otot-ototku dengan bertarung melawan binatang buas. Sudah seminggu ini tubuhku kurang semangat karena tak menghadapi lawan tangguh. Aku ingin mencari harimau atau singa seperti di padang perburuan kita!"

"Ha-ha, kau ini selalu gatal. Pagi-pagi begini mana ada hewan seperti yang kau harapkan? Mereka masih tidur, Beng An, belum ada yang bangun!"

"Ah, ayah bohong. Tak perlu membujukku. Aku tahu saat begini justeru si raja rimba biasanya mencari mangsa. Ayolah, ayah. Biarkan aku berolah raga dan mencari buruanku!"

"He, nanti dulu!"

Sang ayah mencengkeram pundak puteranya, yang mau keluar.

"Beri tahu ibumu dulu, Beng An. Jangan nyelonong dan minta ijinku seorang. Aku takut ibumu marah kalau aku memberimu ijin keluyuran!"

"Ah, ibu pasti membolehkan!"

Dan Beng An yang tertawa berjungkir balik ke belakang lalu menyingkap tirai kereta berbicara kepada ibunya.

"Ibu, aku boleh main-main di hutan ini, bukan? Seminggu tubuhku sakit semua, tak bertarung dengan raja rimba. Aku ingin berolahraga dan mencari keringat!"

"Hm,"

Swat Lian, yang tersenyum dan sudah mendengar pembicaraan itu tertawa.

"Permintaanmu sama dengan perintah, An-ji. Tidak bolehpun kau pasti merengek. Baiklah, tapi jangan sendiri. Suruh ayahmu berhenti dan biar encimu Soat Eng menemani."

"Horee, ibu baik sekali!"

Dan Beng An yang bersorak serta mencium pipi ibunya lalu berkelebat dan berjungkir balik menemui ayahnya.

"Yah, ibu mengijinkan. Kau diminta berhenti dan aku akan main-main dengan enci Soat Eng!"

Pendekar Rambut Emas menghentikan keretanya.

Empat ekor kuda itu meringkik dan Beng An sudah meloncat turun.

Bersorak dan berteriak-teriak gembira anak laki-laki ini sudah menyambar panahnya, berkelebat dan memasuki bagian hutan yang gelap.

Di pinggangnya sudah tersisip pula sebuah pisau kecil dimana semuanya itu memang merupakan alat-alat untuk berburu bagi anak laki-laki ini.

Soat Eng berteriak dan membentak adiknya itu, tanpa menunggu sudah masuk dan lenyap di hutan.

Tapi ketika gadis ini melesat dan berjungkir balik melalui jendela kereta maka diapun sudah mengejar dan menyusul adiknya itu, Beng An yang nakal.

"Hei, tunggu, Beng An. Kujewer telingamu nanti. Ingat pesan ibu bahwa kau tak boleh sendiri!"

"Ha-ha, kau lamban sekali, enci. Menunggumu sama dengan menunggu jalannya siput. Ayolah, kejar aku dan kita dengar auman di depan itu!"

Soat Eng memaki adiknya itu.

Memang tiba- tiba di depan itu terdengar auman perlahan si raja rimba.

Soat Eng berkelebat dan menyusul adiknya, melihat adiknya itu merunduk dan sudah bersiap dengan busur dan panah di tangan, sikapnya gagah dan tak kenal takut.

Mengagumkan.

Sekecil itu siap menghadapi bahaya dan justeru menyongsong bahaya! Dan ketika gadis itu menyambar dan menangkap lengan adiknya untuk berhati-hati maka Pendekar Rambut Emas dan isterinya tersenyum saling pandang, tak khawatir, karena mereka tahu kepandaian putera mereka itu, apalagi di bawah kawalan encinya.

"Anakmu itu gagah sekali, tak kenal takut. Hm, sungguh pemberani!"

"Ih, anak siapa? Bukankah anakmu juga? Eh, memuji anakku berarti memuji anakmu juga, suamiku. Jangan berpura-pura!"

"Ha-ha, kau benar. Eh, aku memang keliru!"

Dan Pendekar Rambut Emas yang menyambar serta memeluk isterinya itu lalu mendaratkan ciuman sayang di bibir.

"Hush, jangan disini. Eng-ji dan An-ji ada di depan!"

"Wah, depan mana? Mereka lenyap di kejauhan sana, isteriku. Jangan membuat aku gagal menumpahkan perasaan ini, ha-ha!"

Dan Pendekar Rambut Emas yang tak memperdulikan "gertakan"

Isterinya dan mencium lagi lalu disambut tawa dan senyum wanita cantik ini.

Swat Lian menyambut dan berciumanlah mereka dengan bahagia.

Ah, saat-saat seperti itu serasa sorga bagi mereka.

Namun ketika sang suami hendak mengajaknya ke kereta, memadu kasih ternyata wanita ini menolak.

"Jangan gila, semalam sudah kuberi!"

"Ah, kurang, Lian-moi. Mana cukup? Sekali lagi baru puas, ha-ha!"

Namun ketika Swat Lian mengelak dan mendorong suaminya tiba-tiba wanita ini berkata bahwa Soat Eng dan Beng An bisa saja sewaktu-waktu kembali.

Mereka tak boleh melakukan itu dan biarlah nanti di penginapan berikut.

Agaknya, memasuki usia empat puluhan semangat Pendekar Rambut Emas ini bertambah.

Barangkali, masa pubernya yang kedua! Dan ketika pendekar itu sadar dan mengeluh kecewa, melepaskan isterinya maka Swat Lian membujuk agar suaminya tidak marah.

"Tempat ini terbuka, dan lagi amat terang. Percayalah malam nanti aku melayanimu lebih dari semalam!"

"Hm-hm, sudahlah, aku tak marah. Kau benar, Lian moi. Agaknya aku yang terlalu bersemangat dan entah jamu apa yang kau berikan padaku!"

"Ih, jamu apa? Kau sendiri yang menenggak anggur itu. Sudah kubilang agar jangan, tapi kau tak menghiraukan!"

"Ha-ha, sudahlah. Aku mengerti. Marilah kita duduk dan bersamadhi di situ, sambil menunggu anak-anak!"

Pendekar Rambut Emas tertawa, memang pagi tadi dia menenggak sesloki anggur penambah semangat dan benar saja pagi itu dia lupa diri.

Isterinya tampak begitu cantik dan bersinar- sinar.

Hm, tubuh isterinya masih padat dan entah kenapa dia selalu bergairah kalau memandang tubuh isterinya ini.

Swat Lian memang pandai menjaga diri.

Selera suami selalu diketahuinya tepat dan agaknya itulah yang selalu menimbulkan gairah di hati Pendekar Rambut Emas ini.

Dan ketika mereka duduk dan sama-sama tersenyum, geli oleh kejadian tadi maka Kim-mou-eng sudah mengajak isterinya bersila.

Inilah kebiasaan yang dilakukan pendekar itu di waktu-waktu senggang.

Mereka tak pernah membuang-buang waktu secara sia-sia.

Begitu kelihatan kosong segera diisi.

Dan ketika mereka bersila dan duduk mengatur tenaga, juga pernapasan maka di sana Beng An dan Soat Eng berkelebat mencari suara harimau.

Enci adik ini mendengar suara aneh di depan.

si raja hutan, yang entah kenapa mengaum lemah tampaknya seperti sedang menghadapi sesuatu yang menyusahkan hatinya.

Beng An berkelebat namun segera berindap lagi ketika auman itu terdengar lebih dekat.

Ini berarti jaraknya dengan si raja hutan sudah tak jauh lagi.

Anak ini bergetar dan panah di busurnya siap dibidik.

Kalau dia diserang dan belum mendapat posisi bagus tentu dia akan melepaskan panahnya itu, lalu bertarung dan berkali satu lawan satu, begitu biasanya.

Tapi ketika si raja hutan sudah terlihat dan Soat Eng maupun adiknya bersiap untuk menghadapi harimau ini mendadak dua enci adik itu tertegun.

"Dia membawa anaknya!"

Beng An mengangguk.

Akhirnya mereka melihat harimau betina dan anaknya itu, bersimpuh dan rupanya harimau betina itu terluka.

Sang anak menguik-nguik dan sang induk tak dapat bangun berdiri.

Tapi begitu Soat Eng dan Beng An muncul, mengejutkan harimau ini mendadak aum yang keras meluncur dari mulut si betina, bangkit namun roboh lagi dan anak macam itu ketakutan.

Beng An dan Soat Eng yang muncul tiba-tiba membuat anak harimau ini juga terkejut, menyelinap namun celaka sekali tertimpa tubuh induknya, yang tadi bangun berdiri namun roboh! Dan ketika Soat Eng terkejut dan Beng An juga mengeluarkan seruan kaget mendadak anak ini berkelebat dan menolong si loreng cilik itu, maksudnya mengangkat tubuh si induk tapi tentu saja harimau betina itu menyangka lain.

Beng An dikira menyerangnya dan anaknya mau diganggu.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Harimau ini mengaum dan kedua kakinya terangkat, mencakar dan mulutnyapun dibuka lebar-lebar untuk menggigit.

Beng An diserang! Tapi ketika anak ini berkelit dan cakaran si betina disambut busurnya maka harimau itu terbanting dan Beng An cepat sekali menyambar anak harimau itu, yang tadi terjepit tubuh induknya.

"Dess!"

Harimau ini kaget.

Dia mengaum dan terguling dua kali dan kini terlihatlah bahwa di belakang pantatnya menancap sebatang panah besar, juga sebuah duri atau paku menancap di telapak kaki belakangnya bagian kanan.

Ah, itulah agaknya yang membuat si harimau tak dapat bangkit berdiri.

Dia terpanah dan kena paku, atau duri tulang.

Dan ketika Beng An maupun encinya melihat itu maka Beng An yang sudah menyambar dan memondong anak macam tiba-tiba digigit dan dicakar.

"Hei....!"

Beng An mengelak dari serangan.

"Aku tidak bermaksud mencelakaimu, anak loreng. Jangan serang!"

Dan ketika si anak macan terkejut dan masih berusaha mencakar dan menggigitnya maka apa boleh buat Beng An melumpuhkan bagian tengkuk anak macan ini, mengerahkan tenaganya dan anak macan itupun menguik.

Beng An tidak membunuhnya kecuali hanya melumpuhkan saja.

Rahang anak macan itu terkatup dan tak dapatlah dia menggigit lagi.

Dan ketika Beng An juga menotok dan mengurut jalan darah di punggung si anak macan maka anak macan itupun tak dapat mencakar lagi karena keempat kakinya sudah lunglai.

"Ha-ha, sekarang kau jinak!"

Beng An melemparkan anak macan ini, tidak keras dan si anak macanpun ketakutan.

Dia mau berlari tapi keempat kakinya tak mau digerakkan.

Yang dapat dilakukan hanya berdiri saja seperti itu, tak dapat lebih.

Persis seperti boneka kaku yang hidup, yang hanya dapat menggerak- gerakkan kedua matanya seperti bola menari- nari! Dan ketika Beng An tertawa dan membungkuk, mengusap punggungnya maka anak macan ini mendengar kata-kata lembut anak laki-laki itu.

"Aku tak membunuhmu, tak jadi memusuhi indukmu juga. Lihatlah dan tenang disini karena aku tak akan mengapa-apakan dirimu!"

Lalu ketika si induk mengaum dan marah tapi juga ketakutan, melihat anaknya dibelai Beng An maka Soat Eng berseru pada adiknya bahwa harimau itu terluka.

"Aku tahu, tapi biarkan aku yang melihatnya, enci. Jangan bantu!"

Beng An yang berdiri memutar tubuh lalu berjalan menghampiri si induk.

Busur dan anak panah sudah dia sembunyikan di belakang punggung dan terkejut serta terbelalaklah harimau betina itu.

Dia menggeram dan membuka mulutnya ketika Beng An semakin mendekati, mengaum dan memperlihatkan taring-taringnya yang tajam namun Beng An tidak takut.

Anak ini terus melangkah dan akhirnya berhadapan dengan harimau betina itu.

Harimau ini tak dapat lari lagi karena luka-lukanya.

Dan ketika Beng An menggerakkan tangan untuk digigit, hal yang mengejutkan Soat Eng maka tiba-tiba tangan satunya dari anak ini bergerak menampar.

"Hei, jangan menyerang. Robohlah!"

Harimau itu terputar, kena tamparan anak ini dan selanjutnya Beng An sudah menotok bagian punggung lawan.

Berkali-kali menghadapi binatang buas seperti harimau atau lain-lain akhirnya membuat anak ini hapal dimana tempat-tempat yang melumpuhkan.

Harimau itupun berdebuk dan Beng An tertawa, menggerakkan jarinya lagi dan terkatuplah rahang binatang buas itu.

Beng An telah melumpuhkan harimau betina ini seperti melumpuhkan anaknya.

Harimau itu gentar dan ketakutan, tak dapat mengaum kecuali mengeluarkan rintihan-rintihan seperti orang gematar, mengira anak ini akan menyiksanya, atau membunuhnya.

Tapi ketika Beng An berlutut dan sudah memeriksa luka di belakang, panah dan paku tulang itu maka anak ini mengangguk-angguk mengambil buntalan obatnya.

"Wah, bengkak. Pantas kalau kesakitan! Eng- cici, kemarilah sebentar. Bantu aku membalut luka-luka ini!"

Soat Eng sudah berkelebat.

Tadi melihat adiknya menyodorkan lengan untuk digigit harimau dia sudah siap untuk bergerak.

Kalau adiknya sampai tergigit tentu dia akan membunuh harimau itu, menamparnya dengan sebuah pukulan maut, mendahului.

Tapi ketika adiknya kiranya hanya memperdayai si betina itu dan kini merobohkannya dengan mudah maka gadis ini mengomel dan menegur adiknya itu.

"Beng An lain kali jangan membuat aku terkejut. Kalau kau sembrono dan ada apa-apa tentu ayah dan ibu akan memarahi aku!" **SF** (Bersambung

Jilid 28) Bantargebang, 18-01-2019,08.22 (Serial Bu-beng Sian-su) ISTANA HANTU

Jilid 28 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . Soebagio & Antonius S. * * * Percetakan & Penerbit U.P. DHIANANDA P.O. Box 174 SOLO 57101 ISTANA HANTU - BATARA KONTRIBUTOR . KOH AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITER .

SITI FACHRIAH ? PDF MAKER .

OZ Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang-undang.

Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

CETAKAN PERTAMA U.P.

DHIANANDA ? SOLO 1988 ISTANA HANTU (Lanjutan "Sepasang Cermin Naga") Karya .

Batara

Jilid . 28 * * * "HA-HA, maaf, enci. Aku hanya menggoda saja si betina ini. Lihat, kalau dia mau menggigit masakah aku tak dapat melindungi diri? Jangankan taringnya, pisau inipun tak dapat melukai aku... srat!"

Dan Beng An yang menarik serta menusukkan pisaunya ke lengan sendiri tiba-tiba membuat Soat Eng tertegun dan memuji adiknya itu, tidak terluka karena Beng An mengerahkan sinkangnya.

Sekecil itu anak laki-laki ini sudah dapat membuat tubuhnya kebal, tentu saja kalau taring harimau atau pisau setajam apapun tak mungkin melukainya, kecuali Beng An berhadapan dengan lawan tangguh yang memiliki sinkang lebih kuat.

Dan ketika Soat Eng sadar dan tertawa menepuk pundak adiknya, girang dan senang karena Beng An demikian pandai maka mereka sudah membalut dan menolong harimau betina itu.

Mula-mula raja rimba ini memandang garang dan penuh ketakutan, dia curiga dan tentu saja tak percaya begitu saja.

Beng An yang menaklukkannya sedemikian mudah belum membuat binatang ini memiliki rasa persahabatan.

Tapi ketika panah dan paku tulang itu dicabut dan luka-luka harimau ini diobati dan Beng An tertawa menepuk-nepuk pundak harimau itu mendadak si harimau merasakan bahwa dia tak disakiti.

"Nah, sekarang beres. Kubebaskan totokanmu dan jangan menyerang!"

Aneh, harimau itu mengeluarkan suara perlahan.

Dia terbebas dan tiba-tiba dapat meloncat bangun setelah luka-lukanya diobati.

Meskipun pincang namun dia tak mendekam lumpuh lagi seperti tadi.

Dan ketika Beng An tertawa dan membebaskan pula anak harimau yang menguik kecil maka anak harimau itu langsung melompat dan berlari ke induknya.

"Ha-ha, lucu sekali!"

Beng An terbahak, geli.

"Anak harimau ini jadi ingin kujadikan teman, enci. Maukah engkau memperkenankannya?"

"Kau mau memelihara kucing hutan ini?"

"Kalau kau tak melarang, enci. Tapi, eh.... jangan lari!"

Beng An terkejut, melihat harimau betina dan anaknya itu tiba-tiba lari.

Mereka meloncat cepat dan sekejap saja harimau bersama anaknya itu melesat ke dalam hutan.

Si betina mengaum perlahan dan anaknyapun juga mengeluarkan suara auman yang lucu dan aneh.

Anak harimau itu sebesar kambing berumur tiga empat bulan, jadi masih kecil tapi ternyata sudah memiliki kegesitan seperti induknya.

Dan ketika Soat Eng tertawa dan melihat adiknya berseru keras maka anak laki- laki itu sudah mengejar dan melompat berjungkir balik.

"Hei, jangan lari! Hei... heii...!"

Soat Eng geli.

Adiknya mengerahkan ginkangnya dan cepat serta luar biasa sekali, untuk anak seukuran itu, tiba-tiba Beng An telah mendahului dan lewat di atas kepala si harimau betina.

Dan ketika binatang itu tampak terkejut dan membalik tahu-tahu Beng An telah duduk dan jatuh di atas punggungnya, ketika sedikit memutar.

"Ha-ha, kau tak boleh pergi. Hayo, kembali...!"

Harimau terkejut.

Dia meronta namun Beng An mengurut punggungnya sekali lagi, persis melumpuhkan seekor ular.

Dan ketika harimau itu mengaum dan mendeprok di tanah, kehilangan tenaga maka anak harimau terbirit- birit tak berani berdekatan dengan anak laki- laki ini.

Namun Beng An sekali lagi mengeluarkan seruan keras.

Dia telah menotok si betina dan kini membentak ke arah anak harimau itu, berjungkir balik dan persis sekali jatuh di punggung lawannya.

Dan ketika harimau itu menjerit dan memutar kepalanya, mau menggigit maka Beng An tertawa memberikan lengannya itu.

"Gigitlah.... gigitlah sepuas-puasmu, ha-ha.... krak-krak!"

Lengan Beng An sekeras besi, tak dapat dilukai dan anak harimau itu terkejut setengah mati.

Dia tertindih dan roboh terguling, bersama Beng An.

Dan ketika anak itu menotok dan mengurut punggungnya maka anak harimau inipun lumpuh mengaum perlahan, persis induknya.

Dan saat itu Soat Eng berkelebat.

"Satu di antaranya harus dijinakkan dulu. Lepaskan yang betina itu dan kejar serta lumpuhkan setiap dia melawan!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng An tertawa.

Akhirnya anak ini menjadi gembira karena mendapat mainan baru.

Dia melepaskan dan membebaskan totokan si betina, benar saja lari lintang-pukang namun Beng An mengejar lagi, duduk di atas punggungnya.

Dan ketika harimau itu melawan dan masih ketakutan maka Beng An menotoknya roboh dan begitu terjadi berulang kali.

Anak harimau sendiri dijaga Soat Eng yang menonton sambil tertawa-tawa.

Gadis inipun merasa senang mendapat tontonan menarik.

Adiknya menaklukkan harimau yang berkali-kali roboh ditunggangi.

Dan ketika delapan kali Beng An membebaskan serta melumpuhkan binatang itu setiap melawan dan lari maka akhirnya hewan ini terengah-engah dan roboh mendekam di muka Beng An, sudah menggigit namun kaki atau tangan anak laki- laki itu sekuat baja.

Dia tak dapat melukai atau mencakar kulit pemuda cilik ini, yang tadi sengaja memberikan dan mendemonstrasikan kepandaiannya.

Dan ketika harimau itu takluk dan menyerah di depan Beng An, mengaum perlahan maka Beng An tertawa nakal meloncat di atas punggungnya, menyambar dan menjeletarkan sebatang akar yang mirip cambuk.

"Hayo, sekarang ajak aku berkeliling di sekitar sini. Bangun!"

Harimau itu bangun.

Mula-mula dia tak mengerti dan masih mendekam, tapi ketika Beng An melecut pantatnya dan kesakitan maka binatang ini berjengit dan bangun berdiri.

Dan Beng An segera membentak- bentaknya untuk berjalan, mula-mula harimau itu meloncat namun anak ini menjambak rambut kepalanya.

Harimau tertahan dan dengan cara itulah akhirnya anak ini melatih tunggangannya.

Dan ketika harimau mulai mengerti dan berjalan atau berhenti sesuai perintah Beng An maka anak itu berhasil menguasai dan menjinakkan binatang buas ini.

"Ha-ha, lihat enci. Aku mempunyai tunggangan istimewa!"

Soat Eng tersenyum-senyum.

Memang akhirnya dia melihat bahwa adiknya itu berhasil menguasai harimau betina, disuruh kemanapun menurut dan harimau itu benar- benar jinak.

Inilah berkat kepandaian Beng An, adiknya itu sudah mampu menjinakkan dan menguasai binatang buas, mengagumkan! Dan ketika Soat Eng berkata bahwa anak harimau masih di situ dan belum dijinakkan, seperti induknya, maka Beng An tertawa dan melompat turun dari atas punggung si betina.

"Gampang, lebih mudah lagi. Lihat, akupun akan menjinakkannya, enci. Si betina akan kusuruh mengajari anaknya untuk tunduk kepadaku!"

Beng An sudah membebaskan si loreng cilik itu.

Sama seperti induknya mula-mula harimau itu meloncat dan ketakutan, melarikan diri, menyusup dan berlindung di dekat induknya.

Namun ketika Beng An meloncat dan mengejarnya, menotoknya, maka sedikit tetapi pasti Beng An berhasil menguasainya, menungganginya dan perlahan namun meyakinkan anak harimau itupun menyerah padanya.

Sang induk menggeram-geram perlahan kalau anak harimau itu mula-mula memberontak, mungkin memberi tahu dan berkata atau marah kepada anaknya agar anaknya itu baik-baik tunduk kepada Beng An, tak usah melawan dan takut karena Beng An adalah bocah yang baik, majikan mereka.

Dan ketika sejam kemudian anak harimau itupun menurut dan dapat disuruh berputar-putar ditunggangi Beng An maka anak ini tertawa gembira.

"Enci, kita mempunyai sahabat dua ekor sekaligus. Hayo, kau naiki yang betina itu dan rasakan nikmatnya duduk di punggung harimau!"

Soat Eng tertawa.

Melihat adiknya menundukkan dan menjinakkan harimau tiba- tiba iapun gatal-gatal ingin mencicipi.

Dan ketika gadis ini berkelebat dan tahu-tahu melayang serta hinggap di punggung si betina, yang tentu saja terkejut dan merasa bukan majikannya tiba-tiba Soat Eng telah mencengkeram dan menguasainya, sama seperti Beng An.

"Hayo, jangan memberontak. Atau kau kulumpuhkan!"

Harimau terkejut.

Urat punggungnya dicengkeram dan dia merasa tergetar, kaget.

Namun ketika di sana Beng An tertawa-tawa dan berseru padanya agar melayani encinya itu sama seperti melayani dirinya dan Soat Eng pun menyentak serta mengemudikan dirinya maka tiba-tiba harimau ini tunduk dan menyerah.

Dan Soat Eng sudah terkekeh dibawa berputar-putar, maju mundur dan si loreng itupun akhirnya patuh.

Rupanya harimau ini merasa juga bahwa gadis di atas punggungnya bukanlah gadis sembarangan.

Sama seperti anak kecil yang menundukkannya itu gadis di atas punggungnya ini juga sama lihai, bahkan, sebenarnya tentu saja lebih lihai! Dan ketika Beng An terbahak dan melupakan niatnya berburu maka dua jam mereka disitu bermain- main dengan anak harimau dan induknya ini.

Soat Eng juga terkekeh-kekeh dan gadis itupun melupakan waktu.

Tak terasa mereka seperempat hari lamanya, bercanda dan bergurau dengan binatang tunggangannya itu.

Dan ketika dua bayangan berkelebat dan membentak mereka, Pendekar Rambut Emas dan isterinya muncul maka Beng An dan encinya terkejut, sadar.

"Eng-ji, An-ji, kalian tidak kenal waktu dan bergurau saja di sini? Tidak cepat kembali dan mengkhawatirkan orang tua?"

"Ah, maaf....!"

Beng An mendahului turun.

"Aku yang menahan enci disini, ayah. Aku berhasil menjinakkan dua harimau ini, induk dan anaknya. Lihat, mereka dapat kuperintah apa saja!"

Beng An tertawa-tawa tak perduli, kaget tapi tenang kembali karena ayah ibunya akhirnya tak marah.

Memang Pendekar Rambut Emas dan isterinya tak marah setelah akhirnya melihat dua anak mereka tak apa- apa, mereka bermain dan bahkan lupa waktu.

Dan ketika Beng An menunjukkan keahliannya menyuruh harimau itu melakukan ini-itu, berlenggang atau melompat-lompat setelah berjalan maka dua harimau yang mulai biasa dengan manusia itu tidak menolak kehadiran Kim-mou-eng suami isteri, apalagi setelah Beng An dan Soat Eng tadi mengelus-elus punggung mereka, menyuruh tenang, berkata bahwa itu bukanlah musuh melainkan teman- teman sendiri.

Dan ketika suami isteri itu akhirnya tersenyum melihat perbuatan Beng An, yang memerintahkan dan main-main dengan harimaunya maka di luar hutan sebelah sana tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk dan kegaduhan luar biasa.

Bermacam-macam binatang buas, juga yang tidak buas seperti kuda atau rusa berlarian panik.

Mereka itu seolah-olah dikejar sesuatu dan semuanya tampak ketakutan.

Aum dan pekikan gajahpun terdengar di situ, menggetarkan hutan.

Dan ketika semua terkejut karena hutan seolah- olah roboh, digetarkan oleh suara-suara dahsyat itu maka dua harimau yang sudah dijinakkan inipun mendadak lari dan melompat ketakutan! "Heii...!"

Beng An bergerak sigap.

"Jangan pergi, Siauw-houw (Harimau Kecil). Jangan takut. Ke sini!"

"Dan kau juga!"

Soat Eng membentak, melihat harimau betina mengaum dan meloncat jauh.

"Jangan pergi, Bi-houw (Betina). Ada aku disini dan jangan takut!"

Dan dua enci adik itu yang sudah mencengkeram dan menyambar harimaunya masing-masing lalu menepuk- nepuk binatang tunggangannya karena dua harimau itu ketakutan hebat.

Suara-suara di luar hutan itu begitu gaduh dan memekakkan telinga seolah hutan diserang bahaya.

Kim- mou-eng dan isterinya terkejut dan mereka tiba-tiba berkelebat, melihat ratusan binatang besar kecil lari dan panik kesana kemari, berteriak-teriak, mengaum dan apa saja dan mereka tentu saja ingin tahu.

Ada sesuatu diluar sana yang jelas menakutkan penghuni- penghuni hutan itu.

Ada sesuatu yang membuat mereka gelisah dan kalut.

Dan ketika Kim-mou-eng berseru pada putera-puterinya agar waspada dan kembali ke kereta, mereka akan melihat apa yang terjadi maka dua suami isteri itu telah berkelebat dan menghilang di depan.

Mereka menyongsong dan berkali-kali harus menampar atau menggerakkan kedua tangan untuk mementalkan binatang-binatang yang akan menabrak, panik dan gugup mau menumbuk mereka.

Dan ketika diluar hutan terdengar sorak-sorai manusia, ratusan jumlahnya maka Kim-mou-eng sudah tertegun melihat apa kiranya yang terjadi.

Ternyata hampir lima ratus orang menggebah binatang-binatang itu.

Mereka memasuki hutan dan berteriak-teriak gaduh, banyak yang melepas panah dan membunuh binatang- binatang itu.

Pantas saja.

Dan ketika Kim-mou- eng melihat banyak anak-anak dan kakek- kakek atau nenek-nenek yang ada di dalam rombongan ini, menangis atau menjerit menjadi satu maka dua suami isteri itu saling pandang, terkejut.

"Mereka seperti pengungsi, bukan tentara! Apa yang terjadi dan kenapa mereka memasuki hutan ini? Kenapa begitu banyak kereta dan gerobak dorong? Dan banyak anak-anak di sana, juga orang-orang tua. Ah, mereka seperti orang-orang yang menghindari perang, suamiku. Orang-orang itu juga ketakutan dan panik!"

"Ya, kau benar. Mari kita lihat!"

Dan Pendekar Rambut Emas yang bergerak mendahului isterinya dan melihat serta menduga seperti apa yang dipikir isterinya tiba-tiba telah berkelebat dan muncul di depan orang-orang itu, seperti iblis! "Heii...!"

Pendekar ini mengangkat lengannya, tinggi-tinggi.

"Tunggu, saudara-saudara. Tunggu! Berhenti dan jangan berteriak-teriak demikian gaduh!"

Ratusan orang itu, yang membawa gerobak dan segala buntalan besar-besar tiba-tiba tertegun.

Mereka terkejut dan berhenti karena Pendekar Rambut Emas tiba-tiba muncul seperti siluman.

Entah darimana dan bagaimana tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka.

Barangkali, muncul begitu saja dari bumi! Namun ketika yang paling depan hilang kagetnya dan sadar, tak takut karena hanya menghadapi seorang saja maka mereka bergerak dan tahu-tahu sudah mengepung dan menodongkan senjata ke pendekar ini, yang dinilai aneh dan ganjil karena rambutnya yang berwarna keemasan itu, jelas bukan orang Han.

"Kau!"

Seorang tinggi besar menghardik.

"Siapa dan mau apa? Kau pemilik hutan ini? Perampok?"

Kim-mou-eng tersenyum kecil, sabar.

"Sobat, jangan buru-buru menuduh begitu. Aku bukan perampok, dan bukan pemilik hutan ini. Aku orang biasa. Siapa kalian dan kenapa mengungsi besar-besaran? Tampaknya seperti dilanda perang saja!"

"Dia orang Tar-tar!"

Seorang lain tiba-tiba berseru, menuding dan memutus percakapan itu.

"Jangan banyak bicara lagi kepadanya, Hok Gim. Bunuh dan serang laki-laki ini!"

Dan yang lain yang tampak terkejut dan mengakui itu, melihat bahwa Kim-mou-eng memang seorang Tar-tar dengan hidung yang mancung dan kulit sedikit gelap tiba-tiba mengangguk dan menerjang pendekar ini.

Hok Gim si tinggi besar juga terpengaruh dan melihat itu, tak banyak cakap dan menerjang Pendekar Rambut Emas.

Tapi ketika pendekar ini berkelebat dan terkejut oleh seruan tadi, seruan yang penuh kebencian maka orang- orang itu ganti terkejut karena dia sudah menghilang.

"Siluman, dia tak ada....!"

"Aku disini,"
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


Pendekar Rambut Emas muncul, tahu-tahu diluar kepungan.

"Tahan dan jangan serang aku, sobat. Aku bukan musuh...."

Tapi belum habis kata-katanya mendadak orang- orang itu membalik dan lagi dan sudah berteriak menerjangnya, marah dan memaki- maki dan golok atau parang berhamburan ke tubuh pendekar ini.

Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hilang lagi, sudah di tempat yang lain maka orang-orang itu tertegun dan saat itulah Swat Lian muncul.

"Berhenti, atau kalian kulempar dari sini kalau berani menyerang suamiku!"

Orang-orang itu terkejut.

Mereka membalik dan melihat nyonya yang cantik jelita itu, nyonya yang mangar-mangar dan merah mukanya karena marah.

Swat Lian sedikit tertinggal oleh suaminya ketika tadi Pendekar Rambut Emas mendahului.

Tapi begitu melihat suaminya dikepung dan hendak dikeroyok, diserang, maka nyonya ini membentak dan tertegunlah orang-orang itu melihat Swat Lian yang jelas wanita Han, sama seperti mereka.

"Hujin (nyonya), kau siapakah? Ini suamimu?"

"Benar,"

Swat Lian bersinar-sinar matanya, marah.

"Ini suamiku, dan kalian buta tidak mengenal Pendekar Rambut Emas! Siapa yang ingin kuhajar dan main gila disini? Siapa yang mau coba-coba menyerang suamiku?"

"Apa? Pendekar Rambut Emas? Kim-mou-eng?"

Dan ketika Hok Gim dan kawan-kawannya terkejut karena tentu saja sudah mendengar nama Pendekar Rambut Emas, pendekar yang tersohor dan terkenal di seluruh Tiong-goan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun.

"Maaf, ampun, hujin. Kami tak tahu. Kalau begitu kau adalah puteri Hu-taihiap dari Ce-bu itu...!"

Dan beberapa yang mengenal dan termasuk orang-orang yang bisa silat, karena ada beberapa di antara mereka yang merupakan kauwsu atau guru silat beserta pengikutnya tiba-tiba gemetar dan menggigil di depan Swat Lian.

Tentu saja mengetahui bahwa isteri Pendekar Rambut Emas adalah puteri Hu-taihiap yang gagah perkasa itu, yang menjadi amat terkenal setelah geger Ce-bu, ketika Hu-taihiap hendak mengangkangi dan mempertahankan Cermin Naga, menantang semua ketua-ketua partai dan kejadian itu memang menggegerkan hampir semua orang kang-ouw, karena sebagian besar di antara mereka memang terlibat, atau menonton.

Dan karena Hu-taihiap akhirnya menjadi bengcu atau ketua partai persilatan yang menjadikan namanya semakin terkenal saja maka otomatis nama Swat Lian, puterinya, ikut terkenal dan tersohor juga, apalagi setelah menjadi isteri Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas! Dan orang-orang itu yang mendengar tapi belum melihat suami isteri ini, baru sekarang, tiba- tiba terkejut setelah berhadapan dan mengenal langsung.

Pantas Pendekar Rambut Emas dapat bergerak seperti siluman, menghilang.

Tak tahunya memang pendekar yang hebat itu, yang terkenal dengan ilmu ginkangnya Jing- sian-eng maupun Cui-sian Gin-kang.

Dan ketika orang-orang itu sadar dan menjatuhkan diri berlutut, minta ampun, maka Pendekar Rambut Emas mengambil alih pembicaraan lagi dan bertanya pada orang-orang itu apa yang terjadi, menggenggam lengan isterinya dengan lembut.

"Kami.... kami diserang bangsa biadab dari utara. Cin-yang dan Cin-po jatuh. Kami mengungsi!"

"Hm, bangsa biadab yang mana? Dipimpin siapa?"

Orang-orang itu tertegun.

Mereka mau menjawab tapi ragu.

Maklumlah, Togur adalah murid keponakan Pendekar Rambut Emas dan mereka sungkan mengatakan itu.

Sama seperti Pendekar Rambut Emas sendiri maka Gurba, ayah pemuda itu juga cukup terkenal sebagai suheng pendekar ini.

Dan sekarang puteranya menjadi pimpinan penyerbu, keponakan pendekar itu.

Tapi ketika mereka bimbang dan ragu menyebut nama Togur maka Swat Lian, yang dapat menduga dan tahu siapa yang dimaksud tiba-tiba membentak.

"Kalian tak usah takut. Katakan saja siapa pemimpin serbuan itu. Apakah Togur si bocah keparat?"

"Beb... benar..."

Hok Gim membenturkan dahinya.

"Memang benar pemuda itu, hujin. Dan dia dibantu See-ong. Tak ada pasukan kerajaan yang mampu menghadapi dan terakhir sekali Tai-yuan jatuh!"

"Apa?"

Kim-mou-eng terkejut.

"Pemuda itu sudah menguasai propinsi Shan-si? Dan See- ong ada disana?"

"Benar, taihiap, begitu yang kami dengar. Kami sendiri belum bertemu langsung tapi kabar- kabar yang kami terima cukup membuat kami ketakutan. Pemuda itu sendiri sudah lihai, mana mungkin dilawan? Apalagi dibantu kakek iblis itu, yang kami dengar dapat menghilang dan lenyap seperti siluman!"

"Seperti taihiap (anda)!"

Seseorang tiba-tiba nyeletuk, mengejutkan yang lain tapi tiba-tiba orang yang bicara ini dibentak temannya.

Antara Pendekar Rambut Emas dan See-ong tentu saja berbeda.

Orang itu hampir ditampar namun Kim-mou-eng mencegah, tertawa kecut.

Dia tahu bahwa yang hendak dimaksudkan orang ini adalah kepandaiannya, kesaktiannya.

Bukan sepak terjangnya atau kejahatan See-ong yang hendak disamakan kepadanya.

Tapi ketika pendekar ini menghela napas dan menghentikan tawanya, yang kecut, maka Pendekar Rambut Emas berkata bahwa apa saja yang telah orang-orang itu dengar.

"Mereka hendak menyerbu kota raja, membunuh kaisar. Dan tiga propinsi telah mereka rebut dan banyak para panglima atau perwira yang mereka bantai!"

"Hm, baiklah. Terima kasih, Hok Gim. Kalau begitu pertemuan kita penting. Terima kasih, silahkan melanjutkan perjalanan dan memang sebaiknya kalian tak menghadapi pasukan penyerbu itu!"

Dan Kim-mou-eng yang menarik serta menyendal lengan isterinya tiba-tiba berkelebat dan menghilang dari situ.

Untuk kesekian kalinya pendekar ini menunjukkan kesaktiannya dan terkejutlah orang-orang itu.

Tapi ketika Hok Gim dan seorang temannya sadar tiba-tiba mereka berteriak.

"Taihiap, tolonglah kami. Tak ada seorangpun yang dapat menghadapi musuh kecuali ji-wi (anda) berdua!"

"Jangan khawatir,"

Pendekar Rambut Emas menjawab, jauh, entah dimana.

"Aku di pihak kalian, Hok Gim. Dan kuminta kalian selamatkan wanita dan anak-anak itu tapi tolong jangan bunuh-bunuhi binatang-binatang di sini!"

Hok Gim dan kawan-kawannya girang.

Mereka mengucap terima kasih dan teringatlah mereka akan cerita-cerita orang bahwa sebenarnya Pendekar Rambut Emas itu sudah berkali-kali menolong istana.

Di jaman pemberontakan Gurba dan pasukannya yang juga berambisi untuk menguasai Tiongkok pendekar itupun berpihak pada istana.

Entah sudah berapa kali Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu menolong kaisar, dan tentu saja bersama keluarganya, pembantunya.

Dan ketika orang- orang itu girang menyatakan terima kasih dan membentur-benturkan dahi sebagai tanda terima kasih yang besar maka Pendekar Rambut Emas telah terbang bersama isterinya kembali ke kereta, menemui anak-anak mereka.

"Togur terlalu sekali, melebihi ayahnya. Keparat, bocah itu harus dihajar dan dihukum, ditangkap!"

"Kau benar,"

Pendekar Rambut Emas berkerut- kerut.

"Bocah itu tak kenal jera, isteriku. Dan sekarang dia malah dibantu See-ong. Celaka kalau mereka itu menuju kota raja!"

"Dan bagaimana sekarang pendapatmu? Kita melabrak pemuda itu dan pasukannya?"

"Tidak, kita ke kota raja. Kita menemui Han- taijin dan kaisar!"

"Kenapa mencari mereka? Togur akan sudah maju jauh, suamiku. Dan keadaan bisa menjadi berbahaya!"

"Kalau kita tak membantu memang benar, tapi kalau kita ada di sana tentu bagaimanapun kita dapat mengatasi. Melabrak dan mencari pemuda ini tanpa sepengetahuan kaisar atau Han-taijin mungkin dianggap lancang, isteriku, karena kita harus meminta pasukan pula untuk menghadapi pasukan itu."

"Kita tak perlu mencari pasukan, langsung saja mencari dan menangkap pemuda itu, juga See-ong!"

"Hm, kau kira mudah? Kalau mereka terdesak tentu mereka akan mengerahkan pasukannya, isteriku, seperti dulu ketika aku menghadapi pemuda itu. Togur akhirnya lari dan bersembunyi di balik ribuan orangnya, dan aku tak mungkin harus membunuh-bunuhi ribuan orang demikian banyak! Pasukan itu betapapun juga harus dihadapi dengan pasukan pula, dan ini dapat kita peroleh atas persetujuan kaisar atau Han-taijin!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening, teringat kejadian dulu ketika Togur berlindung di balik kelima gurunya dan ribuan orang, ketika terdesak.

Dan ketika kelima gurunya juga lari dan berlindung di balik pasukan yang besar maka mereka lolos dan Kim-mou-eng tentu saja tak ingin membunuh-bunuhi orang demikian banyak hanya karena mereka menghalangi pengejarannya terhadap pemuda itu, sudah menceritakan kepada isterinya dan Swat Lianpun mengepalkan tinju.

Memang nyonya ini menjadi marah dan gemas kepada pemuda itu, putera Gurba yang agaknya kini mewarisi watak bapaknya, bahkan, agaknya lebih menggila! Dan ketika suaminya berkelebat dan sudah sampai di kereta, yang ditunggu Soat Eng dan adiknya maka Beng An bertanya apa yang terjadi.

"Kita berbelok ke kanan, ada kekacauan."

"Wah, kekacauan apa, yah? Perampok? Mari hadapi saja, atau biarkan aku maju!"

"Tidak, bukan itu. Melainkan peperangan, perang besar. Kita harus menyelamatkan kaisar dan para pembantunya di kota raja!"

Dan Kim-mou-eng yang bercerita singkat tentang apa yang diketahui lalu menyuruh semua anak isterinya naik.

Tapi keempat kuda itu tiba-tiba meringkik keras ketika melihat Bi- houw dan anaknya muncul, karena tadi Beng An menyembunyikan dua harimau ini di belakang kereta.

"Aku ingin membawa ini. Bagaimana, yah?"

Kim-mou-eng tertegun, balik memandang isterinya.

"Bagaimana pendapatmu?"

"Hm, keempat ekor kuda kita takut melihat harimau-harimau ini. Masa dibawa? Kukira dilepaskan saja di sini, nanti perjalanan terganggu!"

"Tidak, jangan ibu,"

Beng An tiba-tiba merengek.

"Aku mencintai mereka, aku menyayang mereka. Susah payah aku menundukkan, menjinakkan, masa lalu dilepas lagi? Aku ingin agar Bi-houw dan Siauw-houw tetap dibawa, atau aku menunggang mereka dan berjalan di belakang!"

"Dan membuat geger orang-orang yang melihat! Eh, kau jangan menarik perhatian dengan ulahmu, An-ji. Jangan mengacau dan nakal. Aku tak suka kalau membuat ribut-ribut di jalan!"

"Kalau begitu mereka bersamaku di dalam kereta, sebagai penumpang. Ibu dan ayah di depan, sebagai kusir!"

"Apa? Dua binatang buas ini mau dijadikan penumpang? Kau..."

"Sudahlah,"

Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa, melihat kenakalan tapi juga sekaligus rasa cinta puteranya itu pada dua harimau ini.

"Kukira tak apa memenuhi permintaan An-ji ini, isteriku. Kita berdua di depan dan Beng An serta Eng-ji di dalam bersama harimau- harimau mereka. Anak kita benar, susah payah dia menjinakkan harimau-harimau itu dan tentu sekarang ingin bersenang-senang!"

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh, dan aku dikalahkan. Baiklah, kau boleh bersama harimau-harimaumu itu, Beng An. Tapi jaga jangan sampai lepas. Kalau mereka lepas dan membuat ribut di jalan maka kau harus tunduk pada ibumu dan tak usah membawa harimau itu!"

Beng An tertawa.

Dia meloncat mencium ibunya dan mengucap terima kasih, girang karena Bi-houw dan anaknya akhirnya boleh di dalam, sebagai penumpang terhormat! Dan ketika Soat Eng juga tertawa dan lega bahwa ibunya mengijinkan maka dua harimau itu cepat dipanggil dan disuruh naik.

"Ayo, jangan menakut-nakuti kuda. Naik!"

Bi-houw dan anaknya melompat.

Mereka jinak dan hapas sekali akan kata-kata atau perintah anak ini, duduk dan mendekam di dalam seraya menjilat-jilat tubuh mereka dengan sikap yang begitu santai.

Tenang! Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan meloncat di depan, mengajak isterinya yang masih cemberut maka keretapun dihela dan tali kuda disentak.

Kuda mula-mula meringkik dan masih ketakutan, mereka itu ngeri melihat Bi-houw.

Ada harimau di dekat mereka.

Tapi ketika Bi-houw menghilang dan duduk di dalam kereta, tak diketahui keempat ekor kuda itu maka kuda- kuda ini menjadi tenang dan Kim-mou-engpun dapat mengendalikan perjalanan, berangkat dan langsung menuju ke kota raja dengan cara memutar.

Dia bergerak dari arah barat dengan arah melengkung ketika menuju ke selatan, lain dengan Togur dan pasukannya yang langsung menusuk dari utara menuju perbatasan, menyerbu kota-kota Cin-po atau Cin-yang dan akhirnya Tai-yuan, merebut propinsi Shan-si dan menguasainya.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan menjalankan kereta, melaju dan cepat ke kota raja maka beberapa hari kemudian merekapun sampai.

Dan tentu saja kedatangan pendekar ini disambut gembira, bahkan setengah bersorak! Kim-taijin dan Han-taijin yang mendengar kedatangan pendekar itu langsung saja bergerak dan menyambut di gerbang kota raja, bergegas dan melarikan kudanya dengan kencang, memapak.

Dan ketika mereka bertemu dan dua pembesar itu turun dari keretanya maka mereka langsung menyongsong dan berseru girang.

"Kim-taihiap (pendekar besar Kim)...!"

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

Kim-mou-eng tersenyum.

Dua pembesar itu sudah menubruknya dan mereka pun tampak menangis.

Jarang sekali dua penasihat kaisar ini datang berdua untuk menyambut tamu, kalau bukan dianggap agung atau istimewa.

Dan ketika Kim-mou-eng mendorong dan melepas mereka, menjura, maka dua pembesar itu buru-buru membalas hormat karena mereka tadi lupa saking girang dan tergesa-gesanya.

"Ah, selamat datang... selamat datang...! Kau tentu kemari karena mendengar serbuan musuh yang besar-besaran. Terima kasih, taihiap.... terima kasih. Kami tak dapat mengutus orang untuk meminta bantuanmu ke utara karena jalan ke sana tertutup!"

"Aku tahu, aku sudah mendengar. Hm, tak usah khawatir. Kami datang memang untuk membantumu, taijin, berunding dan memberikan saran bagaimana kami harus menolong."

"Heii...!"

Sebuah suara anak kecil tiba-tiba berteriak.

"Apakah kami harus tetap disini, ayah? Dikurung dan tidak boleh keluar?"

"Siapa itu?"

Kim-taijin terkejut.

"Putera taihiap?"

"Hm,"

Kim-mou-eng melihat Beng An tiba-tiba keluar, berkelebat dan tak betah di dalam kereta.

"Dia memang anakku, taijin. Beng An!"

Tapi ketika dari dalam kereta tiba-tiba meloncat dan menyusul seekor anak harimau mendadak Kim-taijin terpekik dan mundur menjauh, kaget dan semakin kaget lagi karena tiba-tiba Bi-houw pun, sang induk harimau, menyusul anaknya! Dua harimau itu menggeram melihat banyak orang disitu.

Beng An dikiranya mau dikepung atau dikeroyok musuh.

Tentu saja Kim-taijin dan Han-taijin menjerit, berikut semua pengawalnya.

Tapi ketika Beng An membentak dan menyuruh harimau- harimaunya diam, disusul oleh bayangan Soat Eng yang juga berkelebat dan membentak harimau-harimau itu maka Swat Lian, sang ibu, merah mukanya tapi suaminya justeru tertawa lebar.

"Beng An, kembali ke tempatmu. Jangan membuat panik!"

"Benar,"

Sang ayah menyambung.

"Kau tak boleh bersama harimaumu di sini, Beng An. Kembali dulu dan suruh harimaumu masuk."

"Tapi kami pegal-pegal, tiga hari terus- menerus di dalam kereta! Mana tahan yah? Siapa kuat? Aku ingin berjalan-jalan dulu bersama Siauw-houw mencari angin!"

"Jangan membantah, jangan nakal!"

Sang ibu tiba-tiba menghardik.

"Kembali ke tempatmu atau buang harimau-harimau itu, Beng An. Turut perintah ibumu atau mereka kutendang!"

"Baiklah.... baiklah...!"

"Beng An meleletkan lidah, lucu.

"Aku kembali ke dalam, ibu. Tapi berjanjilah bahwa nanti aku boleh melemaskan punggung dengan dua harimauku!"

Semua tertawa.

Akhirnya mereka lega tapi juga geli melihat anak laki-laki kecil itu, juga kagum.

Mereka geleng-geleng kepala dan mendecak karena Beng An membawa-bawa harimau.

Sekecil itu sudah berkawan dengan binatang buas! Tapi karena anak itu adalah putera Pendekar Rambut Emas dan kesaktian atau kehebatan pendekar ini memang telah diketahui banyak orang maka merekapun akhirnya tidak heran lagi kepada Beng An, melihat anak itu sudah masuk ke dalam dan Soat Eng ditegur ibunya kenapa membiarkan adiknya keluar.

Gadis ini menjawab bahwa tadi Beng An tiba-tiba nyelonong begitu saja, tak meminta ijinnya, diikuti dan kemudian disusul Siauw-houw yang sebentar saja dsh akrab dengan anak ini.

Siauw-houw si harimau cilik juga cocok sekali tampaknya sebagai teman sepermainan Beng An, yang juga masih bocah.

Dan ketika Soat Eng diminta menjaga adiknya agar tidak membuat onar maka dua pembesar itu menggeleng kepala berulang-ulang.

"Bukan main.... bukan main. Anak naga memang lahir dari seekor naga pula. Ah, anakmu itu mengagumkan sekali, taihiap. Dan itu tadi puterimu Kim-siocia? Wah, sudah dewasa dia, dan cantik!"

"Tapi Kim-kongcu tak kelihatan. Apakah tak bersama taihiap?"

"Hm, kami sebetulnya mencari anak kami itu, Thai Liong. Tapi mendengar berita peperangan itu dan lalu kemari. Apakah taijin tak melihat dia kesini?"

"Tidak. Ah, maaf, taihiap. Mari kita ke istana dan disana kita bercakap-cakap!"

Kim-taijin tiba-tiba melihat kerut di muka Pendekar Rambut Emas ini, melihat bahwa pendekar itu murung dan rupanya sedang mencari puteranya, Thai Liong, yang memang tidak mereka dengar kalau datang ke kota raja.

Dan ketika semua naik ke keretanya kembali dan menuju istana maka iring-iringan itu bertambah panjang dan rakyat di sekitar tiba- tiba ribut dan menyambut dengan gembira kedatangan Pendekar Rambut Emas itu, yang cepat tersiar dari mulut ke mulut.

Dan ketika mereka tiba di istana ternyata kaisar sudah menunggu di halaman dan menyambut di anak tangga terbawah! Kim-mou-eng terkejut.

Ini satu penghormatan luar biasa baginya suami isteri, cepat keluar dan Kim-taijin maupun yang lain-lain sudah berlutut.

Namun ketika dia mau berlutut dan merendahkan diri tiba-tiba kaisar tersenyum dan menyentuh pundaknya.

"Kaupun pemimpin suku bangsa, biarlah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Selamat datang, Kim-taihiap. Selamat bertemu kembali. Dan selamat untuk Kim-hujin pula!"

Swat Lian bangga dan kemerahan mukanya.

Dia adalah wanita Han, seharusnya berlutut di depan kaisar pula, sebagaimana layaknya adat-istiadat.

Namun karena dia juga adalah isteri Pendekar Rambut Emas dan suaminya itu adalah pemimpin suku bangsa di utara maka dia adalah juga ratu suku bangsa suaminya, tak perlu terlalu merendah dan tadi sikapnya hanyalah untuk tata-tertib saja.

Tak tahunya kaisar menolak dan menyuruh dia bersikap seperti suaminya saja, berdiri dan melipat tubuh dalam-dalam untuk menghormat kaisar.

Dan ketika kaisar berseri dan diam-diam kagum bahwa nyonya ini masih cantik dan gagah, mata bersinar-sinar bak seekor harimau betina yang siap menubruk siapa saja yang berani mengganggu maka hari itu Kim-mou- eng sendiri disambut hangat di istana.

Suami isteri ini lalu dibawa ke dalam dan anak- anak tangga bertingkat yang cukup tinggi harus mereka lalui.

Semua orang berlutut ketika kaisar masih kelihatan.

Tapi begitu kaisar lenyap dan menghilang ke dalam, diikuti Kim-taijin dan Han-taijin yang cepat menyertai junjugannya maka Beng An yang disuruh encinya berlutut di dalam kereta, njengking, mengomel karena tak boleh melihat wajah kaisar.

"Ssst, jangan ribut. Ini peraturan. Atau ayah dan ibu akan mendampratmu yang dianggap tak tahu sopan! Hayo, jangan membuat malu. Kau adalah putera Pendekar Rambut Emas yang harus mengerti adat!"

"Wah, dan kau sendiri?"

Beng An memandang.

"Kenapa tidak berlutut dan menjalankan adat, enci? Kau tak adil, menyuruh aku njengking tapi kau sendiri tidak njengking!"

"Hush!"

Soat Eng hampir tertawa.

"Aku melatihmu untuk menghormat kaisar, Beng An, juga menjaga kalau-kalau dua harimau ini meloncat keluar. Sudahlah, berlutut dan nanti kalau selesai kuberi tahu!"

Dan kini penghormatan itupun selesai.

Kaisar telah masuk ke dalam dan Beng An bertanya bagaimana mereka selanjutnya.

Ikut ayah atau ibu mereka tak mungkin, mereka sedang disambut kaisar.

Namun encinya yang tersenyum dan tiba-tiba meloncat keluar kereta segera berkata pada pengawal Han- taijin tadi agar kereta diistirahatkan di tempat yang semestinya.

"Kau di dalam situ dulu, aku membantu Tek- ciangkun ini memparkir kereta."

Beng An mengomel.

Encinya mengancam agar dia tak membantah, apa boleh buat terpaksa menurut namun diam-diam dia menguak tirai kereta.

Kebesaran dan kemegahan sebuah istana belum pernah dilihat, kinilah saatnya dan Beng An melongok.

Dan ketika dia melihat betapa istana terdiri dari banyak bangunan yang besar dan luas, dengan gedung-gedung dan taman-taman indah maka anak ini mendecak kagum.

Dia hanya mengikuti saja pandangan sepintas itu sementara kereta dibawa ke samping istana, diparkir, mendengar encinya bercakap-cakap dan kiranya encinya diminta Kim-taijin untuk beristirahat di sebuah gedung di timur istana.

Disitulah Kim-mou-eng dan keluarganya mendapat tempat, tadi Tek- ciangkun yang mengawal Kim-taijin ini telah mendapat perintah agar Kim-mou-eng diberi tempat tak jauh dari pusat istana, berdekatan dengan kaisar karena memang pendekar itu diminta secara diam-diam untuk melindungi kaisar kalau ada apa-apa.

Dan ketika kereta berhenti dan Beng An meloncat keluar, dipanggil encinya maka Bi-houw dan Siauw- houw pun meloncat dari pintu kereta.

Dan Tek- ciangkun bersiap dengan waspada.
Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo


"Jangan takut, tak akan menggigit. Biarkan kami sendiri, ciangkun. Dan terima kasih atas semua bantuanmu."

"Maaf, tugasku selesai, siocia. Namun kalau siocia ada sesuatu keperluan dapat memanggilku di pos penjagaan itu. Selamat beristirahat!"

Perwira ini, seorang laki-laki yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun memberi hormat di depan gadis itu.

Dia kagum dan tentu saja tak berani main-main atau macam-macam dengan gadis ini, yang jelas lihai dan sinar matanya penuh tenaga sakti.

Dan ketika dia meninggalkan enci adik itu sementara dua harimau mengibas-ngibaskan ekornya dan mengaum perlahan maka Beng An bertanya pada encinya apa yang harus mereka lakukan disitu.

"Menunggu ayah, kita dipesan agar tidak membuat ribut atau gaduh disini."

"Kapan enci menerima pesannya?"

"Tadi."

"Tapi aku tak melihat ayah menghampirimu!"

"Hm, ayah mengirim pesannya lewat ilmu Coan-im-jip-bit, Beng An, tentu saja kau tak tahu!"

"Wah, benar. Coba kau tunjukkan padaku ilmu mengirim suara itu, enci. Biar aku lihat!"

"Hm, kau mau main-main? Baik, dengarlah!"

Dan Soat Eng yang berkelebat lenyap di balik sebuah pohon tiba-tiba mengirim ilmunya bersuara dari jauh itu, berkata pada adiknya agar adiknya menjaga harimau dan anaknya itu, didengar dan Beng An tertawa-tawa karena suara encinya menyusup jelas, tidak terdengar oleh orang lain karena getaran atau bunyi suara itu lain, seperti sayup terbawa angin lalu dan Beng An berseri.

Dan ketika anak itu berkata tapi ingin membuktikan apakah benar orang lain tidak mendengar suara encinya tiba- tiba dia memanggil Tek-ciangkun itu.

"Heii...!"

Tek-ciangkun terkejut.

"Kesini sebentar, ciangkun. Aku ada perlu!"

"Eh,"

Encinya bertanya.

"Kau mau apa Beng An? Kenapa memanggil Tek-ciangkun?"

"Ha-ha, aku ingin tahu apakah Coan-im-jip- bitmu benar-benar tak didengar orang lain, enci. Agar perasaan puasku tak tanggung- tanggung lagi!"

"Kau gila!"

Namun Tek-ciangkun yang sudah dekat dan berlari menghampiri anak itu lalu bertanya pada Beng An apa yang dia maui.

"Ha-ha, kau dengarlah. Apa kata-kata enciku!"

"Dimana encimu? Dimana Kim-siocia?"

Tek-ciangkun celingukan.

Dia jadi heran dan tak mengerti kenapa Beng An tiba-tiba terpingkal dan tertawa-tawa begitu geli.

Perwira ini tak tahu bahwa saat itu Soat Eng memaki-maki adiknya, keras tapi tak terdengar perwira itu dan Beng An berseru agar encinya berteriak lebih keras lagi, lebih kuat, sudah dilakukan tapi tetap saja perwira itu tak mendengar apa-apa.

Dan ketika Beng An terbahak dan puas membuktikan ini, bahwa orang yang ada di dekatnya benar-benar tak tahu atau mendengar semua kata-kata encinya maka anak ini akhirnya menepuk pundak perwira itu.

"Terima kasih, aku sekarang puas. Ha-ha, terima kasih, ciangkun. Sekarang kau kembalilah!"

Perwira ini merah mukanya.

Tentu saja sikap dan kata-kata Beng An membuatnya tersinggung, dia merasa dipermainkan.

Tapi ketika sebuah suara terdengar dan itulah suara Soat Eng yang minta maaf atas kelakukan adiknya, berkata bahwa adiknya ingin menguji Coan-im-jip-bit yang dipunyai maka baru perwira ini mengangguk-angguk mengerti, tertawa.

"Kau lihat adikku yang kurang ajar itu. kusuruh kau menempelengnya pun tak dia dengar!"

"Ha-ha,"

Perwira ini tertawa.

"Begitukah, Kim- siocia. Coba kau suruh aku dan coba kutanya dia!"

"Cobalah, dekati dan tanya apa dia yang telah kukatakan padamu. Pasti dia tak tahu!"

"Benarkah, Kim-siocia?"

Perwira ini tiba-tiba menghadapi Beng An, tertawa.

"Kau tahu apa yang disuruh encimu kepadaku?"

"Apa?"

Beng An menghentikan tawanya.

"Enciku menyuruhmu?"

"Ya, coba kau dengar!"

Namun Beng An yang tentu saja tidak mendengar dan tidak tahu apa yang dikata encinya lalu terbelalak dan heran memandang perwira ini, ganti membuat Tek- ciangkun terbahak-bahak karena kini Soat Eng memaki-maki adiknya itu di telinga sang perwira.

Soat Eng hendak membuktikan bahwa giliran Beng An yang tidak mendengar kata- katanya, sekeras apapun dia berteriak, karena Coan-im-jip-bit hanya ditujukan kepada perwira itu.

Dan ketika sang perwira terpingkal karena Beng An bengong, tak tahu semua caci maki encinya maka Soat Eng menutup.

"Nah, kau lihat, ciangkun. Adikku sendiri tidak tahu kalau kumaki-maki, begitu pula kau tadi. Sekarang kembalilah dan maafkan kenakalan adikku yang suka menggoda orang!"

"Ah-ah, tak apa!"

Sang perwira tersenyum lebar, mengangguk-angguk.

"Sekarang aku mengerti, siocia. Terima kasih. Kalian benar- benar hebat!"

Lalu kembali dan meninggalkan Beng An perwira ini tak tersinggung lagi karena tahu apa yang diingini Beng An, mengajak main-main orang tua dan saat itu berkelebatanlah Soat Eng memperlihatkan dirinya lagi.

Beng An mendelong dan bertanya pada encinya apa yang dikatakan pada Tek- ciangkun, dijawab bahwa dia tak boleh lancang dan harus minta maaf, menggoda orang tua.

Tapi ketika disana Tek-ciangkun berseru tak usahlah mereka sungkan maka Beng An mendusin bahwa kiranya encinya ini balik berganti memberikan Coan-im-jip-bit pada Tek-ciangkun.

"Pantas, kau bilang apa saja padanya, enci? Kenapa dia tertawa-tawa?"

"Aku menyuruhnya menjitakmu, tapi Tek- ciangkun tak mau. Hayo, jangan main-main lagi, Beng An. Tidak kau lihat tadi bahwa perwira itu tersinggung!"

"Tersinggung? Apa yang kulakukan?"

"Bodoh! Kau kira dia tidak tersinggung kau suruh datang lalu kau suruh kembali lagi? Dan kau tertawa-tawa padanya, tanpa sebab. Tentu saja dia marah dan tersinggung karena merasa kau permainkan!"

"Ooh, aku tak tahu....!"

"Dan aku ganti menerangkan padanya bahwa kau tak bermaksud mempermainkannya. Bahwa kau mendengarkan Coan-im-jip-bitku dan baru perwira itu sadar. Kalau tidak, tentu dia tak senang padamu, Beng An, marah dan mungkin melapor pada Kim-taijin bahwa kita kurang ajar!"

"Ah-ah, maaf, enci. Aku memang tak tahu!"

"Sudahlah, kita masuk dan beristirahat, menunggu ayah!"

Beng An tak berani membantah lagi.

Setelah encinya menegur dan berkata seperti itu maka dia tak enak juga kepada Tek-ciangkun.

Untunglah perwira itu tak marah dan encinya sudah memberi penjelasan.

Dan ketika mereka masuk ke gedung yang disediakan dan di sini beberapa pelayan sudah menyambut mereka maka Beng An menyeringai melihat minuman dan makanan kecil dihidangkan, sudah terletak di atas meja dan buah-buahan segar seperti apel atau jeruk juga ada di situ, warnanya memikat dan baunya pun harum.

Para pelayan sudah membungkuk di depan mereka dan mempersilahkan mereka menikmati itu, siap melayani mereka kalau mereka ada permintaan yang lain.

Tapi ketika Soat Eng menyuruh mereka pergi dan berkata terima kasih, tak mau diganggu, maka adiknya sudah tertawa dan menyambar buah-buahan di atas meja.

"Hei, kami ada perlu. Tunggu dulu!"

Para pelayan membalik, sementara Soat Eng mengerutkan kening.

"Kongcu ada perintah apa?"

"Ada yang kurang!"

Bocah ini langsung saja bicara, persis seperti pelayannya sendiri di rumah.

"Aku minta daging segar lima kilo!"

"Beng An!"

Encinya membentak.

"Ada apa macam-macam lagi? Kau mau menggoda pelayan?"

"Tidak... tidak!"

Anak ini cepat menggoyang lengan, menuding Bi-houw dan anaknya yang mendekam di sudut.

"Aku minta untuk mereka itu, enci. Jangan marah. Bi-houw dan Siauw- houw juga perlu makan!"

Soat Eng sadar.

Segera dia mengangguk dan para pelayan yang tadi heran dan terkejut segera tersenyum karena mereka juga tak memperhatikan dua binatang buas itu.

Beng An menjauhkan mereka agar para pelayan tidak ketakutan, agak di sudut dan memang pelayan tidak tahu.

Tapi begitu mereka mengangguk dan bergegas pergi ke belakang maka tak lama kemudian dua harimau itu juga sudah mendapat makanan mereka, menjilat dan makan dengan lahap sementara Beng An sendiri menyambar dan memakan buah- buahan itu.

Soat Eng harus membisiki adiknya agar makan secara baik-baik, jangan digeragoti begitu seperti bocah kelaparan.

Tapi ketika anak itu menjawab bahwa disitu tak ada orang lain, karena pelayan sudah pergi diusir encinya maka anak ini tak perduli.

"Di tempat kita buah-buahan begini jarang, kalau sekarang disini ada banyak kenapa tidak disikat? Hayo, kaupun sebuah, enci. Lihat apel ini begitu segar dan manis!"

"Hush!"

Encinya menerima juga lemparan buah itu.

Istana Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan keras-keras bicara, Beng An. Dan jangan berkesan rakus!"

Namun anak ini tak menghiraukan.

Dia tetap tertawa dan menyambar makanannya lagi, lahap dan akhirnya duduk kekenyangan setelah menghabiskan tiga buah apel dan jeruk besar.

Anak itu mengusap mulutnya dan Soat Eng pun duduk, membersihkan mulutnya pula, tertawa.

Dan ketika Beng An bertanya berapa lama mereka menunggu maka encinya menjawab.

"Aku tak tahu, tapi biarlah. Bukankah ayah dan ibu ada disini? Kalau keperluan mereka sudah selesai tentu datang juga. Untuk apa kau bertanya ini?"

"Hm,"

Anak itu menyeringai.

"Aku ingin jalan- jalan, enci. Mengagumi dan menikmati istana ini!"

"Keluyuran?? "Bersama kau!"

Beng An tertawa.

"Aku tak berani sendirian kalau kau di sini, enci. Tentu kau menjewer telingaku kalau nakal. Ayolah, daripada menunggu kita jalan-jalan saja. Bukankah kau juga belum pernah kesini?"

"Hm, ayah membawaku dua kali, ketika aku masih kecil. Bukan belum pernah sama sekali!"

"Ah-ah, itu dulu!"

Anak ini tertawa.

"Dulu dan sekarang jelas berbeda, enci. Sekarang tentu sudah semakin cantik dan memikat lagi. Ayolah, daripada duduk-duduk disini lebih baik kita melemaskan kaki dan jalan-jalan!"

"Bersama Bi-houw?"

"Tentu saja. Masa kita meninggalkannya disini? Ayolah, kita jalan-jalan, enci. Kau antar aku!"

Soat Eng mengangguk.

Memang sebaiknya dia menuruti permintaan adiknya ini.

Kalau Beng An sudah merengek maka itu tanda anak ini tak akan sudah kalau belum dituruti.

Salah- salah anak itu bisa keluyuran sendirian kalau dia melepaskan penjagaannya.

Maka bangkit dan tersenyum berkelebat keluar akhirnya Soat Eng setuju dan Beng An tentu saja girang bukan main.

"Ha-ha, terima kasih, enci. Mari Bi-houw, enci memang baik sekali!"

Dan anak itu yang sudah menyambar dan mengajak dua harimaunya lalu keluar dan Tek-ciangkun disana tertegun melihat enci adik itu berjalan dengan dua "kucing hutannya".

"Ji-wi (kalian berdua) ada perlu?"

"Tidak,"

Soat Eng tertawa.

"Kami hendak berjalan-jalan saja, ciangkun, menikmati istana. Adikku mengaguminya."

"Ah, perlu kuantar?"

"Tidak, tak usah. Biarlah kami sendiri!"

Dan Beng An yang juga tertawa menggoyang lengan lalu mulai berlompatan dan berjalan kesana-sini menunjuk ini-itu, menuding gedung-gedung besar atau apa saja yang menarik hatinya sementara Soat Eng mengagumi bunga warna-warni di taman- taman yang indah.

Mereka mulai terlibat dalam keasyikannya sendiri dan Soat Eng mulai lupa mengawasi adiknya.

Dan ketika saat itu tiba dan tanpa terasa mereka agak berjauhan tiba- tiba Beng An yang tidak sabar berjalan dengan kakinya mendadak memanggil Bi-houw dan menunggang harimau itu menyuruhnya berkeliling istana.

"Tempat ini luas dan indah sekali. Hayo, antar aku dan kita berkeliling!"

Beng An sudah menunggang harimaunya.

Melenggang dan tampak garang anak ini gagah sekali di punggung harimaunya itu.

Siauw- houw berjalan di belakang induknya dan mulailah Beng An tertawa-tawa gembira.

Mengelilingi istana sambil menunggang harimau sungguh nikmat, asyik.

Dan ketika Beng An berkeliling dan satu per satu menyaksikan tempat tinggal para pangeran atau pejabat-pejabat tinggi lainnya maka tiba- tiba anak ini memasuki wilayah kaputren.

Wilayah ini, yang kebetulan agak jauh dengan pusat istana dimana sehari-hari kaisar berada terletak hampir di sudut istana, sebelah barat.

Jauh dan berlawanan sekali dengan kaputran, tempat atau rumah tinggal para pangeran.

Dan karena tempat ini agak jauh dan pengawal yang berjaga di situ tak mendengar kedatangan Kim-mou-eng, bersama anak isterinya maka hadirnya Beng An bersama dua harimaunya itu mengejutkan mereka.

Candika Dewi Penyebar Maut I I I Jangan Percaya Pada Orang Mati Never The Spiderwick Chronicles 4 Pohon Besi

Cari Blog Ini